MALIGNANT Review

“It’s just a beast under your bed, in your closet, in your head”

 

Malignant adalah horor terbaru dari sutradara James Wan, dan actually merupakan horor pertama yang di-direct olehnya semenjak The Conjuring 2 di 2016. Kupikir, James Wan ini sudah move on dari horor. Di proyek Conjuring Universe aja, dia kayak ngasih ide-ide cerita untuk digarap sutradara lain, sementara dia duduk di kursi produser. James Wan kayak udah siap untuk melebarkan sayap, menjajal ke ranah-ranah mainstream lainnya. Dia nge-tackle superhero, misalnya. Dan laku juga. Tapi kehadiran film Malignant ini ternyata membuktikan bahwa cinta dan passion adalah dua hal yang susah untuk ditinggalkan. Passion gak bisa hilang, melainkan akan terus membesar. Kalo dipikir-pikir ya udah kayak kanker ganas. Cuma bedanya, hidup yang terus memupuk passion bukanlah hidup yang sakit. Melainkan hidup yang bahagia. Enggak kayak kanker, yang semakin hari akan… eh, tunggu-tunggu… Hmm, sungguh sebuah ‘kebetulan’. Tau enggak kanker ganas itu sebutan medis resminya apa? Maligna. Alias Malignant!

Kanker yang merubungi tokoh utama dalam cerita Malignant bukanlah aktual sel kanker, melainkan sebuah perumpamaan. Madison di sini dihantui oleh entitas misterius bernama Gabriel, yang diyakini sebagai teman-khayalan di masa kecilnya. Setelah kejadian KDRT yang membuat Madison keguguran yang keempat kali, Gabriel yang selama ini telah terlupakan, muncul kembali. Lewat apa yang terasa seperti mimpi, Madison melihat Gabriel membunuhi sejumlah orang satu persatu, termasuk suaminya. Semua itu ternyata bukan mimpi. Orang-orang tersebut memang mati mengenaskan. Seiring detektif mengusut kasus – siapa dan hubungan antara para korban – kecurigaan pun memusat kepada Madison sendiri. Madison yang tak ingat masa kecilnya, tapi percaya seratus persen bahwa semua ini memang ulah Gabriel yang juga bahkan tidak bisa ia ingat.

Jadi, di sini Gabriel adalah sesuatu yang gak bisa lepas dari Madison. Yang terus menggerogotinya dari dalam. Perumpaannya di sini adalah bisa jadi Gabriel adalah simbol keadaan psikologis Madison sendiri. Sementara juga, film mampu menjelaskan secara literal bahwa Gabriel adalah sebuah fenomena dalam dunia kedokteran atau kesehatan. Inilah kenapa karya Wan ini segaris dengan horor-horor hebat. Cerita horor yang hebat selalu adalah metafora, dan Wan mampu membuat metafora dengan ikatan ke fenomena nyata yang kuat.

malignant-brings-us-a-new-vision-of-terror
Teman atau malign-kundang?

 

Lebih lanjut membahas siapa, atau apa, sebenarnya Gabriel akan seru, tapi juga akan membuat ulasan ini spoiler berat. Jadi aku tidak akan melakukannya. Cukup disebutkan saja bahwa James Wan sekali lagi berhasil menciptakan sosok ‘hantu’ atau villain horor yang ikonik. Meski gak fresh-fresh amat. Namun memang itulah salah satu kekuatan Wan di ranah horor mainstream. Gaya bercerita. Ia selalu sukses menceritakan kembali trope-trope usang dengan gaya yang unik, sehingga jadi suatu wahana seram yang kerasa baru. Karena sering makek Voldo sebagai karakter di game Soul Calibur, aku jadi bisa menduga what exactly Gabriel yang berjaket hitam, dan berwarah merah darah di balik rambut lurus hitam panjang tersebut. Namun karena momen ke pengungkapannya digarap dengan begitu well-built, aku tetep ikutan teriak. Padahal itu ‘bingkai’ pengadeganannya cuma berupa karakter lagi nonton video pasien diwawancara. Timing tarik-ulur, set atmosfer, posisi dan sudut kamera, serta cut-to-cut editing. Empat itu memang nyaris selalu jadi penentu dalam pembangunan adegan berpunchline –  terutama seperti pada horor, dan James Wan benar-benar sudah ahli dalam menangani empat itu semua. Orang bilang selera pasar itu susah dipahami. James Wan, seperti sudah memahami selera orang terhadap horor – serta titik takut mereka luar-dalam.

Dari yang terlihat di layar sepanjang durasi nyaris dua jam ini, aku bisa membayangkan baginya bikin film ini udah kayak silaturahmi ama teman lama. Tentu saja bukan teman lama yang nyeremin dan nyusahin kayak Gabriel. Kasian ya si Madison hihi.. Ngomong-ngomong ngapain aja sih kita saat ketemu lagi ama sahabat lama? Kita jabat tangan – memeluk mereka, kangen-kangenan, kemudian seru-seruan seperti dulu lagi bersama-sama. Itulah yang exactly terjadi pada film ini. James Wan benar-benar mengembrace akar horornya. Horor yang penuh darah. Dia banyak membuat pengadeganan yang mengingatkan kita pada karya-karya terdahulunya. Ada situasi orang disekap yang mengingatkan pada Saw. Ada juga adegan serangan setan yang dilakukan dengan cepat kayak yang dijumpai pada Insidious. Selanjutnya, seru-seruan James Wan berhoror ria dapat kita rasakan dari beragam cara yang ia terapkan dalam merekam adegan-adegan horor. Kamera gak putus, merekam dari atas sehingga kita kayak menonton rumah boneka? Cek. Jumpscarenya dengan build up yang efektif lewat panning atau ayunan kamera dan refleksi di permukaan kaca? Cek. Jumpscare yang gak pake suara menggelegar melainkan mengalir kayak horor 80an? Cek. Sekuen aksi atau pembunuhan sadis ditambah oleh warna-warna creepy? Cek. Semua adegan horornya efektif dan terencanakan dengan sangat baik. Kita gak bosan menontonnya, karena dinamika yang terjaga. Film ini juga sangat fleksibel, kadang bermain dengan CGI dan efek-efek komputer (saat adegan dream-like Madison melihat perbuatan Gabriel), kadang dengan efek praktikal (aksi-aksi si Gabriel itu semuanya beneran dilakukan loh!), James Wan menyatukannya dengan mulus.  

Ketidakbisaan kita membahas banyak tentang Madison dan Gabriel tanpa membuat ulasan ini jadi spoiler tersebut sebenarnya adalah indikasi yang mengatakan bahwa film Malignant ini terlalu menumpahkan fokus kepada kejadian. Pada apa yang terjadi. Ternyata begini, selanjutnya begitu. Detektif mencari petunjuk, karakter menguak misteri, villain membunuh orang. Ruang untuk bahasan tersirat di balik kejadian luar tersebut jadi tidak luas. Cerita ini tidak bisa membahas lebih jauh tentang kekerasan dalam rumah tangga. Tidak bisa mendalami tentang perempuan yang selalu kehilangan anaknya. Dan ini sangat disayangkan. Terlebih karena film memang mengandung muatan yang cukup banyak.

Yang paling kuat itu sebenarnya adalah bahasan tentang anak yang terbuang. Konflik antara ibu yang terpaksa memilih untuk mengesampingkan buah hatinya karena keadaan. Yang juga dikaitkan keluarga dan ikatan darah. Tapi semua itu tidak terasa terdevelop atau terceritakan dengan natural. Hanya ter-conjure begitu saja menjelang akhir. Disimpan hingga akhir. Karena film di awal fokusnya pada mempersembahkan kejadian-demi kejadian for shock value, bukan untuk menilik muatan.  

 

Penampilan akting dari para aktor jadinya tidak termanfaatkan maksimal. Pemeran Madison, Annabelle Wallis, misalnya. Dia menunjukkan permainan akting yang berkualitas. Akan tetapi karena film ‘merahasiakan’ apa yang terjadi pada karakternya – basically membuat tokoh utama ini sama tidak tahunya mengenai dirinya sendiri dengan kita – Wallis sebagian besar waktu hanya digunakan untuk menunjukkan ekspresi takut atau terkejut melulu. Motivasi Madison adalah pengen punya koneksi-darah, dan ini kita tahu bukan lewat informasi visual atau pembelajaran dari adegan-adegan yang mendukung ke sana. Melainkan lewat dialog gamblang yang diucapkan Madison kepada adik angkatnya.

malignant-trailer-james-wan-the-conjuring
Si McKenna Grace laku banget ya, setiap ada peran versi masa kecil, dia kepakek

 

Walaupun film excellent sekali dalam pembangunan misteri, adegan berdarah, dan adegan menakutkan, untuk urusan bercerita lewat karakter dan dialog film ini terasa demikian lemah. Semua hal-hal yang mestinya bisa penonton simpulkan sendiri, atau bisa ditangkap sendiri maknanya, diucapkan dengan terang-terangan. Oh jadi lewat flashback diungkap waktu kecil Madison dibisikin oleh Gabriel untuk ngambil pisau untuk menusuk perut ibunya, yang ini tentu dengan mudah bisa kita cerna sebagai Gabriel mengendalikan dan bertanggungjawab atas perbuatan Madison. Adegan itu saja ternyata dinilai tidak cukup oleh film. Karena persis setelah itu, kita akan mendengar seorang karakter menyebutkan kesimpulan itu “Jadi, pelakunya adalah… teman khayalanmu?” Banyak dialog-dialog yang tidak diperlukan seperti demikian tersebar pada film ini. Semuanya seperti diejakan kepada kita.

Agaknya James Wan sudah terlalu nyaman menggarap film mainstream, sehingga insting bercerita lewat dialognya jadi menumpul. Kalah tajam sama naluri untuk menyuapi penonton. Untuk memfasilitasi penonton dengan berlebihan sehingga jatohnya jadi kayak tidak percaya sama kemampuan penonton. Tidak hanya itu, film juga tampak tidak pecaya bahwa penonton bakal ngikutin cerita sampai akhir tanpa merasa bosan. Film ini seperti takut, penonton bakal bosan. Darimana kita bisa menyimpulkan ini? Dari banyaknya dialog-dialog yang cringe, dan juga dari karakter-karakter pendukung yang dihadirkan untuk komentar-komentar lucu saja. Simak adegan ketika detektif meminta forensik untuk mencari pasangan senjata pembunuh yang hilang. Saat itu, film menyelipkan guyon lewat karakter si forensik yang dibuat naksir ama si detektif kurang lebih bilang, kita semua perlu nyari pasangan hihihi.. Lucu sih lucu, tapi perlu tidak? Penting tidak untuk keseluruhan narasi. Nyatanya, film tidak pernah memfollow up soal hubungan dua karakter tersebut (detektif dan forensik). Dialog itu mengangkat sesuatu tapi tidak menjadikannya apa-apa. Karena sebenarnya ya fungsi dialog itu ada cuma untuk selipan lucu-lucuan supaya penonton gak bosan aja. 

Ok, memang benar film tidak mesti serius selalu, atau ngeri setiap saat. Harus ada momen-momen ringan. Namun juga, menghadirkan lelucon di sela-sela adegan serius itu tanggungjawabnya besar loh. Sebab menyangkut tone – nada film. Sebuah film harus konsisten pada nadanya. Tentu kita gak mau horor yang kita buat malah jatuh sebagai komedi. Drama cinta yang kita garap malah bikin orang takut tidur matiin lampu alih-alih sedih. Keseimbangan tone harus dijaga. Malignant did a poor job dalam hal ini. Film ini tampak ingin tampil sebagai horor personal yang serius, dengan konflik keluarga yang menyentuh. Tapi banyaknya lucu-lucuan membuat nadanya bergeser menjadi komedi. Beberapa hal yang mestinya gak lucu, jadi ikut kebawa lucu. Orang jatuh dari attic, menimpa patah sebuah meja. Aku nyaris ketawa melihat itu. Bukan ketawa defensif saking seramnya. Melainkan karena ketawa lucu. Apalagi kemudian diikuti jeritan Madison yang memang semakin ke belakang jadi hilarious saking seringnya. Setan yang kabur terseok-seok dikejar detektif? Aku terkikik melihatnya. Dan obrolan di ending, soal konklusi dan pembelajaran ingin merasakan koneksi-darah – dengan ibu kandung terbaring di sebelah mereka, ibu kandung yang baru kebuka identitasnya – dicuekin gitu aja. Aku ngakak. Ups.

 

 

 

Sepertinya James Wan terlampau bersenang-senang kembali menggarap horor. Dengan cerita yang membahas entitas misterius membuat karakter tertuduh melakukan kejahatan, film ini jadi kayak versi seru dan fresh dari The Conjuring: The Devil Made Me Do It (2021) yang tampil kaku dan membosankan. Film kali ini, memang kuat di pembangunan adegan seram lewat lewat teknis-teknis atau craft pembuatnya. Adegan revealingnya bakal bikin kita jerit-jerit saking gilanya. Namun sebaliknya, film ini di dialog dan karakter terasa lemah. James Wan tidak berhasil mempertahankan tone film ini. Diawali sebagai horor serius, yang perlahan mulai berat ke arah horor konyol. Malah setelah kita bisa menduga sendiri, film ini gak lagi seram. Traumanya gak digali, kita gak benar-benar bisa relate. Hanya jadi melihat kejadian-kejadian yang semakin edan. Kebiasaan James Wan menangani film-film mainstream mungkin perlu sedikit dievaluasi, di tone down sedikit, karena jika tidak bisa-bisa malah berubah jadi kanker yang tidak diinginkan dalam kreasinya sebagai filmmaker horor yang kreatif.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for MALIGNANT.

 

 

 

That’s all we have for now

Mengapa menurut kalian penting sekali bagi Gabriel untuk membuat ibunya melihat ‘monster’ seperti apa dirinya sekarang?

Share with us in the comments yaa

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

STILLWATER Review

“It is all about finding calm in the chaos”

 

Kata Stillwater dalam judul film terbarunya Matt Damon ini memang merujuk pada nama kota tempat karakter yang ia perankan tinggal. Namun, sebagai sebuah film, Stillwater ini juga persis sekali dengan air tenang yang menjadi lawan air beriak dalam peribahasa kita. Stillwater bukan film yang dangkal. Malahan, cerita tentang warga Amerika yang menjemput anaknya ke penjara Perancis ini ternyata lebih kaya akan konteks ketimbang cerita tentang anak Indonesia yang menjemput ibunya ke Amerika yang tayang di Netflix beberapa waktu yang lalu. Tom McCarthy menggarap dan menulis cerita drama thriller ini dengan menggali muatan seperti stereotipe turunan dari politik di Amerika, komunitas imigran di Perancis, hingga ke pandangan hidup menurut Islam. Pilihan yang McCarthy ambil untuk mengakhiri (atau tidak mengakhiri?) cerita, serta kontroversi yang mewarnai eksistensi film yang katanya loosely berdasarkan kemalangan yang benar-benar pernah terjadi ini, turut menambah seru dan menariknya film ini untuk dibahas. For better and worse.

Sebenarnya film ini bekerja paling baik sebagai sebuah studi karakter. Momen-momen paling ngena yang ada pada film ini hadir lewat interaksi karakter, keputusan dan gejolak konflik inner karakter. Tapi selapis genre thriller yang diselimutkan sutradara di atas permasalahan jiwa manusia berhasil menambah daya tarik yang dimiliki oleh keseluruhan cerita. Matt Damon di sini berperan sebagai Bill. Seorang pria red-neck Oklahom, konservatif, pendukung Trump. Di awal cerita kita melihat dia terbang ke Marseille, Perancis untuk menjenguk putrinya. Di penjara. Allison sang putri, diperankan oleh Abigail Breslin (udah gede aja – fix aku tua!!) tertuduh sebagai pelaku kasus pembunuhan kekasihnya sendiri, seorang perempuan muda asal Arab. Hook yang membuat cerita ini bakal berbelok menarik adalah Allison punya petunjuk tentang pelaku yang sebenarnya, sehingga kini Bill – meskipun dilarang ikut campur oleh Allison sendiri – berjuang di negara orang, di negara yang menganggap dirinya radikal, untuk mencari keadilan bagi semata wayangnya.

stillwaterf468-11eb-9b7f-287e8ddca3c1
Kemudian si Bill bertemu dan tinggal bersama ratu-ratu quee.. eh?

 

Ya, saat nonton ini aku otomatis teringat – dan kemudian malah lanjut membandingkannya – dengan film indonesia Ali & Ratu Ratu Queens (2021) Karena kalo dilepas dari bagian thriller mencari petunjuk ke orang yang dicurigai sebagai tersangka yang asli, Bill dalam Stillwater menapaki jalan yang serupa dengan Ali. Bill juga nanti akan menumbuhkan hubungan yang dekat dengan karakter-karakter yang ada di kota Marseille, mereka akan jadi keluarga. Bill juga harus menyelesaikan persoalan personalnya dengan Allison – dengan putrinya – karena mereka telah grow apart seperti Ali yang juga harus mengenali kembali ibunya sebagai seorang person.

Perbedaan yang kerasa jelas saat aku membandingkan kemiripan komponen penggerak kedua film ini adalah soal muatan dan pembahasan konteks yang mendasari masing-masing. Dan aku menemukan Stillwater jauh lebih kaya. Karakternya terasa lebih hidup karena benar-benar diwarna oleh konteks dan muatan tersebut. Tipe cerita Ali dan Bill sama-sama tipe fish-out-of-water; maksudnya, cerita di mana karakternya masuk ke dunia yang berbeda dengan yang selama ini ia kenal. Ali anak Indonesia, di keluarga yang cukup ‘disiplin’ dalam beragama, masuk ke Amerika yang lebih ‘open minded’, dengan segala perbedaan kultural yang harusnya ia jumpai. Bill, berasal dari daerah yang sama konservatifnya, baik dalam hal ras maupun agama, masuk ke Perancis yang lebih beragam. Elemen fish-out-of-water Bill lebih terasa ketimbang pada Ali, karena Bill memang ditulis kaya oleh identitas. Ali dalam Ali & Ratu Ratu Queens dibuat kayak kertas kosong. Dia tidak punya hobi, tidak punya sesuatu yang ia ‘pegang’ atau percaya. Ali didesain untuk meresapi hal yang ia lihat selama ‘petualangannya’ di Amerika. Bahkan soal agama yang mestinya karakternya bawa sebagai pengaruh dari lingkungan tempat tinggalnya yang dulu, tidak kita lihat lagi sepanjang sisa durasi. Berbeda sekali dengan Bill.

Dari berpakaiannya saja, Bill sudah menunjukkan karakter. Kemeja/flanel, rapi-masuk-ke-celana panjang, pakai topi like a proud American, menjawab setiap pertanyaan (dan ajakan) dengan “Yes, m’am!” yang mantap dan lantang, dan tidak lupa mengucapkan grace atau doa setiap kali mau makan. Karakter stereotipe redneck itu menguar dalam keseharian Bill, yang tentu saja bukan untuk lucu-lucuan, melainkan untuk dibenturkan dengan keadaan masyarakat dan kebiasaan di Perancis. Matt Damon pun tidak pernah memainkan karakter ini dengan sekenanya. Dia benar-benar menjelma menjadi this man. Pertumbuhan, penyesuaian, penyerapan, terceritakan dengan bertahap. Menandai setiap poin-poin development karakter Bill itu seiring durasi berjalan. Di sinilah Stillwater terasa hidup dan sangat kaya. Ketika Bill tinggal serumah dengan Virginie dan gadis ciliknya, Maya, kita melihat bagaimana kedua belah pihak saling berusaha membantu dan memahami. Kita lihat interaksi yang hangat tumbuh, lebih dari sekadar lucu-lucuan. Bill dan Virginie bersama mencari pelaku meskipun mereka punya perbedaan pandangan mengenai memandang apa itu teroris, atau tentang kepemilikian senjata api, misalnya. Interaksi Bill dengan Maya mengandung paling banyak hati (dan bawang!), film dengan efektif menjalin hubungan lewat sesimpel komunikasi antara dua bahasa yang berbeda, yang menyiratkan bentuk paling pure dari bonding antara dua bangsa yang berbeda. Penonton yang mencari muatan feminis pun akan dapat cukup banyak teks dari kondisi Virginie yang membesarkan Maya seorang diri.  

Ngomong-ngomong soal anak, putri Bill dengan cepat dijadikan tersangka karena betapa seksinya judul berita remaja Amerika membunuh remaja muslim – yang merupakan pasangan lesbiannya – bagi khalayak Eropa. Itulah yang dijadikan landasan atau subteks pada elemen thriller atau pemecahan kasus pada film ini. Meskipun memang tidak membahas ke pusat permasalahan prejudice atau semacamnya, tapi landasan tersebut sudah bekerja pada tempatnya di dalam bangunan narasi journeynya si Bill. Baginya, semua itu adalah chaos. Tidak masalah lagi seperti apa pandangannya, yang ia tahu kini dia adalah seorang Amerika yang tengah memburu remaja arab – yang bahkan masih jadi misteri apakah remaja ini beneran ada atau tidak – di daerah yang aware terhadap posisi Amerika terhadap isu kebangsaan tersebut. Dan ini juga personal karena menyangkut putrinya. Film melangkah dengan careful dan confident, membuat thriller berdasarkan drama tersebut tetap dalam kondisi yang tidak menjadikannya cerita yang memihak ataupun menjadi sesuatu yang over. Bill is the agent of chaos himself. Dia punya masalah dalam menahan emosi, dan ini membuatnya menjadi unreliable. Yang menjadi akar kekurangharmonisannya dengan Allison in the first place. Hubungan Bill dengan Allison memang tidak mendapat banyak porsi, dan itu karena cerita memilih fokus kepada perjuangan Bill – yang penuh chaos luar dalam – untuk menemukan kedamaian yang sebenar-benarnya.

Damai bukan berarti ada pada tempat yang ideal tanpa gangguan, tanpa perjuangan, yang semuanya tercapai. Melainkan justru damai adalah ketika kita bisa berada di tengah-tengah semua masalah, dengan hati tetap tenang.

 

To my suprise, film ini mengangkat referensi dari Islam tentang apa itu kedamaian yang hakiki. Aku gak dapat sama sekali lagi konteks keislaman saat nonton film Ali & Ratu Ratu Queens, padahal film tersebut lebih dekat dan punya akar yang lebih kuat ke arah sana. Konteks itu justru hadir di film luar. Stillwater tidak mengatakan itu hal yang tepat atau tidak bagi Bill, film tidak mengatakan apakah penerapan yang Bill lakukan terhadap itu benar atau salah, tapi dia menghadirkannya untuk memperkaya narasi cerita. And it works. Nonton film ini padet, terasa humanis. Dan yang lebih penting adalah, film ini tampil lebih berani.

stillwater9d6aa5028e047c326f299d9
Saking beraninya, jadi membawa kontroversi

 

Untuk kebutuhan menegaskan bahwa hidup memang brutal, film memilih untuk menyelesaikan masalah dengan amat sangat tega bagi kita. Ini jadi semacam pertaruhan sebenarnya, karena penonton yang sudah terinvest sama misteri ‘siapa pelaku’ akan mengharapkan penjelasan yang memuaskan. Penonton yang sudah terinvest dengan drama found-family, akan mengharapkan konklusi yang menghangatkan. Stillwater memilih untuk benar-benar still, tidak mengaduk lagi. Tidak lagi membuat elemen-elemen itu beriak. Film merampas kita dari sana, sebagaimana Bill dirampas dari kehidupan barunya. Film seperti meminta kita untuk mencari kedamaian sendiri dari cerita mereka. Cerita yang mereka biarkan selesai dengan hiruk pikuk. Dengan masalah yang tidak benar-benar tuntas. Supaya gak spoiler, aku akan mengungkapkannya dengan, susah sekali untuk kita menentukan apakah ending film ini good ending atau bad ending. Maybe, it is just.. brutal.

Tapi tampaknya yang paling merasa dibrutality sama film ini adalah perempuan bernama Amanda Knox. Ini sudah di luar penilaian film, aku bicarain ini untuk perbandingan saja. Dan ngasih sedikit pendapat ke permasalahannya. Jadi kontroversi film ini adalah, Stillwater ternyata tersandung masalah yang sama dengan serial Sianida baru-baru ini. Sama-sama based on kasus di dunia nyata, tapi tidak benar-benar tentang kejadian seputar aktual kasus tersebut. Hanya kejadian kasusnya yang mirip. Sianida mengangkat kasus kopi sianida, dan Stillwater mengangkat tentang Amanda Knox yang beneran dipenjara karena dituduh membunuh persis seperti pada cerita film. Nah, keduanya sama-sama diprotes sama pihak-pihak kasus in real life tersebut – karena tidak mencerminkan kejadian yang sebenarnya sehingga dituduh hanya cash-in dari tragedi orang. Dan keduanya sama-sama ngeles bahwa they did nothing wrong sebab sudah ada disclaimer bahwa ini fiksi, yang terinspirasi saja. Menurutku, ya, enggak salah sih. Kita bisa ngambil ide cerita darimana saja. Aku sendiri, film pendek pertamaku ceritanya berasal dari kisah dua hts-an temanku di SMA. Aku juga gak bilang-bilang mereka saat bikin, dan saat sudah jadi, mereka nonton dan ya, mereka mengenali itu mirip sama mereka, tapi juga gak marah karena tau itu fiksi. Dan tidak ‘dijual’ – tidak digembar-gemborkan sebagai sesuatu yang dari kisah nyata. Jadi ya menurutku, bikin film bebas dari mana aja, tapi kalo si film malah ngejual sebagai cerita terinspirasi, dengan materi promo yang langsung mengacu ke kasus nyata, maka ketika orang aslinya marah, ya itu sudah jadi salah filmnya. 

 

 

 

Oke, jadi untuk menyimpulkan, film ini memang berani. Dibandingkan dengan film Ali yang memilih untuk tidak membahas, maka tidak menampilkan, film karya McCarthy ini kaya oleh banyak konteks dan subteks cerita. Sehingga menontonnya terasa lebih padat. Jika kita membayangkan film ini sebagai sebuah kertas, maka ia adalah kertas yang penuh tulisan. Tidak satupun yang luput dari pemberian konteks. Bahkan pekerjaan Bill dan Virginie juga turut menyumbang ke dalam pembangunan drama yang jadi tubuh dan sesuai dengan galian cerita. Film ini juga hidup berkat penampilan akting yang tampak natural dan nyata. Penceritaannya juga balance antara drama dan thriller dengan sedikit action. Keberanian film berujung pada mengakhiri cerita dengan brutal. Ini adalah pilihan kreatif yang beresiko, karena aku bisa melihat film ini bisa saja jadi runtuh di mata penonton yang tidak menyetujui pilihan penyelesaian (atau pilihan tidak menyelesaikannya). Buatku? Well…
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for STILLWATER.

 

 

 

That’s all we have for now

Bagaimana pendapat kalian tentang kontroversi film ini, yang juga sama dengan serial Sianida? Di mana menurut kalian batasan antara terinspirasi itu seharusnya?

Share with us in the comments yaa

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

CODA Review

“It means having each other’s backs.”

 

 

Coda adalah singkatan dari ‘Child of Deaf Adults” – Anak dari keluarga tunarungu. Coda, juga bisa berarti istilah untuk bagian penutup dalam sebuah komposisi musikal. Coda, garapan sutradara Sian Heder, adalah dua hal tersebut sekaligus. Film yang bercerita tentang Ruby, satu-satunya yang berpendengaran normal dalam keluarganya, yang sangat berbakat menyanyi dan menemukan kecintaan pada dunia musik. Dunia yang gak berarti apa-apa bagi ayah, ibu, dan abangnya. Simply karena mereka gak bisa mendengar betapa amazingnya suara Ruby. Ibu malah menyangka anak remajanya itu hanya sedang dalam fase ‘memberontak’, “Kalo ibu buta, kamu pasti ngelukis, ya” begitu katanya ringan ketika Ruby ngasih tau soal masuk kelas musik. Dan momen itu, aku yakin, juga dialami oleh banyak anak remaja. Tak peduli seberapa normal pendengaran mereka sekeluarga.

Karena Coda ini pada hatinya memang sebuah cerita coming-of-age yang relatable. Tapi, dia adalah cerita dengan suara yang begitu unik. Sehingga bahkan dengan film aslinya pun – ini adalah versi Amerika dari film Perancis La Famille Belier (2014) – Coda terdengar seperti sajian yang berbeda.

Coda
Emilia Jones
Credit: AppleTV+
Belum pernah kan ngeliat orang bercarut pakai bahasa isyarat? Hihihi

 

Tentu, Coda dikembangkan Heder dari perspektif yang serupa. Keluarga yang quirky. Nyeleneh. Interaksi keluarga ini dipertahankan, Ruby yang kerap bertengkar dengan abangnya, pake bahasa isyarat. Ruby yang kesel sama ‘kemesraan’ ayah dan ibu. Itu memanglah pesona utama yang membuat cerita ini populer sehingga dibuat lagi. Ya, keluarga Ruby berbeda dengan orang-orang lain. Keluarga Ruby dipandang remeh. Dan hidup mereka enggak mudah. Tapi film memperlihatkan semua itu lewat perspektif yang tidak sekalipun mengiba belas kasihan. Keluarga Ruby bangga dengan siapa mereka, dengan kerjaan mereka. Dalam Coda, mereka adalah keluarga nelayan. Mereka mengarungi masalah yang sama dengan nelayan-nelayan lain di sana. Yang tangkapannya dibeli penadah dengan harga rendah. Yang merasa dirugikan lebih jauh oleh kebijakan perdagangan dan penangkapan ikan yang baru diberlakukan. Mereka tau mereka akan baik-baik saja. Selama ada Ruby.

Ya, selama ini Ruby memegang peranan besar dalam keluarga. Ruby ikut melaut, membantu mengoperasikan dan komunikasi kapal. Ruby jadi juru bicara. Dalam tawar menawar harga, dalam rapat. Dalam apapun. Film menitikberatkan ketergantungan ini dengan memperlihatkan Ruby bahkan harus ada di sana saat ayah dan ibunya konsultasi ke dokter mengenai masalah yang mendera area privasi mereka. Kebergantungan semacam itulah yang jadi titik awal konflik. Karena Ruby yang sudah beranjak dewasa, mulai menemukan dunianya sendiri. Dia mulai naksir cowok, dia mulai serius menjajaki tarik-suara. Tentu saja, gak lama jadwal Ruby mulai bentrok dengan jadwal kerjaan keluarga. Semua pilihan mendadak menjadi tough choices bagi Ruby, karena dia sadar keluarganya membutuhkan dirinya tapi sebaliknya dia tahu bahwa dia juga butuh untuk menapaki jalan hidupnya sendiri. Semua lapisan permasalahan itu mengumpul semua membentuk emotional depth yang dalem banget. Membuat film ini jadi menarik-narik hati kita, membuatnya hangat oleh haru dan cinta, tanpa sekalipun terasa overdramatis.

Kehidupan keluarga Ruby dalam rumah tangga dan dalam bermasyarakat, menambah realisme ke dalam cerita. Kita percaya yang dialami Ruby bisa terjadi pada anak dalam keluarga manapun. Masalah keluarga tunarungu tersebut mendadak jadi masalah universal. Untukku, aku melihatnya sebagai masalah yang relatable bagi remaja karena Ruby dalam cerita ini dealing with keluarga yang tidak bisa melihat value dari kemampuannya. Penyanyi tapi orangtuanya tuli. Mereka gak bisa tau, gak bisa mengerti how good she really is. Jadi ya, remaja yang suka musik tapi disuruh jadi karyawan kantoran, remaja yang pandainya bulutangkis tapi disuruh jadi PNS, yang tulisannya bagus tapi disuruh jadi sekolah dokter aja, mereka adalah Ruby-Ruby dalam keluarga yang ‘tuli’ sama suara anak mereka. Solusi untuk masalah ini adalah bagaimana membuat orangtua kita mendengar ‘suara’ tersebut. Maka film Coda ini bisa jadi penguat. Bisa menjadi pengingat bahwa keluarga itu ya sebenarnya saling membutuhkan. Karena jika Ruby dan keluarganya yang berkekurangan saja bisa menemukan jalan keluar, tidak ada alasan untuk kita tidak menemukannya.

Hubungan dalam keluarga tidak berjalan satu arah. Yang satu membutuhkan yang lainnya. Anak akan membutuhkan orangtua, sebagaimana orangtua pun membutuhkan peranan sang anak. Maka dari itulah, anak dan orangtua harus saling mengenali. Masuk ke dunia masing-masing.

 

Dari situlah datang aspek beauty yang kuat dimiliki oleh film ini datang. Pertengahan film hingga ke akhir udah kayak parade adegan-adegan keluarga yang indah. Yang hangat. Keluarga Ruby yang datang ke sekolah menonton pertunjukan musik meskipun mereka gak bisa mendengar apa-apa (ngeliat mereka yang malah menonton dari reaksi penonton sekitar itu adegan yang supersweet banget) ke adegan ayah meminta Ruby menyanyikan ulang lagu kepadanya, dan ayah mencoba mendengar dan mengerti lagu tersebut dengan cara yang ia bisa (easily adegan paling bikin netes air mata, dan kandidat nominasi untuk adegan terbaik di My Dirt Sheet Awards tahun depan!) hingga ke adegan saat…. ah, tonton sendiri deh. Film ini penyelesaiannya penuh oleh beautiful moments. Yang juga digarap dengan sama sensitif dan beautifulnya.

Heder tahu dia gak perlu apapun selain memaksimalkan karakter-karakter yang menghidupi ceritanya. Sehingga dia benar-benar menaruh kita ke dalam perspektif. Ketika adegan keluarga Ruby nonton pertunjukan nyanyi tadi, misalnya. Saat Ruby nyanyi solo, film justru menarik semua suara dari layar. Kita tidak mendengar suara cantik Ruby. Kita tidak mendengar apa-apa. Karena memang itulah yang persisnya didengar oleh keluarga Ruby. Kita jadi tahu apa yang mereka rasakan. Build up pada sekuen pertunjukan musikal tersebut juga bener-bener diperhatikan sehingga momen terakhirnya jadi luar biasa. Di awal kita melihat ayah dan ibu Ruby malah sibuk ‘ngobrolin’ hal lain. Namun ketika giliran Ruby, kita yang dibuat ikut tidak mendengar jadi melihat ayah, ibu, dan abang Ruby tersebut tidak hanya memusatkan perhatian mereka, tapi juga berusaha ‘mendengar’ Ruby dari sekeliling. Dan kita dibuat mendengarkan dalam cara mereka mendengar. Film ini bijak sekali, tahu persis memainkan perspektif. Timingnya efektif sekali. Sebaliknya, ketika nyanyian Ruby memang harus didengar (seperti pada adegan ayah Ruby meminta dinyanyiin tadi), film memastikan lagu yang kita dengar benar-benar mencerminkan keadaan yang dialami, dan bermakna bagi Ruby dan ayahnya. Lagu tentang bagaimana seseorang bergantung kepada yang mereka cintai tersebut menambah bobot yang banyak sekali untuk hati film ini.

Coda2.jepg_-1024x507
Meski dijual sebagai drama musik, tidak perlu ngerti belajar musik untuk dapat menikmati film ini

 

Bahkan untuk adegan-adegan kecil pun, film ini mengerti untuk tidak melakukan dengan berlebihan. Urusan cinta-cintaannya Ruby; elemen itu dibutuhkan untuk membuat karakter Ruby makin ter-flesh out. Tapi kadarnya harus pas, supaya enggak mengambil alih persoalan utama yakni Ruby dan keluarganya. Yang dilakukan film ini, apa coba? Benar-benar pas. Ruby tidak pernah jadi karakter yang bucin, melainkan tetap pada jalur yang manis. Begitu juga sebaliknya; dengan pembullyan yang ia terima. Tidak pernah film jadi kayak ‘sinetron’, yang menjalin interaksi antara karakter anak remaja yang satu dimensi jahat atau semacamnya dengan Ruby yang nelangsa. Penampilan akting dan arahan serta naskah jelas yang mengakibatkan ini semua.

Didaulat sebagai pemain utama, Emilia Jones memainkan Ruby dengan segenap hati sehingga tidak mungkin bagi kita untuk tidak peduli dan tidak sayang kepada karakternya. Dia berbakat, tapi juga kikuk dan tidak benar-benar pandai untuk mengekspresikan diri. Adegan-adegan dia adegan musik dengan guru yang exceptionally idealis dan nyeni sehingga jadi kayak komikal (satu-satunya aspek yang too good to be real di film ini) digunakan dengan efektif oleh film sebagai saat-saat untuk menunjukkan perkembangan personal Ruby. Dia juga dimainkan dengan penuh cinta kepada keluarga, tapi di saat bersamaan Jones juga membuat Ruby memancarkan sedikit, katakanlah, kelelahan dan dia ingin break free, dalam cara yang tidak annoying.

Yang mengangkat Coda dari originalnya adalah representasi. Heder enggak ragu untuk mencasting aktor-aktor yang memang tunarungu untuk memerankan ayah, ibu, dan abang Ruby. Tidak seperti film originalnya yang menggunakan aktor berpendengaran normal. Dan ini tentu saja selain lebih respek terhadap komunitas tunarungu yang direpresentasikan, tapi juga menambah aspek realisme yang berusaha ditonjolkan oleh film. Gak sampai di sana, supaya gak jadi sekadar gimmick atau apa, Heder memback up karakter-karakter tersebut dengan lapisan. Ibu Ruby (Marlee Matlin) adalah – atau bukan adalah – seorang mantan model (ini jadi salah satu running-jokes dalam cerita), dan film membuka kesempatan untuk karakter ini menjelaskan apa makna kehadiran anak normal bagi diri dan keluarganya. Abang Ruby (Daniel Durant) juga punya pandangan sendiri terhadap peran Ruby dalam keluarga, yang berkenaan dengan posisinya sendiri sebagai anak sulung, cowok pula. Dia akan menambah bobo konflik tersendiri yang tentu saja kita welcome sekali ke dalam cerita. Dan tentu saja, ayah Ruby (Troy Kotsur) yang sudah dijelaskan sedikit lebih banyak di atas tadi. Dia yang kepala keluarga punya tanggung jawab, dia yang kelihatan paling dekat dengan Ruby, dia yang paling ‘bertingkah’ – in a lot of ways. Cerita Coda hidup lewat karakter-karakter ini.

Resolusinya mungkin dapat terasa terlalu cepat bagi beberapa penonton, dengan permasalahan-permasalahan kecil dalam cerita belum terikat sempurna. Namun bagiku memang itulah poin cerita. Urusan Ruby dengan keluarganya memang bukan sebuah urusan yang patut dibesar-besarkan. Memang sebenarnya sesimpel mengeluarkan suara, dan mendengarkan suara tersebut. Masalah komunikasi. Dan mengenai hal-hal lain yang belum kelar, ya masalah memang bakal terus ada. Film ini tentang keluarga yang akhirnya saling mengerti dan itu membuat mereka jadi keluarga yang semakin kuat meski sekarang mereka tidak lagi bersama secara fisik, bukan tentang problem yang lantas jadi beres. Yang perlu diperhatikan adalah film di akhir telah memperlihatkan bagaimana keluarga ini sekarang punya dan mau menempuh cara lain untuk berurusan dengan problematika sehari-hari, sebagai tanda kekeluargaan yang semakin menguat.

 

Buat yang pengen ngajak keluarga nonton bareng, CODA bisa disaksikan di Apple TV+ https://apple.co/3J2UFU7 

Ekspektasiku nonton ini adalah yaah, aku bakal nonton cerita anak yang dibully karena keluarganya berbeda, kemudian menemukan cinta – kepada musik dan kepada cowok – yang berlawanan dengan kepentingan orangtua, yang pada akhirnya membantunya berurusan dengan keadaan keluarga tersebut. Film ini secara garis besar memang seperti itu, tapi tidak sedramatis atau semenye-menye yang kubayangkan. In fact, tidak pernah dia menyuarakan seperti demikian. Melainkan ini berhasil jadi cerita yang terasa unik. Menawarkan sudut pandang baru dengan lucu dan kikuk di awal, dan lantas benar-benar indah dan hangat sebagai penutup. Dia juga terasa real dan relatable. Biasanya, aku punya aturan penilaian yang ketat untuk film-film yang bukan original. Namun untuk kali ini, teruntuk film ini, aku rela sedikit melunakkan aturan tersebut. Karena dia berhasil tampil tetap cantik, dan malah seperti memperbaiki versi originalnya.
The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold stars for CODA.

 

Get it on Apple TV

 

 

That’s all we have for now

Apakah kalian juga punya hal yang menurut kalian penting, tapi tidak bisa ‘didengar’ oleh orangtua, tidak punya value yang sama di mata mereka? How do you dealt with that?

Share with us in the comments yaa

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

 
Advertisements

THE SWARM Review

“It’s a fine line between need and greed”

 

Horor kali ini datang, lagi-lagi dari manusia yang melangkah menembus batas tipis antara kebutuhan dengan ketamakan. Di dunia nyata, kita masih merasakan apa yang diperdebatkan sebagai dampak dari selera menjadikan kelelawar sebagai bahan makanan, seolah tidak ada lagi makanan lain. Di peternakan Perancis yang jadi panggung cerita garapan Just Philippot ini, kita akan menyelami bagaimana naluri bertahan hidup seorang ibu demi melindungi dan ngasih makanan untuk anak-anaknya, berubah menjadi ambisi mengerikan yang membuatnya seperti kesetanan.

Horor kali ini datang, dari drama ketakutan terdalam manusia dalam bertahan hidup. Itulah sebabnya film ini bakal jadi kudapan yang cukup bergizi. Tapi bagaimana dengan rasanya? Well, mari katakan saja, jika kalian punya taste tertentu untuk belalang yang kriuk-kriuk gurih, film ini bakal lezat sekali.

swarmfd1e1145676641c353d8ca5363d5535d
Kasih ibu tak terhingga sebanyak kawanan belalang haus darah!

 

Sebagai makanan, belalang memang enggak seaneh kelelawar. Di kita aja cukup lumrah memakan belalang goreng yang memang berprotein tinggi. Siapa yang tau belalang diolah jadi santapan seperti apa di Perancis yang punya banyak kuliner elegan sana. Yang jelas, belalang digandrungi sehingga banyak pembeli yang khusus membeli dalam jumlah besar. Khusus dalam artian, harus dalam jumlah besar. Itulah yang jadi masalah pada peternakan belalang milik Virginie. Belalang-belalang yang ia kembangbiakkan di satu rumah plastik bersolar panel itu kurang. Kesulitan berkembang biak. Kecil-kecil pula. Dijual untuk pakan bebek pun, masih belum memadai. Virginie semakin terlilit kesulitan finansial. Dalam frustasinya, Virginie menemukan jawaban. Belalang-belalang itu subur, besar-besar, saat dikasih makan darah segar. Bisnis pun lancar. Rumah plastik Virginie semakin bertambah seiring berlipat gandanya belalang besar yang ia biakkan. Tapi Virginie mulai dicurigai orang-orang, yang mulai berbisik ngomongin bisnisnya. Bisikan yang nyaingin suara dengung belalang yang keras. Virginie juga mulai ditakuti oleh anaknya sendiri. Tak pelak, harga yang harus dibayar Virginie memang sudah terlampau tinggi.

Melihat belalang-belalang yang semakin haus darah itu, kita akan berpikir kita tau ke mana film ini akan mengarah. Kamera yang dengan detil menclose up perilaku belalang sebagai transisi antaradegan, seperti ngebuild up – turut memberi makan antisipasi kita akan horor hewan yang kita kira bakal datang. Jika ini adalah film Hollywood, besar kemungkinan memang itulah yang bakal terjadi. Kawanan belalang lepas, menyerang manusia-manusia dan Virginie berusaha menyelamatkan putra-putrinya. The Swarm bukanlah film seperti itu. Philippot mengamalkan yang dijadikan pesan oleh film ini. Dia tahu batas, film ini butuh untuk menjadi seperti apa. Philippot tidak kebablasan menjadikannya lebih dari itu.

Film ini tetap berpegang erat kepada drama yang menjadi hatinya. Kepada drama yang menjadi akar horornya. Karena, walaupun memang ada adegan berupa belalang menyerang manusia dan sebagainya, horor dalam film ini tetap dikembangkan dengan subtil dan lebih berupa berasal dari pemahaman kita terhadap pilihan dan perubahan yang (harus) dilakukan oleh karakter. Dan ini ternyata lebih efektif, dan membuat cerita jadi lebih fresh juga. Horor melihat hubungan ibu dan anak yang merenggang – horor melihat anak menjadi takut kepada ibu mereka – ternyata lebih mengerikan ketimbang horor kawanan belalang yang mengamuk. Itulah yang dibuktikan oleh film ini.

Virginie adalah single mother dengan dua orang anak. Laura yang udah remaja, dan Gaston yang masih belum cukup dewasa untuk memahami problematika ekonomi rumahnya. Keputusan Virginie mengubah peternakan kambing peninggalan suami menjadi peternakan belalang berdampak kuat kepada kehidupan sosial Laura. Cewek itu dibully di sekolah, diejek. Konflik antara Virginie dan Laura berasal dari sini. Kedua saling salah mengerti. Untuk paruh pertama film kita akan melihat Laura sebagai anak sok nge-angst yang cemberut melulu, dan kita lebih bersimpati kepada Virginie karena kita melihat usahanya banting tulang untuk menghidupi keluarga. Dalam mengembangkan konflik itulah film ini excellent sekali.

Kita akan berjuang melakukan apapun untuk memenuhi yang kita butuhkan. Namun ada satu titik dari perjuangan tersebut yang tidak boleh dilanggar. Titik yang ditarik dari tujuan kebutuhan tersebut pada awalnya. Virginie melanggar ini. Dia melupakan untuk apa dia berjuang. Berjuang memenuhi kebutuhan membuat kita memperoleh yang kita butuhkan. Berjuang memenuhi keinginan untuk menjadi lebih dari yang dibutuhkan hanya akan membawa petaka. Dan malah bisa membuat kita kehilangan.

 

Suasana dreadful dipertahankan. Seiring kita mendengar dengungan belalang yang ngasih kontras ngeri berupa ada ‘monster’ yang semakin besar menunggu untuk keluar, kita semakin takut melihat ada orang yang masuk ke rumah-rumah plastik tempat Virginie sekarang menyimpan rahasia, simpati dan dukungan kita pun pada akhirnya kita rasakan mulai beralih. Peralihan itupun tidak sekadar “waah, aku jadi suka si ini sekarang”, melainkan karena dibangun dengan kuat di rasa dan di hati, peralihan tersebut membawa rasa ngeri kepada kita. Sehingga sekarang kita tidak hanya takut akan belalang-belalang itu, tapi kita juga mengkhawatirkan keutuhan keluarga Virginie. Film ini mengubah Virginie dari yang tadinya mendapat simpati penuh kita; dia tampak mengorbankan diri demi keluarga – dari yang tadinya seperti perjuangan tulus seorang ibu, menjadi sesuatu yang lebih menjurus ke sinister. Ke kegilaan. Terutama sebab perjuangan yang ia lakukan sudah jauh dari tujuan semula. Transformasi tersebut dilakukan film dengan mulus, tidak ada satu emosi yang tercecer.

swarmThe-Swarm
Ini telah meninggalkan realm ‘orangtua rela menderita demi anak’

 

Layer-layer pada motivasi dan pilihan karakter itu membuat film jadi punya kedalaman. Sembari kita melihat Virginie menjadi personifikasi dari gambar-gambar meme penderitaan orangtua demi anak, kita juga menyadari yang dilakukan Virginie terhadap belalang-belalang tersebut telah melampaui batas. Suliane Brahim menyokong arahan ini dengan menghidupkan karakternya lewat pendekatan psikologis yang pas. Perjuangan, keputusasaan, dan ‘kegilaan’ karakter tersebut dia mainkan sama kuatnya lewat kata-kata maupun lewat permainan ekspresi. Pilihan film untuk lebih memusatkan kepada karakter ketimbang mengubah ke haluan yang lebih diantisipasi orang, yakni menjadikannya horor creature, membuat film lebih bergizi. Namun tentunya juga bukan tanpa resiko. Arah ini berarti punya cerita yang berjalan lebih lambat. Penonton yang udah menunggu-nunggu adegan survival heboh, adegan makhluk yang heboh, ataupun hanya sekadar menunggu menjadi seperti The Bird Alfred Hitchcock, kemungkinan besar bakal kecewa. Adegan belalang lepas, menyerang orang, memang ada. Finale akan chaos dan berdarah-darah juga, tapi tidak lebih besar dari apa yang dibutuhkan oleh film ini.

Di lain pihak, penonton yang memang suka film yang lebih ke psikologis karakter, yang gak masalah mantengin film lambat dan horor-horor yang cenderung ke visual yang artsy saja, juga tidak lantas akan langsung terpuaskan. Karena actually, babak ketiga yang memuat Finale cerita ini hadir dengan tanggung. Herannya, tampil dengan lebih banyak kemudahan dari yang kukira. Film ini memilih vibe cenderung ke good ending ketimbang cerita kegagalan yang biasa, tapi tidak banyak tahap pembelajaran yang diberikan kepada Virginie. Karakter itu di akhir cerita, lebih banyak bereaksi ketimbang beraksi. SImpelnya, bukan dia yang mengakhiri semua itu. Melainkan karakter lain. Dan di ujung, barulah dia sadar dan kembali kepada tujuan semula; demi anak-anaknya. Sehingga penyelesaian film ini tidak terasa berkesan. Tidak terasa rewarding buat pertumbuhan karakter. Dan bahkan tidak ada konsekuensi. Virginie telah melakukan banyak hal-hal yang katakanlah – jahat – selama fase-fase dia gelap mata dan lebih mikirin belalang dan egonya sebagai ibu yang berjuang. Tapi ketika semua berakhir, buntut dari tindakannya juga berakhir gitu aja.

Harusnya ada ending yang lebih kuat daripada ini. Ending yang benar-benar melibatkan semua karakter cerita. Karena, yang kita lihat sebagai penutup film ini, saking abruptnya benar-benar terasa seperti berakhir begitu saja. Anak cowok Virginie yang juga jadi korban akibat ulah ibunya malah gak ada di situ. Seolah dia gak ada yang harus diresolve dengan ibunya. Seperti, film berhenti begitu saja mendalami yang sudah mereka gali. Ini aneh buatku, They were doing so good di awal, kemudian di akhir itu, they just stop buzzing.

 

 

 

Horor itu gak harus ada hantunya. Film ini membuktikan hal tersebut. Dia mendatangkan horor dari sikap manusia. Mengembangkan drama keluarga – konflik ibu dan anak yang berjuang untuk hidup – sebagai inti dari kisah fantasi berupa kawanan belalang yang mengganas karena dikasih makan darah. For the most part, film ini berhasil menyuguhkan perjalanan manusia yang benar-benar mengundang simpati. Yang benar-benar membuat kita mengkhawatirkan mereka. Membuat kita takut akan keutuhan mereka. Film melakukan ini sambil menghasilkan gambar-gambar seram. Film ini tahu apa yang ia butuhkan, tapi tidak benar-benar tahu cara yang tepat untuk membungkus ceritanya. Karena penyelesaian film tidak terasa memuaskan, dan terasa terlalu abrupt. Film yang berakhir kuat akan meninggalkan kita dengan bertanya-tanya “Lalu apa?”. Film ini hanya berhenti dengan membuat kita bertanya “Lah itu yang tadi gimana?”
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for THE SWARM.

 

 

 

That’s all we have for now

Apakah menurut kalian film ini memang berakhir bahagia atau malah sebaliknya?

Share with us in the comments yaa

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

 

JUNGLE CRUISE Review

“It is health that is real wealth and not pieces of gold and silver”

 

Stanley Kubrik bukan hanya dikenal sebagai sutradara kontroversial, beliau juga merupakan salah seorang yang paling berpengaruh dalam dunia sinema. Kenapa aku malah bicarain Stanley Kubrick di sini? Karena ada satu perkataannya yang aku yakin telah menginspirasi para tukang cerita di seluruh dunia untuk membuat film. Kubrick bilang apapun yang bisa ditulis, apapun yang bisa dipikirkan, bisa difilmkan. Apapun bisa dijadikan ide untuk cerita film. Bahkan cerita yang udah jadi cerita. Kita mengenalnya sebagai adaptasi; film yang berdasarkan materi atau bentuk karya lain. Tapi tentu saja ada juga film-film dari sumber yang bukan puisi, novel, teater. Film-film yang ceritanya terilhami dari hal sesimpel khayalan masa kecil, berita di koran, peristiwa di buku sejarah. Atau malah dari wahana mainan di taman hiburan. Untuk yang satu ini, memang sepertinya Disney adalah pelopornya.

Punya sejumlah taman hiburan dengan berbagai atraksi dan wahana, Disney gak cukup hanya dengan membuat wahana berdasarkan film-film andalan mereka. Disney juga merancang wahana-wahana original yang kemudian hari bakal disulap menjadi cerita seru di layar lebar. Mereka telah melakukannya sejak 1997. Dimulai dari Tower of Terror yang jadi film untuk televisi hingga ke raksasa box office yang beranak pinak menjadi franchise film tersendiri, Pirates of Caribbean. Kali ini giliran ‘Jungle (River) Cruise’. Petualangan perahu di Sungai Amazon itu kini bisa kita nikmati keseruannya di layar lebar (atau layar laptop, mengingat bioskop kita masih tutup). Aku belum pernah ke Disneyland, aku gak tau wahana ini lebih seru dari Rumah Boneka atau enggak, but none of those matter, karena sutradara Jaume Collet-Sera berhasil menghadirkan film ini layaknya wahana superseru sendiri. Meskipun setelah berakhir, aku tahu bahwa film ini adalah wahana yang hanya mau aku naiki satu kali.

jungle2df7b88a-c3d5-4eac-a4be-a01ac9dd43a1_169
Akankah The Rock akhirnya jadi batu beneran di sini?

 

Aku menikmati satu-jam pertama dari film ini. Set upnya dilakukan dengan baik, tidak berat eksposisi. Cerita di paruh pertama dari dua jam ini berjalan simpel. It was 1916, dunia yang masih percaya pada legenda dan kutukan. Salah satu legenda yang tersohor adalah bahwa ada pohon yang daun-daunnya berkhasiat menyembuhkan penyakit apapun di Brazil. Pohon yang tak seorang pun tahu keberadaannya, kecuali perkiraan kasar berada di antara sungai-sungai Amazon. Berbekal peta dan batu misterius berbentuk kepala anakpanah yang ia curi, Lily, scientist feminis yang udah kayak Indiana Jones versi cewek bertekad menyusuri legenda tersebut dan membawa pulang daun-daun ajaib itu demi kemajuan ilmu kesehatan. Lily bersama adik cowoknya yang rempong menyewa kapal dan jasa pemandu turis handal bernama The Rock, eh salah.. bernama Frank. Bersama-sama mereka bertualang mengarungi sungai yang penuh bahaya dan keajaiban, dengan kapal selam Jerman Pangeran Joachim yang licik mengekor di belakang. Berusaha merebut legenda itu dengan cara apapun.

See, simple. Dari set upnya gak susah untuk kita membayangkan ini adalah cerita petualangan, cerita rebut-rebutan harta karun yang bakal seru. Di sungai pedalaman Amazon yang penuh piranha dan kekuatan supernatural pula! Kesimpelan tersebut diimbangi oleh karakter-karakter yang colorful. I’d expected them to be paper-thin. Dan memang, beberapa karakterisasi enggak lebih tebal daripada kertas, namun kenapa pula itu tidak berarti fun? Film ini tahu mereka punya tiket untuk membawa kita bersenang-senang. Tiket berupa aktor-aktor yang paham bahwa sudah tugas merekalah untuk membuat peran apapun yang diberikan kepada mereka menjadi emas.

Harta karun yang diperebutkan dengan gigih dan mati-matian di sini bukan emas. Melainkan daun penyembuh. Dari ini, film seperti mengatakan kepada kita bahwa perjuangan mencapai pengetahuan dan kesehatan itu ya memang harus segigih ini. Karena itulah hal yang lebih penting daripada sekadar kekayaan.

 

Emily Blunt memerankan Lily yang berkemauan keras, capable, berani, cerdas, dan sangat resourceful untuk mendapatkan apa yang ia mau. Kualitas karakternya ini tidak lama-lama disimpan oleh film. Pada adegan awal saat dia mencuri batu anakpanah, kita sudah diperlihatkan betapa seru dan resourcefulnya karakter ini. Sampai-sampai dia menggunakan berbagai macam trik dari film-film lain seperti Indiana Jones (dejavu gak sih ngeliat adegan Lily dengan cermat menyamarkan suara berisik aksi membobolnya dengan suara pekerja museum lagi memalu). Film juga gak membuang waktu untuk mencuatkan protagonis ceweknya ini sebagai makhluk progresif dibandingkan dunia sekitarnya. Sementara juga menggali komedi dari kontrasnya Lily dengan karakter adiknya, MacGregor yang diperankan dengan konyol namun simpatik oleh Jack Whitehall.

Heart of the film dibebankan kepada Lily dan Frank, si pemandu. Blunt dan Dwayne Johnson diberikan ruang oleh naskah untuk mengembangkan sisi komedi (again, dari kontrasnya mereka) dan juga sisi manis-as-in-a-couple di balik petualangan kocak mereka. Chemistry mereka mungkin memang gak kena banget, tapi Blunt dan Johnson benar-benar hebat dalam menghidupkan suasana. Johnson actually dapat tantangan dengan range yang lebih luas. Kita gak hanya melihatnya sebagai seorang jagoan; penakluk macan tutul, penjinak sungai, penendang bokong, yang sayang ama perahu. Tapi juga seorang pemandu, yang ngescam turis dengan bahaya-bahaya palsu, sambil menghibur mereka dengan lelucon bapak-bapak (yang dimainkannya tetap penuh kharisma seperti yang hanya bisa dilakukan oleh The Rock) Semua aktor di sini tampak bersenang-senang, tapi sepertinya yang paling bergembira di sini adalah Jesse Plemons. Yang kebagian meranin parodi yang sangat komikal dari tokoh-beneran seorang Jenderal Jerman. Plemons bermain dengan aksen, gestur, dan dialog-dialog yang ia mainkan dengan begitu over-the-top. And he made it work. Karakternya bikin gentar tapi juga lucu. Tiga elemen utama yang superseru ini sebenarnya sudah lebih dari cukup untuk membuat Jungle Cruise jadi ride, both sebagai wahana maupun perjalanan yang menghibur.

Malangnya, film ini – seperti juga film-film hiburan belakangan ini – merasa itu semua belum cukup. Merasa mereka perlu untuk membuat cerita yang rumit, yang penuh kelokan kayak sungai-sungai deras Amazon tersebut. Setelah pertengahan, Jungle Cruise tau-tau bermanuver dengan banyak sekali plot-plot kejutan yang bukan saja enggak perlu, tapi juga malah membuat ceritanya jadi bego. 

jungle-cruise-trailer-2
Bayangkan ada makhluk undead tapi perempuan-pakai-celana tetap jadi hal yang paling aneh dan mengejutkan bagimu

 

Mari kuberitahu sedikit tentang twist dan reveal. Semua twist adalah reveal, sementara tidak semua reveal adalah twist. Sebagai contohnya, kita bisa langsung lihat dari film ini. Ketika film mengungkap bahwa prajurit masa lampau dalam legenda itu ternyata masih ‘hidup’ dan mengejar Lily dkk, itu adalah plot reveal. Karena fungsi informasinya itu adalah sebagai penambah tantangan. Sebagai rintangan yang harus dikalahkan. Step yang mengangkat suspens, dari yang tadinya hanya bermusuh satu pihak, menjadi dua, sehingga cerita jadi semakin seru. Secara teori begitu, meskipun pada eksekusinya enggak begitu mulus. Karena permainan efek CGI yang gak konsisten dilakukan oleh film ini. Sedangkan twist, itu adalah ketika film mengungkap siapa sebenarnya si Frank. Karena informasi ini mengubah haluan film, membuat kita memandang kembali ke belakang – melihatnya dengan cara baru sesuai dengan yang diungkap oleh film. Dan twistnya ini bukanlah twist yang baik/bagus.

Karena identitas asli si Frank ini mengubah begitu banyak, dan perubahan itu gak ke arah yang positif. Pertama, karakter Frank itu sendiri jadi gak make sense, jika kita melihat kembali motivasinya di awal cerita. Kedua, mematikan stake. Percuma kalo film ini punya rintangan dan bahaya yang banyak, tapi salah satu karakternya diungkap sebagai sesuatu yang sama dengan salah satu rintangan tersebut. Frank ternyata bukan sekadar cowok jagoan. Dia punya ‘kekuatan ajaib’ sendiri. Ketiga, ini membuat hubungan Frank dan Lily jadi awkward. I mean, kalian kira gap Zara dengan Okin itu jauh? Well, tunggu sampai kalian lihat twist di Jungle Cruise.

Dan ultimately, pengungkapan ini membuat karakter Lily jadi berubah juga. Lily malah jadi flat-out bucin. Karakter Lily memang oke dibuat sebagai feminis yang lebih real (gak selalu-benar kayak protagonis cewek Disney yang seringkali salah kaprah dan agenda-ish), dia juga ‘butuh’ cowok dan segala macam. Hanya saja di akhir film, Lily membuat keputusan yang benar-benar menghancurkan karakter progresifnya. Aku berharap gak terlalu spoiler, aku akan berusaha untuk vague, tapi kalopun jadi spoiler, sorry. Jadi, di akhir film ini, Lily menggunakan benda yang tinggal satu-satunya, benda yang sudah susah payah didapatkan, untuk hal yang bukan niat perjalanannya sedari awal. Lily seperti menukar misi mulia untuk kesejahteraan orang-banyak itu dengan kesempatan untuk bersatu lagi dengan orang yang ia kasihi. Aku gak tahu lagi ‘pesan’ apa yang ingin disampaikan film ini kepada anak-anak perempuan yang menonton lewat adegan itu. Film lantas berusaha untuk mengurangi ‘damage’ adegan ini dengan membuat benda itu ternyata ada lagi – bukan satu-satunya. Tapi tetap saja, secara karakterisasi, pilihan tersebut sangat mengkhianati. Dan bukankah bisa saja dibuat Lily merelakan, dan kemudian ternyata benda itu ada lagi, dan dia ambil untuk kekasihnya. Menurutku itu bakal lebih dramatis, karena mengubah benda tadi itu menjadi sebagai reward untuk perjuangan dan pengorbanan Lily, alih-alih sebagai cara film ngurangi damage aja.

 

 

 

Jadi, by the time the credits roll, aku merasa film ini sebagai kekecewaan. Paruh pertamanya, fun, menghibur, simpel. Film ini bisa jadi gabungan film-film pertualangan yang punya jiwa dan karakter sendiri, berkat penampilan akting dan gaya berceritanya. Namun pada paruh berikutnya, mesin itu menyala. Mesin produk. Film ini jadi tampil sok heboh ribet dengan begitu banyak reveal. Dan akhirnya beneran karam oleh twist yang gak perlu. Melainkan hanya membuat semuanya menjadi bego
The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for JUNGLE CRUISE

 

 

 

That’s all we have for now

Menurut kalian mana yang paling berharga: Harta, Kesehatan, atau Pengetahuan?

Sudahkah kalian menonton semua film Disney yang based on wahana hiburan, mana favorit kalian? 

Share with us in the comments yaa

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

GAIA Review

“Humans are the virus”

 

Pernyataan ‘manusia adalah virus’ awalnya merupakan pertanyaan yang mulai santer berseliweran sejak merebaknya pandemi virus Corona. Yang semakin ke sini, makin banyak tampaknya orang yang semakin yakin bahwa memang kitalah virusnya. Langit toh semakin cerah, polusi semakin berkurang begitu manusia-manusia terkurung dan terbatasi pergerakannya. Dunia sedang membersihkan diri dengan mengurangi manusia. Serius, beneran ada orang yang beranggapan seperti itu.  Perdebatan soal siapa yang sebenarnya penyakit untuk dunia inilah yang diangkat oleh film Gaia besutan sutradara Jaco Bouwer. Yang dijadikan sentral konflik antara protagonis dengan antagonis ceritanya. Sementara di latar belakang yang enggak di belakang-belakang amat, film menjalin horor dari tumbuhan jamur yang aktif menyebarkan spora, memperkuat ekosistem sendiri, dan mengubah yang ada di hutan itu menjadi monster setengah manusia, setengah tanaman.

Maka dari itulah, nonton Gaia ini berasa belajar alam lewat ilmu filosofis. Menggugah pikiran, sambil sangat disturbing secara bersamaan!

gaiaScreen-Shot-2021-02-16-at-9.47.40-AM
Monsternya akan tampak akrab buat penonton yang mainin game The Last of Us

 

Tadinya aku ngira ini film horor suku pedalaman. Cerita dimulai ketika Gabi, salah satu petugas hutan atau apalah yang terpisah dari rekannya saat mencari drone yang jatuh di tengah hutan. Kita tahu lebih baik daripada Gabi karena kita diperlihatkan drone yang ia cari itu dipukul jatuh oleh dua orang bertelanjang dada, berlumur lumpur, lengkap dengan senjata tradisional buatan tangan untuk berburu. Jadi naturally aku berpikir, mereka adalah orang hutan yang gak suka dengan keberadaan orang kota beserta alat-alat teknologi canggih itu. Apalagi kemudian Gabi terkena perangkap yang mereka pasang. Aku pikir, wah udah deh, pasti Gabi ketangkep dan disiksa. Tapi kemudian malam pun tiba, dan horor yang sebenarnya pun mulai menampakkan diri (lewat kelebatan-kelebatan, sehingga lebih mengerikan!) Ada sesuatu yang berbahaya di hutan, dan satu-satunya kesempatan Gabi untuk selamat ternyata justru terletak pada naungan dua orang yang ternyata bukan penduduk terbelakang, namun actually tahu satu dua hal tentang hutan dan penghuni unusual tersebut.

Setelah itu pun, film ini enggak pernah simpel. Gaia juga bukanlah cerita sederhana tentang survival Gabi melawan monster di hutan. Seperti sulur-sulur dan akar pohon yang bertumpang tindih, film ini punya banyak lapisan di dalam ceritanya. Seperti visual dari kamera drone yang terbalik-balik, film ini pun terasa disorienting. Bikin kita kehilangan pijakan, both lewat dialog-dialog dan adegan-adegan yang didesain supaya terasa seperti perjalanan yang trippy abis. Aku bahkan bingung harus mulai ngomongin film ini dari mana. Aku gak mau secara tak sengaja meng-spoil all the fun dari pengalaman menontonnya.

Well, mari mulai dari horor yang ditawarkan oleh film ini. Bouwer gak cukup hanya dengan horor creature. Dia sebenarnya sudah cukup berhasil, kalo kita hanya melihatnya dari sini saja. Bouwer lebih memilih untuk menggunakan prostetik alih-alih CGI, dan ini langkah yang tepat. Suasana surealis itu jadi benar-benar kerasa seramnya, karena somehow juga terasa otentik. Apalagi Bouwer tidak pernah over menampilkan monster-monsternya. Sebagai back up, Bouwer juga menggunakan elemen body horor. Yang juga tersampaikan dengan efektif berkat efek kostum. Film ini seperti menepis dugaan kita bahwa tumbuhan tidak bisa jadi horor yang menakutkan. Bayangkan saja gimana kalo tiba-tiba di permukaan kulit kita mendadak muncul jamur atau dedaunan. Yang kalo ditarik sakit, dan mengeluarkan darah, karena jamur dan tumbuhan tersebut ternyata nyambung ke saraf, seolah tumbuh langsung dari dalam kita. Itulah yang kita lihat terjadi kepada Gabi dan karakter-karakter di film ini. Bouwer menampilkannya dengan sangat grounded sampai-sampai kulit kita akan ikut terasa gatal-gatal dan memanas menyaksikan Gabi mencabuti jamur-jamur di kakinya. 

Suasana horor surealis, sebaliknya, dicapai oleh Bouwer lewat parade shot demi shot artificial yang dipersembahkan seperti fotografi yang super creepy. Gabi yang terbaring di tepian air, Gabi yang berdiri di tengah air – dengan sulur merambat di kaki, karakter yang literally bersetubuh dengan bumi, shot spora yang mengalir merasuk ke bagian-bagian hutan, bahkan shot kamera drone yang terbalik-balik tadi. Film menampilkan shot-shot tersebut sebagai adegan mimpi, atau fantasi, yang menambah banyak sekali kepada visual disturbing yang diniatkan. Menambah kompleksnya muatan dan bobot film ini.

Dan itu kita belum ngomongin karakter loh. Selain Gabi, yang jadi sentral di sini adalah karakter dua orang yang tinggal di hutan itu. Mereka adalah ayah dan anak, Barend dan Stefan. Dengan Stefan actually lahir dan gede di hutan, belum pernah melihat kota atau dunia luar sama sekali. Ke mana ibu mereka adalah pertanyaan bagus yang gak akan kujabarkan karena ibu mereka punya peranan besar terhadap keseluruhan cerita. Yang aman untuk diberitahu adalah hal yang ‘dibawa’ oleh kehadiran Gabi di pondok – dan hutan mereka. Film menggali relasi Gabi dengan Stefan – yang belum pernah melihat cewek sebelumnya, kecuali foto sang ibu – dan menjadikannya sulut untuk konflik denagn Barend. Dalam prosesnya, film berhasil membuat Stefan dan Barend sebagai karakter yang fully-realized dan kompleks. Terutama Barend. Dia adalah man-of-science yang terpuruk dalam duka, sehingga akhirnya menemukan ‘Tuhan’. Sudut pandang Barend basically jadi pondasi bangunan cerita dan visi film ini. 

Gaiada
Menemukan Tuhan di hutan

 

Film tak melupakan karakter satu lagi. Si Gaia, si jamur yang menguasai hutan itu sendiri. Untuk beberapa kali, film berhasil mencuatkan bahwa jamur yang bersemayam di pohon besar tempat Barend ‘sembahyang’ itu seperti punya kehendak sendiri. Semua hal yang kita lihat dilakukan oleh si Gaia, dan dia punya kehendak/motivasi kuat di baliknya. Dia bisa menjadi protagonis dan antagonis seiring cerita berjalan. Segitu kompleksnya film ini. Namun juga tak pernah terasa terbebani oleh eksposisi, karena pilihan sutradara untuk menguarkan misteri dari hal-hal yang tidak pernah diungkap dengan gamblang. Malahan, ketika menyebut protagonis dan antagonis di awal tadi, aku sebenarnya gak yakin apakah protagonis yang kumaksud di sini itu adalah si Gaia atau si Gabi.

Bumi menyediakan banyak sekali untuk kebutuhan makhluk hidup, termasuk manusia. Tapi terkadang manusia lupa dan malah memuaskan keserakahannya.  Ke-ignorance itulah virus yang sebenarnya. Manusia seharusnya jadi penyembuh, demi Bumi.

 

Karena memang si Gabi inilah yang paling lemah, secara karakterisasi. Kekompleksan dirinya hanya sebatas film membuat dia sebagai sosok kekasih sekaligus sosok ibu bagi Stefan. Karakternya hanya sebatas seorang perempuan. Yang tidak punya hook emosional apa-apa selain kita kasian lihat dia menderita karena lumrah kasian lihat manusia menderita. Karakternya tersebut bahkan gak jalan sebelum sampai di tengah. Di awal, Gabi ini tidak punya motivasi. Kalopun ada malah konyol; Gabi hanya mau membersihkan lingkungan dengan membawa pulang ‘bangkai’ dronenya. Tapi dia melakukannya dengan cara yang tepat seperti yang diguyonkan oleh partnernya di kapal saat itu. “Ada bahaya” “Whooo aku mau lihat!” Sebagian besar waktu, Gabi hanya difungsikan film sebagai medium untuk adegan-adegan surealis. Adegan-adegan tersebut dimunculkan sebagai mimpi atau fantasi atau halusinasi Gabi.

Adegan-adegan mimpi ini membawa kita ke nilai lemah film berikutnya. Aku mengerti kebutuhan adegan-adegan mimpi tersebut. It’s okay film punya banyak adegan mimpi atau adegan halusinasi. Khususnya ketika adegan tersebut memiliki makna dan memang menggerakkan alur cerita. Kekurangan film ini adalah, adegan-adegan mimpi itu ditutup dengan basically cara yang sama. Gabi terkesiap bangun. It’s get old very fast. Kita melihat rentetan visual yang creepy, kemudian “Haaah!” Gabi tersentak kaget. Begitu terus. Jadinya boring karena setiap kali muncul adegan ‘aneh’ kita jadi langsung mengantisipasi Gabi bangun dengan kaget. Ini justru merusak tempo penceritaan, dan seharusnya bisa dilakukan dengan cara lain. By the time Gabi mimpi untuk kedua kali, sebenarnya sudah terlandaskan di pikiran penonton bahwa itu adalah pengaruh atau bentuk interaksi Gabi dengan Gaia. Sehingga tidak perlu lagi harus selalu digawangi dengan adegan Gabi terbangun. Film seharusnya sudah bebas untuk melakukan transisi ke sureal tersebut dengan mulus, menyatu dengan rest of the film. Biarkan saja penonton yang menebak-nebak.

 

 

Terakhir kali aku nonton horor yang ‘musuhnya’ adalah tumbuhan ini kapan ya, The Ruins (2008) kayaknya pas Halloween tahun kemaren. Karena memang cukup jarang sih. Apalagi yang benar-benar jadi horor enviromental yang serius dan cukup filosofis kayak film ini. Hebatnya film ini adalah dia tampil kompleks tanpa menjadi berat. Horornya aja ada banyak, horor monster, horor surealis, bahkan body horor. Belum lagi karakternya, yang saking kompleksnya aku jadi segan menjabarkan banyak seperti biasa. Karena memang sebenarnya gagasan film ini sendiri tidak serumit itu. Sebenarnya justru sederhana, tapi film berhasil bercerita melebihi gagasan tersebut. In a positive way. Dia gak sekadar banyak gaya. Tapi ini juga bukan film yang sempurna, karena ada beberapa aspek yang repetitif. Dan juga karakter utama yang kalah kompleks dan kalah menarik dibanding karakter lain.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for GAIA

 

 

 

That’s all we have for now

Apakah kalian punya teori tentang apa sebenarnya yang terjadi pada Barend dan pohon Gaia itu? 

Share with us in the comments yaa

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

 

PIG Review

“Not everyone you lose is a loss”

 

Apapun yang terjadi, jangan macam-macam sama pria dan binatang peliharaan mereka. Serius. Sudah berapa banyak film kekerasan yang kita tonton berawal dari protagonis cowok yang membalasdendam setelah anjing kesayangan mereka diculik? Well, yea, John Wick (2014) would be a very prime example of such story. Nicolas Cage pun, dalam film terbarunya, memerankan pria penyendiri yang berkeliling kota demi mencari babi miliknya yang diambil oleh orang-orang misterius. Nicolas tampak bakal menjadi the next John Wick, tapi film Pig yang ia bintangi ini ternyata adalah film balas-dendam yang unik. Perjalanan karakternya mencari babi dan penculik bukanlah perjalanan penuh kontak fisik melainkan perjalanan yang terus menggempur secara emosional. Ini adalah cerita balas-dendam yang dibentuk sebagai anti dari balas-dendam itu sendiri.

Karakter Nicolas Cage di film ini bernama Rob. Pertamanya sih enggak banyak yang kita tahu tentang dirinya, kecuali dia tinggal di hutan. Menyendiri, kalo kita tidak menghitung seekor babi yang ia latih untuk mencari truffle, sejenis jamur tanah yang digunakan untuk bahan masakan mewah. Itulah kerjaan Rob. Menjual truffle yang ia cari bareng babi kepada Amir, anak muda kaya supplier truffle untuk restoran-restoran di kota. Malam itu, pondok tengah hutan mereka disatroni dua orang tak dikenal. Rob dipukuli. Babinya dibawa lari. Tidak butuh pertimbangan lama bagi Rob di pagi hari, untuk berangkat ke kota mencari si babi, tak peduli bahkan jika itu berarti dia harus berjalan kaki.

pighXkEyXkFqcGdeQXVyMTA1MDIxODk4._V1_
Alexa Bliss harus nonton ini, RIP Larry Steve

 

Gampang sekali untuk membuat cerita balas dendam yang penuh aksi bag-big-bug dari pembukaan tersebut. Apalagi Rob di sini perawakannya udah kayak Ochiai di manga 20th Century Boys; rambut gondrong, janggut lebat, pandangan mata tajam. Tipikal pria penyendiri senggol-bacok banget! Sekali lihat saja, kita percaya Rob ini sanggup membunuh para pelaku dengan sadis. Bahwa dia rela melakukan apapun demi mendapatkan kembali babi yang ia sayangi. Tapi sekali lagi, sutradara Michael Sarnoski tahu lebih baik untuk tidak membuat film yang hanya sekadar menjadi ‘John Wick berikutnya’. Pig dibuat lebih ke arah emosional. Perjalanan Rob menemukan kembali babinya adalah perjalanan yang lebih berat dan membebani. Karena kembali ke kota itu ternyata bagi Rob juga adalah kembali ke kehidupan, ke dunia, yang telah ia pilih untuk ditinggalkan. Nonton film ini akan terasa kayak kita lagi ngupas bawang. Pake tangan. Seiring cerita menguak terbuka, akan selalu ada pengungkapan tak-terduga yang membuat kita semakin mengapresiasi siapa Rob sebenarnya.

Rob enggak banyak bicara (meskipun sekalinya bicara, ucapannya seringkali ternyata tajam dan tegas juga), tapi itu tidak berarti dia adalah karakter yang dituliskan dengan simpel. Justru sebaliknya. Dia adalah personifikasi dari kedalaman dan emosional itu sendiri. Kehebatan utama film ini datang dari kepiawaian Sarnoski mengungkap tabir protagonisnya ini. Sarnoski tidak mengungkap dengan terburu-buru, ataupun tidak dengan menjadikannya ala twist murahan kayak pada film-film mainstream. Melainkan, dia mengcraft pengungkapan dan karakterisasi itu dengan cermat. Ke dalam tempo dan irama yang senada dengan permainan emosi. Sehingga menyaksikan Rob ini rasanya sarat sekali. Oleh misteri, oleh humanisasi.

Tanpa sadar film akan membawa kita hanyut ke dalam masalah karakter, dan lantas ke dalam masalah dunia kuliner yang menyelimuti mereka semua. Ini low-key adalah film tentang bisnis restoran/dunia kuliner mewah, yang dari sudut pandang pelakunya ternyata tidak seglamor, tidak sefancy restoran itu sendiri. Tonton saja adegan percakapan Rob dengan chef dan pemilik restoran yang ternyata mengerjakan hal yang tidak benar-benar in-line dengan passionnya dahulu. Dari adegan ngobrol itu saja sebenarnya craft film ini sudah terwakili kehebatannya. Di interior restoran yang serba putih, duduk dengan memandang hormat seorang chef high-class kepada Rob yang berpakaian kumal, dengan dahi berdarah yang Rob tolak untuk diberikan perawatan. Kita, kita seperti Amir yang duduk juga di sana, memandang mereka dengan perasaan takjub, sekaligus prihatin, sekaligus kagum.

Jikapun ada sesekali film terasa mengecoh kita, itu hanya karena film bermain-main dengan ekspektasi kita. Ketika Rob masuk ke klub berkelahi underground misalnya, kita yang masih ngotot ini cerita ala John Wick akan tercengang oleh apa yang sebenarnya dilakukan oleh Rob. Atau ketika di akhir, Rob malah memasak untuk ‘musuh utamanya’. Bahkan aku nyangka dia bakal ngeracunin tuh masakan. Tapi enggak. Apa aku kecewa karena yang kusangka enggak kejadian? Enggak juga. Karena film berhasil membuktikan penawaran yang mereka lakukan memanglah lebih kuat. Jika kita bicara soal wants and needs, well, kita menyangka kita ingin melihat aksi brutal, dan film ini menyadarkan bahwa yang kita butuhkan justru sebuah penyelaman ke dalam karakter yang penuh emosi dan duka kehilangan.

Karena memang itulah makna cerita ini sebenarnya. Tentang berkompromi dengan kehilangan. Bagi Rob, babi itu bukan satu-satunya kehilangan. At least, dia sudah kehilangan dua hal penting sebelumnya. Film dengan bijak tidak menyebutkan dengan gamblang apa kedua hal tersebut. Namun poin dari makna kehilangan tersebut cukup bisa kita simpulkan dengan jelas. Rob, dan hampir semua karakter kunci di sini punya sesuatu yang direnggut dari mereka, dan mereka malah kehilangan bahkan lebih banyak lagi saat bertekad untuk mendapatkan hal lain sebagai pengganti dari sebelumnya. 

 

Salah satu inti emosional yang bikin film ini semakin hidup – di tengah suramnya kejadian, dan visual yang nyaris selalu direkam dalam cahaya yang penuh bayang-bayang – adalah hubungan antara Rob dengan Amir (diperankan menakjubkan oleh Alex Wolff). Dengan cerdas naskah mengeskplorasi drama di antara mereka. Mengukuhkan mereka saling membutuhkan, sementara juga mereka begitu berbeda. Yang satu seorang profesional yang disegani, sementara satunya masih berkutat untuk keluar dari statusnya sebagai medioker. Karena itulah, kedua karakter ini dalam dialog dan interaksinya bisa mencapai segitu banyak. Mereka bahkan bisa tampak layaknya duo komedi, ketika film menempatkan keduanya di dalam mobil, memati-hidupkan musik klasik.

Karakter Rob sendiri sudah seperti manifestasi dari karir akting Nicolas Cage. Celetukan yang terdengar saat Rob kembali ke kota, bahwa dirinya yang sekarang bukanlah siapa-siapa, bahwa momennya sudah lewat, justru tampak seperti film sedang merayakan kebangkitan dari seorang Nicolas Cage. Yang penampilan aktingnya perlahan tapi pasti berubah menjadi pengisi meme-meme konyol. Tapi belakangan, Nicolas mengalami resurgence, lewat film-film yang memberinya ruang untuk mengeksplorasi penampilan akting yang lebih mendalam dan serius. Pig adalah salah satu dari film tersebut. Dan Rob ini, aku bilang, adalah penampilan akting terkuat dari Nicolas Cage yang pernah aku tonton. Transisi dari karakter pendiam dan misterius menjjadi karakter yang semakin desperate tapi juga semakin menguar ‘kekuatan’, tidak pernah dilakukannya sebagai karakter yang over-the-top. Malahan justru penampilan Nicolas-lah yang memastikan Pig tetap berada pada tone yang grounded.

pig-trailer
Babi yang satu ini halal untuk ‘disantap’

 

Tantangan berat film ini adalah membuat cerita yang ‘merakyat’ dari karakter yang jadi legenda di dalam dunianya. Dan ini adalah tantangan yang enggak ringan. Kehilangan hewan kesayangan tidak bisa jadi satu-satunya ke-vulnerable-an yang dipunya. And also, film juga tidak bisa hanya tentang mengungkap siapa si karakter ini secara sebenar-benarnya. Perjuangan naskah di sini adalah bagaimana mengembangkan journey karakter tanpa meruntuhkan atau malah menerbangkan mitologi karakter tersebut sejauh-jauhnya. Film berhasil melakukan ini dengan relatif baik. Kita bisa merasakan karakter ini mendapat pembelajaran seiring kita belajar tentang dirinya. Meskipun memang pembelajaran tersebut bisa dibilang, didatangkan agak belakangan. Dan untuk waktu yang lama, karakter ini terasa benar sepanjang waktu.

 

 

Dan ngomong-ngomong soal waktu yang lama, ya, film ini adalah film yang lambat. Yang banyak ngobrolnya ketimbang aksi. In fact, aksinya bakal sedikit banget. Penonton yang masih bandel ngarepin ini jadi kayak John Wick bakal menemukan mereka sangat kecewa untuk alasan yang tak tepat terhadap film ini. Arahan ceritanya pun dengan sengaja dibuat seperti ngalor ngidul, dan sengaja menjadi tak-seperti yang diharapkan. Jika ini makanan, maka ia benar seperti babi; Tidak untuk semua orang. Tapi sesungguhnya, pencarian babi di sini merupakan sebuah perjalanan karakter yang menggugah. Yang lebih memuaskan secara emosional dibandingkan film pencarian balas-dendam berisi aksi bag-big-bug yang biasa. Untuk sebuah film debutan, sutradara film ini berhasil memasak tone yang konsisten dengan berbagai bahan-bahan sulit diolah yang ia punya di piringnya.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for PIG

 

 

 

That’s all we have for now

Bagaimana pendapat kalian tentang karir Nicolas Cage sebagai aktor? Apakah menurut kalian dia sudah mencapai level legendary, seperti karakternya di film ini?

Share with us in the comments yaa

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

 

THE FOREVER PURGE Review

“Putting yourself in somebody else’s shoes”

 

Film The Purge, kata sutradara Everardo Gout, adalah film yang akan dipertontonkannya kepada alien jika suatu saat nanti makhluk-makhluk luar angkasa itu beneran datang ke bumi untuk mempelajari manusia. Karena menurutnya, The Purge ini memang salah satu dari sepuluh film yang benar-benar tepat merepresentasikan siapa kita. Manusia. Frasa ‘siapa kita’ yang disebutkan Gout tersebut secara lebih spesifik menyorot ke orang-orang Amerika. Panggung tempat semesta Purge berlangsung.

Lima film, dua serial tv; Purge selepas film pertamanya memang mulai mendedikasikan diri sebagai komentar dari berbagai situasi politik Amerika, di balik tema utama berupa kebrutalan manusia yang butuh pelampiasan kekerasan. They once released film Purge seputar kampanye presiden, bertepatan dengan masa-masa Pemilu mereka. Dunia Purge sendiri memang bicara tentang pemimpin Amerika yang melegalkan segala bentuk kekerasan untuk satu malam kepada warga sebagai gerakan untuk membuat Amerika jaya kembali. Yang padahal hanya membuat yang kaya semakin kaya, dan miskin semakin mati sia-sia

purgeThe-Forever-Purge-1170x642
Hey, kalo yang miskin makin mati sia-sia itu sih, Indonesia juga bisa relate!

 

Gout melanjutkan dunia Purge pada film kelima ini seiring dengan maraknya gerakan Hate yang berkembang di antara warga kulit putih terhadap warga pendatang, sebagai bentukan dari politik mantan presiden Donald Trump. Dan sebagaimana layaknya yang terbaik dilakukan oleh franchise Purge, Gout mengembangkan persoalan tersebut menjadi horor krisis kemanusiaan berskala yang bahkan lebih besar daripada biasanya, as tradisi Purge dibuatnya menjadi tak-terkendali. Namun juga sebagaimana layaknya yang failed dilakukan oleh franchise Purge, Gout juga ikut terlena ke dalam aksi thriller, dengan tidak membiarkan cerita menyelami lebih dalam aspek horor tersebut.

Empati dijadikan inti cerita kali ini. Gout menempatkan kita di sepatu ‘alien’ yakni pasangan imigran dari Meksiko, yang tinggal di Texas. Adela (Ana de la Reguera kembali jadi perempuan tangguh), yang jadi pekerja manufaktur, dan suaminya Juan (peran Tenoch Huerta di sini adalah yang paling stoic di antara yang lain) yang jadi pengawas kuda di rumah peternakan milik keluarga Dylan yang kaya raya. Gout memang gak membuang waktu untuk langsung men-tackle yang ingin ia komentari. Texas bukan saja dipilih karena paling dekat dengan perbatasan Meksiko, tapi juga karena sudah jadi rahasia umum negara bagian tersebut paling tinggi jumlah white spremacistnya. Keahlian Juan sebagai koboy diperlihakan dengan jelas bikin insecure bossnya, Dylan (Josh Lucas masuk banget ke image ‘koboi modern’ beneran). Tensi antara Juan (yang keliatan enggan menggunakan bahasa Inggris) dengan Dylan langsung ditonjolkan, dieksplorasi. Tapi tidak tanpa depth. Karena Dylan diniatkan oleh Gout sebagai wakil dari kulit putih Amerika yang nantinya akan ‘mengenakan sepatu’ Juan. Yang nantinya akan belajar menumbuhkan empatinya karena sebenarnya Purge dan Hate dan everything adalah masalah bersama kemanusiaan. Ya, keluarga Juan dan keluarga Dylan harus saling membantu dan bergerak menuju keselamatan di perbatasan, sepanjang hari yang penuh malapetaka itu.

Hari. Bukan lagi malam. Inilah salah satu keunikan The Forever Purge dibanding film-film Purge sebelumnya. Saat nonton ini, aku udah siap-siap karakter-karakter sentral bakal dikerjai (atau malah mengerjai) begitu malam Purge dimulai. Tapi ternyata enggak, mereka melewati malam yang relatif aman-aman saja. Bahaya justru datang di siang hari – film berkesempatan memasukkan lumayan banyak jumpscare pada sekuen-sekuen pagi sesudah malam Purge tersebut, mumpung kita yang nonton juga masih dalam state ‘merasa aman’. Diceritakan rakyat merasa gak cukup dengan hanya satu malam, dan ternyata ada kegiatan terorganisir untuk mengobarkan Purge selamanya. Menghabisi non-Amerika setuntas-tuntasnya.  

Situasi horor seketika berkembang dari development tersebut. Siapa orang-orang bertopeng yang masih nekat membunuh siang itu, siapa yang menggerakkan mereka, bagaimana kebencian bisa mendadak menyebar secepat itu, bagaimana dengan orang-orang Amerika yang gak rasis kayak anggota keluarga Dylan yang lain. Bagaimana hidup sosial Amerika survive di tengah peristiwa ini. Awalnya aku menyangka development ini sebagai kejutan yang menyegarkan. Sudah sejak lama toh kita penasaran dan pengen Purge menyorotkan kamera bukan hanya ke malam atau menjelang hari H itu saja. Kita mau melihat bagaimana masyarakat menata hidup setelah bunuh-bunuhan di pagi hari. The Forever Purge memberi kita sorotan baru tersebut, meskipun memang enggak exactly seperti yang kita pengen. Tapi at least, ini tetap berbeda dan membuka ke banyak masalah baru. Karena para penduduk cerita pasti pada bingung. It could be lead to tinjauan yang lebih mendalam mengenai reaksi dan kekacauan yang menggunung. 

Maka dari itulah aku kecewa. Karena film ini ternyata enggak menyelam ke sana. Melainkan tetap diarahkan ke ranah lari-larian. Protagonis-protagonis kita akan berusaha kabur naik mobil, dikejar-kejar pendukung Purge. Basically aksinya sama aja dengan Purge yang sudah-sudah. Hanya beda siang hari, tok. Dan ini malah mengurangi kespesialan seri Purge itu sendiri. Yang ciri khasnya orang-orang melakukan kekerasan yang dilegalkan selama batas waktu tertentu. Dengan membuat kali ini kekerasan dan kriminal itu legal untuk sepanjang hari (gak ada batas waktu), film ini jadi gak ada bedanya ama cerita-cerita thriller yang biasa. I mean, judul apapun kalo bikin cerita tentang imigran yang diburu untuk dibunuh, ya pasti filmnya bakal kayak gini. Di akhir film, para karakter akan mendengar berita soal keadaan Amerika yang jadi semacam kondisi perang-saudara (pro-Purge lawan anti-Purge) dengan visual Amerika seperti lautan api; Nah, potongan berita tersebut jauh lebih menarik ketimbang keseluruhan film ini. Aku ingin kita benar-benar ditaruh ke tengah-tengah development kekacauan Purge lepas-kendali ini. Ketimbang cerita karakter yang lari menuju keselamatan, yang paralel dengan film ini lari dari inti yang seharusnya diceritakan. In that way, film ini jadi terasa seperti filler. Jembatan sebelum the real meat yakni film berikutnya (kalo ada) yang aku yakin baru akan membahas kejadian di tengah-tengah perang saudara tersebut.

purgethe-forever-purge-1280x720
Gambaran sebenarnya orang Amerika?

 

Untuk tidak terus menangisi apa yang tidak terjadi, mari bahas bagaimana film ini tampil sebagai dirinya sendiri. Kayak laga thriller generik. Tidak kurang tidak lebih. Ini adalah tipe film yang saat ditonton itu kita akan ngerasa udah sering nontonn film kayak gini sebelumnya. Enggak benar-benar spesial. Meski begitu, Gout sebenarnya tetep berusaha untuk memasukkan pesan-pesan subtil sepanjang durasi kejar-kejaran.

Diberikannya subplot dua karakter interracial yang tumbuh cinta sebagai cara untuk bilang persatuan. Dunia lebih baik dengan cinta. Gout juga mengingatkan kepada Amerika bahwa the land is not their in the first place. Bahwa mereka juga pendatang yang menjarah dari bangsa native Indian. Dengan adanya Indian, Koboi, dan bahkan Koboi yang bukan orang Amerika, film ini udah kayak film koboi yang sangat unik. Ada banyak referensi juga ke genre koboi tersebut. Dan actually film bisa mengaitkan koboi dengan lasso itu sebagai simbol, bahwa semua orang bisa dan berhak menangkap kesempatan. Resolusi film terkait Dylan yang harus menyeberang ke Meksiko, juga mengusung semangat yang positif sekali. Bukan hanya untuk circled back karakternya – melainkan untuk truly menguatkan soal ‘wearing someone else’s shoes’. Untuk merasakan keperluan menjadi imigran, merasakan bagaimana rasanya mencari kesempatan, dan untuk diterima di tanah orang.

For all it’s worth, itulah sebenarnya yang kurang dimiliki oleh manusia jaman sekarang. Rasa empati. Kita telah menjadi lebih gampang untuk begitu curigaan, begitu takut, begitu insecure, sehingga melupakan semua orang punya perjuangan masing-masing.

 

Arc karakter Dylan memang lebih dramatis daripada arc karakter utamanya, Juan. Aku bisa mengerti kenapa bukan Dylan saja yang dijadikan karakter utama. Untuk menghindari cerita ini tampak sebagai another story of kepahlawanan kulit putih. Dan lagi karena film memang ingin membuat penonton berempati kepada imigran seperti Juan dan Adela. Supaya penonton lebih mudah mengalami apa yang mereka rasakan, sehingga berarti membuka perspektif baru bagi penonton yang mungkin masih ada juga yang bersikap seperti Dylan. Namun memang lagi, karakter Juan dan Adela arc-nya terlalu minimalis disiapkan oleh film. They are still murky. Adela yang berusaha menjadi nyaman sebagai warga Amerika, Juan yang sebenarnya juga berprasangka kepada Dylan; mereka ini kurang ada penyelesaian yang jelas. Di akhir itu hanya terlihat kayak mereka lega karena ada orang-orang seperti Dylan. Bahwa ada jalan untuk membuat orang mengubah pandangan sinis mereka. Yang berarti gak banyak perkembangan karakter yang mereka berdua alami sebagai karakter utama.

 

 

 

Refleksi mengerikan dari society yang penuh prasangka dan saling benci diberikan oleh film ini. Gambaran simbolik yang mungkin benar-benar tepat. Sayangnya film lebih memilih untuk mengembangkan ke arah thriller aksi generik, ketimbang ke aspek horor kemanusiaan itu sendiri. Semua cepat aja dibikin panas. Padahal di film The First Purge (2018) sebelum ini aja, diliatin saat pertama kali ada Purge gak semua warga yang langsung resort ke bunuh-bunuhan. Ada perkembangan menuju ke sana. Cerita film ini jadi kayak filler, sebelum ke cerita pembahasan yang lebih ditunggu hadir nantinya. Tapi perlu diapresiasi juga usaha film menghadirkan pesan-pesan positif dan semangat persatuan dengan subtil di balik cerita dan akting dan laga yang sama-sama generiknya.
The Palace of Wisdom gives 4.5 out of 10 gold stars for THE FOREVER PURGE

 

 

 

That’s all we have for now

Nonton film-film Purge selalu membuatku berandai bertanya-tanya. Kali ini terbersit, kalo ada Purge beneran kira-kira siapa ya yang datang ke rumah untuk membunuhku.

Bagaimana dengan kalian, kira-kira kalo ada Purge, kalian bisa menerka tidak siapa saja yang mungkin bakal datang untuk melampiaskan emosi terpendam kepada kalian? 

Share with us in the comments yaa

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

 

 

 

SPACE JAM: A NEW LEGACY Review

“Let others be themselves”

 

Sekuel cenderung untuk menjadi lebih besar. Karena, tahulah, saat kita membuat sesuatu yang udah ada originalnya, kita akan otomatis dipush untuk menghasilkan sesuatu yang melebihi si origin tersebut. Jadi, sutradara Malcolm D. Lee berpikir;

Apa yang lebih besar daripada outer space – semesta luar angkasa? Cyber-space – semesta siber internet!

Apa yang lebih besar daripada NBA dan kartun Looney Tunes? NBA dan seluruh IP Studio Warner Bros!!

Dan apa yang lebih besar daripada Michael “Air” Jordan?? Well, itu pertanyaan untuk diskusi basket yang lebih mendalam. Aku jelas bukan ahlinya. Tapi untuk sekarang, cukuplah kalo mengenal Lebron James sebagai atlet basket tergede di era kekinian.

Memiliki ketiga faktor di atas, Space Jam: A New Legacy jelaslah lebih besar daripada pendahulunya, Space Jam, yang hadir dua-puluh-lima tahun yang lalu. Namun seiring kita ngobrolin soal film ini nanti, Space Jam kedua ini akan membuktikan bahwa menjadi lebih besar itu tidak serta berarti lebih baik. 

space-jam-new-legacy-trailer-tgj
Kalo soal akting sih, memang Michael B Jordan lebih besar

 

Yang jelas-jelas dilakukan dengan lebih baik oleh film kedua-yang-gak-really-bersambungan-dengan-film-pertama ini adalah konflik yang lebih berbobot secara emosional. Ada cerita hangat mengenai ayah dengan putranya sebagai inti cerita. Ayah dalam film ini adalah seorang atlet basket tersohor, yang mencapai posisi nomor satu sekarang tersebut dengan bekerja keras, tekun berlatih, dan membuang Game Boy (dengan game Bugs Bunny) kesukaannya ke tempat sampah. Sedangkan anak dalam film ini adalah seorang young man yang berjuang mengutarakan kepada ayahnya tersebut bahwa dia sebenarnya lebih tertarik kepada merancang video game – particularly game basket – ketimbang ke kamp basket; ketimbang bermain basket beneran. Nah langsung kebayang dong, dinamika ayah-anak yang jadi konflik dalam cerita ini. Si ayah ingin anaknya sesukses dirinya, tetapi dia terlalu memprojeksikan dirinya kepada si anak. Tidak pernah sekalipun dia bertanya si anak sebenarnya pengen apa.

Lebron James yang memainkan versi fiksi dari dirinya sendiri diberikan ‘lapangan bermain’ yang lebih emosional  ketimbang Michael Jordan di Space Jam yang karakternya unwillingly keseret ke dalam masalah tokoh-tokoh kartun yang harus tanding basket. Dalam film kedua ini, sikap James kepada Dom, anaknya, dan to some extend kepada hal lain selain basket-lah, yang memantik konflik lain. Yang membuat cerita bergulir maju. Sikap James eventually membuat sebuah program kecerdasan-buatan tersinggung. Sehingga A.I. tersebut – bernama Al G. Rhythm (dimainkan dengan fenomenal menghibur oleh Don Cheadle) – menculik James dan Dom ke dunia siber. Memisahkan ayah-anak tersebut. Dan menghost pertandingan basket di antara keduanya, dengan stake yang gak main-main. Kalo James kalah, semua manusia yang dia jebak untuk nonton pertandingan, akan terperangkap di dunia siber yang boring tanpa-Looney Tunes.

Percaya atau tidak, pada galian ini cerita Space Jam 2 sebenarnya masih ‘masuk akal’. Meskipun dimanipulasi sehingga gak tau yang sebenarnya, tapi Dom kentara lebih merasa enjoy bersama Al G. karena di situ dia bisa menjadi dirinya sendiri. Sementara, James, yang terdampar di dunia Looney Tunes dan bersama Bugs Bunny harus mengumpulkan tim Tunes Squad untuk melawan tim penuh kreasi bentukan Dom dan Al G., actually harus bisa menjadi seperti Al G. Tema mempercayai kemampuan dan pilihan orang lain bergulir terus, bahkan ketika pertandingan basket ‘curang’ mereka dimulai. Semuanya diberikan penambat berupa tema tersebut sehingga adegan-adegan dalam film ini tidak hanya menghibur semata, melainkan juga bukan tidak mungkin menghasilkan air mata. Film membuat kekonyolan kartun ala Looney Tunes (and you know betapa konyolnya Looney Tunes) menjadi seimbang dengan konflik yang grounded seperti ini. Anak-anak dan para orangtua yang menonton bisa menangkap pesan-pesan parenting dan bersosial yang dioper oleh film. 

Kita bisa saja meminta orang untuk menjadi sesuatu yang kita mau, atau untuk melakukan sesuatu sesuai dengan cara kita. Dan mereka mungkin akan melakukannya, entah itu karena hormat, atau segan, atau ngerasa gak enak. Or worse, karena takut. Semua itu enggak akan berujung baik kepada mereka sendiri. Bila mereka adalah anak, maka perkembangan si anak ini akan terhambat. Seperti Dom, yang ‘terpaksa’ memprioritaskan his dad’s things ketimbang hobinya. Seperti tim Looney Tunes yang babak belur karena menahan diri, mengikuti basket seperti yang James tahu. Kita seharusnya membiarkan yang lain menjadi siapa, apa yang mereka mau. Lihat apa yang terjadi ketika James akhirnya membiarkan Looney Tunes melakukan apa yang Looney Tunes biasa lakukan.

 

Untuk beberapa part pun, film menerapkan tema tersebut. Mereka membiarkan Lebron James menjadi Lebron James. “Gue bukan aktor, gue pemain basket!” seru karakter James dalam salah satu humor self-aware film ini. Ada usaha untuk meminimalisir screentime James berakting, karena ya walaupun dia punya karisma di dalam lapangan, tapi akting tetap tidak semudah itu. Film menggunakan cara yakni membuat James menjadi tokoh animasi 2D saat berada di dunia Looney Tunes. Kupikir ini bisa berhasil karena memang permainan ekspresi James sebelas duabelas ama Michael Jordan. Tapi ternyata, jadi tokoh kartun bukan jawaban tepat. Karena kini James harus menajamkan voice acting, yang ternyata malah lebih parah daripada akting live-actionnya hahaha.. Deliverynya sangat kikuk, apalagi harus bersanding dengan voice-actor profesional.

Maka film pun ‘mengembalikannya’ menjadi manusia saat bertanding di dunia game bikinan Dom dan Al G. Sebagai bonus untuk kita, saat bertanding, film membuat para kartun Looney Tunes menjadi animasi 3D tanpa meninggalkan kekonyolan khas mereka nanti. Untuk aku yang waktu kecil melihat Bugs Bunny, Daffy Duck, Tweety dan teman-teman, ini jelas adalah upgrade yang menyenangkan. Senang saja melihat tokoh-tokoh kartun yang jadi teman bermain dahulu diremajakan tanpa mengurangi ruh mereka. Aksi-aksi ‘basket’ ini pun pada dasarnya lebih seru daripada film pertama. Film menggunakan lebih banyak arsenal kartun dan nostalgia kita terhadapnya. Tepuk tanganku justru paling kenceng saat adegan Porky Pig ngerap. It was stupid, but hey, ini Looney Tunes!!

Space-space-jam-a-new-legacy-clip-features-porky-pig-rapping
Nominee Best Musical Performance untuk next My Dirt Sheet Awards!

 

Jika saja film ini stick to what they are. Jika saja film ini tetap bermain-main di nostalgia Looney Tunes saja, di humor-humor self-reference Lebron James saja, di cerita grounded ayah-anak sebagai fokus. Jika saja film enggak concern ke sekuel harus bigger…

Kritikus luar menganggap film ini adalah sebuah proyek iklan raksasa dari studi raksasa. Dan ternyata itu memang tidak melebih-lebihkan. Karena persis seperti itulah film ini terasa. Yang kusebutkan di paragraf-paragraf atas itu actually adalah hasil pemilahan yang sangat alot karena sebenarnya banyak sekali referensi-referensi melebar dan irelevan dengan cerita yang dimasukkan oleh film ini hampir dalam setiap kesempatan. Aku gak ngerti kenapa film ini enggak berpuas diri dengan referensi kartun Looney Tunes dan beberapa Warner Bros lain seperti Tiny Toon, Animaniacs, Flinstones, atau Scooby Doo saja. Lebih masuk akal, apalagi kalo memang mengincar pasar anak-anak. Akan ada bagian ketika Bugs Bunny dan Lebron James berkeliling universe, untuk mengumpulkan anggota Looney Tunes yang mencar-mencar. Mereka masuk ke kartun DC, okelah masih bisa dimaklumi. At least, masih kartun.  Untuk anak-anak. Walaupun alasan mencar itu sendiri tidak kuat. Inilah yang jadi masalah. Cerita ini menangani ‘crossover’ tersebut seakan memang cuma ditujukan untuk promosi silang saja. Tidak diberikan muatan cerita atau alasan yang berintegrasi dengan tema ataupun konteks. 

Tapi tidak cukup di situ. Film ini memasukkan semua merek produk-produk Warner Bros. Dari yang di luar kartun kayak Harry Potter, Kong, hingga ke yang gak ramah anak pun nongol, kayak Rick and Morty, dan karakter di A Clockwork Orange. Untuk alasan hura-hura yang gak jelas, film ini membuat pertandingan basket James dan Dom ditonton oleh semua produk Warner Bros. Ini jadi distraksi dan annoying karena seperti film malah ngajak penonton untuk nunjuk-nunjuk “ih ada si anu, si itu” ketimbang beneran fokus kepada cerita yang mereka miliki. Ini kembali kepada fundamental kenapa dibuat seperti itu dan apakah memang harus dibuat seperti itu. Dari jawaban atas itulah, film ini runtuh. Karena mereka melakukan dan invest banyak untuk hal-hal yang sebenarnya gak relevan. Dan gak perlu. Ketika membuat film, konsern sepenuhnya ya haruslah pada film itu sendiri. Tidak kemana-mana mengiklankan semua produk selagi bisa.

 

 

 

Hiburan di sini adalah melihat karakter Looney Tunes kembali melakukan hal yang membuat mereka, mereka. Melihat Lebron James melakukan yang ia bisa – main basket – dengan karakter-karakter kartun. Dalam lingkup cerita yang bisa relate dan punya pesan yang bagus. Hiburan di sini bukan melihat seliweran film-film lain – mengatakan mereka menghibur sama dengan mengatakan nonton iklan adalah hiburan bagi kita. Film ini, meskipun punya cerita yang lebih kuat dan emosional, terhimpun dari banyak sekali komponen untuk ngiklan. Film ini jadi besar karena memasukkan banyak iklan. Jadilah dia enggak cukup bagus sebagai sebuah film.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for SPACE JAM: A NEW LEGACY

 

 

 

Th.. th… tha… that’s all, folks!

Karakter ikonik Looney Tunes Pepe le Pew (sigung yang bucin banget sama kucing bernama Penelope) dicut dari film ini karena dianggap sebagai salah satu produk rape culture, sehingga tidak baik bagi tontonan anak-anak. Bagaimana pendapat kalian tentang ini?

Share with us in the comments yaa

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

[Reader’s Neatpick] – THE WHITE TIGER (2021) Review

“Yang jelas setelah nonton film ini aku jadi ngerasa lebih bersyukur aja tinggal di Indonesia 😆” – Farrah Caprina, yang boleh disapa di akun instagramnya; @farrahcaprina

Sutradara: Ramin Bahrani
Penulis Naskah: Ramin Bahrani
Durasi: 2jam 5menit

 

Bukan, ini bukan film tentang bangsa kucing di dunia satwa. The White Tiger ini adalah film India. Tapi bukan pula film India yang banyak tari-tariannya.  Sama seperti pada novel karangan Aravind Adiga yang jadi sumber adaptasinya, The White Tiger adalah sebuah komedi gelap tentang pemuda bernama Balram. Yang sukses jadi enterpreneur, meskipun berasal dari kasta terendah. “Kasta orang-orang berperut kecil”, ungkap Balram muram dalam salah satu dialog narasi. Balram sedari kecil memang cukup pintar, tetapi seperti abang, ayah, dan anggota keluarganya yang lain, pendidikan bukan untuk Balram. Tempatnya justru di pinggiran. Bekerja kasar. Kesempatan besar pertama untuk mencicipi sedikit gaya hidup orang-orang berperut besar bagi Balram, adalah dengan menjadi supir bagi mereka yang berprivilese tersebut. Dengan gigih Balram mengusahakan keinginan tersebut; dia belajar mengemudi, dia memohon dan berjanji kepada neneknya untuk dimodali. Dan ya, Balram berhasil dipercaya menjadi supir untuk Ashok, anak orang-gede pemimpin (pemalak) desa mereka. Dari Ashok, Balram memperoleh banyak. (Mind you, Balram mengambil. Bukan diberi). Pengalaman, pengetahuan, dan bahkan sesuatu yang jauh lebih gelap – yang ultimately jadi kunci kesuksesan Balram. Pemuda yang pada akhirnya memenuhi ‘takdirnya’ sebagai Harimau Putih; spesies langka yang menerobos keluar dari kandang ayam!

 

“Cerita film ini menarik banget, banyak hal tentang India yang baru aku tau lewat film ini. Tapi, sejujurnya nonton film ini tuh, aku draining banget. Makanya waktu mau ikutan ngulas film ini sama mas Arya, aku kan akhirnya nonton lagi. Dan pas nonton untuk kedua kalinya, ya makin draining karena aku makin mendalami karakter Balram jadinya. Kalau dilihat dari impactnya ceritanya ke aku, film ini mirip kayak Dementor-nya Harry Potter 😆

“Hahaha udah bukan jadi harimau putih lagi ya, tapi jadi dementor. Memang sih, kelamnya cerita film ini memang datang dari keironisan kesuksesan si Balram. Pemuda yang berjuang mendobrak kasta yang udah mendarah daging, yang udah dibeat-downkan kepadanya, dengan cara yang – katakanlah – tidak terpuji. Kita ingin dia berhasil, namun satu-satunya cara keluar baginya itu justru cara yang mengerikan. Film ini really speaks soal kebobrokan semua sistem; kasta, kapitalisme, status sosial yang ada di India. Keironisan ini mungkin yang bikin film ini tu kayak nyedot semua bahagia kita”

“Aku melihat film ini gabungan antara Joker dengan Parasite, ya. Permasalahan ekonominya lebih seperti Parasite, tapi perspektif penceritaannya seperti Joker.”

“Kalo Joker, nontonnya aku gak se-wow ini, sih. Soalnya kan, sedari awal aja kita udah Joker itu jahat. Oh ini film tentang musuh Batman yang sinting. Jadi saat nonton, rasanya ya cuma ‘oh dulunya dia baik’. Beda efeknya dengan pas nonton The White Tiger ini. Balram tidak diubah oleh society, justru dia yang pengen mengubah. Tapi jalan satu-satunya untuk mencapai ‘India Baru’ yang ia percaya, jalan satu-satunya dia untuk bisa sukses, ternyata dengan melakukan hal terburuk.  Buatku ada permainan simpati yang lebih menohok dilakukan oleh film ini.”

“Aku melihat karakter Balram cukup arogan sebenernya. Dari cara dia bercerita kepada PM Cina, awalnya aku iba sekaligus prihatin, dan sangat berpihak kepada Balram. Mulai di pertengahan film, aku melihat sosoknya berubah jadi licik. Simpatiku ke Balram hanya sampai dia berusaha mengejar impiannya menjadi supir pribadi Ashok aja. Setelah dia mulai menyingkirkan supir pertama, menurutku dia udah dikuasai sama ambisinya. Jelas semua tindakan liciknya tidak pantas diberikan pembenaran, karena menurutku kehidupan Balram nggak 100% sedih & underpressure terus. Dia masih banyak mendapatkan kebaikan dari lingkungannya (seperti nenek yang mengizinkan dia mengejar impian menjadi supir tuan tanah, atau majikan yang memperlakukan dia selayaknya manusia), dan aku yakin dia masih bisa kok mendapatkan those ‘lightness’ dengan cara yang benar. “

“See, Balram ini lebih kompleks. Dia membunuh. Dia bahkan ngorbanin keluarga besarnya. Dan film membuat itu semua seperti terjustifikasi, dengan menempatkannya sebagai sudut pandang Balram. Penceritaan film ini dibangun dengan konsep Balram menceritakan ulang kisah hidupnya (lewat surat) kepada Perdana Menteri Cina yang bakal berkunjung ke India. Memperlihatkan ini sebagai narasi tubuh cerita, di awal itu langsung terlandaskan motivasi si Balram bercerita itu sebagai ambisinya, dan dari cara dia mengungkapkan kita merasakan ada kemarahan terhadap segalanya”

“Menurutku motivasi Balram menulis surat ke PM China, ya hanya memenuhi egonya aja. Penceritaan film dengan cara seperti ini menurutku cukup efektif, tetapi memang ada beberapa adegan yang menurutku blurry. Karena aku enggak melihat sudut pandang orang lain, selain Balram himself. Tidak ada momen khusus yang membuatku kesulitan untuk membedakan ini kejadian beneran atau nggak, tapi menurutku lebih ke sikap beberapa karakter yang diceritakan Balram aja. Apakah memang benar-benar setega itu. Atau memang hanya di fikirannya aja.”

“Nah, bener, menurutku di sinilah sedikit kelemahan dari konsep penceritaan film ini. Mereka mempersembahkan masalah yang ingin disinggung – yang mungkin benar terjadi, ketimpangan, ketidakmanusiawian orang kaya atau majikan, dan sebagainya itu, tapi memuatnya ke dalam perspektif karakter yang juga dibuild up nekat melakukan apapun untuk membebaskan dirinya dari ‘kandang ayam’. Ke perspektif karakter yang sedang menarik perhatian ‘orang kaya berikutnya’ lewat surat. Jadi buatku ada sedikit masalah narator yang unreliable di film ini. Sehingga apa yang dilakukannya pun, jadi dipertanyakan”

“Entah. Menurutku tidak ada yang dapat dibenarkan dalam membunuh seseorang, nggak peduli seburuk apa perlakuan orang tersebut. Walaupun aku nggak membenarkan juga sikap majikan-majikan di India yang memperlakukan pelayannya dengan tidak manusiawi. Menurutku hubungan antara pembantu dengan majikan baiknya ya saling menghormati satu sama lain, dan nggak membedakan, tapi tetap ada batasan yg dijelaskan di awal. Jadi hak dan kewajibannya jelas. Karena sesungguhnya pembantu dan majikan ini menurutku sama aja kayak karyawan dan atasan dalam perkantoran, hanya beda penempatan aja, satu dalam gedung, satu dalam rumah.”

“Lucu sih bagaimana film menilik Balram lewat hubungannya dengan majikan-majikannya. Ada yang kasar, tapi ada juga yang simpatik. Kayak Ashok dan Pinky, yang berjiwa Amerika. Awal-awal pas ngeliat Ashok pertama kali kan, film ini ngasih treatment yang kayak seseorang melihat orang yang didamba banget. Balram ngeliat Ashok itu pakek slow-motion segala. Hubungan mereka juga up-and-down kayak sahabat akrab, kan.”

“Pinky FTW!!!! Aku bisa ngerasain banget keinginan dia buat memperbaiki sistem kasta di India. Padahal menurutku di sini yang salah bukan sistem kastanya, tapi memang individualnya, dan segala permasalahan ekonomi yang sudah menahun. Seperti Balram, dia sudah diberikan kesempatan untuk mendapatkan beasiswa ke Delhi, despite kastanya adalah kasta rendah, tetapi, karena faktor ekonomi, Balram dipaksa untuk berhenti bersekolah dan bekerja. Makanya adegan saat Pinky menyuruh Balram untuk berhenti bekerja dan mengejar pendidikan terlebih dahulu, dan juga menyuruh Balram untuk berkeluarga (in a good way of course, bedakan tentang neneknya Balram yg menjodohkan dia dengan paksa). Aku jadi makin cinta sama karakter Pinky ini setelah itu. Yang mana juga adegan favorite ku, karena kayak flashback aja waktu awal cerita pas Balram kecil masih rajin belajar, paling pinter satu kelas, & dijanjikan beasiswa ke Delhi. Di adegan ini, Balram pun sudah berada di Delhi, tapi sebagai pelayan. Cuma saat disuruh kejar pendidikan oleh Pinky, dia malah menolak. Berbeda banget, padahal masih orang yg sama🥲”

“Pinky dan Ashok memang sepertinya diniatkan oleh film ini sebagai usaha yang futile. Karena yang rusak itu memang sistemnya. Sudah tidak tertolong, tanpa hal ekstrim. Apalagi oleh orang luar semacam Pinky dan Ashok. Mereka ini tu kayak keluarga kaya di film Parasite. Mereka enggak jahat, tapi mereka juga gak tau keadaan sebenarnya semacam apa di bawah, atau terms film ini; di darkness sana. Mereka ‘hanya’ orang berprivileged yang lebih sopan. Dan lebih terbuka. They do have to realized that they can’t really help.”

“Iya, aku sempet berharap banyak sama Pinky, tapi sayang dia pun gak kuat menghadapi segala problematika di India. Walau terkesan agak SJW, tapi gak bisa dipungkirin Pinky ini karakter yang paling manusiawi disini (bahkan lebih manusiawi daripada nenek kandung Balram sendiri menurutku) Dan Pinky sedikit banyak menularkan ‘hal baik’ ini ke Ashok. Menurutku keberadaan Pinky dan Ashok difilm ini menganalogikan bahwa tidak mudah mengubah sesuatu yang sudah berlangsung sekian lama, bahkan di akhir cerita saat Pinky memutuskan menyerah dan meninggalkan India, sifat Ashok malah berubah menjadi seperti majikan India yg lain.”

“Kalo si Pinky tau apa yang terjadi pada Balram dan Ashok. Kira-kira gimana ya reaksinya? Si Balram kan sudah ngikutin nasihatnya untuk berani mengejar kehidupan sendiri. Tapi Balram melakukan itu dengan… ahahaha pait!”

“Pertama kali, pasti Pinky nangis, dan memaki Balram. Tapi setelah Balram menjelaskan apa yg dilakukan Ashok & Keluarga ke dia, menurutku Pinky open minded enough untuk memaklumi apa yang Balram lakukan. Ditambah sekarang Balram udah sukses dan memperlakukan karyawannya dengan baik (tidak seperti Ashok & keluarga). Cuma mungkin ke depannya Pinky gak akan menjaga silaturahmi ke Balram, dan gamau berurusan sama dia lagi.”

“Akhirnya, si Balram jadi majikan untuk banyak sopir-sopir India kelas bawah yang ia pekerjakan di bisnis travel. Ending ini sekilas kayak bermuatan optimis. Balram berhasil membuat hidup lebih baik, berhasil memajukan India menurut dirinya. Tapi, dengan segala yang ia lakukan, dengan reaksi PM Cina yang juga biasa aja padanya, buatku cukup susah untuk menempatkan Balram ke kata berhasil. Lagipula, shot akhir ini agak ngeri juga sih, pakek liatin para supir menatap kamera. Seolah ngingetin kita bahwa mereka itu hanyalah ‘Balram-Balram’ lain yang menunggu untuk terjadi. For better and worse.”

“Semakin ngeri :’) Aku melihat pesan Balram di akhir cerita terlalu brutal, kayak, its ok to kill your masters & not feeling guilty after all. Wow.”

“Dan bagaimana dengan Indonesia? Dalam bisnis dan dunia global, Balram percaya masa depan adalah milik India dan Cina, sementara Amerika hanya akan sibuk dengan sosial media. Indonesia kok gak dianggep sih? Gimana nih si Balram, kayak gak tau aja kita bersaing ketat ama India dalam penanganan Corona Terburuk hahaha”

“Indonesia mungkin masih akan sibuk dengan perbedaan pendapatnya😆 Tetapi on the other hand, at least mindset orang-orang Indonesia lebih sedikit terbuka daripada orang India, dan kesempatan untuk menjadi sukses di Indonesia ini banyak banget, karena masyarakat Indonesia setidaknya sudah lebih akrab dengan internet dibanding masyarakat India.”

“Di sini kita juga ada sistem kasta loh. Pejabat dulu. Baru Influencer. Baru orang edan, lalu ilmuwan, dan setelah bertingkat-tingkat, baru deh rakyat jelata hahahaha… Anyway, Mbak Farrah ngasih nilai berapa nih untuk film The White Tiger ini?”

“Mungkin 6. Karena pertama kali aku nonton film ini, kayak terlalu banyak narasi, baru bener-bener seru hanya di 30 menit terakhir film, dan entah kenapa endingnya kurang bagus menurutku.”

“Cukup setuju sih. I do think film ini kelamaan di ngeliatin ‘penderitaan’ Balram dan back-and-forth hubungannya dengan Ashok. Banyak adegan-adegan yang feelnya ngena banget – favoritku pas si Balram dipermainkan emosinya sebagai manusia supaya mau tandatangan untuk sesuatu yang tidak ia lakukan, tapi banyak juga adegan yang bikin ‘ini beneran terjadi atau cuma Balram lagi ngasih tau kita’. Dan kesuksesan Balram dibuat juga terlalu cepat. Kayak, terlalu literal dia sukses dengan membunuh. Gitu. Jadi aku ngasih 7 dari 10 bintang emas untuk The WHITE TIGER!”

 

 

That’s all we have for now.
Terima kasih buat mbak Farrah Caprina udah berpartisipasi untuk mengulas film ini. Udah rela meluangkan waktu untuk menjawab pertanyaan seabreg. Dan tentunya terima kasih yang telah ‘memaksa’ aku untuk akhirnya mau menonton film ini.

 

Buat para Pembaca yang punya film yang ingin dibicarakan, yang ingin direview bareng – entah itu film terfavoritnya atau malah film yang paling tak disenangi – silahkan sampaikan saja di komen. Usulan film yang masuk nanti akan aku hubungi untuk segmen Readers’ NeatPick selanjutnyaa~

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.