TWISTERS Review

 

“Don’t let your pain destroy you”

 

 

Waktu kuliah Geologi dulu, aku sempat tertarik sama mata kuliah Mitigasi Bencana. I thought it’s really cool menganalisa dan menyiapkan sesuatu yang preventif demi kepentingan masyarakat. Tapi di saat itu juga aku sadar tanggung jawabnya besar. Gimana kalo aku yang bego ini salah baca data, salah langkah. Wuih bisa fatal, Jangan-jangan ntar bukannya bertahan, masyarakat malah jadi kocar-kacir padahal gak ada apa-apa. Apalagi, dan ternyata benar menurut film disaster karya Lee Isaac Chung ini, bidang mitigasi memang luar biasa penting. Bukan hanya gak boleh ngasal dan bertanggung jawab dalam mengoperasikan atau mengolah data, melainkan juga butuh keberanian dan kesiapan diri yang sama besarnya. Karena kalo ada satu hal lagi yang aku sadari berkat film ini bahwa mungkin keputusanku benar gak lanjut ambil mata kuliah itu. maka itu adalah kita gak bakal bisa ready untuk nolongin orang, kalo sendirinya belum ready – belum kokoh – menghadapi terjangan tornado masalah dalam diri pribadi.

Memang, diceritakan berat bagi Kate Cooper untuk kembali menekuni passionnya dari kecil sebagai tornado-chaser. Perempuan brilian itu kini ngantor sebagai meteorologist, enggan untuk kembali ke lapangan, tempat dia meninggalkan proyek mulia yang tadinya ia kembangkan di bangku kuliah untuk ‘menjinakkan’ angin topan. Karena kejadian yang kita lihat di opening film sangat membekas. Alih-alih nolong masyarakat, Kate dan projek ciptaannya malah membuat teman-teman dan kekasihnya celaka. Tapi toh yang namanya passion, tak akan pernah padam. Musim tornado di Oklahoma semakin mengganas. Kate yang punya keahlian khusus menganalisa munculnya tornado akhirnya bersedia untuk gabung bersama tim Javi, teman sesama penyintas kejadian di opening itu, dengan alat-alat mutakhir untuk menge-scan dan menangkap data tornado. Di padang rumput luas yang cerah namun seketika dapat berubah menjadi berbahaya itu, tim Kate amprokan dengan tim Tyler, YouTuber/influencer pemburu-topan yang sekilas tampak mengganggu dan hanya ingin bersenang-senang di atas bencana.

Tunggu sampai semuanya kena F-5, dari Brock Lesnar!!

 

Meskipun katanya film ini adalah sekuel, namun kita bisa menangkap banyak banget ruh dari film Twister (1996) yang menghidupkan aspek-aspek kecil film ini. Salah-salah, aku bisa nyangka ini remake haha.. Ceritanya sendiri memang tidak berkelanjutan, tidak ada karakter film yang lama muncul kembali. Penghubung antara kedua film ini justru teknologinya. Alat penangkap data tornado yang dinamai Dorothy (reference ke film klasik The Wizard of Oz yang ceritanya tentang gadis bernama Dorothy kehisap tornado hingga sampai ke magical land) kini sudah sampai ke tahap yang lebih mutakhir. Referensi tersebut bahkan dilanjutkan; nama-nama tim Javi dinamai dari geng Dorothy di film itu. Sedangkan Kate, sebagai tokoh utama, buatku terasa seperti gabungan dari Jo dan Bill. Atau tepatnya, buatku terasa seperti Kate seperti versi koreksi film ini terhadap karakter Jo yang berbagi porsi dengan Bill. Kate di film ini benar-benar capable dan mandiri di bidangnya. Dia bisa teknik membaca ‘kode alam’ seperti yang dilakukan Bill, serta jago mengoperasikan alat seperti Jo. In fact, konsep penjinak tornado solely adalah buah pikirannya. Penampilan Daisy Edgar-Jones saja dibuat mirip banget dengan Jo; rambut pirang dikuncir, tank top putih, dan semacamnya. Supaya gak jadi terlalu sempurna, film memfokuskan kepada konflik yang dipantik dari trauma Kate. Trauma personalnya inilah yang jadi flaw, yang dikembangkan jadi drama yang menghidupkan cerita, sebab Kate jadi meragukan diri, setengah-setengah mengejar tornado, sehingga menghambat misi timnya.

Makanya Tyler Owens si YouTuber jadi karakter pendukung yang tepat untuk Kate. Bukan semata karena Glen Powell jago banget mainin karakter songong namun kharismatik. Melainkan karena Tyler yang dengan mobil merahnya (again, nod to film original) mengejar tornado cuma buat menembakkan kembang api ke dalamnya, perlahan membimbing Kate keluar dari pusaran ketakutan. Tyler membuat Kate kembali berani, bukan hanya menaklukkan ketakutannya, melainkan juga menunggangi rasa takut. Dalam arti, membuat ketakutannya sebagai pijakan untuk menjadi orang yang lebih baik. Dan aku menemukan diriku lebih mudah konek kepada permasalahan Kate, dan dukungan Tyler, karena terasa personal, ketimbang persoalan menemukan kembali cinta di balik urusan pasangan yang mau cerai pada film originalnya. Imbasnya, relationship yang terjalin antara Kate dan Tyler juga lebih mudah aku ikuti, dan aku mengerti, dan aku peduli. Dari yang tadinya semacam rival karena merasa beda cause, mereka jadi saling tertarik, lebih dari ketertarikan fisik, melainkan mereka menemukan kesamaan deep inside dan tujuan. Dan cara film mendekatkan mereka bukan kayak receh ala FTV yang tadinya berantem jadi pacaran, tapi lebih humanis. Serta tentu saja lebih exciting, karena tetap saja film ini pada dasarnya adalah tentang bencana alam, jadi di lapisan luar ada pusaran angin ribut yang eventually, literally, dibikin membara.

Dari Tyler, Kate (dan kite-kite semuanye) belajar bahwa rating bencana alam seperti puting beliung diukur justru dari efek kerusakan yang ditimbulkan. Yang berarti, kita sendirilah yang menentukan seberapa besar tragedi menghancurkan diri kita. Kita  yang memutuskan berapa lama bencana itu menerjang sebelum akhirnya reda. Maka, bangkitlah segera. Selamatkan dirimu, lalu selamatkan orang lain.

 

Momen-momen action survival dan kejar-kejaran ‘menangkap’ tornadonya dibuat seru. Karena bukan hanya teknologi Dorothy yang semakin maju, teknologi bikin film pun juga. Maka Twisters bisa lebih mengeksplorasi secara visual baik itu dari tornado terbentuk hingga menyerang kota yang tadinya lagi ada acara rodeo. Film benar-benar jago dalam mengontraskan, baik itu warna maupun skala. In case belum pada nyadar dari judulnya, twisternya sekarang ada yang dua. Kembar. Tapi film ini berhasil membuatnya tidak tampak cheesy kayak misalnya kalo ada film hiu, lalu kali ini ceritanya ada hiu kedua atau hiunya mutant, atau gimana. Film tetap mempertahankan tone ringan tapi serius. Ringan, karena film ini nyadar, gimana pun juga, ya sebenarnya lawak cerita seputar meredakan tornado. But at least, mereka membuatnya grounded dengan hati. Dan film ini bikin, setiap kemunculan angin tersebut, kita melihat aksi yang berbeda. Para karakter kita dengan ilmu dan alat-alat canggihnya, mereka gak lantas berhasil. Mereka gagal. Mereka belajar. Mereka berlari menyelamatkan diri. Film ini punya build up yang cukup sehingga adegan-adegan tersebut terasa intens. Satu lagi yang juga berhasil dipotret adalah kepanikan saat bencana datang. Gak salah disematkan sebagai genre thriller. Kepanikan yang membuat manusia lupa, sehingga salah langkah, tidak mendengar instruksi karena panik, dan whoosssh mereka terbang. Dalam menyorot suka-duka mitigasi bencana, film ini berhasil ngasih lihat sehingga kita melek, bidang ini memang penting!

Mana sinefil banget pula, tempat berlindung terakhir mereka di dalam teater cinema hhehe

 

Aku sempat mengira “wah ada pergeseran nilai nih” ketika melihat di awal Kate masuk ke dalam tim corporate, dan dia sebel melihat timTyler yang datang-datang bawa penggemar, yang begitu ‘colorful’ sehingga seolah angin tornado bagi mereka bukan bencana melainkan tontonan dan show semata. Soalnya di film terdahulu, protagonis kita berada di tim yang mandiri, dan ‘bad guy’nya adalah tim corporate – dengan seragam dan segala formalitas lainnya. Nah, ‘nilai’ ini yang aku sangka sudah berubah di jaman sekarang, karena film bikin protagonis utama di tim korporat. Mungkin, aku kira, film ini juga ingin menyinggung soal kultur ‘ngonten’. Aku tertarik karena ingin melihat alasan film untuk mengatakan tim korporat lah tim yang baik. Tapi ternyata jaman belum begitu berubah. Sekali lagi, film ini kayak bermain-main dengan ruh film pertamanya. Perlahan, Kate menyadari dia ada di tim yang salah. Ini tentu jadi journey yang menarik, yang menambah kepada perkembangan Kate sebagai karakter. Prejudice yang dia bawa mengenai orang-orang ‘free-spirited’ yang ada di tim Tyler tentu akan terbawa juga kepada kita. Dan di balik mentereng dan profesionalitasnya – it seems – korporat tetaplah pihak yang culas, yang dengan no problem nyari cuan di atas penderitaan rakyat. Bagaimana pendapat kalian tentang gambaran dua tim dalam film ini? Silahkan share di komen yaa

 




Kalo ditanya suka yang mana, aku lebih cocok dengan sekuel ini. Meskipun memang, kalo ditanya lebih jauh, aku merasa film ini lebih mirip sebagai spiritual remake dari film pertamanya. Alasan suka karena film yang ini terasa lebih mudah relate (tapi itu mungkin karena aku nonton film pertama di masa-masa belum ngerti soal pasangan yang mau cerai haha) But, I do think karakter dalam film ini terasa kuat juga humanity-nya. Mereka punya layer, terutama karakter seperti Tyler. Untuk Kate sendiri, kita dibuat paham sama flaw-nya. Film fokus kepada flawnya, dan ini penting, karena tanpa ketakutan alias trauma dari survivor guilt-nya tersebut, Kate hanya akan jadi karakter utama yang terlalu sempurna. Dia tidak akan menarik. Tapi film berhasil membuat setiap pertemuan dia dengan tornado itu punya arti, punya makna kepada pembelajarannya sebagai manusia. Sambil juga film ini tetap menjalankan fungsinya sebagai disaster-flick yang seru, intens, kadang lucu-kadang konyol.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for TWISTERS

 




That’s all we have for now.

Yang pengen punya kaos film lebaran Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

 

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL

 



JURNAL RISA BY RISA SARASWATI Review

 

“Words have meaning and names have power”

 

 

Jurnal Risa merupakan nama channel YouTube milik Risa Saraswati yang begitu populer oleh konten dokumentasi penelusuran horor. Risa Saraswati sendiri adalah seorang musisi, penulis buku, yang claimed memiliki kekuatan supranatural mampu berkomunikasi dengan makhluk gaib. Cerita-cerita hantu Risa telah banyak menginspirasi skena horor kita, dan sekarang film berjudul Jurnal Risa by Risa Saraswati ‘didokumentasikan’ oleh Rizal Mantovani, membawa kisah Risa dan timnya menangani kasus hantu arwah leluhur yang namanya tidak boleh disebut, dari YouTube ke layar lebar. Ya, nama tampak seperti sebuah ‘tema yang penting’ di sini. Apalagi di zaman perkontenan, nama sama saja dengan sebuah branding yang kuat. Maka ketika Jurnal Risa yang begitu populer sebagai channel konten mistis dari kreator yang dipercaya punya kekuatan cenayang diangkat ke layar lebar lengkap beserta kru dan gimmick ataupun kayfabenya, pertanyaan yang menggelayut adalah: Apakah masyarakat penontonnya mampu untuk menyematkan nama yang benar terhadap tontonan ini. Apakah (terutama bagi penonton) ini adalah mokumenter, atau dokumenter?

Kenapa hal tersebut jadi concern buatku? Karena film sebagai media, juga sama powerfulnya dengan sebuah nama. Tapi juga sebagai seni, film bersifat bebas; tidak perlu menjelaskan dirinya kepada penonton. Aku ngerti, sama seperti WWE, pada film ini, ada ilusi atau kayfabe branding yang harus dijaga lewat gimmick-gimmick atau konsep. Jurnal Risa by Risa Saraswati ini bahkan sampai mengganti ‘directed by’ menjadi ‘documented by’ supaya kesannya seperti beneran dokumenter. Dan storytellingnya juga sama persis gaya channel YouTube-nya. Risa Saraswati memerankan dirinya sendiri. Bersama kru, yang sebagian besar juga keluarganya yang pada punya kekuatan supranatural juga, Risa ceritanya mengadakan uji nyali untuk konten. Tapi salah satu peserta, seorang influencer bernama Prinsa sompral dan menyebut-nyebut nama hantu yang terlarang untuk disebutkan. Ini nama terlarang sepertinya juga sudah terbuild up dari channelnya, loh. Konflik pada film ini adalah si hantu, Samex, beneran merasuki Prinsa, dalam lima hari akan ngetake over dirinya, maka Tim Jurnal Risa harus membawa Prinsa ke kampung halaman Samex. Dan untuk membuatnya personal, Samex ternyata adalah Uwa’ alias tetua dari Risa sekeluarga.

Ada yang berani panggil namanya, tiga kali aja?

 

Sebenarnya ada bedanya. It’s one thing membuat film kita tampak begitu real, konsep realismnya dibuat sedemikian sukses, didukung oleh penceritaan yang imersif, sehingga penonton bertanya-tanya ini sungguhan atau tidak. Seperti keberhasilan The Blair Witch Project (1999), horor orang hilang di hutan yang sengaja dirilis dengan minim informasi, konsep found footage yang begitu raw, sehingga penonton saat itu merasa film ini begitu misterius sehingga disangka asli. But it’s completely another thing jika ilusi tersebut hanya disandarkan kepada kepercayaan base-penonton terhadap brand atau persona (sosok maupun channel). Like, WWE tidak pernah menjual dirinya sebagai sport, melainkan sebagai sport-entertainment. Olahraga-hiburan. Penonton acara tersebut percaya Undertaker punya kekuatan supranatural, sekaligus juga tahu Undertaker ‘aslinya’ adalah karakter yang diperankan oleh Mark Calaway, manusia biasa yang tentu saja tidak bisa memanggil petir dengan tangannya. Sebaliknya pada Jurnal Risa by Risa Saraswati, ada yang aku khawatirkan bisa jadi confusion. Film ini mempersembahkan dirinya sebagai mokumenter adaptasi dari dokumenter YouTube (yang fenomenal)

Istilah mokumenter maupun dokumenter itu sendirinya, juga merupakan sebutan atau nama, yang penting untuk dipahami oleh penonton, supaya bisa mengenali apa yang sedang mereka konsumsi. Basically dokumenter berarti film yang menelusuri atau mendokumentasikan peristiwa atau hal yang nyata. Sementara mokumenter, berasal dari gabungan kata ‘mock’ dan ‘dockumentary’, yang lantas berarti sebuah dokumenter ‘palsu’. Dokumenter yang mengisahkan peristiwa rekaan. Jadi jika kita bawa kepada istilah yang dipakai film ini untuk menjual dirinya tadi, berarti; film ini adalah kisah dokumentasi not-real yang diadaptasi dari dokumentasi real. Sebenarnya jelas, penyebutan ini cuma langkah berbelit yang dilakukan film untuk berkelit dari menyebut langsung bahwa kisah mereka cuma fiksi, demi melindungi branding atau ilusi siaran YouTubenya yang sudah terbangun. Akan tetapi,  beberapa penonton yang belum sedemikian melek literasi filmnya, akan bisa ‘salah kaprah’ menganggap ini nyata. Dan eventually bagi penonton-penonton ini akan bisa jadi kabur makna film dokumenter yang sebenarnya.

Apalagi tanpa diimbangi dengan penceritaan yang mendukung. Menggunakan konsep yang persis dengan di YouTubenya; karakter yang memerankan ‘diri sendiri’. Mereka menelusuri misteri, membantu orang yang dimasuki hantu. Film ini hanya seperti konten YouTubenya dengan durasi yang lebih panjang. Enggak kerasa strukturnya sebagai ‘film’ itu sendiri. Sebagai film, Jurnal Risa by Risa Saraswati adalah mockumentary bergaya found footage horor. Adegan-adegan yang kita lihat adalah tangkapan dari kamera yang digunakan oleh karakter. Basically ini kan sama aja kayak Keramat 2 (2022). Hanya saja di film itu kita langsung tahu itu mokumenter karena walaupun para aktor menggunakan nama asli mereka, kita paham mereka hanya memainkan karakter. Lutesha jadi Lutesha si Cenayang, Umay jadi Umay si YouTuber. Itu karena sebagai karakter mereka memang punya plot, punya penulisan, dengan motivasi, cela, aksi, pilihan, dan sebagainya. Ceritanya tersusun menjadi bangunan dengan struktur sinematik. Jurnal Risa the Movie ini, gak punya ini. Sebenarnya ‘film’ ini tidak lulus untuk disebut sebagai film.

Menggunakan nama yang benar kepada suatu hal, memang adalah hal yang begitu penting. Karena nama membawa identitas bukan saja untuk orang lain, tapi juga mengingatkan kita kepada diri sendiri. Makanya Dumbledore selalu menekankan kepada penyihir yang lain untuk memanggil Voldemort dengan nama aslinya. Bukan dengan nama samaran yang menambah kemistisan dan akhirnya semakin membuat mereka takut kepadanya. Makanya di film-film horor, penting bagi karakter untuk mengetahui nama setan yang mereka hadapi. Di film ini, Risa memang takut menyebut nama Samex, tapi solusinya tetap mengarah yang sama – kenali dia dari tempat asal mulanya.

 

Risa saja, yang harusnya adalah karakter utama, gak ikut ke mana-mana, Tidak mengalamin apa-apa. Tidak ikut menjaga Prinsa yang ketempelan. Melainkan cuma muncul sebentar mendemonstrasikan kemampuannya melihat atau berkomunikasi dengan makhluk tak kasat mata, lalu kadang juga jadi narator mengisahkan perjalanan ataupun bahaya, yang ditempuh oleh timnya. Tidak ada plot, melainkan cuma misteri siapa Samex (dan maybe ‘misteri’ kenapa banyak yang susah banget nyebut nama Prinsa) Soalnya Prinsa juga tidak digali, padahal sepertinya background-nya menarik, easily cerita bisa dikembangkan dari sini. Tapi enggak. Naskahnya gabut. Tim Risa yang actually terjun untuk ‘beraksi’ pun cuma berdiri di sana, dengan tampang tegang sepanjang waktu. Film ini serius banget. Seandainya kru atau keluarganya yang banyak itu hadir sebagai karakter dengan personality masing-masing (bukan cuma nampang dengan ekspresi ‘tempat ini menyeramkan’) film ini bakal lebih hidup. Heck, I would gladly take it kalo misalnya dibikin mereka punya ability masing-masing. Lucunya, sama seperti kita yang menonton, Risa dan timnya juga cuma menonton ahli paranormal lain, atau orang desa berusaha menolong Prinsa. Pokoknya mereka cuma punya one job, antara ketakutan atau kesurupan, dan itupun aktingnya atrocious semua. Gak ada yang meyakinkan. Sampai-sampai aku second guessing myself, ‘Aktingnya begini jangan-jangan sebenarnya memang gak ada yang nganggap ini dokumenter asli?’

“Izinkan saya membersihkan kamu” sounds so perverse

 

Sebagai found-footage horror, film ini juga not good. Karena arahannya sama sekali gak peka pada momen-momen mana yang bisa dimainkan ke dalam konsep rekaman footage tersebut. Momen mereka menjaga Prinsa di rumahnya sendiri, misalnya, Kalo sutradaranya gercep ama konsep ini, pasti akan ada adegan dari rekaman cctv atau kamera yang dipasang di kamar Prinsa. Di film ini, lucu sekali, karena kamera dipasang di tempat para kru bobo’ di ruang tamu. Dan kamera-kamera itu, treatment-nya semua sama. Tidak ada estetik khusus yang membedakan kameranya, ataupun yang membuat kita ingat bahwa yang kita lihat itu adalah gambar tangkapan dari karakter yang di belakang kamera. Gambarnya jadi tidak natural, dan justru lebih terlihat seperti settingan (I was third guessing myself “masa iya ada yang percaya ini asli!?”) Bahkan jumpscare-jumpscarenya yang banyak itupun, kita tahu dan sudah siap-siap ‘menyambutnya’. Dengan kata lain, arahan horor filmnya masih sangat basic. Hanya untuk kaget-kagetan, dan less about menciptakan tension ataupun situasi yang mencekam. Lihat saja pas adegan mereka uji nyali. Padahal itu kesempatan main-main dengan suasana horor, tapi belum bangun apa-apa, film udah langsung ancang-ancang untuk jumpscare aja. Ketika mereka masuk ke dunia lain, sebenarnya lebih menarik, horornya mulai menggunakan hantu-hantu di-background, suara-suara, peristiwa-peristiwa ganjil, ada juga yang kayak experience masuk rumah hantu. Cuma sayang sekali terlalu singkat untuk kita nikmati

 




Mungkin prestasi terbaik film ini adalah bikin faux documentary yang paling narsis sedunia akhirat. Karena memang tidak ada yang terasa dicapai oleh ceritanya selain ya membawa kiprah Risa dan timnya ke layar lebar, sebagai diri mereka sendiri – as seen on their YouTube. Sedangkan secara objektif sebagai film, this is a really bad one. Tapi kalo kalian suka, ya silakan saja, bergembiralah menontonnya. Harapanku cuma, kekhawatiranku penonton confused ini sebagai dokumenter tidak terjadi. Semoga sama seperti aku dan para penggemar WWE, penggemar film ini tahu apa yang sedang kita sukai, dan menikmatinya totally sebagai hiburan. 
The Palace of Wisdom gives 1 out of 10 gold stars for JURNAL RISA BY RISA SARASWATI

 

 




That’s all we have for now.

Sebenarnya aku bukan orang yang skeptis. Aku lebih senang memilih untuk percaya pada horor, asalkan dibuat dengan baik. Menurut kalian, kenapa konten-konten horor seperti Jurnal Risa banyak digemari? Apa karena horornya, atau karena horornya dianggap nyata?

Silakan share di komen yaa

Yang pengen punya kaos film lebaran Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

 

 

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



MINI REVIEW VOLUME 19 (HIT MAN, TRIGGER WARNING, THE WATCHERS, UNDER PARIS, AUTUMN AND THE BLACK JAGUAR, MALAM PENCABUT NYAWA, THE STRANGERS: CHAPTER 1, DILAN 1983: WO AI NI)

 

 

Delapan film yang terangkum dalam Volume 19 ini mengawali kita masuk ke pertengahan tahun, sebelum layar diberondong oleh film-film blockbuster musim panas. Ada manusia dengan hiu, manusia dengan jaguar, hingga ke manusia dengan peri. But I must say,  kloter pembuka ini gak really hot. I mean, cuma Hit Man (manusia dengan banyak penyamaran!) yang benar-benar sukses jadi tayangan entertain – selain juga ngasih kualitas dan something yang fresh. Selainnya,  either ada yang kurang, dan lumayan banyak juga yang flat out jatohnya mengecewakan. Yuk mulai saja kita bahas satu persatu:

 

 

AUTUMN AND THE BLACK JAGUAR Review

Nonton kisah persahabatan antara manusia dengan hewan memang cenderung ngasih perasaan yang uplifting serta mengharukan. I like those feelings. Hmm.. tahun ini cukup banyak deh kita dapet cerita tentang persahabatan dua makhluk kayak begini, bisa kayaknya jadi kategori spesial di next My Dirt Sheet Awards hihihi.. Anyway,  kuncinya memang di ‘dua makhluknya’; semakin unlikely, semakin dramatis pula ceritanya bisa dikembangkan. Sutradara Gilles de Maistre udah paham lah bikin kisah anak dengan hewan buas. Sebelumnya dia pernah bikin anak kecil dengan singa putih, dan kini dia bawa kita ke hutan untuk melihat Autumn dengan sahabatnya; seekor jaguar hitam bernama Hope.

Bobot dramatis dari persahabatan ini dikembangkan dari Autumn yang sudah lama berpisah dengan Hope, kembali lagi ke hutan untuk menyelamatkan Hope yang diburu pemburu gelap. Autumn ingin mencari dan membawa Hope lebih jauh ke dalam hutan. Masalahnya, sebagaimana Autumn sudah bukan anak kecil lagi, Hope juga sudah besar. Tidak ada satupun yang bisa menjamin Hope masih ingat dengan Autumn, ataupun apakah Hope tidak menjadi buas. Dalam bahasannya ini, film juga memuat persoalan tentang perdagangan satwa, tentang perburuan liar, dan gimana orang kota mau mengeksploitasi isi hutan. Untungnya, tidak seperti Petualangan Sherina 2 (2023), bahasan ‘peduli satwa’ tidak dibahas setengah-setengah oleh film ini. Autumn beneran berinteraksi dengan jaguar yang diselamatkan. Not only that, mereka beneran seperti sahabat. Itu yang terutama bikin film ini seru. Banyak adegan yang bikin aku bergumam “itu sutingnya beneran?” Karena film ini beneran membuat aktor-aktornya berinteraksi dengan hutan, dan isinya.

Tema dan cerita genuinely konek. Tapi masih ada lagi. Autumn and the Black Jaguar juga adalah tentang Autumn – yang kehilangan ibu karena pemburu, persis seperti Hope – dengan ayahnya. Juga tentang Autumn dengan guru biologinya; yang tau teori tapi belum pernah sama sekali turun ke ‘lapangan’. Dinamika Autumn dengan ibu guru akan mengundang tawa karena si ibu ini bakal heboh dan ribet banget di hutan. Khas kayak kalo orang kota masuk desa. Kontras dengan Autumn yang udah nganggep hutan kayak kampung halaman atau rumah sejatinya. Masalah dalam penceritaan film ini terjadi tatkala karakter si ibu guru mengoverpower Autumn yang tokoh utama. Dalam artian,  yang kita tonton ternyata lebih banyak soal development ibu guru. Reaksi ibu guru terhadap putusan Autumn, terhadap lingkungan sekitar, akhirnya menjadi sajian yang mengisi layar dengan hal yang lebih variatif ketimbang Autumn bermain-main dengan Hope. Ibu guru pun punya journey yang lebih kuat, pembelajaran dia antara di awal dengan akhir cerita, lebih jelas. Sedangkan Autumn, gak banyak perubahan, issue dia dengan ayahnya berakhir ‘damai’ begitu saja. Ditutup hanya karena filmnya udah mau tamat.

The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for AUTUMN AND THE BLACK JAGUAR

 

 

 

DILAN 1983: WO AI NI Review

Berhubung Dilan versi mini, maka reviewnya juga kebagian yang mini, yaa.. haha enggak ding. Aku cuma bingung Pidi Baiq dan Fajar Bustomi di film ini niatnya pengen bahas atau nunjukin apa. Kayaknya kuncinya ya pada ‘Dilan versi mini’ itu. Alih-alih menceritakan masa kecil Dilan yang sudah kita kenal masa remajanya; si kapten anak motor, tukang berantem, dan punya segudang cara ajaib buat gombalin cewek, film ini kayak cuma menceritakan Dilan yang itu, cuma sekarang versi dia di dunia anak SD. Karena gak ada sense of growth di sini. Gak kayak Riley, misalnya. Kita bisa lihat ‘perbedaan’ antara saat Riley masih kecil di Inside Out (2015) sama ketika dia masuk usia remaja di Inside Out 2 (2024). Ada emosi baru, ada bahasan yang berbeda terkait emosi itu. Sementara Dilan, film ini bahkan bukan ‘origin story’ kenapa Dilan bisa jago gombal. Sejak kecil ternyata dia sudah seperti itu!

Jadi yang diceritakan adalah Dilan kembali ke Bandung, ke sekolah lamanya. Di kelas, ada anak yang baru dilihat Dilan. Cewek. Namanya Mei Lien. Dilan langsung suka. Dia menggoda Mei Lien, baik dengan gombalan maupun dengan sikap yang sama ajaibnya. Teman dan ibu gurunya pada ketawa ketika Dilan bacain puisi berjudul “Kau” (plesetan Chairil Anwar’s “Aku”) kepada Mei Lien di depan kelas. Kenakalan dari sudut pandang anak biasanya innocent. Karena mereka polos. Aku bandingkan salah satunya dengan Lupus Kecil (yang dibuat setelah Lupus SMA hits); ceritanya ya seputar keseharian kayak dia bolos karena pengen ke mall, dia pura-pura sakit, dia main permainan anak-anak di masanya. Sedangkan Dilan kecil ini, jatohnya creepy. Kepolosannya memang digambarkan; cara dia nanggepin hukuman, ‘seteru’nya dengan akang penjaga mesjid, relasinya dengan Bunda, Ayah, kakek, dan Mak Syik – yang cara didik masing-masing seems mempengaruhi perkembangan Dilan, tapi adegan-adegan tersebut dengan cepat dikesampingkan karena begitu Dilan udah ketemu Mei Lien, pov anak ini balik kayak remaja yang udah kita kenal. Man, bahkan Sadam ngejailin Sherina terasa lebih genuine ketimbang Dilan yang udah punya bakat dipuja sejak dini.

Dua jam pun habis dengan cerita ngalor-ngidul tanpa ritme. Padahal sebenarnya hal yang bisa jadi daging cerita itu ada di sana. Dari situasi sosial pada era itu, misalnya. Film ini bisa saja membuat Dilan not aware ama situasi Mei Lien, karena dia masih anak-anak.  Film bisa saja mengontraskan dunia anak-anak mereka dengan realita di background, sehingga cerita bisa lebih menggigit. Atau ya, persoalan persahabatan Dilan dan Mei Lien langsung aja dijadikan fokus. Menjadikannya cuma muncul di akhir membuat film jadi terlalu mengulur. Dan karena di akhir film, dengan cepat persoalan itu terlepas. Bahwa film tetap tidak fokus di sana. Fokusnya ya Dilan saja. Mei Lien cuma love interest yang ‘lepas’ tapi masih dikenang.

The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for DILAN 1983: WO AI NI

 

 

 

HIT MAN Review

Tadinya kukira film ini ala John Wick, you know, tipikal ‘pria biasa yang dipush untuk balas dendam, dan ternyata dia memang mantan assassin handal” seperti yang lagi ngetren belakangan. Oh, I couldn’t be more wrong. Hit Man karya terbaru Richard Linklater mematahkan ekspektasi remehku, sembari mematahkan ekspektasi semua orang tentang pembunuh bayaran; image yang kita bentuk lewat gambaran media. Terinspirasi dari Gary Johnson yang kerjaannya jadi pembunuh palsu untuk membantu polisi nyetop kriminal, Hit Man dibuat oleh Linklater sebagai dark rom-com(?) yang bukan saja menghibur tapi juga punya bahasan berbobot tentang bagaimana kita memandang diri sendiri.

Gary di cerita film ini seorang profesor psikolog. Di kampus, dia ngajarin soal gimana kita terkadang terhanyut dalam identitas karangan sendiri. Tanpa dia sadari, soon pria yang happy dengan hidupnya yang aman dan biasa-biasa saja itu kemakan omongan sendiri. Karena di kerjaan sampingannya, Gary diminta polisi untuk membantu memancing pengakuan dari orang yang ingin melakukan pembunuhan, dengan menyamar sebagai pembunuh bayaran. Sebagai psikolog, Gary suka meriset ‘klien’nya, dan dia bakal muncul sebagai persona hit man yang berbeda-beda tergantung klien. Inilah ketika Gary mencicipi banyak identitas, dan dia mulai hanyut ke dalam salah satu persona, yaitu Ron. Hit man cool untuk klien wanita cantik yang ingin membunuh suaminya.

Bahasan identitas dan psikologisnya ini yang membuat Hit Man jadi sangat menarik. Film ini sepert sisi mata uang sebaliknya dari The Killer (2023).  Basically, film itu  membahas gimana assassin gak mesti jago banget, eventho tiap orang bakal berusaha ngasih the best dalam pekerjaan mereka. Sedangkan film ini, implies, orang biasa seperti Gary bisa percaya mereka as a person adalah pembunuh bayaran yang handal, jika mereka serius membangun identitas itu. Nonton ini aku semakin ngakak karena kebayang si Gary ini kalo main kuis-kuis trivia ‘personality/karakter apa kamu?’ dia pasti milih hasilnya dulu, lalu baru menjawab tiap pertanyaan dengan hasil pilihan tadi sebagai patokan. Naskah dan arahan yang cerdas ini semakin lengkap menghibur karena cast yang tepat. Glen Powell, yang dulu aku taunya dari serial Scream Queens yang di sana dia smooth banget jadi jerk, love interestnya Emma Roberts, main sangat hilarious menjadi banyak ‘cosplay’ pembunuh bayaran. Glen sendiri mungkin lebih jago dari karakternya, Gary, karena dia tidak kehilangan beat dan tidak larut ke dalam begitu banyak ‘karakter’. Melihatnya, kita tetap bisa melihat di dalam sana ada Gary yang mencoba berpegang pada siapa dirinya, tapi hal menjadi semakin rumit, dan mendorongnya untuk mencoba hal ‘baru’ – sesuatu yang sedari awal tampak bikin dia penasaran di balik sikap sederhananya.

The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold stars for HIT MAN

 

 

 

MALAM PENCABUT NYAWA Review

Walau film buatannya pernah laku, tapi aku belum menemukan hal ‘original’ dari arahan horor Sidharta Tata. Malam Pencabut Nyawa, horor yang melintas ke garis genre superhero karena aspek protagonis punya kekuatan untuk memberantas penjahat, pun buatku masih terasa seperti ‘adaptasi’ dari unsur-unsur yang sudah pernah ada. Pertama, tentu saja cerita makhluk jahat yang membunuh orang di alam mimpi mengingatkan kita kepada Freddy Krueger dan franchise film A Nightmare on Elm Street. Kedua, aku toh memang merasa ceritanya banyak mirip dengan game Fatal Frame 3. Game horor tentang karakter yang merasa bersalah atas kematian kekasihnya, sehingga setiap tidur dia mimpi mengikuti kekasihnya ke sebuah rumah besar. Di dalam sana, dia melihat orang lain terbunuh oleh hantu perempuan di sana, dan saat terbangun dia mendengar berita kematian dari orang yang ia lihat di dalam mimpi. Si hantu perempuan adalah korban ritual, ditumbalkan oleh desa, dan dia punya pacar yang menangisi kematiannya. Membuat dia bangkit jadi hantu alam mimpi. Kurang lebih mirip gak sih dengan Respati yang selalu mimpiin hantu orangtuanya yang kecelakaan, yang di alam mimpi melihat orang lain dibunuh perempuan yang jadi hantu karena dibunuh warga, dan si hantu punya anak kecil yang menangisi kematiannya? Shot mata Sukma menjelang ajalnya bahkan mirip dengan shot mata Reika Kuze saat jadi tumbal ritual.

Pada akhirnya memang bukan kemiripan atau katakan saja, cocokologinya yang jadi kekurangan. Tapi karena kekurangmantapan film ini membentuk ceritanya, sehingga jadi kerasa kayak gabungan dua elemen. Sukma si hantu ratu ilmu hitam di alam mimpi harusnya bisa jadi ikon villain horor lokal, seperti gimana Freddy jadi begitu ikonik, tapi statusnya sebagai final boss seperti Reika jadi melemah karena film ini ngasih twist ada manusia yang jadi dalang semua. Sukma akhirnya jadi kayak puppet saja. Battle antara Respati yang jadi Dream Warrior – kalo mau minjam istilah di film Elm Street – dengan Sukma jadi terasa kurang penting karena dengan si dalang-lah sebenarnya journey Respati punya keparalelan. Film ini tidak berhasil membangun alam mimpi itu sebagai momok karena sebenarnya ada musuh yang lebih ‘nyata’ di dunia nyata. Bentukan cerita film ini jadi aneh. Di awal juga sebenarnya aku ngerasa ada yang janggal dari gimana film ini ngebuild Respati gak bisa tidur sebagai insomnia. Karena kayak gak nyambung. Apakah Respati gak bisa tidur malam karena takut didatangi hantu orangtuanya? Kenapa dia takut kalo sebenarnya konflik personalnya adalah merasa bersalah atas kecelakaan mereka? Sekali lagi, ini membuatku merasa naskah seperti campuran yang belum lagi rapi dan matang, antara elemen remaja yang ngalami fenomena takut tidur karena takut dibunuh Freddy di mimpi, dengan elemen Fatal Frame 3 yang karakternya justru pengen tidur terus karena mau bertemu dengan roh kekasih, karena dia masih merasa bersalah dan pengen bertemu satu kali lagi dengannya.

Yang belum matang sayangnya gak cuma naskah. Tapi juga arahan dan akting. Kadang kita ngerti arahan editingnya apa, kayak sekali waktu saat film ingin menerapkan editing komedi. Tapi aktingnya yang gak jalan. Ekspresi muka yang gak kontinu. Raut yang gak jelas sedang merasakan takutkah, atau sedihkah, atau ngantukkah. Terus ada juga editing yang bikin mestinya gak lucu tapi jadi lucu. Misalnya ketika ada tangan setan muncul tiba-tiba dari dalam lubang di pohon. Alih-alih langsung munculin tangan, film malah kayak ngecut dan nyambungin videonya dengan shot yang ada tangan setannya. Jadinya film ini awkward, padahal kalo digarap lebih matang, bisa saja film ini jadi Elm Street versi lokal sehingga fresh sendiri, dengan cerita karakter yang lebih natural.

The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for MALAM PENCABUT NYAWA




THE STRANGERS: CHAPTER 1 Review

Ini siapa sih yang ngide bikin The Strangers – thriller home invasion yang jadi cult-success – ke dalam chapter-chapter? And worse, dengan treatment berupa membagi chapternya itu beneran berdasarkan per babak sehingga film Chapter 1-nya ini literally baru babak satu dari tiga-babak film superpanjang? Karena alhasil, film Renny Harlin ini jadinya boring banget.

Masih mending kalo bahasan di film ini mendalam. Nyatanya, gak ada yang bisa kita bicarain di sini karena filmnya memang gak bicara apa-apa. Cuma nunjukin sepasang kekasih, mobil mereka rusak sehingga harus menginap di kabin terpencil di ujung kota kecil, dan malam itu mereka disatroni tiga orang asing bertopeng. Ini film satu jam habis cuma ngeliatin mereka mengendap-ngendap, lalu ketangkep, dan lantas bersambung. Tidak ada bantering yang berarti dengan pembunuh. Tidak ada adegan sadis yang ‘menghibur’. Tiga puluh menit sebelumnya pun tidak diisi dengan set up karakter yang proper, Maya dan Ryan begitu bland, dan yah, mereka masuk kategori standar; karakter yang ngelakuin hal-hal bego. Padahal dalam horor yang bagus, penting bagi film untuk memberikan karakter yang dalam situasi mencekam, keputusan mereka realistis, atau at least bisa kita setujui sebagai tindakan yang ‘benar’.  Karena itu yang membuat kita peduli dan mungkin relate dengan survival mereka. Jika film gagal membuat mereka melakukan hal tersebut, maka penonton bisa dengan cepat berbalik menjadi ngecheer pembunuh untuk segera melakukan hal-hal ‘menghibur’ kepada mereka. Sebenarnya, masih bisa fun neriakin karakter yang keputusannya blo’on kayak gitu, tapi film ini begitu menjemukan, build up terornya cuma kayak ngulur-ngulur – karakter pembunuhnya pun sama boringnya karena gak benar-benar melakukan apa-apa. Sehingga aku bahkan gak punya tenaga untuk sekadar neriakin mereka buat seru-seruan.

The Palace of Wisdom gives 1 out of 10 gold stars for THE STRANGERS: CHAPTER 1

 

 

 

THE WATCHERS Review

Ishana Shyamalan, dalam debut penyutradaraannya ini, berhasil melampui sang ayah. Ya, dia berhasil membuat film yang bahkan lebih payah daripada The Happening (2008). The Watchers, horor fantasi yang diadaptasinya dari novel, tampak asik sendiri di dalam bangunan misteri dari mitologi yang tak-menginspirasi. Penceritaannya gak punya ritme, arahan dan aktingnya cringe banget kayak produksi untuk televisi.

Looksnya aja yang kinclong. Padahal bayangin aja mentoknya antara vibe di hutan kelam yang menyesatkan dan mendekam di ruangan kotak, dengan kamera atau gambar yang super jernih. Sama sekali tidak menyokong pada vibe misteri yang berusaha disampaikan. Yang ada, film malah jadi kayak dongeng yang dibuat-buat.  Nonton ini kayak kita mendengar bualan orang yang awalnya aneh sampai bikin penasaran, tapi semakin ke sini anehnya semakin terasa gaje sehingga kita jadi gak peduli lagi dan membiarkannya bicara apapun sesuka hati. Apalagi karena Ishana berusaha bermain dengan pesona khas ayahnya, yakni memasukkan twist untuk ngespark cerita. Tapi twist-twistnya tersebut tidak pernah terasa signifikan, sebab cuma pengungkapan yang sebenarnya juga gak perlu ditreat sebagai twist.

Mitologi peri dan hubungan makhluk itu dengan manusia harusnya sudah dilandaskan supaya kita punya pegangan jelas terhadap arahan dan ritme cerita. Supaya kita gak tersesat kayak para karakternya. Yang penampilan aktingnya pun terasa ala kadar. Aku kaget banget saat sadar bahwa pemeran protagonisnya itu Dakota Fanning. Aku takjub bahwa ada juga sutradara yang bisa bikin karakter yang begitu underwhelming sampai-sampai sekelas Dakota aja gak keluar pesona aktingnya. Bahkan di Twilight aja masih bisa bikin dia kinda memorable. Ah, mungkin itu satu lagi ‘keberhasilan’ Ishana.

The Palace of Wisdom gives 2 gold stars out of 10 for THE WATCHERS.

 

 

 

TRIGGER WARNING Review

Ternyata justru film Mouly Surya ini yang ala John Wick. Hebat ya, sutradara kita actually ngedirect film luar. Cuma masalahnya, gak ada yang ordinary dari jagoan cewek ala John Wick di sini. Parker, diperankan oleh Jessica Alba (Hebat ya, sutradara kita ngedirect Jessica Alba!!) adalah cewek serbabisa, serbacakap, yang membalas dendam.  Walau Mouly berusaha keras bikin protagonisnya ini tampak vulnerable di momen-momen personal, tapi bentukan karakter pada naskah Trigger Warning terlalu Hollywood. Ini adalah film yang dibuat hanya layaknya mesin untuk agenda ‘cewek jaman sekarang kudu jagoan’.

There’s no other ways to say it. Sutradara kita ternyata hanya jadi korban berikutnya dari kebiasaan Hollywood yang suka ambil sutradara asing atau ‘indie’, dan completely missed the points, dengan memberi mereka proyek yang seperti versi simpel dan mainstream dari apa yang membuat sutradara tersebut diperhitungkan. Kurang lebih sama-lah kayak waktu Chloe Zhao ketika didaulat untuk direct superhero Eternals (2022). Practically cuma buat sinematografi battlefield doang, mentang-mentang Zhao sukses bikin drama kehidupan nomad di gurun yang menggugah. Film Trigger Warning hampir seperti cuma ngeliat betapa Marlina yang menggotong kepala pria di padang ala western sebagai simbol feminis yang badass, dan itulah yang diassign kepada Mouly Surya. Bikin karakter cewek hard, jagoan, dan jadikan itu ke dalam gambar-gambar ciamik. Sementara naskahnya relatif dangkal dengan hal-hal stereotipe (yang bahkan menyerempet ranah kurang sensitif) dan muatan crime yang pengen kayak thriller misteri tapi ternyata pay offnya begitu sederhana, dan  predictable nyasarnya bakal ke mana.

Untuk actionnya memang tidak diarahkan untuk stylish, tapi cenderung rough. Dan ini sebenarnya bagus, jadi ‘karakter’. Aku awalnya juga tertarik, karena Parker yang kembali ke kampung karena ayahnya meninggal terlalu mendadak untuk dibilang wajar, itu punya senjata pilihan yaitu pisau. Yang juga merupakan simbol koneksi dia dengan sang ayah. Aku pikir film sedang ngebuild up perihal keparalelan antara dia dengan pisaunya, dan dia dengan ayahnya. Tapi hal tersebut ternyata dengan cepat jadi gak penting, karena ya, Parker nanti berjuang membalas dendam dengan banyak senjata lain.

The Palace of Wisdom gives 4 gold star out of 10 for TRIGGER WARNING.

 

 

 

UNDER PARIS Review

Untuk film terakhir di Volume ini, kita berenang ke Perancis. Dan kita berenang bersama hiu! Premis horor binatang buas karya Xavier Gens ini sebenarnya menarik. Dia memanfaatkan kota Paris dan keunikan struktur jadi panggung berbeda dari sebuah action survival manusia dari serangan hiu. Namun ada gangguan mayor yang menghalangi kita untuk fully menikmati sajiannya ini. Karakter manusia yang sebenarnya technically gak bego (karena ilmuwan), hanya saja mereka hampir semuanya cenderung annoying.  Film bahkan udah ngeset up betapa annoyingnya pilihan karakter di film ini sedari adegan opening. Hasilnya tetep sama sih. Kita neriakin “Goblog!!” ke layar.

Film ini masih bisa worked out semisal mereka ada di arahan yang over-the-top. Tapi film ini memilih untuk serius. Like, di balik teror hiu film ini menyimpan pesan untuk lingkungan. Kota Paris dan keadaan sungai Seine  dibikin berperan, benar-benar dieksplorasi sebagai ‘habitat’ karakter manusia yang di-examine oleh cerita. Film ini menyentil politisi yang kebijakannya hanya untuk cuan, tidak untuk kepentingan masyarakat ataupun peduli sama lingkungan. Film juga melihat ke dalam lingkungan aktivis alam dan satwa. Dan lucunya, aku kepikiran jangan-jangan film ini adalah cara pembuatnya nyampein ajakan untuk bersihin sungai. Karena memang, di akhir cerita, film berubah menjadi lebih seperti film bencana-alam. Konsekuensi atau dampak terbesar justru datang bukan dari serangan hiu-hiu tersebut.

Atau ya, kalo memang mau seserius itu, film ini kudu ngasih naskah perhatian yang lebih. Karakter diperdalam, berikan development. Konflik mereka jangan dibuat datang dari betapa annoyingnya masing-masing memegang kepercayaan (dan kalo bisa, solusi yang mereka percaya itu jangan bego-bego amat) Put more thought on it, dan film ini akan bisa hit us different.

The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for UNDER PARIS.

 




 

 

That’s all we have for now

Bener kan, volume pembuka musim panas ini belum benar-benar menggugah selera. Semoga bulan depan film-filmnya lebih seru!

Thanks for reading.

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



MINI REVIEW VOLUME 18 (CIVIL WAR, TUHAN IZINKAN AKU BERDOSA, THE FALL GUY, THE MINISTRY OF UNGENTLEMANLY WARFARE, GHOSTBUSTERS: FROZEN EMPIRE, BOY KILLS WORLD, MONSTER, CHALLENGERS)

 

 

Ngepublish Mini Review Volume 18 ini, sebenarnya aku agak gak rela. Karena lihat saja film-filmnya, banyak di antaranya masih baru banget, dan banyak juga yang ingin aku bicarakan panjang lebar. Namun sekali lagi, waktu tidak berpihak padaku. Bulan Mei ini aku kembali harus menghabiskan banyak waktu di jalan, jadi yah, aku harus ikhlas menuliskan film-film keren ini dengan lebih singkat. Kalian yang sekiranya belum puas juga, boleh kok ngajak diskusi yang lebih panjang di kolom komen. Ketemuan di sana yaa, abis baca delapan ulasan ini:

 

 

BOY KILLS WORLD Review

Ngeliat posternya, jujur aku ngirain ini adaptasi dari game Double Dragon. Ternyata bukan. Meskipun memang, debut film panjang sutradara Moritz Mohr ini seperti mendapat inspirasi dari video game beat’em up dan fighting. Boy Kills World menceritakan pemuda yang ingin balas dendam kepada penguasa, yang telah membunuh ibu dan adiknya, jadilah dia mengarungi petualangan gebuk-gebukan, yang oleh film adegan berantemnya ditreatment kayak berantem di game, apalagi dengan banyaknya ‘boss fight’ yang harus dikalahkan di masing-masing stage alias tempat.

Boy Kills World memang banyak gaya. Salah satu gayanya adalah gak banyak bicara. Dan gaya tersebut mengembang menjadi gaya-gaya lain. Aku bisa mengerti kenapa Mohr bersandar pada gaya, atau katakanlah gimmick, seperti ini. Yaitu karena cerita berantem karena revenge ini udah sering. Monkey Man (2024) yang baru bulan lalu kureview aja contohnya, juga cerita anak yang jadi petarung demi balas dendam atas kematian ibu di tangan penguasa. Tapi tidak seperti Dev Patel yang punya akar galian berupa mitologi Hanoman dari budaya lokalnya, Mohr berusaha membuat Boy Kills World berbeda dari campuran banyak gaya/gimmick. Dia membuat Bill Skarsgard meranin pemuda yang tak banyak berdialog, melainkan lebih banyak berbicara kepada kita sebagai narator. Si Boy ini sudah lama tidak bicara dengan orang sehingga dia sendiri lupa ama suaranya, sehingga suara narator yang kita dengar adalah suara narator video game – karena main game adalah kenangan indah yang selalu diingatnya. Dan untuk menggambarkan si Boy bicara dengan dirinya sendiri, film membuat Boy ini sering ‘halu’ berinteraksi dengan sosok adiknya yang telah tewas saat kecil. Jadi fun nonton ini datang dari tingkah laku ‘ajaib’ si Boy alih-alih karakternya. Dari aksi-aksinya, alih-alih plot. Plot dan dunia film ini, sama tipisnya. Meski Mohr mati-matian berusaha supaya menarik. Salah satunya dengan mengambil elemen Hunger Games.

Oh iya, ada Yayan Ruhian juga.

Pilihan film ini untuk mendahulukan gimmick memang dengan segera terasa jadi ganjalan. Like, babak pertama yang harusnya mengset up relasi si Boy dengan Yayan, hanya ditampilkan berupa montase dan voice over narator yang panjang. Padahal kalo diadegankan secara biasa, dua karakter tersebut  bisa terbangun dengan lebih baik. Yayan juga bisa kebagian dialog, enggak cuma kayak dicast buat adegan berantem doang. Apalagi relasi Boy dan dukun yang menyelamatkan dan mengajarinya berantem itu ternyata merupakan relasi kunci di akhir cerita. Sebuah film sah-sah saja memilih untuk karakternya sedikit bicara, banyak bergaya, namun tentu film itu sendiri harus tetap bicara tentang sesuatu.

The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for BOY KILLS WORLD.

Sayangnya, ini bukan film terakhir di Volume ini yang irit ngomong dan actually gak bicara tentang apa-apa…

 

 

CHALLENGERS Review

Sementara itu, Challengers karya Luca Guadagnino is all about style. Film tenis yang not really bicara tentang tenis, tapi lebih ke bicara soal relationship. Seperti yang diucapkan oleh karakternya, tenis adalah relationship. Dan Luca, masterfully, merancang kisah romansa segitiga ini ke dalam dunia olahraga tenis. Bahkan kita sebagai penonton, akan dibuat sama seperti bola yang dipingpong (mau bilang ditenis, tapi kok ya janggal hhihi), melesat dari satu ‘pemain’ ke ‘pemain’ lain dalam artian literal maupun penggambaran. Literal karena memang ada adegan yang membuat kita berada dalam pov bola tenis yang melayang ke sana kemari, dipukul oleh dua pemain yang sedang saling mengkomunikasikan perasaannya lewat pukulan-pukulan penuh passion tersebut.  Penggambaran, karena well…

Kita dipingpong oleh flashback. Challengers tidak diceritakan oleh Luca secara linear. Style-nya yang ingin memparalelkan semua ini ke dalam dunia tenis, membuat Luca bicara dengan bolak-balik. Kita melihat tiga karakter sentral di masa sekarang – dua di antaranya sedang bertarung di lapangan, sementara yang satu menonton di bangku depan – tidak tahu sebenarnya dia mendukung yang mana. Atau bagaimana mereka terhubung. Lalu film lompat ke 13 tahun lalu; lompat ke delapan tahun kemudian, balik ke masa kini, mundur lagi. Memang asyik cara Luca membuka siapa sebenarnya mereka, apa yang terjadi di antara mereka. Dua cowok itu ternyata sahabatan, satu tim, dan mereka sama-sama ‘mengidolakan’ si cewek. And that’s pretty much about it. Setiap lompatan flashback membuka informasi baru, membawa kita informasi satu lalu informasi berikutnya. Emosi kita memang ikut bergolak ke dalam asmara mereka, kita either bakal peduli sama satu karakter begitu terungkap seperti pasangannya lebih cinta ke siapa, atau kita gak peduli sama siapapun karena ya tiga-tiganya player – and they know it.

Inilah resiko yang diambil oleh Luca ketika memilih gaya bercerita pada film yang kini sudah begitu populer berkat potongan adegan bertiga dan adegan tenisnya. Karena hanya momen itulah yang akhirnya nempel. Gak lagi exactly tentang filmnya. Karena development karakternya – jika memang ada – tercacah oleh lompatan-lompatan waktu. Lompatan yang bukan dilakukan untuk membuka perkembangan, tetapi membuka kepada informasi ‘ternyata-ternyata’. Tiga karakternya adalah orang penuh passion yang enggak satu-dimensi, mereka berlapis, cuma kita tidak pernah stop begitu lama, tidak dibiarkan stay pada satu di antara mereka. Film ini tidak mengajak kita bermain bersama karakternya. Heck, kita bahkan tidak ‘menonton’ mereka bermain cinta. Ingat, di sini kita seperti bola yang dipingpong. Kita yang sedang dipermainkan. Dan sama seperti dipermainkan cinta, we all like it so much.

The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for CHALLENGERS.

 

 

 

CIVIL WAR Review

Film kehancuran dunia bukan semata bahasan bencana alam ataupun zombie, film roadtrip bukan cuma soal bersenang-senang, dan film perang bukan cuma milik prajurit atau tentara. Begitu kira-kira gambaran Civil War dalam menjadi tidak biasa. Menilik kehancuran karena perang saudara, lewat sudut pandang jurnalis yang mempertaruhkan nyawa berkeliling mengejar titik kerusuhan untuk meliputnya dari jarak dekat. Lalu kemudian sutradara Alex Garland balik bertanya; Yakin, tentara dan jurnalis itu berbeda?

Ada semacam duality pada konsep dan cerita yang membuat film ini jadi menarik. Pertama-tama, tentu saja film ‘melaporkan’ susah dan bahayanya pekerjaan jurnalis dalam meliput perang. Untuk berada begitu dengan ancaman. Juga ada gambaran yang menyinggung perbedaan ‘kelas’ antara jurnalis tv dengan jurnalis media cetak. Pekerjaan mereka sangat dibutuhkan sebagai media yang mengabarkan keadaan dengan aktual, faktual, supaya orang percaya dan melihat kebenaran di tengah suasana sechaos perpecahan kubu dalam satu negara. Sebaliknya, untuk dapat melakukan kerjaan mulia itu, mereka membutuhkan nyali dan tekat dan stamina, dan moral? Apakah integritas di atas segalanya? Inilah yang memakan karakter Kirsten Dunst sebagai protagonis dari dalam. Sebagai jurnalis fotografi senior, dia telah banyak memotret dari dekat kejadian-kejadian mengerikan. Dia memotret orang terbakar, dari jarak yang sebenarnya bisa digunakannya untuk membantu si korban. Lee memang tidak pernah mengutarakan konflik internalnya, tapi dari sikap dan pandangannya kita mengerti. Melalui si Lee ini, film pun menarik paralel antara tentara yang membidikkan senapan dengan jurnalis yang membidikkan kamera.

Lalu ada karakternya Cailee Spaeny. Jesse. Jurnalis muda yang mengidolakan Lee, yang memaksa untuk ikut bersama rombongan Lee ke Gedung Putih mewawancarai Presiden. Duality yang lebih gamblang tercermin pada hubungan antara Lee dengan Jesse, karena cerita ini gak akan berjalan maksimal jika karakter Lee tidak diberikan ‘pasangan’. Tegangnya film memang bukan masalah karena sukses tergambar lewat pengadeganan aksi jurnalis membuntuti kecamuk perang berkat kamera dinamis dan editing konsep fotografi yang precise. Namun dramatisnya thriller distopia ini baru akan terasa jika kita melihat Jesse dan Lee sebagai cerminan yang berlawanan. Bagaimana seseorang yang tadinya polos dan naif, menjadi ‘keras’ dan seperti mati rasa karena tuntutan kerjaan membuatnya terbiasa melihat kekerasan dari dekat – bahkan mengalami kekerasan itu sendiri. Dan juga sebaliknya, gimana setangguh-tangguhnya orang, se-hardened apapun perasaan itu, pasti akan tergugah juga demi melihat penyimpangan kemanusiaan sebegitu lama, sebegitu dekat.

Sebagai salah satu film yang paling kuantisipasi tahun ini. Civil War tidak mengecewakan. Bahkan shot-shotnya saja bisa demikian tak akan segera terlupakan. Buat kalian penggemar film dan pengen merasakan lebih banyak perbedaan storytelling, kalian bisa coba bandingkan adegan Cailee Spaeny dalam lubang mayat di film ini dengan adegan Kathryn Newton dalam kolam mayat di film Abigail (2024). Kalian bisa sampaikan pandangan kalian di komen, yaa

The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for CIVIL WAR.

 

 

 

GHOSTBUSTERS: FROZEN EMPIRE Review

Aku butuh satu film lagi buat melengkapkan Volume ini jadi delapan-film. Who do I gonna call? Ghostbusters!! Haha, engga ding. Sebaliknya, aku udah nonton film sedari rilisnya Maret lalu, tapi selalu terundur-undur ulasannya. Spotnya selalu tergugurkan oleh film lain. Penyebabnya satu; walau sekuel Ghostbusters modern ini fun, tapi film ini terasa kurang urgent. Apalagi di masa yang udah sumpek oleh revival franchise yang sebenarnya kekuatan utamanya pada curi-curi memerah nostalgia.

Terkait nostalgia act, film ini bermain hormat dan punya caranya tersendiri. Cast lama (baca: legend!) disatukan jadi tim bareng cast baru. Film berhasil membuat mereka tidak tampak awkward ataupun mencuri spotlight. Frozen Empire tetap mendevelop cerita dari karakter baru. Phoebe yang diperankan oleh McKenna Grace menyetir film dengan arc yang benar terasa modern dan berdiri sendiri. Untuk melengkapi karakternya itu, film ini menciptakan hal yang kalo aku gak salah ingat, belum pernah ada di Ghostbusters sebelumnya. Yakni karakter hantu yang full ter-flesh out sebagai jiwa manusia yang tertinggal di bumi. Hubungan mereka mengangkat film ini, ngasih bobot drama. Sehingga film ini bukan sekadar petualangan menangkap hantu.

Namun di situ jugalah masalahnya. Gil Kenan, yang menulis skenario di film sebelumnya, kini duduk juga di kursi sutradara. Dan dia tersandung masalah yang sama, yang seringkali kita temui pada film setiap kali yang tadinya penulis skenario, sekarang juga menyutradarai ceritanya; Cerita tersebut cenderung menjadi penuh sesak. Frozen Empire either lebih baik dijadikan serial, atau ya pembuatnya harus ‘rela’ ngetrim cerita supaya lebih lugas dan tidak terasa berjubel baik itu oleh karakter, subplot, ataupun adegan-adegan hiasan atau hiburan. Karena begitu padatnya inilah, keurgenan film jadi tidak mencuat.

The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for GHOSTBUSTERS: FROZEN EMPIRE.




MONSTER Review

Kesamaan karya Rako Prijanto ini dengan buatan Kore-eda hanya sebatas pada judul dan karakternya anak-anak. Selain itu, sebaiknya jangan dibandingkan. Monster buatan Rako adalah thriller yang menempatkan anak kecil di lokasi tertutup, untuk bermain kucing-kucingan nyawa dengan orang jahat sindikat pembunuh dan penyiksa anak-anak. Gimmicknya adalah tanpa dialog, dan film ini sendirinya actually memang tidak bicara apa-apa di balik tujuan genrenya.

Ya, of course kita akan peduli dan ikut khawatir sama keselamatan karakter utamanya. Siapa yang tidak kasihan melihat anak berseragam pramuka SD tersebut memutar otak untuk menyelamatkan bukan saja dirinya sendiri, tapi juga teman yang disekap – againts orang dewasa bersenjata tajam. Dalam lingkup genrenya sendiri saja, hal tersebut adalah hal paling mudah yang bisa dilakukan seorang pembuat film. Meniadakan dialog sekilas tampak seperti creative choice, tapi jatohnya jadi kayak males saat film ini tidak punya lapisan apa-apa. Kita bahkan tidak kenal karakternya. Sehingga durasinya yang 80menitan itupun jadi terasa bahkan lebih panjang daripada durasi Ghostbusters barusan – yang dikritik kepanjangan oleh banyak pengulas. Isinya ya dragging aja, si anak sembunyi, ketahuan, struggle, kabur untuk sembunyi lagi, on repeat. Satu-satunya momen yang bikin melek adalah ketika mbak Marsha Timothy dapat The Shining moment versi dirinya sendiri. Udah.

Selain itu, yang bikin kita ikhlas nonton sampai habis adalah demi mengapresiasi akting Anantya Kirana. Film ini bersandar pada akting ketakutan dan survivalnya (eventho naskah – yang ternyata ditulis tiga orang – terus saja membuat protagonis utama kita ini khas karakter dalam horor yang pilihan aksinya blo’on)

The Palace of Wisdom gives 3 out of 10 gold stars for Rako Prijanto’s MONSTER. 

 

 

 

THE FALL GUY Review

Based on action tv series 80’s, The Fall Guy dari luar memang heboh oleh adegan-adegan aksi stunt yang bisa dibilang over the top, tapi on the inside, sutradara David Leitch ngambil kebebasan ngembangin cerita dan dia memilih rute komedi romantis. Hasilnya, wuih The Fall Guy jadi salah satu film paling sukses menghibur kita tahun ini. Sebab Leitch menemukan cara yang sungguh brilian dalam menggodok semuanya.

Ryan Gosling dan Emily Blunt jadi pasangan yang tak biasa. Gosling adalah Colt, seorang stuntman film blockbuster yang sempat hengkang dari industri karena kecelakaan saat stunt, dan Blunt adalah Jody, juru kamera yang kini jadi sutradara film distopia luar angkasa (bayangkan Mad Max digabung Star Wars) Relationship mereka jadi hati, karena alasan satu-satunya Colt mau diminta balik jadi stuntman karena itu adalah filmnya Jody. Tapi Jody belum siap dengan ‘kejutan’ tersebut. Jadilah kita mendapat banyak sekali adegan awkward-bagi-mereka, kocak-bagi-kita saat Jody terus-terusan ngetake ulang adegan berbahaya yang dilakukan Colt karena she doesn’t feel it right. Yang berujung pada keduanya membahas cerita film – yang sebenarnya paralel ama kehidupan cinta mereka – over loudspeaker, di tengah syuting, di depan semua kru. Keadaan sebenarnya jauh lebih pelik, karena Colt juga diminta untuk menemukan aktor utama di film tersebut yang – tidak diketahui oleh Jody dan kru lain – menghilang secara misterius. Dari sinilah, adegan-adegan action seru yang sebagian besar dilakukan oleh Gosling sendiri, bisa terjadi. Sehingga walaupun di awal, film agak terseok dalam usaha memunculkan konflik, setelahnya film melaju mulus. Naskah gak punya masalah dalam melakukan transisi antara Colt yang bereaksi terhadap misi yang tak ia mengerti betul dengan pilihan-pilihan Colt demi film yayangnya sukses.

Kayaknya untuk urusan adegan action, kalian bisa bayangin sendirilah. Leitch sendiri berasal dari seorang stuntman. Selain ngerti banyak soal cara menangkap adegan aksi yang seru, dia juga begitu paham sama dunia stunt itu sendiri. Makanya, di balik itu rom-com dan aksi itu, Leitch punya misi mulia. Film yang konsepnya film dalam film ini ia gunakan sebagai komentar meta terhadap bidang kerjaan yang fungsinya penting dalam sinema ini.  Gimana suka duka kerjaan sebagai stunt. Gimana posisi mereka terhadap aktor yang mereka ‘gantikan’. Gimana kerjaan seberbahaya dan sepenting ini belum ada ganjaran awardnya. Semua itu dilakukan dalam nada ringan yang menyokong kepada kocaknya komedi film ini.

The Palace of Wisdom gives 7.5 gold stars out of 10 for THE FALL GUY.

 

 

 

THE MINISTRY OF UNGENTLEMANLY WARFARE Review

Basically, mereka adalah preman. Untungnya yang mereka basmi bukan pemuda-pemuda yang dikambinghitamkan sebagai PKI. Tapi beneran prajurit Nazi. Sehingga nontonnya seru dan fun. Kelewat fun, malah. Guy Ritchie sukses menghasilkan adegan-adegan pembantaian yang sadis tapi stylish. Namun, film yang sepertinya juga terinspirasi dari Akira Kurosawa’s Seven Samurai ini (hitunglah, mereka tujuh preman bawahan pemerintah!) lupa memasukkan sisi yang bisa jadi kelemahan ataupun obstacle berarti bagi karakternya. Stake dan resiko justru adanya pada Winston Churchil sebagai orang yang memerintahkan mereka. Hanya saja, stakenya not really about life and death – tidak sejalan dengan aksi dan bahaya yang jadi sajian utama.

Mulai dari aksi pura-pura saat ketahuan patroli Nazi hingga ke aksi infiltrasi ke kamp-kamp dan kota pelabuhan, bahkan ketika rencana mereka mendadak berubah dan harus mencuri kapal alih-alih meledakkannya, tim yang dipimpin oleh Henry Cavill tidak pernah punya kesulitan yang berarti.  Mereka semua jago dalam bidang masing-masing. Mereka selalu menemukan cara. Tidak pernah ada momen dalam film ini yang kita merasa khawatir sama keselamatan atau keberhasilan mereka. Kapten Nazi yang sepertinya pintar, tidak lengah, dan paling galak – yang sepertinya dibuild up untuk jadi final boss – saja ujungnya kalah begitu saja oleh anggota tim yang terlihat paling vulnerable. Sehingga nonton film ini jadinya lempeng aja. Fun, seru, tapi ya lempeng. Tidak ada gejolak emosi di sana-sini.

Karakternya yang satu tim itu bahkan tidak punya momen saling berantem, atau berdebat, atau ada percikan trust issue atau semacamnya. Benar-benar film ini tidak ada tantangan berarti sama sekali. Tidak ada konflik, kalo boleh dibilang. Kita hanya menyaksikan orang-orang super kompeten melaksanakan tugas ilegal mereka, dengan overcoming all the odds yang tidak benar-benar tampak seperti odds bagi mereka.

The Palace of Wisdom gives 5 gold star out of 10 for THE MINISTRY OF UNGENTLEMANLY WARFARE.

 

 

 

TUHAN, IZINKAN AKU BERDOSA Review

Sebelumnya, izinkan aku mengutarakan rasa skeptis yang sempat terbit di hati; begitu baca bukunya (Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur), aku ngerasa ragu cerita ini cocok ditangani oleh Hanung Bramantyo. Walau memang topik kontroversialnya Hanung banget, tapi penceritaan Kiran di buku lebih ke arah kontemplatif. Dia lebih banyak berdialog di dalam kepalanya sendiri – menuntut Tuhan. Penceritaan yang sepertinya bukan ranah Hanung yang terkenal jagonya dalam konflik-konflik ke luar yang dramatis. Tapi aku salah. Satu yang aku lupa dari mas Hanung; bahwa dia adalah satu dari sedikit sekali sutradara yang aktif saat ini yang berani mengeluarkan visi. Yang berani mengadaptasi secara benar-benar, dalam artian gak harus mengikuti sumbernya. Maka itulah rasa skeptis itu aku tinggalkan saat menonton. Karena ternyata Hanung benar-benar mengubah banyak hal – bukan hanya judul. Penceritaan, karakter, alur, dan vibe cerita ini, ia ambil dan jadikan sesuai dengan kekhasan dan kepiawaian dirinya.

Karakternya, Kiran bakal bisa jadi sobat akrab si Sita di film Siksa Kubur (2024). Karena Kiran juga adalah perempuan yang merasa dikecewakan, ditelantarkan oleh agama yang tidak lagi ia percaya ajarannya karena melihat kelakuan orang-orang di sekitarnya yang mengaku penganut taat. Hanya, langkah yang diambil Kiran berikutnya sedikit lebih logis daripada Sita. Kayak anak kecil yang marah sama ortunya, Kiran ngambek. Pundung. Manggok. Yang tadinya alim, Kiran jadi ogah beribadah. Dia malah menceburkan diri ke pergaulan bebas, sampai akhirnya mau untuk ikut permainan dosennya yang ternyata germo. Kiran mau karena dia punya suatu maksud. Film ini mengenakan kontroversi tanpa malu-malu. ini menjadikannya sungguh sebuah film yang menantang. Misalnya, Hanung mengontraskan gimana cara berpakaian Kiran yang alim dengan saat dia sudah bandel – dan itu dilakukannya dengan sama-sama masih mengenakan atribut agama. Aghininy Haque pun menaikkan level aktingnya, kini dia sudah bisa bermain di akting suara, bukan hanya postur dan gestur. Sehingga terasa sekali perbedaan antara Kiran yang dulu dengan yang sekarang.

Ngomong kembali soal perbedaan. Yes, Hanung took this story and make it his own, successfully and masterfully. Meskipun kalo mau dibandingkan, aku lebih suka versi buku dibandingkan versi film. Kiran versi buku lebih ‘dingin’, misinya untuk mengekspos kelemahan lelaki – dan ia menemukan itu setiap kali para lelaki selesai tidur dengan dirinya. Penceritaan di buku mengambil sisi dramatis dari transformasi, atau katakanlah degradasi, Kiran. Saat menonton film ini, aku bingung karena Hanung tidak tampak mengincar hal serupa. Kisah Kiran tidak diceritakan linear, melainkan seperti Challengers tadi. Banyak bolak-balik antara Kinan dulu dengan Kinan sekarang. Yang aku takutkan adalah kita gak akan bisa merasakan dramatisnya kejatuhan Kiran menjadi pendosa, karena sedari awal kita sudah diperlihatkan Kiran yang sekarang sikapnya sudah begitu. Tapi sekali lagi aku lupa. Hanung sudah membentuk ulang cerita ini sehingga dramatisasinya bukan lagi dari transformasi. Lupa bahwa Hanung adalah sutradara yang bisa membuat instan dramatisasi dari dua atau satu momen saja. Dan memang itulah yang dilakukannya. Kiran menantang Tuhan di atas gunung. Petir menggelegar, DHUAR!! Selesailah sudah kekhawatiranku.

Karena setelah itu aku merasakan film ini berjalan di rodanya sendiri. Kiran di film banyak berkonflik langsung dengan karakter lain. Bentukannya dari khas auteur lelaki mengapproach cerita ini, yaitu Kiran menjadi victim di dunia yang dikuasai laki-laki. Kiran mengalami banyak siksa dunia – bukan siksa kubur seperti Sita – sebelum akhirnya dia sadar dan gain strength dari pengetahuannya bahwa para lelaki itu munafik dan tidak lebih kuat darinya. Kiran menunjukkan pengabdiannya kepada Tuhan dengan caranya sendiri. Mengekspos kemunafikan di dunia.

The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for TUHAN, IZINKAN AKU BERDOSA.

 




 

 

That’s all we have for now

Wah sepertinya ini menjadi mini review terpanjang ya hihihi!

Thanks for reading.

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



ABIGAIL Review

 

“To the child, abandonment by their parents is the equivalent of death”

 

 

Aku bersumpah, sehabis nonton horor yang satu ini untuk tidak pernah lagi meremehkan orang berdasarkan apapun. Tidak dari pekerjaan, apalagi dari penampilan luar. Balerina cilik bertutu putih dan anggun tampak bagai angsa, ternyata bisa saja lebih buas dari predator manapun yang ada di dunia. Perampok berpakaian hitam-hitam bisa saja menutupi lebih dari sekadar wajah dari balik masker topeng mereka. Itulah yang dilakukan oleh Abigail, film yang skripnya hobi menari. Membawa kita bukan saja naik turun dalam ketegangan survival hidup-mati, tapi juga berayun kian kemari menyoroti sisi karakternya dari kiri ke kanan. Abigail memang jadi sajian yang menyenangkan. Dengan satu hal ekstra yang menggelitik buatku, apakah salah satu dari sutradara Matt Bettinelli-Olpin dan Tyler Gillett ada yang penggemar gulat (atau mungkin keduanya?), karena ya, ada beberapa adegan/dialog yang seperti references yang pasti dinotice oleh fans gulat saat menonton ini.

Alih-alih kawanan perampok kepepet yang beraksi serabutan lalu menemukan gadis yang tampak helpless tapi ternyata sumber malapetaka seperti di Pemukiman Setan (2024), kawanan dalam Abigail adalah sekelompok orang profesional yang lagi dalam misi menculik seorang gadis cilik. Semua cakap dengan tugas masing-masing. Ada ketua pelaksana yang cool, ada hacker unyu, ada muscle man yang gentle tapi polos, ada sniper pendiam, ada driver yang slebor, protagonis utama kita adalah penculik yang bertugas sebagai medik dan bakal berhubungan langsung dengan sang sandera. Saking profesionalnya, mereka ini tidak saling berbagi nama asli, tidak saling share cerita hidup, mereka bahkan tidak bercakap-cakap soal kerjaan. As in, mereka bahkan tidak tahu anak yang habis latihan balet yang mereka culik itu anak siapa. Yang mereka tahu, esok pagi setelah semalaman menyekap si anak di rumah besar tempat persembunyian yang sudah ditetapkan, mereka bakal duit banyak. Masalahnya, Abigail – anak yang mereka culik – ternyata bukan anak orang sembarangan. Malam itu seketika berubah jadi malam survival, sebab mereka dibunuh satu-persatu. Terjebak di rumah bersama makhluk misterius. Abigail memang tampak helpless, tapi tidak berarti dia juga harmless.

review abigail
Ngasih makna ngilu baru ke ngeliat balerina beraksi melekukkan tubuh

 

Elemen surprise memang bukan bumbu baru dalam film-film horor. Malahan elemen surprise suka dijadiin device oleh horor, supaya ceritanya meriah oleh misteri yang bikin hati penonton jumpalitan (setelah jantung kita loncat oleh jumpscare) Naskah Abigail pun menyandarkan diri kepada bentukan surprise, berupa flip atau turn atau pembalikan posisi. Keprofesionalan para penculik tidak bercerita tentang diri mereka jadi alasan yang cukup untuk membuat siapa diri mereka sebenarnya, dari mana diri mereka berasal, jadi revealing yang cukup mengejutkan, yang eventually mengukuhkan desain film untuk membalikkan posisi mereka dari yang tadinya seperti penjahat yang menculik dan dingin, menjadi manusia yang punya flaw dan jadi korban dari vampir. Ya, pembalikan tentunya juga berlaku untuk Abigail, karena anak itu sebenarnya adalah makhluk penghisap darah berusia ratusan tahun. Film memang tampak bermain-main dengan kejutan dari pembalikan ini, karena babak akhir yang jadi puncak cerita akan berisi karakter-karakter yang berubah, baik itu dari manusia menjadi vampir, ataupun dari yang tadinya sepertinya jahat diungkap ternyata baik, lalu jadi jahat lagi. Menariknya film membawa ke garis abu-abu, di mana yang jahat belum tentu vampir, baik belum tentu manusia.

Dengan begitu, tentunya film ini mengambil kesempatan untuk turut bermain-main dengan ekspektasi kita terhadap mitologi vampir itu sendiri. Makanya Abigail terasa sangat fresh. Udahlah desainnya yang balerina membuat Abigail punya ‘move set’ yang unik – bayangkan saja gerak-gerak tari balet yang seringkali memelintir tubuh membentuk bentuk ganjil dijadikan Abigail sebagai jurus saat menyerang – ditambah pula dengan kita dibikin menebak-nebak kemampuan dan kelemahan basic Abigail sebagai makhluk vampir. Mitos yang selama ini kita percaya, seperti vampir takut sama bawang, vampir takluk sama pasak kayu yang dihujam ke jantung, vampir menghindari matahari, ataupun digigit vampir berarti kita akan jadi vampir juga, diacak oleh film; film membuat tidak semua mitos tersebut berlaku kepada vampir di dunia cerita Abigail. Sehingga menonton para karakter manusia mengingat mitos-mitos vampir, berusaha figure out mana yang works mana yang tidak, terasa lucu dan – film juga membuat – seringkali adegan dan dialog mereka lucu.

Film memang membuat interaksi karakter sebagai charm utama cerita. Seperti yang sudah kusebutkan tadi, karakter mereka memang menempati tipe-tipe tertentu yang lumrah ada dalam kelompok di film horor, tapi revealing nantinya membuat mereka tidak sekadar one-note. Mereka bukan karakter pelontar one-liner atau komen sekalimat yang cringe. Mereka, dengan nama alias yang diberikan sebagai candaan, gradually menjadi full-pledge karakter. Yang kita terasa seperti semakin mengenal mereka yang tadinya asing. Kupikir tadinya Peter si muscleman cuma tipe karakter dumb-strong, tapi nanti dia punya persahabatan yang terjalin dengan karakter lain, sehingga nasib kedua karakter ini bikin kita peduli. Apalagi memang para aktor seperti saling berlomba ngasih sesuatu yang ekstra buat ngidupin karakter mereka. Dan Stevens excellent banget membuat karakternya yang awalnya tampak tipikal smart-cool bertransisi menjadi lebih gusar dan komikal. Kathryn Newton berhasil menyetir karakternya jauh-jauh dari annoying teenager. Melissa Barrera sebagai tokoh utama sukses ngasih ketangguhan serta vunerable seorang ibu yang jauh, estrange, dari anaknya. Dan tentu saja, Abigail yang diperankan menakjubkan oleh Alisha Weir sudah bisa kita masukkan ke kategori horror character iconic karena keluwesan aktingnya, meyakinkan sekali menjadi mana yang seperti anak kecil, mana yang seperti vampir buas, mana yang seperti vampir yang berusaha mengecoh dengan berpura-pura jadi anak kecil. Tipu daya Abigail klop dengan konsep film yang mengincar surprise.

Sebaliknya yang jadi hati film ini adalah relasi unlikely yang terjalin antara Joey-nya Melissa dengan Abigail. Film membuat mereka paralel, yang satu ibu yang merasa bersalah sehingga memilih meninggallkan anaknya, sementara satunya (walau haus darah dan sudah beratus tahun) tetaplah seorang anak yang merasakan pahitnya mendapat resentment dari orangtua, yakni ayahnya. Pertanyaan yang mengarah kepada menelantarkan anak, dan apa yang sebenarnya membuat kita jadi orangtua yang buruk, berusaha diangkat oleh film ini di balik urusan antara vampir dan manusia

 

Gabutnya anak membawa bencana

 

Makanya aku merasa kurang, interaksi antara ayah Abigail dengan Joey. Sosok ayah Abigail dipasang oleh film sebagai reference, dan lebih untuk bermain-main dengan penonton, meskipun memang diapun sebenarnya paralel dengan Joey. Kupikir film akan menjadikannya sebagai final boss yang harus dikalahan Joey karena bisa berarti Joey harus mengalahkan sosok demon dari dirinya sendiri. Tapi film mengarahkan ke dramatis yang berbeda, yang pilihan film ini kupikir juga karena film masih ingin menyisakan ruang untuk kita penasaran dan ingin lebih dari Abigail dan ayahnya – yang bilang dia punya banyak nama setelah hidup berabad-abad – sehingga kesempatan sekuel tetap terbuka. Satu lagi yang kurang dimaksimalkan oleh film ini adalah set piece. Rumah besar yang jadi ruang tertutup bagi para karakter. Rumah ini punya tempat-tempat unik, seperti kolam penuh oleh mayat, panggung atau ruang balet pribadi Abigail, tapi aksi-aksi film ini kebanyakan berlangsung bukan di tempat-tempat tersebut, melainkan di interior yang biasa. Sehingga rumah yang harusnya bisa menambah identitas film, terasa kurang dihidupkan.

Pilihan film untuk ‘menyembunyikan’ siapa Abigail di awal, kendati berbuah kepada struktur yang seru, sebenarnya juga membuat babak pertama kinda lepas. Tidak ada set up yang mengisyaratkan bahwa ini bukanlah thriller penculikan normal, melainkan sebuah survival vampir di ruang tertutup. Film jadi ujug-ujug berubah  karena konsepnya surprised. Pilihan yang sebenarnya tidak benar-benar diperlukan karena penonton biasanya sudah tahu film bakal tentang apa, sehingga lebih baik untuk stay pada ketentuan penulisan yang biasa, yakni memberi set up (biasanya pada sepuluh menit pertama) bahwa film ini tentang apa, Abigail itu siapa dan sebagainya.

Yang jelas memang film ini tampak seperti mengincar untuk have fun. Mereka banyak bersenang-senang dengan mitos vampir, dengan karakter dan dialog, mengajak kita untuk bersenang juga dengan flip dan turn pada naskah. Dan penggemar wrestling, aku rasa, bakal dapat senang-senang tambahan karena banyak aspek di film ini yang suspiciously terasa seperti tribute untuk Bray Wyatt. Dan Stevens nyanyi “I got the whole world in my hand” – lagu yang merupakan lagu ikonik dalam promo Bray Wyatt. Lalu beberapa adegan berikutnya, kita lihat Abigail melakukan spider walk – gerakan mind game khas Wyatt untuk menakuti lawan. References yang sepertinya agak stretch out juga banyak, kayak “let me in” dan “run” yang timingnya memang kayak pas ketika digunakan oleh Bray Wyatt. Kemudian ‘kebetulan’ itu semakin terasa terlalu cocok ketika aku sadar judul film ini Abigail, yang juga sama dengan nama finisher Wyatt, yaitu Sister Abigail. Mungkin pembuatnya memang penggemar, atau mungkin memang hanya kebetulan, tapi menurutku tidak ada ruginya juga kalo kita-kita yang penggemar gulat ngakuin kalo secretly Abigail adalah film Bray Wyatt hahaha

 




Begitu banyak film yang ingin bersenang-senang dengan surprise dan turn, tapi lupa ngasih cerita dan karakter yang genuine untuk kita pedulikan. Film ini ingat, sehingga dia menjadi sajian menghibur dan tetap punya hati. Thriller survival yang mencekam berhasil diwarnai film ini dengan warna-warna lucu dan seru. Karakter titularnya bisa dengan gampang masuk ke jajaran ikonik. Film ini bakal jadi pilihan cocok untuk nobar-nobar horor, khususnya fanatik genre vampir, karena penonton casual akan relatif mudah mengesampingkan beberapa hal kurang maksimal dilakukan oleh film. Beberapa di antaranya yaitu, set piece yang kurang unik, babak pertama yang agak lepas karena ada yang sengaja disembunyikan alih-alih diset up, dan ending yang pecah tapi bisa dianggap kurang puas karena too good to be true.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for ABIGAIL
.

 




That’s all we have for now.

Anak vampir pun ketika dicuekin ortu bisa tantrum. Menurut kalian apakah sikap Abigail merupakan perlambangan yang tepat dari gimana rasanya bagi seorang anak merasa kurang disayang orang tua yang menjauh justru karena merasa sayang sama anaknya?

Silakan share di komen yaa

Yang pengen punya kaos film lebaran Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



EXHUMA Review

 

“..digging up the past has two sides: The pro is that you remember things you had forgotten about. Unfortunately, the con is the exact same thing. “

 

 

Perdukunan memang bukan cuma milik Indonesia. Tiap-tiap daerah punya kepercayaan yang beragam sehingga upacara dan praktik ritual spiritualnya pun berbeda-beda. Doa atau mantranya berbeda, ada yang pakai tari-tarian, ada yang pakai acara kesurupan. Selalu menarik membandingkan – melihat perbedaan dan mungkin ada sedikit kesamaan – antara ritual kepercayaan di tempat lain dengan di tempat kita. Apalagi Exhuma karya Jae-hyun Jang dari Korea Selatan ini tidak hanya bicara tentang klenik pengusiran setan. Melainkan, menjadikan elemen supernatural itu sebagai titik awal penggalian historis kebangsaan mereka. Jadi bukan hanya soal ritual perdukunan yang bisa kita dibandingkan di film horor ini. Setiap daerah, setiap bangsa, punya luka – punya koreng yang jika bisa jangan sampai tergaruk kembali – yang berbeda-beda.

Pasangan dukun pengusir hantu harus bekerja sama dengan seorang pengurus jenazah dan ahli geomancer (dari film ini aku baru tahu kalo geomancer itu artinya ahli feng-shui) saat mereka menerima kerjaan dari keluarga ‘old money’ KorSel yang tinggal di Amerika. Kerjaan bukan sembarang kerjaan. Sumber masalah keluarga yang dihantui itu bisa jadi adalah si kakek buyut yang dulu dimakamkan di sebuah bukit. Jadi, empat karakter sentral kita bermaksud melakukan penyucian dengan menggali makam tersebut, dan memindahkan jenazah. Namun upacara mereka yang awalnya tampak sukses itu membawa mereka kepada masalah yang bahkan lebih misterius dan lebih membahayakan daripada sekadar arwah penasaran.

review exhuma
Kalo film punya elemen, maka elemen film ini adalah ‘tanah’

 

Mengambil latar dunia modern, Exhuma memang tampak mengincar penekanan kepada perspektif masa sekarang diajak untuk looking back, atau katakanlah, menggali masa lalu. Film ini paham gimana fascinating-nya bagi kita untuk melihat lebih dekat tradisi ritual-ritual. Benturan dari keduanya itu digambarkan pula lewat desain karakter. Dukun yang tidak digambarkan kuno, melainkan sebagai anak muda yang modis. Lihat saja Hwarim dan Bong-Gil, mereka bisa digolongkan ke dalam anak muda keren, Mereka dibikin punya style khas tersendiri, semua adegan ritual yang mereka lakukan are always delight to see. Tertampil intense dan misterius, tapi juga tetap terasa anggun. Majestic. Begitulah mereka terpotret alih-alih tergambar sebagai dukun tradisional yang dituakan. Jikapun ada karakter tua, seperti Kim Sang Deok, si bapak ahli feng-shui, yang memang jadi karakter yang paling banyak tahu dan pemahaman terhadap apa yang sedang mereka tangani dan yang harus mereka lakukan, film memastikan karakter ini tetap unik dan tidak pernah menjadi hanya sekadar eksposisi.  Sudut pandang dan prinsipnya terus digali. Dia diberikan kebiasaan yang membuatnya mencuat dan memorable. Film berhasil membuat empat karakter sentral tidak stereotipikal ataupun tidak terlalu archetype. Karena bahkan anggota mereka yang fungsinya untuk peringan suasana pun, diberikan aspek menarik – bahkan ada adegan yang bermain-main dengan ekspektasi kita terhadap karakternya.

Permulaan yang sudah demikian baik, kita disuguhi arahan dan penulisan yang benar-benar tahu apa yang mau diutarakan, yang benar-benar punya ‘something’. Lalu datanglah resiko yang mereka putuskan untuk ambil. Exhuma, dengan cerita orang pinter yang mengusir setan; memecahkan misteri supernatural, melawan setan, dan saves the day, basically bisa dibilang masuk ke dalam format cerita kemenangan pahlawan-lah. Hollywood biasanya cerita-cerita kayak gini cetakan strukturnya adalah bagian mid-point adalah bagian ‘pertempuran pertama’; pada saat ini biasanya akan ada semacam kekalahan atau ketidakmampuan yang disadari oleh protagonis, sehingga nanti begitu masuk ke sekuen berikutnya – yang esensinya adalah sekuen downtime untuk regroup – mereka akan bersiap untuk masuk ke bagian ‘taktik kedua’. Exhuma tidak berjalan dengan format tersebut. Sendirinya membagi cerita ke dalam chapter-chapter, namun secara keseluruhan struktur kita dapat melihat mid-point di film ini adalah keberhasilan, dan sekuen regroup di sini adalah momen karakter merayakan kemenangan. ‘Taktik kedua’ atau ‘cara baru’ di film ini literally ada kasus lanjutan saat empat protagonis harus menyelesaikan masalah dengan setan yang sebenarnya. Saat mereka menyadari ada peti mati lain di dalam makam yang sudah digali tadi. Peti besar berbalut logam duri, yang dikubur vertikal. Hampir seperti, kalo di struktur Hollywood, ini adalah bagian false resolution di menjelang tamat. But it’s actually bahasan utuh. Kalo di game, katakanlah, Exhuma terasa seperti jadi dua bagian. Separuh awal seperti misi dalam mode easy, dan separuh terakhir seperti misi mode hard.

Shiftnya itu kerasa sekali. Karena pada dua bagian itu, film membahas ‘setan masa lalu’ juga dengan treatment yang berbeda. Di separuh awal kasus, mereka berhadapan dengan ruh kakek buyut keluarga klien yang terbebas ketika peti matinya yang hendak dipindahkan dibuka oleh orang yang tak bertanggungjawab. Ruh jahat atau hantu si kakek itu digambarkan oleh film tidak exactly secara fisik. Melainkan dia muncul sebagai sosok out-of-focus, terlihat selalu secara tidak langsung – paling sering lewat pantulan dari jendela atau semacamnya. Paling fisik dari hantu ini ya ketika dia masuk ke tubuh orang, membuat mereka melakukan hal-hal yang gak bisa dilakukan oleh manusia normal. Untuk masuk ke ruangan saja, hantu itu perlu untuk membujuk manusia untuk membukakan jendela. Sementara di separuh akhir, sosok setan yang harus dikalahkan literally muncul kayak creature atau monster (film ini menyebutnya siluman). Sosok prajurit zirah Jepang yang tinggi besar, yang bisa berubah menjadi bola api besar. Ada juga creature kecil berupa ular siluman, badannya ular, kepalanya amit-amit.

Abis nonton ini aku jadi mengkhayalkan death match antara Hakushi WWE lawan Bankai-nya Captain Komamura

 

Exhuma kaya oleh konteks dan subteks. Perbedaan treatment horor, ‘misi’ karakter, hingga tone keseluruhan pada dua bagian tersebut sejatinya merupakan perlambangan. Tindakan menggali kubur untuk proses penyucian itu sendiri pemaknaannya adalah menggali masa lalu, menggali sejarah di tanah mereka, yang berkaitan dengan proses healing. Ini juga terestablish dari dialog-dialog soal plotting tanah yang terus direcycle. Ketika para karakter menggali lebih lanjut, itu adalah perlambangan film juga menggali ke akar persoalan. Tentang masyarakat sosial modern mereka mengingat kembali trauma historis. Bagi kita yang bukan orang Korea atau juga mungkin tidak banyak tahu soal negara itu, jelas film ini bisa jadi pelajaran ekstra. Bahwa Korea Selatan dulu terlibat seteru dengan Jepang. Persoalan dua negara ini pun sudah sedari awal dilandaskan oleh film ketika Hwarim disangka orang Jepang oleh pramugari. Adegan yang ngeset Hwarim bisa berbahasa Jepang itu sekaligus juga menanamkan bahwa tentang dua negara inilah sebenarnya bahasan akan mengarah.

Masa lalu itu keras kepala. Kita kubur pun, masa lalu akan tetap berada di dalam sana. Menunggu orang yang tepat datang menggalinya. Dan thing about menggali masa lalu adalah, punya sisi baik dan sisi buruk. Sisi baiknya kita bisa mengingat kembali sejarah. Sisi buruknya, well,  kita jadi teringat kembali sejarah. Yang pasti ada alasannya untuk ingin dilupakan in the first place. Film ini menunjukkan, dalam balutan wacana tanah yang makin sekarang semakin dijual-jual begitu saja kepada orang kaya (sultan brengsek), bahwa kini adalah urgen untuk mengingat kembali luka itu demi persatuan mereka.

 

Melihat lewat lensa desainnya tersebut, kita jadi bisa sedikit meraba apa yang sebenarnya diincar dari film membuat plot seperti terbagi dua (dalam konteks tanah, aku jadi membayangkan sesar normal saat memikirkan alur film ini) Pertama, film ingin audiens negaranya untuk bercermin. Hantu kakek yang seringkali berupa pantulan/cerminan seperti perlambangan bahwa hantu masa lalu itu adalah masing-masing mereka secara kolektif. Like, film ingin bilang bahwa yang terkubur di tanah itu adalah milik mereka bersama, baik maupun buruknya. Their land of South Korea. Dan tanah tersebut sekarang dihantui, seperti dulu pernah ‘dihantui’ oleh momok bernama Jepang. Perayaan individu di mid point film tadi adalah pengingat mereka harus menggali lebih dalam, karena momok itu bisa saja kembali. Jadi ancaman yang nyata. Seperti siluman prajurit Jepang kembali menapak di hutan mereka. Perjuangan fisik empat karakter sentral di akhir, mencari pasak, ngasih sesajen ikan, pake kerja sama dengan ilmu dukun segala cabang, demi mengalahkan si siluman adalah hal yang harus mereka lakukan untuk menjaga tanah atau negara mereka. Bahwa mereka harus bekerja sama dan menjadi layaknya keluarga, seperti gimana empat karakter sentral ended up di akhir cerita.

Walau bergerak dengan mantap terukur di dalam desain dan konteksnya, resiko tetaplah sebuah resiko. Pembagian dua bentuk horor tersebut toh terasa sangat drastis, dan pergeseran tone tersebut dapat terasa mengganggu bagi penonton. Setidaknya, membuat penonton jadi membandingkan. Bagian mana yang lebih asik, atau bagian mana yang lebih ‘bosan.’ Film sebenarnya melakukan pengembangan dengan sangat baik. Well-designed. Kita melihat karakter sentral mencapai puncak vulnerabilitas masing-masing saat melawan si siluman di paruh akhir, dramanya enakan di paruh akhir, hanya saja paruh ini akan kalah seram ketika penonton membandingkannya dengan paruh awal. Saat film mengerahkan craftnya maksimal untuk membangun adegan-adegan horor. Adegan-adegan yang lebih mudah dicerna dan dirasakan kengeriannya oleh sebagian besar penonton. Sementara bagian melawan siluman terasa lebih bombastis, dan meskipun memang film lebih cenderung bersandar kepada efek praktikal yang juga well-done, dua hal yang sebenarnya tetap saling menyambung akan terasa seperti dua hal yang kontras berbeda oleh penonton.

 

 




Horor jadi terasa so much more ketika ketakutan kita terhadap hantu atau setan dijelmakan dari momok lain yang lebih ‘real’. Film ini mengambil apa yang mungkin sedang dirisaukan oleh si pembuat pada negaranya, hal urgen yang menurut dia penting untuk dibicarakan, dan mengolah itu ke dalam bangunan horor paranormal. Hasilnya lebih kaya. Tujuan untuk menampilkan hiburan dari horor-horor pengusiran setan, tercapai. Bentuk-bentuk lokal dari budayanya tersiar. Sementara gagasannya tadi tertanam kuat membayangi di balik narasi. Arahan dan penulisan film ini kuat, banyak adegan memorable yang hadir di sini, also film ini bergerak dalam desain yang berani mengambil resiko. Ceritanya yang tersusun dari beberapa chapter terasa seperti patah menjadi dua bagian – meskipun sebenarnya dua bagian ini kontinu membentuk gambaran besar yang menunjukkan sebuah development penyadaran.
The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for EXHUMA.

 

 




That’s all we have for now.

Menurut kalian topik sosial-politik apa di Indonesia yang belum ada yang garap padahal cocok banget dijadikan cerita horor?

Silakan share di komen yaa

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



PASAR SETAN Review

 

“Do what you must, and pay the price if you’re wrong”

 

 

Harus mencari penampakan beneran, demi menyelamatkan channel vlog. Yup, that’s where we at now in terms of premise cerita sebuah horor hiburan. Namun bahkan goal yang konyol dan stake yang sama sekali tidak bikin kita peduli itu pun tidak benar-benar dijambangin oleh karya debut layar lebar Wisnu Surya Pratama ini, karena ada cerita lain yang membungkusnya. Yakni tentang kepala polisi yang menyelidiki kasus kematian para vlogger tersebut di dalam hutan kaki Gunung Salak. So yea, Pasar Setan actually punya elemen yang membuatnya semacam True Detective: Setan Country. Dan ‘setan’nya as in, “Setan, film apaan nih!?”

Cerita sekelompok vlogger yang nekat mencari Pasar Setan, mitos gaib yang sudah merakyat dishoe-horn ke dalam cerita investigasi polisi yang gak punya bahasan inner juga sebenarnya selain mendebat soal realistis vs. percaya tahayul, dan gak ngapa-ngapain selain nontonin rekaman para vlogger yang ditemukan. Jadi itu jugalah yang kita tonton. Kepala Polisi bernama Rani jengkel karena kasus sekelompok anak muda yang tewas di hutan itu malah ditangani secara gak masuk akal oleh bawahannya. Seorang gadis satu-satunya yang selamat dari kejadian misterius tersebut, si Tamara, malah ditangkap oleh warga lokal. Jadi Rani membawa Tamara ke kantor, merawat sekaligus menginterogasinya. Karena bukti-bukti digital yang ia tonton belum cukup jelas menjawab kenapa teman-teman Tamara yang lain tewas. Tapi kesaksian Tamara – dia adalah host di acara misteri yang di ambang kena cancel lantaran ketahuan bikin konten palsu, dan itulah yang menyebabkan Tamara and the genk nekat mencari Pasar Setan dan beneran ‘diserang’ hantu-hantu yang dipimpin oleh Nyi Salimah – ternyata berbeda dengan video yang dia amati. Rani harus mengambil keputusan terkait Tamara, karena warga yang percaya gaib mulai mendatangi kantor dan meminta masalah Tamara untuk diselesaikan oleh ‘hukum’ mereka.

Ternyata ada karakter kepala polisi yang lebih annoying dan less-charismatic daripada karakter Jodie Foster di True Detective

 

Kita akan berpindah-pindah dari kejadian yang dialami menurut sudut pandang Tamara, ke ‘aksi’ marah-marah si Rani, lalu ke beberapa video yang ditonton Rani. Dan selain lensa grainy yang lebih natural dan rasio vertikal – yang aku gak tahu apakah itu YouTube short/Instastory/TikTok karena ku memang kurang familiar sama format itu – film tidak pernah benar-benar memberikan treatment yang berbeda terhadap perpindahan tersebut. Kita gak yakin, mana yang beneran terjadi, mana yang cuma cerita Tamara, mana yang ditonton oleh Rani. Mungkin ini taktik sutradara untuk melingkupi ceritanya dengan aura misteri, supaya kita juga terlibat dalam investigasi si Rani. Tapi jika dilihat dari gimana bentukan cerita, clearly yang diincar naskah adalah dramatic irony dari kita tahu Rani ngotot mengusahakan hal yang normally benar, tapi untuk kasus Tamara ini, dia salah. Sehingga arahan film ini terasa missing the point.

Sepanjang menonton, ada sense bahwa film ini sebenarnya mengincar gimmick found footage, ataupun penceritaan dengan pov kamera kayak Keramat. Ada beberapa dialog yang membuild up soal kamera yang dipegang karakter harus tetap merekam semua kejadian, bahkan di kantor pun ada seorang polisi yang diperintah oleh Rani untuk terus standby merekam proses investigasi. Namun bahkan gimmick pov ini juga gak pernah benar-benar dimekarkan. Karena sebagian besar film masih berlangsung seperti biasa aja. Dengan sudut pandang seperti film-film normal. At this point, aku lantas ngerasa sutradara just didn’t care. Dia kayak setengah-setengah dalam mewujudkan visinya. Arahan yang paling serius dilakukan cuma untuk jumpscare. Di aspek ini film cukup lumayan. Ngebuild up adegan penampakan dengan suasana gelap-terang. Dengan suara-suara hutan, ataupun suara-suara hantu, suasana horor di pasar mistis itu kerasa. Lalu ketika Nyi Salimah muncul – serta hantu-hantu lain dengan desain cukup unik dan beragam – kita bakal langsung melek oleh kaget-kagetan. Yang bikin aku takjub cuma satu, tau-tau di pasar tradisional gaib itu ada pisau guillotine hahaha

Biasanya memang trik jumpscare ini bare minimum-lah buat horor lokal. Biasanya masih bisa berhasil bikin penonton puas dan melupakan naskah yang dangkal. Masalahnya, Pasar Setan narasinya juga kacau. Urutan kejadian yang tampil di film ini enggak selurus, enggak sesatu perspektif Rani seperti yang tadi kutulis di sinopsis. Film ini actually dibuka dari sudut pandang Tamara dan grupnya yang sedang berembuk mau bikin konten apalagi setelah mereka dihujat karena ketahuan pake hantu palsu. Seolah ini adalah perjalanan Tamara untuk redeem herself, seolah ini perjuangan grup itu untuk menjadi mungkin semakin akrab, menyelesaikan masalah internal. Ternyata kan tidak. Grup ini bukan karakter, mereka cuma bagian dari misteri yang harus dipecahkan oleh Rani yang sebenarnya lebih fit sebagai journey karakter utama. Hanya saja Rani ini one-dimensional bukan main. Dia gak punya background seperti halnya karakter utama. Yang punya, ya si Tamara. Tapinya lagi, naskah tidak bercerita sebagai kisah perjuangan dia. See, kacau kan narasinya. Ini kayak dua cerita, lalu digabungkan dengan cara kedua ceritanya dipecah-pecah untuk menghasilkan even more surprises, dan melupakan ground work yang mestinya dikembangkan.

review pasar setan
Kalo memang pengen twist, sekalian aja judulnya Pasar Kaget

 

Jika pengennya jadi cerita Tamara, maka harusnya goal dan stake mereka itu diperdalam lagi. Misalnya, kayak di film Agak Laen (2024), grup karakternya pengen rumah hantu mereka sukses, dan film itu membuild up alasan kenapa rumah hantu itu penting bagi mereka. Personal mereka digali, bahwa mereka adalah orang kecil yang cumak bisa kerja di profesi yang laen seperti itu. Opsi mereka sudah diset up terbatas. Rumah hantu itu jadi satu-satunya taruhan mereka. Begitupun misalnya dengan horor found footage Hell House LLC (2015), yang juga tentang sekelompok anak muda yang ingin rumah hantu mereka sukses. Bahwa kerjaan mereka sebagai kru rumah hantu itu sudah dibangun sebagai hal yang personal dan mereka memang harus stay dan gak boleh gagal di kerjaan itu. Sedangkan di Pasar Setan ini, kerjaan Tamara dan kawan-kawan sebagai konten kreator atau vlogger channel horor itu tidak dilandaskan urgensi dan kepentingan personalnya. Kenapa mereka yang masing-masing masih muda, atraktif, dan sehat itu harus bergantung kepada nama baik channel. Kenapa mereka gak pivot ke konten lain aja. Kenapa solusi yang terpikir oleh mereka adalah nyari ‘hantu beneran’ – ini kan sangat tidak masuk akal, seolah yang dibangun adalah dunia cerita yang hantu itu nyata – kenapa gak dari dulu mereka pake hantu beneran. Di tengah film sebenarnya ada momen ketika masing-masing teman Tamara curhat soal motivasi dan goal mereka, hanya saja di titik itu – oleh karena bangunan cerita yang pindah-pindah aneh tanpa ritme jelas – mereka cuma ngeluh dan berantem gak jelas, sehingga kita pun udah gak lagi bisa mendorong diri untuk peduli kepada mereka. Ataupun merasa bisa mempercayai kata-kata mereka.

Karakter-karakter dalam film ini punya kepercayaan masing-masing yang dengan teguh mereka pegang. Rani yang percaya pada hal logis ingin mengungkap kasus di gunung itu sebagai pembunuhan. Warga desa percaya itu adalah peristiwa gaib. Kameraman Tamara cuma tahu ini adalah soal kerjaan dan dia berusaha nyelesaikan kerjaan.  Bagi Kevin yang penting adalah cuan. Jadi, mereka bertindak mengikuti kepercayaan itu. Dan mereka  bakal membayar jika nanti yang mereka percaya adalah hal yang salah. Dan kadang, juga saat mereka benar. Semua ada price-nya. Kepercayaan itulah ternyata hal yang diperjual-belikan dalam Pasar Setan.

 

Tanpa adanya kedalaman, dan galian yang harus mengalah bangunan cerita dan pada usaha supaya ada twist, maka ketika naskah mencoba untuk mendevelop karakter menjadi tidak satu-dimensi pun, jadinya malah kayak sebuah inkonsistensi pada karakter. Misalnya ketika menjelang akhir, Kevin jadi peduli sama Tamara “Kalo lu ke sana sendirian, lu cari mati namanya”, padahal sebelumnya dia pernah menyuruh Tamara pergi sendirian ke lokasi Pasar, malam-malam, buat ngerekam konten mencari kameraman yang hilang. Perubahan Kevin yang tadinya culas itu tidak terlihat seperti development melainkan lebih kayak naskah tidak konsisten. Karena memang jarang juga ada waktu untuk mereka terdevelop, karena momen kita pindah ke melihat mereka itu oleh bangunan film selalu adalah momen-momen cerita harus ‘naik’ alias momen horor seru. Momen cerita ‘turun’ ditugaskan kepada bagian cerita Rani di kantor polisi.

 




Kayaknya, sejauh ini, dari film-film IDN yang pernah aku tonton dan review, film ini yang paling ‘jauh’. Semua aspeknya terasa, bukan mendua, lebih tepatnya setengah-setengah. Arahannya seperti setengah hati mau jadi film dengan gimmick pov shot, atau kayak found footage. Naskahnya terasa immature, ceritanya setengah hati mau bahas tentang investigasi polisi skeptis, atau mau tentang perjalanan anak muda ke hutan di kaki gunung. Yang by the way, gak pernah terasa perjuangannya karena mereka naik mobil, jalan kaki ke sana sebentar (dengan karakter ngeluhnya minta ampun), dan ketika sampai pun nemuin pasar yang mestinya mitos itu gampang. Dan pasarnya, selain karena suara-suara seram itu, tidak terasa benar identitasnya. Kayak tempat seram aja. Sebagai anak geologi yang dulunya cukup akrab dengan bahasan naik gunung, film ini buatku tidak terasa membuatku jadi bernostalgia ke pengalaman ataupun cerita-cerita tentang pasar itu.
The Palace of Wisdom gives 2 out of 10 gold stars for PASAR SETAN.

 

 




That’s all we have for now.

Apakah kalian punya pengalaman seram saat naik gunung?

Silakan share ceritanya di komen yaa

Yang penasaran sama serial detektif cilik Home Before Dark yang kusebut di-review Petualangan Anak Penangkap Hantu kemaren, bisa subscribe Apple TV untuk menontonnya yaa. Mumpung ada promo free seminggu nih. Tinggal klik di link ini https://apple.co/3SqRITp

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



KERETA BERDARAH Review

 

“Trains are a reminder that life is always on the move.”

 

 

Naik kereta api, tut.. tut.. tut!! Siapa hendak semaput? Genre horor kita dibawa naik kereta api oleh sutradara Rizal Mantovani. Kereta api sendiri, selalu adalah setting yang menarik untuk dijadikan cerita. Malah udah kayak subgenre tersendiri. Mau itu misteri detektif kayak ceritanya Agatha Christie, Murder on the Orient Express, atau action kayak Bullet Train, drama thriller psikologis The Girl on the Train, atau bahkan kisah perjuangan kayak di film jadul Kereta Api Terakhir, mekanisme dan cara kerja kereta api yang melaju cepat dan banyak gerbong mampu menambah suasana semakin intens lewat konsep kereta api yang unik; ruang tertutup yang bisa mencakup begitu luas. Belum lagi ruang tersebut juga menawarkan tantangan pada pemandangan sinematik yang mungkin untuk dicapai. Metaforanya juga bisa banyak. Kereta api yang berhenti di tiap-tiap stasiun bisa dilihat sebagai perlambangan kehidupan. Bong Joon Ho, misalnya, mengomentari struktur kelas sosial masyarakat pada Snowpiercer, film sci-fi post apocalyptic yang menceritakan penyintas yang berada dalam kereta api yang melaju kelilingi dunia. Maka dari itulah film Kereta Berdarah ini bikin penasaran. Meskipun kecurigaanku soal film ini mungkin cuma ingin meniru Train to Busan (2016) – horor zombie populer dari Korea yang juga merupakan komentar sosial dari gaya hidup kapitalis yang individualis – ketat membayangi, aku menontonnya karena ingin tau apa yang mau ditawarkan oleh film ini dengan penggunaan set kereta api.

Sentral dari cerita adalah dua kakak beradik, Purnama dan Kembang. Purnama ngebook perjalanan naik kereta api khusus ke resort untuk menghabiskan hari bersama adik kesayangannya. Sebagai perayaan dia sudah keluar dari rumah sakit. Tapi dua kakak beradik, dan penumpang lainnya, hanyalah turis. Mereka gak tahu menahu kalo kereta dan jalurnya yang baru saja diresmikan itu punya masalah, bahkan sejak masih dalam proyek pengerjaan. Jalur Kereta Sangkara yang bergerbong lima, dibuat menembus hutan lebat keramat. Hutan yang kini penunggunya amat sangat marah. Perjalanan Purnama dan Kembang yang mestinya ceria berubah menjadi mengancam nyawa karena setiap kali kereta mereka masuk terowongan, akan ada gerbong yang menghilang. Diteror lalu diambil oleh sang penunggu untuk dijadikan bagian dari hutan.

Naik bis, terjebak konflik separatis. Naik keretaapi, kena teror hantu. Kak Hana lain kali naik pesawat aja yaa!

 

Keputusan film tepat dengan early membahas drama di balik hubungan Purnama dan Kembang. Purnama yang tampak bersemangat (dimainkan oleh Hana Malasan  sebagai karakter yang tampak ceria, ekspresif, dan rather flirtatious di luar) ternyata menyimpan sesuatu. ‘Rahasia’ Purnama akhirnya terbaca oleh Kembang (Zara Leola jadi adik yang tampak lebih ‘realistis’ dari kakaknya). Dan tahulah kita semua kalo Purnama yang baru keluar dari rumah sakit, ternyata bukan karena dia telah sembuh dari kanker. Purnama hanya mencuri waktu untuk menghabiskan hari-hari terakhirnya bersama sang adik. Bagi Purnama, hidupnya telah ada di stasiun terakhir. Dengan actually membicarakan hal ini di awal-awal, ketika nanti teror supernatural beneran terjadi menimpa Purnama dan Kembang, kita jadi punya pegangan dramatis untuk mengkhawatirkan mereka. Bukan lagi sekadar pengen mereka survive dari setan. Melainkan ada layer yang lebih dalam. Relasi dan konflik yang sudah dibangun ini menambah intensnya horor karena kita jadi peduli apakah mereka bakal tetap bersama atau tidak.

Namun hidup bukanlah stasiun, Hidup justru adalah kereta apinya. Inilah yang jadi inner journey Purnama. Hidup adalah kereta api yang terus bergerak, stops at no station. Dari lahir hingga mati, kehidupan merupakan perjalanan yang konstan oleh perubahan dan tantangan.

 

Sangkara yang jadi nama kereta api yang mereka tumpangi diambil dari bahasa sanskerta.  Yang dapat diartikan sebagai perjalanan batin yang mencerminkan pengalaman, pertumbuhan, dan perubahan seseorang dalam konteks emosional dan spiritual. Ini klop dengan yang dilalui Purnama, seorang penderita kanker yang sudah mau menyerah dan pasrah menghadapi akhir hayatnya. Yang sudah capek berjuang. Horor dan teror gaib yang dia alami bersama adik yang berusaha ia lindungi akan membuka matanya untuk melanjutkan hidup. Sebagai protagonis utama, Purnama memang tidak terlalu banyak dikenai derita fisik lagi, tapi mentalnya-lah yang terus ‘diserang’. At one point, dia melakukan suatu hal mengerikan yang bisa dilakukan oleh manusia beradab, yaitu membunuh orang. Gak sengaja atau tidak, dia harus dealing with aksi yang ia lakukan ini mentally.

Secara desain memang penulisan film ini cukup niat. Dari urusan nama misalnya, bukan hanya Sangkara tadi yang seperti dipikirkan untuk perlambangan. Ada juga nama karakter yang bakal jadi kayak heads up terhadap apa yang terjadi pada karakter itu di akhir cerita. Perkara setting kereta api sebagai konsep horor, dimainkan oleh film menjadi teror yang time sensitive dari gerbong-gerbong yang menghilang setiap kali kereta masuk melewati terowongan. Ini menghasilkan dua efek yang berbeda, pertama karakter jadi berburu dengan waktu untuk segera keluar dari gerbong yang bakal menghilang – ini menambah keseruan. Dan kedua, membuat cerita jadi predictable dan repetitive. Sehingga jadi agak boring. Desain hantunya sendiri sebenarnya seram dan juga klop dengan cerita. Bentuknya berupa demon stration, eh salah, demon hutan, Setan dengan sulur-sulur kayu yang bakal menjerat korban. Membuat mereka keluar urat-urat sebelum akhirnya meledak. Mitologi kemarahan setan digali dari tema manusia dan alam, serta kepercayaan mistis vs, pandangan materialistis. Tapi dalam penceritaannya, disederhanakan lagi menjadi si kaya lawan si miskin. Di ‘gerbong’ inilah film stop bekerja original dan malah jadi kayak di’shoe-horned’ kepada cerita Train to Busan.

Kecurigaanku yang merambat tadi ternyata benar. Film ini jadi agak lupa diri karena di tengah, dia jadi lebih kayak kopian versi lite dari Train to Busan. Ujug-ujug ada soal orang kaya yang gak mau orang miskin masuk ke gerbong eksekutif/VIP mereka. Ada bisnisman jahat yang mau cari selamat sendiri. Ketika Train to Busan melakukan bahasan itu, tema ceritanya tepat dan konsisten. Film itu ingin menunjukkan gimana orang Korea modern lebih memilih untuk selamatkan diri sendiri, atau golongan mereka. Jurang pemisah antarkelas di sosial mereka terbentuk karena orang jadi individualis baru bisa sukses. Bahkan karakter utamanya paralel dengan bapak kaya yang egois, karena dia juga awalnya cuma mementingkan keselamatan putrinya. Pada Kereta Berdarah, bahasan si kaya dan si miskin kayak dipaksa masuk karena tidak benar-benar inline dengan permasalahan perjuangan hidup yang dimiliki Purnama dan adiknya. Pembahasannya pun seadanya kayak gimana orang kaya sombong kepada orang miskin seperti di sinetron-sinetron.

review Kereta Berdarah
Serem-serem begitu, kereta api mah aman nyimpan uang di dalam tas, gak ada yang nuker jadi keramik

 

Ini makin unfortunate karena sebenarnya bahasan pekerja lawan bos juga sudah dibuild up. Tapi karena gak paralel dengan karakter utama, maka dua bahasan ini gak benar-benar saling menyokong. Dan Putri Ayudya yang berperan sebagai penumpang yang identitasnya adalah istri dari pekerja proyek rel yang hilang – yang udah ngasih penampilan akting sangat serius sebagai seorang dengan bantuan pendengaran, kayak melebihi dari yang diniatkan film – jadi kayak tidak diberdayakan maksimal oleh film ini. Dengan level akting begitu, mestinya ada lebih banyak adegan dan bahasan cerita tentang permasalahan karakternya. Buatku kasian sekali karakter dengan bobot tak kalah dramatis ini terkesampingkan. Penonton di studioku malah ketawa dengan nada “oh please not again” loh waktu dia untuk kesekian kalinya ngasih lihat foto suaminya kepada karakter lain. Menurutku, penonton gak salah juga bereaksi begitu. Toh basically memang cuma itu yang dilakukan oleh karakter Ramla ini pada sebagian besar durasi. She needs more screen time.

Di babak akhir, film memang kembali ke rel yang lurus yakni permasalahan Purnama dan Kembang, dan untuk beberapa waktu, mereka bersama Ramla. Film menghandle penyelesaian dengan cukup tepat, melingkar ke permasalahan Purnama di awal. Menutup journey-nya for good. Namun di bagian ini aku juga berpikir harusnya film bisa melakukan dengan lebih baik lagi. Karena ending film yang mestinya haru, sekaligus optimis, cenderung lebih terasa flat. Karena film kebanyakan mengeja apa yang sebenarnya terjadi kepada para karakter. Momen-momen penyelesaian itu diisi terlalu banyak oleh eksposisi penjelasan, padahal mestinya bisa lebih kuat (dan aku yakin penonton pun pasti bisa menyimpulkan sendiri) jika film menyerahkan kepada tanda-tanda fisik dari karakter yang selamat. Tapinya lagi, kalo diingat-ingat memang begitulah sebagian besar dialog film ini ketika hal sudah mulai ‘menapaki’ misteri. Dialognya suka berubah menjadi ejaan penjelasan. Takut yang dirasakan karakter aja sering kurang membekas karena dialog mereka jadi lebih menjelaskan gerbong hilang setelah lewat terowongan.

 




Film ini sebenarnya punya modal untuk jadi dirinya sendiri. Karakterisasi dan drama personal diberikan kepada tokoh utama ceritanya. Inner journeynya ada. Ini kan sebenarnya adalah perjuangan seorang penderita kanker untuk mengarungi hidup. Untuk memperkaya bahasan, film juga punya komentar tentang nasib pekerja di perusahaan yang cuma tau cuan dan citra. Film juga punya unsur lokal dengan kepercayaan tahayul, dikontrakan dengan pandangan modern.  Desain horornya juga stands out enough. Tapi semua itu belum digodok dengan benar-benar matang. Film ini jadinya kayak mencukupkan diri dengan goal sederhana yaitu menjadi seperti Train to Busan, dan modal-modal tadi dijejalkan ke penceritaan yang serupa film tersebut. Agak sayang aja film ini kemungkinan hanya akan diingat karena bandingannya dengan film lain yang lebih populer, padahal mestinya kita bisa punya horor decent dengan setting kereta api, 
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for KERETA BERDARAH.

 

 




That’s all we have for now.

Apa kalian punya pengalaman seram waktu naik kereta api?  Apa film favorit kalian yang berlangsung di dalam kereta api?

Silakan share ceritanya di komen yaa

Yang penasaran sama serial detektif cilik Home Before Dark yang kusebut di-review Petualangan Anak Penangkap Hantu kemaren, bisa subscribe Apple TV untuk menontonnya yaa. Mumpung ada promo free seminggu nih. Tinggal klik di link ini https://apple.co/3SqRITp

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



MINI REVIEW VOLUME 14 (SOCIETY OF THE SNOW, SELF RELIANCE, NAPOLEON, WONKA, SOUND OF FREEDOM, EILEEN, NEXT GOAL WINS, MAESTRO)

 

 

Kompilasi pertama di tahun 2024 ini disusun sebagai semacam penebusan rasa bersalahku buat film-film Indonesia yang tahun lalu cukup sering dicuekin. Maka, bulan Januari ini, film-film Indonesia yang dapat review full, sementara film impornya dikumpulin untuk edisi iniii. Here they are!

 

 

EILEEN Review

Udah cukup lama gak nemu trope Manic Pixie Dream Girl, eh tau-tau muncul dalam film garapan William Oldroyd, dan ini bukan romance atau something yang fun. Melainkan sebuah thriller psikologis!

Gak banyak yang ngomongin soal film ini, padahal ceritanya lumayan intriguing, dengan ending yang dibikin open perihal akhir dari dua karakter sentralnya. Atau mungkin satu karakter? Di situlah menariknya. So it’s about perempuan muda bernama Eileen, yang gak pernah kemana-mana karena harus ngurus ayahnya; pensiunan sheriff yang kasar dan paranoid, perempuan yang meskipun kerja di penjara tapi hidupnya datar dan bosenin. Sampai penjara tempatnya bekerja kedatangan psikolog baru; Rebecca. Perempuan yang lebih dewasa, lebih berani, lebih luwes, ah betapa menariknya si pirang itu di mata Eileen. Rebecca clearly perwujudan dari hidup ‘impian’ Eileen, relasi mereka benar-benar digali namun dengan underline ambigu dan cukup dark. One thing right yang dilakukan oleh film dalam relasi mereka adalah dengan establish bahwa Eileen bukanlah sudut pandang yang reliable.

Banyak adegan yang caught me off guard, Eileen tiba-tiba menembak kepalanya sendiri, lalu aku baru nyadar adegan itu cuma yang dibayangkan oleh Eileen dan yang dia lakukan sebenarnya berbeda total. Hal-hal kayak gini yang bikin menarik karena kita seperti berjalan di dalam kepala Eileen. Kepala yang punya banyak dark dan deep thought. Tapi di sisi lain, aku bisa melihat kenapa film ini score audiens Rotten Tomatoes-nya rendah. Simply, tidak akan memuaskan jika cerita tidak ngasih kejelasan yang lebih clear dari karakter-karakternya.

The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for EILEEN

 

 

MAESTRO Review

Honestly ini satu film di akhir 2023 yang sengaja kulewat karena kelihatan tipe Oscar bait, biografi berat, method acting, dan banyak ngobrolnya. Tapi ternyata baitnya itu banyak juga yang kena masuk nominasi-nominasi penting di Oscar. Jadi sekarang aku punya PR berat harus nonton film karya Bradley Cooper ini.

Dan setelah nonton, aku rasa aku punya pendapat aneh soal film ini. I know ini adalah cerita tentang komposer legendaris Leonard Bernstein, tentang karir dan kehidupan cintanya. Tapi kok rasanya lebih menarik jika dibahas dari sudut pandang istrinya – yang diperankan oleh Carey Mulligan? Karena istrinya ini yang kayak lebih banyak menanggung drama perihal suaminya yang openly kepada kerabat juga suka lelaki. Konflik internal Leonard memang diselami, gimana dia merasakan efek hampa dari rumah tangganya terhadap performanya menggubah musik. Tapi karena juga dibangun dia seorang genius, dan dia gak pernah benar-benar memilih, cerita dari sudut pandangnya ini jadi lebih kerasa kayak momen-momen untuk showcase ‘bagaimana menjadi seorang Leonard Bernstein’ saja ketimbang beneran sebuah journey karakter.

Makanya film ini jadi terkesan pretentious. Dengan segala treatment hitam putih dan segala macam, film ini masih terasa bermain di area luaran dari kehidupan karakter titularnya.

The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for MAESTRO

 

 

 

NAPOLEON Review

Satu lagi biografi yang masih bermain di luaran. Karya Ridley Scott ini supposed to be epic, tapi malah kayak skip-skip kisah perjuangan Napoleon Bonaparte tanpa banyak menyelami tokohnya sebagai karakter dengan segala kericuhan emosi manusiawi.

Napoleon yang di medan perang gagah naik kuda putih, di rumah tangga ‘galau’ karena pengen punya anak, tapi istrinya yang suka selingkuh, tidak bisa memberikannya anak. Yang diincar film ini sebenarnya kita bisa mengerti; film ingin mengontraskan gimana Napoleon di medan perang, dengan ketika dia di rumah. Dan tentunya juga gimana ketika dua itu bersatu. Apa yang bakal diprioritaskan oleh pejuang yang cinta tanah airnya tersebut. Namun permasalahan utama datang dari pijakan siapa Napoleon itu sendiri. Kita tidak pernah diajak mengenal dia terlebih dahulu. Kita hanya tahu dia orang ambisius, yang punya strategi dan also flawnya tersendiri. Kita tidak melihat ke dalam, kenapa dia bisa menjadi seambisius itu.

Aku gak pernah terlalu mempermasalahkan keakuratan sejarah, kostum, atau malah bahasa sekalian. Karena aku sendiri juga gak paham, dan kurang banyak baca. Hanya, ketika karakternya tidak bisa kita ikuti, ketika kita hanya disuruh lihat kehebatan dan kejatuhannya, film jadi masalah karena hanya kayak cerita kosong. Hiburan nonton film yang durasinya panjang banget ini cuma adegan-adegan perangnya saja. Adegan perang di salju buatku lumayan memorable.

The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for NAPOLEON.

 

 

 

NEXT GOAL WINS Review

Dari kisah nyata tim sepakbola American Samoa yang bukan hanya gak pernah nyetak gol, tapi juga terkenal lantaran pernah kalah dengan skor lebih dari 30 – kosong lawan Australia. Aku bahkan bukan penggemar sepakbola, tapi aku tetap nonton karena tau ini buatan Taika Waititi, jadi aku ngerti ngarepin humor yang seperti apa. Dan aku memang beneran terhibur menyaksikannya sampai habis.

Humor khas Waititi udah kayak acquired taste. Waititi mendaratkan karakter sebagai manusia dengan membuat mereka bertingkah konyol dan norak. Terkadang konsep ini susah diterima oleh penonton, terutama ketika manusia yang jadi subjek cerita diambil dari misalnya tokoh nyata, atau sesuatu yang dipandang lebih serius. Waititi pernah mencupukan drakula, menorakkan Dewa Asgard, pernah mengkonyolkan ideologi nazi, dan kali ini dia mengkarikaturkan perjuangan atlet sepakbola. Buatku ini gak masalah. Yang perlu diingat adalah dia tidak melakukan itu untuk semata meledek, tapi untuk membantu kita melihat karakternya di level yang menapak. Hati di balik ceritanya masih terasa serius. Kayak di film ini.

Secara plot, memang ini formula standar tim/karakter underdog yang bakal berjaya di pertandingan/kompetisi. Mereka menang sebagai bentuk menjadi diri yang lebih baik, yang ‘dipelajari’ selama latihan dan menjalani hubungan persahabatan bersama. Tapi dengan konsepnya, Taika Waititi bisa membuat ‘match puncak’ cerita ini punya penceritaan yang berbeda. Dan konsep penceritaan itu works, karena karakter-karakternya lebih mudah untuk kita dekati. Protagonis utama film ini adalah pelatih kulit putih yang dikirim untuk melatih tim samoa, awalnya sebagai hukuman. Bagi si pelatih, ini juga adalah journeynya menemukan peace terkait sepakbola dan hubungannya dengan putrinya. Taika Waititi juga ngasih pendekatan baru sehubungan dengan relasi putrinya tersebut. Jadi, kelihatan usaha untuk tidak membuat cerita ini kayak white savior story, dengan bahasan ke grup sepakbola dan protagonis sama-sama berjuang memperbaiki diri. Menurutku sebenarnya film ini bisa lebih banyak lagi bermain di arahan yang kuat, dan mestinya bisa benar-benar lepas dari formula bangunan cerita yang sudah seperti ada standarnya.

The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for NEXT GOAL WINS.

 




SELF RELIANCE Review

C’mon. Ada Anna Kendrik, ada Jake Peralta, dan ini film dibuat oleh Nick Miller! Of course, I’m gonna watch it and like it!!!

Bias aside, kupikir komedi-thriller debut penyutradaraan Jake Johnson ini dosanya cuma satu. Kurang aneh. Pembelajaran karakternya terlalu on the nose diakui oleh si tokoh utama. Sepanjang ngikutin cerita menguak itu, kayak, kita ngarepin kekonyolan yang lebih wah, tapi film seperti menahan diri. Hampir seperti agak sedikit terlalu mengasihani karakter utamanya. Atau mungkin, Jake gak mau terlalu absurd pada film pertamanya ini, jadi merasa kudu jaim dikit.

Padahal dari ceritanya aja udah gak biasa. Pria bernama Timmy kesepian yang bosan sama hidupnya (bukan bosan hidup loh) terpilih ikut game dark web aneh berhadiah uang yang banyak. Selama sebulan dia akan jadi buruan, orang-orang akan membunuhnya, jika dia tidak bersama orang lain. Jadi Timmy berusaha meyakinkan kerabat untuk terus bersamanya. Dia sampai membayar gelandangan untuk basically jadi bayangannya ke mana-mana. Premis yang menggelitik. Karakter-karakternya ajaib, mulai dari keluarga Timmy yang gak percaya, sampai pemburu-pemburu dengan ‘cosplay’ unik. Yang paling bikin ku ngakak adalah ‘ninja-ninja’ tim produksi dark web yang ngikutin Timmy tanpa disadari. Bahasan yang dikandung di balik itu semua sebenarnya juga sama menariknya, tema utamanya adalah soal hubungan kita dengan orang lain – kepercayaan, ketergantungan, dan sebagainya. Menurutku film ini berhasil ngehandle bahasan tersebut dengan baik di balik karakter dan situasi yang gak biasa.

The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for SELF RELIANCE.

 

 

 

SOCIETY OF THE SNOW Review

Kita tahunya cerita tentang tim rugby Uruguay yang pesawatnya jatuh di pegunungan Andes 70an adalah cerita yang cukup sensasional. Horor, kalau boleh dibilang. Karena mereka survive berminggu-minggu itu dengan terpaksa jadi kanibal. Makan daging dari teman-teman mereka yang gugur lebih dulu. Sutradara Spanyol J.A. Bayona mengadaptasi buku yang menceritakan kisah survivor, menjadi film yang tidak menjual horor keadaan tersebut, melainkan film yang dengan respek menyelami keputusasan personal dari yang masing-masing para penyintas kejadian tersebut alami.

Lihat saja gimana film menceritakan soal makan mayat itu sendiri. Dilema moral yang dialami para karakter terasa bahkan lebih menusuk daripada angin salju mematikan yang harus mereka tahan. Dulu Hollywood pernah bikin film dari kisah ini. Film Spanyol ini melakukan banyak hal lebih baik dari yang dilakukan oleh film tersebut. Film ini benar-benar membangun para survivor sebagai satu tim. Kita melihat mereka sebelum, saat, sesudah kejadian naas tersebut. Karenanya, kita dibuat merasakan langsung naik turun dan penderitaan mereka. Cara film membalancekan porsi, serta juga tone cerita juga sangat apik. Jelas ini bukan cerita satu tim yang bisa diapproach dengan komedi seperti yang dilakukan Waititi di Next Goal Wins tadi, tapi film ini paham untuk tidak serta merta menjual tragedi dari tim ini. Hubungan erat mereka yang terjalin semakin erat dipotret benar seperti dari sudut pandang anak muda. Momen-momen kayak mereka menikmati secercah cahaya mentari terasa sama kuat dan menggetarkannya dengan momen mereka harus meringkuk saling menghangatkan badan di tengah dinginnya malam.

Yang dilakukan sedikit aneh oleh film ini menurutku cuma naratornya. Berbeda dengan film Alive buatan Hollywood tahun 1993 dulu, film ini gak punya karakter utama yang jelas. Narator yang ‘bicara’ kepada penonton actually adalah tokoh yang enggak survive, tewas di pertengahan cerita. Mungkin ini disadur langsung dari bukunya. Menurutku, paling baik jika kita menganggap karakter utama film ini adalah mereka semua sebagai satu tim. Bukan sebagai perseorangan. Walau, sangat jarang sekali ada naskah yang mengtreat sudut pandang utama seperti begitu.

The Palace of Wisdom gives 7.5 gold stars out of 10 for SOCIETY OF THE SNOW.

 

 

 

SOUND OF FREEDOM Review

Film ini bukannya tanpa kontroversi. Meski maksudnya baik. Sutradara Alejandro Monteverde mengangkat isu perdagangan anak, crime serius yang berlangsung – ngerinya – di berbagai belahan dunia. Lewat film ini dia ingin supaya kepala-kepala kita lebih serius menoleh ke persoalan ini. Betapa mengerikannya bagi orangtua untuk kehilangan anak. Sindikat dan tindak kriminal ini harus segera diberantas hingga ke akar-akarnya. Dan ultimately jangan sampai ada anak lain yang jadi korban.

Masalahnya film ini easily fall ke jebakan cerita yang seperti diacknowledge Taika Waititi di Next Goal Wins tadi. Bahwa ceritanya bakal jadi kayak glorifikasi white savior belaka. Lubang jebakan inilah yang tidak diberhasil terhindari sepenuhnya oleh penceritaan Sound of Freedom. Alih-alih mencuatkan awareness kita terhadap kasus perdagangan anak, film yang diangkat dari penyelamatan nyata ini hanya seperti mengadegankan ulang dengan fokus cerita kepada keberhasilan si karakter utama, polisi kulit putih, memenuhi janjinya kepada ayah korban. Walaupun si protagonis ini reflect so hard soal dia juga sebagai ayah, dan bisa saja itu terjadi kepadanya, tapi film ini memang tampak seperti terlalu Hollywood dengan aksi penyelamatan heroik dan sebagainya. Seolah itulah jualan utamanya.

Belum lagi gambaran penculikan anak, dan keadaan anak-anak yang jadi korban itu divisualkan terlalu sering dan terlalu gamblang. Yang sebenarnya gak perlu. Seperti yang kusebut waktu review Like & Share (2023), kita tidak perlu ‘melihat’ langsung untuk bisa bersimpati.

The Palace of Wisdom gives 4 gold star out of 10 for SOUND OF FREEDOM

 

 

 

WONKA Review

“Oompa, Loompa, doompa-dee-doI’ve got another review for youOompa, Loompa, doompa-dee-deeIf you are wise, you’ll listen to me”

Hahaha enggak ding. Aku suka aja sama lagu Oompa Loompa, baik itu di versi film original maupun versi film Tim Burton. Such a classic characters, Willy Wonka dan Oompa Loompa. Ketika ada film barunya, digarap oleh Paul King yang udah sukses ngasih dua film Paddington yang penuh fantasi dan komedi, aku dilanda ekspektasi dan kebingungan sekaligus. Wonka versi mana yang bakal diikutin. Turns out, film ini seperti berhasil mengambil jalan tengah dalam mempersembahkan kisah Willy Wonka waktu masih muda. Dan film ini pun dengan gemilang mengadaptasi karakter-karakter unik – yang di film-film terdahulu bisa kita perdebatkan ‘sedikit usil atau memang secretly jahat’ – ke dalam sebuah penceritaan magical dan kini terasa lebih bersahabat. Lezat!

Seperti coklat, what’s not to like dari film ini? Paling mungkin si Wonka-nya sendiri, yang tampak agak terlalu optimis dan terlalu baik. Film ini ceritanya tentang Wonka yang tiba di kota, bermaksud membuka toko coklat sendiri. Tapi buka usaha itu gak gampang. It’s about rebutan pasar. Bisnis vs. idealis. Wonka ketipu dan kini dia malah harus menebus dirinya kerja di laundry, never to make chocolate again. Bersama teman-teman yang tersentuh oleh coklat dan keajaibannya, Wonka berjuang membangun tokonya sendiri. Karakter Wonka ini toh punya vulnerable dan misi personalnya sendiri. Dia pengen penuhin janji kepada ibu. Dan ini yang mendaratkan karakter yang punya segudang coklat ajaib itu. Kemudahannya membuat coklat, keajaiban-keajaiban sulapnya, itu bukan exactly yang ingin dibahas oleh film. Struggle seorang seperti Wonka-lah yang jadi menu utama.

Tone sebagai hiburan keluarga terasa kuat, adik-adik yang baru kenal akan terhibur karena di sini juga banyak musical numbers yang sama ajaibnya, sementara kakak-kakak yang pengen nostalgia akan seseruan melihat gimana awal Wonka bisa kerja sama ama Oompa Loompa

The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for WONKA.

 




 

 

That’s all we have for now

Januari memang kerasa panjang banget. Dengan mini review ini, berarti ada total 14 film yang berhasil direview bulan ini. Awal yang bagus untuk 2024. Semoga bisa bertahan di sekitaran ini untuk ke depan yaa hahaha

Thanks for reading.

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



PETUALANGAN ANAK PENANGKAP HANTU Review

 

“Greed makes a ghost story”

 

Sebagai anak yang tumbuh bersama generasi kartun Scooby-Doo dan buku-buku detektif misteri anak seperti Trio Detektif dan Lima Sekawan, tentu saja aku tertarik pengen nonton film Jose Poernomo yang satu ini. Genre yang terbilang langka buat anak-anak di masa sekarang. Serta merupakan langkah yang cukup beresiko di tengah gempuran horor ‘beneran’ di skena perfilman lokal. Terbukti saja, saat menonton memang cuma aku satu-satunya ‘anak’ di dalam studio. Anak-anak benerannya mungkin pada lebih tertarik sama horor yang lebih dewasa, atau sama film orang pacaran. Enggak sepenuhnya bisa disalahkan, tapi aku heran aja sih. Karena, di luar bagus atau tidaknya kualitas, konsep sekelompok anak kecil membantu orang dewasa memecahkan kasus misteri ini used to be staple dalam cerita untuk anak-anak. Cerita-cerita semacam inilah yang awalnya memperkenalkan anak-anak 90an ke genre horor atau misteri atau thriller whodunit. Apakah zaman memang sudah seberubah itu? Anyway, kembali ke filmnya. Petualangan Anak Penangkap Hantu mengikuti format cerita detektif misteri anak, enggak ada hantu beneran – cuma manusia yang tamak sebagai dalang kejahatan. Lucunya, yang perlu dijadikan catatan adalah, film ini, berakhir jadi beneran creepy. Tapi untuk alasan yang lain.

Anak Penangkap Hantu adalah nama grupnya. Anggota mereka adalah Rafi, Chacha, dan Zidan. Dari poster dan hiasan di kamar masing-masing, kita tahu Rafi anaknya suka petualangan, Zidan brain of the group, dan Chacha, well, kamarnya berhias poster Princess Disney, versi live action modern! Jadi kita tahu Chacha bukan anak cewek lemah yang harus diselamatkan. Malahan, Chacha dengan senang hati berperan sebagai umpan saat mereka mulai menangkap ‘hantu’. Ya, tiga anak ini pemberani, slogan mereka aja “Saatnya hantu takut sama anak-anak!” Geng APH percaya hantu itu gak ada, mereka menangani banyak kasus hantu yang ternyata adalah kasus orang mau maling, lalu nyamar jadi hantu. Kepercayaan mereka tersebut mendapat ujian, saat mereka dimintai tolong oleh Kak Gita untuk mengungkap kasus kutukan penunggu hutan di desa Segoro Muncar. Desa tersebut telah lama kekeringan dan banyak kasus orang hilang. Gak gampang bagi geng APH menguak kasus di sana, karena kepercayaan mereka berbenturan dengan adat istiadat warga desa yang percaya sama makhluk gaib. Makhluk yang, by the way, dalam beberapa kesempatan menampakkan wujudnya. Menakuti-nakuti Rafi, Chacha, dan Zidan.

You know Zidan is a ‘real deal’ begitu lihat di kamarnya ada poster Elon Musk sebelahan ama poster Einstein lol

 

Sebenarnya apa sih yang bikin cerita detektif misteri anak-anak seperti ini bisa menarik bagi audiens cilik? Ini pertanyaan yang bikin aku kepikiran, kenapa dulu waktu kecil aku rela telat ikut main di luar rumah, supaya gak ketinggalan episode Scooby-Doo? Sampai nekat nyelipin buku Trio Detektif di dalam Al-Quran untuk dibaca di sela-sela belajar ngaji? Yang bikin kecantol in the first place, rasanya adalah dunia dan karakter-karakter ceritanya. Entah itu Scooby-Doo (anjing yang bisa ngomong!) dan sobat manusianya Shaggy yang lucu dan paling penakut, Georgina di Lima Sekawan yang tomboi dan lebih suka dipanggil George, atau trio Jupe-Pete-Bob dengan dinamika mereka yang saling mengisi kelemahan masing-masing.  Lalu tentu saja misteri yang ditawarkan. Misteri siapa yang jadi hantu, siapa sebenarnya pelaku, gimana sesuatu yang mengerikan ternyata cuma trik. Bukan hanya soal jawaban, tapi ada sesuatu yang justru melegakan buatku saat masih kecil itu untuk mengonfirmasi bahwa hantu yang selama itu mengganggu Scooby-Doo ternyata cuma manusia. Bukan hantu beneran. Bahwa semua hal supranatural ada penjelasan masuk akalnya. Ngikutin cerita membuka tabir misteri, walaupun masih dalam tahap sederhana, selalu sukses jadi daya tarik.

Untuk urusan pembangunan misteri tersebut, film Petualangan Anak Penangkap Hantu ini pun melakukannya dengan cukup menarik. Setidaknya, berhasil menjaga di dalam garis yang bisa dinikmati oleh penonton cilik. Unsur horor sebagai red herringnya cukup tampak mengerikan dengan benda-benda bergerak sendiri dan sosok hantu yang seperti melayang dengan jubah menjuntai. Dari segi penulisan, film ini pun masih dalam taraf yang bisa dimengerti oleh anak. Tidak banyak memakai istilah yang membingungkan. Investigasinya ringan. Jawaban berbagai misteri soal kenapa desa kekeringan, kenapa banyak orang yang menghilang, kenapa hantunya bisa kayak gitu, bisa gerak-gerakin benda, perlahan diungkap dan dijawab di akhir dengan penjelasan yang bisa dimengerti oleh anak-anak. Penonton cilik akan bisa mengikuti misteri yang dihadirkan. Sembari melakukan itu, film ini juga bicara kepada penontonnya tersebut soal gimana generasi sekarang, generasi yang lebih muda, harusnya bisa lebih menghormati budaya sendiri. Aku suka alasan pertama Rafi ingin menolak rekues kasus dari Kak Gita, karena dia takut nanti mereka tak tahu adat di sana, takut mereka nanti salah bertindak dan dianggap tidak menghormati warga. Sudut pandang warga yang percaya hal gaib dalam cerita ini diwakili sebagian besar oleh Wak Bomoh yang diperankan oleh Sujiwo Tejo. Beliau adalah tetua yang mengurusi ritual-ritual kepercayaan sehubungan dengan penunggu hutan di desa, yang berperan sebagai rintangan terbesar geng APH dalam menyelidiki kasus. Wak galak ini yang ngasih larangan dan aturan-aturan yang tak boleh dilanggar, termasuk main ke hutan. Yang, ya bisa ditebak, setengah aturan tersebut langsung dilanggar oleh APH yang malah kemping di dalam hutan dekat tempat sesajen hahaha

Untuk penonton dewasa, film ini lewat kasus yang ditangani APH kayak ngasih gambaran lucu. Karena, ini adalah kasus di mana seseorang yang berkuasa memanfaatkan kepercayaan warga untuk keuntungannya pribadi. Ketamakannya membuat ia tega mengarang cerita palsu dari kepercayaan warga, ketamakannya membuat ia rela melakukan stage act, aksi-aksi panggung, gimmick hantu untuk memuluskan uang masuk ke koceknya. Di mana ya sepertinya kita melihat tindak-tanduk yang sama?

 

Walau konflik dan dinamika antarkarakternya juga bisa dimengerti dan dekat dengan anak-anak, karakter-karakter ceritanya itu sendiri masih belum luwes. Masih seperti hidup dalam pengertian orang dewasa yang berusaha menulis karakter anak. Urusan karakternyalah, menurutku, letak kelemahan film ini. Dinamika yang menarik sebenarnya ada, kayak, Rafi dalam usia beranjak remaja, mulai naksir-naksiran sama Chacha. Natural dan relate, hanya film ini seperti gelagapan menjadikan itu sebagai sandaran utama menghidupkan karakter. Selebihnya karakter film ini, at best, aneh. Di momen satu-satunya cerita ini ada stake – saat geng APH actually dalam bahaya – film meremehkan efek kejadian tersebut untuk momen flirt Rafi ke Chacha. Bayangkan anak sekecil itu jatuh dari tebing karena tali panjat tebingnya diputus, dan dia masih bisa bercanda untuk memancing simpati temannya.

Panjat tebing? film ini punya wild sense of adventure. Mungkin untuk menunjukkan anak-anak jaman sekarang sangat capable menggunakan gadget dan teknologi, maka film menggunakan banyak aksi yang way over the top sebagai sarana para detektif cilik menginvestigasi kasus. Jadi, mereka ingin menelurusi sungai untuk melihat kenapa air sungai itu kering dan alirannya gak sampai ke desa. Karena gak mungkin jalan kaki sejauh itu, maka kupikir mereka akan menggunakan drone. But oh boy, betapa kelancanganku sebuah dosa besar. Rafi, Chacha, Zidan yang pemberani itu pakai drone? Cuih lemah. Mereka langsung terbang ke lapangan, as in terbang melayang pakai parasut! In a way, kalolah film memang mengincar sesuatu yang over sebagai pengganti momen-momen komedi dari tingkah laku ajaib Scooby dan Shaggy, aku pikir film ini berhasil dengan segala gadget parasut, panjat tebing, dan hal-hal luar biasa untuk dilakukan sekelompok anak kecil di dalam hutan seperti itu. Tapi masalahnya, momen-momen aksi itu cuma momen. Vibe film, apakah seru over the top, apakah konyol seperti Scooby Doo, apakah spionase sersan (serius tapi santai) seperti Spy Kids, tidak diset oleh film. Yang diset baru soal misteri dari peristiwa supranatural.

Muzakki Ramdhan udah kayak McKenna Grace versi Indo, filmnya begitu banyak sehingga kayak muncul random, kadang dia masih kecil kadang dia udah dewasa

 

Pemerannya, Muzakki Ramdhan, Giselle Tambunan, M. Adhiyat, sih tampak fun-fun aja. Film yang justru seperti kesusahan membentuk karakter mereka. Tidak ada development. Yang ada justru karakter mereka seperti berubah-ubah. Kadang Zidan kayak serius pinter, kadang kayak anak kecil clueless ala film horor yang malah mendekat ke arah bayangan hantu. Film juga cuma bisa nunjukin Zidan ama Chacha kakak-adik dengan adegan pelukan setiap kali mereka selamat dari kejaran hantu. Selebihnya, mereka jarang sekali berinteraksi berdua. Si Rafi, kadang disebut pemberani, tapi di lain adegan justru dia yang paling teriak-teriak ribut saat sesuatu yang seperti hantu menampakkan diri. Kalo kita ambil perbandingan kartun Scooby-Doo sekali lagi, Rafi ini kayak Fred dan Shaggy disatukan. Scooby-nya siapa? Well, karakter di film ini memang seperti kekurangan sesuatu. Maskot. Kalo di cerita detektif cilik 90an, biasanya geng protagonis punya peliharaan. Ada Scooby, ada Timmy. Yang fungsinya perekat yang menyatukan para karakter. APH punya paman yang nyupirin mereka ke mana-mana. Namanya Bang Dul. Dia inilah yang perannya seperti Scooby-Doo, sebagai comedic relief, juga sebagai penolong anak-anak.

Dalam cerita yang ditulis dengan lebih matang (meski cerita untuk anak), karakter-karakter itu tidak akan melulu soal menyelediki hantu. Akan ada growth pada sifat mereka. Maybe, kelompok ini akan gagal, atau akan berselisih paham, atau berpisah, lalu dibantu damai kembali oleh Bang Dul yang membuat mereka melihat situasi dan kesalahan mereka. Karakter Kak Gita, juga tidak akan cuma jadi orang yang minta tolong, lalu jadi korban hilang. Kenapa orang dewasa sampai meminta tolong anak-anak, juga akan digali oleh naskah yang kuat penulisan karakternya. Tidak hanya sekadar menyederhanakan karena mereka sudah terkenal mampu. At least, saat nanti dalam bahaya, harusnya ada kekhawatiran dari orang dewasa seperti Gita. Film ini kelewat simpel, sampai-sampai hal menjadi unintentionally menjadi amat sangat creepy, dan di film ini justru jadi solusi, justru jadi waktu bagi karakter Bang Dul memenuhi fungsi perannya sebagai penolong. Bang Dul berhasil melacak Gita karena dia yang kesengsem sama gadis itu diam-diam telah menaruh tracker di dalam kalung yang ia berikan. Duh! Film ini mau bicara tentang tindak kriminal? That is the crime hahaha

 




Aku senang ada film ini. Genre detektif cilik selalu dapat tempat di hati. Menurutku anak-anak perlu lebih banyak tontonan horor atau misteri yang benar selevel dengan mereka. After all, bayi merangkak dulu baru bisa lari kan. Hanya saja, untuk standar cerita anak sekalipun, film ini aim terlalu rendah. Dari segi penulisan kasus dan arahan misteri supranaturalnya, film ini cukup mengerti bagaimana melakukan itu ke dalam level penonton anak-anak. Kadar ngerinya pas, kadar teka-teki atau investigasinya pas. Tidak sampai berat atau membingungkan. Tapi dari segi penulisan karakter, film ini masih meraba-raba. Akibatnya karakterisasi geng protagonis tidak konsisten, mereka beneran lebih kayak sekelompok anak di tempat yang tak seharusnya, dan tau-tau bisa banyak hal dan memecahkan kasus. Lewat bantuan tindakan seorang creep hahaha…. Menurutku, vibenya aja sih yang belum terset dengan kuat. Biarkan anak-anak bertingkah seperti anak-anak, dari situ cerita akan bisa lebih flexible. Mau konyol seperti Scooby Doo bisa, mau agak serius seperti serial detektif anak Home Before Dark (2020-2021)-nya si Brooklyn Prince juga bisa.
The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for PETUALANGAN ANAK PENANGKAP HANTU

 




 

That’s all we have for now.

Sedih juga film ini kemaren yang nonton di studioku cuma aku sendiri. Menurut kalian apakah memang anak-anak sekarang kurang tertarik sama genrenya? Kenapa, apakah karena mereka terlalu cepat dewasa?

Silakan share pendapatnya di komen yaa

Yang penasaran sama serial detektif cilik Home Before Dark yang kusebut di-review (2 season), bisa subscribe Apple TV untuk menontonnya yaa. Mumpung ada promo free seminggu nih. Tinggal klik di link ini https://apple.co/3SqRITp

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL