ALI & RATU RATU QUEENS Review

“Our life is a one-way journey”

 

Enggak setiap hari kita diajak jalan-jalan ke kota New York oleh film Indonesia. Tujuan destinasi film kita biasanya memang lokasi-lokasi dengan pemandangan eksotis. Bukannya New York tak indah, hanya saja untuk sebagian besar kota tersebut kurang lebih sama dengan kota-kota besar padat yang sibuk dan megah oleh gedung-gedung menjulang. Pemandangan unik yang dilihat Ali dalam film original Netflix Ali & Ratu Ratu Queens ‘cuma’ jalan-jalan satu arah yang ada hampir di setiap persimpangan distrik Queens. Namun bagi Ali, maupun bagi film ini sendiri, pemandangan bukan menjadi persoalan. Karena cerita ini adalah tentang perasaan. Ali bakal menyadari sesuatu tentang kehidupan dari jalan-satu arah yang ia lihat. Ali bakal belajar tentang hubungan keluarga yang sebenarnya. Ali & Ratu Ratu Queens berhasil menguarkan kehangatan pada kota yang bahkan di film-film dan serial televisi luar kerap digambarkan sebagai kota keras yang tidak ramah.

aliCSMh3V7vG
Oase di hutan gedung

 

Cerita film ini seperti sebuah unofficial sekuel dari Dua Garis Biru (2019), yang juga ditulis oleh Gina S. Noer. Enggak exactly berhubungan, tapi tak-urung terasa seperti kelanjutan. Dalam akhir Dua Garis Biru, si ibu-remaja memutuskan untuk terbang ke Korea mengejar mimpi dan menyambung pendidikannya, meninggalkan putranya untuk sementara bersama ayah-remaja di Indonesia. Ali & Ratu Ratu Queens, ceritanya dimulai dengan permasalahan yang mirip. Bedanya, pasangannya bukan remaja, perginya bukan ke Korea. Ali sudah berumur lima-tahun ketika ibunya pamit sebentar ke Amerika. Apa yang tadinya mestinya hanya enam bulan, berlanjut hingga bertahun-tahun. Ali hilang kontak dengan sang ibu. Sepeninggal ayah, Ali yang kini telah lulus sekolah menemukan bukti bahwa Ibu ternyata bukanlah seperti yang dikatakan oleh Om, Tante, dan saudara-saudaranya di Indonesia. Percaya setulus hati bahwa Ibu masih cinta dan menunggunya, Ali memutuskan untuk berangkat ke Amerika. Menjemput ibunya.

When entering this movie, I was thinking about a completely different movie. Materi-materi promosi yang kulihat berseliweran di sosmed/Internet telah sukses menggiringku ke arah yang salah perkara ‘mencari ibu’ yang dilakukan oleh Ali. Tadinya kupikir ini adalah tentang anak yang melakukan road trip ke Amerika, menemukan ibu yang tidak ia tahu pasti keberadaan, atau malah mungkin ‘siapa’ ibunya tersebut. Ternyata Ali & Ratu Ratu Queens enggak really about mencari. Ali dalam cerita ini tahu dan ingat siapa perempuan yang dia sebut ibu, Ali tahu tempat di mana dia harus mencari; dia punya alamat lama dan everything. Perjalanan Ali di sini bakal tampak sebagai sebuah kemudahan, apalagi Ali kemudian ditampung tinggal bersama geng ibu-ibu imigran dari Indonesia yang lagi nyari duit untuk buka bisnis kuliner di sana. Tapi sekali lagi, film ini bukan soal ‘mencari keberadaan’, melainkan soal memaknai keberadaan itu sendiri. Setelah plot poin di akhir babak pertama yang mengejutkan, fokus yang kemudian mengisi cerita adalah mengenai hubungan Ali dengan para ibu-ibu yang menyebut diri mereka Queens-nya kota Queens yang perlahan ikut tumbuh seiring dengan usaha Ali merajut kembali hubungan yang terputus dengan ibunya.

Jika ada yang Ali cari, maka itu adalah mencari makna keluarga. Dan life, in general. Karena film ini lewat perjalanan Ali juga punya muatan soal dalam hidup manusia punya tujuan, yang jalan menempuh tujuan tersebut bakal penuh pengorbanan, dan betapa berat perjuangannya untuk tidak stray away dari jalan tersebut. Jalan-satu-arah di kota Queens tersebut benar-benar tepat melambangkan jalan hidup yang kita lalui. Satu arah. Tidak ada kata mundur kembali dalam perjalanan mengejar mimpi.

 

Dalam prosesnya menceritakan jalan satu-arah, film ini mendobrak pandangan di sana-sini. Pertama, pandangan tradisional orang-kita yang berakar pada agama dan (sedikit terlalu banyak) patriarki terhadap gaya hidup Amerika dan kebebasan perempuan mengejar karir menentukan sendiri hidupnya. Ini dicerminkan oleh film lewat sikap menentang yang ditunjukkan oleh keluarga besar Ali di Indonesia. Mia, ibunda Ali yang sudah lama mia (alias ‘missing in action’ dalam urusan ibu rumahtangga) mereka anggap berdosa besar, dan itulah sebabnya Ali berusaha mereka jauhkan darinya. Karakter Ali di sini berfungsi sebagai perwakilan kita untuk mau/open melihat lebih dekat sebelum ngejudge. Ali langsung terjun ke Amerika. Merasakan sendiri perbedaan yang dianggap negatif ternyata reasonable secara manusiawi. Dan meskipun hal menjadi berat dan pedih bagi dirinya, Ali jadi mengerti kenapa ibunya melakukan yang ia lakukan tersebut. In turn, Ali paham dia juga harus menapaki jalannya sendiri karena dia adalah anak muda yang haruslah siap menghadapi dunia.

Kedua, pandangan stereotipe kota New York pada film dan serial televisi. Yang sering dieksplor dari Kota New York dalam media adalah kekerasannya. Dari The Simpsons hingga New Girl hingga ke film-film kriminal, New York lebih sering diperlihatkan sebagai daerah berbahaya, dengan penduduk yang cuek. Brookyn, Bronx, Staten Island; kota-kota “ghetto” aja yang terus dibahas. Film Ali & Ratu Ratu Queens ini tentunya asing bagi penonton Netflix di luar sana. Dan bagi orang Amerika, film ini bisa jadi pembuka mata. Karena bagi para pendatang atau imigran asing tersebut, Queens – kota di New York yang mereka bentuk sendiri sebagai tempat-keras – justru jadi tempat berlindung yang ramah. Ali dan para ibu-ibu tidak pernah diperlihatkan mendapat ancaman atau diskriminasi. Bahkan ada adegan ketika Ali mendapat simpati dan bantuan dari penduduk lokal. Bagi Ali, mungkin ibunya jauh lebih ‘kejam’ dibandingkan Queens. Bagi Ali dan ibunya dan ibu-ibu Queens, kota itu dengan jalan satu-arahnya adalah peluang untuk mewujudkan mimpi dan passion.

aliAli-Ratu-Ratu-Queens-4-750x422
Sepertinya benar juga kalo judul film ini adalah wordplay Alien the Queens. Imigran di Queens.

 

Jadi, natural (dan perlu banget) bagi film ini untuk menguatkan interaksi dan hubungan antara Ali, baik dengan ibu kandungnya, maupun dengan ibu-ibu yang nama gengnya disandingkan dengan namanya sendiri sebagai judul film. Marissa Anita sebagai ibu Ali mencuat di sini berkat tuntutan akting yang mengharuskannya bergulat dengan emosi. Baginya ini adalah menjadi ibu yang bertanggungjawab kepada keluarga sekaligus menjadi seorang perempuan yang bertanggungjawab terhadap dirinya sebagai manusia. Marissa nails this, khususnya pada dialog supermenyentuh ketika dia harus benar-benar ‘mengakui kesalahannya’ kepada Ali di menjelang akhir film. Suara tercekat yang emosional terdengar sangat genuine, seperti ia benar-benar terluka dan menyesal saat mengucapkannya. Momen-momen heartfelt memang datang dari interaksi Mia dan Ali, berkat how good dan pahamnya Marissa terhadap psikologis perannya.

Ali, on the other hand, tampak agak on dan off. Kita mengerti arc Ali, we’ve come to understand apa yang harus dimengerti oleh Ali. Namun Iqbaal Ramadhan tidak terasa begitu konsisten dalam menyampaikan apa yang seharusnya dirasakan oleh karakternya. Karakter Ali punya tuntutan range yang lumayan, kadang dia berupa seperti anak kecil yang belum mengerti dan masih harus banyak dididik oleh ibu-ibunya. Kadang dia harus bermain-main dengan mereka. Kadang dia harus confront emosi terdalamnya. Iqbaal tampak perlu full-guidance to get through all of this, one by one. Sayangnya, skrip film ini bukanlah skrip yang benar-benar seimbang. Babak pertama dan pada sebagian besar babak keduanya, difungsikan untuk membangun hubungan antara Ali dengan para ratu. Namun tidak banyak yang diberikan kepada Ali di sini. Dia tidak selalu ada di driver-seat. Keputusan-keputusan besar diserahkan kepada para ratu. Malah, Ali tinggal bareng mereka saja, bukan Ali yang memutuskan. Instead, Ali dapat bagian untuk memutuskan hal-hal seperti melarang para ratu pergi melabrak ibunya. Film ini seperti memberikan tone yang membingungkan bagi Iqbaal to play with. Karena para ratu itu – walaupun ingin dibagi adil porsinya dengan Ali – tapi tetap sebagian besar difungsikan sebagai penghibur suasana.

Para ratu tidak banyak diberikan ruang untuk pengembangan karakter. Mereka, katakanlah, sudah tercetak langsung jadi. Tika Panggabean sebagai ibu galak dengan anak gadis yang cantik, Happy Salma sebagai oddball, Nirina Zubir sebagai penengah, dan Asri Welas sebagai peran dirinya yang biasa. Sedikit kekhasan masing-masing tidak pernah benar-benar dijadikan sebagai sesuatu bahasan yang relevan untuk cerita. Hubungan Ali dengan mereka pun sebagian besar dilakukan lewat montase. Aku tidak merasa ada persahabatan yang benar-benar tumbuh di luar hubungan seperti antara anak muda dengan guardiannya. Sehingga pula, interaksi dengan mereka di dua babak awal malah jadi tampak sebagai distraksi buat permainan emosi yang harus dilakukan Iqbaal.

Sutradara Lucky Kuswandi pun sepertinya memang lebih lihai dalam adegan relationship yang lebih ‘intim’ antara dua karakter ketimbang antara banyak-karakter. Pada bagian akhir ketika cerita memfokuskan kepada hubungan Ali dengan karakter yang diperankan Aurora Ribero, film terasa lebih stabil. Ini juga adalah waktu ketika Ali yang berusaha memperbaiki banyak hal mulai berada dalam full-komando. Akting Iqbaal pun jadi lebih konsisten di sini. Aku sih pengennya film bisa sekonsisten ini dari awal hingga akhir. Tapi kalo memang filmnya sudah merasa cukup dengan memuaskan penonton lewat bagian akhir saja, well, this is just one-way to do it.

 

 

True, film ini adalah salah satu ‘good movie’ yang berhasil diproduksi oleh perfilman tanah air di tahun-tahun yang mencekik ini. Feel good dan sangat menghangatkan. Membawa kita jalan-jalan dan membawa oleh-oleh yang berbobot untuk dibawa pulang ke hati masing-masing. Film ini juga punya suara dan berani untuk mengoarkannya. Tapi, aku pikir ini bisa mencapai lebih banyak lagi. Karakter utamanya, Ali, bisa lebih diperkuat lagi. Para Queen-nya bisa lebih didalemi lagi. Tone quirky dengan dramatisnya bisa dibuat lebih ngeblend lagi. Jika itu semua tercapai, aku yakin film ini gak butuh untuk bersandar pada lagu-lagu populer. Really, bahkan di film ini yang sekarang pun, lagu-lagu tersebut terasa over. At this point, mereka itu ada terasa seperti film ini lagi flexing budget yang dipunya aja kepada kita.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for ALI & RATU RATU QUEENS.

 

 

That’s all we have for now.

Karakter Ratu mana yang jadi favorit kalian? Kenapa?

Share with us in the comments yaa

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

INFINITE Review

“Life is about reinventing yourself”

 

Apakah ada hal di dunia ini yang bisa kalian kerjakan, tanpa kalian yakin kenapa kalian bisa melakukannya? Misalnya seperti kalian ternyata bisa mencetak gol walaupun selama ini kalian belum pernah memegang bola. Atau kalian bisa langsung jago ngendarai sepeda walaupun baru satu kali latihan. Well, film Infinite buatan Antoine Fuqua bilang itu bukan karena bakat. Melainkan karena itu adalah keahlian yang kita bawa dari kehidupan sebelumnya. Infinite memang bicara tentang reinkarnasi. Konsep dasar yang jadi tulang punggung ceritanya adalah bahwa di dunia ini ada sekelompok orang yang terus-menerus lahir-kembali ke dunia, dan mereka membawa bukan hanya kemampuan yang telah dipelajar di sepanjang garis kehidupan mereka, melainkan juga beban atas hidup yang basically tak-terputus.

Konsep yang sebenarnya menarik banget untuk dijadikan cerita action sci-fi yang manusiawi. Namun sayangnya, film ini sendiri ternyata tak lebih dari sekadar reinkarnasi puluhan film-film action sci-fi; tanpa punya kemampuan spesialnya tersendiri.

Aku gak tahu apakah novel source-materi film ini memang bahasannya simpel, tapi yang jelas – yang kita lihat di film ini – memang Fuqua sepertinya lebih tertarik mendesain action pieces ketimbang berkutat dengan persoalan reinkarnasi dan permasalahan manusiawi yang dibawa olehnya. Ketika kita bertemu dengan Mark Wahlberg yang jadi Evan si tokoh utama, film seperti telah mencukupkan dirinya dengan narasi voice-over berisi eksposisi (bahwa di dunia cerita ini ada dua golongan orang yang bereinkarnasi; golongan jahat yang mencoba mengakhiri dunia supaya reinkarnasi juga berakhir, dan golongan baik yang mencoba menyetop golongan jahat) Yang dijanjikan film ini kepada kita lewat adegan pembukanya adalah aksi-aksi laga yang mustahil tapi fun. 

infiniteTrailer-infinite-2
Kapan lagi ngeliat Marky Mark nusuk pesawat pake pedang, kan?

 

 

Sisi baiknya memang adalah bahwa film ini enggak inkar janji. Penonton yang suka dengan sekuen-sekuen aksi heboh – yang nyerempet garis antara impossible dan dumb – bakal terhibur habis-habisan dengan yang ditawarkan Fuqua pada film ini. Evan ternyata adalah reinkarnasi dari seorang jagoan yang punya kepandaian cukup banyak, salah satunya adalah keahlian membuat pedang. Malahan di kehidupan terakhir sebelum Evan, si jagoan sedang dalam tahap mengembangkan kekuatan super ala superhero. Jadi, film ini punya begitu banyak taman bermain, mulai dari kejar-kejaran mobil, tembak-tembakan, bertempur pake pedang – either di atas jembatan atau di dalam pesawat yang berputar-putar, and I haven’t reach the punchline yet; melawan musuh berpistol ajaib! Aku langsung teringat sama adegan Cloud berantem lawan tiga clone Sephiroth di Final Fantasy VII Advent Children. Karena memang aksi di Infinite ini seru seperti itu.

Tapi begitu mengingat cerita yang dikesampingkan oleh sekuen-sekuen aksi tersebut, ya rasanya nonton film ini jadi kecewa juga. Evan selama ini tumbuh dewasa dengan mengira dirinya schizophrenia. Dia melihat mimpi-mimpi dan halusinasi tentang kejadian dan orang-orang yang tak ia kenal. Dia discover dirinya bisa melakukan hal-hal yang tak pernah ia pelajari. Film ini menyederhanakan konflik pelik itu dengan jawaban bahwa semua itu adalah memori dari kehidupan terdahulunya. Sehingga Evan yang sekarang ini hanyalah empty shell tempat si karakter jagoan bersemayam. Kepribadian atau karakter yang ia punya sebelum dia sadar dirinya adalah Treadway si jagoan, seperti menyatu begitu saja dengan kepribadian Treadway yang kita lihat di beberapa flashback; kalo gak mau dibilang kepribadian Evan itu menghilang. Film tidak menyelami persoalan kepribadian dan reinkarnasi lebih lanjut. 

Walaupun mengambil referensi kepada ajaran agama, tapi konsep reinkarnasi yang ada di sini dibikin simpel-simpel aja. Evan, maupun rekan-rekannya yang berjiwa imortal, tak pernah terlahir kembali sebagai tubuh yang bukan mereka. I mean, Treadway tidak pernah terlahir jadi cewek, atau temen cewek Treadway tidak pernah terlahir sebagai cowok sehingga dia dan pasangannya selalu jadi couple hetero. Melihatnya dari sini saja sudah cukup kelihatan betapa boringnya cerita film ini. Penggaliannya yang mentok variasi itu pun sebenarnya masih bisa jadi cerita menarik kalo karakter-karakter itu benar-benar digali. Tapi ternyata juga tidak. Film menghabiskan waktunya dalam menyadarkan ingatan Treadway yang bersemayam sebagai Evan alih-alih menjalin hubungan antara karakter-karakter yang terus berjuang bersama tersebut.

Melihat karakter yang berusaha menyadari apa yang bisa jago dia lakukan (not really berusaha malah, melainkan lewat alat canggih) tentu saja terasa hampa dibandingkan jika melihat karakter yang berjuang memperbaiki kesalahannya di masa lalu. Dan memang begitulah semestinya makna dari reinkarnasi. Hidup berkali-kali, berarti mati berkali-kali. Berarti karakter kita sudah melakukan banyak kesalahan berkali-kali. Mengalami kehidupan seperti itu harusnya jadi pembelajaran. Namun tidak ada hal tersebut kita lihat terjadi pada karakter-karakter film ini, yang terus saja dibuat mengalami nasib yang itu-itu melulu

 

Antagonis di cerita ini, misalnya, adalah mantan teman seperjuangan Treadway. Pandangannya terhadap kehidupan terus-menerus mereka menjadi berbeda karena somehow si antagonis tidak pernah mengalami fase ‘lupa’ saat dia terlahir. Dia langsung ingat akan semua masalah. Dan ini membuatnya sama manusia, dan sama kehidupan. Jika film ini menggali dan membawa kita menyelam bersama karakter ini – melihat bagaimana dia dan Treadway dan rekan-rekan lain feel tentang reinkarnasi untuk pertama kali, maka hubungan mereka akan lebih genuine. Tapi film malah tetap sibuk berkutat pada hal-hal gak make sense, supaya ceritanya tetap simpel. Alih-alih membahas kenapa si antagonis kemampuan reinkarnasinya berbeda, film malah memperlihatkan hal lain yang malah membuatnya jadi penjahat komikal. Kaya, punya banyak pasukan, dan segala macam. Motivasinya yang mestinya mendalam, dalam film ini malah terlihat seperti sesepele mencari ‘telur penghancur’.

infinitemark-wahlberg-infinite-01-700x400-1
He owns an awesome soul capturing weapon tho

 

Tentu saja aku bukannya mau bilang aku bisa bikin cerita yang lebih bagus atau apa. Menilai film tentu saja tetap melihat dari jadi apa film tersebut pada akhirnya. Dan itulah yang sedang berusaha aku sampaikan. Bahwa dengan menjadikan film ini simpel, dengan tidak mengacknowledge – apalagi membahas – hal-hal rumit dan menarik yang sebenarnya ada menempel pada cerita, maka film ini pada akhirnya hanya menjadi laga sci-fi generik yang gak ada bedanya dengan film-film sejenis. Identitas film ini adalah soal reinkarnasi, tetapi dari yang kita tonton sepanjang seratus menit durasi, film ini terasa sama aja dengan cerita orang yang hidup lama tapi lupa sama kekuatannya. Yang udah lumrah banget. The Old Guard-nya Charlize Theron yang tayang belum lama ini juga mirip-mirip kayak ini; sekelompok orang yang hidup ratusan tahun berjuang di dunia modern. Evan dan kawan-kawan basically immortal seperti karakter Theron di film tersebut. Dan persis di ‘basically‘ itulah film Infinite ini menempatkan dirinya.

Jadi, flaw film ini terutama adalah pada kegagalan menguarkan identitasnya. Cerita Evan ini bahkan mirip ama cerita Cole di Mortal Kombat kemaren. Evan bisa dengan gampang ‘diganti’ sebagai keturunan dari si pembuat pedang di Jepang, atau si Treadway, dan dia harus berlatih menemukan panggilan originnya, melawan kenalan di masa lalu yang terus abadi memburunya. Infinite perlu banget untuk memperkuat soal reinkarnasi yang dia punya. Karena tanpa itu, filmnya jadi gak spesial.

Aksi-aksi sensasional hanyalah bumbu yang juga dipunya oleh film-film sejenis, yang malah memang fokus ke arah sana. I mean, kenapa kita mau nonton kejar-kejaran mobil di sini jika di bioskop sedang tayang film franchise yang namanya udah segede gaban, kan. Gak ada lagi excitement kita saat mengikuti Infinite ini. Apa lagi yang dipunya film ini? Nama-nama gede? Well, bahkan Mark Wahlberg aja di sini tidak tampak antusias. Dialog karakternya datar dan minim excitement. Evan baru saja mengalami halusinasi paling menyirap darah seumur hidupnya, tapi reaksinya cuma, “Wow, that felt real”

Aku bilang, “Wow, this feels like a waste of time!”

 

 

 

Maaan, Juni ini kita dapat film jelek melulu. Film ini terlalu generik bahkan jika tujuannya memang hanya untuk menghibur. Kesempatan menang film ini hanya ada pada sekuen-sekuen aksi, itupun juga lombanya adalah heboh-hebohan aksi. Di baliknya benar-benar tidak ada apa-apa. Karena film telah memilih untuk mengesampingkan identitas, demi membuat dirinya tampil simpel. Tampil tidak berat. Kemungkinan pembahasan film ini sebenarnya bisa cukup dalam, dan katakanlah – endless. Tapi ironisnya, justru film ini membatasi dirinya sendiri. Dan sebagai salt to our wound, bagian akhir film akan memperlihatkan sebuah representasi yang ngasal dan apa adanya hahaha..
The Palace of Wisdom gives 2 out of 10 gold stars for INFINITE.

 

 

That’s all we have for now.

Jika bisa memilih, kalian pengen bereinkarnasi menjadi apa?

Share with us in the comments yaa

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

SPIRAL: FROM THE BOOK OF SAW Review

“The police must obey the law while enforcing the law”

 

Franchise atau serial film Saw, dulu setia mengisi Oktober kita dengan horor penyiksaan yang sadis, tapi sering juga bisa membukakan mata. Karena setiap film Saw terkenal oleh dua hal. Jebakan-jebakan mautnya. Dan John Kramer; dalang – mastermind yang melakukan semua permainan mematikan tersebut dengan alasan moral yang kuat di baliknya. Walau Kramer telah mati sejak di film ketiga, tapi pengikut-pengikutnya (bahkan peniru dirinya) tetap selalu bermunculan dengan jebakan penuntut keadilan versi mereka. Legacy karakter tersebut seperti jadi perangkap atau jebakan sendiri bagi para pendukungnya, seperti halnya legacy franchise ini menjadi perangkap bagi pecinta filmnya.

Walau seri utamanya sudah usai bertahun-tahun yang lalu, ternyata masih banyak orang yang penasaran dan merasa perlu untuk membuat kembali film lanjutannya. Tahun 2017 yang lalu kita dapat, katakanlah, sekuel terbaru dari Saw. Film Jigsaw tersebut hadir dengan cerita karakter baru dan tampilan yang lebih ‘mahal’, namun masih terkesan sekadar ‘meniru’.  Kali ini, adalah aktor komedi Chris Rock yang bermaksud melanjutkan permainan maut tersebut. Rock yang jadi salah satu eksekutif produser di sini, menggaet Darren Lynn Bousman (sutradara Saw II, III, dan IV), untuk mewujudkan visinya menceritakan kisah Saw ke dalam dunia kepolisian yang sedang berpilin menurun seperti yang kita rasakan sekarang.

Dan tentu saja, sekali lagi aku dengan suka rela melangkah masuk ke ‘perangkap’ alias film terbaru dari dunia Saw ini!

Spiralcreen-Shot-2021-03-30-at-9.30.34-PM
Jadi ini adalah cerita tentang pembunuhan berencana, bukan tentang keluarga berencana

 

Dan, ya, sekali lagi aku merasakan penderitaan seperti sedang disiksa saat nonton film ini.

Saw adalah salah satu seri thriller favoritku. Film-film Saw malah salah satu yang membuat aku jadi tertarik sama yang namanya nonton film. Perjalanan nonton filmku dimulai dari genre horor dan thriller, dan Saw ada di sana mengawal experienceku. It is actually very painful untuk melihat sesuatu yang kita suka, yang kita pedulikan, yang kita merasa harus berterima kasih kepadanya, terus ada tapi tidak akan pernah bisa sebagus dirinya yang dulu.

Ide Chris Rock sebenarnya menjanjikan. Karena yang dia usulkan di sini adalah cerita yang relate dengan permasalahan yang masih hangat. Chris Rock menempatkan dirinya sebagai seorang detektif polisi. Ezekiel “Zeke” Banks. Anak dari mantan kepala polisi yang dihormati rekan-rekannya. Tapi Zeke sendiri, well, di bawah tekanan mental untuk menjadi sehebat ayahnya, Zeke malah semacam dijauhi oleh rekan-rekan polisi. Atau mungkin lebih tepatnya, dia yang menjauhi. Begini, Zeke orangnya intens banget. Dulu dia pernah memenjarakan rekan polisinya sendiri yang ia ketahui melanggar garis hukum. Sejak itulah, Zeke selalu beroperasi sendiri. Sampai kasus Spiral terjadi. Zeke dipasangkan dengan detektif muda, untuk mengusut pembunuhan berantai yang korban-korbannya actually adalah rekan-rekan polisi di precint Zeke, yang satu persatu menghilang saat melaksanakan tugas. Zeke pun lantas menemukan dirinya sebagai pusat dari permainan maut ala jigsaw.

See, cerita Chris Rock ini seperti mengambil halaman dari buku Saw dan meletakkan ke panggung yang lebih luas. Misteri kejadian apa di masa lalu, apa hubungannya dengan kasus sekarang; Ini jadi full-blown investigation story ketimbang cerita sekelompok orang terjebak seperti biasa. Film ini bahkan fokusnya bukan bener-bener pada perangkap atau jebakan mematikan lagi. Tentu, dalam selang tertentu kita akan melihat polisi yang tertangkap kemudian dipaksa untuk menyelamatkan dirinya sendiri dari perangkap maut (potong lidah/potong jari-jarimu untuk bisa selamat!) Perangkapnya masih sanggup bikin ngilu yang nonton, dan bahkan direkam lengkap dengan ke-cheesy-an khas sekuel-sekuel Saw; cut-to-cut cepat dengan gerakan yang juga dipercepat, untuk menghasilkan kesan panik si orang yang kena perangkap. Tapi perangkap-perangkap di film ini tidak mencuat. Kalo ada yang bikin list ’10 Perangkap Termaut Dalam Film-Film Saw’, perangkap-perangkap dalam film ini pasti gak akan ada yang masuk. Karena memang dibikin biasa aja. Karena memang, film ini memfokuskan kepada siapanya. Siapa yang dijebak ituSpiral is more about characters study. At least, niatnya sih sepertinya begitu.

Yang kita lihat disiksa di sini bukanlah penjahat, melainkan polisi yang seharusnya menangkap penjahat. Dan itu karena polisi-polisi ini justru telah atau pernah berbuat jahat. Maka, film ini bicara kepada kita tentang kebobrokan polisi. Nerima suap, korupsi, ringan tangan (alias nembak/mukul dulu baru nanya) adalah ‘penyakit-penyakit oknum’ yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan menegakkan hukum. Apalagi melindungi rakyat. Melainkan justru memperkaya kriminalitas yang ada.

 

Seharusnya film membiarkan kita meresapi apa yang terjadi pada polisi-polisi tersebut. Apa yang telah mereka lakukan. Apakah mereka pantas mendapatkan ganjaran. Apakah sebenarnya justice itu. Seharusnya film memberikan waktu kepada Zeke untuk berefleksi, untuk berpikir. Jika film ini memang meniatkan untuk menjadi lebih seperti studi karakter ketimbang torture porn, maka film seharusnya memberikan ruang untuk eksplorasi karakter dan reaksi dan perkembangan mereka. Tapi nyatanya, Spiral sama sekali tidak memberikan itu. Tempo dan iramanya digenjot untuk intens terus. Hampir di semua adegan isinya orang-orang berteriak. Mau itu marah, panik, atau malah saat ngelontarin jokes aja karakter dalam film ini nadanya tinggi. Film yang baik itu seperti roller coaster, kita dibawa naik turun seiring karakter yang juga merasakan naik turun. Spiral ini, sedari perangkap di opening selalu menurun tajam. Yang kita dengar itu jadi seperti hanya suara-suara keras yang bising. 

spiral013360_966x543_637554024029131057
Tidak membantu pula Chris Rock yang suaranya khas banget sebagai suara komedi

 

Bintang komedi yang mencoba untuk keluar dari zona nyaman dengan bermain di peran yang lebih dramatis, atau lebih serius, atau sekadar lebih jauh berbeda dari perannya yang biasa. Tentu ini adalah hal yang bagus, yang harusnya berani dilakukan oleh lebih banyak penampil (atau studio). Baru-baru ini, misalnya, kita melihat Adam Sandler jadi gambling addict, Kevin James jadi bos kriminal, Bob Odenkirk jadi bintang laga! Dan sekarang, gilirannya Chris Rock. Spiral ini mestinya bisa jadi kendaraan yang mengukuhkan posisinya sebagai aktor luwes film panjang. Namun dari tone film ini yang didesain intens terus menerus, sepertinya mereka sendiri gak yakin Chris Rock bisa menangani peran yang lebih serius. Intensnya Zeke di sini itu translasinya pada layar adalah, Zeke teriak-teriak terus. Melotot-melotot. Tak ketinggalan, bibirnya dimonyong-monyongin. Seolah film try too hard untuk membuat Zeke tampil intens. Kamu ngomongnya harus keras biar kelihatan emosional. Padahal untuk menunjukkan emosi karakter, untuk membantu Chris Rock menemukan ‘suara’ dramatisnya, yang perlu dilakukan film ini cuma satu; Menggali hubungan karakter Zeke dengan ayahnya. Put it out front-and-center.

Padahal Samuel L. Jackson loh yang jadi ayah Zeke itu. Bayangin, Chris Rock dan Samuel Jackson jadi ayah-anak polisi, interaksi mereka seharusnya bisa endless. We could watch that all day! Tapi film ini justru membatasi interaksi mereka. Adegan mereka interaksi di film ini tuh gak lebih dari lima kali, kayaknya. Hubungan Zeke dengan ayahnya, yang clearly punya pengaruh besar dalam hidup dan karirnya, hanya diperlihatkan lewat flashback.

Flashback yang, by the way, dilakukan dengan enggak bener pula. Aneh perspektifnya. Karena, editing yang dilakukan film ini seperti membuat bahwa flashback yang kita lihat itu adalah memori atau pengalaman yang sedang diingat ulang oleh Zeke. Misalnya, kita melihat Zeke terduduk, dan kita masuk ke flashback – seolah masuk ke ingatannya. Nah, dengan begitu, seharusnya kita hanya melihat yang diingat oleh Zeke saja, karena itu adalah perspektif dirinya. Tetapi, adegan flashback itu terus berjalan, terus kita lihat, padahal Zeke udah gak ada pada adegan flashback tersebut. Bagaimana Zeke bisa mengingat kejadian yang tidak dia saksikan in the first place. Dengan perspektif gak jelas seperti itu, jelaslah sudah bahwa film ini  menggunakan flashback sebagai cara mudah untuk mengeksposisi kejadian. Film tidak concern sama development karakter sama sekali.

 

 

Pada tau iklan obat nyamuk Hit gak? Nah film ini persis kayak slogan iklan tersebut. Yang lebih mahal banyak. Karena memang film ini hanya menang lebih mahalnya saja dibanding film Saw yang pertama. Lebih mentereng dan terasa lebih luwes. Secara kualitas cerita dan penceritaan, film ini adalah penurunan. Tidak bisa memanfaatkan ide – dan aktor – yang bagus dengan maksimal. Perangkap-perangkapnya biasa aja, karena mau fokus di karakter. Tapi karakternya itu pun tidak berhasil digali. Film lebih memilih ngegas terus untuk menjadi intens, tapi kejadiannya tidak diberikan waktu untuk benar-benar berdampak pada cerita. namun pada akhirnya hanya berakhir sebagai kebisingan yang enggak terasa apa-apa.
The Palace of Wisdom gives 3 out of 10 gold stars for SPIRAL: FROM THE BOOK OF SAW

 

 

That’s all we have for now.

Amerika menggunakan kata ‘pigs’ sebagai konotasi negatif untuk polisi. Bagaimana pendapat kalian tentang polisi-polisi di Indonesia? 

Share with us in the comments yaa

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

A QUIET PLACE PART II Review

“A person’s most useful assets are a heart full of love, an ear ready to listen, and a hand willing to help others. “

 

Monster yang memburu manusia lewat sekecil apapun suara yang mereka dengar, sehingga untuk bisa survive, manusia haruslah bergerak dalam diam. Konsep yang jenius sekali untuk sebuah cerita horor. Perjuangan untuk tidak bersuara sama sekali itu mampu menciptakan ketegangan yang genuine, yang easily menular kepada kita para penontonnya. Membuka banyak sekali ruang untuk pembangunan thriller yang seru. Bagi para aktor, konsep ini juga jadi tantangan yang menarik; karena mereka dituntut untuk berakting dengan hening, untuk berdialog lewat ekspresi dan bahasa tubuh atau malah bahasa isyarat sekalian. Visual storytelling haruslah sangat kuat di sini. Dan sutradara John Krasinski sukses berat mengeksekusi semua itu dengan baik. Semua pencapaian itu sudah diraih oleh Krasinski sejak film A Quiet Place pertama tahun 2018. Di film kedua ini, Krasinski memang berhasil mempertahankan prestasinya tersebut dengan gemilang. For once again, kita dibawanya pacu jantung di dunia senyap yang penuh monster.

Namun, supaya review ini juga gak berulang – biar gak sama dengan film pertamanya itu – pertanyaannya adalah, apa dong hal berbeda yang ditawarkan oleh Krasinski dalam film kedua kali ini?

quiteA-QUIET-PLACE-2-Trailer-2020-2-17-screenshot-1024x576
Kalo produsernya alay, film ini akan berjudul ‘2 Quiet Place’

 

Krasinski membuat film kedua ini lebih besar, lebih cepat, lebih chaos, dan tentu saja lebih keras!

Beberapa yang sudah baca mungkin masih ingat di review film A Quiet Place pertama aku menulis soal alasan film tersebut tidak dimulai dari saat musibah monster pertama kali muncul, melainkan dari hari ke-89, saat keluarga Abbott sudah mulai menerapkan sistem bertahan sendiri. Karena film pertama tersebut fokusnya pada karakter, pada keluarga yang harus menyelesaikan masalah mereka bersama-sama. Tidak perlu untuk memperlihatkan hiruk pikuk massa, karena film membatasi diri pada satu keluarga itu saja. Nah, di film kedua ini barulah Krasinski menggunakan opening kejadian Day 1 musibah monster bisa terjadi. Kita melihat adegan Keluarga Abbott bersama seisi penghuni kota yang tadinya aman-aman saja berubah seketika panik ketika ada sesuatu yang seperti meteor jatuh melintasi langit mereka. Adegan opening yang dieksekusi dengan menakjubkan tersebut, ternyata juga efektif sekali. Karena sesungguhnya punya beberapa fungsi. Salah satunya ya sebagai penanda bahwa cerita kali ini adalah kelanjutan dari Keluarga Abbott, tapi dengan skala yang lebih besar.

Bahwa kali ini juga adalah tentang dunia yang mereka tempati. Tentang kemanusiaan yang keluarga tersebut merupakan bagian darinya. Film kedua ini langsung melanjutkan cerita pada film pertama. Emily Blunt beserta anak-anaknya; Millicent Simmonds, Noah Jupe, dan seorang bayi, pergi dari rumah mereka yang sudah tak lagi aman. Mereka menyusur hutan dalam usaha mencari orang atau pertolongan, karena mereka telah melihat api unggun dari kejauhan. Berbekal alat survival dan senjata pamungkas untuk mengeksploitasi kelemahan monster yang mereka ‘temukan’ di film pertama, Keluarga Abbott ini akan segera mengetahui keadaan dunia mereka sesungguhnya. Bahwa mungkin masih ada kelompok-kelompok manusia yang bertahan. Dan ngerinya, beberapa dari kelompok itu bisa saja lebih berbahaya daripada monster-monster itu.

Jadi fokus cerita kali ini bukan semata pada keluarga Abbott, melainkan juga pada manusia secara keseluruhan. Ada perbincangan soal manusia yang tersisa di dunia mereka, sudah tidak tertolong. Atau lebih tepatnya, sudah tidak pantas lagi untuk ditolong. The audience will soon to see why, tapi film kemudian mengangkat pertanyaan yang menarik dari pilihan yang diambil oleh karakternya. Anak sulung keluarga Abbott yang diperankan dengan – I mean, like a pro! – oleh Millicent Simmonds telah memutuskan untuk mengambil resiko pergi ke pulau. Bukan hanya untuk mencari keselamatan, melainkan karena terutama dia yakin akan bisa mengalahkan monster-monster dan menyelamatkan semua orang. Walaupun itu berarti dia harus mengambil resiko mengorbankan alat bantu pendengarannya. Film ini secara keseluruhan memang terasa tampil lebih ringan (lebih mirip blockbuster biasa daripada film pertamanya) tapi elemen cerita yang diangkatnya tersebut membuatku cukup terharu. Aku tahu film ini sebenarnya direncanakan untuk tayang tahun lalu, sebelum pandemi. Tapi menontonnya sekarang, apa yang terjadi di cerita itu ternyata mirip dengan situasi yang kita hadapi.

Situasi covid yang terus bertahan hingga saat ini. Seperti monster-monster di film ini yang menuntut semua orang harus diam tak-bersuara supaya mau selamat, pandemi coronavirus juga merupakan situasi yang membuat kita harus tergantung sama orang untuk ikut patuh menjaga protokol kesehatan. Tapi kan semakin hari, orang-orang semakin acuh. Semakin banyak yang malas pakai masker. Semakin banyak yang gak-percaya. Ini menciptakan gap pada masyarakat. Yang satu mencela pihak lainnya. Film ini bisa berfungsi sebagai pengingat bahwa semua orang pantas untuk diselamatkan, bahkan orang yang paling covidiot sekalipun. Bahwa kita tidak akan bisa selamat dari wabah ini, jika kita tidak saling menyelamatkan. 

Diam itu emas. Tapi benar juga kata tagline poster film ini. Diam itu enggak cukup. Kita tidak bisa menyelamatkan siapapun hanya dengan berdiam. . Jika film pertamanya dulu membahas tentang pengorbanan demi menyelamatkan keluarga, maka film kedua ini adalah tentang menyelamatkan atau membantu orang lain, walau sekilas mereka seperti tak pantas untuk diselamatkan. Padahal bagaimanapun juga kemanusiaan itu masih perlu untuk diselamatkan. Dan itu ditunjukkannya dari karakter yang rela mengorbankan miliknya demi keselamatan orang lain.

 

Adegan opening film ini juga difungsikan untuk memperkenalkan karakter baru yang diperankan oleh Cillian Murphy. Karakternya sebagai teman dari keluarga Abbott saat dunia masih damai itu punya peran yang besar. Dialog dan relasinya dengan putri sulung Abbott jadi kunci dan actually adalah yang membawa narasi soal ‘manusia perlu/tidak perlu diselamatkan’ tadi. Karakter ini juga sepertinya dibangun sebagai pengganti sosok ayah bagi keluarga Abbott nantinya. Ada beberapa adegan yang mengarah ke sini, seperti saat karakter Emily Blunt meninggalkan cincinnya di kuburan suami, yang bisa ditafsirkan sebagai pertanda move-on. Ataupun ketika pertengahan film hingga akhir, karakter sentral film ini terpisah menjadi dua kelompok. Noah Jupe dan bayi dengan Emily, Simmonds dengan Murphy. Ini seperti mirroring adegan pembuka ketika keluarga tersebut sempat terpencar jadi dua kelompok yang sama, only, of course, Simmonds bersama ayahnya instead of Murphy.

quietmaxresdefault
Sayang, musuh bebuyutan keluarga ini, si paku biadab, enggak tampil lagi

 

‘Pemisahan kelompok’ tersebut bukan saja memastikan semua karakter mendapat porsi horor masing-masing (termasuk sang bayi!), tapi juga memang pada akhirnya membawa efek yang sangat amat positif bagi keseruan aksi kejar-kejaran melawan monster – seperti yang juga sudah ‘terinfokan’ oleh adegan pembuka. Film akan sering memparalelkan, ngematch cut kan, aksi dari kedua grup yang terpisah. Misalnya seperti ketika satu grup dikejar-kejar monster di stasiun radio, sementara grup satunya sedang terjebak di dalam brankas keselamatan, dengan monster menunggu sambil mencakar-cakar di pintu. Aksi-aksi terpisah ini didesain dengan kesamaan-kesamaan khusus, sehingga saat berpindah dari satu kelompok ke kelompok lain, terasa semakin seru dan tidak ada beat aksi yang terlepas dari kita. Suspens dan ketegangan itu jadi bisa tetap terjaga. Sehingga tak heran jika nanti ada karakter yang menjerit, kita akan ikutan menjerit padahal di bioskop sama-sama gak boleh berisik hihihi

Jika ada satu lagi fungsi adegan opening film ini, maka mungkin itu adalah sebagai bridge yang menyamarkan pertumbuhan aktor. Film ini kan alurnya langsung menyambung film pertama, sedangkan jarak kedua film ini cukup jauh untuk membuat aktor-aktor cilik bertambah gede dengan cukup signifikan. Menampilkan adegan opening yang dishot dalam keadaan sekarang, membuat kita tidak membandingkan dua aktor cilik pada kedua film. Sehingga lebih mudah mempertahankan ‘ilusi’ bahwa film ini langsung dimulai beberapa waktu setelah film pertama berakhir.

Ngomong-ngomong soal berakhir, kayaknya memang hanya di adegan akhir alias ending saja aku merasa gak sreg sama film A Quiet Place Part II. Treatment akhirannya sebenarnya mirip juga ama film pertama; didesain kinda abrupt sehingga lowkey jadi cliffhanger untuk (siapa tau) sekuel. Tapi film pertama terasa lebih emosional, lebih terasa seperti penyelesaian. Mereka sudah menyelesaikan masalah di rumah, dengan kehilangan ayah, dan sekarang sudah saatnya babak baru. Film kedua ini, endingnya kurang mewakili perasaan seperti begitu. Hanya terasa seperti mereka kini sudah tahu pasti cara mengalahkan monster, sudah tahu ‘posisi’ mereka dalam perang melawan monster ini, dan dua pejuang sudah ter-establish. Journey mereka kurang terasa emosional. Malahan yang benar-benar punya inner journey di sini adalah karakter Cillian Murphy, yang mengubah cara pandangnya.

Sebagian besar keluarga Abbott di sini justru malah lebih dangkal. Mereka di sini ‘hanya’ dikejar, kaget, terluka, atau melakukan beberapa hal bego (yang untungnya tidak pernah bener-bener dieksploitasi melainkan sebatas kegugupan karakter). Tidak benar-benar ada eksplorasi, terutama pada karakter Emily Blunt dan Noah Jupe. The latter malah nyerempet annoying karena banyak ngelakuin wrong things. Kita juga tidak melihat hal baru dari para monster. Hanya ada sekilas perihal origin mereka. Tapi monster yang kita lihat di sini tidak banyak perbedaan penggalian dengan yang di film pertama. Film masih bermain aman dengan menempatkan mereka di tengah-tengah. Tidak sebagai karakter, dan tidak pula hanya sebagai sebuah spectacle. Mungkin karena mengincar sekuel lagilah maka film kali ini memutuskan untuk bungkam mengenai monster-monster tersebut.

 

 

 

Memang, bintang sebenarnya film ini adalah sutradaranya. John Krasinski berhasil menceritakan soal manusia yang harus tak-bersuara dikejar monster ini sebagai cerita yang simpel dan stay true sebagai dirinya sendiri, namun berskala luas. Konsep unik tersebut sekali lagi berhasil dia eksekusi menjadi horor yang efektif, yang terus-terusan membuat kita takut menarik napas. Adegan openingnya menjadi adegan paling penting, dan tak pelak merupakan salah satu opening horor terbaik sepanjang tahun ini. Film ini keren, tapi jika dibandingkan dengan film pertama, aku tidak berpikir ini jatohnya lebih baik. Buatku, lebih seperti, film pertama itu Krasinski bermain di horor yang lebih senyap dan lebih emosional, dan dia sukses. Dan kini, dia mencoba bermain di volume yang lebih keras dan lebih ke seru-seruan. Dan dia sama suksesnya.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for A QUIET PLACE PART II

 

 

That’s all we have for now.

Apakah bagi kalian ada orang-orang tertentu di dunia ini yang tak pantas diselamatkan, atau mendapat pertolongan? Orang-orang seperti apa itu kira-kira?

Share with us in the comments yaa

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

THE WOMAN IN THE WINDOW Review

“Trapped by reality, freed by imagination”

 

“Ada perempuan, ngintip di jendela
Anna sudah gila, gak tau realita”

Amy Adams bermain sebagai Anna Fox, seorang psikolog anak – yang sendirinya lagi butuh banget terapi dari psikolog. Karena protagonis The Woman in the Window ini sudah sepuluh bulan tidak keluar dari rumah rumah. Anna tidak bisa keluar rumah. Dia akan langsung diserang kepanikan luar biasa bahkan jika hanya berada di dekat pintu depan. Jadi Anna – dan cerita ini – menghabiskan waktunya di dalam rumah. Seorang diri (well, except pria yang tinggal di basement). Minum-minum sambil menonton film thriller klasik jadi hiburan sehari-harinya jika tidak sedang ngobrol sama anak dan suaminya lewat telefon. Oh, betapa Anna ini hobi nonton. Salah satu tontonan favoritnya, however, adalah pemandangan di luar jendela. Ketika apartemen di seberangnya terisi oleh keluarga Russell yang baru pindah, Anna dapat tontonan baru. Dia sudah kenalan ama mereka satu persatu. Dan malam itu, Anna menyaksikan kekerasan rumah tangga dari balik jendela mereka. Yang dengan cepat berubah menjadi misteri, karena Jane Russell yang kenalan dengannya berubah menjadi orang lain. Anna percaya ada sesuatu yang mengerikan terjadi di keluar itu, dan percaya bahwa Jane Russell yang asli sudah tewas dibunuh.

windowAmy_Adams_The_Window_In_The_Window_Netflix
“Lek jum – lek jum tralalalaaaaa, Anna sudah gilaa~”

 

Dulu waktu Rear Window (1954) – film yang menginspirasi novel materi film adaptasi ini – buatan Alfred Hitchcock baru tayang, sebagian penonton mungkin sebatas membayangkan ketidakberdayaan terkurung di dalam rumah. Sekarang, di era pandemi, kita semua sudah menghidupi horor tersebut. Harus berkurung di rumah yang membuat kita mencari sendiri sumber hiburan supaya gak bosan. Dan bahkan kita bisa dengan gampang relate sama perasaan takut untuk keluar rumah. The Woman in the Window garapan Joe Wright memang punya advantage dalam soal kerelevanan ini. Dengan kesuksesan novelnya, ditambah Rear Window sebagai inspirasi, Wright sudah punya lebih dari yang ia butuhkan untuk membuat thriller psikologis yang benar-benar merayap ke dalam kepala setiap penonton. Wright ‘hanya’ perlu menonjolkan craftnya.

And that he did well. Kamera diarahkan Wright untuk benar-benar menyajikan pengalaman yang klaustrofobik. Diberikannya sentuhan warna biru dan merah jambu yang sendu untuk menguatkan kesan kesendirian Anna. Wright juga bermain-main dengan shot-shot yang ngingetin kita sama gambar-gambar tipikal horor/thriller psikologi hitam-putih dulu. Gambar Anna yang lagi terlelap, digabungkan dengan cuplikan adegan film yang menyala di televisinya, misalnya. Atau shot Anna mengintip dengan tirai jendela jadi bingkai gambarnya. Shot-shot seperti itu ternyata efektif pula memperkuat kesan ‘bingung’ yang melanda mental Anna. Dan dengan didukung oleh permainan peran dari Amy Adams yang udah gak asing dalam peran-peran yang terluka oleh trauma, film ini bekerja terbaik saat memvisualkan keadaan psikologis karakter utamanya tersebut.

Lihat saja gimana eerie-nya effort dan suasana yang tertampilkan saat Anna berusaha menguatkan diri untuk melangkah keluar dari rumahnya. Kita jadi percaya bahwa hal sesimpel keluar rumah itu luar biasa sulit dan menekan bagi Anna. Kita jadi percaya bahwa limitation karakternya tersebut tidaklah dibuat-buat. Buat perbandingan simpel; coba bandingkan dengan film Indonesia baru-baru ini yang juga bahas karakter yang gak mampu keluar rumah karena trauma (judulnya ada nyebut jendela juga – dan piano di baliknya). Film tersebut hanya menampilkan lewat kata-kata, sedangkan film Wright ini benar-benar memperlihatkan kesulitan dan trauma tersebut bekerja.

Menariknya, Anna enggak berani keluar rumah itu sebenarnya bukan karena dia takut dengan yang ada di luar. Melainkan lebih karena dia takut kehilangan yang ia miliki di dalam rumah. Karena rumah itulah satu-satunya koneksi dia dengan suami dan anaknya. Dia berpegang teguh pada koneksi tersebut, kehilangan itu berarti dia akan benar-benar kehilangan suami dan anaknya. Jadi, berbeda dengan kasus ‘terjebak’ yang biasa, di film ini, Anna bukan terjebak oleh realita. Melainkan dia menggunakan ketakutannya menghadapi realita sebagai dinding keamanan. Dia menjebak dirinya sendiri ke dalam, supaya bisa terus menikmati imajinasi yang ia ciptakan sebagai gantinya. Persis seperti ketika dia menciptakan imajinasi saat mengintip lewat jendela.

 

Jendela dalam sinema biasanya memang identik sebagai simbol gaze atau cara tatapan. Karena jendela itu biasanya adalah media tempat karakter mengintip, memergoki, atau melihat diam-diam sesuatu yang cukup jauh. Bidang permukaan jendela yang luas, tapi dengan bingkai, membuatnya tampak seperti sebuah televisi, dengan kejadian nyata yang ditonton alih-alih ‘drama’. Alfred Hitchcock dengan Rear Window-nya telah mencontohkan betapa cerita seorang pria yang melihat tetangganya lewat jendela sebenarnya menguar oleh pemaknaan simbolis soal framing atau bagaimana cara pria menilai yang sedang ia pandang. Bagaimana ia melihat masalah yang ingin ia lihat. Film Hitchcock tersebut simpel, tapi sangat powerful karena berhasil mengantarkan tatapan tersebut kepada kita. Membuat kita memahami proses cara pandang karakter itu terbentuk. The Woman in the Window membalikkan gaze tersebut. Sekarang karakter perempuanlah yang mengintip. Ketika dia melihat keluarga tetangganya lewat jendela, yang ia simpulkan dari tontonan tersebut terbentuk dari bagaimana cara perempuan memandang sesuatu. Wright berusaha mengeksplor ini. Tatapan Anna adalah tatapan yang berdasarkan emosi, dan kecemasan yang berasal dari pengalamannya sendiri sebagai perempuan dan ibu. Ini sesungguhnya adalah konsep yang bagus. Setidaknya, jelas akan membuat film ini punya langkah menciptakan identitas sendiri dari film yang menjadi inspirasinya.

Sayangnya, persoalan gaze ini ditambah dengan elemen pendukung untuk menciptakan psikologis karakter yang trauma, membuat film jadi tersandung. Film malah membuat Anna menjadi protagonis yang tak-bisa dipercaya. Yang unreliable. Kita ikut membangun teori misteri bersama protagonis Rear Window. Sebaliknya, pada The Woman in the Window, kita perlahan jadi sama seperti karakter polisi di dalam cerita ini; kita jadi mempertanyakan karakter utama yang seharusnya kita dukung tersebut. 

windowTHE-WOMAN-IN-THE-WINDOW-NETFLIX-REVIEW
That’s never a good thing, in every movie, if we don’t believe in the main character.

 

Entah karena kurang cukup riset, atau karena proses rewrite yang berulang-ulang, naskah film ini jadi seperti belum siap untuk terjun membahas masalah Anna, yang sebenarnya memang lebih kompleks dibanding Rear Window. Pada film tersebut, rintangannya fisik. Kaki yang cedera. Sedangkan pada film ini adalah persoalan trauma itu tadi. Serta persoalan gaze. Semua masalah itu benar-benar abstrak di The Woman in the Window. Naskah keteteran di sini. Alih-alih menggali horor dan suspens dari bagaimana rasanya jadi orang yang tidak dipercaya oleh orang lain, film ini malah berpaling dan menggali dari sudut yang lain. Lucunya, salah satu tempat film ini mencari ketegangan adalah pada sudut jumpscare. Misteri pada psikologikal horor/thriller sama sekali tidak butuh elemen kaget-kagetan. Tapi film ini membawa kita turun ke basement, untuk kemudian menarik banyak teror dari orang yang tau-tau muncul. Seolah ini adalah film rumah hantu murahan.

Seiring semakin banyak pengungkapan yang terjadi (mulai dari tentang keluarga Anna, ke keluarga Russell, ke siapa yang Jane Russell sebenarnya, dan seterusnya) film semakin terperosok ke dalam lubang jebakan horor. Tone film udah kabur sama sekali. Enggak jelas lagi. Dia yang tadinya sudah dibangun sebagai drama misteri psikologikal yang serius, semakin akhir jadi malah semakin mirip sama film bunuh-bunuhan yang over-the-top. Dari cara film ini terbendung di menit-menit awal, aku sama sekali gak menyangka bakal dapat adegan pemecahan misteri lewat foto kucing, atau bahkan gak menyangka bakal ada adegan wajah tertembus garu kebun (emangnya senjata Pat Kai!). Ini mungkin masih bisa tergolong sebagai kejutan yang menyenangkan, tapi tetap saja bukanlah langkah yang benar, karena membuat film menyimpang dan mendua dari apa yang disajikan sedari awal.

 

 

Ini hampir seperti filmnya sendiri gak pede untuk tampil sebagai drama psikologikal yang serius. Takut penonton bosan atau apalah. Sehingga mereka menulis ulang banyak elemen, menambahkan elemen-elemen cerita horor yang lebih menjual, dan berusaha menerapkan dan mencampurnya ke dalam cerita. Hasilnya? It damages the tone greatly, dan tentu saja mengurangi banyak nilai film ini. Padahal cerita ini bekerja terbaik saat memvisualkan efek trauma. Saat memperlihatkan lapisan soal gaze itu juga film sebenarnya cukup baik. Tapi kemudian semua itu dihembus keluar jendela begitu saja.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for THE WOMAN IN THE WINDOW.

 

 

That’s all we have for now.

Sebenarnya wajar sih kita merasa lebih aman di rumah sendiri. Tapi pernahkah kalian juga mengalami takut yang luar biasa untuk pergi ke luar, like you just want to spend your entire day at home? Bagaimana kalian mengatasi itu?

Share with us in the comments yaa

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

.

THE EAST Review

“A guilty conscience needs to confess.”

 

Dari dulu aku penasaran gimana sih peristiwa penjajahan negara kita, yang katanya berlangsung selama 350 tahun, di mata ‘pelakunya’ alias orang-orang Belanda sendiri kini. Tentunya, bagi orang Belanda, peristiwa tersebut menjadi catatan sejarah yang gelap juga. Film The East (aslinya diberi judul De Oost) sempat dirundung kontroversi, sama seperti ketika ada yang berusaha bercerita tentang PKI atau sejarah kelam lainnya di sini. Tapi segera mereda karena memang The East hadir dengan tujuan mulia. Film ini muncul bukan sebagai pengorek luka yang kemudian berusaha menyembuhkannya dengan berbagai pembelaan. Melainkan hadir hampir seperti sebuah permintaan maaf. Dan seperti yang ditunjukkan oleh pilihan protagonis pada ending nanti, film ini sesungguhnya adalah sebuah pelampiasan dari rasa bersalah berkepanjangan, pelampiasan yang diniatkan sebagai perwakilan dari yang dirasakan oleh orang-orang Belanda selama ini.

Cerita yang disuguhkan mengambil sudut pandang karakter fiksi bernama Johan de Vries (diperankan oleh Martijn Lakemeier dengan tantangan range emosi yang cukup lebar oleh developmentnya). Karakter inilah yang nanti mengarungi berbagai peristiwa yang beneran tercatat dalam buku sejarah, bertemu dengan tokoh-tokoh beneran. Johan jadi tentara relawan yang dikirim ke kamp di Semarang. Kondisi daerah koloni Belanda tersebut memang sedang tidak stabil selepas konflik dengan Jepang. Ada pemberontakan dari penduduk lokal yang sudah siap untuk menggaungkan kemerdekaan. Misi Johan adalah melindungi tanah properti Belanda tersebut dengan berpura-pura menjadi pelindung bagi penduduk. Namun yang dilihat dan dirasakan Johan di sana membuat nuraninya konflik dengan tugas yang diberikan. Terlebih ketika Johan terpilih sebagai salah satu orang kepercayaan Raymond Westerling (Marwan Kenzari tampak berkarisma, sekaligus bikin ciut), komandan yang tadinya dielukan sebagai Ratu Adil.

east32780_135829_st_sd-high
Supaya gak spoiler, coba buka lagi buku sejarahmu dan lihat hal mengerikan apa yang dilakukan oleh Westerling di Makassar

 

Sutradara Jim Taihuttu memang adalah orang yang tepat untuk mengangkat tragedi ini menjadi cerita dengan perspektif yang berimbang. Karena bukan saja dia berkebangsaan Belanda, dia juga memiliki darah Maluku. Jadi dia bertapak di antara dua kubu. Ini membuat film The East sendiri jadi punya weight atau bobot. Aku tahu aku sudah berkali-kali nulisin soal ini – bahkan mungkin ada pada setiap review film perang; Bahwa cerita perang tidak pernah merupakan soal hitam-putih. Selalu ada dilema. Selalu ada pertentangan moral yang hebat. Bayangkan seseorang yang mau mengakui kesalahan, tapi dia melakukannya jadi terkesan setengah hati karena terlalu mencoba untuk membela diri, memperlihatkan kebimbangan moral dan resiko dan keharusan yang terpaksa dia ambil. Film The East tidak pernah tampil seperti orang yang sedang berusaha membela diri. Dan itulah yang membuat film ini nyaman untuk ditonton. Terutama bagi kita, descendants dari pihak terjajah yang ada di dalam cerita.

Film ini tidak pernah tampil seperti membenarkan tindakan Belanda, tidak pernah tampil dengan sikap seorang savior. Dia mempersembahkan apa adanya. Penjajahan bagaimanapun juga tidaklah berperikemanusiaan. Kita tidak bisa jadi pahlawan dengan menjajah orang di negara mereka sendiri. Keberimbangan itu tercapai berkat lapisan yang diberikan cerita kepada pihak satunya. Film ini pun tidak ragu untuk memperlihatkan Indonesia sebagai kelompok teroris, paling enggak beberapa kelompok yang bertentangan. Gambaran kacaunya situasi politik yang memecah-belah persaudaraan sendiri ditampilkan oleh film sebagai salah satu pendorong plot.

Tak pelak, karakter Johan memang dirancang sebagai perwakilan dari serdadu-serdadu Belanda, bahkan mungkin jutaan orang Belanda yang merasa bersalah. Plot atau Journey karakter ini menggambarkan semua proses penyadaraan yang mungkin mereka alami. Kita melihat Johan awalnya sebagaimana anak-anak muda yang udah gak sabar untuk melakukan sesuatu untuk negaranya. Johan, menjalin persahabatan dengan teman-teman di kamp, bangga menjadi prajurit. Interaksi mereka mungkin klise, seperti yang selalu ada pada film-film perang, tapi konteks cerita membuat kita memakluminya. Karena untuk beberapa bulan tidak ada perang. Jadi mereka tidak ‘menceritakan kisah hidup lalu mati’ seperti yang sudah-sudah. Ada pertanyaan yang menghantui benak mereka, terutama Johan mengenai sebenarnya apa yang mereka lalukan di situ. Pertanyaan itu yang lantas berkembang menjadi developmental bagi karakter Johan. Steps dari seseorang yang bangga ke yang merasa perlu ada di sana ke merasa harus menjadi penyelamat ke rasa bersalah yang mengubah dengan cepat (dalam sense penceritaan) mood karakter menjadi depresi dan kelam; inilah yang jadi medan penceritaan, dan film berhasil melakukan dengan benar dan menyentuh. Mainly karena berimbang itu tadi.

Nurani yang dirundung rasa bersalah butuh melakukan sebuah pengakuan.  Albert Camus bilang, pengakuan itu bisa dilakukan dalam bentuk seni. Film ini adalah salah satu bentuk seni yang dimaksud. Karena film ini berhasil menggambarkan pengakuan rasa bersalah yang dilakukan oleh Johan dengan cara kelam tersendiri.

 

Kamera tak luput merekam, menunjukkan dengan tepat seperti apa rasanya berada di daerah yang rawan konflik. Kita lihat Johan dijamu minum kelapa oleh anak kecil, dan beberapa menit kemudian film memperlihatkan kepada kita imaji mengerikan kepala manusia tertancap pada pancang. Perhatian yang tajam pada detil dramatis, serta historis seperti demikian membuat film ini terasa benar-benar memeluk kita. Mengukung kita ke dalam cerita kemanusiaan, sehingga tak bisa berpaling dari horor yang datang ketika kemanusiaan tersebut berada pada konflik.

Supaya terasa semakin otentik, film benar-benar turun suting ke Indonesia. Menggunakan bahasa dan (berjuang dengan) dialeg Indonesia. Beberapa aktor Indonesia seperti Lukman Sardi, Yayu Unru, Putri Ayudya juga turut menyumbangkan permainan peran. Kalian bisa sedikit bersenang-senang menantikan penampilan mereka. Kolaborasi studio Belanda dan Indonesia demi mewujudkan film ini secara tak-langsung tentu saja menambah bobot kepada apa yang ingin disampaikan dalam cerita. Bagaimana mampu mengenali persahabatan di dalam perang bisa jadi adalah hal yang diperlukan untuk menghentikan perang tersebut.

eastin-productie-de-oost-2
Kenapa tentara Belanda begitu benci ama monyet?

 

Dengan cerita yang sudah detil dan karakter yang berlapis, yang harus dipikirkan oleh film ini kemudian tentu saja adalah cara menceritakannya. Unfortunately, film ini memilih menggunakan flashback. Jadi actually periode cerita terbagi ke dalam dua bagian, Johan masih serdadu di Semarang (ditampilkan lewat warna-warna yang lebih natural) dengan Johan yang sudah kembali ke negaranya – terbebani oleh rasa bersalah yang ia dapatkan sebagai oleh-oleh (ditampilkan lewat warna monokrom entah itu biru atau abu). Dua periode ini disebar saling berganti sepanjang durasi film. Perpindahan antara dua periode inilah yang seringkali membuat kita terlepas dari cengkeraman cerita. Film tidak berhasil menemukan, atau mungkin lebih tepatnya merancang, momen perpindahan yang benar-benar selaras. Periode Johan depresi sebenarnya penting karena membahas satu lapisan lagi dari karakternya, yakni soal hubungannya dengan ayah yang ex-nazi. Relasi ini adalah kunci yang membentuk sudut pandang Johan yang sebagian besar kita lihat.

Tapi dengan memperlihatkannya berpindah-pindah, film jadi kehilangan ritme cerita. Bobot ke ayahnya itu tidak terasa sekuat yang diincar. Belum lagi, karena adegan-adegan Johan di Semarang jelas lebih menarik daripada saat dia kembali ke Belanda. Sehingga secara natural kita yang nonton akan lebih peduli dengan adegan di daerah konflik, pingin cerita cepat-cepat balik ke sana lagi. Film jadinya kehilangan keseimbangan dari segi penceritaan. Tingkat dramatis yang diincarpun jadinya gagal tercapai. Terutama karena di babak ketiga, ketika setting pindah ke Makassar saat Johan sudah jadi pasukan Westerling, cerita jadi seperti melompat dan seperti ada pengembangan yang ketinggalan. Karakter yang berubah mendadak, tidak lagi terflesh-out perlahan seperti di awal.

Mestinya film diceritakan dengan linear saja. Dimulai dari dikirim ke Semarang, di kamp, terus jadi pasukan Westerling, dan kembali ke Belanda untuk penyelesaian. Resikonya paling cuma membuat film terasa seperti terbagi jadi dua episode. Tapi setidaknya emosi yang diincar akan bisa terhampar dengan lebih runut. I mean, Full Metal Jacket (1987) aja dibuat Kubrick dengan linear, menempuh resiko tersebut; filmnya terasa seperti episode pelatihan dan episode medan perang. Tapi kita tidak terlepas dari development dan emosi dan bobot cerita. The East ini punya potensi, paling tidak, bisa seperti saga seorang tentara yang disturbing. Formula dan bahan-bahannya sudah benar. Cetakannya saja yang perlu diperbaiki.

 

 

Tak berlindung di balik fiksi, film ini berani tampil membahas sudut pandang yang tak banyak mau dieksplorasi. Tentang Belanda di jaman kolonial Indonesia. Tentang pihak yang menjajah. Dan film ini menampilkannya dengan imbang. Tak ada agenda glorifikasi atau pembelaan diri. Film ini pure memperlihatkan sisi kemanusiaan yang dialami oleh pihak-pihak yang terlibat. Sebagai film perang, however, film ini mengikuti formula dengan baik. Kita bisa bilang klise, tapi masih unik berkat sudut pandang. Pada penceritaannya-lah film ini ‘kena tembak’. Alur flashback yang dipakai actually menghambat kita dalam mengikuti dan tidak banyak membantu untuk filmnya sendiri. Tapi yang perlu ditekankan sedikit lagi adalah, keberanian film ini mengangkat isu. Sehingga mungkin film ini break something new di perfilman Belanda; mungkin perbandingannya seperti kalo ada sineas sini yang berani bikin film tentang PKI.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for THE EAST.

 

 

That’s all we have for now.

Jika film ini dianggap sebagai surat permintaan maaf dan penyesalan dari Belanda, apakah menurut kalian yang dilakukan film ini untuk itu sudah cukup?

Share  with us in the comments 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

THE VIGIL Review

“Guilt can hold you back from growing”

 

Dalam agama Yahudi ada suatu praktek atau ritual kematian yang disebut dengan Shemira. Ketika seseorang meninggal dunia, mayatnya harus dijaga pada malam hari oleh keluarga ataupun orang terkasih si mendiang, hingga dimakamkan pada esok pagi. Jika tidak ada keluarga atau sanak terdekat, maka bisa digantikan oleh orang lain yang (berani!) disewa untuk duduk bersama mayat tersebut. Sang penjaga wajib untuk terus membaca kitab selama berjaga. Poin dari ritual ini adalah untuk membimbing arwah sang mayat ke jalan yang benar, sekaligus melindunginya dari roh dan setan-setan jahat. Nah, kali lain kalian mengutuk pekerjaan kalian yang melelahkan, berat, atau bayarannya kecil, ingatlah akan apa yang harus dilalui Yakov dalam The Vigil ini demi mendapatkan uang saku.

Yakov menerima tawaran jadi shomer untuk jenazah seorang pria tua. Kondisi istri pria tersebut sudah tidak memungkinkan untuk berjaga. Si ibu menderita dementia dan sering berceloteh soal hal-hal mengerikan seputar suaminya. Awalnya Yakov tak begitu ambil pusing, toh bukan pertama kali ini dia menjaga mayat. Namun ternyata memang ada sesuatu yang mengerikan pada kematian pria tersebut. Malam itu, Yakov mulai dihantui; mendengar suara, melihat hal-hal ganjil, hingga dia mengalami kembali peristiwa naas di masa lalunya. Semua itu adalah perbuatan dari setan bernama Mazzik, yang berpindah ke Yakov dari sang mendiang. Yakov pun harus berusaha membebaskan diri, meski itu berarti dia harus berkonfrontasi dengan duka dan sesal yang selama ini menghimpit jiwanya.

So yea, film garapan Keith Thomas ini mungkin terdengar sedikit mirip ama Jaga Pocong (2018), tapi ini jelas-jelas adalah cerita versi jewish yang lebih kental kultur dan yang dibuat dengan jauh lebih berbobot pula!

“Kalo udah gak kuat, saya harus melambaikan tangan ke arah mana?”

 

Tantangan menggarap horor dalam lingkungan sempit – cerita ini basically berlangsung di satu tempat, dalam satu kurun waktu yang juga sempit dan tertutup – adalah bagaimana mengembangkan kejadiannya dengan tampak natural. Enggak kayak dipanjang-panjangin, ataupun seperti episodik. Harus juga bisa tampil tidak monoton. Singkatnya, tantangannya adalah harus bisa mengembangkan suspens. Biasanya, film-film horor yang mengincar pasar mainstream akan main aman dengan mengisi cerita tersebut dengan berbagai jumpscare dan permainan kamera yang terus menerus membuat kita penontonnya berada dalam situasi kaget-bersiap-kaget.

Bagi The Vigil yang merupakan horor indie, tanpa backingan studio gede di belakangnya, restriksi bukan hanya terletak pada cerita. Bukan hanya terletak pada set lokasi dan waktu. Melainkan juga pada biaya. Budget film ini gak gede. Namun, Keith Thomas gak lantas menyerah dan ikut-ikutan mengandalkan kepada jumpscare. Thomas berusaha mengarahkan film ini bukan ke horor ala wahana rumah hantu, melainkan lebih ke horor yang benar-benar situasi dan psikologi. Untuk membuat situasi yang mencekam, Thomas menyuruh sinematografernya bermain-main dengan cahaya. Film ini mengandalkan bayangan untuk membuat kita merasakan merinding yang dialami oleh Yakov protagonisnya. Ada sesuatu di belakang sana, di dalam kegelapan, dan film tidak keburu napsu untuk membuat kita kaget dan melepaskan suspens dan tensi. Eksplorasi ruang-ruang rumah juga dilakukan dengan perlahan. Thomas memberikan ruang supaya terasa seperti progres yang natural. Di dalam setiap ruangan yang Yakov datangi, akan ada pelajaran atau development baru yang kita turut pelajari. Film memainkannya dengan cerdas sehingga tidak terasa seperti maksa. Penggunaan teknologi seperti percakapan telepon ataupun facetime internet merupakan bentuk geliat film ini untuk terus menggali elemen-elemen seram sekaligus karakter dan ceritanya. Film ini berhasil memperlihatkan ‘keharusan’ Yakov berada di rumah tersebut. Jadi saat nonton ini kita pun tidak sibuk emosi nyuruh karakternya kabur. Kita ikut merasakan setiap gerakan dan pilihan bersama karakternya.

Ketika harus menampilkan sosok Mazzik yang seram itu pun, film berkelit dengan trik penempatan dan distorsi-distorsi lensa. Sehingga kesan sureal berupa semua kejadian itu nyata-atau-di-dalam-kepala yang diincar oleh naskah dapat dengan konsisten hadir. Karena, ya, tidak seperti Jaga Pocong yang benar-benar literal dukun dan manusia yang menjaga mayat yang jadi hantu, film The Vigil ini menggali lapisan psikologis di balik elemen supranaturalnya. Ada sesuatu yang lebih dalam pada karakter Yakov yang harus menjaga mayat. Ada makna dan simbol pada makhluk demit bernama Mazzik itu.

Duka, sesal, dan rasa bersalah dapat melakukan dua hal kepada kita. Entah itu, membuat kita tidak bisa maju dan bertumbuh karena selalu melihat ke belakang, atau dapat menunjukkan kepada kita apa yang dibutuhkan untuk menjadi lebih baik. Yakov penuh akan tiga hal itu, makanya dia jadi sasaran Mazzik. Yang merupakan duka, sesal, dan rasa bersalah yang bercampur menjadi hantu, menempel kepada orang, dan greatly menghambat hidup mereka. Perjuangan Yakov dealing with Mazzik sesungguhnya adalah perjuangan personalnya dalam menerima dan merespon negatif di dalam hatinya. 

 

Penulisan Yakov menjadikannya karakter yang sangat menarik, terutama untuk cerita horor. Pertama, naskah mencipta konflik dari pekerjaannya sebagai shomer dengan keyakinan Yakov terhadap agamanya. Yakov, saat pertama kita jumpa dirinya, berada pada titik dia mulai meninggalkan agamanya. Dia Yahudi, tapi tak lagi berpenampilan seperti Yahudi ortodoks seperti kerabatnya. Jadi, instantly, karakter ini menarik minat kita. Membuat kita bertanya, kenapa dia seperti itu. Alasan kenapa dia mulai tak percaya agamanya itulah yang perlahan dibuka oleh film, menciptakan lapisan-lapisan baru karakter tersebut. Mungkin ada tema soal iman di sini. Mungkin Yakov diganggu karena dia mengerjakan tuntunan agama selagi dia mulai meninggalkan agama tersebut.

Kemunculan Mazzik meningkatkan volume keseraman film ini. Bukan hanya karena tampangnya nyeremin ataupun karena film ini sukses berat membangun adegan-adegan gelap yang seram, tapi juga karena Mazzik menjadi kunci apa yang dirasakan oleh Yakov. Semua itu berhubungan dengan jawaban atas pertanyaan kenapa Yakov meninggalkan agamanya tadi. Peristiwa naas yang menjadi sumber derita itulah yang mengerikan, bagaimana peristiwa tersebut membentuk Yakov. Mempersulit hidupnya. Film bijak sekali memperlihatkan bagaimana Yakov berusaha bergaul. Ada diperlihatkan Yakov ditaksir cewek, dan dia enggak bisa bertingkah layaknya cowok gugup yang normal. Ada sesuatu yang off dari dirinya. Sebagai Yakov, cerita ini sesungguhnya adalah one-man show untuk Dave Davis, dan dia berhasil nailed every range of Yakov’s emotions.

Kita tidak bisa tak-peduli sama orang yang krisis iman dan krisis kepercayaan diri sekaligus

 

Lawan main Davis memang tidak banyak diberikan ruang dalam durasi satu-setengah jam ini. Karakter-karakter pendukung itu ada yang cuma muncul di awal ama di akhir saja, atau hanya muncul di layar video atau lewat sambungan telepon. Padahal ada Lynn Cohen juga bermain di sini, sebagai istri dari mendiang yang dijaga Yakov. Perannya terbatas pada tampil creepy (kayak orang-orang tua pada film horor kebanyakan) sambil sesekali ngelempar eksposisi untuk membantu kita menyusun misteri. Tapinya lagi, kalo aktor senior seperti Cohen yang nyebutin, eksposisi itu tak pernah jadi flat out membosankan, begitupun juga dengan ke-creepy-an yang gak lantas jadi over-the-top. Dari segi penampilan, film ini masih enjoyable buat semua kalangan. Meskipun memang, secara horornya sendiri, film ini bisa jadi agak segmented.

Penonton yang mengharapkan ini bakal kayak horor mainstream, bakal menganggap film ini biasa aja atau malah cenderung membosankan. Karena itu tadi, minim jumpscare dan pengembangan yang lambat. Endingnya pun gak ada kelok-kelokan, tidak ada gantung-menggantung. Ini adalah jenis film yang ketika habis ya benar-benar habis. Hanya dengan sedikit pemancing pembicaraan kita di akhir. Karena kalo dilihat dari permukaan luar saja, film ini memang akan menghasilkan reaksi “cuma itu?”. Padahal film ini sesungguhnya mengajak kita menyelam ke apa yang dirasakan oleh karakternya, Bukan hanya menyelam lewat visual, tapi juga ke perasaan horor tersebut. Hanya ketika rasa itu konek ke kita, maka film ini baru bekerja. Baru bisa terasa amat menyeramkan.

 

 

Punya tawaran lebih banyak dan lebih dalam daripada sekadar horor tentang orang yang menjaga mayat. Dari identitas saja film ini sudah punya keunikan, karena membahas dari sudut pandang yang jarang dieksplorasi. Lalu, muatan ceritanya pun mengemas soal iman/agama, soal perilaku kebencian terhadap golongan tertentu, soal tanggungjawab kepada keluarga dalam sajian horor yang limited. Maksudnya, terbatas lokasi, waktu, dan budget. Keterbatasan tersebut menghasilkan geliat-geliat kreasi dan penceritaan yang pada akhirnya menjadi kekuatan utama horor ini. Permainan cahaya, build-up suspens, jalin cerita – punya sedikit resources tapi bisa menghasilkan sewah ini. Maka, gak heran kalo film ini bakal jadi salah satu inspirasi bagi filmmaker muda ke depannya.
The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for THE VIGIL.

 

 

That’s all we have for now.

Menurut kalian apakah di ending itu Yakov sudah benar-benar terbebas dari Mazzik?

Share  with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

 

THE MITCHELLS VS. THE MACHINES Review

“A father must lead his children; but first he must learn to follow.”

 

Cita-cita setiap remaja di seluruh dunia sebenarnya sama; pengen orangtua mendukung cita-cita mereka. Entah itu mau jadi pemusik, atlet, seniman. Pembuat film. Konten Kreator. Atau bahkan Youtuber. Buat kalian yang menyipitkan mata mendengar konten kreator sebagai cita-cita? See, inilah yang exactly dibahas oleh film The Mitchells vs. The Machines. Orangtua, sebagian besar, tidak mengerti pentingnya ‘cita-cita’ tersebut bagi anak mereka. Atau bahkan gak ngerti gimana ‘cita-cita’ tersebut termasuk sebagai kerjaan-asli. Animasi keluarga garapan Michael Rianda dan Jeff Rowe ini mengeksplorasi langsung ke inti permasalahan tersebut, yakni generation gap. Jurang antara anak dengan orangtua, yang terbentuk salah satunya oleh perkembangan teknologi. Rianda dan Rowe menceritakan persoalan itu lewat potret keluarga Mitchell yang aneh dan kocak. Dengan efektif ngeset tone dan menciptakan desain (cerita dan visual) sehingga cerita yang mereka angkat ini tidak pernah terasa seperti nasehat yang menggurui, melainkan literally sebuah perjalanan yang fun, seru, dan penuh warna. Petualangan yang relate sekali dengan identitas, dan juga selera remaja kekinian, beserta keluarganya sekalian!

Katie Mitchell udah gak sabar masuk kuliah. Bukan saja karena dia bakal bisa terus mengasah kemampuan membuat-filmnya, tapi juga karena akhirnya dia bakal berada di lingkungan yang benar-benar mengapreasiasi bakat dan hobinya tersebut. Di rumah, yang mau nonton film-film konyol buatannya cuma adik dan ibu. Sementara ayahnya, cuek. Gak ngerti ama film Katie. Khawatir, malah, sama pilihan Katie. Padahal dulu Katie ama ayahnya deket banget. Kini mereka seperti ada jarak. Gak nyambung, apalagi kalo udah ngomongin film dan tetek bengek teknologi. Makanya, untuk menghabiskan waktu bersama-sama lagi, Ayah memutuskan untuk mengantar Katie ke kampus. Naik mobil sekeluarga. Namun, saat keluarga Mitchell itu lagi seru-serunya bonding on the road, dunia diambil alih oleh A.I. di smartphone yang dendam sama perlakuan manusia terhadap teknologi. A.I. itu memerintahkan pasukan robot untuk menangkapi semua orang. Sampai hanya keluarga Mitchell-lah yang tersisa untuk menyelamatkan dunia.

mitchellscon_cld110.1170_lm_v1-1280
Tanyalah ke hatimu yang paling dalam, maukah kalian mempercayakan dunia kepada mereka?

 

Memang sih, cerita tentang hubungan anak dan orangtua yang merenggang, kemudian mereka berusaha untuk saling dekat kembali ini udah sering kita temukan bersemayam dalam film-film, apalagi untuk keluarga. Yang bikin The Mitchells vs. the Machines adalah karakterisasi yang mencerminkan gaya komedinya itu sendiri. Film ini punya selera humor yang quirky abis. Dan itu tercermin ke dalam pembentukan karakter-karakternya.

Karakter-karakter cerita itulah yang ultimately menjadi kekuatan film ini. Membuat kita gak capek dan terus mau peduli sama rintangan-rintangan yang mereka hadapi. Entah itu rintangan dari dalam, ataupun dari robot-robot. Katie (Abbi Jacobson menghidupkan karakter remaja awkward ini dengan penuh konfiden sehingga gak klise) adalah remaja cewek yang sangat kreatif, hobinya bikin video – actually video seriesnya di Youtube sukses menjadi viral – menggunakan properti bikinan sendiri seperti sarung tangan dan boneka dan sebagainya. Katie menjadikan anjing keluarga mereka, si Monchi, sebagai bintang. Si Monchi itu sendiri gak kalah unik. Dia anjing jenis pug yang matanya kaga sinkron, penampilan konyolnya ini nanti jadi running gag dan malah jadi salah satu kunci keberhasilan mereka mengalahkan pasukan robot. Ayah Katie, Rick (Danny McBride berhasil menjadi seorang ayah yang seimbang antara kocak dengan menyentuh) bener-bener seseorang yang gaptek, tapi dia bukan tipe boomer yang sok bener. Melainkan seorang ayah yang baik, yang mau berjuang demi keluarga yang ia sayangi, meskipun seringkali dengan caranya sendiri. Rick adalah satu-satunya ayah yang kutahu menghadiahi obeng kepada semua anggota keluarganya haha…  Rick berjuang menggunakan komputer dan teknologi juga jadi running gag yang gak pernah bosenin. Ibu dan adik Katie jatohnya lebih seperti karakter pendukung yang lebih minor. Tapi mereka juga punya keunikan, dan masalah, tersendiri. Ibu Katie pengen keluarga mereka tampil perfecto seperti tetangga sebelah. Dan si adik punya ‘penyakit’ nerd akut sama yang namanya dinosaurus. Mereka berperan besar membuat cerita terus bergulir dengan cara fun dan di-luar-perkiraan.

Namun sebenarnya yang membuat film ini terasa sangat unik, seperti film spesial sendiri, adalah lapisan yang membungkus drama keluarga yang harus belajar saling mengerti tersebut. Lapisan soal bagaimana manusia sudah menjadi begitu bergantung kepada teknologi. Kepada handphone. Kepada internet. Adegan paling ngakak buatku adalah ketika A.I. smartphone yang jadi antagonis (bayangkan Siri atau Alexa yang jadi jahat dan bergerak sendiri) mematikan wi-fi dan seluruh dunia langsung geger. Reaksi para manusia yang tiba-tiba terdiskonek dari internet yang udah jadi gaya hidup sehari-hari digambarkan dengan sangat kocak. Para manusia itu dengan mudah ditangkapi karena terjebak oleh tanda ‘wifi gratis’ hihihi.

Hebatnya, film ini menampilkan elemen cerita tersebut dengan berimbang. Para robot dan teknologi tidak ditampilkan semena-mena jahat. Film ini tidak berniat untuk memaksakan bahwa teknologi itu jahat, telah memisahkan orangtua dan anak, dan betapa manusia akan hidup lebih baik tanpanya. Tidak. Melainkan, film memperlihatkan dari dua sisi. Hidup dengan teknologi juga dipersembahkan sebagai hal positif dan unggul. Bukan salah teknologinya. Salah kita yang kurang bijak memanfaatkannya. Permasalah gap yang bikin renggang Katie dan ayahnya kan juga ditulis paralel dengan ini. Ayah Katie tidak pernah sekalipun menyalahkan teknologi. Malahan dia berusaha untuk mengenali teknologi. Berusaha menonton apa yang Katie bikin, dan berusaha mengerti apa arti kreasi tersebut bagi hidup putrinya.

Menjadi ayah yang baik ternyata sama dengan menjadi pengguna teknologi yang baik, Harus mau dan bisa belajar mengikuti. Sembari paham bahwa dirinya lah yang memegang kendali. Kita tidak boleh membiarkan diri terlena dalam menggunakan teknologi. Begitu juga ayah kepada anak-anaknya. Anak-anak itu berkembang. Ayah harus bisa untuk mengikuti perkembangan tersebut, aware sama masa depan anaknya. Itulah sebabnya kenapa ayah juga harus kuat. Karena ia harus melakukan semua itu sambil terus mengingat masa kecil anak-anaknya.

 

mitchells-vs-the-machines-monchi-1618568457
Kalo lagi puasa memang anjing ini diliat-liat mirip roti sih haha

 

Karakter unik, elemen cerita berlapis, dua hal tersebut menjadikan film ini keren dan kocak banget. Tapi, bahkan di samping itu semua, ada satu lagi yang istimewa. Hal yang jadi kekuatan utama film ini. Fondasi yang menjadi nyawa bagi film ini. Visualnya. Serius, ketika kita bicara tentang film animasi, hal pertama yang menjadi perhatian kita; hal pertama yang membedakan film tersebut dengan film lain adalah tampilan. Gaya gambar. Desain dan kreasi. Film ini juara. The Mitchells vs. the Machine diproduksi oleh Phil Lord dan Christopher Mille, yang sebelum ini memproduksi animasi Spider-Man: Into the Spiderverse (2018), animasi yang memorable lewat gaya visualnya (menang Oscar animasi terbaik!!). Pengaruh kreatif film tersebut lantas diturunkan ke The Mitchells vs. the Machines ini. Kelembutan animasi komputer dipadukan dengan shade-shade kayak buatan tangan, membuatnya gambar-gambar itu bukan saja menjadi semakin mulus dan hidup, tapi juga sekaligus pop up di layar.

Jika pada film Spiderverse itu animasinya menggunakan gaya ala komik dan grafiti alias seni jalanan, maka di film kali ini visual yang digunakan, dibuat dengan referensi kultur internet. Filter sosial media, Youtube, dan sebagainya. Membuat film ini semakin dekat dengan remaja yang ingin mereka representasikan. Leluconnya diinkorporasikan ke dalam bentuk visual, ke dalam gaya yang membuat film ini seperti dibuat oleh remaja seperti Katie yang sedang main sosial media. Dan itu memang jadi nilai plus yang dilakukan oleh film ini. Memang ada dua jenis gaya animasi yang dilakukan. Pertama, animasi dunia-nyata Katie. Dan kedua, animasi ketika film harus menampilkan video atau film viral kreasi Katie. Kedua gaya ini punya pembeda masing-masing. Namun seiring berjalannya cerita, ada masa ketika keduanya bercampur, dan film berhasil menghandlenya dengan seimbang.

Gaya dan lelucon yang katakanlah ‘kekinian’ itu kadang memang bisa terasa sedikit terlalu berlebihan. Ada resiko bakal membuat film ini kehilangan bobotnya. Film Pixar, sebagai perbandingan, menangani cerita seperti begini biasanya dengan memasukkan momen-momen slow. Untuk membiarkan kita mengambil napas dan mengapresiasi pesan cerita dengan lebih khusyuk. The Mitchells vs. the Machines enggak punya momen seperti demikian. Pacingnya superkencang. Membawa kita melaju melihat drama, filter, dan lelucon-lelucon lain. Tapi juga, tidak sekalipun film ini terasa kehilangan bobot. Seluruh desain tersebut (pacing dan visual dan lelucon) dilakukan sesuai dengan konteks yang sudah diniatkan. Untuk menimbulkan kesan yang hingar bingar. Dan film ini perlu kesan tersebut mengingat elemen ceritanya saja suda sedemikian ‘tabrakan’; hubungan ayah-anak dan ketergantung teknologi itu udah kayak dua cerita berbeda, belum lagi elemen road-trip dan petualangan pertempuran. Film ini sudah punya bobot emosional di dalam cerita. Dia hanya butuh perekat. Dan gaya desainnya itulah yang merekatkan. Kekinian dan segala macam itu tak lagi jadi supaya relate saja (dan nanti akan kemakan usia), tapi sudah menajdi seperti karakter tersendiri.

 

Film ini sebenarnya bisa saja mencukupkan dirinya menjadi animasi hura-hura yang bermain dalam budaya internet kekinian. Umur film ini bisa saja jadi sangat singkat. Bakalan outdated seiring munculnya budaya/tren baru. Tapi cerita yang dikandungnya ternyata terlalu penting dan terlalu beresonansi. Baik untuk remaja sekarang, maupun remaja jaman dulu (alias yang udah jadi orangtua). Kalo ada jembatan yang menghubungkan antargenerasi, maka film ini adalah bagian dari jembatan tersebut. Kocak, pintar, self-aware, dan menyentuh emosi dalam gayanya yang quirky. Desainnya lah yang jadi kekuatan utama. Menjadikan film ini tidak hanya sekadar rentetan referensi demi referensi internet. Melainkan jadi karakter tersendiri. Ini adalah tontonan spesial, yang tentu saja layak disaksikan bersama orang-orang terspesial di hidup kita. Keluarga.
The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold stars for THE MITCHELLS VS. THE MACHINES.

 

 

That’s all we have for now.

Apakah benar teknologi membuat hubungan di dalam keluarga menjadi renggang?

Share  with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

THINGS HEARD & SEEN Review

“Ghost can be very real and very dangerous, within a marriage”

 

Rumah baru Amanda Seyfried, di film Things Heard & Seen, berhantu. Bau gas kerap tercium memenuhi kamarnya setiap malam tiba. Lampu dan perabotan listrik pun ikutan bertingkah. Malam demi malam Catherine – nama karakter yang ia perankan – biasanya berakhir dengan putri ciliknya yang berlari masuk ke kamar. Ketakutan karena melihat sesosok perempuan. Tentu saja tak lama bagi Catherine untuk menyaksikan sendiri penampakan tersebut. Semakin sering malah. Bukan hanya kelebatan cahaya, tapi benda-benda kuno seperti cincin juga mulai ‘menampakkan’ diri kepadanya. Tapi yang paling bikin Catherine takut tinggal di sana ternyata bukanlah penampakan-penampakan yang ia lihat tersebut. Catherine bahkan punya perasaan bahwa hantu-hantu itu bermaksud membantu atau sekadar memperingatinya akan sesuatu. Tidak. Yang bikin Catherine takut bukan yang ia lihat, melainkan justru adalah hal-hal yang ia dengar dari teman-teman dan penduduk sekitar. Hal-hal tentang kehidupan George. Suaminya.

Seperti yang dilakukan oleh Elizabeth Brundage dalam menulis novel All Things Cease to Appear – novel yang menjadi materi asli film adaptasi ini – duo sutradara dan penulis Shari Springer Berman dan Robert Pulcini juga mengawinkan drama pernikahan yang grounded dengan elemen horor supranatural sebagai fondasi atau konteks cerita. Ada hantu beneran di rumah Catherine – di cerita ini – beserta berbagai macam keanehan gaib lain, yang nantinya bahkan berfungsi lebih signifikan lagi sebagai penyelesaian dalam cerita. Secara tematik memang film ini kaya sekali. Selain soal supranatural, film ini juga nyerempet masalah seni. Kedua karakter inti – Catherine dan George suaminya – berkecimpung dalam dunia seni, sebagai bahasan-profesional mereka. Supranatural dan seni inilah yang jadi bumbu utama racikan Berman dan Pulcini dalam memotret masalah rumah tangga yang diwakilkan oleh pasangan muda tersebut. Masalah yang sebenarnya juga berakar pada dominasi pria terhadap perempuan.

thingsTHAS_20191021_00945r-838f6c7
Rumah baru tapi lama

 

Jadi secara tone, film ini gak dalam kotak ‘seram’ horor-horor biasa. Alias gak total ke hantu-hantuan. Gak ada hantu-hantu bertampang seram. Meskipun beberapa kemunculan bisa ngagetin karena editing yang menggunakan gaya horor mainstream. Ceritanya lebih pas disebut sebagai drama pernikahan yang ada hantunya. Kengerian datang dari aksi dan reaksi karakter seiring development masalah yang perlahan membuka. Dan membukanya itu cukup perlahan, karena dengan durasi yang mencapai dua jam, film benar-benar memberi ruang bagi konflik antarkarakter berkembang. Gaya film ini kurang lebih mirip serial Haunting di Netflix, terutama yang season 2 The Haunting of Bly Manor. Drama-nya yang bikin kita bergidik. Bergidik bukan exactly karena seram, melainkan yang lebih ke menyayat dan pilu. Elemen seni yang dikandung sepertinya dilakukan demi mengincar film ini bisa terasa lebih poetic lagi seramnya.

Dan sepertinya memang, film ini seharusnya dibikin jadi serial aja. Like, buatku pribadi, ini udah cocok kok jadi season ketiga serial Haunting. Ada rumah besar yang berhantu sebagai pusat cerita. Drama keluarga dan cintanya kuat. Banyaknya elemen yang dikandung oleh cerita tidak tertampung dengan baik semua oleh struktur film-panjang seperti ini. Berman dan Pulcini aku yakin sudah mencoba, tapi mereka tidak bisa merangkum semuanya ke dalam cetakan film-panjang. Things Heard & Seen ini masih terlalu besar, dan masih mirip kayak struktur penceritaan sebuah novel.

Yang pertama kerasa itu adalah sudut pandangnya. Film ini berusaha tampil sinematik dengan konsep ‘menyuplik adegan di tengah sebagai pembuka’. Namun ini malah membuat tokoh utama cerita semakin tidak jelas. Film ini dibuka dengan adegan George pulang ke rumah dan menyadari ada sesuatu yang aneh. Kemudian kita dipindah, dibawa mundur ke beberapa bulan sebelumnya. Dan kita ngikutin perspektif si Catherine sekarang – dan sebagian besar durasi. Kita discover things bareng Catherine. Dan hanya itu. Catherine juga gak benar-benar punya pengembangan selain dia berubah jadi mengetahui sesuatu yang sebenarnya. Lalu ketika sudah sampai ke sekuen yang harusnya adalah action untuk penyelesaian, kita dipindah ke ngikutin karakter lain. Di sinilah film menjadi paling lemah, serta tak memuaskan bagi penonton kebanyakan. Di bagian akhir itu, ada adegan supranatural yang seram, tapi yang ditakut-takuti itu adalah karakter jahat. Sehingga kita tidak ikut merasa seram. We don’t feel for him. Kita ingin dia diganggu, malah. Namun ketika justice itu beneran ditegakkan, film melakukannya secara puitis. Di film hantu lain biasanya si jahat mati dibunuh oleh hantu si teraniaya, di film ini tidak ada ‘pemuas’ seperti demikian. Dilakukannya dalam konteks nyeni. Bukannya harus berdarah atau gimana sih, maksudku adalah kita tidak diperlihatkan dengan jelas dampak kejadian terakhir tersebut bagi dua karakter ini.

Film ini memparalelkan antara hantu dari masa lalu dengan baggage yang dibawa oleh pasangan ke dalam rumah tangga. Keduanya memang sama-sama bisa menghantui. Catherine benar-benar jadi terganggu oleh kenyataan yang ia dengar tentang yang mungkin telah dilakukan oleh suaminya di masa lalu. Dan ini merupakan bentuk dari kekerasan atau abuse dalam rumah tangga. Dikibulin, di-gaslight. Diserang mentalnya. Hal paling mengerikan yang diperlihatkan film ini adalah bahwa abuse seperti demikian susah terdeteksi. Bahkan ditunjukkan abuse semacam itu jadi siklus turun temurun. Perempuan jadi korban dan menderita. Mereka saling bantu pun, tidak bisa menyelamatkan. Hanya bantu membawa pria pelakunya ke keadilan. Tapi keadilan apa? Ketika pria menemukan kematian, mereka jadi lukisan.

 

thingsamanda-seyfried-1-1-1140x600
Mungkin itukah yang namanya ‘poetic justice’?

 

 

Karakter Catherine dan George diberikan lapisan. Film berusaha menggali kedalaman pada karakter intinya. Supaya kita bisa lebih peduli sama drama cerita. Namun, lapisan-lapisan tersebut tidak berhasil dikembangkan sebagai sesuatu yang benar-benar berarti. Catherine, misalnya, dia diceritakan punya eating disorder. Dia gak mau makan banyak. Sekalipun termaksa harus makan, dia akan menggigit sesedikit mungkin yang ia bisa, dan kemudian diam-diam kabur ke wc untuk memuntahkan makanan tadi. Awalnya memang film seperti menggunakan perilaku anoreksianya; membuat kita bertanya-tanya apakah hantu yang dilihatnya bener hantu atau karena dia keleyengan kurang makan saja. Tapi itu dengan cepat terjawab. Dan anoreksia tadi seperti disingkirkan gitu aja. Tidak menjadi penghalang memecahkan misteri atau apa kek yang bikin cerita benar-benar jadi punya kedalaman. Hanya di akhir saja dimunculkan kembali dengan ala kadarnya.

Atau juga soal si George. Yang seorang dosen jurusan seni diceritakan senang jadi pusat perhatian murid-muridnya, khususnya yang cewek. George pun selingkuh dengan perempuan muda yang sepantaran usia dengan muridnya. Di lain pihak, Catherine pun mulai tampak jatuh hati sama pemuda yang bekerja di rumah mereka. Pemuda yang ternyata adalah pacar dari selingkuhan George. Permasalahan selingkuh yang melibatkan pemain sentral ini juga enggak kemana-mana. Tidak ada interaksi, tidak ada konfrontasi. Hanya disisir permukaannya. Ditampilkan saja.

Ini sejalan dengan permasalahan pada karakter-karakter yang lain. Panggung film ini sebenarnya luas sekali. Bukan hanya rumah tua dengan sejarah kelamnya, tapi seluruh kota benar-benar dihidupkan. Selain Amanda Syeifried dan James Norton, film meng-casting pemain-pemain yang bukan abal-abal kualitas aktingnya. Karena memang karakter mereka juga sebenarnya punya alasan kuat untuk berada di sana mengisi cerita. Beberapa karakter itu di antaranya ada dua pemuda kakak-beradik anak dari pemilik rumah Catherine sebelumnya – dua pemuda yang merupakan penyintas dari kejadian berdarah yang menimpa keluarga mereka. Dua pemuda yang akhirnya bekerja untuk keluarga Catherine, yang salah satunya adalah pemuda yang tadi ditaksir oleh Catherine. Mereka cuma ada di sana, dengan identitas demikian. Tanpa pernah diberikan bobot kepada cerita itu sendiri. Lalu ada pria tua sejawat George di kampus, yang juga merupakan anggota kelompok yang percaya supranatural sebagai bagian dari seni. Karakter penting yang ternyata hanya jadi another victim. Ada juga dosen perempuan sahabat George, yang akhirnya menjadi kunci kasus. Menjelang akhir itu ada momen film berkembang dengan aneh seolah mau mengubah si dosen ini jadi tokoh utama. Tapi kemudian, clearly enggak, karena perannya langsung mengurucut sebelum pernah benar-benar besar. 

Bagaimana dengan hantu dan anak Catherine? Tentu saja mereka pun cuma ‘pajangan’. Anak Catherine sendiri persis tipikal horor-horor sederhana di bioskop kita. Hanya untuk jadi objek yang ditakut-takuti. Orangtuanya perang pun dia absen dari sana.

 

 

 

Walaupun belum pernah baca novelnya, tapi kayaknya kita semua bisa membayangkan bahwasanya di novel tentulah karakter-karakter tadi punya lebih banyak fungsi. Film ini terlihat seperti hanya mengambil beberapa bagian penting dari masing-masing mereka, dan memasukkannnya ke dalam cerita. Film ini punya waktu cukup banyak, tapi tidak benar-benar mampu untuk mengolah sumber aslinya itu ke dalam bangunan film-panjang. Dua jam itu terbang begitu saja tanpa terasa spesial. Padahal secara isi cerita, sebenarnya menarik, dan punya gaya yang puitis pula. Secara garapan teknis, kualitas film ini bisa diacungkan jempol. Kekuatan terbesar ada pada kamera dan akting. Pondasi ceritanya pun sebenarnya cukup kuat. At least, sudah mengerti bahwa horor yang bagus adalah horor yang mengawinkan drama relatable dengan elemen seperti supranatural. Hanya saja, struktur bercerita dan penulisannya lah yang butuh banyak perbaikan. Gak cukup hanya dengan memantapkan sudut pandang saja. Butuh perombakan dan penggalian yang lebih dalam.
The Palace of Wisdom gives 3 out of 10 gold stars for THINGS HEARD & SEEN.

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Bagaimana pendapat kalian tentang hantu dalam film ini yang menyelamatkan tapi actually dengan membiarkan Catherine menjadi korban berikutnya? Benarkah itu satu-satunya cara untuk keluar dari abuse? 

Share  with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

 

 

 

 

 

 

 

JAKOB’S WIFE Review

“It is not a lack of love, but a lack of friendship that makes unhappy marriages”

 

 

Menurut kalian horor yang bagus itu yang gimana sih? Jawaban yang kerap aku dengar setiap kali ngajuin pertanyaan itu adalah yang hantunya serem, atau yang pembunuhnya jahat, lagi sadis. Tentu saja, yang pasti, horor yang bagus itu adalah yang bisa bikin kita ngeri.  Persoalannya justru terletak pada bagaimana membuat kita merasa ngeri tersebut. Tidak bisa dengan hanya menampilkan hantu atau zombie atau psycho-killer. Mereka sebenarnya cuma bikin kaget. Ngeri itu datang dari kedekatan drama yang menjadi situasi pada cerita. Ya, drama. Horor yang bagus seringkali adalah horor yang berhasil membumbui drama yang relate terhadap banyak penonton dengan elemen horor semacam hantu, monster, dan kawan-kawannya.

Sutradara Travis Stevens mencoba untuk membuat Jakob’s Wife sebagai horor yang bagus. Di sini, dia meletakkan elemen vampir penghisap darah  ke dalam permasalahan suami-istri yang telah menikah demikian lama tanpa pernah merasakan compassion dalam berumah tangga.

Jadi menurut kalian pernikahan yang bagus itu yang gimana sih? Yang langgeng? Yang suami-istrinya gak pernah berantem? Pasalnya, Anne sudah tiga-puluh tahun menikah dengan Jakob, seorang pendeta terkemuka di kota mereka. Mereka gak pernah ribut, tapi tetap saja Anne merasa hidupnya menyedihkan. Hampa. Dia hanya duduk di sana, setia mendampingi suaminya. ‘Istri Jakob’, itulah identitasnya selama ini. Sampai akhirnya peristiwa mengerikan itu menimpanya. Anne digigit vampir. Perempuan itu merasa ada sesuatu yang bangkit di dalam dirinya. Dia merasa lebih hidup seiring perubahan yang terjadi di dirinya dan korban-korban berjatuhan di sekililingnya. Dan sekarang, pernikahannya yang menjemukan mungkin bisa berubah menjadi lebih sehat.

Jakobs-Wife-Trailer
Sekarang dia bisa dikenal sebagai si Vampir Tikus

 

Jakob’s Wife ini baru proyek film panjang kedua bagi Stevens. Film pertamanya tayang tahun lalu, dan juga telah kureview, berjudul Girl on the Third Floor (2020). Horor juga, dan aku suka meskipun film tersebut agak ‘segmented’. Alias agak susah dicerna oleh selera pasar. Sedari film tersebut, Stevens sudah mulai ngebuild up kelincahannya bergelut dengan budget yang gak banyak-banyak amat. Girl on the Third Floor berisi banyak praktikal efek untuk menghidupkan rumah yang seperti tubuh-hidup sendiri, mengeluarkan banyak cairan dan hal-hal bikin gak enak lainnya. Majukan satu tahun ke depan, Stevens ternyata masih cakap dalam bermain efek-efek seperti demikian. Jakob’s Wife juga meriah oleh efek-efek (kali ini lebih ke arah gory ketimbang nasty) yang membuat horor ala kelas B ini menjadi semakin grounded seramnya. Kita akan melihat vampir dengan mata merah berdarah-darah, kita akan melihat vampir yang meminum darah langsung dari leher korban yang kepalanya terbelah. Kita akan melihat luka-luka seperti gigitan di leher yang masih berdenyut, mulut yang menghitam terbakar sinar ultraviolet. Penonton yang punya perut sedikit lebih tebal, akan mengapresiasi film ini dengan nilai lebih. Untuk penonton yang perutnya ‘normal’, film ini masih punya hal lain yang bisa diapresiasi. Khususnya di bagian kedalaman dan bobot cerita.

Dua dari dua film horor Travis Stevens ini sebenarnya punya agenda kekinian. Filmnya yang pertama tadi membahas masalah toxic masculinity dari sudut pandang seorang pria. Sementara, filmnya yang kedua ini menilik soal perempuan yang identitasnya ditentukan oleh pria yang menjadi pasangannya. Sebagai manusia, Anne hanyalah istri seorang Jakob. Sedangkan saat sudah jadi vampir pun, dirinya menjawab kepada Master yang mengendalikan. Tidak sekalipun pada kedua film tersebut, Stevens bersikap terlalu mengagungkan agenda-agenda tersebut. Dalam film Jakob’s Wife ini, ya Anne si perempuan terkukung dalam relasi yang gak sehat. Zona nyaman yang dituntutkan baginya adalah sebagai pendamping pasif sang suami. Suami yang bahkan enggak pernah mendengarkan opini dirinya sampai selesai. Anne selalu disela dan dikecilkan. Suami yang kata Anne bahkan tidak pernah berjuang untuk dirinya. Namun film ini menggali dengan seimbang. Kita juga diperlihatkan seperti apa bagi suami yang pendeta tersebut.

Jika biasanya cerita seperti ini akan berakhir dengan pihak yang ‘bersalah’ akan kalah dan dihilangkan. Diberi ganjaran. Solusi tergampangnya tentu saja adalah dengan menunjukkan perempuan tidak perlu lelaki. Maka tidak ada jalan gampang yang diberikan oleh film ini. Baik Anne maupun Jakob, mereka tampak mau berjuang demi pernikahan mereka. Kita dapat melihat bahwa mereka sebenarnya memang saling cinta. Dan mereka memang berusaha untuk memperbaiki apa yang salah. Pada hubungan Anne dan Jakob inilah film mencapai kedalaman yang membuat ceritanya worthy untuk kita saksikan dan kita pedulikan.

Kebebasan seorang perempuan diperlihatkan cukup dengan perubahan sikapnya terhadap transformasi yang terjadi. Melihat Anne mengubah penampilan (bukan untuk gaya-gayaan melainkan untuk menutupi luka gigitan dan sebagainya), memindahkan sofa dan perabotan berat di ruang tamu rumahnya sesuka hati, berusaha berkompromi dengan nafsu laparnya terhadap darah; Melihat Anne menyukai dirinya yang sekarang, lebih terasa ketimbang harus melihat dia menaklukan orang-orang yang selama ini mengecilkannya. Anne tidak pernah bersikap seperti korban. Dan sikapnya ini mendorong Jakob untuk ‘bertransformasi’ juga. Pria itu kini harus belajar untuk mempercayai perempuan, untuk menganggap sosoknya sebagai seorang yang sejajar. Tipe kompromi ini jelas lebih kuat daripada kompromi protagonis dengan antagonis di I Care a Lot (2021) yang terasa dipaksakan, karena tidak ada dasar kemanusiaan yang relate di sana. Anne dan Jakob punya cinta, sehingga kita bisa paham darimana konflik dan aksi mereka berasal.

Rumah tangga Anne dan Jakob adalah salah satu bentuk dari rumah tangga yang abusif. Meskipun tidak dengan kekerasan, tapi nyatanya it sucked the life outta them, terutama Anne. Sesungguhnya ini adalah komentar untuk rumah tangga serupa di luar sana. Film ini ingin mengingatkan bahwa penyebabnya bukan karena tidak ada cinta. Melainkan masing-masing perlu untuk merasakan kembali sebagai teman, bahkan mungkin bisa juga sebagai lawan.

 

Untuk menghidupkan relasi utama yang menjadi poros film ini, Stevens mempercayakan Anne dan Jakob kepada dua aktor ikon horor 80-90an; Larry Fessenden dan Barbara Crampton (Barbara juga merupakan salah satu produser film ini). Dua aktor yang sudah berpengalaman di genre ini, dikawinkan naskah yang subtil dan karakter yang tidak satu-dimensi; now that is the perfect marriage untuk sebuah sinema! Mereka beneran terlihat sebagai pasangan tua yang udah mulai gerah hingga ke ubun-ubun, dan mencoba hidup rutin sebiasa mungkin. Tapi efeknya terasa ketika kita melihat mereka dalam ruang pribadi masing-masing. Barbara menghapus lipstik yang baru saja dikenakan oleh Anne karakternya. Larry yang ngasih ceramah soal menyayangi istri tapi tidak sekalipun melirik ke istrinya di barisan depan. Dan ketika mereka actually berinteraksi, dalam ‘setting’ yang udah berbeda, maaan interaksi dan chemistry Barbara dan Larry ini adalah kunci. They played off each other so good.  Mereka bisa tampak vulnerable, bisa tampak intens (ngomongin masalah rumah tangga dan vampir tentu tak bisa tanpa melibatkan hubungan badan yang hot), dan malah juga bisa lucu.

jakobcm-punk-wwe-1000x600
CM Punk muncul sebagai surprise entra.. eh salah, surprise cast

 

Naskah film memang bermain di garis komedi selain di garis dramatis. Selera komedi film ini boleh dibilang cukup lucu juga. Demi membuild up nafsu, sekaligus transformasi Anne, misalnya. Film menggunakan banyak shot gigi. Entah itu karakter yang lagi gosok gigi, ataupun saat mengunyah makanan. Dialog-dialog lucu juga digunakan, seringnya untuk mengomentari persoalan perempuan  yang didominasi atau di bawah power laki-laki. Aku ngakak ketika mendengar Anne kesel telah dipersalahkan oleh Jakob. Anne jadi korban diubah jadi vampir, namun tetap dia juga yang dipersalahkan karena itu. Komentar-komentar dalam film ini menyerang seperti demikian. Tidak terasa annoying, melainkan sangat cerdas.

Meskipun memang, komedi-komedi itu membuat film menjadi kurang imbang, secara tone. Ada adegan yang kesannya seram sekali, yang kesannya sangat serius, namun kemudian momentum itu terasa seperti sirna dengan adegan yang ‘nyeletuk’ seperti komedi tadi. Konsekuensi yang datang menyusul beberapa tindakan karakter juga seperti lenyap begitu saja ketika film menjadikan penyambungnya berupa komedi. Film ini belum sepenuhnya berhasil membangun jembatan yang pas untuk menyatukan dua tone yang berbeda jauh tersebut. Horor dengan komedi sesungguhnya memang dua elemen yang sukar untuk dimainkan. Banyak horor yang lebih bijak sebelum ini yang tergagap juga ketika berpindah dari drama ke komedi. Film ini mencoba, dan memang masih belum mulus. Mungkin hasil akhirnya bisa lebih baik jika film ini langsung fokus jadi komedi aja, atau jadi drama aja sedari awal. Sehingga style-nya lebih mencuat dan kentara. But that’s okay, ini baru karya kedua. Masih punya banyak ruang untuk menjadi semakin bagus.

 

 

 

 

Horor yang digarap Travis Stevens kali ini lebih terjangkau untuk penonton, tidak lagi ‘segmented’ seperti film pertama. Karena yang dibahas di sini di balik elemen vampirnya adalah soal rumah tangga yang enggak sehat. Juga menyinggung soal peran perempuan bagi lelaki. Semua itu dimainkan dengan dramatis yang menyerempet komedi. Menghasilkan tontonan yang menghibur, walau terkadang terasa kurang balance. Film ini didukung pertama oleh permainan akting yang hebat dari dua ikon horor pada masanya. They hit a lot of range together. Aspek genre horornya sendiri, tak ketinggalan, juga dibuat dengan sama menghiburnya. Ada makhluk menjijikkan, ada misteri, ada darah dan potongan tubuh. Penggemar horor sejati jelas tidak akan melewatkan film ini.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for JAKOB’S WIFE.

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Jadi setelah menonton ini, apakah kalian sudah punya gagasan perihal pernikahan yang bagus itu yang seperti gimana?

Share  with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA