“Be afraid not to try”
Sebagai novel, Bumi Manusia yang ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer sempat dilarang beredar karena penguasa Orde Baru mengaitkan buku dan pengarangnya dengan paham Marxisme-Leninisme alias ajaran komunis. Sebagai film, Bumi Manusia yang ditulis oleh Salman Aristo dan disutradarai oleh Hanung Bramantyo sempat dihujat karena tokoh utamanya diberitakan bakal dimainkan oleh Iqbaal ‘Dilan’ Ramadhan. Maan, lihatlah ketika orang mencoba berkarya, pasti bakal ada saja halangannya. Beruntung, tidak ada orang-orang di balik Bumi Manusia yang berprinsip seperti Homer Simpsons. Yang takut sebelum benar-benar mencoba.
Malahan, film ini adalah tentang mencoba itu sendiri. Tokoh-tokohnya berhadapan dengan kenyataan bahwa seberapapun kuatnya mereka mencoba, resiko gagal dan kalah dan semakin nelangsa itu tidak semakin berkurang. Film berkata jangan takut untuk terus mencoba, untuk melihat kehormatan dalam perbuatan untuk mencoba melakukan sesuatu menuju yang lebih baik. Indonesia pernah dijajah. Lama sekali. Bayangkan jika pahlawan-pahlawan takut mati – takut untuk mencoba menggapai kemerdekaan.
Hanung Bramantyo jelas tidak gentar. Malahan he actually did a really great job as a director here. Keraguan beberapa penggemar novel aslinya akan kemampuan Iqbaal memerankan Minke terpatahkan dengan manis. Dan bukan hanya Iqbaal, pemain-pemain muda seperti Mawar Eva de Jongh yang berperan sebagai Annelies bermain dahsyat. Tantangannya di sini sangat berat, Mawar dituntut bermain dengan ekspresi dan tokohnya benar-benar ‘tertutup’ oleh gejolak mental; itu semua tersampaikan dengan sangat mulus. Dia juga disuruh beradegan jatuh, hihihi lucu sekali. Kuhitung ada empat kali Annelies ini beradegan lagi jalan gak taunya jatuh. Lima kalo ditambah satu adegan dia jatuh saat sedang duduk. Tokoh teman-teman Minke juga ditangani tidak main-main, pemeran-pemeran mereka menampilkan performa yang jauh dari kelas ‘sinetron’. Aktor yang lebih senior juga enggak kalah edannya. Sha Ine Febriyanti benar-benar seperti ditakdirkan untuk bermain sebagai Nyai Ontosoroh. Meskipun karakternya mirip sama Nyai di film Nyai/A Woman from Java (2016) garapan Garin Nugroho – latar belakangnya sama, statusnya sama, keadaan suaminya sama – Sha Ine memberikan nafas tersendiri yang menguar kuat. Dia bahkan tampak lebih dominan ketimbang Minke. Hanung really directs the shit out of everyone. Maka aku yakinkan kepada para penggemar novel Bumi Manusia yang mungkin masih was-was; Tokoh-tokoh favorit kalian berada di tangan yang benar. Aman. Hidup. Bernyawa dengan penuh karakter.

Menghidupkan zaman sebelum masa kolonial, film ini tampak sungguh menawan. Tampilan visual seperti ini memang sudah diharapkan dari produksi Falcon Pictures yang berbudget gede. Jadi mungkin porsi pujian lebih besar baiknya kita sampaikan kepada usaha menghidupkan keadaan sosial cerita ini. Bumi Manusia semarak oleh ragam bahasa (melayu, belanda, jawa, madura, dan sedikit cina) dan tingkatan sosial yang tergambar tanpa tedeng aling-aling. Satu frame menunjukkan orang pribumi dan anjing duduk bareng di depan dinding tempat makan yang bertuliskan “Pribumi dan hewan dilarang masuk” Sejak dari adegan pertama film sudah melandaskan tangga sosial yang bekerja di lingkungan cerita; tempat di mana karakter-karakter kita hidup. Yang lantas menjadi device utama untuk kemunculan konflik-konflik. Bumi Manusia memang dijual sebagai kisah cinta tragis antara Minke dan Annelies. Tapi konteks kehidupan sosial yang menjadi habitat tokoh-tokohnyalah yang membuat film ini menarik dan menantang untuk disaksikan. Karena mirip dengan kehidupan kita sekarang.
Minke hidup pada masa peradaban Barat lagi maju-majunya. Gaya hidup Eropa pun dijunjung tinggi oleh masyarakat. Minke salah satu yang kagum pada peradaban Barat tersebut. Dia menyebut dirinya, yang pribumi anak bupati, sebagai manusia modern. Dia tidak mau terikat peraturan. Teman karibnya adalah seorang campuran (Indo) yang disebut bakal jadi orang pertama yang mencuci darah pribuminya saat teknologi cuci darah itu ditemukan. Tapi Minke tak bisa lari dari kenyataan kulitnya gelap, rambutnya hitam, badannya kecil. Minke adalah bangsa jajahan yang mencoba menjadi kaum kulit putih yang berada di puncak kelas sosial. Minke belajar keras, ia menghapal peradaban modern dan sejarah-sejarah kaum penjajah. Ketika dia bertemu dengan Annalies dan Nyai Ontosoroh-lah, pandangan dirinya terhadap semua itu mulai berubah. Annalies adalah Indo berwajah bule (cantik kayak dewi, kalo boleh mengutip kata Minke) yang dengan naifnya mencoba untuk mewujudkan mimpinya dianggap sebagai pribumi. Sedangkan ibunya, Ontosoroh, adalah istri tak-sah dari pedagang Belanda (gelar Nyai hanyalah sebutan yang lebih sopan untuk kata ‘gundik’) yang di mata Minke sudah mencapai posisi yang ia idam-idamkan; sejajar dengan bangsawan Eropa. Perkenalan itu membawa Minke kepada pandangan bahwa sikap dan mutu orang tidak diukur berdasarkan bahasa yang diucapkan, pakaian yang dikenakan, warna kulit-mata-rambut, dan apapun itu yang selama ini ia percaya.
Karena diadaptasi dari novel setebal lebih dari tiga ratus halaman, dengan banyak tokoh di sekitar tiga sentral (Minke – Annalies – Ontosoroh), film melakukan banyak manuver untuk memasukkan elemen-elemen yang sejatinya bikin pembaca sejati yang nonton ini bakal ngamuk jika ditinggalkan. Backstory tokoh dimunculkan dalam flashback-flashback yang berusaha tampil berbeda dari kebanyakan. Enggak sekedar membuat frame blur atau dengan bunyi ‘krincing-krincing’. Set up dilakukan dengan sangat baik sehingga kita jadi langsung mengerti hubungan dan derita yang harus ditanggung oleh para tokoh sembari tetap mencoba membuat hidup lebih baik. Setelah midpoint – sekitar Minke setuju untuk menjadi ‘dokter’ dari penyakit aneh Annelies – intens cerita semakin naik. Ada lebih banyak sejarah tokoh yang terungkap. Untuk tidak menspoil terlalu banyak; Keluarga Annelies benar-benar fucked up, alias celaka. Peran Minke semakin kalah dominan sebab dia hanya sekadar beraksi terhadap kejadian-kejadian yang menimpa Annelies dan keluarga.

Film benar-benar mencoba untuk memberikan ‘kerjaan’ kepada tokoh utamanya. Minke yang cerdas diperlihatkan menulis sebagai upaya perlawanan terhadap penindasan yang dilakukan Belanda terhadap keluarga Annalies. Seolah ada perang jurnalistik antara dia dengan temannya. Montase dari Minke menulis menggunakan nama pena, hingga dia berani menggunakan nama asli, dilakukan untuk membuat Minke ada kerjaan. Dalam film akan ada dua adegan persidangan, dan Minke terlibat di dalamnya. Tapi tidak benar-benar banyak yang ia lakukan karena drama dan konflik datang menghujam pihak Annelies dan Ontosoroh. Hal menarik terjadi di mereka, bukan lagi pada Minke. But film really tried. Hingga ada satu dialog yang menyebut Minke berhasil menyelesaikan kasusnya di persidangan. Padahal kenyataannya adalah Minke tidak melakukan hal penting; kasusnya selesai karena salah satu tersangka mengaku begitu saja. Dan ada satu ketika Minke mendadak menulis tentang hukum Islam. Film menggambarkan dia brilian karena mengadu hukum Eropa dengan hukum Islam. Ini menarik sebenarnya, hanya saja soal Islam tidak dibangun sedari awal. Minke tidak diperlihatkan berhubungan dengan agama, namun tahu-tahu dia menulis tentang Islam. Yang pada akhirnya elemen ini terasa lebih seperti untuk menunjukkan desperatenya seseorang ketika ia mencoba untuk melakukan sesuatu.
Pun begitu, perlawanan Minke dan Ontosoroh terhadap Belanda terasa tidak masuk akal. Kita bisa paham mereka merasa diperlakukan tidak adil. Apalagi konteksnya adalah mereka yang pribumi sedang berurusan dengan Belanda si kulit putih puncak rantai makanan. Secara natural kita akan mendukung dan bersimpati pada pihak yang kelihatan lebih susah; mereka baik, pihak yang satunya jahat. Kita memang harus mencoba tapi mbok ya harus sesuai, jangan baper. I mean, yang Minke lakukan ialah dia berusaha menjegal hukum yang sah. Beberapa kali aku malah mengiyakan tuntutan Belanda, karena yang mereka pinta lebih masuk akal dibanding pembelaan Minke. Status Ontosoroh yang tidak dinikahi sah tentu membuat ia tidak punya hak legal terhadap anaknya yang bapaknya Belanda. Tentu hukum Belanda yang dipakai karena tentu saja Belanda ingin melindungi hak warga negaranya. Tapi perlawanan Minke seolah mengotakkan peradaban dan ilmu pengetahuan bisa dilawan dengan kemanusiaan dan agama. Belanda yang mutakhir harus tetap dipandang jahat meski ia hanya mau mengantarkan dokter dari pihak mereka kepada Annalies. Dan ini mendapat sedikit perlawanan dari naskah yang mengetengahkan “Belanda gila sama parahnya dengan pribumi gila”. Ada kesan seolah film ingin membuat kita melihat bahwa yang ‘jahat’ itu sesungguhnya adalah pribumi yang gila-barat.
Sepanjang durasi film ada banyak hal-hal yang megecoh pada film ini. Yang membuatku jadi berpikir yang tidak-tidak, seperti seolah tertanam hal-hal lucu, padahal mungkin film tidak meniatkan seperti itu. Dan pikiran itu timbul karena film seolah mengarah ke sana. Seperti misalnya soal penyakit Annelies. Ada adegan-adegan yang menekankan tentang penularan penyakit sifilis yang bakal membuat kita menghubungkan ini kepada Annelies. Ataupun soal Annelies yang tampak seperti meminta ibunya menikah dengan Minke. Kenapa aku bisa mikir ke sana? Karena di adegan perkenalan, Minke dibuat lebih terpesona melihat Ontosoroh ketimbang melihat Annelies. Dan kemudian sepanjang cerita, Minke diledek jadi simpanan seorang Nyai. setiap kali Minke diundang datang, keluarga Annelies ribut – saling bertengkar. Kalo aku Minke aku bakal curiga jangan-jangan mereka semua lagi belajar sandiwara dan aku diundang sebagai penonton percobaan. Heck, saat Surhoof dengan jelas tampak cemburu meski dia bilang hanya suka cewek Belanda tulen, aku langsung kepikiran jangan-jangan Surhoff – yang menggoda Minke dengan “Ih kamu bau” – sebenarnya cemburu sama Annelies… Sukurlah soal Surhoof ini eventually beneran dibahas oleh cerita.
Ketika selesai menonton ini, dalam perjalanan menuju mall lain untuk menonton Perburuan (2019), aku memikirkan ulang cerita. Apa yang sebenarnya jadi pertanyaan utama pada narasi. Apa yang dijawab terakhir sebagai kesimpulan. Juga rentetan kejadian-kejadian pada Bumi Manusia. A whole lot of them. Yang ternyata tidak semuanya terbahas tuntas. So in retrospect, aku bertanya kepada diri sendiri; apa cerita ini benar-benar harus untuk menjadi tiga jam. Tidakkah ada elemen yang bisa dihilangkan tanpa mengubah tujuan cerita. Tidakkah ada tokoh yang mestinya bisa dirangkum supaya tidak ada yang muncul dan hilang tanpa penjelasan. Tentunya adaptasi tidak harus menyadur utuh semua materi asli kan.
Yang jelas, film berhasil menangkap daya tarik dari cerita ini. Konteks sosial yang masih saja relevan, hubungan cinta yang manis walaupun tragsi (in fact, semakin tragis semakin manis), menghidupkan tokoh-tokoh yang dicintai oleh pembaca novelnya. Dan tentu saja dialog yang quotable banget. Hanya saja penceritaan sepertinya bisa dilakukan dengan lebih efisien. Ada banyak karakter, Mellema, Mellema, yang membuat cerita melemah karena Minke si tokoh utama tidak lagi sesignifikan mereka. Seharusnya penyesuaian yang lebih dilakukan di sini. Tapi ini tetaplah sebuah film yang epik, tidak banyak yang berani tampil sebesar ini. Jikapun mulai merasa bosan, jangan khawatir karena kita masih bisa menemukan lucu-lucu yang tak sengaja tersirat (kuharap tak-sengaja) di dalam cerita.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for BUMI MANUSIA
That’s all we have for now.
Menurut kalian si Annelies sakit apa sih?
Share with us in the comments
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.