MINI REVIEW VOLUME 22 (TERRIFIER 3, CUCKOO, STRANGE DARLING, SALEM’S LOT, APARTMENT 7A, WOMAN OF THE HOUR, IT’S WHAT’S INSIDE, V/H/S/BEYOND)

 

 

Edisi halloween (yang tertunda!) hahaha booo gak paten, gak paten… Jadi, edisi ini terpaksa harus telat karena masalah klasik server blog error, alhasil aku ngabisin halloween dengan berdebat di Twitter soal hasil 6:2(1+2). Anyway, edisi mini review kali ini sebenarnya paling aku antisipasi karena tahun ini horor memang lagi banyak banget. Sebulanan itu aja, aku puas hampir tiap hari nonton horor. Saking banyaknya, gak semuanya bisa tercover, karena di sini cuma muat delapan film. Maka, aku ngutamain film-film yang aku tu bener-bener pengen menyampaikan sesuatu buat filmnya. Jadi, film-film kayak Caddo Lake, Tebusan Dosa, Kuasa Gelap, Don’t Move, Bagman terpaksa enggak dulu. Mungkin bisa disempilin di edisi-edisi berikutnya.

 

 

APARTMENT 7A Review

Apartment 7A ceritanya adalah prekuel dari Rosemary’s Baby (1968). Dan Rosemary’s Baby adalah salah satu dari horor favoritku sepanjang masa. Jadiii, aku mungkin saja agak sedikit terlalu keras dalam menilai film karya Natalie Erika James ini.

For once, aktingnya gak ada yang jelek. Julia Garner sekali lagi ngasih penampilan yang solid dan meyakinkan. Tiga film dia yang kutonton, kualitas aktingnya tinggi terus, Garner salah satu yang bisa ngasih balance penampilan akting yang ‘diam’ dan yang berdialog. Karakter dan ceritanya pun sebenarnya up to standard horor modern. Aku bisa melihat penonton muda yang belum nonton film aslinya akan terhanyut ke dalam misteri, dan akan mendukung karakter Garner – Terry – karena bentukan karakternya agak beda. Alih-alih prekuel, film ini lebih cocok kalo disebut Rosemary’s Baby versi perempuan yang ngejar karir. Dari sisi karakter menarik, karena Terry gak mau punya anak – beda ama Rosemary – namun film gagal mengangkat bahasan ini. Dari sisi galian horornya, film ini terjebak menggunakan formula dan elemen-elemen film original. Terjebak di bahasan lore dan cult di dalam cerita

Alhasil, film ini juga jadi tidak banyak beda dengan cerita ‘hamil anak setan’ yang berusaha meniru Rosemary’s Baby yang sudah kita temui entah berapa kali (I’ve lost count) di tahun ini saja.

The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for APARTMENT 7A

 

 

 

CUCKOO Review

Cuckoo karya Tilman Singer punya metafora yang menarik sehingga ceritanya menjadi cukup aneh, yang membuat film ini menggugah rasa penasaran. Singer membicarakan soal keluarga (khususnya sisterhood) gak harus soal hubungan darah ke dalam lingkungan creepy yang dibuatnya bertema ‘burung cuckoo’ – burung yang dikenal suka menyimpan telurnya di sarang burung lain untuk ditetaskan, dan lantas anak burung yang menetas tersebut akan ‘menyingkirkan’ anak burung pemilik sarang. Dan tema tersebut benar-benar jadi semesta cerita. Anak yang asing dari orangtua, evil being yang ngeluarain suara kukuk-kukuk kayak burung – yang ultimately bisa mengacaukan memori dan persepsi waktu.

Nonton ini kayak kita sedang mimpi yang super aneh hingga kita ngerasa cuckoo – alias gila! Aku biasanya suka film aneh seperti ini. Paruh pertama Cuckoo aku pantengin dengan excitement yang tinggi. Tapi perlahan excitement itu semakin berkurang. Penyebab utamanya adalah film ini terlalu ingin memake-sensekan semua, Mastermind jahat yang diperankan oleh Dan Stevens pun terkesan berubah dari eksentrik menjadi generik type of leader genius yang gila. Bahasan kemanusiaan dari eksprimen bentrok sama konsep sci-fi absurd. Perekat cerita kini bergantung kepada karakter utama dengan adik (yang bukan adik kandung) yang bisa sewaktu-waktu berubah jadi monster. Bagian ini pun terasa kurang kuat karena yang dibuild up lebih proper di awal adalah soal Gretchen dengan ayahnya ketimbang soal Gretchen dengan adiknya ini.

Sukur film ini masih nyisain satu hal menarik di konfontrasi akhir, yakni ada tiga kubu yang berseteru alih-alih dua seperti pada cerita yang biasa.

The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for CUCKOO.

 

 

 

IT’S WHAT’S INSIDE Review

Sekelompok teman bermain satu permainan, berakhir dengan hal mengerikan yang teramat sangat salah. Premis yang sudah cukup lumrah. Somehow,sutradara Greg Jardin berhasil membuatnya unik. Dari jenis permainannya aja dulu; bukan jelangkung, bukan permainan kartu ataupun board game. Tapi bertukar tubuh!

Film ini tahu dirinya punya konsep kejadian yang unik, yang easily bisa menangkap perhatian penonton. Tentu saja seru melihat dan ikut menebak-nebak siapa kini berada di dalam tubuh siapa. Film ini pun punya variasi penceritaan untuk menggambarkan siapa di dalam siapa. Yang bikin keren film ini bukan soal itu. Melainkan justru film gak bersandar kepada ‘kejadian’ tersebut. Film bijak untuk menghadirkan konteks alias perbincangan karakter yang membuat skenario bertukar tubuh mereka menjadi semakin menarik lagi. Konteks tersebut sebenarnya standar. Soal isu gender. Namun karena konsep dan konteks ini dipertemukan dengan kreatif jadinya tetap berbobot dan engaging. Aku sendiri berpikir karakter Shelby annoying, karena dia yang mancing-mancing. Tapi ya seru juga ngeliat ketika dia gak mau balik ke tubuhnya yang asli karena kita dibuat mengerti kecemburuannya berasal dari mana. Bentrokan dengan sudut pandang karakter lain, backstory dari karakter yang membentuk persepsi mereka, plus kefleksibelan dan kretivitas film dalam menceritakan membuat film ini tetap seru.

Sehingga judulnya itu bergaung true. Semuanya tergantung persepsi, dan persepsi itu terbentuk dari background atau lingkungan sekitar, jadi semacam paradoks kan ya?

The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for IT’S WHAT’S INSIDE

 

 

 

SALEM’S LOT Review

Bukan sekali ini cerita vampir Salem’s Lot tulisan Stephen King berusaha dialihwahanakan jadi film ataupun serial.  Tapi belum ada yang benar-benar memuaskan. Bukan apa-apa, King kalo udah bikin cerita tentang satu kota, biasanya ceritanya memang panjang banget, Thoroughly bahas perspektif penduduknya, sehingga si kota jadi kayak karakter tersendiri. Itulah tantangan yang harus dijawab oleh filmmaker yang nekat mencoba ekranisasi novelnya. Gary Dauberman ngacung untuk menjawab tantangan ini. And he failed graciously.

Secara gaya pengarahan sih, Dauberman masih mumpuni. Sekuens dua anak berjalan di pinggir hutan senja hari, misalnya. Kengeriannya visualnya terasa, karena Dauberman mengambil sudut dari dalam hutan sehingga objek yang kita lihat adalah bayangan si dua anak berjalan di antara bayangan pepohonan. Well, sampai ada satu bayangan lain yang tiba-tiba muncul, menculik salah satu anak. Pak sutradara clearly punya visi horor. Efek salib menyala pun digunakannya untuk mempertegas simbol faith seseorang. Benturannya sama dengan sudah-sudah. Materi yang terlalu beragam. Film adaptasi pertama cerita ini durasinya sekitar 3 jam, film itu berusaha stay di perspektif jurnalis yang pulang ke kota Salem tersebut. Still, the wholeness of that town gak kerasa benar-benar hidup. Film kali ini, mencoba untuk lebih fluent dengan perspektif supaya kota dan aktivitasnya hidup. Tapi hasilnya, film ini justru terasa loose. Perspektif utamanya ngambang. Tokoh utamanya gak jelas siapa.

Mungkin harusnya film ini berangkat dari mencoba mengambil perspektif lain sebagai tokoh utama. Mungkin dengan begitu kita bisa dapat cerita yang lebih fresh dengan perspektif yang solid. Yang jelas, menurutku, materi se’tebal’ ini ya diapproach bukan dengan mencoba mengemulasi semua yang tertulis. Tapi lihat dari sisi banyak perspektif di buku berarti banyak pilihan bagi filmmaker untuk menghidupkan cerita seluruh kota dari perspektif utama yang mana.

The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for SALEM’S LOT

 




STRANGE DARLING Review

Setelah menyelami berbagai persepsi dan praduga karakter dalam It’s What’s Inside tadi, coba deh langsung nonton Strange Darling. Psikologikal thriller karya JT Mollne, yang gantian bermain-main langsung dengan persepsi dan praduga kita!

Karakternya gak bernama. Inti ceritanya dibagi ke dalam enam chapter. Tapi urutannya diacak. Jadi timeline ceritanya gak linear. Yang pertama kali teringat sama aku saat nonton adalah Pulp Fiction (1994), film Tarantino itu juga dibagi per chapter dengan urutan waktu yang diacak. Pengacakan babak seperti demikian memang efektif untuk membuat setiap kejadian terasa lebih impactful, misalnya dalam Pulp Fiction yang per babaknya itu adalah karakter yang berbeda. Susunan acak membuat momen para karakter bertemu terasa lebih engaging, sehingga narasi pun juga terasa lebih nendang. Nah gimana dengan Strange Darling yang karakternya cuma dua, tanpa nama pula (yang cowok cuma dilabeli “The Demon”, dan yang cewek “The Lady”)? Yang diincar oleh film ini dengan susunan acak adalah selaman terhadap bagaimana persepsi dan praduga kita terbentuk. Untuk kemudian kita akan sensasi dramatis ketika urutan kejadian terkuak dan ternyata sebenarnya seperti apa.

Film ini menelisik isu gender lewat thriller berdarah. Cewek selalu jadi korban, cowok adalah psikopat? Belum tentu begitu, kata film ini. Susunan acak tersebut bukan pula cuma sebatas untuk bermain kejutan, bukan soal “ternyata-ternyata” doang. Sebab susunan acak tersebut paralel dengan state of mind karakter yang diperankan Willa Fitzgerald (gila banget Willa di sini, adegan sakaratul maut di epilog itu loh!) Jadi ketika susunan acak itu membuat kita katakanlah ‘tertipu’, tapi kontras dengan itu kita melihat dia sendiri percaya dan hidup dalam ‘tipuan’ tersebut. Dia percaya dia tetap victim di skenario itu. Cewek memang gak pernah salah, ya haha

The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for STRANGE DARLING

 

 

 

TERRIFIER 3 Review

Damien Leone kembali untuk memuaskan dahaga gore kita, while juga berhasil memperkuat posisi Art the Clown dan Sienna sebagai ikon slasher horor modern.

Kerja terbaik film ini memang di sadis-sadisan. Suasana natal berhasil film ini merahkan oleh darah. Sekuen Art minum-minum bareng sinterklas di bar itu aku suka banget. Kali ini film sepertinya benar-benar mengeksplor sisi jahat Art dan kemudian mengontraskannya dengan kesucian natal. Terrifier 3 kembali ke formula horor klasik. Kebaikan vs. Kejahatan yang disimbolkan oleh agen setan dan agen tuhan. Tapi betapapun sadisnya Art yang bahkan di film ini sampai membunuhi anak-anak – adegan openingnya aja dia nyamar jadi sinterklas dan menghadiahi penghuni satu rumah dengan tiket satu arah ke alam barzah – film tetap ‘classy’ dengan tidak sekalipun memperlihat adegan pembunuhan anak-anak tersebut secara on-cam. Gak kayak Sumala kemaren tuh. Filmmaker horor Indonesia harus banyak belajar dari film ini.

Cuma kalo dibandingkan dengan film keduanya tahun lalu, Terrifier 3 terasa kurang ‘absurd’. Pesona ganjil dan dunia surealis agak berkurang, mengalah ke sadis-sadisan yang diperbanyak. Cerita dari sisi Sienna juga kurang. Film cuma menjawab sedikit lore soal hubungan dia dan ayahnya, tapi film yang timeline ceritanya lima tahun dari film kedua menempatkan Sienna di ‘keluarga’ baru  yang membuat mainly kisah dia ‘reset’, Kembali ke soal gak mau kehilangan keluarga (lagi). Singkatnya, keberlanjutan kisah masih belum banyak, tapi film ini cukup memuaskan dengan melanjutkan feud Sienna dengan Art di lokasi yang berbeda.

The Palace of Wisdom gives 6.5 gold stars out of 10 for TERRIFIER 3

 

 

 

V/H/S/BEYOND Review

Makin ke sini, aku rasanya makin ilang gairah sama seri film V/H/S/. Kayak pas nonton yang Beyond ini aja. Pembukanya kan tentang dokumenter penampakan alien gitu, itu aku tertarik, tapi pas ganti segmen jadi tim penyergap nembak-nembak makhluk gitu, aku jadi bosen. Apalagi pas segmen berikutnya yang dari India tentang paparazzi dan bintang musik, duh goyang-goyang kameranya bikin capek. Secara subjektif, mungkin aku memang lagi jenuh aja sama konsep ‘rumahan’ begitu. Tapi secara objektif juga, aku males sama V/H/S/ karena selalu setengah-setengah dalam ngikutin tema.

Mestinya sekarang ini kan temanya tentang alien. Beyond, as in beyond our universe, beyond our comprehension, dsb-lah. Tapi beberapa ceritanya ya lebih mirip creature general aja. Sekalinya ada alien kayak segmen yang nyeritain sekelompok sahabat yang pesawat mereka nabrak UFO, ujungnya ya tetap kejar-kejaran creature. Makanya yang segmen dokumenter itu lebih menarik, karena kita di-engage dari misteri seputar yang mereka bicarakan di dalam dokumentasi tersebut. Sensasi eksplorasi dan discoverynya kerasa, dan dua itu adalah elemen relevan dalam cerita yang bertema ketemu dengan makhluk planet lain. Segmen “anabul” juga aku suka. Walaupun ini juga bukan exactly alien, tapi lebih ke kayak creature eksperimen dan psikopat gitu, tapi karena penceritaannya lebih absurd tapi juga lebih ‘kalem’ ngikutin ceritanya juga jadi lebih yahud. Kalo diitung-itung, dari lima cerita, aku cuma suka 2.

The Palace of Wisdom gives 5 gold star out of 10 for V/H/S/BEYOND

 

 

 

WOMAN OF THE HOUR Review

Nah, kalo film ini kebalikannya. Aku justru excited sekali. Karena ini debut penyutradaraan Anna Kendrick! Selain akting dan nyanyi, bisa ngedirect juga, gimana gak keren tuh. Gak tanggung-tanggung juga, cerita yang ia kawangi ini ternyata berdasarkan kisah nyata. Rodney Alcala, serial killer yang beneran pernah jadi peserta dating show di televisi.

Anna Kendrick ternyata punya concern yang gede terhadap isu feminisme. Gimana perlakuan terhadap perempuan di industri hiburan, seperti film dan televisi. Bukan tidak mungkin, aspek-aspek yang ia hadirkan di sini adalah aspek yang dia ngelihat sendiri sebagai yang lama berkecimpung sebagai aktris Hollywood. Lensa berhasil membuat film ini tampak personal. Kendrick tahu persisnya feeling kayak ketika perempuan ‘dikecilkan’ jadi cuma kayak eye candy, gak boleh terlihat pintar di layar, ataupun ketika  dikuntit di lapangan parkir yang kosong. Adegan-adegan ‘predatory’ seperti begitu, sangat menyala di film ini. Seandainya Kendrick fokus di satu aspek seperti acara show dan dunia hiburan itu  saja, film ini pasti keren.

SayangnyaKendrick dapat naskah yang melebar. Actually, ceritanya punya range kurun yang luas. Mengikuti ‘kiprah’ si serial killer gondrong yang modusnya mau motret cewek-cewek untuk kontes, lalu menyorot perspektif perempuan-perempuan yang pernah bertemu dengannya. Some of them tewas. Tapi ada satu karakter yang selamat, yang kisahnya sebenarnya lebih menarik, yang bahkan film ini sendiri menjadikan kelanjutan karakternya sebagai info tertulis di penutup. Ini kan jadi sinyal kalo sebenarnya cerita si karakter ini lebih menarik. Tapi bagian tersebut dibahasnya di akhir, sementara bagian tengahnya adalah tentang dating show tadi. Jadi film ini kayak bingung sendiri memilih mana yang harusnya dijadiin utama, sehingga akhirnya memilih jalan tengah memperlihatkan semua. Yang buntutnya jadi clash, karena dengan begini berarti harusnya karakter utama adalah si serial killer karena bentukan film ini episodik dengan cuma karakter serial killer yang selalu ada di tiap ‘episode’, Cocoknya judulnya jadi Man of the Hour, atau kalo memang harus cewek-cewek, ya Womens of the Hour.

The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for WOMAN OF THE HOUR

 




 

 

That’s all we have for now

Maaf atas telatnya edisi halloween ini. 2024 tinggal dua bulan lagi, semoga aku bisa ngejar ketertinggalan untuk nyelesaiin rapor film akhir tahuunn

Thanks for reading.

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



NO ONE WILL SAVE YOU Review

 

“It is the confession, not the priest, that gives us absolution.”

 

 

Bekal-diri, atau pengalaman, alias juga referensi saat kita menonton film ternyata memang ngaruh ke tangkapan kita terhadap film tersebut. Makanya film yang kita sukai pada masa kecil mungkin akan terasa berbeda jika ditonton saat sudah dewasa.  Aku ngerasain ini saat nonton No One Will Save You, horor karya Brian Duffield. I feel like aku gak bakalan ngerti film ini kalo aku menontonnya sebelum nonton Sleep Call (2023). Loh kok Sleep Call? Diskursus soal literally ‘gak bakal ada yang nolongin kamu’ dibuka di film itu. Lewat pembahasan film itu soal jakarta/hidup itu keras, aku bisa lebih mudah menangkap bahasan yang juga diangkat di sini – hanya lebih tegas sebagai perspektif personal. Lebih mudah karena memang film No One Will Save You dibuat oleh Brian Duffield dengan desain yang cukup aneh. Asing. ‘Alien’, kalo boleh dibilang. Horor alien, tapi juga teror home-invasion. Penuh aksi menegangkan, tapi juga sunyi dengan nyaris tak ada dialog. Kejadiannya memang merupakan penyimbolan, tapi sekaligus juga literal.

No One Will Save You merupakan tipe film yang keren karena penceritaannya. Penonton yang hanya melihat outer journey alias urutan kejadian bakal missed hal yang membuat film ini spesial. Karena memang peristiwa filmnya simpel saja. Seorang gadis muda bernama Brynn, tinggal sendirian di rumahnya yang terletak di pinggir hutan cukup jauh dari pusat kota kecil. Suatu malam rumahnya kedatangan tamu jauh dari angkasa luar. Survive dari kejar-kejaran malam itu, paginya Brynn mencoba lapor polisi. Tapi dia punya masalah dengan salah satu polisi, serta ternyata beberapa penduduk sudah dikendalikan oleh alien. Sehinga minta tolong sudah bukan lagi opsi. Malamnya, Brynn bersiap di rumah, mencoba mengcounter serangan alien berikutnya.

Sampai gak bisa berkata-kata

 

Storytelling arahan sutradaranya lah yang membuat film jadi begitu rich dan efektif. Konsep unik yang ia jadikan penentu adalah tidak ada dialog, kecuali satu baris kalimat yang esensial sebagai penanda resolusi pada development karakter utama. Film ini bakal banyak momen-momen personal Brynn di ruang-ruangnya sendiri, hingga ke kucing-kucingan melawan alien, tapi semua itu diceritakan tanpa banyak berkata-kata. Semua informasi disampaikan lewat penceritaan visual. Kita kenalan dengan karakter si Brynn lewat menyimak tingkah lakunya. Bahkan namanya saja kita tahu dari tulisan. Film seolah selalu berhasil menemukan cara untuk menyampaikan sesuatu tanpa menyebut hal tersebut. Sehingga nonton film ini jadi change of pace yang menyegarkan, di tengah sumpeknya film-film jaman sekarang yang meledak-ledak, lagi cerewet ngasih eksposisi di sana sini. No One Will Save You menampilkan karakter – backstorynya, konflik personalnya, hingga nanti tantangan fisik dan emosional journeynya  – lewat pengadeganan yang terukur. Semua aspek teknis seperti kamera, suara, punya treatment khusus untuk mendukung penceritaan visual ini.

Walau nyaris tanpa dialog, toh film ini bukan bisu. Kita tetap mendengar suara-suara. Dengung sinar UFO, suara tapak kaki alien yang jari-jari kakinya udah kayak kaki-kaki kecil sendiri. Dan desain suara-suara itu tuh keren banget! Film ini benar-benar memanfaatkan suara untuk menghasilkan efek horor yang maksimal. Setiap pekik tertahan, suara derit, semuanya itu ngebuild up kepada tensi yang jadi urat hidup film ini. Pun diselaraskan dengan kerja kamera. Momen di babak awal saat pertama kalinya Brynn menyadari ada alien di lantai bawah rumahnya, benar-benar momen yang menegangkan. Cara film ‘memperkenalkan’ alien itu juga precise dan terukur sekali. Kadang Brynn hanya melihat sosok blur alien dari balik kaca, kadang dia hanya melihat kaki mereka. Sudut pandang yang kuat, pembangunan adegan yang tepat, sukses bikin kita ikut menahan napas. Seiring berjalan durasi, sosok alien semakin ditampilkan dengan jelas oleh film. Desain mereka juga luar biasa. Meskipun tampilan dasar mereka cukup klise ‘alien abu-abu bermata besar, berbadan kecil’  tapi film menyimpan banyak kejutan. Cara mereka bergerak saja selalu berhasil bikin kita bergidik. Yang menurutku paling seram adalah alien besar seperti laba-laba, sekuen kejar-kejaran Brynn dengan makhluk ini juga seru dan ngeri sangat.

Sementara aliennya memang pencapaian teknis, keseluruhan film sebenarnya bertumpu pada delivery Kaitlyn Dever sebagai perspektif utama. This is practically film dengan satu karakter. Cerita menempel erat pada sudut pandang Brynn, dan Kaitlyn Dever mengerti tugasnya dan kupikir ini adalah yang terbaik dari penampilan aktingnya so far. Raut wajahnya bicara, matanya bicara, dan dia gak ragu untuk meraih ke dalam sisi emosional karakternya. Dan semua itu dia lakukan sambil dikejar-kejar oleh alien! Sisi emosional dan inner karakter, inilah yang bikin film ini dalem. Dan spesial. Karena bagaimana pun juga horor bukan semata soal survive dari makhluk mengerikan, bukan sebatas soal mengalahkan mereka. Melainkan juga mengenai apa ‘arti’ survive tersebut bagi si karakter utama. Mengalahkan momok itu berarti dia mengalahkan apa di dalam hidupnya. Refleksi terhadap karakter inilah yang jarang dipunya oleh horor kita, tapi di film ini ada. Malah itu yang benar dijadikan urusan utama, merayap di balik persoalan invasi alien. Semua treatment storytelling yang digunakan film ini – seperti yang sudah kusebutkan tadi – membangun kepada tema yang berasal dari galian inner journey karakter Brynn.

Kalo dibikin tahun 2000an, pasti Amanda Seyfried yang dicast jadi Brynn haha

 

Ketika pertama kali kita melihat Brynn, gadis ini tampak damai di ‘dunia’ kecilnya. Di rumahnya. Dia menari, bermain dengan diorama kota yang dikumpulkannya sendiri, dengan riang menulis surat untuk sahabatnya yang bernama Maude. Vibe bimbang baru nampak ketika dia hendak ke kota. Brynn berlatih senyum di depan cermin. Tampak menguatkan diri sebelum berinteraksi dengan orang lain. Saat dia beneran berinteraksi, kita merasakan ada hubungan yang dingin antara warga dengan Brynn. Seorang polisi dan istrinya malah tampak dihindari oleh Brynn. Menghindar seperti saat dia dengan sengaja ‘tidak menjawab’ telfon.  Aku mengenali gelagat itu. Waktu kecil, aku pernah gak sengaja bikin tangan temanku patah saat kami bermain Benteng Takeshi-Takeshian, dan setelah itu aku gak berani main ke rumahnya, gak berani ketemu sama orangtuanya. Aku tahu walaupun gak sengaja, aku harusnya minta maaf, tapi tetap saja itu sungguh hal menakutkan untuk dilakukan. Jangankan minta maaf, mau ngomong aja takut. Film dibuat tanpa dialog karena Brynn juga merasa bersalah terhadap sesuatu. Later deep within the story, kita dikasih tahu apa yang dulu terjadi pada Brynn dan temannya, Maude. Dan aku langsung, damn, aku yang gak sengaja aja dulu bisa takut sampai segitunya, gimana Brynn ini yaa..

Rasa bersalah. Guilt. Inilah yang sebenarnya dimaksud film ini ketika menyebut tak akan ada yang bisa menyelamatkan kita. Gak ada yang bisa menyelamatkan kita dari rasa bersalah, kecuali diri kita sendiri. Gimana caranya? Dengan gak mangkir dari perbuatan. Dengan mengakui. Dengan meminta maaf. Kesempatan meminta maaf bagi Brynn datang secara tak sengaja melalui invasi alien, dan adalah up to her untuk menggunakan itu. Pada pilihannya itulah tercermin perkembangan Brynn sebagai karakter utama cerita.

 

Jadi ‘dunia kecilnya’ itu ternyata juga adalah penjara sosial. Tokoh utama kita ternyata ‘di-shun’ warga akibat perbuatannya di masa lalu. Dikucilkan. Invasi alien justru berbuah kesempatan buat Brynn untuk resolve urusan personalnya tersebut. Dalam salah satu ‘serangan’ alien, Brynn justru mendapat kesempatan untuk meminta maaf; hal yang selama ini tidak bisa dia dapatkan karena keadaan dan dirinya sendiri. Di bahasan ini, sendirinya film punya pilihan. Menjadi kisah manis penuh harapan dengan happy ending Brynn akhirnya dimaafkan masyarakat. Atau menjadi kisah miris, bahwa Brynn tidak bisa mengharap maaf, bahwa memaafkan diri sendiri adalah satu-satunya healing yang bisa ia terima, dan itu sesungguhnya cukup.

Pada pilihan krusial itulah film menunjukkan keistimewaan. Jujur, saat menonton aku mengharapkan pilihan yang pertama. Aku berharap film ngasih lihat Brynn mendapat pengampunan yang layak karena dia selama ini menyesali perbuatannya dalam diam. Brynn has suffer so much, meski tak kelihatan dari luar. Aku berharap seenggaknya ada adegan Brynn openly bicara kepada keluarga Maude, meminta maaf, eventho it’s too late. Pilihan ini aku yakin lebih memenuhi struktur skenario terkait aksi dan development karakter. Tapi film enggak mau benar. Film menunjukkan kecintaan mereka terhadap karakter Brynn dengan memilih untuk tetap ‘real’ alih-alih benar sesuai aturan. Dan ini yang bikin ending film mengejutkan dan sangat kuat. Dengan membuat ‘alien aja kasihan sama Brynn’, tema dan gambaran yang menyentil kehidupan sosial kita (balik lagi ke Sleep Call’s “hidup itu keras”) terasa lebih menohok. Alien yang awalnya ditampilkan misterius, seiring durasi menjadi lebih fokus dan malah tampil close up adalah paralel dari gimana masyarakat seharusnya melihat Brynn, for she is an alien among them. Seorang berbeda – berdosa – yang dianggap berbahaya dan tak punya tempat di antara mereka. Apapun yang keluar dari mulutnya gak bakal dipercaya. Brynn tidak dikasih kesempatan.

 

 




Makanya film ini pun hadir dengan tidak banyak berkata-kata. Itu jadi pembuktian betapa kuatnya treatment dan perspektif penceritaan. Semuanya dilakukan untuk mewakili yang dirasakan oleh Brynn, sang karakter utama. Kejadian invasi alien ke rumah mungkin tampak biasa, tapi penceritaan di baliknya, semuanya kuat dan didesain dengan sangat terukur. Kerja kamera, desain suara, penampilan akting. Film ini sukses berat baik itu dalam menampilkan horor dikejar-kejar alien maupun kejadian-kejadian yang lebih sureal setelahnya. Pilihan endingnya merupakan salah satu yang paling mencengangkan. Film ini gak ragu untuk sedikit berbelok dari yang seharusnya. Dan memilih untuk tampil dengan gambaran dan pesan yang lebih real dan menohok.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for NO ONE WILL SAVE YOU

 

 




That’s all we have for now.

Dina di Sleep Call gak punya Rama, sedangkan Brynn di film ini punya alien. Menurut kalian kenapa alien-alien itu membiarkan Brynn hidup di antara koloni yang mereka kendalikan?

Share pendapat kalian di comments yaa

Setelah nonton ini, mungkin kalian masih pengen yang menegangkan? Well, ada nih serial Hijack, serial thriller seru tentang pembajakan di pesawat yang dibintangi oleh Idris Elba di Apple TV+ Yang pengen ngerasain ketegangannya bisa langsung subscribe dari link ini yaa https://apple.co/46yw8RX

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



ASTEROID CITY Review

 

“Sometimes you have to accept things the way they are and move on”

 

 

Belum lama sejak Wes Anderson bikin kita takjub dengan film yang ternyata bukan film, melainkan majalah! (baca review  The French Dispatch di sini) Sekarang sutradara maniak gambar simetris dan warna palet kontras ini hadir membawa film yang tak kalah ajaibnya. Kali ini dia membuat film dari theater play. Dari proses orang bikin pertunjukan sandiwara teater. Asteroid City, begitu quirky, kisah yang diceritakannya bahkan enggak real di dalam konteks dunia cerita itu sendiri. Nah lo, belum apa-apa sudah aneh kan? Hihihi

Biasanya kan, kita tahu cerita dalam film adalah sebuah fiksi, namun bagi para karakter di dalam film, cerita dan dunia mereka adalah nyata.  Asteroid City tidak seperti itu. Yang dikisahkan adalah tentang seorang ayah, berprofesi sebagai fotografer, yang menyimpan rahasia dari anak-anaknya bahwa ibu mereka telah meninggal tiga minggu yang lalu. Si Augie justru membawa anaknya jalan-jalan. Tiga putrinya yang masih kecil-kecil mau dibawa ke rumah kakek, sementara putra sulungnya mau dianter ke kemah ilmiah di Asteroid City; tempat di tengah gurun yang jadi pusat wisata dan penelitian antariksa lantaran dulu pernah kejatuhan asteroid. Kita bertemu Augie dan keluarga saat mereka sampai di kota tersebut. Di malam pembukaan kemah, alien (like, literally alien dan UFOnya) turun ke tengah-tengah mereka, dan mengambil asteroid simbol tempat Kota. Kejadian itu membuat Augie dan orang-orang nyentrik lain yang anaknya ikut kemah (termasuk seorang selebriti), harus dikarantina di Asteroid City, sampai pemerintah dan mereka semua bisa memasukakalkan peristiwa kemunculan makhluk luar angkasa tersebut. Sementara kita, para penonton, punya satu hal lagi untuk dimasukakalkan, yakni apa sebenarnya film ini. Karena kisah di Asteroid City tadi itu  sebenarnya cuma drama teater. Augie dan putranya dan si selebritis dan karakter-karakter lain, cuma peran yang dimainkan oleh aktor-aktor teater. Kita juga akan diperlihatkan lewat gambar hitam putih sebagai penanda, adegan-adegan yang menunjukkan pembuatan Asteroid City, aktor-aktor yang berlatih, penulis yang mencari inspirasi, serta sutradara yang sering didatangi pemain yang kebingungan atas peran yang ia mainkan. Jadi seperti ada dua bagian yang bercampur; bagian cerita di Asteroid City yang berwarna, dan bagian cerita dari dokumentasi belakang panggung yang hitam putih. Dengan garis utama yang dibiarkan blur.

Film ini adalah Barbenheimer yang sebenarnya, karena di sini ada Margot Robbie dan ledakan bom atom

 

Boleh gak sih film dibikin seperti itu? Ya boleh-boleh saja, asal bangunan penceritaan dengan konsep uniknya tersebut bekerja dalam sebuah konteks, dan tentu dengan tidak meninggalkan development karakter. Asteroid City, buatku, terasa even better daripada The French Dispatch karena punya development karakter yang lebih kuat. Memang, karakter di dua film ini typical karakter Wes Anderson banget, dalam artian mereka sama seperti lingkungannya yang berwarna kontras dan simetris; tampak artifisial.  Tapi di balik quirk yang aneh dan kekakuan mereka, kita masih bisa merasakan genuine, relatable feelings. Dan di film ini, feelings tersebut lebih terasa, dan ditulis dengan lebih mencuat. Kita bisa meraba karakter development itu dari menarik garis paralel antara perspektif utama. Menarik persamaan dari karakter Augie, dan aktor yang ceritanya memerankan Augie (keduanya diperankan oleh G-Man Jason Schwartzman). Mereka berdua sama-sama mencoba memasukakalkan perasaan yang mendera. Perasaan bingung, Augie bingung dengan perasaan dukanya yang seperti tak mendapat tempat di dunia yang begitu random malah memberikannya alien dan cinta. Aktor yang meranin Augie bingung kenapa tiba-tiba ada alien di dalam cerita yang ia mainkan. Sehingga keduanya berusaha mencari jawaban atas bingung tersebut. Augie, mencoba dengan memotret alien dan Midge, aktris yang ia jumpai di sana. Sementara si aktor berusaha nanya ke penulis dan sutradara.

Tapi alien, si aktris, penulis, dan sutradara itu bisa apa. Toh Wes Anderson tidak memberikan jawaban terhadap itu. Augie dan para karakter lain – fiksi ataupun karakter aktor – dibiarkan ‘menjelajah’ kejadian aneh tersebut. Hidup mereka dibiarkan random.  Dan itulah poin film ini. Wes bukannya tidak mau ngasih jawaban, melainkan supaya para karakternya, supaya kita juga, melepaskan diri dari menuntut penjelasan. Satu-satunya yang mendapat balasan di sini adalah perasaan Augie terhadap si aktris, yang menandakan kepada kita bahwa dalam cerita ini Wes Anderson mementingkan perasaan, emosi yang dialami oleh para karakternya yang kaku, dibandingkan dengan rasionalisme. Maka logika, gak maen di sini. Logika enggak dimasukkan ke dalam perhitungan karya film ini (at least, sampai kita membedahnya ke dalam bentuk lain misalnya seperti tulisan review ini)

Terkadang hal dapat terjadi secara random tanpa penjelasan. Misalnya hal yang kebetulan, yang terjadi dalam kesempatan yang acak. Terkadang ada juga hal-hal yang tidak bisa dijelaskan. Hal-hal seperti perasaan. Cinta, penyesalan, duka. Kita cuma bisa menerima perasaan dan kejadian tersebut, dan move on melanjutkan hidup. 

 

Saat kita sudah mengerti akan itulah, film lantas seperti mendobrak sendiri ‘peraturan’ dalam dunia ceritanya. Yang tadinya kita sangka sebagai ‘kejadian beneran’ dan ‘cerita’ ternyata tidak demikian adanya. Karena membedakannya begitu berarti kita masih memakai logika. Memisahkan bagian cerita jadi dua kotak itu dengan melihat tanda-tanda seperti, warna hitam putih untuk menunjukkan dunia yang butuh penjelasan (dunia nyata) dengan warna cerah untuk dunia reka (dunia sandiwara di kota Asteroid), ternyata hanya perangkap bingkai yang dimiliki oleh film ini. Wes ingin meleburkan keduanya, maka dia membuat ada satu karakter – host dari bagian dokumentasi – yang masuk ke dunia warna. Lalu ada beberapa aktor di dunia hitam putih yang tiba-tiba berwarna. Batasan nyata dan reka menjadi tidak ada, semua jadi tampak sama-sama artifisial, semua jadi abstrak seperti karya seni itu sendiri. Dan satu hal tentang seni, itu adalah seni merupakan cara pembuatnya berkomunikasi. Sampailah kita kepada lapisan berikutnya pada Asteroid City sebagai sebuah sinema. Sebuah karya seni, dengan Wes Anderson sebagai penciptanya. Dan sama seperti foto alien yang dipotret Augie, film sebagai seni hanya memotret. Potret itu sendiri nantinya disebar dan diterjemahkan dan disimpulkan dengan bebas oleh orang-orang yang melihat. Apakah alien di foto ini hoax? Atau apakah berarti umat manusia dalam bahaya?

Hampir seperti kartun, pake ada Road Runner segala

 

Seniman membuat karya. Dia tidak perlu memasukakalkan karyanya. Wes Anderson tidak perlu untuk melogiskan Asteroid City. Tadi dia dengan gampangnya meminta kita untuk tidak menonton ini dengan menuntut penjelasan. Melainkan untuk merasakannya secara subjektif saja. Namun bagaimana proses dia membuat ini? Asteroid City dalam level terdalam sebenarnya adalah gambaran proses kreatif seorang seniman seperti Wes Anderson dalam membuat karya. Konflik antara membuat yang bisa diterima akal dengan mempertahankan cita rasa seni itu sendiri. Percakapan aktor Augie menuntut penjelasan dengan sutradara yang menepis soal logisnya jalan cerita, curhat si aktor terhadap perannya, berakar dari si kreator itu sendiri yang bergulat menciptakan sesuatu yang bisa diterima, bisa dirasakan, alih-alih semata logis untuk dipikirkan. Dari film ini kita bisa menyimpulkan bahwa Wes Anderson pada akhirnya percaya bahwa seni tidak akan bisa tercipta jika manusia sebagai pembuat hanya berkutat pada hal-hal yang masuk akal. Karakter di dalam film ini kaku karena mereka strive untuk hal logis. Untuk kemudian diperlihatkan tokoh-tokoh di Asteroid City butuh alien yang gak masuk akal, butuh hal sensasional supaya hidup mereka yang kaku bisa cair. Anak-anak yang belajar planet-planet itu, jika tidak kedatangan alien, mungkin tidak akan pernah bicara tentang filsafah hidup dengan si koboy, Putra Augie dan teman-temannya yang science freak tidak akan sempat ngerem dan naksir-naksiran jika alien tidak datang ke sana. Augie dan ayahnya akhirnya bisa berdamai dengan duka saat membiarkan putri-putri cilik itu melakukan ritual penguburan ala penyihir. Karena saat mereka mengembrace ketidakmasukalan sikap anak-anak itulah, pintu bagi Augie untuk menyentuh emosi mereka terbuka. Sesuatu yang tidak bisa dilakukan dengan mengandalkan akal pikiran. Karena justru akal pikiran yang mengandalkan imajinasi.

“You can’t wake up if you don’t fall asleep” adalah yel-yel yang kita dengar diteriakkan oleh para aktor saat pembuatan teater Asteroid City. Kata-kata yang ternyata ‘masuk akal’ sekali ke dalam konteks film tadi. Kata-kata yang terjemahan literalnya adalah semacam menyebut untuk bisa terbangun, kita harus tidur dulu itu seperti menyiratkan pesan bahwa ya kita harus berkhayal dulu baru bisa disebut tersadar. Inilah kunci seni menurut Anderson. Untuk bisa menyentuh kesadaran emosional, serta kemelekan akal pikiran, maka kita harus berani untuk berimajinasi terlebih dahulu. Seliar-liarnya.

 

 




Tak ada yang dijelaskan oleh film ini. Tidak ada jawaban tentang apa maksud aliennya. Karena film sebagai seni tidak perlu menjelaskan dirinya sendiri. Tugas itu ada pada kritikus. Sebuah film tetap perlu disampaikan maksudnya karena film bagaimanapun juga adalah komunikasi antara si pembuat dengan penonton. Komunikasi itu terjaga bukan dari pembuatnya menggunakan bahasa yang masuk akal atau gampang dicerna.  Justru menurut film ini bahasa yang paling efektif itu adalah perasaan, sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan logika. Komunikasi itu terjadi, terjaga, saat ada penyampaian bahasa dan perasaan tersebut. Ada yang menerima, setidakmasukakal apapun bahasanya. Film ini aneh, karakternya kaku, kejadiannya gak masuk akal, komedi dan karakternya yang diperankan oleh banyak bintang gede itu amat nyentrik. It’s rather unsual and hard to watch, yes. Film ini adalah alien bagi kita, seperti alien bagi karakter di Asteroid City. Sesuatu yang mungkin penting untuk melanjutkan hidup yang seringkali sudah jadi tak berasa.
The Palace of Wisdom gives 8 out of 10 gold stars for ASTEROID CITY

 

 




That’s all we have for now.

Jika film adalah seni yang tak harus menjelaskan, bagaimana dengan tulisan kritik atau ulasan? Menurut kalian kritik itu tulisan apa sih, berita, opini, karya ilmiah, atau bisakah dia disebut sebagai karya seni juga?

Share pendapat kalian di comments yaa

Sebelum ditutup, aku mau ngajak kalian pindah dari gurun ke Apple TV+ , karena ada serial bagus tentang pembajakan di pesawat! Dibintangi oleh Idris Elba, serial thriller ini bakal ngajak kita ke sebuah trip angkasa yang tak terlupakan. Yang pengen nonton bisa langsung subscribe dari link ini yaa https://apple.co/46yw8RX

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



NOPE Review

 

“You have been obsessed with entertainment for so long, that you have almost gone blind to the obvious signs of distress”

 

 

Kiprah Jordan Peele sebagai sutradara film ngasih kita fakta bahwa komedian ternyata bisa jadi basic yang kuat untuk menjadi pembuat film horor yang hebat. Mungkin karena komedi dan horor sama-sama bermain di analogi atau perumpamaan. Komedian terbiasa menulis materi candaan yang sebenarnya mengandung pesan entah itu personal ataupun sindiran. Mirip dengan cerita horor yang menjadikan monster sebagai perwujudan dari sesuatu. Baik komedi, maupun horor, adalah respon manusia terhadap tragedi. Dalam dua karya pertamanya, Peele udah ngasih kita lihat ketajaman yang ia miliki dalam mengolah horor berisi, tapi sekaligus menghibur. Dalam Get Out (2017) dia membahas soal rasisme. Dalam Us (2019) Peele menyentil perpecahan manusia, lagi-lagi karena ras. Peele jelas punya concern dan statement soal ini, yang kembali dia hadirkan dalam horor ketiganya. It also helps that Peele juga seorang penggemar film, mulai dari Spielberg hingga anime. Sehingga Nope, film ketiganya ini, bisa terbentuk lebih jauh sebagai sebuah spectacle – sebuah hiburan – dengan berbagai referensi untuk dinikmati, dengan makhluk alien sebagai pusat misteri dan keseruan, dengan statement di baliknya sehingga kita benar-benar punya sesuatu yang bergizi untuk dicerna saat menebak apa yang sedang terjadi.

Kecintaan Peele pada sinema, serta concern-nya terhadap bangsa, langsung kelihatan dari protagonis sentral cerita. Dua kakak beradik yang berusaha meneruskan bisnis keluarga mereka. Sebagai pelatih kuda-kuda untuk syuting film. OJ dan Emerald sebenarnya adalah yang disebut sebagai Hollywood Royalty, mereka adalah keturunan langsung dari orang dalam motion picture pertama di dunia. Ya, pemuda kulit hitam yang menunggang kuda dalam video pendek hitam-putih itu adalah buyut mereka. Tapi sekarang bahkan bisnis kuda-untuk-film mereka pun sedang struggle. Kuda mereka pernah dicancel, diganti jadi unta, Film sekarang merasa lebih praktis pakai CGI dan sebagainya. OJ sendiri sebenarnya not impressed dengan orang-orang film itu sedari awal. Karakter yang diperankan dengan lebih banyak diam oleh Daniel Kaluuya  itu gak nyaman dengan bagaimana kuda-kudanya diperlakukan di set. Beda dengan adiknya, Emerald (Keke Palmer jadi karakter yang jauh lebih ceria) yang all-in ke bisnis hiburan. Makanya OJ-lah yang pertama sadar kuda-kuda di ranch mereka malam itu bertingkah aneh. Seperti kabur dari sesuatu di atas sana. OJ jugalah yang pertama kali nyadar bahwa beneran ada sesuatu di atas sana. Di antara awan-awan itu. Sesuatu yang bukan dari planet ini. Sesuatu yang bertanggung jawab atas hujan koin dan benda-benda metal lain, yang actually menewaskan ayah mereka.

E.T. fist bumps!!

 

Secara eksistensi, film ini mirip sama Pengabdi Setan 2: Communion (2022). Horor yang sama-sama dibuat sebagai spectacle. Yang satu wahana rumah hantu, yang satu wahana alien/creature feature. Sama-sama banyak referensi. Sama-sama memancing penonton untuk berteori menebak yang terjadi. Sama-sama dibuat dengan memanfaatkan teknologi IMAX. Tapi apakah secara kualitas keduanya juga sama? NOPE. Nope punya sesuatu yang film Joko Anwar itu gak punya. Substansi. Actual things yang hendak dikatakan.

Like, sure, Nope ngasih pengalaman mendebarkan melihat UFO yang terasa real. Film ini juga memanfaatkan kegelapan dan sesuatu yang tidak-kita-ketahui sebagai sajian horor utama. Langit luas di atas peternakan kuda milik keluarga OJ itu dijadikan seolah lautan dalam film Jaws oleh Peele. Hanya saja bukan hiu, melainkan piring terbang misterius, yang mengintai karakter manusia dari balik awan-awan. Sensasi ada sesuatu yang besar di atas sana, mengawasi kita, tanpa kita mengetahui apa tujuan mereka di atas sana. Tanpa tahu kapan mereka bergerak selain tanda-tanda alam seperti listrik yang tiba-tiba stop , lampu yang tiba-tiba mati. Film berhasil menguarkan semua itu. Aku suka gimana film ini memberikan tanda-tanda itu, terutama lewat boneka-bonekaan (aku gak tau namanya, cuma karena nonton WWE, maka aku akan menyebutnya sebagai boneka Bayley) yang dijadikan alat menarik untuk petunjuk keberadaan si alien. Boneka-boneka Bayley itu menjadikan visual film ini tambah unik. Musik dan suara juga tak kalah mendukung didesain oleh film demi pengalaman kita dengan makhluk terbang tak dikenal tersebut. Antisipasi dan build up akan makhluk ini terbendung, kecemasan dan penasaran kita tercermin dari reaksi karakternya. OJ, Emerald, dan nanti ada beberapa karakter pendukung seperti Angel si nerd penggemar alien, Jupe si pengelola tempat hiburan semacam sirkus, dan seorang sinematografer handal yang disewa OJ untuk merekam penampakan alien. Dan ketika makhluk itu datang, karakter-karakter ini – beserta kita – akan mendapat berbagai kejutan horor seperti dikejar-kejar hingga dihujani darah.

Film memang tidak melupakan karakter manusianya. Film tidak meletakkan mereka untuk mode survival saja, tidak untuk jadi korban teriak-teriak saja. Motivasi mereka tetap jadi fondasi cerita. Kehidupan mereka tetap yang utama untuk kita simak. Banyak orang yang mengeluhkan betapa film ini lambat masuk ke bagian seru, tapi untukku, itu ‘hanyalah’ sebuah build up manis yang dilakukan film untuk membuat kita peduli dengan nasib karakter saat nanti mereka beneran diburu. Untuk membuat kita merasa pengen mereka berhasil selamat. Motivasi dan kehidupan mereka toh menarik. Nope bukan tentang orang-orang yang berusaha survive dan membunuh makhluk alien, seperti pada creature feature yang biasa. Motivasi mereka lebih manusiawi, karena flawed. Bercela. OJ yang tadinya cuek sama soal video dan spektakel, akhirnya memilih untuk memanfaatkan si makhluk untuk nyari duit. Mereka ingin merekam alien itu, dan menjual videonya, supaya peternakan kuda bisa diselamatkan. Kenapa motivasi ini bercela? Karena berkaitan langsung dengan gagasan yang coba diangkat film sebagai bahan diskusi. Yakni soal manusia sudah terlalu obses dengan yang namanya entertainment. Alias hiburan.

Hiburan memang adalah kebutuhan manusia yang mendasar.  Dan sudah sejak lama, hiburan manusia kadang aneh-aneh. Orang dulu suka melihat gladiator lawan binatang. Kita punya tinju sebagai olahraga, ada wrestling sebagai tontonan. Acara gosip, acara kriminal, bahkan kisah-kisah sedih pun kita santap sebagai menu hiburan favorit. Poinnya manusia suka menjadikan orang lain, makhluk lain, sebagai tontonan. Dan rela menempuh apapun untuk menangkap sesuatu untuk dijadikan tontonan. Film Nope ini melempar balik pertanyaan kepada kita sebagai manusia, apakah kita pernah berpikir lebih jauh soal ‘harga’ yang dibayar saat menjadikan sesuatu sebagai hiburan?

 

Kalo dibandingkan dengan dua film Peele sebelumnya, Nope terasa lebih straightforward. Penonton bisa hanya menikmatinya sebagai cerita makhluk alien yang menelan manusia. Tapi tetep, Peele memasukkan banyak ‘misteri’ untuk dibahas penonton dengan kepala masing-masing sepanjang durasi. Hal-hal kecil yang ternyata ada akibat dan penyebabnya belakangan di cerita nanti. Hal-hal yang bakal menambah rewatch value film ini. Nah, membahas dan memberi perhatian ke petunjuk-petunjuk itu actually jadi rewarding saat nonton film ini karena memang hal-hal tersebut menutup kepada sesuatu. Membentuk kepada kesimpulan karakter dan kejadian yang tuntas. Menambah kedalaman ke dalam cerita dan karakter film ini. Seperti soal flashback cerita simpanse yang jadi bintang tv lalu mengamuk, misalnya. Bagian ini memang sekilas tampak tidak nyambung, tapi berkaitan erat dengan gagasan film soal mempertontonkan makhluk lain sesungguhnya tidak etis dan malah berbahaya. Jordan Peele suka memasukkan binatang ke dalam cerita horornya, karena menurutnya hewan adalah simbol dari both keinnosenan serta sesuatu yang inhuman. Di film Nope ada simpanse, kuda, dan si alien itu sendiri. Ketiganya at some point, dijadikan tontonan. Karakter Jupe yang selamat dari insiden simpanse ngamuk di masa kecil, merasa dirinya bisa menjinakkan apapun, dan setelah dewasa bikin taman hiburan dan menjadikan kuda, dan bahkan alien sebagai tontonan turis. Akhirnya tontonan itu berdampak tragedi karena manusia kelewat batas dan tidak mempertimbangkan dengan baik hal lain di luar pemenuhan keinginan mereka saja. Karakter lain seperti reporter dan si sinematografer, menemui ajal karena ngotot ingin mendapat rekaman bagus. Bagaimana dengan OJ dan adiknya?

Don’t look up!

 

Perihal dua protagonisnya ini, film memberikan mereka journey yang menarik. Di akhir film memang tidak diberikan jawaban eksak, mereka ‘ada’ tapi sepenuhnya nasib mereka diserahkan kepada interpretasi penonton masing-masing. Buatku, well, tadinya aku merasa janggal karena tiba-tiba film seperti pindah dari OJ sebagai hero ke Emerald. Like, di akhir tiba-tiba Emerald yang jadi jagoan dan menyelesaikan semua. Sehingga untuk make sense buatku, maka aku harus menganggap OJ sebenarnya tewas dimakan si alien, dan dengan menganggap seperti itu semuanya jadi gak janggal lagi. Journey mereka jadi komplit. OJ akhirnya belajar untuk mengerti bahwa terkadang situasi memang membutuhkan dirinya untuk put on the show, dan itu oke selama dia tahu apa yang harus dibayar. Sementara Emerald, jadi mengerti concern abangnya selama ini. Film berakhir dengan membuat Emerald mendapatkan apa yang mereka mau, menyelesaikan goal mereka, tapi dia tidak sesenang yang ia sangka.

Mengaitkan kembali dengan Jordan Peele yang sudah punya ciri khas dengan statementnya, aku merasa ada satu ‘makhluk’ lagi yang ia posisikan sebagai korban eksploitasi ranah bisnis hiburan. Orang kulit hitam. Film ini bicara tentang manusia begitu rakus menelan apa saja sebagai hiburan, tanpa mau mempertimbangkan lebih lanjut apakah mereka benar-benar paham ataupun apakah harus banget menjadikan itu sebagai tontonan. Mungkin lewat film ini Peele ingin menyentil film atau tayangan hiburan yang sok-sok mengangkat permasalahan ras atau semacamnya tanpa benar-benar mendalami permasalahan tersebut. Yang hanya memanfaatkan isunya sebagai tragedi yang gampang untuk dijual sebab penonton haus akan kisah-kisah sedih dan kontroversi dan semacamnya sebagai hiburan. Lebih tegasnya lagi, Peele tampaknya pengen menghimbau agar kita semua jadi pencerita, tukang konten, ataupun konsumen yang bertanggungjawab.

 




Prestasi banget bisa nelurin tiga karya yang berturut-turut konsisten. Film Jordan Peele kali ini didesain lebih sebagai hiburan bertema sci-fi alien, tapi tetap punya gagasan dan statement di baliknya. Beberapa penonton bakal menganggap film ini lambat, tapi itu hanya karena film ini peduli sama set up karakter. Peduli sama kehidupan mereka, karena dari situlah bahasan film ini diangkat. Horornya sendiri begitu ciamik dengan visual dan build up makhluk yang gak terburu-buru dan murahan. Bagi yang suka menebak-nebak, dan ngaitin adegan-adegan sepanjang cerita, film ini ngasih puzzle seru untuk diungkap. Dan benar-benar rewarding karena ‘puzzle’ tersebut actually ngaruh dan memang jadi fondasi cerita.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for NOPE

 




That’s all we have for now.

Apakah menurut kalian sinema memang mulai eksploitatif terhadap tragedi atau trauma masyarakat minor?

Share pendapat kalian  di comments yaa

 

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 



THE PREDATOR Review

“Never capture what you can’t control.”

 

 

Monster pembunuh dari luar angkasa berkunjung lagi ke Bumi, siap untuk berburu manusia. Mereka hadir dengan kekuatan yang sudah berevolusi; lebih pintar, lebih ganas, lebih gede, dengan senjata dan teknologi yang lebih mematikan pula. Tapi jangan khawatir. Sekumpulan pria macho yang dapat memadamkan rokok dengan lidah sudah siap untuk menghadapi alien tersebut. Mereka akan menunjukkan bahwa makhluk seberbahaya itu tidaklah mengerikan. Melainkan lucu.

The Predator ternyata bukanlah sebuah reboot ataupun prekuel. Ceritanya adalah lanjutan, pengembangan dari semesta Predator (1987) di mana kita melihat salah satu penampilan terbaik dari Arnold Schwarzenegger. Film lanjutannya ini meng-acknowledge kejadian pada film-film sebelumnya, tidak ada yang elemen yang dihapus. Sutradara Shane Black yang actually juga ikutan main pada film yang pertama tahu persis trope-trope yang membuat franchise ini digemari, sebagai sebuah film monster 80an. Sampai di sini, penggemar Predator menghembuskan napas lega, Akan tetapi, ada sesuatu yang dilakukan oleh Shane Black terhadap arahan bercerita, sebagai bagian dari misinya mengembangkan mitos dan dunia Predator. Sesuatu yang mungkin mengecewakan bagi para penggemar. Seperti The Nun (2018) yang lebih mirip sebuah petualangan misteri ketimbang horor mencekam, The Predator digarap oleh Black dengan menjauh dari akar horornya. Hampir tidak ada jejak keseraman yang muncul pada film ini. The Predator tampil sebagai aksi petualangan melawan monster yang penuh oleh lelucon-lelucon. Yang mana paling tidak membuatnya lebih baik dari The Nun yang tampil setengah-setengah.

brb nyari lengan korban yang ngacungin jempol

 

 

Satu-satunya adegan paling mengerikan dalam film ini adalah ketika ahli biologi yang diperankan oleh Olivia Munn berusaha melarikan diri dari Predator yang mengamuk di lab. Dia berusaha bersembunyi tetapi pintu ruangan hanya terbuka setelah melewati proses dekontaminasi. Jadi, dia musti buka baju dulu, di-scan segala macem dahulu, sementara si Predator di ruangan kaca di sebelah sudah semakin mendekat. Kita tidak akan menemukan suspens selain pada adegan tersebut. Film benar-benar berkonsentrasi untuk komedi dan adegan-adegan aksi yang berujung dengan tubuh yang terpotong. Shane Black memang sengaja melakukan itu semua; menomor-duakan aspek horor. Sepertinya dia punya ide lain terhadap franchise Predator, sebagimana tokoh di film ini yang punya pendapat berbeda terhadap penyebutan istilah Predator. Ada running jokes tersemat dalam cerita soal selama ini kita salah menyebut para alien tersebut sebagai Predator. Karena Predator tersebut enggak exactly predator. Mereka pemburu. Mereka membunuh bukan untuk hidup, melainkan untuk bersenang-senang. Mereka tidak memangsa manusia. Dalam film ini dijelaskan alasan Predator membunuh yang ternyata lebih sophisticated dari sekedar insting bertahan hidup. Ini sebenarnya mencerminkan visi dan arahan Shane Black untuk ke depannya. Jika kita lihat ending film ini, bukan sekedar asal nembak jika kita sampai berteori manusialah yang akan menjadi predator bagi Predator.

Bukan tanpa alasan jika manusia disebut sebagai predator paling berbahaya. Enggak cukup dengan memakan apa saja yang bisa dimakan untuk bertahan hidup, membuat kita predator segala resipien; jumlah mangsa paling banyak. Kita terkadang suka ‘memangsa’ sesuatu di luar kemampuan kita. Manusia ingin menangkap semuanya, lihat betapa tamaknya teknologi dan alien diperebutkan oleh tokoh-tokoh film ini.

 

 

Dimulai dengan pesawat asing crashing down, yang mengingatkan kita kepada Predator pertama, dan tentu saja dengan The Nice Guys (2016); buddy-komedi garapan Black yang kocak abis. Sama seperti film tersebut, The Predator juga punya tokoh anak jenius yang memegang peranan penting. Tapi tidak seperti film tersebut, The Predator  punya plot yang sedikit terlalu ribet untuk dirangkai. Narasi film ini lebih terasa seperti rangkaian-rangkaian kejadian alih-alih sebuah kesatuan cerita yang kohesif. Tokoh utama kita adalah Quinn McKenna seorang sniper yang diperankan oleh Boyd Holbrook. Dialah yang pertama kali menemukan pesawat alien yang jatuh saat sedang bertugas di hutan. Pemerintah tentu saja berusaha menutupi kejadian tersebut, Quinn ditangkap dan dikirim ke penjara karena menolak untuk tutup mulut. On the way, Quinn bergabung dengan tentara-tentara ‘sinting’ yang lain, untuk mengalahkan alien yang Quinn tahu bakal datang mencari benda yang ia ambil dari rongsokan pesawat. Yang tak diketahui Quinn adalah benda tersebut justru dikirim pos ke depan pintu rumahnya. Dan jatuh ke tangan Rory, anaknya. See, Jacob Tremblay di sini adalah anak berkebutuhan khusus yang bisa menyusun bidak-bidak catur yang berserakan ke posisi sebelum permainan diganggu. Armor dan benda-benda berkilat itu dimainkan oleh Rory layaknya video game. Bahkan helm alien tersebut ia kenakan sebagai kostum Halloween. Tanpa menyadari bahwa dia baru saja mengirim sinyal memberitahu Predator langsung ke alamat rumahnya.

kalo gak mau dilihat orang, pake topeng astronot aja, dek

 

 

Film ini adalah rangkaian kejar dan kabur-kaburan yang melibatkan banyak talenta, dialog dan momen kocak, serta sosok Predator yang kostumnya keren. Keputusan memakai orang alih-alih komputer memang jarang sekali menjadi keputusan yang jelek untuk film monster seperti ini. Enggak semua yang kita lihat adalah CGI, walaupun memang efek menjadi penyedap utama buat film ini. Shot, cara mati, pertempurannya, seru untuk diikuti. Pemandangan Predator yang tak-terlihat terguyur oleh darah  membuatku bertepuk tangan. Selera komedi film ini sangat klasik, nuansa monster 80annya sangat kuat. Ada satu tokoh yang bilang “I will be back” yang langsung disamber ama temennya “No, you won’t”. Dan ini lucunya meta banget. Hanya saja, di luar segala referensi dan one-liner itu, enggak banyak yang bikin kita ter-attach sama tokoh-tokohnya. Sangat susah buat kita bersimpati pada apa yang mereka hadapi, lantaran mereka sendiri tidak pernah tampak ketakutan. Mereka bercanda saja sepanjang waktu. Malah ada satu tokoh yang karakternya literally disebutin suicidal. Dan dia menyebut itu dengan tampang bangga. Jadi ketika dia benar-benar memilih untuk mati, kita enggak ada sedih-sedihnya.

Sepertinya film berusaha melakukan apa yang dilakukan oleh Taika Waititi pada franchise Thor. Taika melihat potensi komedi pada Thor, dan menggadangkan aspek tersebut, tapi Taika tidak mengecilkan porsi yang lain. Thor dan para karakter tetap dibuat emosional, dan actually tema ceritanya adalah bahwa dewa juga manusia. The Predator mencoba untuk berevolusi, Black melihat potensi komedi pada franchisenya, dan benar-benar banting setir ke arah sana. Sisi kemanusiaan karakter lupa diperhatikan. Jangankan horor, emosi yang lain pun tidak dapat kita rasakan. Ada satu tokoh yang belum pernah menyakiti orang seumur hidupnya. At one point of the story, terbunuhlah orang olehnya. Tapi film tidak membawa kita untuk menyelami perasaannya; tidak ada penyesalan, sedih, tidak ada rasa bersalah, atau malah tidak ada rasa senang ataupun mungkin lega. Film ini berpindah begitu cepat seolah kejadian-kejadian yang mereka lewati sudah tidak penting lagi karena, hey, itu Predator yang harus mereka kalahkan sudah muncul kembali.

Ada perbincangan soal menjadi ‘alien’ di planet sendiri. Predator normal dan Quinn sebenarnya berbagi perjalanan yang serupa, bahwa mereka adalah orang asing. Mereka adalah pelarian. Karena mereka tidak setuju ataupun bertentangan dengan pemerintah, dengan sebuah kesepakatan. Jadi mereka memilih cara mereka sendiri, dengan harapan mengubah hal menjadi lebih baik karena mereka tahu that they know better. Makanya pertempuran terakhir dengan Super Predator yang pada dasarnya adalah ‘polisi’ para predator menjadi sangat personal bagi Quinn. Aspek ini terlihat digunakan sebagai alasan kenapa Black membawa The Predator menjadi full action dan less-horor. Karena dia ingin berevolusi. Bahwa dia tak segan untuk menjadi berbeda di dunianya sendiri. Babak ketiga film ini memang seperti sebuah tindakan yang berkelit dari potensi horor, terasa sekali gimana film yang sadis ini enggak mau tampil menyeramkan. Drawback dari keputusan kreatif ini adalah film tidak bisa bercerita dengan baik, narasinya tidak terasa berkembang dengan alami.

Alih-alih berevolusi, apa yang dilakukan oleh Shane Black terhadap film ini malah lebih seperti ilmuwan gila yang sedang menjahit makhluk Frankeinstein. Ya, film ini makhluk tersebut; penuh jahitan.

 

 

 

 

Dengan semua materi dan talenta yang ia punya, Shane Black menyuguhkan kepada kita petualangan aksi yang kocak dan sadis dengan sosok monster, tapi tidak pernah diniatkan untuk terasa menyeramkan. Keputusan yang aneh, memang. Tapi aku tidak bisa bilang aku kecewa, karena aku sebagai penonton yang tumbuh dengan monster-monster cheesy 80-90an, sangat menikmati lelucon film ini. Tapinya lagi, kesenangan pribadi kita terhadap suatu film tidak lantas menyematkan predikat bagus terhadap film tersebut. Ada banyak aspek yang lemah pada film ini, narasinya yang tidak padu, plot yang tipis, karakter yang tampak tidak tahu emosi lain selain ngelucu. Untuk menyederhakannya; film ini terasa artifisial. Dia seperti memakai banyak armor secara serabutan. Yang menunjukkan betapa lemah ia sesungguhnya.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for THE PREDATOR.

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Apa sih kekuatan dari franchise Predator menurut kalian? Apa film Predator favoritmu?Apakah dengan membuatnya jadi kehilangan unsur seram dan total komedi Shane Black sudah membunuh franchise ini?
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

LIFE Review

“… the only form of life we have created so far is purely destructive.”

 

 

Jake Gyllenhaal di luar angkasa? C’mon gimana aku bisa bilang “tidak” kepada film ini!

Jadi ceritanya, Jake bersama Deadpool dan empat astronot lain harus stay di orbit buat mengawasi misi Mars Pilgrim 7; mencari sampel kehidupan di Planet Merah. Keenam kru harus menjemput dan memastikan spesimen organis dari planet Mars itu bisa nyampe Bumi dengan selamat, karena tentu saja itu merupakan penemuan yang sangat luar biasa. Dibawalah organisme tersebut ke stasiun luar angkasa mereka, diteliti, dirawat baik-baik. Enggak ada yang curiga dong, ketika alien imut tersebut mulai bergerak. Jake dan teman-teman malah girang, begitu juga orang-orang di Bumi. Si alien diberi nama Calvin. Namun, apa yang tadinya hanya satu sel dengan cepat berkembang menjadi susunan jaringan otot, otak, dan indera. Dan horor! Sekarang misi enam manusia itu berputar 180 derajat menjadi menjauhkan makhluk cerdas, highly adaptable, dan berbahaya ini dari Bumi, dan dari diri mereka sendiri.

Seperti kamera yang berkesinambungan ngesyut aktivitas di dalam stasiun luar angkasa pada sepuluhan menit pertama, film ini pun akan terus mendera kita dengan perasaan teror dan terkurung begitu Calvin mulai menjebol kotak penangkarannya. Discovery yang kita dapati adalah bahwa ternyata film ini enggak berniat membahas hal-hal filosofis. Ini bukan jenis film di mana Jake Gyllenhaal punya kembaran ataupun mimpi didatengin kelinci dan dia harus mencari tahu makna di balik semuanya. There’s really nothing beyond pembahasan bahwa di dunia ini kita enggak sendirian dan setiap makhluk hidup berhak atas yang namanya bertahan hidup. Life adalah HOROR SURVIVAL DI LUAR ANGKASA. Dengan kehadiran tropes standar, dirinya mungkin akan mengingkatkan kita sama Alien (1979) atau malah premisnya bikin teringat dengan game jadul Game Boy Advance; Metroid Fusion, film digarap dengan sangat capable dan punya perspektif penceritaan yang cukup berciri. I mean, kita enggak bisa ngeshoot down film ini “enggak original!” begitu saja. For once, gimana tokoh film ini ngetreat Calvin saja sudah membuatnya agak berbeda dengan survival horor kebanyakan.

“we’re not alone.. there’s more to this I know”

 

Pace yang lumayan cepet, namun tetep terasa contained. Setnya terlihat compelling dan memenjarakan, meskipun mungkin mata kita masih terbuai oleh menterengnya pesawat Passengers (2016). Kita akan menikmati perasaan terkungkung dan mencekam yang dialami oleh para tokoh. Aku enjoy ngeliat mereka main kucing-kucingan dengan Calvin yang bisa nyelip masuk ke mana-mana. In fact, ada banyak waktu ketika aku malahan ngecheer si alien yang kayak gabungan gurita dengan amuba tersebut. Karena dalam film ini, kita enggak benar-benar yakin mesti ngedukung tokoh yang mana.

Semenjak Alien memang terbit semacam tren di dalam genre survival horor bahwa semakin penonton enggak bisa menerka tokoh mana saja yang bakalan selamat, maka itu artinya film semakin sukses ngedeliver elemen aksi dan horornya. Life juga sukses bikin kita nerka-nerka siapa yang mati duluan, aku kecele juga karena tadinya kukira tokoh kulit hitam yang bakal mati duluan, malahan kayaknya di trailer aja dia udah game over hhihi, tapi enggak. Namun faktor enggak bisa nebak yang selamat ini tidaklah lantas dijadikan alasan untuk sengaja tidak mengembangkan para tokoh manusia. It would be suck buat ngeliat tokoh-tokoh hanya jadi korban gitu aja tanpa kita merasa kehilangan atas mereka. Film butuh supaya skripnya memegang satu karakter sebagai pondasi agar strukturnya bisa kuat. Dalam Life, kita bisa menyaksikan ada usaha untuk memberikan personality kepada para tokoh manusia.

Dari enam, ada tiga yang diberikan backstory. Well, ya lumayanlah dibanding kosong melompong. Yang paling menarik adalah ahli biologi Hugh Derry yang diperankan oleh Ariyon Bakare. Hugh yang kakinya cacat merasa lebih hidup di luar angkasa, dia enggak perlu pakai kursi roda di atas sini. Dan kemudian, sebagai orang yang bertanggung jawab langsung dalam mengurus Calvin, Hugh memberikan pandangan yang menarik ketika dia merasa bersalah atas apa yang sudah dilakukan oleh alien tersebut. At one point, Hugh tampaknya sudah terattach secara emosional kepada Calvin.

Sudah seperti orangtua dengan anaknya sendiri. Hugh ngerasa bertanggung jawab karena dia yang sudah memberikan kesempatan hidup buat Calvin. Eventually ini menjadi konflik moral yang sempet disinggung sekilas banget oleh film; seperti apakah tepatnya tanggungjawab tersebut, apakah dengan memberikan hidup maka kita juga yang bertugas untuk menghentikannya. Tidak seperti hape – setiap kali kita ngecharge, kita meniupkan kehidupan kepada baterainya, Calvin actually adalah makhluk hidup yang berhak untuk bertahan. Sayang memang film ini tidak menggali lebih jauh soal hubungan menarik yang terbentuk antara Hugh dengan Calvin.

 

Sesungguhnya ada orangtua beneran dalam ensemble ini, tokoh yang dimainkan oleh Hiroyuki Sanada adalah seorang yang baru saja menjadi bapak. Namun backstory personal ini tidak berkembang lebih jauh karena kelahiran putranya tersebut hanya digunakan sebagai pemantik emosi. Kesempatan besar juga dilewatkan dalam penanganan karakter Jake Gyllenhaal. Dia memerankan David, seorang dokter yang actually sudah berada di sana selama 473 hari, paling lama di antara rekan-rekannya. David begitu betah di luar angkasa, dia enggan balik ke Bumi, dan alasan di balik itu semua cukup menarik; dia enggak tahan melihat apa yang bisa kita lakukan terhadap sesama. Dokter ini sangat terpukul setelah apa yang ia saksikan saat dikirim ke medan peperangan. Sayangnya, motivasi dan traits personal David enggak pernah sekalipun dikaitkan sebagai lapisan cerita. Hanya dibahas begitu saja, dan tidak hingga di akhir backstorynya ini memberikan impact.
Selebihnya ya, mereka cuma ada di sana, dengan peran minimal masing-masing. Ryan Reynolds di sini hanyalah seorang astronot realis yang keren penuh komentar lucu. PENGARAKTERAN YANG TIPIS BANGET. Kharisma dan kemampuan para aktor yang membuat film ini watchable.

Atau mungkin, kita beneran betah duduk lantaran ingin melihat gimana aktor-aktor tersebut menemui ajal. Bukan bermaksud sadis, tapi memang film ini mendadak menjadi KREATIF SAAT PARA TOKOH MENEMUI AJAL. Cara matinya, gimana mereka ngesyut adegan mati tersebut, lumayan unik. Lagian, kita juga enggak bisa jadi lebih peduli lagi sama mereka. So much for survival thing, kita malah dibuat penasaran pada apa yang bisa dilakukan oleh Calvin. Meskipun disebutkan sebagai makhluk karbon seperti manusia, sepanjang film kita akan melihat alien ini ngelakuin hal luar biasa, dia tahan api, dia bisa mencerna tikus dengan cepat bulat-bulat, dia bisa ‘tahan napas’ di outer space. Kontras banget sama tokoh manusia yang kerap mengambil keputusan-keputusan yang bego. Pada satu sekuen Calvin meloloskan diri, ada seorang tokoh yang terus mengambil tindakan yang bakal bikin kita jerit-jerit stress. Satu sekuen loh itu bayangkan, apa yang mau didukung dari karakter manusianya coba! Orang-orang pintar ini kayak pada berlomba nyari cara paling bloon buat mati.

“dumb ways to die, so many dumb ways to die”

 

Soal twist endingnya, aku enggak tahu, it did feels like they want to push it into a sequel tapi aku enggak yakin. Apakah endingnya resolving a plot? Aku enggak mau spoiler banyak, tapi in a way, iya, ada tokoh yang plotnya, istilahnya, ‘kebales’. Apakah ending ini stupid? Jawabannya iya juga, wakwaw banget, kerasa film ini dibuat ya cuma supaya mereka bisa seru-seruan dengan bagian akhir ini. Kayak saat pitching mereka bilang gini “gimana kalo kita bikin film alien seru kayak Alien, tapi endingnya dibikin mirip-mirip Gravity, gini nih sini deh aku bisikin…” dan voila, film ini lantas diperjuangkan untuk hidup supaya adegan surprise ini terlaksana. Apakah endingnya ini worked? Iya juga, ini bekerja sebagai paradoks tentang kehancuran manusia akan datang sebagai akibat dari apa yang kita hidupkan.

Hidup adalah proses. Bukan hanya pengciptaan, melainkan juga kehancuran. Pada akhirnya ini adalah soal siapa yang memiliki naluri bertahan yang paling kuat. Siapa yang rela menghancurkan demi kelangsungan. Apakah manusia akan punah jika suatu saat ada spesies yang lebih ‘canggih’ sekaligus lebih ‘primal’ seperti Calvin? Atau sebaliknya, apakah kehancuran adalah satu-satunya bentuk kehidupan yang bisa kita ‘hidupkan’?

 

 

 
Film ini mengembalikan kita kepada citarasa alien tradisional setelah kedatangan Arrival (2016) yang begitu berbeda. It is a fast-paced, confined-space survival horror yang tau persis apa yang ia lakukan. Tone dan arahannya ketat menghasilkan petualangan hidup-mati yang mendebarkan. Namun tidak banyak yang terkandung di dalamnya. Enggak kosong total sih; setengah berisi, dan film ini pun tidak ingin disibukkan dengan mengisi sampai penuh. Dia malah kelihatan lemah saat berusaha menjadi sedikit berbobot. Ditambah dengan banyaknya bad decisions yang dilakukan oleh para tokoh, film ini tampaknya justru hidup dengan membiarkan mereka mati.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for LIFE.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 
We? We be the judge.

ARRIVAL Review

“A different language is a different vision of life”

 

arrival-poster

 

Apa yang tidak kita bicarakan ketika sedang membicarakan film-film tentang alien?  Haha yea, bahasa. Inggris serta merta jadi bahasa universal enggak peduli kalian berasal dari Mars, Tatooine, ataupun dari Namek. Masalah perbedaan bahasa, kalopun ada, biasanya dapat dengan mudah dijembatan dengan inserting alat penerjemah teknologi tinggi ke dalam cerita, kayak chip translator yang dimiliki oleh semua prajurit Andalite di Animorphs.

Arrival hadir dengan actually menekankan kepada MASALAH BAHASA ini. Diceritakan dua belas aircraft misterius telah mendarat begitu saja di berbagai belahan dunia. Tidak ada yang tahu apa maunya alien-alien yang mirip gurita berkaki-tujuh tersebut mendarat di sini. Apa mereka mau berwisata? Apa ada niat mempelajari Bumi? Apa mereka datang mau gandain uang? Apakah mereka datang dengan damai? Atau mau ngajakin ribut? Jadi, PBB mengirim Louise Banks, ahli bahasa di suatu universitas, untuk masuk ke dalam ‘pesawat’ para heptapod. Mencoba berkomunikasi dengan mereka. Arrival bukanlah film invasi alien dengan banyak aksi-aksi heboh. Kita tidak akan melihat tembak-tembakan photon laser atau semacamnya. Film ini lebih kepada DRAMA PENUH SUSPENS dengan pusat gravitasi kepada karakterisasi. What we will see adalah Banks berkutat ngajarin para alien membaca dan belajar bahasa mereka.

ini ibu Budi ?
ini ibu Budi?

 

Bahasa hanyalah salah satu dari sekian banyak lapisan cerita yang dimiliki oleh Arrival. Kita akan diperlihatkan bahwa belajar bahasa sebenarnya lebih dari sekadar melafal dan menghapalkan kosa kata baru. Namun juga belajar memahami cara berpikir yang berbeda. Kita tidak bisa langsung menerjemahkan meski sudah tahu all the words. ‘Masuk angin’ tidak bisa dinggriskan begitu saja menjadi ‘enter wind’. Seorang youtuber, Malinda Kathleen, punya channel yang isinya meng-googletranslate lirik lagu ke dalam berbagai bahasa, kemudian menginggriskannya kembali, dan menyanyikan hasilnya; jadinya kocak. Bahasa bukan hanya kosa kata, it is a way of thinking. Dengan menyadari hal tersebut, Banks bisa dengan relatif lebih cepat mengerti apa yang coba dikatakan oleh alien. In regards kepada cerita tentang usaha berkomunikasi dengan makhluk asing ini, Arrival punya pesan yang bagus soal gimana bahasa sejatinya adalah alat paling ampuh untuk menyelesaikan masalah, bukan malah untuk menimbulkan dan manas-manasin suatu problem.

Dalam hubungannya langsung dengan komunikasi, film ini serta merta membahas kerja sama. There are a lot of tensions yang justru datangnya berasal dari kegagalan manusia – yang bahasanya sudah seragam – menyeleraskan cara berpikir mereka. Like, kita bahkan seringkali gagal berbicara meski sudah gunakan bahasa yang sama. KERJA SAMA INTERNASIONL dan gimana masing-masing negara harus mengenyahkan perbedaan mereka, sekali ini saja. Sutradara Denis Villeneuve sukses berat mengeset tensi sedari babak pertama. Bukan hanya kita dibawa belajar perlahan mengenai tokoh utama dan masalah pribadi yang membayanginya. Kita juga diperlihatkan sense kepanikan massal ketika film terkadang nunjukin laporan berita dari seluruh dunia. Kita wondering apa yang sedang terjadi. Ketakutan akan hal yang tidak kita ketahui, there is a hint of that kind of struggle yang diperlihatkan dengan compelling oleh film ini.

Akan tetapi, sesungguhnya pikiran kita akan dipermainkan oleh film ini. Karena begitu sampai di babak ketiga, akan ada pengungkapan yang bakal membuat kita memikirkan ulang apa yang sebenarnya terjadi. Dan itulah sebabnya kenapa tidak salah kalo ada yang bilang Arrival mempunyai penceritaan yang luar biasa. Ini adalah bentuk bercerita yang sangat unik, karena begitu kita mengerti apa yang tejadi di akhir, kita akan segera melihat keseluruhan film ini sebagai sesuatu yang berbeda. Semua akan menjadi mind-blowingly masuk akal, jika kita benar-benar memperhatikan detil sedari adegan yang pertama.

Seperti nama Hannah, kata malam, kodok, atau telolet, film ini sendiripun adalah sebuah palindrom. Kita bisa membacanya dari dua arah, dengan tetap mendapatkan pengertian yang sama.

 

Benar, film ini bercerita tentang apa yang rasa takut bisa lakukan terhadap manusia. Ketakutan membuat kita berjuang. Tetapi, sebagaimana kalimat yang diucapkan Banks menjelang akhir, at its core, film ini menantang kita dengan pertanyaan “beneran yang ditakutin adalah the unknown?” Gimana kalo kita sudah tahu apa yang bakal terjadi, apakah kita masih sudi untuk terus melanjutkan hidup? Proses lebih penting daripada hasil akhir, dan dalam kamus film ini tidak ada frasa ‘hasil akhir’. Semuanya adalah lingkaran besar.

Perjalanan Banks sebagai karakter adalah sebuah realisasi perlahan akan tema besar yang diusung; soal tanggung jawab dan kehendak personal. Flashback kehidupan pribadi Banks yang kita lihat actually bukanlah flashback, melainkan sekelabatan masa depan yang dia kenang. Nah lo, aneh kan! Persepsi Banks teralterasi; Dengan mengerti bahasa spesies asing, dia jadi mengerti gimana cara mereka memandang dunia. Narasi menjermahkan hal tersebut dengan Banks yang jadi melihat waktu di luar urutan-kejadiannya, persis seperti para heptapod mengexperience dimensi waktu. Banks melihat gimana nanti suami meninggalkan dirinya. Banks melihat putri mereka meninggal jauh sebelum si putri dilahirkan (or even direncanain). Yang dilakukan Banks adalah contoh betapa kuatnya manusia bisa mengontrol kehendak; Banks memilih untuk tidak mengubah masa depan, dan dengan melakukan hal tersebut Banks bukan hanya memastikan namun juga menciptakan masa depan, that she is responsible terhadap masa depannya sendiri. Sebagaimana kita juga seharusnya begitu.

Hiduplah dengan menghargai setiap momen. Karena setiap pilihan kita dalam menjalani hidup adalah tindakan yang tak-ternilai for kita harusnya melihat hidup sebagai sebuah perjalanan.Manusia memang terbentuk dari kenangan, namun pilihan kitalah yang menentukan. Ini adalah soal menerima what’s to come. Soal memahami pilihan-pilihan dalam kehidupan.

 

Ada begitu banyak aspek yang bisa kita apresiasi. Sinematografinya adalah salah satu yang terbaik dari yang kulihat di tahun 2016. Terutama saat kita diperlihatkan ‘pesawat’ alien tersebut untuk pertama kali. Seluruh padang terhampar luas dengan benda asin besar di tengah, belum lagi asap/kabut yang mengelilingi daerah sekitar. Semua yang ada di layar pada shot tersebut sungguh-sungguh breathtaking. Film ini really take time ngesyut adegan-adegannya. Pacenya disengajakan lambat supaya kita bisa menikmati setiap detiknya. Sehingga tidak ada satu visual beauty pun, along dengan purposenya, yang terlewatkan. Dan actually, jika kita menikmati gorgeousnya keindahan tersebut, adegan demi adegan, film ini enggak lagi terasa lambat-lambat amat.

Aku bahkan gak bisa ngajarin kucing duduk tanpa kena cakar
Aku bahkan gak bisa ngajarin kucing duduk tanpa kena cakar

 

Keseluruhan film benar-benar dipikul oleh penampilan Amy Adams dengan progresi karakternya yang tak-biasa sebagai Louise Banks. Interaksinya dengan makhluk tersebut terlihat sangat berdeterminasi, while also kita bisa merasakan trouble di dalam dirinya yang membuat Banks vulnerable as a person. Aku mengerti sebuah film butuh untuk benar-benar menggali tokoh utamanya secara personal, namun dalam film ini, aspek bercerita tersebut berdampak sedikit mengecewakan. Amy Adams is great dan aku juga mengapresiasi karakternya, hanya saja film ini turns out jadi lebih banyak tentang Banks sehingga semua aspek yang lain terasa diburu-buruin. Jawaban atas pertanyaan gede “Kenapa para alien berada di sini?” kayak dilempar begitu saja, kita harus memprosesnya dengan cepat, karena cerita akan segera melupakannya. Begitu kita bisa menjawab pertanyaan tersebut ; aspek aliennya, jadi enggak begitu penting lagi. It is just a device buat simbolisme, yang by the way adalah simbolisme yang great.

Louise Banks juga nyisakan sedikit kali kerjaan untuk ‘tokoh-tokoh’ yang lain. Ada banyak dari pendukung yang cuma terasa sebagai penambah suspens drama. You know, they are so left out. Banyak tokoh yang gegabah ngambil keputusan. Kemudian tindakannya tersebut enggak berdampak gede, it didn’t really build up to something ataupun enggak benar-benar ngefek ke cerita film. Tokoh yang diperankan oleh Jeremy Renner; Ian Donnelly, scientist yang turut dikirim bareng Banks, malah literally bilang dia enggak tau apa yang bakal terjadi kepada tim mereka jika tidak ada Banks di sana. Karakter Ian bland banget, kayak ikut-ikutan doang. Hanya satu kali Ian berguna, he figured out something useful tanpa bantuan, selebihnya, tokoh Ian tak lebih dari nampang di background, tanpa memberikan hal yang benar-benar penting sebagai seorang karakter.

 

 

 

Begitu kita paham the way certain things are going in the background, kita akan bisa melihat film ini dengan berani mengambil cara yang berbeda dalam bercerita. Visual yang menakjubkan, performance yang hebat, meski karakter yang benar-benar patut disimak cuma tokohnya si Amy Adams. Penampakan alien dalam film ini akan selalu sukses bikin kita takjub. Aspek paling luar biasa dari film ini adalah gimana babak ketiganya membuat kita memikirkan ulang keseluruhan film ini. That there’s a bigger message yang ingin disampaikan di balik lapisan narasinya. Namun the subtlety tends to get lost in the translation as cerita lebih favor untuk mengeksplor tokoh utama, membuat aspek-aspek yang lain terasa rushed. Kendatipun begitu, untuk sebuah film tentang alien, film ini termasuk di urutan teratas berkat how different and thought-provoking it is.
The Palace of Wisdom gives 7.5 gold stars out of 10 for ARRIVAL.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners
and there are losers.

 

 

 

 

 
We? We be the judge.