THE SUPER MARIO BROS. MOVIE Review

 

“Physical bravery attracts most attention. But courage takes many forms”

 

 

Sega punya Sonic, Nintendo punya Mario. Sebagai anak 90an, itu perang-base pertama yang aku ikuti. Perang konsol video game rumahan, dengan maskot game masing-masing. I’m more of a Nintendo boy, tho. Aku lebih suka main Mario – yang menurutku lebih simpel dan lucu ketimbang Sonic. Gamenya juga kulebih menikmati buatan Nintendo (seenggaknya, sampai Sony PlayStation dengan Crash Bandicoot datang haha) Di ranah game-yang-jadi-film, however, kesuksesan Sega mengadaptasi Sonic sehingga dibikin sekuelnya, tampak bikin Nintendo gak mau kalah dan akhirnya mengeluarkan kembali IP game kesayangan mereka ini ke layar lebar!  Yup,  Mario Bros, memang dilindungi banget oleh Nintendo. Setelah live-action yang really cringe tahun 90an dulu itu, Mario hening. Gamenya aja yang terus keluar dengan berbagai variasi, tapi itu pun ekslusif untuk konsol Nintendo. Mulai dari side-scrolling, RPG, 3D Adventure, Balap, Berantem-berantem, bahkan random Sports. Aaron Horvath dan Michael Jelenic punya kesempatan emas dan lapangan bermain yang luas buat bikin film full CGI tukang ledeng bersaudara yang benar-benar compelling, melihat dari ragam dan gedenya IP ini. Jangan mau kalah dong ama Sonic. Tapi nyatanya, duo sutradara kita memang menebar banyak referensi dan merangkai cerita dari sana. Membuat film Mario Bros ini fun bagi kita yang mengenalnya, tapi hati film ini ada di ‘kastil’ yang lain.

Belajar dari kesalahan film live-actionnya dulu – serta kesalahan adaptasi game ataupun animasi yang suka tau-tau masukin karakter manusia yang gak ada di materi aslinya – film Mario Bros. sebenarnya memulai dengan langkah yang lebih mantap. Setidaknya, film tahu sisi unggul Mario Bros. Karakter manusia di tengah Mushroom Kingdom. Dan mereka membuatnya ya animasi semua. Didesain semirip mungkin dengan gamenya. Secara cerita, kubilang, film ini merangkai set up yang cukup bisa mendaratkan karakter. Mario dan Luigi hidup di ‘dunia nyata’, mereka bekerja sebagai tukang ledeng, dan mereka ini diledek oleh keluarga karenanya. Mario dan Luigi di film ini diceritakan sebagai dua orang dewasa yang diremehkan karena mereka kecil, dan kerjaan mereka juga dianggap sepele. Relasi antara Mario dan Luigi juga dibangun. Mario lebih berani dan jago, sementara Luigi orangnya agak penakut dan khawatiran. Sebagai animasi yang persis game, meski karakter mereka manusiawi, toh kita tetap melihat mereka melakukan kerjaan tukang ledeng dengan cara yang cartoonish, sehingga film tetap berjalan lucu dan menghibur. Saat ingin membantu beresin masalah banjir di kota Brooklyn, dua bersaudara ini tersedot pipa aneh yang membuat mereka terpisah. Mario sampai di Mushroom Kingdom, Luigi mendarat di wilayah Koopa yang dipimpin oleh Bowser, yang lagi dalam misi memperluas kekuasaan. Mario nanti akan bekerja sama dengan Princess Peach untuk mengalahkan Bowser, dan menyelamatkan Luigi

Ini bukan tentang Mario mukulin Bowser sampai pingsan, terus direkam, karena disuruh sama Peach loh ya

 

Yup, film ini memang punya kreasi tersendiri sebagai bentuk adaptasi yang mereka lakukan. Karakter Peach disesuaikan dengan masa sekarang, saat cewek gak lagi melulu diselamatkan. Peach di sini, digali sebagai Princess yang punya sisi petualang, yang lincah dan jagoan. Karakter-karakter lain seperti Donkey Kong, dan bahkan si Bowser sendiri juga diperlihatkan dari sisi yang berbeda, tapi kita masih tetap mengenali mereka sebagai karakter yang sudah kita kenal. Soal sedikit perbedaan ini, Mario sendiri juga disorot bahkan sebelum film ini tayang. Yakni soal aksen dan suara Mario yang terdengar berbeda dari versi video game. Chris Pratt yang nyuarain Mario sempat dirujak netijen karena suaranya beda, tapi ternyata film ini punya alasan untuk membuat Mario terdengar seperti ‘normal’. Karena ternyata aksen italia Mario dan Luigi itu, diceritakan sebagai gimmick mereka untuk iklan doang. Aksen itu cuma untuk menarik perhatian. Sehingga, sekarang kita bisa mewajarkan kenapa Mario suaranya seperti Chris Pratt bicara normal – karena Mario supposed to be orang biasa juga, yang masuk ke dunia ajaib di ujung pipa.

Bicara soal pengisi suara, menurutku Pratt menghidupkan Mario dengan baik, suaranya terdengar antusias, bingung, atau lainnya pada momen-momen yang tepat. Terkadang Mario akan bersorak ala game, dan Pratt tidak terdengar maksa ngucapinnya. Voice akting yang menonjol adalah si Jack Black sebagai Bowser. Aku hampir-hampir tidak menangkap itu suara Jack Black saat mendengar suara serak menggemuruh Bowser. Baru saat dia ada adegan menyanyi-lah, ciri khas Jack Black terdengar. Dan itu momen yang tepat, karena kita melihat Bowser dari sisi lain – sisi yang less barbaric. Salut buat Jack Black. Enggak kayak Seth Rogen yang suaranya gitu-gitu melulu. Begitu Donkey Kong ngomong, kita pasti langsung tau pengisi suaranya siapa haha. Seth mainin karakter ini standar. Anya Taylor-Joy juga di sini terdengar kurang nendang sebagai suara Peach. Tidak sememorable Bowser, atau juga Luigi. Charlie Day di sini memang juga cukup surprised buatku; Kupikir bakal annoying tapi Luiginya ternyata terdengar genuine, suaranya cocok sama dinamika karakter Luigi.

Karakter dalam Mario Bros. memakai berbagai item yang dikenal sebagai power ups untuk menjadi kuat. Ada bunga yang membuat mereka bisa menembakkan bola api. Ada kostum kucing yang membuat mereka jadi punya ‘jurus’ kucing. Dan ada jamur yang literally membuat mereka bertambah besar. Mario di sini gak suka jamur, tapi dia lebih gak suka lagi dikatain kecil. Jadi power ups benar-benar membantu. Tapi bukan power ups yang bikin Mario berani. Mario berani, karena dia gak ragu mengakui kelemahan dan memakai power ups. Mario berani, karena dia gak menyerah dan mencoba menyelesaikan tantangan platform terus menerus sampai berhasil.

 

Kreasi seperti pada set up karakter sayangnya tidak dilakukan utuh untuk menggarap cerita. Begitu sampai di Mushroom Kingdom, dan Mario, Peach, dan – di tempat terpisah – Luigi, harus bertualang, film mengganti kreasinya menjadi kreasi memunculkan referensi saja. Alur dan development, journey inner karakter, dijadikan minimal. Film cuma jadi serentetan adegan-adegan yang merujuk pada video game. Belum pernah aku merasa pengen balik buat main game, saat sedang nonton di bioskop, Mario Bros. memang senostalgia itu! Begitu banyak karakter (hampir semua musuh di game Mario hadir!), tempat, platform, dan bahkan musik yang bikin aku teringat sama sensasi main video gamenya. Tapi ini sudah bukan lagi jadi pujian. Karena di balik itu semua, petualangan Mario di Mushroom Kingdom, melawan Bowser, terasa kosong. Efek Mario pisah dengan Luigi sama sekali tidak digali. Pas battle terakhir mereka ketemu, dan penyadaran Mario datang begitu saja. Mario cuma ngikut ke mana karakter-karakter lain membawanya, ke mana naskah mengarahkannya, dia tidak benar-benar ‘memainkan’ petualangan itu. Like, masalah banjir di kota saja terlupakan karena Mario masuk ke Mushroom Kingdom. Dan kesempatan Mario balik ke kota dan menyelamatkan kota datang dari pertarungan dia dengan Bowser. Di tengah-tengah itu, Mario never reflect tentang kegagalan dia di awal atau semacamnya. Dia jadi hero dan diaccept keluarga dengan otomatis, petualangannya tidak terasa earned. Melainkan cuma kayak rentetan kejadian seru seperti pada video game. Film ini cuma punya hal-hal yang pernah kita lihat, dan kita lakukan di dalam video game. Tanpa ada konteks yang kuat – or rather, dengan konteks yang dibangun tapi dilupakan – menyaksikan itu semua ya jadinya kayak ngeliat iklan video game terbaru Mario saja ketimbang melihat film yang menceritakan soal Mario dan teman-teman.

Game- eh film Mario baru, with better graphics!

 

Seolah puluhan referensi game Mario belum cukup, film lantas masukin nostalgia 80an secara umum. Membuat film menjadi semakin tampak seperti cuma bergantung kepada nostalgia. Yang paling mengganggu buatku adalah lagu-lagu populer 80annya. Like, why. Aku sumringah setiap kali nada-nada dari game terdengar, mewarnai adegan sebagai background. Sebaliknya, aku mengernyit kenapa lagu Take On Me yang dimainkan saat mereka masuk ke wilayah Donkey Kong, bukannya muterin lagu theme game Donkey Kong. Apa hubungannya lagu-lagu populer itu dengan film dari game, toh gamenya tidak pakai lagu-lagu tersebut. Dari situ saja kita bisa menyimpulkan bahwa film ini ya benar-benar menyasar gelombang nostalgia semata. Enggak benar-benar punya cerita untuk disajikan. Bekerja terbalik alih-alih membangun cerita dan menghiasnya dengan referensi dan nostalgia, film ini justru ngumpulin referensi dan lantas menghubungkan semua itu dengan apa yang akhirnya mereka sebut sebagai cerita. Gak heran film ini jadi terasa tipis, bahkan kosong seperti tak-berhati.

Sebelum ini, aku nonton satu lagi film yang diangkat dari game populer di Nintendo, yang tokohnya juga pria berkumis (tapi bukan tukang ledeng). Tetris. Cerita pembuatan game itu ternyata udah kayak film aksi mata-mata! Kalian bisa baca reviewnya di sini. Dan yang pengen menontonnya, Tetris tersedia di Apple TV+, kalian bisa mulai berlangganan di https://apple.co/3nhEOdf
Get it on Apple TV

 




Urusan game, aku memang lebih suka Nintendo dengan game-game seperti Mario, Donkey Kong, Metroid, Kirby, dan lain-lain. Tapi untuk urusan game yang diadaptasi jadi film, Sega – saingan Nintendo sejak lama – ternyata masih unggul. Sonic satu. Mario nol. Film ini void, terasa kayak gak ada cerita. Padahal berangkat dari set up yang lumayan bikin film kerasa punya kreasi sendiri sebagai adaptasi. Tapi begitu petualangannya masuk, film ini tancap gas dan hanya berubah menjadi suguhan adegan-adegan seperti game. Dan lagu-lagu populer era lawas. Kalo dibilang menghibur dan menyenangkan, ya memang menghibur dan menyenangkan. Tapi bukan lantas berarti sinema, seperti kata Luigi. Iklan sirup aja bisa menghibur kok. Dan memang baru seperti itulah level film ini. Baru seperti iklan.
The Palace of Wisdom gives 4.5 out of 10 gold stars for THE SUPER MARIO BROS. MOVIE

 




That’s all we have for now.

Pernah dong main game Mario? Power up favorit kalian dalam seantero game Mario apa sih?

Share pendapat kalian di comments yaa

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



JOHN WICK: CHAPTER 4 Review

 

“Where there is no mutual respect, there’s trouble”

 

 

Tantangan utama dalam menggarap seri action segede John Wick adalah kita harus senantiasa membuat the next action set-piece yang lebih wah daripada sebelumnya. Enggak bisa hanya dengan menampilkan adegan berantem yang serupa terus-terusan. Semuanya harus digedein. Dicari sesuatu yang baru untuk mendesak protagonis utama cerita. Untuk alasan itulah, aku kagum sama ‘aksi’ penyutradaraan Chad Stahelski. Aku kagum sama cara dia ‘membesarkan’ John Wick dalam span empat film. Karena di setiap film ini, Chad sukses mengungguli dirinya sendiri. Dari cerita saja misalnya, bermula dari pria yang mengejar perusak mobil dan pembunuh anjingnya, hingga menjadi buron satu dunia! Dunia John Wick juga dibuat semakin meluas – ‘mitos’ siapa sebenarnya John Wick serta organisasi di belakangnya terus digali, dan semua itu berujung jadi bahkan lebih luar biasa lagi di chapter terakhir John Wick ini. Di film keempat ini stake couldn’t go any higher (walau di titik ini aku percaya Chad masih bakal menemukan cara liar lagi untuk somehow membuat jadi lebih gede lagi kalo dia bikin film kelima) karena cerita menjadi semakin personal bagi John Wick. Orang ini dihadapkan pada teman-teman lamanya sendiri, selagi dia bergerak dari satu negara ke negara lain. Tempat-tempat dan ‘musuh-musuh’ berbeda itu jadi semacam stage bagi petualangan epic John Wick membersihkan nama dan mencari kedamaian. Thus, membuat film ini jadi semacam one hell of a video game!!

John Wick yang sudah jadi excommunicado  itu ceritanya nyari refugee ke teman lama, tapi The High Table yang kini menyerahkan kepada seseorang borjuis keji bernama Marquis, memilih untuk jor-joran menghalau dia untuk keluar dari persembunyian. Semua yang pernah berhubungan dengan John Wick diperiksa. Dilenyapkan, jika tak mau bekerja sama. Salah satu bestie dari masa lalu John bahkan disewa (atau lebih tepatnya diblackmail) untuk memburu dirinya. Inilah yang jadi nilai personal pada cerita kali ini. Karena bagi John, ini jadi eye opener bahwa dia juga membahayakan teman-temannya, baik itu yang mau membantu, ataupun yang terpaksa tak bisa membantu. Untuk menyetop semua itu, ada satu cara yang bisa ditempuh oleh John, yakni menantang Marquis duel satu-lawan-satu di bawah peraturan The High Table. Hanya saja, ada syaratnya. John harus menjadi bagian dari satu keluarga. Serta tentu saja ada tantangan lain, berupa Marquis yang licik itu punya rencana lain untuk membuat John bahkan tidak bisa berdiri untuk bisa menuntaskan syarat-syaratnya.

I actually screamed, kupikir mereka mau duel Yugioh

 

Gimana gak kayak video game, coba. John Wick constantly diserang dan harus bertarung menyelamatkan diri ke manapun dia pergi, dan basically ada tiga ‘stage’ utama yang dia datangi. Hotel di Jepang, Kelab di Berlin, dan beberapa tempat di kota Paris. Tiga kota yang dihadirkan sebagai set-piece yang berbeda, menawarkan tantangan berbeda buat John – masing-masing tempat malah punya ‘boss’ sendiri – sehingga juga jadi suguhan dan pengalaman aksi berbeda buat kita yang menyaksikan.  Nonton ini pas bulan puasa dijamin enak banget, waktu nyaris tiga jam akan kelewat dengan tak terasa. Salah satu pesona aksi yang dimiliki John Wick, yang membuatnya berbeda dengan film laga lain adalah, aksi-aksi di John Wick – termasuk film keempat ini – lebih berfokus kepada aksi berantem ala kung-fu. Dengan memanfaatkan keadaan sekitar sebagai senjata ataupun koreo laganya. Inilah yang bikin kerasa intens. Apalagi aksi-aksi yang direkam in the moment ngikutin John Wick bergerak itu tampak plausible, dan Keanu Reeves selalu total melakukan semuanya. Yang bikin unik dan jadi ciri khas John Wick adalah pilihan senjata; pistol. Sekali lagi, art of Gun Fu (kung fu pake pistol) jadi sajian menghibur oleh film ini. Ngeliat John melakukan combat closed range dan menggunakan pistol sebagai finisher – menembak kepala lawan lewat celah di helm atau sebagainya – selalu terasa memuaskan. Dan seringkali juga kocak. Kayak, one time ada sekuen John harus berantem sambil menaiki 200 steps/tangga, dalam keadaan buru-buru mengejar waktu. Kebayang dong, beratnya gimana. Sekali ketendang, dia bisa menggelinding kembali ke bawah. Penonton sestudio heboh geregetan nih pas di adegan ini!

Makanya saat nonton aku ngerasa John Wick 4 ini bakal seru kalo dibikin game bergenre beat ’em up dicampur sama run ‘n gun. Bayangkan River City Girls atau Double Dragon, digabung dengan Contra. Cepat, energik, dan stylish. Persis Itulah vibe John Wick. Bahkan ada satu sekuen aksi yang treatmentnya udah video game banget; kamera dari langit-langit, melihat ke bawah memperlihatkan John merangsek masuk ke gedung sambil menembaki musuh, pake peluru yang dimodif jadi berapi upon contact. Aksi favoritku, however, adalah pas berantem di jalanan kota Paris. John dikejar, menghajar musuh, sambil berusaha nyebrang di jalan yang rame. Mobil berseliweran di sekitar mereka. Para musuh, dan John sendiri, tak ayal sering kena tabrak. Serunya jadi naik berkali lipat, apalagi ketika John mulai mencoba memanfaatkan traffic itu untuk menghajar lawan-lawannya. Wuih, kupikir ini sama sekali belum pernah kulihat sebelumnya. Set action yang bervariasi itu membuat film terus-terusan menghibur. Puncak dari semuanya adalah duel pistol klasik, ala koboy. Siapa yang lebih duluan draw pistol dan menembak (dengan tepat sasaran, tentunya) bakal menang. Film ini gak mau finale mereka berakhir sesimpel itu. Konteks adegan – dari relasi antarkarakter  membuat kita gak mau ngedip di adegan terakhir ini. Ketegangan benar-benar merasuk, karena kita tahu apa yang dipertaruhkan, kita penasaran bagaimana itu semua berakhir, resolusinya apa, apakah si Marquis yang curang itu bakal dapat ganjaran setimpal. Turns out, adegan itu bakal jadi sangat emosional sekaligus memuaskan. Aku bisa mendengar para penonton yang lain terkesiap dan nyeletuk lirih hal yang dilakukan oleh John sebagai jalan keluar. Rasanya pengen banget ngerewind klimaks dari adegan tersebut, berulang-ulang, saking memuaskannya.

Tentu saja film bisa mencapai momen sebegitu kerasa itu karena di balik aksi-aksi panjang dan seru itu, film ini masih punya cerita yang cukup mengakar. Memang gak dalam eksplorasinya, tapi cukup untuk melandaskan momen-momen dramatis. Dinamika antara teman dan lawan dijadikan benang merah bahasan cerita. Bahwa ini sebenarnya menggambarkan tentang mutual respect. John Wick enggak pernah protes saat teman lamanya datang pengen membunuhnya karena telah dibayar oleh High Table. Karena John Wick respek dengan sobatnya itu, John memahami posisi mereka. Begitu juga sebaliknya, kita merasakan bahwa bagi si teman, kerjaannya ini juga berat – dia sebenarnya gak ingin melakukannya, tapi gak punya pilihan, maka dia tetap melakukannya tapi tanpa membuang respeknya terhadap John sebagai teman.

Relasi mereka jadi hati pada narasi, dan dikontraskan dengan si penjahat Marquis yang tak pernah memandang orang lain – lawan ataupun bawahan – dengan respek. Selain soal itu, aku juga suka sama cara film mengakhiri saga John Wick ini. Cara film memberikan apa yang John mau, tapi di saat bersamaan memberikannya penyadaran akan hal yang harus ia terima sebagai wujud dari damai yang ia cari. Kupikir film telah berakhir mendapatkan cara yang benar-benar respek terhadap karakter dan emosional bagi kita untuk menyudahi franchise yang telah mengguncang skena sinema laga ini.

The JW that we can trust!

 

In a true video game fashion, John juga lantas tertampil kayak protagonis di video game. Dia making choices, beraksi dan segala macam tapi dia terasa sedikit lebih stoic dibanding karakter lain. Kayak di game, protagonis biasanya dialog dan emosinya lebih sedikit dibanding karakter lain, karena pemain yang supposedly jadi karakter utama. Di film ini, John secara mendalam tidak banyak dibahas karena film berasumsi bahwa kita udah tahu dan kenal betul sama karakter ini. Dia bisa kita pedulikan secara otomatis, seolah kita semua adalah John Wick itu sendiri. Ini kekurangan kecil aja sih, apalagi kalo membandingkan gimana John Wick dihadirkan di film-film sebelumnya, khususnya di film pertama. ‘Mitos’ tentang dirinya dulu benar-benar dibuild up lewat reaksi para penjahat yang mendengar namanya, info yang terasa kontras bagi kita yang melihat betapa ‘vulnerable’nya ini orang. Menurutku, John Wick itu sendiri sebenarnya sudah habis digali, sehingga sekarang karakter-karakter baru easily mencuri spotlight dari dirinya.

Dan oh boy, betapa karakter baru di film ini semuanya punya pesona dan menambah banyak untuk cerita film. Biar gak spoiler-spoiler amat, aku di sini hanya akan membahas tiga karakter saja. Pertama, si Marquis yang udah kurang lebih terbahas di atas. Ngecast Bill Skarsgard tampak seperti keputusan tepat berikutnya oleh film. Kedua, si sahabat yang sekarang dibayar untuk membunuh John. Assassin hebat ini actually buta, tapi personalitynya menarik sekali. Donnie Yen benar-benar ekstra mainin karakter Caine ini. Semua yang dia lakukan itu menarik, misalnya, dia menebak posisi lawan pake sensor bell kayak yang biasa dipasang orang di pintu. Alat-alat itu ia tempel di sekitar, dan nanti dia berantem berdasarkan petunjuk dari suara-suara alarm itu. Momen dia adu jurus lawan John, atau bahkan dia bekerja sama dengan John selalu menarik, karena kita bisa melihat alasan dari karakter ini melakukan itu. Ketiga, adalah karakter tak-bernama yang diperankan oleh Shamier Anderson. Seorang pemburu uang reward dari membunuh John. Yang unik dari karakter ini sebenarnya banyak banget. Dia gak beneran punya beef dengan John, melainkan cuma pengen duit imbalan saja. Tapi dia yang sniper handal ini gak mau buru-buru membunuh John karena pengen nunggu bounty/rewardnya naik, jadi sebagian besar waktu dia justru nolongin John supaya bisa terus hidup dan harganya naik. Relasi mereka jadi unik juga berkat ini. Apalagi, si nobody ini beraksi dengan anjing kesayangan yang galak banget. Tau sendiri, semua ini bermula dari anjing John dibunuh oleh orang. Film telah mempersiapkan momen khusus yang menautkan mereka nantinya.

 




So yea, memang agak aneh banyak ngomongin video game saat membahas film yang bahkan bukan dari video game. Tapi itulah bukti film ini memang seunik itu. Adegan aksinya memang sevariatif, seseru, sestylish, dan seenergik itu. Not to mention sinematografi yang ngeri. Film ini bisa jadi film laga yang tervisually mencengangkan buatku. Lokasinya dipilih yang kinclong semua. Bahkan adegan aksi yang direkam di tempat-tempat gelap pun tampak cemerlang. Sebagai kisah penutup, ceritanya juga digarap dengan memuaskan. Enggak dalem-dalem banget, tapi berhasil mengcover momen-momen yang bakal jadi hati dan emosional juga. Buatku, film ini tuh kayak apa yang aku minta dari film ketiganya empat tahun lalu itu. Sehingga aku ngerasa benar-benar terpuaskan, walaupun sebenarnya film ini memang terlalu extend cerita. Terbukti dari si karakter utamanya sendiri sebenarnya sudah habis penggalian. Karakter-karakter baru jadi terasa lebih menarik, seenggaknya sampai momen sebelum ending..
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for JOHN WICK: CHAPTER 4

 




 

Ohiya, ngomong-ngomong soal video game, akhir Maret ini di Apple TV+ bakal tayang film tentang video game legendaris; Tetris! https://apple.co/3nhEOdf Hahaha penasaran gak sih gimana game nyusun balok itu bisa jadi materi untuk film? Langganan Apple TV+ aja nih klik di link, biar pas filmnya tayang bisa langsung nontoon!!

Get it on Apple TV

 

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 



SUZUME Review

 

“Closed but not forgotten”

 

 

Hidup di daerah rawan bencana kiranya telah membuat orang Jepang jadi begitu kreatif. Man, they are really gives a new meaning to our saying ‘mengubah musibah menjadi berkah’. Mulai dari legenda Godzilla hingga seri game Fatal Frame, memang ada begitu banyak cerita dari Jepang yang terinspirasi dari bencana alam. Mereka membuat cerita-cerita itu sebagai peringatan, dan juga sebagai bentuk penghormatan. Baik kepada alam, maupun kepada korban dan perjuangan itu sendiri. Makoto Shinkai, sutradara anime yang terkenal dengan genre fantasi romance, juga menjadikan bencana sebagai device penting ceritanya, at least dalam tiga film terakhirnya. Film Suzume ini ia hadirkan sebagai tribute buat korban-korban bencana gempa Tohoku yang terjadi 11 Maret 2011 dahulu. Dan film ini memang bakal terasa menggugah hati dari bagaimana Makoto menuliskan perjuangan karakternya bukan hanya untuk menyetop gempa, tapi juga berdamai dengan rasa kehilangan yang terus merundung semenjak tragedi naas tersebut.

Suzume, sang karakter utama, masih kecil ketika bencana itu melanda. Di adegan pembuka kita melihat sosok kecilnya mencari-cari ibu, di suatu tempat yang dingin. Pengalaman itu pasti traumatis banget bagi Suzume hingga sampai dimimpiin begitu. Suzume sendiri, sekarang 17 tahun, adalah gadis SMA yang cukup ceria. Kita lihat dia pamitan sama tantenya. Kita lihat dia berangkat sekolah naik sepeda. Dan kita lihat dia terbengong-bengong ngeliat pemuda berambut panjang di jalanan. Pemuda itu bernama Sota, dan nanya arah kepada Suzume. Arah ke reruntuhan kota di gunung. Suzume yang penasaran, malah bolos dan tiba duluan di reruntuhan tujuan Sota. Suzume melihat pintu yang dicari oleh Sota. Dan momen Suzume membuka pintu itu jadi momen petualangan fantasi cerita ini dimulai. Satu lagi ciri khas Makoto Shinkai adalah, alih-alih membawa kita dan karakter ke dunia fantasi, dia membawa fantasi itu kepada kita. Membawa fantasi itu ke dunia cerita yang selalu ia bikin grounded dan berdasarkan langsung dari dunia nyata. Film Suzume juga lantas kontan jadi intens karena ini. Dari pintu yang dibuka Suzume muncul cacing merah raksasa. Makhluk yang cuma bisa dilihat oleh Sota dan Suzume itu melayang di atas kota, dan bakal menghempaskan diri – Cacing raksasa itulah yang menyebabkan bencana gempa. Suzume dan Sota harus berkeliling Jepang, menutup pintu-pintu tempat Cacing itu keluar supaya tidak terjadi gempa mengerikan.

Wow, kita di Indonesia menyaksikan film ini tepat 12 tahun dari bencana aslinya

 

Cacing dari dunia-lain jadi penyebab gempa… ya, kreasi film ini memang seliar itu. Dan itu yang membuatnya fun dan terasa ajaib. Salah satu cara ngembangin ide kan dengan ngelantur. Like, kita lempar beberapa kata secara acak, dan baru pilih beberapa yang relevan untuk digabungkan sebagai cerita. Suzume sama sekali gak kekurangan imajinasi untuk jadi out-of-the-box dengan kehidupan sehari-hari. Selain cacing tadi, film ini punya batukunci yang bisa berubah jadi kucing. Pintu-pintu keluar cacing yang actually berbeda-beda; ada yang selembar pintu biasa, ada pintu geser, pintu ke permainan bianglala. Belum lagi ritual dan rule buat menutup pintu yang harus dilakukan Sota. Dan oh, Sota sendiri eventually dikutuk jadi kursi anak TK. Yang satu kakinya hilang pula! Jadi bayangkan gimana dia melakukan itu semua, kalo tanpa bantuan Suzume. Penonton sestudio ketawa-ketawa ngeliat para karakter. Lihat kucing-dewa yang imut tapi nyebelin. Lihat  Suzume yang harus keliling Jepang sambil bawa-bawa kursi. Lihat Sota sebagai kursi berusaha mengejar si kucing dengan gerakan kocak. Film acknowledge kekocakan ini. Semua disengaja biar film terasa renyah dan menghibur. Dunia kontemporer Suzume yang juga takjub ngeliat kursi bisa ngejar kucing (Sota dan si kucing actually jadi viral, jadi sensasi di internet mereka) bikin film ini jadi makin akrab buat kita.

Seolah keringanan, kefamiliaran, dan keunikan karakter belum cukup, film menampilkan dirinya lewat animasi hand-drawn yang luar biasa. Makoto suka menggambar tempat-tempat asli sebagai lokasi cerita, dan di sini lokasi-lokasi yang jadi background itu meledak oleh warna-warna. Bahkan tempat yang paling suram sekalipun. Animasi film ini sepertinya dienhanced oleh efek yang membuat visual semakin berkilau. Lihat saja ketika Cacing-cacing itu berubah menjadi hujan saat Suzume dan Sota berhasil menutup pintu. Wuih, ciamik! Semua itu ditampilkan lewat sudut ‘kamera’ yang benar-benar luwes. Shot-shot perspektifnya dimainkan dengan leluasa. Jantungku berdebar-debar setiap kali kedua karakter kita berhadapan dengan Cacing, atau malah setiap kali mereka berlari menuju tempat pintu berada.

Suzume adalah film perjalanan. Petualangannya lebih ke action, agak sedikit berbeda dengan dua film Makoto Shinkai sebelum ini. Ketiga film ini ceritanya memang tak berkesambungan, tapi punya elemen khas yang mirip. Kalo kalian belum nonton, atau kepengen nonton lagi Your Name (2016) dan Weathering with You (2019),  sekalian aku tarok aja deh link dan badge keduanya di sini, biar pada tinggal klik! https://apple.co/3ZP9GQa dan https://apple.co/3FcWpZY

Get it on Apple TV

Get it on Apple TV

Perjalanan Suzume bersama makhluk dan hewan yang bisa bicara juga ngingetin aku sama animasi pendek yang kutonton tempo hari. Tentang anak yang ‘diantar’ pulang oleh hewan-hewan seperti kuda, rubah, dan tikus tanah. Dialog di film itu juga sama seperti Suzume, ngasih something untuk kita pikirkan. Kalian bisa nonton itu dengan subscribe di link https://apple.co/3ZAMup1

Get it on Apple TV

 

 

Bersama Sota, Suzume menyusur Jepang, ngikuti jejak si kucing yang dicurigai sengaja membuka pintu Cacing di berbagai reruntuhan kota supaya terjadi gempa. Suasana yang terus baru membuat misi mereka yang sebenarnya cukup repetitif jadi tak membosankan. Malahan jadi makin seru karena Suzume dan Sota juga bertemu banyak orang baru di setiap daerah yang mereka lewati. Film dengan efektif menampilkan interaksi Suzume dengan orang-orang ini, yang walau singkat tapi terasa banget mereka jadi sahabat. Namun begitu, aku cukup terhenyak di paruh awal ini, tatkala menyadari reruntuhan yang sebenarnya adalah tempat-tempat bekas korban gempa itu merupakan tempat asli. Aku gak yakin apakah tempat itu aslinya memang pernah kena gempa, atau tidak, tapi tetap saja kebayang gimana orang Jepang nonton ini – realizing gempa could happen there. Mengingatkan bahwa mungkin bisa saja ada survivor seperti Suzume yang nonton, dan mereka harus kembali melihat puing-puing. Di situlah aku sadar bahwa film Makoto kali ini lebih personal bahkan daripada Weathering with You  dan Your Name. Bahwa cerita yang diusung kali ini lebih daripada kisah romansa dua anak muda. Tentu elemen itu ada, tapi bukan inti – bukan yang terbaik – dari keseluruhan penceritaan Suzume. Karena film ini adalah tentang survivor gempa. Tentang orang-orang seperti Suzume, penyintas Tohoku yang masih mencari ibunya. Mencari orang tercinta yang jadi korban bencana.

Yang dilakukan Suzume di sini mungkin merupakan hal tersusah yang harus dilakukan penyintas. Menutup pintu. Melihat hal di balik pintu itu, mengenang peristiwa sebelum bencana, hanya untuk menutup dan menguncinya rapat-rapat. But mind you, film ini tidak mengagas itu sebagai perbuatan tersebut dilakukan Suzume untuk melupakan tragedi atau traumanya. Untuk melupakan ibunya. Tidak. Menutup pintu yang disebutkan film ini justru adalah tindakan respek, yang juga menguatkan survivor untuk meneruskan hidup ke depan. Film ini justru ingin Suzume mengingat masa itu, supaya cewek ini sadar. Untuk melihat pengorbanan dan cinta di balik itu semua. Satu elemen kunci lagi pada film ini adalah hubungan antara Suzume dengan tante yang selama ini membesarkan dia. Tante yang sampai sekarang belum menikah. Tante, yang pada satu momen meledak, bilang, dia telah mengorbankan masa mudanya demi Suzume. Suzume sendiri memang belum memandang tantenya sebagai sosok ibu yang ia hormati pada saat itu. She can’t, karena deep inside masih mencari ibu aslinya. Pengorbanan Sota sebagai kursi anak TK. Pengorbanan si kucing untuk kembali jadi kunci. Petualangannya menutup pintu, sembari bertemu orang-orang yang menampungnya, membuatnya ingat dan sadar akan hal penting yang teroverlook selama ini.

Some people gone but not forgotten, tapi tragisnya beberapa orang rela memilih bertahan dan menggantikan yang hilang, tapi terlupakan. Mengenang itu penting, tapi menyadari bahwa yang tinggal juga mengorbankan sesuatu juga tak kalah pentingnya. Film ini ngasih tahu bahwa setiap ada bencana, semua orang jadi korban, dan akan ada cinta yang mereka korbankan. Ingatlah cinta itu.

 

Kalo lihat pintu selembar gitu, ku malah ngakak jangan-jangan ada Faarooq dan Bradshaw main poker di sebaliknya haha

 

Di luar pesan simbolisnya tersebut, Suzume sebenarnya lebih ringan dan lebih straightforwad dibandingkan dua film sebelumnya. Film tidak banyak menggali soal ritual dan pintu-pintu itu. Tidak ada penggalian mendalam fantasi atau role dunia seperti pada Your Name.  Nature petualangan ala road tripnya pun membuat cerita berjalan cepat dan sistematis. Ceritanya tidak mengalami transformasi seperti pada Your Name; Suzume tetap petualangan mencari pintu, hanya dengan intensitas yang semakin dramatis. Kisah cintanya juga bahkan tidak sedalam itu. Weathering with You malah lebih terasa romantis. Romance di Suzume cuma terasa kayak ‘formalitas’ aja, biar terus ada ciri khas Makoto. Pertemuan si Suzume dan Sota itungannya termasuk kebetulan. Mereka juga tidak terasa bonding se-real itu mengingat sebagian besar waktu Sota berada dalam wujud kursi. Kita aja, aku yakin, lebih draw toward Sota sebagai kursi ketimbang Sota manusia, hanya karena dia lebih banyak sebagai kursi. Asmara mereka berdua ketutupan banyak hal yang sebenarnya lebih esensial. Dari kursi itu saja sebenarnya agak ‘meragukan’, karena kursi itu sebenarnya kursi kenang-kenangan ibu untuk Suzume. Jadi attachment si Suzume kepada Sota agak bias, karena bisa jadi dia cuma ‘sayang’ sama nilai kursi itu. Dan soal itu gak benar-benar dibahas oleh film. Pokoknya Suzume cinta aja sama Sota sehingga mau berjuang ‘menyelamatkan’ Sota di paruh akhir. Si Sotanya juga dibikin tau-tau juga sudah suka Suzume sedari pandangan pertama.

Romansa yang harus ada ini pada akhirnya jadi ngaruh ke yang lain. Yang membuat film jadi kurang maksimal. Relasi antara Suzume dan Tante atau bibinya tadi, salah satunya. Menurutku film harusnya jadiin relasi ini sebagai fokus. Karena bahasan mereka pada yang sekarang ini sedikit banget. Bahwa ternyata Suzume seneng-seneng aja dianggap anak yang kabur dari rumah, kita gak pernah merasakan itu dengan total. Padahal Suzume memang merasa lebih bebas di luar rumah. Begitu juga Tantenya. Alih-alih ngebuild up drama kehidupannya, film hanya memperlihatkan sekelebat dan membuat karakter ini ‘meledak’ gitu aja, dalam adegan awkward yang kayak dipaksakan buat sekalian ngenalin sosok batukunci yang satu lagi. Suzume berdurasi dua jam lebih dikit, memuat banyak, tapi belum terasa imbang. Enggak terasa padat kayak dua film sebelumnya, karena bahasan yang lebih penting kurang maksimal.

 




Perlu satu hari bagiku untuk ‘mendiamkan’ film ini. Supaya terlepas dari kehebohannya. Karena memang film ini lebih seru, dan gambarnya juga cantik banget. Lovable sekali! Penonton sestudioku ketawa dan hepi sepanjang durasi. Aku gak nyangka film anime bisa sepenuh itu. Karena ya memang film kali ini lebih straightforward. Dan ya itu, karena utamain crowd pleaser, dan romansa yang harus ada alih-alih penting untuk ada – menjadikan film ini formulaic,  maka aku harus mutusin satu pilihan penting. Apakah film ini bakal jadi angka delapan pertama tahun ini, atau dia sebenarnya cuma another Avatar 2. Aku sudah akan menutup pintu keputusan, dan jawaban itu muncul. Film ini punya hal yang tidak ada pada Avatar 2 yang complete fantasy. Identitas budaya real di balik ceritanya. Faktor yang membuat anime ini lebih urgen, bahkan dari dua karya Makoto sebelumnya yang lebih superior. Ya, keputusan itu akhirnya bisa dikunci.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for SUZUME

 




That’s all we have for now.

Kira-kira kalian punya teori gak, kenapa Suzume bisa jadi secinta itu sama Sota?

Share pendapat kalian di comments yaa

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



YOUR NAME Review – [2016 RePOST]

 

“It’s always an out of body experience with you.”

 

yourname-poster

 

Jepang, yea that land of weird things, memberikan kepada kita sebuah cerita cinta remaja dengan premis konyol paling tak-biasa; TENTANG COWOK DAN CEWEK YANG BERTUKAR TUBUH. Tapi yang lebih aneh daripada itu, adalah fakta tak-terbantahkan bahwa that story is wonderfully worked. Sangat kuat secara emosional, dituturkan dengan cara paling unik, dan somewhat suspenseful. Menjadikan anime ini berada di atas sana sebagai salah satu drama romansa terbaik yang kita lihat di tahun 2016.

Mitsuha, cewek pedesaan yang ingin tinggal di kota, terbangun dari tidur dalam keadaan bingung. Dia lalu kedapatan sedang meraba tubuhnya sendiri. Sementara itu, seorang cowok bernama Taki, terjatuh dari ranjangnya di suatu apartemen di Tokyo. Dengan malu-malu, dia melihat ke tubuh bagian bawahnya. “Oh Tuhan, kenapa gue jadi punya ‘ini’?” pikiran itu tergaung oleh both Mitsuha dan Taki karena mereka baru saja sadar; mereka terbangun di dalam tubuh orang lain. Awalnya, Mitsuha dan Taki mengira mereka cuma sedang mimpi. But the phenomenon keeps happening, day after day. Dari reaksi kerabat sekitarlah, they learned bahwa secara random, tanpa tedeng aling-aling, mereka bertukar tubuh saat bangun tidur. Kenapa bisa? Kenapa mesti mereka? Padahal mereka tidak saling kenal. Padahal mereka tinggal berkilo-kilo meter jauhnya!

Cerita film ini adalah tentang gimana Mitsuha dan Taki yang harus mencari tahu kenapa hal ini terjadi kepada mereka while also harus figure out gimana menjalani hari sebagai orang lain. Ini bukan soal si cewek ntar jadi tomboy, sedangkan yang cowok jadi feminin. It explores more. You know, it really gives “try walking on my shoes” a whole new meaning, as kita ngeliat kedua karakter ini literally experiencing pepatah lama tersebut. Melalui rangkaian montage yang sweet dan kocak, kita akan menyaksikan apa yang tadinya kebingungan berubah menjadi kerja sama. Mitsuha dan Taki menemukan cara untuk berkomunikasi. Mereka saling larang, kebayang dong malunya gimana ketika orang lain tahu privasi kita. Or something like, “you can’t do that in my bod – I don’t do that!” Namun somehow, saat bertukar tubuh, mereka berdua tidak tahan untuk ‘ikut campur’ dan mencoba untuk mengimprove kehidupan rekan tukeran-tubuhnya. Eventually, mereka menumbuhkan rasa kagum dan appreciate one another as they learn about each other’s lives.

 kalo di Indonesia bisa jadi sinetron; Tubuh yang Tertukar..

Kalo di Indonesia bisa jadi sinetron; ‘Tubuh yang Tertukar’

 

But that just one element of the whole story. It was just merely a set-up, untuk membuat kita mengerti sedalem apa hubungan yang terjalin di antara mereka berdua. Film ini actually berkembang menjadi much more deeper, serious and adventurous, dengan dibalut misteri, as they prove cinta sejati will stand out against the test of space and time.

Apa yang bisa membuat dua orang yang tidak pernah bertemu, yang tidak saling kenal, bisa jatuh cinta? Your Name sesungguhnya mengeksplorasi kebudayaan remaja yang sangat relevan, bukan hanya di Jepang, melainkan juga di belahan lain dunia. Sering kita stumble on story of how dua pasangan bertemu dari kenalan lewat online. Kita bisa belajar banyak tentang seseorang dari pengalaman yang ia tulis, ia ceritakan, dari curhat-curhat mereka. We get too see dan fall in love with their personality. Dan film ini examined tema tersebut dengan cara yang sangat cantik. Mitsuha dan Taki belajar tentang kehidupan each other dengan mengalami. Dengan benar-benar menjadi orang tersebut. Jadi mereka bisa tahu lebih banyak tentang pribadi masing-masing dibandingkan dengan hanya mendengar. It was such a personal bonding. Itulah sebabnya film ini sangat unik, sebuah romansa yang diceritakan dengan sangat keren.

 

Aku bukan penggemar drama cinta, aku bahkan bukan penggemar besar film anime. Di luar kartun-kartun masa kecil, paling aku hanya ngikutin Studio Ghibli saja. Dan Your Name adalah pelipur ketakutan kita, ngingetin bahwa ternyata masih banyak director di luar sana yang masih berjuang membuat film-film animasi yang hebat, penuh imajinasi nan cantik. Cara berceritanya lain dari yang lain dalam mengangkat tema yang udah jadi lapangan bermain khas Makoto Shinkaitentang pasangan yang terpisahkan oleh sesuatu. And I love this movie so much. Film ini tidak terasa cengeng ataupun lebay buatku. Meski ada juga sih adegan-adegan ‘tragis’ kayak lari-lari terus jatuh kesandung, tapi film ini bukan cinta-cintaan remaja supermelodramatis seperti di sinetron atau ftv. Your Name adalah tontonan yang lebih daripada itu.

Sungguh refreshing, cerita yang sangat berbeda, aku belum pernah melihat drama dituturkan dengan cara yang amat SANGAT UNCONVENTIONAL. Karakter-karakternya ditulis dengan begitu menyenangkan. Mereka semua sangat likeable. Voice-over yang sangat ekspresif dan sukses berat menghidupkan para tokoh. Mone Kamishiraishi lively sangat sebagai Mitsuha, dan Ryunosuke Kamiki sanggup ngeluarin charm dari kedua tubuh yang ia perankan.
Juga ada banyak simbolisasi yang memparalelkan antara kejadian di alam semesta, mekanisme dunia film ini, dengan hubungan yang dimiliki oleh kedua tokoh leadnya. It never gets too confusing, malahan semakin menarik kita. Tidak membiarkan kita terlepas sedetik pun dari ceritanya.

Arahannya pun luar biasa menakjubkan. Film ini sesungguhnya punya dua tone cerita yang kontras, Your Name adalah film yang sangat emosional yang bukan saja very funny melakinkan juga punya cara sendiri menyentuh kita tanpa jadi terasa lebay. Tidak pernah kedua tone tersebut berbenturan keras kayak komet yang menghantam bumi. Kebanyakan film kesulitan menjembatani dua sisi cerita yang berbeda, you know, kita sering lihat film yang awalnya kocak dan as the story progress, menjadi lebih serius sehingga terasa kayak dua film yang berbeda. Your Name punya cara yang hebat sehingga transisi antara bagian yang kocak dan fun dengan part of story yang lebih serius, EMOTIONALLY POWERFUL, dan ultimately penuh suspens menjadi mulus tak terasa.

Ketika modern world terpana oleh pesona dan misteri dongeng

Ketika modern world terpana oleh pesona dan misteri dongeng

 

Film ini akan meminta kita untuk menghormati kebudayaan Jepang. Sama sekali tidak berusaha untuk terlihat seperti Hollywood. Konten lokalnya kuat. Kita akan melihat ritual bencana dan perayaan fenomena alam. Ada banyak referensi tentang adat Jepang yang bakal kita apresiasi lebih jika sedikit-banyak tahu tentangnya, atau paling enggak jika kita sering nonton anime sejenis. Humornya pun bakal terasa baru, that we’ve never heard before. Makanya film ini begitu fresh. Ditambah lagi, film ini tetap memakai animasi traditional yang digambar dengan tangan. You know, style anime dipush menjadi semakin gorgeous oleh film ini. It was as mesmerizing as the storytelling. Gerakannya begitu fluid, everything – dari penampakan dalam ruangan hingga pemandangan angkasa, perbukitan hijau – tergambar dengan sangat cantik. Aku seneng aja Jepang punya kebanggaan untuk tetap menggunakan animasi khas mereka di saat Amerika, bahkan Indonesia, nyaris benar-benar meninggalkan cel animation dan beralih ke CG. Sebenarnya enggak masalah sih, CG keren dan menyenangkan. Hanya saja gambar-tangan kesannya lebih majestic, lebih imajinatif, dan khusus kasus film ini, terbukti lebih beautiful.

Nenek Mitsuha menyuruhnya untuk “treasure the experience”, as in segala keindahan di sekitar kita setiap hari, sesungguhnya adalah sementara. Tapi kita lebih sering take so many little things for granted. Koneksi dengan orang-orang, contohnya. Cherish dan appreciate hubungan genuine yang kita punya dengan sekitar.

 

 

 




Punya keunikan penceritaan yang luar biasa, sampai-sampai aku tidak bisa menemukan apa yang aku tidak suka dari animasi yang cantik jelita ini. Humornya yang beda bekerja sukses, drama emosionalnya bekerja sukses, aspek misteri dan mekanisme dunianya bekerja sukses, everything works out great in this movie. Dengan cara unconventionalnya examining today’s youth culture dan apa yang bisa membuat dua orang jatuh cinta meski jika mereka belum pernah bersua. Yang berhasil dicapai oleh Makoto Shinkai pada filmnya ini adalah betapa accessiblenya film ini buat banyak lapisan penonton, as ceritanya tidak come off  terlalu abstrak. Film ini imbued with elemen mimpi. Namun tidak seperti mimpi yang lebih sering terlupakan saat kita bangun, film ini akan terus terngiang di kepala. Bahkan saking kuatnya sehingga kamu-kamu bisa saja bermimpi tentangnya.
The Palace of Wisdom gives 9 out of 10 gold stars for YOUR NAME (KIMI NO NA WA).

 

 




That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners
and there are losers.

 

 

 

We? We be the judge.

 



KEMBANG API Review

 

“But in the end one needs more courage to live than to kill himself.”

 

 

Mari bicara tentang mati. Apa itu mati? Well, essentially, mati adalah ketika suatu kehidupan berakhir. Ketika suatu aktivitas berhenti total. Tapi dasar manusia begitu kompleks perasaannya, bagi kita mati bisa berarti berbeda-beda. Ada yang menganggapnya sebagai musibah, ada yang menganggap sebagai perpisahan, bahkan ada yang menganggapnya sebagai kesempatan – meski tragis. Empat karakter dalam film yang diadaptasi Herwin Novianto dari drama Jepang ini, misalnya. Kematian mereka anggap sebagai jalan keluar dari masalah rumit yang merundung hidup masing-masing. Kembang Api (aslinya berjudul 3Ft Ball & Souls) memang bicara tentang karakter-karakter yang janjian untuk bunuh diri bareng. Perspektif mereka yang udah nekat milih mati membuat film ini enggak seangker itu. Bahasan pengen bunuh diri yang disajikan jadi enggak seberat dan seserius itu, meskipun memang ditulis dengan penuh pemikiran dan rasa hormat terhadap topik tersebut. Dan yang membuat film ini jadi malah menarik untuk disimak – enggak depressing – adalah konsep time-loop yang digunakan sebagai device untuk mengulik bahasan itu.

Empat orang yang janjian mau bunuh diri itu, jangankan kita, masing-masing aja mereka gak saling kenal. Mereka ‘bertemu’ di grup chat dan telah sama-sama sepakat untuk melakukannya pakai bola kembang api besar yang dipunya oleh Langit Mendung, yang ternyata adalah seorang bapak-bapak. Mereka gak tahu nama asli dan wajah masing-masing. Jadi di awal cerita, kita akan melihat mereka kenalan dulu, ala kadarnya. Karena mereka punya aturan untuk tidak saling mengorek pribadi dan masalah masing-masing.  Yang diestablish oleh Kembang Api di menit-menit awal itu adalah gimana mereka tampaknya sudah bulat tekad. Sudah yakin. Si bapak Langit Mendung sendiri menjelaskan cara kerja kembang api dan gimana tubuh mereka akan berkeping-keping dengan antusias, ngasih sensasi dread tersendiri kepada kita yang melihat mereka. Mereka enggak peduli satu sama lain, dan cuma mau hidup mereka berakhir. Konflik datang ketika salah satu dari mereka ternyata masih anak SMA. Tiga orang dewasa itu merasa gak enak ngajak minor meninggoy, but show must go on. Lalu loop itu terjadi. Alih-alih bebas dari dunia, mereka semua justru terus saja kembali ke awal sebelum mereka ngumpul untuk meledak. Percaya bahwa ini adalah kutukan lantaran udah biarin anak muda bunuh diri, si bapak berusaha meyakinkan yang lain – Anggrek Hitam dan Tengkorak Putih – untuk melarang Anggun ikutan.

Betapa munafiknya, melarang orang sementara dia sendiri melakukan yang dilarang haha

 

Debat keempat karakter itulah yang jadi ‘api’ dalam film ini. Masing-masing mereka merasa punya alasan yang kuat, merasa paling berhak untuk bunuh diri. Bahkan si Anggun yang paling muda itulah yang disebutkan paling kuat tekadnya untuk mati berkeping-keping di antara mereka semua. Jadi gak gampang bagi Langit Mendung dan yang lain untuk membujuk remaja itu untuk mundur. Melalui keempat karakter, naskah sebenarnya sedang menguarkan gagasan perihal bunuh diri. Mereka-mereka ini mewakili perspektif dan reaksi yang berbeda. Dan time-loop itu bukan hanya menyimbolkan mereka mendapat kesempatan yang berbeda, tapi juga jadi tahapan pembelajaran mereka, untuk tidak ngejudge dan menganggap remeh masalah orang lain. Untuk memikirkan ulang keputusan sendiri. Karena time-loop dalam film ini didesain sedemikian rupa; meskipun waktunya berulang, tapi pikiran karakter kita tidak serta merta ter-reset juga, film actually memainkan soal reset dan mereka tetap ingat tersebut. Sekilas tampak kayak gimmick, tapi itu sebenarnya menunjukkan tahapan pembelajaran. Dari situlah aku tahu film ini respek terhadap topik bunuh diri yang diangkat. Ini yang membuat film jadi begitu efektif, jika memang dibuat untuk mencegah lebih banyak lagi orang yang ingin mengakhiri hidup.

Aku pernah bunuh diri. Waktu main game Yugioh. Malahan, bunuh-diri adalah taktik andalanku setiap kali main, kalo kombo-kombo kartuku digagalkan semua oleh lawan. Aku hantamkan saja monsterku ke monster lawan yang attack pointnya tinggi. Aku merasa lebih baik kalah on my own terms, ketimbang harus menelan serangan monster lawan. Jadi aku kind of understand, dignity yang dilihat orang ketika memutuskan untuk mengakhiri hidupnya sendiri. Rasanya lebih terhormat saja, karena at least kita yang memegang kendali itu sekarang. Makanya, kita tidak bisa menyepelekan gitu saja tindak bunuh diri, karena itu berkaitan langsung dengan orangnya. Orang yang sudah terluka mental – dan mungkin fisik. Menyepelekan ide mereka bukan tidak mungkin membuat hal menjadi lebih parah. Aku bisa mengerti concern dan ‘kehati-hatian’ film ini dalam membahas masalahnya. Karena aslinya, cerita ini dari Jepang. Tempat di mana bunuh diri jadi tradisi terhormat. Kembang Api juga membawa concern dan rasa hormat yang sama. Film ini memang berdiri sebagai cerita anti-bunuh diri. Memang mengusung bahwasanya suicide adalah perbuatan lemah, solusi gegabah dari orang yang kena mental, tapi tidak sekalipun film ini menyepelekan masalah yang dialami oleh tiap karakter. Masalah mereka benar-benar diperlihatkan membebani – kita dipahamkan kenapa mereka milih mati, karena sekilas itu seperti jalan keluar yang paling tepat. Debat dan diskusi para karakter menekankan perbincangan terhadap masalah masing-masing tersebut. Yang pada gilirannya, membuat film ini juga lantas menekankan kepada saling share problem itulah yang sebenarnya dibutuhkan. Bahwa kita gak sendirian. Everyone has their own problems, tapi kita bisa sama-sama saling menguatkan. Dan terus hidup.

Itulah makanya filsuf dari Perancis, Albert Camus mengatakan bahwa pada akhirnya akan ada banyak orang yang lebih berani mati, ketimbang hidup. Karena menjalani hidup berarti kita harus berani menempuh rintangan, menerjang resiko, dan terutama meminta bantuan. Sementara mati, meskipun menyakitkan, tapi merupakan jalan keluar yang paling gampang karena kita tidak perlu lagi dealing with anything. Lihat saja karakter di Kembang Api, mereka awalnya lebih memilih meledak berkali-kali, ketimbang melanjutkan hidup.

 

Karena sudah semacam ‘jadi tradisi’ itulah, makanya film original yang Jepang mengambil arahan yang lebih ringan. Yang lebih banyak sisipan komedi, bahkan di momen-momen yang serius. Mereka punya ‘beban ekstra’ untuk soften the blow. Akibatnya saat menonton, film asli tersebut tidak terasa sedramatis versi remakenya ini. Serius, I’m actually surprised Kembang Api jatohnya lebih baik ketimbang film original. Bahwa film ini ternyata bukan remake yang ketiplek nyontek. Naskah Kembang Api benar-benar disesuaikan dengan konteks yang lebih relate ke kita, serta berkembang menjadi lebih ke arah yang dramatis. Kembang Api memang masih punya sebaran komedi untuk memperingan suasana, tapi tidak pernah terasa ‘mengganggu’ momen-momen yang lebih serius. Kembang Api lebih fokus kepada perasaan bersalah yang kemudian menghantui, lebih fokus pada sisi sosial dari hubungan karakter-karakternya. Yang paling terasa itu adalah saat membandingkan resolusi dan ending antara Kembang Api dengan 3Ft Ball & Souls. Film versi Jepang tampak lebih fokus kepada eksistensi grup chat yang anonim yang dikontraskan dengan actual interaksi saat kita bisa mengetahui hal-hal personal lawan bicara. Mereka mencoba menggugah kehidupan individu yang berlaku di sana. Ending film original bahkan memperlihatkan keempat orang ini kembali ke kehidupan masing-masing, sementara kita yang di posisi ‘melihat semua’ menyaksikan bahwa kehidupan mereka sebenarnya saling berkait. Sementara pada versi Indonesia mereka semua berakhir jadi lebih dekat, mereka jadi sahabat. Yang difokuskan pada permasalahan adalah gimana mereka berusaha saling menolong dengan saling ngasih perspektif ke dalam masalah masing-masing, kayak si Tengkorak Putih yang ngasih Anggun sudut pandang ibu yang ditinggal mati anaknya. Resolusi Kembang Api juga lebih dramatis terkait mereka semua benar-benar berusaha menolong Anggun yang masih kekeuh pengen bunuh diri dengan memberikan kepadanya satu opsi lagi. Opsi ini gak ada di film original yang ngasih efek pertolongan itu lebih subtil dengan menyerahkannya kepada pilihan Tsukiko sendiri.

Tapi meski ini remake yang bagus, statementku masih tetap sama “Remake terooos, sekalinya bikin sendiri isinya freezer!”

 

Kembang Api menambah layer simbolik dengan memasukin kalimat ‘Urip iku urup’ yang ditampilkan pada bola kembang api. Sehingga nanti kita akan melihat dan mendengarnya dimunculkan terus. Makna dari kalimat itu akan jadi hal yang membawa para karakter kepada momen penyadaran. Secara overall, dengan hal itu, Kembang Api jadi lebih literal ketimbang film aslinya yang lebih subtil. Tapi kupikir ke-literal-an yang membuat film hampir seperti mengejakan gagasannya itu memang diperlukan ketika cerita ini sampai kepada lingkungan kita. Lingkungan yang masih belum begitu ‘aware’ dengan bunuh diri itu sendiri. Berbeda dengan versi Jepang yang pengen menggugah tanpa menyinggung. Film Kembang Api lebih seperti raise awareness dan mencegah orang-orang yang mungkin kepikiran untuk melakukan tindakan itu, tapi enggak benar-benar tahu apa yang sebenarnya mereka lakukan. Sehingga tempo yang lebih lambat, dialog dan pengadeganan yang lebih to the point, diperlukan untuk menghantarkan maksud tersebut. Film ini bahkan memperjelas trigger time-loop mereka, dengan actually memperlihatkan yang menekan tombol detonator akan merasakan loop.

Tentu saja Kembang Api gak unggul dalam semua hal dibanding originalnya. Perbedaan mencolok yang menurutku membuat film aslinya lebih energik adalah kamera. Film aslinya itu dinamis banget, mereka gak terpaku pada ‘time loop maka shot-shot kejadian harus sama’. Kamera di versi original akan menangkap dari berbagai angle. Bermanuver di antara ruang sempit gudang yang jadi panggung cerita. My favorit shot adalah saat kamera merekam para karakter yang ngobrol confess dari belakang. Dari punggung mereka. Rasanya seperti mendengar cerita dari seseorang yang bersalah. Film Kembang Api gak punya momen-momen itu. Kamera cukup lincah untuk membuat shotnya beragam, tapi ‘terpaku’ pada tempat yang sama. Pada kebutuhan untuk menekankan konsep time-loop. Membuat adegan di waktu pertama, dengan waktu kedua, tampil sama. Ini membuat film jadi sedikit monoton, terutama di awal-awal. Film berusaha bermain lewat musik, tapi gak exactly works. Karena musiknya kadang malah jadi membuat adegan dramatis jadi overkill. Untungnya, keempat aktor bermain dengan brilian. They understand the assignment. Donny Damara, Ringgo Agus Rahman, Marsha Timothy,  dan Hanggini memainkan peran mereka dengan range emosi natural. Sehingga mereka tak lagi jadi perspektif untuk menyampaikan gagasan saja. Tapi jadi beneran ‘karakter’. Yang hidup. Yang punya masalah dan urgen untuk segera diselesaikan. Mereka membuat karakter mereka yang basically gak punya stake, jadi bahkan lebih dramatis, karena sekarang kita jadi peduli soal apakah mereka benar-benar perlu untuk bunuh diri. Tidak lagi hanya sekadar menonton ini untuk pengen lihat apakah mereka berhasil bunuh diri atau tidak.

 




Dua minggu ini aku nonton film tentang bunuh diri semua loh ternyata. The Whale, Otto, dan sekarang film ini (dan film originalnya). Semuanya menghandle bahasan ‘orang kepengen mati’ dengan sangat respectful, dan menekankan kepada pilihan si karakterlah yang paling penting. Yang membuat film yang satu ini berbeda adalah dialog soal pilihan itu sendiri. Memberikan solusi tanpa meremehkan pilihan pertama pada awalnya. Mengakui bahwa setiap manusia punya beban, dan ya ‘berhak’ bunuh diri. It also bicara hal yang sama dengan Virgo and the Sparklings , yakni soal komunikasi anak dan orangtua yang gak ketemu karena sang anak ‘takut’, padahal sesimpel bicara itu bisa jadi solusi. On the other hand, aku toh skeptis awalnya. Karena film ini remake, maka kupikir bakal ketiplek nyontek. Ternyata enggak. Film ini menyesuaikan ending, resolusi, tempo, dan bahkan beberapa dialog dan kejadian. Membuatnya lebih cocok dengan konteks sosial kita, dan actually terasa beda dengan film aslinya yang dari Jepang itu.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for KEMBANG API

 

 




That’s all we have for now.

Menurut kalian apakah seseorang harus pernah mengalami dulu baru bisa respect menggarap sesuatu tentangnya, misalnya apakah pembuat film harus pernah nyoba bunuh diri dulu sebelum bisa respect membuat film tentang mencegah bunuh diri seperti film ini?

Share pendapat kalian di comments yaa

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 



VIRGO AND THE SPARKLINGS Review

 

“Inside every angry child is an emotion they haven’t been able to comprehend”

 

 

Menyelamatkan dunia bukan hanya hak orang dewasa. Tagline Virgo and the Sparklings tersebut kontan menggelitik. Menyelamatkan dunia kan sebenarnya adalah sesuatu yang diemban sebagai tugas, sebuah kewajiban. Tanggungjawab. Bukan sesuatu yang didapatkan dengan jumawa, untuk gaya-gayaan. Kentara sekali kalimat tersebut punya nada penuh kebanggaan, namun sedikit polos tapi juga angkuh terhadap orang dewasa, semacam ingin nunjukin mereka juga bisa dan melakukan dengan lebih baik. Mereka siapa? Siapa lagi yang bisa bersikap angkuh padahal aslinya perlu belajar lebih banyak kalo bukan anak muda. Remaja. So, sedari taglinenya saja, karya Ody C. Harahap ini sudah menguarkan identitas yang kuat. Bahwa superhero kali ini beda dari kakak-kakak hero Bumi Langit sebelumnya. Jagoan super kali ini adalah anak muda, dan kita akan ngikutin cerita dari dunia dan perspektif mereka. Percikan api gelora anak muda, dan permasalahan mereka dengan orangtua, jadi hati pada cerita. Bahkan mungkin bisa dibilang, ini adalah cerita remaja dengan kedok superhero.

Berkedok superhero. Aku bilang begitu karena memang Virgo and the Sparklings works best saat memperlihatkan interaksi antarkarakter remaja dan segudang permasalahan mereka. Riani nama karakter utama di sini. Gadis SMA yang agak pemalu itu jadi semakin gak suka nonjolin diri lagi lantaran dia punya ‘kebiasaan’ aneh. Bola api suka tau-tau berkobar muncul dari dua tangannya. Padahal Riani ini punya bakat nyanyi. Suaranya bagus banget. Waktu Riani nyanyi sendirian di dalam kelas kosong itulah, beberapa teman mendengar kebolehannya. Riani akhirnya diajak gabung ngeband bareng Ussy, Monica, dan manajer mereka; Sasmi. Band mereka dinamai Virgo (karena semua personel ternyata berzodiak Virgo, cute!) dan mereka ikutan semacam kontes battle of the band. Di kontes itu mereka bertemu dan akhirnya saingan sama girl rock band idola mereka, Scorpion Sisters. Bagian Riani membuka diri untuk bergaul dan bikin band bareng teman-teman itulah yang menyenangkan sekali untuk disimak. Karena situasinya benar-benar dibuat grounded. Khas pergaulan anak remaja sehari-hari. Dari situ juga masuklah bahasan tema utama cerita, karena teman-teman Riani sebenarnya gak ada yang boleh ngeband oleh orangtua masing-masing. Tapi mereka tetap nekat, sampai bikin topeng dan kostum biar identitas mereka gak ketahuan nanti pas nampil di panggung. Jadi kostum dan kekuatan api Riani – yang obviously bakal jadi karakter superheronya – di awal itu dihadirkan natural. Para karakter ini ‘hanya’ menjadikan itu sebagai gimmick mereka buat manggung. Buat dapat view. Momen-momen Riani dibantu oleh teman-teman mengendalikan kekuatan api juga terasa sangat lugu. Dia disuruh manasin air, dan juga masak mie. Tapi momen-momen sederhana itu jadi semakin serius, karena di balik keceriaan mereka, di background kita kerap mendengar berita tentang anak muda yang kesurupan dan mengamuk kepada orangtua mereka. Inilah yang jadi konflik, jadi sesuatu yang harus dibereskan oleh Riani terkait journeynya menjadi seorang patriot super.

Kekuatannya api, lagunya angin, zodiaknya tanah

 

Action-fantasi atau superhero yang grounded memang terbukti lebih menyenangkan. Apalagi yang settingnya kehidupan anak muda kayak gini. Yang ceria walau juga penuh drama. Tapi yang jelas, jauh dari ba-bi-bu intrik plot twist politik. Film Virgo juga cukup bijak nahan diri – tidak hingga momen credit kita melihat tie in universe Riani dengan superhero BCU lainnya. Cerita yang contained di dunia sendiri, membuat film jadi lebih fokus, dunianya itu terasa lebih hidup (walaupun memang tidak sepenuhnya dieksplorasi). At least, Virgo terasa punya identitas dan keunikan. Scott Pilgrim vs. The World masih jadi nomor teratas dalam daftar film favoritku setelah sepuluh tahun lebih untuk alasan tersebut. Film itu berlaga di dunianya sendiri, dan berhasil. Dan dunianya itu adalah dunia absurd, tapi sebenarnya adalah cerita khas anak muda. Seorang cowok yang ingin pacaran sama si cewek baru, tapi dia harus ‘ijin’ dulu sama tujuh mantan si cewek. Premis itu diwujudkan dalam aksi seperti pada komik dan video game, karakternya yang di awal kayak remaja sehari-hari ternyata pada punya kekuatan unik. Dan mereka juga tanding ngeband! See, no wonder aku bandingin Scott Pilgrim dengan Virgo ini.

Walau ternyata memang enggak seabsurd itu, Virgo hadir dengan energi remaja khasnya sendiri. Geng-gengan. Naksir-naksiran. Saing-saingan. Idol-idolan. Pertemanan yang akrab banget, tapi sesekali juga bisa berantem. Api kekuatan Riani yang tak terkendali itu bisa kita sambungkan sebagai simbol passion remaja yang sedang dalam masa pencarian tempatnya di dunia. Tapi yang paling penting di antara itu semua, film ini mengangkat value yang relate banget dengan setiap remaja manapun. Tentang komunikasi antara anak dengan orangtua, dengan orang dewasa. Dalam cerita ini, Riani akan menyelediki kenapa anak-anak yang menonton satu video misterius di YouTube pada mendadak kesurupan dan mengamuk. Nice play dari fenomena masa kini yang anak-anak cenderung dinilai lebih emosian kalo terekspos gadget terlalu lama. Memang di jaman sekarang, anak-anak lebih suka menghabiskan waktu di internet ketimbang dengan orangtua. Di salah satu adegan, teman sekelas Riani mengamuk dan ada yang minta untuk manggil guru. Namun Riani menjawab, guru bisa apa. Sekali lagi film ini nunjukin betapa anak muda seperti mereka tidak lagi memilih orangtua atau orang dewasa sebagai opsi yang terpercaya. Film lebih jauh mengeksplorasi masalah ini dengan memperlihatkan Riani dan kawan-kawan berusaha membereskan masalah mereka sendiri. Orangtua hanya berarti masalah.

Kebanyakan cerita dengan tokoh remaja memang biasanya ‘mengantagoniskan’ orangtua. Atau kalo perlu, kehadiran orangtua dihilangkan gitu aja, tidak disebut di dalam cerita. Yang membuat Virgo berbeda dari film-film atau cerita remaja serupa itu adalah, film ini actually mengungkap sudut pandang lain. Bahwa kemarahan anak, ketidakpercayaan anak yang disasar ke orangtua, hanyalah luapan emosi berapi-api yang mereka rasakan di umur segitu. Anak takut membuat marah orangtua, suka ngerasa akan makin susah, sehingga komunikasi itu gak ketemu. Padahal bisa jadi kalo masalah itu diomongin langsung malah jadi ‘plong’ Seperti yang ditunjukkan oleh film ini. Kids, your parents are not that bad.

 

So much fun ngelihat Adhisty Zara, Satine Zaneta, Ashira Zamita, Rebecca Klopper, dan aktor-aktor muda itu ‘dilepas’ di lingkungan yang akrab dan relate dengan keseharian mereka. Membuat film makin terasa genuine. Problem, however, mulai bermunculan ketika film mengangkat yang agak serius dan kehilangan pegangan kepada dunia remaja saat genre superhero itu harus ditegakkan. Virgo and the Sparklings memang terasa enggak balance, pada beberapa momen dapat berubah drastis dari menyenangkan menjadi cringe. Mungkin arahannya kurang bisa mengena ke pemain? Coba bandingkan dialog ’emangnya guru bisa apa’ tadi dengan dialog ‘polisi gak bisa ngapa-ngapain’ yang diucapkan Zara sebagai Riani di menjelang babak akhir nanti.  Celetukan yang lebih serius soal polisi itu terdengar agak cringe diucapkan. Enggak senatural murid yang gak percaya guru. Dan juga feel forced, karena di titik itu kita sudah tahu kekuatan Riani dan sebenarnya naturally dia tinggal bilang cuma dia yang bisa lihat ‘asap hitam’ penyebab semuanya.

Final battlenya juga terasa cringe, tidak tampak seperti ujung yang natural dari build up dan hubungan karakter yang telah dijalin. Situasi menjelangnya padahal masih terasa ceria dan lucu di balik keseriusan masalah. Geng Riani udah full jadi tim hero, tapi kehalang satu pintu terkunci aja mereka kocar-kacir. Lalu mereka yang pakai alat untuk menghalang kekuatan si penjahat jadi punya interaksi kocak karena alat itu membuat mereka tidak bisa mendengar satu sama lain. Tapi saat Riani sudah face-to-face dengan penjahatnya, dalang dari semua, semua terasa lop-sided.  Aksi pada Riani seperti terbatas pada lempar bola api (yang not destructive, tapi menyembuhkan korban dari pengaruh jahat) sehingga battlenya dengan cepat jadi monoton meski film berusaha membuatnya dramatis dengan kekuatan Riani sendiri mulai takes toll on her body. Yang buatku paling mengganjal di final battle itu adalah Riani kayak gak punya plight, perdebatan dengan si jahat. Dia enggak benar-benar menanggapi omongan si jahat, padahal si jahat ini adalah idolanya, padahal si jahat ini sudah menyebut mereka sebenarnya sama dan mengajak Riani bergabung dengannya. Riani cuma ngomong sekadarnya saat mereka bertemu untuk pertama kali sebelumnya, tapi di momen final, benar-benar gak banyak bantering antara mereka berdua. Buatku ini sedikit kekurangan pada naskah, serta missing opportunity. Naskah tidak benar-benar bisa memparalelkan antara Riani dengan si jahat, sehingga resolve konflik mereka kurang nendang. Missed opportunity, karena ini harusnya jadi momen kita melihat Zara dan Mawar Eva adu akting, tapi film gak benar-benar ngasih mereka sesuatu melainkan hanya gimmick cringe sebagai momen ‘berantem’.

Bulan baru, film Mawar baru!

 

Kalo mau jujur sih, adegan-adegan perform musik film ini menurutku sebenarnya juga masih tergolong missed opportunity. Kenapa? Karena di sini mereka punya assemble cast yang sebagian besar beneran bisa nyanyi dan bisa main alat musik tapi coba lihat sendiri deh gimana film ini ngesyut adegan-adegan perform tersebut. Bland dan seragam semua cara nampilinnya. Boring. Sekali lagi aku membandingkannya dengan Scott Pilgrim yang punya banyak adegan ngeband, dan masing-masing adegan tersebut berbeda treatment dan ada keunikannya satu sama lain. Ody Harahap memang bukan Edgar Wright yang ahli bercerita dengan gaya editing dan timing komedi yang khas, Ody punya cara tersendiri menampilkan komedi atau aksi, ataupun keduanya, tapi untuk nampilin perform musik yang energik, arahannya masih terlalu standar.  Adegan musik yang ceritanya direkam dengan hape Sasmi yang kakinya sakit, akan tertampil sama dengan adegan musik di panggung pertunjukan.  Kita selalu melihatnya dari kamera yang seperti kamera pada acara TV sehingga nyanyian tersebut tidak pernah dikesankan seperti dinyanyikan langsung. Mawar ataupun Zara harusnya bisa banget punya momen perform seperti Brie Larson nyanyi Black Sheep di Scott Pilgrim, tapi Virgo tidak pernah meng-utilized pemainnya seperti demikian. Performance mereka artifisial semua, enggak ada aksi panggung sehingga gak berhasil ngasih kesan ‘live’ kayak Brie.

 

 




Film ini buatku punya vibe yang sama dengan film dan video game favoritku, Scott Pilgrim dan seri River City Girls. Aku enjoy nonton bagian karakternya saling interaksi, latihan band, latihan menggunakan kekuatan superhero. Value yang dikandung ceritanya juga relate banget, terutama buat anak muda. Film ini bisa jadi hiburan sekaligus something untuk dipikirkan bagi penonton muda. Walaupun memang pada akhirnya naskah dan arahan cukup keteteran, aksinya berakhir cringe, kekuatan Riani  jatohnya underwhelming banget – apinya gak sakit, sinesthesianya cuma plot device untuk misteri kekuatan penjahatnya – adegan perfom musiknya enggak benar-benar nendang (walau lagunya enak-enak), dan banyak karakter yang bikin penasaran simply karena cerita tidak benar-benar bisa memanfaatkan waktu untuk mengeksplor mereka. But hey,  I’d take cheerful and grounded superhero movies any day ketimbang superhero yang sok-sok gelap dengan fantasi politikal yang melebar ke mana-mana. 
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for VIRGO AND THE SPARKLINGS

 

 




That’s all we have for now.

Menurut kalian kenapa sih anak-anak muda gak percayaan sama orang dewasa?

Share pendapat kalian di comments yaa

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 



MINI REVIEW VOLUME 8 (THE WHALE, AFTERSUN, ALL QUIET ON THE WESTERN FRONT, NOKTAH MERAH PERKAWINAN, ELVIS, INFINITY POOL, WOMEN TALKING, BLACK PANTHER: WAKANDA FOREVER)

 

 

Normalnya, bulan Januari-Februari di bioskop itu agak adem ayem, karena biasanya film yang tayang di awal tahun itu ya tipe film yang ga rame enough untuk tayang di musim-musim liburan. Tapi di blog ini, bulan-bulan tersebut biasanya justru yang paling sibuk. Karena waktu tersebut merupakan last chance buat nontonin film-film yang kelewat di tahun sebelumnya, serta ngejar nontonin film-film yang masuk nominasi Oscar. Tahun yang sudah-sudah, blog ini entrynya paling banyak ya di bulan-bulan awal tersebut. Untuk itulah aku bersyukur bikin segmen Mini-Review.  Karena sekarang ku punya slot khusus untuk film-film itu, sehingga gak perlu kayak kebakaran jenggot lagi ngejar ngulasnya. Jadi, inilah Mini-Review pertama di 2023, yang di antaranya berisi tiga nominasi Best Picture Oscar yang baru saja ketonton!

 

 

 

AFTERSUN Review

Jika dirancang dengan baik, struktur penceritaan dapat mengangkat feeling yang terkandung di dalam narasi menjadi berkali-kali lipat lebih emosional. Aftersun, debut sutradara Charlotte Wells ini contohnya. Kisah seorang perempuan yang mengenang masa-masa liburan bersama sang ayah saat ia masih kecil, tidak diceritakan Charlotte dengan sedatar pakai flashback. Charlotte benar-benar paham dengan apa yang sedang ia sampaikan, dia punya visi yang kuat, sehingga tindak mengenang-masa tertentu itulah yang ia wujudkan lewat struktur dan gaya bercerita.

Nature dari kenangan yang episodik, dan much more dreamy dari reality itulah yang benar-benar divisualkan oleh film. Dijadikan hook emosional juga tatkala kenangan yang diambil itu dibentrokkan dengan apa yang terjadi di masa sekarang. Di sinilah ketika film sekali lagi berhasil menjelma dengan luar biasa emosional. Sophie yang berumur 11 tahun lagi liburan di Turki bareng ayah, mereka ke pantai, main game, kenalan sama orang baru, berenang – semua yang manis-manis itu ditangkap oleh film lewat estetik, kamera, warna, bahkan suara yang kontras dengan sesuatu yang membayangi. Melalui interaksi mereka, keingintahuan kita tentang ini sebenarnya cerita tentang apa menemukan pegangan pada sesuatu yang lebih naas. Bahwa ini anak yang sedang menelisik ulang, sedang berusaha mengenali lebih dekat siapa sosok ayahnya, lewat kenangan yang bisa jadi satu-satunya yang ia punya tentang sang ayah.  Keputusan film untuk tidak ‘meneriakkan’ yang merundung Sophie saat dewasa, lantas menghantarkan kita pada apa yang menurutku membagi dua penonton film ini. Tidak puas karena tidak ada finality yang jelas. Atau tercenung merasakan aftertaste getir yang luar biasa kuat.

Namun di luar itu semua, aku yakin penonton bakal satu suara soal betapa hangat dan manis (tapi tragisnya) hubungan ayah dan anak itu tergambar. Chemistry antara Paul Mescal dan Frankie Corio tak pelak jadi pesona utama yang bikin kita semua peduli dan menyimak sampai habis.

The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for AFTERSUN

.

 

 

ALL QUIET ON THE WESTERN FRONT Review

Semua film perang basically adalah propaganda anti-perang. Mereka menyampaikan itu dalam berbagai cara, ada yang menelisik propaganda untuk terjun perang itu sendiri, ada yang langsung mengajak penonton mengalami langsung suasana perang, ada yang mengeksplorasi dampak setelah perang, dan lain-lain. Intinya film-film itu akan menunjukkan betapa perang adalah sebuah horor kemanusiaan. Edward Berger dalam film perang adaptasi-novel ini, semacam menggunakan semua cara tersebut. All Quiet on the Western Front sungguh bakal jor-joran  membuat kita melihat horornya perang, dan membiarkan kita terhenyak dalam keheningan di ending, saat semua dar-der-dor dan dag-dig-dug dan asap tembakan itu hilang dari layar.

Momen yang buatku paling nohok adalah saat film actually memperlihatkan gimana para anak muda yang bersemangat jadi tentara itu sebenarnya gak tahu apa-apa, gak nyadar bahwa medan perang ternyata begitu mengerikan. Kontras antara yang mereka rasakan sebelum berangkat, dengan saat sudah berlarian diberondong peluru itulah yang buatku terasa baru di film ini. Sebagian besar dari karakter film ini ketakutan setengah mati! Kemudian emosi itu semakin menjadi-jadi tatkala kita melihat mereka sebenarnya tahu bahwa pihak lawan juga sama takut, sama tak berdaya, dan mungkin sama menyesalnya, tapi mereka tetap harus saling bunuh. Itulah yang buatku paling spesial dari film ini.

Sehingga bagian-bagian yang over-the-top kayak potongan tubuh di atas pohon, mayat-mayat dan sebagainya, teriakan dan desain musik yang agak trying too hard biar seram, terasa tidak lagi benar-benar diperlukan. Film ini sudah berhasil di momen-momen kecil yang menguarkan perasaan para pemuda di medan perang. Gimana mereka menikmati makan angsa colongan, untuk kemudian dikontraskan dengan kejadian di medan perang. Untuk film yang punya kata Quiet pada judul, narasinya sendiri agak terlalu banyak nge-generate noise yang menurutku bisa lebih diefektifkan lagi. But still, film ini tepat menembak sasarannya. Perang itu mengerikan!

The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for ALL QUIET ON WESTERN FRONT

 

 

 

BLACK PANTHER: WAKANDA FOREVER Review

Kepergian Chadwick Boseman certainly ninggalin lubang menganga di hati para penggemar dan kolega-koleganya, dan ini juga tercermin pada franchise superhero yang ia tinggalkan. Lubang menganga dari kepergian karakter T’Challa sebagai protagonis di Black Panther terasa begitu susah untuk ditutup, membuat sekuel yang digarap oleh Ryan Coogler secara naratif terasa berantakan. Rewrite yang mereka lakukan buat karakter-karakter yang ditinggalkan terasa banget membekas, jadi rajutan kasar pada overall sajian filmnya.

Wakanda Forever bekerja terbaik ketika mendalami soal kematian T’Challa. Gimana dampaknya bagi Ramonda yang jadi naik tahta lagi. Bagi Shuri yang merasakan grief sekaligus menyalahkan diri sendiri atas kematian sang abang. Dan pada rakyat Wakanda lainnya. Aku pikir harusnya film menahan diri dan berkutat dulu pada masalah ini. Bikin Wakanda Forever sebagai complete tribute, bagi sang karakter, sekaligus aktornya. Tapi mungkin karena agak segan cashin’ in cerita dari real tragedi, atau mungkin karena film ini bagaimana pun juga adalah roda-gigi dari proyek yang gak bisa segampang itu diubah rancangannya, maka Wakanda juga langsung mentackle sekuel sebagai aksi superhero. Hasilnya mungkin kedua kepentingan itu masih bisa terikat, tapi menghasilkan bentukan yang weird dan terutama agak maksa bagi karakter pengganti superhero utama, si Shuri.

Durasi lebih dari dua jam setengah nyatanya gak cukup untuk bikin naskah superpadet ini rapi. Kita masih akan sering berpindah dari Shuri, ke karakter lain, membuat development Shuri jadi tidak terasa benar-benar earned. Ada aspek dari dirinya yang jadi kayak dilupakan, makanya relasi Shuri dengan Namor tidak pernah benar-benar terasa genuine. Namor pun terasa kayak penjahat random yang aksinya gak benar-benar fit in ke dalam narasi keseluruhan, rencananya terlihat aneh. There’s so much going on. Makanya aku lebih suka Quantumania yang lebih contained dan terarah.

The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for BLACK PANTHER: WAKANDA FOREVER

 

 

 

ELVIS Review

Yang unik dari biografi karya Baz Luhrman ini – selain karakter titularnya yang punya aksi nyentrik di panggung – adalah perspektif cerita. Kita tidak melihat cerita ini dari si Elvis himself, melainkan dari seorang Colonel Tom Parker. Manager sang Raja Rock ‘n Roll. Dan meskipun itu jadi modal film ini untuk bisa langsung netapin motivasi karakter itu sebagai penggerak cerita, dalam perkembangannya perspektif itu tidak pernah benar-benar jadi utama melainkan hanya terasa jadi excuse supaya cerita bisa ‘melayang’ dari satu titik di kehidupan dan karir Elvis ke titik lainnya, tanpa benar-benar mendalami kehidupan itu sendiri.

Padahal Austin Butler sudah benar-benar ‘serius’ menjelma jadi Elvis. Gaya bicara, mannerism, bahkan dandanannya terlihat lebih natural dan inviting ketimbang riasan over yang malah seringkali nutupin kecemerlangan akting Tom Hanks. Tapi film lebih memilih untuk merayakan teknis yang artifisial. Permainan montase dan editing terasa terlalu banyak, dan at times lebih glamor daripada gimana subjek (atau di sini jadi objek?) diperlihatkan oleh ceritanya sendiri. Permasalahan di karir seperti di-cancel TV karena aksi panggung yang seloroh, pandangan rasis waktu periode itu, dan lain sebagainya, tidak terasa benar-benar punya penyelesaian yang saklek. Hubungan naik-turun antara Elvis dan Colonel pun – karena ini supposedly cerita dari Colonel – tidak begitu memuaskan meskipun kita sudah berhasil tersedot untuk peduli.

Tapi di balik confused-nya diriku terhadap penceritaan dan fokus film ini, toh tak bisa dipungkiri juga film ini jadi punya energi luar biasa nyetrum. Dan mungkin inilah tujuannya. Membuat suatu presentasi yang seperti punya ruh Elvis itu sendiri. Sehingga ketika penonton menyaksikannya, film ini lebih dari sekadar menuturkan ulang kisah hidup si Bintang. Melainkan live-and-breath his personality.

The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for ELVIS

 




INFINITY POOL Review

Nama Cronenberg memang tidak akan mengkhianati ekspektasi kita, karena Infinity Pool karya Brandon Cronenberg mungkin memang enggak se-jijik film bokapnya, tapi tetaplah sebuah pengalaman horor yang bikin badan jumpalitan saking aneh dan nekat konsepnya.

Film ini dimulai dengan premis yang sangat menarik. Penulis dan istrinya liburan di resort, mereka kemudian berteman dengan sesama turis, mereka have fun together, lalu uh-oh mobil mereka gak sengaja menabrak orang lokal hingga tewas. Si penulis, yang nyetir, dihukum mati oleh polisi setempat. Nah, hukuman matinya itulah tempat kegilaan konsep Brandon berada.  Ada sesuatu soal kelas sosial yang ingin dibicarakan di sini. Daerah turis yang melihat wisatawan sebagai kantong duit, dan turis yang merasa punya duit berarti bebas melakukan apapun; interaksi itulah yang membentuk konsep aneh cerita film ini.

Jadi aku menunggu. Nunggin buah apa yang bakal kita petik dari Penulis dan teman-teman kayanya sengaja berbuat onar karena mereka punya duit untuk membayar program clone.  Jadi yang dihukum mati adalah clone mereka, sementara mereka sendiri bebas ngelakuin apa saja termasuk kriminal. Tapi ternyata loop yang dimaksud pada judul, memang hanya repetisi. Dengan cepat keseruan tindak mereka jadi datar ketika tidak ada ujung, tidak ada konsekuensi nyata. Film kayak pengen bahas drama dari eksistensi, like, siapa tau si Penulis yang asli justru sudah mati – ketuker ama kloningan. Tapi enggak. Pengen bahas konflik antara Penulis dengan istrinya, juga enggak pernah benar-benar ke arah sana. Pada akhirnya yang kunikmati bahkan bukan gore-nya, namun kegilaan Mia Goth sebagai Gabi yang ternyata jauh lebih sinister dari kelihatannya. Calon adegan favorit tuh, Mia Goth teriak-teriak di babak ketiga hihihi

The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for INFINITY POOL

 

 

 

NOKTAH MERAH PERKAWINAN Review

Film yang paling banyak direkues nih, untuk diulas. Tapi aku baru bisa menontonnya saat tayang di Netflix. Dan I’m sorry to say, karya Sabrina Rochelle Kalangie ini might be jadi runner up kalo akhir tahun kemaren aku jadi publish daftar Top-8 Film Paling Overrated 2022

Kita udah bahas gimana Aftersun dan Elvis melakukan sesuatu dengan cara berceritanya sehingga film itu jadi terangkat jadi something else. Aftersun menjadi lebih emosional dan genuine, sedangkan Elvis jadi punya perspektif unik sebagai landasan narasi. Noktah Merah juga berusaha membuat nature datar dari cerita rumah tangga yang sus ada perselingkuhan punya spark, dengan sedikit ‘mengacak’ perspektif. Tapi strukturnya itu tidak berbuah apa-apa selain perspektif yang aneh (kalo gak mau dibilang kacau). Film ini narasinya dibuka oleh karakter ‘pelakor’. Seolah dia karakter utama. Dia curhat kepada karakter lain soal dia cinta sama pria yang beristri, tapi yang kita lihat sebagai ‘cerita’ dari dia itu tidak pernah mewakili perspektifnya. Kita melihat drama biasa, yang actually di luar perspektif sang karakter. Cerita ini lebih cocok kalo membuat sang istri jadi karakter utama, jika perspektif istri yang jadi utama. Karena semua masalah itu sepertinya ada di kepala karakter ini. Walaupun nanti si pelakor dan istri bertemu, tapi perspektif para karakter ini gak pernah melingkar, karena cerita resolve (tau-tau) dari persoalan anak. Naskah film ini jadi benar-benar choppy setelah usaha untuk membuat penceritaannya bergaya.

Momen emosional film pun hanya bersandar pada dialog-dialog banal istri dan suami yang saling meledak. Sementara untuk momen-momen yang ‘diam’, yang diserahkan kepada kita untuk merasakan masalah atau emosi, film ini gak benar-benar punya. Karena dengan perspektif yang gak kuat, momen-momen tuduhan istri atau momen yang bisa jadi-masalah, ya hanya terlihat seperti kekeraskepalaan sang istri, atau suami yang ‘melarikan diri’. Momen-momen yang mestinya genuine feeling itu jadi hanya annoying.

The Palace of Wisdom gives 4 gold stars out of 10 for NOKTAH MERAH PERKAWINAN

 

 

 

THE WHALE Review

The Whale is beautiful. Sedih, sih, memang. Tapi beautiful, Aku jeles. See, aku orangnya masa bodo dan sering dikatain hidup di dunia sendiri, jadi iri adalah satu rasa yang paling gak relate buatku, tapi ya, aku berhasil dibuat Darren Aronofsky merasa iri kepada Charlie, pria yang really let himself go sampai membahayakan dirinya sendiri.

Aku iri karena Charlie masih bisa begitu optimis kepada orang lain, meskipun dirinya telah menyerah kepada dirinya sendiri. Loh? Iya, di situlah kompleksnya cerita film ini. Aku ingin seperti Charlie yang percaya bahwa masih ada cinta dan kepedulian pada semua orang, bahwa people incapable of not caring. Mereka cuma harus jujur kepada diri sendiri. Dan kepercayaan Charlie tersebut benar. Man, aku hampir nangis di ending. The Whale bukanlah cerita tentang orang yang gendut kemudian meratapi nasibnya. Justru sebaliknya, film ini adalah tentang orang yang sudah tahu dirinya tak tertolong, tapi dia percaya cinta itu ada, dan mencoba menolong orang-orang terdekatnya untuk menemukan hati mereka. Makanya karakter Charlie ini begitu kontras. Di kala sendiri kita melihat his destructive behavior terhadap diri sendiri, makan segitu banyak sampai jantungnya berontak. Gak mau ke dokter karena dia nyimpan duit untuk putrinya. Yang grew up membenci dirinya. Ada begitu banyak adegan yang hard to watch, hingga ke perilaku putri Charlie (Sadie Sink sukses jadi anak paling nyakitin sedunia akhirat) Tapi film bersikukuh untuk kita melihat Charlie tanpa belas kasihan, melihat Charlie menyerap itu semua sebagai hukuman diri, dan menumpahkan cintanya di balik itu semua. Tanpa harap kembali. Itulah bentuk dia dealing with grief dan rasa bersalahnya.

Drama di satu tempat tertutup, with nothing but dialog dan raw emotions. Ini adalah cerita seorang pria yang nothing to lose, melainkan punya banyak untuk dibagi kepada dunia yang bahkan terlalu jijik untuk memandangnya. Brendan Fraser juara banget di sini, kalo bukan karena persona dan pemahamannya terhadap Charlie, karakter dan film ini gak bakalan worked seindah – dan semenyedihkan – ini.

The Palace of Wisdom gives 7.5 gold star out of 10 for THE WHALE

 

 

 

WOMEN TALKING Review

Sebagai nominasi Best Picture Oscar, Women Talking karya Sarah Polley memang benar bicara tentang hal yang relevan, dengan cara yang menggugah pikiran dan hati kita sekaligus. Mengenai perjuangan perempuan, yang masih saja terus seperti berada di posisi jahiliyah di mata kuasa lelaki. Untuk itu saja, film ini mampu bikin kita tetap melek, pasang telinga, menyimak apa yang mereka permasalahkan. Untuk ikut mencari apa yang sebaiknya dilakukan. Untuk ikut peduli sama masalah ini, lebih dari soal feminis tapi jadi soal kemanusiaan pada dasarnya.

Perempuan-perempuan dalam film ini berembuk setelah sekali lagi, salah satu dari mereka terbangun dalam keadaan sudah tak-perawan. Dibius pake obat bius sapi. Diperkosa oleh laki-laki, sekampung sendiri. Para perempuan itu mendiskusikan apakah mereka akan tetap tinggal di koloni, dan berontak melawan. Atau pergi dari sana. Sebagian besar durasi film yang warna dan settingnya juga dibikin kayak kisah jadul ini membahas tentang debat para perempuan, mikirin pro dan con dari dua pilihan tersebut. Dan demi Tuhan – oh aku bakal dirujak ngatain ini – film ini jadi boring karenanya. Debat mereka repetitif, dan terasa seperti percakapan yang mengawang-awang ketimbang solving problem.

If anything, aku teringat dan jadi membandingkan ini sama 12 Angry Men (1957). Yang kayaknya kukasih 8 atau bahkan 9 kalo mau direview. Percakapan pada film itu terasa benar-benar lock dan punya weight dan pada gilirannya emosional untuk disimak, karena ironisnya punya dasar logika yang kuat. Orang bilang cowok naturally lebih pakai logika ketimbang perasaan, but no, justru masalah di cerita itu muncul ketika para juri pria itu mendakwa tersangka dengan perasaan. Prasangka. Dengan judgmental. Mereka, para cowok, juga harus belajar melihat dengan logika. Dan di situlah letak mengawang-awangnya Women Talking. Argumen-argumen mereka terasa seperti perbincangan logis yang diputar-putar oleh perasaan. Sehingga masalah itu enggak selesai-selesai. Mungkin memang itu tujuannya. Memperlihatkan bahwa bagi wanita, semuanya susah, apa-apa pasti dijudge, bahkan di antara mereka sendiri. Di sini protagonisnya karakter optimis juga kayak Charlie di The Whale, dia dihamili tapi masih percaya pada potensi dia akan memaafkan sang pelaku, siapapun itu. Sehingga keputusan yang mereka ambil dari sikap-sikap kayak gini jadi terasa emosional dan penting.

The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for WOMEN TALKING

 

 




That’s all we have for now

Dengan ini semua film nominasi Best Picture Oscar sudah kureview, silakan follow akun twitterku di @aryaapepe karena biasanya menjelang Oscar aku suka bikin prediksi di sana hehehe

Thanks for reading.

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



MISSING Review

 

“Parents make mistakes not because they don’t care, but because they care so deeply”

 

 

Ada yang hilang pada modern thriller, yang kebanyakan menjodohkan protagonis dengan antagonis yang didesain saklek sebagai perwujudan rintangan atau pembelajaran. Suspens dari kehilangan kendali atas hal yang familiar – atas hal keseharian. Ketegangan ketika tokoh utama bahkan tidak yakin pada apa yang sebenarnya terjadi. Saat ketidaktahuan jadi lawan terberat, sehingga membuatnya lantas berpikir ‘mungkin aku yang jahat’. Duo sutradara Nicholas D. Johnson dan Will Merrick menemukan ‘missing ingredient‘ tersebut, dan memasukkannya semaksimal mungkin dalam sekuel-lepas dari Searching (2018) yang mereka garap. Missing  di tangan mereka masih dalam formula yang sama dengan Searching, masih seputar mencari keluarga yang hilang lewat penyelidikian melalui dunia maya, tapi drama kehilangan tersebut terasa lebih ngena. Misterinya terasa lebih grounded, terutama buat anak muda yang menonton. Karena sekarang perilaku di internet dan hubungan dengan orangtua langsung dijadikan sebagai perspektif utama.

Yea, tentu saja seperti film pendahulunya, Missing juga merupakan thriller dengan gimmick. That’s the identity. Ciri khas yang dipertahankan. Film ini sepenuhnya bercerita lewat layar komputer atau gadget. Semua interaksi karakter kita lihat dari chat, rekaman video, video call, dan sebagainya yang terhampar di layar. Tapi baik Missing, ataupun Searching, punya drama yang kuat untuk ngeback up gimmick yang mereka pakai. Drama keluarga yang juga membuat misteri dalam cerita jadi berbobot dan kita pedulikan. Dalam Missing yang jadi sorotan adalah hubungan cewek remaja – yang sudah mau delapan-belas tahun – dengan ibu yang membesarkan dirinya seorang diri sejak ayah gak ada. Si June ini (Storm Reid on her star-making performance) bakal ditinggal beberapa hari di rumah, ibunya pergi liburan ke Kolombia bareng Kevin, pria yang jadi pacar baru ibunya. Di Kolombia itulah si ibu dan Kevin menghilang. Keberadaan mereka berdua seperti hilang begitu saja. Tinggal June yang mati-matian mencari ibu lewat jejak-jejak digital selama liburan. June go deep, meretas akun, menyewa jasa online, dan sebagainya sampai-sampai dia menemukan kenyataan bahwa, bukan hanya Kevin – tapi juga ibunya sendiri – punya rahasia kelam di masa lalu mereka. Rahasia yang besar kemungkinan jadi kunci misteri menyedihkan ini.

Cewek kalo udah jadi detektif online, memang seng ada lawan!

 

Naskah juga menelisik sama dalamnya dengan usaha June mencari keberadaan sang ibu. Peristiwa ibu hilang itu baru kejadian sebagai plot poin pertama, yang artinya film meluangkan waktu sekitar setengah jam untuk melandaskan dulu bagaimana hubungan June dengan ibunya. Akar yang kuat itulah yang nanti membuat misteri ini jadi terasa nyesek, lebih dari twist-twist yang terjadi. Itu jugalah yang membuat June dan ibunya jadi terasa seperti orang beneran; problem mereka kita mengerti, relationship mereka terasa real, membuat masalah keluarga mereka jadi penting untuk disimak. Karena mungkin kita juga ngalamin problem yang sama. Anak yang tak dekat dengan ibunya, anak yang merasa ibu tidak berduka seperti dirinya berduka terhadap sosok ayah. See, June diceritakan memang masih kangen berat sama ayahnya. Video masa kecil yang diputar sebagai adegan pembuka itu benar-benar efektif ngeset begitu banyak hal penting dalam narasi dan karakterisasi para lakon. Sehingga kita maklum kenapa June jadi sinis sama ibunya yang malah punya pacar baru. Kalo cuma dibaca dari sini, memang kesannya kayak set up biasa. Itulah sebabnya kenapa kita enggak baca review dulu sebelum nonton, karena bagi yang udah nonton, pasti langsung kebayang betapa amazingnya film ini menceritakan itu semua. Gimmick layar laptop atau komputer menciptakan semacam keterbatasan ruang gerak bagi karakter, tapi film ini selalu menemukan cara untuk menambah layer percakapan atau interaksi karakter lewat bagaimana sosmed dan interaksi digital bekerja.

Momen-momen seperti June pura-pura ngetik pesan ibunya (padahal dia cuma ngasal aja ngetik huruf – malah sempat ngumpat pake ‘stfu’ segala), June ngechat teman diam-diam sambil ngobrol, atau ketika June cuma balas ‘I love you’ dari ibunya dengan acungan like; momen-momen tersebut berhasil bicara banyak tentang karakter dan hubungan mereka – sama efektifnya dengan kalo film melakukannya dengan dialog seperti biasa. Itu semua belum apa-apa, dibanding ketika nanti sudah sampai pada bagian pemecahan misteri. Usaha yang dilakukan June lewat komunikasi yang terbatas pada apa yang bisa dilakukan teknologi (yang ternyata bisa mengungkap banyak hal jika kita ‘bijak’ menggunakan internet!) terasa banget seperti step-step natural pengembangan naskah. Sementara juga stay relate karena kita bisa melihat kita bakal melakukan hal yang sama dengan June yang gak langsung bisa. Yang ragu-ragu. Yang salah ngetik dan nebak password. Naskah benar-benar firing all cylinders. Stake terus dinaikin dari mepetnya waktu, terbatasnya bahasa, terbatasnya duit. Misteri pun semakin membesar karena si June bukannya dapat jawaban, tapi justru semakin dia mengungkap hal semakin banyak pula pertanyaan baru yang menghadang. Hebatnya film gak kehilangan pegangan. Tema dan perspektif karakter tetap dikobarkan. Kita akan melihat dalam pencariannya, June jadi berteman dengan beberapa orang, yang actually penting untuk pembelajaran karakternya.

Sebagai anak, kita seringkali merasa dipaksa menelan anggapan bahwa orangtua selalu benar. Bahwa orangtua always knows best. Sehingga meskipun kita tau itu tidak benar, tapi toh kepercayaan bahwa orangtua bakal selalu ada – bakal selalu got our back – tetap terpatri di dalam diri. Inilah yang dijadikan konflik oleh film ketika June mulai dihantui ‘gagasan’ bahwa bisa jadi orangtuanya melakukan sesuatu yang bukan untuk dirinya. Dan bahwa sikap dirinya yang jadi penyebab ibunya pergi. Ketika seorang anak, dirundung oleh berbagai emosi yang bersumber dari mereka menyadari tidak cukup mengappreciate orangtuanya, di situlah cerita film ini bersinar.  

 

Film seperti ngetackle dua permasalahan sekaligus. Masalah anak dan ibu tadi. Serta masalah yang lebih universal, seperti gimana dalam suatu kasus yang telah jadi viral, kita seringkali lupa akan masalah awal. Gimana biasanya publik malah menyorot perempuan, lebih banyak ketimbang laki-laki. Bahkan bisa sampai jadi pihak perempuan yang sebenarnya korban lah yang lebih diantagoniskan. Sama seperti ketika membahas anak-dan-orangtua, ketika membahas internet, film ini juga berimbang. Dia memperlihatkan bukan saja internet bisa berdampak buruk, tapi juga memperlihatkan bahwa internet jadi cara June untuk menyelesaikan masalah. Semua kembali kepada pemakai, bagaimana mereka menggunakan teknologi tersebut.

Next film bisa dikasih judul ‘Stalking’, isinya liatin layar laptop orang refresh-refresh instagram mantannya seharian

 

Mengawal gimmick yang secara natural membatasi (salah-salah film kayak gini malah cuma bikin kita full bacain chat WA di layar doang) untuk bisa mampu membahas banyak dan menghantarkan karakterisasi, sementara juga memuat misteri yang semakin menarik dan membesar, kita memang harus angkat topi sama pembuatnya. Enggak gampang bercerita dengan desain seperti ini. Sama para pemain juga, supaya emosinya nyampe, mereka dituntut permainan ekspresi yang benar-benar harus maksimal. Teknis dan desain produksi itu mengangkat film ini. Walaupun Missing, seperti Searching, memang tidak total hadir natural. Like, percakapan atau hal penting di layar komputer itu kerap di-zoom supaya kita tahu ke mana harus melihat alih-alih membiarkan kita melihat sendiri yang terjadi. Itu, dan film seperti struggling harus nampilin layar komputer sehingga beberapa adegan kehilangan perspektif (like why tau-tau kita nontonin cctv tempat publik) actually adalah kritikanku waktu review film Searching. Film Missing, however, walau masih begitu tapi seenggaknya kali ini layar komputer itu lebih dimasukkan ke dalam bangunan narasi dan misteri. Kita melihat banyak aplikasi, dari layar,  dan sekarang ‘dari layar siapa itu semua dilihat’ benar-benar jadi penentu dalam narasi. Kayak di awal, rekaman yang ternyata kita lihat dari layar ibunya – bukan dari layar June – menambah banyak untuk pemahaman dan karakterisasi. Dengan kata lain, dalam Missing, layar-layar itu bukan saja untuk meihat ‘apa yang terjadi’ saja, tapi juga soal siapa yang sebenarnya sedang melihat itu. Ini bikin film ini jadi lebih intens, dan bahkan punya replay/rewatch value yang lebih gede lagi.

Keterbatasan gimmick yang masih belum bisa sepenuhnya dihindari adalah soal timing. Soal pace. Kaitannya dengan lingering emotion. Missing yang semua adegannya adalah tampilan dari desktop komputer atau layar gadget tentu saja tidak bisa menampilkan momen-momen karakter di luar komputer mereka. Jadi momen-momen ketika karakter matiin layar, untuk menghayati perasaan emosional yang menggelayuti mereka, kita gak dapat turut merasakan itu dengan maksimal.  Kita hanya ‘on’ saat investigasi dan aksi-aksi memecahkan misteri, karena saat itulah mereka juga online. Jadi yang full kita rasakan justru momen-momen shocking revealing demi revealing, yang bikin film jadi seru in the moment itu saja. Babak ketiga yang paling terasa film membesar nyaris liar. Tidak banyak waktu bagi kita untuk meresapi ada apa sebenarnya, meresapi karakter yang tau-tau ada. Tidak banyak waktu untuk kita second guessing plot, padahal ada satu-dua hal bagiku yang masih agak ‘aneh’. Kayak kenapa cuma nama ibunya yang diubah oleh program perlindungan, kenapa nama June yang masih kecil itu tetap. Apa tidak berbahaya. Buatku di babak ketiga film hampir jadi terasa generik dan mulai sembrono. Tapi tak bisa dipungkiri, agak terselamatkan, oleh babak set up yang memang telah membangun pondasi untuk ke sana dengan nicely. Sehingga kalo mau melingkar, ya, memang harus begitu. Meskipun membuat film jadi lebih ke arah untuk shocking saja.

 




Aku aslinya kurang suka nutup tulisan dengan ‘Tapi overall…”, tapi kayaknya ku sudah kehabisan napas untuk berkata-kata. Jadi yah, tapi overall, aku lebih suka film kedua ini ketimbang yang pertama. Walaupun secara bobot kedua film ini sama kuat membahas masalah kerenggangan hubungan orangtua dan anak di era modern dibungkus dalam bingkisan misteri. Keduanya sama-sama jago dalam membangun suspens, membuat hal menjadi lebih besar dan terus membesar dengan cara bercerita atau pengungkapan yang menarik.  Napasnya juga sebenarnya mirip. Cuma yang bikin aku sedikit lebih suka adalah; film yang kedua ini terasa lebih matang aja dalam menghandle gimmick layar komputernya. Sehingga di film ini perspektif karakter terasa lebih matang juga. Kita gak hanya ikut melihat apa yang terjadi. Tapi ada layer yang intens dari ‘siapa yang sedang melihat’. Replay value film ini pun jadi tinggi banget. Duality pada judul pun jadi terasa semakin ‘nyata’. Kehilangan seseorang bisa jadi rindu, juga bisa jadi sesuatu yang bermakna lebih mengerikan.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for MISSING

 

 




That’s all we have for now.

Apakah menurut kalian internet bisa digunakan oleh setiap orang untuk melacak hidup seseorang itu adalah hal yang mengerikan? atau sebaliknya?

Share pendapat kalian di comments yaa

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



PARA BETINA PENGIKUT IBLIS Review

 

“Once you shake hands with the devil, you have to accept they are in control”

 

 

Mawar Eva main dua film horor dalam rentang dua bulan, buatku tetap merupakan bagian dari kejutan perfilman di awal tahun 2023. Meskipun dari dua filmnya tersebut belum ada yang benar-benar work out perfectly. Tapi setidaknya Puisi Cinta yang Membunuh yang tayang bulan lalu itu, masih layak buat dimasukin ke museum karena punya sisi artistik yang lumayan. Tidak demikian dengan film Mawar kali ini, Para Betina Pengikut Iblis, yang baiknya segera ia kubur saja sedalam-dalamnya di tanah di tengah hutan. Karena film karya Rako Prijanto yang dijual sebagai film sadis ini, nyatanya lebih tepat disebut sebagai film komedi. Yang tak lucu. Yang setiap adegannya lebih konyol daripada adegan sebelumnya. Sebelum rilis, film ini sempat diributin perkara pemilihan kata ‘betina’ yang dianggap degrading bagi perempuan. Dan setelah akhirnya menonton filmnya, percayalah, jangankan perempuan, iblis saja bakal merasa malu dan terhina nonton kaumnya digambarkan oleh film ini!

Para Betina Pengikut Iblis punya ambisi untuk jadi cerita yang thought-provoking – yang menantang pikiran – dengan menghadirkan protagonis anti-hero. As in, simpatik tapi ngelakuin hal yang benar-benar salah secara moral. Karakter yang diperanin Mawar, si Sumi, misalnya, Cewek yang ingin ke kota, mencari ibu yang katanya ninggalin keluarga mereka. Tapi Sumi tidak bisa ke mana-mana, dia harus mengurus ayahnya yang sakit. Suasana rumah tradisional mereka di hutan itu memang jadi gak enak banget. Ayah yang terus ngeluh kesakitan (sebelah kakinya diamputasi dan lukanya gak kering-kering, btw) dan minta diurusin oleh Sumi bikin Sumi makin stress. Itulah yang bikin Iblis dengan senang hati datang kepada Sumi. Menawarkan Sumi cara untuk provide for her father. Bagaimana rencana si Iblis nyuruh Sumi bikin warung gule dengan bahan daging manusia itu bisa bikin Sumi percaya dirinya bisa segera ke kota, ataupun bisa mendatangkan manfaat untuk si Iblis sendiri, kita gak pernah tahu. Karena naskah dengan segera jadi berserak-serak membahas hal yang semakin di luar perspektif karakter dan di luar nalar kita. Somehow, cerita juga membahas soal Sari yang bersekutu dengan Iblis demi mencari pembunuh adiknya, dan soal Asih yang mungkin saking jelek make upnya jadi muncul dengan kain nutupin wajah.

Disuruh nyariin dokter, si Sumi sempat-sempatnya bobo cantik mimpiin Iblis

 

Aku pikir film ini simply kenak kasus ‘bite more than it can chew’. Disangkanya bikin cerita anti-hero saat protagonis gak punya pilihan lain selain ‘bersalaman’ dengan iblis itu gampang.  Cukup dengan masukin pembunuhan sadis, kata-kata kasar, tempatkan mereka di lingkungan terpencil, masukin dukun-dukunan dan ‘twist’ biar seru. Film ini sama sekali tidak memikirkan soal dilema moral yang harus dilalui karakternya, bagaimana mereka berpikir, bagaimana suatu kejadian berpengaruh kepada mereka. Enggak ada tuh, percakapan berbobot relasi Sumi dan ayahnya. Film ini pengen menghadirkan horor dengan materi dewasa yang lebih menantang pikiran, namun sendirinya tampil dengan sangat amat simplistik sehingga malah kayak ditulis oleh anak kecil yang lagi maen bunuh-bunuhan, untuk ditonton oleh anak kecil juga. Anak kecil yang belum tahu seluk beluk pikiran dan moral manusia dewasa. Sekali lagi aku jadi ngerasa sistem klasifikasi tontonan alias rating bioskop kita cuma dipakai untuk jualan. Supaya film-film bisa jadiin ‘rating dewasa’ dan kesadisan itu sebagai penarik minat remaja untuk menonton. Apalagi bioskop juga tidak pernah tegas mengatur penonton sesuai usia tontonan. Rating dewasa bukan dibuat film untuk bercerita atau membahas masalah yang problematik dengan lebih dalam. Kayak pas nonton The Doll 3 aja, kupikir ratingnya dewasa karena bakal membahas agak dalam soal bunuh diri pada anak (diceritakan sang adik bunuh diri karena ‘cemburu’ kakaknya mau nikah), tapi enggak, ujung-ujungnya ya hanya supaya adegan mati dan sadisnya bisa lebih seru aja. Film Para Betina Pengikut Iblis ini pun mengekor seperti itu, malah lebih parah. Dilema moral, setting komunitas terpencil, bahkan subtext agama dan kelas sosial gak berbuah apa-apa di cerita yang padahal punya ruang untuk membahas itu semua.

Menulis itu susah. Kita harus menyelam ke kepala karakter yang kita bikin. Nyiptain karakter jahat, unhinged, sinting gak bisa dengan modal nonton dan niruin karakter Joker doang. Ketika karakter kita gak dikasih groundwork dan segala macemnya, jadilah hanya kayak sok asik gajelas doang. Karakter dalam Para Betina Pengikut Iblis semuanya gini. Kecuali mungkin si Sumi pas di awal-awal. Ada sedikit build up dia tertarik sama darah, atau sama tindak pemotongan kambing. Mawar, being a good actor she is, di awal itu masih mampu menerjemahkan yang dirasakan karakternya lewat permainan ekspresi. Selebihnya, yang lain gak diselami karakternya. Mereka cuma disuruh berakting over-the-top, senyum-senyum dan melotot gila ke kamera.  Yang tadinya didesain seolah karakter baik, ternyata aslinya jahat, pas keungkap langsung pembawaan karakternya dibanting 180 derajat jadi banyak bicara dan sok asik. Beneran ngakak sendiri aku nontonin mereka. Yang paling parah ya karakter si Iblis. Pake jubah, badan putih, mata merah – udah kayak Palpatin versi cosplay perempatan alun-alun, joget-joget slow di pinggir danau, ketawa nyaring kayak campuran Joker Jared Leto dan nenek sihir, puncaknya dia teriak pake dua-suara ngucapin words cepet-cepet sampai gak kedengeran ngomong apa. Kalo di Indonesia ada Razzie Awards, Adipati Dolken sebagai Iblis kudu banget masuk nominasi di kategori pemeranan! Karakter ini gak punya apa-apa. Seram enggak, menarik enggak. Kita gak tahu motivasinya apa, ujung plannya juga gak jelas. Alih-alih sebagai karakter, Iblis di sini lebih tepat kayak sosok perpanjangan dari yang tertulis di naskah. Kejadian-kejadian gak nalar yang ada di naskah itu jadi bisa terjadi karena tinggal dianggap sebagai permainan dari si Iblis.

Setan dan iblis adalah musuh manusia yang nyata. Gak ada keraguan soal itu, mereka ada buat jerumuskan manusia. Jadi bayangkan ketika kata-kata iblis jadi satu-satunya yang bisa dipegang. Ketika tawaran iblis jadi satu-satunya jalan keluar. Para karakter perempuan di cerita ini berada di dunia yang seperti itu, betapa naasnya!

 

Jadi pada dasarnya, kita harus tahu apa yang kita tulis. Atau paling enggak, kita harus mau tahu pada apa yang bakal kita tulis. Film ini, enggak tahu dan gak mau tahu apa yang mereka hadirkan. Dikiranya kita semua bego, kali. Dikiranya, kita semua anak kecil yang gak bakal ngikik ketika lihat di rumah tradisional yang penerangannya aja masih pake lampu minyak itu, ada freezer daging! Oke, mungkin masih bisa dimaklumi film ini gak paham nulisin psikologi atau pemikiran karakter seperti Sumi, Iblis, dan lainnya. Karena memang itu sesungguhnya butuh studi yang gak sebentar. Minimal ‘riset’. Tapi lah masak iya, film ini gak paham juga saat nulisin perkara di lingkungan hidup karakter itu gak ada listrik sehingga mustahil bisa ada freezer gede! Like, come-on yang nulis lagi ngelindur apa begimane!?? Freezer terkutuk itu muncul sedari awal loh, dan berperan gede di sepanjang cerita, karena Sumi nyimpan bahan baku gule nya (alias mayat-mayat!) di dalam situ. Jadi sedari awal, bangunan cerita film ini sudah runtuh. Gak ada logika-cerita yang bisa kita pegang. Make-up, akting, dan efek-efek buruk itu semakin gak jadi soal karena film ini sudah ambruk bahkan sebelum fully berdiri.

Ayahnya Sumi bukannya takut ngeliat freezer, tapi heran ‘lu dapet listrik dari mana, Nduk?’

 

If anything, film ini sebenarnya telah mengeset tone konyol saat lihatin freezer di sepuluh menit pertama itu. Harusnya film embrace saja kekonyolan dan jadi horor-komedi receh. Mungkin bisa dibikin bahwa freezer itu ‘hadiah’ dari si Iblis, mungkin dia merayu Sumi dengan teknologi, kekayaan, atau semacamnya. Aku akan lebih senang hati nonton horor yang memang diniatkan sebagai seni absurd ketimbang film yang pengen serius tapi gak nyampe. Dan memang seperti itulah Para Betina Pengikut Iblis ini. Benar-benar take himself very seriously. Benar-benar menganggap dirinya si paling seram dan si paling sadis. Padahal konyol. Adegan potong-potong berdarahnya memang bisa bikin berjengit, tapi dengan konteks yang udah ngaco seperti tadi,  ya film ini gak menghasilkan kesan horor apa-apa. Setiap si Iblis berdialog, kita tertawa lihat betapa konyolnya Adipati di balik jubah dan riasan itu. Ngeliat si Sari main dukun dan detektifan, kita meringis-ringis berkat betapa cringe-nya semua terasa. Ngeliat Sumi? Ya jadinya sedih aja; Mawar berusaha sekuat tenaga, namun bahkan penampilan aktingnya gak bisa tampak konsisten karena film ini gak punya arahan dan penulisan yang mumpuni.

 




Yang paling lucu adalah, film dengan pedenya mejeng tulisan ‘to be continued’ di title card akhir. Yang berarti film ini dengan bangganya ngasih tahu bahwa ‘keajaiban sinematik’ (ajaib, as in kok bisa yang kayak gini lulus jadi film?) yang baru kita survived ini adalah origin dari petualangan-petualangan berikutnya! Wow, hahaha, udah ditonton sampe abis aja mestinya bersyukur banget. Namun itulah kebanyakan film jaman sekarang, Cuma produk. Mereka gak jor-joran bercerita  karena semuanya harus ada sekuel. Semuanya harus jadi IP. Film pertama ini jelek, mereka tinggal bilang kelanjutannya nanti lebih bagus. Kita dan para pemainnya jadi kayak beneran udah kontrak dengan iblis, no way to get out, karena makin banyak film yang ‘kelakuannya’ kayak gini. Film ini hanya film kedua (pertamanya remake Bayi Ajaib yang belum kutonton) dari proyek Falcon Black, whatever that is, dan ini bukan permulaan yang bagus. Kalo dipertahankan, masa depan horor bakal suram. Horor bukan sekadar soal sadis-sadisan, serem-sereman, cerita tetap yang nomor satu. Kita harus tegas bilang film yang logikanya asal-asalan kayak gini harusnya jangan lagi dikasih tempat. jangan kasih mereka power, seperti Sumi membiarkan hidupnya disetir Iblis. Film ini, seram enggak, menghibur pun kagak. Cuma ya dibawa ketawa aja biar gak kerasa amat ruginya. Kasiaaan deh, kita!
The Palace of Wisdom gives 1 out of 10 gold stars for PARA BETINA PENGIKUT IBLIS

 

 




That’s all we have for now.

Bagaimana pendapat kalian tentang sistem klasifikasi umur yang malah kayak dijadikan bahan promosi/jualan oleh film?

Share pendapat kalian di comments yaa

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



GITA CINTA DARI SMA Review

 

“True love doesn’t have a happy ending, because true love never ends.”

 

 

Waktu telah membuktikan kisah cinta Galih dan Ratna, pasangan dalam cerita karangan bapak Eddy D. Iskandar tahun 70an,  benar-benar adalah sebuah kisah cinta yang legendaris di Indonesia. Kisah mereka menginspirasi begitu banyak cerita cinta remaja yang muncul sesudahnya. Jika kita nemuin cerita yang cowoknya pendiam, atau puitis, atau kisah cinta yang terhalang status sosial, besar kemungkinan jika ditelusuri, cerita tersebut dapat pengaruh dari kisah Galih dan Ratna. Bahkan Ada Apa dengan Cinta? katanya juga terinspirasi – film itu berakhir dengan perpisahan di bandara, seperti Galih dan Ratna yang berpisah di kereta api. Sendirinya, Galih dan Ratna dalam Gita Cinta dari SMA telah difilmkan dalam dua periode waktu berbeda. Film originalnya tahun 79, juga lantas sukses mengorbitkan Rano Karno dan Yessy Gusman. Sementara adaptasi versi modernnya di tahun 2017, gak kalah berhasil bikin musik jadi trend romantis pada generasi muda. Kali ini, Gita Cinta dari SMA kembali diadaptasi, dihadirkan oleh Monty Tiwa dengan emphasis ke tahun 80an. Mengembalikan Galih dan Ratna ke dunia mereka yang colorful, penuh musik, dan puitis, dan membawa serta para penonton untuk nostalgia ke jaman SMA. Ah ya, cinta dan nostalgia memang pasangan serasi. Seperti Galih dan Ratna!

Cowok yang bersepeda ke sekolah dari rumahnya di pasar buku bekas. Cewek yang ke sekolah diantar ayahnya pake mobil sedan. Dari situlah kisah kali ini dimulai.  Cewek itu, Ratna, anak baru.  Tapi begitu dia sampai di sekolah, digodain sama cowok-cowok yang gak bisa lihat ‘barang’ baru – bening, pula!Ratna malah notice cowok bersepeda tadi. Cowok yang tampak cuek tapi dikagumi orang. Galih.  Ya, seketika Ratna jadi suka sama Galih, dan cewek itu gak begitu malu-malu untuk menunjukkan ketertarikannya. Tinggal Galih yang sok play it cool sendiri. Interaksi ‘iya-enggak’ mereka di awal-awal itu sudah barang tentu bakal bikin penonton sekalian jerit-jerit gemas di tempat duduk masing-masing. Dan setelah puas ‘mainin’ perasaan kita seperti demikian, film memang lantas membuat Galih dan Ratna jadian. Tapi semua kemanisan romansa itu ternyata tidak seabadi janjinya. Karena di antara Galih dan Ratna berdiri Ayah Ratna. Sosok pemberang yang seratus persen menolak hubungan mereka. Sosok, yang terus mengingatkan Galih akan jurang status sosial yang memisahkan dirinya dengan Ratna.

Gak heran banyak penonton yang nantangin Dwi Sasono berantem begitu keluar dari bioskop hihihi

 

Walau endingnya nyelekit, tapi Gita Cinta dari SMA secara overall terasa punya after-taste yang menyenangkan. Sepertinya karena dunianya. Bahasa bakunya. Musiknya. Warnanya. Nuansa 80an memang punya peran besar bagi kita untuk dapat lebih menikmati cerita ini. Bahkan ketika kita bukan yang pernah ngerasain hidup di masa itu. Kayak aku. Nuansa artifisial yang dikeluarkan dengan kuat oleh film ini menjadi semacam lullaby, nina-bobo, bagiku. Dengan gampang membujukku untuk mematikan alarm ‘wah, ini mah standar teen love story antara dua karakter cakep tanpa alasan lebih jauh kenapa mereka harus jadi pasangan’ dan just nikmatin simpelnya dunia like it used to be.  Kupikir, itulah pesona terkuat yang dimiliki oleh Gita Cinta dari SMA.  Dunia yang sederhana nan puitis sebagai panggung dari permasalahan cinta anak muda yang tentu saja masih relevan hingga sekarang. Sehingga keluarnya jadi menyenangkan. Momen-momen kecil seperti ge-er karena dapat puisi berjudul sama dengan inisial nama, dilarang pacaran atau main ke luar rumah oleh ortu, rekam kaset untuk dikasih ke gebetan jadi terangkat lebih manis karena sekarang ada layer nostalgia di baliknya.

Ketika pesona dunia dan karakternya telah terestablish, film lantas mulai memperkuat konflik. Kalo ada satu kata untuk menggambarkan apa yang mencuat dari Gita Cinta dari SMA versi Monty Tiwa, maka itu adalah dramatis. For better and worse, karena memang dramatis di sini ada yang membuat film ini jadi bagusan, dan tak sedikit juga yang membuatnya terasa… over-the-top. Dan seperti guru di sekolah dulu biasanya suka memuji dahulu sebelum menasehati (“cerita karangan kamu sudah bagus, tapi alangkah baiknya kalo tulisannya jangan kayak cakar ayam!”), baiknya kita ngomongin dramatis yang bagus-bagus dulu dari film ini. Dari penulisan cerita, film ini banyak ngasih hal baru yang berujung pada dramatisasi yang diperlukan supaya film lebih menggigit. Pertama adalah pemisah antara Galih dan Ratna. Dibandingkan dengan film jadulnya, film ini lebih tegas dan keras nyebut bahwa ini adalah soal Galih yang anak jelata gak bakal pernah good enough bagi ayah Ratna yang orang kaya dan ningrat Yogyakarta, Klasik si kaya dan si miskin. Konflik ini membuka ruang bagi film untuk semakin melibatkan keluarga dari dua karakter sentral. Sementara juga tentu saja membuild up karakter Galih, yang harusnya karismatik tapi semakin terasa minderan sepanjang durasi berjalan. Karena halangan tersebut really gets to him, melukainya, sebagai seorang manusia laki-laki. Untuk menyeimbangkan perspektif, film mengembangkan konflik ini kepada Ratna sebagai persoalan tentang perempuan dan kebebasan untuk memilih. Ratna menyamakan posisinya dengan Roro Mendut, dari novel yang ia baca. Perempuan yang tidak bisa bersama lelaki yang ia pilih. Dan dari perspektif itu muncul hal terbaik kedua yang dipunya oleh film. Mbak Ayu yang diperankan oleh Putri Ayudya.

Mengutip obrolan dengan Putri Ayudya saat interview “Setiap keluarga pasti punya satu orang, tante atau om, yang mendukung kita” Memang begitulah Mbak Ayu. Dia mendukung Ratna untuk pacaran sama Galih. Dia bahkan membantu Ratna ngeles dari ayah dengan ide-ide seru. Actually peran Mbak Ayu di versi ini memang dibuat lebih besar, apalagi sekarang kita diperlihatkan lebih dalam backstory dari karakter ini. Bagaimana dia juga ngalamin ‘nasib’ serupa Ratna.  She goes way back dengan ayah Ratna yang merupakan saudaranya, Permasalahan perempuan mandiri atas pilihannya jadi semakin kuat, dan relationship Ratna dan Mbak Ayu jadi salah satu hati pada film ini. Mbak Ayu actually membuat film ini berisi. Jika tidak ada dia, film ini bakal kosong. Ya, karena somehow, film tidak lagi full di kehidupan sekolah Galih Ratna (meski teman-teman mereka kayak Erlin, Anton, Mimi tetap ada), sehingga di sini Galih dan Ratna not really do anything selain bereaksi saat hubungan mereka dilarang. Mereka – khususnya Ratna – bahkan tidak diperlihatkan banyak mengalami pembelajaran. Dan masalah tersebut menurutku berakar pada directing yang kurang kuat. Directing yang hanya mengincar dramatisasi.

Oh, Galih. Oh, Arla… eh salah. Oh, Ratna, cintamu abadiiiii~

 

Aku notice directingnya agak kurang total itu dari nuansa yang terasa lebih seperti artifisial ketimbang genuine. Walau memang, perasaan menyenangkannya nyampe karena nostalgia dan karakter. Elemen-elemennya buatku, yang terasa setengah-setengah. Kayak, musical numbers. Film ini banyak menggunakan lagu, bukan hanya sebagai latar tapi juga penggerak cerita. Bahkan juga ada tarian. Tapi ya, pengadeganannya terasa… gitu aja. Hanya pasang kamera, drone, nari-nari di jalan. Dengan musik dan lagu sebanyak itu, aku heran kenapa tidak sekalian aja dibikin musikal. Kenyataannya film ini sama kayak film jadul, tapi dengan adegan nyanyi yang teatrikal, tapi gak jor-joran. Terus soal Yesaya Abraham sebagai Galih. Aku paham bahwa aktor gak harus bisa nyanyi beneran untuk mainin karakter yang bernyanyi. Tapi kupikir keputusan film ini  tidak membentuk dulu paling enggak Yesaya beneran genjreng-genjreng dikit dengan gitar, adalah keputusan yang bisa jadi momok buat mereka ke depan. Karena gimana pun juga kedengarannya aneh saat semua adegan nyanyi di film ini terdengar seperti olahan studio. Bahkan adegan Galih latihan dengan gitar sendirian. Film harusnya lebih memperlihatkan perbedaan antara adegan nyanyi di panggung, adegan nyanyi sendirian, dan adegan nyanyi dalam bayangan Ratna – salah satunya dari suara nyanyian itu sendiri.

Beberapa adegan diarahkan supaya amat dramatis, sometimes it works, sometimes feels over. Yang berhasil itu kayak adegan lempar batu di danau, yang bahkan lebih emosional daripada film jadulnya. Ada satu adegan dramatis yang baru, yang emosinya juga dapet banget berkat penampilan akting para pemain. Prilly Latuconsina yang jago ngasih emosi di kalimat-kalimat panjang, Unique Priscilla dengan permainan emosi tertahan, Putri Ayudya dan Dwi Sasono yang luar biasa penekanan dan ekspresinya; mereka membuat adegan tersebut berhasil, meskipun cara ngesyutnya sangat datar, pengadeganannya hanya kayak mereka lagi baris-berbaris. Nunggu giliran buat ngomong. Aku menyebutnya sebagai drama smackdown; karena begitulah drama backstage di acara smekdon direkam. Superstar/talentnya baris berjajar di depan kamera, lalu marah-marah bergantian. Bicara soal posisi pemain, aku juga ngerasa ada sedikit aneh dari gimana mereka menempatkan Yesaya dan Prilly dalam satu adegan. Ratna dan Galih sejajar tu cuma saat mereka duduk di batang pohon, membahas surat putus dan masa depan mereka. Perbedaan tinggi badan keduanya, kupikir digunakan film untuk mempertegas perbedaan sosial yang jadi tema cerita. Tapi aku gak yakin. Karena lucunya, saat adegan Ratna mengusap pipi Galih pakai saputangan, dua-duanya berdiri, dan magically keduanya kayak sama tinggi! Nah ini contoh momen dramatis yang agak over, menurutku. Selain itu ada juga Ratna pake acara pingsan. Ataupun treatment Ratna bawain minyak angin dari pov Galih yang abis kena mental demi ngeliat Ratna dibonceng orang.

Tapi gak ada yang lebih over-the-top dibandingkan endingnya. Pilihan film ini dengan menaikkan kembali konflik di momen akhir (Ayah Ratna kembali muncul bahkan sampai main fisik segala) terasa aneh sekali. Tidak seperti pada film jadul yang memberikan Galih dan Ratna momen personal, menerima kenyataan mereka harus berpisah, dan saling menguatkan diri (di film itu mereka ngobrol sampai subuh!), yang berarti mereka berdua mengalami pembelajaran dan tuntas (meski ‘kalah’), film versi baru ini tidak punya momen-momen itu. Karakter Galih dan Ratna di film kali ini belum terasa tuntas. Mereka masih kayak di akhir babak pertama, yang mendapat tantangan dari ayah yang melarang, sementara pembelajarannya nanti ada di film kedua. Film ini atas keinginannya untuk jadi superdramatis, luput untuk melihat bahwa yang diperlukan bukan adegan ayah ngamuk sekali lagi, melainkan Galih dan Ratna yang harus belajar menerima bahwa mereka tidak bisa bersama. Setidaknya, untuk sekarang. Mungkin, untuk sekarang.

Cinta sejati adalah cinta yang abadi. Kita biarkan orang yang kita cintai pergi, karena hati kita tahu cinta kita kepadanya tak akan berubah. Cinta sejati tidak peduli memiliki atau tidak. Makanya, keadaan Galih dan Ratna ini tepat sekali dengan gambaran cinta sejati pada kutipan terkenal. Bahwa cinta sejati tidak punya happy ending, karena cinta sejati abadi tidak pernah berakhir.

 




Beruntung yang jadi tulang punggung film adalah skenario. Bukan arahan. Karena film ini punya materi dan penambahan konflik atau karakter yang baru, yang efektif dan emosional, tapi tidak dibarengi dengan bentuk yang benar-benar saklek dan terarah. Terutama bergantung kepada nostalgia dan dramatisasi, yang artifisial. Penampilan akting dari para pemain pun jadi sesuatu yang disyukuri di sini, karena mereka membuat semuanya work out nicely. Film ini secara objektif masih belum sempurna, filmnya masih terasa minimal dan agak kosong – melainkan hanya berisi momen dramatis, tapi toh berhasil menyentuh saraf-saraf emosi. I can’t help but jadi peduli sama Galih, Ratna, Mbak Ayu, dan karakter-karakter lainnya. 
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for GITA CINTA DARI SMA

 




That’s all we have for now.

Jadi menurut kalian kenapa Galih dan Ratna bisa menjadi pasangan yang begitu fenomenal?

Share pendapat kalian di comments yaa

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA