“It means having each other’s backs.”

Coda adalah singkatan dari ‘Child of Deaf Adults” – Anak dari keluarga tunarungu. Coda, juga bisa berarti istilah untuk bagian penutup dalam sebuah komposisi musikal. Coda, garapan sutradara Sian Heder, adalah dua hal tersebut sekaligus. Film yang bercerita tentang Ruby, satu-satunya yang berpendengaran normal dalam keluarganya, yang sangat berbakat menyanyi dan menemukan kecintaan pada dunia musik. Dunia yang gak berarti apa-apa bagi ayah, ibu, dan abangnya. Simply karena mereka gak bisa mendengar betapa amazingnya suara Ruby. Ibu malah menyangka anak remajanya itu hanya sedang dalam fase ‘memberontak’, “Kalo ibu buta, kamu pasti ngelukis, ya” begitu katanya ringan ketika Ruby ngasih tau soal masuk kelas musik. Dan momen itu, aku yakin, juga dialami oleh banyak anak remaja. Tak peduli seberapa normal pendengaran mereka sekeluarga.
Karena Coda ini pada hatinya memang sebuah cerita coming-of-age yang relatable. Tapi, dia adalah cerita dengan suara yang begitu unik. Sehingga bahkan dengan film aslinya pun – ini adalah versi Amerika dari film Perancis La Famille Belier (2014) – Coda terdengar seperti sajian yang berbeda.

Tentu, Coda dikembangkan Heder dari perspektif yang serupa. Keluarga yang quirky. Nyeleneh. Interaksi keluarga ini dipertahankan, Ruby yang kerap bertengkar dengan abangnya, pake bahasa isyarat. Ruby yang kesel sama ‘kemesraan’ ayah dan ibu. Itu memanglah pesona utama yang membuat cerita ini populer sehingga dibuat lagi. Ya, keluarga Ruby berbeda dengan orang-orang lain. Keluarga Ruby dipandang remeh. Dan hidup mereka enggak mudah. Tapi film memperlihatkan semua itu lewat perspektif yang tidak sekalipun mengiba belas kasihan. Keluarga Ruby bangga dengan siapa mereka, dengan kerjaan mereka. Dalam Coda, mereka adalah keluarga nelayan. Mereka mengarungi masalah yang sama dengan nelayan-nelayan lain di sana. Yang tangkapannya dibeli penadah dengan harga rendah. Yang merasa dirugikan lebih jauh oleh kebijakan perdagangan dan penangkapan ikan yang baru diberlakukan. Mereka tau mereka akan baik-baik saja. Selama ada Ruby.
Ya, selama ini Ruby memegang peranan besar dalam keluarga. Ruby ikut melaut, membantu mengoperasikan dan komunikasi kapal. Ruby jadi juru bicara. Dalam tawar menawar harga, dalam rapat. Dalam apapun. Film menitikberatkan ketergantungan ini dengan memperlihatkan Ruby bahkan harus ada di sana saat ayah dan ibunya konsultasi ke dokter mengenai masalah yang mendera area privasi mereka. Kebergantungan semacam itulah yang jadi titik awal konflik. Karena Ruby yang sudah beranjak dewasa, mulai menemukan dunianya sendiri. Dia mulai naksir cowok, dia mulai serius menjajaki tarik-suara. Tentu saja, gak lama jadwal Ruby mulai bentrok dengan jadwal kerjaan keluarga. Semua pilihan mendadak menjadi tough choices bagi Ruby, karena dia sadar keluarganya membutuhkan dirinya tapi sebaliknya dia tahu bahwa dia juga butuh untuk menapaki jalan hidupnya sendiri. Semua lapisan permasalahan itu mengumpul semua membentuk emotional depth yang dalem banget. Membuat film ini jadi menarik-narik hati kita, membuatnya hangat oleh haru dan cinta, tanpa sekalipun terasa overdramatis.
Kehidupan keluarga Ruby dalam rumah tangga dan dalam bermasyarakat, menambah realisme ke dalam cerita. Kita percaya yang dialami Ruby bisa terjadi pada anak dalam keluarga manapun. Masalah keluarga tunarungu tersebut mendadak jadi masalah universal. Untukku, aku melihatnya sebagai masalah yang relatable bagi remaja karena Ruby dalam cerita ini dealing with keluarga yang tidak bisa melihat value dari kemampuannya. Penyanyi tapi orangtuanya tuli. Mereka gak bisa tau, gak bisa mengerti how good she really is. Jadi ya, remaja yang suka musik tapi disuruh jadi karyawan kantoran, remaja yang pandainya bulutangkis tapi disuruh jadi PNS, yang tulisannya bagus tapi disuruh jadi sekolah dokter aja, mereka adalah Ruby-Ruby dalam keluarga yang ‘tuli’ sama suara anak mereka. Solusi untuk masalah ini adalah bagaimana membuat orangtua kita mendengar ‘suara’ tersebut. Maka film Coda ini bisa jadi penguat. Bisa menjadi pengingat bahwa keluarga itu ya sebenarnya saling membutuhkan. Karena jika Ruby dan keluarganya yang berkekurangan saja bisa menemukan jalan keluar, tidak ada alasan untuk kita tidak menemukannya.
Hubungan dalam keluarga tidak berjalan satu arah. Yang satu membutuhkan yang lainnya. Anak akan membutuhkan orangtua, sebagaimana orangtua pun membutuhkan peranan sang anak. Maka dari itulah, anak dan orangtua harus saling mengenali. Masuk ke dunia masing-masing.
Dari situlah datang aspek beauty yang kuat dimiliki oleh film ini datang. Pertengahan film hingga ke akhir udah kayak parade adegan-adegan keluarga yang indah. Yang hangat. Keluarga Ruby yang datang ke sekolah menonton pertunjukan musik meskipun mereka gak bisa mendengar apa-apa (ngeliat mereka yang malah menonton dari reaksi penonton sekitar itu adegan yang supersweet banget) ke adegan ayah meminta Ruby menyanyikan ulang lagu kepadanya, dan ayah mencoba mendengar dan mengerti lagu tersebut dengan cara yang ia bisa (easily adegan paling bikin netes air mata, dan kandidat nominasi untuk adegan terbaik di My Dirt Sheet Awards tahun depan!) hingga ke adegan saat…. ah, tonton sendiri deh. Film ini penyelesaiannya penuh oleh beautiful moments. Yang juga digarap dengan sama sensitif dan beautifulnya.
Heder tahu dia gak perlu apapun selain memaksimalkan karakter-karakter yang menghidupi ceritanya. Sehingga dia benar-benar menaruh kita ke dalam perspektif. Ketika adegan keluarga Ruby nonton pertunjukan nyanyi tadi, misalnya. Saat Ruby nyanyi solo, film justru menarik semua suara dari layar. Kita tidak mendengar suara cantik Ruby. Kita tidak mendengar apa-apa. Karena memang itulah yang persisnya didengar oleh keluarga Ruby. Kita jadi tahu apa yang mereka rasakan. Build up pada sekuen pertunjukan musikal tersebut juga bener-bener diperhatikan sehingga momen terakhirnya jadi luar biasa. Di awal kita melihat ayah dan ibu Ruby malah sibuk ‘ngobrolin’ hal lain. Namun ketika giliran Ruby, kita yang dibuat ikut tidak mendengar jadi melihat ayah, ibu, dan abang Ruby tersebut tidak hanya memusatkan perhatian mereka, tapi juga berusaha ‘mendengar’ Ruby dari sekeliling. Dan kita dibuat mendengarkan dalam cara mereka mendengar. Film ini bijak sekali, tahu persis memainkan perspektif. Timingnya efektif sekali. Sebaliknya, ketika nyanyian Ruby memang harus didengar (seperti pada adegan ayah Ruby meminta dinyanyiin tadi), film memastikan lagu yang kita dengar benar-benar mencerminkan keadaan yang dialami, dan bermakna bagi Ruby dan ayahnya. Lagu tentang bagaimana seseorang bergantung kepada yang mereka cintai tersebut menambah bobot yang banyak sekali untuk hati film ini.

Bahkan untuk adegan-adegan kecil pun, film ini mengerti untuk tidak melakukan dengan berlebihan. Urusan cinta-cintaannya Ruby; elemen itu dibutuhkan untuk membuat karakter Ruby makin ter-flesh out. Tapi kadarnya harus pas, supaya enggak mengambil alih persoalan utama yakni Ruby dan keluarganya. Yang dilakukan film ini, apa coba? Benar-benar pas. Ruby tidak pernah jadi karakter yang bucin, melainkan tetap pada jalur yang manis. Begitu juga sebaliknya; dengan pembullyan yang ia terima. Tidak pernah film jadi kayak ‘sinetron’, yang menjalin interaksi antara karakter anak remaja yang satu dimensi jahat atau semacamnya dengan Ruby yang nelangsa. Penampilan akting dan arahan serta naskah jelas yang mengakibatkan ini semua.
Didaulat sebagai pemain utama, Emilia Jones memainkan Ruby dengan segenap hati sehingga tidak mungkin bagi kita untuk tidak peduli dan tidak sayang kepada karakternya. Dia berbakat, tapi juga kikuk dan tidak benar-benar pandai untuk mengekspresikan diri. Adegan-adegan dia adegan musik dengan guru yang exceptionally idealis dan nyeni sehingga jadi kayak komikal (satu-satunya aspek yang too good to be real di film ini) digunakan dengan efektif oleh film sebagai saat-saat untuk menunjukkan perkembangan personal Ruby. Dia juga dimainkan dengan penuh cinta kepada keluarga, tapi di saat bersamaan Jones juga membuat Ruby memancarkan sedikit, katakanlah, kelelahan dan dia ingin break free, dalam cara yang tidak annoying.
Yang mengangkat Coda dari originalnya adalah representasi. Heder enggak ragu untuk mencasting aktor-aktor yang memang tunarungu untuk memerankan ayah, ibu, dan abang Ruby. Tidak seperti film originalnya yang menggunakan aktor berpendengaran normal. Dan ini tentu saja selain lebih respek terhadap komunitas tunarungu yang direpresentasikan, tapi juga menambah aspek realisme yang berusaha ditonjolkan oleh film. Gak sampai di sana, supaya gak jadi sekadar gimmick atau apa, Heder memback up karakter-karakter tersebut dengan lapisan. Ibu Ruby (Marlee Matlin) adalah – atau bukan adalah – seorang mantan model (ini jadi salah satu running-jokes dalam cerita), dan film membuka kesempatan untuk karakter ini menjelaskan apa makna kehadiran anak normal bagi diri dan keluarganya. Abang Ruby (Daniel Durant) juga punya pandangan sendiri terhadap peran Ruby dalam keluarga, yang berkenaan dengan posisinya sendiri sebagai anak sulung, cowok pula. Dia akan menambah bobo konflik tersendiri yang tentu saja kita welcome sekali ke dalam cerita. Dan tentu saja, ayah Ruby (Troy Kotsur) yang sudah dijelaskan sedikit lebih banyak di atas tadi. Dia yang kepala keluarga punya tanggung jawab, dia yang kelihatan paling dekat dengan Ruby, dia yang paling ‘bertingkah’ – in a lot of ways. Cerita Coda hidup lewat karakter-karakter ini.
Resolusinya mungkin dapat terasa terlalu cepat bagi beberapa penonton, dengan permasalahan-permasalahan kecil dalam cerita belum terikat sempurna. Namun bagiku memang itulah poin cerita. Urusan Ruby dengan keluarganya memang bukan sebuah urusan yang patut dibesar-besarkan. Memang sebenarnya sesimpel mengeluarkan suara, dan mendengarkan suara tersebut. Masalah komunikasi. Dan mengenai hal-hal lain yang belum kelar, ya masalah memang bakal terus ada. Film ini tentang keluarga yang akhirnya saling mengerti dan itu membuat mereka jadi keluarga yang semakin kuat meski sekarang mereka tidak lagi bersama secara fisik, bukan tentang problem yang lantas jadi beres. Yang perlu diperhatikan adalah film di akhir telah memperlihatkan bagaimana keluarga ini sekarang punya dan mau menempuh cara lain untuk berurusan dengan problematika sehari-hari, sebagai tanda kekeluargaan yang semakin menguat.
Buat yang pengen ngajak keluarga nonton bareng, CODA bisa disaksikan di Apple TV+ https://apple.co/3J2UFU7
Ekspektasiku nonton ini adalah yaah, aku bakal nonton cerita anak yang dibully karena keluarganya berbeda, kemudian menemukan cinta – kepada musik dan kepada cowok – yang berlawanan dengan kepentingan orangtua, yang pada akhirnya membantunya berurusan dengan keadaan keluarga tersebut. Film ini secara garis besar memang seperti itu, tapi tidak sedramatis atau semenye-menye yang kubayangkan. In fact, tidak pernah dia menyuarakan seperti demikian. Melainkan ini berhasil jadi cerita yang terasa unik. Menawarkan sudut pandang baru dengan lucu dan kikuk di awal, dan lantas benar-benar indah dan hangat sebagai penutup. Dia juga terasa real dan relatable. Biasanya, aku punya aturan penilaian yang ketat untuk film-film yang bukan original. Namun untuk kali ini, teruntuk film ini, aku rela sedikit melunakkan aturan tersebut. Karena dia berhasil tampil tetap cantik, dan malah seperti memperbaiki versi originalnya.
The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold stars for CODA.
That’s all we have for now
Apakah kalian juga punya hal yang menurut kalian penting, tapi tidak bisa ‘didengar’ oleh orangtua, tidak punya value yang sama di mata mereka? How do you dealt with that?
Share with us in the comments yaa
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA