ULAR TANGGA Review

“Virtue always pays and vice always punished”

 

 

Dunia permainan ular tangga sejatinya adalah dunia peradilan yang teramat adil.

Pada puncaknya kita akan mendapat hadiah, kita naik tangga buat meraihnya. Hukuman permainan ini adalah apabia kita menyentuh ekor ular, dan meluncur turun, menjauh dari puncak. Ini adalah permainan anak-anak yang enggak sekadar permainan keberuntungan. Pada papan permainannya sendiri, tangga biasanya diikuti ilustrasi tokoh kartun yang melambangkan kebaikan, sedangkan ular diikuti oleh tindak tokoh yang berkonotasi degradasi, keserimpet kulit pisang yang dibuangnya sendiri, misalnya. Ada pesan moral dalam ular tangga. Berakar dari kebudayaan India, ular tangga mempunyai metafora yang lebih luas lagi. Di sana, permainan ini diasosiasikan dengan karma. Pembebasan dan emansipasi. Setiap kolom tangga melambangkan sifat kebajikan dan kolom ular represents sifat terburuk manusia. Naik tangga berarti melakukan kebaikan dan kita akan mendapat reward. Do bad things, kita bisa saja berakhir dengan mengulang langkah dari awal. Seluruh perjalanan dalam ular tangga, aslinya, adalah perjalanan mencapai nirwana.

Dude, that’s deep.

 

Sayangnya, tidak ada satupun mitologi ataupun simbolisme permainan ular tangga yang disangkutpautkan ama film Ular Tangga garapan Arie Azis. Ini adalah film tentang board game yang nyaris nothing to do with the actual game. Maksudku, kita bahkan enggak nemu ular tangga hingga menit ke tiga puluh. Sedari menit awal film malah dengan gencarnya memaparkan soal mimpi dan mekanisme dunia dalam cerita, yang enggak pernah benar-benar make sense. Usaha make believe film ini gagal total karena ceritanya tidak punya lapisan apapun. Film horor ini MELEWATKAN KESEMPATAN YANG LUAR BIASA BESAR dengan tema yang mestinya bisa diolah menjadi cerita psikologikal dan spiritual. But walaupun horor, film ini enggak ada seram-seramnya sama sekali. Dan karakter-karakternya, hehehe.. karakter apaaan? There is no single soul in the movie yang bisa bikin kita peduli.

Aku suka banget permainan ular tangga. Aku sering bikin sendiri pake kertas buku kotak-kotak buat dimainin sama keluarga kalo lagi pulang libur lebaran. Ular tangga yang aku bikin biasanya pake tema mash up dari video game ataupun film kartun, misalnya Pokemon. Makanya aku jadi ngebet nonton film ini. Meski begitu aku juga sadar reputasi film horor Indonesia yang masih muter-muter di tempat. Jadi, aku masuk ke bioskop dengan keadaan jantung yang sudah siap banget buat dikaget-kagetin. Mungkin karena udah berprasangka buruk duluan itulah, alih-alih berasa happy kayak abis naik tangga, aku malah merasa merosot di punggung ular turun jauuuuhh banget setelah beberapa menit duduk menonton film ini.

my favorite landing spot: balik ke start!

 

Ular Tangga menceritakan tentang sekelompok anak muda pecinta alam yang pergi naik gunung buat ngeliat sun rise. Kisahnya sendiri kata posternya diangkat dari kejadian nyata di Curug Barong, tapi kita enggak ngeliat curugnya, jadi aku enggak tahu seberapa besar porsi cerita-beneran film ini. Premis yang mendasari cerita sangat sederhana; pengen naik gunung, hambatannya adalah mereka nyasar dan kemudian menemukan permainan ular tangga dari kayu yang membawa petaka meminta jiwa. Cara ringkas jelasin film ini adalah banyangkan film The Forest (2016) dengan elemen Insidious. Tokoh utama kita, Fina (so boring sehingga Vicky Monica tidak bisa sekalipun kelihatan meyakinkan), adalah orang yang punya bakat indigo. Dia mendapat penglihatan tentang keselamatan teman-temannya. Dia juga berkomunikasi dengan dua hantu anak kecil. Dengan belajar menggunakan kemampuannya tersebutlah, Fina memecahkan misteri di balik semua kejadian gak make sense yang menimpanya.

-Naik gunung.
-Ular tangga ada NAIK tangganya.
-Ular melambangkan setan.
Semua koneksi sederhana terhampar di sana, tinggal nyambungin. Dan film ini entah bagaimana bisa gagal melihatnya! Hasilnya kita mendapat cerita luar biasa poornya sehingga memanggil dirinya film adalah pujian yang terlalu manis.

 

Film ini begitu enggak kompeten dan sangat males sehingga penulisannya terasa kayak dikerjakan oleh anak kecil. I dunno, mungkin dua hantu cilik di film ini bosen main ular tangga dan memutuskan untuk ngetik naskah, dan tidak ada yang beranjak untuk melarang mereka. Dialog seadanya, tidak berbobot, dan cenderung bikin kita ngikik. At one time si tokoh cowok jagoan bilang gini “Kotak ini pasti penting” dan dia melanjutkan kalimatnya dengan “Kita buka besok” tanpa rasa bersalah whatsoever hhihi. I mean, kalo memang penting, kenapa ngebukanya mesti nunggu ampe besookk???? Tidak ada effort dalam narasi film ini. Antara plot poin, ceritanya tinggal meloncat-loncat gampang banget. The whole actual script sepertinya memang cuma sesederhana: mereka naik gunung -> nyasar ke rumah tua -> ngikutin hantu -> dapetin ular tangga. Mimpi dan jump scares adalah kombinasi maut yang justru jadi senjata utama film ini. Environment enggak pernah dimanfaatkan sehingga hutan yang mengurung mereka jadi sama membosankannya dengan para tokoh yang ada.

Tidak ada motivasi pada tokoh-tokohnya, terutama yang bernapas. Mereka cuma going around ngelakuin pilihan-pilihan yang dogol. Aku enggak bisa mutusin mana yang lebih bloon antara masuk ke rumah tua, atau setelah masuk malah milih tidur di pekarangan rumahnya. Tidak ada stake. Tidak ada development. Tokoh yang diperankan Alessia Cestaro yang nyebut hutan dengan “hyutan” diperlihatkan jutek ama tokoh Shareefa Daanish, namun tidak pernah dibahas kenapa dan apa alasannya, lantas mereka jadi saling bersikap normal begitu saja. Tidak ada arc yang dibangun. Kita tidak tahu siapa tokoh-tokoh ini, hubungan mereka secara personal. Para pemainnya cuma punya satu job; tampak ketakutan, dan mereka semua gagal mengerjakan tugas mereka. Tidak ada emosi tersampaikan.

Dalam film ini ada penampilan dari beberapa aktor yang cukup mumpuni, namun mereka hanya diutilize sebagai tokoh pemberi info. Pengecualiannya si Shareefa Daanish. Dia terlihat kompeten enough memainkan tokoh seadanya. Film ini nekat masukin twist, yang saking maksainnya, malah terasa kayak mereka sadar cerita mereka boring dan belokin cerita dengan harapan para penonton enggak menduga. Namun memang soal twist tersebut masih bisa aku maafkan, lantaran it eventually leads us ke adegan yang paling ingin kita lihat seantero durasi film; aku yakin orang-orang yang tertarik nonton film ini pasti ingin liat this particular scene; Shareefa Danish ngelakuin hal yang creepy!

Joget Lingsir Wengi

 

Jam rusak yang mati pun sesungguhnya benar dua kali dalam sehari. Selain the very last scene, ada satu dua shot film ini yang terlihat cukup meyakinkan. Aku suka momen ketika tokohnya Shareefa Daanish duduk di ruangan penuh lilin, di sana ada lemari yang punya cermin, dan tampak sosok hantu nenek pada pantulan cermin tersebut. Shot pohon besar dan adegan ketika Fina berjalan dengan lentera juga lumayan surreal.

Namun buat sebagian besar film, production designnya terkesan amatir. Enggak detil. Aku enggak tau kalo cekikan bisa menimbulkan luka sayatan pada leher. Memilih untuk menggunaan efek praktikal buat sebagian hantu sesungguhnya adalah usaha yang patut diacungi jempol, hanya saja eksekusinya terlihat agak kasar. Film ini berusaha menggabungkannya dengan efek komputer, resulting penampakan yang enggak mulus. Kelebatan hantu malah jadi komikal dengan gerakan yang dipercepat dengan over. Editingnya juga terasa enggak klop. Film ini menggunakan tone warna keabuan yang mungkin buat menimbulkan efek misterius. Lagu pengisi yang digunakan, tho, terkadang terasa berbenturan keras dengan nuansa yang dibangun. Film ini sepertinya sudah turut siap untuk diputar di televisi karena ada beberapa jeda yang seolah sengaja dijadikan slot buat pariwara.

Fina dan teman-temannya melanggar batas wilayah yang seharusnya tidak boleh dimasuki oleh penjelajah. Sama seperti filmnya yang melanggar satu garis batasan yang semestinya dihindari jauh-jauh oleh film horor. Yakni menjadi gak-sengaja lucu. Ada banyak momen ketika tawa malah memenuhi studio bioskop tempat aku menonton, misalnya ketika salah satu teman Fina kepayahan menggotong tubuh rekannya. Atau ketika tangan hantu anak kecil itu dipegang oleh mereka. Buatku ada satu momen yang bikin aku kesulitan berhenti terbahak, yaitu ketika kamera memperlihatkan peta pendakian gunung yang Fina dan teman-teman bawa. PETANYA KAYAK PETA DI UNDANGAN NIKAHAN!!! Hahahaha.. Gak heran kenapa mereka tersesat. Gak heran perasaan Fina enggak enak about perjalanan mereka. Kocak banget mereka mampu nyediain papan kayu ular tangga tapi enggak bisa ngasih peta yang lebih proper. It’s just a lazyness, people!




Nyaris tidak ada redeeming quality, film ini kalo dijadiin permainan ular tangga pastilah isinya ular melulu. Cuma ada satu tangga pendek. Adalah sebuah problem besar jika film horor malah jatohnya unintentionally funny dan enggak seram. Penulisan, penokohan, penampilan, semuanya terlihat tidak kompeten. Tidak ada bobot apapun. Mungkin diniatkan sebagai petualangan horor, tapi gagal dalam penyampaian. Film ini melewatkan kesempatan yang begitu besar karena Ouija: Origin of Evil (2016) sudah membuktikan board game bisa dijadikan materi horor yang compelling jika digarap dengan sungguh-sungguh dan enggak males.
The Palace of Wisdom gives setengah dari kocokan dadu ‘snake eyes’ for ULAR TANGGA. 1 out of 10 gold stars!

 

 





That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We? We be the judge.


KONG: SKULL ISLAND Review

“You have enemies? Good. That means you’ve stood for something, sometime in your life.”

 

 

Bertamu ke rumah orang, kita mestinya sopan. Kita enggak gedor pintu depan rumahnya. Kita enggak nyelonong boy masuk tanpa permisi, apalagi kalo belum kenal. Kita enggak lupa nyiram kamar mandi sekiranya kita numpang ‘ngebom’. Heck, kita should never ngebom beneran rumah orang yang kita datengin. Tapi tim ekspedisi dalam film Kong: Skull Island terbang masuk ke pulau misterius yang baru saja ditemukan lewat citra satelit sembari memborbardir daratan. Tim yang terdiri dari beberapa ilmuwan dan sekelompok tentara itu dikirim dalam  sebuah misi pemetaan. Tentu saja, misi tersebut punya tujuan lain dan dengan segera investigasi mereka berubah menjadi acara penyelamatan diri lantaran pulau tersebut ternyata dihuni oleh monster-monster superbesar. Dan yang paling gede di antara mereka, Kong si primata raksasa, enggak demen daerahnya kemasukan tamu asing yang kasar. Berisik pula!

Beberapa sekuens aksi dan kejar-kejaran yang dihadirkan oleh film ini sangat impresif. Dan menyenangkan juga, bikin kita geregetan sendiri. Selalu menarik melihat makhluk-makhluk gede saling berantem. Actually, reboot film King Kong klasik (1933) ini adalah bagian kedua dari, atau katakanlah, ‘sekuel terpisah’ dari seri monster yang dimulai oleh Godzilla (2014). Sepertinya memang mereka berniat buat bikin cinematic universe ala-ala yang dilakukan oleh Marvel. Film ini bahkan PUNYA ADEGAN EKSTRA SEHABIS KREDIT loh. Dan kalo nantinya dunia cerita ini (mereka menyebutnya MonsterVerse) berujung dengan Kong bertemu Godzilla, well kupikir kita sudah tahu siapa yang akan menang. Kita, para penonton!

Monkey see Marvel, Monkey do Marvel

 

Ngeliat Kong menumbuk monster-monster lain adalah hiburan mutlak. It looks very cool. It’s a gigantic monster versus gigantic monster. Kalo itu enggak menghibur maka aku enggak tahu lagi apa kriteria untuk bisa masuk kotak berjudul menghibur. Adegan PERTARUNGAN TERAKHIR SI KONG ADALAH YANG TERBAIK. Sekuensnya selalu disyut dalam wide shot yang panjang dan benar-benar kerasa epik. Jordan Vogt-Roberts, sutradara film indie keren; The Kings of Summer (2013), kepilih untuk ngegawangi film ini. Kayaknya sekarang memang sudah jadi kebiasaan Hollywood buat ngegaet sutradara muda yang udah sukses nelurin karya independen. Godzilla sebelum ini, disutradari oleh Gareth Edwards yang ngeroket dengan film indienya; Monsters (2010). Film Jurassic World (2015) jugak ditangani oleh sutradara indie. It’s nice Hollywood ngasih kesempatan. Namun berkaca dari hasil akhir proyek-proyek blockbuster yang mereka tangani, aku jadi suudzon kepikiran; jangan-jangan Hollywood iri dan sengaja ngasih skrip seadanya buat sutradara-sutradara ini kerjakan.

Mas Hollywood: “Selamat yaah buat 500 Days of Summers”
Mark Webb: “Makasih, Mas. Ajak-ajak dong kalo ada proyek hehehe”
Mas Hollywood: “Oh boleh. Nih!”
(Ngasih naskah The Amazing Spiderman)
Mas Hollywood: “Coba kita lihat bisa enggak kamu bikin jadi lebih bagus”
Mark Webb: (ragu-ragu abis baca skrip sekilas) “Anu..dicoba ya, Mas…”
Mas Hollywood: “Sanggup ya sanggup, enggak ya enggak. Kamu mau gak?!”
Mark Webb: “….Oke deh…”

 

Aku enggak tahu apakah kejadiannya beneran seperti itu, namun setelah selesai menyaksikan Kong: Skull Island, pikiran negatif memang tak terbendung lagi. I kinda feel bad buat sutradara film ini. You know, seolah sutradara-sutradara indie adalah tamu di scene Hollywood, dan penghuni-penghuninya enggak suka kemudian lantas mengospek dengan memberikan materi yang banyak kurangnya.

Ketika di atas tadi aku nulis soal final battle Kong adalah yang terbaik, sebenarnya yang aku maksudkan adalah literally seperti demikian.  Adegan berantem Kong, terutama yang di akhir itu, bener-bener adalah kerja terbaik yang diberikan oleh film ini dari awal sampai akhir. Arahan film ini nyatanya lumayan jelek. Ketika kamera ngeliatin Kong, ya semuanya keren dan seru dan fun. Tetapi ketika kita nunduk ngeliat para tokoh manusia, maka kita akan ngeliat tubuh-tubuh yang siap jadi karung tinju Kong beserta penghuni pulau lainnya. Tidak ada karakter sama sekali. Film ini sempat nyinggung soal hollow earth, well yea, padahal dirinya sendiri sangat kopong dalam pengkarakteran. Editing filmnya juga terlihat kasar, dengan perpindahan yang agresif secara visual. Sebenarnya aku sedih juga ngerasa annoyed sama cara film ini disambung.

Pada bagian action, film ini banyak makek gaya slow-motion yang membuat kita jadi teringat sama film-film action Michael Bay. Sekuen berantem di bar di babak awal diedit dengan begitu parah sehingga kayak film kelas amatir. Mendengar dari musik pada banyak adegan, film ini pengen mengeluarkan suasana layaknya film perang, hanya saja terdengar enggak klop sama ‘dunia’ yang berusaha dibangun oleh ceritanya. Apocalypse Now dengan Moby Dick enggak bisa nyatu sempurna hanya karena kita muterin lagu CCR sebagai latar. And don’t make me start on the humor. Lelucon-lelucon yang terujar di sepanjang film, nyaris semuanya enggak lucu, garing. Film ini berusaha keras buat jadi lucu, but it just doesn’t work. Karena kita enggak dibuat peduli sama tokoh-tokohnya. Karena film ini tidak berhasil menghasilkan tone yang selaras.

 

Hanya dua karakter yang bisa dibilang menarik di dalam film ini. Tokoh yang diperankan oleh Samuel L. Jackson dan John C. Reilly. Cuma mereka juga yang berhasil bikin kita terkekeh ketawa. Tapi itu pun bukan karena penulisan yang oke, melainkan karena dua aktor ini actually sudah sangat kompeten dan lucu. Kharisma merekalah yang membuat dialog yang mereka ucapkan jadi ngena dan berbobot.

Hank Marlow yang diperankan John C. Reilly punya backstory cukup kompleks sebagai pejuang Perang Dunia Kedua yang terdampar di pulau ini bersama seorang tentara Jepang. Musuh menjadi teman ketika orang ngadepin masalah yang sama. Sejarah tokohnya ini sebenarnya bisa jadi landasan yang compelling sebagai pemantik emosi, namun film memutuskan bahwa Marlow paling suitable jadi karakter eksposisi semata. Marlow yang udah tinggal di pulau sejak Perang tersebut, hanya ditujukan sebagai pemberi info. Dia jadi bintang cuma di adegan eksposisi gede saat dirinya ngajak para tokoh lain ke sebuah ruangan yang banyak gambar-gambar di dinding batu, di sana dia nyeritain sejarah pulau dan peran Kong di pulau tersebut.
Tokoh Samuel L. Jackson, Jenderal Packard, ditulis punya semacam hubungan spesial dengan perang. Dia terlihat bergairah ketika mendapat panggilan tugas ke Pulau, padahal tadinya dia lesu sebab kloternya akan dipulangkan dari medan pertempuran. Penokohannya menarik, ada sesuatu di dalam dirinya, kita bisa rasakan kenapa dia butuh banget berperang. Dia menanamkan rasa dendam hanya supaya dia bisa terus punya misi. Dia ngerasa enggak hidup jika enggak mengangkat senjata, ataupun jika enggak ada perintah.

Apa yang membuat sesuatu kita anggap musuh. “Musuh itu tidak ada, sampai kita mencarinya”, film ini menggelitik kita dengan kalimat tersebut. Pertanyaan yang penting adalah kenapa kita merasa perlu mencari musuh. Dalam film ini, kita melihat Jenderal Packard terus mencari ‘musuh’ karena dia ingin menunjukkan bahwa dia punya prinsip di dalam hidup. Dia punya sesuatu yang ia lindungi, begitu juga dengan Kong. Tapi yang harus disadari adalah kita juga perlu membuka diri karena tidak semua intervensi adalah serangan; bahwa kita bisa unite dalam menghadapi sesuatu yang lebih besar lagi.”

 

Selebihnya, populasi film ini adalah tokoh-tokoh manusia yang kosong. Mereka membosankan. Ada sih yang dibikin punya anak yang menunggu di rumah, tapi kita enggak peduli. Mereka ini adalah tokoh yang diciptakan supaya Kong dan monster-monster lain punya kerjaan. Karakter yang diperankan oleh Tom Hiddleston adalah veteran keren yang jago ngetrack orang dan piawai berantem pake tongkat biliar. That’s it. Dia diajak ke Pulau karena kemampuannya ngelacak. Cuma ada satu adegan di mana dia ngobrol hati-ke-hati mengenai apa yang terjadi di masa lalunya. Tokohnya Brie Larson lebih parah lagi, cewek ini adalah fotografer. Titik, itu karakternya; liat tulang gede, dijepret. Liat suku asli, dijepret. Liat Kong berantem, dijepret. Dia enggak benar-benar ngelakuin apapun, she’s so bland.

syarat casting film ini: cakep, bisa lempar granat, dan bisa lari slow motion.

 

Visualnya juga enggak bagus-bagus amat. Beberapa momen malah terlihat palsu, kelihatan kayak tidak benar-benar ada di sana. Aku mengucek mata ketika melihat satu adegan di babak tiga, di mana Conrad dan Mason berada di antara Kong dengan Packard, karena adegan tersebut kelihatan kayak the worst green screen, kayak yang pernah kita tengok di prekuel Star Wars. Juga ketika Mason mencoba menyentuh Kong, seharusnya adegan ini sangat emosional, tapi jangankan kita, tokoh Masonnya sendiri kelihatan tidak konek dengan adegan tersebut. Jika The Jungle Book (2016) yang disyut di green room dan kelihatan kayak di hutan beneren, maka Kong: Skull Island ini kebalikannya; sebagian besar berlokasi di lapangan betulan, namun malah seluruhnya kayak ditake di dalam studio. Padahal mestinya mereka bisa bermain banyak dengan environment Skull Island yang misterius dan keren.

 

 

 

Usaha yang dilakukan oleh film ini buat nutupin kehampaan karakternya adalah dengan mendedikasikan babak ketiga sepenuhnya sebagai babak aksi dahsyat. Persis kayak yang dilakukan oleh Rogue One (2016). Mereka mengisi film dengan hal-hal yang ngereferensiin sesuatu yang sudah kita kenal sehingga kita excited, dan membawa sebanyak mungkin tokoh-tokoh yang enggak mateng digarap ke sekuens impresif di babak akhir supaya kita ngerasa “wuihhh!” dan berpikir bahwa ini adalah film yang bagus. Tapi enggak. Ini cuma usaha lain dalam mengulang dan meniru dunia sinematik Marvel demi mendulang uang. Buat yang suka ngeliat Kong berantem lawan monster doang, film ini akan menghibur berat. Namun jika suka liat monster kelahi dan actually peduli sama karakterisasi dan hal lain semacamnya, kalian enggak rugi kok kalo enggak nyempatkan waktu singgah ke hollow world film ini.
The Palace of Wisdom gives 4.5 gold stars out of 10 for KONG: SKULL ISLAND.

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

Fastlane 2017 Review

 

Hidup berjalan dengan cepat. Kata papa Alessia Cara, saking cepetnya kita jadi kayak rumput, we are just withering away. Ferris Bueller sih bilangnya “Life moves fast but if you don’t stop and look around once in a while, you just might miss it.” Kevin Owens mungkin ngambil dan ngaplikasikan saran dari film terrific tersebut, namun sayangnya Ferris Bueller belum pernah bertemu satu-lawan-satu dengan Goldberg. Karena it just doesn’t work like that di hadapan Goldberg. Pertandingan berjalan dengan cepat, tapi ketika kau mencoba ngestall dan berjalan berkeliling beberapa kali, you just might be the next in line kena kombo Spear-dan-Jackhammer.

Sudah kodratnya sebagai acara terakhir sebelum Wrestlemania, ATRAKSI GULAT YANG HEBAT BUKANLAH MENU UTAMA yang dihidangkan oleh Fastlane. Misi show ini adalah buat ngebungkus storyline yang ada, yang kemudian jadi landasan terang buat agenda narasi di Wrestlemania empat minggu kemudian. Namun bukan berarti pertandingan di Fastlane jelek-jelek semua. Malam 5 Maret iu penonton di arena Chicago menyaksikan langsung beberapa momen yang unexpected – agak mengesalkan, toh tetep sebuah kejutan – yang muncul berkelabatan di antara momen-momen filler yang membebani acara ini.

dan Stephanie mau motong ‘bola’ Mick Foley

 

Musik entrance Neville yang sejak heel temponya diperlambat adalah salah satu bukti bahwa memang terkadang kita perlu go slow untuk mencapai hasil yang maksimal. Jika Neville adalah hal terbaik yang timbul dari konsep Cruiserweight yang coba dibangkitkan oleh WWE, maka pertandingan kejuaraan antara Neville dengan Jack Gallagher adalah match pertama yang bikin divisi ini terlihat urgen, sekaligus compelling sebagai suatu eksistensi yang serius dan berpotensi gede. Sering kita salah paham dengan menganggap cruiserweight adalah soal kecepatan dan gerakan-gerakan terbang semata. Style gulat untuk superstar berbobot menengah ini sebenarnya juga adalah soal teknik. It’s about the preciseness. Seperti yang sudah diperlihatkan oleh both Gallagher dan Neville dalam match ini. Pertandingan mereka terasa khas dengan tone dan gaya yang benar-benar berbeda, bukan hanya dari keseluruhan acara malam ini, melainkan juga dengan pertandingan cruiserweight yang kita liat di ppv sebelum-sebelum ini. Rebound-German Suplex dari Neville sangat mulus. Headbutt Galagher telak banget bersarang berkali-kali, adegan Neville terkapar di atas turnbuckle terlihat begitu surreal. Pertandingan yang penuh oleh energi yang juga semarak dengan spot-spot segar dari karakter kedua kubu. Jack Gallagher sangat intriguing, karena jarang banget kita ngeliat karakter komikal yang benar-benar mampu membuat kita percaya dia bisa memenangkan sabuk kejuaraan.

Partai Cruiserweight udah kayak pelanduk nyisip di sela-sela matchnya pegulat supergede. Sepertinya memang roster Raw padet banget ama powerhouse. Hampir semua card di acara ini ada monster gedenya. Samoa Joe adalah aset ‘monster’ teranyar yang dipunya oleh Raw, dan langsung diberikan push demi memperlihatkan dominasinya. Ada kemungkinan arahan karakter Samoa Joe ini pada awalnya berbeda dari yang kita lihat sekarang, things could be different jika Rollins enggak cedera. Malang memang tak-dapat ditolak, cedera tersebut enggak juga bikin ‘rugi’ Sami Zayn dan Joe, in some ways. Pertandingan mereka lumayan hebat dan klop banget sebagai pembuka acara. Kedua superstar ini harusnya bisa nyuguhin jauh di luar kotak ‘pertandingan yang didominasi oleh Samoa Joe’. Aku perlu nekanin sekali lagi, niatan nomor satu acara Fastlane adalah buat negasin storyline, match bagus hanya bonus, jadi di sini mereka hanya perlu Sami sebagai babyface charismatic yang ‘dihancurkan’ oleh si mercenary killer Samoa Joe. The match delivered that purpose perfectly. Namun, kita sesungguhnya baru melihat secuil ujung dari gunung es kemampuan gulat kedua superstar. Dan menurutku, di poin karir masing-masing, pertandingan ini enggak berarti banyak untuk mereka berdua.

Bicara soal yang gede-gede, let’s just address the elephants in the room. Roman Reigns dan Braun Strowman. Kedua superstar ini berbaku hantam dalam sebuah pertandingan yang kita semua bisa nebak hasilnya gimana. Meski memang kita enggak ngerti kenapa hasilnya harus seperti itu. Braun Strowman punya winning streak yang mestinya bisa dipecahin dalam circumstances yang lebih menarik lagi. But you know, we need to make Roman look strong, so yea. Faktanya, pertandingan mereka sebagus apa yang bisa kita harapkan dari dua powerhouse brutal. Seharusnya bisa lebih bagus kalo dibikin straight-to-the-point; diperpendek dan diperkeras lagi. Strowman berhasil menjalan tugasnya dengan baik. Ada kalanya ketika dia enggak butuh ‘boncengan’ Roman. Malahan, dia terlihat ‘ngebonceng’ Roman di sini. Badan gede bukan batasan bagi Strowman in terms of in-ring work. Movenya keras, intens, aku suka gimana dia mengounter Spear menjadi PowerSlam, just like that.

Mamam nih sepatu keren gue; boleh minjem dari Uso

 

Essentially, WWE kudu mikirin gimana cara ngejual dua-puluh-satu detik kekalahan Kevin Owens dengan menarik. Kita semua paham kenapa pertandingan Goldberg wajib untuk dibikin singkat. They are saving Goldberg’s full potential buat Wrestlemania karena dengan umur yang sudah kepala lima, mereka tidak ingin Goldberg mengalami ‘tragedi’ yang sama dengan yang kejadian ama Sting. Akibatnya adalah menjelang peristiwa 21 detik itu terjadi, kita dicekokin banyak momen-momen filler buat mengisi waktu. Enggak semuanya bisa tampil sekocak dan sengeselin Owens yang enggak masuk-masuk ke dalam ring. Mantan Juara Universal Terlama ini piawai sekali memainkan karakter hellnya.

WWE Fastline malah come out sebagai show dengan pace yang sangat lambat, yang terasa banget diulur-ulur, berlawan sekali dengan judulnya.

 

Kita nyaksiin Roman lawan Strowman yang durasinya kelewat panjang. Kita ngeliat New Day keluar promo dengan gerobak es krim. Kita nyengir-nyengir ngeri saat Sasha Banks diobok-obok sama Nia Jax selama beberapa menit sebelum akhirnya menang dengan roll-up doang. But maybe it was okay because Nia is not like most girls. Kita nepok jidat sehabis kejuaraan tag team karena apparently hal yang paling diingat dalam pertandingan yang cukup lama tersebut adalah gimana Enzo ngebotch gerakan Rocket Launcher, finisher tag team mereka. Ada tujuh match dan kita dapet dua match extra yang involving Jinder Mahal dan Rusev, yang aku beneran bingung ke mana arah match tandem ini. Like, apa mereka beneran nyuruh kita peduli ama Jinder Mahal gitu aja tanpa tedeng aling-aling. Penempatan match dua superstar yang mau bubaran tag team ini terasa begitu maksain. The real purposenya memang semata buat mengisi durasi.

Tapi dosa terbesar Fastlane adalah ke Charlotte. Streak kemenangan di ppv putri Ric Flair ini kandas dengan antiklimaks. Reaksi yang dihasilkan enggak seheboh yang harusnya bisa didapat, jika mereka mau menunggu dan dieksekusi dengan lebih properly. Adalah sesuatu yang ganjil melihat tokoh babyface menang dengan enggak murni. Match Charlotte melawan Bayley berakhir setelah ada interference dari Sasha Bank. Dan entah karena semua hal di Fastlane supposedly berlangsung secepat kilat sehingga wasitnya khilaf, atau memang wasitnya dongok, kita tidak pernah mendengar bel tanda pertandingan didiskualifikasi. Padahal jelas-jelas Sasha Banks made contact dengan Charlotter, ada pukulannya yang masuk. Eventually pertandingan ini berakhir dengan memberikan kesan lemah kepada Bayley. Pertama, dia sempat ngotot ngelakuin gerakan di turnbuckle yang obviously got set up in a wrong fashion, dan akhirnya kejadian jualah botch itu. Kedua, kemunculan Sasha Banks membantu enggak benar-benar membantu statusnya sebagai juara yang pantas.

 

 
Selain pertandingan Goldberg, tidak ada lagi yang cepat di Fastlane. Namun demikian aku gak bilang acara ini membosankan karena enggak ada pertandingan yang bagus. Untuk sebagian waktu, penonton cukup terinvest ke dalam story yang jadi elemen utama acara ini. Bookingan acara lah yang bikin event ini enggak special dan, yea, boring. Masukin match dengan maksain. Finishing yang seadanya. Aku juga masih heran kenapa Jericho merasa perlu buat costing Owens that Universal Title match. Kalo aku jadi Jerciho, aku malah ngarep Owens retain jadi aku bisa balas dendam sekalian ada kesempatan ngerebut titlenya. Aku setuju sama teman-teman nobar yang bilang acaranya enggak beda ama nonton Raw. Match yang bener-bener keren dan patut ditonton adalah Cruiserweight Championship antara dua Englishmen; Neville dengan Jack Gallagher. MATCH OF THE NIGHT!

 

 

Full Results:
1. SINGLE MATCH Samoa Joe defeated Sami Zayn.
2. RAW TAG TEAM CHAMPIONSHIP Luke Gallows and Karl Anderson retains over Enzo and Big Cass.
3. SINGLE MATCH Sasha Banks mengalahkan Nia Jax.
4. SINGLE MATCH Cesaro ngalahin Jinder Mahal.
5. SINGLE MATCH The Big Show ngehajar Rusev dan rambut barunya.
6. WWE CRUISERWEIGHT CHAMPIONSHIp Neville mengalahkan Jack Gallagher
7. SINGLE MATCH Roman Reigns defeated Braun Strowman.
8. RAW WOMEN’S CHAMPIONSHIP Bayley bertahan dari Charlotte.
9. WWE UNIVERSAL CHAMPIONSHIP Goldberg jadi juara baru ngalahin Kevin Owens.

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Buat yang di Bandung, kami akan mengadakan nonton bareng pay-per-view WWE, so yea you are very welcome buat ikutan. Senantiasa cek facebook Clobberin’ Time buat info nobar selanjutnya

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 
We? We be the judge.

COLLATERAL BEAUTY Review

“Life is a teacher and Love is the reward in all its forms.”

 

collateral-beauty_poster

 

Film ini sudah berjasa besar dalam mengingatkanku untuk, sebisa mungkin, enggak lagi nonton trailer. Film apapun.

Tidak ada yang lebih ngeselin daripada getting your expectations high up dengan nonton lima-menit-or-so video promo, untuk kemudian mendapati filmnya enggak live it up dengan apa yang sudah mereka imingkan. Ini lebih parah daripada diphpin cewek. Trust me, pengalaman nonton akan lebih menyenangkan jika kita mengetahui sesedikit mungkin tentang film yang bakal ditonton. Jadi itulah kenapa aku males nonton trailer. Tapi kadang ngehindarin trailer cukup sulit daripada kelihatannya. I mean, setiap ke bioskop kita mau-tak mau harus ngeliat beberapa. In fact, saat di bioskop, aku justru lebih senang ketemu trailer ketimbang harus ngeliat iklan komersial. Which is remind me..,

Bioskop, kenapa harga tiketmu semakin mahal tapi iklan malah tambah banyak? Apa kami beneran disuruh nambah bayar buat nontonin iklan?!

 

Begitulah aku kenal dengan Collateral Beauty. Aku nonton trailernya yang diputer di bioskop sekitaran jelang akhir tahun lalu, and I was intrigued by it. Film ini mempersembahkan sesuatu yang unik. Trailernya nyeritain sebuah plot. Ada seorang pria yang dikunjungi oleh personifikasi dari Kematian, Cinta, dan Waktu. Mereka bicara kepadanya, mereka mencoba membantu pria ini keluar dari situasi yang sulit. Dari trailernya seolah ini adalah perjalanan spiritual yang penuh pesan filosofis. Bertabur bintang papan atas pula. Will Smith, Keira Knightley, Edward Norton, Kate Winslet, geng nominator Oscar deh pokoknya. Aku serius nungguin film ini tayang. Namun kemudian, ilang begitu saja di bioskop. Kalah saing ama Rogue One, mungkin saja. Tenggelam sama dua film komedi hits akhir taun Indonesia, bisa jadi. Jawaban yang bisa kusimpulkan dari ketika nonton ini adalah, mungkin para bintang top tersebut malu. Mereka memang seharusnya malu udah main di film ini. Trailernya bo’ong banget. Cerita film sebenarnya sangat berbeda dari apa yang dijual pada trailer. Not even close.

 this is a giant marketing scam
this is a giant marketing scam

 

Film ini sesungguhnya juga bikin aku kagum.
Sebagian besar adegan disyut dengan sangat cakap, menghasilkan visual yang cakep. Penampilan aktingnya pretty good, seperti yang bisa kita harapkan dari para aktor sekelas mereka. Serius nih, aku kagum. Para aktor tersebut bekerja keras, terutama Will Smith. He’s really trying in this. Penampilannya di sini seolah dia sedang mainin film buat nominasi Oscar, seperti yang biasa ia lakukan di film-film ‘andelan’ lain sekitaran Desember setiap tahunnya. Tapi bener deh, gimana film ini bisa membujuk aktor-aktor lain untuk main di film ini adalah hal yang pantas kita admire. I mean, Collateral Damage, eh sori maksudnya, Collateral Beauty punya PLOT LINE YANG LUAR BIASA BEGO, sehingga fakta film ini bisa muncul sebagai suatu eksistensi aja udah merupakan hal yang menakjubkan. Amazing. Amazingly insulting buat cerita-cerita bagus yang masih keliaran nyari jodoh di luar sana, sih lebih tepatnya.

Collateral Beauty menceritakan tentang seorang bisnis man yang sukses bernama Howard. Setelah kematian putrinya yang baru berusia enam tahun, Howard mengucilkan dirinya sendiri. Menutup perasaannya. Dia menolak bicara kepada orang lain, termasuk kepada karyawan dan teman-temannya. Plot utama film ini dibeberkan dalam rentang dua-puluh-menit pertama dan plot tersebut benar-bener beda dari apa yang sudah trailer bikin kita percaya.

Howard begitu patah hati oleh kepergian putrinya sehingga kerjaannya terbengkalai. Tiga teman, yang juga adalah karyawannya, khawatir mereka bakal kehilangan pekerjaan jika Howard terus-terusan ‘pendiem’ kayak gini. Alih-alih beresin urusan dengan klien, Howard menghabiskan jam kantor dengan nyusun domino dan ngeberantakinnya sendiri. Jadi, Whit, Claire, dan Simon (berturut-turut diperankan oleh Edward Norton, Kate Wisnlet, dan Micahel Pena) yang ingin nyelametin leher masing-masing, menyewa private investigator buat ngintilin ke mana Howard pergi. Dengan skill deduksinya, si detektif berhasil mengetahui bahwa Howard mengirim surat kepada Kematian, Cinta, dan Waktu. NOT! Si detektif actually ngebongkar kotak surat, bayangin hahahaha! Kemudian tiga temen Howard membayar tiga pemain teater buat mendatangi Howard berpura-pura jadi sosok Kematian, Cinta, dan Waktu. Supaya apa? Supaya si detektif bisa ngerekam percakapan Howard dengan mereka dan nantinya rekaman tersebut diedit sehingga yang terlihat hanya Howard bicara dengan diri sendiri. Rekaman editan inilah yang nanti digunakan oleh tiga temen Howard buat ditunjukin ke klien; sebagai bukti Howard rada sedeng dan dia enggak seharusnya berada di posisi sebagai atasan, dan pada akhirnya mereka bertiga bisa tetep kerja.

See, plotnya persis kayak film ini sendiri. Manipulatif.

 

Menakjubkan bukan gimana orang-orang kantoran itu punya teknologi yang canggihnya nyaingin teknologi Hollywood; mereka bisa menghapus satu manusia utuh dari video handphone. Haha..ha. Ada begitu banyak hal gak masuk akal pada penulisan narasinya. Kita bisa ngomong sampai bibir item soal betapa terriblenya teman-teman Howard. Misi film ini sepertinya memang ingin nunjukin bahwa istilah temen makan temen di dunia kerja itu adalah hal yang nyata. Apa yang mereka lakuin di sini – Howard sedang dalam keadaan broken yang mendalam, mereka malah nyewa orang, berencana untuk membuat Howard seperti orang gila – it is just tindakan yang, Cinta di AADC 2 bilang “apa yang kamu lakuin itu jahat”. Dan film ini mencoba untuk merasionalkan hal tersebut di akhir.

Sebenarnya adalah konsep menarik tentang hubungan antara manusia dengan Kematian, Cinta, dan Waktu. Sejatinya tidak ada awal dan akhir, waktu hanya digunakan untuk mengukur eksistensi. Kita hanya merasa ada waktu ketika kita either sedang bersama atau sedang pisah dari seorang yang kita cintai. Tapi ultimately kita sering enggak sadar, seperti Howard, bahwa indahnya cinta terus berlanjut bahkan setelah kematian. Film ini nunjukin trauma mengakibatkan Howard menjadi lebih dekat dengan orang-orang yang shared cinta yang sama seiring berjalannya waktu. Hidup mengajarkannya tentang kematian, dengan cinta sebagai hadiahnya. Cinta melampaui waktu dan kematian; dalam kematian ada cinta, dan dalam waktu tidak ada kematian. We are all connected dengan hal tersebut.

 

replace them with Schmidt, Jess, Nick from New Girl dan film ini kayaknya bisa lebih seru. Howardnya ganti ama Winston. Hihi
replace them with Schmidt, Jess, Nick from New Girl dan film ini kayaknya bisa lebih seru. Howardnya ganti ama Winston. Hihi

 

Sayangnya perhatian Collateral Beauty sepenuhnya hanya tercurah kepada nyembunyiin twist sehingga film ini lupa untuk membangun cerita yang benar-benar menyentuh hati. Ada dua ‘kelokan’ cerita di dalam fim ini, yang dua-duanya terungkap menjelang akhir. Dan sama-sama enggak masuk akal. Satu yang menyangkut Howard, jika dipikir-pikir merupakan kebetulan yang teramat mengada-ada. Logikanya nol besar dan actually malah makin merusak film secara keseluruhan. Twist yang satu lagi berdasar kepada bahwa ternyata tidak hanya Howard yang belajar, ketiga temannya actually juga dibahas personal ama tiga ‘spirit’ tersebut. Film ini mencoba membuat kita mempertanyakan apakah ketiga pemain teater tersebut adalah spirit beneran, namun sekali lagi, hal ini justru makin memperparah narasi dan plot line yang memang sedari awal sudah horrible and crazily stupid.

Tidak pernah kita diperlihatkan kehidupan bahagia Howard bersama putrinya, selain adegan memori yang itu-itu melulu, sehingga kita kesusahan buat konek dengan karakternya. Kita tidak pernah melihat sisi bahagia dari Howard. Tidak ada adegan interaksi dengan putrinya, yang mana sangat krusial buat fondasi emosi. Padahal mestinya di dalam film semua harus dikontraskan. Namun karena film ini terlalu napsu nyembunyiin cerita, we don’t get to see that. Hanya ada satu adegan di pembuka di mana Howard girang, dia tertawa, dia ngasih pidato tentang kesuksesan. And that’s it. Cerita lompat ke tiga tahun kemudian di mana Howard pasang tampang sedih ke semua orang.

 

 

 

 

Hal terbaik yang kita bisa bilang buat film ini bahwa dirinya adalah suguhan dengan penampilan akting yang baik namun punya beberapa cacat dalam penulisan dan narasinya. Sesungguhnya film ini sendiri pun sadar akan kelemahannya, tahu bahwa cerita yang ia punya penuh oleh keenggaklogisan, jadi makanya mereka nekat bikin trailer yang nipu abis. Mereka enggak bisa hanya mejengin wajah-wajah pemain yang pernah jadi nominasi Oscar. Jadi ya, mereka butuh some terrible bait-and-switch. Karena, selain dengan trailer, dengan apalagi mereka bisa menjual diri dengan meyakinkan?
The Palace of Wisdom gives 3 out of 10 gold stars for COLLATERAL BEAUTY.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 
We? We be the judge.

Jakarta, Jumat Senja, Hujan, dan Kamu


Jakarta, Jumat Senja, Hujan, dan Kamu
Dulu, di kamusku tak masalah jika 4 kata tersebut berada dalam 1 kalimat.
Ketika orang merutuki 3 kata pertama, aku tetap baik baik saja, karena aku tahu akan selalu ada kata yang terakhir itu.
Jakarta, Jumat Senja, Hujan, dan Kamu.
3 kata pertama adalah perusak bahagia yang utama.
Tapi, aku selalu memiliki kata yang paling akhir.
Yang malah menjadi sumber bahagia termutakhir.

Jakarta, Jumat Senja, Hujan, dan Kamu.
Kini aku turut memaki keempat kata itu.


 

 

 

 

As seen on https://thedeepeyes.wordpress.com/cropped-beautiful-girl-drawing-eyes1

INTERCHANGE Review

“Find me where the wild things are”

 

interchange-poster

 

Interchange adalah film crime-slash-thriller-slash-supernatural keluaran Malaysia, yang bekerja sama dengan PH dari Indonesia; Cinesurya Production. Jadi jangan heran jika dalam film ini kalian akan melihat juga penampilan dari Prisia Nasution dan Nicholas Saputra dalam peran yang sangat berbeda dari yang pernah ia lakoni sebelum-sebelumnya.

I was really intrigued by, say, the first twenty-minutes of this movie. Apa yang ditawarkan oleh film ini jelas adalah sesuatu yang pretty unconventional. Sebagai pembuka, kita disuguhin adegan penampilan nyanyi jazz di nightclub yang sukses berat menghantarkan perasaan surreal. Lagu si biduan berdendang tentang jiwa yang lepas dari raga, gimana enggak creepy dan bikin pensaran, tuh? The very next scene memastikan bahwa Interchange adalah film yang completely berbungkus misteri, as kita ngeliat mayat yang tergantung dalam apa yang nampak seperti ayunan dari untaian tali dan bulu-bulu. Putih kering kerontang dengan urat-urat yang terjuntai keluar. Bahkan Detektif dan dokter forensik yang memeriksa mayat tersebut yakin ini bukan kerjaan manusia, “Pontianak?” duga Detektif Man yang mirip-mirip Mas Adi di Tetangga Masa Gitu.

Tapi itu bukan kali pertama Detektif Man dapet kasus ajaib. Beberapa bulan sebelumnya ada kasus yang persis, yang membuat seorang fotografer kepolisian saat itu musti mundur dan ngambil cuti ‘gak enak badan’ setelah motretin mayat korban. Seperti yang kemudian kita pelajari lewat tuturan cerita, alasan Adam berhenti adalah karena kasus tersebut sangat mengganggu dirinya, terutama pecahan kaca negatif film yang selalu ada di TKP. Namun tentu saja, negatif film kuno ini adalah kunci penting dari misteri. Kita akan melihat Adam, terseret masuk ke dalam kasus ini, dia bertemu dengan orang-orang aneh, dia kenalan ama Iva, cewek misterius yang meminta pertolongan Adam, karena turns out Adam dapat melihat lebih dalem dan mengerti lebih banyak ketimbang Detektif Man.

 

Usaha film ini mengeluarkan NUANSA EKSOTIS DAN GAK-NYAMAN patut diacungi jempol. Ada momen-momen yang tak pelak bikin kita ngerasa merinding hanya oleh betapa weirdnya momen tersebut disyut. Adegan opening tadi, misalnya. Ataupun wide shot pandang-pandangan Adam dengan Iva dari balkon masing-masing yang dihandle dengan luar biasa unsettling. Terasa buat kita, film ini bercermin kepada thriller-thriller sukses. Adam yang kerjaannya sekarang motretin kegiatan penghuni lain apartemen dari beranda kamarnya jelas adalah persembahan buat Alfred Hitchcock’s Rear Window (1954). Aku suka film ini mengambil pendekatan kayak season satu serial True Detective. Kita tanpa tedeng aling-aling digedor oleh teka-teki. Hampir seperti kita bekerja sama dengan detektif dan tokoh utama cerita ini. Jika True Detective berpusat pada mitologi Raja Kuning, maka Interchange MENGGABUNGKAN NOIR DETEKTIF DENGAN MITOS DARI PEDALAMAN RIMBA BORNEO. Film ini menampilkan mistisnya ritual suku Dayak, lengkap dengan simbol-simbol, seperti totem burung enggang ataupun burung rangkong.

Kaca bagi Adam adalah simbol yang menunjukkan keadaan yang terperangkap. Apa yang dibutuhkan oleh Adam adalah merasa bebas, sebagaimana para anggota suku dayak. Film ini bicara tentang pembebasan diri ke alam liar, that is our beliefs. Pikiran kita – kepercayaan kita adalah makhluk liar yang hidup di dalam passion, dalam orang-orang yang kita cinta. Dan tak jarang itu adalah tempat tergelap di dalam pikiran kita. Tapi tak semestinya kita takut. Bisa butuh seumur hidup atau beberapa detik saja seperti Adam untuk kita menemukan tempat liar tersebut, tapi begitu ketemu, just like Adam did, kita akan bebas.

 

Eksplorasi kebudayaanlah yang membuat kita datang duduk untuk menonton Interchange. Kita sukses dibuat penasaran bagaimana mitologi dalam film bekerja. Gimana hutan beton Kuala Lumpur mendapat sisipan hutan belantara Kalimantan. Gimana burung-burung tersebut berperan dalam penyingkapan misteri. Visual dalam film ini, untuk beberapa bagian, lumayan mendukung penceritaan. Efek-efek komputernya cukup hold up buat ditonton sekarang. It’s not very great ataupun very seamless, namun dalam tone cerita yang disturbing dan misterius, efek-efek tersebut melakukan apa yang sudah menjadi tugasnya. Begitu pula dengan praktikal efek yang digunakan. Production design film ini terbilang bagus. Pakaian dan aksesoris tribal serta ‘kostum’ burung tersebut nampak elegan dan nakutin. Mayatnya kelihatan believable dan oke, bikin kita takjub dan penasaran makhluk apa yang bisa ngelakuin hal semacam itu. Pemandangan Nicholas Saputra bertransformasi menjadi burung bakal terpatri lama di benak kita. Namun saat sudah beneran jadi burung, tokoh ini terlihat agak sedikit menggelikan. In fact, I didn’t really sold into penampilan tokoh yang diperankan Nicholas Saputra di film ini. Alih-alih misterius, mengerikan, ataupun disturbing, tokohnya malah tampak kayak cacat.

 Demorph, Tobias, demorph!!
Demorph, Tobias, demorph!!

 

Film ini seharusnya bisa jadi bahan pemikiran dan bikin kita takjub hingga jauh seusai kredit penutupnya nongol. Aku suka film-film surreal, yang bikin penontonnya bingung setengah mati. Film yang bikin penontonnya ngerasa gak nyaman. Menonton Interchange, however, aku malah merasa ada something missing dari film ini. Benar ada simbolisme, akan tetapi lapisan yang bisa dikupas enggak sebanyak yang mestinya mampu ditampilkan oleh film seperti ini. Interchange terasa tidak pernah benar-benar fulfilling, in regards of the storytelling. Misterinya tidak benar-benar menjadi misteri karena semuanya bisa terbaca dengan jelas, kita akan sering menemukan diri kita berada selangkah di depan para tokoh. Dan also memang film ini ternyata tidak fokus sepenuhnya kepada penggalian mitos. Interchange, for most, is a detective story, tanpa red herring ataupun clue yang compelling. Tembak-lurus begitu saja. Tidak semua hal kelihatan sebagaimana ia terlihat, apa yang nampak sebagai kasus pembunuhan bisa saja berarti lain. Namun build upnya begitu muddled dan enggak fokus.

Trying so hard nutupin alur, bagi film ini kemisteriusan datang dari karakter-karakter yang ngomong dengan suara digumam-gumamin, dengan intonasi yang kerap aneh, pula. And I grew up watching Doraemon berbahasa Malaysia di tv rumah di Riau. Serius deh, bukan masalah bahasa bagiku. Masalah film ini adalah pada penulisan dan arahan aktingnya; tidak ada yang bisa kita pegang dari karakter-karakter tersebut. Kita kesulitan untuk merasakan apa yang mereka alami, and that is so sad karena film ini harusnya sangat dekat dengan penonton. Akting pemain sangat goyah dan unconvincing. Semua tokohnya kayak sedang dalam perlombaan siapa yang paling sok misterius. Aku lebih enjoy ngeliat penampilan tokoh minor dalam film ini. Interchange adalah jenis film yang butuh banget ada subtitle, karena penampilan para tokoh sendiri enggak cukup kuat untuk menyampaikan cerita.

Sebagian besar Adam akan kelihatan bengong ketimbang sedang mengalami kebimbangan atau apapun yang seharusnya ia rasakan. Penyampaian Iedil Putra adalah yang paling lemah, tidak ada urgensi dalam pemeranan tokohnya. Kita enggak sepenuhnya yakin kenapa semua perkara tersebut sangat personal bagi Adam. Iva nya Prisia Nasution kayak terjebak di interchange antara menggoda Adam dengan ngulum es batu dengan being vulnerable dikejar polisi. Film ini juga ada adegan berantem, yang dikoreografi lumayan intens sampai Nicholas Saputra terbang melayang pake jurus bangau tong tong. Ada banyak adegan yang jatohnya unintentionally funny. Aku ngikik liat cara berlari Belian. Dan aku sampe ditegur bapak-bapak lantaran keceplosan ngakak ngeliat si Detektif keluar dari mobil dan kencing di pelataran parkir.

Adam Iva lari nyari surga
Adam Iva lari nyari surga

 

 

Karakterisasi adalah hal yang penting dan film ini mengorbankan hal tersebut demi kelihatan misterius. Bekerja begitu keras dan kerap efektif dari sinematografi, namun lemah karena tidak punya akar emosi yang benar-benar nyata; yang membuat kita susah peduli kepada nasib-nasib karakternya. Akibatnya hampir semua hal dalam film ini terasa artifisial. Film ini bermaksud menantang pikiran kita soal makna kebebasan, there is some interesting things going on about motif ‘pembunuhan’ di dalam ceritanya yang akan membuat kita melihat para tokoh dari cahaya yang berbeda, jika saja tokoh-tokoh tersebut diberikan penokohan yang matang. Aku enggak yakin apa yang terjadi sama film ini, karena dua puluh menit pertama sudah terasa sangat menarik. But it went downhill from there. All-in-all tho, aku senang ada film yang berupaya mengangkat cerita kolaborasi budaya seperti ini. It’s nice to see surreal story from around here for a change.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for INTERCHANGE.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

LOGAN Review

“Fuck yeah give it to me, this is heaven, what I truly want; It’s innocence lost”

 

logan-poster

 

Di tahun 2029, Wolverine jadi supir limosin. Dengan nama samaran, dia nganterin penumpang-penumpang yang kebanyakan dari kelas atas, ke tempat tujuan mereka, demi uang yang digunakannya bakal obat buat Profesor X. Masa depan Logan tampaknya memang enggak begitu ceria, semuanya sekarat. Profesor sakit-sakitan. Mutan-mutan punah. Begitu juga dengan kekuatan yang bersemayam di dalam dirinya. Tapi Logan lebih suka begini. Dia selesai dengan ‘permainan’ jadi superhero. Dia letih melihat satu persatu temannya meninggal. Logan dan Charles Xavier sama-sama sudah siap menghadapi takdir mereka, yang membuat mereka deep inside bilang “Alhamdulillah bakal datang juga”. Tapi sebelum kesempatan beristirahat itu tiba, Logan musti kembali mengeluarkan kuku adamantiumnya. Kali ini buat ngelindungin gadis cilik misterius yang diburu oleh sekelompok pasukan. Logan, enggak begitu yakin siapa dan ada apa dengan bocah ini, sekarang harus ngetake care dua orang. Jadi sembari Wolverine mencincang dan menyayat anggota tubuh orang-orang jahat, dia juga harus belajar tentang siapa anak ini – yang tentu saja juga membuat Logan belajar lebih banyak tentang dirinya sendiri, dan hal tersebut menyayat hatinya. Sementara gadis cilik ini, well, dia mungkin enggak butuh pertolongan sebanyak itu sebab ia sendiri punya trik khusus di balik lengan bajunya.

Keputusan-keputusan yang diambil oleh film ini sukses membungkus ceritanya menjadi PERJALANAN YANG MEMUASKAN. Dalam Logan kita akan melihat Wolverine memegang komik X-Men, menunjukkannya kepada Prof X, membaca tentang petualangan mereka, untuk kemudian melemparnya begitu saja. Like, “Hey Prof, lihat nih.. petualangan kita” *balik balik halaman* “Pfft ngarang banget!”

Elemen komik X-Men yang secara fisik eksis dalam dunia cerita film ini bener-bener adalah sebuah ide yang sangat fresh dan cerdas. Komik tersebut bukan hanya sebagai tempelan humor, melainkan eventually menambah layer terhadap plot dan karakter. Cerita ini mengambil setting waktu jauh di masa depan, tentu saja dalam rentang Days of Future Past sampai ke ‘sekarang’ itu, sudah banyak petualangan yang mereka lalui. Orang-orang bersyukur atas kehadiran X-Men sampai-sampai mereka menulis buku komik tentang para pahlawan tersebut. Namun superhero juga manusia, bersama kekuatan hebat turut serta pula tanggungjawab yang gede. Komik hanya tahu tidak lebih dari seperempat apa yang mereka beneran hadapi. Reaksi Logan terhadap cerita fiksi dirinya berkostum spandek kuning-biru mencerminkan gimana kontrasnya dia dan orang lain dalam memandang eksistensinya sebagai Wolverine itu sendiri.

Memang, film Logan berada di barisan yang sama dengan apa yang dilakukan Christopher Nolan terhadap Batman alih-alih terasasejajar dengan apa yang kita dapat dari film-film Avengers dari Marvel.

 

Ini adalah sajian DRAMA SERIUS DENGAN LEDAKAN AKSI yang menyertainya. Logan adalah film kejam bertone kelam yang nunjukin karakter yang sembilan-puluh-sembilan persen udahan dengan yang namanya harapan. Meski begitu, kita tidak akan melihat Wolverine ataupun Prof X berkeliling bermuram durja dan depresi sepanjang waktu. Karakter-karakter ini belum kehilangan selera humor sepenuhnya. Ada banyak fun dan lelucon yang bisa kita nikmati dari interaksi antara para tokoh, terutama dari Wolverine dan Prof X yang hubungan mereka sudah terestablish dari film-film X-Men terdahulu. Aku suka dialog di meja makan saat Logan menyebutkan kepada orang-biasa bahwa pria botak tua di seberang meja itu dulunya pernah mengelola sekolah. Ada secercah diri mereka yang dulu hadir dalam pandangan mata dua karakter ini. Hal inilah yang membuat tokoh film Logan begitu hebat dan menarik; Melihat tokoh yang sudah kita kenal dan cintai diletakkan dalam posisi yang nian gelap dan mengukung dan nyaris terlupakan, sehingga kita ingin melihat sosok mereka yang sebenarnya keluar. Perasaan yang sangat fantastis melihat mereka, apalagi gadis cilik yang baru gabung itu, saling menumbuhkan rasa percaya dan saling mengapresiasi, saling belajar untuk menjadi pahlawan bagi satu sama lain.

“kapan gue ngelawan Pteranodon berkolor pink?”
“kapan gue ngelawan Pteranodon berkolor pink?”

 

Memainkan penampilan terakhirnya sebagai tokoh Wolverine, Hugh Jackman sekali lagi menunjukkan kekerenan yang luar biasa. Kita akan merindukan orang ini jika Wolverine masih muncul di film-film berikutnya. Hugh Jackman, sudah memerankan Wolverine dalam sepuluh kali kesempatan, dan portrayalnya dalam film ini adalah yang terbaik. Karena memang karakternya di sini adalah yang terdalem. Melihat Wolverine begitu ‘terluka’ menyibak kembali masa lalunya, membuat hati kita terasa tersayat juga. Hugh Jackman sangat fantastis memainkan karakter ini. Dia lelah. He’s broken down. Dia babak belur secara fisik dan secara emosi. Maksudku, Logan yang ini adalah bayang-bayang dari siapa yang he used to be. Jadi, ketika ada yang’ menantang’nya, rasanya menakjubkan sekali melihat persona Wolverine yang lama menerjang keluar. Satu kata untuk mencerminkan Logan adalah brutal.

Patrick Stewart juga sukses luar biasa memainkan perih karakternya. Beliau sakit, dia sering ngalamin episodes of seizures. Kebayang dong, dampaknya apa jika manusia dengan otak paling ‘berbahaya’ di muka bumi ngalamin seizure. The fact is, Profesor X sudah begitu tua, dia tidak mau apapun selain keselamatan orang-orang dan rumah. Karakter ini akan menambah lapisan emosi buat tokoh utama kita. Mengenai tokoh Laura, gadis cilik misterius yang harus dilindungi Wolverine, aku gak akan beberin banyak. Yang kudu aku katakan adalah Dafne Keen bermain sangat bagus. Ekspresinya enggak pernah gagal menyampaikan sesuatu kepada kita. Elemen utama film ini adalah rage, dan di tangan Dafne, tokoh Laura menjelma menjadi begitu lovable. She’s kind of terrifying actually, namun siapa sih yang enggak suka ama karakter cute yang capable nendang bokong dengan ganas?

ngeliat Logan dan Laura membuatku teringat sama Zaraki Kenpachi dan Yachiru dari anime Bleach
ngeliat Logan dan Laura membuatku teringat sama Zaraki Kenpachi dan Yachiru dari anime Bleach

 

Untuk bener-bener mencapai tingkatan emosional yang diincer, film tidak-bisa tidak tampil dengan rating Dewasa. Oh Tuhan, film ini sadis banget. Ingat Deadpool (2016) yang juga enggak nahan-nahan dalam nampilin adegan kekerasan? Well, seenggaknya Deadpool masih bertone komedi. Dalam Logan, tidak ada yang lucu saat Wolverine ngamuk. Memotong kaki dan tangan, menghujamkan belati adamantiumnya ke tengkorak orang. Darah muncrat di mana-mana. Potongan kepala menggelinding di tanah. Anak balita yang dibawa serta nonton sama pasangan muda di barisan di depanku nangis kejer, and I was like “selamat, kalian udah bikin anak sendiri trauma!”. Dari segi action, ini adalah film superhero yang paling sadis. I love it so much. Sudah lama kita berkelakar soal gimana efek tajamnya kuku Wolverine di berantem real life, di film inilah kita akan beneran melihatnya. Dan memang, rating Dewasa film ini turut andil menghantarkan cerita emosional yang powerful. Karena ada elemen dari penokohan yang enggak akan maksimal jika ditahan-tahan. Cuma inilah jalannya. FILM INI PERLU UNTUK JADI SADIS, KEJAM, DAN BRUTAL.

It might be kind of long reach buat dimengerti, namun saat menonton aksi dan emosi si Logan yang begitu lepas bebas di film ini, serta merta penggalan lagu Gods and Monstersnya Lana Del Rey bergaung di telingaku. Wolverine sudah begitu banyak melihat orang yang ia peduli berguguran. Setelah Prof X, dia sudah siap untuk ‘pensiun’ di tengah laut. Dia sudah siap untuk kehilangan semua. Tapi Logan’s deepest desire is to protect anyone. Kehadiran Laura dan anak-anak itu membuatnya sadar dia tinggal di dunia penuh ‘tuhan’ dan ‘monster-monster ciptaan mereka’, tempat di mana tidak ada keinosenan. Dan sungguh heartwrenching melihat Logan mendapatkan rumah yang ia cari.

 

Babak pertama dan ketiga adalah bagian yang terbaik dari film ini. Menarik dan terasa sangat intens. Porsi action memang mostly terletak pada kedua babak tersebut. Aku perlu menekankan bahwa action dalam Logan tidak terasa seperti fantasi ala film-film superhero yang lain. Aksi di sini lebih berfokus kepada koreografi dan penyampaian cerita, disyut dengan in-the-moment sehingga setiap ayunan tangan Wolverine begitu compelling. Sedangkan, babak kedua film – yang lebih ke road trip movie featuring mutants – agak sedikit goyah. Tidak ada yang terasa dramatis dan penting banget hadir di babak ini. Pemanfaatannya lebih ke buat pengembangan karakter. Untuk membuat Laura dan Wolverine tumbuh, hanya saja tidak ditulis semenarik apa yang harusnya bisa dibuat lebih. Selain itu, kadang sorotannya pindah ke karakter-karakter yang tidak punya banyak pengaruh buat keseluruhan film. Kita ingin cerita tetep fokus kedua karakter yang ingin kita lihat lebih banyak, akan tetapi film kerap ngasih liat karakter-karakter yang kurang menarik.

Aku enggak baca semua komik X-Men, jadi mungkin aku salah, tapi rasa-rasanya ada tokoh penting dalam film ini yang completely dikarang oleh scriptwriter. Untungnya sih, tokoh ini dihandle dengan lumayan baik, perannya mostly cukup bekerja for this movie. Ya kita memang harus bisa menerima fakta bahwa enggak semua yang difilmkan wajib banget persis niruin komik. Toh namanya juga adaptasi. I mean, seriously, enggak ada satupun dari kita yang pengen liat Hugh Jackman pake kostum persis Wolverine versi komik.

 

 

 

 

Terlepas dari rating R-nya, visi James Mangold tergambar sangat cantik lewat film ini. It was very well edited as it was very well acted. Pace ceritanya yang cepet enggak akan bikin bosen meski filmnya sendiri lebih sebuah drama dengan selingan aksi ketimbang aksi dengan bumbu drama. Ada sense western diberikan oleh Mangold, yang terintegral sempurna ke dalam cerita. Film koboy klasik Shane (1953) bukan sekedar tontonan selingan para tokoh, melainkan juga punya kepentingan di dalam narasi. Semua elemen dan putusan yang dibuat pada akhirnya terbungkus memuaskan, meski memang film ini tidak lantas sempurna secara emosional. Ada bagian ketika kita merasakan nothing dramatic atau apapun yang menambah bobot cerita. Kadang tone film terasa timpang. Film ini bekerja baik saat dia menjadi brutal dan menakutkan.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for LOGAN.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

Dhanurveda – Preview Buku

dhanunnamed

 

Katniss Everdeen kedatangan saingan baru, nih! Dari Indonesia pula.

Kalo biasanya tidak banyak novel Indonesia, atau malah film Indonesia, yang berani berandai-andai seperti apa negara ini ke depannya, maka Dhanuverda ini beda. Fiksi ini bercerita tentang seorang wanita muda yang memimpin kelompok massa, mereka mencoba mencari tahu sebab tragedi politik terbesar dalam sejarah umat manusia. Nama tokoh utamanya masih dirahasiakan, aku enggak tahu, mungkin nanti bakal ada big reveal apa gimana. Namun, tema bukunya sih udah cerita dystopia banget yakan? Dhanurveda mengambil setting pasca perang dunia ketiga, saat Indonesia dipimpin oleh Presiden kesepuluh. Siapa presidennya? Gimana keadaan Indonesia saat itu? Gimana negara ini bisa survive dari perang dunia ketiga?? Seneng enggak sih akhirnya ada penulis yang ngajak kita berimajinasi sekaligus mungkin berkontemplasi, karena kata penulisnya sih, novel ini penuh dengan sentimen; mulai dari sentimen politik hingga sentimen agama.

Ngomong-ngomong siapa ya yang ngarang novel ini?

Dhanurveda adalah novel pertama yang ditelurkan oleh Zahid Paningrome. Tapi tenang, walaupun bisa nelur, mas Zahid ini manusia kok, kayak kita-kita. Mas Zahid juga aktif nulis di blognya; zahidpaningrome.blogspot.com. Biasanya dia suka nulis cerpen, puisi, cerita bersambung, dan tulisan kreatif nan-berbobot yang lain. Bahkan di blognya tersebut, mas Zahid juga lumayan cerewet mengulas film. Samaan deh ama blog kesayangan kalian ini (idiih, ngaku-ngaku). Reviewan mas Zahid, bisa kita baca, selalu tajam melihat detil-detil. Ya teknis, ya cerita, visi sutradara juga tak luput dari pengamatan. Apalagi detil mengenai isu sosial yang membayangi sebuah film. Dan tentu saja, kita bisa mengharapkan ketajeman yang serupa hadir dalam penuturan cerita Dhanurveda.

Kata mas Zahid ketika diwawancara di kediamannya di Semarang (via internet!), nama Dhanurveda dipilih karena kecintaannya pada ajaran bela diri dan penggunaan senjata (panah) di medan perang yang terdapat pada KItab Weda (sastra Hindu). Dan kata mas Zahid lagi, sesungguhnya novel ini sangat personal buat dirinya. Katanya, novel ini termasuk perjalanan panjang dalam sejarah dirinya menulis.

Ah, daripada kebanyakan ber’kata-katanya’, marilah kita beri kesempatan sebebas-bebasnya buat Mas Zahid. Berilah waktu supaya dia bisa menuturkan sendiri cerita tentang karya debutnya di dunia sastra. Bicaralah, Mas!

 

“Teman-teman, sebetulnya saya membuat cerita Dhanurveda dalam keadaan gundah. Bukan gundah yang robot-robotan Jepang, itu Gundam! Gundah yang disebabkan dari melihat politik di Indonesia yang penuh intrik dan trik yang culas dan kasar. Saya mencoba menuliskan akibat dari itu semua di tahun sekarang untuk ditarik ke tahun-tahun berikutnya. Membuatnya menjadi bom waktu. Untuk itulah maka saya memilih genre novel yang bersifat futuristik. Kita musti berani membicarakan masa depan, utamanya masa depan Indonesia.

“Saya juga gundah gulana menyadari dunia literasi atawa sastra, khususnya di Indonesia, sedang sekarat. Karena dipenuhi metro-pop ringan yang membuat perempuan-perempuan yang membacanya berteriak kegirangan. Tapi sejatinya tidak mengubah pemikiran siapa-siapa. Padahal kan, membaca berarti juga memahami isi, bukan sekadar membaca dan terpuaskan. Hati girang, buku lantas dibuang. Metro-pop yang sudah sangat menjamur tersebut selalu saja bercerita tentang kisah cinta ringan dan aneh, menjadikan dunia ini tidak lagi punya varian yang banyak. Sedihnya lagi, fenomena pop ringan ini juga terjadi di dunia musik dan, tentu saja, film. Jadi ya, tentu saja kehadiran Dhanurveda, dengan cerita mencekam berbahasa pop science dan dibumbui kisah cinta khas ini siap untuk menjadi koleksi buku terbaru setiap anak muda dan pembaca yang berani bertualang. Saya menyebut cerita buku ini ‘ROMANTIC TRAGIC-COMICO’.”

bakal ada tiga matahari di masa depan?
bakal ada tiga matahari di masa depan?

 

“Novel ini mulai masuk proses pencatatan ide sejak Juli 2016. Kemudian mulai ditulis bener-bener sekitar bulan Agustus 2016 dan selesai pada akhir November 2016. Hingga pertengahan Desember, novel ini disemayamkan memasuki proses editing. Akhirnya rilis pada 14 Februari 2017. Tanggal perilisannya memang sengaja saya pilih tanggal empat-belas Februari karena saya ingin teman-teman ingat betul bahwa tanggal segitu bukanlah Hari Valentine, melainkan hari kelahiran Dhanurveda. Duh, bangganya buah karya saya diperingati!

“Umm.. sebetulnya ini rahasia, tapi karena ada desakan dari si penanya, terutama dari penumpang kereta api yang suka mudik lebaran berdesak-desakan, akhirnya saya mau juga bercerita perihal yang sedikit ‘pribadi’. Novel Dhanurveda adalah persembahan bagi perempuan yang saya cintai sepenuh hati. Saya menjadikan perempuan itu sebagai tokoh utama cerita novel ini. Jadi yaa, namanya bisa sama bisa enggak hehehe. Yang jelas perempuan ini, saya berikan tempat tersendiri. Juga terlihat dari paragraf terakhir di Kata Pengantar Dhanurveda. Sosok perempuan ini sudah sangat lama menghilang dan tidak bisa lagi saya temui sejak pertengahan 2015. Hingga kini, saya masih belum bisa bertemu dan berkomunikasi dengannya.

“Di Dhanurveda ini ada uniknya juga loh. Salah satu babnya ada yang saya tulis berdasarkan pengalaman nyata yang saya alami di dalam mimpi di suatu malam. Baca novelnya, deh (red: beli dong!), cari bab yang saya namai ‘Ruang Mimpi’. Memang, sejak memilih jalan untuk menulis di ranah cerita fiksi, saya sering mengalami masa-masa transendental. Maksudnya, saya seperti hidup di dalam mimpi sendiri, menjadi arsitek bagi mimpi. Di dalam mimpi, saya melihat diri saya sendiri yang lagi tertidur. Aneh? Enggak juga. Saya percaya setiap dimensi kehidupan selalu punya ruang, tak terkecuali dimensi mimpi. Bagi saya, mimpi adalah dimensi yang memiliki ruang yang sangat bercabang.”

..

“Ya, kayaknya statement saya sudah cukup kepanjangan. Sejak awal, Teman-teman, hanya satu tujuan saya menulis; Untuk membangkitkan gairah membaca yang mulai pudar karena perkembangan zaman, khususnya di kalangan anak muda. Saya masih akan terus konsisten dengan gerakan #MariBaca yang sering saya kumandangkan di setiap tulisan yang rilis di blog saya. Dua-ratus rilisan pos, sejak 2013 akhir dan masih terus menambah jumlah hingga kini, karena saya juga sembari berharap kepada Tuhan supaya tujuan saya bisa tercapai.”

 

 

 

 

Novel futuristik yang bisa jadi bukan saja bakal nyaingin The Hunger Games, tapi juga sanggup sejajar ama 1984nya George Orwell. Membawa banyak pengharapan dari penulisnya, semoga buku ini bisa menjadi breakthrough yang amat sangat dibutuhkan oleh scenery sastra Indonesia kekinian.  Dan kalian tahu, it’s all up to us the readers to make it all come true. Untuk detil pemesanan, silahkan kunjungi http://zahidpaningrome.blogspot.co.id/2017/02/hari-lahir-dhanurveda.html Kalian juga boleh menghubungi Mas Zahid langsung lewat facebook, twitter, dan instagram @Zahidpaningrome

Semoga dengan dirilisnya novel ini, kita bisa menemukan kembali kecintaan membaca, sebagaimana perempuan yang ia cintai bisa melihat keseriusan Zahid dalam mencintainya.

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

LION Review

“Sometimes direction you never saw yourself going turns out to be the best road you have ever taken.”

 

lion-poster

 

Delapan-puluh-ribu lebih anak-anak India hilang setiap tahunnya. Nyasar, tak-tau jalan pulang ke rumah, terpisah dari keluarga. Jalanan yang penuh orang acuh-tak acuh dan potensi abuse lah yang menunggu mereka. Saroo pernah menjadi salah satu dari angka delapan-puluh-ribu. Saat masih kecil, Saroo yang tertidur di stasiun kehilangan jejak sang abang dan malah terangkut sebuah kereta api hingga beribu-beribu kilometer jauhnya. Hanya bisa bicara dengan bahasa India, kata-kata minta tolong dari mulut Saroo kecil tidak bisa dimengerti oleh orang-orang di Kalkuta, tempat kereta ‘tumpangan’nya berhenti, yang berbahasa Bengali. Jikapun ada yang nyambung diajak ngobrol, Saroo tetep repot lantaran dia bahkan enggak bisa nyebutin nama kampungnya dengan bener.

Adalah pemeran Saroo kecil, Sunny Pawar, yang akan membuat kita truly merasakan perasaan terasing di bawah langit India. Film panjang pertamanya ini membuktikan kepiawaian Garth Davis menarik keluar penampilan-penampilan yang begitu meyakinkan. Melihat Saroo berjalan tanpa tahu arah, serta merta aku jadi kagum juga. Bayangkan, ini DIANGKAT DARI KISAH NYATA; Saroo dan anak-anak yang masih ilang, bener-bener sendirian di luar sana. They don’t know anything. Bagaimana mereka bisa bertahan, apa yang mereka hadapi, all of that was so scary. Aku waktu kecil baru nyasar di pasar aja udah jejeritan sejadi-jadinya.

Butuh keberanian yang tak kalah gedenya bagi sebuah film meletakkan kepercayaan kepada aktor cilik baru yang baru berusia lima tahun (!) untuk memainkan cerita dengan compelling. Davis paham bahwasanya bahasa tidak harus jadi masalah, jadi dia berbicara lewat pengalaman dan ekspresi manusia. Dan memang hanya itulah yang menggandeng kita mengikuti Saroo kecil terlunta-lunta di jalan, mengandalkan insting dan sepersekian detik keputusan ‘pintar’nya untuk bertahan hidup. Kita enggak perlu ngapalin isi kamus bahasa india, kita enggak really butuh subtitle, malahan kita bisa nonton ini tanpa suara, dan tetap mengerti; merasakan apa yang terjadi di layar. Tidak ada adegan yang overdramatis, kayak Saroo ujan-ujanan – atau ampir diterkam singa beneran, so to speak. Sunny Pawar dipercaya untuk memberikan emosinya lewat gestur, ekspresi, ataupun hanya dengan tatapan mata. Yang dilakukan Sunny Pawar dengan sangat amazing, terlebih mengingat lebarnya rentang emosi yang dialami oleh tokohnya sepanjang film. Image Saroo makan boongan bakal terpatri lama di benak kita. Jika pada awalnya mungkin film ini sedikit bertaruh, maka pastilah setelah melihat hasil presentasinya, film ini berbalik jadi berutang budi kepada Sunny Pawar.

Pertengahan pertama adalah di mana kita akan dibuat mengerti kenapa film ini pantas berdiri mejeng sebagai nominasi Best Picture Oscar 2017. Visi sutradara Garth Davis mengaum lantang dalam setiap frame bidikan kamera. Sudut pandang bocah kecil itu tergambar syahdu. Didukung juga oleh sinematografi yang sungguh menawan throughout. Film ini precise dalam netapin timing kapan harus mengambil jarak. Begitupun penempatan hal-hal kecil, seperti burung yang terbang di ambang jendela, menjadi sarana penghantar cerita yang subtle tanpa harus repot-repot memaparkan.

dinding kamarku bakal penuh kalolah aku ngecapture shot-shot indah film ini dan memajangnya kayak lukisan
dinding kamarku bakal penuh kalolah aku ngecapture shot-shot indah film ini dan memajangnya kayak lukisan

 

Tidak hanya sampai di situ. Saroo kemudian diadopsi oleh pasangan suami istri yang tinggal di Australia. Semakin jauhlah dia dengan keluarga aslinya, yang sampai saat itu Saroo tidak tahu bagaimana keadaan mereka. But at the same time, Saroo menemukan keluarga baru. Paruh kedua film mengajak kita melihat Saroo dewasa deal with problematika identitas saat dia teringat kampung namun enggak yakin gimana harus menceritakan asal muasal ia yang sebenarnya kepada orangtua asuh. At one point Saroo benar-benar menyembunyikan tindakannya dari keluarga angkat. Dia bahkan jadi kasar sama saudara tirinya, yang merupakan cara film ini ngeintegralkan hubungan Saroo dengan abang aslinya.

Aku suka gimana film ini menggunakan overlapping visual untuk membandingkan keadaan Australia dengan India, membenturkan keadaan Saroo kecil dengan Saroo dewasa. Pemandangan seperti demikian sebenarnya adalah sebuah simbol keadaan Saroo yang berada di tengah-tengah kedua budaya. Film ini adalah bukan soal perjalanan pulang ke rumah. Ini adalah cerita pergolakan seseorang yang terombang-ambing antara tempatnya berasal dengan tempat yang sekarang sudah menjadi rumah baginya. Sejak dari kecil, Saroo selalu merasa ia berada bukan pada tempatnya. Derita dan bingung Saroo mencapai puncak ketika ia dewasa sampai dirinya belajar untuk – sekali lagi dihadapkan kepada pilihan – memilih salah satu atau mencoba menyatukan kedua ‘rumah’nya.

Bukan berarti kita harus pernah diadopsi dulu buat bisa ngerasain yang dialami oleh Saroo. Orang-orang yang pernah merantau, ataupun dalam perantauan, pasti mengerti.
Mengerti alasan kenapa harus pulang.
Mengerti siapa saja yang kita rindukan dan yang merindukan kita.
Mengerti bahwa keluarga adalah segala hal yang kita usahakan untuk menjadi rumah.

 

Dev Patel melakukan usaha yang bagus memainkan ‘cela’ dan konflik Saroo, dia menjaga cengkeraman kita tetap erat as Saroo berinteraksi dengan orang-orang baru yang ia cintai dalam hidupnya. Tapi tongkat estafet film ini tampaknya jatoh kesandung tulisan “20 tahun kemudian”. Cerita kedua ini enggak bisa bersanding dengan cerita pertama. Dibandingkan dengan saingan Oscarnya, Moonlight (2016) yang juga nampilin perjalanan hidup tokoh dari kecil hingga dewasa, Lion terasa kurang mulus. Rooney Mara turut bermain dalam film ini, she’s very good, namun tokohnya enggak punya arc. Dia cuma pacar tempat Saroo bersandar, dan enggak nambah banyak-banyak amat buat cerita. Bagian kedua kehidupan Saroo ini diselamatkan oleh penampilan akting Nicole Kidman yang berperan sebagai ibu angkat Saroo. Percakapannya dengan Saroo, beliau menjelaskan alasan kenapa dia mengadopsi anak berkulit coklat dari benua lain, adalah dialog yang paling kuat dan menyentuh dari seantero film. Nicole Kidman sendiri aslinya adalah ibu asuh beneran, jadi semua yang tokohnya katakan berdering oleh emosi yang feels so true.

Saroo mirip Rano Karno masih muda ga sih haha
Saroo mirip Rano Karno masih muda ga sih haha

 

Hubungan antara berkah dan derita terkadang begitu rumit dan membingungkan, sehingga kita tak menyadari pengaruhnya sama sekali. Dalam film ini, keseimbangan dua hal tersebut dibahas dalam bahasa sinema yang jujur dan powerful lewat Saroo yang menemukan, setelah kehilangan. Saroo mesti nyasar dulu sebelum dia menyadari keberkahan dua kali lipat dari yang bisa ia dapatkan sebelumnya. Berkah yang juga dirasakan oleh orang-orang sekitar Saroo yang terus merindukan cinta yang bersemayam di dalam tragedi.

 

To be honest, meskipun memang sebenarnya Lion adalah FILM YANG INTIMATE DAN SENSITIF dan relatable bagi banyak perasaan rindu, buatku film ini terasa rada pretentious. Gini, Lion ini kayak dua cerita yang berbeda; bagian pertama Saroo kecil yang kehilangan keluarga, dan bagian kedua tentang Saroo besar yang berusaha menggenggam kedua keluarganya. Aku ngerasa film ini berangkat dari kisah menakjubkan Saroo yang berhasil menemukan keluarga aslinya. Hanya saja mereka enggak bisa bikin cerita just around Saroo duduk galau ngulik google map, bikin papan investigasi kayak detektif. That would make a boring story. Buktinya, dalam film ini memang ada bagian ketika Saroo dewasa mengurung diri, dia menggunakan teknologi dan kepintarannya menemukan lokasi kampung halaman yang dulu tak-lurus ia sebut namanya. And it was nowhere near as engaging and compelling as bagian Saroo kecil. Jadi, film ini butuh sesuatu untuk bikin cerita lebih nendang. Mereka memutar kepala looking at the real issue there; Saroo adalah satu dari delapan-puluh-ribu, and they used that. Craft cerita dari sana, gunainnya sebagai hook identitas film. Namun toh, Saroo hanya satu yang beruntung dari delap…who knows sekarang jumlahnya jadi berapa. It did feels film ini enggak really doing anything kepada isu tersebut. They just gain more advantages dengan campaign segala macam. If anything, film ini memperlihatkan anak-anak yang hilang itu bakal pulang sendiri; siapa tahu kali aja kehidupan mereka bakal jadi lebih baik kayak Saroo. I mean, apa yang kita selebrasi jika film ini mendapat penghargaan di Academy nanti?

 

 

Mengatakan film ini berakhir setelah satu jam pertama sesungguhnya agak sedikit mendramatisir. Karena meski ceritanya kayak terbagi dua bagian – dengan drama paruh paling penting tidak pernah semenarik dan semeyakinkan bagian pendahulunya; keintiman hati, dan sensitifitas film ini terus menguar sepanjang durasi. Membuat film ini mudah dimengerti, membuat kita merasakan empati. Begitu powerful sehingga kita ikut merasakan terdiskonek, yang not always menjadi hal yang bagus. As in, film ini jadi kadang terasa mengaum ke arah yang salah.
The Palace of Wisdom give 7 out of 10 gold stars for LION.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

r(u)mah


Sayangku, aku menulis ini di bawah kendali rindu yang teramat,
dalam paksaan malam yang pekat dan bayanganmu yang kulihat lamat lamat.

Kucoba untuk merangkai sesak, dalam untaian abjad yang nantinya bisa kau baca.
Agar kau mengerti rasa dan rinduku yang tanpa batasan.

Masih jelas terasa sisa kecupmu berbulan bulan silam dan
hangat dekap yang kau berikan.
Saat kau merentang tangan untukku yang butuh ketenangan.

Karena dalam rengkuhmu kutahu, aku sudah pulang.
Karena kamu adalah rumah.
Tempat kembaliku saat lelah,
tak peduli seberapa jauh aku sudah melangkah.
Kembali padamu, bukan sebatas singgah.

Rumahku yang menenangkan,
kutulis ini untukmu, agar kau memahami hangatmu adalah hal yang selalu ingin kurasa.
Kamulah sesatunya rumah yang kuharap.
Tujuan akhir dari setiap perjalanan.
Tempatku melabuhkan segala resah.
Meski kini kita hanya mampu mendekap jarak.
Kuharap akan selalu aku yang menjadi hangat dan udara yang kau hirup dalam dalam.
Karena kamu, pemilik dari segala rindu dan kasih sayangku yang satu.

Karena kamu, rumahku.


 

 

 

 

As seen on https://thedeepeyes.wordpress.com/cropped-beautiful-girl-drawing-eyes1