INSTANT FAMILY Review

“There’s nothing temporary about the love or the lesson.”

 

 

Gampang untuk tidak menyakiti orang lain, atau merasa kasihan melihat kondisi orang lain, karena kita membayangkan jika itu terjadi kepada anggota keluarga sendiri. Kita cukup dengan menjauhkan diri dari masalah orang, enggak ikut campur, hanya membantu jika diminta. Dibutuhkan usaha yang lebih keras, lebih susah, untuk secara nyata menyayangi dan peduli sama orang lain. Menganggap mereka seperti anak sendiri. Tidak sembarang yang bisa, yang rela, mengurus anak orang. Tahukah kalian penelitian menyebutkan seorang ibu akan menganggap pup anak kandungnya enggak sebau dan semenjijikkan pup anak orang lain. Bayangkan ada seorang ibu yang punya cinta begitu besar sehingga mau mengurusi pup yang bukan dari pantat anaknya.

Adopsi jelas bukan perkara sepele. Lewat Instant Family, sutradara Sean Anders membagi cerita dan pengalaman suka-duka yang ia alami ketika dirinya memutuskan mengadopsi anak. Dan Anders cukup bijak untuk mengajak kita tertawa bersamanya karena film ini diceritakan dengan begitu ringan dan lucu. Kita akan melihat langkah-langkah yang harus dilalui oleh pasangan yang berniat menjadi orangtua asuh, dimulai dari konseling, masa percobaan, bagaimana mereka memilih anak (film bilang “udah kayak belanja!”), fakta bahwa tidak banyak yang mau memilih anak remaja karena kita bisa bayangkan lebih merepotkan karena mereka sudah mulai memasuki usia ‘membandel’, dan tentu saja drama yang muncul ketika orangtua asuh sudah bertemu dan membawa anak asuhnya ke rumah. Anders, tak pelak, mengerti semua hal tersebut dan ia paham di mana harus menggali kelucuan. Meskipun lucu, bukan berarti film harus kehilangan hati.

berlawanan dengan judul; sebenarnya tak ada yang instan dalam membangun keluarga

 

Mark Wahlberg dan Rose Bryne memerankan sepasang suami istri yang memutuskan untuk mencoba membesarkan anak, tapi Mark menolak punya anak sendiri lantaran tokohnya, Pete, sudah berumur dan dia enggak mau dia udah tua banget saat anaknya remaja. Jadi dengan berkelakar dia semacam bilang kita curi start saja, adopsi anak yang sudah sekolah. Di balik kekonyolan, naskah berhasil membuat kedua tokoh ini – Pete dan istrinya Ellie – sebagai tokoh yang manusiawi; terkadang kita dapat melihat mereka pada awalnya tidak benar-benar serius pengen punya anak – mereka mengadopsi hanya untuk membuat diri mereka merasa lebih baik di mata sanak dan kerabat. Seperti ketika mereka tadinya cukup kaget tatkala mengetahui Lizzie, remaja hispanic yang menurut mereka ‘cocok’ ternyata punya dua adik dan itu berarti mereka harus menanggung tiga anak. Namun kita tidak pernah kehilangan simpati kepada mereka. Kita mengerti ketika mereka melakukan sesuatu untuk menyenangkan hati anak asuhnya, mereka benar-benar pengen membuat anak-anak tersebut senang. Bahwa mereka berusaha menjadi orangtua yang baik. Wahlberg dan Bryne benar-benar tampak meyakinkan; ketika mereka ragu kita juga ikut ragu, ketika mereka marah kita tahu mereka melakukannya sebagai pilihan yang menurut mereka terbaik.

Aku suka naskah memparalelkan ini dengan pekerjaan profesional yang mereka geluti. Pete dan Ellie mencari nafkah sebagai fixer upper; mereka membeli rumah yang sudah bobrok, memperbaikinya, untuk dijual kembali dengan keuntungan yang besar. Ini pada ujungnya memberikan konflik karena mereka terbiasa ‘membangun’ rumah, mempercantik untuk dihuni oleh orang lain. Betapa mengejutkan bagi mereka ketika menyadari bahwa dalam adopsi anak, tidak sama seperti yang mereka lakukan pada rumah. Karena anak berarti menyangkut ‘rumah tangga’. Ada perasaan yang terlibatkan. Plot pasangan tokoh utama kita ini adalah tentang mereka menyadari betapa desperate-nya mereka sebenarnya untuk jadi ayah dan ibu. Lihat betapa takjub dan nagihnya Pete dan Ellie ketika salah satu anak asuh tersebut memanggil mereka dengan “daddy” dan “mommy”. Film tidak mempermudah keadaan dengan membuat ketiga anak yang mereka asuh masih memiliki ibu kandung. Pertanyaan yang menggantung di plot poin kedua nyatanya berhasil membawa cerita ke dalam warna emosional; Apakah Pete dan Ellie bisa merelakan anak yang sudah mereka urus pulang kembali ke ibu kandung yang sudah keluar dari penjara. Apakah itu adil bagi mereka yang sudah meluangkan banyak. Tentu saja itu juga tergantung pada pilihan ketiga anak, namun jika mereka memilih Pete dan Ellie, apakah itu tidak sama saja dengan Pete dan Ellie merampas mereka dari ibu sah yang tentunya juga berjuang untuk anak-anak tersebut. Moral dilema dan drama yang bikin hati anget ini tak sekalipun terselip keluar dari cerita. It’s still there all along, terbungkus dengan rapi oleh pita-pita komedi. Sehingga film akan membuat kita tertawa dan menyeka mata sekaligus.

Jangan pernah meremehkan seberapa besar kau bisa mencintai seseorang dan bagaimana cinta tersebut mampu mengubah mereka. Kita mungkin hanya sementara di dalam hidup mereka. Mereka mungkin tak seberapa lama di hidup kita. Tapi tidak ada yang namanya numpang lewat dalam urusan cinta. Pun pelajaran dan waktu yang kita luangkan bersamanya akan terus terpatri selamanya.

 

Aku suka gimana film ini tidak menggali hubungan Pete dan Ellie dengan anak-anak asuhnya seperti cerita ‘strangers yang menjadi teman’ kebanyakan. Cerita tidak exactly dimulai dengan benci berubah menjadi cinta. Ketiga anak asuh tersebut enggak langsung melawan, enggak seketika distant dan gak respek. Kita melihat kedua belah pihak sama-sama seperti ‘mengetes air’ di awal-awal mereka satu rumah. Film mengambil waktu untuk mengembangkan reaksi mereka. Pete dan Ellie yang merasa bisa dengan gampang ‘memperbaiki’ anak-anak ini, dan the kids, aku suka film tidak membuat mereka menyusahkan bagi Pete dan Ellie. Film tetap membuat ini sebagai tugas Pete dan Ellie; bahwa mereka perlu memahami bagaimana cara yang tepat menunjukkan cinta kepada anak-anak, seperti keluarga normal.

Tokoh anak-anak juga tak kalah meyakinkannya. Isabela Moner menyuguhkan penampilan yang benar-benar kerasa sebagai Lizzie, tertua dari tiga bersaudara. Film memberikan kesempatan baginya untuk menjangkau banyak rentang emosi, dan Moner mengeksekusinya dengan baik. Remaja yang bermasalah, namun Lizzie tidak jatoh annoying dengan akting yang berlebihan. Tokoh ini bisa kita tarik perbandingan dengan Euis di Keluarga Cemara (2019), karena sama-sama paling dekat sebagai sosok antagonis bagi tokoh utama; Lizzie tampak lebih luwes karena rangenya lebih luas, sedangkan Euis sedikit tertahan. Yang lebih bandel sebenarnya Lizzie namun Euis tampak lebih ‘hard to deal with’, menurutku ini disebabkan oleh perbedaan eksplorasi karakter yang bisa jadi berhubungan dengan kemampuan akting pemainnya. Moner begitu natural, sehingga aku jadi penasaran pengen melihat seperti apa dia memainkan Dora later this year. Lain Lizzie, lain pula dengan dua adiknya; Juan dan Lita. Dua tokoh ini kocak banget sebagai karakter komedi. Yang satu tukang merengek, yang satu bego namun super-sensitif. Film membuat kita tertawa oleh tingkah mereka, meskipun aku kadang merasa jahat juga sih terbahak melihat Juan kesakitan karena ulahnya sendiri.

Boleh gak adopsi Moner jadi adek?

 

Dengan tone komedi dan drama yang ngeblend, kadang bikin kita ‘bingung’ juga seperti yang kita rasakan pada tokoh Juan. Is it okay to laugh at children getting hit? Apa sopan mentertawakan seorang wanita yang belum berhasil menemukan anak asuh? Atau menuduh sepasang suami istri yang wajahnya amat mirip sebagai saudara kandung? Film yang tak malu-malu menyinggung berbagai persoalan ini bergerak dengan cepat sehingga kita tertawa dan baru berpikir kemudian. Menakjubkan gimana satu montase bisa hadir dalam berbagai feeling seperti yang dilakukan oleh film ini. Dan betapa randomnya kemunculan cameo Joan Cusack di menjelang akhir itu seolah duo Octavia Spencer dan Tig Notaro belum cukup untuk menggelitik kita semua. Tapi menurutku memang itu semua bergantung kepada selera humor masing-masing penonton. I could laugh at some of it. Dan nyengir buat sebagian kecil yang lain.

Yang benar-benar kepikiran buatku adalah pilihan resolusinya. Di bagian-bagian awal Pete sempat meracau soal white-savior, gimana yang mereka lakukan bukanlah sekedar pencitraan orang kulit putih yang mau menyelamatkan anak-anak. Buatku penyelesaian film ini justru menguatkan aspek white-savior yang berusaha dihindari oleh Pete tersebut. Alih-alih memperlihatkan interaksi untuk mencapai kesepakatan bersama, kita mendapati jalan keluar yang berasal dari keadaan luar; dari seorang ibu yang masih belum keluar dari jerat narkotika. Film berusaha mengalihkan kita dari ras si ibu dengan membuat ada satu tokoh amerika yang juga terikat masalah yang sama; bahwa narkoba bukan stereotipe ras. Tapi tetap saja aspek ini membuat Pete dan Ellie menjadi tampak keluarga paling ‘sempurna’ di antara keluarga lain yang ditampilkan oleh film. Menurutku cerita seharusnya menggali ‘cacat’ dari dalam dengan lebih dalam lagi dari sekadar masalah pencitraan.

 

 

 

Prestasi terbaik yang dicapai oleh film ini adalah membuat kita sadar bahwa wajar saja jika semua keluarga itu ‘gila’. Justru semakin ‘gia’ maka semakin besar pula cinta di dalamnya. Dan yang namanya cinta tak melulu datang dari rantai DNA. Film ini membawa sudut pandang yang unik, dan mencoba untuk menceritakan sesuatu yang mengharukan dengan tawa. Sukses luar biasa. Makanya walaupun adopsi-adopsian enggak terlalu ngetren di sini, film ini tetap terasa relatable dan mampu menyentuh kita semua.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold star for INSTANT FAMILY

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Mengapa orang yang mengangkat anak asuh sering dikatakan sebagai pahlawan? Apakah makna orangtua bagi kalian?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

CALON BINI Review

“Freedom is the ability to choose”

 

 

Begitu lulus SMA, Ningsih yang gadis desa langsung disuruh nikah. Sama bujang anak kepala desa yang kaya dan terhormat. Ningsih lebih memilih mengejar mimpinya ke kota. Di Jakarta ia bekerja sebagai asisten rumah tangga, dan coba tebak – di sana ia juga dijodohin nikah oleh nenek majikannya sama sang cucu yang tentunya juga kaya raya. Siapa yang dipilih Ningsih? Apakah semua masalah kehidupan Ningsih terselamatkan berkat cowok kaya yang jatuh cinta padanya? Seorang cewek yang mengerjakan tugas rumahan, masak, membersihkan lantai, yang dikekang mimpinya, kemudian muncullah seorang pria, dan kita mendapatkan pernikahan sempurna. Ujung-ujungnya tetap jadi bini. Sepertinya memang cerita yang familiar. Drama komedi garapan Asep Kusnidar ini cocok sekali mengenakan sepatu kaca Cinderella. Bahkan, actually, sepatu juga memegang peranan penting dalam Calon Bini, meskipun memang bukan terbuat dari kaca, melainkan ‘bersayap’. Dan hal tersebut bukanlah hal yang buruk.

Cinderella dari Bantul

 

Selama ini, Cinderella (1950) menuai cukup banyak kritikan. Dikatain anti-feminisme karena dari luar ceritanya seperti tentang  cewek pasif, cewek lemah yang pada akhirnya diselamatkan oleh kekayaan. Calon Bini dan Ningsihnya dari luar juga seperti demikian. Aku agak telat, sih, menonton film ini. Aku sudah banyak mendengar pujian terhadap film ini pada umumnya datang dari penampilan akting yang benar-benar total; dari penggunaan bahasa Jawa yang benar-benar ada usaha untuk terlihat meyakinkan sehingga memperkuat nilai budayanya. Aku setuju sama pujian itu. Michelle Ziudith luar biasa natural sebagai Ningsih, medhoknya tak kedengeran dibuat-buat. Para aktor senior juga memberikan banyak bobot dan nilai plus untuk penampilan film ini. Mungkin para aktor senior seperti Niniek L. Karim, Slamet Raharjo, Butet Kertaradjasa, Cut Mini, mereka sudah dapat melihat kedalaman dan tidak menganggap remeh cerita ini. Yang aku tidak setuju adalah sama banyaknya pendapat yang menyebut Ningsih hampir senada dengan yang disebutkan orang terhadap Cinderella. Karena baik Cinderella maupun Ningsih bukan sekedar tokoh cantik yang beruntung. Sebab kedua cerita ini sebenarnya adalah cerita tentang wanita yang kuat. Inilah yang luput dilihat sebagian besar orang; Lupa melihat konteks hidup Ningsih, dan Cinderella.

Cinderella malah ‘dipersalahkan’, dicemooh karena tidak melakukan apa-apa terhadap situasinya; dia tetap kerja mesti ibu tirinya jahat. Padahal sebenarnya Cinderella melawan, dia tidak kabur dari masalah, lebih memilih kebaikan dan sifat optimis sebagai senjata terhadap kondisi yang sulit, dia menggunakan imajinasi dan kreativitas untuk menyelamatkan dirinya sendiri. Dan perlu diingat, Cinderella hidup di tahun 1950 di mana wanita belum sepantasnya bekerja, atau hidup sendiri. Inilah hal ‘kuno’ yang terdapat pada Cinderella – bagaimana dia diposisikan sebagai korban, dan dia berjuang atasnya. Calon Bini, buatku, tampak seperti  menjawab kritikan terhadap Cinderella – bukan serta merta meniru cerita impiannya. Film bekerja sesuai zaman ia dilahirkan. Kita lihat Ningsih yang wanita modern tahu ia punya pilihan. Maka ia kabur dari kampungnya, dia pergi ke Jakarta. Bukan untuk melarikan diri, melainkan untuk melawan opresi berupa paksaan kawin. Dia diantar ayah dan ibunya, tidak pergi diam-diam. Ningsih menawarkan solusi terhadap kemiskinan keluarga. Dia ingin bekerja, wants to be able to provide for herself sehingga gak nyusahin keluarga. Daripada disuruh kawin demi kemakmuran semu keluarga besar di kampung yang menekan dia dengan aturan-aturan sosial beserta segala keterbatasan yang datang bersamanya. Ningsih juga punya imajinasi dan kreativitas. Kita melihat bukti hal ini dari gimana filosofisnya dia mencari nama untuk akun sosial media yang ia gunakan. Sayap yang tadi sempat kusinggung adalah simbol imajinasi yang muncul dari dunia yang menghargai dirinya. Ningsih ini postif dalam melihat apapun, bahkan melihat kesepian dan kematian. Inilah yang membuat dirinya serta merta diterima oleh Oma. Tokoh Oma, sama halnya dengan tokoh Ibu Peri dalam Cinderella, adalah amplifikasi dari sifat-sifat positif dan kekuatan yang dimiliki oleh Ningsih, yang pada akhirnya memberikan tokoh utama kita ini kesempatan untuk menggapai impian.

Setelah nonton ini, aku tak bisa melihat ini sebagai cerita ftv tentang cewek miskin yang diselamatkan oleh cowok kaya. Calon Bini berjuang untuk mengangkat derajat ceritanya, dia ingin membuat kita semua dapat melihat lebih jauh di balik apa yang kita lihat.  Alih-alih seperti jatuh cinta pada pandangan pertama, film membuat Ningsih dan Satria saling terkoneksi lewat hubungan emosional sedari awal, sedari saat mereka belum tahu lawan berbalas-komen mereka itu kaya atau miskin. Film memainkan aspek chat dan emotional intimacy dengan lebih baik dan lebih ngefek daripada yang dilakukan oleh The Way I Love You (2019) . Catatan kecil; menurutku lucu juga Rizky Nazar memainkan dua tokoh lawan chat yang simpatik namun misterius dalam waktu tayang yang berdekatan haha. Anyway, aspek modern dimanfaatkan benar supaya tak lagi ada celah orang salah membaca film ini, seperti orang misreading film Cinderella. Chat-chat Ningsih bukanlah mimpi-mimpi siang bolong pasif. Terkait ini, perhatikan gimana film dengan gamblang membuat perbandingan antara Ningsih dengan rekan kerjanya, Marni, yang literally hobi tidur siang. Malah ada satu adegan Marni lagi di dunia mimpi tatkala Ningsih menyuarakan impian tepat di atasnya. Semua yang dilakukan Ningsih di internet adalah penampakan dari kekuatan, harapan, dan keberanian yang ada di dalam dirinya.

Ningsih independen. Dia menemukan kesenangan dalam dunia imajinasi, atau katakanlah dunia maya. Foto-foto dengan caption puitis yang ia pos menyuarakan kekuatan, harapan dan impiannya. Hal-hal yang merupakan traits yang paling dihargai dalam femininitas. Tidak banyak orang yang bisa sekuat Ningsih, cewek maupun cowok, yang lebih memilih mengejar impian ketimbang uang di depan mata. Semua ini adalah tentang kebebasan, kemandirian, untuk memilih apa yang terbaik untuk dirinya sendiri sebagai perwujudan dari wanita yang kuat.

 

 

Istilah ‘kisah Cinderella’ seringkali dipakai untuk menggambarkan situasi ketika pihak yang tak dikenal, tak diunggulkan, mendapat kemenangan besar di luar ekspektasi semua orang. Namun sebenarnya cinderella-cinderella dalam cerita tersebut berhasil mewujudkan mimpi mereka bukan tanpa perjuangan dan kerja keras. Ningsih dalam Calon Bini, sederhananya menuai hadiah atas kerja keras, kesederhanaan, dan ketabahan mengejar mimpi yang dilepehkan oleh banyak pihak. I mean, dia kabur dari potensi hidup enak di kampung! Perihal ‘pangeran’nya kaya dan tampan itu bonus untuk sikap baik yang ia miliki. Naskah turut mengerahkan usaha untuk keluarga Ningsih melihat di luar faktor uang. Makanya melihat ada drama usir-usiran yang juga nyambung dengan mulus dengan komedi yang datang sebelumnya. Film menunjukkan compassion Ningsih dari bagaimana dia tekun bekerja dan peduli sama keluarga di tempat ia bekerja, dia melakukan tugasnya dengan baik, penuh perhatian. Sekali lagi film membandingkan Ningsih dengan Marni yang ngasih gula kebanyakan. Cinta Ningsih adalah geunine. Sapto adalah perwujudan dari antagonis baginya, sebuah opresi di mana hanya ingin memiliki tanpa cinta. untuk Sapto ini aku agak kasihan juga sih, tapi dia juga benar-benar kocak – like, aku bisa maklum dia nyiumin foto, tapi dia nempelin foto wajah itu di badan Ramboo benar-benar gila ngakak buatku. Ningsih, sebaliknya, tak sekalipun ngajak cowok teman onlinenya untuk ketemuan, atau bahkan jadian. Dia sudah cinta hanya dengan mengobrol saja.

juga menakjubkan jumlah orang cadel dalam satu film ini hhaha

 

Namun, memang masih banyak elemen yang di-shoehorn masuk ke dalam cerita. Yang meminta kita untuk angguk-angguk saja tanpa memikirkannya lebih lanjut hanya karena cerita pengen seperti begitu. Seperti misalnya kenapa Ningsih bisa kebetulan banget kerja untuk keluarga Oma. Ataupun kenapa Oma yang jelas-jelas ngerti cara media sosial bekerja – dia membuat akun palsu di aplikasi cari jodoh, dia punya grup chat dengan teman-temannya yang tinggal seberapa – tidak ngobrol online saja dengan cucunya yang ia sebut teman baik. Pada lapisan luar, juga tidak begitu banyak yang dilakukan oleh Ningsih; kejadian dan kelakuan orang-orang di sekitarnyalah yang justru membuat maju cerita. Ningsih masih bereaksi ketimbang beraksi. Menurutku naskah dan tokohnya bisa ditulis lebih baik lagi. Ningsih diceritakan punya mimpi, tapi kita tidak pernah diperlihatkan apa yang sebenarnya ia kejar, apa cita-citanya sebagai wanita. Buatku cerita ini kurang memuaskan karena di akhir Ningsih malah jadi ngikut calon suami. Dan terutama, hilangkan saja elemen-elemen yang seolah gak pede untuk cerita tampil tanpa twist. Karena bukanlah twist lagi sedari awal. Kita tahu. Pengungkapan yang dilakukan oleh film hanya bekerja buat Ningsih seorang. Di poin tersebut kita tidak lagi satu sepatu dengannya, kita tidak bergerak bersamanya karena kita sudah tahu duluan.

 

 

 

 

Kitalah yang dangkal melihat Cinderella sekadar cerita tentang ukuran kaki. Kitalah yang luput melihat Calon Bini hanya seperti FTV yang ditayangin di layar lebar. Karena seperti yang diperlihatkan oleh Ningsih, it’s what’s inside that matter. Pun menurutku, di samping komedi yang mengena karena dibawakan dengan baik, film ini benar mencerminkan masa kita, dia tak lupa budaya, dia juga memperlihatkan aspek-aspek yang tak bisa dimiliki oleh kisah Cinderella. Pendekatan ceritanya moderen meskipun kita masih dapat melihat hidup yang masih tradisional dan simpel untuk orang-orang berpikiran sempit. Dan ya, kupikir kita masih butuh satu cerita Cinderella lagi.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for CALON BINI

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Apakah menurut kalian Ningsih adalah wanita yang kuat? Atau malah lemah? Seberapa penting cerita Cinderella buat para wanita, benarkah ia masih diperlukan di masa kini? Mengingat Ningsih yang pada akhirnya jadi ngikut aja, apakah kemandirian nyatanya adalah hal yang masih menakutkan untuk wanita?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

 

 

HAPPY DEATH DAY 2U Review

“To the world you may be one person; but to one person you may be the world.”

 

 

 

Yang aku inginkan adalah terbangun dalam keadaan sehat wal’afiat. Bahwa hari ini akan baik-baik saja. Aku tidak akan tewas dengan sukses dalam perjalanan ke bioskop demi menonton sekuel dari Happy Death Day (2017) yang seru dan kocak dulu. Semua orang pastinya pengen harinya berjalan mulus, tetapi hidup tidak pernah segampang itu. Toh, aku bersyukur juga, lantaran Happy Death Day 2U ini enggak benar-benar memberikanku masa yang sulit.

Menyambung langsung satu hari setelah kejadian di film pertama, kita melihat Ryan (tokoh minor dari film tersebut) mengalami kejadian loop yang persis sama seperti yang dialami oleh Tree (protagonis cewek paling feisty yang kita saksikan dalam horor baru-baru ini). Ryan bahkan mati juga dibunuh sama orang misterius yang mengenakan hoodie dan topeng bayi maskot kampus mereka. Maka Ryan yang lebih pinter dari kelihatannya itu berkonsul dengan Tree. Mereka bekerja sama menangkap si pembunuh, Tree menemukan kejutan dan kenyataan bahwa kejadian loop tersebut disebabkan oleh alat ciptaan Ryan. Dan bahwasanya teori multiverse itu benar adanya. Eventually, dalam usaha membereskan kekeliruan dan menutup loop, Ryan gak sengaja ‘mengirim’ Tree ke dunia paralel. Di mana Tree mendapat diri terbangun dalam kejadian film pertama, hanya saja di dunia tersebut keadaan sedikit berbeda. Ibu Tree masih hidup; itu perbedaan baiknya, yang bikin Tree girang dan betah di sana. Buruknya – si pembunuh bertopeng bayi yang dulu sudah ia kalahkan juga masih hidup dan masih berniat membunuh, tentu saja. Tree kembali terjebak dalam lingkaran kematian di hari ulangtahunnya!

Reaktor Kuantum Sisyphus, as in Raja Sisyphus yang dihukum mendorong naik batu raksasa ke atas bukit

 

Tadinya aku langsung pengen cemberut, tapi gak jadi. Film membuka diri dengan sudut pandang tokoh Ryan, yang kupikir adalah langkah yang berani sebab jarang ada genre horor yang tokoh utamanya seorang minoritas. Kupikir film ini akan membahas tentang gimana ia menyingkapi proyek sains berbahaya yang ia lakukan. Namun meskipun memang film ini bakal mengarah ke sci-fi dengan teori multiverse dan alat kuantum dan persamaan fisika segala macem (membuatnya lebih mirip Back to the Future 2 ketimbang Groundhog Day), status tokoh utama itu seperti dikembalikan lagi kepada Tree. Ini ternyata masih cerita Tree. Ini masih kekurangrapihan dalam penulisan skenario menurutku, tapi aku seratus persen bisa memaklumi kenapa mereka kembali melempar Jessica Rothe ke dalam cerita. Karena aktris inilah yang jadi kekuatan utama. Dia begitu kocak di film pertama, dialah alasan kenapa penonton meminta adanya sekuel; kita masih ingin dihibur oleh tingkah berani dan nekat Tree yang ia mainkan dengan begitu alami.

Energi dan kharisma ‘kegilaan’ Rothe sebagai Tree dilipatgandakan oleh sutradara Christopher Landon yang meningkatkan dosis komedi dalam ceritanya. Kita akan terbahak ngeliat reaksi Tree begitu sadar dirinya terjebak lagi. Kita akan guling-guling oleh montase-montase berlatar lagu pop seputar Tree melakukan berbagai aksi bunuh diri karena enggak sudi mati dibunuh pada setiap penghujung hari. Film ini juga tidak melupakan sisi emosional, yang datang dari dilema yang harus dihadapi oleh Tree. Elemen multiverse digunakan untuk menambah bobot pada karakter Tree, membuat dirinya semakin menarik lagi; karena di dunianya sekarang semua hal baru bagi dirinya. Dia punya pilihan yang tak ia miliki sebelumnya. Ultimately dia harus memilih antara dua orang yang ia sayangi. Jarang loh horor komedi punya lapisan cerita emosional seperti ini.

kini kalian tahu kenapa aku mengutip lirik Paramore di paragraf pembuka

 

Bagi dunia kita hanya seorang. Atau mungkin enam, jika menganut teori multiverse film ini. Tapi berapa banyak itu, mau tak-hingga sekalipun, sesungguhnya tak jadi soal karena ‘dunia’ kita terbangun atas kecintaan terhadap satu orang yang begitu spesial. Pilihan yang ditawarkan setiap hari kepada kita memang beragam, selalu ada kesempatan untuk memiliki kembali apa yang sudah hilang dari kita. Tapi seperti halnya Tree, yang harus kita ingat adalah, jangan sampai kita kehilangan ‘dunia’ yang masih kita punya hanya demi mengejar kembali ‘dunia’ yang telah hilang.

 

 

Porsi komedi dan drama benar-benar digadang sehingga elemen horornya sudah seperti beda dunia dengan dua elemen pertama tadi. Tidak banyak kengerian, tidak banyak bunuh-bunuhan yang kita saksikan. Setiap momen konfrontasi dengan si pembunuh pun tidak ada yang memorable lantaran dieksekusi dengan begitu standar. Tidak ada peningkatan dalam cara film ini membangun keseraman. Formulanya itu-itu melulu; selalu berjalan pelan ke tempat yang dicurigai, kemudian ternyata enggak ada siapa-siapa, dan si pembunuh muncul dari tempat lain. Kengeriannya hanya dibangun dari musik, sementara adegannya ya gitu-gitu aja. Konfrontasi final yang kita nanti-nanti setelah sekuens yang begitu panjang yang terdiri dari banyak adegan perpisahan juga gagal menorehkan efek yang membekas. Terutama buatku adalah karena motif si pembunuh di dunia paralel ini berbeda dari yang Tree kira. Pembunuhnya juga beda. Aku gak bakal nyebutin di sini, tapi setelah mengetahui motifnya, aku merasa aneh aja. I mean, Tree bisa aja lanjutin hidup di sana karena gak ada yang bunuh dia, dia bisa banget lanjutin dengan milih ngeloop sekali saja khusus untuk nyelametin satu temennya sekaligus nangkep tuh pembunuh, dia lalu gak usah bunuh diri biar bisa keluar dari loop (since loopnya aktif hanya kalo dia mati) dan nerusin hidup dengan Ibu sambil menumbuhkan cinta dengan cowok yang ia sukai. Solusi win-win kan?

Memang, kalo dia gak melakukan hal tersebut, film gak jalan – dia gak belajar. Tapi kemungkinan dia melakukan itu toh tetap ada. Dan film tidak bisa menjelaskan kenapa Tree tidak memilih itu saja. Kita hanya diminta untuk setuju dengan apa yang ditawarkan film, kita diminta percaya. Banyak adegan di film ini yang meminta kita melakukan hal tersebut. Seperti gimana bisa Tree membuat empat temannya percaya dia jenius yang tahu rumus kuantum yang benar sehingga mereka rela mempertaruhkan kena DO dari kampus, padahal kita tahu empat orang tersebut otomatis tidak punya ingatan apa-apa lagi mengenai apa yang mereka lakukan setiap kali loop terjadi. Memperlihatkan adegan Tree menjelaskan kepada mereka memang akan membuat film menjadi repetitif, namun semakin ke sini aku semakin sulit percaya Tree bisa melakukan dan tidak ada ‘perlawanan’. Kita diminta untuk percaya mereka melakukannya karena ‘takut’ dengan Tree yang mean girl.

Kita diminta untuk tidak bertanya apa yang terjadi pada Ryan yang datang dari dunia yang lain; kenapa bisa ada dua Ryan di dunia yang sama, namun ketika Tree nyebrang ke dunia yang lain kita tidak melihat ada dua Tree di sana. Apa yang terjadi kepada Tree B di dunia yang didatangi oleh Tree A? Convenient sekali dia tidak ada. Padahal jika ada enam dunia, bukankah mestinya ada enam Tree, ada enam SISY, ada enam Ryan, ada enam loop? Tidak mungkin Tree B sudah meninggal karena teman-temannya tidak heran melihat Tree A. Kompleksnya kejadian di film ini membingungkan karena cerita film ini menawarkan jawaban kenapa bisa terjadi loop in the first place. Kita mendapat cerita yang berbau sci-fi, namun jawaban itu sendiri tidak dibuat dengan matang. Film hanya ingin punya ‘alasan’ tanpa benar-benar detil membangunnya. Middle-credit scenenya mengisyaratkan seolah bakal ada sekuel, meng-tease seputar mencari kelinci percobaan untuk uji coba loop, dengan kocak Tree mengajukan satu tokoh yang lantas membuatku heran gimana caranya menargetkan loop kepada satu orang – bukannya Tree dan Ryan kena loop secara random?

 

 

 

 

Menurutku itulah kesalahan terbesar dalam film ini. Menjadikannya sebagai usaha untuk menjelaskan sesuatu yang tidak pernah ditanyakan ‘kenapa’. Film pertama bekerja efektif dengan keambiguannya. Tidak diperlukan penjelasan. Namun jika ingin menjelaskan, maka lakukanlah dengan sebenar-benar jelas. Film kedua ini punya landasan sains untuk memasukakalkan semua kejadian, hanya saja landasan tersebut dibangun dengan lemah sehingga justru jadi menimbulkan banyak pertanyaan lain. Pada akhirnya film menyuruh kita untuk menelan bulat-bulat pertanyaan tersebut. Kita disuruh untuk ikut saja, percaya saja, pada kejadian yang mereka susunkan sebagai alur cerita, tidak usah memikirkan alternatif lain. Ironis sebenarnya untuk sebuah cerita tentang multiverse dan pilihan manusia yang begitu beragam. Di samping semua itu, film ini masih mempertahankan pesona yang membuat film pertamanya disukai dan aspek yang membuat dirinya ada; selera humor dan penampilan Jessica Rothe. Makanya film ini bakal bekerja paling baik jika ditonton maraton langsung setelah film pertamanya.
The Palace of Wisdom gives 3.5 out of 10 gold stars for HAPPY DEATH DAY 2U.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Punyakah kalian ‘dunia sempurna’ yang sering kalian bayangkan sehubungan dengan kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukan? Maukah kalian menukar apa yang saat ini dimiliki dengan kesempatan untuk tinggal di ‘dunia sempurna’ tersebut? Dan bicara tentang multiverse, kira-kira bisakah kalian menang melawan diri kalian dari dunia yang lain?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

 

TERLALU TAMPAN Review

“Being attractive might sounds like life is easier but it’s not”

 

 

 

Akan ada masanya setiap remaja memahami makna ‘seleksi alam’ di rimba kemanusiaan. Ketika mereka melihat yang cakep dikasih izin istirahat di UKS oleh pak guru olahraga. Ketika mereka melihat yang ganteng gak pernah digalakin bu guru karena lupa mengerjakan pe-er. Ketika mereka melihat ada saja satu-dua teman mereka yang selalu dikerumunin meski gak jelas prestasinya apaan. Ketika mereka menyadari ada yang beberapa ‘hidup’nya tampak lebih mudah di sekolah dibanding mereka sendiri. Mudah untuk membandingkan hidup kita dengan hidup orang yang kita nilai lebih beruntung dan berpikir “Ah kalo saja aku lebih tinggi”, “kalo saja aku lebih langsing”, “kalo saja aku lebih putih”, “kalo saja aku lebih seksi”. Kalo saja aku lebih….. tampan.

Tapi semua itu mungkin saja tidak benar. Menjadi super kece dan selalu menjadi pusat perhatian tentu saja bisa membuat jengah orang yang mengalaminya. Mas Kulin (Oh, Ari Irham di manakah pori-pori wajahmu?), misalnya, terlahir dengan wajah yang saking overdosisnya tuh kadar ganteng, cewek-cewek yang melihat bisa langsung mimisan, kejang-kejang. Dalam satu adegan yang sangat kocak digambarkan kedatangan Kulin ke sekolah khusus perempuan membuat siswi-siswi di sana mengalami histeria massa. Bukan saja ‘lethal‘ buat wanita, ketampanan Kulin juga berpengaruh pada laki-laki. Cowok yang terkena keringatnya bakal ketularan ganteng, setidaknya selama sejam dua jam. Jadi Kulin merasa terasing oleh sikap-sikap orang yang berada di sekitarnya. Kulin menutup diri, menolak untuk berinteraksi sosial, sampai ia berkenalan dengan Kibo (tokoh Calvin Jeremy berperan lebih dari sekedar side-kick) yang lantas menjadi sobat manusia pertama yang Kulin punya. Dan bertemu dengan Rere (Rachel Amanda mencuri perhatian banget), satu-satunya cewek manis yang enggak pingsan dan mimisan saat melihat dirinya.

Kulin edisi 10 Years Challenge

 

Film ini terlalu unik untuk dicuekin. Jika biasanya cerita akan mengajak penonton bermimpi untuk jadi ganteng, maka film ini menawarkan sudut pandang baru, yang meletakkan kita pada posisi seseorang yang merasa terganggu dengan perhatian spesial dan reaksi kagum berlebihan yang ia dapatkan dari orang-orang di sekitarnya. Kita akan mendapat Kulin yang bersikap sama kayak Auggie, anak di film Wonder (2017); Kulin juga memilih untuk menutup wajahnya dengan helm. Kalian yang sudah menonton Wonder pasti akan bisa melihat uniknya paralel antara Kulin dengan Auggie yang memilih pendekatan berinteraksi  ke luar yang sama, meskipun kondisi mereka berbeda seratus delapan-puluh derajat. Momen-momen Kulin melepas helm tersebut – alih-alih digunakan untuk memantik drama seperti Auggie di Wonder – digunakan sebagai pemancing efek komedi yang benar-benar bikin geger seisi studio bioskop. Dari penggunaan nama-nama tokoh yang lucu; keluarga Kulin yang tampan semua (termasuk ibunya) punya nama yang ajaib seperti Mas Okis, Pak Archewe, Bu Suk, yang mengingatkanku sama nama-nama di komik Donal Bebek dan komik Asterix, hingga ke dialog dan adegan konyol, film menangani porsi komedinya yang absurd tersebut dengan sangat bijaksana. Timing, delivery, semuanya dilakukan dengan pas, dan tidak sekalipun tone komedi tersebut dibuat mentok sama tone drama yang juga dibangun dengan merayap perlahan sebagai lapisan di baliknya.

Well-crafted sekali gimana komedi dan drama tersebut dijalin. Film tidak pernah kehilangan irama dalam menempatkan unsur-unsur yang berpengaruh ke dalam cerita. Bahkan gerakan kamera juga diperhatikan benar mendukung ke penyampaian komedi. Penggunaan warna-warna dan treatment musik, tidak pernah terasa ‘asal tarok’, semuanya berfungsi dan sangat mengangkat emosi dan cerita yang ingin dihantarkan. Adegan Kulin, Kibo, dan Rere nyanyi di karaoke, itu misalnya; bukan hanya pemilihan lagu, blocking para pemain juga dibuat punya makna. Perlakuan-perlakuan seperti demikian, bercerita dengan perhatian terhadap detil seperti yang dilakukan oleh sutradara Sabrina Rochelle Kalangi inilah yang membuat menonton film ini menjadi mengasyikkan, di luar komedinya yang benar-benar sengaja konyol. Gaya filmnya pun unik. Karena diadaptasi dari komik online di Webtoon, sedikit banyaknya kita mendapati gaya-gaya pengaruh manga tertampilkan di film ini.

Aku tidak pernah membaca materi aslinya, aku gak punya pengetahuan apa-apa terhadap cerita film ini, jadi aku sangat tertarik untuk mengikuti ke mana kisah Kulin ini akan dibawa. Melihat Kulin yang sebenarnya penampilan, pembawaan dan kelakuannya enggak cocok dengan imej maskulin, paruh pertama film seperti ingin membawa pesan yang sama dengan iklan pisau cukur Gillette yang lagi viral di Amerika; bahwa jantan atau maskulin itu bukan semata perilaku-perilaku stereotipe ‘pria’ seperti ngomong kasar, main pukul, atau godain cewek – bahwasanya kupikir film ini lewat si Mas Kulin ingin mengomentari bahwa maskulin bukan soal penampilan. Namun kemudian, di paruh kedua, saat Kulin sudah mengembrace ketampanan yang ia miliki, film mengambil keputusan untuk lebih menonjolkan pesan bahwa setiap manusia punya kekurangan.

Punya paras rupawan ternyata tidak lantas menjadikan hidup menjadi segala mudah, tidak lantas berarti kita bisa mendapatkan semua yang kita mau. Karena sejatinya, wajah tidak membuat kita spesial. Rujukan pertama tetap kepada hati dan apa perbuatan yang kita lakukan.

 

Buatku, agak mengecewakan pilihan yang diambil oleh cerita. Aku paham kenapa cerita memilih untuk mengarah ke sana, hanya saja tetap saja ada rasa mubazir; Sia-sia rasanya elemen ‘terlalu tampan’ yang sudah dibangun sedemikian rupa, dengan konsep dan gaya humor yang lucu, yang punya underline pesan yang kuat, ternyata cuma berfungsi sebagai device dalam plot ‘saingan cinta ama sahabat’. Masalah tampannya ini pada akhirnya tidak lagi benar-benar mencuat karena tokoh utama kita terlibat dalam urusan romansa yang bisa terjadi pada siapapun, pada tokoh yang seperti apapun. Tampannya si Kulin hanya dijadikan alasan yang membuat penonton percaya dia bisa bikin deal dengan ‘Queen Bee’ di sekolah khusus wanita itu, yang menggerakkan konflik generik tersebut. Rasanya film ini remeh sekali mengambil fokus di sana, setelah semua hiruk-pikuk unik yang sudah kita nikmati.

while si angkuh Amanda mirip Regina George, Nikita Willynya mirip Lady Gaga hhihi

 

Ada sesuatu pada penulisan cerita film ini yang ‘enggak-beres’ buatku. Apa yang diinginkan oleh Kulin di awal – apa yang sebenarnya ingin dicapai oleh si Kulin ini terasa agak enggak klop. Film belum benar-benar membuat kita menyelam ke dalam kepalanya. Kulin butuh untuk diperlakukan layaknya manusia normal, tapi kita tidak diberikan kesempatan untuk melihatnya sebagai orang normal. Sebagai perbandingan, kita ambil contoh si Auggie tadi; di balik helm astronotnya Auggie adalah anak yang pintar fisika – dia mendapat respek dari kepintarannya. Sedangkan Kulin, helmnya digunakan untuk menutup wajahnya karena ia gak mau dikejar-kejar – dia mau dilihat normal, tapi Kulin tidak melakukan hal yang membuat orang melihat dirinya beyond his face. Apa kelebihan Kulin? Ini bukan soal gak pede, melainkan soal ia begitu ‘pede’ setiap orang akan menganggapnya spesial, maka ia memutuskan untuk menutup diri. Makanya Kulin ‘kaget’ ketika Rere menganggapnya biasa aja, dan apa reaksi Kulin terhadap Rere? Dia merasa dia ‘jatuh cinta’. Aku berani bertaruh bukan cinta yang sebenarnya ia rasakan, melainkan rasa penasaran. Buktinya di akhir film kita melihat hati Kulin menyala lagi mendengar komentar ‘pedas’ seorang cewek yang berbalik pergi mengenai dirinya. Buatku, Kulinlah yang justru seorang masokis, karena dia ‘suka’ ketika ada orang yang menolak dirinya yang spesial.

Bukan berarti film ini berhenti menjadi menarik buatku. Aku tetap menemukan keasyikan. Bagian ketika Kulin balik minta saran bagaimana bersikap sebagai tampan kepada abangnya yang basically seorang douchebag, ialah bagian yang membuatku paling tertarik karena ini mengubah sikap Kulin lumayan drastis. Karakter Kulin jadi unik lagi di sini sebab dia mengambil tindakan lagi. Mengenai si Kulin ini memang penulisan karakternya agak ilang-timbul. Seperti pada di awal, setelah dia menarasikan film, kita malah diperlihatkan kejadian di luar sudut pandang dia. Kita memulai dari sudut pandang keluarga Kulin yang bersekongkol untuk membuat Kulin berinteraksi dengan orang luar. Dan kemudian barulah kita mengikuti si Kulin, kita diharapkan bersimpati ketika dia ngambil keputusan untuk minggat sebab keluarganya dengan kocak mengambil keuntungan dari ketampanannya; sesuatu yang paling dibenci ama Kulin. Namun kemudian di beberapa adegan setelahnya, kita melihat Kulin ikutan bersorak dengan teman-teman sekolahnya saat mereka disetujui ngeadain prom gabungan – di mana Kulin gagal untuk menyadari dia juga sedang dimanfaatkan kegantengannya.

Aku juga mendapati adegan konsul dengan ibu juga sedikit enggak klop karena seperti ‘memberatkan’ kepada dunia. Yea, dunia took advantage of him, tapi kan Kulin sudah melakukan hal yang sama saat dia menjadi ‘cowok brengsek’ kepada teman-temannya, dan justru ulahnya sendiri yang membuat dirinya patah hati. Yang menarik adalah nasihat dari ayahnya yang sebenarnya mengatakan apa yang sudah menjadi prinsip Kulin pada awal cerita. Jadi Kulin seperti berputar di tempat, menandakan penuturan yang sedikit kurang efeisien, padahal toh perjalanan karakternya menarik; Yang Kulin perlukan adalah keluar dan berbuat salah sehingga dia sendiri juga menyadari dia enggak sesempurna yang orang-orang lihat.

 

 

Terakhir kali mendengar cerita huru-hara ketampanan, aku mendengarnya sambil serius dan agak ngeri karena ada ‘adegan’ jari-jari yang teriris. Kali ini, cerita yang punya masalah serupa tersebut bisa aku simak sambil tertawa-tawa tanpa harus segan sama Pak Ustadz. Film ini memberikan tawaran sudut pandang dan gaya yang unik sehingga terasa segar dan menyenangkan. Kita perlu melihat lebih banyak film ‘aneh’ tapi juga berisi. Namun, untuk sebuah film yang bercerita tentang mengembrace kekhususan, dirinya sendiri tampak masih belum cukup berani untuk menjadi lebih spesial lagi. Pilihan ujung ceritanya tidak benar-benar mengutilisi kekhususan itu, malah membuatnya terasa seperti persoalan biasa.
The Palace of Wisdom gives 6 gold stars out of 10 for TERLALU TAMPAN.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Menurut kalian maskulinitas itu apa sih? Penting tidak? Bagaimana pula dengan femininitas?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

My Dirt Sheet Awards 8MILE

Sudah satu bulan kita keluar dari tol 2018 dan mulai melaju di jalan panjang yang baru. Jalan yang kita harepin bakal mulus, melewati berbagai pemandangan yang seru. Siapa yang tahu rintangan dan polisi tidur seperti apa yang siap menghadang di balik tikungan sana. Namun kita mesti selalu siap. Jangan gentar. MY DIRT SHEET AWARDS KEDELAPAN hadir buat kamu-kamu yang masih sering ngelirik ke kaca spion. Yang mungkin masih ragu-ragu dengan keputusan yang sudah diambil tahun lalu. Yang memulai 2019 dengan tak begitu lancar sehingga menyangka “jangan-jangan tahun kemaren masih lebih baik dari sekarang”. Karena toh memang tak ada yang tahu pasti seperti apa ke depan. Maka, jadikanlah penghargaan-penghargaan berikut sebagai pengenang, selurus apa sih 2018 itu

Anyway, kali ini Penganugerahan dikembalikan ke tangan kita-kita, setelah tahun lalu terjadi ‘kekacauan’ dari para pembaca nominasi yang seenaknya sendiri hhihi

 

 

TRENDING OF THE YEAR

Kenyataan bahwa video tahunan Youtube Rewind yang biasanya ngetren, versi akhir tahun 2018 malah banyak dihujat, sejatinya bikin ‘ngeri’ juga sih. Apa memang tren-tren di 2018 sejelek itu? Atau para youtuber-pengisinya aja yang kelewat narsis sehingga video tersebut jadi gak asik lagi? Jadi, inilah nominasi yang paling ngehits, silahkan judge sendiri asik atau enggak scene perviralan dunia hhihi:
1. Es Kepal Milo
Duh pas bulan puasa kemaren, gak keitung deh pelanggan kafe eskrimku yang meminta menu es kepal. Es dari Malaysia ini melejit, dijual di mana-mana, dengan jumawa menjadi tren sampai ada yang iseng menghitung kalori yang terkandung di dalamnya 
2. Flossing
Flossing atau The Floss adalah gerakan ‘tarian’ gaul di mana…. well, I’m not describing that! Banyak orang – remaja maupun orang dewasa – yang mempraktekkan Floss sejak kepopulerannya naik oleh aksi di televisi, bahkan tokoh game pun dirender untuk melakukan gerakan ini
3. Hey Tayo 
Aku gak nonton tv jadi gak terlalu ngeh ada acara ini, sampai saat mudik lebaran aku mendapati semua anak kecil di kampung nonton dan nyanyiin acara ini. Dan tentu saja, Tayo sukses jadi meme dan viral
4. K-Pop 
Tahun ini giliran musik dan idol pop Korea yang populer. Dikawangi grup girlband dan boyband semacam Blackpink, BTS, dan banyak lagi, mereka menuai sukses bukan saja di Indonesia, melainkan juga di belahan dunia lain
5. Sinetron Azab 
Terkenal karena judul episodenya yang bombastis dan berimajinasi tinggi. Setinggi ratingnya, karena Azab actually punya versi yang lebih ‘ngeri’ berjudul Dobel Azab
6. Tik Tok
Aplikasi video tempat anak-anak muda nyalurin kreasi, challenges, nari-nari dan bikin lucu-lucuan.

Piala The Dirty pertama jatuh kepadaa:

It’s like, kategori Trending of the Year ini dari tahun pertahun memperlihatkan langkah dominasi Korea di dunia pop. Gak tau deh tahun depan apa lagi dari Korea yang masuk ke sini

 

 

K-Pop boleh saja punya aksi-aksi koreografi yang keren sebagai pengiring dari lagu-lagu mereka. Tapi My Dirt Sheet punya penilaian tersendiri atas bagaimana sebuah penampilan musik dikatakan terbaik. Tampil dan Musik; sejauh apa kalian rela melakukan sesuatu dengan bermusik

BEST MUSICAL PERFORMANCE

Nominasinya adalaaah
1. Cameron Post – “What’s Up?”

2. Childish Gambino aka Donald Glover – “This is America”

3. Slashstreet Boys – “I’ll Kill You That Way”

4. Tom Holland – lip sync to “Umbrella”

5. Vanellope von Schweetz – “A Place Called Slaughter Race”

 

 

Apakah Childich Gambino akan membawa piala sambil menari? Akankah tangan Tom Holland penuh oleh payung dan piala? Bisakah Cameron Post mendapat apa yang ia pantas? Atau Slashstreet Boys yang berjaya dengan lagu pembunuh mereka? Apa mungkin Vanellope berhasil dengan lagu Princess pertamanya? Eng ing enggg The Dirty jatuh kepadaaa

Kocak banget idenya hahaha.. sapa sangka si pendiem Jason suaranya bagus,…….. bitch!

 

 

 

Ke-absurd-an kita lanjutkan dengan salah satu kategori paling eksulsif, eh salah, eklufis, eh, eksklusif! My Dirt Sheet. Kategori di mana tolol dan troll diberikan anugerah.

BEGO OF THE YEAR

Tepuk tangan dulu doonng buat para nominasi:
1. Ari “Wage/Weij” Irham
Kejadian salah baca judul film Indonesia di ajang FFI 2018 ini membuktikan ketampanan memang bukan apa-apa dibandingkan dengan keignorant
2. Cut Nyak Dien Masa Kini
Lebih tepatnya mungkin “Masa gitu” kali ya… atau mungkin “Masa ngaku-ngaku punya masalah” hhihi
3. Drama-Drama Vicky Prasetyo
Hidup mungkin memang membosankan jika gak ada drama. Tapi ya, gak ngundang-ngundang helikopter macam film aksi juga sih, jadinya bukan drama malah komedi
4. Para ‘Narasumber’ Serial “Who is America?” 
Sacha Baron Cohen bikin reality show unik di mana dia menyamar demi mengungkap kebegoan, kesombongan, dan kesoktahuan orang-orang tinggi di Amerika
5. Titus Worldslide
Butuh ketrampilan berlari yang luar biasa untuk bisa jatuh dan meluncur hilang masuk ke dalam tirai di bawah ring seperti yang dipraktekkan oleh Titus O’Neil di depan penonton Saudi Arabia

 

Anugerah bergengsi ini jatuh kepadaaa

Caitlin aja ampe ketawa tuh “maafkan baru pertama kali baca nominasi” hihihihi

 

 

Harapannya sih semoga kita bisa lebih baik dengan menertawakan kesalahan, belajar darinya. Daripada emosian dan ujug-ujug bertengkar. Buat yang udah terlanjur bertengkar, My Dirt Sheet juga memberikan piala khusus loh. Sukur-sukur setelah dapat piala, jadi pada baikan.

FEUD OF THE YEAR

Nominasinya adalah:
1. Bibit Unggul Twitwar
Ketika mahasiswi pinter kepepet oleh fans dari ilustrator yang ia sindir, ‘perang’ mereka jadi hiburan buat kita
2. Becky Lynch vs. Everybody
Menyebut diri sebagai “The Man”, Becky Lynch nantangin semua orang di-backstage, bahkan di twitter. Fans tentu saja bersorak sorai melihat kearoganannya yang keren  
3. Creed vs. Drago
Konflik Creed lawan Drago dilatarbelakangi sejarah kelam; ayah Drago membunuh ayah Creed di atas ring. Pertandingan tinju belum pernah menjadi sepersonal ini. 
4. Laurie Stroode vs. Michael Myers
Empat puluh tahun loh, seteru dua orang ini. Empat puluh halloween Laurie mendendam sehingga malah parnoan. Makanya jadi epic saat posisi mereka seolah berganti – Laurie yang memburu Michael 
5. Lukman Sardi vs. Reviewers
Lukman Sardi sempat ‘nyari’ ribut dengan tulisan instatorynya soal film hanya boleh dinilai ama yang pernah dan ngerti cara membuatnya
6. Yanny vs. Laurel
Sama kayak Dress di tahun 2017, Yanny dan Laurel membagi orang-orang menjadi dua; kubu yang mendengar suara itu sebagai “Yanny”, dan yang mendengarnya “Laurel”. Aku juga heran sih, kok bisa Y ama L jadi mirip 

 

Pemenangnya, dan silahkan rebutan piala, adalah…

Doi udah kayak Stone Cold versi cewek!

 

 

 

 

Segala energi berantem itu memang mestinya disalurin lewat video game aja. Dijamin memuaskan dan gak bikin semakin makan ati. Apalagi game sekarang udah tampil realistis banget, fitur online juga berkembang pesat. Tawuran jadi makin aman, deh

GAME OF THE YEAR

Beriku adalah para nominasinya
1. Dragon Ball Fighterz

Tak disangka-sangka sebagus itu, game terbaru Dragon Ball ini sukses menendang pantat angka penjualan game Marvel vs. Capcom di pasaran

2. God of War

Banyak orang gak sabar memainkan Kratos yang sudah insaf dan kini punya anak untuk berbagi bunuh monster

3. Harry Potter: Hogwarts Mystery

Kapan lagi dengan hape doang kita bisa masuk Hogwarts dan menjalani tujuh-tahun di sekolah sihir dengan segala aktivitasnya

4. PUBG Mobile

Nyaris semua orang yang kukenal main game ini di hapenya.

5. Spider-Man

Menawarkan pengalaman menjadi Spider-man dalam kehidupan sehari-hari.

 

 

Biar gak loading kelamaan, inilah dia pemenangnyaa

Animasinya udah kayak berantem di kartunnya banget. Aksinya cepet. Terobosan baru di dunia game fighting 2D

 

 

Perang, sudah. Perang-perangan, juga sudah. Sekarang waktunya ngademin suasana dengan kategori favoritkyu~ Marilah kita mendoakan supaya cewek-cewek yang masuk nominasi ini mendapat jalan yang lurus dan lancar menuju kesuksesan. Amiinnn

UNYU OP THE YEAR

Sambutlah para nominasi, di antaranya:
1. Alexa Bliss
Setelah gagal dua tahun berturut, Alexa nongol lagi. Dan meski tahun 2018 dia lumayan lama cedera, Si Goddess ini gak kehabisan akal untuk tampil licik dan menawan
2. Cailee Spaeny
Memukau di Pacific Rim: Uprising, Cailee langsung menunjukkan kemampuannya memainkan peran yang berbeda di Bad Times at El Royale
3. Chloe Grace Moretz
Satu lagi pemain lama, yang udah langganan masuk nominasi. Chloe tahun ini balik dalam dua film yang menantang aktingnya lebih lanjut; Suspiria dan The Miseducation of Cameron Post 
4. Hailee Steinfeld
Tampil dengan manis sekali di Bumblebee, Hailee bahkan mengungguli pencapaiannya sendiri yang sebelumnya ia patri di Edge of Seventeen
5. Mackenzie Foy
Satu-satunya yang bikin film Nutracker terbaru itu layak tonton. Foy bersinar, aku akan senang sekali nungguin peran dia berikutnya di film yang lebih berarti
6. Vanesha Prescilla
Alumni Gadsam 2014 yang langsung melejit lewat perannya sebagai Milea di Dilan 1990. Tapi aku lebih suka dia di film #TemanTapiMenikah sih

 

Akankah Bliss atau Moretz akhirnya mendapat piala? Ataukah kali ini adalah giliran anak-anak baru untuk membuka jalan? The Dirty goes to…

She sure has long way to go

 

 

 

 

MY MOMENT OF THE YEAR

Pencapaian anak muda seperti di atas membuatku ingin berefleksi sebentar atas apa yang sudah kulakukan di tahun 2018. Looking back, I will say I have no regrets. Yah, meskipun kafe eskrimku di tengah tahun pada akhirnya tutup. Tapi itu tentu saja membuka jalan yang baru. Aku bisa jadi lebih fokus ke film. Aku bisa makin serius di Forum Film Bandung. Aku juga jadi punya waktu lebih untuk berkarya. Buku pertamaku, Review Jaman Now, akhirnya terbit – paling tidak sampai penerbitnya kabur enggak jawab-jawab WA lagi. Dan aku juga sudah berani nyoba-nyoba bikin film pendek. Dua, film pendek. Setelah dipikir-pikir, itulah yang kubanggakan di tahun 2018. Aku akhirnya mencoba. Dan ketagihan, karena hasilnya masih belum membuatku puas. Semoga tahun 2019 aku bisa terus bikin-bikin lagi, kali ini dengan lebih bagus.

 

 

 

 

 

 

Kadang, memang, kita pengen mengulang menjadi anak-anak. Yang jalannya masih lebih panjang. Yang kesempatannya terbuka masih lebih luas. Yang semangatnya seperti tak terbatas. Kadang, kita seperti lupa bagaimana melihat dunia dari kacamata anak kecil. Makanya, My Dirt Sheet memberikan award buat kategori Best Child Character; bukan tokoh anak-anaknya, melainkan buat penulisan tokohnya. Karena menjadi orang dewasa yang berusaha kembali melihat dunia dari sudut anak kecil itu tidak gampang. Emosi yang disajikan harus tepat, dan benar adanya.

BEST CHILD CHARACTER

Nominasi untuk kategori ini adalaaahh

1. Kayla – “Eight Grade”
Perasaan dan apa yang dilalui oleh anak kelas delapan yang berusaha populer ditulis ke dalam tokoh Kayla dengan begitu dekat pada kenyataan.
2. Miles Morales – “Spider-Man: Into the Spider-Verse”
Konfliknya dengan ayah; perihal apa yang ingin ia lakukan jadi lapisan-dalam yang bergerak paralel dengan tugas-luarnya sebagai Spider-Man generasi baru. 
3. Moonee – “The Florida Project”
Lewat kenakalan, kepolosan, dan keceriaan Moonee kita diperlihatkan betapa pentingnya keberadaan orangtua bagi seorang anak
4. Stevie ‘Sunburn’ – “Mid90s” 
Kalo Stevie lain lagi, ia mewakili perasaan anak-anak yang sebenarnya juga memerlukan teman dibandingkan melulu sosok pengasuh.
5. Theo – “The Haunting of Hill House”
Dalam serial rumah berhantu Netflix, penulis mempersonifikasikan lima stages of grief ke dalam sifat tokoh-tokohnya. Theo yang punya kemampuan ESP, mewakili stage Bargaining.

Tanpa banyak tawar-menawar lagi, The Dirty jatuh kepadaa…

Congrats Jonah Hill telah menulis karakter anak 90an sereal dan sehidup Stevie ini

 

 

 

Anak-anak di kategori atas, mereka sama sekali gak jengkelin. Mereka bahkan lebih dewasa dari nominasi di kategori berikut ini. Kadang orang dewasa memang lebih menjengkelkan, dengan kata-kata yangt gak kalah tak-make-sense nya dari racauan anak-anak. Pembaca sekalian, inilah kategori selanjutnya:

MOST ANNOYING QUOTE

Nominasinya adalah:

1. “Ada aaaaapa ya sebenarnya?” – Aruna

2. “Makan daging dengan sayur kol” – lirik lagu yang jadi kutipan buat orang yang berusaha ngelucu

3. “Mashook, Pak Eko!” dan versi lainnya; “Mantul, Pak Eko!”

4. “Rindu itu berat” – Dilan

5. “Skidipapap Sawadikap” – immature netizens

 

Untuk kali ini The Dirty jatuh kepada kutipan yang aku pake buat menjengkelkan orang-orang:

“mashoook, Pak Eko!”

 

 

Adegan dari Aruna & Lidahnya itu kocak, aneh, campur menjengkelkan. Menakjubkan gimana film berhasil membuat adegan yang bekerja dalam banyak tingkatan seperti demikian. Untuk itulah My Dirt Sheet mengadakan kategori berikut, meskipun kami sudah punya Top-8 Movies yang terpisah. Karena terkadang adegan-adegan keren itu gak melulu ada di film-film yang bagus.

BEST MOVIE SCENE

Simak nih para nominasinya:
1. Helicopter Chase – “Mission: Impossible – Fallout”

http://www.youtube.com/watch?v=wzAv_644g64

2. Live Aid Concert – “Bohemian Rhapsody”

http://www.youtube.com/watch?v=uQL_1hdnUCM

3. Mahjong – “Crazy Rich Asians”

http://www.youtube.com/watch?v=Wh_oOd5JGpU

4. Sunset Dancing – “Burning”

5. The Crane – One Cut of the Dead

6. The Snap – “Avengers: Infinity War”

 

And The Dirty goes to…..

well-written dan penuh simbolisasi. Menonton ini membuatku jadi pengen tahu cara main mahjong biar emosinya lebih dapat lagi

 

 

 

 

 

 

Perjalanan film sepanjang 2018 memang dihantui oleh film-film horor yang jumlahnya banyak banget. Demi mengenang itulah, maka My Dirt Sheet kali ini mengeluarkan kategori spesial.

DEMON OF THE YEAR

Nominasi untuk kategori ini adalah tokoh-tokoh setan yang sudah berhasil menjadi ikonik; entah itu karena penulisannya, karena bangunan ceritanya, ataupun simply karena penampakannya yang mengerikan. Mereka adalah….
1. Bent-Neck Lady – serial “The Haunting of Hill House”
Sosok hantu yang paling bertanggungjawab ngehasilin mimpi buruk; lehernya itu loh! Di balik kengeriannya, hantu ini ternyata punya jalan hidup yang tragis
2. Ivanna – “Danur 2: Maddah”
Ah aku gak akan pernah lupa adegan Ivanna ngangguin orang zikir – badannya naik turun dengan gerakan yang creepy – dan kemudian memecahkan kaca dan breaking the 4th wall; menakuti kita semua
3. Michael Langdon – serial “American Horror Story: Apocalypse”
Antichrist yang berusaha menaklukan kelompok penyihir ini punya segudang trik dan manipulasi menyeramkan dalam melancarkan aksinya. Tak lupa pula, dia punya sisi humanis yang membuatnya menjadi karakter yang menarik
4. Suzzanna – “Suzzanna: Bernapas dalam Kubur”
Tidak ada yang lebih mengerikan daripada hantu yang misinya untuk balas dendam. Tapi tidak segampang itu, Ferguso. Suzzanna ditulis begitu manusiawi sehingga kita diperlihatkan bagaimana dia semakin tragis berusaha untuk menahan amarah kesumatnya
5. Valak – “The Nun”
Iblis dari neraka yang mengambil wujud biarawati akhirnya punya film sendiri!

 

Dan yang sukses membawa piala ke alam baka adalaahh

Secara kontekstual; Suzzanna benar-benar seperti bangkit dari kubur!

 

 

Gak sia-sia, kan, Luna Maya didandanin – dipakein topeng prostetik, supaya meyakinkan menjelma menjadi sosok Suzzanna. Karena penampilan itu toh penting gak penting. Kategori berikut ini dipersembahkan buat fashion-fashion super unik yang kalo dipake bakal bikin penampilan kita lain daripada yang laen. Bikin kita menonjol di jalanan!

FASHION OF THE YEAR

Nominasinya adalaaah
1. Baju koko Black Panther

2. Baju koko… Thanos!

3. Jaket Dilan

4. Kacamata Velveteen Dream

5. Setelan, literally, kebesaran Alessia Cara

 

Penampilan paling unik tahun 2018 adalaaah

Kacamata flamboyan ini sepertinya cocok juga dipake ama Ten Shin Han

 

 

 

 

Setelah ganti penampilan dan menarik hati, ayo kita mencari pasangaann hhihi jadi kayak lagu Chibi Maruko.

COUPLE OF THE YEAR

Nominasi kategori ini bisa bikin kalian baper, karena memang mereka semua ini so sweet banget
1. Ally & Jack
Walaupun berakhir tragis, kisah dua orang ini sangat menginspirasi. Siapa coba yang gak kepingin berkarya bersama pasangannya?
2. Ayudia & Ditto
Kisah mereka di film #TemanTapiMenikah bisa jadi relationship goal banget buat orang-orang yang berkubang di friendzoneUntuk membuat makin sweet lagi, dua pemeran film ini berakhir beneran jadian
3. Dilan & Milea
Highschool sweethearts ini sudah ditonton oleh jutaan pasangan yang diam-diam pengen menjadi seperti mereka
4. Milly & Mamet
Suri tauladan buat pasangan milenial yang baru mengarungi kehidupan rumah tangga, nih
5. Prince Harry & Meghan
Tau dong cerita manis di balik pasangan darah biru kerajaan Inggris ini? Gimana si cewek dulu hanya bisa berfoto di depan istana, dan kini… cewek-cewek pasti bilang “mauuuuuu”

6. Rachel & Nick
Satu lagi cerita impian ketika seorang gadis mengetahui ternyata pacarnya anak orang kaya

 

Dan The Dirty diberikan kepadaaa..

Pasangan paling ikonik tahun 2018!

 

 

 

 

 

Tentu saja akan sedih sekali jika kita melihat pasangan-pasangan seperti itu harus terpisahkan. Momen bahagia akan lenyap semudah Thanos menjentikkan jarinya. Orang-orang yang terpisah dari yang tercinta; dari keluarga, teman, kerabat. Marilah kita mendoakan mereka korban gempa seperti di Lombok, gempa tsunami di Palu, tsunami di Selat Sunda. Korban kecelakaan seperti jatuhnya pesawat Lion Air. Korban penembakan sekolah, korban terorisme. Dan kepada jiwa-jiwa yang berjasa, baik yang dikenal seperti Stan Lee, Bruno Sammartino, Roddy Piper, Dolores the Cranberries, Gogon, Stephen Hwaking, dan banyak lagi – maupun yang tak dikenal. Kepada mereka semua yang tak bisa ikut lagi jalan bersama di 2019, aku ajak kita semua untuk mengheningkan cipta.

Mulai!

….

….

MOMENT OF SILENCE

….

….

….

….

….

….

….

Selesai!

 

 

 

Penghargaan terakhir diberikan untuk kejadian paling tak-terduga, paling heboh, paling out-of-nowhere yang terjadi di 2018

SHOCKER OF THE YEAR

Nominasinya sebenarnya banyak, semua hal yang udah bikin kita shock dan surprise, yah meskipun dengan dunia yang semakin aneh, rasanya kita juga semakin bebal ama yang namanya ‘mengejutkan’. Berikut adalah beberapa yang menurutku cukup mengagetkan
1. Kane jadi walikota!
2. Ronda Rousey debut di WWE!!
3. Daniel Bryan dibolehin bertanding setelah sebelumnya divonis pensiun-dini!!!
4. Jokowi bisa naik motor!
5. Gadis Sampul diadain lagi!!
6. Netflix ngeluarin konten interaktif!!
7. Ada concentration camp buat muslim di Cina!?!
8. Katy Perry ama Taylor Swift baikan?!
9. Printer 3D yang bisa ngeprint ke kulit manusia!!
10. Bill Cosby ngaku!!!
11. Sudahkah aku nyebutin Stephen Hawking, manusia paling pintar itu meninggal dunia!?

Well, ya karena Hawking ninggalin kita sesuatu yang sangat mengejutkan…

Beliau meninggalkan kita catatan penelitian yang menunjukkan teori bukti keberadaan multiverse!

 

OH MY GAWD!!

Apakah dunia beneran kayak di serial Rick dan Morty? Apa bakal ada banyak jenis Spider-Man? Apa di dunia lain sana ada My Dirt Sheet Awards juga dengan pemenang yang berbeda? Apa 2018 di dunia lain menyenangkan, atau lebih kacau? Siapa tau lebih maju?

 

 

That’s all we have for now.

Remember in life, there are winners.
And there are losers.

 

Atau begitulah yang kita sangka, karena siapa tau ada dunia lain yang hanya punya winners atau losers saja.

 

Yang jelas, we still the longest reigning BLOG KRITIK TERPILIH PIALA MAYA.

 

 

Selamat Tahun Baru, Semua!!!! Tetap tersenyum yaaa

PSP: GAYA MAHASISWA Review

“As the old birds sing, so does the young ones tweet.”

 

 

Wah kalo ditanya bedanya, tentu saja anak muda zaman dahulu sangat banyak ketidaksamaannya dengan anak muda masa sekarang. “Anak zaman dulu sekarang sudah pada tua, anak sekarang masih mudaaa” ya ya itu jawaban simpel yang lucu yang bisa dilontarkan oleh orangtua kita. Jawaban yang lebih serius dari mereka mungkin seputar betapa anak dulu sopan-sopan, sedangkan yang sekarang pada ceplas-ceplos sekenanya. Orang-orang suka membicarakan perbedaan ini, membanding-bandingkan. Padahal ada satu yang selalu sama, dari sekian banyak perbedaan yang bisa dikulik, adalah anak muda selalu berpikir kritis. Dulu dan sekarang. Zaman lah yang membuat ‘kritis’nya itu menjadi berbeda. Sekarang, pemuda pemudi bisa langsung demo. Atau paling enggak, bisa langsung curhat ke media sosial, menjadikan viral, dan menghimpun kekuatan protes dari sana. Tidak demikian kondisinya dengan bertahun lalu, mainnya musti cantik, pemuda-pemuda menyalurkan aspirasi dan ekspresi lewat karya yang begitu subtil. Salah satunya lewat musik komedi. Dan begitu jualah titik awal terbentuknya grup Orkes Moral PSP – Pancaran Sinar Petromaks.

Bersama Warkop DKI, grup ini terkenal di tahun 80’an dalam kalangan remaja dan dewasa muda. Musik-musik parodi beraliran dangdut yang punya kemampuan menyentil itu adalah cap dagang PSP. Album mereka lumayan banyak, mereka juga punya film sendiri, namun tidak sepopuler Warkop. PSP: Gaya Mahasiswa ini tadinya kupikir bakal menjadi semacam biopik, tapi mungkin itu dinilai boring, jadilah ternyata mereka membuat film ini sebagai versi kekinian dari kisah-kisah lagu mereka. Actually, film ini dibuat punya self awareness yang tinggi. Kita melihat tokohnya mengenali nama PSP samaan ama nama konsol game handheld (konsol yang bahkan sudah dikata kuno juga ama anak jaman now). Kita menyaksikan tokohnya mengakui istilah orkes moral sudah tidak laku lagi sekarang ini. Dan mereka bersikukuh tetap dengan formasi mereka (delapan orang cowok kuliahan) karena that’s how they roll. In a sense, film ini adalah potret andai para personel PSP terlahir sebagai anak muda di era teknologi.

Era di mana ojek dan jodoh bisa dicari lewat aplikasi.

 

Omen (bertindak sebagai ketua grup), James, Ade, Monos, Rojali, Aditya, Andra, Dindin tinggal satu rumah kosan, belajar di satu kampus yang sama. Kita enggak yakin latar belakang masing-masing, karena itu tidak penting. Cerita dimulai ketika mereka sudah bergerak sebagai satu grup. Mereka sering manggung untuk nyari uang jajan, dan mereka senang dengan apa yang mereka lakukan. Karena sama-sama jahil, kedelapan orang ini terancam diskors dari kampus. Kafe langganan pun memutuskan tali kerja sama dengan mereka. Jadi, grup ini harus segera cari ide, mereka harus buktikan musik mereka, dan terutama mereka sendiri, tidak setidakberguna kelihatannya.

Aku mendapati komedi yang disebar bekerja dengan relatif sukses. Tidak ada yang jatohnya terlalu lebay atau gak masuk akal secara sensasional. Kedelapan bintang komedi muda yang memerankan personel PSP bermain dalam kapasitas yang cukup, range mereka gak banyak – hampir satu-dimensi, malah, tapi buatku masih bisa diwajarkan karena film ingin menguatkan mereka sebagai satu kesatuan.Film ini terasa all-over-the-place karena banyaknya elemen cerita. Dan terkadang, tone cerita jadi tidak bercampur dengan baik karenanya. Cerita dapat dengan mudah berpindah dari lucu-lucuan soal berusaha nyari kerjaan manggung, ke melihat persaingan nyari cewek, ke adegan dramatis mereka marahan karena terancam di-DO. Dari persoalan naksir ama ibu kosan baru yang cantik ke permasalahan pembegalan di jalan. Tema prasangka yang membayangi subplot begal itu sebenarnya bekerja juga terhadap gambaran besar cerita secara keseluruhan.

Bahwa terkadang kita terlalu cepat menilai orang dari penampilan luar, atau sekadar dari apa yang kita lihat. Tak jarang makanya orang-orang pada heran ketika melihat anak-anak muda yang hobinya nongkrong gak jelas, ternyata bisa berprestasi. Semua orang punya keahlian, setiap keahlian unik itu ada gunanya. Mungkin gunanya bukan untuk kita, bukan yang kita butuhkan di saat itu. Namun kita tidak bisa begitu saja gegabah menihilkan nilai seseorang.

 

Di akhir semua elemen itu toh ternyata terikat juga, dengan kesan feel-good yang tinggi, film ini pun tak menanggalkan nada komedinya – ada satu running joke yang awalnya lumayan cringey namun berhasil berbuah sangat manis. Walaupun begitu, ada yang terasa kurang. Film tidak terasa benar-benar accomplish apapun. Dengan stake yang sebenarnya tergolong kuat, dan ada lebih dari satu – ada kemungkinan mereka dikeluarin dari kampus dan dari kosan, bahkan bisa jadi mereka berpisah karena gak dapat kerjaan manggung lagi, film tidak pernah terasa benar-benar membuat kita percaya tokoh-tokoh ini punya masalah. Mestinya ada pembelajaran pada cerita, ada perubahan kondisi, tapi tidak benar-benar terasa oleh kita.

Ini adalah karena pada film ini yang berubah itu adalah yang berada di luar kelompok tokoh utama. Ini adalah cerita yang ingin menonjolkan para tokoh, maka mereka dibuat ‘sempurna’ dalam ketidaksempurnaan mereka. Apapun yang terjadi, anak-anak muda tersebut tidak salah. Dunia di luar merekalah yang diharuskan untuk melihat, memahami, dan menyadari keunggulan dan sisi positif dari mereka. Padahal film seharusnya bekerja dua arah, tokoh juga perlu untuk menyadari kekurangan mereka dalam mencapai keinginan. Mereka harus belajar memahami apa yang mereka butuhkan. Dalam film ini kita melihat geng PSP memecahkan masalah hoax dengan posisi mereka di luar lingkaran hoax itu sendiri; mereka tidak bersinggungan langsung dengan kejadian hoax dan dampaknya. Mereka bertindak seolah penyelamat. Masalah yang menimpa mereka pun tidak digambarkan sebagai ada yang ‘salah’ dari mereka. Omen dan kawan-kawan tidak diperlihatkan mengadakan perubahan terhadap diri mereka sendiri. Karena begitulah anak muda, terlihat serampangan, dan kita yang harus bisa melihat keserampangan mereka itu ada baiknya.

aku gagal melihat apa makna di balik Ade yang menerima cewek penggemarnya setelah tahu si cewek adalah anak dari ibu kos…?

 

Sesekali ada sekuen nyanyian, seperti lagu Fatimeh, yang mengingatkan kita akan esensi grup PSP yang sebenarnya. It’s fun dan gak bikin kita sampai menguap. Tapi selain untuk nostalgia para penggemar, dan menonjolkan musikalitas PSP, tidak banyak ‘daging’ dan kepentingan di dalamnya. Aku mengira dengan set mahasiswa – yang stay true ama kelahiran PSP sendiri – film akan banyak membahas mengenai kritik-kritik sosial di kehidupan jaman sekarang. Kupikir semangat mengkritisi itu yang akan dieksplorasi, you know, mahasiswa dengan kondisi pemerintah. Ada banyak yang mestinya bisa diangkat jadi bahan kritikan, namun sepertinya film memang diarahkan tidak benar-benar berada di jalur tersebut.

Yang berkaitan dengan seni juga banyak; aku tahu bukan salah filmnya jika mereka keluar terlalu cepat sehingga lebih duluan dari masalah RUU Permusikan yang sedang marak, tapi cerita toh bisa dengan mudah mengarah ke mereka dilarang atau dibatasi main musik oleh kampus. I mean, logisnya kalo kita bikin film tentang anak muda main musik, mustinya ada kalanya mereka dihalangi untuk melakukan kerjaan mereka. Film, menjauh dari musik, mengalamatkan kritik kepada sebaran hoax pada masyarakat, tapi ‘kasusnya’ sangat basic dan menjadikannya tidak actually menyelesaikan dengan kekhasan PSP itu sendiri. Di awal-awal kita melihat anak-anak PSP menyabotase seminar kampus yang kuasumsikan sebagai bentuk kritikan mereka terhadap ‘kebohongan’ yang dilakukan oleh rektor. Hanya saja menurutku, candaan di sini lumayan tasteless karena pada akhirnya jatoh seperti delapan mahasiswa itu mengolok-olok seorang orang cacat yang lebih tua. Dan hingga akhir cerita mereka tidak diperlihatkan menyesal atau menyadari apa yang sudah mereka lakukan tersebut.

 

 

 

Film menunaikan tugasnya dengan baik sebagai komedi lika-liku kehidupan mahasiswa Orkes Moral PSP di dunia kontemporer. Para penggemarnya bisa dengan asik bernostalgia. Tapi bagaimana dengan anak muda? katakanlah mahasiswa yang menonton film ini, yang belum pernah mendengar PSP sebelumnya? Film ini di mata mereka hanya akan bertindak sebagai hiburan, dengan kelakuan-kelakuan yang relatable, punya sedikit pesan moral. Ini sesungguhnya bukan hal yang buruk, melainkan prestasi yang lumayan. Hanya saja lampu moral tersebut mestinya bisa dipancarkan lebih kuat lagi. Aku tidak merasa ada banyak yang diwariskan oleh PSP kepada mahasiswa masakini lewat film ini. Mungkin ini memang bukan film yang ke arah sana, tapi membuat anak muda berpikir mereka benar, dan dunia salah karena telah berprasangka seperti suatu pengajaran yang baru setengah langkah.
The Palace of Wisdom gives 5 gold stars out of 10 for PSP: GAYA MAHASISWA.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
PSP menyanyikan lagu-lagu yang liriknya dibuat (atau diplesetin) sesuai dengan keadaan dan konteks jamannya. Kaitannya dengan musik dan kapasitas mengkritik yang ia punya, bagaimana menurut kalian soal rancangan Undang-Undang Permusikan yang santer baru-baru ini?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

ORANG KAYA BARU Review

“Sometimes, nothing is better than something”

 

 

Ungkapan “Uang adalah sumber segala kejahatan (alias sumber masalah)”  itu sebenarnya kepotong. Makanya terasa kurang tepat. Bukan uangnya yang bikin seseorang berubah menjadi ‘jahat’ – yang membuat orang sampai rela meninggalkan keluarga maupun sahabatnya sendiri. Melainkan adalah kecintaan terhadap uang itu sendiri. Semakin banyak kita punya, kita akan makin merasa tidak cukup. Kita cinta dengan gagasan mempunyai banyak uang maka hidup akan semakin mudah, dan ini menghilangkan batasan dalam diri kita. Orang yang cinta pada uang, ia juga akan senang membelanjakannya, lantaran ia suka terhadap apa yang bisa ia lakukan dengan uang sebanyak itu.

Itu sebabnya kenapa tokoh Lukman Sardi memilih untuk membesarkan keluarganya dalam kondisi prihatin. Ia merahasiakan kekayaan yang dimiliki kepada istri dan tiga anaknya. Mereka sekeluarga hidup pas-pasan selama bertahun-tahun sebab Bapak ingin menumbuhkan rasa cinta di dalam dada anggota keluarganya terhadap masing-masing, terhadap karib kerabat mereka, bukannya kepada uang. Pelajaran amat berharga sebenarnya yang coba beliau ajarkan. Namun, kematian yang begitu mendadak sampe-sampe film tak sempat menjelaskan kenapa; malah menggoda sekiranya Bapak belum benar-benar tiada, memotong pelajaran tersebut. Membawa Tika, Duta, Dodi, dan Ibu langsung ke ‘praktek lapangan’; Bapak meninggalkan warisan berupa duit bermilyaran, seketika mereka semua berubah hidupnya menjadi milyarder kaya raya!

Ternyata memang lebih enak hidup yang terus berangan punya duit banyak ketimbang hidup yang selalu terjaga lantaran takut harta yang dimiliki hilang.

 

Performa para penampil dalam film ini seragam menggelitiknya. Raline Shah yang menjadi Tika, si sudut pandang utama, didampuk untuk melakukan banyak permainan akting di luar penampilan-penampilan yang biasa ia lakukan. Ia harus belajar bagaimana menjadi seorang miskin – ini sendiri adalah fakta yang sangat lucu bagi kita semua. Sebagai Tika, Raline harus menggapai nada-nada emosi yang punya rentang cukup luas. Dia yang pertama kali menemukan Bapak meninggal – Tika punya momen-momen unik dengan ayahnya, dia yang punya keinginan untuk menjadi orang kaya, dia juga diberikan kesempatan untuk menjalin hubungan asmara. Meskipun di awal-awal kurang meyakinkan – kurang dapat dipercaya – tampil sebagai orang susah, tetapi dengan gemilang Raline, juga para aktor lain memainkan tokoh-tokoh yang berbuat norak dengan harta bendanya. Derby Romero sebagai seniman dalam keluarga, dia diberikan bentrokan soal seni, idealisme, dan duit yang menarik sayangnya tidak diberikan porsi yang banyak. Justru Ibu yang diperankan oleh Cut Mini yang mendaratkan nada tawa tertinggi lewat her take on ibu-ibu sosialita – yang melakukan sesuatu kini atas nama citra. In some sense, para aktor ini bisa jadi memainkan parodi dari diri mereka sendiri, dan memang tak ada hal yang lebih lucu dan mengena ketika seseorang bisa menertawakan dirinya sendiri. Last but not least, pemeran anak Fatih Unru mencuri perhatian; ia mampu mengenai nada-nada emosi berentang luas dengan lebih baik dari rekan-rekan aktor yang lebih berpengalaman. Tokoh Dodi di tangannya terasa enggak over-the-top, dan bisa jadi karena tokoh ini disebutkan ditulis berdasarkan pengalaman masa kecil sang penulis skenario, Joko Anwar, yang suka berandai-andai jadi orang kaya

Aku tidak tahu apakah fakta tersebut membuat film menjadi spesial karena toh semua orang umumnya pernah ngimpi jadi jutawan

 

Kelucuan film ini menguar deras dari tingkah polah keluarga tersebut dalam mengarungi hari-harinya sebagai pemilik uang berlimpah. Film bersenda gurau dengan tingkah-tingkah norak para tokoh. Saksikan transisi si Ibu dari yang tadinya melotot melihat harga teh di restoran mewah menjadi seorang pembelanja yang dengan jumawa membeli semua perabot yang sempat disentuh dan difoto oleh anak-anaknya. Juga sebuah sentuhan bagus membentrokan keadaan tiga kakak beradik yang tadinya menyusup ke acara nikahan buat numpang makan dengan keadaan mereka punya segalanya, bahkan mobil satu seorang meskipun tidak ada satu pun dari mereka yang bisa menyetir. Kita tertawa oleh komedi mengenaskan saat mereka menghabiskan uang yang mereka punya lebih cepat daripada akun lucu-lucuan berlari mengejar jumlah follower.

Film ini memang sangat terasa seperti kebalikan dari Keluarga Cemara (2019) yang tayang beberapa minggu sebelumnya. Bukan saja dari premis orang miskin yang ternyata menjadi kaya alih-alih keluarga Ara yang kaya kemudian jatuh miskin. Melainkan juga dari bagaimana cerita ini berpusat. Jika cerita Keluarga Cemara menegaskan bahwa mereka sebenarnya bukan soal harga uang; film tersebut menyetir ceritanya keluar dari kait-kait trope kemiskinan yang tertindas, maka Orang Kaya Baru benar-benar meletakkan materialistis sebagai poin vokal untuk menyampaikan pesannya. Emosi kita bakal dipancing demi melihat anak yang sol sepatunya copot dikerjai oleh teman sekelasnya. Kita menyaksikan Tika dituduh mencuri telepon genggam teman di kampus. Uang dan materi benar-benar on-point dalam film ini. Karena ia ingin membangun karakter-karakter sehingga menjadi masuk akal begitu mereka memuja kekayaan nantinya.

bahkan film ini juga punya satu tokoh yang bekerja di mana-mana, hanya saja tidak dimainkan sebagai komedi

 

 

Dan itulah sebabnya kenapa elemen drama dari film ini tidak semuanya terasa mengena. Kita menyaksikan tokoh-tokoh yang menyalami ‘demon‘ mereka dan berakrab-akrab dengannya. Tentu, sebuah hal yang lucu – dan mungkin melegakan -melihat orang miskin yang biasanya dibully jadi punya kesempatan untuk melampiaskan hati mereka. Menyenangkan menyaksikan mereka akhirnya mencicipi indahnya dunia. Tapi antisipasi serta merta tumbuh dalam diri kita; kita paham tokoh-tokoh itu menyongsong kebangkrutan, jadi ketika mereka melakukan suatu ‘pemborosan’ kita tidak lagi benar-benar ikut sedih bersama mereka. Kita ditinggalkan untuk berharap mereka melakukan hal yang benar, dan mungkin untuk kedua kalinya keajaiban datang menyelesaikan masalah keuangan yang kali ini disebabkan oleh mereka sendiri.

Namun film malah terus menge-loop masalah tersebut, hingga film berakhir. Tidak ada penutup yang definitif hingga kita tak yakin harus terus tertawa atau bengong saja. Jika dalam menggarap horor atau thriller, Joko Anwar masih bisa menutupi kekurangan penulisannya dengan twist; terutama twist semacam ‘ternyata cuma mimpi/imajinasi’ yang membuat ceritanya jadi tampak cerdas, maka ranah drama komedi seperti Orang Kaya Baru ini sesungguhnya lebih susah untuk ia bermanuver. Film seperti berjuang untuk menutup cerita dengan menarik, dan pada akhirnya pilihan yang diambil malah tidak definit sebagai pembelajaran terhadap karakternya, or even if they have learned anything at all. Tika yang hidup pas-pasan dan diremehin sehingga berpikir lebih gampang hidup sebagai orang kaya. Kemudian dia jadi kaya, hidup mewah seolah sudah punya semua jawaban hidup. Namun pertanyaan hidupnya berubah; kenapa sekarang masalah itu timbul dari orang-orang di dekatnya. Kemudian dia miskin lagi, dia dekat kembali dengan sahabat dan keluarga. Uang mengontrol kehidupan dan sikap Tika, kita tidak pernah benar-benar diperlihatkan ada perubahan dari dirinya yang didorong oleh ‘kekuatan dari dalam’.

 

 



Paling efektif bekerja sebagai komedi yang memotret – dan dalam nada tertingginya, mengkritik – pandangan dan kehidupan sosial antara si kaya dengan si miskin. Tone antara drama dan komedi itu pun acapkali berbaur dengan mulus, berkat penampilan yang tak-biasa, yang luar biasa menghibur, dari para pemainnya. Terutama Fatih Unru dan Cut Mini. Hanya saja porsi dramanya terasa tidak terasa benar-benar menyentuh, dalam artian sungguh bikin kita sedih. Karena kita sudah mengantisipasi apa yang terjadi. Juga lantaran tidak benar-benar ada stake ataupun konsekuensi dari ‘kegagalan’ yang dihadapi oleh para tokoh. Lebih lanjut, ini disebabkan oleh penulisan naskah yang sengaja dipilih untuk tidak konklusif. Menonton ini seperti kita sedang bermimpi indah, kemudian jadi buruk, kemudian indah lagi, yang tak selesai-selesai.
The Palace of Wisdom gives 6.5 gold stars out of 10 for ORANG KAYA BARU.

 

 



That’s all we have for now.
Dulu kalo sedang rebutan mainan dengan adik, Ibuku sering bilang “lebih baik enggak ada daripada ada!” Bagaimana menurut kalian; apakah lebih baik miskin daripada kaya raya? Mengapa kebutuhan rasanya semakin meningkat begitu kita punya rezeki berlebih?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning PIALA MAYA BLOG KRITIK FILM TERPILIH.



My Dirt Sheet Top-Eight Movies of 2018

 

Seperti yang kukatakan kepada dosen geoteknik pagi itu saat ujian semester keempat: “Maaf, saya terlambat.”

Tadinya memang seperti tahun-tahun sebelumnya aku pengen nungguin nonton semua nominasi Oscar dulu, supaya tak ada yang bikin aku merasa ah, seharusnya ini masuk… Tapi karena kelamaan dan aku merasa daftar favoritku sebenarnya sudah sangat solid – aku tidak mau merusaknya – maka aku memutuskan mengambil sikap. Daftar Top-8 ini aku keluarkan sehari sebelum pengumuman nominasi Oscar, dan kupastikan tidak akan ada penyesalan. Karena menurutku memang seharusnya kita masing-masing punya pendirian. Aku tahu lebih baik; tidak perlu mengulur-ulur demi satu film atau beberapa film, toh jika memang bagus mereka bisa dimasukin di daftar tahun depan. Kita tidak harus menunggu orang lain untuk memastikan apa yang kita tahu kita punya. Jika kita punya standar, tetaplah di sana.

Jadi ya, tahun 2018 kita sudah lihat begitu banyak kemenangan manusia yang percaya pada kemampuan dan apa yang dipilihnya. Kita melihat astronot berhasil mendarat di bulan. Penyanyi yang menggelar konser begitu besar. Robot yang mengalahkan monster raksasa. Kita juga disuguhkan dengan banyak cerita balas dendam, dengan masing-masing lebih unik dari sebelumnya. Meskipun kuakui, 2018 ini adalah tahun di mana aku paling sedikit ngasih angka di atas 8 tapi tidak berarti film-filmnya kebanyakan jelek (kecuali sebagian besar horor-horor Indonesia yang cuma pengen laku-lakuan). Film-film tahun ini banyak yang bersaing di angka 7, yang mana dalam sistem ratingku itu berarti banyak film-film yang menonjolkan idealisme mereka – dan ini adalah hal yang begitu positif.

Juga ada keseimbangan yang terjadi, karena di satu sisi kita banyak menjumpai film-film remake atau malah sekuel dari zaman 80-an dan di sisi lain kita dianugerahi sutradara-sutradara baru yang dengan berani mengusung ide segar dan sudut pandang yang belum pernah digali.

HONORABLE MENTIONS

  • Annihilation (thriller sci-fi yang memuaskan yang sekaligus bikin kita mempertanyakan apa manusia adalah kanker bagi dunia)
  • A Quiet Place (siapa bilang diam itu gampang?)
  • Blackkklansman (keseimbangan sempurna antara komedi dan tragedi)
  • Crazy Rich Asians (meski kayak ftv tapi gebrakannya dahsyat; film pertama sejak sekian lama seluruh cast Asia dalam produksi Hollywood; membuktikan diri itu penting!)
  • Creed II (sebuah film tentang bertinju yang mengingatkan kita untuk tetap berpikir menggunakan hati)
  • Green Book (penampilan akting kedua tokohnya akan menghibur kita di balik tema yang menyentuh)
  • Incredibles 2 (pergantian role dalam cerita superhero menjadikan sekuel yang ditunggu ini film yang menyegarkan)
  • Mid90s (potret anak yang mencari teman, alih-alih panutan, yang tak terasa dibuat-buat)
  • Mission: Impossible – Fallout (film aksi terbaik se2018, sebab semuana minus CGI!)
  • One Cut of the Dead (film paling asik sepanjang tahun, it’s not good but still manage to teach us a lot!)
  • Paddington 2 (dudukkan satu keluarga nonton ini dan rasakan kehangatan serta kelucuan menjalar)
  • Sebelum Iblis Menjemput (bisa juga Indonesia membuat horor gore yang menyenangkan ala cult kayak Evil Dead.. penulisan karakternya juga bagus)
  • Sekala Niskala (setiap shot di film ini layaknya puisi – gambarnya indah, tenang, menyeramkan)
  • Spider-man: Into the Spider-verse (usaha terakhir Sony menggarap Spiderman berhasil membuka banyak; peluang dan sudut pandang)
  • Suspiria (filmnya enggak bagus-bagus amat, tapi begitu aneh dengan gaya tersendiri sehingga aku dibuat penasaran dan menontonnya berulang kali)
  • Suzanna: Bernapas dalam Kubur (cerita balas dendam dengan tokoh seorang hantu. Pilu, namun beautiful, dan enggak jatoh over-the-top)
  • The Miseducation of Cameron Post (cerita di mana kelainan seksual dianggap sebagai penyakit ini dengan tepat menggambarkan keadaan remaja ketika dihadapkan dengan ‘tuduhan’ orang tua)
  • The Night is Short, Walk on Girl (salah satu film dengan cara bercerita paling unik, seperti versi lebih baik dari Aruna dan Lidahnya)

Tahun ini, special shout out aku teriakkan buat Dilan 1990 yang ulasan filmnya udah mecahin rekor jumlah view terbanyak di My Dirt Sheet tahun 2018. Selamaaatt~

 

Untuk daftar Top-8 yang bakalan kalian baca di bawah, ada baiknya kalian berhati-hati karena aku tidak akan memberikan peringatan spoiler – aku menganggap semua sudah menonton filmnya. Bagi yang pengen membaca ulasan lengkap filmnya, kalian bisa klik judul film untuk membuka halaman ulasan film tersebut.

8. AVENGERS: INFINITY WAR

Director: Anthony Russo, Joe Russo
Stars: Josh Brolin, Robert Downey Jr, Chris Hemsworth, Mark Ruffalo
MPAA: PG-13 for sci-fi violence and action, language and some crude references
IMDB Ratings: 8.5/10
“If life is left unchecked, life will cease to exist. It needs correcting.”

Menurutku cocok sekali jika daftarku ini dibuka oleh Avengers: Infinity War karena memang ‘semuanya’ – hal di daftar ini – dimulai oleh aksi si Thanos. Film ini adalah cerita superhero dengan sudut pandang langka di mana yang berjaya adalah tokoh yang jahat. Dan ini menimbulkan begitu banyak ragam reaksi, begitu banyak spekulasi, begitu ramai harapan, yang mengiringi desah-desah kaget tak percaya dari kita semua.

Enggak mudah mencampur aduk begitu banyak tokoh ke dalam satu cerita berdurasi dua jam, tapi film ini berhasil melakukannya. Kita mendapatkan banyak pertarungan seru, kita dikembalikan ke kisah klasik superhero bergabung melawan penjahat, dan tidak sekalipun film tergagap dalam menuturkan – menjalin kisah tokoh-tokohnya. Sebagai bagian dari semesta sinema yang lebih besar, film ini dengan gemilang menuaikan tugasnya sebagai sekuen titik-rendah dari para protagonis.

Buatku adalah hal yang mustahil jika kau penggemar superhero dan tidak terhibur menonton film yang endingnya memang diset depressing ini.

My Favorite Scene:
Infinity War, dengan menumpleknya karakter, punya begitu momen-momen keren; mulai dari keputusan Thanos mengorbankan Gamora – dan reaksinya setelah itu, pertempuran Wakanda – Cap dan Black Panther berlari memimpin, sampai kemunculan kembali Thor dengan kekuatan baru. Susah untuk memilih favorit, maka aku akan settle dengan yang paling memorable, dan tentu saja itu adalah momen terakhir film.. jentikan jari Thanos yang membawa maut.. apa yang terjadi sesudahnya… OH SNAP!

http://www.youtube.com/watch?v=zXavNm6y8OE

 

 

 

 

 

 

7. UPGRADE

Director: Leigh Whannell
Stars: Logan Marshall-Green, Melanie Vallejo, Steve Danielsen 
MPAA: R for strong violence, grisly images, and language
IMDB Ratings: 7.6/10
“A fake world is a lot less painful than the real one.”

Upgrade menghajar Venom habis-habisan, menendang bokongnya hingga terbang keluar hingga nyaris nyangsang di daftar Delapan Kekecewaan Bioskop 2018 ku. Kedua film ini punya kondisi tokoh yang hampir sama; konsep mereka sama-sama orang yang tubuhnya bergerak di luar kendali dan mengharuskan mereka bekerja sama dengan si ‘parasit’. Namun Upgrade melakukan tugasnya dengan jauh lebih baik, ia bercerita lebih efektif.

Keunikan berhasil dipertahankan oleh film ini. Dan menurutku aneh sekali saat menonton Upgrade aku tidak merasa ia tiruan dari Venom, malah justru sebaliknya. Upgrade membuktikan tidak butuh budget gede untuk membuat film yang menarik dan terlihat nyata. Seperti kata lagunya Triple H: “It’s how you play it”

My Favorite Scene:
Upgrade melakukan kerja yang sangat baik dengan konsep tubuh yang bergerak sendiri. Kesukaanku adalah ketika pertama kali Stem diijinkan mengambil alih dan kemudian menyerang salah satu pelaku pembunuhan; kerja kamera, reaksi yang genuine, semuanya bergabung menjadi koreografi aksi fresh!

 

 

 

 

 

6. THE HOUSE THAT JACK BUILT

Director: Lars von Trier
Stars: Matt Dillon, Uma Thurman, Bruno Ganz
Certificate:
IMDB Ratings: 7.0/10
“Don’t look at the acts, look at the works.”

Satu-satunya film yang kuberi angka 9 di tahun 2018. Bukan exactly karena sangat amat bagus, melainkan karena film ini sangat-sangat aneh dia seolah membunuh sendiri dirinya dengan keanehan dan pilihan ekstrim yang ia lakukan. Maka tentu saja, aku tidak bisa berpaling dari film-film punya nyali seperti ini.

The House that Jack Build punya struktur cerita sendiri. Dia punya aturan main sendiri. Malahan, dia tampak seperti asik sendiri ngobrol ngalor-ngidul, melakukan apa yang ia bisa lakukan, tanpa peduli tanggapan semua orang. Daya tarik film ini (dan juga kejatuhannya bagi beberapa penonton) adalah tokohnya yang seorang serial-killer, namun si Jack ini menganggap apa yang ia lakukan adalah proyek seni. Buatku film ini adalah karakter studi yang menarik. Saking kuatnya efek yang ditimbulkan, aku jadi merasa perlu untuk mengubah gaya reviewku khusus ketika mengulas film ini. Tapi memang, film ini bukan untuk semua orang. Level kekerasannya amat sangat di luar batas kemanusiaan, meskipun jika kalian terbiasa menonton film-film gore. Film ini berusaha memanusiawikan tindak pembunuhan, dan dengan  sengaja menunjukkan kegagalan.

Di luar batas-batas yang ia langgar, sesungguhnya film ini punya craftmanship tersendiri. Maka dari itulah, aku memasukkan film ini ke dalam daftar.

My Favorite Scene:
Keseluruhan babak akhir di mana Jack dan Verge turun ke bawah tanah; begitu aneh, begitu mencengkeram, begitu penuh metafora, jika kalian sama gilanya dengan aku, kalian juga pasti bakal suka.

http://www.youtube.com/watch?v=Hnoagsn7II4

 

 

 

 

 

5. EIGHTH GRADE

Director: Bo Burnham
Stars: Elsie Fisher, Josh Hamilton, Emily Robinson, Jake Ryan
MPAA: R for language and some sexual material
IMDB Ratings: 7.5/10
“Growing up can be a little bit scary and weird”

Mekar menjadi remaja tidak pernah hal yang mudah. Apalagi di jaman sosial media di mana kepopuleran menjadi semakin berpengaruh. Eighth Grade menunjukkan potret kehidupan remaja cewek mengarungi neraka yakni hari-hari terakhir sekolahnya.

Penampilan akting yang natural, penulisan yang benar-benar cerdas dan genuine membuat film ini mengerikan untuk diikuti, dalam artian yang positif. Eighth Grade tidak mangkir dari kejadian-kejadian yang plausible terjadi – yang mungkin pernah sebagian dari kita alami saat masih seumuran Kayla, tokoh utama ceritanya. Film ini juga tidak memberikan jalan keluar yang mudah ala cerita remaja film-film Hollywood.

Film ini memperlihatkan betapa hal-hal yang buat orang dewasa konyol dan sepele, sungguh bisa sangat berarti bagi remaja. Dan di sisi lain, remaja yang menonton diharapkan mendapat ketenangan dari ‘kejar-kejaran’ yang mereka lakukan demi popularitas.

My Favorite Scene:
Aku sebenarnya agak kurang sreg dengan penulisan karakter Ayah Kayla, dia seperti sosok yang terlalu too-good to be true, yang menurutku sedikit mengurangi nilai ke-genuine-an cerita. Tapi mengerti kenapa ia ditulis demikian. Dan aku juga mengakui, oleh karena karakternya demikianlah kita bisa dapatkan adegan dialog ayah-anak yang indah seperti dalam film ini

 

 

 

 

 

4. A STAR IS BORN 

Director: Bradley Cooper
Stars: Bradley Cooper, Lady Gaga, Sam Elliott
MPAA: R for language throughout, some sexuality/nudity and substance abuse
IMDB Ratings: 8.0/10
“Maybe its time to let the old ways die.”

Cerita klasik yang sudah diceritakan berulang kali, namun A Star is Born masih mampu membuat kita semua terpana. Berkat penampilan akting, kemampuan musikal, dan chemistry dari dua tokohnya.

Drama yang diceritakan juga terbangun dengan kuat, menyentuh. Tambahan elemen apa yang dilakukan industri terhadap para senimannya pun turut memperkaya film ini. Memberikan konflik yang, dikembalikan kepada karakter, dan sekali lagi, disampaikan dengan begitu mempesona. Film ini punya ending yang menurutku adalah salah satu ending paling menyentuh yang beruntung kita saksikan di tahun 2018.

Aku tahu, aku akan menantikan karya-karya berikutnya dari Bradley Cooper sama seperti aku akan duduk manis menunggu peran dramatis berikutnya dari Lady Gaga.

My Favorite Scene:
Reaksi Gaga di adegan dia disuruh nyanyi Shallow itu beneran keren! Yang pasti, gak ada yang ‘dangkal’ di adegan itu.

http://www.youtube.com/watch?v=dNxCz-Iyu0g

 

 

 

 

 

3. LOVE FOR SALE

Director: Andibachtiar Yusuf
Stars: Gading Marten, Della Dartyan, Verdi Solaiman
Certificate: 21+
IMDB Ratings: 7.8/10
“Hidupku yang sendiri sunyi.”

Tidak banyak pembuat film Indonesia yang berani mempertontonkan kenyataan pahit, dan lebih sedikit lagi jumlah yang kreatif mengubah kepahitan menjadi harapan yang manis. Love for Sale adalah film Indonesia pertama yang membuatku percaya perfilman bangsa ini memang bisa maju. Karena ia menarik spektrum baru sehingga memperluas variasi tontonan bagus yang kita punya.

Tokoh yang harus punya pasangan, yang harus bahagia selamanya di akhir, film dengan adegan yang aman dan tak boleh terlalu nyeleneh. Itu semua bukan jualan dari Love for Sale. Instead, kita dapat cerita tentang pria yang jomblo seumur hidup, yang hidupnya begitu sempit, mencicipi sedikit rasa asmara dan kekecewaan, sehingga dia tergerak olehnya. Skenarionya rapih sekali, keputusan-keputusan artistiknya juga sangat memberikan banyak kepada cerita. Film ini begitu unconventional untuk ukuran film lokal, ditambah dengan beraninya memberi kesempatan kepada pemain-pemain yang sama sekali baru ataupun baru kali ini dilepaskan dari perannya yang biasa.

Dengan peliharaan berupa kura-kura, film ini memang seanehnya yang bisa kita harapkan dari film Indonesia. And that’s a good thing.

My Favorite Scene: Adegan kejedot lampu! yang membuktikan bahwa detil dan karakter tidak pernah terlewat oleh film ini.. Yang sudah nonton pasti tahu deh kenapa adegan ini tidak kucantumin video ataupun fotonya hhihi

 

 

 

 

 

2. BURNING

Director: Chang-dong Lee
Stars: Ah-in Yoo, Jong-seo Jun, Steven Yeun
Certificate: Not rated
IMDB Ratings: 7.7/10
“Why do we live, What is the significance of living?”

Beberapa menit pertama, aku enggak suka film ini. Tokoh utamanya begitu sukar melihat kenyataan, dia seperti hanya bergerak berdasarkan feeling – dia bahkan seperti dituntun oleh orang lain. Namun begitu aku mengerti konteks ceritanya, daaannggg, film ini keren bangetttt.

Seperti yang sudah kusebut di reviewnya; film ini dibuat seperti ilusi optik. Untuk membuat kita melihat apa yang sebenarnya tidak ada. Sama seperti tokohnya yang ekspresinya kayak bengong melulu itu. Dan semua elemen cerita demi membangun semua itu diperhatikan dengan amat detil. Semua petunjuk mengenai apa yang sebenarnya terjadi sudah ada di depan mata kita, tapi kita dibuat menolaknya. Kita dipaksa untuk percaya kepada hal-hal yang buruk, seperti sikap si tokoh. Dan film dengan sengaja membuka begitu banyak interpretasi dan kemungkinan, sehingga menontonnya berulang kali tidak akan membosankan. Malahan semakin memperkaya pengalaman kita menonton.

Jika kalian senggang, coba ambil waktu nonton film Korea ini tanpa memperhatikan cerita dan hanya menikmati suguhan visualnya. Nyeni banget!

My Favorite Scene:

Adegan cantik dan penuh makna ini udah kayak adegan David Lynch banget. Menghipnotis!

 

 

 

 

 

Yang jeli akan melihat ada kekontrasan di sini. Antara awal yang menyebut tentang  kemenangan, tapi film-film yang masuk daftar ini malah tentang kegagalan. Pahlawan yang jadi abu, manusia yang membiarkan dirinya diambil alih asalkan dia dapat kenangan indah dengan istrinya, pembunuh yang gagal membuktikan dirinya benar, anak sekolah yang masih tidak populer, perjaka tua yang masih belum punya pasangan, pasangan yang malah berpisah, dan cowok yang malah jadi pembunuh karena terpisah dari pasangannya. Inilah yang aku sukai dari 2018. Meski yang bener-bener bagus jumlahnya  sedikit, namun film di tahun 2018 dengan gagah berani menunjukkan kegagalan. Aku selalu suka film seperti ini; film favoritku sepanjang masa adalah Mulholland Drive yang bercerita tentang cewek yang ingin jadi aktris besar di Hollywood, namun.. you guessed it, dia gagal. Dua film pendekku (Lona Berjanji dan.. aku bocorin pertama kali di sini judulnya Gelap Jelita) juga bercerita tentang kegagalan. Karena menurutku kegagalan terasa lebih real. Sebagai pelajaran, dia lebih menohok. Toh kegagalan tidak melulu berarti depresi, lihat Love for Sale; tokohnya belajar tidak punya pasangan bukan berarti menyedihkan, dia belajar hal lain yang ia butuhkan. Kegagalan bukan berarti kekalahan. Ia bisa saja kemenangan, saat tokoh mengerti apa yang sebenarnya kita cari. Film-film seperti begini tidak memberikan jawaban mudah.

Karena memang di kehidupan nyata, tidak ada yang semudah di dalam film. Kita bisa mencoba namun jangan lantas menyangka semuanya berjalan mulus. Film peringkat pertama di daftar ini benar-benar menunjukkan gimana jika sebenarnya kita tidak bisa lari dari takdir, sekeras apapun kita berusaha, sekelam apapun takdir itu:

1. HEREDITARY

Director: Ari Aster
Stars: Toni Collette, Alex Wolff, Milly Shapiro, Gabriel Byrne
MPAA: R for horror violence, disturbing images, language, drug use and brief graphic nudity
IMDB Ratings: 7.3/10
“[crying] Why did you try to kill me? / I didn’t! I was trying to save you!”

 

Untuk alasan di atas, Hereditary tak-pelak adalah horor paling mengerikan di tahun 2018. A dark way to see this film: ini tetap adalah cerita kemenangan, untuk si Paimon, iblis yang menjadi tokoh jahat.

Tidak gampang menemukan formula yang seimbang antara tontonan mainstream dengan konsumsi festival. Hereditary adalah contoh langka yang berhasil melakukannya. Bermain di lingkungan mitos yang sudah lumrah; ada iblis dan sekte sesat, namun ditangani dengan seni dan idealisme yang belum pernah kita lihat sebelumnya.

Tragedi keluarga tentang ketakutan kehilangan anak diolah menjadi drama berbalut misteri yang dapat direlasikan oleh banyak orang. Ketakutan seperti demikian bisa menyerang siapa saja, bisa terjadi kepada siapa saja. Benar-benar mengeksploitasi ketegangan pada setiap adegannya. Penulisan yang menutup, karakterisasi yang terbangun dengan baik, sinematografi yang menghantarkan kita melihat momen-momen paling menyesakkan, scoring yang bergaung ke hati (aku tak pernah lupa sama suara permen karet itu!), dari segi teknis film ini benar-benar menginspirasi pembuat film amatir yang baru belajar seperti aku. Terlebih karena sutradara film ini juga baru, dan dia berhasil mengukukuhkan namanya dengan gemilang.

My Favorite Scene:
Hereditary punya momen-momen menyeramkan dan momen keren yang sama banyaknya. Dari Charlie motong kepala burung hingga kepalanya sendiri dapay giliran, dari momen Annie dengan Peter hingga ke Annie tak sengaja membakar suaminya, dari Peter mematahkan hidungnya sendiri hingga dia melihat orang-orang tua tak berbaju itu di rumahnya; semua seperti punya makna. Yang paling mengiris dalem buatku adalah reaksi Peter setelah ia membuat celaka adiknya. Dia berbaring di sana, setengah mengharap semuanya cuma mimpi, setengah menunggu teriakan dari ibu yang mengonfirmasi semua kejadian itu bukan mimpi. Begitu real dan begitu menginflict kita semua!

http://www.youtube.com/watch?v=K-wZKtKUoSI

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Aku senang penggalian terhadap cerita film semakin meluas yang berarti semakin banyak pembuat-pembuat film yang ingin bercerita alih-alih memenuhi kuota jualan. Menulis ini di bulan Januari, aku sudah menonton beberapa film tahun 2019, dan aku gembira menyadari tren cerita ‘kemenangan dalam kegagalan’ ini masih berlanjut. Apa kalian tahu film-film apa yang kumaksud?

Bagaimana dengan kalian, apa film 2018 yang menjadi favorit kalian?
Apa ada yang sama? Atau ada berapa banyak yang tidak tersebut?
Yuk ngobrol berbagi di komen.

 

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are…

We?
We are the longest reigning PIALA MAYA BLOG KRITIK FILM TERPILIH.

PREMAN PENSIUN Review

“Gratitude is so gangster”

 

 

Sebagai manusia, kita suka melihat manusia lain mengembangkan diri mereka menjadi sesuatu yang lebih baik. Supaya kita bercermin, termotivasi. Itulah salah satu penyebab kita suka menonton film. Karena cerita-cerita dalam film biasanya menawarkan imajinasi seperti demikian; perjalanan hidup yang penuh perjuangan, orang-orang yang belajar mengenali dan menyelesaikan masalah yang mereka hadapi. Dan dari sekian banyak film, yang paling laku selalu adalah cerita yang tokohnya mengalami progres; orang miskin yang jadi kaya, orang yang diremehkan menjadi juara, orang yang jomblo jadi punya pacar. Kita lebih tertarik kepada tokoh yang punya konflik dalam diri mereka. Cerita orang yang sempurna seumur hidup sudah barang tentu tak akan semenarik cerita maling yang terdesak kebutuhan.

Makanya serial televisi Preman Pensiun banyak diminati. Versi layar lebarnya pun di(ki)nanti-nanti oleh para penggemarnya. Film ini menawarkan premis yang sudah pasti langsung menarik bagi penonton, meskipun belum pernah menyaksikan serial televisinya. Berpusat kepada satu kelompok preman yang insaf, yang berusaha mencari makan dengan cara yang jujur – meninggalkan cara lama mereka yang brutal. Secara efektif, menit-menit pertama menyuplik adegan penutup dari serial televisinya – yang aku yakin para penggemarnya pasti akan merasakan desakan haru dan nostalgia berat di dalam dada – yang seketika melandaskan ‘misi’ apa yang harus diemban oleh tokoh utama kita. Kang Mus (satu lagi penampilan kocak, ekspresif, dan dalam level yang tidak meninggalkan emosi dan keseriusan disuguhkan oleh Epy Kusnandar) diamanatkan oleh pemimpin kelompok mereka yang sudah almarhum untuk menjadi penerus kepala preman, hanya saja kali ini dengan semboyan “Bisnis yang bagus, dan yang baik”. Kemudian kredit pembuka bergulir, dan kita dibawa ke tiga tahun ke depan. Melihat bagaimana legacy kelompok pensiunan preman mereka berkembang di bawah tangan Kang Mus.

biarkan informasi ini meresap sebentar; nama lengkap Kang Mus adalah Muslihat

 

Memenuhi jati diri sebagai komedi, Preman Pensiun hadir dengan kocak. Kita akan tergelak-gelak melihat sehari-hari bos preman berusaha mengurusi keluarga, berurusan dengan kenyataan putrinya yang sudah remaja sudah mulai pacaran – dengan cowok yang udah mahasiswa pula. Momen-momen lucu hadir dari Kang Mus yang memerintahkan anak-anak buahnya, yang kini ada yang bekerja jadi satpam mall, ada yang jualan kaos, bisnis jaket, jadi pawang kuda lumping, dan bantu-bantu di bisnis makanan tradisional kecimpring, untuk memata-matai sang putri yang lagi nge-date. Film tidak melupakan tanah tempat dirinya berpijak. Kita tidak hanya melihat tempat-tempat di Bandung dijadikan latar dan diakomodasikan ke dalam penceritaan serta komedi, kita juga akan mendengar, menghidupi budaya Sunda itu sendiri.

Kita diperlihatkan sudut pandang yang mungkin sudah pernah kita lihat di film-film mafia ataupun gangster buatan luar, akan tetapi tak-pelak menjadi segar karena kentalnya nuansa lokal. Sedikit banyaknya, dengan menonton film ini, kita bisa paham terhadap kode etik para preman yang bisa saja memang berlaku di sudut-sudut pasar. Dan itu bukan soal punya tato yang seragam. Menjadi preman adalah soal setia, soal berterimakasih, dan soal menghormati. Kita lihat mereka tidak saling mengganggu istri, keluarga, masing-masing. Mereka punya birokrasi alias tangga-kekuasaan sendiri. Kita melihat mereka tidak akan melanggar batasan-batasan yang tercipta dari ‘pangkat’ kepremanan mereka. Dan di akhir, kelas preman tersebut dimainkan ke dalam sebuah konflik yang tak disangka-sangka.

Jika ada yang bisa ditiru, maka itu adalah eratnya rasa persatuan di dalam geng mereka. Kang Mus masih terus memikirkan bekas anak-anak buahnya, karena menurutnya mereka sudah bagian dari keluarga dan tak ada istilah ‘bekas’ dalam sebuah keluarga. Eratnya hubungan keluarga sudah semestinya seerat yang diperlihatkan oleh preman-preman di film ini. Sebab keluarga sudah sama seperti satu tubuh; terluka satu, maka yang lain pun ikut merasakan derita.

 

Namun mungkin yang lebih tepatnya adalah, film menghadirkan konflik yang sukar untuk kita sangka. Karena pada dasarnya merupakan kelanjutan dari serial televisi yang terdiri dari nyaris empat-puluh episode (aku mungkin salah karena gak ngikutin sinetronnya), dengan begitu banyak tokoh dengan subplot masing-masing, film ini jadi punya tugas yang tak-kalah beratnya dengan Kang Mus. Film harus mampu dengan segera memperkenalkan para tokoh dan masalah-masalah lantaran film ini cukup bijak untuk tidak menyuruh kita-kita yang belum pernah menonton untuk maratonin serialnya. Maka mereka menggunakan editing berupa smash cut dan match cut yang membawa kita bertransisi begitu saja antaradegan para tokoh. Pertama-tama sih, teknik ini memang terasa menyenangkan. Kita melihat satu tokoh ditanyai oleh istrinya, bret jawaban atas pertanyaan itu kita saksikan datang dari tempat lain, dari percakapan tokoh lain sambil minum, dan bret kita pindah lagi ke gelas yang dipegang oleh tokoh yang berbeda di tempat yang lain pula. Konteks yang diseragamkan membuat kita menyaksikan banyak hal sekaligus tanpa kehilangan arah. Teknik tersebut dilakukan berulang-ulang. Buatku it was getting old fast. Malah membuat semakin susah untuk mengikuti cerita, karena tidak banyak waktu untuk berpegangan kepada satu karakter. Kebanyakan dari mereka jadi seperti tidak punya arc. Masalah-masalah itu jadi menumpuk dan hingga titik tengah film, kita belum dapat menyimpulkan ke mana arah cerita. Yang mana konflik utamanya? Apakah perihal peringatan seribu hari kematian pemimpin mereka terdahulu (sebagai cara film mendedikasikan diri buat almarhum Didi Petet), apakah tentang bisnis yang sepi, atau anak yang beranjak dewasa, atau masalah yang berantem di pasar baru.

atau mungkin ini masalah kenapa di Gedung Merdeka banyak setannya

 

Dengan konsep editing seperti demikian, terasa ada banyak yang tak terselesaikan. Sekadar berfungsi sebagai adegan sketsa. Ketika film berhenti melakukan konsep editingnya, cerita mulai dapat diikuti. Meskipun sedikit terlambat, tapi apa yang disuguhkan cerita sebagai puncak ternyata tergolong sangat berani. Aku suka dengan tipe cerita ‘kalah’ kayak film ini. Malahan, dua film pendek yang kukerjakan, dua-duanya berakhir dengan ‘kekalahan’ sang tokoh. Karena terkadang memang perlu untuk menampilkan kegagalan, supaya pesan yang ingin disampaikan bisa menjadi cambuk – supaya kita bercermin dan tak melakukan hal yang serupa. Hanya saja, yang harus digaris bawahi adalah cerita kegagalan baru hanya akan menarik jika diiringi oleh usaha. Kang Mus dalam Preman Pensiun, tidak diperlihatkan banyak berusaha melakukan sesuatu yang baik. Ada adegan repetitif Kang Mus yang lagi ngulet males bangun pagi di sofanya. Dia yang pemimpin tak banyak campur tangan ketika masalah merundung teman-temannya. Inovasi kecimpring pun tak diperlihatkan ia lakukan. Mengusung pesan yang sedikit kelam, herannya konklusi film ini tampak aneh. Seperti ada bagian resolusi yang terpotong. Film berakhir tepat di titik di mana Kang Mus musti berubah, memperbaiki sikapnya. Yang membuatku merasa nanggung; menohok kurang, arc pun tidak tertutup.

 

 

 

Keseluruhan film terasa seperti membangun ke momen benar-benar ‘pensiun’, akan tetapi cerita justru dihentikan saat karakter butuh untuk meredeem dirinya sendiri. Film ini benar-benar menonjolkan sisi komedi yang dipancing dari percakapan permainan kosa kata ala Kang Mus yang ‘pintar-pintar bodoh’, dan tingkah-tingkah para preman yang berusaha kerja baik dengan kemampuan yang mereka tahu. Namun mereka tidak pernah dibuat keluar dari dunia mereka. Preman-preman itu belum diharuskan terikat pada aturan di luar ‘kode’ mereka sendiri. Buatku, film yang bernapas Bandung memang terasa nanggung. Konsep editingnya tidak benar-benar bekerja efektif, meskipun memang diperlukan. But that’s just me. Para penggemar serialnya sepertinya bakal tersenyuh dan senang-senang maksimal menyaksikannya.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for PREMAN PENSIUN.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Pernahkah kalian berurusan dengan preman? Menurut kalian apa yang membuat orang disebut sebagai preman?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

 

 

GREEN BOOK Review

“Get to know someone who doesn’t come from your social class; this is how you see the world”

 

 

Green Book, cerita berdasarkan kisah nyata, dihadirkan dengan gaya yang ringan rupanya bertindak seperti lampu hijau; membiarkan potret-potret intoleran tahun 60an itu masuk ke tengah-tengah masyarakat yang lebih luas. Supaya semakin banyak orang dapat berkaca, memperbaiki cara pandang diri terhadap sempitnya pandang dan pergaulan. Mungkin dirinya bukan pendekatan yang serius, namun kita bisa beragumen mungkin saja ini adalah salah satu cara yang efektif untuk mengobati kerasisan dan menyembuhkan prasangka.

Judul film ini merujuk kepada istilah brosur travel perjalanan yang dikeluarkan khusus untuk pelancong penduduk kulit hitam sehingga mereka bisa mencari tempat-tempat singgah yang ‘bersahabat’, yang mengizinkan mereka masuk dan mendapat pelayanan, selama bepergian jauh. Zaman dulu boleh jadi belum ada aplikasi yang menyajikan info hotel dan penginapan yang lengkap sampai ke harga-harganya seperti sekarang, jadi kita mungkin tak-begitu mengerti urgensi ataupun uniknya si brosur itu sendiri. Tapi kita tidak bisa mengatakan hal yang sama terhadap perilaku-perilaku dan prasangka yang ingin ditunjukkan sebagian besar orang kepada minoritas, zaman dulu ama zaman sekarang – masih relevan, walaupun dalam kadar terang-terangan yang berbeda. Green Book ingin memperlihatkan kembali masalah serius yang dihadapi oleh orang kulit hitam, dan untuk itu ia menjelma menjadi bentuk-bentuk penceritaan yang sudah acap kita lihat. Film ini adalah film road trip, film dua tokoh yang begitu kontras yang nantinya menyadari bahwa mereka sebenarnya ‘sama’, ini juga adalah film musik, sekaligus film natal.

Orang bilang, salah satu penyebab perjalanan menjadi menyenangkan adalah siapa yang menemani kita dalam perjalanan tersebut. Dan yang benar-benar bikin Green Book menjadi perjalanan yang menyenangkan ialah karena kita ditemani oleh dua penampilan yang sama-sama luar biasa.

 

Memutar balikkan peran kulit putih dengan kulit hitam pada era di mana si kulit hitam tidak sepantasnya memakai kamar kecil yang sama dengan kulit putih, Green Book sudah menjanjikan dinamika yang menarik. Tokoh utama kita adalah Tony “Lip” Vallelonga. Sekali lagi Viggo Mortensen membuktikan kepandaiannya melebur ke dalam tokoh yang ia perankan. Tiga-puluh pound bobot yang ia tambahkan ke tubuhnya itu belum apa-apa dibandingkan bagaimana dia membuat Tony yang orang italia itu menjadi seperti tokoh kartun berjalan. Dia melipat pizza satu loyang dan memakannya bulat-bulat begitu saja sebagai snack tengah malam, dia selalu ngobrol dengan ceplas-ceplos dengan aksen yang kental, dia mukulin orang-orang kalo diperlukan. Bukan sembarang saja dia dijuluki Tony Lip. Mulut adalah ‘senjata utama’ Tony. Sebagian besar adegannya adalah jika tidak sedang makan, dia pasti mengoceh. Dia membanggakan diri sebagai bullshitter ulung; bahkan dirinya sendiri percaya pada bualan yang ia lontarkan. Tony mencari nafkah dengan keunggulannya tersebut, “sebagai public-relation” katanya. Tony lantas mendapat kerjaan menyupiri seorang pemusik bernama Don Shirley. Seorang yang ternyata diperankan oleh Mahershala Ali, seorang yang ternyata ras kulit hitam; yang dipandang sebelah mata oleh Tony dan keluarganya. Beberapa adegan sebelum Tony bertemu Shirley, kita melihat Tony membuang gelas bekas air minum dua tukang reparasi westafel yang datang ke rumahnya. Dan sekarang, demi uang, Tony harus belajar menahan diri, dia harus meyakinkan dirinya sendiri untuk belajar menghormati Shirley sampai konser keliling si pemusik beres sebelum malam natal.

Seperti melihat Fat Tony, mafioso di The Simpsons, bagi-bagikan permen

 

Cerita yang disajikan memang gampang tertebak. Kita akan melihat gimana sikap Tony melihat perlakuan orang-orang kepada Shirley, mulai dari mereka yang mengundang Shirley untuk nampil – Shirley dipuja namun tetap didiskreditkan sebagai manusia di belakang panggung, hingga ke ‘orang-orang’ Shirley sendiri. Kita sudah bisa memastikan Tony dan Shirley yang kaku akan menjadi dekat satu sama lain. Namun interaksi antara kedua tokoh inilah yang membuat film begitu menyenangkan. Bagaimana mereka saling masuk ke dalam pikiran masing-masing. Bagaimana mereka saling mempengaruhi. Adegan paling kocak buatku adalah ketika Tony membujuk Shirley untuk memakan ayam KFC. Tony terkejut sekali mendengar Shirley enggak suka makan ayam goreng, “ini kan makanan kalian” herannya mengimplikasikan sudut pandang sempitnya terhadap ras. Kita melihat Shirley, yang sepanjang hidupnya terjebak di antara bangga-dengan-ras dan tidak-mau-distereotipekan, ‘malu-malu kucing’ untuk mencoba ayam yang diacungkan Tony tepat di bawah batang hidungnya. Seolah belum cukup dinamis, adegan itu berlangsung di jalanan, selagi Tony mengemudi. Sebagai komedi, adegan tersebut juga punya punchline yang sangat kocak. Aku tantang kalian untuk tidak tertawa menyaksikannya hhihi

Sekilas memang tampak seperti pilihan yang aneh. Kenapa film memilih karakter yang lebih komikal sebagai tokoh utama. Bukankah menjadikan Shirley (later, Tony lebih nyaman menyebut tokoh ini dengan “Doc” saja) yang punya konflik inner yang lebih dalem, yang mesti berhadapan dengan situasi yang mengecilkan sebagai minoritas, seketika akan membuat cerita menjadi lebih mengundang simpati? Karena film ingin langsung mendudukkan kita di posisi ‘pelaku’; supir, seperti Tony, as to speak. Bahwa kondisi penuh prejudice itu, kita yang menciptakan. Kritikus film NBC, Jenni Miller menuliskan bahwa film ini dibuat oleh white people untuk white people. Tulisan tersebut diniatkan sebagai kritikan olehnya, namun bagiku; aku setuju tapi bukan sebagai kritikan. Toh film cukup bijak memperlihatkan dua tokoh kita bergantian menyelamatkan ‘nyawa’ masing-masing. Melainkan sebagai pencapaian yang didapatkan oleh film lewat keputusan yang diambil.

Karena menurutku, salah satu tema besar yang diangkat oleh film ini adalah tentang bagaimana pandangan yang kita punya bisa muncul dari diri kita. Bagaimana kita melihat diri kita sendiri. Ada satu kalimat yang diucapkan oleh Tony kepada Shirley yang menjadi kunci dalam permasalahan ini, “Ada terlalu banyak kesepian di dunia karena mereka enggak berani untuk memulai duluan” Kalimat tersebut dengan tepat menyimpulkan arc Shirley dan Tony, makanya bagian ending film ini terasa begitu menyentuh. Bahwa terkadang kita tidak berani untuk bergerak sendiri; perhatikan betapa gembira Shirley main musik bersama ‘orang-orang’nya di sebuah klub jazz, dan sebagai kontrasnya perhatikan betapa kosongnya yang dirasakan Tony di tengah-tengah perayaan natal bersama keluarga besarnya.  Kita akan segera sampai pada satu pemahaman bahwa sikap rasis yang dimiliki Tony tidak murni berasal dari kebencian. Dan mungkin, film ini ingin menyampaikan, begitu juga yang terjadi di luar sana. Perasaan kolektif kita sebagai bagian dari society yang membuat kita mengambil tindakan, mengambil sisi yang sebenarnya sama sekali tidak kita rasakan. Buat Shirley, ini berarti kesendirian – karena dia juga ikut ‘terwarna’ oleh pandangan putih-putih di sekitarnya, yang membuat dia enggan nyampur dengan warnanya sendiri.

Kadang memang cuma itulah yang kita perlukan. Meluaskan pergaulan. Berkumpul selalu dengan orang-orang yang sama, yang pandangannya itu-itu melulu, membatasi jarak pandang. Kita butuh untuk memperluasnya. Berinteraksi dengan pihak yang kita sangka berseberangan. Keputusan Tony mengambil pekerjaan dari Shirley tak pelak adalah keputusan paling penting yang pernah ia ambil selama hidupnya, sebab ia membuka jalan bagi dirinya untuk berhubungan langsung dengan yang selama ini ia sangka ia benci.

 

 

 

Dalam setiap kesempatan, film akan menghadiahi kita dengan kepuasan. Memberikan harapan bahwa kemanusiaan itu bukan fiksi – dua orang di mobil yang bersedia membuka hati dan saling menghormati akan membuat keindahan di dunia. Dan dua orang ini bener ada di dunia. Penampilan kedua aktornya sama-sama pantas untuk diganjar Oscar. Gaya komedi, bahkan penulisan yang kadang nyaris menyerempet garis ‘kartun’ sama sekali tidak mengurangi bobot dan nilai-nilai yang diusung oleh cerita. Kalo kekurangan, aku pribadi sebenarnya kurang setuju dengan banyaknya trope-trope yang dipakai, namun film memang menjadikan crowd-pleaser sebagai garis finishnya. Dan mereka berhasil. Jadi yang bisa kubilang cuma, resikonya terbayar lunas.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for GREEN BOOK.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Coba tengok lingkaran sosial kita masing-masing. Ada gak sih kita gaul ama yang bukan dari kalangan kita? Berapa banyak teman kita yang lebih tua dari kita?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017