BUMBLEBEE Review

“Recalling the past can awaken an emotional response”

 

 

 

Setelah film kedua Transformers, 2009 itu, aku meyakinkan diri bahwa hanya gaya sebesar gravitasilah yang mampu membuatku datang menyaksikan franchise ini lagi ke bioskop. Dan aku bertahan – tepatnya, kapok dan begitu merasa terendahkan sehingga aku bertahan. Ditraktir nonton pun, aku ogah. Hingga sekarang, 2018 ini, aku toh akhirnya terseret juga demi melihat nama Travis Knight yang nongkrong di kursi sutradara alih-alih Michael Bay. Aku mengenali nama Knight karena sebelum ini ia menggarap Kubo and the Two Strings; salah satu animasi stopmotion favoritku – di mana dia dengan sukses menangkap perasaan seorang anak yang berusaha mandiri sepeninggal figur ayah dalam sebuah dongeng berlapis. Jadi aku tahu bisa mengharapkan ‘manusia kaleng’ Transformer kali ini bakal punya hati.

Film-film Transformers versi Michael Bay akan diingat sebagai paling parah terutama oleh para penggemar yang tumbuh menonton serial kartun Transformers. Yang mungkin saja sebenarnya mengenang kenangan menonton serial tersebut lebih banyak ketimbang serialnya itu sendiri. Karena Transformers memang sebenarnya sangat cheesy. Bay hanya menambah level kebegoannya. Sejalan dengan itu, mungkin saja bagi yang belum pernah nonton serialnya, robot-robot versi Bay enggak sejelek ‘itu’. Semua itu sebenarnya berhubungan dengan kenangan emosional yang terasa oleh masing-masing individu. Kenangan emosional inilah, yang dijadikan tema besar oleh film Bumblebee.

 

Oleh Knight, memang Bumblebee menjadi film aksi robot yang enggak sekadar mengandalkan CGI mentereng. Tokoh paling populer dalam geng Transformer ini diberikannya cerita solo yang hangat dan menghibur buat semua keluarga. Mengambil posisi sebagai prekuel, cerita Bumblebee adalah tentang bagaimana si robot kuning dikirim ke Bumi selagi para Autobot mengambil napas dari serangan Decepticon. Sendirian, kehilangan suara, dan mengalami gangguan memori, Bumblebee hanya bisa menyamar menjadi mobil kodok sampai seorang gadis delapan-belas tahun menemukannya. Bagi Charlie, Bumblebee adalah hadiah ulangtahun paling berharga yang pernah ia berikan kepada dirinya sendiri. Karena cewek penggemar mobil ini berubah hidupnya setelah membawa Bumblebee pulang. Ia yang merindukan sang ayah menjadi lebih mudah tersenyum karena ia menemukan teman baik dalam diri Bumblebee. Petualangan dua tokoh ini pun dimulai, Charlie belajar banyak hal tentang sikapnya selama ini dan mencoba untuk membuka diri terhadap orang lain sejak kepergian ayahnya, sementara Bumblebee pun harus belajar mengingat siapa dan kenapa dia di Bumi. Terlebih untuk menjawab kenapa pihak militer dan dua robot asing datang mengejar-ngejar, untuk membunuh, dirinya.

Tak pelak, ada banyak keuntungan ketika cerita kita digarap oleh seorang yang sama sekali baru. Tidak pernah ada salahnya menambahkan visi baru ke dalam barisan kita. Mungkin memang bukan prestasi gede sih, mengingat gimana film-film Transformers yang lain. Namun Travis Knight sudah melakukan sesuatu yang gagal dilakukan oleh sutradara sebelumnya dalam film-film tersebut; dia benar-benar tahu apa yang membuat kita jatuh cinta sama robot-robot tersebut. Travis memperlambat segala aspek, mulai dari pace cerita yang kini memasukkan banyak bangunan-bangunan emosi ketimbang eksploitasi wanita dan orangtua ngeganja dan anjing bersenggama. Porsi aksi yang melibatkan robot-robot keren itu kini dibuat lebih mudah untuk diikuti, kita sekarang tahu apa yang terjadi – mana yang diserang, mana yang menyerang. Hilanglah sudah teknik editing slow motion, trus “Buuummmmm” dan ledakan dahsyat dengan gerakan dipercepat kembali. Bahkan ketika para robot mengalami transformasi, film kali ini memberikan kita kesempatan untuk mengagumi perubahan wujud tersebut. Film ingin membawa kita bersama imajinasinya, bagaimana sebuah mobil bisa berubah menjadi robot terus lanjut menjadi pesawat.

aku sih lihat kuningnya Bumblebee jadi emosional teringat saus keju ayam geprek

 

 

Tidak hanya mengerti medan barunya, sang sutradara juga paham untuk membawa ‘permainan’ ke zona yang sudah ia kuasai, membuat film menjadi semakin asik untuk diikuti. Charlie yang diperankan dengan gemilang oleh Hailee Steinfeld (cewek ini berhasil melampaui apa yang sudah ia capai dalam permainan perannya di The Edge of Seventeendiberikan lapisan yang semakin mendaratkan karakternya ke lembah relasi dan kepedulian kita terhadapnya. Babak pertama film ini benar-benar gampang untuk kita cintai. Dinamika keluarga Charlie, hubungan dirinya terhadap ibu, adik, ayah tiri, ‘permasalahan’ yang ada di sini dibangun dengan begitu loveable. Film memperkenalkan Charlie sebagai cewek yang sedikit menyedihkan, dia suka dengerin The Smiths, dia cuek ama penampilannya, dia lebih suka main ke bengkel karena di sana kerjaan yang gagal ia lakukan enggak bakal diledek sama temen-temen, Charlie benar-benar terpuruk setelah ditinggal ayahnya. Charlie bukannya awkward dan enggak kompeten. Dia hanya merasa tidak nyaman lagi melakukan apa yang ia bisa karena semua hal tersebut mengingatkannya kepada ayahnya – sosok yang selama ini menyemangati dan mendukung hobinya, yang percaya padanya. Dan ini berbalik membuatnya tertekan. Karakter Charlie dibuat berlawanan namun paralel dengan Bumblebee yang juga kehilangan semua kemampuan, namun hanya karena tidak ingat dirinya siapa. Persahabatan Charlie dan Bumblebee yang saling mengisi menjadi hati utama cerita, meski kadang hubungan mereka terasa terlalu familiar.

Setiap kali gagal, Charlie akan merasakan luapan emosi yang membuatnya teringat kepada sang ayah. Ada adegan di awal cerita ketika Charlie ingin membuang piala-pialanya; yang jika bisa dikaitkan dengan ia ingin melupakan ayahnya karena mengenangnya membuat Charlie merasa depresi. Yang pada akhirnya harus dipelajari oleh Charlie adalah bagaimana memilah antara kenangan emosional dengan kenangan sebenarnya yang murni kepada sang ayah. Karena bukan ayahnya yang ingin ia buang, dia hanya perlu emosi yang bisa menggantikan emosi yang ia rasakan ketika ayahnya masih ada untuknya.

 

 

Film mengambil tahun 1987 sebagai latar cerita. Ini bertujuan lebih dari sekadar untuk menyamakan dengan tahun kemunculan serial kartun Transformers. Bukan pula hanya supaya film jadi bisa punya banyak referensi nostalgia. Tentu, melihat Bumblebee nonton The Breakfast Club (1985) kemudian niruin gaya si Bender sambil muterin lagu soundtrack film tersebut akan selalu mengundang tawa dan rasa menyenangkan. Film ingin membangkitkan kenangan emosional kita lebih jauh sehingga kita juga merasakan hal yang menyenangkan saat menonton film ini. Buatku, ini adalah langkah yang sedikit berlebihan, karena Bumblebee punya cerita dan karakter-karakter yang sebenarnya bisa berdiri sendiri. Tetapi film berusaha menyusupkan sesuatu desain supaya kita merasakan kenangan emosional tersebut. Apakah ‘sesuatu’ itu? Well, ini petunjuknya:

Pertama; Sadar gak sih dari segitu banyak referensi budaya pop 80an yang dimunculkan, hanya ada satu yang begitu ikonik tapi sama sekali tidak disinggung oleh film Bumblebee.

Kedua; Steven Spielberg, yang dikredit sebagai eksekutif-produser.

Aku akan menabrak garis spoiler untuk paragraf-paragraf berikut, jadi silahkan tebak maksud dua clue di atas dan stop membaca jika enggak sudi mengetahui lebih banyak sebelum menonton filmnya.


 

 

Yang kumaksudkan adalah film E.T. The Extra-Terrestrial (1982). Cerita Bumblebee praktisnya adalah cerita E.T. yang sudah bertransformasi. Secara subtil, nyaris denyut per denyut kejadian-kejadiannya mirip sekali. Anak yang ditinggal ayahnya ketemu ama Alien ‘jinak’. Si Alien dirahasiakan karena diincar oleh militer yang menganggapnya sebagai makhluk jahat nan berbahaya. Si Alien yang ditinggal di rumah, malah keluar dan merusak rumah tersebut. Hampir seperti menggunakan naskah yang sama. Film seperti membuat alam sadar kita berpikir mengenai E.T. sehingga kenangan emosional saat menonton film manis itu terbangkitkan dan kita jadi semakin menikmati film ini. Menurutku ini malah jadi masalah, jadinya malah tampak film ini sedikit males. Maksudku, kenapa mesti sama banget. Kenapa urutannya enggak ditukar dikit, apa gimana.

Kemiripannya ini malah tampak lebih fatal dibandingkan pilihan film untuk memasukkan adegan-adegan yang hanya untuk tawa. Which is jadinya dimaafkan mengingat ya memang Transformers dari serial kartunnya agak-agak lebay sih. Aku sendiri lebih menikmati komedi yang dihadirkan, terutama yang melibatkan John Cena yang kebagian peran sebagai komandan militer, pemimpin pihak manusia dalam pencarian Bumblebee. Progres karakternya juga enak untuk diikuti, Cena adalah manusia pertama yang melihat bangsa robot mendarat di Bumi, dan sebagai bagian dari pelindung negara (masukin lelucon Amerika praktisnya adalah seluruh dunia) tentu saja dirinya punya prioritas yang mempengaruhi cara ia memandang si robot. Sepertinya Cena akan dapat banyak benefit dari penampilannya dalam film untuk keluarga ini. Let’s just say, para penggemarnya akan baik-baik saja jika dia tidak muncul lagi ke dalam ring WWE.

Ini adalah John Cena paling heel yang bisa kita dapatkan seantero galaksi

 

 

 

 

 

Selain masalah kesengajaan dibuat mirip sama satu film klasik, film ini adalah lompatan yang luar biasa dari film-film pendahulunya dalam franchise Transformers. Akhirnya kita dapat cerita perang robot yang enggak sekadar kling-klang-kling-Boom! Akan banyak penggemar yang terpuaskan bahwa akhirnya ada film Transformers yang benar-benar paham hati dan apa yang sebenarnya ingin dilihat oleh mereka. Aku pribadi senang sekali berkat film ini setiap kali mendengar kata Transformers aku tidak akan lagi berteriak marah penuh emosi.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for BUMBLEBEE.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Pernahkah kalian merasa tertekan oleh kenangan terhadap seseorang atau sesuatu? Apakah kalian memilih untuk terus mengingat atau malah mencoba melupakan mereka?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

 

 

 

 

 

 

 

 

 

THE MISEDUCATION OF CAMERON POST Review

“The question is not how to get cured, but how to live”

 

 

 

Hal paling tak-terduga yang pernah ditanyakan seorang cewek kepadaku adalah “Kak, suka gak lihat bokep lesbi?”

Gak pernah jelas bagiku pertanyaannya itu bersifat jebakan atau bukan, like, mungkin dia berusaha cari tahu apa aku pervert or something, tapi yang jelas pertanyaan sederhana tersebut seperti lubang yang menganga sebagai jalan masuk pertanyaan-pertanyaan ‘deep thoughts‘ untuk dibahas.

Kenapa pria begitu suka nonton bokep, bahkan ketika aksi yang dilihatnya berupa cewek-dengan-cewek yang dipercaya sebagai sesuatu yang gak bener. Apakah industri porno juga ngikutin selera pasar; apakah ‘pasarnya’ itu laki-laki. Ketika membicarakan adegan lesbi, ada gak sih penontonnya yang kritis, like, mungkin gak sih ada cewek yang nonton, trus memprotes adegan lesbian ternyata enggak seperti itu kenyataannya di dunia nyata? Seberapa beda seks dipandang oleh laki-laki dengan oleh perempuan?

 

Tak bisa dipungkiri industri perfilman masih didominasi oleh laki-laki. Jadi, selama ini kita melihat adegan skidipapap, dalam film beneran maupun film biru, sebagian besar didepiksi melalui ‘mata-mata lelaki’. Meskipun film yang baik biasanya hanya menampilkan adegan dewasa yang paralel dengan tema atau gagasan besar yang ingin disampaikan, tapi fokusnya tetap berpusat kepada kesenangan dan fantasi pihak pria. Bahkan Blue is the Warmest Color (2013), film Perancis tentang romansa dua wanita itu, yang dapat banyak nominasi dan menang banyak award itu, tetap saja masih terkurung dalam bingkai sudut pandang lelaki. Pemain wanitanya sendiri melaporkan merasa seperti seorang tunasusila saat merekam adegan seks enam-menit yang membuat film tersebut ‘terkenal’ (klik ini buat artikelnya)

Baru saat menonton The Miseducation of Cameron Post, aku merasa selama ini sudah ‘salah edukasi’ dalam menilai seni dari adegan-adegan dewasa pada film. Digarap oleh sutradara perempuan, Desiree Akhavan, adegan panas dalam film ini (kita akan melihat banyak aksi cewek-dengan-cewek) enggak sekadar ‘panas’, aku yang cowok bisa merasakan keragu-raguan, keberantakan, kespontanan yang ditakutkan menjadi penyesalan yang menguar kuat dalam setiap pertemuan seksual. Dan sepertinya memang seperti demikianlah realita erotika di mata wanita.

Dengan sama realnya, film ini membahas tentang kejiwaan Cameron Post yang mendapat halangan dalam mengeksplorasi seksualitas dirinya, karena yang Cameron rasakan merupakan hal terlarang dalam agama. Cameron yang yatim piatu dikirim oleh tantenya ke rehab khusus untuk remaja Kristen yang mengalami penyimpangan orientasi seksual setelah Cameron ketahuan sedang ‘pacaran’ bersama sobat ceweknya. Di sana Cameron tak ubahnya pasien yang harus segera disembuhkan dari penyakit yang mematikan. Dengan set-upnya ini, film akan bermain di antara satir dengan drama yang tulus, menempatkan kita ke dalam batas pandang Cameron yang dipaksa menerima bahwa apa yang ia rasakan adalah hal yang salah. Meskipun udah banyak menampuk peran-peran kontroversial, pernah bermain sebagai anak kecil kasar, penyihir remaja, hingga vampir muda yang tak bakal tua, Cameron termasuk tokoh paling ‘dewasa’ yang pernah dimainkan dengan gemilang oleh Chloe Grace Moretz.

Cowok di sekitar Chloe bisa-bisa insecure semua melihat betapa meyakinkannya orgasme yang ia terima di film ini

 

 

Sebuah film enggak harus punya gagasan yang sesuai dengan yang kita setujui untuk dapat dinikmati. Film enggak musti politically correct. Karena toh kita bisa saja setuju ama pendapat yang diusung oleh orang lain, dan tidak mengubah pendapat milik kita sendiri. Yang penting adalah bagaimana film tersebut mengutarakan idenya. Buah pikiran utama yang dibahas oleh film ini adalah soal apakah homoseksual sebuah penyakit, sebuah disorder. Film punya jawabannya sendiri atas pertanyaan tersebut, dan dia mengungkapkannya dengan begitu menawan.

“Tidak ada yang namanya homoseksual,” kata ibu kepala pembimbing Cameron yang galaknya membuat dirinya ekivalen dengan Hitler si pemimpin Nazi, “Tentunya kita tidak membiarkan pengguna narkoba mengadakan pesta obat, bukan?” dengan tegas film menekankan bahwa menyukai sesama jenis bukan saja sakit yang harus disembuhkan, melainkan juga kriminal yang harus dibasmi. Karakter si Ibu dan antek-antek pusat rehabilitasi yang dijadikan antagonis oleh film ini memang bisa terlihat sebagai satu dimensi, dan jadi masalah buat sebagian penonton yang menginginkan kedalaman yang lebih. Tetapi kita harus ingat mereka adalah bagaimana Cameron memandang mereka. Cameron, si gadis remaja, di satu sisi juga digambarkan tidak terbuka kepada mereka. Dan ini bukan kelemahan naskah, melainkan kekuatan lantaran penulisannya benar-benar menilik dari sudut pandang remaja yang merasa disudutkan. Yang merasa bimbang karena tidak tahu pasti apakah emosi yang ia rasakan akan mendapat dukungan. Melihat interaksi Cameron dengan pembimbingnya, seperti melihat interaksi betulan antara remaja dengan orang dewasa. Remaja akan berahasia, akan mendengarkan apa kata yang lebih tua, dan melawan dalam diam – sebagai remaja kita toh sering merasa orang yang tua dari kita tampak ‘sok tahu’ ketika sedang menasehati. Seolah mereka merasa mereka yang paling benar. Perasaan itu tergambar sempurna lewat naskah dan akting yang luar biasa.

Hal mengerikan yang terjadi kepada Cameron selama dia diasramakan adalah gimana semakin hari, dia yang tadinya merasa enggak bersalah, toh jadi kemakan juga; dia mulai cemas dan mempertanyakan gimana kalo dia memang salah; gimana kalo yang ia rasakan memang perasaan yang salah. Dia mulai takut; karena dorongan seksual bercampur insecure yang lagi dan semakin gede-gedenya, setiap malam Cameron bermimpi ena-ena, dan ini berbahaya karena bagaimana jika desahannya terdengar oleh pengawas yang secara random mengecek kamar. Melihatnya begitu, kita turut merasa was-was. Karena film juga memperlihatkan bahwa pihak rehab juga sebenarnya tidak tahu apa yang mereka lakukan. Yang mereka sebut mengobati hanyalah menyuruh Cameron dan teman-temannya mengisi sendiri ‘gunung es’ yang menjadi sumber masalah penyimpangan orientasi mereka. Dan kita melihat Cameron dan teman-temannya mengisi dengan ngarang. Mereka asal saja menaruh hal-hal seperti sering nonton sepakbola bersama ayah, sering membantu ibu, terlalu suka berolahraga, sebagai akar masalah yang disetujui oleh pihak rehab. Momen saat Cameron menumpahkan emosinya di babak akhir terasa sangat kuat karena begitu menyimpulkan apa yang sebenarnya terjadi di sana.

Bahwa homoseksual tidak bisa disembuhkan dengan paksa. Yang ada hanyalah, remaja itu dipaksa untuk membenci diri mereka sendiri, membenci sedemikian besar, sehingga mereka ingin mengubah siapa dirinya. Dan itu bukanlah cara yang sehat. Memang bukan lobotomi yang dilakukan oleh rehabilitasi God’s Promise, namun practically sama saja dengan mencuci otak. Bukan menyembuhkan yang seharusnya ditanyakan, melainkan bagaimana hidup dengan ‘sehat’

 

Orangtua yang menonton diharapkan menjadi bisa mengerti terhadap apa yang sedang dialami oleh anak remaja yang mengalami masalah (kalo masih mau disebut masalah) seperti Cameron. Seperti keluarga Dursley yang takut Harry Potter mewarisi kemampuan sihir ayah-ibunya; you just can’t beat that shit out of them. Ada proses, ada pendekatan. Salah-salah, orang tersayang kita bisa-bisa berakhir menjadi seperti salah satu teman Cameron di asrama. Salah satu yang menarik dalam cerita memang bagaimana Cameron memperhatikan teman-teman di asrama yang sama-sama dipaksa meyakini mereka terjangkit ‘kebingungan gender’. Agak sedikit disayangkan kita tidak bisa melihat karakter-karakter berwarna itu (ada satu teman Cameron yang keturunan Indian dan dia dikatain punya dua jiwa – cowok dan cewek – bersemayam di dalam tubuhnya) lebih banyak karena film hanya memberi kita informasi sebanyak yang diketahui oleh Cameron. But when it’s sweet, it’s sweet, you know.

adegan favoritku adalah ketika remaja-remaja itu nyanyiin “and I say hey yeah, yeah, yeah, yeah” di dapur

 

 

 

Berada di sisi remaja, namun tampak diniatkan lebih besar teruntuk orangtua. Meskipun tidak memberikan jalan keluar yang benar-benar terang, namun orangtua diharapkan menarik kesimpulan untuk membiarkan para remaja mengekpresikan, mengalami sesuatu, dan merasa bersalah karenanya. Berikan remaja kesempatan untuk belajar, dan mencari ‘kesembuhan’ terbaik untuk diri mereka. Karena dibuat oleh wanita, dan bicara tentang remaja wanita, segala aspek dalam film ini terasa real. Dan tidak sekalipun menghindar darinya. Satu-dimensi pihak antagonis tidak akan mengurangi film terlalu banyak, karena dia tetap bermain dalam sudut pandang protagonisnya. Dan I don’t mind it either, sebelum ini kita dapat Udah Putusin Aja! (2018) yang juga tentang seorang remaja cewek diinstitusikan (ke pesantren), tapi film itu jatohnya konyol karena enggak keep it real dengan tokoh otoriter yang dibuat rada bloon demi komedi dan ‘menghaluskan nada’. Lagipula, institusi bersifat rehab yang ‘kejam’ itu toh masih ada, sama seperti masalah Cameron si remaja 90an yang juga masih relevan, makanya film ini jadi begitu penting.
The Palace of Wisdom gives 8 out of 10 gold stars for THE MISEDUCATION OF CAMERON POST.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Jika bukan penyakit, apakah menurut kalian homoseksual itu sebuah pilihan?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

ROBIN HOOD Review

Thievery is what unregulated capitalism is all about

 

 

 

“Salah sasaran!” Tadinya, aku ingin mengatakan hal tersebut kepada pasangan suami istri yang duduk menonton di barisan di depanku, dengan dua anak balita mereka. Maksudku, kenapa ada keluarga yang lebih memilih menonton film Robin Hood ini padahal ada Ralph Breaks the Internet di studio sebelah benar-benar di luar logika buatku. Namun kata-kata tadi aku tarik kembali sebelum melesat dari busur bibir, karena aku menemukan ‘sasaran’ yang lebih tepat.

Bayangkan merasa bosan karena sudah lama enggak ke bioskop, dan sekalinya datang yang kau tonton malah film Robin Hood. Itulah “Salah sarasan!” yang sebenarnya. Film ini tidak akan mengobati rasa jemu. Kalopun iya, itu karena kita akan menemukan banyak hal untuk ditertawakan sehubungan dengan pilihan-pilihan yang diambil dan bagaimana mereka tidak cukup kompeten untuk dapat mengeksekusinya dengan baik.

masih mendingan iklan obat; langsung ke pusat sakit kepala

 

Sudah berulang kali cerita pencuri yang menjadi pahlawan bagi rakyat jelata ini diceritakan di layar lebar. Menyadari penuh hal tersebut, Robin Hood versi 2018 sesegera narasi pembuka bergulir mengajak kita meruntuhkan apa yang telah kita ketahui tentang legenda Robin Hood, dan bersiap mengarungi kisah yang katanya tidak seperti kita kenal sebelumnya. Film ini tidak kusebut jelek karena memang menjadi sedikit berbeda dari yang sudah-sudah, malahan aku senang film punya keinginan bercerita dengan caranya sendiri. Heck, aku bakalan girang banget kalo mereka merombak totatl; katakanlah menjadikan Robin cewek atau suku minoritas. Walau enggak mengubah ampe segitunya, toh film ini berusaha menyesuaikan cerita dengan kejadian di masa sekarang – memberikannya relevansi. Orang kaya yang dirampok Robin pada film ini, adalah penguasa korup yang mencopet rakyat secara halus. Lewat slogan-slogan politik. Lewat ayat-ayat Kitab Suci. Perang Salib antara bangsa Eropa dengan bangsa Arab dijadikan latar film ini yang seharusnya berfungsi sebagai cerminan motivasi – berkaitan dengan panji pencitraan agama yang dikibarkan oleh cerita. Robin Hood tidak lagi sekedar anti-hero. Sutradara Otto Bathurst mengarahkan tokoh ini menjadi superhero bagi kaum papa. Sayangnya naskah sepertinya terlalu berat bagi pundak film ini. Segala aspek-aspek politik dan agama yang menarik tersebut hanya laksana tudung yang tak pernah benar-benar membungkus. Dan film ini pada akhirnya dikata-katai film superhero hanya karena usaha ngeset sekuel yang terang-terangan meniru Marvel atau DC.

Segala tetek bengek gimana orang menggunakan agama untuk menakuti, mengontrol massa – menguatkan posisi secara politik, dan pada akhirnya UUD (Ujung-ujungnya Duit) tidak pernah menunjukkan dampak secara emosional karena tokoh utama cerita tidak diperlihatkan benar-benar tertarik kepada itu semua. Robin si Bangsawan dari Loxley (Taron Egerton pembawaannya terlalu boyband untuk karakter sebroke-down ini) sedari sepuluh menit awal yang krusial dikukuhkan motivasinya adalah cinta kepada Marian (begitu juga Eve Hawson yang covergirl jelita banget untuk ukuran rakyat kelaparan jelata). Kebersamaan dua orang yang lebih cocok sebagai idola remaja tersebut dipersingkat oleh surat perintah wajib militer yang datang dari sheriff di kota. Robin kudu ikutan berperang di gurun pasir Arab. Sekembalinya dari medan perang – ia dikirim pulang lantaran gagal patuh terhadap perintah membunuhi orang tak berdosa – Robin mendapati rumah kastilnya disita oleh si sheriff. Eksistensinya juga direnggut lantaran sheriff memasukkan namanya dalam daftar korban perang. Dan paling parah baginya, ia juga mendapati sang istri sudah menjadi istri orang lain. Mendadak miskin, tanpa teman maupun pasangan, Robin sudah akan hancur jika bukan karena John, pejuang Arab yang mengikuti dirinya lantaran terkesan sama sikap Robin di peperangan. John-lah yang ‘membisiki’ Robin apa yang harus dia lakukan. John yang melatihnya melakukan hal-hal keren dengan busur dan anak panah. John yang memberikannya tudung trendi yang bakal jadi seragam ikoniknya. John yang diperankan oleh Jamie Foxx-lah yang sedikit menyelamatkan film ini.

Memparalelkan Robin Hood dengan penguasa lalim; korupsi personal dengan korupsi institusi, benar ini adalah cerita tentang para pencuri. Salah satu kerusakan itu akan memakan kerusakan yang satunya, dan memperbesar diri. Semuanya karena uang. Dalam film ini, uang adalah simbol kekuasaan. Ngerinya, sepertinya di dunia nyata juga begitu.

 

 

Enggak ada yang salah dengan aktor-aktor yang meramaikan film ini. Hanya saja, kita melihat mereka bermain lebih bagus di film lain, kalian tahu, sedangkan di Robin Hood ini mereka semua terlihat biasa-biasa saja. Malah cenderung annoying. Jamie Foxx kelewat over-the-top. Dia lucu saat tidak sedang melucu – seperti sewaktu dia berteriak-teriak sebelum menggantung orang. Sedangkan ada tokoh lain seperti si Friar Tuck yang memang ditampuk sebagai peran komedi malah jatohnya garing; tidak ada yang tertawa mendengar komentarnya yang seperti menyindir. Karakter-karakter yang ada, semuanya tumpul kayak anak panah yang belum diasah. Dan ini lucu mengingat anak panah dalam film ini digambarkan mempunyai kekuatan perusak seperti peluru senjata api. Motivasi tokoh utamanya, seperti yang sudah aku tulis, terasa sepele. Tokoh ceweknya butuh untuk diselamatkan, dan enggak benar-benar punya manfaat selain berdiri di sana, dengan pakaian nyaris tertutup, tersenyum dan terlihat flawless – seolah dia tidak berada di zaman dan kondisi yang sama dengan orang lain di sekitarnya. Gimana dengan tokoh antagonisnya, kalian tanya? Hahahaha mereka jahat, culas. Kalo ngomong selalu keras-keras. Benar-benar komikal dan satu dimensi. Ada satu adegan seorang tokoh petinggi gereja yang tertawa membahana, kemudian mendadak mengubah nada bicaranya dengan mengancam, dan musik juga dramatis banget, dan si tokoh itu enggak pernah dibangun dulu karakternya.

curi… curi-curi pandang

 

 

Kita enggak bakal mampu untuk peduli sama tokoh-tokohnya. Bahkan aspek cinta segitiga tidak mampu untuk membawa kehangatan ke dalam film yang berskala warna coklat dan biru keabuan ini. Aspek mata-mata turut mewarnai cerita; di saat enggak merampok kas pajak, Robin akan bertugas sebagai bangsawan dermawan yang senantiasa di sekitar sheriff dan penguasa. Cara film menggarap bagian ini persis berasa sinetron. Dengan close-up Robin yang senyam-senyum ke kamera ketika dia berhasil mengelabui penjahat, ataupun tampang cemasnya saat ada hal ‘gak enak’ yang harus dia lakukan. Intriknya tidak pernah benar-benar terasa.

Jika kalian merasa porsi aksi akan menjadi obat penawar, maka kalian juga sama salahnya seperti aku. Karena bagian aksi film ini malah lebih memalukan lagi. Di antara hujan anak panah dan derapan kuda-kuda CGI itu, kita akan menemukan orang-orang berlarian dalam gerakan lambat, kemudian melompat dan menjadi cepat, melepaskan anak panah, kembali dalam slow-motion, dan cepat lagi. Aku gak percaya masih ada film yang masih memakai teknik editing yang mengesalkan seperti begini. Cara yang sangat malas dalam upaya membuat adegannya tampak intens. Aku bahkan merasa bosan melihat adegan aksinya. Sama seperti para pemainnya, aku yakin orang-orang yang bekerja di spesial efek dan editing ini bukan orang sembarangan, mereka punya keahlian khusus. Hanya saja pilihan yang dilakukan film membuat semuanya tampak enggak kompeten.

 

 

 

 

Seharusnya bukan cuma aktor saja yang diajari cara memanah. Film harusnya juga belajar menentukan sasaran mereka, menembaknya dengan tepat. Segala unsur modernisasi dan kerelevanan yang ada pada cerita dimentahkan oleh penceritaan dan arahan yang begitu konservatif. Hampir seperti mereka tidak cukup mampu untuk menangani cerita yang bener. Semua penampilan di film ini jatohnya jadi memalukan. Setidak-tidaknya film yang udah kayak cerita superhero ini bisa menghadirkan bagian aksi yang exciting, namun mereka bahkan tidak sanggup untuk melakukannya.
The Palace of Wisdom gives 2 out of 10 gold stars for ROBIN HOOD.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Apakah mencuri demi orang lain membuatmu pahlawan?

Pernahkah kalian mencuri untuk kebaikan, share dong pengalamannya

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

 

 

SUZZANNA: BERNAPAS DALAM KUBUR Review

“Admitting we’re wrong is courage, not weakness”

 

 

 

Suzzahnya untuk enggak berprasangka buruk duluan terhadap film yang berusaha menghidupkan kembali legenda. Selalu ada dugaan, jangan-jangan ini proyek cari duit semata. Palingan cuma ngikut-ngikut Pengabdi Setan. Terlebih proyek ini sendiri sejak awal sudah dikonfirm bukan sebagai cerita remake, maupun reboot, melainkan cerita baru dengan tokoh Suzzanna – basically mereka membuat film berdasarkan mitos-mitos yang membuat seorang Suzzanna populer. Jadi, ya, aku bernapas dalam-dalam sebelum melangkah masuk ke bioskop menyaksikan film ini.

Dan saat kredit penutup bergulir, aku menghembuskan napasku dengan lega!

 

Suzzanna: Bernapas dalam Kubur bukan proyek berkedok ‘reborn’ yang dibuat ala kadarnya alias asal-asalan. Film ini benar-benar punya cerita untuk disampaikan, mereka menggali sudut pandang dengan lebih dalam. Film ini nyatanya juga menghibur, tetapi enggak terpuruk ke level receh, dan enggak sekadar menunggang ombak kepopuleran horor dan Suzanna itu sendiri. Kita bisa merasakan passion terhadap genre ini. Rasa hormat terhadap sang Ratu Horor pun menguar dengan kuat. Di kemudian hari, aku yakin this will be a ‘go to’ movie kalo kita lagi pengen maraton horor atau ngadain nobar. Film ini enggak takut untuk menggunakan formula standar, dengan cerita yang tradisional, karena mereka paham sudut mana yang belum tergali, dan film fokus dalam area ini. Sehingga terasa seperti sesuatu yang pernah kita lihat sebelumnya, namun sekaligus seger. Seperti Suzzanna sendiri; kita tahu siapa dirinya, tapi juga merasa masih banyak misteri padanya yang membuat kita penasaran.

Dalam film, jika ada tokoh yang mengucapkan janji, maka niscaya naskah akan sekuat tenaga membuat janji tersebut terlanggar. Satria (rambut Herjunot Ali membuatnya mirip Eddie Guerrero masih muda) berjanji kepada Suzzanna, istrinya, tidak akan membiarkan apapun mengganggu keluarga kecil mereka. Tidak berapa lama setelah itu, kerjaan mengirimnya ke Jepang – berpisah sementara dengan istri yang sedang mengandung. Meninggalkan Suzzanna (penampilan horor terbaik Luna Maya!) yang begitu cinta dan setia di rumah besar mereka ‘hanya’ bersama tiga orang pembantu. Benar-benar mangsa empuk buat empat karyawan Satria yang berniat menyatroni rumah. Merampok mereka. Malam minggu hujan deras itu, para rampok menjalankan aksi. Untuk beberapa saat, cerita mengambil bentuk thriller home-invasion, Suzzanna yang saat itu lagi sendirian harus berurusan dengan sekelompok orang yang menodai kedamaian malamnya. Dia melawan sekuat tenaga, bahkan membuat empat pria tersebut kalang kabut. Rencana matang itu berantakan. Dari yang tadinya tak berniat mencelakai sama sekali, perlawanan Suzzanna membuat para rampok terpaksa membunuhnya dengan tidak sengaja. Kebayang gak tuh, mentoknya gimana? terpaksa dengan tidak sengaja haha.. Cerita berkembang menjadi menarik ketika Suzzanna yang dikubur hidup-hidup bersama jabang bayinya dalam tanah basah yang dingin, terbangun di ranjangnya yang putih nan hangat. Bukan sebagai manusia, melainkan sebagai hantu Sundel Bolong yang sangat kuat. Dia ada di sana untuk balas dendam, namun terikat oleh cinta kepada sang suami. Dia bisa saja segera membunuh keempat perampok yang bikin rusuh keluarga mereka, akan tetapi itu akan membuatnya benar-benar terpisah dari suami yang sangat ia cintai.

Itu seperti ketika Nobita dalam kartun Doraemon pengen makan dorayaki tetapi ia enggak sudi makanannya habis. Konflik utama film ini datang dari Suzzanna yang mencoba figure out apa yang sebaiknya dia lakukan.  Lucu, kalo dalam konteks cerita anak-anak. Tidak demikian halnya ketika kita melihat dari sisi Suzzanna. Sedih melihat Suzzanna yang ingin menuntut balas, hanya saja dia tidak bisa langsung melakukannya. Sejatinya ini adalah kisah balas dendam. A GHOST’S REVENGE STORY. Film dengan pintar membalutnya ke dalam mitologi klenik lokal. Cerita menetapkan aturan-aturan soal gimana Sundel Bolong ‘bekerja’, bagaimana cara mengalahkannya, dan bekerja dengan konsisten di dalam kotak aturan tersebut. Strukturnya juga sangat jelas; dari set up kematian, babak kedua yang basically Suzzanna ‘bereksperimen’ dengan kekuatan hantunya, hingga penutup saat ‘kedoknya’ sebagai hantu yang menyamar menjadi manusia terungkap.

Jika tujuan hidupmu adalah balas dendam, apakah kau akan tetap melakukannya bahkan ketika itu berarti kau akan kehilangan orang yang kau sayangi? Film ini bicara tentang pengorbanan sebenar besar yang rela kita lakukan ketika begitu kuat rasa cinta tersebut mengakar.

 

Film ini tampak dibuat dengan usaha yang maksimal. Bernapas dalam Kubur adalah salah satu horor paling good-looking yang bisa kita saksikan tahun ini. Efek dan prostetiknya sangat meyakinkan. Untuk riasan Suzzanna sendiri, wah gak sia-sia sih mereka datangin tata rias dari Rusia. Penampilan wajah yang udah kayak diphotoshop ditunjang oleh permainan akting Luna yang diarahkan supaya mirip banget sama gestur dan cara ngomong Suzzanna. Dunia tahun 80an akhir itu pun semakin terlihat sempurna dengan detil-detil artistik yang begitu diperhatikan. Bahkan dialog dan pengucapannya pun terdengar vintage sekali. Film ini boleh dibilang lebih mirip sebuah tindak restorasi jika saja dia tidak memberikan cerita baru. Personally, aku suka opening credit yang menampilkan shot-shot dari angkasa, memberikan nuansa seperti pembuka dalam film horor Stanley Kubrick – yang juga berjaya di tahun 80an. Satu shot paling aku suka ketika Suzzanna melayang pergi sambil mengangkat kepala korbannya, momen kemenangan paling eery yang pernah kita lihat, dan kamera dengan bijaknya bergerak miring melakukan Dutch Tilt menghasilkan kesan yang luar biasa sureal.

Di akhir-akhir Suzzannanya jadi keriting dan jadi lebih mirip Boneka Sabrina hhihi

 

 

Bekerja dengan lumayan baik sebagai komedi, dari bagaimana Suzzanna yang passionate sekali dalam menghantui musuh-musuhnya. Dia tahu dia punya kekuatan atas mereka, kita melihat Suzzanna selalu bermain-main dengan mereka. Mencoba masuk ke dalam kepala mereka satu persatu, membuat mereka takut, memancing mereka ke tempat-tempat membahayakan nyawa, sehingga mereka bisa terbunuh secara tak langsung. Atau bahkan membuat mereka tidak sengaja saling membunuh. Ada satu perampok yang sangat ketakutan – dia actually dipelototin Suzzanna yang lagi meregang nyawa – sampai-sampai dia takut untuk tidur sebab setiap kali memejamkan mata, dia melihat wajah melotot Suzzanna. Cara yang pintar untuk menunjukkan psikologi seorang yang merasa bersalah, dan sedikit mengingatkanku pada elemen Freddy Krueger dalam seri horor A Nightmare on Elm Street. Film benar-benar memanfaatkan durasinya untuk pengembangan karakter, kita diberikan kesempatan untuk melihat dari sisi para perampok – gimana takutnya mereka, gimana usaha mereka untuk selamat dari dendam Suzzanna, bahkan ada satu yang diberikan motivasi yang cukup simpatik. Dan semua itu membuat cerita menjadi semakin berisi. Para penjahat enggak sekedar duduk di sana, menunggu giliran untuk dibunuh.

Dibutuhkan keberanian yang besar untuk mengakui kesalahan. Untuk meminta maaf. Dalam kasus ini, untuk mengakui perbuatan  kriminal kepada polisi. Suzzanna punya kekuatan atas para perampok bukan karena dia benar dan mereka salah. Berbuat kesalahan tidak membuat kita lemah. Tidak mengakuinya lah yang menunjukkan seberapa ‘kuat’ kita

 

 

Inilah yang menyebabkan porsi horor film ini tidak tampil sekuat versi dramanya. Kita tidak pernah benar-benar merasa takut kepada si Sundel Bolong, malahan kita mendukungnya. Kita senang melihat dia berhasil menemukan cara untuk balas dendam. Wujudnya memang mengerikan, tapi fakta bahwa Sundel Bolong hanya memburu orang yang terlibat dalam kematian dirinya, membuat kita merasa aman. Kita gak salah, jadi kita gak akan dikejar oleh Suzzanna. Well, kecuali kalo kalian pernah berbuat salah sama orang yang sudah meninggal, maka film ini tidak akan membuat kalian tersentak terbangun dari mimpi buruk. Sekuen-sekuen kematian hadir dengan cukup sadis, meyakinkan sekali, sehingga kadang muncul sedikit rasa kasihan juga melihat orang-orang jahat itu mendapatkan ganjarannya. Satu lagi dampak positif dari hantu sebagai tokoh utama ini adalah film tidak merasa perlu-perlu amat untuk bikin kita kaget dengan kemunculan Sundel Bolong, sehingga mereka dengan gagah berani memunculkan hantu begitu saja, tanpa disertai suara keras yang ngagetin. Suatu kemajuan buat horor Indonesia.

tanggal mati Suzzanna di film ini sama ama tanggal lahirku, hiii!

 

 

Untuk sebuah cerita yang memasang Suzzanna sebagai hantu yang mencoba hidup sebagai manusia, mengelabui pembantu-pembantu di rumahnya, film sebenarnya agak kurang memperlihatkan bagaimana keseharian Suzzanna. Para pembantu bingung oleh kabar dari tetangga sekitar, mereka bicara seputar gosip yang beredar, tapi kita enggak pernah benar-benar melihat efek Suzzanna terhadap penduduk kota mereka. Kita tidak banyak diperlihatkan bagaimana tepatnya dia berusaha tampil sebagai manusia, sampai menjelang babak akhir di mana Satria pulang ke rumah dan mendengar segala desas desus keanehan Suzzanna selama dia pergi. Sudah cukup bagus sebenarnya, film ngebangun Suzzanna tadinya seorang muslim yang rajin ke mesjid, dan kemudian kita diperlihatkan Suzzanna banyak alesan ketika diajak sholat oleh Satria. Kita merasakan sebersit ketakutan di mata Suzzanna – dia takut ketahuan sudah menjadi hantu – dan ini menakjubkan, maksudku, seberapa sering kita melihat adegan hantu yang ketakutan. Hampir enggak pernah, kan ya. Pun, Suzzanna-lah yang pada akhirnya belajar untuk melepaskan. Film ini memainkan semacam role-swap antara dua makhluk beda-dunia. Namun begitu, menurutku, ending yang dipilih oleh film justru melemahkan arc Suzzanna sendiri.

Aku tidak benar-benar setuju dengan keputusan film di akhir, karena membuat kejadian pada konfrontasi final yang enggak se-tight kejadian-kejadian pada bagian lain. Malah ada beberapa yang konyol seperti kenapa mereka yang bisa mengikat tangan Sundel Bolong enggak sekalian aja menyumpal mulutnya supaya dia enggak bisa bicara dan memperingatkan Satria. Tapi yang paling lucu buatku adalah gimana Satria melihat pantulan dari bola mata Suzzanna seolah sedang melihat cermin spion. Film seperti ‘kesusahan’ mencari cara supaya Satria percaya dan akhirnya melakukan langkah lucu yang tak perlu seperti demikian. Maksudku, toh kalo memang outcome dari pertarungan terakhir itu harus Satria luka di punggung (paralel dengan lubang di punggung Suzzanna), kenapa enggak membuat Satria tertusuk saja di sana? Kenapa mesti dia melihat pantulan dari bola mata, baru sadar, berantem, kemudian tertusuk. Ada cara yang lebih simpel dengan membuat langsung tertusuk dari belakang, sehingga Satria sadar, dan baru deh berantem.

 

 

 

Menyentuh melihat ada hantu yang rela kepanasan dengerin bacaan Al-Quran demi cintanya yang besar dan murni. Ini adalah salah satu film dengan cerita dan usaha yang paling fully-realized yang kutonton tahun ini. Yang perlu diingat adalah, film ini hebat bukan karena kesuksesannya meniru tokoh ataupun menghidupkan legenda. Film ini hebat karena berhasil membangun cerita, dan kemudian menyampaikannya sebagai sebuah tontonan drama cinta yang lumayan heartbreaking, dengan undertone horor yang meriah oleh warna darah. Menghibur juga, meski di akhir aspek fun tersebut agak sedikit kebablasan.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for SUZZANNA: BERNAPAS DALAM KUBUR

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Dalam cerita film ini, para penjahat menemukan solusi ekstrim untuk mengalahkan Suzzanna. Tapi apakah itu satu-satunya cara? Bagaimana jika ada satu penjahat yang insaf, dia bertobat dan rajin sholat – apakah menurut kalian dia bisa lolos dari Suzzanna, apakah tindakannya akan mempengaruhi banyak hal dalam cerita? Atau apakah menurut kalian balas dendam itu memang harus dituntaskan?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

 

 

FANTASTIC BEASTS: THE CRIMES OF GRINDELWALD Review

“The question isn’t whether the world is perfect. The real question is: If it were, would you still be in it?”

 

 

 

 

Kejahatan yang dilakukan oleh Grindelwald bersumber dari keinginannya untuk membuat dunia penyihir hebat kembali.

 

Terdengar familiar? J.K. Rowling tampaknya memang punya visi yang lebih besar ketika diminta untuk melayarlebarkan buku saku kecilnya tentang binatang-binatang dunia sihir. Lanjutan dari petualangan seorang magizoologis, Newt Scamander, ini terhadir lebih sedikit tentang menangkap makhluk legendaris (bayangkan pokemon, hanya yang ini pake tongkat sihir alih-alih pokeball), dan lebih banyak tentang eksplorasi keadaan politik ala jaman Nazi – yang terkadang secara eksplisit diparalelkan dengan kehidupan modern kita yang sekarang.

Tidak butuh waktu lama buat penyihir sebrilian Grindelwald – yang ditahan di kementrian sihir Amerika di film pertama – untuk berhasil melarikan diri. Bermaksud mengumpulkan faksi, Grindelwald mengejar si cowok dengan kekuatan Obscural, si Credence, sampai ke negeri Perancis. Untuk alasan yang diungkap di momen terakhir film, Grindelwald percaya Credence adalah satu-satunya penyihir yang bisa mengalahkan Dumbledore, dan itu berarti mengenyahkan satu-satunya penyihir yang ia tahu mampu menghalangi niat mulia dirinya. Sementara itu, jagoan kita Newt Scamander sedang berjuang supaya larangan bepergiannya dicabut. Newt masih ingin mengoleksi hewan-hewan sihir. Saat itulah Dumbledore datang kepadanya; meminta Newt untuk mencari Credence ke Paris, sebelum Grindelwald berhasil merekrut sang pemuda malang yang sedang kebingungan dengan identitasnya. Cerita film ini sudah cukup njelimet sejak dari bagian awal. Perjuangan di film ini lebih kepada bagaimana mereka menempatkan Newt Scamander di tengah-tengah pusaran konflik dan pencarian identitas tersebut dan drama tokoh-tokoh yang datang silih berganti.

adegan paling lucu buatku adalah melihat bentuk boggart yang menampilkan ketakutan terbesar Newt Scamander

 

 

Sesekali film akan mencuri kesempatan membawa kita masuk ke dalam koper ajaib Newt, just to live it up to its title. kita akan melihat Newt berinteraksi dengan hewan dunia sihir. Ada satu adegan dengan CGI menakjubkan ketika Newt berenang menenangkan Kelpie – si kuda air peliharaannya. Film dengan susah payah berhasil menemukan cara untuk membuat makhluk-makhluk kesayangan Newt tampak berperan di dalam cerita yang punya undertone lebih kelam daripada film yang pertama. Namun, jika ingin menarik benang merah antara Newt sebagai tokoh utama dengan keseluruhan tema cerita, tempat pertama yang harus kita tengok adalah motivasi dari si tokoh itu sendiri. Bukan beban yang ringan sebenarnya bagi Eddie Redmayne untuk memainkan tokoh yang sejatinya diniatkan sebagai pengganti Harry Potter sebagai protagonis sihir yang benar-benar bikin kita peduli. Newt adalah karakter dengan punya banyak cinta untuk diberikan, tapi sikap dan gelagatnya yang eksentrik membuat dia terkadang tampak sama anehnya dengan makhluk yang ia pelajari di mata orang-orang. Cinta lah yang membuat Newt melakukan hal yang benar. Dan di film ini, cinta itu yang tepatnya membuat Newt melanggar peraturan bepergian yang disanksikan kepada dirinya. Newt ingin mencari Tina Goldstein, cewek auror yang ia cinta, yang ia ketahui berada di Paris untuk tujuan yang sama; menghentikan Grinderwald. Terlihat seperti cerita punya pijakan untuk memperkuat posisi Newt sebagai tokoh sentral; asmara itu bukan hanya satu, melainkan ada satu lagi yang bersumber dari Leta Lestrange yang lebih menarik karena menyangkut, well, kalian tahulah, Lestrange adalah nama yang cukup ‘besar’ dalam universe Harry Potter.

Untuk pertama kalinya film akan terasa nyaman untuk dinikmati, ketika cerita membawa kita ke balik dinding sekolah sihir; kita serasa alumni yang mengunjungi kembali sekolah kita yang lama. Dan ini lucu, mengingat kejadian di film ini adalah masa lampau dari cerita Harry Potter. Film terasa berhenti saat semua subplot dan tokoh-tokoh itu berganti menjadi suasana yang kita kenal. Kita melihat Dumbledore di masa mudanya. Di kesempatan berikutnya, kita melihat Newt dan Lestrange remaja. Kenapa mereka gak bikin film tentang mereka masih sekolah aja ya? Momen-momen ini yang kita pengen lebih banyak dimunculkan. Tapi film menemukan kembali rute chaotic-nya. Karena menjelang babak akhir, film banyak membahas drama silsilah keluarga Lestrange dan penelusuran darah Credence yang membingungkan sebelum akhirnya kembali diikat ke dalam masalah Grindelwald yang ingin mempersatukan penyihir di atas kaum non-penyihir.

Dunia yang sempurna adalah dunia di mana kita bisa menjadi diri sendiri dan bebas mencintai siapapun sesuai kata hati kita. Cinta sama muggle. Cinta sama makhluk aneh. Batasan itu bahkan bisa saja dinaikkan ke cinta sama jenis. Grindelwald ingin menciptakan dunia di mana penyihir bebas berkuasa, dia membujuk beberapa calon anggotanya dengan ‘bebas mencintai’. Tapi kebebasan mencinta tersebut sebenarnya adalah ekstensi dari kita tidak terpaksa oleh keadaan, atau rasa bersalah, ataupun rasa takut dan ketidakpastian

 

Yang dihormati Albus Dumbledore dari Newt adalah gimana Newt melakukan sesuatu yang benar tanpa ada apa-apanya, bahwasanya Newt tidak bergerak dengan motivasi mencari kekuasaan. Newt tak pelak adalah orang baik, namun dia sedikit terlalu baik. Karena, bahkan dalam film ini saja, dia enggak protes ketika porsinya tergeser oleh subplot-subplot yang susah dilihat koherensinya lantaran lebih terasa seperti pion-pion catur yang digerakkan, alih-alih progres natural cerita. Newt ‘pasrah’ aja (atau mungkin tepatnya; cuma bisa pasrah) padahal mestinya dia tokoh utama, dia seharusnya yang pimpin cerita. Ada banyak pengungkapan dalam narasi, tapi film tidak pernah terasa seberpetualang ataupun semengagetkan itu. Takjub yang kita rasakan sebagian besar datang dari efek visual, yang sering enggak benar-benar menambah pada bobot cerita.

Actually, banyak aspek pada film ini yang membuatku bertanya-tanya dalam hati “kok gini ya?” sehubungan dengan aspek kecil yang dijadikan detil dalam dunia film. Saat menonton Harry Potter, kita merasakan ada gejolak “whoaa, begitu ya ternyata penyihir itu” Ada sense of wonder melihat mereka begitu berbeda dengan muggle. Begitu kita masuk ke tembok Hogwarts, kita melihat dunia yang berbeda. Dunia dengan orang-orang yang berkeliaran dengan tongkat sihir dan jubah yang aneh. Aku tidak melihat atau merasakan yang serupa pada film ini. Para auror, pengikut Grindelwald, mereka mengenakan… jas. Mantel. Suit. Kenapa penyihir dalam film ini memakai busana yang sama dengan muggle? Bahkan Dumbledore; alih-alih jubah dan topi kerucut dan kacamata separuh bulan, Dumbledore di sini memakai setelan muggle yang sangat necis. Ingat gak betapa ‘norak’nya pakaian Dumbledore ketika dia mengunjungi Tom Riddle muda di panti asuhan muggle; dia pakai dress plum ungu. Kalo di film, dia pakai syal bermotif kembang-kembang. Apakah karena di kala itu Dumbledore sudah openly mengaku gay sedangkan di jaman Newt belum? Penyihir, di dunia Harry Potter yang itungannya modern, memandang aneh kepada selera muggle – mereka tidak tahu teknologi dan segala macem.

na gini dong, bukan begitu

 

Buatku aneh sekali hal seperti begini luput dari perhatian J.K. Rowling; jadi ini mungkin bukan kesalahan. Mungkin, aku mencoba untuk memahami elemen ini, mungkin di tahun 1927 itu hukum antara penyihir dan muggle belum disahkan. Mungkin saat itu mereka masih hidup berdampingan sehingga sedikit banyak fashion dan gaya hidup muggle berpengaruh terhadap penyihir. Tindak Grindelwald dan pengikutnyalah yang merenggangkan hubungan penyihir dengan muggle, yang menyebabkan gap di antara keduanya semakin jauh. Mungkin karena masalah sentimentil golongan aja yang menyebabkan di jaman Harry Potter, gaya hidup penyihir begitu berbeda dengan muggle. Who knows? Mungkin di seri berikutnya akan ada penjelasan mengenai ini.

Inilah menariknya dunia karangan J.K. Rowling. Kita bisa berspekulasi macam-macam. Dalam film ini, mungkin tokoh yang paling banyak dibicarakan adalah Nagini. Ular Pangeran Kegelapan yang ternyata dulunya manusia. Berasal dari Indonesia pula (bahkan sempat heboh kabarnya Acha Septriasa yang tadinya dapet peran ini sebelum akhirnya dibatalkan karena lagi hamil). Menarik melihat gimana tokoh Nagini diceritakan dalam film ini. Gimana tadinya dia adalah pemain sirkus. Bahkan gagasan ada sirkus di dunia penyihir aja sudah cukup aneh buatku haha. Anyway, Nagini dalam film ini dekat dengan Credence yang mencari sang ibu – mirip dengan Voldemort yang juga penasaran dengan ibunya. Ada sesuatu nih mestinyaa.. Film sepertinya menyimpan ini untuk cerita yang akan datang. Yang membuat aku penasaran karena ada bagian dari elemen Nagini yang enggak konsisten; dalam adegan disebutkan dia tidak akan bisa berubah lagi menjadi manusia setelah berubah menjadi ular, namun pada kenyataannya kita melihat Nagini bisa berubah wujud sebanyak yang ia mau. Aku hanya bisa berharap ini bukan kesalahan penulisan.

 

 

 

 

Bagian terburuknya adalah, setelah semua subplot yang bergilir muncul tanpa kesan yang berarti, seolah subplot-subplot itu ber-Disapparate begitu saja, cerita tidak benar-benar punya konklusi. Film ini hanya terasa sebagai jembatan untuk menghantarkan kita ke episode berikutnya. Kita tidak akan mengerti menonton ini jika tidak menonton film sebelumnya, pun kita tidak akan mendapat jawaban yang berarti sebelum menonton film berikutnya. Mengecewakan sekali, karena dari segi narasi, ini adalah cerita yang ‘penting’ dalam sejarah dunia sihir. J.K. Rowling sekali lagi menunjukkan kebolehannya membangun semesta yang kompleks. Tapi sepertinya memang lebih baik dibukukan terlebih dahulu. Sebagai naskah, it’s just too much. Para Potterhead sih, bakal seneng-seneng aja, soalnya mendapat eksplorasi dunia sihir yang lebih dalam. Tapi sebagai film, ini sudah bukan lagi cerita Newt Scamander. Ini adalah crimes of maksain cerita demi menghidupkan franchise yang semestinya sudah kelar.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for FANTASTIC BEASTS: THE CRIMES OF GRINDELWALD.

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Grindelwald dan Dumbledore punya motto “for the greater good” sebagai ungkapan untuk membenarkan aksi-aksi mereka. Apakah kalian setuju jika hasil itu adalah hal yang paling penting? Bagaimana menurut kalian perihal kita dibenarkan menempuh tindakan apapun demi kebaikan yang lebih besar?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

 

 

 

 

 

BURNING Review

If you play with fire you will get burned.”

 

 

 

Ketika kedinginan, menyalakan api berarti menimbulkan kehangatan. Secara metafora, menyalakan api berarti menimbulkan perubahan terhadap seseorang. Memberikan mereka entah itu harapan, semangat, ataupun gairah.

Seperti Jong-Su yang api cintanya menyala setelah bertemu dengan Hae-mi. Tadinya Jong-su ini hidupnya garing banget. Dia tinggal sendirian di rumah peternakannya di pinggiran Korea Selatan. Hae-mi, yang mengaku teman lama yang dulu tetanggaan ama Jong-su, mengajak cowok yang pengen jadi novelis itu main ke apartemennya. Mereka jadi intim. Tapi kangen-kangenan mereka enggak berlangsung lama. Hae-mi pergi liburan ke Afrika. Jong-su dengan sabar menunggu si cewek kece, mengasuh kucing Hae-mi yang tak pernah ia lihat setiap hari, sebelum akhirnya Hae-mi pulang bareng cowok yang seratus delapan puluh derajat berbeda ama dirinya. Ben, si cowok baru berdompet tebel, ‘boil’nya porsche, tinggal di Gangnam, orangnya super supel, dan semua-semuanya yang bikin Jong-su iri. Api kecemburuan itu berkobar dan dengan cepat berubah menjadi api kecurigaan. Ini memang tampak seperti kisah cinta segitiga normal, tapi enggak pernah ada yang sesimpel dan senormal itu dalam hidup. Jong-su ingin membuktikan ‘kejelekan’ Ben kepada Hae-mi. Masalahnya adalah, sebelum sempat membuktikan kecurigaannya, Hae-mi malah hilang entah kemana dan hanya Tuhan yang tahu penyebab hilangnya kenapa! Tapi itu tidak menghentikan pikiran Jong-su menyimpulkan kengerian apa yang terjadi

“….membakar jiwa yang meranaaa”

 

 

Menakjubkan, malah hampir seperti sihir, gimana film ini membuat misteri dari cerita yang sebenarnya begitu dekat dengan kita. Susah untuk mendeskripsikan perasaan yang dihasilkan olehnya setelah kita menonton. Ini SEPERTI MELIHAT ILUSI OPTIK. Pernah gak kalian melihat gambar ilusi optik berupa barisan kotak-kotak  yang jika kita memperhatikan gambar tersebut lekat-lekat, kemudian kita lihat titik-titik hitam muncul begitu saja di antara sudut-sudut antarkotak seperti titik rintikan air hujan (klik di sini untuk ilustrasi Grid Illusion). Atau gambar ilusi optik berupa tiga gambar pacman dan tiga sudut lancip yang diposisikan sedemikian rupa sehingga mata kita menangkap sebentuk segitiga di tengah (Kanizsa Triangle). Hanya saja tidak ada segitiga di sana. Titik hitam pada ilusi pertama juga sebenarnya tidak ada. Tapi mata kita terkecoh oleh persepsi dan menganggapnya ada. Dan saat sadar akan yang sebenarnya, kita tertohok sekaligus takjub pada saat yang bersamaan. Tema melihat apa yang tak ada seperti demikianlah yang mendasari cerita film ini. Petunjuk mengenai ini bisa kita dapatkan dari adegan Hae-mi yang berpantomim makan jeruk di depan Jong-su yang melongo di awal-awal cerita. Saking kayak realnya, Jong-su bisa ikut merasakan manisnya jeruk yang lagi dimakan oleh Hae-mi, tapi sebenarnya tidak ada jeruk sama sekali di sana. Film ini membingungkan, mencengkeram kita erat, bikin kita nelangsa oleh pikiran buruk kita sendiri, it’s so good and entertaining dalam caranya sendiri.

Adegan favoritku adalah ketika Hae-mi menari berlatar belakang keunguan langit senja dan musik jazz yang bikin suasana semakin magis. Ini berasa adegan David Lynch banget, buatku film-film Lynch punya gaya disturbing yang sangat kuat merekat. Burning berhasil nyaris menyamainya. Hanya kurang ‘aneh’ saja. Yang diomongin dalam film ini adalah misteri kenapa kita begitu mudah terbakar. Dan seperti lidah api itu sendiri, Burning dengan eloknya meliuk-liuk, menjilat pikiran dan hati kita, semua emosi kita akan berkobar di penghujung cerita.

Api dapat melalap habis apa saja tanpa bersisa, bahkan dalam kitab suci saja, dosa dengki disimbolkan sebagai api mampu melenyapkan pahala-pahala kita. Toh kita membutuhkan api; kecil menjadi teman, kata pepatah. Tapi yang harus kita sadari adalah betapa rentannya api tersebut menjadi besar. Terlalu dekat dengannya, kita pun sedemikian mudah terbakar. Dinamika manusia dengan api disejajarkan oleh film sebagai suatu attachment yang begitu emosional. Saat kita terbakar emosinya; kita akan berubah completely. Jadi apa? Paling sering sih, jadi abu.

 

Hae-mi adalah api dalam cerita Jong-su. Dan cewek itu bukan satu-satunya. Tokoh utama kita practically hidup di dalam lingkaran bara api, Jong-Su punya masa lalu yang tidak menyenangkan sehubungan dengan keluarganya. Banyak hal yang berarti siraman bensin buat dirinya. Rasa-rasanya aku belum pernah melihat tokoh utama yang begitu combustible seperti Jong-su, tapi kemudian film membuat kita berefleksi, dan bam! Jong-su mungkin tidak begitu jauh dari kita secara manusiawi.

hayoo siapa yang golongan sumbu pendek kayak si Jong-su?

 

 

Kejadian dalam film ini diniatkan sebagai misteri, terbuka bagi interpretasi setiap penontonnya, bagaimana masing-masing kita melihat suatu hal. Ketidakpastian akan apa yang sebenarnya terjadi adalah kekuatan utama film ini. Jadi, sampai di sinilah ranah non-spoiler ulasan ini. Karena jika kita ingin menyelam lebih dalam, aku tidak bisa melakukannya tanpa menyebut poin-poin plot penting yang sebenarnya tidak akan asik jika tidak kalian saksikan sendiri. Peringatanku adalah, jangan sampai kalian terbakar rasa penasaran dan membaca lebih lanjut sebelum menonton film ini, karena nanti pengalaman misterinya bakal berkurang. Kalian bisa saja tidak bakal merasakan apa-apa jika baru menonton filmnya setelah membaca.



 

With that being said; kecurigaan, kecemburuan, dan ketidakpastian benar-benar membakar habis Jong-su. Dia adalah pria yang insecure sedari awal karena dia tidak bisa mengingat sama sekali kenangan masa kecil yang Hae-mi bilang dialami oleh mereka berdua. Tambahkan faktor tragedi keluarganya, dosa terbesar Jong-su adalah dia selalu melihat yang terburuk dari semua orang. Dia percaya pada yang terburuk dari segala hal. Juga tidak membantu fakta bahwa di rumahnya, Jung-so digambarkan secara subtil dengan konstan mendengar siaran propaganda Korea Utara yang mengudara. Ketika Ben datang dan akrab dengan Hae-mi, Jong-su seketikanya melihatnya sebagai rival yang berbahaya. Momen-momen penyelidikian Jong-su adalah untuk mencari keburukan dari Ben. Dia terbakar oleh ide Ben seorang psikopat yang suka membakar rumah kaca. Terkadang, bikin frustasi gimana kita tidak diberikan kesempatan masuk ke dalam kepala Jong-su. Kita hanya melihat dari luar, kita melihat apa yang tidak ia lihat, kita punya kesimpulan berbeda dengannya, dan buatku menjelang babak tiga, sudah cukup jelas aku sedang melihat bom waktu yang sewaktu-waktu dapat meledak dan tidak ada jalan untuk mencegahnya. Kadang film membuat kita powerless seperti demikian.

Beberapa petunjuk penting sudah sukses disebar oleh film, yang bisa kita jadikan pegangan untuk merangkai teori apa yang sesungguhnya terjadi. Kucing Hae-mi misalnya; apa makhluk ini beneran ada? apa dia benar kucing yang sama dengan kucing yang dipelihara oleh Ben setelah Hae-mi menghilang? Buatku, kucing itu ada dan dia bukan kucing yang ada di apartemen Ben. Kucing itu menurut ketika dipanggil tidak membuktikan apa-apa, karena dari mana kita tahu pasti kucing itu mengenali bahasa manusia? Ada adegan di awal yang membuktikan dugaanku ini, yaitu ketika Hae-mi memanggil kucingnya, si kucing tidak nongol – jadi kenapa kita mesti percaya itu kucing yang sama ketika dia mendekat kepada Jung-so yang memanggil namanya? Film tidak pernah menunjukkan si kucing mengenali namanya sendiri.

Dari situ aku mendapat kesimpulan, Hae-mi tidak pernah berbohong kepada Jung-so. Soal operasi plastik dan teman dekat itu benar adanya, dibuktikan dengan keluarga Hae-mi. Soal kucing, bener ada karena ada bukti kotoran dan makanan. Soal sumur, ibunya sendiri mengonfirmasi benar ada sumur di daerah rumah mereka. Soal Hae-mi yang jatuh ke dalam sumur, perlu kita ingat, ini adalah kebohongan Hae-mi, tapi tidak ditujukan kepada Jong-su. Melainkan kepada Ben. Hae-mi ingin Jong-su berpartisipasi dalam kebohongan ini, tapi Jong-su enggak mengerti. Dari perkataan Ben di kafe setelah dikonfrontasi oleh Jong-su begitu Hae-mi menghilang, ada pengungkapan bahwa Hae-mi menganggap Jong-su sangat penting – ada indikasi cewek ini beneran naksir – dan Ben merasa cemburu (meski cemburunya kepada siapa masih bisa diperdebatkan lagi) Jong-su tidak melihat semua ini. Dia hanya melihat ‘bukti-bukti’ lemah yang tidak menyimpulkan apa-apa. Ben bisa saja memang punya banyak teman cewek, mungkin dia beneran klepto sehingga punya banyak barang cewek di lemarinya, tapi yang pasti kita diperlihatkan satu adegan Ben mengenakan riasan kepada teman ceweknya. Jadi, di mana Hae-mi dalam cerita ini? Kebenaran mungkin lebih simpel dari yang ingin kita percaya. Pembahasan soal debt collector yang sempat diangkat boleh jadi cuma satu-satunya jawaban karena film tidak menampilkan kontradiksi terhadap hal ini, malahan didukung oleh pernyataan orangtua Hae-mi sendiri.

 

 

 

 

Adaptasi dari cerita pendek Murakami yang terinspirasi cerita pendek William Faulkner ini memang bukan film pertama tentang cewek yang menghilang pas lagi sayang-sayangnya. Tapi ini adalah salah satu yang pertama kali menggarapnya dengan keindahan balutan misteri dengan berakar kepada ketidakpastian yang menyulut berbagai perasaan dan pikiran jelek dalam hati seorang manusia. Penceritaannya yang subtil menghasilkan ilusi sebuah misteri yang begitu captivating. Para pemain pun berdedikasi sekali dalam ‘pertunjukan sihir’ ini, memberikan kemampuan terbaik mereka. Mengerikan gimana kita tidak bisa benar-benar paham isi kepala mereka. Tetapi terkadang hal tersebut tidak sepenuhnya menyenangkan jika kita membawanya kepada tokoh utama. Secara perlahan dimekarkan, kita tidak tahu motivasi protagonis sebelum peristiwa utama terjadi. Kita melihat dia mengaku pengen menulis novel, kita lihat dia banyak referensi bacaan, tapi sepanjang film yang ‘berhasil’ ia tulis hanya sebuah petisi untuk kasus ayahnya. Di bagian-bagian awal sebelum ‘api’ itu membesar, kita mungkin bakal susah mengikuti cerita. Tapi setelahnya – setelah beberapa kali pergantian tone dengan mulus tersebut – film ini akan membekas parah di benak kita, seperti jejak branding dari bara api panas pada sapi-sapi ternak.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for BURNING.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Share dong menurut kalian apa yang sebenarnya terjadi pada Hae-mi dan siapa sebenarnya Ben. Apa Jong-su sudah melakukan hal yang benar?

Apa menurut kalian, seorang cowok yang ditinggalkan, pantas menuntut kejelasan kenapa ia ditinggalkan?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

HANUM & RANGGA: FAITH & THE CITY Review

“If you don’t stand for something you’ll fall for anything.”

 

 

Satu pertanyaan yang diangkat pada trailer film ini berdering keras di ruang telingaku yang saat itu lagi cuek bebek mainin permen karet karena aku gak biasa nonton trailer, bahkan di dalam bioskop. “Apakah dunia akan menjadi lebih baik tanpa Islam?”

Jadi ya, aku penasaran sama gagasan film ini sehubungan dengan pertanyaan tersebut yang aku yakini jadi tema besar dalam ceritanya. Aku geregetan karena lalu lintas siang tadi begitu padat. Kendaraan jalannya pada tersendat-sendat. Maju dikit, stopnya sering. Jalan sebentar, eh berhentinya lama. Perempatan yang kulewati memang terkenal macet parah lantaran lampu merah yang berdurasi cukup lama. Kalo begini bisa-bisa bisa terlambat ke bioskop! Masa aku harus mengalah sama pengemudi jalur lain. Enak aja yang belok kiri boleh jalan terus. Padahal yang punya misi di sana, yang paling berkepentingan, adalah aku; Aku harus nonton duluan supaya bisa memberi tahu dunia, menyelamatkan dompet-dompet tidak berdosa, bahwa film ini bagus atau tidak. Pernah gak sih kalian kesel jalanan jadi macet karena lampu merah. Pernah gak kalian keki karena rencana atau acara kalian jadi terlambat sebab jalanan riweuh ada razia polisi.

Apakah trafik di jalanan bakal jadi lebih lancar tanpa ada lampu lalu lintas?

 

 

Pertanyaan yang begitu menantang tersebut dijadikan konsep acara televisi yang harus digarap oleh Hanum Salsabiela (Acha Septriasa reprising her role sebagai jurnalis wanita kritis yang cerdas dan taat beragama). Sebelum berangkat ke Vienna mengikuti suaminya yang ingin menyelesaikan studi, kesempatan datang mengetuk pintu rumah Hanum. Wanita ini ditawari kerja magang di stasiun televisi sensasional, GNTV. Ditawari oleh jurnalis idolanya pula. Atas izin suaminya yang pengertian, mereka memperpanjang tinggal di New York sehingga Hanum bisa mewujudkan mimpinya mengikuti program internship tiga minggu tersebut. Tapi bekerja di GNTV berarti Hanum harus meninggalkan agamanya di luar pintu. Sebab dalam bisnis televisi, rating-lah yang menjadi Tuhan. Hanum kudu stay professional sebagai reporter. Ada pandangan mengenai bisnis di balik meja redaksi televisi yang dipelrihatkan di sini. Ada banyak pilihan yang harus diambil Hanum; apakah dia menghormati narasumber atau ikut perintah atasan demi rating. Bagaimana cara dia memperlihatkan Islam sebagai ajaran yang baik lewat acara yang sudah diset untuk memojokkan Islam – menjual drama darinya.

Sementara itu, Rangga sang suami (Rio Dewanto sebagian besar waktu berusaha tampil simpatik) mengisi hari-harinya menunggu Hanum pulang dengan mengasuh anak dari seorang single mom yang dulu pernah dibantu oleh Hanum perihal keterkaitan keluarganya dengan jaringan teroris. Jadi, benih-benih kecemburuan mulai tertanam di hati masing-masing. Di satu sisi kita punya tokoh utama yang mengejar mimpinya, berjuang dengan kondisi yang mengharuskan dia memilih antara idealisme dengan realita bisnis media yang basically adalah pilihan antara karir dengan keyakinannya. Di sisi lain ada tokoh pendamping yang melihat lebih jernih, yang peduli sama istrinya, yang rela berkorban apa saja – dia melihat istrinya menapaki pilihan yang membuatnya khawatir. Tapi semuanya menjadi personal bagi sang istri. Setidaknya ada tiga lapisan yang bekerja koheren di dalam narasi. Hanum yang berusaha mengubah pandangan media luar tentang Islam, dan dia berusaha melakukannya dari dalam. Dan yang terutama disayangkan adalah, film tak lagi bergairah menjawab pertanyaan besar yang menjadi tema utama, melainkan sibuk bermehek-mehek ria dengan lebih mengeksplorasi elemen cemburu yang dimiliki oleh cerita.

dan ada hantu Maddah di film ini hhihi

 

 

Film ini bisa bekerja lebih baik sebagai komentar soal gender-role. I do think wanita enggak kalah sama pria, you know, buktinya WWE Evolution yang isinya pertandingan cewek semua terbukti lebih menarik dibanding kebanyakan acara normal WWE. Akan menarik melihat sudut pandang wanita seperti Hanum, cukup dikaitkan saja dengan agama. Karena kita mengerti apa yang dihadapi oleh Hanum dalam film ini, kita paham konflik yang bersarang di benaknya. Bayangkan sebuah balon yang ada pemberat batunya. Lepaskan batunya, dan balon akan melayang tinggi di angkasa. Balon adalah wanita-wanita mandiri nan cerdas seperti Hanum. Terikat kepada suami oleh pernikahan dan aturan agama yang ia yakini. Dunia kerja Hanum menggebah Hanum untuk melepaskan ‘batu’nya, supaya dia bisa berkembang pesat. Kita melihat, as story goes, Hanum mulai kehilangan keyakinannya. Dia lupa bahwa karena ijin suaminya lah dia bisa magang di GNTV. Dia enggak ingat bahwa dalam ajaran agama yang ia yakini – sebagai muslim yang sedang ia perjuangkan kebenaran ajarannya – ia harus mematuhi suami. Film bisa mengangkasa mencapai bintang jika benar-benar membahas ini; jika Hanum membuat pilihan yang menunjukkan dia menemukan kembali keyakinannya. Yang menunjukkan ia sadar dan punya kounter-argumen soal jawaban Islam bukannya menghambat. Film pun bisa saja terbang cukup tinggi jika membahas dan benar-benar memperlihatkan usaha Hanum mengubah sistem media atau pertelevisian dari dalam, dengan cara dan keyakinannya sendiri.

Mau tahu batu sebenarnya dalam kasus film ini? Elemen cemburu dan drama cintanya-lah yang sejatinya sebagai penghambat utama film ini menjadi sebuah cerita yang hebat. Adegan endingnya sendiri sebenarnya udah bener. Hanya saja, menjelang ke sana; momen relevasi film ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan ‘faith’ yang diumbar menjadi judul dan tema cerita. Hanum tersadar bukan karena keyakinan ataupun pemikiran sendiri, melainkan karena pengungkapan oleh satu tokoh. Jalan keluar datang dari kemampuan tokoh lain. Sepintas memang terlihat seperti Hanum adalah tokoh yang paling berjasa. Tapi jika diselidik lebih dalam, Hanum enggak benar-benar berbuat apa-apa secara langsung. Dia tidak mengubah keadaan kantornya. Dia bahkan enggak mengejar suaminya, padahal katanya ini film kesetaraan wanita. Yang ada, Hanum menjadi sama aja seperti media yang ia lawan; ia mengekspos kejelekan seseorang yang sudah memberinya makan. Orang-orang di sekitarnya terlihat lebih punya ‘faith’ ketimbang Hanum. Pada akhirnya, Hanum tetap menjadi tokoh yang paling tidak punya keyakinan pada cerita ini, bahkan si jurnalis ‘jahat’ saja punya pandangan yang terus ia junjung. Makanya dia begitu rapuh dan gampang terbawa pengaruh. Hanum hanya bergerak berdasarkan drama egonya. Dia tampak bangga sebagai korban, pada sekuen acara peringatan 9/11 yang disiarkan live. Cerita wanita yang kuat semestinya berakhir seperti pada Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak (2017); dia merebut kendali, menolak dilabeli sebagai ‘si korban’

Hanum dalam film ini malah membuktikan stereotipe kuno bahwa bagaimana pun juga, betapapun tinggi pendidikannya, wanita tetaplah mendahulukan perasaan. Bukan pemikiran, bukan pula iman. Yang mana bertentangan sekali dengan pesan yang berusaha disampaikan oleh cerita.

 

Elemen dramatis film ini menciptakan banyak adegan yang gak make sense. Bahkan stake yang dikenai ke Hanum tak pernah benar-benar masuk akal buatku. Aku gak mengerti kenapa Hanum tidak berhenti saja setelah tugas interview pertama. The one that got high rating dan yang bikin Hanum ketiban bonus gede. Oh yea, mungkin karena bonusnya itu ya. Hanum sebenarnya bisa berhenti kapan saja. Untuk memanjangkan cerita, maka film butuh elemen drama yang menjadi masalah terbesar seperti yang kutuliskan tadi. Aneh sekali ada tokoh yang dengan penuh keteguhan hati mengucapkan “Aku single parent, aku harus bisa ngerjain apa aja sendiri” padahal kita lihat adegannya ia sedang meminta tolong kepada Rangga untuk membetulkan pipa air keran. Dan buatku adalah konyol dan maksa banget gimana penokohan Hanum dituliskan di film ini. Bagaimana mungkin jurnalis, yang pintar dan gak ecek-ecek seperti dirinya, yang tahu persis cara kerja media, bisa kesulut oleh desas-desus dan kebakar oleh foto-tanpa-konteks yang ia terima dari pesan whatsapp? Logika tokohnya enggak klop, enggak masuk akal buatku.

ganti aja judulnya dengan Feeling in the City

 

 

Film ini masih bisa bekerja kok tanpa drama yang dibuat-buat. Tantangan nyata yang dihadapi wanita Islam di dunia modern, kurang menyentuh apa coba. Mengubah sistem dengan kemampuan sendiri, sembari berpegang teguh pada keyakinan sendiri; kurang menginspirasi gimana coba. Tapi film memilih untuk menahan laju film, menambatnya dengan menjadikan dramatisasi kecemburuan wanita terhadap pasangannya sebagai poin utama. Melihat dari pengungkapannya, semua kejadian di film ini tidak perlu kita lalui jika saja salah satu tokoh menceritakan yang ia tahu kepada Hanum – naskah berusaha keras menjauhkan dua tokoh ini hingga babak akhir dan kita mendapat cerita dengan stake gak make sense karenanya. Pertanyaan di atas memang enggak benar-benar terjawab oleh cerita. Tapi setidaknya, kita punya satu pernyataan pasti buat film ini. This story will be a better movie without tear-jerker no sense drama.
The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for HANUM & RANGGA: FAITH & THE CITY.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Benarkah pria lebih unggul dari wanita? Kenapa menurut kalian istri harus meminta izin kepada suami?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

 

A STAR IS BORN Review

“Life is like a seesaw ride”

 

 

 

Sekalipun kelihatannya demikian, kesuksesan tak pernah murni suatu kebetulan. Nyatanya ia adalah rangkaian dari berbagai pilihan dan usaha yang kita buat. Yang terhubung dengan jalinan kehidupan orang lain. Jika Jackson Maine enggak kebelet minum malam itu, dia enggak akan mampir ke bar, dan tidak akan pernah bertemu dengan Ally. Atau bahkan jika aku yang berada di sepatu Jack, aku mungkin akan segera keluar begitu sadar bar yang kumasuki adalah bar waria, I would never met Ally at all. Bakat Ally pun tidak akan pernah diketemukan, dia tidak akan pernah jadi penyanyi sukses. Cinta hangat antara Jack dan Ally tidak bakal pernah kita saksikan. ‘Penyakit’ Jack-lah yang actually ngeset things in motion. Tapi akankah karir Jack masih tetap bersinar jika ia tidak pernah bertemu Ally. Apakah jika sukses kita terhubung dengan orang lain, maka kegagalan kita juga ada sangkut pautnya dengan orang lain?

Malang, memang, kisah cinta mereka harus membuat hidup seperti bermain jungkat-jungkit. Sendirian, gak bakal seru. Perlu dua orang untuk menikmatinya, tapi ini adalah sebuah kondisi di mana yang satu akan berada di bawah saat yang satunya lagi menggapai angkasa. Kondisi inlah yang sebenarnya membuat romansa Jack dan Ally begitu kuat; karena kita tahu segala macam emosi; hasrat, cinta, gairah, harapan, kesedihan, kecemburuan, melimpah ruah. Ini rupa dari cinta sejati

 

A Star is Born menceritakan kisah Jack si penyanyi rock country terkenal yang berada di ambang karirnya lantaran dia enggak bisa berhenti minum-minum. Dia bertemu dengan Ally dan bakatnya yang seketika membuat Jack terpesona. Hubungan dua orang ini, babak pertama film, penuh oleh momen-momen yang sangat menakjubkan. Aku sejujurnya jealous dengan mereka; aku berharap suatu saat bisa merasakan apa yang mereka alami. You know, jatuh cinta kepada seseorang karena kita begitu ter-mindblown oleh kemampuan mereka. Kemampuan musik yang dimiliki Ally membuat Jack merasa saklar hidupnya menyala kembali secara emosi dan creatively. Dan bagi Ally, Jack lebih dari kesempatan yang selama ini ia tunggu-tunggu. Mereka saling tertarik passionately, mereka ingin mencapai keagungan kreatif itu bersama-sama. Kita akan dibawa ke berbagai panggung penuh emosi, dan tentu saja musik-musik keren.

Bagian favoritku, dan kurasa sebagian besar kalian juga bakal setuju, adalah ketika Ally diajak ikutan nyanyi di panggung Coachella – di depan begitu banyak penonton. Ally yang selama ini hanya nyanyi di bar, dia mengaku tidak bisa masuk panggung pertunjukan karena hidungnya dinilai produser kegedean (hidung Ally, actually, akan membawa kita ke momen lain yang sama menyentuhnya), dan tau-tau dia diberikan kesempatan untuk menunjukkan bakat dan suara hatinya – menyanyikan lagu yang ia tulis sendiri. Perasaan yang dialami Ally saat itu, luapan emosi yang membuncah, yang ia salurkan lewat nyanyian, benar-benar membuatku merinding.

“Haaaa~ooooaaa~ooooaaaa~ooooo… Aku bertanya pada manusia tak ada jawabnyaaa”

 

 

Penggemar serial American Horror Story pasti masih ingat gimana intensnya Lady Gaga memainkan wanita immortal haus darah, namun begitu rapuh karena trauma masa lalu kala dia masih berupa manusia biasa. Dalam film romansa musik ini, Lady Gaga membawa keintensan emosi yang bahkan lebih kuat lagi. Meskipun, Ally tampak dibuat berdasarkan Lady Gaga sendiri. Dengan talenta seorang penampil yang luar biasa, suara yang begitu powerful, dan sedikit banyak Lady Gaga punya pengalaman sebagai seorang waitress, Ally seperti peran yang sempurna yang dibuat khusus untuk dirinya. Lady Gaga tampak bermain dengan sepenuh hati dan dia benar-benar menonjok hati kita (bukan wajah, untungnya) lewat permainan perannya di sini. Dia yang salah satu musisi paling hebat dunia, juga menunjukkan potensi yang enggak kalah gempitanya sebagai aktris.

Chemistry antara Lady Gaga dengan Bradley Cooper begitu menguar sehingga tampak mereka seperti pasangan beneran. Tidak terasa seperti akting. Kayak, kamera merekam hal yang sungguh-sungguh terjadi. Poin-poin cerita, kejadian-kejadian yang mereka lalui, sebenarnya formulaic. Terlebih ini adalah remake keempat dari source yang sama; A Star is Born orisinalnya adalah film keluaran tahun 1937. Seorang veteran yang tertarik sama bakat muda, tapi pada akhirnya keadaan mereka berbalik. Aku belum nonton satupun A Star is Born versi yang lain, tapi cerita dalam film ini, aku bahkan teringat adegan tangga di film The Artist (2011) olehnya. Apa yang diceritakan oleh film ini bukan sesuatu yang baru, tapi cara mereka dipersembahkan, penampilan-penampilan aktingnya, begitu kuat sehingga terasa bahkan lebih fresh dan nyata ketimbang biografi Bohemian Rhapsody (2018). Sangat mengesankan apa yang berhasil dicapai oleh Bradley Cooper dalam debut penyutradaraannya. Aku percaya Cooper bisa jadi sutradara hebat jika dia tetap mempertahankan gaya dan momentum filmmaking. Dia punya bakat luar biasa dalam mengontruksi adegan film.

Cooper, yang juga bermain sebagai Jack, membuktikan dia lebih dari sekedar aktor lucu di film komedi dan superhero. Cooper sebagai Jack menunjukkan banyak range emosi dan kedalaman akting. Dia enggak over-the-top memainkan seorang yang mabuk, walaupun ada satu adegan saat penyerahan Grammy naskah menuntutnya untuk menjadi pemabuk ‘jenis’ begitu. Cooper, ngerinya, tampak berusaha sadar bahkan saat kita tahu kepalanya mulai bergoyang-goyang. Dia tampak masih fungsional, dan kita takut – khawatir – dia akan mengambil keputusan yang salah. Ada kesubtilan dalam penampilannya. Cara dia berpindah dari seseorang yang ingin Ally berhasil menjadi seseorang yang sadar keberhasilan Ally tidak akan pernah sesuai dengan yang ia maksudkan, karena ia sadar bisnis mereka tak lagi sama, menghasilkan emosi yang begitu kuat menyentuh. Perjalanan Jack benar-benar dibuat terbalik dengan Ally dalam cara yang meremukkan hati – Jack semakin malu menyadari dirinya sedangkan Ally pada akhirnya berani menatap kita saat dirinya bernyanyi. Mengarahkan tokoh yang lain pun, Cooper sama pahamnya. Dia tidak membuat manajer Ally sebagai korporat satu-dimensi yang hanya peduli sama uang.

Ada satu lagi tokoh dan penampilan yang menurutku pantas untuk diganjar piala; yakni penampilan Sam Elliot sebagai abang dari Jack. Dia membantu Jack menyiapkan konser-konser, tapi harus berurusan dengan sikap negatif Jack, yang semuanya tidak ia tahu kenapa ditumpahkan Jack kepadanya. Penampilan akting yang diberikan Elliot kepada tokoh ini begitu contained, dia khawatir dan menahan marah di saat bersamaan. Speechnya kepada Ally terdengar begitu mendalam. Adegan di mobil ketika dia ‘menjawab’ tak langsung kata hati Jack yang telah sadar adalah satu lagi dari sekian banyak momen kuat dalam film ini.

Di satu sisi ada seniman yang direnggut oleh industri, dibentuk dan dibungkus menjadi sesuatu yang bukan lagi dirinya yang sebenarnya. Di sisi lain ada seniman yang sudah lama berkecimpung di industri sehingga dia punya banyak untuk dibagikan kepada bakat muda baik dan buruknya, tapi dia sudah terlalu lelah. Ada komentar yang kuat tersirat dalam cerita film ini tentang bagaimana industri hiburan – musik dalam kasus film ini – mengubah bakat dan kreativitas itu menjadi bahan konsumsi alih-alih sesuatu yang murni dari hati; bahwa seniman merasa jadi punya tanggung jawab terhadap penggemarnya.

 

coba sekali-kali kalo ketemu artis di jalan, alih-alih foto bareng untuk pamer di instagram, ajaklah dia ngobrol tentang ide-idenya, ide-ide kalian.

 

 

Bahkan dengan durasi yang mencapai dua jam lebih, film masih sedikit kesulitan menyeimbangkan pace di kala cerita butuh lompatan waktu. Ada momen seperti adegan di meja makan teman Jack, yang terasa agak terburu-buru. Seperti ada jarak development karakter yang tidak kita lihat, karena kita tidak merasakan bahwa ternyata beberapa waktu sudah dilompati oleh narasi. Masalah kecil pada penuturan sih sebenarnya, yang mungkin juga kalopun perkembangan hidup tokoh itu lebih difelsh out toh tidak menambah banyak kepada bobot, tapi tetep terasa ada yang mulus dalam perjalanan narasinya.

 

 

 

Selain hal tersebut, aku tidak menemukan kekurangan lagi dalam film ini. Akting-aktingnya memukau. Dalam dunia yang sempurna, kita akan dapat tiga nominasi Oscar dari segi penampilan, bahkan mungkin ditambah satu lagi dari kategori lain. Tapi kalo cuma satu yang masuk pun, aku gak masalah. Karena setidaknya film ini harus dapat satu ganjaran award. Musik-musiknya juga sangat asik, menyentuh dan paralel dengan cerita. Ada satu lagu Jack yang seolah ia tulis untuk dirinya sendiri di masa depan. Penulisan dan penampilan yang sangat cantik.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for A STAR IS BORN.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Kenapa kita suka foto bareng sama artis? Seberapa penting menurut kalian, gimmick terhadap penampilan seorang penyanyi atau seniman?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

BLACKKKLANSMAN Review

“There is life after hate.”

 

 

 

Manusia bisa jadi adalah satu-satunya spesies yang ngucilin sesamanya atas alasan berpikir bahwa golongan mereka lebih hebat daripada sebagian golongan lain yang berbeda. Mungkin aku salah, mengingat toh memang hewan ada yang punya sistem hierarki ala kasta, tapi rasa-rasanya aku belum pernah mendengar seekor zebra ngomong “Eh Kucrit, yang laen pada putih belang item, elu malah item garis-garis putih. Sono lu, nguli di pojokan!”. Aku belum pernah ngelihat singa albino dilemparin kerikil ama teman-temannya, diolok-olok “Anak bule! Anak bule!” (lagian siapa juga yang berani ngelempar singa hihihi) Dan aku seratus persen yakin belum pernah nemuin berita di koran tentang hewan-hewan kebun binatang menggelar aksi protes menuntut untuk enggak dikandangkan bareng hewan-hewan oposisi partai politiknya.

Tapi kita, karena kemampuan berpikir yang lebih canggih dengan kesadaran dan nurani yang lebih berkembang, gemar melakukan diskriminasi. Manusia tidak bertumbuh dalam kesamaan. Kondisi yang berbeda-beda, menyebabkan ketidakmerataan menjadi fitrah bagi manusia. Dan ini menciptakan perbedaan yang lebih jauh lagi. Ada orang-orang yang memandang perbedaan sebagai kekuatan, karena tujuannya adalah mencapai kesetaraan, seperti semboyan negara kita. Namun ada juga, perbedaan tidak seharusnya di-embrace; hanya ada satu kesempurnaan yakni kelompok mereka.

nonton bokep aja kadang kita suka rasis; lebih suka barat daripada jepang atau sebaliknya

 

 

KKK yang kalo dipanjangin berbunyi Ku Klux Klan adalah salah satu contoh dalam sejarah sebuah organisasi yang punya paham ekstrim mengenai kesempurnaan kelompok mereka; ras kulit putih. Berdiri sejak 1865, mereka ini anti semuanya deh, anti-Islam, anti-Yahudi, anti-komunis, anti-LGBT, anti-immigrant, mereka ini menjunjung tinggi supremasi kulit putih bangsa Amerika. Throughout history, kita dapat membaca kiprah mereka membantai warga kulit hitam, bahkan sesama kulit putih yang melindungi kulit hitam, dan catatan klan ini masih berlanjut hingga sekarang. Memang terdengar seperti dalam cerita-cerita horor sih ya, bahkan anggota klan ini tampil dengan seragam berupa topeng dan jubah putih, lengkap dengan simbol mereka. Aksi KKK memuncak di tahun 1960an, dan mendapat perlawanan dari african-american di Amerika. Marthin Luther King muncul, Malcolm X turun tangan. Menyerukan persamaan hak; bahwa manusia tetaplah manusia yang punya derajat yang sama.

Cerita yang diangkat oleh Spike Lee dalam film ini adalah bentuk ‘perjuangan’ yang berbeda. Begitu outrageous, malah. Sehingga membuatku terheran; betapa kerennya kejadian ini pernah beneran terjadi, dan saking kerennya sampai-sampai “kok baru kali ini loh ini difilmkan?” BlacKkKlansman menceritakan tentang Ron Stallworth (John David Washington berhasil keluar dari bayang-bayang bokapnya, Denzel, yang bermain di Malcolm X – film lain tentang Ku Klux Klan garapan Spike Lee), ia adalah seorang polisi yang berusaha menyusup ke dalam sebuah kelompok lokal yang diketahui bagian dari KKK, ia ingin tahu apa rencana mereka, sehingga bisa menyetop kekacauan sedini mungkin. Menariknya adalah, Ron adalah orang kulit hitam. Pada tahun segitu, sudah cukup dipandang miring gimana dia bisa dilantik sebagai anggota polisi. Apalagi gimana cara dia masuk ke dalam KKK tanpa diberondong peluru? Ron berkomunikasi dengan para anggota lewat telefon. Mencoba berakrab-akrab ria, menjadi teman mereka, memahami jalan pikiran dan langkah mereka. Dan ketika dibutuhkan untuk hadir ke dalam pertemuan KKK, Ron ‘diwakilkan’ oleh rekan polisinya, Flip Zimmerman (Adam Driver suprisingly kocak di sini), yang memang sih relatif aman karena dia berkulit putih, tapi bukan berarti tak ada resiko karena Flip seorang Yahudi. Sungguh gila situasi yang mereka alami. Film ini sejatinya punya cerita yang berlatar begitu kelam, namun oleh sang sutradara, semuanya dipresentasikan dengan keseimbangan hiburan yang menakjubkan.

Sebagian besar keasyikan kita menonton dua jam film ini berkat interaksi antara John David dengan Adam Driver. Mereka beradu pikiran soal bagaimana mereka akan melakukan penyusupan tersebut. Ada lapisan akting yang terjadi di sini. You know, John David musti berusaha terdengar sebagai orang kulit putih saat bicara di telefon, dia menutupi dialeknya. Film juga memancing kita dengan pertanyaan, seberapa beda sih gaya bicara golongan ini. Aku suka gimana polisi yang ditanyai oleh Ron soal perbedaan suaranya tidak bisa menjawab di mana persisnya letak perbedaan tersebut, dan sebaliknya, si Grand Wizard – pemimpin – KKK punya teori sendiri gimana cara membedakan dialek mereka, padahal kita melihat sendiri dia sedang ditipu mentah-mentah saat menjabarkan teori cerdasnya tersebut. Juga Adam Driver yang harus berakting sebagai orang yang berakting membenci kulit hitam dengan segala resikonya karena setiap pertemuan KKK, tokoh yang ia perankan selalu diancam dugaan dan ditodong oleh alat pendeteksi kebohongan.

kau tidak bisa pake Jedi Force, loh, di sini

 

 

Tapi bukan lantas berarti tokoh utama kita, si Ron, enggak benar-benar terekspos oleh bahaya. Dia pun masih harus menyusup ke dalam lingkaran orang-orang rasnya sendiri. Perannya dengan Flip sama, berundercover ria menjadi seorang yang bertentangan dengan pandangan mereka sendiri. Ron actually ingin menggiring saudara-saudara sebangsanya untuk melihat bahwa menyerukan “Black Power” bukan berarti musti bertindak sama dengan ‘musuh’ yang mereka lawan. Bahwa tidak semua polisi brengsek, bahwa kesetaraan itu bukan berarti ‘jika keinginan minoritas tidak dipenuhi, maka itu disebut semena-mena dan tidak toleransi’.

Ron yang kulit hitam menyusup di antara orang-orang kulit hitam. Flip yang kulit putih, juga berpura-pura di antara kulit putih. Tapi mereka berdua punya pandangan berbeda dari kelompok mereka. Inilah tema yang mendasari film ini; gimana wujud kita, rupa kita, akan mengarah kepada asumsi tindakan yang kita lakukan. Gimana orang-orang menilai apa yang kita percayai dari fisik semata. Beginilah kita setiap hari. Kita melihat yang berkulit gelap, berambut keriting, berbibir tebal, kita akan berpikir mereka tidak akan menjawab salam dengan Walaikumsalam. Kita melihat yang bermata sipit, kita mengira mereka jago main bulutangkis. Asumsi-asumsi fisik tersebut, tidak bisa dihilangkan karena fitrah kita adalah perbedaan. Yang harus disadari adalah asumsi-asumsi tersebut toh bisa digunakan untuk mejembatani hubungan yang lebih baik antara sesama manusia.

 

 

Bukan hanya dua aktor tersebut yang menyuguhkan penampilan akting luar biasa, bahkan aktor-aktor yang memerankan anggota KKK, ataupun polisi ‘babi’, mereka disuruh komit untuk melakukan ataupun mengucapkan sesuatu yang bakal bikin kita menyipit ngeri. Dan mungkin juga, jijik. Satu adegan, kita akan risih duduk mendengar apa yang sudah dilakukan oleh salah satu tokoh. Di adegan berikutnya, ketidaknyamanan itu sirna karena betapa kocaknya film ini mempersembahkan diri. Ron pernah ditanyai “apa yang kau lakukan jika nanti polisi di sini memanggilmu negro?” dan jawaban Ron akan mengundang tawa yang keras. Isu rasisme dipersembahkan oleh film ini sebagai sesuatu yang aneh dan berbahaya, maka penceritaan pun dibuat sama seperti demikian. Film akan membuat kita tertawa sekaligus waspada akan bahaya dari situasi, yang masih relevan sampai sekarang. Potongan adegan dari kejadian nyata situasi pemerintahan Trump di akhir film, membuat kita sadar kengerian yang sedang dihadapi oleh warga di sana. Tapi bukan berarti kita yang di sini aman-aman saja.

Untuk mencapai keseimbangan tone cerita seperti demikian, tentu saja ada keputusan yang diambil oleh Spike Lee, yang membuat cerita sedikit berbeda dari kejadian nyata. Ada aspek-aspek yang didramatisir, dilebih-lebihkan, dibuat menjadi lucu. Pendekatan yang diambil Lee adalah pendekatan bercerita yang lumayan mainstream. Dibuat untuk menyenangkan hati penonton. Ada ‘hukuman’ buat ‘orang jahat’. Ada imbalan buat yang baik. Pacing cerita, tak pelak, jadi sedikit terganggu dengan up dan down yang terkadang diulur demi romantisasi. Beberapa orang mungkin akan mengritik kekurangakuratan film ini. Tapi sebagai pembelaan, buatku tidak masalah apabila film yang diangkat dari kejadian dan orang nyata, diberi sedikit bumbu-bumbu untuk menyampaikan maksud cerita. Karena yang penting adalah pesan cerita. BlacKkKlansman penting untuk ditonton oleh sebanyak mungkin orang, dan cerita yang gelap ini enggak akan ditonton orang jika stay dark. Harus ada cahaya menyenangkan yang bersinar ke dalam ceritanya.

 

 

 

Menakjubkan gimana film ini berhasil mencapai keseimbangan sempurna antara kelucuan dengan tragedi. Tak muluk jika kita sebut ini adalah karya terbaik Spike Lee semenjak Inside Man (2006). Dari yang kita tertawa sampai menitik air mata, film akan membawa kita merneung menahan air mata lewat potret kemanusiaan yang tidak banyak berubah hingga sekarang. Cerita sepenting ini berhasil dibawa ke ranah merakyat. Jikapun ada sesal, maka itu adalah kenapa film ini enggak tayang di bioskop Indonesia.
The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold stars for BLACKKKLANSMAN.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Gimana sih menurut kalian hubungan antara kecerdasan dengan superioritas manusia? Apakah ilmu padi itu cuma mitos?

Menurut kalian, apa yang dipikirkan orang ketika mereka menyuarakan kebencian?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

 

 

GENERASI MICIN Review

“The kids are alright”

 

 

Terkadang, kita suka menggunakan jargon atau ungkapan-ungkapan untuk melabeli hal yang tidak sepenuhnya kita mengerti, memberikannya semacam ilusi bahwa kita sudah memahami hal tersebut. Sama teman aja, kita suka ngasih mereka nickname, supaya memanggil mereka terasa lebih akrab. Untuk satu hal, memang label seperti demikian itu bagus, karena sejatinya adalah usaha kita untuk mencari tahu – bukannya menjauhi. Namun yang perlu diingat adalah, mengenali orang atau hal tidak sepatutnya berhenti di satu label atau jargon saja. Kita harus ingat masih ada aspek lain yang belum kita ketahui dari mereka.

Generasi Z, misalnya. Generasi yang terlahir dari tahun 1995 hingga 2012, dalam artian para remaja saat ini, mereka kita baptis dengan sebutan Generasi Micin. Karena dari yang kita lihat, memang anak-anak jaman now kelakuannya pada aneh. Istilah tersebut hadir dikaitkan dengan konsumsi micin alias MSG yang dapet konotasi negatif sebagai bahan penyedap yang membodohkan. Kerjaan anak generasi ini nonton hape sepanjang waktu, curhat enggak jelas di sosial media, gampang ribut sama hal remeh temeh dan bahkan hoax, serta segalanya mereka mau yang instan-instan. Bandingkan dengan kita, Generasi Millenial, yang lebih menghargai proses ketimbang hasil. Kita lebih menghargai pengalamannya. Semua itu adalah sebagai akibat dari kita hidup melewati berbagai perkembangan teknologi; kita ada saat masa emas pertelevisian, masa kemunculan telepon dan handphone, kita ngikutin perubahan komputer dari disket, kita dengerin musik dari pita kaset hingga teknologi teranyar. As opposed to Generasi Micin yang sejak lahir sudah dimanjakan oleh kenyamanan. Tapi tentu saja, itu tidak berarti mereka tidak lebih pintar daripada kita. Bukan berarti mereka yang menurut kita manja, tidak bisa lebih kritis daripada kita. Faktanya, seorang jurnalis New York Times sempet surprise melihat  justru remaja-remaja yang sangat vokal dan berani menggalakkan gerakan AntiSenjata di tengah konflik kepemilikan senjata api di Amerika beberapa waktu yang lalu. “Are Today’s Teenager Smarter and Better Than We Think?” katanya menuliskan judul artikel tentang Generasi Kekinian.

Fajar Nugros, lewat balutan komedi, mempersembahkan kepada kita film Generasi Micin sebagai jendela untuk memandang remaja-remaja lebih jauh dari layar smartphone dan akun media sosial mereka. Memperlihatkan tantangan yang remaja hadapi di dunia yang terus berputar. Tidak ada yang salah dengan anak-anak jaman sekarang.  Bahwa sebenarnya tidak ada generasi yang lebih hebat daripada yang lainnya. Setiap generasi, pada kenyataannya, akan selalu menghasilkan remaja-remaja yang melakukan hal-hal menakjubkan terhadap zaman mereka.

 

Kevin mirip-mirip Raditya Dika 

 

Kevin Anggara (youtuber dan penulis buku ini memainkan dirinya sendiri) memasuki tahun ketiga di SMU Harapan Mrs. Ana. Sekolah adalah tempat paling membosankan baginya, dia pengen tahun terakhirnya ini menjadi waktu yang paling berkesan. Tapi apa yang bisa ia lakukan? Temannya sudah duluan tenar bikin vlog keseharian di sekolah. Dia enggak cukup fasih untuk ikutan klub Inggris bareng cewek sahabat masa kecilnya. Kevin lumayan socially awkward sehingga satu-satunya dia terlihat ‘fasih’ bicara adalah ketika dia gugup dan serabutan ngomong berbagai hal dari Naruto hingga Pintu Ajaib Doraemon. Kevin lebih nyaman curhat di blog, yang sekarang sudah tak ia lakukan lagi lantaran malu dikatain alay. Dia merasa sudah cukup dengan dilabeli #tertuduhmicin. Jadi apa yang Kevin lakukan demi mengisi hari-hari terakhir di sekolah? Dia ikutan website prank, dia ngajakin teman-teman sekelasnya (literally tiga orang) untuk berbuat jahil kepada guru-guru dan penghuni sekolah. Peringkat dan status Kevin di website tersebut boleh saja meroket, tapi orang-orang di sekitar Kevin jadi susah karena ulahnya. Hubungan Kevin dengan sahabat kece yang diam-diam ia taksir tersebut jadi renggang. Kevin harus melakukan sesuatu sebelum dia benar-benar membuat kecewa Ayah dan Ibunya. Juga seisi sekolahnya.

Film mencoba memberikan gambaran perbandingan antara generasi Z dengan Millennial, atau bahkan dengan generasi X yang jauh lebih ‘tua’. Kita akan melihat keluarga Kevin, gimana sudut pandang ayahnya yang buka toko sehari-hari tentang bisnis dan moral. Kevin actually punya ‘paman’ yang masih muda, tinggal serumah dengan mereka, dan banyak adegan yang mencakup Kevin dengan pamannya dengan ayah ibunya merupakan komentar mengenai gimana bedanya cara ‘kerja’ hal-hal dalam setiap generasi. Menjelang akhir, kita akan melihat adegan debat berbahasa inggris yang membahas topik dan ‘pembelaan’ terhadap generasi Micin. Dan ini sebenarnya mengecewakan buatku, karena komentar terhadap pandangan antargenerasi tersebut semestinya bisa dihadirkan dengan lebih baik. Film punya tokoh-tokoh yang sudah cukup mewakili, mereka seharusnya bisa memikirkan cara yang lebih mulus dalam menceritakan tema, dalam membangun cerita sesuai konteks yang dipunya. Menggunakan lomba debat yang adegannya hanya peserta ngomong bergantian, bahkan tanpa benar-benar ada debat pendapat yang dramatis, membuatnya hanya seperti dakwah yang enggak exactly mulus menyatu dengan keseluruhan film. Ohiya, dan si Kevin enggak ikut ambil bagian dalam debat tersebut.

Yang membuat penulisan cerita ini tampak membingungkan adalah posisi Kevin, si tokoh utama, yang enggak jelas ada di mana. Secara umur, dia termasuk generasi micin, tapi dia tidak bersikap seperti demikian. Bahkan poster film ini cukup mengundang pertanyaan, I mean, di IMDB dan situs LSF judul resminya adalah Generasi Micin, namun coba lihat posternya; aku sendiri merasa judul film ini memang lebih cocok jika ditambah dengan ‘vs. Kevin’. Karena Kevin berbeda dengan teman-temannya yang beneran mencerminkan pola pikir dan tindak generasi Z.

Salah satu keunggulan Generasi Z adalah gimana mereka dengan gampangnya mengekspresikan diri. Segala tool dan fasilitas yang ada itu, mereka gunakan untuk berkarya. Mereka paham untuk tidak malu dengan diri sendiri. Mereka dikatakan lebih narsis karena memang mereka sangat menghargai tinggi diri sendiri.

 

Teman Kevin ada yang bikin vlog dengan konten joget-joget absurd, ada juga yang begitu suka ama Korea dan dia tidak punya masalah mengekspresikan diri sebagai K-Popers (meskipun untuk sebagian besar waktu aku tidak mengerti candaan yang diucap oleh si Dimas ini). Dia berjoget di game center, sedangkan Kevin disuruh ikutan, malah malu. Alay, katanya. Untuk alasan yang sama juga Kevin berhenti menulis blog. Malahan, Kevin tidak melakukan apa-apa selain pasang tampang I-don’t-wanna-be-here sepanjang waktu. Dia bersungut “tidak ada yang mengerti dunia gue”, tapi dunia apa? Yang kita lihat kerjaannya setiap hari adalah mengurung diri di kamar bermain game sepak bola. Kevin tak-menarik, terlihat fake (dia tak pernah terlihat beneran jahil ataupun beneran angsty atau apapun). Didukung permainan akting yang bland yang membuatku bertanya-tanya sendiri kenapa mereka tidak menggunakan aktor beneran aja, Kevin adalah tokoh utama yang begitu uninspired.

Kita bahkan enggak tahu kenapa dia milih masuk IPA sementara teman-teman yang lain, yang segenerasi, berbondong masuk IPS. Berbeda dengan teman-temannya, Kevin masih punya mindset melakukan sesuatu untuk menghasilkan impresi dari orang lain. Dia ikutan website prank biar dianggap keren. Dia melakukan hal bukan untuk mengekspresikan diri, makanya dia ini sering banget berkilah “malu dibilang alay”. Tahukah kamu; Di luar sebuah perbuatan yang salah, malu hanya ada karena kita memikirkan pendapat orang lain tentang kita. Menjelang akhirpun, Kevin sepertinya belum menyadari ‘harga’ dari generasinya sendiri. Dia hanya berhenti ngeprank dan kembali menulis setelah dijauhi oleh teman-temannya. Dia berpikir kompetisi itu penting, dan film yang mengambil sudut pandangnya sebagai fokus, mendukung Kevin dengan membuat sekolah mereka menang kompetisi dalam setiap cabang. Seolah kemenangan adalah hal yang penting, mengimpresi berada di atas sekedar mengekspresikan diri. Dan ini semua terjadi bahkan setelah dia mendapat wejangan dari ayahnya seputar banyak lebih berharga dari ‘uang’.

semenarik itukah musik dan komentar dalam video game sepak bola sehingga harus banget pasang headphone?

 

 

Misi film ini adalah memperlihatkan keunggulan generasi yang selama ini diremehkan, hanya karena mereka belum punya cukup waktu untuk membuktikan diri. Tapi susah untuk konek dan percaya kepada suara tersebut lantaran dunia yang diperlihatkan terlalu laughable dan susah dianggap serius. Menurutku, tone cerita tidak musti terlalu over untuk mencapai komedi. Guru-guru yang ketiduran sambil berdiri, yang bicara sambil bernyanyi, yang mendikte buku pelajaran tanpa mengetahui anak muridnya yang hanya empat orang keluar dari kelas, kelewat bego sehingga tidak lagi lucu – hanya berfungsi sebagai distraksi dari isi cerita. We could have normal teachers and still make a funny story, right? Membuat yang lain ‘gak normal’ bukan lantas menjadikan subjek cerita ‘normal’. Lewat sudut pandang Kevin, film tidak benar-benar berhasil memperlihatkan kebolehan generasi Z. Pembelaan yang dilakukan film terhadapnya adalah dengan mengatakan generasi ini menghadapi tantangan yang lebih besar; mereka langsung dijugde begitu berbuat salah, nama mereka seketika bisa hancur di social media, dan semacamnya. Akan tetapi, bukankah kehidupan – apapun generasinya memang begitu? Ibaratnya, segala yang kita usahakan toh memang bisa dalam sekejap mata musnah karena bencana seperti gempa, kebakaran, ataupun kematian.

 

 

 

 

Film ini pun sepertinya lebih ingin mengimpress people, alih-alih mengekspresikan suaranya tentang perbedaan antargenerasi. Atau mungkin, justru film ingin memperlihatkan bahwa manusia tidak seharusnya dibagi-bagi ke dalam kelompok generasi? Yang jelas, ending film ini yang tampak draggy hanya seperti ingin memperlihatkan Kevin sayang banget ama Chelsea. Dan itu tak ada hubungannya dengan keseluruhan eksplorasi cerita. Delivery komedinya lebih sering miss ketimbang hit, dan menurutku hal tersebut erat hubungannya dengan kualitas penampilan akting dari beberapa pemainnya. Tema menarik seperti ini, seharusnya penulisan bisa dilakukan dengan lebih baik lagi.
The Palace of Wisdom gives 3 out of 10 gold stars for GENERASI MICIN.

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Menurut kalian kenapa generasi remaja sekarang mendapat bad rap sehingga dijuluki sebagai Generasi Micin? Apakah kita didefinisikan oleh generasi kelahiran?

Apakah kemajuan teknologi ada hubungannya dengan deteoritas manusia? Have smartphones destroyed a generation?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017