GLASS ONION: A KNIVES OUT MYSTERY Review

 

“Rippling water shows lack of depth”

 

 

Orang kaya kalo gak jahat, ya pembual. Banyak film telah mengestablish soal karakter tersebut, tapi Rian Johnson dalam Glass Onion membawa soal tersebut lebih tegas lagi. Bertindak sebagai kasus berikutnya dalam petualangan detektif Benoit Blanc, Glass Onion didesain oleh Johnson sebagai sindiran untuk milyuner-milyuner banci-tampil yang kita kenal di era teknologi canggih sekarang ini. Gimana kalo mereka sebenarnya gak sepintar image yang mereka tampilin? Gimana kalo sebenarnya mereka cuma bayar ide milik orang lain? Gimana kalo sebenarnya, mereka gak punya bakat apa-apa selain ya, bakat ‘jual-obat’; omong gede dan tampilan meyakinkan? Makanya film ini juga serta merta lucu ketika membahas karakter tersebut dan orang-orang yang nempel kepadanya. Yang enjoyable pada sekuel Knives Out (2019) ini bukan lagi misteri pembunuhannya. Honestly, buatku kasus dan si detektif itu sendiri adalah titik lemah dalam penulisan film kali ini. Melainkan, yang menyenangkan dari film ini adalah saat melihat jaring-jaring pertemanan mereka yang tampak erat itu mengelupas sendiri dan menampilkan sesuatu yang ternyata begitu rapuh. Persis seperti glass onion itu sendiri.

Set up-nya sih memang murder mystery banget. Sekelompok orang diundang oleh milyuner ke villa keren di sebuah pulau. Surat Undangannya gak tanggung-tanggung; kotak gede berisi rangkaian puzzle. Yang kalo berhasil dipecahin, maka di dalamnya ada undangan personal. Keren banget kan. Makin kagumlah orang-orang ini dengan si milyuner (eventho emak-emak saja bisa mecahin puzzle-puzzle tersebut) Tapi yah, karena actually mereka semua adalah teman segeng, teman lama yang sama-sama bikin bar sebelum masing-masing berhasil jadi orang gede, mereka tetap datang. Termasuk Andi, yang sudah keluar dari grup lantaran ada cekcok di masa lalu. Yang jelas. pusat kelompok mereka memang adalah si milyuner tech tersebut. Miles, yang sukses berat dengan perusahaan Alpha hingga sekarang dia ‘membantu’ teman-temannya dalam berbagai rupa. Miles telah merancang game misteri-pembunuhan sebagai hiburan di pulau. Tapi ternyata, terjadi pembunuhan-beneran. Salah seorang terbunuh, diduga keracunan. Untungnya bersama mereka hadir detektif Benoit Blanc – meskipun Miles sendiri mengaku tidak mengundang. Blanc harus menguak hubungan antara masing-masing mereka untuk mengetahui bukan hanya siapa pelaku, tapi juga apa sebenarnya kasus ini.

Puzzle-puzzle itu bikin aku teringat belum purchase game Mystery Case Files edisi tahun ini

 

Tapi Rian Johnson seperti tidak mau terjebak di penggarapan murder mystery yang itu-itu melulu. Whodunit yang sekadar mengungkap siapa pelakunya. Terutama, dia tidak mau film kali ini terasa seperti replika dari film yang pertama. Sure, ada beberapa ‘resep’ yang dipakai kembali. Kayak, jejeran cast yang ‘rame’. Selain Daniel Craig yang kembali untuk memerankan detektif yang dandy dan punya aksen tersendiri, Glass Onion punya segudang aktor lagi yang total meranin karakter dengan tipe dan kekhasan masing-masing. Batista di sini jadi tipe nerd unik yang got big, dia kayak golongan yang gak percaya covid dan percayanya pada hak megang pistol. You know, karena film ini nyindir orang kaya, maka otomatis juga berarti film ini membidik kelas sosial atas lainnya, seperti politisi. Karakter Kathryn Hahn literally senator cewek yang tampaknya cuma punya kepedulian terhadap citra dan elektabilitasnya untuk pemilu. Selain mereka juga ada scientist yang diperankan Leslie Odom Jr., dia ini kayak manut aja sama Miles. Kate Hudson malah meranin model, yang pikirannya zonk banget ampe bisa-bisanya ngira sweatshop itu pabrik tempat bikin sweat pants. Ada banyak lagi karakter yang tak kalah unik dan cameo yang tak kalah bikin kita excited. Malah ada juga satu karakter yang cuma numpang tinggal di tempat itu dan sesekali muncul di background untuk komedi singkat. Sampai sekarang aku masih bingung kenapa ada karakter itu, kepentingannya apa. Cuma, ya, maklum sih untuk bikin lucu aja haha..

Vibe dan tone pun masih basically mirip film pertama. Hanya tentu saja, yang namanya sekuel tentu pengen tampil lebih besar daripada film pertama. Apalagi cerita kali ini konteksnya tentang orang yang beriak tapi tak dalam. Maka panggung cerita dibikin lebih mentereng. Bangunan tempat mereka tinggal sangat mewah. Mulai dari mobil kinclong, glass onion raksasa, sampai lukisan Mona Lisa asli, dipajang oleh Miles. Kesan dilebih-lebihkan ini membuat film terasa semakin kocak. Dan menonton semua itu sambil menunggu kasus apa yang bakal terjadi, rasanya cukup fresh. Film ini masih belum bikin kita bosan meskipun tahun ini ada Bodies Bodies Bodies  (2022) yang juga cerita misteri pembunuhan dengan sindiran kelas sosial yang actually lebih solid dalam bercerita. Film Glass Onion begitu khawatir mengulangi rutintas cerita yang sama. Hal tersebut seems like a big no buat Johnson, sehingga dia mati-matian berusaha mencari cara yang unik untuk menampung misteri pembunuhan dan terutama sindiran kelas sosial. Johnson enggak sadar, dengan begitu dia justru terjebak dan sendirinya membuat sesuatu yang juga seperti glass onion yang ia simbolkan.

Indonesia mengenal pepatah air beriak tanda tak dalam untuk mengumpamakan orang yang gede omong doang tapi isi otaknya kosong. Orang barat gak kenal pepatah tersebut. Makanya film ini menggunakan simbol glass onion, ornamen mentereng dari kaca yang tampak begitu kompleks, namun semua orang yang melihat sebenarnya tahu benda itu kosong. Begitulah film ini mendeskripsikan milyuner teknologi seperti Miles. Bahwa semua kemewahan dan kecanggihan itu hanya ilusi, dan itu tidak terbatas kepada barang-barang. Karena film juga memperdengarkan itu lewat dialog. Miles menggunakan istilah-istilah ‘keren’ dalam speech-nya, padahal penggunaannya tidak tepat. Ironi lantas didatangkan dari dia yang merasa hebat sebagai disruptor, ternyata sendirinya segampang itu dihancurkan karena deep inside, dia gak punya pondasi apa-apa.

 

Glass Onion tidak bercerita dengan struktur tiga-babak tradisional. Pembunuhannya baru terjadi di mid-point cerita – seperti Death on the Nile (2022) – tapi Johnson tidak lantas melanjutkan ke sekuen tiga-babak berikutnya. Karena di ceritanya ini mid-point bukanlah point-of-no-return seperti pada struktur biasa. Melainkan, justru dijadikan point saat cerita mulai bergerak return ke awal. Sekuen ‘taktik baru’ film ini literally perspektif baru yang kita lihat pada Detektif Blanc, sebab di titik itu kita dibawa kembali saat dia masih di rumah, menerima undangan, dan ternyata dia sudah punya rencana tersendiri. Ternyata dia datang ke pulau itu tidak se-‘orang baru’ yang kita dan karakter lain sangka. Glass Onion seperti terbagi atas dua bagian. Sejam pertama kita masuk ke circle Miles bareng-bareng Blanc, kita sama-sama dengannya berusaha menyimak siapa orang-orang di sana. Lalu sejam kedua, kita hanya menonton Blanc, kita terlepas karena ternyata dia juga punya rahasia. Cerita Blanc kali ini bahkan bukan tentang dia mecahin kasus pembunuhan. Aku malah mendapat kesan Blanc ada di sana hanya untuk mencari bukti bahwa Miles memang salah dan dia memang pelaku pada malam itu. No aku salah. bahkan bukan Blanc yang menemukan buktinya. Dia cuma di sana untuk mengulur waktu dan karena dia dituliskan cerdas, saat mengulur waktu tersebut dia menemukan jawaban atas misteri pembunuhan.

Blanc doing nothing kayak impostor di game Among Us yang ia mainkan di awal

 

Aku mulai merasa aneh saat Blanc mengenyahkan gitu saja pertanyaan soal kenapa karakter korban itu mati, dengan jawaban untuk tahu itu harus diotopsi dulu. Like, maan, aneh banget seorang detektif tapi kayak gak mikirin lebih lanjut ketika ada orang yang mati kayak kecekek setelah minum, di antara kelompok orang yang ia tahu punya motif untuk saling menyakiti. Ini kalo cerita Detektif Conan, si Conan pasti langsung ngendus-ngendus korban, gelas; meriksa apapun yang bisa jadi identifikasi untuk racun. Nyelediki di mana, dari mana, dan kapan naro racunnya. Soalnya kan bahaya kalo itu memang racun dan korbannya salah-incar. Apalagi kalo ternyata itu racun yang belum ia tahu. Fokusnya pasti mencari tahu senjata pembunuhannya apa, Tapi Benoit Blanc gak peduli semua itu. Naskah memang punya alasan untuk membuat Blanc tidak ‘tertarik’ soal tersebut, namun itu juga lantas membuat Blanc terlihat seperti detektif yang kurang cakap. Kalo dia langsung nyeledikin, pastilah senjata pembunuh yang ternyata sepele itu langsung ketahuan dan pembunuhan lain dan kejadian-kejadian berikutnya tidak perlu terjadi. Film bisa langsung masuk ke babak tiga, dan tamat. Maka dari itulah, aku nyadar; bukan Blanc-nya yang gak cakap. Blanc jadi tampil sembrono kayak gitu karena naskahnya lah yang masih anak bawang dalam menggarap misteri sekaligus sindiran. Naskah yang tidak lagi benar-benar peduli sama misteri, melainkan cuma pengen masukin sindiran ke milyuner saja.

Struktur berlapis kayak bawang yang dilakukan Johnson tadi sebenarnya dilakukan untuk menutupi kelemahan cerita pembunuhan. Like I said, kalo dalam situasi normal, detektif seperti Blanc akan bisa menebak apa yang terjadi di ruang TKP itu. Cerita ini tidak punya puncak dalam misteri pembunuhannya. Konflik dan misterinya justru pada siapa sebenarnya si Andi. Itulah yang diusahakan untuk terceritakan secara dramatis oleh struktur cerita film ini. Apakah dia berhasil untuk itu? Aku bilang, untuk ngasih kejutan-kejutan dan bikin kita tetap melek; ya berhasil. Tapi struktur begini tidak ngasih apa-apa untuk development karakter. Blanc tidak mengalami pembelajaran apa-apa (bandingkan dengan Poirot di Death on the Nile yang sambil mecahin kasus, dia juga makin mengerti bahwa cinta membuat orang rela melakukan apa saja). Blanc mengaku dia payah dalam ‘dumb game’, dan sampai akhir dia tetap payah, karena tidak memecahkan kasus sedari pertama. Yang dilakukan Blanc di sini seperti kebalikan dari detektif lain. Blanc menebak cara membunuhnya, dari pelaku yang sudah ia curigai sebelumnya. Bukan dari menyelidiki kasus lalu menyimpulkan pelaku.  Miles juga tidak kelihatan sadar kesalahan. Karakter lain tetap seperti mereka di awal, begitu tidak bisa berlindung di balik orang, mereka ninggalin orang itu. Dan Andi, well, she’s got her revenge. That’s all. Jadi ya, setelah layer-layer dan gaya bercerita wah-wah dan sindiran untuk milyuner tersebut, film ini benar-benar kosong juga ternyata di tengahnya bagi para karakter.

 

 




Bukti satu lagi film ini tidak care sama misterinya adalah kita juga dibuat bisa langsung tahu kalo pelakunya adalah Miles. Film dengan berani memperlihatkan momen-momen penting pembunuhan. Penonton yang terbiasa menatap layar dengan total, gak perlu jeli-jeli amat, akan langsung bisa melihat keterangan Miles itu gak sesuai kenyataan. Terlebih film ini tayangnya bukan di bioskop, jadi adegan-adegan tersebut langsung bisa dikonfirmasi ulang. So in the end, jika misteri tersebut sedari awal tidak pernah diniatkan sebagai misteri, yang ditonton pada film ini sebenarnya cuma sindiran buat orang-orang kayak Miles saja. Sindiran yang dilakukan cuma dengan gaya. Tanpa development karakter manapun – sebanyak itu karakternya padahal. Detektifnya aja tak lagi tampak demikian hebat selesai film ini. Tampaknya film ini melakukan itu awalnya karena tidak mau misteri pembunuhan yang itu-itu melulu. Tapi mereka tidak memperhitungkan, bahwa film tentang sindiran kelas sosial pun sudah banyak yang melakukan. Like, Triangle of Sadness (2022) melakukan sindiran kepada orang kaya lebih baik dan kocak karena ada development dan meskipun tajam tapi gak lupa untuk diseimbangkan. Bodies Bodies Bodies melakukan gubahan misteri dengan lebih solid, juga dengan pesan sosial yang tak kalah kocaknya. So yea, film ini meluangkan banyak untuk gaya, mengorbankan karakter dan bahkan genre awalnya sendiri. tapi gak benar-benar mencapai hal baru. Just another smart-entertainment selama dua jam saja.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for GLASS ONION: A KNIVES OUT MYSTERY

 

 




That’s all we have for now.

Kenapa sih orang kayak Miles terbukti bisa lebih sukses daripada yang beneran punya keahlian? Apakah dunia memang lebih menghargai penampil daripada pemikir?

Share pendapat kalian di comments yaa

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 



CEK TOKO SEBELAH Review – [2016 REPOST]

 

“No legacy is so rich as honesty.”

 

cektokosebelah-poster

 

It’s about time ada yang buat film tentang kehidupan pemilik toko sembako!

Hahaha seriously, kita bisa menemukan toko-toko yang jual jajanan kebutuhan sehari-hari tersebut di mana-mana. Rumahku practically dikelilingi oleh mereka sampai-sampai panggilannya berubah dari “kedai acong” dan “kedai si Gu” menjadi sesimpel “kedai belakang” dan “kedai depan”. Namun entah apa sebabnya tidak ada yang berani bikin cerita yang berpusat di lingkungan toko-toko kecil tersebut, I dunno – mungkin sejak warung Mak Nyak, padahal mereka begitu dekat dengan keseharian. Orang lebih tertarik sama film yang berjalan-jalan ke luar negeri. Jadi itulah sebabnya mengapa aku masuk ke studio dengan harapan yang cukup tinggi buat film ini. This could be a very interesting movie, dengan ide yang sederhana (namun ngena!), yang benar-benar dialami oleh pemilik toko di luar sana.

Cek Toko Sebelah pun tidak melewatkan kesempatan untuk berdekat-dekat ria dengan penonton. Setiap dialog, setiap adegan, setiap jokes terasa sangat lokal. Tidak susah untuk kita mengerti, tidak sukar bagi kita untuk merasa akrab dan erat dengan apa yang kita saksikan di layar. Kata orang, “it’s funny because it is true!”, Cek Toko Sebelah did a great job dalam menjaga dirinya tetap relevan dengan isu-isu yang berkembang di masyarakat. Film ini menempatkan KOMEDI SEBAGAI KOMODITI DAGANGAN PERTAMA, DAN DRAMA KELUARGA SEBAGAI JUALAN KEDUA sekaligus sebagai penggerak narasi.

 “kalo gak percaya, cek toko sebelah!”

“kalo gak percaya, cek toko sebelah!”

 

Mari bicara soal drama keluarganya duluan.

Koh Afuk yang mulai sakit-sakitan ingin terus melanjutkan usaha toko yang sejak dahulu ia lakukan bersama almarhum sang istri. Bagi Koh, toko ini punya sentimental value yang luar biasa. Dari antara dua putranya, Koh Afuk mempercayakan toko ke tangan anak bungsu, Erwin. Dan di sinilah Cek Toko Sebelah mengeksplorasi sisi dramatisnya. Erwin adalah pemuda yang lagi sukses-suksesnya di kantor, he has a great life going on; sebentar lagi dia bakal dapat promosi dan dipindahtugaskan ke Singapura. So obviously, Erwin dan pacarnya yang kece rada enggan disuruh ninggalin semua itu demi duduk nyatetin bon utang di toko keluarga. Keputusan Koh Afuk juga menimbulkan percikan api di dalam diri Yohan, anak tertua di keluarga. Yohan merasa left out so bad. Padahal secara keadaan hidup, Yohan dan istrinya lebih membutuhkan toko untuk menyokong his own family.

Sembari cerita berlanjut, kita akan mengerti alasan di balik kenapa Koh Afuk lebih mempercayakan tokonya kepada Erwin. At it’s heart, film ini bercerita banyak tentang masalah-masalah yang umum timbul dalam keluarga; pemasalahan sepele menyangkut trust, kerelaan, yang sebenarnya bisa diselesaikan dengan duduk baik-baik dan bicara. Film ini mencoba untuk menelaah problematika ini, yang justru terkadang bikin kita geram. Seringkali terbit rasa kesalku nonton ini karena realized apa yang tejadi kepada mereka bisa dengan segera beres jika Yohan mau ngomongin baik-baik keinginannya; jika Erwin dengan tegas untuk berkata “tidak” sedari awal.

Ada masing-masing sisi dari Erwin dan Yohan yang cukup terasa relatable buatku. Oh I’ve been there before. Aku tahu nyelekitnya enggak dipercaya oleh orang-orang yang sangat ingin kau pinjamkan pundak kepada mereka. Aku juga mengerti gimana beratnya untuk menolak permintaan dari orang yang kita cintai. And unfortunately, baik bagi Erwin dan aku, we learned in a hard way gimana ‘berpura’ menuruti kehendak demi nyenengin hati turns out adalah tindakan yang lebih menyakitkan. Inilah masalah terbesar dalam setiap keluarga; kita tidak terbuka dalam berkomunikasi. Dan lucunya, kita bertindak demikian dengan alasan menghindari konflik. Tanpa sadar bahwa itu justru membuat hal menjadi bagai api di dalam sekam.

 

Dan kemudian, ada sisi komedi.

Ada sejumlah anekdot segar dengan delivery timing yang oke yang bakal sukses bikin kita terpingkal. Sepertinya keputusan memakai para komika adalah tindakan yang tepat bagi film ini. There are some running-in jokes diintegralkan ke dalam narasi, yang actually punya pay-off dan really worked. Film ini akan memberikan kita hiburan yang konstan in terms of lawak-lawakan. Ketawaku paling keras datang pada adegan saat seorang satpam melakukan semacam mediasi antara Yohan dengan Erwin. Sebagai pembanding; kalo kalian suka nonton serial Scream Queens, kalian akan kebayang persisnya gimana humor dalam film ini bekerja. Over-the-topnya mirip, dengan lebih sedikit karakterisasi, sayangnya. Film ini juga memasukkan cerita persaingan antar-toko, untuk memperjelas struggle yang dialami oleh toko Koh Afuk, yang eventually membawa kita kepada salah satu adegan lovable yang really funny yang melibatkan dua pemilik toko yang ‘bersaing’.

 

Ayo siapa di sini yang udah sekolah tinggi-tinggi malah disuruh jagain legacy orangtuanyaa??

Namun begitu, aku tidak bilang Cek Toko Sebelah adalah film yang benar-benar hebat. It stands out sebagai film yang berani mengangkat topik original yang unconventional. Menghibur, iya. Dramatis, sering juga. Hanya saja tidak pernah tone tersebut terasa sejalan. Kurang mulus. Tone dan arahannya didn’t work for me. Setengah-pertama film – di mana kita akan melihat rangkaian adegan Erwin yang bekerja di toko yang diceritakan dengan menyerupai gaya montage – berat oleh unsur komedi, sementara dramanya baru datang setelah pertengahan. Film kerap pindah cut antara keadaan Erwin di toko dengan keadaan Yohan yang galau atau antara Koh termenung di toko dengan Yohan yang main kartu dengan teman-teman, dan setiap perpindahan adegan membuat kita terlepas dari emosi yang sudah terbangun di adegan sebelumnya. Membuat setiap sekuens rather episodic.

Kita tidak menyaksikan actual interaksi sodara antara dua tokoh sentral, Erwin dan Yohan, sampai ayah mereka jatuh sakit di tengah cerita. Di mana mereka kemudian bekerja sama, leads us ke sebuah resolusi yang terasa abrupt karena kita merasakan hubungan mereka, ataupun device untuk resolusinya, tidak diset-up properly. Isu terbesarku adalah dengan karakter Erwin. Yea, film ini menggunakan tiga tokoh yang berjalan paralel, akan tetapi hanya Erwin seoranglah yang tidak punya stake yang bener-bener bikin kita peduli kepadanya. Ditambah lagi, karakternya sendiri memang digambarkan kinda jerk, yang bagiku terlihat kayak rip-off serabutan dari karakter Schmidt di serial New Girl. Dia seorang yang selfish, but dia ngedraw a line soal gak mau bohong. And yet transisinya menjadi peduli kepada toko tidak pernah kelihatan. I mean, apa journey karakter si Erwin di sini?

 “Makasih ya”/ “Kok makasi? Kita gak ngapa-ngapain kok” EXACTLY

“Makasih ya”/ “Kok makasi? Kita gak ngapa-ngapain kok” EXACTLY!!

 

Ernest Prakasa menyabet banyak penghargaan penulisan skenario untuk filmnya Ngenest di tahun 2015 adalah salah satu yang bikin aku penasaran sama film Cek Toko Sebelah. I think skenarionya kali ini rada convoluted, tho. But, dari performancenya sebagai pemeran Erwin lah, Ernest terasa paling kurang. Literally, dia dengan sukses outperformed by any other casts, bahkan oleh komika-komika dan peran komikal mereka. Penampilan Erwin begitu forced, adegan yang nampilin dia dengan pacarnya sungguh susah untuk dinikmati. With that being said, penampilan terbaik di film ini datang dari Dion Wiyoko yang berperan sebagai Yohan dan aktor asal Malaysia Chew Kin Wah yang memainkan tokoh Koh Afuk. Karakter dan journey mereka lebih compelling sebagai tokoh utama. Pun mereka berdua memainkan range emosi masing-masing dengan seamless. Momen saat mereka berdua menjelang akhir film punya weight emotional yang kuat karena mereka memainkan peran dengan benar-benar contained.

 




Menawarkan adegan menghibur secara konstan. At times, menyenangkan. Meski begitu, aku tidak bisa bilang suka banget sama arahan narasi film ini, yang meski tak konvensional namun terasa konyol buat inti ceritanya. It feels a bit too orchestrated, tho. Bahkan segmen behind the scenes di closing credit kayak scripted. Padahal film ini berangkat dari premis yang begitu grounded. Komedinya kocak akan tetapi aku juga tidak bisa bilang film ini diselamatkan oleh komedinya. It work best when it tries to capture the dramatic side of its story. Film ini sepertinya aware dengan kelemahan resolusi-real yang dimiliki oleh ceritanya – as in nothing would happen jika mereka mau membicarakannya baik-baik sedari awal – jadi ia menyamarkannya dengan lanjut menjadi sedikit over-the-top. Dan untuk karakterisasinya, tidak banyak yang dijual selain pada tokoh Yohan dan Koh Afuk.
The Palace of Wisdom gives 7 gold stars out of 10 for CEK TOKO SEBELAH.

 




That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners
and there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.



CEK TOKO SEBELAH 2 Review

 

“Never be ashamed of where you came from; Who your family is.”

 

 

Masih ingat Erwin yang menolak diwarisi toko kelontong oleh ayahnya, karena pengen berkarir di Singapura? Begini keadaannya sekarang; Erwin terduduk galau. Dia mendapat ultimatum keras dari ibu calon mertua. Kalo cinta dan masih mau menikahi Natalie, Erwin harus merelakan untuk tidak mengambil kerjaan di Singapur. Harus tetap stay di Indonesia. Tapi itu juga akan berarti dia telah membuat ayahnya – yang sudah merelakan toko keluarga demi mendahulukan anak-anaknya – kecewa. Ernest Prakasa menempatkan karakter yang ia perankan  dalam posisi yang sulit, sebagai kait emosi dalam sekuel Cek Toko Sebelah. Tanpa kehilangan warna komedi yang menghiasi latar dan karakter-karakternya, drama keluarga Tionghoa ini ternyata masih berlanjut, dengan permasalahan ‘permintaan orangtua’ yang lebih berat. Sampai bawa-bawa soal gender dan kelas sosial segala, saat keluarga Erwin yang sederhana ditemukan dengan tuntutan keluarga Natalie yang dikepalai oleh ibu yang powerful nan kaya raya.

Dari CTS jadi CRS; Crazy Rich Sebelah

 

Sementara Erwin bergulat dengan permintaan ibu Natalie, Yohan dan istrinya yang galak, Ayu (Dion Wiyoko dan Adinia Wirasti reprised their role, dengan penambahan muatan drama) harus berhadapan dengan permintaan baru dari ayah mereka. Koh Afuk meminta anak sulungnya itu untuk segera punya momongan. Agaknya, Koh Afuk yang sudah pensiun dari ngurusin toko itu merasa kesepian. Pengen main-main ama cucu. Masalahnya adalah, Ayu belum siap untuk punya anak. Sehingga ini memancing tensi di antara keluarga mereka. Apalagi ketika Koh Afuk dengan sengaja ngide supaya temannya menitipkan anak kepada Yohan dan Ayu. Kehadiran Amanda dan kameranya (Widuri Puteri, penampilan singkat dan berkesan) diharapkan ngasih perubahan suasana di rumah Yohan dan Ayu. Buatku, permasalahan keluarga Yohan terasa lebih menohok. Perspektif Ayu yang ditonjolkan di persoalan gak mau punya anak ini ngasih muatan emosional yang kuat terhadap tema yang menjadi benang merah keseluruhan cerita Cek Toko Sebelah 2. Yakni tentang tidak malu terhadap keluarga sendiri. Jika pada cerita Erwin, permasalahan tersebut tercermin secara gamblang; di hadapan ibu camer yang kaya, Erwin terdesak dan terpaksa bohong mengenai ayahnya yang kini pensiunan yang gak ada kerjaan dan mengenai abangnya yang pernah berurusan dengan substance terlarang, maka pada Ayu hal tersebut tercermin jadi suatu sudut pandang di level yang berbeda. Karena keluarga Ayu got real dark, dan ini scarred her for life.

Kita tidak bisa memilih di mana dan dari siapa kita lahir. Beberapa orang terlahir berkecukupan, sementara beberapa lagi lahir dalam kekurangan. Beberapa lahir dalam keluarga yang menyayangi, beberapa lahir basically sama saja kayak tanpa sosok orangtua. Tapi alih-alih malu, akar tersebut sebaiknya dijadikan pijakan untuk menjadi orang yang lebih baik. Seperti orangtua kita yang punya alasan tersendiri, kita juga mestinya punya alasan untuk jadi lebih baik. 

 

Memang, seperti film pertamanya, Cek Toko Sebelah 2 juga dikembangkan dengan multi-perspektif. Erwin, Koh Afuk, dan karakter lain punya cerita atau masalah sendiri. Tentu saja ini membuka ruang yang luas untuk eksplorasi karakter tersebut. Membuat mereka punya momen masing-masing, baik itu yang ringan maupun yang emosional. Kayak, kita jadi bisa melihat gimana hubungan Erwin dan Natalie yang sweet dan lucu terjalin. Karakter Natalie sudah ada sejak film pertama, namun baru di film ini personalitynya diperlihatkan mendalam. Dan Laura Basuki adalah pilihan yang lebih dari cukup, as in, Laura Basuki bener-bener menghidupkan karakter ini, jadi natural, berkat range aktingnya. Natalie di sini bisa menimpali awkwardnya Erwin dengan berbagai feeling, bisa unyu kayak anak remaja, bisa juga serius kayak orang dewasa pacaran beneran. Chew Kinwah juga mampu membawa Koh Afuk tetap dinamis, meskipun di film kali ini perannya cukup ‘berkurang’, dalam artian screen time maupun ya, literally gak banyak banget yang dilakukannya di sini selain gelisah Yohan belum punya anak dan Erwin bohong mengenai dirinya. But when he did, impact emosionalnya bakal gak kalah gede.

Dari semua karakter, yang mau aku khususkan di sini adalah antagonisnya. Si Ibu calon mertua,  yang diperankan oleh Maya Hasan. Penulisan karakternya keren. Antagonis sebenarnya tidak bisa begitu saja disederhakan sebagai penjahat. Antagonis lebih tepatnya adalah lawan dari protagonis; orang yang menjadi rintangan dari karakter utama cerita. Dan dalam cerita yang bagus protagonis versus antagonis bukanlah soal benar lawan salah, baik lawan jahat. Melainkan soal perbedaan prinsip, standpoint. Belief.  Antagonis yang hebat membuat kita mengerti standpointnya. Membuat kita paham dia bisa berpikir seperti itu darimana. Dengan kita paham si antagonis, maka otomatis kita jadi mengerti betapa dia jadi sebenarnya rintangan buat protagonis. Jadi hambatan yang bakal memaksa protagonis untuk berubah, memikirkan ulang pilihannya. Nah si mama Natalie ini persis demikian. Kita bisa melihat dia nyusahin Erwin dengan syarat-syarat dan campur tangan di segala urusan, tapi kita juga tahu dia ada benarnya. Omongan si tante soal keadilan dan tindakannya setelah tahu Erwin bohong, kita tidak melihat itu sebagai tindakan seorang yang jahat, walaupun kita tahu dia bakal bikin ‘hero’ kita sengsara. Aku memang lantas teringat sama ibu mertua di Crazy Rich Asians (2018). Sosok matriarkal yang sama powerfulnya. ‘Kebenciannya’ terhadap Rachel yang ia sangka gold-digger, terus mendorong si protagonis untuk menunjukkan bahwa ia orang yang tepat untuk anak si ibu. Membuat protagonis mengembangkan diri. Dan puncaknya adalah adegan mahyong yang menyabet Best Movie Scene di My Dirt Sheet Awards 8Mile (2018). Point is, dinamika antagonis dan protagonis membuat narasi jadi ada gonjang-ganjing sampai akhirnya punya konklusi yang terasa earned bagi semua orang. Saat journey mereka berakhir dan mereka melihat dengan lebih baik sekarang. Cek Toko Sebelah 2 harusnya bisa mencapai ketinggian emosi yang sama. Atau mungkin malah lebih, mengingat ada lebih banyak karakter dan masalah.

Erwin masih beruntung, seenggaknya calon mertuanya gak kayak mertua di Bajaj Bajuri hihihi

 

Aku terus menunggu ‘adegan mahyong’ versi Cek Toko Sebelah 2. Menunggu momen Erwin menunjukkan perkembangan, dan stand up for himself. Owning semua kesalahan sekaligus memperlihatkan dia sudah jadi orang yang lebih baik. yang paling pantas untuk Natalie. Dan adalah salah si ibu untuk tidak melihat semua itu. Tapi yang actually kita dapatkan adalah Erwin balik badan dan ‘kabur’ dari si ibu. Momen pembelajaran ternyata ada pada karakter si Ibu dan Koh Afuk. Dua orangtua yang tadinya meminta suatu hal. Kan jadi lucu. Film ini dibuka oleh sekuen dua anak muda yang bertemu lalu jadian , tapi resolve masalah di akhir adalah karakter lain. Like, kalo pembelajarannya memang pada orangtua, maka cara atau struktur bercerita film ini enggak sesuai dengan tujuan tersebut. Sebab dengan membuatnya seperti begini, justru yang tertampilkan adalah karakter utama kita – si Erwin – dan pasangannya – enggak ada problem. Enggak ada pembelajaran. Erwin ninggalin semua orang aja bisa beres dengan gampang.

Multi-stori atau multi-perspektif dituliskan oleh Ernest dengan lebih baik pada film Cek Toko Sebelah yang pertama. Di film itu ketiga karakter sentral selain punya masalah, tapi juga punya development masing-masing. Mereka diberikan stake masing-masing. Karir, cinta, dan warisan. Pada saat penyelesaian, ketiganya terasa ‘ngelingker’, terasa telah menjadi pribadi yang lebih baik ketimbang saat di awal cerita. Sedangkan pada film sekuelnya ini, terasa kayak dibagi-bagi. Yang punya stake adalah Erwin. Yang punya development atau perubahan adalah Ayu dan Ibu Natalie. Yang resolve semuanya Koh Afuk. Ini juga membuat keseluruhan narasi seperti terkotak-kotak episode. Oh awalnya episode kenalan Erwin ama Natalie. Terus pindah dulu ke episode Yohan dan Ayu mengasuh Amanda. Terus ke episode pernikahan. Tiap episode punya puncak dan penyelesaian sendiri. Enggak mengalir bareng-bareng.

Soal jokesnya, aku gak mau bilang banyak. Yang jelas gaya joke khas film-film Ernest tetap dipertahankan. For better and worse. Better, karena sekarang sudah lebih mulus masuk ke narasi utama. Worse, karena beberapa adegan lucu-lucuan tersebut not really add anything to the story. Misalnya kayak candaan soal pikun di sepuluh menit pertama film. Candaan yang sangat elaborate. Perlu diingat, sepuluh menit pertama krusial bagi film karena di periode itu film bakal mati-matian ngeset tone, stake, motivasi protagonis, serta tentang apa sih cerita mereka. Sehingga ketika ada candaan panjang yang membahas soal pikun, seolah film sedang mengeset permasalahan pikun sebagai yang bakal dihadapi oleh karakter. Tapi ternyata tidak. Pikun itu ternyata hanya sebatas candaan selewat, seperti banyak lagi nantinya candaan selewat yang menambah-nambah durasi. I mean, sungguh waktu yang aneh untuk memasukkan candaan, sementara sepuluh menit pertama mestinya digunakan untuk ngeset yang lebih penting. So yea, agak disayangkan penulisan film ini agak menurun dibanding yang pertama. Padahal secara penceritaannya sendiri, Ernest banyak menggunakan teknik-teknik baru. Seperti main di editing seperti jump cut, juga main di kontras warna seperti memberikan warna yang lebih kinclong saat di adegan-adegan orang kaya dan lebih oren saat di adegan lebih sederhana.

 




Setelah Teka-Teki Tika (2021) yang kayak api kebakaran hutan alias naskahnya merambat ke mana-mana, jadi besar secara liar, Ernest Prakasa slowly bangkit dan kembali ke yang bikin dia bercokol di perpetaan film tanah air pada awalnya. Yaitu cerita keluarga yang grounded. Dengan warna yang memberikan identitas kepada karakter dan dunia ceritanya. Sekuel ini berhasil menyambungkan cerita, mengekspansi karakter-karakter yang sudah dikenal lewat permasalahan baru. Multi-storinya membuat dunia cerita menjadi lebih kaya, memuat karakter lebih banyak dan lebih kuat personality. It has moments, hanya saja struktur berceritanya sedikit penurunan dibandingkan film pertama yang lebih ngalir. Film kedua ini dibentuk dengan lebih episodik, dan dibagi-bagi. Karakter antagonisnya dituliskan kuat, tapi protagonisnya tidak diberikan hal yang sama. Yaah, mungkin itu ‘sebelah’ yang dimaksud film ini. Pembangunannya sebelah-sebelah hihi
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for CEK TOKO SEBELAH 2

 

 




That’s all we have for now.

Bagaimana menurut kalian soal cowok yang actually punya penghasilan di bawah ceweknya, kayak Erwin dan Natalie?

Share pendapat kalian di comments yaa

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



AVATAR: THE WAY OF WATER Review

 

“Anywhere you go the problems will go with you”

 

 

Karanglah cerita setinggi langit, lalu daratkan ia dengan permasalahan realita. Itu memang bukan peribahasa, melainkan karanganku saja. Kenapa aku tega niru-niruin pepatah? Karena aku masih dalam pengaruh semangat James Cameron yang bikin film luar biasa mentereng dan jauhnya, tapi dengan permasalahan yang merakyat. Yang kita semua bisa mengerti bisa terjadi kepada kita. Semua film memang harusnya begini. Permasalahan yang kita bisa relate, tapi diceritakan dalam panggung yang seliar-liarnya.  Dua film Avatar adalah bukti James Cameron paham soal ini.  Dia telah menciptakan dunia nun jauh di sana, dengan makhluk-makhluk, ekosistem, aturan-aturan, hingga mumbo jumbo fiksi ilmiah dan spiritual lainnya tanpa menjadikan semua itu ribet. Inti ceritanya tetap membumi. Di  sisi lain, ceritanya boleh saja mirip dengan film lain yang kita ingat, namun karena pembangunan dunianya luar biasa, film tersebut lantas jadi beda. Pada Avatar pertama (aku actually nonton untuk pertama kali pada malam sebelum ke bioskop nonton sekuel ini) Cameron bicara urusan sesimpel menjaga hutan di balik perkara penjajahan dan tembak-menembak. Film kedua kali ini, cerita bahkan lebih dekat lagi. Kali ini urusannya adalah urusan keluarga. Bagaimana menjadi orangtua yang baik terhadap anak-anak.

Dulunya manusia, kini Jake Sully sudah tenteram hidup bersama bangsanya baru. Bangsa Na’vi bertubuh biru yang menghuni pedalaman hutan bulan Pandora. Anak Jake ada tiga, plus satu anak angkat, dan satu lagi anak manusia yang selalu bermain bersama. Keluarga yang besar berarti tanggungjawab yang juga besar. Ini membuat Jake jadi kepala keluarga yang sedikit kaku. Ketika Sky People (alias militer dari Bumi) kembali ke Pandora, kali ini dengan tujuan utama membalas dendam kepada dirinya, Setelah reunian berbahaya dengan former enemy, Jake langsung tahu ia tidak bisa membiarkan keluarga tetap dalam bahaya. Tak ingin melukai siapapun, mantan tentara ini memaksa istri dan anak-anaknya untuk pindah. Kabur sebelum Kolonel Quaritch yang dihidupkan kembali dari klone memory – dan kini juga bertubuh Na’vi – menyerang rumah mereka. Jake mengira dengan pindah, berbaur tinggal dengan klan air di Selatan, keluarganya bisa aman. Tapi tentu saja, kepindahan itu tidak mudah bagi anak-anak dan istri Jake. And also, tindakan Jake bisa berarti sama dengan ia menggiring musuh untuk membahayakan Na’vi-Na’vi air dan makhluk sekitarnya yang tak berdosa.

Jagalah laut dan jangan lupa hormat sama makhluk hidup di sekitarnya

 

Durasi yang sampai tiga jam lebih berusaha dimanfaatkan film ini untuk menggali banyak perspektif. Oh man, film ini punya banyak sekali perspektif. Kita gak hanya ngikutin Jake seorang. Kita juga diperlihatkan mulai dari masalah beberapa anak Jake, hingga ke persoalan personal klone kolonel Quaritch dan anaknya. Perspektif-perspektif tentu saja menambah layer dan bikin kita makin termasuk ke dalam dunia cerita. Karena dengan begini, film semakin nunjukin betapa hidupnya dunia mereka. Karakter-karakter di sana beneran punya sesuatu. Tidak sekadar ‘serang dan bertahan’. Dari putra tengah Jake, si Lo’ak kita melihat cerita anak yang berusaha memenuhi ekspektasi ayah untuk menjadi pejuang yang sama dengan abangnya. Cerita si Tengah yang selalu dibandingkan, padahal dia punya kelebihan lain dan so desperate untuk memperlihatkan siapa dirinya itu kepada orangtua. Lo’ak akan sering memisahkan diri, dia nanti akan punya sahabat-hewan tersendiri – yang sama-sama terkucil dari kelompok. Persahabatan Lo’ak dengan hewan kayak paus berbaju zirah itu actually jadi salah satu relasi yang heartwarming yang dipunya oleh film ini. Sehubungan soal misahin diri, kita juga diperlihatkan cerita Kiri, anak angkat keluarga Jake, yang merasa berbeda dari yang lain. Kiri punya origin dan kekuatan yang sama-sama misterius.

Dan satu lagi yang menarik adalah tentang Spider. Bocah manusia di antara keluarga mereka. Yang actually dipanggil monkey boy, karena dia memang kayak tarzan di sana. Spider sebenarnya adalah anak dari Kolonel – antagonis film pertama yang telah tewas, dan di film ini klonenya hidup kembali dan jadi musuh utama juga. Sehingga si Spider sebagian besar waktu akan berada di state yang bimbang dia sebenarnya harus apa, harus ada di pihak siapa. Koneksi antara Spider yang di lubuk hati pengen punya seorang bapak tapi bapaknya dia tahu adalah orang jahat, ketemu dengan si jahat yang punya reputasi to uphold (juga dendam yang harus dibayar tuntas kepada Jake dan keluarga birunya) sementara di lubuk hati dia pengen nunjukin sayang sama anaknya, sesungguhnya betul-betul menarik. Film ini sebetulnya kayak berada di dalam sebuah tambang emas emosional. Mestinya bisa kaya sekali oleh perasaan, Spider dengan ayahnya ini toh juga paralel dengan Jake dengan anak-anaknya. Bagi para orangtua itu, ini adalah soal “melihat” anak mereka. Ini adalah persoalan yang sama dengan yang dibicarakan oleh Pinokio versi Guillermo del Toro (2022), dan lihat gimana film tersebut mencapai ketinggian emosional  dengan benar-benar menggali relasi emosional tersebut. Level ketinggian emosional yang sayangnya tidak bisa dicapai oleh Avatar 2. Karena Cameron hanya membuka perspektif tapi tidak sedemikian dalam membahas masing-masingnya. Avatar 2 tetap dibiarkan simpel, dan sebagian besar hook emosional berusaha dihadirkan lewat cara lain. Yaitu lewat pengalaman visual.

Memang, kalo bicara soal visualnya, Cameron benar-benar menyuguhkan penampakan yang bikin kita berlinang air mata saking bagusnya. Atau kayak temenku, yang katanya matanya berair karena keberatan makek 3D dan kacamata beneran hahaha.. Intinya, semua dikerahkan Cameron supaya visual film ini maksimal. Shot-shot di bawah air semuanya tampak genuine. Cakep banget. Makhluk-makhluk fantastis itu juga kayak beneran hidup. Ini punya kepentingan khusus pada narasi, karena makhluk-makhluk itu diceritakan bakal berkomunikasi dengan karakter kita. Bahwa mereka adalah bagian dari planet dan masalah yang menimpa (thanks for the human) dalam cara yang lebih grande, lebih spiritualis ketimbang gimana kita melestarikan alam di dunia nyata kita. Makanya bagi film ini adegan-adegan seperti Lo’ak berenang bareng Tulkun (udah kayak menari!), Tuk dan Kiri eksplorasi laut, lebih penting untuk difungsikan sebagai penghantar emosi. Film ini lebih jor-joran menggali Tulkun melawan manusia, lebih menggali arc si manusia yang menganggap remeh mereka, ketimbang karakter lain, misalnya Spider yang malah tampak sengaja gak beneran dibahas dulu untuk hook ke film ketiga. Aku ngakak dan ngecheer melihat si paus armor ngadalin si manusia. Aku juga terhanyut sama pemandangan dan pembangunan dunianya. Tapi gimana pun juga, prioritas utama kita nonton kan cerita. Journey karakter. Ketika film berdurasi panjang, bioskop ber-AC dingin, sehingga bikin kebelet dan harus ngatur strategi kapan ke WC, aku tentu saja memilih untuk ‘break’ saat showcase visual ketimbang harus melewatkan adegan-adegan ngobrol. What I’m trying to say is, kemegahan visual enggak akan berarti banyak kalo ujung-ujungnya cuma jadi bathroom break lantaran adegan itunyalah yang terlalu extend dilakukan oleh film. Jadi, ya, menurutku film ini harusnya bisa mengatur waktu lebih erat lagi, karena ada begitu banyak spot indah dibanding adegan yang actually membahas konflik personal karakter. Like, berenang ama Tulkun aja muncul beberapa kali. Mestinya bisa bercerita dengan memanfaatkan waktu dengan lebih efektif lagi.

Pendapatku masih sama dengan pas nonton film pertama; Nih film kalo dijadiin game SNES pasti seru deh!

 

Film yang pertama, dengan bahasan yang lebih sempit, terasa lebih terarah. Pemanfaatan waktunya terasa pas. Babak set upnya saja sudah bikin aku kagum karena betapa efektifnya film tersebut menyampaikan eksposisi dan informasi. Tidak pernah terasa sumpek dan lambat, melainkan dilakukan dengan cepat dan tepat guna. Kita langsung mengerti rules dan konflik karakter dan segala macamnya. Sehingga ketika film itu masuk ke bagian yang total action, emosi itu semuanya tinggal mengalir dari bendungan build up yang telah tersusun rapi. Film kedua ini, tidak terasa begitu. Babak set upnya boring sekali (dan perlu diingat ini film tiga-jam, sehingga set up di sini berarti sekitar satu jam-an). Avatar 2 praktisnya persis dengan yang dikatakan Kolonel saat pep talk; using the same song. Lagu lama, digunakan untuk membangun masalah. Manusia yang datang untuk menjajah. Kolonel yang mau ngasih hukuman ke Jake, si manusia yang membelot ke pribumi. Cuma masalah lama (aku juga gak bilang aku suka sama pengulangan villain, dengan alasan teknologi klon memori blablabla) dengan cara yang sedikit dibedain. Penjelasannya, ditambah dengan pengenalan singkat keluarga Jake, terasa tumpang tindih. Film ini baru benar-benar menarik dan terasa beda saat Jake sudah pindah ke klan atau suku air. Ketika environment jadi baru. I wish film menemukan cara yang lebih baik lagi untuk menceritakan Jake harus pindah dan sebagainya, karena alasan Jake di sini pun sebenarnya sudah ada pada film pertama. Dia nyuruh pindah dan nyelametin diri, tapi istri dan na’vi hutan lain gak ada yang mau. Jadi basically, arc si Jake gak banyak beda ama film pertama.

Enggak ada orang yang jadi damai dengan kabur dari masalah. Tenangnya cuma sebentar, masalah itu pasti akhirnya akan menyusul. Masalah tidak akan hilang sebelum dihadapi, dan justru akan bisa semakin bertambah besar jika diabaikan. Karena problem sesungguhnya berasal juga dari dalam. Jake yang memutuskan membawa keluarganya lari supaya selamat, pada akhirnya membawa masalahnya itu kepada orang lain. Keselamatan keluarga semakin nyata terancam. 

 

Dan kalo dipikir-pikir lagi, bahkan konflik karakter lain tadi juga mirip kayak yang pernah dialami Jake di film pertama. Spider yang seperti berpindah-pindah, kadang dia mihak ke ayahnya, lalu next time dia ikut sepupu-sepupu angkatnya lagi; ini kayak Jake di film pertama berada pada titik dia bimbang mau menyelesaikan misi militer atau berpihak kepada bangsa Na’vi. Lo’ak yang menyendiri sama kayak Jake yang akhirnya jadi tidak diakui oleh dua pihak, dikucilkan oleh manusia dan juga Na’vi yang merasa dikhianati. Memang, sebenarnya film kedua ini punya beat-beat yang sama dengan film pertama. Hanya pelakunya saja yang dibikin beda-beda. Hanya tempat dan lingkungan saja yang bikin terasa fresh. Kali ini di air, dengan makhluk-makhluk air. Anak-anak Jake yang harus belajar berada di lingkungan itu sama saja kayak Jake di film pertama yang belajar bagaimana hidup bersama bangsa Na’vi di hutan. Di antara soal itu, dengan konflik karakter yang tidak dibahas mendalam either karena pengen tetap simpel ataupun karena disimpan untuk sekuel, film ini jadi kurang menggigit. Yang memuaskan di film ini jadinya cuma bagian aksi di akhir, yang sukurnya memang dibuat jor-joran dan epik.

 




Sebagai hiburan tentu saja film kedua ini punya nilai lebih. Dengan banyak karakter dan personality, cerita jadi lebih hidup. Lebih enak juga untuk ditonton bersama seluruh keluarga (meskipun ada beberapa adegan aksi yang terlalu intens untuk anak kecil). Dari segi cerita film ini ringan, dan sedikit terlalu simpel. Sampai ke titik film ini terasa kayak hanya punya visual sebagai senjata utama. Galian konfliknya kurang, padahal ada banyak perspektif. Cerita juga tidak banyak bergerak, sampai saat karakter sudah pindah ke dunia baru. Lalu baru di satu jam terakhir, di porsi aksilah, film jadi benar-benar hiburan untuk ditonton, karena sudah tidak ada lagi waktu untuk mereka berusaha memasukkan narasi-narasi simpel mengisi durasi. Dibandingkan dengan film pertama, menurutku film ini tidak lebih baik. Waktunya tidak termanfaatkan efektif. Bukannya terasa lama, tapi tidak efekti dari segi muatan cerita. Lebih fun, sih iya, tapi fun yang lebih kurang mengalir.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for AVATAR: THE WAY OF WATER

 




That’s all we have for now.

Apakah menurut kalian tiga jam adalah waktu yang lama untuk sebuah film yang sesimpel ini? Atau justru sebaliknya?

Share pendapat kalian di comments yaa

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



GUILLERMO DEL TORO’S PINOCCHIO Review

 

“Obedience keeps the rule, Love knows when to break them”

 

 

“Pure magic.” Begitu kata Stephen King buat Pinocchio versi Guillermo del Toro. Komentar yang bukan sekadar basa-basi promosi dari pengarang misteri dan fantasi hebat ke pengarang misteri dan fantasi hebat satunya. Pinokio si boneka kayu selalu punya tempat di hatiku, karena itulah salah satu dongeng pertama yang pernah aku dengar. Nino bobo ku waktu kecil adalah kaset sandiwara Pinokio versi Indonesia yang jadul itu. Gedean dikit, aku dikasih VCD Pinokio Ateng & Iskak. Baru, lama setelah itu, aku baru nonton Pinokio versi animasi Disney klasik. Petualangan Pinokio yang gak boleh bohong, bolos sekolah ke negeri nikmat, kemudian menari-nari di dalam perut ikan paus, benar-benar tertanam jadi khayalan menarik bagiku, karena waktu kecil aku termasuk anak yang males sekolah hehe.. Jadi Pinokio semacam pengingatku untuk menjadi lebih baik. Karena nonton berbagai macam versi Pinokio itulah, aku bisa mengonfirmasi, komentar King tadi benar adanya. Selain pure magic, Pinocchio punya del Toro adalah versi terbaik karena dia ngasih sesuatu yang vibe dongeng klasiknya kuat, sekaligus juga menghadirkan elemen baru – sesuatu yang lebih! untuk kita pikirkan.

Dan aku senang dengan kehadiran Pinocchio yang ini. Soalnya belum lama ini kan, Disney ngeluarin versi live-action dari animasi Pinocchio klasik mereka. Disney pengen ngebalikin pesan yang ada dari dongengnya. Bukan lagi soal Pinokio berusaha menjadi lebih baik (menjadi anak manusia) tapi jadi soal dunia-lah yang harus menerima Pinokio sebagai boneka kayu, sementara si Pino gak perlu berubah. Pinokio yang kukenal, yang kujadikan panutan untuk jadi anak yang sedikit lebih baik tatkala merasa malas sekolah, jadi berasa soulless. Disney sok-sok mau ngubah cerita Pinokio jadi ‘kekinian’, tapi failed. Untungnya, cerita Pinokio direset kembali oleh kehadiran versi Guillermo Del Toro ini. Dikembalikan ke state klasik, namun dengan muatan modern yang dilakukan dengan jauh lebih baik.  Di animasi stop-motion ini, Pinokio tetep harus belajar jadi lebih baik, dan begitupun juga dengan dunia sekitarnya harus belajar memperlakukan Pinokio – someone yang berbeda – dengan lebih baik.

Mamam tuh, Disney!!

 

Guillermo del Toro bukan saja dengan sukses merebut kembali dongeng si boneka kayu dari cengkeraman kapitalis sok woke, beliau juga berhasil membuat film ini seperti miliknya sendiri. Panggung fantasi Pinokio dibawanya ke timeline signature dirinya, ke masa-masa perang. Pinokio kini juga seperti Ophelia dan banyak lagi karakter dalam film del Toro; anak yang mengarungi hidup dalam periode perang. Dongeng ini jadi slightly darker, tapi bukankah dongeng-dongeng anak memang selalu punya akar atau origin yang kelam seperti itu? Anyway, cita rasa khas tersebut sudah dihadirkan del Toro sejak menit pembuka. Instantly kita langsung tahu bahwa ini Pinokio yang sama, tapi juga berbeda. Di film ini, Pinokio tidak dibuat dengan cinta. Melainkan oleh rasa marah, sedih, duka yang melebur jadi satu. Geppetto (disuarakan oleh David Bradley dengan penuh range emosi) kehilangan anak semata wayang, keluarga satu-satunya, akibat perang. Kita melihat pak tua itu mabuk-mabukan di dekat kuburan anaknya dari perspektif Sebastian Cricket (kepentingan karakter jangkrik yang disuarakan Ewan McGregor sebagai narator lebih kelihatan di film ini) yang nangkring di dalam pohon pinus. Dalam galaunya, Geppetto menebang pohon itu, memotong-motongnya, serabutan membuat boneka dari kayu-kayu itu. Ketika spirit hutan menghidupkan boneka asal-asalan tersebut – sambil menugasi si jangkrik yang hidup dalam bolongan kayu yang kini ada di dada si boneka untuk jadi ‘hati nurani’ – Geppetto tidak melihatnya sebagai anugerah. Dia hanya melihat Carlo, anaknya. Jadilah, Pinokio di cerita ini bertualang menghadapi mulai dari sirkus boneka hingga monster laut, bukan untuk menjadi anak manusia, melainkan jadi seperti anak Geppetto yang tiada.

Enggak perlu animasi mentereng ‘seolah-nyata’, film ini tahu bahwa animasi hanyalah medium bercerita. Dan itulah yang digunakannya semaksimal mungkin untuk membuat  cerita ini layaknya dongeng yang magis. Animasi stop-motion yang ditampilkan tampak fluid dan cocok dengan estetik fantasi yang dihadirkan. Karakter manusianya unik-unik, ada kesan grounded sekaligus ‘masuk akal’ bagi kita di dunia mereka ada hewan-hewan yang bisa bicara atau bertingkah kayak manusia. Satu lagi elemen yang gak ada di versi sebelumnya adalah dunia cerita yang kali ini, menyandingkan fantasi (spirit) dengan agama. Pinokionya bahkan dibikin kayak ‘paralel’ dengan Yesus. Sama-sama dibuat dari kayu, sama-sama putra yang harus menjawab sang ayah, malah ada dialog Pinokio yang menyebut “Dia sama seperti saya, tapi kenapa saya dibenci dan dia disembah” saat melihat ibadat di gereja,  Khususnya memang, aku suka desain si Pinokio.  Walaupun cuma kayu yang kasarnya kayak diukir dan dirangkai susun kayak ngasal, tapi nyatanya karakter ini begitu ‘hidup’. Matanya gak kosong kayak Pinokio versi live action Disney. Buktinya, kita benar-benar bisa membedakan dari matanya mana Pinokio saat hidup dengan dia saat cuma boneka. Dan itu hanya bisa tercapai karena karakter ini benar-benar dikasih personality. Bukan sekadar boneka polos. Mulai dari adegan-adegan dia bernyanyi, merusak barang di rumah penuh keingintahuan, nekat kerja di sirkus supaya ayahnya punya duit, film terus berusaha ngasih sesuatu yang membuat Pinokio ini punya spark. Suara Gregory Mann yang anak-anak banget pun menambah banyak dalam membuat karakter ini begitu likeable, apalagi permasalahan dia relate buat penonton yang pernah ngalamin berjuang memenuhi ekspektasi orangtua.

Paham modern yang diangkat del Toro dalam cerita yang aslinya tentang boneka yang pengen jadi anak manusia adalah soal seperti apa sih sebenarnya anak yang baik itu. Multiple perspective dilakukan oleh film sehingga kita bisa melihat gimana contoh hubungan anak dan orangtua dapat menjadi tidak sehat lantaran orangtua, dalam film ini sosok ayah, terlalu maksain keinginan.  Seperti Geppetto yang ingin Pinokio jadi Carlo. Ataupun karakter bernama Podesta yang mewajibkan anaknya jadi tentara ke medan perang. Anak-anak memang harus patuh kepada orangtua, tapi itu bukan lantas berarti harus membuang siapa diri mereka sebenarnya. Itu bukan lagi cinta, melainkan tak ubahnya aturan militer.

 

Apa yang dilakukan film ini terhadap Negeri Nikmat, aku juga suka banget. Jika di Pinokio yang dulu kita melihat anak-anak nakal bermain sepuasnya, manjat-manjat, lari-lari, tertawa-tawa, maka film kali ini mengganti bagian tersebut dengan anak-anak yang memanjat dan berlari-lari menyelesaikan tantangan ketangkasan di tempat latihan militer. Anak-anak ini, termasuk Pinokio, disuruh jadi tentara sejak dini. Harus disiplin dan segala macem. Sekilas ini tampak sungguh berkebalikan dengan Negeri Nikmati dan Pinokio jadul, tapi kalo disimak ternyata efeknya sama. Anak-anak yang nakal sama tidak baiknya dengan anak-anak yang patuh tapi kaku. Apalagi jika itu di luar kemauannya sendiri seperti karakter Candlewick, atau anak yang sama sekali tidak mengerti yang ia lakukan kecuali buat nyenengin orangtua seperti Pinokio yang antusias bilang “I love war!” meskipun kita tahu boneka kemaren sore seperti dia tahu apa soal perang. Image anak-anak yang disuruh pakai topeng gas saat berperang itu pun eerily mirip sama anak-anak di Negeri Nikmat yang jadi keledai. Mereka udah bukan anak-anak lagi, intinya.

And also, tentara berarti sama aja ama keledai, sama-sama dicolok hidungnya buat ngikut perintah sang tuan.

 

Dua hal, sebenarnya, yang bikin aku was-was. Yang pada awalnya bikin aku gak yakin sama keputusan film ini. Yang membuatku berpikir “tidakkah ini melemahkan kepada karakternya?”. Pertama adalah soal Pinokio di sini dibikin tidak bisa mati, tapi dia ‘bisa’ mati. Nah lo, bingung kan? Jadi, Pinokio bakal ngalamin kejadian yang membuat dia bakal mati kalo dia adalah manusia beneran.  Tapi karena si Pinokio bukan manusia, jadi setiap kali dia ngalamin mati, dia hanya masuk other realm, tempat saudaranya si Spirit Hutan yang memberi dia hidup.  Pinokio tinggal menunggu waktu (yang semakin lama, semakin panjang) untuk bisa kembali ke dunia. Awalnya kupikir ini meniadakan stake. Pinokio jadi tidak perlu takut gagal atau mati, dia tinggal nunggu dan balik lagi. Kupikir ini cuma cara film memindahkan Pinokio ke dalam situasi lain. Tapi ternyata ini deep juga. Dimanfaatkan untuk hook emosional di akhir. Ternyata ini cara film untuk membuat Pinokio ‘ada kerjaan’. Supaya Pinokio bisa punya pilihan. Karena kalo dia mau jadi anak manusia, berarti dia akan kehilangan ability tidak bisa mati. Dan dia nanti memilih ini demi menyelamatkan orang yang ia sayangi ketika mereka semua dalam bahaya yang berhubungan dengan gencetan waktu.

Hal kedua yaitu soal hidung Pinokio. Jujur pas ngeliat adegan Pinokio gunain hidungnya untuk keluar dari masalah, aku bengong. Aku sudah percaya film ini lebih baik dari versi live-action Disney. Tapi kemudian mereka melakukan hal yang sama dengan Pinokio versi tersebut. Mengapprove menggunakan kebohongan untuk menyelamatkan diri. Aku mikir panjang setelah nonton, like, kenapa film malah ngelakuin ‘kesalahan’ yang sama di menit-menit terakhir. Ternyata jawabannya simpel. Dan adegan tersebut sama sekali tidak melemahkan film ini. Perbedaan mendasar adegan itu di antara kedua film adalah, di Pinokio del Toro, usulan berbohong supaya idung panjang Pinokio bisa digunakan untuk selamat bukan berasal dari Pinokio itu sendiri. Sekali lagi, Pinokio diberikan waktu untuk mengambil keputusan sesuai dengan konteks pembelajaran karakternya. Pinokio akhirnya memutuskan untuk mengikuti usulan tersebut, selain demi keselamatan, juga karena itulah bentuk dari pembelajaran yang ia alami. Bahwa cinta kepada orangtua berarti juga siap untuk melanggar aturan. Pinokio walau wujudnya kayu tapi hatinya belajar untuk jadi manusia tulen, karena ia akhirnya mampu mengenali cinta dengan tulus, dia tidak lagi blindly following love. Tinggal Geppetto (dan para orangtua) yang  masih harus belajar mencintai tanpa ada aturan yang mengharapkan seseorang harus menjadi seperti apa.

 

 




Jika diurut, certainly, versi del Toro ini adalah yang terbaik dari Pinokio-Pinokio yang kutonton. Gagasan cerita lamanya masih ada, tapi juga ditambah dengan gagasan baru yang akhirnya jadi saling menambah satu sama lain. Menghasilkan pengalaman nonton yang magical sekaligus menyentuh. Cerita tentang hubungan anak dengan orangtua yang kental nuansa fantasi. Nyanyian-nyanyiannya pun gak kalah asik dengan versi Disney. Elemen yang lebih kelam soal kematian dan perang dan bahkan di balik bisnis sirkus/hiburan tidak pernah memperibet cerita. Melainkan justru menambah kaya perspektif. Kekuatan utama film ini setelah penceritaan, memang karakter-karakter. Yang punya personality kuat. Pinokionya beneran jenaka dan extremely loveable. Ada beberapa momen yang bikin aku sempat meragukan, tapi film ini berhasil kelar dengan gemilang. Guillermo del Toro really owns this. Sekali lagi. Mamam tuh, Disney!
The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold stars for GUILLERMO DEL TORO’S PINOCCHIO

 




That’s all we have for now.

Bagaimana pandangan kalian soal disiplin terhadap anak? Bagaimana supaya tidak terlalu ‘militer’ seperti yang dilakukan salah satu karakter ayah pada film ini?

Share pendapat kalian di comments yaa

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



LIKE & SHARE Review

 

“To look beyond your own pain, to see the pain of others.”

 

 

Anak-anak cowok sih, sudah lama punya film ‘kebangsaan’ yang mewakili rasa penasaran ingin eksplorasi tubuh dan gejolak jiwa. Yang mengangkat pertemanan mereka bersama-sama mengarungi masa muda. Judul film ‘kebangsaan’ para anak cowok itu adalah American Pie (1999). Seru, ketawa-ketawa, filmnya komedi banget. It’s all fun and games ketika anak-anak cowok nonton bokep, pengen punya pacar dan bersaing gaet cewek. Film itu bahkan tetap kocak ketika ada yang kepepet pengen mencari penyaluran lewat makanan. Sebagai yang juga ikut keseruan yang ditampilkan film itu, aku selama ini memang tidak kepikiran di luar yang dialami cowok saat puber dan mulai naksir cewek. Sama sekali tidak terpikirkan olehku sebelumnya bahwa cewek-cewek, mau itu modelan cewek biasa kayak si cewek band-geek, atau model beneran, atau bahkan Stifler’s Mom, pasti juga mengalami gejolak eksplorasi yang sama. Saat nonton Like & Share, film panjang ketiga Gina S. Noer sebagai sutradara sekaligus penulis, inilah baru aku melihatnya. Melihat cewek juga ngalamin rasa penasaran yang sama dengan cowok-cowok. Cewek juga nonton bokep. Tapi berkebalikan dengan film-film remaja cowok kayak American Pie, saat nonton Like & Share aku baru sadar, eksplorasi gejolak muda pada anak cewek ternyata bisa sangat disturbing.

“Gue dan Lisa masih eksplorasi, Bang” kata Sarah, sahabat Lisa, ketika ditanya oleh abangnya perihal kegiatan mereka.  Dua sahabat ini memang sering ditanyain keluarga masing-masing. Lisa sendiri, sering ditegur oleh ibunya. Dilarang bikin video ASMR lagi. Disuruh nyari teman yang lebih baik daripada Sarah yang dianggap bawa pengaruh buruk. Lisa kegep nonton video bokep. Tapi itu memang bukan salah siapa-siapa. Namanya juga dalam fase eksplorasi diri. Lisa penasaran. Akhirnya dia jadi kecanduan. Film Like & Share berangkat dari sini. Dari persahabatan dua remaja yang terancam bubar. Film ini juga membuatku teringat sama satu lagi film anak cowok, Superbad (2007), yang juga tentang dua sahabat yang mau menempuh next step di kehidupan sehingga ada potensi mereka bakal berpisah. Bedanya, ya itu, Lisa dan Sarah terancam pisah oleh kejadian yang berat dan tragis. Ketika yang satu harus dealing with problem kecanduan video bokep, yang satu lagi harus berurusan dengan kekerasan seksual. Ketika Lisa belajar bikin ragi roti yang udah kayak makhluk hidup, Sarah dipaksa ngelakuin kegiatan yang bisa membuatnya bikin makhluk hidup beneran.

Penasaran, cewek kalo nonton bokep, yang ditonton apanya sih?

 

Menyaksikan Lisa (terbaik dari Aurora Ribero sejauh ini!) nonton video bokep diam-diam dari balik selimut, memang membuat pertanyaan itu terbesit di pikiranku. Apa yang ditonton oleh cewek kalo lagi nonton bokep, Toh kita kan sama-sama tau yang begituan, baik itu secara industri ataupun yang homemade (istilah jelatanya, video 3gp), dibuat oleh laki-laki. Dengan gaze laki-laki. Video yang ditonton Lisa juga digambarkan film dalam gaze yang sama. Then it strikes me. Yang bikin Lisa kecanduan ternyata bukan sekadar adegan yang ia tonton. Tapi di situ, film ingin memperlihatkan efek dari sudut pandang. Ketika pandangan perempuan Lisa bertemu video untuk kesenangan cowok, Ya, penasaran terhadap seksualitas itu ada (pikiran Lisa kemana-mana melihat mulut ikan di pasar), tapi kita juga bisa melihat bahwa Lisa tidak menonton video seperti kita yang cowok menontonnya. Lisa tidak melihatnya untuk kesenangan ataupun olok-olok, seperti yang dilakukan oleh Sarah. Lisa looks beyond , dan dia menemukan simpati. Lebih dari itu, Lisa merasakan empati kepada perempuan yang ada di dalam video yang ia saksikan diam-diam tersebut. Lisa menjadi ‘tertarik’ dengan orang itu. Lalu apa yang kemudian dilakukan oleh film ini? Mempertemukan Lisa dengan sang ‘bintang’. Fita (Aulia Sarah gak mau kalah ngasih penampilan terbaik), seorang wanita yang kayak kita temui di tempat perbelanjaan sehari-hari. Wanita yang nanti ngajarin Lisa bikin roti. Hubungan yang tercipta antara Lisa dengan Fita, actually jadi elemen terbaik yang dipunya oleh film ini. Apalagi karena Lisa digambarkan tidak akur dengan ibu kandungnya. Jadi hubungan mereka semacam jadi ibu-anak kedua, tempat curhat yang ultimately jadi saling menguatkan keduanya.

Lewat Lisa dan apa yang terjadi kepada Sarah, film mengajak kita untuk menumbuhkan rasa simpati lalu kemudian berempati.  Supaya kita tidak gampang ngejudge. Bukan sekadar kita merasa kasihan sama korban, it is easy to feel sorry lalu gak ngapa-ngapain. Film ingin lebih dari itu, Ingin supaya kita ikut merasakan apa yang dialami oleh korban. Untuk mengerti situasi mereka. Orang yang kecanduan bokep bukan lantas berarti otaknya cabul. Orang yang jadi korban kekerasan seksual jangan buru-buru dikasih nasihat ini itu, yang seolah menyalahkan. At least, film ingin kita yang berada dalam ruang aman menonton atau mendengar berita atau kasus semacam Lisa dan Sarah, untuk bisa mengambil langkah yang tepat dalam mendampingi mereka.

 

Dari situlah aku jadi tau bahwa film ini benar-benar mengembangkan ceritanya lewat desain dan konteks yang detil. Serta juga penuh rasa respek terhadap karakter dan permasalahan mereka. Ceritanya kaya oleh perspektif perempuan, di dunia yang sepertinya gampang menyalahkan perempuan. Sudut pandang yang kemudian diperimbang dengan sudut dari keluarga, dari laki-laki sebagai kepala keluarga, dan juga dari sudut agama.  Like & Share diframe dengan ratio yang lebih sempit ketimbang film-film pop bioskop lainnya. Demi menguatkan kesan remaja perempuan seperti Lisa dan Sarah memang dipepet oleh frame di sana-sini. Di lingkungan sekolah, di rumah, di tempat publik – Lisa diceritakan ikut bantu-bantu kerja di usaha seafood ayah tirinya – mereka ini punya aturan yang harus dijunjung. Punya ekspektasi yang harus dituruti. Film lantas mengontraskan itu dengan visual. Lisa dan Sarah enjoy membuat video ASMR. Mereka mendirect sendiri yang mereka lakukan. Mereka membuat video dengan makanan dan warna-warna cerah, Shot-shot yang indah dan estetik yang banyak dilakukan film ini pada akhirnya memang membuat film jadi lebih kerasa disturbing. Ceritanya gradually gets darker. Pada babak kedua, kita akan berpindah melihat cerita Sarah (penampilan akting Arawinda Kirana buktiin bahwa award yang diterimanya tahun lalu bukanlah beginner’s luck) yang terlibat relationship dengan pemuda yang sepuluh tahun lebih tua. Di sinilah ketika film mulai membahas soal kekerasan seksual, grooming, tipu-daya laki-laki. Film jadi nyelekit banget untuk ditonton. Dua adegan perkosaan yang ditampilkan oleh film ini dengan begitu intens, hanya akan lebih sakit lagi berkat kehadiran dialog antara Lisa dan Sarah, saat Sarah menolak mengakui dirinya diperkosa. Excruciating banget adegannya, apalagi karena direkam dengan long-take. Soal itu, ya film ini banyak memakai long take, yang bukan saja menantang para aktor untuk ngasih penampilan terbaik, tapi juga semuanya efektif menyampaikan emosi.

Saking intensnya, ku jadi canggung pas wawancara karena serasa nanya ke filmmaker di industry porn beneran

 

Terakhir kali film ini mengingatkanku pada sesuatu, yaitu adalah mengingatkan kepada serial 13 Reasons Why (2017) yang nunjukin adegan bunuh diri dan perkosaan yang problematik. Depictions, penggambaran, kekerasan seksual yang dilakukan Like & Share buatku jadi seproblematik serial tersebut karena sebenarnya tidak harus dilakukan dengan seperti itu. Aku ngerti, lewat adegan itu sebenarnya film ingin memperlihatkan gimana cewek udah nolak tetep dipaksa, gimana cewek bisa termanipulasi dalam sebuah hubungan yang dinamika powernya amat tak seimbang (dalam hal ini cowoknya lebih tua dan selalu pakai kata “kamu kayak anak kecil” buat balik-nyalahin). Film memperlihatkan itu supaya kita benar-benar melihat posisi korban. Namun ini membuat film tampak jadi punya cara penceritaan yang lemah. Orang-orang mungkin ada yang menyebutnya terlalu frontal (bukan saja adegan seksual, tapi juga dialog-dialog lainnya). Tidak lagi estetik. Tapi concernku sebenarnya adalah pada soal kita tidak lagi inline dengan karakter utamanya, yaitu si Lisa. Film berpindah antara Lisa ke Sarah membuat jadi tidak ada pembelajaran kepada Lisa, film jadi hanya ngajarin kita saja. Dan ngajarinnya itu ya agak ‘aneh’. Like, apakah kita memang harus melihat dulu supaya bisa simpati dan empati? Padahal di dunia nyata, kita yang membaca berita di zona aman, dari balik layar komputer masing-masing, tidak akan bisa melihat kejadian yang sebenarnya dari suatu kasus kekerasan seksual yang korbannya butuh pendampingan.

Bukankah justru sebaiknya; Yang harusnya film ini perlihatkan adalah gimana caranya kita bisa seperti Lisa. Gimana supaya bisa demikian percaya, peduli dan memihak kepada Sarah, tanpa harus melihat bagaimana kejadian Sarah diperkosa. Seperti ASMR yang mereka bikin, bukankah seharusnya cukup dengan ‘dengar dan rasakan’. Tidak perlu melihat mereka mengunyah mie, relaksasi bukankah datangnya dari mendengar suaranya? Apalagi untuk kasus kekerasan seksual. Kenapa kita harus melihat dulu baru bisa percaya dan peduli dengan korban. Seharusnya kita tetap dibikin stay dengan Lisa dan disejajarkan dengan posisi Lisa yang berusaha mengerti masalah sahabatnya tersebut.

Tapi film ini membagi dua. Yang membuatnya malah seperti permasalahan Lisa dipinggirkan untuk masalah Sarah. Membuat stake Lisa jadi kalah urgen ketimbang Sarah yang actually jadi korban. Di sini aku merasanya film seperti kebingungan menghimpun pokok-pokok konflik yang dimuat oleh naskah, Babak penyelesaian film ini jadinya terasa sangat keteteran, baik itu dalam tempo dan penceritaan. Banyak yang diburu-burukan. Permasalahan keluarga Lisa jadi tidak maksimal, padahal di awal-awal seperti disiratkan keadaan keluarga Lisa – bagaimana dia ditinggal ayah kandungnya yang “bule tapi kere”, gimana keluarganya seperti ‘diselamatkan’ oleh seorang bapak-bapak muslim. Akar dari karakter-karakter ini, yang di awal seperti ditanam untuk jadi penting di akhir jadi hilang tak terbahas karena film malah jadi sibuk mencari keadilan dan penyelesaian yang dramatik. Tidak terasa lagi sebagai story, bagian terakhir itu. Development Lisa pun jadi hambar karena dengan membuat kita tidak lagi inline dengannya (film membuatnya jadi dramatic irony saat kita melihat yang tidak Lisa lihat, tapi dia tetap peduli kepada Sarah tanpa ada kebimbangan), Lisa yang tadinya anak bermasalah kecanduan bokep, yang pengen ngaji tapi enggak bisa, jadi pihak yang paling baik tapi yang paling sedikit menempuh perubahan ataupun paling sedikit dikenai permasalahan. Soal mereka tak-terpisahkan pun juga kurang terasa, Tidak seperti Superbad yang karakternya akhirnya belajar untuk hidup masing-masing tapi tetap sebagai sahabat, film Like & Share yang ingin nunjukin perempuan saling support, ya akhirnya membuat mereka tetap bersama, dan Lisa terus percaya akan itu sepanjang durasi.

 

 




Eksplorasi diri pada remaja perempuan ternyata bisa jadi sedisturbing ini. Berbeda sekali penggambarannya dengan yang selama ini kita lihat dalam film yang dibuat oleh laki-laki, untuk laki-laki. Film ini punya maksud yang sangat mulia di balik cerita dua sahabat perempuan remajanya. Ingin meningkatkan awareness, ingin menumbuhkan rasa peduli kita. Supaya kita mendengar dan memihak korban, first. Hadir dengan sangat terencana dan hormat kepada karakter-karakternya. Dimainkan dengan usaha maksimal ngasih penampilan terbaik. Penggambarannya yang sangat intens, mungkin bakal membuat film ini susah untuk ditonton oleh sebagian orang. Dan menurutku sebenarnya tidak perlu sampai sedemikian intens. Film terlalu fokus ke sini, dan malah tampak agak sedikit keteteran membungkus semua yang diangkat. Film sepenting ini, menurutku, masih bisa dirapikan, dipercantik sedikit lagi, karena bagaimanapun juga yang diangkatnya adalah masalah yang benar-benar harus mendapat perhatian lebih. Apalagi di masa-masa sekarang ini. Semoga film ini tidak malah jadi di-guilt & shame.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for LIKE & SHARE

 

 




That’s all we have for now.

Apakah menurut kalian, kita memang harus melihat dan mendengar dahulu baru bisa merasakan? Kenapa harus?

Share pendapat kalian di comments yaa

 

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 



TRIANGLE OF SADNESS Review

 

“Beauty is a currency system like the gold standard”

 

 

Aku gak tau ternyata daerah kecil di pangkal hidung, di antara dua alis mata, punya nama tersendiri. Triangle of sadness. Segitiga kesedihan. Sepertinya itu istilah dari dunia permodelan, karena di lingkungan itulah istilah itu disebut pada film karya Ruben Ostlund ini. Seorang model pria yang lagi audisi, disuruh dengan ketus oleh juri untuk menghilangkan kerutan di triangle of sadness-nya. Suruhan yang malah bikin kerutan itu semakin banyak, sebab si model sendiri bingung. Dia juga baru dengar istilah tersebut hihihi. Itulah, Ruben mungkin memang sengaja menggunakan istilah tersebut sebagai judul internasional dari karya terbarunya, karena dia pengen kita juga berkerut. Mikir. Bukan mikir soal gimana lolos audisi model, melainkan mikir mengenai gender dan social role di masyarakat modern. Segitiga dalam Triangle of Sadness salah satunya adalah cowok-cewek-harta. Film ini mengemas bahasan tersebut dalam komedi satir, diwarnai oleh kejadian dan terutama oleh karakter yang boleh jadi aneh, tapi yaaa, kok kayak nyata juga!

Atau bisa juga segitiga dalam film ini merujuk kepada chapter penceritaannya. Robert memang membagi ke dalam tiga chapter, yang kayak segitiga – dari setup, menanjak ke transisi di mana semua memuncak, terus kembali seperti kepada posisi set up namun dengan pembalikan. Model yang audisi tadinya hanyalah prolog, tapi dengan efektif melandaskan pokok masalah. Like, di bagian itu ada dialog soal aturan bahwa semakin mahal busana yang diperagakan, model harus pasang tampang yang semakin jutek juga. Cerita Triangle of Sadness juga lantas menelisik tentang gimana si model, Carl (perhatikan betapa konsisten si Harris Dickinson nampilin ekspresi triangle sadness di wajahnya), memandang perannya di dalam relationship. Secara garis besar, ini adalah tentang Carl dengan pacarnya, Yaya (rest in peace Charlbi Dean) – seorang model dan influencer yang jauh lebih populer daripada Carl sendiri. Ketika pertama kali melihat pasangan ini, kita udah dihadapkan pada debat kekinian yang somehow kocak. Tentang split bill. Bukan cuma di Twitter thread, ternyata masalah split bill cowok dan cewek memang universal ya.  Nah, Carl dan Yaya beres dinner di restoran fancy, tapi si Yaya belagak cuek sama tagihan di atas meja, sampai akhirnya ditegor oleh Carl yang bilang “Gue lagi yang bayar? Lah elo kemaren bilang mau bayarin yang sekarang”. Just like Carl dan Yaya yang dalam pembelaannya masing-masing mengatakan ini bukan soal duit, film ini juga berusaha mengestablish bahwa adegan ini bukan sekadar soal cowok harus bayarin. Melainkan soal equality dalam gender dan kelas sosial yang membuat masing-masing punya role atau tugas, dan hak masing-masing. Film ingin mengangkat pertanyaan apakah cowok dan cewek memang sama, dan berusaha menghadirkan jawaban versi mereka lewat portrayal yang digambarkan karakter-karakternya ini.

Si Yaya bintangnya pasti Taurus

 

Debat mereka gak dituliskan lewat saling bentak, tuding, hardik. Nadanya memang marah, tapi film ini bijak untuk tidak kayak film atau sinetron Indonesia yang taunya pasangan berantem itu ya harus adu jerit, kemudian lantas ada satu yang tertindas. Berlinanglah air mata. Cara kamera ngeframe, berpindah dari Carl ke Yaya, suasana dan musik yang dibuat seolah menahan napas melihat mereka berusaha melempar argumen tanpa melukai perasaan yang lain. Build up berupa celah kentara di masing-masing sisi argumen. Jelas, film ingin memfokuskan kita kepada perspektif mereka sama besarnya. Dari semua chapter, memang chapter pertama inilah yang paling grounded, dan aku pikir bagian inilah yang paling mudah konek kepada penonton. Sementara dua bagian lagi, bisa jadi agak mixed buat penonton yang merasa landasan grounded ini akan terhampar selamanya. Triangle of Sadness didesain sebagai komedi satir yang menggambar paham atau ideologi karakter, kelas sosial karakter, untuk membuat kita menyadari cela dan cacatnya. Karena itulah chapter kedua berkembang menjadi lebih komikal (meski gak pernah terlalu over) dan chapter terakhir bisa dibilang sebagai konklusi berupa nyaris terasa seperti skenario ‘what if’

Meskipun penjelasanku tentang film ini bisa terdengar ngejelimet dengan ideologi, kelas sosial dan sebagainya, tapi film ini sesungguhnya bermain di nada yang kocak. Alurnya gak ribet. Pun juga tidak pernah mempersimpel persoalan yang diangkat. Kayak, oke debat split bill Carl dan Yaya clearly debat dengan paham feminis – dengan klimaks Carl frustasi nyeletuk ‘bullshit feminism’ saat sambil berjalan menuju kamar, tapi film ini tidak untuk mengecam bahwa feminis mungkin salah. Ataupun ketika memperlihatkan orang-orang kaya sebagai worst people karena merasa udah kayak paling benar dan jumawa, dan terlihat kayak dengan jam tangan rolex bisa beli apa saja, film ini tidak lantas seperti menyerang dan mengolok-olok mereka. Seperti meniti pada garis balance, film ini kayak mau nampilin horrible person, tapi juga pengen liatin mereka juga gak seburuk itu. Puncaknya adalah pas di ending. Alih-alih menegaskan bahwa kalo situasi atau peran gender dan kelas sosial itu dibalik ternyata matriarki gak lebih baik daripada patriarki, film malah menjadikan itu sebagai open-ended.  Dengan tujuan supaya masing-masing penonton memikirkan kenapa kita percaya ending film ini menutup seperti yang kita sangka. Semua itu kembali ke soal perspektif gender dan sosial yang aku percaya jadi benang merah semua kejadian absurd film ini.

Semua orang berhak menikmati hasil yang mereka kerjakan. Ya beberapa orang kerja keras untuk jadi kaya. Tapi beberapa orang bisa juga kaya tanpa melakukan apa-apa, atau kaya dengan melakuin something horrible. Kenapa bisa begitu? karena kita memandang kecantikan sebagai privilege. Sebagai alat tukar untuk mendapatkan sesuatu, range from sesimpel food hingga ke kekuasaan. Karakter-karakter dalam Triangle of Sadness sering sekali bicara tentang kerjaan mereka. Apa yang telah mereka lakukan sehingga sekarang mereka pantas mendapatkan suatu kuasa. Kelas sosial ini dibenturkan oleh film dengan perspektif dari gender. Makanya film ini sebenarnya kompleks, di balik kejadian yang tampak absurd dan artifisial.

 

Jadi nanti cerita di chapter kedua adalah si Carl dan Yaya liburan di kapal yatch mewah, bersama milyuneran lain. Bedanya mereka berdua ada di sana karena job Yaya sebagai influencer. “We mostly get free stuff” jawab Carl ketika ditanya oleh juragan pupuk dari Rusia yang lagaknya udah kayak pemimpin mafia. “Kecantikan yang membayar semua” kekeh si juragan pupuk menanggapi jawaban Carl. Chapter keduanya ini kalo diliat-liat sebenarnya memang cuma transisi, ‘dalih’ film untuk membawa Carl dan Yaya ke situasi yang merupakan pembalikan dari kondisi mereka di awal. Situasi di chapter terakhir adalah kapal mereka diterjang badai dan diserang pembajak, sehingga sebagian kecil penumpang terdampar di pulau. Mereka harus survive di pulau dengan menegakkan aturan kelompok tersendiri. Aturan yang ditetapkan oleh ibu-ibu janitor kapal, yang mendeklarasikan diri sebagai kapten karena cuma dia yang bisa nyari ikan, masak, dan kebutuhan survival lainnya. Itulah plot atau alur film. Beda titik A dan titik B ‘cuma’ pembalikan posisi. What if mereka hidup di sistem matriarki. Pembelajaran karakter terjadi saat mereka menyadari (atau tepatnya pura-pura tidak menyadari) bahwa mereka saat berada di posisi B ternyata melakukan hal yang berkebalikan dengan paham yang mereka argumenkan di titik A. Yaya yang mengaku gak benar-benar looking for love, relationshipnya bareng Carl hanya berdasar atas kebutuhan yang sama, ternyata akhirnya cemburu juga. Carl yang not feeling konsep dunia glamor mereka di mana kecantikan jadi semacam alat tukar, ternyata malah menjadikan dirinya ‘jaminan’ supaya mereka dapat makanan dengan ‘sleeping with the boss‘. Sementara dialognya memang tidak benar-benar subtil , karakternya kayak parodi, dan kejadiannya komikal, ternyata film ini menjalin plot yang tersirat sempurna di balik semua. Kepentingan kenapa semua itu dibuat seperti demikian, benar-benar terasa jadinya.

Segitiga kesedihan juga bisa berarti cinta segitiga Yaya, Carl, dan si janitor dengan ending yang (sepertinya) tragis

 

Penulisan yang tajam sudah bisa terlihat dari bagaimana film mempersembahkan chapter kedua yang sebenarnya cuma transisi. Distraksi konyol, kalo boleh dibilang, dari chapter pertama yang grounded dan chapter ketiga yang kejadian pembalikannya bikin kita takjub dan tertantang di saat bersamaan. Bagian mereka di kapal itu adalah bagian saat film menempuh resiko terbesar. Mereka membuat Carl dan Yaya agak ‘tersingkir’ karena mau melandaskan perspektif orang-kaya. Menyiapkan set up untuk bahasan kelas sosial. Kapal besar yang adalah ruang tertutup, dijadikan film tempat bermanuver untuk memuat banyak celetuka konyol dan gambaran sosial itu sendiri. Di sela-sela itu, film masih menyempatkan diri untuk menyisipkan perbandingan dengan konsep Marxisme, komunis, lewat karakter kapten kapal yang tak kalah ajaib (Woody Harrelson memang kocak mainin karakter chaos macam gini). Patriarki yang gak strict, kelas atas yang merakyat (makannya burger, bukan makanan fancy kayak tamu lain). Namun bahkan karakter nyantai macam ini pun ada flawnya. Chapter di kapal would also involving muntah dan kotoran, yang diperlihatkan tanpa malu-malu. Hillarious, memang. Tapi ya, bisa terasa tasteless dan literally bikin penonton ilang selera nonton ini. Tapi di samping segala resiko itu, film berhasil memuatnya menjadi kejadian konyol yang masih inline dengan konteks, sekaligus menghantarkan plot ke tempat berikutnya.

 




Jika tahun lalu ada Don’t Look Up, maka tahun ini, film Robert Ostlund jadi ekuivalen dari film tersebut.  Komedi satirnya yang telak membuat film ini pun seperti kayak hanya menyenggol yang sudah jelas, dengan komedi yang nyaris terlampau konyol, dan dialog yang tajam tapi gak subtil. Kubilang, kedua film ini hanya terlampau dekat dan nekat. Secara naskah, mereka sesungguhnya berada pada kelas yang tak bisa dipandang sebelah mata. Film ini, punya desain naskah tersendiri. Yang merayap dengan sukses merangkai semua kejadian dan bahasannya menjadi satu event yang bermakna. Nilai plus cerita dengan setting dunia model dan lingkungan jet set ini buatku adalah walau sarkasnya telak dan tajam, tapi kalo diliat-liat, dipikir-pikir, film masih manage untuk berada di posisi yang seimbang. Konklusinya diserahkan kepada kita untuk memikirkan kenapa kita berkesimpulan endingnya seperti itu. Bagaimana kita sendiri memandang gender role dan sosial.
The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold stars for TRIANGLE OF SADNESS

 




That’s all we have for now.

Bagaimana pandangan kalian soal pembalikan gender role yang dilakukan film ini di chapter terakhir?

Share pendapat kalian di comments yaa

 

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



QORIN Review

 

“Real women support women”

 

 

Kesurupan rupanya masih jadi trope andalan film horor Indonesia. Di satu sisi, memang kesurupan bisa tampak konyol. Teriak-teriak pakai suara-dua, muntah, kayang, manjat-manjat tembok. Tapi jika dilakukan dalam konteks dan lingkungan yang benar, kesurupan terbukti mujarab. Karena, ya, super-relate. Kasus kesurupan sering terdengar dalam lingkungan masyarakat yang berakar agama. Much easier bagi masyarakat kita untuk ‘percaya’ sama orang kemasukan roh halus sehingga jadi jahat, ketimbang menyelami psikologis seseorang – rasa bersalah, duka, dan sebagainya ‘menjelma’ menjadi perwujudan jahat. Lebih gampang bagi masyarakat kita untuk deal with setan yang merasuki manusia. Kita telah melihat bukti kesurupan yang bercerita dengan lingkungan yang tepat berhasil jadi horor yang konek, pada film Qodrat (2022). Ustadz yang bisa rukiyah, literally jadi penyelamat. Menjadi layaknya superhero dalam cerita horor. Tanpa tendensi macam-macam, film itu mengembalikan tuhan lawan setan, baik lawan buruk, ustadz lawan orang kesurupan, ke kodrat yang langsung bisa dicerna penonton. Dan sekarang, saudari dari Qodrat; Qorin, tampak mau melakukan hal yang sama.

Kenapa aku bilang ‘saudari’? Karena Qorin garapan Ginanti Rona berangkat dari potret kesurupan yang grounded dengan masyarakat lewat agama, dalam sudut pandang perempuan. Santri-santri di sebuah Pesantren khusus perempuan sering kesurupan. Zahra (Zulfa Maharani dalam peran utama horor pertamanya) pun mulai sering menangkap ada yang aneh di pesantren mereka. Tapi Zahra si anak teladan, memilih diam. Tidak mengadu kepada ustadz dan ummi di sana. Zahra bahkan tampak takut kepada sang ustadz kepala, Jaelani. Sampai ketika Yolanda, si anak baru (Aghniny Haque dalam peran tomboy dan tangguhnya yang biasa) mempertanyakan ujian praktek memanggil qorin yang diberikan kepada seluruh kelas oleh Ustadz Jaelani. Kehadiran Yolanda sebagai teman, tampak menumbuhkan keberanian bagi Zahra. Namun hal mengerikan seperti menjadi-jadi. Teror qorin, ‘kembaran jahat’ para santri semakin tak terkendali. Zahra dan Yolanda harus mengumpulkan keberanian santri-santri yang lain untuk melawan kemaksiatan yang sepertinya sedang dilakukan oleh Ustadz Jaelani.

Ujian praktek manggil qorin tu yang dinilai apanya ya kira-kira?

 

Sudut pandangnya itulah yang membuat Qorin jadi punya sesuatu. Gak sekadar hantu-hantuan. Pun juga membuat Qorin meski punya identitas agama yang kental tapi masih bisa ditonton secara universal. Ada bahasan keberdayaan perempuan yang mengalir di dalam narasi Qorin. Persoalan power tercuatkan saat santri-santri perempuan ini harus tunduk di bawah sistem pendidikan tegas ustadz laki-laki. Film dengan berani memperlihatkan di balik identitas agama, para karakter ini hanyalah manusia. Dan manusia akan selalu punya dosa. Tentu kita masih ingat berita soal kepala pesantren yang mencabuli siswi-siswi, sampai ada yang hamil dan sebagainya, Nah, Qorin mengeksplorasi permasalahan tersebut dalam bungkus horor, tanpa mengurangi esensi yang ingin mereka sampaikan. Film ini menghadirkan hantu tapi tidak menjadikannya kambing hitam, sehingga tidak tampak mengelak dari permasalahan yang nyata tersebut. Menurutku langkah film dengan cepat mengestablish Ustadz Jaelani bukan orang baek-baek adalah langkah bold yang membuat statement ceritanya kuat dan langsung menuju sasaran. Alih-alih menyimpan si jahat sebagai misteri yang baru diungkap belakangan, film sedari awal sudah menanamkan petunjuk kejahatan Jaelani, dan begitu masuk babak kedua question yang diangkat sudah ke fokus ke permasalahan utama berikutnya. Ke pokok sebenarnya. Bagaimana perempuan bisa berjuang, not only di tengah sistem yang patriarki seperti ini, tapi juga yang menutupi sesuatu yang lebih sinister – seperti pelecehan seksual.

Aku berani bilang bahwa Qorin ini memuat soal keberdayaan perempuan lebih baik daripada film-film superhero atau film dengan jualan feminis yang biasanya kita lihat. Karena di Qorin inilah aku baru lihat perempuan-perempuan lemah itu berusaha bekerja sama. Lemah dalam artian, mereka cuma siswa – di sekolah agama, gak punya suara apalagi power untuk berontak. Biasanya di film-film yang koar memperjuangkan perempuan, karakter perempuan either udah jago sehingga jadi panutan karakter sekitarnya, menyelamatkan semua orang, atau  ditindas oleh semua orang di kehidupannya. Yang jelas, mereka dibikin selalu benar, gak ada flaw. Mereka gak ada pembelajaran, perjuangan mereka hanya untuk validasi. Tidak terasa real. Zahra, Yolanda, Ummi Hana, dan karakter-karakter perempuan dalam Qorin, mereka belajar untuk bekerja sama. Mereka yang ‘lemah’ itu berjuang bersama-sama. Babak kedua film ini memperlihatkan proses berat sebelum akhirnya mereka melawan bersama. Berat karena ‘perempuan saling dukung perempuan’ memang tidak semudah itu. Film memperlihatkan sempat ada friksi di antara Yolanda dan teman Zahra yang lain. Terkait Yolanda yang ‘berandal’ tidak sama dengan mereka yang alim. Zahra bahkan awalnya tidak berani menghadapi kejadian buruk yang menimpanya. Ia menyimpan sendiri. Kehadiran Yolanda, persahabatan mereka, mengajarkan Zahra untuk menjadi berani. Dari situ, dari santri-santri yang akhirnya berkumpul dan melawan itu, tema perempuan harus saling dukung benar-benar terpampang real.

Perjuangan perempuan seperti inilah yang bakalan konek ke penonton. Benar-benar menunjukkan fondasinya ya dari perempuan harus saling dukung dulu, lalu maju bersama. Tidak ada satu yang paling mencuat dan paling benar. Zahra harus belajar untuk berani. Yolanda yang jagoan harus belajar untuk lebih terbuka. Ummi harus belajar untuk percaya. Dengan flaw dan pembelajaran bersama, mereka jadi kayak real women. Dan real women akan saling support. Penggambaran itulah yang dilakukan dengan sangat baik oleh film Qorin.

 

Istilah ‘Final Girl’ dalam film horor (yang merujuk kepada satu protagonis yang bakal survive dari kengerian) seperti ditantang keras-keras oleh semangat perempuan film Qorin. Karena di sini ‘final girl’nya banyak! Film membuatnya clear bahwa bahkan si protagonis utama, Zahra, tidak akan bisa selamat tanpa yang lain juga selamat. Sebagai cowok yang hobi nonton horor, aku sudah melihat berpuluh-puluh final girl di ending horor. Melihat final battle Qorin, serasa ada sensasi tersendiri. Rasa kemenangan mereka terasa berbeda. Lebih menohok. Ending film ini buatku hanya diperlemah oleh kejutan di akhir; penutup shocker tipikal horor, yang gak ada nambahnya ke tema ataupun cerita, melainkan hanya untuk mengirim penonton pulang dengan teka-teki (sukur-sukur ada yang minta sekuel). Tapi yah, ibarat kado, final shock itu cuma pita hiasan yang membungkus film. Sementara isinya, tetep terasa urgen dan penting. Yang bijaknya adalah Qorin juga membahas dengan berimbang. Gak semua karakter cowok dibikin jahat, Patriarki tidak lantas dijadikan antagonis. Film masih respek sama nilai-nilai yang dikandung identitasnya. Ini membuat film tampak lebih elegan.

Soal hantu-hantu qorinnya, menurutku kembaran-kembaran jahat itu juga difungsikan sebagai metafor yang mendukung narasi. Bahwa semua orang punya sisi buruk. Setiap orang harus menghadapi sisi buruk masing-masing seperti Zahra dan Yolanda yang harus confront their fears, tapi juga di film ini ditunjukkan juga bahwa para perempuan itu melihat qorin jahat teman masing-masing sebagai cara untuk membuat mereka saling menerima kekurangan, dan akhirnya jadi saling bantu. Ngomong-ngomong soal qorin itu, cara film menampilkan dan mengadegankan horor cukup variatif sih. Ada yang lewat adegan mimpi, ada yang pakai kamera work sehingga shot-shotnya eerie, ada yang jumpscare. Adegan kesurupan yang selalu pake suara tawa cekikian juga bikin merinding. Lumayan seram juga overall. Mungkin karena dekat gitu sih ya, perihal qorin memang ada dalam agama, sehingga aku cukup merinding juga pas malam setelah nontonnya ke WC. Aku jadi segan melirik cermin di WC, takut kalo bayangan ku malah nyengir sambil bilang “Ih, bau!”

Stresnya kalo ketemu qorin sendiri adalah, gimana kalo dia lebih baik dari kita?

 

Yang kurang dari film ini adalah world-buildingnya. Bayangin kalo misalnya film Harry Potter Pertama, tapi isinya cuma Harry and the genk berusaha ngintipin Batu Bertuah. Tidak ada bagian mereka di kelas ngapain, apa aja yang dipelajari, dan sebagainya. Sayangnya, kayak begitulah Qorin. Ceritanya yang langsung to the point, tidak menyisakan ruang untuk pembangunan dunia pendidikan pesantren. Ujug-ujug langsung disuruh ujian prakter ritual manggil qorin. Mungkin karena bukan fantasi seperti dunia sihir Harry Potter, maka film merasa tidak perlu untuk memperlihatkan di pesantren itu ngapain aja sih, sistem belajarnya seperti apa, qorin itu apa sih – kok bahaya dan sebagainya. Padahal ya gak semua penonton tahu. Apalagi film ini menyasar permasalahan sosial yang global, harusnya ada something yang lebih memperkenalkan pada penonton umum. World building yang lebih mantap juga akan membuat karakter lebih natural, karena setidaknya kita jadi kebayang rutinitas mereka. Sementara yang actually kita lihat di film ini kan tidak terasa natural-natural amat. Progres ceritanya masih kayak poin-poin. Belum benar-benar berkesinambungan secara mulus. Melainkan hanya seperti adegan kunci ke adegan kunci, planting satu ke planting berikutnya, yang masuk gitu aja silih berganti. Akibatnya, kadang emosi karakternya terasa tidak kontinu antara adegan satu dengan adegan dia berikutnya. Ada juga adegan yang gak jelas juga kenapa ada. Misalnya kayak Zahra yang selalu mimpi buruk, tapi satu kali dia mimpi sampe ngompol (padahal visual mimpinya kita lihat sama aja). Ngompolnya dia itu jadi gak jelas karena apa, kirain ada kepentingannya. Tapi ternyata hanya di situ aja. Enggak jelas juga maksudnya untuk apa, kenapa harus ngompol, apakah untuk lucu-lucuan, apakah mau reference Zulfa meranin Nunung (pelawak yang punya ciri khas suka ketawa sampai ngompol) di film Srimulat yang satu ph ama Qorin, atau apa.

 




Kadang memang terasa jenuh juga sama horor. Apalagi yang bahasannya yang itu-itu terus, seperti kesurupan, kayang, dan semodelnya. Tapi film ini ngasih lihat bahwa ternyata masih ada loh galian-galian baru. Masih ada konteks yang bisa dilandaskan untuk membuat something jadi kerasa baru. Aku gak kepikiran final girl, perjuangan perempuan, dan horor kembaran jahat bisa digabung dan menghasilkan yang seperti film ini. Yang bisa ngasih gambaran gagasan yang berbobot di balik narasi hantu-hantuan. Berani mengangkat identitas agama, tanpa tendensi, sekaligus tetap berimbang. Sehingga semuanya terasa matang, aspek horornya tidak tertampilkan murahan. Jika diceritakan dengan world-building yang lebih baik, film ini bakal jadi pengalaman yang lebih immersive saat disaksikan.
The Palace of Wisdom gives sembilan-kayang alias 6 out of 10 gold stars for QORIN

 




That’s all we have for now.

Pernahkah kalian mendengar tentang qorin sebelumnya? Atau malah ada yang punya pengalaman nyobain manggil qorin?

Share cerita-cerita kalian di comments yaa

 

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



THE MENU Review

 

“…the only thing more pretentious than pretentious art is the people who love it”

 

 

Sebagai jemaat warteg, aku ternyata lupa kalo kuliner alias makanan bisa begitu.. fancy. Mewah. Dalam lingkup yang bukan sekadar estetik untuk dipajang di Instagram, melainkan mewah sedari konsep penyajian, pembuatan, dan cara menikmatinya. Kalo diliat-liat, seperti film ya, ada yang artsy-nya. Malahan saat nonton The Menu karya Mark Mylod, aku sempat kepikiran bahwa mestinya seorang sutradara film haruslah seperti si Chef di film ini. Apapun yang mereka sajikan haruslah punya konsep dan makna yang jelas dan terarah. Jika menu-menu masakan bisa dirangkai menjadi satu pesan storytelling, tentunya film juga bisa – dan harus – dibegitukan. Tapi ternyata bukan soal harus fancy begitu saja yang diingetin oleh film The Menu. Film ini mengulik dengan lebih dalam sehingga pada akhirnya memunculkan pertanyaan ultimate: apakah menjaga kemurnian kultur kuliner (dan mungkin, sinema) memang harus lewat seni yang fancy seperti itu? Tidakkah itu membuatnya pretentious? Apakah tidak cukup dengan sekadar menikmatinya saja? Bagaimana dengan kita, apakah kita benar-benar seorang penikmat seni, atau hanya menikmati ide bahwa ia harus mewah dan ide bagaimana kita adalah termasuk dalam kelompok elit yang mengerti kemewahannya?

Makanan dalam medium film sering dijadikan simbol, kadang dikaitkan sebagai imaji seksual, dan sering juga dimunculkan sebagai ungkapan-visual dalam cerita-cerita horor. Sepertinya itu karena makanan memang yang paling dekat dengan kebutuhan-kebutuhan mendasar manusia. Sesuatu yang kita butuhkan untuk survive, sesuatu yang mengingatkan bahwa manusia punya urge. Dalam The Menu yang dikemas dalam horor bernada dark-comedy, makanan yang ditampilkan adalah suatu kemewahan. Karakter-karakternya adalah orang-orang kelas atas yang klaim mengerti dan merasa berhak mendapatkan kemewahan dalam makanan tersebut. Kritikus makanan, seorang foodie, bintang film, karyawan perusahaan besar, konglomerat: duabelas orang diundang untuk jamuan makan malam oleh resto resort Hawthorne di sebuah pulau. Chef Slowik (Ralph Fiennes dapet banget mainin juru masak yang tampak kaku tapi brilian dan benar-benar perhatian terhadap yang ia lakukan) bukan saja telah mempersiapkan berbagai course menu sebagai sajian untuk malam itu, melainkan juga disertai oleh konsep storytelling mengerikan yang terselubung.  Sajian demi sajian sebenarnya didesain untuk ‘menghukum’ para tamu. Namun kesempurnaan rencana yang dimasak olehnya terancam cacat. Karena di sana duduk Margot (Anya Taylor-Joy dengan mata bulat besarnya seolah menantang masakan dan maksud sang Chef), perempuan yang sebenarnya tak masuk ke dalam daftar undangan. Margot hadir karena menggantikan pacar dari teman yang mengajaknya. The show must go on, Margot dituntut harus menentukan sikap dan pilihan, yang tentu saja baginya berarti hidup atau ikut mati.

Enggak lagi-lagi deh nyuruh Voldemort ngurusin konsumsi

 

Horor ruang sempit The Menu bukan datang dari siapa pelaku sebenarnya. Cerita dengan cepat mengestablish ‘penjahatnya’ dari sikap Chef yang udah kayak pemimpin cult itu.  Intensi dan maksud si Chef di balik makanan-makanan dan aksi teatrikal penyajiannyalah yang dijadikan sebagai umpan horor. Kalo course-nya dibahas satu persatu, makanannya apa, maksudnya apa, maknanya apa bagi karakter yang sedang ‘dihukum’ tentulah akan jadi sangat spoiler. I won’t do that karena bakal sama aja dengan membeberkan semua isi filmnya. The Menu memang ‘rapuh’ seperti demikian, namun kerapuhannya itu hanyalah remahan kecil dari kelemahannya sebagai film. Yang mau aku fokuskan di sini adalah, bahwa sebenarnya The Menu memang berpotensi menjadi film yang sendirinya pretentious, dengan naskah yang disokong oleh karakter utama yang lemah, jika diracik oleh tangan-tangan yang salah. Untungnya, sutradara Mark Mylod beserta dua penulis naskah Seth Reiss dan Will Tracy paham pada kelemahan yang cerita mereka punya. Sehingga mereka work around it. Dan kalo ada satu kata yang harus kugunakan untuk mendeskripsikan taste nonton ini, maka kata itu bukan “maknyoss”, tapi “lincah!”

Gimana tidak lincah. Begini, salah satu flaw dari desain cerita The Menu adalah protagonisnya. Si Margot, yang merupakan outsider. Literally orang luar. Dia tidak berkenaan dengan masalah di dalam cerita. Dia bukan penggemar makanan. Dia tidak diundang di sana. Dia tidak ada sangkut pautnya dengan konflik yang dijadikan motivasi oleh Chef Slowik. Gimana coba membuat seorang outsider ini menjadi tokoh utama yang akhirnya jadi penggerak alur cerita? See, di sinilah kecerdikan naskah. Kelincahan The Menu. Penulis yang cuek ama skenario dan cuma mau ngasih kejutan dan melempar pesan-pesan kemanusiaan gak akan peduli dan akan menghasilkan horor yang sama sekali kosong. Sebaliknya, penulis The Menu berjuang untuk mengukuhkan posisi Margot. Memberikannya alasan untuk ada di sana. Kayaknya aku belum pernah menyaksikan yang seperti ini. The way film menemukan cara supaya kejadian di pulau itu jadi personal bagi Margot. Cara film memberikan pilihan yang harus diputuskan oleh Margot, lewat Chef yang langsung ‘menunjuknya’ Misteri satu lagi yang dipunya film adalah siapa sebenarnya Margot, dan revealing yang dilakukan film terhadap karakter utamanya ini bukan membuat kita semakin jauh darinya, melainkan justru semakin dekat. Margot perlahan menjadi semakin grounded dan relatable. Penulisannya ini kalo mau pakek istilah makanan lagi; bener-bener *chef’s kiss!

Gagasan yang diusung cerita pun lantas masuk lewat sini. Lewat persamaan Margot dengan si Chef. Lewat perbedaan Margot dengan karakter-karakter lain, termasuk dengan Tyler – cowok yang actually mengundang dia ke sana in the first place. Untuk gampangnya, kita ibaratkan saja si Margot dan mereka semua sebagai penonton di sebuah pemutaran film. Namun Margot cuma penonton casual. Dia bukan sinefil, bukan kritikus, bukan seniman. Margot gak peduli sama color grading, ratio, sinematografi, bahkan tema filmnya. Sementara yang lain sok ‘mengerti’ film dengan ber-fafifuwasweswos akan segala hal kecuali cerita film itu sendiri, Margot merasa tidak dapat  menikmati film ini. Cuma Margot yang tidak menikmati hidangan yang disuguhkan Chef, karena ibarat kita yang ke bioskop untuk nonton film, Margot ada di sana untuk memenuhi ajakan temennya makan-makan. Sedangkan si Chef, menyuguhkan sesuatu yang lebih kompleks karena tuntutan kelas atas yang ingin menikmati – bukan actual masakannya, tetapi menikmati mereka ada di sana untuk sesuatu yang spesial. Menonton si kritikus makanan yang tampak lebih enjoy mengkritik dan mencari kata-kata untuk menulis ulasan alih-alih makanan itu sendiri, aku merasa tersentil juga. Apakah aku juga telah jadi seperti itu saat menonton film – asik berkutat nyari ide ulasan saja ketimbang menikmati si film di momen itu. Semoga tidak. Menyaksikan para konglomerat dan kelas jet set di film ini lebih peduli sama gambar yang menampilkan kelakukan mereka di atas roti ketimbang menikmati roti itu, membuatku teringat sama pejabat-pejabat di pemutaran atau festival film yang lebih heboh sama citra dan waktu mereka tampil di kata sambutan daripada peduli sama film yang diputar. Yang paling amit-amit ya jangan sampai kita jadi sinefil yang seperti foodie di film ini. Dalam salah satu course disajikan ke hadapan mereka roti, tapi tanpa roti (cuma piring kosong dan toping), dan si foodie dengan soknya mengatakan itu sajian paling lucu dan paling keren. Cuma Margot yang tampak tersinggung disajikan makanan yang gak ada makanannya.

Itulah, jangan sampai kita, atas nama menjaga kemurnian makanan, sinema, atau apapun, menjadi pretentious seperti karakter-karakter di film ini. Yang telah menodai bisnis kuliner dengan kepentingan untuk memuaskan ego, merasa paling elit, merasa paling jago, paling nyeni sehingga saat dikasih makanan padahal gak ada yang mau dimakan pun, kita senang-senang aja. Film ini menunjukkan bahwa seni ternyata bisa menjadi pretentious karena dinikmati oleh orang-orang yang pretentious.

 

Kalo suka bilang ke orang, kalo gak suka bilang ke saya

 

Jadi sebenarnya The Menu adalah cerita tentang Chef yang merasa mulai kehilangan passion. Dia memasak tapi bukan lagi supaya masakannya dinikmati orang, melainkan untuk mengenyangkan ego para elitis yang sebenarnya tidak cinta sama kuliner. Hal tersebut memakannya dari dalam, sehingga ia memilih untuk melakukan horor yang ia lakukan. Makanya juga, interaksi Chef dengan Margot berkembang menjadi dalam tingkatan sentimentil. Cara Margot keluar dari sana buatku sangat menyentuh. Karena ternyata begitu sederhana, simpel, semua orang bisa. Tapi gak semua orang mau melakukannya. Sebagai orang yang pernah bekerja di bidang melayani orang kayak mereka (aku pernah buka kafe dan served customers myself), aku jadi ngepick up sesuatu yang ekstra. Bahwa film juga bicara tentang gimana kita bisa kurang menghargai para pembuat atau penyedia jasa, seperti chef atau koki. Perkara sepele seperti tak ucapkan terima kasih, minta bumbu esktra, atau lupa nama makanan, ternyata dapat begitu menyinggung bagi pembuatnya. Dan di film ini aku juga baru tau kalo mau motoin makanan aja sebenarnya perlu ijin atau concent pembuat juga. Semuanya itu kembali ke soal respek terhadap sesama dan kepedulian atas orang lain di atas diri sendiri.

 




Dengan motivasi penggerak berasal dari ‘penjahat’, dengan kejadian dan karakter yang diset untuk memenuhi suatu gagasan – sehingga dark comedy digunakan untuk menutup tingkah gak make sense dari karakternya, seperti yang kubilang tadi, film ini berangkat dari resep yang kemungkinan gagalnya lebih gede. Tapi sebagaimana hasil dari sebuah resep tergantung dari tangan yang bikin, film ini ternyata jadinya bagus. Fresh dan ngasih sesuatu untuk dipikirkan tanpa ikutan menjadi pretentious.  Sepanjang durasi kita akan dibuat terus penasaran mengikuti apa yang sebenarnya terjadi, mengikuti course demi course yang janggal dari Chef. Permainan akting pemerannya pun pada takaran yang pas, sehingga karakter mereka yang gak relate-relate amat jadi tidak over annoying dan kita masih merasakan simpati meski borok dan angkuhnya mereka tercuat ke permukaan. Film ini memang seperti dibuat untuk dinikmati sambil tertawa-tawa renyah, tanpa mengurangi nilai estetik dan kandungan ‘gizi’ yang dimuat oleh ceritanya.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for THE MENU

 




That’s all we have for now.

Menurut kalian cara yang tepat untuk menikmati film itu seperti apa sih?

Share pendapat kalian di comments yaa

 

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



KERAMAT 2: CARUBAN LARANG Review

 

“Culture is the arts elevated to a set of beliefs.”

 

 

Yang keramat dari genre mockumentary (dokumenter ala-ala, yang sering ditampilkan dengan gaya found footage) adalah kesan otentiknya. Dalam artian, penting bagi genre ini untuk menjaga ilusi bahwa mereka adalah ‘dokumenter-asli’ meskipun kita semua tahu yang di layar itu cuma film yang bentuknya saja yang seperti dokumenter, sementara ceritanya adalah fiksi dan sebagian besarnya merupakan parodi dari bentuk-bentuk dokumenter yang ada. Untuk menjaga kesakralan ilusi otentik tersebut, maka biasanya mokumenter menggunakan gimmick-gimmick, mulai dari teknis seperti kamera handheld yang goyang-goyang, hidden cam, adegan-adegan interview, dan estetik kamera jadul – atau at least grainy supaya kesan raw footagenya dapet.  Beberapa bahkan sengaja dibuat dengan skrip minimalis (hanya poin-poin, sementara pemeran bebas improvisasi dialog, dan sebagainya). Hingga gimmick di luar teknis pembuatan, seperti pemasaran yang menyatakan filmnya adalah kisah nyata. Dan oh boy, betapa di horor, mokumenter dapat jadi storytelling yang begitu efektif. Film found footage The Blair Witch Project di tahun 1999 bisa sangat fenomenal – orang pada nyangka itu kejadian horor beneran – karena terbantu oleh mokumenter Curse of the Blair Witch yang ditayangkan di televisi sono beberapa minggu sebelumnya. Sementara di skena film lokal, Keramat – found footage tentang dokumentasi kru film – jadi sensasi di tahun 2009. Sukses membuat penonton yang belum kenal hiruk pikuk internet terheran-heran apakah itu kejadian yang beneran dialami oleh Poppy Sovia dkk saat syuting film.

Jadi, ya, memang yang harus digarisbawahi adalah kesan otentik – yang kini, bisa dibilang semakin ‘susah’ untuk dicapai. Pertama, karena people sekarang bisa lebih cepat tahu dan dapat informasi apapun dari internet. Ini terjadi juga di dunia pro-wrestling. Kayfabe is dead. Ilusi gimmick semacam Kane adalah adik dari Undertaker gak bakal laku dipakai di jaman sekarang karena orang-orang bisa nyari sendiri info siapa sebenarnya dua pegulat itu di real life. Dan kedua, karena seperti yang sudah sering kukeluhkan dalam review-review film mokumenter ataupun found footage sebelum ini; jaman sekarang orang bikin video YouTube saja sudah canggih semua. Grainy video sudah ditinggalkan, semua bisa dengan mudah ditouch up pake efek, sehingga bahkan video asli pun bisa dicurigai settingan saking semuanya overedit. Makanya buatku menarik, kini, setelah tiga-belas tahun, Monty Tiwa membuat sekuel dari Keramat. Tentu dengan gimmick dan estetik mokumenter yang disesuaikan dengan keadaan sekarang – keadaan di mana kesan otentik itu tampak tidak lagi begitu ajaib. Apakah film Keramat 2 ini bakal bisa jadi sensasi seperti pendahulunya? Trik apa yang akan mereka gunakan supaya bikin film ini terlihat ‘asli’? Atau mungkin, cerita seseram apa yang disajikan supaya kelemahan ilusi itu bisa teroverlook?

MKN di Langgar Penari

 

Ternyata setelah ditonton, tidak ada satupun kutemukan jawaban pertanyaan-pertanyaan tersebut yang benar-benar memuaskan buatku.

Dari segi cerita, sebenarnya Keramat 2 dimulai dengan cukup menjanjikan. Set up karakternya ada, kenapa mereka harus ada di sana, backstory tugas akhir  dan persahabatan yang melandaskan stake para karakter di sini clearly terbangun lebih solid daripada film yang karakternya lagi KKN itu. Keramat 2 berkisah tentang Umay Shahab dan dua teman YouTubernya; Ajil Ditto dan Keanu pengen membantu mendokumentasikan tugas akhir kelompok tari gebetannya si Umay. Jadi pergilah mereka bersama Arla, Jojo, dan Maura ke Cirebon, ke sanggar tari Caruban Larang yang ternyata sudah lama kosong. Di sana, mereka membuka peti terlarang, dan menemukan soal The Lost Dance. Tarian yang sudah lama hilang (beserta penari-penarinya) semenjak jaman penjajahan Jepang. Saat meriset itulah mereka semua bersinggungan dengan dunia mistis. Dan seperti pada film pertama, anak-anak muda ini harus masuk ke dalam dunia gaib demi mencari teman mereka yang hilang. Selain itu juga ada substory tentang tim YouTuber Keanu, yang pecah karena Lutesha si cenayang memisahkan diri sehingga Keanu dan Ajil – yang gak punya kemampuan mistis – harus bikin channel horor yang baru  (MKN) sebisa mereka, yakni dengan bumbu komedi. Misteri kenapa Lutesha cabut nanti akan mengikat kepada masalah Lost Dance yang mereka semua harus hadapi.

Bicara tentang seni tari yang hilang, dari Keramat 2 sebenarnya kita bisa memetik pesan soal melestarikan seni. Heck, hantu di film ini aja kayak lebih aware soal itu dengan meminta tari mereka ditonton supaya bisa diturunkan ke manusia. Memang agak miris sih, ketika tarian – seni aktualnya justru hilang sementara ritual seputarnya tetap ada dan lestari menjadi pantangan-pantangan sakral (yang aneh dan kayak takhayul) yang tidak boleh dilanggar.

 

Benar-benar terlihat seperti set up cerita horor yang mumpuni. Semua karakter punya masalah, ada drama. Elemen mitologi dan investigasi mistis yang mampu membawa penonton ikutan nebak-nebak juga ada. Namun, kesemuanya itu ternyata tidak dikembangkan menjadi plot yang ‘bener’. Keramat 2 adalah tipe film yang menghabiskan paruh-paruh awal untuk setup dan untuk eksposisi, lalu tiga puluh menit terakhirnya hanya menampilkan karakter yang berlarian, berusaha mencari jalan keluar. Masing-masing karakter tidak punya progres journey yang personal. Pengalaman horor itu seperti tidak berarti apa-apa untuk growth mereka as a character, melainkan ya cuma untuk konten saja. Dan karena ini didesain dengan skrip yang gak ketat mengatur, maka dengan cepat karakter-karakter muda ini resort ke hal-hal yang annoying. Marah-marah, berantem, teriak-teriak. Keluar kata-kata makian. Untuk mengisi durasi, kadang mereka juga melakukan hal horor yang konyol. Yang jelas, mereka seperti lebih enjoy bermain di elemen konyol ketimbang horor – saat mereka harus ‘berpura-pura’ ketakutan. Mitologi penari juga tidak dikembangkan lebih jauh dari sekadar apa yang terjadi pada para penari sebenarnya. Padahal kupikir film ini bisa menggali fantasi tarian dan ritual yang seperti pada mitologi game Fatal Frame, ternyata harapanku terlalu muluk. Dan misteri soal Lutesha, itu juga sama zonknya. Lutesha nanti datang gitu aja. Dan karakter ini sebagian besar jadi convenience ke dalam plot. Ngasih petunjuk ini itu, harus kemana, harus ngapain. Totally membunuh misteri dan eksplorasi dalam cerita.

The best part tetap adalah bagian ketika mereka udah masuk dunia lain. Tapi, yah, experience horor yang dihadirkan film ini tidak pernah sekuat film yang pertama, Yang karakter-karakter saat itu bener-bener gaktau harus ngapain, sehingga kita seperti ikut mereka ‘meraba-raba’ misteri. Dalam Keramat 2, kita cuma menonton mereka ngikutin kata Lutesha. Tidak ada elemen surprise, pengungkapan edan, dan sebagainya. Ada sih satu yang menggelitik, yang bikin penggemar Keramat bakal gembira karena memperdalam galian mistis dunia tersebut. Dan kupikir itu juga ide yang bagus, tapi aku gak akan bocorin di sini, kecuali satu hal. Yakni sebaiknya memang kita nonton Keramat original dulu sebelum nonton sekuelnya ini. Ngomongin soal Keramat pertama, memang film kedua ini memakai formula yang sama. Seperti memegang teguh tradisi, Keramat 2 mengikuti Keramat pertama nyaris beat per beat. Hanya saja seperti salah menduga. Karena seperti yang sudah kutulis di atas, Keramat pertama jadi sensasi bukan semata karena adegan lari-larian, atau kelompok yang berantem, atau bahkan misterinya dieksekusi dengan baik, tapi juga karena ilusi otentik. Film tersebut berhasil menguarkan kesan raw yang kuat. Sebaliknya Keramat 2, dengan tampilan mulus seperti video-video YouTube masa kini, dan dengan karakter yang lebih nyaman melucu ketimbang berhoror ria, jadi tampak seperti video settingan yang panjang banget.

Nabrak kucing hitam, buka peti, main jailangkung, mau berapa larangan lagi yang mereka langgar sebelum jera?

 

Penonton yang lebih muda mungkin gak akan mempermasalahkan. Aku boleh jadi terdengar kayak bapak-bapak tua yang ngomel lihat kelakuan anak muda. Mungkin, bagi penonton muda otentik itu datang dari betapa naturalnya para karakter berinteraksi antarsesama. Like, mungkin memang ‘hectic’ seperti itulah anak muda bersosialisasi sekarang. Bukan soal kamera yang terlalu poles dan bagus, karena toh memang seperti itulah tren sekarang.  Sehingga ya, film ini masih mungkin untuk menjadi sensasi di kalangan penonton muda. Walau bukan untuk hal yang sama dengan film pertamanya. Tapi bahkan jika itu benar, bahwa mungkin aku saja yang sudah terlalu tua untuk film kayak ini, tetap saja magic dari movie itu sendiri yang sebenarnya dipermasalahkan. Dan visual itu membantu kita masuk dan percaya. Kualitas gambar yang sederhana membantu kita percaya bahwa video yang kita lihat benar-benar direkam candid, tidak ada settingan. Nonton awal-awal Keramat 2, adegan-adegan tampak meragukan – beneran hantu yang mereka lihat atau mereka lagi ngerekam prank atau trik sebagai konten YouTube.

 




Dalam mokumenter seperti begini, gak cukup hanya dengan menggunakan real name para aktor. Apalagi jika kita tahu mereka di real life tidak melakukan hal yang mereka lakukan di film. Semua konsepnya harus didesain matang demi mencapai ilusi otentik.  Effort ke sanalah yang masih tampak minimal dilakukan oleh film ini. Konsep mokumenternya sebenarnya kurang kuat. Film ini tidak akan banyak beda pencapaiannya jika dibuat dengan konsep penceritaan yang biasa. POVnya tidak terasa urgen karena gagal untuk digunakan  ngasih gambar-gambar horor yang unik (pas adegan terjun aja, pov kameranya gak dimainin). Mitologinya tidak dibahas mendalam, sebatas apa yang terjadi saja. Tidak ada hooknya ke journey personal karakter. Film ini seperti film pertamanya, tapi tanpa magic dan ilusi yang bikin film tersebut jadi disukuri ada sekuelnya. Setelah ditonton, yah, film ini tidak semembekas itu. Untuk seru-seruan bareng teman, sih sepertinya masih bisa. Bagian di hutan goibnya tambah menarik dengan surprise from the past. Karakternya yang annoying dan gak ngapa-ngapain mungkin masih bisa beresonansi dengan anak muda dan pergaulan keseharian mereka. Karena otentik film ini sepertinya dimunculkan dari sana.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for KERAMAT 2: CARUBAN LARANG

 

 




That’s all we have for now.

Menurut kalian, apa sih yang menarik dari genre mokumenter?

Share  di comments yaa

 

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA