“This City is what it is because our citizens are what they are”

Enggak salah kalo dibilang, Fear Street adalah kakak dari Goosebumps. Lahir dari penulis yang sama; R.L. Stine, seri buku Fear Street juga bercerita tentang misteri, horor, supranatural, bersama jumpscare dan twist ending. Tapi dari sudut pandang anak remaja. Aku belum pernah baca Fear Street karena ketika dua seri buku ini booming, aku masih seusia anak-anak di cerita Goosebumps. Bukannya aku tidak tertarik. Goosebumps sukses berat memperkenalkan horor sejak usia dini kepada pembacanya, dan buatku, maaaan, aku menulis cerita horor versi sendiri dari judul-judul Goosebumps yang selesai aku baca! Segitunya pengaruh Goosebumps kepada kesukaanku terhadap menulis dan horor. Aku masih ingat dulu itu aku berusaha keras supaya bisa meminjam Fear Street di taman bacaan atau perpus. Tapi susyeee… yang jaga tempatnya galak, dan lagi, harga sewa bukunya lebih mahal dari jatah jajan anak SD dulu. Sempat curi-curi baca di tempat sih, satu buku Fear Street, tapi gak sampai tamat. Jadi yang kutahu tentang Fear Street hanyalah bahwa cerita horor di buku-buku itu lebih seram, lebih sadis, dan sedikit lebih dewasa juga (“kamu belum boleh ya, ini banyak pacar-pacarannya” kata yang jaga perpus dulu kepadaku).
Dan persisnya tiga hal itulah yang dijanjikan oleh film Fear Street yang oleh sutradara Leigh Janiak digarap sebagai loosely adaptation dari buku-bukunya.
Janiak membuat Fear Street menjadi sebuah trilogi, yang kesemua filmnya bakal dirilis dalam rentang per minggu dimulai dari film pertamanya ini. Dengan mitologi penyihir di kota fiksi Shadyside (mitologi yang dikembangkan dari bukunya) sebagai perekat kejadian di tiga filmnya nanti. Bayangkan serial horor kayak American Horror Story yang setiap seasonnya punya setting cerita berbeda, nah Janiak membuat trilogi ini seperti demikian. Setiap film akan mengambil periode waktu berbeda, demi mengupas mitologi penyihir hingga ke akar-akarnya. Konsep yang seperti begini memastikan setiap film bisa punya cerita standalone; cerita tersendiri khusus untuk ‘episode’nya. Yang artinya, meskipun di akhir setiap film akan ada cliffhanger ‘to be continued’, tapi film-film tersebut bakal tetap bisa punya plot personal yang menutup pada masing-masingnya. Pada Bagian Pertama ini, cerita mengambil setting tahun 1994, dan mengisahkan tentang remaja bernama Deena yang masih sakit hati dan belum move on semenjak ditinggal pindah kekasihnya, sementara pembunuhan berantai kembali aktif (ya Bun!) di kota tempat tinggal mereka.

Sesuai dengan semangat bukunya (Fear Street, sebagaimana Goosebumps, juga cukup terkenal dengan twist ceritanya), Janiak sudah menyiapkan beberapa spin dan kelokan di sepanjang cerita. Salah satu yang tidak sabar untuk dia lakukan adalah soal (mantan) kekasih Deena yang ternyata bukan seorang dumb jock ala-ala cerita remaja kebanyakan. Kamera, editing, dan bahkan penulisan nama di babak set up terasa kompak untuk membangun persepsi kita ke arah lumrah ini, dan kemudian dengan jumawa film memperlihatkan bahwa Sam yang udah matahin hati Deena itu adalah seorang cewek blonde. Boom, kita dapat kejutan yang progresif. Protagonis lesbian jelas adalah kebanggaan sekaligus soft spot bagi audiens kekinian. Kebanggaan, karena hubungan Deena dan Sam yang selalu difokuskan oleh cerita – melebihi segalanya. Soft spot, karena sampai detik ulasan ini ditulis aku tidak mengerti kenapa situs-situs film memberikan penilaian tinggi untuk Fear Street 1994 padahal nyatanya film ini enggak sebagus itu. Terutama karena terlalu sibuk di Deena dan Sam itu tadi.
Kota Shadyside tempat Deena dan teman-teman tinggal punya reputasi yang buruk. Julukan kota itu adalah Killer Kapital USA, karena selama bertahun-tahun kota tersebut menyumbang catatan pembunuhan berantai terbanyak. Keadaan ini menciptakan tensi antara penduduk Shadyside dengan kota tetangga, Sunnyvale, karena reputasi kota tentu saja menurun ke penduduknya (atau obviously tercipta karena penduduknya). Film ini punya sesuatu di elemen ini. Menarik, saat film memperlihatkan dua SMA dari masing-masing kota, berantem saat acara berkabung untuk pelajar korban pembunuhan. Ataupun ketika ternyata ada dua pandangan dari penduduk Shadyside sendiri soal pembunuhan berantai di kota mereka; ada sebagian yang berpendapat semua kriminal itu berhubungan dengan legenda kota, dan ada juga yang menganggap kota mereka memang bukan tempat yang bagus. Deena sendiri punya pandangan terhadap kotanya, yang sebagian besar terpengaruh oleh hubungan asmaranya yang kandas bersama Sam yang pindah ke kota. Yang mau kukatakan adalah, Shadyside semestinya bisa dijadikan ‘karakter tersendiri’. Sayangnya permasalahan antarkota tersebut tak pernah dibahas lagi karena film memilih memusatkan Deena dan Sam, yang hubungan keduanya bahkan belum terestablish juga dengan baik, sebagai drive utama cerita.
Benar kata Plato, kota memang seperti manusia. Punya personality dengan kekhasan penduduknya. Bisa terasa hangat berkat kenangan di dalamnya. Bahkan bisa juga terasa mengurung, sebab sentimen orang-orangnya.
Sebagai film pembuka trilogi, semua hal yang ada di film ini terasa begitu diburu-buru. Film ini tidak berhasil menjadi landasan yang solid. Bahkan untuk melandaskan mitosnya pun, terasa terlalu cepat. Hanya sekadar ucapan-ucapan eksposisi. Deena punya adik, yang tahu banyak tentang mitos penyihir. Hanya begitu. Aku yakin saat menulis legenda Fear Street, R.L. Stine menjadikan It-nya Stephen King sebagai referensi. You know, kota Derry yang punya mitologi badut alien yang suka membunuh anak-anak. Maka film yang kita saksikan ini pun sedikit banyaknya ada kemiripan dengan It. Dari investigasi mereka terhadap mitologi, dari situasi mencekam kota, dan sebagainya. Namun ada satu hal lagi yang hilang; Penyihir tersebut tidak langsung bersinggungan personal dengan Deena ataupun adiknya. Penyihir itu tidak khusus menyerang remaja. Penyihir tersebut bertindak random. Dan kali ini, kebetulan Sam ngerusak kuburannya, maka Penyihir ngamuk dan mengejar… Sam. Bukan Deena sang tokoh utama.
Jadi film ini sedari karakterisasi aja udah bolong. Janiak literally hanya punya ‘pasangan lesbian’ sebagai eksistensi Deena. Dan itulah yang berusaha Janiak kepada mitologi. Hasilnya, ya film slasher kejar-kejaran yang susah untuk kita pedulikan. Deena semakin annoying karena dia seperti membuat segala sesuatu about her. Teman sekolahnya baru saja dibunuh, dan dia hanya sibuk mikirin how to get back to Sam. Film berusaha memberikan Deena aksi, like, kalo bukan karena Deena, Sam gak akan nyentuh kuburan Penyihir in the first place. Tapi itu tidak lantas memberikan peran besar kepada Deena. Film berusaha membuat film ini punya cast yang out-of-the box. Tampilan geng Deena benar-benar di luar stereotipe geng remaja pada film-film kebanyakan. Hanya saja mereka pun sebenarnya tidak breaking apa-apa. Adik Deena hanya mesin eksposisi, dua teman Deena yang jualan ‘obat’ hanya tiruan Randy di Scream dan tipikal mean cheerleader (cuma enggak pirang). Deena dengan rambut hitam keriting, yang seharusnya tokoh utama, gak ada ikatan apa-apa sama konflik. Karena yang dikejar-kejar tetaplah Sam si blonde girl. Jajaran cast mereka sebenarnya fresh, aku percaya remaja-remaja itu memainkan sebaik yang mereka bisa. Tapi karena karakter mereka gak menarik, sepanjang film kita akan menyayangkan kenapa mereka yang kita dapat setelah ‘mengorbankan’ Maya Hawke dengan segala bakat dan attitude karakternya.

Adegan pembuka yang menampilkan Maya Hawke jelas adalah homage untuk Scream (1996). Janiak yang sebelum ini pernah ngedirect episode serial TV Scream buatan MTV, paham menyatukan gaya Scream tradisional dengan slasher modern yang lebih haus darah. Dan itu tercermin di film ini. Fear Street 1994 lebih terang-terangan di adegan sadis. Masalahnya, adegan sadis tidak membuat film otomatis bagus. Scream original enggak perlu terang-terangan banget ngeliatin penusukan, tapi setiap killingnya berhasil membekas tak lekang waktu. Selain rasa nostalgia, tidak terasa lagi rasa apa-apa yang dikuarkan oleh adegan-adegan Fear Street 1994. Tidak ada ritme dalam pengadeganannya, melainkan hanya rentetan kejadian. Ada pembunuh, lari, dibunuh, sembunyi. Film ini tidak punya statement cerdas, atau celetukan meta, atau apapun seperti Scream. Semuanya tidak lebih didesain untuk homage ke horor-horor lain. Scream, It, Stranger Things, Friday 13th, The Shining, beberapa referensi film malah disebutkan gamblang seperti Jaws, House of the Dead. Jalan keluar yang dipikirkan geng Deena bahkan mirip sama film Netflix baru-baru ini, Awake (2021). Dan bicara soal kemiripan tersebut, di akhir film suara aku serak abis neriakin layar. Geng remaja tersebut berusaha menghidupkan seseorang, tapi kesusahan gak ada alat yang bener, padahal sepanjang cerita ini mereka berkendara ke sana kemari naik mobil ambulans!!!
Itu bisa terhitung nitpick sih, mungkin remaja-remaja itu gak tau defibrillator, mungkin ambulansnya kere atau apa, tapi tetep aja terkesan konyol. Dan hal-hal ‘logika lemah’ yang gampang kita nitpick ini ada banyak sekali bertebaran selama durasi. Seperti, pembunuh yang katanya cuma ngincar Sam (pake dibuktiin segala pembunuhnya lewat di samping adik Deena tanpa membunuh) tapi, kenapa beberapa orang di rumah sakit tetep mereka bunuh. Sebagai pembelaan, mereka bisa berkilah karena misteri kekuatan Penyihir belum diungkap seluruhnya. Tapi tetap saja, melihatnya sekarang, film ini did a poor job dalam melandaskan mitologi berupa aturan-aturan kekuatan si Penyihir. And there is a thing about internet dalam film bersetting tahun 1994 ini yang mengganjal buatku. Like, kok bisa Deena menggunakan sambungan telepon saat adeknya lagi chatting di Internet. Mungkin alatnya memang udah ada di Amerika, tapi bukankah lebih umum untuk relate bahwa di tahun 90an koneksi Internet masih tersambung ama telepon?
See, ini uneg-uneg terakhirku. Film ini punya banyak referensi untuk nostalgia 90an. Seting ceritanya pun di periode 90an. Tapi film ini terasa modern, enggak benar-benar terasa kayak berada di tahun 94. Begitu lumrahnya si adek chatting dan dapat info dari Internet – kayak di zaman sekarang aja. Cara ngomong dan elasi karakternya yang udah maju. Bahkan visualnya. Sinematografi dengan cahaya-cahaya neon film ini malah membuatnya terasa kontemporer alih-alih jadul dan low-budget ala horor 90an. Dan please, mana quote badass yang cheesy abis yang udah jadi cap-dagang horor 90an?
Ini bukan awal yang menjanjikan untuk sebuah proyek trilogi. Tapi yang namanya horor, suka gak suka aku pasti akan nonton. Dengan harapan besar, film keduanya nanti akan jauh lebih baik. Punya karakter yang ditulis jauh lebih dalam dan kompleks. Punya dialog yang lebih fun sekaligus berbobot. Punya pengadeganan yang lebih fun sekaligus berbobot. Yea I said that twice. Berusaha tampil sebagai standalone sekaligus cerita bersambung, film ini sebenarnya punya kans yang lebih baik jika dipersembahkan sebagai serial, tapi mereka memilih menjual ini sebagai ‘film panjang’, so yea…
The Palace of Wisdom gives 2 out of 10 gold stars for FEAR STREET PART 1: 1994.
That’s all we have for now.
Pernahkah kalian merasa marah atau malu atau malah bangga sama kota tempat tinggal kalian? Kenapa?
Share with us in the comments yaa
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA