NOBODY Review

“Obscurity can be liberating”

 

 

Menjadi bukan siapa-siapa ternyata merupakan sebuah impian – atau malah anugerah – bagi beberapa orang. Ketika normalnya kita berusaha, berjuang, bekerja sekeras mungkin untuk mendapat pengakuan sosial, untuk diterima dan kemudian dikenal mencuat lewat hal spesial yang ahli kita lakukan, ternyata ada sebagian orang yang ingin dan merindukan untuk dianggap biasa-biasa saja. Sebagian orang itu adalah mereka yang udah mencapai puncak. Udah sukses. Selebriti misalnya. Tak ada lebih mereka inginkan selain tidak jadi pusat perhatian dan dikerubutin saat mereka berada di tempat umum. Atau filmmaker sukses, yang hanya ingin bikin film murni untuk menceritakan isi hati tapi tidak bisa karena di atas situ karya buatannya akan selalu dibanding-bandingkan dan dioveranalyze. Atau juga karakter yang diperankan Bob Odenkirk dalam film Nobody.

Hutch nama pria tersebut. Dan yang ia inginkan adalah punya kehidupan berkeluarga yang biasa-biasa aja. Mengejar truk sampah di pagi hari. Membuat sarapan untuk anak dan istri. Berjalan kaki ke kantor. Pulang. Ketemu anak dan istri. Tidur. Hutch telah meninggalkan kehidupannya yang dulu. Kehidupan masa lalu Hutch yang disiratkan oleh film ini adalah kehidupan yang penuh bahaya. Hutch tidak ingin kembali ke sana, akan tetapi kehidupannya sebagai bukan siapa-siapa itu ternyata tidak berjalan seperti yang diidamkan olehnya. Dia malah merasa jadi semakin kecil, dan bahkan keamanan yang ia inginkan untuk keluarganya pun tidak pula terwujud. Karena rumah mereka malam itu kemalingan. Kejadian itu berbuntut panjang. Membuat Hutch harus bersinggungan dengan geng Rusia. Dan mau tak mau dia harus kembali ke siapa dirinya yang sebenarnya.

Nobody
Nobody is special. I am nobody. You do the math

 

Sepertinya memang dari permainan kata itulah sutradara Ilya Naishuller mengembangkan konsep karakter Hutch. Seorang yang mengaku nobody, tapi ternyata dia berkemampuan spesial. Memang, konsep film ini bukanlah konsep yang paling original seantero dunia sinema. Sudah banyak cerita yang menampilkan karakter yang sekilas kayak orang biasa padahal mempunyai kehebatan tersendiri. Malahan, film ini mirip sekali dengan John Wick (2014). Banyak aspek cerita Hutch yang membuatnya serupa-tapi-tak sama dengan John Wick, mulai dari dia adalah ‘pensiunan’ pembunuh, terus tak-sengaja terlibat masalah dengan sanak keluarga bos penjahat. Jika di John Wick pemicu utama kemarahan karakter adalah anjing peliharaan yang dibunuh, maka di Nobody ini Hutch mulai beraksi karena orang jahat yang menyatroni rumahnya telah mengambil gelang milik kucing peliharaan anaknya. Semua kemiripan tersebut tentu saja ditampilkan on-point karena memang penulis naskah dan produer kedua film ini merupakan orang yang sama. Yakni si Derek Kolstad. Sehingga kemiripannya tidak sampai di elemen karakter saja. Dalam soal koreografi aksi berantem pun, film Nobody ini tampil dengan gaya dan level kekerasan yang sama menghiburnya.

Perbedaan yang membuat Nobody distinctive dari John Wick terletak pada karakter Hutch dan cara sutradara membangun karakter tersebut. Cerita dan bangunan karakter Hutch sedikit lebih kompleks. Hutch ini adalah pria yang berusaha menyamankan dirinya sebagai bukan siapa-siapa, meskipun hidup normal yang ia jalani itu tidaklah menyenangkan. Dengan efektif Ilya menempatkan montase rutinitas kehidupan Hutch pada awal-awal durasi. Sehingga kita jadi tahu konflik yang melanda si Hutch ini secara pribadi. Life’s not great for him, keluarganya gak exactly suka padanya, tapi inilah kehidupan yang ia mau – yang ia pilih karena kehidupannya yang dulu jauh lebih berbahaya. Ketika dia memang harus kembali menapaki ‘jalan lamanya’, cerita pun tidak lantas membuat dia berubah. Ada keengganan yang ditampilkan. Ada keraguan dan kebimbangan dalam diri Hutch. Dia sempat urung membalas dendam kepada kedua perampok karena menemukan sesuatu di markas mereka yang membuat dirinya teringat akan nilai keluarga yang ia inginkan. Ilya membuat rangkaian kejadian yang melambangkan progres state of mind Hutch soal mau tidak mau dia harus kembali ke dirinya yang dulu. Dengan begitu, Ilya membuat kita mengerti apa yang harus rela dibuang oleh Hutch, kenapa dia harus kembali — persoalan personal inilah yang lantas jadi stake dalam cerita.

Menjadi bukan siapa-siapa memang kadang membuat frustasi dan bikin kita meragukan eksistensi diri sendiri. Tapi bukankah semua orang adalah bukan siapa-siapa bagi kebanyakan orang yang lain? Obscurity atau jadi bukan siapa-siapa itu hanyalah bagian dari journey kita dalam mencari apa yang ingin kita kerjakan. Jadikan itu sebagai kesempatan untuk memperbaiki dan meningkatkan diri.

 

Bob Odenkirk menerjemahkan karakterisasi tersebut dengan menarik pula. Olehnya, Hutch tidak tampak boring. Melainkan sangat vulnerable. Dia mengundang simpati, tapi juga bisa jadi badass, dan juga kocak dalam menampilkan kebadass-annya. Permainan akting dan penampilan aksi-aksi berantem (yang sebagian besar dilakukannya sendiri tanpa stunman) Hutch juga mempelihatkan progres yang dialami oleh karakternya. Sekuen berantem di dalam bus dengan anak-anak muda berandalan adalah contoh yang bagus untuk membahas ini. Di adegan-adegan itulah Hutch untuk pertama kalinya memantapkan diri kembali menjadi pembunuh. Hutch enggak langsung jago. Dia toh babak belur juga. Dikeroyok, dikerjai, dan dilempar keluar jendela oleh lawan-lawannya. Dia vulnerable, tapi bukan lemah. Seiring berjalannya durasi kita akan melihat Hutch menemukan kembali kenyamanan dalam kembali pada aksi-aksinya. Sampai akhirnya dia telah menemukan kembali dirinya yang lama. Dan kita akan mendapat adegan final fight yang meskipun terlalu perfect dan over-the-top, tapi amat sangat menghibur.

Untuk itu salut pantas kita panjatkan buat Bob Odenkirk. Karena selama ini, dia adalah aktor yang terkenal bukan sebagai aktor laga. Dia lebih sebagai spesialis peran dramatik dan komedi. Perannya sebagai Hutch adalah pertama kali namanya tersematkan sebagai bintang film laga. Dan di sini tantangan peran baginya bukan sekadar bermain fisik, tapi juga ada tuntutan untuk menyampaikan karakter Hutch itu sendiri.

null
Bayangkan kalo ada cross-over John Wick dengan Nobody, pasti seru!!

 

Nobody sebenarnya bisa saja menjadi the next John Wick. Sayangnya, film ini tidak mampu melepaskan diri dari bayang-bayang film tersebut. Pembuatnya seperti lupa bahwa cerita kali ini punya lebih banyak ruang untuk digali. Hutch punya keluarga, John Wick tidak. Tapi Nobody tetap dibuat ‘sama’ seperti John Wick, fokus di aksi seru nan menghibur. Mereka membiarkan keluarga itu tetap jadi lubang yang menanti untuk diisi. Hubungan Hutch dengan istri,  dengan anak laki-lakinya, dengan gadis ciliknya tak pernah digali dengan memadai oleh film ini. Keluarga Hutch hanya jadi bagian dari rutinitas sehari-hari. Tidak pernah terasa seperti layaknya karakter cerita. Musuh utama Hutch juga karakterisasinya lemah sekali. Padahal dia sudah punya latar yang menarik. Boss gede tapi kerjaannya penampil karaoke. Dinamika protagonis dan antagonis dalam film ini diikat oleh keparalelan yang tipis sekali. Masalah di antara mereka berdua malah hanya tercipta oleh suatu rangkaian kejadian yang terjadi secara kebetulan. Sekeren-kerennya Hutch berinteraksi dengan si bos, tetep tidak terasa ada kaitan atau bobot yang membuat pertemuan mereka benar-benar bisa kita pedulikan.

Yang membuat film ini akhirnya berada pada posisi di bawah John Wick adalah kesan bahwa film ini terlalu sibuk ngebuild untuk sekuel. John Wick punya dunia yang bikin penasaran sebagai latar, sementara kejadian seputar karakternya berlangsung dengan melingkar. Tidak banyak eksplorasi tapi juga tidak banyak menyisakan ruang yang sengaja dibiarkan kosong. Film itu straight-to-the-point, simpel, dan tuntas. Sekuelnya hadir dengan kesan natural, karena kita memang pengen melihat dunia John Wick dengan lebih luas. Sebaliknya, film Nobody lebih kompleks tapi justru meninggalkan banyak ruang tak-tereskplor. Berharap supaya kita tertarik untuk melihat lebih banyak partner dan ayah Hutch yang ternyata juga bukan ‘orang-biasa’. Memohon kepada kita untuk meminta ada sekuel yang membahas mereka. Malah ada adegan ekstra di kredit penutup untuk memancing ini. Padahal ini adalah cara yang salah. Karakter pendukung film ini – dengan minimnya bahasan – membuat mereka terlupakan oleh kita. Fokus kita tetap pada Hutch, yang setelah problemnya tuntas, setelah dia memilih untuk kembali ke siapa dirinya, ketertarikan dia kepadanya pun semakin berkurang. Karena walaupun dia berkemampuan khusus, karakternya sendiri tidaklah original ataupun spesial.

 

 

 

Buat yang suka aksi ala John Wick, film ini jelas sayang untuk dilewatkan. Ceritanya mirip. Laganya seru, dengan koreografi yang hard-hitting dan in-the-face dan bergaya sama dengan John Wick. Film ini pure seru dan menghibur. Apalagi ditambah dengan elemen-elemen tak biasa seperti karakter yang curhat sama radio, ataupun pemilihan musik yang beda dari musik-musik film laga biasanya. Salah satu daya tarik utama film ini adalah cast-nya. Bob Odenkirk kini merambah genre aksi, dan penampilan di sini bukanlah penampilan abal-abal. Melainkan sangat totalitas. Keren dan menghibur sekaligus. Film ini bisa menjadi lebih besar lagi, tapi terjebak dalam bayang-bayang John Wick. Potensi yang dipunya tidak direalisasikan semua, sehingga film ini dalam kondisi terbaiknya hanyalah berupa copy-paste beda varian dari film John Wick.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for NOBODY.

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Apakah menurut kalian menjadi nobody itu memang lebih baik daripada menjadi somebody?

Share  with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

MORTAL KOMBAT Review

“If you have the fear of losing the game even before starting it, then you will never be able to win the game.”

 

Video game dianggap sebagai mainan untuk anak-anak. Sampai game Mortal Kombat hadir di tahun 1992. Game bergenre fighting ini beda ama yang lain. Setiap serangan yang mengenai karakter-karakternya yang bermodel manusia beneran (plus beberapa monster) dimeriahkan oleh tumpahan darah merah yang kental. Game ini bahkan menggebah pemain untuk benar-benar menghabisi lawan mereka. Dan menyediakan banyak pilihan sadis untuk melakukan hal tersebut. Sebut saja Brutality; yakni menghajar lawan yang sudah tak berdaya bertubi-tubi sampai tubuh mereka meledak dan kita dihujani tulang belulang mereka. Animality; karakter jagoan pemain bisa berubah menjadi hewan dan memangsa musuh mereka. Yang paling digemari tentu saja adalah Fatality. Beragam kesadisan yang dijual sebagai ‘keren!’ bisa kita perintahkan untuk dilakukan oleh karakter di dalam video game. Mulai dari menarik lepas kepala (atau jantung) lawan, hingga membelah tubuh mereka bagai buah duren. Gemparlah orangtua. Game yang mereka sangka inosen di ruang main anak mereka ternyata menampilkan pembunuhan yang dramatis! Mortal Kombat adalah alasan dari terbentuknya sistem sensor dalam dunia pervideogamean. Sensor berupa rating ESRB (pengelompokan berdasarkan umur dengan penjelasan seperti berisi kekerasan, darah, dan sebagainya) harus diberikan untuk setiap video game yang dirilis. Sebegitulah populernya game yang ‘menjual’ kesadisan ini. Hingga sekarang, Mortal Kombat sudah berkembang biak menjadi delapan-belas judul berbeda, yang bahkan merambah genre di luar fighting.

Formula kesuksesan game Mortal Kombat sudah jelas. Orang-orang sudah tahu apa yang mereka ‘beli’ ketika mereka ngeluarin duit untuk benda berjudul Mortal Kombat. Mereka maunya itu. Lagi dan lagi. Bego kalo ada yang bikin Mortal Kombat, tapi memisahkannya dengan Fatality dan darah dan segala kekerasan fantasi lainnya.  Sutradara Simon McQuoid jelas bukan orang bego. Dia justru jelas seorang penggemar berat Mortal Kombat, yang respek dengan Mortal Kombat. Dan dia juga adalah seorang kreator yang tahu persis apa yang sedang ia jual. Lah, darimana kita tahu Simon McQuoid adalah semua itu? Tentu saja dari film reboot Mortal Kombat yang ia hasilkan!

Kalian tahu kan, gimana biasanya film dari adaptasi video game selalu menambah atau malah menghilangkan elemen dari game (seringkali justru elemen yang bikin gamenya menarik) sehingga jadi jauh banget dari ‘rasa’ game yang jadi materialnya. Gimana biasanya film tersebut terlalu ‘dimanusiakan’ sehingga jadi kebanyakan ngarang. Well, McQuoid di film Mortal Kombat ini tetap setia dan menampilkan elemen cerita dengan benar-benar sesuai sama lore dalam video game. Ini jelas merupakan fans-service yang luar biasa gede dan memanjakan bagi para penonton yang menggemari Mortal Kombat. Karakter-karakter yang ia munculkan dalam film ini, tampilan, bicaranya, dan berkelahinya dibuat semirip mungkin dengan video game.

mortalmk1200x
Yang paling sadis adalah fatality dari lembaga sensor Indonesia

 

Bola api Liu Kang? Ada. Tendangan sepedanya? Check! “Your soul is mine”-nya Shang Tsung? You bet! Hampir semua istilah dan gerakan yang bikin kita bernostalgia sama gamenya, ada semua. Brutality dan Fatality yang ikonik, semuanya ada, memuaskan haus darah penggemarnya. Di film ini kadang beberapa karakter malah seperti mengomentari pertarungan mereka sendiri dengan jargon-jargon khas seperti ‘finish him’ ataupun ‘flawless victory’. Budget film ini enggak gede, tapi dimainkan dengan maksimal untuk mewujudkan looks yang otentik dengan perpaduan yang pernah kita lihat di video game. Yang paling memukau tentu saja efek jurus es milik Sub-Zero. Film sepertinya memang menginvest lebih banyak untuk Sub-Zero, dan itu adalah investasi sangat memuaskan. Film ini tidak sekalipun tampak ‘murahan’. Kalopun sesekali ada efek dari jurus ataupun efek makhluk CGI yang terlihat masih kasar, tidak sampai mengganggu dan terlihat masih klop dengan tone film secara keseluruhan. Tidak pernah sekonyol efek dalam Mortal Kombat: Annihilation (sekuel dari film Mortal Kombat original)

Sebelum film ini, memang Mortal Kombat sudah pernah diadaptasi. Melahirkan dua film. Film keduanya – si Annihilation yang kusebut barusan – gatot alias gagal total. Film itu cheesy abis, aktingnya over-the-top, dengan efek yang banyak disebut orang kayak dibikin pake efek microsoft seadanya. Film originalnya – Mortal Kombat (1995), however, cukup bagus. Mendapat sambutan hangat dari fans. Karakter-karakter yang ditampilkan, walaupun aktingnya gak bagus-bagus amat, berhasil jadi ikonik (terutama si Shang Tsung!). Itu berkat penulisan yang berusaha keras membangkitkan semangat video gamenya. Film tersebut populer salah satunya juga karena musiknya. Mortal Kombat abis!! Jadi, film itulah yang jadi tolak ukur bagi Mortal Kombat buatan McQuoid. Dan memang, di film terbaru ini McQuoid memfokuskan kepada hal yang kurang dieksplorasi oleh film tersebut. Karakterisasi.  McQuoid memberikan banyak waktu untuk menampilkan relasi antarkarakter, yang berarti McQuoid memperhatikan development karakternya. Mortal Kombat sebagai game fighting yang sudah dua-puluh-sembilan tahun aral melintang melintas konsol dan arcade, tentulah punya karakter yang banyak. Di sinilah tantangan bagi McQuoid. Dia harus menyelam dalam-dalam sebagai fans untuk mengetahui mana yang benar-benar perlu untuk digali, dan memikirkan bagaimana cara terbaik untuk menyusun kepingan-kepingan karakter itu ke dalam narasi film yang utuh.

Dan dia berhasil. Meskipun dari segi penampilan akting, masih bisa lebih baik lagi, tapi karakter-karakter tersebut langsung konek ke fans. Liu Kang dan Kung Lao misalnya. Film mampu mencuatkan mereka, sehingga walaupun di sini peran mereka bukanlah utama seperti pada gamenya, tapi kesan yang ditampilkan berhasil menguatkan kedua sepupu ini. Relasi yang mencuri perhatian berikutnya adalah antara Sonya dan Kano. Hiburan ringan banyaknya datang dari sini, aku pribadi suka lihat betapa miripnya Jessica McNamee dengan Sonya Blade di game jadul. Tapi terutama yang terutama jadi hiburan itu adalah Kano yang dimainkan oleh Josh Lawson dengan aura yang ngingetin aku sama karakter Mick Taylor di franchise thriller Australia, Wolf Creek. Film memainkan Sonya dan Kano dengan irama ‘teman-atau-lawan’ yang sangat menarik. Fans Mortal Kombat mungkin bisa menebak ke mana arah Kano nanti, tapi ternyata temanku yang bukan gamer, yang awam sama mitologi dan lore Mortal Kombat, mengaku surprise juga dengan perkembangan Kano di sini. Ini membuktikan build up dan swerve yang dilakukan oleh film ini berhasil membuat penonton peduli. Jadi, film ini ternyata mampu bekerja dengan baik untuk penonton yang awam. Gak harus tau gamenya untuk menikmati ini.

Relasi yang mencuri perhatian tentu saja adalah antara Scorpion dengan Sub-Zero. Di penggalian mereka inilah film terbaru ini menang telak dari film original. Di situ dua ninja ini ditampilkan sebagai anak buah yang bahkan gak ada dialog yang berarti. Di film ini, mereka benar-benar difungsikan sebagai ikon – persis seperti pada gamenya. Dua karakter yang paling banyak digemari ini diberikan porsi yang lebih gede di antara karakter lain. Sub-Zero digambarkan sangat kuat – membunuh Hanzo dan keluarga, menghancurkan dua lengan Jax, menyerang kota dengan hujan salju tajam – seolah dialah musuh utama di film ini. Scorpion juga tak kalah kuat, dia ditampilkan seperti tokoh utama di sini. Keputusan film untuk meng-cast Hiroyuki Sanada sebagai Scorpion dan Joe Taslim kita (kitaaa??) sebagai Sub-Zero adalah keputusan yang tepat, sebab keduanya sama-sama mencuatkan penampilan mereka. Dua aktor yang bisa beladiri, ditaruh di tengah, dan mereka memikul film ini lewat akting dan aksi berantem sama kuatnya. Untuk Joe Taslim, aku harap film ini bakal mengukuhkan namanya. By the looks of it, franchise reboot ini bakal setia dengan game, jadi sedikit spoiler untuk penggemar Taslim; Meskipun Sub-Zero memang bakal berganti, tapi Taslim masih mungkin akan kembali di sekuel, karena karakter yang ia perankan ini bakal hidup kembali dengan kekuatan dan nama baru. Kita hanya bisa berharap film ini tetap memakai Taslim dan tidak menggunakan CGI untuk karakter barunya tersebut.

mortalmaxresdefault
Apa kata Scorpion kepada Sub-Zero yang galau keingetan mantan? “GET OVER HER!”

 

Jadi, jika semua karakter dan jurus dan lorenya persis dengan game, lantas tindak adaptasi yang dilakukan film ini apa dong? Jawabannya adalah protagonis baru. Protagonis original yang khusus ada di film ini. Cole Young (diperankan oleh Lewis Tan) dijadikan sebagai sudut pandang utama yang kita ikuti, nyaris sepanjang durasi. Setelah adegan opening yang memperlihatkan pertarungan dua karakter ikonik di jaman dahulu, cerita akan membawa kita melompat ke masa kini. Melihat kehidupan profesional Cole Young yang mantan petarung MMA. Dia kini menafkahi keluarga dengan bertarung di arena underground. Tapi dia selalu kalah. Kita melihat Cole ternyata Juara Terpilih untuk Bumi dalam turnament Mortal Kombat berikutnya. Cole yang masih belum ngeh apa-apa dan bahkan belum punya kekuatan super, bergabung dengan pasukan Bumi, dan memulai pelatihannya di Kuil Raiden. Masalahnya adalah, pasukan Otherworld ShangTsung tidak mau ramalan soal Bumi akan memenangkan turnamen ke sepuluh ini jadi kenyataan. Sehingga Jadi, Otherworld main curang dan menyerang para Terpilih sebelum turnamen dimulai. Termasuk Cole dan keluarganya.

Cole selalu kalah karena dia menerima saja serangan yang diberikan. Pelatih meledeknya sebagai ‘human punching bag’. Anaknya kerap mengingatkannya ‘kalo pake uppecut pasti menang’ (reference kocak ke game Mortal Kombat; pukulan uppercut punya damage yang paling gede). Dia terlalu khawatir untuk bertahan demi keluarganya, dia jadi kalah sebelum bertanding. In a way, Cole serupa dengan Shang Tsung di cerita ini, yang menyerang di luar aturan hanya karena takut pasukannya kalah di turnamen nanti. Tapi, tidak seperti Shang Tsung, Cole akhirnya sadar apa makna mempertahankan yang sebenarnya, dan itulah yang jadi sumber Arkana bagi dirinya.

Menempatkan penonton di sudut pandang Cole ternyata efektif. Semua lore Mortal Kombal bisa dijelaskan tanpa membuang banyak waktu untuk introduksi dan origin story yang kepanjangan. Kita tidak perlu lagi melihat gimana Liu Kang jadi kuat atau semacamnya. Karakter-karakter video game yang sudah kita kenal itu sudah menempati posisi mereka masing-masing. Fokus growthnya tetap pada Cole, yang bersama kita berusaha memahami apa yang terjadi. Cole tidak digambarkan semata sebagai outsider. Ada backstory yang menghubungkan dia dengan semua lore tersebut, sehingga dia jadi punya alasan untuk berada dan berlaga bersama jagoan-jagoan favorit kita sejak lama. Hanya saja memang dari segi karakterisasi, Cole ini masih kurang terflesh out. Menarik menunggu kekuatan Arcananya muncul, kita penasaran apa kekuatan yang dipunya oleh Cole. Tapi selama menunggu tersebut, Cole ini mulai kehilangan keunikan. I mean, it’s so easy lupa kalo dia bukan Johnny Cage (karakter original Mortal Kombat yang tidak dimunculkan di film ini). I mean, perannya di cerita itu kayak gak ada beda kalo dia dikasih nama Johnny Cage, bahkan beberapa karakter menjuluki Cole sebagai ‘pretty boy’. Mirip ama gimmick Cage yang seorang bintang film tampan. Stake Cole dan keluarganya juga masih standar. Film actually terlalu sibuk menempatkan dia sebagai fish-out-of-water ketika berlatih bersama petarung lain, sehingga tidak ada ruang tersisa untuk mengembangkan keluarga dan bahkan misteri siapa Cole sebenarnya tidak banyak mendapat build up. Hanya sesekali saja sekelebat bayangan muncul di benak Cole, mengingatkan kita kepada tie in antara Cole dengan karakter lain. 

Film ini juga masih kurang rapi dalam memanfaatkan ruang dan pembangunan adegan. Masih ada yang tampil awkward dan seperti berseliweran. Misalnya seperti ketika masing-masing jagoan berantem dengan musuh, lalu tiba-tiba jagoan yang satu kalah dan berteriak memanggil jagoan lain. Si jagoan lain lagi berantem juga, dan kemudian beres cepet-cepet dan berlari ke tempat yang butuh pertolongan. Ini rangkaiannya terlalu kaku sehingga kurang enak dari segi pengalaman sinematik. Urutan dan rangkaian kejadian seperti ini mestinya bisa lebih diperhalus lagi. Ini ibaratnya seperti menggunting pinggiran, film ini melakukannya dengan terlalu menyudut sehingga jadi tampak kaku secara keseluruhan.

 

 

Sebenarnya ini termasuk adaptasi video game yang berhasil. Benar-benar setia dengan sumber materinya. Identitas dan role itu tetap dijaga. Berusaha untuk punya cerita yang grounded, enggak sekadar menyuguhkan aksi yang seru. Dan film ini memang punya aksi seru dan menghibur. Sadis, tapi menghibur. Penggemar gamenya pasti puas. Yang belum pernah main gamenya, bisa-bisa jadi kepengen nyobain main, kayak temenku. Satu-satunya film ini bisa disebut sebagai adaptasi yang jelek, adalah jika kita menyaksikannya sebagai penonton bioskop Indonesia. Karena apparently lembaga sensor di sini tidak mengerti konteks, dan malah memotong adegan kekerasan/fatality pada film yang diadaptasi dari video game yang populer dan beridentitas pada kekerasan/fatality tersebut. Aku bilang, film ini belum ‘flawless victory’. Jika sutradaranya sudah punya pengalaman lebih banyak (khususnya pada laga), pastilah bisa jadi lebih bagus dengan penulisan dan pengadeganan yang lebih rapi. For now, sudah cukup bagus dan menghibur. Yang jelas, aku menantikan sekuelnya. And I know you do too.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for MORTAL KOMBAT.

 

 

That’s all we have for now.

Kenapa menurut kalian Fatality dan jurus-jurus sadis Mortal Kombat begitu digemari?

Share  with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

CHAOS WALKING Review

“Women are hard to read”

 

Planet itu bukan Bumi. Lingkungannya boleh saja mirip, tapi dengan satu perbedaan besar. Tidak ada perempuan yang kelihatan di sana. Kota kecil tempat Todd tinggal, semua penghuninya adalah lelaki. Dari cerita yang Todd dengar Pak Walikota, perempuan di kota mereka – termasuk ibu Todd – dibantai oleh penduduk asli planet ini. Itu karena para perempuan tidak memiliki Noise. Ya, inilah satu lagi perbedaan mencolok antara planet ini dengan Bumi; di planet ini, pikiran dan kata hati para lelaki bisa didengar oleh semua orang. Terwujud dalam gelembung suara, yang juga mirip kabut, di sekitar kepala masing-masing individu, yang disebut sebagai Noise. Todd dan masyarakat kota terbiasa hidup dengan Noise, kesatuan mereka terbentuk atas dasar saling percaya. Sampai kemudian, sebuah pesawat ruang angkasa jatuh ke hutan. Viola, anak perempuan seusia Todd jadi satu-satunya penyintas. Todd sekarang memegang kunci keselamatan bagi Viola, sebab gadis itu tentu saja diburu seketika. Dan dalam pelarian mereka itulah sejarah/rahasia kelam komunitas koloni ini sedikit demi sedikit menjadi terbuka.

Setting dunia yang seluruhnya dihuni laki-laki milik film ini memang mengingatkan kita pada Maze Runner. Heck, bahkan Wonder Woman aja sudah menggunakan setting closed world seperti demikian. So yea, setting yang dimilikinya memang boleh jadi tidak menambah banyak untuk identitas film ini. Which we must turn our head to the other ‘gimmick’. Konsep Noise.

Konsep itulah yang membuat film adaptasi novel Young Adult berjudul The Knife of Never Letting Go berbeda dari yang lain. Sutradara Doug Liman banyak melakukan eksplorasi di sini. Kita melihat bagaimana Noise menjadi bagian wajib dalam fondasi masyarakat dalam cerita. Tapi juga sekaligus jadi semacam restriksi bagi protagonis, yakni si Todd. Dibandingkan dengan karakter lain, memang Todd ini yang terasa paling ‘normal’. Dia gak nyaman pikiran dan kata hatinya didengar oleh semua orang, jadi dia menciptakan teknik pertahanan sendiri. Dia berusaha untuk menyembunyikan pikirannya dengan mengulang-ngulang kalimat dalam kepalanya sendiri. Liman membuat Noise ini bisa dikendalikan jika seseorang cukup kuat. Bisa disembunyikan, atau malah bisa juga diperkuat sehingga muncul dalam bentuk visual. Liman juga membuat Noise ini sebagai bagian dari komedi, dan integral dalam build up cinta-cintaan antara Todd dengan Viola. Kita akan melihat banyak adegan Todd dengan kikuk berusaha menutupi imajinasi-ngarep Viola naksir kepadanya.

Meskipun aneh juga cowok yang selama ini gak pernah lihat cewek bisa ngerti dan membayangkan pacaran itu ngapain aja.

 

Sayangnya, konsep yang dimiliki Chaos Walking ini hanya terasa asyik saat dibicarakan di atas kertas. Tampak seru ketika kita membacanya, kemudian membayangkan seperti apa kejadiannya secara nyata. Karena, saat kita menonton film ini, sesungguhnya hanya terasa setengah asik. Malahan, aku butuh waktu cukup lama untuk membiasakan diri sama adegan-adegan yang penuh oleh reaksi dan perlakuan karakter terhadap Noise-Noise di sekitarnya. Dan ketika sudah terbiasapun, cerita tak lantas jadi fun dan menarik simpati. Masih ada kekosongan yang menjemukan di tengah kebisingan Noise tersebut. Karakter-karakternya tidak pernah berhasil tampil semenarik konsepnya itu sendiri. Certainly, ini bukan permainan akting yang jelek. Ada Tom Holland di sini, sebagai Todd. Ada Daisy Ridley, sebagai Viola. Mereka berusaha menghidupkan karakternya. Mereka tampil baik jika sendiri-sendiri. Namun simply, tidak banyak chemistry di antara mereka berdua.

Masalah ini tentu saja datang dari penulisan. Relasi dua karakter ini, secara design, punya perkembangan. Yakni keduanya tadinya saling tidak percaya, tapi mereka harus bekerja sama, dan kemudian perlahan tumbuh cinta yang genuine di antara mereka berdua.  Perkembangan tersebut tidak pernah tersampaikan dengan benar kepada kita. Karena karakterisasi mereka dituliskan sedikit sekali. Todd dapat porsi lebih banyak, karena dia tokoh utama, tapi sebagian besar waktu (saat sebelum ketemu Viola) dihabiskannya untuk menutupi pikiran dari orang-orang sekitar. Kita tidak diperlihatkan apa motivasi personal dirinya. Di sisi lain, karakterisasi si Viola bahkan nyaris tidak ada. Karakter ini malah sebagian besar screen time-nya dihabiskan dengan tanpa-dialog; sesuai dengan gagasan yang diincar oleh film, yakni perempuan itu tidak bisa ditebak. Hasilnya adalah kita kayak melihat partner petualangan yang aneh. Gadis serbabisa dan mandiri, yang diantarkan menuju keselamatan oleh cowok yang berusaha untuk tidak mati; ada potensi di sini. Terutama karena Todd sebenarnya lebih suka cewek ini tetap tinggal bersamanya alih-alih diantarkan menuju tempat keselamatan. Hanya saja film tidak meluangkan banyak waktu untuk relasi. Melainkan terus berkutat pada aksi kejar-kejaran, seperti kesetanan mengejar durasi waktu.

Pikiran cowok gampang ketebak, sementara sangat susah untuk menerka apa yang sedang dipikirkan oleh perempuan. Konsep Noise film ini, serta sejarah pertikaian kelompok penghuni planetnya, menyimbolkan hal tersebut. Ini sebenarnya menunjukkan pria yang takut tidak punya kendali atas perempuan yang bisa berpikir sendiri, jadi mereka memusuhinya. Memusnahkannya. Perjalanan Todd bisa kita paralelkan sebagai perjalanan seseorang untuk menerima dan mengakui keberadaan dan keberdayaan perempuan. Bisa dibilang, ini adalah perjalanan Todd menjadi seorang feminis.

 

Sama seperti kebanyakan novel Young Adult yang dikasih lampu ijo untuk diubah menjadi film, cerita Chaos Walking juga punya elemen kekinian yang lagi seksi untuk dibahas. Yaitu masalah ‘cowok melawan cewek’. Feminisme melawan maskulinitas-yang-toxic. Elemen tersebut dengan sangat gamblang tersurat. Kelompok pria yang memusuhi perempuan karena perempuan itu tak tertebak dan serba berahasia. Perempuan yang menjadi pemimpin yang lebih adil. Cowok yang dianggap sama kayak cewek ketika mereka berusaha menjaga privasi. Film ini gak punya masalah dalam memainkan elemen-elemen tersebut bahkan hingga ke settingan paling ‘over’. Menjadikan cerita film ini basic dan tidak ada tantangan. Aku malah lebih tertarik sama elemen subtil yang dihadirkan cerita, yaitu soal masalah antara manusia pendatang dari Bumi dengan penduduk asli planet ini. Di sini, elemen tersebut melingkupi apa yang sepertinya tampak sebagai penindasan, dan penyebaran hoax. Aku ingin melihat lebih banyak tentang apa yang terjadi sebenarnya. Namun bahkan penduduk asli itu hanya dimunculkan random dalam satu adegan.

Yang pikirannya ngeres melulu, dijamin gawat tinggal di planet ini

 

Chaos-nya penulisan dan arahan Chaos Walking ini datang sebagai dampak dari reshoot dan rewrite yang dilakukan. Secercah hal manis dan keseruan masih sesekali bisa kita temukan, tapi selebihnya film ini terasa sambung-menyambung menjadi cerita yang gak-jelas bangunan narasinya. Aksi dalam film ini semuanya hanya berupa kejar-kejaran. Yang gak seru karena stake-nya gak pernah bisa kita mengerti. Ini berhubungan dengan motivasi antagonis yang juga aneh. Kenapa begitu penting bagi karakter jahat itu untuk mencegah Viola memanggil pesawat lain. Film ini kelupaan membahas backstory kenapa mereka semua memilih tinggal di planet itu. Lebih tepat mungkin bukan ‘kelupaan’. Melainkan sengaja. Kok sengaja? Ya apalagi kalo bukan karena meniatkan untuk sekuel. Film ini sengaja gak membahas dalam mengenai dunia cerita, karena bakal ditempakan sebagai bahasan dalam cerita film kedua. Tapi sejujurnya, melihat performa terlalu minim yang diberikan oleh film ini, aku ragu ada penonton yang menginginkan sekuel ini. Kayaknya lebih pasti, para penonton meminta uang mereka kembali.

 

 

Ini adalah salah satu kekecewaan buatku karena film ini sebenarnya mengusung konsep menarik seputar pikiran manusia. Namun penulisannya terasa kacau, seperti melupakan apa yang sedang dibahas di tengah-tengah, dan terus mengganti menjadi bahasan baru. Kita tidak pernah tahu konteks besar dari narasi film. Sehingga akhirnya memang bagi kita, film ini hanya berupa rusuh yang tidak jelas, dengan karakter yang bland, yang tidak bisa kita pedulikan. Yang tidak terasa chemistrynya.
The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for CHAOS WALKING.

 

 

That’s all we have for now.

Apakah bagi kalian yang cewek, cowok memang semudah itu untuk dibaca? Dan apakah bagi kalian yang cowok, cewek memang susah untuk ditebak? Film ini mengatakan hal seperti itu tidaklah adil. Bagaimana pendapat kalian, apakah memang lebih baik untuk kita mengetahui semua hal yang dipikirkan oleh pasangan kita?

Share  with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

GODZILLA VS. KONG Review

“Fight to protect”

 

Dua gajah berkelahi, pelanduk mati di tengah-tengah. Tidak, aku tidak sedang ngajakin belajar peribahasa. I’m just saying peribahasa tersebut memberikanku gambaran gimana rusuhnya kalo ada dua makhluk besar kayak gajah bertengkar. Pelanduk di hutan yang kebelutan berada di sana sampai-sampai jadi korbannya. Sekarang coba bayangkan kalo dua gajah yang berantem itu dituker sama dua raksasa. Godzilla, si Raja Monster, yang bisa menembakkan sinar atomic dari mulutnya. King Kong, gorila-kelewat-subur yang bisa mencabut pohon hingga ke akarnya, seenteng nyabutin uban. Dua monster raksasa itu berkelahi. Dan memang, manusia – kita-kitalah – yang jadi pelanduknya. Tapi itu tidak berarti kita mati di tengah-tengah. Karena nyatanya, film Godzilla vs. Kong garapan Adam Wingard ini membuktikan kita justru happy sehappy-happy-nya berada tepat di tengah-tengah pertempuran kolosal tersebut. Menonton rangkaian aksi fantastis dengan decak kagum. This is pure entertainment. Seganas-ganasnya. Seliar-liarnya.

Adam Wingard paham betul bahwa orang-orang rela menghabiskan waktu dengan mendekam pake masker di bioskop demi melihat Kong dan Godzilla baku hantam. Apparently, bukan orang Indonesia saja yang doyan nonton keributan haha… Yang jelas, Wingard mengerti yang diinginkan oleh penonton. Maka dia membuat Godzilla vs. Kong sebagai sajian yang gak muluk-muluk dalam hal plot atau cerita. Simpel aja. Beberapa ilmuwan ingin mencari sumber energi baru. Jadi mereka memutuskan untuk mencari ke dunia tempat asal muasal para Raksasa. Mereka butuh Kong, untuk katakanlah, jadi guide ke Hollow Earth tersebut. Perjalanan panjang itu harus mereka lakukan dengan ‘diam-diam’ karena Kong dan Godzilla sudah turun temurun jadi bebuyutan. Apalagi Godzilla si penjaga bumi dari  monster-monster raksasa asing, sudah mulai aktif ya Bun.. eh maksudnya, sudah mulai aktif berpatroli kembali. Ada sesuatu yang mengganggu si Godzilla. Menyebabkan monster reptil raksasa itu jadi beringas. Para ilmuwan tentu saja tidak mau keberadaan Kong sampai diketahui oleh Godzilla. Tentu saja yang namanya malang, tak dapat ditolak. Tapi ternyata Godzilla memburu ke tempat yang salah. Bukan Kong yang harusnya diberangus oleh Godzilla. Melainkan maut yang secara rahasia dikembangkan oleh perusahaan Apex di tengah-tengah kota!

“Marthaaaa!!”

 

Aksi berantem para monster raksasa memang terdeliver dengan super seru. Seperti pada Godzilla: King of the Monsters tahun 2019 yang lalu, kita akan dibuat puas oleh adegan-adegan perkelahian antarmonster. Keunikan dan hal spesial dari masing-masing mereka, dicuatkan dalam pengadeganan dan koreografi aksi. Wingard pun sering bermain dengan kamera. Menaruhnya seakan di lengan Kong, misalnya. Membuat kita merasakan pov berantem itu secara langsung. Sutradara King Kong vs. Godzilla original (1954) versi Jepang, Ishiro Honda, pernah bilang bahwa kejadian ada King Kong melawan Godzilla itu kan sebenarnya konyol banget, tugas filmmaker di sini adalah bagaimana memanggungkannya. Bagaimana mendesain kejadian dan situasi sehingga perkelahian dua makhluk reka ini menjadi epik. Dalam film original tersebut, Honda membuat pertempuran Kong dengan Godzilla itu sebagai satir dari perang rating industri pertelevisian Jepang pada saat film itu dibuat. Dalam Godzilla vs. Kong terbaru ini, sutradara Wingard tidak mensatirkan macam-macam. It’s just a plain monster melawan monster, namun ternyata manusia adalah monster sebenarnya, dan kemudian balik lagi menjadi monster melawan monster. Kesimpelan itu dibikin impas oleh Wingard lewat visual yang luar biasa. Panggung yang dibicarakan oleh Honda, well, Wingard di film ini menciptakan bukan hanya satu, melainkan tiga panggung yang superinteraktif dalam perkelahian Kong dengan Godzilla. Pertempuran di tengah laut. Di dalam laut – dengan serpihan kapal dan pesawat bagai bintang-bintang di sekitar mereka. Pertempuran malam hari bermandikan lampu neon gedung-gedung di kota Hong Kong. Shot-shotnya keren semua. Pertempuran di kota normal, well, let’s make that a handicap – the more the merrier!! Wingard gak abis akal untuk mengisi separo dari durasi film ini dengan gempuran aksi. Semuanya benar-benar memanjakan imajinasi anak kecil yang tertidur di dalam diri kita. 

Actual improvement  yang dilakukan oleh Wingard terletak pada pengkarakteran. Dua film awal Monsterverse, Kong: Skull Island dan Godzilla: King of the Monsters punya dosa yang sama; yakni karakter manusianya gak ada development dan, terutama sangat boring. Nah, boring itu bukan sebuah masalah pada film ini. Wingard membumbui karakter-karakter yang ia punya, secukupnya. Kita akan lihat ada karakter seorang podcaster yang paranoid, dia percaya beberapa konspirasi. Karakter ini juga berfungsi sebagai comedic relief berkat reaksi-reaksinya. Millie Bobby Brown kembali melakoni perannya sebagai Madison Russell. Madison dalam cerita ini diberikan sidekick – yang diperankan dengan kocak oleh Jullian Denison, mereka eventually bakal team up dengan si podcaster. Petualangan kecil-kecilan mereka mengungkapkan rahasia perusahaan Apex sebenarnya cukup menghibur, hanya saja tidak banyak diberikan waktu. Porsi mereka harus mengalah kepada porsi tim ilmuwan yang melakukan perjalanan bersama Kong. Dalam tim tersebut karakter menariknya adalah seorang anak kecil perempuan bernama Jia (diperankan dengan adorable oleh aktor cilik tunarungu Kaylee Hottle) Anak ini punya hubungan khusus dengan Kong. Bayangkan film horor yang biasanya ada karakter anak kecil yang bisa berkomunikasi dengan hantu. Nah, Jia ini mirip seperti itu. Dia secretly bisa berkomunikasi dengan Kong pake bahasa isyarat. Malahan, hanya omongan Jia-lah yang mau didengar oleh Kong. Dinamika Jia dengan Kong memberikan hati kepada film ini. Cerita mereka cukup diflesh-out, kita diberitahu latar kenapa Jia bisa dekat dengan Kong, sehingga kita jadi peduli sama persahabatan keduanya.

Baik Godzilla maupun Kong, mereka sebenarnya berkelahi untuk melindungi. Untuk menjaga teritori. Untuk menjaga orang atau sesuatu yang dipedulikan. Dalam cerita ini, dan dalam kebanyakan hal, justru manusialah yang predator. Berkelahi untuk menguasai. Bertempur, dan menciptakan alat serta teknologi, untuk mendapatkan yang dimau.

 

Dan uniknya, bahkan karakter monster pun diberikan ‘warna’ lebih banyak oleh sutradara. Misalnya, si Kong. Actually malah kalo dipikir-pikir, Kong-lah yang jadi tokoh utama. Peran Kong di sini benar-benar integral ke dalam cerita. Dia punya arc, tidak lagi sekadar muncul sesekali untuk adegan aksi. Kita merasakan motivasi Kong untuk melindungi. Kong juga diberikan momen personal ketika dia kembali ke kampung halamannya (di situ kita juga disiratkan sedikit mengenai latar karakter Kong). Film melakukan langkah ekstra untuk meniupkan kepribadian ke dalam Kong. Salah satunya adalah dengan menggunakan lagu latar untuk beberapa adegan yang menunjukkan kegiatan ataupun apa yang dirasakan oleh Kong. Seperti pada adegan opening yang mengeset ada hubungan khusus antara Kong dengan si Jia, kita mendengar lagu tentang seseorang dengan gadis cilik. Karena tone keseluruhan dijaga untuk tetap ringan, maka pilihan lagu yang digunakan oleh film ini untuk Kong tersebut kadang-kadang bisa terdengar cheesy. Tapi sepertinya tidak akan mengganggu banget, karena kapan lagi kita melihat Kong diberikan karakter yang cukup banyak untuk bisa diperbincangkan. Sebaliknya, si Godzilla di film ini kurang banyak tampil. Godzilla di sini digambarkan agresif, sebagian besar waktu terlihat seperti dia-lah antagonisnya. Sehingga beberapa fansnya mungkin bakal kecewa, dan bisa jadi keberatan karena Godzilla sedikit keluar dari karakternya sebelum film ini. I know, karena walaupun aku bukan penggemar berat Godzilla, tapi melihat dia di-close up tersenyum jahat ala Bezita tetep saja terlihat aneh.

“King Kong phone home”

 

Memang harus diakui, film seperti ini akan selalu kebentur masalah dalam penyeimbangan antara aksi dengan karakterisasi. Dan eksposisi. Penonton boleh saja pengen melihat aksi seru, tapi yang sebenarnya akan diingat dan dinikmati oleh penonton tentu adalah ceritanya. Journey karakternya. Wingard berkutat dan akhirnya memilih formula yang sama. Nyaris 50 persen aksi, dan sebagiannya lagi adalah gabungan dari eksposisi dan karakter. Eksposisi tidak bisa dihilangkan karena bagaimana pun juga penjelasan terhadap apa yang terjadi, teknologi, mitos, serta konsep Hollow Earth itu sendiri perlu untuk diinformasikan.Wingard yang mau membuat film ini ringan dan total menghibur, tak punya pilihan lain selain mengorbankan development karakter. Sehingga Godzilla vs. Kong heboh di luar, tapi dalamnya tetap masih hampa. Aku tak mengerti kenapa formula ini terus dipakai. Kenapa memilih setting cerita yang butuh eksposisi, kenapa mereka tidak membuat pure dari sudut pandang monster raksasanya, misalnya. Di balik keseruan bag-big-bug, kita tidak terlalu perhatian lagi sama cerita. Malah mungkin, ada penonton yang gak peduli (dan gak ingat) ceritanya apaan. Kalo ada yang bilang film ini adalah “mindless destruction” maka itu benar. Dalam artian mindless yang betul-betul tidak mikirin apa-apa. Para Titan bertarung di kota, di antara gedung-gedung, yang hancur gitu aja seolah tempat itu kosong.

Ritme kejadiannya juga bisa lebih diperhatikan lagi. Karena film ini tuh kayak berjalan dengan aneh. Mereka menghabiskan lebih banyak waktu untuk memperlihatkan mengangkut Kong ke Hollow Earth, ketimbang petualangan di Hollow Earth itu sendiri. Menurutku durasinya terlalu singkat. Mungkin karena budget juga, maka Hollow Earth kurang dieksplor. Adegan Kong berantem ama Godzilla di sana aja gak ada. Padahal bisa seru kalo mereka berlaga di tengah medan yang gravitasinya berbeda. Film ini paling datar, ya memang di Hollow Earth itu. Aku bahkan gak ingat kalo Kong itu raksasa tinggi besar karena selama di sana sedikit sekali shot yang nampilin skala. Sedikit sekali yang menunjukkan betapa menakjubkannya ukuran dunia tersebut. Petualangan tim Millie Bobby Brown juga deserves more time. Dan kupikir lucu sekali, karakter Madison dan Jia sama sekali tidak pernah bertemu. Mereka tidak berkesempatan bertualang bersama. Tidak ada interaksi. Padahal bisa saja seru, soalnya Madison bisa dibilang kubu Godzilla sedangkan Jia sekutu dari Kong. Film seharusnya bisa menampilkan lebih banyak hal, sementara tetap ringan dan menghibur.

 

 

Kita ingin melihat dua monster raksasa yang ikonik berantem, dan persisnya itulah yang diberikan film ini kepada kita. Semua pertarungan diceritakan dengan memanjakan kehausan kita terhadap keributan skala epik. Dan yang membuatku tercengang adalah, film ini benar-benar ngasih kita pemenang pada duel maut ini! Karakter-karakter di dalam cerita dibuat tidak membosankan, mereka diberikan trait-trait yang unik. Pokoknya film ini seru dan menghibur. Dan di situlah film ini memberi garis batas. Karena dia gak pernah keluar dari garis tersebut. Tidak banyak development pada karakter-karakter menarik tadi. Alur ceritanya pun relatif simpel. Ini bisa jadi kelemahan atau sebaliknya jadi nilai lebih, tergantung darimana penonton menilai ‘hiburan’ bagi mereka sendiri. Bagiku, film ini oke, tapi memang mestinya bisa lebih seru lagi. Ritme dan petualangan, serta pertarungannya mestinya bisa lebih diperhatikan lagi. Karena ada beberapa bagian yang terasa seperti film ini melewatkan kesempatan besar.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for GODZILLA VS. KONG

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Perusahaan jahat di film ini bernama Apex, yang diambil dari istilah ‘apex predator’. Mengisyaratkan bahwa manusia adalah predator puncak dari rantai makanan. Apakah menurut kalian predator memang lebih baik daripada makhluk lain di bawahnya? 

Share  with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

THE FATHER Review

“Why not try to enter their reality?”
 

 
Nominasi yang bakal bertanding memperebutkan Best Picture Academy Awards 2021 telah diumumkan. Dari delapan film tersebut, sebagian besarnya memang powerhouse, yang difavoritkan banyak penonton – kritikus atau bukan. Orang-orang akan menjagokan Nomadland dan Sound of Metal karena kemegahan teknis dan arahannya. Minari karena kehangatan dan karakternya. Promising Young Woman karena keberanian dan keedgyan gagasannya. Mank for the love of Cinema. The Trial of the Chicago 7 beserta Judas and the Black Messiah yang bicara seputar isu penting kemanusiaan. Tidak banyak yang sampai ke telingaku, berbicara soal The Father. Drama relasi ayah dan anak yang disadur oleh sutradara Florian Zeller dari naskah teater garapannya sendiri ini seperti sedikit terlupakan. Padahal, setelah kutonton, film ini ternyata memberikan kita pengalaman yang sekiranya sulit terlupakan. Dan ini ‘lucu’, mengingat filmnya sendiri bicara tentang orang yang perlahan (tapi pasti) kehilangan ingatannya.
To be honest, aku pun sendirinya berpikir ini bakal jadi tontonan yang cukup boring. Sudah kebayang film ini akan berisi percakapan antara ayah dan anaknya. Dan tentu saja, film ini memang berisi dialog demi dialog antara ayah yang berusaha memahami keadaan anaknya sekaligus juga tentang anak yang mencoba melanjutkan hidup sementara orangtuanya tersebut dalam keadaan yang tidak segampang itu untuk ditinggalkan. Kondisi ayahnya itulah yang membuat film ini tidak pernah menjadi semembosankan apa yang ku bayangkan. The Father adalah drama hubungan ayah dengan anak, sementara sang ayah ini mengidap Alzheimer. Dementia mulai menggerogotinya. Sehingga setiap kali percakapan mereka tampil di layar, selalu ada something interesting (dan mengkhawatirkan) yang terjadi di baliknya.

Mengalami langsung bingungnya dementia.

 
Banyak film yang membahas tentang dementia yang dialami oleh pengidap Alzheimer. Tahun lalu misalnya, ada Relic. Lalu belum lama ini, ada film horor Indonesia yang memejeng (iya memejeng doang!) karakter dementia yakni Affliction. kebanyakan film yang membahas tentang kengerian dementia memang membahas dari ketakutan dari menghadapi penderita dementia itu sendiri. Dealing with them dapat menjadi pengalaman yang mengerikan, terutama karena kita tahu penderita gak bakal bisa disembuhkan. Kenyataan bahwa mereka kian hari semakin melupakan kita itulah yang biasanya disimbolkan menjadi cerita horor atau jadi kaitan drama yang merenyuhkan hati. Di sinilah letak keunikan dari The Father. Film ini mengambil langkah yang ekstra dengan menempatkan kita langsung pada sudut pandang si penderita dementia.
Sebagian besar durasi, kita akan mengalami kebingungan itu bersama Anthony. Pria tua ini, diceritakan, menolak untuk dibantu. Setiap kali putrinya mendatangkan juru-rawat, Anthony selalu ngejutekin. Anthony gak suka dianggap tak berdaya. Terutama, dia curiga kalo mereka-mereka itu datang untuk mencuri jam tangannya. Padahal Anthony-lah yang selalu lupa menaruh jam tersebut di mana. Seiring film berjalan, semakin banyak hal yang membuat Anthony mengerutkan kening. Percakapan dia dengan putrinya, Anne, selalu berubah-ubah. Anthony yakin putrinya itu ingin ke Perancis, dan bahwa putrinya belum menikah. Tapi kenapa sering juga ada pria lain muncul di rumahnya. Mengaku sebagai suami Anne. Dan Anne bilang dia tidak pernah mau ke Perancis. DAN, ngomong-ngomong soal Anne, kenapa pula wajah putrinya ini berubah-ubah. Anthony tak abis pikir. Rumahnya ternyata bisa jadi bukan rumahnya. Pagi ternyata malam. Kenyataan mulai terpecah-pecah di dalam kepala Anthony, sampai dia sadar dia tidak mampu lagi menyatukan semuanya.

Yang paling mengerikan dari dementia adalah kenyataan bahwa penyakit itu tidak bisa dihentikan. Usaha menyembuhkan penderita dengan membawa mereka kembali mengingat realita adalah usaha yang sulit dan dibilang mustahil. Florian Zeller tampaknya mengerti akan hal tersebut. Makanya, film The Father ini dia susun sebagai pengalaman menonton yang menempatkan kita ke dalam benak atau realita yang dialami oleh si penderita. Itu dilakukan karena mungkin, itulah cara yang paling dekat dengan usaha menyembuhkan penderita dementia.

Nonton ini tuh kita seperti ikutan ‘sinting’. Untuk memberikan kesan confusing yang dialami oleh Anthony, sutradara benar-benar detil membangun set dan menggunakan latar. Kemudian menyempurnakannya dengan editing. Ngedip dikit, dan kita akan ikutan bengong melihat kenapa kantong plastik belanjaan itu berubah warna dari putih ke biru. Perubahan-perubahan kecil seperti demikian itu kerap terjadi di layar. Isi ruangan tempat tidur yang berpindah susunan. Keramik wastafel dapur yang berganti. Dan tentu saja, orang-orang yang muncul di sekitar Anthony. Semuanya kerap berubah. Anne yang di adegan sebelumnya, berwajah berbeda dengan Anne yang ternyata baru pulang dan muncul di pintu depan. Keganjilan-keganjilan ini semakin intens seiring durasi. Bagian favoritku adalah adegan makan malam yang percakapan mereka tampak ngeloop. Anthony datang, menguping Anne dengan suami mendebatkan soal mengirim dirinya ke institusi, kemudian mereka makan ayam, kemudian Anthony ke dapur ngambil ayam lagi, dan kemudian dia menguping Anne dan suaminya kembali. It’s weird, dan terutama menyeramkan karena kita juga berusaha merasionalkan yang terjadi – persis seperti yang dirasakan oleh Anthony.
Treatment begitu mengingatkan kita pada I’m Thinking of Ending Things (2020); thriller melankolis yang juga bermain dengan memori, yang terwujudkan oleh karakter dan objek yang berubah-ubah. Bedanya, The Father tidak menggunakan treatment tersebut untuk menghasilkan suasana sureal. Melainkan justru menguatkan feeling kebingungan yang grounded. Film ini berhasil membawa kita mengalami yang dirasakan Anthony. Mengalami bagaimana dementia itu bekerja, dengan mendekati asli. Karena memang, satu-satunya alasan kenapa film-film yang mengusung Alzheimer dan dementia lebih banyak mengeksplorasi dari sudut keluarga atau dari pengasuh terdampak, adalah sulit merepresentasikan dementia yang sebenar-benarnya itu seperti apa. Sulit untuk mendapatkan perspektif yang total akurat. Tentunya kita tidak bisa menanyakan kepada penderita. Sehingga, yang bisa dilakukan hanyalah dengan menginterpretasi. The Father really did a great job dalam interpretasi tersebut. Treatmentnya tadi sanggup mewakili perasaan bingung dan sensasi kehilangan sense of realita diri sendiri. Dan tentunya, treatment tersebut hanya bersifat sebagai pendukung. Apa yang didukung? tentu saja adalah karakter. Dan The Father punya karakter yang ditulis dengan sama detilnya.
Dari segi alur memang tidak banyak yang terjadi pada film ini. Percakapannya pun cenderung diulang-ulang, tapi tetap menarik karena situasi dan pelakon yang berubah-ubah. Kekuatan film ini ada pada bangunan karakter. Anthony dan Anne punya banyak lapisan masalah. Inilah yang terus digali dan dijabarkan dengan hati-hati oleh film. Lapisan permasalah itulah yang bakal mendorong kita untuk peduli kepada mereka. Hubungan mereka berdua diwarnai oleh masalah mulai dari Anthony yang tampaknya lebih sayang kepada adik Anne, dan lalu adik tersebut meninggal, yang kemudian jadi berkembang hingga ke rumah yang ditempati sekarang apakah punya Anthony atau punya Anne. Anthony sendiri bukan orang yang gampang untuk diajak berdialog, bahkan sepertinya sebelum dia dementia dia sudah ‘sulit’ berurusan ama orang seperti begitu. Dalam artian, Anthony adalah orang yang ‘punya caranya sendiri’. Begitu kata Anne yang berusaha memaklumi sifat ayahnya. Memainkan karakter sekompleks Anthony itulah saat bagi Anthony Hopkins menunjukkan kemampuan aktingnya (yang ternyata masih tajam!) Menjelang akhir, Anthony semakin tidak bisa menempatkan apa yang sedang terjadi. “I don’t know what’s happening anymore” katanya, tapi ia mengucapkannya tetap dengan nada menguatkan diri. Sudah bukan rahasia kalo Hopkins adalah aktor yang piawai, tapi tetap saja aku pribadi salut karena di sini tentulah perannya terasa really close to home for him. Kevulnerablean yang ditampilkannya di sini mungkin adalah cerminan dari bagaimana dia yang udah umur segitu disambangi langsung oleh dementia.

somehow di sini Anthony Hopkins gaya dan cara ngomongnya menurutku mirip sama Slamet Rahardjo

 
 
Olivia Colman sebagai Anne pun bermain sama vulnerable dan meyakinkannya. The Father tidak hanya menyajikan perspektif Anthony si penderita, tapi sesekali juga membawa kita menyelami kesulitan dan keresahan yang menimpa keluarga yang merawat penderita. Film melakukan ini supaya kita bisa lebih mengerti dampak mengerikan dari dementia yang ‘kejam’ tersebut. Semua itu untuk meng-enchance drama. Untuk menambah kedalaman lewat lapisan dari sudut pandang yang berbeda. Sekaligus diperlukan supaya film tidak melaju ke arah misteri, atau setidaknya supaya film tidak berbelok menjadi semakin mirip dengan apa yang dihasilkan oleh I’m Thinking of Ending Things. Karena jika hanya dari sudut pandang Anthony, besar kemungkinan kita bakal melihat Anne sebagai this impossible being, bahkan bisa jadi Anne tampak seperti antagonis.
Namun memasukkan sudut pandang Anne juga membawa sedikit minus bagi penceritaan, karena sudut pandangnya ini cukup messed up dengan treatment dan gaya bercerita yang sudah mantap pada Anthony. Misalnya, ada bagian ketika kita malah melihat hal dari dalam benak Anne. Film menjadi terlalu surealis dengan adegan ‘percobaan pembunuhan’, yang tentu saja berlawanan dengan niat di awal yakni untuk tidak menjadi terlalu surealis dan tidak menjadi slightly over-the-top. Jadi ya, menurutku memasukkan sudut pandang Anne di sini menjadi sesuatu yang dibutuhkan, meskipun memang membuat sudut pandang dan penceritaan menjadi sedikit terganggu. It is a risk, dan film berusaha sebaik mungkin dalam menampilkannya.
 
 
 
Berkat kebanalan dari sudut pandang penderita, film ini diakui banyak orang sebagai gambaran yang akurat, sekaligus dramatis, dari penyakit mengerikan yang bisa menimpa siapa saja di masa tua. Film ini membuat kita merasakan pengalaman dan keadaan jiwa yang bikin gak enak tersebut. Semua itu dilakukan dengan treatment dan editing yang cermat, dan terutama ditambah menjadi maksimal oleh permainan akting kelas legenda. I don’t know about you guys, tapi kupikir jika agenda dan ke-happening-an bisa disingkirkan sementara, maka film ini adalah kuda hitam dalam Oscar nanti. Film ini harusnya bisa dibicarakan lebih sering dan oleh lebih banyak orang lagi. Karena dia benar-benar menawarkan pengalaman menggugah, seperti yang dijanjikan oleh sinema.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for THE FATHER.
 
 
 
 

That’s all we have for now.
Apakah kalian punya pengalaman dengan keluarga yang direnggut oleh dementia?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

ZACK SNYDER’S JUSTICE LEAGUE Review

“Acceptance is the first step to unity”
 

 
Dalam Justice League diceritakan para pahlawan super bersatu untuk menghidupkan kembali Superman. Siapa sangka keadaan di dunia nyata seputar film Justice League itu sendiri ternyata tidak jauh berbeda dengan apa yang diceritakan. Visi sutradara Zack Snyder-lah pahlawan yang gugur itu. Para penggemar DC bersatu, mengampanyekan supaya visi tersebut hidup kembali. Meminta supaya film Justice League yang sebenarnya; yang tidak dicampuri oleh Studio – dan tidak diwarna-warni oleh Joss Whedon, film yang seutuhnya dari kreasi Zack Snyder bisa dibuat dan ditayangkan. Sekarang, empat tahun setelah film Justice League (2017) tayang di bioskop, perjuangan tersebut akhirnya membuahkan hasil. Zack Snyder’s Justice League yang berdurasi empat-jam lebih akhirnya mendarat dengan dramatis di internet!
Ini adalah fenomena yang menarik. Karena kita semua tahu, term ‘Director’s Cut’ sendiri sebenarnya sudah mulai mengalami peyorasi berkat iklim industri film. Director’s Cut pertama kali dipopulerkan oleh Ridley Scott, yang mengeluarkan Blade Runner (1982) versi orisinil kreasinya. Misi mulia merestorasi visi seniman itu tentu saja langsung disambut oleh industri sebagai langkah untuk menjual-ulang kepada penonton film yang udah pernah mereka tonton. Director’s Cut lantas menjadi gimmick sales semata. Director’s Cut The Warriors ternyata hanya berisi tambahan satu menit ekstra, plus transisi dengan gaya visual ala komik. The Exorcist hanya memasukkan kembali adegan-adegan yang udah dicut, plus perbaikan visual efek, namun menjual-ulangnya sebagai versi never-before-seen di tahun 2000. Jangan tanya soal contoh di Indonesia. Aku belum punya rasa percaya yang cukup besar terhadap industri film di sini sehingga mau menonton versi director’s cut dari film-film Indonesia. I mean, film yang disebut sekuel aja, di perfilman kita yang konon udah maju ini, ternyata tak lebih dari potongan shot dan cut film sebelumnya yang digodok jadi satu (tunjuk idung Milea: Suara dari Dilan). Langka sekali ada Director’s Cut yang benar-benar terbukti memberikan pengalaman baru dan menambah banyak bagi film itu sendiri. Maka, melihat begitu hangatnya respon, dan mengingat actually memang cut ini sangat diinginkan oleh penonton, Snyder Cut Justice League kali ini boleh jadi merupakan titik balik yang mengembalikan Director’s Cut kepada tujuan mulianya semula.

Film revisi sebagai pemuas hati

 
 
Cerita film ini secara keseluruhan masih sama dengan versi Whedon 2017 yang lalu. Superman telah meninggal. Pasukan demon yang dipimpin Steppenwolf jadi berani datang ke Bumi, mencari tiga Mother Box yang kalo digabungkan bisa membuat Bumi jadi di bawah kendali Steppenwolf. Maka Batman berusaha mengumpulkan para manusia berkekuatan super; Wonder Woman, Aquaman, The Flash, dan Cyborg untuk bekerja sama membela Bumi. Tapi mereka tetep kalah tenaga. Jadi mereka bermaksud untuk menghidupkan kembali Superman. Aku gak akan bahas banyak dari segi cerita. Yang ingin kufokuskan di review Justice League kali ini adalah soal perbedaan-perbedaan signifikan di antara versi Snyder dengan versi Whedon. Dan yang kumaksud dengan ‘signifikan’ adalah bagaimana perbedaan tersebut berpengaruh; membuat film versi Snyder ini lebih baik (atau bahkan bisa jadi lebih buruk) ketimbang versi Whedon.
Aku mau pointed out dulu bahwa ternyata yang kukira di review Justice League 2017 itu salah. Kukira elemen kematian Superman dan konflik moral para superhero terkait menghidupkannya kembali itu adalah kreasi dari Snyder. Setelah nonton film yang empat jam ini, aku baru tahu kalo elemen tersebut justru adalah kreasi Whedon. Justice League 2017 menempatkan soal moral dan etik menghidupkan Superman sebagai tindak terakhir itu sebagai gagasan utama cerita. Persatuan yang dibicarakan oleh film tersebut adalah persatuan yang bersumber dari harapan yang dipicu oleh tekanan ketakutan. Superhero Justice League di sana menunjukkan kekuatan dari harapan, sementara lawan mereka kalah karena menggunakan ketakutan untuk mengendalikan persatuan. Harus kuakui, bahasan Whedon tersebut menarik. Sayangnya, si sutradara itu sendiri tidak punya pijakan dan posisi yang kuat. Gagasan itu timbul bukan karena dia purely ingin bercerita soal itu, melainkan dari pemikiran bahwa dia harus menyatukan materi cerita superhero yang padat ke dalam durasi yang berbatas. Aku tetap mengapreasiasi Whedon yang berhasil pulled off this theme, dia berusaha menyatukan banyak elemen ke dalam narasi sekonsisten mungkin, walaupun penceritaannya sendiri sloppy, terburu-buru, dan enggak ‘do justice’ terhadap karakter-karakter superhero yang terkandung di dalamnya.
Sementara Snyder, ternyata memang tidak berniat menceritakan soal moral sebuah resurrection. Snyder tetap berkutat pada soal yang lebih fundamental. Yakni soal keluarga. Justice League yang kita tonton selama empat jam ini adalah tentang karakter yang terpisah dari keluarga, dan kemudian menemukan tempat di kelompok, tapi sebelum itu mereka harus berjuang untuk acceptance, baik itu dari kelompoknya maupun acceptance dari diri mereka sendiri. Dengan durasi yang dua kali lebih panjang, Snyder punya ruang yang lebih banyak untuk mengeksplorasi setiap karakter, dan dia memainkan masing-masing mereka dengan konsisten pada tema tersebut. Batman yang yatim piatu, dialah yang jadi pencetus persatuan para superhero, dan di akhir cerita dia dapat nice closure berupa mendapat pujian tindakannya akan membuat orangtuanya bangga. The Flash kali ini mendapat backstory yang lebih solid perihal hubungannya dengan ayah yang berada di dalam penjara. Wonder Woman mendapat penggalian soal keluarga karena actually keluarga Amazonnya yang bersentuhan langsung dengan bahaya sebagai salah satu klan penjaga Mother Box.
“Cyborg mestinya dikasih kerjaan lebih banyak selain baca petunjuk dan menyatu dengan teknologi. Steppenwolf mestinya bisa dibuat lebih meyakinkan. Mestinya film bisa memberikan kedalaman yang lebih pada hubungan antartokoh, memberikan stake yang lebih mengena, memberikan ketakutan dan bahaya yang lebih kuat.” Itulah tiga kalimat terakhir yang aku tulis pada review Justice League 2017. Dan apparently, Snyder setuju bahwa tiga itulah aspek yang paling butuh untuk dikembalikan dan diperbaikin dalam film kali ini. Cyborg yang awkward dan tampak paling sepele itu kini jadi hati bagi film ini. Dia yang arc superhero-nya paling ngelingker di antara semua. Dia berkembang dari yang tadinya cowok setengah-robot angsty yang boring menjadi pahlawan super yang benar-benar menguar oleh konflik keluarga dan acceptance. Kalau tidak dipersembahkan sebagai sebuah ensemble story, maka Cyborg inilah yang paling pantas jadi tokoh utama. Aku bukannya mau memantik api ataupun bukannya mau memancing di air butek, tapi, menurutku Cyborg di sini sukses menjadi karakter yang lebih menarik daripada Iron Man di cerita akhir hayatnya. Steppenwolf di sini pun dibuat lebih besar. Bukan hanya dari desainnya, melainkan juga dari karakter. Di Snyder Cut ini, motivasi Steppenwolf lebih dieksplor. Di balik perburuan Mother Box, antagonis ini sedang dalam journey ngeredeem dirinya sendiri di mata Darkseid. Journey-nya tersebut dikontraskan dengan geng superhero Justice League; Steppenwolf juga mencari acceptance tapi sayangnya keluarga yang ia pilih tidak seperti ‘keluarga’ protagonis kita.

Bersatu berarti kita harus menerima kekurangan masing-masing. Dan untuk dapat saling menerima itu, kita tidak mesti berangkat dari satu keluarga. Banyak cerita yang mengobarkan semangat persatuan, memperlihatkan kubu yang berbeda mengesampingkan perbedaan untuk menjadi keluarga. Tapi Justice League dan Cyborg menunjukkan semua itu dimulai dari diri sendiri terlebih dahulu.

 
Dengan karakter yang lebih ter-flesh out, maka final battle pun otomatis menjadi lebih seru. Kalian tentu masih ingat satu keluarga rusia yang diselamatkan oleh The Flash di Justice League Whedon? Tidak ingat? Bagus, karena itulah the worst part dari film tersebut. Keluarga rusia random itu adalah tambahan supaya final battle dramatis. Snyder tidak perlu dan sama sekali tidak pernah meniatkan mereka ada. Final battle Snyder berisi aksi brutal (earning them that R-rating) dan konflik cerita yang menutup arc para tokoh. Singkat kata, final battle Snyder lebih garang dan lebih padat. It is the best part of this movie. Semua karakter dapat kesempatan bersinar; unjuk kekuatan dan unjuk drama personal. Semuanya memenuhi fungsi.
Perbedaan-perbedaan lain yang dilakukan oleh film ini tidak termasuk ke dalam kategori ‘signifikan’ tapi bukan berarti tidak penting. Setidaknya bagi para penggemar, dan bagi penonton yang benar-benar menunggu kelanjutan film ini, hal yang dilakukan oleh Zack Snyder di sini akan bisa bikin ‘terwoah-woah!’ Snyder caters to the fans. Dia membuat Superman yang baru saja dihidupkan itu berkostum hitam, sama dengan di komik. Dia memasukkan karakter baru seperti Darkseid, dan juga Martian Manhunter. Keduanya tentu saja berperan penting dalam Justice League saga. Kemunculan pertama keduanya dalam medium film-panjang live-action ini tentulah surprise yang menyenangkan. Tak sampai di sana, Snyder juga memanfaatkan sisa durasi untuk menampilkan lebih banyak lagi fans-service berupa penampilan singkat-tapi-berkesan dari karakter favorit semacam Deathstroke ataupun Joker.

Parademon. Parade demon. Get it?

 
Selesai nonton, kita semua kompak kalo harusnya film ini aja yang ditayangkan di bioskop kemaren. Durasi empat jam film ini toh tidak terasa. Kalopun terasa, filmnya bisa dibagi menjadi dua. Tapi benarkah sesimpel itu? ‘Kasus’ dua Justice League ini tentu saja tidak sesimpel soal durasi. Melainkan soal bagaimana memanfaatkan durasi tersebut. Snyder Cut punya ruang yang lebih gede untuk eksplorasi dan development ketimbang versi Whedon. Pertanyaannya adalah apakah dia benar-benar memanfaatkannya dengan efektif? Versi Whedon serba terburu-buru, kurang development, cringe oleh dialog dan adegan yang abrupt, karena dia berusaha meringkas materi ke dalam dua jam. Belum lagi tuntutan untuk tampil ringan/menghibur. Usaha Whedon jelas bukan terbaik, tapi sesungguhnya begitu juga dengan Snyder di film ini. Tentu, ceritanya jauh lebih berbobot, tapi terasa tidak benar-benar perlu untuk menjadi empat jam. Snyder Cut ini mestinya bisa lebih dipadetin lagi. Struktur narasinya bisa lebih padu lagi. Fans service dan adegan extend di beberapa puluh menit setelah konflik film beres itu sebenarnya tidak perlu karena practically berfungsi sebagai adegan teaser untuk next film yang panjang sekali.
Film ini menggunakan chapter-chapter yang terasa seperti episode-episode. Setiap kali pindah chapter, atau malah setiap kali pindah fokus dari bahasan karakter satu ke karakter lain, film ini terasa terputus. Narasinya bersambung tidak mulus, tidak lebih baik dari yang alur penceritaan yang dilakukan oleh Whedon. Aku mengharap sesuatu yang lebih baik, tapi Snyder ternyata juga mempersembahkan urutan kejadian terlompat-lompat, seperti dari teroris pemboman ke penyerangan Amazon ke The Flash menyelamatkan cewek dari kecelakaan lalu lintas. Aku mengharapkan narasi yang lebih kohesif dari ini. Tapi Snyder memang lebih fokus ke nampilin aksi sebagai bentuk bercerita. Dan bicara tentang aksi, setiap chapter punya aksi-aksi seru. Yang kita dapatkan di Whedon, hanya sepersekian dari aksi sebenarnya di film ini. Tapi sekali lagi; episodik. Semuanya punya tempo dan treatment yang sama. Sehingga jadi monoton. Salah satu treatment favorit Snyder dalam nampilin aksi adalah menggunakan slow-motion. Bayangkan melihat slow-motion setiap kali adegan bertempur. Setiap kali Wonder Woman mau beraksi selalu ada musik dewa-dewi yang pelaaaann. Jadinya ya bosan dan terasa unnecessary. Slow-motion ini bahkan dilakukan pada karakter yang bukan The Flash. Jadi akibatnya, jika setiap karakter ternyata bisa bergerak cepat, maka kecepatan The Flash itu jadi tidak spesial lagi. Slow motion bisa jadi efek yang bagus pada adegan aksi, memberikan ketegangan atau semacamnya, tapi ketika dilakukan konstan, jadinya ya tidak spesial lagi. Dialog cheesy ala Whedon boleh saja sudah disingkirkan jauh-jauh oleh Snyder yang prefer tone dan warna gelap. Namun kecheesy-an itu kali ini terisikan perannya oleh slow-motion yang berlebihan.
 
 
Dengan senang hati sekali aku menunggu kalo ada filmmaker lain yang pengen membuat Cut versi dirinya; cut yang merangkum empat-jam film ini menjadi narasi yang lebih mulus dan tidak terasa terfragmen seperti ini. Dalam urusan memanfaatkan durasi, sebenarnya Snyder tidak melakukannya lebih baik daripada Whedon. Namun memang tak bisa dipungkiri, versi Snyder ini punya cerita yang lebih berbobot, punya final battle yang lebih seru, punya karakter yang lebih manusiawi. Director’s Cut yang dilakukan Snyder benar-benar bertindak sebagai pemuas hati. Sutradara senang karena filmnya sudah terestorasi sesuai visi. Kita senang karena akhirnya dapat film superhero yang antisipasi dan hypenya sesuai dengan yang disuguhkan. Mungkin inilah Justice yang disebut pada film ini. Keadilan bagi pembuat dan penikmat. It’s a win-win!
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for ZACK SNYDER’S JUSTICE LEAGUE
 
 
 
 

That’s all we have for now.
Jadi bagaimana? Apakah menurut kalian film ini berhasil membuat penonton bakal kembali peduli sama yang namanya Director’s Cut?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

CHERRY Review

“Victorious warriors win first and then go to war, while defeated warriors go to war first and then seek to win”
 

 
 
Kita hidup di dunia yang untuk menjadi Spider-Man ternyata tidak cukup hanya dengan digigit laba-laba radioaktif saja, tetapi juga harus bermain dalam film yang ada perangnya nanti. No, of course I’m kidding. Tapi nyatanya, memang dari ketiga aktor yang memerankan Spider-Man semuanya kebagian jatah jadi tentara perang. Tobey Maguire dalam Brothers (2009), Andrew Garfield dalam Hacksaw Ridge (2016), dan kini Tom Holland dalam Cherry. Dan sepertinya Holland memang ingin mengekor kedua aktor pendahulunya yang telah berhasil menyabet nominasi penghargaan dalam perannya masing-masing. Kesempatan tersebut tentu saja masih terbuka. Film Cherry ini boleh jadi terangkat oleh penampilan akting Holland. Sementara itu pula, film ini sendiri sepertinya memang diset sebagai penantang buat Oscar oleh kedua pembuatnya. Anthony dan Joe Russo. Dua bersaudara yang menjadi semakin terkenal apalagi kalo bukan lewat proyek Avengers (Marvel-Disney) yang mereka tangani.
Setelah Avengers: Endgame (2019) yang disukai banyak penonton tapi hanya dilirik sedikit oleh Academy, Russo Brothers kini lewat Cherry ini berusaha membuktikan kemampuan membuat sesuatu yang bukan hanya berkebalikan total dengan laga superhero yang cheerful, meriah, dan gagah perkasa. Namun juga suatu tontonan yang khas, sehingga truly worthy untuk diganjar penghargaan. Makanya film Cherry yang durasinya dua-setengah-jam ini terasa ambisius dan pengen menonjol. Makanya juga, aku jadi merasa agak kasihan juga setelah menonton, karena pada akhirnya film Cherry ternyata tak terasa lebih baik daripada film-film ‘Oscar Bait’ kebanyakan.
Cherry ini berasa kayak gabungan antara Forrest Gump (1994) dengan Requiem for a Dream (2000). Ceritanya disampaikan lewat narasi voice-over si karakter utama, yang nanti dia akan ikut jadi tentara dan berperang, dan nantinya juga film ini akan membahas tentang kecanduan obat terlarang. Sehingga memang, tidak ada yang lugu dari karakter utama yang diperankan Tom Holland di film ini. Wait… What his name again?.. Aku gak yakin nama karakter ini pernah disebut di dalam film, tapi kalo menurut kredit sih, namanya ya judul film ini. Cherry. Si Cherry mendaftarkan diri sebagai tentara (dia memilih terjun ke unit medic) karena dia merasa gak tau harus ngapain lagi saat kekasihnya minta pisah. Tapi jarak ternyata gak mampu misahin dua orang yang cinta beneran (ingatlah ini, wahai pejuang LDR!). Cherry dan kekasihnya semakin dekat. Emily bahkan menunggu Cherry pulang dari medan perang. Namun setelah apa yang ia lalui dan lihat di medan perang, Cherry yang pulang kepada Emily bukan lagi Cherry yang dulu. Cherry yang trauma berjuang di kehidupan yang normal. Dia jadi kecanduan heroin. Jika kecanduan obat adalah perang, maka ini adalah perang yang lebih parah bagi Cherry. Karena kini ia membawa serta Emily ke dalam perang tersebut. Antara obat dan merampok demi uang untuk beli lebih banyak obat, kita akan melihat kedua karakter ini semakin larut ke dalam lingkaran setan.

Life is like a box of… heroin

 
Diadaptasi dari novel otobiografi karangan Nico Walker, film ini sebenarnya punya cerita yang menarik – karena kejadiannya memang beneran terjadi. Ini adalah tentang veteran perang yang jadi perampok bank. Ada berlapis bahasan tentang psikologi manusia yang bisa digali untuk dijadikan studi. Tapi ini juga adalah kisah yang gak banyak diketahui oleh orang. Penulis Nico Walker sendiri juga termasuk ‘baru’. Sehingga saat menonton film ini pun, sebagian besar penonton gak tahu ini ceritanya bakal tentang apa. Menceritakan kisah ini secara linier seperti kebanyakan biografi – mulai dari kecil hingga ke peristiwa penting yang jadi fokus utama – jelas akan membuat kita kesusahan untuk menempelkan diri kepada si karakter. Terutama jika si karakter itu sendiri memang tidak punya hal menarik selain peristiwa penting di jauhari. Maka dari itulah, film Cherry ini memilih untuk menggunakan struktur cerita yang bolak-balik. Dengan juga menggunakan narasi voice-over untuk menuntun, dan membuat kita langsung seolah dekat dengan karakternya. Cerita yang bolak-balik langsung menempatkan kita di puncak ketegangan pada awal durasi. Dengan begini, apa yang bakal jadi pertaruhan buat si karakter dapat terset dengan mantap. Kita jadi tahu ini cerita bakal ngarah ke mana. Sehingga paling tidak kita jadi peduli sama karakter itu. Lalu baru kemudian kita dituntun untuk melihat karakter pada masa-masa dia masih ‘innocent’; masa kuliah saat romansa berkembang. Film bahkan menggunakan pembagian chapter-chapter untuk membantu kita lebih lanjut memasuki babak-babak kehidupan karakter Cherry.
Usaha yang solid untuk membuat karakter utamanya bisa mendapat simpati. Permainan akting Tom Holland-lah yang akhirnya jadi penentu utama. Berkat aktingnya, Cherry jadi tampak hidup. Berkat ekspresi dan reaksinya, segala permasalahan Cherry tampak menggencet dan mudah untuk kita pedulikan. Development dan rangenya bisa kita rasakan dengan tegas di sana. Holland mulai dari memainkan Cherry si pemuda yang kasmaran, ke Cherry yang experiencing horor di peperangan, hingga ke Cherry yang junkie dan udah begitu broken down. Pada titik ini, Holland seperti sudah membuktikan bahwa dia memang aktor mumpuni yang cukup rounded. Menurutku, beruntung Tom Holland ini bule dan jadi aktor di Amerika – bukan di Indonesia. Karena kalo dia aktor di sini, pastilah tampangnya yang anak baek-baek itu akan mentok di peran cinta-cintaan remaja, seperti beberapa aktor remaja Indonesia yang kebagian peran itu-itu melulu. Holland menjawab tantangan pada naskah dengan actually mengangkat film ini. Dia dan Ciara Bravo (pemeran Emily) memberikan heart untuk kita pegang. Hanya mereka berdualah yang jadi penuntun kita, membuat kita ingat bahwa ada bahasan manusiawi yang dipunya oleh film ini.
Perang mengubah manusia.  Banyak pejuang yang gak siap dengan kehidupan setelah perang. Film ini memperlihatkan bahwa walaupun ada perayaan, tapi perang tidak berakhir bahagia. Ada gagasan soal nasib veteran perang di sini. Ada bahasan bagaimana perang berdampak buruk bagi mereka. Bukan hanya perihal jasa mereka gak dikenal atau gak dianggap oleh seluruh rakyat yang mereka bela, tapi juga ke hal yang lebih personal yakni mereka gak bisa keluar dari mimpi buruk, dari trauma. PTSD. Dan bagaimana itu senantiasa berpengaruh kepada orang terdekat.

Film memparalelkan dampak perang dengan kecanduan, sebagaimana candu ngobat itu jadi perang berikutnya yang harus dilalui oleh Cherry. Dan jika kecanduan itu adalah peperangan yang harus dimenangkan, maka sebenarnya addiction adalah perang yang tidak bisa kita menangkan. Dalam artian, candu gak bisa sembuh. Hanya ada tekad untuk tidak kembali kepada candu. Maka, satu-satunya cara untuk memenangkan perang ini adalah mengikuti kata filosofis Sun Tzu; yakni acknowledge dan bersiap.

 

Cherry juga jadi candu merampok bank

 
Sayangnya selain pilihan gaya bercerita bolak-balik, pilihan penceritaan lain yang dilakukan oleh Russo Bersaudara gak ada yang benar-benar beralasan dan masuk akal. Semuanya kayak dikakukan karena, ya karena mereka bisa aja. Kalo boleh dibilang, film ini sedikit terlampau banyak bergaya. Misalnya soal flare atau efek pada kamera. Ketika pertama kali ketemu Emily, treatment yang diberikan kepada kamera itu adalah semuanya bokeh. Semua orang di sekitar Cherry dan Emily dibuat blur. Seringkali adegan yang ada Emily – adegan yang menguar rasa cinta Cherry kepadanya – dibuat seperti berada di dunia artifisial atau surealis. Tadinya, karena keseluruhan film ini disampaikan dalam bentuk narasi voice-over, maka kupikir ‘okelah’; berarti yang kita lihat ini adalah memory Cherry. Masuk akal bila yang cakep-cakep diingat olehnya dengan cakep pula. Namun, tidak pernah lagi ada treatment visual seperti ini. Cherry terbagi atas banyak chapter yang masing-masingnya punya estetik tersendiri. Russo Brothers bermain entah itu di sinematografi, di komposisi shot, ataupun di aspect ratio. Hanya satu pada Emily tadi itulah yang estetiknya benar-benar tampak seperti kenangan. Selebihnya semuanya bland. Ketika keadaan perang yang mencekam, biasa aja. Ketika keadaan sakau dan chaos, tidak ada efek. Padahal semuanya itu masih dalam konteks kisah yang sedang diceritakan.
Pilihan-pilihan ‘stylish’ itupun makin ke akhir makin tampak lebih seperti dilakukan dengan random. Satu kali mereka ngasih lihat ke kita POV dari lubang pantat. Eh kok? Kan lucu. Beberapa kali juga film memberi kesempatan kepada Tom Holland untuk bernarasi pake gaya ‘breaking the fourth wall’, yang gak jelas kebutuhan dan timingnya. Sesukanya aja dimunculkan seperti itu. Selain itu juga mereka sok asik dengan penggunaan nama-nama. Nama bank misalnya. Alih-alih City Bank, film ini ngasih lihat ke kita kalo bank yang dirampok Cherry bernama Shitty Bank. Terus ada juga yang namanya Bank Fucks America. Nama dokter juga dimainin seperti begini, karena yang kita lihat bukan nama orang melainkan nama Dr. Whomever. Itu semua bikin kita gak lagi merasa cerita ini ‘nyata’. Bahkan jika memang konteksnya berupa kenangan. Kita bukannya merasakan kemarahan karakter sehingga nama-nama itu jadi ‘termodifikasi’ sesuai dengan ingatan dan perasaan Cherry terhadap bank dan dokter, melainkan kita malah jadi berpikir kisahnya ini kurang reliable. Bahwa ada kemungkinan itu semua hanya ada di kepala dia. This is a mind of a junkie, after all.
Bangunan cerita itu pelan-pelan jadi runtuh akibat kebanyakan gaya seperti demikian. Padahal film ini bergantung banget kepada kita percaya kepada karakter utamanya. Namun malah Narasi voice-over dia pun digarap naskah dengan semakin malas. Tidak lagi difungsikan untuk menceritakan yang tidak mampu tergambar,  tapi malah jadi eksposisi yang kayak shortcut aja. Ketika film gak mau repot nampilin perubahan satu karakter, maka film tinggal nyuruh Cherry untuk nyebut ‘karakter si anu kini bekerja sebagai apa’. Jadi semuanya untuk kemudahan plot aja. Chapter-chapter tadi pun jadi beneran berfungsi sebagai kotak-kotak episode, yang tidak dibarengi dengan progres alami, melainkan oleh narasi yang nyebutin sekarang waktunya apa. Gitu aja.
 
 
 
Kejadian yang dikandung cerita ini sebenarnya menarik. Apalagi ini berdasarkan kisah nyata. Tom Holland juga memainkan karakternya dengan sangat baik, memudahkan kita untuk bersimpati dan percaya kepadanya. Namun, everything falls short. Film ini mempunyai banyak kejadian dan aspek-aspek pada cerita, tapi pembuatnya melihat itu terutama sebagai lahan untuk bermain dengan gaya-gaya penceritaan. Dan malah fokus di sana. Inilah yang jadi kejatuhan baginya. Karena ternyata mereka juga punya candu; candu bikin sesuatu yang wow, alih-alih bercerita sesuai dengan konteksnya. Kisah karakter utama jadi tidak semeyakinkan yang seharusnya. Film ini punya hati, tidak membosankan, tapi saat selesai menontonnya kita tidak tahu lagi harus merasakan apa karena gaya berceritanya tidak in-line dengan jiwa ceritanya.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for CHERRY.
 
 
 
 

That’s all we have for now.
Sejarah manusia penuh oleh peperangan. Apakah menurut kalian perang adalah salah satu candu bagi manusia? Kenapa kira-kira manusia selalu berperang?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

THE MAURITANIAN Review

“It’s been flipped: Now it’s guilty until proven innocent.”
 

 
 
Dua bulan setelah serangan teroris di World Trade Center, ada pesta di negara Mauritania. Jika kalian berpikir apakah pesta tersebut ada sangkut pautnya dengan tragedi yang bikin sengsara umat manusia di bulan September itu, maka kalian cocok jadi seorang polisi. Karena pesta tersebut memang lantas disatroni polisi. Pria bernama Mohamedou Ould Slahi dibawa pergi oleh polisi dari pesta keluarganya tersebut. Untuk beberapa waktu, kamera memperlihatkan bagaimana Slahi memandangi sosok ibunya yang semakin menjauh dan mengecil dari kaca spion mobil. Pemandangan emosional yang seolah mengisyaratkan pemuda ini bisa jadi tidak akan pernah melihat lagi perempuan yang telah melahirkannya itu.
Mohamedou Ould Slahi ditangkap oleh polisi bukan karena terbukti bersalah. Melainkan karena kena kecurigaan berlapis. Pertama dari namanya; yang mirip sama nama ‘langganan’ pelaku teroris. Kedua, dari jejak akademisnya. Ketiga, dari rekam jejak teleponnya; yang pernah terhubung dengan satelit seluler Osama bin Laden himself. Tiga hal tersebut cukup untuk membuat Slahi tertuduh sebagai Head Recruiter untuk peristiwa 9/11. Slahi dipenjarakan untuk waktu yang sangat lama. Sebagian besar dari empat-belas tahun di balik jeruji itu dia habiskan di penjara yang dikenal sadis, Guantanamo Bay. Selama itulah, Slahi berjuang. Menguatkan diri, menjaga kewarasan. Menjaga ke-innocent-annya. Membuktikan, bersama pengacara, bahwa dirinya tidak sesuai dengan yang dituduhkan. Mengajukan bahwa tidak ada alasan baginya untuk ditahan. Slahi menuliskan pengalamannya dalam sebuah buku. Dan buku itulah yang kini kita tonton; buku itulah yang kini dijadikan film oleh sutradara Kevin MacDonald. Film drama yang luar biasa pedih dan bikin darah kita ikutan mendidih.

Masuk, dan lupakan Guantanamo Bay yang kau ketahui dari Harold dan Kumar

 
Sedihnya, kita memang sering mendengar kisah kayak gini di dunia nyata. Kisah polisi atau penegak hukum yang menangkap orang, menahan dan memenjarakan mereka meskipun belum jelas apakah mereka beneran bersalah. Meskipun memang gak ada dakwaan resmi. Orang-orang itu ditangkap karena fit ke dalam narasi, dan karena memang harus ada yang ditangkap. Polisi harus kelihatan kerja. Yang nambah sedihnya lagi adalah, sekalipun sudah terbukti tidak bersalah dan dilepaskan, mereka tidak pernah mendapat permintaan maaf dari polisi yang menangkap. ‘Bintang’ dokuseries Netflix Making a Murderer misalnya, Steven Avery pernah ditangkap dan dilepaskan kembali (setelah 18 tahun dipenjara), dan kini Avery dipenjarakan kembali (sejak 2007) untuk kasus lain yang sama shady-nya dengan kasus pertama yang ternyata ia tidak terbukti tidak bersalah tersebut. Kita juga udah nyaksiin betapa gak adilnya sistem peradilan itu untuk pihak-pihak yang ingin dijadikan – dan udah diset sebagai – tersangka lewat drama pengadilan-dari-kisah-nyata The Trial of the Chicago 7 (2020) yang baru-baru ini menang Naskah Terbaik di Golden Globes. Temanku sendiri pernah dituduh teroris; dia ditangkap oleh polisi di warnetnya di Medan, dan ditahan beberapa bulan di Bogor. Ketika akhirnya dilepaskan karena memang terbukti salah tangkap, temanku itu tidak mendapat sepatah pun kata maaf.

Secara teori, hukum memang idealnya adalah ‘tidak bersalah sampai terbukti bersalah’. Namun pada prakteknya, yang dilihat itu adalah jika kita tidak tak-bersalah, maka kita bersalah. Semuanya jadi selalu adalah soal membuktikan bahwa kita tidak bersalah. Tapi bagaimana bisa kita membuktikan seseorang tidak bersalah. Innocent adalah pembelaan yang terlemah. Maka, sekarang kejadiannya selalu terbalik. Semua orang dianggap bersalah dulu, dan untuk sebagian besar waktu mereka akan tetap seperti itu.

 
The Mauritanian ini adalah salah satu lagi contoh perjuangan seseorang membuktikan dirinya tak-bersalah. Satu lagi contoh tindak yang nyaris mustahil. Film ini hebat sekali dalam menampilkan kejadian. Tensi dan emosi itu dibangun. Kita bisa merasakan ketegangan terus meningkat seiring dengan berkembangnya rintangan yang ditemukan oleh pengacara Slahi, dan dari semakin berkecamuknya psikologis dan harapan si Slahi sendiri di dalam penjara. Perjuangan dalam cerita ini memang disampaikan lewat dua proses yang berjalan paralel. Tentang usaha dua orang pengacara yang nyari ‘celah’ dan bukti-bukti bahwa penahanan Slahi sama sekali tidak berdasar, dan tentu saja tentang Slahi sendiri yang harus mengalami segala tekanan sembari mempertahankan siapa dirinya.
Film memang tidak membuang waktu mengangkat pertanyaan apakah Slahi beneran bersalah atau tidak. Kita semua diasumsikan sudah mengetahui kisah Slahi yang memang sempat marak beberapa tahun silam. Jadi film ini fokus ke arah menggambarkan periode gelap yang harus dilalui Slahi di penjara, dan menilik soal kekejian di penjara Guantanamo Bay itu sendiri. Para ‘penegak hukum’ itu gak cukup dengan menahan mereka di sana, tapi juga menyiksa mereka. Memanipulasi. Melecehkan. Supaya pengakuan itu terpaksa akhirnya terucapkan, meskipun itu bukan kenyataan. Film ini efektif dalam menggambarkan itu semua. Di menjelang akhir film kita akan melihat sekuen penyiksaan yang digambarkan dengan cukup sureal. 
Untuk itulah, penampilan akting dari Tahar Rahim sebagai Mohamedou Slahi pantas sekali untuk kita apresiasi. Bahasa tubuhnya berkembang sesuai dengan yang keadaan yang ia rasakan. Bahasa tubuhnya menjadi salah satu penanda dalam penceritaan film yang dilakukan bolak-balik. Setelah opening dia ditangkap, kita bertemu lagi dengan karakter ini saat dia sudah dalam keadaan hampir hopeless. Rahim memainkan Slahi sebagai seorang yang udah cuek ketika dua pengacara datang kepadanya. Lalu film akan membawa kita balik ke masa dia baru ditangkap, kita merasakan perjuangan masih berkobar dalam diri Slahi. Dan seiring dengan penyiksaan yang ia alami, kita melihat perubahan yang bukan hanya saja pada fisik (badannya jadi membungkuk, wajahnya memar) tapi juga pada mental karakter ini. Dan ketika arc Slahi sudah hampir komplit, Rahim memainkan karakter ini dengan ketulusan yang menguar. Progres dan perjalanan emosi karakter ini dimainkan dengan kuat sekali.
Penanda satu lagi yang dilakukan oleh film dalam penceritaan bolak-baliknya muncul lewat arahan yang efektif pada aspek teknis seperti rasio, gerak kamera, dan editing. Misalnya ketika Slahi diinterogasi, ketika di-stressing, film akan menggunakan rasio 4:3 yang sempit supaya perasaan terkungkung dan tertekan semakin kuat tersampaikan. Ketika harus menampilkan kekerasan, kamera akan bergerak frantic, bersama editing, untuk menimbulkan kesan mengerikan yang terefleksi dari yang dirasakan (dan dimainkan dengan menakjubkan) oleh Slahi. Film ini tahu kapan harus memberikan jarak dan paham persisnya akan cara menangkap esensi yang ingin disampaikan oleh naskah.

Ndak bisa basa enggres!

 
Tapi untuk urusan menggali ke dalam, film ini kurang lihai. Atau mungkin tepatnya, film ini tidak benar-benar menaruh concern ke kedalaman. Karena memang tujuan utama film ini ya untuk menggambarkan tindak mengerikan yang disangsikan kepada orang tak bersalah itu sendiri. Jangan salah, film ini sebenarnya tetap berusaha untuk menyeimbangkan narasi. Karena di sini juga ada karakter dari pengacara pihak penuntut (diperankan oleh Benedict Cumberbatch) yang perjuangannya menuntut keadilan juga diberikan konflik sendiri. Aku actually suka dengan konflik karakter ini. Karakter ini punya motivasi personal untuk menghukum Slahi. Dia adalah sahabat dari pilot pesawat yang dibajak teroris 9/11, jadi kalo ada orang yang ingin Slahi dihukum mati, maka karakter pengacara ini pasti adalah salah satu orang tersebut. Tapi dalam perjuangannya menyusun tuntutan, dia menyadari kejanggalan dalam tindakan aparat. Dia tahu ada penyimpangan hak dan kemanusiaan yang sedang terjadi. Jadi dendam pribadinya ia kesampingkan. This is really great drama, kita benar-benar melihat tindakannya, dan kuharap film ini melakukan yang seperti ini pada setiap karakternya.
Karena karakter-karakter lain tidak actually diperlihatkan seperti demikian. Bahkan tidak pula si Slahi itu sendiri. Dengan penceritaan bolak-balik, kita melihat karakter ini sebagai fragmen-fragmen. Dan kalo bukan akting Rahim yang keren dan detil, karakter ini gak akan mencuat dan niscaya akan tampak sebagai karakter untuk dikasihani aja. Banyak aspek perubahan pada karakter ini yang tidak diperlihatkan oleh film. Dia dimulai dengan bahasa Inggris terbatas, hingga menjadi benar-benar fasih; yang menyiratkan dia punya hubungan akrab dengan para penjaga. Film harusnya menyorot lebih dalam soal bagaimana dia berkehidupan sosial di dalam sana. Di kredit kita melihat Slahi yang asli bernyanyi, menari, dia seperti punya pandangan baru terhadap dunia, dan penyekapnya. Harusnya delevopment itulah yang juga dieksplorasi oleh film. Bagaimana orang yang sepertinya sudah tidak ada harapan, menjadi seperti terlahir kembali, tidak dengan dendam, melainkan dengan energi positif. The Mauritanian ini hanya menampilkan fragmen-fragmen dari itu semua. Yang beneran di-build up ya memang cuma kengerian dan siksaan di penjara.
Pembahasan yang paling cetek adalah pada kedua pengacara Slahi. Yang satu diperankan oleh Shailene Woodley, dan satunya lagi oleh Jodie Foster. Foster surely looks like a perfect cast for this role, tapi film gak berikan dia banyak tugas selain untuk pasang tampang serius yang sedih dan tertohok setiap membaca surat-surat pengakuan dari Slahi. Karakter yang ia perankan hampa. Dengan motivasi yang sekadar menegakkan kebenaran, karakternya yang sabar dan paling flawless di antara yang lain ini dapat dengan gampang jatuh ke dalam tudingan ‘white savior’. Karakter pengacara yang diperankan Woodley jauh lebih menarik. She wants to help, tapi dia mendapat kecaman dari keluarga dan kerabat karena telah memilih menolong tersangka teroris. Dia gak sanggup memikul beban tersebut, dan sempat hengkang. Jika saja bahasan moral dia dikecam itu benar-benar diperlihatkan kepada kita (bukan hanya dari omongan), dan jika dia comeback nanti benar-benar diberikan waktu dan bahasan tersendiri, maka tentu karakter ini akan lebih berbobot dan memperkaya film dengan lebih banyak emosi yang signifikan membuat keseluruhan cerita lebih beresonansi tentang kemanusiaan, alih-alih tentang ngerinya penegak hukum di Amrik.
 
 
 
I really felt something saat menyaksikan film ini. Sungguh emosional dan menggerakkan. Berhasil film ini menggambarkan peristiwa dan kejadian, bahkan emosi yang dirasakan karakternya dengan efektif. Film ini berpotensi menjadi lebih kompleks, tapi memilih fokus untuk menjadi gambaran saja. Dan itu adalah pilihan yang sah-sah saja, sebuah film tidak bersalah hanya karena memilih untuk tidak kompleks. Namun untuk menjadi yang ia pilih itu, film ini tidak berbuat banyak dalam mencegah karakternya tampak sebagai device semata. Beruntunglah film ini bisa punya aktor yang bersungguh-sungguh menghidupkan perannya, lebih daripada yang disiapkan oleh naskah.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for THE MAURITANIAN.
 
 
 
 

That’s all we have for now.
Benarkah kita tidak bisa membuktikan ke-innocent-an? Bagaimana kalian membuktikan tidak-bersalah?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

TOM AND JERRY Review

“Fighting in and of itself is not a threat to the relationship.”
 

 
 
Dibuat pada tahun 1940an, Tom and Jerry adalah masa kecil bagi banyak sekali orang. Abang-kakak kita suka. Emak-bapak kita tahu. Heck, bahkan mungkin ada yang nenek atau kakeknya punya kenangan duduk manis di hari Minggu pagi nontonin kucing dan tikus itu kejar-kejaran. We all love Tom and Jerry. Dulu aku setiap kali pergi ngerental vcd film dan smekdon, kalo si rentalnya gak ada uang kembalian, aku selalu minta kembaliannya dijadiin kaset Tom & Jerry aja. Hahaha enggak ding, maksudnya Tom & Jerry selalu tak ketinggalan untuk ikut kusewa. Nonton kartun mereka itu rasanya gak pernah bosan. Slapstick dan tingkah polah Tom yang ngejar Jerry yang usil selalu sukses bikin ngakak, gak peduli udah ditonton seberapa kalipun. That’s how timeless they are.
Tapi generasi kekinian, bisa jadi gak kenal ama Tom dan Jerry. Dan memang untuk itulah film ini dibikin. Kisah kejar-kejaran mereka dihidupkan kembali melalui dunia campuran animasi kartun dengan lingkungan nyata. Namun sayangnya pembuat film ini malah seperti lupa tujuan tadi. Di tengah dunia berisi manusia dan hewan-hewan kartun tersebut, film ini tersesat. Film ini malah menghabiskan waktu lebih banyak tanpa membahas Tom dan Jerry itu sendiri.
Sutradara Tim Story dan penulis naskah Kevin Costello sebenarnya udah kayak memojokkan diri mereka sendiri in the moment mereka memutuskan untuk “yok bikin film Tom dan Jerry kekinian, yook”. Karena si Tom dan Jerry itu sendiri adalah karakter yang tidak bicara. Dengan begitu, cerita pun harus distretch out; Story dan Costello jadi menggunakan karakter manusia dan karakter kartun lain untuk role bicara. Secara garis besar, outline konsep film ini sebenarnya sudah cukup jelas. Karakter Tom dan Jerry akan menghidupkan suasana lewat kejar-kejaran dan humor-fisik, sedangkan cerita akan dikembangkan lewat karakter manusianya. Namun Story dan Castello tidak tampak confident dalam mengembangkan komedi ala Tom dan Jerry. Entah karena ragu Tom & Jerry bisa tertranslasikan dengan sukes buat selera modern atau karena mereka simply gak mengerti apa yang membuat Tom dan Jerry itu digemari. Pembuat film tidak melakukan hal baru terhadap kejar-kejaran kucing dan tikus ini. Mereka hanya mengulang sketsa di kartun, untuk nostalgia. Di sisi lain, karakter-karakter manusia yang dibuat jadi vital itu juga gagal dikembangkan. Tak lebih dari karakter tumpul dan membosankan.

Bayangkan kalo Tom dan Jerry kejar-kejarannya di Hotel Cecil

 
Dari sinopsis IMDB-nya, film ini sebenarnya difungsikan sebagai semacam origin; kisah gimana Tom dan Jerry bertemu, kisah gimana kejar-kejaran abadi mereka bermula. Namun dari menonton film ini, tidak tampak seperti itu. Tom dan Jerry seperti sudah musuhan sejak lama, dan film ini tuh terasa seperti hanya satu episode dari episode kejar-kejaran mereka. ‘Origin dari kejar-kejaran’ mereka itu juga gak spesial-spesial amat. Jerry melihat Tom ngamen di taman, dan Jerry mengganggu Tom karena Jerry butuh duit. Gitu doang. Di sini, Jerry itu homeless, dia mencari tempat tinggal dan sampailah dia ke Hotel Royal Gate yang mewah. Tom si kucing yang jadi pianoless berkat Jerry, dendam dan mengejar si tikus hingga ke Hotel Royal Gate. Sementara itu ada manusia bernama Kayla (film kedua Chloe Grace Moretz di tahun 2021. Also, film keduanya di tahun 2021 yang zonk!) yang lagi jobless, sehingga dia akhirnya ‘mendapat’ kerja di Hotel Royal Gate. Di Hotel itulah konflik dan chaos terjadi. Kayla ditugasi mengusir Jerry, Kayla minta bantuan Tom, dan mereka harus cepat dan discreet about the job karena beberapa hari lagi akan ada pesta nikahan bergengsi di hotel tersebut!
See, ceritanya saja sudah langsung bermasalah. Keberhasilan pesta nikah itulah yang jadi tujuan ‘petualangan’ Kayla, atau Tom, atau Jerry, atau whoever the protagonist is. Alih-alih membahas (atau menghibur) dengan aksi Tom ngejar Jerry sambil saling ‘menyakiti’ pake benda-benda berat — which is the true selling points of Tom and Jerry, film malah fokus ke… pernikahan. Kenapa kita harus peduli sama pernikahan tersebut saat filmnya sendiri gak pernah benar-benar mengaitkan kepentingan pernikahan tersebut dengan journey Kayla, Tom, ataupun Jerry. Kita disuruh peduli sama pasangan interracial yang hendak nikah itu. Kupikir tadinya mereka adalah selebriti beneran, kayak cameo gitu. Tapi ternyata tidak, mereka karakter cerita. Yang disebutkan punya banyak penggemar, dan pengen wedding yang mewah (pake gajah!), tapi mempelai wanitanya sebenarnya enggak setuju-setuju amat. Kita disuruh peduli karena di cerita itu mereka orang terkenal, dan kita selalu suka ngikutin drama orang terkenal walaupun rekaan kan?
Not!
Kita nonton ini karena ingin melihat Tom dan Jerry. Banyak-banyak! Kita mau lebih banyak adegan seperti saat Tom nyebrang kabel listrik, berusaha mencapai Jerry yang lagi ngadem di jendela hotel. Tapi di sini mereka udah kayak karakter sampingan. Udah kayak karakter comedic-relief di antara adegan-adegan drama manusia yang karakternya random.

I get it. Film mungkin memang sedang membandingkan relationship unik antara Tom dan Jerry dengan pernikahan. Tom dan Jerry sering kejar-kejaran dan berantem, tapi mereka toh langgeng. Kisah mereka tak lekang waktu. Ketika harus baikan, mereka bisa kok jadi sahabat yang tak-terpisahkan. Supaya hubungan asmara bisa langgeng seperti itu, kita bisa meniru mereka. ‘Perlu’ sesekali bertengkar. Karena sesungguhnya bukan ribut dan berantem itu yang bikin renggang.

 
Dunia yang dihuni manusia dan hewan-hewan kartun itu sebenarnya menarik. Harusnya film mengeksplorasi ini lebih jauh. Tapi cerita malah dikurung di hotel. Hotel yang punya aturan gak boleh ada binatang, tapi karakter ceritanya pada selow aja bawa hewan-hewan ke hotel. Jadi, larangan itu gak dijadikan sebagai eksplorasi atau bahkan sebagai konflik. Kayla di sini tu enggak diam-diam nyelundupin hewan, dia mau ngusir tikus. Jadi aturan tersebut, setting hotel tersebut gak punya pengaruh sama sekali kepada karakter Kayla, atau Tom, atau Jerry. Film ini tuh kayak “Hey, ini situasinya bisa menarik” /  “Nah, let’s make it simple and dumb”

Mari setiap beberapa menit sekali kita rangkum cerita lewat merpati yang ngerap!

 
Si Kayla itu karakternya aneh. Dia nipu untuk mendapatkan kerja di hotel. Tapi arc-nya gak pernah benar-benar terbentuk sebagai cerita seseorang yang harus berbuat demikian, kemudian menyesal, dan berusaha redeem herself. Cerita Kayla dibuat untuk asik-asikan doang, dan dia nyesal dan berubah itu sama sekali gak ada perjuangan naik turunnya. Datang gitu aja sesuai durasi. Dibilang baik, enggak juga. Dibilang jahat, ya gak segitunya. Dibilang lucu, dia garing. Dia cuma ada di sana, mengambil tempat sebagai pusat cerita. Dan kita gak peduli sama dia. Emangnya kenapa kalo dia gagal nangkap Jerry. Emangnya kenapa kalo dia sampai ketahuan nipu. Emangnya kenapa kalo Jerry sampai dius… lupakan, gak bakal ada yang bisa nangkap Jerry – that mouse is slick!. EMANGNYA KENAPA KITA HARUS PEDULI SAMA WEDDING DUA SELEB-PALSU?!!
Semua stake film ini lemah, dan salah satunya dikembangkan dengan gak niat. Kita hanya peduli pada kejadian kocak yang terjadi pada Tom dan Jerry. Kenapa begitu susah untuk film ini memberikan itu kepada kita. Aku mulai berpikir film ini gak paham yang namanya komedi. Begini, ada banyak pemain komedi dalam film ini. Ada Michael Pena yang jadi atasan Kayla. Ada Ken Jeong yang jadi kepala koki di hotel. Ada Patsy Ferran yang jadi bell-girl. Tapi film ini gak ngasih apa-apa untuk mereka semua. Tidak ada dialog-dialog lucu. Bahkan one-liner konyol pun tidak ada. Yang dianggap sebagai komedi oleh film ini tu adalah ketika seseorang bicara sendiri, atau melakukan hal awkward sendiri, terus dia jadi tengsin karena diliatin atau malah karena lawan bicaranya sudah pergi. Hanya itu. Talenta komedian cuma mereka suruh begitu.
 
 
Sebenarnya Tom dan Jerry udah punya film-panjang, keluar tahun 1992. Full-animation. Sehingga film tersebut seenggaknya masih menampung spirit utuh dari serial kartunnya. Nah, di film baru ini, Story dan Costello yang udah membawa Tom Jerry ke setting dan konsep visual baru, tak punya banyak pilihan selain menampilkan karakter Tom dan Jerry seoriginal mungkin. Mereka kembali pada karakter yang tidak bicara. Role bicara diberikan kepada karakter-karakter manusia, dan karakter kartun yang lain. Akibatnya Tom dan Jerry jadi bener-bener kehilangan suara. Story dan Costello kesusahan mengembangkan cerita dari komedi Tom dan Jerry yang biasa. Mereka membuat sesuatu yang lebih seperti sebuah drama karakter manusia. Tapi itupun tidak maksimal karena penulisan yang punya mindset bahwa film untuk anak-anak harus dibuat sesimpel mungkin. Karakter manusia hampa semua. Dan parahnya kita terjebak pada mereka. Tom dan Jerry-nya cuma sesekali menghiasi layar, and we know we want more of them! 
The Palace of Wisdom gives 1 out of 10 gold stars for TOM AND JERRY
 
 
 
 

 

That’s all we have for now.
Menurut kalian bagaimana pertengkaran bisa menjadi penting dalam suatu relationship?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

I CARE A LOT Review

“When it comes to swag, there’s no gender involved.”
 

 
Pernahkah kalian nonton film yang si film ini berusaha keras banget untuk membuat karakter protagonis yang jahat dan susah untuk kita sukai, sehingga kita jadi malah ingin melihat si protagonis ini gagal – atau malah celaka – tapi kemudian malah membuat kita merasa ‘salah’ dengan actually memberikan ending yang kita pikir bakal memuaskan?
Belum? Well ya aku pun rasa-rasanya baru sekali ini nonton film yang pretentious dan tendensius seperti begitu. I Care a Lot sukses berat dalam membuat kita membenci protagonisnya, dan di akhir membuat kita feel bad dengan memberikan yang kita mau. Kok bisa sutradara dan penulis naskah J Blakeson memanipulasi kita seperti itu? Gampang, tentu saja dengan mengusung narasi berupa perempuan yang berjuang melawan pria dan dunia mereka!

Cowok yang nonton ini siap-siap dituding sebagai misoginis

 
Protagonis cerita ini adalah Marla Grayson. Dan nama belakangnya itu adalah satu-satunya hal yang ‘gray’ pada dirinya. Karena, kalo ada satu kata yang mendeskripsikan kerjaan Marla dengan tepat, maka kata itu adalah ‘setan’. Pakek tanda seru di belakangnya. Tiga biji!
Begini, kerjaan Marla ini gampangnya adalah kayak pengelola panti jompo. Marla menjadi wali yang sah atas semua pasien di sana. Yang artinya, Marla menguasai semua aset dan harta lansia yang ia rawat di pantinya. Kerjaan ngurusin manula yang hidup sebatang kara – apalagi kalo sakit-sakitan pula – memang sebuah jasa yang mulia. Tapi itu kalo memang ikhlas dan melakukannya karena cinta. Marla tak sedikitpun punya simpati sama lansia yang ia rawat. Marla care a lot ama duit mereka doang. Film gak malu-malu mempertontonkan niat busuk perempuan sukses ini kepada kita. Openingnya saja, kita sudah diperlihatkan bagaimana Marla memenangkan pengadilan dan sukses memisahkan seorang pria dari ibunya. Marla berlindung di balik teknis, dan tentu saja di balik kartu ‘saya pengusaha perempuan dan anda, pria, berusaha menjatuhkan saya’.
Dan kemudian cerita berlanjut dengan memperlihatkan Marla bersekongkol dengan girlfriendnya (what? of course karakter ini ditulis sebagai seorang lesbian!) dan juga dengan seorang dokter perempuan. Mereka menemukan mangsa baru. Seorang nenek yang sebatang kara tanpa sanak saudara. Nenek yang punya banyak rekening bank dan harta-harta lainnya. Mata Marla langsung ijo! Kita pun diperlihatkan montase yang supposedly seru dan menghibur perihal strategi dan langkah-langkah Marla dalam menguntit dan menyiapkan dokumen supaya legal dan sah si Nenek terjeblos di dalam ‘penjara’ asuhannya. Semuanya begitu matang dan profesional. Kecuali satu hal. Marla yang merasa dapat jackpot ternyata malah dirundung masalah superbesar. Nyawanya dan pacarnya terancam bahaya. Karena Nenek yang mereka ‘culik’ ternyata bagian dari organisasi mafia Rusia!!
Cerita yang normal dan lebih tradisional akan membuat si Nenek itu sebagai bos mafia; membuat Nenek itu sebagai antagonis dari Marla, Marla kini berhadapan dengan businesswoman yang lebih jahat, dan Marla nanti akan menyadari kesalahannya, menghadapi konsekuensi, sebelumnya akhirnya berubah menjadi person yang lebih baik. Namun, I Care a Lot ini tentu saja tidak dipersembahkan sebagai cerita yang normal, apalagi tradisional. Film jaman sekarang, ceritanya harus sensasional dan kudu ‘woke’ terhadap isu feminisme. Perempuan lawannya harus pria, dong! Dan di mana-mana perempuan harus selalu benar. Maka jadilah film I Care a Lot ini membuat si Nenek itu sebagai ibu dari bos mafia yang selama ini berjaya menyembunyikan dirinya. Marla kini harus berhadapan dengan Roman. Bekingan hukum gak lagi bisa membantunya karena Roman dan para mafia itu main di luar hukum. Tapi jika kalian pikir, Marla akan benar-benar kesusahan menghadapi Roman, maka kalian benar-benar tidak mengerti bagaimana film modern itu bekerja. Tokoh protagonis cewek ya harus dapat plot armor berupa kekuatan feminis. Protagonis cewek gak boleh kalah lawan cowok, paling tidak ya harus berimbang lah. Mafia yang udah bertahun-tahun di dunia hitam itu bisa lah dibikin salah sekali dua kali, mereka bisa lah dibikin gagal membunuh dua perempuan karena determinasi perempuan yang lebih kuat daripada nafsu balas dendam para kriminal.
Film tahu persis dinamika gender jaman sekarang, dan itu yang dimainkan dengan maksimal untuk bikin kita geregetan.  Jadi, Marla Grayson digambarkan total hitam. Meskipun teknisnya karakter ini adalah antihero, tapi dia digambarkan lebih cocok sebagai villain. Tidak ada hal baik yang bisa kita sukai dari dirinya. Motivasinya uang, dan dia enggak miskin. Marla udah kaya raya banget. Tidak ada stake manusiawi yang emosional dari karakter ini. Film pure mengandalkan ini cerita perjuangan cewek. Kita penonton-lah yang harus otomatis peduli kepadanya karena kalo tidak, maka berarti kita tidak feminis. Kita misoginis karena tidak ingin melihat perempuan sukses. Keantiheroan Marla bergantung pada agenda feminis ini. Lucu, memang, but actually di sinilah letak keberhasilan film ini sebagai dark comedy. Film ini tahu itu semua tadi enggak cukup untuk membuat kita peduli sama Marla, maka mereka lantas membuatnya bahkan lebih susah lagi dengan menghadirkan karakter Nenek. Lansia yang diculik dan ditipu dan dikurung against her will; kita bukan manusia kalo simpati kita gak langsung pindah hinggap ke si Nenek. Jadi, konflik yang dikobarkan oleh film ini sesungguhnya langsung bermain di kita. Kita ingin lihat feminis berhasil, tapi kita juga dibangun untuk benci banget ama protagonis feminisnya.
Protagonis paling unlikeable seumur-umur nonton film!!

 
Rosamund Pike pun didaulat untuk menghidupkan Marla. Di sini ia ditugasi untuk memastikan karakter tersebut tampak semakin ‘setan’ dan unlikeable lagi. Kalo di wrestling, superstar yang kebagian peran heel alias antagonis punya tugas untuk dibenci oleh penonton. Mereka gak boleh sampai ditepuki semangat oleh penonton. Mereka harus di-boo, kalo perlu harus sampai dilemparin cup minuman. Salah satu pertanda superstar heel itu berhasil ya dilihat dari betapa kerasnya dia dihina dan dibenci oleh penonton. Rosamund Pike di film ini persis seperti superstar gulat yang lagi mainin karakter heel tersebut. Dia sukses membuat karakternya menjadi dibenci. Seriously, berkat tindakan dan aksi Marla, aku jadi merasakan kebencian itu menjalar lewat akting dan gesturnya. Aku bahkan benci rambut bobnya. Aku eneg lihat bajunya yang sok rapi. Aku pengen merampas vape itu dari jarinya, dan menyumpalkan benda itu ke mulut songongnya. Begitu suksesnya Pike memainkan karakter ini! (and no, untuk kali ini, ini bukan sarkas; Pike is that damn good!)
Menyusul di belakangnya ada Peter Dinklage yang menyuguhkan permainan akting tak kalah menantang sebagai Roman. Actually, tantangan peran Dinklage di sini lebih sulit dari Pike. Karena Dinklage tidak boleh benar-benar menuai simpati penonton. Film perlu dia untuk tetap menjadi villain, demi mengukuhkan posisi Marla sebagai protagonis. Meskipun Roman bertubuh kecil, dirampas dari ibunya, dicuri benda berharganya, penonton gak boleh sampai kasihan sama karakter ini. The grand design dari narasi film ini adalah memperlihatkan both Marla dan Roman sebagai pribadi yang ‘jahat’. Dinklage paham tugasnya tersebut. Dia menyuntikkan menace ke dalam karakternya yang lebih banyak diam, dia merayapkan sesuatu yang mengerikan dan gak bisa dianggap main-main di balik karakternya yang notabene adalah korban di skenario ini.

At their lowest, cewek atau cowok sebenarnya sama. Mereka bisa jadi sama-sama jahat, sama-sama culas, sama-sama curang. Inilah yang ingin diperlihatkan film kepada kita. Bahwa gender itu memang gak sama, tapi kalo soal moral, gak ada gender yang lebih baik atas yang lainnya. Semuanya pengen jadi sukses, dan keduanya sama-sama gak ragu untuk melakukan hal jahat demi mencapainya. Dan, seperti yang diperlihatkan film sebagai solusi di antara keduanya, daripada saingan sebaiknya kerja sama aja. Saling empower satu sama lain.

 
And here comes the ending. Punchline dari komedi-gelap yang udah dibangun oleh film ini. Kita sudah dibuat menantikan konsekuensi menimpa Marla. Kita sudah ‘digoda’ oleh banyak adegan yang seperti Marla akan mendapat ganjaran. Kita dibuat benar-benar menantikan Marla mendapat derita. But when the time comes, film melakukannya dalam cara yang seolah menuduh kita – yang senang dengan konsekuensi itu akhirnya datang juga – sebagai seorang misoginis. Seolah menuding kita lebih senang melihat Marla gagal. Semua konflik tadi terakumulasi untuk membuat kita merasa seperti demikian; we feel bad karena udah senang karakter perempuan yang berperilaku jahat dapat hukuman; kita tercabik antara moral dan feminis itu sendiri. Dan paling lucu dari semuanya itu adalah, reaksi kita terhadapnya. Kita gak mau tampak misoginis, sehingga banyak dari kita yang berpura-pura benci sama endingnya! Padahal dengan begitu sesungguhnya telah membuat kita menjadi sama pretentiousnya dengan film ini sendiri.
Ya, film ini pretentious karena dia sama sekali tidak berniat menceritakan tentang Marla, tapi semua ini dibuat untuk ‘menyerang’ kita. Ini adalah dark-comedy, dengan reaksi kitalah sebagai joke-nya. Jika ini adalah cerita tentang Marla, maka seharusnya film memberikan inner journey, dia sebagai pribadi harusnya mendapat pelajaran yang lebih dalam ketimbang sekadar menjadi yang tadinya sendiri dan menganggap pria musuh menjadi mau bekerja sama dengan pria yang tadinya literally musuhnya. Absennya pemikiran Marla soal tindakannya sendiri itulah yang menjadi penanda utama film ini tidak dibangun sebagai cerita atau journey Marla.
 
 
 
Baru sekali ini rasanya aku menonton film seperti ini. Kreatif? Ya. Aku mengerti konsep dan konteks dark-comedy yang pembuatnya incar. Film ini punya nyali dan berkreasi sesuai nyalinya tersebut. Kita bisa bilang visinya benar-benar kuat mengarahkan semua elemen ke tujuan. Penampilan akting yang menghidupinya juga gak main-main. Namun sebagai sebuah film utuh; risk yang diambil dengan berani itu tidak pernah membuat film ini fit in ke dalam bentuk sebuah film yang bagus. Karakter protagonisnya unlikeable, simpati kita malah ke karakter lain. Semua kejadiannya tampak lemah karena mengandalkan point-point yang seperti ‘kayaknya di dunia nyata enggak begitu, deh’. Film ini dengan sengaja membagi dua penonton – yang mengaku suka atas perjuangan perempuan, dan yang bilang tidak suka karena kesel ama karakternya. Padahal, sendirinya film ini bergagasan soal bekerja sama. Nah, menurutmu kira-kira sikap yang seperti itu sikap apa namanya?
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for I CARE A LOT
 
 
 
 

 

That’s all we have for now.
Menurut kalian kenapa sih sekarang tu semuanya kayak ‘menang-menangan’ gitu, like, perempuan pengen exist di podcast karena menurut mereka podcast masih area laki-laki
Menurut kalian apakah itu semua adalah narasi tidak mau kalah saja, atau ada lapisan yang lebih dalam lagi?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA