KABUT BERDURI Review

 

“The truth isn’t always blinding light, sometimes it’s a deep and dazzling darkness…”

 

 

Misteri menyelimuti daerah perbatasan Indonesia-Malaysia di Pulau Kalimantan. Jika di hari itu ditemukan jenazah tanpa-kepala di Serawak. Besoknya bisa saja giliran kepalanya yang dijumpai gelantungan di hutan tempat orang Dayak mengambil madu. Kasus yang paling seru sih ketika ada jenazah yang menggelinding jatuh tepat di dekat garis batas wilayah. Turns out, badan ama kepalanya ternyata milik identitas dua orang berbeda!! Polisi dua negara berebut ngeklaim ini urusan negara satunya (“jaraknya lebih dekat ke elu, kok!”) Sebelum akhirnya kasus terpaksa harus diambil Polisi Indonesia lantaran si mayat mengenakan seragam TNI. Kasus demi kasus pembunuhan dengan cueknya melangkahi batas-batas wilayah yang ditoreh manusia tersebut. Namun saling lempar dan bikin batas wilayah bagi manusia, sebenarnya sama alaminya dengan hutan, pepohonan, kabut, dan misteri dunia lainnya. Manusia cenderung untuk bikin konflik, lalu mati-matian berusaha menutupinya. Berusaha tidak melihat kemelut yang ruwet yang tercipta darinya. Kasus dalam Kabut Berduri, crime thriller karya Edwin, adalah gambaran dari kemelut tersebut. Dengan latar yang berpijak dari situasi sospol beneran (Dayak dengan aparat di perbatasan go all the way back, dari masa-masa pemberontakan partai komunis), film ini jadi senter yang menyorot, menengahi, atau setidaknya yang memungkinkan kita untuk melihat ke balik blinding-truth ataupun kabut tak berujung – borderless fog – tersebut.

Kebenaran bisa berupa cahaya yang begitu menyilaukan, perih untuk dilihat. Bisa juga berupa kabut pekat yang membingungkan, menyeramkan untuk dilihat. Cahaya silau maupun kabut pekat, kita sama-sama terbutakan oleh mereka. Tapi di baliknya ada hal penting yang harus kita ketahui. Maka kita harus pilih. Kita harus endure it. Seperti kata-kata terakhir seorang Dayak yang terngiang di telinga Ipda Sanja “Kamu harus memilih apa yang kamu lihat”

 

Halo, Ambong? next bisa ke IKN yaa

 

Kasus pembunuhan berantai tersebut ditangani oleh Sanja. Inspektur Polisi Dua dari Jakarta, yang kemana-mana selalu pake kacamata dengan lensa berwarna. Tapi itu bukan kacamata gaya; tangkisnya setiap kali mendapat remark dari rekan polisi pria di Kalimantan. Mata Sanja sensitif terhadap cahaya. Dia gampang silau. Jadi dia butuh kacamata dengan resep untuk membantunya melihat dengan normal. Seperti kacamata Sanja itulah fungsi film ini. Kabut Berduri bukan film detektif gaya-gayaan. Melainkan sebuah thriller yang membantu kita melihat di mana sebenarnya letak masalah konflik dayak dengan polisi di perbatasan. Kondisi mata Sanja juga adalah metafor, for she can not see the truth. Kepindahan Sanja berkaitan dengan kejadian di masa lalunya. Saat masih training, Sanja tanpa sengaja membuat seorang anak kecil kehilangan nyawa. Sebagian besar karirnya dihabiskan untuk mengelak dari kenyataan tersebut, dengan ayah dan rekan-rekan membantunya menutupi kejadian itu. Tapi kini, di tempat barunya, Sanja berniat berubah. Tidak mau jadi pengecut lagi. Makanya film ini bilang, Sanja harus belajar melihat. Hanya saja kali ini, dia juga harus belajar melihat dari balik kabut misteri. Kasus di perbatasan yang ia tangani ini sama seperti kasusnya dulu, ribet karena melibatkan banyak pihak. Banyak pemain. Begitu Sanja dan partnernya, Thomas, menggali kasus ini terlalu dalam, mereka menemukan kasus perdagangan anak yang jadi akar semuanya, dan membuat mereka terlibat dengan orang-orang licin seperti ‘toke’ alias crime-lord lokal, dan bahkan mungkin orang-licin beneran alias lelembut seperti mitos Ambong, hantu komunis Paraku yang dipercaya warga bersemayam di hutan.

It is such an haunting look. Bukan saja Kabut Berduri adalah thriller kriminal, dengan momen-momen investigasi detektif yang membawa kita ikut mengernyit menyambung-nyambung petunjuk dan melihat-lihat mayat dengan kondisi brutal bersama karakternya, film ini juga punya banyak nuansa sureal. Presence Ambong sebagai sosok momok selain ngasih teka-teki ekstra, juga ngasih eerie feelings. Karena warga lokal yang ditanyai Sanja semuanya percaya. Mengaku bicara dengan Ambong tanpa menyebut jelas detilnya kendati Sanja sering agak tinggi juga nadanya ketika bertanya – toh bagaimana pun juga ‘Ambong’ tetap adalah petunjuk yang harus dia kejar. Dalam menangani bagian ‘mistis-lokal’ dengan investigasinya, film ini melakukannya dengan lebih baik daripada LongLegs (2024). Kabut Berduri lebih bijak, tahu untuk tidak sampai harus ngasih eksposisi yang menerangkan semuanya. Kesan misterius dan ambigunya dipertahankan; bahkan jika kita merasa udah clear, film kembali menebar kabut misteri. Ambong bisa jadi hanya desas-desus, atau dia beneran sosok pohon besar yang kerap dilihat Sanja. Ambong boleh jadi hanya kedok pelaku sebenarnya, tapi dia bisa juga entitas gaib yang nyata – menyabetkan parang justicenya sendiri. Afterall, film ini didesain untuk menjadi just the right balance, untuk membuat kita seperti Sanja. Melihat lebih mantap antara kabut dan cahaya, eventho apa yang kita lihat mungkin masih sesuatu yang mengundang tanda tanya.

Ini sekaligus bukti keberhasilan film ini membangun latar suasana. Daerah itu bukan saja hidup oleh visual – benar-benar di hutan dengan segala tempat-tempat tersembunyi dan kemisteriusan alaminya, tapi suasana, feeling, dan vibenya kerasa nyata.  Film membawa kita mengunjungi tempat-tempat yang menunjukkan identitas kedaerahan, seperti misalnya rumah panjang ataupun hutan sawit. Panasnya, lengketnya, gerahnya, film benar-benar menampilkan semuanya. Ini membuat kasus itu semakin terasa mencengkeram. Apalagi tidak satupun karakter di film ini yang dibuat lempeng (kecuali mungkin Nicholas Saputra yang jadi TNI – muncul cuma di awal dan di akhir – but still institusinya merupakan bidak penting dalam kemelut ini) Dayak yang seteru sama aparat, rakyat kecil yang merasa terus dioppress, polisi yang lempar-lemparan tugas karena sudah ada di dalam kantong si berduit, ada juga polisi yang posisinya susah. Thomas yang diperankan Yoga Pratama – polisi yang diremehkan sejawat karena dia asal dayak, tapi juga tidak dipercaya kerabat sekampung karena sekarang dia  masuk polisi. Penampilan aktingnya pun natural semua. Logat kalimantan-melayunya cair, kalo aku tutup mata dengar dialog Thomas, bisa-bisa aku nyangka itu orang sono beneran. Dan memang katanya film ini juga banyak pakai talent lokal. Makanya kerasa otentik, dan para aktor harus ngerahin yang maksimal untuk immerse sepenuhnya.

Sedangkan Sanja, orang luar seperti kita, berada di tengah semua itu.  Putri Marino memang tidak dapat kesempatan untuk akting serupa orang lokal, dan bermain-main dengan logat. Tapi di sini dia kebagian akting yang fokus pada olah fisik dan gerak. Oh betapa Sanja tidak ragu untuk snap back melawan atau mempertanyakan hal yang menjurus ke superiority gak sehat di lingkungan kerjanya. Bentukan karakternya memang agak seperti jagoan-perempuan barat, tapi vulnerabilitas dari kesalahan di masa lalunya mendaratkan karakter ini.

Sautan kritik pun sontak terdengar. Polisi kok gak kompeten!

 

Walau karakter outsider di tengah elemen-elemen volatile (detektif yang terlalu ‘nosy’ sehingga menyenggol sistem yang ada) memang sebuah resep sedap untuk thriller kriminal, tapi sebuah film biasanya akan punya pijakan sendiri within that system. Dalam artian, film biasanya akan memilih posisinya sendiri. Mungkin film akan bilang pihak A gak salah. Mungkin film akan memihak B karena mereka cuma dituduh.  Atau mungkin bisa saja menurut film ada pihak C yang mendalangi semua. . The truth mungkin berduri, dan memang harus disembunyikan, dan film ini jadi alat yang memudahkan kita melihatnya (tanpa mengurangi tajam durinya). Ini pilihan yang diambil oleh Kabut Berduri. Mengapproachnya begini, maka kesan ambigu tadi ternyata bukan soal dipertahankan atau tidak oleh film, melainkan lebih karena film ini  ya harus jadi ambigu karena dia ingin menyorot tanpa mengambil pijakan. It is the only way. Dan karena pilihannya ini, Kabut Berduri jadi, katakanlah, gak bisa punya ultimate punchline untuk kemelut yang dia sorot. Ini resiko. Karena akan ada penonton yang jadi menganggap keambiguan sebagai statement yang tidak tegas dari film ini.

 

 




Film kayak gini yang membuat kita menghargai eksistensi Netflix ataupun platform sejenis. Isu lokal yang masih tergolong sensitif, genre yang bukan kalangan mainstream untuk film kita, penceritaan yang bukan jenis hiburan popcorn, susah kayaknya bioskop jaman sekarang untuk mau nayangin ini. Kalopun ditayangin paling juga hanya dipajang beberapa hari karena kalah oleh yang dianggap lebih cepat menguntungkan. Padahal yang kita butuhkan  adalah tontonan yang diverse. Yang berani. Dan tentu saja tidak dibuat main-main dan asal jadi. Film ini kelasnya spesial. Note-note crime thriller dikenainya semua. Kesan misteri dan investigasi benerannya nyampur jadi satu. Penampilan aktingnya nyampur jadi genuine semua. Dia mengambil pilihannya yang membuatnya ambigu tapi juga bisa dinilai kurang nendang, namun cara dia menceritakan pilihannya itu benar-benar, again, spesial. 
The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for KABUT BERDURI

 




.

That’s all we have for now.

Menurut kalian apa maksud pelaku menyatukan mayat aktivis dayak dengan kepala anggot TNI, lalu membuat mayatnya mengenakan seragam TNI?  Kenapa pula Ambong tidak membunuh Agam?

Silakan share di Komen yaa

Yang pengen punya kaos film lebaran Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

 

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



TRAP Review

 

“We are never trapped by where we are, the trap is always who we are”

 

 

Trap, thriller terbaru M. Night Shyamalan, berhasil memberikan apa yang aku harapkan – namun ternyata tidak kudapat – ketika nonton In a Violent Nature (2024) kemaren. Perspektif yang menyeluruh dari seorang serial-killer. Bukan hanya itu, film ini juga terasa fresh dengan sudut pandang yang diangkat tersebut. Memang, film yang mengambil cerita dari sudut pandang psikopat pembunuh bukan barang yang langka. Sebut saja mulai dari Henry: Portrait of a Serial Killer (1986) ke The House That Jack Built (2018), dari American Psycho (2000) hingga ke In a Violent Nature tadi, dari yang pembunuhnya charming sampai ke yang monster gak-bisa mati, pengalaman mengerikan masuk ke pikiran ‘orang gila’ yang bermacam-macam itu sudah pernah kita rasakan (ampe ketagihan!) Hanya semuanya relatif sama. Kita melihat mereka sebagai pembunuh. They might jalanin kerjaan lain sebagai kedok, tapi most of the time, cerita akan berpusat kepada saat aksi utama mereka yakni membunuhi orang. Trap berbeda, karena kita tidak melihat si serial killer saat actually sedang ‘dinas’. Melainkan cerita khusus menyorot ketika dia sedang berusaha menjadi kepala keluarga yang baik. Like, membawa putrinya nonton konser. Shyamalan dikenal karena twist pada film-filmnya; dia selalu took risks dengan ‘mematahkan’ filmnya menjadi something else, sampai-sampai banyak filmnya yang jatohnya antara tidak dimengerti atau salah dimengerti oleh penonton. Trap, sepertinya bakal jadi satu lagi film Shyamalan yang easily di-misunderstood. Banyak penonton yang gak puas dan menganggap film tentang ayah-anak ini sendirinya adalah jebakan yang dipasang Shyamalan supaya kita nonton konser putrinya.

Cooper dan putrinya yang masih 12 tahun, Riley, was about to have a great ‘father-daughter day’ di konser Lady Raven. Penyanyi yang lagi hits banget terutama di kalangan remaja dan anak-anak muda. Cooper berhasil dapetin floor ticket, di row yang lumayan deket juga dari panggung. Tapi sedari masuk tadi, Cooper notice stadion konser ini dijaga oleh banyak sekali sekuriti. Dengan persenjataan lengkap pula. Oalah, ternyata mereka FBI! Kabarnya, mereka ada di sana karena tahu bahwa di antara tiga-puluh-ribu penonton konser itu ada satu serial killer most wanted – The Butcher – yang juga hadir. Konser musik ini dijadikan perangkap buat si The Butcher. Film mereveal twistnya dengan sangat dini, karena si serial killer tidak lain tidak bukan adalah Cooper, ayah yang sayang banget ama pada putrinya, pemadam kebakaran yang simpatik. pria baik hati yang bisa diandalkan all around. Ini ternyata bukan cerita tentang ayah-anak yang terjebak di tengah-tengah kucing-kucingan pembunuh dengan FBI, melainkan cerita tentang pembunuh yang harus mikirin cara keluar dari stadion yang dijaga ketat, sementara juga naluri banditnya itu berkonflik dengan keinginannya satu lagi sebagai seorang ayah; dia pengen Riley yang lagi dikucilin teman-teman segeng itu tetap have fun di konser.

Aku kinda relate, karena pas nonton WWE live dulu fokusku malah jelalatan cari cara menyelinap ke backstage hihi

 

Bisa dilihat konsep cerita Trap ini benar-benar brilian kenekatannya. Biasanya, pada film antihero atau yang bahkan protagonisnya penjahat yang journey ceritanya paling degradasi moral sekalipun,  simpati itu akan terus dipantik dari si karakter. Tujuannya adalah kita sebagai penonton merasakan dramatic irony dari ‘kejatuhan’ si karakter menjadi seorang penjahat. Meskipun tujuannya menyimpang, tapi kita masih peduli karena kita paham apa yang membuat dia seperti itu. Itulah kenapa namanya protagonis; karakter yang ingin sesuatu dan kita get behind them regardless kita setuju atau tidak terhadap pilihannya. Tapi Trap ini sebaliknya. Shyamalan membuat Cooper ini sebagai.. apa ya, kita karang aja istilahnya; Anti-protagonis, mungkin. Cooper berangkat dari karakter simpatik, lalu diungkap dia orang jahat, dan film akan terus mendevelop dirinya menjadi semakin unlikeable hingga cerita usai. Ini dibilang salah, ya salah karena gak sesuai aturan. Tapi dibilang jelek, ya enggak juga, karena desain konsep ini brilian dan bukan perkara mudah untuk dilakukan. Bagaimana membuat karakter yang sedari awal sudah diungkap sebagai pembunuh, tapi kita tetap sempat peduli dia selamat?

Film mencapai ini pertama dari kekuatan akting Josh Hartnett sebagai Cooper. Aktingnya di sini sangat intriguing, sehingga kita tertarik. Ada momen ketika kita percaya dia beneran peduli sama Riley. Ada momen ketika kita bisa melihat jurus ‘menarik simpati ala serial killer’nya keluar untuk membohongi orang-orang demi mendapat informasi – bahkan kepada Riley. Ada momen ketika dia beneran panik dan pikirannya berkecamuk nyari jalan keluar. Ada momen ketika dia kontemplasi dengan traumanya sendiri. Masing-masing momen ini hidup oleh permainan ekspresi. Film juga mastiin buat semua ekspresi itu tertangkap, karena akan banyak sekali shot yang close up wajah Cooper. Kesannya mungkin bisa tampak unnatural (apalagi pas Cooper matanya kosong tapi senyumnya ngembang), tapi kita harus ingat yang berusaha ditangkap kamera adalah psyche seorang serial killer yang punya trauma sendiri, yang sendirinya bergulat dengan dua ‘dunia’, dengan dua kebutuhan.

Kedua, dan ini yang paling penting supaya kita di awal peduli, adalah dari hubungan Cooper dengan Riley. Dunia yang lebih relatable; ayah dan anak di tempat konser. Film ngerti betapa krusial bagian ini, maka M. Night Shyamalan arahannya jor-joran banget di first-half ini.  Ariel Donoghue natural banget jadi anak seusia Riley yang starstruck lihat idolanya nampil, yang benar-benar menikmati hari yang spesial dalam hidupnya. Dramatic irony yang membuat kita peduli sama Cooper, dipancing film dari sini. We don’t want Cooper gagal supaya hari Riley gak rusak, tapi juga kita tahu hari itu gak akan berakhir baik buat Riley. Lalu, experience nonton konser itu sendiri. Gak salah juga kalo penonton pada julid film ini akal-akalan sutradara buat ngasih panggung putrinya sendiri yang memang penyanyi (Saleka Shyamalan berperan jadi Lady Raven, dan dia beneran ‘manggung’ ampe bikin album buat ngisi film ini). Pak Sutradara ngisi konser itu dengan crowd beneran, kesibukan kru panggung, isi stadion, hingga pagelaran konsernya, suasananya terasa otentik. Beneran hidup. Dan jadi kontras yang kuat ketika ada petugas bersenjata yang merazia penonton secara giliran. ‘Mengganggu’ mereka dari aktivitas nonton konser. Keseluruhan experience di paruh-pertama ini rasanya imersif banget. Kita ngenalin euforia dan serunya di sana, kita gak mau Riley terampas oleh pengalaman tersebut, so naturally kita jadi peduli sama keberhasilan ayahnya walaupun kita tahu ayahnya orang jahat. At least, biarkan Riley dapat momen dulu. Dan film memang ngasih dengan selera humor tersendiri.

Lalu diambillah resiko berikutnya. Paruh-kedua yang normalnya dimulai dengan sekuen ‘taktik baru’, oleh naskah ini dimaknainya sebagai literally kayak different movie. Belokin cerita kayak ampe patah-dua ini kelebihan sekaligus kekurangan M. Night Shayamalan. Bisa bikin filmnya seru, unpredictable, tapi semua kenekatan itu tetap bergantung kepada storytellingnya. Skala cerita diperbesar. Seluruh kota seolah jadi tempat yang memerangkap Cooper. Sedangkan untuk Cooper sendiri, ‘baru’ baginya sayangnya adalah kali ini dia jadi lebih banyak bereaksi. Inilah kenapa banyak yang bilang babak ketiganya aneh. Karena mendadak cerita malah bergerak karena aksi-aksi si Lady Raven. Dia jadi kayak hero di bagian ini. Sebenarnya kalo dari desain, ini masih kelihatan ada alasan dan kepentingannya dengan tema. Bagi serial killer yang lagi di dunia seorang ayah, Cooper tentu familiar soal apa yang ditampilkan supaya orang melihat kita sebagai apa yang kita mau. Dan ketika Lady Raven mendadak punya rencana sendiri, ini caught Cooper off guard. Dia gak sadar seleb yang tampaknya gak bisa apa-apa, ternyata bisa punya persona yang berbeda di luar panggung (apalagi di backstage dia ngeliat rapper yang cuma bisa songong minta ini itu). Bisa punya kemampuan lain, bisa punya ‘power’ dari follower. Cuma, karena ujug-ujug Lady Raven jadi hero tanpa benar-benar ada build up, naturally kita sebagai penonton gak bisa get behind her. Tindakannya malah dianggap bego, dan lebih terasa kayak manjang-manjangin cerita.

Give new meaning to a “Parent Trap”

 

I do feel film ini bingung mau narok akhiran di mana. Stakenya padahal udah dibikin mengerucut, dibikin lebih personal. Ini juga sekaligus cara film mengembalikan kendali kepada Cooper sebagai protagonis. Bahwa pilihan ultimate bagi dia adalah memilih kehidupan mana yang ia jalani. Dia gak harus jadi serial killer. Hanya saja Cooper merasa terjebak di mana-mana. Modus operandi Cooper sebagai serial killer adalah dia memilih orang-orang yang ia anggap ‘utuh’ untuk jadi korban. Karena dia pengen liatin bahwa gak ada yang utuh di dunia ini. Bahwa seperti dirinya, semua orang adalah kepingan-kepingan. Backstory Cooper diungkap dengan subtil di balik gumaman kecil dan perilaku OCDnya (betul-betulin letak barang yang miring). Jadi film membuat Cooper harus berkonfrontasi dengan kepingan-kepingan hidupnya. Dengan istrinya. Dengan bayangan ibunya. Ini yang bikin film jadi seolah gak beres-beres. Film harusnya bisa lebih mempertegas mana yang beneran ‘konflik utama’ bagi Cooper. Ketika di awal seperti dibuild up, Cooper seperti menganggap ibu tua FBI sebagai antagonis utamanya, mestinya ini saja yang dijadikan fokus untuk penyelesaian cerita. Film harusnya bisa lebih menggodok segala ‘pieces’ konflik Cooper dan madatin babak ketiga ceritanya.

Terlepas dari bagaimana hal tampak bagi kita, kita sesungguhnya tidak pernah terjebak oleh tempat kita berada. Perangkap itu sebenarnya selalu soal siapa kita. Dengan membiarkan diri torn to pieces, kita memerangkap diri sendiri. Cooper merasa trauma membuat dia harus menjalani dua hidup, sebagai serial killer dan sebagai ayah, akibatnya dia terjebak di antara dua ‘dunia’ tersebut. Tidak pernah punya kekuatan untuk mengonfrontasi siapa dirinya, masalahnya, yang sebenarnya. Padahal lihat saja Exodia di kartu Yugioh, kalo lima anggota badannya terkumpul, kekuatannya jadi infinity hihihi

 

 




Sori, karena judulnya, dan bicara soal pieces, aku jadi gak tahan buat nyama-nyamain ama Yugioh. Tapi itu  tandanya film ini sukses menghibur. Dan aku memang beneran suka kok. Aku suka suasana di konser, experiencenya kerasa banget dan film feels genuinely life dan epic. Aku suka nekatnya M. Night Shyamalan bikin konsep ampe jadi kayak anti-protagonis.  Aku suka sudut pandang yang diangkat, serial killer bukan exactly soal dia membunuh orang dengan sadis, tapi soal dia takut ketahuan karena sumpah mati dia pengen banget berhasil membangun keluarga. Bahkan patahan ceritanya bisa kita apresiasi, karena masih bergerak dalam konteks perspektif dan backstory si karakter. Meskipun memang paruh kedua itu mestinya bisa digarap dengan lebih baik lagi. dengan lebih mulus lagi. Terutama di kejadian-kejadian, biar less kayak ‘naskah maunya begitu’ dan more kayak keputusan natural karakter di saat darurat. 
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for TRAP.

 

 




That’s all we have for now.

Film ini could get unintentionally funny. Buat kalian, bagian mana yang paling lucu dari film ini? 

Silakan share di Komen yaa

Yang pengen punya kaos film lebaran Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

 

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL

 



MINI REVIEW VOLUME 20 (FURIOSA: A MAD MAX SAGA, IN A VIOLENT NATURE, PEMANDI JENAZAH, DESPICABLE ME 4, LOVE LIES BLEEDING, THE BIKERIDERS, SPACE CADET, KINGDOM OF THE PLANET OF THE APES)

 

 

Keeping up with new movies pada masa-masa liburan kian makin jadi tantangan buatku. Terutama jika filmnya punya durasi panjang banget. Faktornya banyak. Bisa karena mager ke bioskop, males rame. Bisa justru susah ngatur waktu karena biasanya bioskop ngasih jadwal dan sebaran filmnya kurang enak kalo ada film yang hits atau berdurasi panjang. Atau bisa juga karena filmnya malah gatayang sama sekali di bioskop tempatku liburan. Dengan alasan itulah, maka daftar ini dibuat, terutama buat ngejar ketinggalan nonton Furiosa. Let’s go.. brrrrmm.. brrrmmmm!!

 

 

DESPICABLE ME 4 Review

Setelah absen pada film ketiga tujuh tahun yang lalu, sutradara Chris Renaud kembali, seolah ingin me-reset dunia Despicable Me kepada sebuah fresh start. Karena itu juga yang terjadi kepada Gru dan keluarga kecilnya di dalam cerita film keempat ini. Musuh bebuyutan dari jaman sekolah kabur dari penjara, dendam kesumat kepada Gru, sehingga demi keamanan, mereka semua ikut semacam program perlindungan saksi; Gru sekeluarga diberikan alamat baru, serta identitas baru. And oh wait, keluarga mereka sendiri juga punya anggota baru, Gru Junior!!

Set up tersebut menanam banyak sekali permasalahan yang menarik. Gru harus berusaha jadi live up identitas barunya, yang berarti dia gak boleh jadi despicable self yang biasa – dan ini berkonflik dengan keinginannya untuk jadi suri tauladan yang baik – as in menjadi villain yang ‘baik’ kepada putranya. Karakter kesayangan kita yang lain juga dapat cerita sendiri; Margo harus mulai journey sebagai murid baru di sekolah yang baru, sementara Agnes – anak seimut itu harus berkonflik batin dengan dirinya harus ‘nyamar’ jadi identitas baru sementara dia gak mau berbohong. Sayangnya, bibit-bibit ini tidak berbuah jadi sebagaimana mestinya. Lantaran Despicable Me 4 yang menargetkan diri sebagai tontonan untuk anak-anak, memutuskan bahwa anak-anak gak mampu untuk musatkan perhatian pada… hey look, Minion! papoy, papoy, banana!!!

Look, udah film keempat – itu kalo kita gak ngitung film spin off dan lain-lainnya. Kita pahamlah, vibe film ini gimana. Rusuh, dan jualannya candaan dengan Minions. It’s okay mempertahankan itu. Tapi film ini, rusuhnya tu ekstra. Sampai-sampai semua permasalahan tadi itu melebar ke mana-mana.  Gru malah bertualang dengan anak lain, Minion tau-tau jadi parodi superhero. Aku akui, film dengan karakter yang tadinya villain, lalu ada dialog yang bilang “I’m sick of superheroes” merupakan celetukan yang cukup badass, tapi yah sebagai sebuah cerita, film ini masih belum matang. Bayangkan para Minions lagi memasak film ini di dapur. Hasilnya, dapur berantakan karena rusuh, dan masakannya sama sekali gakjadi – kalo gak mau dibilang kacau. Begitulah state film ini.

The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for DESPICABLE ME 4

 

 

 

FURIOSA: A MAD MAX SAGA Review

Chris Hemsworth bilang “Amerika punya Star Wars, Inggris punya Harry Potter. Australia punya Mad Max” Aku setuju. Mad Max memang sebesar itu pengaruhnya terhadap pop culture. Geng-geng motor, adegan kejar-kejaran kendaraan yang beringas, dunia post-apocalyptic. Mad Max bahkan menginspirasi Fist of the North Star, manga yang berkembang menjadi franchise tersendiri. Dan kini, Mad Max bakal makin gede lagi karena George Miller punya lore karakter baru di dunia wasteland tersebut. Furiosa.

Kita sudah kenalan sama cewek botak ini di Mad Max: Fury Road (2015). Sekarang, kita diajak masuk untuk truly mengenal dia sedalam-dalamnya. Kenapa Furiosa penting untuk dikenali? Karena ceritanya literally sebuah oase di tengah gurun. Membedakannya dengan galian cerita Mad Max yang lebih tentang harapan dan kepahlawanan, Furiosa dibentuk sebagai kisah yang lebih kompleks dan kelam. Cerita tentang menumbuhkan hidup dari balas dendam, dari kebencian, seperti yang diperlihatkan pada ending yang menurutku menyentuh – dalam caranya sendiri – you know, gimana Furiosa dan Dementus (antagonis yang dimainkan charismatic oleh Chris) ‘menuntaskan’ permasalahan mereka.

Film ini juga berhasil ngembangin lore dunia wasteland itu sendiri. Ketika kita menonton kejar-kejaran spektakuler dengan kendaraan perang unik di gurun pasir saja, karakter dan motivasi mereka menempel sehingga semuanya terasa berarti. Cara film ini ngasih lihat karakterisasi juga beragam dan sama well-design-nya dengan wujud mereka. Furiosa aja misalnya, karena diceritain dari dia kecil maka Anya Taylor-Joy baru akan muncul di pertengahan, tapi kita bisa merasakan journey-nya nyambung. Karakternya benar-benar terbentuk dari sana. Kita bahkan bisa dengan mulus ngoneksikan Furiosa ini dengan Furiosa dewasa di film sebelumnya. Dan kerennya lagi, dialognya minim banget. Semuanya benar-benar diserahkan kepada akting mata dan ekspresinya Anya.

The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for FURIOSA: A MAD MAX SAGA

 

 

 

IN A VIOLENT NATURE Review

Janji film ini adalah menghadirkan slasher tapi lewat perspektif pembunuhnya. Slashernya bukan dari pembunuh-serial yang biasanya charming dan punya pemikiran ideal sendiri. Tapi dari backwood ‘monster’ superhuman ala Jason Vorhees. Janji sutradara Chris Nash ini memang manis. Sebab tentu saja akan sangat menarik jika kita dibawa menyelam ke sudut pandang seperti demikian. Apa yang si monster pikirkan. Kenapa dia membunuh. Kenapa harus sadis banget. Apakah dia merasakan penyesalan. Atau ragu. Atau takut. Bagaimana dia memandang korban-korbannya. Bagaimana dia bisa menguber mereka tanpa terdeteksi, sampai semuanya sudah terlambat.

Eksekusi janji tersebut, sayangnya terhuyung-huyung. Film ini cuma deliver, maybe dua, di antara ekspektasi kita ketika mendengar ‘film dari sudut pandang pembunuh.’ Beberapa hal memang menarik. Kayak gimana si pembunuh mengarungi hutan, mendengar ada orang ngobrol lalu dia berjalan ke arah mereka. Eh ternyata mereka lagi ngegosipin dia. Kemudian dia jalan lagi, lalu membunuh mereka satu persatu dengan cara yang entertaining abis! Sesekali kita juga ‘mendengar’ memori si pembunuh terkait informasi apa motivasinya. And that’s it. Ketika diwujudkan sebagai film, janji-janji itu terlihat seperti film slasher biasa, cuma lebih boring karena most of the time habis melihat si pembunuh berjalan. Karena ini soal dia memburu manusia lemah dan bersalah, maka tidak ada suspen yang terbangun. Tidak perlu musik. Bahkan filmnya sendiri gak yakin akan konsepnya, sehingga kadang jalannya si pembunuh ‘dipercepat’ dengan editing. Film masih takut untuk terasa boring. Ketika si pembunuh masuk air, berjalan di dasar, kita gak ikut nyemplung. Film masih berpindah ke sudut pandang mangsanya. Dan ini menurutku pelanggaran janji yang paling fatal. Dalam artian film gak konsisten.

Akhiran film membuat kita benar-benar lepas dari sudut pandang si pembunuh. Totally. Pindah ke sudut pandang final girlnya. Alih-alih big chase scene, atau apa kek terkait penyelesaian si pembunuh, film malah ngasih monolog yang terdengar sok misterius dan preachy, dari karakter yang bahkan baru nongol untuk sekuen itu saja. I don;t know, man. Lain kali kalo mau bikin dari sudut pandang pembunuh, mungkin yaah, desain dululah penulisan yang bagus untuk karakternya.

The Palace of Wisdom gives 3.5 out of 10 gold stars for IN A VIOLENT NATURE

 

 

 

KINGDOM OF THE PLANET OF THE APES Review

Bersetting 300 tahun dari akhir trilogi Planet of the Apes modern, cerita yang dipunya Kingdom ini sebenarnya menarik, tapi apesnya, arahan Wes Ball dalam membuat ini sebagai set up dari trilogi yang baru membuat film ini jadi biasa aja.

Gimana gak menarik coba? Sekarang ceritanya dunia udah dikuasai oleh bangsa kera, tapi mereka terpecah-pecah karena punya interpretasi berbeda terhadap apa yang pemimpin, leluhur mereka – Caesar – mau. Ajaran Caesar buat bangsa kera, ternyata dimaknai berbeda oleh tiap golongan. Ada yang mengaku jadi penerus Caesar segala. Memerintahkan dengan tangan besi untuk semua kera tunduk kepadanya. Sementara keretakan terjadi di antara mereka, tokoh utama kita – kera bernama  Noa yang desanya diserang dan keluarganya dibawa paksa oleh kelompok kera jahat – menemukan pemahaman sendiri terhadap ajaran Caesar tentang manusia. Karena dalam perjalanannya untuk menyelamatkan kerabat, Noa bertemu dengan anak manusia bernama Mae.

Jadi setidaknya ada tiga pihak dengan konflik yang menarik jadi motor penggerak alur film ini. Sesama bangsa kera yang udah kayak cerminan gimana manusia terpecah belah karena keyakinan dan paham yang berbeda. Lalu antara kera dengan manusia, ada yang menganggap manusia harus dimusnahkan, dan ada yang percaya bahwa Caesar mengajarkan untuk hidup berdampingan dengan manusia. Ending film yang nunjukin interaksi/konfrontasi Mae (yang ternyata cerdas) dengan Noa buatku juga sangat menarik, menantang dan cocok sekali untuk mengirim kita ke lanjutan ceritanya. Tapi gak tau deh, ada something missing dari arahan film yang bikin menontonnya kayak biasa aja. Aku merasa durasi penceritaannya yang terlalu ngulur-ngulur, sehingga alih-alih menantang kita dengan konflik ideologi dan dilema personal, film jadi lebih kayak rescue-adventure dengan karakter sedikit lebih dalem aja. Menurutku film ini belum mencapai potensi yang sesungguhnya.

The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for KINGDOM OF THE PLANET OF THE APES

 




LOVE LIES BLEEDING Review

Love Lies Bleeding adalah tipe film yang susah dikategorikan ke dalam genre tertentu. Semuanya ada. Drama, romance, thriller, misteri, crime, action, bahkan ceritanya sempat pula masuk ke ranah surealisme. Dream-like. Yang gak ada cuma komedi, tapi walaupun begitu bukan berarti karakternya gak punya ‘selera humor’. Baru film keduanya, tapi sutradara Rose Glass udah seberani ini. Dari urusan tema pun, film ini berani mengangkat banyak. Love Lies Bleeding jadi terasa seperti dunia tersendiri yang intens, brutal, dan kelam.

Tema utamanya sih tentang obsesi. Atau mungkin candu. Hal yang kita tahu salah, not good for us, tapi tetap kita pegang atau pertahankan, karena tanpanya kita merasa diri kita kecil. Gak bisa apa-apa. Dua karakter sentral di film ini – Kristen Stewart yang kerja di gym, dan Jackie sebagai bodybuilder yang kebetulan singgah dan on her way to kompetisi binaraga -sama-sama berjuang dengan hal tersebut, yang satu kecanduan steroid, satunya lagi berurusan dengan keluarga besar yang toxic mulai dari ayah crime lord dan kakak yang punya suami ‘ringan tangan’. Sementara juga ironisnya, hubungan cinta mereka pun jadi sama ‘tak-sehatnya’ karena sudah menyangkut melindungi pembunuh. See, film ini ceritanya kompleks banget, tapi berkat penceritaan yang benar-benar jumawa. Berani dan mantap dalam mengarungi naskah itu sendiri, film gak pernah goyah ketika harus jadi crime thriller, jadi romance panas, ataupun ketika jadi simbol-simbol ‘aneh’ saat di akhir karakternya menjadi raksasa. Kita dibuat terus menatap lekat kepada dunia, kepada cerita, kepada karakternya. Bisa dibilang, penceritaannya membuat kita terobsesi sama mereka.

The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for LOVE LIES BLEEDING

 

 

 

PEMANDI JENAZAH Review

Jadi pemandi jenazah itu urusannya sama dengan lagu tema Pretty Little Liars. Harus menjaga rahasia yang dibawa mati oleh si jenazah. Menjaga aibnya. Membawa ini ke ranah masyarakat sosial yang penuh prejudice – khususnya masyarakat lokal yang lagi hitsnya ama term pelakor – Hadrah Daeng Ratu sebenarnya bisa aja strike the gold dengan Pemandi Jenazah. Sandungan baginya masih seperti biasa, arahan dan penulisan yang clumsy,

Potensi emas film ini bisa langsung kita saksikan dan rasakan. Pemandi Jenazah punya dunia yang aktif digali, ibu-ibu di masyarakat cerita satu-persatu mati seperti kena kutuk. Santet, kalo kata filmnya. Dan diungkap ada semacam rahasia masa lalu di antara ibu-ibu yang jadi korban tersebut. Cerita ini ditembak dari sudut pandang Lela, anak salah seorang korban, yang kini terpaksa harus melanjutkan kerjaan ibunya sebagai pemandi jenazah. Pengembangan dunia dan karakter film ini sebenarnya menarik. Lela misalnya, film gak ragu untuk ngasih dia konflik dan nunjukin vulnerabilitas bahwa dia gak mau jadi pemandi jenazah karena takut. Takutnya ini yang sampai dan relate ke penonton. Ini jalan masuk ke penonton yang sudah berhasil dicapai oleh film. Tinggal urusan misteri dan penyelesaiannya. Yang bisa kita lihat, film benar-benar berusaha, dan punya pesan yang baik soal memutus siklus saling benci. Untuk rukun.

Arahan, pengadeganan, dialog, harusnya bisa lebih diperbagus lagi. Misalnya aspek horornya. Di luar adegan horor saat mandiin mayat (they talk!!) film ini sering mengandalkan adegan-adegan horor yang kayak niru horor lain – yang pernah kita lihat. Jika aspek horor lain itu dibuat lebih original, film ini tentu lebih memorable ini. Kalo dari pengadeganan dan penulisan, yang paling parah langsung terasa clumsy itu adalah sekuen finale-nya yang melibatkan rombongan ibu-ibu lay their own justice. Harusnya bisa dilakukan lebih ‘sinematik’ lagi, enggak kayak adegan sinetron.

The Palace of Wisdom gives 6 gold stars out of 10 for PEMANDI JENAZAH.

 

 

 

SPACE CADET Review

Aku dulu pengen banget jadi astronot. Tapi urung, karena ngerasa gak bakal bisa. Badanku pendek, dan mataku minus. Plus otak yang pas-pasan. Kalo dulu itu aku udah nonton Space Cadet, aku pasti tetep nekat pergi mendaftar jadi astronot. Karena komedi karya Liz W. Garcia ini berhasil ngalahin Armageddon (1998) dalam hal nunjukin bahwa jadi astronot itu gampang bangeett

At the best, Space Cadet adalah komedi ringan – sedikit mustahil – dengan vibe positif mendorong penontonnya untuk mengejar mimpi. Kita bisa nonton ini cuma buat ngeliat Emma Roberts ngelakuin hal ‘gila’, dan terhibur olehnya. kita bisa nonton ini buat ngintip aktivitas calon astronot di NASA (dan mupeng). Tapi film ini gak bakal ngasih drama yang benar-benar berbobot. Karakternya tipis. Gadis yang sebenarnya pintar dan pengen jadi astronot, tapi keadaan membuat dia untuk kuliah aja gak bisa. Film never really touch upon that aspect, melainkan lebih memilih ke soal gimana Rex – si gadis – malsuin CV supaya keterima intern di NASA. Gimana nanti dia yang udah akrab sama sejawat di sana, ketahuan, dan terjadilah drama di sana. You know, ini kayak film-film feel-good sederhana yang sering ditayangin di tv jaman-jaman 90an.

Namun bahkan untuk target sesederhana itu saja, Space Cadet masih kurang berhasil membuat karakternya lepas landas dengan benar. Karena Rex lebih seperti bereaksi ketimbang beraksi. Karena yang malsuin data-data lamarannya, bukan dia. Tapi temannya. Jadi Rex sebenarnya cuma play along dan berusaha gak ketahuan saat dia ngeh dirinya keterima karena surat lamarannya sudah diubah oleh temannya tersebut. Aku gak tahu kenapa film memilih harus menyerahkan aksi penggerak ini kepada karakter pendukung yang just another comedic relief, padahal bisa langsung diserahkan kepada tokoh utama. Toh Emma Roberts bukan aktor jaim yang gak lepas saat mainin komedi.

The Palace of Wisdom gives 4.5 gold star out of 10 for SPACE CADET.

 

 

 

THE BIKERIDERS Review

Dilan versi Hollywood! Ahahaha aku ngakak pas baca sinopsis. “Kathy (Milea) tertarik kepada Benny (Dilan), anggota geng motor. Begitu geng motor semakin menjurus kepada kekerasan, Benny (Dilan) harus memilih antara Kathy (Milea) atau gengnya.”

Tapi pas ditonton, karya Jeff Nichols neither mirip Dilan ataupun soal Benny dan pilihannya itu sendiri. First of all, ini beneran anak geng motor. Bukan anak mami yang cosplay jadi sok jagoan. Perspektifnya memang mature dan dihandle dengan sedewasa itu. Ketika ada romance anak motor dengan cewek rumahan, romancenya bukan tau-tau si anak motor jago gombal, lalu segala top. Romansa film digali tetap pada bingkai bagaimana anak motor itu sebenarnya. Benny akan nunggu di depan rumah Kathy, nyender di motornya – dari malam sampai pagi – sampai cowok Kathy nyerah dan pergi ketakutan, padahal Benny gak ngapa-ngapain. Itu baru romantis yang kita percaya ada di kepala anak motor. Romantis menurut si anak motor itu sendiri.

Tapi sesungguhnya tokoh utama film ini bukan Benny, ataupun Kathy. Melainkan geng motor itu sendiri. Kita akan melihat gimana perkembangan geng motor tersebut dari tiga perspektif sentral. Benny yang menganggap itu geng tersebut keluarganya, Kathy, sebagai orang baru yang masuk karena cinta, dan Johnny sebagai ketua, pendiri geng motor itu sendiri. Melalui tiga karakter inilah, journey kelompok ini sebagai saudara jalanan, berurusan dengan anak-anak muda yang pengen masuk karena menyangka geng motor adalah geng ugal-ugalan semata, dikembangkan. Jadi nonton film ini tuh kerasa banget apa-apa saja statement ataupun pandangan dari dunia geng motor itu sendiri. Ceritanya imersif, cuma karena sering pindah-pindah karakter – dan juga pindah periode waktu -, pace film bisa agak ‘terasa’. Sampai mampu membuat kita bingung, film ini ujungnya gimana

The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for THE BIKERIDERS

 




 

 

That’s all we have for now

Bagaimana pendapat kalian tentang franchise Mad Max?  Kalo Australia punya Mad Max, Indonesia kira-kira apa ya franchise film yang punya potensi mendunia sambil kuat megang identitas kita?

Silahkan share di komen yaa

Thanks for reading.

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



LONGLEGS Review

 

“Birthdays as reminders of unspoken pains”

 

 

Hari ulangtahun normalnya disongsong dengan gembira. Apalagi waktu kecil dulu. Wuih, hari-hari menjelang ultah itu rasanya berdebar-debar. Kepikiran pestanya semeriah apa. Kuenya segede apa. Kadonya sebanyak apa. Tapi makin dewasa, rasanya kegembiraan menyambut hari lahir itu berkurang. Rasanya kok tidak seantusias dulu. Bahkan, kita sering lupa sama ulangtahun sendiri. Kita jadi lebih suka merayakannya ‘diam-diam’. Alasannya bisa banyak, bisa karena sibuk, bisa karena udah pada jauh dari teman-teman, atau mungkin hari ulangtahun justru jadi pengingat kenangan buruk atas hidup yang belum terpenuhi? Longlegs, horor garapan Oz Perkins, seperti berangkat dari aspek ini. Ketika momen-momen menuju hari yang biasanya dirayakan, justru jadi momen-momen menakutkan. Ketika mengingat hari kelahiran, berbalik menjadi menyambut hari kematian. As for me, dengan bahasannya yang nyinggung-nyinggung hari ultah tersebut, Longlegs udah paling tepat dianggap jadi kado paling… horor!

Agen Lee Harker punya firasat. Yang tentu saja sangat berguna dalam investigasi kasus. Apalagi FBI memang lagi mumet ama satu kasus sulit yang terus berlangsung sedari puluhan tahun lalu. Kasus pembunuhan keluarga, yang sepertinya dilakukan oleh para ayah yang lantas bunuh diri setelah menghabisi keluarganya. Kesamaan kasus-kasus itu yaitu keluarga-keluarga yang jadi korban itu selalu punya anak perempuan yang lahir pada tanggal 14. Surely ini kerjaan serial killer, dan memang di TKP ditemukan pesan kriptik dengan simbol-simbol aneh. Tugas Lee adalah memecahkan semua misteri tersebut. Namun firasatnya yang udah kayak setengah-paranormal itu berkata lain. Bahwa pesan-pesan aneh itu mengarah kepada sosok pria misterius, yang waktu kecil dia kenal sebagai Longlegs. Dan bahwa pesan-pesan itu seperti ditujukan langsung untuknya. Ya, semua kasus ini mungkin bermula dari masa kecil dirinya sendiri  di rumah pedesaan bersama ibu.

Potong ‘palanya, potong ‘palanya sekarang juga~

 

Membungkus diri sebagai investigasi crime, film ini mengajak kita masuk ke dalam misteri ceritanya. Membuat kita jadi ikutan telaten memperhatikan clue-clue. Seperti Lee, berharap dapat menguak maksud dari teka-teki si Longlegs. Algoritma Setan, begitulah Lee menyebutnya. Karena memang crime yang ditangani Lee muatan supernaturalnya begitu gede. Sosok Longlegs terbuild up dengan sangat baik sebagai momok yang menakutkan, bikin gak nyaman, sekaligus bikin penasaran. Cara film membuat Lee ‘tertarik’ kepadanya Longlegs juga sangat menarik. Lewat kengerian intens, yang konstan terpasang pada raut Maika Monroe. Kontras sekali dengan Longlegs yang dimainkan dengan chaos, penuh histeria, serta hal-hal ganjil oleh Nicolas Cage. Makanya banyak yang membandingkan film ini dengan The Silence of the Lambs (1991), thriller investigasi dengan interaksi antara agen Clarice Starling dengan serial killer Hannibal Lecter sebagai pusatnya. Longlegs dianggap sebagai versi horor full madness dari film tersebut.

Karena memang film ini, alih-alih penuh oleh dialog tentang psikologis dan mindgames seorang killer yang berusaha ‘melahap’ kepala agen wanita lawan bicaranya, berisi racauan riddle yang seperti dilontarkan oleh si Setan itu sendiri. Dari dialog saja, nuansa creepy dan tak nyaman sudah menguar. Tempo yang sengaja lambat pun terasa semakin menyandera kita ke dalam misteri, sama seperti rasio kotak yang membingkai adegan-adegan masa lalu/masa kecil – seolah membuat Lee terpenjara dalam ingatan kabur yang bahkan struggle untuk dia ingat. Tema biblical jadi warna pada narasi. Mulai dari kutipan ayat hingga simbol-simbol yang diamini sebagai simbol setan, dijahit mulus sebagai bagian dari cerita- dari misteri. ‘Kurang ajar’nya nih film, dia tahu kita sudah tertarik masuk, menatap ceritanya lekat-lekat, tapi indera kita ‘dipekakkan’ oleh desain suara, ‘dikaburkan’ oleh transisi visual, yang sama-sama mengerikannya. Bukan dalam artian jelek, melainkan benar-benar membangkitkan perasaan horor dan gak nyaman itu sendiri.

Malahan, sebenarnya aspek horor film ini memang bersandar kepada treatment terhadap teknis-teknisnya tersebut. I mean, Longlegs-nya Nicolas Cage bakal cuma jadi karakter over-the-top ala akting histerical Cage yang biasa jika tidak punya editing secrisp yang dilakukan oleh film ini. Lihat saja adegan di opening saat Longlegs pertama kali muncul; gimana suara mendadak menyertai kemunculannya, terus posisinya di kamera yang kita cuma ngeliat sosoknya sampe sebatas bibir alias sejajar mata anak kecil, lalu gerakan dan cut mendadak yang bikin jantungan itu. Mungkin inilah yang namanya elevated jumpscare hahaha.. Yang jelas, bahkan kredit pembuka dan penutup film ini masih bergerak dalam satu kesatuan konsep untuk bikin suasana ganjil. Film ini is at its best ketika menyuarakan misterinya. Semua aspeknya kayak dikerahkan untuk bikin kita takut. Semuanya seperti punya layer alias lapisan. Ambil contoh si Longlegs itu lagi. Sengaja banget tentang dia dibikin minim. Kita memang bakalan tahu dia basically agen setan, dan dia kerjaannya sebagai pembuat boneka, tapi kenapa dandanannya begitu – baju gombrangberlapis-lapis, muka dirias putih – surely itu semua bukan hanya supaya gak keliatan Cage-nya kan? Melainkan ini adalah lapisan dari misteri siapa karakter ini. Apakah dia laki-laki yang berusaha dandan jadi perempuan? Atau apakah ceritanya dia ini pengen jadi badut? Or, he is just a glam rock fan yang dandan ala band T.Rex dan film mau gambarin setan itu nyantol di atribut-atribut mulai dari gaya rock hingga ke fashion suster gereja? Kemisteriusan desain yang sengaja tak dijawab ini menambah kepada misteri pada narasi film ini

Atau mungkinkah dia sosok ayah bagi Lee?

 

Dialognya juga begitu, nada-nada dan kata-kata yang dipilih bukan sekadar untuk bikin kita ngernyit, melainkan juga menambah kepada layer karakter. Sayangnya soal dialog ini bisa mudah missed, karena translasi. Aku menemukan satu yang menurutku kelalaian terjemahan bahasa kita – at least pada bioskop yang aku tonton. Yaitu saat Lee di kamar putri bosnya. Istri si bos datang dan menyuruh putrinya tidur. Basically dia bilang “Ayo Ruby, kamu tidur, sekarang sudah…” lalu terpotong karena dia melirik arloji dan lanjut bilang “Ah, now is tomorrow“. “Sekarang (ternyata) sudah besok” – sedangkan pada subtitlenya hanya diartikan “besok saja”. Kalimat now is tomorrow itu penting karena konteks sepanjang cerita ini adalah Lee terusik oleh tanggal ulangtahun. Firasatnya mengatakan kejadian buruk akan terjadi pada hari ulangtahun tanggal 14. Dia gelisah menuju tanggal tersebut – entah itu ulangtahun Ruby maupun ulangtahun dirinya sendiri. Now is tomorrow menjadi sinyal bahwa yang ia takuti semakin dekat. Ketakutan Lee pada saat itu jadi lost in translation karena efeknya terdownplay oleh subtitle yang mengartikan “besok saja”. Hal-hal kecil seperti demikian menunjukkan sebenarnya film ini punya rancangan yang berlapis untuk karakter dan gimmick-gimmick horornya. Film ini memukau saat rancangan tersebut berjalan sebagaimana mestinya. Kita gak perlu lagi melihat gore yang exactly on frame untuk merasakan kengerian. Film ini justru jadi bisa hadir ‘elegan’ dengan elemen sadis yang bisa dimainkan variatif sebagai icing on the cake dari nuansa creepy yang sudah kuat terbangun.

Ternyata semuanya memang berawal dari ulangtahun Lee yang kesembilan. Terjadi sesuatu antara dirinya, ibu, dan pria yang memperkenalkan diri sebagai Longlegs. Sesuatu yang mengerikan sehingga Lee tidak ingat lagi. Mungkin itulah kiasan yang hendak diutarakan oleh film ini. Bahwa hari ulangtahun bukan hanya untuk hura-hura dan bersenang-senang. Bahwa mengingat hari kita lahir juga berarti mengingat hal-hal buruk yang pernah kita hadapi, atau yang coba kita tinggalkan.

 

Oleh karena kuatnya bangunan misteri dan lapisan yang diperlihatkan pada dua babak sebelumnya itulah, maka ketika film Longlegs sampai di babak ketiga dan memutuskan untuk membeberkan jawabannya dengan eksposisi yang gamblang,  aku yakin penonton akan jadi terbagi. Akan ada yang jadi gak puas karena investigasi half-psychic tersebut ternyata jadi beneran supernatural. Lapisan yang terbangun atas misteri terutama soal masa kecil terlupakan terkait hubungan Lee dengan ibunya pun jadinya kayak untuk twist semata. Film memang masih menyiapkan ending yang ambigu terkait penyelesaian antara ‘kutukan’ Longlegs dengan Lee, tapi penjelasan film tadi telah sukses membuat misteri film jadi seperti menguap dan penonton kehilangan hal yang lebih seru untuk dibawa pulang dan didiskusikan. Aku sendiri, ada di pihak yang kurang puas. Rasanya aneh aja gitu, film yang udah sukses bikin bangunan misteri – bayangkan sebuah balon yang udah menggelembung besar siap untuk terbang, tapi lalu kemudian memutuskan untuk meletuskan balon tersebut dengan memberikan semua jawabannya. Sayang aja rasanya. Apalagi dilakukan lewat narasi eksposisi pula – sesimpel ibu bercerita pada anaknya. Menurutku akan lebih menarik jika cerita ibu ini dibuat gak eksak jawaban, melainkan hal yang ambigu kebenarannya, sehingga juga bisa menambah kepada hubungan ibu dan anak yang sepertinya juga diincar oleh film ini.

 




Sebagai horor investigasi kriminal, film ini sebenarnya berhasil ngasih lebih dari apa yang bisa ditawarkan oleh genrenya. Suasana yang konstan creepy dan terus merongrong penonton sebagai hasil dari bangunan misteri berlapis yang terus mendera karakter. Desain suara dan crisp editingnya jadi ‘kurang ajar’ begitu bergabung dengan akting hyper Nicolas Cage. Secara arahan horor, this is a very good movie. Kentara sutradaranya peka dan punya passion terhadap misteri alias suka nakut-nakutin orang. Hanya pilihan dan caranya dalam menjelaskan semua di akhirlah, yang bakal membagi penonton. Film ini jadi terlalu sensasional, tapi juga terlalu ‘beres’, untuk bisa kita bawa pulang. Tapinya lagi, penampilan akting dan ‘elevated jumpscare’nya sendiri sudah cukup untuk jadi ikonik sehingga tetap membuatnya dibicarakan banyak orang, untuk waktu yang cukup panjang.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for LONGLEGS.

 

 




That’s all we have for now.

Basically kado ultah Lee adalah dikasih tahu bahwa ibunya collab ama setan haha.. bener-bener worst birthday ever. Kalo kalian gimana, apakah kalian punya cerita tentang pengalaman hari ultah terburuk?

Silakan share di Komen yaa

Yang pengen punya kaos film lebaran Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

 

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



TWISTERS Review

 

“Don’t let your pain destroy you”

 

 

Waktu kuliah Geologi dulu, aku sempat tertarik sama mata kuliah Mitigasi Bencana. I thought it’s really cool menganalisa dan menyiapkan sesuatu yang preventif demi kepentingan masyarakat. Tapi di saat itu juga aku sadar tanggung jawabnya besar. Gimana kalo aku yang bego ini salah baca data, salah langkah. Wuih bisa fatal, Jangan-jangan ntar bukannya bertahan, masyarakat malah jadi kocar-kacir padahal gak ada apa-apa. Apalagi, dan ternyata benar menurut film disaster karya Lee Isaac Chung ini, bidang mitigasi memang luar biasa penting. Bukan hanya gak boleh ngasal dan bertanggung jawab dalam mengoperasikan atau mengolah data, melainkan juga butuh keberanian dan kesiapan diri yang sama besarnya. Karena kalo ada satu hal lagi yang aku sadari berkat film ini bahwa mungkin keputusanku benar gak lanjut ambil mata kuliah itu. maka itu adalah kita gak bakal bisa ready untuk nolongin orang, kalo sendirinya belum ready – belum kokoh – menghadapi terjangan tornado masalah dalam diri pribadi.

Memang, diceritakan berat bagi Kate Cooper untuk kembali menekuni passionnya dari kecil sebagai tornado-chaser. Perempuan brilian itu kini ngantor sebagai meteorologist, enggan untuk kembali ke lapangan, tempat dia meninggalkan proyek mulia yang tadinya ia kembangkan di bangku kuliah untuk ‘menjinakkan’ angin topan. Karena kejadian yang kita lihat di opening film sangat membekas. Alih-alih nolong masyarakat, Kate dan projek ciptaannya malah membuat teman-teman dan kekasihnya celaka. Tapi toh yang namanya passion, tak akan pernah padam. Musim tornado di Oklahoma semakin mengganas. Kate yang punya keahlian khusus menganalisa munculnya tornado akhirnya bersedia untuk gabung bersama tim Javi, teman sesama penyintas kejadian di opening itu, dengan alat-alat mutakhir untuk menge-scan dan menangkap data tornado. Di padang rumput luas yang cerah namun seketika dapat berubah menjadi berbahaya itu, tim Kate amprokan dengan tim Tyler, YouTuber/influencer pemburu-topan yang sekilas tampak mengganggu dan hanya ingin bersenang-senang di atas bencana.

Tunggu sampai semuanya kena F-5, dari Brock Lesnar!!

 

Meskipun katanya film ini adalah sekuel, namun kita bisa menangkap banyak banget ruh dari film Twister (1996) yang menghidupkan aspek-aspek kecil film ini. Salah-salah, aku bisa nyangka ini remake haha.. Ceritanya sendiri memang tidak berkelanjutan, tidak ada karakter film yang lama muncul kembali. Penghubung antara kedua film ini justru teknologinya. Alat penangkap data tornado yang dinamai Dorothy (reference ke film klasik The Wizard of Oz yang ceritanya tentang gadis bernama Dorothy kehisap tornado hingga sampai ke magical land) kini sudah sampai ke tahap yang lebih mutakhir. Referensi tersebut bahkan dilanjutkan; nama-nama tim Javi dinamai dari geng Dorothy di film itu. Sedangkan Kate, sebagai tokoh utama, buatku terasa seperti gabungan dari Jo dan Bill. Atau tepatnya, buatku terasa seperti Kate seperti versi koreksi film ini terhadap karakter Jo yang berbagi porsi dengan Bill. Kate di film ini benar-benar capable dan mandiri di bidangnya. Dia bisa teknik membaca ‘kode alam’ seperti yang dilakukan Bill, serta jago mengoperasikan alat seperti Jo. In fact, konsep penjinak tornado solely adalah buah pikirannya. Penampilan Daisy Edgar-Jones saja dibuat mirip banget dengan Jo; rambut pirang dikuncir, tank top putih, dan semacamnya. Supaya gak jadi terlalu sempurna, film memfokuskan kepada konflik yang dipantik dari trauma Kate. Trauma personalnya inilah yang jadi flaw, yang dikembangkan jadi drama yang menghidupkan cerita, sebab Kate jadi meragukan diri, setengah-setengah mengejar tornado, sehingga menghambat misi timnya.

Makanya Tyler Owens si YouTuber jadi karakter pendukung yang tepat untuk Kate. Bukan semata karena Glen Powell jago banget mainin karakter songong namun kharismatik. Melainkan karena Tyler yang dengan mobil merahnya (again, nod to film original) mengejar tornado cuma buat menembakkan kembang api ke dalamnya, perlahan membimbing Kate keluar dari pusaran ketakutan. Tyler membuat Kate kembali berani, bukan hanya menaklukkan ketakutannya, melainkan juga menunggangi rasa takut. Dalam arti, membuat ketakutannya sebagai pijakan untuk menjadi orang yang lebih baik. Dan aku menemukan diriku lebih mudah konek kepada permasalahan Kate, dan dukungan Tyler, karena terasa personal, ketimbang persoalan menemukan kembali cinta di balik urusan pasangan yang mau cerai pada film originalnya. Imbasnya, relationship yang terjalin antara Kate dan Tyler juga lebih mudah aku ikuti, dan aku mengerti, dan aku peduli. Dari yang tadinya semacam rival karena merasa beda cause, mereka jadi saling tertarik, lebih dari ketertarikan fisik, melainkan mereka menemukan kesamaan deep inside dan tujuan. Dan cara film mendekatkan mereka bukan kayak receh ala FTV yang tadinya berantem jadi pacaran, tapi lebih humanis. Serta tentu saja lebih exciting, karena tetap saja film ini pada dasarnya adalah tentang bencana alam, jadi di lapisan luar ada pusaran angin ribut yang eventually, literally, dibikin membara.

Dari Tyler, Kate (dan kite-kite semuanye) belajar bahwa rating bencana alam seperti puting beliung diukur justru dari efek kerusakan yang ditimbulkan. Yang berarti, kita sendirilah yang menentukan seberapa besar tragedi menghancurkan diri kita. Kita  yang memutuskan berapa lama bencana itu menerjang sebelum akhirnya reda. Maka, bangkitlah segera. Selamatkan dirimu, lalu selamatkan orang lain.

 

Momen-momen action survival dan kejar-kejaran ‘menangkap’ tornadonya dibuat seru. Karena bukan hanya teknologi Dorothy yang semakin maju, teknologi bikin film pun juga. Maka Twisters bisa lebih mengeksplorasi secara visual baik itu dari tornado terbentuk hingga menyerang kota yang tadinya lagi ada acara rodeo. Film benar-benar jago dalam mengontraskan, baik itu warna maupun skala. In case belum pada nyadar dari judulnya, twisternya sekarang ada yang dua. Kembar. Tapi film ini berhasil membuatnya tidak tampak cheesy kayak misalnya kalo ada film hiu, lalu kali ini ceritanya ada hiu kedua atau hiunya mutant, atau gimana. Film tetap mempertahankan tone ringan tapi serius. Ringan, karena film ini nyadar, gimana pun juga, ya sebenarnya lawak cerita seputar meredakan tornado. But at least, mereka membuatnya grounded dengan hati. Dan film ini bikin, setiap kemunculan angin tersebut, kita melihat aksi yang berbeda. Para karakter kita dengan ilmu dan alat-alat canggihnya, mereka gak lantas berhasil. Mereka gagal. Mereka belajar. Mereka berlari menyelamatkan diri. Film ini punya build up yang cukup sehingga adegan-adegan tersebut terasa intens. Satu lagi yang juga berhasil dipotret adalah kepanikan saat bencana datang. Gak salah disematkan sebagai genre thriller. Kepanikan yang membuat manusia lupa, sehingga salah langkah, tidak mendengar instruksi karena panik, dan whoosssh mereka terbang. Dalam menyorot suka-duka mitigasi bencana, film ini berhasil ngasih lihat sehingga kita melek, bidang ini memang penting!

Mana sinefil banget pula, tempat berlindung terakhir mereka di dalam teater cinema hhehe

 

Aku sempat mengira “wah ada pergeseran nilai nih” ketika melihat di awal Kate masuk ke dalam tim corporate, dan dia sebel melihat timTyler yang datang-datang bawa penggemar, yang begitu ‘colorful’ sehingga seolah angin tornado bagi mereka bukan bencana melainkan tontonan dan show semata. Soalnya di film terdahulu, protagonis kita berada di tim yang mandiri, dan ‘bad guy’nya adalah tim corporate – dengan seragam dan segala formalitas lainnya. Nah, ‘nilai’ ini yang aku sangka sudah berubah di jaman sekarang, karena film bikin protagonis utama di tim korporat. Mungkin, aku kira, film ini juga ingin menyinggung soal kultur ‘ngonten’. Aku tertarik karena ingin melihat alasan film untuk mengatakan tim korporat lah tim yang baik. Tapi ternyata jaman belum begitu berubah. Sekali lagi, film ini kayak bermain-main dengan ruh film pertamanya. Perlahan, Kate menyadari dia ada di tim yang salah. Ini tentu jadi journey yang menarik, yang menambah kepada perkembangan Kate sebagai karakter. Prejudice yang dia bawa mengenai orang-orang ‘free-spirited’ yang ada di tim Tyler tentu akan terbawa juga kepada kita. Dan di balik mentereng dan profesionalitasnya – it seems – korporat tetaplah pihak yang culas, yang dengan no problem nyari cuan di atas penderitaan rakyat. Bagaimana pendapat kalian tentang gambaran dua tim dalam film ini? Silahkan share di komen yaa

 




Kalo ditanya suka yang mana, aku lebih cocok dengan sekuel ini. Meskipun memang, kalo ditanya lebih jauh, aku merasa film ini lebih mirip sebagai spiritual remake dari film pertamanya. Alasan suka karena film yang ini terasa lebih mudah relate (tapi itu mungkin karena aku nonton film pertama di masa-masa belum ngerti soal pasangan yang mau cerai haha) But, I do think karakter dalam film ini terasa kuat juga humanity-nya. Mereka punya layer, terutama karakter seperti Tyler. Untuk Kate sendiri, kita dibuat paham sama flaw-nya. Film fokus kepada flawnya, dan ini penting, karena tanpa ketakutan alias trauma dari survivor guilt-nya tersebut, Kate hanya akan jadi karakter utama yang terlalu sempurna. Dia tidak akan menarik. Tapi film berhasil membuat setiap pertemuan dia dengan tornado itu punya arti, punya makna kepada pembelajarannya sebagai manusia. Sambil juga film ini tetap menjalankan fungsinya sebagai disaster-flick yang seru, intens, kadang lucu-kadang konyol.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for TWISTERS

 




That’s all we have for now.

Yang pengen punya kaos film lebaran Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

 

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL

 



JURNAL RISA BY RISA SARASWATI Review

 

“Words have meaning and names have power”

 

 

Jurnal Risa merupakan nama channel YouTube milik Risa Saraswati yang begitu populer oleh konten dokumentasi penelusuran horor. Risa Saraswati sendiri adalah seorang musisi, penulis buku, yang claimed memiliki kekuatan supranatural mampu berkomunikasi dengan makhluk gaib. Cerita-cerita hantu Risa telah banyak menginspirasi skena horor kita, dan sekarang film berjudul Jurnal Risa by Risa Saraswati ‘didokumentasikan’ oleh Rizal Mantovani, membawa kisah Risa dan timnya menangani kasus hantu arwah leluhur yang namanya tidak boleh disebut, dari YouTube ke layar lebar. Ya, nama tampak seperti sebuah ‘tema yang penting’ di sini. Apalagi di zaman perkontenan, nama sama saja dengan sebuah branding yang kuat. Maka ketika Jurnal Risa yang begitu populer sebagai channel konten mistis dari kreator yang dipercaya punya kekuatan cenayang diangkat ke layar lebar lengkap beserta kru dan gimmick ataupun kayfabenya, pertanyaan yang menggelayut adalah: Apakah masyarakat penontonnya mampu untuk menyematkan nama yang benar terhadap tontonan ini. Apakah (terutama bagi penonton) ini adalah mokumenter, atau dokumenter?

Kenapa hal tersebut jadi concern buatku? Karena film sebagai media, juga sama powerfulnya dengan sebuah nama. Tapi juga sebagai seni, film bersifat bebas; tidak perlu menjelaskan dirinya kepada penonton. Aku ngerti, sama seperti WWE, pada film ini, ada ilusi atau kayfabe branding yang harus dijaga lewat gimmick-gimmick atau konsep. Jurnal Risa by Risa Saraswati ini bahkan sampai mengganti ‘directed by’ menjadi ‘documented by’ supaya kesannya seperti beneran dokumenter. Dan storytellingnya juga sama persis gaya channel YouTube-nya. Risa Saraswati memerankan dirinya sendiri. Bersama kru, yang sebagian besar juga keluarganya yang pada punya kekuatan supranatural juga, Risa ceritanya mengadakan uji nyali untuk konten. Tapi salah satu peserta, seorang influencer bernama Prinsa sompral dan menyebut-nyebut nama hantu yang terlarang untuk disebutkan. Ini nama terlarang sepertinya juga sudah terbuild up dari channelnya, loh. Konflik pada film ini adalah si hantu, Samex, beneran merasuki Prinsa, dalam lima hari akan ngetake over dirinya, maka Tim Jurnal Risa harus membawa Prinsa ke kampung halaman Samex. Dan untuk membuatnya personal, Samex ternyata adalah Uwa’ alias tetua dari Risa sekeluarga.

Ada yang berani panggil namanya, tiga kali aja?

 

Sebenarnya ada bedanya. It’s one thing membuat film kita tampak begitu real, konsep realismnya dibuat sedemikian sukses, didukung oleh penceritaan yang imersif, sehingga penonton bertanya-tanya ini sungguhan atau tidak. Seperti keberhasilan The Blair Witch Project (1999), horor orang hilang di hutan yang sengaja dirilis dengan minim informasi, konsep found footage yang begitu raw, sehingga penonton saat itu merasa film ini begitu misterius sehingga disangka asli. But it’s completely another thing jika ilusi tersebut hanya disandarkan kepada kepercayaan base-penonton terhadap brand atau persona (sosok maupun channel). Like, WWE tidak pernah menjual dirinya sebagai sport, melainkan sebagai sport-entertainment. Olahraga-hiburan. Penonton acara tersebut percaya Undertaker punya kekuatan supranatural, sekaligus juga tahu Undertaker ‘aslinya’ adalah karakter yang diperankan oleh Mark Calaway, manusia biasa yang tentu saja tidak bisa memanggil petir dengan tangannya. Sebaliknya pada Jurnal Risa by Risa Saraswati, ada yang aku khawatirkan bisa jadi confusion. Film ini mempersembahkan dirinya sebagai mokumenter adaptasi dari dokumenter YouTube (yang fenomenal)

Istilah mokumenter maupun dokumenter itu sendirinya, juga merupakan sebutan atau nama, yang penting untuk dipahami oleh penonton, supaya bisa mengenali apa yang sedang mereka konsumsi. Basically dokumenter berarti film yang menelusuri atau mendokumentasikan peristiwa atau hal yang nyata. Sementara mokumenter, berasal dari gabungan kata ‘mock’ dan ‘dockumentary’, yang lantas berarti sebuah dokumenter ‘palsu’. Dokumenter yang mengisahkan peristiwa rekaan. Jadi jika kita bawa kepada istilah yang dipakai film ini untuk menjual dirinya tadi, berarti; film ini adalah kisah dokumentasi not-real yang diadaptasi dari dokumentasi real. Sebenarnya jelas, penyebutan ini cuma langkah berbelit yang dilakukan film untuk berkelit dari menyebut langsung bahwa kisah mereka cuma fiksi, demi melindungi branding atau ilusi siaran YouTubenya yang sudah terbangun. Akan tetapi,  beberapa penonton yang belum sedemikian melek literasi filmnya, akan bisa ‘salah kaprah’ menganggap ini nyata. Dan eventually bagi penonton-penonton ini akan bisa jadi kabur makna film dokumenter yang sebenarnya.

Apalagi tanpa diimbangi dengan penceritaan yang mendukung. Menggunakan konsep yang persis dengan di YouTubenya; karakter yang memerankan ‘diri sendiri’. Mereka menelusuri misteri, membantu orang yang dimasuki hantu. Film ini hanya seperti konten YouTubenya dengan durasi yang lebih panjang. Enggak kerasa strukturnya sebagai ‘film’ itu sendiri. Sebagai film, Jurnal Risa by Risa Saraswati adalah mockumentary bergaya found footage horor. Adegan-adegan yang kita lihat adalah tangkapan dari kamera yang digunakan oleh karakter. Basically ini kan sama aja kayak Keramat 2 (2022). Hanya saja di film itu kita langsung tahu itu mokumenter karena walaupun para aktor menggunakan nama asli mereka, kita paham mereka hanya memainkan karakter. Lutesha jadi Lutesha si Cenayang, Umay jadi Umay si YouTuber. Itu karena sebagai karakter mereka memang punya plot, punya penulisan, dengan motivasi, cela, aksi, pilihan, dan sebagainya. Ceritanya tersusun menjadi bangunan dengan struktur sinematik. Jurnal Risa the Movie ini, gak punya ini. Sebenarnya ‘film’ ini tidak lulus untuk disebut sebagai film.

Menggunakan nama yang benar kepada suatu hal, memang adalah hal yang begitu penting. Karena nama membawa identitas bukan saja untuk orang lain, tapi juga mengingatkan kita kepada diri sendiri. Makanya Dumbledore selalu menekankan kepada penyihir yang lain untuk memanggil Voldemort dengan nama aslinya. Bukan dengan nama samaran yang menambah kemistisan dan akhirnya semakin membuat mereka takut kepadanya. Makanya di film-film horor, penting bagi karakter untuk mengetahui nama setan yang mereka hadapi. Di film ini, Risa memang takut menyebut nama Samex, tapi solusinya tetap mengarah yang sama – kenali dia dari tempat asal mulanya.

 

Risa saja, yang harusnya adalah karakter utama, gak ikut ke mana-mana, Tidak mengalamin apa-apa. Tidak ikut menjaga Prinsa yang ketempelan. Melainkan cuma muncul sebentar mendemonstrasikan kemampuannya melihat atau berkomunikasi dengan makhluk tak kasat mata, lalu kadang juga jadi narator mengisahkan perjalanan ataupun bahaya, yang ditempuh oleh timnya. Tidak ada plot, melainkan cuma misteri siapa Samex (dan maybe ‘misteri’ kenapa banyak yang susah banget nyebut nama Prinsa) Soalnya Prinsa juga tidak digali, padahal sepertinya background-nya menarik, easily cerita bisa dikembangkan dari sini. Tapi enggak. Naskahnya gabut. Tim Risa yang actually terjun untuk ‘beraksi’ pun cuma berdiri di sana, dengan tampang tegang sepanjang waktu. Film ini serius banget. Seandainya kru atau keluarganya yang banyak itu hadir sebagai karakter dengan personality masing-masing (bukan cuma nampang dengan ekspresi ‘tempat ini menyeramkan’) film ini bakal lebih hidup. Heck, I would gladly take it kalo misalnya dibikin mereka punya ability masing-masing. Lucunya, sama seperti kita yang menonton, Risa dan timnya juga cuma menonton ahli paranormal lain, atau orang desa berusaha menolong Prinsa. Pokoknya mereka cuma punya one job, antara ketakutan atau kesurupan, dan itupun aktingnya atrocious semua. Gak ada yang meyakinkan. Sampai-sampai aku second guessing myself, ‘Aktingnya begini jangan-jangan sebenarnya memang gak ada yang nganggap ini dokumenter asli?’

“Izinkan saya membersihkan kamu” sounds so perverse

 

Sebagai found-footage horror, film ini juga not good. Karena arahannya sama sekali gak peka pada momen-momen mana yang bisa dimainkan ke dalam konsep rekaman footage tersebut. Momen mereka menjaga Prinsa di rumahnya sendiri, misalnya, Kalo sutradaranya gercep ama konsep ini, pasti akan ada adegan dari rekaman cctv atau kamera yang dipasang di kamar Prinsa. Di film ini, lucu sekali, karena kamera dipasang di tempat para kru bobo’ di ruang tamu. Dan kamera-kamera itu, treatment-nya semua sama. Tidak ada estetik khusus yang membedakan kameranya, ataupun yang membuat kita ingat bahwa yang kita lihat itu adalah gambar tangkapan dari karakter yang di belakang kamera. Gambarnya jadi tidak natural, dan justru lebih terlihat seperti settingan (I was third guessing myself “masa iya ada yang percaya ini asli!?”) Bahkan jumpscare-jumpscarenya yang banyak itupun, kita tahu dan sudah siap-siap ‘menyambutnya’. Dengan kata lain, arahan horor filmnya masih sangat basic. Hanya untuk kaget-kagetan, dan less about menciptakan tension ataupun situasi yang mencekam. Lihat saja pas adegan mereka uji nyali. Padahal itu kesempatan main-main dengan suasana horor, tapi belum bangun apa-apa, film udah langsung ancang-ancang untuk jumpscare aja. Ketika mereka masuk ke dunia lain, sebenarnya lebih menarik, horornya mulai menggunakan hantu-hantu di-background, suara-suara, peristiwa-peristiwa ganjil, ada juga yang kayak experience masuk rumah hantu. Cuma sayang sekali terlalu singkat untuk kita nikmati

 




Mungkin prestasi terbaik film ini adalah bikin faux documentary yang paling narsis sedunia akhirat. Karena memang tidak ada yang terasa dicapai oleh ceritanya selain ya membawa kiprah Risa dan timnya ke layar lebar, sebagai diri mereka sendiri – as seen on their YouTube. Sedangkan secara objektif sebagai film, this is a really bad one. Tapi kalo kalian suka, ya silakan saja, bergembiralah menontonnya. Harapanku cuma, kekhawatiranku penonton confused ini sebagai dokumenter tidak terjadi. Semoga sama seperti aku dan para penggemar WWE, penggemar film ini tahu apa yang sedang kita sukai, dan menikmatinya totally sebagai hiburan. 
The Palace of Wisdom gives 1 out of 10 gold stars for JURNAL RISA BY RISA SARASWATI

 

 




That’s all we have for now.

Sebenarnya aku bukan orang yang skeptis. Aku lebih senang memilih untuk percaya pada horor, asalkan dibuat dengan baik. Menurut kalian, kenapa konten-konten horor seperti Jurnal Risa banyak digemari? Apa karena horornya, atau karena horornya dianggap nyata?

Silakan share di komen yaa

Yang pengen punya kaos film lebaran Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

 

 

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



MINI REVIEW VOLUME 19 (HIT MAN, TRIGGER WARNING, THE WATCHERS, UNDER PARIS, AUTUMN AND THE BLACK JAGUAR, MALAM PENCABUT NYAWA, THE STRANGERS: CHAPTER 1, DILAN 1983: WO AI NI)

 

 

Delapan film yang terangkum dalam Volume 19 ini mengawali kita masuk ke pertengahan tahun, sebelum layar diberondong oleh film-film blockbuster musim panas. Ada manusia dengan hiu, manusia dengan jaguar, hingga ke manusia dengan peri. But I must say,  kloter pembuka ini gak really hot. I mean, cuma Hit Man (manusia dengan banyak penyamaran!) yang benar-benar sukses jadi tayangan entertain – selain juga ngasih kualitas dan something yang fresh. Selainnya,  either ada yang kurang, dan lumayan banyak juga yang flat out jatohnya mengecewakan. Yuk mulai saja kita bahas satu persatu:

 

 

AUTUMN AND THE BLACK JAGUAR Review

Nonton kisah persahabatan antara manusia dengan hewan memang cenderung ngasih perasaan yang uplifting serta mengharukan. I like those feelings. Hmm.. tahun ini cukup banyak deh kita dapet cerita tentang persahabatan dua makhluk kayak begini, bisa kayaknya jadi kategori spesial di next My Dirt Sheet Awards hihihi.. Anyway,  kuncinya memang di ‘dua makhluknya’; semakin unlikely, semakin dramatis pula ceritanya bisa dikembangkan. Sutradara Gilles de Maistre udah paham lah bikin kisah anak dengan hewan buas. Sebelumnya dia pernah bikin anak kecil dengan singa putih, dan kini dia bawa kita ke hutan untuk melihat Autumn dengan sahabatnya; seekor jaguar hitam bernama Hope.

Bobot dramatis dari persahabatan ini dikembangkan dari Autumn yang sudah lama berpisah dengan Hope, kembali lagi ke hutan untuk menyelamatkan Hope yang diburu pemburu gelap. Autumn ingin mencari dan membawa Hope lebih jauh ke dalam hutan. Masalahnya, sebagaimana Autumn sudah bukan anak kecil lagi, Hope juga sudah besar. Tidak ada satupun yang bisa menjamin Hope masih ingat dengan Autumn, ataupun apakah Hope tidak menjadi buas. Dalam bahasannya ini, film juga memuat persoalan tentang perdagangan satwa, tentang perburuan liar, dan gimana orang kota mau mengeksploitasi isi hutan. Untungnya, tidak seperti Petualangan Sherina 2 (2023), bahasan ‘peduli satwa’ tidak dibahas setengah-setengah oleh film ini. Autumn beneran berinteraksi dengan jaguar yang diselamatkan. Not only that, mereka beneran seperti sahabat. Itu yang terutama bikin film ini seru. Banyak adegan yang bikin aku bergumam “itu sutingnya beneran?” Karena film ini beneran membuat aktor-aktornya berinteraksi dengan hutan, dan isinya.

Tema dan cerita genuinely konek. Tapi masih ada lagi. Autumn and the Black Jaguar juga adalah tentang Autumn – yang kehilangan ibu karena pemburu, persis seperti Hope – dengan ayahnya. Juga tentang Autumn dengan guru biologinya; yang tau teori tapi belum pernah sama sekali turun ke ‘lapangan’. Dinamika Autumn dengan ibu guru akan mengundang tawa karena si ibu ini bakal heboh dan ribet banget di hutan. Khas kayak kalo orang kota masuk desa. Kontras dengan Autumn yang udah nganggep hutan kayak kampung halaman atau rumah sejatinya. Masalah dalam penceritaan film ini terjadi tatkala karakter si ibu guru mengoverpower Autumn yang tokoh utama. Dalam artian,  yang kita tonton ternyata lebih banyak soal development ibu guru. Reaksi ibu guru terhadap putusan Autumn, terhadap lingkungan sekitar, akhirnya menjadi sajian yang mengisi layar dengan hal yang lebih variatif ketimbang Autumn bermain-main dengan Hope. Ibu guru pun punya journey yang lebih kuat, pembelajaran dia antara di awal dengan akhir cerita, lebih jelas. Sedangkan Autumn, gak banyak perubahan, issue dia dengan ayahnya berakhir ‘damai’ begitu saja. Ditutup hanya karena filmnya udah mau tamat.

The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for AUTUMN AND THE BLACK JAGUAR

 

 

 

DILAN 1983: WO AI NI Review

Berhubung Dilan versi mini, maka reviewnya juga kebagian yang mini, yaa.. haha enggak ding. Aku cuma bingung Pidi Baiq dan Fajar Bustomi di film ini niatnya pengen bahas atau nunjukin apa. Kayaknya kuncinya ya pada ‘Dilan versi mini’ itu. Alih-alih menceritakan masa kecil Dilan yang sudah kita kenal masa remajanya; si kapten anak motor, tukang berantem, dan punya segudang cara ajaib buat gombalin cewek, film ini kayak cuma menceritakan Dilan yang itu, cuma sekarang versi dia di dunia anak SD. Karena gak ada sense of growth di sini. Gak kayak Riley, misalnya. Kita bisa lihat ‘perbedaan’ antara saat Riley masih kecil di Inside Out (2015) sama ketika dia masuk usia remaja di Inside Out 2 (2024). Ada emosi baru, ada bahasan yang berbeda terkait emosi itu. Sementara Dilan, film ini bahkan bukan ‘origin story’ kenapa Dilan bisa jago gombal. Sejak kecil ternyata dia sudah seperti itu!

Jadi yang diceritakan adalah Dilan kembali ke Bandung, ke sekolah lamanya. Di kelas, ada anak yang baru dilihat Dilan. Cewek. Namanya Mei Lien. Dilan langsung suka. Dia menggoda Mei Lien, baik dengan gombalan maupun dengan sikap yang sama ajaibnya. Teman dan ibu gurunya pada ketawa ketika Dilan bacain puisi berjudul “Kau” (plesetan Chairil Anwar’s “Aku”) kepada Mei Lien di depan kelas. Kenakalan dari sudut pandang anak biasanya innocent. Karena mereka polos. Aku bandingkan salah satunya dengan Lupus Kecil (yang dibuat setelah Lupus SMA hits); ceritanya ya seputar keseharian kayak dia bolos karena pengen ke mall, dia pura-pura sakit, dia main permainan anak-anak di masanya. Sedangkan Dilan kecil ini, jatohnya creepy. Kepolosannya memang digambarkan; cara dia nanggepin hukuman, ‘seteru’nya dengan akang penjaga mesjid, relasinya dengan Bunda, Ayah, kakek, dan Mak Syik – yang cara didik masing-masing seems mempengaruhi perkembangan Dilan, tapi adegan-adegan tersebut dengan cepat dikesampingkan karena begitu Dilan udah ketemu Mei Lien, pov anak ini balik kayak remaja yang udah kita kenal. Man, bahkan Sadam ngejailin Sherina terasa lebih genuine ketimbang Dilan yang udah punya bakat dipuja sejak dini.

Dua jam pun habis dengan cerita ngalor-ngidul tanpa ritme. Padahal sebenarnya hal yang bisa jadi daging cerita itu ada di sana. Dari situasi sosial pada era itu, misalnya. Film ini bisa saja membuat Dilan not aware ama situasi Mei Lien, karena dia masih anak-anak.  Film bisa saja mengontraskan dunia anak-anak mereka dengan realita di background, sehingga cerita bisa lebih menggigit. Atau ya, persoalan persahabatan Dilan dan Mei Lien langsung aja dijadikan fokus. Menjadikannya cuma muncul di akhir membuat film jadi terlalu mengulur. Dan karena di akhir film, dengan cepat persoalan itu terlepas. Bahwa film tetap tidak fokus di sana. Fokusnya ya Dilan saja. Mei Lien cuma love interest yang ‘lepas’ tapi masih dikenang.

The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for DILAN 1983: WO AI NI

 

 

 

HIT MAN Review

Tadinya kukira film ini ala John Wick, you know, tipikal ‘pria biasa yang dipush untuk balas dendam, dan ternyata dia memang mantan assassin handal” seperti yang lagi ngetren belakangan. Oh, I couldn’t be more wrong. Hit Man karya terbaru Richard Linklater mematahkan ekspektasi remehku, sembari mematahkan ekspektasi semua orang tentang pembunuh bayaran; image yang kita bentuk lewat gambaran media. Terinspirasi dari Gary Johnson yang kerjaannya jadi pembunuh palsu untuk membantu polisi nyetop kriminal, Hit Man dibuat oleh Linklater sebagai dark rom-com(?) yang bukan saja menghibur tapi juga punya bahasan berbobot tentang bagaimana kita memandang diri sendiri.

Gary di cerita film ini seorang profesor psikolog. Di kampus, dia ngajarin soal gimana kita terkadang terhanyut dalam identitas karangan sendiri. Tanpa dia sadari, soon pria yang happy dengan hidupnya yang aman dan biasa-biasa saja itu kemakan omongan sendiri. Karena di kerjaan sampingannya, Gary diminta polisi untuk membantu memancing pengakuan dari orang yang ingin melakukan pembunuhan, dengan menyamar sebagai pembunuh bayaran. Sebagai psikolog, Gary suka meriset ‘klien’nya, dan dia bakal muncul sebagai persona hit man yang berbeda-beda tergantung klien. Inilah ketika Gary mencicipi banyak identitas, dan dia mulai hanyut ke dalam salah satu persona, yaitu Ron. Hit man cool untuk klien wanita cantik yang ingin membunuh suaminya.

Bahasan identitas dan psikologisnya ini yang membuat Hit Man jadi sangat menarik. Film ini sepert sisi mata uang sebaliknya dari The Killer (2023).  Basically, film itu  membahas gimana assassin gak mesti jago banget, eventho tiap orang bakal berusaha ngasih the best dalam pekerjaan mereka. Sedangkan film ini, implies, orang biasa seperti Gary bisa percaya mereka as a person adalah pembunuh bayaran yang handal, jika mereka serius membangun identitas itu. Nonton ini aku semakin ngakak karena kebayang si Gary ini kalo main kuis-kuis trivia ‘personality/karakter apa kamu?’ dia pasti milih hasilnya dulu, lalu baru menjawab tiap pertanyaan dengan hasil pilihan tadi sebagai patokan. Naskah dan arahan yang cerdas ini semakin lengkap menghibur karena cast yang tepat. Glen Powell, yang dulu aku taunya dari serial Scream Queens yang di sana dia smooth banget jadi jerk, love interestnya Emma Roberts, main sangat hilarious menjadi banyak ‘cosplay’ pembunuh bayaran. Glen sendiri mungkin lebih jago dari karakternya, Gary, karena dia tidak kehilangan beat dan tidak larut ke dalam begitu banyak ‘karakter’. Melihatnya, kita tetap bisa melihat di dalam sana ada Gary yang mencoba berpegang pada siapa dirinya, tapi hal menjadi semakin rumit, dan mendorongnya untuk mencoba hal ‘baru’ – sesuatu yang sedari awal tampak bikin dia penasaran di balik sikap sederhananya.

The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold stars for HIT MAN

 

 

 

MALAM PENCABUT NYAWA Review

Walau film buatannya pernah laku, tapi aku belum menemukan hal ‘original’ dari arahan horor Sidharta Tata. Malam Pencabut Nyawa, horor yang melintas ke garis genre superhero karena aspek protagonis punya kekuatan untuk memberantas penjahat, pun buatku masih terasa seperti ‘adaptasi’ dari unsur-unsur yang sudah pernah ada. Pertama, tentu saja cerita makhluk jahat yang membunuh orang di alam mimpi mengingatkan kita kepada Freddy Krueger dan franchise film A Nightmare on Elm Street. Kedua, aku toh memang merasa ceritanya banyak mirip dengan game Fatal Frame 3. Game horor tentang karakter yang merasa bersalah atas kematian kekasihnya, sehingga setiap tidur dia mimpi mengikuti kekasihnya ke sebuah rumah besar. Di dalam sana, dia melihat orang lain terbunuh oleh hantu perempuan di sana, dan saat terbangun dia mendengar berita kematian dari orang yang ia lihat di dalam mimpi. Si hantu perempuan adalah korban ritual, ditumbalkan oleh desa, dan dia punya pacar yang menangisi kematiannya. Membuat dia bangkit jadi hantu alam mimpi. Kurang lebih mirip gak sih dengan Respati yang selalu mimpiin hantu orangtuanya yang kecelakaan, yang di alam mimpi melihat orang lain dibunuh perempuan yang jadi hantu karena dibunuh warga, dan si hantu punya anak kecil yang menangisi kematiannya? Shot mata Sukma menjelang ajalnya bahkan mirip dengan shot mata Reika Kuze saat jadi tumbal ritual.

Pada akhirnya memang bukan kemiripan atau katakan saja, cocokologinya yang jadi kekurangan. Tapi karena kekurangmantapan film ini membentuk ceritanya, sehingga jadi kerasa kayak gabungan dua elemen. Sukma si hantu ratu ilmu hitam di alam mimpi harusnya bisa jadi ikon villain horor lokal, seperti gimana Freddy jadi begitu ikonik, tapi statusnya sebagai final boss seperti Reika jadi melemah karena film ini ngasih twist ada manusia yang jadi dalang semua. Sukma akhirnya jadi kayak puppet saja. Battle antara Respati yang jadi Dream Warrior – kalo mau minjam istilah di film Elm Street – dengan Sukma jadi terasa kurang penting karena dengan si dalang-lah sebenarnya journey Respati punya keparalelan. Film ini tidak berhasil membangun alam mimpi itu sebagai momok karena sebenarnya ada musuh yang lebih ‘nyata’ di dunia nyata. Bentukan cerita film ini jadi aneh. Di awal juga sebenarnya aku ngerasa ada yang janggal dari gimana film ini ngebuild Respati gak bisa tidur sebagai insomnia. Karena kayak gak nyambung. Apakah Respati gak bisa tidur malam karena takut didatangi hantu orangtuanya? Kenapa dia takut kalo sebenarnya konflik personalnya adalah merasa bersalah atas kecelakaan mereka? Sekali lagi, ini membuatku merasa naskah seperti campuran yang belum lagi rapi dan matang, antara elemen remaja yang ngalami fenomena takut tidur karena takut dibunuh Freddy di mimpi, dengan elemen Fatal Frame 3 yang karakternya justru pengen tidur terus karena mau bertemu dengan roh kekasih, karena dia masih merasa bersalah dan pengen bertemu satu kali lagi dengannya.

Yang belum matang sayangnya gak cuma naskah. Tapi juga arahan dan akting. Kadang kita ngerti arahan editingnya apa, kayak sekali waktu saat film ingin menerapkan editing komedi. Tapi aktingnya yang gak jalan. Ekspresi muka yang gak kontinu. Raut yang gak jelas sedang merasakan takutkah, atau sedihkah, atau ngantukkah. Terus ada juga editing yang bikin mestinya gak lucu tapi jadi lucu. Misalnya ketika ada tangan setan muncul tiba-tiba dari dalam lubang di pohon. Alih-alih langsung munculin tangan, film malah kayak ngecut dan nyambungin videonya dengan shot yang ada tangan setannya. Jadinya film ini awkward, padahal kalo digarap lebih matang, bisa saja film ini jadi Elm Street versi lokal sehingga fresh sendiri, dengan cerita karakter yang lebih natural.

The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for MALAM PENCABUT NYAWA




THE STRANGERS: CHAPTER 1 Review

Ini siapa sih yang ngide bikin The Strangers – thriller home invasion yang jadi cult-success – ke dalam chapter-chapter? And worse, dengan treatment berupa membagi chapternya itu beneran berdasarkan per babak sehingga film Chapter 1-nya ini literally baru babak satu dari tiga-babak film superpanjang? Karena alhasil, film Renny Harlin ini jadinya boring banget.

Masih mending kalo bahasan di film ini mendalam. Nyatanya, gak ada yang bisa kita bicarain di sini karena filmnya memang gak bicara apa-apa. Cuma nunjukin sepasang kekasih, mobil mereka rusak sehingga harus menginap di kabin terpencil di ujung kota kecil, dan malam itu mereka disatroni tiga orang asing bertopeng. Ini film satu jam habis cuma ngeliatin mereka mengendap-ngendap, lalu ketangkep, dan lantas bersambung. Tidak ada bantering yang berarti dengan pembunuh. Tidak ada adegan sadis yang ‘menghibur’. Tiga puluh menit sebelumnya pun tidak diisi dengan set up karakter yang proper, Maya dan Ryan begitu bland, dan yah, mereka masuk kategori standar; karakter yang ngelakuin hal-hal bego. Padahal dalam horor yang bagus, penting bagi film untuk memberikan karakter yang dalam situasi mencekam, keputusan mereka realistis, atau at least bisa kita setujui sebagai tindakan yang ‘benar’.  Karena itu yang membuat kita peduli dan mungkin relate dengan survival mereka. Jika film gagal membuat mereka melakukan hal tersebut, maka penonton bisa dengan cepat berbalik menjadi ngecheer pembunuh untuk segera melakukan hal-hal ‘menghibur’ kepada mereka. Sebenarnya, masih bisa fun neriakin karakter yang keputusannya blo’on kayak gitu, tapi film ini begitu menjemukan, build up terornya cuma kayak ngulur-ngulur – karakter pembunuhnya pun sama boringnya karena gak benar-benar melakukan apa-apa. Sehingga aku bahkan gak punya tenaga untuk sekadar neriakin mereka buat seru-seruan.

The Palace of Wisdom gives 1 out of 10 gold stars for THE STRANGERS: CHAPTER 1

 

 

 

THE WATCHERS Review

Ishana Shyamalan, dalam debut penyutradaraannya ini, berhasil melampui sang ayah. Ya, dia berhasil membuat film yang bahkan lebih payah daripada The Happening (2008). The Watchers, horor fantasi yang diadaptasinya dari novel, tampak asik sendiri di dalam bangunan misteri dari mitologi yang tak-menginspirasi. Penceritaannya gak punya ritme, arahan dan aktingnya cringe banget kayak produksi untuk televisi.

Looksnya aja yang kinclong. Padahal bayangin aja mentoknya antara vibe di hutan kelam yang menyesatkan dan mendekam di ruangan kotak, dengan kamera atau gambar yang super jernih. Sama sekali tidak menyokong pada vibe misteri yang berusaha disampaikan. Yang ada, film malah jadi kayak dongeng yang dibuat-buat.  Nonton ini kayak kita mendengar bualan orang yang awalnya aneh sampai bikin penasaran, tapi semakin ke sini anehnya semakin terasa gaje sehingga kita jadi gak peduli lagi dan membiarkannya bicara apapun sesuka hati. Apalagi karena Ishana berusaha bermain dengan pesona khas ayahnya, yakni memasukkan twist untuk ngespark cerita. Tapi twist-twistnya tersebut tidak pernah terasa signifikan, sebab cuma pengungkapan yang sebenarnya juga gak perlu ditreat sebagai twist.

Mitologi peri dan hubungan makhluk itu dengan manusia harusnya sudah dilandaskan supaya kita punya pegangan jelas terhadap arahan dan ritme cerita. Supaya kita gak tersesat kayak para karakternya. Yang penampilan aktingnya pun terasa ala kadar. Aku kaget banget saat sadar bahwa pemeran protagonisnya itu Dakota Fanning. Aku takjub bahwa ada juga sutradara yang bisa bikin karakter yang begitu underwhelming sampai-sampai sekelas Dakota aja gak keluar pesona aktingnya. Bahkan di Twilight aja masih bisa bikin dia kinda memorable. Ah, mungkin itu satu lagi ‘keberhasilan’ Ishana.

The Palace of Wisdom gives 2 gold stars out of 10 for THE WATCHERS.

 

 

 

TRIGGER WARNING Review

Ternyata justru film Mouly Surya ini yang ala John Wick. Hebat ya, sutradara kita actually ngedirect film luar. Cuma masalahnya, gak ada yang ordinary dari jagoan cewek ala John Wick di sini. Parker, diperankan oleh Jessica Alba (Hebat ya, sutradara kita ngedirect Jessica Alba!!) adalah cewek serbabisa, serbacakap, yang membalas dendam.  Walau Mouly berusaha keras bikin protagonisnya ini tampak vulnerable di momen-momen personal, tapi bentukan karakter pada naskah Trigger Warning terlalu Hollywood. Ini adalah film yang dibuat hanya layaknya mesin untuk agenda ‘cewek jaman sekarang kudu jagoan’.

There’s no other ways to say it. Sutradara kita ternyata hanya jadi korban berikutnya dari kebiasaan Hollywood yang suka ambil sutradara asing atau ‘indie’, dan completely missed the points, dengan memberi mereka proyek yang seperti versi simpel dan mainstream dari apa yang membuat sutradara tersebut diperhitungkan. Kurang lebih sama-lah kayak waktu Chloe Zhao ketika didaulat untuk direct superhero Eternals (2022). Practically cuma buat sinematografi battlefield doang, mentang-mentang Zhao sukses bikin drama kehidupan nomad di gurun yang menggugah. Film Trigger Warning hampir seperti cuma ngeliat betapa Marlina yang menggotong kepala pria di padang ala western sebagai simbol feminis yang badass, dan itulah yang diassign kepada Mouly Surya. Bikin karakter cewek hard, jagoan, dan jadikan itu ke dalam gambar-gambar ciamik. Sementara naskahnya relatif dangkal dengan hal-hal stereotipe (yang bahkan menyerempet ranah kurang sensitif) dan muatan crime yang pengen kayak thriller misteri tapi ternyata pay offnya begitu sederhana, dan  predictable nyasarnya bakal ke mana.

Untuk actionnya memang tidak diarahkan untuk stylish, tapi cenderung rough. Dan ini sebenarnya bagus, jadi ‘karakter’. Aku awalnya juga tertarik, karena Parker yang kembali ke kampung karena ayahnya meninggal terlalu mendadak untuk dibilang wajar, itu punya senjata pilihan yaitu pisau. Yang juga merupakan simbol koneksi dia dengan sang ayah. Aku pikir film sedang ngebuild up perihal keparalelan antara dia dengan pisaunya, dan dia dengan ayahnya. Tapi hal tersebut ternyata dengan cepat jadi gak penting, karena ya, Parker nanti berjuang membalas dendam dengan banyak senjata lain.

The Palace of Wisdom gives 4 gold star out of 10 for TRIGGER WARNING.

 

 

 

UNDER PARIS Review

Untuk film terakhir di Volume ini, kita berenang ke Perancis. Dan kita berenang bersama hiu! Premis horor binatang buas karya Xavier Gens ini sebenarnya menarik. Dia memanfaatkan kota Paris dan keunikan struktur jadi panggung berbeda dari sebuah action survival manusia dari serangan hiu. Namun ada gangguan mayor yang menghalangi kita untuk fully menikmati sajiannya ini. Karakter manusia yang sebenarnya technically gak bego (karena ilmuwan), hanya saja mereka hampir semuanya cenderung annoying.  Film bahkan udah ngeset up betapa annoyingnya pilihan karakter di film ini sedari adegan opening. Hasilnya tetep sama sih. Kita neriakin “Goblog!!” ke layar.

Film ini masih bisa worked out semisal mereka ada di arahan yang over-the-top. Tapi film ini memilih untuk serius. Like, di balik teror hiu film ini menyimpan pesan untuk lingkungan. Kota Paris dan keadaan sungai Seine  dibikin berperan, benar-benar dieksplorasi sebagai ‘habitat’ karakter manusia yang di-examine oleh cerita. Film ini menyentil politisi yang kebijakannya hanya untuk cuan, tidak untuk kepentingan masyarakat ataupun peduli sama lingkungan. Film juga melihat ke dalam lingkungan aktivis alam dan satwa. Dan lucunya, aku kepikiran jangan-jangan film ini adalah cara pembuatnya nyampein ajakan untuk bersihin sungai. Karena memang, di akhir cerita, film berubah menjadi lebih seperti film bencana-alam. Konsekuensi atau dampak terbesar justru datang bukan dari serangan hiu-hiu tersebut.

Atau ya, kalo memang mau seserius itu, film ini kudu ngasih naskah perhatian yang lebih. Karakter diperdalam, berikan development. Konflik mereka jangan dibuat datang dari betapa annoyingnya masing-masing memegang kepercayaan (dan kalo bisa, solusi yang mereka percaya itu jangan bego-bego amat) Put more thought on it, dan film ini akan bisa hit us different.

The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for UNDER PARIS.

 




 

 

That’s all we have for now

Bener kan, volume pembuka musim panas ini belum benar-benar menggugah selera. Semoga bulan depan film-filmnya lebih seru!

Thanks for reading.

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



MINI REVIEW VOLUME 18 (CIVIL WAR, TUHAN IZINKAN AKU BERDOSA, THE FALL GUY, THE MINISTRY OF UNGENTLEMANLY WARFARE, GHOSTBUSTERS: FROZEN EMPIRE, BOY KILLS WORLD, MONSTER, CHALLENGERS)

 

 

Ngepublish Mini Review Volume 18 ini, sebenarnya aku agak gak rela. Karena lihat saja film-filmnya, banyak di antaranya masih baru banget, dan banyak juga yang ingin aku bicarakan panjang lebar. Namun sekali lagi, waktu tidak berpihak padaku. Bulan Mei ini aku kembali harus menghabiskan banyak waktu di jalan, jadi yah, aku harus ikhlas menuliskan film-film keren ini dengan lebih singkat. Kalian yang sekiranya belum puas juga, boleh kok ngajak diskusi yang lebih panjang di kolom komen. Ketemuan di sana yaa, abis baca delapan ulasan ini:

 

 

BOY KILLS WORLD Review

Ngeliat posternya, jujur aku ngirain ini adaptasi dari game Double Dragon. Ternyata bukan. Meskipun memang, debut film panjang sutradara Moritz Mohr ini seperti mendapat inspirasi dari video game beat’em up dan fighting. Boy Kills World menceritakan pemuda yang ingin balas dendam kepada penguasa, yang telah membunuh ibu dan adiknya, jadilah dia mengarungi petualangan gebuk-gebukan, yang oleh film adegan berantemnya ditreatment kayak berantem di game, apalagi dengan banyaknya ‘boss fight’ yang harus dikalahkan di masing-masing stage alias tempat.

Boy Kills World memang banyak gaya. Salah satu gayanya adalah gak banyak bicara. Dan gaya tersebut mengembang menjadi gaya-gaya lain. Aku bisa mengerti kenapa Mohr bersandar pada gaya, atau katakanlah gimmick, seperti ini. Yaitu karena cerita berantem karena revenge ini udah sering. Monkey Man (2024) yang baru bulan lalu kureview aja contohnya, juga cerita anak yang jadi petarung demi balas dendam atas kematian ibu di tangan penguasa. Tapi tidak seperti Dev Patel yang punya akar galian berupa mitologi Hanoman dari budaya lokalnya, Mohr berusaha membuat Boy Kills World berbeda dari campuran banyak gaya/gimmick. Dia membuat Bill Skarsgard meranin pemuda yang tak banyak berdialog, melainkan lebih banyak berbicara kepada kita sebagai narator. Si Boy ini sudah lama tidak bicara dengan orang sehingga dia sendiri lupa ama suaranya, sehingga suara narator yang kita dengar adalah suara narator video game – karena main game adalah kenangan indah yang selalu diingatnya. Dan untuk menggambarkan si Boy bicara dengan dirinya sendiri, film membuat Boy ini sering ‘halu’ berinteraksi dengan sosok adiknya yang telah tewas saat kecil. Jadi fun nonton ini datang dari tingkah laku ‘ajaib’ si Boy alih-alih karakternya. Dari aksi-aksinya, alih-alih plot. Plot dan dunia film ini, sama tipisnya. Meski Mohr mati-matian berusaha supaya menarik. Salah satunya dengan mengambil elemen Hunger Games.

Oh iya, ada Yayan Ruhian juga.

Pilihan film ini untuk mendahulukan gimmick memang dengan segera terasa jadi ganjalan. Like, babak pertama yang harusnya mengset up relasi si Boy dengan Yayan, hanya ditampilkan berupa montase dan voice over narator yang panjang. Padahal kalo diadegankan secara biasa, dua karakter tersebut  bisa terbangun dengan lebih baik. Yayan juga bisa kebagian dialog, enggak cuma kayak dicast buat adegan berantem doang. Apalagi relasi Boy dan dukun yang menyelamatkan dan mengajarinya berantem itu ternyata merupakan relasi kunci di akhir cerita. Sebuah film sah-sah saja memilih untuk karakternya sedikit bicara, banyak bergaya, namun tentu film itu sendiri harus tetap bicara tentang sesuatu.

The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for BOY KILLS WORLD.

Sayangnya, ini bukan film terakhir di Volume ini yang irit ngomong dan actually gak bicara tentang apa-apa…

 

 

CHALLENGERS Review

Sementara itu, Challengers karya Luca Guadagnino is all about style. Film tenis yang not really bicara tentang tenis, tapi lebih ke bicara soal relationship. Seperti yang diucapkan oleh karakternya, tenis adalah relationship. Dan Luca, masterfully, merancang kisah romansa segitiga ini ke dalam dunia olahraga tenis. Bahkan kita sebagai penonton, akan dibuat sama seperti bola yang dipingpong (mau bilang ditenis, tapi kok ya janggal hhihi), melesat dari satu ‘pemain’ ke ‘pemain’ lain dalam artian literal maupun penggambaran. Literal karena memang ada adegan yang membuat kita berada dalam pov bola tenis yang melayang ke sana kemari, dipukul oleh dua pemain yang sedang saling mengkomunikasikan perasaannya lewat pukulan-pukulan penuh passion tersebut.  Penggambaran, karena well…

Kita dipingpong oleh flashback. Challengers tidak diceritakan oleh Luca secara linear. Style-nya yang ingin memparalelkan semua ini ke dalam dunia tenis, membuat Luca bicara dengan bolak-balik. Kita melihat tiga karakter sentral di masa sekarang – dua di antaranya sedang bertarung di lapangan, sementara yang satu menonton di bangku depan – tidak tahu sebenarnya dia mendukung yang mana. Atau bagaimana mereka terhubung. Lalu film lompat ke 13 tahun lalu; lompat ke delapan tahun kemudian, balik ke masa kini, mundur lagi. Memang asyik cara Luca membuka siapa sebenarnya mereka, apa yang terjadi di antara mereka. Dua cowok itu ternyata sahabatan, satu tim, dan mereka sama-sama ‘mengidolakan’ si cewek. And that’s pretty much about it. Setiap lompatan flashback membuka informasi baru, membawa kita informasi satu lalu informasi berikutnya. Emosi kita memang ikut bergolak ke dalam asmara mereka, kita either bakal peduli sama satu karakter begitu terungkap seperti pasangannya lebih cinta ke siapa, atau kita gak peduli sama siapapun karena ya tiga-tiganya player – and they know it.

Inilah resiko yang diambil oleh Luca ketika memilih gaya bercerita pada film yang kini sudah begitu populer berkat potongan adegan bertiga dan adegan tenisnya. Karena hanya momen itulah yang akhirnya nempel. Gak lagi exactly tentang filmnya. Karena development karakternya – jika memang ada – tercacah oleh lompatan-lompatan waktu. Lompatan yang bukan dilakukan untuk membuka perkembangan, tetapi membuka kepada informasi ‘ternyata-ternyata’. Tiga karakternya adalah orang penuh passion yang enggak satu-dimensi, mereka berlapis, cuma kita tidak pernah stop begitu lama, tidak dibiarkan stay pada satu di antara mereka. Film ini tidak mengajak kita bermain bersama karakternya. Heck, kita bahkan tidak ‘menonton’ mereka bermain cinta. Ingat, di sini kita seperti bola yang dipingpong. Kita yang sedang dipermainkan. Dan sama seperti dipermainkan cinta, we all like it so much.

The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for CHALLENGERS.

 

 

 

CIVIL WAR Review

Film kehancuran dunia bukan semata bahasan bencana alam ataupun zombie, film roadtrip bukan cuma soal bersenang-senang, dan film perang bukan cuma milik prajurit atau tentara. Begitu kira-kira gambaran Civil War dalam menjadi tidak biasa. Menilik kehancuran karena perang saudara, lewat sudut pandang jurnalis yang mempertaruhkan nyawa berkeliling mengejar titik kerusuhan untuk meliputnya dari jarak dekat. Lalu kemudian sutradara Alex Garland balik bertanya; Yakin, tentara dan jurnalis itu berbeda?

Ada semacam duality pada konsep dan cerita yang membuat film ini jadi menarik. Pertama-tama, tentu saja film ‘melaporkan’ susah dan bahayanya pekerjaan jurnalis dalam meliput perang. Untuk berada begitu dengan ancaman. Juga ada gambaran yang menyinggung perbedaan ‘kelas’ antara jurnalis tv dengan jurnalis media cetak. Pekerjaan mereka sangat dibutuhkan sebagai media yang mengabarkan keadaan dengan aktual, faktual, supaya orang percaya dan melihat kebenaran di tengah suasana sechaos perpecahan kubu dalam satu negara. Sebaliknya, untuk dapat melakukan kerjaan mulia itu, mereka membutuhkan nyali dan tekat dan stamina, dan moral? Apakah integritas di atas segalanya? Inilah yang memakan karakter Kirsten Dunst sebagai protagonis dari dalam. Sebagai jurnalis fotografi senior, dia telah banyak memotret dari dekat kejadian-kejadian mengerikan. Dia memotret orang terbakar, dari jarak yang sebenarnya bisa digunakannya untuk membantu si korban. Lee memang tidak pernah mengutarakan konflik internalnya, tapi dari sikap dan pandangannya kita mengerti. Melalui si Lee ini, film pun menarik paralel antara tentara yang membidikkan senapan dengan jurnalis yang membidikkan kamera.

Lalu ada karakternya Cailee Spaeny. Jesse. Jurnalis muda yang mengidolakan Lee, yang memaksa untuk ikut bersama rombongan Lee ke Gedung Putih mewawancarai Presiden. Duality yang lebih gamblang tercermin pada hubungan antara Lee dengan Jesse, karena cerita ini gak akan berjalan maksimal jika karakter Lee tidak diberikan ‘pasangan’. Tegangnya film memang bukan masalah karena sukses tergambar lewat pengadeganan aksi jurnalis membuntuti kecamuk perang berkat kamera dinamis dan editing konsep fotografi yang precise. Namun dramatisnya thriller distopia ini baru akan terasa jika kita melihat Jesse dan Lee sebagai cerminan yang berlawanan. Bagaimana seseorang yang tadinya polos dan naif, menjadi ‘keras’ dan seperti mati rasa karena tuntutan kerjaan membuatnya terbiasa melihat kekerasan dari dekat – bahkan mengalami kekerasan itu sendiri. Dan juga sebaliknya, gimana setangguh-tangguhnya orang, se-hardened apapun perasaan itu, pasti akan tergugah juga demi melihat penyimpangan kemanusiaan sebegitu lama, sebegitu dekat.

Sebagai salah satu film yang paling kuantisipasi tahun ini. Civil War tidak mengecewakan. Bahkan shot-shotnya saja bisa demikian tak akan segera terlupakan. Buat kalian penggemar film dan pengen merasakan lebih banyak perbedaan storytelling, kalian bisa coba bandingkan adegan Cailee Spaeny dalam lubang mayat di film ini dengan adegan Kathryn Newton dalam kolam mayat di film Abigail (2024). Kalian bisa sampaikan pandangan kalian di komen, yaa

The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for CIVIL WAR.

 

 

 

GHOSTBUSTERS: FROZEN EMPIRE Review

Aku butuh satu film lagi buat melengkapkan Volume ini jadi delapan-film. Who do I gonna call? Ghostbusters!! Haha, engga ding. Sebaliknya, aku udah nonton film sedari rilisnya Maret lalu, tapi selalu terundur-undur ulasannya. Spotnya selalu tergugurkan oleh film lain. Penyebabnya satu; walau sekuel Ghostbusters modern ini fun, tapi film ini terasa kurang urgent. Apalagi di masa yang udah sumpek oleh revival franchise yang sebenarnya kekuatan utamanya pada curi-curi memerah nostalgia.

Terkait nostalgia act, film ini bermain hormat dan punya caranya tersendiri. Cast lama (baca: legend!) disatukan jadi tim bareng cast baru. Film berhasil membuat mereka tidak tampak awkward ataupun mencuri spotlight. Frozen Empire tetap mendevelop cerita dari karakter baru. Phoebe yang diperankan oleh McKenna Grace menyetir film dengan arc yang benar terasa modern dan berdiri sendiri. Untuk melengkapi karakternya itu, film ini menciptakan hal yang kalo aku gak salah ingat, belum pernah ada di Ghostbusters sebelumnya. Yakni karakter hantu yang full ter-flesh out sebagai jiwa manusia yang tertinggal di bumi. Hubungan mereka mengangkat film ini, ngasih bobot drama. Sehingga film ini bukan sekadar petualangan menangkap hantu.

Namun di situ jugalah masalahnya. Gil Kenan, yang menulis skenario di film sebelumnya, kini duduk juga di kursi sutradara. Dan dia tersandung masalah yang sama, yang seringkali kita temui pada film setiap kali yang tadinya penulis skenario, sekarang juga menyutradarai ceritanya; Cerita tersebut cenderung menjadi penuh sesak. Frozen Empire either lebih baik dijadikan serial, atau ya pembuatnya harus ‘rela’ ngetrim cerita supaya lebih lugas dan tidak terasa berjubel baik itu oleh karakter, subplot, ataupun adegan-adegan hiasan atau hiburan. Karena begitu padatnya inilah, keurgenan film jadi tidak mencuat.

The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for GHOSTBUSTERS: FROZEN EMPIRE.




MONSTER Review

Kesamaan karya Rako Prijanto ini dengan buatan Kore-eda hanya sebatas pada judul dan karakternya anak-anak. Selain itu, sebaiknya jangan dibandingkan. Monster buatan Rako adalah thriller yang menempatkan anak kecil di lokasi tertutup, untuk bermain kucing-kucingan nyawa dengan orang jahat sindikat pembunuh dan penyiksa anak-anak. Gimmicknya adalah tanpa dialog, dan film ini sendirinya actually memang tidak bicara apa-apa di balik tujuan genrenya.

Ya, of course kita akan peduli dan ikut khawatir sama keselamatan karakter utamanya. Siapa yang tidak kasihan melihat anak berseragam pramuka SD tersebut memutar otak untuk menyelamatkan bukan saja dirinya sendiri, tapi juga teman yang disekap – againts orang dewasa bersenjata tajam. Dalam lingkup genrenya sendiri saja, hal tersebut adalah hal paling mudah yang bisa dilakukan seorang pembuat film. Meniadakan dialog sekilas tampak seperti creative choice, tapi jatohnya jadi kayak males saat film ini tidak punya lapisan apa-apa. Kita bahkan tidak kenal karakternya. Sehingga durasinya yang 80menitan itupun jadi terasa bahkan lebih panjang daripada durasi Ghostbusters barusan – yang dikritik kepanjangan oleh banyak pengulas. Isinya ya dragging aja, si anak sembunyi, ketahuan, struggle, kabur untuk sembunyi lagi, on repeat. Satu-satunya momen yang bikin melek adalah ketika mbak Marsha Timothy dapat The Shining moment versi dirinya sendiri. Udah.

Selain itu, yang bikin kita ikhlas nonton sampai habis adalah demi mengapresiasi akting Anantya Kirana. Film ini bersandar pada akting ketakutan dan survivalnya (eventho naskah – yang ternyata ditulis tiga orang – terus saja membuat protagonis utama kita ini khas karakter dalam horor yang pilihan aksinya blo’on)

The Palace of Wisdom gives 3 out of 10 gold stars for Rako Prijanto’s MONSTER. 

 

 

 

THE FALL GUY Review

Based on action tv series 80’s, The Fall Guy dari luar memang heboh oleh adegan-adegan aksi stunt yang bisa dibilang over the top, tapi on the inside, sutradara David Leitch ngambil kebebasan ngembangin cerita dan dia memilih rute komedi romantis. Hasilnya, wuih The Fall Guy jadi salah satu film paling sukses menghibur kita tahun ini. Sebab Leitch menemukan cara yang sungguh brilian dalam menggodok semuanya.

Ryan Gosling dan Emily Blunt jadi pasangan yang tak biasa. Gosling adalah Colt, seorang stuntman film blockbuster yang sempat hengkang dari industri karena kecelakaan saat stunt, dan Blunt adalah Jody, juru kamera yang kini jadi sutradara film distopia luar angkasa (bayangkan Mad Max digabung Star Wars) Relationship mereka jadi hati, karena alasan satu-satunya Colt mau diminta balik jadi stuntman karena itu adalah filmnya Jody. Tapi Jody belum siap dengan ‘kejutan’ tersebut. Jadilah kita mendapat banyak sekali adegan awkward-bagi-mereka, kocak-bagi-kita saat Jody terus-terusan ngetake ulang adegan berbahaya yang dilakukan Colt karena she doesn’t feel it right. Yang berujung pada keduanya membahas cerita film – yang sebenarnya paralel ama kehidupan cinta mereka – over loudspeaker, di tengah syuting, di depan semua kru. Keadaan sebenarnya jauh lebih pelik, karena Colt juga diminta untuk menemukan aktor utama di film tersebut yang – tidak diketahui oleh Jody dan kru lain – menghilang secara misterius. Dari sinilah, adegan-adegan action seru yang sebagian besar dilakukan oleh Gosling sendiri, bisa terjadi. Sehingga walaupun di awal, film agak terseok dalam usaha memunculkan konflik, setelahnya film melaju mulus. Naskah gak punya masalah dalam melakukan transisi antara Colt yang bereaksi terhadap misi yang tak ia mengerti betul dengan pilihan-pilihan Colt demi film yayangnya sukses.

Kayaknya untuk urusan adegan action, kalian bisa bayangin sendirilah. Leitch sendiri berasal dari seorang stuntman. Selain ngerti banyak soal cara menangkap adegan aksi yang seru, dia juga begitu paham sama dunia stunt itu sendiri. Makanya, di balik itu rom-com dan aksi itu, Leitch punya misi mulia. Film yang konsepnya film dalam film ini ia gunakan sebagai komentar meta terhadap bidang kerjaan yang fungsinya penting dalam sinema ini.  Gimana suka duka kerjaan sebagai stunt. Gimana posisi mereka terhadap aktor yang mereka ‘gantikan’. Gimana kerjaan seberbahaya dan sepenting ini belum ada ganjaran awardnya. Semua itu dilakukan dalam nada ringan yang menyokong kepada kocaknya komedi film ini.

The Palace of Wisdom gives 7.5 gold stars out of 10 for THE FALL GUY.

 

 

 

THE MINISTRY OF UNGENTLEMANLY WARFARE Review

Basically, mereka adalah preman. Untungnya yang mereka basmi bukan pemuda-pemuda yang dikambinghitamkan sebagai PKI. Tapi beneran prajurit Nazi. Sehingga nontonnya seru dan fun. Kelewat fun, malah. Guy Ritchie sukses menghasilkan adegan-adegan pembantaian yang sadis tapi stylish. Namun, film yang sepertinya juga terinspirasi dari Akira Kurosawa’s Seven Samurai ini (hitunglah, mereka tujuh preman bawahan pemerintah!) lupa memasukkan sisi yang bisa jadi kelemahan ataupun obstacle berarti bagi karakternya. Stake dan resiko justru adanya pada Winston Churchil sebagai orang yang memerintahkan mereka. Hanya saja, stakenya not really about life and death – tidak sejalan dengan aksi dan bahaya yang jadi sajian utama.

Mulai dari aksi pura-pura saat ketahuan patroli Nazi hingga ke aksi infiltrasi ke kamp-kamp dan kota pelabuhan, bahkan ketika rencana mereka mendadak berubah dan harus mencuri kapal alih-alih meledakkannya, tim yang dipimpin oleh Henry Cavill tidak pernah punya kesulitan yang berarti.  Mereka semua jago dalam bidang masing-masing. Mereka selalu menemukan cara. Tidak pernah ada momen dalam film ini yang kita merasa khawatir sama keselamatan atau keberhasilan mereka. Kapten Nazi yang sepertinya pintar, tidak lengah, dan paling galak – yang sepertinya dibuild up untuk jadi final boss – saja ujungnya kalah begitu saja oleh anggota tim yang terlihat paling vulnerable. Sehingga nonton film ini jadinya lempeng aja. Fun, seru, tapi ya lempeng. Tidak ada gejolak emosi di sana-sini.

Karakternya yang satu tim itu bahkan tidak punya momen saling berantem, atau berdebat, atau ada percikan trust issue atau semacamnya. Benar-benar film ini tidak ada tantangan berarti sama sekali. Tidak ada konflik, kalo boleh dibilang. Kita hanya menyaksikan orang-orang super kompeten melaksanakan tugas ilegal mereka, dengan overcoming all the odds yang tidak benar-benar tampak seperti odds bagi mereka.

The Palace of Wisdom gives 5 gold star out of 10 for THE MINISTRY OF UNGENTLEMANLY WARFARE.

 

 

 

TUHAN, IZINKAN AKU BERDOSA Review

Sebelumnya, izinkan aku mengutarakan rasa skeptis yang sempat terbit di hati; begitu baca bukunya (Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur), aku ngerasa ragu cerita ini cocok ditangani oleh Hanung Bramantyo. Walau memang topik kontroversialnya Hanung banget, tapi penceritaan Kiran di buku lebih ke arah kontemplatif. Dia lebih banyak berdialog di dalam kepalanya sendiri – menuntut Tuhan. Penceritaan yang sepertinya bukan ranah Hanung yang terkenal jagonya dalam konflik-konflik ke luar yang dramatis. Tapi aku salah. Satu yang aku lupa dari mas Hanung; bahwa dia adalah satu dari sedikit sekali sutradara yang aktif saat ini yang berani mengeluarkan visi. Yang berani mengadaptasi secara benar-benar, dalam artian gak harus mengikuti sumbernya. Maka itulah rasa skeptis itu aku tinggalkan saat menonton. Karena ternyata Hanung benar-benar mengubah banyak hal – bukan hanya judul. Penceritaan, karakter, alur, dan vibe cerita ini, ia ambil dan jadikan sesuai dengan kekhasan dan kepiawaian dirinya.

Karakternya, Kiran bakal bisa jadi sobat akrab si Sita di film Siksa Kubur (2024). Karena Kiran juga adalah perempuan yang merasa dikecewakan, ditelantarkan oleh agama yang tidak lagi ia percaya ajarannya karena melihat kelakuan orang-orang di sekitarnya yang mengaku penganut taat. Hanya, langkah yang diambil Kiran berikutnya sedikit lebih logis daripada Sita. Kayak anak kecil yang marah sama ortunya, Kiran ngambek. Pundung. Manggok. Yang tadinya alim, Kiran jadi ogah beribadah. Dia malah menceburkan diri ke pergaulan bebas, sampai akhirnya mau untuk ikut permainan dosennya yang ternyata germo. Kiran mau karena dia punya suatu maksud. Film ini mengenakan kontroversi tanpa malu-malu. ini menjadikannya sungguh sebuah film yang menantang. Misalnya, Hanung mengontraskan gimana cara berpakaian Kiran yang alim dengan saat dia sudah bandel – dan itu dilakukannya dengan sama-sama masih mengenakan atribut agama. Aghininy Haque pun menaikkan level aktingnya, kini dia sudah bisa bermain di akting suara, bukan hanya postur dan gestur. Sehingga terasa sekali perbedaan antara Kiran yang dulu dengan yang sekarang.

Ngomong kembali soal perbedaan. Yes, Hanung took this story and make it his own, successfully and masterfully. Meskipun kalo mau dibandingkan, aku lebih suka versi buku dibandingkan versi film. Kiran versi buku lebih ‘dingin’, misinya untuk mengekspos kelemahan lelaki – dan ia menemukan itu setiap kali para lelaki selesai tidur dengan dirinya. Penceritaan di buku mengambil sisi dramatis dari transformasi, atau katakanlah degradasi, Kiran. Saat menonton film ini, aku bingung karena Hanung tidak tampak mengincar hal serupa. Kisah Kiran tidak diceritakan linear, melainkan seperti Challengers tadi. Banyak bolak-balik antara Kinan dulu dengan Kinan sekarang. Yang aku takutkan adalah kita gak akan bisa merasakan dramatisnya kejatuhan Kiran menjadi pendosa, karena sedari awal kita sudah diperlihatkan Kiran yang sekarang sikapnya sudah begitu. Tapi sekali lagi aku lupa. Hanung sudah membentuk ulang cerita ini sehingga dramatisasinya bukan lagi dari transformasi. Lupa bahwa Hanung adalah sutradara yang bisa membuat instan dramatisasi dari dua atau satu momen saja. Dan memang itulah yang dilakukannya. Kiran menantang Tuhan di atas gunung. Petir menggelegar, DHUAR!! Selesailah sudah kekhawatiranku.

Karena setelah itu aku merasakan film ini berjalan di rodanya sendiri. Kiran di film banyak berkonflik langsung dengan karakter lain. Bentukannya dari khas auteur lelaki mengapproach cerita ini, yaitu Kiran menjadi victim di dunia yang dikuasai laki-laki. Kiran mengalami banyak siksa dunia – bukan siksa kubur seperti Sita – sebelum akhirnya dia sadar dan gain strength dari pengetahuannya bahwa para lelaki itu munafik dan tidak lebih kuat darinya. Kiran menunjukkan pengabdiannya kepada Tuhan dengan caranya sendiri. Mengekspos kemunafikan di dunia.

The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for TUHAN, IZINKAN AKU BERDOSA.

 




 

 

That’s all we have for now

Wah sepertinya ini menjadi mini review terpanjang ya hihihi!

Thanks for reading.

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



ABIGAIL Review

 

“To the child, abandonment by their parents is the equivalent of death”

 

 

Aku bersumpah, sehabis nonton horor yang satu ini untuk tidak pernah lagi meremehkan orang berdasarkan apapun. Tidak dari pekerjaan, apalagi dari penampilan luar. Balerina cilik bertutu putih dan anggun tampak bagai angsa, ternyata bisa saja lebih buas dari predator manapun yang ada di dunia. Perampok berpakaian hitam-hitam bisa saja menutupi lebih dari sekadar wajah dari balik masker topeng mereka. Itulah yang dilakukan oleh Abigail, film yang skripnya hobi menari. Membawa kita bukan saja naik turun dalam ketegangan survival hidup-mati, tapi juga berayun kian kemari menyoroti sisi karakternya dari kiri ke kanan. Abigail memang jadi sajian yang menyenangkan. Dengan satu hal ekstra yang menggelitik buatku, apakah salah satu dari sutradara Matt Bettinelli-Olpin dan Tyler Gillett ada yang penggemar gulat (atau mungkin keduanya?), karena ya, ada beberapa adegan/dialog yang seperti references yang pasti dinotice oleh fans gulat saat menonton ini.

Alih-alih kawanan perampok kepepet yang beraksi serabutan lalu menemukan gadis yang tampak helpless tapi ternyata sumber malapetaka seperti di Pemukiman Setan (2024), kawanan dalam Abigail adalah sekelompok orang profesional yang lagi dalam misi menculik seorang gadis cilik. Semua cakap dengan tugas masing-masing. Ada ketua pelaksana yang cool, ada hacker unyu, ada muscle man yang gentle tapi polos, ada sniper pendiam, ada driver yang slebor, protagonis utama kita adalah penculik yang bertugas sebagai medik dan bakal berhubungan langsung dengan sang sandera. Saking profesionalnya, mereka ini tidak saling berbagi nama asli, tidak saling share cerita hidup, mereka bahkan tidak bercakap-cakap soal kerjaan. As in, mereka bahkan tidak tahu anak yang habis latihan balet yang mereka culik itu anak siapa. Yang mereka tahu, esok pagi setelah semalaman menyekap si anak di rumah besar tempat persembunyian yang sudah ditetapkan, mereka bakal duit banyak. Masalahnya, Abigail – anak yang mereka culik – ternyata bukan anak orang sembarangan. Malam itu seketika berubah jadi malam survival, sebab mereka dibunuh satu-persatu. Terjebak di rumah bersama makhluk misterius. Abigail memang tampak helpless, tapi tidak berarti dia juga harmless.

review abigail
Ngasih makna ngilu baru ke ngeliat balerina beraksi melekukkan tubuh

 

Elemen surprise memang bukan bumbu baru dalam film-film horor. Malahan elemen surprise suka dijadiin device oleh horor, supaya ceritanya meriah oleh misteri yang bikin hati penonton jumpalitan (setelah jantung kita loncat oleh jumpscare) Naskah Abigail pun menyandarkan diri kepada bentukan surprise, berupa flip atau turn atau pembalikan posisi. Keprofesionalan para penculik tidak bercerita tentang diri mereka jadi alasan yang cukup untuk membuat siapa diri mereka sebenarnya, dari mana diri mereka berasal, jadi revealing yang cukup mengejutkan, yang eventually mengukuhkan desain film untuk membalikkan posisi mereka dari yang tadinya seperti penjahat yang menculik dan dingin, menjadi manusia yang punya flaw dan jadi korban dari vampir. Ya, pembalikan tentunya juga berlaku untuk Abigail, karena anak itu sebenarnya adalah makhluk penghisap darah berusia ratusan tahun. Film memang tampak bermain-main dengan kejutan dari pembalikan ini, karena babak akhir yang jadi puncak cerita akan berisi karakter-karakter yang berubah, baik itu dari manusia menjadi vampir, ataupun dari yang tadinya sepertinya jahat diungkap ternyata baik, lalu jadi jahat lagi. Menariknya film membawa ke garis abu-abu, di mana yang jahat belum tentu vampir, baik belum tentu manusia.

Dengan begitu, tentunya film ini mengambil kesempatan untuk turut bermain-main dengan ekspektasi kita terhadap mitologi vampir itu sendiri. Makanya Abigail terasa sangat fresh. Udahlah desainnya yang balerina membuat Abigail punya ‘move set’ yang unik – bayangkan saja gerak-gerak tari balet yang seringkali memelintir tubuh membentuk bentuk ganjil dijadikan Abigail sebagai jurus saat menyerang – ditambah pula dengan kita dibikin menebak-nebak kemampuan dan kelemahan basic Abigail sebagai makhluk vampir. Mitos yang selama ini kita percaya, seperti vampir takut sama bawang, vampir takluk sama pasak kayu yang dihujam ke jantung, vampir menghindari matahari, ataupun digigit vampir berarti kita akan jadi vampir juga, diacak oleh film; film membuat tidak semua mitos tersebut berlaku kepada vampir di dunia cerita Abigail. Sehingga menonton para karakter manusia mengingat mitos-mitos vampir, berusaha figure out mana yang works mana yang tidak, terasa lucu dan – film juga membuat – seringkali adegan dan dialog mereka lucu.

Film memang membuat interaksi karakter sebagai charm utama cerita. Seperti yang sudah kusebutkan tadi, karakter mereka memang menempati tipe-tipe tertentu yang lumrah ada dalam kelompok di film horor, tapi revealing nantinya membuat mereka tidak sekadar one-note. Mereka bukan karakter pelontar one-liner atau komen sekalimat yang cringe. Mereka, dengan nama alias yang diberikan sebagai candaan, gradually menjadi full-pledge karakter. Yang kita terasa seperti semakin mengenal mereka yang tadinya asing. Kupikir tadinya Peter si muscleman cuma tipe karakter dumb-strong, tapi nanti dia punya persahabatan yang terjalin dengan karakter lain, sehingga nasib kedua karakter ini bikin kita peduli. Apalagi memang para aktor seperti saling berlomba ngasih sesuatu yang ekstra buat ngidupin karakter mereka. Dan Stevens excellent banget membuat karakternya yang awalnya tampak tipikal smart-cool bertransisi menjadi lebih gusar dan komikal. Kathryn Newton berhasil menyetir karakternya jauh-jauh dari annoying teenager. Melissa Barrera sebagai tokoh utama sukses ngasih ketangguhan serta vunerable seorang ibu yang jauh, estrange, dari anaknya. Dan tentu saja, Abigail yang diperankan menakjubkan oleh Alisha Weir sudah bisa kita masukkan ke kategori horror character iconic karena keluwesan aktingnya, meyakinkan sekali menjadi mana yang seperti anak kecil, mana yang seperti vampir buas, mana yang seperti vampir yang berusaha mengecoh dengan berpura-pura jadi anak kecil. Tipu daya Abigail klop dengan konsep film yang mengincar surprise.

Sebaliknya yang jadi hati film ini adalah relasi unlikely yang terjalin antara Joey-nya Melissa dengan Abigail. Film membuat mereka paralel, yang satu ibu yang merasa bersalah sehingga memilih meninggallkan anaknya, sementara satunya (walau haus darah dan sudah beratus tahun) tetaplah seorang anak yang merasakan pahitnya mendapat resentment dari orangtua, yakni ayahnya. Pertanyaan yang mengarah kepada menelantarkan anak, dan apa yang sebenarnya membuat kita jadi orangtua yang buruk, berusaha diangkat oleh film ini di balik urusan antara vampir dan manusia

 

Gabutnya anak membawa bencana

 

Makanya aku merasa kurang, interaksi antara ayah Abigail dengan Joey. Sosok ayah Abigail dipasang oleh film sebagai reference, dan lebih untuk bermain-main dengan penonton, meskipun memang diapun sebenarnya paralel dengan Joey. Kupikir film akan menjadikannya sebagai final boss yang harus dikalahan Joey karena bisa berarti Joey harus mengalahkan sosok demon dari dirinya sendiri. Tapi film mengarahkan ke dramatis yang berbeda, yang pilihan film ini kupikir juga karena film masih ingin menyisakan ruang untuk kita penasaran dan ingin lebih dari Abigail dan ayahnya – yang bilang dia punya banyak nama setelah hidup berabad-abad – sehingga kesempatan sekuel tetap terbuka. Satu lagi yang kurang dimaksimalkan oleh film ini adalah set piece. Rumah besar yang jadi ruang tertutup bagi para karakter. Rumah ini punya tempat-tempat unik, seperti kolam penuh oleh mayat, panggung atau ruang balet pribadi Abigail, tapi aksi-aksi film ini kebanyakan berlangsung bukan di tempat-tempat tersebut, melainkan di interior yang biasa. Sehingga rumah yang harusnya bisa menambah identitas film, terasa kurang dihidupkan.

Pilihan film untuk ‘menyembunyikan’ siapa Abigail di awal, kendati berbuah kepada struktur yang seru, sebenarnya juga membuat babak pertama kinda lepas. Tidak ada set up yang mengisyaratkan bahwa ini bukanlah thriller penculikan normal, melainkan sebuah survival vampir di ruang tertutup. Film jadi ujug-ujug berubah  karena konsepnya surprised. Pilihan yang sebenarnya tidak benar-benar diperlukan karena penonton biasanya sudah tahu film bakal tentang apa, sehingga lebih baik untuk stay pada ketentuan penulisan yang biasa, yakni memberi set up (biasanya pada sepuluh menit pertama) bahwa film ini tentang apa, Abigail itu siapa dan sebagainya.

Yang jelas memang film ini tampak seperti mengincar untuk have fun. Mereka banyak bersenang-senang dengan mitos vampir, dengan karakter dan dialog, mengajak kita untuk bersenang juga dengan flip dan turn pada naskah. Dan penggemar wrestling, aku rasa, bakal dapat senang-senang tambahan karena banyak aspek di film ini yang suspiciously terasa seperti tribute untuk Bray Wyatt. Dan Stevens nyanyi “I got the whole world in my hand” – lagu yang merupakan lagu ikonik dalam promo Bray Wyatt. Lalu beberapa adegan berikutnya, kita lihat Abigail melakukan spider walk – gerakan mind game khas Wyatt untuk menakuti lawan. References yang sepertinya agak stretch out juga banyak, kayak “let me in” dan “run” yang timingnya memang kayak pas ketika digunakan oleh Bray Wyatt. Kemudian ‘kebetulan’ itu semakin terasa terlalu cocok ketika aku sadar judul film ini Abigail, yang juga sama dengan nama finisher Wyatt, yaitu Sister Abigail. Mungkin pembuatnya memang penggemar, atau mungkin memang hanya kebetulan, tapi menurutku tidak ada ruginya juga kalo kita-kita yang penggemar gulat ngakuin kalo secretly Abigail adalah film Bray Wyatt hahaha

 




Begitu banyak film yang ingin bersenang-senang dengan surprise dan turn, tapi lupa ngasih cerita dan karakter yang genuine untuk kita pedulikan. Film ini ingat, sehingga dia menjadi sajian menghibur dan tetap punya hati. Thriller survival yang mencekam berhasil diwarnai film ini dengan warna-warna lucu dan seru. Karakter titularnya bisa dengan gampang masuk ke jajaran ikonik. Film ini bakal jadi pilihan cocok untuk nobar-nobar horor, khususnya fanatik genre vampir, karena penonton casual akan relatif mudah mengesampingkan beberapa hal kurang maksimal dilakukan oleh film. Beberapa di antaranya yaitu, set piece yang kurang unik, babak pertama yang agak lepas karena ada yang sengaja disembunyikan alih-alih diset up, dan ending yang pecah tapi bisa dianggap kurang puas karena too good to be true.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for ABIGAIL
.

 




That’s all we have for now.

Anak vampir pun ketika dicuekin ortu bisa tantrum. Menurut kalian apakah sikap Abigail merupakan perlambangan yang tepat dari gimana rasanya bagi seorang anak merasa kurang disayang orang tua yang menjauh justru karena merasa sayang sama anaknya?

Silakan share di komen yaa

Yang pengen punya kaos film lebaran Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



EXHUMA Review

 

“..digging up the past has two sides: The pro is that you remember things you had forgotten about. Unfortunately, the con is the exact same thing. “

 

 

Perdukunan memang bukan cuma milik Indonesia. Tiap-tiap daerah punya kepercayaan yang beragam sehingga upacara dan praktik ritual spiritualnya pun berbeda-beda. Doa atau mantranya berbeda, ada yang pakai tari-tarian, ada yang pakai acara kesurupan. Selalu menarik membandingkan – melihat perbedaan dan mungkin ada sedikit kesamaan – antara ritual kepercayaan di tempat lain dengan di tempat kita. Apalagi Exhuma karya Jae-hyun Jang dari Korea Selatan ini tidak hanya bicara tentang klenik pengusiran setan. Melainkan, menjadikan elemen supernatural itu sebagai titik awal penggalian historis kebangsaan mereka. Jadi bukan hanya soal ritual perdukunan yang bisa kita dibandingkan di film horor ini. Setiap daerah, setiap bangsa, punya luka – punya koreng yang jika bisa jangan sampai tergaruk kembali – yang berbeda-beda.

Pasangan dukun pengusir hantu harus bekerja sama dengan seorang pengurus jenazah dan ahli geomancer (dari film ini aku baru tahu kalo geomancer itu artinya ahli feng-shui) saat mereka menerima kerjaan dari keluarga ‘old money’ KorSel yang tinggal di Amerika. Kerjaan bukan sembarang kerjaan. Sumber masalah keluarga yang dihantui itu bisa jadi adalah si kakek buyut yang dulu dimakamkan di sebuah bukit. Jadi, empat karakter sentral kita bermaksud melakukan penyucian dengan menggali makam tersebut, dan memindahkan jenazah. Namun upacara mereka yang awalnya tampak sukses itu membawa mereka kepada masalah yang bahkan lebih misterius dan lebih membahayakan daripada sekadar arwah penasaran.

review exhuma
Kalo film punya elemen, maka elemen film ini adalah ‘tanah’

 

Mengambil latar dunia modern, Exhuma memang tampak mengincar penekanan kepada perspektif masa sekarang diajak untuk looking back, atau katakanlah, menggali masa lalu. Film ini paham gimana fascinating-nya bagi kita untuk melihat lebih dekat tradisi ritual-ritual. Benturan dari keduanya itu digambarkan pula lewat desain karakter. Dukun yang tidak digambarkan kuno, melainkan sebagai anak muda yang modis. Lihat saja Hwarim dan Bong-Gil, mereka bisa digolongkan ke dalam anak muda keren, Mereka dibikin punya style khas tersendiri, semua adegan ritual yang mereka lakukan are always delight to see. Tertampil intense dan misterius, tapi juga tetap terasa anggun. Majestic. Begitulah mereka terpotret alih-alih tergambar sebagai dukun tradisional yang dituakan. Jikapun ada karakter tua, seperti Kim Sang Deok, si bapak ahli feng-shui, yang memang jadi karakter yang paling banyak tahu dan pemahaman terhadap apa yang sedang mereka tangani dan yang harus mereka lakukan, film memastikan karakter ini tetap unik dan tidak pernah menjadi hanya sekadar eksposisi.  Sudut pandang dan prinsipnya terus digali. Dia diberikan kebiasaan yang membuatnya mencuat dan memorable. Film berhasil membuat empat karakter sentral tidak stereotipikal ataupun tidak terlalu archetype. Karena bahkan anggota mereka yang fungsinya untuk peringan suasana pun, diberikan aspek menarik – bahkan ada adegan yang bermain-main dengan ekspektasi kita terhadap karakternya.

Permulaan yang sudah demikian baik, kita disuguhi arahan dan penulisan yang benar-benar tahu apa yang mau diutarakan, yang benar-benar punya ‘something’. Lalu datanglah resiko yang mereka putuskan untuk ambil. Exhuma, dengan cerita orang pinter yang mengusir setan; memecahkan misteri supernatural, melawan setan, dan saves the day, basically bisa dibilang masuk ke dalam format cerita kemenangan pahlawan-lah. Hollywood biasanya cerita-cerita kayak gini cetakan strukturnya adalah bagian mid-point adalah bagian ‘pertempuran pertama’; pada saat ini biasanya akan ada semacam kekalahan atau ketidakmampuan yang disadari oleh protagonis, sehingga nanti begitu masuk ke sekuen berikutnya – yang esensinya adalah sekuen downtime untuk regroup – mereka akan bersiap untuk masuk ke bagian ‘taktik kedua’. Exhuma tidak berjalan dengan format tersebut. Sendirinya membagi cerita ke dalam chapter-chapter, namun secara keseluruhan struktur kita dapat melihat mid-point di film ini adalah keberhasilan, dan sekuen regroup di sini adalah momen karakter merayakan kemenangan. ‘Taktik kedua’ atau ‘cara baru’ di film ini literally ada kasus lanjutan saat empat protagonis harus menyelesaikan masalah dengan setan yang sebenarnya. Saat mereka menyadari ada peti mati lain di dalam makam yang sudah digali tadi. Peti besar berbalut logam duri, yang dikubur vertikal. Hampir seperti, kalo di struktur Hollywood, ini adalah bagian false resolution di menjelang tamat. But it’s actually bahasan utuh. Kalo di game, katakanlah, Exhuma terasa seperti jadi dua bagian. Separuh awal seperti misi dalam mode easy, dan separuh terakhir seperti misi mode hard.

Shiftnya itu kerasa sekali. Karena pada dua bagian itu, film membahas ‘setan masa lalu’ juga dengan treatment yang berbeda. Di separuh awal kasus, mereka berhadapan dengan ruh kakek buyut keluarga klien yang terbebas ketika peti matinya yang hendak dipindahkan dibuka oleh orang yang tak bertanggungjawab. Ruh jahat atau hantu si kakek itu digambarkan oleh film tidak exactly secara fisik. Melainkan dia muncul sebagai sosok out-of-focus, terlihat selalu secara tidak langsung – paling sering lewat pantulan dari jendela atau semacamnya. Paling fisik dari hantu ini ya ketika dia masuk ke tubuh orang, membuat mereka melakukan hal-hal yang gak bisa dilakukan oleh manusia normal. Untuk masuk ke ruangan saja, hantu itu perlu untuk membujuk manusia untuk membukakan jendela. Sementara di separuh akhir, sosok setan yang harus dikalahkan literally muncul kayak creature atau monster (film ini menyebutnya siluman). Sosok prajurit zirah Jepang yang tinggi besar, yang bisa berubah menjadi bola api besar. Ada juga creature kecil berupa ular siluman, badannya ular, kepalanya amit-amit.

Abis nonton ini aku jadi mengkhayalkan death match antara Hakushi WWE lawan Bankai-nya Captain Komamura

 

Exhuma kaya oleh konteks dan subteks. Perbedaan treatment horor, ‘misi’ karakter, hingga tone keseluruhan pada dua bagian tersebut sejatinya merupakan perlambangan. Tindakan menggali kubur untuk proses penyucian itu sendiri pemaknaannya adalah menggali masa lalu, menggali sejarah di tanah mereka, yang berkaitan dengan proses healing. Ini juga terestablish dari dialog-dialog soal plotting tanah yang terus direcycle. Ketika para karakter menggali lebih lanjut, itu adalah perlambangan film juga menggali ke akar persoalan. Tentang masyarakat sosial modern mereka mengingat kembali trauma historis. Bagi kita yang bukan orang Korea atau juga mungkin tidak banyak tahu soal negara itu, jelas film ini bisa jadi pelajaran ekstra. Bahwa Korea Selatan dulu terlibat seteru dengan Jepang. Persoalan dua negara ini pun sudah sedari awal dilandaskan oleh film ketika Hwarim disangka orang Jepang oleh pramugari. Adegan yang ngeset Hwarim bisa berbahasa Jepang itu sekaligus juga menanamkan bahwa tentang dua negara inilah sebenarnya bahasan akan mengarah.

Masa lalu itu keras kepala. Kita kubur pun, masa lalu akan tetap berada di dalam sana. Menunggu orang yang tepat datang menggalinya. Dan thing about menggali masa lalu adalah, punya sisi baik dan sisi buruk. Sisi baiknya kita bisa mengingat kembali sejarah. Sisi buruknya, well,  kita jadi teringat kembali sejarah. Yang pasti ada alasannya untuk ingin dilupakan in the first place. Film ini menunjukkan, dalam balutan wacana tanah yang makin sekarang semakin dijual-jual begitu saja kepada orang kaya (sultan brengsek), bahwa kini adalah urgen untuk mengingat kembali luka itu demi persatuan mereka.

 

Melihat lewat lensa desainnya tersebut, kita jadi bisa sedikit meraba apa yang sebenarnya diincar dari film membuat plot seperti terbagi dua (dalam konteks tanah, aku jadi membayangkan sesar normal saat memikirkan alur film ini) Pertama, film ingin audiens negaranya untuk bercermin. Hantu kakek yang seringkali berupa pantulan/cerminan seperti perlambangan bahwa hantu masa lalu itu adalah masing-masing mereka secara kolektif. Like, film ingin bilang bahwa yang terkubur di tanah itu adalah milik mereka bersama, baik maupun buruknya. Their land of South Korea. Dan tanah tersebut sekarang dihantui, seperti dulu pernah ‘dihantui’ oleh momok bernama Jepang. Perayaan individu di mid point film tadi adalah pengingat mereka harus menggali lebih dalam, karena momok itu bisa saja kembali. Jadi ancaman yang nyata. Seperti siluman prajurit Jepang kembali menapak di hutan mereka. Perjuangan fisik empat karakter sentral di akhir, mencari pasak, ngasih sesajen ikan, pake kerja sama dengan ilmu dukun segala cabang, demi mengalahkan si siluman adalah hal yang harus mereka lakukan untuk menjaga tanah atau negara mereka. Bahwa mereka harus bekerja sama dan menjadi layaknya keluarga, seperti gimana empat karakter sentral ended up di akhir cerita.

Walau bergerak dengan mantap terukur di dalam desain dan konteksnya, resiko tetaplah sebuah resiko. Pembagian dua bentuk horor tersebut toh terasa sangat drastis, dan pergeseran tone tersebut dapat terasa mengganggu bagi penonton. Setidaknya, membuat penonton jadi membandingkan. Bagian mana yang lebih asik, atau bagian mana yang lebih ‘bosan.’ Film sebenarnya melakukan pengembangan dengan sangat baik. Well-designed. Kita melihat karakter sentral mencapai puncak vulnerabilitas masing-masing saat melawan si siluman di paruh akhir, dramanya enakan di paruh akhir, hanya saja paruh ini akan kalah seram ketika penonton membandingkannya dengan paruh awal. Saat film mengerahkan craftnya maksimal untuk membangun adegan-adegan horor. Adegan-adegan yang lebih mudah dicerna dan dirasakan kengeriannya oleh sebagian besar penonton. Sementara bagian melawan siluman terasa lebih bombastis, dan meskipun memang film lebih cenderung bersandar kepada efek praktikal yang juga well-done, dua hal yang sebenarnya tetap saling menyambung akan terasa seperti dua hal yang kontras berbeda oleh penonton.

 

 




Horor jadi terasa so much more ketika ketakutan kita terhadap hantu atau setan dijelmakan dari momok lain yang lebih ‘real’. Film ini mengambil apa yang mungkin sedang dirisaukan oleh si pembuat pada negaranya, hal urgen yang menurut dia penting untuk dibicarakan, dan mengolah itu ke dalam bangunan horor paranormal. Hasilnya lebih kaya. Tujuan untuk menampilkan hiburan dari horor-horor pengusiran setan, tercapai. Bentuk-bentuk lokal dari budayanya tersiar. Sementara gagasannya tadi tertanam kuat membayangi di balik narasi. Arahan dan penulisan film ini kuat, banyak adegan memorable yang hadir di sini, also film ini bergerak dalam desain yang berani mengambil resiko. Ceritanya yang tersusun dari beberapa chapter terasa seperti patah menjadi dua bagian – meskipun sebenarnya dua bagian ini kontinu membentuk gambaran besar yang menunjukkan sebuah development penyadaran.
The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for EXHUMA.

 

 




That’s all we have for now.

Menurut kalian topik sosial-politik apa di Indonesia yang belum ada yang garap padahal cocok banget dijadikan cerita horor?

Silakan share di komen yaa

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL