“He who fights and runs away may live to fight another day.”
Dunia memang terlalu besar untuk ditinggali sendiri, manusia harus belajar untuk hidup harmoni bersama makhluk lain. Begitulah pretty much konsep dari film-film creature atau monster. Godzilla pun lahir dengan latar belakang yang serupa. Dinosaurus-like, monster raksasa, dianggap sebagai setengah-dewa penghancur setengah-dewa pelindung Bumi dari monster/kaiju lain. Manusia dalam cerita monster seperti Godzilla harus co-exist dengan makhluk yang terganggu oleh polusi atau teknologi tak-bertanggungjawab yang kita ciptakan. Lucunya, dunia perfilman juga ternyata terlalu besar untuk ditinggali oleh satu jenis film Godzilla. Kita harus belajar untuk hidup harmoni dengan tipe-tipe film tersebut. Ada film Godzilla yang cheesy, yang isinya monster raksasa saling bertarung, dengan karakter manusia sok asik for the sake of ‘entertainment’ (misalnya Godzilla X Kong baru-baru ini), dan ada juga film Godzilla yang lebih ‘serius’. Karya Takashi Yamazaki ini masuk ke dalam tipe kedua. Godzilla Minus One tidak semata bersandar pada aksi monster yang ridiculously gede, melainkan berfokus kepada kisah kemanusiaan yang hidup menyertainya. Minus One pada judulnya merujuk kepada keadaan manusia Jepang yang luluhlantak oleh perang, dan mereka masih harus berhadapan dengan kemunculan Godzilla yang set them more far back, karena monster ini justru muncul saat manusia-manusia itu berusaha membangun hidup dari nol.
Untuk meng-emphasize poin keadaan hidup di bawah garis nol tersebut lebih jauh, Godzilla Minus One memanggil protagonis kepada Shikishima, seorang pilot tempur pesawat bunuh diri, yang mangkir dari misinya di akhir Perang Dunia II. Shikishima berdalih ada yang rusak di pesawatnya sehingga dia mendarat di pulau untuk reparasi oleh teknisi militer di sana. Di pulau itulah, malamnya, Shikishima pertama kali bertatap muka dengan Godzilla. Monster itu menyerang pulau, dan sekali lagi Shikishima mempertontonkan kepengecutannya dengan tidak sanggup menembak Godzilla dengan senjata di pesawat. Sejak itu, Shikishima hidup dengan rasa bersalah menggerogoti hati. Cerita Godzilla Minus One berpusat pada Shikishima yang tinggal di puing bekas rumah orangtuanya, bersama seorang perempuan asing dan anak kecil yang butuh pertolongan. Shikishima menampung mereka, mereka hidup bersama, tapi Shikishima tidak mau menganggap ataupun menjadikan mereka sebagai keluarga. Karena Shikishima belum selesai dengan ‘perang personalnya’. Godzilla di cerita Shikishima bertindak sebagai perwujudan yang harus dikalahkan oleh Shikishima dalam journey personalnya. Shikishima bekerja jadi penyapu ranjau di laut, dan di sanalah kesempatannya bertemu sekali lagi dengan Godzilla. Bertekad untuk tidak lagi kabur, Shikishima sekarang berniat untuk benar-benar mengorbankan dirinya, demi masa depan tanpa Godzilla.
Biasanya nonton film monster kayak Godzilla ini kita suka kesel kalo Godzilla-nya hanya muncul sebentar. Tapi hal tersebut tidak pernah menjadi masalah pada film ini. Godzilla-nya memang hanya muncul sebentar saja (paling cuma belasan persen dari total durasi dua jam), dan sebagian besar cerita membahas tentang kehidupan manusia, tapi film tidak pernah terasa membosankan karena bahasan manusanya benar-benar berbobot. Manusia di film ini tidak seperti pada Godzilla X Kong: The New Empire, misalnya, yang cuma sok eksentrik dan dialog-dialog one-liner yang sok asik. Manusia di film ini adalah hati, bahasannya grounded, real, dan kita akan benar-benar peduli dengan mereka. Dialog film ini tidak berisi mumbo-jumbo teknologi yang harus dicari oleh tim manusia untuk mengalahkan Godzilla atau monster lainnya. Tidak ada tempo supercepat ala Hollywood yang terkesan kayak memburu-burukan cerita yang hampa supaya cepat sampai ke bagian monster raksasa. Godzilla Minus One adalah bahasan karakter yang meluangkan waktu untuk membawa kita menyelami karakternya. Kita dibuat peduli sama Shikishima yang bercela. Kita dibuat ingin dia hidup berkeluarga melupakan rasa bersalahnya, tapi sekaligus kita juga pengen dia berhasil mengalahkan rasa bersalah itu tanpa mempertaruhkan keluarganya.
Memang, tidak semua orang menganggap kabur dari battle adalah perbuatan membanggakan. Apalagi orang yang dibesarkan dengan prinsip harga diri dan pride tinggi seperti Shikishima, sang prajurit Jepang. Negara di mana bunuh diri demi perjuangan dipandang sebagai hal terhormat. Sepertinya inilah salah satu gagasan yang diusung film terhadap budaya negaranya tersebut. Bahwa bunuh diri, kendati terhormat, bukan lantas jadi satu-satunya bentuk mulia perjuangan. Bahwa ada satu aspek lain yang tak kalah pentingnya, yaitu survive supaya bisa terus melanjutkan perjuangan. Journey Shikishima dan karakter lain di film ini merupakan penyadaran terhadap hal tersebut, bahwa nyawa berharga bukan untuk dikorbankan, melainkan untuk diperjuangkan.
Sehingga sebenarnya yang jadi antagonis di dalam cerita ini bukanlah semata Godzilla. Melainkan prinsip mengorbankan diri yang telah jadi tradisi di negara itu sendiri. Para manusia harus ‘mengalahkan’ prinsip tersebut sebelum bisa mengalahkan Godzilla. Makanya film ini terasa lebih membesar lagi. Perjuangan manusia-manusia Jepang dalam menghalau Godzilla, digambarkan sebagai perjuangan kolektif masyarakat. Situasi negara setelah Perang Dunia II dijadikan panggung yang mempush warga untuk segera melakukan tindakan sendiri, karena negara tidak bisa langsung turun tangan. Kita lihat veteran perang seperti Shikishima berembuk untuk menyusun siasat mengalahkan Godzilla, kita lihat ada percikan drama sehubungan dengan pilihan mereka untuk kembali mempertaruhkan nyawa, mempertanyakan apakah kali ini untuk negara atau bukan. Bagi mereka ini sudah bukan lagi soal patriotisme, melainkan hal yang lebih personal. Film bahkan menyebut betapa ‘cerahnya’ wajah para pejuang ketika mereka bekerja di kapalPerundingan siasat ini nyatanya lebih menarik dan lebih kita mengerti ketimbang misalnya obrolan tetek bengek sci fi yang biasa kita temui pada Godzilla versi Hollywood. Film Jepang ini paham untuk membuatnya tetap pada gagasan dan tema, sehingga bahkan ketika tersempil paparan untuk majunya plot pun, film ini tidak terasa terbebani.
Dan ketika beneran sudah memperlihatkan aksi-aksi manusia berusaha survive dari monster raksasa, film ini pun tetap bertaring. Efek visual nya memang tidak mentereng, spektakelnya memang tidak bombastis, tapi bukan berarti yang disajikan film ini hiburan B-Class. Justru, demi menyeimbangkan dengan cerita yang grounded, visual film ini dibuat dengan sense realisme yang tinggi. Lihat saja adegan ketika kapal rongsok penyapu ranjau yang dinaiki Shikishima dan tiga rekannya dikejar oleh Godzilla. Feelingnya intense banget, padahal yang kelihatan dari Godzilla itu cuma duri-duri di punggung dan puncak kepalanya. Terakhir kali ngerasain kayak gitu di film creature, ya pas film Jaws yang hiunya irit, tapi dread dan impact keberadaannya menguar dari karakter manusia. Build up Minus One inipun gak ada minus-minusnya, mereka membangun kemampuan Godzilla lalu kemudian ngasih punchline sedemikian rupa. Ketika Godzilla hendak menembakkan nuklirnya, misalnya, kita diperlihatkan gimana tubuhnya ‘ngecharge’ dan kemudian ketika dia menembak, efeknya begitu dahsyat. Sehingga ketika next sequence kita melihat Godzilla ‘ngecharge’ lagi, kita ikut khawatir akan dampak yang bisa ditimbulkan. Sound dan musiknya juga bekerja dengan sangat efektif membangun suasana. Baik itu di malam hari, di laut, ataupun di kota, film ini berani dan selalu punya cara unik dalam menampilkan Godzilla. Beberapa adegan mungkin ada yang tampak terlalu ‘anime’, tapi itu hanya karena perbedaan gaya atau pendekatan khas Jepang dengan film Godzilla versi Hollywood yang biasa kita saksikan.
Clearly, Godzilla yang satu ini dikepalai oleh orang-orang yang paham betul bagaimana membuat fantasi kaiju raksasa bisa co-exist dengan cerita dengan penokohan dan bahasan yang berbobot. Yang membuat film ini jadi luar biasa bagus adalah cara mereka menghadirkan manusia dan Godzilla di dunia yang sama dengan kepentingan yang saling tak tergantikan, sementara juga mengambil resiko dengan tidak benar-benar bersandar kepada spektakle monster dalam menyuguhkan kisahnya. Cerita bertapak pada manusia dengan perspektif dan identitas lokal yang kuat, tentang posisi mereka pada situasi terendah setelah perang, dan Godzilla jadi brutal force yang menguji pandangan hidup mereka. For di antara mereka masih ada yang belum tuntas dengan ‘perangnya pribadi’. Ketika menyuguhkan Godzillanya, film ini juga tidak main-main. Craft mereka menghidupkan Godzilla di dunia Jepang 1940an pantes banget diganjar awards – dan memanglah film ini layak menjadi film Godzilla pertama yang memenangi piala Oscar untuk Visual Efek Terbaik. Yang membuat, film ini bukan saja berhasil menjadi sajian fantasi sci-fi, tapi sekaligus berhasil sebagai period piece perang! Melihat Godzilla di film ini bukan sekadar seru karena besar, dan epic karena pertarungannya dahsyat. Tapi, yang lebih penting, melihat Godzilla di sini, perasaan kita akan tergugah. Takjub dan takut bergulir menjadi satu. Mungkin seperti menonton film inilah rasanya melihat Godzilla sungguhan; beautiful, majestic, tapi juga begitu menakutkan sampai menggetarkan hati.
The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold stars for GODZILLA MINUS ONE.
That’s all we have for now.
Menurut kalian apakah makna Godzilla sebagai simbol bagi lingkungan ataupun kepercayaan masyarakat?
Bagi kalian melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp
Remember, in life there are winners. And there are losers.
We? We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL
Kita sudah masuk bulan kedua di tahun yang baru, so how’s 2024 treating you so far? Adakah resolusi yang sudah beres? Atau masih banyak yang kangen sama tahun 2023? Well, untuk itulah award ini diadakan. Dua belas tahun yang lalu, aku pikir, gimana caranya menghimpun semua kejadian di tahun yang udah lewat dengan cara yang gak boring ya? Jadi, ya, pertama, My Dirt Sheet Awards bukan exactly kayak award film, tapi sebenarnya lebih seperti kaleidoskop tahunan yang merangkum apa-apa saja yang terjadi selama setahun. Kedua, award ini memang sudah setua itu. Dua belas tahun. Satu dua. Tu, Wa!
Dan demi benar seperti orang-orang tua berkata; yang penting semangatnya. Tahun baru berarti semangat baru. Semangat untuk terus menjadi lebih baik. Untuk itu, marilah kita meriahkan dulu award yang agak lain ini. Supaya kita ingat apa yang harusnya diperbaiki, dipertahankan, ditinggalkan, atau juga yang tidak divote saat Pemilu mendatang. Siap? Tu, Wa, ga, pat!!
TRENDING OF THE YEAR
2023 sama seperti tahun-tahun lain, akan dikenang baik itu dari baik maupun buruknya. Berikut nominasi dari hal-hal yang sukses ngetren ketika itu: 1. Barbenheimer Ketika film Barbie dan Oppenheimer rilis di waktu berbarengan, terjadilah fenomena luar biasa. Bioskop meledak karena dua film ini bukannya saingan, tapi malah jadi perayaan sinefil sejagat raya! 2. Chipi Chipi Chapa Chapa Mungkin inilah power TikTok. Lagu random dari tahun-tahun yang lalu, dari mana saja, bisa tiba-tiba populer dan seketika jadi meme viral. Seperti lagu anak 2000an yang penggalannya dipakai untuk bikin video kucing nari ini. 3. Grimace Shake Untuk peringati ultah salah satu maskotnya, McDonald di Amerika bikin menu minuman khusus berwarna ungu (sesuai warna Grimace, si maskot). Dan remaja di sana dengan kreativitas mereka bikin tren video-video efek ‘mengerikan’ dari meminumnya 4. Iklan Indro “Don’t Know? Kasih No!” Disebut-sebut sebagai iklan dengan copywriting terkreatif, iklan BCA yang nampilin Indro Warkop dan plesetan nama teman segrupnya jadi viral, karena selain fun iklan ini benar-benar lebih efektif ngasih edukasi tentang penipuan data-data digital 5. Joget Gemoy Dari film Popstar: Never Stop Never Stopping (2015) kita belajar, orang yang gak punya substance, maka yang bisa ia jual cuma stage act. Dan sayangnya, gimmick-gimmick begitu cenderung berhasil. Lihat saja senjata andalan Prabowo untuk nyapres ini. Joget yang sukses viral! 6. Kasus Penganiayaan David Memang bukan sekali ini kasus kriminal berhasil trending dan jadi bahasan masyarakat. Kayaknya hampir tiap tahun ada ya..ngeri… Kali ini kasusnya adalah pengeroyokan remaja, yang diduga dilakukan oleh anak-anak petinggi, atas hasutan perempuan yang juga bukan anak orang sembarangan, apparently. 7. Masbro Capybara Capybara yang asli Amerika Selatan terkenal lantaran tampangnya yang nyante jadi poster buat meme lucu, masuk ke Indonesia namanya ditambah “masbro” saking nyantenya tampang makhluk lucu itu 8. Putri Ariani Anak bangsa yang menggapai prestasi di ajang America’s Got Talent. Sukses jadi juara keempat. Dan video penampilannya itu telah ditonton lebih dari 50 juta kali
Kita semua berharap piala itu jatuh ke yang baik. Dan inilah pemenang The Dirtys pertama kali ini:Boom!! Sebagai penonton film, tentu fenomena Barbenheimer akan terus teringat olehku. Film-film ini menyatukan sinefil-sinefil yang suka berantem selera itu. Plus, Barbenheimer bikin orang kreatif dengan berbagai macam fan-art, poster editan, dan segala macam kaos dan asesoris.
Setelah penayangannya, film Barbie dan Oppenheimer tinggal mendulang kesuksesan masing-masing. Kayak di award ini, Barbie actually memecahkan rekor. Dua karakter ceritanya, Barbie dan Ken, actually berhasil menjadi pasangan pertama dalam sejarah dua belas tahun award ini, yang masuk nominasi Couple dan Feud – dua nominasi yang sangat berseberangan – dalam satu tahun yang sama! Berhasilkah mereka memenangkannya? Kita langsung lihat saja
COUPLE OF THE YEAR
Nominasinya adalah: 1. Bagus & Hana Pasangan yang membuktikan romantis itu bukan milik anak muda saja 2. Barbie & Ken Dua orang yang tercipta sebagai pasangan, akan terpatri untuk menjadi sahabat baik selamanya… iya kan? 3. Buya Hamka & Siti Raham Lambang kesetiaan cinta yang kembali diangkat dan diabadikan lewat film Buya Hamka 4. Ember & Wade Dalam hubungan yang penting adalah saling mengisi, dua elemen yang berbeda bisa menghasilkan chemistry luar biasa 5. Maddie & Percy Mereka awalnya boleh awkward dan agak red flag, tapi disatukan karena mentally, mereka saling butuh satu sama lain 6. Scott & Ramona Scott harus ngalahin tujuh mantan Ramona sebelum mereka bisa resmi pacaran! 7. Sherina & Sadam
Dua sahabat yang sepertinya ditakdirkan bersama, ah, pasti banyak banget yang nungguin mereka jadian 8. Suzume & Shouta Jika kisah cinta itu magical, maka apalagi yang lebih magical dari petualangan Suzume dan Shota – yang sempat jadi kursi anak TK?
Memang dalam cinta, kedua pihak harus sama-sama memperjuangkannya. Maka The Dirty kategori sweet ini diberikan kepadaaa
Dalam serial Netflixnya, diceritakan Ramona juga ternyata berjuang mati-matian untuk berdamai dengan masa lalu sebelum bisa menerima Scott. Love is some fight! Congrats guys, sekarang, pergilah sana beli coklat…
FEUD OF THE YEAR
Kategori ini nominasinya agak beda dari biasanya yang memang antara dua pihak. Sekarang, karena makin hobinya orang nyari ribut, seteru itu bisa datang dari antara orang dengan ide. Bayangkan! 1. Childfree vs. Parents Paham ‘banyak anak banyak rezeki” ditantang oleh paham kekinian yang katanya lebih baik tidak punya anak sama sekali 2. Elon Musk vs. Mark Zuckerberg Mark Zuckerberg bikin platform tandingan X (alias Twitter) yaitu Thread untuk pengguna Instagram. Digadangkan sebagai Pembunuh Twitter, Mark lalu terang-terangan menantang – dan disambut oleh Elon. Mau berantem fisik ala MMA, malah cage match juga katanya 3. Founding Titan Eren vs. Everyone Akhir serial Attack on Titan mempertarungkan Eren yang udah jadi Titan ‘raksasa’ yang pengen meluluhlantakkan bumi, melawan semua orang yang berusaha menyetop gagasannya. Klasik protagonis jadi antagonis 4. K-Popers vs. Fans Bola Rebutan stadion bola. Fans bola gak terima ketika stadion dipake buat acara konser-konseran seperti K-Pop 5. Ken vs. Barbie Merasa kurang diapreasiasi, Ken yang salah kaprah belajar soal maskulinitas berbalik jadi berusaha menguasai Barbie dengan sistem patriarki 6. Masjid vs. Transportasi Umum Di ujung masa jabatan, Ridwan Kamil dituntut untuk mempertimbangkan pembangunan transportasi yang lebih layak, tapi dia malah memilih secara over the top membangun mesjid 7. Pemerintah Lampung vs. Kritik Bima Bima hanyalah anak muda yang mengkritik pemerintah daerahnya, tapi pemerintah Lampung langsung bereaksi kelewat defensif 8. Pemilik Resto vs. Review Jujur Pemilik resto gak diterima ketika seorang food blogger/vlogger menilai makanan dan tempatnya dengan sedikit agak terlalu jujur 9. Rachel Zegler vs. Snow White
Rachel Zegler didapuk jadi pemeran di film live action Snow White yang akan datang. Tapi dia langsung kena cancel netizen berkat komennya yang menjelek-jelekkan Snow White original. 10. SAG-AFTRA vs. AMPTP
Ribuan aktor dan pekerja film anggota SAG-AFTRA berdemo kepada asosiasi, meminta kondisi kerja yang lebih layak, serta memprotes kebijakan penggunaan artificial intelligence dalam pembuatan film yang merugikan mereka
Seteru dapat jadi bermakna, jika sampai pada konklusi yang konkrit, dan pihak yang benar yang menang. Maka The Dirty jatuh kepadaa Hampir empat bulan loh aktor dan pekerja film di Hollywood sono mogok. Mereka benar-benar menolak ‘bikin film’ lagi kalo tuntutan mereka tidak dijamin. Dan hasil dari kesepakatan mereka, tentunya bakal bikin pelaku film happy sehingga film-film diharakan bisa lebih baik lagi.
Salah satu concern terbesarnya memang berangkat dari penggunaan A.I. Perlu diakui, kalo digunakan dengan bijak, A.I. memang bisa menolong dalam bikin karya, tanpa mendegradasi seniman asli. Tapi di tangan orang kikir, pemalas, dan gak peduli sama kreasi, A.I. jadi alat gampang dan cepat menuju hasil yang padahal sebenarnya pun gak bagus-bagus amat. Tapi karena less cost, A.I. jadi sering dipilih. Pekerja kreatif beneran jadi gak kepake, padahal mereka bekerja dengan ilmu dan pake hati. Bukan hanya kumpulan data doang. Karena itulah, My Dirt Sheet Award kali ini khusus bikin satu kategori. Untuk mempermalukan yang memang udah bebal alias tidak tahu malu.
MOST SHAMELESS USE OF A.I.
Para nominee berikut ini bukannya enggak diprotes loh. Mereka cukup banyak diserang dalam berbagai rupa, ditegur, diingatkan soal A.I. tapi ya cuek aja. Maka kita kasih piala sekalian. Pilihlah di antara mereka 1. Poster promosi film; Film Pasutri Gaje Poster promosi yang langsung dihujat. Pertama, karena pake A.I. sehingga banyak elemen gambarnya yang ngaco. Dan kedua, gak nyambung ama vibe film yang tentang pasangan PNS. Lah posternya malah cyber punk! 2. Cameo para Superman; Film The Flash Gak satupun aktor pemeran Superman sebelumnya, baik yang masih hidup, maupun pihak dari yang sudah tiada, dihubungi dan mendapat persenan dari adegan yang ‘nostalgia’ di film The Flash ini. Mentang-mentang bisa tinggal pake data A.I. 3. Propaganda untuk playing victim; Israel Orang bilang semua fair dalam cinta dan perang. Mungkin itu benar. Kecuali pakai A.I. untuk sebar berita bohong demi dapat simpati dari nunjukin pihak opresor sebagai victim teraniaya 4. “Art” Hidden Words; Netizen Netizen juga ‘berdosa’. Seru-seruan main cari kata dari gambar A.I. generated, yang bahkan gak lucu. Mending main-main ama stereogram deh 5. Klip video musik; Melly Goeslaw Meski sahabat, atau teman dekat, atau mungkin sudah dapat izin, tapi ‘menghidupkan’ kembali penyanyi yang sudah meninggal untuk menjual video klip musik seolah dia hidup dan turut bernyanyi tetap terasa kurang etika. Gak cukup hanya dengan foto aja? 6. Kampanye Pemilu; Prabowo dan Gibran Mungkin karena joget itu capek, maka Prabowo dan calon wakilnya, Gibran punya senjata lain untuk menarik masa. Gambar-gambar imut buatan A.I.!!
Dan, yang paling gak tau malu, adalaahh Hampir semua materi kampanye mereka pakai gambar A.I. Lucunya, gambar-gambar ‘gemoy’ mereka itu jadi gak konsisten gaya animasinya hahaha… masa sejak nyalon aja udah tidak buka kesempatan untuk artis/pekerja manusia, tapi kampanyenya janji menyejahterakan rakyat
Daripada capek ngomongin penyalahgunaan A.I. baiknya kita beralih ngomongin karya yang benar-benar melibatkan banyak bidang ilmu dan orang-orang ahli. Kategori berikut merupakan salah satu kategori favorit, karena membahas film – dan beberapa tahun belakangan mulai melirik ke series.
BEST SCENE IN MOVIE/SERIES
Yang mana adegan favorit kalian dari jajaran nominee ini? 1. Dog Attack; film When Evil Lurks Aku gak nyangka film ini tega bikin adegan anjing peliharaan seperti begini!! 2. Drone Scene; film Jatuh Cinta Seperti di Film-Film Adegan ikonik yang bakal diingat lama sekalii oleh sinefil tanah air, semoga bisa bikin orang makin jatuh cinta sama film 3. Grave Scene; film Saltburn Satu lagi adegan tak terduga, Sutradara ama aktornya pasti sinting beneran for doing this hahaha 4. Last Ritual; serial Servant season 4 Adegan bunuh diri yang puitis sekaligus seram banget sebagai akhir dari serial ini 5. M3GAN Dance: film M3GAN Tadinya sempat ragu, ini baiknya masuk Trending atau Best Scene, saking ngetrennya! 6. Ngomel di Kolam Lele; film Budi Pekerti Aku sontak ngakak melihat Prilly tau-tau ngomel. Lele-lele itu salah apaaa 7. Overhead Gun Fight; film John Wick Chapter 4 Adegan action ala video game terbaik yang muncul bukan dalam video game, tapi malahan dalam film 8. Victory Speech; film Oppenheimer Kalo kalian ngantuk nonton Oppenheimer, shame on you, and also – kalian pasti melek di adegan ini! 9. What’s Going On; film Teenage Mutant Ninja Turtles Mutant Mayhem
Siapa sangka adegan kejar-kejaran di film KKN ini make soundtrack lagu What’s Going On, yang bukan hanya versi original lagunya, tapi juga pake versi meme-nya!! 10. Zombie Shark; film Zom 100 Bucket List of the Dead
Aku yakin kalo judul film ini Zombie Shark, film ini lebih populer. Karena exactly itulah hal paling luar biasa di film ini, kemunculan hiu berkaki yang jadi zombie!!!
And The Osca–eh salah, The Dirty goes to
Aku gak pernah nyangka Christopher Nolan juga piawai bikin adegan psikologis yang menghantui seperti ini.
Kategori Best Scene dan Feud of the Year menjadi dua kategori dengan nominasi paling banyak, Tapi sebenarnya kategori berikut ini juga punya kandidat nominasi yang gak kalah banyak. Aku sampai bengong, kalo yang paling banyak itu di antaranya adalah Feud dan Bego, berarti memang orang jaman sekarang udah terlalu banyak pake ngotot apa gimana hahaha
BEGO OF THE YEAR
Beruntung aku bisa mengkerucutkan menjadi delapan nominasi. Karena ya malu juga, kok bisa yang bego-bego bisa sebanyak itu. Soalnya, kategori ini balik ada lagi aja sebenarnya udah malu-maluin kan. Oke, inilah nominasinya 1. Asam sulfat untuk ibu hamil Kebegoan ini perlu untuk kita selebrasi supaya jadi pelajaran, jangan suka pake istilah-istilah kalo gak benar-benar paham, dan betapa salah sebut itu bisa berdampak fatal hihihi 2. Bahasa Arab dikata lagi baca do’a Al-Quran memang ditulis dalam bahasa Arab, Tapi tidak berarti semua bahasa Arab berarti bacaan ayat suci, Maliihhhh!!! 3. Bercanda bom di dalam pesawat Anak kecil baru netes mestinya juga tau, gak boleh becanda soal bom di dalam pesawat. Penumpang yang satu ini totally deserved it karena udah sok keren dengan ngelucu tanpa tau aturan. 4. Freezer daging dan Iblis pada film Para Betina Pengikut Iblis Film Para Betina Pengikut Iblis jadi satu-satunya film di 2023 yang kukasih rating F (alias bego), pertama karena penampilan konyol Adipati Dolken yang jadi iblis, dan kedua karena ada freezer daging di desa yang lampu aja susyeee 5. Generasi TikTok gak ngerti cermin Serius deh, anak sekolah sekarang belajarnya apa sih, masak cermin dikata ajaib??? 6. Jokowi dkk salah tap kartu KRL Sebagian besar waktu memang dokumentasi memang cuma berniat untuk pencitraan, tapi ya, gak bisa ngasal kayak gini jugaa 7. Prewed bakar Bromo
Gak tau deh ide dari mana konsep foto prewed di alam dengan vegetasi yang mudah terbakar, pakai kembang api. 8. Pride parade di depan anak-anak kecil C’mon mereka masih kecil. Consent aja mereka belum ngerti, jangan dijejali dulu dengan pemandangan yang bisa banyak menimbulkan keruwetan. If anything, mereka harus tau dulu mereka bisa ada karena apa.
Mungkin memang intinya adalah edukasi. Zaman sekarang edukasi kayak agak terpinggirkan, karena sekarang tu, kayak, yang penting adalah perasaan. Akibatnya ya, kayak pemenang The Dirty inii
Tadinya kupikir cuma di luar sono. Tapi ternyata di sini juga mulai ramai video-video tiktok dari anak muda yang mempertanyakan cermin. Lalu di Twitter, ramai anak muda mempertanyakan bahasa kalimat soal cerita matematika. Mereka malah nyalahin bahasa pertanyaannya, yang dianggap ribet. Dan mengingat sekarang juga era konten, aku jadi ragu sendiri mereka memang beneran gak tau atau pura-pura demi konten. Tapi yang jelas, dua-duanya itu ya tindakan yang sama-sama bego
Generasi muda perlu banyak belajar. Gak usah dari yang tua-tua. Belajar dari sesama yang muda pun sebenarnya bisa, asal tau contoh yang benar. Ini bikin aku jadi kepikiran, anak-anak sekarang punya jagoan atau suri tauladan yang sesama anak-anak gak ya? Do they even watch film tentang anak-anak atau semacamnya, anymore? Mungkin ini salah yang tua-tua juga. Begitu disconnected dengan masa muda sehingga tak bisa menuliskan karakter anak yang menarik.
BEST CHILD CHARACTER
Kategori berikut ini, adalah untuk mengapresiasi penulisan karakter-karakter anak di berbagai media, yang berbobot tanpa melupakan kodrat mereka sebagai anak-anak. Something yang apparently susah tercapai oleh sebagian besar penulis cerita. 1. Cady, dalam film M3GAN Melalui Cady yang kehilangan kedua orang tua, film M3GAN bicara tentang ketakutan terbesar anak-anak, kehilangan figur terdekat 2. Ellie, dalam serial The Last of Us Ellie anaknya lucu, berani, dan yang paling penting dia mengembalikan naluri kebapakan dan memberikan kesempatan redemption kepada Joel 3. Mahito, dalam film The Boy and the Heron Bahkan orang dewasa perlu untuk belajar bagaimana menerima kehilangan. Mahito harus dealing with that lewat petualangan di dunia yang ajaib dan tidak bisa sepenuhnya ia mengerti 4. Margaret, dalam film Are You There God? It’s Me, Margaret. Biarkan anak menemukan sendiri jalan hidupnya. Margaret yang polos, berusaha mencari cara yang benar untuk berkomunikasi dengan Tuhan, yang dia juga gak tau Tuhan mana yang benar itu 5. Nirmala, dalam game A Space for the Unbound Karakter anak paling kompleks se2023 ternyata berasal dari game. Nirmala senang menulis, tapi dilarang ayahnya, dan dia juga kehilangan sahabat. Sehingga akhirnya dia ‘kabur’ ke dalam dunia karangan dalam kepalanya sendiri 6. Sophie, dalam film Aftersun Man, ternyata nyaris semua karakter anak di sini berhubungan dengan kehilangan haha.. Bedanya Sophie ini adalah she’s all about memory
The Dirty dibawa pulang oleehhh I don’t think karakter seperti Margaret bisa ada di film atau cerita negara kita. Bahasan agama dan kepercayaan terlalu kontroversial, apalagi dengan sudut pandang anak kecil. Makanya, selain Margaret dapat award, aku juga menobatkan filmnya sebagai TOP MOVIES 2023, daftar lengkapnya bisa dibaca di sini.
Kalo dari kecil udah bener, dijamin gedenya bisa agak bener. At least, gedenya gak bakal bikin konten kayak gak tau cara kerja cermin itu lagi. Gak ngisi dunia dengan bunyi-bunyian gak penting. Speaking of it, berikut kategori untuk kuote-kuote ajaib yang paling bikin jengkel sepanjang tahun 2023. Quote yang sebenarnya cringe, gak jelas, kelihata banget gimmick/bo’ong, tapi sialnya sering banget kedengeran karena cukup populer.
MOST ANNOYING QUOTE
Nominasinya adalah: 1. “Berchandyaa” yang dipopulerkan oleh mbak-mbak UGM 2. “Chika Womp Womp” rap si Awkwafina sebagai Scuttlebutt di film The Little Mermaid 3. “Menyiapkan sebelum dunia terbangun” sesumbar XXI dalam video iklan company mereka 4. “Pelan-pelan Pak Sopir!” dari video TikTok ibu-ibu 5. “Pinjam dulu seratus” jadi meme di sosmed 6. “Semua manusia di bumi ini bingung. Nanti gak bingung kalo sudah di Surga” ngelesnya Aldi Taher
And The Dirty goes toSampe Coldplay aja keracun loh, bayangin! Ahahaha
Kategori yang satu ini, sebaliknya, merupakan suara-suara yang enak dan lucu sekali didengar karena juga diiringi dengan penampilan yang oke (yaiyalah soalnya sebagian besar juga adegan dari film xD)
BEST MUSICAL PERFORMANCE
1. Alexa Bliss nampil di acara Masked Singer “Can’t Fight the Moment”
2. Bowser “Peaches”
3. Ken “I’m Just Ken”
4. Sebastian & Ariel “Under the Sea”
5. Theater Camp Kids “Camp isn’t Home”
6. Virgo and The Sparklings “Salah”
The Dirty jatuh kepada: “Joan, still!!!!” duh ku masih bergolak haru dan triumph kalo liat adegan performance film Theater Camp itu
Sehubungan dengan anak-anak itu, aku jadi kepikiran untuk kategori khusus satu lagi. Yakni kategori kakak-adik. Atau lebih spesifik, kategori untuk kakak-adik laki dan perempuan. Kayaknya udah mulai langka cerita yang sentralnya dinamika sepasang kakak adik seperti Lupus dan Lulu. Dan kebetulan di 2023, dinamika itu seperti muncul lagi. Jadi, kukumpulkanlah mereka untuk nominasi di kategori spesial ini:
BROTHER-SISTER OF THE YEAR (LUPUS-LULU AWARD)
Yang seru dari kakak-adik cowok dan cewek ini adalah mereka gak saingan. Gak saling cemburu. Seperti Lupus dan Lulu ataupun dalam cerita Goosebumps, mereka suka saling mengganggu, saling menjahili, tapi when time gets though, mereka akan saling bantu. 1. Archie-Rose Sandford, dalam film Leave the World Behind Mereka kayak classic Goosebumps siblings. Abang yang kinda lonely, harus jagain adiknya yang obses namatin serial Friends, saat sesuatu mengerikan terjadi di dunia tempat mereka tinggal 2. Boy-Ina, dalam film Catatan si Boy Kakak beradik ini yang jadi pemicu kategori ini lahir, ngingetin aku bahwa dinamika siblings seperti mereka cukup jarang ditemui 3. Cate-Kentaro, dalam serial Monarch: Legacy of Monsters Saudara tiri yang tadinya gak tau apa-apa tentang keberadaan masing-masing. Kerjaan ayah mereka yang misterius menyangkut Godzilla yang mempertemukan mereka berdua 4. Mike-Abby, dalam film Five Nights at Freddy’s Kakak adik harus saling melindungi, dan dua bersaudara ini amat sangat melambangkan hal tersebut 5. Mindy-Chad, dalam film Scream VI Siblings favorit fans kedua dari apa yang sepertinya bakal jadi Trilogi Scream modern. Udah keturunan, toh mereka adalah sanak dari Randy, fan favorit di OG Scream 6. Nina-Kyle Morgan, dalam film The Family Plan Tadinya saling cuek, tapi begitu terlibat masa lalu ayah mereka yang ternyata superspy, Nina dan Kyle Morgan jadi dekat dan mereka jadi kompak 7. Roderick-Madeline Usher, dalam serial The Fall of the House of Usher Gak ada yang gak bisa ditempuh oleh dua bersaudara ini. Kita melihat gimana mereka ini tumbuh hingga dewasa, basically menguasai dunia bisnis, dengan melakukan hal kelam, sampai dealing with devil segala! 8. Sultan-Bilqis, dalam film Gampang Cuan Karena sayang ibu-lah, dua anak rantau bersaudara ini nekat ‘menipu’ ibu mereka dengan berpura-pura sukses dan kaya raya. Nah loh??
Piala The Dirty ini jatuh kepadaaa Gampang Cuan suprisingly bikin karakter bersaudara yang terasa real, despite hal-hal nekat yang seringkali over the top hingga menyerempet kriminal yang mereka lakukan. Berantem, marah-marahan, kompak-kompakan, saling melindungi, semuanya mereka lakukan!
Sebagai anak cowok sulung yang punya adek cewek, dan adek cowok, aku bisa mastiin punya adek itu seru. Anak sulung itu punya kewajiban, terutama menjahili adik-adiknya. Dan anak sulung punya hak tak-terbantahkan untuk, selalu jadi Player 1 kalo lagi main video game hihihi… Tapi urusan main game itu, gak enaknya jadi abang adalah seringkali harus ngalah supaya adik masih mau main dan gak nangis. So yea, kalo ada adekku yang baca ini – anytime aku kalah main game, itu aku cuma pura-pura kalah aja ahahahaha!!
GAME OF THE YEAR
Oke, serius dikit. Video Game makin ke sini, tentu saja makin keren-keren. Industri Video Game juga punya award sendiri. Dan menurutku yang masih kurang ditonjolkan ketika orang bicara video game, adalah penulisannya. Buatku, kalo diurut yang penting dari game itu, pertama gameplay-nya, kedua tingkat kesulitan, ketiga penulisan, dan terakhir baru grafik, Hmm.. semoga pengantar itu enggak ngasih spoiler terlalu banyak soal siapa yang menang di antara nominasi berikut: 1. A Space for the Unbound Pixel arts buatan Indonesia yang udah kayak slice of life fantasi ala Studio Ghibli, tapi game! 2. Blasphemous 2 Sekuel dari Blasphemous, game metroidvania yang menonjolkan estetik berdarah dari mitologi/role Christianity 3. Hogwarts’ Legacy Game open world di mana kita jadi murid Hogwarts!! Siapa yang gak mau main ini? 4. Marvel Snap Membawa kita makin kenal dengan karakter-karakter Marvel lewat permainan kartu, game untuk smartphone ini nyaris instantly populer 5. Marvel’s Spider-Man 2 Best video game dari segi teknis, betul-betul nunjukin seberapa maju teknologi video game masa kini, plus simply punya cerita dunia Spider-Man yang sangat keren 6. The Legend of Zelda: Tears of the Kingdom Kalo suka genre fantasi, game terbaru Zelda ini akan lebih bikin kita tercengang. Animasi dunianya yang luas itu sangat cakep, banyak yang berargumen game ini adalah game Zelda terbaik 7. WrestleQuest
Konsep industri pro-wrestling dijadiin cerita petualangan fantasi ala game RPG. Sebagai penggemar wrestling dan game RPG, jelas buatku ini adalah game impian!
Baiklah tanpa banyak loading-loadingan, inilah pemenangnyaaa
Di channel YouTube My Dirt Sheet aku upload playthrough game ini dari awal sampai tamat. Bagi yang udah nonton, kalian tahulah betapa tercengangnya aku sama cerita game ini. Gameplaynya standar, gambarnya pixel arts yang sederhana, retro, tapi hey siapa bilang pixel arts gak bisa cantik dan ciamik? Aku suka banget pixel arts malah, ketimbang grafik yang fotorealistik. Tapi toh memang karakter-karakternya, cerita mereka, wuih, itulah yang menonjol dari game ini. Aku benar-benar berharap ada produser film yang mengadaptasi ini jadi feature film. Tema yang dibahaspun urgent, tentang bullying, tentang persahabatan, konsep fantasinya certainly bakal jadi tantangan seru untuk filmmaker. Bener loh, jangan sampai keduluan produser film negara lain yang ngangkat game anak bangsa ini. Karena di luar sono pun, game ini populer sekali. Bangga!
Dari cantik dan berprestasi satu, ke cantik dan berprestasi yang lain, kita sampai ke kategori favoritku
UNYU OP THE YEAR
Berikut adalah nama-nama biggest crush-ku sepanjang 2023, artis-artis cewek cantik, keren, dan aku percaya bakal bersinar di kemudian hari. 1. Arla Ailani Paling suka ngeliat Arla meranin karakter galak. Tapi di tahun 2023, dia expand aktingnya dengan mainin tipe karakter berbeda di Gita Cinta dari SMA, di Pamali 2: Dusun Pocong, juga di film pendek Kalau the Series season 2 2. Cailee Spaeny Tahun 2018 lalu Cailee pernah masuk nominasi, dan dia comeback. Stronger than ever. Aku suka banget liat peningkatannya aktingnya pas main sebagai kekasih Elvis di Priscilla 3. Kaitlyn Dever Salah satu penampilan horor terbaik di 2023, Kaitlyn Dever akting maksimal di No One Will Save You, fisik dan mental. Dan dia bahkan gak bersuara di film itu! 4. Kathryn Newton Penampilannya sebagai Casey Lang, anak Ant-Man, memang gak berkesan buat penonton yang udah jenuh film superhero, tapi Kathryn termasuk langganan di nominasi ini. Kusuka karena dia ramah banget, salah satu dari sedikit sekali artis luas yang bales kalo kukirimin sketch haha 5. Melissa Barrera Aku gak ngefans-ngefans amat, tapi respekku buat pemeran utama Scream VI ini naik berkali lipat karena sikap tegasnya berani bersuara mendukung Palestina, sampai-sampai dia dipecat dari Scream. And she didn’t even flinch. You rock, girl! 6. Nell Tiger Free Nominasi Nell memang tinggal nunggu waktu. Sedari Servant season awal, aku sudah naksir, dan penampilannya di season akhir ini udah gak bisa enggak lagi. Harus masuk nominasi! 7. Zoe Colletti
Penampilannya di The Family Man benar-benar mencuri perhatian, aku bakal duduk nungguin kalo ada film barunya lagi nanti
Daaan, akhirnya The Dirty dibawa pulang oleeehhh
Arla mukanya mirip-mirip Alessia Cara gak sih? Kalo menurutku sih iyes, I guess I have a type, karena dua-duanya pernah menang kategori ini hihihi..
Dan oh how lucky I am, di 2023 pernah ketemu langsung sama Arla. ngeinterview. Orangnya ramah bangeeet, dan ini membawa kita ke kategori berikutnya, karena berkaitan.
MY MOMENT OF THE YEAR
Aku dapat tanda tangan dua pemenang Unyu op the Year dooongg. Waktu ketemu langsung sama Arla, dan waktu ikut kontes review/komen drakor terbaru Lee Eun Saem (pemenang Unyu My Dirt Sheet Awards 11) ulasan singkatku kepilih jadi 1 dari 10 fans di SE Asia yang dapat polaroid bertandatangan si Ms. Shibal bareng Yeri Red Velvet yang jadi lawan mainnya di serial BitchXRich itu. Dapatin polaroid itu perjuangan juga, karena fotonya sempat ilang di pos Bandung hahaha
Jadi walaupun ku gak lolos lomba kritik film beneran karena tulisanku memang banyak menilai filmnya ketimbang jadi laporan ilmiah pake abstrak, aku seneng-seneng aja. Toh yang jelas tahun 2023 semakin produktif. Tulisanku tentang film dimuat di Zine dari Bandung Film Commission, ada lima edisi. Konten di channel YouTube juga makin giat. Rampung 5 playthrough game, salah satunya A Space for the Unbound tadi. Trus 2023 ngapain lagi ya? Oh iya, aku bareng temen-temen di FFB juga ikut lagi Liga Komik setelah tahun sebelumnya absen, Alhamdulillah masih bisa jadi runner ups. Dan akhirnya, aku mudik ke Riau setelah 3 tahun mendekam di Bandung karena gak bisa kemana-mana selama covid.
Tapi di balik kesenangan, juga ada kesedihan. I lost my cat. Si Ucil itu kirain musim kawin seperti biasa dua minggu sekali ada hilang 3 harian, tapi ternyata November itu Ucil memang sama sekali gak pulang. Sedih sih, kayak kehilangan anak. Karena Ucil yang adek Max itu juga dirawat dari baru lahir. Lima tahun digedein, dan dia ilang tanpa pamit (ya namanya juga ilang haha) Semoga hilang karena dapat rumah baru yang lebih baik ya, Cil!
Kehilangan yang kualami memang enggak seujung kuku bagi kehilangan yang dialami banyak orang lain di tahun 2023. Ada kapal selam karam, bencana alam, bahkan penembakan. Untuk korban gempa Syria, untuk korban riot di Perancis, untuk Emak, untuk Bray Wyatt yang pergi terlalu cepat, untuk Iron Sheik, untuk anak-anak dan orang tak bersalah korban genosida di Palestina. Untuk semua yang gugur, marilah kita panjatkan doa.
Mengheningkan cipta
MOMENT OF SILENCE
….
….
Mulai!
….
….
….
….
….
….
….
….
Selesai!
Harapan kita semua tentu saja semoga ada lebih banyak cinta di dunia. Semoga damai, apapun itu perbedaan pandang bahkan perbedaan pilihan politik kita semua.
Untuk menutup award ini, satu kategori lagi akan diberikan.
SHOCKER OF THE YEAR
Kategori untuk hal-hal mengejutkan yang terjadi di sepanjang 2023. Mari kita simak runner-ups terlebih dahulu: 1. Arab jadi hijau!? 2. Ash dan Pikachu tamat! 3. Wajah Kenny South Park akhirnya di-reveal!! 4. Yugioh original (OGC) hadir untuk region Indonesia! 5. Twitter ganti nama jadi X!!! 6. Anak presiden bisa daftar cawapres dan aturan yang dibengkokkan!!!?! 7. Slank bikin lagu Polisi Baik..?! Iya, Slank yang itu!! 8. Mantan intelligence service Amerika bilang bahwa Alien beneran ada!?!! 9. Deck Exodia boomer memenangkan turnamen yugi modern!! 10. Naik bus, laptop bisa berganti jadi keramik?!!! 11. Rick and Morty justru bagus tanpa kreator originalnya!!
Semoga belum pada jantungan, sebab inilah yang paling mengejutkan
Kutak bisa ber-word-word begitu melihat judul berita itu di timeline. Kenapa gak sekalian juga ya yang gila boleh nyalon jadi presiden. Eh, apa udah juga ini?
Yang jelas, Pemilu 2024 sudah menyongsong di depan mata. Dari beberapa nominasi award ini bisa dilihat, ibarat lomba, ini adalah lomba yang sedari babak pendaftarannya jelas ada peserta yang curang, tapi lomba ini tetap dilanjutkan dan yang curang itu malah diturutin maunya. Kalo aku sih, lebih milih lombanya yang diprotes dan baru diteruskan setelah semuanya bener supaya pasti gak ada kecurangan-kecurangan susulan. But that’s just me
That’s all we have for now.
Semoga hingga akhir tahun 2024 kita semua masih menyala oleh energi positif. Atau paling enggak masih punya energi, untuk ikutan award ini tahun depan hihihi
Remember in life, there are winners. And there are losers
We still the longest reigning BLOG KRITIK TERPILIH PIALA MAYA.
Perfilman 2023 basically dibuka oleh kembang api dan ditutup dengan bom. Dan di tengah-tengahnya kita mendapati diri dikepung dua film dengan vibe sungguh bertolak belakang tapi tayang barengan sehingga malah jadi tren; Barbenheimer. Such an explosive experience! Kita punya dua film tentang Elvis, dua film tentang alien, film-film tentang perilaku sosial media, setidaknya ada dua ‘surat cinta’. Tiga film yang bermain dengan konsep hitam putih. Dan banyak animasi groundbreaking lewat gaya visual mereka. Tahun 2023 rame oleh cerita bergulat dengan duka, cinta kasih yang toxic, while also saw a rise pada cerita-cerita tentang kepercayaan. Reliji, kalo boleh dibilang. Baik film luar, maupun film dalam negeri – ya tentu saja dengan pengarahan dan goal yang berbeda.
Kalo kita flashback sekilas, 2023 memang berasa seperti horor melulu. Tapi enggak juga. Horor memang banyak, menduduki jejeran peringkat atas perolehan penonton terbesar di bioskop kita. Dan yang begonya pun banyak, honestly aku sempat stop menonton semua horor lokal yang tayang pertengahan tahun setelah melihat ada freezer daging di desa yang masih struggle ama bola lampu. Ngikutin perkembangan film terbaru di bioskop pun terasa semakin menantang buatku terutama karena perilaku bioskopnya terhadap horor. Jika filmnya bukan horor, maka kemungkinannya cuma dua. Cepat turun layar, atau berkurang – dan bahkan – hanya tayang di bioskop yang jauh-jauh. In a way, pengaruh dominasi genre ini memang ada, namun tetap saja yang membekas kepada para penonton adalah warna-warni lain, film-film yang lebih menawarkan variasi. Film horor bisa jadi menarik jika punya sesuatu yang beda, entah itu sudut pandang cerita atau tema yang jadi latarnya. Like, cerita kehilangan gak mesti jadi horor hantu, kita udah lihat cerita begitu bisa diolah ke dalam tema soal A.I. Memang, sebaliknya, cerita berlatar politik ataupun cerita yang simply tentang hubungan ibu dan anak, juga bisa lebih seram daripada tawaran hantu-hantuan. Intinya, di saat ada genre yang mendominasi, industri harusnya tidak stuk dan latah membuat hal seragam. Harus tetap kreatif. Sebenarnya dari judul ketaker tuh kreativitas pembuatnya, kalo udah pake keyword-keyword template kayak content creator ngincer SEO, isi filmnya nanti paling cuma flashback ama twist ‘siapa sebenarnya yang jahat’.
Tahun ini jumlah film yang sukses tereview menurun dari sebelumnya. Hanya 115 film. Sebenarnya yang ditonton ada lebih banyak, hanya aku memutuskan beberapa film baiknya enggak usah diulas. Atau beberapa film ‘kalah bersaing’ untuk spot di mini review. Tapi jangan kuatir, meskipun jumlahnya gak lebih banyak daripada saat masa pandemi, ini ujungnya tetap menjadi sebuah list yang menarik. In fact, aku sendiri malah surprised sama hasilnya. Kok jadi seru juga nih?
HONORABLE MENTIONS
Asteroid City (very stoic and weird way untuk belajar tentang duka dan hal-hal abstrak yang tidak kita mengerti lainnya)
Babylon (surat cinta dengan full energi chaotic kepada industri film)
Barbie (eksplorasi eksistensi dan bahasan menantang soal dinamika gender, di balik sekadar jualan produk)
Beau is Afraid (cerita yang disturbing dan hard to watch tentang pria yang jadi penakut, gara-gara kasih sayang ibunya)
Budi Pekerti (menelanjangi perilaku bersosmed masyarakat kita yang semakin menjadi-jadi)
Concrete Utopia (bencana yang dipotret powerful oleh film ini bukan exactly runtuh tanah/gempa, tapi runtuhnya kemanusiaan)
Evil Dead Rise (rise above all horrors yang berusaha tetap campy namun berisi)
No One Will Save You (invasi alien dengan konsep tanpa dialog yang unik, dan konteks kehidupan sosial yang menohok)
Oppenheimer (biopik yang meledak oleh tsunami fakta, dan hebatnya Nolan kali ini, tidak void dari emosi)
Suzume (ketika duka penyintas disulap menjadi petualangan romance dan fantasi yang superkreatif)
Teenage Mutant Ninja Turtles: Mutant Mayhem (bukan cuma jualan style animasi yang unik, ini actually film KKN yang benar bagus)
Theater Camp (seperti Babylon kepada film, ini adalah bentuk tertinggi dari sebuah kecintaan kepada teater: mampu menertawakan tapi sekaligus menceritakan dengan penuh passion)
The Royal Hotel (thriller psikologis realis ketakutan perempuan, thanks to sikap cowok-cowok )
Special Shout Out buat film yang ulasannya paling banyak dibaca yaitu Sewu Dino, dan buat film yang video ulasannya di channel YouTube mydirtsheet paling banyak ditonton; yaitu Hati Suhita. Dua film ini benar-benar represent genre yang lagi populer di Indonesia tahun 2023.
Oke, sekarang inilah DELAPAN BESAR 2023!!
–PS: seperti biasa, klik di judulnya untuk dibawa ke halaman full-review masing-masing
Director: Yandy Laurens Stars: Ringgo Agus Rahman, Nirina Zubir, Alex Abbad, Sheila Dara Aisha MPAA: 13+ IMDB Ratings: 8.7/10 “Hidup emang enggak bisa di-retake, tetapi masih bisa dibikin sekuel.”
Jujur, ini film yang paling lama pertimbanganku untuk dimasukin ke daftar Delapan-Besar. Konsep berduka dan hitam-putihnya dilakukan dengan lebih baik oleh Asteroid City, karya Yandy Laurens ini masih terasa terlalu khawatir ama urusan ‘ngasih surprise’ ke penonton. The big buts yang akhirnya meloloskan film ini adalah pertama karena ini tentang bikin film – favoritku banget. Dan ini kentara begitu personal. Konsep metanya berhasil selain bikin penonton konek sama karakter yang deep dan berlapis (dua manusia pada usia yang sudah terlalu ‘tua’ untuk cinta) tapi juga jadi peduli sama proses nulis atau bikin film. Drama dan hiburan datang lewat visual berlapis dari struggle penulis skenario berusaha naskah personal yang ia tulis mendapat green light untuk diproduksi. tanpa perubahan. Banyak celetukan lucu tentang industri perfilman terlontar dari sini.
Makanya film ini jadi unik dan urgent. Sedikit too extra pada konsep, tapi ini tetap sebuah presentasi cerita yang menyenangkan, menghangatkan, bahkan membuat kita menertawakan sesuatu yang kita sayangi. This movie feels like love itself. Nonton ini bikin aku pengen balik lanjutin menuntut ilmu nulis skenario lagi, dan aku senang film ini bikin orang aware sama teknis-teknis nulis skenario. Setidaknya, ini jadi assurance buatku kalo penulis film kita memang berilmu semua. Mereka cuma seringkali harus ‘mengalah’ sama produser/investor. Harapan lebih banyak film bagus dan berani ambil resiko masih terus menyala
My Favorite Scene: Film ini punya segudang adegan-adegan memorable. Mulai dari adegan drone saat ngebut-ngebutan, scene Hana marahin Bagus, scene-scene kocak bersama produser. Yang paling aku suka adalah scene saat Bagus syuting, dan para aktor mempertanyakan karakter di dalam ceritanya. Momen ketika mata Bagus terbuka melihat dan mulai mengenali kesalahannya sendiri.
Director: Martin Scorsese Stars: Leonardo DiCaprio, Lily Gladstone, Robert De Niro, Jesse Plemons MPAA: Rated R IMDB Ratings: 7.8/10 “Can you find the wolves in this picture?”
Masuk pertengahan akhir 2023 aku was-was. Aku masih belum menemukan film yang pantas untuk dikasih skor 8.5. Martin Scorsese jadi hero buatku lewat film ini. Killers of the Flower Moon jadi film pertama di 2023 yang dapat skor 8.5, dan itu bukan karena aku desperate. Karena filmnya memang sebagus itu. Alih-alih ngambil arahan gampang menjadikan ini tipikal whodunit, Scorsese membuat cerita ini jadi lebih fungsional dan berlapis dengan menjadikannya sebuah drama karakter. Dia bahkan mendobrak formulanya sendiri, ini cerita pria bobrok, tapi prianya sama sekali tidak keren ataupun inspirasional. Yang inspirasional di sini ‘hanya’ penampilan aktingnya haha, Lily Gladstone seriously perlu diganjar Oscar.
Mengadaptasi cerita berdasarkan sejarah pendatang kulit putih di tanah Osage milik bangsa Indian, film ini tidak lancang dengan ngasih penyelesaian yang menuntaskan cerita. Cara Scorsese mempersembahkan cerita yang bukan miliknya ini begitu humble dan berkelas. Dia bikin film yang bikin kita malu kalo relate sama protagonisnya. Dan impactnya jadi luar biasa karena film ini hadir pas banget dengan horrible genocide event yang sedang berlangsung. Orang yang datang malah menjajah, ingin menguasai lebih dari hak mereka, sampai melakukan apapun termasuk kejahatan kriminal. Kekuatan film ini jadi terdisplay full, nunjukin gimana pun tetap ujungnya rasis. Mendahulukan kepentingan golongan. Dan ultimately, perut sendiri.
My Favorite Scene: Menelisik lewat romansa dua karakter sentral, yang tampak genuine, tapi dialog menjelang akhir saat si perempuan Indian menanyakan suntikan insulin yang diberikan oleh suami kulit putihnya, maaan buatku itu adegan dengan penampilan akting dan arahan yang menantang banget. Salah-salah kita malah jadi simpati ama si Leonardo DiCaprio.
Director: Herwin Novianto Stars: Donny Damara, Ringgo Agus Rahman, Marsha Timothy, Hanggini MPAA: 17+ IMDB Ratings: 7.0/10 “Urip iku urup”
Yup, inilah salah satu surprise I talked about. Surprised yang kurasakan ketika menyusun daftar ini. Ada dua film Indonesia yang masuk!! (Tadinya malah mau tiga, tapi nanti ada waktunya untuk dibahas). Tahun 2023 at least ada tiga film yang bicara tentang karakter yang mau bunuh diri. Kalo bukan karena film ini, tren tema tersebut bisa mengkhawatirkan. Karena orang-orang harus realized, bunuh diri itu enggak keren. Bukan penyelesaian dramatis, melainkan masalah satu lagi yang harus diselesaikan. Harus diapproach dengan hati-hati. Film ini berhasil melakukan kehati-hatian itu.
Anti-bunuh diri disampaikannya secara respek dengan vibe kekomedian (meskipun tidak sampai menjadikannya bahan olokan) Hati film ini kuat banget. Naturally ini karena cerita ini adaptasi dari film Jepang, di mana concern bunuh diri memang gede. Di sana malah dianggap sebagai tradisi kehormatan. Tapi yang bikin aku kagum sama adaptasi ini (biasanya aku antipati sama adaptasi film luar yang bisanya cuma nyontek), Kembang Api actually lebih mudah deliver pesannya kepada kita dibandingkan film aslinya. Proses adaptasi yang berhasil membawa kehati-hatian dan respek terhadap tema ke karakter dan permasalahan dan penyelesaian yang lebih relate ke sosial kita, itu yang bikin film ini keren dan penting.
Konsep time loopnya selain jadi perenyah bahasan, juga jadi pesona tersendiri yang menambah variasi buat tontonan kita. Menurutku film ini perlu dinobarkan di sekolah-sekolah sebagai counter dramatisasi bunuh diri yang mulai marak jadi konten di sosial media.
My Favorite Scene: I don’t really have favorite scene here, karena kayaknya adegan-adegan light-heartednya itu punya underline tragis semua. But I do have favorite line, yaitu pas karakter si Ringgo Agus bilang “mau mati aja susah” (hei, aku baru sadar 2 film Indo yang masuk Top-8 ini ada Ringgo Agus Rahman!). Dan aku juga suka banget gimana film menuliskan karakter Hanggini. Si Anggun benar-benar mewakili ‘simtom’ tak-terdeteksi dari orang yang mau bunuh diri. Dari orang yang depresi. Like, kita gak akan pernah tau orang itu depresi sampai dia akhirnya ditemukan mati bunuh diri, karena biasanya orang-orang itu justru tampak lebih ceria, lebih luwes, lebih open — ya kayak gimana Hanggini mainin si Anggun. Tampak smart dan cemerlang.
Bicara soal mati, well, this is anime yang ngajarin kepada anak-anak bahwa mati adalah hal yang harus kita pahami untuk melanjutkan hidup. Karena mati adalah bagian dari hidup. Dan oh boy, ‘kematian’ yang dibicarakan film ini punya spektrum luas. Aku menduga film ini juga biografi pembuatnya yang berangkat dari gimana dia kesulitan menghadapi akhir dari karirnya – yang kita semua gak mau itu terjadi, but that day will eventually come.
Terdengar berat? Memang. Boleh dibilang ini salah satu film Studio Ghibli yang paling njelimet. Tapi itu bukan berarti film ini kehilangan kemagisan khas Ghibli itu. Justru sebaliknya. Film dengan dream logic ini menaikkan kemagisan itu ke another level. Batas fantasi/sihir dan realita dunia cerita kabur banget, ini bikin ngikutin cerita jadi seru dan menantang. Lapisan-lapisan fantasi dan personal yang saling tersulam satu sama lain. Ngasih kita karakter-karakter absurd yang ikonik. Petualangannya memang sekilas terasa kurang epik, tapi yang dilalui karakter utama di film ini hampir-hampir keluar garis semua haha… Aku kaget sendiri ketika tiba-tiba ada adegan dia mukul kepalanya sendiri pake batu sampai berdarah. Tapinya lagi, semuanya itu bekerja klop ke dalam karakter. Di dalam grand design yang terbangun begitu menakjubkan oleh film yang terasa begitu deep dan personal ini.
My Favorite Scene: Mahito bertemu burung pelikan yang sekarat. Momen yang membuka mata Mahito tentang kematian, dan juga soal keadaan yang membuat orang ‘berperang’ dan harus mati. Momen yang berujung dengan Mahito menguburkan si burung yang ia kenali sebagai musuhnya. Film ini bergerak di lapisan yang dalam seperti itu.
Director: Darren Aronofsky Stars: Brendan Fraser, Sadie Sink, Ty Simpkins, Hong Chau MPAA: Rated R IMDB Ratings: 7.7/10 “Do you ever get the feeling that people are incapable of not caring?”
The Whale bukanlah cerita tentang orang yang gendut kemudian meratapi nasibnya. Justru sebaliknya, film ini adalah tentang orang yang sudah tahu dirinya tak tertolong, tapi dia mencoba menolong orang-orang terdekatnya untuk menemukan hati mereka, supaya gak salah langkah kayak dia dulu. Aku iri sama Charlie yang masih bisa begitu optimis kepada orang lain, meskipun dirinya telah menyerah kepada dirinya sendiri. Loh? Iya, di situlah kompleksnya cerita film ini. Aku ingin seperti Charlie yang percaya bahwa masih ada cinta dan kepedulian pada semua orang, bahwa people incapable of not caring. Mereka cuma harus jujur kepada diri sendiri. Dan kepercayaan Charlie tersebut benar. Man, aku hampir nangis di ending.
Yea, ini film tentang orang yang low key sama aja dengan pengen bunuh diri, tapi gak ada yang diromantisasi di sini. Lihat betapa ‘brutalnya’ penampilan Charlie. Gak bakal ada yang mau kayak dia. Brendan Fraser juara banget di sini, kalo bukan karena persona dan pemahamannya terhadap Charlie, karakter dan film ini gak bakalan worked seindah – dan semenyedihkan – ini. Film bersikukuh untuk kita melihat Charlie tanpa belas kasihan. Ini adalah drama di satu tempat tertutup, with nothing but dialog dan raw emotions. Makin ditonton, makin powerful!
My Favorite Scene: Everytime dia berusaha nunjukin cinta dan ngasih semangat kepada anak gadisnya. Nge-encourage untuk nulis dan sebagainya. Puncaknya, ya di ending itu. Kalo ada yang membuncah selain berat badan si Charlie, maka itu adalah emosiku nonton adegan-adegan mereka berdua.
Director: Kristoffer Borgli Stars: Nicolas Cage, Julianne Nicholson, Michael Cera, Dylan Gelula MPAA: Rated R IMDB Ratings: 7.1/10 “Trauma is a trend these days. It’s a joke. Everything is trauma. Arguing with a friend is trauma. Getting bad grades is drama. They need to grow up.”
Ini nih filmnya. Bukan hanya berhasil menggugurkan posisi Budi Pekerti di Top-8 ini, Dream Scenario berhasil membuatku merombak keseluruhan list. Aku nonton film ini di ‘detik-detik’ terakhir. Kureview sebagai batch terakhir mini review. Dan aku suka banget sama filmnya.
Kenapa dia bisa gugurin Budi Pekerti? Karena bahasannya sebenarnya serupa, tapi (meskipun skor mereka sama karena urusan teknis dsb) Dream Scenario membawa bahasan itu ke level yang lebih surealis. Which is also my soft spots for movies. Alih-alih viral karena ngelakuin hal di sosmed, di film ini ceritanya karakter Nicolas Cage viral karena hal yang ia lakukan di mimpi orang lain. Bayangkan hahaha… dibenci satu dunia karena hal yang tidak kita lakukan. Dibenci untuk hal yang dimimpikan oleh orang lain. Inilah yang bikin satir film ini jadi lebih menohok. Menyamakan perlakuan kita mengidolakan orang di sosmed atau menjudge orang lewat interpretasi sosmed dengan kalo kita ngejudge orang lewat hal yang ia lakukan di mimpi. Lewat hal yang cuma mimpi kita. Kocaknya deep banget hahaha
Jenius sekali film ini ngasih lihat kita seringkali kegocek sama fantasi kita sendiri. Selain itu film juga nyindir persoalan yang sejalan dengan gimana bunuh diri menjadi tren dramatis di sosmed. Yaitu bahwa kita suka berfantasi dengan trauma, seolah mengalami hal traumatis itu tren dan kita ‘berharga’ ketika mengalamin itu.
My Favorite Scene: Aku bukan penggemar Cage, tapi kupikir di sinilah aku paling bisa melihat bahwa dia punya range yang luas, dan dia tau timing yang precise untuk nempatin akting-aktingnya. Dia bisa jadi grounded, bisa over the top, dengan mulus di sini. Momen yang paling kusuka adalah ketika mahasiswanya dikumpulin di lapangan basket untuk terapi, lalu dia disuruh masuk oleh terapis. Niatnya supaya mahasiswa tidak lagi takut melihat dia sebagai sosok nyata. Cara dia masuk ke hall, dan cara dia berjalan mendekat, kupikir itu lawak sekali karena kayak biasa-biasa saja tapi ada so many emotions di situ hahaha
Director: Alexander Payne Stars: Paul Giamatti, Dominic Sessa, Da’Vine Joy Randolph MPAA: Rated R IMDB Ratings: 8.0/10 “Every generation thinks it invented debauchery or suffering or rebellion, but man’s every impulse and appetite from the disgusting to the sublime is on display right here all around you”
Baru tadi pagi saat mau mulai nyusun daftar ini, aku membaca di Twitter soal pelajaran sejarah banyak yang dihapuskan di sekolah-sekolah. Aku langsung bayangin Pak Paul Hunham ngamuk soal ini, langsung bergaung quotesnya soal pentingnya sejarah bagi anak muda. Ya, film karya Alexander Payne ini memang menekankan gimana pentingnya kita untuk memahami ‘sejarah’ seseorang, dan diri sendiri, supaya bisa melanjutkan hidup dengan lebih baik. Kinda melengkapi si The Boy and the Heron yang justru tentang menerima ‘masa depan’ untuk menjalani hidup.
Bungkus luar film ini awalnya kupandang remeh. Kirain tentang hubungan murid nakal dan guru galak yang terjalin saat sama-sama menghabiskan nataru di sekolah yang kayak penjara kosong. Awalnya memang para karakter di sini tampak seperti karikatur dari tipe-tipe karakter komedi. Tapi film ini much much more than that. Penampilan akting mereka menembus karikatur itu lebih dulu sebelum pembelajaran karakter mereka bekerja. Slot nominasi award ku yakin bakal penuh oleh dua, eh tiga ding, karakter sentral di sini.
Funny, emotional, real. tentang anak muda, orangtua, dan orang yang beneran sudah tua sekaligus. Mereka menemukan cinta dan kasih sayang dengan berdamai dengan masa lalu. Dengan sejarah yang mereka kira bakal mendikte gimana mereka ke depannya. Film ini gak exactly inspirational, like, gak memotivasi kita untuk merasa spesial dan punya kekhususan seperti para karakter di dalam ceritanya. Justru sebaliknya. Karakternya broken enough untuk membuat kita peduli dan memetik pelajaran di balik gimana mereka akhirnya – melawan kemauan dan kesadaran sendiri – menjadi lebih erat bahkan dari keluarga sedarah. Film ini membuat apa yang sepertinya karikatur berubah menjadi truly menghangatkan dengan seefektif namun sesederhana itu.
My Favorite Scene: Selain pilihan ending yang terus menantang karakter, aku paling suka saat Tully menodong gurunya dengan pertanyaan seputar ‘kesalahan’ yang si bapak lakukan di masa sekolah. Dialog mereka itu berlangsung sambil keduanya ngiterin rak etalase di toko. Buatku itu adegan dinamis yang bercerita lebih banyak dibanding yang ‘terdengar’ oleh kita. The way Tully terus mengejar, tak lagi menganggap gurunya boring. The way Paul berbelok menghindar. Momen kecil seperti itu yang bikin filmn sederhana tapi bisa sangat hidup.
Aku gak pernah ngerti kenapa sebelum mereveal ‘pemenang’ atau sesuatu di puncak, kita harus berhenti dulu. Katanya sih buat ‘ngebuild up’ antisipasi. Kalo di tv, bakal ada jeda iklan sebelum puncak award. Kalo di WWE bakal ada spot komedi atau promo video dulu sebelum pertandingan utama. Di blog sepertinya gak perlu karena kalian bisa tinggal scroll dan skip bagian ini. But I still made this paragraph anyway. Kalo dipikir-pikir lagi, sekarang aku membuat ini buat diriku sendiri. Karena aku butuh napas sebelum ngasih kejutan yang bahkan tak terpikir sebelumnya olehku untuk menjadikan ini sebagai kejutan. Bukan karena filmnya gak bagus loh. Justru karena bagus dan pantas banget makanya kayak, harusnya ini ada di daftar favorit banyak orang mau paling atas atau bukan. Harusnya dia jadi favorit udah bukan jadi kejutan.
So, inilah film nomor satuku di 2023. Film yang aku pikir paling underrated sepanjang tahun, karena dia film anak-anak, dan also somekind of film religi.
Director: Kelly Fremon Craig Stars: Abby Ryder Fortson, Rachel McAdams, Kathy Bates, Benny Safdie MPAA: Rated PG-13 IMDB Ratings: 7.4/10 “What I learned about religion is that it makes people fight”
I did it. Dulu aku pernah kepikiran, mungkin gak sih kalo film religi bisa bercokol di posisi satu film yang kusuka. And here she is. Yang benar-benar aku suka dari film ini adalah cara mereka mengaitkan kisah coming-of-age seorang gadis cilik dengan bahasan yang hanya berani diangkat oleh sedikit sekali orang, apalagi di jaman sekarang. Soal pertanyaan terhadap agama.
Film ini bernas. Berani, tapi juga tidak terjebak. Margaret merasa tidak menemukan jawaban atas pertanyaan hidupnya karena enggak tahu cara menghubungi Tuhan yang benar. Maka Margaret nyobain berbagai macam ibadah. Pada satu minggu dia ikut nenek ke kanisah. Minggu berikutnya dia ikut temannya ke gereja protestan. Kesempatan lainnya dia ngintilin temannya melakukan pengakuan dosa di gereja katolik. Margaret menyebut, dia suka dengar ceramah, nyanyi-nyanyi, dan sebagainya, tapi dia belum merasakan keberadaan Tuhan di tempat-tempat itu. Tapi film tidak pernah memaksa Margaret membuat keputusan. Dua nenek Margaret yang maksa hingga sempat saling bertengkar, masing-masing berusaha membujuk Margaret memeluk agama mereka. Sedangkan film tetap berada di pihak orangtua Margaret. Melindungi sang anak dari semua pengaruh itu. Bukan karena tidak setuju dengan salah satu, melainkan karena itu adalah hak Margaret untuk memutuskan di saat dirinya sudah siap nanti.
Ini yang bikin aku terenyuh karena tahu film ini punya hati di tempat yang benar. Tadinya aku nonton adaptasi novel anak populer ini karena pengen lihat Regina George jadi ibu. Aku gak expect film ini begitu indah dan menghangatkan hati. Film ini tahu topiknya bisa kontroversi tapi gak mau ke sana, bukan karena takut resiko. Tapi karena tahu mana yang lebih penting. Singgungannya mungkin kena ke kita yang seringkali cenderung fanatik, tapi ini sesungguhnya lebih untuk berkait cantik dengan soal perkembangan anak. Biarkan anak-anak tumbuh, sebagai dirinya sendiri, dan pada waktu miliknya sendiri. Childhood semestinya adalah pertumbuhan yang mereka alami dengan natural, dengan pacenya sendiri. Penceritaan film ini tidak pernah terasa menggurui, namun terasa sangat jujur mengalir dari perspektif utamanya itu.
I don’t think film kita sekarang berada di level yang berani dan mampu untuk ngangkat kisah dengan apa adanya dan tanpa tendensi seperti ini. Makanya film ini jadi juaraku. Film-film lain juga sama punya nilai urgent yang berharga, tapi aku paling inilah yang paling aku mau tidak pernah lupa ia ada.
My Favorite Scene: Exactly adegan yang jadi petikan kukutip di atas. Setelah seharian kita melihat Margaret dan teman-teman dengan polos dan lucunya insecure dalam bertumbuh. Tiba malam hari, dia galau dan mencoba ngobrol dengan Tuhan. Tapi dia menemui kendala dan suatu malam dia hampir menyerah mencari Tuhannya:
So, that’s all we have for now.
Itulah daftar Top Movies 2023 My Dirt Sheet. The magic word of the year is ‘URGENCY’. As in, film-film ini penting untuk kita tonton dan tidak kita lupakan, karena mereka important, dan takutnya mereka akan lost in the shuffle di tengah arus dan dominasi genre tertentu yang tampak semakin secure sehingga kualitasnya semakin tak terjaga.
Berikut lengkapnya 115 film yang sudah direview dan dinilai di sepanjang tahun:
Apa film favorit kalian di tahun 2023? Apa harapan kalian untuk film di tahun 2024 ini?
Share with us in the comments
Remember, in life there are winners. And there are losers.
We are the longest reigning PIALA MAYA’s BLOG KRITIK FILM TERPILIH.
“Never explain yourself to anyone. Because the person who likes you doesn’t need it. And the person who dislikes you won’t believe it.”
Tujuh belas nominasi FFI dikantongi oleh film-panjang kedua Wregas Bhanuteja ini. Fakta prestasi tersebut kentara bisa mess with ekspektasi dan ‘tuntutan’ kita – terutama aku yang prefer nonton film tanpa tahu banyak tentangnya, Apa iya film ini sebagus itu. Yang jelas setelah ditonton, ternyata Budi Pekerti juga merupakan sebuah gambaran yang sangat relevan. Sama seperti Penyalin Cahaya tahun lalu. Wregas kembali menghadirkan potret, yang mungkin lebih lugas, karena cerita kali ini terasa lebih grounded tanpa elemen kasus ala thriller whodunit. Budi Pekerti berada di dalam kotak yang sama dengan film-film seperti Not Okay (2022) dan John Denver Trending (2019); film-film yang khusus menelisik perilaku sosial di era internet sekarang ini. Budi Pekerti mengangkat persoalan dari gimana society modern kita yang katanya ‘melek sosmed’ bekerja dan dinamika positif-negatif yang menyertainya. Mungkin sosmed banyakan negatifnya, karena konflik di cerita ini justru mulai menggunung ketika protagonisnya mencoba melakukan the supposedly right thing to do, di internet.
Bayangkan seorang guru BK SMP yang begitu lovable sampai-sampai mantan murid dari angkatan 10 tahun yang lalu masih bisa mengenali beliau walau dari balik masker, harus terancam batal diangkat jadi wakasek, hanya karena videonya sedang ribut dengan seorang penyerobot antrean diambil ke luar konteks, disalahartikan, dan jadi viral. Dengan premis tersebut, Budi Pekerti literally mempertanyakan ‘apa perlu mata pelajaran budi pekerti diajarkan kembali?’ Di pasar itu, Ibu Prani tadinya hanya coba menegakkan hal yang benar, seperti yang biasa dilakukannya saat mendidik murid di sekolah. Dia akan menegur murid yang melakukan kesalahan, lalu memberikan hukuman – yang ia sebut refleksi – supaya murid bisa mengerti dan memahami perbuatan mereka salahnya di mana. Namun gak semua orang senang mendapat pelajaran berharga seperti itu. Video viralnya membuat Ibu Prani diserang netijen, beliau panik dan berusaha menjelaskan keadaan dengan membuat video klarifikasi. Video yang lantas jadi bumerang. Sehingga bukan hanya kerjaannya, kehidupan personal Bu Prani dengan keluarga, dengan dua anaknya yang influencer juga terkena imbas.
Inilah bagian yang paling menarik dari Budi Pekerti. Perilaku sosial media masyarakat kita benar-benar ditelanjangi. Perilaku yang makin menjadi-jadi sejak kita semua terkurung oleh pandemi. Dan pada kurun itulah persisnya cerita ini menempatkan diri. Some say kini kita hidup di era post-truth. Jaman di mana kebenaran itu bukan lagi soal yang beneran benar. Film ini bulat-bulat menyebut bahwa salah dan benar sekarang ini adalah cuma perkara siapa yang paling banyak omong. Penghakiman netijen-lah yang memutuskan yang mana yang ‘benar’. Dan mereka menilai itu dari potongan-potongan video, cacah-cacahan narasi. Tindak apapun yang dilakukan Ibu Prani dalam upaya membersihkan namanya hanya akan jadi materi kulikan dan asumsi liar dari netijen. Yang akan mengambil hanya yang sesuai dengan narasi masing-masing. Satu lagi yang berhasil tergambar oleh film ini tentang perilaku bersosmed masyarakat adalah, masyarakat hanya ikut-ikutan. Bahwa kita memposting sesuatu bukan lantas berarti kita peduli sama permasalahannya. Sebagian besar waktu, yang dipedulikan adalah citra masing-masing.
Inilah makanya sosmed jadi ‘berbahaya’. Smartphone dibuatnya tak ubah seperti pistol. Kita bisa membidikkannya kepada orang lain, dan menjepret kelakuan-kelakuan buruk mereka. Atau kita bisa point that thing ke wajah sendiri. Dan dor! Hasilnya ya fifty-fifty. Antara orang jadi kasihan dan menempel ke narasi kita. Atau kita ‘mati’ ngebuka aib sendiri. Aku menebak pastilah proses riset dan nulis naskah film ini sangat mengasyikkan. Film ini benar-benar paham perilaku-perilaku tersebut, mereka menjadikannya ke dalam plot-plot poin, dan sukses memasukkannya ke dalam bangunan cerita yang terus ngebuild up ke drama. Yang terus jadi rintangan yang bikin susah hidup protagonis kita yang punya sense moral tersendiri. Ngeliat Bu Prani tetap membuat video klarifikasi meskipun sudah dilarang menghasilkan dramatic irony. Kita tahu dia benar, tapi kita juga tahu bahwa dia akan ditelan bulat-bulat di jagat sosmed. Anak-anak Bu Prani berusaha ‘menyelamatkan’ muka ibu mereka sambil juga mengamankan muka sendiri, ngeliat apapun counter video yang mereka lakukan selalu dicounter lagi, membuat keadaan justru semakin memburuk — cerita film ini berkembang ke hal-hal yang sebenarnya deep inside sudah kita antisipasi karena film ini begitu dekat dengan sosial kita sekarang, tapi sekaligus kita juga kasihan dan ikut benar-benar merasakan outcome yang tak terkontrol yang dialami oleh para karakter yang sedang berjuang tersebut.
Karena nature cerita yang seperti demikian, setiap karakter di sini ngalamin perjalanan personal masing-masing. Membuat film jadi punya banyak adegan yang unik. Para aktor dipersilakan oleh Wregas untuk menggali momen-momen ‘seru’ yang mungkin gak bisa mereka dapet pada film-film yang lebih mainstream. Angga Yunanda dan Prilly Latuconsina, misalnya. Mereka jadi anak-anak Bu Prani. Denger mereka ngomong jawa aja udah fresh. Sebagai influencer daerah, Angga di sini dilepaskan dari image karakter remaja yang cool, di sini rambutnya pirang jamet. Prilly, jadi kakak, karakter yang lebih jutek dan contained dibanding tipikal peran utama yang biasa diberikan kepadanya. Kekuatan akting mereka jadi keluar, untuk kita nikmati. Angga dikasih adegan nangis kecewa sama diri sendiri. Prilly dikasih ngomel sendiri, ada monolognya di kolam lele yang menurutku scene yang memorable. Dwi Sasono sebagai ayah yang depresi karena usahanya bangkrut efek pandemi ngasih tambahan elemen volatile bagi permasalahan keluarga mereka, Dwi Sasono perfect fit buat karakter tak-tertebak semacam ini. Tapi yang paling tak terduga adalah Omara Esteghlal. Karakternya, Gora, muncul di awal sebagai mantan murid yang dulu pernah kena ‘hukuman refleksi’ khas Bu Prani. Cerita nanti bakal circle back ke Gora, karena actually hubungan guru dan murid Prani dengan Gora jadi kunci bagi perkembangan Prani sebagai karakter utama.
Satu lagi yang ditunjukkan oleh Wregas sebagai bentuk kepiawaiannya bercerita selain punya ritme membuild up rintangan dan gencetan untuk karakter utama, adalah dia paham untuk membuat ceritanya balance. Di Penyalin Cahaya, Suryani yang posisinya korban tidak serta merta selalu benar, bahwa ada momen ketika Suryani genuinely merasa dia telah melakukan pilihan yang salah. Budi Pekerti juga begitu. Ini bukanlah ujug-ujug kisah tentang guru baik yang terjebak dalam situasi sulit. Bu Prani memang disukai murid-murid dan kolega, tapi langkah yang diambilnya, aksi yang dia lakukan, adalah aksi yang genuine. Dia manusia yang bisa salah. Runyamnya masalah keluarga mungkin telah membuat aksinya sedikit keterlaluan. Metode ajarnya, mungkin, berdampak buruk ke murid. Momen-momen Bu Prani meragukan diri, bergulat dengan nurani, dengan apa hal yang benar dan apa hal yang harus ia lakukan ternyata boleh jadi tidak sejalan, terdeliver nyata lewat akting Sha Ine Febriyanti. Aku sendiri sebenarnya, dulu sebagai murid, gak suka dengan tipe ‘guru baik’ seperti Bu Prani. Aku lebih suka sama guru yang terang-terangan killer dan suka ngasih hukuman tegas ketimbang guru yang metodenya pasif agresif. Tapi Bu Prani berhasil bikin aku peduli, dan membuatku bisa melihat kenapa guru yang seperti dia dibutuhkan oleh murid-murid.
Orang yang mendukungmu tidak perlu penjelasanmu. Orang yang membencimu tidak akan mau mendengarkan penjelasanmu. Oleh karena itu, kita sebenarnya tidak perlu menjelaskan perbuatan kita. Apalagi di internet. Karena orang hanya akan mengambil apa yang mereka mau dengar. Apa yang masuk ke dalam narasi mereka masing-masing. Itulah sebabnya kenapa video klarifikasi sama sekali tidak membantu Bu Prani. Yang dia perlukan hanyalah menyelesaikan persoalannya dengan orang-orang terdekat. “Maaf”nya Bu Prani cukup dialamatkan kepada mereka-mereka saja.
Walau sudah berimbang sehingga drama kisah ini jalan dan kita duduk di sana mengikuti dengan gamang dan penuh harap sepanjang durasi, tapi masih terasa film ini kasihan terhadap Bu Prani. Dan ini buatku agak sedikit memflatkan journey Bu Prani. Pilihan yang dilakukan film sebagai ending, sudah cocok. Benar sebagai akhir journey Prani. Ibu itu sudah minta maaf kepada orang-orang yang tepat. Dia sudah mengenali ‘kesalahannya’ apa. Hanya saja film-lah yang seperti tidak benar-benar tega kepada Bu Prani. Padahal menurutku sebenarnya tidak masalah jikalau memang metode hukuman refleksi Bu Prani berdampak sedikit negatif kepada muridnya ketika mereka sudah dewasa. Namun cara film memperlakukan ‘dampak sedikit negatif’ tersebut, buatku seperti sedikit menyepelekan case yang mereka angkat sendiri. I would like to see Bu Prani maafnya itu benar-benar pure maaf ketimbang masih ada sedikit kesan “Ibu gak salah kok” dari muridnya. Apalagi setelah adegan dia menyelami kata hatinya sendiri. Supaya koneksi mereka bisa lebih ‘manusia’. Lebih daripada frame antara guru dan murid.
Seperti pesannya, film juga tak harus menjelaskan dirinya. Kenapa dia bisa dapat banyak nominasi. Pecinta film akan tetap menonton. Dan baru saat menonton itulah, kita bisa menilai sendiri. Film ini dibuat sebagai potret, sebagai komentar, tentang perilaku masyarakat kita dalam berjejaring sosial. Tempat di mana interaksi sosial tidak lagi genuine sebagaimana mestinya. Tempat di mana hal yang benar bisa jadi sebuah kesalahan, karena semua orang punya agenda personal, yang bikin kita hanya melihat sepotong-potong. Bahkan permintaan maaf saja bisa cuma dijadikan kedok citra semata. Bukan sebuah maaf yang tulus. Dengan penceritaan yang berimbang, film ini mengingatkan seperti apa interaksi sosial sesungguhnya. Identitas dan perspektifnya yang dekat, membuat kisah film ini mudah dicerna. Benar-benar terasa urgent untuk ditonton sekarang. Ada minor-minor nitpick tapi pesan dan kerelevanan ceritanya outweight that.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for BUDI PEKERTI
That’s all we have for now.
Apakah menurut kalian pelajaran budi pekerti khususnya di media sosial memang harus diadakan kembali?
Share pendapat kalian di comments yaa
Setelah nonton ini, kalian yang masih pengen tontonan seru bisa coba serial Hijack, serial thriller seru tentang pembajakan di pesawat yang dibintangi oleh Idris Elba di Apple TV+ Yang pengen ngerasain ketegangannya bisa langsung subscribe dari link ini yaa https://apple.co/46yw8RX
Remember, in life there are winners. And there are losers.
We? We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL
Sejujurnya, aku gak nyangka sampai sekarang blog ini masih ada. Karena, tahun 2021 lalu, aku sudah benar-benar siap untuk pindah total ke YouTube. Bukan karena capek nulis, tapi karena males ngurusin wordpress yang semakin ribet. Itulah sebab utama kenapa tahun kemaren itu My Dirt Sheet Awards ditiadakan. Tapi untungnya, 2022 adalah tahun penyembuhan bagi banyak orang. Termasuk bagi blog ini. Aku nemuin hostingan baru, yang less-ribet, walau punya kekurangan lain. Tapi who cares? Mari rayakan kesempatan untuk bisa bikin award-awardan lagi!!
Gak bikin award setahun membuatku jadi punya banyak waktu untuk refleksi. Dari situlah tema kali ini, Mirror, berasal. Afterall, award-awardan ini memang dibuat sebagai highlight dari kejadian setahun penuh. Kaledoiskop ala My Dirt Sheet. Dan bagi yang jeli, kalian akan bisa melihat juara tahun-yang-hilang itu terpantul dalam video nominasi masing-masing kategori.
Kita sudah membuang waktu satu tahun, mari langsung saja awards ini kita mulai – ada 14 kategori, dengan nominasi yang sudah dipatok jadi delapan supaya seruuu!!
TRENDING OF THE YEAR
2022 bakal dikenang sebagai tahun dunia kembali pulih. Tahun dunia mulai kembali normal seperti sedia kala. Tapi di samping itu, tahun 2022 juga bakal diingat orang sebagai tahun ngetrennya nominasi-nominasi berikut: 1. Citayam Fashion Week Gak mau kalah ama Paris Fashion Week, anak-anak SCBD turun ke jalan,dengan street clothes mereka dan sukses viral jadi berita di mana-mana 2. Gambar NFT NFT adalah karya dalam bentuk aset digital. Ketika orang tahu NFT bisa menghasilkan cuan, langsung deh dirubung dan banyak yang coba bikin. Meski ga benar-benar paham sistem dan segala macamnya 3. Hacker Bjorka Hacker Bjorka muncul sebagai salah satu reaksi dari kebijakan internet pemerintah, dan orang misterius ini langsung viral. Jelas saja, dia mengklaim punya bocoran dokumen rahasia negara dan data-data pribadi bernilai tinggi lainnya! 4. Lato-Lato Tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek… you know what, baru kepikiran harusnya aku ngasih mainan ini nominasi di Most Annoying Quote… 5. Mixue Saking menjamurnya, gerai es krim ini sampai jadi meme di mana ada bangunan – atau bahkan ruang kosong – di situ bakal jadi tempat Mixue jualan. 6. Pesulap Merah Viral sesuai membongkar dapur perdukunan, pesulap ini makin dikenal berkat penampilannya yang melawan pakem magician harus serba-hitam! 7. Spirit Doll Orang Indonesia memang paling lemah sama yang namanya horor-hororan. Tren dari Thailand ini pun lantas jadi ramai karena selebriti-selebriti tanah air mulai ikut-ikutan ngasuh boneka seolah benda itu ada jiwa manusia 8. World Cup Qatar Piala Dunia cuma empat tahun sekali. Makanya setiap perhelatannya selalu heboh. Apalagi yang sekarang ini result pertandingannya benar-benar kejutan. Terutama buat tim dari Asia
Daan, yang menurutku pantes untuk dapat The Dirty dari antara mereka semua adalaahhKapan lagi coba anak muda Indonesia punya aksi semacam ini? Aksi mereka ini ditiru, dibicarakan, bahkan mau ‘dibeli’ oleh publik figur. Tapi yang terpenting adalah mereka have fun dalam berekspresi. Sebagai generasi yang udah mulai diitung tua huhu, aku salut.
Berhubung tadi sudah kesebut, langsung aja kita lanjut dengan
Tenang, ku gak akan muterin suara mereka. Cukup tahun 2022 aja kuping berdarah mendengarnya. Dan yang dapat The Dirty adalaaahhSudah-sudah, jangan ditanyeaaa
To keep things hyped, selanjutnya aku bakal mempersembahkan dua kategori spesial untuk awards kali ini. Dua kategori dari dunia horor. Yang sebenarnya juga adalah tribute buat bebuyutan legendaris Laurie Strode dan Michael Myers, yang di tahun 2022 telah mencapai akhir dari ketubiran mereka.
FINAL GIRL OF THE YEAR / LAURIE STRODE AWARD
Somehow film horor modern belakangan ini sering lupa pada apa yang membuat final girl layak untuk, ya survive. Jadi yang berhasil ngalahin kejahatan. Ketika kebanyakan film horor berusaha sok woke dengan salah kaprah bikin heroine-nya segala benar dan terlalu kuat, para nominasi ini merupakan final girl tradisional dengan sudut pandang modern, yang benar-benar berjuang babak belur demi mengalahkan demon atau lawan mereka 1. Emerald, dalam film Nope Relasinya dengan sang abang jadi hati pada cerita. Dan lagi, siapa yang gak bersorak saat Emerald pasang aksi sepeda motor ala Akira? 2. Maxine, dalam film X Gak setiap hari kita dapat film yang protagonisnya adalah bintang film dewasa. But this girl has dream, dan gunain mimpi itu sebagai semangat untuk survive dari kegilaan di rumah peternakan 3. Naru, dalam film Prey Selalu diremehkan oleh teman-teman cowok sesuku, Naru – yang bisa jadi adalah pemimpin wanita pertama dalam dunia horor – buktiin bahwa ini lemah-kuat bukan soal gender. Si Predator aja kaget ngeliat aksinya! 4. Noa, dalam film Fresh If anything, Noa ngasih liat kalo cewek bisa membuat mereka masuk ke dalam masalah, maka mereka sendiri juga bisa mengeluarkan diri dari masalah. 5. Odessa, dalam film Hellraiser Bukan cuma ngelawan makhluk-makhluk dari ‘neraka’, Odessa adalah sosok yang berjuang melawan dan berhasil berdamai dengan kecanduannya 6. Sienna, dalam film Terrifier 2 Bagi Sienna, ini juga adalah perjuangan melawan demon dalam dirinya sendiri. Perjuangan untuk menjadi berani dan menjadi pelindung keluarga 7. Tara dan Sam, dalam film Scream Kakak beradik yang harus dealing with the facts bahwa ayah mereka (ayah kandung Sam, dan ayah tiri Tara) adalah pembunuh original yang meneror kota. 8. Tess, dalam film Barbarian Cuma Tess yang ngerti bahwa horor yang menimpa mereka sekalian di rumah airbnb itu sebenarnya adalah tragedi dari betapa berbedanya perempuan dan laki-laki memandang dan meng-experience dunia
Dan, yang paling komplit untuk melanjutkan legacy final girl dari Laurie Strode, adalaahh Perjuangan Sienna mengalahkan Art the Clown begitu epik. The icing on the cake tentu saja adalah kostum armor dan sayap dan pedang panjangnya. Sienna udah kayak valkyrie modern!!
SERIAL KILLER OF THE YEAR / MICHAEL MYERS AWARD
Horor modern juga kurang berhasil nyiptain karakter jahat yang ikonik. Karena kebanyakan sekarang main surprise dan jumpscare saja. Kurang banyak galian ke karakter jahat itu sendiri. Kurang bereksperimen, dan kurang gila. Sepeninggal Michael Myers, berikut adalah nominasi pengganti kekosongan dirinya: 1. Amber, dalam film Scream Maan, I really love gilanya Amber, dan merasa sayang dia gak bakal muncul lagi di film berikutnya. But at least, dia benar-benar mencuri perhatian dan did a thing yang tidak bisa dilakukan Ghostface lain; membunuh Dewey! 2. Art the Clown, dalam film Terrifier 2 Dibandingkan dengan Art yang gila, creepy, brutal, and nyaris always did a job done, Pennywise jadi kayak anak pramuka 3. Chucky, dalam serial Chucky season 2 Apa yang lebih ngeri dari Chucky? Berpuluh-puluh Chucky – dan semuanya sama gilanya gak pandang bulu bunuhin orang, tua atau muda! 4. Corey, dalam film Halloween Ends Pewaris Michael Myers dalam canon cerita. Corey adalah good-guy yang berubah jadi psikopat ketika seluruh kota tidak melupakan kesalahan dirinya 5. Esther, dalam film Orphan: First Kill Sedikit masa lalu dari pembunuh yang suka nyamar jadi anak-anak ini terkuak, dan orang-orang langsung ngeri mau kasian atau tidak 6. Jeffrey Dahmer, dalam film serial Dahmer-Monster: The Jeffrey Dahmer Story Yang ini cukup kontroversial, karena karakternya diangkat dari pembunuh nyata. Tapi Dahmer yang diperankan Evan Peters memang mengguncang banyak kepala yang menyaksikannya 7. Pearl, dalam film Pearl Pearl adalah Maxine dalam timeline berbeda, dan jika Maxine menyeberang ke dark side 8. Pinhead, dalam film Hellraiser Pinhead versi modern benar-benar terlihat keren tapi sekaligus juga sangat creepy
Piala The Dirty berdarah ini jatuh kepadaaa Michael Myers beneran bisa rest in peace, dengan Art melanjutkan teror di sinema horor. Badut supernatural dengan aksi brutal dan misteri benar-benar menarik hati. Props juga buat David Howard Thornton yang sukses menghidupkan karakter ini dengan pantomim yang bikin merinding. Ciri khas Art yang paling sakit: ketawa puas tanpa suara!
Terrifier 2 actually jadi film 2022 terbaikku (kalian bisa lihat daftar Top-8 Movies 2022 selengkapnya di sini) Jadi sementara kita ngomongin itu, ada tiga kategori lagi yang nominasinya berhasil diraih oleh film tersebut. Hmm, bakal menang juga gak yaaaa?
BEST CHILD CHARACTER
Kategori khusus yang bertahan jadi kategori tetap, karena ya, penting bagi kita untuk melihat bagaimana karakter anak-anak ditulis. Bahwa karakter anak bukan cuma korban yang harus diselamatkan, bukan cuma versi mini dari karakter dewasa yang gak punya purpose atau bahkan dialog. 1. Anya Forger, dalam anime Spy X Family Kayaknya Anya yang paling populer di antara nominasi ini. Karakternya benar-benar polos kayak anak kecil, sementara juga grounded dan aware sama situasi 2. Ara, dalam film Keluarga Cemara 2 Janji begitu bermakna bagi anak-anak, dan mereka akan terus nagih. Ara bener-bener ngingetinku sama masa kecil karena juga sering dijanjiin sesuatu tapi gak dikasih hahaha 3. Buddy, dalam film Belfast Kreatif, respectful, suka film, suka bermain, Buddy kayak teman kita dulu, tapi teman kita yang satu ini juga musti memahami kenapa kampung halamannya jadi seperti itu 4. Gabi Braun, dalam anime Attack on Titan Season 4 Part 2 Awalnya aku benci ama Gabi. Tapi melihat apa yang harus dia pahami dan mencoba mengerti posisinya, Gabi jadi begitu memantik simpati 5. Gwen Shaw, dalam film The Black Phone Gwen adalah adek yang gak kita punya. Selain itu di balik kepeduliannya sama keluarga, Gwen juga ‘dibebani’ oleh penglihatan yang jadi momok tersendiri baginya 6. Meilin, dalam film Turning Red Kepanikan dan ketidaktahuan Meilin tentang bertumbuh, membuat dirinya berubah menjadi panda merah! 7. Pinocchio, dalam film Guillermo del Toro’s Pinocchio Guillermo mengubah karakter tradisional Pinokio menjadi anak yang kini masih bandel dan penuh rasa ingin tahu, tapi juga cerdas dan berani untuk mengubah bandelnya itu menjadi bentuk cinta kepada ayahnya 8. The Little Pale Girl, dalam film Terrifier 2 Karakternya masih berbalut kabut misteri yang pekat, tapi anak ini niscaya adalah salah satu karakter anak terseram yang pernah aku lihat
Piala The Dirty jatuh kepadaaa Anak yang terdoktrin hate, melihat sendiri – bahkan melakukan sendiri – sesuatu yang diajari kepadanya untuk ia percaya, lalu mengalami pembelajaran bahwa hal tidak sesimpel yang diajarkan kepadanya. Gabi has the best writing – the best character development seantero Attack on Titan.
BEST SCENE
Berikut adalah nominasi buat adegan-adegan dari film, ataupun serial, yang either masih terngiang-ngiang serunya ataupun begitu populer sehingga jadi tren di sepanjang 2022 1. Clown Cafe – film Terrifier 2 Sekuen mimpi terpanjang dan tersadis!! 2. Hangman Rescue – film Top Gun: Maverick Ini adegan yang bikin aku nyesel gak nonton di bioskop 3. Jadi Batu – film Everything Everywhere All at Once Di tengah hiruk pikuk multiverse, muncul adegan ini, dan langsung jleb! 4. Monolog & Credit – film Pearl Pearl benar-benar Pearl show. Mau monolog, maupun ekspresi, semuanya ngena banget! 5. Nembak – film The Banshees of Inisherin Satu lagi adegan jleb, kikuknya Barry Keoghan spike this scene further 6. Payakan’ Revenge – film Avatar: The Way of Water Aku bersorak banget waktu ‘ikan paus’ ini balasin dendam ke manusia yang menghinanya 7. The Experience – film Nope Bicara tentang ‘binatang’ yang balas dendam ama manusia, Nope nawarin ‘pengalaman’ luar biasa di adegan ini 8. Weird Dancing – serial Wednesday Kabarnya Jena Ortega sendiri yang nyiptain koreografi viral ini – itulah kerennya kalo aktor benar-benar paham sama karakter yang dimainkan
And the Osca–eh salah, The Dirty goes to
So simple, tapi begitu filosofis
FEUD OF THE YEAR
Gak ada capeknya kita berkelahi. Padahal baru beres berantem ama pandemi, baru bangkit dari covid, eh sudah ada lagi yang diributkan. Inilah nominasi perseteruan ter—angot! 1. Amanda vs. Arawinda Atau sebut saja Misteri Tanktop Ungu 2. Art vs. Sienna Ikon slasher/gore modern yang baru saja memulai seteru panjang dan personal mereka! 3. Colonel vs. Jake Dendam kesumat turun ke clone si Colonel, jadi konflik utama film Avatar kedua 4. Depp vs. Amber Real courtroom drama yang ditonton semua orang di timeline tengah tahun lalu 5. Eleven vs. Vecna Di season terbaru Stranger Things, Eleven ketemu orang yang bahkan lebih kuat darinya 6. Laurie vs. Michael Legendary feud mereka mencapai babak akhir. Dua orang ini literally inspired dua kategori khusus kali ini! 7. Polisi vs. Polisi Kasus real juga, yang sampai sekarang kayaknya masih diusut – udah kayak sinetron 8. Ukraina vs, Rusia Awal tahun 2022 lalu, nyaris terjadi Perang Dunia Ketiga karena masalah antarnegara ini
Semoga piala The Dirty ini bisa jadi juru damai kepadaa Konflik mereka muncul pas banget saat pelakor lagi tren-trennya. Dan benar-benar membagi netijen. Sampai-sampai netijen pendukung masing-masing ikutan berantem!
Kadang heran juga, kenapa kita asik berantem. Kayak dunia kekurangan hal untuk ditangisi saja. Perang, gempa, tragedi di Kanjuruhan, di Itaewon, banyak yang berpulang di antaranya ada Mak Nyak, Ratu Inggris, Remy Silado, Richard Oh, enggak tau deh berapa jiwa yang berpulang di tahun 2022. Untuk itu marilah kita heningkan waktu sejenak untuk mendoakan mereka.
Harapan kita semua tentu saja semoga ada lebih banyak cinta di dunia. Untuk itulah kategori berikut dipersembahkan. Saatnya kita merayakan cinta dengan
COUPLE OF THE YEAR
Nominasinya adalah: 1. Alexa Bliss & Ryan Cabrera Buatku ini agak nyelekit sih, aku ditikung. But hey, kalo Alexa happy, aku juga happyyyy 2. Alithea & Djinn Hubungan unik antara manusia dan jin 3. Batman & Catwoman Dua superhero ini manis banget di film Batman yang baru itu 4. Dom & Rhea Ripley Pasangan jahat tapi kocak yang ngingetin kita sama Eddie Guerrero dan Chyna 5. Evelyn & Waymond Kayak versi live-action dari Beth dan Jerry di kartun Rick & Morty hihihi 6. Hae-Jun & Seo-Rae Lupakan vampir jatuh cinta sama mangsanya, pasangan kali ini lebih ‘ngeri’; Detektif jatuh cinta sama tersangka! 7. Sammy & Tay Melo
Pasangan nyebelin yang jengkelin banyak fans di AEW. Buy hey, they make a great team together 8. Tom Holland & Zendaya Everyone’s darlings, ikon remaja masa kini, psstt denger-denger mereka udah tunangan loohh.. ada yang patah hati??
Okeh, dengan senang hati The Dirty kategori ini diberikan kepadaaa
Waymond kepada Evelyn benar-benar cinta sejati. Dengar aja nih yang dia bilang “So, even though you have broken my heart yet again, I wanted to say, in another life, I would have really liked just doing laundry and taxes with you.” Meleleh semua universe!!
As for me, berikut kategori yang aku cinta banget!!
UNYU OP THE YEAR
Gimana gak cinta, kategori ini tempatnya cewek-cewek cakep nan berbakat yang menghiasi 2022, dan I hope sepanjang masa. Kayak yang sudah-sudah, kategori ini yang beda jumlah nominasinya karena aku simply can-not-choose! xD 1. Alyvia Alynd Lind Namanya lucu, ya, pake diulang-ulang. Kalo mau lihat aktingnya, bisa cek serial Chucky. Di season 2 Alyvia mulai perdalam rangenya 2. Daisy Edgar-Jones Selain jadi Noa di Fresh, dia juga main jadi gadis rawa di Where the Crawdad Sings. Keduanya bukan film yang bagus banget, but Daisy bisa belajar banyak dari sana 3. Jenna Ortega Cukup banyak seliweran di 2022. Jenna ada di Scream, di X, dan tentu saja di serial yang jadi populer karena cara dia menghidupkan karakternya, Wednesday 4. Joey King She’s come along way, dari jadi Ramona Quimby dulu hingga sekarang jadi anak yakuza di Bullet Train 5. Lee Eun-Saem Aktingnya sebagai Mi-Jin di serial zombie All of Us are Dead benar-benar bikin jatuh hati, padahal karakternya galak! 6. Mia Goth Belum apa-apa Mia udah mecahin rekor di sini. Nyabet nominasi Final Girl dan Serial Killer sekaligus. Bukti dari jagonya dia dual akting! 7. Mikey Madison
Sekilas milip Raline Shah gak sih? Mikey jadi Amber di Scream benar-benar definisi dari crazy chick yang keren abissss 8. Sadie Sink Max!! Sejak Stranger Things kayaknya dia terus mempertajam akting ya, soalnya semua penampilannya nyuri perhatian. 8. Zoey Deutch Di Not Okay, Zoey kocak dan cakep banget. Baru kali itu aku kasian ama karakter yang basically annoying haha
Sumpah ini aku milih pemenangnya susah sekali. Satu hari aku fix milih Mikey. Eh, hari besoknya berubah ke Sadie. Besoknya berubah lagi. 2022 memang jadi tahun yang manis berkat mereka-mereka ini. Tapi, karena tetap harus milih pemenang, maka aku akan milih satu yang lebih unik dari yang lain. Daaan, The Dirty dibawa pulang oleeehhh
For the first time ever, artis Korea yang menaangg, cihuiii.. Mi-Jin alias Ms.Shibal yang jutek bener-bener bikin jatuh cinta karena she’s so real dan somehow lucu. Habis nonton serialnya, aku memang langsung nontonin interview Eun-Saem, and she seems like totally asik-person. Cerdas pula soal akting dan film.
Dan ini sebenarnya rahasia karena memalukan, aku sempat nekat nge-DM Eun-Saem, ngasih lihat sketch Mi-Jin yang kubuat, tapi gak dibales hihihi
Anyway, kata orang love is a game. Dan inilah kategori buat
GAME OF THE YEAR
Aku juga excited sama kategori ini, karena tahun 2022 itu aku beneran bisa mulai fokus main game-game masa kini. Channel YouTube My Dirt Sheet mulai bisa ngehandle konten game, setelah rencana pindah total ke review format video tampaknya mulai bisa dicancel. Sehingga nominasi kali ini, komposisinya lebih banyak yang sudah aku mainin daripada yang masuk karena hype/popularitas tanpa dimainkan. So yea, inilah nominasinya: 1. Chained Echoes Aku terutama suka sama game pixel arts, dan Chained Echoes benar-benar RPG pixel arts paket kumplit! 2. Eiyuden Chronicles: Rising Ini adalah game pemanasan sebelum RPG utamanya rilis di tahun 2023. Dan game ini actually ‘kelanjutan’ dari dunia Suikoden! 3. Elden Ring Game ini populer banget, bahkan jika kalian bukan gamer, besar kemungkinan kalian pernah mendengar judul ini disebut 4. God of War: Ragnarok Kelanjutan dari God of War ini memang jadi salah satu game yang paling diantisipasi fans di tahun 2022 5. Infernax Game metroidvania sadis ini suprisingly menantang dan punya replay value yang tinggi karena punya begitu banyak cabang pilihan aksi yang bisa kita ambil sepanjang petualangan 6. River City Girls 2 Jangan anggap remeh karena kayak game ‘wibu’. River City Girls 2 actually beat them up yang sangat fun, kita akan sibuk menghajar orang dan nyelesaiin misi. 7. TMNT: Shredder’s Revenge
Nostalgia? Cowabunga!!! 8. Wordle Tebak kata yang sempat heboh banget di Twitter!
Baiklah tanpa banyak loading-loadingan, inilah pemenangnyaaa
Ketika aku bilang paket komplit, well bayangkan sistem rekruitment dan castle di Suikoden, robot-robot raksasa kayak di Wild Arms, cerita dengan waktu berbeda kayak Chrono Trigger, misi-misi tersembunyi, Chained Echoes punya semua itu. Plus battle system unik yang belum pernah ada sebelumnya, sistem level up yang juga beda banget, dan banyak playable karakter yang kocak. I have a really great time mainin game ini.
Promosi sedikit boleh dong ya, actually di channel YouTube My Dirt Sheet, aku dan teman-teman sekarang lagi mainin River City Girls 2 dan TMNT: Shredder’s Revenge. Jadi yang pengen ikut seru-seruan, bisa lihat-lihat ke sanaaaa
And you know what, itulah
MY MOMENT OF THE YEAR
Dengan dua platform, aku bisa lebih banyak ngasilin konten yang fresh, Blog My Dirt Sheet dengan hostingan baru sekarang jadi punya tampilan baru yang lebih enak untuk pengalaman membaca ulasan. Sementara channel YouTube, lebih rame lagi dengan konten seperti talkshow yang menghadirkan undangan-undangan seru, atau juga seperti yang dibilang tadi, konten main game yang seru-seru
Semoga gak pada bosen ya sama My Dirt Sheet
Agak aneh sih rasanya ngiklanin konten di sela-sela awards, tapi aku harus belajar cuek karena kategori spesial berikut ini isinya khusus untuk orang-orang yang putus urat malunya demi ya majuin konten atau promosiin karya mereka.
SHAMELESS PROMOTION OF THE YEAR
Tadinya kategori ini memang Bego of the Year. Tapi setelah dipikir-pikir, mereka pada pinter dong bisa kepikiran cara promosi yang nekad seperti ini. Justru yang bego kita karena kemakan strategi mereka. Jadi, yah, tahun ini Bego of the Year diganti dulu sama Shameless Promotion, dan inilah nominasinya 1. Deddy Corbuzier – dilantik jadi Letkol Tituler C’mon kalo kalian gak bisa lihat promosi silang di balik ini, mata kalian perlu digedein sedagunya Deddy 2. Disney – Pinokio dan film anak-anak sok ‘woke’ Trik andalan Disney belakangan ini adalah ambil agenda ‘woke’ dan masukin ke versi baru dari film-film mereka. Disney gak lagi punya cerita. Mereka cuma mau jual produk yang sama kepada penonton yang pengen dibilang modern 3. Geprek Bensu – ngaku di Paris Fashion Week Di saat anak-anak muda lokal bikin fashion week sendiri, ada beberapa orang yang malah ngaku-ngaku nampil di Paris Fashion Week, padahal cuma bikin acara sendiri di negara orang 4. Joko Anwar – thread clue film Film itu ibarat sulap. Tapi toh mana ada tukang sulap yang promoin pertunjukan mereka dengan ngasih kisi-kisi rahasia triknya apaan 5. KKN di Desa Penari – tayang berbagai versi Bukan cuma versi extended, film ini juga pake strategi rilis dua versi rating umur dan tayang berbarengan 6. KKN (lagi!) dan film-film lain – promo beli 1 dapat gratis 1 Actually Joko Anwar yang pertama kali ngritik kalo strategi promo buy 1 get 1 melulu tidak akan ngasilin hal yang baik kepada perfilman, kecuali jumlah penonton 7. Pawang Hujan Rara – remote AC
Maaan, itu aksi dan foto paling cringe seantero 2022. 8. Will Smith di Oscar – tampar dahulu menang kemudian Aksi tamparannya mungkin memang asli, tapi sebagai yang nonton WWE, ada yang di-staged pasti di sana. Soalnya urutan kejadiannya seems too perfect buat ngebuild up speech kemenangan Will Smith
Pemenangnya adalaaahhh
Taktik tayang bareng dua versi umur beneran ‘curang’, bikin miris karena sistem klasifikasi umur lembaga sensor ternyata cuma dijadikan bahan jualan. Di Luar gak ada tuh yang begitu. Harus nunggu beberapa bulan dulu baru bisa tayang versi lain dari satu film yang sama. KKN ini saking ngebetnya tembus 10 juta, bisa ditebak, juga rilis versi lain beberapa bulan setelahnya. Magically mereka bisa dapat spot tayang yang strategis.
Sampailah kita di penghujung ‘acara’. Sebelum masuk ke kategori puncak, kita penyegaran dulu dengan satu kategori lagi, kita akan melihat para nominasi Best Musical Performance. Semoga semuanya ada linknya di YouTube hihihi
BEST MUSICAL PERFORMANCE
1. Alpha “Duyung Senja”
2. Bheem & Ram “Naatu Naatu”
3. Farel Prayoga “Ojo Dibandingke”
4. Hector & Lyle “Take a Look at Us Now”
5. Lydia Tar “Apartment for Sale”
6. Porsha “Could Have Been Me”
7. Rooster “Great Balls of Fire”
8. Skullflower “Machinery of Torment”
The Dirty goes tooo Cover rock british yang jadi ngepop!
Seru juga ya menapak tilas apa-apa yang terjadi di tahun 2022 lewat format award. Memang yang sekarang jadi agak panjangan, karena siapa suruh bikin delapan nominisi per kategori hihihi.. Tapi gak papa, paling enggak jadinya semakin banyak yang bisa dimuat. Untuk kategori puncak
SHOCKER OF THE YEAR
mari kita simak runner-ups terlebih dahulu: 1. Tim Asia melaju di Piala Dunia! 2. Cody Rhodes balik ke WWE, di WrestleMania!! 3. Twitter dibeli Elon Musk!? 4. Twitter mau ditutup?! 5. Karen Dinner buka di Indonesia! 6. Anak presiden bisa pesan cetak uang sendiri!!! 7. Kominfo blokir situs-situs!?! 8. Di rumah Bupati Langkat ada kerangkeng manusia!! 9. Menantu ama mertua??!! 10. WWE tayang di Disney+Hotstar!!! 11. Jefri Nichol nantangin tinju!!
Sudah shock belum? Kalo belum, siap-siap nih.
Yang lebih mengejutkan dari itu semuanya adalaaahhh
Ku tak pernah menyangka bakal melihat Vince McMahon turun dari kursi kreatif, dan digantikan oleh Triple H.
That’s all we have for now. Semoga tahun 2023 lebih menyenangkan dan lebih seru.
Jaga kesehatan, dan selamat Tahun Baru!!!
Remember in life, there are winners. And there are losers
We still the longest reigning BLOG KRITIK TERPILIH PIALA MAYA.
Dua hal tentang sejarah, yaitu ditulis oleh pemenang, dan mengulangi dirinya sendiri. Autobiography mungkin memang bukan cerita tentang kehidupan sutradaranya. Alih-alih itu, Makbul Mubarak dalam debut film panjangnya ini menggunakan judul tersebut untuk merujuk kepada rekam-jejak kekuasaan kelam militer yang bakal terus berulang. Keseluruhan film ini merupakan gambaran dari bagaimana itu semua bisa terjadi. Gimana rezim tangan-besi bisa begitu mendarah daging sehingga sekalipun ada satu orang yang cukup berani untuk menentangnya, tidak lantas berarti mudah bagi orang tersebut untuk berpaling dari kenyamanan yang ditawarkan oleh kuasa yang ia tentang tersebut. Makbul lantas menghiasi penceritaannya dengan cekat lewat close up lekat, warna pekat, dan perasaan yang kelat. Sehingga wajar, banyak yang bilang Autobiography ini adalah film yang seram meski bukan film horor!
Bagi cowok, sosok ayah memang dapat terasa begitu menyeramkan. Meski udah gede kayak sekarang, aku masih gak berani main game, baca komik, atau bahkan nonton film di depan ayahku sendiri. Karena ajaran (dan hukumannya) untuk disiplin, serius, dan gak banyak main-main sudah begitu membekas. Itu ayah sendiri loh, dalam lingkungan keluarga pribadi. Bayangin aja kalo ayah yang lebih lagi, kayak Jenderal Purna, yang bagi Rakib bukan ‘ayah’ biasa. Bapak-bapak itu adalah purnawirawan, balik ke kampung untuk urusan kampanye politik. Semua orang hormat dan takut padanya. Kuasanya menyelimuti desa, tentara-tentara bisa dipanggilnya kapan saja dia mau. Bapak-bapak itu, juga adalah bos keluarga Rakib turun temurun. Dan kini giliran Rakib untuk mengurus keperluan sehari-hari si bapak Jenderal. Posisi ini membuat hubungan mereka jadi personal bagi Rakib, for he is the one that’s experiencing Jenderal Purna dalam berbagai spektrum. Sebagai ayah, sebagai majikan, sebagai guru, sebagai pemimpin, dan sebagai ‘something else’ yang lebih mengerikan.
Spektrum tersebut dihidupkan oleh penampilan akting yang luar biasa dari Arswendy Bening Swara. Simak waktu dia bilang “Siapa bilang saya minum kopi” dan lantas menyuruh Rakib duduk. Suaranya enggak tinggi, Nadanya enggak naik. Tapi Rakib dan kita, sama-sama tau bahwa malatapeka besar akan terjadi kalo kata-kata itu tidak segera dituruti. Di level seperti itulah Arswendy menghidupkan karakter ini. Santai, tapi tegasnya bikin orang tahu bahwa dia tidak main-main. Pak Jenderal ini kalo ngomong mirip kayak gambaran Tom Marvolo Riddle (alias sebelum jadi Voldemort) di buku Harry Potter. Setiap kata, sesantai apapun, disampaikan dengan force yang kuat. Setiap kata terasa seperti perintah, tapi tanda-serunya silent dan hanya keluar lewat penekanan dan aura yang dimiliki oleh Arswendy sebagai Jenderal Purwa. Kita juga akan melihat – seperti politikus pada umumnya – Pak Jenderal memantik simpati dengan kata-kata motivasi, dengan janji-janji. Simak lagi waktu dia ‘ngeles’ saat ada karakter anak muda bernama Agus yang mengadu soal keluarganya berharap agar tidak digusur. Force dari kata-kata Pak Jenderal saat menjawab itu kontan terasa mengerikan, karena di balik ‘ngeles’ persuasifnya, kita bisa mendengar nada mengancam di balik ‘di mana Ibu’ dan ‘di mana rumahmu’.
Tinggal-lah Rakib di sana, diam termenung, berusaha untuk mencerna dan memahami siapa sebenarnya Pak Jenderal yang dihormati sekaligus ditakuti warga. Memang, berbeda dengan Arswendy yang banyak melantunkan dialog dan lebih open secara ekspresi, Kevin Ardilova memainkan karakter yang lebih banyak diam. Yang ekspresinya lebih tertahan. And he was excellent at this! Rakib tampak seperti bergulat dengan pikirannya sendiri setiap kali berhadapan dengan ‘aksi’ Pak Jenderal. Dia kelihatan seperti takut, kagum, dan penasaran sekaligus. Sekilas, karakter Rakib ini bisa tampak sebagai kurang konsisten – cepat berubah-ubah. Tapi itu hanyalah efek dari ‘manipulasi emosional’ dari Pak Jenderal yang memang paling kuat menyerang Rakib. One moment, Rakib ditinggikan dengan disebut mirip Jenderal waktu masih muda. Lihat betapa gembiranya dia kemana-mana pakai seragam bekas Pak Jenderal. Momen berikutnya dia dimarahi karena nyembunyiin sesuatu di saku. Momen lainnya, Rakib tergopoh-gopoh nyari charger yang mau dipinjam. Ada juga ketika Rakib dibela dan lantas disuruh minta maaf dalam satu kesempatan yang sama. Ini sebenarnya adalah build up yang dilakukan film ke momen pecahnya konflik di antara kedua karakter ini. Ini adalah kelincahan naskah untuk memuat gagasan sekaligus menjabarkan wants-and-need karakter Rakib itu sendiri sebagai karakter utama. At heart, ini adalah coming-of-age story bagi Rakib. Seorang anak muda yang ingin dapat approval dari seorang sosok ayah. Sehingga, ya, akan ada momen-momen ketika Rakib seperti menikmati perannya sebagai bawahan Jenderal, momen-momen ketika dia mempercayai pujian dan nasihat Pak Jenderal, yang semuanya mengarah ke ‘horor’ yang sudah kita antisipasi sebagai dramatic irony. ‘Horor’ ketika Rakib menyadari betapa dingin dan merah sebenarnya tangan yang selama ini menyuapi dirinya.
Film ini enggak cuma punya dramatic irony dan melepaskan kita dari tensi setelah melihat apa yang dipilih untuk dilakukan Rakib terhadap Pak Jenderal. The real punchline ada di belakang, pada apa yang dipilih untuk dilakukan Rakib setelah Jenderal tidak ada. Film ini mengakhiri ceritanya , meng-cut kita semua dari ceritanya, di momen eksak yang sepertinya perfect banget. Ini tipe ending yang kayak di Triangle of Sadness (2022). Ending yang menyerahkan kepada kita untuk mengimajinasikan sendiri apa yang terjadi berikutnya. Orang yang lebih optimistis mungkin akan melihat Rakib di ending sebagai generasi muda yang mereset kembali power struggle antara rakyat dan pemimpin militer. Menjalankan fungsi sesuai namanya, mencatat yang baik-baik saja. Tapi kemudian aku ragu apakah bakal ada penonton yang melihatnya seperti itu. Sebab yang digambarkan film ini tak ayal begitu familiar bagi kita. Ada masa Indonesia di bawah pemimpin militer mengalami masa kelam orde baru. Saat orang bisa hilang karena bersuara, apalagi menentang. Dari konteks tersebut, dari judulnya, dari bagaimana semiotik dan aspek film dibangun, film ini sebenarnya sudah mengarah ke satu ending yang shocking terkait jadi apa Rakib setelah semua ini. Jadi, ya, adegan dan motong endingnya seperti itu perfect, tapi secara bangunan keseluruhan gak benar-benar terasa kayak perfect choice untuk dibegitukan. Karena sebenarnya film masih akan tetap kuat dan dramatis, dan emosional, jikalau endingnya enggak ‘dicut’ dan kita langsung melihat satu kesimpulan.
Siklus rezim kekerasan ternyata terus berulang. Film ini berusaha memberikan gambaran apa yang sebenarnya menyebabkan itu terjadi. Apa yang membiarkan itu terjadi. Gagasan yang bisa kita baca dari cara film menyampaikan ceritanya ini adalah bahwa semua itu berakar pada toxic masculinity. Autobiography adalah film yang cowok banget. Mulai dari catur, berburu, bir, kendaraan, semua simbol cowok hampir ada. Tapi, sosok perempuan – sosok ibu – seperti sengaja ditiadakan. Diminimalisir. Dan itu mungkin sebabnya kenapa film ini begitu ‘seram’. Seolah gak ada yang bikin jadi lembut. Seems like there’s no hope. Kita cuma bisa nikmati saja.
Bahasa visual yang digunakan pun seperti menuntun penonton untuk sampai kepada kesimpulan ending itu. Kita melihat Rakib memandang pantulannya di cermin, sambil memegang cangkir kopi yang diberikan sesuai permintaannya. Bercerita dengan visual seperti demikian memang salah satu kekuatan film ini, yang membuatnya jadi fresh. Karena Makbul Mubarak banyak menyuguhkan adegan lewat sudut yang unik. Sudut yang benar-benar mewakili perasaan Rakib. Kamera mengintip dari kaca jendela, merunduk di bawah spanduk kampanye, ataupun ya, membiarkan kamera tidak menyorot apa-apa selain aftermath dari suatu perbuatan. Visual ini juga jadi cara penyampaian metafora atau penyimbolan yang efektif. Adegan Rakib mandi lalu tiba-tiba Pak Purwa masuk dan memandikan dirinya, misalnya. Simbol ketika kuasa bahkan bisa ‘menjajah’ pribadi kecil di ruang mereka yang paling privat sukses tergambarkan dengan kuat dan disturbing lewat adegan tersebut. Suspens dan intensitas memang akhirnya berhasil diraih oleh film lewat gambar-gambar ini. Timing-nya juga precise sekali. Meskipun memang banyak shot-shot yang diam, entah itu menangkap ekspresi Rakib atau hanya memperlihatkan karakter duduk di sana, tapi tidak pernah terasa kelamaan. Feeling ‘ngeri’ tersebut berhasil terjaga dengan baik.
Di sisi lain, ada juga beberapa adegan yang mestinya bisa ditrim untuk membantu pacing keseluruhan. Film ini bisa terkesan terlampau runut, walaupun runutnya kejadian tidak benar-benar terlalu ngaruh ataupun ngasih something dramatis yang benar-benar diperlukan. Kayak ketika Rakib nganter-jemput Pak Jenderal ke kawinan. Film benar-benar ngeliatin proses antar, pulang lagi, ambil senapan. jemput lagi, nyampe di tempat pesta – yang sebenarnya fungsinya untuk ngeliatin Rakib mampir ke mana dulu, dan adegan senapannya di mobil hampir ketauan. Menurutku fungsi tersebut gak benar-benar worth untuk mengulur pacing, dan mestinya bisa diperketat lagi.
But still, ini film yang luar biasa menginspirasi. dari sisi bahwa ini adalah film panjang pertama dari sutradara. Bahwa ia mampu mewujudkan visinya dan memberikan kita suguhan yang completely different. Yang berani, baik itu topik maupun seni berceritanya. Fakta bahwa film seperti ini – dibuat oleh sutradara baru pula – bisa eksis, dan bahkan memborong banyak penghargaan dalam dan luar negeri, seharusnya jadi inspirasi bagi setiap pecinta film. Buat yang angker sama film ‘berat’, jangan keburu keder duluan. Dua karakter sentral film ini, dihidupkan lewat penampilan akting yang gak dibuat-buat, akan gampang konek karena terasa familiar. Malah, semua yang digambarkan film ini terasa familiar, makanya film ini dikatain seram. Kita seolah menghidupi dunia yang sama dengan karakternya. Visualnya bahkan berkata lebih banyak lagi daripada para karakter. Yang membuat film ini semakin menarik untuk disimak, semakin jauh dari kata membosankan. Aku gak bisa ngasih kata-kata bujukan ataupun kata-kata perintah yang mengancam kayak Pak Jenderal. Aku hanya bisa ngasih skor buat film. So yea,
The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for AUTOBIOGRAPHY
That’s all we have for now.
Jadi apakah menurut kalian kekerasan itu diwariskan, atau dipelajari?
Share pendapat kalian di comments yaa
Remember, in life there are winners. And there are losers.
We? We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA
It has been a blessed year for cinema. Gimana tidak. Bayangkan, tahun ini kita dapat dua film dari Guillermo del Toro. Dua film dari Steven Spielberg. Tiga film yang loosely berdasarkan kehidupan masa kecil/remaja sutradaranya masing-masing. Dua film Pinokio. Film studio gede maupun film yang lebih ‘sederhana’ saling susul menyusul bikin cerita dalam konsep dunia multiverse. Avatar, making a comeback dengan sekuel. Kita dapat akhir dari seteru ikonik antara Laurie Strode dengan Michael Myers. Yang lantas diikuti oleh banyak lagi horor-horor yang berusaha ngasih sesuatu yang revolutionary. Slasher, Whodunit, dan bahkan monster creature yang juga berisi kritik/satir isu sosial. Film dialog dengan jin juga ada. Also, Voldemort jadi chef sinting sekarang. Gila, horor memang lagi lucu-lucunya sekarang. Di Indonesia juga gitu. Horor marak lagi. Mumun jump into a big screen! Ada juga horor yang bikin satu apartemen jadi kayak satu wahana rumah hantu besar. Salah satu horor nembus nyaris sepuluh juta penonton, walaupun yah secara kualitas filmnya masih jauh di bawah. Tapi di sini, di daftar film-film top saat ini, kita hanya akan bahas yang baik-baik aja. So yea., Mulai bermunculan horor-horor yang lebih nyeni, yang lebih berisi daripada sekadar parade jumpscare. Ada superhero horor sekarang. Ada horor religi juga. Jumlah penonton semakin bergerak naik setelah sekian lama berkurung sebab pandemi. Selain horor, kita dapat lebih banyak lagi film-film yang mengangkat isu perempuan, dua film Gina S. Noer, film superhero lokal, dan film-film komedi yang mulai berani untuk menunjukkan kematangan tema secara serius.
Pokoknya, jadi penggemar film di tahun ini rasanya puas banget. Puas bisa kembali ke bioskop. Puas sama pilihan dan variasi tontonan yang semakin banyak. Puas, karena actually ada lebih banyak film bagus sekarang ketimbang film jeleknya. At least buatku. Waktu ngerecap nilai-nilai film yang udah direview sepanjang tahun – My Dirt Sheet sukses mereview 122 film di tahun 2022 (peningkatan dari tahun sebelumnya) – aku notice kalo tahun ini film yang dapat skor B ke atas (6 ke atas) jumlahnya banyak. Jumlah yang dapat S (8 ke atas) kayaknya paling banyak di tahun ini, selama aku ngereview di blog ini.
Aku cuma bisa senyam-senyum. Film-film itu ngingetin aku kenapa kita semua cinta pada film pada awalnya. Ngingetin bahwa film bisa begitu menginspirasi. Nah supaya senyumku enggak kelamaan (khawatir giginya kering!) maka kita mulai saja daftar Top-8 Movies 2022!!
HONORABLE MENTIONS
Before, Now & Then (Nana) (or as I called it ‘Selamanya Nana Terkurung’; film yang kayak perempuan Indonesia; cantik, tapi somehow tragis)
Black Phone (film horor tentang anak-anak yang benar-benar mencekam dan gak sekadar membuat mereka jadi objek.)
Bullet Train (di balik fast-paced action dan karakter-karakter unik nan kocak, film ini masih sempat nyiapin filosofi soal luck)
DC League of Super Pets (kelihatannya kayak kartun anak-anak yang simpel, tapi actually punya bobot yang gede. Film terbaik The Rock!!)
Nope (Jordan Peele strikes again, kali ini dalam horor creature yang ciamik!)
She Said (benar-benar ngasih lihat bahwa untuk empati kita hanya butuh ‘dengar dan rasakan’)
Tar (faux-biography komposer perempuan yang intens, Cate Blanchett show!!)
The Banshees of Inisherin (komedi tragis tentang gimana manusia menghadapi penolakan)
The Batman (temukan sendiri gimana rasanya benih harapan itu tumbuh pada kisah Batman dalam fase ’emo’ sebagai pahlawan)
Top Gun: Maverick (bukan hanya soal aksi-aksi pesawat tempur – yang beneran dilakuin Tom Cruise sendiri – film ini juga punya naskah yang supersolid)
West Side Story (kali pertama Spielberg garap musikal, rasanya sudah langsung ‘on another level’!!)
X – Pearl (dua dari trilogi horor Ti West yang benar-benar membekas berkat range luar biasa si Mia Goth)
Serta, Special Mention buat Ngeri-Ngeri Sedap, yang video ulasannya paling banyak ditonton di channel YouTube My Dirt Sheet. Dan kepada KKN di Desa Penari sebagai film dengan ulasan paling banyak dibaca di blog My Dirt Sheet tahun 2022. Man, film itu mecahin rekor di mana-mana
Oke, sekarang inilah DELAPAN BESAR 2022!!
–PS: seperti biasa, klik di judulnya untuk dibawa ke halaman full-review masing-masing
Director: Guillermo del Toro Stars: David Bradley, Gregory Mann, Ewan McGregor MPAA: Rated PG IMDB Ratings: 7.7/10 “You did bring me joy. Terrible, terrible joy.”
Guillermo del Toro merebut kembali dongeng si boneka kayu yang mau dibawa Disney entah ke mana. Tadinya aku udah hopeless. Versi live-action Disney yang rilis beberapa bulan sebelumnya, mengubah Pinokio jadi propaganda ‘woke’ semata. Kehilangan magis karakter dan dongengnya. Guillermo del Toro mengembalikan itu semua lewat Pinocchio versi animasi stop-motion yang bener-bener sebuah penceritaan dongeng yang fantastis dan magical.
Ceritanya kurang lebih sama, tapi dibuat ke dalam warna yang sedikit lebih dark. Kualitas desain produksi yang bisa kita harapkan dari om del Toro, hadir semua di sini. Desain karakter yang unik, panggung era perang, tema yang bicara soal kematian di balik hubungan anak dengan orangtua. Dia membuat Pinokio benar-benar jadi miliknya sendiri.
Karena film ini, aku jadi kembali percaya, sinema modern kita masih punya kekuatan ajaib dalam bercerita. Seni mendongeng itu masih ada, and it might be stronger than ever!!
My Favorite Scene: Aku masih terkagum-kagum gimana Guillermo del Toro kepikiran mengganti Negeri Nikmat dengan Kamp Pelatihan Perang untuk Anak-Anak. Arena bermain digantinya dengan panjat-panjatan dan obstacle courses buat latihan. Message yang diparalelkan loud-and-clear. Anak-anak yang terlalu patuh dan kaku tidak lebih baik daripada anak berandal yang bandel. Tentara sama aja kayak keledai, just follow rules! Adek-adek, cinta terkadang butuh kita untuk melanggar aturan!!
Director: Matt Bettinelli-Olpin, Tyler Gillett Stars: Neve Campbell, Jena Ortega, Melissa Barrera MPAA: Rated R IMDB Ratings: 6.3/10 “Because nobody takes the true fans seriously, not really. They just laugh at us, and why? Because we love something? We’re just a fucking joke to them! How can fandom be toxic? It’s about love! You don’t fucking understand, these movies are important to people.”
Wes Craven tidak membuat Scream sebagai slasher whodunit semata. Sejak film originalnya, Scream selalu juga bertindak sebagai komentar meta tentang genre horor itu sendiri; apa yang terjadi pada skena per-horor-an pada masa film itu dibuat. Itulah yang terutama membuat Scream konek dengan fans. Itulah yang membuatnya sebagai slasher yang cerdas.
Sebagai honor terhadap Wes Craven tersebutlah, Scream dilanjutkan kembali. Dan ya, film ini bukan soal membahas legacy Sidney semata. Film ini menyentil soal yang terpisahkan dari dunia film; penonton, penggemar. Fandom, yang di masa sekarang bisa menjadi begitu toxic, sampai-sampai membuat studio harus meluncurkan sekuel-sekuel reboot yang nothing but a cash cow. Sebagai penggemar-sejati, bahasan tersebut, yang merayap di balik kelanjutan teror Ghostface, menjadi menarik untuk dinikmati. Film ini actually ngelahirin istilah baru – rekuel – dan menikam apa-apa yang salah dari rekuel-rekuel tersebut.
Scream sendirinya adalah rekuel, namun mereka berani untuk ningkatin stake dan membuat dirinya terasa beneran urgen dengan karakter baru dan permasalahan (lama tapi) baru.
My Favorite Scene: Film-film Scream juga biasanya suka ‘becandain’ adegan-adegan film original. Di film ini, salah satunya adalah bikin adegan yang mirip ama kejadian di basement rumah Tatum di film pertama. Dan ini adalah adegan yang bikin aku jatuh cinta sama Amber – my new favorite Scream character! Di dialog basement tersebut udah keliatan dia ini ada gila-gilanya sedikit hihihi
Director: Mark Mylod Stars: Anya Taylor-Joy, Ralph Fiennes, Nicholas Hault MPAA: Rated R IMDB Ratings: 7.5/10 “Because. I need to know if you’re with us or with them.”
Makanan sering disimbolkan sebagai hal yang lain pada film. Termasuk pada The Menu, yang bicara soal menjadi snob dan gatekeeping art lewat cerita chef yang jadi ‘sinting’ dan mau bunuh diri beserta anak buah dan para tamunya dalam sebuah jamuan makan malam mewah terakhir.
This movie really hits me. Penampilan luar biasa Ralph Fiennes benar-benar membuatku memikirkan soal bagaimana cara yang benar untuk mengapresiasi seni, mengapresiasi film. Karena yang kita lihat di sini adalah chef yang great at what he does, yang percaya sama seni kuliner sampai ke akar filosofisnya, yang membuat rangkaian menu dengan tujuan dan konsep matang sebagaimana filmmaker menyiapkan filmnya, tapi di saat yang sama dia juga adalah orang yang telah kehilangan passion terhadap hal yang ia lakukan tersebut.
Nonton film ini ya awalnya tertarik, lalu ngeri, terus jadi kepikiran sendiri. Sungguh sebuah konsep luar biasa menarik dipunya oleh film ini. Dijual sebagai dark komedi thriller, padahal sebenarnya merupakan food for our thought. Pada lihat dong, gimana kondisi kuliner di sana seperti menyimbolkan sinema juga? Amit-amit kita jadi sinefil yang snob kayak foodies di film itu yaa
My Favorite Scene:
Ketika heroine kita berusaha mengembalikan sedikit passion itu kepada si chef, dengan memintanya membuatkan cheeseburger – as opposed to fancy meals. Maaan, adegan bikin burgernya bener-bener menggiurkan!!
Director: Robert Oslund Stars: Harris Dickinson, Charlbi Dean, Dolly de Leon, Woody Harrelson MPAA: Rated R IMDB Ratings: 7.6/10 “I sell shit.”
Berawal dari model disuruh pasang tampang semakin jutek, seiring semakin mahal busana yang dikenakan, ke persoalan split bill cewek-cowok, ke persoalan orang kaya karena jualan tai, ke terdampar di pulau, Triangle of Sadness adalah satir yang menyenggol gender-role dan kelas sosial.
Setiap dialog, setiap adegan, akan membuat kita menempelkan mata dan telinga, karena semuanya dibuat dengan begitu menarik. Kita tahu film ini ingin menyampaikan sesuatu di balik kejadian yang sekilas tampak shooting fish in the barrel. Kayak cuma pengen mengolok orang kaya, tapi sebenarnya naskah mengembangkan mereka dengan berimbang. Film ini salah satu contoh lagi dari naskah yang dibuat dengan penuh pemikiran dan maksud. Enggak sekadar lucu-lucuan. Strukturnya sendiri kalo kita cermati seksama chapter-chapternya, ya kayak segitiga juga. Karena film ini sesungguhnya memuncak di tengah, dan di akhirnya adalah situasi yang sama kayak di awal, hanya dengan pembalikan role buat karakter-karakternya.
Keren banget gimana film ini bisa membuat dunia yang mungkin gak familiar itu – gaya hidup model dan orang kaya – dijadikan candaan, tapi kemudian lantas jadi relevan.
My Favorite Scene: Badai di kapal! Serius, film ini gila banget masukin adegan seover itu tapi bisa gak tampak receh hahaha
Director: Quinn Shephard Stars: Zoey Deutch, Mia Isaac, Dylan O’Brien MPAA: Rated R IMDB Ratings: 6/10 “So maybe one day, I’ll forgive you. But we will never be OK.”
Man, di pembuka aku ngomongin horor lagi make a new hits, tapi yang akhirnya masuk daftarku malah komedi satir banyaknya hahaha.. I guess aku bener-bener naruh perhatian lebih buat naskah yang menarik dan cerdas. Not Okay mungkin film yang jarang terdengar di daftar-daftar terbaik, tapi inilah dia. Aku suka gimana film ini dengan perfect menangkap fenomena sosial media jaman sekarang. Sedari nulis reviewnya Juni lalu, aku sudah bilang aku bakal masukin ini ke daftar film teratasku. Segitu sukanya aku sama film ini.
Bukan hanya soal konten bohong demi viral, karakter Zoey Deutch – penampilan aktingnya ngalir banget di sini, sukak! – di film ini benar-benar tepat menggambarkan gimana seorang influencer bisa sok peduli dan akhirnya terjerat dalam lingkaran kebohongannya sendiri. The lie gets bigger. Dan film mentackle bahasan ini dengan membawanya ke ranah yang grounded secara emosional.
Yang hebatnya pada naskah film ini adalah caranya menggarap protagonis yang unlikeable seperti demikian. Film tidak lantas menjadikannya pahlawan – mendapat redemption setelah dicancel. Karena itu akan sangatlah tidak adil, sebab si protagonis kita sesungguhnya adalah outsider dari bahasan yang sok ia angkat dan pedulikan. Ini menunjukkan film benar-benar paham dan tahu apa yang sebenarnya pengen mereka kritik pada konsep influencer masa sekarang.
My Favorite Scene: Ini mungkin spoiler, tapi yah mau gimana.., Yang bikin aku suka ama film ini adalah pilihan yang mereka bikin diambil oleh karakter Zoey Deutch. Yaitu memutuskan untuk tidak jadi meminta maaf. Karena it’s not about her. Ini gak kayak di kita, yang banyak influencer bikin salah lalu segampang itu tinggal minta maaf. Film ini benar-benar mengerti dan membuat karakternya menyadari hal tersebut.
Director: Steven Spielberg Stars: Gabriel LaBelle, Michelle Williams, Paul Dano MPAA: Rated PG-13 IMDB Ratings: 7.7/10 “Movies are dreams that you never forget.”
Dari tiga film tentang kehidupan masa kecil/muda sutradara tahun ini, yang paling konek dan berkesan buatku adalah The Fabelmans karya Spielberg. Tadinya aku sudah nge-book spot buat West Side Story, ternyata Spielberg bikin film lagi, dan The Fabelmans ini actually resonance banget buatku yang pengen bisa bercerita seindah itu lewat film.
Terlihat jelas bahwa film sungguhlah penting bagi Spielberg. Karena di sini diceritakan tentang Sammy yang menemukan hidupnya dari kerjaan mengolah pita-pita yang ia rekam. Dari kerjaannya bikin video entah itu film untuk teman sekelas, maupun video liburan keluarga. At the emotional heart, film ini bicara tentang anak yang menemukan duluan ibunya ternyata tidak cinta dengan ayah. Kepentingan medium film berhasil dimasukkan berkait dengan aspek emosional tersebut. Yang menginspirasi adalah adegan-adegan saat Sammy menggarap video-video. Bagaimana dia menciptakan efek, bagaimana dia mengarahkan temannya. Dan gimana film yang ia hasilkan menyentuh setiap orang yang menonton. Lewat itu semua, Spielberg menunjukkan kekuatan sinema, bagaimana gerakan kamera dan segala macam aspek yang direkam dengan hati bisa mempengaruhi orang.
Kunci kesuksesan film ini juga datang dari penampilan akting. Sudah bukan rahasia lagi gimana Spielberg piawai ngedirect pemain-pemain, terutama yang muda-muda. Di film ini range arahannya tersebut, terbukti sangat luas. Seth Rogen saja bisa dibikinnya humanis!
My Favorite Scene: Akting singkat nan berkesan paling memorable adalah cameo David Lynch di akhir. Gila, di menit-menit akhir itu film masih sempat ngajak kita bercanda dengan dialog Lynch dan pergerakan kamera yang selaras dengannya pas di momen final film. Bisa aja!!
Director: Dan Kwan, Daniel Scheinert Stars: Michelle Yeoh, Stephanie Hsu, Ke Huy Quan, Jamie Lee Curtis MPAA: Rated R IMDB Ratings: 8.1/10 “So, even though you have broken my heart yet again, I wanted to say, in another life, I would have really liked just doing laundry and taxes with you.”
Awalnya aku hanya memandang ini sebagai Rick and Morty versi film keluarga. Lalu sebagai multiverse yang lebih keren daripada Dr. Strange. Tapi semakin ditonton, semakin kita masuk ke dalam durasi yang memperlihatkan perjuangan seorang ibu lintas multiverse, maka jelaslah sudah film ini jauh lebih besar dari semua itu.
Pertama, film ini juga menginspirasi untuk bikin film bagus, karena film ini actually bukan produksi gede. Budgetnya gak raksasa, timnya gak banyak. Tapi pencapaian visualnya luar biasa. Mereka membuat banyak sekali dunia yang ajaib, sebagai bagian dari multiverse, dan berhasil mengedit itu semua ke dalam penceritaan yang super duper kompleks. Syarat yang dipenuhi oleh film sehingga ceritanya tidak jadi bikin bingung – walau dunianya banyak dan bicara soal konsep nihilisme sebagai antagonis – adalah punya konflik yang grounded. Konflik ibu dan anak perempuannya, Konflik istri dengan suaminya yang terlalu baik.
Kedua, soal action. Film ini ngambil step yang jauh lebih gede dari konsep berantem ala kung-fu yang biasa kita lihat. Karena di sini, panggungnya adalah multiverse. Film menggunakan banyak sekali elemen-elemen unik dari panggung cerita, dari karakter (gimana awalnya gak bisa berantem, lalu jadi jago) sehingga semuanya jadi seru. Jamie Lee Curtis aja di sini bisa gilak gitu berantemnya. Harusnya jurus itu yang dia bawa pas ngelawan Michael Myers hihihi.
Ketiga, tentu saja naskahnya. Walau dunia, karakter, dan konsepnya zany, tapi karena kebutuhan film ini bukan jadi komedi meta kayak Rick and Morty yang basically punya konsep dunia yang sama, dialog-dialog di sini tuh bakal bikin hati kita diaduk-aduk alih-alih bikin bingung.
My Favorite Scene: Adegan batu. Aku sampai masukin itu ke nominasi Best Scene di My Dirt Sheet Awards 11 nanti. Perbincangannya benar-benar ngena, jadi kontras yang bergaung banget setelah semua kehebohan multiverse dan donat-donat sebelumnya.
Okeh, tinggal film puncaknya. Well, yang sudah lama ngikutin blog ini mungkin sudah bisa lihat polanya. Aku hampir selalu meletakkan film yang objectively beneran best di posisi nomor dua, karena posisi satu akan kuberikan untuk film yang benar-benar ‘gue banget’. Makanya tiap tahun, selalu banyak yang surprise haha.. Kenapa konsepnya begitu? karena this list is supposed to be subjective. Aku selalu berusaha seobjektif mungkin di review-review, berusaha ngasih skor yang paling mewakili kualitas filmnya secara teori dan penulisan naskah. Sekarang, saatnya ngumpulin film-film itu ke dalam satu daftar teratas, yang kalo orang lihat mereka langsung tahu “oh ini pasti daftarnya si Arya.” Daftar My Dirt Sheet. Aku gak mau ini list Top-8 ku ini saking seragamnya jadi kayak kayak daftar yang disusun oleh A.I.. Enggak. Cukup sketsa dan gambar saja yang dibikinin oleh komputer. Let me have this one!
Maka dari itu, inilah film yang menurutku paling pantas kuletakkan sebagai posisi puncak. Film yang bukan saja menginspirasi karena juga budgetnya gak gede, tapi juga mengembalikan cintaku kepada genre yang telah membuatku tertarik untuk nonton lebih banyak film lagi sedari awal.
Director: Damien Leone Stars: Lauren LaVera, David Howard Thornton, Amelie McLain MPAA: Not rated IMDB Ratings: 6.2/10 “Cause food’s a little funny, at the Clown Cafe”
Nasib horor/slasher modern ada di tangan Art the Clown.
Aku gak muluk bilang begitu karena kapan terakhir kali kita nonton horor yang gak ribet sama pesan politik atau isu sosial berlebihan, sekaligus gak takut untuk melanggar batas-batas sadis, brutal, jorok, dan lainnya, dan sanggup bikin karakter ikonik? Terrifier 2 berani dan melakukan itu semua. Setelah nonton film ini, aku gak khawatir lagi, Michael Myers can rest in peace.
Bukan berarti film ini kosong kayak ciki anak SD. Terrifier 2 adalah upgrade besar-besaran dari film pertamanya yang memang cuma gore-fest. Kali ini, Terrifier 2 dihadirkan dengan muatan drama dan plot yang berarti. Tentang kakak beradik sepeninggal ayah mereka. Kakak yang harus jadi pelindung bagi adiknya, pengganti sosok ayah, tapi si kakak ini masih galau dan gak percaya dia sanggup untuk semua itu. Plot sederhana yang berhasil jadi nyawa film ini, merayap di balik adegan-adegan pembunuhan yang gak nahan apapun. Inilah yang selama ini kuminta pada horor. Soalnya gak banyak horor atau slasher yang punya plot dan kesadisan sekaligus. Memang sih, karena level sadisnya, film ini bukan untuk semua orang. Kalo mau ajak pacar nonton ini juga kayaknya harus mikir dulu, it could be too gross. Totally, film ini bukan untuk yang faint-hearted, definitely tidak untuk ditonton saat makan. Aku aja panas dingin kok nontonnya. Dan itu membuktikan betapa film ini berhasil menciptakan ‘dunianya’. Terrifier 2 begitu kreatif, mereka juga gak punya budget gede, tapi berhasil ngasih sesuatu yang berdamage luar biasa dengan efek-efek horor/gore praktikal.
Secara akting, juga melebihi ekspektasi. Final girl dan si Art, bahkan si badut kecil yang bikin film ini jadi punya elemen mistis, semuanya dapat nominasi di My Dirt Sheet Awards. Pokoknya gak kayak horor Indonesia yang entah kenapa belakangan suka bikin final girlnya gak tersentuh, film ini beneran ‘menyiksa’ si karakter. Membuat survivalnya penuh oleh growth dan development, yang bikin kita ngecheer dia. Mengenai si Art, karakter ini bakal jadi ikonik karena punya kekhasan. Dia gilanya beda ama badut-badut di horor lainnya. To be honest, dibandingkan dengan Art yang bener-bener edan dan selalu sukses bunuh korban tanpa ba-bi-bu, Pennywise di It jadi kelihatan kayak anak pesantren yang alim hihihi
My Favorite Scene: Aku jarang sekali suka sama adegan mimpi, karena biasanya cuma digunakan untuk mancing cheap scare, tapi adegan mimpi di Terrifier 2 begitu elaborate dan penting dalam bangunan narasi. Begitu banyak kengerian dan kegilaan di sekuen panjang mimpi tersebut!!
So, that’s all we have for now.
Itulah daftar Top Movies 2022 My Dirt Sheet. The word here is the ‘magic of cinema’.
Berikut lengkapnya 122 film yang sudah direview dan dinilai di sepanjang tahun:
Apa film favorit kalian di tahun 2022? Apa harapan kalian untuk film di tahun 2023?
Share with us in the comments
Remember, in life there are winners. And there are losers.
We are the longest reigning PIALA MAYA’s BLOG KRITIK FILM TERPILIH.
“Hate cannot drive out hate; only love can do that”
Belakangan ini kita memang diberkahi banyak banget film musikal yang keren-keren. Annette (2021)yang menekankan kepada sisi absurd seninya. Tick, Tick…Boom! (2021)yang melekat berkat relate personal ceritanya. Ada begitu banyak pilihan musikal yang bagus, yang mampu membuat aku yang gak fans musik jadi jatuh cinta. Tapi dari semua, West Side Story garapan Steven Spielberg-lah yang paling pas untuk mengenakan mahkota. Karena film ini benar-benar goes for the big! Baik itu performance, musical numbers atau adegan musikalnya, produksi, hingga ke pesan, semuanya spektakuler. Spielberg ngedirect film ini dengan kemegahan yang cuma dia yang bisa. Dan itu berarti luar biasa karena film ini sendirinya sebenarnya adalah sebuah remake dari musikal yang enggak ‘kecil’. Spielberg membuat cerita ini lebih besar dan lebih relevan lagi!
Materi aslinya terinspirasi dari kisah Romeo dan Juliet. Namun alih-alih perseteruan keluarga, kisah cinta Tony dan Maria di West Side Story berada di tengah-tengah seteru dua kelompok etnis pemuda yang berbeda. Manhattan 1957 itu tempat tinggal yang jadi rebutan oleh penduduk imigran yang sudah turun temurun tinggal di sana. Di satu sisi ada kelompok Inggris, dengan geng Jet. Dan di sisi lain ada warga Puerto Rico dengan kelompok Shark. Dua kelompok ini terus saja berantem, cari ribut. Persaingan memenuhi kebutuhan hidup yang layak membuat kedua kelompok saling benci. Tapi tidak Tony dan Maria. Bertemu di pesta dansa (sementara geng masing-masing lagi rebutan lantai dansa), Tony yang mantan anggota Jet dan Maria yang adik dari ketua Shark jatuh cinta pada pandangan pertama. Mereka bermaksud hidup bersama, pergi dari kota dan start fresh. Tentu saja, kedekatan mereka berdua dijadikan alasan baru bagi Jet dan Shark untuk ribut. Dan kali ini benar-benar bakal ada nyawa yang jadi korban.
Namanya juga musikal, semua permasalahan film ini diceritakan lewat lagu. Set drama di kota dilandaskan lewat adegan musikal di opening. Alasan Jet nyari ribut, juga lewat musikal. Bahkan pas sekuen berantem pun juga ada gerakan-gerakan seperti balet (sebelum akhirnya film ini nunjukin berantem yang cukup violent). Dari nonton West Side Story inilah aku jadi mikir, bahwa keberhasilan sebuah film memang gak pernah sesederhana ‘horor yang penting harus bisa bikin takut’, ‘komedi yang penting harus lucu,’ ataupun ‘romansa yang penting harus bisa bikin baper’. Karena dengan begitu berarti ‘musikal berarti harus bisa bikin ikut nyanyi’. Nah dengan logika itu, sampai kapanpun aku gak akan pernah nemuin musikal yang bagus karena aku yang gak suka musik gak akan pernah nyanyi menonton musikal. Dan kalo aku – kalo kita – menilai film dengan subjektivitas sesederhana fungsi tersebut, ya kitalah yang rugi. Kita gak akan tahu film bagus bahkan kalo film itu tayang di depan hidung kita. Dari musikal segrande West Side Story inilah kita bisa sadar bahwa meskipun kita gak konek dengan liriknya, atau dengan musiknya, atau bahkan dengan bahasanya, sebuah film masih akan tetap bagus dan itu dinilai dari objektivitas teknik film itu dibuat, cerita film itu ditulis, seperti apa gagasannya disampaikan. Bagaimana craft film dalam memuat isi kemudian menampilkannya ke dalam genre masing-masing, di situlah sebenarnya penilaian film bagus atau tidak.
Dan West Side Story benar-benar dibuat dengan epik. Setiap adegannya, mau itu musikal ataupun pas ngobrol biasa, berwarna oleh detil, penempatan kamera, dan bahkan bloking orang-orangnya saja seperti bermakna. Adegannya tu gak pernah sekadar nari-nari rame-rame di tengah jalan. Saking banyaknya adegan bagus yang benar-benar nonjolin craft dan visi dari si filmmaker, aku bisa bikin listicle khusus di dalam tubuh ulasan ini. ‘Dua-puluh Adegan Terepik dalam West Side Story, Nomor Lima Bakal Bikin Kamu Ikutan Joget!’ Ya, bukan lima, bukan delapan. Dua puluh itu aja kayaknya belum semua deh yang keitung. Kamera dan perhatian Spielberg lewat bercerita visual mengangkat setiap adegan musikal menjadi momen-momen ajaib yang kita rugi kalo sampai ngedip and miss it. Adegan nyanyi di gang gelap, lalu Tony loncat ke kubangan, kamera lantas menyorot dari atas; memperlihatkan pantulan berpuluh-puluh lampu dari jendela lewat riak-riak kubangan tersebut, maaan siapa sih yang bisa kepikiran membuat adegan seperti itu. Shot-shot film ini memang sangat imajinatif, gak ada yang standar. Dua geng saling bertemu di dalam gudang yang gelap; Spielberg mempesona kita dengan menggambar dari bayangan kedua kubu. Lalu ada juga sekuen panjang saat adegan masuk ke ruang dansa. Kameranya kayak melayang gitu aja, nempel di tubuh lalat kali hahaha. Buatku, film seperti beginilah yang menantang – sekaligus menginspirasi. Film, yang saat menontonnya kita langsung penasaran mereka ngerekamnya seperti gimana, kameranya gimana. Kok bisa?
Akhirnya ya kita yang nonton jadi merasa dapat lebih banyak daripada sekadar lirik atau irama yang catchy. Kita ujung-ujungnya jadi mengapreasiasi musikal itu secara keseluruhan. Aku paling suka adegan nyanyi Amerika, dan adegan nyanyi di dalam ruangan kantor polisi. Selain itu, dengan pengadeganan dan penampilan menawan seperti itu, perhatian kita juga jadi terpusat pada cerita. Hampir seperti kita gak butuh lagi sama dialog. Mungkin ini jugalah yang dimengerti oleh film, sehingga Spielberg tidak menampilkan subtitle untuk dialog-dialog dalam bahasa Spanyol. Spielberg melalukan ini demi respek terhadap karakter dan bahasa itu sendiri, tapi dia toh juga tidak mempersulit atau meminta terlalu banyak kepada penonton. Perhatikan saja adegan-adegan berbahasa Spanyol itu. Selalu hanya keluar dalam adegan yang konteksnya sudah terlandaskan dengan baik. Selalu punya weight ke dalam karakterisasi dan plot itu sendiri. Ketiadaan subtitle ini justru jadi penanda utama bahwa film ini telah demikian baik bercerita lewat visual dan penampilan atau juga musiknya.
Colorfulnya pengadeganan didesain kontras dengan kelamnya cerita. Aku nonton film ini duluan daripada film aslinya, aku gak tau sebelumnya ini ceritanya bakal seperti apa. Dan aku surprise juga saat menyaksikan ujung cerita film ini. Aku gak expect kalo film yang udah dibuat untuk penonton modern ini berani membuat sekelam itu. Mungkin inilah kenapa West Side Story kurang laku (selain karena musikal memang kurang perform untuk penonton kita). Modern audience kan gak bisa dikasih ending yang conflicted. Pengennya yang jelas. Happy, atau sedih. Kalo bisa sih yang happy aja. Gak boleh di antara keduanya. West Side Story berakhir tragis dengan cinta yang terpisah oleh kematian, tapi punya undertone yang optimis ke arah kehidupan yang lebih baik untuk semua orang di kota. This ending will hit alot. Dan aku senang karena film ini mengambil resiko dengan ending seperti itu. Film ini telah melakukan cukup banyak penyesuaian – ada hal-hal yang dibikin berbeda dengan versi aslinya – tapi untungnya tidak diubah sesuai kesukaan penonton modern. Malah kalo dipikir-pikir, ending versi ini memang lebih menohok.
Seperti pesaingnya di Best Picture Oscar, Coda (2021), film West Side Story juga melakukan remake yang melakukan perubahan positif dalam hal representasi. Spielberg tak lagi menggunakan aktor kulit putih yang dimake-up coklat, melainkan benar-benar menggunakan aktor latin untuk karakter-karakter Puerto Rico. Feels film ini jadi semakin otentik, selain juga respek sama ras yang diangkat. Soal casting ini memang benar-benar dimanfaatkan sebagai isi karakter. Ariana DeBose yang berkulit lebih gelap misalnya, diset untuk memerankan Anita yang nanti terlibat dialog soal kulit itu dengan sesama Puerto Rico, terkait konteks bagaimana prioritas Amerika kepada warganya. Terus, ada karakter yang benar-benar merepresentasikan trans-people, sementara film aslinya tahun 60an belum berani banget menampilkan. Lalu ada juga aktor yang gak sekadar jadi cameo dari film original, tapi diberikan peran yang dramatis terkait dia memerankan peran terdahulu dengan peran sekarang. Tapi yang paling penting soal cast ini adalah, Spielberg benar-benar ngedirect mereka untuk menghasilkan performa yang sama luar biasanya.
Masalah rasis yang jadi akar konflik film ini digambarkan dengan kompleks, dan jadi masalah yang terstruktur karena begitulah pondasi tempat tinggal daerah mereka. Tapi kalo mau disederhanakan, sebenarnya ini adalah masalah hate. Kebencian. Makanya hubungan cinta antara Tony dengan Maria jadi simbol penyelamat mereka semua. Mereka cuma harus bisa melihatnya. Walau kadang cara untuk sadar itu bisa demikian tragis.
Honestly, pas pertama kali nonton aku mikir film ini – terutama karena endingnya – agak problematis. Like, kenapa kulit putih mati jadi seperti savior. Bukankah, aku sempat mikir, lebih cocok dengan penonton modern kalo dibikin yang jadi ‘penyelamat’ itu adalah karakter cewek. Setelah dipikir-pikir, dikaitkan dengan arc Tony dan Maria, the whole ending ternyata memang harus terjadi seperti yang film ini lakukan. Tidak ada jalan lain yang lebih powerful.
Tony yang diperankan oleh Ansel Esgort di versi ini diberikan journey yang lebih dramatis. Backstorynya – mengapa dia keluar dari Jet, kenapa dia bisa punya hubungan baik dengan pemilik toko yang orang latin – benar-benar melandaskan arc penebusan diri. Benar-benar memperlihatkan Tony mencoba menjadi pribadi yang lebih baik, tapi tidak segampang itu berkat kuatnya pengaruh seteru dan hate tadi di kota. Arc si Tony baru akan melingkar sempurna dengan ending film ini, karena itulah penebusan dirinya yang sebenarnya. Bukan dengan pergi menumbuhkan cinta di tempat lain. Kota ini juga harus diresolve masalahnya. See, di sinilah letak kekuatan naskah West Side Story. Kota mereka juga jadi karakter tersendiri. Yang bakal ngalamin pembelajaran, melalui nasib dua karakter sentral. Maria, diperankan oleh Rachel Zegler dengan memukau meski ini adalah film pertamanya, punya arc tentang innocence lost. Maria adalah simbol atau perwujudan dari value positif; polos, penuh mimpi, optimis. Karakter Maria ini jadi makin penting saat ending itu, karena lewat dialah karakter-karakter di kota melihat apa yang telah mereka lakukan terhadap kota yang harusnya adalah tempat penuh harapan dan mimpi.
Ah, film yang indah. Baik itu pesannya, experience menontonnya, serta penampilan akting dan musikalnya (yang btw, bener-bener dinyanyikan oleh pemainnya). Dunianya terasa hidup, setiap adegan pantas banget untuk kita pelototin. Setiap scene terasa epik dan spektakuler. Everything about this movie feels grande. Aku harus menahan diri nulisnya, karena kalo gak, bakal panjang banget. Karena semuanya bisa dibahas mendalam. Semuanya punya makna. I’m okay film ini yang dipilih Oscar untuk mewakili genre musikal dibandingkan film yang lain. Bukan hanya karena nama Steven Spielberg. Pak sutradara berhasil membuktikan nama besanya bukan sekadar legenda. Tapi juga karena film ini terasa urgen meskipun dia adalah remake. Aku senang karena actually di line up Best Picture Oscar tahun ini, ada dua film remake yang tampil demikian kuat melebihi film original mereka. The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold stars for WEST SIDE STORY.
That’s all we have for now
Sayang sekali film ini flop di bioskop kita. Menurut kalian kenapa film musikal enggak perform dengan baik bagi penonton Indonesia?
Share pendapat kalian di comments yaa
Thanks for reading.
Remember, in life there are winners. And there are losers.
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA
“Aren’t grown up people just little children at heart?”
Selama enggak masalah sama adegan perempuan dewasa memperlihatkan dadanya kepada cowok remaja, atau sama candaan berbau rasis, Licorice Pizza memanglah sebuah tontonan kisah cinta sepasang darah muda yang manis. Dan untuk sebagian besar waktu, film ini tidak membesarkan dirinya lebih daripada tentang itu. Buatku, romance komedi bersetting di sebuah kota dalam bayang-bayang 70an ini adalah yang paling less-urgent di antara sepuluh nominasi Best Picture Oscar 2022. Karena pesonanya yang terletak pada cinta dalam bingkai personal, bukan pada menelisik kejadian-sekarang dan agenda-agenda yang relevan. Film ini lebih terasa seperti fantasi, atau ingatan ke masa muda, like, menontonnya seperti mendengar seorang teman yang menceritakan pengalaman cinta pertama yang sampai sekarang terus membara. Licorice Pizza dibuat seperti rayuan manja yang mengajak kita memanggil kembali jiwa muda yang masih ada di dalam sana, yang gak akan pernah pergi meskipun kita semua merasa sudah waktunya untuk bertumbuh.
Paul Thomas Anderson selaku penulis naskah dan sutradara memang menyusun narasi Licorice Pizza ke dalam bentuk yang terasa seperti per episode, seolah sedang merekoleksi memori. Gary bertemu dengan Alana di sekolah, tapi mereka bukan teman sekelah. Mereka bahkan enggak seumuran. Alana saat itu lagi kerja, jadi asisten tukang foto untuk sekolahannya Gary. Seperti layaknya cowok remaja yang curious sama kakak-kakak cantik, Gary langsung naksir Alana. Dia bahkan malam itu bilang ke adiknya bahwa dia telah menemukan perempuan yang bakal jadi istrinya. Jadi, Gary terus mengejar Alana. Alana yang nyadar gap-umur, berusaha untuk gak nunjukin perasaan, tapi toh Alana selalu ada bersama Gary. Mulai dari jadi ‘babysitter’nya hingga jadi rekan bisnis kasur-air yang dibangun Gary. Di sinilah kesan ‘episodik’nya itu dimulai. Mereka berdua akan bertemu berbagai macam orang, yang bakal bikin hubungan mereka naik-turun, karena tentu saja akan ada cemburu-cemburuan juga di sana.
Feeling yang dihasilkan memang begitu otentik. Dunia 70an itu ditangkap lewat lensa dan pencahayaan yang mainly consist of semburat keemasan, sehingga benar-benar terasa mewakili era lampau yang dikenang dengan nuansa fantasi. Setting waktu tersebut juga sangat mewarnai narasi. Suasana politik, kebiasaan masyarakat, keadaan ekonomi, hingga tren kasur air itu sendiri semakin menghidupkan dunia tempat para karakter berinteraksi. Tentu saja gak cukup hanya di panggungnya saja. Para karakter itu sendiri juga dihidupkan dengan maksimal. Dua karakter sentral, Gary dan Alana, haruslah natural dan punya chemistry semempesona dunia mereka. Anderson mempercayakan leads-nya ini kepada dua aktor yang sama sekali belum pernah berakting di film-panjang. Dan baik itu si Alana Haim (penyanyi pop yang memboyong keluarganya untuk memerankan Alana dan keluarga di dalam cerita) maupun Cooper Hoffman (putra dari mendiang aktor Philip Seymour Hoffman) benar-benar membuktikan bahwa Anderson bukanlah sedang gambling; melainkan membuat sebuah investasi tajam nan teruji. Akting mereka berdua sungguh meyakinkan, hampir seperti merekalah karakter tersebut.
Gary orangnya supel, temannya banyak, ‘pengagumnya’ juga. Gary dikenal bukan saja oleh sepantarannya, tapi juga oleh orang-orang yang lebih dewasa. Pembawaannya memang lebih dewasa dibanding umurnya. Beda ama Alana yang lebih tertutup, ketus, belum pernah pacaran, penuh keinsecurean, di umur yang sepuluh tahun lebih tua itu galau dan cemburunya bisa melebihi anak remaja seusia Gary. Dinamika mereka memang bersumber dari jarak umur tersebut. Tapi naskah tidak membuat kita mempertanyakan mereka akhirnya jadian atau enggak. Itu sudah diestablish sejak menit-menit pembuka. Tidak ada pertanyaaan; mereka berdua saling suka. Naskah film ini adalah soal drama yang mereka ‘pilih’ untuk lalui walaupun mereka saling suka. Bahwa mereka kidding with their feelings, atas nama bertindak dewasa. Akting dan karakterisasi mereka, aku apresiasi. Namun I just can’t love them seperti seharusnya seorang penonton film kepada karakter cerita. Karena fokus narasinya tersebut. Ceritanya yang dreamy dan fantasi, tapi bukan tentang bagaimana mewujudkannya menjadi nyata – bisakah hubungan tersebut jadi nyata. Melainkan udah fixed, gak ada ruang pertanyaan lagi di cerita ini. Persoalan hubungan yang mestinya ‘bermasalah’ tersebut dianggap gak ada gitu aja.
Iya, mungkin aku sedikit iri sama Gary dan Alana. Jika gender-rolenya dibalik, they were me. Di dunia nyata jika dibalik, hubungan seperti Gary dan Alana tidak akan dianggap sweet dan keren. Yang ada malah akan dituduh mau ‘grooming’, pedo, dimarahin ortunya, ataupun hal-hal lain yang bisa diantagoniskan sebagai konten Tiktok. Gary dan Alana sama sekali gak genuine buatku karena gak bakal begitu di dunia nyata. Tapi mungkin juga di situlah poinnya. Semua akan berbeda, tergantung gender yang melakukan. Tergantung sudut pandangnya. Nah di sinilah masalah film ini buatku. Sudut pandang atau perspektif dari Gary maupun Alana tidak pernah digali dengan luas. Mereka tidak kita kenal di luar romance atau perasaan cinta mereka. Gary praktisnya tidak punya development. Karakternya sama dari awal hingga akhir, dia tidak perlu membuktikan diri dia bisa dewasa, karena dia sudah seperti itu sejak cerita dimulai. Dia tidak pernah menganggap jarak umur mereka sebagai masalah. Dengan begitu, karakter ini jadi tidak ada mengalami pembelajaran.
Jadi, tinggal si Alana. Perlu diingat, ini bukan kayak cerita drama cinta yang si jutek akhirnya luluh dan jatuh cinta kepada yang terus memberikan perhatian kepadanya. Alana sedari awal sudah tertarik, cuma dia enggak menganggap Gary dengan serius karena dia menganggap Gary masih bocah. Ada beberapa kali adegan Alana menyipitkan mata, melihat Gary yang bahkan belum bisa nyetir itu gak ngerti politik ataupun situasi ekonomi. Plot dan pembelajaran Alana adalah dia akhirnya menyadari bahwa umur itu cuma angka. Kedewasaan sikap dan kematangan mental gak tercermin di umur. Dia harus ngakui bahwa dia bisa lebih ‘bocah’ ketimbang Gary. Untuk mencapai pembelajaran tersebut, film tidak ngasih jalan lewat eksplorasi dalam-diri si Alana, melainkan dari luar. Dari karakter-karakter pria dewasa yang ia temui – yang ternyata jauh lebih parah ketimbang Gary. Dan itu bukannya Alana gak aware sama sikap para cowok. Alana ini pinter. Tapi somehow dia kayak desperate. Dia cuek aja sama male gaze ataupun sikap merendahkan lain. Dia slow aja bikinian sendiri di tengah pesta yang semua orang berpakaian lengkap. Flirtation alias tarik ulurnya kepada Gary membuat karakter ini jadi gak konsisten. Ditambah dengan Alana gak pernah berinteraksi dengan orang untuk dirinya sendiri (di luar berkaitan dengan Gary), karakter Alana ini jadi dangkal dan annoying buatku.
Tapi dari Alana ini kita bisa menyimpulkan bahwa film memang ingin memperlihatkan bahwa umur tidak pernah jadi soal. Hanya angka. Semua orang punya sisi kekanakan dalam dirinya. Betapapun jauhnya kita bertumbuh, menjadi diri yang ‘baru’ dengan tempaan pengalaman dan sebagainya, bisa kembali ke sisi ‘anak’ di dalam diri merupakan kenyamanan tak terhingga. Inilah kenapa Alana akhirnya lari kembali kepada Gary, dan sepenuhnya menerimanya. Dan ngomong-ngomong soal lari, film ini memang menyimbolkan perasaan bebas khas anak-muda tersebut dengan adegan-adegan berlari.
Permasalahan drama cinta selalu sama. Film tidak berhasil ngasih alasan kenapa sepasang karakter sentral itu harus berakhir jadian. Licorice Pizza ngeskip ini gitu aja, walaupun dalam cerita seperti ini pembelajaran barulah akan ada dan terasa kuat bagi dua karakter jika mereka enggak berakhir bersama. Enggak lagi menarik menonton tarik ulur anak remaja dengan orang dewasa. Maka keputusan film bercerita dengan episodik jadi tepat, untuk konteks pengembangkan minimalis seperti ini. Makanya cameo-cameo dalam film ini selalu jadi scene-stealer. Bukan semata karena mereka diperankan aktor gede seperti Sean Penn, Bradley Cooper, atau Maya Rudolph. Tapi karena Gary dan Alana tidak ada atau minim sekali perkembangan. Peran-peran kecil para aktor gede tersebut jadi suntikan fresh, yang bikin kita ‘melek’ lagi setiap kali Gary dan Alana mulai terasa repetitif. Penonton mengapresiasi mereka di atar peran yang seksis ataupun candaan yang problematis.
Orang-orang banyak menghujat Don’t Look Up (2021)karena komedi receh yang diperankan aktor ternama yang main di situ. Walaupun komedinya tepat menyinggung keadaan di era pandemi, orang-orang tetap menganggapnya trying too hard. Dan memilih untuk gak mengakui kepintaran penulisannya. In short, people just hate it meskipun recehnya itu gak menyinggung kecuali tepat konteks dan sasaran. Aku menganggap sikap orang-orang itu aneh, karena di film Licorice Pizza ini tak kalah banyaknya karakter-karakter receh yang dimainkan aktor gede, dengan joke yang actually benar-benar menyinggung seperti soal rasis untuk orang Jepang dan sebagainya. Kenapa Licorice Pizza ini gak dapat ‘hujatan’ yang sama? Menurutku malah harus lebih lagi, karena sekalipun karakter itu juga memainkan sindiran terhadap dunia 70an, tapi jika dipertahankan untuk ditonton dan jadi lelucon di tahun sekarang, ya itu baru namanya too hard buat jadi lucu. Film ini mengadakannya hanya karena hal tersebut ada sesuai ingatan pembuat, dan inilah yang mengurung naskah dan karakter, membuatnya jadi tak bisa berkembang.
Jadi sebenarnya film ini bukan tentang kisah menjadi dewasa, melainkan kisah terus menjadi remaja. Ceritanya sendiri benar-benar seperti rekoleksi ingatan manis tentang cinta di masa muda. Film ini keren dan hidup sekali dalam menggambarkan perasaan. Baik itu perasaan tentang dunianya, maupun perasaan cinta yang dirasakan karakternya. Hanya saja, cuma perasaan cinta itu saja yang dipunya dan terus digali. Karakternya seperti gak punya concern lain di luar flirt dan bikin cemburu-cemburuan. Makanya buatku film ini gak sekelas sama nominasi Best Picture yang lain. Film ini kelasnya tuh di cinta-cintaan remaja film kita yang biasa, dan film ini ada di bagian puncak kelas tersebut berkat pencapaian teknis dan juga aktingnya. The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for LICORICE PIZZA.
That’s all we have for now
Kenapa cowok muda menyukai perempuan yang jauh lebih dewasa dipandang lebih keren dan manis dibandingkan kalo cowok dewasa suka perempuan yang jauh lebih muda?
Share pendapat kalian in the comments yaa
Thanks for reading.
Remember, in life there are winners. And there are losers.
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA
Nominasi Oscar untuk tahun 2022 baru saja diumumkan. Dan seperti biasanya, ada aja yang diributin sama khalayak. Kenapa film anu yang masuk, kenapa film yang itu enggak masuk. Selalu ada kekecewaan. Tapi itu bagus, karena selama masih ada yang kecewa berarti subjektivitas menonton film itu masih ada. Kita belum menjadi robot yang seleranya samaaa semua. Subjektivitas itulah yang bikin film beragam, dan actually menciptakan persaingan yang memajukan perfilman. Dan soal subjektif; meskipun kalo ngereview film yang udah ditonton aku berusaha seobjektif mungkin, dalam hal memilih tontonan aku bisa jadi salah satu penonton paling bias sedunia. Banyak film yang gak mau kutonton hanya karena soal sepele seperti tweet sutradaranya, attitude aktornya, atau malah karena tingkah buzzernya. Nah, buatku, yang jadi permasalahan dari sepuluh film yang ada dalam daftar nominasi Best Picture adalah film King Richard. Kenapa? Karena aku simply gak suka ama Will Smith. Jadi aku males, aku gak mau nonton film-filmnya. Kecuali terpaksa. Dan dengan masuknya film ini di daftar nominasi, aku jadi terpaksa harus nonton. Harus ngereview. Dan, sebagai penilai yang harus seobjektif mungkin, kini aku terpaksa harus mengakui bahwa film ini memang layak masuk nominasi. Film biografi ini adalah drama yang menghibur, dan ya, penampilan akting Will Smith membuat karakter menjadi menarik dan asik untuk disimak, walau sedikit problematis.
Kira-kira seperti itulah yang juga kurasakan kepada Richard Williams. Aku gak suka karakter ini. Pria ini keras kepala, dia menuntut semua orang harus melakukan hal yang sesuai pertimbangan dan rencananya, tanpa mau menjelaskan atau berbagi pandangan soal rencana tersebut. Richard sudah punya rencana terhadap dua (dari lima) putrinya semenjak mereka masih kecil. Venus dan Serena ingin dia jadikan atlet tenis perempuan nomor satu di dunia. Menyadari tenis itu olahraga kulit putih, Richard tahu jalan bakal berliku bagi kedua putrinya. Tapi Richard ini sudah punya visi ke depan. Dia pun melatih, mendidik, hingga mengorbitkan putri-putrinya dengan caranya sendiri. Cara yang kadang tampak ekstrim. Hingga tak jarang Richard bentrok dengan pelatih yang sudah bersedia ngajarin mereka bermain secara profesional (tau-tau Richard bilang anak-anaknya gak bakal ikut turnamen kejuaraan!) dan bahkan bentrok dengan istrinya sendiri.
So yea, from certain point of view, Richard memang problematis. Film ini mengambil sudut pandang seorang patriarki, yang diperlihatkan bahwa berkat jasa-jasanya (termasuk kerasnya didikan dan keras kepala serta pilihan-pilihan anehnya) dunia dipertemukan sama dua atlet tenis perempuan paling hebat yang pernah ada. Like, kenapa bukan Venus atau Serena Williams aja yang diangkat. Kenapa bukan cerita perjuangan kedua atlet yang sudah dididik keras ini saja yang dijadikan sudut pandang utama. Karakter Richard Williams ini jika dimainkan oleh orang yang salah, jika ceritanya dikisahkan dengan cara yang salah, pastilah karakter dan film ini bakal dihujat. Namun dari menonton awalnya saja kita bisa tahu bahwa cerita ini berada dalam tangan-tangan yang tepat. Memang, belum lagi sebuah penceritaan yang sempurna. Tapi setidaknya King Richard mengangkat dengan respek, dan berhasil mencuri perhatian kita selama durasi dua jam setengah yang film ini minta.
Karakter yang gak aku suka, dimainkan oleh aktor yang gak aku suka, tapi nyatanya aku mulai merasakan sedikit simpati kepada perjuangan karakternya seiring cerita berjalan. Aku jadi ngerasa relate juga sama sikap Richard yang suka melakukan hal sesuai rencana. Kita pun mengerti pleadnya, mengerti kenapa dia sekeras dan sengotot itu mengarahkan hidup kedua putrinya yang masih kecil. King Richard memang bukan cerita kemenangan olahraga. Ini lebih kepada sebuah cerita tentang ‘kemenangan’ parenting dari orangtua, itupun jika parenting memang ada unsur kalah-menangnya. Richard, at least, berpikir begitu. Dia kalah jika anak-anaknya tidak mendapat hidup yang lebih baik. Karakter ini selain sebagai orang tua, diberikan layer personal. Richard sendiri adalah seorang, katakanlah, loser. “Ayah dihajar orang lagi!” seru anaknya kepada ibu, mengindikasikan ini bukan kali pertama ayah mereka babak belur. Naskah mengaitkan personal tersebut dengan akar, atau dari mana mereka berasal. Daerah tempat tinggal yang ‘keras’ dan penuh prasangka. Jadi film ini juga bicara tentang kesenjangan hidup terkait warna kulit atau ras.
Lapangan tenis yang bagus adalah yang keras supaya bola-bola hijau itu punya pantulan yang mantap. Begitulah analogi yang cocok untuk set up, latar, yang membentuk karakter-karakter yang menghidupi naskah film ini. Cerita berjalan terbaik ketika mengeksplorasi pribadi Richard. Ketika kita melihatnya sebagai orangtua yang mau melindungi anaknya. Sikapnya yang menarik putri-putrinya dari turnamen dan mau fokus ke pendidikan jadi bisa kita mengerti. Ketika jadi orangtua ini, Richard kelihatan punya flaw. Dia seringkali tampak susah melepaskan egonya, semacam dia mau jadi orangtua yang baik itu bukan seutuhnya demi anaknya, tapi demi dirinya sendiri. Yang bahkan dalam hal olahraga pun dia sebenarnya loser. Will Smith melakukan kerja maksimal dalam menghidupkan karakter ini. Menggunakan kepiawaiannya bermain di antara garis drama dan komedi, Smith membuat Richard tidak sampai menjadi annoying. Dia tetap tampak simpatik. Dan yang terutama, ya menghibur.
Manusia yang berencana, Tuhan yang menentukan. Pepatah itu tentu saja bukan nyuruh kita pasrah. Melainkan harus terus berusaha dengan hati ikhlas. Ikhlas bukan berarti pasrah. Karena ikhlas berarti tetap mengupayakan yang terbaik, meskipun pada akhirnya tidak sesuai dengan yang diharapkan. Richard Williams pantas dijadikan panutan untuk hal ini. Dia memegang teguh apa yang ia percaya. Dia berjuang sekeras ia bisa. Dia memimpin keluarganya dengan mantap, tidak menunjukkan keraguan walau apapun kata orang.
Baru ketika membahas urusan olahraga tenis itulah, Richard terlihat menjengkelkan. Pilihan-pilihan konyolnya, atas nama stick to the plan, itu membuatnya jadi tampak selalu benar. Film tidak benar-benar membuat kita masuk kepada karakter ini soal rencana tersebut. Malah ada yang dia tampak ambigu, entah itu membual atau tidak. Seperti misalnya ketika seorang pelatih yang melihat video latihan Venus dan Serena hanya mau melatih Venus seorang. Richard tampak keberatan mendengar ini, tapi dia tidak bisa berbuat banyak. Kemudian Serena yang merasa left out, berlatih sendiri. Dan di bagian akhir film kita melihat ada adegan dialog antara Richard yang menenangkan Serena dengan menyebut dia memang merencanakan Serena untuk kehebatan yang lebih besar. Dan kita semua tahu seperti apa besarnya nama Serena Williams sekarang. Berkenaan dengan karir olahraga tersebut, Richard benar-benar seperti yang paling tahu. Semua orang seharusnya tidak meragukan dirinya. Dan ini jadi terlalu berlebihan. Membuat karakternya enggak lagi punya sisi dramatis yang membuat kita peduli seperti di bahasan keluarga tadi. I mean, bahkan ayah dalam Captain Fantastic (2016) saja tidak selalu dibuat ngambil keputusan yang benar perihal pendidikan anak-anaknya. Karakter ayah dalam film fiksi tersebut jadi terasa lebih real dibandingkan ayah di drama biografi ini.
Arahan film semakin gak konsisten. Antara drama orangtua atau ke kompetisi olahraga. King Richard ditutup seperti cerita olahraga; dengan satu big match. Mendadak cerita jadi tentang Venus melawan pesaing yang seperti pakai taktik curang. Venus yang udah bertahun-tahun absen dari pertandingan karena disuruh latihan dulu terus dan menikmati masa muda oleh ayahnya, harus membuktikan kemampuannya. Oleh karena sebagian besar waktu dihabiskan film untuk membuat keputusan ayah terhadap pelatihan anaknya itu benar, maka drama olahraga ini jadi gak kena. Kita gak merasakan intensitas dari Venus. Ataupun juga dari match itu sendiri (karena sutradara Reinaldo Marcus Green memang tidak benar-benar mempersiapkan diri dengan adegan olahraga tenis). Kamera lebih sering pindah ke reaksi Richard dan keluarga Venus yang menonton. Bahkan di saat dia seperti udah pasti mau menjadikan film ini berakhir dengan olahraga, Green tahu dia tidak bisa lepas dari karakter utamanya. Maka hasilnya tidak maksimal. Terasa datar. Bahkan dalam kekalahan, Richard tidak merasa kalah. Bola drama ada pada anaknya, tapi anaknya tidak pernah benar-benar digali sedari awal.
Momen-momen Richard dengan anaknya itulah yang kurang. Venus dan Serena Williams jadi totally pendukung, walaupun kondisi yang sebenarnya di dinamika mereka kan ayahnya yang mendukung anak. Film ini cukup lihai. Mereka memberikan momen kepada Venus untuk memutuskan sendiri hidupnya, sehingga tidak lagi kayak diatur terus. Tapi tetap saja pilihan tersebut sejalan dengan Richard. Tetep ayahnya ini benar. Karakter Richard Williams jadi benar-benar kayak ‘dilindungi’. Cerita ini bakal lebih hidup jika lebih banyak momen seperti istri Richard mengonfrontasinya, membuat Richard bergulat dengan dirinya sendiri di dalam hati. Interaksi emosional anaknya yang mulai punya hidup sendiri dengan Richard dan ‘rencana-rencananya’ perlu ditampilkan lebih banyak. Dan konfrontasi itu enggak mesti harus fisik. Ini satu lagi kekurangan dalam penceritaan. Film ini perlu lebih banyak menggambarkan hal-hal emosional yang tak-terucap, ketimbangkan mewujudkannya atau mengucapkan dengan langsung. Literally, film lebih memilih untuk membuat Richard kentut sebagai tanda enggak setuju sama tawaran investor.
Kalo dibalikin lagi ke perumpaan tenis, film ini ya benar-benar kayak high profile match. Punya hype dan orang excited dan no matter what bakal terhibur. Padahal sebenarnya penguasaan bolanya masih kurang. Film ini masih kurang yakin mau menceritakan ayahnya saja, atau juga mengangkat dua pemain tenis dunia. And it is really weird pada cerita keberhasilan dua atlet cewek yang merepresentasikan ras mereka, mereka tidak diberi banyak sorotan. Melainkan membuat parenting yang ortodoks dan patriarki sudut pandang utama, yang menjadi sumber keberhasilan, dan punya keputusan-keputusan yang ternyata selalu benar. Film ini menghibur, tapi aku bisa paham juga kalo nanti ada yang bilang film ini cuma jadi serve untuk membuat Will Smith bisa jadi smash hit di Oscar. The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for KING RICHARD
That’s all we have for now
Menurut kalian seberapa besar jasa Richard untuk karir anak-anaknya? Bagaimana membedakan antara mendukung dengan mengatur di dalam parenting?
Share pendapat kalian in the comments yaa
Thanks for reading.
Remember, in life there are winners. And there are losers.
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA