Membela teman yang di-bully dan pada gilirannya tidak mengadukan apa-apa – kepada ibunya, kepada guru, kepada orang dewasa – tentang hal tersebut lantaran ia enggak mau perpecahan semakin besar karena mengungkit masalah; mungkin itu sebabnya Alex (Louis Ashobourne Serkis, temuan baru sang sutradara) mampu mencabut pedang Excalibur dari batu. Alex, seorang anak dua-belas tahun di era modern Britania Raya, telah menunjukkan sikap dan semangat yang tak-pelak dihargai oleh seorang kesatria seperti Raja Arthur dalam legenda. Kesetiaan, keberanian, pendirian untuk menegakkan persatuan sebagai prioritas utama. Kalian tahulah; sikap-sikap kepahlawanan.
Pedang Excalibur yang ia dapatkan mengingatkan Alex pada buku cerita yang seingatnya dulu diberikan oleh Ayah kepadanya. Tapi tidak sebatas rasa rindu yang diberikan oleh pedang tersebut. Masalah juga. Alex diserang oleh makhluk seperti zombie kesatria yang datang menyala bara api dari dalam tanah. Berkat informasi dan gemblengan dari seorang penyihir yang mengambil wujud anak muda berbodi kutilang (paling tidak sampai dia bersin, yang mengubah wujudnya menjadi seekor burung hantu), Alex mengerti bahwa dirinya terpilih sebagai Arthur masa modern. Tugas yang harus ia lakukan adalah mengalahkan Morgana, penyihir jahat berwujud monster yang ingin merebut Excalibur dan memecah belah dunia saat gerhana bulan empat malam lagi tiba. Untuk itu, Alex musti mengumpulkan Ksatria Meja Bundar versi dirinya sendiri, dari teman maupun lawan, dan berkelana bersama mencari sosok Ayah yang diyakini Alex adalah Raja Arthur yang sebenarnya.
Alex dan keadaan sosial tempatnya tinggal dijadikan perbandingan menarik terhadap kode-kode kekesatriaan tradisional oleh film ini. Sebagai cara mereka mempertanyakan ke mana perginya nilai-nilai luhur tersebut. Namun misi utama film ini sebenarnya adalah memperlihatkan dongeng kesatria kepada anak-anak seusia Alex yang mungkin sudah terlalu disibukkan (kalo tidak mau disebut dimanjakan) dengan kemudahan dan kenyamanan. Dalam film ini kita akan melihat Alex dan teman-temannya bertualang, dan bukan monster-monster perut bumi itu yang mengancam keutuhan mereka – melainkan kenyataan bahwa begitu gampangnya kelompok mereka terpisah; begitu banyaknya hal-hal yang membuat mereka terpecah.
Anak-anak jaman sekarang disebut lemah dan manja bukan exactly karena fisik dan tenaganya. Bukan karena mereka gendut kebanyakan duduk main gadget. Melainkan karena keogahan mereka untuk bersusah payah main keluar, mencari teman beneran, dan bersama-sama melakukan sesuatu yang mereka percaya. Anak-anak sekarang hanya kurang bersemangat menunjukkan sikap-sikap kesatria yang mungkin tak mereka sadar mereka miliki.
chivalry is not dead, Superman is
Film ini dibuka dengan sekuen animasi yang menawan yang memaparkan kisah Raja Arthur yang melandasi petualangan Alex. Babak penutup film ini pun tak kalah menariknya; ketika Alex dan teman-teman menjadikan sekolah sebagai benteng pertahanan – mereka mengenakan baju zirah, dengan pedang-pedang, menyulap papan gym menjadi kuda-kuda gauntlet, dan memasang jebakan untuk pasukan monster yang datang menyerbu. Pertempuran dalam film ini selalu berat oleh CGI tapi cukup memuaskan untuk dilihat, terlebih pertempuran terakhir yang melibatkan anak-anak berterbangan ke sana kemari berusaha mendaratkan monster terbang yang mengerikan. Pembuka dan penutup; itulah momen-momen terbaik yang bisa diusahakan oleh film ini. Sementara bagian di antaranya; bagian yang punya porsi paling lama – mengingat film ini berdurasi dua-jam, begitu datar sehingga hampir membosankan jika kita tidak dibawa keliling dataran Inggris yang punya pemandangan menawan.
Bukan sebab karena penulisannya – The Kid Who Would Be King ditulis dengan struktur yang bener. Kita dengan jelas dapat melihat motivasi Alex, kita melihat tantangan yang harus ia hadapi, kita melihat dia menyimpulkan apa yang harus ia lakukan, kita melihat dia belajar tentang apa yang harus ia lakukan, kita juga menyaksikan bagaimana dia mengambil jalannya sendiri. Hanya saja, Alex tidak pernah tampil benar-benar menarik. Untuk mencolok saja, dia butuh jaket merah sementara teman-teman di sekitarnya memakai jaket berwarna gelap. Selain bergantung kepada buku cerita yang berfungsi sebagai petunjuk baginya – yang merupakan aspek yang dibutuhkan dalam formula cerita semacam ini, Alex tidak punya kebiasaan yang membuat dirinya menarik. Kita tidak tahu hobinya apa. Aku akui, Alex ini adalah tipe anak baek-baek yang aku biasanya ledekin di sekolah, bukannya aku termasuk tukang bully, tapi sama-sama tahulah, akan ada satu anak pendiem di setiap sekolah yang jadi bahan candaan anak-anak lainnya. Anak itu adalah si Alex, dan Bedders – sohib Alex. Tidak ada yang unik dari kedua anak ini. Saat ‘berantem’ dengan para ksatrianya, Alex akan membuat kita menguap dengan kata-kata ‘sok baik’nya yang membuat kita memohon mereka langsung saja jotos-jotosan.
Bicara soal dialog, film ini membuat adegan animasi keren di pembuka itu menjadi tidak berguna, karena apa-apa yang sudah dijelaskan dengan visual menarik tetap saja diulang kembali saat para tokoh mengucapkan dialog-dialog eksposisi. Film seharusnya memfokuskan dialog untuk pengembangan karakter saja, tidak perlu lagi menjabarkan tentang dunia Arthur. Atau malah, animasi pembuka itu enggak usah ada aja sekalian. Memilih, hanya itu yang harus dilakukan, enggak susah kok.
Sekali-kali Patrick Stewart akan muncul untuk membuat kita berpikir film ini penting
Adegan yang lebih banyak gerakan – seperti mereka latihan berantem melawan pohon, melatih anak-anak untuk menjadi prajurit, kejar-kejaran dengan monster – masih mampu untuk menghibur kita. Aku jadi menunggu-nunggu gerakan tangan annoying yang dilakukan oleh Merlin yang flamboyan sebab aku tahu bakal ada sihir dan keasikan menonton akan sedikit terangkat oleh keajaiban. Beberapa lelucon juga sanggup menghadirkan cekikikan di sana-sini. Aku suka sindiran yang film ini lakukan terhadap ayam goreng fast-food, paling enggak sampai film ini memutuskan untuk menjelaskan sindiran tersebut lewat omongan. Yang mana semakin menunjukkan sutradara Joe Cornish tidak sepede sebelumnya saat dia menggarap Attack the Block (2011) thriller alien yang begitu segar dengan arahan yang berhasil membuat perjuangan anak-anak remaja yang tak berkekuatan khusus – sama seperti The Kid Who Would Be King ini – sangat mencengkeram sehingga termasuk ke dalam Top-8 film favoritku tahun itu.
Ketimpangan antara penulisan struktur naskah dengan pengarahan ini semakin terlihat ketika pada setelah sekuens false-resolution, film menjadi seperti berakhir dan kembali dimulai. Seperti ada sekat yang memisahkan, yang membuat petualangan yang sebelumnya tidak lagi berarti meskipun sebenarnya kita paham ada pembelajaran yang dikenai kepada tokoh utama, ada kepentingan dalam perjalanan sia-sia yang mereka semua lakukan. Namun seperti yang aku tulis di atas, babak terakhir yang menarik ketimbang pertengahan yang bahkan ternyata mereka hanya mengejar hal yang basically tak ada – ada pembangunan yang runtuh seketika sehubungan dengan siapa ayah Alex – membuat kita berpikir seharusnya film ini fokus saja di sekolah. Jika ada yang menjanjikan petualangan aksi medieval dengan anak sekolah sebagai tokohnya, maka tentu hal unik yang kita pikirkan adalah membawa aksi tersebut ke lingkungan mereka, atau mungkin membawa mereka ke zaman yang bersangkutan. Benar-benar membentrokkan mereka. Bukannya malah membawa mereka jalan-jalan sebagian besar waktu.
Terasa lebih bermain aman ketimbang sebelumnya, Cornish membuat film fantasi anak-anak ini kurang menantang. Ia seperti tidak begitu mengimbangi bangunan naskah yang ditulis dengan baik. Film ini kurang exciting. Meski ia berhasil menjalankan fungsinya sebagai dongeng kekinian yang membandingkan moderen dengan tradisional dalam rangka menjunjung tinggi nilai persatuan. This is an okay film. Aman dan berbobot ditonton bersama keluarga. Hanya dengan sedikit terlalu banyak aspek-aspek yang datar, seperti hubungan Alex dengan ibunya, dengan teman-temannya yang lain, and heck, Alex barely has anything to do with Morgana, yang mestinya bisa dieksplorasi dengan lebih emosional lagi. The Palace of Wisdom gives 6 gold stars out of 10 for THE KID WHO WOULD BE KING.
That’s all we have for now.
Coba tanyakan kepada diri sendiri, apakah kalian mampu mencabut Excalibur dari batu?
Remember, in life there are winners. And there are losers.
We? We are the longest reigning PIALA MAYA BLOG KRITIK FILM TERPILIH.
Seperti yang kukatakan kepada dosen geoteknik pagi itu saat ujian semester keempat: “Maaf, saya terlambat.”
Tadinya memang seperti tahun-tahun sebelumnya aku pengen nungguin nonton semua nominasi Oscar dulu, supaya tak ada yang bikin aku merasa ah, seharusnya ini masuk… Tapi karena kelamaan dan aku merasa daftar favoritku sebenarnya sudah sangat solid – aku tidak mau merusaknya – maka aku memutuskan mengambil sikap. Daftar Top-8 ini aku keluarkan sehari sebelum pengumuman nominasi Oscar, dan kupastikan tidak akan ada penyesalan. Karena menurutku memang seharusnya kita masing-masing punya pendirian. Aku tahu lebih baik; tidak perlu mengulur-ulur demi satu film atau beberapa film, toh jika memang bagus mereka bisa dimasukin di daftar tahun depan. Kita tidak harus menunggu orang lain untuk memastikan apa yang kita tahu kita punya. Jika kita punya standar, tetaplah di sana.
Jadi ya, tahun 2018 kita sudah lihat begitu banyak kemenangan manusia yang percaya pada kemampuan dan apa yang dipilihnya. Kita melihat astronot berhasil mendarat di bulan. Penyanyi yang menggelar konser begitu besar. Robot yang mengalahkan monster raksasa. Kita juga disuguhkan dengan banyak cerita balas dendam, dengan masing-masing lebih unik dari sebelumnya. Meskipun kuakui, 2018 ini adalah tahun di mana aku paling sedikit ngasih angka di atas 8 tapi tidak berarti film-filmnya kebanyakan jelek (kecuali sebagian besar horor-horor Indonesia yang cuma pengen laku-lakuan). Film-film tahun ini banyak yang bersaing di angka 7, yang mana dalam sistem ratingku itu berarti banyak film-film yang menonjolkan idealisme mereka – dan ini adalah hal yang begitu positif.
Juga ada keseimbangan yang terjadi, karena di satu sisi kita banyak menjumpai film-film remake atau malah sekuel dari zaman 80-an dan di sisi lain kita dianugerahi sutradara-sutradara baru yang dengan berani mengusung ide segar dan sudut pandang yang belum pernah digali.
HONORABLE MENTIONS
Annihilation (thriller sci-fi yang memuaskan yang sekaligus bikin kita mempertanyakan apa manusia adalah kanker bagi dunia)
A Quiet Place (siapa bilang diam itu gampang?)
Blackkklansman (keseimbangan sempurna antara komedi dan tragedi)
Crazy Rich Asians (meski kayak ftv tapi gebrakannya dahsyat; film pertama sejak sekian lama seluruh cast Asia dalam produksi Hollywood; membuktikan diri itu penting!)
Creed II (sebuah film tentang bertinju yang mengingatkan kita untuk tetap berpikir menggunakan hati)
Green Book (penampilan akting kedua tokohnya akan menghibur kita di balik tema yang menyentuh)
Incredibles 2 (pergantian role dalam cerita superhero menjadikan sekuel yang ditunggu ini film yang menyegarkan)
Mid90s (potret anak yang mencari teman, alih-alih panutan, yang tak terasa dibuat-buat)
Mission: Impossible – Fallout (film aksi terbaik se2018, sebab semuana minus CGI!)
One Cut of the Dead (film paling asik sepanjang tahun, it’s not good but still manage to teach us a lot!)
Paddington 2 (dudukkan satu keluarga nonton ini dan rasakan kehangatan serta kelucuan menjalar)
Sebelum Iblis Menjemput (bisa juga Indonesia membuat horor gore yang menyenangkan ala cult kayak Evil Dead.. penulisan karakternya juga bagus)
Sekala Niskala (setiap shot di film ini layaknya puisi – gambarnya indah, tenang, menyeramkan)
Spider-man: Into the Spider-verse (usaha terakhir Sony menggarap Spiderman berhasil membuka banyak; peluang dan sudut pandang)
Suspiria (filmnya enggak bagus-bagus amat, tapi begitu aneh dengan gaya tersendiri sehingga aku dibuat penasaran dan menontonnya berulang kali)
Suzanna: Bernapas dalam Kubur (cerita balas dendam dengan tokoh seorang hantu. Pilu, namun beautiful, dan enggak jatoh over-the-top)
The Miseducation of Cameron Post (cerita di mana kelainan seksual dianggap sebagai penyakit ini dengan tepat menggambarkan keadaan remaja ketika dihadapkan dengan ‘tuduhan’ orang tua)
The Night is Short, Walk on Girl (salah satu film dengan cara bercerita paling unik, seperti versi lebih baik dari Aruna dan Lidahnya)
Tahun ini, special shout out aku teriakkan buat Dilan 1990 yang ulasan filmnya udah mecahin rekor jumlah view terbanyak di My Dirt Sheet tahun 2018. Selamaaatt~
Untuk daftar Top-8 yang bakalan kalian baca di bawah, ada baiknya kalian berhati-hati karena aku tidak akan memberikan peringatan spoiler – aku menganggap semua sudah menonton filmnya. Bagi yang pengen membaca ulasan lengkap filmnya, kalian bisa klik judul film untuk membuka halaman ulasan film tersebut.
Director: Anthony Russo, Joe Russo Stars: Josh Brolin, Robert Downey Jr, Chris Hemsworth, Mark Ruffalo MPAA: PG-13 for sci-fi violence and action, language and some crude references IMDB Ratings: 8.5/10 “If life is left unchecked, life will cease to exist. It needs correcting.”
Menurutku cocok sekali jika daftarku ini dibuka oleh Avengers: Infinity War karena memang ‘semuanya’ – hal di daftar ini – dimulai oleh aksi si Thanos. Film ini adalah cerita superhero dengan sudut pandang langka di mana yang berjaya adalah tokoh yang jahat. Dan ini menimbulkan begitu banyak ragam reaksi, begitu banyak spekulasi, begitu ramai harapan, yang mengiringi desah-desah kaget tak percaya dari kita semua.
Enggak mudah mencampur aduk begitu banyak tokoh ke dalam satu cerita berdurasi dua jam, tapi film ini berhasil melakukannya. Kita mendapatkan banyak pertarungan seru, kita dikembalikan ke kisah klasik superhero bergabung melawan penjahat, dan tidak sekalipun film tergagap dalam menuturkan – menjalin kisah tokoh-tokohnya. Sebagai bagian dari semesta sinema yang lebih besar, film ini dengan gemilang menuaikan tugasnya sebagai sekuen titik-rendah dari para protagonis.
Buatku adalah hal yang mustahil jika kau penggemar superhero dan tidak terhibur menonton film yang endingnya memang diset depressing ini.
My Favorite Scene:
Infinity War, dengan menumpleknya karakter, punya begitu momen-momen keren; mulai dari keputusan Thanos mengorbankan Gamora – dan reaksinya setelah itu, pertempuran Wakanda – Cap dan Black Panther berlari memimpin, sampai kemunculan kembali Thor dengan kekuatan baru. Susah untuk memilih favorit, maka aku akan settle dengan yang paling memorable, dan tentu saja itu adalah momen terakhir film.. jentikan jari Thanos yang membawa maut.. apa yang terjadi sesudahnya… OH SNAP!
Director: Leigh Whannell Stars: Logan Marshall-Green, Melanie Vallejo, Steve Danielsen MPAA: R for strong violence, grisly images, and language IMDB Ratings: 7.6/10 “A fake world is a lot less painful than the real one.”
Upgrade menghajar Venom habis-habisan, menendang bokongnya hingga terbang keluar hingga nyaris nyangsang di daftar Delapan Kekecewaan Bioskop 2018 ku. Kedua film ini punya kondisi tokoh yang hampir sama; konsep mereka sama-sama orang yang tubuhnya bergerak di luar kendali dan mengharuskan mereka bekerja sama dengan si ‘parasit’. Namun Upgrade melakukan tugasnya dengan jauh lebih baik, ia bercerita lebih efektif.
Keunikan berhasil dipertahankan oleh film ini. Dan menurutku aneh sekali saat menonton Upgrade aku tidak merasa ia tiruan dari Venom, malah justru sebaliknya. Upgrade membuktikan tidak butuh budget gede untuk membuat film yang menarik dan terlihat nyata. Seperti kata lagunya Triple H: “It’s how you play it”
My Favorite Scene:
Upgrade melakukan kerja yang sangat baik dengan konsep tubuh yang bergerak sendiri. Kesukaanku adalah ketika pertama kali Stem diijinkan mengambil alih dan kemudian menyerang salah satu pelaku pembunuhan; kerja kamera, reaksi yang genuine, semuanya bergabung menjadi koreografi aksi fresh!
Director: Lars von Trier Stars: Matt Dillon, Uma Thurman, Bruno Ganz Certificate: R IMDB Ratings: 7.0/10 “Don’t look at the acts, look at the works.”
Satu-satunya film yang kuberi angka 9 di tahun 2018. Bukan exactly karena sangat amat bagus, melainkan karena film ini sangat-sangat aneh dia seolah membunuh sendiri dirinya dengan keanehan dan pilihan ekstrim yang ia lakukan. Maka tentu saja, aku tidak bisa berpaling dari film-film punya nyali seperti ini.
The House that Jack Build punya struktur cerita sendiri. Dia punya aturan main sendiri. Malahan, dia tampak seperti asik sendiri ngobrol ngalor-ngidul, melakukan apa yang ia bisa lakukan, tanpa peduli tanggapan semua orang. Daya tarik film ini (dan juga kejatuhannya bagi beberapa penonton) adalah tokohnya yang seorang serial-killer, namun si Jack ini menganggap apa yang ia lakukan adalah proyek seni. Buatku film ini adalah karakter studi yang menarik. Saking kuatnya efek yang ditimbulkan, aku jadi merasa perlu untuk mengubah gaya reviewku khusus ketika mengulas film ini. Tapi memang, film ini bukan untuk semua orang. Level kekerasannya amat sangat di luar batas kemanusiaan, meskipun jika kalian terbiasa menonton film-film gore. Film ini berusaha memanusiawikan tindak pembunuhan, dan dengan sengaja menunjukkan kegagalan.
Di luar batas-batas yang ia langgar, sesungguhnya film ini punya craftmanship tersendiri. Maka dari itulah, aku memasukkan film ini ke dalam daftar.
My Favorite Scene:
Keseluruhan babak akhir di mana Jack dan Verge turun ke bawah tanah; begitu aneh, begitu mencengkeram, begitu penuh metafora, jika kalian sama gilanya dengan aku, kalian juga pasti bakal suka.
Director: Bo Burnham Stars: Elsie Fisher, Josh Hamilton, Emily Robinson, Jake Ryan MPAA: R for language and some sexual material IMDB Ratings: 7.5/10 “Growing up can be a little bit scary and weird”
Mekar menjadi remaja tidak pernah hal yang mudah. Apalagi di jaman sosial media di mana kepopuleran menjadi semakin berpengaruh. Eighth Grade menunjukkan potret kehidupan remaja cewek mengarungi neraka yakni hari-hari terakhir sekolahnya.
Penampilan akting yang natural, penulisan yang benar-benar cerdas dan genuine membuat film ini mengerikan untuk diikuti, dalam artian yang positif. Eighth Grade tidak mangkir dari kejadian-kejadian yang plausible terjadi – yang mungkin pernah sebagian dari kita alami saat masih seumuran Kayla, tokoh utama ceritanya. Film ini juga tidak memberikan jalan keluar yang mudah ala cerita remaja film-film Hollywood.
Film ini memperlihatkan betapa hal-hal yang buat orang dewasa konyol dan sepele, sungguh bisa sangat berarti bagi remaja. Dan di sisi lain, remaja yang menonton diharapkan mendapat ketenangan dari ‘kejar-kejaran’ yang mereka lakukan demi popularitas.
My Favorite Scene:
Aku sebenarnya agak kurang sreg dengan penulisan karakter Ayah Kayla, dia seperti sosok yang terlalu too-good to be true, yang menurutku sedikit mengurangi nilai ke-genuine-an cerita. Tapi mengerti kenapa ia ditulis demikian. Dan aku juga mengakui, oleh karena karakternya demikianlah kita bisa dapatkan adegan dialog ayah-anak yang indah seperti dalam film ini
Director: Bradley Cooper Stars: Bradley Cooper, Lady Gaga, Sam Elliott MPAA: R for language throughout, some sexuality/nudity and substance abuse IMDB Ratings: 8.0/10 “Maybe its time to let the old ways die.”
Cerita klasik yang sudah diceritakan berulang kali, namun A Star is Born masih mampu membuat kita semua terpana. Berkat penampilan akting, kemampuan musikal, dan chemistry dari dua tokohnya.
Drama yang diceritakan juga terbangun dengan kuat, menyentuh. Tambahan elemen apa yang dilakukan industri terhadap para senimannya pun turut memperkaya film ini. Memberikan konflik yang, dikembalikan kepada karakter, dan sekali lagi, disampaikan dengan begitu mempesona. Film ini punya ending yang menurutku adalah salah satu ending paling menyentuh yang beruntung kita saksikan di tahun 2018.
Aku tahu, aku akan menantikan karya-karya berikutnya dari Bradley Cooper sama seperti aku akan duduk manis menunggu peran dramatis berikutnya dari Lady Gaga.
My Favorite Scene:
Reaksi Gaga di adegan dia disuruh nyanyi Shallow itu beneran keren! Yang pasti, gak ada yang ‘dangkal’ di adegan itu.
Director: Andibachtiar Yusuf Stars: Gading Marten, Della Dartyan, Verdi Solaiman Certificate: 21+ IMDB Ratings: 7.8/10 “Hidupku yang sendiri sunyi.”
Tidak banyak pembuat film Indonesia yang berani mempertontonkan kenyataan pahit, dan lebih sedikit lagi jumlah yang kreatif mengubah kepahitan menjadi harapan yang manis. Love for Sale adalah film Indonesia pertama yang membuatku percaya perfilman bangsa ini memang bisa maju. Karena ia menarik spektrum baru sehingga memperluas variasi tontonan bagus yang kita punya.
Tokoh yang harus punya pasangan, yang harus bahagia selamanya di akhir, film dengan adegan yang aman dan tak boleh terlalu nyeleneh. Itu semua bukan jualan dari Love for Sale. Instead, kita dapat cerita tentang pria yang jomblo seumur hidup, yang hidupnya begitu sempit, mencicipi sedikit rasa asmara dan kekecewaan, sehingga dia tergerak olehnya. Skenarionya rapih sekali, keputusan-keputusan artistiknya juga sangat memberikan banyak kepada cerita. Film ini begitu unconventional untuk ukuran film lokal, ditambah dengan beraninya memberi kesempatan kepada pemain-pemain yang sama sekali baru ataupun baru kali ini dilepaskan dari perannya yang biasa.
Dengan peliharaan berupa kura-kura, film ini memang seanehnya yang bisa kita harapkan dari film Indonesia. And that’s a good thing.
My Favorite Scene: Adegan kejedot lampu! yang membuktikan bahwa detil dan karakter tidak pernah terlewat oleh film ini.. Yang sudah nonton pasti tahu deh kenapa adegan ini tidak kucantumin video ataupun fotonya hhihi
Director: Chang-dong Lee Stars: Ah-in Yoo, Jong-seo Jun, Steven Yeun Certificate: Not rated IMDB Ratings: 7.7/10 “Why do we live, What is the significance of living?”
Beberapa menit pertama, aku enggak suka film ini. Tokoh utamanya begitu sukar melihat kenyataan, dia seperti hanya bergerak berdasarkan feeling – dia bahkan seperti dituntun oleh orang lain. Namun begitu aku mengerti konteks ceritanya, daaannggg, film ini keren bangetttt.
Seperti yang sudah kusebut di reviewnya; film ini dibuat seperti ilusi optik. Untuk membuat kita melihat apa yang sebenarnya tidak ada. Sama seperti tokohnya yang ekspresinya kayak bengong melulu itu. Dan semua elemen cerita demi membangun semua itu diperhatikan dengan amat detil. Semua petunjuk mengenai apa yang sebenarnya terjadi sudah ada di depan mata kita, tapi kita dibuat menolaknya. Kita dipaksa untuk percaya kepada hal-hal yang buruk, seperti sikap si tokoh. Dan film dengan sengaja membuka begitu banyak interpretasi dan kemungkinan, sehingga menontonnya berulang kali tidak akan membosankan. Malahan semakin memperkaya pengalaman kita menonton.
Jika kalian senggang, coba ambil waktu nonton film Korea ini tanpa memperhatikan cerita dan hanya menikmati suguhan visualnya. Nyeni banget!
My Favorite Scene:
Adegan cantik dan penuh makna ini udah kayak adegan David Lynch banget. Menghipnotis!
Yang jeli akan melihat ada kekontrasan di sini. Antara awal yang menyebut tentang kemenangan, tapi film-film yang masuk daftar ini malah tentang kegagalan. Pahlawan yang jadi abu, manusia yang membiarkan dirinya diambil alih asalkan dia dapat kenangan indah dengan istrinya, pembunuh yang gagal membuktikan dirinya benar, anak sekolah yang masih tidak populer, perjaka tua yang masih belum punya pasangan, pasangan yang malah berpisah, dan cowok yang malah jadi pembunuh karena terpisah dari pasangannya. Inilah yang aku sukai dari 2018. Meski yang bener-bener bagus jumlahnya sedikit, namun film di tahun 2018 dengan gagah berani menunjukkan kegagalan. Aku selalu suka film seperti ini; film favoritku sepanjang masa adalah Mulholland Drive yang bercerita tentang cewek yang ingin jadi aktris besar di Hollywood, namun.. you guessed it, dia gagal. Dua film pendekku (Lona Berjanjidan.. aku bocorin pertama kali di sini judulnya Gelap Jelita) juga bercerita tentang kegagalan. Karena menurutku kegagalan terasa lebih real. Sebagai pelajaran, dia lebih menohok. Toh kegagalan tidak melulu berarti depresi, lihat Love for Sale; tokohnya belajar tidak punya pasangan bukan berarti menyedihkan, dia belajar hal lain yang ia butuhkan. Kegagalan bukan berarti kekalahan. Ia bisa saja kemenangan, saat tokoh mengerti apa yang sebenarnya kita cari. Film-film seperti begini tidak memberikan jawaban mudah.
Karena memang di kehidupan nyata, tidak ada yang semudah di dalam film. Kita bisa mencoba namun jangan lantas menyangka semuanya berjalan mulus. Film peringkat pertama di daftar ini benar-benar menunjukkan gimana jika sebenarnya kita tidak bisa lari dari takdir, sekeras apapun kita berusaha, sekelam apapun takdir itu:
Director: Ari Aster Stars: Toni Collette, Alex Wolff, Milly Shapiro, Gabriel Byrne MPAA: R for horror violence, disturbing images, language, drug use and brief graphic nudity IMDB Ratings: 7.3/10 “[crying] Why did you try to kill me? / I didn’t! I was trying to save you!”
Untuk alasan di atas, Hereditary tak-pelak adalah horor paling mengerikan di tahun 2018. A dark way to see this film: ini tetap adalah cerita kemenangan, untuk si Paimon, iblis yang menjadi tokoh jahat.
Tidak gampang menemukan formula yang seimbang antara tontonan mainstream dengan konsumsi festival. Hereditary adalah contoh langka yang berhasil melakukannya. Bermain di lingkungan mitos yang sudah lumrah; ada iblis dan sekte sesat, namun ditangani dengan seni dan idealisme yang belum pernah kita lihat sebelumnya.
Tragedi keluarga tentang ketakutan kehilangan anak diolah menjadi drama berbalut misteri yang dapat direlasikan oleh banyak orang. Ketakutan seperti demikian bisa menyerang siapa saja, bisa terjadi kepada siapa saja. Benar-benar mengeksploitasi ketegangan pada setiap adegannya. Penulisan yang menutup, karakterisasi yang terbangun dengan baik, sinematografi yang menghantarkan kita melihat momen-momen paling menyesakkan, scoring yang bergaung ke hati (aku tak pernah lupa sama suara permen karet itu!), dari segi teknis film ini benar-benar menginspirasi pembuat film amatir yang baru belajar seperti aku. Terlebih karena sutradara film ini juga baru, dan dia berhasil mengukukuhkan namanya dengan gemilang.
My Favorite Scene:
Hereditary punya momen-momen menyeramkan dan momen keren yang sama banyaknya. Dari Charlie motong kepala burung hingga kepalanya sendiri dapay giliran, dari momen Annie dengan Peter hingga ke Annie tak sengaja membakar suaminya, dari Peter mematahkan hidungnya sendiri hingga dia melihat orang-orang tua tak berbaju itu di rumahnya; semua seperti punya makna. Yang paling mengiris dalem buatku adalah reaksi Peter setelah ia membuat celaka adiknya. Dia berbaring di sana, setengah mengharap semuanya cuma mimpi, setengah menunggu teriakan dari ibu yang mengonfirmasi semua kejadian itu bukan mimpi. Begitu real dan begitu menginflict kita semua!
http://www.youtube.com/watch?v=K-wZKtKUoSI
That’s all we have for now.
Aku senang penggalian terhadap cerita film semakin meluas yang berarti semakin banyak pembuat-pembuat film yang ingin bercerita alih-alih memenuhi kuota jualan. Menulis ini di bulan Januari, aku sudah menonton beberapa film tahun 2019, dan aku gembira menyadari tren cerita ‘kemenangan dalam kegagalan’ ini masih berlanjut. Apa kalian tahu film-film apa yang kumaksud?
Bagaimana dengan kalian, apa film 2018 yang menjadi favorit kalian?
Apa ada yang sama? Atau ada berapa banyak yang tidak tersebut?
Yuk ngobrol berbagi di komen.
Remember, in life there are winners. And there are…
We? We are the longest reigning PIALA MAYA BLOG KRITIK FILM TERPILIH.
“If you are asking a favor, put the request in a positive light.”
Membuka mata batin, sehingga jadi punya indera keenam, tentu saja bisa menjadi anugerah ataupun musibah. Sisi baiknya adalah kita bisa melihat hantu. Merasakan keberadaan dunia gaib, membuat kita selalu dekat dan teringat dengan kematian – dengan dunia yang penuh dengan jeritan pertolongan dan dendam, dalam kaitannya dengan menumbuhkan rasa bersyukur. Sisi buruknya yaitu kita bisa melihat hantu. Bukanlah hal yang sehat, sepertinya, melihat makhluk-makhluk gaib di mana-mana. Seorang bisa menjadi kelewat stress, bahkan melupakan kehidupan dunia yang sebenarnya. Eh, ini kita lagi ngomongin dunia gaib apa dunia maya sih?
Anyway, dalam Mata Batin 2 kita melihat kelanjutan dari kisah Alia (Jessica Mila tampak semakin nyaman sebagai tokoh utama semesta horor nan gore) yang kini sama seperti adiknya, Abel, sudah mengembrace kekuatan melihat makhluk gaib yang mereka miliki (baca ulasan Mata Batin pertama di sini). Dalam narasi pembuka kita mendengar Alia mendedikasikan kemampuannya untuk menolong banyak makhluk. Namun, satu hantu yang masih terus mengikuti mereka ternyata membawa dua kakak-beradik ini kepada petaka; Abel meninggal dunia. Menyisakan misteri dan hari yang perih. “Kini saya hanya pantas di panti asuhan, tempat orang -orang yang tak punya”, begitu curhat Alia kepada Windu yang jadi semacam mentornya dalam ilmu permatabatinan. Maka Alia pun pindah dari rumahnya, bekerja sebagai pengasuh anak-anak di Panti Asuhan yang dikelola oleh pasangan suami istri yang diperankan oleh Sophia Latjuba dan Jeremy Thomas. Di sana, dengan cepat Alia bonded dengan satu anak panti yang bernama Nadia (tokoh Nabilah Ratna Ayu Azalia ini practically adalah pengganti sosok adik buat Alia), yang juga memiliki kemampuan Mata Batin. Alia dan Nadia lantas bekerja sama memecahkan misteri suara-suara minta tolong yang merambati dinding-dinding panti, misteri yang ternyata berkaitan, yang pada akhirnya membawa Alia kepada ketenangan atas peristiwa kematian adiknya.
Mandi diintipin oleh hantu adalah sebuah kutukan
Melalui usaha-usaha yang dilakukan oleh Alia untuk berkomunikasi dengan hantu, film ini mengekspansi peraturan yang sudah ditetapkan pada film pertamanya. Ini adalah perkembangan yang positif. Film mencoba mengembangkan mitologi, menggali sudut-sudut baru – ia membuka pandangan kita terhadap dunia gaibnya sehingga menjadi semakin luas. Alia di sini mempunyai skill baru, yakni psikometri – kemampuan untuk ‘mengexperience’ sejarah benda yang ia sentuh, yang menandakan Mata Batin yang ia miliki semakin kuat. Maka ada pertumbuhan yang kita rasakan dalam film ini. Secara karakter, Alia mengalami perkembangan dibandingkan dengan dirinya di film pertama. Begitu pula dengan dunia gaibnya, film ini kita akan dibawa menjelajah lebih dalam, lebih sering, seingatku belum ada film horor Indonesia yang membawa kita menyelam ke dalam dunia gaib sekompleks yang dilakukan oleh film ini.
Mata Batin untuk awal-awal misteri lebih banyak bersangkut paut dengan pendengaran daripada penglihatan Ini adalah salah satu cara film untuk menggambarkan perluasan yang mereka lakukan. Penambahan banyak tokoh baru turut memberikan banyak lapisan dalam aspek misteri yang berusaha dibangun oleh film ini. Setting tempat di panti asuhan anak-anak cewek membuka banyak ruang untuk adegan-adegan seram yang segar. Namun sayangnya film seperti bergerak di tempat. Semua pengembangan dan penambahan itu terasa jadi mentah oleh sebab penggunaan formula yang itu-itu saja. Aku tidak mempermasalahkan soal kaca pecah, sebab itu sudah dijadikan semacam signature seorang Ricky Soraya – kita harus respek juga ama usahanya melandaskan hal tersebut dalam setiap filmnya. Masalahnya adalah hampir tidak ada yang original dalam film ini. Masih bercerita dengan begitu-begitu saja; pengungkapannya, penyelesaiannya, bahkan twistnya. Dan ada banyak elemen yang dapat kita temukan dalam film lain. Nadia yang pinter ngesketsa, tampaknya menggambar sosok-sosok hantu itu sambil menonton American Horror Story. Boneka Hello Kitty berwarna pink yang tampak di salah satu ruangan mencerminkan film ini; Sebuah tiruan yang berusaha tampil beda.
Kita merasa sudah hapal dengan cerita yang dijabarkan; literally, dialog dalam film ini kebanyakan adalah eksposisi dalam usahanya mengembangkan peraturan-peraturan. Sehingga pada ujungnya, film tak lagi berhasil menyampaikan kejutan yang ia siapkan. Banyak penggunaan yang berlebihan sehingga menjadi monoton. Misalnya pergerakan kamera yang memutar. Ataupun juga banyak kita jumpai adegan orang berlari demi berusaha menyelamatkan orang yang terkurung ataupun menghilang, dan ketika ketemu orang tersebut lagi duduk meringkuk. Film bahkan kehilangan kekhususannya, sebab kekuatan mata batin tersebut – berkat kehadirat tokoh paranormal yang segala bisa – menjadi seperti diobral begitu saja. Percuma ada aturan ketika semuanya jadi digampangkan, tidak lagi terasa spesial ketika semua tokoh dapat dibukakan mata batinnya. Film seperti terlalu fokus berusaha menyimpan twist dan mengembangkan adegan dan role di dunia gaib, sehingga lupa dengan tokoh dan bagaimana kejadian seharusnya berjalan di dunia nyata.
matabatinception
Bangunan logika-dalam cerita sama konsistennya dengan bekas luka cakar pada dada Sophia Latjuba. Kejadian seram yang ditimpakan pada tokoh-tokohnya terasa tidak bergerak dalam aturan di dunia tempat mereka hidup. Aku menemukan sangat tidak masuk akal tidak ada yang menyadari luka tusukan pada mayat Abel. I mean, okelah Alia mungkin hanya melihat apa yang ia percayai – Alia percaya Abel diserang hantu, namun tidak adakah dokter ataupun polisi yang melihat luka di punggung cewek itu? Bagaimana mungkin kematian tidak wajar Abel – dalam ruangan dengan pintu tertutup – tidak diusut. Dan si Alia, oh ini buatku lucu banget. Aku sempat mengira film sengaja menarik perbandingan antara dunia nyata dengan dunia gaib, maksudku, di Penyelesaian kita melihat hantu pembuat onar dalam cerita ini ditangkap oleh ‘polisi dunia gaib’ dan dijebloskan ke dalam lubang neraka – hantu jahatnya mendapat hukuman. Sedangkan Alia, she got away dengan pembunuhan yang ia lakukan. Tidak ada reperkusi dalam tindakannya. Film mengabaikan aspek yang sebenarnya menarik jika digali, gimana Alia yang kesurupan membunuh pelaku yang tidak melawan – gimana kalo Alia sebenarnya tidak kesurupan? Aku hampir girang saat menjelang akhir beberapa adegan seperti mengarah ke sini, tapi ternyata tidak. Alia hidup bahagia seperti sedia kala walaupun dia sudah membunuh seorang pria.
Jika kita ingin minta tolong, mintalah dengan baik-baik. Jangan maksa. Kalo belum ada yang merespon, jangan marah. Apalagi sampai bunuh orang. Hantu dalam film ini merajalela lantaran kebenaran yang ia ungkap tidak mendapat reaksi sesuai yang ia inginkan. Bukan minta tolongnya yang membuat kita jadi kecil, melainkan ketidaksabaran dan kemarahan yang berujung pada dendam.
Kita bisa asumsikan semua polisi ataupun dokter di semesta film ini adalah lelaki, karena orang-orang tersebut bego. Sebab, salah satu kekonsistenan formula film Rocky ini adalah semua tokoh prianya either jahat, atau tidak kompeten. Tokoh Jeremy Thomas instantly diperkenalkan sebagai seorang douchebag; kerjaannya ngebengkel mobil dengan kaos berkerah V, bayangkan orang di dunia nyata yang melakukan itu. Semua jagoan di film ini adalah wanita, dan ini bukan karena ada pesan feminis atau semacam itu. Film memang hanya punya perhatian setengah-setengah. Dunia nyata tidak digali sedalam dunia gaib. Tokoh pria tidak mendapat perhatian sebesar tokoh wanita. Substansi film tidak diperhatikan sebanyak mereka mengusahakan gaya atau stylenya.
Namun kelemahan logika dalam film ini memang justru membuatnya jadi kocak. Adegan-adegan seperti Alia menanyakan kepada hantu di mana letak kunci meskipun dia tahu untuk menjawab “ya” atau “tidak” saja si hantu hanya sanggup mengetuk pintu, adegan dalam lima menit pertama yang tujuan satu-satunya adalah untuk fake jumpscare (Abel datang buka pintu mengagetkan kakaknya, untuk kemudian langsung pamit tidur), Alia yang kemana-mana mengantongi kalung senjata alih-alih memakainya saja, dan betapa seringnya para tokoh berpencar dan bergabung lagi sekenanya, memang mampu mengundang tawa kita. Memang, salah satu yang dipertahankan film ini dari film pertamanya adalah undertone elemen kocak yang dihadirkan. Dan sepertinya, film kedua ini mulai mengembrace kekonyolan yang mereka punya, kita akan melihat candaan beneran dalam adegan anak kecil yang menggerutu dikasih yoyo. Sama seperti Alia yang mengembrace kemampuan goibnya.
Bagus film ini berusaha mengembangkan mitologi dan peraturan yang sudah ditetapkan sebelumnya sembari mempertahankan kekhususannya, namun masih perlu banyak perbaikan dalam penulisan. Ataupun, jika memang tidak ingin dikembangkan ke arah yang lebih serius, film perlu untuk sepenuhnya komit ke elemen-elemen lebih konyol yang seringkali hadir dalam logika penceritaan mereka. Memang butuh nyali dan waktu, tapi meskipun film pertamanya bercerita dengan lebih rapi, film yang kedua ini sudah mulai berani mengembrace sisi humor sambil terus memperdalam sisi drama. Aku pribadi berharap jika ada film ketiga, mereka sudah benar-benar banting stir jadi konyol ala cult classic. Karena film kedua ini terasa seperti transisi. Saat menontonnya aku kadang merasa seolah film ini dibuat purely dengan tujuan mengganti satu tokoh dengan bintang lain. The Palace of Wisdom gives 5 gold stars out of 10 for MATA BATIN 2.
That’s all we have for now.
Kalo punya mata batin, kalian mau (baca: berani) gak sih nolongin hantu?
Remember, in life there are winners. And there are losers.
We? We are the longest reigning PIALA MAYA BLOG KRITIK FILM TERPILIH.
Sebagai manusia, kita suka melihat manusia lain mengembangkan diri mereka menjadi sesuatu yang lebih baik. Supaya kita bercermin, termotivasi. Itulah salah satu penyebab kita suka menonton film. Karena cerita-cerita dalam film biasanya menawarkan imajinasi seperti demikian; perjalanan hidup yang penuh perjuangan, orang-orang yang belajar mengenali dan menyelesaikan masalah yang mereka hadapi. Dan dari sekian banyak film, yang paling laku selalu adalah cerita yang tokohnya mengalami progres; orang miskin yang jadi kaya, orang yang diremehkan menjadi juara, orang yang jomblo jadi punya pacar. Kita lebih tertarik kepada tokoh yang punya konflik dalam diri mereka. Cerita orang yang sempurna seumur hidup sudah barang tentu tak akan semenarik cerita maling yang terdesak kebutuhan.
Makanya serial televisi Preman Pensiun banyak diminati. Versi layar lebarnya pun di(ki)nanti-nanti oleh para penggemarnya. Film ini menawarkan premis yang sudah pasti langsung menarik bagi penonton, meskipun belum pernah menyaksikan serial televisinya. Berpusat kepada satu kelompok preman yang insaf, yang berusaha mencari makan dengan cara yang jujur – meninggalkan cara lama mereka yang brutal. Secara efektif, menit-menit pertama menyuplik adegan penutup dari serial televisinya – yang aku yakin para penggemarnya pasti akan merasakan desakan haru dan nostalgia berat di dalam dada – yang seketika melandaskan ‘misi’ apa yang harus diemban oleh tokoh utama kita. Kang Mus (satu lagi penampilan kocak, ekspresif, dan dalam level yang tidak meninggalkan emosi dan keseriusan disuguhkan oleh Epy Kusnandar) diamanatkan oleh pemimpin kelompok mereka yang sudah almarhum untuk menjadi penerus kepala preman, hanya saja kali ini dengan semboyan “Bisnis yang bagus, dan yang baik”. Kemudian kredit pembuka bergulir, dan kita dibawa ke tiga tahun ke depan. Melihat bagaimana legacy kelompok pensiunan preman mereka berkembang di bawah tangan Kang Mus.
biarkan informasi ini meresap sebentar; nama lengkap Kang Mus adalah Muslihat
Memenuhi jati diri sebagai komedi, Preman Pensiun hadir dengan kocak. Kita akan tergelak-gelak melihat sehari-hari bos preman berusaha mengurusi keluarga, berurusan dengan kenyataan putrinya yang sudah remaja sudah mulai pacaran – dengan cowok yang udah mahasiswa pula. Momen-momen lucu hadir dari Kang Mus yang memerintahkan anak-anak buahnya, yang kini ada yang bekerja jadi satpam mall, ada yang jualan kaos, bisnis jaket, jadi pawang kuda lumping, dan bantu-bantu di bisnis makanan tradisional kecimpring, untuk memata-matai sang putri yang lagi nge-date. Film tidak melupakan tanah tempat dirinya berpijak. Kita tidak hanya melihat tempat-tempat di Bandung dijadikan latar dan diakomodasikan ke dalam penceritaan serta komedi, kita juga akan mendengar, menghidupi budaya Sunda itu sendiri.
Kita diperlihatkan sudut pandang yang mungkin sudah pernah kita lihat di film-film mafia ataupun gangster buatan luar, akan tetapi tak-pelak menjadi segar karena kentalnya nuansa lokal. Sedikit banyaknya, dengan menonton film ini, kita bisa paham terhadap kode etik para preman yang bisa saja memang berlaku di sudut-sudut pasar. Dan itu bukan soal punya tato yang seragam. Menjadi preman adalah soal setia, soal berterimakasih, dan soal menghormati. Kita lihat mereka tidak saling mengganggu istri, keluarga, masing-masing. Mereka punya birokrasi alias tangga-kekuasaan sendiri. Kita melihat mereka tidak akan melanggar batasan-batasan yang tercipta dari ‘pangkat’ kepremanan mereka. Dan di akhir, kelas preman tersebut dimainkan ke dalam sebuah konflik yang tak disangka-sangka.
Jika ada yang bisa ditiru, maka itu adalah eratnya rasa persatuan di dalam geng mereka. Kang Mus masih terus memikirkan bekas anak-anak buahnya, karena menurutnya mereka sudah bagian dari keluarga dan tak ada istilah ‘bekas’ dalam sebuah keluarga. Eratnya hubungan keluarga sudah semestinya seerat yang diperlihatkan oleh preman-preman di film ini. Sebab keluarga sudah sama seperti satu tubuh; terluka satu, maka yang lain pun ikut merasakan derita.
Namun mungkin yang lebih tepatnya adalah, film menghadirkan konflik yang sukar untuk kita sangka. Karena pada dasarnya merupakan kelanjutan dari serial televisi yang terdiri dari nyaris empat-puluh episode (aku mungkin salah karena gak ngikutin sinetronnya), dengan begitu banyak tokoh dengan subplot masing-masing, film ini jadi punya tugas yang tak-kalah beratnya dengan Kang Mus. Film harus mampu dengan segera memperkenalkan para tokoh dan masalah-masalah lantaran film ini cukup bijak untuk tidak menyuruh kita-kita yang belum pernah menonton untuk maratonin serialnya. Maka mereka menggunakan editing berupa smash cut dan match cut yang membawa kita bertransisi begitu saja antaradegan para tokoh. Pertama-tama sih, teknik ini memang terasa menyenangkan. Kita melihat satu tokoh ditanyai oleh istrinya, bret jawaban atas pertanyaan itu kita saksikan datang dari tempat lain, dari percakapan tokoh lain sambil minum, dan bret kita pindah lagi ke gelas yang dipegang oleh tokoh yang berbeda di tempat yang lain pula. Konteks yang diseragamkan membuat kita menyaksikan banyak hal sekaligus tanpa kehilangan arah. Teknik tersebut dilakukan berulang-ulang. Buatku it was getting old fast. Malah membuat semakin susah untuk mengikuti cerita, karena tidak banyak waktu untuk berpegangan kepada satu karakter. Kebanyakan dari mereka jadi seperti tidak punya arc. Masalah-masalah itu jadi menumpuk dan hingga titik tengah film, kita belum dapat menyimpulkan ke mana arah cerita. Yang mana konflik utamanya? Apakah perihal peringatan seribu hari kematian pemimpin mereka terdahulu (sebagai cara film mendedikasikan diri buat almarhum Didi Petet), apakah tentang bisnis yang sepi, atau anak yang beranjak dewasa, atau masalah yang berantem di pasar baru.
atau mungkin ini masalah kenapa di Gedung Merdeka banyak setannya
Dengan konsep editing seperti demikian, terasa ada banyak yang tak terselesaikan. Sekadar berfungsi sebagai adegan sketsa. Ketika film berhenti melakukan konsep editingnya, cerita mulai dapat diikuti. Meskipun sedikit terlambat, tapi apa yang disuguhkan cerita sebagai puncak ternyata tergolong sangat berani. Aku suka dengan tipe cerita ‘kalah’ kayak film ini. Malahan, dua film pendek yang kukerjakan, dua-duanya berakhir dengan ‘kekalahan’ sang tokoh. Karena terkadang memang perlu untuk menampilkan kegagalan, supaya pesan yang ingin disampaikan bisa menjadi cambuk – supaya kita bercermin dan tak melakukan hal yang serupa. Hanya saja, yang harus digaris bawahi adalah cerita kegagalan baru hanya akan menarik jika diiringi oleh usaha. Kang Mus dalam Preman Pensiun, tidak diperlihatkan banyak berusaha melakukan sesuatu yang baik. Ada adegan repetitif Kang Mus yang lagi ngulet males bangun pagi di sofanya. Dia yang pemimpin tak banyak campur tangan ketika masalah merundung teman-temannya. Inovasi kecimpring pun tak diperlihatkan ia lakukan. Mengusung pesan yang sedikit kelam, herannya konklusi film ini tampak aneh. Seperti ada bagian resolusi yang terpotong. Film berakhir tepat di titik di mana Kang Mus musti berubah, memperbaiki sikapnya. Yang membuatku merasa nanggung; menohok kurang, arc pun tidak tertutup.
Keseluruhan film terasa seperti membangun ke momen benar-benar ‘pensiun’, akan tetapi cerita justru dihentikan saat karakter butuh untuk meredeem dirinya sendiri. Film ini benar-benar menonjolkan sisi komedi yang dipancing dari percakapan permainan kosa kata ala Kang Mus yang ‘pintar-pintar bodoh’, dan tingkah-tingkah para preman yang berusaha kerja baik dengan kemampuan yang mereka tahu. Namun mereka tidak pernah dibuat keluar dari dunia mereka. Preman-preman itu belum diharuskan terikat pada aturan di luar ‘kode’ mereka sendiri. Buatku, film yang bernapas Bandung memang terasa nanggung. Konsep editingnya tidak benar-benar bekerja efektif, meskipun memang diperlukan. But that’s just me. Para penggemar serialnya sepertinya bakal tersenyuh dan senang-senang maksimal menyaksikannya. The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for PREMAN PENSIUN.
That’s all we have for now.
Pernahkah kalian berurusan dengan preman? Menurut kalian apa yang membuat orang disebut sebagai preman?
Remember, in life there are winners. And there are losers.
We? We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017
“Each friend represents a world in us, a world possibly not born until they arrive, and it is only by this meeting that a new world is born”
Setiap kali berkenalan dengan orang baru, sesungguhnya kita seperti melangkah ke dalam dunia baru yang mungkin saja belum pernah kita lihat sebelumnya. Kita kemudian bisa berteman dengan mereka, jika ‘dunia’ kita dan milik mereka berjalan beriringan. Sebab dalam menjalin persahabatan, hal terbaik yang kita lakukan terhadap teman kita adalah tidak menarik dunia mereka masuk ke dalam dunia kita.
Indahnya persahabatan antara Hiccup, anak kepala suku bangsa viking, dengan Toothless, naga Night Fury yang bersisik dan hitam, sudah kita rasakan bersama-sama semenjak film pertama mereka tayang di bioskop delapan tahun yang lalu. Malahan, persahabatan merekalah satu-satunya hal yang konstan yang dapat kita temukan dalam dunia trilogi film mereka yang senantiasa berkembang. Berawal dari perasaan mutual – sama-sama membutuhkan; Toothless yang cacat tidak bisa terbang tanpa bantuan Hiccup, begitupun Hiccup yang menjadikan Toothless sebagai perangkat untuk membuktikan kemampuannya, hubungan mereka berdua layaknya simbol perdamaian antara manusia dengan naga. Hiccup sudah menjadikan si naga sebagai partner sejatinya, kita lihat mereka bekerja sama. Persahabatan mereka bahkan sudah teruji dalam peristiwa mengharukan di film kedua (2014) saat Toothless berusaha keras mematahkan kekuatan yang menyuruhnya menyakiti Hiccup. Trilogi How to Train Your Dragon tak pelak adalah salah satu dari seri animasi yang benar-benar punya arc menawan untuk kita simak. Menontonnya sendiri-sendiri saja sudah cukup menghangatkan, apalagi jika kita melihat gambar besar dari apa yang diceritakan oleh tiga film ini.
Kita bisa melihat perubahan, katakanlah evolusi, baik dari apa yang mereka hadapi maupun dari segi visual yang terus saja bikin kita takjub. Sensasi perkembangan itu memang jadi nilai kuat dari trilogi film ini. Sebagai penutup trilogi, How to Train Your Dragon: The Hidden World memperlihatkan kedewasaan para tokohnya. Hiccup, kini animasi yang halus itu menunjukkan bulu-bulu jenggot halus mulai membayangi dagunya, adalah kepala suku yang sah untuk klan Berk. Dia memerintah kampung mereka di mana naga dan manusia ia usahakan hidup berdampingan. Bersama teman-teman penunggang naga, Hiccup dan Toothless memimpin misi-misi pembebasan naga-naga yang tertangkap oleh para pemburu. Tapi sanctuary yang mereka buat -desa mereka – lama-lama justru bisa menjadi sasaran empuk buat para pemburu. Terutama yang keji seperti Grimmel, pemburu yang bertanggung jawab atas status Toothless sebagai naga Night Fury satu-satunya. Menyadari keberadaan mereka begitu mudah ketahuan dan disusupi, Hiccup membawa seluruh suku beserta naga-naga mereka, hijrah ke sebuah tempat tersembunyi – tempat asal muasal para naga – yang pernah didongengkan ayah kepadanya. Perjalanan yang mereka tempuh sangat beresiko karena semakin mengekspos eksistensi mereka, dengan Grimmel yang terus mengekor dan menggunakan Light Fury (naga Night Fury betina) memancing Toothless keluar dari perlindungan Hiccup dan para manusia.
I summon Blue Eyes White Dragon!
Alih-alih membebani cerita dengan menambahkan karakter-karakter baru (seperti yang dilakukan Ice Age dalam setiap sekuel mereka), sutradara Den Deblois melakukan pilihan yang tepat dengan malah mengekspansi dunia tempat tinggal para tokoh. Dan pada dasarnya ini juga berarti dia terus menggali apa yang dipunya oleh karakternya – Hiccup sedari awal memang adalah seorang petualang dengan ide-ide out-of-the-box, jadi masuk akal ketika tokoh ini mendapat gagasan untuk membawa rakyatnya ke ujung antah berantah sebagai penyelesaian masalah yang dihadapi suku Berk. Setiap teman-teman manusia Hiccup juga terus digali ‘kegunaannya’, jadi ketika mereka melakukan hal yang lucu kita tahu perbuatan tersebut terletak di antara digunakan untuk menguatkan karakter mereka atau bakal berpengaruh terhadap majunya cerita. Setidaknya ada tiga relasi/hubungan penting yang harus kita perhatikan karena merupakan fokus utama cerita. Antara Hiccup dengan Toothless, tentu saja. Antara Hiccup dengan Astrid – yang sejak film pertama dibangun sebagai love interest – perhatikan gimana Astrid yang pejuang membantu Hiccup dengan tidak menggunakan ‘bantahan’. Dan antara Hiccup dengan rakyat yang ia pimpin – ini berkaitan dengan ‘pekerjaan’nya sebagai kepala suku yang full-circle dengan relasi Hiccup dengan ayahnya dahulu.
Menggunakan banyak nama gede sebagai pengisi suara sepertinya memang keputusan yang menguntungkan. Suara-suara milik Cate Blanchett, Jonah Hill, Kristen Wiig, F. Murray Abraham, Christopher Mintz-Plasse, America Ferrera, Jay Baruchel terdengar begitu ekspresif hampir seolah film ini merekam suara terlebih dahulu baru kemudian menyesuaikan animasi dengan suara yang sudah didapat. Interaksi para tokoh sama mulusnya dengan visual yang dihadirkan. Hal ini terlihat sekali saat kita berpindah melihat interaksi Toothless dengan si naga betina. Kita tidak mengerti bahasa yang mereka gunakan, tetapi emosi-emosi itu tidak pernah tercecer. Kulminasi semua aspek keindahan itu terwujud pada adegan final yang menghantarkan kita pulang dengan penuh kehangatan. Setiap ada pertemuan selalu ada perpisahan, film lewat adegan penutup memperlihatkan dengan indah tidak ada yang absolut dalam pertemuan dan perpisahan.
Dan setiap ada pertemuan, akan selalu ada makan-makan.
Dengan tokoh-tokoh dan permasalahan yang lebih dewasa, film harus memutar otak untuk membuat ceritanya tetap tak-berat disantap oleh anak kecil. Jadi kita akan menemukan beberapa kemudahan, yang menurutku memang disayangkan. Membuat film ini tidak bisa terbang mencapai ketinggian yang dicapai oleh film pertamanya. Penulisan dibuat tak sedalam yang semestinya bisa dilakukan. Jika pada dua film sebelumnya kita melihat elemen pengorbanan yang tak lazim ditemukan dalam animasi keluarga seperti ini – ada kaki yang hilang, bahkan nyawa – maka pada film kali ini kita tidak menemukan tindak seberani itu, meskipun film tetap masih berusaha keras menyampaikan maksud dan emosi yang melandasi setiap adegannya. Poin yang ingin diacungkan adalah bagaimana Hiccup musti ‘membebaskan’ Toothless. Masih mengharukan, tetapi kurang menggigit, buatku mainly karena kita baru saja menyaksikan elemen yang mirip pada hubungan persahabatan antara ‘manusia dengan manusia’ dalam Ralph Breaks the Internet (2018). Bukannya mau mengecilkan persahabatan antara manusia dengan hewan, aku aja gak bakal langsung tega melepaskan kucingku, tapi film ini butuh lebih banyak penekanan dari konflik inner si Hiccup seperti yang kita lihat pada Ralph. Mereka sama-sama diambang perpisahan dengan sahabat karena ulah mereka sendiri, namun pada How to Train Your Dragon ini kita teralihkan dari Hiccup ke satu relasi lagi yang kurang tergarap dengan baik.
Relasi tak-tergali dengan cukup itu adalah antara Hiccup dengan Grimmel, pemburu yang sempat memuji mendiang ayah Hiccup karena mereka satu pemikiran. Film seharusnya memusatkan konflik inner Hiccup di sini. Dia dibuat menyadari apa yang ia lakukan sebenarnya juga sama aja dengan berburu naga (meskipun naga buruan ia selamatkan alih-alih dibunuh), tapi kita tidak benar-benar melihat bobot ini mempengaruhi cerita. Lantaran si Grimmel sendiri dibuat satu-dimensi. Dia adalah penjahat kartun yang total jahat, tidak ada perbedaan filosofi seperti Hiccup dengan ayahnya di film pertama, sehingga kita pun tidak pernah benar-benar melihat dan merasakan problem personal dari Hiccup. Dia seperti membuat keputusan yang salah kemudian menjadi benar karena si antagonis ini jahat banget. Tak lebih dari itu. Di film pertama Hiccup bersusah payah memberikan pandangan baru kepada ayah dan teman-temannya, membelokkan cara pikir mereka terhadap naga, dan di film penutup ini kita melihat Grimmel dengan gampangnya punya serum untuk cuci otak mengendalikan naga-naga. Kemudahan yang timpang sekali, yang tidak memberi ruang untuk kita menarik garis paralel antara protagonis dengan antagonis. Permasalahan dalam film ini jadi seperti versi lebih ringan dari permasalahan yang sudah pernah dihadapi oleh tokoh utamanya.
Namun bukan berarti film ini tersimpulkan dengan kata kecewa. Ia tetap sebuah suguhan yang menghangatkan, yang bisa dinikmati oleh seluruh anggota keluarga. Aksinya seru, tokoh-tokohnya lucu. Sebagai penutup trilogi, film menjalankan fungsinya dengan manis. Mungkin ia sengaja menjadi begitu jinak, sehingga kita merasa sayang harus berpisah dengannya. The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for HOW TO TRAIN YOUR DRAGON: THE HIDDEN WORLD.
That’s all we have for now.
Mengapa menurut kalian Hiccup tidak jadi ikut bersama Toothless? Apa makna membebaskan naga dalam film ini?
Remember, in life there are winners. And there are losers.
We? We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017
“Get to know someone who doesn’t come from your social class; this is how you see the world”
Green Book, cerita berdasarkan kisah nyata, dihadirkan dengan gaya yang ringan rupanya bertindak seperti lampu hijau; membiarkan potret-potret intoleran tahun 60an itu masuk ke tengah-tengah masyarakat yang lebih luas. Supaya semakin banyak orang dapat berkaca, memperbaiki cara pandang diri terhadap sempitnya pandang dan pergaulan. Mungkin dirinya bukan pendekatan yang serius, namun kita bisa beragumen mungkin saja ini adalah salah satu cara yang efektif untuk mengobati kerasisan dan menyembuhkan prasangka.
Judul film ini merujuk kepada istilah brosur travel perjalanan yang dikeluarkan khusus untuk pelancong penduduk kulit hitam sehingga mereka bisa mencari tempat-tempat singgah yang ‘bersahabat’, yang mengizinkan mereka masuk dan mendapat pelayanan, selama bepergian jauh. Zaman dulu boleh jadi belum ada aplikasi yang menyajikan info hotel dan penginapan yang lengkap sampai ke harga-harganya seperti sekarang, jadi kita mungkin tak-begitu mengerti urgensi ataupun uniknya si brosur itu sendiri. Tapi kita tidak bisa mengatakan hal yang sama terhadap perilaku-perilaku dan prasangka yang ingin ditunjukkan sebagian besar orang kepada minoritas, zaman dulu ama zaman sekarang – masih relevan, walaupun dalam kadar terang-terangan yang berbeda. Green Book ingin memperlihatkan kembali masalah serius yang dihadapi oleh orang kulit hitam, dan untuk itu ia menjelma menjadi bentuk-bentuk penceritaan yang sudah acap kita lihat. Film ini adalah film road trip, film dua tokoh yang begitu kontras yang nantinya menyadari bahwa mereka sebenarnya ‘sama’, ini juga adalah film musik, sekaligus film natal.
Orang bilang, salah satu penyebab perjalanan menjadi menyenangkan adalah siapa yang menemani kita dalam perjalanan tersebut. Dan yang benar-benar bikin Green Book menjadi perjalanan yang menyenangkan ialah karena kita ditemani oleh dua penampilan yang sama-sama luar biasa.
Memutar balikkan peran kulit putih dengan kulit hitam pada era di mana si kulit hitam tidak sepantasnya memakai kamar kecil yang sama dengan kulit putih, Green Book sudah menjanjikan dinamika yang menarik. Tokoh utama kita adalah Tony “Lip” Vallelonga. Sekali lagi Viggo Mortensen membuktikan kepandaiannya melebur ke dalam tokoh yang ia perankan. Tiga-puluh pound bobot yang ia tambahkan ke tubuhnya itu belum apa-apa dibandingkan bagaimana dia membuat Tony yang orang italia itu menjadi seperti tokoh kartun berjalan. Dia melipat pizza satu loyang dan memakannya bulat-bulat begitu saja sebagai snack tengah malam, dia selalu ngobrol dengan ceplas-ceplos dengan aksen yang kental, dia mukulin orang-orang kalo diperlukan. Bukan sembarang saja dia dijuluki Tony Lip. Mulut adalah ‘senjata utama’ Tony. Sebagian besar adegannya adalah jika tidak sedang makan, dia pasti mengoceh. Dia membanggakan diri sebagai bullshitter ulung; bahkan dirinya sendiri percaya pada bualan yang ia lontarkan. Tony mencari nafkah dengan keunggulannya tersebut, “sebagai public-relation” katanya. Tony lantas mendapat kerjaan menyupiri seorang pemusik bernama Don Shirley. Seorang yang ternyata diperankan oleh Mahershala Ali, seorang yang ternyata ras kulit hitam; yang dipandang sebelah mata oleh Tony dan keluarganya. Beberapa adegan sebelum Tony bertemu Shirley, kita melihat Tony membuang gelas bekas air minum dua tukang reparasi westafel yang datang ke rumahnya. Dan sekarang, demi uang, Tony harus belajar menahan diri, dia harus meyakinkan dirinya sendiri untuk belajar menghormati Shirley sampai konser keliling si pemusik beres sebelum malam natal.
Seperti melihat Fat Tony, mafioso di The Simpsons, bagi-bagikan permen
Cerita yang disajikan memang gampang tertebak. Kita akan melihat gimana sikap Tony melihat perlakuan orang-orang kepada Shirley, mulai dari mereka yang mengundang Shirley untuk nampil – Shirley dipuja namun tetap didiskreditkan sebagai manusia di belakang panggung, hingga ke ‘orang-orang’ Shirley sendiri. Kita sudah bisa memastikan Tony dan Shirley yang kaku akan menjadi dekat satu sama lain. Namun interaksi antara kedua tokoh inilah yang membuat film begitu menyenangkan. Bagaimana mereka saling masuk ke dalam pikiran masing-masing. Bagaimana mereka saling mempengaruhi. Adegan paling kocak buatku adalah ketika Tony membujuk Shirley untuk memakan ayam KFC. Tony terkejut sekali mendengar Shirley enggak suka makan ayam goreng, “ini kan makanan kalian” herannya mengimplikasikan sudut pandang sempitnya terhadap ras. Kita melihat Shirley, yang sepanjang hidupnya terjebak di antara bangga-dengan-ras dan tidak-mau-distereotipekan, ‘malu-malu kucing’ untuk mencoba ayam yang diacungkan Tony tepat di bawah batang hidungnya. Seolah belum cukup dinamis, adegan itu berlangsung di jalanan, selagi Tony mengemudi. Sebagai komedi, adegan tersebut juga punya punchline yang sangat kocak. Aku tantang kalian untuk tidak tertawa menyaksikannya hhihi
Sekilas memang tampak seperti pilihan yang aneh. Kenapa film memilih karakter yang lebih komikal sebagai tokoh utama. Bukankah menjadikan Shirley (later, Tony lebih nyaman menyebut tokoh ini dengan “Doc” saja) yang punya konflik inner yang lebih dalem, yang mesti berhadapan dengan situasi yang mengecilkan sebagai minoritas, seketika akan membuat cerita menjadi lebih mengundang simpati? Karena film ingin langsung mendudukkan kita di posisi ‘pelaku’; supir, seperti Tony, as to speak. Bahwa kondisi penuh prejudice itu, kita yang menciptakan. Kritikus film NBC, Jenni Miller menuliskan bahwa film ini dibuat oleh white people untuk white people. Tulisan tersebut diniatkan sebagai kritikan olehnya, namun bagiku; aku setuju tapi bukan sebagai kritikan. Toh film cukup bijak memperlihatkan dua tokoh kita bergantian menyelamatkan ‘nyawa’ masing-masing. Melainkan sebagai pencapaian yang didapatkan oleh film lewat keputusan yang diambil.
Karena menurutku, salah satu tema besar yang diangkat oleh film ini adalah tentang bagaimana pandangan yang kita punya bisa muncul dari diri kita. Bagaimana kita melihat diri kita sendiri. Ada satu kalimat yang diucapkan oleh Tony kepada Shirley yang menjadi kunci dalam permasalahan ini, “Ada terlalu banyak kesepian di dunia karena mereka enggak berani untuk memulai duluan” Kalimat tersebut dengan tepat menyimpulkan arc Shirley dan Tony, makanya bagian ending film ini terasa begitu menyentuh. Bahwa terkadang kita tidak berani untuk bergerak sendiri; perhatikan betapa gembira Shirley main musik bersama ‘orang-orang’nya di sebuah klub jazz, dan sebagai kontrasnya perhatikan betapa kosongnya yang dirasakan Tony di tengah-tengah perayaan natal bersama keluarga besarnya. Kita akan segera sampai pada satu pemahaman bahwa sikap rasis yang dimiliki Tony tidak murni berasal dari kebencian. Dan mungkin, film ini ingin menyampaikan, begitu juga yang terjadi di luar sana. Perasaan kolektif kita sebagai bagian dari society yang membuat kita mengambil tindakan, mengambil sisi yang sebenarnya sama sekali tidak kita rasakan. Buat Shirley, ini berarti kesendirian – karena dia juga ikut ‘terwarna’ oleh pandangan putih-putih di sekitarnya, yang membuat dia enggan nyampur dengan warnanya sendiri.
Kadang memang cuma itulah yang kita perlukan. Meluaskan pergaulan. Berkumpul selalu dengan orang-orang yang sama, yang pandangannya itu-itu melulu, membatasi jarak pandang. Kita butuh untuk memperluasnya. Berinteraksi dengan pihak yang kita sangka berseberangan. Keputusan Tony mengambil pekerjaan dari Shirley tak pelak adalah keputusan paling penting yang pernah ia ambil selama hidupnya, sebab ia membuka jalan bagi dirinya untuk berhubungan langsung dengan yang selama ini ia sangka ia benci.
Dalam setiap kesempatan, film akan menghadiahi kita dengan kepuasan. Memberikan harapan bahwa kemanusiaan itu bukan fiksi – dua orang di mobil yang bersedia membuka hati dan saling menghormati akan membuat keindahan di dunia. Dan dua orang ini bener ada di dunia. Penampilan kedua aktornya sama-sama pantas untuk diganjar Oscar. Gaya komedi, bahkan penulisan yang kadang nyaris menyerempet garis ‘kartun’ sama sekali tidak mengurangi bobot dan nilai-nilai yang diusung oleh cerita. Kalo kekurangan, aku pribadi sebenarnya kurang setuju dengan banyaknya trope-trope yang dipakai, namun film memang menjadikan crowd-pleaser sebagai garis finishnya. Dan mereka berhasil. Jadi yang bisa kubilang cuma, resikonya terbayar lunas. The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for GREEN BOOK.
That’s all we have for now.
Coba tengok lingkaran sosial kita masing-masing. Ada gak sih kita gaul ama yang bukan dari kalangan kita? Berapa banyak teman kita yang lebih tua dari kita?
Remember, in life there are winners. And there are losers.
We? We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017
“Having family responsibilities and concerns just has to make you a more understanding person.”
Keluarga Cemara, sebagian orang mengingatnya sebagai sinetron yang menghangatkan ruang keluarga di masa kecil. Sebagian lagi mungkin mengingatnya sebagai cerita serial tentang kejujuran buah tangan dari Arswendo Atmowiloto. Sebagian yang lebih muda akan mengenalinya dari lagu “Selamat pagi Emak, selamat pagi Abah, mentari hari ini berseri indah” dan guyonan “Harta yang paling berharga”. Visinema Pictures, lewat film adaptasinya ini, mengakurkan semua orang – membuat kita semua sepakat untuk mengingat Keluarga Cemara sebagai salah satu film keluarga paling manis – paling sederhana yang bisa kita dapatkan di masa sekarang – yang mengajarkan tentang kejujuran dan rasa bersyukur. And also ada JKT48 di dalamnya, wotaaaa!!
Dalam Keluarga Cemara versi ini, Abah adalah Ringgo Agus Rahman (jangan biarkan tampang kocaknya mengelabui urat hati dan nadi air matamu) yang terpaksa harus memberikan kabar buruk kepada keluarga kecilnya; mereka jatuh miskin. Bisnis mereka hancur akibat ulah sanak famili sendiri, mengharuskan Abah dan keluarga mengungsi selamanya ke rumah warisan di desa Jawa Barat. Emak yang setia (di balik ketabahan tokohnya, mata Nirina Zubir seolah menembus perasaan kita semua) jadi musti berjualan opak. Kepindahan ini, paling berat adalah terasa bagi Euis (detach-nya ZaraJKT48 jadi pas banget ama karakter tokohnya, dan dia gak punya masalah segera menyambung dengan emosi yang tepat) yang harus berpisah dengan Jakarta dan kelompok modern dance, in which she very skilled at. Kepindahan dan kondisi keluarga mereka pun dengan segera mempengaruhi Ara (so adorable, Widuri Puteri tampaknya digebleng langsung oleh sang ayah Dwi ‘Mas Adi’ Sasono), si bungsu yang tadinya bahkan belum mengerti apa itu bangkrut dan kenapa emaknya menangis saat mengandung dedek bayi.
Jika keluarga A Quiet Place yang dirundung monster aja bisa punya bayi, kenapa kita tidak bisa? horee!!
Aku tadinya sudah hampir-hampir yakin bakal disuguhi drama keluarga tearjerker yang menguangkan kesedihan dari segala trope-trope orang kaya yang mendadak hidup dalam kemiskinan. Tapi enggak. Sutradara Yandi Laurens mengarahkan film panjang debutnya ini menjauh dari cara-cara yang gampang. Skenario pun dengan bijaksana memfokuskan konflik bukan pada uang. Kita tidak diminta mengasihani karena mereka gak punya uang. Kita tidak ditagih air mata demi melihat mereka kesusahan hidup di tempat seadanya. Melainkan, konflik dipusatkan kepada suatu hal yang menurut setiap orang, terutama cowok, adalah kepunyaannya sejak lahir yang paling berharga. Harga diri.
Adalah Abah tokoh utama dalam cerita ini, bukan Ara meskipun judul merujuk kepada namanya. Karena keluarga Ara sama seperti pohon cemara. Punya satu batang yang besar sebagai poros, yang dikelilingi cabang-cabang yang tumbuh dengan rapat. Abah, sebagai satu-satunya pria di sana, adalah batang tersebut, poros yang membuat pohonnya berdiri kokoh. Atau paling tidak, begitulah Abah memposisikan dirinya yang kepala keluarga. Dia bekerja sekeras tenaga dan sejujur yang moralnya bisa. Kita melihat Abah mati-matian mencari kerja, dia melakukan apa saja, tapi baginya itu semata bukan soal duit untuk menghidupi keluarganya. Saat menonton ini aku memang merasa agak aneh; alih-alih berprogres dari mencoba usaha paling gampang ke yang paling susah, Abah bersusah payah menjadi kuli dahulu baru kemudian menjadi ojek online. Kenapa film masih berjalan jika jawabannya sudah ditemukan? Ternyata, memang bukan itu pertanyaannya. Ini bukan soal apa yang Abah lakukan untuk mencari uang. Ini soal apa yang ia lakukan sebagai pengukuhan dia adalah kepala keluarga.
Bukan kaki Abah yang patah, melainkan kebanggaannya. Untuk sebuah cerita tentang kejujuran dan rasa bersyukur, film memainkan janji dan kekecewaan sebagai konflik utamanya. Adalah janji-janji yang tak ia penuhi yang menyebabkan Abah berada di titik rendah yang sekarang. Baginya, adalah mutlak salah dirinya maka mereka jadi bangkrut. Ada adegan yang sangat emosional antara Abah dengan Euis yang membahas soal ini, Euis mengucapkan sesuatu yang telak mengkonfirmasi ketakutan Abah mengenai apa yang ia perbuat kepada keluarganya. Makanya setelah itu kita melihat Abah menjadi galak, dia menjadi ‘tegas’ terutama kepada Euis. Dia merasa tak-berdaya sebagai seorang laki-laki, dia merasa powerless melihat istrinya yang mengandung namun masih berjualan opak. Perjuangan Abah adalah perjuangan menegakkan kembali kehormatannya. Adegan Abah meledak penuh emosi menjelang babak ketiga merupakan teriakan dari sisa-sisa kebanggaan yang masih ia miliki. Dia berusaha keras memenuhi janji, tapi Abah sepertinya selalu salah dalam memilih keputusan untuk keluarganya. Yang Abah tak sadari hingga momen realisasi adalah selama ini dia melakukannya hanya untuk merestorasi perannya sebagai ayah.
Setiap manusia bertanggung jawab atas tindakan yang diambilnya. Ketika engkau adalah pemimpin, you would take responsibility in the name of your family. Tapi yang harus diingat adalah kebahagiaan keluarga seharusnya menjadi prioritas utama. Dan itu tidak bisa dicapai dengan mendahulukan ego tanpa mempertimbangkan anggota yang lain. Sebab mereka juga punya tanggungjawab, punya peran, yang tidak bisa kita kecilkan. Bertanggungjawab kepada keluarga mestinya membuat kita lebih pengertian.
Hubungan Abah dengan Euis menjadi sajian utama yang mewarnai cerita. Euislah yang paling sering dikecewakan oleh janji-janji Abah. Dan nantinya Euis akan balik merasakan seperti apa rasanya disebut mengecewakan orang lain. Abah dan Euis memenuhi konteks yang diusung. Jika Abah butuh untuk belajar melihat bukan dirinya sendiri yang bertanggung jawab terhadap keluarga, maka Euis akan belajar keluarga mana yang harusnya ia berikan janji-janji. Dibandingkan dengan konflik Abah dengan Euis, anggota keluarga yang lain memang jadinya terasa seperti pelengkap kayak ranting-ranting pohon cemara. Namun toh keberadaannya cukup penting, sehingga jika tidak ada ‘ranting-ranting’ tersebut, cemara yakni film ini tidak akan menjadi seindah yang kita saksikan.
sekuelnya, kalo ada, musti lebih banyak tentang Ara nih kayaknya
Film berhasil membaurkan drama dengan komedi dengan mulus. Setiap potongan kecil adegan menjadi sama berkesannya dengan momen-momen besar. Film penuh dengan adegan-adegan yang menimbulkan bekas, entah itu karena menyentuh maupun karena lucu. Film melakukan kerja yang baik dalam membangun dunia di sekitar keluarga Cemara. Ada banyak kameo; tokoh-tokoh yang diperankan oleh nama populer meski hanya muncul sekali dua kali. Aku pribadi agak mixed soal ini. Hukum Karakter Ekonomi-nya kritikus Roger Ebert jelas tidak bisa diterapkan buat film kayak Keluarga Cemara ini, karena akan membingungkan kita. Maksudku, mereka semua terlihat ‘penting’, tetapi ternyata enggak. Saking banyaknya peran yang satu-dimensi dan weightless di sini, sehingga membuat rintangan-rintangan yang dihadapi Abah dan keluarga menjadi seperti terselesaikan dengan sendirinya. Menjelang akhir, begitu kita paham ini bukan soal uang – kita sudah mengerti konteks sebenarnya, film tidak lagi terasa punya ‘ancaman’ apa-apa. Ataupun ada sudut pandang baru. Tapi penceritaannya, penampilan pemainnya, tidak pernah membuat film menjadi membosankan.
Kita semua tahu semua kejadian dalam film ini dibangun dengan nyanyian “Harta yang paling berharga adalah keluarga” sebagai puncaknya. Kita semua sudah bisa ekspek film ini akan sedih. Nothing surprised us, tapi tetap saja kita dengan sukses dibuat menitikkan air mata. Lantaran semuanya dilakukan dengan sangat manis, dan enggak total dibuat-buat. Membuatnya jadi begitu gampang dicinta, begitu menyentuh, dan mampu mendekatkan keluarga-keluarga yang sedang menyaksikannya. Semuanya terlihat hangat, jujur, indah. Meskipun membahas persoalan yang ‘matang’, tetapi film masih memberikan ruang diskusi kepada anak-anak dan orangtua mereka. Satu lagi yang agak mengganjal buatku adalah masalah bingkai waktu cerita, namun kupikir ini adalah resiko yang film pilih menimbang mereka perlu untuk menampilkan semua tokoh-tokoh yang sudah dikenal ini secara utuh. Jika film ini diniatkan sebagai prekuel dari reboot yang dimodernkan, maka ia sudah melakukan kerja yang sangat gemilang. The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for KELUARGA CEMARA.
That’s all we have for now.
Abah berusaha hidup jujur dan memegang janji-janjinya. Bisa gak sih kita bahagia hanya dengan kejujuran? Masih ada gak sih orang yang hidup dari kejujuran?
Remember, in life there are winners. And there are losers.
We? We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017
Bayangkan menjadi anak sekolah di jaman berteknologi tinggi seperti sekarang. Apa yang paling kalian takutkan sedunia? Kalian punya teman-teman keren yang siap membantu ngebully orang-orang yang membuat kalian sebal (atau iri). Kalian punya follower setia yang siap menaikkan mood dan begitu mencintai kalian sehingga kalian enggak perlu repot-repot untuk mencintai mereka balik. Tempat angker pun kalian jadikan tempat hiburan untuk menaikkan popularitas. Kalian bisa menaklukan apapun dengan internet supercepat dalam genggaman. Satu-satunya yang kalian takutkan adalah, jika kalian lupa membawa smartphone!
DreadOut, semenjak dari video gamenya, mengusung metafora yang bagus soal betapa anak usia SMA sangat bergantung kepada telepon genggamnya untuk bisa menyintas hari-hari mereka.
Mengambil periode sebelum kejadian dalam cerita video gamenya yang meledak di kalangan gamer internasional, film DreadOut membawa kita berkenalan dengan masa lalu Linda (dilempar-lempar, ditarik-tarik, tidak hanya secara emosi Caitlin Halderman dipush bermain fisik) yang bekerja di mini market setelah jam sekolahnya selesai. Kita diperlihatkan karena lelah bekerja itulah Linda sempat daydreaming mengenai kejadian sewaktu kecil. Film menjanjikan para penggemar mengenai asal-usul ‘kekuatan’ Linda, dan adegan pembuka diniatkan sebagai tindakan penebusan janji tersebut. Apakah itu cukup atau tidak, you’d be the judge, lantaran film tidak akan membahas lebih jauh. Cerita terus melaju membawa Linda – yang sebenarnya enggan – untuk ikut bersama kakak-kakak kelas yang jauh lebih tajir dan populer darinya ke sebuah apartemen kosong. Uang dijadikan motivasi oleh Linda, yang menyimbolkan keinginannya untuk bertahan hidup. It’s a good thing Linda punya mental ini, sebab geng mereka bakal dengan segera terancam keselamatannya oleh sesuatu di dalam sana. Mereka menemukan kulit ular, kertas bergambar mengerikan, dan simbol besar di lantai kamar apartemen. Linda pun panik saat dia melihat sesuatu yang tidak bisa dilihat oleh teman-temannya. Beberapa bait tulisan yang begitu dibaca membuat Linda dan temannya tercebur ke dalam kolam yang terhubung dengan dunia di mana pocong bisa mengejar mereka dengan celurit.
Hayo yang lagi nonton di pojokan, itu Takut atau Kesempatan?
Smartphone adalah ‘senjata’ yang digunakan Linda, protagonis dalam film adaptasi game DreadOut, untuk mengalahkan hantu-hantu yang menyerangnya secara fisik. Bukan kamera antik yang disepuh oleh batu-batu roh seperti dalam game Fatal Frame. Melainkan gadget teknologi mutakhir yang memancarkan flash. Tanpanya, Linda dan teman-teman sudah barang tentu akan celaka. Film menunjukkan kemenangan dalam bergantung kepada hape. Ilmu pengetahuan menang telak atas klenik dan mitos yang-membudaya dalam film garapan Kimo Stamboel ini. Anak-anak sekolah itu bukan saja berhasil membuka pintu portal ke dunia lain, mengusik Kebaya Merah, mencuri keris pusaka miliknya, mereka memberikan perlawanan yang cukup berarti meskipun mereka tidak pernah benar-benar mengerti apa yang sedang mereka alami. Untuk sebuah prekuel, dan possibly episode pertama dari dunia yang katanya luas ini, tidak banyak mitologi yang digali.
Tentu saja hal tersebut bisa menjadi hal yang mengecewakan buat para penggemar. Film ini punya kesempatan seperti sebuah kertas yang benar-benar kosong; film bisa menuliskan apapun, menambah kedalaman cerita, memperpanjang aturan dunianya, mengekspansi tokoh-tokohnya, tapi film hanya ‘menulis’ sedikit sekali. Seolah ada garis pembatas yang pantang dilanggar. Dan bahkan Linda dan teman-temannya berani untuk melanggar batas wilayah yang diijinkan oleh penjaga gedung. Film seperti punya ide-ide yang jauh lebih gila, namun tidak semuanya bisa mereka wujudkan. Tidak banyak jenis hantu yang muncul. Pun adegan aksinya terasa agak nanggung, mengingat kiprah sang sutradara di film-filmnya sebelum ini. Jelas, ini masalah batasan umur. Bayangkan jika mereka terus dengan adegan penggal kepala alih-alih potong pergelangan tangan. DreadOut tampil agak jinak dengan efek-efek komputer yang dipasang lebih dominan – sekali lagi, technology triumphs!
Tetapi bukan berarti film kehilangan sentuhannya. DreadOut berhasil menginkorporasikan gaya khas sang sutradara dengan gaya yang sudah mendarahdaging sebagai cap-dagang gamenya. Menggunakan pergerakan kamera seperti yang kita jumpai dalam Upgrade (2018), Kimo menambahkan intensitas ke setiap lemparan-lemparan yang dikenai kepada para tokohnya. Pergerakan yang aktif dan terasa penuh energi ini membuat kita bisa langsung tahu dengan sekali lihat bahwa film ini ditangani oleh orang yang biasa bermain di ranah aksi thriller yang sadis. Sama halnya dengan musik, suara, dan atmosfer, sekali dengar (dan sekali lihat) para penggemar video gamenya bisa langsung konek bahwa mereka sedang menyaksikan dunia yang sama dengan yang beberapa tahun lalu mereka mainkan. Film mempertahankan apa yang membuat game ini fenomenal; gameplaynya. Bagaimana hantu bisa dikalahkan dengan masuk ke mode layar handphone. Ada beberapa scene yang memperlihatkan Linda memberanikan diri melihat ke layar hapenya, dan ada juga beberapa di mana ia hanya ‘asal’ jepret karena begitu ketakutan. Mengingatkanku kepada diriku yang mulai serabutan jika hantu yang muncul ternyata terlalu mengerikan.
Bahkan buat yang bukan penggemar pun, film turut memberikan service. Komedi dengan gaya candaan yang gak terlalu in-the-face akan membuat kita terhibur. Dan untuk alasan tertentu, film akan menampilkan Jefri Nichol bertelanjang dada.
Dengan rambut dikuncir, Caitlin jadi mirip Ariana Grande ya
Game DreadOut sendiri menjadi populer, sebagian besar disebabkan oleh seorang youtuber luar yang meng-upload video dia memainkan game ini, dan itu kocak banget. Aku dulu sempat kepikiran untuk melakukan hal yang sama, karena memang saat memainkannya, ada saja reaksi kocak yang timbul oleh tantangan dan pengalaman yang diberikan. Aku masih ingat ketika aku mulai khawatir ketika baterai hape si Linda sudah tinggal setengah. Actually, aku sempat menanyakan hal ini kepada produser filmnya saat diundang dinner bareng cast, “Apakah nanti di film akan ada adegan Linda panik karena hapenya kehabisan baterai?” karena itu akan menambah lapisan kenyataan dan ketegangan, tetapi pertanyaanku hanya dijawab dengan tawa. Sayangnya, memang, ternyata film tidak membahas ‘masalah teknis’ seperti ini. Sisi vulnerable dari kekuatan Linda tidak mereka eksplorasi. Linda tidak pernah benar-benar terpisah dari senjatanya tersebut. Hapenya bahkan sempat tercebur dan that thing is still working just fine.
Linda dalam film juga tidak banyak diberikan ‘pikiran’ sama halnya seperti Linda pada game, dan ini buatku menjadi masalah. Saat bermain video game, gak papa jika tokoh kita adalah jenis tokoh yang ‘silent’, yang lebih banyak diam, yang tidak tahu apa yang terjadi, karena kitalah yang sebenarnya menjadi tokoh cerita. Pemain yang melakukan pilihan, pemain yang bereaksi. Beda dengan tokoh pada film; protagonis utama kudu tahu apa yang ia lakukan, kita harus mengerti keputusan yang dia ambil berdasarkan apa. Semakin lama, semakin melelahkan melihat Linda berlarian ‘tak tentu arah’, so to speak, well actually Lindanya hapal banget arah karena lokasi film ini enggak begitu luas meskipun seharusnya adalah hutan, karena kita tak punya pegangan apa-apa selain dia ingin menyelamatkan diri. Naskah yang baik adalah naskah yang memberikan dua problem buat tokoh utamanya; problem di luar dan problem di dalam dirinya sendiri. Teror dalam film ini terasa terus bergulir, dan kita tak melihat di mana kesudahannya. Portal itu terbuka menutup sekena keperluan naskah. Kocaknya, kabur dari gerbang yang terkunci lebih susah daripada masuk ke alam gaib, pada film ini.
Dan tidak menolong pula tokoh-tokoh yang lain dibuat begitu menjengkelkan. Film meninggalkan sahabat Linda, Ira, di belakang. Membuat kita stuck dengan tokoh-tokoh yang dialognya seputar berbuat iseng, dan mencari sinyal. Malahan ada satu yang kerjaannya menggebah Linda dan teman-teman untuk masuk dan melanggar batas – clearly he’s up to something. Film tidak memberikan kita ruang untuk mempedulikan teman-teman Linda ini. Jikapun ada keberhasilan, maka film berhasil membuild-up kekesalan kita sehingga nanti begitu hantu muncul dan satu persatu mereka disiksa, kita akan merasakan puas tak terkira.
Cukup bangga rasanya Indonesia punya film adaptasi video game, yang menunjukkan seberapa jauh negara ini berkembang dalam dunia perfilman dan pervideogame-an. Sebagai sebuah survival horor, film ini menunaikan tugasnya dengan loud-and-clear. Kita melihat makhluk-makhluk menyeramkan, menyerang remaja-remaja tak berdaya yang hanya bisa mempertaruhkan nyawa dengan hape mereka. Film ini punya gaya sendiri yang menjadikannya unik. Sayang, pada penulisan-lah DreadOut paling terhambat dan kemudian jatuh terjengkang. Film tidak mengambil kesempatan mengeksplorasi dirinya sendiri lebih jauh. Seperti mereka terjebak antara portal ‘memuaskan orang banyak’ dengan portal ‘tidak membuat kecewa gamers penggemarnya’. Dan selalu bukanlah hal yang baik terjebak di antara dua hal. The Palace of Wisdom gives 4.5 out of 10 gold stars for DREADOUT.
That’s all we have for now.
Linda menggunakan hapenya untuk bertahan hidup dari hantu-hantu. Kalian gimana, bisakah kalian hidup tanpa hape?
Remember, in life there are winners. And there are losers.
We? We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017
Dikasih aturan, ngelawan. Diberi kelonggaran sedikit, malah ngelunjak seenak udelnya. Anak kecil yang beranjak remaja sekilas memang cenderung nakal dan susah diatur seperti demikian. Karena mereka terkadang memang lebih membutuhkan sosok seorang teman, dibandingkan seorang pimpinan.
Alih-alih orang yang mereka pandang ke atas – yang menunjuk-nunjuk mereka mana yang benar mana yang salah, seusia mereka sebenarnya perlu banyak-banyak bergaul dengan yang bisa diajak tertawa bersenang bersama. Bermimpi bersama. Untuk kemudian, bikin salah, jatuh dan bangkit lagi bersama.
Sunny Suljic dalam Mid90s memerankan Stevie ‘Sunburn’ dengan begitu hidup selayaknya anak cowok tiga-belas tahun yang masih mencari jati diri dan pegangan hidup. Perbedaan periode waktu enggak menjadi masalah bagi Suljic karena dia bukan saja menangkap, ia yang anak modern menghidupi tokohnya yang ‘berjuang’ sebagai seorang skateboarder amatir di tahun 90an dengan teramat sukses dan meyakinkan. Absennya figur ayah, yang kemudian digantikan oleh abang yang suka memukul dan ibu yang lebih sering mengurusi dirinya sendiri, membuat Stevie ‘melarikan diri’ ke jalanan. Berkat pukulan yang sering dihadiahkan oleh abangnya, Stevie boleh jadi berkembang menjadi anak yang tangguh secara fisik. Namun secara emosional, bocah ini rapuh. Dia butuh teman, secepatnya. Jadi Stevie lantas ngintilin geng skateboard yang ia lihat lagi bikin onar di pinggir jalan. Stevie mencuri duit ibunya demi membeli papan skate. Dia latihan sendiri, dalam jarak pandang geng skateboard yang terdiri dari empat remaja yang lebih tua darinya itu, supaya punya alasan bergabung ke genk mereka. Persahabatan yang terjalin antara Stevie dengan para skateboarder tersebut akan menjadi fokus utama cerita. Gimana mereka, dengan tembok security masing-masing, berusaha mengomunikasikan perasaan mereka. Karena mereka semuanya adalah cowok dengan keadaan rumah yang bermasalah, sehingga mereka saling membutuhkan lebih dari yang mereka tahu.
Jatuh. Bangkit. Repeat. You wanna be dumb, you gotta be tough
Ketika pertama kali dirinya disapa oleh salah satu anggota geng, tampak begitu senang. Dia mengucapkan terima kasih, tetapi langsung ditepis “Don’t thank me. That’s gay.” Untuk sebagian besar babak kedua kita lantas melihat Stevie berjuang untuk enggak keceplosan mengucapkan terima kasih, ataupun seluruh perasaannya kecuali dalam bentuk amarah. Ini rupanya adalah salah satu adegan kunci untuk kita memahami dinamika yang terbentuk di antara remaja-remaja bau kencur tersebut. Gratitude yang dianggap menunjukkan kelemahan; bahwasanya mereka adalah pria belum-matang yang belum mengerti sepenuhnya terms kejantanan itu sesungguhnya. Ibarat main skateboard, mereka belum lagi melaju. Masih menendang-nendang aspal panas nan keras – inilah dunia mereka. Yang ada hanya kompetisi; kau berteman atau musuhan, pilihannya hanya dua itu. Wanita hanyalah bagian dari kompetisi – pada sekuen Stevie ngobrol dengan cewek remaja di pesta rumah, si cewek mengatakan anak-anak cowok seusia Stevie sudah memasuki fase brengsek dan dia senang Stevie tidak termasuk seperti mereka. Namun di beberapa adegan setelahnya kita tetap melihat Stevie membangga-banggakan apa yang tadi ia lakukan ke teman-teman skateboardnya.
Tapi tentu saja hal tersebut tidak menunjukkan ketimpangan, ataupun ‘dosa’ yang harus segera dibenarkan. Film tidak bermaksud menjadi komentar sosial perihal bagaimana remaja seharusnya bertindak. Ini juga bukan tentang bagaimana cara menjuarai papan skateboard. Film adalah hamparan sebuah tahap, bayangkan sebuah jendela, yang dilalui oleh anak-anak seusia Stevie. It’s about that moment. Ini adalah tentang mencari teman sejak dini, tumbuh bersama mereka, berkembang bahkan ketika nanti pilihan hidup memisahkan kita dengan teman-teman.
Meskipun dalam menyaksikan film kita seharusnya hanya ‘bicara’ soal apa yang kita tonton, kadang kita susah untuk tidak terlalu kontekstual dan keburu ngejudge berdasarkan reputasi dari auteur alias pembuatnya. Mid90s adalah debut penyutradaraan film panjang dari aktor dan penulis komedi Jonah Hill. Orang ini dikenal dengan komedi-komedi wacky, yang seringkali seputar (dan dibuat oleh kebanyakan) ngeganja dan orang-orang berpesta pora. I mean, anak-hollywood mencoba membuat film tentang anak-anak jalanan dan ke-streetsmart-an mereka? Bahkan saat menulis kalimat tersebut aku maqsih merasakan seonggok ketidakpercayaan di sudut pikiranku. Seberapa meyakinkan scene-scene itu dalam visi Jonah Hill? Jawabannya adalah sungguh-sungguh meyakinkan. Katakan kepadaku jika perasaan uplifting tidak menguar dari hati kalian saat melihat Stevie dan temannya meluncur zig-zag ‘berirama’ di tengah jalan.
Tentu saja ada hal-hal konyol kayak tokoh yang dikasih nickname gabungan dari dua kotor karena si tokoh setiap kali ngomong selalu ngucapin dua kata itu. Mungkin juga ada beberapa generalisasi depiksi skateboarder yang bakal bikin anak skateboard beneran tersinggung. Tapi interaksi para tokoh, marahnya Stevie kepada ibunya, canggungnya hubungan antara Stevie dengan abangnya – ada satu adegan yang aku pengen ketawa tapi gak tega yakni pandangan Stevie ketika dia melihat abangnya diajakin berantem ama teman skateboardnya yang paling sok jago – berhasil terlihat enggak dibuat-buat. Semua itu karena Jonah Hill adalah orang yang pertama kali tahu untuk tidak berusaha menjadi pemimpin kepada para remaja. Hill tampak mengerti bahwa penting sekali untuk berjalan bersama remaja, dan menjadi teman bagi mereka. Para aktor-aktor muda tersebut, diberikannya kebebasan untuk menghidupkan karakter mereka masing-masing. Juga membantu, gimana dalam setiap peran yang ia mainkan Hill dikenal suka berimprovisasi. Dia menerapkan ini kepada aktor-aktornya, dan hasilnya sungguh luar biasa meyakinkan. Geng skateboard itu tampak seperti sudah berteman sejak dulu. Kita percaya mereka punya masalah di benak masing-masing. Kita bisa melihat kecemasan dari jerawat mereka.
kalo versi Indonesia mungkin ada tokoh yang namanya Anying
Hill menyetir filmnya keluar dari kotak drama ala Hollywood. Stevie tidak diperlihatkan berhasil menjadi skateboarder profesional. Dia tidak memenangkan piala dan perhatian palsu dari cewek, penggemar, dan orang-orang yang tidak perlu ia buat terkesan in the first place. Aku suka sekali gimana film ini berakhir; menurutku Hill berhasil mengkorporasikan elemen 90an ke dalam pesan yang ingin dipersembahkan. Kita, barengan Stevie dan gengnya, bakal menonton film video hasil rekaman teman mereka yang paling bego (dijuluki Fourth Grade karena akalnya gak kalah ‘panjang’ ama akal anak kelas empat es-de) sepanjang hari-hari mereka bersama-sama. Ending ini tidak memperlihatkan apa-apa, tapi kita tahu bahwa kelima anak ini; mereka tidak akan bermain skateboard bersama lagi setelah film ini berakhir. Stevie yang di awal film pengen nyari teman akan belajar bahwa temenan bukan berarti harus melakukan setiap hal bersama-sama.
Bukan berarti kudu melakukan apa yang teman kita lakukan. Kita harus belajar untuk menghormati keputusan mereka, untuk percaya kepada mereka. Kita bisa tetap menjadi teman dengan melakukan hal masing-masing, kita masih bisa seerat saudara meskipun punya jalan hidup masing-masing. Dan begitu juga sebaliknya, film mengajarkan kepada Stevie dan teman-temannya dan penonton bahwa keluarga, bisa kok dijadikan sahabat.
Direkam seluruhnya dengan 16mm, film ini berhasil membawa kita kembali ke masa 90an, lantaran sukses terlihat seperti film dari video-tape jaman dulu. Anak-anak itu terlihat seperti anak jalanan, anak broken home 90an beneran, lengkap dengan skateboard ala Bart Simpson mereka. Penampilan mereka meyakinkan sekali. Ceritanya menyenangkan dan tidak terasa dibuat-buat, walaupun kita meragukan apakah sutradaranya tahu apa yang sedang ia kerjakan. Pernah mengalami, ataupun tidak, Jonah Hill dalam debutnya ini berhasil menyuguhkan sebuah potret yang bisa melebur smepurna ke dalam album kenangan setiap orang yang pernah merasakan butuh teman semasa remajanya. The Palace of Wisdom gives 7.5 gold stars out of 10 for MID90s.
That’s all we have for now.
Pernahkah kalian bergabung dalam satu geng hanya untuk kabur dari orangtua dan keadaan rumah? Apa yang kalian rasakan, apakah masuk geng membuat kalian merasa menjadi lebih baik? Kenapa menurut kalian, kalian merasakan hal tersebut?
Remember, in life there are winners. And there are losers.
We? We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017
Kita semua pernah berbuat salah. Ketika kita sadar dan meminta maaf, atau malah ketika kita ‘ketahuan’ sudah melakukannya, kita mengharapkan respons dari orang lain. Kita menunggu mereka marah kepada kita sebelum akhirnya pengampunan itu diberikan. Barulah kemudian kita merasa lega. Tapi kadang perasaan lega tersebut tidak begitu saja diberikan. Tahu gak, marahnya orangtua yang paling gawat bukanlah saat mereka ngamuk bentak-bentak dan memberikan hukuman gak ngasih jajan sebulan. Melainkan ketika mereka hanya mengeluhkan napas dan bilang “Mama/Papa enggak marah sama kamu. Kami kecewa.” Tenang. Tanpa nada tinggi. Tapi melukai kita begitu mendalam. Itulah yang namanya luka tak-berdarah.
Kekecewaan itu kesannya mengecilkan. Karena bersumber dari ekspektasi. Membuat orang kecewa berarti kita sudah melakukan sesuatu yang menurut orang tersebut tidak sesuai dengan ‘standar’ kita yang biasa, seolah bahwa justru mereka yang sudah salah menganggap kita tinggi. Seperti kita kurang berusaha terhadap diri kita sendiri, sehingga mendengar kata ‘kecewa’ dari orang lain seperti tanda mereka menarik kembali respek yang sudah diberikan kepada kita.
Kecewa kepada film buatku juga seperti demikian. Bukan exactly karena filmnya jelek, maka aku kecewa. Akan tetapi, lebih kepada aku tahu sebuah film berpotensi menjadi bagus, namun film itu sendiri mengambil pilihan yang mengecilkan dirinya. When a movie it’s bad, it’s bad. Aku mengerti pilihan mereka. Aku bisa paham kenapa mereka lebih memilih yang mereka lakukan. Ketika sebuah film mengecewakan, aku mati-matian mencari pengampunan bagi mereka; aku sama sekali tidak mengerti selain mereka hanya melakukannya untuk nyari duit. Di 2018, cukup sering aku duduk di bioskop, merasa kecewa terhadap apa yang baru saja aku tonton.
Berikut adalah Delapan-Besarnya; dan perlu diingat lagi, film-film dalam daftar ini boleh jadi bukan yang terburuk (kalian bisa ngeklik judulnya untuk dibawa ke halaman ulasan dan score filmnya), malah bisa saja kalian menganggap filmnya bagus. Silahkan disimak;
Director: Lasse Hallstorm, Joe Johnston Stars: Mackenzie Foy, Jayden Fowora-Knight, Morgan Freeman, Keira Knightley Duration: 1 hour 39 min
Aku menyebut film ini “Kekecewaan yang adorable” Dunianya cantik. Kostumnya cantik. Mackenzie Foy-nya cantik. Semuanya magical. Kecuali cerita dan bagaimana cerita tersebut disampaikan. Film tidak mampu untuk membangun, I mean, dengan dunia fantasi seperti ini menakjubkan sekali gimana begitu keluar studio kita semua sudah lupa apa yang terjadi di film ini.
Mereka ingin menghidupkan cerita lama dengan konsep yang baru. Namun pada kenyataannya, film tidak mampu mengembangkan kreativitas pada dunia dan mitologi yang ingin mereka gali, selain tampak luarnya saja. Tokoh yang namanya jadi judul tidak banyak diberikan apa-apa. Tokoh yang lainnya hanya ada di sana dengan gimmick masing-masing. Film ini tidak mampu mengimbangi imajinasi dunia yang mereka angkat.
My Breaking Point:
Suara sok-imutnya Keira Knightley
Director: Corin Hardy Stars: Taissa Farmiga, Demian Bichir, Jonas Bloquet Duration: 1 hour 36 min
Valak adalah salah satu ikon horor masa kini yang, ya bisa dibilang lumayan keren. Namun origin story si Valak; it’s just stupid. Ini cuma film yang menyangka dirinya asik karena punya ikatan dengan franchise horor yang populer. Trik film ini cuma referensi dan easter egg. Mereka begitu fokus ke nyambung-nyambungin dunia, sehingga lupa membuat film horor.
Jika biarawati gak punya dosa, maka Nun yang satu ini dosanya adalah dia enggak seram. Malah lebih kayak film petualangan misteri mencari benda yang hilang. Aku bahkan merasa kasian sama jumpscare-jumpscare pada film ini, karena bahkan mereka pun gagal untuk menjadi mengagetkan karena film enggak mampu untuk mengembangkan cerita yang ia miliki.
My Breaking Point:
Bahwa hantu-hantu di film ini tukang nge-prank semata. Apa coba tujuan mereka membuat tangga berdarah? Menyamar jadi patung-patung?
Director: Mike Wiluan Stars: Yoshi Sudarso, Ario Bayu, Pevita Pearce Duration: 1 hour 42 min
Puluhan milyar itu dihabiskan untuk membuat salah satu film paling konyol yang bisa kita saksikan di bioskop tahun 2018. Tapi bukan hal tersebut yang bikin film ini mengecewakan, toh terserah mereka mau ngeluarin duit berapa pun juga. Yang bikin kecewa adalah karena sepertinya mereka enggak tahu apa yang sedang mereka lakukan. Kekonyolan film ini datang dari mereka sendiri, yang menganggap dirinya terlalu serius. Orang-orang di balik Buffalo Boys bermaksud untuk menjadikan film ini proyek epik yang membanggakan.
Tetapi mereka tidak membangun logika sedetil mereka membangun set, kostum, dan segala macam produksinya. Film ini penuh dengan karakter-karakter yang secara kontekstual sudah ketinggalan jaman. Film tidak menginvestasikan banyak kepada pengembangan cerita. Menjadikan film ini enggak ada spesial-spesialnya. Maksudku, semua orang bisa bikin yang kayak gini jika mereka punya kocek puluhan milyar. Apa dong hal unik yang kalian tawarkan?
My Breaking Point:
Di bagian awal ada adegan tokoh yang kabur naik sampan di air yang tenang – bukan sungai deras, dan pihak yang ngejar cuma nembakin dari jauh. Practically sampannya cuma ngapung dan para pemain bertingkah seolah-olah kejar-kejaran mereka intens banget hahahaha
Director: Peter Berg Stars: Mark Wahlberg, Iko Uwais, Ronda Rousey Duration: 1 hour 34 min
Penampilan aktor Indonesia dalam peran gede di film luar mestinya membanggakan dong ya? Tidak untuk film ini sayangnya.
Iko Uwais yang udah terkenal dengan koreografi dan aksi berantemnya, dia pastinya dapat peran di sini karena keahliannya tersebut. Film ini juga punya Ronda Rousey, petarung cewek jebolan UFC, juara Women’s di WWE.
Apa kita melihat mereka berantem? Tidak.
Apa kita melihat Iko berantem? mmmm… ada sih, tapi… enggak begitu terlihat? Well, bagaimana kita bisa ngelihat kalo ternyata film menangkap adegan-adegan berantem dengan teknik cut yang begitu frantik!??
Kenapa gak wide shot aja? Tidak satupun pilihan film ini yang menguntungkan buat genre action. Aku benar-benar gagal paham kenapa mereka memfilmkannya dengan seperti begini. Segala baku hantam, ledakan, dialog, yang ia punya jadi kayak rentetan racauan edan yang membingungkan dan jauh dari menghibur.
My Breaking Point:
Setiap kali kamera bergoyang-goyang dan pindah cut dengan cepat. Dan ketika film ini sepertinya punya awareness bahwa Mark Wahlberg adalah seorang seleb.
Director: Fajar Nugros Stars: Kevin Anggara, Morgan Oey, Cairine Clay, Joshua Suherman Duration: 1 hour 28 min
Bayangkan kalian tidak sempat menonton Yowis Ben (2017), hanya mendengar puji-pujian tentangnya, kemudian melihat film yang dibuat oleh orang-orang yang sama sehingga kalian kepincut untuk nonton. Dan yang kalian dapatkan adalah film kelebihan micin sehingga gizinya tidak kelihatan lagi. Itulah yang kualami dengan Generasi Micin.
Materi dan sudut yang pandang menarik dimentahkan oleh pilihan menjadikan film ini cerita komedi yang over-the-top. begitu banyak aspek-aspek tak-mungkin yang dimasukkan hanya untuk memancing tawa sebentar karena enggak menambah banyak ke bobot cerita. Yang mana membuat kita jadi menertawakan film (alih-alih tertawa bersamanya) dan tak lagi menganggap ceritanya grounded. Film ini akan bekerja lebih efektif dengan komedi yang realis. I mean, we could have normal teachers and still make a funny story, right?
My Breaking Point:
Adegan inspeksi sekolah yang melibatkan semburan air.
Director: Azhar Kinoi Lubis Stars: Putri Ayudya, Nadya Arina, Indah Permatasari, Nova Eliza Duration: 1 hour 37 min
Ketika melihat nama Azhar Kinoi Lubis di kursi sutradara, aku langsung tertarik. Pikirku sekiranya film ini bakal bisa mengangkat horor sebenarnya yang berasal dari ketakutan manusia, karena horor toh kebanyakan hanya mengandalkan jumpscare dan makhluk-makhluk seram yang merangkak belaka. Separuh bagian pertama, harapanku sepertinya terjawab. This film looks good, sinematografinya niat banget – memandang gambarnya aja bulu kuduk udah meremang. Ceritanya juga terhampar seperti mengandung elemen psikologis yang kental. Aku tadinya menyangka sudah menemukan horor yang bakal menjatuhkan tahta Pengabdi Setan. Sampai twist itu datang.
Film banting stir. Arahannya jadi over-the-top. Dan menghancurkan semua bangunan cerita dan suasana di awal. Akting, cerita, kejadian, semuanya jadi mengincar kepada kelebayan. Jadinya malah jatuh ke lembah kegelian. Seram yang subtil tadi, pada akhirnya terlupakan. Karena film ini hanya akan dikenang berkat penampilan over para tokoh dukun, dan perang ilmu mereka yang konyol.
My Breaking Point:
Adegan heroik protagonis nendang tokoh jahat yang tubuhnya berkobar api. Tinggal tambahin punchline insult yang cheesy tuh! hihihi
Director: David Yates Stars: Eddie Redmayne, Zoe Kravitz, Jude Law, Johnny Depp Duration: 2 hour 14 min
Film ini membuktikan bahwa nulis novel itu enggak sama ama nulis skenario film. Dan bahwa sehebat apapun kita dalam satu bidang, ketika pindah ke bidang lain, level kita akan selalu mulai dari nol.
Sekuel Fantastic Beasts ini pastilah bakal menjadi novel yang hebat. Dengan segala subplot dan karakter-karakter yang kompleks. Namun sebagai film, ini tak lebih bermanfaat daripada kotoran-naga. Serius deh. J.K. Rowling kelimpungan menaruh semua elemen cerita ke dalam struktur cerita film yang memang sempit. It is just too much. Tokoh utamanya jadi terkesampingkan. Kejahatan Grindelwaldnya enggak berhasil diperlihatkan dengan maksimal. Twist yang hadir, drama yang diselipkan, semua hanya lewat gitu aja.
Dan ini aku belum nyebutin betapa banyak lubang, ketidakkonsistenan, yang merusak apa-apa yang sudah dibangun dalam semesta sihir Harry Potter sebelumnya.
My Breaking Point:
Fakta bahwa penyihir-penyihir di film ini enggak lebih menarik dari para non-sihir, dunia mereka seolah tak banyak bedanya. Sama boringnya.
Sebelum kita sampai di posisi pertama, simak dulu Dishonorable Mentions berupa film-film yang kukasih skor 1; mereka mengecewakan justru karena sesuai ekspektasi “ah udah pasti jelek” dan hey, beneran jelek!
Dishonorable Mentions:
Bayi Gaib: Bayi Tumbal Bayi Mati,
Truth or Dare,
Alas Pati: Hutan Mati,
Sajen,
Jailangkung 2,
Tusuk Jelangkung di Lubang Buaya
Dan inilah film yang paling mengecewakan tahun ini, yang udah bikin nyesel bela-belain ke bioskop:
Meskipun sudah mengharapkan di film ini Hanung dan Reza bakal enggak se’serius’ mereka yang biasa, tapi tetep saja aku tidak menyangka hasilnya bakal separah ini. Benyamin Biang Kerok adalah insult dan kekecewaan bagi siapapun yang bersentuhan dengannya. Bagi seniman seperti Benyamin. Bagi keluarganya. Bagi pembuat filmnya. Bagi penontonnya. Bahkan memanggilnya sebuah film adalah hinaan tersendiri. Karena ini bukan film. Benyamin Biang Kerok tidak dibuat sebagai satu film yang utuh.
My Breaking Point:
Ketika wajah tertawa Reza sebagai Benyamin bicara kepada kita semua, memotong tepat di tengah adegan Benyamin lagi kepergok wanita macan, dan bilang bahwa filmnya bersambung.
Belum pernah ada yang selancang ini memotong cerita di tengah-tengah, tanpa memperhatikan struktur. Satu-satunya kemungkinan aku menonton sambungannya adalah jika tiket yang dipakai nonton ‘part satu’ ini masih bisa digunakan untuk yang bagian kedua, karena aku beli tiket untuk satu film. Utuh. Dan ngomong-ngomong soal itu, mereka sepertinya sudah sadar dan malu sendiri sebab ini sudah akhir Desember dan belum ada tanda-tanda bagian keduanya bakal diputar seperti yang sudah dijanjikan.
Orang-orang di balik film ini punya kemampuan untuk membuat persembahan bagi Benyamin yang gak malu-maluin. Mereka bisa bikin yang lebih bagus, no doubt. Namun mereka memilih menampilkan ini. Membaginya menjadi dua, malah. Saking kecewanya, aku jadi ingin tertawa
Ha-ha-ha-ha! *ketawa ala Reza mainin Benyamin
That’s all we have for now.
Semoga daftar ini bisa dijadikan cermin untuk perbaikan. Top-Eight Movies of 2018 seperti biasa akan ditulis nanti setelah pengumuman nominasi Oscar, untuk kemudian akan disusul oleh My Dirt Sheet Awards.
Terima kasih sudah membaca. Apa kalian punya daftar film-film yang mengecewakan juga? Share dong di sinii~~
Because in life there are winners. And there are losers.
We? We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017