TRANSFORMERS ONE Review

 

“Good friends, better enemies”

 

 

Sama seperti Prof. X dan Magneto di X-Men, ataupun Splinter dan Shredder di TMNT, musuh bebuyutan Optimus Prime dan Megatron di Transformers dulunya juga berteman. Gatau juga, mungkin ‘kawan-jadi-lawan’ itu trope trendy di kartun Amerika 80-90an apa gimana haha… Yang jelas, kisah persahabatan dua robot yang kita kenal sedari versi kartunnya sebagai pemimpin Autobots dan Decepticons yang berseteru, akhirnya diangkat menjadi cerita origins yang baru oleh Josh Cooley. Dan ini untuk pertama kalinya aku excited menyambut Transformers di bioskop. Karena, lihat saja sendiri; Transformers One dihadirkan sebagai animasi petualangan, para robot mengambil pusat cerita, dengan desain karakternya kreatif dan ‘jelas’ – mirip sama kartun yang dulu udah sukses bikin aku suka ama robot-robot yang bisa berubah bentuk. Kalo Transformers live-action yang kemaren-kemaren itu aku anggap musuh, maka film ini certainly kuanggap kayak teman masa kecil yang kini sudah berubah, namun masih tetap kukenali dan kurindukan.

Optimus Prime dan Megatron tadinya bernama Orion Pax dan D-16. Mereka berdua adalah robot penambang. Istilahnya kelas-pekerja kasar lah. Mereka stuck sebagai penambang karena mereka tidak punya roda-gigi, sehingga mereka tidak bisa punya kemampuan optimal seperti robot-robot elit lain. Tapi Orion punya mimpi, Dia ingin nunjukin kepada Sentinel Prime, pemimpin para robot, bahwa robot penambang juga bisa lebih daripada sekadar menambang energon. Jadi Orion mengajak sahabatnya, D-16, untuk mencari Matrix of Leadership untuk diserahkan kepada Sentinel. Mereka ingin membuktikan diri mereka bisa. Setelah melanggar beberapa aturan, petualangan Orion dan D-16 bersama dua robot lain, membawa mereka ke sebuah temuan pahit. Bahwa selama ini mereka hidup dalam kebohongan. Bahwa Sentinel bukan pemimpin yang baik seperti yang dielu-elukan, melainkan robot culas yang manfaatin rakyat kecil dan dia cuma peduli sama diri sendiri (mirip siapa hayooo…) Temuan itu mengubah hal di antara Orion dan D-16. Persahabatan mereka merenggang. Keduanya punya pandangan dan reaksi yang extremely berbeda.

Hey, kenapa ya tokoh pemimpin yang dipuja itu biasanya selalu evil at heart?

 

Hati. Robot-robot itu boleh saja dadanya kosong karena gak punya roda-gigi, tapi mereka punya hati yang besar. Film ini punya jiwa meskipun karakternya cuma mesin-mesin animasi berjalan. Mereka beneran terasa seperti karakter yang hidup, dengan dunia dan permasalahan yang nyata, dan kita dibuat peduli sama keadaan mereka. Persahabatan Orion dan D-16 akan sangat berasa karena film benar-benar meluangkan waktu supaya dinamika dan persahabatan mereka terjalin genuine.  Orion yang seperti gak-sabaran untuk melakukan hal-hal yang gak biasanya – atau malah gak seharusnya – dilakukan oleh kelas penambang. D-16 yang agak reluctant dan lebih taat aturan, sebenarnya ingin nolak, tapi mereka sahabat dan supposedly always have each other back. Ini formula yang sebenarnya cukup sering kita temui, tapi film berhasil berjalan tanpa harus membuat karakternya beneran kayak trope yang lumrah, kayak Orion di sini gak jatoh kayak karakter annoying ataupun dinamika mereka gak jatoh jadi si tukang ngoceh dan si pendiam yang simpel. Bahkan karakter kayak B-127 (alias Bumblebee) yang fungsinya sebagai karakter komedi, tidak sedemikian terasa template. karena at least dia punya charm dan ‘kegilaan’ unik tersendiri.

Build up ke mereka akhirnya mendapat roda-gigi sehingga akhirnya bisa berubah juga sangat solid. Naskah film ini memang tidak terburu-buru. Tahu gimana membangun antisipasi dan tahu kapan waktu yang tepat untuk merelase semua build up-an tadi menjadi kejadian yang memorable buat kita para penonton. Secara narasi memang tidak banyak kejutan ataupun experience baru yang berarti, beberapa eksposisi dan sedikit kemudahan dapat kita temui, hanya saja film ini storytellingnya sangat well done sehingga bahkan momen-momen ‘biasa’ film ini tidak terasa mengganggu. Ketika para robot sudah bisa berubah pun, mereka tidak dibuat langsung jago. Mereka harus belajar menggunakan kemampuan baru tersebut, sambil melarikan diri menuruni lereng dari kejaran robot jahat. Sehingga momen mereka belajar tidak mengganggu tempo melainkan tetap intens karena berlangsung dalam sekuen aksi. Dan ngomong-ngomong sekuen aksi, film udah nunjukin kemampuan bikin adegan yang seru sedari saat di awal-awal Orion dan D-16 insert themselves ke kejuaraan balap antarrobot. Aku melihat ada dua kunci keberhasilan keseruan aksi di film ini. Pertama, desain kreatif yang benar-benar mewakili karakterisasi dan keunikan tiap robot. Kedua, animasi yang fluid dan colorful sebagai wadah dari desain-desain unik tersebut. Ruh dari serial kartunnya ketangkep banget oleh gaya animasi 3D modern, membuat para robot bisa dengan mudah dikenali. Gak kayak seri film live-actionnya, yang desain robotnya begitu gak-jelas; kita gak bisa ngikuti setiap perubahan wujud robotnya, karena kita bahkan gak ‘tau’ apa yang sedang kita lihat.

Yang para robot penambang itu alami juga aku yakin bakal nyampe banget ke kita. Problem mereka relatable. Bukan literally soal gak bisa berubah wujud, tapi soal mereka dibiarkan jadi begitu terus oleh pemimpin culas mereka. Mereka adalah rakyat yang dibiarkan gak bisa apa-apa selain terus bergantung kepada pemimpin, mereka rakyat yang distrip dari kebebasan untuk bergerak, berpikir, dan punya kekuatan sendiri. Sentinel sebagai pemimpin sengaja membiarkan mereka seperti itu, supaya rakyatnya tersebut terus bekerja untuk dirinya. Mengisi pundi-pundi dia dan golongannya. Like, wajah para robot memang dibuat eskpresif, tapi aku rasa yang bikin adegan saat Orion dan D-16 melihat energon-energon yang mereka tambang dengan susah payah dan mempertaruhkan nyawa ternyata digunakan Sentinel untuk ‘membayar’ Quintessons (klan musuh para robot di Cybertron) itu kena kan karena itu kayak yang kita rasakan ketika tahu uang pajak seambrek yang kita berikan kepada negara ternyata digunakan untuk menggaji buzzer dan pejabat yang tujuannya bukan untuk kepentingan bersama. Rasa kecewa, rasa dikhianatinya, itu grounded dan kena banget. Maka Orion dan D-16 lantas jadi dua kasus reaction atau perjuangan yang bisa kita mengerti. Ada yang berusaha melawan dengan diplomasi seperti Orion. Membentuk kelompok sendiri. Aku baru tahu di film ini kalo Autobots ternyata artinya robot dengan autonomi – robot dengan kebebasan. Bukan automatic robot seperti yang kukira waktu kecil dulu. Dan kita juga paham ketika ada yang marah, dan memilih pemberontakan yang bisa lebih violence, sebagai perlawanan seperti yang dilakukan oleh D-16. Konsekuensi tragisnya pun kita paham. Dua kubu rakyat tersebut jadi saling ‘berperang’ satu sama lain.

Antara kawan dan lawan, batasannya memang tipis. Lawan yang paling berbahaya biasanya justru adalah orang yang kita sangka teman. Orang yang berpura-pura manis dan peduli, padahal tidak sama sekali. Seperti Sentinel Prime, pemimpin yang membawa dirinya sebagai teman dari rakyatnya, tapi ternyata dia justru hanya memanfaatkan kelemahan mereka. As in membiarkan mereka semua lemah supaya bisa terus dimanfaatkan. Kasus Orion dan D-16 lain lagi, teman baik yang jadi musuh bebuyutan, karena mereka sebenarnya sama hanya pilihannya saja yang berbeda, dan mereka saling mengetahui kekuatan dan kelemahan masing-masing. 

 

Cuma aku atau memang si Bumblebee wajahnya kayak Tom Holland haha

 

Cuma pada satu kesempatan naskah film ini terasa terburu-buru. Pengembangannya tidak serapih dan se-well-timed yang lain. Yaitu ketika D-16 jadi jahat; ketika Orion dan D-16 jadi musuhan. Hal ini harusnya jadi klimaks, tapi terasa abrupt saat D-16 ‘mengenyahkan’ sahabatnya itu begitu saja. Seperti ada beat yang hilang atau keskip dari development karakternya tersebut. Also, menurutku D-16 agak mengambil alih spot utama dari Orion. Perubahan sikap D-16 terasa lebih ekstrem dan lebih kentara ketimbang Orion yang agak terdorong ke background dan seolah dia tidak mengalami journey atau pembelajaran karakter. Padahal sebenarnya kan ada semacam pembalikan, dari siapa yang tadinya ingin langgar aturan dan siapa yang mau play by rules di awal dan di akhir cerita. Namun pada proses penceritaannya, aspek development ini turn-nya kurang kerasa menyeluruh ada pada kedua karakter. Perubahan mereka jadi fisik (literally, karena mereka beneran jadi Optimus Prime dan Megatron di akhir), dengan bobot dramatis lebih kuat pada D-16 dibandingkan pada Orion yang adalah tokoh utama sebenarnya.

 

 




Sebelum mengubah dunia, kita harus mampu mengubah diri sendiri dulu – mengubah sudut pandang, mengubah pemikiran, mengubah segala hal pada diri menjadi lebih baik. Film petualangan animasi ini mungkin dibuat supaya anak kecil terhibur oleh robot-robot yang bisa berubah bentuk, tapi kita bisa melihat ada nilai lebih yang ditawarkan oleh ceritanya. Atau seenggaknya, nilai lebih yang bisa kita serap karena ceritanya punya permasalahan yang grounded dan relate dengan keadaan kita. Dan yang gak kalah pentingnya lagi, film ini menceritakan itu dengan hati dan penceritaan yang telaten. Yang ngasih waktu untuk build up. Yang ngasih karakter uniknya ruang untuk mengembangkan diri. Lalu kemudian melepaskan semuanya dengan adegan aksi yang seru serta dramatis. Ini film Transformers yang aku tunggu-tunggu. Film yang bisa dinikmati bukan hanya keunikan desain karakter robotnya tapi juga ceritanya. 
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for TRANSFORMERS ONE

 

 




That’s all we have for now.

kalo dibawa ke keadaan pemerintah sekarang, kalian lebih condong masuk atau setuju ke perlawanan ala D-16, atau Orion?

Share pendapat kalian di komen yaa

Yang pengen punya kaos film lebaran Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

 

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



BEETLEJUICE BEETLEJUICE Review

 

“Sometimes you will never know the value of a moment until it becomes a memory.”

 

 

Halloween datang sebulan lebih cepat, dibawakan oleh Tim Burton di atas nampan nostalgia kepada kita. Yup, Beetlejuice – karakter ikonik dan horor komedi populer dengan konsep afterlife yang bisa dibilang cukup groundbreaking pada era 80an itu – akhirnya beneran dibikinin sekuelnya. Dan seperti judulnya, Beetlejuice Beetlejuice memang dua kali lebih fun ketimbang film aslinya. Dua kali lebih random dengan segala keantikan dunianya. Mind you, Tim Burton sama sekali tidak ingin mengubah Beetlejuice dan kegilaan karakternya – eventho untuk standar era sekarang karakter tersebut certainly semakin tidak appropriate.  Dan ini memang akhirnya jadi groundwork yang unik buat pengembangan cerita dark fantasy-nya. Film ini mencoba nge-tackle bahasan yang juga dua kali lebih banyak dari sebelumnya. Dua kali lebih crowded, dua kali lebih ribet, dan sayangnya juga jadi dua kali lebih messy. Chaos yang tidak serta merta selalu funny.

Tiga puluh enam tahun yang lalu, Lydia Deetz berhasil selamat dari jadi pengantin remaja bagi Betelguise (dibaca Beetlejuice); si hantu bio-exorcist, alias hantu tukang onar yang kerjaannya membantu hantu-hantu untuk mengusir manusia dari rumah mereka. Lidya selama ini berusaha move on, punya keluarga, punya anak, punya acara tv sendiri sebagai cenayang. Tapi dia masih dihantui oleh kenangan buruk Beetlejuice tersebut. Sementara di alam baka, Beetlejuice yang kini cukup sukses dan bisnis exorcistnya makin gede, juga masih menyimpan Lydia dalam kenangannya. Ketika kematian ayah membawa Lydia bersama ibu dan anaknya kembali  ke Winter River, ke rumah tempat semuanya dimulai, Lydia bukan saja terpaksa harus bertemu kembali dengan Beetlejuice, dia bahkan terpaksa harus meminta bantuan kepadanya. Astrid, anak Lydia yang marah kepada Lydia yang dianggapnya cuma menjual sensasi ‘bisa melihat hantu’ tanpa sengaja masuk ke dunia orang mati dan jiwanya ada dalam bahaya.

Nenek seniman, ibu cenayang, cucu aktivis tree-hugger. Keluarga rame!!

 

Dunia Beetlejuice put Tim Burton’s specialty dalam bangun dunia dark fantasy on the map. Bukan cuma karakter nyentrik, wacky, zany, dengan kostum unik, dia ngecreate konsep afterlife yang dibikin kayak perusahaan tapi sangat komikal. Semua itu dihidupkannya dengan permainan animasi dan efek praktikal. Era 80an memang terkenal dengan desain produksi seperti begitu, namun ketika yang lain lean towards realisme, atau eksploitasi hal-hal yang disturbing dan gory, Beetlejuice membawa ruh cerita horornya ke dalam fantasi komedi. Nonton film itu udah kayak nonton kartun, dengan segala kegilaan, kerandoman, dan efek-efek konyol. Begitu film Indonesia tahun ini mulai marak genre horor komedi, aku sempat ngarep ada yang arahannya ke kayak Beetlejuice. Cerita tentang kematian, hantu-hantu, nakut-nakutin orang, tapi tone dan gaya dan dunianya beda sendiri. Tentang keluarga hantu, atau gimana dunia kematian versi sendiri. Beneran bikin konsep dan fantasi, bukan cuma cerita yang ngada-ngada. So far film kita belum ada yang begitu, but at least sekuel Beetlejuice beneran keluar, dan film ini beneran ngasih warna berbeda. Dunia yang sama itu kembali kita kunjungi, only bigger. Dan tentu saja lebih ‘flashier’ karena efek komputer semakin mendukung kepada penggunaan animasi stop motion dan efek praktikal lainnya. Karakter-karakternya kembali kita temui, dan pemerannya masih sama!

Michael Keaton kembali untuk meranin Beetlejuice yang begitu unhinged. Dan dia bisa membuat karakternya ini sangat entertaining, meskipun kacamata kita sekarang mungkin agak lebih sensitif. Beetlejuice ini kan juga produk dari 80an, dia juga dibuat dari trope yang ramai di kala itu. Semacam ‘bapak-bapak cabul’. Dulu mulai dari film Boboho hingga kartun Dragon Ball, trope ini ada. Film ini bukan ingin melanggengkan atau malah membela trope tersebut, melainkan hanya identitas saja. Bahwa karakter dan cerita ini ya produk dari era itu. Yang penting sekarang adalah bagaimana menceritakan karakter tersebut di era modern. Film ini tidak lantas bikin Beetlejuice jadi bermoral, ataupun punya something untuk bikin kita simpati ataupun meretcon karakternya. Film ini tidak lantas membuat dia yang basically anti-hero, jadi hero. Beetlejuice tetap digambarkan sebagai karakternya yang ‘kalo gak penting amat, kita gak usah berurusan dengannya’. Sebagai karakter yang ‘menyeramkan’ dan tidak bisa dipercaya. Again, konflik tetap dipancing dari gimana kalo ternyata kita memang terpaksa harus berurusan dengan dia. Dan ini juga yang bikin ceritanya mutar-mutar. Film berusaha mencari cara nge’tone-down’ dari cerita. Beetlejuice diberikan lawan. A Frankenstein-like lady yang menuntut balas kepadanya. Jadi, selain urusan keluarga Lydia (dengan ibunya, dengan anaknya), film ini juga punya tentang masa lalu Beetlejuice. Dan ini bikin keseluruhan film ini jadi lebih padat dan lebih ribet. Jika random dan konyol tadi jadi nilai plus yang membuat sekuel ini semakin fun, maka padatnya cerita membuat film ini jadi punya poin minus karena penceritaan akhirnya menjadi messy dengan subplot-subplot yang lemah.

Cerita film pertamanya dulu simpel. Ada pasangan muda mati, jadi hantu, lalu kemudian keluarga Deetz yang nyentrik pindah ke rumah mereka. Sebagai hantu baru yang baik, mereka kesusahan mengusir keluarga Deetz. Maka mereka minta bantuan ke Beetlejuice. Akhirannya ya mereka jadi gak tega ke keluarga Deetz karena Beetlejuice minta macem-macem, termasuk mau menikah sama Lydia yang saat itu masih remaja. Kita langsung nangkep tema intinya tentang co-exist, bahasan keluarganya juga relate, along with komedi tentang kematiannya; gimana pembalikan dari biasanya yang mau diusir adalah hantu jahat.  Sedangkan film sekuelnya ini; hati dramanya tentang ibu yang ‘jauh’ dari putrinya karena kematian ayah, tenggelam alias ketutup oleh banyak lagi bahasan karakter lain. Apa coba paralelnya urusan Lydia dan Astrid, dengan Beetlejuice dan mantannya. Atau dengan karakternya Willem Dafoe; kepala polisi di afterlife yang dulunya seorang aktor. Benang-benang karakter ini seolah dibuild up untuk akhirnya bertemu dan jadi penyelesaian besar, tapi penyelesaian yang kita dapatkan di akhir ya tetap random, dan pertemuan mereka terasa lemah. Gak benar-benar kuat jadi sesuatu. Padahal sebenarnya kalo dipikirin lagi, ada keparalelan di antara mereka. Yaitu tentang memories.

Lydia sibuk dengan kenangan buruknya akan Beetlejuice. Astrid sibuk dengan kenangannya akan sang ayah. Ibu dan anak sama-sama dihantui oleh kenangan, sehingga mereka gak sempat untuk bikin kenangan baru di antara mereka. Padahal hidup ya seharusnya kita sibuk membuat kenangan baru dengan orang-orang di dekat kita, sebelum mereka menjadi kenangan buruk yang menghantui kita karena tidak sempat dekat dengan mereka. 

 

Winona Ryder mirip Cut Mini gak sih?

 

Penceritaan semakin terbebani oleh way too much explanation. Aku gak tahu kenapa film fantasi cartoonish yang lucunya justru dari hal-hal random seperti ini merasa perlu untuk menjelaskan banyak hal. Paruh awal film ini banyak banget dialog yang naturenya eksposisi; entah itu karakter menceritakan masa lalu atau ya rangkuman dari eskposisi tersebut. Like, ada karakter yang baru dimunculin sekitar 30-menit into the story, tapi percakapan antara Astrid dan karakter ini cuma rangkuman kejadian yang baru saja kita lihat. Seolah kita tidak bisa menyimpulkan sendiri, atau kita lupa. Padahal kan, waktu-waktu tersebut seharusnya bisa digunakan untuk lebih nge-flesh out hubungan antar-karakter. Alasan yang terpikir paling ya, karena ini sekuel yang rentang waktunya jauh (supaya penonton gak lupa) atau karena ini juga ngincer penonton baru dari generasi short-attention-span sehingga tiap beberapa menit perlu ada rangkuman cerita. Atau karena film salah ambil perspektif cerita sedari awal? Hmm..

Aku ngerti Lydia dijadikan perspektif utama karena dia karakter dari film sebelumnya, yang punya arc yang langsung berkaitan dengan Beetlejuice (dan also karena dia Winona Ryder, gitu loh!) Tapi menurutku justru karena itulah film ini jadi merasa perlu untuk menjelaskan banyak hal/cerita dari film sebelumnya. Karena kita harus mengerti sudut pandang dia yang tokoh utama, maka kita harus dikasih penjelasan dulu atas hal-hal apa yang sudah ia lalui. Sebaliknya, menurutku, jika film ini mengambil perspektif utama dari si Astrid yang diperankan Jenna Ortega; karakter baru yang diceritakan not even care sama kemampuan ibunya, cerita dan segala konsep dunianya juga akan bisa berlangsung cuek, dan lebih fokus kepada hubungan Astrid dan ibunya itu sendiri. Karena kita akan berada di belakang Astrid yang awalnya tidak percaya mistis, tapi lantas dia discover banyak hal secara langsung, sehingga film gak perlu sering-sering stop untuk menjelaskan di awal dan kitapun nyemplung lebih mulus seperti baru pertama kali masuk ke dunia itu, seperti Astrid.

 




Dua kali lebih random, membuat film ini fun. Tapi dua kali lebih crowded, lebih ribet, membuat film ini lebih messy dari film originalnya. Dunia dan konsep afterlife dengan karakter unik dan cartoonish memang menghibur, sayangnya penceritaan film ini terbebani oleh penjelasan yang terlalu banyak di paruh awal. Aku pikir dunia gila seperti dunia Beetlejuice ini tidak perlu penjelasan yang terlalu banyak karena randomnya itulah letak lucu dan serunya. Aku suka Beetlejuice dan would like to explore dunianya lebih jauh. Tapi kalo setiap film bakal semakin padet dan sumpek kayak gini, aku jadi takut juga menyebut judulnya sampai tiga kali. Takut kalo beneran datang, dan bukannya lebih menghibur dengan ‘menakutkan’, tapi malah lebih mengecewakan.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for BEETLEJUICE BEETLEJUICE

 




That’s all we have for now.

Menurut kalian kenapa cerita horor komedi yang muatannya bangunan dunia fantasi ini gak jalan di penonton kita, kenapa kita belum punya film seperti ini?

Share pendapat kalian di komen yaa

Yang pengen punya kaos film lebaran Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

 

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



KAKA BOSS Review

 

“All parents are an embarrassment to their kids”

 

 

Arie Kriting sepertinya punya beberapa keresahan. Tentang stereotype orang Timur yang karena perawakannya, sering dianggap seram, garang, kayak preman, dan sebagainya. Like, jaman ospek kuliah di kampusku dulu (aku mahasiswa teknik geologi), teman-teman yang dari Timur gak pernah ditempatkan jadi petugas medis yang urusannya nolongin mahasiswa baru yang tumbang atau sakit. Mereka selalu kebagian ‘peran’ jadi senior ‘paling galak’, yang cuma dikeluarkan ke depan maba saat kegiatan yang bersifat stressing level maksimal. Mereka di-hype sebagai pertanda bahwa ospek hari ini akan ‘berdarah-darah’. Padahal aslinya, mereka ya biasa aja, gak ada yang jahat, malah juga suka bercanda. Selain itu, sebagai seorang bapak, Arie Kriting juga sepertinya punya keresahan yang khusus menghantui para orangtua. Tentang relasi dengan anak-anaknya nanti. Bagaimana nanti jika anak malah malu dengan orangtuanya, bukannya bangga. Bagaimana kalo ternyata sebagai orangtua, kita not good enough bagi anak-anak kita. Keresahan-keresahan itulah yang sepertinya digodok menjadi cerita oleh Arie Kriting dalam drama komedi Kaka Boss. ‘Anak-keduanya’ di layar lebar.

Kaka Boss adalah panggilan yang diberikan oleh anak-anak buah kepada Ferdinand. Karena dia bukan saja sosok pemimpin yang baik, yang ngasih saudara-saudara sedaerahnya kerjaan yang jujur dan bersih, tapi juga jadi teladan yang jempolan dengan kompas moral yang mantap di ranah pekerjaan mereka. Sebagai agen sekuriti, Kaka Boss dan bawahannya memang ngehandle kerjaan yang menyerempet dunia malam dan baku hantam; mereka harus provide tenaga di antaranya buat jadi bouncer, bodyguard, ataupun jadi debt-collector. Perawakan sepertinya memang jadi modal lahiriah mereka di bidang kerjaan ini, tapi karena kerjaan itu jugalah, banyak orang yang menganggap Kaka Boss dan teman-temannya sebagai preman. Mereka dikira gangster tukang palak, tukang pukul. Anak Kaka Boss, si Angel yang masih SMA, aja sampai malu sama bapaknya. Kaka Boss yang tiap hari mengantar ke sekolah itu tidak diperbolehkan turun dari mobil. Nanti teman-teman pada takut, alasan putri semata wayangnya tersebut. Sekarang, Kaka Boss percaya satu-satunya cara supaya Angel bangga sama dirinya adalah dengan nyari kerjaan baru. Dia mutusin buat jadi penyanyi. Bikin album. Nampil di acara sekolah Angel. Masalahnya, untuk urusan  dunia tarik-suara, Kaka Boss tidak punya modal lahiriah.

Alias suaranya lebih fals daripada suara Giant di Doraemon

 

Seorang ayah yang cuma pengen bikin anaknya bangga, tapi anaknya malu sama pekerjaan dirinya. Itu premis drama yang jadi hati film ini. Membuatku teringat sama film Jepang tentang drama pegulat, My Dad is a Heel Wrestler (2019). Di film itu dibahas gimana seorang anak SD merasa malu karena ayahnya bukan pegulat juara, melainkan justru antagonis dari bintang gulat saat itu. Ayahnya adalah Topeng Kecoa yang licik, curang, penakut. Pokoknya tidak heroik, tidak bisa dia banggain kepada teman-teman sekelas. Haru deh ketika kita melihat sikap anaknya tersebut sebagai kontras dari perjuangan si ayah untuk bikin dia bangga. Karena menjadi orang jahat dan dibenci penonton itulah yang jadi kerjaannya, dia harus melakukan yang terbaik sebagai seorang pecundang di atas ring. Angel dan Ferdinand pada film Kaka Boss ini punya dinamika serupa. Kita juga akan dibikin haru karena kita tahu Kaka Boss bukan preman, dia justru sangat cakap dan jujur dalam kerjaannya. Hanya ya soal kerjaannya itu saja yang menuntutnya harus tegas, perawakannya saja yang bikin dia tampak galak, nada bicara alaminya saja yang bikin dia kayak ngajak berantem terus. Godfred Orindeod dan Glory Hillary – sebagai Kaka Boss dan Angel – tampak genuine dan play off their on-screen dynamic very well, sehingga kita tersedot untuk peduli. Kita ikut merasakan downnya Kaka Boss ketika dia merasa gagal dan ‘mati langkah’, ketika dia sadar dia gak bisa nyanyi. Kita pengen dia berhasil bikin bangga Angel. Tapi kita juga dibuat mengerti ama tuntutan Angel dan kita pengen dia tahu gimana kerjaan ayahnya yang sebenarnya. Film menggali sudut pandang Angel dengan cukup maksimal, yang mengarah kepada penyadaran dirinya. Dan yang aku suka dari perspektif Angel ini adalah bahwa film ngasih lihat kepadanya bahwa ‘buah jatuh gak jauh dari pohonnya’. Angel punya ‘bakat’ ngeboss yang sama dengan ayahnya hihihi…

Kayaknya memang sudah lumrah bagi anak-anak untuk merasa malu dengan orangtua mereka, akan ada satu masa ketika anak mengganggap apapun yang dilakukan orangtuanya sebagai hal yang memalukan. Bahkan diajak ngobrol sama ayah atau ibu di depan orang ramai pun bisa jadi hal yang memalukan bagi seorang anak. Dan itu penyebabnya apalagi kalo bukan adalah hal yang lumrah juga bagi orangtua untuk merasa dirinya harus jadi panutan dan jadi kebanggaan bagi anak mereka. Orangtua forcing themselves to do that, ngerasa harus perlu membuktikannya sepanjang waktu, dan itulah yang membuat interaksi jadi awkward – dan tampak malu-maluin bagi si anak.

 

Sayangnya, Kaka Boss kurang maksimal dalam pengembangan perspektif karakter titularnya. Karakter Kaka Boss dibuat harus mengalah sama satu premis lagi yang dipunya cerita. Yaitu premis komedi. Dan film, di pertengahan, memang jadi condong mengeksplorasi ini saja. “Orang yang pengen jadi penyanyi, tapi gak sadar suaranya enggak bagus.” Dan premis komedi ini ditimpakan kepada karakter lain; si produser musik (diperankan oleh Ernest Prakasa) yang dimintai tolong mengorbitkan Kaka Boss sebagai penyanyi. Bagaimana memberitahu seseorang bahwa dia not good at doing something, apalagi kalo si orang itu menakutkan dan punya kemampuan untuk menggamparmu habis-habisan? Di pertengahan, film malah fokus di sini. Stakenya seolah dipindah ke si produser yang harus mempertaruhkan banyak untuk mencari cara gimana caranya bikin suara nyanyian Kaka Boss enak didengar. Yang action ya dia, dan orang-orang sekitar Kaka Boss yang sepakat merahasiakan soal suara jeleknya Kaka Boss karena gak ada yang berani jujur to his face. Sementara Kaka Boss, yang semestinya adalah karakter utama, dibiarkan dalam ketidaktahuannya, ditreat semacam bom waktu yang bisa meledak marah kalo produser gagal bikinin album atau mereka ketahuan bohong bilang suaranya bagus.

Padahal film sebenarnya masih bisa membuat premis komedi ini bergerak untuk development Kaka Boss. Contohnya kayak yang dilakukan oleh film Popstar: Never Stop Never Stopping (2016). Di film itu Andy Samberg jadi penyanyi idola remaja yang songong, dan dia gak nyadar penjualan albumnya merosot karena lagu-lagunya ciptaannya itu jelek semua. Dia gak sadar dia gak berbakat nyiptain lagu karena semua orang, mulai dari manager, groupie, hingga kru teknisnya pada ‘yes man’ semua. Ngangguk-ngangguk bagus doang ketika dimintain pendapat. Gak pernah ada yang berani ataupun peduli untuk ngasih kritik. Nah film itu tetap menempatkan karakter Andy sebagai perspektif utama karena dia yang perlahan menyadari sikap orang sekitarnya, yang leads kepada dia menyadari kesalahan-kesalahannya dalam bersikap sehingga semua orang di sekitarnya jadi ‘fake’ dan gak berani jujur padanya. Development dia menjadi lebih baik itu ada. Sedangkan pada Kaka Boss, hampir tidak ada ruang dan waktu untuk si Kaka Boss punya development. Karena perspektifnya berpindah, dan si Kaka Boss ini sendiri sudah sedemikian baik dan mulia – against his stereotype – sedari awal. Hanya putrinya saja yang belum menyadari betapa baiknya ayahnya.

Low key pengen bilang berani kritik itu penting!

 

Memang saat nonton aku ngerasa aneh sama naskahnya. Kirain Kaka Boss mau ganti kerjaan dan milih jadi penyanyi itu cuma sekuen ‘langkah pertama’ doang. Kirain abis itu dia gagal, dan nyoba kerjaan lain tapi gagal juga, until he realize bukan kerjaannya yang sebenarnya perlu dia ganti. Tapi ternyata film ini memang stay di pindah kerjaan jadi penyanyi tersebut. Ini membuatku kembali menengok ke film My Dad is a Heel Wrestler tadi untuk membandingkan bagaimana kedua film ini mencapai resolusi anaknya jadi bangga dengan ayahnya, no matter apapun pekerjaannya. Film tersebut berakhir dengan si anak nonton pertandingan ayahnya, dan untuk menunjukkan si anak kini sudah mengerti dan bangga kepada ayahnya, si anak berdiri dan ikut mencaci maki ayahnya yang lagi bertanding curang di ring. Temannya ampe bertanya “Kenapa kau meneriaki ayahmu seperti itu?” Si anak dengan tenang dan ekspresinya bangga banget menjawab “Karena itu kerjaan ayahku”. Film tersebut ngasih penyelesaian yang benar-benar tertutur manis, respek terhadap karakter dan juga kerjaannya karena pekerjaan itu adalah bagian dari karakternya. Sementara Kaka Boss, berakhir dengan nunjukin si produser somehow berhasil menemukan cara bernyanyi yang cocok untuk si Kaka Boss, sehingga bisa tetap nampil, sementara Angel sendiri  sebenarnya sudah berdamai dengan rasa malunya, dan dia sudah menghargai ayahnya, sebelum performance tersebut. Jadi gak benar-benar terasa klop. Performance itu jadi gak urgen (walaupun aku sendiri suka banget dengan penampilannya karena film nampilinnya benar-benar seperti penampilan musik untuk film) ‘Pindah kerjaannya’ itu jadi kayak hiasan, alasan kenapa alternatifnya ke ‘jadi penyanyi’ juga tidak kuat dilandaskan. Toh Angel tidak dibangun sebagai karakter yang suka musik atau semacamnya.

Aku berpikir mungkin film memindahkan kerjaan dari agen sekuriti ke penyanyi dan stay mengeksplorasi dunia nyanyi ini karena agen sekuriti yang semua pekerjanya orang Timur itu not a real job. Sehingga film ini gak tahu harus ngangkat apa lagi dari sana. Beda dengan kerjaan heel wrestler di film Jepang tadi. Gulat memang bohongan alias hasil tandingnya sudah diatur, tapi kerjaannya itu asli. Beneran ada pegulat yang khusus untuk meranin karakter curang dan dibenci orang banyak, supaya mengangkat karakter baiknya untuk jadi hero. Drama film tersebut jadi tetap terasa real, genuine. Film Kaka Boss kehilangan pijakan ketika memutuskan pindah tanpa alasan yang kuat. Bahasan prejudice terhadap stereotype-nya pun jadi tidak lagi terasa real, dan lebih kayak diadain buat lucu-lucuan aja ketimbang genuine concern karena karakter utamanya tidak berjuang di sana sebagai pamungkas cerita. Film ini seperti kejebak sendiri di stereotype, dan kurang maksimal jadi genuine drama menyentuh hati sambil menghibur dan mematahkan prasangka karena kurang maksimal dalam karakterisasi. Gak kayak sodara se-PHnya, Agak Laen (2024). Film tersebut thrive more than representasi, ceritanya kena dan lebih konek universally karena kita tidak melihat karakternya sebagai orang batak yang susah dapat kerjaan karena dianggap preman, melainkan sebagai mantan napi- sebagai orang yang pernah melakukan kesalahan yang cukup besar sehingga mereka susah dapat kerjaan lain.

 




Berangkat dari apa yang sepertinya sebuah genuine concerns terhadap stereotype orang Timur dan hubungan parenting ayah terhadap anaknya, film ini menggodok premis drama dan premis komedi ke dalam cerita. Sayangnya kedua premis tersebut belum tergabung dengan maksimal. Walau film ini masih bisa bikin kita haru dari hubungan karakter Kaka Boss dengan putri yang malu sama kerjaannya, tapi premis komedi kayak lebih mengtake over. Dan membuat cerita jadi pindah perspektif dan malah membahas lucu-lucuan soal Kaka Boss gak bisa nyanyi tapi gak ada yang berani bilang. Akibatnya karakterisasi menjadi lemah, dan berdampak kepada film ini jadi berakhir jadi cuma sebatas feel good moment tanpa benar-benar punya something to say terhadap concerns yang diangkat karena ditutup manis dengan penyadaran yang kurang klop development atau journeynya. Kalo film adalah ‘anak’ dan sutradara adalah ‘orang tua’, film ini memang belum sempurna, tapi paling tidak, enggak begitu malu-maluin karena masih punya momen-momen yang lucu dan haru di sana-sini.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for KAKA BOSS

 

 




That’s all we have for now.

Ada gak sih kelakuan ortu yang pernah bikin kalian malu?

Share cerita kalian di komen yaa

Yang pengen punya kaos film lebaran Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

 

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



ALIEN: ROMULUS Review

 

“No one wants to be the one left behind”

 

 

Franchise film yang udah bertahan lama seperti Alien-nya Ridley Scott kerap diuji resiliensinya. Kudu bisa ngikutin perkembangan. Jangan sampai genre-nya stuk di situ melulu. Sementara juga harus tetap bisa memuaskan penggemar lama. Ini membuat si film ada di posisi sulit. Kayak waktu franchise ini try to dig deeper, dengan bahasan filosofis tentang creation atau penciptaan. Prometheus dan Alien: Covenant jadinya malah dinilai aneh, berat, terlalu ‘jauh’ mainnya. Gak semua fans appreciated it. Padahal secara kualitas, filmnya enggak ‘sejelek’ itu. Dunia alias role franchise Alien justru diperluas oleh mereka. Mungkin karena itu makanya Fede Alvarez membuat Alien: Romulus kali ini kembali ke akar horornya. Langkahnya itu bukan tanpa kontra. By the time aku bikin review ini, Romulus pun tetap dapat mixed reaction. Utamanya, penonton bilang film ini terlalu mirip ama Alien yang sudah-sudah. Padahal menurutku, sebenarnya Alvarez pengen ngasih sesuatu yang baru loh. Dia kayak pengen bikin gabungan dari elemen horor-remaja yang sudah ia tahu, dengan lore Alien yang kita semua kenal. Dia pengen nyiptain hybrid baru untuk franchise ini. And oh boy, dia memang literally ngasih monster hybrid baru di film ini!

Alvarez berusaha membawa ‘kesegaran’ dengan membuat cerita dari grup anak-anak muda. As opposed to grup pekerja ataupun grup ilmuwan dalam film-film Alien sebelumnya. Ini menarik karena musuh ‘sesungguhnya’ tetap sama. Corporation yang lebih memprioritaskan alien berbahaya ketimbang manusia itu sendiri. Jadi ceritanya, Rain dan saudaranya, Andy yang hobi becanda garing, ditolak untuk pindah dari settlement pertambangan tempat mereka sekarang. Dua anak muda ini pengen pindah, gak muluk, mereka cuma mau ke tempat yang bisa melihat matahari. Beruntung ada satu kesempatan lagi. Di orbit sana, ada stasiun luar angkasa yang tampaknya telah ditinggalkan. Rain dan Andy, bergabung dengan teman-teman yang menemukan stasiun tersebut; mereka sepakat untuk menggunakan stasiun itu untuk cabut ke planet koloni lain. Alien: Romulus menjadi horor survival begitu Rain dan teman-teman tiba di stasiun luar angkasa yang bernama Romulus dan Remus, dan soon mereka sadar ada alasannya kenapa tempat itu kosong. Romulus basically adalah tempat perusahaan Weyland-Yutani ternak Facehuggers untuk melahirkan Xenomorph, the ultimate life-form!

Hybrid horor-remaja dengan alien dad jokes!

 

Di tangan dingin Alvarez, stasiun luar angkasa tersebut jadi set-pieces horor yang bukan hanya super-deadly, tapi juga jadi kayak maze dalam video game petualangan horor. Beberapa adegan dengan alien-alien itu memang tampak sebagai referensi kepada adegan-adegan ikonik franchise ini, kayak alien meledak keluar dari dalam tubuh orang, atau terkurung di ruangan sempit bersama Facehugger yang bisa melompat ke wajahmu dari mana saja, atau bahkan shot-shotnya sengaja dibuat mirip dengan yang dulu-dulu. Ini makanya sebagian penonton pada bilang film ini terlalu banyak ‘reka ulang-adegan’. Alvarez memang did that, tapi paling enggak dia melakukannya dengan volume horor maksimal. ‘More is more’, prinsip itu kayaknya yang dia pegang dalam nanganin ini.  Jadinya memang Alien: Romulus ini seru, survivalnya simpel; ada ruangan dengan banyak alien, dan karakter harus survive menyeberangi ruangan tersebut. Berbagai challenge dia kasih untuk karakternya. Ada yang ingetin kita sama horor Alvarez terdahulu, yaitu Don’t Breathe (2016). Rain dan company kudu nyari jalan keluar dengan diam-diam tanpa bersuara, karena Facehuggers actually buta. Action horor set piece terbaik yang dipunya film ini hadir pada beberapa adegan setelahnya. Ketika Rain dengan peluru (dan kemampuan menembak) terbatas harus melumpuhkan sejumlah Xenomorph dan dia menggunakan informasi tentang darah Xenomorph yang bersifat asam dan sistem gravitasi di pesawat itu untuk membalikkan situasi menjadi menguntungkan. Selain taktik yang jenius, adegannya juga tertranslasi sebagai visual yang sangat ciamik ke layar. Ngasih momen survival yang intense yang benar-benar fresh.

Orang sering bilang jaman sekarang sudah gak ada lagi yang original, semua sudah direcycle sedemikian rupa. Semuanya jadi saling mereferensikan, apalagi tentu kita semua berkarya karena terinspirasi oleh orang lain dan we have to pay that respect. Aku antara setuju dan tidak-setuju dengan pernyataan tersebut. Mungkin memang dari sekian banyak film, buku, dan media storytelling lain sedari dulu, sudah tidak ada lagi cerita yang benar-benar baru. Tapinya lagi menurutku, originalitas atau kebaruan itu bukan exactly datang dari tema atau tentang apanya. Melainkan dari sudut pandang yang diangkat. Satu film bisa membahas tentang hal yang sama, misalnya sama-sama tentang spaceship berisi alien yang meneror awaknya, tapi cerita tersebut akan jadi berbeda jika diangkat dari dua sudut yang berbeda.

Rain memang cetakannya sama dengan Alien’s Ripley. Sama-sama cewek yang jadi jagoan saat keadaan memaksa. Teman-teman Rain, cetakannya memang serupa dengan ala karakter horor-remaja. Ada yang sok keren tapi ternyata cupu/penakut, ada yang teriak-teriak annoying ngelakuin tindakan bego. Tapi  yang bikin film ini lebih hidup dan less kayak cetakan-pabrik adalah sudut pandang dua tokoh sentral. Rain dan saudaranya, Andy. Dinamika mereka mengangkat film, jadi hati yang bikin film ini jadi grounded dan menarik untuk disimak, lebih dari survival alien dari lensa horor maksimal (again, aku masih kebayang-bayang wujud dan jumpscare terakhir dari Xenomoprh hybrid ciptaan film ini!) Aku suka cara film ngehandle relasi Rain dan Andy sebagai sajian utama, tapi tidak menghambat pace horornya, ataupun bikin film jadi terbebani oleh bobot mereka. Aku suka gimana film work around their story, sehingga masuk ke dalam cetakan dan lore dunia franchise Alien itu sendiri. Hubungan mereka juga tergambar dalam judulnya, karena Romulus juga refer kepada dua saudara dalam mitologi -Remus dan Romulus, yang dibesarkan oleh serigala, dan nanti Romulus harus membunuh Remus; in a sense, harus meninggalkannya. Jadi, Andy bukan saudara Rain beneran, melainkan android atau makhluk-sintetik yang udah dianggap saudara oleh Rain. Robot yang diprogram untuk melakukan apapun asal Rain senang. Ini berbuah konflik dramatis tatkala tempat baru yang ingin mereka tuju tidak memperbolehkan android, sehingga Rain terpaksa harus meninggalkan Andy nantinya. Sedih? tentu saja. Lalu masalah semakin pelik tatkala kejadian di station membuat Andy tanpa sengaja terprogram ulang, dan kini misi utamanya jadi sama dengan android jahat di pesawat, yakni mengutamakan kepentingan perusahaan. Yang berarti bagi Andy kini keselamatan Rain dan teman-teman sudah bukan prioritasnya lagi.

Andy jadi jahat begitu jadi budak-korporat

 

Momen paling nyess datang ketika Rain marah ke Andy yang menutup pintu sehingga hampir membuat temannya tertinggal di ruangan penuh Facehugger. But as soon as dia protes soal jangan ninggalin teman, kita bisa melihat realisasi menjejak di air mukanya; bahwa dia sendiri was about to do the same ke Andy yang tadinya akan ia tinggalkan di pesawat. Ini semacam momen pembalikan yang menohok, dan meskipun saat itu kita tau Andy udah keprogram ‘jahat’, feelingnya tetap kena. Karena kita bisa ngerasakan Rain dan Andy udah kayak sodara beneran. Jangankan sodara, gak ada orang yang mau ditinggalkan. 

 

Sekaligus, itu juga adalah testament dari betapa kerennya penampilan akting mereka. Cailee Spaeny, always mencuri hati. Dia buktiin betapa versatilenya penampilan aktingnya. Di sini sebagai Rain, dia jadi cewek jagoan, yang harus survive monster mengerikan sementara juga memendam banyak perasaan. Dia believable sebagai tough girl, padahal mukanya tipikal anak baik-baik, gitu. Like, Shailene Woodley jadi polisi di To Catch a Killer tahun lalu aja aku masih belum sold out sepenuhnya. Tapi Cailee, maann. Serunya, banyak penonton barat sono yang menilai dari penampilan dia di sini, nganggap Cailee lebih cocok jadi Ellie di serial The Last of Us. Terus si David Jonsson; nama itu belum pernah aku dengar sebelumnya, tapi setelah melihat dia sebagai Andy di sini, aku berharap bakal lebih sering mendengar namanya lagi di film-film ke depan. Karena yang diachieve-nya di film ini bukan sesuatu yang gampang. Dia ngasih penampilan yang emosional, sebagai android yang supposedly datar! Kita bisa percaya bahwa ada something more pada android ini, bahwa mungkin saja dia yang lebih mendekati sosok makhluk sempurna yang dicari korporat itu.

Dan mungkin film memang mengeset mereka berdua untuk sesuatu yang lebih besar. Sekuel maybe? Karena – dan sayangnya ini juga jadi poin kelemahan film ini buatku –  bahasan konflik Rain dan Andy terasa selesai early, lalu film pindah fokus ke survival lagi (final battle dengan si makhluk hybrid, resep natural mimpi buruk malam ini), sementara permasalahan sebenarnya soal gimana mereka di tempat baru yang tidak menerima android itu seperti sengaja disimpan untuk berikutnya. Karena gak ada development yang benar-benar ‘drastis’ dari dinamika Rain dan Andy, kecuali satu-dua momen yang nunjukin mereka berubah menjadi lebih baik. Tapi secara garis besar, mereka seperti kembali ke posisi semula dalam plot cerita. Menurutku film ini berkembang ke arah yang sedikit berbeda dari masalah yang diangkat di awal. Aku terhibur film ini ngasih horor survival maksimal, tapi mungkin arahan ke sini baiknya bisa lebih ditegaskan lagi pada menit-menit set up yang masih dominan seolah ini cerita tentang Rain dan Andy bersama ke tempat yang baru.

Satu lagi arahan yang menurutku agak jadi bumerang adalah soal praktikal efek dan CGI. Alien: Romulus, just like any great horror, mengutamakan kepada praktikal efek – dan ini bagus, kreatif. Tapi tentu saja penggunaan CGI sebagai enchancement masih diperlukan – dan ini kita maklum. But still. sama seperti ceritanya sendiri yang tentang korporat dengan keputusan yang bikin kita angkat alis perkara ethical kemanusiaan, film ini pun mengangkat pertanyaan etis yang sama. Karena film menggunakan CGI untuk membuat ada karakter android dengan wajah Ian Holm – aktor yang telah meninggal, yang di film Alien pertama berperan sebagai android korporat yang basically ‘sifatnya’ sama dengan android korporat di film ini. Tentu saja ini bikin kita bertanya, seberapa besar kepentingan si android ini wajahnya harus sama? Toh ada android model lain sepanjang universe franchise Alien. Bagaimana pendapat kalian tentang ini? Apakah yang dilakukan film bisa justified dalam konteks film ataupun apabila mungkin telah mendapat persetujuan dari pihak keluarga Holm? Silakan share di komen yaa

 

 




Secara timeline, film ini sebenarnya bisa dibilang sebagai sekuel langsung dari Alien original.  Referensi dan elemen yang menyambungnya pun disebar oleh film ini. Beat-beat cerita dan adegannya mirip dengan Alien yang sudah-sudah, cuma memang kali ini arahannya ada dalam lensa horor maksimal. Membuat film ini worked out greatly sebagai hiburan yang menegangkan. Karakternya kini dalam perspektif anak muda, dan yang dititikberatkan oleh film sebagai tema adalah soal keluarga tidak saling meninggalkan. Center dinamika antara Rain dan ‘saudaranya’, Andy, jadi hati yang mengelevate dan pada fungsinya, mendaratkan, cerita. Yang bikin dia jadi lebih dari sekadar tontonan yang mirip ama Alien yang sudah-sudah. Menurutku harusnya film bisa ngasih bahasan yang lebih dramatis lagi terkait konklusi mereka berdua, alih-alih seolah selesai tapi sebenarnya lebih mirip di’damai’kan dulu gitu aja, karena mungkin mau ada sekuelnya.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for ALIEN: ROMULUS

 

 




That’s all we have for now.

Yang pengen punya kaos film lebaran Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

 

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



TRAP Review

 

“We are never trapped by where we are, the trap is always who we are”

 

 

Trap, thriller terbaru M. Night Shyamalan, berhasil memberikan apa yang aku harapkan – namun ternyata tidak kudapat – ketika nonton In a Violent Nature (2024) kemaren. Perspektif yang menyeluruh dari seorang serial-killer. Bukan hanya itu, film ini juga terasa fresh dengan sudut pandang yang diangkat tersebut. Memang, film yang mengambil cerita dari sudut pandang psikopat pembunuh bukan barang yang langka. Sebut saja mulai dari Henry: Portrait of a Serial Killer (1986) ke The House That Jack Built (2018), dari American Psycho (2000) hingga ke In a Violent Nature tadi, dari yang pembunuhnya charming sampai ke yang monster gak-bisa mati, pengalaman mengerikan masuk ke pikiran ‘orang gila’ yang bermacam-macam itu sudah pernah kita rasakan (ampe ketagihan!) Hanya semuanya relatif sama. Kita melihat mereka sebagai pembunuh. They might jalanin kerjaan lain sebagai kedok, tapi most of the time, cerita akan berpusat kepada saat aksi utama mereka yakni membunuhi orang. Trap berbeda, karena kita tidak melihat si serial killer saat actually sedang ‘dinas’. Melainkan cerita khusus menyorot ketika dia sedang berusaha menjadi kepala keluarga yang baik. Like, membawa putrinya nonton konser. Shyamalan dikenal karena twist pada film-filmnya; dia selalu took risks dengan ‘mematahkan’ filmnya menjadi something else, sampai-sampai banyak filmnya yang jatohnya antara tidak dimengerti atau salah dimengerti oleh penonton. Trap, sepertinya bakal jadi satu lagi film Shyamalan yang easily di-misunderstood. Banyak penonton yang gak puas dan menganggap film tentang ayah-anak ini sendirinya adalah jebakan yang dipasang Shyamalan supaya kita nonton konser putrinya.

Cooper dan putrinya yang masih 12 tahun, Riley, was about to have a great ‘father-daughter day’ di konser Lady Raven. Penyanyi yang lagi hits banget terutama di kalangan remaja dan anak-anak muda. Cooper berhasil dapetin floor ticket, di row yang lumayan deket juga dari panggung. Tapi sedari masuk tadi, Cooper notice stadion konser ini dijaga oleh banyak sekali sekuriti. Dengan persenjataan lengkap pula. Oalah, ternyata mereka FBI! Kabarnya, mereka ada di sana karena tahu bahwa di antara tiga-puluh-ribu penonton konser itu ada satu serial killer most wanted – The Butcher – yang juga hadir. Konser musik ini dijadikan perangkap buat si The Butcher. Film mereveal twistnya dengan sangat dini, karena si serial killer tidak lain tidak bukan adalah Cooper, ayah yang sayang banget ama pada putrinya, pemadam kebakaran yang simpatik. pria baik hati yang bisa diandalkan all around. Ini ternyata bukan cerita tentang ayah-anak yang terjebak di tengah-tengah kucing-kucingan pembunuh dengan FBI, melainkan cerita tentang pembunuh yang harus mikirin cara keluar dari stadion yang dijaga ketat, sementara juga naluri banditnya itu berkonflik dengan keinginannya satu lagi sebagai seorang ayah; dia pengen Riley yang lagi dikucilin teman-teman segeng itu tetap have fun di konser.

Aku kinda relate, karena pas nonton WWE live dulu fokusku malah jelalatan cari cara menyelinap ke backstage hihi

 

Bisa dilihat konsep cerita Trap ini benar-benar brilian kenekatannya. Biasanya, pada film antihero atau yang bahkan protagonisnya penjahat yang journey ceritanya paling degradasi moral sekalipun,  simpati itu akan terus dipantik dari si karakter. Tujuannya adalah kita sebagai penonton merasakan dramatic irony dari ‘kejatuhan’ si karakter menjadi seorang penjahat. Meskipun tujuannya menyimpang, tapi kita masih peduli karena kita paham apa yang membuat dia seperti itu. Itulah kenapa namanya protagonis; karakter yang ingin sesuatu dan kita get behind them regardless kita setuju atau tidak terhadap pilihannya. Tapi Trap ini sebaliknya. Shyamalan membuat Cooper ini sebagai.. apa ya, kita karang aja istilahnya; Anti-protagonis, mungkin. Cooper berangkat dari karakter simpatik, lalu diungkap dia orang jahat, dan film akan terus mendevelop dirinya menjadi semakin unlikeable hingga cerita usai. Ini dibilang salah, ya salah karena gak sesuai aturan. Tapi dibilang jelek, ya enggak juga, karena desain konsep ini brilian dan bukan perkara mudah untuk dilakukan. Bagaimana membuat karakter yang sedari awal sudah diungkap sebagai pembunuh, tapi kita tetap sempat peduli dia selamat?

Film mencapai ini pertama dari kekuatan akting Josh Hartnett sebagai Cooper. Aktingnya di sini sangat intriguing, sehingga kita tertarik. Ada momen ketika kita percaya dia beneran peduli sama Riley. Ada momen ketika kita bisa melihat jurus ‘menarik simpati ala serial killer’nya keluar untuk membohongi orang-orang demi mendapat informasi – bahkan kepada Riley. Ada momen ketika dia beneran panik dan pikirannya berkecamuk nyari jalan keluar. Ada momen ketika dia kontemplasi dengan traumanya sendiri. Masing-masing momen ini hidup oleh permainan ekspresi. Film juga mastiin buat semua ekspresi itu tertangkap, karena akan banyak sekali shot yang close up wajah Cooper. Kesannya mungkin bisa tampak unnatural (apalagi pas Cooper matanya kosong tapi senyumnya ngembang), tapi kita harus ingat yang berusaha ditangkap kamera adalah psyche seorang serial killer yang punya trauma sendiri, yang sendirinya bergulat dengan dua ‘dunia’, dengan dua kebutuhan.

Kedua, dan ini yang paling penting supaya kita di awal peduli, adalah dari hubungan Cooper dengan Riley. Dunia yang lebih relatable; ayah dan anak di tempat konser. Film ngerti betapa krusial bagian ini, maka M. Night Shyamalan arahannya jor-joran banget di first-half ini.  Ariel Donoghue natural banget jadi anak seusia Riley yang starstruck lihat idolanya nampil, yang benar-benar menikmati hari yang spesial dalam hidupnya. Dramatic irony yang membuat kita peduli sama Cooper, dipancing film dari sini. We don’t want Cooper gagal supaya hari Riley gak rusak, tapi juga kita tahu hari itu gak akan berakhir baik buat Riley. Lalu, experience nonton konser itu sendiri. Gak salah juga kalo penonton pada julid film ini akal-akalan sutradara buat ngasih panggung putrinya sendiri yang memang penyanyi (Saleka Shyamalan berperan jadi Lady Raven, dan dia beneran ‘manggung’ ampe bikin album buat ngisi film ini). Pak Sutradara ngisi konser itu dengan crowd beneran, kesibukan kru panggung, isi stadion, hingga pagelaran konsernya, suasananya terasa otentik. Beneran hidup. Dan jadi kontras yang kuat ketika ada petugas bersenjata yang merazia penonton secara giliran. ‘Mengganggu’ mereka dari aktivitas nonton konser. Keseluruhan experience di paruh-pertama ini rasanya imersif banget. Kita ngenalin euforia dan serunya di sana, kita gak mau Riley terampas oleh pengalaman tersebut, so naturally kita jadi peduli sama keberhasilan ayahnya walaupun kita tahu ayahnya orang jahat. At least, biarkan Riley dapat momen dulu. Dan film memang ngasih dengan selera humor tersendiri.

Lalu diambillah resiko berikutnya. Paruh-kedua yang normalnya dimulai dengan sekuen ‘taktik baru’, oleh naskah ini dimaknainya sebagai literally kayak different movie. Belokin cerita kayak ampe patah-dua ini kelebihan sekaligus kekurangan M. Night Shayamalan. Bisa bikin filmnya seru, unpredictable, tapi semua kenekatan itu tetap bergantung kepada storytellingnya. Skala cerita diperbesar. Seluruh kota seolah jadi tempat yang memerangkap Cooper. Sedangkan untuk Cooper sendiri, ‘baru’ baginya sayangnya adalah kali ini dia jadi lebih banyak bereaksi. Inilah kenapa banyak yang bilang babak ketiganya aneh. Karena mendadak cerita malah bergerak karena aksi-aksi si Lady Raven. Dia jadi kayak hero di bagian ini. Sebenarnya kalo dari desain, ini masih kelihatan ada alasan dan kepentingannya dengan tema. Bagi serial killer yang lagi di dunia seorang ayah, Cooper tentu familiar soal apa yang ditampilkan supaya orang melihat kita sebagai apa yang kita mau. Dan ketika Lady Raven mendadak punya rencana sendiri, ini caught Cooper off guard. Dia gak sadar seleb yang tampaknya gak bisa apa-apa, ternyata bisa punya persona yang berbeda di luar panggung (apalagi di backstage dia ngeliat rapper yang cuma bisa songong minta ini itu). Bisa punya kemampuan lain, bisa punya ‘power’ dari follower. Cuma, karena ujug-ujug Lady Raven jadi hero tanpa benar-benar ada build up, naturally kita sebagai penonton gak bisa get behind her. Tindakannya malah dianggap bego, dan lebih terasa kayak manjang-manjangin cerita.

Give new meaning to a “Parent Trap”

 

I do feel film ini bingung mau narok akhiran di mana. Stakenya padahal udah dibikin mengerucut, dibikin lebih personal. Ini juga sekaligus cara film mengembalikan kendali kepada Cooper sebagai protagonis. Bahwa pilihan ultimate bagi dia adalah memilih kehidupan mana yang ia jalani. Dia gak harus jadi serial killer. Hanya saja Cooper merasa terjebak di mana-mana. Modus operandi Cooper sebagai serial killer adalah dia memilih orang-orang yang ia anggap ‘utuh’ untuk jadi korban. Karena dia pengen liatin bahwa gak ada yang utuh di dunia ini. Bahwa seperti dirinya, semua orang adalah kepingan-kepingan. Backstory Cooper diungkap dengan subtil di balik gumaman kecil dan perilaku OCDnya (betul-betulin letak barang yang miring). Jadi film membuat Cooper harus berkonfrontasi dengan kepingan-kepingan hidupnya. Dengan istrinya. Dengan bayangan ibunya. Ini yang bikin film jadi seolah gak beres-beres. Film harusnya bisa lebih mempertegas mana yang beneran ‘konflik utama’ bagi Cooper. Ketika di awal seperti dibuild up, Cooper seperti menganggap ibu tua FBI sebagai antagonis utamanya, mestinya ini saja yang dijadikan fokus untuk penyelesaian cerita. Film harusnya bisa lebih menggodok segala ‘pieces’ konflik Cooper dan madatin babak ketiga ceritanya.

Terlepas dari bagaimana hal tampak bagi kita, kita sesungguhnya tidak pernah terjebak oleh tempat kita berada. Perangkap itu sebenarnya selalu soal siapa kita. Dengan membiarkan diri torn to pieces, kita memerangkap diri sendiri. Cooper merasa trauma membuat dia harus menjalani dua hidup, sebagai serial killer dan sebagai ayah, akibatnya dia terjebak di antara dua ‘dunia’ tersebut. Tidak pernah punya kekuatan untuk mengonfrontasi siapa dirinya, masalahnya, yang sebenarnya. Padahal lihat saja Exodia di kartu Yugioh, kalo lima anggota badannya terkumpul, kekuatannya jadi infinity hihihi

 

 




Sori, karena judulnya, dan bicara soal pieces, aku jadi gak tahan buat nyama-nyamain ama Yugioh. Tapi itu  tandanya film ini sukses menghibur. Dan aku memang beneran suka kok. Aku suka suasana di konser, experiencenya kerasa banget dan film feels genuinely life dan epic. Aku suka nekatnya M. Night Shyamalan bikin konsep ampe jadi kayak anti-protagonis.  Aku suka sudut pandang yang diangkat, serial killer bukan exactly soal dia membunuh orang dengan sadis, tapi soal dia takut ketahuan karena sumpah mati dia pengen banget berhasil membangun keluarga. Bahkan patahan ceritanya bisa kita apresiasi, karena masih bergerak dalam konteks perspektif dan backstory si karakter. Meskipun memang paruh kedua itu mestinya bisa digarap dengan lebih baik lagi. dengan lebih mulus lagi. Terutama di kejadian-kejadian, biar less kayak ‘naskah maunya begitu’ dan more kayak keputusan natural karakter di saat darurat. 
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for TRAP.

 

 




That’s all we have for now.

Film ini could get unintentionally funny. Buat kalian, bagian mana yang paling lucu dari film ini? 

Silakan share di Komen yaa

Yang pengen punya kaos film lebaran Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

 

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL

 



MINI REVIEW VOLUME 20 (FURIOSA: A MAD MAX SAGA, IN A VIOLENT NATURE, PEMANDI JENAZAH, DESPICABLE ME 4, LOVE LIES BLEEDING, THE BIKERIDERS, SPACE CADET, KINGDOM OF THE PLANET OF THE APES)

 

 

Keeping up with new movies pada masa-masa liburan kian makin jadi tantangan buatku. Terutama jika filmnya punya durasi panjang banget. Faktornya banyak. Bisa karena mager ke bioskop, males rame. Bisa justru susah ngatur waktu karena biasanya bioskop ngasih jadwal dan sebaran filmnya kurang enak kalo ada film yang hits atau berdurasi panjang. Atau bisa juga karena filmnya malah gatayang sama sekali di bioskop tempatku liburan. Dengan alasan itulah, maka daftar ini dibuat, terutama buat ngejar ketinggalan nonton Furiosa. Let’s go.. brrrrmm.. brrrmmmm!!

 

 

DESPICABLE ME 4 Review

Setelah absen pada film ketiga tujuh tahun yang lalu, sutradara Chris Renaud kembali, seolah ingin me-reset dunia Despicable Me kepada sebuah fresh start. Karena itu juga yang terjadi kepada Gru dan keluarga kecilnya di dalam cerita film keempat ini. Musuh bebuyutan dari jaman sekolah kabur dari penjara, dendam kesumat kepada Gru, sehingga demi keamanan, mereka semua ikut semacam program perlindungan saksi; Gru sekeluarga diberikan alamat baru, serta identitas baru. And oh wait, keluarga mereka sendiri juga punya anggota baru, Gru Junior!!

Set up tersebut menanam banyak sekali permasalahan yang menarik. Gru harus berusaha jadi live up identitas barunya, yang berarti dia gak boleh jadi despicable self yang biasa – dan ini berkonflik dengan keinginannya untuk jadi suri tauladan yang baik – as in menjadi villain yang ‘baik’ kepada putranya. Karakter kesayangan kita yang lain juga dapat cerita sendiri; Margo harus mulai journey sebagai murid baru di sekolah yang baru, sementara Agnes – anak seimut itu harus berkonflik batin dengan dirinya harus ‘nyamar’ jadi identitas baru sementara dia gak mau berbohong. Sayangnya, bibit-bibit ini tidak berbuah jadi sebagaimana mestinya. Lantaran Despicable Me 4 yang menargetkan diri sebagai tontonan untuk anak-anak, memutuskan bahwa anak-anak gak mampu untuk musatkan perhatian pada… hey look, Minion! papoy, papoy, banana!!!

Look, udah film keempat – itu kalo kita gak ngitung film spin off dan lain-lainnya. Kita pahamlah, vibe film ini gimana. Rusuh, dan jualannya candaan dengan Minions. It’s okay mempertahankan itu. Tapi film ini, rusuhnya tu ekstra. Sampai-sampai semua permasalahan tadi itu melebar ke mana-mana.  Gru malah bertualang dengan anak lain, Minion tau-tau jadi parodi superhero. Aku akui, film dengan karakter yang tadinya villain, lalu ada dialog yang bilang “I’m sick of superheroes” merupakan celetukan yang cukup badass, tapi yah sebagai sebuah cerita, film ini masih belum matang. Bayangkan para Minions lagi memasak film ini di dapur. Hasilnya, dapur berantakan karena rusuh, dan masakannya sama sekali gakjadi – kalo gak mau dibilang kacau. Begitulah state film ini.

The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for DESPICABLE ME 4

 

 

 

FURIOSA: A MAD MAX SAGA Review

Chris Hemsworth bilang “Amerika punya Star Wars, Inggris punya Harry Potter. Australia punya Mad Max” Aku setuju. Mad Max memang sebesar itu pengaruhnya terhadap pop culture. Geng-geng motor, adegan kejar-kejaran kendaraan yang beringas, dunia post-apocalyptic. Mad Max bahkan menginspirasi Fist of the North Star, manga yang berkembang menjadi franchise tersendiri. Dan kini, Mad Max bakal makin gede lagi karena George Miller punya lore karakter baru di dunia wasteland tersebut. Furiosa.

Kita sudah kenalan sama cewek botak ini di Mad Max: Fury Road (2015). Sekarang, kita diajak masuk untuk truly mengenal dia sedalam-dalamnya. Kenapa Furiosa penting untuk dikenali? Karena ceritanya literally sebuah oase di tengah gurun. Membedakannya dengan galian cerita Mad Max yang lebih tentang harapan dan kepahlawanan, Furiosa dibentuk sebagai kisah yang lebih kompleks dan kelam. Cerita tentang menumbuhkan hidup dari balas dendam, dari kebencian, seperti yang diperlihatkan pada ending yang menurutku menyentuh – dalam caranya sendiri – you know, gimana Furiosa dan Dementus (antagonis yang dimainkan charismatic oleh Chris) ‘menuntaskan’ permasalahan mereka.

Film ini juga berhasil ngembangin lore dunia wasteland itu sendiri. Ketika kita menonton kejar-kejaran spektakuler dengan kendaraan perang unik di gurun pasir saja, karakter dan motivasi mereka menempel sehingga semuanya terasa berarti. Cara film ini ngasih lihat karakterisasi juga beragam dan sama well-design-nya dengan wujud mereka. Furiosa aja misalnya, karena diceritain dari dia kecil maka Anya Taylor-Joy baru akan muncul di pertengahan, tapi kita bisa merasakan journey-nya nyambung. Karakternya benar-benar terbentuk dari sana. Kita bahkan bisa dengan mulus ngoneksikan Furiosa ini dengan Furiosa dewasa di film sebelumnya. Dan kerennya lagi, dialognya minim banget. Semuanya benar-benar diserahkan kepada akting mata dan ekspresinya Anya.

The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for FURIOSA: A MAD MAX SAGA

 

 

 

IN A VIOLENT NATURE Review

Janji film ini adalah menghadirkan slasher tapi lewat perspektif pembunuhnya. Slashernya bukan dari pembunuh-serial yang biasanya charming dan punya pemikiran ideal sendiri. Tapi dari backwood ‘monster’ superhuman ala Jason Vorhees. Janji sutradara Chris Nash ini memang manis. Sebab tentu saja akan sangat menarik jika kita dibawa menyelam ke sudut pandang seperti demikian. Apa yang si monster pikirkan. Kenapa dia membunuh. Kenapa harus sadis banget. Apakah dia merasakan penyesalan. Atau ragu. Atau takut. Bagaimana dia memandang korban-korbannya. Bagaimana dia bisa menguber mereka tanpa terdeteksi, sampai semuanya sudah terlambat.

Eksekusi janji tersebut, sayangnya terhuyung-huyung. Film ini cuma deliver, maybe dua, di antara ekspektasi kita ketika mendengar ‘film dari sudut pandang pembunuh.’ Beberapa hal memang menarik. Kayak gimana si pembunuh mengarungi hutan, mendengar ada orang ngobrol lalu dia berjalan ke arah mereka. Eh ternyata mereka lagi ngegosipin dia. Kemudian dia jalan lagi, lalu membunuh mereka satu persatu dengan cara yang entertaining abis! Sesekali kita juga ‘mendengar’ memori si pembunuh terkait informasi apa motivasinya. And that’s it. Ketika diwujudkan sebagai film, janji-janji itu terlihat seperti film slasher biasa, cuma lebih boring karena most of the time habis melihat si pembunuh berjalan. Karena ini soal dia memburu manusia lemah dan bersalah, maka tidak ada suspen yang terbangun. Tidak perlu musik. Bahkan filmnya sendiri gak yakin akan konsepnya, sehingga kadang jalannya si pembunuh ‘dipercepat’ dengan editing. Film masih takut untuk terasa boring. Ketika si pembunuh masuk air, berjalan di dasar, kita gak ikut nyemplung. Film masih berpindah ke sudut pandang mangsanya. Dan ini menurutku pelanggaran janji yang paling fatal. Dalam artian film gak konsisten.

Akhiran film membuat kita benar-benar lepas dari sudut pandang si pembunuh. Totally. Pindah ke sudut pandang final girlnya. Alih-alih big chase scene, atau apa kek terkait penyelesaian si pembunuh, film malah ngasih monolog yang terdengar sok misterius dan preachy, dari karakter yang bahkan baru nongol untuk sekuen itu saja. I don;t know, man. Lain kali kalo mau bikin dari sudut pandang pembunuh, mungkin yaah, desain dululah penulisan yang bagus untuk karakternya.

The Palace of Wisdom gives 3.5 out of 10 gold stars for IN A VIOLENT NATURE

 

 

 

KINGDOM OF THE PLANET OF THE APES Review

Bersetting 300 tahun dari akhir trilogi Planet of the Apes modern, cerita yang dipunya Kingdom ini sebenarnya menarik, tapi apesnya, arahan Wes Ball dalam membuat ini sebagai set up dari trilogi yang baru membuat film ini jadi biasa aja.

Gimana gak menarik coba? Sekarang ceritanya dunia udah dikuasai oleh bangsa kera, tapi mereka terpecah-pecah karena punya interpretasi berbeda terhadap apa yang pemimpin, leluhur mereka – Caesar – mau. Ajaran Caesar buat bangsa kera, ternyata dimaknai berbeda oleh tiap golongan. Ada yang mengaku jadi penerus Caesar segala. Memerintahkan dengan tangan besi untuk semua kera tunduk kepadanya. Sementara keretakan terjadi di antara mereka, tokoh utama kita – kera bernama  Noa yang desanya diserang dan keluarganya dibawa paksa oleh kelompok kera jahat – menemukan pemahaman sendiri terhadap ajaran Caesar tentang manusia. Karena dalam perjalanannya untuk menyelamatkan kerabat, Noa bertemu dengan anak manusia bernama Mae.

Jadi setidaknya ada tiga pihak dengan konflik yang menarik jadi motor penggerak alur film ini. Sesama bangsa kera yang udah kayak cerminan gimana manusia terpecah belah karena keyakinan dan paham yang berbeda. Lalu antara kera dengan manusia, ada yang menganggap manusia harus dimusnahkan, dan ada yang percaya bahwa Caesar mengajarkan untuk hidup berdampingan dengan manusia. Ending film yang nunjukin interaksi/konfrontasi Mae (yang ternyata cerdas) dengan Noa buatku juga sangat menarik, menantang dan cocok sekali untuk mengirim kita ke lanjutan ceritanya. Tapi gak tau deh, ada something missing dari arahan film yang bikin menontonnya kayak biasa aja. Aku merasa durasi penceritaannya yang terlalu ngulur-ngulur, sehingga alih-alih menantang kita dengan konflik ideologi dan dilema personal, film jadi lebih kayak rescue-adventure dengan karakter sedikit lebih dalem aja. Menurutku film ini belum mencapai potensi yang sesungguhnya.

The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for KINGDOM OF THE PLANET OF THE APES

 




LOVE LIES BLEEDING Review

Love Lies Bleeding adalah tipe film yang susah dikategorikan ke dalam genre tertentu. Semuanya ada. Drama, romance, thriller, misteri, crime, action, bahkan ceritanya sempat pula masuk ke ranah surealisme. Dream-like. Yang gak ada cuma komedi, tapi walaupun begitu bukan berarti karakternya gak punya ‘selera humor’. Baru film keduanya, tapi sutradara Rose Glass udah seberani ini. Dari urusan tema pun, film ini berani mengangkat banyak. Love Lies Bleeding jadi terasa seperti dunia tersendiri yang intens, brutal, dan kelam.

Tema utamanya sih tentang obsesi. Atau mungkin candu. Hal yang kita tahu salah, not good for us, tapi tetap kita pegang atau pertahankan, karena tanpanya kita merasa diri kita kecil. Gak bisa apa-apa. Dua karakter sentral di film ini – Kristen Stewart yang kerja di gym, dan Jackie sebagai bodybuilder yang kebetulan singgah dan on her way to kompetisi binaraga -sama-sama berjuang dengan hal tersebut, yang satu kecanduan steroid, satunya lagi berurusan dengan keluarga besar yang toxic mulai dari ayah crime lord dan kakak yang punya suami ‘ringan tangan’. Sementara juga ironisnya, hubungan cinta mereka pun jadi sama ‘tak-sehatnya’ karena sudah menyangkut melindungi pembunuh. See, film ini ceritanya kompleks banget, tapi berkat penceritaan yang benar-benar jumawa. Berani dan mantap dalam mengarungi naskah itu sendiri, film gak pernah goyah ketika harus jadi crime thriller, jadi romance panas, ataupun ketika jadi simbol-simbol ‘aneh’ saat di akhir karakternya menjadi raksasa. Kita dibuat terus menatap lekat kepada dunia, kepada cerita, kepada karakternya. Bisa dibilang, penceritaannya membuat kita terobsesi sama mereka.

The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for LOVE LIES BLEEDING

 

 

 

PEMANDI JENAZAH Review

Jadi pemandi jenazah itu urusannya sama dengan lagu tema Pretty Little Liars. Harus menjaga rahasia yang dibawa mati oleh si jenazah. Menjaga aibnya. Membawa ini ke ranah masyarakat sosial yang penuh prejudice – khususnya masyarakat lokal yang lagi hitsnya ama term pelakor – Hadrah Daeng Ratu sebenarnya bisa aja strike the gold dengan Pemandi Jenazah. Sandungan baginya masih seperti biasa, arahan dan penulisan yang clumsy,

Potensi emas film ini bisa langsung kita saksikan dan rasakan. Pemandi Jenazah punya dunia yang aktif digali, ibu-ibu di masyarakat cerita satu-persatu mati seperti kena kutuk. Santet, kalo kata filmnya. Dan diungkap ada semacam rahasia masa lalu di antara ibu-ibu yang jadi korban tersebut. Cerita ini ditembak dari sudut pandang Lela, anak salah seorang korban, yang kini terpaksa harus melanjutkan kerjaan ibunya sebagai pemandi jenazah. Pengembangan dunia dan karakter film ini sebenarnya menarik. Lela misalnya, film gak ragu untuk ngasih dia konflik dan nunjukin vulnerabilitas bahwa dia gak mau jadi pemandi jenazah karena takut. Takutnya ini yang sampai dan relate ke penonton. Ini jalan masuk ke penonton yang sudah berhasil dicapai oleh film. Tinggal urusan misteri dan penyelesaiannya. Yang bisa kita lihat, film benar-benar berusaha, dan punya pesan yang baik soal memutus siklus saling benci. Untuk rukun.

Arahan, pengadeganan, dialog, harusnya bisa lebih diperbagus lagi. Misalnya aspek horornya. Di luar adegan horor saat mandiin mayat (they talk!!) film ini sering mengandalkan adegan-adegan horor yang kayak niru horor lain – yang pernah kita lihat. Jika aspek horor lain itu dibuat lebih original, film ini tentu lebih memorable ini. Kalo dari pengadeganan dan penulisan, yang paling parah langsung terasa clumsy itu adalah sekuen finale-nya yang melibatkan rombongan ibu-ibu lay their own justice. Harusnya bisa dilakukan lebih ‘sinematik’ lagi, enggak kayak adegan sinetron.

The Palace of Wisdom gives 6 gold stars out of 10 for PEMANDI JENAZAH.

 

 

 

SPACE CADET Review

Aku dulu pengen banget jadi astronot. Tapi urung, karena ngerasa gak bakal bisa. Badanku pendek, dan mataku minus. Plus otak yang pas-pasan. Kalo dulu itu aku udah nonton Space Cadet, aku pasti tetep nekat pergi mendaftar jadi astronot. Karena komedi karya Liz W. Garcia ini berhasil ngalahin Armageddon (1998) dalam hal nunjukin bahwa jadi astronot itu gampang bangeett

At the best, Space Cadet adalah komedi ringan – sedikit mustahil – dengan vibe positif mendorong penontonnya untuk mengejar mimpi. Kita bisa nonton ini cuma buat ngeliat Emma Roberts ngelakuin hal ‘gila’, dan terhibur olehnya. kita bisa nonton ini buat ngintip aktivitas calon astronot di NASA (dan mupeng). Tapi film ini gak bakal ngasih drama yang benar-benar berbobot. Karakternya tipis. Gadis yang sebenarnya pintar dan pengen jadi astronot, tapi keadaan membuat dia untuk kuliah aja gak bisa. Film never really touch upon that aspect, melainkan lebih memilih ke soal gimana Rex – si gadis – malsuin CV supaya keterima intern di NASA. Gimana nanti dia yang udah akrab sama sejawat di sana, ketahuan, dan terjadilah drama di sana. You know, ini kayak film-film feel-good sederhana yang sering ditayangin di tv jaman-jaman 90an.

Namun bahkan untuk target sesederhana itu saja, Space Cadet masih kurang berhasil membuat karakternya lepas landas dengan benar. Karena Rex lebih seperti bereaksi ketimbang beraksi. Karena yang malsuin data-data lamarannya, bukan dia. Tapi temannya. Jadi Rex sebenarnya cuma play along dan berusaha gak ketahuan saat dia ngeh dirinya keterima karena surat lamarannya sudah diubah oleh temannya tersebut. Aku gak tahu kenapa film memilih harus menyerahkan aksi penggerak ini kepada karakter pendukung yang just another comedic relief, padahal bisa langsung diserahkan kepada tokoh utama. Toh Emma Roberts bukan aktor jaim yang gak lepas saat mainin komedi.

The Palace of Wisdom gives 4.5 gold star out of 10 for SPACE CADET.

 

 

 

THE BIKERIDERS Review

Dilan versi Hollywood! Ahahaha aku ngakak pas baca sinopsis. “Kathy (Milea) tertarik kepada Benny (Dilan), anggota geng motor. Begitu geng motor semakin menjurus kepada kekerasan, Benny (Dilan) harus memilih antara Kathy (Milea) atau gengnya.”

Tapi pas ditonton, karya Jeff Nichols neither mirip Dilan ataupun soal Benny dan pilihannya itu sendiri. First of all, ini beneran anak geng motor. Bukan anak mami yang cosplay jadi sok jagoan. Perspektifnya memang mature dan dihandle dengan sedewasa itu. Ketika ada romance anak motor dengan cewek rumahan, romancenya bukan tau-tau si anak motor jago gombal, lalu segala top. Romansa film digali tetap pada bingkai bagaimana anak motor itu sebenarnya. Benny akan nunggu di depan rumah Kathy, nyender di motornya – dari malam sampai pagi – sampai cowok Kathy nyerah dan pergi ketakutan, padahal Benny gak ngapa-ngapain. Itu baru romantis yang kita percaya ada di kepala anak motor. Romantis menurut si anak motor itu sendiri.

Tapi sesungguhnya tokoh utama film ini bukan Benny, ataupun Kathy. Melainkan geng motor itu sendiri. Kita akan melihat gimana perkembangan geng motor tersebut dari tiga perspektif sentral. Benny yang menganggap itu geng tersebut keluarganya, Kathy, sebagai orang baru yang masuk karena cinta, dan Johnny sebagai ketua, pendiri geng motor itu sendiri. Melalui tiga karakter inilah, journey kelompok ini sebagai saudara jalanan, berurusan dengan anak-anak muda yang pengen masuk karena menyangka geng motor adalah geng ugal-ugalan semata, dikembangkan. Jadi nonton film ini tuh kerasa banget apa-apa saja statement ataupun pandangan dari dunia geng motor itu sendiri. Ceritanya imersif, cuma karena sering pindah-pindah karakter – dan juga pindah periode waktu -, pace film bisa agak ‘terasa’. Sampai mampu membuat kita bingung, film ini ujungnya gimana

The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for THE BIKERIDERS

 




 

 

That’s all we have for now

Bagaimana pendapat kalian tentang franchise Mad Max?  Kalo Australia punya Mad Max, Indonesia kira-kira apa ya franchise film yang punya potensi mendunia sambil kuat megang identitas kita?

Silahkan share di komen yaa

Thanks for reading.

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



DEADPOOL Review – [2016 RePOST]

 

“If you can’t love crudeness, how can you truly love mankind?”

 

 

 

 

Bagi kalian yang tumbuh dengan membaca komik, just like myself, salah satu hal yang paling menggelinjang di dunia pastinya adalah menyaksikan tokoh pahlawan kesukaan masa kecil kita beraksi melawan tokoh-tokoh jahat yang juga kita favoritkan sewaktu masih kanak-kanak. Rasanya exciting banget, terlebih karena film superhero komik identik dengan aksi seru, cool stuff, dan siapa sih yang enggak jejingkrakan melihat kekuatan baik dan jahat itu saling beradu? Tapi bahkan buat penggemar berat superhero komik, film-film adaptasi media hiburan geek tersebut sudah menjadi sedikit terlalu banyak. Hampir tiap bulan nongol pahlawan super baru yang bisa ditonton. Beberapa dari mereka memang bagus, dan kemudian kita ditonjok oleh Fantastic Four. Dan meski tampil variatif – belakangan lagi ngehits film komik dibuat dengan origin yang beraura dark-dark gitu (pelototin Fantastic Four lagi!) – setiap cerita superhero basically selalu sama. Kita jadi sudah terbiasa dengan mereka sampai-sampai kita sudah tahu apa yang harus diharapkan dari genre film ini. Di antara penggemar komik atau bukan, sekarang sungguh gampang untuk menyukai setiap film superhero komik karena aksi-aksi keren nya.

Namun bukan sepak terjang, aksi dahsyat, ataupun efek sempurna yang membuat aku terpana menonton Deadpool. Tentu, film ini punya adegan-adegan seru yang super-fun. Deadpool kan dikenal dengan julukan Spider-man Ninja, jadi kita bisa ngarepin bakal terpuaskan oleh aksi-aksi cepet yang keren abis. Bukan itu yang paling menarik dari film ini. PENULISANNYA LAH YANG MEMBUAT FILM DEADPOOL BERADA SETINGKAT DI ATAS REKAN-REKAN FILM KOMIK YANG LAIN. Deadpool setia pada komiknya, itu nilai plus yang pertama kali kita kasih buat film ini. Berpedoman dari situlah, penulis dan sutradaranya mengembangkan naskah yang menuntun film menjadi salah satu film superhero dari komik paling keren dan kocak yang pernah dilihat oleh dua mataku.

 

Film Deadpool adalah si Deadpool itu sendiri.

Dia kurang ajar, kasar, suka ngatain orang, selera humornya seringkali keterlaluan, seksual innuendo nya kentara sekali, enggak baik buat anak-anak deh pokoknya. Deadpool bisa dibilang anti-hero dalam dunia Marvel, kita tahu dia aneh, mentalnya seperti agak terganggu, protagonis yang ngelakuin hal-hal tercela, tapi kita cinta. Thus, membuat filmnya menjadi kurang ajar juga. Berbeda dengan film dari komik lainnya yang penuh rasa kebajikan. Mungkin banyak yang belum kenal betul siapa si Deadpool, aku sendiri belum pernah megang komik aslinya. Tapi tentunya kita sudah tahu cukup banyak tentang tokoh yang satu ini. Karena Deadpool termasuk yang terpopuler di budaya-pop masa kini.

Dalam film ini kita akan melihat proses perubahan Wade Wilson menjadi sosok Deadpool, yang dijelaskan dengan – yup, you guessed it! – flashback. Kita akan dibuat mengerti terhadap apa yang ia alami. Kenapa Wade begitu menolak disebut sebagai pahlawan. Dua anggota X-Men aja sampai berkali-kali ngajakin Wade bergabung. Wade tahu dia spesial namun he spits on idea of being a superhero.

liar, nakal, brutal, membuat semua orang menjadi gempar, and not to be confused with Sun Go Kong si Kera Sakti

Liar, nakal, brutal, membuat semua orang menjadi gempar, and not to be confused with Sun Go Kong si Kera Sakti

 

At the heart, dan percayalah sekasar dan sekurangajarnya Deadpool, film ini masih punya hati kok, MEMBAHAS TENTANG BALAS DENDAM, JUGA CINTA. Wade Wilson berbuat kasar karena dia gamau orang lain suka padanya karena dia tahu persis rasanya kehilangan yang dicinta. Makanya dia nyaman temenan sama orang cuek atau orang buta. Motivasi Wade adalah dendam kepada Ajax, keseluruhan film adalah tentang Deadpool yang mencari keberadaan si objek dendam kesumatnya tersebut. Si tokoh jahat sendiri memerankan perannya sebagai baik, yaah seharusnya Ed Skrein bisa lebih sedikit meyakinkan sebagai penjahat utama, but he did just enough. Negasonic Teenage Warhead dan Colossus turut memberikan nuansa familiar dan memperheboh aksi. Kisah pun dibumbui oleh pertemuan Wilson dengan Vanessa (cakep banget, doncha wish your girlfriend was cool like Morena Baccarin?) yang akan mengubah hidup Wade. Ooo tapi jangan kira mentang-mentang keluar bulan Februari, romansa dalam Deadpool hanya sebatas plot device semacam ‘damsel-in-distress’. Vanessa memang ada sebagai ‘kelemahan’ dari si Deadpool. Serunya, kisah cinta Wade dan Vanessa juga diberlakukan sama dengan semua hal di dalam film ini, tak luput dari kekasaran dan sarkasme. Deadpool buruk rupa memperlihatkan dunia kita yang juga buruk rupa, dan yang kita bisa adalah melakukan yang terbaik dari apa yang kita punya. Jauh di dalam Wade Wilson meyakini semua itu.

Kurang ajar adalah seni dalam film ini.

 

 

Quick question: jika jadi pahlawan super, satu kekuatan yang ingin kalian miliki adalah: Menyembuhkan diri dengan cepat; Master beladiri; Immortality; atau Skill assassin yang tak-tertandingi ?

Deadpool enggak perlu repot-repot memilih. Dia menguasai semuanya. Malahan ada satu lagi ability nya yang tidak dimiliki oleh superhero lain. Di dalam cerita komik, salah satu kekuatan spesial Deadpool adalah keSELF-AWARENESSan nya yang unik; ia sadar kalo dia berada dalam dunia komik. Dalam film, kemampuan tersebut juga dipertahankan. Dan inilah yang membuatnya paling menarik. Deadpool tahu dia berada di mana. Dunianya adalah dunia film yang sedang kita tonton. Dia sungguh-sungguh sadar akan kondisi itu, dia mengerti persis seperti gimana kondisi dunia film komiknya di mata dunia kita. Dan dia enggak sungkan-sungkan untuk nunjukin hal tersebut. Secara konstan Deadpool akan break the fourth wall. Aku enggak tahu istilah indonesianya apa, tapi breaking fourth wall itu sejenis melanggar aturan film dengan si tokoh ngomong langsung kepada penonton, menghadap lurus ke kamera. Deadpool sekonyong-konyong menyeletuk kepada kita, menyuarakan dengan tepat apa yang kita pikirkan selama ini tapi enggak pernah kita ungkapkan. Adegan sehabis kredit penutup nya adalah adegan ekstra yang paling kocak dan straight-to-the-point. Buat yang udah keburu kebelet, tahan bentar lagiiiiii aja, it’ll worth it.

‘Kesadaran’ yang sama juga diperlihatkan filmnya terhadap peran sang aktor, Ryan Reynolds. Kita sama-sama pernah menyaksikan Deadpool sebagai penjahat dalam film X-Men Origins: Wolverine (2009). Dalam film terbarunya ini, Ryan Reynolds juga kembali memerankan Wade Wilson, sosok di balik topeng Deadpool. Film ini menyinggung gimana jelek dan enggak pentingnya Reynolds di Wolverine, ataupun di film-film gagalnya yang lain. Kali ini, Reynolds, dan juga penulisan tokohnya, sangat menghormati karakter yang sedang mereka persembahkan. Kemampuan Reynolds memainkan karakter ‘gila’ semakin terasah setelah tahun lalu pun dia memukau sebagai pembunuh schizophrenia dalam film The Voices (2015). Lucunya kebangetan sebagai Deadpool yang banyak omong!

Namun film Deadpool tidak pernah menyuguhkan diri sebagai eksposisi. Malahan film ini tidak akan membosankan karena memang tidak ada momen-momen yang bikin kita menguap. Sedari pembukaan kita sudah dikasih liat kebolehan Deadpool. Fast-paced actions yang ditangkap dengan sangat jelas oleh camera work yang sama dinamisnya. Kameranya tidak diarahkan untuk goyang-goyang gak jelas. Cut antaradegan nya tidak terlalu over. Pengarahan yang luar biasa dari sutradara. Pun film ini mampu memanfaatkan CGI, yang terlihat minimal dari segi budget, semaksimal mungkin. Lihat saja karakter Colossus, tampak meyakinkan sebagai makhluk hidup yang beneran ada. Pemakaian CGI yang banyak memang tidak terelakkan untuk film semacam ini, untungnya Deadpool sukses memanfaatkannya sebagai alat penunjang yang fresh.

*slow-clap*

*slow-clap*

 

Kekurangajaran film ini mungkin terasa cukup mengganggu, terlebih jika tidak terbiasa dengan humor-humor jorok. Ada nudity juga, meski di bioskop sini kena potong. Film Deadpool mendorong batasan Rating R sampe poll-pollan. Di Indonesia filmnya jadi Dewasa 17+. While it is good and I give nod to sistem rating di Indonesia yang lebih menenangkan, in a way lebih menghormati penonton, tapi dalam kenyataannya justru terasa paling munafik. Rating bertujuan untuk membatasi jumlah penonton sesuai umurnya, and yet prakteknya mereka menambah studio tayang dan membiarkan anak-anak berseragam sekolah menonton film kategori dewasa. Soal sensor adegan film ini,  sebenarnya tidak banyak berdampak, kita selalu bisa mengandalkan imajinasi. Yang lebih mengganggu buatku adalah subtitle Indonesia yang seringkali tidak bisa menerjemahkan lelucon dengan tepat. Akan lebih baik jika mereka menyediakan teks dalam dua bahasa.

Apakah film ini ditujukan buat remaja? Iya. Apakah film-film remaja leluconnya harus vulgar selalu? Tidak. Akan tetapi Deadpool adalah film komik superhero, yang tiap-tiap mereka punya karakter tersendiri. Enggak lucu kalo film ini sesuram Dark Knight. Enggak kocak kalo film ini sepatriotis The Winter Soldier. Sudah dari sono nya sifat si Deadpool begitu dan film ini dengan tepat menggambarkan buku komik itu ke layar. This movie is everything what it should have been. Film ini menolak untuk berlambat-lambat dengan drama, film ini relentless dalam bersuara, film ini enggak pake sensor apapun. Film Deadpool lebih mirip dengan Kick-Ass (2010), malah; luarnya sadis, tapi sebenarnya lebih grounded ke reality.

Dunia yang kita tinggali adalah semesta yang kejam. Dan Wade Wilson sadar akan hal itu. Jalur kebenaran bagi Wilson tidak mesti berbalut santun. Dia memang bukan yang paling baik. Wilson cuma seseorang yang cakap dalam pekerjaannya – yang kebetulan adalah membunuh orang. Film ini mengangkat hal tersebut dengan sudut pandang yang lebih nyeleneh lagi. 

 

 




Dipresentasikan dalam bentuk aksi cepat, extremely funny, pemilihan musik yang asik dan menggebu. Lagu Mr.Sandman sukses bikin aku ngakak, I was so not expecting that! Yea, film ini mungkin bukan pencapaian yang benar-benar baru, mungkin gak bakalan menang award. mungkin bukan masterpiece, tapi filmmakers berhasil membuat suatu tontonan yang luar biasa menghibur. Such a killer filmThe Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold stars for DEADPOOL.

 

 




That’s all we have for now.

Remember, in ife there are winners
and there are losers.

 

 

 

We be the judge.



JURNAL RISA BY RISA SARASWATI Review

 

“Words have meaning and names have power”

 

 

Jurnal Risa merupakan nama channel YouTube milik Risa Saraswati yang begitu populer oleh konten dokumentasi penelusuran horor. Risa Saraswati sendiri adalah seorang musisi, penulis buku, yang claimed memiliki kekuatan supranatural mampu berkomunikasi dengan makhluk gaib. Cerita-cerita hantu Risa telah banyak menginspirasi skena horor kita, dan sekarang film berjudul Jurnal Risa by Risa Saraswati ‘didokumentasikan’ oleh Rizal Mantovani, membawa kisah Risa dan timnya menangani kasus hantu arwah leluhur yang namanya tidak boleh disebut, dari YouTube ke layar lebar. Ya, nama tampak seperti sebuah ‘tema yang penting’ di sini. Apalagi di zaman perkontenan, nama sama saja dengan sebuah branding yang kuat. Maka ketika Jurnal Risa yang begitu populer sebagai channel konten mistis dari kreator yang dipercaya punya kekuatan cenayang diangkat ke layar lebar lengkap beserta kru dan gimmick ataupun kayfabenya, pertanyaan yang menggelayut adalah: Apakah masyarakat penontonnya mampu untuk menyematkan nama yang benar terhadap tontonan ini. Apakah (terutama bagi penonton) ini adalah mokumenter, atau dokumenter?

Kenapa hal tersebut jadi concern buatku? Karena film sebagai media, juga sama powerfulnya dengan sebuah nama. Tapi juga sebagai seni, film bersifat bebas; tidak perlu menjelaskan dirinya kepada penonton. Aku ngerti, sama seperti WWE, pada film ini, ada ilusi atau kayfabe branding yang harus dijaga lewat gimmick-gimmick atau konsep. Jurnal Risa by Risa Saraswati ini bahkan sampai mengganti ‘directed by’ menjadi ‘documented by’ supaya kesannya seperti beneran dokumenter. Dan storytellingnya juga sama persis gaya channel YouTube-nya. Risa Saraswati memerankan dirinya sendiri. Bersama kru, yang sebagian besar juga keluarganya yang pada punya kekuatan supranatural juga, Risa ceritanya mengadakan uji nyali untuk konten. Tapi salah satu peserta, seorang influencer bernama Prinsa sompral dan menyebut-nyebut nama hantu yang terlarang untuk disebutkan. Ini nama terlarang sepertinya juga sudah terbuild up dari channelnya, loh. Konflik pada film ini adalah si hantu, Samex, beneran merasuki Prinsa, dalam lima hari akan ngetake over dirinya, maka Tim Jurnal Risa harus membawa Prinsa ke kampung halaman Samex. Dan untuk membuatnya personal, Samex ternyata adalah Uwa’ alias tetua dari Risa sekeluarga.

Ada yang berani panggil namanya, tiga kali aja?

 

Sebenarnya ada bedanya. It’s one thing membuat film kita tampak begitu real, konsep realismnya dibuat sedemikian sukses, didukung oleh penceritaan yang imersif, sehingga penonton bertanya-tanya ini sungguhan atau tidak. Seperti keberhasilan The Blair Witch Project (1999), horor orang hilang di hutan yang sengaja dirilis dengan minim informasi, konsep found footage yang begitu raw, sehingga penonton saat itu merasa film ini begitu misterius sehingga disangka asli. But it’s completely another thing jika ilusi tersebut hanya disandarkan kepada kepercayaan base-penonton terhadap brand atau persona (sosok maupun channel). Like, WWE tidak pernah menjual dirinya sebagai sport, melainkan sebagai sport-entertainment. Olahraga-hiburan. Penonton acara tersebut percaya Undertaker punya kekuatan supranatural, sekaligus juga tahu Undertaker ‘aslinya’ adalah karakter yang diperankan oleh Mark Calaway, manusia biasa yang tentu saja tidak bisa memanggil petir dengan tangannya. Sebaliknya pada Jurnal Risa by Risa Saraswati, ada yang aku khawatirkan bisa jadi confusion. Film ini mempersembahkan dirinya sebagai mokumenter adaptasi dari dokumenter YouTube (yang fenomenal)

Istilah mokumenter maupun dokumenter itu sendirinya, juga merupakan sebutan atau nama, yang penting untuk dipahami oleh penonton, supaya bisa mengenali apa yang sedang mereka konsumsi. Basically dokumenter berarti film yang menelusuri atau mendokumentasikan peristiwa atau hal yang nyata. Sementara mokumenter, berasal dari gabungan kata ‘mock’ dan ‘dockumentary’, yang lantas berarti sebuah dokumenter ‘palsu’. Dokumenter yang mengisahkan peristiwa rekaan. Jadi jika kita bawa kepada istilah yang dipakai film ini untuk menjual dirinya tadi, berarti; film ini adalah kisah dokumentasi not-real yang diadaptasi dari dokumentasi real. Sebenarnya jelas, penyebutan ini cuma langkah berbelit yang dilakukan film untuk berkelit dari menyebut langsung bahwa kisah mereka cuma fiksi, demi melindungi branding atau ilusi siaran YouTubenya yang sudah terbangun. Akan tetapi,  beberapa penonton yang belum sedemikian melek literasi filmnya, akan bisa ‘salah kaprah’ menganggap ini nyata. Dan eventually bagi penonton-penonton ini akan bisa jadi kabur makna film dokumenter yang sebenarnya.

Apalagi tanpa diimbangi dengan penceritaan yang mendukung. Menggunakan konsep yang persis dengan di YouTubenya; karakter yang memerankan ‘diri sendiri’. Mereka menelusuri misteri, membantu orang yang dimasuki hantu. Film ini hanya seperti konten YouTubenya dengan durasi yang lebih panjang. Enggak kerasa strukturnya sebagai ‘film’ itu sendiri. Sebagai film, Jurnal Risa by Risa Saraswati adalah mockumentary bergaya found footage horor. Adegan-adegan yang kita lihat adalah tangkapan dari kamera yang digunakan oleh karakter. Basically ini kan sama aja kayak Keramat 2 (2022). Hanya saja di film itu kita langsung tahu itu mokumenter karena walaupun para aktor menggunakan nama asli mereka, kita paham mereka hanya memainkan karakter. Lutesha jadi Lutesha si Cenayang, Umay jadi Umay si YouTuber. Itu karena sebagai karakter mereka memang punya plot, punya penulisan, dengan motivasi, cela, aksi, pilihan, dan sebagainya. Ceritanya tersusun menjadi bangunan dengan struktur sinematik. Jurnal Risa the Movie ini, gak punya ini. Sebenarnya ‘film’ ini tidak lulus untuk disebut sebagai film.

Menggunakan nama yang benar kepada suatu hal, memang adalah hal yang begitu penting. Karena nama membawa identitas bukan saja untuk orang lain, tapi juga mengingatkan kita kepada diri sendiri. Makanya Dumbledore selalu menekankan kepada penyihir yang lain untuk memanggil Voldemort dengan nama aslinya. Bukan dengan nama samaran yang menambah kemistisan dan akhirnya semakin membuat mereka takut kepadanya. Makanya di film-film horor, penting bagi karakter untuk mengetahui nama setan yang mereka hadapi. Di film ini, Risa memang takut menyebut nama Samex, tapi solusinya tetap mengarah yang sama – kenali dia dari tempat asal mulanya.

 

Risa saja, yang harusnya adalah karakter utama, gak ikut ke mana-mana, Tidak mengalamin apa-apa. Tidak ikut menjaga Prinsa yang ketempelan. Melainkan cuma muncul sebentar mendemonstrasikan kemampuannya melihat atau berkomunikasi dengan makhluk tak kasat mata, lalu kadang juga jadi narator mengisahkan perjalanan ataupun bahaya, yang ditempuh oleh timnya. Tidak ada plot, melainkan cuma misteri siapa Samex (dan maybe ‘misteri’ kenapa banyak yang susah banget nyebut nama Prinsa) Soalnya Prinsa juga tidak digali, padahal sepertinya background-nya menarik, easily cerita bisa dikembangkan dari sini. Tapi enggak. Naskahnya gabut. Tim Risa yang actually terjun untuk ‘beraksi’ pun cuma berdiri di sana, dengan tampang tegang sepanjang waktu. Film ini serius banget. Seandainya kru atau keluarganya yang banyak itu hadir sebagai karakter dengan personality masing-masing (bukan cuma nampang dengan ekspresi ‘tempat ini menyeramkan’) film ini bakal lebih hidup. Heck, I would gladly take it kalo misalnya dibikin mereka punya ability masing-masing. Lucunya, sama seperti kita yang menonton, Risa dan timnya juga cuma menonton ahli paranormal lain, atau orang desa berusaha menolong Prinsa. Pokoknya mereka cuma punya one job, antara ketakutan atau kesurupan, dan itupun aktingnya atrocious semua. Gak ada yang meyakinkan. Sampai-sampai aku second guessing myself, ‘Aktingnya begini jangan-jangan sebenarnya memang gak ada yang nganggap ini dokumenter asli?’

“Izinkan saya membersihkan kamu” sounds so perverse

 

Sebagai found-footage horror, film ini juga not good. Karena arahannya sama sekali gak peka pada momen-momen mana yang bisa dimainkan ke dalam konsep rekaman footage tersebut. Momen mereka menjaga Prinsa di rumahnya sendiri, misalnya, Kalo sutradaranya gercep ama konsep ini, pasti akan ada adegan dari rekaman cctv atau kamera yang dipasang di kamar Prinsa. Di film ini, lucu sekali, karena kamera dipasang di tempat para kru bobo’ di ruang tamu. Dan kamera-kamera itu, treatment-nya semua sama. Tidak ada estetik khusus yang membedakan kameranya, ataupun yang membuat kita ingat bahwa yang kita lihat itu adalah gambar tangkapan dari karakter yang di belakang kamera. Gambarnya jadi tidak natural, dan justru lebih terlihat seperti settingan (I was third guessing myself “masa iya ada yang percaya ini asli!?”) Bahkan jumpscare-jumpscarenya yang banyak itupun, kita tahu dan sudah siap-siap ‘menyambutnya’. Dengan kata lain, arahan horor filmnya masih sangat basic. Hanya untuk kaget-kagetan, dan less about menciptakan tension ataupun situasi yang mencekam. Lihat saja pas adegan mereka uji nyali. Padahal itu kesempatan main-main dengan suasana horor, tapi belum bangun apa-apa, film udah langsung ancang-ancang untuk jumpscare aja. Ketika mereka masuk ke dunia lain, sebenarnya lebih menarik, horornya mulai menggunakan hantu-hantu di-background, suara-suara, peristiwa-peristiwa ganjil, ada juga yang kayak experience masuk rumah hantu. Cuma sayang sekali terlalu singkat untuk kita nikmati

 




Mungkin prestasi terbaik film ini adalah bikin faux documentary yang paling narsis sedunia akhirat. Karena memang tidak ada yang terasa dicapai oleh ceritanya selain ya membawa kiprah Risa dan timnya ke layar lebar, sebagai diri mereka sendiri – as seen on their YouTube. Sedangkan secara objektif sebagai film, this is a really bad one. Tapi kalo kalian suka, ya silakan saja, bergembiralah menontonnya. Harapanku cuma, kekhawatiranku penonton confused ini sebagai dokumenter tidak terjadi. Semoga sama seperti aku dan para penggemar WWE, penggemar film ini tahu apa yang sedang kita sukai, dan menikmatinya totally sebagai hiburan. 
The Palace of Wisdom gives 1 out of 10 gold stars for JURNAL RISA BY RISA SARASWATI

 

 




That’s all we have for now.

Sebenarnya aku bukan orang yang skeptis. Aku lebih senang memilih untuk percaya pada horor, asalkan dibuat dengan baik. Menurut kalian, kenapa konten-konten horor seperti Jurnal Risa banyak digemari? Apa karena horornya, atau karena horornya dianggap nyata?

Silakan share di komen yaa

Yang pengen punya kaos film lebaran Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

 

 

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



IPAR ADALAH MAUT Review

 

“The worst pain in the world goes beyond the physical, even further beyond any other emotional pain one can feel; it is the betrayal of a friend” 

 

 

“Ipar adalah maut” yang merupakan kutipan Hadits Nabi, adalah sebuah peringatan. Sementara Ipar Adalah Maut, merupakan film karya Hanung Bramantyo, adalah sebuah gambaran. Tentang bagaimana peringatan itu bisa terjadi, tentang bagaimana ipar dapat membawa maut, dalam artian menjadi sumbu dari kehancuran sebuah rumah tangga. Dan dengan mengambil perspektif utama dari kakak yang eventually jadi ‘korban’ dari adik yang tinggal di rumahnya, film yang dijual sebagai diangkat dari kisah nyata pengalaman seseorang ini coba untuk menjadi penghembus semangat kebangkitan dari maut tersebut.

Suara Nisa sebagai narator menyambut kita ke dalam cerita. Dia hendak berbagi pengalaman rumah tangganya yang mengenaskan. Awalnya memang Nisa sempat ragu untuk mutusin permintaan ibu soal adiknya, Rani, tinggal bersama dengan keluarganya. Tanggungjawabnya besar. On top of jagain adik yang baru kenal dunia itu, Nisa harus ngurusin suami, anak yang belum lagi SD, ditambah bisnis toko kue yang lagi rame-ramenya,  Suaminya, Aris – dosen sosiologi keluarga, dan cukup soleh – siap mendukung apapun keputusan Nisa. Mereka sebelumnya sama sekali gak kepikiran macem-macem. Memang saat itu, they didn’t take one thing as a factor; Saat baru pacaran dulu, Rani memang ‘cuma’ anak remaja  yang kekanakan dan manja. Namun kini, Rani yang udah mau masuk kuliah, got hot. Yang namanya tinggal serumah, muncul deh tuh kejadian-kejadian. Mulai dari situasi tak-sengaja yang innocent (mungkin pikir Aris, ‘rejeki’) membesar hingga ke situasi awkward yang gak bisa Aris ataupun Rani ceritakan kepada Nisa yang sibuk, karena kejadiannya bikin mereka merasa bersalah, tapi sekaligus juga bikin kepikiran terus. Apalagi Rani melihat Aris ini udah kayak manic pixie dream man. Kesempatan demi kesempatan yang mereka dapatkan dengan absennya Nisa pun akhirnya bikin rasa bersalah itu kalah. Dan film pun membuild up kepada kecurigaan Nisa dan aftermath setelah semuanya ketahuan.

Karena konteksnya keran, mungkin Aris mikirnya ‘terlanjur basah, ya sudah basah-basahan sekalian’

 

Karena karakter utama yang dipilih adalah Nisa, sebagai korban dari perselingkuhan, Hanung tahu cerita ini tidak bisa membahas lebih dalam tentang perselingkuhan itu sendiri. Like, perspektif Aris sebagai dosen sosiolog keluarga tapi justru dia terjerumus jadi pelaku selingkuh, tidak bisa dikembangkan lebih dalam alasan ataupun motivasinya karena ini bukan cerita dia. Rani sebagai si bungsu yang didaulat manja dan tak bisa apa-apa oleh keluarga pun hanya bisa punya waktu berdalih dengan itu alih-alih memeriksa lebih dekat apa yang dia rasakan sehingga ‘tega’ ngerebut suami kakaknya. Hanung paham posisi karakter utamanya yang sebagai korban, maka sebagian besar hanya bisa bereaksi terhadap tanda-tanda dia diselingkuhi. Maka Hanung tahu satu-satunya kesempatan untuk bikin cerita ‘pasif’ ini hidup adalah dengan melibatkan penonton. Untungnya, memang itulah hal yang, boleh jadi, paling dipahami oleh Hanung ketimbang sutradara lain. Membuat dramatis sampai penonton ikut bertangis-tangis.

Film ini kalo kita perhatikan banyak dan tahu memanfaatkan momen-momen pause. Momen-momen diam. Timing untuk mancing reaksi penontonnya gila banget, sehingga build up ke adegan dramatis terasa punya pay off yang lebih dahsyat. Perhatikan saja misalnya pada adegan seperti Aris ngajak Rani masuk ke hotel, atau ketika ibu yang saat itu ‘blank’, dari kursi rodanya menasehati Nisa dan Rani jangan berantem. Film seperti sengaja berhenti beberapa detik untuk membiarkan penonton meluapkan emosi kepada karakter, setelah itu barulah film menumpahkan adegan emosionalnya. Ini membuat kita seperti terlibat langsung. Kita emosi, karakter emosi, dan baru kita semua emosi bersama-sama mereka. Ipar Adalah Maut was so good at doing this.  Dialognya banyak yang dibuat ‘mendua’. Apalagi kalo bukan memancing celetukan kita, entah itu kepada Rani setelah dia mendengar “Tolong layani Mas mu, ya” dari Mbak-nya, ataupun kepada Aris begitu dia ditanya dengan sangat polos oleh Nisa yang gak tau suami dan adiknya lagi berduaan, “Mas lagi sama Rani, ya?”

Sepertinya tidak ada yang luput dari tembakan dramatisasi Hanung. Bahkan karakter minor seperti Ibu Nisa (diperankan oleh Dewi Irawan) diberikan percikan drama, karena actually si ibu inilah pemantik incident. Meminta tolong Nisa untuk menampung Rani karena beliau kurang sreg Rani harus ngekos. Firasat si Ibu dibuat terus bergulir sepanjang narasi siap untuk meledak bersama perasaan Nisa, dan Rani. Ngomong-ngomong tentang karakter dan aktornya, wuihh, tiga aktor utama benar-benar ‘diberdayakan’ untuk kebutuhan dramatis ini. Casting Hanung udah kayak melingkupi pesona dan raga. Deva Mahenra yang imagenya cocok buat karakter tipe pendiam dan sedikit kekanakan; di sini Arisnya dibuat tampak cuek bukan main saat melakukan ‘kebejatan’. Davina Karamoy dengan mata besar bersorot tajam dan cerdas, Raninya actually jadi beneran tampak antagonis ketika dibuat dia-lah yang jadi mastermind pertemuan diam-diam dan muslihat untuk mengecoh Nisa. Tapi meskipun begitu, kedua karakter ini tidak pernah kehilangan momen manusiawi tersendiri. Film tetap memberikan kita glimpse ke konflik personal dan rasa bersalah mereka. Dan tentu saja Michelle Ziudith sebagai Nisa. Ziudith yang dikenal sebagai ratu nangis, di sini dapet adegan panjang emosional, nangis-nangis yang begitu luar biasa saat Nisa mengetahui soal perselingkuhan tersebut.  Nangis yang benar-benar kerasa seperti dari gabungan perasaan marah, sakit, jijik – semuanya meledak jadi satu. Dan bukan cuma emosinya, tapi juga kerasa di fisik (Nisa dibuat menginjak pecahan kaca dari vas yang ia pecahkan)

Pengkhianatan adalah hal yang menyakitkan karena terjadi bukan karena musuh, melainkan oleh orang dekat yang kita percaya. Dan perselingkuhan sesungguhnya adalah pengkhianatan yang paling menyakitkan, karena terjadi oleh orang yang paling dicintai. Bagi Nisa, malah lebih menyakitkan lagi, karena dikhianati oleh suami dan adik kandungnya sendiri. Di bawah atapnya sendiri. Di belakang kepalanya sendiri. Film begitu paham menerjemahkan sakit ini. Sakit yang begitu banyak melibatkan perasaan, hingga menjadi sakit fisik, semuanya menghantam sekaligus. Karakter Nisa dibuat menelan semuanya.

 

Apa Aris dan Rani gak jadi kebayang muka Pak Junaedi ya setiap kali gituan? Hihihi

 

Yang terbaik yang bisa dihasilkan dari perspektif korban kayak Nisa ini sepertinya adalah memperlihatkannya sebagai gambaran gimana korban perselingkuhan menerima dan dealing with masalah itu, lalu gimana dia sadar harus cepat bangkit. Keluar dari lubang derita. Sebab basically perselingkuhan adalah kehilangan kepercayaan, maka tahap yang dilalui korban kurang-lebih bakal sama. Ada steps of griefnya juga. Film ini briefly memperlihatkan gimana Nisa memproses kenyataan tersebut, dan juga menunjukkan terutama Nisa ini berkutat dengan menyalahkan diri. Nge-gaslight diri sendiri; Ngerasa karena dia sibuk maka suaminya jadi kurang perhatian. Ngerasa karena dia sering pergi, maka kedua orang itu jadi punya kesempatan. Ngerasa karena dia gak mikirin lebih lanjut soal keraguannya di awal, maka semua ini bisa terjadi. Bahkan saat narasi akhir di ending saja, Nisa masih membuka ruang untuk menyalahin diri. Untung saja film masih berhasil untuk memutar kata-kata tersebut sehingga terdengar positif sebagai dorongan semangat untuk diri lebih baik, lebih tegar, ke depannya. Itulah masalah pada film ini buatku. Porsi yang diberikan kepada Nisa untuk mengembangkan perspektifnya ini, kurang banyak. Akibatnya perubahan positif dan development Nisa, hanya kita dengar sebagai narasi penutup.

Memang sebenarnya jika perspektif utama yang dipilih adalah korban, maka justru aftermath setelah selingkuh ketahuan itulah lahan untuk menggali si karakter utama, bukan di tindak perselingkuhannya itu sendiri.  Pilihan-pilihan Nisa ada di periode ini. Karena setelah ketahuan, maka ‘bola narasi’ itu ada di dirinya. Gimana dia memilih untuk bersikap kepada suami ataupun adiknya. Pilihannya untuk melanjutkan hidup. Pertimbangannya tentu saja akan banyak, ibu, anak, serta kehamilan adiknya. Buatku, babak terakhir film – ketika ini semua sedang dibahas dengan relatif singkat – adalah waktu ketika Ipar Adalah Maut menjadi paling menarik. Aku berharap mestinya ini diberikan porsi lebih banyak. Daging perspektif Nisa sebagai korban itu adanya di sini. Tapi sebaliknya, film memilih untuk meluangkan lebih banyak waktu untuk build up momen perselingkuhan hingga sampai ketahuan. Yang lebih banyak diberikan adalah momen-momen Aris dan Rani jadi ‘antagonis’; gambaran gimana mereka sampai bisa bablas, lalu mereka mutusin lanjut, dan kucing-kucingan antara mereka dengan kecurigaan Nisa yang mulai terbangun setelah pertengahan.

 




Kisah perselingkuhan memang gak ada matinya. Ada aja yang bisa digosok sehingga cerita ini bisa terus saja hot. Film ini put our emotion on point tatkala yang jadi pelakor di ceritanya adalah adik kandung dari karakter utama. Pilihan yang diambil jelas. Cara film langsung membuat penonton untuk terlibat emotionally di dalam dramatisasi itu, inilah yang bisa kita apresiasi. Vibe film pun dijaga tetap light-hearted dengan candaan supaya penonton gak melulu kesel dan emosi. Jadilah dia tontonan merakyat, sasarannya kena banget. Namun di balik keberhasilan itu, tentu saja untuk menilai kita tidak bisa abai bahwa ini bukan pendekatan terbaik yang bisa diambil untuk cerita seperti ini, ada bahasan dan perspektif utama yang jadi belum maksimal. Film memilih maksimalin yang lain, dan make the best dari pilihan yang lebih pasif ini.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for IPAR ADALAH MAUT

 




That’s all we have for now.

Menarik sikap Nisa yang seperti tidak lagi begitu menyalahkan Rani begitu tahu adiknya itu hamil – Nisa jadi seperti full nyalahin Aris. Menurut kalian apa alasannya?

Silakan share di komen yaa

Yang pengen punya kaos film lebaran Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



MINI REVIEW VOLUME 19 (HIT MAN, TRIGGER WARNING, THE WATCHERS, UNDER PARIS, AUTUMN AND THE BLACK JAGUAR, MALAM PENCABUT NYAWA, THE STRANGERS: CHAPTER 1, DILAN 1983: WO AI NI)

 

 

Delapan film yang terangkum dalam Volume 19 ini mengawali kita masuk ke pertengahan tahun, sebelum layar diberondong oleh film-film blockbuster musim panas. Ada manusia dengan hiu, manusia dengan jaguar, hingga ke manusia dengan peri. But I must say,  kloter pembuka ini gak really hot. I mean, cuma Hit Man (manusia dengan banyak penyamaran!) yang benar-benar sukses jadi tayangan entertain – selain juga ngasih kualitas dan something yang fresh. Selainnya,  either ada yang kurang, dan lumayan banyak juga yang flat out jatohnya mengecewakan. Yuk mulai saja kita bahas satu persatu:

 

 

AUTUMN AND THE BLACK JAGUAR Review

Nonton kisah persahabatan antara manusia dengan hewan memang cenderung ngasih perasaan yang uplifting serta mengharukan. I like those feelings. Hmm.. tahun ini cukup banyak deh kita dapet cerita tentang persahabatan dua makhluk kayak begini, bisa kayaknya jadi kategori spesial di next My Dirt Sheet Awards hihihi.. Anyway,  kuncinya memang di ‘dua makhluknya’; semakin unlikely, semakin dramatis pula ceritanya bisa dikembangkan. Sutradara Gilles de Maistre udah paham lah bikin kisah anak dengan hewan buas. Sebelumnya dia pernah bikin anak kecil dengan singa putih, dan kini dia bawa kita ke hutan untuk melihat Autumn dengan sahabatnya; seekor jaguar hitam bernama Hope.

Bobot dramatis dari persahabatan ini dikembangkan dari Autumn yang sudah lama berpisah dengan Hope, kembali lagi ke hutan untuk menyelamatkan Hope yang diburu pemburu gelap. Autumn ingin mencari dan membawa Hope lebih jauh ke dalam hutan. Masalahnya, sebagaimana Autumn sudah bukan anak kecil lagi, Hope juga sudah besar. Tidak ada satupun yang bisa menjamin Hope masih ingat dengan Autumn, ataupun apakah Hope tidak menjadi buas. Dalam bahasannya ini, film juga memuat persoalan tentang perdagangan satwa, tentang perburuan liar, dan gimana orang kota mau mengeksploitasi isi hutan. Untungnya, tidak seperti Petualangan Sherina 2 (2023), bahasan ‘peduli satwa’ tidak dibahas setengah-setengah oleh film ini. Autumn beneran berinteraksi dengan jaguar yang diselamatkan. Not only that, mereka beneran seperti sahabat. Itu yang terutama bikin film ini seru. Banyak adegan yang bikin aku bergumam “itu sutingnya beneran?” Karena film ini beneran membuat aktor-aktornya berinteraksi dengan hutan, dan isinya.

Tema dan cerita genuinely konek. Tapi masih ada lagi. Autumn and the Black Jaguar juga adalah tentang Autumn – yang kehilangan ibu karena pemburu, persis seperti Hope – dengan ayahnya. Juga tentang Autumn dengan guru biologinya; yang tau teori tapi belum pernah sama sekali turun ke ‘lapangan’. Dinamika Autumn dengan ibu guru akan mengundang tawa karena si ibu ini bakal heboh dan ribet banget di hutan. Khas kayak kalo orang kota masuk desa. Kontras dengan Autumn yang udah nganggep hutan kayak kampung halaman atau rumah sejatinya. Masalah dalam penceritaan film ini terjadi tatkala karakter si ibu guru mengoverpower Autumn yang tokoh utama. Dalam artian,  yang kita tonton ternyata lebih banyak soal development ibu guru. Reaksi ibu guru terhadap putusan Autumn, terhadap lingkungan sekitar, akhirnya menjadi sajian yang mengisi layar dengan hal yang lebih variatif ketimbang Autumn bermain-main dengan Hope. Ibu guru pun punya journey yang lebih kuat, pembelajaran dia antara di awal dengan akhir cerita, lebih jelas. Sedangkan Autumn, gak banyak perubahan, issue dia dengan ayahnya berakhir ‘damai’ begitu saja. Ditutup hanya karena filmnya udah mau tamat.

The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for AUTUMN AND THE BLACK JAGUAR

 

 

 

DILAN 1983: WO AI NI Review

Berhubung Dilan versi mini, maka reviewnya juga kebagian yang mini, yaa.. haha enggak ding. Aku cuma bingung Pidi Baiq dan Fajar Bustomi di film ini niatnya pengen bahas atau nunjukin apa. Kayaknya kuncinya ya pada ‘Dilan versi mini’ itu. Alih-alih menceritakan masa kecil Dilan yang sudah kita kenal masa remajanya; si kapten anak motor, tukang berantem, dan punya segudang cara ajaib buat gombalin cewek, film ini kayak cuma menceritakan Dilan yang itu, cuma sekarang versi dia di dunia anak SD. Karena gak ada sense of growth di sini. Gak kayak Riley, misalnya. Kita bisa lihat ‘perbedaan’ antara saat Riley masih kecil di Inside Out (2015) sama ketika dia masuk usia remaja di Inside Out 2 (2024). Ada emosi baru, ada bahasan yang berbeda terkait emosi itu. Sementara Dilan, film ini bahkan bukan ‘origin story’ kenapa Dilan bisa jago gombal. Sejak kecil ternyata dia sudah seperti itu!

Jadi yang diceritakan adalah Dilan kembali ke Bandung, ke sekolah lamanya. Di kelas, ada anak yang baru dilihat Dilan. Cewek. Namanya Mei Lien. Dilan langsung suka. Dia menggoda Mei Lien, baik dengan gombalan maupun dengan sikap yang sama ajaibnya. Teman dan ibu gurunya pada ketawa ketika Dilan bacain puisi berjudul “Kau” (plesetan Chairil Anwar’s “Aku”) kepada Mei Lien di depan kelas. Kenakalan dari sudut pandang anak biasanya innocent. Karena mereka polos. Aku bandingkan salah satunya dengan Lupus Kecil (yang dibuat setelah Lupus SMA hits); ceritanya ya seputar keseharian kayak dia bolos karena pengen ke mall, dia pura-pura sakit, dia main permainan anak-anak di masanya. Sedangkan Dilan kecil ini, jatohnya creepy. Kepolosannya memang digambarkan; cara dia nanggepin hukuman, ‘seteru’nya dengan akang penjaga mesjid, relasinya dengan Bunda, Ayah, kakek, dan Mak Syik – yang cara didik masing-masing seems mempengaruhi perkembangan Dilan, tapi adegan-adegan tersebut dengan cepat dikesampingkan karena begitu Dilan udah ketemu Mei Lien, pov anak ini balik kayak remaja yang udah kita kenal. Man, bahkan Sadam ngejailin Sherina terasa lebih genuine ketimbang Dilan yang udah punya bakat dipuja sejak dini.

Dua jam pun habis dengan cerita ngalor-ngidul tanpa ritme. Padahal sebenarnya hal yang bisa jadi daging cerita itu ada di sana. Dari situasi sosial pada era itu, misalnya. Film ini bisa saja membuat Dilan not aware ama situasi Mei Lien, karena dia masih anak-anak.  Film bisa saja mengontraskan dunia anak-anak mereka dengan realita di background, sehingga cerita bisa lebih menggigit. Atau ya, persoalan persahabatan Dilan dan Mei Lien langsung aja dijadikan fokus. Menjadikannya cuma muncul di akhir membuat film jadi terlalu mengulur. Dan karena di akhir film, dengan cepat persoalan itu terlepas. Bahwa film tetap tidak fokus di sana. Fokusnya ya Dilan saja. Mei Lien cuma love interest yang ‘lepas’ tapi masih dikenang.

The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for DILAN 1983: WO AI NI

 

 

 

HIT MAN Review

Tadinya kukira film ini ala John Wick, you know, tipikal ‘pria biasa yang dipush untuk balas dendam, dan ternyata dia memang mantan assassin handal” seperti yang lagi ngetren belakangan. Oh, I couldn’t be more wrong. Hit Man karya terbaru Richard Linklater mematahkan ekspektasi remehku, sembari mematahkan ekspektasi semua orang tentang pembunuh bayaran; image yang kita bentuk lewat gambaran media. Terinspirasi dari Gary Johnson yang kerjaannya jadi pembunuh palsu untuk membantu polisi nyetop kriminal, Hit Man dibuat oleh Linklater sebagai dark rom-com(?) yang bukan saja menghibur tapi juga punya bahasan berbobot tentang bagaimana kita memandang diri sendiri.

Gary di cerita film ini seorang profesor psikolog. Di kampus, dia ngajarin soal gimana kita terkadang terhanyut dalam identitas karangan sendiri. Tanpa dia sadari, soon pria yang happy dengan hidupnya yang aman dan biasa-biasa saja itu kemakan omongan sendiri. Karena di kerjaan sampingannya, Gary diminta polisi untuk membantu memancing pengakuan dari orang yang ingin melakukan pembunuhan, dengan menyamar sebagai pembunuh bayaran. Sebagai psikolog, Gary suka meriset ‘klien’nya, dan dia bakal muncul sebagai persona hit man yang berbeda-beda tergantung klien. Inilah ketika Gary mencicipi banyak identitas, dan dia mulai hanyut ke dalam salah satu persona, yaitu Ron. Hit man cool untuk klien wanita cantik yang ingin membunuh suaminya.

Bahasan identitas dan psikologisnya ini yang membuat Hit Man jadi sangat menarik. Film ini sepert sisi mata uang sebaliknya dari The Killer (2023).  Basically, film itu  membahas gimana assassin gak mesti jago banget, eventho tiap orang bakal berusaha ngasih the best dalam pekerjaan mereka. Sedangkan film ini, implies, orang biasa seperti Gary bisa percaya mereka as a person adalah pembunuh bayaran yang handal, jika mereka serius membangun identitas itu. Nonton ini aku semakin ngakak karena kebayang si Gary ini kalo main kuis-kuis trivia ‘personality/karakter apa kamu?’ dia pasti milih hasilnya dulu, lalu baru menjawab tiap pertanyaan dengan hasil pilihan tadi sebagai patokan. Naskah dan arahan yang cerdas ini semakin lengkap menghibur karena cast yang tepat. Glen Powell, yang dulu aku taunya dari serial Scream Queens yang di sana dia smooth banget jadi jerk, love interestnya Emma Roberts, main sangat hilarious menjadi banyak ‘cosplay’ pembunuh bayaran. Glen sendiri mungkin lebih jago dari karakternya, Gary, karena dia tidak kehilangan beat dan tidak larut ke dalam begitu banyak ‘karakter’. Melihatnya, kita tetap bisa melihat di dalam sana ada Gary yang mencoba berpegang pada siapa dirinya, tapi hal menjadi semakin rumit, dan mendorongnya untuk mencoba hal ‘baru’ – sesuatu yang sedari awal tampak bikin dia penasaran di balik sikap sederhananya.

The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold stars for HIT MAN

 

 

 

MALAM PENCABUT NYAWA Review

Walau film buatannya pernah laku, tapi aku belum menemukan hal ‘original’ dari arahan horor Sidharta Tata. Malam Pencabut Nyawa, horor yang melintas ke garis genre superhero karena aspek protagonis punya kekuatan untuk memberantas penjahat, pun buatku masih terasa seperti ‘adaptasi’ dari unsur-unsur yang sudah pernah ada. Pertama, tentu saja cerita makhluk jahat yang membunuh orang di alam mimpi mengingatkan kita kepada Freddy Krueger dan franchise film A Nightmare on Elm Street. Kedua, aku toh memang merasa ceritanya banyak mirip dengan game Fatal Frame 3. Game horor tentang karakter yang merasa bersalah atas kematian kekasihnya, sehingga setiap tidur dia mimpi mengikuti kekasihnya ke sebuah rumah besar. Di dalam sana, dia melihat orang lain terbunuh oleh hantu perempuan di sana, dan saat terbangun dia mendengar berita kematian dari orang yang ia lihat di dalam mimpi. Si hantu perempuan adalah korban ritual, ditumbalkan oleh desa, dan dia punya pacar yang menangisi kematiannya. Membuat dia bangkit jadi hantu alam mimpi. Kurang lebih mirip gak sih dengan Respati yang selalu mimpiin hantu orangtuanya yang kecelakaan, yang di alam mimpi melihat orang lain dibunuh perempuan yang jadi hantu karena dibunuh warga, dan si hantu punya anak kecil yang menangisi kematiannya? Shot mata Sukma menjelang ajalnya bahkan mirip dengan shot mata Reika Kuze saat jadi tumbal ritual.

Pada akhirnya memang bukan kemiripan atau katakan saja, cocokologinya yang jadi kekurangan. Tapi karena kekurangmantapan film ini membentuk ceritanya, sehingga jadi kerasa kayak gabungan dua elemen. Sukma si hantu ratu ilmu hitam di alam mimpi harusnya bisa jadi ikon villain horor lokal, seperti gimana Freddy jadi begitu ikonik, tapi statusnya sebagai final boss seperti Reika jadi melemah karena film ini ngasih twist ada manusia yang jadi dalang semua. Sukma akhirnya jadi kayak puppet saja. Battle antara Respati yang jadi Dream Warrior – kalo mau minjam istilah di film Elm Street – dengan Sukma jadi terasa kurang penting karena dengan si dalang-lah sebenarnya journey Respati punya keparalelan. Film ini tidak berhasil membangun alam mimpi itu sebagai momok karena sebenarnya ada musuh yang lebih ‘nyata’ di dunia nyata. Bentukan cerita film ini jadi aneh. Di awal juga sebenarnya aku ngerasa ada yang janggal dari gimana film ini ngebuild Respati gak bisa tidur sebagai insomnia. Karena kayak gak nyambung. Apakah Respati gak bisa tidur malam karena takut didatangi hantu orangtuanya? Kenapa dia takut kalo sebenarnya konflik personalnya adalah merasa bersalah atas kecelakaan mereka? Sekali lagi, ini membuatku merasa naskah seperti campuran yang belum lagi rapi dan matang, antara elemen remaja yang ngalami fenomena takut tidur karena takut dibunuh Freddy di mimpi, dengan elemen Fatal Frame 3 yang karakternya justru pengen tidur terus karena mau bertemu dengan roh kekasih, karena dia masih merasa bersalah dan pengen bertemu satu kali lagi dengannya.

Yang belum matang sayangnya gak cuma naskah. Tapi juga arahan dan akting. Kadang kita ngerti arahan editingnya apa, kayak sekali waktu saat film ingin menerapkan editing komedi. Tapi aktingnya yang gak jalan. Ekspresi muka yang gak kontinu. Raut yang gak jelas sedang merasakan takutkah, atau sedihkah, atau ngantukkah. Terus ada juga editing yang bikin mestinya gak lucu tapi jadi lucu. Misalnya ketika ada tangan setan muncul tiba-tiba dari dalam lubang di pohon. Alih-alih langsung munculin tangan, film malah kayak ngecut dan nyambungin videonya dengan shot yang ada tangan setannya. Jadinya film ini awkward, padahal kalo digarap lebih matang, bisa saja film ini jadi Elm Street versi lokal sehingga fresh sendiri, dengan cerita karakter yang lebih natural.

The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for MALAM PENCABUT NYAWA




THE STRANGERS: CHAPTER 1 Review

Ini siapa sih yang ngide bikin The Strangers – thriller home invasion yang jadi cult-success – ke dalam chapter-chapter? And worse, dengan treatment berupa membagi chapternya itu beneran berdasarkan per babak sehingga film Chapter 1-nya ini literally baru babak satu dari tiga-babak film superpanjang? Karena alhasil, film Renny Harlin ini jadinya boring banget.

Masih mending kalo bahasan di film ini mendalam. Nyatanya, gak ada yang bisa kita bicarain di sini karena filmnya memang gak bicara apa-apa. Cuma nunjukin sepasang kekasih, mobil mereka rusak sehingga harus menginap di kabin terpencil di ujung kota kecil, dan malam itu mereka disatroni tiga orang asing bertopeng. Ini film satu jam habis cuma ngeliatin mereka mengendap-ngendap, lalu ketangkep, dan lantas bersambung. Tidak ada bantering yang berarti dengan pembunuh. Tidak ada adegan sadis yang ‘menghibur’. Tiga puluh menit sebelumnya pun tidak diisi dengan set up karakter yang proper, Maya dan Ryan begitu bland, dan yah, mereka masuk kategori standar; karakter yang ngelakuin hal-hal bego. Padahal dalam horor yang bagus, penting bagi film untuk memberikan karakter yang dalam situasi mencekam, keputusan mereka realistis, atau at least bisa kita setujui sebagai tindakan yang ‘benar’.  Karena itu yang membuat kita peduli dan mungkin relate dengan survival mereka. Jika film gagal membuat mereka melakukan hal tersebut, maka penonton bisa dengan cepat berbalik menjadi ngecheer pembunuh untuk segera melakukan hal-hal ‘menghibur’ kepada mereka. Sebenarnya, masih bisa fun neriakin karakter yang keputusannya blo’on kayak gitu, tapi film ini begitu menjemukan, build up terornya cuma kayak ngulur-ngulur – karakter pembunuhnya pun sama boringnya karena gak benar-benar melakukan apa-apa. Sehingga aku bahkan gak punya tenaga untuk sekadar neriakin mereka buat seru-seruan.

The Palace of Wisdom gives 1 out of 10 gold stars for THE STRANGERS: CHAPTER 1

 

 

 

THE WATCHERS Review

Ishana Shyamalan, dalam debut penyutradaraannya ini, berhasil melampui sang ayah. Ya, dia berhasil membuat film yang bahkan lebih payah daripada The Happening (2008). The Watchers, horor fantasi yang diadaptasinya dari novel, tampak asik sendiri di dalam bangunan misteri dari mitologi yang tak-menginspirasi. Penceritaannya gak punya ritme, arahan dan aktingnya cringe banget kayak produksi untuk televisi.

Looksnya aja yang kinclong. Padahal bayangin aja mentoknya antara vibe di hutan kelam yang menyesatkan dan mendekam di ruangan kotak, dengan kamera atau gambar yang super jernih. Sama sekali tidak menyokong pada vibe misteri yang berusaha disampaikan. Yang ada, film malah jadi kayak dongeng yang dibuat-buat.  Nonton ini kayak kita mendengar bualan orang yang awalnya aneh sampai bikin penasaran, tapi semakin ke sini anehnya semakin terasa gaje sehingga kita jadi gak peduli lagi dan membiarkannya bicara apapun sesuka hati. Apalagi karena Ishana berusaha bermain dengan pesona khas ayahnya, yakni memasukkan twist untuk ngespark cerita. Tapi twist-twistnya tersebut tidak pernah terasa signifikan, sebab cuma pengungkapan yang sebenarnya juga gak perlu ditreat sebagai twist.

Mitologi peri dan hubungan makhluk itu dengan manusia harusnya sudah dilandaskan supaya kita punya pegangan jelas terhadap arahan dan ritme cerita. Supaya kita gak tersesat kayak para karakternya. Yang penampilan aktingnya pun terasa ala kadar. Aku kaget banget saat sadar bahwa pemeran protagonisnya itu Dakota Fanning. Aku takjub bahwa ada juga sutradara yang bisa bikin karakter yang begitu underwhelming sampai-sampai sekelas Dakota aja gak keluar pesona aktingnya. Bahkan di Twilight aja masih bisa bikin dia kinda memorable. Ah, mungkin itu satu lagi ‘keberhasilan’ Ishana.

The Palace of Wisdom gives 2 gold stars out of 10 for THE WATCHERS.

 

 

 

TRIGGER WARNING Review

Ternyata justru film Mouly Surya ini yang ala John Wick. Hebat ya, sutradara kita actually ngedirect film luar. Cuma masalahnya, gak ada yang ordinary dari jagoan cewek ala John Wick di sini. Parker, diperankan oleh Jessica Alba (Hebat ya, sutradara kita ngedirect Jessica Alba!!) adalah cewek serbabisa, serbacakap, yang membalas dendam.  Walau Mouly berusaha keras bikin protagonisnya ini tampak vulnerable di momen-momen personal, tapi bentukan karakter pada naskah Trigger Warning terlalu Hollywood. Ini adalah film yang dibuat hanya layaknya mesin untuk agenda ‘cewek jaman sekarang kudu jagoan’.

There’s no other ways to say it. Sutradara kita ternyata hanya jadi korban berikutnya dari kebiasaan Hollywood yang suka ambil sutradara asing atau ‘indie’, dan completely missed the points, dengan memberi mereka proyek yang seperti versi simpel dan mainstream dari apa yang membuat sutradara tersebut diperhitungkan. Kurang lebih sama-lah kayak waktu Chloe Zhao ketika didaulat untuk direct superhero Eternals (2022). Practically cuma buat sinematografi battlefield doang, mentang-mentang Zhao sukses bikin drama kehidupan nomad di gurun yang menggugah. Film Trigger Warning hampir seperti cuma ngeliat betapa Marlina yang menggotong kepala pria di padang ala western sebagai simbol feminis yang badass, dan itulah yang diassign kepada Mouly Surya. Bikin karakter cewek hard, jagoan, dan jadikan itu ke dalam gambar-gambar ciamik. Sementara naskahnya relatif dangkal dengan hal-hal stereotipe (yang bahkan menyerempet ranah kurang sensitif) dan muatan crime yang pengen kayak thriller misteri tapi ternyata pay offnya begitu sederhana, dan  predictable nyasarnya bakal ke mana.

Untuk actionnya memang tidak diarahkan untuk stylish, tapi cenderung rough. Dan ini sebenarnya bagus, jadi ‘karakter’. Aku awalnya juga tertarik, karena Parker yang kembali ke kampung karena ayahnya meninggal terlalu mendadak untuk dibilang wajar, itu punya senjata pilihan yaitu pisau. Yang juga merupakan simbol koneksi dia dengan sang ayah. Aku pikir film sedang ngebuild up perihal keparalelan antara dia dengan pisaunya, dan dia dengan ayahnya. Tapi hal tersebut ternyata dengan cepat jadi gak penting, karena ya, Parker nanti berjuang membalas dendam dengan banyak senjata lain.

The Palace of Wisdom gives 4 gold star out of 10 for TRIGGER WARNING.

 

 

 

UNDER PARIS Review

Untuk film terakhir di Volume ini, kita berenang ke Perancis. Dan kita berenang bersama hiu! Premis horor binatang buas karya Xavier Gens ini sebenarnya menarik. Dia memanfaatkan kota Paris dan keunikan struktur jadi panggung berbeda dari sebuah action survival manusia dari serangan hiu. Namun ada gangguan mayor yang menghalangi kita untuk fully menikmati sajiannya ini. Karakter manusia yang sebenarnya technically gak bego (karena ilmuwan), hanya saja mereka hampir semuanya cenderung annoying.  Film bahkan udah ngeset up betapa annoyingnya pilihan karakter di film ini sedari adegan opening. Hasilnya tetep sama sih. Kita neriakin “Goblog!!” ke layar.

Film ini masih bisa worked out semisal mereka ada di arahan yang over-the-top. Tapi film ini memilih untuk serius. Like, di balik teror hiu film ini menyimpan pesan untuk lingkungan. Kota Paris dan keadaan sungai Seine  dibikin berperan, benar-benar dieksplorasi sebagai ‘habitat’ karakter manusia yang di-examine oleh cerita. Film ini menyentil politisi yang kebijakannya hanya untuk cuan, tidak untuk kepentingan masyarakat ataupun peduli sama lingkungan. Film juga melihat ke dalam lingkungan aktivis alam dan satwa. Dan lucunya, aku kepikiran jangan-jangan film ini adalah cara pembuatnya nyampein ajakan untuk bersihin sungai. Karena memang, di akhir cerita, film berubah menjadi lebih seperti film bencana-alam. Konsekuensi atau dampak terbesar justru datang bukan dari serangan hiu-hiu tersebut.

Atau ya, kalo memang mau seserius itu, film ini kudu ngasih naskah perhatian yang lebih. Karakter diperdalam, berikan development. Konflik mereka jangan dibuat datang dari betapa annoyingnya masing-masing memegang kepercayaan (dan kalo bisa, solusi yang mereka percaya itu jangan bego-bego amat) Put more thought on it, dan film ini akan bisa hit us different.

The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for UNDER PARIS.

 




 

 

That’s all we have for now

Bener kan, volume pembuka musim panas ini belum benar-benar menggugah selera. Semoga bulan depan film-filmnya lebih seru!

Thanks for reading.

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA