HANUM & RANGGA: FAITH & THE CITY Review

“If you don’t stand for something you’ll fall for anything.”

 

 

Satu pertanyaan yang diangkat pada trailer film ini berdering keras di ruang telingaku yang saat itu lagi cuek bebek mainin permen karet karena aku gak biasa nonton trailer, bahkan di dalam bioskop. “Apakah dunia akan menjadi lebih baik tanpa Islam?”

Jadi ya, aku penasaran sama gagasan film ini sehubungan dengan pertanyaan tersebut yang aku yakini jadi tema besar dalam ceritanya. Aku geregetan karena lalu lintas siang tadi begitu padat. Kendaraan jalannya pada tersendat-sendat. Maju dikit, stopnya sering. Jalan sebentar, eh berhentinya lama. Perempatan yang kulewati memang terkenal macet parah lantaran lampu merah yang berdurasi cukup lama. Kalo begini bisa-bisa bisa terlambat ke bioskop! Masa aku harus mengalah sama pengemudi jalur lain. Enak aja yang belok kiri boleh jalan terus. Padahal yang punya misi di sana, yang paling berkepentingan, adalah aku; Aku harus nonton duluan supaya bisa memberi tahu dunia, menyelamatkan dompet-dompet tidak berdosa, bahwa film ini bagus atau tidak. Pernah gak sih kalian kesel jalanan jadi macet karena lampu merah. Pernah gak kalian keki karena rencana atau acara kalian jadi terlambat sebab jalanan riweuh ada razia polisi.

Apakah trafik di jalanan bakal jadi lebih lancar tanpa ada lampu lalu lintas?

 

 

Pertanyaan yang begitu menantang tersebut dijadikan konsep acara televisi yang harus digarap oleh Hanum Salsabiela (Acha Septriasa reprising her role sebagai jurnalis wanita kritis yang cerdas dan taat beragama). Sebelum berangkat ke Vienna mengikuti suaminya yang ingin menyelesaikan studi, kesempatan datang mengetuk pintu rumah Hanum. Wanita ini ditawari kerja magang di stasiun televisi sensasional, GNTV. Ditawari oleh jurnalis idolanya pula. Atas izin suaminya yang pengertian, mereka memperpanjang tinggal di New York sehingga Hanum bisa mewujudkan mimpinya mengikuti program internship tiga minggu tersebut. Tapi bekerja di GNTV berarti Hanum harus meninggalkan agamanya di luar pintu. Sebab dalam bisnis televisi, rating-lah yang menjadi Tuhan. Hanum kudu stay professional sebagai reporter. Ada pandangan mengenai bisnis di balik meja redaksi televisi yang dipelrihatkan di sini. Ada banyak pilihan yang harus diambil Hanum; apakah dia menghormati narasumber atau ikut perintah atasan demi rating. Bagaimana cara dia memperlihatkan Islam sebagai ajaran yang baik lewat acara yang sudah diset untuk memojokkan Islam – menjual drama darinya.

Sementara itu, Rangga sang suami (Rio Dewanto sebagian besar waktu berusaha tampil simpatik) mengisi hari-harinya menunggu Hanum pulang dengan mengasuh anak dari seorang single mom yang dulu pernah dibantu oleh Hanum perihal keterkaitan keluarganya dengan jaringan teroris. Jadi, benih-benih kecemburuan mulai tertanam di hati masing-masing. Di satu sisi kita punya tokoh utama yang mengejar mimpinya, berjuang dengan kondisi yang mengharuskan dia memilih antara idealisme dengan realita bisnis media yang basically adalah pilihan antara karir dengan keyakinannya. Di sisi lain ada tokoh pendamping yang melihat lebih jernih, yang peduli sama istrinya, yang rela berkorban apa saja – dia melihat istrinya menapaki pilihan yang membuatnya khawatir. Tapi semuanya menjadi personal bagi sang istri. Setidaknya ada tiga lapisan yang bekerja koheren di dalam narasi. Hanum yang berusaha mengubah pandangan media luar tentang Islam, dan dia berusaha melakukannya dari dalam. Dan yang terutama disayangkan adalah, film tak lagi bergairah menjawab pertanyaan besar yang menjadi tema utama, melainkan sibuk bermehek-mehek ria dengan lebih mengeksplorasi elemen cemburu yang dimiliki oleh cerita.

dan ada hantu Maddah di film ini hhihi

 

 

Film ini bisa bekerja lebih baik sebagai komentar soal gender-role. I do think wanita enggak kalah sama pria, you know, buktinya WWE Evolution yang isinya pertandingan cewek semua terbukti lebih menarik dibanding kebanyakan acara normal WWE. Akan menarik melihat sudut pandang wanita seperti Hanum, cukup dikaitkan saja dengan agama. Karena kita mengerti apa yang dihadapi oleh Hanum dalam film ini, kita paham konflik yang bersarang di benaknya. Bayangkan sebuah balon yang ada pemberat batunya. Lepaskan batunya, dan balon akan melayang tinggi di angkasa. Balon adalah wanita-wanita mandiri nan cerdas seperti Hanum. Terikat kepada suami oleh pernikahan dan aturan agama yang ia yakini. Dunia kerja Hanum menggebah Hanum untuk melepaskan ‘batu’nya, supaya dia bisa berkembang pesat. Kita melihat, as story goes, Hanum mulai kehilangan keyakinannya. Dia lupa bahwa karena ijin suaminya lah dia bisa magang di GNTV. Dia enggak ingat bahwa dalam ajaran agama yang ia yakini – sebagai muslim yang sedang ia perjuangkan kebenaran ajarannya – ia harus mematuhi suami. Film bisa mengangkasa mencapai bintang jika benar-benar membahas ini; jika Hanum membuat pilihan yang menunjukkan dia menemukan kembali keyakinannya. Yang menunjukkan ia sadar dan punya kounter-argumen soal jawaban Islam bukannya menghambat. Film pun bisa saja terbang cukup tinggi jika membahas dan benar-benar memperlihatkan usaha Hanum mengubah sistem media atau pertelevisian dari dalam, dengan cara dan keyakinannya sendiri.

Mau tahu batu sebenarnya dalam kasus film ini? Elemen cemburu dan drama cintanya-lah yang sejatinya sebagai penghambat utama film ini menjadi sebuah cerita yang hebat. Adegan endingnya sendiri sebenarnya udah bener. Hanya saja, menjelang ke sana; momen relevasi film ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan ‘faith’ yang diumbar menjadi judul dan tema cerita. Hanum tersadar bukan karena keyakinan ataupun pemikiran sendiri, melainkan karena pengungkapan oleh satu tokoh. Jalan keluar datang dari kemampuan tokoh lain. Sepintas memang terlihat seperti Hanum adalah tokoh yang paling berjasa. Tapi jika diselidik lebih dalam, Hanum enggak benar-benar berbuat apa-apa secara langsung. Dia tidak mengubah keadaan kantornya. Dia bahkan enggak mengejar suaminya, padahal katanya ini film kesetaraan wanita. Yang ada, Hanum menjadi sama aja seperti media yang ia lawan; ia mengekspos kejelekan seseorang yang sudah memberinya makan. Orang-orang di sekitarnya terlihat lebih punya ‘faith’ ketimbang Hanum. Pada akhirnya, Hanum tetap menjadi tokoh yang paling tidak punya keyakinan pada cerita ini, bahkan si jurnalis ‘jahat’ saja punya pandangan yang terus ia junjung. Makanya dia begitu rapuh dan gampang terbawa pengaruh. Hanum hanya bergerak berdasarkan drama egonya. Dia tampak bangga sebagai korban, pada sekuen acara peringatan 9/11 yang disiarkan live. Cerita wanita yang kuat semestinya berakhir seperti pada Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak (2017); dia merebut kendali, menolak dilabeli sebagai ‘si korban’

Hanum dalam film ini malah membuktikan stereotipe kuno bahwa bagaimana pun juga, betapapun tinggi pendidikannya, wanita tetaplah mendahulukan perasaan. Bukan pemikiran, bukan pula iman. Yang mana bertentangan sekali dengan pesan yang berusaha disampaikan oleh cerita.

 

Elemen dramatis film ini menciptakan banyak adegan yang gak make sense. Bahkan stake yang dikenai ke Hanum tak pernah benar-benar masuk akal buatku. Aku gak mengerti kenapa Hanum tidak berhenti saja setelah tugas interview pertama. The one that got high rating dan yang bikin Hanum ketiban bonus gede. Oh yea, mungkin karena bonusnya itu ya. Hanum sebenarnya bisa berhenti kapan saja. Untuk memanjangkan cerita, maka film butuh elemen drama yang menjadi masalah terbesar seperti yang kutuliskan tadi. Aneh sekali ada tokoh yang dengan penuh keteguhan hati mengucapkan “Aku single parent, aku harus bisa ngerjain apa aja sendiri” padahal kita lihat adegannya ia sedang meminta tolong kepada Rangga untuk membetulkan pipa air keran. Dan buatku adalah konyol dan maksa banget gimana penokohan Hanum dituliskan di film ini. Bagaimana mungkin jurnalis, yang pintar dan gak ecek-ecek seperti dirinya, yang tahu persis cara kerja media, bisa kesulut oleh desas-desus dan kebakar oleh foto-tanpa-konteks yang ia terima dari pesan whatsapp? Logika tokohnya enggak klop, enggak masuk akal buatku.

ganti aja judulnya dengan Feeling in the City

 

 

Film ini masih bisa bekerja kok tanpa drama yang dibuat-buat. Tantangan nyata yang dihadapi wanita Islam di dunia modern, kurang menyentuh apa coba. Mengubah sistem dengan kemampuan sendiri, sembari berpegang teguh pada keyakinan sendiri; kurang menginspirasi gimana coba. Tapi film memilih untuk menahan laju film, menambatnya dengan menjadikan dramatisasi kecemburuan wanita terhadap pasangannya sebagai poin utama. Melihat dari pengungkapannya, semua kejadian di film ini tidak perlu kita lalui jika saja salah satu tokoh menceritakan yang ia tahu kepada Hanum – naskah berusaha keras menjauhkan dua tokoh ini hingga babak akhir dan kita mendapat cerita dengan stake gak make sense karenanya. Pertanyaan di atas memang enggak benar-benar terjawab oleh cerita. Tapi setidaknya, kita punya satu pernyataan pasti buat film ini. This story will be a better movie without tear-jerker no sense drama.
The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for HANUM & RANGGA: FAITH & THE CITY.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Benarkah pria lebih unggul dari wanita? Kenapa menurut kalian istri harus meminta izin kepada suami?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

 

APOSTLE Review

“Security is a false god.”

 

 

 

Tidak ada orang yang lebih pantas menyusup ke dalam sekte reliji sesat selain Thomas Richardson. Bukan saja karena sekte tersebut sudah menculik adik perempuannya, menyandera sang adik untuk tebusan. Tetapi juga karena Thomas dijamin ampuh tidak akan terpengaruh dan balik mengimani ajaran sesat tersebut. Gak mungkin lah yaow! Thomas sudah membuang jauh-jauh keimanannya terhadap agama. Dulunya dia seorang yang taat, tapi setelah pengalaman mengerikan, Thomas sadar agama cuek bebek; tidak menolongnya. Bayangkan Andrew Garfield dalam film Silence (2017), nah Thomas adalah versi ‘keras’ dari tokoh tersebut. Malahan, film ini secara keseluruhan adalah versi brutal, penuh dengan darah, kengerian, dan banyak lagi yang bakal bikin kita merasa perlu untuk mempercayai sesuatu yang bisa memberikan keselamatan.

Tentu saja, semua kemudahan yang dibayangkan Thomas enggak terwujud di dunia nyata. Dai enggak bisa sekadar menyamar, membebaskan adiknya, dan pergi melenggang dengan damai. Penghuni Erisden, pulau kultus terasing yang ia susupi, tidak sepolos yang ia bayangkan. Ada sesuatu yang beneran menyeramkan sedang terjadi di sana. Tuhan yang diserukan oleh si Nabi Palsu bisa jadi bukan sekedar onggokan benda yang terbuat dari kayu. Panen dan hasil alam pulau tersebut rusak, Nabi di Pulau Erisden yakin do’a tak lagi mencukupi permintaan Tuhan mereka. Darah harus dikorbankan.

The Goddess I know; she will give us some Twisted Bliss

 

Bahkan sebelum kaki Thomas menginjak pulau sarang cult, kita sudah dihampiri oleh banyak misteri. Tanda-tanda kengerian itu sudah ditanamkan dengan seksama, menjalin ke dalam benang-benang cerita. Intensitas suspens cerita itu terus meningkat sejalannya narasi. Kita melihat ada sesuatu di bawah lantai kayu yang menantikan tetesan darah jatuh ke bawah. Kita melihat tumbuhan hijau serta merta menjadi layu di tembok rumah. Kita melihat binatang ternak yang lahir dalam kondisi mengerikan. Paruh pertama film ini begitu efektif menghimpun misteri, membuat kita menerka-nerka apa yang sesungguhnya terjadi. Kita memeriksa ritual-ritual tersebut lewat mata Thomas. Dan mata tersebut actually yang menjadi tanda pertama buatku, betapa aku tidak bisa konek dengan tokoh Thomas.

Bagiku sangat over-the-top gimana Dan Stevens membawakan perannya tersebut. Thomas diniatkan sebagai orang yang sudah melihat begitu banyak hal mengerikan, sehingga ia skeptis terhadap kegiatan kultus yang ia saksikan pada pulau itu. Thomas berpikir dia sudah melihat semua. Dia kira semua orang di sana, termasuk si Nabi Palsu, hanya menjual bualan dan harmless dibandingkan dirinya yang bisa membela diri. Stevens memainkan Thomas dengan melotot sepanjang waktu. Dia sok galak. Thomas hanya seperti tubuh, tanpa jiwa, karena kita tidak dibawa menyelam bersamanya. Susah untuk mengikuti tokoh ini, dengan kita actually mengetahui lebih banyak dari yang ia ketahui. Beberapa adegan ganjil, kita tidak melihatnya dari sudut pandang Thomas. Kita hanya melihat bersama Thomas saat adegan-adegan di mana tokoh ini tampak kurang usaha, dan diselamatkan oleh keberuntungan. Kita tahu lebih dulu darinya, dan ini membuat tindakan sang tokoh susah untuk kita dukung.

Ada satu adegan ketika seluruh penduduk pria yang baru datang dipanggil ke rumah ibadah. Para Pemimpin Kultus mencurigai ada mata-mata di antara mereka. Jadi untuk membuktikan siapa si ‘serigala berbulu domba’ si Nabi Palsu menyuruh mereka satu persatu mereka melafalkan ayat dari kitab reliji mereka. Film ingin membangun suspens, kita supposedly khawatir giliran Thomas semakin dekat, you know, ini soal hidup atau mati ditembak di tempat. Hanya saja susah untuk peduli kepada Thomas, karena karakternya yang tidak diperlihatkan mau bersusah payah belajar ‘menyamar’. Thomas terasa distant dan gak mengundang simpati. Outcome dari adegan tersebut juga terasa kayak kebetulan. Dan ada satu adegan lagi di mana tindak Thomas tampak begitu reckless dan gak berfungsi apa-apa selain device narasi yang terlalu diada-adain; untuk suatu alasan, Thomas menggambar denah desa, menandai rumah mana harus diselidiki, but there’s only one house yang ia curigai. – dan desa di pulau tersebut enggak begitu besar. Tindakan ini malah lebih bego daripada Neville Longbottom yang mencatat semua password ruang rekreasi Gryffindor pada secarik kertas dalam cerita Harry Potter and the Prisoner of Azkaban.

Setiap ajaran sesat, setiap kefanatikan, bermula dari satu hal keraguan. Manusia tertarik kepada agama bukan sekadar karena takut akan kematian. Mass acceptance sebuah ajaran diperoleh sebab ajaran tersebut memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap keteraturan dalam berbagai aspek kehidupan. Di tengah kekacauan dan musibah, kondisi aspek kehidupan yang mulai meragukan, orang pertama yang menawarkan tata tertib akan dipandang sebagai juru selamat. Karena manusia begitu desperate dengan order. Apostle adalah film yang membesarkan rasa desperate manusia tersebut. Perjalanan Thomas sebagai literally penyelamat desa, adalah metafora dari keadaan tersebut – seskeptis apapun, kita bakal butuh untuk percaya pada sesuatu.

 

 

Paruh kedua film ini ‘dilukis’ Gareth Evans dengan warna merah. Sutradara ini terkenal akan kepiawaiannya menggarap adegan-adegan aksi yang bikin mata melotot. Dalam Apostle, meski porsi aksinya kurang, tapi itu tidak berarti mata – dan ultimately, perut  – kita bisa rileks menonton ini. Penggemar body horor bakal terpuaskan lantaran poin-poin cerita yang bakal terungkap akan terus diiringi oleh adegan gore yang brutal. Kamera pun bijaksana sekali, dia tahu kapan harus memperlihatkan semua, paham sudut mana yang paling pas bikin kita yang ngeri melihatnya tetap mengintip layar dari balik jari-jari, dan kapan musti cut-away. Ada satu adegan penyiksaan yang paling membekas di dalam kepalaku; adegan yang melibatkan alat pengebor kepala.

major headache

 

Berkebalikan dengan Thomas yang over-the-top, para pemimpin cult buatku terasa kurang nyampe dalam membawakan kengerian dari cara pandang mereka yang wicked. Justru Nabi dan para petinggi itu yang seharusnya berakting sedikit over, karena kita perlu merasakan betapa ganjilnya ajaran mereka. Bahkan motivasi para apostle itu kian konyol menjelang akhir. Sayangnya pembawaan mereka terasa tidak sejajar, kita tidak ngeri mendengarnya. Kita jijik. Kita geram. Sebab, film sepertinya memang berniat jujur, dia tidak menanamkan red-herring, sedari awal kita sudah dipahamkan bahwa ada kekuatan lain yang lebih mengerikan. Film tidak bisa bekerja selain cara yang sudah kita lihat ini. Kebrutalan dan ketidakaturan adalah seni di sini. Maka film akan benar-benar membagi penontonnya, terutama setelah pertengahan cerita di mana semua darah dan isi tubuh itu dicurahkan. Buatku, paruh akhir film memang lebih mengasyikkan, sementara paruh pertamanya sebenarnya lebih kuat dari sisi cerita. Bagian akhir film, tidak lebih berisi dari sekadar ber-gore ria. Efek-efeknya terlihat begitu fantastis; gak perlu disebutin lagi sebenarnya betapa Evans tampak sangat passionate untuk tipe film seperti ini.

Dari kekerasan terhadap binatang, insiden ayah kandung dengan anak kandungnya, film ini tak pelak penuh oleh adegan yang berpotensi disturbing buat banyak orang. Ada sedikit kemiripan dengan Mother! (2017) ketika film curi-curi berdakwah soal gimana manusia merupakan ‘mesin kehancuran’ yang tak tahu berterima kasih dalam memanfaatkan hasil alam; film ini bahkan punya semacam sosok ibu-alam versi mereka sendiri. Hanya saja, elemen-elemen cerita film ini tidak klop dengan benar-benar koheren. Dalam bercerita, film menggunakan banyak momen ‘pingsan’ sebagai penyambung narasi. Dan sesungguhnya, hal tersebut memang membuat film konsisten terhadap konteksnya; di sini kita punya cerita yang dengan berani menantang realita – gimana kepercayaan umum dirubuhkan oleh hal supranatural, dan tokoh yang sering ditarik keluar dari kenyataan mendukung ide tersebut. Tapi di lain pihak, ini tidak membuat penceritaan yang rapi.

 

 

 

 

Film ini bisa saja dibuat dengan lebih lurus terhadap kaidah film. Tokohnya bisa dibuat lebih simpatik. Disturbingnya bisa dikurangi. Adegannya bisa dibuat lebih koheren. Tapi hasilnya tidak akan senendang yang kita saksikan ini. It wouldn’t work as strong as this. Karena film ini hadir bukan untuk menyenangkan semua orang. Akan tetapi, sesungguhnya film ini siap untuk mengumpulkan pengikut yang mempercayai karya-karya Gareth Evans yang sangat unsettling.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for APOSTLE.

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Menurut kalian apa sebenarnya yang terjadi kepada Thomas di akhir cerita? Apakah dia bahagia, apakah dia menemukan kembali keimanannya – ataukah dia sudah terangkat statusnya menjadi semacam ‘Tuhan’?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

 

 

LIAM DAN LAILA Review

“Some third person decides your fate: this is the whole essence of bureaucracy”

 

 

Pertanyaan pertama yang dilontarkan kepada Liam ketika dia menginjak ranah Minangkabau adalah “Apa agamamu?” Facebook boleh jadi sudah ketinggalan jaman, begitu pesatnya dunia bergerak. Namun adat istiadat tetap harus dipijak, dengan agama sebagai dasarnya. Bagi manusia seberadab Liam, pertanyaan tersebut bukanlah terdengar seperti kekangan. Melainkan garis yang musti ia kejar. Bukan pula sekedar syarat baginya untuk menikahi Laila. Tetapi merupakan tujuan hidup. Banyak pasangan seperti Liam dan Laila; yang mengusahakan perbedaan mereka tidak dijadikan penghalang. Saat aku menonton ini, pasangan yang duduk di barisan depanku juga pasangan bule dan wanita Indonesia. Mereka berbeda agama. “Film tadi membuka hati saya akan cinta yang sesungguhnya” kata si pria bule dengan mantap menggunakan bahasa Indonesia.

Bukan hanya agama, cinta juga sebenarnya enggak bisa main-main. Bukan karena Laila, maka Liam jadi pindah keyakinan.  Laila ‘hanyalah’ simbol cinta yang ditemukan oleh Liam dalam perjalanannya mencari cinta yang ia yakini sepenuh hati. Inilah yang membuatnya kontras dengan keluarga niniak mamak Laila. Mereka terlalu memandang tinggi adat, melampaui agama yang mestinya mereka lindungi dengan adat tersebut. Di akhir film, sesungguhnya bukan Liam yang banyak belajar agama dari mereka. Melainkan mereka yang secara tak sadar, diajarin cara meyakini oleh Liam.

 

Liam (Jonatan Cerrada cukup kocak, logat bule ama logat orang padang berbahasa Indonesia ternyata mirip haha) nekat datang untuk meminang Laila (Nirina Zubir, sebaliknya, tampak cukup mengesankan tampil serius dan emosional dengan berbahasa minang). Di depan kandang singa, Liam mengutarakan maksud hatinya. Dia ingin masuk Islam, dan memperistri Laila, cewek yang ia kenal di facebook, yang sudah mengajarinya banyak hal tentang agama penuh damai ini. Tapi tentu saja pindah agama bukan urusan yang sepele. Pun menerima orang asing, bule pula, ke dalam keluarga Gadang yang erat tradisi. So yea, cerita film ini bisa dibilang sanak dari cerita Crazy Rich Asians (2018)Di mana Liam harus membuktikan kesungguhannya memeluk Islam. Dia harus membuktikan dirinya dapat dipercaya. Karena dari sisi keluarga, selalu ada prasangka dan kecemasan. Apalagi di jaman sekarang. Kenalan lewat sosial media aja sudah dinilai sebagai cukup mencurigakan. Dengan visanya yang habis dalam tiga-puluh hari, waktu turut mengejar Liam. Dia harus segera mengikrarkan keyakinannya, sebelum didaulat pantas untuk mengucapkan ijab kabul.

Dan cowok pengusaha daging di Perancis ini menghabiskan 4 hari dari waktunya yang berharga dengan diam di kamar hotelnya (Hotel Mersi, pardon my french hihi) menunggu keputusan rapat keluarga Laila.

kirain bakal ada candaan klasik “Paris – Pariaman dan Sekitarnya” hihi

 

It’s really hard to pinpoint siapa yang dijadikan fokus utama cerita ini. Secara natural, aku pikir Liam akan jadi sudut pandang tubuh cerita; kita melihat tokoh ini muncul duluan di layar, dia diberikan batas waktu, dia yang punya misi untuk membuktikan diri. Tapi cerita tidak segera membuat tokoh ini menjadi tokoh utama. Dia gak ngapa-ngapain sebagian besar cerita. Dia hanya dibantu, ditempatkan dalam situasi, dan dia nurut aja karena memang dia tidak punya tempat untuk melawan adat. Liam akan melalui berbagai tata cara masuk Islam, dia membaca syahadat, kemudian disunat, tapi pilihan-pilihan yang tokoh ini ambil jarang sekali menambah atau bahkan punya kepentingan untuk bobot cerita. Untuk alasan kelucuan, dan menambah intensitas sekenanya kita akan melihat Liam yang masih bersarung abis sunatan dikejar-kejar satpam yang mengira dia mau kabur.

Mungkin karena dia cowok, jadinya harus less-drama apa gimana, tantangan yang diberikan film kepada Liam hanya berupa tantangan birokrasi. Dia dipersulit untuk masuk Islam. Dia harus bolak-balik Jakarta-Sumbar demi mengurus surat tanda belum menikah. Bahkan dia harus menunggu suratnya tersebut ditandatangan. Ada satu petugas KUA yang bakal bikin kita pengen mendalami ilmu palasik supaya bisa menyedot habis darahnya di tengahmalam, dan aspek ini pun enggak pernah terasa dua-sisi. It’s just.. birokrasi jelek, dan Liam dipersulit karena ketakutan tak wajar kepada penduduk asing. Semua hal tersebut tidak pernah tampak benar-benar menarik karena dari sisi keluarga besar Laila, kita tahu ada bentrokan pandangan yang sengit. Dan Liam bahkan tidak tahu soal itu. Dia tidak boleh – dan tidak pernah datang – setiap keluarga Laila mengadakan pertemuan di Rumah Gadang. Actually, ini tradisi Minangkabau, tradisi keluarga di sana memang ketat banget. Dan di keluarga Laila, semuanya diputuskan oleh Mak Tuo, sebagai anggota keluarga paling tua. Mak Tuo inilah yang paling ‘meragukan’ Liam – bayangkan ibu camer di Crazy Rich Asians, tetapi tanpa domino dan lebih banyak kata-kata kiasan – final words ada di dia, dan Liam bahkan enggak pernah ketemu dengan beliau hingga akhir film di mana semuanya, tentu saja, berakhir baik-baik saja.

siapa anak yang disenyumin Liam di Masjid? Kenapa kamera begitu on-point ngesyut mukanya?

 

Laila, dibangun sebagai karakter dengan sedikit lebih baik. Kita juga diperlihatkan pekerjaannya apa, gimana dia adalah cewek yang mandiri, berpikiran terbuka, dan lebih maju dari beberapa keluarganya yang lain. Orang-orang di sekitar rumahnya mulai bergosip soal masalah jodohnya yang membuat rumah mereka selalu ribut di malam hari. Namun, Laila sendiri juga tidak bisa berbuat banyak. Karena ya urusan adat istiadat tadi itu. Kita tidak akan melihat baik Liam maupun Laila melakukan sesuatu yang tergolong menarik. Mereka tidak pernah melanggar batas apapun. Hal terjauh yang dilakukan Laila adalah mengomel sambil menangis mengenai jodohnya yang selalu ditentang karena hal-hal tak-penting yang terus saja dibesar-besarkan dalam rapat keluarga.

Mungkin ambo salah, mungkin memang indak ado tokoh utama di siko. Atau mungkin judulnya hanya pengalihan sebab bisa jadi ini adalah cerita tentang paman Laila, Jamil (David Chalik juga menunjukkan lapisan akting saat dengan tepat menunjukkan ‘kekakuan’ orang minang berbahasa Indonesia) yang berusaha memperjuangkan, bukan hanya kelancaran birokrasi di negeri ini, melainkan juga kesempitan pandang mengenai adat istiadat. Karena Jamil lah yang eventually orang yang paling banyak berkorban dan bertindak dalam cerita. Begini, seperti yang dijelasin Laila, dalam tradisi mereka Paman adalah salah satu yang bertanggung jawab menyukseskan acara pernikahan kemenakan wanita. Jamil yang aparat negara, mempertaruhkan pekerjaannya dengan pergi kemana-mana membantu Liam, memastikan semuanya lancar, demi Laila.

 

 

Birokrasi nyusahin yang sudah menjadi tradisi, juga sebaliknya kadang tradisi udah kayak birokrasi – yang asal ditegakkan, walaupun kita tidak lagi melihat kemasukakalannya 

 

Filmnya sendiri sebenarnya lucu. Paling tidak, buat aku yang mengerti candaan dan bahasa orang Minang. Gimana orang di sana menyebut semua motor dengan “Onda” alias honda, misalnya. Berikut kukasih tahu, bahasa minang itu sendiri kata-kata dalam satu kalimatnya sebenarnya lebih lucu daripada keseluruhan arti kalimat tersebut. Juga bagaimana setiap orang minang punya cara tersendiri dalam mengucapkannya. Sajian yang menyegarkan, karena kita jarang sekali dibawa mengintip budaya dari Sumatera sana. Dan Minangkabau punya banyak untuk digali, selain kulinernya. Juga sempat ada candaan gimana abang Laila meledek Liam pelit, dan itu lucu karena stereotipe yang ada ialah orang minang yang terkenal pelit. Hanya saja, aku pikir, kita perlu melihat lebih dalam dari ceritanya sendiri, yang mana sangat relevan. Seharusnya lebih dari sekadara menyinggung birokrasi, tradisi, paling tidak porsi pembahasannya kedua sisinya dibuat lebih berimbang lagi.

 

 

 

 

Bukannya film tak boleh mengambil banyak perspektif. Justru sebenarnya bagus gimana film ini memperlihatkan semua tokoh ‘bertarung’ dalam ‘pertempuran’ mereka masing-masing. Bahkan si Mak Tuo tadi diberikan antagonis berupa datuk-datuk seniornya yang merasa dikucilkan. Para pemeran pun berhasil membawa warna tersendiri; dan di sinilah letak kekuatan film ini. Dia tampil sebagai warna yang baru dari cerita mengenai cinta yang terhalangi. Tapi film butuh sudut pandang utama sebagai tulang punggung cerita. Jika ini tentang Liam, maka seharusnya kita melihat origin si Liam – siapa dia sebelum masuk Islam, gimana hidupnya, seharusnya dieksplorasi supaya kita bisa merasakan perubahan terhadap si tokoh lebih dalam daripada sekedar dia sekarang sudah benar-benar memeluk Islam dan jadi suami orang Minang.
The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for LIAM DAN LAILA.

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Pernahkah kalian merasa disusahkan oleh birokrasi, entah itu di lingkungan kampus atau dalam pekerjaan?

Seberapa penting sih, menurut kalian, menjaga tradisi? Jika sebuah kapal diganti seluruh bodinya, kecuali mesin, apakah itu kapalnya baru atau masih kapal yang lama – jika sebuah tradisi diperbaharui disesuaikan dengan keadaan jaman, apakah itu berarti tradisi yang lama tadi sudah hilang?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

 

 

THE NUN Review

“Prayer without action is powerless”

 

 

 

Berdoa itu ada waktunya. Sudah kewajiban manusia untuk menyempatkan diri untuk berterima kasih kepada Sang Pencipta. Tuhan tidak akan pernah bosan sering-sering kita panggil. Tuhan justru senang jika kita sering mengingat-Nya, meminta kepada-Nya. Namun, berdoa setiap waktu hingga lupa untuk berusaha, sama saja dengan ngobrol ama foto kecengan di wallpaper laptopmu, tapi gak pernah berusaha ngajak jalan. Kalo gak diusahakan, ya selamanya keinginan itu gak bakal terwujud. Seperti suster-suster di biara terkutuk di film The Nun; mereka lupa bahwasanya berdoa dan berusaha itu kudu seimbang. Ada waktunya untuk bertindak, melakukan perjuangan terhadap suatu hal yang diminta, alih-alih berlutut sampai pagi.

Nun jauh bahkan sebelum boneka Annabelle dibuat, terdapat sebuah biara di pedalaman Romania. Biara yang dijauhi penduduk bahkan oleh kuda-kuda mereka, itu terkutuk untuk alasan yang jelas; gerbang neraka terbuka di bawahnya. Iblis bernama Valak enjoy aja keluar masuk dari sana, berpakaian ala biarawati, mengambil satu-persatu Wanita Suci Kekasih Tuhan yang berdoa meminta perlindungan darinya. Tidak ada yang actually bergerak untuk menghentikan Valak. Sampai ketika seorang Pastor dari Vatikan diutus untuk menyelidiki apa yang terjadi di biara tersebut, barulah Valak mendapat perlawanan yang berarti. Si Pastor datang bersama biarawati muda yang bahkan belum mengucapkan sumpahnya. Tindakan merekalah yang menyebabkan misteri biara tersebut perlahan terkuak. Irene, sang biarawati, pun akhirnya menunjukkan tindak pengorbanan yang sesungguhnya, yang merupakan pukulan telak kepada Valak. Dibantu oleh seorang pria lokal penyuplai makanan yang dipanggil Frenchie, mereka berusaha menemukan senjata pamungkas demi menutup kembali Gerbang Neraka, menahan Valak kekal di dalam sana.

semoga yang di belakangku cuma bayangan pohon natal

 

Doa kita gak bakal dikabulin kalo gak dibarengi dengan usaha. Siapa sih yang mau ngasih sesuatu ke orang yang kerjaannya ngeluh dan beratap nestapa sepanjang waktu. Ther Nun akan mengajarkan kita untuk bangkit dan mengambil tindakan, untuk diri kita sendiri serta untuk orang lain. Karena dari perjalanan Irene, kita pun akan belajar satu-dua hal tentang pengorbanan yang dengan ikhlas kita lakukan atas nama perubahan ke arah yang lebih baik.

 

 

The Nun seperti menantang untuk berdiri tegak tatap sombong ketakutan kita terhadap setan. Yea, film ini exist berkat kepopuleran Valak, hantu suster dari universe The Conjuring yang debut di seri keduanya. Siapa yang bisa lupa kemunculan Valak yang berjalan dari dinding ke pigura lukisan untuk kemudian nongol di mimpi-mimpi buruk kita. Film The Nun ini, akan membawa kita untuk benar-benar berhadapan dengan hantu pawang ular yang tampangnya mirip Marilyn Manson pake kerudung tersebut. Setting cerita memang dibuat se-creepy mungkin. Hal-hal ganjil kita temukan di awal-awal cerita, darah di tangga yang kian hari bertambah alih-alih mengering, pemandangan pekarangan yang penuh kuburan bernisan salib gede, suara krincing-krincing lonceng dari setiap kuburan, semua itu ditujukan untuk membangun kengerian kita – supaya kita menantikan kemunculan Valak dengan mengkeret di tempat duduk masing-masing. Hanya saja, kita malah jadi penasaran. Alih-alih mengekspansi mitologi Valak – yang mana semestinya itu yang disajikan film ini sebagai alasan untuk mengetahui origin si iblis – film malah memfokuskan ke misteri biara itu sendiri. Penjelasan mengenai Valak hanya disebutkan dalam satu adegan tokoh Pastor membaca informasi di sebuah kitab. Selebihnya, film adalah pencarian Darah Kristus untuk menyegel Gerbang, dengan Valak dan hantu-hantu lain muncul entah itu untuk mengganggu ataupun memberi petunjuk.

Tempat gelap, pintu-pintu yang menutup dan mengunci sendiri, ’teka-teki’ dari hantu penghuninya. Menonton film ini seperti sedang menyaksikan orang bermain wahana Escape Room, kalian tahu, kesan yang ada malah seru. Seramnya jadi nomor dua. Dengan hantu yang bisa kalah dengan ditembak senjata api, film juga seperti lebih ke aksi ala film-film zombie. Tidak ada ‘peraturan’ yang jelas soal setan dalam film ini. Kenapa mereka bisa terluka oleh peluru biasa, apakah mereka setan yang berdarah daging, like, apakah mereka dibangkitkan oleh suatu kekuatan jahat ataukah mereka berupa jejak yang ditinggalkan jiwa di dunia (Ya, aku mengutip Snape). Pada satu sekuen kita diperlihatkan mayat yang sudah mengeriput seperti mumi, lalu mayat tersebut bangkit menyerang Irene dan kita melihat wujud si setan tidak lagi keriput, ia seperti sosok yang bicara kepada Irene di adegan sebelumnya. Dan kemudian si setan kalah dengan dibakar. Tidak benar-benar jelas dalam film ini apa yang sebenarnya mereka hadapi. Pertempuran terakhir dengan Valak pun malah jatohnya lucu. Memang sih, gak jatoh sekonyol Scooby Doo, tapi lebih dekat ke arah sana ketimbang horor dramatis yang menyentak urat ketakutan kita.

“they don’t want Nun, they don’t want Nun”

 

Film ini mengikat dengan baik ke permulaan film The Conjuring (2013), dan sayangnya itulah hal terbaik yang berhasil diraih oleh The Nun. This is like a throw-away movie, yang ada hanya untuk mengisi ruang yang sebenarnya pun tak ada pengaruhnya jika dibiarkan kosong. Melihatnya kembali, sekilas, memang bisa tampak mengesankan gimana film ini ternyata adalah cerita lengkap dari satu adegan di film sebelumnya. Tapi dari kacamata pembuat, ya semua aspek sebenarnya bisa dipanjang-panjangin. Enggak benar-benar susah mengarang cerita dari satu aspek minor dari sebuah film panjang, dan menarik satu cerita baru dari sana. Cerita The Nun sendiri pun sebenarnya bukan cerita yang kompleks, sangat sederhana, malah. Jadi, hal terbaik yang dilakukan oleh film ini juga sebenarnya enggak berarti banyak. Mereka hanya menarik background baru, tokoh-tokoh baru, dan bahkan yang baru-baru itu enggak berhasil dikembangkan dengan maksimal.

Taissa Farmiga didaulat untuk memerankan Suster Irene yang ditunjuk oleh Vatikan sebagai orang yang harus dibawa Pastor Burke menyelidiki Biara Terkutuk. Kita memang dikasih tahu Irene ini punya Penglihatan; dia bisa melihat dan berkomunikasi dengan makhluk halus – sama seperti Burke. Tapi kita tidak pernah tahu kenapa Vatikan secara khusus memilih dia, yang bahkan belum mengucap sumpah. I mean, dari sekian banyak suster, masa iya cuma dia yang bisa Melihat? Seharusnya ada alsan khusus, namun alasan Irene menjadi tokoh film tersebut masih merupakan misteri hingga akhir cerita. Aku suka Taissa, menurutku dia hebat di American Horror Story, dia sudah jago bermain horor – in fact, Taissa menang Unyu op the Year berkat penampilannya di serial ini. Di The Nun, dia juga enggak bermain jelek. Sayangnya, tokoh yang ia perankan di sini setengah-matang.

Taissa adalah adik dari Vera Farmiga, pemeran Lorraine di semesta Conjuring, mereka secara natural obviously mirip – jadi pasti ada sesuatu yang diniatkan dari castingnya kan? Membuat kita berasumsi jangan-jangan tokoh mereka sebenarnya adalah orang yang sama. Tapi toh hal tersebut juga tidak masuk akal, there’s no way Irene dan Lorraine adalah orang yang sama. Yang satunya suster, pengorbanan adalah arc tokohnya, jadi mustahil jika nanti setelah dewasa dia menikah, terlebih mengganti nama. Irene akan membuang arc-nya jika dia menikah. Tidak ada indikasi tokoh majornya punya hubungan dengan tokoh utama semesta cerita, membuat Irene semakin terasa random lagi untuk berada di sana.

 

 

 

 

Kurangnya latar belakang tokoh – si Pastor punya penyesalan sehubungan dengan pekerjaannya di masa lalu, selain itu kita tidak banyak tahu, membuat kita sulit untuk peduli ketika mereka berada di dalam bahaya. Terlebih, setiap keputusan yang dibuat oleh para tokoh benar-benar klise dan bego; Mereka akan berpencar di setiap kesempatan. Film ini memang bukan jawaban jika kita berdoa “Oh Tuhan, tunjukkanlah hamba film yang bagus”.  Ada banyak kekurangan yang mestinya enggak diulang lagi, kita hanya harus ambil tindakan untuk mengenalinya. Satu-satunya cara untuk kita bisa menikmati film ini adalah dengan menganggapnya sebagai petualangan misteri. Karena film ini lebih kepada seru, dan konyol, ketimbang seram. Bahkan jumpscarenya enggak bikin kaget.
The Palace of Wisdom gives 2 out of 10 gold stars for THE NUN.

 

 

That’s all we have for now.
Menurut kalian apa kita perlu untuk mengenal siapa Valak – apakah kita benar-benar butuh untuk menonton film ini? Apa kira-kira hubungan Irene dengan Lorraine? 

Kalo ketemu hantu, kira-kira kalian akan berdoa atau langsung ambil langkah seribu?

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

UDAH PUTUSIN AJA! Review

“You’re in love with the idea of being in love”

 

 

 

Jilbab tidak mencegah kehamilan. Sama seperti kita pakai helm bukan supaya enggak bakal kecelakaan. Melainkan sebagai tindak untuk melindungi diri. Hal yang lucunya adalah enggak semua orang memilih untuk pake helm. Bahkan tak jarang malah keki disuruh pakai. Buat apa sih? Banyak yang mencari alternatif lain. Pandai-pandai jaga diri aja. Lagian siapa sih yang suka disuruh-suruh. Kalo mau aman, disuruh pake helmlah. Kalo mau masuk surga, disuruh pake jilbab. Kalo mau bertamu, disuruh masuk. Kalo haus, disuruh harus minum air kelapa dingin yang seger. Eh, kalo disuruh begitu mah semua pasti pada mau yaa.

Ketika disuruh untuk melakukan sesuatu, mekanisme pertahanan manusia otomatis akan membuat seseorang masuk ke mode ‘melawan’. Ingin membuktikan bahwa sebenarnya suruhan itu bukan berarti yang nyuruh benar, dan yang disuruh itu salah. Kita cenderung akan berusaha untuk membuktikan sebaliknya. Makanya, semakin dilarang, kita akan semakin nakal. Untuk alasan itu jualah Amanda (Audi Marissa berhasil untuk tidak membuat tokohnya annoying) suka keluar malem. Dia nekat melanggar aturan di depan idung ayahnya yang tertidur lelap. Gak boleh pacaran, eh Amanda tetep aja backstreet-an. Film Udah Putusin Aja! sepertinya paham bahwasanya suruhan hanya akan dijawab dengan perlawanan, maka film ini menyampaikan ceritanya dalam nada komedi. Dari Amanda hingga papanya, dari sahabatnya yang cowok semua hingga ke ibu gurunya, semua akan tampil dengan tingkah yang konyol. Kita mungkin akan geli sendiri melihat rentetan adegan ayah Amanda menemukan pregnant test dalam tas, yang ternyata adalah milik teman dekat Amanda, yang menuntun kita ke peristiwa di mana Amanda harus ikut pesantren kilat yang diadakan oleh Faraz, siswi paling surgawi di sekolah (Elyzia Mulachela paling jago mainin tokoh yang lembut kayak gini). Dari sana adegan-adegan konyol yang sebenarnya adalah sentilan, kalo gak mau dibilang sebagai ceramah terselubung, terus bergulir. Amanda dan gengnya berusaha kabur!

“makin ditolak, makin semangat”

 

 

Tegas di dalam gagasan dan konteksnya, film ini punya treatment aktor yang tidak seperti pada film-film lain. Felix Siauw – pembuat dan pemilik ceritanya – menjelaskannya di kredit penutup film, jadi aku gak akan ceritain di sini. Film benar-benar tahu apa yang harus dilakukan. Di samping itu, film tidak begitu saja menegur dengan drama-drama orang mulia ataupun semata membuat penonton mengucurkan airmata. Yang film ini lakukan adalah mengambil sudut pandang dari seseorang yang akrab dengan remaja sehari-hari. Menarik penonton untuk masuk berkat sifat tokohnya yang menolak untuk diatur. Amanda kuat oleh perspektif, dia punya kompas moral sendiri. Mengatakannya seorang bad girl akan dianggap pujian oleh cewek ini. Ada banyak adegan yang mengundang tawa seputar bentrokan yang dilakukan oleh Amanda. Ketika dia berdoa agar rencananya kabur dari pesantren berhasil, misalnya. Ataupun ketika dia berbalik memutuskan untuk tetap tinggal di pesantren, hanya demi membuktikan bahwa Faraz yang berjilbab sebenarnya tak-lebih baik dari dirinya sendiri. Perubahan yang dialami oleh Amanda, seiring berjalannya cerita, akan membuat kita mengerti pemahaman dan gagasan yang coba diangkat oleh film ini. Ya, film ini memang cukup ambisius, dia ingin membuat kita benar-benar melihat apa yang dirasakan oleh Amanda – dia ingin penontonnya juga berubah. Film ini ingin penontonnya – mereka menargetkan remaja wanita – untuk mencari dari dua sisi; dampak negatif dan dampak positif (kalo ada) dari pacaran. Dan meski tone komedi film ini agak berlebihan, apa-apa yang terjadi pada para tokoh sebenarnya memang mungkin terjadi di dunia nyata.

Romantisasi tidak musti melulu berarti datang dari cewek dan cowok yang lagi kasmaran. Cinta bukan hanya soal berpacaran. Kita melihat di sini Amanda menemukan cinta yang tulus, yang sejatinya adalah perwujudan dari rasa saling peduli, rasa saling mensyukuri, rasa saling menghormati. Tidak kurang tiga kali Amanda jatuh cinta tanpa ia sadari; kepada Faraz yang tadinya ia antagoniskan, kepada ayahnya yang tadinya ia lawan, kepada Tuhan yang tadinya sengaja ia lupakan. Hati pada cerita ini berasal dari hubungan antara Amanda dengan ketiga sosok tersebut. Film ini membuat Amanda sadar bukan dari ceramah-ceramah guru ataupun Kang Guru di Pesantren, kita malah diberikan kesempatan untuk menertawakan mereka bersama-sama. Amanda sadar karena dia berpikir sendiri, karena dia melihat dari sekitarnya.

Wanita moderen adalah cewek yang mandiri, yang tahu bahwa kebahagiaan yang ia cari tak perlu harus berasal dari orang lain. Jika begitu, kenapa masih saja banyak cewek yang merasa perlu untuk punya pacar? Yang sampai berlomba banyak-banyakan jumlah mantan? Karena, seperti Amanda yang merasa disuruh-suruh, dia hanya cinta terhadap gagasan tentang cinta

 

Film juga memperlihatkan gimana pacaran dari sisi cowok, mereka mencoba sejujur-jujurnya memperlihatkan isi pikiran cowok, dengan juga cukup bijak menyuarakan “enggak semua cowok brengsek” meski memang film literally sempat menyebut bahwa penampakan paling seram adalah yang berwujud manusia tampan. Yang agakl mengkhawatirkan adalah minimnya konsekuensi yang dijatuhkan kepada para cowok dalam film ini, karena ceritanya ingin menguatkan poin ceweklah selalu yang paling dirugikan.

kecuali kalo nginjek kotoran sapi itu dianggap konsekuensi

 

 

Menjelang babak ketiga, film menjadi sedikit terlalu preachy. Yang menurutku ada hubungannya dengan pergantian tone cerita yang lumayan drastis. Ada adegan di mana Amanda yang terkantuk-kantuk diajak sholat jam 3 malam oleh ayahnya; doa dari sang ayah membuat Amanda menitikkan air mata. Kemudian ayahnya memberikan kembali barang-barang milik Amanda, seperti hape dan privilage memakai mobil, yang sebelumnya ia sita karena Amanda sudah membuat dirinya bahagia. kemudian Amanda juga turut gembira karena barang-barangnya sudah kembali. Menurutku ini membuat pesan yang ingin disampaikan sedikit melemah. Membuat Amanda seperti belum belajar apa-apa, karena di titik itu seharusnya dia dibuat bahagia meski tanpa barang-barang tersebut, mestinya Amanda sudah tahu dia tidak butuh semua itu – dia tidak butuh pacaran – untuk bahagia. Instead, dari adegan tersebut yang bisa kita simpulkan justru adalah Amanda hanya merasa kasihan kepada ayahnya.

Sepertinya film memang cukup kesulitan merangkai penutup, karena setelah mereka beres dari pesantren, film meninggalkan komedinya dan masuk ke dalam mode yang serius. Kelihatan cerita hilang keseimbangan di poin ini. Menyampaikan cerita yang serius, film seperti sedikit terlalu berhati-hati, mereka tak lagi menyuguhkan rentetan kejadian yang bergulir. Kita malah mendapat adegan Amanda curhat di vlog, seperti gadis yang menulis buku diari, dia benar-benar menceritakan apa yang ia rasakan, dan ini sesungguhnya adalah storytelling yang paling gampang yang bisa terpikirkan oleh pembuatnya – kalo gak mau disebut malas. Seharusnya film membahas elemen prejudice terhadap Faraz dengan lebih dalam lagi, tidak cukup banyak waktu yang diinvestasikan cerita ke sana, padahal sebenarnya ini bagian yang integral dalam konteks memperlihatkan gimana dampak dari hubungan cewek dan cowok bisa terblow up begitu gede di kalangan masyarakat.

Semua orang bebas menentukan jalan hidupnya. Semua orang mestinya tidak perlu ditantang perihal kemampuannya dalam menjaga diri sendiri. Orang bisa melawan. Orang diharuskan mencari kebahagiaan demi dirinya sendiri, baru buat orang lain. Tapi di atas semua itu, seseorang tersebut haruslah bertanggungjawab. Lewat Faraz, film menunjukkan betapa pun baiknya nama kita, jika terjadi apa-apa, kerugian itu lebih banyak jatoh ke wanita. Tapi jika kita benar-benar mandiri, kita akan tahu untuk tidak berbangga sebagai victim.

 

 

 

 

Over-the-top, cheesy (film ini berakhir dengan lagu pop), preachy, tapi paling enggak film ini konsisten dan tegas dengan gagasan yang ia usung. Tone ceritanya sedikit tak seimbang, dengan ada elemen bercerita yang tidak benar-benar menambah banyak untuk narasi – selain menambah keconvenience-an, yang ultimately membuat film ini semakin lebih mirip film televisi dan kurang teatrikal. Komedi sebenarnya bisa/cukup dilakukan dengan gimana Amanda memandang orang-orang dan kebiasaan agamis itu dengan aneh, gaya hidup mereka bisa dibentrokan, dan jadinya juga bakalan lucu sehingga jarak tone cerita di bagian awal dan akhir film ini dapat dipersempit. Penggunaan flashback yang berlebihan juga mengurangi poin untuk film ini. Tapi ini adalah cerita yang berani dengan pesan yang bagus, dan relevan. Kalian bisa nonton ini dan terhibur, atau malah tersinggung dan kesal olehnya.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for UDAH PUTUSIN AJA!

 

 

That’s all we have for now.
Menurut kalian apa yang terjadi jika cewek-cewek di dunia ini pada kompakan untuk gak mau pacaran? Akankah cowok akan semakin kompetitif, atau dunia malah jadi membosankan tanpa ada gosip dan cela yang bisa diumbar?

Sebaliknya, jika kita diharuskan untuk berbaik sangka, kenapa kita tidak bisa berbaik sangka sama pacaran? Benarkah tidak ada sisi baik yang datang dari pacaran?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

DEVIL’S WHISPER Review

“I hear voices in my head, they council me, they understand. They talk to me.”

 

 

Alex sudah hampir pasti menjadi pastor sejati, jikasaja dia tidak mendengar bisik-bisik itu. Suara setan yang disebutkan sebagai judul film ini, menariknya, enggak mesti benar-benar berasal dari makhluk mengerikan.

“Kamu yakin kamu mau jadi Pastor?”  sobat cewek – yang kemudian menjadi love interest – menggoda iman Alex saat mereka lagi berduaan. Bahkan seorang Romo yang menjadi semacam mentor dan tempat Pengakuan bagi Alex di gereja pun, terang-terangan meminta cowok lima-belas tahun tersebut untuk menikmati ‘dunia’ dahulu selagi bisa, sebelum dia resmi berkiprah di jalan agama. Di waktu yang bersamaan, Alex menemukan kotak aneh dari dalam lemari peninggalan nenek. Alex dan ayahnya yang penasaran akan sesuatu yang ‘glutak-glutuk’ di dalamnya, membuka paksa kotak tersebut. Oke, mereka kudu menghancurkan kotak. Namun bukan hanya salib milik mendiang kakek yang terbebas ketika kotak terbuka. Ada sesuatu yang mengerikan yang nempel di salib, yang terus merundung Alex yang menjadi sangat terikat oleh salib tersebut. Memberondong pikiran remaja polos ini dengan bisikan dan pikiran negatif. Membuatnya melihat penampakan yang tidak terlihat oleh orang lain. Mengubah Alex menjadi seorang yang sama sekali berbeda. Dan ultimately, korban berjatuhan tanpa bisa ditahan oleh Alex.

Kalo kata iklan deterjen di tivi, “Berani kotor itu baik”

 

Kita hidup di masyarakat yang lebih mudah menyukai seorang pendosa yang insaf ketimbang seorang alim seumur-umur. Devil’s Whisper mengangkat perspektif yang menarik yang mungkin belum pernah ada yang berani mengeksplorasinya, apalagi hari gini. Seorang anak muda yang pengen jadi pemuka agama. Topik orang yang taat beragama cenderung dihindari, konotasinya adalah berpandangan sempit, kaku, dan sama sekali enggak fun. Film ini enggak peduli. Dia enggak takut untuk menunjukkan agama masih mampu untuk melawan kejahatan. Film pun enggak membuat tokohnya sebagai orang yang, katakanlah, cupu dan terkucilkan. Alex punya teman-teman dekat, dia cukup populer untuk punya pacar. Alex adalah anak baik, yang oleh sosialnya dikhawatirkan ‘terlalu’ baik. Tokoh Alex ini  disandingkan dengan tokoh Romo Cutler, yang berperan layaknya pembimbing. Cutler sudah melihat cukup banyak, dia tahu mana yang baik dan buruk, dan dia percaya kepada Alex, so much, sehingga dia pada dasarnya menyuruh Alex untuk melakukan apa yang ia tahu mestinya Alex lakukan sebagai remaja.

Kita harus pernah melakukan kesalahan, karena tanpa pernah  berbuat salah kita tidak akan pernah bisa sepenuhnya menghargai kebenaran.

 

Devil’s Whisper fitrahnya adalah sebuah horor yang MENGEDEPANKAN KETAKUTAN PSIKOLOGIS, makanya horor film ini terasa bekerja lebih baik ketika kita melihat Alex berdiam, pikirannya berlomba, dan kemudian meledak. I’m a sucker for this genre, dan aku memang menemukan ada lapisan ketakutan personal yang menguar kuat dari tokoh utama. Narasi juga punya lapisan subtil menyangkut masa lalu yang menjadi mengakar menjadi trauma bagi Alex. Film tidak pernah menjelaskan dengan terlalu gamblang soal ini, namun membiarkan kita menerawang atas apakah ada hubungan langsung antara perubahan pribadi Alex dengan bertepatannya timing dia dilantik dengan dia memungut salib bekas kakeknya. Kalung salib tersebut jelas adalah pemantik trauma yang tak bisa (atau menurut psikiater Luna Maya, tak mau) diingat oleh Alex. Aku lebih suka jika film tetap pada jalur psikologis, seperti pada adegan pesta di kolam, Alex yang enggak ikutan berenang bersama teman-temannya terbakar api cemburu demi ngeliat teman-temannya saling bersentuhan, bermain di kolam. Di mata Alex, dia ditertawakan, dan kita melihat Alex dengan marah nyebur ke kolam. Menurutku, film dapat berkembang menjadi sesuatu yang lebih mengerikan dan dalem jika kita melihat Alex melawan setan yakni dirinya sendiri alih-alih dia seperti dirasuki oleh makhluk halus.

Sesungguhnya horor seperti ini enggak butuh potongan anggota tubuh, atau mayat sekalipun. Kematian sadis tidak menjadi soal di sini. Hanya ada satu kali penampakan mayat yang benar-benar berarti, yaitu di sebuah sekuen involving Father Cutler dan momok masa lalunya. Devil’s Whisper pada intinya adalah tentang trauma masa lalu yang muncul ke permukaan, yang dijahit bersama perasaan insecure seseorang (untuk sebagian besar adalah anak muda) yang timbul dari pilihan hidupnya. Ketika film mulai membahas ke arah supernatural, cerita yang sudah dibangun menjadi kurang meyakinkan. Aku enggak mengerti kenapa dan apa pentingnya tiga orang teman Alex dibuat mati dengan cara yang ‘kecelakaan yang aneh’ secara bersamaan. I mean, thriller psikologis mestinya bisa lebih kuat tersampaikan jika cerita dibuat mendua; apakah Alex yang membunuh mereka. Penggunaan CGI yang acapkali tampak kasar juga tidak membantu. Sosok goib yang membayangi Alex mestinya bisa tampil lebih meyakinkan dalam wujud efek praktikal, atau malah enggak perlu diliatin wujudnya sama sekali.

adik cewek itu basically memang iblis

 

Tampil dengan iming-iming ‘horor sekelas Hollywood’ tampaknya lebih menjadi beban daripada menguntungkan. Sebab produk akhir horor produksi kolaborasi rumah produksi MD Pictures dengan Vega Baby, perusahaan hiburan asal Amerika, tidak semengesankan yang mereka harapkan. Malahan, secara produksi, film tampak seperti karya amatiran. Bukan hanya CGInya yang seperti tempelan, audio, adegan, dan bahkan penampilan para tokoh juga banyak yang enggak masuk dengan tone penceritaan. Editingnya terlihat kasar dan mentah sehingga kita menjumpai detil adegan seperti noda lemparan lumpur dari teman Alex di jendela yang menghilang tak terjelaskan di adegan berikutnya. Ini adalah salah satu contoh film yang punya visi kamera yang baik namun dimentahkan oleh arahan yang konvensional.

Film terlihat berusaha keras untuk menjadi mainstream. Digunakanlah taktik jumpscare, meski sesungguhnya taktik tersebut tidak benar-benar diperlukan dalam konteks cerita dan genre ini. Turut dipakai pula musik-musik yang sekiranya cocok dengan telinga anak muda kekinian. The problem is, karakter film ini tidak pernah benar-benar menjelma menjadi pribadi yang mudah direlasikan oleh anak muda.  Ketika dia menunjukkan sifat dan tabiat yang ‘normal’ untuk standar remaja, karakternya sudah dibuat begitu messed up, wajahnya pucet, matanya nanar, rambutnya mencuat di sana-sini. Luca Oriel yang jadi Alex sangat piawai beradegan muntah, dan hanya itulah yang bisa aku bilang dari penampilannya di sini. Emosi Alex tidak pernah tampak genuine. Mode anak baiknya adalah ekspresi berbinar dan penampilan seramnya berupa memandang kosong dengan dagu rapat ke leher. Tokoh ini berakting sesuai arahan dan that’s just about it. Dialog-dialog ditulis dengan sama standarnya, kalo gak mau dibilang dangkal

Kita punya peraturan dan agama masing-masing. Kita beriman kepadanya supaya kita merasa aman. Tapi ketika peraturan tersebut mulai terlanggar, kita mulai mempertanyakan kepercayaan kita. Suara-suara yang didengar Alex adalah suara pendosa yang mempertanyakan semua itu. “Tuhan pembohong!” cecar suara itu. Padahal itu sebenarnya adalah suara yang sama dengan yang tadinya memantapkan Alex menjadi pendeta.

 

 

Tontonan horor dengan tema religi yang kental yang terhambat oleh bisikan-bisikan yang menyarankan dirinya tampil mainstream dan enggak benar-benar memilih jalur yang revolusioner. Mencoba untuk menggali horor lewat jalur psikologis, namun tetep masih bertumpu pada jumpscare, sekuens kematian yang terlalu dilebihkan, dan personifikasi hantu dengen efek komputer yang masih kasar. Film ini hampir menjadi benar, hanya saja tak mampu (atau mungkin tak mau) untuk melebihi pakem ataupun trope-tropenya.
The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for DEVIL’S WHISPER.

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

 

SILENCE Review

“… the sudden silence was the Voice of God.”

 

silencecx3zloiucaedlkj-jpg-large

 

Tidak ada yang bersuara ketika tiga penduduk desa yang tertuduh sebagai pemeluk katolik, disalib di atas karang yang digempur keras oleh ombak. Warga yang lain menatap dari balik ujung tombak pasukan Jepang yang berbaris, sama diamnya. Begitu juga Father Rodrigues dan Father Gorupe yang menyaksikan semua penyiksaan dari balik rimbunan semak. Bungkam oleh ketakutan, segala aksi dan rasa tersenyap. Kecuali satu yang berdering keras di dalam hati masing-masing, terutama di dalam jiwa yang dilatih putih suci Father Rodrigues; Keraguan. Benarkah Tuhan akan meringankan derita mereka, atau apakah siksaan mereka sia-sia belaka? Apakah mereka suffer atas nama Tuhan yang mereka yakini atau tiga orang Jepang Kristen itu sesungguhnya sedang mengorbankan diri mereka demi keselamatan dirinya dan Gorupe?

Silence, didirect oleh salah seorang sutradara terbaik yang hidupnya masih terus didedikasikan untuk membuat film klasik yang fantastis hingga sekarang, akan membawa kita on middle ground ke Jepang jaman feudal, tepat di tengah-tengah perang agama. Pengikut ajaran Kristen diburu. Para Father ditangkap, disiksa, hingga tidak ada lagi pilihan selain menanggalkan keimanan mereka. Father Rodrigues dan Father Gorupe datang dari Portugis karena mereka mendapat kabar tentang guru mereka, Father Ferreira, tertangkap penguasa di Nagasaki. Mereka mendengar simpang siur; apakah benar Ferreira sudah denounced his Christianity atau apakah dia masih hidup at all. Dalam film ini kita akan mengikuti kedua Jesuit muda tersebut mencari keberadaan guru mereka sembari berusaha menolong sebanyak mungkin penduduk Jepang yang menganut Kristen di bawah tekanan dan siksaan yang berat. This is a VERY STAGGERING FILM. Kita akan struggle banget menontonnya. It is so difficult. Bukan karena film ini cukup sadis secara fisik. Juga bukan karena film ini durasinya panjang banget. Tetapi karena film ini akan menyayat-nyayat hati kita secara emosional.

Menelaah dengan sangat kuat soal krisis keimanan yang dialami oleh seseorang. Apa yang orang lakukan ketika kepercayaan dan keimanannya mendapat cobaan yang mahadahsyat. Meskipun mungkin bukan pemeluk agama yang diceritakan, kita semua bisa put aside our personal belief selama dua jam setengah lebih untuk menikmati filmmakingnya. Kita semua bisa merelasikan diri kepada film ini dalam tingkatan bahwa ini adalah cerita tentang orang-orang yang mengimani apa yang yang mereka yakin, that mereka memeluknya dengan teguh, tidak akan membiarkan apapun yang menghalangi mereka dari yang mereka percaya tersebut.

Beneran deh, it’s emotionally gutting melihat orang-orang tercabik dari faithnya seperti yang digambarkan oleh film ini. Father Rodrigues, awalnya kita melihat dia sebagai seseorang yang sangat kuat-iman. He has the upmost faith you could possibly have in God. Dan begitu film berakhir, kita sudah menyaksikan tokoh ini terjun sampai ke dasar paling bawah secara emosi. Dihadapkan pada pernyataan agama yang ia bawa, kebenaran yang ia ajarkan, tidak cocok untuk diterapkan pada ranah ‘rawa’ Jepang. Namun Rodrigues tidak bisa menerima pernyataan tersebut karena if he accepts that statement, itu berarti dia mengakui kebenaran yang ia bawa bukanlah kebenaran bagi semua orang seperti yang selama ini dia imani. Itu berarti dia meragukan agamanya sendiri.

Ini adalah CERITA YANG SANGAT KOMPLEKS bagi kedua belah pihak; Rodrigues dan Jepang. It’s not like Jepang tidak punya toleransi sama sekali, as in kekerasan dan siksa itu datang dari mereka. Mereka brutally violated penduduk agar mau meludahi salib dan menginjak gambar Tuhan mereka sebagai bentuk denouncing faith di muka publik. Adalah aksi converting yang dianggap berbahaya oleh pemerintah Jepang. They just want to show their pride and love kepada faith mereka. Bahwa gara-gara kepercayaan asinglah mereka sesama saudara tanah air menjadi terpecah belah.

talk about penistaan agama huh
talk about penistaan agama huh

 

Toleransi, ya, bisa jadi jawaban. Tapi sekarang kata tersebut sudah mengalami penurunan arti, digunain begitu saja agar sama-sama senang. Toleransi bukan berarti “apa salahnya ngikutin apa yang dilakukan orang lain”. Kita bisa ikut merayakan hari kebesaran agama lain as along as hati kita tetap beriman kepada agama sendiri, but that is a weakest form of faith. Mungkin tidak banyak yang suka film ini karena membuat diri kita merasa seperti Kichijiro, while tokoh ini easily come off sebagai pengecut yang cari aman. Open minded, bertoleransi, dan punya keyakinan adalah seperti Father Ferreira. Persisnya seperti apa? Go figure out yourself

 

Tidak seperti Sausage Party (2016) yang merupakan satir soal kepercayaan, Silence dengan a lot of respect kepada penonton, mengambil jarak secukupnya. It doesn’t judge, and tidak menggiring kita untuk melakukannya. Yang Silence lakukan adalah menghujani kita – yang terpatri oleh cerita – dengan batu-batu pertanyaan. Kita bakal mengalami sensasi krisis tanpa diberikan pencerahan mana yang baik dan mana yang buruk. Kita akan melihat hamba Tuhan diuji. Kita akan melihat ia menderita for his belief, for things he treasured the most. Dan di titik inilah Silence berbicara banyak. Apakah iman kita tidak berarti apa-apa jika kita tidak diuji – apakah hidup kita meaningless jika kita tidak pernah menderita karena sesuatu yang kita percaya atau cintai? Dan tentu saja, arti mendalam tentang kata ‘silence’ itu sendiri; apakah absennya tindakan kita atau absennya Tuhan? Atau, diam karena kita sedang berdialog dengan Tuhan. Ada beberapa adegan yang menggambarkan Rodrigues dalam diamnya bicara dengan suara Tuhan. Yang membuat kita bertanya-tanya apakah diam hanya arogansi Rodrigues belaka? Secara konstan dia ‘membandingkan’ kondisinya dengan Tuhan, sementara orang-orang desa yang disiksa hingga mati tidak pernah meminta ‘dibandingkan’ dengan juru selamat.

Meyakini dengan hati, mengucapkan dengan lisan, dan mengamalkan dengan perbuatan.

 

Martin Scorsese mengarahkan film ini dengan sungguh luar biasa. Bekerja sama dengan sinematografer yang ngegarap The Wolf of Wall Street (2013), Scorsese memastikan apa yang ditangkap lensa semuanya gorgeous. Kalian akan suka mencermati film ini jika punya rasa penasaran gimana setiap adegan disyut. Yang paling remarkable dari pengambilan gambarnya adalah gimana mereka sebagian besar waktu bekerja pada environment yang tertutup. Adegan film ini kebanyakan berlokasi di pondok kecil yang gelap, di daerah hutan yang terpencil, atau di sel penahanan. Tidak pernah Scorsese salah langkah dalam menjalin cerita. Sudut pandang penceritaan benar-benar dihadirkan compelling dan sangat intens. Kita dibuatnya bereaksi dan merasakan yang dialami oleh seseorang yang dealing with an extreme crisis of faith.

This movie brought to life by many fantastic performances. Adam Driver sebagai Father Gorupe dan Andrew Garfield sebagai Father Rodrigues menyuguhkan penampilan yang amazing. Dalam tahun yang penuh oleh penampilan yang sangat baik, Andrew Garfield kembali bersinar dalam film ini, dan sekali lagi sebagai seorang yang taat beragama. Yea, walaupun dia enggak selalu taat sama aksen portugis yang supposedly dimiliki oleh tokohnya. Liam Neeson, yang bermain sebagai supporting role, was also very very good. Dan tokoh yang ia perankan teramat kompleks.

Spiderman dan Kylo Ren lagi nyari Qui-Gon Jinn
Spiderman dan Kylo Ren lagi nyari Qui-Gon Jinn

 

 

Staggering film yang menantang bukan hanya keimanan dan kepercayaan, tetapi juga menantang intelektualitas penonton. Bikin frustasi at times, gutting our emotion completely, it is a really complex movie. Tidak heran jika banyak orang yang ngerasa hard to come by apa yang disampaikan oleh film ini, thus membuatnya susah untuk disukai. Personally, aku heran juga kenapa film ini enggak masuk nominasi Best Picture Oscar 2017. Setelah menontonnya, aku jadi kebayang sedikit alasannya kenapa. Sesungguhnya, film yang luar bisa unconventional ini adalah jenis film yang mesti ditonton dan disupport oleh orang-orang yang benar menyintai film. Karena di atas itu semua, ini adalah filmmaking yang sangat remarkable; arahan luar biasa, akting fantastis, beautifully shot – salah satu film tercantik Scorsese, penulisan yang begitu cakap, editing yang perfect.
The Palace of Wisdom gives 8.5 gold stars out of 10 for SILENCE.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners
And there are losers.

 

 

 

 
We? We be the judge.