Fastlane 2018 Review

 

Fastlane 2018 adalah show mandiri terakhir buat Smackdown, makanya, brand ini kudu gerak cepet untuk menunjukkan keunggulan dari brand merah yang semakin meriah. Karena, sejujurnya, tahun kemaren Smackdown mengalami keterpukuran yang luar biasa. Di luar divisi tag team yang begitu exciting, tidak banyak yang dihasilkan oleh Smackdown selain pertandingan-pertandingan yang berpotensi gede oleh kerja in-ring para superstar namun berakhir mengecewakan sebab booking yang gak jelas.

Masuk ke dalam partai-partai yang sudah dijadwalkan, Fastlane terasa seperti jalur lurus yang kita udah tahu ujungnya di mana. Perjalanan menempuhnya bisa dibilang lumayan mengasyikkan. Tapi hambatan-hambatan berupa keputusan dan arahan pertandingan yang bikin kita mempertanyaka kelogisan para penulis itu masih ada di kiri kanan. Inilah yang pada akhirnya membuat Fastlane 2018 sama seperti Fastlane sebelum-sebelumnya, sebuah pengisi kekosongan menjelang Wrestlemania. Yang membuat kita mengharapkan ada jalan pintas sehingga bisa langsung menuju Grandest Show of Them All.

 

Rusev Day sepertinya hari yang baik buat Shinsuke Nakamura. For some reasons, para penulis akhirnya berhenti memutuskan untuk mengarahkan penantang utama kejuaraan WWE di Wrestlemania ini sebagai petarung dengan tipe ‘bangkit-dari-kekalahan’.  Nakamura, sejak naik kelas ke main roster, sudah pernah berhadapan dengan superstar top macam Orton dan Cena, namun tidak pernah dia tampil sedahsyat pertarungannya dengan Sami Zayn di NXT. Dan itu dikarenakan karena tim penulis ingin membangun simpati kita terhadap Nakamura, jadi King of Strong Style ini hampir selalu diberikan alur “ngalah dulu lalu comeback dengan gede”. Dan cara seperti ini sudah terbukti enggak cocok dengan gaya bertarungnya. Saat melawan Rusev di Fastlane inilah, kita akhirnya kembali melihat yang terbaik dari Nakamura setelah begitu lama. Aku nyaris melompat-lompat sambil duduk (kayak kodok) demi melihat Nakamura dan Rusev begitu seimbang dalam menyerang, mereka saling berbalas counter. Rusev menyetop Kinshasa dengan tendangan super miliknya sendiri. Momen yang leading us ke Nakamura balas ngebalikin Accolade dengan Kinshasa keras ke belakang kepala. Jika saja kita enggak begitu pasti sama siapa yang menang, maka pastilah pertandingan ini akan lebih dramatis lagi.

On this Rusev Day, I see clearly everything has come to life~

 

 

Satu lagi yang delivered dalam acara ini adalah Ruby Riott. Dalam pertandingan kejuaraan pertamanya di Smackdown, Ruby melakukan hal-hal yang diperlukan dengan benar. Dia menjual peran dan ofensif Charlotter dengan meyakinkan, dia sendiri juga melakukan gerakan-gerakan serangan yang kompeten, dan sama sekali enggak ada ruginya juga Ruby Riott adalah penantang paling fresh dalam scenery Smackdown Women’s Championship terhitung sejak Alexa Bliss pindah ke Raw. Tapi kemudian booking aneh tersebut menemukan jalannya. It was great ngeliat psikologi dari Ruby ketika dia menyiksa Charlotte dengan submission di depan Becky Lynch dan Naomi yang datang membantu. Hanya saja, cuma itulah kepentingan para teman dari kedua kompetitor ini hadir. Build up yang sebenarnya enggak benar-benar diperlukan karena ujung-ujungnya mereka diusir kembali ke backstage. Kedatangan mereka membuat kita terlepas dari duel Charlotte dan Ruby yang meskipun basic, tetapi sangat tight. Match ini butuh bumbu lebih banyak, like, I don’t mind jika berakhir dengan banyak interferensi curang kayak.

Kadang sedikit chaos diperlukan. Tapi toh, harus tetap diperhatikan waktu penempatannya. Ketika kita punya dua kubu tag team yang sudah sepanjang tahun konsisten menyuguhkan laga luar biasa, ketika kita udah meluangkan waktu untuk bikin video yang promoin pertemuan teranyar dan paling bergengsi mereka – dengan stake tampil di Wrestlemania, sebagai juara, yang mana adalah mimpi basah setiap superstar – kita sebaiknya tidak menyelesaikan cerita pertandingan ini dengan kekacauan. The Usos dan New Day sepertinya memang sangat kreatif, mereka bisa menemukan hal baru dalam setiap pertemuan mereka.Setelah apa yang bisa kita sebut perang badar kedua tim ini di Oktober, sebenarnya agak anti klimaks mereka bertemu lagi dalam pertandingan normal tag, namun ternyata mereka menemukan cara untuk membuat kita tetap menggelinjang. Aku benar-benar girang melihat mereka memainkan angle curi-curian finisher pada match ini. Selalu adalah hal heboh jika seorang superstar menyerang lawan dengan menggunakan jurus andalan si lawan. Efektif sekali dalam berbagai lapisan! Aku sudah demikian on boardnya, match ini nyaris menjadi begitu hebat, sampai penulis dan tukang book match ini memberikan kita ‘kejutan’ berupa Bludgeon Brothers yang datang dan menghajar semua orang, resulting  into a no contest. Inilah yang tadi kusebut sebagai chaos yang miss-timing. Mereka sebenarnya bisa saja menunggu match superseru itu beres baru kemudian menyuruh Harper dan Rowan memporak porandakan semua; hasil yang diinginkan – build up ke Triple Threat, sepertinya – tetap akan bisa tercapai tanpa harus mengorbankan sebuah match yang build up dan hype nya udah gede.

“Sarah Logan dari belakang mirip Bray Wyatt”- komen of the night dari peserta nobar

 

Tapi memang, WWE selalu punya cara untuk bermain dengan ekspektasi kita. Aku sama sekali enggak mengharapkan bakal bisa enggak menguap saat nonton Orton melawan Roode. Kenyataannya, aku menyaksikan ini dengan cukup melotot. Julukan “out of nowhere” Orton tampaknya sudah melebar bukan hanya sebagai deskripsi dari jurut mautnya. Karena belakangan, Orton menumbuhkan kebiasaan menang di  momen-momen yang tak diharapkan. Jadi juara WWE di Wrestlemania kemaren contohnya, dan sekarang dia merebut sabuk United States dari Bobby Roode. Pertandingan mereka sendiri sebenarnya enggak payah, it was fairly a good match, namun seperti tersendat oleh kenyataan kedua superstar ini sama-sama face dan tidak terasa api urgensi itu dalam setiap serangan mereka. Menurutku, di lain kesempatan, dengan penokohan yang kuat, Orton dan Roode sanggup menghasilkan tontonan yang lebih seru. Pertandingan Triple Threat mereka (ditambah Jinder Mahal) cukup bikin penasaran – dengan alasan Roode segera turn heel – meski memang enggak semenarik Miz-Rollins-Balor di acara sebelah.

Bicara tentang role face atau heel, aku suka gimana penulis ngebook peran John Cena. Ya, selayang aku memang kesel ngeliat Cena yang nongol di mana-mana nimbrung di match orang, membuat peserta lain telrihat lemah seperti saat dia ngeAA empat superstar begitu bel main event berbunyi. Tapi melihat lagi match itu ke belakang, story yang berusaha mereka tampilkan adalah akankah keinginan semua orang akan terpenuhi, dengan AJ Styles maju ke Wrestlemania berhadapan dengan Nakamura. Walaupun dia masih face, di match ini John Cena adalah antagonis utama buat AJ Styles. Karena memang, dalam film pun, antagoni bukan selalu berarti tokoh yang jahat. Antagonis adalah orang yang menghalangi keinginan tokoh utama, dan di sini stake yang dipertaruhkan sebenarnya adalah apakah Cena bakal menghalangi Styles ketemu Nakamura. Pertandingan kejuaraan ini menjadi lebih penting karena hal-hal personal seperti begini. Bahkan Corbin dan Ziggler yang enggak really punya kepentingan, diberikan momen-momen tersendiri yang membuat mereka tampak pantas ikut bertanding. Kita juga melihat cerita lain yang involving Kevin Owens, Sami Zayn, dan Shane McMahon, yang menambah layer untuk build up Wrestlemania sekaligus menambah seru pertandingan ini. Kekurangannya cuma satu, yakni seharusnya mereka bisa membuat ‘alasan’ yang lebih meyakinkan atas kenapa Shane berada di sana. Karena, there’s no denying it, Shane duduk nonton di situ tampak konyol – dan semakin membuat karakternya gak jelas.

Sebagai sebuah acara pun, Fastlane tidak sepenuhnya terasa spesial. Mereka memutuskan untuk masukin promo Raw yang mengarah ke Wrestlemania, and it really takes us away from the recent moments. Kemunculan Asuka tentu saja banyak dibicarakan, kita akhirnya mendapat pertandingan cewek berprofil tinggi, namun tidak tanpa menuai pertanyaan, apakah selama ini Smackdown sudah demikian gagal membangun divisi wanitanya sehingga mereka tak bisa menemukan penantang yang Wrestlemani worthy untuk Charlotte? Dan ini membuat partai tag team cewek malam ini pun semakin kehilangan greget.. Oiya, satu lagi yang harus dihilangkan oleh WWE adalah keputusan untuk menggunakan video promo dengan tulisan gede berwarna-warni nutupin layar ala video youtuber! Serius deh, ini insulting seolah mereka menganggap penonton tidak bisa menangkap apa yang dikatakan oleh para superstar.

 

 

 

Sudah sejarahnya, Fastlane selalu adalah acara sampingan, bayangkan sebuah filler dalam serial anime – kita bisa skip menontonnya dan tidak ketinggalan apa-apa. Fastlane 2018, toh, tidak berhasil keluar, ataupun malah, tak tampak ingin keluar dari statusnya tersebut.
The Palace of Wisdom menobatkan SIX PACK CHALLENGE FOR WWE CHAMPIONSHIP sebagai MATCH OF THE NIGHT

 

 

 

Full Result:
1. SINGLE MATCH Shinsuke Nakamura mengalahkan Rusev
2. UNITED STATES CHAMPIONSHIP Randy Orton jadi juara baru ngalahin Bobby Roode
3. TAG TEAM MATCH Carmella dan Natalya ngalahin Becky Lynch dan Naomi
4. SMACKDOWN TAG TEAM CHAMPIONSHIP The Usos dan New Day babak belur dihajar The Bludgeon Brothers
5. SMACKDOWN WOMEN’S CHAMPIONSHIP Charlotte retains atas Ruby Riott
6. WWE CHAMPIONSHIP SIX PACK CHALLENGE AJ Styles mengalahkan Dolph Ziggler, Baron Corbin, Sami Zayn, Kevin Owens, John Cena

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We?
We got the PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

PADDINGTON 2 Review

“Don’t judge a book by it’s cover”

 

 

Prasangka itu masih ada. Enggak peduli berapa sering kita berkata jangan menilai orang atau sesuatu dari penampilan, kita tetep masih melihat kesan pertama sebagai faktor yang paling menentukan. Dan darimana lagi kesan pertama itu datang kalo bukan dari tampang luarnya. Bahkan dalam menilai film pun kita begitu. Sadar atau tidak sadar, aku sering begitu. Kita suka keburu menyimpulkan film meski baru ngelihat poster atau trailernya selayang pandang doang. Ataupun dari genre. Padahal kan yang enggak kita suka belum tentu jelek, film mana bisa dinilai sebelum ditonton.

Paddington 2 ini contohnya. Film yang paling teroverlook di 2017 kemaren. Ketika tayang di bioskop, aku hanya meliriknya sekali. Aku bahkan belum nonton film pertamanya yang tayang tahun 2015 yang lalu. Karena, dari kelihatannya – beruang CGI yang hidup bareng manusia beneran, not exactly new thing juga di sinema – aku keburu menilai film ini seperti film-film keluarga kebanyakan. Film untuk anak-anak. Yang bisa disepelekan. Kemudian orang-orang mulai banyak membicarakan film ini, skor yang diberikan kepadanya oleh orang-orang yang actually menonton, tinggi sekali. Maka menyesallah diriku, dan sedikit malu, sebab begitu selesai menonton ini di komputer alih-alih layar besar yang majestic, memang film ini adalah salah satu yang terbaik. Aku enggak bercanda ataupun bias, Paddington 2 adalah film keluarga untuk anak-anak yang penuh pesona, yang sama sekali tidak meremehkan atau menganggap bodoh karakter maupun penontonnya.

Paddington, si beruang muda yang berasal dari hutan, kini tinggal bersama keluarga yang mengadopsinya. Hidup mereka harmonis sekali, tapi bukan tanpa cela. Anak cewek keluarga itu misalnya, karena putus ama cowoknya, dia menemukan ‘cinta’ ama bikin koran sekolah sendiri, yang anggotanya cewek semua. Adiknya yang baru gede punya ‘kelainan’ lain, yang tadinya hobi main kereta api, jadi malu mengakui hobinya demi pengcitraan cool di depan teman-teman sekolah. Sementara itu, si Ayah kena krisis pede, lantaran promosinya di kantor kesalip ama karyawan yang lebih muda.

Sepertinya kita tahu kenapa Sally Hawkins bisa kuat berenang bolak-balik London Perancis

 

Melalu mata Paddington, kita melihat tingkah anggota keluarga yang lain tersebut sebagai sesuatu yang ajaib. Basically, ini adalah cerita fish-out-of-water; karakter Paddington dibenturkan dengan environment yang sama sekali asing baginya. Hati dan sikap Paddingtonlah yang menyatukan, tidak sekalipun dia ngejudge apa yang ia lihat. Kepolosan Paddington membuatnya melihat yang terbaik dari semua orang. Dan itu semua berkat nasihat dari Aunt Lucy, sosok ibu bagi Paddington. Menjelang ulangtahun keseratus Aunt Lucy, Paddington ingin mengirimi beruang wanita tersebut sebuah kado berupa buku. Well, yea, jangan nilai buku dari sampulnya karena buku yang ditemukan Paddington di toko barang antik berisi pop-up tempat-tempat terkenal di kota London yang cantik banget. Buku ini bakal jadi kado yang sempurna untuk Aunt Lucy karena bibi Paddington itu dari dulu kepengen banget melihat London. Jadi, Paddington mulai mengusahakan membeli buku tersebut. Dia bekerja kecil-kecilan, menabung koin demi koin. Tapi sebelum duitnya terkumpul lengkap, buku tersebut dicuri oleh mantan aktor terkenal bernama Phoenix Buchanan, sehingga Paddington yang berusaha mendapatkan kembali buku berisi rahasia tersebut harus terjebak dalam situasi yang sulit.

Sebagaimana begitu banyak orang terpesona oleh Paddington, pada gilirannya banyak penonton – bahkan kritik – yang terpesona oleh film Paddington 2. Oleh karena si Paddington itu sendiri benar-benar punya hati yang besar, serta sudut pandang yang unik. Oh bukan, bukan, tidak seperti Fahri di Ayat-Ayat Cinta 2 (2017), Paddington tidak punya uang banyak, ia tidak tampan orang tidak jatuh hati seketika kepadanya. Beruang ini bukan tokoh sempurna, in a way dia baik tetapi dia teramat berbeda dari yang lain dari cara ia memandang dunia. Sebagai satu-satunya beruang di tengah-tengah manusia, Paddington sering ‘salah’ dalam berkomunikasi. Dia tidak mengerti sinyal-sinyal percakapan. Dia mengalami kesusahan memahami apa yang orang sampaikan. Ditambah lagi, tidak jarang dia mengatakan sesuatu yang keluar sebagai perkataan yang gak bener. Baginya, melakukan hal-hal simpel, seperti bercakap-cakap, belumlah suatu konsep yang jelas batas-batasnya. Komedi film ini memang datang dari sini, kita melihat beberapa slapstick, namun lucu-lucuan tersebut tidak pernah datang dengan mengorbankan derajat Paddington. Film tidak mengarahkan adegannya sebagai bentuk hinaan kepada Paddington, film tidak meminta kita untuk melihat Paddington sebagai orang bego. Faktanya, para tokoh lain juga tidak pernah bereaksi seolah Paddington adalah makhluk dengan IQ paling jongkok di kota. Kita tidak melihat Paddington sebagai orang bodoh, kita justru bersimpati terhadap kepolosannya. Ketidakmengertiannya terhadap dunialah yang membuat tokoh ini sangat adorable.

Sebagai sebuah tontonan yang utamanya ditargetkan untuk anak-anak, tentu karakterisasi Paddington ini tersampaikan dengan sukses sebagai sebuah pesan yang sangat baik. Melihat Paddington, anak kecil akan merelate diri mereka sendiri yang juga belum sepenuhnya mengerti bagaimana cara kerja dunia. Sering kita melihat anak kecil yang ditertawakan orang tua ataupun orang dewasa di sekitarnya karena si anak mengucapkan perkataan yang di luar levelnya. Anak kecil sering dengan naifnya mengatakan sesuatu yang mereka anggap serius, dan film ini mengencourage mereka untuk terus melakukannya – karena mengungkapkan opini, bertindak sesuai hati dan keinginan adalah hal yang penting. Seperti Paddington yang belajar – dengan sedikit keras – seperti apa dunia. Kejadian yang datang menimpa Paddington pada akhirnya bukan untuk menjatuhkan, melainkan mengajarkannya kepada banyak hal.

Jangan judge beruang dari uangnya

 

Sejujurnya, menonton film ini tidak lagi seperti menonton film anak-anak. Berkat humor dan penokohannya sangat beradab. Memang ada lebay-lebaynya sih, mengingat ini adalah dunia di mana beruang bisa berbahasa Inggris lebih lancar dari diriku, tapi tidak berada di tingkatan yang bikin kita nyengir. Semua tokohnya terasa respectable. Sally Hawkins dan aktor-aktor lain terasa tulus memainkan karakter masing-masing. Mereka turut menuangkan hati lewat penampilan yang enggak sekenanya. Terasa sekali ada usaha untuk menjadikan film ini sepenting dan serealistis mungkin.Bahkan tokoh antagonis utamanya yang diperankan dengan meyakinkan oleh Hugh Grant juga enggak sekadar jahat. Well, yea kita geram melihat tipu muslihatnya, tapi seenggaknya dia punya hal menarik untuk dilakukan. Buchanan ini semacam orang ‘gila’, dia masih menyimpan kostum-kostum perannya dulu di atap rumah, dan kita melihat dia sering ngobrol nyusun rencana jahat dengan mereka, yang mana pada dasarnya ia bicara sendiri. So in that way, Hugh Grant bermain menjadi banyak tokoh di sini, sebuah peran yang lain dari yang lain baginya.

Kalo mau bicara kekurangan, palingan yang sedikit membuatku kurang puas adalah bagaimana film berakhir dengan lumayan mendadak, bagi beberapa tokoh. Mungkin sedikit tambahan durasi diperlukan untuk mengayomi beberapa resolusi tokoh yang lain. Seperti anggota keluarga Brown, ataupun tokoh koki sangar yang interaksinya dengan Paddington di tengah film benar-benar menarik, mereka jadi bekerja sama dipersatukan oleh makanan haha.. Film memperlihatkan kepada kita orang ini akhirnya menjadi apa lewat foto-foto di kredit penutup, yang menurutku akan lebih nice kalo kita diceritakan resolusi yang sedikit lebih banyak dari orang-orang seperti tokoh koki ini.

 

 

 

Setelah menonton ini aku ngerasa sangat terhook sehingga bukan saja aku jadi kepengen nonton film pertamanya, sekaligus juga ngarep akan ada seri ketiganya – supaya aku bisa nonton ini di bioskop. Punya pesan luar biasa positif untuk anak-anak, yang disampaikan dengan menyenangkan lewat humor-humor yang beradab, sehingga orang dewasa pun akan mengapresiasinya. Film ini menceritakan pesannya dengan arahan yang menawan. Animasinya, terutama di sekuens ketika Paddington masuk ke dalam buku pop-up tampak sangat indah. Struktur shot dan pengadeganan yang kita lihat di sini adalah salah satu yang terbaik pada film keluarga. Sekuen aksinya pun tak kalah seru dan imajinatif. Kita tidak akan pernah menyangka betapa wonderfulnya film ini jika hanya melihat tampilan luarnya.
The Palace of Wisdom gives 8 gold stars out of 10 for PADDINGTON 2.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

 

SEKALA NISKALA Review

“Reality of things is hidden in the realm of the unseen.”

 

 

Tuhan menciptakan setiap hal berpasangan-pasangan agar dunia seimbang. Sekilas, memang tampaknya berujung pada spektrum yang berbeda – pada kubu positif dan negatif; baik dan jahat, sehat dan sakit. Namun sejatinya dua hal yang berseberangan berfungsi bersama membentuk sebuah harmoni.  Sebab kedua sisi tersebut sejatinya ekual dan sama pentingnya. Ketika sisi yang satu tidak bisa ada tanpa sisi satunya. Seperti ada laki-laki, maka ada perempuan. Setelah siang, maka akan ada malam. Ada kenyataan dan juga ada impian ketika kita bangun dan, pada gilirannya, tertidur.

Bayangkan permainan jungkat-jungkit yang banyak dijumpai di sekolahan balita baru gede alias TK. Yea, of course, mungkin kalian punya pengalaman buruk naik ini saat teman kalian di ujung yang satunya mendadak pergi begitu kalian masih di atas, sehingga kalian jatuh turun berdebam keras. Poinku adalah, permainan tersebut tidak bisa dimainkan dengan aman jika kedua ujungnya tidak berisi orang. Demikianlah juga cara kerja dunia, keseimbangan tidak akan tercapai jika tidak ada yang di atas dan di bawah di saat bersamaan. Jika dualitas itu tidak tercapai, maka chaoslah yang akan terjadi

ada yang terlihat, dan ada yang John Cena

 

The whole concept of duality inilah yang diceritakan oleh Sekala Niskala dalam simbolisasi dan penggambaran yang sungguh-sungguh tidak biasa. Hampir bikin pipis di celana, malah. Lantaran begitu surreal dan creepynya pengadeganan dan cerita yang digunakan. Dan yang membuat menonton film ini menjadi sebuah pengalaman yang bikin merinding, di atas desain suara dan sinematografi yang mistis banget, adalah betapa tipisnya garis antara realita dengan hal-hal surealis itu ditampakkan. Film tidak pernah repot-repot menjelaskan perkara yang sedang terjadi, apakah yang sedang kita lihat itu hanya produk imajiner di dalam kepala tokohnya, ataukah memang ada unsur mistis di sana. Namun tidak sekalipun kita dibuat kebingungan. Kita akan merasa tidak yakin apa yang sedang terjadi, dan dari sinilah ketertarikan untuk menyaksikan datang tanpa ada akhirnya.

Berlatar tempat di sebuah daerah kecil di Bali, kita akan memanggil protagonis kepada seorang anak cewek yang usianya tak lebih dari sepuluh tahun. Mereprentasikan perbedaan-yang-merupakan-satu-keutuhan, Tantri ini punya saudara kembar. Cowok, namanya Tantra. Sepertinya bukan cuma di Gravity Falls aja kembar buncing (kembar beda kelamin) dianggap menarik hal gaib dan petaka. Tantra mendadak sakit keras. Dia tidak bisa merespon, seluruh inderanya sudah lupa bagaimana caranya bekerja. Tidak banyak harapan bagi Tantra selain menunggu kematian datang menjemput. Menginggalkan Tantri dalam nestapa, karena bukan saja dia kehilangan teman bermain, dia juga kehilangan sosok ‘yang’ yang melengkapi ‘yin’nya. Tidak ada konflik besar dalam cerita film ini. Delapan-puluh-lima-menitan  yang kita saksikan adalah momen-momen ketika Tantra harus berurusan dengan kegelisahan dan kecemasan yang coba ia tangkal. Di sinilah penceritaan film menunjukkan kemagisannya. Tantri berusaha untuk terus bersama dengan Tantra dalam berbagai adegan yang bikin merinding yang sengaja banget dibikin kabur entah itu mimpi atau perwujudan dari hubungan batin antara Tantri dan Tantra sebagai anak kembar.

Sutradara Kamila Andini punya keterampilan tak biasa dalam menghadirkan emosi lewat berbagai hal subtil dan perlambangan. Menyaksikan film ini akan seperti menonton film  bisu yang terkadang bisa menjadi pemandangan yang sungguh pilu karena keindahannya. Bulan tampak mengambil peran penting dalam cerita. Dimulai dengan Tantra yang mendongeng lewat media bayangan perihal bagaimana dirinya sama seperti rembulan yang perlahan menghilang sinarnya, hingga ke adegan paling cantik di film ini saat Tantri menari di bawah bulan purnama, yang sepertinya menyimbolkan Tantri sedang menari bersama Tantra. In fact, menurutku bulan bisa menjadi kunci untuk menebak apa yang sesungguhnya sedang terjadi.

I do have a theory soal ini; kupikir film ingin melandaskan bahwa setiap kemunculan Tantra dan hal-hal ganjil yang terjadi di malam hari adalah benar kedua tokoh kita sedang berkomunikasi lewat hubungan khusus seperti telepati mereka sebagai anak kembar, you know, anak kembar dipercaya punya ikatan tak terjelaskan di mana yang satu akan bisa mengetahui apa yang dipikirkan oleh yang lain. Pertemuan kembali Tantri dengan Tantra pertama kali terjadi di malam hari. Barulah semakin cerita berjalan, kita mulai melihat Tantra ‘aktif’ di siang hari – mereka bermain ayam-ayaman dalam tarian lain yang sama creepynya – yang pada titik ini Tantra semakin mencemaskan potensi dia berpisah; jadi mungkin semua kejadian di siang hari yang melibatkan Tantra adalah hasil kreasi kepala Tantri belaka.

ohiya, aku lupa bilang bahwa mereka juga senantiasa ditemani oleh anak-anak kecil berpakaian putih yang mengepak-ngepak dan berguling-guling kayak janin

 

Selain bulan, telur juga menjadi relik kunci yang mengantarkan kita lebih jauh ke dalam ranah di mana fantasi dan psikologi beradu. Betapa halusnya film membuat adegan sebiasa dua anak yang makan telur mata sapi, dengan Tantri hanya memakan putihnya, dan memberikan bagian kuning telur untuk Tantra. Kemudian kamera lingering di depan kedua piring makan mereka, sedikit terlalu lama, untuk memastikan kita menangkap imaji dua entitas yang mestinya saling melengkapi. Kemudian telur ini mengantarkan kita ke satu lagi adegan surealis yang bakal lama terngiang di kepalaku; yakni saat Tantri makan telur rebus, dan dengan ajaibnya dia tidak menemukan bagian kuning telur. Momen Tantri mengubek-ngubek telur tersebut hingga menjadi berantakan, selain sangat powerful dan disturbing, sekaligus menjadi pertanda buat kita bahwa Tantri sudah kehilangan bagian dari dirinya, Tantra – kuning dari putih utuhnya telur eksistensi mereka.

Unsur kebudayaan Bali yang menganggap hal-hal surreal sebagai sebuah eksistensi menguar kuat lewat tari-tarian dan kostum yang dikenakan oleh para tokoh, yang tentu saja dianyam dengan benang-benang fantasi. Membuat film ini semakin tampak aneh namun sangat menghipnotis. Penampilan akting para pemain akan membuat kita teringat kepada pertunjukan teater panggung yang penuh dengan gestur-gestur dan dialog yang tidak tembak-langsung. Tokoh anak-anak dalam film ini, terutama pemeran Tantri – Ni Kadek Thaly Titi Kasih – yang sangat menggetarkan jiwa. Aku gak bisa pastikan apakah ini dari arahan atau memang insting natural dari Kadek karena aku gak berada di sana saat mereka syuting, tapi timing Tantri terasa sangat real dan sungguh precise. Pace film ini sengaja dibikin sangat lambat, adegan-adegan yang kita lihat kadang tampak tak banyak faedahnya seperti kita melihat Tantri dan ibunya berjalan masuk rumah sakit, dan kamera menyorot langkah perlahan mereka. Setiap kali kita dipantekkan ke sosok Tantri, entah itu dia turun dari mobil, dia menari, ataupun dia bertingkah kayak hewan yang ia tiru, Tantri bergerak di zonanya sendiri, lambatnya benar-benar tampak lebih dan actually memberi banyak bobot kepada penceritaan karakternya. Aku juga suka sama penampilan Ayu Laksmi sebagai Ibu dari si kembar. Aku pikir cukup menggelikan perannya sebagai tokoh hantu di Pengabdi Setan (2017) mendapat penghargaan. Di Sekala Niskala ini kita baru bisa melihat kepiawaiannya bermain peran dengan tokoh yang benar melakukan sesuatu;  Tokohnya punya cara ‘naas’ tersendiri dalam mengekspresikan kehilangan.

Senada dengan The Breadwinner (2017), film ini juga bicara tentang menemukan kedamaian dengan menyelam ke dalam kepala; dengan berusaha melihat hal-hal yang tak terlihat demi mencari realita yang kita sendiri diri harus diyakinkan kepadanya.

 

 

 

Interpretasi yang sangat haunting dari bagaimana benak anak kecil bekerja dalam menghadapi kehilangan. Dalam diamnya, film ini meriah oleh bahasa visual dan pemandangan ganjil nan subtil – yang bukan efek komputer! – dan memang benar dirinya bekerja terbaik saat melakukan itu. Desain produksi dan arahan membuat film ini luar biasa unik. Sebaliknya dalam dialog, kadang film ini masih cenderung untuk menjelaskan hal yang tak perlu dibeberkan. Pace yang sangat lambat juga tentunya jadi hambatan buat penonton kasual menikmati film ini, let alone berkontemplasi dengan kedalaman ceritanya. Sama seperti judulnya, film ini turut bermain dengan hal-hal yang tak terlihat, yang menjadikan penceritaannya begitu kuat. Tapi beberapa aspek yang terlihat oleh banyak orang, could actually memberatkan buat dirinya sendiri. Setelah mengatakan itu, aku tetap menyarankan untuk segera menonton ini jika kalian ingin menyaksikan sesuatu yang mungkin tidak bakal terlihat lagi yang serupa dengan ini dalam waktu dekat.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for SEKALA NISKALA.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

TOMB RAIDER Review

“You need to be independent in order to survive in the world.”

 

 

Lara tidak seperti Croft yang lain. Dalam film ini, kalimat tersebut merujuk ke dalam konteks bahwa tokoh utama kita, Lara Croft, berbeda dari ayahnya; seorang bisnisman yang punya perusahaan besar.  Yang bagi Lara, ayahnya adalah sosok orang sibuk yang sering bepergian, sehingga meninggalkan Lara  seorang diri. Jadi, Lara enggak mau semua itu. Dia tidak tinggal di rumah yang besar. Dia bekerja sebagai kurir makanan bersepeda.

Kalimat ‘Lara tidak seperti Croft yang lain’ tersebut, however, juga bekerja di dalam konteks bahwasanya di dalam versi FILM REBOOT YANG DIADAPTASI DARI REBOOT VIDEO GAME ini, Lara Croft yang kita jumpai tidak sama dengan Lara Croft yang ikonik berbibir tebal seksi, berkepang panjang hingga ke pinggulnya yang sangat ramping, sementara dadanya, well yea, sudah jadi joke umum di kalangan gamer, Lara di PSX punya upper body yang begitu ‘menonjol’ sehingga grafik yang dahulu masih terbatas malah membuatnya tampak seperti segitiga alih-alih membundar.  Secara sederhana, kita bisa lihat masalahnya ketika para fans langsung membandingkan antara Angelina Jolie yang berperan di Lara Croft: Tomb Raider (2001) dengan aktris Alicia Vikander di film ini. Selain masalah fisik, Lara kali ini juga punya sepak terjang yang berbeda – perbedaaan gedenya adalah Lara tampak sangat vulnerable. Meski sisi adventurous, kecerdasan, ketertarikannya sama kode dan  tempat tersembunyi cewek ini udah kelihatan bahkan dari saat dirinya masih bocah, namun Lara Croft bukanlah jagoan. Setidaknya belum.

Dia pasti jago main Pandora Experience

 

Cerita petualangan aksi Tomb Raider ini memang bertindak sebagai origin karena pada intinya kita melihat siapa Lara Croft sebelum dia mulai menjelajahi makam dan kuil-kuil kuno penuh jebakan dan tak jarang kutukan mistis untuk mencari benda-benda peninggalan yang berkekuatan misterius. Lara Croft di film ini terlihat sangat vulnerable, dan Alicia Vikander benar-benar hebat memerankan setiap emosi yang harus dia jabanin. Aksennya juga pas, terdengar menguar ketegasan sekaligus sedikit rebellious. Film berhasil menyeimbangkan eksplorasi yang dilakukan oleh Lara, baik itu eksplorasi medan beneran maupun pencarian ke dalam dirinya, dengan aksi-aksi berlari, pengalaman  hidup-mati, yang mengdegup jantung. Sense of discovery yang disampaikan terasa lumayan kuat, karena terkadang kita diberikan kesempatan untuk memecahkan teka-teki bareng Lara. Misteri kebudayaan yang melapisi cerita film juga menarik. Kisah Legenda Himiko, yang supposedly adalah antagonis dalam film, dibuat sedikit berbeda dengan versi video game demi melandaskan keparalelan dengan salah satu layer perjalanan Lara Croft.

Saat film dimulai, kita sudah melihat Lara babak belur. Dia kalah saat latih tanding martial arts. Dia gagal dapet duit hadiah di permainan kejar-kejaran bersepeda. Ranselnya bahkan hampir dibawa kabur oleh berandalan. Lara memang sudah sedikit belajar tentang pentingnya mempertahankan diri – dia berusaha untuk hidup mandiri. Tapi cewek ini punya satu masalah yang membayangi setiap geraknya. Hati pada cerita ini adalah pada bagaimana Lara sangat menyintai sang ayah, sosok yang baginya sekaligus sebagai seorang ibu, walaupun ayahnya sering pergi-pergi dan Lara sendiri belum tahu apa yang ‘pekerjaan’ ayah yang sebenarnya. Aku suka gimana film membuat Lara tidak mau menandatangani surat wasiat dari si ayah, sebab kita tahu bahwa alasannya tidak semata karena Lara memilih hidup sederhana. Melainkan karena dengan menandatangani surat itu, Lara berarti sudah mengamini ayahnya yang hilang sudah meninggal.

Dalam penceritaan video game (yea, video game juga punya cerita layaknya tontonan sinematis) ada satu aturan baku standar yang udah jadi semacam pakem yang diikuti oleh banyak cerita, yakni: Jikalau tokoh utama punya sanak yang diceritakan sudah meninggal, tapi kita sebagai tokoh utama enggak pernah melihat mayatnya, maka sanak keluarga tersebut pastilah sebenarnya masih hidup. Dalam film juga sebenarnya elemen cerita begini sering dipakai, namun Tomb Raider menggunakan trope ini bukan tanpa sebab. Inilah yang menjadi motivasi perjalanan Lara – bagaimana apa yang ia inginkan akan berbuah menjadi hal yang tak ia inginkan. Lara butuh untuk melihat ayahnya masih hidup, untuk kemudian direnggut lagi darinya demi menyadari apa yang ia butuhkan; kemandirian sesungguhnya dari seorang penyintas sejati, her true self.

Kemampuan untuk mandiri tidak dimiliki oleh semua orang. Kadang tanpa disadari, kita bergantung terlalu banyak kepada orang lain, lebih dari yang kita perlukan. Di penghujung hari,  toh,  kita hanya akan punya diri sendiri. Kita perlu untuk mandiri demi bertahan hidup, dalam hal apapun. Adalah sangat penting untuk kita bisa mengambil keputusan, bisa mengambil tindakan, tanpa perlu selalu kompromi dengan orang lain. Betapa sangat berdayanya mengetahui bahwa kita mengendalikan hidup dan pilihan sendiri. Apalagi jika pilihannya adalah sepenting berkorban atau tidak.

 

Totally jalannya enggak lagi kebentur-bentur dinding kayak di game originalnya

 

Mengelak dari perangkap cerita origin yang biasanya menghabiskan satu film untuk mengubah karakter menjadi yang kita kenal, Tomb Raider hanya butuh satu jam kurang untuk kita dapat melihat glimpse dari Lara yang sebenarnya. Sangat empowering melihat Lara Croft yang tadinya seperti underdog, yang berani namun senantiasa ragu-ragu di dalam sehingga selalu gagal, menjadi semakin pede ketika dia mendaratkan kakinya di pulau tak berpenghuni itu. Alih-alih rubuh oleh bertubi-tubinya benturan fisik dan mental, Lara menjadi semakin kuat oleh setiap tantangan. Turning point bagi Lara adalah ketika dia harus mengalahkan – dia harus membunuh satu orang – yang mana adalah Lara’s first kill di seri ini, karena di titik itu dia mulai mengerti bahwa dia harus berjuang sekuat itu untuk bertahan hidup. Sendiri. Film menggarap adegan tersebut dengan lumayan menyentuh, mereka mengambil waktu untuk memperlihatkan ekspresi di wajah Lara, yang tentu saja dimainkan sangat meyakinkan oleh Vikander. It was a strong moment. Untuk kemudian diikuti dengan Lara bertemu dengan orang yang selama ini dicarinya, yang membuat inner-nya semakin berkonflik lagi lantaran dia kembali punya keinginan untuk menjadi putri kecil. Film membuat keputusan bagus untuk menampakkan momen-momen karakter seperti begini, aliran pengembangannya – naik turun karakter – dijaga sehingga menarik. Di bagian pacing-lah film ini sedikit terlalu kedodoran.

Cerita berlalu dengan cepat, antara adegan aksi satu dengan adegan aksi berikutnya, film akan mengerem dengan development karakter dan beberapa dialog eksposisi. Secara kesuluruhan, akibat eskposisi yang melambatkan film nyaris seolah secara mendadak, dengan aksi seru yang direkam dengan kecepatan tinggi, menonton film ini rasanya kayak melihat video ornag berlari yang kadang dislow-motion. Ada aspek-aspek cerita tertentu yang membuat kita “hey, darimana datangnya?”. Beberapa adegan flashback juga turut membebani jalannya cerita dengan perlambatan yang tidak perlu. Kita tidak butuh begitu sering kembali ke masa lalu, yang kadang adegannya itu-itu melulu. Menurutku, yang dibutuhkan film ini untuk mengerem justru  adalah momen-momen survival seperti memperlihatkan Lara membunuh hewan untuk makan, seperti pada video game. Tapi film malah melewatkan itu.

Kematian adalah petualangan. Salah satu aspek seru dari video game yang juga disadur oleh film ini adalah momen-momen berbahaya yang siap menerjang Lara. Dalam video game, kita bisa sengaja game over hanya untuk melihat adegan kematian yang kadang over-the-top namun menyenangkan. Film ini juga sama seperti itu, banyak adegan aksi yang bisa dibilang lebay dan agak gak masuk akal; Lara yang lompatannya jauh sekali, Lara menarik pecahan yang menembus perutnya padahal kalo luka tembus sebaiknya jangan dicabut karena pendarahannya akan semakin parah, akan tetapi kita tetap enjoy menontonnya. Adegan-adegan tersebut juga dijaga sehingga tidak mengakibatkan film menjadi konyol, menjadi terlalu Hollywood, menjadi guilty pleasure seperti film Tomb Raider terdahulu. Ada satu sekuen seru banget yang dicomot dari video game, yang bakal bikin penggemar video gamenya girang, yang melibatkan Lara dengan bangkai pesawat, namun basically sekuen ini hanyalah versi lain dari adegan kaca belakang bus di Jurassic Park. So yea, aksi dalam film ini seru dan menyenangkan, hanya saja memang tampak generic, film tidak menampilkan sesuatu yang benar-benar baru.

 

 

 

Menonton ini seperti memainkan video game yang punya replay value yang tinggi. Kita sudah bermain berkali-kali, kita sudah hapal, namun kita tetap suka. Kita ingin mencari cara lain untuk menamatkannya – karena film ini mampu bekerja dengan efektif, baik sebagai eksplorasi karakter maupun sebagai pure action adventure. Bicara soal mandiri, filmnya sendiri juga cukup mandiri. Di balik usaha film untuk membangun landasan universe, untuk membuat kait ke film berikutnya, film bertindak bijak dengan memastikan kita mendapat cerita yang contained, dengan plot tokoh yang melingkar tertutup. Di samping beberapa aspek penceritaan yang mestinya bisa dibuat lebih tight lagi, flashback dan eksposisi mestinya dapat dikurangi, ini tetap adalah salah satu adaptasi video game terbaik. Karena semua orang dibuat peduli sama tokohnya, kita bisa merasakan tokoh tersebut, kita ingin dia berhasil, walaupun kita enggak pernah memainkan video gamenya sebelum ini.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for TOMB RAIDER.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

THE BREADWINNER Review

“Remember all you saw and tell it back in the stories when the day is almost done.”

 

 

Wanita enggak bisa hidup tanpa lelaki. Dalam beberapa konteks kajian, hal itu benar. Karena manusia diciptakan berpasangan-pasangan – gender yang satu akan membutuhkan gender yang lain untuk banyak aspek dasar. Namun, buat Pasukan Taliban di kota kecil bernama Kabul, tempat di mana Parvana tinggal, kata ‘enggak bisa’ dalam kalimat wanita enggak bisa hidup tanpa lelaki diartikan sebagai kebenaran yang absolut. Bahwa menurut peraturan mereka; wanita literally tidak bisa hidup, tidak boleh ngapa-ngapain, tanpa ada lelaki yang menjaganya. Wanita tidak boleh keluar rumah kalo tidak bareng suami, atau ayah, atau sodara. Para cewek dilarang belanja sendirian ke pasar. Kerjaan sesimpel menimba air di sumur umum bisa menjadi sangat ribet, dan berbahaya, jika dilakukan seorang wanita tanpa ditemani wali. Sekalipun ada, bukan berarti kaum hawa bisa bebas melakukan apa yang mereka mau di luar sana. Pertama, mereka harus menutup aurat sepenuhnya dengan burqa. Mereka juga tidak boleh menarik perhatian publik. Di awal film, kita melihat Parvana yang masih sebelas tahun meninggikan suaranya sedikit saat mengusir anjing dari barang dagangannya, dan itu menimbulkan masalah yang cukup untuk membuat ayah Parvan dijebloskan ke dalam penjara.

Di Afghanistan sana memang ada anak-anak seperti Parvana. Yang berasal dari keluarga yang ‘kekurangan’ pria. Dan lingkungan yang penuh opresi, membuat semuanya sulit untuk keluarga seperti ini hidup. Ibu dan Kakak perempuan Parvana tidak bisa keluar rumah tanpa digebuki, atau kalo nasib mereka lagi jelek, diperkosa. Adik cowok Parvana masih terlalu kecil. Jadi Parvana dan anak-anak cewek lain berubah menjadi Bacha Posh; cewek yang menyamar menjadi laki-laki. Parvana memotong pendek rambutnya, memakai pakaian bekas abang tertuanya yang… ah, Parvana tidak tahu di mana abangnya sekarang. Dengan nama samaran, Parvana dan teman sekelasnya dulu (sebelum akhirnya mereka diberhentikan dari sekolah lantaran Taliban melarang anak cewek untuk jadi pinter) berkeliling kota, mencari pekerjaan, belanja makanan dan kehidupan sehari-hari. Dan khusus Parvana, dia punya misi ekstra: mencari tahu nasib ayahnya di penjara. Tapi tentu saja, menjadi cowok enggak lantas membuka setiap kesempatan emas bagi Parvana. Kota Kabul yang darurat perang masih adalah tempat berbahaya dan sangat membatasi untuk anak-anak sepertinya. Lagipula, bukankah penyamaran tidak lain tidak bukan hanyalah sebuah kungkungan bagi diri sendiri yang sejati?

Jadi, di mana dong tempat bagi Parvana untuk merasakan kebebasan?

Di sana, di dalam kepala sendiri, jawabannya.

 

Kisah yang diadaptasi dari novel ini akan menjadi sangat depressing jika dimainkan secara langsung oleh aktor-aktor. Jelas sekali, animasi adalah medium yang paling tepat – bukan untuk memanismaniskan cerita, melainkan untuk menampung konteks dan pesan dan komentar sosial yang coba disuarakan.  Akan ada begitu banyak adegan yang meremas hati kita. The Breadwinner memang bukan secara tepat adalah animasi untuk anak-anak. Film ini lebih ditujukan untuk orang dewasa, yang niscaya akan terhenyak, dan pada gilirannya akan membimbing anak, adek, atau kerabat yang masih kecilnya yang sudah cukup paham untuk menonton film dengan tema yang begitu penting dan relevan dengan keadaan sekarang ini. Style animasi yang tampak simpel untuk setengah bagian cerita tidak sekalipun mengecilkan kekuatan rentetan adegan yang kita saksikan. Tengok saja gimana film ini mengontruksi dua kejadian dalam satu adegan tatkala seorang Taliban memukuli ibu Parvana dengan tongkat ayah sementara Parvana yang ada di sana sedang mengejar potongan foto sang ayah yang beterbangan. Adegan itu tampak mengalir indah, sekaligus menghantui rasa manusiawi kita. The Breadwinner tampil unggul dengan adegan-adegan yang dibangun seperti demikian.

Menjaga dan mengekang sungguh tidak banyak bedanya. Ketika agama Islam mengajarkan untuk menjaga wanita sebaik-baiknya, pasukan Taliban menggunakan kesempatan itu untuk mengekang masyarakat supaya mereka terus tunduk. Wanita dikekang, diatur-atur.  Sementara para lelaki, menjadi semakin vulnerable karenanya. Kalo perlu, mereka juga dikekang – dengan dipenjara.

Dari keadaan tersebut, tokoh utama kita belajar bahwa apapun yang dijaga dengan sebaik-baiknya akan menjadi tak ternilai harganya. Dan salah satu hal tersebut adalah harapan. Karena pada akhirnya, opresi dan kebebasan bukanlah soal siapa yang menjadi korban. Ini soal tanggungjawab. Kita sendiri yang bertanggungjawab terhadap harapan masing-masing. Dari sanalah kekuatan kita berasal. Jika kita tidak bersedia menjaganya, jangan kira orang lain akan sukarela melakukannya untuk kita.

 

Makanya, sekeji-kejinya tokoh Taliban dan sebagian besar pria dalam film ini, Parvana tidak serta merta digaris untuk mengalahkan mereka. Proses pembelajaran dan discovery yang dialami tokoh protagonis kita datang dari dalam dirinya sendiri. Karena menjadi anak cowok, yang ultimately adalah cara kisah ini menyimbolkan kesetaraan yang kini banyak dicari, bukanlah jawaban eksak masalah seperti punya Parvana. Ketika aku menonton film ini, aku memang sempat bingung terhadap perspektif dan motivasi si tokoh. Like, apakah dia pengen membebaskan ayahnya, atau dia ingin menafkahi keluarga. Film sepertinya tidak tegas mengarahkan cerita dalam memilih di antara spektrum ini. Namun, ternyata aku salah. Spektrumnya ada tiga, dan pada cabang inilah film menitikberatkan gravitasi fokusnya.; Apakah Parvana akan sanggup menyelesaikan dongeng yang ia kisahkan untuk adiknya?

Aku jadi ingat waktu kecil dulu setiap hari diceritain macem-macem dongeng sama kakek.

 

 

Kekuatan yang didapat dari bercerita adalah penemuan paling kuat yang berhasil dicapai oleh Parvana. Tokoh ini berkembang dari yang tadinya bosan dengan kisah-kisah yang selalu diceritakan oleh ayahnya, menjadi seorang yang menemukan kebebasan mutlak ketika dia bercerita. Ironically enough, justru pada elemen ini jualah, The Breadwinner menemukan titik lemah dalam penceritaannya. Kita akan senantiasa dibawa dari kejadian di kehidupan nyata Parvana ke dongeng yang ia ceritakan tentang seorang pemuda yang pergi ke sarang monster demi mencari bibit pangan yang dicuri dari desanya. Diceritakan dengan gaya animasi yang sedikit berbeda, dongeng ini actually mirip stop-motion dua dimensi, fungsi lain dari elemen ini adalah untuk menceritakan nasib sebenarnya abang Parvana. Thus, antara dongeng dengan kejadian yang dialami Parvana; kedua cerita tersebut seringkali tidak terasa paralel. Seperti kita sedang menonton tv dan bolak-balik di antara dua channel. Pun begitu, setelah midpoint menjelang ke babak akhir yang mengharukan, film ini menjadi sedikit repetitif, kita basically ngeliat Parvana bekerja di siang hari dan mendengarkan dongengnya saat sudah malam melulu. Tonenya menjadi sedikit terlalu kontras, sehingga flow dari cerita yang utama menjadi sedikit enggak mulus.

 

 

 

 

Situasi yang sulit akan menempa pribadi yang tangguh. Tak pelak, Parvana adalah salah satu tokoh utama film animasi paling kuat di tahun 2017 lalu. Kita sungguh dibuat peduli sama akankah dia berhasil bergulat dari situasi yang mengekang, sebagai seorang pendongeng maupun sebagai seorang anak yang ingin meringankan beban keluarganya. Visual dan desain musik yang penuh jiwa tentunya akan mampu menarik minat banyak penonton berpikiran dewasa untuk singgah menikmati dongeng yang penting ini. Aku pikir, animasi ini punya kans besar di Oscar 2018 mendatang. Dalam dunia yang akan terus mengekang, kita sendiri yang membuat kebebasan. Pesan semenarik ini hanya sedikit dibebani oleh penceritaan selang-seling yang terkadang tidak paralel dan terlalu sering.
The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for THE BREADWINNER.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

RED SPARROW Review

“Everything happens for a reason.”

 

 

Moralitas cuma sikap sentimental manusia. Sedangkan harga diri selalu adalah yang lebih dahulu jatuh. Jadi buat apa menunggu? Pemuda pemudi Rusia yang digembleng oleh agensi State School 4 mendapat doktrin seperti demikian demi mengobarkan semangat patriotisme mereka. Sebab dalam aksi membela negara, mereka semua harus rela mengorbankan apapun. Jiwa raga mereka milik negara  yang selama ini telah memberikan mereka tempat berlindung, tempat untuk tinggal. Dan sekarang adalah giliran mereka untuk berjuang atas nama negara, dengan menjadikan tubuh sebagai senjata utama.

Menjadi mata-mata tidak selamanya berarti menguasai alat-alat berteknologi canggih, enggak selalu bahaya yang mereka hadapi berupa merayap elegan di antara laser-laser dengan kostum hitam. Film Red Sparrow tidak memewah-mewahkan kehidupan sembunyi-sembunyi penuh rahasia itu. Ataupun membuat penontonnya ingin menjadi mata-mata kece. Sesungguhnya film ini diadaptasi dari buku novel karangan Jason Matthews; seorang mantan anggota CIA. Jadi at heart, cerita film ini tahu persis seperti apa ‘sisi buruk’ dari pekerjaan tersebut. Materi yang disambut dengan bijak oleh sutradara Francis Lawrence, ini lebih sebagai sebuah cerita thriller dibandingkan kisah aksi. Menonton Red Sparrow, kita akan merasakan betapa OTENTIKNYA GAMBARAN DARI KEHIDUPAN SEORANG MATA-MATA. Iya sih, menjadi mata-mata berarti hidup kita menjadi glamor seketika; bercinta dengan orang-orang penting, orang-orang kaya. Namun, melalui film ini kita akan melihat sebenarnya itu adalah sebuah hidup yang sangat mengerikan. Percaya deh, enggak akan ada yang mau berada dalam sepatu Dominika Egorova. Tokoh utama kita ini adalah seorang ballerina yang direkrut ke dalam barisan Sparrow yang kerjaannya secara sederhana adalah merayu orang untuk mendapatkan informasi. Sebuah pekerjaan yang mengerikan sekaligus menyedihkan. Dan tentu saja, penuh resiko.

Di Rusia, supaya tenang setelah kejadian traumatis, orang-orangnya enggak minum air putih. Mereka merokok.

 

Kita tidak mau melihat Dominika menjadi mata-mata yang sukses, kita ingin melihat cewek ini berhenti menjadi mata-mata dan kabur saja keluar dari dunia yang ia geluti. Hidup yang ia jalani was just so horrible, namun walaupun cerita tidak pernah memuja keputusan yang diambilnya, membenarkan apa yang ia pilih, Red Sparrow masih berkodrat sebagai sebuah film. Cerita film ini disusun sedemikian rupa supaya menarik, jadi kita tetap mendapatkan trope-trope thriller Perang Dingin – Misi utama Dominika, pertanyaan pada lapisan terluar cerita film ini, berpusat pada apakah Dominika akan berhasil mengendus mata-mata yang ia cari? Juga ada kisah cinta antara dua mata-mata beda negara yang tentu saja menambah stake berupa apakah pihak yang lain itu bisa dipercaya, siapa yang bakal mengkhianati siapa. Kalian ngertilah, kita masih akan menjumpai sedikit dramatisasi pada cerita. In fact, salah satu sekuen yang paling efektif nunjukin sensasi thriller dalam film ini adalah sepuluh menit pertama ketika kita dibikin berpindah-pindah antara pertunjukan balet Dominika dengan pertemuan rahasia tokoh Joel Edgerton, sementara scoring yang sangat memikat mengalun di latar belakang. Di dalam film akan ada sekuen berantem yang lumayan sadis. Ada adegan pemukulan dan penyiksaan yang bukan konsumsi penonton yang perutnya lemah.

Selain itu, juga banyak adegan ‘buka baju’ yang bakal bikin kita risih menontonnya – yang membuat bioskop di sini mesti melakukan sensor dengan mengezoom pada adegan kurang senonoh sehingga kita hanya melihat kepala tokohnya saja. Dan untuk itu, aku sangat salut kepada Jennifer Lawrence yang sungguh bernyali. Setelah hal-hal gila yang aktris ini lakukan di Mother! (2017), di Red Sparrow dia menaikkan tingkat kenekatannya dengan melakukan berbagai adegan yang bikin kita meringis. Sepertinya tidak ada adegan menantang yang enggan dilakukan oleh JenLaw, semuanya dijabanin.  Perlu kutekankan sedikit, meskipun memang banyak adegan seksual yang awkward dan kasar – di kelas di ‘sekolah mata-matanya’, Dominika dan murid-murid yang lain kerap disuruh buka baju dan melakukan gituan di depan semua orang – perasaan disturbing yang kita rasakan ketika menonton film ini tidak terbatas berasal dari sana. Malahan, justru adegan tokohnya Mary-Louise Parker yang bikin penonton di studioku tadi barengan memekin tertahan, padahal adegannya bukan adegan seksual.

Aku bisa paham dan membayangkan kalo Red Sparrow bakal banyak diboikot, lantaran film ini juga menggambarkan iklim politik yang disturbingly relevan terutama buat penonton Amerika. Red Sparrow mengemukakan wacana soal kebudayaan Amerika yang berubah akibat sosial media dan teknologi dan bagaimana Rusia mencoba mengapitalisasi tensi di antara kedua negara. Dan kita tahu, semenjak election 2016 santer kabar ada campur tangan Rusia di dalamnya. Mungkin kata-kata mentor Dominika ada benarnya. Mungkin Perang Dingin tidak akan pernah berakhir.

 

Sebagai sebuah cerita, film ini punya sisi menarik. Kita ditaruh di tengah-tengah situasi politik di mana kita enggak tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi. Namun di atas itu, yang membuat film ini susah untuk ditonton adalah betapa protagonis kita luar biasa tak tertebak. Film ini dengan sengaja mengaburkan isi kepala Dominika kepada kita, membuat kita tidak pernah sepenuhnya memahami keputusan yang ia buat. Tidak seperti pada Molly’s Game (2018)  di mana kita bisa mengerti apa yang membuat tokoh Jessica Chastain berpindah dari atlit ski, memilih menjadi Bandar Poker, kita paham mindsetnya, pilihan-pilihan yang dia ambil, pada Red Sparrow kita tidak mengerti bagaimana cara kerja pikiran Dominika. Kita mengerti dia terjebak dalam situasi yang tidak ia sukai, tapi kita enggak tahu apa tepatnya yang menyebabkan dia ada di sana. Transisi dari dia yang balerina sukses menjadi, katakanlah, pion dalam permainan spionase maut terasa sangat abrupt. Keputusan-keputusan Dominika disimpan rapat di dalam kepalanya sendiri, dan kita hanya melihat tindaknya dari luar. Mmebuat kita sulit peduli dan mendukung tokohnya. Dan sejauh yang bisa aku usahakan untuk mengerti, keputusan agensi Sparrow merekrut Dominika adalah karena masalah pelik keluarga, semacam nepotisme, dan karena Dominika punya paras cantik yang merupakan aset berharga jika kau mencari kandidat sempurna untuk mata-mata.

you don’t want to be a volunteer for this kind of job

 

Tidak ada yang namanya kebetulan di muka bumi. Tidak ada yang namanya kecelakaan. Semua hal terjadi karena suatu alasan. Ini adalah pelajaran berharga yang dipelajari dengan cara yang sangat keras oleh Dominika. Semuanya itu bersangkutan dengan kebutuhan manusia, sebagai makhuk sosial. Pada gilirannya, Dominika menjadi sangat tangkas dalam menebak apa yang diinginkan oleh target operasinya, tak terkecuali orang-orang di sekitarnya. Inilah yang membuatnya begitu cakap sebagai seorang mata-mata. Sebegitu handalnya sehingga Dominika dapat membalikkan kebutuhan orang sebagai keuntungan yang memenuhi kebutuhannya.

 

Film ini banyak bicara tentang bagaimana setiap manusia mempunyai kebutuhan. Akan ada banyak percakapan yang menanyakan “apa yang kau mau?” kepada seorang tokoh. Kebutuhan manusia menjadi poin vokal dalam narasi, tapi kita dengan sengaja dibuat tidak mengetahui kebutuhan sejati dari tokoh utama. Kita paham dia ingin ibunya yang sakit terurus dengan baik, tetapi gambar besar dari tujuannya sengaja ditutupi. Film seolah membuat pagar pertahanan di sekeliling tokoh utama yang mencegah kita untuk masuk dan peduli dan mengerti, dan hanya di saat-saat terakhir pagar ini membuka. Film banyak memanjang-manjangkan adegan yang kelihatan seperti momen gede padahal enggak benar-benar mengangkat cerita, hanya untuk memperlihatkan kepada kita kemampuan dan arah moral yang dipegang oleh Dominika. Karena sebenarnya hanya ada satu adegan kecil yang perlu kita tahu di akhir, adegan yang akhirnya membuat kita melihat Dominika seutuhnya.

 

 

 

Manusia adalah teka-teki kebutuhan. Film memilih untuk menggambarkan itu dengan tepat kepada tokoh utama sehingga kita bisa menjadi begitu frustasi saat menontonnya. Ceritanya tidak membingungkan, elemen politiknya bisa dipahami dengan sedikit perjuangan, mendukung tokoh utamanyalah yang merupakan tugas yang sulit. Kita bisa suka kepada setengah bagian dari film ini, karena dia begitu bernyali, punya adegan-adegan dan desain musik dan suara yang memikat. Sementara yang setengahnya lagi, kita akan kebingungan.
The Palace of Wisdom gives 5.5 gold stars out of 10 for RED SPARROW.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

Elimination Chamber 2018 Review

 

Tahun lalu, aku nulis surat cinta untuk Alexa Bliss. Basically di Elimination Chamber 2017 itu aku lega Alexa ‘hanya’ bertanding melawan Naomi, dia tidak perlu masuk kerangkeng baja – struktur setan yang digadangkan sebagai salah satu pertandingan paling berbahaya dalam semesta WWE. Sekarang, aku tahu kemungkinan pihak WWE membaca review ala surat buatanku sama gedenya dengan Alexa Bliss beneran jajan eskrim di kafeku. Aku yakin kita semua tahu adalah hal semacam inilah yang dilakukan oleh WWE.

Mereka membengkokkan keinginan para fans. Mereka menjual kejutan. Mereka mengkapitalisasi konflik dan kontroversi. Mereka bekerja di atas ekspektasi kita semua, for better or worse.

Ditambah pula dengan agenda “for the first time ever” yang semaking gencar mereka lakukan. Dan eng ing eng, di tahun 2018 ini kita menjadi bagian dari sejarah saat WWE menyelenggarakan pertarungan Elimination Chamber khusus untuk peserta cewek!

 

Turns out, bukan saja pertandingan tersebut benar-benar membuatku gemetaran, namun juga membuatku ingin melompat-lompat saking serunya. Para cewek itu diarahkan untuk membawakan cerita yang solid, dan mereka ngedeliver tuntutan tersebut dengan sangat efektif. Dan Alexa Bliss? She slays! Serius, bukannya aku bias, tapi memang match ini intinya adalah membuat Alexa terlihat kuat dalam artian mampu memanfaatkan apapun untuk menggapai kemenangan. Bahkan sehabis match pun, Alexa menunjukkan gimana dia adalah salah satu performer terbaik yang dipunya oleh WWE dengan ‘pidato kemenangan’ yang sukses mengecoh semua penonton.

Tiga puluh menit durasi tanding benar-benar terbayar puas sebab subplot yang lain juga berkembang dengan baik. Environment yang kita masuki dalam pertandingan pembuka ini bukan saja kerangkeng kotak sadis itu, melainkan juga adalah aliansi yang terbentuk di dalam ruang lingkup peserta. Mandy Rose dan Sonya Deville boleh saja paling ‘hijau’ dalam urusan aksi, tetapi mereka punya ikatan pertemanan yang paling kuat dibandingkan yang lain. Sasha Banks dengan Bayley sudah ditanamkan bibit-bibit permusuhan, yang berujung pada Sasha menendang jatuh Bayley dari atas kandang seperti Scar mencampakkan Mufasa ke jurang. Sementara itu, kita tidak pernah tahu apakah Bliss ngajak Mickie James baikan adalah hal yang tulus sebab cerita mengharuskan Bliss untuk mengovercome the odds sendirian.

#GoddessAboveAll

 

Perlu diakui, Elimination Chamber jaman now itu memang sudah tak sama lagi dengan Elimination Chamber saat Shawn Michaels memenangkannya di Madison Square Garden.  I mean, bentuk kandangnya saja sudah berbeda. Tentu saja kita semua merindukan warna merah mengkilat di jidat. Intensitas kekerasan seperti demikian tidak akan pernah lagi kita dapatkan. Sejak dari tahun lalu, kandang itu terihat jinak. Sekarang setiap dasar bajanya dialas matras yang lumayan tebel. Rantainya antara dibuat lebih kokoh untuk menyerap benturan atau dipasang terlalu kendur, aku kurang tahu juga, pointer untuk menilainya adalah waktu Roman Reigns menarik-nariknya yang kelihatan bergoyang cuma lengannya; jadi entah itu dia enggak menarik dengan kuat atau dia pura-pura narik doang untuk menjual kekokohan kandang. Chamber yang sekarang lebih tampak seperti taman bermain, dan WWE mengetahui persis hal ini, sehingga para superstar pun diarah untuk benar-benar bersikap demikian terhadap kandang. Tentu, ini membuka kesempatan buat mereka ngeutilize kandang dengan semakin kreatif sesuai dengan karakter tokoh masing-masing. Aku suka momen ketika Alexa kabur dengan memanjat kandang, ketika dia melakukan Twisted Bliss dari atas Kamar, ketika Elias mengunci diri, ketika Strowman melempar Reigns menembus kaca. Tapi sekali lagi, intensitas Chambernya sendiri tidak pernah terasa kuat. Mungkin ini masalah karena gimmick ppv, I mean, menurutku akan lebih kuat aja jika superstar beraksi terhadap stake dan environment karena mereka pikir mereka butuh dibandingkan dengan mereka bereaksi  terhadap environment yang sudah disiapkan teruntuk mereka.

Salah satu cara untuk menangkal atau menutupi ke-predictable-an adalah dengan memainkan mereka dengan tepat dalam kotak, worked to their strengths. WWE sekali lagi membuktikan bahwa mereka mampu dan rela mewujudkan apa yang sudah ditebak oleh fans asalkan semua itu pada akhirnya bekerja sesuai dengan terms dan kekuatan yang mereka incar. Singkatnya, kita bisa dibilang WWE akan lebih memilih untuk membuat fans sakit hati daripada mereka terang-terangan tampak seperti menuruti apa yang fans mau.

 

Tidak seorang pun penonton yang berusia di atas 13 tahun meminta untuk melihat Roman Reigns bertemu lagi dengan Brock Lesnar di Wrestlemania. Tidak ketika masih ada Strowman. Tidak ketika suara Elias semakin lantang bernyanyi. On the other hand, semua orang tahu Roman Reigns punya kans menang Chamber paling gede. Dan WWE mewujudkan hal tersebut. Dengan bangga. Ya, ini bukanlah bookingan tercerdas yang dilakukan oleh para penulis. Keputusan yang lebih pinter jelas adalah membuat Strowman memecahkan rekor memenangi Chamber dengan mengeliminasi semua peserta lain sendiri atau dengan membuat Elias mengeliminasi John Cena . Elimination Chamber dengan tujuh orang peserta seharusnya adalah suatu partai yang buas. Dan looking this match back in a retrospect, WWE mengambil keputusan untuk bermain aman. Mereka ngepush apa yang perlu dipush. Miz, Rollins, Balor tidak terlihat seperti penggembira. Elias dan Cena punya interaksi yang mencukupi. Strowman kick out of everything. Semuanya bermain sesuai dengan kekuatan masing-masing dengan Roman Reigns yang tampak paling ‘vulnerable’ di sini.

Ada pengunjung kafeku yang teriak “Teuku Wisnu!!” sambil nunjuk Finn Balor

 

Sebagai partai yang paling predictable, Nia Jax dan Asuka juga terbukti jatoh menyenangkan. Walaupun sama sekali tidak pernah kita kepikiran “jangan-jangan Nia yang bakal menang”, aku berani bilang match mereka adalah salah satu yang punya kesan intens paling kuat sepanjang acara (Satunya lagi adalah ketika Sasha Banks ngelakuin Frog Splash yang benar-benar enggak safety – doi mendarat literally dengan dua sikunya doang, duh!) Ini adalah pertandingan yang showcasing kekuatan kedua superstar, baik dari segi aksi maupun dari segi karakter. Ringkas dan padat. Baik Nia maupun Asuka, keduanya membiarkan aksi mereka yang berbicara.

Karena diam itu memang emas. Segmen tandatangan kontrak Ronda Rousey yang melibatkan Triple H, Stephanie, dan Kurt Angle sukses jatoh awkward, sebagian besar karena Rousey seharusnya melawan skrip dengan tidak mengambil microfon dan berbicara.  Baru beberapa patah kata saja sudah terlihat jelas – atau seharusnya aku bilang terdengar – bahwa Rousey grogi banget. Untuk ke depan, sepertinya Rousey butuh untuk diwakili oleh manager yang berbicara untuknya. Kalo kita mengingat promo post-match keren dari Alexa, segmen Rousey ngomong ini akan berkali lipat lebih parah hhihi. Begitu sudah masuk ke storyline, terima kasih buat Kurt Angle yang perannya di sini kayak Jimi Jangkrik bagi Pinokio Rousey,  segmen seketika menjadi lebih baik. Triple H benar-benar ngesold bantingan judo dari Rousey. Stephanie juga efektif nunjukin karakter heelnya. Pada akhirnya kita menyukai segmen ini karena menghibur dan menyenangkan, linimasa WWE akan penuh oleh berita-berita tentang badassnya Rousey, walaupun menit-menit awalnya sangat menggelikan.

Sebagaimana mendung yang tak selamanya kelabu, senang-senang juga tidak selamanya menyenangkan. The worst part dari acara terletak pada match antara Bray Wyatt melawan Woken Matt Hardy. Diniatkan sebagai porsi hiburan, susah sekali bagi kita untuk menganggap serius konflik personal antara Wyat dengan Hardy lantaran gimmick mereka yang dibuat terlalu over-the-top. Malahan, saking have fun nya, para penonton di arena sampai lebih sibuk neriakin hal-hal asyik lain yang sama sekali tidak berhubungan dengan pertandingan yang sedang berlangsung. Menurutku, mereka perlu meningkatkan elemen kengerian dari feud ini. Atau mungkin lebih baik mereka menyudahi storyline ini secara keseluruhan.

 

 

Pay-per-view khusus Raw sedari awal pemisahan brand memang tidak pernah betul-betul stand out sebagai sebuah show, meski mereka punya starpower yang lebih gede, dan terkadang punya cerita dan build up yang lebih solid. Elimination Chamber tidak terkecuali, selain pertandingan gimmicknya, acara ini terasa biasa saja. Namun begitu dua pertandingan kandangnya berhasil menyampaikan cerita dank e-predictable-an dengan cara yang sangat menghibur. Kalo ada satu kata yang positif untuk menilai acara ini, memang kata tersebut adalah ‘menyenangkan’.
The Palace of Wisdom menobatkan ELIMINATION CHAMBER FOR WWE RAW WOMEN’S CHAMPIONSHIP sebagai MATCH OF THE NIGHT.

 

 

Full Result:
1. WWE RAW WOMEN’S CHAMPIONSHIP ELIMINATION CHAMBER Alexa Bliss nyaww sukses retain atas Sasha Banks, Bayley, Mickie James, Sonya Deville, dan Mandy Rose
2. WWE RAW TAG TEAM CHAMPIONSHIP The Bar Sheamus dan Cesaro bertahan dari Titus dan Apollo
3. SINGLE Nia Jax gagal nimbrung di kejuaraan di Wrestlemania karena kalah sama Asuka
4. SINGLE Woken Matt Hardy ngalahin Bray Wyatt
5. 7-MEN ELIMINATION CHAMBER Roman Reigns memenangkan hak menantang Brock Lesnar di Wrestlemania dengan mengalahkan Braun Strowman, Seth Rollins, Finn Balor, John Cena, Elias, dan The Miz

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

 

We?
We got the PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

BAYI GAIB: BAYI TUMBAL BAYI MATI Review

“Do I not destroy my enemies when I make them my friends?”

 

 

Hidup Rafa tampaknya sudah hendak berbuah manis. Perusahaannya menang tender. Istrinya, Farah, yang cantik parah, akhirnya hamil. Saking girangnya, pasangan suami istri ini memutuskan untuk pindah rumah. Di rumah baru nan gede itulah, keluarga Rafa mendapat gangguan. Didatengi mimpi-mimpi buruk. Disatroni nenek-nenek serem. Bayi mereka pun akhirnya lahir di bawah kondisi semencekam itu. Namun Rafa dan Farah sepertinya tidak akan pernah mengetahui apakah Rangga kecil mereka akan tumbuh gede dan bertemu dengan Cinta. Lantaran bayi imut tersebut kadang justru tampak amit-amit. Rafa bingung, kejadian-kejadian aneh itu entah bersumber dari bayinya yang bayi setankah, atau rumahnya yang angkerkah, atau malah berasal dari masa lalu dirinya sendiri.

Tadinya, aku takut film ini akan menyontek Rosemary’s Baby (1968). I mean, lihat aja poster filmnya. Mirip. Tapi tentu saja kita tidak bisa menilai kualitas film dari posternya. Ataupun dari judulnya yang sempet gonta ganti, dan akhirnya ditumplek semua menjadi satu kalimat yang panjang. Jadi, aku lantas menonton. Dan di tengah-tengah film, aku justru berharap film ini mirip sama horor klasik karya Roman Polanski tersebut. Karena aku yakin film yang total rip-offan niscaya bakal lebih menarik dari apa yang actually kita saksikan selama 90 menitan.

Kita dilempar-lempar dari Ashraf Sinclair yang pengen hidup move on dari masa lalu namun gak percaya santet lantaran orang jaman dulu enggak melawan penjajah pake ilmu hitam ke Rianti Cartwright yang insecure dengan keselamatan bayinya. Dan kemudian mereka bertengkar, sebab di tahun 2018 ini penulis naskah masih nekat memakai trope horor “Si A ngelihat hantu namun orang terdekat tempat ia mengadu, tidak percaya”. Lalu Rianti bertingkah kayak orang kesurupan. Susah sekali untuk kita berpegang kepada cerita yang enggak punya sudut pandang yang terarah seperti begini. Menonton ini terasa seperti kita adalah sebuah batu yang dilempar meloncat-loncat di permukaan air. Kita hanya menyentuh permukaan setiap plot poin. Film ini tidak punya kedalaman pada ceritanya. Setiap kali kita beranjak dari plot poin satu ke plot poin berikutnya, kita tidak merasakan flow yang natural terhadap perkembangan para karakter. Membuat kita susah untuk peduli kepada yang mana, apalagi buat kepada mereka berdua.

peduli sama duit di dompet mestinya adalah pilihan yang bijak

 

Bukannya film ini tidak mampu memberikan karakter kepada tokoh-tokohnya. Hanya saja, penulisan itu dengan segera terlupakan begitu film memutuskan untuk mengganti sudut pandang dengan sering.  Di awal-awal cerita kita melihat Rafa ketakutan melihat kebiasaan Farah yang lagi ngidam. Aspek ini menurutku cukup menarik, aku pikir film akan mengambil sudut cerita tentang seorang calon ayah yang menghadapi ketakutannya terhadap proses kehamilan, yang seketika membuatku teringat sama satu-satunya film yang enggak berani aku tonton ulang; Eraserhead (1977) buatan Dayid Lynch. Sekali lagi, aku merasa aku akan berujung enggak keberatan kalolah Bayi Gaib meniru film itu lantaran akan menarik sekali melihat ketakutan psikologis itu ditranslasikan ke dalam budaya lokal. Namun kemudian film menggugurkan sudut pandang Rafa itu. Kita pindah ke Farah yang diganggu oleh penampakan dan janin yang bertingkah aneh-aneh menyeramkan. Pertanyaan mengenai apakah itu semua ada dalam kepala Farah atau enggak kembali diangkat, untuk kemudian dinegasi lagi oleh rentetan jumpscare dan musik ngagetin. Nyaris semua tokoh minor dalam cerita ini pun ikut-ikutan melihat setan. Bahkan sedari sepuluh menit pertama saja sebenarnya film sudah melandaskan dengan kuat bahwasanya kejadian miring pada film ini memang bekerja dalam kotak hal-hal mistis. Jadi, wajar jika kita enggak konek dan sulit peduli terhadap  konflik yang berusaha dipancing – dan ditinggalkan begitu saja – oleh film terhadap dua tokoh pusatnya.

Berdamai selalu lebih baik daripada bermusuhan. Namun, berdamai dengan musuh bisa diputar balik sebagai cara untuk menjatuhkan musuh dalam cara yang tak ia duga. Kita dapat menghancurkan musuh dengan menjadikannya sebagai teman. But ultimately, pilihan terbesar kita adalah memaafkan atau tidak. Sebab bagaimana mungkin kita masih menganggap seseorang sebagai musuh jika dia sudah berubah menjadi begitu perhatian kepada kita.

 

Apa yang digugurkan oleh film ini sebenarnya adalah aspek psikologis. Padahal justru aspek inilah yang membuat film horor bisa mencapai puncak kengerian maksimal. Kita perlu untuk merasakan ketakutan, lebih daripada untuk melihat penampakan buruk rupa. Film tidak memberi kita kesempatan untuk merasakan takut yang dialami oleh para tokoh. Ketika Farah ingin menusuk bayi seram di dalam kereta dorong itu dengan pisau, padahal itu adalah bayinya sendiri – perfectly human, kita tidak merasakan tegang. Film gagal membuat kita berteriak “jangan itu anakmu!!!”, malahan film gagal untuk memancing reaksi apapun karena efek psikologis itu tidak dibangun, dan itu disebabkan oleh film tidak pernah merasa benar-benar perlu untuk membangun psikologis.

Yang bisa saja berarti film ini tidak tahu apa yang sedang mereka lakukan

 

Film horor tidak bisa bekerja dengan baik jika hanya mengandalkan kepada hantu seram dan twist saja. Bayi Gaib adalah satu lagi film horor yang gagal karena hanya mementingkan twist. Film ini tidak membangun apapun, melainkan hanya membendung ‘kejutan’ untuk twist di babak akhir cerita. Mereka cermat sekali di aspek ini. Memang sih, buat penonton yang jam terbang nontonnya udah gede, twist film ini dapat dengan gampang tertebak, but at least, Bayi Gaib benar-benar mematangkan kejutan yang ia punya sebagai satu-satunya resolusi yang mungkin dari cerita. The problem is, twist itu membuat motivasi salah satu tokoh, membuat semua effort yang ia lakukan menjadi percuma. Dalam sekuen pengungkapan, ‘dalang’ di balik semua keganjilan pada keluarga Rafa menampakkan diri, practically mengakui semua perbuatannya. Sebuah tindakan yang tentu saja mendapat sambutan berupa lemparan popcorn dan pertanyaan kenapa. Maksudku, kalo memang end goalnya adalah membunuh seluruh keluarga Rafa dengan santet, kenapa saat hampir berhasil dia malah buka rahasia? Kenapa malah nyamperin Farah, bukannya Rafa?

Timeline waktu nyantet dan perihal bayinya juga seketika menjadi gak make sense. Jika santet itu butuh ari-ari bayi, kenapa Farah  sudah diganggu hantu sejak si bayi masih di kandungan? Menjelang akhir babak pertama ada adegan Rafa mimpi, yang ditanggepi oleh Farah yang kesurupan sebagai pertanda ada orang terdekat Rafa yang meninggal. Film tidak pernah memperjelas puncak dan tujuan adegan ini, kita hanya bisa menebak apakah yang mati adalah si bayi, dan yang lahir memang bayi setan. Kalo benar begitu, berarti masalah Rafa dan Farah belum selesai sebab mereka tidak mengetahui bayi yang mereka lindungi sudah bukan manusia.

 

 

 

To sum it up, we could say that this movie is a total waste of time. Hantunya enggak seram karena film tidak pernah membuild up keseraman. Dia hanya memperlihatkan rangkaian adegan-adegan berbalut trope horor dengan harapan kita-kita menikmati dikagetin sebagai pengalaman menonton. Bikin film itu sepertinya sama dengan bikin anak; prosesnya menyenangkan, namun juga harus bertanggungjawab. Produk yang dihasilkan haruslah dinurture dengan cermat. Karenanya, orang-orang di belakang film ini adalah ‘orangtua’ yang buruk; anak mereka – film ini – tidak mereka besarkan dengan benar.
The Palace of Wisdom gives 1 out of 10 gold stars for BAY GAIB: BAYI TUMBAL BAYI MATI

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

 

We?
We got the PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

EIFFEL I’M IN LOVE 2 Review

“..the decision to be patient and willing to wait is an act of courage and perseverance.”

 

 

Cobaan paling berat di dunia itu salah satunya adalah menunggu. Beberapa orang menjadi tidak sabaran lantaran menunggu itu berarti kita menunda melakukan sesuatu, menahan diri dari mendapatkan sesuatu. Makanya, menunggu itu bisa kita jadikan sebagai kadar kedewasaan seseorang. Semakin dewasa orang, maka semakin sabarlah dia. Buktinya lihat aja pas bulan puasa, yang batal duluan biasanya pasti anak-anak kecil, yang sanggup menahan diri biasanya punya nalar dan mental yang matang. Namun meskipun begitu, enggak selamanya anak kecil kalah ‘sabar’ sama orang dewasa. Kadang ada juga orang dewasa yang bertingkah seperti anak kecil.

Menunggu itu adalah aksi yang paling membosankan, sebab menunggu adalah aksi yang tertunda.  Maka dari itu, orang yang mengambil keputusan untuk menunggu adalah bukan saja orang yang amat tekun, namun juga salah satu orang yang paling berani di dunia.

 

Kayak si Tita. Di ulangtahun kedua tujuhnya, dia masih belum boleh megang hape sendiri, masih dilarang keluar malem sendirian oleh ibunya. Lantaran Tita ini masih kolokan, manja banget. Sebenarnya ini kayak kasus ayam atau telur sih, gak jelas juga apakah karena selalu diprotek berlebihan maka mental Tita masih kayak remaja bau kencur, atau apakah sudah dari sononya ia begitu sehingga perlu pengawasan ekstra. Yang jelas, di usia segitu Tita masih belum menikah. Dia masih betah LDRan sama Adit, cowoknya yang tinggal di Paris. Padahal menurut Tita, menikah bisa menjadi solusi dari semua masalah hidupnya – dia bisa bebas dari aturan ibu, dia bisa merdeka dari pertanyaan ‘kapan nikah?’ dari temen-temennya. Maka, Tita pun bersabar menunggu lamaran Adit. Di sinilah kedewasaan, bukan hanya Tita melainkan juga kedewasaan relationship mereka ditempa, karena Tita dan Adit yang sudah bersifat berlawanan dari film pertama, menjadi semakin sering bertengkar hingga ke titik Tita mulai kehilangan kepercayaan terhadap Adit.

Lama tinggal di Paris, tapi Adit masih canggung nyetir di kiri

 

Aku hampir yakin kalo aku masuk golongan minoritas di sini, karena aku sama sekali enggak tahu sama Eiffel, I’m in Love. Aku gak baca bukunya, aku gak nonton film pertamanya, aku sempet bingung karena yang aku pernah nonton cuma Lost in Love (2008) yang ternyata enggak dianggep sebagai universe franchise film ini. Jadi aku enggak tahu Eiffel, I’m in Love 2 ini mengincar apa.  Film ini akan terpuruk sangat jika kita melihatnya sebagai drama romansa. Akan tetapi, BERTINDAK SEBAGAI KOMEDI ROMANTIS, film ini menunaikan tugasnya dengan efektif. Aku sendiri juga kaget, aku menikmati hubungan para tokoh film ini.

Bantering antara Tita dan Adit dijadikan senjata utama yang bakal bikin kita tertarik untuk menonton. Kedua tokoh sentral dibangun dengan formula komedi, di mana yang satu adalah total opposite dari yang lain. Dan mereka terflesh out dengan efektif. Ada begitu banyak momen-momen lucu yang hadir dari interaksi Tita dan Adit. Shandy Aulia dan Samuel Rizal sudah punya chemistry yang menawan dan mereka tampak begitu effortless menghidupkan tokoh-tokoh. Effortless dalam artian yang positif karena keduanya tampak berinteraksi dengan natural. Berantem mereka, delivery dialog ngotot-ngototannya, terasa pas dan sungguh-sungguh relatable. Film ini berangkat dari sudut pandang seorang wanita yang berada dalam situasi berpacaran terlalu lama, dengan potensi menikah yang tak kunjung cerah. Ditambah lagi dengan masalah-masalah yang tentunya hadir jika seseorang terlibat dalam hubungan asmara jarak jauh. Film memfokuskan kepada hal tersebut, berkelit dari kait-kait drama, dan mengeksplorasi ‘berantem itu kekanakan atau romantis’ menjadi sebuah cermin yang menyegarkan bagi penonton. Seperti pada adegan ketika Adit mengajak Tita pulang naik mobil, tapi Tita ‘sok’ ngambek, dia enggak mau naik. “Tinggal nih!?” ketus Adit. Yang dijawab tak kalah ketusnya “Tinggal aja!” oleh Tita. Adit pun pergi. Dan kita lihat Tita ngomel-ngomel manja “Adit jahat, ninggalin Tita sendiriiii”

Tapi memang, film ini punya set up tokoh yang aneh, and not necessarily in a good way. Tita yang udah nyaris berkepala tiga, namun seringkali bersikap lebih manja dari remaja tentu bisa jadi turn off buat banyak penonton. Aku sendiri tadinya juga udah pasang kuda-kuda, karena tokoh kayak gini biasanya bakal annoying banget. Awkward pasti demi ngelihat orang bertingkah di bawah umurnya. Motivasi Tita adalah dia ingin dilamar supaya bisa bebas, hanya itu. Film tidak berusaha menjadi lebih besar dari ini. Tidak berniat untuk menyampaikan cerita yang lebih dalem. Namun paling enggak, film ini konsisten dalam membangun penceritaan dengan perspektif tokoh utamanya. Paris adalah kota yang romantis, mungkin paradigm itu tergolong kuno di jaman now, namun dalam kacamata Tita, langit malam Paris, di atas sungai Seine, berhias gemerlap kembang api, tetaplah skenario percintaan yang paling maksimal. Film negbuild up momen-momen keinginan Tita terwujud dalam cara yang menarik karena nun jauh di dalam hati, kita pengen lihat benturan apa lagi yang dihasilkan dari perbedaan mindset antara Tita dan Adit.

Jika ini adalah film drama, maka tentu dalam perkembangannya kita akan melihat Tita akan belajar untuk melawan aturan ibunya, dia akan mencoba untuk menjadi mandiri. Dan nampaknya memang akan bisa menjadi produk cerita yang lebih baik dari ini. Tetapi dari penulisan plot yang mereka pilih, film ini punya vibe komedi yang gede, jadi alih-alih itu, Tita akan belajar untuk mulai meragukan Adit. Oleh naskah, Tita tetap menjalankan fungsinya sebagai tokoh utama, dia melakukan pilihan-pilihan. Hanya saja memang pilihan-pilihan tersebut tidak benar-benar berbobot. Untuk menemukan jawaban atas apa yang sebenarnya ia butuhkan, naskah memperlakukan Tita seperti ikan di luar air; Tita mencoba melakukannya dengan benar-benar gak tau apa yang terjadi di sekitar, sementara dirinya sendiri struggle untuk memegang teguh apa yang ia percaya. Pandangan anak manja dan romantisme tetap dipegang dengan konsisten, sementara pemahaman Tita menjadi ‘dewasa’ mengunderlying komedi dan berjalan seiring sebagai lapisan kedua cerita.

“Kalo tut, berarti gue kentut dong!”

 

Tapinya lagi, tentu saja film ini juga tidak luput dari kesalahan. Tetap banyak trope dan pilihan-pilihan gampang demi merebut hati target pasar. Yang ultimately menjadikan film ini enggak berhasil menjadi lebih baik dari yang semestinya bisa ia capai. Lagu soundtracknya yang kerap diulang membuatku terlepas dari emosi yang tak lagi terasa genuine. Banyak juga aspek cerita yang tak bangun-bangun, eh tuhkan jadi kebawa lagunya, maksudku banyak aspek cerita yang tak terbangun dengan baik. Hanya sekedar menjadi device saja. Seperti tokoh sahabat cowok Tita; Adam literally a tool dalam cerita. Maksudnya, dia hanya ada di sana untuk memudahkan jalan cerita maju, tanpa benar-benar punya kepentingan dari segi karakter dan bobot emosi cerita. Adam, dan juga tokoh-tokoh sampingan lain, tidak terflesh out dengan baik sebab film tidak peduli menceritakan mereka. Mereka hanya ada di sana saat cerita membutuhkan. Contohnya di awal-awal saat adegan drive-through McDonald. Adam tiba-tiba ada di sana, dengan pesenan yang sama dengan Tita, dan itu adalah salah satu adegan pengenalan tokoh paling males yang pernah dilakukan dalam film, bahkan dalam film cinta-cintaan Indonesia.

Alasan mereka sekeluarga pindah ke Paris juga tidak dimekarkan menjadi apa-apa. Keluarga Tita seharusnya membuka rumah makan, tapi kita hanya mendapat satu adegan mereka berbenah di rumah makan tersebut. Film melewatkan kesempatan mengeksplorasi banyak karakter  dari sini, sehingga aku paham mengapa banyak orang yang mempertanyakan kenapa satu keluarga mesti pindah. Karena nyata-nyatanya kehadiran mereka juga tidak benar-benar berbuah dalam membangun cerita yang lebih baik. Ketika Tita dan Adit tampak begitu mengalir bersahut-sahutan, Tita dengan anggota keluarga yang lain, bahkan dengan Uni, tidak terasa sama naturalnya. Dialog-dialog tidak terasa mengalir dengan mulus, karena kita masih bertanya kenapa ada orangtua yang memperlakukan anaknya seperti anak kecil. Menurutku, cerita butuh memperlihatkan sudut pandang dari orangtua atau keluarga Tita sehingga masalah manja dan perlakukan sedikit mengekang itu bisa terbahas.

 

 

Udah ngarep, apalagi pake nunggu lama banget, tapi yang ditunggu enggak kejadian, memang sebuah hal yang berat. Untungnya, bagi para fans film yang pertama, film ini adalah sesuatu yang sudah ditunggu selama lima belas tahun, dan berbuah kejadian-kejadian yang menyenangkan untuk ditonton. Film menggali komedi dari bentrokan keinginan dua karakter sentral yang mengekspresikannya dengan cara yang kekanakan. Tapi dewasa itu adalah penantian. Film menyediakan cukup komedi sehingga menjadi menarik, namun dia tidak menyediakan gizi lebih banyak dari itu.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for EIFFEL I’M IN LOVE 2

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We?
We got the PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

   

BLACK PANTHER Review

“What value is strength unless you’re using it to help someone”

 

 

Sunset paling indah ada di Wakanda. Tapi jangan tanya ada di sebelah mananya Afrika negara Wakanda tersebut, karena kita tidak akan menemukannya dalam peta. Malahan, negara ini juga enggak tercantum di dalam peta fiksi dunia Marvel. Letaknya memang sengaja disembunyikan oleh lima suku yang  dibersatukan oleh jatuhan meteor yang kaya akan kandungan mineral alien yang disebut Vibranium. Wakanda jadi negara dengan peradaban supercanggih karenanya. Mereka dipimpin oleh Raja, seorang pejuang yang worthy menyandang kekuatan Black Panther. Tatanan kerajaan dan kerahasiaan mereka berjalan aman. Meskipun punya sumber daya melimpah, Wakanda menyamarkan diri kepada dunia sebagai negara ‘susah’. Bukan karena pelit, tapi mereka menjaga agar teknologi mereka enggak tercium dan pada akhirnya disalahgunakan. Tapi yang namanya rahasia mana bisa sih terjaga lama-lama. Ketika tiba saatnya bagi Pangeran T’Challa menduduki tahta menggantikan ayahnya, seseorang misterius muncul memburu dan mengekspos aretfak-artefak kebudayaan Wakanda. Orang tak dikenal ini ingin menonton sunset paling indah sambil menyaksikan seluruh dunia terbakar. Jadi, T’Challa sebagai Black Panther yang baru harus berjuang menghentikan orang yang menantang posisinya sebagai raja baru, dan untuk itu T’Challa harus menoleh ke belakang. Ke teman-teman. Ke suku-suku di Wakanda. Ke keluarganya.

Inilah yang namanya sunset di tanah anarki

 

Tidak sukar untuk mendeskripsikan film Black Panther ke dalam satu kata; MEMUASKAN. Film ini akan membuat bahagia banyak orang, dalam berbagai tingkatan. Buatku, aku puas banget akhirnya ada lagi tokoh penjahat utama dalam film superhero yang kuat secara manusiawi dan bukan bernama Joker. Killmonger (penampilan Michael B. Jordan di sini kharismatis banget) enggak sekadar pengen dunia chaos, dia juga diberikan sense keadilan menurut pandangannya sendiri, sebab motivasi utama pemuda ini berakar dari perlakuan yang tidak adil yang dilakukan oleh supposedly kubu baik dalam narasi. Kita melihat dia membunuh orang-orang tak bersalah, namun kita mengerti pemahaman dan sudut pandangnya. Killmonger tidak dibesarkan di nyaman di Wakanda, dia jauh dari kekeluargaan dan kebudayaan para suku. Instead, Killmonger tumbuh di jalanan Amerika di mana dia sudah melihat kerasnya hidup. Jadi, dia ingin menggunakan Wakanda untuk melakukan revolusi, like, “kalian punya banyak teknologi, kenapa tidak digunakan untuk membantu orang-orangmu di tempat lain?”. Kita tahu Killmonger jahat, namun kita ingin mendengar lebih banyak darinya. Kehadiran Killmongerlah yang menjadi pemicu perubahan pada cerita, yang menantang tokoh utama untuk menjadi orang yang lebih baik.

Aspek seperti ini yang menjadi pertanda sebuah cerita seteru yang baik. Hero dan penjahatnya sama-sama bercacat. Penjahat yang kuat dan ‘baik’ bukanlah  orang atau makhluk jahat yang berambisi menguasai dunia dengan meledakkan atau semacamnya. Penjahat yang ‘baik’adalah penjahat yang motivasinya memaksa protagonis untuk memikirkan kembali sikap, pilihan, dan kelemahan mereka. Penentangan penjahat membuat protagonis berkembang. Dan dalam film ini kita akan melihat betapa T’Challa dengan Killmonger punya dinamika yang membuat masing-masing saling ‘berhenti’ dan memikirkan kembali keyakinan mereka. Untuk pertama kalinya, kita tidak melihat superhero yang menjunjung patriotisme. Malahan, T’Challa (Chadwick Boseman memimpin jejeran cast yang uniformly doing a great job) tampak lebih seperti pemimpin negara yang galau antara melindungi atau melayani. Antara tradisi kerajaannya dan hal yang ia yakini harus dipilih.  Tampang T’Challa ketika dinasihati “Orang baik susah untuk menjadi raja” benar-benar menampilkan keraguan di hatinya; apakah dia sedang ditegur karena terlalu baik untuk menjadi seorang raja, atau apakah dia sedang dipuji layak menjadi raja karena berani bertindak ‘jahat’. Hampir semua perkembangan tokoh T’Challa berdasar kepada dirinya memikirkan ulang sudut pandang kerajaan, dan menyadari hal-hal yang salah yang sudah dilakukan oleh generasi sebelumnya, dan kemudian T’Challa akan memikirkan apa yang harus ia lakukan supaya keadaan menjadi lebih baik.

Film ini bukan menggambarkan betapa sempurnanya kerajaan Wakanda dan bagaimana orang sepintar T’Challa mengembangkan kerajaan ini. Black Panther adalah tentang menyadari apa yang sudah kita perbuat. Dan maukah kita melakukan koreksi terhadapnya.

 

In a way, film ini punya sedikit kemiripan dengan Maze Runner: The Death Cure (2018) dalam elemen cerita mengenai kentalnya naluri ketribalan pada manusia, bahwa kita lebih cenderung untuk memikirkan nasib golongan sendiri. Dalam skala yang lebih besar, film ini memang punya kepentingan yang luar biasa. Ditambah pula dengan kerelevanannya ditayangkan di masa-masa sekarang ini. Jika DC punya Wonder Woman (2017) yang pesan pemberdayaan perempuannya kuat sekali, maka Black Panther adalah ekuivalen yang dihadirkan oleh Marvel, hanya saja dalam film ini warna kulit yang diangkat menjadi tema. Makanya film ini banyak sekali mendapat pujian. Black Panther bukan sekadar film hero di mana para jagoan bertarung dan banyak ledakan, film ini punya pesan yang berhasil tidak preachy dalam menyampaikannya. Di balik kostum keren, aksi dahsyat, dan perlengkapan canggih, film ini bicara tentang komentar sosial lewat para karakter yang mencari ke dalam diri mereka sendiri.

Yang butuh baju lebaran, bisa mencarinya di katalog Black Panther sesi ‘Lawan dengan Iman’

 

Aku sudah nonton film ini dua kali, mainly karena pada saat nonton pertama, aku sempat ketiduran di bagian aksi kejar-kejar di sekitar pertengahan film. Tadinya kupikir saat menonton aku mungkin kecapean sehingga saat bagian seru aku justru merasa bosan hingga terlayang. Maka aku memutuskan untuk menonton lagi sebab tentu saja aku tidak punya hak untuk mengulas sebuah film jika tidak menontonnya dengan sebenar-benar menonton. Namun, setelah menonton ini dua kali, aku tetap merasa separuh awal film ini tidak digarap dengan semenarik paruh akhirnya, paruh ketika para karakter mulai berpikir ulang tentang tindak yang selama ini mereka percaya. T’Challa, misalnya, dia adalah karakter paling pinter seantero Marvel, sekaligus juga paling bijak. Tokoh ini enggak nyebelin karena sarkas kayak Tony Stark, dia enggak awkward dan konyol kayak Thor, dia enggak sedikit angkuh kayak Doctor Strange, dia bahkan enggak nampak begitu berkharismatis seperti Captain America, sehingga dengan seketerlalubaikannya itu memang T’Challa agak sedikit ngebosenin sebelum dia mendapat realisasi akan apa yang mestinya dia lakukan. Film actually membangun karakter T’Challa dengan seksama, hanya saja memang tidak terhindarkan akibat dari pilihan ini yakni di paruh awal Black Panther terasa seperti film superhero yang biasa-biasa saja. Menurutku akan bisa lebih baik kalo sedari awal kita dicemplungkan saja ke dalam konflik personal masing-masing karakter. Aku sudah tertarik dari sepuluh menit pertama, dan kemudian kita diperkenalkan kepada Killmonger dalam sebuah adegan yang keren di museum, tapi setelah itu aspek menarik film seolah bersembunyi di balik shield pelindung. Kita dapat sekuen-sekuen aksi yang kadang terlalu gelap, atau malah terlalu goyang. Kita dapat tembak-tembakan dan car chasing yang enggak terlalu signifikan menambah kepada bobot penting yang ingin disampaikan.

Pihak-pihak yang berdaya kuasa sejatinya akan merasa punya hutang kepada pihak-pihak yang membutuhkan pertolongan. Karena apalah artinya kekuatan jika tidak digunakan untuk menolong yang lemah? Bagi Wakanda, ini menjadi konflik yang merayapi suku-suku yang termasuk di dalamnya selama bertahun-tahun. Karena siapa lagi yang akan menolong negara-negara lain yang kesusahan jika bukan mereka? Akan tetapi jika mereka menolong, mereka mengekspos rahasia yang bakal membawa kehancuran yang lebih besar.

 

Salah satu yang paling menyenangkan dari penduduk Wakanda adalah gimana mereka masih mempertahankan tradisi dan kebudayaan lokal, walaupun mereka sudah menguasai teknologi alien. Lihatlah betapa semaraknya kostum-kostum dan tingkah laku adat mereka masih tertanam kuat. Mereka tidak sekonyong-konyong beralih pake jet kemana-mana, misalnya. Bandingkan dengan kita yang teknologinya baru hape ointer aja, tapi udah nempel terus sama hape kayak perangko. Di belakang layar, Black Panther menggunakan aspek kebudayaan ini untuk memberi warna kepada cerita. But also, mereka juga memanfaatkan CGI, yang kadang tampak masih sedikit kasar dan mestinya bisa diperhalus lagi. Ada beberapa adegan yang orang-orangnya kayak ditempel begitu saja di latar, ada juga shot beberapa makhluk yang tampak tidak benar-benar ada di sana. Black Panther seperti menggunakan beberapa formula penceritaan sekaligus, beberapa memang need more work, tapi ada juga shot-shot praktikal yang membuatku takjub seperti shot dengan kamera terbalik, dan kemudian berputar menjadi normal dengan perlahan, saat Killmonger mengucapkan dialog tentang bagaimana mereka mengambil alih dunia dengan memulainya dari atas. Konteks sama perlakuan kamera yang klop banget seperti inilah yang bikin pengalaman menonton semakin asyik.

 

 

 

 

Keunikan film ini sehubungan dengan statusnya sebagai cerita superhero terletak pada bahwa justru saat tidak menjadi cerita superherolah, dia mencapai kerja yang sangat baik. Keputusan untuk membuat film ini seperti layaknya laga superhero supaya menarik minat penonton malahan membuat filmnya menjadi tampak biasa saja, dan ini sedikit mengecewakan. Karena film ini sejatinya bukanlah soal aksi heboh ataupun pertarungan epik, melainkan mengenai hal-hal yang membentuk para karakternya, hal-hal yang mempengaruhi hidup mereka. Karakternya lah yang kita bicarakan ketika kita bicara tentang film ini.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for BLACK PANTHER.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got the PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017