KAJIMAN: IBLIS TERKEJAM PENAGIH JANJI Review

 

“Come back. Even as a shadow. Even as a dream”

 

 

Kualitas horor kita demikian rendahnya sehingga setiap kali ada yang bilang ada horor baru yang bagus lagi tayang, ekspektasiku langsung meroket. Dan lantas seringkali dengan dramatis terhempas ketika aku selesai menonton filmnya. Kajiman: Iblis Terkejam Penagih Janji adalah salah satu dari film horor yang seperti begitu. Padahal nama di balik film ini harusnya dapat jadi jaminan mutu yang cukup. Tapi enggak. Adriyanto Dewo, sebelumnya dikenal lewat drama yang grounded semacam Tabula Rasa (2014) dan Mudik (2019),  tampak mentah banget menggarap horor santet-santetan ini. Kajiman mungkin memang dibuat untuk tidak dikaji mendalam, tapi ceritanya yang menyimpan banyak sisi si protagonis dari kita membuat film jadi setengah menghibur pun tidak. Dan celakanya malah seperti mengorbankan kepada setan drama personal yang dimiliki oleh sang protagonis.

Kalian yang ngikutin blog ini pasti paham aku sengaja enggak mengulas begitu banyak horor baru yang tayang di bioskop beberapa bulan belakangan. Karena simply aku jenuh dan gak mau blog  ini jadi kayak kaset rusak yang mengulang-ulang pembahasan yang sama. Karena begitulah state horor kita semenjak horor viral yang satu itu tembus sepuluh juta. Horor yang tayang gitu-gitu melulu, dengan permasalahan seragam, pakai sedikit bumbu kekerasan, dan walaupun mengangkat berbagai nilai lokal tetapi isinya tetap kosong.  Ujungnya gak jauh-jauh dari kesurupan, ritual ilmu hitam, dan pelaku sebenarnya ternyata orang ‘tak-terduga’. Saat dimulai, Kajiman toh terasa berbeda. Cerita film ini mengambil perspektif seorang perawat bernama Asha yang terkenang momen bersama ibunda. Untuk alasan inilah aku menuliskan ulasan Kajiman. Film ini punya something di situ. Pada karakter yang begitu sayang, merindukan, dan merasa bersalah sekaligus kepada ibu yang telah meninggal. Efek kematian ibu begitu terasa bagi Asha, digambarkan oleh film lewat ‘flashback’ yang seamless – menyatu banget. Kita pertama kali melihat Asha saat perempuan itu berbaring di tempat tidur bersama ibunya yang sakit – adegan tersebut ternyata hanyalah kenangan, namun dibuat menyatu dengan masa present Asha sekarang. Dan kita tahu itu dari gimana perfectnya film menampilkan tanda-tanda visual yang kontras.

Satu lagi yang aku suka dari cara film menggambarkan rasa kehilangan Asha adalah lewat suara-suara ibunya. Bergaung saat Asha lagi mandi, atau lagi baru bangun, misalnya. Membuat Asha terkesiap. Didera rindu dan takut secara bersamaan. Suara-suara, yang dengan bijak diperdengarkan oleh film dengan ambigu. Apakah itu memang suara hantu, atau suara dari kenangan Asha. Elemen mendengar suara dari our deceased parents, atau orang yang kita cintai, atau yang familiar bagi kita, menambah lapisan realisme yang bikin film ini jadi relate. Aku waktu kematian kucingku, si Max, aja juga sering ngerasa seperti masih mendengar suara mengeongnya di luar. Minta masuk untuk makan, seperti biasanya. Film Kajiman punya sesuatu yang spesial untuk diangkat dari personal Asha. Karakter tersebut juga mestinya bisa jadi lapangan bermain baru bagi Aghniny Haque yang biasanya cuma dipasang buat jadi cewek jagoan yang literally jago berantem. Yakni karakter yang dihantui perasaan personal yang kuat. Journey psikologis mengikhlaskan yang pasti menarik sekali.  Hanya saja, semua yang menarik dari karakter dan film ini buyar begitu lewat sepuluh menit, kredit judul nampang, dan cerita mulai khusyuk dengan tren horor masa kini: teror saat menjaga orang sakit, pesugihan, dan perang ilmu hitam.

Gak akan percaya lagi sama horor yang judulnya panjang banget kayak mau muat semua SEO tren horor viral

 

Tidak akan pernah kita dibikin in-line sama apa yang dirasakan Asha. Sama apa yang sebenarnya sedang ia lakukan dan ia inginkan. Film hanya membuat kita bengong aja menyaksikan Asha nanti ngambil kerjaan sebagai suster pribadi. Merawat Tyo Pakusadewo yang sakit di rumah gede milik pasangan suami-istri yang misterius. Melihat Asha diganggu penampakan, dan minta tolong sama paranormal yang ia percaya. Paranormal yang ia temui di tengah jalan. Terdengar mencurigakan? Memang. Tapi film cuek bebek, dan gak pernah membahas hal-hal aneh yang harusnya dibahas. Karena hal-hal itu akan dibahas di akhir sebagai ‘plot twist’. Inilah yang aku gak suka dari kebanyakan horor Indonesia. Menghindar dari membahas permasalahan karakter dengan malah menjadikannya sebagai kejutan di akhir. Hanya demi ‘cerita yang tak-tertebak’.

Padahal horor bukan semata soal jumpscare. Bukan perkara kejutan siapa sebenarnya yang jahat. Bukan persoalan karakternya selamat atau tidak. Horor itu ya kita harus dibuat mengerti dulu ketakutan yang dirasakan si karakter dari dalam. Kita harus paham karakter selamat dari apa, maknanya apa bagi trauma dia. Dan itu gak bisa hanya dengan membuat kita nontonin gimana kejadian demi kejadian terungkap. Like, kita gak akan peduli sama karakter Rama. Perawat cowok teman si Asha di rumah sakit, yang tau-tau oleh film ini dibuat jadi laksana jagoan. Di pertengahan, tau-tau kita ngikutin Rama berusaha memecahkan apa yang sebenarnya terjadi, sementara si Asha terbaring tidak berdaya sehabis kesurupan dan melawan dukun. Kita gak tahu siapa karakter Rama ini, set up nya cuma dia ini orangnya care banget sama teman-teman, dan bahwa dia lahir selasa kliwon! Kita gak peduli saat dia jadi hero, kita juga gak peduli saat nanti nyawanya terancam bahaya. Kita hanya bingung saja nonton ini. Ngeliat kejadian demi kejadian terungkap tanpa ritme dan gak ngikutin struktur naskah yang benar. Film ini gak sampai seratus menit, rapi aku gelisah setengah mati menontonnya. Karena tanpa struktur yang jelas, film ini kayak ngalor-ngidul berjalan tanpa arah. Dan tau-tau stop saat tiba waktunya twist itu diungkap.

Karena gak tau konteks karakternya seperti begini, Asha akan terlihat seperti protagonis cewek paling ketinggalan jaman karena dia seperti harus diselamatkan oleh Rama. Sebagai perawat, dia pun tercuat kayak perawat paling gak sabaran yang pernah ada karena sifat mandiri dan kuat yang dipunya oleh karakter ini hanya muncul saat dia menegur pasien yang ia rawat. Film memang berusaha nunjukin kerjaan dia sebagai perawat, tapi susah untuk melihat karakter ini sebagai pengurus orang lain karena ibunya sendiri saja gagal dia rawat. In fact, karakter Asha sedari awal sudah tampak kurang bisa dipercaya. Kita kayak gak tahu karakter dia sebenarnya gimana. Karena di awal itu kita dengar dia bilang kepada ibunya bahwa dia gak mau pacaran, mau di rumah aja ngurus ibu. Namun persis kalimat berikutnya dia bilang dia harus kerja dan ninggalin ibunya. Dan adegan berikutnya kita lihat dia menjalin hubungan khusus dengan Rama; mereka lagi jalan berdua adalah alasan kenapa pada malam meninggalnya ibu, Asha telat pulang. Susah untuk berada di belakang protagonis, kalo sedari awal saja omongan sama tindakannya gak akurat dan film gak membuka celah untuk kita mengenali Asha secara mendalam. Bukan hanya Asha, karakter lain pun kita gak tau mereka ini sebenarnya ‘ngapain’ di situ. Paranormal kenalan Asha sebagian besar waktu cuma kayak jadi exposition device, tukang kasih info gitu aja. Suami istri misterius tadi, cuma orang-orang dengan akting cringe yang bikin kita malah pengen mereka cepat-cepat jadi korban saja.

Kehilangan orang yang kita cintai memang demikian berat. Kita akan terus terngiang-ngiang keberadaan mereka. Parahnya, kita akan merasa itu adalah salah kita. Sehingga demi apapun kita akan merasa rela melakukan apa saja untuk membuat mereka kembali kepada kita. Supaya kita bisa menebus dosa. 

 

Kirain si Asha bakal tarung silat saat kesurupan melawan dukun

 

Efek nampilin sosok bayangan hantu ibu ataupun si Kajiman sebenarnya cukup mulus dan terukur (as in, film benar-benar mastiin warnanya gelap untuk mengenhance efek mereka), tapi presentasi keseluruhan film terasa mentah. Kayak film yang dibuat oleh orang yang baru belajar bikin film, yang masih ragu-ragu meletakkan kamera di mana. Ragu-ragu memposisikan tangkapan framenya. Ada beberapa kali aku ketawa saat melihat adegan film ini. Bukan exactly karena adegannya lucu, melainkan karena posisi objek-objek yang ada dalam satu frame tersebut. Misalnya, karakter-karakter yang duduk menghadap dinding saat bertamu. Padahal biasanya kan  tamu dan tuan rumah yang ngobrol itu dibuat duduk berhadapan tapi film ini seperti sangat spesifik membuat mereka duduk bersisian, menghasilkan ruang kosong di hadapan mereka yang terasa ganjil sekali secara estetika. Sekitar dua atau tiga kali adegan bertamu ke rumah itu, dan semuanya posisi duduknya seperti demikian. Terus satu contoh lagi adalah saat dua karakter dengan dramatis membaca mantra dari kertas kecil, di dalam ruangan yang pencahayaannya minim. Yang bikin ngakak dari adegan ini adalah dua karakter itu membaca dengan posisi membelakangi lampu meja – satu-satunya penerangan di ruangan itu! Hahaha mana kelihatan tuh tulisan. Logisnya kan mereka akan merapatkan badan, mendekatkan kertas ke sumber cahaya. Kamera harusnya bermanuver biar adegan itu tertangkap dengan dramatis. Jangan kamera yang diem, dan karakter yang menyesuaikan dan jadinya gak logis.

Kalo Asha terngiang-ngiang suara ibu yang seolah memanggilnya. Kalo aku, nonton film ini pada beberapa adegan akan terngiang-ngiang suara seruan ‘action’ dari sutradara saking begitu mentahnya penyambungan adegan. Beberapa adegan tu kelihatan banget kagok baru mulai actionnya. Kayak pas Rama berjalan ke rumah si paranormal, tidak terasa natural seperti dia berjalan dari jauh. Melainkan lebih terasa kayak dia dari posisi diam, terus saat ‘action!” dia mulai melangkah. Banyaknya adegan yang ‘masuknya’ seperti dikomandoi itu membuat film terasa punya vibe yang canggung. Semuanya tidak terasa natural. Hingga ke dialog. Film Kajiman juga enggak cemerlang di penulisan dialog, dan itu diperparah sama akting medioker yang deliverynya gak pernah meyakinkan. Ada satu kalimat yang buatku janggalnya bukan main. Yaitu ketika di rumah sakit, ada perawat yang mengeluhkan rumah sakit mereka malam itu sepi kayak kuburan. I get it, niatnya buat membangun mood seram – sesuatu yang mengerikan bakal terjadi di sana. Akan tetapi karena delivery dan karakter yang gak meyakinkan sebagai perawat, kalimat tersebut semakin aneh dan kayak main-main lagi. Karena biasanya setauku, perawat justru agak lega kalo pasien sepi, apalagi saat sudah larut, karena perawat itu pengen istirahat karena rumah sakit umumnya adalah tempat yang sibuk oleh pasien yang bisa datang tiba-tiba.

 




Satu lagi horor yang tidak mendeliver potensi yang dimiliki oleh materi ceritanya. Kisah personal seorang anak yang menyesal dan merindukan ibu yang telah tiada berubah jadi cerita standar teror ilmu hitam. Hanya karena pengen ceritanya ‘menghibur’ dengan plot twist. Akibat paling parah dari cerita yang membuang dagingnya sendiri itu adalah filmnya sendiri secara keseluruhan terasa mentah. Terasa gak mampu menggali yang lebih dalam. Dibuatnya pun terasa setengah-setengah. Beberapa treatment dan pengadeganan mampu tampil elegan. Tapi gak kalah banyak pula adegan-adegan dan perlakukan yang tampak canggung. Boring dan uninspiring. Bahkan anak-anak remaja yang nonton berkelompok di row tak jauh dariku saja hanya bereaksi sama jumpscare saja. Aku sangat menyayangkan film ini memilih untuk melepaskan kita dari karakter utamanya. Padahal kalo motivasi atau perjanjiannya itu tidak dijadikan twist, dramatic irony dari dark journey yang ia ambil akan bisa bikin film lebih emosional dan dramatis lagi.
The Palace of Wisdom gives 2 out of 10 gold stars for KAJIMAN: IBLIS TERKEJAM PENAGIH JANJI

 

 




That’s all we have for now.

Pernahkah kalian mengalami terngiang-ngiang atau terkenang terus setelah kehilangan seseorang? How did you deal with that feelings?

Share pendapat kalian di comments yaa

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 



SCREAM VI Review

 

“A franchise is a family”

 

 

Rule number uno dari franchise adalah membuat setiap rilisannya terus membesar. Tapi aturan seperti itu juga ada pada bola salju yang melongsor. Membesar dan terus membesar sampai hancur berkeping-keping. Maka supaya franchise tidak sekadar jadi seperti bola salju, filmmaker dan studio perlu  ngisi film-film itu dengan sesuatu yang ‘lebih’. Scream, by now, telah menjadi franchise horor thriller yang dinanti bukan saja karena elemen whodunit yang exciting, tapi juga karena selalu punya komentar terhadap trope ataupun perkembangan genrenya sendiri. Warisan Wes Craven ini memang tampak ‘aman’ di tangan duo Matt Bettinelli-Olpin – Tyler Gillett yang tahun lalu membuktikan mereka sanggup menyenggol requel, horor modern yang ‘nyeni’, serta toxic fandom sekaligus di balik episode baru teror Ghostface di Woodsboro. Scream lima, despite judulnya yang membingungkan karena gak pake angka, terasa seperti kelanjutan yang ‘benar’ – yang respek, sembari terasa berani mengguncang fondasi pendahulunya. Memberikan franchise ini arahan baru yang pantas kita tunggu, Ketika mereka kembali dengan Scream VI, mereka memang memantapkan arahan tersebut. Membuat Scream menjadi semakin besar sebagai franchise, sekaligus berusaha menyentil franchise modern itu sendiri.

Jadi juga Scream waving ke Samara Weaving

 

Beberapa bulan setelah kejadian Scream lima, Sam dan adiknya, Tara, pindah ke New York, Tara udah kuliah, dan Sam ada di sana untuk menjaga adiknya. Like, menjaga yang bener-bener jaga kayak helikopter parent, gitu. Pergaulan mereka dikontrol ketat. In fact, sahabat mereka, si kembar Mindy dan Chad yang juga survivor serangan Ghostface di film sebelumnya itu, juga ikut pindah ke sana. Diminta Sam bantu menjaga Tara. Keempat orang yang menamai diri Core Four ini memang saling menjaga apapun di antara mereka. Berhati-hati dengan teman baru, dan sebagainya. Hal ini actually membuat Tara gerah. Menimbulkan sedikit friksi antara dia dengan kakaknya. Sementara itu ada Ghostface baru di luar sana yang mengincar mereka. Ghostface kali ini sangat berbeda. Lebih brutal, lebih nekat, Ghostface yang mereka hadapi sekarang gak akan malu-malu menyerang di tempat terbuka. Melukai siapapun. Worst of all, Ghostface yang satu ini bahkan bukan penggemar film ataupun horor. Sehingga tidak ada ‘rule’ yang bisa dipegang oleh Sam, Tara, dan teman-teman yang lain untuk memprediksi serangannya!

Jerat-jerat pemikat telah disebar Scream VI semenjak opening sequence. And I’m not just talking about Samara Weaving haha.. Yang mau kubilang adalah soal Scream VI yang tau-tau ngasih lihat wajah di balik topeng Ghostface di adegan pembuka! Wah, pas nonton aku langsung melongo. Belum pernah loh, Scream melakukan hal kayak gini sebelumnya. Aku sempat mikir wah ini keren juga kalo kita udah tau duluan siapa pelakunya. Elemen Whodunit mungkin jadi melemah, tapi bayangkan dramatic irony yang kita rasakan kalo kita melihat Sam atau Tara terjebak mempercayai pelaku. Tapi ternyata, ada Ghostface satu lagi yang di momen pembuka itu membunuhi geng Ghostface yang pertama, Ah, kepalaku memang ternyata langsung melangkah jauh saking ‘baru’nya langkah yang diambil Scream VI, namun aku tak merasa kecewa. Development bahwa ternyata ada Ghostface lain yang membunuhi Ghostface satunya, masih tetap merupakan langkah baru yang dilakukan pada franchise Scream, dan opening itu sukses membuatku bertanya-tanya apa lagi yang bakal dilakukan oleh sutradara untuk membuat film ini mengejutkan. Sepanjang durasi, seorang fans Scream sepertiku, niscaya bakal jerit-jerit demi ngeliat apa-apa yang dimunculkan, dan dibawa kembali oleh film ini. Kirby’s return, Gale mendapat telefon dari Ghostface untuk pertama kalinya sejak film pertama, Stu Macher ditease mungkin masih hidup (!) dan banyak lagi easter eggs lain apalagi karena investigasi Ghostface kali ini melibatkan banyak topeng dan memorabilia dari film-film Scream (alias Stab dalam dunia cerita mereka) sebelumnya. Nostalgia makin tak tertahankan karena film ini mencerminkan dirinya pada Scream 2.

Seperti sekuel original tersebut, Scream VI membawa action keluar dari Woodsboro. Hanya saja Scream VI mengambil langkah esktra. As in, pembunuhan sekarang bisa terjadi pada siapa saja, termasuk orang-orang di mini market yang bahkan gak ada sangkut pautnya sama Sam dan Tara. Ini menciptakan stake yang semakin besar. Belum lagi, narasi juga mengestablish soal rule franchise yakni semua karakter expendable. Artinya, semua karakter bisa mati. Semua karakter mungkin untuk jadi pelaku. Bahkan karakter original seperti Gale. Semua karakter dalam franchise jadi ‘kalah penting’ dari IP yang dibangun. Dengan itu, Scream VI cuek saja bikin lokasi dan adegan pembunuhan di tempat-tempat terbuka yang rame oleh orang-orang. Seolah kota New York itu sama jahatnya dengan Ghostface. Kita dan geng protagonis gak tahu siapa atau di mana yang aman. Arahan duo sutradara kita yang memang energik dalam bermain kucing-kucingan yang brutal, bikin film Scream kali ini makin terasa ekstrim. Untuk mendaratkan cerita, film memberi lumayan banyak fokus pada persoalan kakak-adik Sam dan Tara. Dua karakter ini jadi hati cerita. Karena ini bukan saja tentang kakak yang mencemaskan adiknya, ini juga adalah tentang dua survivor yang memiliki cara berbeda dealing with trauma. Permasalahan Sam yang masih dirundung bayangan ayahnya yang serial killer, juga terus dieksplorasi naskah. Scream VI menjadikan itu sebagai corong untuk berkomentar soal gimana di dunia sosial kita sekarang, seorang korban bisa balik diantagoniskan.

Malah di kita, korban yang udah tewas aja bisa dijadikan pelaku

 

Victim-blaming, sindiran buat franchise, kisah trauma shared by sisters, elemen-elemen cerita pada film ini sayangnya tidak benar-benar terikat dengan memuaskan. Franchise modern Scream di luar Wes Craven mulai kick-off, tapi langsung tersandung karena Matt dan Tyler seperti masih berkutat untuk keluar dari trope-trope franchise yang mestinya mereka examine. Melissa Barrera dan Jenna Ortega seharusnya sudah bisa lepas mewujudkan karakter mereka – and they did, mereka punya lebih banyak ruang kali ini karena ini pure cerita dari perspektif mereka – tapi dalam naskah, Tara dan Sam masih belum sepenuhnya ‘bebas’. Matt dan Tyler yang pada Scream lima membunuh Dewey, karakter original, kali ini seperti ragu-ragu dalam memperlakukan Gale, Kirby, dan yang lain. The elephant in the room adalah Sidney. Protagonis utama lima Scream sebelumnya, the face of Scream, tidak lagi muncul di film. Backstage, karena Neve Campbell tidak setuju dengan bayaran yang ditawarkan. Kita gak akan bahas gosip di luar film itu di sini, namun naskah Scream VI mau tidak mau harus nge-write off karakternya. Sidney memang ditulis ‘keluar’ dengan penuh hormat, disebut oleh karakter lain mengejar happy endingnya sendiri. Namun momen itu hanya terasa seperti throw-away, cari aman, di saat Mindy dalam monolog flm-nerdnya menyebut contoh-contoh karakter utama (di antaranya ada Luke Skywalker,  Laurie Strode di sekuel-sekuel original, Ripley di Aliens, dll) yang dibunuh demi jadi pijakan buat franchise bisa berkembang. Scream VI menyindir pembunuhan karakter tersebut dengan melakukan ‘pembunuhan karakter’ lewat aksi-aksi yang kurang konklusif, yang kurang impactful. Aku lebih suka gimana mereka nekat membunuh Dewey sebagai hook drama, ketimbang membuat para karakter legacy itu muncul untuk beraksi ala kadarnya. Kayak kalo di WWE, ada pegulat legend dibook cuma buat nongol di ring, dan menang atas superstar baru. Akan lebih impactful kalo legend itu dibuat kalah, karena dia bakal ngeboost status superstar muda yang mengalahkannya.

Tau gak kenapa film whodunit biasanya castnya bertabur bintang? Itu sebenarnya buat nutupin hal yang disebut dengan ‘hukum ekonomi karakter’. Karakter atau tokoh yang penting dalam sebuah film, pasti akan dimainkan oleh aktor yang lebih ‘bernama’. Jadi sebenarnya dari cast aja kita bisa tahu siapa yang jadi pelaku. Untuk menyamarkan itulah maka film-film whodunit sekalian aja makai cast yang ternama semua. Scream pushed this even further dengan membuat opening sequence sebagai kebiasaan naruh cameo-cameo bintang terkenal. Supaya surprise dan impact itu bisa tetap sekalian terjaga. Scream VI, dengan segala returning cast, anak baru, dan geng Core Four seperti tidak benar-benar berusaha. Bukan soal gampang ketebak atau apa, Scream lima masih Ghostface yang paling gampang tertebak buatku, tapi ini adalah soal gak ada impactnya. Pelaku di sini, meskipun masih punya kejutan, tapi basic banget. Motif pelaku yang kali ini tidak lagi peduli sama film-film, melainkan karena pure balas dendam juga membuat Scream VI nyaris balik ke thriller generik.

Dalam urusan sindiran meta, Scream VI unfortunately terasa tidak seimpactful pendahulunya. Bahasan ‘franchise’ memang dibreakdown rule-rulenya, tema ‘franchise adalah urusan keluarga’ juga memang mendarah daging sebagai konflik yang paralel antara protagonis kakak-beradik dengan antagonis, namun tidak terasa klik jadi statement yang wah dan memorable. Buatku, sindiran paling telak yang dipunya film ini lewat Ghostface yang sekarang tidak lagi peduli pada film dan rule-rule horor, adalah bahwa franchise modern juga seperti itu; not really care ama filmnya sendiri. Menurutku, film ini harusnya lebih mempertajam sindiran tersebut.

 

 




Aksi-aksi pembunuhannya memang lebih beringas. Ghostfacenya memang lebih nekat. Film kali ini definitely lebih ‘besar’. Tapi secara efek, terasa lebih jinak. Komentar meta yang jadi ciri khas film-film sebelumnya, terasa kurang nendang. Kurang dikejar oleh naskah. Cerita yang mau grounded dan mengarah ke bentukan elevated horror (horor modern yang mulai berisi seperti yang disinggung film pendahulunya) pun kurang nyampe karena film ini sendiri masih berkutat dengan nostalgia. Dalam proses itu, film ini jadi kehilangan taringnya. Statement soal franchise yang dimiliki film terasa kurang kuat karena film hanya seperti menghindar, tapi tanpa ngasih bentukan baru. Aku bisa suka dan menerima arahan baru yang ditawarkan, tapi dengan kecepatan dan bentuk seperti ini, bisa-bisa franchise thriller horor whodunit kesukaanku ini jadi bola salju beneran, Warnanya saja yang ntar berubah jadi merah darah. 
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for SCREAM VI

 




That’s all we have for now.

Bagaimana pendapat kalian tentang perkembangan franchise film di negara kita?

Share pendapat kalian di comments yaa

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



YOUR NAME Review – [2016 RePOST]

 

“It’s always an out of body experience with you.”

 

yourname-poster

 

Jepang, yea that land of weird things, memberikan kepada kita sebuah cerita cinta remaja dengan premis konyol paling tak-biasa; TENTANG COWOK DAN CEWEK YANG BERTUKAR TUBUH. Tapi yang lebih aneh daripada itu, adalah fakta tak-terbantahkan bahwa that story is wonderfully worked. Sangat kuat secara emosional, dituturkan dengan cara paling unik, dan somewhat suspenseful. Menjadikan anime ini berada di atas sana sebagai salah satu drama romansa terbaik yang kita lihat di tahun 2016.

Mitsuha, cewek pedesaan yang ingin tinggal di kota, terbangun dari tidur dalam keadaan bingung. Dia lalu kedapatan sedang meraba tubuhnya sendiri. Sementara itu, seorang cowok bernama Taki, terjatuh dari ranjangnya di suatu apartemen di Tokyo. Dengan malu-malu, dia melihat ke tubuh bagian bawahnya. “Oh Tuhan, kenapa gue jadi punya ‘ini’?” pikiran itu tergaung oleh both Mitsuha dan Taki karena mereka baru saja sadar; mereka terbangun di dalam tubuh orang lain. Awalnya, Mitsuha dan Taki mengira mereka cuma sedang mimpi. But the phenomenon keeps happening, day after day. Dari reaksi kerabat sekitarlah, they learned bahwa secara random, tanpa tedeng aling-aling, mereka bertukar tubuh saat bangun tidur. Kenapa bisa? Kenapa mesti mereka? Padahal mereka tidak saling kenal. Padahal mereka tinggal berkilo-kilo meter jauhnya!

Cerita film ini adalah tentang gimana Mitsuha dan Taki yang harus mencari tahu kenapa hal ini terjadi kepada mereka while also harus figure out gimana menjalani hari sebagai orang lain. Ini bukan soal si cewek ntar jadi tomboy, sedangkan yang cowok jadi feminin. It explores more. You know, it really gives “try walking on my shoes” a whole new meaning, as kita ngeliat kedua karakter ini literally experiencing pepatah lama tersebut. Melalui rangkaian montage yang sweet dan kocak, kita akan menyaksikan apa yang tadinya kebingungan berubah menjadi kerja sama. Mitsuha dan Taki menemukan cara untuk berkomunikasi. Mereka saling larang, kebayang dong malunya gimana ketika orang lain tahu privasi kita. Or something like, “you can’t do that in my bod – I don’t do that!” Namun somehow, saat bertukar tubuh, mereka berdua tidak tahan untuk ‘ikut campur’ dan mencoba untuk mengimprove kehidupan rekan tukeran-tubuhnya. Eventually, mereka menumbuhkan rasa kagum dan appreciate one another as they learn about each other’s lives.

 kalo di Indonesia bisa jadi sinetron; Tubuh yang Tertukar..

Kalo di Indonesia bisa jadi sinetron; ‘Tubuh yang Tertukar’

 

But that just one element of the whole story. It was just merely a set-up, untuk membuat kita mengerti sedalem apa hubungan yang terjalin di antara mereka berdua. Film ini actually berkembang menjadi much more deeper, serious and adventurous, dengan dibalut misteri, as they prove cinta sejati will stand out against the test of space and time.

Apa yang bisa membuat dua orang yang tidak pernah bertemu, yang tidak saling kenal, bisa jatuh cinta? Your Name sesungguhnya mengeksplorasi kebudayaan remaja yang sangat relevan, bukan hanya di Jepang, melainkan juga di belahan lain dunia. Sering kita stumble on story of how dua pasangan bertemu dari kenalan lewat online. Kita bisa belajar banyak tentang seseorang dari pengalaman yang ia tulis, ia ceritakan, dari curhat-curhat mereka. We get too see dan fall in love with their personality. Dan film ini examined tema tersebut dengan cara yang sangat cantik. Mitsuha dan Taki belajar tentang kehidupan each other dengan mengalami. Dengan benar-benar menjadi orang tersebut. Jadi mereka bisa tahu lebih banyak tentang pribadi masing-masing dibandingkan dengan hanya mendengar. It was such a personal bonding. Itulah sebabnya film ini sangat unik, sebuah romansa yang diceritakan dengan sangat keren.

 

Aku bukan penggemar drama cinta, aku bahkan bukan penggemar besar film anime. Di luar kartun-kartun masa kecil, paling aku hanya ngikutin Studio Ghibli saja. Dan Your Name adalah pelipur ketakutan kita, ngingetin bahwa ternyata masih banyak director di luar sana yang masih berjuang membuat film-film animasi yang hebat, penuh imajinasi nan cantik. Cara berceritanya lain dari yang lain dalam mengangkat tema yang udah jadi lapangan bermain khas Makoto Shinkaitentang pasangan yang terpisahkan oleh sesuatu. And I love this movie so much. Film ini tidak terasa cengeng ataupun lebay buatku. Meski ada juga sih adegan-adegan ‘tragis’ kayak lari-lari terus jatuh kesandung, tapi film ini bukan cinta-cintaan remaja supermelodramatis seperti di sinetron atau ftv. Your Name adalah tontonan yang lebih daripada itu.

Sungguh refreshing, cerita yang sangat berbeda, aku belum pernah melihat drama dituturkan dengan cara yang amat SANGAT UNCONVENTIONAL. Karakter-karakternya ditulis dengan begitu menyenangkan. Mereka semua sangat likeable. Voice-over yang sangat ekspresif dan sukses berat menghidupkan para tokoh. Mone Kamishiraishi lively sangat sebagai Mitsuha, dan Ryunosuke Kamiki sanggup ngeluarin charm dari kedua tubuh yang ia perankan.
Juga ada banyak simbolisasi yang memparalelkan antara kejadian di alam semesta, mekanisme dunia film ini, dengan hubungan yang dimiliki oleh kedua tokoh leadnya. It never gets too confusing, malahan semakin menarik kita. Tidak membiarkan kita terlepas sedetik pun dari ceritanya.

Arahannya pun luar biasa menakjubkan. Film ini sesungguhnya punya dua tone cerita yang kontras, Your Name adalah film yang sangat emosional yang bukan saja very funny melakinkan juga punya cara sendiri menyentuh kita tanpa jadi terasa lebay. Tidak pernah kedua tone tersebut berbenturan keras kayak komet yang menghantam bumi. Kebanyakan film kesulitan menjembatani dua sisi cerita yang berbeda, you know, kita sering lihat film yang awalnya kocak dan as the story progress, menjadi lebih serius sehingga terasa kayak dua film yang berbeda. Your Name punya cara yang hebat sehingga transisi antara bagian yang kocak dan fun dengan part of story yang lebih serius, EMOTIONALLY POWERFUL, dan ultimately penuh suspens menjadi mulus tak terasa.

Ketika modern world terpana oleh pesona dan misteri dongeng

Ketika modern world terpana oleh pesona dan misteri dongeng

 

Film ini akan meminta kita untuk menghormati kebudayaan Jepang. Sama sekali tidak berusaha untuk terlihat seperti Hollywood. Konten lokalnya kuat. Kita akan melihat ritual bencana dan perayaan fenomena alam. Ada banyak referensi tentang adat Jepang yang bakal kita apresiasi lebih jika sedikit-banyak tahu tentangnya, atau paling enggak jika kita sering nonton anime sejenis. Humornya pun bakal terasa baru, that we’ve never heard before. Makanya film ini begitu fresh. Ditambah lagi, film ini tetap memakai animasi traditional yang digambar dengan tangan. You know, style anime dipush menjadi semakin gorgeous oleh film ini. It was as mesmerizing as the storytelling. Gerakannya begitu fluid, everything – dari penampakan dalam ruangan hingga pemandangan angkasa, perbukitan hijau – tergambar dengan sangat cantik. Aku seneng aja Jepang punya kebanggaan untuk tetap menggunakan animasi khas mereka di saat Amerika, bahkan Indonesia, nyaris benar-benar meninggalkan cel animation dan beralih ke CG. Sebenarnya enggak masalah sih, CG keren dan menyenangkan. Hanya saja gambar-tangan kesannya lebih majestic, lebih imajinatif, dan khusus kasus film ini, terbukti lebih beautiful.

Nenek Mitsuha menyuruhnya untuk “treasure the experience”, as in segala keindahan di sekitar kita setiap hari, sesungguhnya adalah sementara. Tapi kita lebih sering take so many little things for granted. Koneksi dengan orang-orang, contohnya. Cherish dan appreciate hubungan genuine yang kita punya dengan sekitar.

 

 

 




Punya keunikan penceritaan yang luar biasa, sampai-sampai aku tidak bisa menemukan apa yang aku tidak suka dari animasi yang cantik jelita ini. Humornya yang beda bekerja sukses, drama emosionalnya bekerja sukses, aspek misteri dan mekanisme dunianya bekerja sukses, everything works out great in this movie. Dengan cara unconventionalnya examining today’s youth culture dan apa yang bisa membuat dua orang jatuh cinta meski jika mereka belum pernah bersua. Yang berhasil dicapai oleh Makoto Shinkai pada filmnya ini adalah betapa accessiblenya film ini buat banyak lapisan penonton, as ceritanya tidak come off  terlalu abstrak. Film ini imbued with elemen mimpi. Namun tidak seperti mimpi yang lebih sering terlupakan saat kita bangun, film ini akan terus terngiang di kepala. Bahkan saking kuatnya sehingga kamu-kamu bisa saja bermimpi tentangnya.
The Palace of Wisdom gives 9 out of 10 gold stars for YOUR NAME (KIMI NO NA WA).

 

 




That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners
and there are losers.

 

 

 

We? We be the judge.

 



MISSING Review

 

“Parents make mistakes not because they don’t care, but because they care so deeply”

 

 

Ada yang hilang pada modern thriller, yang kebanyakan menjodohkan protagonis dengan antagonis yang didesain saklek sebagai perwujudan rintangan atau pembelajaran. Suspens dari kehilangan kendali atas hal yang familiar – atas hal keseharian. Ketegangan ketika tokoh utama bahkan tidak yakin pada apa yang sebenarnya terjadi. Saat ketidaktahuan jadi lawan terberat, sehingga membuatnya lantas berpikir ‘mungkin aku yang jahat’. Duo sutradara Nicholas D. Johnson dan Will Merrick menemukan ‘missing ingredient‘ tersebut, dan memasukkannya semaksimal mungkin dalam sekuel-lepas dari Searching (2018) yang mereka garap. Missing  di tangan mereka masih dalam formula yang sama dengan Searching, masih seputar mencari keluarga yang hilang lewat penyelidikian melalui dunia maya, tapi drama kehilangan tersebut terasa lebih ngena. Misterinya terasa lebih grounded, terutama buat anak muda yang menonton. Karena sekarang perilaku di internet dan hubungan dengan orangtua langsung dijadikan sebagai perspektif utama.

Yea, tentu saja seperti film pendahulunya, Missing juga merupakan thriller dengan gimmick. That’s the identity. Ciri khas yang dipertahankan. Film ini sepenuhnya bercerita lewat layar komputer atau gadget. Semua interaksi karakter kita lihat dari chat, rekaman video, video call, dan sebagainya yang terhampar di layar. Tapi baik Missing, ataupun Searching, punya drama yang kuat untuk ngeback up gimmick yang mereka pakai. Drama keluarga yang juga membuat misteri dalam cerita jadi berbobot dan kita pedulikan. Dalam Missing yang jadi sorotan adalah hubungan cewek remaja – yang sudah mau delapan-belas tahun – dengan ibu yang membesarkan dirinya seorang diri sejak ayah gak ada. Si June ini (Storm Reid on her star-making performance) bakal ditinggal beberapa hari di rumah, ibunya pergi liburan ke Kolombia bareng Kevin, pria yang jadi pacar baru ibunya. Di Kolombia itulah si ibu dan Kevin menghilang. Keberadaan mereka berdua seperti hilang begitu saja. Tinggal June yang mati-matian mencari ibu lewat jejak-jejak digital selama liburan. June go deep, meretas akun, menyewa jasa online, dan sebagainya sampai-sampai dia menemukan kenyataan bahwa, bukan hanya Kevin – tapi juga ibunya sendiri – punya rahasia kelam di masa lalu mereka. Rahasia yang besar kemungkinan jadi kunci misteri menyedihkan ini.

Cewek kalo udah jadi detektif online, memang seng ada lawan!

 

Naskah juga menelisik sama dalamnya dengan usaha June mencari keberadaan sang ibu. Peristiwa ibu hilang itu baru kejadian sebagai plot poin pertama, yang artinya film meluangkan waktu sekitar setengah jam untuk melandaskan dulu bagaimana hubungan June dengan ibunya. Akar yang kuat itulah yang nanti membuat misteri ini jadi terasa nyesek, lebih dari twist-twist yang terjadi. Itu jugalah yang membuat June dan ibunya jadi terasa seperti orang beneran; problem mereka kita mengerti, relationship mereka terasa real, membuat masalah keluarga mereka jadi penting untuk disimak. Karena mungkin kita juga ngalamin problem yang sama. Anak yang tak dekat dengan ibunya, anak yang merasa ibu tidak berduka seperti dirinya berduka terhadap sosok ayah. See, June diceritakan memang masih kangen berat sama ayahnya. Video masa kecil yang diputar sebagai adegan pembuka itu benar-benar efektif ngeset begitu banyak hal penting dalam narasi dan karakterisasi para lakon. Sehingga kita maklum kenapa June jadi sinis sama ibunya yang malah punya pacar baru. Kalo cuma dibaca dari sini, memang kesannya kayak set up biasa. Itulah sebabnya kenapa kita enggak baca review dulu sebelum nonton, karena bagi yang udah nonton, pasti langsung kebayang betapa amazingnya film ini menceritakan itu semua. Gimmick layar laptop atau komputer menciptakan semacam keterbatasan ruang gerak bagi karakter, tapi film ini selalu menemukan cara untuk menambah layer percakapan atau interaksi karakter lewat bagaimana sosmed dan interaksi digital bekerja.

Momen-momen seperti June pura-pura ngetik pesan ibunya (padahal dia cuma ngasal aja ngetik huruf – malah sempat ngumpat pake ‘stfu’ segala), June ngechat teman diam-diam sambil ngobrol, atau ketika June cuma balas ‘I love you’ dari ibunya dengan acungan like; momen-momen tersebut berhasil bicara banyak tentang karakter dan hubungan mereka – sama efektifnya dengan kalo film melakukannya dengan dialog seperti biasa. Itu semua belum apa-apa, dibanding ketika nanti sudah sampai pada bagian pemecahan misteri. Usaha yang dilakukan June lewat komunikasi yang terbatas pada apa yang bisa dilakukan teknologi (yang ternyata bisa mengungkap banyak hal jika kita ‘bijak’ menggunakan internet!) terasa banget seperti step-step natural pengembangan naskah. Sementara juga stay relate karena kita bisa melihat kita bakal melakukan hal yang sama dengan June yang gak langsung bisa. Yang ragu-ragu. Yang salah ngetik dan nebak password. Naskah benar-benar firing all cylinders. Stake terus dinaikin dari mepetnya waktu, terbatasnya bahasa, terbatasnya duit. Misteri pun semakin membesar karena si June bukannya dapat jawaban, tapi justru semakin dia mengungkap hal semakin banyak pula pertanyaan baru yang menghadang. Hebatnya film gak kehilangan pegangan. Tema dan perspektif karakter tetap dikobarkan. Kita akan melihat dalam pencariannya, June jadi berteman dengan beberapa orang, yang actually penting untuk pembelajaran karakternya.

Sebagai anak, kita seringkali merasa dipaksa menelan anggapan bahwa orangtua selalu benar. Bahwa orangtua always knows best. Sehingga meskipun kita tau itu tidak benar, tapi toh kepercayaan bahwa orangtua bakal selalu ada – bakal selalu got our back – tetap terpatri di dalam diri. Inilah yang dijadikan konflik oleh film ketika June mulai dihantui ‘gagasan’ bahwa bisa jadi orangtuanya melakukan sesuatu yang bukan untuk dirinya. Dan bahwa sikap dirinya yang jadi penyebab ibunya pergi. Ketika seorang anak, dirundung oleh berbagai emosi yang bersumber dari mereka menyadari tidak cukup mengappreciate orangtuanya, di situlah cerita film ini bersinar.  

 

Film seperti ngetackle dua permasalahan sekaligus. Masalah anak dan ibu tadi. Serta masalah yang lebih universal, seperti gimana dalam suatu kasus yang telah jadi viral, kita seringkali lupa akan masalah awal. Gimana biasanya publik malah menyorot perempuan, lebih banyak ketimbang laki-laki. Bahkan bisa sampai jadi pihak perempuan yang sebenarnya korban lah yang lebih diantagoniskan. Sama seperti ketika membahas anak-dan-orangtua, ketika membahas internet, film ini juga berimbang. Dia memperlihatkan bukan saja internet bisa berdampak buruk, tapi juga memperlihatkan bahwa internet jadi cara June untuk menyelesaikan masalah. Semua kembali kepada pemakai, bagaimana mereka menggunakan teknologi tersebut.

Next film bisa dikasih judul ‘Stalking’, isinya liatin layar laptop orang refresh-refresh instagram mantannya seharian

 

Mengawal gimmick yang secara natural membatasi (salah-salah film kayak gini malah cuma bikin kita full bacain chat WA di layar doang) untuk bisa mampu membahas banyak dan menghantarkan karakterisasi, sementara juga memuat misteri yang semakin menarik dan membesar, kita memang harus angkat topi sama pembuatnya. Enggak gampang bercerita dengan desain seperti ini. Sama para pemain juga, supaya emosinya nyampe, mereka dituntut permainan ekspresi yang benar-benar harus maksimal. Teknis dan desain produksi itu mengangkat film ini. Walaupun Missing, seperti Searching, memang tidak total hadir natural. Like, percakapan atau hal penting di layar komputer itu kerap di-zoom supaya kita tahu ke mana harus melihat alih-alih membiarkan kita melihat sendiri yang terjadi. Itu, dan film seperti struggling harus nampilin layar komputer sehingga beberapa adegan kehilangan perspektif (like why tau-tau kita nontonin cctv tempat publik) actually adalah kritikanku waktu review film Searching. Film Missing, however, walau masih begitu tapi seenggaknya kali ini layar komputer itu lebih dimasukkan ke dalam bangunan narasi dan misteri. Kita melihat banyak aplikasi, dari layar,  dan sekarang ‘dari layar siapa itu semua dilihat’ benar-benar jadi penentu dalam narasi. Kayak di awal, rekaman yang ternyata kita lihat dari layar ibunya – bukan dari layar June – menambah banyak untuk pemahaman dan karakterisasi. Dengan kata lain, dalam Missing, layar-layar itu bukan saja untuk meihat ‘apa yang terjadi’ saja, tapi juga soal siapa yang sebenarnya sedang melihat itu. Ini bikin film ini jadi lebih intens, dan bahkan punya replay/rewatch value yang lebih gede lagi.

Keterbatasan gimmick yang masih belum bisa sepenuhnya dihindari adalah soal timing. Soal pace. Kaitannya dengan lingering emotion. Missing yang semua adegannya adalah tampilan dari desktop komputer atau layar gadget tentu saja tidak bisa menampilkan momen-momen karakter di luar komputer mereka. Jadi momen-momen ketika karakter matiin layar, untuk menghayati perasaan emosional yang menggelayuti mereka, kita gak dapat turut merasakan itu dengan maksimal.  Kita hanya ‘on’ saat investigasi dan aksi-aksi memecahkan misteri, karena saat itulah mereka juga online. Jadi yang full kita rasakan justru momen-momen shocking revealing demi revealing, yang bikin film jadi seru in the moment itu saja. Babak ketiga yang paling terasa film membesar nyaris liar. Tidak banyak waktu bagi kita untuk meresapi ada apa sebenarnya, meresapi karakter yang tau-tau ada. Tidak banyak waktu untuk kita second guessing plot, padahal ada satu-dua hal bagiku yang masih agak ‘aneh’. Kayak kenapa cuma nama ibunya yang diubah oleh program perlindungan, kenapa nama June yang masih kecil itu tetap. Apa tidak berbahaya. Buatku di babak ketiga film hampir jadi terasa generik dan mulai sembrono. Tapi tak bisa dipungkiri, agak terselamatkan, oleh babak set up yang memang telah membangun pondasi untuk ke sana dengan nicely. Sehingga kalo mau melingkar, ya, memang harus begitu. Meskipun membuat film jadi lebih ke arah untuk shocking saja.

 




Aku aslinya kurang suka nutup tulisan dengan ‘Tapi overall…”, tapi kayaknya ku sudah kehabisan napas untuk berkata-kata. Jadi yah, tapi overall, aku lebih suka film kedua ini ketimbang yang pertama. Walaupun secara bobot kedua film ini sama kuat membahas masalah kerenggangan hubungan orangtua dan anak di era modern dibungkus dalam bingkisan misteri. Keduanya sama-sama jago dalam membangun suspens, membuat hal menjadi lebih besar dan terus membesar dengan cara bercerita atau pengungkapan yang menarik.  Napasnya juga sebenarnya mirip. Cuma yang bikin aku sedikit lebih suka adalah; film yang kedua ini terasa lebih matang aja dalam menghandle gimmick layar komputernya. Sehingga di film ini perspektif karakter terasa lebih matang juga. Kita gak hanya ikut melihat apa yang terjadi. Tapi ada layer yang intens dari ‘siapa yang sedang melihat’. Replay value film ini pun jadi tinggi banget. Duality pada judul pun jadi terasa semakin ‘nyata’. Kehilangan seseorang bisa jadi rindu, juga bisa jadi sesuatu yang bermakna lebih mengerikan.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for MISSING

 

 




That’s all we have for now.

Apakah menurut kalian internet bisa digunakan oleh setiap orang untuk melacak hidup seseorang itu adalah hal yang mengerikan? atau sebaliknya?

Share pendapat kalian di comments yaa

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



MANGKUJIWO 2 Review

 

“The sins of parents bleed further in the children”

 

 

Moral kebanyakan cerita horor adalah soal manusia ternyata lebih seram, lebih jahat, daripada hantu. Mangkujiwo karya Azhar Kinoi Lubis menekankan ‘moral’ tersebut dengan lebih jelas lagi, karena yang ia bikin di sini sebenarnya lebih sebagai sebuah thriller sadis perebutan kekuasaan supernatural. Thriller tentang manusia-manusia yang saling serang dengan ilmu hitam, saling memanipulasi untuk tujuan duniawi, dan para makhluk gaib tak lebih dari senjata yang diperebutkan. Dan manusia yang lebih lemah, jadi budak yang diperalat. Bagai pion yang digerakkan ke sana kemari. Or worst, jadi tumbal. Eksistensi film ini sebenarnya menarik, dan patut disyukuri. Karena ngasih warna berbeda pada genre horor lokal, memusatkan pada galian yang identitas klenik yang benar-benar lokal. Tapi film pertamanya tahun 2020 lalu itu, aku kurang suka. Mainly, karena kurang baiknya penggarapan naskah. Mangkujiwo pertama kayak orang yang mumbling nonsense. Begitu sibuk berkutat pada lore, istilah-istilah, dan eksposisi pembangunan dunia. Jadi aku tahu perbaikan apa yang kuharapkan pada sekuelnya kali ini. Satu hal yang pasti, Mangkujiwo 2 berpegang erat pada elemen-elemen yang diapresiasi penonton pada film pertamanya. Desain produksi dan artistik.  Yang paling kuingat di film pertamanya itu memang adalah penggunaan binatang-binatang horor (alias jijik) yang kayak asli. Nasi dicampur isi perut tikus, wheew masih kebayang ampe sekarang. Dan di film kedua ini, tikus-tikusnya memang dihadirkan lebih banyak lagi!!

As far as the opening goes, aku suka sama film kedua ini. Di pembuka itu kita ditempatkan di dalam studio bioskop. Lagi ada pemutaran film. Lalu kita melihat Uma, gadis yang bisa memanggil Kunti setiap kali dia terluka tak sadarkan diri, nonton di tengah-tengah barisan. Di belakang Romo-nya dan orang-orang penting lain. Bagi Uma, something feels off. Awalnya kupikir dia diserang gelombang panik. Mendadak dia melihat penonton lain di sekelilingnya dibantai oleh gerombolan orang yang datang entah dari mana. Uma berlarian, nangis kejer kalo istilah sekarang. Belakangan, kita tahu yang dilihat Uma roh-roh orang yang dulu memang pernah dibantai di situ. Ini opening yang decent banget, gak sih, buat cerita horor. Perfectly ngeset up tone keseluruhan, sekaligus ngasih tau permasalahan apa yang bakal menghantui karakternya.  Tapi kemudian film sampai pada bagian dialog-dialog karakter, dan it was still a meh. Mangkujiwo 2 masih tetap terbebani oleh segala macam eksposisi. Barulah ketika penjelasan dan intrik-intrik cerita sudah out-of-the-way, ceritanya kembali jadi sedikit lebih enak untuk dinikmati.

Jadi kenapa karakter Sujiwo Tejo ini bersikeras nyuruh orang memanggil dia Romo?

 

Masih ingat kemaren kita membahas film Autobiography yang serasa film horor meski tanpa setan? Nah, Mangkujiwo 2 ini kayak Autobiography jika film itu beneran film horor, dan agak sedikit lebih susah dalam berbicara. Permasalahannya mirip.  Mangkujiwo 2 juga punya latar politik yang seperti gambaran dari rezim-horor kita. Tapi di sini diceritakan ada higher power dari politik itu. Ada mastermind yang mengatur semua. Orang itu adalah Romo Brontosaurus. Eh salah, Romo Brotoseno. Bayangkan pemain catur, itulah posisi si Romo. Bidak-bidaknya adalah Jenderal, orang-orang gede lain, dan rakyat tak berdosa, seperti Uma, dan karakter fotografer yang diperankan oleh Marthino Lio, bernama Rimba. Rimba ini anak seorang aktivis yang dibunuh oleh Jenderal. Ya, sekarang bidak-bidak lama dan baru itu sedang diadu oleh Romo. Film mulai kerasa ‘enak’ ketika konflik seputar Rimba mulai dikembangkan. Pada review Mangkujiwo pertama aku menyebut film tersebut  tidak meninggalkan kesan apa-apa. Melainkan hanya nonsense dan kekerasan (pada perempuan pula!) Film itu tidak punya genuine feeling di baliknya. Film itu tidak punya cinta. Aku bukannya ge-er bilang film ini mendengarkanku atau apa, cuma yang jelas step up yang dilakukan film kedua ini adalah mereka actually memasukkan cinta ke dalam narasi. Ada suntikan feeling yang bisa kita rasakan, bisa kita ikuti di balik sadis dan jijiknya tikus-tikus itu sekarang. Cinta itu salah satunya datang dari hubungan antara Rimba dengan Uma. Dunia Mangkujiwo terasa jadi sedikit lebih hidup karena sekarang ada karakter dengan perasaan yang bisa kita relasikan, enggak melulu soal rebutan kekuatan dan kekuasaan. Anyway, jadi nanti Rimba ceritanya mulai sadar dan mengajak Uma untuk basically wake up.  Untuk melihat bahwa si Brotoseno bisa jadi bukan Romo, bukan ayah, sebaik yang Uma sangka. Anak muda seperti mereka harus melek, harus mengenali siapa, darimana; sejarah mereka. Jika tidak, mereka akan mengulangi ‘dosa’ negara, orang-orang sebelum mereka. Karena Romo sedang membuat mereka berjalan di siklus horor rezim dendam antar-generasi.

Perihal sejarah kelam akan terus berulang dijadikan film sebagai latar dari dunia horor cerita. Bahwa dosa orangtua, dosa generasi sebelumnya, akan diteruskan. Akan terpetakan pada generasi muda sesudahnya. Dan itu terjadi karena ada satu orang yang mengendalikan semuanya. Ada satu  pihak, dalam hal ini si Romo, yang seolah gak ikut campur dan kayak orang baik, tapi ternyata mengatur dan menghendaki itu semua demi kepentingannya sendiri. Jadi sebenarnya menarik juga untuk menelisik, di mana film ini meletakkan garis antara fiksi dan gambaran nyatanya?  Apakah film ini suggest ada higher power, ada sosok ‘Romo’ di balik kemelutnya negeri kita?

 

Seharusnya film menjadikan kisah Rimba dan Uma sebagai fokus. Paruh akhir ketika kita sudah bisa ‘melihat’ jelas karakter-karakter ini adalah bagian terbaik dari Mangkujiwo 2. Sayangnya, bagian ini seperti joke “kamu itu punya inner beauty, tapi terlalu dalam, gak keliatan”. Secara keseluruhan film masih sumpek oleh tetek-bengek istilah dan segala macamnya. Cerita dengan dunia dan logika sendiri memang selalu punya tantangan besar untuk membangun dunia itu. Terlalu banyak eksposisi, penonton bingung sama ‘aturan’ dunianya, memang jadi sandungan yang lumrah. Beberapa film toh mampu untuk melakukannya tanpa terlalu banyak merusak narasi dan tempo. Avatar pertama misalnya, aku kagum gimana dengan cepat dan efektif film itu menghamparkan sains teknologi avatar dan soal bulan Pandora. Ketika bicara Avatar, kita selalu kepikiran soal visual dan teknisnya, sehingga lupa kunci rahasia dari pencapaian film itu adalah naskah yang efektif. Penempatan dan pemampatan eksposisi yang terukur dan tepat-guna, karena film punya alur yang jelas. Sebaliknya, ini jugalah kenapa dua film Mangkujiwo seperti kesusahan dalam bertutur.

Film ini tidak punya plot yang jelas. Film ini cuma punya kejadian demi kejadian demi kejadian yang diungkap oleh ternyata, ternyata, dan ternyata. Plot yang dimaksud di sini adalah alur dari karakter, perspektifnya apa, maunya apa, journey-nya apa. Film ini bahkan gak punya bangunan yang jelas merujuk karakter utamanya. Dari opening, sepertinya Uma yang diperankan Yasamin Jasem adalah karakter utama. Tapi bukan, Uma terlalu pasif untuk jadi protagonis utama. Peran karakternya di sini ya cuma untuk manggil si Kunti. Uma repetitif banget. Ngelihat bayangan pembantaian – dirinya dipukulin beneran – pingsan – nyanyi Lingsir Wengi – lalu muntah setelah Kunti beraksi. Yang benar-benar aktif sebagai hero dan punya motivasi adalah Rimba. He’s the perfect choice untuk bawa plot yang jelas, tapi dia treatment-nya layaknya karakter pendukung saja. Karena sebenarnya film sudah mengeset Romo sebagai karakter utama. Ya, sama seperti pada film pertama, Mangkujiwo 2 juga sebenarnya adalah cerita tentang villain. It’s okay sebenarnya buat film menjadikan not-good person sebagai karakter utama. Malah bisa jadi menarik, kan, kita langsung melihat dari perspektif penjahat kayak di film Henry: Portrait of a Serial Killer. Hanya saja, sudah melakukan dua kali, tapi film ini tetap belum benar-benar total merangkai ceritanya ke dalam perspektif jahat si Romo. Karakternya gak punya journey, gak ada stake kuat, dan dia selalu ‘benar’. Film ini sempat juga mencoba untuk membuatnya menghibur kayak Jigsaw, yang sekilas John Kramer kayak kalah, tapi semua terkuak ternyata berjalan sesuai perhitungannya. Romo juga ada bagian kayak dia ‘kalah’, tapi enggak. Dan di momen itu, yang diinginkan film belum nyampe karena karakter Romo belum ada di level simpatik ataupun kita pedulikan seperti itu.  Film ini pengen kompleks dan different, tapi sendirinya belum mampu merangkai yang diincar dengan lancar.

Who lets the rats out? Who, who, who

 

Ambisius, sepertinya memang begitu. Walaupun karakter-karakternya banyak yang dihidupkan agak over-the-top, tapi film ini punya dialog yang cukup bermakna. Bukan dialog receh. Film ini cukup serius. Apalagi ketika menggarap horor dan adegan sadisnya, kita bisa lihat film ini gak main-main. Meski memang gak semua usahanya work out. Yang berhasil, kayaknya ya tikus-tikus itu. Aku nonton ini sampai – maaf – angkat kaki ke kursi, karena takut kalo-kalo ada tikus beneran di bawah tempat duduk hahaha.. Penempatan tikus untuk horor, fungsinya dalam narasi, berhasil dimasukkan. Adegan pembunuhan sadisnya, juga cukup oke. Cuma yang aneh adalah sosok kuntilanaknya. Asmara Abigail tidak reprising her role sebagai Kanti di sini, dan sebagai gantinya kita dapat kuntilanak merah yang generik banget. Cuma melayang di sana sebelum menyerang. Sama seperti Uma, Kuntinya repetitif dan gak berkesan. Atau mungkin kita yang sudah terlalu capek untuk terkesan. Capek sama mumbo-jumbo dan kerumitan bercerita. Terakhir, yang enggak banget, yaitu kekerasan pada perempuannya. Elemen ini dipertahankan oleh film. Aku ngerti, bukan ini saja horor yang ‘nyerang’ cewek. Bahwa ada sesuatu yang ingin dikatakan oleh horor saat menjadikan karakter perempuan berjuang hidup-mati. Di sini, mungkin untuk menyimbolkan patriarkal, kepemimpinan laki-laki, tapi yang film ini lakukan untuk itu kadang ‘maksa’. Jatuhnya ya jadi kayak eksploitatif. Salah satu yang paling ‘maksa’ itu adalah saat adegan yang goalnya adalah mempertemukan Rimba dengan Kunti. Gak natural banget kelihatannya Rimba bisa gak sengaja mukul Uma, sampai berdarah dan pingsan.  Bukan hanya ditonjok ampe berdarah-darah, adegan kekerasan film ini malah ada yang gross banget melibatkan Romo dan Uma; yang meskipun off-cam, tapi tetep hard-to-watch.

 

 




Sempat terpikir olehku, bahwa mungkin film ini sebenarnya gak jelek. Film ini membuatku teringat sama dialognya Joker, soal ‘ahead of the curve’. Film ini adalah monster di luar horor normal. Yang kita semua belum siap untuk menerimanya. Horor yang basically membahas mastermind, dalang, dari kekacauan di kehidupan. Yang berangkat dari perebutan kekuatan mistis. Bahkan pembuatnya sendiri belum siap untuk horor ‘sebesar’ ini. Ya, mungkin itulah sebabnya kenapa film ini masih tampak begitu mentah. Olahan ceritanya masih sumpek, tidak ada alur yang jelas, karakter yang belum efektif dan berfungsi sebagaimana mestinya. Aku gak tahu mereka nyiapin berapa judul lagi, tapi paling enggak di film keduanya ini sudah ada sedikit perbaikan. Mungkin, sepertinya lebih pada sebuah harapan, saat film terakhirnya tayang kita semua lebih siap untuk menerima, dan mereka pun lebih siap untuk membuat dengan sebenar-benarnya potensi yang dipunya cerita.
The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for MANGKUJIWO 2

 

 




That’s all we have for now.

Jadi, menurut kalian apa yang sebenarnya ingin dikatakan film ini dengan memperlihatkan bahwa ada kuasa yang lebih tinggi di atas Jenderal, kuasa di luar tatanan yang resmi?

Share pendapat kalian di comments yaa

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



QORIN Review

 

“Real women support women”

 

 

Kesurupan rupanya masih jadi trope andalan film horor Indonesia. Di satu sisi, memang kesurupan bisa tampak konyol. Teriak-teriak pakai suara-dua, muntah, kayang, manjat-manjat tembok. Tapi jika dilakukan dalam konteks dan lingkungan yang benar, kesurupan terbukti mujarab. Karena, ya, super-relate. Kasus kesurupan sering terdengar dalam lingkungan masyarakat yang berakar agama. Much easier bagi masyarakat kita untuk ‘percaya’ sama orang kemasukan roh halus sehingga jadi jahat, ketimbang menyelami psikologis seseorang – rasa bersalah, duka, dan sebagainya ‘menjelma’ menjadi perwujudan jahat. Lebih gampang bagi masyarakat kita untuk deal with setan yang merasuki manusia. Kita telah melihat bukti kesurupan yang bercerita dengan lingkungan yang tepat berhasil jadi horor yang konek, pada film Qodrat (2022). Ustadz yang bisa rukiyah, literally jadi penyelamat. Menjadi layaknya superhero dalam cerita horor. Tanpa tendensi macam-macam, film itu mengembalikan tuhan lawan setan, baik lawan buruk, ustadz lawan orang kesurupan, ke kodrat yang langsung bisa dicerna penonton. Dan sekarang, saudari dari Qodrat; Qorin, tampak mau melakukan hal yang sama.

Kenapa aku bilang ‘saudari’? Karena Qorin garapan Ginanti Rona berangkat dari potret kesurupan yang grounded dengan masyarakat lewat agama, dalam sudut pandang perempuan. Santri-santri di sebuah Pesantren khusus perempuan sering kesurupan. Zahra (Zulfa Maharani dalam peran utama horor pertamanya) pun mulai sering menangkap ada yang aneh di pesantren mereka. Tapi Zahra si anak teladan, memilih diam. Tidak mengadu kepada ustadz dan ummi di sana. Zahra bahkan tampak takut kepada sang ustadz kepala, Jaelani. Sampai ketika Yolanda, si anak baru (Aghniny Haque dalam peran tomboy dan tangguhnya yang biasa) mempertanyakan ujian praktek memanggil qorin yang diberikan kepada seluruh kelas oleh Ustadz Jaelani. Kehadiran Yolanda sebagai teman, tampak menumbuhkan keberanian bagi Zahra. Namun hal mengerikan seperti menjadi-jadi. Teror qorin, ‘kembaran jahat’ para santri semakin tak terkendali. Zahra dan Yolanda harus mengumpulkan keberanian santri-santri yang lain untuk melawan kemaksiatan yang sepertinya sedang dilakukan oleh Ustadz Jaelani.

Ujian praktek manggil qorin tu yang dinilai apanya ya kira-kira?

 

Sudut pandangnya itulah yang membuat Qorin jadi punya sesuatu. Gak sekadar hantu-hantuan. Pun juga membuat Qorin meski punya identitas agama yang kental tapi masih bisa ditonton secara universal. Ada bahasan keberdayaan perempuan yang mengalir di dalam narasi Qorin. Persoalan power tercuatkan saat santri-santri perempuan ini harus tunduk di bawah sistem pendidikan tegas ustadz laki-laki. Film dengan berani memperlihatkan di balik identitas agama, para karakter ini hanyalah manusia. Dan manusia akan selalu punya dosa. Tentu kita masih ingat berita soal kepala pesantren yang mencabuli siswi-siswi, sampai ada yang hamil dan sebagainya, Nah, Qorin mengeksplorasi permasalahan tersebut dalam bungkus horor, tanpa mengurangi esensi yang ingin mereka sampaikan. Film ini menghadirkan hantu tapi tidak menjadikannya kambing hitam, sehingga tidak tampak mengelak dari permasalahan yang nyata tersebut. Menurutku langkah film dengan cepat mengestablish Ustadz Jaelani bukan orang baek-baek adalah langkah bold yang membuat statement ceritanya kuat dan langsung menuju sasaran. Alih-alih menyimpan si jahat sebagai misteri yang baru diungkap belakangan, film sedari awal sudah menanamkan petunjuk kejahatan Jaelani, dan begitu masuk babak kedua question yang diangkat sudah ke fokus ke permasalahan utama berikutnya. Ke pokok sebenarnya. Bagaimana perempuan bisa berjuang, not only di tengah sistem yang patriarki seperti ini, tapi juga yang menutupi sesuatu yang lebih sinister – seperti pelecehan seksual.

Aku berani bilang bahwa Qorin ini memuat soal keberdayaan perempuan lebih baik daripada film-film superhero atau film dengan jualan feminis yang biasanya kita lihat. Karena di Qorin inilah aku baru lihat perempuan-perempuan lemah itu berusaha bekerja sama. Lemah dalam artian, mereka cuma siswa – di sekolah agama, gak punya suara apalagi power untuk berontak. Biasanya di film-film yang koar memperjuangkan perempuan, karakter perempuan either udah jago sehingga jadi panutan karakter sekitarnya, menyelamatkan semua orang, atau  ditindas oleh semua orang di kehidupannya. Yang jelas, mereka dibikin selalu benar, gak ada flaw. Mereka gak ada pembelajaran, perjuangan mereka hanya untuk validasi. Tidak terasa real. Zahra, Yolanda, Ummi Hana, dan karakter-karakter perempuan dalam Qorin, mereka belajar untuk bekerja sama. Mereka yang ‘lemah’ itu berjuang bersama-sama. Babak kedua film ini memperlihatkan proses berat sebelum akhirnya mereka melawan bersama. Berat karena ‘perempuan saling dukung perempuan’ memang tidak semudah itu. Film memperlihatkan sempat ada friksi di antara Yolanda dan teman Zahra yang lain. Terkait Yolanda yang ‘berandal’ tidak sama dengan mereka yang alim. Zahra bahkan awalnya tidak berani menghadapi kejadian buruk yang menimpanya. Ia menyimpan sendiri. Kehadiran Yolanda, persahabatan mereka, mengajarkan Zahra untuk menjadi berani. Dari situ, dari santri-santri yang akhirnya berkumpul dan melawan itu, tema perempuan harus saling dukung benar-benar terpampang real.

Perjuangan perempuan seperti inilah yang bakalan konek ke penonton. Benar-benar menunjukkan fondasinya ya dari perempuan harus saling dukung dulu, lalu maju bersama. Tidak ada satu yang paling mencuat dan paling benar. Zahra harus belajar untuk berani. Yolanda yang jagoan harus belajar untuk lebih terbuka. Ummi harus belajar untuk percaya. Dengan flaw dan pembelajaran bersama, mereka jadi kayak real women. Dan real women akan saling support. Penggambaran itulah yang dilakukan dengan sangat baik oleh film Qorin.

 

Istilah ‘Final Girl’ dalam film horor (yang merujuk kepada satu protagonis yang bakal survive dari kengerian) seperti ditantang keras-keras oleh semangat perempuan film Qorin. Karena di sini ‘final girl’nya banyak! Film membuatnya clear bahwa bahkan si protagonis utama, Zahra, tidak akan bisa selamat tanpa yang lain juga selamat. Sebagai cowok yang hobi nonton horor, aku sudah melihat berpuluh-puluh final girl di ending horor. Melihat final battle Qorin, serasa ada sensasi tersendiri. Rasa kemenangan mereka terasa berbeda. Lebih menohok. Ending film ini buatku hanya diperlemah oleh kejutan di akhir; penutup shocker tipikal horor, yang gak ada nambahnya ke tema ataupun cerita, melainkan hanya untuk mengirim penonton pulang dengan teka-teki (sukur-sukur ada yang minta sekuel). Tapi yah, ibarat kado, final shock itu cuma pita hiasan yang membungkus film. Sementara isinya, tetep terasa urgen dan penting. Yang bijaknya adalah Qorin juga membahas dengan berimbang. Gak semua karakter cowok dibikin jahat, Patriarki tidak lantas dijadikan antagonis. Film masih respek sama nilai-nilai yang dikandung identitasnya. Ini membuat film tampak lebih elegan.

Soal hantu-hantu qorinnya, menurutku kembaran-kembaran jahat itu juga difungsikan sebagai metafor yang mendukung narasi. Bahwa semua orang punya sisi buruk. Setiap orang harus menghadapi sisi buruk masing-masing seperti Zahra dan Yolanda yang harus confront their fears, tapi juga di film ini ditunjukkan juga bahwa para perempuan itu melihat qorin jahat teman masing-masing sebagai cara untuk membuat mereka saling menerima kekurangan, dan akhirnya jadi saling bantu. Ngomong-ngomong soal qorin itu, cara film menampilkan dan mengadegankan horor cukup variatif sih. Ada yang lewat adegan mimpi, ada yang pakai kamera work sehingga shot-shotnya eerie, ada yang jumpscare. Adegan kesurupan yang selalu pake suara tawa cekikian juga bikin merinding. Lumayan seram juga overall. Mungkin karena dekat gitu sih ya, perihal qorin memang ada dalam agama, sehingga aku cukup merinding juga pas malam setelah nontonnya ke WC. Aku jadi segan melirik cermin di WC, takut kalo bayangan ku malah nyengir sambil bilang “Ih, bau!”

Stresnya kalo ketemu qorin sendiri adalah, gimana kalo dia lebih baik dari kita?

 

Yang kurang dari film ini adalah world-buildingnya. Bayangin kalo misalnya film Harry Potter Pertama, tapi isinya cuma Harry and the genk berusaha ngintipin Batu Bertuah. Tidak ada bagian mereka di kelas ngapain, apa aja yang dipelajari, dan sebagainya. Sayangnya, kayak begitulah Qorin. Ceritanya yang langsung to the point, tidak menyisakan ruang untuk pembangunan dunia pendidikan pesantren. Ujug-ujug langsung disuruh ujian prakter ritual manggil qorin. Mungkin karena bukan fantasi seperti dunia sihir Harry Potter, maka film merasa tidak perlu untuk memperlihatkan di pesantren itu ngapain aja sih, sistem belajarnya seperti apa, qorin itu apa sih – kok bahaya dan sebagainya. Padahal ya gak semua penonton tahu. Apalagi film ini menyasar permasalahan sosial yang global, harusnya ada something yang lebih memperkenalkan pada penonton umum. World building yang lebih mantap juga akan membuat karakter lebih natural, karena setidaknya kita jadi kebayang rutinitas mereka. Sementara yang actually kita lihat di film ini kan tidak terasa natural-natural amat. Progres ceritanya masih kayak poin-poin. Belum benar-benar berkesinambungan secara mulus. Melainkan hanya seperti adegan kunci ke adegan kunci, planting satu ke planting berikutnya, yang masuk gitu aja silih berganti. Akibatnya, kadang emosi karakternya terasa tidak kontinu antara adegan satu dengan adegan dia berikutnya. Ada juga adegan yang gak jelas juga kenapa ada. Misalnya kayak Zahra yang selalu mimpi buruk, tapi satu kali dia mimpi sampe ngompol (padahal visual mimpinya kita lihat sama aja). Ngompolnya dia itu jadi gak jelas karena apa, kirain ada kepentingannya. Tapi ternyata hanya di situ aja. Enggak jelas juga maksudnya untuk apa, kenapa harus ngompol, apakah untuk lucu-lucuan, apakah mau reference Zulfa meranin Nunung (pelawak yang punya ciri khas suka ketawa sampai ngompol) di film Srimulat yang satu ph ama Qorin, atau apa.

 




Kadang memang terasa jenuh juga sama horor. Apalagi yang bahasannya yang itu-itu terus, seperti kesurupan, kayang, dan semodelnya. Tapi film ini ngasih lihat bahwa ternyata masih ada loh galian-galian baru. Masih ada konteks yang bisa dilandaskan untuk membuat something jadi kerasa baru. Aku gak kepikiran final girl, perjuangan perempuan, dan horor kembaran jahat bisa digabung dan menghasilkan yang seperti film ini. Yang bisa ngasih gambaran gagasan yang berbobot di balik narasi hantu-hantuan. Berani mengangkat identitas agama, tanpa tendensi, sekaligus tetap berimbang. Sehingga semuanya terasa matang, aspek horornya tidak tertampilkan murahan. Jika diceritakan dengan world-building yang lebih baik, film ini bakal jadi pengalaman yang lebih immersive saat disaksikan.
The Palace of Wisdom gives sembilan-kayang alias 6 out of 10 gold stars for QORIN

 




That’s all we have for now.

Pernahkah kalian mendengar tentang qorin sebelumnya? Atau malah ada yang punya pengalaman nyobain manggil qorin?

Share cerita-cerita kalian di comments yaa

 

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



THE MENU Review

 

“…the only thing more pretentious than pretentious art is the people who love it”

 

 

Sebagai jemaat warteg, aku ternyata lupa kalo kuliner alias makanan bisa begitu.. fancy. Mewah. Dalam lingkup yang bukan sekadar estetik untuk dipajang di Instagram, melainkan mewah sedari konsep penyajian, pembuatan, dan cara menikmatinya. Kalo diliat-liat, seperti film ya, ada yang artsy-nya. Malahan saat nonton The Menu karya Mark Mylod, aku sempat kepikiran bahwa mestinya seorang sutradara film haruslah seperti si Chef di film ini. Apapun yang mereka sajikan haruslah punya konsep dan makna yang jelas dan terarah. Jika menu-menu masakan bisa dirangkai menjadi satu pesan storytelling, tentunya film juga bisa – dan harus – dibegitukan. Tapi ternyata bukan soal harus fancy begitu saja yang diingetin oleh film The Menu. Film ini mengulik dengan lebih dalam sehingga pada akhirnya memunculkan pertanyaan ultimate: apakah menjaga kemurnian kultur kuliner (dan mungkin, sinema) memang harus lewat seni yang fancy seperti itu? Tidakkah itu membuatnya pretentious? Apakah tidak cukup dengan sekadar menikmatinya saja? Bagaimana dengan kita, apakah kita benar-benar seorang penikmat seni, atau hanya menikmati ide bahwa ia harus mewah dan ide bagaimana kita adalah termasuk dalam kelompok elit yang mengerti kemewahannya?

Makanan dalam medium film sering dijadikan simbol, kadang dikaitkan sebagai imaji seksual, dan sering juga dimunculkan sebagai ungkapan-visual dalam cerita-cerita horor. Sepertinya itu karena makanan memang yang paling dekat dengan kebutuhan-kebutuhan mendasar manusia. Sesuatu yang kita butuhkan untuk survive, sesuatu yang mengingatkan bahwa manusia punya urge. Dalam The Menu yang dikemas dalam horor bernada dark-comedy, makanan yang ditampilkan adalah suatu kemewahan. Karakter-karakternya adalah orang-orang kelas atas yang klaim mengerti dan merasa berhak mendapatkan kemewahan dalam makanan tersebut. Kritikus makanan, seorang foodie, bintang film, karyawan perusahaan besar, konglomerat: duabelas orang diundang untuk jamuan makan malam oleh resto resort Hawthorne di sebuah pulau. Chef Slowik (Ralph Fiennes dapet banget mainin juru masak yang tampak kaku tapi brilian dan benar-benar perhatian terhadap yang ia lakukan) bukan saja telah mempersiapkan berbagai course menu sebagai sajian untuk malam itu, melainkan juga disertai oleh konsep storytelling mengerikan yang terselubung.  Sajian demi sajian sebenarnya didesain untuk ‘menghukum’ para tamu. Namun kesempurnaan rencana yang dimasak olehnya terancam cacat. Karena di sana duduk Margot (Anya Taylor-Joy dengan mata bulat besarnya seolah menantang masakan dan maksud sang Chef), perempuan yang sebenarnya tak masuk ke dalam daftar undangan. Margot hadir karena menggantikan pacar dari teman yang mengajaknya. The show must go on, Margot dituntut harus menentukan sikap dan pilihan, yang tentu saja baginya berarti hidup atau ikut mati.

Enggak lagi-lagi deh nyuruh Voldemort ngurusin konsumsi

 

Horor ruang sempit The Menu bukan datang dari siapa pelaku sebenarnya. Cerita dengan cepat mengestablish ‘penjahatnya’ dari sikap Chef yang udah kayak pemimpin cult itu.  Intensi dan maksud si Chef di balik makanan-makanan dan aksi teatrikal penyajiannyalah yang dijadikan sebagai umpan horor. Kalo course-nya dibahas satu persatu, makanannya apa, maksudnya apa, maknanya apa bagi karakter yang sedang ‘dihukum’ tentulah akan jadi sangat spoiler. I won’t do that karena bakal sama aja dengan membeberkan semua isi filmnya. The Menu memang ‘rapuh’ seperti demikian, namun kerapuhannya itu hanyalah remahan kecil dari kelemahannya sebagai film. Yang mau aku fokuskan di sini adalah, bahwa sebenarnya The Menu memang berpotensi menjadi film yang sendirinya pretentious, dengan naskah yang disokong oleh karakter utama yang lemah, jika diracik oleh tangan-tangan yang salah. Untungnya, sutradara Mark Mylod beserta dua penulis naskah Seth Reiss dan Will Tracy paham pada kelemahan yang cerita mereka punya. Sehingga mereka work around it. Dan kalo ada satu kata yang harus kugunakan untuk mendeskripsikan taste nonton ini, maka kata itu bukan “maknyoss”, tapi “lincah!”

Gimana tidak lincah. Begini, salah satu flaw dari desain cerita The Menu adalah protagonisnya. Si Margot, yang merupakan outsider. Literally orang luar. Dia tidak berkenaan dengan masalah di dalam cerita. Dia bukan penggemar makanan. Dia tidak diundang di sana. Dia tidak ada sangkut pautnya dengan konflik yang dijadikan motivasi oleh Chef Slowik. Gimana coba membuat seorang outsider ini menjadi tokoh utama yang akhirnya jadi penggerak alur cerita? See, di sinilah kecerdikan naskah. Kelincahan The Menu. Penulis yang cuek ama skenario dan cuma mau ngasih kejutan dan melempar pesan-pesan kemanusiaan gak akan peduli dan akan menghasilkan horor yang sama sekali kosong. Sebaliknya, penulis The Menu berjuang untuk mengukuhkan posisi Margot. Memberikannya alasan untuk ada di sana. Kayaknya aku belum pernah menyaksikan yang seperti ini. The way film menemukan cara supaya kejadian di pulau itu jadi personal bagi Margot. Cara film memberikan pilihan yang harus diputuskan oleh Margot, lewat Chef yang langsung ‘menunjuknya’ Misteri satu lagi yang dipunya film adalah siapa sebenarnya Margot, dan revealing yang dilakukan film terhadap karakter utamanya ini bukan membuat kita semakin jauh darinya, melainkan justru semakin dekat. Margot perlahan menjadi semakin grounded dan relatable. Penulisannya ini kalo mau pakek istilah makanan lagi; bener-bener *chef’s kiss!

Gagasan yang diusung cerita pun lantas masuk lewat sini. Lewat persamaan Margot dengan si Chef. Lewat perbedaan Margot dengan karakter-karakter lain, termasuk dengan Tyler – cowok yang actually mengundang dia ke sana in the first place. Untuk gampangnya, kita ibaratkan saja si Margot dan mereka semua sebagai penonton di sebuah pemutaran film. Namun Margot cuma penonton casual. Dia bukan sinefil, bukan kritikus, bukan seniman. Margot gak peduli sama color grading, ratio, sinematografi, bahkan tema filmnya. Sementara yang lain sok ‘mengerti’ film dengan ber-fafifuwasweswos akan segala hal kecuali cerita film itu sendiri, Margot merasa tidak dapat  menikmati film ini. Cuma Margot yang tidak menikmati hidangan yang disuguhkan Chef, karena ibarat kita yang ke bioskop untuk nonton film, Margot ada di sana untuk memenuhi ajakan temennya makan-makan. Sedangkan si Chef, menyuguhkan sesuatu yang lebih kompleks karena tuntutan kelas atas yang ingin menikmati – bukan actual masakannya, tetapi menikmati mereka ada di sana untuk sesuatu yang spesial. Menonton si kritikus makanan yang tampak lebih enjoy mengkritik dan mencari kata-kata untuk menulis ulasan alih-alih makanan itu sendiri, aku merasa tersentil juga. Apakah aku juga telah jadi seperti itu saat menonton film – asik berkutat nyari ide ulasan saja ketimbang menikmati si film di momen itu. Semoga tidak. Menyaksikan para konglomerat dan kelas jet set di film ini lebih peduli sama gambar yang menampilkan kelakukan mereka di atas roti ketimbang menikmati roti itu, membuatku teringat sama pejabat-pejabat di pemutaran atau festival film yang lebih heboh sama citra dan waktu mereka tampil di kata sambutan daripada peduli sama film yang diputar. Yang paling amit-amit ya jangan sampai kita jadi sinefil yang seperti foodie di film ini. Dalam salah satu course disajikan ke hadapan mereka roti, tapi tanpa roti (cuma piring kosong dan toping), dan si foodie dengan soknya mengatakan itu sajian paling lucu dan paling keren. Cuma Margot yang tampak tersinggung disajikan makanan yang gak ada makanannya.

Itulah, jangan sampai kita, atas nama menjaga kemurnian makanan, sinema, atau apapun, menjadi pretentious seperti karakter-karakter di film ini. Yang telah menodai bisnis kuliner dengan kepentingan untuk memuaskan ego, merasa paling elit, merasa paling jago, paling nyeni sehingga saat dikasih makanan padahal gak ada yang mau dimakan pun, kita senang-senang aja. Film ini menunjukkan bahwa seni ternyata bisa menjadi pretentious karena dinikmati oleh orang-orang yang pretentious.

 

Kalo suka bilang ke orang, kalo gak suka bilang ke saya

 

Jadi sebenarnya The Menu adalah cerita tentang Chef yang merasa mulai kehilangan passion. Dia memasak tapi bukan lagi supaya masakannya dinikmati orang, melainkan untuk mengenyangkan ego para elitis yang sebenarnya tidak cinta sama kuliner. Hal tersebut memakannya dari dalam, sehingga ia memilih untuk melakukan horor yang ia lakukan. Makanya juga, interaksi Chef dengan Margot berkembang menjadi dalam tingkatan sentimentil. Cara Margot keluar dari sana buatku sangat menyentuh. Karena ternyata begitu sederhana, simpel, semua orang bisa. Tapi gak semua orang mau melakukannya. Sebagai orang yang pernah bekerja di bidang melayani orang kayak mereka (aku pernah buka kafe dan served customers myself), aku jadi ngepick up sesuatu yang ekstra. Bahwa film juga bicara tentang gimana kita bisa kurang menghargai para pembuat atau penyedia jasa, seperti chef atau koki. Perkara sepele seperti tak ucapkan terima kasih, minta bumbu esktra, atau lupa nama makanan, ternyata dapat begitu menyinggung bagi pembuatnya. Dan di film ini aku juga baru tau kalo mau motoin makanan aja sebenarnya perlu ijin atau concent pembuat juga. Semuanya itu kembali ke soal respek terhadap sesama dan kepedulian atas orang lain di atas diri sendiri.

 




Dengan motivasi penggerak berasal dari ‘penjahat’, dengan kejadian dan karakter yang diset untuk memenuhi suatu gagasan – sehingga dark comedy digunakan untuk menutup tingkah gak make sense dari karakternya, seperti yang kubilang tadi, film ini berangkat dari resep yang kemungkinan gagalnya lebih gede. Tapi sebagaimana hasil dari sebuah resep tergantung dari tangan yang bikin, film ini ternyata jadinya bagus. Fresh dan ngasih sesuatu untuk dipikirkan tanpa ikutan menjadi pretentious.  Sepanjang durasi kita akan dibuat terus penasaran mengikuti apa yang sebenarnya terjadi, mengikuti course demi course yang janggal dari Chef. Permainan akting pemerannya pun pada takaran yang pas, sehingga karakter mereka yang gak relate-relate amat jadi tidak over annoying dan kita masih merasakan simpati meski borok dan angkuhnya mereka tercuat ke permukaan. Film ini memang seperti dibuat untuk dinikmati sambil tertawa-tawa renyah, tanpa mengurangi nilai estetik dan kandungan ‘gizi’ yang dimuat oleh ceritanya.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for THE MENU

 




That’s all we have for now.

Menurut kalian cara yang tepat untuk menikmati film itu seperti apa sih?

Share pendapat kalian di comments yaa

 

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



KERAMAT 2: CARUBAN LARANG Review

 

“Culture is the arts elevated to a set of beliefs.”

 

 

Yang keramat dari genre mockumentary (dokumenter ala-ala, yang sering ditampilkan dengan gaya found footage) adalah kesan otentiknya. Dalam artian, penting bagi genre ini untuk menjaga ilusi bahwa mereka adalah ‘dokumenter-asli’ meskipun kita semua tahu yang di layar itu cuma film yang bentuknya saja yang seperti dokumenter, sementara ceritanya adalah fiksi dan sebagian besarnya merupakan parodi dari bentuk-bentuk dokumenter yang ada. Untuk menjaga kesakralan ilusi otentik tersebut, maka biasanya mokumenter menggunakan gimmick-gimmick, mulai dari teknis seperti kamera handheld yang goyang-goyang, hidden cam, adegan-adegan interview, dan estetik kamera jadul – atau at least grainy supaya kesan raw footagenya dapet.  Beberapa bahkan sengaja dibuat dengan skrip minimalis (hanya poin-poin, sementara pemeran bebas improvisasi dialog, dan sebagainya). Hingga gimmick di luar teknis pembuatan, seperti pemasaran yang menyatakan filmnya adalah kisah nyata. Dan oh boy, betapa di horor, mokumenter dapat jadi storytelling yang begitu efektif. Film found footage The Blair Witch Project di tahun 1999 bisa sangat fenomenal – orang pada nyangka itu kejadian horor beneran – karena terbantu oleh mokumenter Curse of the Blair Witch yang ditayangkan di televisi sono beberapa minggu sebelumnya. Sementara di skena film lokal, Keramat – found footage tentang dokumentasi kru film – jadi sensasi di tahun 2009. Sukses membuat penonton yang belum kenal hiruk pikuk internet terheran-heran apakah itu kejadian yang beneran dialami oleh Poppy Sovia dkk saat syuting film.

Jadi, ya, memang yang harus digarisbawahi adalah kesan otentik – yang kini, bisa dibilang semakin ‘susah’ untuk dicapai. Pertama, karena people sekarang bisa lebih cepat tahu dan dapat informasi apapun dari internet. Ini terjadi juga di dunia pro-wrestling. Kayfabe is dead. Ilusi gimmick semacam Kane adalah adik dari Undertaker gak bakal laku dipakai di jaman sekarang karena orang-orang bisa nyari sendiri info siapa sebenarnya dua pegulat itu di real life. Dan kedua, karena seperti yang sudah sering kukeluhkan dalam review-review film mokumenter ataupun found footage sebelum ini; jaman sekarang orang bikin video YouTube saja sudah canggih semua. Grainy video sudah ditinggalkan, semua bisa dengan mudah ditouch up pake efek, sehingga bahkan video asli pun bisa dicurigai settingan saking semuanya overedit. Makanya buatku menarik, kini, setelah tiga-belas tahun, Monty Tiwa membuat sekuel dari Keramat. Tentu dengan gimmick dan estetik mokumenter yang disesuaikan dengan keadaan sekarang – keadaan di mana kesan otentik itu tampak tidak lagi begitu ajaib. Apakah film Keramat 2 ini bakal bisa jadi sensasi seperti pendahulunya? Trik apa yang akan mereka gunakan supaya bikin film ini terlihat ‘asli’? Atau mungkin, cerita seseram apa yang disajikan supaya kelemahan ilusi itu bisa teroverlook?

MKN di Langgar Penari

 

Ternyata setelah ditonton, tidak ada satupun kutemukan jawaban pertanyaan-pertanyaan tersebut yang benar-benar memuaskan buatku.

Dari segi cerita, sebenarnya Keramat 2 dimulai dengan cukup menjanjikan. Set up karakternya ada, kenapa mereka harus ada di sana, backstory tugas akhir  dan persahabatan yang melandaskan stake para karakter di sini clearly terbangun lebih solid daripada film yang karakternya lagi KKN itu. Keramat 2 berkisah tentang Umay Shahab dan dua teman YouTubernya; Ajil Ditto dan Keanu pengen membantu mendokumentasikan tugas akhir kelompok tari gebetannya si Umay. Jadi pergilah mereka bersama Arla, Jojo, dan Maura ke Cirebon, ke sanggar tari Caruban Larang yang ternyata sudah lama kosong. Di sana, mereka membuka peti terlarang, dan menemukan soal The Lost Dance. Tarian yang sudah lama hilang (beserta penari-penarinya) semenjak jaman penjajahan Jepang. Saat meriset itulah mereka semua bersinggungan dengan dunia mistis. Dan seperti pada film pertama, anak-anak muda ini harus masuk ke dalam dunia gaib demi mencari teman mereka yang hilang. Selain itu juga ada substory tentang tim YouTuber Keanu, yang pecah karena Lutesha si cenayang memisahkan diri sehingga Keanu dan Ajil – yang gak punya kemampuan mistis – harus bikin channel horor yang baru  (MKN) sebisa mereka, yakni dengan bumbu komedi. Misteri kenapa Lutesha cabut nanti akan mengikat kepada masalah Lost Dance yang mereka semua harus hadapi.

Bicara tentang seni tari yang hilang, dari Keramat 2 sebenarnya kita bisa memetik pesan soal melestarikan seni. Heck, hantu di film ini aja kayak lebih aware soal itu dengan meminta tari mereka ditonton supaya bisa diturunkan ke manusia. Memang agak miris sih, ketika tarian – seni aktualnya justru hilang sementara ritual seputarnya tetap ada dan lestari menjadi pantangan-pantangan sakral (yang aneh dan kayak takhayul) yang tidak boleh dilanggar.

 

Benar-benar terlihat seperti set up cerita horor yang mumpuni. Semua karakter punya masalah, ada drama. Elemen mitologi dan investigasi mistis yang mampu membawa penonton ikutan nebak-nebak juga ada. Namun, kesemuanya itu ternyata tidak dikembangkan menjadi plot yang ‘bener’. Keramat 2 adalah tipe film yang menghabiskan paruh-paruh awal untuk setup dan untuk eksposisi, lalu tiga puluh menit terakhirnya hanya menampilkan karakter yang berlarian, berusaha mencari jalan keluar. Masing-masing karakter tidak punya progres journey yang personal. Pengalaman horor itu seperti tidak berarti apa-apa untuk growth mereka as a character, melainkan ya cuma untuk konten saja. Dan karena ini didesain dengan skrip yang gak ketat mengatur, maka dengan cepat karakter-karakter muda ini resort ke hal-hal yang annoying. Marah-marah, berantem, teriak-teriak. Keluar kata-kata makian. Untuk mengisi durasi, kadang mereka juga melakukan hal horor yang konyol. Yang jelas, mereka seperti lebih enjoy bermain di elemen konyol ketimbang horor – saat mereka harus ‘berpura-pura’ ketakutan. Mitologi penari juga tidak dikembangkan lebih jauh dari sekadar apa yang terjadi pada para penari sebenarnya. Padahal kupikir film ini bisa menggali fantasi tarian dan ritual yang seperti pada mitologi game Fatal Frame, ternyata harapanku terlalu muluk. Dan misteri soal Lutesha, itu juga sama zonknya. Lutesha nanti datang gitu aja. Dan karakter ini sebagian besar jadi convenience ke dalam plot. Ngasih petunjuk ini itu, harus kemana, harus ngapain. Totally membunuh misteri dan eksplorasi dalam cerita.

The best part tetap adalah bagian ketika mereka udah masuk dunia lain. Tapi, yah, experience horor yang dihadirkan film ini tidak pernah sekuat film yang pertama, Yang karakter-karakter saat itu bener-bener gaktau harus ngapain, sehingga kita seperti ikut mereka ‘meraba-raba’ misteri. Dalam Keramat 2, kita cuma menonton mereka ngikutin kata Lutesha. Tidak ada elemen surprise, pengungkapan edan, dan sebagainya. Ada sih satu yang menggelitik, yang bikin penggemar Keramat bakal gembira karena memperdalam galian mistis dunia tersebut. Dan kupikir itu juga ide yang bagus, tapi aku gak akan bocorin di sini, kecuali satu hal. Yakni sebaiknya memang kita nonton Keramat original dulu sebelum nonton sekuelnya ini. Ngomongin soal Keramat pertama, memang film kedua ini memakai formula yang sama. Seperti memegang teguh tradisi, Keramat 2 mengikuti Keramat pertama nyaris beat per beat. Hanya saja seperti salah menduga. Karena seperti yang sudah kutulis di atas, Keramat pertama jadi sensasi bukan semata karena adegan lari-larian, atau kelompok yang berantem, atau bahkan misterinya dieksekusi dengan baik, tapi juga karena ilusi otentik. Film tersebut berhasil menguarkan kesan raw yang kuat. Sebaliknya Keramat 2, dengan tampilan mulus seperti video-video YouTube masa kini, dan dengan karakter yang lebih nyaman melucu ketimbang berhoror ria, jadi tampak seperti video settingan yang panjang banget.

Nabrak kucing hitam, buka peti, main jailangkung, mau berapa larangan lagi yang mereka langgar sebelum jera?

 

Penonton yang lebih muda mungkin gak akan mempermasalahkan. Aku boleh jadi terdengar kayak bapak-bapak tua yang ngomel lihat kelakuan anak muda. Mungkin, bagi penonton muda otentik itu datang dari betapa naturalnya para karakter berinteraksi antarsesama. Like, mungkin memang ‘hectic’ seperti itulah anak muda bersosialisasi sekarang. Bukan soal kamera yang terlalu poles dan bagus, karena toh memang seperti itulah tren sekarang.  Sehingga ya, film ini masih mungkin untuk menjadi sensasi di kalangan penonton muda. Walau bukan untuk hal yang sama dengan film pertamanya. Tapi bahkan jika itu benar, bahwa mungkin aku saja yang sudah terlalu tua untuk film kayak ini, tetap saja magic dari movie itu sendiri yang sebenarnya dipermasalahkan. Dan visual itu membantu kita masuk dan percaya. Kualitas gambar yang sederhana membantu kita percaya bahwa video yang kita lihat benar-benar direkam candid, tidak ada settingan. Nonton awal-awal Keramat 2, adegan-adegan tampak meragukan – beneran hantu yang mereka lihat atau mereka lagi ngerekam prank atau trik sebagai konten YouTube.

 




Dalam mokumenter seperti begini, gak cukup hanya dengan menggunakan real name para aktor. Apalagi jika kita tahu mereka di real life tidak melakukan hal yang mereka lakukan di film. Semua konsepnya harus didesain matang demi mencapai ilusi otentik.  Effort ke sanalah yang masih tampak minimal dilakukan oleh film ini. Konsep mokumenternya sebenarnya kurang kuat. Film ini tidak akan banyak beda pencapaiannya jika dibuat dengan konsep penceritaan yang biasa. POVnya tidak terasa urgen karena gagal untuk digunakan  ngasih gambar-gambar horor yang unik (pas adegan terjun aja, pov kameranya gak dimainin). Mitologinya tidak dibahas mendalam, sebatas apa yang terjadi saja. Tidak ada hooknya ke journey personal karakter. Film ini seperti film pertamanya, tapi tanpa magic dan ilusi yang bikin film tersebut jadi disukuri ada sekuelnya. Setelah ditonton, yah, film ini tidak semembekas itu. Untuk seru-seruan bareng teman, sih sepertinya masih bisa. Bagian di hutan goibnya tambah menarik dengan surprise from the past. Karakternya yang annoying dan gak ngapa-ngapain mungkin masih bisa beresonansi dengan anak muda dan pergaulan keseharian mereka. Karena otentik film ini sepertinya dimunculkan dari sana.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for KERAMAT 2: CARUBAN LARANG

 

 




That’s all we have for now.

Menurut kalian, apa sih yang menarik dari genre mokumenter?

Share  di comments yaa

 

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



V/H/S/99 Review

 

“An era can be said to end when its basic illusions are exhausted”

 

 

Generasi 90an dulunya tidak menghabiskan hari dengan menonton YouTube main TikTok. Mereka nonton MTV, Jackass, American Pie, tv show yang cheesy (mulai dari game show hingga acara horor seperti Goosebumps). Mereka bermain di luar, melakukan sesuatu yang bego. Jika pengen merekam video, mereka tidak melakukannya dengan kamera HD dan gadget canggih yang punya berbagai fitur edit. Mereka merekamnya dengan kamera yang gambarnya bakal bersemut-semut dan goyang-goyang. Aspek-aspek simpel namun fun dari 90an itulah yang ingin benar-benar disajikan oleh seri horor antologi V/H/S/ yang menggunakan konsep segmen atau clip dari rekaman video ketika mereka menggarap 94 tahun lalu. Tapi film itu kurang berhasil, tidak semua segmennya yang akur berusaha menghadirkan dunia 90an. Sehingga kini mereka, kinda rushed out, untuk menghadirkan V/H/S/99, yang setelah kutonton aku memang merasa seperti menonton video jadul beneran. Mulai dari estetik hingga jalan cerita yang simpel dan campy. Dan aku merasa superterhibur menontonnya, it’s a nice change of pace dari horor modern. Namun juga, aku bisa melihat film ini bakal membagi penonton, karena gak semua akan lantas terbiasa dengan bentuk 90an yang film ini sajikan luar-dalam.

Ada lima segmen atau cerita dalam V/H/S/99, plus satu cerita ekstra yang sebenarnya adalah bagian dari satu segmen tapi sebelum itu digunakan sebagai transisi antara satu segmen dengan segmen lain. Aku akan mengurutkan segmen-segmen ini berdasarkan dari yang paling aku suka hingga ke yang paling tak disuka. So, here they are:

  1.  Segmen “To Hell and Back”. Sutradara Joseph dan Vanessa Winter bikin yang bahkan sangat unik untuk standar horor-horor di  V/H/S/. Mereka membuat mockumentary singkat tentang aktivitas kelompok sekte di malam tahun baru. Jadi, dua kameramen dalam kisah ini ceritanya disewa untuk ngedokumentasiin ritual pemanggilan setan, tapi ada yang salah, sehingga kedua kru dokumentasi malah masuk ke neraka. Yang kita tonton adalah bagaimana mereka mencari jalan keluar kembali ke dunia manusia. Segmen ini dihandle dengan nada yang ‘tidak serius’, sehingga nontonnya jadi fun dan kocak.
  2.  Segmen “Suicide Bid”. Awalnya kupikir segmen ini bakal bikin aku jengkel, karena yang dihadirkan sutradara Johannes Roberts adalah seputar geng senior cewek yang mengospek anak baru yang mau masuk ke perkumpulan mereka. Tapi ternyata segmen ini ngasih pengalaman yang bener-bener horor. Karena ceritanya, si anak baru harus masuk ke peti dan dikubur sebagai bentuk ospek. Segmen ini ngasih pengalaman dikubur hidup-hidup, plus nanti ada sosok zombie/demon di dalam sana. Udah kayak cerita Goosebumps!
  3. Segmen “Ozzy’s Dungeon”. Ketika salah satu kontestan game show untuk anak-anak mengalami cedera, keluarga balas dendam dan menculik si host game show. Dia disuruh memainkan game ala-ala, yang ya bisa ditebak sebenarnya ditujukan supaya si host menderita. Sampai sini aja sebenarnya sutradara Flying Lotus sudah cukup kreatif. Dia memparodikan industri tv 90an ke dalam nada horor. Namun dia tancap gas, menjadikan ini horor yang lebih gross lagi dengan penutup berupa si keluarga dan si host masuk ke puncak permainan di game show tv, yang ternyata isinya adalah makhluk dan horor yang bisa bikin perut kita jungkir balik
  4. Segmen “The Gawkers”. Yang bikin segmen buatan sutradara Tyler MacIntrye masuk ke kotak yang tak aku suka adalah ceritanya terlalu simpel sehingga tidak terasa ada apa-apa. Sekelompok cowok remaja yang ngintipin tetangga baru yang kece. Mereka sampai masang kamera tersembunyi di rumah perempuan tersebut. Hanya untuk melihat sesuatu yang tak boleh mereka lihat. Misteri siapa sebenarnya perempuan itu sebenarnya sudah dibuild up sedari awal, dan revealingnya cukup bikin menggelinjang. Tapi ya, cerita ini hanya itu. Aku malah lebih suka cerita ekstra yang merupakan bagian awal dari segmen ini, yaitu ketika salah satu karakter memainkan tentara-tentara plastik kecil, dan bikin cerita perang lawan monster dari mainan-mainan. Konsep visual segmen ekstra ini menarik, hampir kayak stop-motion, dan ya seru dan kocak juga.
  5. Segmen “Shredding”. Harusnya garapan sutradara Maggie Levin ini bisa lebih lagi. Sekelompok remaja anak band yang suka onar karena kayaknya kebanyakan nonton Jackass masuk ke bawah tanah, tempat satu band perempuan beberapa tahun lalu meninggal karena terbakar dan terinjak-injak fans mereka sendiri. Kelompok remaja ini melakukan sesuatu yang disrespectful, dan yah, hantu para anggota band perempuan itu lantas ngamuk. Ini lebih parah daripada The Gawkers, karena cerita ini mestinya bisa menggali lebih soal backstory insiden, atau bahkan adegan kejar-kejarannya mestinya bisa dibuat lebih fun
Nostalgia 90an lewat video-video horor!

 

Bisa dilihat, V/H/S/99 benar-benar berusaha memasukkan hal-hal 90an dan menjadikan segmen-segmen itu begitu imersif seperti memang tidak dibikin pada hari ini. Baik itu dari estetik videonya, maupun dari apa yang mereka tampilkan. Like, aku gak tau apakah masih ada anak muda yang main tentara plastik kecil-kecil di jaman sekarang. Buat penonton yang terlahir dan besar di 90an, film ini sudah pasti jadi serangan nostalgia besar-besaran. Nostalgia ke gaya hidup jaman masih muda dahulu. Sebaliknya, bagi penonton yang lebih muda, pengalaman nonton film ini seperti bakal lebih mixed. Mungkin tampak aneh dan konyol. Namun itulah yang lebih diincar oleh film, lebih daripada nostalgia. Film ingin memperlihatkan kebiasaan dari, katakanlah, era yang telah lewat. Supaya penonton di masa sekarang membandingkan. Dan dengan suara horornya, film memperlihatkan bahwa ada alasannya kebiasaan dari era tersebut telah lewat. Merayakan milenium baru dengan menganggapnya sebagai hari kiamat, acara televisi yang gak actually ngasih hadiah kepada pemirsa, ospek alias perploncoan, remaja yang do nothing kecuali hal bego, perverted, dan tak berfaedah. See, ya ujung-ujungnya dikembalikan kepada penonton. Horor yang sebenarnya adalah ketika yang tampak aneh di layar ternyata masih ada relate-relatenya ke kita di masa sekarang.

Era 90an dengan segala kebiasaan dan gaya hidup yang terekam dalam video bersemutnya memang telah lewat seiring munculnya teknologi dan format video baru. Akan tetapi, paradigma atau cara berpikir masyarakat bisa saja terus berulang. Menjadikan era baru hanya sebagai ilusi berikutnya yang akan segera hilang.

 

Meski begitu, kalo ada kebiasaan 90an yang pengen diulang ke jaman sekarang, bagiku itu adalah kebiasaan orang bikin film dengan efek yang simpel dan praktikal. Film V/H/S/99 ini adalah salah satu yang membuatku pengen era praktikal efek itu kembali lagi. Terutama buat film horor. Nontonin segmen-segmen seperti “Suicide Bid”  dan “To Hell and Back” tentu akan berbeda rasanya jika aktornya berakting takut dengan green screen. Tapi dengan praktikal efek, prostetik, kostum, make up, kesan seram yang disturbing itu jadi benar-benar terasa real. Dan oh, dua segmen itu memang banyak banget makhluk seram kreatifnya. “Suicide Bid” cuma punya satu, tapi bakal nyantol di mimpi buruk. Kreasinya sungguh menakjubkan. Mereka di “To Hell and Back” benar-benar bikin lingkungan seperti-neraka, dengan segala makhluk-makhluk seramnya. Kesan low budget jika dimanfaatkan dengan baik memang akan menambah banyak untuk pengalaman horor. Karena bagaimanapun juga ‘sesuatu yang ada di sana’ akan terasa lebih real dan grounded. Kupikir mestinya filmmaker Indonesia yang sekarang lagi hobi bikin horor, lebih sering juga menerapkan efek praktikal. Efek komputer digunakan untuk meng-enhance saja. Kayak, kalo harus ada adegan binatang seperti kelabang dan sebagainya, pakai praktikal saja. Memudahkan juga bagi para aktor (apalagi genre horor sering pake aktor muda yang belum benar-benar matang berakting) untuk berakting takut dengan melihat yang benar-benar ada.

Here’s the thing about horror: yang mainnya harus beneran takut dulu

 

Sedangkan jika dibandingkan dengan film-film pendahulunya di franchise ini, V/H/S/99 mengambil resiko dengan menghilangkan adegan ‘benang merah’. Biasanya selalu ada adegan yang mengikat semua segmen, misalnya seperti film tahun lalu; semua klip alias segmen yang kita tonton adalah tayangan yang dilihat oleh polisi yang menyergap bangunan tempat terduga sekte. Adegan ‘benang merah’ ini sendirinya seringkali membuat keseluruhan film tampak ‘maksa’. V/H/S/99 meniadakan adegan semacam itu, tidak lagi repot memikirkan kenapa dan dari mana klip yang kita tonton itu bisa kita tonton, apa klip itu sebenarnya di dunia film, apa ada sesuatu yang lebih besar di baliknya. Sehingga film kali ini bisa lebih bebas mengeksplorasi segmen-segmen.  Yang kini terasa saling lepas, dan hanya diikat oleh benang merah berupa tema yang disebut pada judul. Yakni semuanya direkam pada tahun 99.  Buatku ini perubahan yang bisa dibilang positif, meskipun aku bisa melihat penggemar franchise ini akan terganggu. Karena tidak lagi ada progres dari yang sudah dibuild seri-seri terdahulu. Bahwa ada misteri yang mengikat video atau segmen ini semuanya.

 




Secara keseluruhan, memang film ini membagi penonton. Karakter-karakter yang bertingkah sok keren akan susah untuk dipedulikan sehingga pada akhirnya nasib yang menimpa mereka (karena berurusan dengan orang atau urban legend yang salah) tidak lagi terasa menakutkan bisa jadi penghambat utama penonton menyukai film ini. Begitu pula dengan kamera yang kelewat goyang-goyang.  Tapi itu semua adalah resiko yang diambil oleh film yang menginginkan  estetik 90an yang low budget dan amatir dan grounded terkesan real. It cannot get any simpler than this. Video demi video yang nunjukin cerita horor dengan kreasi dari era yang telah lewat. Buatku ini seperti baca Goosebumps, nonton horor jadul, nostalgia yang super refreshing. Tentu saja aku punya favorit, tapi kayaknya baru ini V/H/S/ yang kutak punya masalah berarti kepada masing-masing ceritanya. Sama seperti satu show WWE, tentu saja dalam satu antologi tidak bisa semuanya wah dan seru. Melainkan persoalan gimana mengaturnya supaya semuanya terangkai jadi satu tontonan yang punya flow dan pace yang stabil. Film ini adalah tontonan horor yang segmennya slightly terasa panjang, tapi terhimpun manis jadi pengalaman horor yang bikin merinding dan menghibur.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for V/H/S/99

 




That’s all we have for now.

Apa yang kalian rindukan atau yang paling ingin kalian lihat comeback dari tahun 90an?

Share pendapat kalian  di comments yaa

 

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 



INANG Review

 

“A lot of times, we are trapped by our own false sense of security.”

 

 

Rilis di tanggal 13, angka dianggap banyak orang sebagai angka sial, Inang sendiri memang bicara seputar mitos malapetaka atau kesialan. Ada sebuah hari yang menurut penanggalan Jawa disebut sebagai Rebo Wekasan. Beberapa orang percaya di hari Rabu terakhir bulan Safar tersebut, diturunkan berbagai bala alias hal-hal negatif. Sampai-sampai, bayi yang terlahir pada hari atau tanggal tersebut harus diruwat, supaya terhindar dari nasib naas. Perihal anak yang lahir Rebo Wekasan tersebut dikemas oleh Fajar Nugros menjadi cerita pengalaman horor seorang perempuan yang hendak melahirkan. Sementara horor itu sendiri, bagaikan anak pertama bagi karir penyutradaraan Fajar Nugros, sehingga kita bisa merasakan sesuatu yang spesial coba untuk disajikan. Karena scare dalam Inang tidak sebatas hantu-hantuan, melainkan scare yang lumayan kaya. Kengerian Inang menguar dari gambar-gambar dan perasaan, yang seringkali mengontraskan antara kenyamanan dengan sesuatu yang lebih mengancam di baliknya.

Inang yang tayang perdana di Bucheon International Fantastic Film Festival, Juli lalu, memang bercerita terbaik saat membahas persoalan Wulan. Sang perempuan yang di ambang melahirkan bayi seorang diri (karena lakiknya ogah tanggungjawab). Masalahnya, Wulan bukan orang dengan ekonomi yang stabil. Dia cuma kasir supermarket. Jadi Wulan benar-benar mencemaskan nasib bayinya. Alih-alih aborsi, sebagai langkah terakhir, Wulan ikut program ibu asuh yang dia temukan di facebook. Di situlah Wulan dipertemukan dengan pasangan suami istri tua yang manis dan perhatian banget, yang bukan saja bersedia mengadopsi bayi tapi juga merawat dan membantu proses Wulan melahirkan di rumah mereka yang sangat berkecukupan. Wulan boleh saja merasa aman (dan sangat nyaman), tapi mendadak dia mulai dihantui mimpi buruk di rumah tersebut. Ada sesuatu yang aneh pada pasangan suami istri itu. Sesuatu di balik ritual-ritual yang harus ia jalani atas saran mereka, membuat Wulan tak lagi merasa bisa mempercayakan keselamatan dirinya dan anak yang dikandungnya kepada mereka.
Si Ladybug Bullet Train lahirnya di Rabu Wekasan juga deh pasti!

 

Meskipun gak spesifik menyebut diri sebagai sutradara komedi, toh Fajar Nugros memang punya kecenderungan mengolah drama berbau komedi. Dari Yowis Ben hingga Srimulat (2022) ia cukup piawai bermain di nada komedi. Dan di film Inang ini kita bisa merasakan insting komedi cukup berhasil juga menghantarkannya mengolah drama horor, hampir seperti keberhasilan horor filmmaker di luar yang berangkat dari komedi. Dalam Inang, Nugros keliatan punya ketajaman komentar sosial serupa yang dilakukan komedian Jordan Peele waktu bikin thriller horor Get Out (2017). Nugros juga mengisi layarnya dengan celetukan, gagasan, pandangan terhadap keadaan sosial. Terutama, soal perempuan kelas pekerja. Gimana perempuan-perempuan seperti Wulan harus melakukan sesuatu yang ‘ekstra’ untuk mencari nafkah. Memang komentar-komentar yang diselipkan tersebut lebih baik tidak banyak dibeberkan, lebih baik dibiarkan untuk penonton menemukan sendiri, tapi jelas, Nugros benar-benar bersenang-senang dengan gambar-gambar dan situasi yang ia masukkan. Image-image dalam film ini kayak punya sesuatu celetuk di baliknya. Cover buku yang menyebut ibu dan negara, misalnya. Atau bahkan ada selipan promo buat projek film Nugros berikutnya. Selain itu tentu saja film ini juga punya gambar-gambar horor, yang juga sama-sama ‘fun’. Nugros juga perlihatkan kedalamannya membuat adegan beratmosfer. Satu kali, dia menyelingi adegan Wulan masuk ke rumah ibu asuh dengan shot seekor tikus masuk ke perangkap. Memberikan kita perasaan tak-nyaman yang sedari awal langsung menghantui bahwa Wulan juga sama seperti si tikus. Sedang masuk dalam perangkap. Bagi film ini enggak masalah kalo kita tahu atau bisa nebak duluan bahwa suami istri itu gak bener, karena perasaan uneasy kita terhadap Wulan-lah yang diniatkan. Sehingga dramatic irony muncul, dan kita jadi semakin peduli kepada apa yang terjadi kepada si tokoh utama.

Perihal casting juga sama funnya. Kita telah melihat gimana Fajar Nugros menyusun personil Srimulat sehingga benar-benar terasa menyerupai ruh aslinya. Dalam Inang ini, well, Nugros tampak mengcast pemain dengan ‘kejutan-kejutan’ yang bermain dengan ekspektasi dan pengetahuan penonton akan si aktor itu sendiri. Naysila Mirdad, yang dikenal penonton sebagai salah satu spesialis pemeran perempuan lembut teraniaya, diberikan tweak pada karakter yang ia perankan di sini. Wulan yang ia perankan juga basically perempuan ‘teraniaya’; kekurangan duit, coba dimanfaatkan oleh lelaki, hingga dijebak ke situasi mengerikan oleh orang yang tampaknya baik. Belum lagi, nyaris seluruh durasi dihabiskannya dengan begitu vulnerable sebagai orang hamil. Tapi Wulan bukan karakter lembut. Foul mouth, malah. Ini, aku bisa lihat, jadi semacam kejutan kecil yang menyenangkan bagi penonton karena diperlihatkan sisi lain dari tipe karakter yang biasa. Naysila sendiri juga tampak have fun bermain sebagai Wulan ini. Dia menjaga aktingnya tetap natural, sehingga walaupun di luar kebiasaan, penonton tidak merasa aneh melihat ‘karakter barunya’. Also, Nugros mengcast ibu asli Naysila, Lidya Kandou sebagai ibu asuh yang tampak baik tapi punya maksud gelap terselubung. Yang juga memberikan lapisan ‘familiar’ tersendiri terhadap kesan kita saat menonton. Nah kesan itu paralel dengan tema di dalam cerita, bahwa film ini – seperti rumah asuh bagi Wulan – menyambut kita hangat. Meninabobokkan kita dalam sense of familiarity, seperti Wulan yang merasa nyaman terlena dalam sesuatu yang menurutnya aman, kemudian baru-lah horor dan kengerian yang perlahan tapi pasti menerjang.

Dunia yang kita hidupi memang keras, makanya gampang bagi kita untuk terjebak sendiri ke dalam rasa aman dan nyaman. Bahkan ritual yang dilakukan itu sendiri juga adalah bentuk dari false security dari orangtua yang takut anaknya ketiban sial. Tapi terutama, film ini kayak ngasih lihat kontras antara rude atau kasarnya lapisan bawah ternyata jauh lebih baik karena setidaknya orang-orang di jalanan, yang vulgar dan tampak barbar, mereka lebih ‘jujur’ Tampil ada adanya. Ketimbang lapisan atas, higher power, yang seperti menawarkan hal yang lebih baik tapi punya maksud yang lebih buruk di balik segala kemanisan tersebut. 

 

Tema narasi tentang perempuan hamil yang berurusan dengan pasangan tua yang tampak terlalu ‘ramah’ ke jabang bayinya memang lantas mengingatkan kita kepada salah satu horor masterpiecenya Roman Polanski, Rosemary’s Baby (1968). Yang sayangnya bagi Inang. standar itu berarti cukup tinggi. Perbandingan dengan Rosemary’s Baby jadi mengungkap banyak kelemahan pada naskah film Inang, yang ditulis oleh Deo Mahameru. Terutama dari segi eksplorasi. Rosemary’s Baby yang tentang perempuan hamil mendapat perlakuan manis dari tetangganya, yang ternyata mengincar bayi dalam kandungan untuk cult pemuja setan, benar-benar menyelam ke dalam psikologis karakter utamanya. Si Rosemary dibikin bingung dan curiga kepada gelagat baik tetangganya, ada peristiwa yang ganjil yang terjadi berhubungan dengan mereka, ada yang aneh di balik sikap mereka, dan konflik digali film tersebut dari kecurigaan Rosemary ditantang oleh orang-orang sekitar yang justru menyalahkan dirinya yang dianggap tak stabil secara mental. Sampai ke titik dia sendiri percaya dia yang senewen. Film Inang, gak punya semua itu. Karena sedari awal, kita sudah dikasih momen dramatis Wulan masuk ke rumah orang jahat, misteri yang ada hanya soal apa yang sebenarnya terjadi. Dan film gak benar-benar melakukan banyak terhadap bagaimana misteri di sana akhirnya terungkap.

Nugrosemary’s Baby

 

Adegan mimpi banyak digunakan untuk memantik suasana horor. Dan kita semua tahu, adegan mimpi dalam horor atau thriller merupakan aspek yang tricky untuk dilakukan. Mimpi jadi bagus saat digunakan untuk menggambarkan psikologis yang mendera karakter. Horornya bisa jadi sangat sureal dan benar-benar disturbing. Film Inang, seperti yang telah kusebut, punya imageries yang kualitas top. Ada makhluk creepy juga yang sempat muncul dalam mimpi Wulan. Selama memang digunakan untuk memvisualkan ketaknyamanan atau kecurigaan Wulan yang kian membesar, adegan mimpi film ini bekerja dengan efektif. Hanya saja, selain itu, film juga membuat adegan mimpi yang memperlihatkan Wulan ketemu sama korban-korban ritual sebelum dirinya. Dan karena ini tidak disebut alasannya kenapa bisa Wulan melihat mereka, atau tidak pernah ditekankan bahwa memang ada hantu yang semacam minta tolong, maka adegan-adegan mimpi yang melibatkan hantu korban itu jadi hanya berupa cara gampang film meletakkan eksposisi saja. Ini tidak lagi jadi menambah buat film, karena malah meminimalkan ‘kerjaan’ Wulan. Dia hanya disuapi info lewat mimpi, dan kemudian lebih lanjut lagi film mengkerdilkan peran perempuan yang set up dan perjuangannya sudah bagus itu menjadi seorang dalam situasi damsel in distress semata.

Selewat paruh pertama, film memperkenalkan karakter anak dari pasangan suami istri asuh tersebut, yang diperankan Dimas Anggara, yang praktisnya menjadi hero dalam cerita.  Si Bergas ini bakal menyelematkan Wulan, cerita juga berubah menjadi tentang dirinya yang berkonfrontasi dengan apa yang dilakukan oleh orangtuanya selama ini, dia juga harus berdamai dengan siapa dirinya. Wulan, dengan segala permasalahan perempuannya, jadi tersingkirkan. Jadi hanya sebagai orang untuk diselamatkan. Dan baru di ending, Wulan dikasih transformasi yang bertujuan untuk mengembalikan kembali posisinya sebagai karakter utama.

Bukannya mau bilang aku bisa bikin cerita yang lebih bagus (because I can’t), dan terutama reviewer gak boleh bandingan satu film dengan cerita yang gak exist. Tapi aku hanya ingin pointed out bahwa yang dipilih oleh film Inang, membuat karakter utamanya kehilangan power. Gak ngapa-ngapain yang membuatnya ‘deserved’ the transformation. Film memilih untuk mereduce karakter utama perempuan menjadi ‘korban yang harus diselamatkan’ oleh karakter lain yang dibuat lebih pantas dan lebih berkonflik langsung dengan ritual dan mitos Rabu Wekasan. Aku hanya ingin menyebut bahwa narasi Inang gak mesti mentok seperti ini. Masih banyak pilihan yang bisa diambil untuk mengembangkan ini, untuk membuat karakter utamanya lebih deserved all that. Misalnya, mungkin dengan membuat bayi yang Wulan lahirkan pas ritual actually bayi terkutuk, like devil-kid. Sehingga di akhir, rumah itu jadi chaos karena malapetaka yang dibawa, Wulan keluar dengan menderita, terluka juga oleh anaknya, dan dari perlawanan dia mempertahankan bayinya dari semua orang di sana. Yang jelas, Wulan membawa si anak yang she comes to love sehingga transformasi di akhir dia menjadi ibu pembunuh demi anaknya, jadi lebih dramatis, dan lebih well-earned. Masih ada cara untuk membuat Wulan gak ketinggalan action, dan tetap kuat sebagai tokoh utama. Plus mimpi-mimpi Wulan jadi ada musababnya dengan jika si anak dibuat ternyata berkekuatan gaib.

 

 




Cerita tentang perempuan yang mengusahakan kelahiran bayinya, di tengah kesulitan duniawi yang menghimpit, sehingga akhirnya terjebak ke dalam bujuk rayu ritual sesat sesungguhnya adalah materi horor thriller yang demikian dramatis. Film ini punya bahan-bahan yang tepat untuk menjadi drama mengerikan yang membuahkan banyak gagasan lewat komentar-komentar sosial. Bagusnya lagi, film ini bijak untuk tidak menjadi wahana rumah hantu, melainkan benar-benar menguatkan di atmosfer dan pada perasaan uneasy dan kelam sebagai faktor ketakutan nomor satu.  Sialnya, cerita ini tidak dibesarkan dengan benar-benar fokus di situ. Film berpindah ke masalah karakter lain, dan actually mengesampingkan permasalahan karakter utama. Hingga ke titik dia tidak benar-benar melakukan apapun, selain diselamatkan. Dan ceritanya dibuat melingkar begitu saja sebagai shock di akhir semata. Itu yang membuatku jadi tidak benar-benar bisa menyukai drama horor ini. Formulanya padahal sudah benar, protagonis yang melewati ketakutan sedemikian parah, babak belur fisik dan mental, sehingga ‘bertransformasi’ oleh horor yang ia lalui. Tapi film ini shift ke karakter lain, dan karakter utamanya skip gitu aja langsung ke ‘transformasi’. Ada denyut yang hilang di nada horor film ini.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for INANG

 




That’s all we have for now.

Apakah kalian percaya sama yang namanya hari sial? Bagaimana pandangan kalian soal kesialan itu sendiri?

Share pendapat kalian  di comments yaa

 

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA