““God’ is whatever is the next obvious step towards wholeness in yourself and your life; ‘Ego’ is whatever within you stops you taking it.””
Bikin film adalah urusan menciptakan dunia. Ketika bikin karakter amnesia dirasa terlalu kacangan sementara bikin karakter alien sepertinya terlalu pasaran, maka sutradara Yorgos Lanthimos sekalian saja membuat dunia reka yang totally menantang akal sehat, supaya karakternya yang gak punya ingatan dan perjalanan yang ditempuhnya menuju aktualisasi-diri itu dapat terlaksana dengan spesial. Tapi meskipun dunia ceritanya kali ini aneh, dunia tersebut toh masih ada sama-samanya ama dunia kita. Karena di situ juga banyak makhluk-makhluk malang yang hidup di dalamnya. Dan sebagai drama komedi, yang paling lucu dari film ini adalah, bahwa persepsi kita tentang siapa yang ‘makhluk malang’ – The Poor Things itu – akan berubah. Akan berbeda di akhir cerita.
Pernah dengar paradoks Kapal Theseus? Misalkan Kapal A, satu persatu secara bertahap bagiannya diganti dengan bagian yang baru, apakah kapal tersebut ketika semua bagiannya sudah baru, masih bisa disebut sebagai Kapal A? Lalu lantas jika bagian-bagian lamanya tadi dikumpulkan, dan dibangun kembali menjadi kapal dengan bentuk yang persis sama seperti sebelumnya, apakah hasil kapalnya itu bisa disebut kapal A? Mana yang kapal A sebenarnya di antara dua kapal ini? Paradoks tersebut mengulik soal makna identitas, dan mirip seperti itu jugalah cerita film Poor Things. Protagonis utamanya, yang diperankan dengan lugas dan berani oleh Emma Stone, adalah seorang perempuan yang fisiknya dikenali oleh beberapa konglomerat sebagai Victoria, tapi dia sendiri tahunya dia bernama Bella Baxter. Gadis yang dibesarkan oleh seorang ilmuwan bernama Godwin, yang ia panggil dengan simply “God”. Dan memang persis seperti God – Tuhan-lah sosok Godwin bagi kehidupan Bella. Karena perempuan berambut hitam panjang itu actually diciptakan Dr. Godwin dari mayat Victoria yang otaknya diganti sama otak bayi dari dalam kandungan Victoria sendiri. Jadi Bella, tanpa maksud merendahkan, adalah freak of nature. Awalnya dia polos kayak anak-anak baru belajar bicara, Godwin-lah yang mengajari dia banyak pengetahuan. Tapi kelamaan, Bella mulai berani memilih jalan hidupnya sendiri. Selama ini gak boleh keluar rumah, dan dijodohkan sama asisten Godwin, Bella minta ijin untuk pergi bertualang melihat dunia luar. Walaupun orang-orang yang dia temui mencoba untuk – in some ways bisa disebut mengekang – Bella percaya dirinya adalah identitas utuh yang baru, yang punya pilihan dan keinginannya sendiri.
Bella hidup di London, dari kostumnya seperti di era Victorian, tapi teknologinya dunia Bella seperti bahkan lebih ‘canggih’ dari dunia kita. Canggih dalam artian absurd haha.. Like, jangan bayangkan ilmuwan Dr. Godwin seperti ilmuwan steril dan terpelajar. Godwin more like a mad scientist. Di rumahnya berkeliaran hewan-hewan ajaib seperti ayam berkepala babi, ataupun angsa berkaki empat. Kalo Godwin bersendawa, yang keluar bukan angin. Tapi gelembung kayak gelembung sabun. Dunia ini tentu saja difungsikan sebagai konteks yang memungkinkan cerita perempuan hasil transplant otak ini dapat bekerja, tanpa kita harus merisaukan perkara etika ataupun kelogisannya. Karena film selalu nomor satu adalah soal konteks. Terms seperti ‘retarded’ yang boleh saja secara moral kita terkesan degrading, akan terasa jadi ‘tak mengapa’ ketika kita sudah dilandaskan betul karakter yang menyebut term tersebut. Perspektif dan karakterisasi film ini mengalir kuat dari gimana tegas dan tanpa sungkannya ‘suara’ para karakter divokalkan. Ilmuwan yang dari luar tampak kurang etis, tapi ternyata punya sisi parenting yang humanis – eventho sisi itu ditempa dari kelamnya perbuatan yang ia terima di masa kecil. Dan Bella, dia dibuat seperti orang yang melihat dunia sebagai orang dewasa tapi dengan pandangan ‘polos’ anak kecil yang melihat dan ngalamin semua hal sebagai untuk pertama kali. Karakter Bella jadi ruang bagi film untuk menelisik sistem sosial yang cenderung patriarki, sehingga film bisa membenturkan banyak nilai feminis yang diharapkan membawa perbaikan dengan sistem yang mengukung. Lihat saja ketika film membuat solusi keuangan Bella di Paris adalah dengan bekerja di rumah bordil.
Dengan melandaskan dunia yang absurd, dan mindset ‘ilmuwan’ sebagai basic dari karakternya, film meminta kita untuk meninggalkan kacamata etika dan purely menyelam ke dalam pikiran Bella yang delevoping concern sesuai dengan yang ia lihat dari sekitar. Untuk experience tersebut, film gak segan mengganti lensa tanpa tedeng aling-aling sepanjang cerita. Kadang gambar yang kita lihat seperti melingkar, hampir kayak fish-eye. Kadang pemandangannya begitu wide. Kadang kita notice kamera ngezoom membuat sekeliling blur. Ini sebenarnya menyesuaikan dengan sense penasaran dan eksplorasi yang sedang dialami oleh Bella ketika dia melihat dunia. Pun, film menggunakan kode warna yang selaras dengan pandangan Bella. Di babak awal film, ketika Bella paling terasa kayak anak polos, yang gak boleh keluar rumah, yang cuma bisa tantrum ketika dilarang, layar film tergambar hitam putih. Tanpa warna. Namun begitu Bella mulai kenal sensasi kewanitaan, begitu dia keluar rumah menemukan segala sesuatu yang baru, begitu dia ngerasain yang namanya ‘furious jumping’, layar yang kita lihat meledak oleh warna. Teknik kamera dan coloring yang digunakan ini selain memvisualkan development karakter Bella, tentu juga bekerja sama efektifnya memperkuat kesan dunia absurd dan komedi pada cerita. Dengan setting dunia yang boleh saja terasa amat aneh, tapi Poor Things could not be any clearer dalam menyampaikan tema soal identitas dan self-actualization dari sudut pandang perempuan.
Menjadi diri sendiri di tengah dunia yang terus-terusan meminta kita untuk menjadi sesuatu yang lain, yang terus-terusan mendorong kita untuk mengikut keseragaman, yang terus-terusan mengingatkan kita untuk tahu diri – tidak melupakan dari mana kita berasal – jelas adalah suatu perjuangan yang berat. Bella Baxter memperlihatkan ini kepada kita. Dirinya disuruh untuk realistis. Untuk berhenti berharap. Puncaknya, Bella disekap, akal dan nafsunya akan dirampas darinya. But they didn’t stop her.
Development Bella kerasa banget. Cara film bercerita pun dibuat ngikut dengan perkembangan itu. Ketika nalar Bella masih ‘bayi’, film ngambil resiko dengan seolah cerita ini dari sudut pandang Max, mahasiswa yang dimintai tolong jadi asisten di rumah mereka oleh Dr. Godwin. Cerita seolah dimiliki oleh Max dan Dr. Godwin, dua orang yang meneliti perilaku Bella. Perlahan, status mereka tersebut tergantikan. Dengan subtil – namun tegas – Bella mulai mengambil alih komando cerita. Dia mulai berani menyuarakan keinginan. Dia mulai berani mengambil aksi. Hingga di akhir babak satu, Bella membuat keputusan otonom. Ikut Mark Ruffalo ke luar negeri. Dari segi akting pun development Bella menguar, tadinya Bella dimainkan oleh Emma benar-benar limited. Ya dari kosa katanya, maupun dari geraknya. Tapi seiring identitasnya bertumbuh, raganya pun terisi dengan semakin matang. Bella using big words, sering mengutip bahasa-bahasa buku yang ia baca, gesturenya semakin percaya diri. Dominasi lelaki di sekitarnya pun, kita rasakan semakin mengendor. Dari sinilah film sebenarnya perlahan ngasih development sarkas yang ultimate. Bahwa yang dimaksud oleh judul sebagai Poor Things ternyata bukan Bella. Ternyata bukan perempuan yang hidupnya ditekan, diatur, diejakan oleh standar yang terbentuk dari kuasa laki-laki. Melainkan, ya, laki-laki itulah the real poor things.
Setiap manusia memang fight their own battle, dengan kondisi yang memaksa dan menantang mereka. Film dibuka dengan Emma Stone terjun dari jembatan, membuat kita membatin “kasihan sekali dia”. Kemudian adegan berikutnya kita melihat dia seperti orang yang cacat mental. Tapi di akhir cerita, Bella yang telah menyadari kekuatan dan tujuan dari eksistensinya menunjukkan kepada kita bahwa laki-laki seperti Duncan yang cengeng, Harry yang gak berani berharap, God yang bahkan gak bisa mengelak dari kematian dan lebih butuh dirinya ketimbang dia butuh Godwin, dan Alfie yang literally ditulis oleh naskah sebagai manifestasi traits terburuk dari lelaki; mereka-lah yang lebih malang. Bukan perempuan yang beraksi demi kebebasan menjadi dirinya sendiri itu yang kasihan. Adegan di akhir, ketika Bella ngajak Max nikah. Bukan hanya pembalikan dari momen di awal, tapi dari adegan tersebut terasa sekali ada shift. Max is the good one, ‘dosanya’ cuma dia tak pernah berani ‘nembak’ langsung. Kini justru Bella yang bukan saja sudah jadi ekual, tapi juga memegang kendali.
Di tangan naskah yang kurang cermat, karakter seperti Bella ini bisa terkesan sebagai terlalu ideal. Membuat cerita jadi pretentious, atau malah terlalu dibuat-buat. Terlalu muluk. Hal itu tidak pernah terasa ada pada Poor Things. Karena nyalinya tadi untuk menggali Bella sebagai orang dewasa yang melihat dunia dengan pemikiran seperti anak kecil. Semua dicoba. Pengen tahu apapun hal yang baru. Kemauannya harus dituruti. Ini oleh naskah dijadikan cela yang menambah layer karakternya itu sendiri. Yang akhirnya membentuk desain film seperti apa. Film jadi vulgar, lancang, bikin kita gak nyaman, sometimes degrading. Tapi lewat semua itulah pembelajaran Bella berlangsung. Enggak ada dunia yang sempurna. Bahkan dunia seabsurd ini pun tidak bisa sempurna. Bella tahu itu, dia akhirnya tahu salah dan benar, tapi juga dia tahu apa yang lebih penting dari itu. Yaitu untuk menjadi diri sendiri, dan terus berharap dan berusaha dirinya bisa mengubah dunia menjadi lebih baik dari sebelumnya. Tidak ada yang sempurna, tapi semua orang mestinya berjuang untuk menjadi lebih baik. Ah, ini pandangan ilmuwan sejati. Godwin pasti bangga pada Bella!
Akhirnya, semua film nominasi Best Picture Oscar 2024 sudah rampung semua direview di blog ini. Dan kurasa somehow tepat film ini jadi film penutup karena in some ways, film ini seperti gabungan dari film-film tersebut. Weird, hitam-putih, karakter yang dealing with siapa dirinya – apa yang ia kerjakan, sound desain dan dunia yang ajaib, dinamika relationship yang berpusat pada relasi kuasa perempuan dan laki-laki. Mungkinkah film ini yang bakal menang? Itu terserah Academy sepenuhnya. Tapi yang jelas, drama komedi romance ini merupakan sebuah perjalanan dari karakter dengan sudut pandang dan suara yang kuat. Penulisannya pada development karakter juga kuat sekali. Film ini boleh saja aneh, tapi pesannya akan sangat tegas dan bisa kita cerna dengan relatif mudah. Dan film ini tak pernah jadi pretentious dalam melakukan hal tersebut. Also, film ini punya banyak penampilan akting yang menarik. Unik. Yang bikin kita gak nyangka aktornya berani melakukan itu.
The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold stars for POOR THINGS.
That’s all we have for now.
Apa menurut kalian tindakan Bella nge-transplant otak kambing ke mantan suaminya hanyalah sebuah balas dendam, atau sebuah statement? Statement apa kira-kira?
Silakan share pendapatnya di komen yaa
Yang penasaran sama serial detektif cilik Home Before Dark yang kusebut di-review Petualangan Anak Penangkap Hantu kemaren, bisa subscribe Apple TV untuk menontonnya yaa. Mumpung ada promo free seminggu nih. Tinggal klik di link ini https://apple.co/3SqRITp
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL