“It’s not a burden to make sacrifices for family, it’s a privilege”
Ngerasa gaji cuma numpang lewat; barusan gajian tapi abisnya cepet banget? Well, bisa jadi kamu adalah sandwich generation, Kawan. Generasi yang kejepit antara biaya untuk hidup sendiri dengan tanggungan orang tua, dan bahkan jenjang keluarga yang lain. Maka tentu saja peran dan tanggungjawab sandwich generation ini sungguh berat, dan berkat film kita semua paham perjuangannya gimana. Tahun lalu ada Home Sweet Loan yang ngebahas, dan di awal 2025, Yandy Laurens ngasih sudut pandang yang lain buat memotret fenomena ini. Yandy mengadaptasi materi cerita Arswendo, memberikan nod kecil buat versi sinetronnya, dan lantas menggodok cerita yang bisa relate dengan generasi sandwich kekinian yang berjuang untuk meringankan beban keluarga sementara bebannya sendiri numpuk hingga ke titik ngerasa bersalah kalo mikirin dirinya sendiri. Puk puk dirimu sendiri, Kawan, karena ini adalah film yang haru lagi hangat menguatkan.
Tanggungan Moko gak tanggung-tanggung. Memang sesuai judulnya aja. Sebagai kakak/paman, Moko harus menghidupi tiga ponakan yang masih kuliah, satu remaja titipan, satu bayi, dan dua orang yang bahkan lebih gede (dan harusnya lebih bertanggung jawab) dari dirinya. Padahal tadinya Moko sudah hendak lanjut kuliah S2, tapi mimpinya sebagai arsitek harus ditunda demi membesarkan bayi sang kakak. Moko juga mengorbankan hubungan asmaranya dengan Maurin, pacarnya yang setia dan sebenarnya ingin membantu tapi she knows better untuk jaga boundary. Naskah film ini memilih fokus bukan di kesulitan ekonomi ataupun konflik luar lainnya, melainkan menekankan ke permasalahan perasaan. Ketika ponakan-ponakan Moko mulai merasa mereka jadi beban bagi paman mereka yang baik hati. Ketika ada satu ‘voice of reason’ mulai menggebah Moko untuk mengejar karir.
Aku ngerasanya film ini beneran kayak versi sudut pandang cowok dari Home Sweet Loan sih. Gimana galian perspektif gender yang berbeda membuat bahasan dan fokusnya pun jadi berbeda. Dan aku lebih relate sama 1 Kakak 7 Ponakan ini. Keduanya sama-sama punya penokohan dan naskah yang kuat, hanya fokus yang lebih less-materialistis, misalnya kayak, ini tidak pernah jadi soal menabung atau pindah rumah dalam 1 Kakak 7 Ponakan. Bertahan di rumah kecil, dengan permasalahan ekonomi yang menggerogoti namun karakternya selalu bilang “Uang bisa dicari” membuat karakter dan cerita film ini lebih beresonansi buatku karena kita benar-benar diajak untuk menyelami root dari problem. Yakni perasaan masing-masing. Dan itu bukan berarti film ini memudahkan masalah ekonomi yang dilanda karakternya, loh. Naskah hanya mengarahkannya ke bentuk lain yang sama-sama masih dalam lingkup kehidupan profesional. Yaitu soal kerjaan sebagai arsitek. Kita masih akan melihat Moko berkutat dengan karirnya. Gimana dia masuk kerja dibantu oleh Maurin yang sudah lebih dulu di sana, gimana visi desain ruangan ajuan Moko terpengaruh oleh pengalamannya sebagai basically orang tua dari anak segitu banyak. Cowok pula.
Bahkan aku ngerasa seperti bahasan single parent inilah harusnya film Dua Hati Biru tahun lalu. Bahasan ketika seorang cowok membesarkan anak bayi, yang sampai membuat dia menunda mimpi dan karir sendiri sementara pasangannya sudah lebih dulu berkarir. 1 Kakak 7 Ponakan ngebingkai perjuangan Moko dalam banyak spektrum. Cowok yang baru saja lulus kuliah tapi harus ngerawat bayi, cek. Adek yang kehilangan kakak, cek. Paman yang harus ngurusin ponakan yang masih remaja, berusaha ngimbangin diri antara jadi orangtua dan kakak mereka – at one point, Moko harus berurusan dengan masalah khas remaja cewek – cek. Orang yang dimintai tolong ngejaga anak gadis mereka, cek. Pacar yang harus rela pisah karena saking cintanya dia gak mau menghambat orang terkasih, cek. Dan tentu saja dirinya yang ngerasa kegencet – tau-tau berada di posisi sandwich generation. Banyak banget ini yang bersarang di pundak begeng Moko. Chicco Kurniawan hadnever impressed me before, tapi sebagai Moko, di sini dia tampak klop dengan sosok yang menanggung beban seberat itu. Aku pikir dia berhasil ngehandle perannya ini dengan seimbang, terutama ketika dia begitu konsisten ngasih perawakan ‘kusut’ di balik setiap emosi yang ia tampilkan ke luar.
Dengan banyak spektrum begitu, permasalahan utama kisah ini memang dapat terasa agak lama mencuat. Cerita kayak melayang aja mengarungi kehidupan sehari-hari yang sebenarnya mengharukan tapi dipotret dalam nada yang sederhana. Membuatnya terasa dekat dan hangat. Bahkan ada beberapa time skip juga, tapi kita tidak akan ketinggalan banyak, karena pertumbuhan karakternya tetap kelihatan. Dan make sense, gitu, karena tentu saja mereka semua jadi semakin akrab dan menumbuhkan rasa hormat. Buatku, daging drama film ini tu pas nanti ketika Moko mengetahui ponakan-ponakannya diam-diam memilih untuk bekerja. And they all have good reasons jadi Moko gak semudah itu melarang. Dialog mereka ‘sekeluarga’ di ruang tengah jadi salah satu highlight di film ini.
Dalam keluarga itu hanya ada dua. Antara kita ngerasa jadi beban, atau kita merasa terbebani. Mungkin kita merasa sudah terlalu banyak bikin susah orangtua. Mungkin kita ngerasa belum bisa balas budi. Atau di lain pihak kita ngerasa terlalu banyak dituntut; cuma kita yang kerja. Dialog dalam film ini membuka perspektif yang mungkin kalo di dunia nyata tak bakal terungkap. Bahwasanya menanggung beban untuk keluarga itu sebenarnya adalah sebuah privilege. Karena merupakan kehormatan untuk berkorban demi orang yang kita sayang. Orang-orang yang baik sama kita.
Karakter menarik buatku adalah Gadis yang numpang tinggal di tempat mereka. Relasinya dengan Moko bakal jadi salah satu relasi yang penting untuk pembelajaran Moko. Karakter satu lagi yang menarik adalah mas Eka, yang diperankan dengan super sotoy oleh Ringgo Agus Rahman. Menarik, karena dia ini kayak voice of reason yang mengutarakan hal yang sounds about right – yang terpikir juga di benak karakter lain seperti Maurin dan bahkan Moko sendiri, tapi mereka hanya terlalu baik untuk mengungkapkannya. Like, di dunia nyata sebenarnya ada kala kita butuh orang kayak Eka. Yang di balik omongannya yang nyelekit. dia toh point out some necessary evil things yang mungkin memang harus Moko lakukan. Tapi itu juga tidak lantas membuat karakternya ini totally benar. Aku pikir ada kekompleksan juga di karakternya ini. Kalo Moko bisa kayak Piccolo yang bisa membuang hati dan perasaan gelapnya ke luar dalam cerita Dragon Ball, maka perasaan gelap Moko itu akan jadi mas Eka ini.
Durasi yang cukup panjang berhasil diisi oleh film ini dengan cukup efektif. Film berusaha maksimalin momen-momen saat para karakter berkumpul bersama. Nature keadaan mereka memang sedih, tapi interaksinya dibuat sehangat dan serelate mungkin dengan keadaan bersaudara beneran yang gak terlalu mendramatisasi keadaan. Pengadeganannya juga dibikin unik, kayak saat Moko curhat ke Maurin soal dia merasa bersalah ingin kerja karena itu bakal berarti dia akan menyuruh ponakannya melakukan hal yang sama dengannya; menunda hidup mereka, adegan tersebut berlangsung di dalam mobil saat mereka masuk ke cuci mobil. Sehingga ada permainan warna dan vibe yang merasuk ke dalam mood dialog tersebut, Membuatnya jadi lebih membekas. Film ini juga menggunakan teknik pengungkapan yang sengaja membawa kita mundur ke adegan yang udah lewat untuk memperlihatkan apa yang sebenarnya ada/dirasakan oleh karakter untuk menyambung perasaan, yang mungkin agak mengganggu pace tapi berhasil bikin emosinya juga lebih membekas.
Namun selain pilihan penceritaan yang estetik, ada juga beberapa yang bisa kita nitpick. Misalnya kayak adegan nyemen tembok yang semennya kok dikit banget itu. Aku khawatir nanti betonnya jatuh nimpa pemain wkwkwk… Atau adegan Moko nolak pemberian sepatu yang menurutku jadi cheesy basa basi karena barangnya udah ada dan mereka beberapa menit sebelum sidang, bukan lagi di toko atau di luaran. Tapi seperti kata lirik lagu sinetronnya, “Jangan risaukan…” film ini tetap menyenangkan dan aku suka banget momen Moko dan para ponakan main piano sambil nyanyi lagu tersebut.
Karena fokusnya pada hardship menjadi guardian bagi ponakan dan itu berarti mengorbankan banyak hidupnya sendiri, serta perasaan terbebani sekaligus juga pandangan tatkala ngerasa jadi beban keluarga, film ini mampu menjadi lebih terjangkau dan emosinya lebih ngena. Yang kompleks bukan sebatas angka karakternya saja, tapi juga perspektif mereka itu sendiri. Film mempersembahkan ceritanya dengan linear, memperlihatkan kehidupan dan permasalahan karakter, dengan beberapa time jump, dan bahkan dengan mundur sedikit untuk mereveal perasaan. Memang bisa agak terasa lama, tapi emotional pay off-nya akan sangat worth it terasa. Film ini cocok sekali untuk ditonton entah itu bareng keluarga beneran atau your new-found family, alias sahabat!
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for 1 KAKAK 7 PONAKAN.
That’s all we have for now.
Di film ini ada adegan Moko presentasi dan akhirannya nyaris fatal. Apakah kalian punya pengalaman presentasi yang hampir menjadi mimpi buruk seperti itu?
Bagi kalian melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp
Remember, in life there are winners. And there are losers.
We? We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL
Satu dua tiga.. itu bukan itungan menuju kembang api tahun baru yang sekali lagi sudah kita lewati, tapi angka jumlah – tepatnya seratus dua puluh tiga – film yang udah sukses tereview di blog ini sepanjang 2024 yang lalu. Angka yang lebih besar daripada tahun 2023. Tapi itu juga bisa review lebih banyak karena aku ‘ngecheat’ lewat mini review. Jadi, tahun 2024 filmnya lebih banyak tapi reviewnya lebih sedikit. Make sense gak sih? hahaha
Melakukan ini setelah sekian lama ternyata jenuh itu sampai juga kepadaku. Maka tahun ini ya, jujur aja, aku semakin males ke bioskop. Gairah untuk sesegera mungkin bertemu film baru itu pun jadi menipis. Aku jadi lebih suka menunggu hingga tayang di platform, lalu menontonnya di komputer. Nulis reviewnya pun udah gak kerasa begitu urgen. Satu ulasan, belakangan ini, aku garap dua hari. Padahal biasanya, langsung ngebut begitu beres kredit filmnya bergulir. Kalo nontonnya di bioskop, biasanya aku cepet-cepet pulang untuk bikin tulisan. Tapi tahun ini, kalo lagi gak ujan, aku lebih suka pulang nyantai – kalo perlu jalan kaki pulang ke kamar. Gak tau juga sih kenapa jadi ilang gairah, padahal ke film itu sendiri aku masih terus penasaran. Film masih tetap jadi eskapis dan ruang melihat karakter yang menarik bagiku. Caturwulan terakhir tuh, aku rasanya males banget. November malah aku cuma publish dua post single-review. Tapi tenang sodara-sodara, di penghujung tahun 2024, aku merasa sudah menemukan kembali passion itu – atau seenggaknya, aku menemukan pemantik gairah baru dalam menonton. However, I really hope this particular reason would work out nicely sampe ke 2025 dan further, doain aja yaww..
Balik ke soal 123 film, keliatannya banyak tapi cakupannya ternyata juga belum terlalu dalam. Beberapa film yang crucial di 2024 kayak Gladiator 2, Wicked, Emilia Perez, Mufasa, dan bahkan Red One (yang ternyata cukup unik) belum sempat kutulis – dan bahkan belum sempat kutonton – sehingga gak termasuk dalam daftar ini. So yea, daftar kali ini mungkin bukan cerminan terbaik dari perfilman 2024, tapi ya sudah cukup mewakili lah.
HONORABLE MENTIONS
American Fiction (meskipun judulnya ‘American’ tapi keadaan sosial yang diangkat di film ini relate ke kita, karena I guess semua orang sekarang memang hidup di dunia yang sama, dunia tipu-tipu alias dunia fiksi)
Heretic (dialog menantang soal keimanan dan agama adalah wujud asli dari thriller ini)
How to Make Millions Before Grandma Dies (kirain lucu-lucuan soal rebutan warisan, ternyata cerita menyentuh tentang hubungan keluarga di mana jadi caregiver adalah bentuk ultimate sebuah cinta)
I Saw the TV Glow (bukan cuma nostalgia kultur televisi, tapi juga kisah psikologis yang haunting tentang identitas diri)
Kabut Berduri (cerita detektif bernuansa psikologis dan juga mistis? jarang banget ada di Indonesia)
Kinds of Kindness (antologi super absurd tentang rupa-rupa (atau pura-pura?) kebaikan)
Longlegs (detektif bernuansa mistis jugak, tapi ini emphasize di atmosfer dan penampilan akting creepy dari Nicholas Cage)
Monster (yang Jepang loh, bukan film Indonesia yang berjudul sama. Film ini punya konsep tiga perspektif, sehingga ceritanya jadi kayak berevolusi jadi tiga genre berbeda. Tapi yang lebih penting, psikologis karakternya kuat sekalii. Salah satu dari dua film yang dapat skor 9 tahun ini)
Oddity (sebenarnya secara film kurang bagus, tapi secara cerita, ini adalah cerita dan penceritaan horor yang paling efektif)
Poor Things (satu lagi yang weird dan absurd dari Lanthimos, film ini kayak gimana ilmuwan memandang cinta dan kesempurnaan)
Speak No Evil (ini panggung pertunjukan akting dari James McAvoy)
Strange Darling (aku udah ngulang nonton ini 4 kali karena pengen lihat telaknya struktur acak film ini meniru bentukan judgment kita, dan karena pengen lihat adegan mati yang keren banget di endingnya)
Thelma (satu lagi cerita tentang hubungan dengan nenek, tapi kali ini beneran dari perspektif nenek, dengan vibe action!)
The Zone of Interest (nampilin ketidakmanusiawian bukan dari eksploitasi kekerasan, melainkan dari sound design yang menyiksa nurani)
Transformers One (ini baru film Transformers yang aku kenal!)
Special Shout Out dialamatkan kepada Agak Laen, karena film ini ulasannya paling banyak dibaca pada blog ini sepanjang 2024. Dan kepada Poor Things, yang video ulasannya di channel YouTube mydirtsheet paling banyak ditonton.
Semoga ‘Honorable Mentions’ barusan bikin kalian bertanya-tanya, kayak. “Emangnya ada film yang lebih bagus dari Monster?”. Nah itulah serunya, untuk daftar seperti DELAPAN BESAR 2024 ini aku percaya daftar tersebut harus disusun sepersonal mungkin. Karena subjektivitas itulah justru alasan utama kita tertarik sama film pilihan orang-orang, kan? Karena kalo isi daftarnya sama semua, apa gunanya everybody bikin kan? So, here my list!
Director: Richard Linklater Stars: Glen Powell, Adria Arjona, Austin Amelio MPAA: R IMDB Ratings: 6.8/10 “Seize the identity you want for yourself.”
Aku nonton ini gak punya ekspektasi apa-apa, malahan aku nonton ini karena direkomen sama pembaca blog kalo ndak salah. Karena kukira memang ceritanya standar tentang everyday man yang ternyata pembunuh handal. Ternyata bukan. Justru sebaliknya, film ini matahin ekspektasi kita tentang citra pembunuh bayaran yang dibentuk oleh media. Serta di baliknya ada bahasan berbobot tentang bagaimana kita memandang diri sendiri. Inti film ini memang soal identitas dan psikologi; dua hal yang aku masih nyesel banget gak ngejar mereka pas di bangku kuliah.
Film ini bisa nyeritain bahasan tersebut dengan fun, karena punya permainan akting yang benar-benar menyokong. Glen Powell-lah namanya, kayaknya dia effortless banget mau jadi karakter macam apa pun. Relationship dan romance-nya pun diceritakan dengan fresh. Berjalan tetap di jalur temanya sendiri sehingga unpredictable namun juga grounded. Ini paket entertainment yang bikin kita gak ngerasa bego menontonnya
My Favorite Scene: Adegan Gary ama Madison improv dialog pake notes di hape (karena ceritanya mereka lagi diawasi). Kocak dan clever banget!
Director: Arkasha Stevenson Stars: Nell Tiger Free, Ralph Ineson, Sonia Braga MPAA: R IMDB Ratings: 6.5/10 “How do you control people who no longer believe? You create something to fear.”
Tahun 2024 kita banyak dapat prekuel dari film horor klasik, however, The First Omen ini yang jauh lebih mending dibanding yang lain. Bisa mengikat cerita ke lore film aslinya, sementara juga punya bahasan sendiri yang utuh. Bukan cuma itu, di tahun yang marak horor dengan kualitas yang meningkat dibanding tahun lalu, First Omen pun terasa powerful. Padahal ini baru debutnya, tapi sutradara nunjukin dia punya nyali. Berani ‘mengubah’ materi sesuai kebutuhan tema atau gagasan, tanpa merusak garis besar role atau cerita. Sehingga film The First Omen bukan sekadar soal kelahiran Damien, melainkan juga eksplorasi yang lebih dalam tentang keluarganya – tentang kultus yang ‘melahirkannya’. Semua itu terangkum dalam horor bertajuk modern; otonomitas tubuh perempuan.
Aku suka aja vibe horor klasik yang dipertahankan. Suka juga ama teknis film ini menciptakan ketakutan kita lewat adegan-adegan seram yang suspensnya kuat banget. Adegan horor film ini memorable semua loh. Tentu saja ini juga berkat penampilan akting. Tiger Nell Free nunjukin range yang luar biasa. Karakternya tidak sekadar bereaksi terhadap hal mengerikan di sekitar, namun film mengembalikan semua horor ke journeynya yang traumatis. Journey mengerikan karakternya ini yang bikin film ini ngeri. Gak banyak film horor sekarang yang ngerti itu.
My Favorite Scene: Mulai dari imposed shot laba-laba, jumpscare tanpa suara ngagetin, sekuen bayangan, udah gak keitung adegan keren di film ini. Makanya aku pilih film ini sebagai wakil genre horor dalam daftar terbaik 2024. Kalo mau pilih satu, adegan favoritku adalah adegan melahirkan di jalan, yang juga adalah reference dari horor klasik lain.
Director: Alex Garland Stars: Kirsten Dunst, Cailee Spaeny, Jesse Plemons MPAA: R IMDB Ratings: 7.0/10 “Once you start asking those questions you can’t stop. So we don’t ask. We record so other people ask.”
Di tengah situasi politik yang bikin kayak ada kubu antara yang 58% dan yang masih waras, film ini terasa begitu penting dan urgen. Karena perang sodara di mana-mana kayaknya memang sumber dan masalahnya sama. Harusnya di saat-saat seperti ini, media jadi tonggak utama. Yang netral dan melaporkan kejadian faktual. Namun, bisakah mereka juga dipercaya. Civil War mengambil sudut pandang jurnalis di medan perang sodara, memotretnya dalam lensa dualitas supaya orang-orang dan bahkan para jurnalis itu sendiri bisa ingat, di mana harusnya integritas mereka berada.
Inilah yang menggerogoti protagonisnya dari dalam. Sebagai jurnalis fotografi senior, Lee telah banyak memotret dari dekat kejadian-kejadian mengerikan. Dia memotret orang terbakar, dari jarak yang sebenarnya bisa digunakannya untuk membantu si korban. Melalui si Lee ini, film pun menarik paralel antara tentara yang membidikkan senapan dengan jurnalis yang membidikkan kamera. Lalu ada lagi karakter Jesse. Jurnalis muda yang mengidolakan Lee, yang memaksa untuk ikut bersama rombongan Lee ke Gedung Putih mewawancarai Presiden. Duality yang lebih gamblang tercermin pada hubungan antara Lee dengan Jesse, karena cerita ini gak akan berjalan maksimal jika karakter Lee tidak diberikan ‘pasangan’. Dramatisnya thriller distopia ini baru akan terasa jika kita melihat Jesse dan Lee sebagai cerminan yang berlawanan. Bagaimana seseorang yang tadinya polos dan naif, menjadi ‘keras’ dan seperti mati rasa karena tuntutan kerjaan membuatnya terbiasa melihat kekerasan dari dekat – bahkan mengalami kekerasan itu sendiri. Dan juga sebaliknya, gimana setangguh-tangguhnya orang, se-hardened apapun perasaan itu, pasti akan tergugah juga demi melihat penyimpangan kemanusiaan sebegitu lama, sebegitu dekat.
My Favorite Scene: Momen paling intense di film ini adalah saat para jurnalis bertemu dengan Jesse Plemons yang meranin tentara nasionalis – yang tentu saja borderline antara nasionalis dan rasis jadi sangat tipis. Genuinely momen yang bikin merinding karena kita bisa lihat adegan tersebut bisa easily terjadi di dunia nyata.
Director: Atta Hemwadee Stars: Anthony Buisseret, Pisitpol Ekaphongpisit, Thitiya Jirapornsilp MPAA: – IMDB Ratings: 7.5/10 “Imagination is more important than knowledge”
Saat pertama kali nonton ini aku gak nyangka film ini bakal jadi nostalgia banget buatku. Teman-teman yang mencoba bikin bersama-sama? Well ya, di pertengahan tahun aku kehilangan teman yang dulu selalu ngajak bikin film pendek. Sekarang film ini hits extra hard.
Not Friends mengulik persoalan pergaulan di sekolah – yang bisa dilihat sebagai satir dari bagaimana kita menjadi teman, tapi juga bukan teman yang benar-benar kenal dengan bahkan teman sebangku – ke dalam bahasa yang akrab sama penggemar film. Sutradaranya berhasil menggabungkan bahasan tentang pertemanan dengan passion membuat film menjadi sebuah penceritaan yang manis. Film tetap berpegang kepada storytelling dari drama dari karakter. Karenanya bahkan penonton yang gak share kecintaan yang sama dengan filmmaking pun bakal masih bisa mengikuti drama anak sekolah yang disajikan sebagai hidangan konflik utama. Film tidak membiarkan kisahnya menjadi overdramatis ataupun jadi lebih ‘besar’ daripada persoalan anak sekolah. Melainkan tetap renyah dan menapak.
Jikapun narasinya mengandalkan kepada rangkaian ‘ternyata’, rangkaian itu tidak difungsikan untuk mengecoh ataupun mematahkan plot, melainkan sebagai tantangan berikutnya dari protagonis utama sehubungan dengan development pribadinya yang ingin membuat film tentang teman sebangku yang ia akui sebagai bestienya saat sang teman itu meninggal dunia, sebagai jalan pintas untuk keluar dari masalah masa depan pendidikannya.
My Favorite Scene: Montase ketika mereka otodidak berusaha membuat adegan dari cerita pendek, melakukan ‘movie magic’ alias treatment dan efek-efek praktikal untuk membuat seolah adegannya beneran astronot di pesawat luar angkasa, misalnya, tampak begitu menarik. Kita seperti diundang masuk ke dalam grup mereka. Kita ngerasain betapa serunya ngelakuin itu semua.
Director: Takashi Yamazaki Stars: Minami Hamabe, Ryunosuke Kamiki, Sakura Ando MPAA: PG-13 IMDB Ratings: 7.7/10 “Is your war finally over?”
Tahun 2024, kita dapat dua film Godzilla, namun sayangnya yang tayang di bioskop adalah film Godzilla yang cuma spektakel. Sementara, Godzilla yang satunya – Godzilla Minus One yang berhasil masuk daftar 8 Besar ini – cukup hanya berpuas diri nonton di komputer. Padahal sensasi epicnya jauh lebih gede Godzilla Minus One! Ini bukan cuma pertempuran monster super gede, tapi pertempuran gede dari rasa kemanusiaan. Godzilla hanyalah sosok yang merepresentasikan perang itu sendiri.
Yang membuat film ini jadi luar biasa bagus adalah cara mereka menghadirkan manusia dan Godzilla di dunia yang sama dengan kepentingan yang saling tak tergantikan, Cerita bertapak pada manusia dengan perspektif dan identitas lokal yang kuat, tentang posisi mereka pada situasi terendah setelah perang, dan Godzilla jadi brutal force yang menguji pandangan hidup mereka. Kreasi film ini dalam menghidupkan Godzilla di dunia Jepang 1940an pantes banget diganjar awards – dan memanglah film ini layak menjadi film Godzilla pertama yang memenangi piala Oscar untuk Visual Efek Terbaik. Yang membuat, film ini bukan saja berhasil menjadi sajian fantasi sci-fi, tapi sekaligus berhasil sebagai period piece perang! Melihat Godzilla di film ini bukan sekadar seru karena besar, dan epic karena pertarungannya dahsyat. Tapi, yang lebih penting, melihat Godzilla di sini, perasaan kita akan tergugah. Takjub dan takut bergulir menjadi satu. Mungkin seperti menonton film inilah rasanya melihat Godzilla sungguhan; beautiful, majestic, tapi juga begitu menakutkan sampai menggetarkan hati.
My Favorite Scene: Waktu kapal rongsok penyapu ranjau yang dinaiki Shikishima dan tiga rekannya dikejar oleh Godzilla. Feelingnya intense banget, padahal yang kelihatan dari Godzilla itu cuma duri-duri di punggung dan puncak kepalanya.
Director: Sean Baker Stars: Mikey Madison, Paul Wiseman, Karren Karagulian, Mark Eydelshteyn MPAA: R IMDB Ratings: 7.9/10 “I don’t need anyone’s permission to be who I am”
Kalo aku jadi Scott Pilgrim aku akan ganti lirik lagu Ramona menjadi “A..no~ra, on my mind”. Karena memang film ini bikin kepikiraan. Actually, ini salah satu film yang paling aku antisipasi. Karena Mikey Madison! ehem… Jadi kukira paling juga nontonnya suka karena bias. Tapi ternyata enggak. Film ini benar-benar ngasih sesuatu untuk kita pikirkan. Rom-Com itu cuma hiasannya doang. Sebenarnya film ini sedang motret relasi antarkelas sosial di dunia yang bisa dibilang semakin relate dengan dunia kita. Dunia yang semuanya semakin serba transaksional.
Si Anora sendiri diceritakan udah kayak anti dari kisah Cinderella. Dia memang ngimpi hidupnya berakhir kayak Cinderella – ketemu pangeran dan hidup di ‘istana’ – tapi Anora adalah perempuan yang tangguh dan realistis. Menyaksikannya struggle dengan ‘impian vs. realita’ dijadikan fondasi dari sebuah journey dramatis dan tak pelak traumatis bagi film. Herannya, film ini berhasil jaga vibe yang kocak. Aku bahkan gak nyangka film ini tengahnya lucuuu.. Dan ini tu sesuai dengan konsep gagasan film, bahwa sesuatu bisa muncul dari tempat yang tak terduga. Kayak, romance film ini aja ternyata bukan merujuk pada hubungan antara Ani dengan Vanya. Tapi dari seseorang yang tak direcognize oleh Ani. Jadi nonton film ini tuh kita rasanya jumpalitan oleh emosi, tanpa pernah sekalipun terlepas dari sudut pandang Ani
Dan yea, dengan bangga aku pronounce bias ku ke Mikey Madison enggak salah, karena dia di sini benar-benar cegil!! Vibe dan energinya menghidupkan film ini!
My Favorite Scene: Setiap scene yang melibatkan scarf merah itu, aku ngakak bukan main!
Director: Chris Sanders Stars: Lupita Nyong’o, Pedro Pascal, Kit Connor, Mark Hamill MPAA: PG IMDB Ratings: 8.2/10 “Sometimes hearts have their own conversations”
Inilah film kedua yang dapat nilai 9 yang langka itu! The Wild Robot dapat nilai 9 karena meskipun karakternya mungkin familiar, tapi yang bikin film ini ekstra spesial adalah karena ceritanya ikutan berevolusi seiring dengan karakter robotnya, si Roz. Berawal dari fish-out-of-water, menjadi cerita ibu besarin anak, lalu jadi cerita bertahan hidup dengan skala yang lebih besar – bukan cuma soal Roz tapi komunitas atau para hewan di hutan tempatnya terdampar. Ini muatan dan penceritaan yang kaya sekali. And the icing on the cake, desain animasi yang begitu spektakuler.
Sutradara paham bahwa animasi bukan hanya untuk pamer. Animasi bukan hanya untuk cerita anak yang bermanis-manis ria. Animasi bukan hanya untuk fantasi yang preachy. Maka dibuatnya lah animasi di film ini sebagai kendaraan untuk menyampaikan cerita yang begitu grounded oleh realita. Tentang kehidupan dan kematian. Tentang insting ataupun program bertahan hidup. Hewan-hewan di film ini boleh saja bertampang lucu, tapi mereka semua serius karena harus bertahan hidup di hutan. Kontras dunia dan sikap cerita membuat film menjadi menarik, dan ketika tiba saatnya adegan-adegan sedih, film ini bakal betul-betul menarik nadi emosi kita. Sebab kita bukan lagi melihat mereka sebagai hewan atau robot kartun, melainkan makhluk hidup yang fully fleshed, punya hati nurani. Dengan persoalan yang kita bisa relate dengan mereka.
Udah lama aku gak nemu film yang hampir berhasil bikin nangis. Tapi itu cuma aku. Semua orang yang kukenal nangis nonton film ini. Saking powerful cerita dan karakternya.
My Favorite Scene: Yakin udah seratus persen, adegan favorit semua orang itu pas Roz ngajarin Brightbill terbang. Mulai dari ngajarin, ampe udah bisa terbang ninggalin Roz, gak sempet ngucapin good bye, itu tuh momen tearjerker 2024 bangets!!
Biar sama kayak salah satu tren film tahun 2024 yang bikin acara TV sendiri, maka sebelum kita melihat siapa yang bercokol di posisi satu (tapi kayaknya semua udah bisa nebak), mari kita jeda pariwara dahuluuu… wuuuuu!!
Director: Coralie Fargeat Stars: Demi Moore, Margaret Qualley, Dennis Quaid MPAA: R IMDB Ratings: 7.4/10 “Have you ever dream of a better version of yourself? ”
Enggak ada kejutan memang di list tahun ini. Aku gak bisa milih film lain selain The Substance, karena film horor keren ini udah aku banget. Nature ceritanya yang psikologikal, terlebih tentang journey degdradasi karakter. Setting yang nunjukin backstage pembuatan film atau acara televisi. Dan horor (tepatnya body-horor) dengan efek praktikal yang gross tapi bikin takjub. Not to mention, bahasannya tentang self-crisis perempuan yang senada dengan concern dan tema film pendekku dulu, bahkan ada adegan yang mirip (yang tentu saja dilakukan dengan jauh lebih baik oleh film ini).
Bener-bener diperlihatkan tuh di sini, gimana ekspektasi sosial mampu mendorong seseorang menjadi sesuatu yang bahkan dia jadi tidak mengenal siapa dirinya lagi. Gimana orang bisa membenci dirinya hanya karena ngikutin maunya orang lain. Aku suka film ini tetap pada jalurnya, yaitu membahas dari perspektif karakter. Menggali dari sana. Tidak berubah haluan jadi membahas asal muasal serum atau misteri pembuat serumnya, misalnya. Film ini berhasil menggunakan body horor, sebagai penguat cerita. Menyokong pengalaman mengerikan yang ingin disampaikan. Gimana membentuk cerita tragis sehingga gak jadi ngejudge, melainkan menjadi selaman berbobot yang menyeluruh mulai dari karakter hingga ke dunianya yang punya masalah yang sebenarnya ditarik dari problem sosial beneran. Film ini berhasil, meskipun tergolong sebagai genre, tapi tetap sebuah genre dengan bahasan substansi yang kuat.
Demi Moore dan Margaret Qualley jadi tandem yang gak ada lawan menghidupkan karakter Elisabeth/Sue. Suksesnya itu adalah karakter mereka tetap tampak seperti konflik batin di dalam satu orang. Makanya adegan mereka akhirnya berantem berdua itu walaupun ngakak, tapi tetap powerful dalam menyampaikan pesannya. Duh, jadi udah ngobrolin adegan favorit kan tuh.. Kita memang bakal jadi ikutan chaos ngomongin film ini karena ada begitu banyak yang bisa diomongin. Yang bisa dibahas. Tapi semua itu berhasil diceritakan dengan begitu luwes. Jadi gak pernah terasa berat, melainkan tetap menghibur.
My Favorite Scene: Banyak sih, sumpah. Kelahiran si Monstro Elisasue, adegan Elisabeth dan Sue berantem berdua, adegan Elisabeth ngomel-ngomel nontonin Sue diwawancara, shot di opening yang efektif ngeset Elisabeth status bintangnya udah redup. Kalo mau get personal, ya favoritku adalah adegan Elisabeth di depan cermin, dia mau pergi kencan, tapi insecure sama wajahnya sendiri. Adegan di depan cermin Elisabeth berantakin riasan wajahnya ini, juga mirip sama adegan di film pendekku dulu, Gelap Jelita. Jadi gagasannya benar-benar kerasa relate dan menohok buatku.
So, that’s all we have for now.
Itulah daftar Top Movies 2024 versi My Dirt Sheet. Maaf kalo misalnya film favorit kalian belum berhasil tertonton dan terulas. Inilah rapor lengkap 123 film pada tahun 2024. Ada dua film yang dapat nilai 9. Tapi yang dapat nilai 2 dan bahkan 1, jumlahnya lebih banyak, dan kali ini berbagi rata yang jelek itu. Bukan hanya film Indonesia tapi juga ada film impornya.
Apa film favorit kalian di tahun 2024? Apa harapan kalian untuk film di tahun 2025 ini?
Share with us in the comments
Remember, in life there are winners. And there are losers.
We are the longest reigning PIALA MAYA’s BLOG KRITIK FILM TERPILIH.
“If you want to go quickly, go alone. If you want to go far, go together”
Jadi, seberapa jauh Moana pergi setelah film pertama? Well, kalo dilihat dari angka box officenya sih ya, Moana memang suskes ke mana-mana. Tapi bagaimana dengan kelanjutan ceritanya. Trio sutradara David G, Derrick Jr, Jason Hand, dan Dana Ledoux Miller ingin memastikan petualangan kedua Moana dan Maui jauh lebih seru dan besar. Kabarnya bahkan cerita ini tadinya pengen dibentuk sebagai serial, saking mereka udah kepikiran petualangan yang lebih panjang. Dan nyatanya, Moana 2 tetap berwujud film, dan memang bigger, tapi petualangannya kali ini terasanya justru jauh lebih datar. Mungkin benar seperti kata pepatah ya, yang lebih beriak-riak itu ternyata tak dalam.
Sebagai seorang ‘wayfinder’, maka sudah jadi tugas Moana untuk menjelajahi samudera. Misi Moana dan orang-orangnya di pulau adalah mencari keberadaan suku lain di seberang sana. Hanya saja, selama ini Moana pergi sendirian. Yang ngikut di perahunya cuma Pua dan Heihei. Jadi memang Moana yang di film pertama ambis banget pengen segera melaut, belum berlayar jauh. Hatinya sekarang tertambat oleh keluarga. Sampai sebuah panggilan dari leluhurnya datang. Moana beneran harus meninggalkan pulau, mengarungi perjalanan berbahaya, demi mematahkan kutukan Nalo; dewa yang ngirim petir, menenggelamkan dan memisahkan pulau-pulau. Moana berangkat bersama kru beneran dan-tunggu, di mana Maui? Maui ternyata beraksi duluan sendirian, tapi sekarang dia sedang stuck kena perangkap perempuan kelelawar dan dia mungkin perlu Moana untuk sekali lagi menyelamatkan dirinya.
Set up temanya sebenarnya perfect. Dua hal yang dikontraskan pada cerita kali ini adalah sendirian atau bareng-bareng. Dan kedua hal tersebut dieksplorasi dimensinya. Sendirian bukan lantas berarti individualistis, misalnya, Maui yang pengen beraksi sendiri bukan karena dia gak suka Moana, tetapi justru karena dia mengkhawatirkan Moana. Bareng-bareng juga bukan sebatas soal kita dan kelompok kita saja. Seperti ketika nanti diperlihatkan oleh film ini, bahwa Moana and the gank akan bergabung dengan pihak yang dulu pernah musuhan ataupun pihak yang tadinya dianggap musuh. Film juga memanfaatkan role dunia fantasinya untuk mengeksplorasi tema tersebut ke dalam ranah spiritual ketika Moana memutuskan untuk pergi langsung ke pusat bahaya sendirian, demi teman-temannya berhasil. Alias pengorbanan diri. Moana 2 memang sebenarnya masih dalem, jika diberikan pace dan mungkin waktu yang lebih banyak. Yang lebih penting untuk dikembangkan – dan ini yang kurang pada film kedua ini dibandingkan film pertama – adalah waktu untuk Moana bergulat dengan innernya. Momen-momen personal yang menyorot kepada kenapa pengorbanan diri yang dia lakukan itu penting; lebih dari sekadar bentuk tragedi untuk dramatis film. Karena tindakan pilihannya itu merupakan bentuk dari Moana udah belajar tentang tema tadi. Bahwa inner journey-nya sudah komplit.
Film kedua ini kayak menjawab nyanyian Moana di film pertama. “How far I’ll go?” Yang nentuin ya sebenarnya Moana sendiri. Selama ini dia menyangka kini dia bebas mengarungi samudera sejauh mungkin, tapi lantas dikaramkan oleh kenyataan gak semudah itu ninggalin keluarga dan orang tercinta. Jika mau pergi jauh, ya harus bareng-bareng. Makna ‘bareng-bareng’nya itulah yang sejatinya jadi pembelajaran bagi karakter di film ini.
Dua relasionship utama yang harusnya diberi waktu lebih banyak adalah antara Moana dan Maui, serta Moana dengan adeknya. Ya, kini Moana punya adek. Masih kecil tapi sassy, imut banget. Moana dan Maui di film ini kayak ke-reset, awalan cerita tidak seperti melanjutkan hubungan mereka, tapi seperti mengulang. Mereka tidak dibikin bersama lalu berpisah, tapi langsung berpisah petualangan untuk kemudian bertemu lagi. Ini membuat film jadi terkesan ngikutin formula film yang pertama. Sedangkan untuk Moana dengan adeknya, Simea, well, ya mereka sweet banget. Mereka share jokes bareng, mereka punya momen personal kayak Moana ngajarin adeknya knowledge suku mereka (yang sebenarnya low key film ngasih eksposisi ke penonton, tapi dilakukan dengan cute). Tapi dinamika dramanya masih lebih terasa seperti “adek yang gak mau kakaknya pergi”. Bagian Moana juga berat ninggalin, agak ‘malu-malu’ ditampilkan. Padahal ini salah satu yang penonton bisa relate generally. Moana itu kan basically kayak anak rantau. Yang harus ninggalin keluarga demi kehidupan yang lebih baik. Aku sendiri pernah ngerasa kayak Moana. Waktu aku kuliah, adekku yang paling kecil lahir. Dan itu setiap kali mudik, pasti rasanya berat banget ninggalin rumah untuk balik ke pulau rantau lagi. Berat karena di rumah ada makhluk kecil yang enak untuk diganggu hehehe.. enggak ding. Ya sama kayak Moana dan Simea, deh. Moana merasa berat karena dia tahu samudera itu luasnya gak ada yang tau. Dia tahu ini adalah perjalanan panjang yang berbahaya. Bisa-bisa pas dia pulang ntar, Simea udah seusia dia pas berangkat ini. Atau bisa jadi dia gak bakal pulang lagi sama sekali, seperti nasib leluhurnya itu.
Alih-alih momen kayak gitu, Moana 2 justru lebih menekankan kepada outer journey dan momen-momen Moana bersama krunya di laut. Ini pilihan yang salah dari film yang tadinya diniatkan sebagai serial ini. Durasi terbatas tentu tidak akan bisa mengakomodir petualangan dan tambahan karakter yang cukup bejibun. Film ini justru menyuruh kita menikmati petualangan, tapi petualangannya itu sendiri kayak ringkasan. Banyak, seru, tapi ya ritmenya gak enak. Bonding Moana dengan karakter-karakter kru di perahunya enggak fully terdevelop, mereka jadi akrab aja dalam satu lagu. Development masing-masing sebagai karakter pun datang dan pergi gitu aja. Kayak, ada satu karakter yang hampir mati, beruntung dia berhasil diselamatkan oleh Maui yang sangat ia idolakan. Setelah momen yang sudah pasti momen penting dalam eksistensinya itu, karakter ini justru dibikin semakin menjadi ‘background’. Terus karakter perempuan kelelawar (aku genuinely lupa namanya, maaf) yang kayak penjahat, punya lagu villain sendiri, tapi diungkap ternyata dia gak jahat, dan makna lagunya ternyata dalam – nunjukin karakternya ternyata cukup kompleks – dan nasib karakter ini tidak pernah dimunculkan lagi sampai film dan konflik kutukan itu beres. Outer journey film ini lebih kusut daripada rambut Maui, lebih semrawut daripada tato ajaib si demi god itu (dan demi tuhan, jokes2 si tato hidup itu semakin garing), dan ini yang dipilih film untuk kita nikmati. No wonder, banyak yang kurang puas sama Moana 2.
Soal lagu-lagunya gimana? Secara tema/makna, lagu-lagu di film ini masih berisi. Difungsikan dengan baik, dimainkan ke dalam kreasi visual yang juga fantastis. Tapi secara impresi, kayaknya lagu film ini juga masih jauh sama lagu di film pertama. Bukan soal catchy-nya loh ya. Kalo soal catchy, film ini punya juga kayak Wayfinding atau anthem Chee-hoo! nya Maui (The Rock ijin gak ya ngambil ini dari sepupunya di Smekdon? ahahhaa) Yang kumaksud adalah jejak lagunya di film itu sendiri. Buktinya untuk momen paling tinggi, Moana 2 malah minjem lagu dari film pertamanya. Enggak kayak Lion King 2 yang pede aja pakai lagu sendiri dan gak minjem Circle of Life dari film pertama. Lagu-lagu di Moana 2 ini kayak lagu-lagu di Frozen II (2019). Works dalam tema, tapi susah untuk “keluar”. Gak bisa menandingi lagu originalnya.
Kalo dipikir-pikir lagi, film ini jatohnya memang kayak Frozen II. Sekuel yang nambah cast, meluaskan dunia cerita, dengan niatan supaya petualangan makin seru. Makin epik. Tapi yang kerasa justru sebaliknya. Ceritanya jadi terasa lebih tipis dan datar. Padahal secara tema, film ini punya bahasan yang dalam. Inner journeynya sebenarnya powerful. Tapi film lebih memilih untuk memfokuskan kepada outer journey yang berjubel, yang gak bisa fully develop, yang pacenya berantakan, yang terasa kayak rangkuman episode-episode petualangan tanpa benar-benar ada kesinambungan yang enak. Visual magisnya jadi kerasa hambar. Harusnya Simea juga menjewer telinga film ini sebagai hukuman telah bikin pilihan yang salah.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for MOANA 2.
That’s all we have for now.
Pernahkah kalian punya momen berat untuk ninggalin rumah, tapi harus?
Bagi kalian melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp
Remember, in life there are winners. And there are losers.
We? We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL
“It’s amazing what you can hide by just putting on a smile.”
Senyuman adalah kutukan. Basically, itulah konsep horor yang dibangun oleh Parker Finn sedari film pertama. Tentang ‘hantu’, sosok yang disebut Smile Entity, yang berpindah-pindah merasuk ke orang lewat perantara senyum. Jadi si Entity merasuk ke satu orang, bikin orang itu stress ama kejadian-kejadian menakutkan yang diangkat dari traumanya sendiri, bikin mereka berhalusinasi melihat orang-orang dengan senyuman mengerikan, saat udah ‘bosen’ Entity akan membunuh si orang dan dia akan pindah merasuki orang yang menyaksikan kematian itu. Kedengarannya memang agak campy, aku sendiri juga kurang suka sama film pertamanya. Banyak adegan creepy dari senyum-senyum itu, tapi mostly filmnya asik bermain jumpscare dan tidak benar-benar menyelami horor psikologis yang naturally dimiliki oleh cerita seperti ini. Dalam sekuelnya ini, Parker kini melek dengan hal tersebut. Senyuman adalah kutukan tidak hanya dijadikannya literal sebagai konsep horor, melainkan kini juga adalah pondasi dari psikologis karakternya. Keadaan yang kita bisa relate, karena ya, senyuman memang sering digunakan sebagai topeng dari apa yang sebenarnya kita rasakan.
‘Panggung’ cerita juga lebih menarik. Pokoknya Smile 2 lebih berkarakter dibandingkan film pertamanya. Kita ngikutin seorang bintang pop bernama Skye Riley (Naomi Scott kali ini berhasil bikin aku amat sangat terkesan) yang tengah mempersiapkan comeback-tour, dari hiatus yang disebabkan oleh sebuah kecelakaan tragis. Bukan hanya itu, perlahan nanti cerita akan mengungkap bahwa Skye pernah kecanduan obat terlarang. Masa lalunya memang problematik. Kalo aku jadi Entity, aku pasti udah gak sabaran banget merasuki Skye. Dan memang itulah yang terjadi. Skye kena kutukan senyuman. Sebagian besar film, kita menyelami kekacauan mengerikan yang diakibatkan oleh Entity kepada Skye. Tapi ini juga bukan sekadar dilema antara ‘beneran atau cuma di dalam kepala’. Ini bukan cuma yang dialami Skye versus orang lain gak percaya padanya karena Skye punya riwayat ‘makek’. Karakter Skye beneran dieksplorasi. Konflik personalnya dikuatin sehingga kita peduli. Bahwa Skye sesungguhnya benar-benar ingin berubah jadi lebih baik dari dirinya sebelum kecelakaan. Dia ingin bermetamorfosis, seperti salah satu stage act dia di panggung. Lewat simbolisme, film memperlihatkan tidak mudah bagi Skye untuk melakukan itu. Dan Entity di sini, adalah wujud ekstrim dari konsekuensi yang diterima Skye ketika gagal.
Apa simbolnya? Cermin. Mulai dari adegan bercemin, adegan mecahin cermin, membunuh pakai pecahan cermin, hingga dari shot yang kayak dunia terbalik, dan tentu saja Skye konfrontasi dengan Entity yang mengambil wujud seperti dirinya. Cerminan atau refleksi diri jadi tema kunci pada karakter Skye. Ketika kita pertama kali bertemu dirinya, kita melihat dia sebagai seorang bintang. Tersenyum saat berfoto bersama penggemar. Film dengan cepat mengestablish Skye sebagai seorang bintang tentu saja punya perbedaan dengan Skye sebagai pribadi dirinya yang asli. Nah, perjalanan mengetahui siapa pribadi dirinya yang asli itulah yang jadi journey. Kita akan melihatnya sebagai pengungkapan, sedangkan bagi Skye merupakan journasey personal. Pasalnya, Skye adalah karakter yang menyimpan banyak. Dia punya bekas luka di perut, bekas kecelakaan. Dan Skye gak suka bekas lukanya kelihatan. Skye benci dirinya yang dulu. Tapi dirinya yang dulu kerap muncul dan mengganggu. Luka di punggungnya bikin Skye gak bisa execute tarian panggungnya properly. Apapun yang dia lakukan sekarang dalam usaha mencoba jadi diri yang lebih baik akan selalu berhadapan dengan apa yang telah dia lakukan dulu. Jadi basically konflik personal/psikologis Skye yang jadi penggerak utama cerita adalah soal mirror image yang dia ciptakan akan terus selalu retak oleh konsekuensi dari her former self.
Dengan senyuman, cermin pun dapat dibohongi. Orang-orang pun begitu, Skye menyangka di atas panggung – di depan kamera, cukup dengan dia tersenyum maka orang akan mengerti dirinya sudah menjadi lebih baik. Tapi sebenarnya tang ditipu itu adalah diri sendiri. Yang percaya semua baik-baik saja, yang percaya segampang itu put all the past behind. Karena bahkan di balik senyum, akan ada luka. Seperti borok yang kelihatan di cermin, trauma akan menorehkan garis yang kuat. Yang tidak bisa dienyahkan begitu saja.
‘Kesalahan’ Skye cuma dia percaya senyum di depan cermin, di atas panggung, akan membuat semua kelihatan baik saja. Percaya bahwa dia yang sekarang bisa mengendalikan hidupnya menjadi lebih baik. Inilah fungsi Entity di dalam cerita. Si Setan Senyum terkutuk itu jadi penantang buat Skye’s false believe. Entity membuat Skye berkonfrontasi dengan kejadian traumatis di masa lalu. Kita seiring pengungkapan itu berjalan akan melihat Skye sebagai karakter yang semakin tragis, bahwasanya make sense buat dia untuk pengen percaya dia benar-benar mau jadi orang baik. Dan akhirnya Entity membuktikan Skye salah. Naskah bijak banget untuk tidak hanya memperlihatkan ‘kegagalan’ Skye, tapi sebelum itu, naskah memberikan kesempatan bagi Skye untuk menyadari bahwa dia salah. Sehingga film ini tidak hanya tontonan ungkapan kejadian. Dan punya bobot dan layer di balik kejadian adalah hal yang bagus untuk film ini, karena kalo kita melihat hanya dari kejadian, film ini akan dengan cepat menjadi sangat membingungkan.
Sama seperti film pertamanya, Smile 2 mengandalkan adegan-adegan jumpscare dan adegan-adegan absurd untuk bikin penonton ikut merasa takut. Punchline-nya ya momen kematian yang memorable. Penggemar horor pasti bakal puas nyaksiin adegan-adegan andalan film ini. Aku sendiri suka banget sama adegan Skye ‘disergap’ oleh sekelompok orang di dalam apartemennya sendiri. Adegannya udah kayak mimpi buruk banget. Adegan opening film ini pun keren. Mengikat kepada akhir film pertama, lalu memutuskannya completely sambil lantas ngasih bola ke film kedua untuk berjalan dengan dunia dan karakternya sendiri. Yang bikin membingungkan, seperti yang aku bilang di tadi, adalah: karena film ini elemen psikologisnya lebih kuat, maka adegan-adegan menyeramkannya itupun semakin blur mana yang nyata, mana yang tidak. Chaos dari kemelut Skye dengan kutukan tertranslasikan di layar sebagai adegan seram yang mungkin tidak benar-benar terjadi. Efek samping yang cukup merugikan film karena hal ini adalah momen-momen Skye dapat kehilangan cengkeramannya. Seperti saat adegan dia membunuh ibunya, yang di akhir diungkap ternyata itu hanya ‘ilusi’ dari Entity. Rasa penyesalan telah membunuh itu adds up ke penyesalan Skye atas sikapnya yang bikin ibunya susah (simbol dari membunuh) tapi saat menonton, kita akan terlepas dulu dari momen emosional tersebut. Singkatnya, momen-momen begitu membuat film sedikit terlalu gimmicky.
Film ini juga punya beberapa elemen cerita yang seperti dibuild up tapi ternyata bukan untuk menjadi penting di dalam kelanjutan cerita melainkan hanya sebagai penanda/simbol tertentu. Misalnya soal muntah yang tertinggal di lokasi kematian. Skye mendapat kutukan karena nyaksiin kematian korban sebelumnya (her ex-drug dealer) di sebuah apartemen. Demi melihat kematian yang barbar itu, Skye muntah, lalu dia kabur. Adegan berikutnya nunjukin Skye browsing internet soal apakah dalam muntah bisa diketahui DNA, karena dia takut polisi tau dia ada di TKP dan menyangka dia pembunuh – apalagi kalo pada nyangka dia kembali beli narkoba, padahal enggak. Ketakutan berurusan sama polisi itu seolah build up penting yang bakal ada ujungnya di kemudian waktu, tapi ternyata kan tidak. Karena cerita mainly berpusat pada psikologis Skye, bukan ke soal dia beneran dicurigai sebagai pembunuh. Soal kebiasaan Skye narik rambut atau minum air putih juga begitu. Adegan-adegan Skye melakukannya di-emphasized, hanya saja ternyata itu cuma salah satu pengabur realita. Karena ada adegan dokter mendiagnosa Skye dehidrasi padahal dia selalu banyak minum. And it was not clear, apakah dokternya not real atau tindakan dia banyak minum itu yang tidak real.
Yang jelas, film ini memang sengaja menjadi sangat chaos demi memvisualkan kekacauan di dalam personal Skye sendiri. Yang diperparah oleh kehadiran Entity, sebagai kutukan/setan yang feed off of trauma dan sisi gelap manusia.
Momen paling insecure seorang pengulas film itu adalah ketika muncul perasaan ulasan kita gak ada yang baca. Sebaliknya, momen paling sumringah waktu kita nulis ulasan film adalah ketika ada sekuel film yang melakukan perbaikan dari film pertamanya, dan kebetulan perbaikannya itu sesuai dengan yang kita ungkapkan di ulasan. Wuih, kesannya seolah tulisan kita dibaca langsung ahahaha.. padahal kan enggak juga xD Momen seperti itu yang kurasakan saat nonton film ini. Kekurangan di film pertamanya – kurang gali bobot psikologis – dibayar tuntas. Kali ini cerita film memuat karakter dan panggung yang begitu personal. Ceritanya memang benar-benar tentang psikis seseorang. Hantunya bukan lagi sekadar kutukan konyol. Film ini berhasil membuat konsep horornya jadi punya layer. Sembari juga mempertahankan elemen mainstream yang bikin sekuel ini bisa exist in the first place. Peningkatannya harusnya masih bisa lebih banyak, tapi untuk sekarang, I smile too nonton Smile 2.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for SMILE 2.
That’s all we have for now.
Ending film ngasih kesan seluruh dunia bakal kena kutukan karena banyak banget fans di konser yang nyaksiin Skye tewas. Jika kalian dikasih kesempatan untuk bikin film ketiga, kira-kira gimana kalian ngehandle kelanjutan kutukan tersebut?
Bagi kalian melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp
Remember, in life there are winners. And there are losers.
We? We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL
Edisi halloween (yang tertunda!) hahaha booo gak paten, gak paten… Jadi, edisi ini terpaksa harus telat karena masalah klasik server blog error, alhasil aku ngabisin halloween dengan berdebat di Twitter soal hasil 6:2(1+2). Anyway, edisi mini review kali ini sebenarnya paling aku antisipasi karena tahun ini horor memang lagi banyak banget. Sebulanan itu aja, aku puas hampir tiap hari nonton horor. Saking banyaknya, gak semuanya bisa tercover, karena di sini cuma muat delapan film. Maka, aku ngutamain film-film yang aku tu bener-bener pengen menyampaikan sesuatu buat filmnya. Jadi, film-film kayak Caddo Lake, Tebusan Dosa, Kuasa Gelap, Don’t Move, Bagman terpaksa enggak dulu. Mungkin bisa disempilin di edisi-edisi berikutnya.
APARTMENT 7A Review
Apartment 7A ceritanya adalah prekuel dari Rosemary’s Baby (1968). Dan Rosemary’s Baby adalah salah satu dari horor favoritku sepanjang masa. Jadiii, aku mungkin saja agak sedikit terlalu keras dalam menilai film karya Natalie Erika James ini.
For once, aktingnya gak ada yang jelek. Julia Garner sekali lagi ngasih penampilan yang solid dan meyakinkan. Tiga film dia yang kutonton, kualitas aktingnya tinggi terus, Garner salah satu yang bisa ngasih balance penampilan akting yang ‘diam’ dan yang berdialog. Karakter dan ceritanya pun sebenarnya up to standard horor modern. Aku bisa melihat penonton muda yang belum nonton film aslinya akan terhanyut ke dalam misteri, dan akan mendukung karakter Garner – Terry – karena bentukan karakternya agak beda. Alih-alih prekuel, film ini lebih cocok kalo disebut Rosemary’s Baby versi perempuan yang ngejar karir. Dari sisi karakter menarik, karena Terry gak mau punya anak – beda ama Rosemary – namun film gagal mengangkat bahasan ini. Dari sisi galian horornya, film ini terjebak menggunakan formula dan elemen-elemen film original. Terjebak di bahasan lore dan cult di dalam cerita
Alhasil, film ini juga jadi tidak banyak beda dengan cerita ‘hamil anak setan’ yang berusaha meniru Rosemary’s Baby yang sudah kita temui entah berapa kali (I’ve lost count) di tahun ini saja.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for APARTMENT 7A
CUCKOO Review
Cuckoo karya Tilman Singer punya metafora yang menarik sehingga ceritanya menjadi cukup aneh, yang membuat film ini menggugah rasa penasaran. Singer membicarakan soal keluarga (khususnya sisterhood) gak harus soal hubungan darah ke dalam lingkungan creepy yang dibuatnya bertema ‘burung cuckoo’ – burung yang dikenal suka menyimpan telurnya di sarang burung lain untuk ditetaskan, dan lantas anak burung yang menetas tersebut akan ‘menyingkirkan’ anak burung pemilik sarang. Dan tema tersebut benar-benar jadi semesta cerita. Anak yang asing dari orangtua, evil being yang ngeluarain suara kukuk-kukuk kayak burung – yang ultimately bisa mengacaukan memori dan persepsi waktu.
Nonton ini kayak kita sedang mimpi yang super aneh hingga kita ngerasa cuckoo – alias gila! Aku biasanya suka film aneh seperti ini. Paruh pertama Cuckoo aku pantengin dengan excitement yang tinggi. Tapi perlahan excitement itu semakin berkurang. Penyebab utamanya adalah film ini terlalu ingin memake-sensekan semua, Mastermind jahat yang diperankan oleh Dan Stevens pun terkesan berubah dari eksentrik menjadi generik type of leader genius yang gila. Bahasan kemanusiaan dari eksprimen bentrok sama konsep sci-fi absurd. Perekat cerita kini bergantung kepada karakter utama dengan adik (yang bukan adik kandung) yang bisa sewaktu-waktu berubah jadi monster. Bagian ini pun terasa kurang kuat karena yang dibuild up lebih proper di awal adalah soal Gretchen dengan ayahnya ketimbang soal Gretchen dengan adiknya ini.
Sukur film ini masih nyisain satu hal menarik di konfontrasi akhir, yakni ada tiga kubu yang berseteru alih-alih dua seperti pada cerita yang biasa.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for CUCKOO.
IT’S WHAT’S INSIDE Review
Sekelompok teman bermain satu permainan, berakhir dengan hal mengerikan yang teramat sangat salah. Premis yang sudah cukup lumrah. Somehow,sutradara Greg Jardin berhasil membuatnya unik. Dari jenis permainannya aja dulu; bukan jelangkung, bukan permainan kartu ataupun board game. Tapi bertukar tubuh!
Film ini tahu dirinya punya konsep kejadian yang unik, yang easily bisa menangkap perhatian penonton. Tentu saja seru melihat dan ikut menebak-nebak siapa kini berada di dalam tubuh siapa. Film ini pun punya variasi penceritaan untuk menggambarkan siapa di dalam siapa. Yang bikin keren film ini bukan soal itu. Melainkan justru film gak bersandar kepada ‘kejadian’ tersebut. Film bijak untuk menghadirkan konteks alias perbincangan karakter yang membuat skenario bertukar tubuh mereka menjadi semakin menarik lagi. Konteks tersebut sebenarnya standar. Soal isu gender. Namun karena konsep dan konteks ini dipertemukan dengan kreatif jadinya tetap berbobot dan engaging. Aku sendiri berpikir karakter Shelby annoying, karena dia yang mancing-mancing. Tapi ya seru juga ngeliat ketika dia gak mau balik ke tubuhnya yang asli karena kita dibuat mengerti kecemburuannya berasal dari mana. Bentrokan dengan sudut pandang karakter lain, backstory dari karakter yang membentuk persepsi mereka, plus kefleksibelan dan kretivitas film dalam menceritakan membuat film ini tetap seru.
Sehingga judulnya itu bergaung true. Semuanya tergantung persepsi, dan persepsi itu terbentuk dari background atau lingkungan sekitar, jadi semacam paradoks kan ya?
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for IT’S WHAT’S INSIDE
SALEM’S LOT Review
Bukan sekali ini cerita vampir Salem’s Lot tulisan Stephen King berusaha dialihwahanakan jadi film ataupun serial. Tapi belum ada yang benar-benar memuaskan. Bukan apa-apa, King kalo udah bikin cerita tentang satu kota, biasanya ceritanya memang panjang banget, Thoroughly bahas perspektif penduduknya, sehingga si kota jadi kayak karakter tersendiri. Itulah tantangan yang harus dijawab oleh filmmaker yang nekat mencoba ekranisasi novelnya. Gary Dauberman ngacung untuk menjawab tantangan ini. And he failed graciously.
Secara gaya pengarahan sih, Dauberman masih mumpuni. Sekuens dua anak berjalan di pinggir hutan senja hari, misalnya. Kengeriannya visualnya terasa, karena Dauberman mengambil sudut dari dalam hutan sehingga objek yang kita lihat adalah bayangan si dua anak berjalan di antara bayangan pepohonan. Well, sampai ada satu bayangan lain yang tiba-tiba muncul, menculik salah satu anak. Pak sutradara clearly punya visi horor. Efek salib menyala pun digunakannya untuk mempertegas simbol faith seseorang. Benturannya sama dengan sudah-sudah. Materi yang terlalu beragam. Film adaptasi pertama cerita ini durasinya sekitar 3 jam, film itu berusaha stay di perspektif jurnalis yang pulang ke kota Salem tersebut. Still, the wholeness of that town gak kerasa benar-benar hidup. Film kali ini, mencoba untuk lebih fluent dengan perspektif supaya kota dan aktivitasnya hidup. Tapi hasilnya, film ini justru terasa loose. Perspektif utamanya ngambang. Tokoh utamanya gak jelas siapa.
Mungkin harusnya film ini berangkat dari mencoba mengambil perspektif lain sebagai tokoh utama. Mungkin dengan begitu kita bisa dapat cerita yang lebih fresh dengan perspektif yang solid. Yang jelas, menurutku, materi se’tebal’ ini ya diapproach bukan dengan mencoba mengemulasi semua yang tertulis. Tapi lihat dari sisi banyak perspektif di buku berarti banyak pilihan bagi filmmaker untuk menghidupkan cerita seluruh kota dari perspektif utama yang mana.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for SALEM’S LOT
STRANGE DARLING Review
Setelah menyelami berbagai persepsi dan praduga karakter dalam It’s What’s Inside tadi, coba deh langsung nonton Strange Darling. Psikologikal thriller karya JT Mollne, yang gantian bermain-main langsung dengan persepsi dan praduga kita!
Karakternya gak bernama. Inti ceritanya dibagi ke dalam enam chapter. Tapi urutannya diacak. Jadi timeline ceritanya gak linear. Yang pertama kali teringat sama aku saat nonton adalah Pulp Fiction (1994), film Tarantino itu juga dibagi per chapter dengan urutan waktu yang diacak. Pengacakan babak seperti demikian memang efektif untuk membuat setiap kejadian terasa lebih impactful, misalnya dalam Pulp Fiction yang per babaknya itu adalah karakter yang berbeda. Susunan acak membuat momen para karakter bertemu terasa lebih engaging, sehingga narasi pun juga terasa lebih nendang. Nah gimana dengan Strange Darling yang karakternya cuma dua, tanpa nama pula (yang cowok cuma dilabeli “The Demon”, dan yang cewek “The Lady”)? Yang diincar oleh film ini dengan susunan acak adalah selaman terhadap bagaimana persepsi dan praduga kita terbentuk. Untuk kemudian kita akan sensasi dramatis ketika urutan kejadian terkuak dan ternyata sebenarnya seperti apa.
Film ini menelisik isu gender lewat thriller berdarah. Cewek selalu jadi korban, cowok adalah psikopat? Belum tentu begitu, kata film ini. Susunan acak tersebut bukan pula cuma sebatas untuk bermain kejutan, bukan soal “ternyata-ternyata” doang. Sebab susunan acak tersebut paralel dengan state of mind karakter yang diperankan Willa Fitzgerald (gila banget Willa di sini, adegan sakaratul maut di epilog itu loh!) Jadi ketika susunan acak itu membuat kita katakanlah ‘tertipu’, tapi kontras dengan itu kita melihat dia sendiri percaya dan hidup dalam ‘tipuan’ tersebut. Dia percaya dia tetap victim di skenario itu. Cewek memang gak pernah salah, ya haha
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for STRANGE DARLING
TERRIFIER 3 Review
Damien Leone kembali untuk memuaskan dahaga gore kita, while juga berhasil memperkuat posisi Art the Clown dan Sienna sebagai ikon slasher horor modern.
Kerja terbaik film ini memang di sadis-sadisan. Suasana natal berhasil film ini merahkan oleh darah. Sekuen Art minum-minum bareng sinterklas di bar itu aku suka banget. Kali ini film sepertinya benar-benar mengeksplor sisi jahat Art dan kemudian mengontraskannya dengan kesucian natal. Terrifier 3 kembali ke formula horor klasik. Kebaikan vs. Kejahatan yang disimbolkan oleh agen setan dan agen tuhan. Tapi betapapun sadisnya Art yang bahkan di film ini sampai membunuhi anak-anak – adegan openingnya aja dia nyamar jadi sinterklas dan menghadiahi penghuni satu rumah dengan tiket satu arah ke alam barzah – film tetap ‘classy’ dengan tidak sekalipun memperlihat adegan pembunuhan anak-anak tersebut secara on-cam. Gak kayak Sumala kemaren tuh. Filmmaker horor Indonesia harus banyak belajar dari film ini.
Cuma kalo dibandingkan dengan film keduanya tahun lalu, Terrifier 3 terasa kurang ‘absurd’. Pesona ganjil dan dunia surealis agak berkurang, mengalah ke sadis-sadisan yang diperbanyak. Cerita dari sisi Sienna juga kurang. Film cuma menjawab sedikit lore soal hubungan dia dan ayahnya, tapi film yang timeline ceritanya lima tahun dari film kedua menempatkan Sienna di ‘keluarga’ baru yang membuat mainly kisah dia ‘reset’, Kembali ke soal gak mau kehilangan keluarga (lagi). Singkatnya, keberlanjutan kisah masih belum banyak, tapi film ini cukup memuaskan dengan melanjutkan feud Sienna dengan Art di lokasi yang berbeda.
The Palace of Wisdom gives 6.5 gold stars out of 10 for TERRIFIER 3
V/H/S/BEYOND Review
Makin ke sini, aku rasanya makin ilang gairah sama seri film V/H/S/. Kayak pas nonton yang Beyond ini aja. Pembukanya kan tentang dokumenter penampakan alien gitu, itu aku tertarik, tapi pas ganti segmen jadi tim penyergap nembak-nembak makhluk gitu, aku jadi bosen. Apalagi pas segmen berikutnya yang dari India tentang paparazzi dan bintang musik, duh goyang-goyang kameranya bikin capek. Secara subjektif, mungkin aku memang lagi jenuh aja sama konsep ‘rumahan’ begitu. Tapi secara objektif juga, aku males sama V/H/S/ karena selalu setengah-setengah dalam ngikutin tema.
Mestinya sekarang ini kan temanya tentang alien. Beyond, as in beyond our universe, beyond our comprehension, dsb-lah. Tapi beberapa ceritanya ya lebih mirip creature general aja. Sekalinya ada alien kayak segmen yang nyeritain sekelompok sahabat yang pesawat mereka nabrak UFO, ujungnya ya tetap kejar-kejaran creature. Makanya yang segmen dokumenter itu lebih menarik, karena kita di-engage dari misteri seputar yang mereka bicarakan di dalam dokumentasi tersebut. Sensasi eksplorasi dan discoverynya kerasa, dan dua itu adalah elemen relevan dalam cerita yang bertema ketemu dengan makhluk planet lain. Segmen “anabul” juga aku suka. Walaupun ini juga bukan exactly alien, tapi lebih ke kayak creature eksperimen dan psikopat gitu, tapi karena penceritaannya lebih absurd tapi juga lebih ‘kalem’ ngikutin ceritanya juga jadi lebih yahud. Kalo diitung-itung, dari lima cerita, aku cuma suka 2.
The Palace of Wisdom gives 5 gold star out of 10 for V/H/S/BEYOND
WOMAN OF THE HOUR Review
Nah, kalo film ini kebalikannya. Aku justru excited sekali. Karena ini debut penyutradaraan Anna Kendrick! Selain akting dan nyanyi, bisa ngedirect juga, gimana gak keren tuh. Gak tanggung-tanggung juga, cerita yang ia kawangi ini ternyata berdasarkan kisah nyata. Rodney Alcala, serial killer yang beneran pernah jadi peserta dating show di televisi.
Anna Kendrick ternyata punya concern yang gede terhadap isu feminisme. Gimana perlakuan terhadap perempuan di industri hiburan, seperti film dan televisi. Bukan tidak mungkin, aspek-aspek yang ia hadirkan di sini adalah aspek yang dia ngelihat sendiri sebagai yang lama berkecimpung sebagai aktris Hollywood. Lensa berhasil membuat film ini tampak personal. Kendrick tahu persisnya feeling kayak ketika perempuan ‘dikecilkan’ jadi cuma kayak eye candy, gak boleh terlihat pintar di layar, ataupun ketika dikuntit di lapangan parkir yang kosong. Adegan-adegan ‘predatory’ seperti begitu, sangat menyala di film ini. Seandainya Kendrick fokus di satu aspek seperti acara show dan dunia hiburan itu saja, film ini pasti keren.
SayangnyaKendrick dapat naskah yang melebar. Actually, ceritanya punya range kurun yang luas. Mengikuti ‘kiprah’ si serial killer gondrong yang modusnya mau motret cewek-cewek untuk kontes, lalu menyorot perspektif perempuan-perempuan yang pernah bertemu dengannya. Some of them tewas. Tapi ada satu karakter yang selamat, yang kisahnya sebenarnya lebih menarik, yang bahkan film ini sendiri menjadikan kelanjutan karakternya sebagai info tertulis di penutup. Ini kan jadi sinyal kalo sebenarnya cerita si karakter ini lebih menarik. Tapi bagian tersebut dibahasnya di akhir, sementara bagian tengahnya adalah tentang dating show tadi. Jadi film ini kayak bingung sendiri memilih mana yang harusnya dijadiin utama, sehingga akhirnya memilih jalan tengah memperlihatkan semua. Yang buntutnya jadi clash, karena dengan begini berarti harusnya karakter utama adalah si serial killer karena bentukan film ini episodik dengan cuma karakter serial killer yang selalu ada di tiap ‘episode’, Cocoknya judulnya jadi Man of the Hour, atau kalo memang harus cewek-cewek, ya Womens of the Hour.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for WOMAN OF THE HOUR
That’s all we have for now
Maaf atas telatnya edisi halloween ini. 2024 tinggal dua bulan lagi, semoga aku bisa ngejar ketertinggalan untuk nyelesaiin rapor film akhir tahuunn
Thanks for reading.
Remember, in life there are winners. And there are losers.
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA
“Friendship has no survival value, rather it is one of those things that give value to survival.”
Robot dan hutan, kayaknya jauh sih ya. Yang satu mesin, yang satu alami. Apa pula yang bakal dilakukan robot yang diprogram untuk meringankan tugas sehari-hari di dalam hutan yang gak ada manusia sama sekali. Tapi di tangan penulis buku Peter Brown, lalu kemudian dihidupkan jadi film oleh Chris Sanders, robot dan hutan itu bisa ketemu. Dan ketemunya itu di hati kita. The Wild Robot akan jadi lebih dari sekadar cerita tipe fish-out-of-the-water (karakter yang ditempatkan di lingkungan baru yang asing). Film animasi dengan karakter robot dan hewan-hewan di hutan ini akan membuka hati kita tentang alam, kehidupan sosial, dan bahkan motherhood. Hidup memang survival tapi film ini ngingetin yang lebih penting dari bertahan hidup itu sendiri, yakni alasan kenapa kita bertahan hidup. Our true purpose in life. Dan akhirnya, film ini akan membuat kita melawan ‘program’ kita sendiri untuk tidak menangis di bioskop.
Ada yang menekan tombol aktif Roz. Robot ini bangkit dan menemukan… tidak ada orang di sekitarnya. Yang ada malah sejumlah makhluk-makhluk berbulu dan beragam bentuknya. Sekitar Roz juga bukan gedung-gedung bertingkat, melainkan kayu-kayu besar yang menjulang. Roz kelimpungan mencari yang bisa memberikan tugas untuknya, karena sebagai robot dia memang tercipta untuk menyelesaikan tugas. Beruntung Roz adalah robot yang canggih dan pintar. Dia mempelajari bahasa para binatang supaya mereka bisa berkomunikasi. Masalahnya, para binatang di hutan itu takut pada Roz. And they couldn’t care less karena para hewan sibuk sendiri dengan urusan hidup masing-masing. Saat itulah Roz menemukan telur angsa. Telur itulah yang akan memberikan tugas untuk Roz. Membuat robot ini memulai petualangan sebagai seorang ibu bagi anak angsa yang tak bisa terbang, dari kumpulannya terbuang. Tak perlu mobil sedan itu!
Kita sudah pernah melihat drama animasi robot yang bertindak against programnya sendiri, mesin yang supposedly gak punya perasaan tapi jadi begitu lovable dan menunjukkan cinta lebih daripada seorang manusia. Recently, kita kenal ama Baymax ataupun Wall-E. Yang bikin Roz ekstra spesial adalah ceritanya sendiri ikut berevolusi – mengalami perkembangan – seperti Roz. The Wild Robot dimulai sebagai cerita fish-out-of-the water. Dan ini jadi set up yang efektif, membuat kita bersimpati kepada Roz. Bagian awal film ini ‘keras’. Roz bertemu dengan hewan-hewan, mereka tidak ada di dalam datanya, Roz tidak mengerti bahasa dan perilaku mereka. Di babak awal ini kita akan kasian banget sama Roz. Karena dia dimusuhi oleh hewan-hewan tersebut. Roz mengejar mereka karena pengen dikasih tugas, tapi hewan-hewan itu balik menyerang Roz karena mereka juga punya ‘program’ sendiri dari yang Maha Kuasa, yakni bertahan hidup. Seketika film juga berhasil melandaskan gagasan utama ceritanya. Tentang bertahan hidup dan insting atau program kita sebagai makhluk.
Walaupun animasi dan fantasi yang ditujukan untuk bisa ditonton anak-anak, film ini gak lantas jadi mangkir dari persoalan realita hidup. Hewan dalam film ini bukan seperti di kartun-kartun. Burung-burung dan kelinci di film ini tidak bernyanyi riang menyambut mentari. Hewan-hewan di sini tampangnya doang yang lucu. Sikap mereka ya keras. Apatis. Karena mereka aware kematian bisa datang kapan saja. Kelaparan, kecelakaan, predator, film ini nunjukin itu dalam world-buildingnya. Hewan-hewan ini sudah biasa akan hal itu, malah ada adegan yang ngasih dialog seekor ibu possum nyebut sambil lalu aja kematian anaknya karena baru aja terjatuh ke jurang. Konsekuensi dan apa yang harus dihadapi dalam bertahan hidup ditunjukkan tanpa malu-malu oleh film ini. Membuatnya jadi punya nilai realisme yang dapat jadi pelajaran berharga bagi penonton anak-anak. Dan landasan realisme ini penting karena itulah yang nanti dijadikan sebagai landasan emosional oleh film. Pertemuan-perpisahan. Kelahiran-kematian. Urusan ketika nanti Roz membesarkan Brightbill, si anak angsa, membuat film berevolusi menjadi cerita motherhood yang menyentuh. Roz seketika menjadi relatable bagi para ibu (meskipun tidak terbatas kepada ibu, karena seorang ayah pun bisa menjadi erat dengan anaknya considering context film ini no matter dia yang ngelahirin atau bukan). Tidak ada program yang terpasang di dalam Roz tentang membesarkan anak, tapi begitu momen dia memungut telur, dia harus belajar sendiri bagaimana merawat, menjaga, dan nanti membesarkan anak tersebut hingga dewasa. Ini kan sama kayak manusia. Gak ada seorang pun yang tahu cara menjadi orang tua yang baik. Kita sebagai manusia malah enggak tau kita ini hidup purposenya apa. Namun ketika tanggungjawab itu datang, kita tahu kita harus mengemban sebaik-baiknya. Kita tahu kita harus belajar. Dan tahu harus bersiap sama pengorbanan yang pasti akan datang mengikutinya.
Berbeda dengan Roz yang sudah punya program untuk menyelesaikan tugas, kita dan para hewan tidak tahu tujuan hidup kita apa. Kita cuma tahu kita harus bertahan hidup. Gimana caranya harus kita pikirkan sendiri. Yang jelas Fink, rubah teman Roz bilang, kebaikan bukan alat untuk bertahan hidup. Dunia begitu keras. Kita gak bisa kenyang dengan berbuat baik. Kita gak bisa punya duit dengan berteman.Hal tersebut mungkin memang benar. Tapi yang diingatkan oleh film ini adalah kebaikan dan persahabatan memang bukan alat untuk bertahan hidup, tapi dua hal tersebut adalah value yang membuat bertahan hidup menjadi tujuan hidup kita in the first place.
Tema pengorbanan membuat film berevolusi sekali lagi. Dan ini adalah wujud terakhirnya yang sempurna. The Wild Robot bukan semata tentang Roz dan Brightbill. Sebagaimana yang diset up oleh babak awal, ini adalah tentang komunitas sosial hutan tersebut. Roz dan Brightbill – robot yang membesarkan angsa cacat – jadi bahan pembicaraan di hutan. Hewan-hewan awalnya memandang mereka sebagai keluarga yang aneh, tapi pencapaian Roz dan keberhasilan Brightbill terbang menyentuh mereka. Puncaknya adalah ketika musim dingin ekstrim datang, Roz mengorbankan dirinya untuk menyelamatkan semua hewan. Pengorbanan yang mengetuk hati semua hewan. Mereka sadar akan value dari persahabatan dan kekeluargaan di atas insting bertahan hidup. Di babak akhir, film memang jadi gede, karena ada bahasan ‘perang’ melawan robot-robot lain yang datang untuk membawa Roz pulang, tapi ini bagian yang paling optimis dan paling hangat buatku. Melihat para hewan bersatu padu itu rasanya jumawa sekali. Triumphant. Keberhasilan elemen akhir ini tercapai karena film benar-benar membuild up hutan dan warganya sedari awal. Sebagai background, mereka tetap dicuatkan. Film ini jadi punya feel kayak cerita-cerita Stephen King yang selalu berhasil menghidupkan kotanya menjadi karakter sendiri, lengkap dengan warga dan kebiasaan hidup mereka.
Gak keitung deh momen-momen berkesan yang hadir di film ini. Sebut saja mulai dari Roz ngajarin Brightbill terbang, Roz dikasih kaki kayu dari berang-berang yang tadinya takut sama dia sebagai ganti kakinya yang rusak, Roz nolongin beruang yang jadi musuh semua hewan di tengah salju dengan kondisi baterai yang udah kritis, semua hewan bersatu padu mengalahkan robot-robot, Roz ngeliat Brightbill yang udah baru balik dari migrasi tapi urung karena tugasnya udah selesai dan anaknya sukses jadi dewasa. Semuanya bakal ngulik-ngulik emosi kita. Dan itu aku belum nyebut gaya animasinya. Wuih, semuanya colorful dan terasa punya keunikan. Setiap frame berasa mencuat, film yang ngembangin latar sebagai karakter akan otomatis menjadi sangat detil di visual, dan itulah yang persisnya dilakukan oleh The Wild Robot. Aku sendiri gak nyangka, pas awal nonton mikir ah, ini tokohnya robot gak punya perasaan, pasti gak sedih-sedih. Tapi ternyataaa… Film juga gak ngasih akhir journey yang cartoonishly happy. Journey Roz justru terasa dalem. Pas di tengah film udah bukan soal lagi gimana film ngasih hati ke cerita yang tokohnya robot yang cuma punya program. Pertanyaannya jadi berapa dalem film ngasih sensasi emosional tersebut. Roz belajar untuk mengoverride programnya sendiri. Demi perasaan. Demi pengorbanan. Journey Roz circled back dari dia yang tadinya nempel terus nagih dikasih tugas, berubah menjadi sebaliknya dia tahu sudah tugasnya menjaga sesama warga hutan jadi dia pergi supaya mereka aman.
Denger-denger bukunya ada tiga seri, jadi mungkin film ini bakal ada sekuel. Tapi yang jelas, film ini gak lantas menjadikan itu alasan untuk ‘menggantung’ ceritanya. Roz di sini punya akhir cerita yang complete. Karakter-karakter lain juga punya journey yang tuntas. Sementara di backgroundnya, film membiarkan banyak pintu pertanyaan tetap terbuka. Ini adalah cara yang tepat untuk menyelesaikan bagian pertama. Treat it as one complete story first. Di atas kertas, karakternya boleh saja diprogram untuk gak punya perasaan, tapi semua aspek di film ini seperti menguar oleh perasaan, Cerita yang dalam dan berevolusi mengembangkan lapisannya, karakter dengan journey menghangatkan, vibe yang kartun tapi juga realistis dan gak sugar-coating anything. Benar-benar film animasi yang menakjubkan.
The Palace of Wisdom gives 9 out of 10 gold stars for THE WILD ROBOT.
That’s all we have for now.
Sekilas diperlihatkan gimana dunia di luar hutan Roz, ada paus yang berenang di atas bangunan yang kayaknya jembatan, video kota canggih tentang satu keluarga yang punya peliharaan anjing robot. Menurut kalian apa yang terjadi di dunia cerita ini?
Bagi kalian melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp
Remember, in life there are winners. And there are losers.
We? We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL
Sori beribu sori dua bulanan ini konten reviewnya sepi. Nontonnya sih tetep jalan, cuma memang waktu untuk nulisnya yang semakin sempit. Kudu disempet-sempetin. Untung kali ini dapet waktunya, inilah film-film bulan Agustus dan September yang dirapel, beberapanya mungkin sudah ditunggu karena memang crowd’s favorite. Semoga Volume ini tidak diamuk massa haha..
BADARAWUHI DI DESA PENARI Review
Badarawuhi adalah peningkatan dari film pertamanya. Tapi mengingat film KKN di Desa Penari (2022) itu memanglah teramat bobrok, maka peningkatan pada sekuel ini sebenarnya adalah keharusan. Tuntutan yang kudu dipenuhi. Karena kebangetan kalo masih kayak gitu juga!
Peningkatan film ini ada pada pengarahan horornya. Kimo Stamboel yang kali ini di kursi sutradara. Kimo membawa ceritanya ke arah yang lebih personal bagi karakternya. Gadis yang mencari kesembuhan ibunya (dari penyakit yang sepertinya kutukan) ke desa terpencil tempat asal sang ibu. Horornya jadi turun temurun as gadis itu mungkin harus menyerahkan dirinya kepada Badarawuhi sebagai ganti ibunya. Jadi Kimo di sini bermain-main dengan mistisnya sosok Badarawuhi yang dia bikin menyelimuti satu desa, lewat mata karakter utama. Durasi panjang film ini kebanyakan disebabkan oleh Kimo benar-benar ngasih momen yang extended perihal penampakan atau kemunculan sosok Badarawuhi. Misalnya ketika hantu itu ‘menarik’ Mila ke kolam. Atau adegan nari mistis yang harus dilakukan sebagai ritual. Film ini lebih atmosferik ketimbang film pertamanya yang bland.
However, film ini masih halfway there. Sebagian besar waktu film ini masih terasa generik, jinak, dengan alur yang masih bisa dikembangkan lebih jauh lagi. Ini mengecewakan mengingat film ini tayang internasional.Badarawuhi punya potensi untuk jadi ikon horor modern, tapi filmnya harusnya berani embrace sisi gelap horor legenda. Afterall, horor 80an kita bisa dapat status cult di luar sana apalagi kalo bukan karena ‘keliaran’ cerita dan efeknya.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for BADARAWUHI DI DESA PENARI
BLINK TWICE Review
Menjawab tag linenya. no, I’m not having a good time. Tapi itu bukan karena filmnya parah, melainkan justru itu bukti kalo psychological thriller ini berhasil bikin aku gak nyaman. Bukti dalam debut penyutradaraannya ini, Zoe Kravitz berhasil ngangkat cerita perempuan di dunia laki-laki, dunia yang suka semena-mena dan ena-ena dengan power, beneran kerasa urgen dan relevan.
Basically sebenarnya konsep thriller ini sederhana. Karakternya yang diundang oleh milyuner idolanya untuk bersenang-senang di pulau private – hal yang seperti too good to be true, yang lantas memang ada hal mencurigakan di baliknya. Ada momen-momen yang gak bisa diingat Frida, dan momen-momen itu seperti red flag tapi yah, gak ada satupun yang ingat sampai semua terlambat. Naturally kita sebagai penonton akan menatap layar lekat-lekat berusaha menangkap clue apa yang exactly happened kepada Frida dan para tamu. Arahan Zoe membuat konsep ini jadi ‘berbeda’. Zoe beneran gak ingin kita ngedip. Adegan yang banyak close-up dan cut-cut yang begitu abrupt, itulah yang kita pelototi. Ngasih sensasi gak nyaman yang relevan dengan ceritanya.
Untuk tone atau voice, Zoe berusaha untuk imbang meski memang ceritanya tentang gender. Kekuasaan semena-mena pria terhadap wanita. Suara-suara berimbang dihadirkan lewat karakter yang memang banyak di dalam cerita. Misalnya ada karakter cowok yang sebenarnya gak ikut-ikutan, tapi dia juga itungannya complicit karena gak ngelakuin hal yang benar. Ataupun ada karakter cewek yang justru membenarkan kelakuan karakter Channing Tatum untuk suatu alasan.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for BLINK TWICE.
HOME SWEET LOAN Review
Bukannya mau jadi pick-me atau gimana, tapi Kaluna dalam karya terbaru Sabrina Rochelle Kalangie, Home Sweet Loan, kurang terlalu relate buatku. Dan itu mungkin karena aku tipe perantau. Dan tipe perantau biasanya selalu kangen balik ke rumah, sesumpek atau sedrama apapun. Dan ya, lebih relate ke umang-umang yang kemana-mana bawa rumahnya sebenarnya…
Tapi sebodo amat aku relate atau enggak, toh naskah film ini memang kentara kuatnya. Nice banget gimana ceritanya mengarahkan Kaluna yang sedari awal ‘berjuang’ karena ingin punya rumah sendiri, namun ketika kesempatan itu ada dia jadi malah harus memilih antara ambil rumah itu atau menggunakan tabungannya untuk menyelamatkan keluarga yang dia ingin terbebas dari mereka sejak lama. Dari perspektif penulisan, ini adalah bentukan karakter dan drama yang kuat. Bumbu pedes sebenarnya, yang bikin mata kita berair sebenarnya, datang dari drama yang membuat Kaluna ingin hidup sendiri. Drama dengan keluarganya. Terkait posisinya sebagai si bungsu yang kerap ‘dikecilkan’ atau di-overlook peranannya oleh keluarga besar.
Menurutku ini film Sabrina yang paling enjoyable sejauh ini. Walaupun aku gak relate, tapi kerasanya ‘honest’ aja gitu filmnya. Lagu latarnya gambarin keadaan Kaluna lebih dalam lagi. Ngomongin lagu, aku jadi teringat penggalan lagu Alessia Cara pas nonton ini “The house that you live in don’t make it a home”. Pengadeganan film ini juga dibikin grounded, dengan juga masih mampu menambahkan bumbu jenaka. Kayak pas lagi makan malam di meja makan sederhana mereka, lalu kakaknya sambil nyuapin anak nanya gimana hubungan Kaluna ama pacarnya. Reaksi mereka sekeluarga mendengar jawaban Kaluna terasa real tapi juga lucu karena si anak malah kelupaan disuap, sendoknya masih gantung di udara di depan mulut mangapnya. Film ini cuma terasa agak goyah saat mencapai akhir, dengan resolusi pindah-kerja yang bikin jadi kayak “how’s that add to the story?” gitu.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for HOME SWEET LOAN
KANG MAK (FROM PEE MAK) Review
Ngeremake film luar yang populer tampaknya masih jadi strategi andalan Falcon Pictures. Kali ini Herwin Novianto ditunjuk menyutradarai komedi horor asal Thailand. Pee Mak, diadaptasi jadi Kang Mak. Dan bisa dibilang ini juga remakenya asal-mirip-doang.
Yang lebih baik dilakukan oleh film ini daripada film aslinya adalah pace atau tempo. Kang Mak terasa punya pace yang lebih baik karena membuang beberapa adegan komedi yang tidak relevan dari film aslinya (misalnya adegan main charade atau tebak kata) sehingga Kang Mak bisa lebih segera menuju ke drama atau hati cerita dan gak melulu bikin capek di komedi teriak-teriak ngebahas siapa yang sebenarnya hantu. Tapi selain itu, film ini ya plek-ketiplek sama. Tidak ada muatan baru atau lokalisasi penting yang dilakukan. Film ini masih seperti ada di Thailand, ketimbang di tanah Sunda. Komedinya memang ada yang direwrite, tapi itu juga sama aja garingnya dengan film aslinya, sehingga ya tidak menambah poin juga. Perspektif cerita pun tidak diperbaiki, Kang Mak juga sering pindah-pindah dan gak punya tokoh utama yang jelas. Karena konteks film aslinya yang berantakan itu masih dipakai; apakah ini cerita tentang Mak yang harus nerimo istrinya telah meninggal, apakah ini tentang dilema istrinya di antara dua dunia, atau apakah tentang teman-teman yang berusaha ngasih kebenaran. Cerita ini bisa lebih terarah jika mengambil salah satu, bukan amprokan tentang semuanya
Ngomongin soal adaptasi, aku ngeliat ini jadi ngerasa kita udah punya ‘adaptasi unofficial’ Pee Mak yang lebih original dan far more better, yaitu Agak Laen (2024). Karena sama-sama ada rumah hantu, hantu beneran, dan bahkan soal penggambaran ‘saksi bisu’. Tapi yang paling kasian sih ibu-ibu yang nonton ini karena pengen lihat Jirayut. Public figur itu digunakan heavily pada promo, tapi pada film aslinya dia gak muncul, melainkan hanya di kredit penghias.
The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for KANG MAK (FROM PEE MAK)
LAURA Review
Disclaimer dulu; I know cerita Laura di film ini diangkat dari kisah nyata seorang selegram bernama Laura, tapi karakter Laura dan ceritanya yang aku kritisi di review ini adalah Laura dalam frame film – sebagai sebuah cerita film. Dan the fact aku perlu ngasih disclaimer ini dulu membuktikan flaw utama dari film karya Hanung Bramantyo ini. Yaitu film ini didesain ada di pihak Laura sedari awal, bahwa filmnya bekerja seolah kita semua sudah tahu tragedi Laura dan kita bersimpati kepada sisi Laura yang ingin mereka jual. Jadi ini bukan objective view, bukan exactly cerita tentang perkembangan karakter.
Darimana kita bisa menyimpulkan ini? Dari adegan kecelakaan saat Laura dan pacarnya mengendarai mobil sambil mabuk. Film ngetreat kecelakaan ini dengan dramatis, ada build up cukup lama dan segala macem. Supaya kita menyayangkan kecelakaannya. Sedari adegan itu bahwa Laura mau gimana pun kelakuannya, harus mendapat simpati kita. Dan ini akan semakin susah untuk kita lakukan karena cerita akan berlanjut tentang Laura terjebak dalam toxic relationship dengan alasan yang tidak diselami, again, karena kita harus bersimpati aja sama Laura. Ada dialog Laura nangis bilang dia gak bisa lepas dari Jojo karena dia ngerasa dalam kondisinya sekarang cuma Jojo yang masih mau sama dia. Padahal red flagnya Jojo sudah diperingatkan oleh teman-teman dan keluarga sejak sebelum mereka kecelakaan. Menurutku film ini harusnya menyelami persona Laura di depan maupun di belakang kamera. Kerjaannya sebagai influencer juga harus dibahas, supaya tidak cuma jadi convenience dalam cerita. Kita harus benar-benar melihat kenapa dia ini fighter dan sikapnya tegarnya mempengaruhi orang sekitar walaupun mungkin tegarnya cuma di depan kamera.
Menurutku film ini harusnya bisa jauh lebih besar lagi daripada sekadar menjual tragedi. Akting Amanda Rawles sudah menjelma menjadi sosok lain, tapi karena momen-momen Laura hanya memperlihatkan momen dia on-cam di show atau podcast, penampilan akting tersebut tidak terasa demikian konsisten karena hanya kayak meniru dari materi yang sudah ada. Kita perlu melihat Laura versi Amanda, kita perlu mendengar Laura versi Hanung, untuk film ini menjadi benar-benar bagus.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for LAURA
MAHARAJA Review
Maharaja film dari Telugu certainly have a strong mainstream appeal berkat konsep bait-and-switch yang jadi jualan utama. Twist. Sutradara Nithilan Sarninathan dengan cakap ngecraft cerita yang bermain-main dengan ekspektasi kita, kemudian lantas membelokkannya – mengungkap yang sebenarnya. Penutupnya juga sangat kuat ngasih disturbing feelings, udah kayak Oldboy versi pembalikan.
Namun menurutku, memilih konsep itu membuat film ini mengorbankan banyak perspektif yang dapat membuat film ini jauh lebih kaya dan berisi. Perspektif anak perempuan Maharaja, misalnya. Film dimulai dengan si anak sebagai narator, seperti dia tokoh utama cerita, tapi ternyata tidak. Film berpindah menyorot Maharaja, dan bahkan di akhir bobot dramatis itu diterima oleh karakter penjahatnya. Film melakukan banyak pindah perspektif karena ingin ‘nutupin’ kejadian sebenarnya. Feelingnya memang jadi seru ketika kita tau ternyata kejadian sebenarnya seperti apa, tapi ya perasaan “ph ternyata begitu” yang nempel ke kita. Padahal kalo perspektif anaknya digali, relationshipnya dengan Maharaja apakah berubah atau tidak ketika dia mengetahui kejadian sebenarnya. Ataupun kenapa Maharaja tidak ngasih tau kejadian sebenarnya. Begitu banyak potensi untuk bikin cerita jadi dalam dengan perspektif yang jelas, tapi film mengambil konsep yang membuat perspektifnya jelas tidak bisa dikembangkan lebih jauh.
The Palace of Wisdom gives 5 gold stars out of 10 for MAHARAJA
RIDDLE OF FIRE Review
Debut film panjang sutradara Weston Razooli ini benar-benar bikin kita kangen masa kecil. Masa ketika belanja ke toko supaya dapat izin main video game dapat menjadi petualangan yang gak kalah serunya dengan permainan video game itu sendiri! Petualangan anak-anak dalam Riddle of Fire memang akhirnya jadi hilariously besar dan out of control supaya ngasih pelajaran buat anak-anak bandel tersebut sehingga mereka jadi punya development, tapi aku pikir Weston berhasil mendaratkan ceritanya ini kembali grounded. Membuatnya tidak kehilangan hati.
Kekurangan film ini justru datang dari ketika cerita menjadi out-of-control tersebut. Weston masih terasa terlalu berhati-hati. Sehingga film ini jadi kayak surealis belum nyampe, tapi juga gak mungkin lagi disebut realisme. Weston harusnya jor-joran aja di pertengahan film. Bikin cerita yang benar-benar aneh sekalian. Karena itu bakal lebih nunjukin kenekatan dia, kekuatan visinya, terlebih ketika toh dia mampu membawa cerita ini kepada penutup yang grounded. Makanya karakter anak-anaknya jadi kurang membekas. Padahal mereka ini bandel-bandel loh, lucu. Relationship di antara mereka benar-benar dikembangkan, dengan backstory segala macem. Mereka juga ntar dapat teman baru dengan kekuatan aneh. Film memastikan cerita bergulir dari sudut pandang mereka jadi bakal banyak keputusan yang konyol dan bikin ngakak. Tapi kupikir harusnya tim anak-anak Riddle of Fire bisa jadi lebih kuat dan memorable lagi jika sutradara totally jor-joran ngegarap cerita ini jadi fantasi atau surealis, at least pada bagian petualangan mereka.
The Palace of Wisdom gives 6.5 gold star out of 10 for RIDDLE OF FIRE
SUMALA Review
Ngomongin soal film tentang anak kecil, Sumala sukses bikin aku bertanya-tanya jangan-jangan Lembaga Sensor menyensor film ini sambil merem. Karena bahkan untuk ukuran film berating Dewasa pun, kayaknya kita jarang nemuin adegan kekerasan anak terhadap anak yang begitu frontal; anak nusuk anak, anak menggorok anak. anak kecil saling bunuh semuanya on-cam dan jelas. Bahkan ada juga adegan bapak membunuh bayinya yang baru lahir, dengan menusuk si bayi dengan keris. Hahaha, Rizal Mantovani is a twisted human being!
Sumala adalah tentang suami istri kaya yang pengen punya ahli waris, jadi si istri ke dukun hitam supaya cepat punya anak. Anak yang lahir kembar, Kumala yang cakep dan baik, Sumala yang jelek dan iblis – literally. Sumala ini pas lahir langsung dibunuh oleh ayahnya. Tinggallah Kumala sendiri. Tumbuh cukup tersiksa karena cacat fisiknya membuat dia dibully. Hantu Sumala ternyata terus menemani Kumala, dan siap membalas orang-orang yang nyakitin Kumala. Puncaknya ya Sumala ngamuk, membunuh semua orang termasuk ibu dan ayah yang jahat sama mereka berdua. Kalo ceritanya seperti itu, naturally kita akan nganggap Kumala sebagai tokoh utama, karena banyak bobot dramatis yang ada dia emban. Tapi enggak, tokoh utama film ini justru si ayah yang tadi membunuh bayinya pake keris, on cam! Ayah yang sepanjang cerita sangat satu dimensi – orangtua galak yang suka masung bahkan menyalip anaknya di kebun. Tapi ujug-ujug dia bakal dikasih momen menyesali diri, dan ada backstory. Ini contoh naskah yang benar-benar tidak rapi dan gak tau apa yang dilakukan.
Hahaha film ini isinya memang cuma eksploitasi kekerasan. They do violence because it sells. Gak ada permainan kamera ataupun treatment lain yang elegan. Luna Maya cuma ada di sana pasang tampang horor, menunggu untuk dibunuh. Makanya di iklim real world yang banyak kasus kekerasan dengan baik itu pelaku ataupun kepada anak-anak, aku heran kok film yang nonjolin kekerasan segamblang ini bisa lolos. Menurut kalian, apakah sebabnya? Silakan share pendapat di Komen yaa..
The Palace of Wisdom gives 3 out of 10 gold stars for SUMALA
That’s all we have for now
Semoga Oktober ini bisa bikin mini review khusus horor. Aminn..
Thanks for reading.
Remember, in life there are winners. And there are losers.
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA
“The only people mad at you for speaking the truth are those living a lie”
Not gonna lie, bicarain film remake memang agak tricky. Kita gak mau film remake beda ama film aslinya, sementara kita juga gak ingin film tersebut sama persis sehingga kayak tinggal nyontek. Karena walaupun kita tahu materinya saduran, tapi at least kita pengen ada hal original lain yang diberikan oleh pembuatnya. Mungkin kita pengen lihat sudut pandang lain dari cerita yang sama. Mungkin kita pengen lihat gimana kalo cerita itu terjadi di tempat yang lain, kepada orang yang lain. Mungkin kita pengen lihat gimana cerita yang sama diceritakan lewat suara atau visi atau gagasan yang berbeda. But yea, basically, ukuran ‘bagus’ untuk film remake itu adalah film yang gak sama persis, akan tetapi berani berbeda juga belum tentu bagus. Sebab banyak pertimbangan lain; hal baru yang digali itu apakah make sense, worked out gak, sesuai konteks gak. Untuk alasan itulah aku mengacak-ngacak rambut membandingkan Speak No Evil garapan James Watkins ini dengan film originalnya yang berasal dari Denmark, released just two years ago. Masing-masing versi ini, punya kelebihan dan kekurangan masing-masing. Jadi mari kita pelan-pelan mengurai perbandingan mereka dengan blak-blakan (bodo amat spoiler) in order to reach conclusion film versi mana yang lebih bagus!
Secara cerita, film ini sama ama originalnya. Ini yang membuatku sempat skeptis ama remake ini. Di paruh awal, adegan, dialog, bahkan aspek-aspek kecilnya sebagian besar sama. Ada keluarga lagi liburan, ketemu sama keluarga lain. Mereka jadi akrab. Apalagi mereka sama-sama punya anak. Si keluarga tokoh utama anaknya cewek ketergantungan ama boneka kelinci, keluarga satunya punya anak cowok yang gak bisa bicara karena gak punya lidah; they could be friends with each other. Sampai-sampai setelah liburan selesai, keluarga asing tadi mengundang keluarga tokoh utama untuk menginap menghabiskan weekend di rumah peternakan mereka. Di situlah nanti keluarga tokoh utama ngerasa ada yang aneh sama keluarga teman baru mereka ini. Dari bungkusan luar, Speak No Evil adalah thriller – karena dia tentang psikopat yang menipu keluarga saat liburan. Tapi begitu kita masuk ke dalam bahasannya, film ini thrillernya ternyata psikologikal. Yang dibahas adalah bentrokan pola pikir, yang intens adalah situasi, dan dengan pola pikirnya karakter mungkin malah semakin terjerat dalam situasi berbahaya.
Di sanalah letak perbedaan signifikan pertama antara versi original dengan versi remake. Permainan psikologikalnya. Yang berkaitan erat dengan identitas karakter. Atau kalo di kita istilahnya ‘kelokalan’. Pada versi Denmark (original) keluarga tokoh utama cerita adalah Bjorn dan Louise, orang Denmark. Teman baru mereka adalah keluarga Belanda, Patrick dan Karin. Film tersebut mengobarkan kengerian melalui perbedaan-perbedaan kebiasaan yang dirasakan keluarga Bjorn ketika tinggal di rumah Patrick. Karena ternyata orang Denmark itu kayak orang kita, gak enakan. Sikap itulah yang bikin film tersebut kerasa ‘bleak’. Bjorn gak yakin, keanehan keluarga Patrick memang red flag atau cuma beda tata cara aja, sopan gak dia kalo nolak. Kemudian film mengembalikan kepada penonton mereka. Ya, Patrick psikopat, tapi jangan-jangan keengganan Bjorn dan keluarga yang bikin mereka sampai tragis begitu. Sementara versi remake yang dibuat oleh Amerika – mereka mana kenal ama yang namanya gak enakan – membawa permasalahan kepada bahasan gender, ke perbedaan gaya parenting, ke perbedaan prinsip hidup dengan keluarga Paddy dan Ciara , serta konflik internal antara Ben dengan Louise istrinya. Kayak pas adegan Louise yang vegetarian disuapin daging oleh Patrick/Paddy. Pada film originalnya, Louise bilang memakannya karena jaga kesopanan, dan next time, Louise ngingetin Patrick bahwa dia gak makan daging, dan Patrick minta maaf. Film tersebut membiarkan intensi Patrick terbuka kepada kita dan Louise; apakah Patrick beneran lupa dan minta maaf, atau enggak. Sementara di film remake ini, Louise bilang memakannya karena gak enak hati karena daging itu adalah angsa kesayangan keluarga Paddy yang dipotong khusus untuk menyambut mereka. Dan the next time Louise ngingetin Paddy, pria bertubuh kekar tersebut lanjut ‘menantang’ gaya hidup vegetarian yang gak makan daging tapi makan ikan. Mereka jadi berdebat lumayan angot soal itu. Memang,perbedaan bahasan itu membuat versi remake ini terasa lebih ‘komunikatif’ dan lebih meledak-ledak.
Tema besar dari cerita sebenarnya maskulinitas. Ini perbedaan signifikan kedua. Film originalnya punya karakter utama yang pasti. Bjorn. Plot maju semuanya karena aksinya. Dia yang stumbled upon rahasia Patrick. Bjorn adalah pria yang merasa kurang ‘jantan’ sebagai ayah. Dia tertarik jadi teman Patrick karena pria itu memuji tindakannya mencarikan boneka yang hilang milik putrinya sebagai tindakan heroik. Sekali direcognize seperti itu, Bjorn ‘ketagihan’. Dia merasa perlu untuk terus nunjukin dia pahlawan, tapi dia gagal, seperti yang kita saksikan setiap kali ada kejadian di rumah Patrick. Meminjam kata-kata psikopat itu “you let us do it”. Bahkan hingga di momen terakhir yang dia harus melawan demi keluarganya, Bjorn gagal. Dia gak melawan, padahal Patrick dan istrinya gak bawa senjata. Kalo mau berkelahi, mereka bisa ngimbangin sebenarnya. Versi remake juga bicara tentang Ben ngerasa ‘kecil’ sebagai ayah dan suami, tapi juga menambah banyak bahasan lain sehingga dia bukan karakter utama tunggal lagi. His whole family kebagian porsi yang sama besar. Ben dibikin ‘tertarik’ kepada Paddy as in dia ingin bisa kayak Paddy yang nyantai, kharismatik, mesra sama istrinya. Louise punya peran lebih besar dibandingkan Louise di film asli yang bahkan kayak gak nyadar (until it’s too late) kalo keluarga mereka dalam bahaya. Louise di sini remake ini aktif dan punya backstory tersendiri – malah dia yang jadi lawan sepadan alias paralel buat Paddy. Terus juga anak mereka, Agnes, dibikin jadi menjelang abg, dan diberikan banyak ‘aksi’ – seperti juga Ant, anak Paddy yang gagu, diberikan lebih banyak peran.
Makna Speak No Evil pun di film ini jadi lebih luas. Bukan hanya soal demi menjaga kesopanan, kita seringkali enggan menyuarakan kejujuran, tapi film ini juga mengangat soal gimana dalam keluarga sendiripun kadang kita lebih memilih untuk diam, Untuk tidak mengonfrontasi masalah. Yang pada akhirnya, tidak ada yang mau saling jujur. Makanya Paddy juga jadi karakter antagonis menarik, karena meskipun dia sendiri melakukan sandiwara besar dengan modus operandi ngibulin keluarga lain – dia yang sengaja motong lidah anak korbannya supaya gak bisa menceritakan kejadian sebenarnya – tapi justru sikap red flag-nya yang seringkali mendorong Ben dan Louise untuk terbuka untuk mendebatkan masalah mereka.
Secara muatan, film ini memang jadi lebih kompleks. Dan sutradara memang tahu apa yang dia incar, jadi dia benar-benar ngasih ruang untuk kompleksitas muatan ceritanya bekerja. Makanya film ini jadi lebih panjang. Hebatnya, tetap rapi. Temponya tetap terjaga. Babak set upnya juga terasa klop melandaskan perbedaan para karakter yang nanti akan berlaga mental (dan fisik, sesuatu yang kurang di film pertama). Contoh simpelnya soal si boneka kelinci. Pada film pertama, boneka itu adalah device bagi Bjorn untuk menunjukkan dia pahlawan, like, anak gue butuh boneka ya gue harus cariin dong. Tapi pada film kali ini, boneka itu adalah simbol dari development para karakter. Boneka itu jadi semacam benang merah yang mengikat masing-masing karakter kepada bentuk development yang mereka tempuh sepanjang cerita. Makanya bentuk boneka itu sendiri dibikin ‘berubah’, untuk menegaskan perannya sebagai simbol atau bukti perkembangan karakter.
Banyak yang membandingkan dua film ini dari ‘gaya’nya. Speak No Evil remake ini, aku setuju sama pendapat yang bilang, lebih mementingkan keseruan namun gayanya sendiri jadi agak generik. Lihat saja Paddy. Dia udah kayak psikopat 101 di film-film. Penampilan akting James McAvoy, however, terutama jadi highlight di sini. Hiburannya tuh di sini. Bukan dari karakternya ternyata jahat, tapi dari gimana James memerankannya. Kita udah lihat di film Split (2017) kemampuan dan range akting James; dalam satu karakter yang sama itu dia bisa jadi orang ramah, tapi juga bisa jadi completely different pada adegan berikutnya. Paddy di tangannya ya jadi seperti itu; orang yang tampak simpatik, asik, keren malah, tapi dia bisa jadi berbahaya. James ngasih gerakan senyuman khusus pada karakternya ini. Kita tahu ini karakter pasti jahat. Aku nonton film remake ini duluan, baru nonton film originalnya, dan aku bisa tahu Paddy ini karakter apa. Kita jadi semacam mengantisipasi kemunculan sisi psikopat Paddy karena penampilan akting yang begitu on-point. Tapi menurutku menjadikan Paddy generik psikopat itu agak bentrok dengan kompleksnya muatan yang dibawa cerita. Bandingkan dengan film pertama. Patricknya tidak digambarkan sebagai kharismatik yang gimana, cuma orang Belanda tapi di mata Bjorn terlihat lebih mapan dan lebih macho – dan yang memuji tindakan heroiknya sebagai ayah. Muatannya yang sederhana jadi tapi bisa tetap intens karena yang kompleks di situ bukan muatan atau bahasannya, melainkan sudut pandang karakternya di dalam ruang sikap yang terbatas. Also, versi remake ini karena pengen jadi aksi thriller seru, jadi banyak momen-momen yang biasa diada-adain supaya seru dalam genre ini, misalnya kayak ngambil kunci diam-diam dari penjahat yang tidur.
Decision time!! Kalo bicara suka, aku lebih suka versi remake ini karena memang lebih seru. Sutradaranya paham mana yang harus di-enhance supaya membuat cerita ini lebih seru; dia banyakin aksi, dia membuat bahasan jadi lebih kompleks, dia pasang pemain yang dikenal menjual secara range (dia membuat ini jadi soal bagaimana si aktor memerankan karakter ini), dan film ini juga put efforts supaya naskahnya bisa memuat semua itu tapi masih bisa mirip film aslinya. Momen final battlenya aku suka banget karena sutradara kayak ngasih reference ke ending film original soal mati karena batu, Tapi kalo bicara ‘teknis’ dan gaya, film originalnya itu masih sedikit lebih kuat. Punya karakter utama yang lebih jelas. Intens dan kompleksnya datang benar-benar dari karakter, bukan dari bahasan yang diberikan kepada mereka. Pilihannya untuk jadi tragis juga akhirnya lebih membekas (walau bikin frustasi karena kurang aksi) ketimbang pilihan untuk jadi aksi thriller seru tapi banyak momen-momen generik. Maka, kalo film aslinya itu aku beri 7 dari 10 bintang emas, untuk versi remake ini:
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for SPEAK NO EVIL
That’s all we have for now.
Versi Speak No Evil mana yang lebih kalian suka, kenapa?
Bagi kalian melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp
Remember, in life there are winners. And there are losers.
We? We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL
Sama seperti Prof. X dan Magneto di X-Men, ataupun Splinter dan Shredder di TMNT, musuh bebuyutan Optimus Prime dan Megatron di Transformers dulunya juga berteman. Gatau juga, mungkin ‘kawan-jadi-lawan’ itu trope trendy di kartun Amerika 80-90an apa gimana haha… Yang jelas, kisah persahabatan dua robot yang kita kenal sedari versi kartunnya sebagai pemimpin Autobots dan Decepticons yang berseteru, akhirnya diangkat menjadi cerita origins yang baru oleh Josh Cooley. Dan ini untuk pertama kalinya aku excited menyambut Transformers di bioskop. Karena, lihat saja sendiri; Transformers One dihadirkan sebagai animasi petualangan, para robot mengambil pusat cerita, dengan desain karakternya kreatif dan ‘jelas’ – mirip sama kartun yang dulu udah sukses bikin aku suka ama robot-robot yang bisa berubah bentuk. Kalo Transformers live-action yang kemaren-kemaren itu aku anggap musuh, maka film ini certainly kuanggap kayak teman masa kecil yang kini sudah berubah, namun masih tetap kukenali dan kurindukan.
Optimus Prime dan Megatron tadinya bernama Orion Pax dan D-16. Mereka berdua adalah robot penambang. Istilahnya kelas-pekerja kasar lah. Mereka stuck sebagai penambang karena mereka tidak punya roda-gigi, sehingga mereka tidak bisa punya kemampuan optimal seperti robot-robot elit lain. Tapi Orion punya mimpi, Dia ingin nunjukin kepada Sentinel Prime, pemimpin para robot, bahwa robot penambang juga bisa lebih daripada sekadar menambang energon. Jadi Orion mengajak sahabatnya, D-16, untuk mencari Matrix of Leadership untuk diserahkan kepada Sentinel. Mereka ingin membuktikan diri mereka bisa. Setelah melanggar beberapa aturan, petualangan Orion dan D-16 bersama dua robot lain, membawa mereka ke sebuah temuan pahit. Bahwa selama ini mereka hidup dalam kebohongan. Bahwa Sentinel bukan pemimpin yang baik seperti yang dielu-elukan, melainkan robot culas yang manfaatin rakyat kecil dan dia cuma peduli sama diri sendiri (mirip siapa hayooo…) Temuan itu mengubah hal di antara Orion dan D-16. Persahabatan mereka merenggang. Keduanya punya pandangan dan reaksi yang extremely berbeda.
Hati. Robot-robot itu boleh saja dadanya kosong karena gak punya roda-gigi, tapi mereka punya hati yang besar. Film ini punya jiwa meskipun karakternya cuma mesin-mesin animasi berjalan. Mereka beneran terasa seperti karakter yang hidup, dengan dunia dan permasalahan yang nyata, dan kita dibuat peduli sama keadaan mereka. Persahabatan Orion dan D-16 akan sangat berasa karena film benar-benar meluangkan waktu supaya dinamika dan persahabatan mereka terjalin genuine. Orion yang seperti gak-sabaran untuk melakukan hal-hal yang gak biasanya – atau malah gak seharusnya – dilakukan oleh kelas penambang. D-16 yang agak reluctant dan lebih taat aturan, sebenarnya ingin nolak, tapi mereka sahabat dan supposedly always have each other back. Ini formula yang sebenarnya cukup sering kita temui, tapi film berhasil berjalan tanpa harus membuat karakternya beneran kayak trope yang lumrah, kayak Orion di sini gak jatoh kayak karakter annoying ataupun dinamika mereka gak jatoh jadi si tukang ngoceh dan si pendiam yang simpel. Bahkan karakter kayak B-127 (alias Bumblebee) yang fungsinya sebagai karakter komedi, tidak sedemikian terasa template. karena at least dia punya charm dan ‘kegilaan’ unik tersendiri.
Build up ke mereka akhirnya mendapat roda-gigi sehingga akhirnya bisa berubah juga sangat solid. Naskah film ini memang tidak terburu-buru. Tahu gimana membangun antisipasi dan tahu kapan waktu yang tepat untuk merelase semua build up-an tadi menjadi kejadian yang memorable buat kita para penonton. Secara narasi memang tidak banyak kejutan ataupun experience baru yang berarti, beberapa eksposisi dan sedikit kemudahan dapat kita temui, hanya saja film ini storytellingnya sangat well done sehingga bahkan momen-momen ‘biasa’ film ini tidak terasa mengganggu. Ketika para robot sudah bisa berubah pun, mereka tidak dibuat langsung jago. Mereka harus belajar menggunakan kemampuan baru tersebut, sambil melarikan diri menuruni lereng dari kejaran robot jahat. Sehingga momen mereka belajar tidak mengganggu tempo melainkan tetap intens karena berlangsung dalam sekuen aksi. Dan ngomong-ngomong sekuen aksi, film udah nunjukin kemampuan bikin adegan yang seru sedari saat di awal-awal Orion dan D-16 insert themselves ke kejuaraan balap antarrobot. Aku melihat ada dua kunci keberhasilan keseruan aksi di film ini. Pertama, desain kreatif yang benar-benar mewakili karakterisasi dan keunikan tiap robot. Kedua, animasi yang fluid dan colorful sebagai wadah dari desain-desain unik tersebut. Ruh dari serial kartunnya ketangkep banget oleh gaya animasi 3D modern, membuat para robot bisa dengan mudah dikenali. Gak kayak seri film live-actionnya, yang desain robotnya begitu gak-jelas; kita gak bisa ngikuti setiap perubahan wujud robotnya, karena kita bahkan gak ‘tau’ apa yang sedang kita lihat.
Yang para robot penambang itu alami juga aku yakin bakal nyampe banget ke kita. Problem mereka relatable. Bukan literally soal gak bisa berubah wujud, tapi soal mereka dibiarkan jadi begitu terus oleh pemimpin culas mereka. Mereka adalah rakyat yang dibiarkan gak bisa apa-apa selain terus bergantung kepada pemimpin, mereka rakyat yang distrip dari kebebasan untuk bergerak, berpikir, dan punya kekuatan sendiri. Sentinel sebagai pemimpin sengaja membiarkan mereka seperti itu, supaya rakyatnya tersebut terus bekerja untuk dirinya. Mengisi pundi-pundi dia dan golongannya. Like, wajah para robot memang dibuat eskpresif, tapi aku rasa yang bikin adegan saat Orion dan D-16 melihat energon-energon yang mereka tambang dengan susah payah dan mempertaruhkan nyawa ternyata digunakan Sentinel untuk ‘membayar’ Quintessons (klan musuh para robot di Cybertron) itu kena kan karena itu kayak yang kita rasakan ketika tahu uang pajak seambrek yang kita berikan kepada negara ternyata digunakan untuk menggaji buzzer dan pejabat yang tujuannya bukan untuk kepentingan bersama. Rasa kecewa, rasa dikhianatinya, itu grounded dan kena banget. Maka Orion dan D-16 lantas jadi dua kasus reaction atau perjuangan yang bisa kita mengerti. Ada yang berusaha melawan dengan diplomasi seperti Orion. Membentuk kelompok sendiri. Aku baru tahu di film ini kalo Autobots ternyata artinya robot dengan autonomi – robot dengan kebebasan. Bukan automatic robot seperti yang kukira waktu kecil dulu. Dan kita juga paham ketika ada yang marah, dan memilih pemberontakan yang bisa lebih violence, sebagai perlawanan seperti yang dilakukan oleh D-16. Konsekuensi tragisnya pun kita paham. Dua kubu rakyat tersebut jadi saling ‘berperang’ satu sama lain.
Antara kawan dan lawan, batasannya memang tipis. Lawan yang paling berbahaya biasanya justru adalah orang yang kita sangka teman. Orang yang berpura-pura manis dan peduli, padahal tidak sama sekali. Seperti Sentinel Prime, pemimpin yang membawa dirinya sebagai teman dari rakyatnya, tapi ternyata dia justru hanya memanfaatkan kelemahan mereka. As in membiarkan mereka semua lemah supaya bisa terus dimanfaatkan. Kasus Orion dan D-16 lain lagi, teman baik yang jadi musuh bebuyutan, karena mereka sebenarnya sama hanya pilihannya saja yang berbeda, dan mereka saling mengetahui kekuatan dan kelemahan masing-masing.
Cuma pada satu kesempatan naskah film ini terasa terburu-buru. Pengembangannya tidak serapih dan se-well-timed yang lain. Yaitu ketika D-16 jadi jahat; ketika Orion dan D-16 jadi musuhan. Hal ini harusnya jadi klimaks, tapi terasa abrupt saat D-16 ‘mengenyahkan’ sahabatnya itu begitu saja. Seperti ada beat yang hilang atau keskip dari development karakternya tersebut. Also, menurutku D-16 agak mengambil alih spot utama dari Orion. Perubahan sikap D-16 terasa lebih ekstrem dan lebih kentara ketimbang Orion yang agak terdorong ke background dan seolah dia tidak mengalami journey atau pembelajaran karakter. Padahal sebenarnya kan ada semacam pembalikan, dari siapa yang tadinya ingin langgar aturan dan siapa yang mau play by rules di awal dan di akhir cerita. Namun pada proses penceritaannya, aspek development ini turn-nya kurang kerasa menyeluruh ada pada kedua karakter. Perubahan mereka jadi fisik (literally, karena mereka beneran jadi Optimus Prime dan Megatron di akhir), dengan bobot dramatis lebih kuat pada D-16 dibandingkan pada Orion yang adalah tokoh utama sebenarnya.
Sebelum mengubah dunia, kita harus mampu mengubah diri sendiri dulu – mengubah sudut pandang, mengubah pemikiran, mengubah segala hal pada diri menjadi lebih baik. Film petualangan animasi ini mungkin dibuat supaya anak kecil terhibur oleh robot-robot yang bisa berubah bentuk, tapi kita bisa melihat ada nilai lebih yang ditawarkan oleh ceritanya. Atau seenggaknya, nilai lebih yang bisa kita serap karena ceritanya punya permasalahan yang grounded dan relate dengan keadaan kita. Dan yang gak kalah pentingnya lagi, film ini menceritakan itu dengan hati dan penceritaan yang telaten. Yang ngasih waktu untuk build up. Yang ngasih karakter uniknya ruang untuk mengembangkan diri. Lalu kemudian melepaskan semuanya dengan adegan aksi yang seru serta dramatis. Ini film Transformers yang aku tunggu-tunggu. Film yang bisa dinikmati bukan hanya keunikan desain karakter robotnya tapi juga ceritanya.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for TRANSFORMERS ONE
That’s all we have for now.
kalo dibawa ke keadaan pemerintah sekarang, kalian lebih condong masuk atau setuju ke perlawanan ala D-16, atau Orion?
Bagi kalian melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp
Remember, in life there are winners. And there are losers.
We? We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL
“Sometimes you will never know the value of a moment until it becomes a memory.”
Halloween datang sebulan lebih cepat, dibawakan oleh Tim Burton di atas nampan nostalgia kepada kita. Yup, Beetlejuice – karakter ikonik dan horor komedi populer dengan konsep afterlife yang bisa dibilang cukup groundbreaking pada era 80an itu – akhirnya beneran dibikinin sekuelnya. Dan seperti judulnya, Beetlejuice Beetlejuice memang dua kali lebih fun ketimbang film aslinya. Dua kali lebih random dengan segala keantikan dunianya. Mind you, Tim Burton sama sekali tidak ingin mengubah Beetlejuice dan kegilaan karakternya – eventho untuk standar era sekarang karakter tersebut certainly semakin tidak appropriate. Dan ini memang akhirnya jadi groundwork yang unik buat pengembangan cerita dark fantasy-nya. Film ini mencoba nge-tackle bahasan yang juga dua kali lebih banyak dari sebelumnya. Dua kali lebih crowded, dua kali lebih ribet, dan sayangnya juga jadi dua kali lebih messy. Chaos yang tidak serta merta selalu funny.
Tiga puluh enam tahun yang lalu, Lydia Deetz berhasil selamat dari jadi pengantin remaja bagi Betelguise (dibaca Beetlejuice); si hantu bio-exorcist, alias hantu tukang onar yang kerjaannya membantu hantu-hantu untuk mengusir manusia dari rumah mereka. Lidya selama ini berusaha move on, punya keluarga, punya anak, punya acara tv sendiri sebagai cenayang. Tapi dia masih dihantui oleh kenangan buruk Beetlejuice tersebut. Sementara di alam baka, Beetlejuice yang kini cukup sukses dan bisnis exorcistnya makin gede, juga masih menyimpan Lydia dalam kenangannya. Ketika kematian ayah membawa Lydia bersama ibu dan anaknya kembali ke Winter River, ke rumah tempat semuanya dimulai, Lydia bukan saja terpaksa harus bertemu kembali dengan Beetlejuice, dia bahkan terpaksa harus meminta bantuan kepadanya. Astrid, anak Lydia yang marah kepada Lydia yang dianggapnya cuma menjual sensasi ‘bisa melihat hantu’ tanpa sengaja masuk ke dunia orang mati dan jiwanya ada dalam bahaya.
Dunia Beetlejuice put Tim Burton’s specialty dalam bangun dunia dark fantasy on the map. Bukan cuma karakter nyentrik, wacky, zany, dengan kostum unik, dia ngecreate konsep afterlife yang dibikin kayak perusahaan tapi sangat komikal. Semua itu dihidupkannya dengan permainan animasi dan efek praktikal. Era 80an memang terkenal dengan desain produksi seperti begitu, namun ketika yang lain lean towards realisme, atau eksploitasi hal-hal yang disturbing dan gory, Beetlejuice membawa ruh cerita horornya ke dalam fantasi komedi. Nonton film itu udah kayak nonton kartun, dengan segala kegilaan, kerandoman, dan efek-efek konyol. Begitu film Indonesia tahun ini mulai marak genre horor komedi, aku sempat ngarep ada yang arahannya ke kayak Beetlejuice. Cerita tentang kematian, hantu-hantu, nakut-nakutin orang, tapi tone dan gaya dan dunianya beda sendiri. Tentang keluarga hantu, atau gimana dunia kematian versi sendiri. Beneran bikin konsep dan fantasi, bukan cuma cerita yang ngada-ngada. So far film kita belum ada yang begitu, but at least sekuel Beetlejuice beneran keluar, dan film ini beneran ngasih warna berbeda. Dunia yang sama itu kembali kita kunjungi, only bigger. Dan tentu saja lebih ‘flashier’ karena efek komputer semakin mendukung kepada penggunaan animasi stop motion dan efek praktikal lainnya. Karakter-karakternya kembali kita temui, dan pemerannya masih sama!
Michael Keaton kembali untuk meranin Beetlejuice yang begitu unhinged. Dan dia bisa membuat karakternya ini sangat entertaining, meskipun kacamata kita sekarang mungkin agak lebih sensitif. Beetlejuice ini kan juga produk dari 80an, dia juga dibuat dari trope yang ramai di kala itu. Semacam ‘bapak-bapak cabul’. Dulu mulai dari film Boboho hingga kartun Dragon Ball, trope ini ada. Film ini bukan ingin melanggengkan atau malah membela trope tersebut, melainkan hanya identitas saja. Bahwa karakter dan cerita ini ya produk dari era itu. Yang penting sekarang adalah bagaimana menceritakan karakter tersebut di era modern. Film ini tidak lantas bikin Beetlejuice jadi bermoral, ataupun punya something untuk bikin kita simpati ataupun meretcon karakternya. Film ini tidak lantas membuat dia yang basically anti-hero, jadi hero. Beetlejuice tetap digambarkan sebagai karakternya yang ‘kalo gak penting amat, kita gak usah berurusan dengannya’. Sebagai karakter yang ‘menyeramkan’ dan tidak bisa dipercaya. Again, konflik tetap dipancing dari gimana kalo ternyata kita memang terpaksa harus berurusan dengan dia. Dan ini juga yang bikin ceritanya mutar-mutar. Film berusaha mencari cara nge’tone-down’ dari cerita. Beetlejuice diberikan lawan. A Frankenstein-like lady yang menuntut balas kepadanya. Jadi, selain urusan keluarga Lydia (dengan ibunya, dengan anaknya), film ini juga punya tentang masa lalu Beetlejuice. Dan ini bikin keseluruhan film ini jadi lebih padat dan lebih ribet. Jika random dan konyol tadi jadi nilai plus yang membuat sekuel ini semakin fun, maka padatnya cerita membuat film ini jadi punya poin minus karena penceritaan akhirnya menjadi messy dengan subplot-subplot yang lemah.
Cerita film pertamanya dulu simpel. Ada pasangan muda mati, jadi hantu, lalu kemudian keluarga Deetz yang nyentrik pindah ke rumah mereka. Sebagai hantu baru yang baik, mereka kesusahan mengusir keluarga Deetz. Maka mereka minta bantuan ke Beetlejuice. Akhirannya ya mereka jadi gak tega ke keluarga Deetz karena Beetlejuice minta macem-macem, termasuk mau menikah sama Lydia yang saat itu masih remaja. Kita langsung nangkep tema intinya tentang co-exist, bahasan keluarganya juga relate, along with komedi tentang kematiannya; gimana pembalikan dari biasanya yang mau diusir adalah hantu jahat. Sedangkan film sekuelnya ini; hati dramanya tentang ibu yang ‘jauh’ dari putrinya karena kematian ayah, tenggelam alias ketutup oleh banyak lagi bahasan karakter lain. Apa coba paralelnya urusan Lydia dan Astrid, dengan Beetlejuice dan mantannya. Atau dengan karakternya Willem Dafoe; kepala polisi di afterlife yang dulunya seorang aktor. Benang-benang karakter ini seolah dibuild up untuk akhirnya bertemu dan jadi penyelesaian besar, tapi penyelesaian yang kita dapatkan di akhir ya tetap random, dan pertemuan mereka terasa lemah. Gak benar-benar kuat jadi sesuatu. Padahal sebenarnya kalo dipikirin lagi, ada keparalelan di antara mereka. Yaitu tentang memories.
Lydia sibuk dengan kenangan buruknya akan Beetlejuice. Astrid sibuk dengan kenangannya akan sang ayah. Ibu dan anak sama-sama dihantui oleh kenangan, sehingga mereka gak sempat untuk bikin kenangan baru di antara mereka. Padahal hidup ya seharusnya kita sibuk membuat kenangan baru dengan orang-orang di dekat kita, sebelum mereka menjadi kenangan buruk yang menghantui kita karena tidak sempat dekat dengan mereka.
Penceritaan semakin terbebani oleh way too much explanation. Aku gak tahu kenapa film fantasi cartoonish yang lucunya justru dari hal-hal random seperti ini merasa perlu untuk menjelaskan banyak hal. Paruh awal film ini banyak banget dialog yang naturenya eksposisi; entah itu karakter menceritakan masa lalu atau ya rangkuman dari eskposisi tersebut. Like, ada karakter yang baru dimunculin sekitar 30-menit into the story, tapi percakapan antara Astrid dan karakter ini cuma rangkuman kejadian yang baru saja kita lihat. Seolah kita tidak bisa menyimpulkan sendiri, atau kita lupa. Padahal kan, waktu-waktu tersebut seharusnya bisa digunakan untuk lebih nge-flesh out hubungan antar-karakter. Alasan yang terpikir paling ya, karena ini sekuel yang rentang waktunya jauh (supaya penonton gak lupa) atau karena ini juga ngincer penonton baru dari generasi short-attention-span sehingga tiap beberapa menit perlu ada rangkuman cerita. Atau karena film salah ambil perspektif cerita sedari awal? Hmm..
Aku ngerti Lydia dijadikan perspektif utama karena dia karakter dari film sebelumnya, yang punya arc yang langsung berkaitan dengan Beetlejuice (dan also karena dia Winona Ryder, gitu loh!) Tapi menurutku justru karena itulah film ini jadi merasa perlu untuk menjelaskan banyak hal/cerita dari film sebelumnya. Karena kita harus mengerti sudut pandang dia yang tokoh utama, maka kita harus dikasih penjelasan dulu atas hal-hal apa yang sudah ia lalui. Sebaliknya, menurutku, jika film ini mengambil perspektif utama dari si Astrid yang diperankan Jenna Ortega; karakter baru yang diceritakan not even care sama kemampuan ibunya, cerita dan segala konsep dunianya juga akan bisa berlangsung cuek, dan lebih fokus kepada hubungan Astrid dan ibunya itu sendiri. Karena kita akan berada di belakang Astrid yang awalnya tidak percaya mistis, tapi lantas dia discover banyak hal secara langsung, sehingga film gak perlu sering-sering stop untuk menjelaskan di awal dan kitapun nyemplung lebih mulus seperti baru pertama kali masuk ke dunia itu, seperti Astrid.
Dua kali lebih random, membuat film ini fun. Tapi dua kali lebih crowded, lebih ribet, membuat film ini lebih messy dari film originalnya. Dunia dan konsep afterlife dengan karakter unik dan cartoonish memang menghibur, sayangnya penceritaan film ini terbebani oleh penjelasan yang terlalu banyak di paruh awal. Aku pikir dunia gila seperti dunia Beetlejuice ini tidak perlu penjelasan yang terlalu banyak karena randomnya itulah letak lucu dan serunya. Aku suka Beetlejuice dan would like to explore dunianya lebih jauh. Tapi kalo setiap film bakal semakin padet dan sumpek kayak gini, aku jadi takut juga menyebut judulnya sampai tiga kali. Takut kalo beneran datang, dan bukannya lebih menghibur dengan ‘menakutkan’, tapi malah lebih mengecewakan.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for BEETLEJUICE BEETLEJUICE
That’s all we have for now.
Menurut kalian kenapa cerita horor komedi yang muatannya bangunan dunia fantasi ini gak jalan di penonton kita, kenapa kita belum punya film seperti ini?
Bagi kalian melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp
Remember, in life there are winners. And there are losers.
We? We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL