LAST NIGHT IN SOHO Review

“We romanticize the past with an illusion that we’d know how we’d fit”

 

 

“Hati-hati, di London banyak orang jahat.” Peringatan yang jadi penutup nasihat Nenek sebelum Eloise/Ellie pindah untuk kuliah ternyata merupakan set up bagi bangunan narasi horor Last Night in Soho. Kalimat tersebut membuild-up antisipasi Ellie; cara pandang dirinya terhadap pengalaman yang ia temui dan rasakan sebagai gadis desa yang pindah ke kota besar. Dan tentu saja antisipasi kita juga, karena kita akan melihat dan merasakan semua pengalaman lewat Ellie. Itulah yang membuat karya terbaru Edgar Wright ini sebuah horor atau misteri psikologis yang luar biasa efektif. Tak ada yang lebih menyeramkan daripada seorang perempuan yang merasa dirinya ‘diserang’ oleh banyak pria (dan tak jarang juga oleh perempuan lain) dari berbagai arah. Yang merasa tempatnya hidup begitu enggak aman, sehingga dia harus mencari ke tempat lain. Bahkan, hingga ke waktu atau era yang lain.

Kok bisa? Karena Wright membuat filmnya ini sebagai semacam perjalanan waktu. Setiap kali Ellie tidur di kamar kosnya, dia seperti tertransport ke era 60an yang penuh kelap-kelip. Ellie melihat dunia itu lewat mata Sandie, gadis yang mengejar mimpi jadi penyanyi seperti Ellie yang punya keinginan untuk jadi seorang fashion designer. Tapi kehidupan Sandie si gadis berani yang tahu apa yang ia mau itu seketika jadi inspirasi bagi Ellie. Apalagi memang sejak awal Ellie sudah terobsesi dengan segala sesuatu yang berbau tahun 60an. Ellie rela pergi tidur lebih cepat karena ia udah gak sabar untuk merasakan lagi keglamoran Sandie dan era tersebut.

sohoLast-Night-in-Soho-Thomasin-McKenzie-Anya-Taylor-Joy
Dengan kontras warna biru dan merah itu, tadinya kukira poster Survivor Series Smackdown lawan Raw

 

 

Untuk 30 sampai 40 menit pertama, cerita akan fokus kepada kontras antara Ellie dengan Sandie. Ketika kehidupan kampus dan sosial Ellie tampak penuh orang fake dan toxic – mulai dari pengemudi taksi yang matanya belanja ke kaki Ellie hingga ke teman sekamar di asrama yang manis di depan saja, sehingga kini Ellie tidak bisa memastikan seorang anak cowok yang mendekatinya itu beneran tulus pengen jadi teman atau cuma pengen meminum lebih dari kola miliknya saja – kehidupan malam Sandie tampak lebih aman dan menjanjikan. Menyaksikan dari balik cermin, Ellie melihat Sandie dibantu oleh seorang pria, diberikan kesempatan casting, janji mau diorbitkan, dibela dari mata keranjang; benar-benar disupportlah!

As far as the genre goes, babak pertama film ini memang membuat kita meraba-raba. Selain kemampuan Ellie melihat hantu ibunya di dalam cermin dan perihal Ellie masuk ke era 60an setiap kali tidur (bagaikan mimpi teramat nyata), kita enggak yakin di mana letak horor film ini. Yang terasa kuat adalah misteri kejadian tersebut kenapa bisa terjadi. Implikasi yang dihadirkan adalah hantu Sandie yang membawa Ellie masuk ke era tersebut, karena Ellie punya ‘kemampuan’, tapi itu juga belum membuat film terasa seram. Last Night in Soho memang mengambil waktu selama itu untuk mendaratkan ceritanya ke horor yang dijanjikan. Namun itu bukan berarti film ini tampil membosankan.

Set dan artistiknya stunning semua. Kerja kamera dan tempo editing cepat yang sudah jadi cap-dagang Wright membawa kita melewati set up panjang dan semua kontras itu dengan penuh gaya. Pertama Wright menekankan kontras itu lewat warna. Eloise dan lingkungannya hadir dengan warna-warna biru hingga abu-abu pucat, sementara Sandie melangkah mantap menembus dunia dominan merah di balik dress pink ataupun jaket putih mengkilap. Ellie pada awalnya tampil polos, tidak seperti Sandie yang bibirnya selalu merekah merah. Warna-warna tersebut tentu saja menguatkan karakter mereka. Thomasin McKenzie memainkan Eloise sebagai karakter yang berusaha mandiri, yang berusaha optimis. Dia memang sedikit polos, dan somewhat kurang pede dan kurang agresif (perhatikan rasa bangganya ketika menyebut mengenakan baju rancangan sendiri memudar dengan cepat begitu melihat reaksi dari teman-teman barunya), tapi McKenzie berhasil membuat kita melihat dia sebagai gadis yang gak mudah menyerah. Kita bersimpati pada gadis yang dicap norak dan aneh oleh cewek-cewek seusianya ini. Sebagai Sandie, Anya Taylor-Joy, ditugaskan untuk menjadi antitesis dari karakter Ellie. Dan dia berhasil memainkannya dengan fenomenal. Sandie benar-benar tampak sebagai enigma dimainkan oleh Anya.

Bukannya mau nyamain diri ama sutradara sekelas Edgar Wright, tapi aku punya bayangan yang mungkin sedikit lebih tegas mengenai effort yang harus Wright keluarkan untuk mewujudkan visi kreatifnya di sini. Bikin dua aktor seolah mereka satu orang karakter, yang bergerak selaras dalam pantulan cermin, jelas bukan hal yang gampang. Aku pernah bikin film pendek dengan konsep serupa, dua pemain harus bergerak layaknya seseorang dengan pantulannya, dan hasilnya susah untuk sempurna. Akhirnya aku mengurangi adegan, dari yang banyak gerak menjadi cuma senyum doang hahaha.. Yang dilakukan Wright dalam film Soho ini bahkan lebih kompleks dari adegan sekadar karakter bercermin. Yang dengan budget yang banyak, tentu bisa dilakukan pake efek komputer. Wright di sini betul-betul membuat Ellie dan Sandie terlihat sebagai satu orang, lewat adegan tanpa cermin yang gak-putus. Adegan menari yang Ellie dan Sandienya muncul bergantian, dilakukan Wright tanpa efek editing, melainkan dengan efek praktikal yang menuntut ketepatan dari semua kamera dan juga para aktor.

In some sense, film ini mengingatkanku sama Malignant (2021), horor action campy dari James Wan. Kedua film ini bekerja pada goal yang sama. Pembangunan narasi horor yang membuat kita bertanya-tanya ini sebenarnya film tentang apa – which is add much to the mystery itself. Penggarapan yang mengunggulkan kepada gaya entah itu teknis kamera atau editing. Dan bahkan sama-sama bermain seputar karakter yang ketika tidur tertransport ke tempat lain. Keduanya adalah film yang ingin kita bersenang-senang atas nama horor dan misteri. Kalo perbandingannya dilanjutkan, aku mau bilang, pada akhirnya aku lebih suka Last Night in Soho ketimbang Malignant. Karena walaupun sekilas horor Soho terlihat lebih lemah, sebenarnya Soho punya bangunan cerita dan lapisan psikologis karakter yang lebih berbobot. Yang eventually membuat misteri dan horornya menjadi lebih impactful karena jadi benar-benar beresonansi dengan kehidupan kita di luar cerita.

soholastsohothumb-1634585969073
Apa jadinya film Edgar Wright tanpa soundtrack yang benar-benar mewakili mood?

 

 

Thomasin McKenzie semakin dituntut untuk menyuguhkan permainan yang menakutkan secara emosional, seiring dengan Elliekarakternya yang sudah semakin terattach dan peduli sama Sandie mulai melihat ada yang gak beres sama arahan karir cewek di masa lalu tersebut. Di sinilah set up yang disebutin nenek di awal tadi kembali weighing in ke dalam narasi. Bukan hanya karir dan mimpinya, tapi nyawa Sandie actually jadi ikut terancam oleh orang-orang yang ternyata berniat jahat kepadanya. Terbangun dari tidur, Ellie kini berusaha mati-matian untuk mencarikan keadilan bagi nasib Sandie. Elemen horor terbangun juga dari tidur, merayap di balik usaha Ellie. Gadis itu sekarang melihat hantu-hantu dari orang yang jahat kepada Sandie, seperti jadi mengejar dirinya. Mereka ada di mana-mana!

Eloise yang jadi takut tidur, heck bahkan dia jadi terlalu stress untuk bisa tidur, kehidupan akademis dan sosialnya merosot drastis, ditambah dengan dia menjadi percaya bahwa dunia tidaklah pernah jadi tempat yang baik-baik saja (tidak sekarang, tidak dulu, dan mungkin tidak di masa mendatang) — inilah horor sebenarnya yang digambarkan oleh cerita Last Night in Soho. Ini jauh lebih seram ketimbang wajah-wajah burem ataupun darah-darah muncrat dari penampakan hantu. Wright menunjukkan kepekaannya terhadap perubahan tempo lewat bangunan misteri di dalam narasi seperti yang ia tunjukkan di film ini. Bahwa dia bisa menjalin horor, baik itu lewat komedi ataupun drama, karena dia mengerti bagaimana membangun dan mendeliver. Gaya-gaya tadi bukan cuma supaya gak bosan, melainkan juga merupakan pengalih perhatian yang cantik, makanya gak jarang kita menemukan diri kita caught up by surprise setiap kali menonton film Wright.

Salah satu tema tersembunyi dalam film ini adalah soal nostalgia. Bagaimana orang bisa obses sama nostalgia, meskipun dia enggak ngalamin langsung hal nostalgia tersebut. Seperti Eloise yang ngaku suka 60an, padahal dia hanya tahu itu dari film, musik, atau media lain. Film ini menerjemahkan itu sebagai pelarian. Kemudian film menantang itu dengan pertanyaan “Bagaimana jika tempat tersebut sama saja dengan penyebab kita lari di awal? Do we still love it?” Maka, tidaklah bijak sebenarnya terlalu meromantisasi sesuatu yang kita gak pernah tahu, yang kita hanya rasakan sebagian kecil dari kebaikannya saja.

 

Hantu-hantu itu menyimbolkan ‘penyakit’ di masa lalu akan terus menghantui masa depan. Malah tidak akan berakhir atau tidak akan mati kecuali benar-benar ditindak, seperti yang diketahui Ellie bahwa ada satu pelaku dalam tragedi Sandie yang masih hidup di masa sekarang. Lalu, di puncak konflik Ellie, Wright membalikkan narasinya. Begitu jungkir-balik sehingga pesan tadi menjadi sedikit kabur. Menurutku, pilihan twist yang melibatkan revealing identitas satu karakter yang membuat role (pelaku dan korban) jadi kebalik inilah yang membuat Last Night in Soho jadi terbagi dua penontonnya. Gagasan yang diusung lewat pembalikan itu, aku bisa lihat, tidak mudah diterima bagi penonton. Especially karena menyangkut gender sebagai subjeknya. Jadi gak heran juga banyak yang menolak memberi skor tinggi, urung merekomendasikan, atau bahkan mengkritik keras film ini. Mungkin itu juga sebabnya kenapa film ini cepat kandas di bioskop.

Padahal menurutku memang fenomena itulah yang sedang diperiksa oleh film. Sedari awal “banyak orang jahat” itu sudah dilandaskan. Yang berarti bahwa ya, orang jahat ya bisa ada di mana-mana. Bisa siapapun. Seorang yang jadi korban ketimpangan atau kekerasan, tidak berarti mereka tidak akan bisa menjadi orang jahat. Tidak berarti setiap tindakan mereka bisa terjustifikasi. Pembunuh massal tetaplah pembunuh massal, tidak peduli dia hidup di era 60an atau di era woke kekinian.

 

 

 

 

Kekurangan film ini bagiku cuma, ceritanya belum berhasil betul memperlihatkan korelasi antara kerjaan Ellie – keberhasilannya sebagai siswa perancang busana – dengan misteri yang ia alami. Kita tidak dikasih lihat secara detil bagaimana kenyataan yang ia sibak itu berdampak kepada rancangan Ellie. Selebihnya, film ini sendiri bagai seni kontemporer. Misteri yang dengan balutan visual yang cantik sekali. Hadir dengan tetap berbobot, dan semakin gorgeous berkat penampilan akting yang flawless. Aku mungkin sedikit bias karean Thomasin dan Anya cakep-cakep, but they do understand the assignment, dan aku gak melihat ada ‘nada sumbang’ dari penampilan mereka di sini. Sedangkan untuk Edgar Wright, aku gak setuju sama yang bilang sutradara ini belum fasih di horor. Wright cuma punya formula sendiri, dan dia menerapkan horor ini ke dalam formula tersebut. Memang, hasilnya tidak seperti horor yang biasa. Ini adalah horor unik dengan implikasi gagasan yang tak kalah seram.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for LAST NIGHT IN SOHO

 

 

 

That’s all we have for now

Kenapa kita suka meromantisasi nostalgia? 

Share pendapat kalian in the comments yaa

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

HOME SWEET HOME ALONE Review

“Home doesn’t feel like home if people living in it are not the same”

 

 

Impian mutlak setiap anak-anak adalah tinggal di rumah besar sendirian tanpa ada yang mengatur. Beneran deh, kalo waktu kecil dulu kalian enggak pernah girang ketika orangtua pergi sehingga kalian jadi punya beberapa jam di rumah seorang diri, maka kalian jadi anak kecil dengan cara yang salah. Rumah kosong bagi anak kecil berarti bisa makan apapun yang dimau, bisa loncat-loncat di kasur, bisa nyalain kartun keras-keras, dan ini yang paling penting: bisa main – game atau apapun – sepuasnya! Tapi rumah kosong bagi anak kecil juga bisa berarti bahaya. Bagaimana jika ada yang korslet. Bagaimana jika ada orang asing yang datang. Bagaimana jika ada… perampok!?!

Home Alone bisa sesukses ini; meroketkan Macaulay Culkin, jadi hiburan yang gak bosen-bosen ditonton, staple acara tv swasta kita setiap musim liburan, dan nelurin banyak sekuel, karena premisnya bermain pada dua hal tersebut. Satu: Anak yang tinggal sendirian di rumah, dua: tapi disatroni maling. Set up sempurna untuk dijadikan komedi slapstick ala kartun (meskipun arguably premis tersebut juga tak kalah efektifnya jika dijadikan bangunan cerita horor/thriller). Karena anak kecil suka kartun, dan film ini membuat anak-anak yang menonton relate, membuat mereka membayangkan ada dalam dunia seperti kartun yang merekalah tokoh utamanya.

Ya, set up. Itulah kunci emas yang dimengerti oleh Home Alone, khususnya filmnya yang pertama tahun 1990. Ketika kita membuat cerita tentang anak yang tinggal sendirian di rumah, maka kita harus bisa menemukan alasan atau sebab yang logis, yang akhirnya menciptakan situasi tersebut. Home Alone original luar biasa telaten dalam menciptakan set up tersebut. Dikawal ketat oleh John Hughes (filmmaker yang well-known sebagai pembuat film remaja yang enjoyable karena ringan dan grounded) yang menulis dan jadi produser, Home Alone punya set up yang efektif sekali. Ceritanya dibikin bersetting di liburan Natal. Kita langsung mengerti anak seperti apa si karakter utama, kita langsung tahu dinamika hubungannya dengan saudara-saudaranya. Kehebohan dan keramaian di rumah itu tergambar dengan baik, sebagai alasan kenapa gak ada yang ingat sama dia ketika besok pagi mereka mau berangkat. Dan semua itu dilandaskan dengan nada komedi yang ringan, dan kita bisa membayangkan kejadiannya bisa beneran terjadi di dunia nyata. Udah persis kayak jebakan, set up film ini dengan persis berada di tempatnya.

Sekuel reboot karya sutradara Dan Mazer (salah satu penulis naskah franchise Borat, lol) mengerti pentingnya set up tersebut. Home Sweet Home Alone juga punya set up yang seperti film original. Kita melihat anak kecil berusia sepuluh tahun yang bernama Max (seneng banget Archie Yates yang kocak di Jojo Rabbit dapat peran gede di sini), mulai kesel dicuekin sama orangtuanya yang lagi hectic ngurusin keberangkatan keluarga besar mereka ke Tokyo besok pagi. Max makin jengkel karena sepupu-sepupunya pun tidak ada yang mendengarkan dia. Jadi Max, mengurung diri dalam mobil di garasi. Menonton Will E. Coyote masang-masang perangkap untuk Roadrunner, jauh dari semua kebisingan. NAMUN, (‘namun’ di sini memang sangat signifikan jadi aku merasa perlu untuk ngecapslock kata itu) film ini tidak hanya punya satu set up, melainkan dua. Tidak hanya Max saja yang dilandaskan backstory dan motivasinya. Tapi, perampok yang nanti bakal jadi musuh (atau korbannya) juga diberikan set up. Malahan, karakter utama Home Sweet Home Alone bukanlah Max si anak kecil.

HomeSweet-Home-Alone-Dirilis-Sambut-Natal-Tahun-Baru-3
Kartun ternyata memang punya pengaruh kepada anak-anak, ya.

 

 

Jeff McKenzie, pria yang terpaksa dan enggan, berusaha menjual rumahnya diam-diam tanpa sepengetahuan anak-anaknya, adalah perspektif utama cerita. Dia butuh duit, karena dia baru saja dipecat. Jeff lalu menemukan solusi alternatif. Salah satu boneka porselen peninggalan ibunya, ternyata bernilai sangat tinggi. Masalahnya, boneka yang jadi satu-satunya harapan untuk tidak membuat kecewa keluarganya tersebut kini hilang. Dicuri orang. Jeff ingat, siang itu Max dan ibunya berkunjung ke open house mereka. Situasi semakin tak menguntungkan bagi Jeff, ia tak bisa begitu saja minta bonekanya dikembalikan, karena rumah Max kosong. Semua penghuninya pergi berlibur. Inilah yang membuat Jeff, dan istrinya – Pam – memutuskan untuk masuk saja ke rumah itu. Dan kita akhirnya dapat adegan konyol ciri khas franchise Home Alone, karena Max yang tidak diketahui suami istri itu ada di rumah, salah menguping pembicaraan mereka soal boneka. Max menyangka Jeff dan Pam hendak menculik dirinya, sehingga dia mati-matian melawan. Memasang banyak jebakan untuk mereka. 

Dua set up (untuk Jeff dan Pam, serta untuk Max) yang dibeberkan dengan telaten supaya kita bisa paham dan motivasi dua kubu yang hendak bertemu ini memang membuat film jadi imbang sudut pandangnya. Perampok itu tidak lagi satu dimensi jahat, tidak sekonyong-konyong ada dan merampok dengan niat yang sepele. Film ini ingin keluar dari pakem penjahat dalam film anak atau film keluarga yang biasanya memang dituliskan konyol. Film ingin memberikan sedikit hati kepada Jeff dan Pam. Melihat mereka yang semakin kena perangkap, semakin jengkel dan mulai keluar ‘jahatnya’, penonton diharapkan untuk tidak melihat karakter yang diperankan kocak oleh Rob Delaney dan Ellie Kemper ini sebatas karakter komedi. I’d say ini adalah tambahan yang berniat baik, membuat film tidak lagi hitam putih. Akan tetapi, sedikit bobot ini ternyata juga menjadi beban. Babak set up film ini jadi terasa penuh sesak. Dan lamaaaa. Setelah begitu banyak menerima informasi dan memahami karakter, aku kaget juga melihat durasi yang ternyata baru tiga-puluh menit.

Sesuai dengan peruntukannya sebagai film natal, film ini bicara soal keluarga lewat rumah sebagai objeknya. Bahwa kita merasa nyaman dengan keluarga, bukan karena rumahnya. Max tadinya kesal sama keluarga malah merasa hampa, saat dia tinggal sendirian. Keluarga Jeff pun mulai merasa aneh saat ayah dan ibu yang tinggal seatap mereka bertingkah lain dari biasanya. Mau gimana pun rumahnya, rumah itu tidak akan terasa lagi seperti ‘rumah’ saat ada yang berubah dari penghuninya. 

 

Penonton yang ingin bernostalgia dengan Home Alone juga merasakan bahwa film yang menjadi rumah bagi kenangan masa kecil mereka tak lagi terasa seperti ‘rumah’ yang sama. Home Sweet Home Alone terasa sebagai entry yang aneh buat keseluruhan franchise ini. Meskipun jebakannya sama-sama konyol dan ‘mematikan’ – bahkan ada cameo dari bintang film originalnya – tapi tetep seperti ada yang mengganjal. Banyak yang kecewa karena membandingkan film ini dengan Home Alone pertama. Tapi itu juga mungkin salahnya kita. Keduanya mungkin memang untuk tidak dibandingkan. Karena kedua film ini memang tak lagi sama. Film yang ini bukan lagi tentang anak yang ditinggal semata. Film kali ini adalah lebih tentang ayah dan ibu yang ‘jadi perampok’ demi rumah mereka. Kita harus melihat poin-poin plot dan perkembangannya sebagai cerita tentang hal tersebut. Tapinya lagi, dengan melihatnya begitu, tidak berarti aku mengatakan film jadi lebih baik.

It’s still… shite!

homejamkiom - Copy
Pake lelucon self-aware tidak lantas berarti filmnya jadi film yang pintar

 

 

Yang tidak bekerja dengan baik dari film yang membuat protagonisnya pasangan orangtua desperate sehingga mau merampok justru adalah komedi dan kekhasan dari franchise ini sendiri. Jeff dan Pam yang babak belur kena perangkap demi perangkap itu bikin bingung kotak tertawaku. Kok aku malah ngetawain Jeff yang gak sadar telah dipasangi game VR? Bukannya kita harus bersimpati sama mereka? Dalam Home Alone biasanya, ketika para orang jahat babak belur, kita bisa tertawa dengan lepas karena kita tahu mereka pantes dapat ganjaran. Kita merasakan stake yang dialami si anak kecil, yang harus berkreasi demi mempertahankan rumah dan properti miliknya. Dalam film kali ini, tidak ada stake karena kita tahu semua itu cuma salah paham. Kita tahu Max tidak dalam bahaya. Kita tahu Jeff dan Pam tidak berniat jahat. Jadi kenapa kita masih tetap disuruh harus tertawa dengan adegan-adegan jebakan, yang menghukum protagonisnya, sementara kita tahu enggak ada alasan yang kuat kenapa mereka harus dihukum. Apakah karena mereka bego? 

Ngomong-ngomong soal itu, supaya fungsi komedinya tercapai, film memang lantas berusaha membuat Jeff dan Pam terlihat bego. Padahal Jeff kerjaannya adalah seorang ahli data, dan Pam adalah seorang guru. Yet, they still manjat pagar dengan konyol (padahal di sampingnya ada gerbang), tetep keceblos di kolam bersalju. Jeff yang sehari-harinya ketemu komputer jadi kayak awam sama teknologi. Kerjaan sehari-hari Pam juga gak terlihat membantunya berperilaku; dia tetap terpental-pental oleh bola yoga. Film ini tidak peduli sama katakter yang dipunya. Mengabaikan sebentar set up mereka, untuk beberapa menit menjelma menjadi Home Alone yang dikenal dan dicintai semua orang. It’s either bikin cerita yang lebih original, atau bikin sesuai franchise. Sutradara Dan Mazer pengen jadi keduanya sekaligus, tapi tidak memikirkan formula atau bangunan ceritanya masak-masak. Perkembangan karakternya juga ternyata jadi gak ada. Setelah semua yang terlihat seperti sebuah proses degradasi bagi protagonisnya, atas nama film keluarga dengan semangat natal, semua konflik reda seketika. Para karakter sentral kembali ke ‘posisi’ mereka di awal. Dan cerita berakhir dengan senyum yang hangat, persahabatan dan keluarga yang harmonis, tanpa konsekuensi yang berarti. Semuanya dapat reward! Semua, kecuali kita, penontonnya. 

 

 

 

Untuk sejenak, aku merasa film ini punya kesempatan. Arahannya yang mengeluarkan karakter dari hitam-putih, awalnya tampak seperti langkah berani yang bikin reboot ini lebih berbobot daripada originalnya. Tapi ternyata bobot itu terlalu berat untuk diemban sebuah film yang fitrahnya adalah hiburan slapstick layaknya kartun bagi anak kecil. Penonton cilik mungkin masih akan tergelak melihat dua orang yang dilempari bola biliard, dibakar kakinya, dan disandung pake tali. Itu karena mereka belum bisa mengerti ada ambigu yang hadir di situ, ketika orang yang babak-belur tersebut sebenarnya bukan orang yang benar-benar bersalah atau jahat. Ambigu yang diangkat harusnya digali, bukan ditertawakan. Kecuali kalo memang pembuatnya memandang kita semua sebagai bocil-bocil yang taunya cuma tertawa.
The Palace of Wisdom gives 3 out of 10 gold stars for HOME SWEET HOME ALONE

 

 

That’s all we have for now

Apa yang biasanya kalian lakukan waktu kecil dulu kalo ditinggal sendirian di rumah? 

Share with us in the comments yaa

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

SHANG-CHI AND THE LEGEND OF THE TEN RINGS Review

“Its richest bequest. Its golden inheritance”

 

 

Menonton Shang-Chi, aku sejenak lupa kalo ini merupakan film superhero. Cerita tentang ‘warisan’ keluarga, bisnis yang ala gangster-gangsteran, adegan berantem yang benar-benar menonjolkan martial arts. Untuk beberapa saat, aku merasa sedang nonton film-film Kung-fu! Sampai aku menyadari yang di layar itu bukan Jackie Chan ataupun Jet Li. Melainkan bintang laga masa kini (calon legenda di depan) Simu Liu, bintang komedi dengan range drama yang belum gagal membuatku kagum Awkwafina, dan naga beserta makhluk-makhluk mitologi dari visual komputer. This is indeed a Marvel movie. Film hiburan yang paling cocok ditonton sambil makan popcorn, dengan petualangan CGI grande, dan dialog yang sama renyahnya ama popcorn itu tadi. Namun sutradara Destin Daniel Cretton jelas sekali ingin mengarahkan ini ke dalam perspektif yang lebih unik. Ke dalam karakter yang lebih representatif. Dan ‘jurus-jurus’ yang ia kerahkan sukses membuat Shang-Chi and the Legend of the Ten Rings mencapai keseimbangan hiburan dengan sajian berbobot. Mengembalikan film superhero Marvel ke yin-yang  yang selama ini terlupakan

sangchi-chi-iron-fist-1
Padahal tadinya aku ‘sangchi’ bakal bagus, takut kayak Mulan

 

 

Belajar dari kritikan yang menghajar live-action Mulan (2020), film Shang-Chi yang juga mengusung karakter beretnis dan mitologi yang mengacu kepada referensi budaya Cina, berlaku lebih hati-hati dan respect terhadap representasinya tersebut. Yang pertama langsung terdengar adalah bahasa. Karakter dalam film ini tidak sekonyong-konyong berbahasa Inggris semua. Sepuluh menit pertama actually full dialog Mandarin, lalu setelah nanti setting membawa cerita berada di tempat yang lebih diverse, bahasanya akan mengikuti keberagaman tersebut. Film ini lebih peka sama di mana dan siapa. Penggunaan bahasa Inggris pun jadinya tidak terasa dipaksakan. Karakter kita hidup di San Francisco, tapi bahasan mengenai mereka merupakan bahasan yang mendalam, menggali hingga ke akar leluhur dan legenda. Karena pada intinya narasi Shang-Chi memang berinti kepada keluarga.

Ketika kita pertama kali bertemu dengan Simu Liu, karakter yang ia perankan dipanggil dengan nama Shaun. Dia bekerja sebagai tukang parkir valet, bersama sahabatnya Katy (karena terlalu banyak nonton Steven Universe, aku jadi merasa suara Awkwafina mirip sama suara si Amethyst). Mereka berdua ini orangnya nyante banget. Gak kayak sahabat mereka yang orang-cina-kesayangan-keluarga banget, Shaun dan Katy lebih suka berkaraoke dan nyaman sama kerjaan mereka yang dianggap tidak memenuhi standar keluarga. Sebenarnya, ada alasan bagus – yang rahasia! – kenapa Shaun menikmati hidupnya seperti itu. Begini, keluarga Shaun bukanlah keluarga standar seperti keluarga Katy. Ayah Shaun tidak lain tidak bukan adalah The Mandarin, pendekar penguasa, pemegang senjata sepuluh cincin yang legendaris, pemimpin kelompok Ten Rings yang sudah mencatat lembar kelam sejak beribu tahun lalu. Shaun, nama sebenarnya Shang-Chi, sejak kecil dilatih ayah jadi assassin, demi membalaskan dendam kepada pembunuh ibu. Shaun kabur dari kehidupannya tersebut. Meninggalkan ayahnya, adiknya, dan siapa dirinya yang sebenarnya. Tapi sebagaimana yang disaksikan oleh Katy dan kita, Shaun terendus oleh ayahnya, dan dia dipaksa pulang. Karena menurut ayah, ibu masih hidup. Terpenjara di tanah legenda. Shang-Chi harus kembali dan menghadapi semua yang pernah ia tinggalkan. 

Sekarang mungkin kalian sedikit mengerti kenapa aku malah ngerasa kayak nonton film Kung-fu saat nonton film ini. Naskahnya benar-benar fokus kepada konflik dalam keluarga pemimpin organisasi hitam! Shang-Chi adalah cerita tentang seorang anak yang kabur dari kehidupan itu karena dia gak sudi menapaki jalan tersebut. Mana ada cerita original dari superhero Marvel yang seruwet dan sedalam ini, at least sejak Winter Soldier? Dan naskah berhasil berkelit dari membuat Shang-Chi tampak seperti karakter sok suci yang membosankan. Karena pertanyaan yang berkecamuk di dalam dirinya adalah apakah saya pengecut telah kabur? Keluarga yang jadi sentral cerita ini ditulis dengan detil dan relatable. Semuanya jadi pendukung yang menambah banyak pembelajaran bagi karakter Shang-Chi. Ada adik perempuan Shang-Chi, yang merasa diremehkan oleh ayah, dan ditinggalkan oleh Shang-Chi, sehingga tumbuh menjadi pemimpin organisasinya sendiri. Ada ibu Shang-Chi yang dirancang sebagai karakter paling berpengaruh, yang mendaratkan dan merekatkan keluarga ini. Kematiannya jadi titik balik karena sebegitu berperannya Ibu bagi mereka semua. 

Film sempat nge-poke fun Shang-Chi yang kabur tapi ganti namanya malah ‘cuma’ jadi Shaun (ganti nama kok mirip). Namun jika kita melihat on deeper level, keputusan nama tersebut melambangkan keraguan karakter ini. Yang ditakutkan oleh Shang-Chi adalah dia bakal jadi penerus ayahnya, karena itulah yang budaya keluarga mereka. Tapi ia juga adalah ‘warisan’ ibunya.  Kebingungannya akan itulah yang membuatnya kabur. Yang harus dipelajari Shang-Chi dalam kisah ini adalah bahwa anak gak bisa kabur. Melainkan mewarisi baik dan buruk keluarga. Shang-Chi harus mengembrace, dan memantapkan apa yang nanti ia wariskan berikutnya. 

 

Dan tentu saja, ada ayah Shang-Chi. Pria yang dikenal dengan banyak nama, karena reputasinya yang mengerikan. Tapi dia settle dengan nama The Mandarin, karena baginya filosofi di balik nama itu cukup ‘lucu’ (akan ada dialog eksposisi yang menceritakan tentang ini, dikemas dalam bentuk bincang-bincang santai di meja makan). Diperankan oleh ikon Hong Kong, Tony Leung yang jago kung-fu dan drama, The Mandarin boleh jadi adalah salah satu dari sedikit sekali penjahat-Marvel yang punya karakter paling compelling. Paling manusiawi. Secara simpel kita bisa bilang dia adalah karakter jahat yang bersedia jadi orang baik atas nama cinta. Secara lebih kompleks – cara yang diterapkan oleh film ini – The Mandarin adalah karakter yang berakar pada tradisi, norma pejuang, kebanggaan, kehormatan, kekuatan (practically sifat-sifat yang dilambangkan oleh legenda kesepuluh cincin). Dia bukan karakter yang jahat licik pengen menguasai dunia. Kita akan melihatnya lebih sebagai sosok ayah yang sudah terluka banyak, tapi juga sangat keras. Kita bersimpati, sekaligus merasa takut kepadanya. Film ini bekerja terbaik saat memperlihatkan hubungan atau konflik yang mengakar begini antara anggota keluarga ini. Sutradara tahu di situlah – pada grounded-nya itulah – letak kekuatan yang dimiliki film ini, maka ia berusaha sebisa mungkin untuk mencapai itu saat men-tackle elemen yang lebih fantasi.

sangchiScreen-Shot-2021-06-25-at-10.31.21-AM
Sialnya, aku menyangchikan film ini tidak di bioskop

 

 

Tanpa banyak ba-bi-bu lagi, Shang-Chi punya sekuen-sekuen berantem terbaik yang pernah kusaksikan sepanjang Marvel Cinematic Universe berlangsung. Ketika film Marvel yang lain banyak berseru-seru ria dengan aksi superhero, sebagian besar porsi laga film Shang-Chi berlangsung dengan gaya berantem Kung-fu. You know, berantem yang tampak plausible meskipun memang masih sangat bergantung kepada efek CGI, stuntmant, dan kerja kamera serta editing. Seenggaknya, sebagian aktor di sini memang punya pengalaman beladiri, pembuatnya pun tampak memahami seni itu dan tau cara terbaik dalam merekamnya. Jadi mereka semua tau apa yang harus dilakukan. Favoritku adalah adegan berantem di dalam bis, sekuennya dari awal-tengah-hingga akhir is pure excitement dan joy. Sekuen itu muncul di babak awal, dan film terus menaikkan game mereka untuk aksi-aksi ini. Kita bakal melihat berantem di pondasi bambu (kayak di Rush Hour 2), dengan kamera yang aktif ‘melayang’ ke sana kemari, memastikan cerita lewat berantem itu sampai dengan gemilang. Di menjelang akhir, kita akan disuguhkan adegan berantem yang kita saksikan lewat cermin di dalam ruangan. Kamera akan berputar 360 derajat, kita akan melihat tubuh beterbangan, dengan sensasi direction yang diajak bermain-main, bergantian antara pantulan cermin dengan tidak. Ketika memang harus aksi satu-lawan-satu, film ini pun gercep dengan perspektif. Menghasilkan gerak yang dinamis sesuai gerakan berantem, tanpa pernah menjadi memusingkan. Ketika harus fantasi pun, pertarungan akan tetap terasa berbobot. Aksi-aksi seperti pertarungan Dragon Ball itu ternyata bisa kok dibikin dengan indah dan meyakinkan!

Setelah semua itu, makanya babak ketiga film ini jadi kurang greget. Setelah pertempuran kung-fu satu lawan satu, aksi berantem yang interaktif dengan settingnya, dan jurus-jurus yang sepertinya mungkin untuk dilakukan (hanya dipercantik/dibikin makin intens oleh efek komputer), di babak akhir film mengembalikan semua itu ke fantasi superhero. Pertarungan dengan naga-naga, dan makhkluk CGI. Seketika aku merasa kehilangan banget. Akhiran yang diniatkan untuk besar-besaran tersebut justru jadi terasa menutup film dengan… kecil. Dengan biasa. Tidak ada lagi excitement dari drama karakter, karena semuanya berubah menjadi “kalahkan monster sebelum dunia jadi kacau itu!” Meskipun tetapi dilakukan dengan kualitas teknis luar biasa, tapi tetap saja jika dibandingkan dengan perjalanan-karakter yang sudah kita tempuh bersama sedari awal, film ini tetap terasa berakhir dengan sedikit underwhelming.

 

 

 

Tapi ya, mau bagaimana. Tidak mungkin juga itu dihilangkan, dan meminta film untuk tetap dengan berantem ‘sederhana’. Karena afterall, ini adalah entry berikutnya dari jagat sinema superhero. Film ini terikat untuk menjadi fantastis seperti yang kita lihat di akhir. Film ini terikat oleh kebutuhan untuk ‘menjual’ dunia yang lebih besar, untuk ‘ngetease’ ke film superhero yang akan datang. Film ini terbebani oleh tuntutan menyampaikan eksposisi dan flashback. Maka, yang harus kita apresiasi di sini adalah upaya film untuk menjadi seunik dan seberkarakter mungkin, di sela kebutuhan-kebutuhan tersebut. Toh film berhasil, kita telah dibuatnya terhanyut oleh konflik keluarga yang pelik dan  menyentuh. Kita telah dibuatnya peduli sama karakter-karakter. Mulai dari pendamping atau sidekick, hingga ke antagonis, semuanya berhasil dibuat berbobot. Kita juga telah dibuat terkesima oleh dunia dan aksi-aksi yang mewarnainya. 
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 ten rings, eh 10 gold stars! for SHANG-CHI AND THE LEGENDS OF THE TEN RINGS

 

 

 

 

That’s all we have for now

Apa yang biasanya kalian pilih untuk lakukan jika ada tindakan atau keputusan dari orangtua yang tidak kalian setujui?

Share with us in the comments yaa

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

ARMY OF THIEVES Review

“Do it for the sake of love”

 

 

I blame Marvel. Karena telah membuat jagat-sinematik tampak sebagai taktik jitu supaya laku, dan juga membuatnya tampak mudah. Aku menyalahkan Marvel, karena telah menginisiasi cinematic universe, yang membuat banyak pedagang film lain meniru. Walaupun mereka sebenarnya gak benar-benar punya brand atau produk untuk dibuatin universenya. Marvel tidak berangkat dari nol, melainkan dari komik yang telah bertahun-tahun jadi ikonik. Orang-orang tahu dan kenal tokoh-tokoh ceritanya. Namun lihatlah para peniru, banyak sekarang bermunculan film-film yang dipaksakan ada sebagai sebuah universe. Bahkan film drama aja ada – drama yang gak berasal dari apapun sebelumnya (kecuali mungkin satu buku nostalgia tanpa narasi); satu film berkembang jadi satu film baru yang mengangkat karakter minor, dan kemudian film baru muncul lagi dari karakter yang tak-kalah nobody nya di film tersebut.

Oh, kalian mau contoh yang disebutin judulnya? Army of Thieves. Ya, film yang hendak kita ulas kali ini, merupakan bagian berikutnya dari rancangan universe zombie karya Zack Snyder. Except, film ini bukanlah film tentang zombie. Melainkan film tentang heist atau perampokan bank. Dan yang jadi pengikat antara film ini dengan Army of the Dead (2021) – film pertamanya – adalah seorang karakter yang aku sejujurnya kaget sekali dan tak-percaya bahwa dia begitu difavoritin sehingga banyak yang minta film solonya.

Thieves-Army-of-Thieves
Emang ada yang kecuri hatinya sama si Ludwig?

 

Mengambil setting enam tahun sebelum peristiwa film Army of the Dead. Dari tayangan televisi dalam cerita kali ini, kita melihat zombie outbreak barulah mulai di Las Vegas. Di Eropa, tempat cerita ini bermula, ada masalah yang lebih urgen harus dihadapi oleh kepolisian. Masalah tersebut yaitu rangkaian perampokan bank. Ketika agen interpol masih menyusun teori (dan pemimpin mereka punya tebakan bagus, dan eventually bakal jadi semacam antagonis bagi geng karakter utama), kita sudah dibawa mengenal lima orang di balik perampokan tersebut. Tepatnya empat orang perampok internasional, dan Sebastian, cowok kikuk penggemar brankas. Sebastian diajak oleh kawanan perampok yang dipimpin oleh cewek keren bernama Gwendoline, berkat kemampuan dan pengetahuannya mengenai legenda empat brankas yang terkenal paling rumit dan susah untuk dipecahkan kuncinya. Itulah yang coba dibobol oleh mereka. Bagi Sebastian, yang selama ini hidup datar dan membosankan, tentu saja tawaran itu tak bisa ditolak. Kapan lagi dia bisa mengasah kemampuan dan berinteraksi langsung dengan legenda. (Plus si Gwendoline itu kece banget Sebastian jadi naksir)

Jadi, mari beralih dulu ke kru perampok dan aksi heist itu sendiri.

Genre heist sendiri sebenarnya sudah mulai jenuh. Serial animasi Rick and Morty bahkan sudah menelanjangi genre ini hingga ke trope dan klise-klisenya di episode 3 season 4 akhir tahun 2019 lalu. Army of Thieves, untungnya, tahu untuk tidak terjebak ke dalam klise-klise tersebut. Film ini gak mau jadi parodi dari genre ini. Maka mereka berusaha merancang formula heist yang berbeda, atau paling enggak bermain-main dengan trope yang telah ada. Misalnya, film ini gak pake sekuen ngumpulin anggota geng yang tersebar dan meminta mereka kembali ikut beraksi (lucunya, sekuen ini justru adanya di Army of the Dead – yang ternyata adalah film heist dan zombie sekaligus). Sekuen itu biasanya difungsikan untuk menyoroti masing-masing karakter anggota/kru, memberikan mereka spotlight untuk menceritakan backstory dan motivasi. Alih-alih pake sekuen itu, Army of Thieves mencapai tujuan menceritakan backstory dan memperkenalkan karakter lewat actual flashback – flashback origin para karakter.

Film ini juga gak pake twist demi twist yang menunjukkan pengkhianatan demi pengkhianatan seperti yang biasa ada dalam genre heist. Cekcok antaranggota memang tetap ada, tapi diceritakan lebih frontal. Dimasukkan ke dalam elemen cinta segitiga antara Sebastian, Gwendoline, dan Brad Cage. Lalu, biasanya film heist juga punya sekuen montase saat karakter menjabarkan rencana perampokan kepada kru. Dalam Army of Thieves, sekuen seperti itu ada, akan tetapi dilakukan dalam bentuk komedi yang seperti ngebecandain trope itu sendiri. Nah pasti kebayang, bahwa film ini memanfaatkan beragam teknik editing untuk mendukung penceritaan. Dan berhasil. Karenanya, porsi heist dan aksi film ini memang lebih menarik. Ada angin segar-lah, seenggaknya.

Editing cut-to-cut yang cepat juga digunakan film ini untuk menyamarkan masalah pacing yang timbul dari setup karakter yang datar, terlebih karena memang film ini punya karakter-karakter yang enggak baru. Gwendoline, Brad Cage, Rolph, dan Korina memang keren, tapi mereka sendiri sebenarnya masuk ke dalam trope karakterisasi yang lumrah, atau sudah ada sebelumnya. Pemimpin yang cinta mati ama film action dan Amerika. Cewek hacker yang glamor. Pengemudi yang hobi makan. Kriminal yang menganggap geng mereka keluarga. Bahkan aksi membuka brankas juga bukanlah aksi yang benar-benar fresh. Film ini justru banyak mencuri dari film lain, dan sudah sepatutnya mereka melakukan sesuatu supaya kita tetap excited menontonnya. Melihat dari usaha-usaha yang disebut di atas, sebenarnya film ini masih punya kesempatan. Kalo saja dirinya ini bukan hadir demi eksistensi satu orang.

thievesarmy-of-thieves-trailer
Kalo Korina sih, silakan deh mencuri hatiku

 

Serius. Aku gak dapet di mana appeal atau daya tarik karakter Sebastian. Bagiku dia mirip seperti Newt Scamander (lakon dalam Fantastic Beast – another karakter yang dipaksain jadi jagat-sinematik), tapi versi kikuk yang annoying. Di Army of the Dead, Sebastian hadir sebagai pembuka brankas (yang actually adalah brankas legendaris terakhir), dia dijadikan comedic-relief dengan tingkahnya yang suka teriak-teriak, dan jadi penyeimbang buat karakter-karakter maskulin. Kali ini, di film yang bertindak sebagai prekuel cerita tersebut, Sebastian juga ngelakuin hal yang sama. Teriak-teriak saat keadaan memanas, nge-geek out dan fanboying hard sebelum membuka kunci brankas, dan socially awkward di tengah-tengah kelompok yang macho. Jadi, ya, gak ada perkembangan yang dialami karakter ini dari cerita dimulai hingga ke Army of the Dead berakhir. Bayangkan dua film, tapi karaktermu itu-itu melulu! Yang berubah pada karakter ini cuma nama. Di film pertama, actually, kita mengenalnya sebagai Ludwig Dieter. Di film ini, kita akan melihat dari mana nama tersebut berasal. Seolah itu merupakan hal yang penting.

Karakter utama memang harus dibikin penting. Namun tugas itu dapat menjadi demikian susah jika materi karakternya memang tidak banyak sedari awal. Matthias Schweighofer lantas didapuk sebagai sutradara dengan harapan dia sudah mengerti karakter Sebastian/Ludwig yang ia perankan itu luar dalam. Dan memang, Matthias paham apa yang klik di balik benak sang karakter. Dia mengerti bahwa bagi Sebastian, brankas-brankas itu bukan semata benda yang harus dibobol dan diambil uangnya, melainkan benda yang melambangkan pencapaian. Kekaguman seperti seorang anak bertemu idolanya, dan mendapat pengakuan dari idola tersebut karena si anak telah berhasil melampaui prestasinya. Begitulah Sebastian melihat kunci-kunci besi itu. Dan kita bisa merasakannya, kekaguman terpancar dari karakter ini. Tapi itu saja belum cukup untuk menghidupkan film ini secara keseluruhan.

Yang beresonansi dari Sebastian kepada kita adalah kecintaannya terhadap yang ia lakukan. Sebastian tidak melakukan perampokan demi uang. Dia melakukannya supaya bisa bertemu dengan hal yang paling berarti baginya di dunia ini. Brankas dengan sistem kunci yang legendaris. Dan tentu saja, Gwendoline yang ia katakan kepada kita telah mengubah hidupnya. Ditunjukkannya bahwa hidup lebih dari sekadar cari duit. Pengalaman mendebarkan, dan cinta, jauh lebih berharga.

 

Di luar ketertarikan dan ke-nerdy-annya sama brankas, Sebastian enggak banyak ngelakuin hal lain. Film memberikannya sekuen aksi – naik sepeda keliling kota dikejar polisi – yang cukup kocak dan sangat kita apreasiasi di tengah kering kerontang dan membosankannya karakter ini. Sebelum diajak jadi geng rampok, secara inner, Sebastian enggak punya masalah di dalam hidupnya. Backstory kenapa dia hobi ngulik brankas dan kenapa dia gak gaul hanya disebutkan sepintas. Sepanjang durasi (yang memang panjang amat!) karakter ini kebanyakan hanya bereaksi. Terbawa-bawa. Seperti yang sudah disebutkan di atas tadi, Sebastian tidak punya development. Lantaran memang tidak ada yang bisa digali. Untuk mengisi kekosongan, naskah memusatkannya kepada romansa. Sebastian naksir Gwendoline, yang sudah punya cowok yakni si paling macho dalam kelompok mereka. Elemen itu juga gak dibahas mendalam. Enggak pernah lebih dari sebatas cowok cupu yang jatuh cinta sama gadis pertama yang mengajaknya bicara. Basic sekali.

Sedari awal itu dia sudah jago buka brankas. Dia bahkan enggak peduli sama kejaran waktu. Oh, mereka cuma punya waktu sempit sebelum penjaga dan sekuriti bank sadar, dan memanggil polisi untuk menghentikan aksi perampokan? Sebastian gak peduli sama itu. Dia sempat-sempatnya cerita panjang lebar tentang mitologi di balik masing-masing brankas. Mitologi yang sebenarnya menarik, karena mencerminkan keadaan cinta segitiganya dengan Gwendoline. Hanya tak terasa sebagai waktu yang tepat. Film menjadikan ‘bad timing‘ ini sebagai quirk dari karakter Sebastian, dengan harapan dapat membuatnya semakin tampak sebagai karakter yang menarik. Dan juga disetup bahwa Sebastian begitu pintar dan ahli jadi dia bisa membuka kunci-kunci rumit itu dalam waktu singkat. Akan tetapi karena situasinya adalah perampokan, ketika karakter utama gak peduli sama desakan waktu, dia gak merasa dirinya diburu-buruin, kita yang nonton jadi gak ngerasain lagi stake perampokan tersebut. Kita jadi bodo amat. Dia jago, kok.

Apalagi karena kita gak bisa berpartisipasi kepada tindakan yang Sebastian lakukan. Gimana coba membuat orang memutar-mutar kenop di brankas jadi aksi menarik yang breathtaking? Gak ada. Film ini menggunakan visual CGI yang menggambarkan mekanisme kunci yang sedang berusaha dipecahkan oleh Sebastian. Semua itu gak ngehasilin perasaan apa-apa. Ketika dia berhasil membuka kunci, kita gak ikut bersorak bersamanya. Karena kita gak diajak ikut mikir, kayak kalo misalnya ada kode atau teka-teki yang harus dipecahin dalam jangka waktu terbatas.

Oiya, ada ding, satu lagi yang dilakukan Sebastian, sebagai bagian dari karakternya. Mimpi tentang zombie-zombie! Lame. Upaya yang sangat payah dari film ini untuk mengikat dan ngingetin kita sama universe zombie film ini. Seringnya adegan mimpi diserang zombie itu justru merusak tone cerita, dan nambah-nambah hal gak perlu bagi karakternya. So what, Sebastian is a psychic too? Who cares!

 

 

 

Ini baru film kedua dari proyek zombie universe Snyder loh. Dia masih punya cerita-cerita lain yang siap ditayangkan. Honestly, aku berharap dia menerapkan apa yang diajarkan Sebastian kepada kita di film ini. Untuk tidak melakukannya semata demi cuan. Aku merasa film yang kali ini, tidak benar-benar penting eksistensinya. Masih bisa dinikmati, berkat garapan aksi dan permainan editing yang masuk ke dalam humor. Tapi gak menambah banyak untuk karakter yang sepertinya bakal terus muncul di universe ini nanti (karena kalo dia gak muncul lagi nanti, makin tak-ada gunanya lah kita nonton film ini) Mending bikin film heist generik aja yang benar-benar bercerita tentang kejadian dan trik-trik perampokan. Untuk mitologi dunianya juga, gak banyak berarti. Ini adalah film yang bisa ditonton, dan setelahnya ya beres gitu aja. Film ini membuktikan kalo sedari awal udah angin, ya gak bakal bisa jadi emas.
The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for ARMY OF THIEVES.

 

 

 

That’s all we have for now

Bagaimana pandangan kalian terhadap genre heist? Is it dead? Bagaimana cara membuatnya kembali menarik?

Share with us in the comments yaa

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

LAMB Review

“They can face anything, except reality”

 
 

Sudah lumayan banyak keanehan dalam dunia film 2021, perihal bayi. Sebelum ini kita udah dapat bayi boneka kayu. Bayi setengah mesin. Dan kini, Lamb yang ceritanya terisnpirasi dari folklore atau cerita rakyat Islandia, melengkapi keanehan terebut dengan menghadirkan bayi domba setengah manusia. You would think cerita tentang pasangan yang mengadopsi bayi hibrid tersebut bakal punya beragam bahasan dan kejadian. Namun Lamb digarap oleh sutradaraValdimar Johannsson di bawah sayap studio A24. Dan film-film dari rumah produksi dan distributor tersebut tidak terkenal dengan film yang punya banyak kejadian dalam satu cerita. Buatku, film-film A24 justru dikenang sebagai yang wajib ditonton kala mau menaikkan berat badan. Karena, camilanku udah habis dua bungkus, adegan filmnya baru beres memperlihatkan karakter berjalan dari ujung layar ke layar satunya.

I don’t mean that entirely as a bad thing. Film A24, dan termasuk Lamb ini, meskipun flownya lambat, tapi sangat poetic. Visualnya dirancang untuk benar-benar nge-entranced kita. Sebab visualnya itulah yang menjadi pintu masuk kita terhadap perasaan yang digambarkan. Cerita Lamb bersetting di rumah peternakan di pegunungan. Pemandangan padang rumput luas, bukit-bukit yang senantiasa tertutup kabut, dan langit abu-abu membentang dicat ulang oleh film dengan ‘warna’ yang menimbulkan kesan tak-nyaman. Atmosfer lingkungan tersebut terasa mengekang. As far as bagaimana sebuah konsep memenuhi fungsi, film ini berhasil. Meskipun fungsi tersebut tidak enjoyable bagi kebanyakan penonton. Apalagi ketika dua karakter sentral mulai diperkenalkan kepada kita. Pasangan pemilik peternakan domba, Maria dan Ingvar. Semua mood yang digambarkan, yang nyampe kepada kita, bersumber dari dua karakter ini. Lamb meletakkan kita begitu saja di ruang dapur mereka. Tidak mengetahui mengapa mereka terasa begitu dingin. Begitu somber. Tidak bergairah.

 
Lamb-Banner
Kecuali adegan opening, yang tanpa kita sadari sebenarnya adalah adegan domba kimpoi di malam yang dingin
 
 
 

 

Ini jadi set up yang benar-benar susah untuk diikuti. Apalagi karena film ini sebenarnya ceritanya singkat banget. Jangan dulu ngomongin dialog, kejadian-kejadian yang menyusun narasi utuhnya aja enggak banyak. Lamb ini bisa saja jadi episode animasi horor Yamishibai yang pendek-pendek, yang menitnya itungan jari itu. Kita jadi ingin cepat-cepat masuk ke pusat konflik. Tapi film dengan teganya berlama-lama. Film ingin memastikan kita merasakan semua emosi yang diniatkan. Karena ini penting. Film tidak pernah menyebut sesuatu dengan gamblang. Ketika ngasih set up bahwa keluarga Maria punya kejadian masa lalu tak mengenakkan, film memberitahu kita lewat dialog ‘gajelas’. Maria dan Ingvar membicarakan seputar mesin-waktu. Aku sudah camilan bungkus ketiga sekarang, aku harus nambah terus karena kalo enggak, aku bakalan ngantuk. Namun sebelum aku sempat membuka camilan keempat, film membuatku melek dengan adegan yang sangat-teramat-real. Adegan Maria dan Ingvar membantu seekor domba melahirkan. Ingvar memegangi badan domba, Maria menarik kepala anak yang nongol di belakang mama domba. Aku bersyukur udah gak sedang makan. Dan honestly, setelah adegan itu aku gak perlu camilan lagi untuk stay awake.

Akhirnya cerita sampai ke menu utama. Kali berikutnya ada domba yang melahirkan, Maria dan Ingvar mendapati sesuatu yang membuat mata mereka membulat. Film cerdas gak langsung ngasih kita lihat. Kita kan jadi penasaran saat Maria membawa bayi domba ke dalam rumah, memandikannya di bak mandi, menidurkannya di ranjang bayi. Membungkusnya dengan selimut. Hangat. Kita merasakan juga, tapi tidak tanpa sensasi geli-geli aneh. Film ngambil waktu lagi. Ngebuild up si anak domba ini kenapa sih sebenarnya. Mengapa pasangan itu begitu sayang dan begitu protektif terhadap si anak domba. Mama domba mengembek di luar jendela, mereka usir. Ketika anak domba itu menghilang dari rumah, Maria dan Ingvar panik. Benar-benar cemas. Mereka mencari-cari ke luar rumah, tapi tidak pernah mencari ke kandang domba. Sebagai penonton, kita diharapkan film untuk mulai menambah satu-tambah-satu dari adegan-adegan tersebut. Dari perbincangan mesin waktu hingga ke kecemasan anak domba yang menghilang. Ya, pasangan ini pastilah punya kenangan buruk terhadap anak. Dan setelah si anak domba ketemu, barulah diperlihatkan dia adalah domba separuh manusia. Mereka beri nama Ada. Mereka rawat seperti anak sendiri. Realita-baru mereka tersebut lantas akan kembali ditantang ketika babak baru cerita dimulai, dengan kedatangan saudara laki-laki Ingvar, Petur, ke rumah kecil mereka.

Basically, aku baru saja menceritakan 90% isi film, hanya dari satu paragraf di atas. Hanya menyisakan yang penting-penting, yakni konfrontasi drama dan menit-menit terakhir berupa pengungkapan yang either bagi kalian terasa shocking dan seram, atau menggelikan. Tergantung dari bagaimana perasaan kalian setelah melewati nyaris dua jam yang ajaib tersebut. Segitu singkat dan, katakanlah, uneventfulnya, cerita film ini. Film baru benar-benar hidup dan menyala saat keempat karakater sudah ada di rumah itu. Padahal mestinya bisa lebih banyak dan lebih kompleks yang diceritakan. Ada yang mulai gede dan menyadari dirinya berbeda aja hanya dibahas sekilas, porsinya lebih kecil daripada durasi Maria dan Ingvar berkeliling di rumah mencarinya saat hilang tadi. Heck, keberadaan atau eksistensi Ada di dunia cerita ini saja tidak pernah dibahas mendalam. Melainkan cuma sebatas Petur bilang Ada itu tidak benar (binatang yang didandani dan dianggap anak manusia), yang tentu saja ditentang oleh Maria dan Ingvar yang tersenyum bangga memperkenalkan Ada kepadanya. Coba kalo ini sinetron, waah, Maria pasti curiga.. Jangan-jangan lakik gue selingkuh ama domba.. (Although, mungkin ini juga salah satu penyebab dia menembak mati sang mama domba).

 
lambmaxresdefault
“Ayah, kenapa aku… Ada”
 
 
 

Jadi, Baby Ada ini pastilah sebuah simbolisme, kan. Kan?

Si Ada dalam cerita ini bisa jadi serupa sosok minotaurus dalam legenda yunani, yang melambangkan kematian. Atau dia yang makhluk setengah manusia setengah hewan itu bisa juga seperti Dewa Ganesha di India, yang tampil seperti itu sebagai bentuk penyesalan orangtua yang telah memotong kepala manusianya. Atau dalam agama Kristen, Ada si domba itu ya bermakna sebagaimana domba dalam Alkitab. Makhluk suci yang melambangkan keajaiban Tuhan. Domba melambangkan purity dan keinnocent-an. Yang menarik adalah, si Ada malah bisa dimaknai sebagai ketiga simbol tersebut sekaligus.

Lamb pada hatinya adalah sebuah cerita tragis. Makanya dia dijual sebagai horor. Karena horor bukan sebatas kejadian mengerikan karena hantu-hantuan, jumpscare, atau pembunuh gila di malam hari. Horor juga adalah kejadian mengerikan yang berasal dalam kita sendiri. Dari perasaan tragis yang menghantui. Dendam, cemburu, rasa bersalah, duka. Lamb sesungguhnya bermain pada dua tema yang terakhir. Ingvar, dan khususnya Maria (tokoh utama cerita ini adalah seorang ibu) adalah pasangan yang telah melewati hari-hari penuh duka. Keberadaan Petur, dan hubungannya dengan mereka yang tersirat di dalam cerita, adalah saksi hidup dari seberapa dalam duka tersebut berdampak di kehidupan rumah tangga mereka. Untuk tidak mengatakan terlalu banyak, Ada si bayi domba, bagi mereka lebih dari kesempatan kedua. Bagi suami istri ini, Ada bisa dibilang adalah mesin-waktu, yang memungkinkan mereka untuk memperbaiki atau bahkan mencegah duka yang tadi terjadi.

Tragisnya adalah, bahwa manusia yang terluka, cenderung lebih suka untuk menghadapi apapun – termasuk sesuatu yang sama sekali ajaib, sesuatu yang setidakmasukakal menjadikan anak domba sebagai anak sendiri – kecuali kenyataan pahit itu sendiri.  Film ini gak segan-segan ngasih hukuman untuk orang seperti itu. Seperti yang kita lihat terjadi kepada Maria di akhir cerita. Lamb sesungguhnya adalah dongeng rakyat penuh moral tentang orang yang jadi kehilangan begitu banyak, karena mereka berkubang dan tidak membenahi diri setelah kehilangan yang pertama.

 
 
 
 
 

Puitis, tragis, humanis. Film ini bukan hanya punya bobot, tapi juga penuh oleh ruh-ruh seni. Dia bercerita lewat visual. Dosa film ini cuma, bercerita terlalu lama. Dan terlalu sedikit. Dia tidak berhasil meyakinkan kita bahwa cerita yang sajikan ini memang harus berdurasi sepanjang itu, karena dia tidak mengisi durasi dengan seimbang. Atau katakanlah, dengan efektif. Banyak plot-plot poin yang jadi ada, dan kemudian tidak ada, dengan begitu saja. Semuanya numpuk di pertengahan akhir. Sementara di awalnya, set up agak sedikit terlalu kosong. Melainkan jadi susah untuk diikuti. Saking susahnya, penonton bisa gak sabar, dan memutuskan untuk melihat film ini sebagaimana yang mereka mau. Tidak lagi sesuai tuntunan yang disediakan. Akhiran film yang mengejutkan itu, misalnya, aku gak kaget kalo ada yang menganggapnya lucu, alih-alih tragis. 
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for LAMB.

 

 

 

That’s all we have for now

Bagaimana pandangan kalian terhadap pilihan-pilihan yang dilakukan oleh Maria? Apakah di mata kalian dia adalah seorang ibu yang baik?

Share with us in the comments yaa

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

PARANORMAL ACTIVITY: NEXT OF KIN Review

“It’s okay to walk away”

 

Paranormal Activity telah sukses memberikan warna baru kepada genre horor found-footage di tahun 2007. Alih-alih menggunakan kamera bergoyang yang mengikuti ke mana karakter pergi, film indie tersebut menggunakan kamera steady yang merekam ruangan rumah. Yang seketika efektif mencuatkan trope-trope unggulan dari genre ini; suara misterius yang gak keliatan sumbernya di mana, wide shot tapi sudut pandang penonton amat terbatas, dibalut cerita keluarga yang membuat penonton rela memandangi ruang kosong sambil siap-siap menangkap jantung yang copot begitu kekuatan tak-berwujud menunjukkan aktivitasnya. Beberapa sekuel pertama dari film tersebut masih bertahan dan cukup berhasil menghantarkan pengalaman seram serupa. Namun, seperti halnya franchise horor lain, Paranormal Activity pun jadi gede dan melebar keluar rel, sebelum akhirnya kandas setelah sekuel yang dinilai paling buruk di tahun 2015 (PA: The Ghost Dimension) Aku actually bersorak hore saat film tersebut gagal dan officially mengakhiri franchise Paranormal Activity yang sudah jadi kayak parodi diri originalnya sendiri, karena kebanyakan sekuelnya hanya meniru trik tanpa pernah mikir dan memahami apa yang membuat trik tersebut berhasil. Namunnya lagi, seperti halnya franchise horor lain, franchise ini pun berusaha dihidupkan kembali. Paranormal Activity: Next of Kin adalah usaha tersebut.

Dijadikan literally next of kin – kerabat dekat – dari film-film sebelumnya, film terbaru ini oleh sutradara William Eubank diberikan arahan yang fresh. Seenggaknya, niatnya begitu. Biar fresh. Next of Kin tidak lagi melanjutkan mitologi sekte Toby dan Katie. Tidak lagi bersetting di dalam rumah, dengan kamera yang merekam ruangan kosong di malam hari. Eubank menggunakan konsep found footage yang baru bagi franchise ini, tapi enggak benar-benar baru dalam genre found footage itu sendiri. Itupun dilakukan dengan generik dan konsep yang tidak maksimal. 

paranor-2021-10-06-at-1.31.38-PM
Film ini jika diibaratkan sebagai kerabat keluarga, maka dia adalah kerabat yang kita ingin jauhi

 

Cerita baru yang diusung oleh film ini adalah tentang Margot, perempuan yang menemukan keberadaan keluarga aslinya. Dirinya ketika masih bayi ternyata ditinggalkan oleh ibunya begitu saja di depan pintu apartemen. Sang ibu, melarikan diri dari keluarga besar mereka di perkampungan Amish. Kinda like ibu-anak Laudya Cynthia Bella dan Lutesha di film Ambu (2019)hanya saja di sini, sosok Ibu Margot jadi misteri. Untuk itulah, Margot memutuskan untuk mengunjungi kampung tersebut. Dia mengajak pacarnya yang kameramen dan sahabat mereka yang tukang sound. Mereka juga dibantu oleh pemuda dari kampung Amish yang sedang berada di kota. Lebih dari silaturahmi, Margot ingin memfilmkan kehidupan keluarga besarnya di sana, dengan harapan dia bisa tahu apa yang terjadi dengan ibunya.

Do you guys see the problem with that story? Do you see that ‘red flag’?

Ya, alasan untuk menjadikan film ini sebuah cerita dengan konsep found-footage lemah sekali. Untuk apa Margot bikin film segala. Salah satu struggle (dan ultimately menjadi kejatuhan bagi banyak film horor bergenre found footage) adalah memasukakalkan karakter ceritanya menggunakan kamera sepanjang waktu. Konsep ‘menonton cerita dari tayangan video kamera’ dalam found footage hanya akan benar-benar menjadi sebuah storytelling yang unik, jika bangunan ceritanya sendiri benar-benar dirancang untuk hanya bisa bekerja dengan konsep tersebut. Franchise V/H/S/ misalnya, mereka membingkai konsep tersebut ke dalam cerita kasus cult video. Video-videonya itu yang kita tonton sebagai film horor antologi. Atau Paranormal Activity original; ceritanya dibuat sebagai kisah tentang pasangan yang mengalami gangguan aneh di malam hari sehingga mereka memutuskan untuk merekam isi rumah dengan kamera pengintai. Klip-klip dari rekaman kamera mereka itu yang kita tonton sebagai film. Narasi film tersebut serupa puzzle yang harus kita susun, klip-klip itu jadi kepingan puzzlenya. Jadi, make sense, saat keseluruhan film adalah tontonan dari klip video atau dari klip rekaman kamera.

Next of Kin enggak punya alasan yang kuat seperti demikian. Margot berkunjung ke kampungnya, sambil merekam video. Katanya dia pengen bikin dokumenter tentang orang Amish, tapi selain kunjungan ke kandang ternak (mereka berunyu-unyu dengan babi tampak sangat out-of-place), kita tidak pernah melihat mereka merekam aktivitas apa-apa. Margot bahkan terus merekam bahkan setelah semua orang Amish itu tidur. Karakter-karakter protagonis kita tidak punya alasan kuat harus terus menerus merekam. Mereka hanya merekam karena ini adalah film found footage. Makanya, konsep ini gak bekerja dengan baik. Karena seperti dipaksakan. Atau parahnya, cerita ini memang sebenarnya bukan untuk found footage. Hanya karena ingin dijual sebagai brand Paranormal Activity ajalah, maka diharuskan jadi pake pov kamera.

Bahkan pada beberapa adegan, kelihatan sekali film ini kesusahan untuk komit dengan konsep tersebut. Pada beberapa adegan, kita bahkan tidak tahu kamera cerita dipegang oleh siapa. Contohnya ada adegan menjelang ending yang there’s no way karakter protagonis yang ada di layar itu bisa memegang kamera. Tapi kegiatan mereka terus direkam. Terus ada juga set up yang aneh; di awal-awal, karakter memperlihatkan kamera canggih kepada anak-anak di kampung yang gak tau teknologi itu. Mereka bermain-main dengan mode slow-motion. Pake dijelasin segala berapa frame per second kamera itu merekam dalam keadaan slo-mo. Pay off dari itu, adalah, saat setan dalam cerita ini beneran muncul dan mengejar si karakter protagonis, ada momen ketika si setan kita lihat bergerak dalam slow-motion. Yang berarti, si perekam sempat-sempatnya memakai fitur itu di momen life or death seperti demikian. Kan maksa banget. Orang dikejar setan tapi lari matanya masih ngerekam lewat kamera aja udah aneh. Pake segala aktifin fitur slo-mo pula.  

Ketika mereka semua menginap di rumah kakek Margot yang jadi pemimpin (sosok patriarki) di keluarga Amish itu, kupikir malamnya akan ada bagian mereka mendengar suara-suara, lalu memutuskan untuk memasang kamera tersembunyi supaya kita bisa mendapatkan momen kamera ruangan khas Paranormal Activity. They do hearing voices. Ada satu adegan ketika Margot bangun dan menyelidiki suara tersebut hingga sampai ke atap dan kita kemudian mendapatkan bagian paling ngeri dan terbaik seantero durasi film ini (berkat permainan kamera dan timing jumpscare yang pelan-tapi-pasti!). Namun bagian mereka memasang kamera untuk mengintai itu tidak pernah datang. Next of Kin malah gagal untuk menjadi seperti Paranormal Activity. Heck, bahkan The Medium (2021) aja bisa menjadi Paranormal Activity yang lebih baik ketimbang Next of Kin ini!

Ngomong-ngomong, The Medium bisa dijadikan perbandingan yang bagus soal konsep found footage. Film dari Thailand itu sebenarnya menggunakan standar found footage kebanyakan; yakni membentuk ceritanya berupa ala-ala dokumenter supaya karakter dengan kamera bisa terus ada di sana. The Medium melakukannya dengan sangat kuat sehingga dia beneran tampak seperti mockumentary, padahal sebenarnya found footage. Saking kuatnya, at it worst, The Medium bisa kita bilang sebagai mockumentary yang berkembang menjadi found footage yang all over the place. Next of Kin sebenarnya juga punya kekuatan. Film ini bukan hanya mengeluarkan diri dari ending yang template buat found footage (semua mati!), tapi juga keluar dari tradisi ending franchisenya sendiri. Narasinya juga sebenarnya cukup punya bobot. Margot yang diperankan oleh Emily Bader, walaupun melakukan pilihan-pilihan bego, tapi tidak annoying. Dia likeable. Dia dirancang sebagai teman yang bisa relate sama semua penonton. Sayangnya, dia hidup di dunia-cerita yang dibangun dengan lemah. Film ini bahkan tidak bisa dibilang sebagai found footage yang all over the place. Melainkan cuma cerita yang bisa lebih baik penggaliannya jika tidak dikonsep sebagai found footage.

ParanorActivity-Next-of-Kin-trailer-image
Kau tahu kau gagal jadi sesuatu, kalo orang bilang kau bisa lebih baik jika enggak jadi sesuatu itu.

 

Bayangkan, jika tidak sibuk mikirin karakter dan kamera, film ini bisa menggali banyak hal yang hanya dimasukkan seuprit dalam cerita. Budaya orang Amish yang berbeda dengan anak teknologi macam Margot dan teman-temannya. Ini bisa jadi bahasan yang menarik. Apalagi film memang tampak menggali horor dari sini. Margot dan teman-temannya menjadi takut dan curiga kepada keluarga Amish itu karena mereka begitu aneh dan berbeda. Hidup tanpa listrik dan sebagainya. Belum lagi perkara mereka adalah keluarga darah daging Margot. Bahasannya bisa dalam. Tapi karena film ini lebih mementingkan gaya found footage, maka bahasan ke arah sana dangkal sekali. Hanya berupa ‘Amish berbeda sehingga mereka mengerikan’. Ini kan jadi kayak menghororkan stereotipe, yang bisa berujung terlihat sebagai narasi yang gak respek. Mungkin itu juga sebabnya film ini mengadakan sebuah revealing di menjelang akhir yang menjelaskan sesuatu ternyata tidak seperti yang kelihatannya.

Ada hal-hal tertentu yang membuat kita boleh meninggalkan keluarga. Harus meninggalkan, malah.Yang dialami oleh Margot dan ibunya sebelum dirinya, adalah contoh dari hal tersebut. Film ini memang menunjukkannya dalam lapisan horor. Tapi di balik itu, kita bisa mengambil nilai bahwa tidak semua yang dilakukan oleh keluarga kita, yang dipercaya oleh mereka sebagai kebenaran, adalah kebenaran.

 

Namun itu juga lantas menunjukkan betapa naskah film ini memang dibuat sekenanya aja. Kayu yang memalang pintu gereja bertulisan kalimat dalam bahasa Jerman. Margot dan kawan-kawan kelimpungan mencari tahu artinya, yang ternyata adalah peringatan. Namun saat mereka semua sudah masuk, di lantai gereja, terdapat gambar-gambar yang disertai tulisan–berbahasa inggris!! Sehingga Margot bisa membaca eksposisi-eksposisi dan cerita bisa kembali maju. Film ini enggak ragu-ragu untuk menjadi serba mudah bagi karakter, karena itu berarti mudah juga bagi mereka untuk membuat cerita. Malah ada adegan ketika karakter mampir ke toko, minjam internet dan ngegoogle nama setan, dan dalam waktu enggak lebih dari satu menit, seluruh misteri dan mitologi film ini terbeber semua kepada karakter. Film praktisnya usai di sini. Dan sisa durasinya adalah untuk gila-gilaan. Yang malah kerasa lebih mirip cut scene video game horor first-person. Film ini ngarep kita bakal puas dengan kegilaan di akhir dan melupakan betapa males dan ngasalnya mereka dalam membangun konsep dan menulis cerita.

 

 

Bagaimana membuat sesuatu yang tadinya unik tapi lantas menjadi membosankan, menjadi unik kembali? Jawaban film ini adalah dengan membuatnya menjadi hal basic yang dihindari oleh originalnya sedari awal. Film ini hanya sedikit sekali terasa seperti franchise Paranormal Activity, dan sama sekali tidak terasa seperti perbaikan. Okelah, secara teknis, film ini memang lebih baik daripada film terakhir dari Paranormal Activity sebelum ini. Namun secara overall, konsep yang dipakai sangat lemah. Dan enggak klop dengan potensi maksimal yang dimiliki oleh ceritanya. Hasilnya, tampak sebagai usaha yang teramat lemah dalam menghidupkan kembali franchise found footage yang pernah sangat populer ini.
The Palace of Wisdom gives 2.5 out of 10 gold stars for PARANORMAL ACTIVITY: NEXT OF KIN

 

 

 

 

That’s all we have for now

Bagaimana pendapat kalian tentang genre horor found footage? Apakah menurut kalian masa horor genre tersebut sudah lewat? Konsep unik apa yang ingin kalian lihat dalam genre ini?

Share with us in the comments yaa

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

TITANE Review

“Hard experiences may indeed make you tough.”

 

Titane adalah cerita tentang seorang perempuan yang cinta sama mobil. Itu adalah kalimat yang paling innocent dalam mendeskripsikan film karya sineas Perancis Julia Ducournau ini. Sebenarnya, Titane bukanlah cerita yang innocent. Ataupun bukanlah cerita yang normal. Cinta sama mobil yang kita kenal adalah, sikap orang yang merawat dengan seksama kendaraan yang punya nilai tertentu bagi dirinya. Orang yang membanggakan kendaraannya karena kendaraan tersebut entah itu irit, awet, atau mesinnya ‘bandel’. Ya, cinta yang normal-lah. Cinta sama mobil Titane berada dalam realm yang sama sekali berbeda. Perempuan tokoh utama film ini lebih suka mengekspresikan dirinya kepada mobil, ketimbang kepada manusia. Dia menari erotis di atas kap mobil. Hingga di satu titik, perempuan tersebut hamil. Oleh mobil.

Alih-alih air susu, dadanya mengeluarkan oli. Alih-alih ketuban, cairan hitam pekat-lah yang muncrat dari dalam tubuhnya. Di satu sisi, film ini memang cocok dimasukkan ke dalam kotak body-horror, berkat bertaburnya elemen-elemen edan ketakutan si karakter perempuan terhadap kondisi tubuhnya. Namun di sisi lain, di samping keanehan tersebut, sutradara Julia sesungguhnya kembali menghadirkan kepada kita kisah hubungan kekeluargaan yang hangat. Yang mengalun beriringan dengan tema-tema yang super relate dengan kemanusiaan. Seperti self-healing atas trauma, dinamika gender, dan kendali atas tubuh/hidup sendiri.

titane840_560
Kucumbu Mobil Indahku

 

Perempuan itu bernama Alexia. Waktu kecil, Alexia pernah kecelakaan mobil. Sehingga pelat baja harus ditanam di kepalanya. Tau tidak siapa yang pertama kali dipeluk dan dicium Alexia cilik begitu operasi perawatannya berhasil? Bukan, bukan ibu dan ayahnya. Mobilnya. Kecintaan tak-wajar Alexia sama mobil memang telah tumbuh sejak dini. Dan kerenggangannya dengan orangtua – terutama dengan ayahnya – besar kemungkinan adalah sumber dari segalanya. Setelah dewasa, Alexia bekerja sebagai penari stripper. Spesialis nari di mobil. Dirinya semakin berjarak dengan manusia-manusia lain. Malahan, saking canggungnya dengan manusia, Alexia punya kecenderungan untuk membunuh orang-orang di sekitarnya. Serius. Alexia jadi semacam serial killer! Di tengah pelariannya suatu ketika, Alexia menyamar menjadi putra dari seorang pemadam kebakaran. Putra yang hilang sejak kecil. Penyamaran Alexia membawanya bertemu dengan Vincent, sang pemadam kebakaran. Alexia tinggal bersama Vincent yang percaya dia adalah putranya. Film Titane lantas mulai berganti gigi. Masuk ke dalam cerita melodrama dua orang asing yang saling tidak menampilkan diri masing-masing, meski tak bisa dipungkiri, mereka saling membutuhkan.

Karena bicara tentang tubuh dan trauma itulah, maka film ini terasa seperti versi cewek dari Kucumbu Tubuh Indahku (2020) bagiku. Bagaimana tidak? Film ini juga menggunakan tubuh sebagai rekam jejak hidup yang dilalui oleh Alexia. Hidup yang penuh trauma. Lempeng baja di kepalanya itu merupakan bukti literal, catatan, atas trauma pertama yang menimpanya. Dan trauma itu membekas, seperti halnya lempeng baja yang terus bercokol di sana. Sebagai simbolisme, lempeng itu menunjukkan karakter dari Alexia. Perempuan yang tangguh. Atau mungkin lebih tepatnya, membuat dirinya tampak tangguh. Setiap pengalaman buruk, setiap trauma yang ia alami, membentuk dirinya semakin heartless. Semakin dingin. Semakin tak-perempuan. Di sinilah aspek gender mengambil peran dalam cerita. Memang masalah Alexia dan ayahnya tidak pernah disebutkan dengan gamblang, tapi aku tidak akan kaget kalo ternyata ayah lebih senang punya anak cowok ketimbang cewek. It would explain kenapa Alexia suka sama mobil. Teoriku, backstory cerita adalah, Alexia mencoba untuk memenuhi ekspektasi ayahnya tersebut, dan hasilnya adalah kekacauan hubungan ayah-anak yang kita lihat di film ini.

Jadi, seperti Juno dalam Kucumbu Tubuh Indahku, Alexia lantas menapaki hidup yang penuh trauma sembari tidak boleh menunjukkan kelemahan. Namun jika Juno berakhir harus menahan sisi feminimnya, Alexia yang kodratnya sudah cewek – harus menekan kemanusiaannya. Itulah sebabnya kenapa Alexia menjadi distant dengan manusia. Kenapa dia bisa jadi serial killer. Pelat baja adalah simbol sisi kemanusiaannya yang hilang. Dan kehamilannya oleh mobil, adalah simbol puncak hal tersebut. Dia hamil setelah melakukan pembunuhan yang, at least pertama kita lihat. Trauma atas peristiwa tersebut membuahkan kehamilan kepadanya. ‘Buah’ yang menunjukkan dia bukan lagi ‘manusia’. Sekaligus juga jadi tantangan terbesar, dia harus menghadapi kewanitaannya. Tebak ke mana cerita membawa Alexia berikutnya? Ya, Alexia yang tengah hamil (kecepatan hamilnya pun di luar kecepatan hamil normal) harus menekan perut buncitnya dengan suspender, karena dia harus menyamar sebagai laki-laki. See, semua simbolisme tadi itu comes together di paruh kedua cerita.

Secara teori, trauma yang kita rasakan, ‘diserap’ oleh tubuh. Semua yang kita alami, baik secara fisik maupun secara mental atau emosional, akan direkam dan disalurkan kepada tubuh. Maka ada benarnya juga perkataan yang mengatakan bahwa pengalaman keras dan trauma dapat membuat kita jadi lebih tangguh. Tubuh kita beradaptasi, membentuk pertahanan terhadap itu. Tapi sebagai manusia kita tidak hanya tubuh. Kita perlu penyaluran yang sehat terhadap trauma tersebut, penyaluran yang tidak membebani tubuh semata.

 

Jika kita memang menganggap film ini terdiri dari dua bagian cerita, maka bagian terbaik film ini adalah cerita di bagian keduanya. Ketika Alexia ‘terperangkap’ sebagai Adrien, putra yang telah lama hilang dari Vincent. Di sini adalah ketika semua yang dipercaya Alexia selama ini ditantang. Mau itu tentang bagaimana ayah kepada anaknya. Hingga ke tentang menjadi tangguh atau be a man itu sendiri. Selama ini, sebagai perempuan (dan penari stripper!), Alexia merasakan tatapan lapar para lelaki. Jadi dia berusaha untuk tidak menunjukkan kelemahan. Sebagai Adrien, Alexia merasakan ‘tatapan’ yang berbeda dari para lelaki. Dia experience something yang tak pernah ia rasakan, sekaligus juga sesuatu yang familiar. Dia belajar banyak tentang kendali tubuh dan ekspresi dari Vincent, karakter yang actually ditulis lebih beresonansi ketimbang dirinya sendiri. Vincent, kapten pemadam kebakaran yang dituntut untuk tampil macho, tapi punya sisi vulnerable sendiri. Yang di saat-saat pribadinya, kita tahu kapten itu tidak prima lagi. Secara teknis pun, film langsung jor-joran menghasilkan kontras dari berbagai aspek saat cerita mulai menapaki hubungan antara Alexia dengan Vincent. Warna-warna lembut di momen-momen maskulin, misalnya. Kontras-kontras itu menambah depth buat narasi yang sedang disampaikan. Ending saat keduanya mulai menerima diri mereka masing-masing adalah momen indah, sekaligus sedikit menyeramkan. Memang, relasi kedua karakter inilah yang jadi hati yang kita tunggu-tunggu sepanjang durasi.

titanedd
Cerita yang saking anehnya, aku jadi membaca judulnya pake logat anime “Ti-ta-neee~”

 

Bagian pertama film ini memang sukar untuk ditonton. Alexia benar-benar karakter yang sulit untuk disukai. Waktu kecil dia begitu annoying dengan menirukan suara mesin mobil (dia bertingkah annoying itu yang actually jadi penyebab dirinya kecelakaan) Dia tidak banyak bicara. Ekspresinya tak terbaca. Dia membunuh orang-orang, beberapa di antaranya adalah orang yang berusaha bersikap ramah kepadanya. Kita tak tahu apa yang ia pikirkan, dan apa motivasinya selain tidak ingin tertangkap polisi. Hal satu lagi yang kita tahu adalah bahwa Alexia gak pengen hamil. Apalagi adegan-adegan yang ditampilkan juga bukan buat konsumsi orang-banyak. Adegan pembunuhannya digambarkan cukup real sehingga bisa bikin perut bergejolak. Adegan body-horrornya juga cukup disturbing, dengan oli muncrat ke mana-mana. Bahkan adegan ketika dia ‘mendandani’ dirinya untuk menyamar sebagai cowok; jangan harap adegan itu seelegan adegan Mulan potong rambut sebelum berangkat ke training camp. Film ini penuh oleh gritty things yang hard to watch. Namun begitu, aku salut sama penampilan aktingnya. Yang meranin Alexia itu bukan aktor profesional. In fact, film ini adalah debut aktingnya. Agathe Rousselle ditemukan oleh tim Julia di sosial media, dan langsung digembleng akting. Turns out, permainan akting silent dan berekspresinya juara banget.

Julia basically menyandarkan bagian pertama kepada performance aktor baru ini. Rouselle diberi kesempatan, dan she kills it! Satu-satunya alasan kita enggak berdiri dan ninggalin film ini meskipun di pertengahan awal itu karakternya unlikeable dan situasinya weird as hell, adalah Rouselle menyuguhkan penampilan akting yang membuat kita relate kepada Alexia, karakternya. Kita merasakan yang Alexia rasakan, lewat tubuhnya. Ketika dia membunuhi seluruh penghuni rumah, kecuali satu orang yang berhasil, kita merasakan kelelahan yang ia rasakan. Kita merasakan tekanan dari kejadian tersebut.

 

 

 

Mesin film ini memang lama panasnya. Set upnya gak benar-benar melandaskan banyak, karena seperti ada penghalang kita dari si karakter utama. Ditambah pula dengan elemen horor dan adegan-adegan yang membuat film ini bukanlah sebuah tontonan yang bisa dengan mudah untuk diselesaikan. Tapi memang itulah yang jadi jualan utama. Sebuah pengalaman traumatis. Artistry, kreasi, dan semua kemampuan sinematik pembuatnya diarahkan untuk membuat pengalaman tersebut mencuat. Walaupun harus menjadi seaneh mungkin. Bahkan ketika hati cerita mulai kelihatan pun, film tidak menginjak pedal rem dalam membuat dirinya tampak sebagai sebuah mimpi buruk. Namun di lubuk hati, kita tahu masalah yang dihadapi karakter-karakternya adalah masalah kemanusiaan yang real. Kita tahu perasaan tersebut bisa jadi relatable. Film ini dapat standing ovation sembilan menit di Cannes. Jadi, dalam semangat film itu sendiri, sekarang aku minta kita semua untuk berdiri. Dan bilang “Brrrrmmm Breemm Brmmmm!!”
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for TITANE

 

 

 

 

That’s all we have for now

Bagaimana pendapat kalian tentang film dengan elemen cerita yang aneh seperti film ini? Apakah bagi kalian keanehan tersebut jadi daya tarik atau malah jadi turn-off?

Share with us in the comments yaa

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

DUNE Review

“There is no greater jihad than to help the helpless”

 

Beberapa menyebut film ini sebagai Star Wars versi lebih serius. Ada juga yang menyebutnya sebagai Star Wars versi islami. Cerita tentang Imam Mahdi. Bagi pembaca novelnya, Dune adalah fiksi ilmiah yang paling ditunggu, karena mereka penasaran bagaimana cerita sepadat itu divisualkan ke dalam tayangan. Bagi David Lynch, Dune adalah pengingat kegagalan, sehingga ia bahkan tak tertarik nonton film baru ini. Bagi ‘film-twitter’, Dune adalah bahan ribut bulan ini. Dan akhirnya, tiba juga bagiku untuk menyumbang suara mengatakan Dune versi Denis Villeneuve ini adalah apa.

Waktu itu memang aku terlalu sibuk untuk ikutan keramean seputar artikel yang bilang orang yang ngantuk nonton Dune punya wawasan pas-pasan. Padahal semua itu gak ada hubungannya sama wawasan. Kubilang sekarang, mereka yang bosen, bahkan sampai ketiduran nontonin Dune versi baru ini, pastilah cuma orang-orang yang belum pernah nonton Dune yang versi David Lynch. Serius. Senada dengan Lynch sendiri, alasan aku juga enggak antusias menyambut Dune terbaru adalah karena aku punya mimpi buruk berkenaan dengan Dune 1984. Aku berusaha nonton lima kali, dan ketiduran enam kali!! Bukan karena film itu jelek – aku gak punya kapasitas bilang film itu jelek, karena selalu gagal menontonnya sampai habis – tapi karena film itu terbeban banget oleh eksposisi. Sepuluh menit pertamanya aja full-narasi eksposisi! Makanya, begitu akhirnya menonton Dune versi Denis, aku lega sekali karena film ini terasa jauuuuuuuuhhhhh lebih ringan. Denis meminimalisir semua eksposisi dan mitologi. Jika Dune memanglah awalnya dibuat untuk menjadi ‘saingan’ Star Wars, maka Dune versi 2021 ini adalah yang paling dekat untuk memenuhi fungsi tersebut. Film ini jauh lebih mudah untuk dinikmati ketimbang yang kalian dengar dikatakan oleh orang-orang.

DUNE4267631098
Film ini jadi bukti bahwa bisa kok sebuah adventure grande dibuat tanpa bumbu-bumbu humor one-liner yang cheesy

 

Aku ngerasa bisa relate sama usaha film ini dalam mengurangi eksposisi, karena di sini aku pun gak mau kalo review yang aku tulis akan terbaca sebagai gibberish – sebagai fafifuwasweswos omong kosong – oleh pembaca yang enggak ngerti sama istilah-istilah dalam semesta cerita Dune. Di sini, aku pun harus berusaha membuat supaya ulasan ini bisa semudah mungkin untuk diakses oleh general audience. Dan itu beneran susah! Diadaptasi dari novel karya Frank Herbert sepanjang 412 halaman, Dune punya dunia yang lore dan mitologinya penuh oleh istilah-istilah (dengan referensi kuat ke budaya dan peradaban Islam, sehingga wajar banyak yang nyebut ini sebagai Star Wars untuk sobat gurun), dan punya cerita penuh oleh intrik politik kerajaan-kerajaan atau kelompok-kelompok masyarakat, sementara juga tetap mempertahankan message mengenai lingkungan, sosial, dan kepercayaan sebagai tema yang membayangi gambaran besarnya. Ibarat minuman, Dune begitu kental. Susah untuk mengekstraknya menjadi konsumsi yang lebih ringan tanpa mengurangi esensi yang dikandungnya. Berikut usahaku menceritakan sinopsis dengan singkat, tanpa menyelam terlalu dalam ke istilah dan mitologinya:

Di dunia tahun 10191, planet gurun Arrakis jadi lahan tambang karena kandungan sumber dayanya. Penduduk asli planet tersebut, bangsa Fremen yang bermata biru, terjajah bertahun-tahun lamanya oleh bangsa penambang House Harkonnen. Demi mengatasi keadaan tersebut, Emperor mengutus House Atreides dari Planet Caladan. Tokoh utama cerita ini adalah putra mahkota House Atreides, Paul. Di bawah bimbingan ayahnya, Paul dididik secara militer dan dibimbing untuk jadi pemimpin yang baik, sebagai penerus kelak. Tapi Paul ternyata punya takdir satu lagi. Paul memiliki kekuatan ‘penglihatan’ dan ‘the voice’ (ala Jedi Mind Trick). Dia mungkin adalah messiah yang bisa menghentikan perang, menyatukan semuanya. Di saat Paul masih berkutat dengan tanggungjawab besar dan mimpi-mimpi yang menawarkan versi masa depan yang menyita perhatiannya, pengkhianatan besar terjadi!

See, basic banget! Menulisnya simpel begitu jadi terasa kayak cerita ‘The Chosen One’ yang biasaKurang lebih tantangan seperti itulah yang harus dijabanin oleh Denis di proyek ini. Denis gak mau filmnya berat, maka dia menceritakannya dengan sesimpel yang ia bisa. Dengan minim dialog. Dengan informasi-informasi dan penjelasan dibeberkan seperlunya. UIntungnya Denis punya senjata andalan, yang tentu saja tidak aku punya (siapalah saya…), yang penulis novel aslinya gak punya, dan yang bahkan gak bisa dimaksimalkan oleh David Lynch. Visual Storytelling.

Ketika harus memberitahu bahwa karakter yang diperankan Zendaya adalah orang Fremen yang cantik nan misterius, Denis menceritakannya lewat visual yang begitu striking. Mengontraskan warna mata, warna kulit, warna lingkungan. Memanfaatkan dukungan musik dan permainan kamera. Begitu kuat kesan dreamlike pada adegan yang memang berupa pandangan di dalam mimpi tersebut. Bandingkan saja dengan Dune versi lama, yang lebih memilih mengatakan semua itu kepada kita langsung lewat narasi voice-over, narasi suara hati yang bergema. Dune versi baru ini lebih elegan. Bicara banyak tanpa banyak bersuara. Denis tidak mau kita fokus membincangkan mitologi dan sebagainya. Denis mau kita menikmati spektakel visual yang ia hadirkan dengan maksimal. Dia ingin kita mengalami semua visual di planet fantasi ilmiah tersebut. Shot-shot wide yang kerap ia lakukan, ditujukan untuk menekankan sensasi epicness kepada kita. Entah itu ketika ada pesawat (yang sayapnya seperti sayap capung!) mendarat di tengah-tengah kerumunan, ketika serangan cacing tanah raksasa diperlihatkan dari atas lewat sudut pandang dua orang di atas pesawat, atau ketika ada badai pasir di latar belakang. Semuanya mengedepankan skala. Kita melihat manusia begitu kecil, cacing begitu besar, dan sebagaimana. Sense indera inilah yang membuat pengalaman menonton Dune jadi begitu memikat. Kita dimaksudkan untuk menyantap itu semua sebagai hidangan utama.

dune_worm_main
Visualnya edune!!

 

Film versi Lynch bahkan minim aksi. Tidak ada pertempuran berantem atau satu-lawan-satu di sana. Sementara, film baru ini seru lewat lebih banyak aksi, baik itu kejar-kejaran maupun berantem. Martial Art yang ditampilkan pun tampak plausible, dimainkan dengan menghibur ke dalam ‘gimmick’ alias lore yang dipunya oleh dunia cerita. Dune David Lynch, yang mementingkan narasi dan eksposisi semesta, tidak punya ruang yang lega untuk mengembangkan karakter. Paul di film itu tidak punya banyak fase-fase development. Malah karena begitu sempit, karakternya tampak seperti menerima status ‘imam mahdi’ itu begitu saja. Dia lantas jadi kayak dewa. Denis dalam film versinya ini punya ruang lebih banyak untuk membebaskan karakternya. Paul dikembangkan dengan lebih natural. Timothee Chalamet punya banyak waktu untuk menunjukkan jangkauan aktingnya. Ada lebih banyak momen humanis untuk karakternya membangun relasi dengan ibu yang jadi mentor ‘ilmu jedi’nya. Begitu juga momen-momen dengan karakter sahabatnya, yang tidak ada pada film versi Lynch yang strict ke Paul dan sang ayah saja. Arc-nya adalah tentang menerima tanggungjawab, dan Paul punya dua yang harus ia terima. Film menyulam ini dengan seksama, inilah yang dipastikan ada closingnya, sehingga nanti saat film memang harus bersambung ke part berikutnya, masih ada elemen yang menutup pada cerita.

Antara jadi pemimpin atau penyelamat. Antara sebagai penjajah atau penolong. Paul sesungguhnya telah memilih, tapi dia struggle dengan posisi dirinya untuk menempati pilihan tersebut. Perjuangan inner-nya yang menggambarkan makna jihad. Sebab jihad bukan semata berarti turun berperang. Melainkan berjuang, membawa diri sendiri, untuk menolong yang tak berdaya.

 

Ini sih sebenarnya yang jadi masalah. Dune 2021 terasa incomplete. Karena memang filmnya ternyata dibagi dua. Dan, marketingnya.. well, aku tau kurang bijak menilai film dari cara mereka memasarkan diri, tapi there’s something about it yang membuatku jadi mengaitkannya dengan pembuatan dan storytelling film ini sendiri. Dune tidak segera memasarkan diri sebagai Part One (they soft sell this instead), dan bagian keduanya disebutkan akan lanjut atau tidak bergantung kepada kesuksesan Dune yang sekarang ini. Jadi, film ini keadaannya semacam kayak game Final Fantasy. Ini adalah kesempatan ‘terakhir’ mereka membuktikan diri dengan ngasih yang jor-joran, karena ada kemungkinan ujung ceritanya gak bakal bisa lanjut ditampilkan. Tapi Dune tidak benar-benar rapi menutup episode ini. Arc paul memang  menutup, tapi development lain tidak digenjot. Istilah gampangnya, Dune ini tidak terlihat seperti didesain untuk bisa berdiri sendiri. Walaupun pembuatnya yakin mereka hanya punya kesempatan kecil untuk melanjutkan cerita, tidak terasa mereka put everything on the line. Jadi, effort meracik cerita di sini agak kurang maksimal.

Mereka literally cuma bergantung pada keberhasilan spektakel visual. Di luar itu, dan di samping usaha menutup arc Paul for now, tidak lagi ada substansi. Keputusan film untuk meminimkan informasi berbalik jadi bumerang. Kita jadi tidak masuk secara immersive ke dalam mitologi dunia. Film ini menjadi terlalu sederhana for its own good. Narasinya jadi kurang berbobot karena tidak membahas mendalam. Dari konteks bahasa, misalnya. Saat menonton Dune ini kita akan notice banyak istilah Islam, tapi dengan mengabaikan banyak lore, film ini sendiri jadi seperti mengesampingkan kepentingan kenapa istilah-istilah tersebut dipakai pada awalnya oleh novel. Tentu saja pertanyaan ‘kenapa’ yang baru jadi terangkat. Memang, kondisi politik dunia kita pun memang sudah berbeda, antara masa pembuatan novel Dune dengan masa filmnya dibuat ulang. Dan ini jadi menarik, apakah memang ada hubungannya dengan itu? Apakah menyebut Islam dan jihad sebagai asosiasi dari protagonis kulit putih tidak lagi ‘klik’ dengan situasi saat ini? Ini kan bisa jadi bahan tulisan lain yang menarik untuk diangkat. But for now, untuk kepentingan penilaian karya film, aku mencukupkan dengan mengatakan film ini agak terlalu kopong perihal substansi, dan memang hanya dibuat untuk spektakel saja.

 

 

 

Memang conflicted sih, aku jadinya. Aku percaya film adalah sulap kreasi. Film ini menawarkan teknik dan kreasi yang tidak kurang dari sebuah masterpiece. Namun aku juga percaya film harus punya bobot. Film ini, sekarang aku tidak begitu yakin. Apakah dia sengaja untuk hiburan visual saja, dan menyimpan semua bobot di bagian kedua. Atau apakah memang sengaja dibikin ringan dan sama sekali tak membahas yang lebih dalam. Apakah film justru mengandalkan kita untuk baca novelnya (atau baca thread di twitter, kalo kalian kebelet pengen cepet ‘smart’ tanpa baca bukunya) supaya mereka tak perlu banyak-banyak menjelaskan lagi – which is still bad, karena film haruslah bisa bercerita tanpa suplemen lain. Kalopun ada kesimpulan, maka itu adalah bahwa film ini membuktikan novel karya Herbert memanglah tidak-bisa-difilmkan.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for DUNE

 

 

 

 

That’s all we have for now

Apakah menurut kalian perjuangan Paul adalah perjuangan Jihad?

Share with us in the comments yaa

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

 

HALLOWEEN KILLS Review

“… and that fear turns them into monsters.”

 

 

SURAT DARI MICHAEL MYERS

 

Dear Penduduk Haddonfield,

Sebagai putra daerah yang udah meneror kota kesayangan kita empat puluh tahun lamanya, saya akhirnya merasa senang. Harapan saya sih pengen bisa sedikit bangga juga sama kalian. Kalian tidak lagi cuma berdiam diri di rumah masing-masing, menunggu saya yang dalam perjalanan mencari Laurie Strode, untuk mampir dan membunuh kalian sekeluarga. Kini kalian berkumpul dan dengan berani menyusun rencana untuk balik memburu saya. Sebenarnya, dulu sudah ada juga sih yang nekat membentuk pasukan seperti itu. Tapi film Halloween 4 yang bercerita tentang itu, beserta sekuel-sekuel yang lain, udah dianggap enggak ada oleh trilogi terbaru buatan David Gordon Green. Tapi saya masih ingat kok. Dulu itu skalanya kecil. Sekarang, wuih, hampir semua dari kalian yang turun ke jalan. Saya kan jadi gak perlu repot-repot lagi!

Sebelum lanjut, saya mau mengucapkan terima kasih kepada tim pemadam kebakaran kota. Karena telah menyelamatkan saya dari dalam jebakan kobaran api di basement rumah Laurie. Coba kalo pemadam kebakaran tidak datang. Pastilah topeng William Shatner kesukaan saya hangus terbakar. Untung mereka datangnya cepet, topeng saya cuma rusak setengah, dan itu jadinya malah tampak lebih keren. Sebagai rasa terima kasih, saya sudah berikan para pemadam kebakaran itu tiket satu-arah ke alam barzah. 

halloween-kills-michael-myers-fire-survival
Sambutan hangat di kampung halaman

 

Yang jelas, Laurie Strode pasti tidak menyangka jebakan briliannya di film Halloween 2018 bakal berakhir sia-sia. Bukan saja dia gagal menghabisi saya, tapi dia juga kehilangan rumah. Padahal rumah itu sakral loh. Seperti yang akhirnya kalian duga, bagi saya rumah adalah segalanya. Saya akan selalu kembali ke sana. Tidak peduli rumah tersebut sudah dihuni orang lain. Ya tinggal bunuh saja. Pokoknya saya harus bisa menatap jendela di kamar kakak saya. Kalo kalian ingin menyakiti saya, harusnya kalian bakar saja rumah saya. Ah, tapi kalian mungkin tidak kepikiran ke sana. Padahal lihat saja Laurie, sekarang dia gak punya rumah. Dia jadi lemah. Dia malam itu tidur di rumah sakit. Enggak bisa ikut berburu saya, bareng kalian. Aksi Laurie di sini cuma menghajar seorang dokter. Random banget. Jujur saya kecewa juga sih. Soalnya meskipun sekarang kalian jadi jagoan semua, lawan saya jadi banyak, tapi enggak ada yang sekuat Laurie. Bahkan anak dan cucu Laurie saja pun, tetap tidak sekuat dirinya. Saya gak dapat lawan yang sepadan di sini. 

Saya pengen banget ngunjungin Laurie di rumah sakit. Biar persis kayak film Halloween jadul kita yang kedua. Tapi yang ke rumah sakit, justru orang lain. Saya bahkan gak kenal siapa. Kayaknya bukan orang kota kita, deh, guys. Yang bikin saya makin kesal adalah kok bisa-bisanya kalian semua menyangka orang asing itu saya. Ayolah. Orang asing bertubuh kecil, setengah botak, tua, penakut, dan gak bisa naik mobil itu? Sayaa?? Mirip dari Hong Kong!! Oke, mungkin kalian memang tidak tahu atau tidak ingat wajah saya yang sebenarnya seperti apa. Dan mungkin kalian sudah jadi sebegitu takut dan marahnya sampai-sampai gak berpikir jernih. Tindakan kalian malah lebih monster daripada saya loh. Saya mana pernah ngeroyok orang tak-bersalah. Saya membunuh orang tak-bersalah satu-lawan-satu. Nasib si orang itu jadi naas di tangan kalian. Serupa ama nasib orang yang juga dituduh sebagai saya di film Halloween 4.

Itu satu lagi yang bikin saya jengkel. Pak Sutradara pengen bikin cerita baru, dan menganggap kisah saya dan Laurie yang segitu banyak versinya itu tidak ada, tapi dia tetep masukin hal-hal yang membuat saya bernostalgia. Saya kan jadi bingung. Harus flashback atau tidak. Masa lalu saya beberapa dibuat ulang, pake efek yang mulus sekali seolah beneran cerita lama. Lalu masa lalu itu ditambah-tambah. Yang sudah ada diruntuhkan, serpihannya dipake untuk cerita baru. Tapi bagi saya, itu kan tetap cerita lama. Makanya bingung. Laurie kan dibuat jadi bukan adik saya. Lah terus kenapa saya kejar-kejar. Saya juga punya perasaan, tau Pak! Nanti deh, setelah kelar nulis surat ini, saya akan nyamperin beliau.

Sekarang saya mau menyapa teman-teman lama saya dulu. Perawat yang dulu ternyata tidak sampai terbunuh oleh saya. Dan tiga anak kecil, Tommy Doyle, Lindsey Wallace, Lonnie Elam. Dulu mana mau saya menyakiti anak kecil. Yang saya kejar itu ya babysitter-babysitter mereka yang kurang ajar. Yang sikapnya ngingetin saya sama kakak saya. Anak kecil dulu saya biarkan lari. Sekarang aja yang aneh, saya disuruh membunuh satu anak kecil oleh Pak Sutradara. Mungkin biar kalian makin marah kali, ya, sama saya. Tapi Tommy, Lindsey, dan Lonnie sekarang juga sudah bukan anak kecil. Mereka udah gede dan hebat-hebat semua. Mereka bertiga kan, pemimpin kalian? Mereka bertiga kan yang nyuruh kalian untuk bergabung, menyorakkan “Evil Dies Tonight”, memburu saya padahal juga ujung-ujungnya yang jadi tewas terpotong-potong ya kalian-kalian juga. Saya agak kasihan juga sama kalian, makanya mayat-mayat itu saya dandani pake topeng-topeng. 

Halloweenss
Biar gak keliatan sedih-sedih amat.

 

Tau gak, kenapa kalian walaupun ramean tapi tetap gagal? Banyak korban-korban saya yang seperti begini nih: Ketika ketakutan dan dalam bahaya, mereka bukannya kabur, tapi malah berjalan ke arah saya bersembunyi. Kan bego sekali ya. Coba kalo mereka pintar. Pastilah segera kabur dan mencari pertolongan. Kalo kalian pinter-pinter, kalian pasti gak bakal ngeroyok saya begitu saja. Kalian pasti tahulah kalo saya ini manusia berkekuatan supranatural yang gak segampang itu mati. Kalo kalian pinter, kalian pasti sudah membakar saya, menabrak saya, atau mungkin kalian akan mengikat anggota tubuh saya ke kendaraan berbeda dan menarik maju sampai tubuh saya putus-putus. Tapinya kalian semua masih begitu takut dan marah untuk bisa berpikir. Saya senang kalian akhirnya pasang aksi. Menjadikan cerita yang cukup baru. Tapi mbok ya, pinter-pinter dikit lah. Tau-tau malah ribut di antara kalian sendiri, ngejar orang yang jelas-jelas bukan saya, megang pistol aja gak bener! Atau mungkin memang kalian sebenarnya bukan apa-apa selain penambah jumlah korban. Enggak ada tuh satupun dari kalian yang punya motivasi di luar kejadian di malam itu. Kalian yang penyintas juga gak keliatan punya kehidupan lain. Masih mending saya. Paling tidak, motivasi saya jadi terjawab pas akhir cerita. Saya merasa kayak Thanos di film Avengers Infinity War. Sayalah jagoannya di sini.

Jadi, ya, saya kangeeen banget ama Laurie. Kalian jaga Laurie dan keluarganya yang tersisa baek-baek ya. Biarlah Laurie istirahat dan menyembuhkan luka-lukanya terlebih dahulu. Sementara kalian juga sambil belajar mempertahankan diri yang bener. Nanti di film terakhir trilogi ini, di kali berikutnya kita bertemu, saya mengharapkan perlawanan yang seru. Itung-itung buat pemanasan sebelum ketemu Laurie. Jangan kayak kali ini lagi. Kita gak mencapai apa-apa di cerita yang sekarang ini. Banyak dari kalian yang mati sia-sia loh. Palingan cuma buat adegan-adegan mati yang kreatif aja. Matinya kalian di sini itu cuma jadi hiburan loh. Kasian amat.

Saya kasih 3 dari 10 bintang emas deh, untuk perjuangan kalian di HALLOWEEN KILLS.

 

 

Sekian dulu, surat pesan dari saya. Semoga bisa diambil hikmahnya.

Happy Halloween semuaa

 

 

 

Hormat saya, Michael Myers

 

V/H/S/94 Review

“It was a simpler time”

 

 

Kaset video atau VHS memang adalah dinosaurus, jika dibandingkan dengan beragam gadget berteknologi tinggi yang bisa mudah dimiliki dalam genggaman setiap orang.  Kualitas gambarnya yang bersemut-semut kalah jauh ama kejernihan HD. Suaranya yang berdesir (dan kadang terdengar bindeng) bukan apa-apa deh dibandingkan dengan kualitas audio di jaman sekarang. Tapi VHS punya keunggulan sendiri. Tidak ada menu yang rumit, tidak ada loading screen yang annoying, tidak ada software updates. Gak ada iklan! Saat kita ingin merekam, tinggal pasang kamera dan rekam. Saat mau nonton, tinggal masukin ke video dan tonton. VHS akan selalu dapat tempat di hati orang-orang yang pernah mengalami langsung masa keemasannya.

Kita bisa bilang itu karena sentimen nostalgia. Tapi sebenarnya yang dirindukan darinya adalah karena VHS terasa mewakili kehidupan di tahun 80-90an. Hidup yang lebih simpel dan bahagia.

 

Sekarang, semuanya udah overproduce. Terlalu banyak polesan. Bikin video youtube aja sekarang harus benar-benar seperti profesional. Enggak cukup dengan gambar dan suara berstandar tinggi. Harus dilengkapi pake efek dan edit-edit yang mentereng. Makek software editing yang ketinggalan satu versi update-an aja, kita bisa diketawain. Gak usah jauh-jauh, aku bahkan merindukan tahun 2000an ketika video-video yang ada di youtube masih berupa home video sederhana. Yang produksinya lebih mirip video VHS ketimbang buatan stasiun televisi. Kenapa? Karena video-video rumahan tersebut terasa lebih real. Lebih jujur. Karena itulah, kehadiran V/H/S/94 ini, yang franchisenya seperti sudah mati lantaran V/H/S: Viral (2014) yang flop, jadi angin segar buatku. Aku udah jenuh sama film-film yang terlalu sibuk berlomba untuk menjadi besar, baik dari segi visual, efek, cerita, hingga twist. Terutama film hororSebab sesungguhnya, ‘real dan jujur’ itulah yang jadi situasi penentu kualitas cerita horor. Situasi menakutkan yang dialami oleh karakter harus benar-benar beresonansi kepada kita. Ketika mereka diganggu hantu, misalnya, perasaan bersalah atau perasaan duka yang dilambangkan oleh peristiwa menakutkan itu harus sampai ke kita. Film harus mampu membuat kita mengerti perasaan tersebut, dan in turn bisa relate dan percaya kita bisa saja mengalami perasaan serupa; thus make us scare.

Banyak horor modern yang gagal menyampaikan ‘real dan jujur’ tersebut, karena mereka terlalu fokus ke membuat spectacle horor. Ke membuat wahana rumah hantu – alias wahana kaget-kagetan. Ke merangkai plot rumit dengan twist, yang justru sebenarnya mengalihkan kita dari esensi cerita. Ke membuat hantu tampak senyata mungkin, padahal justru menjauhkan kita dari ceritanya. Dua film V/H/S original yang tayang pada tahun 2012 dan 2013 – enam tahun setelah berakhirnya era VHS, dan di tengah maraknya genre found footage modern – mengerti hal tersebut. Paham bahwa culture horor berkembang justru saat VHS lagi hits-hitsnya. Maka film itu mengembalikan penonton kepada masa tersebut. Mengatakan, ‘ini loh habitat natural found footage itu’. Sehingga kedua film V/H/S pertama tersebut jadi sukses dan digemari, baik bagi yang rindu era VHS hingga bahkan oleh penonton yang gak really aware sama ‘kekuatan’ konsep videonya. 

vhs_195562848_7810f16b-65d9-4068-8375-2722a80af17c-superJumbo
VHS reborn!

 

 

Mengikuti (dan melanjutkan) konsep terdahulunya, V/H/S/94 hadir sebagai antologi horor pendek yang digarap oleh filmmaker-filmmaker yang udah dikenal sebagai ‘pemain lama’ pada genre horor brutal nan berdarah-darah. Simon Barrett, Chloe Okuno, Ryan Prows, Jennifer Reeder, and our own Timo Tjahjanto. Masing-masing horor pendek tersebut didesain berupa tontonan kaset video jadul. Estetik yang dipakai dan dipertahankan di sini adalah sudut pandang orang-pertama, dengan layar yang bersemut, suara yang berdesir, dan kamera goyang-goyang. Ada lima cerita lepas, yang salah satunya difungsikan sebagai perekat atau tubuh utama film ini. Yakni tentang sekumpulan pasukan S.W.A.T yang menyerbu markas sebuah cult. Di sana mereka menemukan banyak hal-hal mengerikan, termasuk empat video yang juga bakal kita tonton.

Cerita favoritku adalah Storm Drain karya Chloe Okuno. Seorang reporter dan kameramennya sedang meliput sebuah urban legend tentang makhluk setengah tikus setengah manusia yang hidup di gorong-gorong. Kita dibuat melihat aktivitas meliput mereka lewat kamera si kameramen. Konsep low-quality dan pov dimainkan dengan pintar di sini. Lingkungan gelap yang mereka lewati terasa semakin mencekam lewat pandangan mata kita yang terbatas. Horor itu akan benar-benar terasa ketika Okuno memperlihatkan sekelebatan makhluk di dalam sana. Untuk membuat kita tetap tertarik, Okuno membuat karakter-karakternya berbobot. Ada motivasi, dan nantinya ada hal yang menjadi ‘antagonis’ dari motivasi tersebut. Napas pendek segmen ini jadi terasa begitu berarti. Set up, pengungkapan, bahkan aftermath cerita tidak disampaikan terburu-buru. Sama sekali tidak ada niat dari segmen ini untuk membuat cerita menyusur tempat gelap yang semata untuk mengagetkan penonton. Kalian bisa melihat betapa respek dan fokus ke berceritanya si pembuat dari cara ia membuild up dan memberikan pay off kepada makhluk legenda yang dicari oleh karakternya. Segmen ini bahkan dilengkapi oleh klip-klip iklan ala 90an, yang menambah kesan real television footage.

Konsep sederhana dari video itu dijadikan lebih sederhana lagi oleh cerita The Silent Wake, garapan Simon Barrett. Di malam berbadai itu, acara pemakaman seorang pemuda misterius terpaksa ditangguhkan. Perempuan penyelenggara, terpaksa tetap menunggu di sana, kalo-kalo ada pelayat yang datang. Eksekusi konsep segmen ini pun dilakukan dengan luar biasa. Kita hanya melihat dari tiga kamera, dua statis yang terpasang di ruangan, dan satu kamera mobile yang dipegang oleh si perempuan. Perpindahan view dari ketiga itulah yang excellent. Tempo dan irama horor terbangun maksimal dari sana. Karena sebenarnya, cerita ini standar banget, bahkan elemen seramnya juga. Mati lampu, peti mati bergerak sendiri, ada suara-suara, wujud setan yang over-the-top bloody. Perpindahan sudut kamera dan cut-to-cutnya lah yang membuat cerita ‘jaga mayat’ ini bekerja efektif. Sebagai kontras dari cerita ini, ada Terror garapan Ryan Prows. Lebih banyak karakter. Ruang lebih luas. Dan bahkan ada ledakan. Sekelompok kulit putih rasis berkumpul, menyempurnakan rencana mereka yakni sebuah mengembangkan ‘senjata rahasia’ untuk memurnikan Amerika. Secara cerita, film Terror ini sebenarnya gak maksimal untuk cerita pendek. Ini terlihat dari ending yang terasa terburu-buru, tidak terasa berkembang dengan sempurna. Tapi paling tidak, segmen ini masih setia mengikuti konsep 90an dengan video low-quality dan bahkan adegan-adegan bego yang khas sekali seperti konten home video yang tidak profesional.

Ketiga film tersebut membangun konsep dan setia pada tema. Lalu datanglah The Subject karya anak bangsa. Aku gak tahu, but lol, Timo yang Safe Haven karyanya masihlah entry terbagus seantero franchise V/H/S/, seperti gak dapet memo di sini. Alih-alih bikin low-quality, dia malah bikin visual mentereng, kayak film digital biasa. Kayak film yang dibuat dengan kamera di masa sekarang, bukan 90an. Timo cuma nambah filter frame kamera dan catatan waktu 94 (dan kemudian editor film mati-matian menambah efek grain). Ceritanya yang mirip-mirip Hardcore Henry pun terasa futuristik.  Seorang ilmuwan gila menculik beberapa orang, dan mengubah mereka menjadi makhluk hibrid manusia-mesin. Kekacauan terjadi tatkala markas si ilmuwan digrebek polisi di bawah pimpinan Donny Alamsyah. Semua horor di tempat itupun lepas. Imajinasi dan ide cerita memang sungguhlah liar dan perfect untuk cerita horor, apalagi Timo di sini seperti mengajak kita berdialog soal semakin menyatu dengan teknologi tidak lantas membuat manusia kehilangan hati. Yang bagiku di sini, itu berarti film ini berargumen denganku soal film yang wah bisa juga punya hati kayak film-film yang sederhana. Masalahnya, film segmen ini tidak pernah menempatkan hati pada ceritanya. Melainkan sebuah spectacle yang luar biasa. Udah kayak aksi-aksi video game. Apalagi makhluk horor hibrid itu juga terlalu kinclong. Aku mengharapkan efek atau kostum yang grotesque, yang perpaduan manusia dan mesinnya itu bikin kita benar-benar mual ala makhluk Cronenberg. Tapi tidak. Timo membuat mereka terlalu ‘bersih’. Akting kaku dan  over-the-top sebenarnya juga dijumpai pada segmen atau cerita yang lain. Namun karena yang lain mempertahankan kesan video amatir nan jadul, akting tersebut jadi passable. Pada The Subject ini, sebaliknya, jadi malah mengganggu. Sebagai single story, aku bukannya tidak suka. Aku juga enjoy. Tapi sebagai bagian dari antologi dengan konsep tertentu, this entry just feels very out of place.

VHSTheSubject1-RT-1024x582-1 - Copy
Greatest shooter of all time, menembak lewat punggung kameramen

 

 

Entry terburuk, however, jatuh kepada segmen yang jadi tubuh utama film ini. Dan ini tidak mengherankan sih. Batu sandungan seri V/H/S selalu pada bagian segmen tubuh utama. Film ini pun kewalahan ketika harus mengikat segmen-segmen cerita yang saling tak berhubungan itu ke dalam satu film utuh. Cerita penyergapan oleh pasukan S.W.A.T itu berakhir gak jelas. Dan bahkan lebih ‘kempes’ ketimbang ending segmen Terror. Build up mayat-mayat mengenaskan (dengan bola mata tercungkil keluar) dan misteri berbagai boneka dan salib terbalik, tidak mendapat pay off sama sekali. Malah seperti diabaikan. Instead, kita malah mendapat penutup standar “oh ternyata si anu jahat”. Sambung-menyambung ceritanya pun terasa melompat-lompat. Inilah yang harus diperhatikan lagi oleh franchise ini untuk di kemudian hari. Mereka harus menemukan cara atau narasi yang lebih natural untuk menconvey konsep video-video yang sudah jadi ciri khas.

 

 

 

Untuk sebagian besar waktu aku menikmati menonton film ini. Tidak sejelek film ketiga franchise ini, walau juga bukan film yang benar-benar kuat. Aku benar-benar mengapresiasi konsep video low quality dan cerita sederhana tapi horor over-the-top dan berdarah-darah yang mereka usung. Menjadikannya kontras yang sangat menarik. Tapi memang, naturally, horor antologi seperti ini akan punya masalah balancing dan penyatuan, yang oleh film ini pun masih tetap tidak bisa tertuntaskan dengan maksimal.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for V/H/S/94

 

 

 

 

That’s all we have for now

Apakah menurut kalian sekarang ini kita memang telah terlalu overproduce terhadap konten sehingga kehilangan elemen ‘real dan honest’ di dalamnya?

Share with us in the comments yaa

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA