THE NIGHT IS SHORT, WALK ON GIRL Review

“I sing to the night, let me sing to you.”

 

 

 

Untuk dapat ngedeskripsiin gimana rasanya nonton film ini, aku harus nanya dulu ke kalian – karena aku bener-bener gak nemuin kata yang tepat buat ngewakilin perasaan yang kena ke aku. Mungkin beginilah rasanya ‘mabok’ tapi aku gak yakin karena belum pernah mabok. Jadi, ini pertanyaannya: Pernahkah kalian golek-golek sebelum tidur, menyusun ulang apa yang sudah kalian lakukan hari itu – dari mulai bangun pagi, cek hape, masuk ke kamar mandi, balik keluar lagi karena hape ketinggalan di kasur, dan seterusnya, seterusnya sampai kalian lupa ngapain lagi karena satu hari tersebut seolah berlalu begitu saja, seolah yang kalian lakukan di pagi hari itu tidak pernah terjadi? Film ini terasa kayak momen bangun pagi yang berusaha kalian ingat itu. Terasa gak penting padahal kita tahu dan kena pentingnya di mana.

Menonton film ini bagai sedang mimpi di siang bolong. Begitu aneh dan unik perjalanan yang dituturkannya sehingga kita tidak merasa sedang menonton, melainkan lebih sedang bermimpi. Dan begitu filmnya selesai, kita akan ‘terbangun’ dengan merasakan penuh gempita oleh pengalaman yang baru.

 

 

Bahkan untuk ukuran anime sekalipun, film ini masih tergolong super duper abnormal. Animasinya disampaikan dengan gaya yang lain daripada yang lain. Gambar-gambarnya menunjukkan hal-hal yang incorrect dan nyampur gitu aja membuat kita tertawa canggung antara konyol dengan merasa bergidik. SUREALIS DALAM LEVEL YANG BERBEDA. Tokoh-tokohnya melakukan aktivitas yang absurd, kayak jalan merangkak ala kepiting. Komedi yang mewarnai film ini pun sama gilanya. Struktur ceritany, oho jangan ditanya; film ini bercerita dengan sebebas-bebasnya. Kejadian demi kejadian datang gitu aja. Cerita dalam film ini berlangsung dalam rentang waktu satu malam yang dilalui oleh tokohnya, jadi kita akan melihat apa-apa aja yang bakal ia temui. Kita akan lihat mereka berdansa dan benryanyi dalam sebuah sekuen musical yang begitu hilarious. Kali lain, kita akan dibawa masuk melihat isi pikiran salah satu tokoh. Sekilas, kejadian-kejadian tersebut tak tampak korelasinya, namun film punya cara dan suara tersendiri dalam merangkai semua elemennya menjadi satu kisah yang padu. Kita tetap berpegangan erat pada cerita.

latihan otot paha dan perut yang bagus

 

Tokoh utama kita dipanggil Otome. Malam itu dia diundang menghadiri pesta pertunangan kenalannya. Sebagai salah satu yang termuda di sana, Otome merasa senang (serius, cewek ini sepertinya enggak mampu untuk merasakan sedih). Otome melihat acara tersebut sebagai kesempatan untuk experiencing something new. Pesta tersebut tak butuh waktu lama berubah menjadi semacam bar crawl; rombongan akan berpindah ke tempat-tempat minum. Kehidupan dewasa, kehidupan malam hari, Otome dengan suka ria menjalaninya. Dia bertemu dengan banyak orang dan kejadian aneh. Dia minum-minum. She’s so good at it. Kita akan melihat semangat Otome mempengaruhi lingkungan sekitar yang kontras dengannya, dan pada gilirannya akan gentian: Otome akan belajar dari mereka. Particularly, ada satu cowok, yang disapa Senpai. Cowok ini naksir berat ama Otome, tapi dia terlalu pemalu untuk bilang langsung. Jadi dia bikin strategi gimana caranya sepanjang malam itu untuk bisa terus bertemu ‘tanpa sengaja’ sama Otome.

Dari gaya dan penceritaannya sendiri, aku tak heran akan banyak penonton yang garuk-garuk kepala. Tapi kutekankan, film ini enggak bakal bikin pusing. Jika ada satu hal yang susah untuk kita lakukan saat nonton film ini, maka hal tersebut adalah merasakan kebosanan. Karena kita memang diberikan satu storyline, satu pertanyaan utama untuk dinantikan jawabannya; Apakah pada akhirnya Otome memperhatikan Senpai – apakah mereka akhirnya ‘jadian’? Proses kesanalah yang luar biasa menarik. Dua tokoh ini berjalan sepanjang malam itu, berdekatan namun jarang sekali bersinggungan, dan path yang mereka lalui sudah seperti trial; ujian yang menghantarkan masing-masing menuju pemahaman akan hidup. Otome akan ikutan kontes minum alkohol, dia akan pergi ke pasar buku bekas, dia akan bergerilya bersama teater jalanan yang diburu security. Ada begitu banyak yang film ini bicarakan. Kurasa setiap penonton bisa mendapat pesan yang berbeda di setiap perjumpaan. Begitu banyak sudut untuk menginterpretasi cerita, inilah kekuatan dari The Night is Short, Walk on Girl.

Ini adalah tipe film yang begitu filmnya usai akan terasa semakin hebat dan hebat lagi sebagaimana kita merefleksikan kejadiannya terhadap diri sendiri. Apa yang dihamparkan pada film ini begitu luas sehingga akan banyak orang merasa relate dengan kejadian-kejadiannya. Buatku, aku mengakui, aku merasa dekat dengan Senpai. Ngajak jalan cewek, ‘bicara’ sama cewek yang disuka, buatku juga adalah masalah susun strategi. Aku suka menciptakan situasi, berusaha menunggu timing, supaya ngajaknya itu gak terasa awkward, persis kayak si Senpai. Di film ini Senpai berpikir buku masa kecil Otome yang ia temukan bakal menjadi tiketnya untuk mulus jalan sama Otome, but really, film ini menunjukkan kita enggak butuh benda, enggak butuh menciptakan kesempatan. Just put yourself out there, karena hidup inilah kesempatan kita.

Malam itu pendek. Hari itu pendek. Umur kita pendek. Sepanjang apapun waktu yang kita punya, kalo kita tidak segera berjalan, kita tidak segera melakukan apa-apa, semuanya akan lewat begitu saja. Begitulah kontrasnya dunia sekitar dengan Otome. Dengan malam yang hanya beberapa jam itu, Otome melakukan banyak kegiatan, dia mengubah hal, karena dia tahu; saat muda itu, dia punya semua kesempatan yang bisa diinginkan oleh seseorang.

 

 

Elemen cerita yang paling asik adalah gimana jarum jam arloji Otome dibuat bergerak dengan kecepatan yang berbeda dari jarum jam tokoh-tokoh lain. Yang lain jamnya bergerak dengan sangat cepat, orang-orang tua itu sangat kaget demi melihat jam Otome berjalan “lebih lambat daripada siput”. Tokoh-tokoh yang lebih dewasa daripada Otome, mereka digambarkan sangat tertekan oleh hidup, mereka memandnag hidup dengan sangat sinis; sudah waktunya berbuat begini, sudah waktunya kita begitu. Mereka minum untuk mabuk, maka dengan segera menjadi mabuk. Otome, minum untuk menikmatinya. Sebagaimana dia menikmati hidup, cewek muda ini begitu optimis. Dia tahu waktunya masih panjang, atau malah dia tidak memikirkan waktu. Ada perbandingan yang subtil dijelaskan oleh film ini lewat minuman yang dipertandingkan oleh Tomoe dan satu tokoh. Minuman tersebut adalah minuman ‘palsu’ yang dibuat dari meniru resep terkenal. Tokoh-tokoh lain, mereka fokus ke ‘palsu’nya, sedangkan Otome, dia gak peduli, dia gak tahu versi aslinya, buat dia baru ataupun asli – yang jelas itu adalah kesempatan mencoba sesuatu yang baru. Hasilnya, ya kita lihat, minuman tersebut jadi kupu-kupu kebahagian dalam perut Otome.

semoga itu bukan gejolak asam lambung

 

Seorang manusia sesungguhnya punya peran dalam kehidupan manusia yang lain. Setiap masing-masing dari kita terkoneksi satu sama lain, entah itu oleh tindakan yang pernah kita lakukan, keputusan yang kita ambil. Film ini, dalam kapasitasnya sebagai komedi, menggunakan flu sebagai cara untuk menggambarkan koneksi tersebut. Pria yang merasa paling kesepian di hidupnya actually adalah orang yang menularkan flu kepada seluruh orang di kota pada penghujung malam itu. He matters. Kita berarti terhadap dunia dalam cara yang tak terbayangkan oleh kita. Dalam sekuen ini kita juga melihat Otome mulai menyadari kekurangan yang ia miliki. Bagaimana mungkin, cuma dia yang tak tertular flu? Berarti dia belum terkoneksi, dia belum menjadi bagian dari dunia. Sikap optimis dan keceriaannya berpengaruh terhadap sekitar, practically memohon untuk mempengaruhi orang-orang. Namun Otome belum terbuka terhadap sekitar, dia terlalu sibuk berjalan – doing her things. Ia pun sudah seharusnya untuk membiarkan orang-orang menularkan pengaruh terhadap dirinya.

Karena hidup adalah timbal balik seperti demikian. Bukan sekedar rangkaian dari peristiwa-peristiwa acak yang terjadi secara kebetulan.

 

 

 

 

 

Aku sangat berharap dapat timbal balik juga di sini, aku pengen tahu apa yang kalian pikirkan terhadap cerita film ini, apa yang kalian dapatkan darinya. Karena ada begitu banyak yang dibicarakan oleh garapan Masaaki Yuasa ini dalam lingkupan payung kehidupan yang menjadi konteksnya. Film ini memotret gimana orang-orang memandang hidup, apa yang mereka lakukan dalam mengisi hidupnya. Simbolisme boneka Daruma khas Jepang, juga signifikansi benda-benda yang tampak di latar, selalu ada yang bikin pikiran kita bergerak saat menonton ini. Kejadiannya aneh-aneh seperti kejadian dalam mimpi, namun begitu menyedot sehingga kita tidak bisa berhenti menyaksikannya. Juga sangat lucu, meski terdapat beberapa lelucon yang udah out-of-date seperti objektifikasi dan ngerendahin wanita. Tapinya lagi, itu adalah bagian dari kehidupan malam di Jepang, dan film ini tak berdalih dari hal tersebut.
The Palace of Wisdom gives 8 out of 10 gold stars for THE NIGHT IS SHORT, WALK ON GIRL.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

SESAT Review

“You’re not yourself when you’re angry.”

 

 

 

Keluarga Amara pindah ke sebuah desa yang sejauh mata memandang semua penghuninya adalah orang lanjut usia. Kakek-kakek dan nenek-nenek. Nyai-nyai. Mbah-mbah. Jadi ya, film ini bermula dari setting yang sangat menarik. Amara (dalam debut protagonis layar lebar, Laura Theux berhasil menyampaikan emosi yang diembankan kepadanya)  menyaksikan para penduduk desa – termasuk Opanya – pada berperilaku aneh dengan sesajen dan ayam hitam begitu maghrib tiba. Eventually, Amara menemukan sebuah sumur di hutan, persis seperti yang tergambar oleh lukisan yang terpajang di dinding rumahnya. Ada misteri yang menyelimuti desa Beremanyan tersebut. Namun sayangnya, semua elemen unik itu ternyata tak-lebih dari device untuk mengarahkan cerita ke ranah yang lebih familiar.

Amara, dan adiknya; Kasih, dan ibu mereka (yang mana bakal hilarious sekali kalo bernama Cinta) sedang dirundung duka. Papa baru saja meninggal dunia. Kehilangan ini teramat telak terasa buat Amara, karena dia sangat dekat dengan ayahnya. Mereka latihan lari bareng, sharing kebiasaan konyol bersama. Selain di satu waktu tidak dapat menepati janji menjemput lantaran nyawanya keburu dicabut, Papa selalu ada buat Amara. Ketika mengetahui sumur serem di hutan tadi ternyata digunakan penduduk untuk meminta kemakmuran desa, Amara tergoda untuk melakukan ritual pemanggilan – dia ingin minta ayahnya kembali, dia ingin ngobrol satu kali lagi dengan orang yang paling ia sayangi tersebut. Tapi seperti yang sudah kita ketahui, meminta kepada setan itu ‘harga’nya beda dengan minta kepada orangtua. Amara kudu membayar semuanya, dengan darah, dengan lebih banyak kehilangan.

Papa doang yang abis lari mesti mandi, Amara nya enggak

 

Sesat actually menyesatkan karena ceritanya banyak berbelok. Kupikir ceritanya bakal begini, ternyata malah fokus di begitutonenya pun sering bergeser; dari drama, ada arahan ke komedi juga, lantas kita merasakan suasana surealis di shot-shot lukisan, kemudian menyerembet ke body horror, balik lagi ke drama, dan gak taunya berakhir dengan twist. Kadang belokan cerita Sesat dilakukan untuk alasan yang bagus – it’s a good thing film membuat kita merasa sedang melihat sesuatu yang belum pernah ditonton sebelumnya, namun sering juga cerita Sesat berkembang menjadi sesuatu yang bikin mata kita terangkat heran, like, masa iya cuma begitu, they could do better than this. Atau kalo mau gamblang, dengan setting dan backstory yang lebih kompleks, film ini semestinya bisa mencapai lebih dari sekadar menjadi versi yang sedikit lebih baik dari Slender Man (2018).

Amara di film ini juga diperkenalkan sebagai atlet lari, dan tidak seperti protagonis di Slender Man, Amara beneran diperlihatkan ‘jago’ berlari. Dia jogging keliling hutan. Dia menghabiskan waktu istirahat sekolah dengan lari di lapangan olahraga. Tapi tetep aja sih, kerjaannya berlari itu enggak benar-benar relevan dengan konteks cerita. Tema kedua film inipun mirip; di sini hantunya, alih-alih Slender Man, bernama Beremanyan dan datang karena dipanggil. Entitas serem yang tinggi dan tinggal di hutan ini akan membawa pergi apa-apa yang disayangi oleh si pemanggil. Bahkan penyelesaian kedua film ini basically dari peraturan yang sama. Hanya hasil akhirnya yang berbeda. Untungnya, Sesat fokus kepada satu tokoh, kepada motivasi dan perjalanan karakternya, sembari dengan lumayan seksama mengembangkan tokoh-tokoh pendukungnya. Simmaria Simanjuntak kentara punya mata yang lebih jeli untuk mengangkat nilai-nilai drama ketimbang sense horornya yang terasa seperti masih dalam sebatas melakukan sesuatu yang sudah pernah, dalam rangka memuaskan apa yang popular di pasaran horor. Ada satu adegan jumpscare paling biadab yang pernah aku temui di horor sepanjang tahun ini, aku sudah akan tepuk tangan untuk itu kalo bukan ternyata adegannya cuma adegan mimpi.

Interaksi para tokoh sangat menyenangkan. Film ini mengacknowldge perbedaan Amara dan keluarganya dengan sekitar. Sedikit perbedaan kata yang mereka gunakan ketika ngobrol, kayak ketika Amara dengan Kasih akan terdengar berbeda dengan ketika Amara berbincang dengan teman di sekolah barunya. Percakapan antara para tokoh tedengar meyakinkan, meski tak sempat mengeksplorasi dalam tingkatan Amara seperti fish-out-of-water di desa, meski tokoh-tokoh yang lain itu sebatas device. Tokoh-tokoh lain tak terflesh out dengan sebaik-baiknya, mereka hanya ditaruh di sana saat adegan membutuhkan. Horor dan dialog-dialog film ini kadnag terasa seperti pada film-film 90an, bahasanya, atau juga lonceng – aku suka sekali adegan seram dengan bunyi lonceng sekolah, lonceng beneran loh, di film modern manalagi kita melihat sekolah masih pakai lonceng. Suasana yang tercipta seolah desa tersebut masih stuck di periode lampau, dan ini menambah nuansa mistis dan misteri pada latar belakang yang sayangnya dimentahkan oleh kenyataan bahwa film ini bukan memasang ketakutan dari sana.

Dialognya terdengar menyenangkan, jika tidak terlalu sibuk dengan nyebutin apa sebenarnya tak perlu disebut. Kayak, akan lebih seram kalo kita yang eventually belajar sendiri bahwa ternyata hanya Amara dan Kasih anak muda yang ada di desa mereka. Film malah menyebut ini sedari awal mobil mereka masuk gerbang desa. Dialog yang sering ‘frontal’ begini bikin film jadi seperti ‘Nanya sendiri, Jawab sendiri’. Tapi kemudian, kita akan belajar alasannya kenapa dibuat seperti itu, kita akan ngerti kenapa baru babak satu aja semua misteri yang mestinya akan menarik jika dipelajari pelan-pelan oleh Amara sudah malah dibeberkan gitu aja oleh teman sekolahnya. Atmosfernya hilang, berganti menjadi horor memanggil kembali orang mati dengan teror dan trope yang standar.

Sumur itu tak ubahnya papan jailangkung

 

 

Amara dan Kasih. Ada alasannya kenapa nama tokohnya begitu. Karena Amara yang diliputi kesedihan sebenarnya sudah dikuasai oleh amarah. Dia berang kenapa yang pergi mesti seorang yang ia lihat paling baik dan perhatian kepadanya. Marah menumpulkan kemampuan manusia untuk bersikap rasional. Makanya, Amara meledak ngomong kasar kepada ibunya. Makanya, ia yang makhluk kota, millennial pula, mau percaya dan ngelakuin ritual kuno lengkap dengan mantra-mantra yang terdengar konyol. Horor datang dari Amara melihat apa yang terjadi kepada orang-orang yang ia ‘marahi’ – setan Beremanyan itu actually personifikasi dari hal tersebut. Untuk menyampaikan semua ini, howeverm film sedikit terlalu mendadak. Seharusnya mereka membangun karakter dengan lebih baik lagi, sehingga begitu Amara menyebut hal kasar kita juga dapat merasakan sakit dan penyesalan yang menyusulnya. Supaya berantem dengan ibunya enggak tampak terjadi begitu saja.

Ketika marah, sedapat mungkin jangan adu argument dengan orang lain. Sebab akan berakhir dengan kita meneriakkan hal yang tak kita maksudkan, dan hasilnya sungguh berantakan. Seperti Amara yang marah kepada ibunya. Seperti Kasih yang marah kepada Amara sehingga dia lupa kalo Amara sudah memperlihatkan perhatian kepada dirinya saat gak pede masuk sekolah yang baru. Setan Beremanyan bereaksi tatkala Amara merasakan amarah, dia membunuhi orang-orang, merupakan metafora bahwa saat marah kita kehilangan kendali terhadap diri sendiri – dan yang paling menakutkan, marah dapat menyebabkan kita kehilangan control terhadap apa yang kita percaya.

 

 

 

 

Apa yang ingin diceritakan oleh film ini sebenarnya simpel. Ini adalah soal orang yang begitu ingin dicintai merasa kehilangan saat sumber cintanya itu direnggut. Amara, dan kita semua, musti belajar untuk memberikan cinta terlebih dahulu sebelum menerima balasnya. Jika kita bisa menyintai banyak orang, kita tak akan pernah lagi merasa kehilangan. Sebenarnya bisa dibilang gak jelek-jelek amat sih, film Simmaria selalu punya gaya, aku masih tertarik nunggu karyanya yang berikut. Sayangnya film ini mengambil begitu banyak cabang dalam menceritakan topik utama tersebut. Beberapa elemennya kadang jadi tidak menyampur dengan baik. Sehingga pahamnya kita terhadap cerita lebih oleh long reach yang kita lakukan alih-alih karena aspek-aspek yang saling mendukung. Dialognya mestinya bisa ditulis dengan lebih tight lagi. Revealing atawa twist di akhir; sama sekali enggak perlu, membuat sikap tokoh utama kita jadi gak masuk akal. Buatku, kepentingan sekuen itu hanya untuk ngehighlight nama satu karakter sebagai shout out. Sekiranya untuk memberikan jawaban terhadap kenapa mereka harus pindah ke desa pun, malah tampak seperti feeble attempt film ini ingin menyakinkan dirinya sendiri bahwa mereka punya semua jawaban.
The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for SESAT.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

CHRISTOPHER ROBIN Review

I’ll fly before I change

 

 

 

Dasar Silly Old Bear. Begitu biasanya Christopher Robin menutup setiap percakapan dengan menggoda Winnie the Pooh, boneka beruang yang jadi sahabatnya. Pooh yang kerap bicara dengan perutnya sendiri yang selalu lapar. Jika ditanya hari apa yang menjadi hari favoritnya, Pooh akan menjawab “Hari ini.” Memang kebangetan lugunya, makanya jadi lucu.  Tapi lantas, Pooh juga menganggap Christopher yang membawa tas kerjaan ke mana-mana, sedangkan putrinya yang ia bilang paling berharga selalu ia tinggal, bersikap tak kalah lucu. Hmmm, mungkin kata-kata tadi sudah berbalik arah. Mungkin kinilah saatnya giliran Pooh menggoda Christopher dengan “dasar, Silly old Human”

Christopher Robin sudah siap meninggalkan masa kecilnya yang memang sangat menyenangkan, setiap hari dia masuk ke lubang pohon di belakang rumahnya, untukk bermain-main dengan Pooh dan teman-teman boneka hewan yang lain di Hutan Seribu Acre. Film ini dibuka dengan Pooh, Piglet, Eeyore, Tigger, Rabbit, Owl, Kanga, dan Roo mengadakan pesta perpisahan untuk Christopher yang di usianya yang ke Sembilan itu harus masuk Boarding School. Berjanji untuk berteman selamanya, Christopher menutup pintu di depan teman-teman semua. Dan dia gak pernah menoleh balik. Selepas dari ‘Boring School’ (kata Pooh, loh), Christopher menikah, masuk militer, dan bekerja di perusahaan koper. Ia kepala keluarga sekarang, mana ada waktu untuk bermain-main. Dia tahu dia harus serius karena mimpi itu enggak gratis. Saking sibuknya kerja, Christopher enggak ada waktu untuk putrinya; Madeline, yang ia suruh untuk dewasa lebih awal dari dirinya di usia 9 tahun. Apalagi untuk mengunjungi Pooh, faktanya, sudah tiga puluh tahun, Christopher tidak memikirkan teman-teman yang ia tinggalkan di Hutan tersebut. Menyebabkan Pooh merasa kesepian. Beruang itu nekad masuk ke lubang tempat Christopher biasanya muncul, dan sampailah Pooh ke London. Ke  tengah-tengah kehidupan nyata Christopher Robin.

jangan garuk-garuk pantat dong, Pooh, norak tauk!

 

 

Bertumbuh di waktu Winnie the Pooh lagi masih cukup hits, susah bagiku untuk gak ikut-ikutan suka sama beruang ini. Karena memang ceritanya bagus, tokoh-tokohnya lucu. Aku nonton kartunnya di VCD, aku punya majalahnya, punya edisi komik dari film-filmnya, aku bahkan nontonin serial balita My Friends Tigger and Pooh while I’m babysitting my baby brother (ternyata, serial itu tidak dianggap kanon oleh film ini, bayangkan kecewaku hihi). Cerita Winnie the Pooh favoritku adalah cerita Tigger yang mencari keluarganya – dia melatih Roo melompat supaya bisa dijadikan adiknya, dan kemudian Pooh dan teman-teman yang lain berdandan ala Tigger, mereka sampai memasang per di kaki masing-masing bisa bisa melompat kayak Tigger, semua menyamar menjadi keluarganya supaya Tigger senang – cerita Pooh selalu menghangatkan hati seperti demikian. Film Christopher Robin pun tak luput dari akrab dan bikin hati kita berbulu lembut dan hangat seperti demikian. SEMANIS MADU, DEH! Di cerita-cerita yang dulu, Christopher Robin adalah tokoh yang paling jarang dibahas, anak cowok ini biasanya muncul di awal, kemudian di akhir – sebagian besar untuk ‘menyelamatkan’ Pooh dan teman-teman yang begitu polos. Makanya, film live-action ini terasa benar perbedaannya. Kita akan melihat Pooh dan teman-teman dari mata Christopher Robin yang semakin dewasa ke titik di mana dia mengakui dia sudah ‘memecat’ Pooh and the genk sebagai teman. Sense pertumbuhan kuat sekali, cerita tidak berdalih dari majunya waktu; dari konsekuensi kehidupan nyata yang dihadapi oleh orang dewasa.

Tetapi, apa sih ‘Kehidupan Nyata’ itu? Kalo ‘Nyata’ kenapa kita memandangnya dengan tanpa senang hati; kenapa Christopher malah jadi jarang tersenyum? Jangan-jangan kebahagiaan itu memang sesederhana balon merah yang dipegang oleh Pooh

 

 

Hubungan antara Christopher dan Pooh selalu adalah inti hati dari cerita ini, dan dengan pertumbuhan yang dialami oleh sang pemilik, kita merasakan hubungan tersebut turut berubah. Lewat animasi komputer yang menawan (lihat bulu-bul.. ah benang-benang tubuh Pooh begitu detil saat dia berjalan menyisir padang bunga), kita akan melihat perubahan di mana kini Christopherlah yang butuh ‘pertolongan’ Pooh. Satu perfectly throwback scene yang kocak adalah ketika Christopher nyangkut di liang dan Pooh berdiri di sana ngeliatin. Memang sih, cerita tentang orang dewasa yang melupakan masa kecilnya sudah sering kita lihat. Ada sedikit kemiripan elemen dengan Toy Story (1995), bahkan kita bisa bilang film ini banyak miripnya ama Hook (1991) di mana Peter Pan yang sudah manusia normal kembali ke Neverland. Poin ini, tak pelak, mengurangi keistimewaan Christopher Robin. Membuat kita terlalu cepat memutuskan, dan tidak benar-benar melihat kesubtilan pesan yang dimiliki oleh film; yang memberikannya sedikit jarak dengan film-film serupa.

Film ini tidak menyuruh orang dewasa untuk meninggalkan pekerjaannya. Melainkan meminta bapak-bapak, ibu-ibu, siapa yang punya anak, untuk melihat apa yang mereka tinggalkan saat dewasa, untuk mengingat kembali seperti apa mereka saat masih kecil. Christopher Robin tidak dibuat berhenti bekerja dan memilih untuk bersenang-senang sepanjang waktu. Yang kita lihat adalah perjalanan Christopher Robin, seorang yang sudah menjadi begitu tak-menyenangkan akibat tekanan pekerjaan, dalam menyadari bahwa dirinya yang sekarang masih sama dengan dirinya tiga puluh tahun lalu. Tumbuh menjadi dewasa bukan berarti kita berubah menjadi orang lain, meninggalkan diri kita yang sebenarnya. Dan eventually, kita akan melihat gimana Christopher Robin, yang setelah menyadari dia adalah dirinya yang dulu, menjadi lebih baik dalam pekerjaannya – dia jadi punya ide yang cemerlang untuk mengatasi masalah perusahaan.

Film ini dilarang tayang di Cina karena presidennya ngamuk dikatain mirip ama Pooh; sensitif atau kekanakan? You be the judge

 

 

Doing nothing pada film ini enggak semestinya kita artikan literal sebagai solusi berupa  gak usah ngapa-ngapain. Something, dikatakan oleh film ini, berasal dari nothing. Ini merefleksikan gimana segede apapun pekerjaan kita sekarang, kita semua berawal dari seorang anak kecil yang polos. Dan anak kecil polos yang kita berusaha untuk kita lupakan itulah yang membuat kita menjadi seperti sekarang. Kita sewaktu kecil bukannya enggak-berarti apa-apa. Monster yang kita ciptakan sewaktu itu, Heffalump dan Woozle itu bukanlah makhluk fantasi yang akan hilang ketika kita sudah bekerja. Mereka menjadi ‘nyata’, karena benar, life got real. Begitu juga dengan apa yang bikin kita bahagia semasa kecil; masih akan terus bikin kita bahagia hingga uzur nanti. Jadi kenapa mesti malu dengannya? Kenapa Christopher mesti malu dia bisa menggambar dan punya boneka? – hal inilah yang dipelajari oleh dirinya, yang membuatnya sadar dan memandang hidup penuh tanggung jawabnya sekarang sama indahnya dengan masa-masa yang ia habiskan di Hutan Seribu Acre.

Selalu sediakan ruang untuk pengembangan diri, kenali kesalahan dan belajar darinya, terus bertumbuh menjadi manusia yang lebih baik lagi. Akan tetapi, jika untuk menjadi dewasa berarti adalah mengubah diri menjadi orang lain – menjadi sesuatu yang bukan diri sendiri, maka aku menolak untuk menjadi dewasa.

 

 

 

Sama seperti madu yang dimakan oleh Pooh, cerita manis ini bisa dinikmati kapan saja. Kepolosan Pooh akan selalu lucu, bukan hanya slapsticknya, melainkan juga dialog “Doing nothing is impossible. But I do nothing all day.” Gold banget! Dengan animasi yang memenuhi harapan dan fantasi kita, film ini punya semua yang kita harapkan dari cerita Winnie the Pooh; menyenangkan, hangat, lucu, sempurna buat keluarga. Lebih diarahkan buat orang dewasa sih sebenarnya, tapi anak-anak kecil tentunya bakal terhibur juga; Tontonkan mereka ini supaya bisa melihat bahwa orangtua mereka – yang di mata mereka mungkin selalu serius dan galak – nyatanya dulu pernah jadi anak-anak juga, yang bermain, berkhayal, sama seperti mereka. Meski begitu aku juga dapat melihat hal-hal yang jadi turn-off buat beberapa orang, seperti ceritanya yang udah sering, formulaic, dan gak benar-benar menjelaskan Pooh dan teman-temannya itu kalo bukan bagian dari imajinasi, kenapa mereka bisa ada di sana. Tapi buatku, terlalu nge-nitpick melihatnya dengan begitu; Toh film ini bekerja dengan baik dalam konteks dan dengan konsep yang ia miliki tersebut.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for CHRISTOPHER ROBIN.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

MILE 22 Review

“There are no heroes or villains”

 

 

 

Sebagian orang bisa tidur dengan damai di malam hari karena mereka mengetahui ada orang-orang yang siap untuk berbuat kekerasan demi mereka. Begitu kata tokoh yang diperankan dengan sangar oleh Mark Wahlberg di film Mile 22. Enggak jelas juga apakah Si James Silva ini memang penggemar George Orwell, atau dia hanya terlalu obsesif dengan menegakkan kedamaian sehingga bocah jenius yang jadi yatim piatu tersebut jadi ‘setengah-gila’ menyangkut urusan membasmi orang jahat. Kita enggak akan pernah tahu, karena cerita latar tokoh ini hanya disajikan dalam montase klip-klip berita yang muncul di pembuka. Tidak sampai lima menit, kemudian film melaju begitu saja tanpa memberikan kita kesempatan untuk bernapas. Apalagi memikirkan kegilaan filosofis si James ini.

Tapi toh, tokoh James memang menarik. Dia adalah agen rahasia pemerintah yang menyamar sebagai agen CIA. Bayangin tuh! James punya kebiasaan jebretin lengannya pake karet gelang yang selalu ia kenakan di pergelangan tangan. Harus memutuskan antara yang baik dengan yang efisien? Jebret! Menangani siasat yang mesti diputuskan dengan cepat? Jebret! Rasa sakit membantu James untuk fokus.  Dirinya sangat obsesif, dia punya kesadaran tinggi tentang apa yang harus dilakukan – tidak peduli itu salah atau benar. Dia paham kecerdasanya di atas rata-rata jadi dia agak kesel dan tak ragu untuk menjadi begitu intens jika ada bawahannya yang meragukan apa yang ia perintahkan ataupun ketika ada yang bekerja di bawah standar yang ia percaya.

No birthday cake, Rousey!

 

Untuk satu hal, film ini adalah laga konvensional tentang satu kelompok yang berusaha untuk mengantar seseorang ke dalam lingkungan yang aman, di mana untuk mencapai keselamatan tersebut mereka harus menerjang peluru dan berantem numpahin darah. Tim James melakukan operasi rahasia untuk membawa polisi lokal yang menyerahkan diri ke embassy Amerika. Polisi rendahan tersebut, si Iko Uwais bernama Li Noor di sini, mengaku mengetahui sandi untuk menonaktifkan enam bom yang dicari oleh para agen. Jadi ia menukar pengetahuannya tersebut dengan posisi yang aman di Amerika. Syaratnya; Tim James harus memastikan keselamatannya sampai ia tiba di Amerika – karena tampaknya, pihak polisi lokal enggak mau satu polisi yang dianggap berbahaya ini meloloskan diri ke negara lain. Dua-puluh-dua mil actually adalah jarak dari embassy ke bandara yang harus James tempuh dalam misinya ini. Tapi untuk kita para penonton, itu berarti 100 menit yang rasanya begitu lama karena tak sekalipun kita dikasih waktu untuk mikirin para tokohnya.

Seperti yang kubilang tadi, ada hal menarik yang coba diangkat oleh film dari perilaku tokohnya. Li Noor dibuat kontras dengan James. Dia lebih tenang, hobinya meditasi dengan jari-jari sebagai lawan dari James dan jebretan karet gelangnya. Film sebenarnya bisa bekerja dengan lebih baik dari menggali ini saja, dengan pelan-pelan. Tapinya, enggak. Film berusaha untuk menjadi banyak hal. Salah satunya adalah menjadi sok lucu. Ada begitu banyak dialog yang diniatkan pinter dan keren, malah jatohnya konyol. Receh. Kayak momen terakhir antara James dengan Noor. Setelah semua aksi tersebut, kontras antara mereka diperlihatkan, rasanya aneh dan konyol sekali film ini memberikan sentuhan ‘realita’ yang mengacknowledge Wahlberg sebagai seorang selebriti sebagai titik puncak dari tokoh-tokoh ini. Film ini – sama seperti James – menyangka dirinya pintar dengan memasukkan lelucon “Say hi to your ‘mother’ for me” (Wahlberg terkenal dengan jargon dari sketsa Saturday Night Live ini, yang diucapkan untuk meledek dirinya) mentang-mentang konteksnya adalah pimpinan tokoh James menyebut diri sebagai Mother dalam kode operasi rahasia mereka.

Dalam dunia yang kacau, tidak ada pahlawan atau penjahat. Sebab terkadang, kita perlu untuk bertindak layaknya penjahat, untuk menyelamatkan orang. Hal yang benar untuk dilakukan bisa jadi adalah hal yang paling berat untuk dilakukan. Keberanian untuk menempuh hal sulit itulah yang membuat seseorang pantas dipanggil sebagai pahlawan.

 

 

Hal lain yang dilakukan oleh film ini adalah, berusaha menjadi nendang dan impactful dengan pesan-pesan politiknya. Tapi tidak pernah menyampur dengan baik. Antara maksud dengan apa yang benar-benar film ini lakukan, enggak klop. Karena film ini tidak benar-benar mengembangkan apa-apa selain ledakan dan aksi laga. Film bahkan tidak berani menyebut nama negara yang jadi settingnya. Mereka menampilkan nama Indocarr yang menunjukkan ini negara fiktif, tapi tidak pernah benar-benar menyebutnya. Para tokoh berkelit dari menyebutkan nama. Ketika harus nyebutin, mereka mereferensi tempat ini dengan sebutan “our host country”. Aku gak mengerti kenapa mereka gak langsung bilang Indocarr aja . Atau langsung sebut Indonesia aja, toh kita tahu letaknya di Asia Tenggara, kita mendengar penduduk lokal berbahasa Indonesia. Orang sini akan dapat hiburan tersendiri saat menonton Mile 22 dari bahasa yang terdengar. Tokoh-tokoh yang lain juga sekedar ada di sana. Tokoh pemimpin mereka hanya ada untuk teriak-teriak kepada komputer. Ada tokoh cewek namanya Alice yang diceritakan punya masalah dengan perceraian dan keluarga, tapi tidak mendapat finality yang pantas. Dan Ronda Rousey (our new WWE RAW WOMEN’S CHAMPION!), dang menurutku film ini melewatkan kesempatan gede; mereka punya Iko Uwais dan the baddest woman in the planet, tapi keduanya enggak dibikin berantem. Mubaziiiirrr, I want to see them fight each other!

bahkan saat bicara pun film ini meledak-ledak

 

 

Bagian tengah film ini betul-betul kosong. Kita dapat pembuka yang basically mengeset siapa James, apa yang ia lakukan, siapa yang berasosiasi dengannya. Film juga memberikan penutup apa yang terjadi kepada James, dan semuanya. Namun, bagian tengahnya – dimulai dari kemunculan mendadak Li Noor – hanya terasa seperti sekuen aksi yang begitu panjang tanpa ada esensi di baliknya. Tidak ada pengembangan di sana. Film begitu bedeterminasi untuk membuat pengungkapan di bagian penutup sebagai sebuah ledakan yang wow, jadi kita tidak dapat apa-apa di babak kedua ini selain adegan berantem dan tembak-tembakan. Kita dilempar begitu saja ke dalam sekuens aksi dengan sesedikit mungkin build up sehingga akan susah sekali untuk peduli pada apa yang terjadi.

Sebaiknya jangan nonton film ini saat perut kalian sedang kosong. Serius. Babak kedua yang katanya penuh aksi itu, well, berkat kerja kamera dan editing yang begitu rusuh apa-apa yang di layar akan tampak sangat membingungkan. Kita enggak bisa ngikutin siapa nyerang siapa, apa yang terjadi di layar terjadi begitu cepat. Begitu banyak cut-cut cepat yang membuat mata kita berpindah-pindah tanpa arahan. Aku gak paham kenapa film ini malah menggunakan teknik edit dan kamera yang heboh seperti itu. Ini kubalikkan saran James buat rekannya kepada pergerakan kamera: Stop. 

Film ini perlu memikirkan ulang konsepnya; pengen menangkap suasana rusuh semestinya bisa dilakukan tanpa membuat penonton bingung dan mau muntah. Dan lagi, jika kau punya aktor laga sehebat Iko Uwais, yang juga kau pekerjakan sebagai koreografi laga – yang berarti kau percaya pada kemampuannya – maka dijamin kau akan punya sekuen aksi yang dashyat; Kenapa tak merekamnya dengan wideshot, dengan tenang. Kamera bergoyang dan quick-cut yang hiperaktif digunakan untuk menyamarkan kerja stunt dan aksi yang buruk. Kehadiran Iko menjamin masalah tersebut tidak bakal ada, jadi kenapa teknik demikian – yang sama sekali tidak mengangkat buat gaya Iko –  masih terus digunakan?

 

 

 

 

Sungguh aneh pilihan dan arahan yang dilakukan oleh sutradara Peter Berg. Semuanya sangat cepat, dengan orang-orang yang bersuara lantang. Membuat film ini jadi kayak versi loud dari Sicario (2015). Ceritanya tak lagi menyenangkan, kita tidak bisa untuk peduli pada siapapun. Sangat gak jelas dengan apa sebenarnya yang ingin dicapai oleh film yang menyangka akan terlihat pintar jika menyampaikan semua dengan hiperaktif. Mengecewakan, Peter Berg sejatinya could be so much better. Segala baku hantam, ledakan, dialog, yang ia punya jadi kayak rentetan racauan edan yang membingungkan dan jauh dari menghibur.
The Palace of Wisdom gives 3 out of 10 gold stars for MILE 22.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

UPGRADE Review

“Computers are useless; they can only give you answers”

 

 

 

Dalam dunia yang penuh hingar bingar, nyaman sekali rasanya bisa menyelam ke dalam kepala sendiri. Ketika kebingungan, atau saat merasa butuh untuk mempertimbangkan sesuatu, kemungkinannya adalah kita merasa perlu untuk bertanya kepada diri sendiri. Bicara kepada suara di dalam kepala itu bukan pertanda kita gila. Malahan akan membuat kita lebih pinter jika kita cukup tenang menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang sebenarnya adalah tindakan menggali kesadaran dan potensi diri. Bahkan, menulis pun sejatinya adalah pekerjaan yang bertanya kepada diri sendiri – kita ngobrol di dalam kepala, kita jelajahi ruang pikir dan pemahaman yang ada di sana.

Masalahnya adalah; bagaimana jika yang ada di dalam kepala itu bukan pikiran kita? Bagaimana cara kita membedakan mana yang suara hati mana yang ‘bisikan setan’? Perlukah kita langsung percaya kepada jawaban yang diberikan oleh suara-suara yang ada dalam kepala kita?

 

Upgrade mungkin memang bukan film yang menonjolkan perjalanan filosofis. Film ini lebih sebagai hiburan tembak-langsung, di mana kita akan melihat aksi berantem penuh kekerasan dan dunia masa depan yang memenuhi dahaga fantasi terhadap kemutakhiran teknologi. Akan tetapi, garapan Leigh Whannell ini memberikan pandangan yang cukup menarik – ia bermain-main dengan konsep seorang manusia yang tidak lagi punya kontrol atas tindakannya sebab sudah menyerahkan semua kendali kepada suara asing di dalam kepalanya.

cue entrance musik Randy Orton

 

 

Cerita tidak akan pernah melebar keluar dari perspektif Grey Trace (Logan Marshall-Green berkesempatan memainkan adegan berantem unik). Pria ini kehilangan istri dan anggota gerak tubuhnya ketika mobil-nyetir-sendiri mereka melaju error dengan tragisnya. Tubuh Grey lumpuh total, kecuali kepalanya. Tatkala ia meratapi nasib, terbaring di tempat tidurnya, seorang ilmuwan komputer memberinya tawaran untuk jadi inang sebuah chip maha-canggih. Dengan chip yang disebut Stem tertanam di lehernya, Grey bisa berjalan dan mengusap air matanya lagi. Tapi kemudian Stem bicara kepada Grey, ia menawarkan bantuan lebih dari apa yang diminta oleh Grey. Stem, dengan izin Grey, bisa mengendalikan tubuh mekanik yang tadinya sirik ama teknologi ini, melakukan pekerjaan yang tak sanggup ia lakukan. Termasuk balas dendam. Mengubah Grey menjadi mesin pembunuh.

Ketika nonton ini, aku ngobrol kepada diriku sendiri. Hey, kita sudah pernah toh melihat cerita seperti begini sebelumnya. Pria biasa yang tiba-tiba jadi perkasa, melakukan aksi tuntut balas. Mesin yang pada akhirnya mengambil alih kemanusiaan. Kepalaku balas bertanya; Tetapi yang ini beda, tuh lihat, adegan berantem pertamanya aja bikin mulutmu otomatis menganga.

Suara di kepalaku benar. Dari adegan Grey yang mendadak jago bertarung – bahkan lebih efisien dari Robert McCall di The Equalizer 2 (2018) kita bisa melihat bahwa film ini diarahkan kepada tone yang berbeda dari cerita balas dendam yang sudah-sudah. Feelnya sangat gelap, ala grindhouse 70an yang dibuat oleh John Carpenter. Sudah jarang sekali kan kita melihat gaya seperti begini hadir di jaman yang mengutamakan kepada budget dan efek yang supercanggih. Film ini berada di titik seimbang antara tragedi dan komedi, sehingga meskipun lingkungannya futuristik, kejadian-kejadiannya brutal, tapi kita masih menemukan pijakan untuk merasakan kenyataan. Berantemnya unik, kocak, dan meyakinkan. Logan Marshall-Green melakukan tugas yang menakjubkan dengan ekspresi wajahnya. Begini, begitu Stem dikasih ijin mengambil alih, Grey hanya bisa melihat dengan matanya saat tangan dan kakinya beraksi menghajar musuh. Dan sebagian besar dari adegan bak-bik-buk itu, Grey tampak takut hingga dia bahkan sampe meminta maaf kepada lawannya. Konsep ini digarap dengan kocak sekali, karena lawannya pun memandang Grey dengan heran, like, man you are crazy what the hell is wrong with you?

“fight your own battle, lazy-ass!”

 

Ada salah satu adegan yang menampilkan Grey berdiri melihat daftar nama tenant sebuah apartemen, dan kita dilihatin dengan jelas nama J. Wan, yang obviously adalah easter egg buat sutradara horor James Wan. Leigh Whannell memang sudah banyak berkolaborasi dengan Wan, karya paling ngehits mereka tidak lain tidak bukan adalah Saw (2004) yang tak pelak menjadi ikonik buat genre horor. Apa yang dilakukan oleh Whannell dan Wan di film tersebut sungguh patut dijadikan suri tauladan buat filmmaker lokal; mereka berkutat dengan budget rendah dan sukses menghasilkan tontonan yang luar biasa meyakinkan, sangat menyenangkan, ngajak berpikir pula, dari dana sesedikit itu. Bikin film gak mesti mahal; kita gak perlu punya yang terbaik karena yang terpenting adalah seberapa besar usaha yang dilakukan supaya menghasilkan yang terbaik. Whannell mengulangi lagi kerja kerasnya pada film Upgrade ini. Dia berhasil ngestrecth konsepnya melewati batas-batas budget. Dan mengingat ini adalah film yang bertempat di masa depan yang sudah canggih, jelas pencapaian Whannell menghidupkan dunianya bukan hal yang bisa diremehkan.

Tak sekalipun semua yang nampang di layar itu terlihat murahan. Lingkungan pada film ini direalisasikan dengan amat baik. Bahkan, dan aku gak melebihkan, dengan budget yang jauh berbeda, film ini bisa kelihatan satu dunia dengan Blade Runner 2049 (2017). Aspek futuristik dan spesial efeknya tidak sekalipun membuat film jadi cheesy. Pun film tidak terlihat sok-sok bergaya ala B-movie, kalian tahu, gerak kameranya enggak pernah terlalu over-the-top. Tidak ada shot-shot ambisius. Justru dieksekusi dengan kreatif sekali. Pergerakan kamera yang sedikit tertahan kepada Grey – memberikan kesan gerak kaku seperti berantem jurus robot yang ia lakukan.

Seperti halnya film enggak lantas menjadi bagus karena punya budget raksasa, kita juga tidak bisa mengupgrade kemanusiaan dengan hanya bergantung kepada kemutakhiran teknologi. Seperti yang disebutkan dalam dialog film ini, mesin yang hanya berisi angka 1 dan 0 tidak akan bisa menanggulangi kekompleksan manusia. Mereka hanya tahu berpikir mencari jawaban yang termudah. Sedangkan manusia, kita dianugrahi rasa yang tak jarang mengoverride pikiran, for better or worse.

 

Ketika aku bilang cerita film ini tak pernah keluar dari frame sudut pandang Grey, kepalaku langsung berontak protes. Hal tersebut mengakibatkan tokoh yang lain gak jadi gak keurus, katanya. Setelah dipikir-pikir, memang ada benarnya juga. Aku terlalu sibuk menggelinjang seru melihat apa yang kutonton sehingga menjadi sedikit bias kepada film ini secara keseluruhan. Untung ada suara di kepala yang mengingatkan. Grey tereksplorasi dengan baik, kita mengerti pandangan orang ini terhadap situasi dunianya, kita melihatnya berkembang dari seorang lumpuh yang berusaha menerima kondisinya lalu dia takut akan apa yang bisa ia lakukan, menjadi seseorang yang embrace it all sebelum akhirnya sadar apa yang sebenarnya ia butuhkan. Kita peduli sekali kepadanya. Namun tidak demikian terhadap tokoh-tokoh yang lain. Polisi wanita yang bertugas menginvestigasi kasus kecelakaannya, ibu yang menemaninya, istrinya yang meski perannya kecil namun sangat integral terhadap karakterisasi Grey, orang yang memberinya Stem, mereka semua begitu satu dimensi. Hacker yang sempat membantu Grey malah ternyata gak penting meski memegang peranan dalam cerita. Bahkan tokoh antagonis tidak banyak diberikan warna, kita membenci mereka karena hal yang mereka lakukan. Kesan kita kepada semua orang di sekitar Grey tidak pernah lebih dari jauh dari apa yang kita lihat. Ini sangat disayangkan, karena dengan konsep yang begitu keren, film justru kesusahan menyeimbangkan antara konsep tersebut dengan para tokohnya.

 

 

 

Kekurangeksploran tokoh lain membuat film dapat menjadi sedikit membosankan tatkala takada kejadian menarik seputar Grey dan Stem yang terjadi, karena memang kita hanya peduli sama tokoh utama seorang. Kita ingin cepat-cepat melihat aksi yang direkam dengan kerja kamera yang kreatif, dengan sinematografi yang unik, dengan konsep yang membuat cerita yang udah sering dilihat ini menjadi terasa menyegarkan. Di luar pencapaian luar biasanya menjadi tontonan yang super fun melewati batasan budgetnya, aku dan suara di dalam kepalaku setuju film ini mestinya bisa diupgrade sedikit lagi sehingga semua elemennya dapat berimbang.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for UPGRADE.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

ROMPIS Review

“There are no strangers here; Only friends you haven’t yet met.”

 

 

 

 

Jarak sama seperti api, bagi orang pacaran. Kecil jadi kawan. Gede jadi lawan. Hubungan asmara perlu dikasih jarak-jarak kecil biar gak posesif-posesif amat, like, jangan melulu melapor setiap mesti ngapa-ngapain, jangan terlalu ngurusin ini-itu sehingga tidak ada ruang gerak. Relationship yang sehat selalu berdasarkan dengan mutual trust yang dilatih dengan kita memberi ruang gerak terhadap pasangan. And that is the tricky part. Terlalu lebar memberi ruang, kejauhan ngasih jarak, bisa membuat ruang kosong antara dua orang tersebut diisi oleh orang lain. Itulah yang ditakutkan oleh pasangan-pasangan yang dihadapkan pada masalah LDR; Long-Distance Relationship.

Roman dan Wulandari sudah bersama-sama sejak serial televisi Roman Picisan ngehits. Film ini melanjutkan kisah tanpa-status mereka yang kini sudah pada lulus SMA.  Kalo para penggemarnya sudah sudah geregetan melihat tarik-ulur hubungan mereka yang begitu manis penuh puisi kacangan karangan Roman, bayangkan gimana gemesnya mereka menyaksikan kedua anak muda ini harus dipisahkan oleh jarak saat Roman keterima kuliah di Belanda? Puisi-puisi Roman tak pelak menjadi sarana yang pas untuk lingkungan LDR yang harus mereka jalani.  Kita melihat Roman dan Wulandari melempar kata-kata romantis lewat hape mereka. Tetep mesra, namun toh setelah sembilan bulan berjauhan, jarak itu kerasa juga. Roman mulai gak konsen kuliah, nilainya jeblok, padahal ia sadar betul dirinya yang ‘sobat miskin’ harus lulus dengan nilai gemilang – demi orangtuanya. Juga demi Wulandari yang menunggunya. Wulandari pun semakin insecure, terlebih saat dia mengetahui Roman punya kenalan berwujud cewek yang manis banget bernama Meira di sana.

Aku yang gak ngikutin serial televisinya aja kebawa gemas loh. Interaksi para tokoh ini terlihat benar-benar natural. Aku gak kayak sedang melihat tokoh film. Aku jadi merasa kayak mas-mas creepy yang diam-diam ngintilin anak-anak muda tersebut lagi pacaran, anak-anak muda yang nunjukin persahabatan dan berusaha menyelesaikan masalah mereka, di sepanjang jalanan kota Amsterdam. Sebegitu realnya para pemain menghidupkan tokoh mereka. Chemistry Arbani Yazis dengan Adinda Azani menguar luar biasa, baik itu di adegan mereka rayu-rayuan maupun lagi marah-marahan. Hebatnya, kita tahu yang tokoh mereka rasakan tersebut bukan cinta-cintaan. Kita paham situasi mereka, film membuat kita mengerti kenapa Roman masih saja ngekeep Wulandari tanpa-status – mereka gak bener-bener jadian. Para pemain tampak bertindak kayak remaja beneran yang sedang menghadapi ‘masalah’ ini. Aku suka gimana Azani memainkan gesture dan intonasi marah-tapi-malu-malu khas cewek. Meira di tangan Cut Beby Tshabina tampak keren sekali bermain sebagai cewek misterius namun sedikit agresif. Tapi mungkin yang paling likeable di antara semua adalah Umay Shahab yang memainkan Samuel, sohib Roman, yang bertindak sebagai voice of reasons; perantara Roman dan Wulandari, memberi mereka sudut pandang lain yang tak jarang muncul lewat candaan khas anak muda.

si Bobi ekspresi kentutnya masih sama ahahaha

 

Sebagai sebuah kelanjutan dari serial, film ini bertindak sebagai penutup yang bertujuan untuk memuaskan penonton layar kacanya. Jadi, beberapa hal yang sudah terestablish ga bakal diberikan penjelasan lagi di film ini. Kita tidak akan mendapat backstory kenapa Roman dan Wulandari saling cinta. Kenapa Roman dan Samuel bisa sobatan. Latar ekonomi dan keluarga saja hanya diinfokan sebagai bagian dari candaan. “Mereka sudah begitu sejak dari SMA” jawab Wulandari kepada Meira, yang sama orang-luarnya seperti kita. Dan ini dapat menjadi masalah, sebab buat penonton film yang tidak ngikutin serialnya, para tokoh ini akan tampak seperti orang asing. Bahkan Meira juga, karena kita hanya akan mengenalnya setelah pengungkapan di babak akhir – untuk sebagian besar waktu kita akan exactly menanyakan pertanyaan yang sama: kenapa cewek pirang ini begitu peduli sama Roman. Kita diminta untuk ngikut aja sama cerita. Buatku, ini menjadi lumayan bikin frustasi. Sebab tokoh-tokoh yang udah kayak sahabat beneran ini, aku ingin kenal mereka lebih dekat, aku ingin bisa peduli sama mereka – lebih dari tertawa bersama dan bilang “aww they look so cute together”. Alih-alih itu, film malah seperti menudingku ‘salah sendiri enggak nonton serial tivinya’; kenapa nonton, film ini kan dibuat untuk penggemarnya.

Stranger Danger mungkin memang real, tapi setelah menonton film ini kita akan berpikir bahwa Stranger Danger sebenarnya adalah paradoks. Apasih orang asing itu? Kita melihat hubungan Roman dan Wulandari terancam ketika Roman didekati oleh orang asing, Meira. Dan cara menyelesaikan masalah yang ada ialah dengan mengenal Meira lebih dekat, menjadikannya sebagai teman. Orang asing dianggap  ‘berbahaya’ karena kita tidak kenal mereka. Pun, resiko itu tetap ada. Seperti saat Wulandari mendapat kesempatan untuk menjalin pertemanan dengan cowok asing yang ia temui di sana. Atau bahkan, saat sudah menjadi teman, bukan lantas membuat orang tersebut tidak akan membawa masalah. Ketakutan dan masalah dan resiko itu akan tetap ada, kita seharusnya tidak takut, karena semua yang akrab itu berawal dari sebuah keasingan.

 

Tayang dalam waktu berdekatan, gampang buat kita membandingkan film ini dengan Si Doel the Movie (2018); sama-sama dari serial yang berakar lebih jauh lagi, sama-sama berlokasi di Amsterdam, sama-sama cinta segitiga, sama-sama ada tokoh lucu yang bikin gerr suasana, sama-sama ada trope ngejar ke bandara. Tapi jika kita menilik ceritanya, Rompis sebenarnya dekat dengan film drama cinta yang menurutku underrated tahun ini; Eiffel I’m in Love 2 (2018). Roman mengingatkan kita kepada Adit di film itu; dia menggantung Tita karena merasa dirinya belum mapan untuk menghidup Tita. Roman juga berpikir seperti ini, dtimbah pula dengan kesadaraanya akan keadaan ekonomi keluarga. Aku sempat kagum juga, karena dia baru sembilan bulan jadi mahasiswa, dan udah berpikir ke depan. Namun, seiring cerita berjalan, Roman malah jadi kayak anti-thesis dari Adit. Bahkan filmnya sendiri ikut menjadi terasa seperti kebalikan dari Eiffel I’m in Love 2.

Roman diperlihatkan ingin belajar serius, karena dia terlalu mikirin LDR sehingga gagal dalam ujian. Aspek cerita ini menjadi layer buat karakterisasi Roman, tapi ke depannya layer ini seperti dilupakan karena cerita fokus ke cinta segituga yang tampak what you see is what you get. Ketakutan Roman tidak dibarengi dengan kelakuannya, dia masih tetap menghabiskan waktu dengan jalan ama cewek alih-alih belajar. Kita dengar dia mulai berpikir untuk meninggalkan puisi, tapi dia masih tetap menggunakan puisinya. Kita juga belajar bahwa cowok membuat daftar prioritas di mana poin terakhir adalah tujuan utama yang paling penting, namun kita malah melihat Roman seperti meninggalkan usahanya dengan langsung fokus ke poin goalnya. Tidak seperti Adit yang benar-benar menjadi tampak dingin dan jauh bagi Tita.

Rompis – Roman Pisican

 

Atau mungkin, lebih tepat disebut Rompis seperti versi kekanakan dari film tersebut. Meski si Tita childish begitu, Eiffel 2 sebenarnya kisah cinta yang menangani masalahnya dengan dewasa. Karena dewasa itu proses. Rompis, kontras sekali sikap para tokoh dari awal hingga akhir dengan pidato yang diucapkan Wulandari saat kelulusan SMA. Tidak ada sense pertumbuhan pada tokoh-tokohnya. Kita bahkan gak sempat tahu Wulandari kuliah di mana.

Film terlihat BERUSAHA KERAS TETAP TAMPIL SEBAGAI REMAJA; terbukti dengan banyaknya istilah kekinian kayak “lagi syantik” yang dishoehorn gitu aja masuk ke dalam cerita. Atau malah, ia tampak takut untuk menjadi dewasa. Mereka menyinggung soal Roman yang kepengen serius, namun follow upnya tidak pernah mencerminkan demikian. Seolah film sadar ceritanya jadi terlalu serius dan bergegas balik sebelum penggemarnya sadar dan protes para tokohnya berubah, enggak persis sama dengan di serial. Inilah masalah dari film adaptasi dari serial ataupun buku. Perlu untuk memberikan apa yang diinginkan oleh fans, tapi juga mestinya film ini ingat bahwasanya dia adalah lanjutan. Sedikit perubahan tentu bisa dilakukan dengan tidak mengganggu tujuan kenapa film ini dibuat. Roman bisa saja dibuat jadi menjauhi puisi, dia mungkin membuang buku puisinya, untuk kembali lagi kepada puisi karena dia sadar bukan itu yang sebenarnya harus ia lakukan.

Pun banyak aspek yang hanya dijadikan sebagai kemudahan. LDRnya yang jauh saja dibuat sedekat itu, dengan Wulandari bisa pergi dan pulang begitu saja. Alasannya; karena dia punya duit. Aku gak bisa lihat pentingnya lokasi ada di Belanda. Heck I mean, kenapa mesti jadi LDR toh Wulandarinya bisa mengunjungi sesuka hati. Kenapa mesti jauh-jauh – bikin beda kota sebenarnya juga bisa. Jadinya ya, konteks sama cerita yang eventually mereka hadirkan terasa enggak saling mendukung. Selain trope, film ini juga banyak menggunakan keanehan yang dimasukkan ke dalam cerita. Seperti kenapa anak pinter seperti Roman masih belum bisa bahasa Belanda padahal nyaris setahun belajar di sana. Ataupun timing kejadian-kejadian yang enggak add up dengan bener ke rentetan cerita.

 

 

 

Waktu sudah berubah, tokohnya melanjutkan fase kehidupan, namun ceritanya masih tetap bertahan di ranah remaja yang sama. Sungguh sebuah pilihan yang aneh untuk keputusan kreatif pembuatan film sedari awal. Film ini seperti melarang tokohnya untuk menjadi dewasa. Mereka ingin tetap menjadi remaja, jadi kita dapatkan cerita yang berfokus kepada masalah saingan cinta, walaupun sudah sempat menyinggung lapisan yang lebih dalam. Jika bukan karena chemistry dan penampilan para tokoh, film tidak akan semengasyikkan ini, bahkan sebagai film remaja. Tetapi paling tidak, dengan banyaknya trope dan elemen yang sama ama drama lain, film ini sudah berhasil live it up ke taglinenya; sebagai benar-benar sebuah picisan.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for ROMPIS.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

THE EQUALIZER 2 Review

“..the heart can balance out the mind.”

 

 

 

Meski bukan anggota X-Men yang terpuji, toh sebenarnya kita semua punya kepandaian masing-masing. Ada yang jago ngegambar. Ada yang cakap merangkai kata. Ada yang pinter ngeles. Molly Ringwald aja bisa makek lipstick dengan dadanya. Kepandaian alias keahlian khusus tersebut kita jadikan sebagai andalan, dalam bersosialisasi, dalam mencari kegunaan diri. Puncak kebahagiaan adalah kita menyadari kepandaian yang kita miliki dapat dijadikan sebagai sarana pengisi perut. Karena gak semua talent dapat ditukar dengan duit. Atau kalaupun bisa, uang yang dihasilkan bukan lagi tergolong uang baek-baek.

Kayak Robert McCall. Kita tahu dari film yang pertama 2014 yang lalu, kepandaian bapak ini adalah menghabisi nyawa orang setangkas dan seefisien mungkin. Dia beneran nyalain stopwatch di arlojinya sebelum mukulin orang, dan tak lupa mematikannya saat manusia yang ia pukuli sudah berubah bentuk menjadi seonggok daging yang penuh penyesalan dan rasa sakit. Keahlian matahin leher dan menggunakan banyak hal sebagai senjata berbahaya ia miliki berkat gemblengan keras semasa di agensi militer. Setelah ia keluar dari sana, tho, ia sadar kepandaiannya tidak banyak berguna untuk kelangsungan hidup sehari-hari. Orang-orang di sekitar McCall mestinya bersyukur, orang ini punya otak yang belum korslet dan hati yang masih lurus. McCall percaya di dunia ini ada dua rasa sakit; sakit untuk menghukum, dan sakit untuk mengubah-untuk menyembuhkan. Dan kali ini dia bertekad untuk sedapat mungkin memberikan kesempatan kepada bandit-bandit itu untuk merasakan sakit yang nomor dua.

Pada sekuel ini, McCall bekerja sebagai pengemudi Lyft; semacam ojek mobil online. Dia mengantarkan berbagai macam tipe orang. Dia actually meminjamkan telinga untuk mendengar curhatan mereka, bahkan kadang dia mencuri dengar percakapan beberapa dari balik setirnya. Ketika dia menemukan ada sesuatu yang enggak beres dengan pemesan ojeknya tersebut, saat McCall merasa ada sesuatu yang salah, maka lantas dia akan bertindak menyetir dengan tangan moral dan palu hakimnya sendiri sehingga yang salah-salah itu menjadi benar. Puncaknya adalah ketika satu-satunya temannya yang masih tersisa di dunia menjadi korban perbuatan orang-orang yang menjual kepandaian mereka demi uang, McCall tentu saja langsung mencemplungkan dirinya, lantaran semua menjadi personal. Terlalu personal.

lain kali hati-hati kalo ngobrol sama supir gojekmu

 

Jarang sekali menggarap cerita-cerita yang terasa pretentious, Antoine Fuqua ingin mengajak kita berbincang soal apa yang sebaiknya kita lakukan dengan pekerjaan yang kita bisa. Dan The Equalizer 2 ini sungguh adalah media yang menarik untuk membahas persoalan tersebut. Berbalut aksi brutal dan drama yang gritty – yang punya nyali mengingatkan dengan ancaman tudingan moncong pistol – The Equalizer 2 menyajikan maksudnya dengan sangat seimbang. Sama seperti tokohnya, McCall, yang berusaha menyeimbangkan dunia dari perbuatan buruk yang dilakukan orang-orang dengan perbuatan keji namun beritikad baik olehnya, film ini punya sekuen aksi sekaligus momen-momen karakter yang sama menariknya untuk diikuti.

Tak pelak, Denzel Washington akan membuat kita humble. Ada begitu banyak yang bisa kita pelajari darinya pada film ini. Penampilan aktingnya, mungkin kalian udah bosen membaca tentang betrapa legendnya Denzel Washington dalam setiap peran yang ia jajaki. Bagian terbaik The Equalizer 2 basically adalah dirinya,  kita seakan jadi pinter berakting melihat penampilannya di sini. Cara dia menampilan gesturnya, gimana aktor senior ini mentackle adegan-adegan aksi yang normally bukan ranah dia; menakjubkan. Sehingga aku pun  jadi lumayan menyayangkan, adegan pertarungan terakhir di film ini tampak seperti menyia-nyiakan dedikasi Wahington. I mean, duel satu lawan satu di tempat kosong itu tampak terlalu meta, membuatku susah percaya Wahington bisa melakukannya tanpa stuntman. Lagipula McCall yang sejauh durasi dua jam film ini hanya benar-benar menembakkan pistolnya satu kali, selebihnya ia menggunakan siasat, tampak sedikit di luar karakter dalam pertempuran di atas menara tersebut.

belum pernah kan diancem harus ngasih bintang-5 sama driver online? hhihi

 

 

Dalam cerita pun, tokoh ini akan memberikan wejangan gimana kita boleh saja mencari duit dengan bakat yang kita miliki, namun kita tetap butuh otak untuk membelanjakan duit tersebut. Salah satu elemen emosional dengan banyak sekuen mantap yang dipunya oleh film ini berasal dari hubungan McCall dengan cowok remaja yang tinggal di dekat apartemennya. McCall menjadi seperti figur bapak buat Miles yang masih menjadi jati diri. Miles ini hobi menggambar, ia menawarkan diri mengecat ulang tembok apartemen yang dirusak oleh grafiti berandalan. Tapi si Miles ini tidak percaya kemampuannya adalah hal yang paling baik yang ia lakukan. Lingkungan sosialnya memandang rendah pekerjaan melukis. Tidak normal menjadi seniman jalanan di sana. Duit dicari dengan jalur ‘kerjaan’ yang lain, dan Miles nyaris melangkahkan kakinya ke jalur tersebut. McCall semacam melarang anak tersebut, menggebahnya untuk mengambil pilihan yang benar-benar bermanfaat.

Untuk penyeimbang pikiran, dalam memberdayakan kemampuan, tentu saja kita memerlukan hati.  Keahlian dan kepintaran akan dengan gampang disalahgunakan jika kita tidak punya batasan moral yang bersumber dari hati. Itulah yang membedakan Robert McCall dengan orang-orang yang berkeahlian sama seperti dirinya dalam The Equalizer 2. Hati yang berada di tempat yang benar akan dapat memberikan kekuatan untuk melakukan hal yang benar, mengalahkan pikiran yang terkadang terlalu cepat menyimpulkan, terlalu tinggi dalam menilai, dan terlalu gegabah dalam mengambil keputusan.

 

Plot penceritaan film ini sebenarnya bisa dibuat lebih baik lagi. Struktur kejadian mungkin bisa diubah sedikit susunannya, karena terasa panjang sekali sebelum kejadian-kejadian di film ini terasa saling kohesif. Kejadian utama pada cerita adalah ketika ada kasus penembakan suami istri di Brussel yang dibuat seolah tindakan pembunuhan-dan-bunuh diri. Kasus ini menyeret McCall dan teman-temannya dan merupakan awal konfrontasi tokoh utama kita dengan masa lalunya. Hanya saja, sebelum sampai ke sana kita melewati banyak adegan-adegan yang tidak menambah untuk keperluan kejadian ini. Di awal-awal itu kita akan melihat gimana McCall membantu orang-orang yang ia antar. Seperti ada seorang kakek yang berusaha mendapatkan kembali lukisan kakaknya semasa kecil. Cerita kecil ini tidak melakukan apa-apa kepada permasalahan yang sebenarnya. Bahkan tidak banyak adegan aksi yang terlibat. It just takes a long time sebelum kita tahu ke arah mana sebenarnya narasi film ini melaju.

 

 

 

Melihat Denzel Washington menghajar orang-orang brengsek dengan brutal dan tanpa ampun, tangkas dan mematikan, adalah hiburan tersendiri. Melihat dia berinteraksi dan coba membantu orang-orang sebelum mereka terlanjur menjadi orang brengsek – walaupun trope orang dewasa berkoneksi dengan remaja sudah sering dilakukan, bahkan oleh film pertamanya – merupakan anugerah lantaran kita mendapat banyak dialog yang powerful. Sayangnya plot cerita tak sekuat penampilan akting maupun aksinya yang seimbang memuaskan. Mencegah film ini untuk menjadi terlalu memorable. It is a fine watch, tetapi butuh terlampau panjang waktu untuk benar-benar mulai nendang.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for THE EQUALIZER 2.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

SLENDER MAN Review

“Cure for an obsession: get another one”

 

 

 

Dua orang anak cewek mengajak seorang teman mereka ke hutan. Bukan untuk bermain-main layaknya anak berumur dua-belas tahun yang biasa. Mereka mengajak si teman, untuk ditusuk berkali-kali, demi membuat Slender Man senang. Gilanya; cerita tersebut benar-benar terjadi di Winsconsin, Amerika, May 2014 yang lalu. Sayangnya; film Slender Man tidak banyak mengeksplorasi elemen ini, mereka membuat cerita baru yang semakin mengaburkan aspek utama yang bikin sosok Slender Man itu sendiri menarik; Obsesi.

Sejak kemunculannya di kontes photoshop online tahun 2009, Slender Man memang menarik perhatian orang-orang, khususnya fanatik horor. Cerita karangan fans tentang entitas ini, kejadian-kejadian penampakannya, peraturan untuk dapat melihatnya, tips buat selamat darinya, bermunculan di forum-forum internet. Slender Man jadi semacam urban legend era digital. Bahkan sampai dibuatin software gamenya sendiri. Hal tersebut menunjukkan bahwa banyak orang yang sudah terobsesi sama makhluk reka ini. Mereka semua ingin percaya makhluk tersebut ada; hingga ke titik puncak; merekalah yang membuat Slender Man eksis di dunia.

Menakjubkan seberapa keras usaha manusia untuk mengejar sesuatu yang kita serahkan hati dan pikiran kepadanya. Obsesi bisa mendorong kita menjadi lebih kreatif, melakukan hal-hal yang tadinya tidak kita bisa. Dan memang menjadi menyeramkan tatkala kita hanya memikirkan satu hal terus menerus dengan berlebihan. Menyangka kita hanya bisa bahagia olehnya saja. Film Slender Man sesungguhnya menawarkan obat untuk obsesi seperti demikian; dengan membuang hal yang kita cinta. Dengan mencari sesuatu yang lain untuk dicintai.

 

 

Selain temanya, film ini punya beberapa ide menarik dan shot-shot gambar creepy untuk membuat kita bertahan menyaksikan. Pencahayaannya membangun suasana gak enak dengan ciamik.Video yang disaksikan para tokoh pada film ini digarap surreal kayak video terkutuk di horor Jepang, Ring (1998) atau The Ring (2002) – versi Amerikanya, jadi gambar-gambarnya yang random itu akan membuat bulu kuduk kita merinding, menghipnotis bukan hanya tokoh film namun jika kita, para penontonnya. Mengenai ide, Slender Man yang menyatroni rumah orang, memanggil mereka lewat video call dan actually menampakkan dirinya lagi melihat apa itu sebenarnya elemen yang serem, lagi seger. Aku akan suka sekali jika bagian tersebut dibahas lebih banyak. Juga ada sekuen horor di perpustakaan, yang memainkan perspektif kamera untuk menghasilkan efek-efek yang disturbing. Tokohnya yang berlarian panik antara rak demi rak, dan gak tau Slender Man bakal muncul di mana. Perasaan ngeri yang hadir saat memainkan gamenya benar-benar terasa di bagian ini.

karena perpustakaan dan buku-buku adalah momok yang nyata bagi remaja

 

Hanya saja Slender Man tidak tahu mau menjadi film seperti apa. Slender Man butuh untuk menjadi film yang senyap. Dalam gamenya, kita gak pernah tahu Slender Man itu munculnya di mana. Kengerian yang menjadi mitos dari sosok ini adalah kita tidak mendengar apa-apa selain suara tapak kaki dan napas kita sendiri. Tapi di film ini, kita tahu setiap kali Slender Man akan muncul. Terima kasih berkat musik gede yang ngasih kisi-kisi dan kesempatan kita untuk membangung antisipasi. Fun nya jadi enggak ada. Terlebih, kita tahu dia bakal muncul, dan yang kita lihat juga adalah sosok CGI. Seramnya musnah sudah.

Mereka bisa saja membuat film found footage atau sesuatu dengan first person point-of-view tentang remaja yang berburu Slender Man, ala Blair Witch, biar sama kayak gamenya. Mereka bisa saja memfokuskan kepada apa sih sebenarnya Slender Man itu, dari mana ia berasal.  It would make a much better movie. Tapi enggak. Alih-alih itu mereka membuat cerita tentang empat cewek remaja yang mempraktekkan apa yang ada pada video ‘bagaimana memanggil Slender Man’ di internet, Slender Man kemudian beneran datang. Mengambil geng cewek tersebut satu persatu, kecuali diberikan sesuatu yang paling dicinta sebagai pertukaran.

makanya yang diculik duluan adalah pemain yang aktingnya paling jago

 

 

Aku seneng juga ngeliat ada Annalise Basso main di sini, karena pemenang Unyu op the Year dua tahun yang lalu punya prestasi nongol di horor yang bagus kayak Oculus (2013) dan Ouija: Origin of Evil (2016). Tapi keberadaannya di Slender Man, meski memang dia yang main paling meyakinkan dan tokohnya yang paling kuat menyuarakan tema obsesi, sama sekali tidak mengangkat banyak buat film ini. Hal tersebut dikarenakan filmnya sendiri demen sekali memindah-mindahkan tokoh utamanya. Katie bisa jadi tokoh utama yang paling menarik dari empat pilihan yang ada, tapi aku juga paham film butuh suatu bukti bahwa stake yang dihadapi tokoh utama enggak main-main. Jadi, kita punya Hallie yang diperankan oleh Julia Goldani Telles yang aktingnya paling biasa aja, Aku gak mengerti kenapa mereka enggak memberikan peran Hallie buat Basso, ataupun kepada Joey King saja – mengingat dia yang paling terkenal di sini. Kenapa harus diserahkan kepada bintang lain, kalo toh hanya untuk membuat penonton melompat-lompat pindah antara Wren (tokoh yang diperankan oleh King) dengan Hallie. Bukannya Hallie gak punya motivasi di cerita, cewek ini punya. Dia atlet lari di sekolah yang gak benar-benar menyukai apa yang ia kerjakan, dia juga punya adik yang look up to her, dia naksir sama cowok di sekolah. Namun dengan menggonta-ganti sudut pandang, arc nya si Hallie ini jadi terasa mentah, kita jadi gak pernah bisa betah di belakang si tokoh. Eksplorasi tokohnya dangkal sekali.

Empat peran sentral ini gak banyak ngapa-ngapain. Mereka menghabiskan banyak waktu dengan adegan chat layar handphone. Bahan obrolan mereka tak jauh dari seputar cowok. Mereka menghabiskan waktu dengan menonton bokep di laptop bareng-bareng. Di babak ketiga, Hallie malah mangkir dari Slender Man dan pergi kencan ke rumah cowok. Bicara soal pindah obsesi, huh?

Film juga lanjut membuat mereka bego untuk alasan yang tak jelas. Seperti saat mereka menutup mata dengan kain supaya enggak melihat Slender Man, dan di detik pertama ada bunyi di hutan itu, ada satu tokoh yang langsung mengintip dari balik kain penutup matanya. Wren mencemooh Hallie yang enggak mengorbankan piala dan medali larinya kepada Slender Man, terasa datang entah dari mana. Karena meski diceritakan Hallie jago lari, kita tidak pernah benar-benar melihat dia cakap dalam berlari. Malah lucu sekali di adegan akhir; Hallie lari dan dia tertangkap. Lebih lucu lagi, Hallie saat itu sebenarnya lari dari sikap kepahlawanan; like, dia datang untuk menyerahkan diri demi menyelamatkan seseorang, dan ketika Slender Man muncul, tebak apa yang terjadi: Hallie ngibrit – lupa ama niat baik dan pelajaran yang sudah ia sadari. Ngibrit dan ketangkep. Sukses berat film ini bikin protagonisnya terlihat kayak pengecut tanpa nilai baik sama sekali.

 

 

 

Perasaan horor pun semakin merayapiku yang duduk si studio itu, menonton makhluk supranatural yang membuatku penasaran – karena aku tidak pernah bisa menamatkan gamenya. As I watched cerita yang tak benar-benar padu, tema obsesi yang berdenyut lemah di balik hingar-bingar jumpscare, gambar-gambar creepy yang menjadi mentah karena arahan yang tak berjiwa, tokoh-tokoh yang punya karakter sama banyaknya dengan pohon-pohon, sudut pandang cerita yang berganti-ganti, dan mendengar bapak di kursi sebelahku yang mendengkur keras – tertidur, aku sadar akan ketakutanku yang menjadi nyata; bahwa obsesiku soal horor sudah membuatku harus mengorbankan waktu dan duit yang berharga. Tapi kuakui, sebenarnya bisa saja film ini menjadi lebih buruk dari ini, lantaran tema dan ide menarik dan gambar-gambar creepy yang ia punya.
The Palace of Wisdom gives 3 out of 10 gold stars for SLENDER MAN.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

SEBELUM IBLIS MENJEMPUT Review

“Pain changes people”

 

 

 

Mau dia pakai baju putih sekali pun, iblis tetaplah bukan malaikat. Kita tidak membuka pintu untuknya. Kita tidak mempersilakannya masuk. Kita tidak memanggil namanya. Sayangnya, Pak Lesmana lagi kepepet. Dia butuh duit yang banyak buat menghidupin keluarganya. Dalam adegan pembuka yang bertindak sebagai prolog, kita melihat bagaimana manusia bisa dengan gampang terbujuk, ikut menjadi penyembah setan, melebihi kekuatan sangkal dan iman mereka sendiri. Dari opening ini saja kita bisa segera tahu, kita berada dalam tangan penulis dan pembuat film yang cakap. Mereka menceritakan informasi-informasi dengan menghindari flashback, setiap informasi mereka sampaikan dengan menarik. Dalam wilayah horornya, kita juga langsung dikasih peringatan lewat imaji-imaji  dan pengambilan gambar yang creepy; bahwa kita sedang duduk dalam sebuah wahana horror yang benar-benar akan bikin lemes jiwa dan raga.

Sebelum Iblis Menjemput tahu bagaimana cara memperkenalkan diri. Film ini pun cukup bijak untuk tidak berlama-lama menghantarkan kita kepada apa yang mau kita lihat; hantu dan darah. Sebagaimana jumpscarenya, set up setiap tokoh dilakukan dengan sangat efektif. Setiap detil di babak awal adalah informasi yang sangat berharga. Bahkan kengerian sudah dihampar secara subtil (awalnyaaa!) di layar, meminta kita untuk memperhatikan. Supaya kita dapat memahami kondisi keluarga mereka. Di tengah kebangkrutan karena nyawa Lesmana sudah di ujung tanduk; keluarga nomor dua bapak ini mulai ribut mencari aset miliknya yang bisa dijual. Mereka lantas menghubungi Alfie, anak kandung Lesmana, yang punya kunci ke vila – tempat di mana Lesmana diduga menyimpan hartanya. Kita melihat Alfie yang kehidupannya kontras dengan Maya, padahal kita tahu mereka bersaudara. Meskipun hanya saudara tiri. Kita melihat Alfie hidup ‘keras’, dia tidak akrab sama saudara-saudara tirinya. Konflik antara Alfie dan Maya, relasinya dengan Ruben, si kecil Nara, dan ibu tirinya jadi hati drama cerita. Dan ketika mereka semua sepakat untuk kembali ke vila tersebut, pintu masalalu – both literally and figuratively – terbuka, melepaskan iblis yang seketika membuat semuanya menggila!

 

Tok tok!
Siapa?
Pevi..
Pevita yang artis ya? Waaahhh

PEVInilah jadinya kalo kalian nyari kekayaan mintanya ke Iblis!!

 

 

Ok, that was corny, yang mana jauh sekali dari apa yang film ini lakukan.  Mengangkat tema supranatural, dengan ada perwujudan iblis bertanduk, ada tokoh hantu yang super nyeremin, ada tokoh-tokoh yang kesurupan dan melakukan hal-hal sadis serta gila, film tidak pernah melanggar garis over-the-top alias garis lebay. Semuanyadiarahkan untuk ketegangan maksimal, sehingga sekalipun kita tertawa, maka itu adalah adalah tawa canggung untuk menutupi kegugupan dan ketakutan kita akan kengerian yang kita tahu bakal datang. Kafir: Bersekutu dengan Setan (2018) bisa saja menjadi semengerikan ini kalo dirinya tidak diarahkan untuk menjadi over-the-top (bandingkan konfrontasi final kedua film ini yang mirip tapi kesan yang dihasilkannya begitu berbeda), dengan alur yang sebenarnya tidak perlu ditutupi; tidak perlu ada twist. Horor sadis buatan Hitmaker kayak Sabrina (2017), dan seri The Doll seharusnya bisa jadi semengena ini jika saja tidak terlalu sibuk membangun sekuel-sekuel. Sebelum Iblis Menjemput ADALAH KONDISI TERBAIK YANG BISA DICAPAI OLEH HOROR INDONESIA sejauh ini. Punya plot karakter yang tertutup, punya awal-tengah-akhir (Tidak seperti kau, Pengabdi Setan), jadi enggak sekadar bermain di konsep body horror yang bikin gross out, melainkan juga seram, dengan drama yang lumayan berbobot.

Perubahan sikap Alfie, dan orang-orang yang kesurupan pada film ini menggambarkan bahwa derita dan rasa sakit sanggup membuat orang berubah. Tiada cinta tanpa derita, hidup kita gak akan jalan kalo enggak pernah merasain sakit. Luka adalah pintu bagi kit auntuk mendapat kekuatan, menjadi lebih bijak, bagaimana membuat kita menjadi semakin tangguh. Tidak ada yang keluar dari derita tanpa berubah menjadi pribadi yang berbeda dari diri sebelumnya.

 

 

Penampilan akting film ini benar-benar terasa seperti berasal dari dunia yang lain. Maksudku,setiap pemain diberikan tantangan, mereka semua didorong untuk melakukan hal-hal yang bukan saja fisikal, melainkan juga emosional – dalam taraf kegilaan yang just enough untuk bikin kita bergidik sampai tengah malam nanti. Tokoh-tokoh cewek di film ini, jangan harap mereka hanya jadi eye candy. Mereka semua dibikin bercacat, luka-luka, dekil-dekilan, mandi lumpur, bersimbah darah, tulangnya patah-patah. Semua deh. Aku gak pernah nyangka aku bakal gemeteran seperti tu saat melihat Pevita Pearce.  Aku gak mau bilang banyak soal tokoh yang ia mainkan di film ini, tapi aku benar-benar gak nyangka Pevita sanggup men-tackle peran seperti demikian. Dan bukan sembarangan, dia sukses berat. Sutradara Timo Tjahjanto directs the shit out of her. And everybody else. Dan tak seorangpun yang jatohnya lebay. Chelsea Islan sebagai Alfie mungkin gak banyak dapat sorotan dari rangorang. Buatku, ia adalah protagonis film horor terkuat yang pernah aku lihat sepanjang tahun ini. Alfie keras dan badass banget, dia ditekan oleh ketakutan dan kemarahannya bersamaan, dan at times emosinya tersebut enggak exactly mengarah ke si iblis. Ada monolog hebat yang Islan ucapkan di babak awal yang menunjukkan kematangannya dalam berakting. Pada gilirannya, kita turut rasakan rapuhnya ketika dia berusaha memproyeksikan kebencian itu terhadap dirinya sendiri.

there’s no way itu Karina Suwandhi kan? Kan!?

 

Penggemar horor bunuh-bunuhan sudah pasti akan sangat terpuaskan. Make up dan efeknya keren, ada bagian ketika leher seseorang ditarik oleh kekuatan tak terlihat sehingga memanjang sebelum akhirnya copot dari pundaknya, dan itu terlihat sangat meyakinkan. Yang pengen lihat hantu juga pasti tepuk tangan karena hantu di film ini gak konyol dan luar biasa seram. Tidak ada yang tidak bisa dilakukan oleh film ini. Semuanya dipush habis-habisan. Termasuk ngepush suspend of disbelief kita. Ada waktu ketika film ini meminta kita untuk memaafkan sedikit ketaklogisan, serta ketidakkonsistenan, yang terpaksa diambil oleh cerita – itu jika kita ingin tetap bersenang-senang menikmati film seperti bagaimana bisa adik kecilnya sanggup menarik Alfie keluar dari atas liang kubur. Ataupun ketika tangan dan kaki Alfie yang sudah patah, namun dia masih mampu berjalan dan mencangkul tanah. Dan pada shot akhir kita melihat Alfie kembali pincang dan jari-jarinya bengkok. Bisa sih, kita mengaitkannya dengan pesan orang dapat berubah karena derita yang ia rasakan yang terus dikoarkan oleh film. You know, mungkin Alfie dan Nara menarik kekuatan dari keadaan mereka yang sangat menderita, hanya saja agak terasa terlalu memaksa. Tokoh-tokoh film ini dalam paniknya juga sangat disayangkan harus selalu memilih untuk berpencar, meskipun logisnya adalah mereka keluar aja bareng-bareng mencari perlindungan ke desa. Enggak musti dibagi dua, satu tim keluar rumah nyari pertolongan untuk pendarahan di tangan, dan satu tim lagi tinggal di rumah.

Dalam sakit, kita masih cinta. Meski penuh waspada, karena kita takut akan terjerumus lagi ke dalam lembah derita yang sama. Kita memikirkan bahwa hal bisa menjadi sangat singkat. Kita cinta, tapi tidak pernah murni seperti sedia kala.

 

 

Banyak trope horor seperti demikian yang tak bisa dihindari, namun film berusaha membuatnya dengan berbeda. Seperti misalnya ketika seseorang ditarik ke bawah tempat tidur, dan tokoh-tokoh lain berlari dari luar menyelamatkannya; kebanyakan film akan membuat entah itu hantunya berhasil menculik, ataupun gagal, yang jelas biasanya si hantu sudah tak ada saat banyak orang datang menyelamatkan. Pada film ini, hantunya tetap ada. Malah balik menyerang. Ini adalah salah satu adegan yang membuatku tertawa nervous karena buatku seram sekali hantunya enggak malu-malu. Kita bisa lihat film ini seperti berkaca kepada horor klasik Sam Raimi, The Evil Dead (1981), di mana kekuatan supranatural memporakporandakan rumah di tengah-tengah entah di mana,  membuat tokoh-tokoh jadi gila, penuh kekerasan juga. Namun jika di horor itu, dan kebanyakan horor lain, tokohnya adalah remaja yang pergi liburan, Sebelum Iblis Menjemput punya tokoh-tokoh yang lebih berbobot; remaja yang diikat oleh tali keluarga, dengan sudut pandang mereka berusaha utuh sebagai keluarga.

 

 

 

Horror Indonesia at its best. Film ini menawarkan semua kegilaan yang bisa diinginkan oleh penggemar film horor secara umum, dan gore khususnya. Eksekusinya pun dilakukan dengan begitu kompeten. Penampilan aktingnya luar biasa. Pergerakan kamera, efek, make up, penulisan – arahan film ini benar-benar berada di tingkatan yang berbeda. Kita akan takut, kita akan nyengir sakit, kita akan memicingkan mata. Terkadang kita geleng kepala juga dibuatnya, karena ada beberapa elemen kecil dari cerita yang memohon untuk kita menahan ketidakpercayaan kita, ada adegan yang maksa untuk masuk ke logika cerita, ada yang gak konsisten, tapi tidak mengurangi banyak keasyikan menonton. Film ini sekiranya bisa membawa horor kembali ke arah yang benar, sebelum keasyikan horor kita musti dijemput lagi sama iblis bernama uang.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for SEBELUM IBLIS MENJEMPUT.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

THE MEG Review

The number one rule is to not become a victim yourself

 

 

 

Laut, meski gak punya pohon-pohon, masih berlaku hukum rimba di sana. Ikan kecil dimangsa ikan yang besar. Ikan yang besar dimakan oleh ikan yang lebih gede. Ikan lebih gede tak ayal kena mamam sama ikan raksasa. Manusia sebagai bagian dari ekosistem, mau masuk hutan atau lari ke pantai pun tak bisa luput dari hukum tersebut. Kita butuh makhluk lain untuk melanjutkan kehidupan. Untuk bertahan hidup adalah tujuan kita di dunia. Tetapi, sebagai makhluk yang dianugrahi hati buat mikirin etika, tentu kita manusia enggak bisa sembarangan ‘memakan’ sesama manusia. Makanya Jason, seorang penyelam penyelamat, di film The Meg dipandang sebelah mata sama rekan-rekannya; lantaran Jason pernah mengorbankan seisi kapal selam untuk menyelamatkan diri beserta segelintir orang yang saat itu bersama dengannya.

Tak ada yang percaya alasannya, membuat Jason mengasingkan diri ke Thailand.  Dia menunggu ilmuwan-ilmuwan biologi laut di kilang lepas pantai Cina itu kembali minta tolong kepadanya karena Jason percaya pada apa yang ia lihat. Well, atau tepatnya yang tidak ia lihat. Ada sesuatu di dasar palung di sana yang menyerang mereka. Makhluk supergede yang menemukan jalan ke permukaan berkat ekspedisi yang dilakukan oleh para ilmuwan. Monster purbakala yang tahu persis dirinya masih meraja di puncak rantai makanan. Tidak seperti Jason, hewan ini gak akan berpikir dua kali, enggak bakal teragu oleh nurani, dalam memakan manusia demi kelangsungan hidupnya.

kebanyakan nonton Steve-O mancing hiu di Jackass nih hhihi

 

 

Survival adalah kebutuhan paling mendasar setiap manusia. Tapi mengapa kita merasa perlu untuk menolong orang, banyak pahlawan yang sudah gugur, dan ada juga yang selamat dan berhasil menolong orang. Sebagai makhluk sosial, sudah kodratnya bagi kita untuk merasa ingin membantu orang lain menyelamatkan diri. Kita memperkirakan resiko, kita menantang diri sendiri untuk bisa selamat bersama mereka. Apapun alasannya kita menolong orang karena keyakinan kita sanggup survive pada akhirnya. Maka dari itu, yang perlu diingat adalah dengan jangan sampai kita sendiri yang menjadi korban. Jangan keburu untuk dianggap pahlawan sehingga kita menyebabkan keselamatan lain justru semakin terancam.

 

Sayangnya The Meg enggak konsisten merenangi perairannya sendiri. Tema yang mereka angkat timbul tenggelam. Umm.. lebih tepatnya, bayangkan sebuah batu yang kalian lempar menyisir permukaan air. Batunya akan loncat-loncat, kan. Begitulah tema film ini terasa. Film enggak konsisten dalam mengeksplorasi konteks ceritanya. Jonas ngorbanin banyak orang supaya bisa menyelamatkan paling enggak beberapa, supaya mereka enggak binasa semua. Kita seharusnya mendukung sudut pandang ini, karena Jonas adalah tokoh utama cerita. Namun film juga secara berlebih berusaha membuat kita sedih. Seperti si pria Asia yang dengan sengaja mengorbankan dirinya; kenapa kita mesti sedih karena tindakannya tersebut, sementara kita tahu – Jonas tahu dan ia dipersalahkan karenanya – bahwa pengorbanan itu kadang diperlukan. Pada satu poin Jonas bilang enggak gampang menjadi orang yang selamat dari musibah. Jadi usaha-usaha film untuk mendramatisasi setiap kematian para tokoh lain enggak ngefek ke kita.

Di momen kita menyadari kebiasaan minum yang menjangkiti Jonas tidak menambah apa-apa ke dalam plot; malahan tidak pernah disinggung lagi selain buat introduksi yang kayak tempelan, kita tahu film ini tidak benar-benar niat untuk memanusiakan para tokoh yang lain. Mereka dibuat sebego-begonya orang yang nyalain lampu meski sudah belajar bahwa cahaya dapat menarik perhatian predator yang mengincar mereka. Ide pintar ilmuwan di film ini adalah menembakkan racun ke mulut hiu alih-alih memancing si hiu dengan daging yang sudah diracuni. Keputusan-keputusan yang mereka buat sama seperti dialog yang mereka ucapkan; it’s either awkwardly cheesy atau blo’on.

Penokohan mereka begitu tipis, gak bakal cukup untuk tersangkut jadi kotoran di gigi hiu yang mau memangsa mereka. Jonasnya Jason Statham adalah hero film aksi paling generik, walaupun dia punya dasar moral sendiri, tapi tak pernah menguar lebih dari titik dia nge-I told you so orang-orang. Rainn Wilson adalah orang kaya yang bersifat egois yang kita nanti-nantikan kematiannya. Page Kennedy menerima tugas sebagai orang hitam yang lucu karena mengeluh setiap saat. Ruby Rose adalah cewek hispster yang jago komputer. Bingbing Li jadi tokoh cewek pendamping utama yang tentu saja bertugas menjadi orang yang perlu diselamatkan oleh Jonas. Begitu banyak tokoh yang gak ngapa-ngapain, ataupun memberi sesuatu yang baru, sudut pandang yang bikin kita enjoy mengikuti dan peduli ama mereka. Ada satu tokoh anak kecil, yang bikin kita “aww lucunya” dan dia gak diberikan apa-apa selain yang sudah kita lihat pada trailer. Juga ada tokoh kepala ilmuwan yang merasa bimbang saat mengetahui ‘musuh’ mereka adalah hewan prasejarah, ia dijangkiti dilema apakah makhluk ini sebaiknya tidak harus dibunuh, melainkan bisa dilestarikan. Namun film sebodo amat, dan tokoh-tokoh lain seratus persen meng-ignore si tokoh dengan menjalankan misi mengebom si hiu.

kenapa lagu Hey Mickey versi Thailand jadi soundtrack benar-benar di luar kuasa logika ku

 

 

Bekerja sama dengan China, film ini berusaha tampak lebih menarik buat pasar di sana.  Yang ada malah, The Meg tampak seperti ‘Made in China’ dari film hiu yang lebih kompeten seperti Jaws (1975). Bagian paruh pertama film ini membosankan dengan banyak penjelasan dan bincang-bincang teknologi dan istilah-istilah semacamnya. Bagian kedua, setelah perahu mereka dibalikkan, memang lebih seru, hanya saja meminjam banyak dari elemen yang sudah pernah kita lihat. Mereka berusaha melakukan hal yang sama, dengan lebih besar, dengan teknologi yang lebih mumpuni. Bahkan dengan mindset itupun, senjata utama film ini adalah ‘monster’nya yang super gede, The Meg tidak pernah benar-benar terasa menyeramkan. Alih-alih menggunakan suasana dan atmosfer bawah laut yang mencekam, film menakut-nakuti kita dengan jumpscare kelebatan hiu. Melihat sirip raksasa itu mendekat menyusur air, tidak membuat kita takut. Malahan greget pengen lihat si hiu bakal ngapain, bagaimana cara si hiu membunuh orang-orang yang tak berkarakter itu. Aksi hiunya pun biasa sekali. Aku mengharapkan mereka berkreasi dengan hiu sebesar itu, namun selain shot CGI yang merupakan versi halus dari photoshop serangan hiu hoax di internet yang sering kita lihat, tidak banyak hal seru yang ditawarkan oleh si hiu. Bahkan gak banyak darah, lantaran film menolak untuk sadar diri dan ngepush untuk dapat rating yang ‘enggak-dewasa’.

Mindless-monster movie yang membosankan. Menonton film ini bagaikan ngobrol sama orang annoying yang sok asik. Mereka pikir mereka lucu, exciting, mereka pikir aksinya keren, tapi semuanya biasa aja. Bahkan nonton Sharknado akan lebih menghibur, karena pembuatnya tahu kekuatan konsep ‘murahan’ yang mereka gunakan, dan mereka paham gimana menargetkannya kepada penonton sasaran pasar mereka. The Meg tidak sanggup untuk seserius dan semenakutkan Jaws, dan merasa gengsi untuk tampil seperti Sharknado. Padahal justru kemindless-annya itu yang semestinya dijadikan kekuatan. Adegan final Jonas actually satu lawan satu melawan hiu itu adalah adegan terbaik; film harusnya embrace kegakmasukakalannya tersebut sedari awal, karena sesungguhnya film ini berenang di kolam yang sama dengan film-film Sharknado.

 

 

 

Palungnya boleh dalam, namun ceritanya dieksplorasi dengan dangkal. Hiu film ini boleh saja gede, tetapi filmnya sendiri bernilai kecil lantaran filmnya terlalu sibuk untuk menjadi ‘Made in China’ dari film-film hiu yang lain. Dia menganggap dirinya seriously keren. Tapi tidak mengolah karakternya dengan baik. Dia tidak mengembrace sisi konyol yang mereka punya. Padahal jika mereka melakukan secara konsisten apa yang mereka lakukan di paruh akhir cerita, it would be a total blast. Akan bekerja sangat baik kalo saja mereka benar-benar total, penuh darah, konyol, dan sebagainya. Tidak konsisten dengan konteks, juga tidak total memainkan konsep. Jadinya adalah film ini seram tidak, kocak dan menyenangkannya juga hilang timbul.
The Palace of Wisdom gives 2 out of 10 gold stars for THE MEG.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017