UNDERWATER Review

“If you hit rock bottom, the only way to go is up”
 

 
Pesimistis merupakan gambaran sikap atau keadaan pikiran seseorang yang mengharapkan yang terburuk dalam hal apapun. Yang belum apa-apa udah gak antusias duluan, hilang harapan, dan gak mau muluk-muluk mikir bakal berhasil. Si pesimis inilah yang jadi tokoh utama kita dalam sci-fi horror/thriller Underwater. Namanya Norah. Salah satu kalimat perkenalannya kepada kita literally soal dia yang menjadikan sifat pesimis sebagai zona nyaman. Sebagai seorang mekanik di stasiun pengeboran minyak raksasa di bawah laut, ia curhat ketika soal di bawah sana, dia enggak tahu lagi hari dan hanya melakukan kerjaannya. Dia gak ngeluh, just stating a fact. Aku akan kehilangan minat sama sekali ama tokoh ini, jika kemudian aku tidak melihatnya bimbang sejenak dan mengurungkan niatnya mengguyur laba-laba di wastafel. Adegan kecil inilah penentu yang mengisyaratkan cewek bondol yang diperankan Kristen Stewart ini bukan satu-dimensi, bahwa ada sesuatu yang menyebabkan dia ‘menipu’ diri dengan bersikap pesimis.
Jadi jangan pesimis duluan sama film ini. Memang, film jenis ini sudah banyak. Dan dengan ‘jenis ini’, yang aku maksud adalah film-film sci-fi horor yang meniru Alien (1979). Let’s just face the fact, di tahun 2020 ini Alien sudah sah jadi kakeknya horor-horor sci fi. Setiap film generasi baru dalam genre ini hampir pasti bakal mirip, entah itu nyontek, ngasih tribute, ataupun memparodikan dirinya. Sebegitu hebatnyalah Alien. Kita bakal terus membanding-bandingkan cerita seperti ini dengan Alien, karena film itu udah jadi batas atas. Salah satu poin minus Underwater toh memang meminjam banyak elemen dari Alien. Dalam film ini kita bahkan akan menjumpai adegan bayi monster yang melompat keluar dari tubuh korbannya. Formula ceritanya mirip, karakter-karakter pendukungnya mirip. Banyak yang menyipitkan mata menyebut film ini hanyalah Alien di dasar laut, alih-alih luar angkasa. Namun actually, perbedaan tempat ini berhasil menjadi penanda yang memisahkan antara keduanya.
Stasiun raksasa tempat Noah bekerja meledak. Bersama beberapa orang yang selamat, Norah berusaha mencari cara untuk menyelamatkan diri ke permukaan. Mereka harus berjalan kaki di dasar laut, menuju stasiun sebelah yang masih memiliki kapsul penyelamat. Masalahnya adalah kondisi di sana sama sekali belum stabil. Ledakan susulan bisa terjadi kapan saja. Belum lagi tekanan air dan jarak tempuh yang berkemungkinan perjalanan menjadi terlalu beresiko bagi mereka. Dan ketika mereka beneran nekat mencoba, satu faktor bahaya lagi muncul. Penyebab ledakan fasilitas pengeboran mereka ternyata adalah monster-monster. Norah beserta rekan-rekan kini tak ubahnya bebek mainan di kolam. Menunggu monster-monster datang ‘mempermainkan nyawa’ mereka.

gimana gak pesimis; sudah 2020 dan tetep, blackman game over duluan

 
Underwater mengikuti semua klise sekelompok orang yang terjebak kemudian harus survive dari monster yang satu persatu memangsa mereka. Namun semuanya dilakukan dengan kompeten, dan menarik. I did enjoy this very much. Dalam teori skenario yang keren, tokoh utama akan selalu dipaksa untuk mengambil tindakan. Rintangan demi cobaan selalu datang menghantam. Tokoh akan selalu ditempatkan di posisi yang mengganggu baginya, yang menantang kepercayaannya. Underwater punya ini semua. Norah si pesimis terus disuruh untuk aktif menyelamatkan diri. Musuh Norah bukan hanya monster-monster kayak alga. Melainkan juga keadaan. Ledakan dan runtuhnya struktur stasiun. Tekanan air. Film enggak membuang waktu untuk terus menyerang Norah. Belum ada lima-belas menit, kita sudah melihat adegan aksi menyelamatkan diri dari stasiun yang meledak, bocor, kemasukan air. Lingkungan film ini semuanya digunakan sebagai halangan untuk tokoh utama, menyebabkan cerita selalu berada dalam kondisi menegangkan.
Setiap menit yang disediakan, berusaha dimanfaatkan oleh sutradara William Eubank untuk membangun kengerian sekaligus karakter. Kredit pembuka film ini saja dipakai untuk menampilkan judul-judul berita, sebagai usaha film melandaskan cerita seputar pembangunan stasiun pengeboran, batas alam mana yang mereka langgar sehingga bumi, katakanlah, menyerang balik. Antara adegan survival satu dengan yang lain, cerita akan mengerem sebentar untuk mengembangkan karakter. Norah diberikan hubungan emosional dengan rekan-rekannya. Dan di sinilah peran Kristen Stewart sangat dibutuhkan oleh film. Sekali lagi, jangan pesimis dulu padanya mentang-mentang ia jebolan Twilight. Stewart adalah bagian terbaik dalam film ini.
Dari nyeletuk soal apapun yang mereka lakukan mereka bakal jadi mayat yang ngambang di permukaan laut, hingga ke keteguhannya untuk tinggal dan menyelamatkan, Norah punya banyak momen pembelajaran. Stewart membawakan itu semua dengan sangat meyakinkan. Helm dan baju selam bukan hambatan bagi aktingnya. Jujur, waktu yang dipunya oleh film ini untuk development karakter sebenarnya enggak cukup. Underwater pada akhirnya masih tampak seperti aksi demi aksi dengan tokoh-tokoh yang mudah dilupakan. Jika bukan karena Stewart yang kini kuat dalam permainan ekspresi dan emosional, Norah bisa ikut-ikutan terlupakan. Tapi enggak. Perjalanan tokoh ini soal mengubah pesimis menjadi amunisi yang produktif tetap terasa sebagai tulang punggung film.

Sifat pesimis tidak melulu menghasilkan sesuatu yang negatif. Norah dalam film ini menyontohkan bahwa pesimis justru membuat dirinya bisa berpikir selangkah lebih maju. Membuatnya mengantisipasi hal-hal merugikan, dan mengubahnya menjadi langkah pencegahan dan menolong orang. Pesimis bisa dijadikan sebagai tameng defensif yang mencegah kita untuk terlalu kecewa tatkala sesuatu yang buruk sudah dikenali sedari awal. Orang-orang yang pesimis, dalam kondisi terbaik mereka, selalu adalah yang pertama kali sadar mereka berada di bawah dan jalan satu-satunya bagi mereka adalah ke atas.

 

orang yang optimis akan jalan kaki sambil membayangkan lewat di depan rumah nanas

 
Dunia Underwater terwujud dengan ciamik. Set dan desain produksi film ini cukup niat, sehingga semua yang terjadi di depan mata kita tampak otentik. Baju selam yang mereka kenakan aja terbangun dengan kuat, sampe-sampe aku merinding sendiri saat melihat mereka yang berdiri di dalam lift yang turun hingga terendam air. Baru sekali itu aku kepikiran betapa mengerikan rasanya mengetahui tubuh kita berada di dalam air, tapi badan kita sama sekali enggak basah. Itu gak normal. Dan aku beneran jadi merinding sendiri di bioskop.
Aku suka satu adegan kematian yang melibatkan helm baju selam yang rusak, karena ini juga menambah suspens dan dilakukan dengan menarik. Monster-monster juga diperlakukan dengan pas. Aku enggak tau budget film ini, tapi melihat banyaknya adegan gelap – jalan di dasar laut dapat jadi cukup membosankan karena gelap dan berlumpur tak kelihatan apa-apa jika dibandingkan dengan adegan-adegan di awal film – seperti mengisyaratkan film ini berusaha memaksimalkan budget mereka (terkait penggunaan efek). Dan ini efektif. Monster-monster hanya diperlihatkan sekelebat di tempat-tempat gelap, yang menambah kesan seram berkali lipat. Dan ketika mereka ngejumpscare, rasanya alamiah, sebab tentu saja makhluk yang mendekat diam-diam ingin memangsa kita akan menerkam di detik-detik terakhir. Ada shot keren yang aku suka banget menjelang akhir saat Norah menembakkan flare ke laut untuk melihat sosok ‘bos’ film ini, dan kita juga hanya melihat monster raksasa itu dari pendaran flare yang menembus air. Memberikan ruang bagi imajinasi kita untuk berenang liar, membuat monster ini jadi lebih seram dari yang bisa diciptakan oleh film ini. Pikiranku malah sampe ke Emerald Weapon FFVII saat menyaksikannya.
Range yang cukup curam dari ledakan dan runtuhnya bangunan ke berjalan dalam kegelapan membuat bagian tengah film ini memang terasa membosankan. Apalagi film juga tak menghindar dari membuat tokoh-tokoh pendukung melakukan hal-hal bego, seperti balik mengambil pistol yang ketinggalan di dalam goa. Namun tidak ada yang lebih merusak tone daripada tokoh yang diperankan oleh TJ Miller. Sepertinya memang dalam setiap grup harus selalu ada satu orang yang aneh, yang begitu random sehingga membawa boneka kelinci ke manapun dalam situasi apapun, orang yang suka ngelucu meskipun tak-pada tempatnya. Tokoh tipe ini memang dimasukkan sebagai peringan suasana, biar film gak serius amat, mengendorkan tensi dan semacamnya. Akan tetapi, mengingat film ini punya waktu yang sempit untuk memberikan dorongan dramatis untuk tokoh utama, gimmick tokoh yang dimainkan Miller ini kerasa mengganggu development Norah, dia tampak enggak cocok berada di sana, dan ya, terasa membuang-buang waktu saja.
 
 
 
 
Baru dua minggu di 2020, dan kita sudah mendapat kejutan yang menyenangkan. Film ini benar klise, banyak mengambil adegan dari film lain, punya tokoh-tokoh yang tipikal. Tapi ia melakukannya dengan sangat baik. Ini adalah jenis horor/thriller yang simpel; lari, ngobrol, lari, ngobrol, lari, tapi ia terus menemukan cara untuk membuat memaksimalkan perjalanan tokoh utama. Semuanya dijadikan sebagai musuh, sebagai tantangan. Membuat cerita original dengan shot-shot menegangkan ini menjadi superseru. Jikalau proyek ini mendapat perhatian yang lebih serius lagi, dapat waktu yang lebih banyak untuk cerita lebih dieksplorasi, bukan tidak mungkin dia bakal jadi salah satu mutiara di tengah lautan perfilman. Untuk saat ini, ia cukup menjadi pembuka memuaskan dari skena horor di tahun ini.
The Palace of Wisdom gives 6.5 gold stars out of 10 for UNDERWATER.

 
 
 
That’s all we have for now.
Jika menjadi optimis terlalu susah, cobalah untuk memanfaatkan pesimismu sebagai keuntungan. Menurut kalian apa sih bedanya antara pesimis dengan mudah menyerah? Pernahkah kalian punya masalah overthinking?
 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

THE LIGHTHOUSE Review

“For a man who loves power, competition from the gods is annoying”
 

 
Enggak ada hal baik yang bisa terjadi ketika dua pria terjebak bersama di suatu tempat yang mengharuskan mereka berbagi peranan. I mean, bayangkan tumpah meruahnya testosteron di tempat itu. Sejak dari zaman purba, pria memang paling hobi bersaing. Namun Darwin sekalipun bakal bingung jika ia melihat evolusi kompetisi di dunia yang semakin kompleks. Pria bukan lagi bersaing demi hidup di esok hari, pria kini bahkan tidak puas hanya sekadar menang. Sekarang semua adalah soal menguasai seni kemenangan. Ada ego yang dipertaruhkan. Ketika menang dan harga-diri sudah dijadikan tujuan, seorang pria tidak bisa untuk tidak menang gemilang. Dan supaya menang gemilang, maka semua harus dipertaruhkan. Dan semua harus dipertaruhkan itu berarti kau mengerahkan apapun, kau kehilangan perspektif – kehilangan akal sehat.
Setidaknya mungkin itulah yang ingin disampaikan oleh Roberts Eggers dakam horor terbarunya setelah The Witch (2016) yang fenomenal dan sangat aku suka itu. Bukan cuma aku, aku yakin, setelah The Witch banyak penggemar horor yang menantikan karya original berikutnya dari sutradara ini. The Lighthouse hadir dengan menjawab ekspektasi semua orang. Jika pada The Witch Eggers diam-diam membahas soal wanita dan feminism empowerment di balik horornya, maka kali ini dia membawakan horor ke dalam dunia maskulin pria.
The Lighthouse bercerita tentang dua orang pria yang bekerja mengurus mercusuar di tahun 1890. Jadi belum ada internet untuk mengusir sepi. Televisi pertama bahkan baru akan ditemukan empat-puluh tahun kemudian. Kedua orang ini benar-benar sendirian di pulau kecil terasing tersebut. Mereka hanya punya masing-masing untuk teman ngobrol. Masalahnya adalah, Ephraim Winslow tidak percaya sama seniornya yang lebih lama bekerja di mercusuar tersebut. Sikap Thomas Wake yang udah kayak kapten kapal bajak laut memang lumayan aneh kepada Winslow. Pembagian tugas diberikannya dengan sedikit timpang; Winslow mengurus kerjaan kasar di siang hari – mancing ikan untuk makan, ngangkut bahan bakar untuk listrik dan pemanas rumah, plus disuruh-suruh bersihin rumah. Sementara Wake sendiri bertugas mencatat laporan rahasia dan begadang di malam hari menjaga lampu suar di menara. Satu-satunya tempat yang tidak boleh didekati oleh Winslow. Pikiran negatif terhadap Wake mulai merasuki pikiran Winslow. Alkohol dan keadaan hidup yang sulit memang membuat mereka menjadi teman. Namun kondisi semakin intens ketika mereka terjebak di sana begitu badai menerjang. Winslow tak tahu lagi harus percaya kepada siapa; kepada Wake yang penuh omong kosong, tahayul, dan peraturan gak-adilnya – ataukah kepada pikirannya sendiri yang perlahan semakin menggila.

mercusuar bentuknya udah kayak penis, cocok sebagai panggung horor dua pria ini.

 
Bukan tipikal horor yang menakutkan, jika kalian mengharapkan ada penampakan yang mengagetkan, atau ritual perjanjian dengan iblis, maka film ini niscaya akan bikin kalian kecewa. Horor yang disuguhkan oleh The Lighthouse adalah tipikal horor yang mengganggu. Di dalamnya ada elemen thriller, ada elemen fantasi. Yang paling kuat terasa adalah elemen psikologis. Gambar-gambar mengerikan dalam terms film ini adalah gambar-gambar surealis serupa yang biasa ditemukan dalam karya David Lynch, you know, hal-hal ganjil yang awang-awang antara kenyataan atau hanya figmen alias imajinasi dari si tokoh. Mungkin kalian pernah mendengar anekdot ‘saat terperangkap di pulau bersama seseorang, hal apa yang akan engkau bawa’. Nah, film ini seperti mengingatkan kepada kita bahwa permasalahan yang sebenarnya adalah bukan pada apa yang dibawa, melainkan sama siapanya. Horor yang ditunjukkan oleh The Lighthouse berupa kengerian terjebak, hidup bersama, seseorang yang tidak kita tahan. Entah itu karena menjengkelkan, karena benci, karena enggak sejalan pikiran, atau karena enggak bisa dipercaya.
Dan oh boy, betapa kedua tokoh kita ini tidak bisa dipercaya. Sudut pandang mereka dengan sengaja dikaburkan oleh film. Padahal kita seharusnya memegang paling tidak salah satu dari mereka. Paranoia itu memang bukan saja disarangkan kepada para tokoh, kita yang nonton juga benar-benar diajak untuk merasakan hal yang sama.
Mari kita lihat dinamika kedua tokoh ini, mulai dari si Winslow sebagai tokoh utama. Robert Pattinson memberikan penampilan terbaik sepanjang kariernya sebagai Winslow. Range tokoh yang ia perankan ini luas sekali. Tokoh ini tadinya pendiam, dia seperti gak suka ngomong, dan later kita bakal mengerti kenapa dia lebih suka untuk menyimpan kata-kata untuk dirinya sendiri. Dia punya teori-teori sinting tentang tempatnya bekerja, tentang rekannya. Dia punya masa lalu yang masih diperdebatkan kebenarannya – namanya bahkan sebenarnya bisa jadi bukan Winslow dan ada kemungkinan si Winslow yang asli menghilang karena perbuatannya. Bibit konflik Winslow dengan Wake bermula dari Wake yang enggak pernah diam. Entah itu meneriakkan perintah kepada Winslow, ataupun ngobrol apa saja saat makan malam. Willem Dafoe dengan aksen raunchy memang tidak tampak sebagai orang jujur seratus persen. Dia malah seperti menyetir Winslow – yang hanya ingin bekerja dengan benar – melakukan hal-hal yang ia inginkan, kadang dengan alasan yang gak jelas. Teman bicara yang seperti menyimpan sesuatu, kerjaan yang sepertinya lebih berat dari seharusnya, tempat yang semakin mengisolasi, belum lagi dorongan alami sebagai seorang pria, kita akan menyaksikan langsung Winslow menjadi kehilangan kewarasan. Dan mungkin bukan dia saja yang sudah edan. Ada adegan Wake mengejar Winslow dengan kapak, dan beberapa menit kemudian dua tokoh ini berusaha berdamai, dan Wake malah menyebut dirinya takut karena baru saja dikejar oleh Winslow pake kapak. Juga ada obrolan ketika Winslow yakin mereka ketiduran karena mabok satu hari, sedangkan Wake berkata mereka sudah ketiduran berhari-hari. Bener-bener sulit mengetahui siapa yang bohong, seolah dua orang ini juga berlomba siapa yang paling jago mengelabui.
Bukan lagi dua orang ini saja yang di ambang kegilaan karena saling gak tahan dan karena keadaan terjebak. Film juga mendorong kita untuk merasa sinting bersama mereka. Lihat saja aspek teknis film. Editing yang bikin kita bingung mana yang nyata, mana yang rekayasa. Belum lagi bentrokan desain suara, satu detik kita mendengar deburan ombak yang menenangkan, detik berikutnya raungan mesin memekakkan telinga kita. Warna hitam putih dan ratio kamera yang membuat layar sekubus kecil bukan hanya digunakan supaya period piece film semakin kuat terasa. Melainkan juga untuk memberi kesan terbatas, sempit. Minim warna membuat kita tak yakin apa yang sedang kita lihat, dan layar yang persegi menghantarkan perasaan terjebak yang dialami para tokohnya.
Disclaimer: Tidak ada camar yang dilukai, dan tidak ada mermaid yang ternodai dalam pembuatan film ini

 
Keambiguan adalah menu spesial film ini. Tidak ada jawaban yang pasti. Jika kalian mengajak pacar buat nonton, niscaya di akhir film kalian bakal mendapat dua interpretasi berbeda tentangnya. Ending film yang bikin garuk-garuk telinga sambil mangap itu bisa dijadikan kunci untuk memulai sebuah interpretasi. Yang kita lihat adalah pemandangan yang cukup familiar; sebuah scene ikonik dari mitologi Yunani yakni Prometheus yang isi perutnya dimakan oleh burung-burung. Dosa Prometheus dalam mitologi adalah dia berusaha mencuri api dari Dewa. Ini exactly yang kita lihat dalam film. Winslow berusaha mengambil alih lampu menara suar, lampu yang dilarang baginya oleh Wake. Banyak petunjuk, baik lewat dialog maupun adegan fantasi, yang menunjukkan perbandingan langsung antara tokoh film dengan tokoh dalam mitologi Prometheus. Cerita Prometheus sendiri bermakna tentang persepsi kekuasaan (power) – Prometheus merasa dirinya pantas menjadi dewa bagi manusia sehingga ia mengambil tindakan yang ia lakukan – yang cocok disandingkan dengan cerita Winslow dan Wake.

Penting bagi pria untuk berada di posisi yang mencerminkan kuasa yang ia miliki. Winslow adalah pekerja keras, ia merasa kerjaannya lebih berat, jadi mengapa ia tidak bisa berada di atas suar. Bagaimana kita merasa harus diperlakukan sesuai power yang kita miliki adalah gagasan cerita yang terpikir olehku. Kadang ego pria seperti Winslow, juga Wake, begitu besar sehingga pria either mengambil jalan pintas untuk mengambil posisi yang ia merasa pantas, atau menjadi gila kekuasan karena menanggap hanya dirinya yang pantas.

 
So yea, film tidak peduli sama sekali bahwa dia tidak mengangkat cerita yang trendi, isu yang hangat, film ini tidak berusaha menjadi mainstream. Dia juga tidak merasa sok jago dan nge-art banget sehingga jadi pretentious. Film ini actually punya selera humor yang kocak terhadap hal tersebut. Sebab sepertinya sengaja menuliskan tokohnya sebagai tukang kentut. Seolah meledek kita yang sok bangga nonton film ‘berat’. Kentut di sini juga bekerja dalam konteks cerita. Semua orang punya batas kesabaran. Dan garis ambang toleransi Winslow kepada Wake terletak pada kentut tersebut.
 
 
 
Bukan horor konvensional, melainkan horor yang begitu intens mengenai pergolakan power antara dua pria. Meskipun kebanyakan isinya ngobrol dan ngajak kita berpikir (bahasa yang digunakan tokoh berdialog juga enggak langsung mudah dicerna), tapi cerita tak pernah membosankan. Keambiguan dan cara ngecraft cerita sehingga kita seakan turut menjadi gilalah yang menjadikan film ini spesial. Film adalah soal pengalaman menonton. Pengalaman horor yang ditawarkan oleh film ini adalah salah satu pengalaman terbaik yang bisa kita rasakan sepanjang tahun.
The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold stars for THE LIGHTHOUSE

THE NIGHTINGALE Review

“In tragedy, empathy still dependent of proximity”
 

 
Belum lama ini, peringatan kemerdekaan negara kita sempat tercoreng oleh peristiwa berwarna rasisme yang terjadi pada sekelompok mahasiswa asal Papua di Surabaya, yang berbuntut panjang. Aku bukannya bilang film The Nightingale menggambarkan peristiwa yang sama persis, tapi yang digambarkan oleh drama period piece yang berlokasi di Pulau Tasmania, Australia ini – yakni arogansi sosial yang berakar pada kolonisasi – kurang lebih mirip dengan yang kita temukan pada lingkungan modern. Jika pemuda Papua dihardik monyet oleh aparat, maka bangsa Aborigin dalam The Nightingale dipanggil “Boy!” Namun bukan dalam artian sebagai anak kecil, melainkan ‘boy’ yang berarti panggilan kepada binatang ternak/binatang peliharaan.
Clare, tokoh utama kita, berkulit putih – tapi ia tak bernasib lebih baik. Sedikit, karena dia adalah pendatang tawanan. Dan sebagian besar karena dia adalah wanita. Clare memang tidak dipanggil ‘Boy’, tapi bagi serdadu Inggris dia tak lebih dari sekadar burung penyanyi (nightingale adalah burung bulbul yang bersuara merdu). Clare adalah properti bagi Letnan Inggris yang membawanya ke Tasmania. Nasib Clare tak berbeda dari Billy, ‘orang hitam’ yang ia sewa untuk mencari jejak si Letnan Inggris yang menyisir hutan bersama orang-orangnya menuju ke kota, satu hari setelah menghancurkan keluarga Clare, dan membiarkan wanita itu mati.

oke sekarang aku pengen melihat Nightingale melawan Mockingjay

 
The Nightingale punya intensi seperti Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak (2017) tapi dengan pengembangan seperti Three Billboards Outside Ebbing, Missouri (2017). Bermula seperti sebuah cerita balas dendam perempuan, film ini lantas membuka dengan suara yang menarik. Nafsu membalas itu dapat kita rasakan perlahan sirna; segala kekerasan yang diwariskan di antara kelompok kulit putih penjajah, segala diskriminasi dan pelecehan, bahkan ketidakpedulian terhadap lingkungan, semua ‘kejahatan’ yang ingin dibetulkan oleh aksi Clare itu tampak tidak penting lagi. Bukan lantaran hal-hal tersebut perlahan membaik, ataupun karena Clare menjadi takut, melainkan sepanjang perjalanan yang ia lalui bersama Billy, ia menjadi punya sesuatu yang baru untuk dilihat – untuk dipertimbangkan. Gagasan yang ingin diangkat oleh sutradara Jennifer Kent tidak sesederhana kejahatan akan mendapat balasan. Tidak, karena kekerasan yang akan berbuntut pada kekerasan hanya akan membentuk lingkaran setan kehancuran manusia yang akan terus bergulir. Kent justru mengangkat pertanyaan ‘bagaimana jika cara lain di luar balas dendam’. Dan terutama, ‘masihkah kemanusiaan itu akan ada di dunia yang penuh dengan kekerasan’.

Sakit itu tentu masih terasa. Lukanya bahkan mungkin tidak akan pernah sembuh. Alih-alih saling membalas sehingga orang merasakan sakit yang kita derita, mungkin jawaban dari semua itu adalah mendekat untuk merasakan sakit yang orang derita. Saling berempati. Sehingga kita merasakan kesamaan dengan orang  di sekitar kita, tidak peduli warna kulit, dan agama mereka.

 
Meskipun cerita mengambil tempat pada tahun 1825, saat The Black War berkecamuk di Tasmania; menjadikan jalan-jalan di pedalaman Tasmania sangat berbahaya karena tensi yang begitu tinggi antara serdadu kolonial Inggris dengan penduduk lokal yang semakin tersingkir dan diperlakukan tidak manusiawi, The Nightingale terasa seperti berita yang kita temukan di internet tadi pagi. Segala yang kita rasakan saat menonton peristiwa naas demi peristiwa naas di film ini begitu relevan.  Menyaksikan setiap frame film ini seperti menyaksikan kejadian asli. The Nightingale baru film panjang kedua Jennifer Kent (sebelumnya adalah The Babadook yang super-seram tentang grief seorang ibu beranak satu itu), tapi sutradara yang satu ini sangat bernyali.
Film ini disajikan olehnya dengan begitu disturbing. Banyak adegan kekerasan, mulai dari pemerkosaan, pembunuhan, hingga sesuatu yang keji yang dilakukan kepada anak keci, yang ditampilkan tanpa tedeng aling-aling. Supaya kita semua tahu betapa mengerikannya perilaku penjajah. Namun aspek tersebut tidak pernah dialamatkan sebagai gimmick semata. Kekerasannya tidak sebagai pengalih perhatian kita dari cerita yang hampa – ya, aku menyindirmu, wahai Perempuan Tanah Jahanam (2019) – ini tak pelak adalah salah satu film paling kompleks, paling menyakitkan untuk ditonton beberapa tahun terakhir. Bukan kekerasannya yang menarik perhatian kita. Melainkan setiap keputusan-sulit yang harus diambil oleh karakter, yang memaksa skenario untuk maju, yang membuat film semakin menarik untuk kita ikuti. Ada simbol-simbol menyejukkan yang digunakan oleh film sebagai counter dari elemen disturbing ini. Yang akan membuat kita terdistract dan berusaha memahami makna burung yang jelas-jelas dijadikan metafora, nyanyian, bahkan landscape dari belantara itu sendiri.

untung gak ada yang suka burung gagak, jadi kita selamat dari mendengar ‘entah apa yang merasukimu’

 
Mengingat betapa kerasnya film ini, kita hanya bisa membayangkan berat dan konflik moral yang harus dilewati oleh para aktornya. Tidak mungkin mereka enggak mendapat bimbingan atau konseling dari psikolog setelah memainkan beberapa adegan yang sangat brutal tersebut. Karena mereka memainkan peran dengan begitu… nyata. Tidak sedetik pun aku merasa melihat seseorang yang pura-pura jadi orang jahat atau orang teraniaya. Baykali Ganambarr yang main sebagai Billy, this is just his first feature, tapi tampak begitu natural. Kita tidak pernah melihatnya sebagai kaku dan dingin walaupun tokohnya memang diniatkan canggung dan ‘berjarak’ pada awalnya dengan tokoh utama. Peran yang cukup tricky lagi adalah sebagai antagonis – letnan Inggris – yang jahat dan nyebelin. Peran ini ditangani oleh Sam Claflin, truly like a pro. Meskipun tokohnya ini nyaris satu-dimensi tapi kita tetap mendengarkan semua gagasannya, kita pelototin semua perbuatannya, dan kita sungguh-sungguh benci padanya, seperti, kita sudah melakukan suatu hal yang tepat dengan membencinya sehingga kita justru tidak ingin dia melakukan hal yang mengkhianati ‘kejahatannya’. Claflin tidak terjebak ke dalam karakter over-the-top. Dia juga tidak tampak seperti sedang berakting. Dia memainkan adegan-adegan yang sangat ‘mengganggu’ dengan keotentikan seseorang yang harus bertindak jahat  demi menunjukkan powernya. Claflin sangat sukses memainkan tokoh antagonis yang sebegitu jahatnya kita suka untuk membencinya.
Sedangkan tokoh utama kita, Clare, diperankan oleh Aisling Franciosi yang memberikan salah satu permainan peran paling menyayat hati tahun ini. Karakternya benar-benar menempuh perjalanan yang ekstrim, secara emosional. Bayangkan grafik yang bergelombang naik dan turun, nah pada setiap titik terendah menuju ke atas dan setiap titik tertinggi menukik ke bawah; di situlah saat akting Franciosi terasa sangat fenomenal. Sehingga emosi Clare tak mencuat dibuat-buat, melainkan benar-benar bersumber dari kesakitan yang teramat kita pahami. Pretty much, setelah semua yang ia lalui di awal cerita, Clare PTSD, dan sentuhan yang diberikan oleh Franciosi benar-benar hormat kepada PTSD itu sendiri; yang tak tereksploitasi secara berlebihan.
Sayangnya, ada beberapa kali kita terlepas dari tokoh Clare. Tepatnya pada saat adegan-adegan mimpi. Inilah yang menurutku merupakan sedikit kelemahan dari The Nightingale. Aku bisa mengerti durasi dan temponya yang cukup lambat. Aku bisa paham kenapa babak ketiga seperti mengulur-ngulur waktu menuju peristiwa yang sudah kita nantikan dengan geram. Tapi penggunaan adegan mimpi dalam film ini; sebenarnya bisa dimengerti juga kepentingan adegan-adegan tersebut. Film ingin menunjukkan progres batin Clare, dari dia takut sebagai korban berubah menjadi gentar karena nun jauh di balik hatinya dia balik merasa dirinya bersalah.  Adegan film ini juga jadi ruang untuk mengembalikan sang sutradara ke habitat semula; ke ranah horor. Dalam film pertamanya, The Babadook, yang notabene film horor juga banyak menampilkan adegan mimpi. Dalam The Nightningale juga sama. Peristiwa-peristiwa yang tergambar dalam adegan mimpi tersebut semuanya mengerikan.  Banyak, katakanlah hantu, yang kadang muncul dengan wajah seram. Hanya saja yang jadi masalah adalah repetitifnya adegan-adegan mimpi itu terasa. Strukturnya selalu sama. Semuanya berakhir dengan kemunculan sosok yang paling seram, Clare yang tadi berjalan (atau berlari) terbelalak, dan kemudian dibangunkan. Adegan mimpi yang jumlahnya lumayan banyak ini jadi tak-kejutan lagi, jadi tertebak, sehingga malah seperti lebih kuat berfungsi sebagai transisi – atau bahkan; jeda iklan – ketimbang pandangan mendalam dari psikologis Clare.
 
 
 
 
Jennifer Kent membingkai kebrutalan penjajahan, menghidangkan kekerasan terhadap wanita, anak-anak, dan minoritas, tapi berhasil mengakhiri cerita tersebut dengan mengambil cara yang spesial. Ia memancing kita untuk melihat ke dalam. Tidak menjawab langsung, melainkan memberi kita jarak untuk mempertimbangkan. Ada masa ketika kita tidak sejalan dengan tokoh utamanya, yang tidak sepenuhnya kesalahan pada film. Melainkan ‘kesalahan’ kita yang telat untuk berubah, seperti tokohnya berubah. Film ini keras, susah untuk disaksikan karena kontennya yang no holds barred, namun merupakan salah satu film terpenting bagi siapapun yang ingin merasakan kemanusiaan.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for THE NIGHTINGALE

 
 

PEREMPUAN TANAH JAHANAM Review

“No man is free who is not master of himself.”

Tidak ada tandingan kepercayaan diri Joko Anwar jika sudah berbicara tentang film horor. Horor memang sudah zonanya dia, afterall. Anwar memang sangat peka terhadap unsur-unsur kengerian, dia paham membangun, memancing dan kemudian mengeluarkan horor itu dengan baik, sehingga film-filmnya tidak sekadar jumpscare ngagetin. Opening Perempuan Tanah Jahanam membuktikan itu.
Kita melihat dua orang wanita ngobrol dalam loket tol masing-masing lewat handphone. Keduanya adalah penjaga karcis tol. Satu di antara mereka, Maya (Tara Basro sudah jadi trademark dalam film Joko Anwar seperti elemen perempuan hamil), mengaku ketakutan lantaran ada mobil kuno yang sama terus bolak-balik masuk ke jalur loketnya. Di samping bekerja sebagai penghantar dan perkenalan karakter yang sangat efektif, sekuen pembuka ini juga bekerja seperti film pendek horor urban yang sangat menakutkan.  Build up pengadeganannya sangat tight. Tensi film seketika naik begitu pengemudi mobil kuno itu turun menghampiri Maya. Cahaya dan kamera kompak menghasilkan suasana malam di tol yang eery, sepi kecuali oleh ketakutan Maya yang menguar ke tempat duduk kita. Maya bicara dengan sang pria misterius, hanya dibatasi oleh jendela kaca. Pria itu berasal dari desa kelahiran Maya, mengenali Maya sebagai Rahayu. Dan Pria ini datang untuk membunuh Rahayu atas tindakan mengerikan yang dilakukan oleh orangtua Rahayu. Adegan yang menyusul akan membuat kita menjerit tertahan, sebab jika ini adalah Scream atau horor whodunit lainnya, Maya tokoh utama kita akan berada di posisi mati duluan
Maya boleh saja selamat dari peristiwa tersebut, tapi bulu kuduk kita akan terus dibuat berpush-up ria. Perempuan Tanah Jahanam masih punya banyak lagi setting dan punchline momen-momen seram. Salah satu favoritku adalah ketika Maya berjalan di pasar ruko yang sudah sepi. Dia sendirian mencari Dini, hanya ditemani sejumlah manekin yang membuat aku siap-siap memejamkan mata. Menonton Perempuan Tanah Jahanam ini; pendapatku tentang Joko Anwar masih sama. Bahwa dia lebih hebat sebagai sutradara ketimbang sebagai penulis skenario. Cerita Maya berlanjut menjadi semakin aneh. Suasana seram di desa dengan kondisi misterius yakni setiap bayi yang lahir selalu tak berkulit tidak pernah bisa sepenuhnya menutupi naskah yang lemah dan banyak menyisakan ruang untuk kita menertawai hal-hal konyol yang ditimbulkan. Maya jadi penasaran mencari tahu asal usulnya. Ternyata benar dulu dia bernama Rahayu, dan orangtuanya punya rumah yang sangat besar di desa. Maya dan Dini yang terang saja kapok kerja lagi di tol butuh duit untuk bisnis baju mereka. Properti besar di tanah yang penduduknya benci kepadanya dijadikan Maya sebagai jalan keluar. Maya nekat pergi ke sana dengan menyamar sebagai mahasiswa.

karena siapa sih yang mau membunuh mahasiswa… wohoo dalem.

See? pilihan Maya tampak reckless dan bego. Seseorang datang dari suatu tempat untuk membunuhmu, mengatakan seluruh desa mencarimu, kemudian kamu malah memutuskan untuk pergi ke desa orang tadi sendirian? Mungkin memang tergantung seberapa besar untung yang bisa didapatkan dengan pergi ke sana. Mungkin memang tergantung seberapa gede napsu kita untuk mendapatkan sesuatu sehingga mau pergi ke tempat berbahaya tanpa persiapan yang matang. Dan sepertinya itulah gagasan yang disampaikan oleh film ini. Soal menuruti napsu dan tak punya kendali. Makanya antagonisnya adalah dalang yang bermain wayang dari kulit manusia.
Ada tokoh yang against all logic mengaku bernama Rahayu kepada penduduk desa, hanya supaya cepat diberikan surat rumah oleh kepada desa. Bahkan petaka pertama yang memulai rentetan tragedi dan ritual di sejarah desa ini bermula dari Nyai yang kebelet napsu pengen punya anak. Satu bukti lucu yang membuatku menarik kesimpulan film ini bercerita tentang pentingnya mengendalikan diri adalah fakta bahwa setiap hari di desa itu lahir bayi. Pertanyaan yang langsung bikin aku penasaran saat menonton ini bukanlah kenapa bayi yang lahir selalu tak berkulit, melainkan kenapa selama dua puluh tahun dikutuk sedemikian rupa, masih ada juga penduduk yang hamil di desa terpencil nan kecil itu. Tidakkah penduduknya jera melihat bayi mereka direndam sampai tak bernyawa lima menit setelah lahir. Nafsu penduduk di sana sebegitu besarnya, bahkan memang ada satu adegan yang menunjukkan lelaki di desa ingin memperkosa tetangganya yang sudah tiga bulan ditinggal pergi suami.

Film menunjukkan betapa mengerikannya malapetaka yang bisa terjadi jika manusia hanya menuruti keinginan dan hawa nafsu, tanpa memiliki kendali diri. Pemimpin akan berbuat semena-mena. Pengikut tidak akan berpikir jernih. Kita tidak akan selamat jika tidak menjadi dalang bagi hidup sendiri. Sengsaralah jika kita tinggal di tempat seperti demikian. Tempat  manusia-manusia hanya jadi wayang itulah yang dinamakan tanah jahanam.

I mean, itulah yang bisa kutarik dari cerita horor yang hanya punya lapisan luar. Sila bandingkan ini dengan Midsommar (2019) yang juga horor sadis nan berdarah yang bukan konsumsi bawah tujuh-belas tahun. Di balik peristiwa Dani terjebak di komunitas kecil yang ternyata adalah sekte dengan ritual-ritual pencabut nyawa, Midsommar adalah cerita tentang hubungan-asmara yang buruk; tentang wanita yang butuh untuk dimengerti tapi sekitarnya tidak pernah benar-benar mendukung atau perhatian kepadanya. Perempuan Tanah Jahanam, terasa ompong di luar cerita tentang wanita yang kembali ke desa yang seluruh penduduk di sana menginginkan dia mati untuk menghapus kutukan yang dipasang oleh keluarganya kepada seluruh desa. Perempuan Tanah Jahanam punya dialog yang kadang menyentil agama, atau pemerintah, ataupun soal orangtua kepada anak. Namun malah terasa sebagai dialog tempelan semata karena tidak paralel dengan perjalanan Maya. Yang mana dikarenakan si Maya sendiri tidak berubah banyak di akhir cerita selain pengetahuannya soal masa lalu bertambah, dia tidak punya inner-plot. Ada pembicaraan soal perawan di awal film yang sempat disinggung lagi di tengah, tapi ternyata malah tidak berbuah apa-apa bagi narasi. Selain saat ada bayi normal yang lahir, pada latar berkumandang musik natal, yang menandakan bayi sebagai simbol keselamatan bagi perawan di tanah jahanam.

mungkin ada somekind of twisted orgy sehabis panen sehingga di sana setiap hari ada bayi yang lahir

Dosa paling jahanam yang dilakukan oleh film ini terletak pada perlakuannya menggarap flashback untuk mengungkap kebenaran dalam-cerita. Film dengan setting dan treatment dan craft semenawan ini tidak mengimbangi diri dengan penulisan yang rajin. Ada tokoh hantu di sini yang hanya berfungsi sebagai device flashback, yang dilakukan dengan sangat standar. Semua film horor level rendah melakukan ini; bikin tokoh utama tak sadar diri, kemudian si hantu akan memberikan kenyataan berupa kejadian flashback begitu saja. Ini aku belum akan cerita soal narasi bagian pengungkapan itu yang juga tidak masuk akal. Motivasi dalang utama cerita ini sungguh tak logis, dan dikerjakan dengan berbelit-belit. Supaya gak diteriakin “Spoiler, woy!” maka di sini aku cuma bilang: kalo dia bisa santet dan ritual segala macem, kenapa enggak langsung bunuh, kenapa mesti menempuh jalan yang lebih banyak korban.
Penulisan film ini sungguh parah sehingga kita akan sering tertawa geli menyaksikan adegan atau mendengar dialognya.
Ada adegan jumpscare temen Maya mencolek pundaknya, dari balik pintu terali – literally menjulurkan tangannya masuk ke terali. Orang macam apa yang memanggil teman dengan cara begitu, terlebih saat padahal dia punya kunci pintu terali tersebut. Ada tokoh dosen sastra Rusia yang begitu random – kenapa musti Rusia dan enggak langsung sastra Jawa saja jika toh fungsi tokoh ini hanya menafsirkan aksara jawa kuno.
Ada dialog seperti “Mau BH?” atau “Itu rumah siapa?” yang dijawab dengan “Itu rumah keluarga yang tinggal di sana saat saya masih kecil” – dialog semacam ini yang mestinya dihindari oleh setiap penulis naskah lantaran tidak memberikan informasi apa-apa, pun tak membentuk atau mencerminkan karakter.
Satu hal yang bisa kita pelajari soal karakter Maya adalah bahwa dia tidak bisa naik motor, karena ada adegan Maya mengalihkan perhatian penduduk kampung yang mencegatnya dengan motor. Maya melempar handphone ke arah yang berbeda sehingga kerumunan meninggalkan motor dengan keadaan menyala, dan Maya tidak menggunakan motor tersebut untuk melarikan diri dengan gampang.
Wow, jika mau me-nitpick, akan ada banyak sekali yang bisa dicecar.
Yang bikin aku tak habis pikir adalah jemuran Christine Hakim yang masih membulat padahal itu kulit manusia yang elastis bukan cetakan plastik.

It’s not a bad movie. Beneran. I do not hate it. Film ini dibuat dengan kompeten, ada passion dari pembuatnya. Aku hanya  tidak merasakan perkembangan sejak Pengabdi Setan (2017), kecuali kali ini Joko Anwar berusaha mengakhiri cerita dengan benar – menggunakan epilog ‘satu tahun kemudian’ sebagai hiasan – dan trademark Joko Anwar kali ini lebih terasa. Makanya film ini niscaya akan mendapat sambutan demikian hangat dari para penggemarnya. It’s an enjoyable thrilling ride. Hanya saja film ini cuma punya permukaan. Tidak banyak yang bisa kita dapatkan, selain dialog-dialog tempelan persepsi pembuatnya soal agama, pemerintahan, dan keadaan sosial yang relevan. Juga ada pembahasan soal dosa orangtua yang turun kepada anaknya. Penulisan film ini adalah sisi terlemah. Narasinya berbelit dan terlalu mengandalkan kepada unsur kejutan dan rangkaian kejadian alih-alih perkembangan tokoh sebagai seorang manusia. Aku enggan menggunakan istilah plot-hole, namun pada film ini banyak dijumpai hal-hal yang membuat film jatuh konyol dan tak masuk akal. Yang pria dari desa di awal film; tak pernah dijelasin darimana dia bisa tahu Rahayu kerja di tol atau bahkan wajah Rahayu sekarang.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for PEREMPUAN TANAH JAHANAM.

 



JOKER Review

“Smile even when it hurts”
 

 
Cerita origin Batman sudah kita dengar lebih sering dari yang kita pedulikan. Tapi cerita musuh abadinya, si Joker; well, beberapa orang – termasuk aku tadinya – lebih memilih untuk membiarkan asal-usul Joker tetap misterius. Sepertinya memang lebih ‘menantang’ jika latar tokoh yang kompleks ini dibiarkan terselubung kabut. Plus, rasanya lebih aman dibiarkan begitu ketimbang tokoh ini ‘dirusak’ oleh backstory maksa yang mengakibatkan dirinya menjadi overdramatis – atau malah membuat kita merasa pantas untuk membenarkan segala tindakannya. Karena Joker memang orang ‘gila’. Dia ‘sakit’. Dan beruntung sekali, Todd Phillips ternyata mengerti letak menariknya Joker. Dia membuat kita bersimpati kepada Joker, secukupnya saja, karen kita tahu Joker ‘masih’ jahat. Memang, Phillips justru menantang kita dengan berbagai pertanyaan lewat film yang diniatkan sebagai character-studi – Joker dibuatnya bukan lagi sekadar tokoh penjahat di buku komik. Joker dan Gotham tidak terasa begitu jauh; boleh jadi di dunia kita bakal muncul yang seperti Joker dalam waktu dekat.
Joker tadinya adalah seorang pria bernama Arthur Fleck; yang merasa dilecehkan oleh orang-orang karena dia miskin dan bekerja sebagai badut. Menghibur orang walaupun orang tak pernah peduli sama keadaan hatinya. Di rumah, dia menghibur dan merawat ibunya yang sakit keras – bahkan ibunya tersebut lebih perhatian sama surat-surat yang tak kunjung dibalas oleh calon walikota Gotham. Yang dilakukan Arthur di luar shift kerjanya gak jauh-jauh dari kerjaan badut, yakni memasang senyum palsu. Di dunia yang semakin keras dan beringas, Arthur berusaha untuk tidak melahirkan kekerasan dari kekerasan. Dia tetap tertawa, berusaha membuat orang tertawa, meskipun tidak lucu. Oh, Arthur yang menahan sisi gelap tidak pernah lucu. Ketika diundang jadi bintang tamu acara televisi, Arthur tahu penonton dan orang-orang kaya itu tidak tertawa bersamanya. Mereka menertawakan dirinya.

tikus super yang susah untuk dibunuh

 
Tokoh Joker sendiri memiliki banyak variasi. Semenjak kemunculan perdana di layar lebar, Joker muncul di berbagai film dan serial televisi Batman, dimainkan oleh aktor-aktor yang sebagian besarnya adalah aktor top Hollywood. Masing-masing mereka punya pendekatan yang berbeda dalam memerankan Joker. Sebegitu kompleksnya tokoh ini. Yang paling ramai dibicarakan tentu saja versi Heath Ledger yang berhasil menghantarkan sang aktor kepada Oscar. Hanya satu kesamaan di antara semuanya; Joker itu edan. Dan yang dilakukan oleh Joaquin Phoenix pada Joker kali ini; benar-benar pendekatan yang unik. Inilah yang paling aku suka dari film ini. Jokernya menyayat hati sekaligus mengerikan. Dalam film Joker ini, si Arthur punya kondisi medis yang membuatnya tertawa tak-terkontrol ketika sedang mengalami gejolak emosional. Arthur akan mendadak tertawa, misalnya saat mendapat penolakan dari orang, yang membuat orang semakin menganggap dirinya aneh.  Ini sejalan dengan gagasan utama yang diangkat film yakni orang yang tersenyum terlalu keras sehingga sakit. Meskipun sakit. Dan kita benar-benar melihat sesakit apa tawa itu bagi Arthur. Secara fisik maupun emosional. And it’s up to Phoenix memainkannya dengan begitu meyakinkan. Dia tertawa sambil memegang tenggorokan. Dia seperti tertawa dan batuk bersamaan. Namun tawa sedihnya itu masih tergolong normal. Coba deh dengerin ketika dia beneran tertawa karena hatinya girang. Dijamin bikin gak enak alias merinding. Setiap kali Arthur tersenyum, aku merasakan ada sesuatu yang berbahaya.
Jadi, iya, pujian-pujian yang kita baca di internet seputar penampilan Phoenix dalam film Joker; itu semuanya benar. Akan enggak lucu jika Phoenix enggak masuk nominasi Oscar – heck, dia mungkin bakal menangin Oscar. Jika itu terjadi, itu bakal jadi kali pertama peran adaptasi komik mendapat perhargaan sebagai tokoh utama.  Joker versi Phoenix seperti menari di garis simpati dan mengerikan. Ini sesungguhnya sangat susah untuk dilakukan. Karena jika kita lihat pada naskah, Arthur memang seperti sosok yang pantas untuk kita pedulikan. Untuk kita dukung. Arthur kehilangan semua yang ia cintai, dia ditertawakan, tidak dipedulikan, dia dilepehin oleh orang-orang yang ia bayangkan akan mendukung dan peduli padanya. Tapi kita enggak boleh ‘jatuh hati’ pada Joker. Penampilan Phoenix-lah yang menjaga kita dari itu. Ada kegelapan di balik tingkah badutnya. Setiap kali dia muncul di layar – dan untungnya ini sering sekali – seisi studio bioskop serasa dialiri energi negatif yang ganas. Misalnya pada saat dia dipanggil menjadi bintang tamu televisi, kita sudah tahu dia akan diledek habis-habisan di depan jutaan pemirsa, sekaligus kita juga merasa ngeri sesuatu yang sadis bakal terjadi di sana. Gestur, kata-kata, dan gerak gerik Phoenix menghidupkan Joker yang memberi tahu kita semua itu.

Joker tidak lagi menganggap hidupnya sebagai tragedi. Melainkan sebagai komedi. Tariannya bukan berarti dia berusaha melucu, melainkan sebagai simbol dia menerima kegilaan dan bercanda dengannya. Sebuah mekanisme pertahanan yang tanpa sadar kita ikuti ketika kita melihat ketidakadilan orang-atas di dunia nyata, dan kita berkata “alangkah lucunya negeri ini”

 
Tantangan terbesar film ini memang terletak di tokoh Joker itu sendiri. Bagaimana membuat dia tak justru tampak sebagai pahlawan. Karena aku bisa melihat film ini bakal dihajar gelombang kontroversi. I mean, It Chapter Two (2019) aja kemaren sempat diprotes oleh serikat badut beneran karena membuat imaji yang buruk terhadap profesi tersebut. Bayangkan apa yang bakal mereka katakan ketika melihat badut di sini dijadikan semacam simbol anarki. Arthur menjadi ‘juru selamat’ bagi kaum tertindas yang dianggap sampah oleh pejabat dan konglomerat di kota Gotham. Mereka memakai slogan “kita semua badut” dan mulai melakukan pengrusakan, penjarahan, pembakaran dan segala kriminalitas di akhir cerita. Aku bisa melihat orang-orang bakal memprotes ini, karena memang secara alami ini adalah seorang penjahat yang dijadikan tokoh utama. Namun menurutku film bekerja sangat baik dalam membuat semua hal tersebut tak tersampaikan sebagai sebuah glorifikasi. Joker ‘hanya menampilkan’ seseorang seperti Arthur bisa tercipta – dia hanya beringas ketiak pengobatan dihentikan; ini adalah metafora soal kepedulian sosial. Pemberontakan seperti pada film ini bisa beneran terjadi jika situasi dipertahankan berjalan ke arah sana.
Film seperti ingin menyentil; jika film ini terasa relatable, maka dunia memang sedang kacau. Jika kita nge-cheer Arthur dan persona Jokernya, maka dunia memang butuh sosok seorang pahlawan. Di sinilah letak mengerikannya film ini. Anarki dianggap sebagai jawaban. Sebagai keteraturan di dalam sebuah kekacauan. Tidak ada superhero yang datang dan mengatakan kepada kita bahwa Joker itu salah. Ini relevan sekali dengan keadaan Indonesia baru-baru ini. Bentrok antara pelajar dengan aparat kepolisian.

Apakah ada pahlawan di sana? You be the judge.

 
Ketimbang adaptasi, film ini lebih tepat disebut terinspirasi dari buku komik. Karena sama seperti Gundala (2019) bulan lalu, Joker terasa terlalu kelam untuk sebuah sajian tokoh di komik superhero. Film ini terasa lebih sejajar dengan film-film kriminal seperti The House that Jack Built (2018) ataupun Dragged Across Concrete (2019) yang membuat kita mendalami pemikiran seorang pembunuh ataupun kriminal. Yang diceritakan perlahan sehingga membuat kita mengerti alasan mereka memilih jalan kriminal. Sudah cukup sering kita melihat cerita seseorang yang menjadi lebih buruk daripada dirinya sebelumnya. Di titik ini, Joker tetap masih terasa mencuat berkat penampilan akting yang disuguhkan. Juga didukung oleh sinematografi yang terlihat detail dan cantik oleh pemilihan warna
Dalam pengadeganan, Joker mulai berkutat untuk tak tampak tampil seperti film yang belum-pernah-dilihat. Lalu kemudian berhenti sepenuhnya dalam melakukan hal tersebut. Joker lebih memilih untuk memasukkan banyak referensi  dan terinspirasi dari film Taxi Driver (1976). Aku bukannya mau bilang film ini nyontek, tapi memang terlihat jelas mereka tidak menyembunyikan kenyataan bahwa beberapa gerakan dan pilihan shot yang diambil membuat kita teringat pada Taxi Driver. Film itu juga diserang kotroversi, tokohnya juga tampak ‘edan’ seperti Joker. Seringnya shot-shot yang mirip itu muncul menjadikan referensi-referensi tersebut tidak ‘lucu’ lagi. Dan sebaiknya mereka tidak membuatnya terlalu gamblang seperti demikian.
 
Itulah yang menahanku dari memberikan bintang delapan kepada film ini. Meskipun begitu, ini tetaplah sebuah character studi yang menarik untuk ditonton. Karena menantang kita dengan banyak pertanyaan. Lagipula, yang belum nonton Taxi Driver enggak akan ngeh dan tidak akan mempermasalahkan kesamaan tersebut. Atau mungkin enggak akan sempat untuk membahas hal tersebut lantaran film terasa sangat ganas sedari awal. Dan tidak sekalpun kita merasa ingin menoleh dari layar. Menurutku, sejauh ini, film ini adalah pencapaian tertinggi yang bisa dicapai oleh drama-drama manusia yang terinspirasi dari kisah komik.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for JOKER.

 
 

HAUNT Review

Being scared means you’re about to do something really, really brave.

 

 

Menjalin hubungan itu mengerikan. Kalian tau perasaan ketika kita merasa berbuat sesuatu yang bodoh di depan pasangan dan menyangka semua bakal kacau padahal kita mau sesuatu yang spesial dan tak ingin sendirian lagi? Perut seperti berjumpalitan jatuh, atau keringat dingin menerpa? Nah, perasaan seperti itu juga sama dirasakan saat mau masuk ke rumah hantu. Jika relationship normal saja bisa seseram itu, maka bayangkan rasa takut yang menjalar di dalam diri seorang Harper (cuma Katie Stevens yang beruntung dapat tokoh yang paling ‘berdaging’ di film ini). Yang terjebak dalam hubungan bersama pacar yang abusive. Enggak ada yang fun soal abuse. Harper sudah tidak asing dengan melarikan diri dari itu, lantaran si abuse ini memang cenderung mengejar, menghantui korban-korbannya. Malam Halloween sekarang, Harper memutuskan untuk ikut ‘ngacir’ bersama teman-temannya. Mereka mengunjungi sebuah wahana rumah hantu untuk bersenang-senang. Just like in relationship; kalian melangkah masuk ketakutan tapi begitu sudah di dalam, kalian akan bersenang-senang. Sayangnya, rumah hantu yang Harper dan teman-teman masuki persis kayak abusive relationship si Harper. Membuat mereka terjebak. Para kru rumah hantu tersebut menggunakan kekerasan yang teramat nyata.

Haunt yang digarap oleh Scott Beck dan Bryan Woods (baca: penulis A Quiet Place yang tayang tahun 2018) dimulai seperti horor remaja kebanyakan; dengan keputusan buruk yang dibuat oleh anak muda. Tapi cerita film ini punya fondasi yang kuat, yang membuatnya megah dibandingkan film bunuh-bunuhan serupa. Film ini tidak sekadar mengagetkan kita dengan petualangan di rumah hantu. Ada perkembangan tokoh di sini. Ada perjuangan seorang manusia dalam mengatasi ketakutan personalnya. Rumah hantu dijadikan simbol  dari sumber ketakutan yang harus diatasi oleh tokoh utama. Mirip seperti Crawl (2019) yang menjadikan buaya sebagai cambuk motivasi tokohnya. Haunt dan Crawl bisa dibilang adalah contoh horor efektif, yang sederhana, yang simpel dan tak berniat sok pintar dengan segala twist yang gak perlu.

satu-satunya yang ngetwist di sini adalah perut kita

 

Backstory Harper disulam dengan sangat rapih ke dalam petualangan survival di rumah hantu, sehingga tidak sedikitpun pace film ini tersendat. Masalah masalalu sang tokoh utama tidak lantas menjadikan film ini seperti berhenti, ataupun masalah tersebut tidak terasa seperti tambalan semata. Semua yang terjadi pada Harper paralel dengan masalah yang sedang ingin ia hindari. Yang untuk bercerita tentang itu saja, Harper tidak berani. Dengan fondasi backstory yang kuat ini, kita jadi peduli sama Harper. Kita berjinjit mendukungnya untuk bisa keluar hidup-hidup dari rumah hantu sinting tersebut. Film juga punya nyali untuk menuntaskan masalah yang jadi latar belakang Harper. Kita mendapat ending yang memuaskan. Tentu saja tak ketinggalan ‘kalimat pamungkas’ yang diucapkan oleh si tokoh sebagai penghabisan seperti pada horor-horor klasik. Sesuatu yang bisa kita cheer dengan penuh nada kemenangan.

Semua orang punya cerita seram. Karena setiap orang pernah mengalami suatu hal buruk yang ingin diitinggalkan. Tapi trauma akan selalu menemukan cara untuk menakutimu. Kita tidak bisa memakaikan topeng kepada trauma. Kita tidak bisa membuat sesuatu yang menakutkan menjadi menyenangkan, yang menyakitkan menjadi menyejukkan. Dalam Haunt, Harper belajar bahwa takut berarti kesempatan untuk menunjukkan keberanian. Dan memang itulah pelajaran berharga dari rumah hantu; mengajarkan untuk menjadi berani. 

 

Selain Harper, tidak ada lagi tokoh yang ditulis padet dan berisi. Tapi film sangat bijak untuk tidak membuat mereka annoying, ataupun membuat kita pengen mereka cepat-cepat mati. Teman-teman Harper misalnya, memang sih mereka ditulis sebagai trope horor saja – mereka seperti tidak punya motivasi sendiri. Kita tidak benar-benar merasa kasihan jika salah satu dari mereka mati. Jikapun kita ingin ada yang selamat, itu supaya mereka bisa terus membantu Harper. Tapi  mereka tidak bego. Mereka kerap membuat keputusan yang menunjukkan perlawanan terhadap rumah hantu. Mereka berpikir, cukup resourceful. Bahkan di paruh pertama, narasi maju bukan karena Harper seorang, melainkan karena keputusan yang mereka buat bersama. Aku suka cara film mengantarkan kita ke titik no return; yakni dengan memperlihatkan para tokoh beneran pengen balik melewati jalan yang sudah mereka lalui. Efek emosional ketika mengetahui mereka tidak bisa balik lagi benar-benar terasa kuat, intensitas langsung naik, seakan kita ikut berpartisipasi dalam ketakutan mereka. Hanya ada satu masalah yang cukup besar buatku mengenai majunya narasi terkait pilihan tokoh-tokoh ini. Ada satu keputusan bego (banget) yang dibuat oleh tokohnya – aku gak mau spoiler banget tapi ini cluenya: terkait urutan keluar dari lorong kecil. Aneh juga, dengan arahan yang tight seperti begini, masih ada juga adegan yang konyol. Mereka harusnya lebih berhati-hati menulis adegan tersebut.

Hanya satu itu yang menggangguku. Suwer. Selebihnya, film ini terasa sangat menghibur. Tegangnya dapet, karena film sangat cakap menguasi editing dan pemakaian suara. Perasaan terkurung di dalam lorong rumah hantu itu dapat kita rasakan berkat suara-suara yang tidak berlebihan dan timing yang pas. Film tahu kapan harus menggunakan suara latar yang sangat kecil seperti decitan kayu atau desau angin pada terpal dan kapan waktunya digunakan suara yang cukup keras. Kamera pun bijaksana merekam dan menge-cut adegan demi adegan dengan presisi sehingga kita tak pernah ketinggalan sekaligus tak tahu terlalu banyak. Dan ini menambah kesan misterius yang meningkatkan suspens cerita.

Cara yang sama juga film lakukan terhadap para kru rumah hantu. Kita cukup tahu mereka semua orang gila yang haus darah, yang membuat wahana supaya bisa menyiksa anak-anak muda yang hanya pengen merayakan halloween. Kita cukup tahu mereka semua memang lebih baik pakai topeng saja; film tampaknya bermain-main dengan candaan lama “lebih serem aslinya daripada topengnya”. Kita cukup tahu mereka semua semacam kelompok sesat. Dan bijaksananya film adalah kita hanya dicukupkan untuk tahu semua itu saja. Cerita tidak dibuat ribet dengan membahas kenapa lebih lanjut. Karena fokus narasi toh bukan pada mereka-mereka ini. Lagipula mengetahui dari mana mereka dapat duit membangun rumah hantu, misalnya, akan mengurangi kemisteriusan sehingga mungkin kita tak akan menjadi takut lagi kepada mereka.

seolah kita masih butuh diingatkan betapa seramnya seorang badut

 

Rumah hantu adalah wahana favoritku. Ada masa ketika aku rela pulang pergi Bandung-Jakarta hanya untuk nyobain rumah hantu. Sekarang sudah jarang, karena mulai tergantikan dengan ‘escape room’ semacam Pandora. Tema rumah hantu dan escape room menarik dan kreatif, hanya saja sering terlalu gelap sehingga membuatnya setnya enggak kelihatan. Nonton Haunt ini aku seakan mendapat moment “I told you so!” lantaran rumah hantu dalam film ini terang benderang. Dan tidak mengurangi keseramannya. Jadi, ya aku mau nyelipin kritik buat wahana rumah hantu dan semacamnya di Indonesia; cobalah sekali-kali jangan terlalu gelap. Tontonlah Haunt. Set film ini begitu menakjubkan, sehingga aku merasa pengen ikut masuk menjelajah rumah hantunya. Jenis-jenis trik yang diperlihatkan sangat beragam. Teka-teki sederhana yang dihadirkan dalam satu ruangan bisa membuat malu seantero film Escape Room yang tayang awal tahun 2019 ini. In fact, semua aspek film Haunt akan membuat malu film Escape Room. Haunt membuat semuanya tampak manusiawi, tampak plausible, tampak beralasan, sementara Escape Room terlihat sok kece dengan tokoh-tokoh standar yang nyebelin. Aku bahkan ilang selera untuk ngereview setelah nonton. Tidak seperti Haunt yang bikin semangat untuk menuliskannya.

 

 

Untuk sebuah horor tentang rumah hantu dengan tokoh-tokoh anak muda, film ini amat sangat menghibur, dengan fondasi cerita yang kuat. Jarang ada pembuat film yang seserius dan seniat ini, yang tidak menganggap remeh target penontonnya. Film ini tidak dibuat receh dan konyol. Melainkan punya isi. Membuatnya semakin bisa dinikmati. Menakutkan, menghibur. Setelah semua darah, kekerasan, senang sekali melihat sesuatu yang masih punya hati.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for HAUNT.

 

LORONG Review

“Mom knows best”

 

 

Apapun situasinya, kata-kata ibu seringkali benar pada akhirnya. Mungkin karena beliau adalah sata-satunya wanita yang mengenal kita lebih lama daripada siapapun, atau mungkin karena kita hidup sembilan bulan di dalam perutnya, ibu selalu punya cara untuk membuktikan dia benar-benar benar dalam hal melindungi dan mengkhawatirkan kita. Film horor Lorong garapan Hestu Saputra memperlihatkan kepada kita sekuat apa naluri keibuan seorang wanita jika sudah menyangkut keselamatan buah hatinya.

Bukannya bermaksud spoiler loh. Dengan menggunakan pendekatan dramatic irony dalam bercerita, sedari bagian awal film sudah memberitahu kita bahwa firasat Mayang (Prisia Nasution berhasil membuat tokohnya simpatik dan enggak annoying) soal bayinya yang baru lahir bukanlah ‘firasat’ at all. Bahwa ada sesuatu yang ganjil terjadi di rumah sakit tempat ia bersalin. Kita sebagai penonton sudah ditanamkan untuk percaya kepada Mayang alih-alih ke suster-suster rumah sakit. Sehingga di awal-awal – kurang lebih babak satu dan babak dua, aku enjoy menonton ceritanya. Kupikir tidak bakal ada twist “wah ternyata Mayang benar!” karena gak semua cerita horor harus ada twist. I just excited dan cukup terinvest untuk pengen mengetahui ke arah mana cerita ini akan berlabuh. Di titik mana komponen utama; Mayang, seorang pria petugas janitor yang mencuri dari dokter-dokter, dan para staff rumah sakit akhirnya bertemu.

sepertinya semua berakar dari ‘wanita selalu benar’

 

Film ini seperti berganti genre tiga kali. Dalam babak set up, horornya terasa psikologikal. Adegan pembuka saja benar-benar kuat dari sudut pandang Mayang, ibu hamil yang sedang dalam prosesi persalinan. Ketakutan seorang wanita terpancar sekali dari ekspresi Mayang yang sendirinya dalam fase off oleh pengaruh obat bius. Kekhawatiran akan keselamatan bayi. Kengerian berada dalam posisi tak berdaya, sembari melihat sejumlah orang dengan alat-alat bersalin, menengadah menatap lampu yang menyilaukan. Tambahkan konteks; ini adalah hamil pertama Mayang, dan dia sudah berbuat banyak untuk menyambut anak pertamanya. Dalam sebuah flashback, kita diberitahu Mayang sampai mempersiapkan dua dekorasi untuk mengantisipasi bayi yang lahir cowok atau cewek. Motivasi dan ketakutan terbesar Mayang sudah terlandaskan dengan kuat pada sepuluh menit pertama. Bersamaan dengan hilangnya kesadaran Mayang, kita juga di-cut dari adegan persalinan dan bertemu kembali dengan Mayang  di ranjang rumah sakit. Tanpa anak bayi di sisinya. Mayang bersikukuh kepada semua orang; kepada suaminya, kepada para suster, kepada siapa saja bahwa anaknya masih hidup.

Cerita mulai mengingatkan pada Rosemary’s Baby (1968) pada bagian tokoh utamanya mulai yakin ada konspirasi penghuni apartemen terhadap ia dan bayinya. Sama seperti Mayang yang terus menerus menelurusi lorong-lorong rumah sakit mencari bayinya yang disebut sudah meninggal (dikuburkan langsung oleh sang suami). Menyaksikan dan mendengar hal-hal yang mencurigakan. Kita bahkan melihat lebih banyak daripada Mayang. Kadang kita dibawa mengikuti suster atau si janitor. Dan juga ada hantu yang terus mengikuti ke mana Mayang pergi, mencoba memberi tahu sesuatu kepada dirinya. Film seharusnya mengeksplorasi setiap sudut pandang cerita dengan lebih dalam, karena di titik ini ceritanya sudah less-psychological. Film butuh untuk mengembangkan rumah sakit sebagai set yang bernyawa – sebagai dunia yang punya cerita sendiri sebab misteri yang disajikan sudah membesar.

Alih-alih, film malah menyandarkan diri pada kemunculan hantu. Padahal sebenarnya justru si hantu inilah salah satu yang enggak diperlukan. Film bisa bekerja dengan sama baiknya jika hantu tidak ada. Karena horor sebenarnya datang dari ketakutan Mayang akan bayinya. Bukan dari penampakan hantu. Malahan, si hantu justru lebih sering muncul dan terlihat oleh kita, dibandingkan oleh Mayang. Sehingga membuat kita dan Mayang kadang tidak sejalan; Kita takut sama hantu, sedangkan Mayang takut sama nasib bayinya. Inilah masalah pertama yang kurasakan saat menonton Lorong. Masalah yang berbuntut panjang. Mereka seharusnya menyiapkan waktu lebih banyak untuk pembangunan dunia terkait dengan misteri apa yang sebenarnya terjadi. Banyak yang harusnya dikembangkan; si janitor, si suami, rumah sakit, bahkan si Mayang sendiri. Since film memutuskan untuk banyak memakai flashback dan dream sequence (yang terkadang dua ini digabungkan), alangkah lebih baiknya jika momen-momen flashback itu digunakan untuk pengembangkan karakter Mayang pada kehidupan normal. Supaya memperdalam lapisan karakternya. Karena sepanjang film ini kita hanya melihat dia tertatih-tatih kebingungan dan kesakitan di rumah sakit, panik mencari bayinya. Kita tidak pernah melihat dia lebih dalam sebagai seorang wanita. Kenapa dia pengen punya anak, misalnya. Kenapa kita harus percaya dia bakal jadi ibu yang baik, sehingga nalurinya juga bisa dipercaya.

Sepertinya memang tidak ada penjelasan kenapa ibu bisa tahu segala yang terbaik untuk anak. Film memperlihatkan koneksi spontan antara Mayang dengan bayinya; meski dalam keadaan terbius dia tahu bayinya ada di sana. Jika di dunia ini memang ada sihir, maka hubungan ibu dengan anaknya bisa jadi adalah contohnya.

 

Tapi film seperti enggak pede jika tidak ada hantu. Aku bisa membayangkan saat pitch cerita, PH meminta untuk menambahkan hantu lantaran menganggap penonton hanya akan menonton hantu-hantuan belaka. Karena memang si hantu dalam Lorong ini seperti tambalan saja. Tambalan tapi sering. Jadi filmnya kayak kain buntelan gelandangan di kartun-kartun jaman dulu. Film seperti tidak mengerti bahwa horor kejiwaan dan manusiawi itu sebenarnya lebih mengerikan daripada sosok mengerikan dan ritual berdarah. Sehingga film memilih sebuah keputusan yang amat, sangat, murahan dan sesedikit sekali logika untuk mengakhiri cerita. Persis seperti kesalahan yang dilakukan oleh Kafir: Bersekutu dengan Setan (2018). Semua hal menjadi sangat over-the-top setelah pengungkapan di babak akhir. Ada satu tokoh yang kalem, ternyata jadi menggelinjang sok-gila. Cerita horor psikologis dan thriller konspirasi itu ditarik ke alam baka oleh penjelasan tentang cult yang maksa, hanya untuk mengecoh penonton. Bayangkan Rosemary’s Baby yang berakhir dengan babak ketiga Suspiria (2019). Enggak cocok.

siapkan dirimu untuk siluman harimau random yang bisa terbang menerkam

 

Dan plot Mayang menjadi semakin aneh karena kejutan di babak terakhir film tersebut. Jika memang benar naluri ibu selalu benar, maka kenapa dia masih bisa ditipu oleh orang terdekatnya? Ini literally musuh dalam selimut hahaha.. Apa pesan yang ingin disampaikan oleh film dengan memasukkan sekte dan ritual yang berlangsung di balik tembok steril rumah sakit? Kenapa ceritanya berubah drastis menjadi manusia yang pengen kesembuhan dan meminta kepada sosok yang salah karena mereka ‘dicuekin’ oleh pengobatan yang sah?

Penanaman yang dilakukan oleh film hanya supaya twist ini enggak mengada-ada. Untuk pemakluman belaka. Seperti misalnya; aku sempat merasa aneh juga rumah sakit yang punya CCTV tapi masih kesulitan mencari Mayang yang jalannya aja belum lurus. Punya CCTV tapi si janitor maling tetap sukses menjalankan aksinya. Ataupun soal suami yang tidak mendampingi istrinya melahirkan. Semua alasan itu dijelaskan di akhir, sehingga seolah twistnya make sense dan dipikirkan dengan matang. Padahal bukan sebatas itu yang kita butuhkan. Kita butuh untuk diyakinkan kenapa pelakunya melakukan hal tersebut. Motivasi mendalam seperti demikian yang tidak pernah ditanamkan. Hubungan sebab akibat dan aturan main ritual. Kenapa musti bayi Mayang, padahal ada banyak bayi di rumah sakit itu. Kondisi seperti apa yang dibutuhkan. Twist di Suspiria bekerja dengan baik karena diperlihatkan aturan kerja si institusi jahat – ada subteks soal matriarki dan kekuasaan yang membayangi, yang jadi konflik buat tokoh utamanya. Ending Rosemary’s Baby terasa begitu kuat lantaran kita mengerti konflik tokoh utama seputar kecenderungannya lebih mementingkan orang lain. Dalam Lorong, twistnya hanya sebatas di kejadian dan endingnya pun tidak mengubah apa-apa terhadap Mayang.

 

 

 

Kebanyakan horor yang benar-benar bagus memang mengangkat psikologi dan kerapuhan seorang manusia terhadap hal yang ia cintai. Horor yang baik sejatinya adalah drama dari hal-hal yang ditakuti manusia. Takut kehilangan anak, misalnya. Film ini punya bahan-bahan yang tertulis dalam resep horor yang bagus. Tokoh utamanya adalah seorang wanita, seorang ibu. In line dengan horor modern seperti Hereditary (2018), The Babadook (2014), Bird Box (2018), The Prodigy (2019), Us (2019). Tetapi film Hestu Saputra ini gagal menjadi sebesar mereka lantaran tidak konsisten dalam menetapkan dirinya. Tidak satupun dari film-film itu yang menggantungkan diri pada twist over-the-top, tidak satupun yang menggunakan hantu hanya untuk mengageti penonton. Sebuah penceritaan butuh konsistensi dan berani untuk mengembangkan drama karakternya. Film ini terlalu takut untuk itu semua.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for LORONG.

 

 

READY OR NOT Review

“Don’t change to fit the fashion, change the fashion to fit you”

 

 

Biar aku beri clue seperti apa film Ready or Not supaya kalian bersiap-siap menghadapi keseruan yang bakal datang: Ceritanya bermula seperti Crazy Rich Asians (2018), namun akan berakhir gila mendekati Get Out (2017)

Orang kaya perangainya suka aneh-aneh. Itu yang dipelajari oleh Grace (Samara Weaving tampak sangat badass dalam balutan gaun pengantin berbalut selempang amunisi) ketika ia menikahi Alex. Putra dari keluarga yang kaya raya di bisnis boardgame dan kartu. Setelah upacara pernikahan di mansion keluarga Alex yang udah nyaingin kastil Hogwarts, lengkap dengan pintu dan lorong-lorong rahasia, Grace dibawa untuk bertemu dengan seluruh keluarga Alex. Grace harus diospek dulu sebelum resmi menjadi bagian dari mereka. Di malam pertamanya, Grace harus mematuhi tradisi keluarga sang suami. Bermain kartu yang kemudian berkembang menjadi permainan petak umpet mematikan. Semalaman itu Grace harus bersembunyi dari penghuni rumah yang ingin membunuhnya.

Malam pertama berdarah, tapi bukan seperti yang kalian pikirkan

 

Perburuan manusia di dalam rumah orang kaya sungguh merupakan konsep yang fun. Film yang digarap Matt Bettinelli-Olpin barengan Tyler Gillett ini jelas pengen menjadi cerita yang satir. Pada latar belakang, film memasang soal orang kaya yang begitu timpang dengan rakyat jelata. Mereka punya kebiasaan dan tradisi yang berbeda. Mereka memandang sesuatu dengan cara yang berbeda. Film menggunakan komedi untuk menyampaikan gagasannya. Bahkan adegan-adegan kekerasan yang sadis itu diberikan nada lucu sehingga memancing kita untuk menertawakan sekelompok orang kaya yang berusaha mempertahankan tradisi dan hidup mereka dengan membunuh orang luar. Anggota keluarga Alex dijadikan seperti over-the-top. Ada yang enggak tahu nama keponakannya sendiri. Ada yang kerjanya mabuk-mabukkan. Alex diceritakan punya masalah dengan tradisi dan kebiasaan keluarganya, dia sudah mulai jauh dari orangtuanya. Bicara soal orangtua, malahan ada bibi Alex yang digambarkan memandang Grace dengan tampang seolah ada kaos kaki basah di hidungnya. Ya, masukkan Grace dan film jadi punya satu layer lagi sebagai subteks dari cerita. Perihal wanita yang masuk ke sistem yang bukan miliknya.

Grace bukan hanya melawan orang-orang yang memburunya. Grace melawan tradisi. Berusaha survive dari gagasan dirinya harus sesuai – memenuhi syarat – masuk ke satu ‘keluarga’. Di balik aksi-aksi violent yang seringkali membuat kita meringis dan tertawa bersamaan, film berusaha memusatkan perhatian kita kepada latar belakang, baik itu literally maupun figuratively. Desain produksi film ini begitu menonjol untuk menunjukkan perbedaan mencolok antara orang kaya dengan Grace yang dibesarkan di rumah asuh. Denah rumahnya dibuat besar, kelam, dengan banyak lorong kosong dan ruangan penuh hiasan yang membuat Grace berseru “oh shit”. Sesungguhnya ini adalah cara subtil film menyampaikan kepada kita bahwa Grace sedang berada di dalam sesuatu yang bukan untuk dia. Dia menginginkan keluarga. Tapi dia terkejut oleh semua tradisi yang harus dia jadikan bagian darinya. Keseluruhan film melingkupi Grace yang mencoba melakukan sesuatu terhadap tradisi tersebut. Dia tidak mau menjadi korban, namun dia juga sudah jadi bagian darinya. Maka Grace mengoyak tradisi itu dari dalam, sebagaimana dia merobek gaun pengantinnya.

Actually, gaun pengantin yang dikenakan Grace sudah seperti karakter tersendiri. I’m not joking. Gaun itu adalah karakter favoritku di film ini, setelah Grace. Gaun itu punya arc tersendiri, bukan sekedar pakaian. Dia melambangkan sesuatu yang harus Grace kenakan. Sebagai bukti dari masuknya Grace ke keluarga Alex, ke sistem dan tradisi mereka. Gaun itu sempat menjadi hambatan bagi langkah Grace. Tapi lihat apa yang dilakukan Grace terhadap gaun tersebut kemudian. Gaun dirobek supaya bisa lari lebih cepat. Dijadikan perban untuk membalut luka. Dijadikan bantalan ketika terjun dari lantai atas. Bahkan jadi senjata untuk membunuh salah satu pengejarnya.

Marylin Monroe pernah bilang “Berikan sepatu yang tepat kepada wanita, niscaya dia akan menguasai dunia.” Dalam film ini kita literally melihat Grace mengganti sepatu hak-tingginya dengan kets. Dia juga merobek gaun indah sesuai dengan kebutuhannya. Pakaian dan tradisi itu tak cocok untuknya. Grace harus mengoyak sistem yang memaksa dia berada dalam satu posisi. Karena film ini bicara tentang kebutuhan wanita untuk tidak mengubah diri mengikuti sistem. Melainkan mengubah sistem tersebut. Dan jika tidak bisa, menggeliatlah keluar dari sistemnya, meskipun luka seperti Grace yang mengoyak punggungnya untuk keluar dari jeruji pagar yang teralinya ia patahkan.

 

Tradisi yang digambarkan oleh film ini bukan sebatas pada peraturan fiksi cerita saja. Kita bisa membandingkannya dengan banyak hal. Dengan aturan rumah tangga, misalnya. Istri harus ikut suami. Film juga memberi gagasan bahwa ‘tradisi’ seperti itu juga tidak mesti diikuti. Di satu titik, Grace dihadapkan pada pilihan antara kabur atau balik masuk ke rumah dan menolong suaminya. Grace memilih loncat dan lari ke hutan. Bijaknya, film tidak membuat tradisi sebagai antagonis. Kita tidak bisa mengubah tradisi, karena bisa jadi tradisi itu benar. Arc Alex dan saudaranya, Daniel, membahas seputar bagaimana jika sebuah tradisi yang seperti tidak masuk akal, justru adalah hal yang benar. Bahwa peraturan-peraturan konyol itu bukan omong kosong. Untuk kita yang percaya kepada tradisi atau aturan, atau malah agama, mungkin hanya kematian yang bisa memisahkan kita darinya. Tapi bukan berarti kita bisa mengekang orang lain dengan tradisi kita. Dengan kepercayaan kita.

I draw a trap ca… Wait. This whole marriage is a trap!

 

Sudut pandang film bisa agak membingungkan karena film ingin menunjukkan pandangan terhadap tradisi itu dari berbagai sisi. Babak ketiga film ini buatku sangat lucu. Film menolak untuk berakhir aman. Tidak seperti The Purge yang begitu matahari terbit, semuanya usai dan termaafkan. Film ini menunjukkan kita konsekuensi yang tak-biasa. Cara mereka memperlihatkan kebenaran dari tradisi sungguh unik, dan membuat plot cerita menjadi sedikit aneh. Dan ini bisa menjadi nilai plus, sekaligus menjadi penanda ada kekurangan dalam naskah film ini.

Nilai plusnya tentu saja babak ketiga dan sekuen penutup tersebut benar-benar mengukuhkan film sebagai horor yang menarik. Dia bisa menjadi cult-classic karenanya. But also, kekurangannya adalah tokoh-tokohnya terlihat tidak konsisten. Film ini kebablasan mengembangkan komedi dan aksi berdarah sehingga lupa memberikan perhatian lebih kepada pengembangan karakter. Usaha untuk menunjukkan pertumbuhan yang natural sangat minim karena film memilih untuk terus bergerak. Jadi, evolusi tokoh hanya diperlihatkan lewat satu adegan, atau dibuat sebagai hal misterius yang bakal dijelaskan lewat adegan berikutnya. Susah untuk membuat cerita di ruang tertutup, dengan banyak karakter tanpa menjadikan karakter-karakter tersebut hanya di sana sebagai korban pembunuhan yang berdarah-darah. Film memberikan mereka sudut pandang dan karakterisasi yang cukup untuk membuat masing-masing punya dimensi. Akan tetapi pengembangannya minim dan dijadikan sekilas, biasanya sebagai komedi.

 

 

 

Sebagai horor film ini bekerja dengan baik karena punya aksi-aksi berdarah sebagai wujud dari simbol betapa mengerikannya pengaruh sebuah tradisi atau kepercayaan. Ia juga penting karena menyangkut persoalan posisi wanita dalam aturan dan dunia yang dipimpin oleh pria. Sebagai komedi, film ini bekerja terbaik, karena sajiannya yang menghibur penuh oleh kelucuan. Bahkan adegan orang terbunuh saja dibuat lucu. Penampilan akting Samara Weaving benar-benar jempolan, dia kuat dalam kevulnerableannya, dan dia juga kocak. Tapi sebagai film yang harusnya punya pengembangan karakter, film ini tergesa-gesa. Ruang dan tempo untuk pengembangan mestinya bisa lebih lega lagi. Karena dengan kecepatan dan konstan komedi dan aksi seperti yang kita saksikan, latar belakang yang diniatkan untuk mencuat tadi tetap tidak benar-benar standout. Film ini bisa-bisa hanya akan dikenang dan dinikmati sebagai sajian horor sadis yang kocak, dengan gagasan penting dan satirnya teroverlook.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for READY OR NOT

 

MA Review

“You don’t need everyone to love you, just a few good people”

 

 

Semua akan main film horor pada waktunya. Dan kalo ada aktor yang paling pengen aku lihat bermain segila-gilanya di genre berdarah-darah, maka Octavia Spencer adalah salah satunya. Dan memang di film Ma ini Spencer tampak benar-benar menikmati kesempatan yang ia dapatkan. Bahkan yang bukan penggemar horor, boleh jadi tergoda untuk menyaksikan film yang actually juga proyek horor pertama dari sutradaranya; Tate Taylor. Spencer dan Taylor sebelumnya pernah bekerja bareng dalam The Help (2011), yang aku suka banget, dan sekarang mereka kolab lagi dalam film yang genrenya lebih membebaskan. Sekali-kali bermain dalam horor sepertinya therapeutic buat aktor seperti Spencer yang mulai mendapat peran yang begitu-begitu saja di genre yang lebih serius. Dan horor pun butuh pemain-pemain yang enggak asal-asalan, yang sungguh mengerti mengeksplorasi psikologi sehingga tidak keluar sebagai peran yang over-the-top yang tidak bisa dianggap serius. Spencer dan peran psikopat-horor ngeklik, menjadikan wanita ini bagian terbaik dalam film Ma.

Baru-baru ini kita menyaksikan Widyawati bersahabat dengan anak-anak muda dalam Mahasiswi Baru (2019), peran Spencer dalam Ma juga mengharuskan dia bergaul dengan orang yang berumur jauh berbeda darinya, namun dengan tone cerita yang jauh lebih kelam. Peran Spencer adalah sebagai Sue Ann, wanita kesepian yang tau-tau dimintai tolong oleh sekelompok anak remaja untuk membelikan mereka bir. Sue Ann butuh untuk membantu remaja tersebut seperti Spencer butuh untuk bermain horor; untuk menjadi lebih populer. Kepopuleran dan status dijadikan oleh film sebagai tema berulang yang dieksplorasi lewat cara yang tak biasa. Lama kelamaan Sue Ann yang tampak menikmati statusnya sebagai ‘ibu-ibu keren’ di antara para remaja, mulai mengundang mereka semua untuk berpesta di ruang bawah tanah rumahnya. Minum-minum. Hura-hura. Mabok. Jika kalian sudah merasa cukup risih melihat wanita dewasa menyediakan tempat untuk remaja berugal-ugalan, siap-siap saja untuk menjadi merasa ngeri ketika kilasan masa lalu Sue Ann muncul sebagai peringatan akan hal menakutkan yang bakal menimpa para remaja tersebut.

sejak 2011, kalo dia ngasih pie coklat, tolong jangan dimakan.

 

Filmnya cuma sembilan-puluh menit, tapi coba hitung ada berapa kali Octavia Spencer melakukan perubahan emosi dalam usahanya membuat karakter ini menyenangkan untuk ditonton. Menyenangkan dalam konteks horor loh. Pertama kita dibuat kasihan melihatnya yang seperti desperate banget untuk punya teman. Dia tampak cukup perhatian dan baik hati. Lalu dia berubah jadi tampak seperti orangtua norak yang jika bercanda pasti lawakannya enggak lucu oleh anak-anak muda, malah menyinggung. Lalu kita dibuat merasa kasihan lagi kepadanya, ketika Sue Ann yang kini dipanggil Ma malah seperti dimanfaatkan oleh anak-anak berandal. Lalu dia muncul seperti pacar yang cemburuan saat meneror remaja dengan puluhan pesan. Lalu dia seperti ibu yang overprotektif. Lalu dia jadi penipu yang punya agenda mengerikan, sebelum akhirnya menjadi ‘orang gila’ di babak akhir. Dan seperti layaknya film horor, Spencer juga memberikan one-last-scare kepada psikologi kita , entah harus kasihan atau mensyukuri keputusan terakhirnya. Film bisa menggapai begitu banyak level kengerian dengan permainan akting karakter yang berubah-ubah secara creepy seperti ini. Range-nya luas dan Spencer berhasil mengenai semuanya dengan menakjubkan.

Yang diperlukan oleh film adalah menjaga fokus dan mengeksplorasi Sue Ann lewat satu sudut pandang  sehingga horor dari runtuhnya kemanusiaan itu dapat tersampaikan dengan baik. Hanya saja, film malah membahas dari banyak sudut pandang sehingga narasinya tak pernah fokus sejak awal. Naskah ingin memparalelkan tokoh remaja dengan tokoh Sue Ann, mereka diikat oleh satu benang merah; keinginan untuk disukai dan menjadi bagian dari orang-orang populer. Tokoh utama film ini justru adalah salah satu anak remaja, Maggie (diperankan oleh Diana Silvers atau yang kita kenal sebagai kembaran Raihaanun dalam film Booksmart), yang baru pindah ke kota tempat cerita berlangsung. Maggie adalah anak baek-baek yang memilih bergaul dengan geng hura-hura karena seharian ditinggal kerja oleh ibunya. Film ingin memunculkan dramatic irony dengan menyilang-nyeling sudut pandang antara Maggie yang hubungannya semakin tak baik dengan sang ibu, yang malah semakin akrab dengan Sue Ann, dengan sudut pandang Sue Ann sendiri yang semakin kita lihat kegelapan dan kegilaan motifnya. Tetapi sisi dramatisnya itu justru menjadi kehilangan gigitan karena narasinya kehilangan fokus.

Pesan yang ingin disampaikan menjadi mendua; apakah kita harus mendukung Sue Ann membalaskan dendamnya kepada anak-anak populer yang ngesok – apakah tindakan kriminal yang ia lakukan bisa dijustifikasi. Atau haruskah kita mengkhawatirkan Maggie yang perlahan seperti berubah menjadi anak populer yang ngesok tersebut. Dan bukan hanya mendua, malahan mentiga lantaran actually film juga melihat dari sudut pandang ibu Maggie yang merasa dirinya hina; gagal di perantauan sehingga terpaksa kembali ke kota masa kecilnya.

Orang dewasa pasti pernah terkenang akan kehidupan di masa sekolah mereka. Masa-masa yang kebanyakan orang berharap mereka lebih disukai di antara teman-teman sekolah. Wajar saja berpikir seperti demikian, karena itu akan mendorong seseorang untuk menjadi lebih baik. Tapi disukai tidak sama dengan menjadi populer. Karena orang menginginkan hanya untuk menjadi populer, mereka bisa menjadi manipulatif ketika hanya mementingkan jumlah dan status. Jadilah populer, sembari tidak melupakan diri menjadi baik.

 

Secara garis besar, kita bisa mengerti keparalelan gagasan yang berusaha ditampilkan. Sayangnya pilihan untuk menjuggling sudut pandang ke sana kemari membuat cerita tidak menjadi sekuat yang semestinya bisa dicapai. Film juga punya undertone soal rasis yang dihubungkan ke dalam gagasan. Kita melihat Sue Ann mengecat putih kulit seorang remaja kulit hitam, karena menurutnya cuma boleh satu alpha di dalam grup. Tapi hanya sampai di sana. Film harusnya membahas lebih dalam, menjadi total gila, namun tetap bermain aman. Tingkat kekerasan dalam film ini tidak benar-benar mengerikan, karena sesungguhnya horor terletak di kejiwaan Sue Ann. Yang dikaburkan oleh seringnya cerita berpindah sudut pandang. Akibat paling jeleknya adalah tokoh-tokoh film ini jadi tidak pernah kelihatan seperti karakter. Mereka hanya seperti pion dalam permainan catur yang sudah diatur siapa yang kalah dan siapa yang menang. Mereka tidak hidup di dunia, mereka hanya hidup di naskah.

Sue’ banget emang si Sue Ann

 

Bahkan naskahnya sendiri tidak cukup konsisten untuk memerintah para tokoh. Narasi yang dihadirkan tampak dihadirkan dengan reasoning seadanya. Film membuat remaja-remaja itu suka sama Sue Ann, kemudian takut padanya, kemudian suka lagi, dengan sekenanya. Tidak pernah ada penjabaran yang kuat dan masuk akal. Cerita film ini bisa tuntas dengan lebih cepat jika remaja-remaja tersebut enggak balik-balik lagi ke rumah Sue Ann. Ada banyak momen yang menghadapkan tokoh remaja pada pilihan atau kesempatan untuk melakukan sesuatu yang wajar, you know, meninggalkan Sue Ann. Si Maggie sudah curiga sedari pertengahan. Tapi mereka tetap saja kembali kepadanya. Maggie tetap saja masuk ke ruang bawah tanah  itu. Tanpa ada tekanan dari teman-teman gengnya; di sini cerita mengkhianati gagasannya. Atau malah memparodikan? You be the judge. Apakah para remaja memang sebego itu untuk mau kembali deket-deket sama orang yang jelas-jelas mencurigakan cuma supaya bisa hura-hura.

 

 

 

Fakta bahwa film horor yang dibintangi oleh Octavia Spencer sebagai pembunuh psikopat beneran eksis di dunia sebenarnya sudah cukup menggembirakan. Terlebih karena memang dibeking oleh penampilan akting yang menghibur. Tapi tetap saja jatohnya mengecewakan karena film ini tidak sekalian dibarengi oleh naskah yang kuat. Karena yang kita saksikan lebih seperti usaha untuk menjadi tontonan yang populer ketimbang film yang ingin menceritakan gagasan. Narasinya terlalu sibuk untuk terlihat pintar, asik sendiri menggabung-gabungkan sudut pandang, dan kepingan misteri. Sehingga lupa untuk menjadikan karakter-karakter ini ‘hidup’. Kita hanya melihat mereka berpindah dari berpesta, ke ketakuan, ke curiga seperti diperintah. Tidak mengalir dengan natural.
The Palace of Wisdom gives 5 gold stars out of 10 for MA

 

 

 

 

SCARY STORIES TO TELL IN THE DARK Review

“The only thing worse than being abandoned is knowing that you’re not even worth an explanation”

 

 

Cerita seram yang paling seram itu biasanya adalah cerita-cerita yang kita dengar langsung dari teman (“tau enggak, kakakku punya teman, nah temannya itu punya tetangga, yang punya kakak yang ngeliat hantu di kamar mandi sekolah saat dia ngaca sambil nyebut nama Mary tiga kali”) atau dari keluarga (yang ini biasanya semacam nasehat terselubung). Cerita-cerita semacam itu dapat dengan cepat mendarah daging sehingga munculah urban-urban legend atau mitos lokal. Yang meskipun ceritanya gak make-sense, tapi kita tetap ‘percaya’ karena ada kesan familiar. Cerita-cerita demikian banyak yang lantas dijadikan ide untuk media seperti video game, buku, ataupun film. Tapi tidak banyak media yang mampu untuk menimbulkan kesan seram yang sama dari cerita seram yang kita dengar langsung. Karena media, khususnya film, cenderung untuk membuat cerita seram yang sebenarnya simpel menjadi rumit. Ingat bagian ‘kakakku punya teman blablabla’? itu adalah backstory needlesly rumit yang tak bisa terhindarkan bahkan jika cerita seram diceritakan secara langsung. Dalam media film, bagian tersebut dapat berkembang menjadi lebih rumit lagi.

Novel klasik Scary Stories to Tell in the Dark adalah salah satu yang berhasil bercerita horor. Sebagai kumpulan cerita pendek seram untuk anak-anak dan remaja,  buku tersebut tidak menyediakan ruang untuk berlama-lama mengarang backstory. Cerita seramnya langsung dihamparkan sehingga tepat sasaran. Misalnya, salah satu cerita yang paling kuingat adalah tentang wanita yang lagi ngendarain mobil di malam hari, yang terus diikuti oleh mobil misterius yang mengedip-ngedipkan lampu depannya. Si wanita kontan menjadi parno tapi ternyata si mobil misterius sebenarnya berusaha memberi tahu bahwa ada seseorang berpisau yang lagi ngumpet di jok belakang mobil si wanita. Berkat cerita itu sampai sekarang aku selalu lebih memilih untuk duduk di kursi paling belakang setiap kali naik mobil, biar langsung ketahuan kalo ada yang ngumpet di sono. Banyak cerita dalam Scary Stories to Tell in the Dark yang bahkan tidak repot-repot memberi nama pada tokohnya. Kita tidak benar-benar butuh untuk tahu siapa nama tokoh dalam cerita seram, yang kita butuhkan adalah lingkungan atau situasi yang akrab dengan kita. Dan kebanyakan cerita seram yang efektif memang seperti demikian, seperti cerita orang-orang tua kita.

Keberadaan film adaptasi buku Scary Stories merupakan fenomena mengerikan tersendiri buatku. Karena aku tahu aku pasti bakal nonton, terlebih karena diproduseri – juga turut ditulis – oleh Guillermo del Toro. Nama tersebut sudah seperti jaminan kita bakal melihat banyak makhluk-makhluk seram yang benar-benar memanjakan fantasi horor kita. Tapinya lagi, aku juga ragu untuk nonton karena sangsi mereka bisa keluar dari batasan ‘horor untuk anak-anak’ pada film komersil. Horor untuk anak-anak cenderung ditranslasikan sebagai horor jinak yang berat oleh eksposisi, yang dihidupi oleh tokoh-tokoh kodian alias sebatas trope-trope tokoh cerita remaja. Ketakutanku tersebut terkabul menjadi nyata.

silakan berfantasi

 

Menunggangi ombak kesuksesan Stranger Things dan hype IT Chapter 2, Scary Stories to Tell in the Dark bermain kuat di unsur nostalgia. Ketika mereka menghidupkan cerita pendek demi cerita pendek ke layar lebar, fantasi kita akan cerita-cerita tersebut seperti terpanggil keluar. Terwujudkan oleh sosok-sosok yang bikin kita berkeringat dingin. Remaja dalam cerita film ini adalah geng yang bisa saja seperti geng kalian di sekolah, di lingkungan rumah. Mereka suka cerita seram. Mereka pengen ngerjain tukang bully. Menit-menit awal film ini tampak menarik. Lingkungannya terasa hidup. It was America in 1968, presiden mereka masih Nixon, perang Vietnam baru dimulai, lagi suasana halloween dan seperti yang dikumandangkan oleh soundtrack – it was a season of the witch.

Setting seharusnya memang tidak hanya berfungsi layaknya backdrop dalam sebuah pagelaran, namun juga mesti mampu menyediakan konteks budaya dan sejarah yang menambah pemahaman penonton terhadap karakter di dalam cerita. Dalam kata lain, film yang baik akan berusaha membuat setting waktu dan tempat menjadi karakter tersendiri, yang hidup dan berkembang seiring tokoh-tokoh cerita. Waktu dan tempat itu menyimbolkan keadaan emosional yang memotivasi bahkan menghantui para tokoh. Scary Stories to Tell in the Dark, meskipun diniatkan untuk penonton muda, tidak lantas melupakan kepentingan setting waktu dan tempat. Tentu, anak kecil atau remaja yang menonton sebagian besar akan melewatkan hal ini, tapi film tidak punya niat untuk merendah demi para penonton tersebut. Settingnya tetap dibuat kuat dan penting sebagai ‘pembentuk’ tokoh kita.

Ada narasi soal child-abandonment yang dihamparkan untuk semua penonton – tua ataupun muda – di balik cerita tentang sekelompok remaja yang nekat memasuki rumah angker dan membawa pulang buku yang setiap malam menuliskan kisah kematian yang dengan segera menjadi nyata. Karena tokoh utama kita, Stella (tokoh Zoe Margaret Colletti ini bisa menjadi role-model yang bagus untuk remaja yang bercita-cita menjadi penulis), ditinggalkan oleh ibu kandungnya semenjak kecil. Begitupun dengan sosok hantu utama – yang menulis semua kisah horor tersebut – disekap oleh keluarga besarnya. Dan di dunia nyata seperti yang dilatarkan oleh film, anak-anak muda ‘dibuang’ begitu saja oleh negara ke Vietnam untuk berperang entah demi apa.

Hal yang paling mengerikan dari diabaikan oleh orang, oleh keluarga, tempat kita menggantungkan diri, adalah engkau dianggap tidak ada. Tidak ada yang menceritakan dirimu. Tapi semua orang butuh untuk didengar. Semua orang punya cerita untuk diceritakan. Film ini menunjukkan betapa pentingnya peranan suatu cerita. Pentingnya suatu kejadian untuk dikabarkan dengan benar. Kita akan lebih rendah dari hantu jika tidak ada catatan, jejak keberadaan kita, yang diketahui oleh orang lain.

 

Tangan sutradara Andre Ovredal tentu saja enggak cukup untuk mengakomodasi semua kepentingan film ini. Dia harus memasukkan banyak cerita-cerita pendek, mengikatnya dengan gagasan sehingga elemen cerita berjalan paralel, sekaligus harus memikirkan target penonton. Ketika di awal-awal film berjalan menyenangkan, masuk ke babak kedua, film yang memilih buku dan hantu yang menulis sebagai device untuk memasukkan banyak cerita pendek klasik, mengempis menjadi sajian horor standar yang meskipun berani menampilkan konsekuensi kematian tapi tidak lagi terasa segar. Alih-alih menjadi antologi berbenang merah setting seperti Trick ‘r Treat (2007), Ovredal menyetir film menjadi ke arah Goosebumps (2015). Semua monster dan kejadian ikonik pada cerita-pendek dimunculkan bergantian untuk mengeliminasi para tokoh, membangun stake tokoh utama karena berikutnya bisa saja giliran dia. Akibatnya untuk cerita-cerita itu adalah mereka hanya jadi ada di sana untuk diperkenalkan kepada penonton muda. Padahal materi horor ini mengerikan karena di setiap cerita kita diberi kesempatan untuk menyelami apa yang terjadi kepada tokoh. Seperti ketika seorang tokoh yang memukuli orang-orangan sawah yang diberi nama Harold, lalu kemudian Haroldnya hidup dan menyerang si tokoh tadi. Kita terinvest sama kejadian horor yang pertama ini karena kita melihat alasan dan koneksi cerita dengan kita. Tapi di cerita-cerita berikutnya, film seperti tergopoh-gopoh untuk menakuti lewat visual semata. Cerita jempol di dalam sop menjadi kehilangan kedekatan karena kita tahu sopnya muncul begitu saja. Cerita Red Spot tidak lagi berbobot psikologi karena kita tahu itu bukanlah jerawat. Cerita Pale Lady bahkan tidak terbangun properly karena hanya sekilas disebutkan tokohnya mimpi

Menonton mereka tidak lagi seperti mendengar cerita seram secara langsung – yang merupakan pesona dari materi aslinya. Kita hanya jadi takut melihat makhluk-makhluk seram. Padahal toh sudah gamblang tertulis. Scary Stories. Cerita. Seram. Yang seram seharusnya adalah ceritanya. Meskipun bertempat di setting yang sesuai dengan sejarah nyata, film menjadi petualangan investigasi misteri yang terlalu fantastis untuk terasa dekat dengan siapa saja.

seperti kata orangtuaku saat aku nanya jawaban PR; semua ada di buku

 

 

 

 

Berusaha untuk setia dengan materi aslinya, tapi cerita-cerita pendek itu sesungguhnya tidak butuh untuk diceritakan ulang lewat narasi berlatar belakang yang kompleks. Karena pada akhirnya – lantaran diniatkan untuk penonton muda – film ini mengambil wujud horor yang pasaran, yang penuh oleh trope dan stereotype. Dia malah tampak seperti tiruan versi lebih nekat dari film tentang buku horor yang semua ceritanya menjadi nyata. Film berusaha memberi gambaran soal keadaan mengerikan yang bisa menimpa anak-anak dan yang berusia remaja – dia bisa saja berdiri sendiri membahas ini. Tapi ada tuntutan sebagai adaptasi untuk mengakomodir banyak cerita dari tiga buku. Film ini seperti menggigit lebih banyak dari yang bisa ia kunyah.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for SCARY STORIES TO TELL IN THE DARK

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Beberapa waktu lalu aku membaca majalah dari Lembaga Sensor Film soal horor bukan tontonan untuk anak-anak.

Apakah kalian setuju? Menurut kalian seperti apa sih sebaiknya film horor untuk anak-anak dibuat?

Share with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.