STAND BY ME DORAEMON 2 Review

“You need to be happy with yourself or you’ll never be able to be happy in a relationship”
 

 
 
Tentu saja Doraemon punya tempat spesial di dalam diriku. Aku tumbuh besar dengan mengkhayal punya alat-alat ajaib seperti yang ada di kartun Doraemon yang tak pernah ketinggalan ditonton. Aku beberapa kali nekat bolos ngaji supaya bisa nonton Doraemon. Aku – yang waktu itu masih berumur empat tahun – bahkan bersikeras memberi adikku nama Nobita, meskipun ternyata adikku itu adalah perempuan. Orangtuaku ngalah, tapi toh mereka berhasil membujukku mengganti huruf ‘b’ di Nobita menjadi huruf ‘v’. Alhasil kasian adikku, sampai sekarang dia selalu dituduh lahir di bulan November padahal lahirnya itu di bulan September.
Mengenai Nobita, memang, orangtuaku dulu selalu mewanti-wanti untuk tidak menjadi seperti Nobita. Jangan jadi anak cengeng kayak Nobita. Gak boleh niru Nobita yang penakut. Jangan kerjanya malas-malasan nanti jadi kayak Nobita. Rajin belajar, jangan sampai nilainya nol kayak Nobita. Ah, Nobita, Nobita… Kalo dipikir-pikir sekarang, Nobita boleh saja selalu dapat nilai merah dalam pelajaran sekolah. Tapi untuk pelajaran kehidupan, Nobita tak pelak adalah juara kelasnya. Dalam film Stand by Me 2 ini saja, petualangan Nobita menembus waktu akan banyak memberikan dirinya – dan kita semua – pelajaran berharga tentang menemukan rasa bahagia atas diri sendiri demi membahagiakan semua orang di sekitar kita.

Akhirnya menikah, tapi kok malah sedih?

 
 
Hari itu berawal cukup normal di rumah Nobita. Doraemon sedang maintenance alat-alat di kantongnya. Dan Nobita… well, dia barusan kena omel sama Ibu karena ketahuan menyimpan nilai nol. Nobita jadi kangen sama neneknya yang udah meninggal. Kata Nobita nenek adalah satu-satunya yang sayang sama dia. Lantas pergilah Nobita dan Doraemon ke jaman dirinya masih kecil naik mesin waktu. Untuk bertemu Nenek. Cerita keseharian seperti inilah yang bikin Doraemon itu gampang melekat untuk anak kecil. Kita melihat kehidupan Nobita itu ya gak jauh dari kehidupan kita. Tentunya waktu kecil kita pernah sekali dua kali ngayal kita adalah anak pungut saat dimarahi ayah-ibu. Ngayal kalo ada orang dewasa lain di luar sana, yang lebih baik dan rajin beliin mainan, yang bakal datang menjemput kita karena mereka adalah orangtua kita yang sebenarnya. Kita lebih senang sama nenek kakek karena mereka gak pernah marahin dan selalu manjain kita. Menonton cerita seperti ini sekarang, berhasil melempar aku ke nostalgia. Bukan hanya nostalgia kepada dunia Doraemon yang ajaib dan penuh oleh karakter-karakter yang terasa akrab, tapi sekaligus juga nostalgia kepada masa kecil diriku sendiri.
Film ini tahu persis siapa penonton mereka. Aku benar-benar merasa film ini dibuat untuk diriku. Setelah menyambut kita dengan manisnya nostalgia, sutradara Ryuichi Yagi yang kali ini team up sama Takashi Yamazaki, mulai menghidangkan daging sesungguhnya dalam cerita. Sekuel Stand by Me ini dihadirkan sama seperti film pertama yang keluar enam tahun yang lalu; permasalahan Nobita dan Doraemon di sini bukanlah perihal petualangan besar ke dunia luar seperti pada film panjang kartunnya. Melainkan permasalahan yang lebih dekat ke ‘rumah’. Yagi dan Yamazaki mengajak penonton Nobita dan Doraemon yang kini telah dewasa untuk mengarungi permasalahan yang juga sama dewasanya. Nenek Nobita ingin melihat pasangan cucu kesayangannya tersebut saat menikah. Permintaan yang gampang bagi Nobita, karena dia sudah tahu di masa depan bakal menikah dengan Shizuka, dan dia tinggal mempertontonkan pesta mereka kepada Nenek lewat Televisi Waktu. Namun ada sesuatu yang salah. Pesta itu gak mulai-mulai, karena Nobita di masa depan, Nobita Dewasa yang akan menikah itu, tidak kelihatan ada di mana-mana. Maka bergegaslah Nobita dan Doraemon ke masa depan, mencari Nobita Dewasa dan membetulkan banyak hal sebelum semuanya terlambat. Sebelum masa depan Nobita berubah menjadi tanpa Shizuka.
Tidak seperti film pertamanya yang tersusun dari beragam cerita dan episode dari komik/kartun, film animasi 3D kedua ini lebih fokus pada satu permasalahan. Walau memang banyak yang actually akan dikejar dan dikerjakan Nobita, tapi semuanya mengerucut ke satu permasalahan yang sama. Yakni kenapa Nobita di masa depan menghilang dan seperti jadi bimbang (got cold feet) beberapa jam sebelum menikah. Film kali ini actually membahas sangat personal seputar karakter Nobita itu sendiri. Narasinya disusun sedemikian rupa dalam membangun rasa insecure dan ketidakpuasan Nobita terhadap dirinya sendiri. Mulai dari bagaimana Nobita penasaran dirinya anak pungut atau enggak, hingga ke bagaimana Nobita enggak suka sama namanya, dan tentu saja ke bagaimana Nobita Dewasa merasa kasihan sama Shizuka yang mau menikah karena ingin melindungi dirinya. Semua eksplorasi soal itu diceritakan dengan cukup subtil sehingga terlihat di permukaan sebagai celotehan anak bandel yang konyol. Ini tentu saja karena film ini tidak melupakan para penonton cilik. Kelucuan tingkah serta keajaiban dunia dan karakter-karakternya tetap dijadikan pesona utama untuk dinikmati oleh anak kecil. Sementara di balik itu semua, para penonton dewasa (yang sudah setia bersama Nobita dan Doraemon sejak kecil) bisa merasakan sesuatu yang relate alias mewakili perjalanan hidup mereka. Di balik Nobita mencela dan mendebat pilihan Nobita Dewasa lewat percakapan yang sangat amusing, kita tahu bahwa itu adalah cara film menggambarkan kontemplasi karakter lewat kekhususan dan identitas Doraemon itu sendiri.

Di dalam diri kita akan selalu ada sosok anak kecil yang rapuh dan selalu ‘ingin dimanja’. Di dalam diri kita semua, akan selalu ada si Nobita. Itulah yang diajarkan oleh film ini lewat kisah Nobita yang kabur dari pernikahannya sendiri. Bukan karena dia tidak cinta lagi, tetapi justru karena dia cinta makanya dia kasihan kepada Shizuka yang mau padanya. Kini hanya dirinya sendiri yang bisa menyelamatkan dirinya. Masalahnya dia justru menganggap dirinya sendiri sebagai masalah. Padahal Nobita – dan Nobita dalam diri kita yang vulnerable – bukanlah sesuatu yang perlu dibenci atau dienyahkan. 

 
Setting Nobita menikah bukan hanya kuat di nostalgia, tapi juga membentuk panggung yang menarik, yang mampu memikul banyak bobot emosional untuk disampaikan kepada kita. Karena perihal Nobita menikah dengan Shizuka itu sudah sejak dari zaman kartun televisi, bahkan zaman komiknya, selalu jadi goal dramatis dari karakter Nobita ‘si anak lemah’ itu sendiri.

Rasanya pengen menyelimuti diri sendiri dengan Selimut Waktu

 
 
Semua itu dilakukan dalam balutan petualangan menembus waktu. Elemen time-travel ini memang selalu jadi bagian penting dalam semesta Doraemon. Dan dalam film ini pun, sebagaimana film-film kartunnya, elemen time-travel ini dilakukan dengan detil tanpa menjadi memberatkan. Cerita didesain betul supaya elemen time-travelnya benar-benar terikat dan tidak menimbulkan loop yang mengganggu. Sehingga meskipun film ini periodenya luas – menyangkut masa lalu, masa kini, dan masa depan Nobita – tapi tetap terasa contained. Ceritanya tertutup dan gak meluas menjadi teori-teori yang gak perlu.
Akan tetapi, tentu saja elemen time travel yang bertemu dengan konsep alat-alat ajaib, akan beberapa kali membawa cerita sampai pada titik eksposisi. Akan ada beberapa adegan yang terdengar terlalu ‘telling’ dan membuat emosi film harus tertunda. Untuk sebuah cerita yang memfokuskan pada sisi emosional karakter, dan petualangan time travel, film ini memang at times sedikit terlalu mendikte. Ada beberapa dialog yang sepertinya bisa lebih manis dan berasa jika diperlihatkan lewat emosi atau ekspresi visual. Emosinya lebih banyak dituturkan. Mungkin ini ada kaitannya dengan budgetnya. Film ini walaupun terlihat sangat kawaii dan lembut, memainkan lingkungan tiga periode berbeda dengan detil dan distinctive, tapi dari segi karakter-karakter, mereka seperti terbatas.
 
 
Dengan lebih memfokuskan kepada karakter Nobita dibandingkan petualangan Doraemon dan kawan-kawan, film ini berhasil memberikan bobot kepada nostalgia dan haru-haruan yang mereka incar. Hubungan antara Nobita dengan karakter lain seperti Doraemon, Shizuka, Neneknya, Ayah-Ibunya, dan bahkan Giant dan Suneo berhasil dikembangkan dengan dewasa. Film ini menggunakan time-travel dengan ringkas sebagai elemen utama sehingga tidak memberatkan cerita. Malah film ini sebenarnya berhasil menjadi cukup simpel tapi sangat mengena bagi kita semua. Bahkan bagi penonton lepas yang somehow belum pernah nonton Doremon sebelumnya (jika ada)
The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for STAND BY ME DORAEMON 2
 
 
 
 

 

That’s all we have for now.
Saat masih kecil, alat doraemon apa yang kalian paling ingin punya?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA
 

WRONG TURN Review

“The ultimate tendency of civilization is towards barbarism.”
 

 
 
Sekelompok anak muda yang lagi travelling, salah belok, dan lantas tersesat di hutan. Membuat mereka jadi buruan dan dibunuh satu persatu oleh keluarga kanibal. Penulis Alan B. McElroy telah menetapkan konsep tersebut sebagai fondasi franchise Wrong Turn sejak 2003. Empat sekuel lahir dari film original tersebut, bukan karena bagus, melainkan karena kesimpelan trope ‘Remaja bego vs. Kelompok pembunuh sadis’ yang terus dipertahankan. Dan setelah bertahun-tahun mempertontonkan mindless torture dan kebrutalan bunuh-bunuhan, McElroy tampaknya tobat. Kini – hampir satu dekade dari film pertamanya – McElroy bersama sutradara Mike P. Nelson membanting stir franchise ini. Wrong Turn distart ulang, lalu dibelokkan arahnya ke tontonan yang lebih berisi. ‘Remaja bego vs. Kelompok pembunuh sadis’ tadi diberikan lapisan dan bobot. Sehingga kini mereka menjadi ‘Remaja vs. Kelompok Pembunuh” dengan lebih banyak depth di balik benturan di antara keduanya. Dengan ‘sadis’ dijadikan pertanyaan yang digunakan untuk menantang gagasan kita terhadapnya.

Akhirnya kita dapat reboot yang benar-benar dilakukan untuk memperbaiki kualitasnya

 
 
Slasher bunuh-bunuhan itu ditinggalkan jauh di belakang, salah satunya karena zaman yang memang sudah berubah. Sehingga film harus berevolusi guna menunjukkan fungsinya sebagai penanda zaman itu sendiri. Dan ini bukan hanya soal tren saat itu. You know, 2000an awal memang genre slasher lagi ngehits, film-film penyiksaan lagi sangat bergairah saat itu. Namun tentu saja semua itu berkaitan erat dengan subjek pelaku tren itu sendiri. Dalam hal ini, pelaku itu adalah anak muda. Nelson dan McElroy paham ada perbedaan signifikan antara perilaku dan gaya hidup anak muda atau remaja sekarang dengan anak muda yang hidup di 2000an (Yang bilang bedanya adalah anak muda sekarang masih remaja, anak muda dulu udah jadi tua-tua, aku jitak!) Meskipun masih sama suka hura-hura, tapi anak muda sekarang lebih cepat melek dan lebih mantap dalam mengenali apa yang mereka inginkan dalam hidup. Berkat teknologi yang semakin memegang peranan penting dalam kehidupan mereka.
Aspek itulah yang kini digali oleh Nelson dan McElroy dan dijadikan fondasi bangunan cerita mereka. Kelompok anak muda dalam Wrong Turn terbaru ini terdiri dari Jen (Charlotte Vega juggling antara cerdas, annoying, dan bad-ass) yang berbangga menjadi seorang barista dengan double degree seni tari dan art history, pacar Jen – si Darius – bekerja di lembaga sumberdaya nonprofit, teman-teman mereka pun semuanya punya keahlian. Ada yang menggeluti medis, ada yang ngembangin app, dan ada yang bisnis restoran-cabang kecil-kecilan. Mereka semua masih muda, suka hura-hura, tapi juga sudah berkontribusi kepada masyarakat dengan bekerja. Untuk membuat kelompok ini lebih kekinian dan ‘woke’ lagi, McElroy membuat karakter mereka terdiri dari pasangan antar-ras dan pasangan LGBT. Jen dan kelompoknya merepresentasikan generasi modern. Di film ini mereka akan mendapat tantangan dari older generation yang masih memegang ‘cara’ lama, yang memandang anak muda seperti mereka dengan sebelah mata. As in, mereka dianggap cuma tahu bersuka ria dan gak mau bekerja. Tapi konflik utama – clash utama – yang disajikan film ini bukanlah tentang Milenial melawan Boomer. Melainkan adalah ketika cara pandang dan gaya hidup modern mereka dituding sadis oleh kelompok penduduk yang memutuskan hidup terpencil di dalam hutan belantara.
Tema modern vs. barbar; penduduk kota lawan suku tradisional, merupakan tema yang bisa dibilang timeless. Tema ini bahkan sudah dieksplorasi pada 80an. Bagi genre bunuh-bunuhan, tema ini memang sudah seperti soulmate. It’s easy bikin cerita anak kota nyasar kemudian menemukan horor berupa kehidupan suku liar. Sudah banyak slasher yang hadir dari situ. Wrong Turn ini bahkan enggak lantas conform ke arah sana. Pertanyaan apakah sebenarnya manusia modern-lah yang lebih barbar dan sadis itu diajukan ke permukaan dengan lebih elegan.
Jen dan teman-teman hiking menyusur hutan hendak melihat-lihat trail atau jejak peradaban penduduk Appalachia jaman dahulu kala. Tapi mereka salah belok, mereka malah masuk ke wilayah komunitas yang menyebut diri sebagai The Foundation. Yakni komunitas yang memilih untuk tinggal di hutan, tinggal dengan alam, guna mempersiapkan rakyat baru. Komunitas itu percaya bahwa Amerika yang sekarang sudah semakin bobrok dan terbelakang, jadi mereka menyepi ke hutan untuk menjadi cikal bakal masyarakat yang lebih manusiawi. Jadi, antagonis Jen di film ini bukanlah penduduk kanibal terbelakang, melainkan manusia yang sama-sama modern, hanya saja berpandangan berbeda. Film membangun benturan kedua sisi ini dengan abu-abu. Pembunuhan pertama yang terjadi di dalam cerita, actually dilakukan oleh kelompok Jen terhadap anggota komunitas The Foundation. Kok bisa? karena Jen dan teman-teman sangat kebingungan di hutan yang penuh perangkap dan jebakan mematikan. Mereka terluka, mereka panik. Sehingga ketika bertemu dengan anggota The Foundation yang berpakaian bulu dan bertopeng tengkorak hewan, yang berbicara bahasa lokal, Jen dan teman-temannya semakin ketakutan dan menyangka yang enggak-enggak.
Jadi, ya, film ini sebenarnya adalah konflik dari dua sudut pandang mengenai cara hidup masyarakat yang dibalut oleh kejadian-kejadian yang mengenaskan. Film memposisikan diri persis berada di tengah-tengah. Bersama film, kita ikut setuju ketika kepala kelompok The Foundation bilang masyarakat normal-lah yang barbar dengan uang, eksploitasi, gaya hidup yang semakin individualis, dengan ketimpangan hidup yang semakin besar. Tapi kita juga setuju bareng Jen, bahwa hukuman mati,  dan memasang jebakan untuk membahayakan manusia lain – menganggap manusia enggak beda banyak ama binatang buruan, tak pelak merupakan perilaku barbaric.

Mungkin memang, Hukum Rimba – makan atau dimakan itu – sesungguhnya masih akan terus ada dalam peradaban manusia. Hanya bentuknya saja yang berbeda. Mungkin, benar kata Nikolas Tesla. Yang kita perlukan sebenarnya adalah kontak dan pemahaman yang lebih baik, yang lebih dekat, antara individu dan komunitas. Film ini pun punya resolusi serupa dengan ide ‘penghapusan kebanggaan nasional dan pengabdian fanatik’ yang diajukan oleh Tesla tersebut.

 
Pilihan yang dibuat oleh Jen di menjelang akhir babak kedua film, membuat cerita tetap menarik. Membuat film ini terasa semakin fresh lagi di dalam genrenya sendiri. Kedalaman itu terus digali. In fact, dari penceritaannya, kita bisa melihat betapa film kali ini memang memfokuskan kepada kedalaman. Seolah sutradara ingin membuktikan bahwa film bunuh-bunuhan bisa kok punya kedalaman yang berarti. Wrong Turn actually dibuka pada periode Jen sudah menghilang selama enam minggu. Yang kita lihat pertama kali justru adalah ayah Jen yang berkeliling mencari putri semata wayangnya itu. Alur bercerita seperti ini mengingatkanku pada film bunuh-bunuhan dari Polandia yang kutonton baru-baru ini, All My Friends are Dead (2021). Film itu juga dibuka dengan adegan penyelidikan, untuk mengedepankan misteri pada cerita, dan kemudian di babak kedua kita dibawa flashback melihat apa yang sebenarnya terjadi. I’m not a fan of style like this. Namun, penceritaan pada Wrong Turn dilakukan dengan lebih baik daripada film tersebut. Karena ayah Jen nantinya akan kembali dibahas. karakter ayah Jen bukan hanya difungsikan sebagai pengantar, tapi juga menambah banyak ke dalam konteks dan untuk karakter Jen itu sendiri. Relasi Jen dengan ayahnya juga dibahas, dan didesain sebagai bentuk dari bagaimana generasi muda berkontra dengan generasi tua. Singkatnya, karakter ayah Jen membuat film ini jadi punya lapisan lebih banyak lagi.

Berbelok kembali ke jalan yang benar

 
 
Sementara telinga kita terus terbuka demi mendengar lebih banyak konflik dan bentrokan sudut pandang, mata kita mungkin akan lumayan kesulitan untuk tetap melotot. Karena sutradara enggak lupa dengan identitas dan legacy yang dibawa oleh filmnya ini. Wrong Turn masih meriah oleh banyak adegan kematian yang brutal. Absennya pembunuh kanibal digantikan oleh perangkap-perangkap maut tak-pandang bulu. Kamera akan menatap korban-korban mengenaskan itu tanpa segan, kalian mungkin harus mikir dua kali jika berniat nonton ini sebagai teman makan malam. Bagian awal film saat menceritakan ayah Jen mencari putrinya itu terasa lebih tenang dan misterius, sedangkan bagian tengahnya terasa sangat frantic dan berdarah-darah. Sesuai dengan kebutuhan cerita. Semua hal di hutan itu sukses dibuat mengerikan, bahkan pohon aja ternyata bukan pohon biasa di sana! Bagian akhir film ini, hebohnya, terasa sureal. Aku suka. Yang tidak aku suka adalah proses antara bagian tengah menuju bagian akhir. Terasa kurang banyak ruang untuk pengembangan yang maksimal, alias terasa agak terlalu cepat. Time skip dari cara bercerita yang membuatnya harus seperti itu, jadi mungkin kita masih bisa maklum.
Yang gak bisa dimaklumi itu adalah, karakter-karakter anak muda – yang demi identitas dan legacy tadi – dibuat tetep bego. Ketika mereka disebutkan mereka punya pekerjaan dan actually serius dalam menjalani hidup, kita agak kurang percaya. Karena yang kita lihat nanti adalah aksi-aksi dan pilihan yang terlalu sukar dipercaya. Reaksi yang terlalu berlebihan. Mereka sebagian besar masih tampak sama dengan karakter-karakter film slasher tahun 90-2000an. Kita tidak pernah melihat mereka sebagai karakter yang bakal survive. Sekiranya film juga melakukan pembenahan dari bentukan karakter mereka, maka tentu film ini akan jadi lebih baik lagi.
 
 
 
McElroy dan Nelson tidak salah belok saat mereka memutuskan untuk mengubah haluan franchise ini. Karena yang kita dapatkan adalah cerita bunuh-bunuhan yang lebih berisi. Enggak sekadar mati yang sadis dan karakter yang bego. Melainkan ada gagasan yang membalut kuat di balik aspek horor atau thrillernya tersebut. Ceritanya punya banyak lapisan, dan terkadang cukup terasa juga perjuangan film untuk menyeimbangkan dan mengikat semuanya. Usaha yang belum maksimal, tapi seenggaknya pantas sekali untuk diapresiasi. Karena sudah lama sekali kita selalu bertanya-tanya dalam protes, kenapa film bunuh-bunuhan selalu simpel dan dungu. Film ini hadir sebagai salah satu bukti bahwa jika pembuatnya berusaha, film genre tersebut ternyata mampu untuk jadi berbobot.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for WRONG TURN
 
 
 
 

 

That’s all we have for now.
Apakah kalian setuju bahwa sekarang kita hidup dalam masyarakat yang sadis dan barbar?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

MONSTER HUNTER Review

“I know what I’m capable of; I am a soldier now, a warrior. I am someone to fear, not hunt.”
 

 
 
Paul W. S. Anderson bersama istrinya, Milla Jovovich, kembali berkolaborasi dalam projek tontonan hiburan dengan apa yang sepertinya telah disepakati untuk menjadi misi mulia mereka; mencoba menghancurkan video game ke dalam film-film adaptasi. Dan setelah Resident Evil, target buruan mereka kali ini adalah seri Monster Hunter. Game yang cukup simpel, tapi menarik karena penuh imajinasi; player bermain sebagai pemburu monster-monster beraneka ukuran dan rupa. Film yang dihasilkan oleh Paul ini ternyata lebih simpel lagi.
Ceritanya tentang Kapten Artemis yang, bersama tim kecilnya, masuk ke dalam sebuah portal. Mereka tiba di dunia baru. Dunia yang sejauh mata memandang cuma hamparan pasir. Tapi meskipun putih, pasir itu enggak innocent. Karena pasir itu jadi habitat monster besar dan bertanduk, yang disebut Diablos. Kapten Artemis berusaha membawa mereka semua keluar dari tempat berbahaya itu hidup-hidup. Namun dunia baru ini ternyata monsternya bukan cuma satu. Satu-satunya peluang Artemis bisa bertahan hidup terletak pada pemuda misterius bersenjata panah dan pedang besar, yang dari kejauhan membantu mereka.
That’s it. That’s the story. Film ini gak punya ending. Enggak punya resolusi. Ceritanya dibiarkan berakhir di tengah-tengah pertempuran. Apalagi kalo bukan demi mengincar sekuel. Langkah yang sangat meragukan. Karena, bagaimana mungkin kita merasa ingin melihat kelanjutan film ini jika dalam melanjutkan menonton si satu film ini sampe durasi abis aja rasanya sungguh luar biasa berat?

Monster yang desainnya paling males adalah monster berupa gabungan dinosaurus dan naga

 
Selain melihat Milla Jovovich berduel melawan monster-monster raksasa – beberapa kali dia berlari menyerang mereka head on gitu aja – tidak ada lagi hal menghibur yang benar-benar bisa kita nikmati dalam film ini.
Kalo kalian mengira film yang diadaptasi dari game bertema dunia monster akan berisi petualangan menegangkan yang penuh imajinasi dan fantasi awesome, maka kalian benar. Film fantasi haruslah seperti begitu. Paul W.S. Anderson-lah yang salah ketika dia malah mengadaptasi game yang punya banyak penggemar itu ke dalam tontonan yang bukan saja terasa seperti perwujudan dari game itu sendiri, tetapi juga dibuat dengan cara yang menghalangi kita untuk bersenang-senang dengan aspek-aspek fantasinya. Alih-alih mengeksplorasi dunia, dia malah membuat kita sebagian besar durasi (tepatnya satu jam lebih) terjebak bersama karakter sentralnya di dalam dunia yang isinya pasir dan batu-batu doang. Lupakan world-building, dalam film ini yang kita tonton hanya Artemis yang keluar dari  ‘kandang’ monster satu, masuk ke ‘kandang’ monster berikutnya. Aksi demi aksi terus diporsir. Sehingga jadi bosan. Pegangan kita kepada karakter – yang jumlah death countnya rapidly naik kayak jumlah pasien positif Covid di negara kita – cuma dialog-dialog sok lucu dan sifat mereka yang sok keren.
T-t-ttunggu dulu, Mas My Dirt Sheet.. Lah kan katanya itu filmnya penuh oleh aksi demi aksi, tapi kok Mas juga bilang filmnya masih membosankan?
Begini, adik-adik. Itu jawabannya simpel aja. Yakni karena Anderson tidak tahu cara bercerita dengan benar lewat adegan-adegan aksi. Oke, mungkin dia tahu, hanya dia enggak peduli dengan cara yang benar. Anderson sudah kepalang nyaman di dunianya sendiri, di dunia yang ia pikir menghibur itu adalah dengan menyajikan aksi-aksi dengan begitu banyak cut-cut cepat, yang selalu berujung dengan momen sepersekian detik slow-motion, untuk kemudian disambung lagi dengan cut-cut cepat lainnya. Sepuluh menit nonton ini aja aku udah capek oleh adegan aksi yang tersusun oleh banyak sekali cut. Dan karena aksi-aksi yang disyut seperti demikian terus menerus dilakukan, maka capek itu berubah menjadi bosen dan tidak lagi peduli. Cut-cut cepat dalam adegan aksi itu justru membuat adegan susah untuk diikuti, sehingga aksi-aksi yang ditampilkan itu jadi gak ada efeknya buat kita. We don’t care because we can’t really see what happens.
Dalam film ini ada Tony Jaa, aktor laga tersohor yang tentu saja jago melakukan stunt-stunt keren. Di sini Jaa juga banyak beraksi, malah ada adegan fighting one-on-one dengan Jovovich. Tapi kasiannya, Anderson merasa stunt yang dilakukan Jaa sendiri itu masih kurang keren dan kurang menghibur bagi kita. Sehingga setiap kali Jaa beraksi, Anderson menggunakan cut-cut cepat tadi dengan niat untuk memperheboh aksi Jaa. Namun alhasil tentu saja hal tersebut malah bikin aksinya jadi enggak enak dilihat. Cut-cut cepat itu dilakukan oleh orang normal yang gak sok asik untuk menutupi, entah itu ketidakmampuan aktor, atau efek praktikal lainnya. Ketika mereka punya aktor yang mumpuni banget dalam berlaga, orang normal yang gak sok asik, enggak akan menggunakan teknik cut. Mereka mempercayakan kepada aktornya. Anderson ini memang lain dengan yang lain. Bukan hanya pada adegan-adegan aksi melawan monster ataupun pada aksi dikejar monster. Cut-cut cepat digunakan oleh Anderson dalam hampir semua pengadeganan, termasuk ketika karakter lagi ngobrol atau lagi berjalan dan menemukan sesuatu. Shot muka Artemis – cut – pindah ke muka si anu – cut – wide shot daerah – cut – shot muka orang yang lagi rolling eyes – cut – shot muka yang lagi bicara. Adegan senormal itu aja direkam dengan frantic banget. Sehingga udahlah karakternya tipis, apa yang mereka omongkan dan rasakan itu pun jadi enggak nyampe ke kita.
Film ini sesungguhnya mengandung bibit hubungan emosional yang bisa dikembangkan dan menjadi hati seluruh cerita. Yakni hubungan antara Artemis dengan karakter Hunter yang diperankan oleh Tony Jaa tadi. Karakter dari dua dunia ini bertemu, tadinya mereka tampak musuhan alias saling tidak percaya, tapi keadaan memaksa mereka untuk team up. Dan akhirnya menjadi teman. Mereka jadi saling belajar. Yang tak-biasa dari komunikasi mereka adalah keduanya tidak saling mengerti bahasa masing-masing. Jadi mereka pake bahasa isyarat, trying to understand each other. Momen-momen mereka belajar mengenal satu sama lain, mestinya bisa emosional. Tapi penghalang untuk sampai ke sana itu banyak. Pertama, editing edan tadi. Kedua, dialog yang cringe. Anderson membuat kedua karakter ini bonding salah satunya adalah lewat makanan, tepatnya; coklat. But the way he does it adalah dengan membuat mereka antara seperti dalam iklan produk coklat, atau seperti sedang memparodiin adegan Si Ikan Gila Coklat dalam kartun SpongeBob.

Artemis belajar banyak hal dari Hunter yang berjuang seorang diri. Belajar ngalahin monster raksasa, belajar menggunakan senjata yang belatinya bisa mengeluarkan api, dan terutama adalah belajar menemukan kembali makna menjadi seorang pejuang. Makna menjadi seorang tentara. Bahwa seharusnya dialah yang berburu, bukan yang diburu.

 

“Coklaaaaaatttttt!!!”

 
Jika Kapten Artemis terlempar dari dunianya dan terjebak di dunia lain, maka Anderson sang sutradara sendiri sesungguhnya juga sedang menapaki dua dunia. Yakni dunia film dan dunia video game. Bedanya, Kapten Artemis belajar untuk bisa survive di dunia yang baru, dia melakukan penyesuaian, dan meningkatkan kemampuan diri. Ironis, Anderson tidak melakukan ini. Ketika dia menyadap dari dunia video game, dia mengambil elemen-elemen sekadar untuk para gamer mengenali materi asli ketika sudah menjadi film nanti. Kita melihat desain monster, dan desain senjata film ini yang serupa dengan yang ada di game. Namun, selebihnya Anderson gak melakukan penyesuaian apapun. Dia hanya bermain pada apa yang sudah ia nyaman aja. Cerita film ini tidak dia susun ke dalam formula atau struktur ‘dunia film’ yang sebenarnya. Makanya film Monster Hunter ini rasanya ganjil banget.
Tigaperempat bagian dihabiskan dengan gak jelas, film monoton dan gak ada world-building. Di babak ketigalah, baru eksplorasi itu mulai dilakukan. Kita melihat dunia yang lebih besar, dengan pengenalan lebih banyak karakter yang unik dan menarik. Stake yang meningkat. Dan kemudian film habis, diniatkan seperti sedang ‘bersambung’. Keseluruhan babak tiga film tadi itu terasa lebih pantas sebagai awal masuk babak kedua – atau setidaknya ada di midpoint. Supaya build up di sini bisa tuntas di babak ketiga nanti. Tapi dalam film ini strukturnya tidak seperti itu. Babak satunya terasa distretch – kita melihat adegan yang itu-itu melulu dan development relationship karakter yang cringe, dan ketika sudah masuk babak baru, film habis. Rasanya tu seperti babak ketiga film ini adanya nanti di sekuel. Ya, kurang lebih film ini bentukannya miriplah sama Benyamin Biang Kerok yang sukses jadi film paling mengecewakanku di tahun 2018 dulu.
 
 
Film-film adaptasi video game dapat reputasi buruk ya karena pembuat film yang salah nerjemahin dunia seperti Anderson di sini. Pembuat film yang udah salah, tapi asik sendiri di zona nyamannya, dan kayak gak mau berubah dan gak peduli ama kritikan. Padahal sedari Resident Evil, persoalan cut-cut cepat dan editing frantic sudah selalu jadi masalah langganan film-film karyanya. Di titik ini, setelah menonton film yang sama sekali tidak menghibur dan hanya bikin capek ini, aku cuma bisa berharap film-film adaptasi video game yang udah diset menyusul rilis di tahun ini dibuat oleh orang yang benar-benar punya cerita dan gaya dan kecintaan terhadap game dan film itu sendiri.
The Palace of Wisdom gives 1 out of 10 gold stars for MONSTER HUNTER
 
 
 
 

 

That’s all we have for now.
Apakah menurut kalian game-game modern – yang cutscene-nya bahkan bisa sangat sinematik – masih perlu untuk diadaptasi menjadi film?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

JUDAS AND THE BLACK MESSIAH Review

“The most powerful weapon on Earth is the human soul on fire”
 

 
 
Pidato “Dream” Martin Luther King memang membawa pengaruh besar bagi pergerakan Civil Rights. Bibit-bibit perjuangan mulai tumbuh. Dan Amerika, menyandang racist status quo dengan bangga, terus memonitor gerakan-gerakan kulit hitam. That’s when they ‘found’ Fred Hampton. Messiah – Penyelamat – bagi kaum-kaum marginal, yang menggerakkan massa lewat berbagai program menghimpun persatuan dan protes demi protes antikekerasan. FBI sudah siap untuk mengangkat senjata, membasmi Partai Black Panther tempat Hampton bernaung di Chicago. Tapi tidak sebelum mereka membuat cerita ini benar-benar seperti kisah dalam Alkitab. Senjata rahasia FBI untuk melumpuhkan Black Panther adalah dengan menyusupkan seorang Judas – seorang pengkhianat – ke dalam barisan Fred Hampton.
Judas and the Black Messiah garapan Shaka King akan membawa kita melihat secara personal apa yang sebenarnya terjadi pada malam penyergapan dan pembunuhan Fred Hampton. Karena film ini akan memposisikan kita mengikuti Bill O’Neal, pemuda kulit hitam sekuriti khusus kepercayaan Hampton dan Black Panther, but also pemuda kulit hitam yang jadi informan FBI.

“I’m becom-, I’m becom-, I’m becomiiing
Judas in, Judas in my mind”

 
Dalam interogasi pertamanya dengan agen FBI yang bakal mempekerjakannya, kita mendengar sudut pandang menarik dari Bill O’Neal. Bahwa menurutnya badge atau lencana pengenal lebih menakutkan daripada pistol. Karena badge mengisyaratkan seseorang adalah bagian dari sesuatu yang besar, bahwa ada army yang siap mendukung di belakang mereka. Interogasi yang menjadi bagian dari pembuka film ini boleh jadi diniatkan untuk memperlihatkan alasan kenapa O’Neal sampai bisa atau mau jadi penyusup untuk FBI melawan gerakan rekan-rekan senasib seperjuangannya sendiri. Namun, kalimat yang O’Neal sebutkan perihal ‘badge dibandingkan pistol’ tersebutlah yang dengan sukses mengeset karakternya. Membuat kita bisa mengerti apa yang lebih bervalue bagi O’Neal, dan ini akan berdampak kepada pilihan-pilihannya nanti. Serta menambah bobot emosional dan drama ketika dia melihat dan mengexperience langsung ‘didikan’ Hampton. Dan ini semua itu bukan dilakukan oleh film untuk nge-justify his action later, melainkan untuk menanamkan konflik moral bagi tokohnya.
Karena lencana itu ternyata bukanlah ‘lambang’ polisi atau FBI. O’Neal salah. Perjuangan Hampton dan pemuda-pemuda kulit hitam lain bukanlah perjuangan bersenjata. Sure, mereka punya pistol dan senapan untuk membela diri, tapi setelah benar-benar berada di antara Black Panther, O’Neal bisa melihat bahwa Hampton – sebagaimana Martin Luther King – menggagas gerakan nonviolent.
Setiap kali ada film biografi dari sejarah atau dari peristiwa yang beneran terjadi ini pasti selalu ngeri. Ngeri karena yang dipotret oleh film tersebut, yang tercatat sebagai peristiwa atau masalah lampau, ternyata masih relevan – dan untuk kasus film ini – tampaknya masih hangat terjadi di masa kita menontonnya sekarang. Kita bisa relate karena cerita perjuangan para pahlawan kita juga bicara soal musuh paling mematikan itu ya, musuh dalam selimut. Pengkhianat dari orang sendiri. Sedangkan bagi orang Amerika tentu saja film ini masih relevan sekali dari segi masalah rasisme dan kesemena-menaan aparat. Hukum yang berlaku keras di depan nonkulit putih doang. Belum lama ini kita toh melihat serbuan Kapitol oleh kulit putih, tapi tidak satupun pelakunya mendapat hukuman yang keras. Banyak yang jadi berandai-andai kira-kira apa yang terjadi kalo para penerobos adalah kulit hitam.

Yang jadi sorotan dalam film ini adalah betapa cepatnya polisi mengangkat senjata dan bersiap-siap akan kemungkinan terburuk terhadap perjuangan kulit hitam, sekalipun perjuangan tersebut tidak benar-benar melibatkan tindak kekerasan. Pernah lihat foto polisi menodongkan senjata api ke wajah seorang bocah? Nah, bagaimana bisa polisi dan aparat yang bersenjata takut dan curiga terhadap warga yang tidak pegang apa-apa. Dari perjuangan Hampton, film ini menyugestikan bahwa semangat perjuangan orang yang merasa tertindas itu memang lebih kuat dan mematikan. Pistol bukan apa-apa dihadapannya. Makanya polisi pada ketakutan.

 
O’Neal kini bisa melihat the invisible badge of honor yang ‘dikenakan’ oleh Hampton, orang itu punya bala pengikut yang besar sekali jumlahnya. O’Neal melihat Hampton membuat gerakan pelangi; Hampton berjuang untuk mempersatukan kaum-kaum marginal tanpa peduli ras mereka apa. Dia berusaha menggaet penjuang Latino, bahkan orang-orang kulit putih yang dipandang sebelah mata oleh rezim pemerintah.
Frasa ‘O’Neal melihat’ akan terus berulang jika aku menceritakan seluruh babak kedua film. Karena memang begitulah penceritaan film ini dilakukan. Lewat mata O’Neal, karakter Fred Hampton yang kharismatik itu diperlihatkan kepada kita. Penampilan akting Daniel Kaluuya menjadikan karakter Hampton bahkan terasa lebih besar lagi. Setiap pidato yang ia bawakan, Kaluuya selalu membawakannya dengan lantang dan berapi-api. Film meluangkan waktu untuk memperlihatkan soal Hampton yang selalu lumayan gugup saat latihan pidato di kamar, dia gak menyadari bahwa dirinya seorang penyair – ada romance relationship yang terflesh out sehubungan dengan ini – yang sekaligus juga memperlihatkan kepada kita betapa people-person nya si Hampton. Kharisma itu melimpah ruah lewat penampilan Kaluuya. Ketika dia bicara, kita rasanya ikut terangguk-angguk mengamini apa yang ia katakan. Tokoh ini disebut oleh O’Neal sebagai orang yang sanggup menjual garam kepada siput, dan kita sama-sama tahu betapa mematikannya garam bagi siput. Persona Hampton – sebagai sosok Messiah – di sini memang perlu sekali untuk dibangun, supaya nanti dramatic irony yang dihasilkan juga semakin gede. Akibatnya tentu saja adegan pembunuhan dan tindakan atau pilihan yang diambil O’Neal terhadap si Messiah bakal terasa semakin emosional. Sutradara Shaka King menggenjot banget di elemen ini. So much, sehingga malah jadi masalah tersendiri.
Si Judas, yang jadi protagonis utama cerita, jadi kalah menarik. Karakter O’Neal yang diperankan dengan tak kalah meyakinkan oleh LaKeith Stanfield kurang tergali. Segala konflik moral dan latar belakang yang sudah diniatkan di awal tadi, belakangan jadi jarang dan tidak pernah benar-benar digali oleh film. Tindakan mata-mata yang ia lakukan tidak digambarkan film sebagai sesuatu yang benar-benar memakan dirinya dari dalam. Guilt itu gak kuat diperlihatkan. Ada momen-momen ketika O’Neal tampak mulai ragu dan dia udah gak mau lagi jadi mata-mata FBI, tapi kemudian dengan ‘gampangnya’ permasalahan tersebut dienyahkan. Kita melihat dia makan steak ditraktir oleh si FBI. Beres. Film tidak pernah clear soal apakah memang soal uang, atau bagaimana tepatnya moral O’Neal melihat perbuatannya sendiri. Film tidak menyelam lebih jauh ke karakter ini. Sebagian besar waktu dihabiskan untuk membangun Fred Hampton. Terkait itu juga, relasi O’Neal dengan Hampton pun kurang terflesh-out. O’Neal masuk Black Panther, naik pangkat dari supir ke kepala keamanan, diperlihatkan begitu saja. Kita tidak pernah lihat prosesnya. Kita tidak pernah melihat interaksi personal antara O’Neal dengan Hampton. Bagaimana dia bisa menjadi begitu terpercaya di mata Sang Messiah. Sempat ada momen ketika O’Neal dicurigai oleh anggota Black Panther yang lain, tapi momen itu pun ditampakkan dengan ringan dan ‘gampang’ usai, seperti momen-momen kemelut O’Neal yang lain.

Hayo yang kecele Black Panthernya bukan Wakanda angkat tangaan

 
Beberapa kali film ini menyelipkan adegan wawancara asli antara O’Neal beneran dengan televisi. Dan mendengar beberapa hal yang tokoh itu ucapkan, membuatku jadi bilang “Hey I wanna watch that part!” Seperti soal dia menyebut dia enggak dendam sama agen FBI yang menyuruhnya jadi mata-mata; malah ia menganggap agen itu sebagai mentor. Bagian-bagian yang memperlihatkan adegan seperti itulah yang harusnya juga dimuat oleh film ini. O’Neal dengan agen FBI dalam film ini, tidak digali relasi mereka. Tidak kelihatan O’Neal punya respek khusus terhadap orang tersebut. Film ini harusnya bisa bicara banyak tentang dilema moral O’Neal, terlebih karena kita tahu apa yang terjadi kepadanya (beberapa minggu setelah wawancara televisi yang rekamannya diperlihatkan di film ini, O’Neal bunuh diri). Akan tetapi, menonton film ini, tidak terasa kegundahan dan beratnya pilihan-pilihan tersebut bagi O’Neal. Penyesalan ataupun kegelisahannya hanya dipampang di permukaan. Aku enggak nonton wawancara utuh yang dicuplik film ini, tapi kita semua tahu jika wawancara tersebut ternyata lebih menarik dan emosional, maka tentu ada masalah yang serius dari naskah Judas and the Black Messiah ini.
 
 
 
Dalam ngebuild sosok Hampton, dan membangun emosi soal kejadian naas yang jadi puncak cerita, film ini memang piawai sekali. Menontonnya membuat kita merasa menyayangkan semua yang harus terjadi. Membuat kita berpikir, dan merasa ngeri betapa sedikitnya hal berubah; dulu dengan sekarang. Drama ini superb dalam menceritakan kejadian, tapi sedikit sekali bermain dalam lapisan karakter yang lebih mendalam. Yakni lapisan konflik moral. Sudut pandang dan konflik seorang Judas itu tidak pernah dibahas mendalam karena lebih banyak membahas sosok Messiah-nya. Seharusnya film ini bisa bicara lebih banyak tentang relasi antara kedua sosok ini.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for JUDAS AND THE BLACK MESSIAH.
 
 
 
 

 

That’s all we have for now.
Kenapa malah kelihatannya polisi yang takut sama warga padahal yang punya pistol justru mereka? Bagaimana kalian menafsirkan perilaku kasar polisi yang rasis?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

MALCOLM & MARIE Review

“Don’t take people for granted”
 

 
Bertengkar itu penyebabnya bukan cuma persoalan gede. Lebih seringnya sih, kita mendengar pasangan berantem hanya gara-gara masalah sepele. Message yang cuma di-read, kaki injekan motor yang turun sebelah, atau kalo di sinetron-sinetron jadul; noda merah di sapu tangan papa. “Ini bekas lipstik siapa, Pah!?!” Di dunia percintaan itu gak ada yang namanya api kecil jadi teman api besar jadi lawan. Yang ada malah api-api kecil akan perlahan menjadi semakin besar. Malcolm dan Marie juga ribut awalnya karena hal kecil. Malam itu malam premier film karya Malcolm. Namun dalam speech-nya, Malcolm lupa menyematkan ucapan terima kasih kepada Marie, sang pacar. Di rumah, Marie menuntut penjelasan kenapa Malcolm bisa lupa. Dan ributlah mereka. Dari ucapan terima-kasih, bergulir membuka ke lapisan-lapisan permasalahan lain dalam kehidupan percintaan, profesional, dan personal mereka.
Ya, film ini isinya orang ribut. Aku pastilah sudah cabut dari rumah itu kalo ini adalah pertengkaran biasa, karena memang paling malesin dengerin orang asing berdebat. Tapi untuk Malcolm dan Marie aku rela tinggal. Aku ingin tinggal dan mendengar. Karena yang mereka bicarakan sembari bertengkar itu adalah persoalan seputar masalah kritik dalam perfilman

Bersiap-siap menikmati ketubiran.. Sluurrpp!

 
Aspek ‘berantem’nya sendiri memang annoying. Di sini Sam Levinson bekerja rangkap sebagai sutradara sekaligus penulis naskahnya. Dan dia memastikan cerita ini benar-benar terdeliver kemelutnya kepada kita. Berantem dengan pasangan is always be an unpleasant thing. Terutama ketika kita enggak tahu persis apa masalah si pasangan. Sebelum membuat kita mengenal mendalam kedua karakternya, Levinson membuat memperkenalkan kita lebih dahulu kepada seting dan suasananya. Sehingga supaya kita bisa merasa sama gak nyamannya, film ini dibuat oleh Levinson dengan sangat mengukung. Seluruh kejadian berada di dalam satu lokasi, yakni sebuah rumah (yang disediakan oleh PH untuk mereka, kata Malcolm dengan jumawa). Yang ceritanya berlangsung di sepertiga malam itu saja.
Sudah lewat tengah malam saat kedua karakter tiba dari acara premier. Malcolm excited mengenang sambutan yang ia dapat di sana. Dia lebih menggelinjang lagi saat memperkirakan nanti bakal dapat kritikan seperti apa dari para kritikus dan jurnalis. Sementara Marie menyiapkan pasta untuk makan malam. Sesekali perempuan muda itu berhenti untuk merokok sambil memandangi pacarnya tersebut uring-uringan sendiri membahas kritik yang bahkan belum terbit – kritik yang hanya ada di dalam kepala dan dugaannya sendiri. Kubilang, Levinson berhasil menciptakan set up film ini; dia berhasil menciptakan karakter dan permasalahan yang menarik bagi penonton (karena of course orang yang menonton film ini ‘peduli’ dengan persoalan film dan kritik itu sendiri). Di bagian awal ini, Levinson punya sesuatu yang spesial yang mengalihkan kita dari betapa canggung dan mengukungnya suasana; dari api kecil yang sudah ada di sana. Pertengkaran mereka yang pertama pun – ketika Marie mulai bertanya kenapa cuma ia seorang yang tidak disebut dalam rangkaian ucapan terima kasih Malcolm – diadegankan menarik. Mereka berdebat soal itu, Malcolm berusaha mengecilkan diri Marie, sambil makan pasta bikinan Marie!
Pertengkaran-pertengkaran yang menyusul sesudah ini, repetitif. Tidak ada lagi pengadeganan yang menarik. Levinson sudah fokus ke buah pikiran para karakter; ke sudut pandang mereka yang saling berkontras. Sehingga nonton ini mulai melelahkan. Adegannya selalu mereka mesra, lalu tiba-tiba Marie mengungkit sesuatu, dan Malcolm kembali masuk ke mode ngeles ala cowok brengsek tak-tahu terima kasih andalannya. Ketika Malcolm menjadi unbearable seperti demikian, Marie jadi terasa annoying karena tampak selalu cari-cari masalah. Di bagian tengah film inilah aku merasa menonton ini jadi pekerjaan atau tugas yang sangat menyiksa. Kurang lebih sama seperti ketika di dalam kelas sejarah matamu mengantuk tapi kau tidak bisa tidur karena yang diceritakan dengan suara keras dan nada monoton oleh gurumu adalah peristiwa yang menarik. Film ini harusnya punya adegan yang lebih variatif dan paralel dengan pertengkaran. Sehingga film ini enggak hanya punya ‘omongan’. Film yang di satu lokasi tentunya enggak mesti menonjolkan ‘tell’ ketimbang ‘show’. Meskipun performa Zendaya dan John David Washington dalam ‘tell’ itu memang meyakinkan. Meskipun inti pertengkaran mereka sungguh manusiawi dan relatable dan ngajari banyak tentang rasa terima kasih kita terhadap orang-orang di sekitar. We need something that visually engaging too.
Serius, jika bukan karena obrolan tentang kritik filmnya, aku pastilah sudah undur diri alias tidak melanjutkan nonton film ini. Untuk mencapai inti permasalah kedua karakter, film ini menyiapkan lapisan profesional yakni lapisan Malcolm sebagai sutradara. Dia membuat ‘black film’ dan dia kesel teramat sangat sama review-review yang menonjolkan isu warna kulit ketimbang fokus kepada art yang ia bikin. Levinson lewat Malcolm seperti menyerang media dan para pengulas yang memang selalu menonjolkan ‘agenda’ itu dalam film-film seperti yang dibuat Malcolm. Dan kupikir ini juga sebabnya kenapa film Malcolm & Marie ini sendiri mendapat cukup banyak rating dan ulasan yang negatif. People get offended oleh sikap dan perkataan Malcolm. Padahal jika kita lihat dari konteksnya, Levinson tidak mempersembahkan adegan tersebut sebagai sikapnya terhadap film dan kritik. Karena adegan itu adalah monolog sudut pandang Malcolm. Film ini memang banyak menggunakan monolog sebagai bentuk karakternya berdebat (bayangkan game RPG ketika kita bergantian menyerang dengan musuh, seperti saat kita ngeset magic dan skill untuk menyerang itulah fungsi bagian monolog dalam film ini) Dan di adegan ini Malcolm sedang berdebat dengan si pengkritik lewat tulisannya. Yang merupakan perpanjangan dari debat Malcolm dengan Marie, karena Marie di sini diparalelkan dengan kritikus film. Sebagai pihak yang menunjukkan cinta dan kepedulian dengan menegur dan mengkonfrontasikan siapa sebenarnya Malcolm menurut mereka.
Jadi adegan tersebut jelas bukan seperti yang sudah salah dicuplik oleh warga-warga Twitter, yang dengan bangga memperlihatkan screenshot Marie tersenyum beserta caption tulisan subtitle yang mengatakan bahwasanya sebuah film enggak harus punya pesan. Padahal kata-kata itu malah bukan kata-kata Marie, melainkan Malcolm. Marie di situ tersenyum ‘mencemooh’ pendapat Malcom. Karena pendapatnya itu bukanlah kebenaran mutlak, melainkan kepercayaan personal karakter Malcolm yang melihat itu sebagai serangan atas pribadinya, padahal kritik yang ia bahas itu sesungguhnya memuji filmnya. Dan ini berkaitan dengan pertanyaan besar Marie di awal. Berkaitan dengan gagasan film soal berterima kasih dan mengenali andil atau peran seseorang yang tidak bisa lepas dari kita sendiri.

Everything happens for a reason. Apa yang kita lakukan tidak bermakna sama bagi orang lain. Oleh karena itulah maka kita harus mengenali mereka satu persatu. Begitulah salah satu cara kita menunjukkan terima kasih. Dengan terbuka (bagi misteri, kalo kata Marie) menerima yang diberikan.

Adegan ini loh yang belakangan sering dicuplik tanpa membawa serta konteksnya

 
Menggunakan monolog panjang sebagai bentuk berdebat tampaknya telah menjadi pedang bermata dua bagi film ini. Di satu sisi monolog tersebut memberikan ruang kepada kedua aktor untuk bersinar. Washington dan Zendaya dapat kesempatan untuk nunjukin range dan permainan ekspresi; ketangguhan performa akting mereka. Namun di sisi lain juga ternyata membuat kita terlepas dari debat itu sendiri. Alih-alih benturan dua sudut pandang, kita malah melihatnya lebih sebagai bincang-bincang dari satu kepala. Buktinya, banyak dari kita yang salah mengutip seperti itu tadi.
Satu lagi yang seperti pedang bermata dua dilakukan oleh film ini adalah pilihannya menggunakan visual hitam-putih. Pilihan ini terlihat seperti jawaban film untuk pertanyaan bagaimana menghasilkan visual yang unik sehingga menarik dan bikin penonton betah. Tapi hasilnya gak benar-benar engaging. Malah seringkali tampak pretentious. Film tidak pernah berhasil mencuatkan alasan kuat kenapa film ini harus hitam putih. Pandangan karakter tokohnya toh jelas tidak hitam-putih. Periode ceritanya juga enggak jadul, malah film ini menggunakan referensi kekinian. Sehingga untuk menyasar kesan timeless atau periode antah-berantah, warna hitam-putih tersebut juga tidak tampak berfungsi. Namun kalo fungsinya supaya bikin film tampah angker untuk ditonton lagi, sih, aku bisa bilang cukup berhasil.
 
 
Hari Valentine sudah dekat, dan jika kalian dan pasangan cukup ‘tahan banting’, maka film ini bisa dijadikan pilihan. Karena in the end, film ini bisa ngajarin soal menghargai peran dan kehadiran pasangan di dalam hidup kita. Hanya saja film ini memang lebih enak untuk didengarkan, daripada untuk dilihat. Bukan karena visualnya jelek, melainkan karena enggak banyak bermain di visual. Adegannya repetitif, dan secara keseluruhan penceritaan film ini lebih kuat sebagai ‘telling’ ketimbang ‘showing’.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for MALCOLM & MARIE.
 
 
 
 

 

That’s all we have for now.
Apakah menurut kalian film harus punya pesan? 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

DON’T TELL A SOUL Review

“Every man is guilty of all the good he did not do.”
 

 
 
Kakak beradik Matt dan Joey punya rahasia besar. Mereka baru saja merampok uang sejumlah lebih dari sepuluh ribu dolar dari rumah yang sedang dikosongkan sementara oleh pemiliknya. Dan dalam pelarian mereka dari seseorang berseragam sekuriti yang memergoki, Matt dan Joey tanpa sengaja menyebabkan security yang bernama Hamby itu jatuh ke lubang sumur yang tak-terpakai. “Jangan bilang siapa-siapa!” perintah Matt kepada adiknya. Matt bermaksud membiarkan satu-satunya saksi mata perbuatan mereka terperangkap di dalam sumur tersebut. Matt sama sekali tidak paham bahwa menyimpan rahasia ternyata bukan apa-apa dibandingkan dengan menyimpan perasaan bersalah. Adiknya, Joey, justru semakin hari semakin merasa bertanggungjawab dan peduli terhadap Hamby yang terus memohon-mohon untuk segera diselamatkan (dan janji untuk tutup mulut soal perbuatan kriminal mereka) dari dasar sumur.
Dan karena larangan “Jangan bilang siapa-siapa” itu hanya ditujukan oleh Matt kepada Joey, maka di sini aku mau bilang kepada kalian semua bahwa Don’t Tell a Soul ini adalah drama thriller yang menyimpan banyak kejutan sehingga menyenangkan dan seru untuk ditonton!

Film ini mengingatkanku pada almarhum Kakek yang dulu suka cerita tentang Kancil menipu Harimau masuk ke dalam lubang

 
 
Tahun lalu kita dapat Onward (2020) yang bicara tentang hubungan antara dua saudara laki-laki sehubungannya dengan absennya figur ayah dalam sebagian besar hidup mereka sebagai pusat cerita. Kini, sutradara merangkap penulis naskah Alex McAulay memberikan Don’t Tell a Soul kepada kita. Film ini punya center cerita yang sama dengan animasi Pixar tadi, tapi dengan nuansa yang lebih kelam. Film ini menampilkan tindak-tindak kriminal, menunjukkan hubungan kakak adik dalam satu keluarga yang meningkat intensitasnya menjadi penuh mental-abuse dan kekerasan fisik. Ceritanya akan mengeksplorasi sibling rivalry dalam wujud-wujud paling mengerikan. Sehingga yang kita tonton ini terasa kasar dan kadang-kadang seperti bener-bener diset untuk jadi tragedi, tapi walaupun begitu ada pengembangan karakter menarik – ada interaksi menarik – untuk kita simak. Karakter dan sikap dan pilihan mereka inilah yang bikin film ini segar dan.. yea, unpredictable.
Matt dan Joey udah gak punya ayah. Tapi mereka gak sedih, mereka justru somewhat happy karena diinfokan dengan subtil (sebagai paparan di latar belakang) bahwa ayah mereka ini perangainya buruk. Abusive. Untuk mengurus ibu mereka yang sakit-sakitan-lah maka Matt memerintahkan Joey untuk membantunya mencuri uang. Matt berpikir kini dialah yang jadi kepala keluarga,  dan Matt (tentu saja karena ‘terbentuk’ oleh sikap dan didikan ayahnya) memerintah dengan tangan besi dan knows no boundaries. Ini menciptakan tensi emosional untuk kita santap. Emosional dari betapa kontrasnya Matt dengan Joey. Joey ini anaknya lebih ‘pendiam’ – he still is a good kid. Anak polos yang gak punya banyak pilihan selain ngikutin apa yang diperintahkan oleh sang abang. Karena bagaimanapun juga, abangnya bersikeras bahwa apapun yang mereka lakukan itu sesungguhnya adalah demi kebaikan dan kesehatan ibu mereka.
Film tidak menghabiskan banyak waktu untuk membuat Matt tampak seperti “sebenarnya baik cuma caranya salah aja”. Sudut pandang kita actually dijejerkan kepada sudut pandang Joey. Aktor muda Jack Dylan Grazer menghidupkan emosi dan psikologis karakter ini dengan cukup pas. Grazer setidaknya paham bahwa Joey diniatkan untuk menimbun marah dan kesalnya kepada Matt seiring durasi berjalan. Di paruh awal Grazer membatasi tingkah laku dan gerakgerik karakternya ini, karena di paruh awal itu Joey memang masih menimbang dan belum berani. Ketika Joey bertindak, tindakannya itu masih berbalut rasa ketakutan, dan masih merasa harus mematuhi abangnya. Kita dapat melihat jelas perubahan psikologis Joey dan perubahan pandangannya terhadap si abang. Bukan karena memang film begitu visual dalam menampilkan kesemena-menaan dan ketoxican Matt (Fionn Whitehead sukses jadikan karakternya ngeselin), tapi juga karena kita merasakan pemberontakan dan choice itu terbentuk bertahap dalam diri dan perilaku Joey.
Dan pemicu perubahan Joey itu yang membuat film ini menarik. Don’t Tell a Soul actually menjadikan ‘perasaan bersalah’ sebagai benang merah yang menyatukan karakter-karakternya. Each of them akan merasakan hal tersebut dan dijadikan titik-balik atau puncak pembelajaran dari para karakter. Bagi Joey, perasaan bersalah itu yang jadi ‘main force’ yang menggerakkan aksinya. Perasaan bersalah Joey yang menghantarkan kita kepada satu lagi relasi menarik yang dipunya oleh film ini. Yakni hubungan yang terjalin antara Joey dengan Hamby.

Menyimpan perbuatan buruk sebagai rahasia gelap ternyata bukan apa-apa jika dibandingkan dengan menyimpan rasa bersalah kita terhadap perbuatan baik yang tidak kita lakukan. Tidak menolong Hamby terus menghantui Joey. Yang memakan ketenangannya dari dalam bukanlah soal perbuatan mencuri yang ketahuan, melainkan perihal seseorang yang bisa saja terluka dan butuh pertolongan yang tidak mereka tolong.

 
Sayangnya, aku gak etis kalo bicara banyak soal hubungan Joey dengan Hamby karena ini actually ada rahasia yang disimpan oleh cerita. Yang kalo dibeberkan, hilanglah sudah kejutan demi kejutan yang disiapkan dan jadi merusak experience menonton. Bakal spoiler banget lah pokoknya. Jadi aku akan coba to keep it light
Joey yang merasa bersalah kerap kembali ke lubang untuk mengirimkan makanan dan minuman kepada Hamby. Salah satu barang yang ia jatuhkan ke bawah adalah, walky talky. Dan dari sini hubungan mereka dimulai. Menariknya itu adalah, while kita bisa merasakan nada tipu muslihat yang dihembuskan oleh Rainn Wilson di balik kata-kata positif karakternya, perhatian kita tetap terpusat kepada Joey. Yang mengajak Hamby bicara dengan nada yang seolah seperti menemukan teman bermain yang baru. Seharusnya film ini punya durasi yang sedikit lebih panjang lagi supaya development relationship ini bisa berjalan dengan benar-benar bertahap. Bisa kelihatan lebih jelas progres dari Joey yang tadinya tergerak oleh rasa bersalah menjadi terkadang seperti menganggap Hamby teman, terkadang sebagai pengganti abang, malah terkadang seperti pengganti sosok sang Ayah. Di paruh kedua, akan ada revealing soal Hamby, yang meng-escalate relationship Joey dengan Hamby ke arah yang sama sekali tidak tertebak. Dan ini fun buatku. Aku sadar keputusan tindakan karakter itu datang dengan masih terlalu cepat – film benar-benar butuh waktu untuk membuatnya jadi lebih matang lagi – tapi kejadian-kejadian yang disuguhkan benar-benar caught me by surprise.

Sebenarnya justru Joey-lah yang jatuh ke lubang. Lubang rasa bersalah.

 
Kalo kalian suka nulis cerita, atau sekadar ngayalin cerita, pasti pernah ngerasain serunya membayangkan berbagai kemungkinan yang terjadi sebagai kelanjutan cerita. Kemungkinan yang terpikirkan, bakal selalu lebih liar dan tak-terduga dibandingkan kemungkinan sebelumnya. Nah, film ini, di bagian menjelang terakhirnya, persisnya tuh kayak mengambil semua kemungkinan cerita dan menyatukannya. Konteks, tema sibling rivalry, tema perasaan bersalah, semua masih ada sebagai tulang punggung cerita, tapi kejadiannya benar-benar menjadi berkembang liar. Seperti ngeliat Big Show melakukan semua pertukaran heel-dan-face-nya dalam satu malam.
Semuanya itu boleh saja seru dan fun – film ini punya selera humor yang cukup dark, tapi sejatinya tidak menutup mata kita dari elemen penting yang jadi tidak bisa hadir oleh begitu singkatnya waktu untuk membuat semua pilihan dan kejadian unexpected itu terjadi. Yakni elemen depth dari konflik moral karakter. Suspens yang sudah cukup terbendung di paruh pertama, menjadi terasa lenyap dan mengempis. Film jadi fokus ke kejadian demi kejadian. Aku minta maaf karena harus menggunakan analogi gulat sekali lagi; adegan akhir itu ya rasanya seperti adegan dalam gulat ketika satu persatu superstar muncul dan menyerang dengan finisher mereka. Seru, tapi kita jadi just don’t care anymore. Kita teralihkan dari karakter, dari cerita yang tadinya terbangun. Simpelnya adalah, apapun yang terjadi kita bakal senang karena seru dan tak-tertebak. Kita gak peduli untuk bersimpati lagi kepada karakternya. Dan untuk cerita film ini, hal tersebut jadi tak lagi in-line dengan yang sudah diset di awal. Perjuangan anggota keluarganya, konflik di dalam mereka, semuanya jadi tak teperhatikan lagi.
 
 
Seperti Charlie Chaplin, musuh utama film ini adalah waktu. Aku percaya kalo diberikan waktu lebih banyak lagi – jika dibikin dengan durasi yang lebih panjang lagi – elemen kejutan dan berbagai komplikasi adegan di paruh akhir bisa lebih ter-flesh out. Memungkinkan untuk tetap terjadi tapi kali ini dengan membuat perhatian kita tak terlepas dari konflik karakter; moral dan pilihan mereka. Kalo soal seru sih, ya film ini bakal menghibur berkat itu. Kupikir film ini bakal punya team-up karakter yang sangat unik – bahkan, hero di akhirnya juga out of the box, dan juga sekaligus berani. Untuk kondisinya yang sekarang, kita bisa bilang film ini masih terlalu liar for it’s own good.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for DON’T TELL A SOUL.
 
 
 
 

 

That’s all we have for now.
Pernahkah kalian memendam rasa bersalah? How did you manage to climb out of your guilty conscience?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

EARWIG AND THE WITCH Review

“If you want something done, do it yourself”
 

 
Musik adalah magic. Untuk banyak orang, musik merupakan obat personal. Nada-nada yang dapat membawa beragam emosi dan mampu merepresentasikan banyak perasaan. Seperti sihir, musik bisa mempengaruhi orang tanpa-pandang bulu. Bahasanya adalah bahasa jiwa, sehingga menyentuh tanpa-limitasi. Film animasi terbaru dari Studio Ghibli berjudul Earwig and the Witch ini literally memasukkan musik dan sihir sebagai tema ceritanya. Ya, kalian gak salah membaca. Film ini memang tidak terlihat seperti animasi Ghibli yang biasa, dan itu karena sutradara Goro Miyazaki bereksperimen dengan menyulap animasi kali ini ke dalam efek komputer sepenuhnya. Jadi, dengan begitu kita bisa bilang ada tiga hal-ajaib yang bekerja membentuk film ini. Keajaiban musik, keajaiban komputer, dan keajaiban sihir/fantasi itu sendiri. But, why oh why, saat ditonton film ini malah terasa jauh dari keajaiban film-film Studio Ghibli yang biasa?
Goro Miyazaki seperti gagal memenuhi janji akan keajaiban-keajaiban yang sudah disiapkan. Seperti pada cerita, misalnya. Set up film ini sudah demikian menarik. Ini adalah kisah seorang anak perempuan di panti asuhan yang tidak mengetahui bahwa dirinya adalah anak seorang penyihir. Adegan opening film ini mempertontonkan aksi sang ibu – penyihir berambut merah – di atas sepeda motor, melaju karena dikejar-kejar oleh sebuah mobil kuning. Si Ibu lantas menyihir sehelai rambut-merahnya menjadi cacing, yang dilemparkan ke kap depan mobil yang tengah dalam proses menunjukkan gerigi-gerigi yang siap menerkam. It is magical and fantastic. Ketika si penyihir menitipkan bayi dalam gendongannya di depan sebuah panti asuhan, kita excited untuk melihat ke depannya bakal seperti apa. What kind of magic would the baby girl had? Petualangan seperti apa yang bakal anak itu lewati?

Akankah nanti dia punya musuh botak seperti ular dan panti asuhannya secretly adalah sekolah sihir?

 
Ternyata, enggak ada lagi petualangan seheboh itu kita jumpai hingga akhir cerita. Setting cerita film ini berpindah dari panti asuhan ke rumah; settingnya actually menyempit. Jadi ceritanya, beberapa tahun kemudian, si anak (diberi nama Earwig oleh sang ibu, tapi diganti jadi Erica Wigg oleh matron panti) diadopsi oleh pasangan yang tampak aneh dan nyeremin. Erica dibawa tinggal di rumah mereka. Sebenarnya masih bisa menarik, karena pasangan yang mengadopsi Erica ternyata bukanlah pasangan. Mereka bahkan bukan ‘manusia’ biasa. Mereka adalah dua orang penyihir yang tinggal serumah. Harapanku di titik itu masih menyala. Kupikir rumah tersebut bakal jadi tempat fantastis dengan segala sihir dan keanehannya. Kupikir rumah tersebut akan jadi panggung bagi Erica untuk bertualang, mengeksplorasi kekuatan sihirnya sendiri. Tapi sekali lagi, film ini mengayunkan ekspektasi kita, tanpa menyambutnya. Ekspektasi kita jatuh berdebam di tanah!
Earwig and the Witch actually adalah salah satu film panjang terpendek dari Studio Ghibli. It’s clocked at 1 hour and 22 minutes. Dan sekarang aku jadi menyadari bahwa satu-satunya keajaiban dari film ini adalah membuat durasi sependek itu menjadi terasa lama. Film ini di tengahnya diisi oleh plot poin yang repetitif dan dipanjang-panjangain, baru kemudian kita sampai di bagian akhir yang mulai menarik, dan film ini udahan. Berhenti tepat ketika apa yang tampak seperti plot poin berikutnya datang. Sebagian besar film dihabiskan di ruangan, dapur penyihir; tempat Erica disuruh-suruh nyiapin bahan-bahan (motongin kaki kodok, menyilet kulit ular, atau sesekali ke halaman belakang motongin akar-akar herb). Jika bukan karena si kucing yang bisa bicara dan pintu yang menghilang, aku bisa-bisa lupa kalo yang kutonton ini bukan film Cinderella yang Cinderellanya tengil abis.
Ya, percikan menarik film ini memang hanya datang dari Erica itu sendiri. Yang karakternya dibikin pinter tapi bandel. Desain Erica aja dibikin mencuat dari anak-anak lain; dia punya dua ikat rambut yang berdiri seperti antena serangga (mungkin ini salah satu alasan kenapa dia diberi nama sama seperti nama serangga). Erica benci diadopsi dan dia berusaha untuk enggak terpilih setiap kali ada keluarga yang datang ke panti. Alasan Erica gak suka diadopsi bukan karena dia gak mau ninggalin teman-teman dan sayang sama semua orang di panti. Melainkan karena baginya hidup di panti itu enak, karena banyak yang bisa disuruh-suruh. Dia mendapatkan pelayanan dari orang-orang, dikasih makanan enak (dia punya pie kesukaan), dan bebas bermain-main sepanjang waktu. Kita melihat Erica melanggar jam malam dan kemudian ngeles sehingga membuatnya semakin disayang oleh matron panti. Erica ini manipulatif banget. Dia punya sahabat bernama Custard, yang fungsinya untuk ia suruh-suruh. Erica bahkan gak pamit sama si sahabat begitu dia diadopsi. Karakter Erica penuh oleh flaw, dan ini membuatnya menarik. Dia cerdik, berani, mandiri, tapi ia menggunakan semua itu untuk memastikan dirinya mendapat pelayanan maksimal. Maka, ketika dia diadopsi dan ternyata malah disuruh jadi asisten (baca: babu) si penyihir galak nyiapin ramuan-ramuan, motivasi Erica tersebut jadi mendapat tantangan. Inilah yang jadi whole story. Erica disuruh-suruh, dia dendam, dia akhirnya belajar sihir sendiri (dibantu ama kucing hitam, ‘familiar’ si penyihir), dan tak lupa dia menggunakan manipulasi untuk membuat si penyihir galak bertengkar dengan penyihir cowok yang jangkung dan misterius. Tujuan akhir Erica adalah supaya dia jadi dapat pelayanan maksimal dari kedua orangtua asuhnya – seperti ketika dia dilayani di panti.

Terlalu sibuk kian-kemari memikirkan rencana bikin mantra dan ramuan balas dendam demi membuat para penyihir tunduk melayaninya, Erica gak menyadari bahwa dia sebenarnya lebih dari sekadar capable dalam melakukan semuanya sendiri. I think the best take away yang bisa kita ambil dari karakter bandel dari Erica ini adalah bahwa dia enggak manja. Dia mandiri banget malah. Karakter ini menunjukkan kepada kita kekuatan dari determinasi dan mengerjakan segalanya sendiri. Being best at who we are. Sekiranya Erica sadar itu, pastilah dia enggak akan lagi merasa perlu untuk dilayani oleh orang lain.

 
Plot/arc Erica benar-benar aneh, bahkan untuk standar Jepang yang terkenal suka hal aneh itu sendiri. Film ini memberikan apa yang diinginkan oleh si protagonis, dan yang diinginkannya itu bukanlah hal terpuji. Dari cerita ini terbangun, sepertinya bakal ada pembelajaran yang bakal didapat oleh Erica, tapi cerita gak pernah sampai ke sana. Karena suddenly fokus cerita berpindah, ketiga karakter ini jadi bersatu karena musik, dan kita melihat flashback yang intriguing tentang hubungan sebenarnya antara si dua penyihir galak dengan ibu Erica. Dan film usai. Erica sama sekali tak tahu atau malah tak tampak peduli dengan siapa dirinya sebenarnya. Dia hanya peduli dengan penyihir berambut merah karena si penyihir adalah vokalis band yang ia suka. Dan masalah di antara para penyihir dewasa di opening itu, kita hanya dibiarkan menduga-duga. Film berakhir dengan abrupt sekali. Aku gak tahu cerita materi aslinya sepeti apa (film ini diadaptasi dari cerita anak karangan Diana Wynne Jones) Aku juga gak tau apakah film ini memang diniatkan bakal ada sambungannya, atau malah bakal jadi film serial. Karena benar-benar menggantung, belum ada resolusi atau apapun dari ceritanya.

Di film ini ada Sherina Munaf yang ngisi suara vokal Ibu Erica

 
Sepertinya itu semua ada hubungannya dengan permasalahan pada gaya animasi yang dipilih oleh sang sutradara. Desain karakter dan dunia film ini sebenarnya oke-oke aja. Gaya Goro Miyazaki memang selalu ‘polos’ kayak karakter From Up on Poppy Hill, bahkan petualangan Tales from Earthsea. Malah si Earwig ini bisa dibilang karya Goro yang desain karakternya paling nyentrik. Melakukan animasi yang sepenuhnya komputer alih-alih hand-drawn boleh jadi memang diniatkan sebagai gebrakan, tapi itu juga dapat menciptakan masalah baru, baik itu di biaya maupun dari pengerjaan. Film-film Ghibli kan biasanya penuh fantasi. Jikapun settingnya di lingkungan sehari-hari, kejadiannya pasti dibuat seemosional mungkin. Maka aneh aja, ketika mereka mengusung cerita fantasi, membuatnya jadi 3D, tapi ternyata momen-momen fantasi itu sedikit kali ditampilkan. Kenapa ‘mengurung’ cerita di dalam rumah ketika kini kau bermain dengan visual yang unik – yang di luar kebiasaan? Ketika ini adalah waktumu untuk membuktikan mampu bikin fantasi yang lebih wild dan fun dari ayahmu? Menurutku, bagi Goro sendiri, film ini jelas merupakan tantangan sekaligus pembuktian. Sehingga dia besar kemungkinan bukannya enggak mau untuk membuat film ini wah, melainkan ya karena keterbatasan teknis. Entah itu biaya, atau simply belum jago amat bikin animasi komputer.
Akibatnya film jadi gak banyak adegan fantasi, enggak banyak mengeksplor magic di luar ramuan-ramuan. Cerita pun gak bisa tuntas, aku pikir ini mungkin memang sengaja dipotong dengan harapan kalo laku, mereka bisa menyelesaikan cerita. Dan mereka berusaha melakukannya dengan elegan, sehingga film ini masih punya awal-tengah-akhir (meskipun enggak memuaskan dan plotnya terasa kayak gak benar-benar ada), memejeng ‘ending extra’ lewat kredit penutup (yang pakek animasi 2D seperti biasa, but actually nampak lebih hidup daripada keseluruhan film yang kita lihat ini) dan masih dianggap berdiri sendiri ketika hasil film ini flop dan gak bisa menyambung biaya.
 
 
Clearly, ini bukanlah yang terbaik yang dipersembahkan oleh Studio Ghibli. Dulu aku sempat bikin list Top-8 film Ghibli favorit, dan kehadiran film ini gak membuatku harus mengupdate apapun dari list tersebut. Walaupun filmnya punya karakter yang menarik, tapi ceritanya terasa bland dan belum sampai ke titik akhir. Tidak seimajinatif dan se-petualangan yang kita kira. Visual animasi komputernya pun tidak menambah apa-apa, malah jadi seperti penghalang utama yang menyebabkan film ini gak bisa bermain maksimal.
The Palace of Wisdom gives 3 out of 10 gold stars for EARWIG AND THE WITCH
 
 
 
 

 

That’s all we have for now.
Flashback yang memperlihatkan Ibu Erica dan dua teman penyihirnya sempat memperlihatkan seolah ada cinta romantis di antara beberapa dari mereka (atau malah semua?) Apakah kalian punya teori sendiri tentang itu? Apakah mereka terlibat cinta segitiga? Sebenarnya siapa ayah Erica?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

SAINT MAUD Review

“God’s one and only voice is silence.”
 

 
 
Perjalanan menemukan Tuhan, bagi setiap orang memang berbeda-beda. Ada yang terus menapaki jalan lurus; terus berdoa dan berbuat baik kepada sesama. Merasa bahagia dan dekat dengan Tuhannya dengan membantu orang-orang. Sebaliknya, ada yang jadi mendekatkan diri kepada Tuhan, meminta perlindungan, ketika mendapat bencana atau ujian berat. Dan tak sedikit pula, yang merasa dekat dengan Tuhan setelah melakukan kesalahan fatal sehingga ia ingin bertobat. Yang merasa dirinya telah tersesat. Dalam kegelapan itulah, mereka akhirnya menemukan Tuhan. Merasa mendengar suara-Nya. Akan tetapi, bagaimana tepatnya kita bisa yakin kalo yang kita temukan itu memang suara kebenaran? Bagaimana kita bisa tahu kalo itu bener merupakan wahyu Ilahi? Bagaimana jika itu ternyata suara setan? Atau lebih buruk, bagaimana kalo bisik-bisikan itu ternyata kehaluan kita semata?
Pertanyaan itulah yang diangkat sebagai pembicaraan utama oleh sutradara sekaligus penulis naskah Rose Glass dalam film panjang pertamanya ini. Saint Maud adalah cerita horor yang menggabungkan psikologi atau keadaan jiwa seseorang dengan keyakinan terhadap agama. Sehingga cerita ini akan benar-benar menghantui secara personal. Seram yang dihasilkan oleh film ini bukan dari setan-setanan. Bahkan bukan dari elemen Tuhan melawan setan seperti film-film horor religi yang biasa kita lihat. Melainkan, seram film ini datang dari melihat orang yang semakin ngeblur batas antara realita dan halunya, yang membuat semakin burem juga mana yang kebenaran dan keselamatan, mana yang tidak baginya.
Rose Glass dengan bijak mengarahkan ini sebagai cerita yang sudut pandangnya benar-benar fokus kepada si satu tokoh utama ini. Karena ini sesungguhnya adalah cerita yang berakar pada efek dari kesendirian seorang manusia. Nama karakter utamanya adalah Maud. Suster yang memilih untuk menjadi penganut agama yang taat, setelah peristiwa kecelakaan di ruang operasi terus membayanginya. Maud percaya dirinya menemukan Tuhan setelah tragedi tersebut. Maud ditugasi untuk merawat Amanda, seorang penari profesional yang umurnya tinggal menghitung hari. Melihat bukan hanya kondisi, melainkan terutama dari gaya hidup Amanda yang berbeda dengan yang diyakininya, Maud lantas percaya bahwa Tuhan telah memberinya tugas yang lebih penting. Yakni ‘menyelamatkan’ Amanda ke jalan yang benar. Judul film ini datang dari sikap Maud yang merasa dirinya jadi orang suci. Kengerian akan terus memuncak seiring kita melihat tindakan tak-tertebak dari Maud yang membuat kita berpikir “Ni orang jangan-jangan mendengar bisikan setan?”

Jangan becanda sama maut.. eh, sama Maud!

 
Tadinya kupikir film ini bakal kayak  Persona (1966) versi horor religi karena kebetulan setting dan tokoh sentralnya serupa. Dua orang perempuan – yang satu sebagai pengasuh yang lain, yang satu lebih pendiam daripada yang satunya – yang saling berinteraksi dan akhirnya saling memblurkan garis kepribadian dan kepercayaan masing-masing. Tapi ternyata tidak. Hubungan Maud dengan Amanda memang diberikan sorotan yang kuat. Perbedaan hidup antara Maud yang sederhana dan penyendiri dengan Amanda yang supel dan sering bikin party; glamor meski sedang sakit, terkadang jadi konflik. Interaksi kedua karakter ini juga melingkup soal reaksi Amanda terhadap ajaran agama dari Maud. Namun demikian, cerita ini tetaplah milik Maud seorang. Fungsi hubungan Maud dengan Amanda adalah untuk menunjukkan dinamika power yang menjadi fuel ‘misi mulia’ Maud. Memperlebar jarak Maud dengan orang lain, membuatnya semakin terhanyut dan mengurung diri ke satu-satunya lawan bicara. Yakni ‘suara Tuhan’.
Ngeri, beneran, melihat film ini menggambarkan percakapan Maud dengan ‘Tuhan’. Kita kan biasanya berdoa dengan meminta dan memohon, merendahkan diri kepada Tuhan. Suara kita lirih, kalo perlu berdoa sambil menangis. Karena kita tahu kita tidak berdaya di hadapan Tuhan. Kita kecil, powerless. Tidak demikian halnya dengan Maud. Dia sudah begitu percaya bahwa dialah orang terpilih. Sang Penyelamat, malah. Maud sampai mengenakan sprei layaknya pakaian panjang Yesus. Nada suara Maud ketika bicara dengan Tuhan tidak seperti sedang berdoa. Suaranya terdengar akrab seolah sedang bicara hadap-hadapan dengan teman. Saking ‘biasanya’, obrolan dia dengan ‘Tuhan’ itu jadi voice-over yang bertindak selayaknya narator dalam film ini. Dan dia enggak memohon, melainkan menuntut. “Maafkan ketidaksabaran hamba, tapi saya minta rencana itu disampaikan kepada saya secepatnya”, begitu pinta Maud kepada Tuhan. Dan ketika hal tidak berjalan sesuai dengan yang ia mau – seperti ketika Amanda tetap bertemu dengan pacar wanitanya meskipun sudah dilarang – Maud enggak segan-segan untuk menunjukkan nada marah kepada Tuhannya.
Aku bicara ini sebagai seorang yang udah ngegodok naskah tentang perempuan yang curhat dengan kompornya sejak lima tahun lalu (yang Alhamdulillah sampai sekarang belum ada pitching-nya yang sukses), jadi aku kira-kira bisa paham intensitas psikologis yang ingin dicapai film Saint Maud dari obrolan Maud dengan ‘Tuhan’ tersebut. Yang sebenarnya adalah obrolan Maud dengan dirinya sendiri. Dengan jiwanya yang sudah terdeteriorate oleh isolasinya dengan sosial, oleh rasa bersalah dan traumanya atas kesalahan di masa lalu. Yang dialami Maud ini sungguh sesuatu yang mengerikan dan berbahaya. Kita lihat saja gimana Maud melukai dirinya sendiri; dia megang wajan panas, dia masukin paku ke dalam sepatu – kemudian berjalan mengenakan sepatu tersebut. Atau gimana Maud melukai orang lain ketika dia menganggap semua yang gak ‘seiman’ dengannya sebagai kemasukan setan. Padahal justru Maud sendiri yang kerap tampak seperti kerasukan. Dia sebenarnya secara tak-sadar telah menjadikan agama sebagai pelarian. Sebagai pemuas diri, untuk meyakinkan bahwa dia tidak bersalah – atau untuk meyakinkan bahwa kesalahannya dulu sudah dimaafkan sehingga kini dia jadi juru selamat.
Film bahkan menggambarkan puncak komunikasi Maud dengan Tuhan seperti sesuatu yang mirip dengan orgasme.

 

Edan sama beneran taat beriman itu memang gak ada bedanya, seperti yang dibuat oleh film ini. Kita tentu tahu sendiri contoh-contoh kasus di dunia nyata perihal orang yang terlalu edan beragama sampai-sampai menghakimi sendiri pihak-pihak yang mereka anggap berdosa. Mengharamkan, membubarkan ibadah orang, dengan dalih menegakkan perintah Tuhan. Padahal mana ada perintah Tuhan yang menyuruh mereka untuk semena-mena. Jadi yang mereka dengar itu perintah siapa? Kan itu pertanyaannya.

 
Dalam menampilkan kehaluan Maud itulah, teknis dan arahan visual film menunjukkan taringnya. Garis antara mana yang kejadian sebenarnya dengan mana yang kejadian di dalam pandangan mata Maud benar-benar dibuat halus. Warna lingkungan yang benar-benar diperhatikan komposisi terang dan gelap (bayangan) turut memperkuat kesan was-was. Tone tersebut siap untuk dibawa ke fantasi maupun realita. Dan karena kita dibuat terus melekat dengan sudut pandang Maud, maka momen-momen ketika adegan film ter-snap! menunjukkan yang sebenarnya terjadi terasa sangat menggetarkan secara emosional. Menyaksikan film ini membuatku merasa sensasi yang gak enak, yang bikin merinding. Aku tak pernah siap dan bisa mengantisipasi yang bakal terjadi berikutnya. Ditambah pula dengan imaji air dan pusaran yang senantiasa dihadirkan. Menonton Maud dengan sedemikian dekat itu terasa seperti menatap kotak kejutan lekat-lekat. Tidak tahu kapan menjeblak terbuka dan apa yang ada di dalamnya.
Maud adalah pusat cerita. Fakta ini jadi tanggung jawab buat Morfydd Clark yang memerankan Maud. Adegan demi adegan, karakter ini semakin dibuka lapisannya, dan setiap momen itu adalah suspens yang terus meningkat. Tak sekalipun Clark terbata memainkan karakter ini. Clark seperti sudah paham betul psikis seorang Maud. Yang menarik dari karakter ini kan adalah keambiguan dan keunpredictable-an. Kita hanya tahu hal-hal esensial tentang dirinya, cukup untuk membuat kita simpati, tapi selebihnya kita tidak pernah benar-benar yakin. Keambiguan ini berhasil dijaga oleh Clark lewat permainan aktingnya. Dia tampak cukup waras, terkendali, dan mampu berencana. Tapi di saat bersamaan dia juga unstable banget. Pendekatan Clark ini membuat Maud menjadi sangat menarik, enggak sekadar tampak sebagai orang halu. Film ini butuh untuk kita berada bersama Maud hingga momen akhir di ending yang edan itu. Clark berhasil memastikan itu terjadi.
 
 
 
Aku selalu bilang bahwa horor psikologis adalah horor terbaik, dan statement ini sampai saat itu belum berubah. Karena film ini adalah contohnya. Menyajikannya lewat lapisan agama, semakin memperkuat hal spesial yang ada pada film ini. Karena agama memang berkaitan dengan kejiwaan manusia – ia bicara iman, sesuatu yang dipercaya oleh hati manusia. Yang diciptakan oleh Rose Glass sebagai film panjang pertamanya ini adalah cerita yang singkat namun sangat membekas. Sebuah gambaran disturbing tentang bagaimana seseorang bisa tersesat saat menyangka diri mereka menemukan Tuhan. Fokus cerita tetap pada karakter, menjadikan film ini sebagai narasi studi-karakter yang benar-benar grounded. Meskipun bermain di ranah ambigu, which make this film as beautiful as it’s haunting.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for SAINT MAUD.
 
 
 
 

 

That’s all we have for now.
Bagaimana pendapat kalian tentang perilaku fanatik dalam beragama? Apakah itu juga karena halu?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

THE LITTLE THINGS Review

“Making mistakes is better than faking perfections”
 

 
 
Judul film ini adalah mantra yang terus diucapkan oleh karakter ceritanya; detektif yang dihantui oleh kegagalan terdahulu dalam memecahkan kasus. Sehingga si detektif selalu mengulang-ngulang, “perhatikan hal-hal kecil!”. Karena memang hal-hal yang sekilas tampak tak signifikan itulah, yang biasanya punya peranan besar di kemudian hari. Tapi yang dibicarakan si detektif dalam film ini bukan ‘hal-hal kecil’ semacam menabung kebaikan sedikit lama-lama menjadi bukit. Melainkan hal-hal berupa petunjuk-petunjuk terkecil, yang dapat mengungkap kebenaran di balik misteri kasus. Hal-hal yang berasal dari kesalahan-kesalahan yang tak luput dilakukan oleh manusia. Dan yang ngerinya adalah, kesalahan itu tentu saja tak selamanya dilakukan oleh penjahat.
Inilah yang membuat The Little Things garapan John Lee Hancock menarik untuk kita simak. Drama kriminal ini ngingetin kita pada neo noir detective-nya David Fincher yang berjudul Seven (1995). Sama-sama berupa cerita detektif yang fokus kepada penggalian psikologis karakter detektifnya. The Little Things bermain di area yang tidak hitam-putih, melainkan memperlihatkan cerita kegagalan yang menempatkan tokoh-tokohnya dalam sebuah area abu-abu. Detektif yang melakukan hal tak-terpuji, atau bahkan tersangka yang membuat kita berpikir “hey mungkin dia tidak jahat..”. Namun sayangnya, film The Little Things ini tersandung oleh hal-hal kecil yang sendirinya tak ia perhatikan.
Perhatikan hal-hal kecil, kata film ini. Mantra tersebut tak bisa berdering lebih nyata lagi, sebab begitu kita memperhatikan hal-hal kecil pada film ini, kita tahu bahwa mestinya sang pembuat juga perlu menerapkan mantra tersebut ke dalam karyanya ini. Kelamnya The Little Things ternyata enggak berhenti sampai di psikologis karakter-karakternya saja, melainkan juga merambah hingga ke ranah sosial dan hukum kita di dunia nyata. Film ini memilih ending yang menurutku gak bakal nyaman diterima oleh sebagian besar penonton karena waktu dan kejadian di dunia nyata kita.

Di samping karena misteri siapa-pelakunya yang memang tidak berujung pada resolusi apa-apa

 
 
So yea, ulasan kali ini akan memuat spoiler yang lebih gamblang daripada biasanya. Karena kita akan membahas elemen yang ‘bermasalah’ dari cerita film ini, yang tak bisa dilakukan tanpa mengungkap character-arc dari tokoh-tokohnya secara nyaris total. Aku akan tetap berusaha supaya gak terlalu to-the-point amat supaya gak merampas misteri dari yang belum nonton. Tapi meskipun begitu, tetaplah anggap paragraf ini sebagai peringatan.
Karakter jagoan dalam The Little Things adalah dua orang detektif; Joe Deacon yang diperankan oleh Denzel Washington, dan satu lagi detektif yang lebih muda bernama Jim Baxter; diperankan oleh Rami Malek. Kedua karakter ini punya reputasi yang kontras. Karir Deacon actually terjun bebas dan dia pun tampak sedikit dijauhi oleh polisi-polisi lain karena peristiwa yang terjadi di masa kerjanya dahulu. Sedangkan Baxter dianggap sebagai detektif yang menjanjikan, terpercaya, dan brilian. Mereka lantas menjadi bekerja sama saat rangkaian kasus penculikan/pembunuhan perempuan-muda terjadi terus-menerus. Sementara Deacon perlahan menyadari kasus ini mirip dengan kasus tak-terpecahkan di masa lalunya, Baxter belajar tentang kenyataan di balik kasus dan trauma Deacon tersebut. Dan dengan sedikitnya petunjuk dan menipisnya waktu, pertanyaan paling penting bukan lagi soal siapa pelaku yang coba mereka tangkap. Melainkan apakah Baxter akan menapaki jejak kegagalan dan ‘kehancuran’ yang sama dengan Deacon.
Naskah yang ia tulis sejak 1993 ini agaknya menjadi terlalu rumit bagi Hancock sendiri. Ia tampak tak berhasil menemukan cara yang tepat untuk membungkus ceritanya dalam arahan yang efektif. Pengembangan selama dua jam lebih durasi terasa sia-sia karena saat cerita akhirnya tuntas, kita enggak merasakan apa-apa. Build-upnya seperti mengempis menjadi angin. Karena kita dibuat melenggang terlalu jauh dari apa yang diniatkan oleh Hancock dalam cerita ini. Permasalahan utama yang terasa dari film ini memang soal pergantian fokus cerita dari mencari pelaku ke membahas psikologi Baxter. Kita kecele dibuat oleh cerita yang tadinya seperti menyambung dari psikologi Deacon hingga tuntas ke redemption dengan menangkap pelaku, yang ternyata malah berujung ke psikologi karakter lain tanpa benar-benar memberikan penyelesaian pada kasus yang sedari awal ditampilkan seolah sebagai main attraction di film ini. Di sinilah memang letak miss-nya arahan Hancock.
Sah-sah saja membuat cerita detektif yang menonjolkan kegagalan ketimbang menangkap pelaku. Hanya saja, untuk membuat seperti itu, ceritanya harusnya fokus nge-lead penonton ke arah psikologis karakter saja. Namun film ini sudah menyesatkan sedari opening. Di awal itu yang diperlihatkan kepada kita adalah aksi si penjahat-misterius. Kita melihat dia mengejar salah satu korbannya. Dengan menonjolkan ini di awal, kita penonton jadi fokus ke sosok pelaku, penyelesaian film yang membuka dengan seperti ini haruslah dengan memberi jawaban tegas siapa dan bagaimana nanti nasib pelaku. Padahal film membicarakan bukan tentang ke siapa si pelaku, melainkan soal gimana mental detektif yang gagal mengungkap pelaku. Seharusnya film ini membuka cerita dari kedua karakter detektif. Malah menurutku mungkin bisa lebih baik kalo paralel alias sedari awal langsung saja diperlihatkan peristiwa malam kegagalan Deacon, lalu setelahnya bisa jump ke timeline yang sekarang. Intinya adalah film harusnya fokus langsung ke tragedi yang menonjolkan karakter karena memang ke situlah cerita akhirnya berlabuh; untuk apa ngeliatin kerjaan pelaku kalo pelakunya gak bakal dijawab.
I mean, lihat saja film crime-thriller Korea Memories of Murder (2003); dalam film itu, detektifnya gagal menangkap pelaku yang tak pernah diketahui siapa, tapi kita enggak kesal dan merasa kosong setelah film itu usai. Itu karena penceritaannya dimulai dengan langsung fokus ke tokoh utama. Film itu dibuka tidak dengan memperlihatkan aksi pelakunya, melainkan memperlihatkan elemen-elemen yang memfokuskan kita ke gagasannya (soal gaze, si detektif, dsb).
Tentu merupakan konflik yang menarik ketika ada detektif atau polisi seperti Deacon yang tenggelam amat dalam ke kesalahan masa lalu. Kita melihat dia literally dihantui oleh korban-korban yang ia anggap ia kecewakan, as in Deacon duduk di dalam ruangan bersama tiga korban dan Deacon yang ngobrol dengan mayat. Adegan begini sangat menarik, tapi sayangnya terasa kosong karena pada titik itu kita belum diberi kesempatan mengerti. Kita gak merasakan rasa bersalah bareng Deacon, kita hanya menontonnya dikelilingi ‘hantu’. Makanya, terasa lebih menarik ngikutin Baxter. Kita benar-benar mengikutinya sedari awal. Sedari Baxter tampak begitu percaya diri. Namun seiring waktu kita merasakan dirinya runtuh. Dia semakin desperate, ketidakmampuannya terhadap kasus ini terefleksikan olehnya kepada keluarganya. Baxter semakin ‘mirip’ dengan Deacon. Kita juga paham kenapa pada akhirnya Baxter butuh si tersangka utama, Albert Sparma (diperankan oleh Jared Leto) benar-benar keluar sebagai pelaku. Dan ketika Sparma ini eventually menjadi kejatuhan bagi Baxter, kita ikut merasakan nelangsa dan desperadonya.
Dia yang desperate akan menggali lubang berkali-kali

 

Semakin seseorang berkubang dan tidak bisa menerima kesalahan dan kegagalan dirinya, maka semakin berat juga beban yang menghantuinya. Film ini sesungguhnya punya gagasan yang menantang soal seberapa jauh orang akan melangkah demi membetulkan kesalahan yang ia perbuat.

Jika diceritakan dengan benar, maka film ini menurutku memang benar-benar sangat menantang. Aku percaya film gak harus politically correct atau film boleh saja (dan sebagian besar memang lebih menarik jika) menunjukkan kegagalan atau malah sekalian membuat tokohnya jadi jahat. The Little Things tampak mengincar kesan tersebut tapi, kembali lagi, film ini tidak memperhatikan hal-hal kecil. Penceritaan dan ending yang dipilih, justru membuat film ini seperti tone-deaf dan terkesan dangkal. Implikasinya adalah Deacon si tokoh utama tampak seperti orang yang jadi bersedia melakukan apapun untuk menutupi kesalahan yang dilakukan oleh sejawat detektif/polisi, sementara Baxter yang jadi protagonis gak pernah sadar apa yang ia lakukan itu membuatnya bersalah; mungkin saja dia malah jadi menyangka dirinya pahlawan, padahal dirinya sendiri sedang dibohongi.
Sekilas, akhiran film ini memang tampak tak memuaskan. Gak delivered resolusi apapun. Namun di balik itu semua, film ini bahkan bisa terasa lebih ‘disturbing’ lagi. Karena endingnya memuat hal yang lebih kelam soal polisi yang melakukan kesalahan – yang menghilangkan nyawa orang yang belum tentu bersalah – tapi kesalahan tersebut ditutupi demi kebaikan sang polisi itu sendiri. Masalah kekerasan oleh polisi merupakan salah satu masalah utama yang melanda kita di tahun kemaren, and it might still going on, dan hari ini kita menonton film yang enggak jelas sikapnya terhadap persoalan tersebut. Melainkan seperti memperlihatkan praktek yang demikian bobrok dari protagonis ceritanya. Film seharusnya lebih tegas dalam memilih sikap, atau setidaknya lebih klir dalam memberikan entah itu redemption, atau ganjaran, atau bahkan menjawab siapa sebenarnya pelaku. Namun ia membiarkan kita dalam kebingungan. Bahkan bukan kita aja, para aktor pun seperti dibiarkan bermain sendiri-sendiri. Washington, Malek, dan Leto jadi jualan utama karena mereka pernah meraih Oscar. Hanya saja dalam film ini mereka tidak tampak klop bermain. Mereka seperti ada pada zona yang saling terpisah. Deacon yang subtil dan bicara lewat gestur dan ekspresi kayak berada di film yang berbeda dengan Sparma yang terlalu over, sementara Baxter ada di tengah-tengah.
 
 
 
 
Aku akan lebih suka, aku yakin ceritanya akan lebih ngena, jika fokusnya memang pada Baxter saja. Tentu saja dengan ending yang lebih menghormati karakter dan penonton. Karena secara jiwa, film ini adalah psikologikal thriller yang nunjukin kegagalan detektif. Namun bagaimana itu semua tercapai jika si detektif tidak menyadari bahwa dia gagal? Arahan film ini tidak berhasil menghantarkan visi secara keseluruhan. Malahan, akan membuat kita salah sangka. Jika kita mengira ini akan menjawab siapa pelaku, maka film ini akan terasa super tidak memuaskan. Bukan salah eskpektasi kita, melainkan salah film dalam menebar petunjuk-petunjuk kecil dalam penceritaannya.
The Palace of Wisdom gives 4.5 out of 10 gold stars for THE LITTLE THINGS.
 
 
 
 

 

That’s all we have for now.
Pekerjaan polisi cukup berat, dan ternyata kasus yang gagal dipecahkan saja mampu membuat seorang polisi trauma dan terbebani seumur-umur.
Bagaimana pendapat kalian tentang ending film ini? Apakah Baxter pantas mendapatkannya?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

JUNE & KOPI Review

“We don’t choose our pets, they choose us”
 
 

 
 
Hewan peliharaan bukanlah mainan. Mereka punya perasaan, punya kebutuhan. Mereka bisa merasakan kasih sayang, dan bahkan mampu memberikan rasa cinta tersebut balik ke pemiliknya. Hewan peliharaan memang bisa punya kedekatan emosional dengan manusia yang mengasuh mereka. Maka tak salah juga banyak orang yang menganggap kucing atau anjing atau bahkan ular piaraan sebagai bagian dari anggota keluarga. Aku sendiri melihara dua ekor kucing sejak mereka bayi, dan memang seringkali ngurusin mereka itu kok seakan seperti ngurusin anak beneran, karena kedua kucing itu bisa ngambek juga kalo cuma dikasih makan tanpa diajak bermain atau diperhatikan. Begitulah, memelihara hewan dapat memberikan rasa fulfillment tersendiri. Namun lucunya, ketika kita merasa kitalah yang memilih hewan-hewan tersebut untuk diberikan kasih sayang, boleh jadi keadaan sebenarnya tidak persis seperti begitu. Seperti yang ditunjukkan oleh film panjang kedua dari Noviandra Santosa ini. Bahwa justru sesungguhnya hewan tersebutlah yang telah memilih kita untuk menjadi keluarga mereka!
June & Kopi really put us into that perspective. Karena tokoh utama film ini ternyata memang bukan karakter manusianya. Melainkan seekor anjing putih yang hidup di jalanan. Ia bertemu dengan perempuan bernama Aya (Acha Septriasa siap untuk berikan percikan emosional buat film ini) saat sedang diuber oleh anak-anak. Kebaikan hati Aya yang memberikan perlindungan dan makanan, dan bahkan nama – Aya memanggilnya June – membuat si anjing putih jadi ‘memilihnya’ sebagai keluarga. June ngikutin Aya pulang dan akhirnya dijadikan peliharaan. Tapi ternyata suami Aya tidak begitu suka dengan June karena mereka sudah punya peliharaan, seekor anjing hitam bernama Kopi. Maka June berusaha untuk benar-benar diterima di keluarga tersebut. Dia berusaha membahagiakan Aya, berusaha untuk bonding dengan Ale sang suami. Dan ketika pasangan tersebut dikaruniai anak, June berusaha sekuat tenaga untuk mengenyahkan traumanya terhadap anak-anak supaya bisa menjadi teman terbaik bagi anak Aya.

Anjing yang alergi anak manusia

 
Kamera pun akan sering untuk benar-benar literally meletakkan kita ke dalam sudut pandang June. Dalam adegan opening misalnya, kamera diletakkan seolah diikat pada kepala June sehingga kita melihat langsung apa yang dilihat oleh karakter ini sepanjang dia berkeliling gang, melihat aktivitas warga. Treatment dalam opening ini efektif sekali dalam membangun pemahaman kita, dan terutama untuk mengeset tone film secara keseluruhan. June & Kopi adalah drama tentang hubungan anjing dengan manusia yang ringan dan menghibur, dengan sudut pandang yang unik. Menempatkan June di kursi depan, dan konsisten membangun karakter ini.
Aku pernah berusaha memposisikan kucingku di depan laptop untuk konten di Youtube, sehingga aku punya sedikit gambaran soal betapa sulitnya ngarahin hewan untuk melakukan apa yang kita mau di depan kamera. In fact, mungkin itu juga sebabnya kenapa terakhir kali ada film Indonesia tentang anjing dan manusia itu adalah di tahun 1974 (Boni & Nancy garapan John Tjasmadi). Perlu great effort dan ngambil resiko, sehingga gak banyak produser sini yang berani. I mean, film barat aja sekarang lebih memilih pakai CGI kok dibanding pake aktor hewan beneran. Tapi Noviandra Santosa dalam June & Kopi membuat itu semua tampak mudah. Si anjing June tampak begitu luwes dan natural di depan kamera. Aktor berkaki empat yang ia arahkan juga memang sepertinya sudah pinter dan terlatih. Kita melihat June bisa berhitung lewat gonggongan, atau Kopi yang mampu membuka dan menutup pintu dengan kaki depannya. Sang sutradara memastikan kepandaian para aktornya bisa masuk ke dalam cerita, tertangkap oleh kamera dengan adorable, dan dia melakukan ini dengan mengerahkan segala yang bisa. Termasuk editing dan timing yang cukup precise.
Kepandaian anjing itu juga dimasukkan ke dalam bobot drama. This is my most favorite part of this movie. Jadi, Kopi dan suami Aya sudah demikian akrab sehingga mereka punya ritual salaman tersendiri. Salaman yang khusus untuk mereka berdua. Film ini memperlihatkan itu sebagai bagian dari motivasi/goal untuk June. Anjing putih itu ingin juga salaman dengan suami Aya. Sepanjang film momen itu dibangun; ketika Aya sekeluarga mau pergi, misalnya, kita melihat June mengangat kaki depannya sepintas ke arah suami Aya tapi gak dinotice. Momen kayak gitu memperkuat hati film ini. Membuat kita peduli kepada June. Membangun perhatian dan emosi kita ke arah sana, kita semua jadi ingin melihat momen berbahagia ketika June salaman dan akhirnya beneran diterima oleh sang kepala keluarga. Film ini memainkan momen-momen itu dengan sangat baik. Aku gak akan ngespoil ujungnya gimana, but just fyi momen tersebut dibungkus dengan adegan yang menarik-narik perasaan haru kita.

Hewan punya feelings dan mampu merasakan emosi seperti cinta, ataupun sedih, seperti yang ditunjukkan oleh film ini, bukanlah fiksi. Hewan adalah makhluk hidup. Maka kita tidak dibenarkan untuk memelihara hewan hanya untuk bersenang-senang, atau dipamerkan di sosial media. Kita dituntut untuk punya tanggung jawab dalam memelihara mereka. Menurutku film ini hadir tepat waktu sekali, saat belakangan viral orang-orang yang membeli hewan-hewan eksotik seperti monyet hanya untuk konten video. Atau lebih parah lagi, berita soal kucing yang dikuliti atau untuk dijadikan makanan. Film ini bisa sebagai pengingat buat kita. Bahwa hewan, sekalipun bisa dipelihara karena lucu dan jinak, bukan berarti mereka sama dengan mainan untuk lucu-lucuan. Apalagi untuk dimakan. Hewan makhluk hidup yang sama seperti kita. Butuh cinta. Butuh keluarga.

 
Karakter manusia seperti Aya awalnya juga cukup mendapat porsi cerita. Film sempat membahas persoalan mereka sebagai keluarga. Kita diperlihatkan informasi bahwa pasangan ini adalah pasangan yang sempat kehilangan calon anak mereka. Kita juga diperlihatkan bagaimana karir profesional Aya sebagai penulis komik mendapat hantaman keras saat publisher memecatnya lewat telefon. Ini semua membuat kita jadi punya ekspektasi bahwa film ini punya narasi atau cerita yang kompleks, dengan banyak lapisan menyertai premis hubungan manusia dengan ‘sahabat terbaik manusia’. Namun sayangnya, film ini justru jadi mengerucut. Seperti segitiga terbalik. Semakin ke belakang, bahasan dan cerita film ini malah semakin mendangkal. Dunia cerita yang mendapat perluasan dengan penambahan karakter (putri Aya), tidak mendapat penggalian yang konsisten. Pembahasannya hanya skim on the surface. Masalah Aya dan kerjaannya tidak pernah dibahas lagi – solusinya datang begitu saja, cukup dengan Aya membuat komik terinspirasi dari June dan Kopi. Persoalan yang konsisten dibahas adalah ketidakakraban June dengan suami Aya, yang ini pun dilakukan dengan sangat monoton. Percakapan sehari-hari Aya dan sang suami selalu tidak lepas soal “kamu kok belum bisa akrab dengan June”. Hal tersebut diperparah oleh karakter si suami yang jadi annoying berkat obrolan dan masalah yang itu-itu melulu.

Kalo aku sih sepertinya tidak dianggap keluarga oleh kucingku, cuma dianggap babu saja.

 
 
Ketika anak hadir dalam keluarga mereka, kupikir itu bakal jadi tantangan berat buat June. Setidaknya film akan memperlihatkan proses June dalam menyingkapi hal tersebut. Tapi ternyata tidak. Dengan gampang saja dia bonding dengan si anak. Si anak itu sendiri juga, dia disebutkan oleh dokter mengidap asma. Dan kupikir lagi tadinya ini akan jadi rintangan untuk persahabatan June dengannya. Tapi enggak. Film enggak menjadikan asma itu apa-apa untuk narasi besar film ini. Malah dokter dalam film ini nyebut June gak ada hubungannya sama sekali dengan asma si anak. Ini membuat semua informasi sebelumnya itu jadi pointless banget.
Peristiwa ‘kupikir-tapi-ternyata-tidak-begitu’ ketiga datang dari melihat judul film ini. Kupikir film benar-benar akan menitikberatkan pada June dan Kopi. You know, karena judulnya June-and-Kopi. Tapi ternyata Kopi is barely do anything in the movie. Kerjaannya cuma baring-baring di lantai. Peran Kopi hanya sebagai plot-device, untuk membuka pintu saat June dikurung. Atau hanya untuk komedi aneh bersama karakter teman Aya yang somehow dibikin kayak ngerti bahasa anjing saat adegan dia ‘ngobrol’ sama Kopi. Lucu? boleh jadi. Make sense? no dan ini gak nambah apa-apa, pointless juga buat cerita. Film ini kayak punya banyak build-up dan dilupakan begitu saja. Seperti soal Kopi; aku gak tahu ini intentional atau tidak, tapi cara film ini memperlihatkan kegiatan si Kopi – yang seringkali dikontraskan dengan June – seolah film ini sedang membangun ke sesuatu. Kopi dikesankan seperti dikucilkan, anak Aya tak sekalipun ngajak dia main. Membuatku mengantisipasi bakal ada sesuatu yang penting dari Kopi. Dan ternyata memang ada, tapi gak klop dengan cara film membangunnya. Juga soal perangkap-perangkap di hutan itu; film memperlihatkan ada banyak sehingga tanpa sadar mereka membangkitkan pertanyaan lain yang gak ada hubungannya dengan niat film memperlihatkan jebakan itu sedari awal. Perangkap-perangkap itu malah membangun antisipasi kita kepada apa yang ada di hutan sehingga hutan perlu dipasangi perangkap sebanyak itu. Film ini menjelang akhir itu kayak membangun sesuatu yang ‘wah’, tapi ternyata sesuatu itu cuma difungsikan untuk hal lain yang terasa lebih sepele dibanding ekspektasi dari build-upnya.
Memang, yang film ini pilih untuk dikembangkan justru adalah hal-hal yang meminta kita untuk menyimpan logika di dalam laci. Tentu saja yang paling mengganggu buatku adalah soal keluarga Aya yang pergi liburan ke gunung – di saat anak mereka baru sembuh dari asma – dan meninggalkan kedua anjing di rumah, untuk kemudian kedua anjing ini nyusul ke vila di gunung. Kenapa? Kenapa membuat seperti ini, kenapa membuat June menempuh perjalanan melawan logika? Kenapa harus ke gunung? Padahal jika tujuannya untuk memisahkan June dan membuat dia jadi tampak seperti hero dan menempuh perjalanan/rintangan yang sulit, kenapa tidak membuat yang simpel dan gak jauh-jauh amat seperti simply June dikurung karena diduga menyebabkan asma dan ngikutin mereka liburan ke taman. At least, semua masih masuk akal dibanding membayangkan dua ekor anjing ke gunung menemukan keluarga mereka. Nah, yang seperti ini yang membuatku percaya naskah film ini masih belum matang-matang amat sehingga masih banyak plot poin yang mestinya bisa digarap dengan lebih baik lagi.
 
 
Jika kalian ingin melihat anjing beraksi di depan kamera, atau jika kalian penggemar anjing, film ini jelas bisa jadi hiburan yang bikin rileks. Film ini punya drama dan adegan-adegan yang bakal bikin kita merindukan hewan peliharaan di rumah. Keberanian film ini tampil sebagai cerita tentang persahabatan manusia dengan peliharaan saja sudah cukup pantas untuk kita apresiasi, karena memang benar-benar jarang film seperti ini. Namun jika ingin melihatnya dengan memakai lebih banyak logika dan secara teknikal, film ini tentu saja bukan film yang sempurna. Naskahnya masih banyak yang perlu dibenahi, penggaliannya masih tidak berimbang. Ini masih seperti film keluarga/anak-anak yang dimainkan dengan terlalu ringan ketimbang potensi sebenarnya yang dimiliki oleh materi.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for JUNE & KOPI.
 
 
 
 

 

That’s all we have for now.
Apakah saat ini kalian merasa membutuhkan hewan peliharaan? Kenapa iya atau kenapa tidak?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA