PARTIKELIR Review

“..to be independent when you haven’t got a thing… ”

 

 

Jika di bioskop luar sana trennya adalah komedian bikin film horor mainstream yang berisi, maka komedian di mari juga lagi demen-demennya ngegarap film, tapi ya enggak berani jauh-jauh dulu, mulailah dari apa yang kita bisa, dan aku juga actually gak masalah sama komedian seperti Raditya Dika, Ernest Prakasa, Soleh Solihun, dan sekarang menyusul Pandji Pragiwaksono bikin film komedi – itung-itung nambah keragaman sudut pandang film Indonesia juga, ya gak.

Dalam Partikelir, Pandji mengangkat genre yang jarang kita santap di meja makan perfilman tanah air. Komedi aksi berwarna buddy cop, dengan tokoh utama seorang yang terobsesi untuk menjadi detektif, meski dia enggak benar-benar punya pengalaman menangani dunia kriminal. Adri (ambisi Pandji tercermin jelas dari cerita dan tokoh ini) biasanya memang menangani kasus-kasus seputar perceraian, perselingkuhan, ya masalah sepele rumah tangga orang lah. Padahal Adri ini sudah siap lahir batin loh, menangani kasus yang beneran gede. Ketika Tiara (Aurelie Moeremans tidak diberikan banyak untuk unjuk kebolehan) datang memintanya menyelidiki misteri yang berhubungan dengan ayahnya, big break yang dinanti Adri pun akhirnya tiba. Kasus Tiara ternyata berkembang menjadi masalah yang serius, yang membawa Adri berundercover menyelidiki Lembaga Narkotika Nusantara. Meski memang sebenarnya Adri enggak bego-bego amat, namun tetap saja kasus itu terlalu gede untuk tangannya. Maka, Adri pun meminta bantuan dari teman partikelir seperjuangannya saat SMA dulu. Tapi enggak semudah itu, karena Jaka (tantangan akting terbesar ada di pundak Deva Mahenra) yang sekarang sudah berumahtangga, sudah menanggalkan mimpi-mimpi petualangan mereka, menggantinya dengan problematika kehidupan yang sungguh serius. Adri dan Jaka sudah begitu berbeda, Jaka bekerja di perusahaan pengacara, sedangkan  Adri nyebut diri Detektif Swasta aja dia ogah, musti partikelir – karena dia bukan milik siapa-siapa.

petualangan tercyduk dan mencyduk

 

Terutama sekali, film ini adalah cerita detektif. Akan ada banyak clue yang ditanam sedari bagian-bagian awal sehubungan dengan tokoh-tokohnya.Sesungguhnya ini adalah cara yang berani dalam membuild up tokoh.Film tidak memberikan informasi lebih selain apa yang kita lihat, yang mana adalah apa yang Adri lihat. Beberapa dari mereka tampak tidak penting, tampak seperti film lupa membahas, ataupun malah tidak membahas karakterisasi sama sekali. Untuk kemudian, film membeberkan detil-detil kecil yang dikembangkan menjadi depth pada penokohan. Dan, elemen dari tokoh-tokoh tersebut melingkar menutup cerita di akhir. Twist film ini bekerja dengan cukup baik, like, aku tidak mengira film bermain di ranah yang lebih dalam dari kelihatannya, but it eventually does.

Karena film menggunakan komedi sebagai red herring, sebagai pengalih perhatian. Dan komedi di sini banyak sekali, and it’s a dumb-type of comedy too. Jadi, bayangkan saja, kita duduk di sana nyengir-nyengir awkward ngelihat lelucon tentang pentil yang diulang-ulang. Maksudku, film ini benar-benar meminta kita untuk menahan diri enggak ngeloyor keluar bioskop. Ada begitu banyak lelucon yang gajelas poinnya ke mana, yang mencegah kita untuk peduli sama mereka, untuk peduli sama kasus yang ditangani berhasil atau enggak. Dalam film ini, Adri punya tampang yang enggak meyakinkan, dia bahkan diledek oleh satpam perihal penampilannya, namun toh dia bisa melakukan kerja-kerja penyelidikan, meski memang enggak segagah detektif beneran. Begitulah cerminan film ini; komedi konyol yang penuh lucu-lucuan aneh yang enggak semuanya bekerja baik, tapi dia masih mampu untuk punya hati – meskipun bagi film ini menampakkan hati itu adalah perjuangan yang amat sangat berat.

Kita enggak bisa menebak siapa yang memakai narkoba. Film memberikan asumsi pelawak dan entertainer adalah yang pertama bisa kita curigai, lantaran mereka adalah golongan yang paling sering stress. Dan itupun sebenarnya kembali menegaskan bahwa apa yang tertawa di luar bisa saja sebenarnya tertekan di dalam. Kita tidak akan pernah bisa menilai seseorang dengan fair hanya dari luarnya. Tapi kita bisa melihat pertanda yang timbul di permukaan, karena semua hal berkaitan dengan karakter seseorang, apa yang ia alami-yang ia rasakan, dan semua itu ada tandanya, jika kita benar-benar mau memperhatikan.

 

Film ini juga punya adat jelek untuk menjelaskan lelucon yang mereka sampaikan, yang mana adalah tanda-tanda kegagalan komedi. Sebab dalam dunia komedi salah satu peraturan teratasnya yaitu komedi yang baik adalah komedi yang tidak perlu untuk dijelaskan. It’s either that; komedi film ini memang sedikit kurang baik, atau karena mereka enggak percaya penonton dapat mengerti punchline ataupun inti lelucon yang mereka sampaikan. Yang mana mengantarkan kita kepada pertanda lain bahwa film ini menganggap dirinya terlalu pinter untuk penonton. Aku pikir alasannya lebih kepada yang nomer dua, sih. Karena memang film ini terasa kurang bersenang-senang. Mereka terlalu serius dalam bercanda. Nah lo, gimana coba

Adegan tebak-tebakannya terlihat aneh, gak kayak Goku pas lagi berusaha membuat King Kai tertawa dengan tebakan

 

Pada saat menggarap bagian aksilah, film ini jatuh dalam lembah ketakkompetenan. Kelihatan sekali film enggak tahu cara menangani adegan aksi;  bukan hanya pukul-pukulan, tapi juga tembak-tembakan. Aku bukan bicara tentang aksi yang benar-benar kayak The Raid dengan koreografi dan pergerakan kamera yang gimana, karena toh Partikelir adalah film komedi. Tapi ayo dong, The Nice Guys (2016) juga komedi aksi, dan mereka masih merasa perlu untuk menangani adegan aksi yang gak dimainkan demi komedi semata. Jurus andelan film dalam membuat adegan aksi yang lucu adalah menggunakan musik latar yang gak nyambung sama adegan. Lagi berantem, malah lagu cinta. Lagi kejar-kejaran, malah lagu ketahuan balik ama mantan. Kita mengerti kepentingannya adalah supaya lucu, tapi taktik ini tidak bekerja. Karena editingnya tidak mampu mengakomodasi kepentingan lucu ini dengan efektif. Film tidak melakukan apa-apa demi membentrokkan mereka. Malah terasa seperti kita nonton film sambil dengerin lagu, rasanya tidak paralel; enggak ngefek sama bikin lucu atau apa. Tapi aku akui, meletakkan salah satu adegan demikian di sepuluh menit pertama ternyata mampu melandaskan tone cerita keseluruhan dengan baik, karena membawa kita ke pemahaman elemen-elemen film ini ntar memang gak nyambung. Komedi dalam film ini hanya rangkaian adegan-adegan konyol untuk memancing kelucuan, yang dicampur aduk gitu aja, tanpa benar-benar ada ikatan emosi di baliknya.

Begitupun dengan penggunaan referensi film-film atau pop-culture lain. Cerita akan memention Lupus, The Raid, film Mau Jadi Apa?, Black Panther, dan beberapa referensi yang lain, yang hanya diniatkan supaya kita melek “wah itu!” dan get excited untuk sementara, tanpa benar-benar ada efek jangka panjang ataupun bobot emosi ataupun keparalelan dengan perjalanan dari tokohnya. Ini adalah cara gampangan untuk membuat seolah film membuat kita feel good. Tapi actually enggak ada apa-apa di baliknya.

Sebenarnya memang sandungan film ini berakar kepada penguasaan teknis. Partikelir sebagai sebuah media penceritaan terasa sangat basic, kalo gak mau dibilang kurang profesional. Penulisannya agak berbelit, tokoh utama kita kurang jelas mau dan butuhnya apa, dan tau-tau dia terlibat hubungan asmara. Film terasa berjuang untuk mendeliver cerita komedi, detektif, drama hubungan pertemanan, dengan mulus. Kualitas suara juga sedikit goyah. Ada adegan ketika Adri nguping dengan alat buatannya, kita hanya samar- samar mendengar apa yang sedang berusaha ia dengar, we barely even heard kata ‘rantau’, padahal semestinya apa yang dicuri dengar itu adalah informasi yang penting. Dan ini membuat kita seperti tidak dilibatkan dalam cerita; untuk sesaat, Adri mengetahui apa yang tidak kita tahu, yang berujung kepada kita susah peduli sama apa yang sedang berusaha ia selesaikan.

 

 

 

Susah untuk mengenali apa yang hendak dicapai oleh Pandji dalam filmnya ini. Apakah ia ingin menyinggung kasus narkoba, apakah ia ingin menggali drama persahabatan, aku bahkan enggak yakin film ini ingin bersenang-senang lewat komedi. Tidak ada dari semua itu yang terasa mendominasi. Film ini hanya terasa seperti berbagai elemen yang digabung dan disatukan buat lucu-lucuan. Kepedulian kita datang ketika film sudah memasuki babak akhir. Segar apa yang dibawa oleh film ini bagi genre perfilman Indonesia, hanya saja pencapaiannya begitu minimal sehingga untuk menjadi memorable saja susah.
The Palace of Wisdom gives 4 gold stars out of 10 for PARTIKELIR.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

A QUIET PLACE Review

“Sometimes being quiet is the best weapon you have.”

 

 

Komedian mulai mewabahi dunia penyutradaraan horor mainstream, tahun kemaren ada Jordan Peele yang sakses dengan Get Out (2017) – sekarang giliran John Krasinski, dan aku lebih daripada siap untuk terjangkiti demam horor buatan mereka-mereka!

Dalam A Quiet Place buatan Krasinski, yang jadi wabah dunia bukan penyakit, atau zombie, atau pembunuh psikopat, melainkan teror monster buta dengan pendengaran luar biasa tajam. Daerah tempat tinggal keluarga tokoh utama cerita, nyaris kosong akibat ulah monster-monster ini. Kita tidak tahu kenapa mereka ada di sana, makhluk apa itu sebenarnya, yang kita tahun hanyalah betapa suara sekecil apapun akan menarik perhatian mereka, dan memang itulah yang perlu kita tahu dari para monster. A Quiet Place adalah thriller yang bikin kita ikutan terdiam dengan tegang sedari awal. Kita ikutan merasa terjebak dan berusaha untuk tidak membuat suara. Karena tidak seperti thriller sejenis, di mana tokoh cerita tidak boleh melakukan sesuatu yang bisa memprovokasi monster, film A Quiet Place sejak sepuluh menit pertama sudah menetapkan bahwa stake yang harus keluarga itu hadapi, konsekuensi yang ada jika mereka melanggar – membuat suara gak-alami, adalah kematian yang nyaris secara spontan. Tidak akan ada perlawanan; begitu kau menarik perhatian monster, kau sama saja dengan sudah mati.

tidak seperti Vampire Cina yang bisa dikibulin kalo kita kelepasan napas, monster di film ini tidak akan kenal ampun

 

Krasinski, meski jam terbang sutradaranya belum banyak, sudah punya pemahaman layaknya director horor kawakan. Dia memaksimalkan suspens dengan memilih fokus penceritaan. Ketika dia mengungkapkan hal kepada penonton akan terasa berbeda dengan saat dia mengungapkan sesuatu kepada tokoh cerita. Ia dengan sukses menciptakan ketegangan berlapis, kita peduli terhadap keluarga tersebut sekaligus kita dapat merasakan tegangnya dikuntit oleh makhluk ganas. Film dibuat benar-benar sunyi. Para tokoh menggunakan bahasa isyarat dan banyak bercerita lewat ekspresi wajah sehingga kita bisa mengerti apa yang terjadi. Tentu, akan ada subtitle yang menjelaskan apa yang mereka bicarakan lewat bahasa isyarat, namun film masih tetap terasa subtil dan enggak terkesan seperti film yang mengajak kita membaca alih-alih bercerita sendiri.

Ini merupakan tantangan tersendiri, dialog yang minimalis seperti pada film ini akan menggebah pembuat film untuk mencari cara kreatif dalam bercerita. Mereka harus tahu bagaimana cara berkomunikasi dengan penonton tanpa banyak membual kata. Krasinski dan para aktornya unggul di aspek ini. Kelihatan banget bedanya jika sutradara dan para pemain paham dan punya pandangan yang sejalan seperti pada film ini. Krasinski juga turut bermain sebagai Ayah, sehingga dia benar-benar paham apa yang tokoh dan dia sendiri perlu lakukan untuk menambah ketegangan dan kekuatan film. Di sini dia bermain dengan istrinya beneran, Emily Blunt, sehingga tentu saja chesmistry antara dua tokoh ini sangat kental terasa. Sebagai Ibu yang kehilangan anak, dan siap untuk meredeem dirinya dengan menyambut kelahiran anak berikutnya, Emily Blunt juga bermain dengan menakjubkan. In fact, across the board, seluruh pemain memberikan sumbangan besar penampilan kepada film ini. Bahkan aktor anak-anak. Noah Jupe yang sebagai anak yang charming di Wonder (2017) deliver ekspresi yang tampak genuine di film ini. Terutama Millicent Simmonds yang bermain sebagai anak sulung yang tuli, dalam kenyataannya Millicent juga penyandang tuna yang sama, sehingga penampilannya di film ini tampak sangat otentik lantaran dia mengerti apa yang harus diberikan kepada tokoh yang ia perankan. Berkat penampilan dan penulisan cerita, meskipun kadang kita enggak mengerti banget masalah emosional yang mereka hadapi sebagai keluarga, kita akan tetap dibuat melekat kepada keluarga ini demi melihat apa yang mereka lakukan selanjutnya, bagaimana mereka berjuang untuk tetap ‘membisu’ dan melanjutkan hidup di tengah teror tak terucap monster-monster yang siap membunuh itu.

Yang namanya film horor, apalagi yang berelemen monster pembunuhnya, tentu saja akan ada jumpscare. Tentu saja akan ada tokoh yang mengambil pilihan yang bikin kita meneriakkan kata “Begok kau!” at the top of our lungs, toh memang dari situlah faktor fun menonton film horor macam begini. Meskipun memang ada rakun yang bikin kita terlonjak, jumpscare dalam film ini kebanyakan enggak terasa murahan. Beberapa keputusan karakter memang idiot, kayak misalnya si Ayah yang mencampakkan kapak setelah memanggil monster, tapi keputusan-keputusan yang dibuat bergerak dalam konteks cerita; dalam kasus si Ayah barusan, adegannya ingin memperkuat elemen kematian instan saat monster mendengar suaramu.

untuk pembelaan, menurutku anak ini ngidupin pesawatnya bukan karena ingin dengar bunyi, tapi karena dia dengan polosnya berpikir pesawat mainan itu bisa terbang beneran

 

Actually banyak elemen yang bisa kita nitpick, banyak elemen cerita yang membuat kita mempertanyakan kelogisan. Bagaimana bisa mereka punya listrik setelah begitu lama daerahnya ‘mati’, bagaimana bisa mereka mikirin untuk punya bayi, bagaimana bisa tokoh si Noah Jupe begitu takjub bisa ngobrol di deket sungai karena arus dan air terjun meredam suara mereka – apakah selama ini mereka gak pernah ngobrol begitu hujan turun? Tidak pernahkah hujan di sana? Dan lagi, kalo ayahnya tahu soal suara sungai, kenapa gak pindah aja ke dekat sana – kenapa orang-orang di sekitar situ enggak ada yang punya rumah di sekitar sungai, enggak kayak orang kampung di sini yang rumahnya ngikutin kali? Kita mungkin bakal punya teori sendiri bagaimana cara mengalahkan monster dan kenapa cara tersebut enggak terpikirkan sama para tokoh film ini. Kita bisa saja terus-terusan menganalisa kekurangan dunia film ini, namun kita juga akan semakin jauh dari point sesungguhnya yang ingin dibicarakan oleh film.

Karena sebenarnya ini bukan soal monster. Adegan dengan para monster jarang sekali beneran tentang monsternya, adegan-adegan tersebut adalah soal para tokoh. Psst, diam-diam aja ya, A Quiet Place bukanlah semata film monster, ia adalah film tentang manusia dengan monster yang berkeliaran di lapisan terluarnya.

Diam itu emas. Survive dengan tidak membuat suara, surprisingly adalah hal yang susah. Apalagi untuk keadaan sekarang, semua orang berpikir mereka perlu untuk mengeluarkan suara, mengemukakan pendapat, meski sebenarnya mereka cuma nyinyir – tidak memberi solusi. Mungkin saja aku di sini juga begitu, that I might doing that right now, but you get the point. Penting untuk kita berani mengeluarkan suara, tidak menahan-nahan apa yang kita pikirkan, berpendapat dengan jujur. Tapi tidak kalah pentingnya untuk tahu kapan harus bersuara, bagaimana menyuarakan yang tersirat di hati dan kepala supaya tidak menimbulkan keributan yang enggak perlu.

 

Ada alasannya kenapa film langsung melempar kita ke hari ke 89 dari musibah monster tersebut. Cerita akan menjadi sangat berbeda jika kita melihatnya dari pertama, kita mungkin akan melihat hysteria penduduk – menjadikan film ini purely teror serangan monster. Tapi enggak, film ingin memperlihatkan kita karakter. Keluarga Emily Blunt sudah punya sistem sendiri untuk bertahan hidup, mereka sudah mempelajari sesuatu tentang monster, dan mereka saling menjaga satu sama lain. Inilah yang membuat kita mengapresiasi film ini, tokoh-tokohnya –untuk sebagian besar waktu- tampak pintar. Kita dibuat hanya mengetahui yang diketahui oleh keluarga tersebut. Mereka melihat api unggun menyala di kejauhan, di atas bukit-bukit sekitar. Kita mengerti manusia belum punah, bahwa bukan hanya keluarga mereka yang sedang berjuang hidup. Dan ini menciptakan misteri dan ketertarikan. Cara mereka bertahan hidup, berkomunikasi sebagai keluarga, menjadi inti utama cerita. Buatku sangat menakjubkan sekelompok orang bisa membuat sistem yang bekerja efektif tanpa membuat keributan yang berlebihan; dalam film ini mereka literally bercakap tanpa suara.

 

 

 

Cukup pintar untuk tidak menjadi sesuatu yang lain dari yang diniatkan, thriller ini sangat terarah, dengan penuh ketegangan dan penampilan sungguh-sungguh dari pemain dan pembuatnya. Beberapa aspek memang memancing kita untuk mempertanyakan hal-hal yang membingungkan dan film tidak repot untuk menjawabnya. Karena kita bisa menitpick kekurangan yang dipunya, tapi film ini tidak peduli. Mereka punya sesuatu untuk dikatakan di balik apa yang tampak seperti thriller survival yang sederhana, they did say it, dan terserah kepada kita untuk terus larut dalam noise di sekitarnya atau enggak. Di luar semua itu, yang bikin aku ngeri saat nonton ini adalah menyadari betapa keberhasilan film ini bergantung kepada reaksi penonton saat menyaksikannya. Segala horor dan atmosfer itu tentu akan runtuh jika ada penonton yang sok melawak; mengeluarkan suara-suara lucu saat ada tokoh yang menyuruh diam. Tapi aku senang saat nonton tadi enggak ada orang yang begitu, bahwasanya penonton sini sudah belajar untuk menonton dengan benar dan menghormati bioskop layaknya sebagai tempat yang sunyi.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for A QUIET PLACE.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

#TEMANTAPIMENIKAH Review

“Happiness is being married to your best friend.”

 

 

“Kalo lo sampe suka sama gue, gue musuhin lo seumur hidup.” Seketika ucapan Ayu tersebut menjadi stake buat Ditto dalam film #TemanTapiMenikah. Ditto sudah suka sama Ayu semenjak masih menontonnya di televisi, dan sekarang, setelah mereka bersahabat – Ditto beruntung banget bisa satu sekolah, satu meja ama Ayu – Ditto ingin keluar dari friendzone dan actually mengungkapkan perasaannya. Tapi tentu saja enggak segampang itu. He has to bide his time. Ditto bisa saja terus jadi sahabat Ayu, tapi membiarkan cinta tidak terucap jelas adalah jalan tercepat menuju hati yang berat. Akan tetapi, bagaimana jika Ditto menyatakan cinta, hubungan mereka malah jadi awkward? Bisa-bisa mereka jadi gak temenan lagi

Akan susah sekali untuk kita hanya bersahabat dengan orang yang kita cintai, karena hati pasti akan menuntut.Di lain pihak, tidak ada yang lebih membahagiakan di dunia daripada menikahi sahabat terbaik yang sudah mengerti dan memahami kita sebagaimana kita mengerti mereka.

 

Film berdasarkan kejadian nyata ini tricky untuk dibuat karena kita sudah tahu endingnya bakal gimana. Ayudia Bing Slamet dan Ditto adalah figur yang sudah cukup dikenal, mereka berkecimpung di dunia pertelevisian, jadi sebagian besar penonton film ini pasti sudah tahu bahwa mereka menikah dan sudah punya anak. Bahkan buat yang belum pernah mendengar kedua nama itupun, judul film ini sudah memberikan informasi mengenai bagaimana akhir kisah mereka. Jadi, stake yang ada pun sebenarnya non-existent. Makanya, film ini menjadikan penampilan akting serta chemistry kedua tokoh sentralnya sebagai senjata untuk membuat kita betah duduk menonton.

it is not a spoiler, it is a result!

 

#TemanTapiMenikah paham untuk memainkan kekuatan dari para aktornya. Adipati Dolken selalu terbaik dalam meng-tackle peran yang less-serious. Dan Vanesha Prescilla enggak bisa nangis. Cerita memang sedikit menampilkan porsi yang emosional. Sebagian besar waktu kita akan melihat gimana Ditto dan Ayu mengarungi kehidupan remaja mereka yang tentu saja diwarnai dengan putus nyambung berpacaran. Not with each other. Dan build up menjelang kebersamaan inilah yang dimainkan alur cerita dengan baik. Ditto awalnya mencoba untuk menjadi pasif-agresif; Ayu pacaran sama kakak kelas, maka Ditto juga menjadikan playboy sebagai merek dagangnya di sekolah, untuk membuat Ayu cemburu. Semua yang dilakukan Ditto memang demi Ayu, dia nekuni alat musik perkusi, dia nabung buat beli mobil, sampai akhirnya dia juga jadi nongol di televisi, semua berlandaskan cintanya kepada Ayu. Tapi Ayu tidak pernah tahu. Dan mereka berdua ini deket banget, kesukaannya sama, gaya bercandanya sama, jahilnya sama. Inilah yang bikin kita geregetan sendiri melihat hubungan mereka. Mereka tampak seperti orang-orang yang kita kenal, yang kita tahu sebenarnya saling cinta tapi toh mereka enggak gerak-gerak.

Sementara lewat perannya sebagai Ditto Dolken membuktikan kenapa dia masih salah satu pilihan yang tepat jika menginginkan penampilan tokoh muda yang mengundang simpati, Vanesha juga menunjukkan masa depan yang cerah. Masih banyak yang bisa kita tunggu dari penampilan aktris muda ini, karena sejauh ini dia belum dapat peran yang benar-benar menantang range emosinya. Ayu luwes, cuek, dan punya karakter yang kuat, hanya saja tidak banyak berbeda dari remaja kebanyakan. Pekerjaannya sebagai aktor dan model juga tidak berbeda jauh dengan keseharian Vanesha; dia bermain lebih baik di film ini, tetapi tidak banyak tantangan pada perannya. Soal chemistry, Vanesha dan Dolken menguar percik-percikan yang meyakinkan. Untuk penggemar Gadis Sampul sepertiku, dalam film ini akan ada momen yang bikin menggelinjang karena di sini actually ada 2 alumnae Gadsam yang bermain. Aku gak yakin, tapi seingatku, terakhir kali aku melihat Diandra Agatha dan Vanesha Prescilla bersama adalah saat malam final angkatannya Vanesha, di mana Andra berseliweran di antara Vanesha dan teman-teman yang deg-degan sambil membawa mahkota Gadsam saat pengumuman pemenang.

Ketika banyak orang yang membandingkan film ini sama Dilan 1990 (2018) karena pemeran dan ph pembuatnya sama, aku malah teringat sama Star Wars: Episode II – Attack of the Clones (2002) saat menyaksikan Ditto dan Ayu. I mean, aku jadi kepikiran Anakin yang sebagai Jedi, dia gak boleh jatuh cinta. Akan tetapi, cerita malah membuat dia harus berada di samping Padme (yang kostumnya semakin akhir film semakin kebuka); Anakin harus menemani Padme ke tempat-tempat indah, sehingga perjalanan mereka basically adalah perjalanan paling romantis yang bisa dilalui oleh dua orang yang gak seharusnya jatuh cinta. Ditto dan Ayu juga begitu, stake yang ada pada film adalah mereka gak boleh jadian, akan tetapi mereka terus-terusan bersama. Cinta yang terlarang itu memang seru, seksi. Kalo #TemanTapiMenikah adalah film yang lebih serius dan punya lapisan yang lebih dalam, maka film mestinya juga akan membahas perihal cinta yang mereka rasakan. Bukan hanya sekadar turun-naik relationship dan gimana mereka bertindak seputar perasaan tersebut.

aku hampir nyanyi Cups di adegan opening

 

Reperkusinya tentu saja adalah seratus-an menit film ini jadi terasa sekali. Film bermain-main terlalu banyak menuju akhir walaupun mereka tahu kita sudah tahu apa yang bakal terjadi. Terutama pada babak ketiga, di mana Ditto dan Ayu pisah kota dan mereka punya pacar masing-masing. Aku mengerti ini adalah bagian yang lumayan penting bagi narasi. Ini adalah bagian ketika tokoh dilepaskan dari apa yang selama ini ia punya, untuk melihat apakah dia bisa hidup tanpanya, karena buat mengetes apakah kita pantas mendapat sesuatu, maka kita harus dilepaskan dulu darinya – to see apakah kita pantas mendapat apa yang kita inginkan. Ditto dan Ayu dipisahkan supaya mereka bisa melihat dan mengenali cinta. Cerita juga butuh untuk ngebuild up ‘hambatan’, menambah bobot drama, sehingga Ayu tidak langsung menerima Ditto. Tapi tetap saja bagian ini terasa unnecessarily long, karena kita sudah tahu apa ujungnya.

Jadi, menurutku film ini memang semestinya bisa bekerja lebih baik jika eventually menambah pembahasan. Menjadi sedikit lebih serius, meskipun itu merupakan tantangan bagi pemerannya. Selain Ayu, tentu saja Ditto juga harus belajar mengenali cinta. Di titik ini, sebaiknya film mengeksplorasi karakter Ditto lebih dalam seputar dia meragukan perasaannya terhadap Ayu. Menurutku akan menambah lapisan jika Ditto mengalami pergolakan apakah yang ia rasakan benar-benar cinta atau dia hanya cinta terhadap gagasan mereka sahabatan sehingga gak boleh pacaran.  Atau apakah ia hanya menganggumi Ayu karena Ayu artis televisi. Karena siapa sih yang gak punya crush sama  bintang film atau televisi. In that way, film masih menyisakan pertanyaan; sekalipun mereka bersama, apakah benar-benar cinta yang ada di antara mereka berdua. Tentu, semua itu pada akhirnya enggak jadi soal, karena Ditto dan Ayu telah berubah menjadi lebih baik berkat keinginan untuk bersama, namun sebagai sebuah tontonan menurutku semakin berdaging, akan lebih baik.

 

 

 

Meskipun tidak menyuguhkan permasalahan yang baru, ataupun ada permasalahan at all, film ini berhasil menjelma menjadi tontonan yang asik untuk dinikmati karena kedekatan cerita. Aku sendiri juga punya temen sekolah yang enggak disangka-sangka ternyata mereka berdua menikah., padahal satu geng main, dan gak keliatan punya niat pacaran. Tentu saja film ini didukung oleh permainan kamera dan akting dan penulisan yang enggak dibuat-buat. Menurutku menarik betapa televisi punya peran yang cukup besar dalam penyatuan dua insan tokoh cerita kita. Film ini memberikan harapan kepada setiap cinta yang tumbuh malu-malu di luar sana. Kalian yang menyintai sahabat sendiri, jangan khawatirkan pertemanan. Karena kita enggak berteman dengan cinta. Kita menikahinya.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for #TEMANTAPIMENIKAH.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

READY PLAYER ONE Review

“Reality is broken, game designers can fix it.”

 

 

Kita berkomunikasi dengan studio film, dengan Hollywood, melalui dompet kita. Mereka mendengarkan kita dari apa yang terjadi kepada Wreck-it-Ralph, Deadpool, It, Stranger Things. Dan Scott Pilgrim, yea, film ini meminjam cukup banyak dari penyelesaian dan aspek pada Scott Pilgrim. Tayangan yang populer selalu adalah tayangan yang berakar kuat pada rerefensi dan nostalgia. Tidak ada yang bisa mengalahkan sensasi kesenangan melihat hal-hal yang kita sukai dihidupkan kembali. Dan tanpa pake loading keraguan lagi, Ready Player One adalah salah satu film paling nerd yang pernah dibuat. Dalam hatiku teriak-teriak senang sepanjang film ini demi ngeliat referensi demi referensi berseliweran. Video game, anime, kartun, film, segala pop-culture terutama dari tahun 1980an senantiasa menghiasi layar setiap framenya, sehingga aku jadi capek sendiri.

Mengambil tempat di kota Columbus di masa depan, Ready Player One melandaskan dunia yang sudah demikian canggih teknologi gamenya sehingga orang-orang, bukan hanya remaja kayak Wade Watts, lebih suka untuk log in dan menjalani kehidupan mereka di dalam Oasis, sebuah semesta virtual reality di mana kita bisa menjadi siapapun, berkekuatan apapun yang kita mau. Oasis diciptakan oleh seorang gamer yang sangat jenius, namun begitu eksentrik sehingga menjadi misterius (bayangkan perpaduan antara Steve Jobs dengan Willy Wonka). Sebelum meninggal dunia, si pembuat ini merancang permainan terakhir di dunia Oasis, di mana dia menyembunyikan tiga kunci entah di mana di dalam jaringan game-game tersebut. Tiga kunci yang jika ditemukan akan menghantarkan pemain mendapatkan telur emas, berupa kontrak yang akan membuat si pemenang sebagai satu-satunya orang yang mendapat kontrol penuh atas Oasis. Tak terhitung jumlahnya gamer yang mencoba memenangkan tantangan ini. Wade, sejumlah temannya, wanita misterius beruser name Art3mys, dan petinggi perusahaan virtual reality yang culas adalah beberapa dari yang menginginkan Oasis untuk kepentingan mereka.

gg, noob, gg.

 

Tentu saja Ready Player One akan sangat luar biasa dari segi visual. Sekuen aksi-aksinya dazzling gilak! Sepertinya tidak ada yang bisa mengalahkan Steven Spielberg dalam memfilmkan suatu adegan sehingga perspektifnya terasa begitu menganggumkan. Bagian balap-balap di sekitar awal film itu adalah bukti yang bisa kita lihat dengan mata kepala langsung. Apa yang mau ia tampilkan kelihatan semua tanpa membuat kita keluar dari konteks sudut pandang tokoh utama, scene blocking yang luar biasa. Dan betapa cepatnya semua itu terjadi, beberapa shot tampak mulus melebus menjadi satu. Belum lagi penggunaan musik dan efek suara yang bertindak lebih dari sekadar latar belakang. Segala teknik filmmaking master itu bisa kita saksikan sepanjang film ini bergulir. Spielberg juga paham dia tidak harus terlalu mengikuti buku ketika mengadaptasi jadi film, lihat saja Jurassic Park nya. Spielberg tahu dia harus melakukan penyesuaian, dan itu pula yang ia lakukan pada film ini. Pembaca bukunya akan menemukan beberapa adegan tambahan yang tidak ada pada source asli dan itu hanya membuat pengalaman menonton menjadi semakin mengasyikkan. Memang, film ini tetap terlalu panjang, babak tiga terasa sedikit diulur-ulur, tapi menurutku masalahnya terletak kepada penokohan yang memang tidak semenakjubkan teknis dan pengalaman sinematis yang disuguhkan filmnya.

Reperkusi dari banjir referensi pop-culture yang kita temukan sepanjang film adalah, filmnya sendiri akan terasa bergantung oleh hal tersebut. Kita akan gampang terbiaskan demi melihat Batman, Ryu, The Shining, motor Akira, Iron Giant, dan banyak lagi, bergantian muncul di layar. Aku gak akan bohong aku terkekeh-kekeh menyaksikan mereka semua. Namun aku juga gak akan bohong, referensi-referensi itu pada akhirnya terasa hambar. Mereka sekilas lewat saja. Sementara yang sebenarnya kita butuhkan adalah koneksi emosional yang bertahan lama, yang membuat kita memikirkan para tokoh cerita.

Secara singkat, beberapa adegan menunjukkan kepada kita kehidupan rumah Wade (Tye Sheridan cocok sekali sebagai nerd yang penyendiri). Dia tinggal bareng bibi dan pacar bibinya yang abusif. Dari momen-momen ringkas itu kita tahu bahwa Wade tidak bahagia hidup bersama mereka, rumahtangga mereka penuh kekerasan dan ancaman, sehingga tentu saja kehidupan di dalam dunia video game menjadi alternative menyenangkan buat Wade. Dia lebih betah sebagai Parzival di Oasis. Nah, karakternya di dalam sinilah yang hampir sama aja dengan gak ada. Parzival enggak mau bikin klan, tapi toh dia punya beberapa orang teman yang rela membantunya menyelesaikan misi di game. Parzival pun bertemu Art3mys (Olivia Cooke main keren banget di sini), dan seketika ia jatuh cinta. Terasa sangat diburu-buru, namun aku bisa mengerti kenapa harus dibuat seperti itu. Wade sangat butuh kasih sayang. Dia dengan cepat ‘jatuh cinta’ kepada gadis pertama yang memberikan perhatian lebih kepadanya, meski mereka belum pernah bertemu, karena sebenarnya itu adalah jeritan minta tolong dari Wade atas betapa mengerikan hidupnya yang asli.

Wade, dan orang-orang yang tinggal di Oasis menggunakan sosok avatar untuk reach out dan mendapatkan teman, sebagai simbol dari kepercayaan diri. Sesuatu yang tidak mereka dapatkan di dunia nyata. Film ini mengeksplorasi kenyataan yang lebih dekat dari yang kita duga; di mana sekarang pun, sosial media dan internet memberikan kesempatan penggunanya – yang kebanyakan adalah anak muda yang masih begitu insecure – untuk mengekspresikan emosi terdalam mereka dalam penyamaran identitas avatar. Tentu saja ini bisa berarti bagus, karena kepercayaan diri yang mereka develop di dunia virtual itu bisa saja terbawa ke diri mereka di dunia nyata. Namun, seseorang harus menyadari bahwa untuk melakukan hal tersebut sesekali dia harus terjun ke dunia nyata, log out dari sosial media, untuk berinteraksi dan sosialisasi beneran. Karena sungguh sebuah hal yang menyedihkan jika kita hanya hidup dan penting di dunia maya.

aku kasihan sih sama adekku, kalo main game bareng, mana pernah dia jadi player one hhihi

 

Dunia yang begini besar tentu akan membutuhkan penjelasan. Dialog-dialog eksposisi memang tidak terhindarkan dalam film ini, karena akan selalu ada peraturan yang harus dijelaskan, ada sistem yang kudu dilandaskan. Namun kupikir semestinya film bisa menggarapnya dengan lebih baik lagi. Lima belas menit awal yang kita dapatkan di sini sungguh berat oleh narasi yang memaparkan alih-alih memperlihatkan. Wade akan menjelaskan Oasis kepada kita, padahal toh dia melakukan itu sambil berjalan di sepanjang daerah tempat tinggalnya. Di mana kita melihat orang-orang sedang log in ke dalam virtual reality tersebut. Kita melihat bocah kecil jadi petinju, seorang ibu rumah tangga jadi penari, pesan yang ingin disampaikan cukup jelas – bahwa dalam Oasis semua orang bisa menjadi apapun yang mereka mau, tetapi tetap saja kita mendengar penjelasan itu dari mulut Wade. Seringkali, dialog-dialog penjelasan seperti ini dihadirkan seolah film menganggap penontonnya bego dan tidak mengerti jika tidak dijelaskan benar-benar.

 

 

 

Video game sejatinya dibuat untuk dimainkan bersama-sama. Menjadikannya sebuah pelarian, sebagai media untuk menyendiri, supaya menang sendiri, jelas sebenarnya adalah sebuah penyalahgunaan. Film ini pada puncaknya berusaha menyampaikan pesan bahwa bergerak bersama, sebagai sebuah tim, sebagai sebuah kesatuan dari lingkaran sosial, adalah kemampuan yang semestinya kita pelajari. Sebuah skill yang mestinya diasah. Sebuah klasik Spielberg yang sangat menyenangkan, meriah oleh referensi pop culture dari 80an, yang semestinya bisa bekerja dalam level yang lebih dalam lagi jika para tokohnya dieksplorasi dengan sama menakjubkannya dengan unsur-unsur teknis yang dimiliki oleh penceritaannya.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for READY PLAYER ONE.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

MARY AND THE WITCH’S FLOWER Review

“To see ourselves as others see us can be eye-opening.”

 

 

Mary and the Witch’s Flower yang datang dari tangan yang sudah membawa The Secret World of Arietty (2010) dan When Marnie was There (2015) kepada kita ini actually adalah animasi paling pertama yang ditelurkan oleh Studio yang bisa dibilang ‘anak’ dari Studio Ghibli; yakni Studio Ponoc. Jadi, tentu saja aku senang. Bahwa masih ada yang mau mewarisi fantasi dan dongeng kanak-kanak simpel di dunia sinematik yang sepertinya begitu sibuk berlomba-lomba membangun universe yang ‘wah’ untuk mencetak uang dan jumlah penonton, tapi nyaris melupakan akar rasa, cipta, dan karsa. Mary and the Witch’s Flower dengan segera menjerat imajinasi kita lewat sekuens aksi yang menguar kuat pesona animasi Studio Ghibli; menawan dengan begitu banyak hal-hal kreatif yang bisa dinikmati. Cerita akan membawa kita ke dalam dunia yang penuh dengan makhluk hidup yang aneh, teknologi yang kelihatan tidak mungkin, simpelnya kita bisa bilang film ini akan membawa kita menonton hal-hal yang mungkin hanya ada di dunia mimpi. Tidak akan pernah bosan rasanya melihat animasi secantik yang ditampilkan film ini, gambar-gambar yang seolah menyeruak lompat keluar dari layar.

Sesuai dengan dongeng yang jadi adaptasi ceritanya, ‘Hero’ kita dalam film ini adalah Mary, seorang anak cewek berambut merah berantakan yang anak-anak banget. Dia gampang tertarik dengan banyak hal, bahkan kerjaan tukang kebun mengikat bunga agar tegak lurus aja terlihat sebagai sebuah tugas yang mengasyikkan baginya. Namun Mary ini anaknya ceroboh. Dia ingin membantu seputar pekerjaan rumah Bibi Charlotte, hanya saja setiap yang ia sentuh berakhir berantakan. Mary sebenarnya bosan, libur musim panas masih seminggu lagi, dia enggak tahu harus ngapain. Mau main juga sama siapa? Anak seusianya yang gak pergi liburan ke luar kota cuma Peter, yang nyebelin karena hobi menggoda Mary. Jadi, Mary memutuskan jalan-jalan ke hutan. Di mana ia bermain dengan dua ekor kucing.  Suatu saat, Mary mengikuti kedua kucing tersebut terlalu jauh ke dalam hutan, sampai ia menemukan bunga biru aneh dan sapu jerami. Karena kecerobohannya, bunga bundar itu pecah, cairannya mengenai tangan Mary, dan hal aneh bin ajaib pun terjadi. Mary jadi punya kemampuan sihir, dia jadi bisa terbang dengan sapu jerami tadi. Eventually, dia terbang menembus awan menuju sebuah tempat fantastis yang mengajarkan ilmu sihir!

bahkan J.K. Rowling sepertinya juga baca kisah “The Little Broomstick”

 

Dari seseorang yang suka kesel sendiri ama rambutnya, Mary jadi dipuja karena rambut merahnya dikenal sebagai ciri penyihir yang sangat cakap. Dari yang selalu fail ngerjain sesuatu, Mary jadi punya kekuatan dan tentu saja tanggung jawab yang enggak kecil. Mary, dalam esensi cerita, harus figure out apa yang sebenarnya ia butuhkan; untuk tetap menjadi dirinya sendiri yang ceroboh dan selalu ‘salah’ dalam ngerjain sesuatu, atau menjadi penyihir yang kuat agar bisa membantu lebih banyak makhluk. Perjalanan tokoh Mary mestinya adalah sebuah perjalanan yang menarik, karena kita pun lebih sering daripada enggak, menginginkan diri kita menjadi sedikit lebih sempurna.

Aku menyebut arc tokoh seperti Mary ini sebagai arc-komik, karena sebagian besar beginilah tokoh-tokoh superhero dalam buku komik mendapatkan kekuatan. Ambil contoh Spiderman. Peter Parker digigit oleh laba-laba dan mendadak dia jadi punya kekuatan super, dia bertanggung jawab menyelamatkan dunia dari orang-orang jahat. Mary mendapat kekuatan sihir dari bunga yang tanpa sengaja ia temukan. Kekuatan Mary, seperti kekuatan Spiderman, bukanlah sesuatu yang pantas untuk mereka dapatkan. Mary bahkan tidak tahu apa yang terjadi. Di Endor, sekolah sihir yang ia datangi, semua orang begitu kagum akan kekuatan Mary, sementara dia sendiri tahu persis kekuatannya dari bunga – bukan miliknya sendiri. Perjalanan tokoh Mary adalah membuktikan apakah dia pantas punya kekuatan seperti itu, bagaimana jika nanti dia tidak lagi punya. Film ini menceritakan pertanyaan tersebut dengan cara yang lumayan fresh di sepertiga akhir cerita. Hanya saja, aku tidak merasa begitu peduli terhadap tokoh ini lantaran segala perjalanan dan arcnya tersebut enggak pernah terasa begitu jelas, dalam sense penokohan.

Kita ingin untuk punya semua jawaban. Mary benar-benar mewakili kanak-kanak dalam diri kita yang menginginkan perubahan. Kita mau tampak lebih baik untuk diri kita sendiri. Karena kita pikir, orang-orang di sekitar kita menginginkan hal tersebut. Namun kenyataannya adalah, mereka tidak akan melihat diri kita sebagaimana kita melihat ourselves. Kualitas yang kita miliki, hanya bisa dinilai oleh orang lain yang merasakan langsung apa yang kita perbuat demi, untuk, dan kepada mereka.

 

Yang membedakan Mary dengan Peter Parker, atau bahkan dengan Harry Potter sekalipun, adalah kehidupan Mary sebelum dia ketemu bunga dan sapu terbang adalah kehidupan yang minim drama. Jadi ketika dia mendapat kemampuan baru, semua itu hanya tampak seperti ‘mainan baru’ baginya. Petualangan magical tersebut seperti hal menyenangkan yang bisa ia kerjakan selama satu malam. Biasanya, sebuah cerita dengan tokohnya yang mengalami petualangan, tokohnya akan menemukan sesuatu yang integral dengan masalah dalam hidupnya, dan sesuatu yang ia temukan tersebut akan membuatnya belajar, akan mengubah hidupnya. Seberapa besar perubahan yang mereka alami akan bertindak sebagai bukti kesuksesan penokohan. Mary tidak punya masalah apa-apa, selain dia ingin mengisi hari dengan hal yang berguna yang ia lakukan. Di luar keputusan kesatria yang ia ambil di akhir petualangan, Mary tidak benar-benar belajar banyak tentang apapun yang ia alami selama bertualang. Sebagai tokoh, Mary tidak diberikan ‘kerjaan’ yang membuatnya terlalu stand out. Dia hanyalah seorang anak yang enggak bisa mengerjakan apapun dengan baik, sehinggadia mendapat kekuatan yang menyebabkan dia bisa melakukan sihir-sihir yang keren tentu adalah gagasan yang bagus, namun film membuat kekuatan itu tampak seperti hal yang ia temukan, tanpa membuat Mary melakukan hal yang benar-benar signifikan dengan kekuatan tersebut terhadap dirinya yang terdahulu.

bayangkan Rey balik jadi scavenger lagi setelah belajar dan menguasai The Force

 

Adegan pembuka film ini sebenarnya sudah sangat memukau. Sayangnya, tokoh-tokoh yang kita temukan setelah itu tidak berhasil untuk menarik minat dengan sama kuatnya. Malahan, aku merasa openingnya sendiri lebih menarik untuk dijadikan film utuh ketimbang apa yang actually kita dapatkan. Apa yang Mary pelajari tentang sejarah keluarganya tak pelak akan lebih nendang buat penokohannya. Padahal, film ini sebenarnya juga menyinggung soal ilmu pengetahuan dan dampaknya terhadap lingkungan. Tokoh antagonis film ini berencana untuk melakukan rangkaian eksperimen yang membuat hewan-hewan dan manusia bertransformasi menjadi makhluk baru. Sebuah tindakan yang tentu saja melawan etika dan kemanusiaan. Tapinya lagi, selain kerjaan yang jahat ini, kita tidak mengerti apa motivasi tegas dari antagonis untuk melakukan hal tersebut.

 

 

 

Dari segi visual dan musik, film ini sungguh bikin takjub. Adegan pembukanya juga membuat kita geregetan. Aspek teknikal film ini sepertinya tidak perlu dikhawatirkan. Sebagai film pertama, aku punya harapan gede buat Studio Ponoc. Terutama aku berharap mereka dapat bercerita dengan lebih baik lagi, karena apa yang kita dapat pada film ini adalah spektakel yang thrilling, namun naskahnya kosong dalam penokohan, karakter-karakternya masih butuh a lot of work dengan cerita yang mestinya bisa dibuat lebih jelas dan tegas lagi.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for MARY AND THE WITCH’S FLOWER.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

PYEWACKET Review

“We are our own worst enemy.”

 

 

Beberapa helai rambut Ibu yang nempel di sisir sudah dikumpulkan. Simbol kegelapan sudah dipasang di pohon-pohon. Tanah untuk menanam rambut sudah digali. Mantra juga telah dihapal. Menyayat tangan sendiri sebagai darah persembahan pun sudah siap sedia untuk dilakukan oleh Leah. Salahnya sendiri, siapa suruh ibu begitu rese membawa mereka berdua pindah ke rumah di pinggiran kota, Leah yang masih lima-belas tahun jadi tidak bisa lagi ikutan kumpul-kumpul sama temannya sepulang sekolah. Dan lagi, apa salahnya Leah bergaul dengan mereka, berdandan seperti mereka; kenapa pula ibu mengatai mereka bodoh karena tertarik pada ilmu hitam. Mestinya ibu ngerti dong, Leah hanya mencari pelarian sebagai usaha untuk dealing dengan kematian ayah. Tapi ibu malah menganggap ekspresi dari depresi Leah sebagai hal yang mestinya ada di tempat sampah. Jadi, terserah. Leah hidup sendiri saja, sama Janice dan teman-teman yang sehati dan mengerti dirinya. Biarin sana Ibu ditangkap sama Pyewacket!

Kita semua pasti pernah seperti Leah. Bukan, bukan literally manggil setan untuk bunuh orang, kalo soal itu aku gak tahu. Mungkin memang ada dukun hitam beneran di antara kalian? Who knows, kan. Yang kumaksud adalah kita pernah seperti Leah yang marah besar sama Ibunya. Kita juga mesti pernah begitu marah sama keluarga, sama orang yang kita cintai, sampe-sampe kita ingin melakukan hal yang mengerikan terhadap mereka. Waktu kecil, aku pernah berantem sama adikku, sehingga waktu dia main di luar, aku masuk ke kamarnya dan menendang rumah bonekanya sampai jebol. Dan sama seperti Leah, sesegera mungkin setelah aksi ‘serangan’ mengerikan terlaksana, rasa penyesalan itu datang dengan teramat kuat. Dalam Pyewacket, kita melihat Leah sungguh menyesali setiap keputusan yang sudah ia bikin. Kerja karakter dalam film ini sangat kuat; momen ketika ibunya membersihkan luka di lengan Leah – luka yang dengan sengaja dibuat Leah untuk menyelesaikan ritual ilmu hitam dengan niat mencelakai ibunya beberapa menit yang lalu – terasa sangat menyayat hati. Film juga dengan mulus mentranslasikan penyesalan Leah menjadi rasa ketakutan ketika entitas tak terlihat mulai datang meneror mereka.

tokoh cewek jaman now suka nyayat diri sendiri yaa

 

Ketika bicara horor indie, biasanya kita akan bicarain horor-horor yang ‘menjijikkan’, yang efek prostetiknya bikin mual, banyak darah, potongan tubuh. Dan yea, film-film seperti itu memang fun – sebuah daya tarik yang efektif. Dari segi pembuatan, ini adalah langkah yang menunjukkan kemampuan si pembuat. Gimana mereka bisa bekerja memanfaatkan sebaik-baiknya dari apa yang bisa diusahakan oleh kantong duit yang enggak tebel. Alih-alih memakai banjir darah dan pake adegan tokoh cewek dengan busana minim dikejar-kejar monster, sutradara yang tadinya aktor,  Adam MacDonald, memilih untuk menggantungkan kekuatan filmnya pada momen-momen karakter. Jelas sama sekali enggak mahal memperkuat elemen horor dari sisi emosi dan karakter para tokoh – lagipula bukankah horor sejati memang berasal dari dalam para tokoh sendiri, ya gak?

Apa yang kita sangka kita butuhkan dalam hidup, kemudian kita berjuang keras untuk menggapainya, terkadang bisa saja menjadi titik balik kehancuran kita sendiri. Karena sesungguhnya musuh utama kita, monster yang semestinya kita takuti, seringkali adalah diri kita sendiri. Tak jarang kita kurang masak berpikir sebelum mengambil tindakan. Manusia adalah makhluk impulsif yang mengambil tindakan berdasarkan satu momen kemarahan, keputusasaan. Dan menurut film Pyewacket, hal tersebut sungguh sebuah hal yang berbahaya.

 

MacDonald paham bagaimana membangun karakter dan situasi yang mengantarkan kepada tensi, yang sebenarnya pun enggak necessarily benar-benar makhluk horor. Dalam Pyewacket, kengerian datang seringkali dari keputusan-keputusan yang diambil oleh Leah. Jika aspek setan misterius dan hal-hal goibnya kita tinggalkan sebentar, kita akan mendapatkan drama tentang hubungan ibu dan anak yang sama-sama dealing dengan tragedi; kehilangan ayah – kehilangan suami. Ketegangan film ini berakar pada hubungan Leah dengan ibunya yang semakin hari semakin runtuh, meski mereka berusaha untuk terus menatanya. Tetapi selalu ada miskomunikasi, selalu ada hati yang tersinggung. Itulah salah satu alasan kenapa film bekerja dengan efektif, sebagai horor dan sebagai drama ibu-anak. Karakter para tokohnya sangat ter-flesh out. Tentu saja semua hal tersebut menjadi mentah kalo film salah mengcasting pemeran. Leah dan ibunya adalah pusat dari film, dan kedua pemerannya pun bermain dengan gemilang. Nicole Munoz sebagai Leah berhasil mendeliver perasaan frustasi, yang kemudian berubah menjadi ketakutan, dan kengerian luar biasa, dengan sangat meyakinkan. Permainannya ini diimbangi oleh Laurie Holden sebagai ibu yang terasa jauh oleh Leah, ada sense misteri yang berhasil dikuarkan oleh Holden pada perannya di sini. Pada bagian akhir, interaksi mereka mengingatkanku kepada Tara Basro dan Christine Hakim di film Hoax (2018). Tokoh Leah dan ibunya diset up dengan cara yang menarik yang membuat kita menjadi benar-benar peduli saat cerita mulai berbelok ke ranah horor.

hampir seperti Lady Bird dengan rasa setan

 

Film ini menggunakan efek minimal untuk membangun kengerian dari desain suara, juga dari keterbatasan kamera. Kesan low-budget benar-benar terasa, dan oleh film dimanfaatkan sebagai penunjang penceritaan. Film-film horor kebanyakan akan menggunakan musik untuk menambah efek ngeri saat kamera menangkap hal ganjil di layar. MacDonald membiarkan pemandangan ganjil terpampang gitu aja, tanpa petunjuk suara yang mendadak membesar. Misalnya, menjelang babak kedua film ini, kita akan diberikan wide shot Leah di tengah hutan. Setelah lumayan lama mengerjap, barulah aku menyadari ada bayangan hitam di salah satu pohon di belakang Leah, dan buatku itu adalah detik yang bikin merinding. You know, discover things like that. Begitulah film ini menangani penampakannya. Kamera melakukan wide shot seolah bilang “cari ya, ada yang seram loh di sini” dan memang elemen paling seram di shot tersebut biasanya akan kita temukan di latar belakang. Kita harus benar-benar melotot nontonin film ini. Saking seringnya kamera menyembunyikan ‘sesuatu’, kita enggak bakal melihatnya terus-terusan.

Selain wide shot, MacDonald juga sering beralih ke kamera handheld untuk memperkuat atmosfer seram. Taktik kamera begini biasanya akan membuat film terlihat murahan, sih, namun Pyewacket justru terbantu lantaran kita jadi semakin terasa seperti mengobservasi para tokoh melewati suatu kejadian mengerikan secara langsung, dari mata setannya! Kita melayang di atas orang yang lagi tidur – yang sukses membuatku berdoa si tokoh enggak bangun supaya aku gak melihat pantulan di bola matanya. Beneran, film begitu saja berpindah sudut pandang sehingga rasanya unsettling sekali seolah kitalah setannya.

Penting untuk film horor mengerti kapan harus berhenti; sama kayak manusia, berhentilah saat di puncak ketinggian karir, supaya orang mengingatmu dalam keadaan terbaik. Film horor yang baik juga biasanya menghentikan cerita di saat drama lagi tinggi-tingginya, ketakutan lagi memuncak, momen gede itu dicut gitu aja. Contohnya The Blair Witch Project (1999) yang legendaris, kita bahkan belum lihat penyihirnya dan filmnya tamat. Namun toh film tersebut membuat kita memikirkan kembali apa yang sebenarnya terjadi. Pyewacket juga begini. Tentu, endingnya terasa sedikit diburu-buruin, menurutku kita paling enggak butuh beberapa menit lagi melihat para tokoh untuk mencerna apa yang terjadi. Namun sebenarnya, film ini meminta kita untuk berpikir sendiri, menyusun puzzle yang kepingannya sudah selesai mereka bagikan. Itulah tugas film ini; sebagai pemberi kepingan puzzle yang kita butuhkan. Begitu semua sudah terhampar, film akan berakhir, dan giliran kita untuk memproses ceritanya yang memang ternyata mengikat dengan sempurna.

 

 

 

 

Buatku, ini adalah horor yang sangat efektif. Menghantarkan sisi emosional dengan baik, juga kengerian yang mampu bikin merinding. Sedikit yang membuat terlepas dari cerita adalah kenyataan bahwa film ini berbudget rendah; ada beberapa adegan mengandalkan spesial efek yang jika duitnya lebih banyak, niscaya akan lebih baik. Namun film dengan bijaksana menampilkan spesial efek ini dengan wide shot dari jauh. Juga ada satu adegan di sekitar pertengahan film saat dua tokoh berjalan di hutan malam-malam, yang menurutku sia-sia dan enggak perlu. Adegan tersebut sebenarnya punya nuansa seram yang kuat, hanya saja ternyata berakhir sebagai sebuah lelucon dari satu tokoh ke tokoh yang lain, like, ada tokoh yang pura-pura kesurupan. Mencelos banget rasanya melihat adegan ini, enggak klop sama keseluruhan film. Selain hal tersebut, film ini terasa sangat mencekat, salah satu contoh terbaik dari horor jalur indie.
The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for PYEWACKET.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

GURU NGAJI Review

“…. we all have the urge to be a clown”

 

 

Tiada yang lebih membahagiakan bagi Mukri selain menjadi guru yang mengajari anak-anak kecil di desanya mengaji. Bagi Mukri, guru ngaji adalah pekerjaan yang mulia. Tapi toh dia masih belum bisa membayar utang, duitnya masih kurang, apalagi buat ngajak istri dan anaknya jalan-jalan ke Istiqlal. Jadi guru ngaji, Mukri dibayar pake sembako. Maka ia pun berusaha di lapangan pekerjaan lain, dengan bayaran berupa duit beneran. Mukri menjadi badut di sebuah Pasar Malam. Kerjaan yang Mukri lakukan dengan sama cakapnya, hanya saja ia khawatirkan akan mengundang malu kepada keluarga. Jadi, Mukri tutup mulut rapat-rapat soal badut ini. Sebagian besar waktu di Guru Ngaji, kita akan melihat Mukri yang berjuang juggling di antara dua pekerjaan. Toh yang namanya diam-diam, suatu saat akan ketahuan juga. Mukri pun harus bersiap menghadapi reaksi dari warga kampung dan keluarganya mengenai pekerjaannya satu lagi yang selama ini ia rahasiakan.

Kesederhanaan yang terhampar membuat film terasa begitu dekat. Sederhana bukan berarti gak cantk loh. Polesan warna membuat film ini meriah, bahkan ketika tempat bukan di lingkungan Pasar Malam. Film ini punya humor, punya cinta, dan punya hati. Para pemain juga membawakan peran mereka dengan tidak sekalipun menjadi over-the-top. Donny Damara menghadirkan sosok ayah yang berjuang di balik masker badutnya dengan sangat meyakinkan, gesture-gestur seperti Mukri yang tidak pernah menatap mata bosnya di Pasar Malam turut memberi lapisan dan kedalaman bagi karakter ini. Guru Ngaji terasa benar-benar down-to-earth sehingga jadi mudah untuk dinikmati semua kalangan. Film ini bicara tentang gimana pandangan orang lain, pandangan dunia luar, masih menghantui orang-orang seperti Mukri. Padahal tidak ada yang salah dengan cari makan. Tidak ada yang ganjil dari berusaha membuat orang yang kita cintai bahagia. Mukri, mungkin memang dibuat sedikit terlalu ‘baik hati’, tapi apa yang terjadi kepada tokoh ini – terhadap pilihan yang dibuatnya – bisa kita jadikan cermin ketika kita dihadapkan pada pilihan yang serupa.

Kita semua berusaha keras untuk membuat yang tersayang bahagia. Tertawa. Kita semua jadi ‘badut’ demi mereka. Untuk apa malu karenanya?

 

Sebenarnya, film punya set up yang menarik. Kita diperlihatkan dua dunia kerjaan Mukri, yang semuanya punya universe sendiri – Mukri bersosialisasi dengan orang-orang dengan ragam kepercayaan dan sudut pandang yang berbeda. Untuk kemudian kita diperlihatkan ke kehidupan rumah tangganya, kita lihat istrinya yang jualan kerupuk tapi matanya ijo lihat kain jilbab baru yang ditawarkan teman, kita lihat anak Mukri dibully karena pinter. Set up di babak awal film mengisyaratkan seolah-olah Mukri nantinya harus berkronfontasi dengan keluarga, dia harus memilih satu di antara dua, yang bakal membawa kita ke false resolusi sebelum akhirnya Mukri menyadari apa yang sebenarnya ia butuhkan. Aku menunggu-nunggu adegan yang bakal jadi realisasi besar bagi Mukri. Namun Guru Ngaji berjalan dengan sangat lempeng. Konflik-konflik yang dihadirkan beres dengan gampangnya. Konfrontasi itu datang untuk selesai dengan sekejap. Mukri punya keinginan, tapi sedari awal dia sudah tahu apa yang dia butuhkan. Sehingga kita tidak menemukan Mukri sebagai karakter yang banyak belajar. Sisi emosional film datang dari luar seperti Mukri digebukin orang, baju badutnya dirampas, alih-alih dari dia sendiri yang memilih untuk menjadi badut. Seperti jalan cerita filmnya sendiri, Mukri juga sangat lempeng. Istrinya jelas-jelas bohong gak bayar utang, Mukri masih punya tenaga untuk mengikhlaskan. Dan pada akhirnya masalah soal kegilabelanjaan istrinya ini pun dimaafkan begitu saja di akhir cerita.

“usaha maksimal!” kata Deadpool, eh salah… kata badut!

 

Film seperti bingung dalam menggali masalahnya. Mukri akhirnya dikasih ultimatum enggak boleh lagi mengajar ngaji karena warga desa resah sama kerjaannya sebagai badut. Mukri sedih. Di sinilah letak anehnya. Sebagai guru ngaji dia cuma dibayar sembako, enggak dapet respect pula. Saat jadi badutlah baru ia mendapat terima kasih ditambah duit yang ia perlukan untuk bayar utang dan mewujudkan cita-cita, jadi di mana sebenarnya letak masalah? Menurutku, mestinya di titik ini film bisa membelokkan karakter Mukri menjadi lebih menarik. Aku menunggu konflik gede saat Mukri yang dilarang jadi guru ngaji malah tampil sebagai sinterklas di publik. Tapi momen tersebut tidak pernah datang. Film tampak tidak pasti dalam bagaimana mengakhiri kisah Mukri, penyelesaian film terasa sangat dragging, ada banyak momen ketika kita berpikir ceritanya sudah habis ternyata belum, karena mereka menggali di tempat yang salah, serta tidak menanamkan hal-hal yang penting untuk karakter Mukri sedari awal.

Sedikit banyak aku bisa relate sama pilihan yang dihadapi Mukri. Currently aku punya dua pekerjaan, yang satu buka kafe eskrim yang menghasilkan uang, satu lagi sebagai blogger kritik film di mana aku dibayar pake nonton gratis. Jikalau aku dilarang nonton dan diharuskan buka kafe saja setiap hari, aku akan bisa dapat lebih banyak uang, tapi aku tidak akan bahagia karena itu bukan diriku yang sebenarnya. Passionku di menulis, dan buatku itu akan menjadi pilihan yang sulit. Namun pada kasus Mukri, aku tidak dibuat benar-benar percaya bahwa menjadi guru ngaji begitu penting bagi Mukri. Karena sedari awal, film sudah menetapkan perihal duit sebagai stake. Hanya ada satu anak yang kita lihat diajari mengaji oleh Mukri. Sementara saat membadut, dia bikin tertawa banyak anak-anak. Jadi, jika pilihan guru ngaji dihilangkan, aku tidak melihat ada masalah bagi Mukri untuk jadi badut saja – dia dibayar dan membuat bahagia anak-anak.

Cerita berakhir bagi Mukri dengan gampang. Jalan keluar datang dari partner badut yang bermurah hati dan dari anaknya yang jago mengaji. Perihal anak, sebenarnya gak jadi soal asalkan relationship Mukri dengan anaknya dieksplorasi secara fokus sebelumnya. Tapi tidak. Kita bahkan tidak melihat Mukri mengajar anaknya sendiri mengaji. Tidak banyak perubahan yang terjadi pada Mukri dari ia mulai di awal hingga cerita berakhir. Kerjaannya tetap guru ngaji dan badut. Dia tetap pribadi yang ikhlas. Kalo aku yang punya cerita, aku akan memutar sedikit narasi dan menjadikan Mukri naik kelas sebagai ustadz di desa pada akhir cerita, di mana dia menggabungkan pengetahuan agama dengan showmanship natural yang dimilikinya sebagai badut.

atau malah bikin Mukri turn heel dengan marahin anaknya gaboleh jual ngaji di tivi hhihi

 

Secara berkala kita akan dibawa ke lingkungan Pasar Malam tempat Mukri bekerja, untuk melihat satu subplot yang heartwarming tentang perjuangan cinta partner badut si Mukri, Parmin (penampilan paling emosional dalam karir Ence Bagus). Bagian cerita ini sangat likeable, porsi komedi yang pas hadir dari bagian ini. Akan kocak sekali melihat Yanto (Dodit Mulyanto, seperti biasa sukses deliver komedi dengan ciri khasnya) unjuk gigi dengan motor dan handphone, sedangkan Parmin hanya gigit jari dan terus bermimpi ingin punya motor juga demi merebut hati si cantik Rahma (peran pertama Andania Suri tanpa adegan nangisnya!!) Parmin actually belajar lebih banyak dari Mukri, kita akan melihat dia belajar untuk berani stand up buat dirinya sendiri dan menyadari bahwa dia tidak butuh motor untuk dapat cewek. Meskipun film tetap menggambarkan perubahan Parmin ini dengan ‘aneh’. Maksudku, pertama kalinya Parmin stand up for himself dengan menggunakan sepeda sebagai alat. Dia juga membelikan Rahma helm, yang mana tetap adalah sebuah materi. Dan menggunakan sulap untuk practically ‘nembak’ Rahma – padahal sulap literally adalah sebuah trik. Jadi, adalah sebuah stretch untuk kita bisa percaya apa yang dipelajari Parmin jika kita melihat hal yang ia lakukan sebagai bukti perubahan/pembelajaran karakternya.

Salah satu aspek mengharukan dalam film ini adalah ketika gimana baik Mukri maupun Parmin yang siap menghapus wajah sedih banyak masalah mereka dengan riasan badut yang tertawa, demi tugas mereka sebagai penghibur. Sayangnya, aspek ini juga tidak benar-benar dieksplorasi oleh film. Yang mana adalah satu lagi kesempatan untuk genuinely menjadi emosional yang dilewatkan. Lihatlah betapa kuatnya adegan ketika Mukri masih berdandan badut duduk merenung di belakang rumahnya, kita perlu melihat adegan ‘bentrok’ seperti ini lebih banyak lagi.

 

 

Seujug-ujug film akan menyuarakan pesan toleransi, kerukunan dan saling pengertian dalam kehidupan beda agama, menjadikan paruh akhir film terasa berjubel, tanpa jelas ujungnya di mana. Film ini sederhana, meski ia ceria dalam warna. Kisah komedi dan mengharukan dibuat seimbang sehingga tidak mengganggu tone cerita. Membuat film ini gampang untuk disukai banyak orang. Hanya penyelesaian yang terlalu cepatlah yang membuat cerita menjadi tidak terpatri dengan kuat. Secara teknis, kita masih mendapati editing yang enggak tight, latar yang enggak klop antara frame satu dengan frame berikutnya, juga beberapa obvious dubbing dan stuntmen yang cukup mengganggu telinga serta mata. Jika kalian merindukan film dengan suasana down-to-earth seperti ini, gak ada salahnya coba menyaksikan langsung ke bioskop.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for GURU NGAJI.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

PACIFIC RIM: UPRISING Review

To be yourself in a world that is constantly trying to make you something else is the greatest accomplishment.”

 

 

Jake Pentecost bukan ayahnya. Dia tidak mau dipandang tinggi karena nama ayahnya, yang sudah mengorbankan nyawa sebagai pilot dalam perang Jaeger – Kaiju sepuluh tahun yang lalu. Meski toh Jake juga punya kemampuan besar dalam mengendarai Jaeger; mech weapon yang dioperasikan oleh dua orang dengan saling mengsinkronisasi otak, namun Jake tidak mau bergabung dengan militer yang ia anggap sebagai tak ubahnya penjara. Jake hanya mau hidup senang, mumpung dunia sudah damai. Tidak terdengar lagi serangan Kaiju – monster raksasa kiriman alien lewat celah di lingkaran Samudra Pasifik. Demi memperkukuh statusnya sebagai ‘pemberontak’, Jake hobi menjual parts dari Jaeger kepada preman-preman penadah. Dalam salah satu ‘misinya’ tersebut, Jake bertemu dengan cewek remaja 15-tahun yang jenius, yang bisa membuat Jaeger mini dari rongsokan Jaeger beneran. Mereka berdua akhirnya direkrut (secara paksa jika dilihat dari sudut pandang Jake) oleh pihak militer. Dan sekarang Jake harus memimpin pilot-pilot Jaeger yang sebagian besar masih sangat muda melawan serangan tak-terduga dari Kaiju, yang kini juga bisa mengendarai Jaeger!

Jake Pentecost bilang “aku bukan ayahku”. Setiap dari kita bukan orang lain. Percaya pada kemampuan diri sendiri. Setiap orang adalah pilot dari kendaraan hidupnya, sebagai bagian dari keluarga

 

Steven S. DeKnight bukan Guillermo del Toro. Ketika pada film pertamanya, Del Toro delivering pertarungan mech melawan monster yang exciting namun sedikit kosong pada sisi kemanusiaan. Maka pada film kedua ini, DeKnight mengambil alih, dan dia berusaha memaksimalkan pengkarakteran tokoh manusia, terutama pada dua tokoh lead – Jake Pentecost dan si cewek remaja, Amara Namani. Tapi usahanya tersebut bukan tanpa cacat, karena Pacific Rim: Uprising punya niat mulianya tersendiri. Yakni menjadi sebuah brand. Mau nyaingin Transformers, mungkin. Dan mereka enggak berniat bikin lebih baik dari franchisenya Michael Bay tersebut. Usaha ngeflesh out karakter yang menurutku pada babak awal lumayan meyakinkan, malah jadi terkesampingkan karena begitu build up itu beres, film berubah menjadi tak lain tak bukan non-stop aksi Jaeger melawan Jaeger, Kaiju, dengan pengkarakteran yang dipaksa masuk dengan kasar di sana sini lewat flashback saat para tokoh berusaha menyeleraskan otak mereka.

John Boyega bukan Idris Elba. Walaupun sama-sama likeable dan kharismatis, namun John Boyega lebih ke komedi. Sebagai Jake, pada film ini dia punya range emosi yang jauh, namun penulisan lebih menekankan porsinya ke komedi yang bikin kita nyengir karena lebih sering daripada enggak, tingkah Jake pada film ini menyerempet ke batas-batas memalukan. Jake akan sering menyebutkan betapa tampan dan sempurna struktur wajahnya, actually ini jadi running jokes di film, namun yang membuatnya jadi tampak awkward adalah dia nyebutin itu ke Amara yang masih lima-belas tahun, yang buatku malah tampak aneh. Jake juga sering nyebutin gimana partner pilot Jaegernya juga berwajah ganteng dan seksi. Ini dimainkan sebagai komedi, namun punchlinenya tidak efektif sehingga malah bikin nyengir daripada ngakak. Penampilan terbaik di sini datang dari pendatang baru Cailee Spaeny yang jadi Amara. Cewek ini sangat charming, bahkan ketika dia seharusnya menjadi karakter yang annoying buat Jake. Cailee membuatku teringat sama Britt Robertson waktu masih muda, aku excited untuk melihat penampilan Cailee pada film-filmnya setelah ini, karena menurutku cewek ini punya masa depan yang cerah dengan penampilan akting seperti yang ia tampilkan di sini. Sikap antusias Amara ketika dia pertama kali menjejakkan kaki di markas militer, ketika ia melihat Jaeger-Jaeger terkenal yang ‘terparkir’dengan mata kepalanya langsung, benar-benar terasa mewakili antusias kita para nerd melihat robot-robot.

nerd mana sih yang gasuka diwakili cute girl seperti Amara

 

Baik Jake maupun Amara diberikan kesempatan untuk ngeredeem diri mereka masing-masing. Cerita cukup bijak untuk membuat mereka melakukan sesuatu yang menjadi bagian dari apa yang menghantui diri mereka; Amara diberikan kesempatan melompat seperti yang tidak sempat ia lakukan saat masih kecil. Sedangkan Jake diberikan kesempatan untuk menangkap seperti yang dulu pernah gagal ia lakukan. Hanya saja usaha untuk memperkuat karakter pada film ini, terasa sangat dikalkulasi. Hampir terasa seperti film benar-benar memberi petunjuk atas mana bagian untuk karakter development, mana bagian untuk aksi. Ditambah tidak membantu lagi oleh cepatnya pace cerita yang membuat kita tidak yakin ini cerita tentang apa sih sebenarnya. Seharusnya ini adalah cerita tentang gimana dunia menata kembali hidup setalah serangan Kaiju, tapi bagian menata kembali tersebut dengan cepat terlupakan. Aku personally tidak akan menolak jika kita dapat tentang Jake yang melakukan hal yang tak ingin ia lakukan – ada momen menarik di mana dia mendukung Shao Industry yang ingin meluncurkan Jaeger tanpa pilot yang mana akan membuat pilot-pilot militer kehilangan pekerjaan, hanya supaya ia bisa kembali ke kehidupan jalanan yang bebas dan lepas. Tapi cerita ini ditumpangtindihkan dengan berbagai subplot yang diselesaikan dengan cepat, seperti cerita Amara sebagai anak baru yang merasa dirinya doesn’t belong there. Terutama sekali, hal ini disebabkan oleh film yang tidak ingin menjadi lebih dari sekadar film Jaeger melawan Kaiju. Apa yang berpotensi menjadi cerita emosional, hanya berujung menjadi cerita sesimpel yang biasa kita temui dalam film kartun untuk anak-anak. Ada cerita tentang pemanfaatan darah Kaiju yang mengancam populasi manusia, tapi pada akhirnya hanya gimana cara mengalahkan Kaiju yang jadi persoalan.

Setengah paruh akhir film adalah aksi tarung, yang tentu saja seru melihat makhluk-makhluk raksasa bertarung dengan senjata dan teknik masing-masing. Tetapi toh akan bosan juga melihat robot dan monster dilempar menghancurkan gedung-gedung. Film meniadakan dampak begitu saja sehingga kita tidak lagi menganggap serius apa yang kita saksikan. Pada satu pertempuran, sebuah Jaeger menggunakan sinar plasma yang mengikat mobil-mobil, menjadikan mereka semacam bola untuk dilempar sebagai senjata menumbuk Jaeger jahat. Tidak pernah ada usaha untuk memastikan, atau mengangkat dampak dari perbuatan ini; apakah ada orang di dalam mobil-mobil tersebut, ada berapa orang yang jadi korban di sana. Akan ada banyak adegan seperti demikian pada Pacific Rim: Uprising di mana kita diminta untuk tidak peduli dan tidak menggunakan akal sehat dan nikmati saja. Dan sebagaimana film-film blockbuster, film ini juga berusaha tampil hits dengan masukkan twist pada satu tokohnya. Demi menjaga spoiler, aku gak akan bilang tepatnya apa, tapi tokoh yang diperankan komedian Charlie Day akan membuat kita tertawa, karena beberapa bagian memang diniatkan untuk lucu-lucuan, namun eventually film melakukan hal lain dengan karakter ini dan tetap saja membuat kita tertawa padahal sudah tidak semestinya lucu, karena apa yang dilakukannya betul-betul malu-maluin.

Saat kita yang paling kecil di antara yang besar-besar, film menyarankan kita untuk menjadi yang terpintar di sana. Kadang kita harus bisa untuk outsmarted the situation. Menggunakan berbagai resources untuk menjawab tantangan. Karena tidak ada gunung yang terlalu tinggi, pandai-pandainya kita aja gimana harus mendaki

 

Ada satu shot saat lokasi cerita ada di Jepang yang nunjukin patung Gundam. Adalah hal yang bagus mereka memasukkan tribute spesifik untuk robot asal Jepang tersebut, namun akan jadi lebih bagus lagi jika mereka juga ‘meniru’ apa yang membuat Gundam begitu fenomenal. Gundam bukan semata soal robot mech yang bertempur di luar angkasa, bukan sekedar ledakan tak berarti. Tema gede dari Gundam adalah horor dan penderitaan yang disebabkan oleh perang. Pertempuran robot hanyalah lapisan terluar yang anggaplah sebagai bonus dari penceritaan yang menarik. Pacific Rim: Uprising, semuanya tentang lapisan terluar. Film ini mengerti bagaimana mengadegankan sekuens aksi yang menghibur, hanya saja tidak ada apa-apa di balik permukaannya. Beberapa penonton mungkin akan terhibur, tapi sebagian besar waktu, film ini tak lebih dari usaha agresif  mengapitalisasi sebuah brand yang baru.

Scrapper ngingetin aku sama Acguy di game Gundam

 

 

 

Benar-benar film studio dengan ledakan tanpa seni di dalamnya. Jika kalian hanya peduli monster dan robot berantem dengan spesial efek yang keren, kalian akan bersenang-senang dengan film ini. Jika kalian ingin sesuatu yang bisa membuat kalian peduli dan menonton sesuatu yang actually punya maksud dan kedalaman, film ini tidak akan memuaskan tuntunan kalian.
The Palace of Wisdom gives 4.5 out of 10 gold stars for PACIFIC RIM: UPRISING

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

A WRINKLE IN TIME Review

“The best way to gain self-confidence is to do what you’re afraid to do.”

 

 

Sebagaimana kita tidak bisa menilai film gitu aja dari trailernya, betapapun kecewanya, aku tidak bisa mengatakan A Wrinkle in Time sebuah film yang buruk semata karena lagu Scar to Your Beautiful nya Alessia Cara yang udah bikin trailer film ini terasa empowering, sama sekali tidak ditemukan di actual filmnya. Akan tetapi, petualangan fantasi anak-anak terbaru dari Disney ini menjelma, dari novel dengan pesan dan pelajaran tentang perbedaan yang kuat menjadi film yang kurang memuaskan untuk alasan yang lain. Dan sebagaimana guru waktu SD dulu suka memuji sebelum menasehati “tulisan tangan kamu bagus ya, tapi…..”aku akan mengulas terlebih dahulu elemen-elemen yang membuat film ini pantas untuk ditonton lantaran ia berbeda dari fantasi kebanyakan (bahkan dari film superhero), supaya A Wrinkle in Time punya kesempatan untuk berjuang.

Beberapa momen di babak awal yang menyangkut keluarga tokoh utama kita, Meg, benar-benar terasa menyentuh. Kehangatan di rumah tangga mereka yang multikultural menguar deras. Kedua orangtua Meg adalah ilmuwan. Meg terutama sangat dekat dengan ayahnya yang berkulit putih. Adegan-adegan emosional nantinya akan banyak melibatkan hubungan ayah dan putrinya ini, dan film melandaskan bibit-bibit tersebut dengan sangat baik. Ayah Meg bereksperimen dengan ide yang menarik seputar bahwa dimensi di alam semesta bisa dilipat umpama kertas sehingga seseorang bisa bertransportasi dari ujung dunia ke ujung satunya lagi, berpindah beribu-ribu tahun cahaya, hanya dalam beberapa detik. Oleh percobaan tersebutlah, ayah Meg menghilang begitu saja. Empat tahun dia tak kembali, padahal namanya bukan Bang Toyib. Peristiwa ini sangat mempengaruhi Meg. Seketika dia menjadi tertutup, kepintarannya tak lagi cemerlang, hubungan sosialnya meredup – ia jadi dibullly teman-teman di sekolah. Semua aspek karakter Meg ini ditangkap dengan otentik oleh cerita, membuat aku merasa kasihan kepadanya. Meg terlibat masalah di sekolah, dia tidak lagi konfiden bergaul karena selalu memikirkan sang ayah. Sampai ketika tiga wanita aneh bertandang ke halaman belakang rumahnya. Mereka mengajak beserta adik dan cowok teman sekelas Meg mengarungi dimensi dunia demi mencari ayah Meg yang kemungkinan besar masih hidup di suatu tempat di pelosok semesta.

Setiap kita pernah takut untuk menjadi diri sendiri. Ragu untuk berdiri demi keyakinan sendiri. Padahal di dunia yang penuh warna-warni, kita paling tidak boleh untuk kehilangan jati diri. Karena jika cantik  itu luka, maka sebaliknya kita bisa mengenali kekurangan yang dimiliki dan menjadikannya sebagai kekuatan.

 

Film bekerja dengan ketulusan dan genuine maksimal pada titik terendah hidup Meg – saat dia harus berurusan dengan kehilangan dan kekecewaan mendalam yang tak ia tunjukkan. Kisah yang berpusat pada anak-anak sembari menekankan kepada kebimbangan perasaan, diwarnai dengan perbedaan kulturasi, mungkin baru sekali ini dibuat segrande ini. Karakter Meg adalah seorang kutubuku, yang justru jarang tampak pintar karena ia menutup semua rapat-rapat. Ke-insecure-annya membuat tokoh ini menjadi efektif sebagai tokoh utama. Meg harus belajar untuk mengenali kekurangan yang ia miliki. Storm Reid yang memerankan Meg lumayan baik memainkan adegan-adegan emosional yang dibebankan kepadanya. Penonton cilik akan gampang terelasi kepada tokoh ini, pun dia membawa pesan yang bagus yang bisa mereka petik dari anak cewek yang enggak pede sama apa yang dianugrahi kepadanya. Aku gak yakin apakah arahan dari sutradara Ava DuVernay mengharuskan Reid senantiasa tampil ‘gak lepas’ atau gimana, karena pada beberapa adegan di mana Meg discover hal-hal menakjubkan (kayak manusia berubah menjadi monster daun selada cantik) di depan mata kepala, anehnya Meg tidak kelihatan surprise-surprise amat.

aku mungkin gelinjang gila-gilaan demi ngelihat Oprah raksasa di halaman rumah

 

Baru-baru ini, aku membaca berita mengerikan yang dishare temen di twitter; tentang anak empat tahun yang membunuh adik bayinya karena sering dibecandain dengan “ada adek, nanti mama gak sayang lagi ama kamu”. It was such a terrible joke yang bisa dilontarkan orang dewasa kepada anak kecil, sebab kasih sayang antar anggota keluarga semestinya tidak perlu lagi dipertanyakan. Film ini bilang, cinta itu ada meski sering tidak kelihatan. A Wrinkle in Time, dalam kapasitas bijaknya, membuat perubahan dari source material sehubungan dengan Meg dan adiknya. Kita lihat Meg sempet bimbang juga ketika ayahnya berniat mengadopsi bocah bernama Charles Wallace. Dan sesungguhnya elemen adik adopsi ini menambah lapisan relationship Meg dengan keluarga, sekaligus menambah bobot terhadap aspek keluarga multicultural. Utimately, adik adopsi ini berperan penting terhadap tema besar yang diusung oleh film, yaitu kekuatan cinta, sebab antara Meg dan Charles bukan lagi sekedar keharusan karena mereka berhubungan darah, it is actually cinta sejati yang terbentuk di antara dua yang merasa sebagai sebuah keluarga.

Kita harus menerima hal yang tidak bisa kita ubah, dan pada gilirannya kita harus menerima bahwa kita harus melakukan sesuatu perihal hal yang  bisa kita ubah. Jangan takut. Kita harus belajar menyinta, sebab kemenangan dengan cinta adalah kemenangan yang sesungguhnya.

 

 

Menemukan kembali ayah memang adalah tujuan mereka, namun petualangan antardimensi yang mereka tempuhlah yang menjadi kunci petualangan mereka – yang mana juga adalah faktor yang mestinya paling kita nikmati. Di planet pertama, rombongan Meg singgah di tempat di mana perbukitannya hijau, lautnya berkilau cemerlang, dan bunga-bunganya bisa ngegosip pake bahasa warna. Sekuens yang mengikuti di poin ini benar mengagumkan. Dan, mengesampingkan fakta bahwa film gagal untuk mengeksplorasi bahasa warna dan elemen fantasi lain,  sekuens di planet ini adalah pemandangan terbaik yang dipunya oleh film secara keseluruhan. Sayang memang, untuk petualangan yang lain, efek yang digunakan tidak seimpresif yang diniatkan untuk tercapai, apalagi untuk ukuran budget sekantong pundi milik Disney.

Untuk memperparah lagi, film menjadi sangat ketergantungan kepada efek-efek ini, padahal tadinya kita udah dibuat percaya dan menapak kepada hati cerita. Masuk babak kedua, hingga akhir, hanya pertunjukan efek dengan banyak cerita yang disumpelin biar muat seratusan menit. Sentuhan manusiawinya tak lagi terasa kuat. Kita dituntun oleh dialog-dialog eksposisi, dan desain suara serta musik soundtrack yang sangat intrusif. Pada awal penerbitan bukunya di tahun 1962, cerita A Wrinkle in Time sudah dicap sebagai tidak-bisa-diadaptasi. Pada film ini terlihat jelas, terbukti bahwa ketidakbiasaan itu bukan karena teknologi melainkan karena apa yang harus diperlihatkan akan berbenturan dengan pesan cerita mengenai berimajinasi. Kekuatan narasi itu berkurang setingkat. Pun terasa ironis, untuk sebuah cerita yang memerlukan tokohnya untuk tidak mementingkan penampilan, film ini – tidak bisa tidak untuk – terlihat luar biasa berjuang menyuguhkan visual yang cantik. Akibatnya, pesan maupun penyimbolan yang berusaha diintegralkan ke dalam adegan menjadi tidak lagi bertenaga.

“Daaaaamn” Tucker, Amerika

 

Film ini bicara tentang menjadi satu dengan semesta. Sendirinya, film terlihat berdiri goyah di batu-batu gem di dalam gua planet tempat Zach Galifianakis bersemayam. Berusaha menyeimbangkan visual dengan cerita, tema dengan fantasi. Berhasil? Tidak juga, cerita kewalahan berpindah dari hubungan keluarga, ke berlarian menyelamatkan diri, ke romansa anak remaja, dan kebanyak mode lainnya. Jadinya banyak yang tertinggalkan datar. Ketiga ‘penyihir eksentrik’ itu misalnya, mereka mestinya bisa lebih banyak berperan daripada sekadar pembimbing yang bertutur paparan. Film justru menyandarkan bahunya kepada pemeran anak-anak, yang mana masuk akal karena ini adalah film anak-anak, hanya saja, umm pilihan aktornya mestinya bisa lebih dipikirkan lagi. Peran Charles Wallace tampaknya memang terlalu besar bagi aktor cilik Deric McCabe. Cerita banyak memberikan tugas dan range buat tokoh ini, yang disampaikan oleh McCabe dengan sama sekali tidak meyakinkan. It was very bad. Terutama ketika wajahnya diclose up, pada babak terakhir sering tuh, ekspresinya tampak sangat dibuat-buat.

Yang bikin aku ngakak adalah ketika Meg berteriak gimana dia tidak mau kehilangan adiknya, dia enggak akan biarkan adik terpisah dari dirinya, sementara pada adegan sebelum itu kita sama-sama melihat dia oke-oke saja berlarian dikejar angin gede tanpa kehadiran Charles, dan Meg tidak tampak merisaukan hal ini. Untuk kemudian Charles muncul begitu saja entah darimana. Ketidakkonsistensian kayak gini yang jadi pertanda cerita film sangat njelimet.

 

 

 

 

Meninggalkan elemen sci-finya, ini adalah cerita yang mengajarkan anak untuk mencapai kepercayaan diri. Tokoh utama film ini dihadapkan pada tantangan berupa kehilangan dan tuntutan sosial, yang mana ada kondisi yang juga tak bisa dihindari di luar sana. Anak kecil bisa saja akan sangat menyukai film yang menjadikan perwakilan mereka sebagai pusat semesta. Hubungan antarkeluarganya pun dibahas dengan hangat. Tapi penceritaannya bisa sangat kontra dengan apa yang mau disampaikan. Terlalu banyak yang dibahas juga, judulnya pun sepertinya lebih tepat kerutan pada tempat, alih-alih waktu, yang kemudian turut menambah kerutan pada kening kita saat menyaksikannya.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for A WRINKLE IN TIME.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

LOVE FOR SALE Review

“Everyone is in their own time zone.”

 

 

Ngeliat temen lulus kuliah duluan, kita mupeng. Ngeliat temen yang lulusnya belakangan dapet kerja lebih cepet, kadang kita suka minder, terus sirik. Ngeliat temen yang masih muda hidupnya udah mapan kemudian dia melayangkan undangan pernikahan, kita ngeri. Takut ditanya “kapan nyusul?” Takut disindir “Sendirian aje nih”. Kalo kalian sudah merasa merinding-merinding ngilu dengan membaca ilustrasi di atas, maka bayangkan gimana ‘serem’nya hidup buat Richard (Gading Marten memberikan penampilan akting yang sangat meyakinkan di antara perjalanan karirnya), pengusaha yang sudah menginjak 41 tahun namun masih bisa keliaran di rumah mengenakan pakaian dalam lantaran belum ada istri, apalagi anak, yang bakal bikin suasana awkward.

Tak heran, Richard galak banget sama pegawai-pegawai perusahaan percetakannya. Namun ketika udah ngumpul-ngumpul bareng temen-temen nobar sepakbola, giliran Richardlah yang di-bully. Semua orang meledek kejombloabadiannya. Sampe-sampe mereka bertaruh; di pesta pernikahan temen dua minggu lagi, Richard akan datang tanpa membawa pasangan. Tentu saja, apa yang bagi temen-temennya adalah taruhan duit; bagi Richard, adalah taruhan harga diri. Jadi dia mencoba segala cara, termasuk ikutan situs perjodohan online bernama Love Inc, di mana Richard bisa menyewa cewek untuk dibawa ke nikahan berpura-pura jadi pacarnya. Tetapi, oleh karena sedikit mixed up di ‘kontrak kerja’, Richard berakhir tinggal bersama dengan pacar sewaannya, Arini (si fearless Della Dartyan), sampai waktu yang diassign beres. Di saat benih-benih cinta genuine mulai tumbuh di dalam diri Richard, di saat itu pulalah kita semakin tersedot masuk dan peduli kepada Richard, film dengan perlahan membangun kita ke sebuah pertanyaan mengerikan “Saat jatuh tempo nanti, akankah Richard mampu untuk tidak hancur? Atau apakah ada kejutan untuknya?”

Orang-orang di sekitar kita ada yang tampak sudah jauh di depan, ada yang masih di belakang. Dan hal tersebut bukan masalah. Kita tidak harus meledek mereka. Pun kita tidak perlu untuk merasa minder karena ketinggalan. Karena setiap orang sesungguhnya bergerak pada zona waktu masing-masing. Seperti halnya Indonesia yang lebih dulu hingga lima-belas jam dari Amerika, tapi itu toh bukan berarti Amerika yang lambat dan terbelakang. Kita semua tepat waktu, manfaatkanlah sebaik mungkin. Hidup adalah soal bergerak dalam momen yang tepat.

 

Elemen cerita ‘pacar bo’ongan’ memang bukan hal baru dalam cerita film. Kita sudah cukup sering mendapat narasi seputar seseorang yang terlalu lama sendiri, kemudian memalsukan hubungan, dan terjerat menjadi benar-benar cinta. Love for Sale melakukan hal ini dengan sangat baik, karena kita benar-benar diperlihatkan betapa menyedihkan kehidupan Richard sebagai – ah, mengambil istilah yang dilontarkan oleh tetangganya – bujang lapuk. Film ini punya babak setup yang menarik, interaksi antara Richard dengan tokoh-tokoh lain tergambarkan dengan manusiawi. Komedi yang hadir darinya juga timbul tanpa cita rasa dibuat-buat. Apa yang kita lihat adalah truly kondisi yang satir mengenai seseorang yang ingin berada dalam relationship, namun secara mental ia tahu dirinya belum benar-benar siap, dan di sisi lain tuntutan sosial terus menggebahnya. Kita dapat dengan mudah ikut merasakan urgensi dari tekanan cerita.

Salah satu aspek yang aku suka dari karakter Richard adalah begitu banyak lapisan pada karakternya. Richard adalah salah satu tokoh utama dengan kedalaman paling jauh yang pernah kulihat  tahun ini. Lihat saja bagaimana ia melampiaskan semua ‘keluh kesahnya’ kepada waktu. Like, dia sungguh-sungguh menekankan betapa pentingnya bergerak tepat waktu – dalam beribadah, dalam bekerja. Kita melihat betapa strictnya Richard kepada anak buahnya yang dateng telat. Melanggar batas jam makan siang sedikit aja, siap-siap deh kena omelan. Actually, omelan sendiri juga jadi poin kuat tokoh ini, berkat comedic timing dan penyampaian Marten yang tepat luar biasa. Kedisiplinan ektranya terhadap waktu ini sebenarnya adalah cerminan dari keinginan tak sampainya untuk segera punya pendamping. Sebagaimana dinasihatkan oleh salah sahabatnya, bahwa jodoh juga kudu tepat waktu.

mau, gajinya dibayar telat?!

 

Masalah tempat turut dijadikan elemen yang menambah bobot buat karakter Richard. Dia diceritakan tidak pernah ke mana-mana. Jalan dari kantor ke Kemang aja dia nyasar. Dia mengeluhkan nobar di Jakarta Selatan yang ia anggap terlalu jauh jaraknya dengan rumah yang di Pusat. Richard membiarkan dirinya stuck di satu tempat saja. Dan ini dibuat paralel dengan kenapa ia sampai sekarang masih susah menjalin hubungan percintaan. Richard punya sesuatu di masa lalu, dan praktisnya dia belum move on dari sana.

Cinta itu urusan ruang dan waktu. Kita tidak bisa memaksakan kapan. Tak jarang, kita harus menempuh banyak sebelum mencapainya.

 

Ketika aku menyebut Love for Sale adalah film yang berani, aku tidak semata memaksudkan karena film ini berating dewasa dan akan ada adegan-adegan yang bikin risih  di dalam ceritanya. Love for Sale memiliki banyak persamaan dengan film Her (2013) buatan Spike Jonze. Strukturnya nyaris sama persis, kecuali tentu saja ini lebih seperti versi yang lebih grounded buat penonton Indonesia dan di bagian krusial yang dengan nekat diambil oleh sutradara Andy Bachtiar Jusuf. Ada banyak cara untuk membuat penyelesaian cerita ini, dan film memilih mengambil cara yang paling banyak memancing pertanyaan. Itulah yang namanya nyali. Film lain akan  memilih jalan yang paling terang sebagai babak akhir cerita, you know, Richard dan Arini kemungkinan besar akan dibuat berakhir hidup bersama entah itu Arini juga jadi beneran jatuh cinta atau Richard akan membebaskan Arini dari jerat ekonomi di mana mereka akan mengonfrontasi Love Inc. Tapi tidak demikian dengan Love for Sale. Ketika cerita membuat Arini tampak too good to be true untuk kemudian beneran ‘menipu’ Richard, film meniatkan agar Arini juga ‘menipu’ kita, para penonton. It was so believable Arini cinta, dia dibuat begitu loveable, hanya supaya kita juga merasa terenggut darinya.

Film ini menghasilkan sebuah hubungan percintaan yang digarap dengan sudut pandang yang matang. Everything is reasonable here. Bahkan adegan bersetubuh yang tergolong tabu dalam film ini memiliki kepentingan tersendiri. Sungguh pilihan yang bijak dari Andy Bachtiar untuk tidak mempersembahkan seks sebagai tujuan dari hubungan antara pria dengan wanita, yang mana bisa dibilang film ini masih menghormati budaya lokal. Tujuan Richard adalah memperistri Arini, dan ini membuktikan dia menghargai cinta di atas kepura-puraannya. Dan ultimately, Richard belajar bukan semata perasaan dicintai yang penting, yang ia cari – melainkan kemampuan untuk menyintai dengan tulus, dan ini dia buktikan kepada orang-orang di sekitarnya. Ending film ini sangat powerful, melihat Richard yang menyadari Arini adalah rebound yang ia butuhkan untuk menemukan kembali kemampuannya untuk move on dan mengenali cinta di manapun dia berada.

kata orang kalo cinta, lepaskan aja, cinta sejati selalu akan kembali menemukan jalan pulangnya

 

 

Di samping aku enggak begitu setuju dengan taktik film menggunakan layar media sosial sebagai pendukung penceritaan, sedikit kekurangan yang dipunya film ini adalah perihal Arini dan Love Inc yang dibuat terlalu misterius. Bukan di apa yang sebenarnya terjadi, karena adalah hal yang bagus untuk membiarkan penonton menebak dan menyimpulkan sendiri. Hanya saja menurutku, mestinya film menjelaskan atau membangun dunia Love Inc itu sendiri sebagai not necessarily bukan hal yang dijadikan pertanyaan. Simpelnya maksudku adalah kita berhak dikasih penjelasan apakah ada orang lain di dunia cerita tersebut yang memakai jasa Love Inc, karena kita lihat mereka mencetak dua ratus ribu eksemplar selebaran di percetakan milik Richard. Seharusnya kan paling enggak ada orang selain Richard yang juga menggunakan, yang jadi ‘korban’. Film ini kurang berhasil membangun seputar keberadaan program tersebut, dan ini membuatku bertanya-tanya, apa memang Richard ditargetkan sedari awal? Oleh siapa? Sebab rasanya long stretch sekali untuk mempercayai apa yang sudah dipersiapkan Arini buat dirinya.

 

 

 

Drama tentang kebutuhan manusia akan hubungan romansa yang diceritakan dengan berani. Bekerja efektif berkat arahan dan penampilan akting yang benar-benar hit home dari hampir semua tokoh. Film membuild ceritanya dengan perlahan, namun sangat seksama, sehingga membuat kita sulit terlepas dari apa yang sedang kita saksikan. Fresh bagi film Indonesia, namun tidak cukup unik. Tapi aku senang karena film ini adalah bagian dari langkah move on perfilman tanah air dari film-film mainstream , dengan benar-benar punya sesuatu untuk disampaikan. Langkah yang mungkin enggak cepat-cepat amat, kayak kura-kura si Richard, namun tak pelak sebuah langkah yang mantap.
The Palace of Wisdom gives 7.5 gold stars out of 10 for LOVE FOR SALE.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We?
We got the PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017