“If you change the rules on what controls you, you will change the rules on what you can control”
Buatku, naskah yang bagus itu bukan exactly apa yang dikatakan oleh dialognya. Bukan seberapa bagus atau puitis atau sedalem atau sepinter atau selucu apa kata-kata, tapi bagaimana dialog itu ditempatkan sehingga memenuhi fungsinya. Kayak dialog opening dalam Heretic karya duo penulis dan sutradara Scott Beck dan Bryan Woods. Kita mendengar dua perempuan bicara soal ukuran kondom. Lalu kamera bergerak menjauh memperlihatkan mereka lagi duduk di bangku yang ada iklan kondomnya – sehingga terestablish konteks kenapa perbincangan soal itu bisa terjadi di antara mereka berdua. Lantas, dialog mereka lanjut, kali ini mengeset siapa/apa kerjaan kedua perempuan muda itu. Mereka Paxton dan Barnes, dua suster aliran mormon. Interest kita naik lagi sekarang setelah kita tahu mereka siapa yang ternyata kontras dengan pembicaraan mereka, namun dialog opening yang terdengar nyeleneh tadi ternyata berhasil melandaskan banyak konteks sekaligus, termasuk bagaimana pandangan karakter ceritanya terhadap hal yang mereka percayai yang ultimately jadi bahasan utama thriller ini nantinya. Seperti demikianlah buatku, naskah yang bagus itu.
Dua orang suster tadi akan tiba di rumah seorang pria tua bernama Mr. Reed. Mereka mampir memenuhi permintaan untuk menyiarkan agama mereka. Mr. Reed yang ramah mengundang mereka masuk karena katanya istrinya sedang menyiapkan pie untuk mereka. Awalnya semua tampak hangat dan terkendali, sesuai protokol yang dua suster ini patuhi. Tapi segala formalitas dengan segera lenyap karena Mr. Reed yang clearly seorang pintar yang telah malang melintang perihal riset agama, mengajak diskusi ke ranah yang lebih mendalam. Menantang kepercayaan personal bukan hanya dua suster, tapi juga kita semua.
Heretic most of the time memang diisi oleh dialog menantang yang bakal semakin intens dan creepy. Konsepnya ini worked greatly berkat penampilan akting dari tiga karakter sentralnya. Hugh Grant gak lantas jadi snobbish komikal ataupun preachy dengan dialog-dialog menantang pemikiran tersebut, Chloe East dan Sophie Thatcher juga gak lantas jadi karakter yang cuma jadi victim. Karakter mereka sendiri juga kuat terbentuk dari dialog-dialog yang seperti di awal tadi, seperti sederhana tapi sebenarnya sangat efektif mengeset siapa mereka, pemikirannya, kepercayaannya, ‘berasal’ dari mana pemikiran mereka. Dinamika mereka juga gak pernah dijadikan kejutan, as in, film ini tidak dibangun berdasarkan “oh ternyata Mr. Reed jahat”. Sedari awal kita sudah tahu ngarahnya mau kemana, tapi yang tidak kita expect adalah muatan yang dibawa oleh film ini dalam membuat “jahat”nya Mr. Reed itu seperti apa. Sama juga seperti pada kedua karakter susternya.
Yang sedikit jadi problem buatku hanyalah tidak ada karakter utama yang jelas, seenggaknya hingga masuk babak ketiga. Di dua babak awal, porsi kedua suster sama besar. Mereka bahkan sama-sama ter-outshined oleh Mr. Reed di pertengahan. Mungkin karena charisma Hugh Grant juga sih ya, tapi ya gitu deh, di pertengahan itu memang Mr. Reed diketengahin banget oleh film ini. Dijadikan fokus. Dua suster dibiarkan untuk bereaksi saja terhadap apa-apa yang dikatakan oleh Mr. Reed. Mereka dijadikan perwakilan kita dalam menyimak dengan takjub opini disturbing yang dengan tenang dan terukur disampaikan oleh Mr. Reed. Nonton dialog mereka seolah kita juga sedang berdebat dengan seorang atheis. Tapi juga banyak layer karakter lain yang bekerja sesuai dengan konteks tema ‘control’. Sehingga perdebatan mereka berisi dan gak debat kusir. Kita peduli, bukan hanya pada isi pembicaraannya tapi juga kepada nasib kedua suster. Mereka sudah seperti satu kesatuan, sebagai believer melawan non-believer. Sehingga walaupun karakter utamanya belum jelas merujuk kepada satu journey personal tertentu, the shared feelings between the two of them terasa menyeluruh bahkan hingga tershare kepada kita sebagai penonton. Dua babak film ini masih bisa bekerja nicely, dan kemudian saat babak ketiga telah lebih jelas ternyata ini adalah tentang Suster Paxton menjadi lebih pede dengan beliefnya untuk berani mengambil kendali, cerita paham bahwa fondasinya benar-benar sudah kuat dan kini saatnya bermain-main dengan elemen ‘rumah hantu’ dengan banyak jebakan dan ruang rahasia.
Itu satu lagi yang aku lihat dapat membagi dua penonton, meskipun buatku sendiri tidak jadi soal. Film berubah dari yang tadinya dialog grounded dan mampu melibatkan kita, menjadi thriller yang tidak lagi terasa terlalu praktikal dengan timing karakter yang artifisial (maksudnya dipas-pasin banget biar ceritanya seru) dan hal-hal yang semakin insane dilakukan oleh Mr. Reed. Motifnya tetap grounded dan kita bisa melihat root-nya, tapi actual things yang dia lakukan yaa terasa sensasional aja. I’m not complaining sih, keseluruhan film ini vibenya jadi kayak Saw dengan filosofi penjahat yang menarik hanya saja Heretic ini tidak ada eksploitasi alat-alat penyiksaan. Ini kayak versi deraan mental aja. Filmnya sendiri pun tidak pernah benar-benar berpijak kepada Mr. Reed sebagai villain yang pintar, tidak seperti Saw kepada John Kramer yang menganggap dirinya somekind of hero atau justified. Mr. Reed lebih mirip seperti ilmuwan gila yang mencoba bereksperimen dengan teori-teori yang ia percaya sebagai kebenaran.
Jadi, yang diomongin oleh Mr. Reed memang challenging dan offensive banget bagi – and not limited to – kedua suster. Pria itu basically bilang agama cuma marketing gimmick. Semua agama dan kepercayaan berasal dari sumber yang sama, yang divariasikan oleh pihak-pihak yang pengen memegang kendali sendiri. Untuk membuktikan agama itu cuma soal control-lah, maka Mr. Reed menjebak kedua suster dalam situasi di mana mereka merasa punya kehendak sendiri padahal langkah-langkah mereka sudah ia atur. Pilihan mereka adalah apa yang Mr. Reed mau untuk mereka pilih. Bapak ini pengen ngasih lihat dia mengontrol mereka. Dan itu membuktikan teorinya bahwa agama cuma sistem yang dibuat orang dan sekaligus dia bilang pemeluk agama hanya sekumpulan orang insecure yang butuh untuk percaya bahwa ada much more powerful-being yang menjaga kendali atas mereka. Bagaimana pendapat kalian sendiri tentang teori Mr. Reed ini? Silakan share di komen yaa.. Kalo buatku sendiri sih, bahkan jika yang dikatakan oleh Mr. Reed benar, bukanlah sebuah kesalahan bagi kita untuk memilih percaya kepada agama. Bahwa keinginan untuk secure dan terkendali bukanlah sesuatu yang harus dirisaukan. Apa bedanya kita berbuat baik dengan percaya ada imbalan surga dengan berbuat baik hanya demi kebaikan itu sendiri. Toh surga itu juga bukan imbalan yang langsung kita rasakan, beda ama ngerjain sesuatu hanya karena ada duitnya. Menurutku juga seseorang yang memilih tidak percaya agama juga tidak salah, jika itu membuat mereka malah merasa insecure. Yang salah adalah – seperti yang ditunjukkan oleh film ini – ketika orang itu merasa gak mau dikendalikan oleh sesuatu yang dia anggap salah tapi juga lantas dia ingin mengendalikan orang lain sesuai dengan apa yang benar untuk dirinya.
Yang ditakutkan adalah ketika ada orang seperti Mr. Reed yang ujungnya bikin sekte sesat kecil-kecilan sendiri. Karena sifat manusia cenderung sombong, jadi ketika orang sadar dan mampu mengubah aturan yang tadinya ia anggap mengontrol dirinya, maka ia akan merasa mampu juga untuk mengubah aturan bagi semua orang. Ia akan membuat aturan baru untuk mengontrol semua orang. Itulah ketika terbentuknya ‘agama’ baru.
Terpujilah film ini karena udah ngasih sajian thriller yang menantang. Bukan cuma penampilan aktingnya yang intens, tapi pembahasannya bener-bener ngasih sesuatu untuk kita pikirkan tentang kepercayaan dan kendali. Naskah film ini berhasilnya juga dua kali. Pertama, membawa bahasan yang sensitif ke dalam berbagai analogi – terutama memasukkannya ke dalam suasana thriller, meskipun kadang jadi terasa agak gimmicky dan tidak lagi grounded. Dan kedua, karena berhasil menuang gagasan itu ke dalam struktur film. Fungsi-fungsinya terpenuhi, sekali lagi, walaupun film memilih menunda untuk menonjolkan karakter utama pada dua babak awal yang didesain untuk mengetengahkan gagasan. Rancangan film ini udah kayak rumah Mr. Reed. Dari luar kayak rumah besar kuno berhantu pada film-film horor, tapi di dalamnya, banyak layer dan contraption yang bekerja membangun ceritanya.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for HERETIC.
That’s all we have for now.
Yang pengen punya kaos film lebaran Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/
Bagi kalian melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL