BARBIE Review

 

“Life is your creation”

 

 

Sutradara Greta Gerwig menyebutkan setidaknya ada tiga puluh tiga film yang ia jadikan referensi saat menggarap film tentang boneka kesayangan nomor satu anak-anak perempuan sedunia ini.  Beberapa referensi yang disebutkan Gerwig memang ‘kelihatan’ sepanjang durasi Barbie, dalam pengadeganan, dalam dialog yang dengan sarkas menyentil referensinya, atau yang benar-benar gamblang seperti adegan pembuka yang mlesetin pembuka 2001: A Space Odyssey. Bukan lagi monyet yang menemukan monolith, melainkan anak-anak perempuan yang sudah letih main ibu-ibuan pakek boneka bayi, menemukan boneka wanita dewasa, pirang, langsing, cantik, dan bisa mereka dandani dengan berbagai kostum mulai dari pekerjaan hingga fashion pesta! Yup, Barbie memang digarap fun dan absurd. Bersanding tayang dengan Oppenheimer-nya Nolan, juga lantas menanamkan kesan dua film ini bagai air dan api, dengan Barbie dianggap ringan ketimbang Oppenheimer. But make no mistakes, kedua film ini sama-sama berbobot. Meskipun gak disebutkan sebagai film-film referensinya, toh aku merasa film ini seperti gabungan dari konsep meta The Lego Movie dengan eksplorasi kesadaran mainan pada Toy Story. Alhasil Barbie sesungguhnya adalah bahasan filosofis tentang eksistensi dengan faktor-faktor seperti gender yang bergerak di baliknya.  Yang jelas, film ini bukan live-action dari Barbie animasi fantasi yang dulu sering tayang saat musim libur di televisi!

I’m just like you, you’re just like me

 

Barbie Margot Robbie tinggal di Barbieland. Menjalani hidup yang perfect bersama Barbie-Barbie yang lain. Ada Barbie yang jadi pilot, Barbie yang benerin jalan, Barbie yang menang nobel, hingga presiden di sana tu pun, Barbie. Mengisi hari, Barbie Stereotypical kayak karakter Margot Robbie, have fun di pantai. Hang out bareng Barbie dan para Ken, termasuk Ken-nya Ryan Gosling, yang pengen nempel terus sama Barbie Margot Robbie.  Semua Barbie dan Ken (dan juga boneka lain produksi Mattel yang sudah tidak diproduksi lagi) ini tau mereka boneka. Mereka bangga, karena Barbie – mereka – diciptakan sebagai icon perempuan yang kuat bagi anak-anak. Film pun dengan kocak segera menjelaskan bagaimana hubungan absurd antara para boneka dengan pemilik mereka di dunia nyata terbentuk. Para Barbie bergerak persis kalo anak-anak main boneka, mereka bisa tinggal melayang. Mobil mereka bahkan enggak perlu mesin, karena digerakkan oleh tenaga imajinasi anak-anak. Pokoknya kehidupan rutin di Barbieland tak pernah menjemukan. Aman dan nyaman. Bersenang-senang dan sempurna sepanjang hari. Sampai suatu ketika Barbie Margot Robbie tiba-tiba mulai memikirkan kematian. Hidupnya lantas jadi tak sempurna. Dia terjatuh ketika berjalan, karena mendadak kaki jenjang indahnya itu tidak lagi berjinjit. Worse, dia menemukan selulit di pahanya! Atas usul Weird Barbie (Barbie yang sudah ‘tak berbentuk’ karena dimainkan dengan berlebihan oleh anak-anak), Barbie Margot Robbie pergi ke dunia nyata. Guna menemukan anak manusia yang memainkan dirinya. To make things right with her.  Petualangan Barbie bersama Ken pun dimulai.

Dulu kalo ada anak cewek yang cakep, ibu-ibu – termasuk mamak ku – pasti memujinya “aihh, adek cantik sekali, kayak boneka berbi”. Boneka Barbie yang telah ada sejak 1960an itu memang telah turut jadi lambang kecantikan. Anak-anak sejak kecil taunya cantik ya seperti itu. Tinggi, langsing, rambut panjang. Belakangan, Barbie memang mulai hadir dengan lebih diverse. Tapi imaji kecantikan yang telah jadi standar itu tetap tidak berubah. Dan ukuran kecantikan seperti demikian bukan exactly sebuah hal yang bagus. Greta Gerwig memasukkan permasalahan tersebut sebagai bibit konflik internal yang dirasakan oleh karakternya. Para Barbie, terutama si Barbie Stereotypical yang jadi karakter utama cerita, merasa kehadiran mereka membantu dunia menjadi lebih baik. Barbie merasa sebagai role model yang membuat hidup anak perempuan jadi lebih berdaya. Seperti boneka-boneka perempuan di Barbieland. Dialog pada bagian awal film ini memang tidak bisa diisi oleh bantering, karena para Barbie percaya hidup mereka flawless dan paling benar, tapi justru diisi oleh dialog-dialog yang terdengar sarkas bagi kita. Karena kita tahu di dunia nyata, Barbie tidak seheroik itu. Melainkan cukup problematik. Bayangkan betapa terkejutnya Barbie tatkala sampai di dunia nyata. Bukan saja tidak ada anak perempuan yang memeluk dan berterima kasih kepadanya, Barbie malah dihujat oleh seorang anakremaja. Barbie malah merasa tidak aman berada di kota dengan sedikit sekali presence perempuan, lebih banyak laki-laki yang aktif di jalanan, dan semuanya memandang dirinya dengan tatapan yang bikin gak nyaman. Menyadari eksistensinya justru membawa bad impact bagi anak-anak perempuan (dengan ngeset standar mustahil dan mengotak-ngotakkan mereka harus bisa jadi ini dan itu),Barbie menangis untuk pertama kalinya. Ngecast Margot Robbie adalah langkah yang tepat, karena pertama; fisiknya membuat kita percaya bahwa Barbie memang diciptakan sebagai ide kesempurnaan perempuan. Kedua, kemampuan aktingnya mampu membawakan konflik personal yang menyeruak secara perlahan tapi pasti di balik kesempurnaan yang ia percaya itu.

Ada banyak cara untuk melanjutkan cerita Barbie ini. Cerita bisa dibawa ke arah mengalahkan patriarki dan korporat jahat, misalnya. Terlebih karena memang ada karakter bos dan petinggi-petinggi perusahaan Mattel yang ingin mengembalikan si Barbie ini ke dalam kotak, mengirimnya kembali ke Barbieland. Gerwig bisa saja menjadikan mereka sebagai sosok antagonis, karena telah membuat women empowerment sebagai bahan jualan boneka semata. Jadi Barbie dan pemiliknya bisa dibikin bekerja sama mengalahkan Mattel demi membuat dunia nyata dan Barbieland lebih baik lagi. Atau kalo mau lebih sureal, bisa saja dibuat pemilik Barbie ini adalah karakter lain yang diperankan Margot Robbie, alias Barbieland adalah produk imajinasi dari kepala seorang perempuan di dunia nyata yang kabur dari toxicnya dunia nyata. Tapi Greta Gerwig sama seperti Barbie, gak mau masuk ke dalam kotak. Menjadikan cerita seperti dua contoh yang kusebut itu, adalah cara gampang yang bakal membuatnya masuk ke kotak mainstream storytelling. Gerwig mengambil arahan yang totally berbeda. Yang totally unik dan hanya dia yang bisa. Dia membuat tidak ada yang jahat dan baik. Not even patriarki jahat, matriarki benar.  Korporat cari cuan dari mainan anak, ada, tapi oleh Gerwig mereka itu bukan penyebab masalah, melainkan juga dampak . Yang dipilih oleh Gerwig sebagai bahasan adalah soal pilihan itu sendiri. Tentang eksistensi dan menyadari bahwa kita punya pilihan. Bahasa Gerwig di sini adalah bahasa filosofis (menjawab pertanyaan dengan pertanyaan), dan satirnya, bahkan sedikit menyenggol kisah di dalam agama.

“I am a liberated man.” Liberated man = free man = preman!

 

Eksistensi Barbie dan Ken seperti reverse dari Adam dan Hawa. Gerwig seperti ingin memperlihatkan teorinya bahwa dunia kita jadi patriarki hanya karena Adam diciptakan duluan, dan Hawa dijadikan sebagai pendampingnya. Kalo Hawa yang diciptakan duluan, hasilnya ya kayak di Barbieland. Barbie dibikin terlebih dahulu, dan baru Ken dibuat sebagai playmate bagi Barbie. Matriarki ternyata tak lebih baik. Karena sistem itulah yang membuat Ken Ryan Gosling juga jadi punya krisis eksistensi. Dia merasa dirinya hanya ada sebagai pendamping Barbie. ‘Barbie and Ken’ – kita melihat di adegan yang telah jadi meme, bahwa saat ditangkap polisi, Ken mengidentifikasi dirinya sendiri sebagai ‘and Ken’. Bukan ‘Ken’. Saat dunia kita sedang memperjuangkan kesetaraan perempuan, para Ken tengah mengambil alih Barbieland dengan brute force. Ya, yang tampak girang saat mereka di dunia nyata, memang Ken. Tak ditemukannya di sana laki-laki menjadi cheerleader buat perempuan. Laki-laki di dunia nyata memegang kendali, punya posisi. Naik kuda! Jantan sekali. Pandangan tersebut lantas dibawanya kepada Ken lain di Barbieland (termasuk pada Ken Simu Liu yang jadi saingannya), dan tempat itu seketika berubah menjadi setoxic dunia kita. Ryan Gosling juga perfect di perannya ini, karena dia bisa membawakan peran yang goofy dengan aura yang agak nyebelin dengan pesona konstan. Ken punya adegan nyanyi tersendiri, dan Gosling nails it oh so correctly.

Film ini menunjukkan mau itu matriarki atau patriarki, keduanya leads to the same toxic thing. Penulisan film ini berusaha membalance-kan kedua perspektif. Di titik inilah, dialog-dialog mulai kembali kepada traditional bantering. Saling attack dan defense antara Barbie dan Ken, perempuan dan laki-laki (notice cuma ada dua, bahkan di dunia boneka yang penduduknya gak punya alat kelamin sebagai penanda biologis) Diungkapkan betapa susahnya jadi cewek, yang dituntut harus sempurna. Diungkap susahnya jadi cowok yang dituntut tak boleh tampak vulnerable. Ditowel soal cowok yang punya kebiasaan suka meng-mansplaining everything. Dicolek soal cewek yang gampangnya nge-fake-in apapun.

Walau memang keseluruhan Barbieland jadi potret yang bagus, jadi cermin cartoonish yang absurd, bagi permasalahan real kita, film Barbie ujungnya berkutat parah pada penyelesaian. Si Barbie sendiri literally kebingungan mengenai ending dia apa. Well, tahun lalu Triangle of Sadness, salah satu Top-8 2022 Movies ku juga membahas soal patriarki dan matriarki yang dibalik, seperti pada Barbie ini. Film itu mengakhiri ceritanya dengan terbuka; apakah cewek juga akan saling bunuh demi kekuasaan, atau apakah cewek rela menjajah pria, semuanya diserahkan kepada pandangan dan subjektivitas penonton masing-masing. Apa yang kita percaya itulah yang akan terjadi. Greta Gerwig, sebaliknya, terus mendorong perspektif Barbie sebagai pihak yang telah melihat yang terburuk dari keduanya. Barbie telah melihat dunia nyata, dan melihat kebenaran di balik dunia plastiknya. Barbie telah melek, telah woke, dan pilihan itu ada di tangannya. Journey karakter Barbie adalah untuk menyadari bahwa dia punya pilihan. That she have to act on her choice. Bahwa dia, bukan sekadar gagasan. Dia adalah apa yang ia pilih. Penyelesaian yang filosofis dengan dialog antara Barbie dengan penciptanya, mungkin akan tampak kurang memuaskan bagi penonton setelah sekian banyak hal-hal ajaib dan elemen-elemen cerita yang dihadirkan oleh film.

Boneka Barbie dimasukkan ke dalam kotak, dijual dengan kostum, ada yang sebagai dokter, ada yang sebagai petualang, ada yang sebagai princess, dan sebagainya. Siapa mereka seolah ditentukan sejak mereka dibuat. Inilah yang didobrak oleh film Barbie. Poinnya adalah percaya bahwa kita punya pilihan. Bahwa orang bukan terdefinisikan dari ‘kotak’ mereka – dan ‘kotak’ ini bisa berarti apapun yang diberikan kepada mereka, entah itu titel, atribut, ataupun gender sekalian. Melainkan oleh pilihan mereka sendiri. Kita harus memilih sendiri. Itulah kenapa disebut hidup adalah kreasi kita sendiri.

 

 




Inilah yang terjadi jika sutradara indie dikasih tugas menjual IP. KIta gak hanya dapat film yang tentang produk tersebut, tapi juga sesuatu yang lebih dalam. No doubt boneka Barbie yang terkenal bakal semakin terkenal, tapi lebih daripada itu, kata Barbie akan mendapat asosiasi baru. Yakni sebuah film yang sangat absurd dan unik, yang mengeksplorasi eksistensi dan bahasan yang menantang tentang dinamika gender. Film penuh pesona dengan desain produksi dan artistik ngejreng ini pada awalnya bakal bikin kita tertawa-tawa, tapi makin ke sini, kita bisa melihat bahwa hiburan di sini bukan receh semata. Ada banyak komentar berbobot yang ada di balik karakter dan dunia yang absurd tersebut. Kalo ada warna yang menggambarkan film ini, maka memang paling cocok warna kostumnya Bret Hart. Hitam dan Pink. Karena film ini memang thoughtful dan fun secara bersamaan.  
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for BARBIE

 

 




That’s all we have for now.

Barbie dan Ken tadinya baik-baik saja dalam pandangan ideal tapi naif mereka, tapi masalah mereka muncul saat Barbie dan Ken mulai melek pada pandangan baru yang mereka dapatkan di dunia nyata. Apakah menurut kalian ini juga yang terjadi di dunia kita yang semakin woke kayaknya semakin banyak masalah, ketimbang masa lalu yang kayaknya aman-aman saja ketika belum banyak pihak yang ‘baperan’?

Share pendapat kalian di comments yaa

Sebelum ditutup, aku mau ngajak kalian pindah dari Barbieland ke Apple TV+ , karena ada serial bagus tentang pembajakan di pesawat! Dibintangi oleh Idris Elba, serial thriller ini bakal ngajak kita ke sebuah trip angkasa yang tak terlupakan. Yang pengen nonton bisa langsung subscribe dari link ini yaa https://apple.co/46yw8RX

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



ASTEROID CITY Review

 

“Sometimes you have to accept things the way they are and move on”

 

 

Belum lama sejak Wes Anderson bikin kita takjub dengan film yang ternyata bukan film, melainkan majalah! (baca review  The French Dispatch di sini) Sekarang sutradara maniak gambar simetris dan warna palet kontras ini hadir membawa film yang tak kalah ajaibnya. Kali ini dia membuat film dari theater play. Dari proses orang bikin pertunjukan sandiwara teater. Asteroid City, begitu quirky, kisah yang diceritakannya bahkan enggak real di dalam konteks dunia cerita itu sendiri. Nah lo, belum apa-apa sudah aneh kan? Hihihi

Biasanya kan, kita tahu cerita dalam film adalah sebuah fiksi, namun bagi para karakter di dalam film, cerita dan dunia mereka adalah nyata.  Asteroid City tidak seperti itu. Yang dikisahkan adalah tentang seorang ayah, berprofesi sebagai fotografer, yang menyimpan rahasia dari anak-anaknya bahwa ibu mereka telah meninggal tiga minggu yang lalu. Si Augie justru membawa anaknya jalan-jalan. Tiga putrinya yang masih kecil-kecil mau dibawa ke rumah kakek, sementara putra sulungnya mau dianter ke kemah ilmiah di Asteroid City; tempat di tengah gurun yang jadi pusat wisata dan penelitian antariksa lantaran dulu pernah kejatuhan asteroid. Kita bertemu Augie dan keluarga saat mereka sampai di kota tersebut. Di malam pembukaan kemah, alien (like, literally alien dan UFOnya) turun ke tengah-tengah mereka, dan mengambil asteroid simbol tempat Kota. Kejadian itu membuat Augie dan orang-orang nyentrik lain yang anaknya ikut kemah (termasuk seorang selebriti), harus dikarantina di Asteroid City, sampai pemerintah dan mereka semua bisa memasukakalkan peristiwa kemunculan makhluk luar angkasa tersebut. Sementara kita, para penonton, punya satu hal lagi untuk dimasukakalkan, yakni apa sebenarnya film ini. Karena kisah di Asteroid City tadi itu  sebenarnya cuma drama teater. Augie dan putranya dan si selebritis dan karakter-karakter lain, cuma peran yang dimainkan oleh aktor-aktor teater. Kita juga akan diperlihatkan lewat gambar hitam putih sebagai penanda, adegan-adegan yang menunjukkan pembuatan Asteroid City, aktor-aktor yang berlatih, penulis yang mencari inspirasi, serta sutradara yang sering didatangi pemain yang kebingungan atas peran yang ia mainkan. Jadi seperti ada dua bagian yang bercampur; bagian cerita di Asteroid City yang berwarna, dan bagian cerita dari dokumentasi belakang panggung yang hitam putih. Dengan garis utama yang dibiarkan blur.

Film ini adalah Barbenheimer yang sebenarnya, karena di sini ada Margot Robbie dan ledakan bom atom

 

Boleh gak sih film dibikin seperti itu? Ya boleh-boleh saja, asal bangunan penceritaan dengan konsep uniknya tersebut bekerja dalam sebuah konteks, dan tentu dengan tidak meninggalkan development karakter. Asteroid City, buatku, terasa even better daripada The French Dispatch karena punya development karakter yang lebih kuat. Memang, karakter di dua film ini typical karakter Wes Anderson banget, dalam artian mereka sama seperti lingkungannya yang berwarna kontras dan simetris; tampak artifisial.  Tapi di balik quirk yang aneh dan kekakuan mereka, kita masih bisa merasakan genuine, relatable feelings. Dan di film ini, feelings tersebut lebih terasa, dan ditulis dengan lebih mencuat. Kita bisa meraba karakter development itu dari menarik garis paralel antara perspektif utama. Menarik persamaan dari karakter Augie, dan aktor yang ceritanya memerankan Augie (keduanya diperankan oleh G-Man Jason Schwartzman). Mereka berdua sama-sama mencoba memasukakalkan perasaan yang mendera. Perasaan bingung, Augie bingung dengan perasaan dukanya yang seperti tak mendapat tempat di dunia yang begitu random malah memberikannya alien dan cinta. Aktor yang meranin Augie bingung kenapa tiba-tiba ada alien di dalam cerita yang ia mainkan. Sehingga keduanya berusaha mencari jawaban atas bingung tersebut. Augie, mencoba dengan memotret alien dan Midge, aktris yang ia jumpai di sana. Sementara si aktor berusaha nanya ke penulis dan sutradara.

Tapi alien, si aktris, penulis, dan sutradara itu bisa apa. Toh Wes Anderson tidak memberikan jawaban terhadap itu. Augie dan para karakter lain – fiksi ataupun karakter aktor – dibiarkan ‘menjelajah’ kejadian aneh tersebut. Hidup mereka dibiarkan random.  Dan itulah poin film ini. Wes bukannya tidak mau ngasih jawaban, melainkan supaya para karakternya, supaya kita juga, melepaskan diri dari menuntut penjelasan. Satu-satunya yang mendapat balasan di sini adalah perasaan Augie terhadap si aktris, yang menandakan kepada kita bahwa dalam cerita ini Wes Anderson mementingkan perasaan, emosi yang dialami oleh para karakternya yang kaku, dibandingkan dengan rasionalisme. Maka logika, gak maen di sini. Logika enggak dimasukkan ke dalam perhitungan karya film ini (at least, sampai kita membedahnya ke dalam bentuk lain misalnya seperti tulisan review ini)

Terkadang hal dapat terjadi secara random tanpa penjelasan. Misalnya hal yang kebetulan, yang terjadi dalam kesempatan yang acak. Terkadang ada juga hal-hal yang tidak bisa dijelaskan. Hal-hal seperti perasaan. Cinta, penyesalan, duka. Kita cuma bisa menerima perasaan dan kejadian tersebut, dan move on melanjutkan hidup. 

 

Saat kita sudah mengerti akan itulah, film lantas seperti mendobrak sendiri ‘peraturan’ dalam dunia ceritanya. Yang tadinya kita sangka sebagai ‘kejadian beneran’ dan ‘cerita’ ternyata tidak demikian adanya. Karena membedakannya begitu berarti kita masih memakai logika. Memisahkan bagian cerita jadi dua kotak itu dengan melihat tanda-tanda seperti, warna hitam putih untuk menunjukkan dunia yang butuh penjelasan (dunia nyata) dengan warna cerah untuk dunia reka (dunia sandiwara di kota Asteroid), ternyata hanya perangkap bingkai yang dimiliki oleh film ini. Wes ingin meleburkan keduanya, maka dia membuat ada satu karakter – host dari bagian dokumentasi – yang masuk ke dunia warna. Lalu ada beberapa aktor di dunia hitam putih yang tiba-tiba berwarna. Batasan nyata dan reka menjadi tidak ada, semua jadi tampak sama-sama artifisial, semua jadi abstrak seperti karya seni itu sendiri. Dan satu hal tentang seni, itu adalah seni merupakan cara pembuatnya berkomunikasi. Sampailah kita kepada lapisan berikutnya pada Asteroid City sebagai sebuah sinema. Sebuah karya seni, dengan Wes Anderson sebagai penciptanya. Dan sama seperti foto alien yang dipotret Augie, film sebagai seni hanya memotret. Potret itu sendiri nantinya disebar dan diterjemahkan dan disimpulkan dengan bebas oleh orang-orang yang melihat. Apakah alien di foto ini hoax? Atau apakah berarti umat manusia dalam bahaya?

Hampir seperti kartun, pake ada Road Runner segala

 

Seniman membuat karya. Dia tidak perlu memasukakalkan karyanya. Wes Anderson tidak perlu untuk melogiskan Asteroid City. Tadi dia dengan gampangnya meminta kita untuk tidak menonton ini dengan menuntut penjelasan. Melainkan untuk merasakannya secara subjektif saja. Namun bagaimana proses dia membuat ini? Asteroid City dalam level terdalam sebenarnya adalah gambaran proses kreatif seorang seniman seperti Wes Anderson dalam membuat karya. Konflik antara membuat yang bisa diterima akal dengan mempertahankan cita rasa seni itu sendiri. Percakapan aktor Augie menuntut penjelasan dengan sutradara yang menepis soal logisnya jalan cerita, curhat si aktor terhadap perannya, berakar dari si kreator itu sendiri yang bergulat menciptakan sesuatu yang bisa diterima, bisa dirasakan, alih-alih semata logis untuk dipikirkan. Dari film ini kita bisa menyimpulkan bahwa Wes Anderson pada akhirnya percaya bahwa seni tidak akan bisa tercipta jika manusia sebagai pembuat hanya berkutat pada hal-hal yang masuk akal. Karakter di dalam film ini kaku karena mereka strive untuk hal logis. Untuk kemudian diperlihatkan tokoh-tokoh di Asteroid City butuh alien yang gak masuk akal, butuh hal sensasional supaya hidup mereka yang kaku bisa cair. Anak-anak yang belajar planet-planet itu, jika tidak kedatangan alien, mungkin tidak akan pernah bicara tentang filsafah hidup dengan si koboy, Putra Augie dan teman-temannya yang science freak tidak akan sempat ngerem dan naksir-naksiran jika alien tidak datang ke sana. Augie dan ayahnya akhirnya bisa berdamai dengan duka saat membiarkan putri-putri cilik itu melakukan ritual penguburan ala penyihir. Karena saat mereka mengembrace ketidakmasukalan sikap anak-anak itulah, pintu bagi Augie untuk menyentuh emosi mereka terbuka. Sesuatu yang tidak bisa dilakukan dengan mengandalkan akal pikiran. Karena justru akal pikiran yang mengandalkan imajinasi.

“You can’t wake up if you don’t fall asleep” adalah yel-yel yang kita dengar diteriakkan oleh para aktor saat pembuatan teater Asteroid City. Kata-kata yang ternyata ‘masuk akal’ sekali ke dalam konteks film tadi. Kata-kata yang terjemahan literalnya adalah semacam menyebut untuk bisa terbangun, kita harus tidur dulu itu seperti menyiratkan pesan bahwa ya kita harus berkhayal dulu baru bisa disebut tersadar. Inilah kunci seni menurut Anderson. Untuk bisa menyentuh kesadaran emosional, serta kemelekan akal pikiran, maka kita harus berani untuk berimajinasi terlebih dahulu. Seliar-liarnya.

 

 




Tak ada yang dijelaskan oleh film ini. Tidak ada jawaban tentang apa maksud aliennya. Karena film sebagai seni tidak perlu menjelaskan dirinya sendiri. Tugas itu ada pada kritikus. Sebuah film tetap perlu disampaikan maksudnya karena film bagaimanapun juga adalah komunikasi antara si pembuat dengan penonton. Komunikasi itu terjaga bukan dari pembuatnya menggunakan bahasa yang masuk akal atau gampang dicerna.  Justru menurut film ini bahasa yang paling efektif itu adalah perasaan, sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan logika. Komunikasi itu terjadi, terjaga, saat ada penyampaian bahasa dan perasaan tersebut. Ada yang menerima, setidakmasukakal apapun bahasanya. Film ini aneh, karakternya kaku, kejadiannya gak masuk akal, komedi dan karakternya yang diperankan oleh banyak bintang gede itu amat nyentrik. It’s rather unsual and hard to watch, yes. Film ini adalah alien bagi kita, seperti alien bagi karakter di Asteroid City. Sesuatu yang mungkin penting untuk melanjutkan hidup yang seringkali sudah jadi tak berasa.
The Palace of Wisdom gives 8 out of 10 gold stars for ASTEROID CITY

 

 




That’s all we have for now.

Jika film adalah seni yang tak harus menjelaskan, bagaimana dengan tulisan kritik atau ulasan? Menurut kalian kritik itu tulisan apa sih, berita, opini, karya ilmiah, atau bisakah dia disebut sebagai karya seni juga?

Share pendapat kalian di comments yaa

Sebelum ditutup, aku mau ngajak kalian pindah dari gurun ke Apple TV+ , karena ada serial bagus tentang pembajakan di pesawat! Dibintangi oleh Idris Elba, serial thriller ini bakal ngajak kita ke sebuah trip angkasa yang tak terlupakan. Yang pengen nonton bisa langsung subscribe dari link ini yaa https://apple.co/46yw8RX

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



INSIDIOUS: THE RED DOOR Review

 

“Painting is good for the soul”

 

 

Insidious original membuka pintu baru dalam sinema horor ala wahana rumah hantu. Perjalanan masuk ke dalam dunia lain. Wuih, pokoknya sejak Insidious booming, gak terhitung deh ada berapa film horor Indonesia yang terinspirasi konsep menjelajah ke other side lewat proyeksi astral seperti yang dipunya oleh film yang ditelurkan oleh James Wan, back at 2010 itu. Dunia gaib dan rulenya memang berbeda-beda, tapi dari gaya dan vibenya kita dengan segera bisa langsung pinpoint yang sedang ‘ditiru’ itu adalah konsep The Further yang ada pada Insidious. Jika sudah seinfluential begitu, maka sudah hampir bisa dipastikan juga Insidious bakal diperah menjadi franchise. And it did. Right now, kita sedang mantengin halaman review untuk seri kelima dari franchise Insidious. Sama seperti kebanyakan franchise horor, laku bukan berarti jaminan mutu. Antara ditinggal James Wan setelah seri kedua dengan konsep yang sudah sebegitu banyak yang meniru, Insidious mulai terasa jadi biasa-biasa saja, Maka dari itulah, menggarap seri kelima ini jadi tantangan yang nyata bagi Patrick Wilson; yang dari pemain filmnya, dia debut jadi sutradara.

Patrick mengembalikan Insidious: The Red Door kepada cerita keluarga Josh Lambert.  Terakhir kali kita melihat mereka di Insidious Chapter 2(2013), keluarga itu memutuskan untuk melakukan terapi hipnotis untuk melupakan teror di masa lalu, supaya tak lagi dihantui. Supaya anak-anaknya gak trauma dulu ayah mereka pernah berusaha membunuh mereka karena dirasuki setan. Ingatan itu dikubur dalam-dalam supaya keluarga ini bisa move on dan hidup normal serta bahagia. Well, fast forward sepuluh tahun kemudian, kita melihat hidup mereka memang cukup normal, tapi mereka gak exactly terlihat seperti keluarga bahagia. Malahan, mereka sudah bukan keluarga utuh. Josh sudah cerai dengan istrinya. Dan, hubungan Josh dengan anak-anaknya – terutama dengan si sulung Dalton yang sudah hendak kuliah – tidak baik-baik saja. Renggang. Baik Josh maupun Dalton seperti disibukkan dengan pikiran sendiri, bahwa ada masa-masa yang tidak bisa mereka ingat, dan ini mengganggu mereka.  Sementara Josh berusaha mencari kesembuhan yang lebih ilmiah, Dalton di asrama mulai dihantui kejadian misterius, saat di kelas tiba-tiba dia melukis sebuah pintu merah.

Pintu itu melarangmu masuk, atau melarangmu keluar, tanya dosen yang melihat lukisannya.

 

Ah, pintu yang harus ditutup alias tak boleh dibuka. Saat menonton, aku memang lantas teringat sama anime fantasy Suzume (2023) yang bicara hal serupa. Yang juga menyimbolkan ingatan traumatis dengan pintu yang tertutup. Sesuai genrenya, Insidious membicarakan persoalan itu dalam nada yang lebih kelam. Jika Suzume harus menutup pintu untuk mengalahkan cacing raksasa, dengan vibe petualangan dan bumbu romansa. Insidious mengharuskan karakternya berkonfrontasi dengan setan mengerikan, tanpa ada rule ataupun senjata yang jelas untuk mengalahkan sang momok. Pintu itu harus dibuka. Dan ‘perjalanan personal’ kedua karakter – Josh dan putranya, Dalton – untuk menemukan cara menemukan kembali ingatan mereka, dalam artian membuka pintu itu, adalah perjalanan masing-masing. Secara sendiri-sendiri (this is a broken father-son relationship, after all). Penuh oleh kejadian mengerikan yang tersampaikan kepada kita dalam bentuk jumpscare selantang-lantangnya.

Walau karakter utamanya tetap Josh Lambert, tapi film membagi dua perspektif ceritanya. Kita akan secara bergantian ngikutin Josh dan Dalton. Akibat yang paling jelas dari cara bercerita seperti ini adalah tempo yang jadi benar-benar kerasa gak balance. Sering berpindah-pindah karakter menghasilkan kesan film ini lebih panjang daripada durasi sebenarnya. Kesan ini timbul karena film otomatis punya lebih banyak kejadian. Kejadian dari sisi Josh, Dan kejadian dari sisi Dalton. Dua kejadian ini tentu saja akan ‘bersaing’ satu sama lain; kita akan merasa ada satu yang lebih seru ketimbang yang lain. Jadi kita bakal menunggu kejadian yang seru itu saja. Dalam kasus film ini, kejadian yang dialami Dalton di lingkungan kampus seni memang lebih menarik daripada yang dilewati ayahnya yang cuma di rumah. Untuk menyeimbangkan keduanya, film butuh arahan yang solid serta penulisan yang cerdik. Film ini toh tampak benar-benar berjuang untuk mencapai itu. Patrick Wilson memasukkan banyak experience baru ke dalam bagian Josh. Kayak, horor di dalam mesin scan otak, ataupun permainan memori yang dibikin sendiri oleh Josh di rumah demi melatih ingatannya. Tapi tetap saja bagian Josh ini terasa lebih generik, apalagi bandingannya adalah karakter Dalton yang berada dalam situasi baru, less drama, dan terbantu oleh karakter pendukung yang gampang disukai oleh penonton.

Dalton dipasangkan dengan Chris (cewek, bukan cowok) yang sifatnya dibikin bertolak belakang dengan Dalton. Sehingga interaksi mereka jadi seger banget, persahabatan mereka jadi kayak natural. Ty Sympkins mainin karakter pendiam dan banyak masalah, sementara Sinclair Daniel jadi orang yang cablak, nekat, dan punya selera humor. Relasi ini jelas dianggap lebih menghibur, ketimbang persoalan Josh yang lebih banyak ‘drama’ soal takut pikun dan lebih banyak menghabiskan waktu dengan clue-clue dari misteri masa lalu yang gak benar-benar bisa kita ikuti. Persoalan misteri untuk bagian Dalton lebih engaging dan lebih mudah konek kepada penonton karena banyak menyangkut ke adegan-adegan film Insidious saat dia masih kecil. Aku sendiri, lebih tertarik oleh gimana film membuat melukis sebagai cara Dalton teringat kembali kepada hal yang seharusnya sudah dikubur dalam-dalam oleh terapinya dulu. Jadi sebagai mahasiswa seni lukis, Dalton diajarkan untuk menggambar berdasarkan apa yang ia rasakan. Dalton diajar untuk membuka pintu di dalam dirinya. Ajaran itu accidentally membuat Dalton bersentuhan dengan ingatan terkuburnya. Membuat Dalton jadi kembali bisa nyebrang ke The Further (istilah film ini untuk dunia lain), meskipun di titik itu dia belum lagi ingat atau mengerti apa yang sebenarnya dia lakukan. Dan tebak ngapain dia dengan pengalaman mistis ‘barunya’ tersebut? Sama seperti anak muda pada umumnya, dia gunakan The Further untuk menggoda temannya. Menggoda si Chris hahaha

Ada yang ngitung berapa banyak objek warna merah yang muncul sepanjang film?

 

Konsep melukis dengan membuka pintu dalam diri ini mengingatkanku sama dulu waktu belajar nulis. Aku juga diajarkan untuk membuka pintu-pintu di dalam diri terlebih dahulu – diajarkan untuk mengenali diri sendiri terlebih dahulu supaya tulisan bisa punya rasa dan ada jiwanya. Melukis ternyata juga seperti itu. Enggak bisa asal mirip dengan ‘foto’ maka disebut bagus. Melainkan harus ada rasa dan jiwa pembuatnya. Makanya lukisan A.I. mau sebagus apapun juga masih kalah sama buatan seniman manusia. Di film ini bahkan diperlihatkan bahwa lukisan yang prosesnya dibuat dengan jiwa, juga berfungsi sebaliknya, yakni dapat menyembuhkan jiwa itu sendiri.

 

Sebagai yang bermula sebagai aktor komersil, Patrick Wilson sekiranya sudah belajar satu-dua hal cara ngebuild up momen horor yang menjual banget. Momen-momen seperti bayangan yang mengendap-ngendap dari balik kaca belakang mobil ataupun saat Josh merasa dirinya tak lagi sendirian di dalam mesin scan merupakan momen-momen yang pantas jadi highlight karena sukses bikin penonton satu studioku menghela napas dan menjerit-jerit. Momen ketika Dalton harus ‘balapan’ dengan entitas yang mau mengacau dunia nyata saat dia di dalam The Further juga ngasih reaksi super pada penonton. Patrick Wilson hanya perlu belajar lebih banyak untuk menjadikan momen-momen itu sebagai kesatuan cerita yang koheren. Karena babak ketiga film ini, babak ketika cerita Josh dan cerita Dalton mulai melebur jadi satu kesatuan konfrontasi horor atas nama perjuangan keluarga mereka, di situlah film ini terasa lemah. Kejadian just sort of happen. Rule soal The Further jika dimasuki makin jauh, makin berbahaya, sama sekali tak terasa ngefek karena Josh actually jalan di dalam sana dari rumah istrinya ke kampus Dalton – jarak yang jauh apalagi ditempuh hanya dengan kaki. Soal rule, ngomong-ngomong, memang tak pernah dijabarkan film dengan legit. Jika Dalton butuh lukisan dan teknik melukis yang ia pelajari sebagai jalan masuk, maka film tidak benar-benar memasukakalkan kenapa Josh yang ‘penyakit lupa’nya lebih parah juga jadi bisa ingat.

Yang benar-benar terlepas dari penulisan film ini akibat cara bercerita dua perspektif adalah tidak bisa fokus ke persoalan koneksi ayah dan anak yang renggang. Karakter ini terbatas pada perjalanan masing-masing meng-confront horor dengan cara yang berbeda. Sementara usaha ayah koneksi ke anak, drama mereka, tidak dilakukan maksimal. Pendekatan antara mereka berdua hanya dilakukan lewat percakapan whatsapp yang juga tampak generik lewat tampilan chat di layar dan sebagainya. Interaksi yang minim, effort yang kayak terpisah, tapi di akhir film mendadak mereka berjuang bersama. Feeling yang dihasilkan jadi tak terasa kuat, film ini hanya kejadian-kejadian yang tau-tau comes together di akhir. Momen ayah akhirnya pelukan dengan anak cowoknya harusnya jadi momen manusiawi yang grounded, yang powerful, yang mungkin relate bagi banyak penonton. Akan tetapi sepanjang perjalanannya, film tidak membuild up koneksi ini dengan benar, sehingga ya hanya jadi adegan saja.

 




Setelah sempat pindah fokus karakter pada dua film terakhirnya, aku sebenarnya seneng film ini kembali kepada keluarga Josh Lambert. Senang karena muatan drama bisa mengalir lebih genuine jika horor digali dalam lingkungan keluarga yang punya arc alias episode cerita. Film ini berusaha menggali kelanjutan cerita, sambil tetap menapak pada kejadian sebelumnya; berusaha memberikan development yang natural untuk karakter-karakter, namun sayangnya film ini not really good at doing it. Keputusan bercerita membagi dua perspektif adalah keputusan beresiko untuk ditempuh, apalagi saat film tidak dikawangi oleh sutradara yang sudah lebih mahir. Patrick Wilson cukup lumayan menghasilkan adegan-adegan horor, dia cuma butuh bercerita dengan lebih koheren. Yang lebih enak dalam penggabungan dua perspektifnya. Film ini pada jantungnya bicara tentang hubungan ayah dan anak, failednya komunikasi yang terjadi secara turun temurun, tapi proses pembelajaran karakter ke sana tidak terjabarkan dengan baik, melainkan hanya muncul sebagai solusi, tanpa ada proses yang benar-benar dramatis. Aku ragu ini bakal jadi film terakhir, tapi di samping kelemahan-kelemahan penceritaan tadi, aku rasa aku bisa nerima kalo film ini dijadikan penutup dari cerita keluarga yang sudah kita ikuti lebih dari sepuluh tahun yang lalu
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for INSIDIOUS: THE RED DOOR

 




 

That’s all we have for now.

Di film ini banyak lukisan-lukisan seram. Ngomong-ngomong, kenapa ya ada lukisan yang bisa tampak seram banget? Apakah kalian punya cerita tentang takut sama suatu lukisan atau semacamnya?

Share cerita kalian di comments yaa

Sebelum ditutup, aku mau ngajak kalian pindah dari mobil jip ke pesawat. Alias di Apple TV+ ada serial bagus tentang pembajakan di pesawat! Dibintangi oleh Idris Elba, serial thriller ini bakal ngajak kita ke sebuah trip angkasa yang tak terlupakan. Yang pengen nonton bisa langsung subscribe dari link ini yaa https://apple.co/46yw8RX

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



KEJAR MIMPI GASPOL! Review

 

“Moms have dreams too!”

 

 

Di ‘pekarangan’ Gunung Bromo, Ibu Fifi mengendarai mobil jipnya. Sepasang turis duduk di kursi belakang jip kuning tersebut, pucat ketakutan. “Mobil ini kuat kok, dari besi, keras” kelakar Fifi, pikirnya itu menenangkan mereka. Perempuan paruh baya yang memiliki usaha homestay dan wisata keliling gunung itu memang menyetir kendaraannya menyusuri jalanan tanah yang sukar dilalui dengan kecepatan cukup tinggi. Tapi toh dia tetap terlihat santai menerjang ombang-ambing jalanan – tidak seperti dua orang penumpangnya. Ibu ini seperti menikmati, seolah ingin menunjukkan bahwa dia mampu menerjang rintangan dalam hidupnya, menganggapnya sebagai hiburan alih-alih derita. Fifi dalam Kejar Mimpi Gaspol! garapan Hasto Broto memang potret sosok ibu yang tangguh. Seorang single mother dengan usaha yang berdikari. Suka duka kehidupan Ibu Fifi – yang sepertinya terinspirasi dari kisah dari tokoh nyata –  diceritakan Hasto dalam balutan drama komedi: ‘kedok’ yang sempurna untuk membuat si karakter jadi punya lapisan.  Di balik senyum lebarnya,Fifi menyimpan sendu yang ia tuliskan rapi dalam buku yang ia jaga. Karakter Fifi ter-flesh out lewat tulisan-tulisannya ini. Film ini pun, terasa lebih syahdu dan nyaman ketika bercerita lewat tulisan tersebut.

Kendaraan drama untuk Asri Welas

 

Ngomong-ngomong soal kendaraan, Kejar Mimpi Gaspol! yang merupakan cerita berhias komedi namun dengan akar dramatis yang kuat dari hubungan ibu dan anak dengan mimpi-mimpi mereka dapat bertindak jadi kendaraan drama bagi aktor Asri Welas yang terkenal lewat peran komedi. Aku ngeliat Asri Welas ini tuh kayak, Awkwafina versi Indonesia. Like, walaupun asalnya agak sedikit berbeda (Awkwafina dari rapper, Welas dari model) tapi dalam seni peran, mereka ini sekian lama selalu kebagian peran sebagai pendukung yang melulu comedic relief, karena mereka doing so well at it, mereka kayak jadi stuck di situ. Namun kemudian, Awkwafina dapat her big break ke dalam skena drama lewat film The Farewell (2019) Dia didaulat jadi karakter utama dalam drama keluarga yang begitu personal serta kental budaya Cina tersebut. Film itu jalan lewat permainan emosi yang dalem yang ditampilkan olehnya. Sementara Asri Welas, enggak hingga film Kejar Mimpi Gaspol! ini akhirnya kebagian peran utama. Aku pun jadi menaruh harapan yang cukup tinggi di sini. Terlebih setelah melihat set up dari karakter yang Welas mainkan. Bu Fifi yang tampak ceria tapi menyimpan banyak cerita yang begitu menyentuh. Bu Fifi yang membesarkan anak gadis seorang diri, hingga harus melupakan mimpinya. Mimpinya yang nanti ketahuan itulah yang lantas jadi percikan dalam film ini. Membuka banyak ruang emosi dramatis untuk diisi oleh Asri Welas.

Kita mengetahui tentang impian terkubur Fifi lewat cara yang sama dengan putrinya, Diana, dan seorang aktor yang menginap di homestay mereka, Damar. Lewat cara yang intrusif, mendobrak privacy sang karakter utama. Yang sebenarnya merupakan langkah penulisan naskah yang aneh, karena kita tidak dibuat berada di dalam sepatu Fifi si karakter utama, melainkan dari pihak luar. Tapinya lagi, toh cara ini cukup efektif juga menghadirkan konflik yang jadi bumbu drama sebagai api pada paruh awal film. Jadi di sela-sela kerjaannya sebagai tour guide dan pengurus homestay, Fifi suka menulis di dalam diary. Ngakunya sih, dia nulis catatan tentang para turis yang pernah menginap di tempatnya. Tapi oh boy, Fifi sangat protektif terhadap diary tersebut. Gak ada yang boleh baca. Termasuk Diana. Damar si aktor lawas yang udah gak laku-lah yang nanti dengan kurang ajar, diam-diam membaca semua tulisan Fifi. Dan pria itu tersentuh, bukan hanya oleh isi cerita, melainkan juga oleh cara Fifi mengungkapkan ceritanya. Di situlah impian itu terkuak. Di situ juga, masuknya jalan drama. Asri Welas tidak lagi melulu melontarkan candaan – yang bahkan tidak dianggap lucu oleh karakter-karakter di dunia cerita – tetapi dia kini harus menginjak ranah emosional ketika harus berkonfrontasi dengan orang yang telah melanggar urusan pribadinya. Juga, berkonfronasi dengan anak semata wayang yang kini mendorongnya untuk mengejar kembali cita-cita yang telah lama dinomorduakan karena ia percaya, setelah menjadi seorang ibu, tugasnya adalah membantu mewujudkan cita-cita anaknya.

Inilah yang kita, sebagai anak, juga sering lupa. Kadang kita bisa begitu egois dengan berpikir orangtua harus selalu mendukung cita-cita anak. Kejar Mimpi Gaspol! ngasih tau kita bahwa orang tua, seorang ibu seperti Fifi, juga punya cita-cita. Dan kita mungkin gak bakal pernah tahu cita-cita itu karena mereka telah menutup lembar hidup mereka tersebut saat kita lahir. Padahal cita-cita mereka tentu saja enggak kalah penting untuk dikejar. Coba deh, sekali-kali anak juga balik mendukung ibu, atau ayah, mewujudkan impian mereka.

 

Nge-cast Michelle Ziudith sebagai putri Bu Fifi sedikit-banyak membantu Asri Welas sampai ke ranah dramatis itu. Film ini sendiri juga memang butuh presence seseorang yang memang bisa berakting emosional hingga berderai air mata seperti Ziudith. Sebab, banyak momen emosional film hadir lewat tulisan Bu Fifi. Siapa lagi coba yang bisa membuat kita percaya tulisan itu beneran sedih saat dibaca. Permainan emosi dari Michelle Ziudith yang membaca tulisan-tulisan tersebut membantu perasaan itu terdeliver. Asri Welas yang meng-voice over kata-kata di buku itu juga membacakannya dengan penghayatan emosi yang mengena. Dan bukan sebatas sedih-sedih aja, kadang di tulisan itu ada bagian humornya; yang juga tersampaikan dengan lancar. Padahal hanya lewat kata-kata. Tora Sudiro sebagai Damar (peran ini bisa jadi meta baginya, or not haha) juga membantu.

Welas mungkin harusnya bisa belajar banyak dari Tora yang udah duluan menjamahi ranah komedi dan drama seperti ini. Karena, walau saat membaca delivery-nya sukses, tapi di sisi yang lebih penting (karena film bukan media audio melainkan audio-visual) Welas masih kurang gaspol mainin drama. Ini krusial. Luarnya memang komedi, tapi ruhnya ini adalah cerita drama, dengan niat sebagai kisah inspiratif. Penyampaian drama harus dilakukan dengan baik, meluruh. Asri Welas sayangnya tampak belum terlalu nyaman main di drama yang lebih emosional. Dia oke ketika hanya membaca, ketika adegan hanya menuntut satu emosi. Tapi, perpindahan antara becanda dengan ‘serius’ yang ia bawakan, kurang meyakinkan. Kayak pada adegan Fifi tersinggung pekerjaan jasa homestay yang menjual kenyamanan, disamain ama hostess. Adegan yang awalnya adalah obrolan ringan itu membutuhkan perpindahan instan dari bercanda ke momen yang menusuk hati, karena Fifi tersinggung. Welas belum mampu menampilkan range itu. Melihatnya, kita gak yakin apakah dia beneran marah atau bercanda. Drama dan komedi dimainkan oleh Welas seperti dua sisi mata uang. Head. Or tail. Tidak pernah seperti lapisan yang mencakup keduanya. Ini membuat karakter Fifi terasa on dan off. Tidak terasa benar-benar genuine sebagai seseorang dengan range emosi yang natural.

Padahal aku berharap bisa naik kelas sandingan dari Awkwafina ke Michelle Yeoh

 

Kekurangmampuan tersebut bukannya terus di-challenge oleh naskah dan arahan, tapi malah difasilitasi. Drama Kejar Mimpi Gaspol! akhirnya dikurangi di saat masih banyak sebenarnya tempat untuk menggali.  Cerita nanti akan berkembang menjadi tentang Bu Fifi, dibantu oleh Damar, berusaha ‘menjual’ tulisannya ke produser untuk difilmkan. Tapi enggak banyak yang benar-benar dibahas dari sini. Bobot emosional film ini tidak pernah mencapai level saat Fifi dan Diana saling membahas impian lagi. Babak ketiga film ini malah tidak membahas apa-apa lagi, melainkan cuma ngasih reward. Cuma build up ke hal manis yang didesain untuk didapat oleh Fifi. Adapun usaha baru yang dilakukan oleh Bu Fifi supaya tulisan dapat dinikmati oleh publik, pun tidak digarap sebagai sesuatu yang menantang atau menuntut apa-apa darinya. Istilahnya, sudah tidak ada stake. Menurutku sayang sekali, sebuah cerita bisa kehilangan nafsunya untuk menggali drama yang dipunya seperti ini. Ini hampir lebih menyedihkan daripada orangtua yang gak jadi mengejar mimpinya loh haha

Kalo memang harus ada yang di-ditch oleh film, maka itu harusnya adalah komedi tempelan dari karakter pendukung. Yang mulai kebanyakan, dan sejujurnya tidak pernah benar-benar worked out sedari awal. Padahal karakter-karakter pendukung ini sebenarnya punya ‘bentukan’ yang menarik, ada pria tua yang naksir Fifi, ada anak-anak buah Fifi dengan tabiat beragam yang semacam berkompetisi satu sama lain, yang mereka ini seharusnya bisa lebih natural ditarik perannya ke dalam cerita. Tapi film hanya menempatkan mereka lebih seperti sketsa. Karikatur yang jadi hiasan tak-hidup dari cerita. Ini yang justru jadi sandaran oleh film. Keputusan yang aneh mengingat film ini sebenarnya memotret banyak hal seru selain kisah Ibu menggapai mimpi dan pemandangan alam Gunung Bromo. Dalam durasi nyaris dua jam, film ini turut menggambarkan hal-hal relevan seperti fenomena artis/publik figure yang suka bayar pakai engagement (walaupun follower mereka ternyata gak banyak-banyak amat), persoalan belakang layar antara hubungan bisnis yang memburuk antara aktor dengan produser, Bahkan ada tuh yang cukup relate buatku, yaitu soal Bu Fifi susah jual tulisan karena gak punya latar belakang pendidikan menulis. Film gak pernah benar-benar menggali semua itu, melainkan hanya gambaran saja. Hanya rintangan saja, karena karakternya nanti akan belok, bukannya berusaha mengovercame it.

 




Sebagai kisah inspiratif, film ini memang memperlihatkan perjuangan kesuksesan karakter dengan vibe yang benar-benar feel good moment, tapi dari pengembangannya, ini tidak benar-benar terasa seperti perjuangan. Tidak pernah sungguh-sungguh menginspirasi. Melainkan, yang ditunjukkan adalah rintangan yang selesai relatif mudah. Karakternya tidak benar-benar melewati banyak drama, dengan stake yang juga absen. Film ini kayak hanya berakhir sebagai reward tak-terelakkan, karena merasa karakternya sudah cukup melewati banyak di paruh awal. Padahal itu belum cukup. Bayangkan kisah sukses tapi yang dilakukan karakternya cuma posting tulisan di web. Dia bahkan gak bikin sendiri webnya. Dari komedinya juga kurang ngena. Film ini punya karakter yang unik dan gak jaim, ibu yang suka bawa jeep ke jalanan yang susah, atau kayak karakter Michelle Ziudith yang running jokenya adalah dia tahu istilah-istilah sosmed yang harusnya cewek terpelajar kayak dia gak tahu, dan dia salting ketika ditanya “Kok tau?”, tapi film tetap mengandalkan komedi ala sketsa terpisah. Dengan penulisan joke yang lebih sering miss, pula. Bahkan karakter utamanya digambarkan ngejoke sering garing. Kupikir ini bisa jadi kendaraan drama buat Asri Welas. Memang, ini sebuah kesempatan yang mungkin tak semua produser berani ngasih. Cuma sayangnya, kesempatan yang ini pun juga tidak memberikan ruang yang benar-benar pol untuknya.
The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for KEJAR MIMPI GASPOL!

 




That’s all we have for now.

Apakah kalian tahu apa cita-cita ibu kalian dulu? Apakah sekarang beliau sudah mendapatkan cita-cita tersebut? If not, how’d you intend to help her?

Share cerita kalian di comments yaa

Sebelum ditutup, aku mau ngajak kalian pindah dari mobil jip ke pesawat. Alias di Apple TV+ ada serial bagus tentang pembajakan di pesawat! Dibintangi oleh Idris Elba, serial thriller ini bakal ngajak kita ke sebuah trip angkasa yang tak terlupakan. Yang pengen nonton bisa langsung subscribe dari link ini yaa https://apple.co/46yw8RX

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



ONDE MANDE! Review

 

“The ends justify the means”

 

 

Kita semua pasti datang dari suatu tempat, namun belum tentu semua orang mau melihat ke belakang, ke tempat yang mungkin telah ia tinggalkan. Karena seperti halnya setiap tempat atau daerah, masing-masing kita pasti punya cerita. Makanya, ketika ada seseorang yang berani kembali, mengingat, dan mengangkat kisah akar rumputnya tersebut, ketahuilah bahwa itu merupakan salah satu bentuk cinta terbesar.  Siapa yang tahu perjalanan self-discovery seperti apa yang Paul Agusta lakukan sebelum akhirnya menceritakan kisah Onde Mande!, film drama komedi yang bersinar justru pada momen-momen personal dari karakter yang mengunjungi tempat asalnya. Momen-momen personal yang ditarik dari hubungan seorang anak dengan sosok ayahnya.  Momen-momen personal, yang sayangnya, bersemayam dalam naskah yang belum sepenuhnya mampu menghandle konsep cerita komedi persekongkolan satu kampung. Karakter-karakter dalam Onde Mande! sendiri justru tersaji tanpa mengalami pembelajaran personal, melainkan konflik mereka beres hanya sebatas “oh, ternyata”. Sampai-sampai – dan ini yang paling lucu dari film ini buatku – pandangan karakter di kampung Sigiran yang berbohong demi kemajuan dan gak benar-benar menghadapi konsekuensi (karena terselamatkan oleh “oh, ternyata”) itu membuatku jadi teringat sama slogan Nazi.

Cerita Onde Mande! menyangkut satu kampung. Jadi, di kampung Sigiran hiduplah seorang bapak yang dipanggil Angku Wan. Bapak yang hidup sebatang kara itu dikenal keras kepala tapi peduli sama kampung. Si bapak berencana kalo menang kuis berhadiah 2 milyar di televisi, duitnya akan dia pakai untuk membangun kampung. Niat yang mulia, tapi Tuhan bekerja dalam cara yang misterius. Angku Wan memang menang, tapi belum sempat hadiahnya diterima, beliau wafat. Merasa sayang kesempatan emas untuk kehidupan warga itu hilang, maka Da Am dan istrinya sepakat untuk dirinya berpura-pura menjadi Angku Wan supaya bisa menerima hadiah tersebut. Hal jadi rumit, tatkala gak semua warga setuju, dan pihak pemberi hadiah pun mengirimkan seseorang ke kampung Sigiran untuk memverifikasi sebelum hadiah diberikan secara langsung.

Sala lauak, confirmed!!

 

Naskah Onde Mande! sebenarnya lebih berani dan lebih luas. Paul Agusta melakukan satu hal yang tampaknya ragu-ragu dilakukan oleh Bene Dion Rajagukguk tahun lalu, yakni menggunakan dialog yang nyaris sepenuhnya berbahasa daerah. Dalam film ini, bahasa Minang. Dialog-dialog Minang yang dilakukan film ini pun bukan sekadar mengganti kosa kata, kayak kalo di subtitlenya ada “Jangan panik” film ini tidak cuma mengucapkannya sebagai jangan bahasa Minangnya apa, panik bahasa Minangnya apa. Melainkan menggunakan kosa kata yang lebih spesifik lagi. Yang lebih sesuai dengan identitas budaya Minang yang memang bicara dengan perumpamaan dan kiasan. Cuma, aku gak tahu apakah disengaja atau tidak, tapi cerita Onde Mande! ini konsepnya seperti terlalu dimiripin sama Ngeri-Ngeri Sedap, Ada persekongkolan, dari sudut pandang bapak di kampung. Ah, kalo saja yang ditiru Onde Mande! bukan itunya doang. Tapi juga naskahnya, yang ditulis dengan benar.

Namanya film yang mengangkat daerah, ya berarti harus ada identitas atau sudut pandang daerah itu yang dicuatkan. Yang dikomentari sebagai masalah. Ya, tahun lalu, Bene Dion Rajagukguk menggarap komedi drama keluarga yang bagus banget, mengangkat perspektif kepala keluarga Batak dibenturkan dengan keadaan modern. Yakni ketika anak-anaknya memilih karir dan hidup yang menurut si bapak, menentang adat. Sehingga si bapak kompakan dengan ibu untuk berpura-pura cerai supaya anak-anaknya pulang untuk ia nasehati. Dengan bahasan dan perspektif tersebut, film Ngeri-Ngeri Sedap berhasil konek sembari memberikan tontonan yang segar bagi penonton secara umum.  Yang diangkat Bene di situ kan sebenarnya soal sistem kekerabatan adat Batak terkait bapak dengan anak laki-lakinya. Film itu berusaha mengulik ‘kekakuan’ yang timbul. Anak yang harus ikut maunya bapak, kasarnya. Gak sekadar memotret, Bene paham karakter film harus punya pembelajaran. Sehingga sekalipun dia tidak ‘lancang’ menyalahkan bapak, atau malah membuat bapak selalu benar, Bene membuat karakternya mengalami pembelajaran di akhir bahwa at least si bapak bisa belajar untuk turut bahagia atas hidup pilihan anaknya. Onde Mande! gak punya momen pembelajaran seperti ini. Padahal didengar dari narator (ya, didengar karena banyak penceritaan film ini yang dilakukan by telling, not showing) gagasan cerita seperti menyasar kepada stigma negatif soal orang Minang cenderung terlihat culas/licik, terutama urusan duit. Tapi sampai akhir film tidak menggali ini. Pertentangan yang hadir dari warga yang gak setuju gak pernah benar-benar digali sebagai kontra-statement. Dan ngomong-ngomong ‘warga yang gak setuju’, jumlahnya bisa diitung jari. Cuma Pak Haji dan putri dari Da Am sendiri, si Mar (Shenina Cinnamon tiok main pilem kok tampangnya bantuak risau taruih se, yo?) Alih-alih, film hanya membiarkan saja. Seolah membenarkan prinsip yang dipercaya Da Am tersebut. Konsekuensi tidak ada lantaran yang mereka tipu adalah orang yang ternyata punya hubungan keluarga dengan warga mereka. Alhamdulillah! 

Makanya aku jadi teringat slogan Nazi. The ends justify the means. Wong dari yang terjadi pada Da Am dan kampung Sigiran diperlihatkan tidaklah mengapa menipu asalkan tujuannya mulia. Sifat licik/culas? Ya memang begitu, karena orang Minang peduli sama keluarga mereka. Kan jadinya aneh, sebab penyelesaian dari perbuatan karakter cerita hanya datang karena Anwar sebagai yang outsider kebetulan ternyata sebenarnya adalah bagian dari mereka. 

 

Di pertengahan, film pindah membawa kita lebih dekat ke Anwar, orang dari PT Sabun yang disuruh ke sana untuk verifikasi, dan kita gak actually dikasih tahu lagi strategi Da Am dan istrinya. Cerita berjalan sekenanya sutradara saja, tidak lagi ikut logika karakter. Misalnya nih, ntar Mar dan Anwar disuruh ke rumah saudara jauh karena di situlah duit akan dibagikan, tapi entah kenapa Da Am juga nyuruh adik Mar ‘ngerjain’ mobil Anwar sehingga Mar dan Anwar harus naik perahu dulu lewat danau. Ini kan kontra-produktif dengan rencana supaya mereka cepat dapat duit. Turns out, sutradara butuh karakter ada di danau supaya mereka bisa dapat sinyal, dan momen revealing dari Jakarta bisa terjadi. Kan aneh. Cerita tidak lagi berjalan genuine. Revealing ini memang membawa cerita ke adegan emosional (yang jadi refleksi momen personal pembuat). Tapi itu pun hanya sekadar momen emosional. Karena ditempatkan sebagai penyelesaian oleh naskah membuat pembelajaran karakter-karakter jadi tidak ada. Revealing itu harusnya ada di tengah atau plot point kedua, supaya masih ada waktu untuk Anwar melewati proses mengenali keluarga yang tak pernah ia kenal. Da Am dan warga pun punya kesempatan dulu berusaha memperkenalkan Anwar kepada budaya yang tak pernah langsung ia rasakan. Kalo perlu tegaskan mereka gagal dapat duit, tapi jadi punya kerabat baru. Visi film pun bakal bisa tercapai dengan lebih baik. Inilah yang kumaksud ketika menulis review Elemental kemaren. Bahwa film kita suka banget ngasih reward, ngasih apa yang diinginkan karakter sebagai penyelesaian cerita. Padahal pembelajaran yang bikin penonton konek pada journey karakter justru datang ketika karakter gagal mendapat yang mereka mau, tapi jadi sadar pada apa yang mereka butuhkan. Penyadaran itulah yang menutup journey.

Sejujurnya sedari sepuluh menit awal aku sudah merasa ada yang aneh pada naskah.   Apa yang semestinya luas, tidak pernah digambarkan begitu. Cerita seperti pada kelompok Da Am saja, padahal mestinya ini adalah kejadian yang berefek ke satu kampung. Bukannya ngesetup keadaan dan masalah di kampung dan gimana pedulinya Angku Wan terhadap sekitar, kita hanya diperlihatkan Angku Wan sendirian. Okelah mungkin film ingin fokus ke kedekatannya dengan Da Am saja. Namun seperti telah dijelaskan tadi, perspektif utama bahkan tidak stay di Da Am. Tapi itupun kita tidak pernah benar-benar melihat keadaan kampung yang lagi dalam masalah itu seperti apa. Perspektif warga lain seperti apa. Hidup di situ sebenarnya sedang punya masalah apa. Hanya disebut kampung sangat menggantungkan hidup pada danau. Dan danau mulai riskan untuk diharapkan

Yang kita benar-benar lihat cuma danau itu vital sebagai tempat nyari sinyal

 

Nulis komedi itu susah. Aku tahun 2014, sempat belajar nulis komedi sama Trio Lupus (rest in peace mas Hilman dan mas Gusur) selama satu tahun, dan sampai sekarang, aku masih belum lucu-lucu. Susah, kalo memang gak bakat kayaknya gak bakalan bisa. Tapi kalo ada satu yang kupelajari dari mereka, maka itu adalah kata mas Hilman kita boleh menggunakan joke kodian untuk membantu supaya lucu. Asalkan joke yang sudah umum diketahui orang tersebut kita berikan spin subjektif tersendiri, termasuk cara bercerita dan identitas lokal masing-masing. Film Onde Mande! butuh untuk menerapkan ini, karena komedinya sangat kurang. Bahkan untuk cerita yang mengandalkan situasi ajaib seperti ini. Candaan bisa datang dari bahasa dan sebagainya, seperti yang ditunjukkan film pada adegan ‘ado da dodi, ndak, da?’. Itu unik dan khas, dan mestinya film ini menyelam lebih dalam lagi ke archive joke-joke khas Minang seperti begitu. Kepekaan pembuat terhadap budaya inilah yang harus dipertajam.

Aku bukan orang Minang, tapi aku tinggal di Riau dan gede di antara orang-orang Minang, jadi secara sosial aku cukup relate dengan karakter di film ini. Kecuali di bagian ada karakter dari Sigiran yang mesan es teh manis di warteg di Jakarta. Ini contoh joke kodian yang mestinya bisa digunakan film sebagai crutch buat komedi. Orang Sumatera jarang banget nyebut ‘es teh manis’. Karena di sana, cukup es teh saja. Defaultnya di sana, semua teh sudah pakai gula. Orang Minang bahkan lebih sering menyebutnya dengan ‘teh es’ – dengan h silent, karena logat membuat mereka lebih mudah mengucapkan seperti demikian.  Sehingga adegan di warteg itu bisa dijadikan komedi saat si karakter mesan teh es, tapi pas diminum ternyata tidak manis. Itu contoh sederhana saja soal joke kodian. Ngomong-ngomong soal teh, aku jadi teringat ada satu lagi momen tandatanya buatku di film ini. Yaitu ada dua kali adegan ngobrol tiba-tiba dicut oleh shot masukin gula/telur ke dalam gelas, lalu cut balik lagi ke adegan ngobrol. Like, kalo mau ngelihatin teh telur khas daerah sana, mestinya gak usah malu-malu begitu, langsung aja bikin adegan memperlihatkan proses teh itu dibuat.

 

 

Itulah, kupikir film ini sebenarnya diniatkan sebagai cerita personal – punya momen-momen personal, tapi juga cukup ambisius dengan konsep persekongkolan satu kampung. Penceritaannya belum mampu mengimbangi. Naskahnya masih banyak yang kurang. Terlalu telling instead of showing. Perspektif yang enggak kuat. Pembelajaran yang tidak ada. Film hanya sebatas kejadian ‘oh ternyata’. Arahan yang masih perlu dipertajam di sana-sini. Karena kampung di film ini tidak terlihat hidup. Cerita seperti bergulir di satu kelompok saja. Komedinya pun tak ada di level yang membuat film ini menyenangkan. Karakter dan dialog mereka sebenarnya lumayan. Fresh juga. Tapi tanpa arahan dan penulisan mumpuni yang glued them together, film jadinya ya masih terbata-bata. Tidak sepenuhnya hidup melainkan ya seperti sebuah big charade aja.
The Palace of Wisdom gives 3 out of 10 gold stars for ONDE MANDE!

 

 

 

That’s all we have for now.

Orang Minang terkenal pelit dan agak culas kalo soal duit, menurut kalian ini masih relevan gak sih? Kayaknya semua orang kalo urusan duit seperti film ini juga bakal bertindak sama deh?

Share pendapat kalian di comments yaa

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

ELEMENTAL Review

 

“The most important things in life are the connections you make with others”

 

 

Masih ingat lagu Olaf si boneka salju di Frozen? It goes like “The hot and the cold are both so intense, put them together? it just make sense!” Ya, perbedaan menyatukan. Opposites attract. Dan hey, kita bahkan tinggal di negara yang mottonya menyebut perbedaan sebagai alat persatuan. Sudah ada begitu banyak kisah tentang gimana dua orang yang begitu berbeda akhirnya menjadi pasangan yang serasi karena saling melengkapi, saling menghargai, dan kita semua suka cerita-cerita kemanusiaan seperti ini. Jadi pertanyaannya adalah di titik mana cerita tersebut menjadi klise – jika muatan yang terus relevan tersebut memang bisa untuk terasa klise. Tadinya, aku mengira titik itu ada di animasi Pixar terbaru ini. Tapi ternyata sutradara Peter Sohn bukan hanya sekadar membuat cerita tentang Gadis Api yang jadi couple dengan Cowok Air. Bukan hanya tentang chemistry yang terjalin dari perbedaan. Melainkan menggali ke dalam. Film ini menekankan kepada pentingnya koneksi emosional sebelum bicara tentang betapa indahnya koneksi fisik yang dihasilkan darinya.

Biasanya yang bersikap dingin itu digambarkan sebagai es. Uniknya di sini Sohn membuat bahwa yang panas ternyata juga bisa jadi ‘dingin’. Si Cewek Api, bernama Ember lah yang dalam cerita Elemental mengalami kesulitan untuk connect dengan orang-orang di Element City. Ember sudah berniat untuk kelak menggantikan posisi ayahnya sebagai pemilik toko keluarga, tapi dia kesulitan untuk melayani berbagai permintaan customer.  Ember suka meledak marah, like literally mengobarkan api sampai-sampai suatu ketika dia membuat pipa-pipa air di basement toko dan rumah mereka bocor. Masalah tersebut menyedot Wade si Cowok Air, yang actually tukang ngecek kelayakan bangunan di kota. Pertemuan mereka berujung pada Ember harus berjuang mendapatkan ijin toko hingga menyelamatkan toko tersebut dari terjangan air. Untuk itu Ember harus bisa meyakinkan petugas kota. Dan Wade yang memang punya sikap gampang tersentuh, berusaha membantu Ember untuk melakukan hal tersebut.

Cek Toko Sebelah, IPA edition

 

Notice gimana cerita terus menekankan kepada soal membangun koneksi? Mulai dari menjaga toko hingga berusaha menyakinkan Gale si awan pimpinan petugas kota, masalah yang ditemui Ember adalah karena dia gak bisa menyentuh orang-orang tersebut secara emosional. Beda sama Wade yang bahkan bisa membuat penonton satu stadion olahraga melakukan ‘ombak’ bareng. Sekilas Wade memang tampak sebagai humor relief karena mudah banget nangis, tapi karakter ini adalah pendukung yang sangat tepat bagi journey personal Ember. Wade bakal ngajarin Ember gimana membuka diri, untuk berani menjadi vulnerable di depan orang lain, dan menyadarkan Ember bahwa sebenarnya kunci dari masalah emosinya itu adalah karena Ember tidak berani jujur kepada dirinya sendiri. Crying game yang jadi permainan keluarga Wade juga sebenarnya bukan permainan lucu-lucuan saja, tapi secara inner permainan tersebut jadi tes bagi Ember, bagian dari proses belajarnya membuka diri secara emosional. Itulah kenapa Ember dan Wade akhirnya jadi pasangan yang bisa kita dukung. Karena film membuat kita mengerti bahwa kedua orang ini sebenarnya saling butuh satu sama lain. Film ngebuild up dengan manis proses mereka jadian, yang ditunjukkan dari mereka mau bersentuhan aja harus saling percaya dulu. Saling konek dulu secara emosional. And when they do touching each other, film ngetreat-nya seolah perayaan cinta yang begitu besar lewat permainan kimia dan fisika yang indah antara air dan api.

Membuka diri kepada orang memang penting, kayak di film aja, karakter cerita kita harus dibikin vulnerable supaya bisa relate dengan penonton, dan hanya jika penonton merasa relate-lah maka karakter dan film tersebut baru bisa dipedulikan. Kita perlu orang lain merasakan hal yang kita rasakan, kita perlu saling mengetuk hati satu sama lain. Tapi memang tidak semua orang berani melakukannya karena untuk bisa vulnerable tersebut maka kita harus membuka diri terhadap siapa kita sebenarnya, jujur dulu pada apa yang kita rasakan sebenarnya.

 

Hal itulah yang terjadi pada Ember. Dia susah konek ke orang, karena secara emosional dia belum siap membuka diri terhadap masalah personalnya sendiri. Dia belum siap mengakui bahwa dia sebenarnya gak mau ngikutin keinginan ayah untuk mengelola toko. Hubungan antara Ember dengan ayahnya juga jadi salah satu elemen penting di dalam cerita. Yang membuat film ini juga bertindak sebagai drama keluarga yang menghangatkan. Konflik yang perlahan dikembangkan seperti api dalam sekam, akhirnya mendapat penyelesaian yang tak kalah manis dengan elemen romansa. Kedua elemen pada cerita ini berjalan paralel sebagai inner journey yang solid. Inilah yang selalu jadi kekuatan naskah pada film-film Pixar. Berani untuk mengeksplor bahwa yang diinginkan oleh karakter, sebenarnya bukan hal yang mereka butuhkan. Elemental dan film-film Pixar lain berani untuk gak ngasih karakternya hal yang mereka inginkan di awal cerita. Beda sama film Indonesia yang seringnya ngasih lihat apa yang karakter mau di awal, itu yang bakal berhasil mereka dapatkan sebagai penutup cerita. Padahal momen karakter menyadari yang mereka inginkan not really good for them dan lantas membuat pilihan lain menuju yang kini mereka sadar lebih mereka butuhkan bakal selalu jadi momen pembelajaran yang kuat, yang membuat film Pixar selalu beresonansi buat penonton dewasa, dan juga penonton anak-anak.

Literally bikin ombak together

 

Ngomong-ngomong soal penonton anak. well, di sinilah mungkin Elemental bisa membagi dua penonton. Misi yang basically cuma mau dapetin ijin toko memang bukan petualangan benar-benar diharapkan penonton anak yang pengen petualangan yang lebih fantastis. . Bentukan film yang sebenarnya lebih seperti rom-com, komedi romantis, ketimbang actual adventure juga bisa bikin penonton yang lebih dewasa agak canggung mengajak adik-adik atau anak mereka menonton ini. Tapi kalo nanya aku, tentu saja kita gak bisa bilang film ini ‘buruk’ karena kurang fantastis, atau karena ngasih lihat anak-anak build up orang pacaran. Menurutku, pelajaran berharga yang dipunya cerita outweight sedikit kecanggungan ataupun kenormalan yang dipunya oleh animasi fantasi ini. Anak-anak justru bisa belajar banyak tentang romantic relationship yang sebenarnya juga tergolong ‘aman’ karena di film ini diajarkan untuk membangun rasa pengertian terlebih dahulu. Bahwa hubungan gak bisa langsung sosor fisik, melainkan harus punya dasar emosional, harus terjalin dari dalam. Film ini sebenarnya juga menggambarkan kehidupan sosial karena Ember dan keluarga dipotret sebagai semacam orang dari daerah kecil yang pindah mencari kehidupan baru di kota besar. Kota yang punya stigma negatif terhadap mereka (api dilambangkan susah bergaul dengan elemen lain seperti air dan tanah yang lebih gampang mix together). Sehingga keadaan keluarga Ember yang membangun sendiri tempat tinggal mereka, yang tinggal berkomunitas di pinggiran kota, gak merasa benar-benar cocok dengan penduduk lain dapat jadi pelajaran sosial yang berharga tentang saling menghargai.

Soal fantasi, memang Elemental gak punya dunia dengan high concept kayak Soul ataupun aturan-aturan seperti Inside Out, tapi bukan berarti film ini lack of creativity dan jadi animasi yang datar. Sebaliknya, Elemental membawa fantasi itu ke ranah yang lebih grounded dan bisa lebih mudah dipahami oleh penonton anak-anak. Para penduduk dan kota Element itu sendiri memang didesain untuk bertindak layaknya unsur alam beneran. Seperti yang dipelajari oleh anak-anak dalam pelajaran ilmu alam di sekolah. Gimana api dengan mineral, gimana air bisa menciptakan pelangi, gimana cahaya bisa diteruskan oleh air, gimana api ternyata digunakan untuk bikin kaca dan ornamen-ornamen yang unik. Dan bukan hanya dari hal-hal yang kita lihat, beberapa dialog film ini juga memuat banyak candaan yang diambil dari gimana elemen-elemen alam itu bekerja. Gimana awan hanya ikut kemana angin bertiup. Gimana  air diceritakan seolah pengen tahu apapun – padahal maksudnya juga adalah soal air selalu mengisi tempat/bejananya. Desain visual karakter juga dimainkan untuk menambah kepada karakterisasi. Misalnya kayak si Ember yang badan apinya actively semakin bergejolak sesuai dengan emosi yang ia tahan. Jadi ya, aku pikir penonton gak bakal kehabisan hal untuk dikagumi dari dunia film ini. Karena fantasinya dari ilmu beneran yang begitu well-crafted sehingga membentuk jadi dunia yang dihidupi karakter-karakter ajaib.

Dan jika adik-adikmu belum puas bertualang, di rumah tinggal setel saja Apple TV+ karena di sana ada serial animasi anak terbaru berjudul Stillwater tentang anak yang tetanggaan sama panda! Just click this link untuk subscribe~ https://apple.co/42U6Omf

Get it on Apple TV

 

 

 




Better jika kita masuk ke dalam film ini, fully realized kalo ceritanya bukan exactly sebuah petualangan fantastis. Karena memang film ini lebih seperti rom-com dan drama keluarga dengan karakter-karakter unik. Memang tak jadi terlalu fantastis dengan konsep dunia dan petualangannya, namun film ini ngeceklis semua kriteria sebuah film yang bagus dan benar tanpa cela yang kentara. Naskah yang solid dan development yang kuat membuatnya jadi tontonan yang berbobot. Really, aku tak menemukan pilihan yang salah dari film ini. Bahkan flashback yang mereka lakukan pada beberapa adegan tidak menghambat tempo dan punya alasan kuat untuk dilakukan demi menjaga cerita tetap berjalan dari sudut Ember. Sekilas terlihat biasa, tapi keunikan justru mencuat dari gimana film ini mengolah bahasan yang sudah sering lewat sudut fokus yang rada berbeda. Dari gimana kreasi fantasi itu diarahkan untuk menjadi lebih grounded supaya penonton lebih mudah mengerti dan terattach kepada karakter. Menurutku film ini cuma hadir di waktu yang kurang tepat; hadir di saat penonton selalu mengharapkan something explosive sebagai hiburan di bioskop (untuk alasan yang sama kenapa superhero yang lebih grounded dan simpel ala cerita kartun juga tidak benar-benar digandrungi dibandingkan superhero yang banyak kejutannya). Tapi aku percaya, ini adalah tipe film yang seiring berjalannya waktu akan semakin diapresiasi oleh penonton yang lambat laun menyadari how well-rounded penceritaan yang ia miliki.
The Palace of Wisdom gives 8 out of 10 gold stars for ELEMENTAL

 




That’s all we have for now.

Mengapa menurut kalian film ini menganggap persoalan emotional connection perlu diajarkan kepada anak-anak?

Share pendapat kalian di comments yaa

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



BEAU IS AFRAID Review

 

“The mother-child relationship is paradoxical and, in a sense, tragic.”

 

 

Lagu Kasih Ibu kalo dinyanyiin oleh Beau dari film horor terbaru Ari Aster ini, pasti jadi agak laen. Karena memang di film ini, Ari Aster menyorot gimana hubungan ibu dan anak yang mestinya sweet dan menghangatkan bagai sang surya menyinari dunia ternyata bisa jadi seperti perjalanan berlayar yang menakutkan. Di cerita ini, air yang Ari lambangkan sebagai kasih ibu. Air, yang jadi sumber kehidupan, yang jadi ketergantungan bagi Beau, dan yang juga nanti jadi tempat kembalinya. Dan perjalanan Beau mengarungi semua itu, juga bukan sebuah perjalanan yang mudah dan menyenangkan bagi kita yang menonton. Karena memang Pak Sutradara ingin mencemplungkan kita ke dalam perasaan yang dialami oleh karakternya. Malahan, film ini merupakan salah satu film yang paling bikin bingung dari semua film yang pernah kita tonton dan bahas di sini. Beau takut. Dan hal penting yang ingin ditegaskan oleh film ini adalah, bahwa takut itu bukan semata kepada ibunya. Melainkan juga, gara-gara sang ibu.

Dunia aneh si anak mami

 

Yang bikin film ini ekstra njelimet untuk dimengerti adalah treatment Ari Aster terhadap dunia ceritanya. Jika biasanya film-film memisahkan dengan jelas mana porsi realisme dengan sureal/fantasi pada cerita, maka Beau is Afraid enggak takut untuk mengaburkan batas tersebut.  Inner dan outer journey yang dilewati oleh Beau sama-sama perumpamaan. Metafora.  Cerita ditembak dari sudut pandang Beau, tapi masalahnya personal state, pikiran si Beau itu sendiri tidak dipastikan dengan jelas oleh film. Oleh film, justru ketidakpastian state of mind si Beau tersebut yang dijadikan pengalaman horor. Kita tahu film meniatkan demikian dari adegan pembuka yang begitu sureal, kamera diposisikan sebagai mata Beau yang masih bayi, ditarik keluar oleh dokter dari dalam perut ibunya. Tidak ada seorang pun yang ingat gimana pengalaman dilahirkan, tapi di sini Beau tahu. Di adegan tersebut Beau tidak terdengar menangis, dan lalu dia mendengar sedari dia lahir ibunya sudah demanding supaya bayi Beau menangis. Karena begitulah seharusnya bayi bertindak.

Pada adegan berikutnya kita melihat Beau sudah dewasa – like di umur 40an atau sekitarnya – dan dia sedang bersama seorang therapist. Untuk masalah apa dia di sana, dengan cepat disiratkan oleh ponsel yang bergetar. Ibu menelepon. Beau menatap ponsel tersebut. Tidak menjawab. Menahan napas. Kupikir, satu-satunya adegan yang bisa kupastikan ‘nyata’ di sini, adalah adegan di ruangan therapist ini. Saat Beau menyebut dia disuruh pulang oleh Ibu, untuk mengenang hari kematian Ayah. Dan si therapist  yang menanyakan perasaan Beau atas kepulangan ini. Pria yang duduk berseberangan dengannya itu jelas punya mommie issue. Pria dewasa yang merasa tercekat hanya oleh panggilan dari ibunya. Kita tahu Beau sebenarnya lebih memilih untuk tidak kembali. Aku percaya kejadian aneh yang menyebabkan Beau bangun telat dan nanti akhirnya malah jadi tidak bisa ke bandara sebenarnya memang tak terjadi. Aku setuju dengan ibunya yang bilang semua itu hanya akal-akalan Beau yang enggan pulang (tapi Beau gak berani bilang). Makanya film nanti menaikkan stake dan urgensi dengan membuat sang ibu tahu-tahu ditemukan meninggal dunia. Beau jadi harus pulang mengurus pemakaman. Perjalanan Beau pulang nanti akan jadi tontonan yang benar-benar aneh untuk kita saksikan. Terlebih ketika nanti dia akhirnya sampai di rumah. Film benar-benar meleburkan batas mana yang nyata dan yang tidak. Kejadian yang membingungkan, ditambah karakter yang psikologisnya enggak benar-benar jelas, membuat Beau is Afraid jadi disturbing dan hard to watch.

Tapi di situlah tantangannya, kan? Di situlah letak menariknya film ini. Karena ada begitu banyak lapisan dan tragedi yang bisa kita ungkap. Ya, aku menyebut tragedi karena hubungan antara ibu dan anak memang dapat menjadi sebuah paradoks yang tragis, Seorang ibu harus mencintai dan menyayangi anaknya dengan begitu intens dan tanpa sarat, supaya si anak bisa tumbuh dewasa sebagai anak yang mandiri. Tragis, karena gak semua ibu menyadari itu. Beberapa dari mereka jadi seperti ibu Beau. Anaknya sudah segede itu tapi gak pernah benar-benar menjalani kehidupannya sendiri.

 

Efek dari pola pengajaran ibu yang salah dan terlalu over-lah yang menyebabkan Beau melewati ‘petualangan’ absurd mengerikan. Orang-orang aneh yang ada di sekitar apartemen Beau – si bertato yang mengejarnya, pria flamboyan yang menari-menari di jalan, kakek tak berbusana yang menusuki orang dengan pisau – menurutku orang-orang itu tidak nyata. Atau setidaknya tidak benar-benar bertindak seperti itu. Mereka seperti itu di mata Beau karena begitulah Beau memandang dunia tanpa ibunya. Dunia yang aku percaya digebah ibu kepada Beau saat dia bilang mau tinggal sendirian. Tempat yang berbahaya. Kita waktu kecil mungkin ada yang sering ditakuti-takuti oleh ibu supaya gak main keluar sendiri, kayak, dibilangin bahwa ada orang gila di ujung jalan, atau ada penculik anak di mobil jeep (most of my classmates dulu percaya mobil gede seperti itu adalah mobil penculik, karena ibu mereka yang terpengaruh acara tv bilang demikian). Begitulah menurutku yang terjadi pada Beau di awal film. Meski memang gak ada adegan atau dialog yang menyebut ibunya menakuti Beau dengan cerita seperti itu, tapi toh ada bukti bahwa ibu memang melakukan trik semacam itu kepada Beau. Ada sekuen yang menggambarkan Beau merasa takut berhubungan badan karena dari flashback, ada momen ketika ibunya menceritakan kepada Beau bahwa ayah meninggal saat proses ‘membuat’ dirinya. Bahwa kematian seperti itu sudah turun temurun di keluarga Beau yang laki-laki.

Momen-momen yang sepertinya real (setidaknya berakar dari kejadian real) film ini datang sekelebat dari flashback-flashback setiap kali Beau pingsan, entah itu karena kepentok dahan saat berlari atau saat gelang di kakinya meledak. Adegan film ini memang seabsurd itu. Petunjuk-petunjuk kecil dari kilasan adegan itulah yang jadi puzzle untuk kita susun demi mengetahui gimana hubungan Beau dengan ibu yang sepertinya seorang wanita karir mendiri dan punya isu tersendiri dengan pria. Beberapa adegan menunjukkan Beau dianggap melawan tatkala pria itu menunjukkan otonomi atau kehendaknya sendiri. Ada adegan membingungkan saat Beau masih kecil, yang direkam dengan seolah Beau ada dua orang. Beau yang berani, dan Beau yang penurut. Beau yang pemberani – ngotot menanyakan perihal ayah – disuruh ibu ke loteng dan dikurung di atas sana untuk selamanya. Adegan ini menyimbolkan kerasnya ibu terhadap sikap kritis Beau. Atap jadi tempat pengasingan – karena di atas sana jugalah Beau nanti akan bertemu dengan sosok yang ibu bilang adalah ayahnya. Dan sosok tersebut akan benar-benar sinting, sehingga terkesan konyol. Mengerikan, tapi konyol.

Yang mengingatkanku pada satu cerpen Kompas berjudul ‘Menggambar Ayah’ yang dari dulu pengen sekali kujadiin film pendek

 

Efek visual dan artistik yang dilakukan oleh film ini memang punya range yang cukup luas. Kadang sekilas terasa kurang konsisten, tapi itu hanya karena efek tersebut menghasilkan tone yang membuat kita lupa sama feeling yang berusaha disampaikan. It’s bound to happen pada film yang memang punya banyak kejadian absurd seperti film ini. Setelah pengalaman mengerikan semacam home invasion, Beau juga ngalamin sensasi diculik, lalu dia menonton teater yang dia rasa mirip sama hidupnya sendiri (yang tergambar kepada kita lewat visual dengan animasi), dikejar-kejar oleh maniak medan perang (yang bikin film kayak survival thriller), dan tentu saja momen ketemu makhluk di atap tadi, yang udah kayak horor creature.

Sesungguhnya semua kejadian outer tersebut punya maksud sebagai simbol tersendiri. Ari Aster menegaskan pengaruh pengasuhan seperti yang dilakukan oleh ibu kepada Beau ini bukan hanya dari gimana Beau memandang peristiwa, tapi juga dari gimana kejadian-kejadian itu membentuk pengalaman yang mencerminkan tahap pertumbuhan yang mestinya dilalui Beau sedari kecil. Tapi mungkin tidak pernah kejadian, karena Beau waktu kecil sangat penurut sehingga jadi lemah. Dan sekarang, Beau harus mengalami semua urutan pertumbuhan tersebut. Bagian di apartemen tadi, misalnya. Ini state seperti anak kecil yang gak berani keluar sendirian. Setelah akhirnya (terpaksa) berani ninggalin rumahnya, Beau, tinggal di rumah pasangan yang menyelamatkannya, tapi pasangan itu mulai mencurigakan, melarang Beau pergi, dan mereka punya anak remaja yang gave them hard times. Ini basically menggambarkan state saat remaja, Beau harus berani memberontak dari aturan-aturan. Ketika kemudian Beau sampai di perkumpulan teater hutan, ini adalah bagian dia di tahap pertumbuhan dewasa. Beau menonton show yang membuat dia membayangkan punya keluarga. Punya anak-anak yang mirip dengannya. Dan ini jadi plot poin berikutnya bagi Beau, karena di balik dia sadar desirenya sebagai manusia untuk punya pasangan dan settled, dia juga tersadar dia mungkin mirip ayah – or worse, ibunya. Ketakutan Beau telah banyak terhimpun, dan siap meledak saat dia sampai di rumah. Ini fase tua yang harus dialami Beau. Film menggambarkan ini dengan paranoia, karena diungkap ternyata ibu mengendalikan semua hidup Beau. Bahwa semua produk-produk yang dipakai Beau selama ini adalah produk dari bisnis ibunya. Konfrontasi terakhir Beau dengan ibu di pengadilan tengah laut itu jadi puncak pembelajaran Beau, yang merasa dirinya telah berani stand up for himself. But the mental damage has been done, kita pun melihat ending yang circled back ke kejadian yang dilihat Beau di jalanan pada awal cerita. Kapal terbalik milik anak yang berani gak nurut kepada ibunya.

 

 




Masih banyak lagi sebenarnya momen-momen ganjil yang ditampilkan oleh film ini, yang pastinya menarik untuk kita tonton dan kaji ulang. Meskipun memang aku sendiri ragu, aku bakal berani untuk mengulangi lagi perjalanan Beau dalam waktu dekat. Mungkin harus nunggu beberapa minggu dulu hahaha… Karena memang film ini seaneh dan se’hard to watch’ itu. Penampilan aktingnya sih sangat oke, Joaquin Phoenix sebagai Beau tampak paham betul apa yang dilalui karakternya. Aktingnya gak sebatas ekspresi, tapi juga fisik, karena di sini Beau bakal luka-luka yang cukup parah, dan Joaquin komit, dia tahu persis cidera karakternya itu bermakna sesuatu terhadap perjalanan dan state sang karakter itu sendiri. Film ini menargetkan kita untuk merasakan yang dialami oleh karakternya yang bisa dibilang loser dan penakut dan lemah, dan dengan jadi seperti begini, film ini sukses mengenai target itu. Petualangan Beau bukan pengalaman yang menyenangkan untuk ditonton. Sepertinya tidak ada yang nyata, melainkan gambaran gimana si karakter mencerna dan menyadari momok personalnya. Ini adalah perjalanan konyol tapi mengerikan yang seharusnya tidak pernah dialami oleh orang-orang nyata. Karena kita mestinya berani. 
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for BEAU IS AFRAID.

 




That’s all we have for now.

Apakah menurut kalian anak seperti Beau memang pantas untuk mengantagoniskan ibu mereka? Apakah kalian punya teori atau penjelasan lain tentang film ini?

Share pendapat kalian di comments yaa

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



THE FLASH Review

 

“We are products of our past, but we don’t have to be prisoners of it.”

 

 

Flash akhirnya punya film-panjang setelah sekian lama ikut ‘bantu-bantu’ di Justice League, dan padahal punya serial sendiri. Dan keberadaannya ini bukan tanpa diwarnai masalah. Superhero dengan kekuatan supercepat ini hadir saat DC mau merombak ulang keseluruhan sinematik universe mereka, yang entah bagaimana sepertinya selalu kurang memuaskan. Aktor yang meranin si Flash, Ezra Miller, pun sedang dalam belitan kasus. Mungkin karena filmnya berada di posisi demikianlah, maka sutradara Andy Muschietti menggodok cerita yang membahas tentang menyikapi kesalahan di masa lalu. Ironisnya, bahasan ‘harus move on’ tersebut harus ia bicarakan di balik konsep multiverse penuh nostalgia yang sepertinya sudah jadi senjata utama produser film superhero untuk menggaet penonton. Sehingga, dengan konteks demikian, di balik petualangan lintas-waktunya The Flash memang lantas jadi punya inner journey yang tuntas dan kuat. Tapi film ini serta merta memberikanku sesuatu untuk dipikirkan ulang.  Karena selama ini, aku selalu berpikir bahwa yang terpenting dari sebuah film adalah inner journey karakternya. Dan sepertinya itu membuatku jadi punya kesalahan di masalalu; kesalahan dalam menilai film. Sebab film The Flash, dengan kelemahan-kelemahan outer journeynya, justru membuktikan bahwa kulit luar cerita ternyata juga sama pentingnya.

Si Supercepat yang suka telat

 

Jangan menoleh ke belakang. Jangan pertanyakan kenapa hal bisa salah. Jangan menyesali kesalahan lalu lantas terus-terusan meratapi sampai lupa untuk meneruskan hidup. Karena tidak ada lagi yang bisa kita lakukan selain belajar dari kesalahan tersebut. Menerima bagaimana kesalahan itu membentuk kita dan jadikan itu pengalaman berharga. Sebenarnya, ini adalah tema yang cocok sekali sebagai konflik untuk seorang superhero yang bisa berlari begitu cepat sampai-sampai bisa menembus waktu. Karena kita selalu bilang, andai kita bisa balik ke masa lalu, maka kita akan memperbaiki kesalahan. Well, guess what, Flash bisa ke masa lalu, dan di film ini dia akan belajar bahwa walaupun kita bisa ke balik, kita tetap tidak bisa memperbaiki kesalahan itu.

 

Ada banyak sekali yang ingin diperbaiki oleh Barry Allen di dalam hidupnya. Dia ingin ayahnya melihat ke kamera cctv supermarket supaya bisa jadi bukti ayahnya tak-bersalah atas kematian ibunya. Dia ingin ibunya tidak lupa membeli sup tomat yang jadi sumber masalah itu. Dia ingin bisa melindungi keluarganya. Sekarang, seusai another mission ngeberesin kerjaan Batman, kita melihat Flash menemukan fungsi baru dari kecepatan supernya. Yakni dia bisa travel back in time. Barry merasa inilah kesempatan baginya memperbaiki hidupnya. Tapi dia salah. Kedatangannya ke masa lalu memang menyelamatkan ibunya dari maut, namun efek dari perbuatan itu ternyata jauh lebih parah. Tindakan Barry Allen jadi membuat timeline dunia yang baru. Dunia tanpa Justice League. Dunia yang Batman dan Superman nya sangat berbeda dari yang ia kenal. Ketika General Zod datang ke Bumi, Barry Allen harus membentuk tim superhero di dunia tersebut, dan salah satunya dia harus melatih versi remaja dari dirinya di dunia itu untuk menjadi Flash yang baik dan benar.

Film ini ngasih sudut yang unik dari cerita origin superhero. Berbeda dari kebanyakan origin yang mengawali bahasan dari bagaimana si karakter punya kekuatan superhero, kita telah mengenal dan tahu kekuatan Flash saat cerita film ini dimulai. Yang belum kita kenal betul adalah siapa sosok Flash di balik topeng; sosok Barry Allen yang sebenarnya. Dukanya apa. Konflik personalnya apa. Sehingga walaupun sebagai Flash dia sudah kuat, tapi pembelajaran karakter ini terus bergulir. Lapisan inner journey inilah yang buatku cukup berhasil dipersembahkan oleh film. Bersama dirinya kita ditarik mundur melihat backstory Barry Allen sebagai seorang anak muda, serta juga origin dari kekuatannya ternyata seperti apa. Penceritaan dengan time travel ke masa muda karakter utama membuat kita melihat sang superhero dari sisi yang lebih berlayer. Dengan kelemahan personalnya sebagai human being yang jadi fokus utama dan terus digali. Ini mendaratkan karakternya. Hubungan Barry dengan ibunya, bagaimana perasaannya terhadap sang ibu, di situlah lajur film ini menyentuh hati para penonton.

Musuh yang harus dihadapi Barry sebenarnya memang bukan General Zod, melainkan dirinya sendiri. Film memang menyimbolkan ini dengan menghadirkan surprise villain yaitu si Dark Flash. Makhluk paradoks produk dari pilihan Flash untuk pergi ke masa lalu in the first place. Secara konteks, masuk akal kalo Flash harus mengalahkan Dark Flash karena menyimbolkan dia yang sekarang sadar untuk move on dan belajar dari kesalahan, harus mengalahkan dirinya yang masih ingin memperbaiki masa lalu. Namun anehnya, film tidak benar-benar membuat Barry Allen ‘kita’ menghadapi Barry Allen dunia lain itu. Film malah membuat Barry muda-lah yang ‘mengalahkannya’. Menurutku, film sebenarnya gak perlu membuat sampai ada tiga Barry Allen. Dua saja cukup. Supaya ‘pertarungan’ inner Barry itu terasa benar terefleksi pada pertarungan outernya. As in, biarkan Flash mendapat momen mengalahkan ‘antagonisnya’.  Film ini anehnya gak punya momen yang penting tersebut. Keseluruhan babak dua adalah tentang Barry Allen berusaha membentuk tim superhero (sekaligus mendapatkan kembali kekuatan supernya), konsep multiverse kicks in, kita melihat Batman-nya Michael Keaton, Superm..ehm, Supergirl-nya Sasha Calle, Kita melihat interaksi Barry berusaha menjalin persahabatan dengan mereka. Kita juga of course melihat interaksi Barry dengan dirinya versi lebih muda, yang sangat kocak. But there’s nothing beyond those characters dan keseruan melihat merkea, karena bisa diibaratkan kejadian di dunia mereka itu adalah kejadian Alice di Wonderland – kejadian untuk membuat Barry Allen ‘kita’ mempelajari kesalahannya. Hanya saja di film The Flash ini, Barry Allen sadar di tengah-tengah, dan tidak lagi bertarung mengalahkan siapa-siapa. I mean, bahkan Alice saja harus mengalahkan Queen of Hearts, Dorothy harus mengalahkan The Wicked Witch. Di film ini, final battle si Flash ada pada ketika Barry berdialog dengan ibunya. Yang sebenarnya memang menyentuh dan bagus, tapi meninggalkan kesan datar bagi penonton tatkala pertarungan dengan Zod dan Dark Flash sudah dibuild. Momen ‘kemenangan’ itu tidak terasa bagi penonton. 

Kayaknya ini film superhero pertama yang ada adegan hujan bayi ya?

 

Jadi aku sadar di situlah pentingnya outer journey. Inner dan outer harus dikembangkan berimbang karena jika hanya outernya saja, film akan jadi hiburan kosong. Dan sebaliknya, jika hanya innernya saja, maka seperti yang kita rasakan saat beres nonton film ini, kesannya jadi datar. Semua petualangan itu kesannya jadi buang-buang waktu. Setelah semua interaksi lucu Barry dengan dirinya versi muda, tanpa ada tensi yang dicuatkan, kita hanya melihat karakter itu sebagai tontonan si Barry. Koneksinya dengan Batman Keaton dan Supergirl juga kayak throw-away moment saja. Momen outer yang dikembangkan balance dengan inner journey cuma ada pada penutup, saat kemunculan satu karakter membuat Barry menyadari bahwa dia masih belum berada di dunia yang benar. Menurutku ini ending yang tepat sekali sebagai cara film ini mengomunikasikan bahwa semesta DC memang sudah sekacau itu. Bahwa there’s no going back. Melainkan mereka hanya bisa move on bikin ulang yang baru.

Dan ngomong-ngomong soal outer, ada satu yang paling terluar yang tak-bisa tak kita perhatikan dan mempengaruhi pertimbangan kita suka film ini atau tidak. Visual. CGI yang digunakan. Banyak dari adegan aksi di film ini, tampak kasar dan konyol. Raut wajah karakternya. Jurus-jurus berantemnya. Bayi-bayi itu! See, aku sebenarnya gak peduli sama efek realistis atau enggak. I mean, kita yang nonton film Indonesia biasanya udah maklum soal efek visual. Asalkan menghibur dan konsisten, tak jadi soal. Tapi jangan bilang kalo bad CGI itu adalah pilihan kreatif, semacam visual style ala Spider-Verse misalnya. Dan itulah yang menurutku terjadi di film ini. Mereka sebenarnya ingin membuat efek yang konyol untuk adegan-adegan kekuatan Flash saat sekitarnya jadi seperti melambat. Bad CGI itu pada akhirnya hanya alasan karena film gak mampu untuk bikin efek yang diniatkan dengan meyakinkan. Like, kalo memang mau cartoonish, maka tone film secara keseluruhan harus dibikin lebih selaras lagi untuk membangun efek tersebut. Pada film ini, konsep dan eksekusinya terasa belum klop. Sebagian besar film terasa seperti serius, maka pada adegan-adegan yang visualnya mestinya ‘bermain’ jatohnya tetap tampak sebagai CGI yang jelek.

 

Dinamika Flash dan Batman ngingetin ama Spider-Man dan Iron Man. Flash yang masih muda dan kocak memang sering dianggap padanan Spidey dari Marvel. Personally, Tom Holland menurutku lebih lucu sih daripada Ezra. Buat penggemar Tom Holland, di Apple TV+ ada serial baru yang ia bintangi loh. Judulnya The Crowded Room. Thriller psikologis, gitu. Yang pengen nonton bisa subscribe langsung dari link ini  https://apple.co/3NgkhiF

Get it on Apple TV

 

 




Di balik visualnya yang bisa bikin orang males nonton, sebenarnya film ini cukup unik, ngasih origin story dalam bentuk berbeda, dan punya muatan drama keluarga yang manis dan menyentuh – mengalir kuat di balik cerita multiversenya. Dari bingkisan luarnya, film ini memang parade nostalgia dan reference dan petualangan yang didesain untuk menghibur. Tapi kulit luarnya ini punya kelemahan pada bagian penyelesaian, yaitu tidak dibikin seimbang dengan isi di dalamnya. Sehingga kesannya jadi datar, dan seperti menghabis-habiskan waktu karena solusinya sebenarnya tidak perlu pakai petualangan sepanjang itu jika petualangan dan musuhnya yang sudah dibuild tidak lagi jadi penting di akhir. Tapinya lagi, jika film ini benar adalah terakhir dari DC sebelum dirombak ulang, kupikir film ini berhasil menyampaikan itu lewat ending yang cukup bergaya. Terlihat gak tuntas, tapi sebenarnya sudah menutup rapat-rapat.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for THE FLASH

 




That’s all we have for now.

Jika kita dibentuk oleh masa lalu dan kita berkembang dengan belajar darinya, apakah itu berarti kita yang sekarang pasti hanya akan dianggap jadi ‘kesalahan’ bagi kita di masa depan?

Share pendapat kalian di comments yaa

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 



THE BOOGEYMAN Review

 

“Now you will know why you are afraid of the dark…”

 

 

Monster di dalam lemari. Meskipun bentuknya berbeda-beda tergantung kepercayaan dan lingkungan masing-masing, toh ternyata anak-anak di seluruh belahan dunia punya ketakutan yang sama. Kita semua takut sama sesuatu yang mengintai dari balik kegelapan. Yang membuat kita lebih suka tidur dengan lampu menyala, dan will never ever  in million years mengintip kolong tempat tidur. Kita percaya ada sesuatu di dalam hitam pekat itu, ada apapun momok yang kita takuti. Menurut kepercayaan rakyat kita, ada yang namanya wewe gombel, misalnya. Hantu perempuan yang suka menculik anak kecil yang ‘nyasar’ ke tempat gelap. Jangankan anak biasa seperti kita, anak-anak penyihir aja takut Boogeyman, kok. Buktinya di Harry Potter, J.K. Rowling menulis yang namanya Boggart; makhluk yang suka ngumpet di dalam benda-benda seperti lemari dan menjelma menjadi hal yang paling ditakuti oleh orang yang melihatnya. Lain lagi menurut penulis horor nomor satu, Stephen King, Di dalam benaknya, Boogeyman atau momok punya akar yang lebih personal. Ketakutan turun-temurun terhadap kegelapan dimainkannya di ranah psikologis saat dia menulis cerita The Boogeyman. Kisah seorang ayah yang ke terapi, mengaku tiga anaknya dibunuh oleh ‘monster dari dalam lemari’. Penulisan King yang begitu detil, tapi juga begitu misterius, mengangkat kesan mendua –  bahwa mungkin si ayah itulah pelaku sebenarnya. Bahwasanya Boogeyman bisa jadi hanyalah produk dari kepala yang penuh stress dan jiwa yang tertekan. Kisah tersebut kita dapatkan muncul dalam adegan film The Boogeyman yang diadaptasi oleh sutradara Rob Savage. Tapi alih-alih fokus menggali itu, Rob mencari lubang galian yang baru. Lubang tempat dia bisa menonjolkan momok itu lebih sebagai makhluk fisik di atas cerita psikologis tentang kehilangan.

Dengan kata lain, The Boogeyman yang kita saksikan merupakan adaptasi yang bisa dibilang sangat lepas. Rob membuat karakter baru, menciptakan persona baru dari karakter yang sudah ada. Salah-salah, yang dia buat ini bisa jatoh sebagai fan-fiction, alih-alih adaptasi. But hey, aku gak bilang film ini jadi jelek hanya karena gak memfilmkan actual story dari Stephen King. Afterall, dari keberadaan Boogeyman itu sendiri kita tahu bahwa kita semua punya ketakutan yang sama, hanya bentuk atau perwujudannya saja yang berbeda. Jadi yah, kalo mungkin menurut pembuat film ini, bentuk yang lebih beresonansi buat penonton kekinian adalah yang lebih genjar-genjer dan physically seperti ini, ya mari kita nilai film ini sesuai bentuk itu sendiri.

Momok monster di dalam lemari juga bisa jadi cerita lucu, misalnya yang dibuat oleh Pixar

 

Dosa film ini sebenarnya ‘cuma’ jadi generik. Secara cerita, The Boogeyman gak benar-benar groundbreaking. Kayak udah banyak cerita kehilangan yang seperti ini. Jadi, therapist yang ada di cerita pendek aslinya, di sini dikembangkan punya keluarga. Dua orang anak perempuan, yang satu masih kecil, yang satu lagi sudah SMA. Keluarga ini kehilangan sosok ibu yang tewas kecelakaan. Kehilangan tersebut lantas membekas pada anak-anaknya, terutama pada tokoh utama cerita, si cewek remaja, Sadie. Yang di adegan pembuka kita lihat nekat ke sekolah pakai baju milik sang ibu. Perfectly ngeset gimana dia menolak untuk melupakan sosok tersayangnya itu. Namun itulah yang justru jadi jalan masuk bagi Boogeyman ke rumah mereka. Dibawa oleh Lester Billings dalam adegan yang diangkat dari cerita aslinya, si Boogeyman yang merasakan grief yang besar di rumah Sadie, jadi kerasan. Tiap malam Boogeyman datang dari sudut-sudut gelap, mengganggu Sadie dan adiknya. Menggunakan rasa kehilangan mereka untuk meneror. Udah kayak kucing aja, si Boogeyman ini senang bermain-main dengan mangsa sebelum melahap mereka.

Teror yang dihadirkan dari si momok ini sebenarnya cukup seru. Apalagi di awal-awal, saat film belum serta merta menunjukkan sosoknya. Melainkan hanya lewat suara. Si Boogeyman bisa meniru suara orang, dan sebagian besar adegan seram didatangkan dari gimana satu karakter ‘dikecoh’ oleh suara yang ia sangka suara keluarganya. Si Sadie dengan suara ibunya, misalnya. Film The Boogeyman masih seram, saat bermain dengan konsep begini. Ketika hanya suara, dan sosok monsternya masih tak jelas terlihat oleh kita. Yang paling sering dapat adegan seram sih sebenarnya adik si Sadie, si Sawyer (diperankan oleh aktor cilik Vivien Lyra Blair dengan – intentional or not – cukup kocak). Ada sekuen dia harus keluar dari kamar dengan penerangan hanya dari lampu bulan kesayangannya. Atau ketika adegan dia harus terapi untuk menghilangkan ketakutannya akan gelap. Saat adegan-adegan tersebut, kita hanya diperlihatkan sekelebat dari si monster, sehingga ruang kita berimajinasi masih ada. Misterinya jadi kerasa mengerikan. Sayangnya, film ini bertujuan bikin si Boogeyman literally jadi monster yang harus dikalahkan kayak di film-film horor creature. Sehingga film butuh untuk mereveal wujudnya, dan hilanglah sudah semua kemisteriusan yang jadi sumber keseraman itu. Desain si Boogeyman agak kurang menyeramkan bagi kita, yang lebih takut ke hantu-hantuan. Tapinya lagi, aku bisa membayangkan makhluk hitam berkaki banyak seperti itu sangatlah mengerikan bagi anak-anak barat yang memang di sana, ketakutan pada laba-laba jadi ketakutan yang umum.

Saking sering lucu, aku malah ngira si adek nangis karena kakaknya salah cabut gigi yang sakit

 

Padahal monster Boogeyman di dalam film ini sebenarnya masih mengandung makna penyimbolan. ‘Dosa’ film sebagai sajian generik monster mengerikan sebenarnya gak harus jadi ‘big deal’ jika film mampu menguatkan penyimbolan tersebut. Atau seenggaknya gak membuat perhatian kita melulu tertuju pada makhluk yang gak lagi universally mengerikan. Keadaan si Sadie, ‘drama’ dia harusnya tetap jadi poin vokal. Keberadaan si monster sebenarnya berkaitan erat dengan yang dirasakan oleh Sadie.  Kita bisa lihat Sophie Thatcher memainkan karakter itu sebagai orang yang penuh duka. Dia sampai berusaha memanggil arwah ibunya. Maka, monster itu sebenarnya adalah duka yang tak tersalurkan dengan baik. Dia tidak bisa membicarakan masalahnya dengan ayah – yang memilih untuk tampak tegar karena sebagai therapist dia tidak boleh terlihat rapuh oleh orang lain. Secara metafora, Sadie lebih memilih berada dalam kegelapan duka, daripada melupakan sang ibu. Keluarga Sadie memilih untuk menyimpan masalah itu di dalam ‘lemari hati’ masing-masing. Pembelajaran Sadie adalah untuk meluapkan dan melupakan, supaya bisa move on. Yang diparalelkan oleh film dengan cahaya atau api sebagai cara mengalahkan Boogeyman. Sadie harus membakar si monster, yang berujung dia juga membakar habis benda-benda yang mengingatkannya kepada ibu.

Jadi itulah kenapa kita takut gelap. Gelap merepresentasikan hal-hal yang tidak kita ketahui, ataupun sesuatu yang berusaha kita sembunyikan, dan kita terlalu takut untuk melangkah ke dalamnya, meskipun jika melangkah itu dilakukan untuk menyalakan lampu. Film ini suggests cara untuk berani dengan kegelapan bukanlah dengan melatih diri di dalam kegelapan itu, melainkan berani untuk menyalakan api. Melawannya.

 

Harusnya film ini lebih banyak bermain di ranah horor yang lebih grounded tersebut. Mengangkat hal-hal seram dari gimana Sadie yang memilih untuk berkubang dalam kenangan kepada ibu, menjalani harinya. Adegan-adegan dia di sekolah, membuat keputusan yang salah saat berinteraksi dengan temannya – sadar atau tidak; harusnya adegan itu yang jadi pilar karena di situlah dampak dari sikapnya terwujud. Bahwa Boogeyman bagi Sadie bisa muncul di mana saja sudut-sudut gelap dia berada, karena figuratively, Sadie membawa kegelapan itu bersamanya. Di hatinya. Serta gimana hal tersebut berdampak bagi orang sekitarnya. Pada adik dan ayahnya misalnya. Horor yang seperti itu akan lebih gampang relate kepada kita daripada horor yang berubah jadi semacam mencari tahu cara mengalahkan monster laba-laba. Beberapa adegan di babak akhir film ini memang jadi lebih mirip action dalam film monster ketimbang horor. Jauh dari ruh materi aslinya. Sejujurnya, satu-satunya yang membuat film ini masih terasa kayak cerita Stephen King adalah film cukup bijak untuk membuat beberapa adegan dari reference cerita asli. Selebihnya, ya film ini terasa kayak usaha orang yang mencoba mengekspansi cerita King, tapi dengan kemampuan ala kadar. Like, there’s no way Stephen King bikin cerita dengan teman-teman sekolah tapi hanya digunakan untuk drama pembullyan tanpa bahasan hubungan yang lebih padat. Film ini mestinya lebih memperdalam lagi bahasan yang ia tambahkan, dan gak cepat settle ke masalah mengalahkan monster.

 




Sebagai adaptasi, film ini bergerak dengan bebas dan eventually menceritakan kisah di luar materi aslinya. Menambahkan karakter dan memindahkan pusat eksplorasi cerita. Walau melakukan itu dengan tetap respek dan banyak callback ke cerita asli, tapi film ini memang jauh dari ruh aslinya. Horornya dibuat jadi semacam mengalahkan monster; sebenarnya masih oke karena tetap didesain sebagai simbol grief dari yang dirasakan karakter. Akan tetapi bahasannya kurang mendalam karena film sengaja mengambil bentuk yang lebih generik. Kepentingannya berubah menjadi ‘apa makhluk ini sebenarnya’. Jawabannya memang punya layer simbolik, tapi film sekali lagi berusaha mengalihkan kita dari itu ke ya literal monsternya. Yang bahkan gak tampak seseram itu. Karena sebenarnya yang seram kan justru di makna keberadaannya. Film kurang dalam menggali ini.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for THE BOOGEYMAN

Kalo mau bias dan tetap kecewa karena gak sesuai cerita aslinya sih, aku menganggap film ini adaptasi yang cukup lucu. Karena film ini gak mau ‘sedalam’ aslinya, maka ceritanya diringankan. Tapi juga gak mau terlalu ringan, maka dielevated dikit. Kenapa ribet muter-muter seperti itu hahaha

 




That’s all we have for now.

Baru SMP, aku berani tidur di kamar sendirian dengan lampu dimatikan. Aku jadi sangat penakut saat itu terutama karena film The Sixth Sense. Boogeyman ku adalah kalo-kalo ada hantu muntah di balik selimut hahaha… Bagaimana dengan kalian? Apakah dulu kalian juga takut gelap? What is your Boogeyman back then?

Share  di comments yaa

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 



ARE YOU THERE GOD? IT’S ME, MARGARET. Review

 

“Childhood is a journey, not a race”

 

 

Anak-anak belum sepenuhnya bisa memahami banyak hal di dunia. Karena pemikiran mereka memang masih dalam tahap berkembang. Belum matang. Makanya anak-anak belum boleh bikin SIM, beli rumah, ikutan Pemilu. Apa-apa masih harus dengan persetujuan dari orangtua. Anak-anak belum bisa dipercaya untuk memutuskan sesuatu karena persepsi realita dan imajinasi mereka belum seutuhnya terbentuk. Jika kita yang dewasa saja masih suka bingung akan jati diri, bisa dibayangkan betapa bingungnya anak-anak terhadap dirinya sendiri. Mengalami proses perubahan tubuh, dan segala macam. Kita yang sudah dewasa diharapkan, bukan untuk mencampuri, bukan untuk mengafirmasi, bukan untuk menambah ribet hal dengan nambahin konsep-konsep aneh, bukan untuk memutuskan hal untuk mereka, melainkan untuk semata membimbing mereka melalui hari-hari penuh pertanyaan menuju proses dewasa tersebut. Mempersiapkan mereka untuk mengambil keputusan saat gede nanti. Saat waktunya tiba. Namun, bagaimana dengan agama? Inilah pertanyaan sensitif yang berusaha dibicarakan oleh Judy Blume ketika menulis novel Are You There God? It’s Me, Margaret di tahun 1970. Pertanyaan yang dirasa masih relevan oleh sutradara Kelly Fremon Craig sehingga kini dia mengadaptasi novel populer (dan tentu saja kontroversial) tersebut menjadi feature-film yang cukup langka dan berani. Coming-of-age story yang digabung dengan pencarian Tuhan.

Banyak dari kita yang terlahir ke dalam agama. ‘Ngikut’ dulu sama agama orangtua, sampai kita cukup dewasa untuk mutusin sesuai keyakinan sendiri mau stay atau pindah. Margaret dalam cerita film ini tidak bisa begitu. Karena ibu dan ayahnya punya agama yang berbeda. Ibunya Kristen, ayahnya Yahudi. Sebagai anak kelas enam, Margaret mulai kepikiran soal agamanya. Selama ini dia berdoa kepada Tuhan dengan caranya sendiri. “Halo Tuhan, ada di sana? Ini aku, Margaret” Begitulah Margaret berkomunikasi dengan Tuhan -seperti orang yang sedang menelepon – setiap kali dia mau curhat. Oh ya, sebagai anak perempuan yang udah mau remaja, pikiran Margaret pun mulai dirundung berbagai permasalahan yang malu-maluin kalo ditanyain ke orangtua. Mulai dari persoalan teman-teman di sekolah yang baru, naksir cowok, hingga soal tubuhnya. Margaret, seperti juga teman-teman gengnya, sudah gak sabar jadi wanita dewasa. Tapi setiap orang punya waktu yang berbeda-beda. Sebagai anak yang ‘mekar’ agak lambat, Margaret mulai insecure, kenapa dia punyanya belum gede juga, kenapa dia belum ‘dapet’ sementara yang lain udah. Permasalahan yang juga merambah ke persoalannya dengan Tuhan.  Margaret semakin bingung. Agama mana yang harus ia pilih supaya Tuhan menjawab keluh kesahnya?

Tuhan, aku salah sambung ya?

 

Perspektif yang kuat dan dikembangkan dengan respek menjadikan film ini menyenangkan sekali untuk ditonton. Kita benar-benar dibuat merasakan dan melihat dunia dari mata si Margaret. Anak sebelas tahun yang baru saja pulang dari summer camp, lalu harus pindah rumah, pisah dari nenek yang tadinya satu-satunya sahabatnya, dan di tempat yang baru dia menemukan teman-teman baru. Merasakan gejolak yang baru. Gejolak itulah yang tergambarkan luar biasa oleh film lewat keseharian Margaret, serta interaksinya bersama teman-teman. Bagiku dunia anak-anak yang tergambar di sini terasa familiar, sekaligus juga asing, karena sekarang aku benar-benar dibuat melihat dari sisi anak cewek. Gimana bedanya kelompok anak cewek berinteraksi; apa yang mereka bicarakan, apa yang mereka inginkan, apa yang mereka takutkan.  Perasaan mereka itu akhirnya jadi perasaan universal yang membuat film ini jadi begitu grounded. Sembari mempertahankan pesona kuat yang jadi bibit-bibit komedi dalam cerita. Margaret dan teman gengnya punya rule sendiri, punya ‘metode’ sendiri supaya dada mereka jadi seperti model di majalah dewasa punya ayah yang mereka ambil diam-diam hihihi

Margaret dan teman-temannya adalah anak-anak baik, tapi karena rasa ingin tahu alami yang mereka rasakan, mereka bisa bertindak cukup nakal. Dan it’s okay karena itu adalah proses belajar. Film mengeksplorasi itu dengan sangat lekat. Margaret yang akhirnya menyesal udah ngebully satu teman perempuannya yang paling cepat ‘gede’, misalnya Range kejadian film ini memang begitu beragam. Ini menurutku adalah keberhasilan sutradara dan penulis dalam mengadaptasi. Cerita dari novel dengan halaman sekian banyak, bisa mengalir dengan tetap enak ke dalam durasi seratus menit penceritaan. Jika diingat sekarang, banyak banget kejadian yang menimpa Margaret. Punya teman baru, berantem ama teman baru, liburan ke tempat nenek, liburan bersama teman, disuruh bikin tugas tentang topik yang ia pilih sendiri (Margaret memilih tentang agama). Tapi semuanya berhasil diikat runut sebagai perjalanan yang punya awal-tengah-akhir yang jelas. Perjalanan yang membawa pembelajaran terhadap Margaret, yang berarti karakternya punya pengembangan yang kuat. Gak semua film adaptasi novel bisa mencapai keberhasilan seperti ini, karena cerita dari novel umumnya kesusahan mengolah sekian banyak materi sehingga hasilnya ya entah itu terlalu sumpek atau jadi malah gagal menangkap apa yang ingin diceritakan. Film ini berpegang pada gagasan yang jadi visinya, dan berkembang tetap pada jalur itu. Banyaknya karakter sekalipun, tidak pernah jadi sandungan.

Yang benar-benar aku suka dari film ini adalah cara mereka mengaitkan kisah coming-of-age dengan bahasan yang hanya berani dibahas oleh sedikit sekali orang, apalagi di jaman sekarang. Soal pertanyaan terhadap agama. Tahun 2014 dulu film India, PK, mengangkat persoalan itu dengan membuat perspektif utama dari seorang alien. Supaya sudut pandangnya bisa lebih netral dan gak diprotes-protes amat. Margaret bukan alien. Dia anak perempuan yang mau jadi remaja. Tapi dia merasa tidak menemukan jawaban atas pertanyaan hidupnya karena enggak tahu cara menghubungi Tuhan yang benar. Maka Margaret nyobain berbagai macam ibadah. Pada satu minggu dia ikut nenek ke kanisah. Minggu berikutnya dia ikut temannya ke gereja protestan. Kesempatan lainnya dia ngintilin temannya melakukan pengakuan dosa di gereja katolik. Margaret menyebut, dia suka dengar ceramah, nyanyi-nyanyi, dan sebagainya, tapi dia belum merasakan keberadaan Tuhan di tempat-tempat itu. Sampai ada momen menyedihkan saat Margaret menulis surat kepada gurunya, bilang dia gak sanggup menyelesaikan tugas karena dia sampai sekarang masih belum menemukan agama yang tepat. Yang ada, dia malah merasa takut beragama.

Bayangkan kalo dibikin versi Indonesia, si Margaret bingung masuk Islam yang aliran mana, atau semacamnya.. wuihh pasti filmnya langsung dicekal

 

Memang topik yang jarang banget disentuh sedemikian rupa, let alone dari sudut pandang anak-anak. Tapi film ini berani dan tidak terjebak. Tidak menyuruh Margaret harus memilih saat itu juga. Tidak memaksa Margaret membuat keputusan. Dua nenek Margaret sempat saling bertengkar, masing-masing berusaha membujuk Margaret memeluk agama mereka, tapi film tetap berada di pihak orangtua Margaret. Melindungi sang anak dari semua pengaruh itu. Bukan karena tidak setuju dengan salah satu, melainkan karena itu adalah hak Margaret untuk memutuskan di saat dirinya sudah siap nanti.

Film menegaskan bahwa ini bukan cerita tentang perjalanan memilih agama. Melainkan perjalanan seorang anak menemukan keyakinannya terhadap Tuhan. Dikaitkan dengan kisah tumbuh-dewasa, film ini sekaligus mengingatkan kita untuk membiarkan anak-anak tumbuh, sebagai dirinya sendiri, dan – ini yang sekarang sering dilupakan orang – pada waktu miliknya sendiri. Childhood semestinya adalah pertumbuhan yang mereka alami dengan natural, dengan pacenya sendiri. Bukan tugas kita untuk memburu-burukan itu semua terjadi.

 

Gagasan ‘we grow as our own person, and in our own time’ tersebut ditegaskan film saat memperlihatkan hubungan antara Margaret dengan ibu dan dengan neneknya (ibu dari ayah) yang setelah sekian lama jadi orang terdekatnya. Tiga karakter ini yang sebenarnya jadi tonggak film secara keseluruhan. Abby Ryder Fortson bukan sekadar aktor cilik beruntung yang bermain bersama aktor sekelas Rachel McAdams dan Kathy Bates, gadis cilik itu juga membuktikan dia pantas bersanding dengan mereka. Ketiga aktor ini juga benar-benar menyokong film lewat permainan akting yang begitu natural, chemistry di antara mereka pun terhampar menyenangkan. Kathy Bates jadi nenek yang karakternya mengalami perkembangan dari cemburu dan gak suka cucunya dijauhkan darinya, menjadi seseorang yang akhirnya menemukan kembali hidupnya di umur yang sudah senja. Kepindahan Margaret memang berat bagi mereka berdua, tapi justru itu yang membawa masing-masing kepada pembelajaran personal. Ibu Margaret juga mengalami pembelajaran, tapi menurutku persoalan ibunya ini yang kurang maksimal dilakukan oleh film ini. Jadi Rachel McAdams memainkan karakter ibu yang cocok banget untuk ia perankan, ibu muda yang tipe membawa keceriaan dan tampak laid back padahal really care dengan keluarga. Tapi dia punya backstory yang cukup sedih, yaitu di-disowned oleh orangtuanya sendiri lantaran menikah dengan orang yang berbeda agama. Film meluangkan waktu untuk membahas itu hingga meresolve konfliknya. Tapi ada satu porsi dari karakter si ibu ini yang tidak dibahas lebih lanjut padahal paralel dengan persoalan menjadi our own person. Yakni soal dia dulunya adalah pelukis, dan sekarang meninggalkan hobi tersebut. Menurutku ini kalo dieksplorasi lagi, dapat menambah layer bagi pembelajaran Margaret.

Are You There God? It’s Me, Margaret sudah available di Apple TV, yang ingin nonton bisa langsung subscribe dari sini yaa https://apple.co/3Cjdu2j

Get it on Apple TV




Ceritanya boleh saja bersetting di tahun 70an, tapi esensi di baliknya benar-benar timeless dan universally grounded. Karena setiap anak punya masalah yang sama. Dan setiap orangtua bakal melakukan kesalahan yang sama. Penceritaan film ini tidak pernah terasa menggurui, namun terasa sangat jujur mengalir dari perspektif utamanya. Dari mata seorang anak perempuan yang juga sedang berusaha berkomunikasi dengan Tuhan. As for kids, Margaret dan teman-temannya mungkin bukan exactly ditonton untuk dijadikan sebagai role model, tapi mereka semua akan jadi teman yang baik untuk anak kecil seusia mereka yang menonton film ini. Teman yang mengerti kecemasan dan kebingungan apa yang bakal mereka hadapi dalam pergaulan sehari-hari. 
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for ARE YOU THERE GOD? IT’S ME, MARGARET

 




That’s all we have for now.

Sehubungan dengan itu, bagaimana pendapat kalian tentang pemberitaan baru-baru ini di Amerika soal bahasan LGBT (gender dsb) yang mulai diajarkan di sekolah-sekolah? Apakah memang perlu, atau apakah memang wajar jika ada orangtua yang menolak?

Share pendapat kalian di comments yaa

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA