SCREAM VI Review

 

“A franchise is a family”

 

 

Rule number uno dari franchise adalah membuat setiap rilisannya terus membesar. Tapi aturan seperti itu juga ada pada bola salju yang melongsor. Membesar dan terus membesar sampai hancur berkeping-keping. Maka supaya franchise tidak sekadar jadi seperti bola salju, filmmaker dan studio perlu  ngisi film-film itu dengan sesuatu yang ‘lebih’. Scream, by now, telah menjadi franchise horor thriller yang dinanti bukan saja karena elemen whodunit yang exciting, tapi juga karena selalu punya komentar terhadap trope ataupun perkembangan genrenya sendiri. Warisan Wes Craven ini memang tampak ‘aman’ di tangan duo Matt Bettinelli-Olpin – Tyler Gillett yang tahun lalu membuktikan mereka sanggup menyenggol requel, horor modern yang ‘nyeni’, serta toxic fandom sekaligus di balik episode baru teror Ghostface di Woodsboro. Scream lima, despite judulnya yang membingungkan karena gak pake angka, terasa seperti kelanjutan yang ‘benar’ – yang respek, sembari terasa berani mengguncang fondasi pendahulunya. Memberikan franchise ini arahan baru yang pantas kita tunggu, Ketika mereka kembali dengan Scream VI, mereka memang memantapkan arahan tersebut. Membuat Scream menjadi semakin besar sebagai franchise, sekaligus berusaha menyentil franchise modern itu sendiri.

Jadi juga Scream waving ke Samara Weaving

 

Beberapa bulan setelah kejadian Scream lima, Sam dan adiknya, Tara, pindah ke New York, Tara udah kuliah, dan Sam ada di sana untuk menjaga adiknya. Like, menjaga yang bener-bener jaga kayak helikopter parent, gitu. Pergaulan mereka dikontrol ketat. In fact, sahabat mereka, si kembar Mindy dan Chad yang juga survivor serangan Ghostface di film sebelumnya itu, juga ikut pindah ke sana. Diminta Sam bantu menjaga Tara. Keempat orang yang menamai diri Core Four ini memang saling menjaga apapun di antara mereka. Berhati-hati dengan teman baru, dan sebagainya. Hal ini actually membuat Tara gerah. Menimbulkan sedikit friksi antara dia dengan kakaknya. Sementara itu ada Ghostface baru di luar sana yang mengincar mereka. Ghostface kali ini sangat berbeda. Lebih brutal, lebih nekat, Ghostface yang mereka hadapi sekarang gak akan malu-malu menyerang di tempat terbuka. Melukai siapapun. Worst of all, Ghostface yang satu ini bahkan bukan penggemar film ataupun horor. Sehingga tidak ada ‘rule’ yang bisa dipegang oleh Sam, Tara, dan teman-teman yang lain untuk memprediksi serangannya!

Jerat-jerat pemikat telah disebar Scream VI semenjak opening sequence. And I’m not just talking about Samara Weaving haha.. Yang mau kubilang adalah soal Scream VI yang tau-tau ngasih lihat wajah di balik topeng Ghostface di adegan pembuka! Wah, pas nonton aku langsung melongo. Belum pernah loh, Scream melakukan hal kayak gini sebelumnya. Aku sempat mikir wah ini keren juga kalo kita udah tau duluan siapa pelakunya. Elemen Whodunit mungkin jadi melemah, tapi bayangkan dramatic irony yang kita rasakan kalo kita melihat Sam atau Tara terjebak mempercayai pelaku. Tapi ternyata, ada Ghostface satu lagi yang di momen pembuka itu membunuhi geng Ghostface yang pertama, Ah, kepalaku memang ternyata langsung melangkah jauh saking ‘baru’nya langkah yang diambil Scream VI, namun aku tak merasa kecewa. Development bahwa ternyata ada Ghostface lain yang membunuhi Ghostface satunya, masih tetap merupakan langkah baru yang dilakukan pada franchise Scream, dan opening itu sukses membuatku bertanya-tanya apa lagi yang bakal dilakukan oleh sutradara untuk membuat film ini mengejutkan. Sepanjang durasi, seorang fans Scream sepertiku, niscaya bakal jerit-jerit demi ngeliat apa-apa yang dimunculkan, dan dibawa kembali oleh film ini. Kirby’s return, Gale mendapat telefon dari Ghostface untuk pertama kalinya sejak film pertama, Stu Macher ditease mungkin masih hidup (!) dan banyak lagi easter eggs lain apalagi karena investigasi Ghostface kali ini melibatkan banyak topeng dan memorabilia dari film-film Scream (alias Stab dalam dunia cerita mereka) sebelumnya. Nostalgia makin tak tertahankan karena film ini mencerminkan dirinya pada Scream 2.

Seperti sekuel original tersebut, Scream VI membawa action keluar dari Woodsboro. Hanya saja Scream VI mengambil langkah esktra. As in, pembunuhan sekarang bisa terjadi pada siapa saja, termasuk orang-orang di mini market yang bahkan gak ada sangkut pautnya sama Sam dan Tara. Ini menciptakan stake yang semakin besar. Belum lagi, narasi juga mengestablish soal rule franchise yakni semua karakter expendable. Artinya, semua karakter bisa mati. Semua karakter mungkin untuk jadi pelaku. Bahkan karakter original seperti Gale. Semua karakter dalam franchise jadi ‘kalah penting’ dari IP yang dibangun. Dengan itu, Scream VI cuek saja bikin lokasi dan adegan pembunuhan di tempat-tempat terbuka yang rame oleh orang-orang. Seolah kota New York itu sama jahatnya dengan Ghostface. Kita dan geng protagonis gak tahu siapa atau di mana yang aman. Arahan duo sutradara kita yang memang energik dalam bermain kucing-kucingan yang brutal, bikin film Scream kali ini makin terasa ekstrim. Untuk mendaratkan cerita, film memberi lumayan banyak fokus pada persoalan kakak-adik Sam dan Tara. Dua karakter ini jadi hati cerita. Karena ini bukan saja tentang kakak yang mencemaskan adiknya, ini juga adalah tentang dua survivor yang memiliki cara berbeda dealing with trauma. Permasalahan Sam yang masih dirundung bayangan ayahnya yang serial killer, juga terus dieksplorasi naskah. Scream VI menjadikan itu sebagai corong untuk berkomentar soal gimana di dunia sosial kita sekarang, seorang korban bisa balik diantagoniskan.

Malah di kita, korban yang udah tewas aja bisa dijadikan pelaku

 

Victim-blaming, sindiran buat franchise, kisah trauma shared by sisters, elemen-elemen cerita pada film ini sayangnya tidak benar-benar terikat dengan memuaskan. Franchise modern Scream di luar Wes Craven mulai kick-off, tapi langsung tersandung karena Matt dan Tyler seperti masih berkutat untuk keluar dari trope-trope franchise yang mestinya mereka examine. Melissa Barrera dan Jenna Ortega seharusnya sudah bisa lepas mewujudkan karakter mereka – and they did, mereka punya lebih banyak ruang kali ini karena ini pure cerita dari perspektif mereka – tapi dalam naskah, Tara dan Sam masih belum sepenuhnya ‘bebas’. Matt dan Tyler yang pada Scream lima membunuh Dewey, karakter original, kali ini seperti ragu-ragu dalam memperlakukan Gale, Kirby, dan yang lain. The elephant in the room adalah Sidney. Protagonis utama lima Scream sebelumnya, the face of Scream, tidak lagi muncul di film. Backstage, karena Neve Campbell tidak setuju dengan bayaran yang ditawarkan. Kita gak akan bahas gosip di luar film itu di sini, namun naskah Scream VI mau tidak mau harus nge-write off karakternya. Sidney memang ditulis ‘keluar’ dengan penuh hormat, disebut oleh karakter lain mengejar happy endingnya sendiri. Namun momen itu hanya terasa seperti throw-away, cari aman, di saat Mindy dalam monolog flm-nerdnya menyebut contoh-contoh karakter utama (di antaranya ada Luke Skywalker,  Laurie Strode di sekuel-sekuel original, Ripley di Aliens, dll) yang dibunuh demi jadi pijakan buat franchise bisa berkembang. Scream VI menyindir pembunuhan karakter tersebut dengan melakukan ‘pembunuhan karakter’ lewat aksi-aksi yang kurang konklusif, yang kurang impactful. Aku lebih suka gimana mereka nekat membunuh Dewey sebagai hook drama, ketimbang membuat para karakter legacy itu muncul untuk beraksi ala kadarnya. Kayak kalo di WWE, ada pegulat legend dibook cuma buat nongol di ring, dan menang atas superstar baru. Akan lebih impactful kalo legend itu dibuat kalah, karena dia bakal ngeboost status superstar muda yang mengalahkannya.

Tau gak kenapa film whodunit biasanya castnya bertabur bintang? Itu sebenarnya buat nutupin hal yang disebut dengan ‘hukum ekonomi karakter’. Karakter atau tokoh yang penting dalam sebuah film, pasti akan dimainkan oleh aktor yang lebih ‘bernama’. Jadi sebenarnya dari cast aja kita bisa tahu siapa yang jadi pelaku. Untuk menyamarkan itulah maka film-film whodunit sekalian aja makai cast yang ternama semua. Scream pushed this even further dengan membuat opening sequence sebagai kebiasaan naruh cameo-cameo bintang terkenal. Supaya surprise dan impact itu bisa tetap sekalian terjaga. Scream VI, dengan segala returning cast, anak baru, dan geng Core Four seperti tidak benar-benar berusaha. Bukan soal gampang ketebak atau apa, Scream lima masih Ghostface yang paling gampang tertebak buatku, tapi ini adalah soal gak ada impactnya. Pelaku di sini, meskipun masih punya kejutan, tapi basic banget. Motif pelaku yang kali ini tidak lagi peduli sama film-film, melainkan karena pure balas dendam juga membuat Scream VI nyaris balik ke thriller generik.

Dalam urusan sindiran meta, Scream VI unfortunately terasa tidak seimpactful pendahulunya. Bahasan ‘franchise’ memang dibreakdown rule-rulenya, tema ‘franchise adalah urusan keluarga’ juga memang mendarah daging sebagai konflik yang paralel antara protagonis kakak-beradik dengan antagonis, namun tidak terasa klik jadi statement yang wah dan memorable. Buatku, sindiran paling telak yang dipunya film ini lewat Ghostface yang sekarang tidak lagi peduli pada film dan rule-rule horor, adalah bahwa franchise modern juga seperti itu; not really care ama filmnya sendiri. Menurutku, film ini harusnya lebih mempertajam sindiran tersebut.

 

 




Aksi-aksi pembunuhannya memang lebih beringas. Ghostfacenya memang lebih nekat. Film kali ini definitely lebih ‘besar’. Tapi secara efek, terasa lebih jinak. Komentar meta yang jadi ciri khas film-film sebelumnya, terasa kurang nendang. Kurang dikejar oleh naskah. Cerita yang mau grounded dan mengarah ke bentukan elevated horror (horor modern yang mulai berisi seperti yang disinggung film pendahulunya) pun kurang nyampe karena film ini sendiri masih berkutat dengan nostalgia. Dalam proses itu, film ini jadi kehilangan taringnya. Statement soal franchise yang dimiliki film terasa kurang kuat karena film hanya seperti menghindar, tapi tanpa ngasih bentukan baru. Aku bisa suka dan menerima arahan baru yang ditawarkan, tapi dengan kecepatan dan bentuk seperti ini, bisa-bisa franchise thriller horor whodunit kesukaanku ini jadi bola salju beneran, Warnanya saja yang ntar berubah jadi merah darah. 
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for SCREAM VI

 




That’s all we have for now.

Bagaimana pendapat kalian tentang perkembangan franchise film di negara kita?

Share pendapat kalian di comments yaa

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



JOHN WICK: CHAPTER 4 Review

 

“Where there is no mutual respect, there’s trouble”

 

 

Tantangan utama dalam menggarap seri action segede John Wick adalah kita harus senantiasa membuat the next action set-piece yang lebih wah daripada sebelumnya. Enggak bisa hanya dengan menampilkan adegan berantem yang serupa terus-terusan. Semuanya harus digedein. Dicari sesuatu yang baru untuk mendesak protagonis utama cerita. Untuk alasan itulah, aku kagum sama ‘aksi’ penyutradaraan Chad Stahelski. Aku kagum sama cara dia ‘membesarkan’ John Wick dalam span empat film. Karena di setiap film ini, Chad sukses mengungguli dirinya sendiri. Dari cerita saja misalnya, bermula dari pria yang mengejar perusak mobil dan pembunuh anjingnya, hingga menjadi buron satu dunia! Dunia John Wick juga dibuat semakin meluas – ‘mitos’ siapa sebenarnya John Wick serta organisasi di belakangnya terus digali, dan semua itu berujung jadi bahkan lebih luar biasa lagi di chapter terakhir John Wick ini. Di film keempat ini stake couldn’t go any higher (walau di titik ini aku percaya Chad masih bakal menemukan cara liar lagi untuk somehow membuat jadi lebih gede lagi kalo dia bikin film kelima) karena cerita menjadi semakin personal bagi John Wick. Orang ini dihadapkan pada teman-teman lamanya sendiri, selagi dia bergerak dari satu negara ke negara lain. Tempat-tempat dan ‘musuh-musuh’ berbeda itu jadi semacam stage bagi petualangan epic John Wick membersihkan nama dan mencari kedamaian. Thus, membuat film ini jadi semacam one hell of a video game!!

John Wick yang sudah jadi excommunicado  itu ceritanya nyari refugee ke teman lama, tapi The High Table yang kini menyerahkan kepada seseorang borjuis keji bernama Marquis, memilih untuk jor-joran menghalau dia untuk keluar dari persembunyian. Semua yang pernah berhubungan dengan John Wick diperiksa. Dilenyapkan, jika tak mau bekerja sama. Salah satu bestie dari masa lalu John bahkan disewa (atau lebih tepatnya diblackmail) untuk memburu dirinya. Inilah yang jadi nilai personal pada cerita kali ini. Karena bagi John, ini jadi eye opener bahwa dia juga membahayakan teman-temannya, baik itu yang mau membantu, ataupun yang terpaksa tak bisa membantu. Untuk menyetop semua itu, ada satu cara yang bisa ditempuh oleh John, yakni menantang Marquis duel satu-lawan-satu di bawah peraturan The High Table. Hanya saja, ada syaratnya. John harus menjadi bagian dari satu keluarga. Serta tentu saja ada tantangan lain, berupa Marquis yang licik itu punya rencana lain untuk membuat John bahkan tidak bisa berdiri untuk bisa menuntaskan syarat-syaratnya.

I actually screamed, kupikir mereka mau duel Yugioh

 

Gimana gak kayak video game, coba. John Wick constantly diserang dan harus bertarung menyelamatkan diri ke manapun dia pergi, dan basically ada tiga ‘stage’ utama yang dia datangi. Hotel di Jepang, Kelab di Berlin, dan beberapa tempat di kota Paris. Tiga kota yang dihadirkan sebagai set-piece yang berbeda, menawarkan tantangan berbeda buat John – masing-masing tempat malah punya ‘boss’ sendiri – sehingga juga jadi suguhan dan pengalaman aksi berbeda buat kita yang menyaksikan.  Nonton ini pas bulan puasa dijamin enak banget, waktu nyaris tiga jam akan kelewat dengan tak terasa. Salah satu pesona aksi yang dimiliki John Wick, yang membuatnya berbeda dengan film laga lain adalah, aksi-aksi di John Wick – termasuk film keempat ini – lebih berfokus kepada aksi berantem ala kung-fu. Dengan memanfaatkan keadaan sekitar sebagai senjata ataupun koreo laganya. Inilah yang bikin kerasa intens. Apalagi aksi-aksi yang direkam in the moment ngikutin John Wick bergerak itu tampak plausible, dan Keanu Reeves selalu total melakukan semuanya. Yang bikin unik dan jadi ciri khas John Wick adalah pilihan senjata; pistol. Sekali lagi, art of Gun Fu (kung fu pake pistol) jadi sajian menghibur oleh film ini. Ngeliat John melakukan combat closed range dan menggunakan pistol sebagai finisher – menembak kepala lawan lewat celah di helm atau sebagainya – selalu terasa memuaskan. Dan seringkali juga kocak. Kayak, one time ada sekuen John harus berantem sambil menaiki 200 steps/tangga, dalam keadaan buru-buru mengejar waktu. Kebayang dong, beratnya gimana. Sekali ketendang, dia bisa menggelinding kembali ke bawah. Penonton sestudio heboh geregetan nih pas di adegan ini!

Makanya saat nonton aku ngerasa John Wick 4 ini bakal seru kalo dibikin game bergenre beat ’em up dicampur sama run ‘n gun. Bayangkan River City Girls atau Double Dragon, digabung dengan Contra. Cepat, energik, dan stylish. Persis Itulah vibe John Wick. Bahkan ada satu sekuen aksi yang treatmentnya udah video game banget; kamera dari langit-langit, melihat ke bawah memperlihatkan John merangsek masuk ke gedung sambil menembaki musuh, pake peluru yang dimodif jadi berapi upon contact. Aksi favoritku, however, adalah pas berantem di jalanan kota Paris. John dikejar, menghajar musuh, sambil berusaha nyebrang di jalan yang rame. Mobil berseliweran di sekitar mereka. Para musuh, dan John sendiri, tak ayal sering kena tabrak. Serunya jadi naik berkali lipat, apalagi ketika John mulai mencoba memanfaatkan traffic itu untuk menghajar lawan-lawannya. Wuih, kupikir ini sama sekali belum pernah kulihat sebelumnya. Set action yang bervariasi itu membuat film terus-terusan menghibur. Puncak dari semuanya adalah duel pistol klasik, ala koboy. Siapa yang lebih duluan draw pistol dan menembak (dengan tepat sasaran, tentunya) bakal menang. Film ini gak mau finale mereka berakhir sesimpel itu. Konteks adegan – dari relasi antarkarakter  membuat kita gak mau ngedip di adegan terakhir ini. Ketegangan benar-benar merasuk, karena kita tahu apa yang dipertaruhkan, kita penasaran bagaimana itu semua berakhir, resolusinya apa, apakah si Marquis yang curang itu bakal dapat ganjaran setimpal. Turns out, adegan itu bakal jadi sangat emosional sekaligus memuaskan. Aku bisa mendengar para penonton yang lain terkesiap dan nyeletuk lirih hal yang dilakukan oleh John sebagai jalan keluar. Rasanya pengen banget ngerewind klimaks dari adegan tersebut, berulang-ulang, saking memuaskannya.

Tentu saja film bisa mencapai momen sebegitu kerasa itu karena di balik aksi-aksi panjang dan seru itu, film ini masih punya cerita yang cukup mengakar. Memang gak dalam eksplorasinya, tapi cukup untuk melandaskan momen-momen dramatis. Dinamika antara teman dan lawan dijadikan benang merah bahasan cerita. Bahwa ini sebenarnya menggambarkan tentang mutual respect. John Wick enggak pernah protes saat teman lamanya datang pengen membunuhnya karena telah dibayar oleh High Table. Karena John Wick respek dengan sobatnya itu, John memahami posisi mereka. Begitu juga sebaliknya, kita merasakan bahwa bagi si teman, kerjaannya ini juga berat – dia sebenarnya gak ingin melakukannya, tapi gak punya pilihan, maka dia tetap melakukannya tapi tanpa membuang respeknya terhadap John sebagai teman.

Relasi mereka jadi hati pada narasi, dan dikontraskan dengan si penjahat Marquis yang tak pernah memandang orang lain – lawan ataupun bawahan – dengan respek. Selain soal itu, aku juga suka sama cara film mengakhiri saga John Wick ini. Cara film memberikan apa yang John mau, tapi di saat bersamaan memberikannya penyadaran akan hal yang harus ia terima sebagai wujud dari damai yang ia cari. Kupikir film telah berakhir mendapatkan cara yang benar-benar respek terhadap karakter dan emosional bagi kita untuk menyudahi franchise yang telah mengguncang skena sinema laga ini.

The JW that we can trust!

 

In a true video game fashion, John juga lantas tertampil kayak protagonis di video game. Dia making choices, beraksi dan segala macam tapi dia terasa sedikit lebih stoic dibanding karakter lain. Kayak di game, protagonis biasanya dialog dan emosinya lebih sedikit dibanding karakter lain, karena pemain yang supposedly jadi karakter utama. Di film ini, John secara mendalam tidak banyak dibahas karena film berasumsi bahwa kita udah tahu dan kenal betul sama karakter ini. Dia bisa kita pedulikan secara otomatis, seolah kita semua adalah John Wick itu sendiri. Ini kekurangan kecil aja sih, apalagi kalo membandingkan gimana John Wick dihadirkan di film-film sebelumnya, khususnya di film pertama. ‘Mitos’ tentang dirinya dulu benar-benar dibuild up lewat reaksi para penjahat yang mendengar namanya, info yang terasa kontras bagi kita yang melihat betapa ‘vulnerable’nya ini orang. Menurutku, John Wick itu sendiri sebenarnya sudah habis digali, sehingga sekarang karakter-karakter baru easily mencuri spotlight dari dirinya.

Dan oh boy, betapa karakter baru di film ini semuanya punya pesona dan menambah banyak untuk cerita film. Biar gak spoiler-spoiler amat, aku di sini hanya akan membahas tiga karakter saja. Pertama, si Marquis yang udah kurang lebih terbahas di atas. Ngecast Bill Skarsgard tampak seperti keputusan tepat berikutnya oleh film. Kedua, si sahabat yang sekarang dibayar untuk membunuh John. Assassin hebat ini actually buta, tapi personalitynya menarik sekali. Donnie Yen benar-benar ekstra mainin karakter Caine ini. Semua yang dia lakukan itu menarik, misalnya, dia menebak posisi lawan pake sensor bell kayak yang biasa dipasang orang di pintu. Alat-alat itu ia tempel di sekitar, dan nanti dia berantem berdasarkan petunjuk dari suara-suara alarm itu. Momen dia adu jurus lawan John, atau bahkan dia bekerja sama dengan John selalu menarik, karena kita bisa melihat alasan dari karakter ini melakukan itu. Ketiga, adalah karakter tak-bernama yang diperankan oleh Shamier Anderson. Seorang pemburu uang reward dari membunuh John. Yang unik dari karakter ini sebenarnya banyak banget. Dia gak beneran punya beef dengan John, melainkan cuma pengen duit imbalan saja. Tapi dia yang sniper handal ini gak mau buru-buru membunuh John karena pengen nunggu bounty/rewardnya naik, jadi sebagian besar waktu dia justru nolongin John supaya bisa terus hidup dan harganya naik. Relasi mereka jadi unik juga berkat ini. Apalagi, si nobody ini beraksi dengan anjing kesayangan yang galak banget. Tau sendiri, semua ini bermula dari anjing John dibunuh oleh orang. Film telah mempersiapkan momen khusus yang menautkan mereka nantinya.

 




So yea, memang agak aneh banyak ngomongin video game saat membahas film yang bahkan bukan dari video game. Tapi itulah bukti film ini memang seunik itu. Adegan aksinya memang sevariatif, seseru, sestylish, dan seenergik itu. Not to mention sinematografi yang ngeri. Film ini bisa jadi film laga yang tervisually mencengangkan buatku. Lokasinya dipilih yang kinclong semua. Bahkan adegan aksi yang direkam di tempat-tempat gelap pun tampak cemerlang. Sebagai kisah penutup, ceritanya juga digarap dengan memuaskan. Enggak dalem-dalem banget, tapi berhasil mengcover momen-momen yang bakal jadi hati dan emosional juga. Buatku, film ini tuh kayak apa yang aku minta dari film ketiganya empat tahun lalu itu. Sehingga aku ngerasa benar-benar terpuaskan, walaupun sebenarnya film ini memang terlalu extend cerita. Terbukti dari si karakter utamanya sendiri sebenarnya sudah habis penggalian. Karakter-karakter baru jadi terasa lebih menarik, seenggaknya sampai momen sebelum ending..
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for JOHN WICK: CHAPTER 4

 




 

Ohiya, ngomong-ngomong soal video game, akhir Maret ini di Apple TV+ bakal tayang film tentang video game legendaris; Tetris! https://apple.co/3nhEOdf Hahaha penasaran gak sih gimana game nyusun balok itu bisa jadi materi untuk film? Langganan Apple TV+ aja nih klik di link, biar pas filmnya tayang bisa langsung nontoon!!

Get it on Apple TV

 

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 



SHAZAM! FURY OF THE GODS Review

 

“… the champions are never afraid of losing”

 

 

Salah satu alasan kenapa ada batasan umur yang mengatur hal seperti anak-anak belum boleh punya SIM, belum boleh ikut Pemilu, belum boleh beli rumah, belum legal untuk memberikan consent, adalah karena anak-anak yang itungannya belum dewasa itu masih dalam perkembangan fisik dan mental sehingga dianggap belum bisa bertanggungjawab sepenuhnya. Nah sekarang coba bayangkan ketika anak remaja yang bahkan belum bisa beli bir sendiri, memikul tanggung jawab melindungi bumi dari kriminal biasa hingga marabahaya seperti serangan monster, alien, atau bahkan amukan dewa. Virgo and the Sparklings (2023) sekilas sudah menyinggung soal remaja menjadikan kerjaan superhero sebagai hak mereka, Spider-Man versi Tom Holland telah membahas sudut pandang dramatis dari beban menjadi superhero remaja. Shazam! (2019) garapan David F. Sandberg lah yang pushed soal gimana jadinya jika remaja yang masih immature bertindak sebagai penyelamat kota lebih grounded dan berfokus dalam nada yang lebih kocak. Pesona Shazam! itulah yang membuat film ini jadi entry superhero DC yang jauh lebih ringan dan loveable, easily dianggap bisa head to head dengan colorfulnya superhero sebelah. Sekuel Shazam! kali ini pun dibuat dengan hati yang sama. Menjamin dua-jam durasi itu jadi pengalaman yang seru, lucu, dan juga nostalgic mengingat kita semua waktu kecil pasti pernah bermimpi jadi superhero yang menyelamatkan dunia sekenanya, just to impress teman-teman yang lain.

Semenjak membagikan kekuatan Shazam! kepada saudara-saudari keluarga angkatnya, Billy Batson bertindak sebagai leader dari kelompok superhero mereka. Tapi karena abandonment issue yang dia punya – seperti yang dibahas pada film pertama, Billy berpindah-pindah keluarga – Billy jadi pemimpin yang agak terlalu strict dan clingy. Dia agak ngerasa gimana gitu, saat Freddy, Mary, dan saudara yang lain punya agenda masing-masing dan not really do things his way. Sementara itu, masalah yang lebih besar muncul dalam bentuk keluarga yang lain. Keluarga dewa, tepatnya. Putri-Putri Atlas yang telah terbebas mencuri tongkat Shazam, dan mereka bermaksud untuk membalas dendam kepada Wizard dan para Champion. Kota Philadelphia lantas jadi bagai pelanduk di tengah-tengah seteru keluarga. Keluarga superhero immature yang malah lebih sering rusakin kota, dan keluarga dewa yang juga gak begitu akur satu sama lain.

Me, pitching supaya Wonder (kepala) Wizard jadi karakter secret di semua game DC

 

Alih-alih dielukan sebagai pahlawan lokal, Billy dan saudara-saudarinya sebenarnya justru dianggap warga malu-maluin dan nyusahin. Grup mereka disebut sebagai Philadelphia Fiasco. Pecundang Philadelphia. Karena Billy dan saudara-saudarinya memang sembrono. Wujudnya saja yang dewasa, kekar, dan tangguh. Di balik itu sesungguhnya mereka masih amat muda. Itulah aspek yang paling charming dari film ini. Enggak pernah lupa kalo karakter-karakternya masih belum berpengalaman, masih immature. Masih bergulat dengan ego masing-masing. Sifat ‘kekanakan’ mereka diperlihatkan terus, mulai dari bagaimana mereka berinteraksi hingga ke gimana mereka beraksi. Sekuen mereka bantuin jembatan kota runtuh benar-benar memperlihatkan gimana para superhero ingusan kita memilih aksi dan prioritas. Adegan runtuhnya jembatan itu sebenarnya gak kalah seram dengan yang di Final Destination 5, tapi karena aksi ngasal para Shazam! semua jadi kocak. Ngeliat sikap kekanakan begitu muncul lewat sosok dewasa, menghasilkan kontras yang jadi sumber kelucuan adegan-adegan film ini. Adegan mereka nego dengan para dewa, really killed me. Waktu nulis suratnya juga. Film ini did a great job dalam nulisin humor dari identitas karakter,

Arahan David F. Sandberg juga terasa kuat. Di balik hingar bingar lelucon dan aksi (dan oh boy, betapa Sandberg dikasih begitu banyak hal untuk dimainkan), kita bisa merasakan arahan yang grounded. Yang menarik kita lewat perspektif. Action di Shazam! Dua ini terasa significantly lebih besar dibanding film pertama, dan setiap momen-momen aksi itu terasa berbeda. Dan yang aku suka adalah, nuansa horor yang kental terasa di balik aksi-aksinya. Tahu dong, kalo si Sandberg ini memang karya horornya lah yang put him on the map in the first place. Dia ngegarap film pendek Lights Out, yang lantas dijadikan film panjang yang ngehits. Sutradara Swedia ini juga lantas menyumbang entry paling bagus dari franchise Annabelle, lewat Annabelle: Creation (2017)  Nah, vibe horornya itu seringkali keliatan di adegan-adegan Shazam! Dua ini. Adegan jembatan yang kubilang tadi, misalnya. Terus juga desain karakter-karakter monster yang nanti bakal muncul. Momen bareng naga di dalam kegelapan. Dan tentu saja adegan di museum, saat salah satu dewa membuat ruangan tertutup debu lalu semua orang membatu. Chilling banget! Semua itu kerasa horor salah satunya akibat dari kuatnya build up lewat perspektif. Ada beberapa kali Sandberg menempatkan kita pada perspektif korban saat kejadian bencana itu. Kita dibuat ngelihat monster muncul dari dalam kayu, kita ngerasain berada di dalam mobil yang mau jatuh dari jembatan, like, kita benar-benar dibuat merasakan perspektif orang di jalanan yang ngalamin peristiwa itu.

Shazam! Dua berhasil menyelipkan momen-momen itu ke dalam tone film yang ringan dan kocak. Nonton ini memang sepenuhnya jadi seru. Meski belum sukses penuh untuk membuat kita tidak merasakan kekurangan di balik narasi. That gaping hole yang terasa olehku adalah kesan dramatis dari cerita. Dari journey Billy Batson. Kita ambil saja Peter Parkernya Tom Holland sebagai perbandingan. Peter dan Billy sama-sama superhero remaja, yang belum benar-benar matang dan dewasa pemikirannya. Maka gol dari journey kedua karakter ini basically sama. Mereka akan jadi semakin matang, they will get there through some hardships. Peter diberikan banyak momen dramatis; mentornya tewas, bibinya tewas karena kesembronoan aksinya, pacarnya pun jadi dalam bahaya. Semua itu membentuknya untuk jadi sadar, pun berubahnya tidak langsung saja, melainkan dia melewati fase broken down dulu. Dia perlu mendapatkan keberanian dan confidentnya lagi. Billy Batson dalam film ini tidak melewati sesuatu yang mirip seperti itu. Saudara-saudarinya kehilangan kekuatan adalah hal mengerikan yang terjadi padanya. Dan itupun efeknya tidak permanen, mereka bisa dikasih kekuatan lagi dengan tongkat yang ada di tangan penjahat. Momen broken downnya datang begitu saja, dan selesai bukan exactly dari pembelajarannya sendiri, melainkan didorong oleh pembelajaran yang dialami Wizard. Yang mengakui dia salah meragukan pilihannya memilih Billy sebagai juara, dan bahwa Billy punya something yang gak dipunya orang. Billy bangkit setelah mendengar ini. Buatku ini terasa sebagai resolusi journey yang lemah karena tempaan ke Billy kurang kuat.

Juara tidak ditempa oleh kekuatan fisik semata. Melainkan ditempa oleh hati yang tegar. Itulah kenapa perbedaan mendasar antara juara yang sebenarnya dengan orang biasa adalah para juara sejati tidak takut untuk kalah. Mereka tidak takut kehilangan, karena mereka percaya mereka bisa merebutnya kembali. Bagi Billy, ini berarti banyak. Karena dia juga melihatnya sebagai berani melepaskan keluarga. Itulah yang akhirnya membuat Billy jadi benar-benar jawara Wizard yang asli

 

Permasalahan Billy juga sebenarnya berakar dari hubungan dengan orangtua angkatnya, terutama si Ibu. Hanya saja naskah menggali ini bahkan lebih sedikit lagi ketimbang Suzume (2023) membahas Suzume dengan Bibinya. Interaksi antara Billy dengan si Ibu palingan bisa diitung dengan jari. Membuat momen mereka akhirnya resolve drama mereka, jadi tidak terasa kuat. Padahal mestinya permasalahan Billy ini bisa dibuat paralel dengan masalah Billy dengan ketiga Putri Atlas – yang semuanya adalah older lady; mereka bisa banget jadi cerminan sosok yang ‘membantu’ Billy melihat something dari masalah dia dengan ibu asuhnya. Naskah malah membuat Freddy yang punya hubungan khusus dengan grup antagonis. Ngomong-ngomong soal itu, peran Freddy di film kedua ini memang terasa lebih besar daripada Billy. Bestie Billy yang pake tongkat itu ngelaluin hardship yang lebih banyak ketimbang Billy, punya relasi yang lebih banyak dan lebih terflesh out, dan bahkan punya romance yang gak sekadar lucu-lucuan. Aku malah nyangkanya film bakal mengganti Billy dengan Freddy, saking menonjolnya Freddy di cerita ini.

Intonasi dan pembawaan si Jack Dylan Grazer sebagai Freddy kayaknya cocok juga jadi live-action Morty hihihi

 

Intrik di dalam keluarga Atlas sendiri sebenarnya juga menarik. Tiga orang putri berbeda usia, berbeda kekuatan, dan diam-diam juga berbeda motivasi. Cerita tiga bersaudari ini sayangnya juga kurang tereksplorasi. Melainkan cuma dibikin sebagai lembaran turn demi turn. Dan karena hubungan mereka dengan si Billy Batson juga kurang tergali, jadinya perkembangan karakter mereka juga tak terasa dramatis.  Padahal ketiganya adalah karakter original, loh. Karakter yang enggak ada di komik. Jadi, kemungkinannya ada dua. Either film ini enggak mampu menuliskan karakter original dengan matang. Atau ya karena gak ada di komiklah, makanya mereka gak diberikan eksplorasi yang lebih dalam.

Ngomong-ngomong soal Sisters, kemaren aku nonton serial thriller komedi di Apple TV+ tentang lima bersaudari yang jadi tersangka setelah suami salah satu dari mereka ditemukan tewas. Kalo pada pengen nonton juga silakan klik https://apple.co/3JLLAAz dan subscribe mumpung masih ada free trial!

Get it on Apple TV

 




Zachary Levi tampak sudah semakin settle mainin superhero komedi versi dirinya sendiri; superhero yang kayak kena ‘penyakit’ man-child akut. Tapi memang di situlah pesona karakternya. Film ini toh dihuni oleh banyak karakter likeable, yang juga diperankan dengan sama-sama menyenangkannya. Interaksi mereka yang seringkali kocak, tingkah yang absurd, serta aksi seru yang tak kalah lucu – sekaligus ada tone horor merayap di baliknya – bikin keseluruhan film jadi pengalaman super fun. Ceritanya juga dengan klop masuk sebagai sambungan film pertama. Surprise di momen akhir sukses bikin satu studio tepuk tangan sambil ngakak. Hanya saja naskah kali ini belum sukses terasa solid.  Narasinya seperti kelupaan elemen dramatis, sebelum seluruh kota diserang dan ada yang harus mengorbankan dirinya. Journey karakternya juga begitu, tidak benar-benar dieksplor, sebelum akhirnya dimunculkan saat cerita sudah di titik hendak berakhir. Menurutku, harusnya ini bisa dilakukan dengan lebih baik lagi sehingga Billy Batson dan journey karakternya bisa lebih mencuat dan jadi lurus sebagai pondasi utama.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for SHAZAM! FURY OF THE GODS

 




That’s all we have for now.

Kalo anak/remaja disepakati belum matang sehingga belum bisa dipercaya memikul tanggungjawab, kenapa tiap daerah/negara punya batasan umur-dewasa yang berbeda? Apa yang menyebabkan anak di satu daerah bisa dinilai lebih cepat dewasa ketimbang daerah lain?

Share pendapat kalian di comments yaa

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



MISSING Review

 

“Parents make mistakes not because they don’t care, but because they care so deeply”

 

 

Ada yang hilang pada modern thriller, yang kebanyakan menjodohkan protagonis dengan antagonis yang didesain saklek sebagai perwujudan rintangan atau pembelajaran. Suspens dari kehilangan kendali atas hal yang familiar – atas hal keseharian. Ketegangan ketika tokoh utama bahkan tidak yakin pada apa yang sebenarnya terjadi. Saat ketidaktahuan jadi lawan terberat, sehingga membuatnya lantas berpikir ‘mungkin aku yang jahat’. Duo sutradara Nicholas D. Johnson dan Will Merrick menemukan ‘missing ingredient‘ tersebut, dan memasukkannya semaksimal mungkin dalam sekuel-lepas dari Searching (2018) yang mereka garap. Missing  di tangan mereka masih dalam formula yang sama dengan Searching, masih seputar mencari keluarga yang hilang lewat penyelidikian melalui dunia maya, tapi drama kehilangan tersebut terasa lebih ngena. Misterinya terasa lebih grounded, terutama buat anak muda yang menonton. Karena sekarang perilaku di internet dan hubungan dengan orangtua langsung dijadikan sebagai perspektif utama.

Yea, tentu saja seperti film pendahulunya, Missing juga merupakan thriller dengan gimmick. That’s the identity. Ciri khas yang dipertahankan. Film ini sepenuhnya bercerita lewat layar komputer atau gadget. Semua interaksi karakter kita lihat dari chat, rekaman video, video call, dan sebagainya yang terhampar di layar. Tapi baik Missing, ataupun Searching, punya drama yang kuat untuk ngeback up gimmick yang mereka pakai. Drama keluarga yang juga membuat misteri dalam cerita jadi berbobot dan kita pedulikan. Dalam Missing yang jadi sorotan adalah hubungan cewek remaja – yang sudah mau delapan-belas tahun – dengan ibu yang membesarkan dirinya seorang diri sejak ayah gak ada. Si June ini (Storm Reid on her star-making performance) bakal ditinggal beberapa hari di rumah, ibunya pergi liburan ke Kolombia bareng Kevin, pria yang jadi pacar baru ibunya. Di Kolombia itulah si ibu dan Kevin menghilang. Keberadaan mereka berdua seperti hilang begitu saja. Tinggal June yang mati-matian mencari ibu lewat jejak-jejak digital selama liburan. June go deep, meretas akun, menyewa jasa online, dan sebagainya sampai-sampai dia menemukan kenyataan bahwa, bukan hanya Kevin – tapi juga ibunya sendiri – punya rahasia kelam di masa lalu mereka. Rahasia yang besar kemungkinan jadi kunci misteri menyedihkan ini.

Cewek kalo udah jadi detektif online, memang seng ada lawan!

 

Naskah juga menelisik sama dalamnya dengan usaha June mencari keberadaan sang ibu. Peristiwa ibu hilang itu baru kejadian sebagai plot poin pertama, yang artinya film meluangkan waktu sekitar setengah jam untuk melandaskan dulu bagaimana hubungan June dengan ibunya. Akar yang kuat itulah yang nanti membuat misteri ini jadi terasa nyesek, lebih dari twist-twist yang terjadi. Itu jugalah yang membuat June dan ibunya jadi terasa seperti orang beneran; problem mereka kita mengerti, relationship mereka terasa real, membuat masalah keluarga mereka jadi penting untuk disimak. Karena mungkin kita juga ngalamin problem yang sama. Anak yang tak dekat dengan ibunya, anak yang merasa ibu tidak berduka seperti dirinya berduka terhadap sosok ayah. See, June diceritakan memang masih kangen berat sama ayahnya. Video masa kecil yang diputar sebagai adegan pembuka itu benar-benar efektif ngeset begitu banyak hal penting dalam narasi dan karakterisasi para lakon. Sehingga kita maklum kenapa June jadi sinis sama ibunya yang malah punya pacar baru. Kalo cuma dibaca dari sini, memang kesannya kayak set up biasa. Itulah sebabnya kenapa kita enggak baca review dulu sebelum nonton, karena bagi yang udah nonton, pasti langsung kebayang betapa amazingnya film ini menceritakan itu semua. Gimmick layar laptop atau komputer menciptakan semacam keterbatasan ruang gerak bagi karakter, tapi film ini selalu menemukan cara untuk menambah layer percakapan atau interaksi karakter lewat bagaimana sosmed dan interaksi digital bekerja.

Momen-momen seperti June pura-pura ngetik pesan ibunya (padahal dia cuma ngasal aja ngetik huruf – malah sempat ngumpat pake ‘stfu’ segala), June ngechat teman diam-diam sambil ngobrol, atau ketika June cuma balas ‘I love you’ dari ibunya dengan acungan like; momen-momen tersebut berhasil bicara banyak tentang karakter dan hubungan mereka – sama efektifnya dengan kalo film melakukannya dengan dialog seperti biasa. Itu semua belum apa-apa, dibanding ketika nanti sudah sampai pada bagian pemecahan misteri. Usaha yang dilakukan June lewat komunikasi yang terbatas pada apa yang bisa dilakukan teknologi (yang ternyata bisa mengungkap banyak hal jika kita ‘bijak’ menggunakan internet!) terasa banget seperti step-step natural pengembangan naskah. Sementara juga stay relate karena kita bisa melihat kita bakal melakukan hal yang sama dengan June yang gak langsung bisa. Yang ragu-ragu. Yang salah ngetik dan nebak password. Naskah benar-benar firing all cylinders. Stake terus dinaikin dari mepetnya waktu, terbatasnya bahasa, terbatasnya duit. Misteri pun semakin membesar karena si June bukannya dapat jawaban, tapi justru semakin dia mengungkap hal semakin banyak pula pertanyaan baru yang menghadang. Hebatnya film gak kehilangan pegangan. Tema dan perspektif karakter tetap dikobarkan. Kita akan melihat dalam pencariannya, June jadi berteman dengan beberapa orang, yang actually penting untuk pembelajaran karakternya.

Sebagai anak, kita seringkali merasa dipaksa menelan anggapan bahwa orangtua selalu benar. Bahwa orangtua always knows best. Sehingga meskipun kita tau itu tidak benar, tapi toh kepercayaan bahwa orangtua bakal selalu ada – bakal selalu got our back – tetap terpatri di dalam diri. Inilah yang dijadikan konflik oleh film ketika June mulai dihantui ‘gagasan’ bahwa bisa jadi orangtuanya melakukan sesuatu yang bukan untuk dirinya. Dan bahwa sikap dirinya yang jadi penyebab ibunya pergi. Ketika seorang anak, dirundung oleh berbagai emosi yang bersumber dari mereka menyadari tidak cukup mengappreciate orangtuanya, di situlah cerita film ini bersinar.  

 

Film seperti ngetackle dua permasalahan sekaligus. Masalah anak dan ibu tadi. Serta masalah yang lebih universal, seperti gimana dalam suatu kasus yang telah jadi viral, kita seringkali lupa akan masalah awal. Gimana biasanya publik malah menyorot perempuan, lebih banyak ketimbang laki-laki. Bahkan bisa sampai jadi pihak perempuan yang sebenarnya korban lah yang lebih diantagoniskan. Sama seperti ketika membahas anak-dan-orangtua, ketika membahas internet, film ini juga berimbang. Dia memperlihatkan bukan saja internet bisa berdampak buruk, tapi juga memperlihatkan bahwa internet jadi cara June untuk menyelesaikan masalah. Semua kembali kepada pemakai, bagaimana mereka menggunakan teknologi tersebut.

Next film bisa dikasih judul ‘Stalking’, isinya liatin layar laptop orang refresh-refresh instagram mantannya seharian

 

Mengawal gimmick yang secara natural membatasi (salah-salah film kayak gini malah cuma bikin kita full bacain chat WA di layar doang) untuk bisa mampu membahas banyak dan menghantarkan karakterisasi, sementara juga memuat misteri yang semakin menarik dan membesar, kita memang harus angkat topi sama pembuatnya. Enggak gampang bercerita dengan desain seperti ini. Sama para pemain juga, supaya emosinya nyampe, mereka dituntut permainan ekspresi yang benar-benar harus maksimal. Teknis dan desain produksi itu mengangkat film ini. Walaupun Missing, seperti Searching, memang tidak total hadir natural. Like, percakapan atau hal penting di layar komputer itu kerap di-zoom supaya kita tahu ke mana harus melihat alih-alih membiarkan kita melihat sendiri yang terjadi. Itu, dan film seperti struggling harus nampilin layar komputer sehingga beberapa adegan kehilangan perspektif (like why tau-tau kita nontonin cctv tempat publik) actually adalah kritikanku waktu review film Searching. Film Missing, however, walau masih begitu tapi seenggaknya kali ini layar komputer itu lebih dimasukkan ke dalam bangunan narasi dan misteri. Kita melihat banyak aplikasi, dari layar,  dan sekarang ‘dari layar siapa itu semua dilihat’ benar-benar jadi penentu dalam narasi. Kayak di awal, rekaman yang ternyata kita lihat dari layar ibunya – bukan dari layar June – menambah banyak untuk pemahaman dan karakterisasi. Dengan kata lain, dalam Missing, layar-layar itu bukan saja untuk meihat ‘apa yang terjadi’ saja, tapi juga soal siapa yang sebenarnya sedang melihat itu. Ini bikin film ini jadi lebih intens, dan bahkan punya replay/rewatch value yang lebih gede lagi.

Keterbatasan gimmick yang masih belum bisa sepenuhnya dihindari adalah soal timing. Soal pace. Kaitannya dengan lingering emotion. Missing yang semua adegannya adalah tampilan dari desktop komputer atau layar gadget tentu saja tidak bisa menampilkan momen-momen karakter di luar komputer mereka. Jadi momen-momen ketika karakter matiin layar, untuk menghayati perasaan emosional yang menggelayuti mereka, kita gak dapat turut merasakan itu dengan maksimal.  Kita hanya ‘on’ saat investigasi dan aksi-aksi memecahkan misteri, karena saat itulah mereka juga online. Jadi yang full kita rasakan justru momen-momen shocking revealing demi revealing, yang bikin film jadi seru in the moment itu saja. Babak ketiga yang paling terasa film membesar nyaris liar. Tidak banyak waktu bagi kita untuk meresapi ada apa sebenarnya, meresapi karakter yang tau-tau ada. Tidak banyak waktu untuk kita second guessing plot, padahal ada satu-dua hal bagiku yang masih agak ‘aneh’. Kayak kenapa cuma nama ibunya yang diubah oleh program perlindungan, kenapa nama June yang masih kecil itu tetap. Apa tidak berbahaya. Buatku di babak ketiga film hampir jadi terasa generik dan mulai sembrono. Tapi tak bisa dipungkiri, agak terselamatkan, oleh babak set up yang memang telah membangun pondasi untuk ke sana dengan nicely. Sehingga kalo mau melingkar, ya, memang harus begitu. Meskipun membuat film jadi lebih ke arah untuk shocking saja.

 




Aku aslinya kurang suka nutup tulisan dengan ‘Tapi overall…”, tapi kayaknya ku sudah kehabisan napas untuk berkata-kata. Jadi yah, tapi overall, aku lebih suka film kedua ini ketimbang yang pertama. Walaupun secara bobot kedua film ini sama kuat membahas masalah kerenggangan hubungan orangtua dan anak di era modern dibungkus dalam bingkisan misteri. Keduanya sama-sama jago dalam membangun suspens, membuat hal menjadi lebih besar dan terus membesar dengan cara bercerita atau pengungkapan yang menarik.  Napasnya juga sebenarnya mirip. Cuma yang bikin aku sedikit lebih suka adalah; film yang kedua ini terasa lebih matang aja dalam menghandle gimmick layar komputernya. Sehingga di film ini perspektif karakter terasa lebih matang juga. Kita gak hanya ikut melihat apa yang terjadi. Tapi ada layer yang intens dari ‘siapa yang sedang melihat’. Replay value film ini pun jadi tinggi banget. Duality pada judul pun jadi terasa semakin ‘nyata’. Kehilangan seseorang bisa jadi rindu, juga bisa jadi sesuatu yang bermakna lebih mengerikan.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for MISSING

 

 




That’s all we have for now.

Apakah menurut kalian internet bisa digunakan oleh setiap orang untuk melacak hidup seseorang itu adalah hal yang mengerikan? atau sebaliknya?

Share pendapat kalian di comments yaa

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



MANGKUJIWO 2 Review

 

“The sins of parents bleed further in the children”

 

 

Moral kebanyakan cerita horor adalah soal manusia ternyata lebih seram, lebih jahat, daripada hantu. Mangkujiwo karya Azhar Kinoi Lubis menekankan ‘moral’ tersebut dengan lebih jelas lagi, karena yang ia bikin di sini sebenarnya lebih sebagai sebuah thriller sadis perebutan kekuasaan supernatural. Thriller tentang manusia-manusia yang saling serang dengan ilmu hitam, saling memanipulasi untuk tujuan duniawi, dan para makhluk gaib tak lebih dari senjata yang diperebutkan. Dan manusia yang lebih lemah, jadi budak yang diperalat. Bagai pion yang digerakkan ke sana kemari. Or worst, jadi tumbal. Eksistensi film ini sebenarnya menarik, dan patut disyukuri. Karena ngasih warna berbeda pada genre horor lokal, memusatkan pada galian yang identitas klenik yang benar-benar lokal. Tapi film pertamanya tahun 2020 lalu itu, aku kurang suka. Mainly, karena kurang baiknya penggarapan naskah. Mangkujiwo pertama kayak orang yang mumbling nonsense. Begitu sibuk berkutat pada lore, istilah-istilah, dan eksposisi pembangunan dunia. Jadi aku tahu perbaikan apa yang kuharapkan pada sekuelnya kali ini. Satu hal yang pasti, Mangkujiwo 2 berpegang erat pada elemen-elemen yang diapresiasi penonton pada film pertamanya. Desain produksi dan artistik.  Yang paling kuingat di film pertamanya itu memang adalah penggunaan binatang-binatang horor (alias jijik) yang kayak asli. Nasi dicampur isi perut tikus, wheew masih kebayang ampe sekarang. Dan di film kedua ini, tikus-tikusnya memang dihadirkan lebih banyak lagi!!

As far as the opening goes, aku suka sama film kedua ini. Di pembuka itu kita ditempatkan di dalam studio bioskop. Lagi ada pemutaran film. Lalu kita melihat Uma, gadis yang bisa memanggil Kunti setiap kali dia terluka tak sadarkan diri, nonton di tengah-tengah barisan. Di belakang Romo-nya dan orang-orang penting lain. Bagi Uma, something feels off. Awalnya kupikir dia diserang gelombang panik. Mendadak dia melihat penonton lain di sekelilingnya dibantai oleh gerombolan orang yang datang entah dari mana. Uma berlarian, nangis kejer kalo istilah sekarang. Belakangan, kita tahu yang dilihat Uma roh-roh orang yang dulu memang pernah dibantai di situ. Ini opening yang decent banget, gak sih, buat cerita horor. Perfectly ngeset up tone keseluruhan, sekaligus ngasih tau permasalahan apa yang bakal menghantui karakternya.  Tapi kemudian film sampai pada bagian dialog-dialog karakter, dan it was still a meh. Mangkujiwo 2 masih tetap terbebani oleh segala macam eksposisi. Barulah ketika penjelasan dan intrik-intrik cerita sudah out-of-the-way, ceritanya kembali jadi sedikit lebih enak untuk dinikmati.

Jadi kenapa karakter Sujiwo Tejo ini bersikeras nyuruh orang memanggil dia Romo?

 

Masih ingat kemaren kita membahas film Autobiography yang serasa film horor meski tanpa setan? Nah, Mangkujiwo 2 ini kayak Autobiography jika film itu beneran film horor, dan agak sedikit lebih susah dalam berbicara. Permasalahannya mirip.  Mangkujiwo 2 juga punya latar politik yang seperti gambaran dari rezim-horor kita. Tapi di sini diceritakan ada higher power dari politik itu. Ada mastermind yang mengatur semua. Orang itu adalah Romo Brontosaurus. Eh salah, Romo Brotoseno. Bayangkan pemain catur, itulah posisi si Romo. Bidak-bidaknya adalah Jenderal, orang-orang gede lain, dan rakyat tak berdosa, seperti Uma, dan karakter fotografer yang diperankan oleh Marthino Lio, bernama Rimba. Rimba ini anak seorang aktivis yang dibunuh oleh Jenderal. Ya, sekarang bidak-bidak lama dan baru itu sedang diadu oleh Romo. Film mulai kerasa ‘enak’ ketika konflik seputar Rimba mulai dikembangkan. Pada review Mangkujiwo pertama aku menyebut film tersebut  tidak meninggalkan kesan apa-apa. Melainkan hanya nonsense dan kekerasan (pada perempuan pula!) Film itu tidak punya genuine feeling di baliknya. Film itu tidak punya cinta. Aku bukannya ge-er bilang film ini mendengarkanku atau apa, cuma yang jelas step up yang dilakukan film kedua ini adalah mereka actually memasukkan cinta ke dalam narasi. Ada suntikan feeling yang bisa kita rasakan, bisa kita ikuti di balik sadis dan jijiknya tikus-tikus itu sekarang. Cinta itu salah satunya datang dari hubungan antara Rimba dengan Uma. Dunia Mangkujiwo terasa jadi sedikit lebih hidup karena sekarang ada karakter dengan perasaan yang bisa kita relasikan, enggak melulu soal rebutan kekuatan dan kekuasaan. Anyway, jadi nanti Rimba ceritanya mulai sadar dan mengajak Uma untuk basically wake up.  Untuk melihat bahwa si Brotoseno bisa jadi bukan Romo, bukan ayah, sebaik yang Uma sangka. Anak muda seperti mereka harus melek, harus mengenali siapa, darimana; sejarah mereka. Jika tidak, mereka akan mengulangi ‘dosa’ negara, orang-orang sebelum mereka. Karena Romo sedang membuat mereka berjalan di siklus horor rezim dendam antar-generasi.

Perihal sejarah kelam akan terus berulang dijadikan film sebagai latar dari dunia horor cerita. Bahwa dosa orangtua, dosa generasi sebelumnya, akan diteruskan. Akan terpetakan pada generasi muda sesudahnya. Dan itu terjadi karena ada satu orang yang mengendalikan semuanya. Ada satu  pihak, dalam hal ini si Romo, yang seolah gak ikut campur dan kayak orang baik, tapi ternyata mengatur dan menghendaki itu semua demi kepentingannya sendiri. Jadi sebenarnya menarik juga untuk menelisik, di mana film ini meletakkan garis antara fiksi dan gambaran nyatanya?  Apakah film ini suggest ada higher power, ada sosok ‘Romo’ di balik kemelutnya negeri kita?

 

Seharusnya film menjadikan kisah Rimba dan Uma sebagai fokus. Paruh akhir ketika kita sudah bisa ‘melihat’ jelas karakter-karakter ini adalah bagian terbaik dari Mangkujiwo 2. Sayangnya, bagian ini seperti joke “kamu itu punya inner beauty, tapi terlalu dalam, gak keliatan”. Secara keseluruhan film masih sumpek oleh tetek-bengek istilah dan segala macamnya. Cerita dengan dunia dan logika sendiri memang selalu punya tantangan besar untuk membangun dunia itu. Terlalu banyak eksposisi, penonton bingung sama ‘aturan’ dunianya, memang jadi sandungan yang lumrah. Beberapa film toh mampu untuk melakukannya tanpa terlalu banyak merusak narasi dan tempo. Avatar pertama misalnya, aku kagum gimana dengan cepat dan efektif film itu menghamparkan sains teknologi avatar dan soal bulan Pandora. Ketika bicara Avatar, kita selalu kepikiran soal visual dan teknisnya, sehingga lupa kunci rahasia dari pencapaian film itu adalah naskah yang efektif. Penempatan dan pemampatan eksposisi yang terukur dan tepat-guna, karena film punya alur yang jelas. Sebaliknya, ini jugalah kenapa dua film Mangkujiwo seperti kesusahan dalam bertutur.

Film ini tidak punya plot yang jelas. Film ini cuma punya kejadian demi kejadian demi kejadian yang diungkap oleh ternyata, ternyata, dan ternyata. Plot yang dimaksud di sini adalah alur dari karakter, perspektifnya apa, maunya apa, journey-nya apa. Film ini bahkan gak punya bangunan yang jelas merujuk karakter utamanya. Dari opening, sepertinya Uma yang diperankan Yasamin Jasem adalah karakter utama. Tapi bukan, Uma terlalu pasif untuk jadi protagonis utama. Peran karakternya di sini ya cuma untuk manggil si Kunti. Uma repetitif banget. Ngelihat bayangan pembantaian – dirinya dipukulin beneran – pingsan – nyanyi Lingsir Wengi – lalu muntah setelah Kunti beraksi. Yang benar-benar aktif sebagai hero dan punya motivasi adalah Rimba. He’s the perfect choice untuk bawa plot yang jelas, tapi dia treatment-nya layaknya karakter pendukung saja. Karena sebenarnya film sudah mengeset Romo sebagai karakter utama. Ya, sama seperti pada film pertama, Mangkujiwo 2 juga sebenarnya adalah cerita tentang villain. It’s okay sebenarnya buat film menjadikan not-good person sebagai karakter utama. Malah bisa jadi menarik, kan, kita langsung melihat dari perspektif penjahat kayak di film Henry: Portrait of a Serial Killer. Hanya saja, sudah melakukan dua kali, tapi film ini tetap belum benar-benar total merangkai ceritanya ke dalam perspektif jahat si Romo. Karakternya gak punya journey, gak ada stake kuat, dan dia selalu ‘benar’. Film ini sempat juga mencoba untuk membuatnya menghibur kayak Jigsaw, yang sekilas John Kramer kayak kalah, tapi semua terkuak ternyata berjalan sesuai perhitungannya. Romo juga ada bagian kayak dia ‘kalah’, tapi enggak. Dan di momen itu, yang diinginkan film belum nyampe karena karakter Romo belum ada di level simpatik ataupun kita pedulikan seperti itu.  Film ini pengen kompleks dan different, tapi sendirinya belum mampu merangkai yang diincar dengan lancar.

Who lets the rats out? Who, who, who

 

Ambisius, sepertinya memang begitu. Walaupun karakter-karakternya banyak yang dihidupkan agak over-the-top, tapi film ini punya dialog yang cukup bermakna. Bukan dialog receh. Film ini cukup serius. Apalagi ketika menggarap horor dan adegan sadisnya, kita bisa lihat film ini gak main-main. Meski memang gak semua usahanya work out. Yang berhasil, kayaknya ya tikus-tikus itu. Aku nonton ini sampai – maaf – angkat kaki ke kursi, karena takut kalo-kalo ada tikus beneran di bawah tempat duduk hahaha.. Penempatan tikus untuk horor, fungsinya dalam narasi, berhasil dimasukkan. Adegan pembunuhan sadisnya, juga cukup oke. Cuma yang aneh adalah sosok kuntilanaknya. Asmara Abigail tidak reprising her role sebagai Kanti di sini, dan sebagai gantinya kita dapat kuntilanak merah yang generik banget. Cuma melayang di sana sebelum menyerang. Sama seperti Uma, Kuntinya repetitif dan gak berkesan. Atau mungkin kita yang sudah terlalu capek untuk terkesan. Capek sama mumbo-jumbo dan kerumitan bercerita. Terakhir, yang enggak banget, yaitu kekerasan pada perempuannya. Elemen ini dipertahankan oleh film. Aku ngerti, bukan ini saja horor yang ‘nyerang’ cewek. Bahwa ada sesuatu yang ingin dikatakan oleh horor saat menjadikan karakter perempuan berjuang hidup-mati. Di sini, mungkin untuk menyimbolkan patriarkal, kepemimpinan laki-laki, tapi yang film ini lakukan untuk itu kadang ‘maksa’. Jatuhnya ya jadi kayak eksploitatif. Salah satu yang paling ‘maksa’ itu adalah saat adegan yang goalnya adalah mempertemukan Rimba dengan Kunti. Gak natural banget kelihatannya Rimba bisa gak sengaja mukul Uma, sampai berdarah dan pingsan.  Bukan hanya ditonjok ampe berdarah-darah, adegan kekerasan film ini malah ada yang gross banget melibatkan Romo dan Uma; yang meskipun off-cam, tapi tetep hard-to-watch.

 

 




Sempat terpikir olehku, bahwa mungkin film ini sebenarnya gak jelek. Film ini membuatku teringat sama dialognya Joker, soal ‘ahead of the curve’. Film ini adalah monster di luar horor normal. Yang kita semua belum siap untuk menerimanya. Horor yang basically membahas mastermind, dalang, dari kekacauan di kehidupan. Yang berangkat dari perebutan kekuatan mistis. Bahkan pembuatnya sendiri belum siap untuk horor ‘sebesar’ ini. Ya, mungkin itulah sebabnya kenapa film ini masih tampak begitu mentah. Olahan ceritanya masih sumpek, tidak ada alur yang jelas, karakter yang belum efektif dan berfungsi sebagaimana mestinya. Aku gak tahu mereka nyiapin berapa judul lagi, tapi paling enggak di film keduanya ini sudah ada sedikit perbaikan. Mungkin, sepertinya lebih pada sebuah harapan, saat film terakhirnya tayang kita semua lebih siap untuk menerima, dan mereka pun lebih siap untuk membuat dengan sebenar-benarnya potensi yang dipunya cerita.
The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for MANGKUJIWO 2

 

 




That’s all we have for now.

Jadi, menurut kalian apa yang sebenarnya ingin dikatakan film ini dengan memperlihatkan bahwa ada kuasa yang lebih tinggi di atas Jenderal, kuasa di luar tatanan yang resmi?

Share pendapat kalian di comments yaa

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



GLASS ONION: A KNIVES OUT MYSTERY Review

 

“Rippling water shows lack of depth”

 

 

Orang kaya kalo gak jahat, ya pembual. Banyak film telah mengestablish soal karakter tersebut, tapi Rian Johnson dalam Glass Onion membawa soal tersebut lebih tegas lagi. Bertindak sebagai kasus berikutnya dalam petualangan detektif Benoit Blanc, Glass Onion didesain oleh Johnson sebagai sindiran untuk milyuner-milyuner banci-tampil yang kita kenal di era teknologi canggih sekarang ini. Gimana kalo mereka sebenarnya gak sepintar image yang mereka tampilin? Gimana kalo sebenarnya mereka cuma bayar ide milik orang lain? Gimana kalo sebenarnya, mereka gak punya bakat apa-apa selain ya, bakat ‘jual-obat’; omong gede dan tampilan meyakinkan? Makanya film ini juga serta merta lucu ketika membahas karakter tersebut dan orang-orang yang nempel kepadanya. Yang enjoyable pada sekuel Knives Out (2019) ini bukan lagi misteri pembunuhannya. Honestly, buatku kasus dan si detektif itu sendiri adalah titik lemah dalam penulisan film kali ini. Melainkan, yang menyenangkan dari film ini adalah saat melihat jaring-jaring pertemanan mereka yang tampak erat itu mengelupas sendiri dan menampilkan sesuatu yang ternyata begitu rapuh. Persis seperti glass onion itu sendiri.

Set up-nya sih memang murder mystery banget. Sekelompok orang diundang oleh milyuner ke villa keren di sebuah pulau. Surat Undangannya gak tanggung-tanggung; kotak gede berisi rangkaian puzzle. Yang kalo berhasil dipecahin, maka di dalamnya ada undangan personal. Keren banget kan. Makin kagumlah orang-orang ini dengan si milyuner (eventho emak-emak saja bisa mecahin puzzle-puzzle tersebut) Tapi yah, karena actually mereka semua adalah teman segeng, teman lama yang sama-sama bikin bar sebelum masing-masing berhasil jadi orang gede, mereka tetap datang. Termasuk Andi, yang sudah keluar dari grup lantaran ada cekcok di masa lalu. Yang jelas. pusat kelompok mereka memang adalah si milyuner tech tersebut. Miles, yang sukses berat dengan perusahaan Alpha hingga sekarang dia ‘membantu’ teman-temannya dalam berbagai rupa. Miles telah merancang game misteri-pembunuhan sebagai hiburan di pulau. Tapi ternyata, terjadi pembunuhan-beneran. Salah seorang terbunuh, diduga keracunan. Untungnya bersama mereka hadir detektif Benoit Blanc – meskipun Miles sendiri mengaku tidak mengundang. Blanc harus menguak hubungan antara masing-masing mereka untuk mengetahui bukan hanya siapa pelaku, tapi juga apa sebenarnya kasus ini.

Puzzle-puzzle itu bikin aku teringat belum purchase game Mystery Case Files edisi tahun ini

 

Tapi Rian Johnson seperti tidak mau terjebak di penggarapan murder mystery yang itu-itu melulu. Whodunit yang sekadar mengungkap siapa pelakunya. Terutama, dia tidak mau film kali ini terasa seperti replika dari film yang pertama. Sure, ada beberapa ‘resep’ yang dipakai kembali. Kayak, jejeran cast yang ‘rame’. Selain Daniel Craig yang kembali untuk memerankan detektif yang dandy dan punya aksen tersendiri, Glass Onion punya segudang aktor lagi yang total meranin karakter dengan tipe dan kekhasan masing-masing. Batista di sini jadi tipe nerd unik yang got big, dia kayak golongan yang gak percaya covid dan percayanya pada hak megang pistol. You know, karena film ini nyindir orang kaya, maka otomatis juga berarti film ini membidik kelas sosial atas lainnya, seperti politisi. Karakter Kathryn Hahn literally senator cewek yang tampaknya cuma punya kepedulian terhadap citra dan elektabilitasnya untuk pemilu. Selain mereka juga ada scientist yang diperankan Leslie Odom Jr., dia ini kayak manut aja sama Miles. Kate Hudson malah meranin model, yang pikirannya zonk banget ampe bisa-bisanya ngira sweatshop itu pabrik tempat bikin sweat pants. Ada banyak lagi karakter yang tak kalah unik dan cameo yang tak kalah bikin kita excited. Malah ada juga satu karakter yang cuma numpang tinggal di tempat itu dan sesekali muncul di background untuk komedi singkat. Sampai sekarang aku masih bingung kenapa ada karakter itu, kepentingannya apa. Cuma, ya, maklum sih untuk bikin lucu aja haha..

Vibe dan tone pun masih basically mirip film pertama. Hanya tentu saja, yang namanya sekuel tentu pengen tampil lebih besar daripada film pertama. Apalagi cerita kali ini konteksnya tentang orang yang beriak tapi tak dalam. Maka panggung cerita dibikin lebih mentereng. Bangunan tempat mereka tinggal sangat mewah. Mulai dari mobil kinclong, glass onion raksasa, sampai lukisan Mona Lisa asli, dipajang oleh Miles. Kesan dilebih-lebihkan ini membuat film terasa semakin kocak. Dan menonton semua itu sambil menunggu kasus apa yang bakal terjadi, rasanya cukup fresh. Film ini masih belum bikin kita bosan meskipun tahun ini ada Bodies Bodies Bodies  (2022) yang juga cerita misteri pembunuhan dengan sindiran kelas sosial yang actually lebih solid dalam bercerita. Film Glass Onion begitu khawatir mengulangi rutintas cerita yang sama. Hal tersebut seems like a big no buat Johnson, sehingga dia mati-matian berusaha mencari cara yang unik untuk menampung misteri pembunuhan dan terutama sindiran kelas sosial. Johnson enggak sadar, dengan begitu dia justru terjebak dan sendirinya membuat sesuatu yang juga seperti glass onion yang ia simbolkan.

Indonesia mengenal pepatah air beriak tanda tak dalam untuk mengumpamakan orang yang gede omong doang tapi isi otaknya kosong. Orang barat gak kenal pepatah tersebut. Makanya film ini menggunakan simbol glass onion, ornamen mentereng dari kaca yang tampak begitu kompleks, namun semua orang yang melihat sebenarnya tahu benda itu kosong. Begitulah film ini mendeskripsikan milyuner teknologi seperti Miles. Bahwa semua kemewahan dan kecanggihan itu hanya ilusi, dan itu tidak terbatas kepada barang-barang. Karena film juga memperdengarkan itu lewat dialog. Miles menggunakan istilah-istilah ‘keren’ dalam speech-nya, padahal penggunaannya tidak tepat. Ironi lantas didatangkan dari dia yang merasa hebat sebagai disruptor, ternyata sendirinya segampang itu dihancurkan karena deep inside, dia gak punya pondasi apa-apa.

 

Glass Onion tidak bercerita dengan struktur tiga-babak tradisional. Pembunuhannya baru terjadi di mid-point cerita – seperti Death on the Nile (2022) – tapi Johnson tidak lantas melanjutkan ke sekuen tiga-babak berikutnya. Karena di ceritanya ini mid-point bukanlah point-of-no-return seperti pada struktur biasa. Melainkan, justru dijadikan point saat cerita mulai bergerak return ke awal. Sekuen ‘taktik baru’ film ini literally perspektif baru yang kita lihat pada Detektif Blanc, sebab di titik itu kita dibawa kembali saat dia masih di rumah, menerima undangan, dan ternyata dia sudah punya rencana tersendiri. Ternyata dia datang ke pulau itu tidak se-‘orang baru’ yang kita dan karakter lain sangka. Glass Onion seperti terbagi atas dua bagian. Sejam pertama kita masuk ke circle Miles bareng-bareng Blanc, kita sama-sama dengannya berusaha menyimak siapa orang-orang di sana. Lalu sejam kedua, kita hanya menonton Blanc, kita terlepas karena ternyata dia juga punya rahasia. Cerita Blanc kali ini bahkan bukan tentang dia mecahin kasus pembunuhan. Aku malah mendapat kesan Blanc ada di sana hanya untuk mencari bukti bahwa Miles memang salah dan dia memang pelaku pada malam itu. No aku salah. bahkan bukan Blanc yang menemukan buktinya. Dia cuma di sana untuk mengulur waktu dan karena dia dituliskan cerdas, saat mengulur waktu tersebut dia menemukan jawaban atas misteri pembunuhan.

Blanc doing nothing kayak impostor di game Among Us yang ia mainkan di awal

 

Aku mulai merasa aneh saat Blanc mengenyahkan gitu saja pertanyaan soal kenapa karakter korban itu mati, dengan jawaban untuk tahu itu harus diotopsi dulu. Like, maan, aneh banget seorang detektif tapi kayak gak mikirin lebih lanjut ketika ada orang yang mati kayak kecekek setelah minum, di antara kelompok orang yang ia tahu punya motif untuk saling menyakiti. Ini kalo cerita Detektif Conan, si Conan pasti langsung ngendus-ngendus korban, gelas; meriksa apapun yang bisa jadi identifikasi untuk racun. Nyelediki di mana, dari mana, dan kapan naro racunnya. Soalnya kan bahaya kalo itu memang racun dan korbannya salah-incar. Apalagi kalo ternyata itu racun yang belum ia tahu. Fokusnya pasti mencari tahu senjata pembunuhannya apa, Tapi Benoit Blanc gak peduli semua itu. Naskah memang punya alasan untuk membuat Blanc tidak ‘tertarik’ soal tersebut, namun itu juga lantas membuat Blanc terlihat seperti detektif yang kurang cakap. Kalo dia langsung nyeledikin, pastilah senjata pembunuh yang ternyata sepele itu langsung ketahuan dan pembunuhan lain dan kejadian-kejadian berikutnya tidak perlu terjadi. Film bisa langsung masuk ke babak tiga, dan tamat. Maka dari itulah, aku nyadar; bukan Blanc-nya yang gak cakap. Blanc jadi tampil sembrono kayak gitu karena naskahnya lah yang masih anak bawang dalam menggarap misteri sekaligus sindiran. Naskah yang tidak lagi benar-benar peduli sama misteri, melainkan cuma pengen masukin sindiran ke milyuner saja.

Struktur berlapis kayak bawang yang dilakukan Johnson tadi sebenarnya dilakukan untuk menutupi kelemahan cerita pembunuhan. Like I said, kalo dalam situasi normal, detektif seperti Blanc akan bisa menebak apa yang terjadi di ruang TKP itu. Cerita ini tidak punya puncak dalam misteri pembunuhannya. Konflik dan misterinya justru pada siapa sebenarnya si Andi. Itulah yang diusahakan untuk terceritakan secara dramatis oleh struktur cerita film ini. Apakah dia berhasil untuk itu? Aku bilang, untuk ngasih kejutan-kejutan dan bikin kita tetap melek; ya berhasil. Tapi struktur begini tidak ngasih apa-apa untuk development karakter. Blanc tidak mengalami pembelajaran apa-apa (bandingkan dengan Poirot di Death on the Nile yang sambil mecahin kasus, dia juga makin mengerti bahwa cinta membuat orang rela melakukan apa saja). Blanc mengaku dia payah dalam ‘dumb game’, dan sampai akhir dia tetap payah, karena tidak memecahkan kasus sedari pertama. Yang dilakukan Blanc di sini seperti kebalikan dari detektif lain. Blanc menebak cara membunuhnya, dari pelaku yang sudah ia curigai sebelumnya. Bukan dari menyelidiki kasus lalu menyimpulkan pelaku.  Miles juga tidak kelihatan sadar kesalahan. Karakter lain tetap seperti mereka di awal, begitu tidak bisa berlindung di balik orang, mereka ninggalin orang itu. Dan Andi, well, she’s got her revenge. That’s all. Jadi ya, setelah layer-layer dan gaya bercerita wah-wah dan sindiran untuk milyuner tersebut, film ini benar-benar kosong juga ternyata di tengahnya bagi para karakter.

 

 




Bukti satu lagi film ini tidak care sama misterinya adalah kita juga dibuat bisa langsung tahu kalo pelakunya adalah Miles. Film dengan berani memperlihatkan momen-momen penting pembunuhan. Penonton yang terbiasa menatap layar dengan total, gak perlu jeli-jeli amat, akan langsung bisa melihat keterangan Miles itu gak sesuai kenyataan. Terlebih film ini tayangnya bukan di bioskop, jadi adegan-adegan tersebut langsung bisa dikonfirmasi ulang. So in the end, jika misteri tersebut sedari awal tidak pernah diniatkan sebagai misteri, yang ditonton pada film ini sebenarnya cuma sindiran buat orang-orang kayak Miles saja. Sindiran yang dilakukan cuma dengan gaya. Tanpa development karakter manapun – sebanyak itu karakternya padahal. Detektifnya aja tak lagi tampak demikian hebat selesai film ini. Tampaknya film ini melakukan itu awalnya karena tidak mau misteri pembunuhan yang itu-itu melulu. Tapi mereka tidak memperhitungkan, bahwa film tentang sindiran kelas sosial pun sudah banyak yang melakukan. Like, Triangle of Sadness (2022) melakukan sindiran kepada orang kaya lebih baik dan kocak karena ada development dan meskipun tajam tapi gak lupa untuk diseimbangkan. Bodies Bodies Bodies melakukan gubahan misteri dengan lebih solid, juga dengan pesan sosial yang tak kalah kocaknya. So yea, film ini meluangkan banyak untuk gaya, mengorbankan karakter dan bahkan genre awalnya sendiri. tapi gak benar-benar mencapai hal baru. Just another smart-entertainment selama dua jam saja.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for GLASS ONION: A KNIVES OUT MYSTERY

 

 




That’s all we have for now.

Kenapa sih orang kayak Miles terbukti bisa lebih sukses daripada yang beneran punya keahlian? Apakah dunia memang lebih menghargai penampil daripada pemikir?

Share pendapat kalian di comments yaa

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 



CEK TOKO SEBELAH 2 Review

 

“Never be ashamed of where you came from; Who your family is.”

 

 

Masih ingat Erwin yang menolak diwarisi toko kelontong oleh ayahnya, karena pengen berkarir di Singapura? Begini keadaannya sekarang; Erwin terduduk galau. Dia mendapat ultimatum keras dari ibu calon mertua. Kalo cinta dan masih mau menikahi Natalie, Erwin harus merelakan untuk tidak mengambil kerjaan di Singapur. Harus tetap stay di Indonesia. Tapi itu juga akan berarti dia telah membuat ayahnya – yang sudah merelakan toko keluarga demi mendahulukan anak-anaknya – kecewa. Ernest Prakasa menempatkan karakter yang ia perankan  dalam posisi yang sulit, sebagai kait emosi dalam sekuel Cek Toko Sebelah. Tanpa kehilangan warna komedi yang menghiasi latar dan karakter-karakternya, drama keluarga Tionghoa ini ternyata masih berlanjut, dengan permasalahan ‘permintaan orangtua’ yang lebih berat. Sampai bawa-bawa soal gender dan kelas sosial segala, saat keluarga Erwin yang sederhana ditemukan dengan tuntutan keluarga Natalie yang dikepalai oleh ibu yang powerful nan kaya raya.

Dari CTS jadi CRS; Crazy Rich Sebelah

 

Sementara Erwin bergulat dengan permintaan ibu Natalie, Yohan dan istrinya yang galak, Ayu (Dion Wiyoko dan Adinia Wirasti reprised their role, dengan penambahan muatan drama) harus berhadapan dengan permintaan baru dari ayah mereka. Koh Afuk meminta anak sulungnya itu untuk segera punya momongan. Agaknya, Koh Afuk yang sudah pensiun dari ngurusin toko itu merasa kesepian. Pengen main-main ama cucu. Masalahnya adalah, Ayu belum siap untuk punya anak. Sehingga ini memancing tensi di antara keluarga mereka. Apalagi ketika Koh Afuk dengan sengaja ngide supaya temannya menitipkan anak kepada Yohan dan Ayu. Kehadiran Amanda dan kameranya (Widuri Puteri, penampilan singkat dan berkesan) diharapkan ngasih perubahan suasana di rumah Yohan dan Ayu. Buatku, permasalahan keluarga Yohan terasa lebih menohok. Perspektif Ayu yang ditonjolkan di persoalan gak mau punya anak ini ngasih muatan emosional yang kuat terhadap tema yang menjadi benang merah keseluruhan cerita Cek Toko Sebelah 2. Yakni tentang tidak malu terhadap keluarga sendiri. Jika pada cerita Erwin, permasalahan tersebut tercermin secara gamblang; di hadapan ibu camer yang kaya, Erwin terdesak dan terpaksa bohong mengenai ayahnya yang kini pensiunan yang gak ada kerjaan dan mengenai abangnya yang pernah berurusan dengan substance terlarang, maka pada Ayu hal tersebut tercermin jadi suatu sudut pandang di level yang berbeda. Karena keluarga Ayu got real dark, dan ini scarred her for life.

Kita tidak bisa memilih di mana dan dari siapa kita lahir. Beberapa orang terlahir berkecukupan, sementara beberapa lagi lahir dalam kekurangan. Beberapa lahir dalam keluarga yang menyayangi, beberapa lahir basically sama saja kayak tanpa sosok orangtua. Tapi alih-alih malu, akar tersebut sebaiknya dijadikan pijakan untuk menjadi orang yang lebih baik. Seperti orangtua kita yang punya alasan tersendiri, kita juga mestinya punya alasan untuk jadi lebih baik. 

 

Memang, seperti film pertamanya, Cek Toko Sebelah 2 juga dikembangkan dengan multi-perspektif. Erwin, Koh Afuk, dan karakter lain punya cerita atau masalah sendiri. Tentu saja ini membuka ruang yang luas untuk eksplorasi karakter tersebut. Membuat mereka punya momen masing-masing, baik itu yang ringan maupun yang emosional. Kayak, kita jadi bisa melihat gimana hubungan Erwin dan Natalie yang sweet dan lucu terjalin. Karakter Natalie sudah ada sejak film pertama, namun baru di film ini personalitynya diperlihatkan mendalam. Dan Laura Basuki adalah pilihan yang lebih dari cukup, as in, Laura Basuki bener-bener menghidupkan karakter ini, jadi natural, berkat range aktingnya. Natalie di sini bisa menimpali awkwardnya Erwin dengan berbagai feeling, bisa unyu kayak anak remaja, bisa juga serius kayak orang dewasa pacaran beneran. Chew Kinwah juga mampu membawa Koh Afuk tetap dinamis, meskipun di film kali ini perannya cukup ‘berkurang’, dalam artian screen time maupun ya, literally gak banyak banget yang dilakukannya di sini selain gelisah Yohan belum punya anak dan Erwin bohong mengenai dirinya. But when he did, impact emosionalnya bakal gak kalah gede.

Dari semua karakter, yang mau aku khususkan di sini adalah antagonisnya. Si Ibu calon mertua,  yang diperankan oleh Maya Hasan. Penulisan karakternya keren. Antagonis sebenarnya tidak bisa begitu saja disederhakan sebagai penjahat. Antagonis lebih tepatnya adalah lawan dari protagonis; orang yang menjadi rintangan dari karakter utama cerita. Dan dalam cerita yang bagus protagonis versus antagonis bukanlah soal benar lawan salah, baik lawan jahat. Melainkan soal perbedaan prinsip, standpoint. Belief.  Antagonis yang hebat membuat kita mengerti standpointnya. Membuat kita paham dia bisa berpikir seperti itu darimana. Dengan kita paham si antagonis, maka otomatis kita jadi mengerti betapa dia jadi sebenarnya rintangan buat protagonis. Jadi hambatan yang bakal memaksa protagonis untuk berubah, memikirkan ulang pilihannya. Nah si mama Natalie ini persis demikian. Kita bisa melihat dia nyusahin Erwin dengan syarat-syarat dan campur tangan di segala urusan, tapi kita juga tahu dia ada benarnya. Omongan si tante soal keadilan dan tindakannya setelah tahu Erwin bohong, kita tidak melihat itu sebagai tindakan seorang yang jahat, walaupun kita tahu dia bakal bikin ‘hero’ kita sengsara. Aku memang lantas teringat sama ibu mertua di Crazy Rich Asians (2018). Sosok matriarkal yang sama powerfulnya. ‘Kebenciannya’ terhadap Rachel yang ia sangka gold-digger, terus mendorong si protagonis untuk menunjukkan bahwa ia orang yang tepat untuk anak si ibu. Membuat protagonis mengembangkan diri. Dan puncaknya adalah adegan mahyong yang menyabet Best Movie Scene di My Dirt Sheet Awards 8Mile (2018). Point is, dinamika antagonis dan protagonis membuat narasi jadi ada gonjang-ganjing sampai akhirnya punya konklusi yang terasa earned bagi semua orang. Saat journey mereka berakhir dan mereka melihat dengan lebih baik sekarang. Cek Toko Sebelah 2 harusnya bisa mencapai ketinggian emosi yang sama. Atau mungkin malah lebih, mengingat ada lebih banyak karakter dan masalah.

Erwin masih beruntung, seenggaknya calon mertuanya gak kayak mertua di Bajaj Bajuri hihihi

 

Aku terus menunggu ‘adegan mahyong’ versi Cek Toko Sebelah 2. Menunggu momen Erwin menunjukkan perkembangan, dan stand up for himself. Owning semua kesalahan sekaligus memperlihatkan dia sudah jadi orang yang lebih baik. yang paling pantas untuk Natalie. Dan adalah salah si ibu untuk tidak melihat semua itu. Tapi yang actually kita dapatkan adalah Erwin balik badan dan ‘kabur’ dari si ibu. Momen pembelajaran ternyata ada pada karakter si Ibu dan Koh Afuk. Dua orangtua yang tadinya meminta suatu hal. Kan jadi lucu. Film ini dibuka oleh sekuen dua anak muda yang bertemu lalu jadian , tapi resolve masalah di akhir adalah karakter lain. Like, kalo pembelajarannya memang pada orangtua, maka cara atau struktur bercerita film ini enggak sesuai dengan tujuan tersebut. Sebab dengan membuatnya seperti begini, justru yang tertampilkan adalah karakter utama kita – si Erwin – dan pasangannya – enggak ada problem. Enggak ada pembelajaran. Erwin ninggalin semua orang aja bisa beres dengan gampang.

Multi-stori atau multi-perspektif dituliskan oleh Ernest dengan lebih baik pada film Cek Toko Sebelah yang pertama. Di film itu ketiga karakter sentral selain punya masalah, tapi juga punya development masing-masing. Mereka diberikan stake masing-masing. Karir, cinta, dan warisan. Pada saat penyelesaian, ketiganya terasa ‘ngelingker’, terasa telah menjadi pribadi yang lebih baik ketimbang saat di awal cerita. Sedangkan pada film sekuelnya ini, terasa kayak dibagi-bagi. Yang punya stake adalah Erwin. Yang punya development atau perubahan adalah Ayu dan Ibu Natalie. Yang resolve semuanya Koh Afuk. Ini juga membuat keseluruhan narasi seperti terkotak-kotak episode. Oh awalnya episode kenalan Erwin ama Natalie. Terus pindah dulu ke episode Yohan dan Ayu mengasuh Amanda. Terus ke episode pernikahan. Tiap episode punya puncak dan penyelesaian sendiri. Enggak mengalir bareng-bareng.

Soal jokesnya, aku gak mau bilang banyak. Yang jelas gaya joke khas film-film Ernest tetap dipertahankan. For better and worse. Better, karena sekarang sudah lebih mulus masuk ke narasi utama. Worse, karena beberapa adegan lucu-lucuan tersebut not really add anything to the story. Misalnya kayak candaan soal pikun di sepuluh menit pertama film. Candaan yang sangat elaborate. Perlu diingat, sepuluh menit pertama krusial bagi film karena di periode itu film bakal mati-matian ngeset tone, stake, motivasi protagonis, serta tentang apa sih cerita mereka. Sehingga ketika ada candaan panjang yang membahas soal pikun, seolah film sedang mengeset permasalahan pikun sebagai yang bakal dihadapi oleh karakter. Tapi ternyata tidak. Pikun itu ternyata hanya sebatas candaan selewat, seperti banyak lagi nantinya candaan selewat yang menambah-nambah durasi. I mean, sungguh waktu yang aneh untuk memasukkan candaan, sementara sepuluh menit pertama mestinya digunakan untuk ngeset yang lebih penting. So yea, agak disayangkan penulisan film ini agak menurun dibanding yang pertama. Padahal secara penceritaannya sendiri, Ernest banyak menggunakan teknik-teknik baru. Seperti main di editing seperti jump cut, juga main di kontras warna seperti memberikan warna yang lebih kinclong saat di adegan-adegan orang kaya dan lebih oren saat di adegan lebih sederhana.

 




Setelah Teka-Teki Tika (2021) yang kayak api kebakaran hutan alias naskahnya merambat ke mana-mana, jadi besar secara liar, Ernest Prakasa slowly bangkit dan kembali ke yang bikin dia bercokol di perpetaan film tanah air pada awalnya. Yaitu cerita keluarga yang grounded. Dengan warna yang memberikan identitas kepada karakter dan dunia ceritanya. Sekuel ini berhasil menyambungkan cerita, mengekspansi karakter-karakter yang sudah dikenal lewat permasalahan baru. Multi-storinya membuat dunia cerita menjadi lebih kaya, memuat karakter lebih banyak dan lebih kuat personality. It has moments, hanya saja struktur berceritanya sedikit penurunan dibandingkan film pertama yang lebih ngalir. Film kedua ini dibentuk dengan lebih episodik, dan dibagi-bagi. Karakter antagonisnya dituliskan kuat, tapi protagonisnya tidak diberikan hal yang sama. Yaah, mungkin itu ‘sebelah’ yang dimaksud film ini. Pembangunannya sebelah-sebelah hihi
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for CEK TOKO SEBELAH 2

 

 




That’s all we have for now.

Bagaimana menurut kalian soal cowok yang actually punya penghasilan di bawah ceweknya, kayak Erwin dan Natalie?

Share pendapat kalian di comments yaa

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



AVATAR: THE WAY OF WATER Review

 

“Anywhere you go the problems will go with you”

 

 

Karanglah cerita setinggi langit, lalu daratkan ia dengan permasalahan realita. Itu memang bukan peribahasa, melainkan karanganku saja. Kenapa aku tega niru-niruin pepatah? Karena aku masih dalam pengaruh semangat James Cameron yang bikin film luar biasa mentereng dan jauhnya, tapi dengan permasalahan yang merakyat. Yang kita semua bisa mengerti bisa terjadi kepada kita. Semua film memang harusnya begini. Permasalahan yang kita bisa relate, tapi diceritakan dalam panggung yang seliar-liarnya.  Dua film Avatar adalah bukti James Cameron paham soal ini.  Dia telah menciptakan dunia nun jauh di sana, dengan makhluk-makhluk, ekosistem, aturan-aturan, hingga mumbo jumbo fiksi ilmiah dan spiritual lainnya tanpa menjadikan semua itu ribet. Inti ceritanya tetap membumi. Di  sisi lain, ceritanya boleh saja mirip dengan film lain yang kita ingat, namun karena pembangunan dunianya luar biasa, film tersebut lantas jadi beda. Pada Avatar pertama (aku actually nonton untuk pertama kali pada malam sebelum ke bioskop nonton sekuel ini) Cameron bicara urusan sesimpel menjaga hutan di balik perkara penjajahan dan tembak-menembak. Film kedua kali ini, cerita bahkan lebih dekat lagi. Kali ini urusannya adalah urusan keluarga. Bagaimana menjadi orangtua yang baik terhadap anak-anak.

Dulunya manusia, kini Jake Sully sudah tenteram hidup bersama bangsanya baru. Bangsa Na’vi bertubuh biru yang menghuni pedalaman hutan bulan Pandora. Anak Jake ada tiga, plus satu anak angkat, dan satu lagi anak manusia yang selalu bermain bersama. Keluarga yang besar berarti tanggungjawab yang juga besar. Ini membuat Jake jadi kepala keluarga yang sedikit kaku. Ketika Sky People (alias militer dari Bumi) kembali ke Pandora, kali ini dengan tujuan utama membalas dendam kepada dirinya, Setelah reunian berbahaya dengan former enemy, Jake langsung tahu ia tidak bisa membiarkan keluarga tetap dalam bahaya. Tak ingin melukai siapapun, mantan tentara ini memaksa istri dan anak-anaknya untuk pindah. Kabur sebelum Kolonel Quaritch yang dihidupkan kembali dari klone memory – dan kini juga bertubuh Na’vi – menyerang rumah mereka. Jake mengira dengan pindah, berbaur tinggal dengan klan air di Selatan, keluarganya bisa aman. Tapi tentu saja, kepindahan itu tidak mudah bagi anak-anak dan istri Jake. And also, tindakan Jake bisa berarti sama dengan ia menggiring musuh untuk membahayakan Na’vi-Na’vi air dan makhluk sekitarnya yang tak berdosa.

Jagalah laut dan jangan lupa hormat sama makhluk hidup di sekitarnya

 

Durasi yang sampai tiga jam lebih berusaha dimanfaatkan film ini untuk menggali banyak perspektif. Oh man, film ini punya banyak sekali perspektif. Kita gak hanya ngikutin Jake seorang. Kita juga diperlihatkan mulai dari masalah beberapa anak Jake, hingga ke persoalan personal klone kolonel Quaritch dan anaknya. Perspektif-perspektif tentu saja menambah layer dan bikin kita makin termasuk ke dalam dunia cerita. Karena dengan begini, film semakin nunjukin betapa hidupnya dunia mereka. Karakter-karakter di sana beneran punya sesuatu. Tidak sekadar ‘serang dan bertahan’. Dari putra tengah Jake, si Lo’ak kita melihat cerita anak yang berusaha memenuhi ekspektasi ayah untuk menjadi pejuang yang sama dengan abangnya. Cerita si Tengah yang selalu dibandingkan, padahal dia punya kelebihan lain dan so desperate untuk memperlihatkan siapa dirinya itu kepada orangtua. Lo’ak akan sering memisahkan diri, dia nanti akan punya sahabat-hewan tersendiri – yang sama-sama terkucil dari kelompok. Persahabatan Lo’ak dengan hewan kayak paus berbaju zirah itu actually jadi salah satu relasi yang heartwarming yang dipunya oleh film ini. Sehubungan soal misahin diri, kita juga diperlihatkan cerita Kiri, anak angkat keluarga Jake, yang merasa berbeda dari yang lain. Kiri punya origin dan kekuatan yang sama-sama misterius.

Dan satu lagi yang menarik adalah tentang Spider. Bocah manusia di antara keluarga mereka. Yang actually dipanggil monkey boy, karena dia memang kayak tarzan di sana. Spider sebenarnya adalah anak dari Kolonel – antagonis film pertama yang telah tewas, dan di film ini klonenya hidup kembali dan jadi musuh utama juga. Sehingga si Spider sebagian besar waktu akan berada di state yang bimbang dia sebenarnya harus apa, harus ada di pihak siapa. Koneksi antara Spider yang di lubuk hati pengen punya seorang bapak tapi bapaknya dia tahu adalah orang jahat, ketemu dengan si jahat yang punya reputasi to uphold (juga dendam yang harus dibayar tuntas kepada Jake dan keluarga birunya) sementara di lubuk hati dia pengen nunjukin sayang sama anaknya, sesungguhnya betul-betul menarik. Film ini sebetulnya kayak berada di dalam sebuah tambang emas emosional. Mestinya bisa kaya sekali oleh perasaan, Spider dengan ayahnya ini toh juga paralel dengan Jake dengan anak-anaknya. Bagi para orangtua itu, ini adalah soal “melihat” anak mereka. Ini adalah persoalan yang sama dengan yang dibicarakan oleh Pinokio versi Guillermo del Toro (2022), dan lihat gimana film tersebut mencapai ketinggian emosional  dengan benar-benar menggali relasi emosional tersebut. Level ketinggian emosional yang sayangnya tidak bisa dicapai oleh Avatar 2. Karena Cameron hanya membuka perspektif tapi tidak sedemikian dalam membahas masing-masingnya. Avatar 2 tetap dibiarkan simpel, dan sebagian besar hook emosional berusaha dihadirkan lewat cara lain. Yaitu lewat pengalaman visual.

Memang, kalo bicara soal visualnya, Cameron benar-benar menyuguhkan penampakan yang bikin kita berlinang air mata saking bagusnya. Atau kayak temenku, yang katanya matanya berair karena keberatan makek 3D dan kacamata beneran hahaha.. Intinya, semua dikerahkan Cameron supaya visual film ini maksimal. Shot-shot di bawah air semuanya tampak genuine. Cakep banget. Makhluk-makhluk fantastis itu juga kayak beneran hidup. Ini punya kepentingan khusus pada narasi, karena makhluk-makhluk itu diceritakan bakal berkomunikasi dengan karakter kita. Bahwa mereka adalah bagian dari planet dan masalah yang menimpa (thanks for the human) dalam cara yang lebih grande, lebih spiritualis ketimbang gimana kita melestarikan alam di dunia nyata kita. Makanya bagi film ini adegan-adegan seperti Lo’ak berenang bareng Tulkun (udah kayak menari!), Tuk dan Kiri eksplorasi laut, lebih penting untuk difungsikan sebagai penghantar emosi. Film ini lebih jor-joran menggali Tulkun melawan manusia, lebih menggali arc si manusia yang menganggap remeh mereka, ketimbang karakter lain, misalnya Spider yang malah tampak sengaja gak beneran dibahas dulu untuk hook ke film ketiga. Aku ngakak dan ngecheer melihat si paus armor ngadalin si manusia. Aku juga terhanyut sama pemandangan dan pembangunan dunianya. Tapi gimana pun juga, prioritas utama kita nonton kan cerita. Journey karakter. Ketika film berdurasi panjang, bioskop ber-AC dingin, sehingga bikin kebelet dan harus ngatur strategi kapan ke WC, aku tentu saja memilih untuk ‘break’ saat showcase visual ketimbang harus melewatkan adegan-adegan ngobrol. What I’m trying to say is, kemegahan visual enggak akan berarti banyak kalo ujung-ujungnya cuma jadi bathroom break lantaran adegan itunyalah yang terlalu extend dilakukan oleh film. Jadi, ya, menurutku film ini harusnya bisa mengatur waktu lebih erat lagi, karena ada begitu banyak spot indah dibanding adegan yang actually membahas konflik personal karakter. Like, berenang ama Tulkun aja muncul beberapa kali. Mestinya bisa bercerita dengan memanfaatkan waktu dengan lebih efektif lagi.

Pendapatku masih sama dengan pas nonton film pertama; Nih film kalo dijadiin game SNES pasti seru deh!

 

Film yang pertama, dengan bahasan yang lebih sempit, terasa lebih terarah. Pemanfaatan waktunya terasa pas. Babak set upnya saja sudah bikin aku kagum karena betapa efektifnya film tersebut menyampaikan eksposisi dan informasi. Tidak pernah terasa sumpek dan lambat, melainkan dilakukan dengan cepat dan tepat guna. Kita langsung mengerti rules dan konflik karakter dan segala macamnya. Sehingga ketika film itu masuk ke bagian yang total action, emosi itu semuanya tinggal mengalir dari bendungan build up yang telah tersusun rapi. Film kedua ini, tidak terasa begitu. Babak set upnya boring sekali (dan perlu diingat ini film tiga-jam, sehingga set up di sini berarti sekitar satu jam-an). Avatar 2 praktisnya persis dengan yang dikatakan Kolonel saat pep talk; using the same song. Lagu lama, digunakan untuk membangun masalah. Manusia yang datang untuk menjajah. Kolonel yang mau ngasih hukuman ke Jake, si manusia yang membelot ke pribumi. Cuma masalah lama (aku juga gak bilang aku suka sama pengulangan villain, dengan alasan teknologi klon memori blablabla) dengan cara yang sedikit dibedain. Penjelasannya, ditambah dengan pengenalan singkat keluarga Jake, terasa tumpang tindih. Film ini baru benar-benar menarik dan terasa beda saat Jake sudah pindah ke klan atau suku air. Ketika environment jadi baru. I wish film menemukan cara yang lebih baik lagi untuk menceritakan Jake harus pindah dan sebagainya, karena alasan Jake di sini pun sebenarnya sudah ada pada film pertama. Dia nyuruh pindah dan nyelametin diri, tapi istri dan na’vi hutan lain gak ada yang mau. Jadi basically, arc si Jake gak banyak beda ama film pertama.

Enggak ada orang yang jadi damai dengan kabur dari masalah. Tenangnya cuma sebentar, masalah itu pasti akhirnya akan menyusul. Masalah tidak akan hilang sebelum dihadapi, dan justru akan bisa semakin bertambah besar jika diabaikan. Karena problem sesungguhnya berasal juga dari dalam. Jake yang memutuskan membawa keluarganya lari supaya selamat, pada akhirnya membawa masalahnya itu kepada orang lain. Keselamatan keluarga semakin nyata terancam. 

 

Dan kalo dipikir-pikir lagi, bahkan konflik karakter lain tadi juga mirip kayak yang pernah dialami Jake di film pertama. Spider yang seperti berpindah-pindah, kadang dia mihak ke ayahnya, lalu next time dia ikut sepupu-sepupu angkatnya lagi; ini kayak Jake di film pertama berada pada titik dia bimbang mau menyelesaikan misi militer atau berpihak kepada bangsa Na’vi. Lo’ak yang menyendiri sama kayak Jake yang akhirnya jadi tidak diakui oleh dua pihak, dikucilkan oleh manusia dan juga Na’vi yang merasa dikhianati. Memang, sebenarnya film kedua ini punya beat-beat yang sama dengan film pertama. Hanya pelakunya saja yang dibikin beda-beda. Hanya tempat dan lingkungan saja yang bikin terasa fresh. Kali ini di air, dengan makhluk-makhluk air. Anak-anak Jake yang harus belajar berada di lingkungan itu sama saja kayak Jake di film pertama yang belajar bagaimana hidup bersama bangsa Na’vi di hutan. Di antara soal itu, dengan konflik karakter yang tidak dibahas mendalam either karena pengen tetap simpel ataupun karena disimpan untuk sekuel, film ini jadi kurang menggigit. Yang memuaskan di film ini jadinya cuma bagian aksi di akhir, yang sukurnya memang dibuat jor-joran dan epik.

 




Sebagai hiburan tentu saja film kedua ini punya nilai lebih. Dengan banyak karakter dan personality, cerita jadi lebih hidup. Lebih enak juga untuk ditonton bersama seluruh keluarga (meskipun ada beberapa adegan aksi yang terlalu intens untuk anak kecil). Dari segi cerita film ini ringan, dan sedikit terlalu simpel. Sampai ke titik film ini terasa kayak hanya punya visual sebagai senjata utama. Galian konfliknya kurang, padahal ada banyak perspektif. Cerita juga tidak banyak bergerak, sampai saat karakter sudah pindah ke dunia baru. Lalu baru di satu jam terakhir, di porsi aksilah, film jadi benar-benar hiburan untuk ditonton, karena sudah tidak ada lagi waktu untuk mereka berusaha memasukkan narasi-narasi simpel mengisi durasi. Dibandingkan dengan film pertama, menurutku film ini tidak lebih baik. Waktunya tidak termanfaatkan efektif. Bukannya terasa lama, tapi tidak efekti dari segi muatan cerita. Lebih fun, sih iya, tapi fun yang lebih kurang mengalir.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for AVATAR: THE WAY OF WATER

 




That’s all we have for now.

Apakah menurut kalian tiga jam adalah waktu yang lama untuk sebuah film yang sesimpel ini? Atau justru sebaliknya?

Share pendapat kalian di comments yaa

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



KERAMAT 2: CARUBAN LARANG Review

 

“Culture is the arts elevated to a set of beliefs.”

 

 

Yang keramat dari genre mockumentary (dokumenter ala-ala, yang sering ditampilkan dengan gaya found footage) adalah kesan otentiknya. Dalam artian, penting bagi genre ini untuk menjaga ilusi bahwa mereka adalah ‘dokumenter-asli’ meskipun kita semua tahu yang di layar itu cuma film yang bentuknya saja yang seperti dokumenter, sementara ceritanya adalah fiksi dan sebagian besarnya merupakan parodi dari bentuk-bentuk dokumenter yang ada. Untuk menjaga kesakralan ilusi otentik tersebut, maka biasanya mokumenter menggunakan gimmick-gimmick, mulai dari teknis seperti kamera handheld yang goyang-goyang, hidden cam, adegan-adegan interview, dan estetik kamera jadul – atau at least grainy supaya kesan raw footagenya dapet.  Beberapa bahkan sengaja dibuat dengan skrip minimalis (hanya poin-poin, sementara pemeran bebas improvisasi dialog, dan sebagainya). Hingga gimmick di luar teknis pembuatan, seperti pemasaran yang menyatakan filmnya adalah kisah nyata. Dan oh boy, betapa di horor, mokumenter dapat jadi storytelling yang begitu efektif. Film found footage The Blair Witch Project di tahun 1999 bisa sangat fenomenal – orang pada nyangka itu kejadian horor beneran – karena terbantu oleh mokumenter Curse of the Blair Witch yang ditayangkan di televisi sono beberapa minggu sebelumnya. Sementara di skena film lokal, Keramat – found footage tentang dokumentasi kru film – jadi sensasi di tahun 2009. Sukses membuat penonton yang belum kenal hiruk pikuk internet terheran-heran apakah itu kejadian yang beneran dialami oleh Poppy Sovia dkk saat syuting film.

Jadi, ya, memang yang harus digarisbawahi adalah kesan otentik – yang kini, bisa dibilang semakin ‘susah’ untuk dicapai. Pertama, karena people sekarang bisa lebih cepat tahu dan dapat informasi apapun dari internet. Ini terjadi juga di dunia pro-wrestling. Kayfabe is dead. Ilusi gimmick semacam Kane adalah adik dari Undertaker gak bakal laku dipakai di jaman sekarang karena orang-orang bisa nyari sendiri info siapa sebenarnya dua pegulat itu di real life. Dan kedua, karena seperti yang sudah sering kukeluhkan dalam review-review film mokumenter ataupun found footage sebelum ini; jaman sekarang orang bikin video YouTube saja sudah canggih semua. Grainy video sudah ditinggalkan, semua bisa dengan mudah ditouch up pake efek, sehingga bahkan video asli pun bisa dicurigai settingan saking semuanya overedit. Makanya buatku menarik, kini, setelah tiga-belas tahun, Monty Tiwa membuat sekuel dari Keramat. Tentu dengan gimmick dan estetik mokumenter yang disesuaikan dengan keadaan sekarang – keadaan di mana kesan otentik itu tampak tidak lagi begitu ajaib. Apakah film Keramat 2 ini bakal bisa jadi sensasi seperti pendahulunya? Trik apa yang akan mereka gunakan supaya bikin film ini terlihat ‘asli’? Atau mungkin, cerita seseram apa yang disajikan supaya kelemahan ilusi itu bisa teroverlook?

MKN di Langgar Penari

 

Ternyata setelah ditonton, tidak ada satupun kutemukan jawaban pertanyaan-pertanyaan tersebut yang benar-benar memuaskan buatku.

Dari segi cerita, sebenarnya Keramat 2 dimulai dengan cukup menjanjikan. Set up karakternya ada, kenapa mereka harus ada di sana, backstory tugas akhir  dan persahabatan yang melandaskan stake para karakter di sini clearly terbangun lebih solid daripada film yang karakternya lagi KKN itu. Keramat 2 berkisah tentang Umay Shahab dan dua teman YouTubernya; Ajil Ditto dan Keanu pengen membantu mendokumentasikan tugas akhir kelompok tari gebetannya si Umay. Jadi pergilah mereka bersama Arla, Jojo, dan Maura ke Cirebon, ke sanggar tari Caruban Larang yang ternyata sudah lama kosong. Di sana, mereka membuka peti terlarang, dan menemukan soal The Lost Dance. Tarian yang sudah lama hilang (beserta penari-penarinya) semenjak jaman penjajahan Jepang. Saat meriset itulah mereka semua bersinggungan dengan dunia mistis. Dan seperti pada film pertama, anak-anak muda ini harus masuk ke dalam dunia gaib demi mencari teman mereka yang hilang. Selain itu juga ada substory tentang tim YouTuber Keanu, yang pecah karena Lutesha si cenayang memisahkan diri sehingga Keanu dan Ajil – yang gak punya kemampuan mistis – harus bikin channel horor yang baru  (MKN) sebisa mereka, yakni dengan bumbu komedi. Misteri kenapa Lutesha cabut nanti akan mengikat kepada masalah Lost Dance yang mereka semua harus hadapi.

Bicara tentang seni tari yang hilang, dari Keramat 2 sebenarnya kita bisa memetik pesan soal melestarikan seni. Heck, hantu di film ini aja kayak lebih aware soal itu dengan meminta tari mereka ditonton supaya bisa diturunkan ke manusia. Memang agak miris sih, ketika tarian – seni aktualnya justru hilang sementara ritual seputarnya tetap ada dan lestari menjadi pantangan-pantangan sakral (yang aneh dan kayak takhayul) yang tidak boleh dilanggar.

 

Benar-benar terlihat seperti set up cerita horor yang mumpuni. Semua karakter punya masalah, ada drama. Elemen mitologi dan investigasi mistis yang mampu membawa penonton ikutan nebak-nebak juga ada. Namun, kesemuanya itu ternyata tidak dikembangkan menjadi plot yang ‘bener’. Keramat 2 adalah tipe film yang menghabiskan paruh-paruh awal untuk setup dan untuk eksposisi, lalu tiga puluh menit terakhirnya hanya menampilkan karakter yang berlarian, berusaha mencari jalan keluar. Masing-masing karakter tidak punya progres journey yang personal. Pengalaman horor itu seperti tidak berarti apa-apa untuk growth mereka as a character, melainkan ya cuma untuk konten saja. Dan karena ini didesain dengan skrip yang gak ketat mengatur, maka dengan cepat karakter-karakter muda ini resort ke hal-hal yang annoying. Marah-marah, berantem, teriak-teriak. Keluar kata-kata makian. Untuk mengisi durasi, kadang mereka juga melakukan hal horor yang konyol. Yang jelas, mereka seperti lebih enjoy bermain di elemen konyol ketimbang horor – saat mereka harus ‘berpura-pura’ ketakutan. Mitologi penari juga tidak dikembangkan lebih jauh dari sekadar apa yang terjadi pada para penari sebenarnya. Padahal kupikir film ini bisa menggali fantasi tarian dan ritual yang seperti pada mitologi game Fatal Frame, ternyata harapanku terlalu muluk. Dan misteri soal Lutesha, itu juga sama zonknya. Lutesha nanti datang gitu aja. Dan karakter ini sebagian besar jadi convenience ke dalam plot. Ngasih petunjuk ini itu, harus kemana, harus ngapain. Totally membunuh misteri dan eksplorasi dalam cerita.

The best part tetap adalah bagian ketika mereka udah masuk dunia lain. Tapi, yah, experience horor yang dihadirkan film ini tidak pernah sekuat film yang pertama, Yang karakter-karakter saat itu bener-bener gaktau harus ngapain, sehingga kita seperti ikut mereka ‘meraba-raba’ misteri. Dalam Keramat 2, kita cuma menonton mereka ngikutin kata Lutesha. Tidak ada elemen surprise, pengungkapan edan, dan sebagainya. Ada sih satu yang menggelitik, yang bikin penggemar Keramat bakal gembira karena memperdalam galian mistis dunia tersebut. Dan kupikir itu juga ide yang bagus, tapi aku gak akan bocorin di sini, kecuali satu hal. Yakni sebaiknya memang kita nonton Keramat original dulu sebelum nonton sekuelnya ini. Ngomongin soal Keramat pertama, memang film kedua ini memakai formula yang sama. Seperti memegang teguh tradisi, Keramat 2 mengikuti Keramat pertama nyaris beat per beat. Hanya saja seperti salah menduga. Karena seperti yang sudah kutulis di atas, Keramat pertama jadi sensasi bukan semata karena adegan lari-larian, atau kelompok yang berantem, atau bahkan misterinya dieksekusi dengan baik, tapi juga karena ilusi otentik. Film tersebut berhasil menguarkan kesan raw yang kuat. Sebaliknya Keramat 2, dengan tampilan mulus seperti video-video YouTube masa kini, dan dengan karakter yang lebih nyaman melucu ketimbang berhoror ria, jadi tampak seperti video settingan yang panjang banget.

Nabrak kucing hitam, buka peti, main jailangkung, mau berapa larangan lagi yang mereka langgar sebelum jera?

 

Penonton yang lebih muda mungkin gak akan mempermasalahkan. Aku boleh jadi terdengar kayak bapak-bapak tua yang ngomel lihat kelakuan anak muda. Mungkin, bagi penonton muda otentik itu datang dari betapa naturalnya para karakter berinteraksi antarsesama. Like, mungkin memang ‘hectic’ seperti itulah anak muda bersosialisasi sekarang. Bukan soal kamera yang terlalu poles dan bagus, karena toh memang seperti itulah tren sekarang.  Sehingga ya, film ini masih mungkin untuk menjadi sensasi di kalangan penonton muda. Walau bukan untuk hal yang sama dengan film pertamanya. Tapi bahkan jika itu benar, bahwa mungkin aku saja yang sudah terlalu tua untuk film kayak ini, tetap saja magic dari movie itu sendiri yang sebenarnya dipermasalahkan. Dan visual itu membantu kita masuk dan percaya. Kualitas gambar yang sederhana membantu kita percaya bahwa video yang kita lihat benar-benar direkam candid, tidak ada settingan. Nonton awal-awal Keramat 2, adegan-adegan tampak meragukan – beneran hantu yang mereka lihat atau mereka lagi ngerekam prank atau trik sebagai konten YouTube.

 




Dalam mokumenter seperti begini, gak cukup hanya dengan menggunakan real name para aktor. Apalagi jika kita tahu mereka di real life tidak melakukan hal yang mereka lakukan di film. Semua konsepnya harus didesain matang demi mencapai ilusi otentik.  Effort ke sanalah yang masih tampak minimal dilakukan oleh film ini. Konsep mokumenternya sebenarnya kurang kuat. Film ini tidak akan banyak beda pencapaiannya jika dibuat dengan konsep penceritaan yang biasa. POVnya tidak terasa urgen karena gagal untuk digunakan  ngasih gambar-gambar horor yang unik (pas adegan terjun aja, pov kameranya gak dimainin). Mitologinya tidak dibahas mendalam, sebatas apa yang terjadi saja. Tidak ada hooknya ke journey personal karakter. Film ini seperti film pertamanya, tapi tanpa magic dan ilusi yang bikin film tersebut jadi disukuri ada sekuelnya. Setelah ditonton, yah, film ini tidak semembekas itu. Untuk seru-seruan bareng teman, sih sepertinya masih bisa. Bagian di hutan goibnya tambah menarik dengan surprise from the past. Karakternya yang annoying dan gak ngapa-ngapain mungkin masih bisa beresonansi dengan anak muda dan pergaulan keseharian mereka. Karena otentik film ini sepertinya dimunculkan dari sana.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for KERAMAT 2: CARUBAN LARANG

 

 




That’s all we have for now.

Menurut kalian, apa sih yang menarik dari genre mokumenter?

Share  di comments yaa

 

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



PENGABDI SETAN 2: COMMUNION Review

 

“Poverty is the mother of crime”

 

 

Hidup bermasyarakat memang seharusnya memudahkan. Tinggal beramai-ramai, sehingga bisa saling bantu kalo ada kesusahan. Namun bagaimana kalo sekelompok orang yang tinggal berjejelan di satu tempat itu semuanya sama-sama susah?  Semuanya sama-sama gak punya duit, sama-sama berjuang demi masih bisa melihat mentari hari esok. Bagaimana jika – jika negara adalah ibu – mereka sama-sama orang yang motherless, dalam artian gak mendapat perhatian negara.  Potret rumah susun yang dihadirkan Joko Anwar dalam sekuel remake Pengabdi Setan buatannya membuat kita tersentak akan hal tersebut. Tampaknya itu juga sebabnya kenapa latar situasi politik Indonesia zaman petrus 80an dijadikan warna yang menghiasi latar cerita. Pengabdi Setan 2: Communion adalah cara Joko Anwar menggambarkan horornya kehidupan yang harus dijalani orang-orang yang terpinggirkan.

Rini beserta Bapak dan dua adiknya kini tinggal di rumah susun di Jakarta Utara. Bukan exactly tempat tinggal yang ideal. Rumah susun itu sangat sederhana, liftnya aja macet-macet (keseringan disesaki penghuni), pembuangan sampahnya sering mampet, banyak preman, plus terletak di lokasi rawan banjir. Tapi, seperti yang dibilang Bapak,  tempat itu rame. Jadi Rini berusaha untuk tenang. Empat tahun mereka tinggal di sana, dengan adik-adik, Toni dan Bondi, yang sudah gede, Rini bermaksud pergi mengejar pendidikan. Sayangnya, masih ada satu lagi ke’angker’an rusun yang ternyata dulunya pekuburan tersebut. Di hari yang harusnya jadi hari terakhir Rini di sana sebelum pergi kuliah, terjadi freak accident di lift yang menewaskan sejumlah penghuni. Malamnya, setelah yasinan untuk beberapa penghuni di hunian masing-masing, hujan deras dan banjir membuat rusun mati lampu. Mengisolasi Rini dan beberapa penghuni ke dalam gelap gulita dan hal-hal misterius. Rusun itu praktisnya berubah menjadi rumah hantu 14 lantai!

Let’s play a drinking game untuk setiap kali karakter film ini nyebut kata ‘rusun’

 

Well yea, kalo mau memandang film ini sebagai wahana rumah hantu, Pengabdi Setan Communion memang rumah hantu yang lebih seru dan lebih epic dibandingkan film pertamanya. Film kali ini lebih memantapkan diri sebagai pengalaman horor di tempat yang menyeramkan. Joko enggak tanggung-tanggung menargetkan untuk ini, karena film sekuel pertamanya ini ia hadirkan dalam teknologi IMAX. Sebuah terobosan dalam perfilman Indonesia, karena film ini actually adalah film lokal pertama, bahkan se-Asia Tenggara yang dibuat dengan teknologi audio visual super gelegar. Maka sebagian besar durasi akan diisi oleh adegan-adegan seram yang didesain untuk menunjang experience tersebut. Bagaimana pak sutradara melakukannya?

Joko bermain dengan ketakutan paling basic manusia; takut akan kegelapan. Ia dengan teganya membuat visual yang gelap. Pengcahayaan saat sudah di bagian cerita yang hantu-hantuan akan sangat minim. Entah itu hanya dari senter, api korek, ataupun kilatan sesaat dari petir yang menyambar dari luar gedung. Ini menghasilkan suasana horor yang begitu imersif. Aku bahkan gak berani noleh ke kiri-kanan; karena juga menonton di suasana gelap, kumerasa jadi ikut berada di bangunan itu bersama para karakter. Yang jelas, kegelapan itu membuat batas penglihatan yang natural untuk meletakkan penampakan-penampakan, nonton ini emosi kita diaduk antara takut, kesel karena gelap, sekaligus agak seneng juga karena at least hantu-hantu seram itu gak kelihatan semua (dasar penakut hihihi). Untuk soal membuat shot dan adegan menjadi superhoror, Joko Anwar memang jagonya. Dengan jam terbang dan referensi sebanyak yang ia miliki, adegan-adegan seram yang lebih grounded seperti orang masuk ke ruangan yang ada mayat berkafan di lantai, ataupun simply berjalan dalam gelap, jadi suguhan horor yang segar dan fun. Sedangkan untuk adegan-adegan seram yang lebih ‘fantasi’ dalam artian ketika menyelami ketakutan personal para karakter, film ini melakukan dengan agak sedikit in the face. Misalnya pada adegan karakter yang diganggu saat shalat. Like, Joko kayak ngambil referensi dari horor lain, dan membuat versinya sendiri, kayak mau bilang ‘beginilah horor itu seharusnya dilakukan!’ Explorasi ‘rumah hantu’ yang dilakukan film ini memang sangat luas.

Film ini butuh ritme yang lebih baik untuk mengakomodir itu semua. These scares were great, tapi jor-joran terus akan bikin penonton ‘capek’ dan tidak lagi melihat semuanya sebagai perjalanan horor. Melainkan ya, sebagai wahana yang sudah diantisipasi. Mana lagi nih hantunya? Problem seperti ini kayak yang sering terjadi pada show wrestling, yang setiap matchnya selalu diisi oleh spot-spot spektakuler. Seru, memang, tapi membebalkan rasa. Membuat spot, atau dalam kasus film ini, membuat adegan horor tersebut jadi less-special dari yang seharusnya. Ritme dalam film, salah satunya bisa dicapai melalui karakter. Dan memang Pengabdi Setan Communion berusaha melakukan itu. Kali ini dihadirkan beberapa karakter baru, beberapa orang penghuni rusun yang akhirnya menjadi teman dari ‘tim inti’ Rini, Toni, dan Bondi. Para karakter baru diberikan latar cerita, seperti anak kecil yang tinggal bareng ibunya di rusun karena kabur dari ayahnya, lalu ada teman geng si Bondi yang beserta adiknya kerap dipukuli oleh ayahnya sendiri, atau perempuan muda yang digosipin bukan cewek baek-baek lantaran kerjaannya pergi malam-pulang pagi, dan ada juga cowok preman yang suka godain si perempuan tersebut. Selain menambah rame (interaksi karakter-karakter muda ini bahkan ngingetin aku sama geng protagonis di serial Netflix Stranger Things – sama-sama anak 80an pula!) karakter-karakter baru dengan horor personal mereka jadi penambah lapisan dan membuat ritme jadi agak sedikit enak. Karena actually bahasan mereka lebih menarik daripada tim inti yang masih berkutat di misteri Ibu – dan ayah – yang hanya melanjutkan misteri yang sengaja gak dibahas di film pertama. Dengan kata lain, sudah telat untuk membuat kita peduli kepada mereka, apalagi karena sekarang ada karakter-karakter baru yang lebih menarik.

Most of them characters adalah orang-orang yang motherless. Lantas, menyamakan dengan mindset orang-orang di tahun 80an itu, bahwa negara adalah ibu bagi rakyatnya. Maka jika ibu harusnya merawat anak, berarti negara juga harusnya mengurus kepentingan rakyatnya. Kejadian di film ini memperlihatkan kerusuhan terjadi di tempat orang-orang miskin yang dibiarkan begitu saja. Udah tahu mau kena banjir pun, gak ada tindakan untuk menolong. Tempat tak terawat yang orang-orangnya rebutan naik lift, bahkan rebutan uang receh. Horor di situ lahir dari kemiskinan, dan ibu dari itu semua, sumber dari itu semua adalah negara yang tak peduli.

 

Karakter perempuan yang dianggap ga-bener yang diperankan meyakinkan oleh Ratu Felisha adalah yang paling menarik. Yang actually paling diflesh out dengan cara yang gak gamblang. Yang subtil, sehingga kita enak untuk ngikutinya. Info mengenai personal karakter ini dihadirkan lewat sebuah horor psikologis yang melibatkan perbincangan radio. Dan kita dibuat menyimpulkan sendiri apa yang terjadi di hidupnya sebenarnya. Ini adalah contoh karakter dalam cerita horor yang bagus, konfliknya personal, bahasannya closed dan gak melebar ke mana-mana, flaw dan sisi lemah karakternya pun kelihatan. Lebih mudah peduli sama karakter ini dibandingkan sama karakter Rini yang jadi tokoh utama. Memang, peran Tara Basro di sini diberikan lebih banyak daging. Kali ini dia punya motivasi personal pengen kuliah, dia bikin pilihan untuk ninggalin keluarganya, tapi saat hell broke loose nanti Rini hanya bereaksi yang intinya cuma survive. Malah bisa dibilang status tokoh utama si Rini, dibagi dua dengan karakter Budiman, wartawan yang tahu rahasia rusun tersebut, yang actually jadi kunci keselamatan Rini dan kawan-kawan. Naskah anehnya membagi porsi, Budiman beraksi dari luar, sementara Rini ditempatkan di TKP, dan hanya bereaksi dari semua kegilaan di tempat itu.

Kocak juga sih bandingin Endy Arfian dan M. Iqbal Sulaiman di film ini dengan mereka pas di Ghost Writer 2

 

Jadi ritme lewat karakter tidak benar-benar tercapai, karena hanya beberapa yang actually menarik, dan itupun gak benar-benar inline dengan journey utama. Sedangkan journey utamanya sendiri tidak benar-benar baru, bahkan film melakukannya lewat formula yang masih mirip dengan film pertama. Ada stake waktu, horor bakal memuncak di jam dua belas malam, ada misteri anak setan atau bukan, dan bahkan ada porsi yang membahas agama. Sama seperti pada film pertama, film kedua ini juga ingin menunjukkan bahwa agama tidak lantas dapat menolong orang. Sebenarnya ada teguran real yang ingin diucapkan oleh film. Bahwa agama bukan lantas menyerahkan diri kepada Tuhan, alias lantas pasrah enggak usah usaha. Hanya saja, film melakukan sindiran ini dengan tone yang berbeda dengan keseluruhan film. Jika yang lain disinggung sebagai horor, atau sebagai karakter yang flawnya personal sehingga terasa real dan relate, karakter ustadz di sini digambarkan nyaris seperti komikal. Sehingga apa yang mestinya adalah teguran, malah tampak kayak ejekan, atau at least kayak suatu masalah yang dibiarkan seolah tak ada solusi. Seolah malah jadi pengen bilang agama gak sanggup menolong, padahal yang disiratkan sebenarnya adalah agama tidak menolong karena manusianyalah yang salah dalam beragama.

Ketika bicara horor, sebenarnya kuncinya adalah build up. Inilah yang akhirnya jadi penentu ritme film ini jatohnya mulus dan enak atau tidak. Communion punya build up yang aneh. Dari adegan prolog awal saja, yang kita melihat pemandangan barisan pocong bersujud duluan ketimbang gambaran/deskripsi orang yang melihat itu konon rambutnya memutih, build up film ini terasa ganjil, kalo gak mau dibilang kurang proper. Mestinya kan, kita digambarin dulu efek bagi yang melihat, biar kita membangun antisipasi seseram apa sesuatu di dalam ruangan itu. Keseluruhan film memang nanti majunya dengan build up aneh kayak gini (kecuali momen horornya). Misalnya ada bagian Toni kayak mau ribut dengan preman, tapi lantas menguap gitu aja, kecancel karena kejadian kecelakaan lift. Lalu yang paling parah adalah bagian ending. Setelah semua intensitas dan revealing horor itu, film berakhir kayak “Eh, waktunya udah habis nih, yuk hero muncul, kita bereskan ceritanya” Penyelesaian puncaknya datang gitu aja. Tau-tau ada penyelamat yang menolong mereka semua (tanpa susah payah pula) karena durasi sudah hampir habis! Ini fatal sih sebenarnya. Kebetulan masih bisa dimaklumi kalo digunakan untuk menempatkan karakter ke dalam masalah, tapi untuk mengeluarkan mereka dari masalah diharamkan untuk melakukannya dengan solusi yang kayak kebetulan. Haram!!

 

 

 

Melihatnya sebagai wahana rumah hantu, memang film ini lebih seru daripada film pertamanya. Scarenya lebih beragam, lebih efektif, lebih imersif. Tujuannya untuk dijual dengan teknologi IMAX membuat film ini kuat dari segi wahana horor. Tapi sebagai keseluruhan penceritaan, film masing tersandung masalah-masalah yang sama dengan film pertama, dan aku bahkan gak yakin overall ini lebih baik dari film pertama yang benar-benar fokus di masalah keluarga. Film kedua ini bahasannya lebih gede. Latarnya juga berusaha dikuatkan. Lore misterinya juga. Tapi masalah yang timbul dari ‘lebih gede’ itu juga lebih banyak. Karakter utamanya kalah menarik. ada yang lebih beraksi, ritme juga kurang mulus karena build up yang aneh. Puncak dosanya ya di ending; kali ini Joko Anwar cukup membuat cerita yang menutup sih, hanya saja penyelesaian datang gitu aja. Basically protagonisnya saved by the bell, alias oleh durasi yang mau habis. Ending film oleh karena itu jadi sangat lemah.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for PENGABDI SETAN 2: COMMUNION

 

 



That’s all we have for now.

Joko Anwar menggunakan anagram ke dalam salah satu karyanya, yang juga direferensikan di film ini. Apakah menurut kalian nama ibu yang diungkap di Pengabdi Setan 2 juga anagram? Kira-kira apa maknanya?

Share  teori kalian tentang film ini di comments

 

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA