BABY BLUES Review

“Parenting is about teamwork and not undermining your partner”

 

 

Ada dialog dalam adegan Baby Blues garapan Andibachtiar Yusuf yang menyebut bahwa seorang suami bertugas menafkahi, sementara seorang istri tugasnya merawat anak di rumah. Gagasan role rumah tangga tersebut bisa bertukar, tampak begitu aneh oleh karakter film ini. Pandangan aneh tersebut toh tampaknya memang masih sejalan dengan pandangan mayoritas penduduk di Indonesia. Ayah bekerja, ibu rumah tangga, masih bentukan keluarga ideal di masyarakat kita. However, di tempat-tempat yang masyarakatnya lebih suka untuk tampak modern, role tersebut lebih fleksibel. Istri gak harus ‘bekerja’ di rumah. Bapak yang ngasuh anak, dan sebagainya. Makanya sebenarnya menarik melihat bagaimana ide soal peran rumah tangga tradisional dimainkan dalam era/pandangan modern.

Seiring durasi berjalan, dari dialog-dialog dan how things played out di awal-awal, kupikir Baby Blues bakal ngarah ke situ. Suami dan Istri yang bertukar tubuh, merasakan tugas partner hidup mereka. Tapi dari konsep tersebut, Baby Blues ternyata menekankan kepada bagaimana keduanya jadi lebih saling menghargai, dan memang ini pesan yang tak kalah penting. Dengan pesan itu, tentu saja sebenarnya Baby Blues masih baik untuk ditonton oleh keluarga (khususnya young parents). Hanya saja, pesan yang lebih tradisional tersebut tidak benar-benar mendarat sesuai dengan yang diniatkan, karena naskah film ini tidak dikembangkan dengan berimbang.

blues2905717046
Penulis Imam Darto sepertinya memang hobi ngasih pelajaran ke perempuan-perempuan yaa

 

Sesuai judulnya, cerita memang berangkat fenomena psikologis yang hanya dirasakan oleh seorang ibu. Perasaan sedih, lelah, kesepian yang merundung seorang ibu pasca melahirkan. Ya, film ini mengambil perspektif perempuan sebagai sudut pandang utama. Dinda dan suaminya Dika baru saja dikaruniai putri pertama. Suddenly, Dinda merasa hidupnya berat sekali. Istirahatnya kurang, badannya sakit. Dia yang capek dua puluh empat jam ngurusin anak, masih disuruh jaga badan oleh mertua, disalah-salahin karena penampilannya jadi kucel. Sementara Dika suaminya tampak enjoy-enjoy aja main PS sama temen-temen sepulang kerja. Cuek teriak-teriak padahal anaknya baru saja tidur. Dinda merasa cuma dia yang bertanggungjawab. Maka saat bertengkar hebat dengan suaminya suatu malam, Dinda yang minta dingertiin, meminta Dika merasakan hidup sebagai dirinya. Permintaan Dinda terkabul. Pagi harinya, pasangan itu terbangun di dalam tubuh yang tertukar. Dinda jadi cowok – jadi Dika. Dan sebaliknya, Dika kini gak bisa lagi ngelak dari mendiamkan bayi yang nangis dengan alesan “Susunya kan di kamu”

This whole story diceritakan dalam balutan komedi yang, yah katakanlah, merakyat. Tidak dalam dialog cerdas dan situasi elegan, namun dalam dialog-dialog candaan receh dan situasi yang komikal. Karakter perempuan dan laki-laki yang dikontraskan di sini merupakan karakter yang stereotipe, dalam artian cowok digambarkan ‘ngasal’ kayak duduk ngangkang, suka garuk-garuk, unhigenis dan cewek digambarkan either sangat feminim atau strong seksual objek. Tentu saja tipe yang ekstrim ini digunakan untuk komedi gampang yang maksimal tatkala Dika jadi bertubuh Dinda, dan sebaliknya. Film ini terutama tampak sangat gemar bikin lucu-lucuan dari cowok yang bertingkah kemayu. Ada lebih banyak candaan pada Dinda yang kini bertubuh tegap. Yang membawa kita kepada kunci dari penampilan film ini. Permainan akting. Vino G. Bastian dan Aurelie Moeremans definitely gak sekadar mainin cowok lelembut atau cewek tomboy. Kita bisa lihat mereka berusaha benar-benar memberi nyawa karakter lawan main yang telah bertukar tubuh. Basically masing-masing mereka mainin dua karakter sentral itu sekaligus. Dari dramatic point, ada cukup layer dalam tuntutan akting mereka. Melihat dari sini, komedi yang dibikin simpel bisa dianggap mempermudah mereka, komedi jadi tidak menghalangi dramatic point yang jadi ‘daging’ dari karakter mereka.

Niat film ini sebenarnya memang baik sekali. Dari bertukaran tubuh, bertukar role tersebut, ayah dan ibu diharapkan bisa lebih saling mengerti kewajiban masing-masing. Bahwa menjadi orangtua sesungguhnya adalah kerja tim. Membesarkan anak butuh banyak ‘pengorbanan’. Pertengkaran Dinda dan Dika berawal dari Dinda yang menyangka cuma dirinya yang kerja, sementara Dika tidak kelihatan pulling the weight. Dengan meng-experience kehidupan Dika, Dinda jadi sadar bahwa masing-masing mereka ternyata harus dan memang mengalahkan ego dan kepentingannya, demi mendahulukan apa yang terbaik bagi anak.

 

Panggung cerita semakin terasa lokal karena ada lapisan soal hidup bersama mertua. Dinda dan Dika basically hidup serumah dengan ayah dan ibu Dika (cuma berbatas tembok dan pintu) yang turut jadi pemicu stres-nya Dinda. Film lebih lanjut mengembangkan ini sebagai permasalahan dengan orangtua pasangan, karena Dika sebaliknya diceritakan sebagai orang yang tampak cuek ama keluarga istrinya. Lapisan ini harusnya semakin menambah dalamnya eksplorasi tentang pembelajaran saling mengerti. This is the extra layer, tapi ternyata inilah yang jadi pembahasan yang paling diperhatikan oleh naskah. Di pembahasan inilah naskah melakukan penggalian cukup berimbang. Kalo film ini cuma tentang hidup dengan mertua, Baby Blues bisa dapat nilai yang lebih baik. Tapi sayangnya, main course film ini – yakni soal stresnya mengasuh anak – tidak mendapat bahasan yang berimbang.

Film terus saja seperti ‘memberikan pelajaran’ kepada Dinda. Sampai ke titik film seperti menunjukkan Dika bahkan bisa jadi ibu yang lebih baik daripada Dinda. Film benar-benar memperlihatkan hampir semua keputusan Dinda – dalam usahanya jadi ibu yang baik – tampak egois dan nyalahin suaminya , tanpa balik memperlihatkan perjuangan Dika. Dika setelah bertubuh perempuan, tampak gampang aja menyesuaikan diri. Dika gak seheboh Dinda mempermasalahkan gigitan anak mereka. Anak mereka justru sakit diurus oleh Dinda. Film merasa gak perlu ngasih waktu untuk Dika memperbaiki sikapnya yang hobi main PS. Gak ada adegan-adegan Dika berusaha mengerjakan pekerjaan ibu, seperti masak, ngurus anak. Dia bisa gitu aja, dan melakukannya lebih baik dari Dinda karena dia gak stress. Hanya ada satu keputusannya yang meragukan, yakni soal ngasih ASI dari orang lain karena ASI tubuhnya gak keluar. Tapi film menampilkan dampak adegan itu sebagai kesalahan Dinda yang gak menghargai usaha Dika mencari ASI. Dinda dengan tubuh Dika diperlihatkan dipecat dari kerjaan eventho she really tries, tapi kita gak lihat Dika berusaha biar ASInya keluar.

Aku pikir nanti Dinda berhasil membuat kafe tempat Dika bekerja jadi rame, sebagai penyeimbang Dika merasa lebih fun ngurus anak di rumah. Yang seperti kutulis di awal mengarah kepada film ini ngasih solusi pandangan modern terhadap role rumahtangga tradisional yang masih banyak dianut keluarga di negara kita. Tapi ternyata film ini lebih memilih untuk memperlihatkan Dinda menyadari dia bukan orangtua yang baik karena terlarut dalam baby blues-nya, bahwa suaminya ketika beneran ngelakuin hal yang ia lakukan justru melakukannya dengan lebih baik daripada dirinya. Suaminya lebih cepat belajar sementara Dinda sendiri lebih sering mendahulukan perasaan dan emosinya semata. Film ini memilih untuk ngajarin cewek cara-cara menjadi ibu yang baik, ngajarin bahwa suami juga telah berusaha sebisa mereka. Jadi ya buatku naskah film ini memang agak-agak problematik.

bluesY2ZjXkEyXkFqcGdeQWFuaW5vc2M@._V1_
Pembelajaran menjadi ibu dari penulis laki-laki.

 

Dari segi penyampaian atau penceritaan, film ini pengen berusaha sebaik mungkin ngeset tone komedi serta membuat logika-cerita yang melogiskan kenapa pertukaran tubuh itu bisa terjadi. Hanya saja film mengambil keputusan yang salah, atau at least belum memikirkan masak-masak pilihan yang mereka lakukan. Karena menurutku film masih bisa melakukannya dengan lebih baik lagi. 

Jadi film ini menggunakan narator, seperti dalang. Tokoh di luar cerita, di luar aturan-dunia cerita, yang bergerak dalam dimensi yang berbeda dari Dinda, Dika, dan yang lain. Tokoh atau karakter ‘Tuhan’ ini muncul sporadik sebagai transisi yang merangkum kejadian serta mengantarkan kepada apa yang bakal terjadi berikutnya, di closing untuk ngasih kesimpulan, dan juga di opening; menyambut kemudian memperkenalkan kita kepada karakter-karakter cerita. Singkatnya, kehadiran narator tersebut justru menyuapkan kita banyak hal yang tidak perlu. Emangnya kita bayi, disuapin! Opening film ini bisa lebih ringkas; efektif dan ngalir, tanpa komedi pengenalan karakter dari si narator. Film ini benar-benar gak butuh narator. Kepentingannya cuma untuk membuat pemahaman bahwa keanehan bertukar tubuh dapat terjadi di dunia cerita yang disetir oleh narator ajaib ini. Itulah tadi maksudku soal mestinya film bisa memperlakukan ini dengan lebih baik lagi. Alih-alih narator, kenapa gak dibikin saja dia karakter yang benar-benar berinteraksi. Anggap dia sebagai oranggila yang aneh, dan hidup bersama karakter lain. Bikin keajaiban itu jadi karakter yang menghidupi cerita, ketimbang muncul dan ngatur cerita dari luar. Eksposisi yang hadir bersama narator itu gak dibutuhkan, hanya menghambat pace cerita.

 

 

 

 

Nonton ini ada beberapa kali aku ngikik juga, beberapa kali membatin ‘wah bener sih, ada yang kayak gitu terjadi di dunia nyata’. Potretnya yang simplistik itu memang beresonansi juga dengan masyarakat. Film ini punya niat dan pesan yang baik. Hanya masalahnya, penyampaian dan perspektifnya saja yang timpang. Film ini tidak mempertanyakan gagasan, melainkan dengan pedenya ngasih jawaban mutlak. Karakter-karakternya diposisikan sebagai objek dari jawaban yang diusung. Bukan subjeknya. Sebenarnya film ini sama saja dengan film-film agenda-ish yang biasa kita saksikan. Tapi biasanya film agenda-ish suka hadir dengan karakter perempuan yang selalu benar. Film ini tampil dengan karakter perempuan yang terus-menerus dipersalahkan. Dan ya, hadir untuk ngasih gagasan yang tidak seimbang. But I believe, bakal ada juga penonton yang sependapat, kayak film agenda-ish yang penggemar banyak banget karena segagasan. 
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for BABY BLUES.

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Menurut kalian apakah gender role tradisional dalam parenting masih relevan untuk diterapkan? Jika tidak, kenapa? Apa faktor yang menyebabkan gender role tersebut kini bisa berubah?

Share  with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

THE LOST CITY Review

“If you love what you do, it isn’t your job, it is your love affair.”

 

Masih ingat Gilderoy Lockhart? Itu tuh, guru (ngakunya paling tampan) di sekolah sihir Hogwarts yang terkenal karena menulis sekian banyak buku petualangan eksotis; petualangan yang kata Lockhart dilakukan olehnya sendiri. Tapi dia bohong. Lockhart hanyalah penulis handal yang bikin cerita dari pengalaman orang-orang, dan menjadikan dirinya sendiri sebagai figur model dari cerita tersebut. Meskipun begitu, buku-bukunya tetap laris dan fansnya banyak (terutama di kalangan penyihir wanita, khususnya emak-emak penyihir!) Jika kalian suka karakter yang situasinya mirip si Lockhart itu,  sambil juga menikmati petualangan dengan sedikit bumbu aksi, serta sejumlah komedi dan romance, maka memilih film The Lost City sebagai tontonan bersantai adalah pilihan yang tepat.

Garapan Aaron dan Adam Nee ini bercerita tentang seorang penulis perempuan bernama Loretta . Yang terkenal oleh seri buku petualangan romantis yang ia tulis. Much like Lockhart, Loretta tidak pernah ngalamin sendiri bertualang di hutan-hutan berbahaya. Tapi dia toh memang masukin beberapa hal yang ia tahu, seperti soal legenda harta karun dan tulisan-tulisan kuno, karena dia dan suami dulunya memang meneliti hal tersebut. Makanya, tidak seperti Lockhart, Loretta justru jadi tidak menyukai seperti apa jadinya karya-karya tersebut. Para ibu-ibu penggemar bukunya itu, hanya peduli sama romance dan glamor, terutama seks appeal dari karakter Dash yang muncul dalam setiap buku Loretta. Si Dash ini punya model beneran; pemuda bernama Alan, yang meskipun bukan jagoan tapi benar-benar ‘serius’ menghidupi perannya sebagai Dash, you know, seperti Lockhart. Petualangan The Lost City dimulai ketika diungkap ternyata satu-satunya orang yang menghargai fakta dan sains dalam novel Loretta adalah seorang jutawan yang pengen mencari harta tersembunyi. Sayangnya, si jutawan itu bukan orang baek-baek. Loretta diculik dan dipaksa mecahin kode. Alan, believing himself jagoan, nekat pergi menyelamatkan Loretta. Dua orang yang sama sekali gak cocok di hutan tersebut, harus benar-benar bertualang seperti dalam buku cerita.

Daniel Radcliffe secuestra a Sandra Bullock en el tráiler de 'La ciudad perdida'
Masih ingat Harry Potter? Beginilah tabiatnya sekarang

 

Bukan satu, tapi dua! Cerita ini punya dua karakter yang merupakan fish-out-of-the-water. Komedi datang bertubi-tubi dari sini. Film juga cukup bijak untuk terus menekankan kontras lokasi dengan kebiasaan karakter tersebut lebih jauh lagi, seperti misalnya menghadirkan karakter yang bener-bener jagoan di hutan sebagai pembanding dari karakter Alan. Ataupun sesederhana ngasih outfit pakaian jumpsuit berkilau-kilau untuk dipakai oleh Loretta selama di hutan. Komedi film ini certainly lebih efektif lewat visual atau benar-benar fisik ketimbang lewat dialog, yang kadang terdengar cringe dan cheesy, terlebih ketika juga mencoba memuat urusan romance ke dalam komedinya. Bukan hanya dari kedua orang yang harus survive di hutan berbekal cerita karangan, film juga memantik komedi dengan mengontraskan reaksi mereka.  Ini berkaitan lebih lanjut dengan karakterisasi. Dari reaksi-reaksi tersebut tergambar betapa kuat dan konsistennya naskah menuliskan Loretta dan Alan.

Inilah yang memisahkan film ini dengan film Romancing the Stone (1984) – yang juga tentang penulis perempuan harus bertualang di hutan – yang jadul. The Lost City memainkan karakter ke dalam semacam pembalikan dinamika role. Gak ragu menunjukkan cowok stereotipe jagoan sebagai seorang yang sensitif. Gak takut memberikan kemudi utama kepada karakter cewek. Di film ini Loretta gak lari-larian sambil digenggam tangannya oleh Alan (kakinya yang ditarik sambil lari-lari hihihi!). Walaupun memang bentukannya adalah Alan berusaha menyelamatkan Loretta, tapi cerita tidak berkembang menjadi traditional damsel in distress situation. Alan menyelamatkan dengan cara yang lebih ke suportif. Loretta tetap yang memegang kendali, atas pilihan dan aksi mereka berikutnya. Malah ada dialog yang literally menyebut justru si Alan yang jadi ‘damsel’. Perkembangan karakter Loretta memang dijadikan fokus. The Lost City enggak sekadar komedi fish-out-water, ataupun tidak cuma aksi petualangan kocak, tapi mainly ini adalah tentang perempuan yang berusaha untuk berani menemukan cintanya kembali. Menggali cinta yang sudah lama ia kubur. Baik itu cinta kepada apa yang ia lakukan, maupun cinta beneran – mengenali perhatian yang diberikan orang kepadanya. 

Yang kusuka dari film ini adalah muatan yang bicara soal sisi kreatif manusia. Persoalan yang relevan banget, terutama di perfilman sendiri. Loretta ini udah kayak filmmaker yang bikin cerita-cerita receh, hanya karena receh itulah yang gampang laku. Itulah yang diminta oleh penonton atau fans. Aku percaya setiap filmmaker pasti pengen dinotice ‘suara’ atau ‘pesan’ yang mereka sisipkan. Terus menerus bikin receh itu bakal menggerogoti diri dari dalam. Kayak Loretta yang jadi jengah. Film ini bertindak sebagai suara yang meredakan kecamuk personal pembuat karya seperti Loretta. Ada pesan di akhir dari seorang karakter yang buatku cukup menyentuh. Pesan yang seperti mengatakan cintailah yang kita lakukan, karena bagaimanapun juga, tanpa diketahui, ada orang-orang di luar sana yang menganggap yang kita lakukan itu sangat berarti. 

 

Sandra Bullock tampak nyaman sekali bermain romantic comedy seperti ini, tapi praise-ku sebagian besar tertuju kepada penampilan dan timing komedinya. Bullock memainkan dialog, serta gestur komedi, dengan sama tepatnya. Di sini dia cukup banyak bermain secara fisik, dan dia berhasil membawakannya sehingga tampak jadi penyeimbang dari tone yang dibawakan oleh Channing Tatum sebagai Alan. Tatum di sini lebih ke over-the-top, tapi dia keren banget kalo udah tek-tokan sama aktor lain. Tatum gak ragu-ragu memainkan jokes unggulannya, yakni play around his body. Tatum tahu persis kelucuan seperti apa yang bisa dicapai dari orang cakep-bertindak-bego. Mereka juga membuktikan kenapa mereka masuk A-list dengan menjajal range tanpa terbata. Kita akan dibuat tersentuh juga oleh adegan-adegan yang lebih emosional. Momen favoritku adalah reaksi Loretta dan Alan setelah ‘pembunuhan pertama’ yang mereka lakukan. Bullock dan Tatum memainkannya dengan hilariously manusiawi.

Overall memang cast-nya perfect. Brad Pitt really killed penampilan cameonya. Daniel Radcliffe juga bagus sebagai antagonis. Buatku menarik sekali Daniel juga ikut di-cast dalam cerita ini, mengingat keseluruhan karir anak-anaknya dihabiskan sebagai katakanlah ‘coverboy’ untuk Harry Potter. Mungkin sampai sekarang orang masih memanggil dia sebagai Harry, seperti orang-orang dalam film ini masih memanggil Alan sebagai Dash. But anyway, Daniel Radcliffe sekali lagi nunjukin dia fleksibel. Dia masih terus bisa jadi antagonis yang meyakinkan, keluar dari pesona anak baek-bake. Di The Lost City ini, range tersebut lebih banyak dimainkan. Yang kurang cuma karakterisasi tokohnya. Motifnya sebagai antagonis, kinda weak. Dalam artian tidak benar-benar mendukung atau merefleksikan arc protagonis. Daniel di sini adalah anak orang kaya yang mau jadi paling top karena dia benci ama saudaranya. Ini kayak out-of-place dengan karakter lain ataupun dengan tema cerita keseluruhan.

cityThe.Lost_.City_.2022-Trailer.Image-001
Kau gak akan pernah bisa sekeren Brad Pitt kibas rambut dengan iringan lagu opening True Detective

 

Satu lagi yang mencuri perhatian adalah karakter publicist Loretta, yang juga berusaha mencari Loretta yang hilang – yang genuinely care. Aku bisa melihat karakter ini bisa dengan gampang jadi fan favorite. Walaupun menurutku juga karakter ini sebenarnya gak perlu-perlu banget ada. Sepanjang narasi, penempatannya sebagian besar sebagai transisi, dan dia juga gak benar-benar punya impact ataupun ada tie-in dengan masalah atau tema cerita. Tapinya lagi aku juga paham karakter ini ada sebagai ‘warna’ tambahan, both figuratively, dan literally untuk menambah diversitas karakter cerita.

Yea, I’m sorry to get a little technical; aku merasa sedikit kekurangan film yang lucu menghibur ini ada pada struktur naskahnya. Untuk sebagian besar waktu – dari awal hingga ke menjelang babak tiga – urutannya clear. Inciting incidennya Loretta diculik, point of no returnnya saat mobil mereka jatuh ke jurang dan kini tinggal Loretta dan Alan berdua saja, sekuen romancenya malam hari di puncak bukit. It’s cut perfect. Tapi kemudian cerita berlanjut dan seperti berulang; kita masuk lagi ke sekuen yang sama. Film masih agak belibet membawa cerita masuk ke babak ketiga. Biasanya di cerita romance, memang bakal ada pertengkaran pada pasangan (either ketahuan bohong, atau dicurigai selingkuh, atau semacamnya), yang bakal diresolve di babak akhir. Nah The Lost City ini, karena gak ada yang bohong, gak ada yang selingkuh, dan thank god gak ada twist murahan sejenis ternyata pasangannya jahat, maka mereka agak kesusahan mengisi sekuen. Jadilah sekuen resolve Loretta dengan Alan dilakukan dengan lebih cepat, sehingga kayak ada dua sekuen romance. Padahal menurutku hal tersebut tidak mesti dilakukan. Biarin aja mereka tetap diem-dieman sampai babak ketiga masuk, yang ditandai dengan seseorang diculik. 

 

 

 

Di luar sandungan di penulisan tersebut, film ini memang sajian modern yang menghibur. Aku perlu menekankan modern, karena memang jarang sajian modern hadir tanpa terasa annoying ataupun agenda-ish. Film ini menempatkan, memainkan, dan memanfaatkan karakter-karakternya dengan tepat. Bercerita lewat mereka, sehingga film ini terasa punya perkembangan dan petualangan yang genuine. Romance dan komedinya imbang, dan kedua-duanya bersinar berkat penampilan akting. Elemen petualangan mencari harta karunnya pun tak jenuh oleh tetek bengek eksposisi. Dibuat minimalis tapi tetap seru dan membuat kita merasa terinvolve. Trust me, karena tak seperti Lockhart, aku menulis dari pengalaman; 
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for THE LOST CITY.

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Pilih antara ini: ‘Do what you love’, atau ‘Love what you do’?

Why?

Share  with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

DRIVE MY CAR Review

“Silence is a universal language”

 

 

Utangku mengulas nominasi Best Picture Oscar 2022 tinggal satu ini, yakni film Drive My Car. Dari urutan, sebenarnya film ini bukan yang terakhir aku tonton dari sepuluh nominasi tersebut. Aku hanya, agak kesulitan menuntaskan tontonan drama berdurasi tiga-jam-kurang-semenit ini. Yea, durasi tersebut benar-benar kerasa di film ini. Ceritanya berjalan kaku, karakternya menjaga jarak bukan hanya kepada karakter lain, tapi juga kepada kita yang nonton. Meskipun kita udah tahu momok yang menghantui perasaannya, namun perasaan diskonek itu tetap ada. Baru kemudian aku menyadari, storytelling demikian ternyata memang disengaja, karena itulah ‘bahasa’ film ini. Dan bahasa actually jadi salah satu tema mencuat di dalam narasi. Sekarang setelah aku sudah bicara dengan ‘bahasa’ yang sama dengan film karya Ryusuke Hamaguchi ini, aku bisa bilang tepat film kuulas paling belakangan, karena objectively, sebagai bahasan karakter, this is indeed the best for the last.

Walau gak punya ketertarikan sama kendaraan apapun, I know for a fact bahwa ada cowok yang benar-benar sayang ama mobilnya. Sayang dalam artian menganggap mobil itu sebagai sesuatu yang sangat personal. Ayahku adalah salah satunya; beliau protektif banget sama mobil. Gak mau sembarangan ngasih ijin kepada orang-orang, bahkan kepada saudara, untuk mengendarai mobilnya. Di dalam kendaraan itu, ayah punya aturan sendiri. My dad is already a strict person, tapi di dalam mobil, dia bisa lebih keras lagi. Dari ngidupin mesin hingga buka jendela aja ada ‘tata kramanya’. Belajar nyetir pakai mobil itu udah jadi siksaan mental tersendiri bagiku. Jadi aku tahu, sebuah mobil bisa berarti sedemikian personal bagi pemiliknya.

Dari ‘fenomena’ semacam itulah, karakter dan cerita Drive My Car berangkat. Seorang aktor dan sutradara teater bernama Yusuke punya kebiasaan berlatih dialog di dalam mobil merahnya, selama perjalanan ke tempat bekerja. Namun Yusuke hidupnya semakin banyak masalah. Anaknya meninggal, istri yang selingkuh tapi belum sempat (baca: tega) ia konfrontasi meninggal, kini sebelah matanya pun punya masalah pandangan. Kontrak proyek teater terbaru yang ia terima, mengharuskan Yusuke untuk ke luar kota dengan diantar oleh sopir. Yusuke harus diantar ke mana-mana. Kebayang dong, perasaan Yusuke saat harus menyerahkan kuncinya kepada seorang wanita muda tak-dikenal bernama Misaki. Ternyata itu justru jadi healing yang mujarab. Bagi kedua pihak! Karena Misaki ternyata sama ‘pendiam’nya, sama-sama memendam kecamuk duka dan kehilangan dan rasa bersalah, seperti Yusuke.

carDrive-My-Car-1
Untung mobil merahnya bukan si jago mogok

 

Mobil dalam cerita ini tersimbolkan sebagai personal space. Di dalam mobilnya Yusuke punya ‘ritual’. Dia latihan dialog dengan suara rekaman istrinya. Dialog dari teater yang ia pilih merepresentasikan permasalahannya dengan sang istri. Secara fisik, gambaran mobil itu pun merepresentasikan kekhususan bagi Yusuke. Di jalanan dia tampak distinctive dengan warna merah, dan setir kiri (as opposed to setir kanan kayak di Indonesia). Yusuke kan juga ‘berbeda’ seperti itu. Dia lebih kalem dibandingkan orang-orang lain.

Film ini punya lapisan yang begitu banyak dari penyimbolan terkuat sehingga adegan-adegan terkuat dalam film justru adalah momen-momen Yusuke di dalam mobil. Khususnya saat dia berdiam diri di kursi belakang, dengan Misaki di kursi pengemudi menyetir dengan sama diamnya, suara yang kita dengar cuma suara istri Yusuke dari rekaman kaset yang terus diputar. Momen-momen ketika kedua karakter sentral terhanyut dalam pikiran dan perasaan masing-masing. Tapi dari situ jualah mereka terkoneksi. Bukan sebagai pasangan, tidak sesederhana orang tua dengan anak muda, lebih dari semacam ayah-anak. Melainkan manusia terluka dengan manusia terluka. Alasan Yusuke menerima Misaki sebagai supir – meskipun awalnya menolak – bukan saja semata karena cara nyetir Misaki cocok sama dirinya, atau Misaki bisa merawat mobil. Melainkan karena mereka bicara ‘bahasa’ yang sama. Mereka share personal space yang sama karenanya. Deepernya hubungan seperti ini yang membuat film ini menjadi menarik.

Relasi Yusuke dengan karakter lain, serta peran mobil di cerita ini menunjukkan seberapa pentingnya personal space bagi hubungan antarmanusia. Space tersebut tidak bisa begitu saja dimasuki. Enggak gampang bagi kita untuk mengizinkan orang masuk, kecuali ketika kita sudah menemukan bahasa yang sama. Dalam film ini, silence jadi bahasa universal, Yusuke dan Misaki jadi terkoneksi olehnya. Yang juga membuat Yusuke selanjutnya lebih mudah berkoneksi dengan orang lain. Sebagaimana yang kita lihat di adegan paruh akhir, saat Yusuke berdialog dengan ‘antagonis’ di dalam mobilnya, yang berujung membuat dia balik melihat sesuatu yang lebih daripada yang ia kira dari si ‘antagonis’

 

Adegan-adegan latihan teater lebih lanjut menekankan persoalan ‘bahasa’ yang jadi topik penting dalam relasi karakter film ini. Yusuke diceritakan sebagai sutradara yang unik, ciri khasnya adalah menggunakan dialog multi-bahasa untuk karakter-karakter dalam pertunjukan teaternya. Ada yang berbahasa Inggris, Korea, Malaysia, dan termasuk Indonesia. Karakter-karakter tersebut berbahasa masing-masing, tapi mereka saling mengerti. Para aktor teater yang memerankannya pun dicasting oleh Yusuke, aktor yang memiliki bahasa ibu berbeda-beda. Jenius banget sebenarnya Yusuke, pertunjukan teaternya jadi semakin menarik. Orang-orang berbeda bahasa tapi bisa saling mengerti, karena mengalami emosi yang sama. Film menarik kontras dari kreatif Yusuke di panggung tersebut dengan gimana dia aslinya. Bahwa Yusuke di luar seorang sutradara teater, ternyata justru bicara dengan bahasa ‘diam’. Kita lihat dia gak pernah marah. Melihat istrinya selingkuh aja, dia gak langsung meledak. Tapi awalnya diam Yusuke memang dia tidak terkoneksi dengan orang lain. Salah satu faktor yang menjadi pembelajaran bagi karakter ini selain Misaki adalah produsernya yang orang Jepang, yang benar-benar bisa multi-language, yang mau belajar bahasa isyarat untuk bisa berkomunikasi dengan perempuan terkasihnya.

carDRIVE_MY_CAR_banner_660x320b
Judul film ini sebenarnya bisa berarti ‘Speak My Language’

 

Jadi jika bahasa dan komunikasi perasaan begitu penting bagi film ini, bagaimana dengan bahasa penyampaian film ini sendiri sebagai media komunikasi pembuatnya dengan kita para penonton? Well, now that’s a great question.

Durasi tiga jam memang melelahkan, kebanyakan film akan berusaha meminimalisir ‘damage’ dari durasi tersebut dengan mempercepat tempo, menggunakan banyak cut, dan ada juga yang memasukkan banyak aksi atau komedi atau apapun yang bikin cerita bernada ringan. Drive My Car guoblok kalo memasukkan hal-hal tersebut. Which is why film ini cerdas. Film ini tahu apa yang ia buat. Bahasa yang digunakan film ini adalah bahasa yang sama dengan yang digunakan oleh karakternya. Distant secara emosional. Cerdas memang berarti tidak mau mengambil resiko. Film mempertaruhkan penonton kasual bakal bosan, demi menghantarkan cerita yang benar-benar true mewakili emosi karakternya. Obat dari momen-momen ‘berat untuk ditonton’ film ini adalah sinematografi yang kece. Adegan-adegan yang disyut dengan menawan. Mulai dari set panggung teater hingga ke tempat-tempat yang dikunjungi, semuanya dibikin menarik di mata. Bahkan adegan reading teater ataupun di dalam mobil, adegan yang lokasinya sempit dan monoton dibuat bergeliat oleh kreasi subtil.

Resiko terbesar tentu saja adalah menjadikan ini cerita sepanjang itu. Karena film ini kan adaptasi dari cerita pendek. Cerita aslinya sebenarnya lebih pendek daripada ini. Pak Sutradara ngestretch materinya. Ini yang aku kagum. Sutradara menolak menggunakan flashback! Sutradara-sutradara lain mungkin akan stick to the original (apalagi kalo ini dibikin oleh Hollywood!). Cerita dimulai ketika Yusuke disuruh pake supir, dan kemudian baru akan sesekali terflashback ke masa lalu untuk melihat kenapa dia begitu muram, untuk melihat suara siapa sebenarnya yang ada di rekaman. Drive My Car buatan Hamaguchi ini tidak begitu, dia malah memulai dari masa-masa Yusuke bersama istrinya. Relationship unik mereka yang saling berbagi cerita di manapun (atau abis ngelakuin hal apapun). Cukup lama film berkutat di sini, ‘the real’ story baru dimulai di babak kedua. 

Downsidenya, Drive My Car jadi tampak tidak memenuhi yang diperlihatkan di babak awalnya. Penonton bisa merasa kecele karena dari babak awal itu mengira Drive My Car adalah cerita rumah tangga. Mengira ini adalah kisah perselingkuhan (yang lagi naik daun lagi di jagat tontonan negara kita). Menantikan adegan suami mengonfrontasi istrinya yang selingkuh, yang berkaitan dengan grief mereka terhadap putri yang telah tiada. Tentu penonton tidak salah mengharapkan itu karena film dimulai dengan memperlihatkan rumah tangga mereka, yang tampak baik-baik saja. Ketika bahasan sebenarnya tiba, film jadi kayak berbeda, dan inilah yang bikin film beneran tampak panjang buat beberapa penonton. Tapi dengan penceritaan linear seperti demikian, film nunjukin efek yang lebih kuat secara emosional. Karena dengan begini, kita mengerti siapa dan apa masalah yang menghantui protagonisnya. Penonton bisa langsung tenggelam di sana, membuat film ini jadi lebih powerful. Panjang, memang, tapi aku gak yakin Drive My Car bakal jadi semenohok ini jika bagian awal tersebut ditrim. Kita malah akan sibuk bolak-balik flashback aja nanti.

 

 

 

Apparently, film ini adalah salah satu favorit untuk memenangkan Best Picture Oscar. Aku bisa memahami kenapa banyak penonton film alias sinefil yang suka. Karena di atas gambar-gambar yang cakep, memang film ini bercerita dengan bahasa seni. Menilik perasaan manusia dengan sentimentil serta mendetil. Ada banyak lapisan dalam bangunan ceritanya. Sementara bagiku, aku merasa film ini terlalu personal untuk agenda Academy tahun ini. Aku respect film ini mengambil resiko besar dengan penceritaan panjang. Berani memilih untuk tidak pakai flashback dan linear saja. Meskipun itu membuat filmnya yang didesain distant dan kaku jadi semakin susah untuk konek secara emosi.
The Palace of Wisdom gives 8 out of 10 gold stars for DRIVE MY CAR.

 

 

 

That’s all we have for now.

Diam dan mobil yang love language si Yusuke kepada sesama manusia. Apa love language kalian?

Share  with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

THE ADAM PROJECT Review

“Cherish every moment with those you love at every stage of your journey”

 

Hidup memang penuh penyesalan. Kalo tidak, kalimat pertanyaan “Apa yang bakal kalian ucapkan buat kalian di masa lalu?” tidak akan pernah terpikirkan. Kita semua pengen ketemu sama kita waktu masih muda, supaya bisa ngasih nasihat. Supaya mereka gak memilih jalan yang sama, bikin kesalahan yang sama. Hidup memang penuh penyesalan, kalo tidak, time travel tidak akan pernah kita impikan. Karena memperbaiki hidup seperti demikianlah yang jadi poin utama dari angan-angan bisa pergi ke masa lalu. Karya terbaru Shawn Levy literally mengambil konsep time travel dan pertanyaan tersebut sebagai tema cerita, dan Levy menggodoknya menjadi sajian laga sci-fi yang bukan saja seru, tapi juga grounded dan terasa manusiawi. Tuk memastikan dirinya gak bakal pengen balik ke masa lalu memperbaiki film ini, Levy memaksimalkan kadar hiburan film ini. Ia menyuntikkan dosis komedi dalam jumlah ‘mematikan’, dengan meng-cast Ryan Reynolds sebagai karakter utama. Membuat The Adam Project jadi semacam Reynolds show yang sudah amat familiar bagi kita. To the point jadi amat terlalu familiar, it could become stale.

adam-Sci-Fi-Dibintangi-Ryan-Reynolds
tbh, I fell like, aku yang masih kecil akan membunuhku dengan brutal begitu melihat jadi apa dirinya nanti.

 

Tentu saja, pergi ke masa lalu akan membawa masalah tersendiri. Cerita-cerita tentang time travel akan berkutat dengan hal-hal trivial yang menuntut kelogisan semisal bagaimana bisa terjadi, lalu soal efek kupu-kupu dari mengubah masa lalu, ataupun soal berapa versi diri kita yang ada – which leads to a multiverse. Makanay cerita-cerita time travel cenderung jadi ribet sendiri. The Adam Project gak mau pusing-pusing sama hal tersebut. Dengan singkat dan padat film ini menyebut time-travel exist sembari menepis kemungkinan multiverse (semua orang nantinya akan jadi amnesia atau semacamnya). Soal teknologi kefiksiilmiahannya memang tetap ada, kita masih bisa geek out dengan alat-alat flashy dan aksi heboh. Tapi kita tidak diminta untuk memikirkannya lebih lanjut. Film ingin kita langsung fokus ke permasalahan yang membayangi para karakter. Fokus ke gagasan yang dibawa. Karena itulah, on the plus side, The Adam Project gampang terasa grounded.

Peran Reynolds di sini bernama Adam Reed. Di tahun 2050, dia seorang pilot pesawat tempur yang oleh bosnya dikirim untuk misi time travel. Tapi Adam menemukan ada kejanggalan. Jadi dia bermaksud bergerak sendiri, tapi ketahuan dan diserang. Adam yang terluka terdampar di tahun 2022. Di situlah dia bertemu dengan dirinya yang masih dua-belas tahun. Kedua Adam, dengan segala kemiripan dan perbedaan mereka, bekerja sama menyelamatkan masa depan. Untuk itu, mereka harus ke masa lalu, meminta bantuan kepada bapak yang selama ini jadi sumber amarah Adam.

See, di balik hingar bingar dan mumbo jumbo sci-fi, film ini bicara tentang hubungan ayah dan anak lewat pergulatan personal yang digambarkan oleh interaksi antara Adam Gede dengan Adam Kecil. Keduanya kehilangan ayah, dan sedang dalam fase berbeda. Adam Kecil, di tahun 2022, masih sedih atas kematian bapaknya. Tapi Adam Gede, yang udah sekitar 40 tahun umurnya, tentu sudah outgrow that phase. Kesedihan Adam telah berubah menjadi kemarahan dan ketidaksukaan. Dia resent ayahnya gak pernah ada. Ayah yang bahkan setelah pergi pun, meninggalkan pe-er pelik untuknya. Adam Project, yakni proyek time travel yang jadi konflik-luar film ini, memang diciptakan oleh sang ayah. Interaksi Adam Gede dengan Adam Kecil boleh jadi lucu dengan banyak saling ejek dan remarks kocak, tapi sesungguhnya itu adalah momen-momen Adam membuka perspektif baru. Dua karakter ini saling belajar satu sama lain, yang tentu saja berarti Adam belajar lebih banyak melalui konfrontasi dengan dirinya sendiri, yang selama ini telah ia kubur oleh kemarahan. Film bicara soal kemarahan sebagai reaksi dari grief dan kesedihan itu lebih lanjut lagi dengan juga menilik sisi Adam Kecil, yang justru marahnya kepada sang ibu sebagai bentuk dari pelampiasan kesedihan.

Tema cinta dan kehilangan memang bergulir kuat, gak sekadar tempelan. Realisasi perlahan yang disadari Adam mengenai kemarahan dan mengantagoniskan orang sebenarnya adalah bentuk dari menutupi perasaan sedih atas kehilangan (marah memanglah emosi yang sekompleks itu), turut membawa dirinya kepada pembelajaran satu lagi. Yakni soal menghargai waktu yang ada. Menghargai orang-orang yang bersama dan mencintai kita di dalam setiap tahapan waktu yang kita lalui. Karena yah, kita tidak pernah tahu seberapa cepat waktu berjalan.

 

Warna ringan film ini sebagian besar datang dari penampilan akting. Reynolds seperti biasa memainkan seorang bermulut tajam; ini udah jadi trademarknya sekarang. Hiburan film memang datang dari dialog-dialog Reynolds dengan karakter lain. Terutama dengan Mark Ruffalo yang jadi ayahnya – Ruffalo sendiri sudah terbiasa dan jago juga dalam timing komedi gaya celetukan yang juga dilakukan oleh film-film Marvel. Komedi semacam ini diseimbangkan oleh akting Jennifer Garner sebagai ibu. Weakest karakter adalah perannya Zoe Saldana yang baru akan benar-benar ngefek di akhi. Serta pemeran antagonis Catherine Keener, yang karakterisasinya memang standar sekali. Tidak ada layer dalam motivasi penjahat-ala-kartun-minggu-pagi miliknya.

The elephant in the room adalah aktor cilik Walker Scobell yang luar biasa mirip Reynolds, memainkan Adam Kecil. Reaksinya ketemu dengan diri yang sudah dewasa, berotot, punya alat-alat canggih, juga kocak sekali. Persis kayak yang diharapkan kalo ada anak kecil yang melihat dirinya udah gede, rasa penarasan dan excitement-nya dapet. Tapinya lagi, Scobell memang hanya perlu menirukan Reynolds karena di sini si Reynolds sendiri memang tidak memainkan karakter. Reynolds yang seperti memainkan dirinya sendiri mempermudah Scobell. Gak perlu kayak Helena Bonham-Carter yang berakting jadi Emma Watson berakting jadi Hermione yang akting jadi Bellatrix di Harry Potter. Inilah kenapa aku gak benar-benar terkesan sama Adam Kecil. Aku gak bilang mudah dan semua orang bisa niruin Reynolds, tapi hanya gak ada lapisan aja. Dia niruinnya sama persis, ya mannerismnya, ya mimiknya, ya pace nyamber obrolannya. Mestinya Reynolds di sini bisa memberikan karakter yang ia perankan lebih sebagai karakter lagi, bukan sebagai dirinya.

ADAMb784gzy_lGR2CY_ZJOQdrvGjyvn-obZGA
Bayangkan jadi penonton live Hulk dan Deadpool adu mulut.

 

Jadi setidaknya ada dua kemudahan yang diambil film ini. Soal karakter Adam yang basically cuma Ryan Reynolds. Dan soal time travelnya tadi. Gak ribet dalam melandaskan teori dan logika-film. But wait, there’s more conveniences alias kemudahan. Adegan-adegan aksinya – yang btw melibatkan orang-orang yang bisa tak kelihatan – tidak pernah terasa menggebu. Heboh sih iya, tapi gak ada intensitas. Penjahatnya tetap mudah dikalahkan. Sekuen berantemnya pun gak wow banget, banyak elemen yang udah pernah kita lihat (termasuk senjata yang mirip Lightsaber, eventho film berusaha menyetir ini sebagai komedi dalam cerita). Selain itu, film memang banyak memasukkan referensi kisah time travel dan sci-fi lain. Sehingga semua itu jadi datar aja, plus juga karena kita gak benar-benar melihat stake. Tahun 2050 diserahkan kepada imajinasi kita, which is good, hanya saja keadaan di tahun itu juga dijadikan informasi pembanding. Adam ingin mencegah 2050 hancur, dan katanya tahun itu ‘bad’. Dengan demikian, dunia tahun 2050 itu sekarang jadi stake, dan kita jadi perlu melihat seperti apa dunia di masa depan itu supaya kita bisa peduli dunia yang sekarang gak jadi seperti itu. Film ngambil kemudahan dengan gak memperlihatkan, yang berakhir gak gampang bagi kita untuk peduli sama petualangan mereka. Kemudahan tersebut lantas jadi kelemahan.

Dan bicara soal kelemahan, ada satu logika yang aneh sekali dalam sains cerita. Okelah, mereka ngeset dan bikin logis time travel dengan cara simpel mereka sendiri. Yang kubicarakan ini adalah sains soal kenapa Adam Gede butuh Adam Kecil untuk bertualang. Diceritakan di sini adalah karena Adam Gede tertembak, dia terluka, sehingga pesawat mutakhirnya gak lagi mengenali DNA tubuhnya. Maka dia butuh Adam Kecil yang gak terluka. Dia butuh DNA yang ‘sehat’. Question is, bagaimana luka tembak dapat mengubah DNA seseorang? Aku bukan ahli DNA tapi kalo ada yang kupelajari tentangnya maka itu adalah DNA makhluk akan sama; Luka atau bahkan cacat (yang bukan dari lahir) enggak akan mengubah DNA. Kayak, kalo Animorphs menyadap DNA hewan yang luka, maka saat mereka berubah menjadi hewan tersebut, mereka akan jadi hewan yang sehat, bukan yang luka. DNA itu genetik, dan luka fisik tidak terimprint di sana. The Adam Project tidak berhasil menjelaskan kenapa pesawat tidak lagi mengenali DNA Adam Gede dengan logis. Sehingga poin sepenting Adam Kecil harus ikut jadi sangat lemah. The whole movie ternyata bergantung kepada logika selemah itu. Aku gak nyebut plot hole atau apa, tapi kalo kita peduli sama letak perban di kepala orang sakit dalam film-film, maka hal sepenting DNA ini juga harusnya jadi concern kita, sebab benar-benar berkaitan dengan cerita ini bisa berjalan atau tidak.

Tadinya aku pikir mungkin di akhir akan diungkap kalo soal DNA itu cuma bualan Adam semata, bahwa dia sebenarnya pengen Adam Kecil ikut, atau gimana kek. Atau kupikir bakal ada penjelasan lanjutan. Tapi gak ada. Ini hanyalah cara mudah berikutnya dari film untuk menjelaskan kenapa Adam Kecil harus ikut bertualang. Padahalnya lagi, soal DNA ini bisa dijelaskan dengan menyebut senjata masa depan memang dapat mengubah DNA, makanya kalo mati ditembak ini orang jadi hancur. Tapi, film gak nyebut apa-apa soal senjata tembak. Orang lenyap hanya disebut sebagai akibat dari mati di luar timeline/universe hidupnya yang asli. Lagi-lagi, kemudahan bercerita. Eh, tapi lama-lama kemudahan itu jadi tampak seperti kemalasan ya!

 

 

Kalo aku guru IPA atau sains, maka aku akan ngasih nilai merah untuk film ini. Karena penjelasannya terlampau sederhana hingga cenderung malas. Film hanya menjelaskan time travel, tapi tidak menjelaskan soal DNA yang mereka angkat. Tapi untungnya aku bukan guru. Aku hanya penonton yang menulis ulasan film. Maka aku menilai dari filmnya saja. Yang bercerita dengan menghibur, memastikan kita tidak beruwet-ruwet dalam konsep time travel, dan makin mendaratkan cerita dengan tema keluarga yang grounded. Tapi uh-oh, film ini masih juga terasa malas, karena sebagai aksi sci-fi, dia masih generik, lebih banyak masukin referensi daripada adegan original, dengan stake yang gak terasa. Bahkan kematian dalam cerita, gak pernah terasa sedih-sedih amat.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for THE ADAM PROJECT.

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Kalo berkesempatan ke masa lalu, tahun mana yang kalian tuju dan apa yang akan kalian katakan kepada diri kalian di tahun itu?

Share  with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

MARLEY Review

“A dog doesn’t care if you are rich or poor, educated or illiterate, clever or dull. Give him your heart and he will give you his.”

 

 

Walau mengaku bujangan kep… eh salah, itu lagu Yuni. Walau mengaku penyayang binatang, tapi honestly dulu aku peduli memelihara hewan cuma kalo ‘peliharaan’ tersebut bisa diajarin nyerang orang, atau bisa membawaku terbang, atau punya berbagai alat ajaib di dalam kantongnya. Waktu kecil dulu aku belum kebayang hubungan dengan hewan peliharaan itu bisa menjadi sangat emosional. Dulu aku cuma melihara tamagotchi, dan memang aku bisa ’emosional’ kalo udah capek-capek dirawat, dia mati. Alias emosi dalam artian ngamuk, karena meliharanya masih dalam tahap menganggap sebagai game. Padahal melihara yang sebenarnya itu bisa membawa kedekatan. Pets bisa seperti sahabat, bahkan lebih dekat daripada keluarga. Waktu baru melihara kucing beneran lah (itupun awalnya karena loteng kafeku banyak tikus), aku mengerti. Tadinya aku pengen bicara tentang hal tersebut lebih lanjut, lewat film Marley garapan M. Ainun Ridho. Aku excited pengen nonton ini, karena merasa sekarang aku bisa semakin relate dengan cerita persahabatan manusia dengan hewan peliharaan. Ternyata Marley bicara lebih banyak di balik persahabatan tersebut. Namun sayangnya, film ini fell flat, tidak mampu menceritakan semuanya dengan baik. Mengatakan hanya membahas di permukaan pun, film ini belum berhasil.

Ini kali kedua dalam waktu dekat aku nonton film Indonesia yang mengangkat hewan peliharaan sebagai topik (atau mungkin bahkan pemain) utama. Sebelumnya ada June & Kopi (2021). Sehingga mau gak mau, aku akan membandingkan. Marley punya bahasan yang lebih banyak. Ceritanya tentang seekor seekor pitbull yang lagi ngumpet dari kejaran preman bayaran tukang daging, bertemu dengan Doni (Tengku Tezi jadi guru yang asik), pemuda yang memberinya makan. Si pitbull lantas ngikutin Doni si baik hati pulang. Doni jadi memeliharanya, memberinya nama Marley – sesuai musisi favoritnya. Masalah dimulai ketika Doni yang seorang guru matematika, gak bisa gitu aja ninggalin Marley di rumah selama mengajar. Doni harus membawa Marley ke sekolah, yang berujung membuatnya dipecat. Hidup menjadi semakin berat. Tapi sebaliknya, karena Marley-lah, guru kita itu belajar yang namanya cinta. Yang bakal mengubah hidupnya.  

124847791_1740492739436816_8121578112268320359_n
Daripada sok nyelametin satwa-liar langka, noh di jalanan banyak anjing dan kucing yang siap untuk diberi kasih sayang.

 

 

Ada bahasan asmara – Doni naksir-naksiran sama seorang bu guru bernama Vina (Tyas Mirasih, another alumni gadsam main di another film about human and dog) tapi dia gak kunjung melakukan gebrakan karena Vina ternyata sudah punya anak, sehingga most of time, relasi mereka tampak awkward. Lalu ada bahasan soal pendidikan; Doni ini guru yang punya pandangan maju tentang bagaimana cara yang fun dan efektif ngajarin matematika kepada anak SD. Supaya mereka gak stress menghapal dan sebagainya. Doni justru pengen membuat anak-anak merasa happy dan bermain-main dengan angka-angka. Soal pendidikan ini jadi concern utama film, cerita akan benar-benar membandingkan cara ngajar tradisional yang dianut sekolah di negara kita hingga saat ini dengan cara yang lebih, katakanlah, modern. Film akan memperlihatkan mana yang lebih baik,Jika serta menunjukkan walau cara tersebut lebih baik, tidak segampang itu untuk diterapkan karena guru-guru yang lebih ‘tradisional’ – guru-guru yang masih gak mau segampang itu menerima ide Doni masih banyak. Lalu ada juga pembahasan hingga ke soal perdagangan daging anjing yang semakin meliar. Persahabatan Doni dan Marley membentang melingkup semua itu. Kehadiran Marley menjadi warna, dan sedikit mempermudah Doni menelan masalah-masalahnya. Karena at least now, dia punya seseorang untuk diajak ngobrol. Punya tempat untuk mencurahkan hati. Enggak lagi bicara kepada foto-foto di rumahnya.

Hewan peliharaan adalah companion yang setia. Terutama seekor anjing. Anjing gak akan peduli siapa dirimu. Miskin atau kaya. Pintar atau bodoh. Begitu mereka merasakan hati tulusmu, maka kau telah mendapat teman seumur hidup.

 

Jika dikembangkan dengan baik, Marley akan bisa jadi lebih padat dan kompleks dibandingkan June & Kopi. Inilah kenapa film itu bukan semata soal ide cerita, gagasan, atau moralnya saja. Yang nomor satu dari sebuah film adalah penceritaannya. Marley ternyata bercerita dengan lebih simpel, dalam artian yang not-good. Penceritaan Marley hanya pada batasan ‘tell’, tidak melibatkan ‘show’. Sekalinya ‘show’, yang diperlihatkan malah sesuatu yang either diceritakan terlalu cepat, atau kurang relevan (misalnya porsi-porsi komedinya). 

Persahabatan antara Marley dan Doni misalnya. Hanya di awal-awal saja yang beneran terasa. Doni memandikan, ngasih makanan, lalu ada juga dia marah karena Marley ngacak-ngacak rumah. Makin ke akhir, Marley jadi hanya kayak berada di sana aja. Doni yang dipecat, berusaha membangun tempat mengajar sendiri. Dia melalui banyak kesulitan, dan malah jadi kayak berantem ama Tuhan. Marley agak terpinggirkan. Momen film kelihatan benar-benar berusaha langka sekali. Paling cuma pas ngasih nama. Entah itu nama tempat ngajarnya, ataupun nama Marley. Diperlihatkan proses berpikir mendapatkan nama tersebut, dan semua itu melibatkan Marley. Aku suka momen-momen seperti itu. Walaupun aku kurang sreg nama yang diberikan adalah Marley. It is too easy. Sudah ada film ikonik tentang persahabatan manusia dan anjing yang berjudul Marley & Me (2008) yang tebak siapa nama karakter anjingnya. Ada banyak nama lain; kalo mau nama musisi pun, banyak nama yang lain. Tapi film memilih nama yang membuat orang teringat sama film lain. Film yang bercerita dan dibuat dengan jauh lebih baik. Oh, aku yakin dari nama/judulnya saja, calon penonton akan membanding-bandingkan film ini, dan hasilnya ‘matematika’ perbandingan tersebut gak akan baik untuk film ini.

Film lebih banyak bercerita lewat montase. Doni membangun tempat ngajar; lewat montase ngumpulin murid-murid; lewat montase. Doni ngajarin murid-murid; lewat montase. Padahal ini momen-momen yang tepat untuk menumbuhkan atau menunjukkin development, tapi film lebih memilih untuk memperlihatkan sekelebat permukaan itu saja. Film ini menyebut Doni punya metode unik dalam mengajar. Kita sama sekali gak pernah melihat keunikan itu seperti apa. Doni cuma tampak seperti guru yang akrab dan pandai membawa dirinya di hadapan anak-anak (or di hadapan siapapun lawan bicaranya for that matter) Film yang rajin, film yang tahu apa yang sedang ia bikin, tentu akan menciptakan metode Doni dan menampilkannya kepada kita. Jangankan bikin kreasi, film ini kameranya saja enggak cepat tanggap. Ada adegan ketika Marley diberikan makanan gratis oleh orang dan Doni bilang “ayo ucapin terima kasih”. Adegan tersebut dari awal hingga akhir direkam dengan kamera wide dari depan doang. Mereka enggak memperlihatkan reaksi Marley. Mereka gak memberi kita informasi apapun dari karakter yang namanya jadi judul film ini. Sedikit sekali Marley tertampilkan. Film lebih suka memperlihatkan kamera seolah dari pov Marley. Padahal cara seperti itu gak bercerita banyak. Kita tetap gak tau apa yang dirasa oleh Marley. Lebih efektif merekam wajah Marley saat dia melihat orang. Tapi tentu saja itu mengharuskan sutradara benar-benar bisa ngedirect Marley.

marley5fe543db90c691ca5361aa8488f52236
Spoiler penting banget: Plot twist! Marley ternyata cewek!!

 

 

Contoh lain film ini cuma ngemeng tanpa ngasih bukti adalah ketika Doni bilang salah satu muridnya berbakat jadi pelawak gede. Kita gak pernah tuh melihat murid melawak. Sebagai orang yang lucu. Cuma ada satu dialog yang dia ngelucu, tapi penulisannya kayak orang yang berusaha ngelucu sehingga dibawakan pun gak lucu. Yang diberikan waktu lebih banyak justru momen pedekate Doni kepada Vina. Yang hampir semuanya tampak awkward. Tampang Vina entah kenapa selalu kayak lagi tertekan atau lagi melakukan sesuatu yang salah. Dan dialognya pun luar biasa basa-basi. Pernah gak baca komen di Instagram “Ih kamu cantik banget” “Enggak kok, kamu yang cantik” “Cantikan kamu, ih” “Yang ngelike juga semuanya cantik”. Dialog-dialog film ini, terutama pada bagian Doni dan Vina terasa se’forkal’ itu. Tau gak forkal apaan. Formal tapi dangkal. 

Dengan kualitas dialog seperti itu, hanya ada ruang sempit untuk aktor-aktor kita memaksimalkan akting mereka. Doni yang paling mending. Tetangganya juga cukup oke, meski karakternya satu dimensi. Dan memang karakter lain cuma satu dimensi. Untuk ngelucu, ngelucu aja. Untuk galak, galak aja. Khusus penjahat boleh ngelucu sambil galak. Tapi harus bego. Karakter-karakter anak-anak jangan ditanya. Mereka cuma kayak template karakter pendukung anak di film Indonesia. Dijauhkan dari segala emosi manusiawi. Cuma sebatas melafalkan dialog dengan suara yang seanak-anak mungkin. Kualitas penulisan cerita anak film Indonesia kebanyakan masih sebatas ini. Belum banyak yang berani mengembangkan lebih daripada ini. Cuma memang anehnya film ini, tadinya aku mau bilang kalo film ini sugarcoat aja – mengelak dari ngasih yang terlalu dalam untuk anak-anak. Eh, tapi kemudian datanglah ending yang katakanlah tragis. Berani juga film ini mengirim anak-anak pulang dengan cerita kematian. Tapi yang sesungguhnya mati di sini adalah plot, karena dengan ending seperti itu tidak ada lagi karakter yang benar-benar punya perkembangan di sini.

Jadi aku gak ngerti kenapa film memilih ending seperti itu. Akhiran yang merenggut semua orang dari kesempatan melingkarkan arc mereka. Satu-satunya alasan yang terpikirkan olehku adalah film ini ingin beda dari Marley & Me. Film ini pikir mereka akan ngeswerve kita dengan ending yang, katakanlah, kebalikan dari Marley & Me. Ending yang kalo mereka ditanya apakah film ini niruin Marley & Me, maka mereka bisa menjawab dengan sumringah “Enggak dong, endingnya aja beda, tonton aja”.

 

 

 

Untuk nyimpulin perbandingan yang kuangkat di awal; June & Kopi masih pilihan tontonan lebih baik dari film ini (perbandingan ke Marley & Me jangan ditanya!). Film ini sebenarnya manis, persahabatan Doni dan Marley cukup hangat. I want to see more of them doing things together. Aku cukup senang bisa nonton mereka dalam rangka menjelang satu tahun kematian kucingku, Max. Tapi film ini punya bahasan lebih banyak, dan gak mau benar-benar menggalinya. Film cenderung memilih bercerita dengan sangat aman – kalo gak mau dibilang amat malas. Sehingga, jangankan menggigit, film ini bahkan enggak menyalak. 
The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for MARLEY.

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Apakah kalian punya cerita seru/lucu/haru bersama hewan peliharaan kesayangan?

Share  with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

 

 

TURNING RED Review

“No band-aids for the growing pains”

 

 

Pertumbuhan adalah proses yang mengerikan. Secara fisik, tubuh kita akan mengalami perubahan. Hal itu saja sudah mampu untuk menjungkirbalikkan mental, yang akhirnya bisa mengubah seseorang secara total. Ingat anak perempuan periang teman kelompokmu di TK? Well, jangan heran kalo dia gak bakal pernah bicara lagi kepadamu (atau mungkin kepada semua orang) saat remaja nanti. Atau anak cowok yang supersopan dulu, bisa berubah jadi berandal nyaris tak dikenali lagi saat udah di bangku SMP. Insecure dalam bertumbuh remaja adalah pelaku dari semua perubahan itu. Melihat tubuh kita berganti; kok di situ mendadak tumbuh bulu, kok suaraku jadi aneh, kok aku bertambah tinggi (or not, while your friends all towering up) Siapa yang bisa membantu kita melewati semua ini? Teman-teman yang bakal ngeledek? Orangtua yang gak bakal ngerti masalahnya, dan malah bikin tambah memalukan? Setiap orang akan melewati fase bertumbuh yang mengerikan itu, dan itulah sebabnya kenapa film animasi Turning Red debut film-panjang sutradara Domee Shi jadi salah satu tontonan coming-of-age yang benar-benar tepat sasaran.

Bagi penonton cilik yang baru akan mengalami, film ini akan jadi pembimbing. Buat penonton dewasa, film ini bakal jadi nostalgia – serta bisa dijadikan panutan terhadap gaya parenting orangtua. Turning Red ceritanya tentang anak 13 tahun alias anak mulai gede, dengan penekanan pada hubungan antara si anak dengan teman-teman, dan juga dengan ibunya. Jadi anak ini, si Meilin, adalah tipikal anak cerdas yang jago mata pelajaran apapun di sekolah. Tapi dia bukan tipe anak pendiam (salah satu keunikan penulisan film ini), Meilin orangnya rame banget. Bayangkan campuran antara Bart dan Lisa Simpson (film ini actually ngasih nod ke The Simpsons lewat penamaan dua patung rakun di rumah Meilin). Meilin gak populer amat, tapi at least dia punya teman segeng, dan mereka ngelakuin apapun bersama. Termasuk ngestan grup boyband terkenal. Jadi inilah rahasia Meilin. Dia sebenarnya gak hobi banget jadi nomor satu, dia hobinya hang out dan geek out bareng genk. Prestasi Meilin cuma bentuk responsibilitynya kepada ibu. Di luar rumah, Meilin berusaha menjadi dirinya sendiri. Tapi hal tersebut jadi semakin susah, karena Meilin tau-tau berubah wujud menjadi panda merah, setiap kali dirinya excited. Termasuk saat mikirin boyband dan anak-anak cowok! Dan tampaknya hanya ibu yang tahu cara melepaskan Meilin dari ‘kutukan’ tersebut.

Dari tampilan saja film ini langsung terasa keunikannya. Shi menggunakan estetik anime sebagai ruh animasi 3D. Karakter-karakternya digambar dengan gaya anime. Mata yang besar dan (kelewat) ekspresif. Warna-warna yang cheerful. Gaya berceritanya pun mirip style anime. Dengan cut to cut yang cepat sehingga spiritnya kerasa kayak kartun 90an yang biasa kita tonton di tv. Elemen transformasi ajaib Meilin menjadi Panda Merah juga berasa anime banget. Shi bahkan ngerender kota Toronto asli sebagai panggung cerita film ini, kayak yang biasa dilakukan oleh anime yang pakai lokasi beneran. Dari segi cerita dan bahasan, nonton Turning Red ini emang aku ngerasa vibe ala film-film Studio Ghibli. Film ini juga menyelam lebih dalam ke makna di balik perubahan jadi panda merah. Eksposisi dilakukan dengan fantastis, sembari tetap berusaha kental merepresentasikan budaya Asia, khususnya Cina.

redTurning-Red-screencap-Mei-and-friends-r
Salah satu rejected idea untuk judul film ini adalah My Neighbor Toronto

 

 

Itulah kenapa jadi banyak juga orang yang gak suka ama style film ini. Gaya anime memang gak semua orang suka. Apalagi kalangan penonton barat. Mereka punya gaya sendiri untuk kartun atau animasi over-the-top. Dan bagi mereka, kartun-kartun tersebut bukan Pixar. Salah satu penyebab Pixar di atas, karena gaya yang berbeda dari kartun-kartun tersebut. Makanya, begitu ada film Pixar yang tampil dengan style yang berada dalam spektrum over-the-top, banyak yang gak bisa langsung nerima. Dan disalahkanlah karakter-karakter cerita yang menghidupi gaya/style itu.

Karakter-karakter 13 tahun itu – Meilin dan teman-temannya – memang seringkali annoying. They loud, obnoxious, lebay, goal mereka cuma pengen nonton konser boyband. Aku juga jengkel sih. Tapi bukan berarti mereka tidak bisa relate dengan kita. Relate kan gak harus in sense sama-sama ngefans boyband (walaupun film ini toh memang juga menyasar nostalgia demam boyband seperti Backstreet Boys, NSYNC, atau Westlife di awal 2000an). Yang jadi ‘boyband’ku dulu adalah pemain smekdon, gadis sampul, power rangers, dan bahkan hal sesimpel komik dan video game. Itu hal-hal yang aku suka, tapi dilarang banget. Jadi aku main game, baca komik, atau nonton smekdon selalu diam-diam. Aku saat itu bahkan masih ‘closeted’ ngefans gadsam. Melihat Meilin mengejar apa yang ia suka, apa yang menurutnya paling penting saat itu, di belakang ibunya yang melarang, bukan saja membawaku ke masa-masa dulu, tapi sekaligus membuatku jadi peduli kepadanya. Ini ngajarin anak mengenali dan mengejar hobi atau passion atau kegemaran mereka. Ini ngajak anak yang nonton untuk merayakan diri. Soal annoying, kalo dipikir-pikir lebih menjengkelkan sebenarnya anak yang gak punya kesukaan ketimbang yang seperti Meilin ini. Sehingga yang jelas, Meilin ini beresonansi sekali dengan masa-masa umur segitu. Terutama buat kita yang sesama orang asia. Karena, tahulah, ‘lawan’ kita dengan Meilin sama. Asian parent.

Udah hampir jadi meme sekarang, persoalan ‘asian parent’. Orangtua dengan standar tinggi. Orangtua yang menuntut anaknya untuk selalu nomor satu. Ya itu nilai bagus, ataupun disiplin. Orangtua yang seperti alergi melihat anaknya bersenang-senang. Orangtua yang terlalu protektif sehingga gak sadar telah bikin malu anaknya di depan umum. This movie gets that right dengan ibu Meilin. Si ibu ini lebih suka nyalahin orang lain ketimbang benar-benar melihat Meilin sebagai person. Film lebih lanjut menelisik parenting semacam ini dengan tidak membuat masalah terbatas pada Meilin dan ibunya. Melainkan hingga ke neneknya. Turun-temurun perempuan dalam silsilah keluarga Meilin punya masalah dengan kutukan panda merah, yang di sini jadi melambangkan bagaimana parenting seperti itu telah mengakar. Di cerita ini, Meilin kini dihadapkan pada pilihan menyingkirkan panda merah dan meneruskan siklus ibu-anak yang tumbuh nelangsa, atau katakanlah berontak dan embrace ‘my panda, my choice’. Jadi film ini pada kadar tertentu pasti akan relate. Namun aku apresiasi sekali film ini, karena selain relate, juga nunjukin side yang aku gak tahu. Yang boys gak akan pernah takutkan. Yaitu ‘turning red’ itu sendiri.

Pubertas, yang khusus perspektif cewek. PMS-lah yang disimbolkan ke dalam berubah jadi panda merah. Film dengan gamblang menyebut ini saat adegan pertama kali Meilin berubah wujud. Kehebohan growing up yang gak bakal dialami laki-laki (walau sunat bisa jadi counterpart yang imbang). Tapi yang jelas, dengan memasukkan soal itu (again, film ini jadi seperti anime yang memang lebih berani ngetackle persoalan ‘pribadi’ dibanding animasi lain), berarti film ini memang benar-benar kuat di sudut pandang cewek tersebut. Film ini juga jadi ngingetin aku sama Yuni (2021). Meilin di Turning Red ini rasanya kayak versi yang lebih imut-imut dari Yuni, like, Meilin pun hanya punya teman-teman gengnya. Dalam circle gengnya itulah Meilin bisa bebas berekspresi. Bernyanyi bersama adalah cara mereka untuk saling konek. Malahan, Meilin bisa mengendalikan transformasinya bukan karena mengingat ibu, tapi justru karena mengingat persahabatan teman-temannya.  Seingatku, film ini gak ngeresolve hal tersebut. Ibu kayaknya gak pernah tahu Meilin berbohong soal mengingat dirinya. Dan ini mungkin cara film menekankan poin bahwa bagi perempuan memang selalu teman-temanlah yang jadi penawar dari pains of growing.

Seperti kata lagu Alessia Cara, gak ada perban untuk growing pains. Melainkan suka duka bertumbuh dewasa itu ya dijalani saja. Kita akan menjalani itu bareng teman-teman ‘sependeritaan’. Bukan dengan orangtua. Karena bagaimana pun juga, anak dengan orangtua akan berpisah jalan. Anak bisa – dan kemungkinan besar akan – tumbuh berbeda dari yang diinginkan dengan orangtua.

 

redfirst-trailer-for-pixars-turning-red-which-was-clearly-inspired-by-teen-wolf
Satu lagi rejected idea untuk judul film: PMS (Panda Mayhem Syndrome)

 

Bicara soal menjadi diri sendiri – bicara soal identitas, kalo dipikir-pikir, kenapa ya cerita seperti ini selalu gak benar-benar ada di ‘habitat’ aslinya. Identitas Meilin adalah seorang Cina yang terlahir dan besar di Kanada. Film Crazy Rich Asians, The Farewell, hingga Shang-Chi; karakternya selalu putra/i etnis yang lebih kritis dibandingkan dengan generasi older yang lebih tradisional. Apakah memang pandangan itu baru bisa terbentuk dengan adanya benturan dua culture dalam satu individu? Like, karena ada pandangan barat yang lebih memajukan individual, pandangan timur terguncang, dan baratlah yang cenderung ‘jawaban terbaik’. Aku gak tau juga, apakah kalian punya pendapat soal ini? Let all of us know di Komen yaaa

Yang jelas, kalo soal identitas, yang menurutku goyah di film ini adalah soal latar tahunnya. Kita tahu cerita ini bertempat di tahun 2002. Kita lihat ada tamagotchi, ada lagu-lagu yang beneran kayak lagu tahun segitu, Namun overall tingkah anak-anak muda penghuninya, bahasa percakapan mereka, sering kali terdengar kayak kekinian. Phrases yang mereka gunakan tidak benar-benar terdengar nostalgic, dan lebih sering mereka kayak anak jaman sekarang. Mungkin di situlah film menarik garis kerelevanan. Tapinya lagi aku jadi kepikiran kenapa cerita ini harus di tahun 2002, kenapa gak dibikin di masa kini saja. Kuharap alasannya gak hanya sekadar untuk personal nostalgia saja. 

 

 

Orang bisa berubah jadi panda ternyata mampu jadi kemasan cerita coming-of-age yang unik dan menarik. Animasinya looks good, dan banyak elemen yang ngingetin sama anime 90an. Meskipun penyimbolan panda merah yang mengandung banyak arti agak sedikit jadi terlalu sederhana oleh final act, tapi secara keseluruhan film ini berhasil memuat gagasan yang magical dengan cukup baik ke dalamnya. Kadang aku bingung juga, tadinya Panda Merah itu untuk melindungi keluarga dari kejahatan, tapi kemudian berubah jadi soal pubertas, dan lalu jadi kayak superpower yang bisa dibangkitkan kapan saja, tapi konsep yang sedikit kurang kuat tersebut tidak berdampak terlalu banyak ke dalam gagasan yang diangkat. Film ini tetaplah sebuah pengalaman relate yang hangat. Dan ngajarin banyak, terutama soal ibu dengan anak perempuannya yang beranjak dewasa.
The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for TURNING RED.

 

 

 

 

That’s all we have for now

Thanks for reading.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

WEST SIDE STORY Review

“Hate cannot drive out hate; only love can do that”

 

 

Belakangan ini kita memang diberkahi banyak banget film musikal yang keren-keren. Annette (2021) yang menekankan kepada sisi absurd seninya. Tick, Tick…Boom! (2021) yang melekat berkat relate personal ceritanya. Ada begitu banyak pilihan musikal yang bagus, yang mampu membuat aku yang gak fans musik jadi jatuh cinta. Tapi dari semua, West Side Story garapan Steven Spielberg-lah yang paling pas untuk mengenakan mahkota. Karena film ini benar-benar goes for the big! Baik itu performance, musical numbers atau adegan musikalnya, produksi, hingga ke pesan, semuanya spektakuler. Spielberg ngedirect film ini dengan kemegahan yang cuma dia yang bisa. Dan itu berarti luar biasa karena film ini sendirinya sebenarnya adalah sebuah remake dari musikal yang enggak ‘kecil’. Spielberg membuat cerita ini lebih besar dan lebih relevan lagi!

Materi aslinya terinspirasi dari kisah Romeo dan Juliet. Namun alih-alih perseteruan keluarga, kisah cinta Tony dan Maria di West Side Story berada di tengah-tengah seteru dua kelompok etnis pemuda yang berbeda. Manhattan 1957 itu tempat tinggal yang jadi rebutan oleh penduduk imigran yang sudah turun temurun tinggal di sana. Di satu sisi ada kelompok Inggris, dengan geng Jet. Dan di sisi lain ada warga Puerto Rico dengan kelompok Shark. Dua kelompok ini terus saja berantem, cari ribut. Persaingan memenuhi kebutuhan hidup yang layak membuat kedua kelompok saling benci. Tapi tidak Tony dan Maria. Bertemu di pesta dansa (sementara geng masing-masing lagi rebutan lantai dansa), Tony yang mantan anggota Jet dan Maria yang adik dari ketua Shark jatuh cinta pada pandangan pertama. Mereka bermaksud hidup bersama, pergi dari kota dan start fresh. Tentu saja, kedekatan mereka berdua dijadikan alasan baru bagi Jet dan Shark untuk ribut. Dan kali ini benar-benar bakal ada nyawa yang jadi korban.

westsideDF_12072_R12_COMP
Rumbling, rumbling~~

 

Namanya juga musikal, semua permasalahan film ini diceritakan lewat lagu. Set drama di kota dilandaskan lewat adegan musikal di opening. Alasan Jet nyari ribut, juga lewat musikal. Bahkan pas sekuen berantem pun juga ada gerakan-gerakan seperti balet (sebelum akhirnya film ini nunjukin berantem yang cukup violent). Dari nonton West Side Story inilah aku jadi mikir, bahwa keberhasilan sebuah film memang gak pernah sesederhana ‘horor yang penting harus bisa bikin takut’, ‘komedi yang penting harus lucu,’ ataupun ‘romansa yang penting harus bisa bikin baper’. Karena dengan begitu berarti ‘musikal berarti harus bisa bikin ikut nyanyi’. Nah dengan logika itu, sampai kapanpun aku gak akan pernah nemuin musikal yang bagus karena aku yang gak suka musik gak akan pernah nyanyi menonton musikal. Dan kalo aku – kalo kita – menilai film dengan subjektivitas sesederhana fungsi tersebut, ya kitalah yang rugi. Kita gak akan tahu film bagus bahkan kalo film itu tayang di depan hidung kita. Dari musikal segrande West Side Story inilah kita bisa sadar bahwa meskipun kita gak konek dengan liriknya, atau dengan musiknya, atau bahkan dengan bahasanya, sebuah film masih akan tetap bagus dan itu dinilai dari objektivitas teknik film itu dibuat, cerita film itu ditulis, seperti apa gagasannya disampaikan. Bagaimana craft film dalam memuat isi kemudian menampilkannya ke dalam genre masing-masing, di situlah sebenarnya penilaian film bagus atau tidak. 

Dan West Side Story benar-benar dibuat dengan epik. Setiap adegannya, mau itu musikal ataupun pas ngobrol biasa, berwarna oleh detil, penempatan kamera, dan bahkan bloking orang-orangnya saja seperti bermakna. Adegannya tu gak pernah sekadar nari-nari rame-rame di tengah jalan. Saking banyaknya adegan bagus yang benar-benar nonjolin craft dan visi dari si filmmaker, aku bisa bikin listicle khusus di dalam tubuh ulasan ini. ‘Dua-puluh Adegan Terepik dalam West Side Story, Nomor Lima Bakal Bikin Kamu Ikutan Joget!’ Ya, bukan lima, bukan delapan. Dua puluh itu aja kayaknya belum semua deh yang keitung. Kamera dan perhatian Spielberg lewat bercerita visual mengangkat setiap adegan musikal menjadi momen-momen ajaib yang kita rugi kalo sampai ngedip and miss it. Adegan nyanyi di gang gelap, lalu Tony loncat ke kubangan, kamera lantas menyorot dari atas; memperlihatkan pantulan berpuluh-puluh lampu dari jendela lewat riak-riak kubangan tersebut, maaan siapa sih yang bisa kepikiran membuat adegan seperti itu. Shot-shot film ini memang sangat imajinatif, gak ada yang standar. Dua geng saling bertemu di dalam gudang yang gelap; Spielberg mempesona kita dengan menggambar dari bayangan kedua kubu. Lalu ada juga sekuen panjang saat adegan masuk ke ruang dansa. Kameranya kayak melayang gitu aja, nempel di tubuh lalat kali hahaha. Buatku, film seperti beginilah yang menantang – sekaligus menginspirasi. Film, yang saat menontonnya kita langsung penasaran mereka ngerekamnya seperti gimana, kameranya gimana. Kok bisa? 

Akhirnya ya kita yang nonton jadi merasa dapat lebih banyak daripada sekadar lirik atau irama yang catchy. Kita ujung-ujungnya jadi mengapreasiasi musikal itu secara keseluruhan. Aku paling suka adegan nyanyi Amerika, dan adegan nyanyi di dalam ruangan kantor polisi. Selain itu, dengan pengadeganan dan penampilan menawan seperti itu, perhatian kita juga jadi terpusat pada cerita. Hampir seperti kita gak butuh lagi sama dialog. Mungkin ini jugalah yang dimengerti oleh film, sehingga Spielberg tidak menampilkan subtitle untuk dialog-dialog dalam bahasa Spanyol. Spielberg melalukan ini demi respek terhadap karakter dan bahasa itu sendiri, tapi dia toh juga tidak mempersulit atau meminta terlalu banyak kepada penonton. Perhatikan saja adegan-adegan berbahasa Spanyol itu. Selalu hanya keluar dalam adegan yang konteksnya sudah terlandaskan dengan baik. Selalu punya weight ke dalam karakterisasi dan plot itu sendiri. Ketiadaan subtitle ini justru jadi penanda utama bahwa film ini telah demikian baik bercerita lewat visual dan penampilan atau juga musiknya.

Colorfulnya pengadeganan didesain kontras dengan kelamnya cerita. Aku nonton film ini duluan daripada film aslinya, aku gak tau sebelumnya ini ceritanya bakal seperti apa. Dan aku surprise juga saat menyaksikan ujung cerita film ini. Aku gak expect kalo film yang udah dibuat untuk penonton modern ini berani membuat sekelam itu. Mungkin inilah kenapa West Side Story kurang laku (selain karena musikal memang kurang perform untuk penonton kita). Modern audience kan gak bisa dikasih ending yang conflicted. Pengennya yang jelas. Happy, atau sedih. Kalo bisa sih yang happy aja. Gak boleh di antara keduanya. West Side Story berakhir tragis dengan cinta yang terpisah oleh kematian, tapi punya undertone yang optimis ke arah kehidupan yang lebih baik untuk semua orang di kota. This ending will hit alot.  Dan aku senang karena film ini mengambil resiko dengan ending seperti itu. Film ini telah melakukan cukup banyak penyesuaian – ada hal-hal yang dibikin berbeda dengan versi aslinya – tapi untungnya tidak diubah sesuai kesukaan penonton modern. Malah kalo dipikir-pikir, ending versi ini memang lebih menohok.

westside-side-story-trailer-
Si Maria mirip-mirip Susan Sameh gak sih?

 

Seperti pesaingnya di Best Picture Oscar, Coda (2021), film West Side Story juga melakukan remake yang melakukan perubahan positif dalam hal representasi. Spielberg tak lagi menggunakan aktor kulit putih yang dimake-up coklat, melainkan benar-benar menggunakan aktor latin untuk karakter-karakter Puerto Rico. Feels film ini jadi semakin otentik, selain juga respek sama ras yang diangkat. Soal casting ini memang benar-benar dimanfaatkan sebagai isi karakter. Ariana DeBose yang berkulit lebih gelap misalnya, diset untuk memerankan Anita yang nanti terlibat dialog soal kulit itu dengan sesama Puerto Rico, terkait konteks bagaimana prioritas Amerika kepada warganya. Terus, ada karakter yang benar-benar merepresentasikan trans-people, sementara film aslinya tahun 60an belum berani banget menampilkan. Lalu ada juga aktor yang gak sekadar jadi cameo dari film original, tapi diberikan peran yang dramatis terkait dia memerankan peran terdahulu dengan peran sekarang. Tapi yang paling penting soal cast ini adalah, Spielberg benar-benar ngedirect mereka untuk menghasilkan performa yang sama luar biasanya.

Masalah rasis yang jadi akar konflik film ini digambarkan dengan kompleks, dan jadi masalah yang terstruktur karena begitulah pondasi tempat tinggal daerah mereka. Tapi kalo mau disederhanakan, sebenarnya ini adalah masalah hate. Kebencian. Makanya hubungan cinta antara Tony dengan Maria jadi simbol penyelamat mereka semua. Mereka cuma harus bisa melihatnya. Walau kadang cara untuk sadar itu bisa demikian tragis.

Honestly, pas pertama kali nonton aku mikir film ini – terutama karena endingnya – agak problematis. Like, kenapa kulit putih mati jadi seperti savior. Bukankah, aku sempat mikir, lebih cocok dengan penonton modern kalo dibikin yang jadi ‘penyelamat’ itu adalah karakter cewek. Setelah dipikir-pikir, dikaitkan dengan arc Tony dan Maria, the whole ending ternyata memang harus terjadi seperti yang film ini lakukan. Tidak ada jalan lain yang lebih powerful.

 

Tony yang diperankan oleh Ansel Esgort di versi ini diberikan journey yang lebih dramatis. Backstorynya – mengapa dia keluar dari Jet, kenapa dia bisa punya hubungan baik dengan pemilik toko yang orang latin – benar-benar melandaskan arc penebusan diri. Benar-benar memperlihatkan Tony mencoba menjadi pribadi yang lebih baik, tapi tidak segampang itu berkat kuatnya pengaruh seteru dan hate tadi di kota. Arc si Tony baru akan melingkar sempurna dengan ending film ini, karena itulah penebusan dirinya yang sebenarnya. Bukan dengan pergi menumbuhkan cinta di tempat lain. Kota ini juga harus diresolve masalahnya. See, di sinilah letak kekuatan naskah West Side Story. Kota mereka juga jadi karakter tersendiri. Yang bakal ngalamin pembelajaran, melalui nasib dua karakter sentral. Maria, diperankan oleh Rachel Zegler dengan memukau meski ini adalah film pertamanya, punya arc tentang innocence lost. Maria adalah simbol atau perwujudan dari value positif; polos, penuh mimpi, optimis. Karakter Maria ini jadi makin penting saat ending itu, karena lewat dialah karakter-karakter di kota melihat apa yang telah mereka lakukan terhadap kota yang harusnya adalah tempat penuh harapan dan mimpi.

 

 

 

Ah, film yang indah. Baik itu pesannya, experience menontonnya, serta penampilan akting dan musikalnya (yang btw, bener-bener dinyanyikan oleh pemainnya). Dunianya terasa hidup, setiap adegan pantas banget untuk kita pelototin. Setiap scene terasa epik dan spektakuler. Everything about this movie feels grande. Aku harus menahan diri nulisnya, karena kalo gak, bakal panjang banget. Karena semuanya bisa dibahas mendalam. Semuanya punya makna. I’m okay film ini yang dipilih Oscar untuk mewakili genre musikal dibandingkan film yang lain. Bukan hanya karena nama Steven Spielberg. Pak sutradara berhasil membuktikan nama besanya bukan sekadar legenda. Tapi juga karena film ini terasa urgen meskipun dia adalah remake. Aku senang karena actually di line up Best Picture Oscar tahun ini, ada dua film remake yang tampil demikian kuat melebihi film original mereka.
The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold stars for WEST SIDE STORY.

 

 

 

That’s all we have for now

Sayang sekali film ini flop di bioskop kita. Menurut kalian kenapa film musikal enggak perform dengan baik bagi penonton Indonesia?

Share pendapat kalian di comments yaa

 

 

Thanks for reading.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

FRESH Review

“(Online) dating is nothing more than a meat market”

 

 

Online dating (kencan online) dapat jadi sangat manis dengan segala emotional connection yang terjalin, bahkan sebelum bertemu langsung dengan si pacar. Bayangkan bisa merasa demikian dekat lewat kesamaan interest, hobi, selera. Tapi online dating juga tak jarang berakhir sebagai kekecewaan yang membawa bencana – begitu ketemu beneran dengan pasangan yang katanya sekian persen cocok tersebut. Karena namanya juga online. Orang bisa beda banget antara di dunia nyata dengan yang ia tampilkan di dunia maya. Bisa jadi orangnya ternyata jorok, toxic, ‘cakep di foto doang’, atau minta split bill melulu alias pelit. Horor komedi debutan sutradara Mimi Cave mengangkat fenomena susahnya dapat jodoh lewat online sampai-sampai membuat orang jadi desperate, dan akhirnya jatuh ke dalam sesuatu yang lebih berbahaya daripada kiriman gambar nude tak diinginkan. Jebakan stranger danger.

Sebenarnya memang sudah cukup lama aplikasi dating online seperti Tinder, Grindr, dan lain sebagainya disebut orang seperti pasar daging. Perilaku memilih pasangan dengan swipe kanan, swipe kiri seperti sedang belanja produk. It make us feels like a product. Film Fresh kemudian menarik kesamaan tersebut dengan literally masukin soal perdagangan daging manusia sebagai lapisan kisah perempuan yang mencari asmara.

 

Noa (Daisy Edgar-Jones jadi protagonis yang cukup unik di dalam genrenya) udah capek cari cowok di aplikasi. Udah susah payah nyari di antara sekian banyak mata keranjang, eh yang dia dapatkan modelnya gak jauh-jauh dari cowok ignorant yang super self-centered nan egois. Jadi, Noa udah no-ah lah main online-onlinean. Dan memang akhirnya Noa merasakan magicnya jatuh cinta lewat cara yang ‘tradisional’. Dia ditegur sama cowok yang simpatik di swayalan, Noa tertarik. Dan yah, Noa merasa cocok sama Steve (Sebastian Stan dalam full-charming mode). Jadianlah mereka. Hanya sahabat Noa yang ngerasa ada red flag pada Steve yang cukup misterius – karena mana ada sih orang yang gak punya sosmed hari gini. Kecurigaan si sahabat terbukti saat Noa pergi liburan bersama Steve ke suatu tempat. Dan sejak saat itu, kabar Noa tak terdengar lagi.

fresh-trailer-e1644943774263
Steve memang gak mau split bill, dia maunya split your body apart!!

 

Soal cari-pacar memang sudah sering jadi latar untuk cerita horor, terutama serem-serem di ranah penculikan dan penyiksaan. Like, serial killer sudah lama menjebak perempuan-perempuan, bahkan di dunia kita. Film Fresh ini berusaha ngasih sesuatu yang segar untuk latar tersebut. Satu hal yang berhasil dilakukan film ini untuk tampil berbeda itu adalah cara membangun narasinya. Dalam film ini ada dialog kagumnya Noa sama Steve yang memang gentle, berbeda dari cowok lain yang ia kenal sebelumnya. Saat mereka ciuman, justru Steve yang merasa gak enak karena mereka belum saling kenal betul. “We do this too fast”, kata Steve, yang lantas bikin Noa heran – belum pernah ia mendengar cowok yang bilang hubungan berjalan terlalu cepat sebelumnya. Nah, aku kagum seperti itu juga saat menonton Fresh ini. Jarang-jarang aku melihat film horor bunuh-bunuhan yang gak mau berjalan terlalu cepat sebelumnya. Biasanya cerita bunuh-bunuhan pengen dengan segera memperlihatkan adegan berdarah, mempertontonkan karakter psikopat. Gak mau berlama-lama menceritakan karakter karena takut penonton bakal bosan.

Film ini took time to fleshed out (lol no pun intended) relasi Noa dengan Steve. Gak langsung bunuh-bunuhan. Kita dibuat mengerti dulu kenapa Noa bisa mau-mau aja ama Steve, kenapa Noa gak melihat ‘red flag’ seperti kata sahabatnya. Alasan kenapa selama ini dia yang cakep itu terus menjomblo juga dipaparkan. Chemistry antara Daisy dan Sebastian turut mempermudah kita percaya bahwa Noa telah bertemu orang yang tepat. Bisa dibilang, kita ikut tertipu oleh Steve. Atau setidaknya, dengan melimpahkan waktu untuk karakter tersebut, kita jadi bisa melihat seolah deep inside ada perasaan juga di dalam Steve kepada Noa. Perasaan yang nanti bakal dimainkan ke dalam sekuen-sekuen Noa berusaha keluar dari kurungan Steve. Horornya film ini baru keluar tiga-puluh menit into the movie, barengan ama kredit judul, yang turut membuat film ini unik meskipun cuma dalam hal gaya.

Ingat ketika film ini berangkat dari buruknya arah modern dating online berkembang yang membuat film ini unik? Well, permasalahan ‘modern’ itu dengan cepat jadi non-existent karena hubungan Noa dan Steve justru terjalin secara tradisional. Bertemu di dunia nyata, menjalin hubungan yang sangat ragawi alih-alih menonjolkan koneksi emosional. Bukannya Noa dan Steve gak punya hubungan emosional, tapi karena nanti diungkap Steve adalah kanibal yang kerjaannya ngejual daging perempuan yang ia culik, potong, dan olah sendiri, soal dia aslinya beneran cinta atau enggak jadi gak relevan lagi karena perkembangan karakter Steve sampai di pengungkapan tersebut. Steve beneran stop jadi karakter. Dia cuma jadi obstacle, sekaligus bercelah supaya progatonis perempuan bisa ada kesempatan kabur. Jadi film ini gak berhasil mempertahankan keunikan jualannya, yakni soal modern dating apps. Padahal bisa saja mereka membuat Noa sebenarnya sudah diincar oleh Steve lewat akun-akun palsu di apps itu sedari awal. Dengan begitu kan tema dating onlinenya masih bisa ikut kebawa, dan yang paling penting Noa dan Steve jadi gak ketemu lewat kebetulan kayak cerita ftv remaja.

Yang dipertahankan oleh Fresh, sayangnya, adalah ‘penyakit’ tidak menggali apa yang diangkat. Film ini sebenarnya punya banyak bahasan loh. Selain modern dating dan karakter Steve tadi, juga ada elemen yang mengarah ke Stockholm Syndrome; ada bahasan keluarga si Steve. Ada jaringan pembeli daging manusia – you know, pria-pria kaya yang sinting. Semua itu ada jadi sebagai bahan ‘masakan’ cerita, sebagai pembentuk dunia cerita, tapi gak diolah. Gak dibahas. Bahkan tema utama soal feminism-nya pun dibiarkan tak tergali. Karakter film ini gak punya perkembangan. Cewek-cewek yang juga jadi korban Steve, mereka hanya ada di sana kayak gak ada kehidupan, yang punya kehidupan cuma Noa. Bahkan sahabat Noa dibiarkan eksis di sana gitu aja. Semuanya tentang Noa si karakter utama, yang gak dikasih konflik apa-apa selain cuma ngerasa telah tertipu. Development dia ya cuma ditipu cowok. Gak ada hint soal setelah semuanya dia punya pandangan gimana terhadap pacaran, terhadap cowok. Atau apa kek. Semua yang ada di dunia Fresh ini ya just out to get women like her. Cowok kalo gak psikopat, ya kanibal, atau pengecut, atau egois. Bahkan cewek lain bisa juga jahat sama dia. Film ini gak punya pandangan atau pendapat sendiri selain template agenda cewek feminis.

Nonton film ini terasa seperti nonton film modern agenda-ish kebanyakan. Yang seolah tersusun oleh tema atau agenda yang ingin disampaikan duluan, lalu baru bikin cerita yang menyambungkan agenda-agenda tersebut. Oh, kita harus masukin cewek harus mandiri, atau all men are trash, atau ustadz bisa kalah melawan setan, atau semacamnya. Setelah itu baru kita apain nih adegannya biar menggambarkan itu. Tidak lagi seperti film yang semestinya; yakni film yang adegan-adegannya benar-benar berkembang dari perspektif karakter yang dibuat menghidupi ruh cerita. Makanya film ini gak ada perkembangan karakter. Karena mereka cuma dibuat untuk melakoni tema. Tidak seperti manusia yang beneran hidup dan mengambil keputusan dan belajar lewat kesalahan. Berbeda dengan film yang beneran bercerita, film-film model Fresh ini karakter utamanya akan dibuat selalu benar. Enggak boleh ada cela. Notice gak, Noa bisa keluar dengan selamat relatif tanpa luka selain luka hasil berantem di final battle dengan Steve – yang dipotong Steve darinya selama dikurung cuma bagian pantat yang basically kita gak lihat boroknya. Karena begitulah karakter film agenda didesain. Gak boleh ada borok. 

fresh-daisy-edgar-jones-Cropped
Mau paha atau dada?

 

Padahal horor justru biasanya bakal membuat karakter utama babak belur habis-habisan sebagai simbol perjuangan. Berdarah-darah, luka-luka. Beberapa merangkak saking beratnya perjuangan. Semua itu sebagai simbol transformasi menjadi pribadi yang lebih baik deep inside. Nah inilah yang jadi last nail in the coffin untuk film ini bagiku. Sebagai horor dia juga gagal.

Enggak ada tensi. Ini film dengan adegan kanibal. Melibatkan banyak adegan (on maupun off screen) perempuan yang dipotong anggota tubuhnya. Tapi gak sekalipun terasa disturbing. Semuanya bersih dan gaya. Sok disturbing doang. Adegan makan daging manusia yang disajikan dengan mewah cuma tinggal eat-and-spit it out later. Enggak ada rintangan, gak ada build up suspens. Padahal itu konteksnya si Noa berpura-pura ‘setuju’ dengan kerjaan Steve. Dialog ironi menanyakan “Ini bukan daging gue, kan?” hanya dimainkan untuk ironi yang ngarah ke komedi. Arahan ke horornya kurang kuat. Banyak adegan meja makan yang lebih powerful, banyak adegan makan yang lebih disturbing muncul dalam film-film yang bahkan bukan horor kanibal. Like, adegan nyiapin makanan di serial Servant aja bisa lebih ngasih uneasy feelings ketimbang adegan masak daging-manusia di film ini. Fresh ini cuma punya visual cakep. Potongan anggota tubuh berbungkus plastik di freezer. Daging yang dimasak. Shot orang ngunyah. Tapi feelingnya gak berhasil dikeluarkan oleh sutradara. Aku lebih merinding nonton ibu-ibu makan di Swallow (2020) atau adegan di Raw (2017)

 

 

 

 

Sudah begitu lama kita terpapar horor-horor mainstream yang cuma punya jumpscare, sehingga begitu ada yang beda, kita langsung bilang fresh. Kita jadi kurang kritis. Ini persis kayak kelakuan saat main dating apps. Ngeliat ada cakep dikit, kita berhenti swipe, dan just try our luck. Kelakuan seperti itulah yang bikin dating online udah jadi kayak pasar daging. Aku sih harapnya jangan sampai film horor juga jadi kayak begitu. Mentang-mentang ada yang beda dikit, langsung kita bilang bagus. Film ini sendiri, memang punya tema positif, looksnya beda, tapi penceritaannya datar, horornya datar, komedinya datar, naskahnya datar, main aman dengan temanya. Keunikannya langsung jadi hilang karena bermain sebagai template agenda. This isn’t fresh. Dengan begitu banyak pemanis agenda, film ini cuma kayak makanan kalengan buatku.
The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for FRESH.

 

 

 

That’s all we have for now

Apakah kalian punya pengalaman seram seputar dating online?

Share in the comments yaa

 

 

Thanks for reading.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 
 

THE BATMAN Review

“Vengeance is not the point; change is.”

 

Perdebatan ‘superhero dark atau harus colorful’ antarkubu fans bakal makin sengit dengan tayangnya film Batman terbaru ini. Pasalnya, si Batman itu sendiri memang sudah punya begitu banyak versi, mulai dari yang ringan, yang extremely comical, yang aneh, hingga yang ‘so serious‘. Jadi Batman benar-benar cocok mewakili perdebatan tersebut. Salah satu penyebab kenapa Batman jadi salah satu tokoh pahlawan super paling populer dan ikonik sehingga terus dibuatkan cerita ini adalah karena dia easily salah satu yang paling grounded. Dia gak punya kekuatan super. ‘Cuma’ punya jubah hitam dan alat-alat mahal. Makanya Batman ini fleksibel, bisa dibuat either way. Dan bagus atau enggaknya memang tergantung dari bagaimana pembuat meracik itu semua. Nah, The Batman garapan Matt Reeves ternyata berhasil nyetak begitu banyak skor dengan hadir sebagai kisah yang superkelam, dengan tetap memegang kuat ruh sebagai epik kesuperheroan. Film ini udah kayak cerita detektif dengan misteri kasus yang rumit, dengan penekanan yang kuat kepada sisi personal sang karakter, tapi di saat bersamaan juga menunjukkan perjuangan dalam menyelamatkan kota dan banyak orang. Jadi dengan kata lain, The Batman ini sukses hadir dengan memberikan warnanya tersendiri.

Jika dalam menjadi superhero itu kita anggap sama seperti pertumbuhan orang menjadi dewasa, maka film ini bisa dibilang adalah cerita coming-of-age Bruce Wayne sebagai seorang pahlawan. Diceritakan, dia baru dua tahun jadi Batman. Dia masih dalam proses ‘mencari jati diri’, pahlawan seperti apa dia untuk Gotham. Opening film ini bahkan dimulai dari Bruce yang menarasikan diarinya. Bruce percaya dia adalah pahlawan vengeance. Setiap malam, begitu sinyal lampu menyala, dia keluar. Menakuti para kriminal di jalanan dengan auranya. Dan menjatuhkan pukulan-pukulan balas dendam itu kepada mereka semua. Bagi Bruce, setiap kriminal di kota adalah orang yang telah membunuh orangtuanya. Bruce jadi pahlawan atas dasar ini; balas dendam demi meneruskan legacy kebaikan orangtuanya. Batman memang jadi ditakuti, oleh kriminal dan juga oleh orang-orang yang ia tolong. Polisi-polisi pun gak respek sama dia. Kecuali Gordon, yang membawanya ikut memecahkan kasus dan jadi kayak partner bagi Batman. Ketika mereka berhadapan dengan rangkaian kasus pembunuhan orang-orang penting di Gotham, eksistensi superhero Batman ditantang. Puzzle demi puzzle dari Riddler yang ia pecahkan membawanya pada rahasia kelam menyangkut kota, hingga warisan sebenarnya dari orangtuanya.

batman1d9b29573ce687ddd08151eb85c91af2ce5c563-16x9-x0y250w7684h4322
Teka-Teki Tikus

 

Kita gak bisa misahin Batman dari Gotham, karena kota tersebut akan selalu jadi bagian dari karakter Batman. Pak sutradara benar-benar mengerti akan hal ini. Maka kota Gotham tersebut juga ia hidupkan sebagai karakter. Bukan hanya lewat tampilan dan sudut-sudut pengambilan kamera – yang mana dilakukan dengan menakjubkan, seram rasanya berada di malam hari di tengah kota Gotham modern yang kelam dan sering hujan, tapi juga jadi bagian penting di dalam narasi. Rangkaian kasus yang ditangain Batman dirancang untuk membawa karakter ini menyelam ke dalam jaring-jaring politik gelap yang praktisnya menggerakkan kota Gotham. Dari mafia seperti Penguin (aku masih gak percaya kalo itu adalah Colin Farrel!!) hingga ke wali kota, dari klub rahasia hingga ke kantor polisi, korupsi itu udah kayak turun temurun di Gotham. Inilah yang bikin The Batman terasa begitu immersive. Dunianya benar-benar hidup. Kita merasakan setiap karakter yang tampil punya kepentingan berada di sana. Bukan sekadar seperti kepingan puzzle. Batman gak akan ngumpulin mereka di ruangan, dan memaparkan jawaban teka-teki dan menunjuk ke satu orang ‘kaulah pelakunya!’ Penjahat film ini bicara tentang membuka kedok kota, dan misteri pembunuhan dalam film ini sendirinya adalah ‘kedok’ untuk banyak lagi lapisan yang menyusun narasi film ini.

Enggak sekalipun aku merasa film ini kayak produk-yang-lain dari suatu jagat universe. The Batman terasa seperti cerita sendiri, bukan hanya di franchise Batman, tapi juga di cinematic universe keseluruhan. Inilah kekuatan sutradara yang gak kutemukan dalam film-film superhero modern yang kebanyakan kayak template. Tentu ada sejumlah callbacks ke film-film Batman terdahulu yang bisa ditemukan oleh superfans, tapi di film ini setiap aksi, setiap shot, terasa spesial dan ekslusif untuk cerita ini. Reeves benar-benar mengarahkan semuanya dengan visi. Dengan teramat sangat dramatis, pula. Dia bisa menguatkan kesan kelam dan brutal walaupun harus bergulat dengan rating 13+, yang berarti dia berhasil menggunakan ‘restriksi’ tersebut untuk keuntungan penceritaannya. Selalu ada cara efektif yang ia temukan untuk menyamarkan aksi-aksi sadis. Fokus blur, permainan kamera, atau bahkan membiarkannya terjadi off-screen (hampir semua adegan pembunuhan sadis oleh Riddler dilakukan di luar kamera), film menyerahkannya kepada imajinasi penonton. Dan memang lebih efektif dilakukan seperti begitu.

Off-screen bukan berarti film ini takut dan luput merekam emosi. Misalnya saat Batman kalap nonjokin wajah penjahat. Hasil gebukannya memang gak diliatin, tapi ‘prosesnya’ direkam dengan steady. Kamera diam aja memperlihatkan emosinya si Batman. Beberapa aksi berantem yang lebih fluid pun juga dilakukan tanpa goyang berlebihan. Batman dengan Catwoman (Zoe Kravitz level coolnessnya tinggi yaw), misalnya, aku justru lebih ngerasain ‘tensi’ di antara mereka saat lagi berantem ketimbang ngobrol. Adegan aksi paling dahsyat yang dipunya film ini adalah saat kejar-kejaran mobil bersama Penguin. Reeves juga sukses bikin Batmobile jadi kayak karakter sendiri – seperti makhluk buas yang mengintai dari balik kegelapan dan menerkam. Dan di akhir balap maut itu ada shot yang sangat keren dan memorable dari sudut pandang si Penguin. Ngomong-ngomong soal itu, film ini memang beberapa kali menggunakan pov shot dari berbagai karakter. Yang semuanya selalu berhasil menguatkan perspektif, karena didukung dengan visual maupun suara. Napas berdegup si Riddler, reaksi paniknya Penguin, ataupun hanya bunyi-bunyi derap kaki Batman dari dalam kegelapan pekat yang dilihat oleh kriminal yang ketakutan. Momen-momen itu menghiasi film sehingga mustahil ngantuk dan bosen menyaksikannya walau durasi memang panjang dan melelahkan.

Perspektif merupakan kata kunci di sini. Pandangan Batman mengenai memberantas kejahatan dibenturkan dengan pandangan maniak si Riddler terhadap keadilan jadi pusat yang menggerakkan cerita. Dan yah, tibalah saatnya menilai penampilan Robert Pattinson sebagai Batman dan Bruce Wayne. Kayaknya cuma dia yang meranin Batman dan Bruce sebagai orang yang sama – I mean, gak kayak Batman-Batman lain yang selalu ada beda sedikit dengan versi Bruce mereka. Maksudku di sini bukan Rob bermain jelek, kesamaan tersebut memang jadi konteks karakter Batman/Bruce yang ia perankan. Karena di titik ini Bruce gak pedulikan soal menyamarkan diri. Bruce di film ini justru pengen dirinya itu Batman ‘selamanya’. Dia lebih nyaman menjadi Bruce yang mengenakan topeng, dia merasa kuat dan lebih pegang kendali. Di film ini memang porsi Robert lebih banyak bermain sebagai Batman. Sedikit sekali saat dia jadi Bruce, dan di momen-momen sebagai Bruce, karakternya lebih banyak diam. Hanya menatap orang-orang. Malah ada satu adegan yang memperlihatkan Bruce dengan riasan mata yang luntur abis pake topeng, sehingga dia kayak sedih dan kuyu banget. Ekspresi Rob lebih kuat saat Bruce menjadi Batman. Segala mannerism – cara dia berjalan, dia memandang, hingga pandangan matanya berkata lebih banyak tentang Bruce sebagai Batman itu kepada kita.

batmandownload
Batman Rob punya sparkle… not in literal way

 

Revenge is an act of passion. Makanya aksi balas dendam bukanlah inti dari perjuangan kita menuntut keadilan. Harusnya inti dari perjuangan tersebut adalah perubahan apa yang kita timbulkan. Balas dendam gak akan mengubah banyak hal. Inilah yang harus dipelajari oleh Batman, yang masih terus galau dan dihantui keinginan membalaskan dendam orangtuanya kepada kriminal-kriminal di kota.

 

Aku benar-benar suka ama grounded film ini membuat ceritanya jadi semacam kasus misteri. Batman udah jadi kayak detektif, like he should be in the first place. Dia menggunakan kecerdasan, dan juga teamwork. Entah itu dengan Alfred, dengan Catwoman, ataupun dengan Gordon. Riddler yang over-the-topnya udah kuat merekat berkat penampilan Jim Carrey, di film ini juga jadi sangat grounded diperankan oleh Paul Dano. Riddler di sini jadi seperti serial killer yang mungkin bisa terjadi di dunia nyata kita. Seru aja ngeliat adegan-adegan memecahkan petunjuk dan teka-teki, meski Batman yang pintar itu agak jarang ngajak-ngajak. Dia sekali lihat bisa langsung tahu jawabannya. Tapi at least, dia ngeshare jawaban dan alasan kenapa itu jawabannya kepada kita. Dan mostly, teka-teki si Riddler adalah permainan kata yang lucu. Seperti soal ‘thumbnail drive’ ataupun ketika dia nanya ‘kalo seorang pembohong meninggal, dia ngapain?’ Jawabannya bikin aku ketawa, karena ‘He lie still’ berarti dua; dia tetap berbohong atau dia diam tak-bergerak. Lucu-lucu kecil seperti demikian jadi sangat diapresiasi karena The Batman ini memang gak pake dialog-dialog one-liner konyol. Satu lagi yang bikin cekikik ringan adalah Penguin yang karena tangan dan kakinya diikat, jadi berjalan kayak burung penguin beneran hihihi

Untuk mengembalikan fitrah film ini sebagai superhero (dan bukan film detektif) – juga karena pada titik itu karakter Batman yang semakin galau belum mendapat pembelajaran – maka setelah sekuen false resolution, Reeves menuliskan konflik menyelamatkan kota dari bencana besar ke dalam naskahnya. Batman harus menyelamatkan banyak penduduk, menyetop final wave of bad guy, untuk membuktikan dia bukan pribadi yang sama dengan dia di awal cerita. Bahwa pandangannya sudah sedikit berubah, dan bagaimana pengaruh perubahan tersebut kepada masyarakat; kepada kota. The Batman sah saja dikeluhkan kepanjangan, namun film ini masih tetap memperhatikan penulisan. Pembabakan dilakukan dengan clear di akhir. Dan perlu aku tekankan, sedikit lebih clear dibandingkan saat awal-awal babak kedua. Masalah yang tersisa adalah soal si Riddler yang rencananya semakin tidak grounded dan terlihat enggak lagi sesuai dengan bagaimana dia memperlakukan rencananya di awal.

 

 

Superhero detektif yang personal, sekaligus penuh aksi-aksi seru, dengan banyak karakter dan penampilan akting yang asik di baliknya. Kegelapan di sini bukan lagi soal cara bercerita, melainkan jadi karakter tersendiri. Kekuatan film ini memang pada karakter tersebut. Mampu menghidupkan lewat perspektif maupun visual. Bahkan suara. Aku gak memperhatikan musik, tapi desain suara film ini yang memang gak banyak dialog melainkan lebih detail menghidupkan suasana lewat suara, sungguhlah bikin kita terbawa suasana. Teka-tekinya fun. Jembatan antara cerita detektif dengan cerita superheronya memang kurang mulus, tapi banyaknya pencapaian storytelling dan teknis lain yang bisa dinikmati could easily outweighed kekurangan kecil itu. Aku yakin the only way film ini flop adalah kalo orang-orang pengen banget ngeliat Robert Pattinson memenuhi janjinya dan main film xxx.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for THE BATMAN.

 

 

 

 

That’s all we have for now

Bagaimana film superhero yang ideal menurutmu?

Share pendapat kalian in the comments yaa

 

 

 

Thanks for reading.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

BELFAST Review

“To leave home is to break your own heart.”

 

Pembahasan Best Picture kita berikutnya adalah film Belfast. Ditulis dan disutradarai oleh Kenneth Branagh, sebagai sebuah semi-otobiografi. Branagh di sini bercerita dari pengalaman masa kecilnya sendiri di kampung halaman, Belfast di Utara Irlandia, tercinta. Melihat sembilan nominasi yang lain, Belfast memang yang paling ‘berbeda’. Satu-satunya yang hitam-putih, satu-satunya yang karakter utama anak kecil, dan satu-satunya yang bercerita di bawah seratus menit. Tapi ini bukan berarti lantas Belfast jadi anak-bawang. Malah bisa jadi ini justru kuda hitam(-putih). Sebab menonton Belfast rasanya sarat sekali. Sudut pandang anak-anak tersebut ternyata mampu membuat ceritanya kaya dan penuh oleh perasaan, tanpa jadi overly-ribet.

Basically ini adalah cerita tentang anak kecil yang gak mau pindah dari kota kelahirannya.Buddy (newcomer Jude Hill menghidupkan karakter refleksi masa kecil pak sutradara), dalam opening film, sedang bermain-main di daerah dekat rumah. Sungguh kawasan yang akrab. Semua orang di sana saling kenal, saling menyapa. Buddy main ksatria-ksatriaan, melawan naga dengan pedang kayu dan penangkis dari tutup tempat-sampah. Tapi mendadak daerah tersebut rusuh. Imajinasi berantem-beranteman Buddy seketika berganti jadi kericuhan yang nyata. Buddy ada di tengah-tengah kawanan pemuda Protestan menghancurleburkan properti, menyasar komunitas Katolik yang di tinggal di situ. Penangkis mainan Buddy kini benar-benar jadi pelindung dari lemparan batu-batu besar. Buddy yang masih kecil, gak sepenuhnya mengerti apa yang terjadi. Tidak benar-benar paham hubungan kejadian tersebut dengan tempat tinggalnya, dengan orangtuanya.  Buddy cuma tahu satu. Dia gak mau pindah dari sana, karena di Belfast itulah ada kakek neneknya, ada teman-temannya, ada anak-perempuan yang ia sukai. Di Belfast itulah hidup dan hatinya.

belfast063-4184-BW-D012-00132
Aku bukan anak bawang!

 

Kenapa harus pindah itulah yang sebenarnya pelik. Film ini memotret cekcok dalam sejarah. Konflik antarpemuda dua agama, yang juga berkaitan dengan politik, yang actually berlangsung tigapuluh tahun lamanya. Dari film ini kita jadi tahu soal The Troubles itu, dan juga bahwa ternyata detektif Hercule Poirot era kita berasal dari Belfast dan menjadi salah satu dari sekian banyak penduduk sana yang terkena dampak harus bermigrasi mencari keselamatan. Jadi meskipun cerita ini sebenarnya sangat personal bagi Branagh, tapi Belfast punya muatan yang membuatnya tak sekadar sebuah memori masa kecil dan surat cinta untuk kota kelahiran. Tidak seperti Licorice Pizza (2022) yang just trip to memory lane, film ini punya konflik di dalamnya yang ternyata masih beresonansi kuat, masih relevan, dengan keadaan sekarang. Saat konflik-konflik keagamaan, konflik kependudukan masih terjadi. Kita mungkin sampai saat ini masih beruntung belum ngerti rasanya harus ninggalin rumah yang nyaman karena sekarang rumah tersebut berada dalam lingkaran target huru-hara, atau malah perang seperti Rusia-Ukraina. Kita bisa bersimpati pada rasa takut dan kesedihan dari naasnya, tapi tidak heartbreak yang lebih personal. Dan Belfast hadir dalam level yang lebih personal tersebut. Karena memang Branagh tidak membuat Belfast fantastis, ataupun overdramatis dengan gambaran tragedi. Melainkan tetap dalam ‘pandangan’ mata anak kecil yang belum bisa mencerna semuanya dengan benar. Branagh menekankan kepada komunitas atau kehidupan daerah tersebut

Daerah yang penduduknya constantly ribut memang sedikit ngingetin sama West Side Story (2022), tapi sebenarnya buatku, nonton film ini ada kesan yang mirip ama nonton Jojo Rabbit (2020). Karena elemen konflik dilihat dari sudut pandang anak tersebut. Di Belfast, si protagonis anak malah lebih ‘inosen’ lagi. Bagi Buddy masalah itu adalah bagaimana supaya nilai matematika bagus sehingga dia dipindah duduk ke barisan depan, sebelahan sama anak cewek berkepang dua yang manis itu. Bagaimana supaya kakeknya bisa sehat. Dan bagaimana supaya dia bisa ikut nenek nonton film di teater. Buddy aware ada kericuhan, ada orang yang terus nanyain ayahnya yang kerja di Inggris. Jika ayah pulang, Buddy sering juga menguping ayah bertengkar dengan ibu soal tinggal di tempat lain. Tapi semua masalah itu hanyalah ‘warna’ lain dalam kehidupan Buddy. Film fokus memperlihatkan komunitas yang akrab, mulai dari kebiasaan hidup orang-orangnya, hingga tentu saja ke bagaimana Buddy mengarungi hidupnya. Jadi nonton ini, rasanya seperti kita jadi turut jatuh cinta sama tempat tersebut, yang ultimately berarti kita peduli sama Buddy. Ada dramatic irony juga yang kita rasakan karena kita tahu ke mana cerita ini berujung. Dan kita benar-benar concern tentang bagaimana Buddy menangani akhir cerita nanti. Kita hanya bisa berharap cinta yang terus tumbuh seiring berjalannya hari itu gak berakhir menjadi patah-hati yang demikian besar.

Kehidupan sehar-hari jadi fokus, sehingga film ini berjalan agak seperti ngalor-ngidul. Seperti ‘kelemahan’ yang biasa terasa dalam cerita-cerita slice of life. Sudut pandang tersebut dibuat Branagh semakin menarik lagi dengan menggunakan charm komedi ala british sebagai warna lain dalam narasi. Again, membuatku semakin mendekatkan film ini sama Jojo Rabbit. Namun dalam komedi pun, Belfast tidak pernah menjadi sebombastis itu. Tone tetap dijaga sederhana oleh Branagh. Kesannya film ini jadi serius tapi santai. Kejenakaan sebagian besar datang dari tindakan Buddy, seperti misalnya ketika dia ikut menjarah toko, tapi yang diambilnya cuma ‘satu benda itu’. Naskah pun lantas meluncurkan nasihat-nasihat, petuah-petuah lewat karakter yang menyingkapi tindakan Buddy. Salah satu relationship paling hangat dan menghidupkan cerita adalah antara Buddy dengan kakeknya. Dialognya dapat terdengar agak wordy, tapi seperti Buddy kita ikut duduk di sana mendengarkan dan membayangkan setiap kata yang terucap.

Pindah memang bukan hal sepele. Entah itu untuk mencari kesempatan yang lebih baik, atau untuk mendapatkan keamanan, pindah berarti akan ada yang berubah di dalam hidup. Akan ada yang ditinggalkan. Akan ada hal baru yang harus diterima dan disesuaikan. Orang dewasa saja banyak yang gak siap dengan kepindahan. Apalagi anak kecil seperti Buddy. Film ini menelisik efek kepindahan tersebut, mampu mengubah jalan hidup banyak orang, despite kepindahan tersebut diperlukan atau tidak.

 

Dengan banyak ‘warna’ dalam penceritaan, maka penggunaan warna hitam putih untuk tampilan film jadi kontras yang membuat kita ‘hmmm, berarti ada maknanya..’ Hitam putih di sini jadi gak pretentious kayak film C’mon C’mon (yang juga ada karakter anak kecilnya) yang sampai sekarang aku belum review karena aku masih berkutat mikirin alasan yang bagus kenapa film tersebut dibuat dengan hitam putih. Dalam Belfast ini, penggunaan hitam putih itu sendiri aja punya banyak lapisan alasan. Pertama, kita bisa memaknainya sebagai kontras tadi; kontras antara saratnya bahasan dan elemen bercerita yang semuanya ditampilkan lewat sudut pandang kepolosan anak-anak. Kedua, hitam putih ini adalah penanda waktu 1969 yang jadi panggung utama cerita. Film actually menggunakan gambar berwarna ketika memperlihatkan Belfast modern di awal dan akhir durasi. Jadi perbandingan Belfast di dua periode itu nyata ke kita. Sekaligus menguatkan cerita ini adalah flashback memori. Alasan ketiga adalah yang paling menarik. Karena sebenarnya film juga menggunakan adegan berwarna saat nunjukin film-film atau pertunjukan yang ditonton oleh Buddy dan keluarganya.

Dan aku harus bilang, Buddy yang suka nonton ini membuat cerita terasa jadi lebih relate lagi. Di rumah, Buddy nonton serial Star Trek. Di bioskop, Buddy dan keluarga nonton film-film koboi dan film musikal kayak Chitty Chitty Bang Bang. Tontonan yang membuat keluarga mereka ceria, Buddy benar-benar menikmati waktunya saat menonton. Keluarga Buddy sepertinya sama ama kita, menonton sebagai eskapis. Dengan memberi gambar berwarna kepada tontonan-tontonan tersebut, maka film seperti menyimbolkan harapan buat hidup/kenangan hitam-putih Buddy (atau kita bisa bilang Branagh). You know, seolah Branagh ingin bilang bahwa di masa itu film sudah menjadi harapan baginya.

Belfast-e1630871382558
Jadi film ini juga jadi surat cinta Branagh kepada perfilman

 

Secara pesan, film ini sebenarnya sudah terangkum lewat tiga kalimat yang muncul di akhir cerita. Tapi Branagh menawarkan lebih banyak lagi. Kekurangan Belfast cuma tensi. Slice of life ini gak bisa mempertahankan atau membangun tensi, karena sudut pandang anak yang melihat semuanya sebagai ‘just another thing happening’. Di satu momen mungkin kita ikut merasa ngeri saat kamera menghantarkan kita menuju Buddy yang menguping orangtuanya berdebat dari balik jendela, namun momen berikutnya permasalahan itu menguap dari Buddy yang kali ini melihat orangtuanya menarik bak aktor dalam film yang ia tonton. Tapi jika dipikir lagi, ‘kekurangan’ bukanlah sebuah kesalahan, karena memang seperti demikianlah Branagh maunya. Bahwa dia merancang ceritanya untuk berjalan seperti demikian. Karena mungkin itulah yang ia rasakan saat kecil dulu. Enggak benar-benar mengerti masalah ‘orang dewasa’, semuanya just goes by, hingga akhirnya baru kerasa saat dia harus meninggalkan semua.

 

 

Sebagai projek yang sepertinya paling personal yang pernah ia tangani, film ini berhasil dibuat oleh Branagh melebihi target. Enggak sekadar untuk memori. Enggak cuma berbagi pengalaman masa lalu. Personalnya film ini begitu kuat, mengakar menjadi identitas yang bakal mencuatkan film ini di antara yang lain. Branagh membawakan kepada kita kisah kehidupan yang manis-manis pahit, yang senang-senang susah. Pengalaman hidup yang begitu kaya. Dan teramat beresonansi dengan keadaan hidup sekarang. Film ini termasuk yang paling ringan dan yang paling singkat di antara nominasi Best Picture Oscar 2022, tapi merupakan pesaing yang kuat soal urusan urgensi dan kepentingan.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for BELFAST.

 

 

 

 

That’s all we have for now

Sedikit OOT, sistem nilai di sekolah Buddy yang mendudukkan murid di kursi sesuai dengan nilai mereka cukup unik atau cukup militan, tergantung dari bagaimana kita memandangnya. Bagaimana pendapat kalian tentang sistem tersebut? 

Share pendapat kalian in the comments yaa

 

 

 

Thanks for reading.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA