QODRAT 2 Review

 

“Be careful, the Devil can hear your prayers too”

 

 

Seorang perempuan berkompromi dengan iblis. Dalam gaun tidurnya, perempuan itu tampak begitu tak berdaya sementara sosok menyeramkan di depannya semakin mendekat. Mengoverpower seutuhnya insan yang sudah siap memberikan segalanya demi keselamatan keluarga tersebut. Eits jangan salah, ini bukan Nosferatu (2025) loh, melainkan pembuka dari Qodrat 2, sekuel petualangan ustad pembela kebenaran, garapan Charles Gozali. Sama seperti film pertamanya yang dibuka oleh adegan yang sepertinya homage buat horor klasik The Exorcist, film kedua ini pun ngasih nod ke another classic horror sebelum akhirnya menyala dengan dunianya sendiri. Qodrat 2 berjalan persis yang sudah kita antisipasi dari bagaimana film pertamanya bergulir. Charles Gozali menyuguhkan seteru epik ustad melawan setan layaknya superhero melawan supervillain. For better and worse, sebab kendatipun pertempuran ‘relijius’ ini kelam, intense, dan somehow tragis (ini adalah tentang manusia berhadapan dengan dosa mereka, afterall), namun elemen universe dan ala-ala superheronya juga membuat film ini kehilangan balance vibenya.

Yang di pembuka tadi adalah Azizah, istri dari ustad Qodrat. Saat kejadian film pertama, ternyata Azizah meminta kepada iblis untuk spare her son. Azizah menjual dirinya, but guess what. Iblis bukan pemegang janji. Anak mereka tetap mati, suaminya ditangkap dan nyaris kehilangan diri, sementara Azizah, sendirian menggila, berkubang dalam dosa. Qodrat 2 ngasih kita pandangan lebih personal tentang keluarga ustad Qodrat sehubungan dengan build up ronde dua seteru si ustad dengan si iblis. Qodrat yang kini sudah ‘kembali ke jalan yang benar’ bermaksud mencari istrinya, only to find her dalam genggaman setan lain. Azizah kini bekerja sebagai buruh pabrik. Bersama sejumlah karyawan wanita lainnya, Azizah dalam bahaya karena pabrik itu mengadakan tumbal untuk setan. Qodrat harus berjuang menyelamatkan istrinya yang merasa masihkah dirinya yang kotor itu bisa diselamatkan.

Mengandung adegan sholat paling tragis dalam sinema horor

 

Nyatanya, perempuan bernama Azizah itu turns out memang sebuah addition yang kuat untuk sekuel ini. Acha Septriasa total banget memerankannya. Azizah jadi pemantik dramatis tunggal di film kali ini. Dialah yang kalut luar biasa karena telah menjual diri kepada setan, for nothing, dan sekarang dirinya ngerasa jadi makhluk Tuhan paling kotor sedunia akhirat. Kita diperlihatkan kegalauan maksimal tersebut dari adegan yang menurutku paling powerful yang bisa dibuat – dan dimainkan – dalam konteks horor reliji. Adegan orang sholat, niatnya untuk tobat, tapi dia bahkan gak mampu untuk mengucapkan bacaan-bacaan sholat tersebut karena dia ngerasa rendah serendah-rendahnya telah pernah berserah diri kepada setan. Cara Acha mainin emosinya, ngebuild up hingga ke nanti dia nangis, menyerah, dan terpuruk, was soooo gooood. Kamera pun tahu ini, sehingga langsung aja ngerekam tanpa perlu trik ini itu. Meski kayak sederhana begitu, ini bukan adegan yang gampang untuk terdeliver dengan benar secara emosional. karena salah-salah, penonton malah akan mengira Azizah gak bisa sholat karena gak apal bacaan alih-alih karena dia can’t bring herself menghadap Tuhan.

Berhati-hatilah karena doa kita juga bisa didengar oleh setan dan iblis. Berhati-hatilah karena mereka akan meminta untuk menjual segalanya kepada mereka. Kepercayaan, jiwa, semuanya sampai kita tak punya apa-apa lagi selain dosa.

 

Sama seperti Lily-Rose Depp di Nosferatu, range akting Acha sebagai perempuan yang berhubungan dengan iblis di sini melingkupi harus berakting kesurupan. Setelah sebelumnya jadi pocong lead di Mumun (2022), jadi Azizah mode kesurupan bisa dimainkan dengan jor-joran juga oleh Acha, tapi juga seperti pada film-film horor umumnya, gak benar-benar ada yang spesial dari adegan kesurupan yang dilakukan selain harus ngasih smirk atau cengiran edan. Dan suara yang terdistorsi ampe ke titik agak susah didengar dialognya. Ngomongin soal sosok setan, Qodrat 2 tampak berusaha ngasih wujud dan presence yang ikonik buat Assuala ataupun Zhadug, but again, menurutku horor-horor Indonesia terutama yang udah niat buat fokus ke seteru atau nonjolin karakter jahatnya kayak film ini, perlu lebih serius baik itu dalam hal desain atau juga castingnya. Ambil contoh lagi aja si Nosferatu, film itu berusaha membuat casting dan perannya (yang memang sudah ikonik sejak dulu) jadi lebih ikonik dan bermain-main dengan desain, Semesta Qodrat perlu melakukan hal yang sama, berikan kepada kita ‘lawan yang sepadan’ dengan Vino G. Bastian sebagai jagoan. Paling enggak, seperti film pertamanya, yang ngasih duel epik Vino lawan Marsha yang ceritanya kesurupan.

Qodrat 2 sebenarnya masih punya momen-momen cool dan badass, kayak pas truk terjun bebas dengan ustad Qodrat di samping pak supir yang sedang kesurupan, atau pas Qodrat diminta sujud kepada iblis. Hanya saja momen-momen tersebut sekarang terasa lebih jarang dan kurang epik. Qodrat dan Azizah aja rasanya juga kurang dramatis, like, pertemuan pertama mereka di pabrik lebih terasa kayak ‘meet cute’ atau ‘damsel in distress’ momen ketimbang ya reuni antara dua manusia yang ngerasa terancam dan saling gak bertemu lagi – Azizah kan menyangka suaminya itu telah tiada. Penyebab utama kurasa datangnya dari karakter Qodrat itu sendiri. Journeynya beres di film pertama, kini dia sudah gak rusak lagi, dan total jadi ustad pembela kebenaran. Sehingga dia jadi jagoan yang datar. Gejolak journey emosi sumbernya kini dari Azizah. Masalah itu muncul ketika film yang memang dari perspektif Qodrat (karena dia jagoannya) memasukkan dua perspektif ini, fokus cerita jadi mendua. Qodrat kalah menarik dari Azizah. Setiap pertempuran Qodrat kini bahkan jadi lebih ke cool yang mengarah ke lucu dibandingkan pertarungan dia di film pertama. Akibatnya tone film juga jadi tidak konsisten. Adegan sholat Azizah tadi kayak kerasa out of place karena di tengah banyak aksi di pabrik yang vibenya lebih kayak ke throwback ketika Vino menjadi Wiro Sableng.

“Assalamualaikum, ustad Qodrat… Anu, ini bukan setan, ini Wiro. Balikin dong humor sayaaa”

 

Kasus tumbal di pabrik yang jadi sentral stage tampak seperti ingin men-tackle issue kesetaraan dan hak perempuan dalam dunia kerja. Tapi pembahasannya begitu underwhelming. Terasa seperti episode singkat alih-alih menyeluruh seperti kasus pesantren pada film pertama. Ancaman horor yang berasal dari sana juga ter-downplay oleh karakter-karakter antagonis tapi dibentuknya konyol kayak penjahat di film level anak-anak. Tidak terasa ancamannya meskipun memang ada kematian mengerikan di sana.

Namun dari semua, yang paling mengganggu buatku di film ini adalah cetakan universenya. Qodrat 2 actually turut dibuka oleh highlight kejadian pada film pertama. Ini sungguh cara yang enggak banget untuk dipakai di film. Selain buang-buang waktu yang sebenarnya lebih baik dipakai untuk development karakter, cara ini juga seolah membuat film tidak lagi menganggap dirinya film, melainkan episode serial. Bahkan jika fungsinya untuk sekadar mengingatkan pun, cara highlight seperti demikian merupakan cara yang paling gampang dan males yang bisa diambil oleh film ini. Apalagi mengingat cerita film kedua ini toh practically berlangsung dari kejadian film pertama (hanya perspektif berbeda), sehingga menggunakan highlight terasa semakin mentah. Bukan cuma penyambung ke film awal, film ini juga ngasih momen penyambung ke film berikutnya sebagai bagian dari babak penutup. Akibatnya, film yang sudah dimulai dengan awkward semakin terasa kayak episode tv saja dengan penutup yang seperti itu.

 




Cerita sekuel ini sebenarnya semakin personal, karena kali ini mengusut juga derita dari karakter istri. Karakter yang drama dan emosinya dimainkan dengan jor-joran banget oleh Acha Septriasa. Dengan konsep dan visi yang tegas, sayangnya  perspektif baru ini terbukti jadi penantang yang tangguh bagi keseimbangan penceritaan. Ustad Qodrat jadi terasa datar dibanding istrinya. Bahkan nada ceritanya pun jadi kurang balance, sebab ada yang drama banget tapi malah membuat penonton tertawa karena vibe kocak juga dibuat hadir. Momen-momen yang memang keren masih ada, tapi terasa kurang epik. Gimmick jagoan yang ngasih nod ke horor ataupun maybe ke film silat 80an sudah bagus untuk dipertahankan, hanya saja film ini butuh untuk lebih serius lagi sedikit, demi mencocokkan dirinya dengan muatan cerita yang dikandung. 
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for QODRAT 2

 




That’s all we have for now.

Sejauh dua filmnya ini, momen ustad Qodrat mana yang menurut kalian paling bad ass?

Silakan share favoritnya di komen yaa

Yang pengen punya kaos film lebaran Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

 

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



THE MONKEY Review

 

“All persons, living and dead, are purely coincidental”

 

 

Kematian pasti akan datang kepada setiap orang, ga ada tawar menawar. Tapi kepastian dari sebuah kematian itu justru sering dianggap sebagai misteri, atau kecelakaan, atau kebetulan. Karena gak ada yang tau kapan dirinya, temannya, atau siapapun bakal mati. Kematian itu pasti tapi tidak bisa dikendalikan, maka jadilah dia momok yang mengerikan. Dan seperti apa coba treatment sutradara Osgood Perkins ketika diserahkan cerita dari horor pendek Stephen King tentang gimana kematian yang pasti datang tanpa bisa dikendalikan ini? Well, alih-alih horor serius, dia membuatnya jadi horor komedi!

The Monkey merujuk kepada mainan monyet terkutuk yang didapat oleh si kembar Bill dan Hal Shelburn saat membuka-buka barang peninggalan ayah mereka. Meskipun pusatnya adalah gimana si mainan monyet ini membawa petaka setiap kali ia selesai menabuh gendang, tapi cerita film ini sebenarnya adalah tentang hubungan si anak kembar tadi. Bill dan Hal kurang akur. Hal sering ngebully Bill sampai-sampai Bill berfantasi mengenyahkan abang yang hanya beberapa menit lebih dulu keluar dari rahim ibu mereka itu. Ketika mengetahui ‘kekuatan’ mainan monyet, Bill berusaha memanfaatkan benda terkutuk itu untuk mewujudkan fantasi gelapnya. Tapi si monyet bukanlah benda pengabul permintaan. Kekuatan si monyet membuat korban-korban random berjatuhan. Hingga 25 tahun kemudian saat Bill yang kini sudah punya anak dan Hal sudah tidak pernah komunikasi lagi, monyet yang harusnya udah mereka buang itu kembali membuat orang-orang di sekitar mereka mati dalam kejadian yang tidak terduga.

Aslinya sih si monyet main simbal, tapi karena Disney maka jadi drum

 

Perkins kayaknya udah ngabisin semua stok disturbing dan seriusnya di Longlegs (2024), karena yang dia sajikan di The Monkey benar-benar kayak berkebalikan. Adegan-adegan horor di The Monkey melibatkan adegan-adegan mati, tapi semuanya begitu random dan diceritakan dengan tone humor yang kuat di baliknya. Bayangkan nonton Final Destination, tapi adegan matinya dibangun lalu dilepaskan tapi bukan untuk hanya kengerian, melainkan lebih ke ngajak kita ngetawain random atau misterinya kematian. Adegan matinya tetep ngeri dan berdarah-darah, cuma disajikannya dalam gambar yang lucu. Kayak ketika ada seseorang yang terbakar, dia berlarian panik di dalam rumahnya. Yang kita lihat actually adalah pantulan dirinya berlari dengan kepala terbakar dari kacamata hitam yang dipakai patung di dalam rumah. Lalu bahkan saat berlari, sebelah kakinya masuk ke baskom, udah kayak adegan di film warkop banget ga tuh. ‘Freak Accident’ harusnya memang super freaky dan film ini tepat sasaran soal itu.

Selain dari adegan kematian, dialog-dialog film ini juga lucu. Hampir nihilistic bahasan film ini menyoal kematian jika ditinjau dari obrolan para karakter. Mereka akan menyebut mati itu pasti terjadi, mati itu menakutkan, random, tapi kadang juga karakternya pengen seseorang mati. Kayak Bill kepada Hal, saudara kembarnya sendiri. Dinamika dua bersaudara yang jadi karakter sentral ini enggak seperti karakter anak kembar pada umumnya. Mereka basically saling benci, yang satu tipikal anak cupu, yang satunya tipikal anak sok bandel. Bahkan ketika mereka ‘bersatu’ untuk mengalahkan mainan monyet itu pun, mereka saling “aku akan pura-pura sedih jika kau terbunuh” to each other face. Sorotan utamanya adalah Bill, si cupu yang terbully. Perjalanan Bill dipotret dari saat mereka kecil hingga loncat 25 tahun kemudian saat Bill punya keluarga sendiri, saat dia harus bangun koneksi dengan putranya sendiri sambil menjaga jarak karena dia takut keluarganya dalam bahaya jika suatu saat mainan monyet itu kembali. Dan semua itu dia lakukan sambil menjaga rahasia yaitu dia tidak punya sodara. Bill dan Hal, keduanya, sama-sama semacam menjalani kehidupan yang tertutup – for slightly different reasons – tapi benang merahnya sama. Tentang takut sama kematian yang di titik itu mereka belum bisa sepenuhnya memahami randomness dan kepastian dari kematian itu sendiri.

Jadi in way, keacakan dan kepastian dari kematian itu seperti sisi kembar yang seperti cerminan dari mereka sendiri Dua sisi yang berlawanan. Yang jelas, mau segimana pun gak cocoknya, kehidupan tidak pernah kebetulan.

 

Perkara kutukan monyet, The Monkey memang sepertinya berangkat dari istilah Monkey’s Paw. Itu loh, cerita pendek horor tentang cakar monyet pengabul permintaan tetapi kejadian akhir setiap permintaan itu selalu punya dampak mengerikan. Seperti cerita pengabulan permintaan pada umumnya, cerita itupun bersifat cautionary tale supaya kita berhati-hati dengan harapan, supaya kita lebih bijak dalam menginginkan sesuatu. Di film ini, benda terkutuknya juga monyet, tapi monyet mainan penabuh drum. Setiap kali kuncinya diputar, si monyet akan menabuh drum, dan setelahnya, akan jatuh satu korban. However, kapan si monyet mulai bermain musik, ataupun siapa yang bakal mati, itu sangat random dan tidak bisa ditebak. Apalagi dikendalikan. Materi aslinya dari Stephen King sebenarnya lebih serius menjadikan makhluk terkutuk ini kayak mainan setan dan ngasih dread ke seluruh kota. Versi filmnya juga gitu, seisi kota Maine kena demam ‘freak accident’, tapi film ini menggiringnya ke vibe komikal, dari gimana kerandoman freak accident itu terjadi di background saat karakter utama berjalan melintas kota. Sutradara memilih untuk mengembrace sisi konyol dari mainan yang menyebabkan kematian – yang bahkan at one point nonton ini aku kepikiran sendiri apa monyet itu benar menyebabkan kematian atau mungkin malah sebaliknya, dia hanya main drum ketika mau ada kematian di sekitar yang memutar kunci. Dia beneran penyebab atau cuma messenger? Ketakutan kita terhadap hal konyol seperti pertanda kematian itulah yang dikuarkan oleh pilihan kreatif film ini.

Jadi menurutku, pilihan film untuk menjadi lebih ke horor komedi membuat hasilnya jadi lebih fresh tanpa benar-benar mengurangi muatan ataupun kehororan film ini sendiri. Malah bisa dibilang membuatnya jadi lebih mantap secara tematik.

Pemanasan sebelum nonton Final Destination.

 

Yang bikin film ini agak kendor sebenarnya adalah dramanya. Look, I know ini horor hiburan dan targetnya adalah adegan-adegan kematian yang absurd, tapi tetap saja tulang punggung cerita ini adalah relasi antara Bill dan Hal. Bahasan inilah yang tidak mendalam dilakukan oleh naskah. Simpelnya, kita tidak tahu kenapa mereka begitu berlawanan, kenapa Hal sampai senang membully Bill. Film hanya mengestablish dinamika mereka, dan meminta kita untuk menerimanya tanpa ada eksaminasi lebih lanjut. Sehingga karakter-karakter ini masih di permukaan.  Alasan kenapa Bill merahasiakan Hal aja gak begitu kena ke kita. Kita hanya tahu kenapa, tapi tidak ikut merasakan bobotnya. Seperti apa dampak dia merahasiakan itu kepada dirinya sendiri. Pilihan-pilihan dramatis yang dibuat oleh si karakter jadi ikut tersaru ke dalam kejadian-kejadian random akibat ‘ulah’ si mainan monyet. Menurutku film ini harusnya bisa lebih nendang lagi jika lebih mengetatkan bahasan drama antarkarakternya.

 




Kalo udah urusan kematian, gak ada yang namanya permintaan. Kita tidak bisa mengharapkan seseorang untuk mati begitu saja, karena kematian tidak bisa dikendalikan. Pasti, tapi bergerak dalam desain misterius yang tidak kita ketahui. Sehingga tidak pernah sebagai sebuah kebetulan. Beda ama film. Film yang tayang di bioskop, bisa kita prediksi ‘umurnya’ berapa. Tinggal lihat jumlah penonton di hari pertama. Film ini, menurutku punya potensi yang bagus untuk bertahan lama, karena walau gak seram secara konvensional, tapi punya banyak adegan kematian yang seru. Ngeri tapi cara kamera ataupun film menceritakannya sangat kocak. Bisa dibilang film ini punya selera humor yang agak laen. Di balik cerita kutukan mainan, film ini punya drama antara saudara kembar yang gak akur. Kegakakuran mereka dipotray dengan fresh dan kocak juga, tapi butuh ataupun bisa untuk dibahas lebih mendalam mengenai hubungan mereka untuk membuat film lebih padet. 
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for THE MONKEY.

 




That’s all we have for now.

Jadi bagaimana menurut kalian tentang si mainan monyet itu, apakah dia memang pembawa petaka atau dia hanya ‘peniup sangkakala’?

Silakan share pendapatnya di komen yaa

Yang pengen punya kaos film lebaran Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

 

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



NOSFERATU Review

 

“Death is my lover and he wants to move in.”

 

 

Dalam dunia kita yang relijius, kita mengenal petuah soal gimana dalam sebuah hubungan, orang ketiga adalah setan. Well, di dunia gothic buatan Robert Eggers, tempat di mana melankoli dan supernatural sama nyatanya dengan wabah mematikan, orang ketiga tersebut literally adalah sosok vampir legendaris yang menguasai manusia bahkan lewat mimpi mereka.  Penceritaan modern dari cerita klasik Nosferatu (yang sebenarnya adalah versi ‘ngeles dari copyright’ mitologi Drakula) ini ternyata ditonjolkan banget kelumit romance dan lust yang ‘berdarah-darah’ oleh Eggers, Sehingga aku yang nonton film ini pas tanggal 14 Februari pun ngerasa, kok pas juga ya jadinya horor ini ditonton sekarang!

Pasutri Thomas dan Ellen Hutter udah siap untuk membangun keluarga kecil mereka. Thomas dapat kerjaan khusus, ngurusin penjualan tanah ke bangsawan tua kaya raya di pelosok Jerman-Fiktif. Bayarannya gede. Jadi pergilah Thomas ke sana, ninggalin Ellen. Mereka gak ada yang tau kalo bangsawan bernama Orlok tersebut ternyata adalah makhluk kuno penghisap darah, dan juga adalah ‘mantan’ Ellen saat masih muda. Ellen yang punya bakat supernatural duli sering didatangi oleh Count Orlok di alam mimpi. Jual beli tanah kerjaan Thomas tadi hanyalah bagian dari rencana Orlok untuk memisahkan Ellen dengan sang suami, supaya dirinya bisa kembali menyatroni Ellen, kali ini memiliki perempuan itu seutuh-utuhnya, selahap-lahapnya, for good. Dan Count Orlok, being makhluk terkutuk, membawa bencana ke manapun dia berada.

Pengantin Iblis yang sebenarnya

 

Perbedaan yang terasa secara narasi antara Nosferatu modern dengan Nosferatu tahun 1922 dulu (gile jaraknya seabad!) adalah fokus cerita. Eggers tidak banyak menggunakan simbolisme atau alegori terhadap keadaan dunia. Meskipun memang, lucunya, film modern ini muncul setelah wabah pandemi seolah sebagai echo dari gimana film jadulnya dibuat setelah wabah flu Spanyol – dan kedua film ini sendiri memuat tentang wabah yang diakibatkan oleh tokoh titularnya. Gatau deh itu disengaja atau enggak sama pembuatnya haha.. Tapi yang jelas, Eggers memilih untuk menonjolkan relasi antara tiga karakter sentral, dan bahkan secara berangsur memindahkan fokus utama cerita ke karakter Ellen. Sehingga karakter ini punya pilihan (as opposed to hanya terpilih sebagai ‘korban’) dan background yang misterius yang membuat akhirnya dia jadi karakter yang fully-pledged. Dengan pesan empowering menguar di balik karakternya tersebut.

Bahwa dalam suatu hubungan yang entah itu toxic atau controlling, perempuan bisa kok lepas dari jeratan. Perempuan punya pilihan dan power, meskipun mungkin hasilnya tragis kayak di film ini. Tapi setidaknya, perlawanan cara Ellen menyisakan kehormatan karena merupakan bentuk dari sebuah pengorbanan yang pure dan selfless. 

 

Perbedaan narasi tersebut tentu saja dibarengi dengan perbedaan desain karakter. Di elemen ini Eggers sekali lagi menunjukkan taringnya. Dia berpijak kepada legenda atau mitos tentang Dracula tetapi juga dengan cueknya memperlihatkan desain yang di luar pakem pop culture Dracula ataupun juga Count Orlok itu sendiri yang sudah kita kenal. Mitos soal gimana vampir menghisap darah, misalnya. Film ini berani mengembalikan mitos yang udah populer (vampir menghisap darah dari leher korban) ke akarnya yakni dari lukisan-lukisan klasik; Orlok mengonsumsi manusia dari dadanya. Dan ini dilakukan juga untuk memperkuat kesan take control yang dilakukan oleh si vampir. Melahap dari dada toh memang terlihat lebih primal. Rakus, Penuh Kebuasan. Disturbing. Atau juga soal mitos vampir lemah oleh sinar matahari. Oleh film ini, kelemahan tersebut diolah menjadi adegan yang powerful dan naas sekaligus! Perlakuan Eggers terhadap mitos dan mengaitkannya kepada adegan puncak Orlok dan Ellen berhasil terabadikan menjadi sebuah adegan yang aku yakin juga akan diingat sepanjang masa. Bukan saja dari maknanya, tetapi juga dari gimana adegan tersebut berhasil dicapai lewat kostum, efek, sinematografi, dan sebagainya. Kayaknya kita memang harus bicarain karakter dan desain mereka satu-satu, deh.

Pertama, Thomas yang diperankan oleh Nicholas Hault. Di rumah, family man. Di kantor, pria muda yang gak sabar menunjukkan kemampuannya, pria yang ingin nunjukin ke bosnya kalo dia worthy for the job. Loyal, naif , tapi sayang istri, lah pokoknya. Di tangan sutradara lain mungkin karakter ini akan jatoh cupu atau at least hopeless tapi simpatik kayak Jerry di Rick & Morty. Apalagi memang struktur naskah membuat Thomas seperti dioverpower bukan saja oleh Orlok, tapi oleh istrinya – secara posisi karakter. Tapi film ini berhasil mempertahankan sisi kuat Thomas sebagai karakter yang fungsi pertamanya memang sebagai wakil penonton. Orang yang sama sekali di luar kejadian tapi perlahan-lahan terseret dan dia menemukan kekuatan untuk terus bertahan sehingga kita melihatnya bukan saja pantas berada di sana, tapi juga pantas untuk kita dukung perjuangannya.

Kedua, Ellennya Lily-Rose Depp. Film juga mengevolusi karakter ini, berkebalikan dengan Thomas. Lily awalnya kayak dikasih tugas jadi misterius dan berakting kesurupan – yang memang dilakukannya dengan total sehingga adegan kesurupan film ini creepy semua (opening film ini juga memorable banget karenanya!) Ellen dengan gaun putih udah kayak roh nelangsa yang dipermainkan antara kenikmatan mimpi dan realita sebelum akhirnya dicabik penuh derita. Tapi perlahan film mengubah ‘roh nelangsa’ menjadi simbol sebuah maiden. Ellen dimainkan oleh Lily-Rose seperti penuh kerapuhan, kita khawatir kepadanya – kadang juga takut – tapi power di balik dirinya terasa perlahan terbuild up. Kekurangan karakter ini buatku cuma satu sih, itupun datang dari struktur naskah yang dipilih tadi. Kita kurang banyak ada berkubang di kegelapan pikiran tragisnya. Bahkan setelah cerita udah full memandang dia sebagai karakter utama, Ellen masih tetap harus berbagi waktu dengan karakter lain misalnya si doktor paranormal yang eksentrik demi fungsi untuk menyampaikan eksposisi.

Nangis darah udah paling tepat menggambarkan betapa tragisnya kisah film ini

 

Last but not least tentu saja Count Orlok. Sebelum nonton kupikir Bill Skarsgard nasibnya udah kejebak mainin karakter horor yang creepy, tapi ternyata yang dia lakukan di sini justru bisa dibilang dibutuhkan supaya sosok vampir dalam film menjadi fresh. Tau dong gimana vampir biasanya digambarkan karismatik, bahkan enggak jarang ganteng atau punya pesona sendiri dalam menarik mangsa. Count Orlok original sendiri, walau gak kayak keluarga Cullen, tapi sudah ikonik dengan sosoknya yang mengerikan. Tantangan Nosferatu terutama kayaknya adalah dari gimana sosok Orlok yang baru bisa gak ikonik, supaya mereka gak terlalu dibanding-bandingkan. Skarsgard paham assignment dia. Dan dapatlah kita Orlok yang geraman suaranya seperti bergema di dalam hati, atau kepala, I’m not sure. Yang sosoknya kayak ringkih  tubuhnya rotten kayak mayat beneran, tapi bisa bergerak cepat (editing yang serem banget dilakukan film demi ngasih liat kekuatan Orlok). Dan ya, mana lagi coba makhluk kuno tapi berkumis. Orlok Skarsgard kayak berjalan elegan di garis antara komikal dan legendary, dan itulah yang bakal membuat karakternya ini bakal terus terpatri.

Dan film ini sendiri tu udah kayak si Orlok itu tadi. Dunianya tampak begitu jadul, mistis, dengan pengambilan gambar dan sinematografi yang ngasih vibe seram tradisional namun sangat efektif. Namun ada nuance modern dari ‘nyawa’ karakternya. Mitologi drakula dari Bram Stoker dihidupkan lewat mindset modern, di mana perempuan sudah lebih berdaya, sekaligus ini menghasilkan konklusi yang beautiful tapi tragis.

 




Buat yang belum nonton film Nosferatu original, atau yang sebelumnya cuma tahu Orlok dari kartun Spongebob, sebenarnya gak papa langsung nonton ini tanpa tahu apa-apa, karena ceritanya berdiri sendiri dan reference-nya juga lebih ke arah mitologi vampir secara general. Tapi jika ingin membandingkan, kalo bisa nemu film jadulnya yang bisu dan itam putih itu, silakan saja nonton. Buatku film versi modern ini tragis dan pilunya dapet, creepy supernaturalnya dapet, sungguh sebuah experience horor yang hormat terhadap era klasik. Kekurangannya buatku cuma struktur naskah yang kayak menukar posisi karakter utama antara Thomas dengan Ellen, yang aku totally get it kenapa film melakukan itu. Penampilan akting juga berhasil bikin film ini enak untuk diikuti, di samping juga dunianya yang benar-benar kebangun. Film ini juga ngasih lihat soal wabah dan gimana dunia luar bereaksi terhadap mitologi Count Orlok. Sehingga scale cerita film ini kerasa besar dan hidup.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for NOSFERATU
.

 

 




That’s all we have for now.

Count Orloknya Bill Skarsgard hanyalah satu dari sekian banyak jelmaan drakula dalam film berdasarkan bukunya Bram Stroker. Di antara semua, mana sosok drakula versi favorit kalian? 

Silakan share di komen yaa

Yang pengen punya kaos film lebaran Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

 

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



MINI REVIEW VOLUME 23 (EMILIA PEREZ, WICKED, FLOW, VENOM: THE LAST DANCE, RED ONE, A DIFFERENT MAN, Y2K, WOMEN FROM ROTE ISLAND)

 

 

Nominasi Oscar telah diumumkan, beberapa nominenya yang kontroversial pas banget udah aku tonton tapi belum sempat kereview tunggal. Jadi, ya di sinilah kukumpulkan bersama review film-film lain yang juga sama-sama belum ada ulasannya. Enjoy Mini Review pertama di tahun 2025!

 

 

A DIFFERENT MAN Review

A Different Man adalah cerita yang berbeda tentang identitas. Memang sih karya Aaron Schimberg ini menelisik gimana society memandang orang-orang yang “not normal” kayak The Elephant Man, ataupun juga masuk ke psikologis karakter yang ingin mengenyahkan sisi dirinya yang bahkan dia sendiri enggan menerima kayak The Substance, hanya saja sudut pandang yang diambil oleh film ini terasa lebih ironis. Naskahnya benar-benar mengkonfrontasi sisi hipokrit dari karakter yang pengen nunjukin siapa dirinya ke orang, tapi sekaligus dia juga malu ngeliatin apa adanya dirinya kepada orang.

Nonton film ini rasanya berpadu antara kasian ama ‘rasain lu!’. Edward ngerasa karirnya sebagai aktor serta bintang teater gak bakal mulus karena kondisi wajahnya. Jadi ketika dia mendapat kesembuhan, dia mempersembahkan dirinya sebagai “pribadi yang baru”, bukan lagi sebagai Edward. Dia bahkan ikut casting memerankan karakter yang dibuat berdasarkan dirinya waktu dulu masih Edward. Ironis banget kan, padahal si cewek sutradara teater itu suka Edward yang mukanya begitu, tapi Edward sendiri lebih memilih untuk berakting sebagai dirinya, ketimbang apa adanya. Untuk mencapai goalnya, memang naskah film ini ngambil resiko untuk jadi aneh,  bukan ke horor creature tapi like, agak ke “mustahil di dunia nyata” yang lebih grounded gitu. Tapi pilihannya itu memang berbuah plot yang terus menelisik sikap Edward.

Paling ngakak nanti ketika datang karakter Oswald, yang punya kondisi sama seperti Edward, tapi dia orangnya pede. Melihat ‘kompetisi’ Edward yang udah ganteng dengan Oswald tu bener-bener kayak ngeliat gimana seseorang mencoba mengalahkan dia yang seharusnya.

The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for A DIFFERENT MAN.

 

 

 

EMILIA PEREZ Review

Emilia Perez berangkat dari film yang mendapat standing ovation 9 menit penuh di Cannes 2024, menjadi film yang paling dilaknat sinefil karena nyabet 13 nominasi Oscar padahal filmnya problematis; sutradaranya, Jacques Audiard, ngaku gak riset Mexico, kurang representasi lokal, pake AI untuk adegan musikal karakter titularnya, serta juga karena katanya Selena Gomez kurang effort. Yah, itu semua cerita ‘kontroversinya’, kita boleh gak suka atau gimana karena itu, tapi di sini aku mau coba menilai dari produk filmnya itu sendiri – di luar hal-hal kontroversial tadi.

Saat pertama nonton ya aku merasa film ini punya sudut pandang unik yang menghasilkan situasi musikal yang unik. Itu karena aku memahami film ini sebagai kisah Zoe Saldana sebagai tokoh utama, sebagai pengacara wanita yang punya prejudice terhadap gender berdasarkan kasus-kasus yang ia tangani, lalu dia dipaksa jadi klien untuk ketua gangster Mexico yang diam-diam ingin meninggalkan dunia kriminal karena si gangster ini ngerasa dirinya yang sebenarnya tuh perempuan, jadi dia ingin jadi trans woman. Sudut pandang Zoe di sini menarik karena prasangka dirinya terhadap gender dan tingkah laku serta merta menjadi semakin kompleks saat dia terlibat dalam hidup si Emilia, sebelum dan sesudah menjadi wanita. Emilia Perez sama seperti A Different Man dalam hal memotret gimana manusia merasa diri mereka berubah setelah ganti ‘sosok’, padahal mungkin sebenarnya tidak ada yang berubah. Bahwa semuanya itu tergantung di dalam kita.

Perkara musicalnya, memang ada juga adegan lagu yang konyol. Wicked yang kita bakal kita bahas nanti, punya musical number yang jauh lebih powerful. Aktingnya memang kadang terasa karikatur, yang sejalan dengan kontroversi film ini masih dalam kotak stereotipe. Buatku, masalah utama pada film ini, adalah naskah yang masih belum firm mematok tokoh utama. Antara si pengacara wanita atau karakter titularnya. Jika pilihan ini lebih exact, bisa jadi film ini lebih kuat.

The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for EMILIA PEREZ.

 

 

 

FLOW Review

Animasi dari Latvia ini rounding up betapa magnificentnya skena film animasi di tahun 2024 kemaren. Flow yang mengambil tempat di dunia fantasi, dihidupi oleh hewan-hewan yang grounded banget ke kita – bukan cuma dari suara mereka yang memang ngambil suara hewan asli!

Gak ada dialog dalam film ini, hanya suara hewan-hewan itu. Namun sutradara Gints Zilbalodis dengan efektif menyampaikan – lewat animasi yang tampak kasar tapi nyatanya begitu fluid – pesannya tentang kerja sama tanpa mengenal ras di balik kisah petualangan seekor kucing di dunia yang dilanda banjir. Kucing yang notabene hewan penyendiri itu harus belajar survive di keadaan sulit bersama hewan-hewan lain yang either dia belum pernah ketemu kayak Capibara atau bangau mitologi, ataupun hewan yang selama ini ia anggap musuh, kayak seekor anjing.

Animasinya serasa benar-benar mengisi keindahan tema cerita yang disampaikan. Kreativitasnya clearly begitu pure dan magical, membangun dunia yang membuat mata kita melekat ke layar. Sementara storynya sendiri, well, jangan harapkan cerita petualangan yang bombastis, cerita film ini ngalir sederhana aja dengan ‘kejutan’ magis di sana sini. Akan mudah bagi kita untuk tersedot masuk dan peduli dan ngerasa jam berlalu bagai terbang saat menonton ini.

The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for FLOW

 

 

 

RED ONE Review

Buatku ini salah satu film yang suprisingly potensial, tapi jatuh flat on it’s face, karena satu hal: The Rock yang sepertinya kekuatan supernya di dunia nyata adalah membuat film apapun yang ia bintangi menjadi generic. Well, The Rock atau penyakit sutradaranya, Jake Kasdan.

Aku suka konsep dunianya. Makhluk-makhluk mitologi ternyata nyata, dan Sinter Klas kini diculik sehingga bagi-bagi kado saat natal terancam batal. Dan Kapten Ameri..ehm, Chris Evans harus bekerja sama dengan kepala sekuriti sinterklas, The Rock, bertualang mencari siapa yang menculik. Salah satu tersangka utama adalah Krampus, sodara Santa Claws. Tuh aku tertarik banget ketika film mulai bahas hubungan persaudaraan mereka. Sampai-sampai aku lebih pengen ngeliat petualangan karakter Chris Evans yang manusia biasa dengan Krampus, alih-alih dengan The Rock. Pertama, aku ingin mitologi dan relasi karakter lebih dieksplorasi lagi. Film ini tu kayak kurang banget. Karena, kedua, film ini tetap memfokuskan kepada The Rock dan adegan-adegan aksi. Di sinilah film ini jadi generic banget.

Makhluk-makhluk yang dilawan sih cukup kreatif. Cuma ya, adventure nya jadi cookie cutter banget. Apalagi baik itu The Rock maupun Chris Evans keduanya sama-sama masih kayak saling jaim. Bantering mereka kayak standar aja. Mereka masih kayak berlomba mana yang paling cool doang. Aku berharap dua jam dapat something fres, nyatanya ya hiburan yang seperti biasa aja.

The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for RED ONE

 




VENOM: THE LAST DANCE Review

Beda dengan Chris dan The Rock, bantering antara Tom Hardy sebagai Eddie dan sebagai Venom si symbiote memang terasa lebih ngalir dan lebih fit untuk role “buddy comedy”. Hanya saja, hal tersebut tidak cukup kuat untuk mengangkat film terakhir dari trilogi Venom ini. Karena secara overall, film ini masih terasa berantakan oleh constant pushing universe ceritanya.

Aku gak tau siapa yang minta tapi Venom: The Last Dance is actually punya adegan Venom berdansa. Mungkin kedengarannya memang lucu, dan bisa saja jadi tontonan yang works, tapi tidak kalo kita melihat film ini punya bigger mission yakni tentang pengenalan banyak makhluk symbiote lain dan main antagonis berupa entitas yang jadi ‘predator’ utama bagi symbiote. Bagi film ini, keberadaan karakter-karakter tersebut hanya jadi outer journey. Spektakle aja. Makanya film ini terasa kosong. Momen-momen development Eddie dan Venom terasa begitu sporadis dan seperti berjalan sendiri.

Sebagai sebuah trilogi pun, udah di film terakhir tapi aku masih belum ngerti bentuk gambaran besar trilogi ini seperti apa. Segala hal tentang film ini terasa disjointed, baik itu secara dia stand alone, ataupun sebagai kesatuan dari trilogi. Bisa jadi ini karena peralihan sutradara dan persoalan IP Sony dan Marvel itu. Akhir trilogi ini kembali dipegang oleh Kelly Marcel, dan di point ini sepertinya dia menggigit projek yang terlalu besar untuk dia kunyah. Or may be semua proyek utuhnya udah dikunyah ama Venom hihihi

The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for VENOM: THE LAST DANCE

 

 

 

WICKED Review

Fan fiction biasanya recehIt is what it is. Kita begitu suka ama suatu cerita sampai-sampai cerita itu menginspirasi kita untuk mengarang sesuatu untuk mengembangkan lore ceritanya, sesuai maunya kita. Most of fan fiction biasanya cuma muasin kesukaan pembuatnya. Tapi Wicked yang diangkat jadi film oleh Jon M. Chu dari teater play yang ‘cuma’ fan fiction dari The Wizard of Oz, ternyata punya sesuatu.

Sesuatu itu could be yang dibilang orang sebagai ‘movie magic’. Wicked memang film modern, yang fantasinya mulus berkat teknologi, yang juga aku akui terasa agak kepanjangan, tapi vibenya tuh masih kerasa kayak fantasi klasik. You know, dongeng yang sarat pesan berharga. Mengirim kita ke dunia ajaib dengan karakter-karakter ajaib tapi kita masih terasa menapak. Ceritanya sendiri berpusat pada gimana Glinda dan Wicked Witch of the West di jaman sekolah dulu, saat mereka masih berteman. Sesuatu itu bisa juga penampilan akting yang quirky tapi pas. Karakter film ini memang kayak komikal, aku sempat gagal fokus terutama pada Galinda – Ariana Grande maininnya kayak era Cat Valentine banget – tapi mereka gak pernah ninggalin hati mereka. Iya sih agak aneh ngelihat yang udah lama kita kenal sebagai penyihir jahat ternyata baik atau sebaliknya, namun melihatnya sebagai stand alone story, film ini punya karakter yang menarik.

Puncaknya ya adegan musikal. Lagu-lagunya memang gak sampai membuatku berdendang, tapi adegan musikalnya powerful. Cynthia Erivo dan Ariana Grande gak lagi main-main di adegan-adegan musikal dengan range akting – dan tentunya vokal but I don’t know about this – yang mengukuhkan deliverance film ini sebagai penceritaan di dunia ajaib dengan musik yang gak kalah magis.

The Palace of Wisdom gives 7.5 gold stars out of 10 for WICKED

 

 

 

WOMEN FROM ROTE ISLAND Review

Jawara FFI, jagoan Indonesia buat ke Oscar tahun ini, namun tak pelak, sepanjang tahun kemaren film debut penyutradaraan Jeremias Nyangoen ini juga santer oleh kontroversi. ‘Emilia Perez’nya Indonesia-lah, mungkin bisa dibilang.

Satu hal yang dilakukan dengan benar oleh film ini ketimbang Emilia Perez adalah, Rote Island tidak ada dosa lack of representation. Film ini dengan berani menggunakan aktor-aktor lokal, yang memberikan penampilan akting maksimal, sehingga film ini terasa beneran lokal. Sesekali ada juga ‘jendela’ yang membuat kita melihat kebudayaan lokal Pulau Rote, tapi mainly film ini ingin menilik adat setempat yang membuat gerak kaum perempuan terbatas. Lalu kemudian film ini mulai beat up our head dengan perlakuan yang dialami perempuan di sana, lewat adegan – adegan yang semakin lama semakin brutal. Inilah yang memang jadi akar kontroversi film ini. Penggambaran kekerasan terhadap perempuan yang nyaris bikin film ini kayak film eksploitasi.

Menurutku penyebabnya karena film ini deliberately pindah sudut pandang dari karakter Orpa (seorang ibu) ke ngeliatin kejadiaan naas yang dialami putri-putrinya. Dan aku setuju perpindahan tersebut tidak perlu. Sedari awal naskah dibangun dengan Orpa sebagai tokoh utama, Orpa juga ngalamin perlakuan yang degrading, dia juga sudah harus dealing with ‘misteri’ kenapa Martha, putri sulungnya, jadi punya perilaku aneh kayak trauma mendalam, dan di babak akhir pun Orpa yang ‘beraksi’ mengungkap semua. Untuk karakter utama yang sudah digenjot hambatan dan masalah seperti ini, memindahkan perspektif ke korban lain hanya untuk menegaskan gimana exactly kekerasan itu terjadi kepada mereka hanyalah tindakan overkill yang bikin film tidak kelihatan main cantik.

The Palace of Wisdom gives 6 gold star out of 10 for WOMEN FROM ROTE ISLAND.

 

 

 

Y2K Review

Aku memang belum nonton semua film A24 sih, tapi rasa-rasanya Y2K ini film A24 terjelek yang pernah aku tonton! Filmnya datar banget. Padahal yang dipotret adalah what if scenario di akhir era 90an saat orang-orang was-was apa jadinya jika semua komputer error saat pergantian tahun dari 99 ke 00 alias 2000.

Sutradara Kyle Mooney put all his money ke membawa hal-hal nostalgia 90an sehingga dunia ceritanya bisa genuine, tapi itu tidak lantas tertranslasikan menjadi vibe 90annya dapet. Itulah yang kurang di film ini. Karakter-karakternya gak asik. Para aktor, kecuali Julian Dennison, gak dapet mainin remaja 90an yang awkward. Mereka semua tu kayak jaim, development karakter mereka gak kerasa sama sekali. Kalo sudah begini, satir atau lelucon apapun yang berusaha mereka deliver, jadi miss semua. Jadilah film ini sangat bosenin (padahal durasinya singkat) padahal paruh akhirnya harusnya bisa cukup seru dengan trope manusia vs. komputer pembunuh.

Satu-satunya yang memorable buatku di film ini adalah keputusan aneh mereka ngebunuh karakter paling likeable duluan. Ini tuh berdampak gede banget, bukan hanya dari keseruan kita menonton, tapi dari karakter yang masih idupnya sendiri. Film seperti kehilangan hook gede sehingga karakter yang tersisa kayak berlari dan berusaha survive tanpa kaitan emosional. Atau kaitan lainnya ada, cuma tidak berhasil tercuat oleh naskah. Film yang harusnya main di ranah pesona awkward khas 90an akhirnya hanya kayak cringe dan cheesy tanpa jiwa.

The Palace of Wisdom gives 3 out of 10 gold stars for Y2K

 




 

 

That’s all we have for now

Siapa jagoan kalian di Oscar tahun ini? Silakan share di komen yaa

Thanks for reading.

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



My Dirt Sheet Top-Eight Movies of 2024

 

Satu dua tiga.. itu bukan itungan menuju kembang api tahun baru yang sekali lagi sudah kita lewati, tapi angka jumlah – tepatnya seratus dua puluh tiga – film yang udah sukses tereview di blog ini sepanjang 2024 yang lalu. Angka yang lebih besar daripada tahun 2023. Tapi itu juga bisa review lebih banyak karena aku ‘ngecheat’ lewat mini review. Jadi, tahun 2024 filmnya lebih banyak tapi reviewnya lebih sedikit. Make sense gak sih? hahaha

Melakukan ini setelah sekian lama ternyata jenuh itu sampai juga kepadaku. Maka tahun ini ya, jujur aja, aku semakin males ke bioskop. Gairah untuk sesegera mungkin bertemu film baru itu pun jadi menipis. Aku jadi lebih suka menunggu hingga tayang di platform, lalu menontonnya di komputer. Nulis reviewnya pun udah gak kerasa begitu urgen. Satu ulasan, belakangan ini, aku garap dua hari. Padahal biasanya, langsung ngebut begitu beres kredit filmnya bergulir. Kalo nontonnya di bioskop, biasanya aku cepet-cepet pulang untuk bikin tulisan. Tapi tahun ini, kalo lagi gak ujan, aku lebih suka pulang nyantai – kalo perlu jalan kaki pulang ke kamar. Gak tau juga sih kenapa jadi ilang gairah, padahal ke film itu sendiri aku masih terus penasaran. Film masih tetap jadi eskapis dan ruang melihat karakter yang menarik bagiku. Caturwulan terakhir tuh, aku rasanya males banget. November malah aku cuma publish dua post single-review. Tapi tenang sodara-sodara, di penghujung tahun 2024, aku merasa sudah menemukan kembali passion itu – atau seenggaknya, aku menemukan pemantik gairah baru dalam menonton. However, I really hope this particular reason would work out nicely sampe ke 2025 dan further, doain aja yaww..

Balik ke soal 123 film, keliatannya banyak tapi cakupannya ternyata juga belum terlalu dalam. Beberapa film yang crucial di 2024 kayak Gladiator 2, Wicked, Emilia Perez, Mufasa, dan bahkan Red One (yang ternyata cukup unik) belum sempat kutulis – dan bahkan belum sempat kutonton – sehingga gak termasuk dalam daftar ini. So yea, daftar kali ini mungkin bukan cerminan terbaik dari perfilman 2024, tapi ya sudah cukup mewakili lah.

 

HONORABLE MENTIONS

  • American Fiction (meskipun judulnya ‘American’ tapi keadaan sosial yang diangkat di film ini relate ke kita, karena I guess semua orang sekarang memang hidup di dunia yang sama, dunia tipu-tipu alias dunia fiksi)
  • Heretic (dialog menantang soal keimanan dan agama adalah wujud asli dari thriller ini)
  • How to Make Millions Before Grandma Dies (kirain lucu-lucuan soal rebutan warisan, ternyata cerita menyentuh tentang hubungan keluarga di mana jadi caregiver adalah bentuk ultimate sebuah cinta)
  • I Saw the TV Glow (bukan cuma nostalgia kultur televisi, tapi juga kisah psikologis yang haunting tentang identitas diri)
  • Kabut Berduri (cerita detektif bernuansa psikologis dan juga mistis? jarang banget ada di Indonesia)
  • Kinds of Kindness (antologi super absurd tentang rupa-rupa (atau pura-pura?) kebaikan)
  • Longlegs (detektif bernuansa mistis jugak, tapi ini emphasize di atmosfer dan penampilan akting creepy dari Nicholas Cage)
  • Monster (yang Jepang loh, bukan film Indonesia yang berjudul sama. Film ini punya konsep tiga perspektif, sehingga ceritanya jadi kayak berevolusi jadi tiga genre berbeda. Tapi yang lebih penting, psikologis karakternya kuat sekalii. Salah satu dari dua film yang dapat skor 9 tahun ini)
  • Oddity (sebenarnya secara film kurang bagus, tapi secara cerita, ini adalah cerita dan penceritaan horor yang paling efektif)
  • Poor Things (satu lagi yang weird dan absurd dari Lanthimos, film ini kayak gimana ilmuwan memandang cinta dan kesempurnaan)
  • Speak No Evil (ini panggung pertunjukan akting dari James McAvoy)
  • Strange Darling (aku udah ngulang nonton ini 4 kali karena pengen lihat telaknya struktur acak film ini meniru bentukan judgment kita, dan karena pengen lihat adegan mati yang keren banget di endingnya)
  • Thelma (satu lagi cerita tentang hubungan dengan nenek, tapi kali ini beneran dari perspektif nenek, dengan vibe action!)
  • The Zone of Interest (nampilin ketidakmanusiawian bukan dari eksploitasi kekerasan, melainkan dari sound design yang menyiksa nurani)
  • Transformers One (ini baru film Transformers yang aku kenal!)

Special Shout Out dialamatkan kepada Agak Laen, karena film ini ulasannya paling banyak dibaca pada blog ini sepanjang 2024. Dan kepada Poor Things, yang video ulasannya di channel YouTube mydirtsheet paling banyak ditonton.

Semoga ‘Honorable Mentions’ barusan bikin kalian bertanya-tanya, kayak. “Emangnya ada film yang lebih bagus dari Monster?”. Nah itulah serunya,  untuk daftar seperti DELAPAN BESAR 2024 ini aku percaya daftar tersebut harus disusun sepersonal mungkin. Karena subjektivitas itulah justru alasan utama kita tertarik sama film pilihan orang-orang, kan? Karena kalo isi daftarnya sama semua, apa gunanya everybody bikin kan? So, here my list!

 

 

 

8. HIT MAN

Director: Richard Linklater
Stars: Glen Powell, Adria Arjona, Austin Amelio
MPAA: R
IMDB Ratings: 6.8/10
“Seize the identity you want for yourself.”

 

Aku nonton ini gak punya ekspektasi apa-apa, malahan aku nonton ini karena direkomen sama pembaca blog kalo ndak salah. Karena kukira memang ceritanya standar tentang everyday man yang ternyata pembunuh handal. Ternyata bukan. Justru sebaliknya, film ini matahin ekspektasi kita tentang citra pembunuh bayaran yang dibentuk oleh media. Serta di baliknya ada bahasan berbobot tentang bagaimana kita memandang diri sendiri. Inti film ini memang soal identitas dan psikologi; dua hal yang aku masih nyesel banget gak ngejar mereka pas di bangku kuliah.

Film ini bisa nyeritain bahasan tersebut dengan fun, karena punya permainan akting yang benar-benar menyokong. Glen Powell-lah namanya, kayaknya dia effortless banget mau jadi karakter macam apa pun. Relationship dan romance-nya pun diceritakan dengan fresh. Berjalan tetap di jalur temanya sendiri sehingga unpredictable namun juga grounded. Ini paket entertainment yang bikin kita gak ngerasa bego menontonnya

My Favorite Scene:
Adegan Gary ama Madison improv dialog pake notes di hape (karena ceritanya mereka lagi diawasi). Kocak dan clever banget!

 

 

 

 

 

 

 

7. THE FIRST OMEN

Director: Arkasha Stevenson
Stars: Nell Tiger Free, Ralph Ineson, Sonia Braga
MPAA: R 
IMDB Ratings: 6.5/10
“How do you control people who no longer believe? You create something to fear.”

 

Tahun 2024 kita banyak dapat prekuel dari film horor klasik, however, The First Omen ini yang jauh lebih mending dibanding yang lain. Bisa mengikat cerita ke lore film aslinya, sementara juga punya bahasan sendiri yang utuh. Bukan cuma itu, di tahun yang marak horor dengan kualitas yang meningkat dibanding tahun lalu, First Omen pun terasa powerful. Padahal ini baru debutnya, tapi sutradara nunjukin dia punya nyali. Berani ‘mengubah’ materi sesuai kebutuhan tema atau gagasan, tanpa merusak garis besar role atau cerita. Sehingga film The First Omen bukan sekadar soal kelahiran Damien, melainkan juga eksplorasi yang lebih dalam tentang keluarganya – tentang kultus yang ‘melahirkannya’. Semua itu terangkum dalam horor bertajuk modern; otonomitas tubuh perempuan.

Aku suka aja vibe horor klasik yang dipertahankan. Suka juga ama teknis film ini menciptakan ketakutan kita lewat adegan-adegan seram yang suspensnya kuat banget. Adegan horor film ini memorable semua loh. Tentu saja ini juga berkat penampilan akting. Tiger Nell Free nunjukin range yang luar biasa. Karakternya tidak sekadar bereaksi terhadap hal mengerikan di sekitar, namun film mengembalikan semua horor ke journeynya yang traumatis. Journey mengerikan karakternya ini yang bikin film ini ngeri. Gak banyak film horor sekarang yang ngerti itu.

My Favorite Scene:
Mulai dari imposed shot laba-laba, jumpscare tanpa suara ngagetin, sekuen bayangan, udah gak keitung adegan keren di film ini. Makanya aku pilih film ini sebagai wakil genre horor dalam daftar terbaik 2024. Kalo mau pilih satu, adegan favoritku adalah adegan melahirkan di jalan, yang juga adalah reference dari horor klasik lain.

 

 

 

 

 

6. CIVIL WAR

Director: Alex Garland
Stars: Kirsten Dunst, Cailee Spaeny, Jesse Plemons
MPAA: R
IMDB Ratings: 7.0/10
“Once you start asking those questions you can’t stop. So we don’t ask. We record so other people ask.”

 

Di tengah situasi politik yang bikin kayak ada kubu antara yang 58% dan yang masih waras, film ini terasa begitu penting dan urgen. Karena perang sodara di mana-mana kayaknya memang sumber dan masalahnya sama. Harusnya di saat-saat seperti ini, media jadi tonggak utama. Yang netral dan melaporkan kejadian faktual. Namun, bisakah mereka juga dipercaya. Civil War mengambil sudut pandang jurnalis di medan perang sodara, memotretnya dalam lensa dualitas supaya orang-orang dan bahkan para jurnalis itu sendiri bisa ingat, di mana harusnya integritas mereka berada.

Inilah yang menggerogoti protagonisnya dari dalam. Sebagai jurnalis fotografi senior, Lee telah banyak memotret dari dekat kejadian-kejadian mengerikan. Dia memotret orang terbakar, dari jarak yang sebenarnya bisa digunakannya untuk membantu si korban. Melalui si Lee ini, film pun menarik paralel antara tentara yang membidikkan senapan dengan jurnalis yang membidikkan kamera. Lalu ada lagi karakter Jesse. Jurnalis muda yang mengidolakan Lee, yang memaksa untuk ikut bersama rombongan Lee ke Gedung Putih mewawancarai Presiden. Duality yang lebih gamblang tercermin pada hubungan antara Lee dengan Jesse, karena cerita ini gak akan berjalan maksimal jika karakter Lee tidak diberikan ‘pasangan’. Dramatisnya thriller distopia ini baru akan terasa jika kita melihat Jesse dan Lee sebagai cerminan yang berlawanan. Bagaimana seseorang yang tadinya polos dan naif, menjadi ‘keras’ dan seperti mati rasa karena tuntutan kerjaan membuatnya terbiasa melihat kekerasan dari dekat – bahkan mengalami kekerasan itu sendiri. Dan juga sebaliknya, gimana setangguh-tangguhnya orang, se-hardened apapun perasaan itu, pasti akan tergugah juga demi melihat penyimpangan kemanusiaan sebegitu lama, sebegitu dekat.

My Favorite Scene:
Momen paling intense di film ini adalah saat para jurnalis bertemu dengan Jesse Plemons yang meranin tentara nasionalis – yang tentu saja borderline antara nasionalis dan rasis jadi sangat tipis. Genuinely momen yang bikin merinding karena kita bisa lihat adegan tersebut bisa easily terjadi di dunia nyata.

 

 

 

 

 

 

5. NOT FRIENDS

Director: Atta Hemwadee
Stars: Anthony Buisseret, Pisitpol Ekaphongpisit, Thitiya Jirapornsilp
MPAA:
IMDB Ratings: 7.5/10
“Imagination is more important than knowledge”

 

Saat pertama kali nonton ini aku gak nyangka film ini bakal jadi nostalgia banget buatku. Teman-teman yang mencoba bikin bersama-sama? Well ya, di pertengahan tahun aku kehilangan teman yang dulu selalu ngajak bikin film pendek. Sekarang film ini hits extra hard.

Not Friends mengulik persoalan pergaulan di sekolah – yang bisa dilihat sebagai satir dari bagaimana kita menjadi teman, tapi juga bukan teman yang benar-benar kenal dengan bahkan teman sebangku – ke dalam bahasa yang akrab sama penggemar film. Sutradaranya berhasil menggabungkan bahasan tentang pertemanan dengan passion membuat film menjadi sebuah penceritaan yang manis. Film tetap berpegang kepada storytelling dari drama dari karakter. Karenanya bahkan penonton yang gak share kecintaan yang sama dengan filmmaking pun bakal masih bisa mengikuti drama anak sekolah yang disajikan sebagai hidangan konflik utama. Film tidak membiarkan kisahnya menjadi overdramatis ataupun jadi lebih ‘besar’ daripada persoalan anak sekolah. Melainkan tetap renyah dan menapak.

Jikapun narasinya mengandalkan kepada rangkaian ‘ternyata’, rangkaian itu tidak difungsikan untuk mengecoh ataupun mematahkan plot, melainkan sebagai tantangan berikutnya dari protagonis utama sehubungan dengan development pribadinya yang ingin membuat film tentang teman sebangku yang ia akui sebagai bestienya saat sang teman itu meninggal dunia, sebagai jalan pintas untuk keluar dari masalah masa depan pendidikannya.

My Favorite Scene:
Montase ketika mereka otodidak berusaha membuat adegan dari cerita pendek, melakukan ‘movie magic’ alias treatment dan efek-efek praktikal untuk membuat seolah adegannya beneran astronot di pesawat luar angkasa, misalnya, tampak begitu menarik. Kita seperti diundang masuk ke dalam grup mereka. Kita ngerasain betapa serunya ngelakuin itu semua.

 

 

 

 

 

 

4. GODZILLA: MINUS ONE

Director: Takashi Yamazaki
Stars: Minami Hamabe, Ryunosuke Kamiki, Sakura Ando
MPAA: PG-13
IMDB Ratings: 7.7/10
“Is your war finally over?”

 

Tahun 2024, kita dapat dua film Godzilla, namun sayangnya yang tayang di bioskop adalah film Godzilla yang cuma spektakel. Sementara, Godzilla yang satunya – Godzilla Minus One yang berhasil masuk daftar 8 Besar ini – cukup hanya berpuas diri nonton di komputer. Padahal sensasi epicnya jauh lebih gede Godzilla Minus One! Ini bukan cuma pertempuran monster super gede, tapi pertempuran gede dari rasa kemanusiaan. Godzilla hanyalah sosok yang merepresentasikan perang itu sendiri. 

Yang membuat film ini jadi luar biasa bagus adalah cara mereka menghadirkan manusia dan Godzilla di dunia yang sama dengan kepentingan yang saling tak tergantikan, Cerita bertapak pada manusia dengan perspektif dan identitas lokal yang kuat, tentang posisi mereka pada situasi terendah setelah perang, dan Godzilla jadi brutal force yang menguji pandangan hidup mereka. Kreasi film ini dalam menghidupkan Godzilla di dunia Jepang 1940an pantes banget diganjar awards – dan memanglah film ini layak menjadi film Godzilla pertama yang memenangi piala Oscar untuk Visual Efek Terbaik. Yang membuat, film ini bukan saja berhasil menjadi sajian fantasi sci-fi, tapi sekaligus berhasil sebagai period piece perang! Melihat Godzilla di film ini bukan sekadar seru karena besar, dan epic karena pertarungannya dahsyat. Tapi, yang lebih penting, melihat Godzilla di sini, perasaan kita akan tergugah. Takjub dan takut bergulir menjadi satu. Mungkin seperti menonton film inilah rasanya melihat Godzilla sungguhan; beautiful, majestic, tapi juga begitu menakutkan sampai menggetarkan hati.

My Favorite Scene:
Waktu kapal rongsok penyapu ranjau yang dinaiki Shikishima dan tiga rekannya dikejar oleh Godzilla. Feelingnya intense banget, padahal yang kelihatan dari Godzilla itu cuma duri-duri di punggung dan puncak kepalanya.

 

 

 

 

 

 

3. ANORA

Director: Sean Baker
Stars: Mikey Madison, Paul Wiseman, Karren Karagulian, Mark Eydelshteyn
MPAA: R 
IMDB Ratings: 7.9/10
“I don’t need anyone’s permission to be who I am”

 

Kalo aku jadi Scott Pilgrim aku akan ganti lirik lagu Ramona menjadi “A..no~ra, on my mind”. Karena memang film ini bikin kepikiraan. Actually, ini salah satu film yang paling aku antisipasi. Karena Mikey Madison! ehem… Jadi kukira paling juga nontonnya suka karena bias. Tapi ternyata enggak. Film ini benar-benar ngasih sesuatu untuk kita pikirkan. Rom-Com itu cuma hiasannya doang. Sebenarnya film ini sedang motret relasi antarkelas sosial di dunia yang bisa dibilang semakin relate dengan dunia kita. Dunia yang semuanya semakin serba transaksional.

Si Anora sendiri diceritakan udah kayak anti dari kisah Cinderella. Dia memang ngimpi hidupnya berakhir kayak Cinderella – ketemu pangeran dan hidup di ‘istana’ – tapi Anora adalah perempuan yang tangguh dan realistis. Menyaksikannya struggle dengan ‘impian vs. realita’ dijadikan fondasi dari sebuah journey dramatis dan tak pelak traumatis bagi film. Herannya, film ini berhasil jaga vibe yang kocak. Aku bahkan gak nyangka film ini tengahnya lucuuu.. Dan ini tu sesuai dengan konsep gagasan film, bahwa sesuatu bisa muncul dari tempat yang tak terduga. Kayak, romance film ini aja ternyata bukan merujuk pada hubungan antara Ani dengan Vanya. Tapi dari seseorang yang tak direcognize oleh Ani. Jadi nonton film ini tuh kita rasanya jumpalitan oleh emosi, tanpa pernah sekalipun terlepas dari sudut pandang Ani

Dan yea, dengan bangga aku pronounce bias ku ke Mikey Madison enggak salah, karena dia di sini benar-benar cegil!! Vibe dan energinya menghidupkan film ini! 

My Favorite Scene:
Setiap scene yang melibatkan scarf merah itu, aku ngakak bukan main!

 

 

 

 

 

 

2. THE WILD ROBOT

Director: Chris Sanders
Stars: Lupita Nyong’o, Pedro Pascal, Kit Connor, Mark Hamill
MPAA: PG
IMDB Ratings: 8.2/10
“Sometimes hearts have their own conversations”

 

Inilah film kedua yang dapat nilai 9 yang langka itu! The Wild Robot dapat nilai 9 karena meskipun karakternya mungkin familiar, tapi yang bikin film ini ekstra spesial adalah karena ceritanya ikutan berevolusi seiring dengan karakter robotnya, si Roz. Berawal dari fish-out-of-water, menjadi cerita ibu besarin anak, lalu jadi cerita bertahan hidup dengan skala yang lebih besar – bukan cuma soal Roz tapi komunitas atau para hewan di hutan tempatnya terdampar. Ini muatan dan penceritaan yang kaya sekali. And the icing on the cake, desain animasi yang begitu spektakuler.

Sutradara paham bahwa animasi bukan hanya untuk pamer. Animasi bukan hanya untuk cerita anak yang bermanis-manis ria. Animasi bukan hanya untuk fantasi yang preachy. Maka dibuatnya lah animasi di film ini sebagai kendaraan untuk menyampaikan cerita yang begitu grounded oleh realita. Tentang kehidupan dan kematian. Tentang insting ataupun program bertahan hidup. Hewan-hewan di film ini boleh saja bertampang lucu, tapi mereka semua serius karena harus bertahan hidup di hutan. Kontras dunia dan sikap cerita membuat film menjadi menarik, dan ketika tiba saatnya adegan-adegan sedih, film ini bakal betul-betul menarik nadi emosi kita. Sebab kita bukan lagi melihat mereka sebagai hewan atau robot kartun, melainkan makhluk hidup yang fully fleshed, punya hati nurani. Dengan persoalan yang kita bisa relate dengan mereka. 

Udah lama aku gak nemu film yang hampir berhasil bikin nangis. Tapi itu cuma aku. Semua orang yang kukenal nangis nonton film ini. Saking powerful cerita dan karakternya.

My Favorite Scene:
Yakin udah seratus persen, adegan favorit semua orang itu pas Roz ngajarin Brightbill terbang. Mulai dari ngajarin, ampe udah bisa terbang ninggalin Roz, gak sempet ngucapin good bye, itu tuh momen tearjerker 2024 bangets!!

 

 

 

 

Biar sama kayak salah satu tren film tahun 2024 yang bikin acara TV sendiri, maka sebelum kita melihat siapa yang bercokol di posisi satu (tapi kayaknya semua udah bisa nebak), mari kita jeda pariwara dahuluuu… wuuuuu!!

 

 

 

1. THE SUBSTANCE

Director: Coralie Fargeat
Stars: Demi Moore, Margaret Qualley, Dennis Quaid
MPAA: R
IMDB Ratings: 7.4/10
“Have you ever dream of a better version of yourself? ”

 

Enggak ada kejutan memang di list tahun ini. Aku gak bisa milih film lain selain The Substance, karena film horor keren ini udah aku banget. Nature ceritanya yang psikologikal, terlebih tentang journey degdradasi karakter. Setting yang nunjukin backstage pembuatan film atau acara televisi. Dan horor (tepatnya body-horor) dengan efek praktikal yang gross tapi bikin takjub. Not to mention, bahasannya tentang self-crisis perempuan yang senada dengan concern dan tema film pendekku dulu, bahkan ada adegan yang mirip (yang tentu saja dilakukan dengan jauh lebih baik oleh film ini).

Bener-bener diperlihatkan tuh di sini, gimana ekspektasi sosial mampu mendorong seseorang menjadi sesuatu yang bahkan dia jadi tidak mengenal siapa dirinya lagi. Gimana orang bisa membenci dirinya hanya karena ngikutin maunya orang lain. Aku suka film ini tetap pada jalurnya, yaitu membahas dari perspektif karakter. Menggali dari sana. Tidak berubah haluan jadi membahas asal muasal serum atau misteri pembuat serumnya, misalnya. Film ini berhasil menggunakan body horor, sebagai penguat cerita. Menyokong pengalaman mengerikan yang ingin disampaikan. Gimana membentuk cerita tragis sehingga gak jadi ngejudge, melainkan menjadi selaman berbobot yang menyeluruh mulai dari karakter hingga ke dunianya yang punya masalah yang sebenarnya ditarik dari problem sosial beneran. Film ini berhasil, meskipun tergolong sebagai genre, tapi tetap sebuah genre dengan bahasan substansi yang kuat.

Demi Moore dan Margaret Qualley jadi tandem yang gak ada lawan menghidupkan karakter Elisabeth/Sue. Suksesnya itu adalah karakter mereka tetap tampak seperti konflik batin di dalam satu orang. Makanya adegan mereka akhirnya berantem berdua itu walaupun ngakak, tapi tetap powerful dalam menyampaikan pesannya. Duh, jadi udah ngobrolin adegan favorit kan tuh.. Kita memang bakal jadi ikutan chaos ngomongin film ini karena ada begitu banyak yang bisa diomongin. Yang bisa dibahas. Tapi semua itu berhasil diceritakan dengan begitu luwes. Jadi gak pernah terasa berat, melainkan tetap menghibur.

 

My Favorite Scene:
Banyak sih, sumpahKelahiran si Monstro Elisasue, adegan Elisabeth dan Sue berantem berdua, adegan Elisabeth ngomel-ngomel nontonin Sue diwawancara, shot di opening yang efektif ngeset Elisabeth status bintangnya udah redup. Kalo mau get personal, ya favoritku adalah adegan Elisabeth di depan cermin, dia mau pergi kencan, tapi insecure sama wajahnya sendiri. Adegan di depan cermin Elisabeth berantakin riasan wajahnya ini, juga mirip sama adegan di film pendekku dulu, Gelap Jelita. Jadi gagasannya benar-benar kerasa relate dan menohok buatku.

 

 

 

 

 

 

So, that’s all we have for now.

Itulah daftar Top Movies 2024 versi My Dirt Sheet. Maaf kalo misalnya film favorit kalian belum berhasil tertonton dan terulas. Inilah rapor lengkap 123 film pada tahun 2024. Ada dua film yang dapat nilai 9. Tapi yang dapat nilai 2 dan bahkan 1, jumlahnya lebih banyak, dan kali ini berbagi rata yang jelek itu. Bukan hanya film Indonesia tapi juga ada film impornya.

Apa film favorit kalian di tahun 2024? Apa harapan kalian untuk film di tahun 2025 ini?

Share with us in the comments 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We are the longest reigning PIALA MAYA’s BLOG KRITIK FILM TERPILIH.

 
 

HERETIC Review

 

“If you change the rules on what controls you, you will change the rules on what you can control”

 

 

Buatku, naskah yang bagus itu bukan exactly apa yang dikatakan oleh dialognya. Bukan seberapa bagus atau puitis atau sedalem atau sepinter atau selucu apa kata-kata, tapi bagaimana dialog itu ditempatkan sehingga memenuhi fungsinya. Kayak dialog opening dalam Heretic karya duo penulis dan sutradara Scott Beck dan Bryan Woods. Kita mendengar dua perempuan bicara soal ukuran kondom. Lalu kamera bergerak menjauh memperlihatkan mereka lagi duduk di bangku yang ada iklan kondomnya  – sehingga terestablish konteks kenapa perbincangan soal itu bisa terjadi di antara mereka berdua. Lantas, dialog mereka lanjut, kali ini mengeset siapa/apa kerjaan kedua perempuan muda itu. Mereka Paxton dan Barnes, dua suster aliran mormon. Interest kita naik lagi sekarang setelah kita tahu mereka siapa yang ternyata kontras dengan pembicaraan mereka, namun dialog opening yang terdengar nyeleneh tadi ternyata berhasil melandaskan banyak konteks sekaligus, termasuk bagaimana pandangan karakter ceritanya terhadap hal yang mereka percayai yang ultimately jadi bahasan utama thriller ini nantinya. Seperti demikianlah buatku, naskah yang bagus itu.

Dua orang suster tadi akan tiba di rumah seorang pria tua bernama Mr. Reed. Mereka mampir memenuhi permintaan untuk menyiarkan agama mereka. Mr. Reed yang ramah mengundang mereka masuk karena katanya istrinya sedang menyiapkan pie untuk mereka. Awalnya semua tampak hangat dan terkendali, sesuai protokol yang dua suster ini patuhi. Tapi segala formalitas dengan segera lenyap karena Mr. Reed yang clearly seorang pintar yang telah malang melintang perihal riset agama, mengajak diskusi ke ranah yang lebih mendalam. Menantang kepercayaan personal bukan hanya dua suster, tapi juga kita semua.

Ketika agama disamain ama marketing gimmick game Monopoli

 

Heretic most of the time memang diisi oleh dialog menantang yang bakal semakin intens dan creepy. Konsepnya ini worked greatly berkat penampilan akting dari tiga karakter sentralnya. Hugh Grant gak lantas jadi snobbish komikal ataupun preachy dengan dialog-dialog menantang pemikiran tersebut, Chloe East dan Sophie Thatcher juga gak lantas jadi karakter yang cuma jadi victim. Karakter mereka sendiri juga kuat terbentuk dari dialog-dialog yang seperti di awal tadi, seperti sederhana tapi sebenarnya sangat efektif mengeset siapa mereka, pemikirannya, kepercayaannya, ‘berasal’ dari mana pemikiran mereka. Dinamika mereka juga gak pernah dijadikan kejutan, as in, film ini tidak dibangun berdasarkan “oh ternyata Mr. Reed jahat”. Sedari awal kita sudah tahu ngarahnya mau kemana, tapi yang tidak kita expect adalah muatan yang dibawa oleh film ini dalam membuat “jahat”nya Mr. Reed itu seperti apa. Sama juga seperti pada kedua karakter susternya.

Yang sedikit jadi problem buatku hanyalah tidak ada karakter utama yang jelas, seenggaknya hingga masuk babak ketiga. Di dua babak awal, porsi kedua suster sama besar. Mereka bahkan sama-sama ter-outshined oleh Mr. Reed di pertengahan. Mungkin karena charisma Hugh Grant juga sih ya, tapi ya gitu deh, di pertengahan itu memang Mr. Reed diketengahin banget oleh film ini. Dijadikan fokus. Dua suster dibiarkan untuk bereaksi saja terhadap apa-apa yang dikatakan oleh Mr. Reed. Mereka dijadikan perwakilan kita dalam menyimak dengan takjub opini disturbing yang dengan tenang dan terukur disampaikan oleh Mr. Reed. Nonton dialog mereka seolah kita juga sedang berdebat dengan seorang atheis. Tapi juga banyak layer karakter lain yang bekerja sesuai dengan konteks tema ‘control’. Sehingga perdebatan mereka berisi dan gak debat kusir. Kita peduli, bukan hanya pada isi pembicaraannya tapi juga kepada nasib kedua suster. Mereka sudah seperti satu kesatuan, sebagai believer melawan non-believer. Sehingga walaupun karakter utamanya belum jelas merujuk kepada satu journey personal tertentu, the shared feelings between the two of them terasa menyeluruh bahkan hingga tershare kepada kita sebagai penonton. Dua babak film ini masih bisa bekerja nicely, dan kemudian saat babak ketiga telah lebih jelas ternyata ini adalah tentang Suster Paxton menjadi lebih pede dengan beliefnya untuk berani mengambil kendali, cerita paham bahwa fondasinya benar-benar sudah kuat dan kini saatnya bermain-main dengan elemen ‘rumah hantu’ dengan banyak jebakan dan ruang rahasia.

Itu satu lagi yang aku lihat dapat membagi dua penonton, meskipun buatku sendiri tidak jadi soal. Film berubah dari yang tadinya dialog grounded dan mampu melibatkan kita, menjadi thriller yang tidak lagi terasa terlalu praktikal dengan timing karakter yang artifisial (maksudnya dipas-pasin banget biar ceritanya seru) dan hal-hal yang semakin insane dilakukan oleh Mr. Reed. Motifnya tetap grounded dan kita bisa melihat root-nya, tapi actual things yang dia lakukan yaa terasa sensasional aja. I’m not complaining sih, keseluruhan film ini vibenya jadi kayak Saw dengan filosofi penjahat yang menarik hanya saja Heretic ini tidak ada eksploitasi alat-alat penyiksaan. Ini kayak versi deraan mental aja. Filmnya sendiri pun tidak pernah benar-benar berpijak kepada Mr. Reed sebagai villain yang pintar, tidak seperti Saw kepada John Kramer yang menganggap dirinya somekind of hero atau justified. Mr. Reed lebih mirip seperti ilmuwan gila yang mencoba bereksperimen dengan teori-teori yang ia percaya sebagai kebenaran.

In short, Mr. Reed jadi lebih berbahaya daripada Kramer.

 

Jadi, yang diomongin oleh Mr. Reed memang challenging dan offensive banget bagi – and not limited to – kedua suster. Pria itu basically bilang agama cuma marketing gimmick. Semua agama dan kepercayaan berasal dari sumber yang sama, yang divariasikan oleh pihak-pihak yang pengen memegang kendali sendiri. Untuk membuktikan agama itu cuma soal control-lah, maka Mr. Reed menjebak kedua suster dalam situasi di mana mereka merasa punya kehendak sendiri padahal langkah-langkah mereka sudah ia atur. Pilihan mereka adalah apa yang Mr. Reed mau untuk mereka pilih. Bapak ini pengen ngasih lihat dia mengontrol mereka. Dan itu membuktikan teorinya bahwa agama cuma sistem yang dibuat orang dan sekaligus dia bilang pemeluk agama hanya sekumpulan orang insecure yang butuh untuk percaya bahwa ada much more powerful-being yang menjaga kendali atas mereka. Bagaimana pendapat kalian sendiri tentang teori Mr. Reed ini? Silakan share di komen yaa.. Kalo buatku sendiri sih, bahkan jika yang dikatakan oleh Mr. Reed benar, bukanlah sebuah kesalahan bagi kita untuk memilih percaya kepada agama. Bahwa keinginan untuk secure dan terkendali bukanlah sesuatu yang harus dirisaukan. Apa bedanya kita berbuat baik dengan percaya ada imbalan surga dengan berbuat baik hanya demi kebaikan itu sendiri. Toh surga itu juga bukan imbalan yang langsung kita rasakan, beda ama ngerjain sesuatu hanya karena ada duitnya. Menurutku juga seseorang yang memilih tidak percaya agama juga tidak salah, jika itu membuat mereka malah merasa insecure. Yang salah adalah – seperti yang ditunjukkan oleh film ini – ketika orang itu merasa gak mau dikendalikan oleh sesuatu yang dia anggap salah tapi juga lantas dia ingin mengendalikan orang lain sesuai dengan apa yang benar untuk dirinya.

Yang ditakutkan adalah ketika ada orang seperti Mr. Reed yang ujungnya bikin sekte sesat kecil-kecilan sendiri. Karena sifat manusia cenderung sombong, jadi ketika orang sadar dan mampu mengubah aturan yang tadinya ia anggap mengontrol dirinya, maka ia akan merasa mampu juga untuk mengubah aturan bagi semua orang. Ia akan membuat aturan baru untuk mengontrol semua orang. Itulah ketika terbentuknya ‘agama’ baru.

 




Terpujilah film ini karena udah ngasih sajian thriller yang menantang. Bukan cuma penampilan aktingnya yang intens, tapi pembahasannya bener-bener ngasih sesuatu untuk kita pikirkan tentang kepercayaan dan kendali. Naskah film ini berhasilnya juga dua kali. Pertama, membawa bahasan yang sensitif ke dalam berbagai analogi – terutama memasukkannya ke dalam suasana thriller, meskipun kadang jadi terasa agak gimmicky dan tidak lagi grounded. Dan kedua, karena berhasil menuang gagasan itu ke dalam struktur film. Fungsi-fungsinya terpenuhi, sekali lagi, walaupun film memilih menunda untuk menonjolkan karakter utama pada dua babak awal yang didesain untuk mengetengahkan gagasan. Rancangan film ini udah kayak rumah Mr. Reed. Dari luar kayak rumah besar kuno berhantu pada film-film horor, tapi di dalamnya, banyak layer dan contraption yang bekerja membangun ceritanya.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for HERETIC.

 




That’s all we have for now.

Yang pengen punya kaos film lebaran Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

 

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



SMILE 2 Review

 

“It’s amazing what you can hide by just putting on a smile.”

 

 

Senyuman adalah kutukan. Basically, itulah konsep horor yang dibangun oleh Parker Finn sedari film pertama. Tentang ‘hantu’, sosok yang disebut Smile Entity, yang berpindah-pindah merasuk ke orang lewat perantara senyum. Jadi si Entity merasuk ke satu orang, bikin orang itu stress ama kejadian-kejadian menakutkan yang diangkat dari traumanya sendiri, bikin mereka berhalusinasi melihat orang-orang dengan senyuman mengerikan, saat udah ‘bosen’ Entity akan membunuh si orang dan dia akan pindah merasuki orang yang menyaksikan kematian itu. Kedengarannya memang agak campy, aku sendiri juga kurang suka sama film pertamanya. Banyak adegan creepy dari senyum-senyum itu, tapi mostly filmnya asik bermain jumpscare dan tidak benar-benar menyelami horor psikologis yang naturally dimiliki oleh cerita seperti ini. Dalam sekuelnya ini, Parker kini melek dengan hal tersebut. Senyuman adalah kutukan tidak hanya dijadikannya literal sebagai konsep horor, melainkan kini juga adalah pondasi dari psikologis karakternya. Keadaan yang kita bisa relate, karena ya, senyuman memang sering digunakan sebagai topeng dari apa yang sebenarnya kita rasakan.

‘Panggung’ cerita juga lebih menarik. Pokoknya Smile 2 lebih berkarakter dibandingkan film pertamanya. Kita ngikutin seorang bintang pop bernama Skye Riley (Naomi Scott kali ini berhasil bikin aku amat sangat terkesan) yang tengah mempersiapkan comeback-tour, dari hiatus yang disebabkan oleh sebuah kecelakaan tragis. Bukan hanya itu, perlahan nanti cerita akan mengungkap bahwa Skye pernah kecanduan obat terlarang. Masa lalunya memang problematik. Kalo aku jadi Entity, aku pasti udah gak sabaran banget merasuki Skye. Dan memang itulah yang terjadi. Skye kena kutukan senyuman. Sebagian besar film, kita menyelami kekacauan mengerikan yang diakibatkan oleh Entity kepada Skye. Tapi ini juga bukan sekadar dilema antara ‘beneran atau cuma di dalam kepala’. Ini bukan cuma yang dialami Skye versus orang lain gak percaya padanya karena Skye punya riwayat ‘makek’. Karakter Skye beneran dieksplorasi. Konflik personalnya dikuatin sehingga kita peduli. Bahwa Skye sesungguhnya benar-benar ingin berubah jadi lebih baik dari dirinya sebelum kecelakaan. Dia ingin bermetamorfosis, seperti salah satu stage act dia di panggung. Lewat simbolisme, film memperlihatkan tidak mudah bagi Skye untuk melakukan itu. Dan Entity di sini, adalah wujud ekstrim dari konsekuensi yang diterima Skye ketika gagal.

Literally dilahap oleh momok penuh borok

 

Apa simbolnya? Cermin. Mulai dari adegan bercemin, adegan mecahin cermin, membunuh pakai pecahan cermin, hingga dari shot yang kayak dunia terbalik, dan tentu saja Skye konfrontasi dengan Entity yang mengambil wujud seperti dirinya. Cerminan atau refleksi diri jadi tema kunci pada karakter Skye. Ketika kita pertama kali bertemu dirinya, kita melihat dia sebagai seorang bintang. Tersenyum saat berfoto bersama penggemar. Film dengan cepat mengestablish Skye sebagai seorang bintang tentu saja punya perbedaan dengan Skye sebagai pribadi dirinya yang asli. Nah, perjalanan mengetahui siapa pribadi dirinya yang asli itulah yang jadi journey. Kita akan melihatnya sebagai pengungkapan, sedangkan bagi Skye merupakan journasey personal. Pasalnya, Skye adalah karakter yang menyimpan banyak. Dia punya bekas luka di perut, bekas kecelakaan. Dan Skye gak suka bekas lukanya kelihatan. Skye benci dirinya yang dulu. Tapi dirinya yang dulu kerap muncul dan mengganggu. Luka di punggungnya bikin Skye gak bisa execute tarian panggungnya properly. Apapun yang dia lakukan sekarang dalam usaha mencoba jadi diri yang lebih baik akan selalu berhadapan dengan apa yang telah dia lakukan dulu. Jadi basically konflik personal/psikologis Skye yang jadi penggerak utama cerita adalah soal mirror image yang dia ciptakan akan terus selalu retak oleh konsekuensi dari her former self.

Dengan senyuman, cermin pun dapat dibohongi. Orang-orang pun begitu, Skye menyangka di atas panggung – di depan kamera, cukup dengan dia tersenyum maka orang akan mengerti dirinya sudah menjadi lebih baik. Tapi sebenarnya tang ditipu itu adalah diri sendiri. Yang percaya semua baik-baik saja, yang percaya segampang itu put all the past behind. Karena bahkan di balik senyum, akan ada luka. Seperti borok yang kelihatan di cermin, trauma akan menorehkan garis yang kuat. Yang tidak bisa dienyahkan begitu saja.

 

‘Kesalahan’ Skye cuma  dia percaya senyum di depan cermin, di atas panggung, akan membuat semua kelihatan baik saja. Percaya bahwa dia yang sekarang bisa mengendalikan hidupnya menjadi lebih baik. Inilah fungsi Entity di dalam cerita. Si Setan Senyum terkutuk itu jadi penantang buat Skye’s false believe. Entity membuat Skye berkonfrontasi dengan kejadian traumatis di masa lalu. Kita seiring pengungkapan itu berjalan akan melihat Skye sebagai karakter yang semakin tragis, bahwasanya make sense buat dia untuk pengen percaya dia benar-benar mau jadi orang baik. Dan akhirnya Entity membuktikan Skye salah. Naskah bijak banget untuk tidak hanya memperlihatkan ‘kegagalan’ Skye, tapi sebelum itu, naskah memberikan kesempatan bagi Skye untuk menyadari bahwa dia salah. Sehingga film ini tidak hanya tontonan ungkapan kejadian. Dan punya bobot dan layer di balik kejadian adalah hal yang bagus untuk film ini, karena kalo kita melihat hanya dari kejadian, film ini akan dengan cepat menjadi sangat membingungkan.

Sama seperti film pertamanya, Smile 2 mengandalkan adegan-adegan jumpscare dan adegan-adegan absurd untuk bikin penonton ikut merasa takut. Punchline-nya ya momen kematian yang memorable. Penggemar horor pasti bakal puas nyaksiin adegan-adegan andalan film ini. Aku sendiri suka banget sama adegan Skye ‘disergap’ oleh sekelompok orang di dalam apartemennya sendiri. Adegannya udah kayak mimpi buruk banget. Adegan opening film ini pun keren. Mengikat kepada akhir film pertama, lalu memutuskannya completely sambil lantas ngasih bola ke film kedua untuk berjalan dengan dunia dan karakternya sendiri. Yang bikin membingungkan, seperti yang aku bilang di tadi, adalah: karena film ini elemen psikologisnya lebih kuat, maka adegan-adegan menyeramkannya itupun semakin blur mana yang nyata, mana yang tidak. Chaos dari kemelut Skye dengan kutukan tertranslasikan di layar sebagai adegan seram yang mungkin tidak benar-benar terjadi. Efek samping yang cukup merugikan film karena hal ini adalah momen-momen Skye dapat kehilangan cengkeramannya. Seperti saat adegan dia membunuh ibunya, yang di akhir diungkap ternyata itu hanya ‘ilusi’ dari Entity. Rasa penyesalan telah membunuh itu adds up ke penyesalan Skye atas sikapnya yang bikin ibunya susah (simbol dari membunuh) tapi saat menonton, kita akan terlepas dulu dari momen emosional tersebut. Singkatnya, momen-momen begitu membuat film sedikit terlalu gimmicky.

Dan itu semua dilakukan sambil tersenyum!

 

Film ini juga punya beberapa elemen cerita yang seperti dibuild up tapi ternyata bukan untuk menjadi penting di dalam kelanjutan cerita melainkan hanya sebagai penanda/simbol tertentu. Misalnya soal muntah yang tertinggal di lokasi kematian. Skye mendapat kutukan karena nyaksiin kematian korban sebelumnya (her ex-drug dealer) di sebuah apartemen. Demi melihat kematian yang barbar itu, Skye muntah, lalu dia kabur. Adegan berikutnya nunjukin Skye browsing internet soal apakah dalam muntah bisa diketahui DNA, karena dia takut polisi tau dia ada di TKP dan menyangka dia pembunuh – apalagi kalo pada nyangka dia kembali beli narkoba, padahal enggak. Ketakutan berurusan sama polisi itu seolah build up penting yang bakal ada ujungnya di kemudian waktu, tapi ternyata kan tidak. Karena cerita mainly berpusat pada psikologis Skye, bukan ke soal dia beneran dicurigai sebagai pembunuh. Soal kebiasaan Skye narik rambut atau minum air putih juga begitu. Adegan-adegan Skye melakukannya di-emphasized, hanya saja ternyata itu cuma salah satu pengabur realita. Karena ada adegan dokter mendiagnosa Skye dehidrasi padahal dia selalu banyak minum. And it was not clear, apakah dokternya not real atau tindakan dia banyak minum itu yang tidak real.

Yang jelas, film ini memang sengaja menjadi sangat chaos demi memvisualkan kekacauan di dalam personal Skye sendiri. Yang diperparah oleh kehadiran Entity, sebagai kutukan/setan yang feed off of trauma dan sisi gelap manusia.

 

 




Momen paling insecure seorang pengulas film itu adalah ketika muncul perasaan ulasan kita gak ada yang baca. Sebaliknya, momen paling sumringah waktu kita nulis ulasan film adalah ketika ada sekuel film yang melakukan perbaikan dari film pertamanya, dan kebetulan perbaikannya itu sesuai dengan yang kita ungkapkan di ulasan. Wuih, kesannya seolah tulisan kita dibaca langsung ahahaha.. padahal kan enggak juga xD Momen seperti itu yang kurasakan saat nonton film ini. Kekurangan di film pertamanya – kurang gali bobot psikologis – dibayar tuntas. Kali ini cerita film memuat karakter dan panggung yang begitu personal. Ceritanya memang benar-benar tentang psikis seseorang. Hantunya bukan lagi sekadar kutukan konyol. Film ini berhasil membuat konsep horornya jadi punya layer. Sembari juga mempertahankan elemen mainstream yang bikin sekuel ini bisa exist in the first place. Peningkatannya harusnya masih bisa lebih banyak, tapi untuk sekarang, I smile too nonton Smile 2.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for SMILE 2.

 

 




That’s all we have for now.

Ending film ngasih kesan seluruh dunia bakal kena kutukan karena banyak banget fans di konser yang nyaksiin Skye tewas. Jika kalian dikasih kesempatan untuk bikin film ketiga, kira-kira gimana kalian ngehandle kelanjutan kutukan tersebut?

Silakan share pendapatnya di komen yaa

Yang pengen punya kaos film lebaran Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

 

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



MINI REVIEW VOLUME 22 (TERRIFIER 3, CUCKOO, STRANGE DARLING, SALEM’S LOT, APARTMENT 7A, WOMAN OF THE HOUR, IT’S WHAT’S INSIDE, V/H/S/BEYOND)

 

 

Edisi halloween (yang tertunda!) hahaha booo gak paten, gak paten… Jadi, edisi ini terpaksa harus telat karena masalah klasik server blog error, alhasil aku ngabisin halloween dengan berdebat di Twitter soal hasil 6:2(1+2). Anyway, edisi mini review kali ini sebenarnya paling aku antisipasi karena tahun ini horor memang lagi banyak banget. Sebulanan itu aja, aku puas hampir tiap hari nonton horor. Saking banyaknya, gak semuanya bisa tercover, karena di sini cuma muat delapan film. Maka, aku ngutamain film-film yang aku tu bener-bener pengen menyampaikan sesuatu buat filmnya. Jadi, film-film kayak Caddo Lake, Tebusan Dosa, Kuasa Gelap, Don’t Move, Bagman terpaksa enggak dulu. Mungkin bisa disempilin di edisi-edisi berikutnya.

 

 

APARTMENT 7A Review

Apartment 7A ceritanya adalah prekuel dari Rosemary’s Baby (1968). Dan Rosemary’s Baby adalah salah satu dari horor favoritku sepanjang masa. Jadiii, aku mungkin saja agak sedikit terlalu keras dalam menilai film karya Natalie Erika James ini.

For once, aktingnya gak ada yang jelek. Julia Garner sekali lagi ngasih penampilan yang solid dan meyakinkan. Tiga film dia yang kutonton, kualitas aktingnya tinggi terus, Garner salah satu yang bisa ngasih balance penampilan akting yang ‘diam’ dan yang berdialog. Karakter dan ceritanya pun sebenarnya up to standard horor modern. Aku bisa melihat penonton muda yang belum nonton film aslinya akan terhanyut ke dalam misteri, dan akan mendukung karakter Garner – Terry – karena bentukan karakternya agak beda. Alih-alih prekuel, film ini lebih cocok kalo disebut Rosemary’s Baby versi perempuan yang ngejar karir. Dari sisi karakter menarik, karena Terry gak mau punya anak – beda ama Rosemary – namun film gagal mengangkat bahasan ini. Dari sisi galian horornya, film ini terjebak menggunakan formula dan elemen-elemen film original. Terjebak di bahasan lore dan cult di dalam cerita

Alhasil, film ini juga jadi tidak banyak beda dengan cerita ‘hamil anak setan’ yang berusaha meniru Rosemary’s Baby yang sudah kita temui entah berapa kali (I’ve lost count) di tahun ini saja.

The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for APARTMENT 7A

 

 

 

CUCKOO Review

Cuckoo karya Tilman Singer punya metafora yang menarik sehingga ceritanya menjadi cukup aneh, yang membuat film ini menggugah rasa penasaran. Singer membicarakan soal keluarga (khususnya sisterhood) gak harus soal hubungan darah ke dalam lingkungan creepy yang dibuatnya bertema ‘burung cuckoo’ – burung yang dikenal suka menyimpan telurnya di sarang burung lain untuk ditetaskan, dan lantas anak burung yang menetas tersebut akan ‘menyingkirkan’ anak burung pemilik sarang. Dan tema tersebut benar-benar jadi semesta cerita. Anak yang asing dari orangtua, evil being yang ngeluarain suara kukuk-kukuk kayak burung – yang ultimately bisa mengacaukan memori dan persepsi waktu.

Nonton ini kayak kita sedang mimpi yang super aneh hingga kita ngerasa cuckoo – alias gila! Aku biasanya suka film aneh seperti ini. Paruh pertama Cuckoo aku pantengin dengan excitement yang tinggi. Tapi perlahan excitement itu semakin berkurang. Penyebab utamanya adalah film ini terlalu ingin memake-sensekan semua, Mastermind jahat yang diperankan oleh Dan Stevens pun terkesan berubah dari eksentrik menjadi generik type of leader genius yang gila. Bahasan kemanusiaan dari eksprimen bentrok sama konsep sci-fi absurd. Perekat cerita kini bergantung kepada karakter utama dengan adik (yang bukan adik kandung) yang bisa sewaktu-waktu berubah jadi monster. Bagian ini pun terasa kurang kuat karena yang dibuild up lebih proper di awal adalah soal Gretchen dengan ayahnya ketimbang soal Gretchen dengan adiknya ini.

Sukur film ini masih nyisain satu hal menarik di konfontrasi akhir, yakni ada tiga kubu yang berseteru alih-alih dua seperti pada cerita yang biasa.

The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for CUCKOO.

 

 

 

IT’S WHAT’S INSIDE Review

Sekelompok teman bermain satu permainan, berakhir dengan hal mengerikan yang teramat sangat salah. Premis yang sudah cukup lumrah. Somehow,sutradara Greg Jardin berhasil membuatnya unik. Dari jenis permainannya aja dulu; bukan jelangkung, bukan permainan kartu ataupun board game. Tapi bertukar tubuh!

Film ini tahu dirinya punya konsep kejadian yang unik, yang easily bisa menangkap perhatian penonton. Tentu saja seru melihat dan ikut menebak-nebak siapa kini berada di dalam tubuh siapa. Film ini pun punya variasi penceritaan untuk menggambarkan siapa di dalam siapa. Yang bikin keren film ini bukan soal itu. Melainkan justru film gak bersandar kepada ‘kejadian’ tersebut. Film bijak untuk menghadirkan konteks alias perbincangan karakter yang membuat skenario bertukar tubuh mereka menjadi semakin menarik lagi. Konteks tersebut sebenarnya standar. Soal isu gender. Namun karena konsep dan konteks ini dipertemukan dengan kreatif jadinya tetap berbobot dan engaging. Aku sendiri berpikir karakter Shelby annoying, karena dia yang mancing-mancing. Tapi ya seru juga ngeliat ketika dia gak mau balik ke tubuhnya yang asli karena kita dibuat mengerti kecemburuannya berasal dari mana. Bentrokan dengan sudut pandang karakter lain, backstory dari karakter yang membentuk persepsi mereka, plus kefleksibelan dan kretivitas film dalam menceritakan membuat film ini tetap seru.

Sehingga judulnya itu bergaung true. Semuanya tergantung persepsi, dan persepsi itu terbentuk dari background atau lingkungan sekitar, jadi semacam paradoks kan ya?

The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for IT’S WHAT’S INSIDE

 

 

 

SALEM’S LOT Review

Bukan sekali ini cerita vampir Salem’s Lot tulisan Stephen King berusaha dialihwahanakan jadi film ataupun serial.  Tapi belum ada yang benar-benar memuaskan. Bukan apa-apa, King kalo udah bikin cerita tentang satu kota, biasanya ceritanya memang panjang banget, Thoroughly bahas perspektif penduduknya, sehingga si kota jadi kayak karakter tersendiri. Itulah tantangan yang harus dijawab oleh filmmaker yang nekat mencoba ekranisasi novelnya. Gary Dauberman ngacung untuk menjawab tantangan ini. And he failed graciously.

Secara gaya pengarahan sih, Dauberman masih mumpuni. Sekuens dua anak berjalan di pinggir hutan senja hari, misalnya. Kengeriannya visualnya terasa, karena Dauberman mengambil sudut dari dalam hutan sehingga objek yang kita lihat adalah bayangan si dua anak berjalan di antara bayangan pepohonan. Well, sampai ada satu bayangan lain yang tiba-tiba muncul, menculik salah satu anak. Pak sutradara clearly punya visi horor. Efek salib menyala pun digunakannya untuk mempertegas simbol faith seseorang. Benturannya sama dengan sudah-sudah. Materi yang terlalu beragam. Film adaptasi pertama cerita ini durasinya sekitar 3 jam, film itu berusaha stay di perspektif jurnalis yang pulang ke kota Salem tersebut. Still, the wholeness of that town gak kerasa benar-benar hidup. Film kali ini, mencoba untuk lebih fluent dengan perspektif supaya kota dan aktivitasnya hidup. Tapi hasilnya, film ini justru terasa loose. Perspektif utamanya ngambang. Tokoh utamanya gak jelas siapa.

Mungkin harusnya film ini berangkat dari mencoba mengambil perspektif lain sebagai tokoh utama. Mungkin dengan begitu kita bisa dapat cerita yang lebih fresh dengan perspektif yang solid. Yang jelas, menurutku, materi se’tebal’ ini ya diapproach bukan dengan mencoba mengemulasi semua yang tertulis. Tapi lihat dari sisi banyak perspektif di buku berarti banyak pilihan bagi filmmaker untuk menghidupkan cerita seluruh kota dari perspektif utama yang mana.

The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for SALEM’S LOT

 




STRANGE DARLING Review

Setelah menyelami berbagai persepsi dan praduga karakter dalam It’s What’s Inside tadi, coba deh langsung nonton Strange Darling. Psikologikal thriller karya JT Mollne, yang gantian bermain-main langsung dengan persepsi dan praduga kita!

Karakternya gak bernama. Inti ceritanya dibagi ke dalam enam chapter. Tapi urutannya diacak. Jadi timeline ceritanya gak linear. Yang pertama kali teringat sama aku saat nonton adalah Pulp Fiction (1994), film Tarantino itu juga dibagi per chapter dengan urutan waktu yang diacak. Pengacakan babak seperti demikian memang efektif untuk membuat setiap kejadian terasa lebih impactful, misalnya dalam Pulp Fiction yang per babaknya itu adalah karakter yang berbeda. Susunan acak membuat momen para karakter bertemu terasa lebih engaging, sehingga narasi pun juga terasa lebih nendang. Nah gimana dengan Strange Darling yang karakternya cuma dua, tanpa nama pula (yang cowok cuma dilabeli “The Demon”, dan yang cewek “The Lady”)? Yang diincar oleh film ini dengan susunan acak adalah selaman terhadap bagaimana persepsi dan praduga kita terbentuk. Untuk kemudian kita akan sensasi dramatis ketika urutan kejadian terkuak dan ternyata sebenarnya seperti apa.

Film ini menelisik isu gender lewat thriller berdarah. Cewek selalu jadi korban, cowok adalah psikopat? Belum tentu begitu, kata film ini. Susunan acak tersebut bukan pula cuma sebatas untuk bermain kejutan, bukan soal “ternyata-ternyata” doang. Sebab susunan acak tersebut paralel dengan state of mind karakter yang diperankan Willa Fitzgerald (gila banget Willa di sini, adegan sakaratul maut di epilog itu loh!) Jadi ketika susunan acak itu membuat kita katakanlah ‘tertipu’, tapi kontras dengan itu kita melihat dia sendiri percaya dan hidup dalam ‘tipuan’ tersebut. Dia percaya dia tetap victim di skenario itu. Cewek memang gak pernah salah, ya haha

The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for STRANGE DARLING

 

 

 

TERRIFIER 3 Review

Damien Leone kembali untuk memuaskan dahaga gore kita, while juga berhasil memperkuat posisi Art the Clown dan Sienna sebagai ikon slasher horor modern.

Kerja terbaik film ini memang di sadis-sadisan. Suasana natal berhasil film ini merahkan oleh darah. Sekuen Art minum-minum bareng sinterklas di bar itu aku suka banget. Kali ini film sepertinya benar-benar mengeksplor sisi jahat Art dan kemudian mengontraskannya dengan kesucian natal. Terrifier 3 kembali ke formula horor klasik. Kebaikan vs. Kejahatan yang disimbolkan oleh agen setan dan agen tuhan. Tapi betapapun sadisnya Art yang bahkan di film ini sampai membunuhi anak-anak – adegan openingnya aja dia nyamar jadi sinterklas dan menghadiahi penghuni satu rumah dengan tiket satu arah ke alam barzah – film tetap ‘classy’ dengan tidak sekalipun memperlihat adegan pembunuhan anak-anak tersebut secara on-cam. Gak kayak Sumala kemaren tuh. Filmmaker horor Indonesia harus banyak belajar dari film ini.

Cuma kalo dibandingkan dengan film keduanya tahun lalu, Terrifier 3 terasa kurang ‘absurd’. Pesona ganjil dan dunia surealis agak berkurang, mengalah ke sadis-sadisan yang diperbanyak. Cerita dari sisi Sienna juga kurang. Film cuma menjawab sedikit lore soal hubungan dia dan ayahnya, tapi film yang timeline ceritanya lima tahun dari film kedua menempatkan Sienna di ‘keluarga’ baru  yang membuat mainly kisah dia ‘reset’, Kembali ke soal gak mau kehilangan keluarga (lagi). Singkatnya, keberlanjutan kisah masih belum banyak, tapi film ini cukup memuaskan dengan melanjutkan feud Sienna dengan Art di lokasi yang berbeda.

The Palace of Wisdom gives 6.5 gold stars out of 10 for TERRIFIER 3

 

 

 

V/H/S/BEYOND Review

Makin ke sini, aku rasanya makin ilang gairah sama seri film V/H/S/. Kayak pas nonton yang Beyond ini aja. Pembukanya kan tentang dokumenter penampakan alien gitu, itu aku tertarik, tapi pas ganti segmen jadi tim penyergap nembak-nembak makhluk gitu, aku jadi bosen. Apalagi pas segmen berikutnya yang dari India tentang paparazzi dan bintang musik, duh goyang-goyang kameranya bikin capek. Secara subjektif, mungkin aku memang lagi jenuh aja sama konsep ‘rumahan’ begitu. Tapi secara objektif juga, aku males sama V/H/S/ karena selalu setengah-setengah dalam ngikutin tema.

Mestinya sekarang ini kan temanya tentang alien. Beyond, as in beyond our universe, beyond our comprehension, dsb-lah. Tapi beberapa ceritanya ya lebih mirip creature general aja. Sekalinya ada alien kayak segmen yang nyeritain sekelompok sahabat yang pesawat mereka nabrak UFO, ujungnya ya tetap kejar-kejaran creature. Makanya yang segmen dokumenter itu lebih menarik, karena kita di-engage dari misteri seputar yang mereka bicarakan di dalam dokumentasi tersebut. Sensasi eksplorasi dan discoverynya kerasa, dan dua itu adalah elemen relevan dalam cerita yang bertema ketemu dengan makhluk planet lain. Segmen “anabul” juga aku suka. Walaupun ini juga bukan exactly alien, tapi lebih ke kayak creature eksperimen dan psikopat gitu, tapi karena penceritaannya lebih absurd tapi juga lebih ‘kalem’ ngikutin ceritanya juga jadi lebih yahud. Kalo diitung-itung, dari lima cerita, aku cuma suka 2.

The Palace of Wisdom gives 5 gold star out of 10 for V/H/S/BEYOND

 

 

 

WOMAN OF THE HOUR Review

Nah, kalo film ini kebalikannya. Aku justru excited sekali. Karena ini debut penyutradaraan Anna Kendrick! Selain akting dan nyanyi, bisa ngedirect juga, gimana gak keren tuh. Gak tanggung-tanggung juga, cerita yang ia kawangi ini ternyata berdasarkan kisah nyata. Rodney Alcala, serial killer yang beneran pernah jadi peserta dating show di televisi.

Anna Kendrick ternyata punya concern yang gede terhadap isu feminisme. Gimana perlakuan terhadap perempuan di industri hiburan, seperti film dan televisi. Bukan tidak mungkin, aspek-aspek yang ia hadirkan di sini adalah aspek yang dia ngelihat sendiri sebagai yang lama berkecimpung sebagai aktris Hollywood. Lensa berhasil membuat film ini tampak personal. Kendrick tahu persisnya feeling kayak ketika perempuan ‘dikecilkan’ jadi cuma kayak eye candy, gak boleh terlihat pintar di layar, ataupun ketika  dikuntit di lapangan parkir yang kosong. Adegan-adegan ‘predatory’ seperti begitu, sangat menyala di film ini. Seandainya Kendrick fokus di satu aspek seperti acara show dan dunia hiburan itu  saja, film ini pasti keren.

SayangnyaKendrick dapat naskah yang melebar. Actually, ceritanya punya range kurun yang luas. Mengikuti ‘kiprah’ si serial killer gondrong yang modusnya mau motret cewek-cewek untuk kontes, lalu menyorot perspektif perempuan-perempuan yang pernah bertemu dengannya. Some of them tewas. Tapi ada satu karakter yang selamat, yang kisahnya sebenarnya lebih menarik, yang bahkan film ini sendiri menjadikan kelanjutan karakternya sebagai info tertulis di penutup. Ini kan jadi sinyal kalo sebenarnya cerita si karakter ini lebih menarik. Tapi bagian tersebut dibahasnya di akhir, sementara bagian tengahnya adalah tentang dating show tadi. Jadi film ini kayak bingung sendiri memilih mana yang harusnya dijadiin utama, sehingga akhirnya memilih jalan tengah memperlihatkan semua. Yang buntutnya jadi clash, karena dengan begini berarti harusnya karakter utama adalah si serial killer karena bentukan film ini episodik dengan cuma karakter serial killer yang selalu ada di tiap ‘episode’, Cocoknya judulnya jadi Man of the Hour, atau kalo memang harus cewek-cewek, ya Womens of the Hour.

The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for WOMAN OF THE HOUR

 




 

 

That’s all we have for now

Maaf atas telatnya edisi halloween ini. 2024 tinggal dua bulan lagi, semoga aku bisa ngejar ketertinggalan untuk nyelesaiin rapor film akhir tahuunn

Thanks for reading.

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



THE SUBSTANCE Review

 

“We carry our own worst enemies within us.”

 

 

Kalo kemaren di Joker: Folie a Deux (2024) kita ngomongin gimana satu orang bisa kejebak di antara dua persona sampai-sampai dia sendiri bingung siapa diri dia yang sebenarnya, maka kali ini Colarie Fargeat ngajak kita ngobrol soal keadaan yang seperti sebaliknya. Apa yang terjadi ketika satu ‘diri’ punya kesempatan untuk hidup di dua tubuh. Akankah dia memilih tubuh yang baru, yang lebih sempurna, dan meninggalkan tubuh lama nan renta-nya selamanya?  Pembahasan soal body image dan industri yang demand-nya memang pada kemudaan dan kecantikan jadi substansi di balik sajian psyhcological plus body horor, yang pada akhirnya juga membuat film The Substance ini jadi dark comedy. Karena nonton film ini kita bakal nyadar bahwa mungkin hater terbesar kita memang adalah diri kita sendiri.

Elisabeth Sparkle adalah bintang Hollywood, cuma sinarnya udah redup. Ketenarannya merosot seiring bertambahnya usia. Rating acara fitnessnya turun karena dianggap ketinggalan zaman. Pihak studio sudah siap untuk mencari casting baru, yang lebih muda tentunya. Mereka mencari “The next Elisabeth Sparkle”. Melihat billboardnya diturunkan untuk informasi casting tersebut membuat Elisabeth nekat. Dia setuju untuk mencoba sebuah serum misterius yang katanya bisa membuat orang mendapatkan versi terbaik dari diri mereka. Literally! Dengan serum itu Elisabeth punya tubuh kedua. Yang lebih muda, dan jauh lebih cakep. Dia memanggil dirinya Sue ketika dalam tubuh muda ini. Sue inilah yang lantas jadi host baru acara tv pengganti Elisabeth. Sejumlah aturan petunjuk pemakaian serum harus dipatuhi olehnya. Di antaranya, setiap tujuh hari dia harus kembali ke tubuh aslinya, selama tujuh hari juga. Namun ketika sudah mencicipi kemudaan dan pemujaan baru dari orang-orang sekitar, tujuh hari jadi terasa lama. Sue mulai ‘mencurangi’ Elisabeth. Dia menyabotase dirinya sendiri. Dan kemudian efek mengerikan itu datang. Tubuhnya mulai membusuk dan ‘gugur’ perlahan.

Unboxing serum bukan sembarang skincare.

 

Siapa sih yang gak mau punya wajah cakep dan tubuh yang lebih muda? Dari sini film mengambil kedekatan karakternya dengan penonton, membuat Elisabeth simpatik despite her immediate faults. Menurutku pemilihan karakterisasi cerita ini sangat tepat. Karena meskipun semua orang pengen terus muda, cerita ini akan jadi shallow ketika misalnya tokoh yang diambil adalah perempuan yang biasa-biasa aja atau apalagi yang punya masalah berat badan. Shallow karena itu bakal membuat film terkesan ngejudge karakternya. Sebaliknya, film ini jadi tampak bijak dengan mengambil sudut pandang dari seorang bintang Hollywood yang sudah lewat masa emasnya. Motivasi Elisabeth yang arguably selfish itu jadi beralasan. Karena dia adalah orang yang secara first-hand tahu seberapa penting untuk stay awet muda di industri yang pergantiannya cepat seperti Hollywood. Sehingga film pun jadi punya kekuatan untuk sekalian menelisik industri Hollywood itu sendiri, bukan hanya ‘menghukum’ karakternya.

Hal tersebut membuatku jadi sekali lagi membandingkan film ini dengan sekuel Joker kemaren. Film tersebut membuat Arthur Fleck bernasib naas untuk menuding kita sebagai bagian dari society yang mengelukan sosok Joker dan kita berharap si Arthur mau menjadi sosok tersebut. Film itu memperlihatkan gimana society mendukung lalu lantas meninggalkan Arthur, tapi tidak pernah benar-benar membahas tentang society itu sendiri. Padahal Arthur dikembangkan sebagai akibat dari demand society tersebut. Sementara itu, The Substance memperlihatkan gimana industri basically menjadikan syarat muda dan menarik untuk bisa survive, bahwa kita – penonton – adalah bagian dari industri tersebut (bagaimana pun juga mereka mendengarkan apa yang penonton minta), tapi Elisabeth/Sue tidak pernah digambarkan hanya sebagai akibat dari industri tersebut. Film ini memperlihatkan both. Bahwasanya industri itu toxic, lewat penggambaran karakter produser yang cartonish (as opposed to gimana Harlee Quinn digambarkan abu-abu padahal manipulatif di sekuel Joker), sekaligus juga memperlihatkan konflik personal Elisabeth/Sue yang haus akan ketenaran dan gak mau nerima kenyataan sampai-sampai dia membenci dirinya sendiri yang menua. Dinamika Elisabeth dan Sue dengan brilian terus dipijakkan kepada kenyataan bahwa mereka ini adalah satu orang, sehingga tema soal ketidakpuasan – atau malah kebencian – terhadap diri sendiri tetap menjadi flaw karakter yang membuat cerita ini tetap menjadi kisah yang aktif sebagai galian dan pilihan karakter Elisabeth tapi tetap dengan muatan kritik terhadap dunia industrinya.

Kita adalah musuk terbesar diri kita sendiri. Bahasan film ini sebenarnya sangat dalam ketika memperlihatkan kontras antara kehidupan Sue dan Elisabeth padahal mereka sebenarnya adalah orang yang sama. Keduanya akhirnya menjadi musuh, saling benci, saling sabotase karena Elisabeth/Sue memandang diri mereka yang lain sebagai sesuatu yang mereka benci dari diri mereka. Elisabeth iri dengan kemudaan Sue, dan Sue jijik dengan ketuaan dan ketidakberdayaan Elisabeth. Deep inside, ini adalah Elisabeth tidak menerima dirinya sendiri.

 

Demi Moore sebagai Elisabeth (tubuh asli yang tua) dan Margaret Qualley sebagai Sue (tubuh muda) adalah perfect cast yang sepertinya juga meta melihat dari ‘kesenioran’ mereka di Hollywood. Keduanya beneran jago menangkap vibe yang tepat untuk menghidupkan cerita dan karakter mereka. Terutama Demi Moore yang dapat tantangan range sedikit lebih luas. Dia nelangsa tapi gak over-drama. Lalu dia nekat. Lalu terasa weak dan vulnerable ketika ‘dicurangi’ oleh dirinya sendiri. Lalu berontak dan broke down. Sementara itu Sue-nya Margaret Qualley come off seperti anak muda yang penuh passion dan ambisi, tau apa yang dia mau, dan juga nekat karena Sue adalah reseprentasi diri Elisabeth yang optimis dan pede kembali – dan dia sudah pernah menjalani itu semua. Dan keduanya sama-sama kentara punya denial, sama-sama ngerasa benar saat menjadi masing-masing. Makanya film ini kuat sekali sebagai cerita yang bahas psikologis. Padahal durasinya udah panjang banget, tapi kita merasa masih pengen masuk menyelami Elisabeth/Sue ini.

Buat Elisabeth, si Sue itu lama-lama jadi Su-we’

 

Penceritaan film memang begitu luwes sehingga dua jam setengah itu jadi tak terasa. Ketika butuh untuk menjelaskan aturan serum saja, film ini tidak lantas terseok jadi momen eksposisi yang annoying. Kita tetap dibuat engage oleh permainan editing serta gerak kamera. Ketika meng-setup Elisabeth sebagai bintang lawas yang kini sudah mulai dilupakan pun, film ini tidak serta merta nyerocos ataupun memperlihatkan flashback panjang lebar mengenari karir Elisabeth. Melainkan cukup dengan memperlihatkan bintang Hollywood si Elisabeth, Semacam time-lapse sederhana dari gimana ubin bintang tersebut dicetak, dikagumi orang, hingga jadi retak-retak dan gak ada lagi yang peduli. Set up yang efektif ini yang bikin kita tahu bahwa penceritaan film ini bakal unik. Kita juga jadi siap-siap tatkala momen body horor ataupun bahkan momen creature nya nanti hadir. Film cukup mengclose up seekor lalat di dalam gelas, dan kita sudah terwanti-wanti ini film at least bakal jadi se-‘jijik’ The Fly (1986). And it did. Beruntunglah film ini panjang sehingga makanan kita sudah habis saat bagian body horor-nya datang. Proses ‘kelahiran’ Sue, proses pengambilan cairan sumsum tulang belakang, momen Elisabeth menyadari ada anggota tubuhnya ternyata udah kayak bangkai, hingga ke aksi-aksi brutal di bagian belakang dan satu lagi kelahiran makhluk – aku cuma bisa bilang film ini sangat memuaskan penggemar horor. Vibe dark comedynya juga sangat mulus membayangi. Seolah film juga turut menjadi semakin edan bersama dengan perkembangan Elisabeth.

Aku sendiri tergelitik sama term “versi dirimu yang sempurna”. Buatku term ini sebenarnya bisa bermakna lebih dalam. Saat menonton aku kepikiran, kalo aku yang biasanya suka sial ini memakai serum itu, diri satu lagi yang terlahir pasti belum tentu aku versi lebih tinggi, rambut lebih tebal, mata gak minus, lidah gak cadel, dan sebagainya. Bisa jadi yang muncul adalah aku yang botak, lebih kontet, mata lebih minus, hanya mungkin otaknya yang lebih cemerlang. Atau ngerinya lagi, mungkin diri yang lahir punya jari yang lebih banyak supaya bisa ngetik lebih cepat dan bisa ngepost review lebih banyak dalam sehari. Maksudku, who knows kan, ‘versi sempurna’ diri kita itu dilihat dari apa. Siapa yang menentukan apa yang sempurna. Gimana kalo sempurna itu berarti kita tidak mesti punya tangan dan kaki, tapi punya sayap. Menurutku term ini punya potensi untuk digali lagi. Dan maka itu juga aku surprise ketika film masuk babak ketiga. Dan ternyata memang film ini menggali “diri yang sempurna” itu ke dalam perwujudan lain dari Elisabeth/Sue. Lantas film ini jadi chaos, for the better. Menurutku babak akhir film ini benar-benar nendang, ‘stylish’, dan menutup cerita dengan sangat membekas. Semuanya mendapat ‘ganjaran’ termasuk industri entertainment itu tadi. I wouldn’t have it any other way.

 

 




Bener-bener diperlihatkan tuh di sini, gimana ekspektasi sosial mampu mendorong seseorang menjadi sesuatu yang bahkan dia tidak mengenal siapa dirinya lagi. Gimana orang bisa membenci dirinya hanya karena ngikutin maunya orang lain. Aku suka film ini tetap pada jalurnya, yaitu membahas dari perspektif karakter. Menggali dari sana. Tidak berubah haluan jadi membahas asal muasal serum atau misteri pembuat serumnya, misalnya. Oh itu bakal jelek dan kosong banget pasti haha… Film Joker 2 kemaren mestinya meniru penceritaan film ini. Gimana film ini berhasil menggunakan konsepnya, yaitu body horor, sebagai penguat cerita. Menyokong pengalaman mengerikan yang ingin disampaikan. Gimana membentuk cerita tragis sehingga gak jadi ngejudge, melainkan menjadi selaman berbobot yang menyeluruh mulai dari karakter hingga ke dunianya yang punya masalah yang sebenarnya ditarik dari problem sosial beneran. Film ini berhasil, meskipun tergolong sebagai genre, tapi tetap sebuah genre dengan bahasan substansi yang kuat.
The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold stars for THE SUBSTANCE.

 




That’s all we have for now.

Bagaimana pendapat kalian tentang standar kecantikan yang bakal terus menghantui industri atau dunia hiburan?

Silakan share pendapatnya di komen yaa

Yang pengen punya kaos film lebaran Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

 

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



MINI REVIEW VOLUME 21 (HOME SWEET LOAN, MAHARAJA, LAURA, SUMALA, KANG MAK, RIDDLE OF FIRE, BLINK TWICE, BADARAWUHI DI DESA PENARI)

 

 

Sori beribu sori dua bulanan ini konten reviewnya sepi. Nontonnya sih tetep jalan, cuma memang waktu untuk nulisnya yang semakin sempit. Kudu disempet-sempetin. Untung kali ini dapet waktunya, inilah film-film bulan Agustus dan September yang dirapel, beberapanya mungkin sudah ditunggu karena memang crowd’s favorite. Semoga Volume ini tidak diamuk massa haha..

 

 

BADARAWUHI DI DESA PENARI Review

Badarawuhi adalah peningkatan dari film pertamanya. Tapi mengingat film KKN di Desa Penari (2022) itu memanglah teramat bobrok, maka peningkatan pada sekuel ini sebenarnya adalah keharusan. Tuntutan yang kudu dipenuhi. Karena kebangetan kalo masih kayak gitu juga!

Peningkatan film ini ada pada pengarahan horornya. Kimo Stamboel yang kali ini di kursi sutradara. Kimo membawa ceritanya ke arah yang lebih personal bagi karakternya. Gadis yang mencari kesembuhan ibunya (dari penyakit yang sepertinya kutukan) ke desa terpencil tempat asal sang ibu. Horornya jadi turun temurun as gadis itu mungkin harus menyerahkan dirinya kepada Badarawuhi sebagai ganti ibunya. Jadi Kimo di sini bermain-main dengan mistisnya sosok Badarawuhi yang dia bikin menyelimuti satu desa, lewat mata karakter utama. Durasi panjang film ini kebanyakan disebabkan oleh Kimo benar-benar ngasih momen yang extended perihal penampakan atau kemunculan sosok Badarawuhi. Misalnya ketika hantu itu ‘menarik’ Mila ke kolam. Atau adegan nari mistis yang harus dilakukan sebagai ritual. Film ini lebih atmosferik ketimbang film pertamanya yang bland.

However, film ini masih halfway there. Sebagian besar waktu film ini masih terasa generik, jinak, dengan alur yang masih bisa dikembangkan lebih jauh lagi. Ini mengecewakan mengingat film ini tayang internasional.Badarawuhi punya potensi untuk jadi ikon horor modern, tapi filmnya harusnya berani embrace sisi gelap horor legenda. Afterall, horor 80an kita bisa dapat status cult di luar sana apalagi kalo bukan karena ‘keliaran’ cerita dan efeknya.

The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for BADARAWUHI DI DESA PENARI

 

 

 

BLINK TWICE Review

Menjawab tag linenya. no, I’m not having a good time. Tapi itu bukan karena filmnya parah, melainkan justru itu bukti kalo psychological thriller ini berhasil bikin aku gak nyaman. Bukti dalam debut penyutradaraannya ini, Zoe Kravitz berhasil ngangkat cerita perempuan di dunia laki-laki, dunia yang suka semena-mena dan ena-ena dengan power, beneran kerasa urgen dan relevan.

Basically sebenarnya konsep thriller ini sederhana. Karakternya yang diundang oleh milyuner idolanya untuk bersenang-senang di pulau private – hal yang seperti too good to be true, yang lantas memang ada hal mencurigakan di baliknya. Ada momen-momen yang gak bisa diingat Frida, dan momen-momen itu seperti red flag tapi yah, gak ada satupun yang ingat sampai semua terlambat. Naturally kita sebagai penonton akan menatap layar lekat-lekat berusaha menangkap clue apa yang exactly happened kepada Frida dan para tamu. Arahan Zoe membuat konsep ini jadi ‘berbeda’. Zoe beneran gak ingin kita ngedip. Adegan yang banyak close-up dan cut-cut yang begitu abrupt, itulah yang kita pelototi. Ngasih  sensasi gak nyaman yang relevan dengan ceritanya.

Untuk tone atau voice, Zoe berusaha untuk imbang meski memang ceritanya tentang gender. Kekuasaan semena-mena pria terhadap wanita. Suara-suara berimbang dihadirkan lewat karakter yang memang banyak di dalam cerita. Misalnya ada karakter cowok yang sebenarnya gak ikut-ikutan, tapi dia juga itungannya complicit karena gak ngelakuin hal yang benar. Ataupun ada karakter cewek yang justru membenarkan kelakuan karakter Channing Tatum untuk suatu alasan.

The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for BLINK TWICE.

 

 

 

HOME SWEET LOAN Review

Bukannya mau jadi pick-me atau gimana, tapi Kaluna dalam karya terbaru Sabrina Rochelle Kalangie, Home Sweet Loan, kurang terlalu relate buatku. Dan itu mungkin karena aku tipe perantau. Dan tipe perantau biasanya selalu kangen balik ke rumah, sesumpek atau sedrama apapun. Dan ya, lebih relate ke umang-umang yang kemana-mana bawa rumahnya sebenarnya…

Tapi sebodo amat aku relate atau enggak, toh naskah film ini memang kentara kuatnya. Nice banget gimana ceritanya mengarahkan Kaluna yang sedari awal ‘berjuang’ karena ingin punya rumah sendiri, namun ketika kesempatan itu ada dia jadi malah harus memilih antara ambil rumah itu atau menggunakan tabungannya untuk menyelamatkan keluarga yang dia ingin terbebas dari mereka sejak lama. Dari perspektif penulisan, ini adalah bentukan karakter dan drama yang kuat. Bumbu pedes sebenarnya, yang bikin mata kita berair sebenarnya, datang dari drama yang membuat Kaluna ingin hidup sendiri. Drama dengan keluarganya. Terkait posisinya sebagai si bungsu yang kerap ‘dikecilkan’ atau di-overlook peranannya oleh keluarga besar.

Menurutku ini film Sabrina yang paling enjoyable sejauh ini. Walaupun aku gak relate, tapi kerasanya ‘honest’ aja gitu filmnya. Lagu latarnya gambarin keadaan Kaluna lebih dalam lagi. Ngomongin lagu, aku jadi teringat penggalan lagu Alessia Cara pas nonton ini “The house that you live in don’t make it a home”. Pengadeganan film ini juga dibikin grounded, dengan juga masih mampu menambahkan bumbu jenaka. Kayak pas lagi makan malam di meja makan sederhana mereka, lalu kakaknya sambil nyuapin anak nanya gimana hubungan Kaluna ama pacarnya. Reaksi mereka sekeluarga mendengar jawaban Kaluna terasa real tapi juga lucu karena si anak malah kelupaan disuap, sendoknya masih gantung di udara di depan mulut mangapnya. Film ini cuma terasa agak goyah saat mencapai akhir, dengan resolusi pindah-kerja yang bikin jadi kayak “how’s that add to the story?” gitu.

The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for HOME SWEET LOAN

 

 

 

KANG MAK (FROM PEE MAK) Review

Ngeremake film luar yang populer tampaknya masih jadi strategi andalan Falcon Pictures. Kali ini Herwin Novianto ditunjuk menyutradarai komedi horor asal Thailand. Pee Mak, diadaptasi jadi Kang Mak. Dan bisa dibilang ini juga remakenya asal-mirip-doang.

Yang lebih baik dilakukan oleh film ini daripada film aslinya adalah pace atau tempo. Kang Mak terasa punya pace yang lebih baik karena membuang beberapa adegan komedi yang tidak relevan dari film aslinya (misalnya adegan main charade atau tebak kata) sehingga Kang Mak bisa lebih segera menuju ke drama atau hati cerita dan gak melulu bikin capek di komedi teriak-teriak ngebahas siapa yang sebenarnya hantu. Tapi selain itu, film ini ya plek-ketiplek sama. Tidak ada muatan baru atau lokalisasi penting yang dilakukan. Film ini masih seperti ada di Thailand, ketimbang di tanah Sunda. Komedinya memang ada yang direwrite, tapi itu juga sama aja garingnya dengan film aslinya, sehingga ya tidak menambah poin juga. Perspektif cerita pun tidak diperbaiki, Kang Mak juga sering pindah-pindah dan gak punya tokoh utama yang jelas. Karena konteks film aslinya yang berantakan itu masih dipakai; apakah ini cerita tentang Mak yang harus nerimo istrinya telah meninggal, apakah ini tentang dilema istrinya di antara dua dunia, atau apakah tentang teman-teman yang berusaha ngasih kebenaran. Cerita ini bisa lebih terarah jika mengambil salah satu, bukan amprokan tentang semuanya

Ngomongin soal adaptasi, aku ngeliat ini jadi ngerasa kita udah punya ‘adaptasi unofficial’ Pee Mak yang lebih original dan far more better, yaitu Agak Laen (2024). Karena sama-sama ada rumah hantu, hantu beneran, dan bahkan soal penggambaran ‘saksi bisu’. Tapi yang paling kasian sih ibu-ibu yang nonton ini karena pengen lihat Jirayut. Public figur itu digunakan heavily pada promo, tapi pada film aslinya dia gak muncul, melainkan hanya di kredit penghias.

The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for KANG MAK (FROM PEE MAK)

 




LAURA Review

Disclaimer dulu; I know cerita Laura di film ini diangkat dari kisah nyata seorang selegram bernama Laura, tapi karakter Laura dan ceritanya yang aku kritisi di review ini adalah Laura dalam frame film – sebagai sebuah cerita film. Dan the fact aku perlu ngasih disclaimer ini dulu membuktikan flaw utama dari film karya Hanung Bramantyo ini. Yaitu film ini didesain ada di pihak Laura sedari awal, bahwa filmnya bekerja seolah kita semua sudah tahu tragedi Laura dan kita bersimpati kepada sisi Laura yang ingin mereka jual. Jadi ini bukan objective view, bukan exactly cerita tentang perkembangan karakter.

Darimana kita bisa menyimpulkan ini? Dari adegan kecelakaan  saat Laura dan pacarnya mengendarai mobil sambil mabuk. Film ngetreat kecelakaan ini dengan dramatis, ada build up cukup lama dan segala macem. Supaya kita menyayangkan kecelakaannya. Sedari adegan itu bahwa Laura mau gimana pun kelakuannya, harus mendapat simpati kita. Dan ini akan semakin susah untuk kita lakukan karena cerita akan berlanjut tentang Laura terjebak dalam toxic relationship dengan alasan yang tidak diselami, again, karena kita harus bersimpati aja sama Laura. Ada dialog Laura nangis bilang dia gak bisa lepas dari Jojo karena dia ngerasa dalam kondisinya sekarang cuma Jojo yang masih mau sama dia. Padahal red flagnya Jojo sudah diperingatkan oleh teman-teman dan keluarga sejak sebelum mereka kecelakaan. Menurutku film ini harusnya menyelami persona Laura di depan maupun di belakang kamera. Kerjaannya sebagai influencer juga harus dibahas, supaya tidak cuma jadi convenience dalam cerita. Kita harus benar-benar melihat kenapa dia ini fighter dan sikapnya tegarnya mempengaruhi orang sekitar walaupun mungkin tegarnya cuma di depan kamera.

Menurutku film ini harusnya bisa jauh lebih besar lagi daripada sekadar menjual tragedi. Akting Amanda Rawles sudah menjelma menjadi sosok lain, tapi karena momen-momen Laura hanya memperlihatkan momen dia on-cam di show atau podcast, penampilan akting tersebut tidak terasa demikian konsisten karena hanya kayak meniru dari materi yang sudah ada. Kita perlu melihat Laura versi Amanda, kita perlu mendengar Laura versi Hanung, untuk film ini menjadi benar-benar bagus.

The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for LAURA

 

 

 

MAHARAJA Review

Maharaja film dari Telugu certainly have a strong mainstream appeal berkat konsep bait-and-switch yang jadi jualan utama. Twist. Sutradara Nithilan Sarninathan dengan cakap ngecraft cerita yang bermain-main dengan ekspektasi kita, kemudian lantas membelokkannya – mengungkap yang sebenarnya. Penutupnya juga sangat kuat ngasih disturbing feelings, udah kayak Oldboy versi pembalikan.

Namun menurutku, memilih konsep itu membuat film ini mengorbankan banyak perspektif yang dapat membuat film ini jauh lebih kaya dan berisi. Perspektif anak perempuan Maharaja, misalnya. Film dimulai dengan si anak sebagai narator, seperti dia tokoh utama cerita, tapi ternyata tidak. Film berpindah menyorot Maharaja, dan bahkan di akhir bobot dramatis itu diterima oleh karakter penjahatnya. Film melakukan banyak pindah perspektif karena ingin ‘nutupin’ kejadian sebenarnya. Feelingnya memang jadi seru ketika kita tau ternyata kejadian sebenarnya seperti apa, tapi ya perasaan “ph ternyata begitu” yang nempel ke kita. Padahal kalo perspektif anaknya digali, relationshipnya dengan Maharaja apakah berubah atau tidak ketika dia mengetahui kejadian sebenarnya. Ataupun kenapa Maharaja tidak ngasih tau kejadian sebenarnya. Begitu banyak potensi untuk bikin cerita jadi dalam dengan perspektif yang jelas, tapi film mengambil konsep yang membuat perspektifnya jelas tidak bisa dikembangkan lebih jauh.

The Palace of Wisdom gives 5 gold stars out of 10 for MAHARAJA

 

 

 

RIDDLE OF FIRE Review

Debut film panjang sutradara Weston Razooli ini benar-benar bikin kita kangen masa kecil. Masa ketika belanja ke toko supaya dapat izin main video game dapat menjadi petualangan yang gak kalah serunya dengan permainan video game itu sendiri! Petualangan anak-anak dalam Riddle of Fire memang akhirnya jadi hilariously besar dan out of control supaya ngasih pelajaran buat anak-anak bandel tersebut sehingga mereka jadi punya development, tapi aku pikir Weston berhasil mendaratkan ceritanya ini kembali grounded. Membuatnya tidak kehilangan hati.

Kekurangan film ini justru datang dari ketika cerita menjadi out-of-control tersebut. Weston masih terasa terlalu berhati-hati. Sehingga film ini jadi kayak surealis belum nyampe, tapi juga gak mungkin lagi disebut realisme. Weston harusnya jor-joran aja di pertengahan film. Bikin cerita yang benar-benar aneh sekalian. Karena itu bakal lebih nunjukin kenekatan dia, kekuatan visinya, terlebih ketika toh dia mampu membawa cerita ini kepada penutup yang grounded. Makanya karakter anak-anaknya jadi  kurang membekas. Padahal mereka ini bandel-bandel loh, lucu. Relationship di antara mereka benar-benar dikembangkan, dengan backstory segala macem. Mereka juga ntar dapat teman baru dengan kekuatan aneh. Film memastikan cerita bergulir dari sudut pandang mereka jadi bakal banyak keputusan yang konyol dan bikin ngakak. Tapi kupikir harusnya tim anak-anak Riddle of Fire bisa jadi lebih kuat dan memorable lagi jika sutradara totally jor-joran ngegarap cerita ini jadi fantasi atau surealis, at least pada bagian petualangan mereka.

The Palace of Wisdom gives 6.5 gold star out of 10 for RIDDLE OF FIRE

 

 

 

SUMALA Review

Ngomongin soal film tentang anak kecil, Sumala sukses bikin aku bertanya-tanya jangan-jangan Lembaga Sensor menyensor film ini sambil merem. Karena bahkan untuk ukuran film berating Dewasa pun, kayaknya kita jarang nemuin adegan kekerasan anak terhadap anak yang begitu frontal; anak nusuk anak, anak menggorok anak. anak kecil saling bunuh semuanya on-cam dan jelas. Bahkan ada juga adegan bapak membunuh bayinya yang baru lahir, dengan menusuk si bayi dengan keris. Hahaha, Rizal Mantovani is a twisted human being!

Sumala adalah tentang suami istri kaya yang pengen punya ahli waris, jadi si istri ke dukun hitam supaya cepat punya anak. Anak yang lahir kembar, Kumala yang cakep dan baik, Sumala yang jelek dan iblis – literally. Sumala ini pas lahir langsung dibunuh oleh ayahnya. Tinggallah Kumala sendiri. Tumbuh cukup tersiksa karena cacat fisiknya membuat dia dibully. Hantu Sumala ternyata terus menemani Kumala, dan siap membalas orang-orang yang nyakitin Kumala. Puncaknya ya Sumala ngamuk, membunuh semua orang termasuk ibu dan ayah yang jahat sama mereka berdua. Kalo ceritanya seperti itu, naturally kita akan nganggap Kumala sebagai tokoh utama, karena banyak bobot dramatis yang ada dia emban. Tapi enggak, tokoh utama film ini justru si ayah yang tadi membunuh bayinya pake keris, on cam! Ayah yang sepanjang cerita sangat satu dimensi – orangtua galak yang suka masung bahkan menyalip anaknya di kebun. Tapi ujug-ujug dia bakal dikasih momen menyesali diri, dan ada backstory. Ini contoh naskah yang benar-benar tidak rapi dan gak tau apa yang dilakukan.

Hahaha film ini isinya memang cuma eksploitasi kekerasan. They do violence because it sells. Gak ada permainan kamera ataupun treatment lain yang elegan. Luna Maya cuma ada di sana pasang tampang horor, menunggu untuk dibunuh. Makanya di iklim real world yang banyak kasus kekerasan dengan baik itu pelaku ataupun kepada anak-anak, aku heran kok film yang nonjolin kekerasan segamblang ini bisa lolos. Menurut kalian, apakah sebabnya? Silakan share pendapat di Komen yaa..

The Palace of Wisdom gives 3 out of 10 gold stars for SUMALA

 




 

 

That’s all we have for now

Semoga Oktober ini bisa bikin mini review khusus horor. Aminn..

Thanks for reading.

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA