SPLIT Review

“Wounded children become the target of their own rage.”

 

split-poster

 

Berakting pada dasarnya adalah memainkan personality yang berbeda dari keseharian. Misalnya ketika kita jadi sakit kalo besok banyak pe-er, atau ketika ada temen yang jadi peduli banget ama kita kalo lagi ada maunya hihi. Anyway, ada perbedaan antara akting memerankan peran fiktif dengan akting menjadi karakter yang berasal dari nonfiksi, seperti pada film biopik; permainan peran di situ sort of safe karena aktor bisa recreate sifat dan pribadi suatu peran degan mengacu kepada seseorang yang benar-benar ada di dunia nyata. Dengan peran fiksional, however, para aktor seolah bermain dari nol. They just have to be out there. Aktor mesti menyerahkan sepenuhnya kepada kreativitas sendiri, sesuai tuntutan sutradara dan naskah. Seperti yang dilakukan oleh James McAvoy di film Split, di mana dia benar-benar menyemplungkan diri ke dalam semua various personalities yang ia perankan.

Mencari tahu siapa nama tokoh yang diperankan oleh James McAvoy dalam film ini aja pada awalnya kita akan kebingungan. Kadang dia dipanggil Dennis. Kadang dia pake baju cewek dan memanggil dirinya Patricia. Later did we learn, he’s actual name is Kevin. Kenapa bisa ganti-ganti begitu, apakah karena dia lagi diuber debt collector? Bukaan, itu karena James McAvoy memerankan seseorang yang memiliki ‘kelainan’ yang biasa dikenal dengan istilah Kepribadian Ganda. DISSASOCIATIVE IDENTITY DISORDER. Dua-puluh-tiga kepribadian bersemayam di dalam kepala Kevin dan salah satunya sudah menculik tiga gadis remaja. Dia mengurung mereka entah di mana, dengan alasan yang secara perlahan dibeberkan oleh cerita.

 

James McAvoy commit seratus persen sama peran (-peran)nya dalam film ini, dia memainkan mereka semua dengan courageous luar biasa. Kita actually bakal bisa bedain dia sedang menjadi siapa karena McAvoy membuat masing-masing kepribadian Kevin very distinguishable dari yang lain. Ya dari intonasi suaranya, ya dari ekspresi facialnya, ya dari mannerism dan gesturnya. Brilian banget deh. Kalo film ini tayang di 2016, aku yakin James McAvoy sudah dapet nominasi Best Actor di mana-mana. Malah mungkin udah menang satu. He’s that good, guys.

Jika The Visit (2015) adalah jalan pulang M. Night Shyamalan balik ke style dan kekuatan filmmakingnya yang dulu, maka Split ini adalah cara sutradara dan penulis Shyamalan ngumumin kalo dia udah sampai di ‘rumah’.

 

Film ini terasa kayak M. Night Shyamalan‘s earlier films; kalian tahu, psikologikal thriller traditional khas dirinya yang bakal caught us off guard dengan twist sederhana yang direncanakan dengan matang. Split adalah film terbaik dari beliau sejak Signs (2002), no doubt about that. It was a very good psychological thriller yang juga punya elemen ruang tertutup yang aku gandrungi.

Sinematografer sukses banget menangkap suasana klaustrofobik, menghasilkan kesan contained banget. Pencahayaannya pun superb. Split actually adalah film dengan visual yang ciamik. Di The Visit (2015) Shyamalan enggak pake musik sama sekali, dalam film Split ini, aku nyaris enggak sadar ada musiknya. Scoring film ini mengalun dengan mengendap-ngendap, dia membangun kengerian dengan perlahan, dan buatku ini adalah teknik yang efektif dan bekerja dengan baik pada penceritaan.
Nonton film ini kita akan dibawa bolak-balik. Kita akan ngeliat ketiga cewek yang berusaha keluar dari ‘sarang’ Dennis, dan kita juga ngikutin Kevin – dalam persona flamboyan Barry – yang mengunjungi psikologis demi menangani masalah split personalitynya.

 

 

Sesungguhnya ada tiga penampilan utama yang jadi fondasi superkokoh penceritaan film Split. James McAvoy, Betty Buckley, dan Anya Taylor-Joy. Dalam film ini, Anya berhasil membuatku mempertanyakan keputusan soal pemenang Unyu op the Year di My Dirt Sheet Awards Hexa-six awal tahun ini. This movie is another very good turn from her. Anya adalah bagian terbaik dalam film Morgan (2016). Anya fantastis banget di film The Witch (2016). Dan di Split, Anya Taylor-Joy buktiin sekali lagi bahwa dirinya adalah salah satu talenta aktor paling exciting generasi sekarang ini. Karakternya, Casey, punya banyak layer yang bisa kita kupas. Yang bisa kita pelajari. Ada banyak hal yang bisa kita discover dari tokoh ini. Casey adalah peran yang sangat subtle. At first, kita akan dibuat heran sama sikapnya, kenapa dia kelihatan yang paling tenang di antara tiga cewek yang diculik, dari mana dia bisa dapet ide “kencinglah di celana”. Sembari film berlanjut, kita akan belajar gimana naluri survival bisa tumbuh dari dirinya dalam cara yang sangat tersirat. Aku paling suka adegan terakhir, saat kamera linger on ekspresi Casey begitu polisi bilang pamannya datang menjemput. Her wide eyes semakin melebar, rasa lega yang absen dari wajahnya, ngundang banget untuk kita mengira-ngira apakah Casey bakal kabur atau dia ngapain sesudah adegan tersebut. Film ini membiarkan arc Casey terbuka dan aku puas banget karenanya.

keluar dari mulut singa dan masuk ke mulut buaya.
keluar dari mulut singa dan masuk ke mulut buaya.

 

Aku selalu tertarik menyelam masuk ke dalam pikiran orang-orang, apalagi orang gila. Mungkin itu ada kaitannya dengan aku suka film horor. I mean, tempat terhoror toh letaknya memang di dalam kepala manusia sendiri. I was intrigued oleh karakter-karakter, makanya aku suka nonton film. Karena di mana lagi aku bisa mendengar atau ngikutin masalah mental orang-orang kalo bukan di film, aku kan bukan psikolog. Aku malah kuliah di Geologi. Oke, jangan malah jadi curhat, ehm…

What I’m trying to say adalah aku suka sama karakter psikolog yang diperankan oleh Betty Buckley (hey, lihat! nenek-nenek gila dari film The Happening). Si Dr. Fletcher ini desperado banget ingin berkomunikasi sama semua kepribadian di dalam kepala Kevin. Mendengar bahwa mereka duduk melingkar nunggu giliran dapat ‘cahaya’ kelihatan sekali membuat Dr. Fletcher penasaran. Dia mencoba untuk figure out how Kevin and his various identities work. Dia mencoba masuk ke dalam otaknya, bukan hanya untuk mencari tahu apa akar masalah sehingga bisa menolong dan memgobati Kevin, melainkan juga karena dia percaya ‘kemampuan’ pasiennya ini dapat digunakan untuk kebaikan. Tokoh Dr. Fletcher actually brings a lot to the story.

Child abuse dan trauma jadi tema berulang yang jadi titik tolak cerita film ini berangkat.Dipresentasikan dengan shocking manner; Kita bisa melihat gimana pasien mengubahnya menjadi sebuah sistem pertahanan diri, kita melihat dua remaja yang tidak punya’ self –defense’ actually jadi korban dan yang pernah ngalamin abuse justru kuat dan selamat. Juga ada indikasi mengerikan seputar Kevin yang eventually dioverpower oleh persona-persona yang lain, karena mereka terbentuk dari rage yang disurpress oleh Kevin. Anak-anak yang terluka have a rage, yang terkumpul di dalam, they need to be lash out, namun satu-satunya yang bisa ‘diserang’ adalah diri mereka sendiri.

 

 

Sebagaimana pada kerja-kerjanya terdahulu, sekali lagi M. Night Shyamalan mempercayakan sepenuhnya kepada kita para penonton untuk belajar dan menemukan sendiri apa yang terjadi pada film ini. Aspek inilah yang bikin aku suka sama film-filmnya. Shyamalan nanem banyak elemen dan poin cerita di awal, yang enggak akan bisa kita ngerti sepenuhnya sebelum kita sampai di penghujung film. Kita belajar things about characters, belajar mengenai backstory mereka, film akan mempersembahkan mereka sebagai fakta, dan kita sendiri yang akan mengerti kenapa mereka seperti itu. Penonton dikasih kesempatan untuk mengupas dan menelaah lapisan-lapisan yang ada pada tokoh-tokoh. Dan pada akhirnya memang the bigger picture akan terasa lebih impactful karena kita discover everything on our own. Shyamalan menghormati kita, dia meminta kita untuk sabar. Karena sesungguhnya, Split adalah FILM YANG BUTUH KITA UNTUK MEMBUANG SEDIKIT LOGIKA.

Honestly, aku sedikit terlepas ketika cerita sampai di bagian persona The Beast muncul ke permukaan. Kevin berlarian di kota, dia manjat-manjat tembok bertelanjang dada, dengan urat-urat menyembul, dia enggak mempan ditembak. Dia bengkokin baja sel penjara. Ceritanya mulai enggak masuk akal. Masak iya beda personality doang bisa bikin orang jadi kuat kayak monster seperti itu. Namun Shyamalan pada akhirnya selalu memberi kita penghargaan lewat twist, dan pada kasus film ini, kesabaran kita – our leap of faith – akan terasa sangat rewarding, terlebih jika kita ngikutin film-film karyanya sedari awal.

Twist sederhana pada film Split akan terasa wah! terutama jika kita sudah menonton Unbreakable (2000). Karena ternyata film ini berada di universe yang sama dengan universe film Unbreakable; salah satu film adaptasi comic book yang bagus banget, mengangkat kesuperheroan dalam cahaya yang realistis. Saat kita melihat tokoh David Dunn (kameo Bruce Willis di sini dapet 50-50 reaksi, yang udah nonton Unbreakable tereak histeris, yang belum cuma bengong) duduk dengar berita soal Kevin yang dijulukin “The Horde” di cafeteria, barulah kita sadar bahwa ini adalah film superhero dan semuanya jadi make sense. Membuat kita ingin nonton lagi, experiencing cerita Split dari kacamata yang berbeda. Ya, semua twist Shyamalan sesederhana itu; oh ternyata dia hantu, oh ternyata dia yang jahat, oh ternyata mereka bukan kakek neneknya, oh ternyata ini film superhero, ternyata ini adalah origin story seorang supervillain – ternyata ini sekuel dari film yang tayang tujuh belas tahun yang lalu!

Mindblown!!!
Mindblown!!!

 

Sejak di film Signs (2002), Shyamalan berusaha masukin humor ke dalam thrillernya. Kadang-kadang berhasil, kadang-kadang gagal total. Dalam Split, untungnya kedua tone tersebut berhasil menyatu dengan mulus. Film ini paham kapan harus membuat kita tertawa, tanpa membuat suasana jadi awkward. Kemunculan persona Hedwig, si bocah sembilan-tahun, mampu membuat kita tergelak dengan sikapnya, but then film ini juga precisely ngasih timing ketika kata-kata Hedwig mendadak menjadi mengerikan. Contohnya di adegan nari. It was so incredibly ringan dan kocak, dan sejurus kemudian jadi uneasy saat Casey bertanya jendelanya mana dan Hedwig menjawab riang sambil nunjuk gambar jendela hasil karyanya.

 

 

Babak pertamanya adalah yang paling lemah, namun film ini akan terus terbuild menjadi semakin intens. Kengerian dan ketegangan disemarakkan dari penampilan-penampilan akting yang excellent. This is also a very good looking psychological thriller. Namun ada beberapa aspek penceritaan yang semestinya bisa ditrim sedikit. Seperti adegan eksposisi saat Dr. Fletcher jelasin apa itu DID lewat skype. At least, harusnya penjelasan tersebut bisa dibikin lebih menarik dan lebih terintegral lagi. Dialog-dialog pun kadang banyak enggak masuk, masih terdengar terlalu memaparkan. Performa dua cewek teman Casey yang kaku dan rada over-the-top terlihat berada di luar level tiga tokoh mayor. Ini adalah jenis film yang berani meminta kita untuk bersabar, untuk mau discover things on our own, dan aku very pleased begitu mengetahui ini sebenarnya tentang apa. Dan ya, aku harap Shyamalan benar-benar bikin kelanjutan film ini; Dunn lawan The Horde. Lawan Mr. Glass. Mauuuuu!!!!
The Palace of Wisdom give 7.5 out of 10 gold stars for SPLIT.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 
We? We be the judge.

HIDDEN FIGURES Review

“Mathematics is not about numbers, equations, computations, or algorithms; it’s about understanding.”

 

hidden-figures-poster

 

Quick questions!

Ayo sebutkan siapa manusia pertama yang terbang ke luar angkasa? “Yuri Gagarin!”

Siapa orang Amerika pertama yang mengelilingi orbit bumi?John Glenn!!”

Orang pertama yang menjejakkan kaki di bulan adalah?Neil Armstrong!!!”

 

Kita semua pasti tahu jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut. Kita semua pasti pernah baca mengenai tokoh-tokoh bersejarah itu. Everyone talks about them, pria-pria yang paling pertama menjelajah ruang angkasa. Mereka adalah bagian penting dalam sejarah umat manusia. Tapi tahukah kita siapa yang bekerja di belakang sana, ilmuwan-ilmuwan yang membuat segala perjalanan meninggalkan gravitasi itu menjadi mungkin? Fokus kita enggak pernah mengarah kepada scientists yang manjat-manjat tangga nulis di papan itu, padahal mereka juga tak kalah pentingnya, and yea some of them are women. Dan untuk bikin hal lebih mengejutkan lagi, terutama di tahun 1960an yang penuh diskriminasi, ‘komputer-komputer’ di meja NASA tersebut adalah wanita berkulit hitam.

I didn’t really know much about Katherin G. Johnson, Dorothy Vaughan, Mary Jackson, atau beberapa tokoh sejarah lain yang diceritakan dalam film ini. On the other hand, aku selalu tertarik sama astronomi dan luar angkasa, and I kind of like math, jadi space movie yang ada matemnya benar-benar memancing rasa ingin tahuku. Rasanya keren aja, melalui film ini kita bisa belajar lebih banyak tentang para ‘hidden-figure’ yang berjasa di balik peluncuran manusia ke luar angkasa. See, judul filmnya ada udah fun abis. Punya makna yang mendua. Ini adalah tentang angka-angka rumus yang berhasil ditemukan to make the said breakthrough. Dan dalam artian yang lebih dalam lagi, Hidden Figures juga adalah tentang wanita-wanita di balik suksesnya NASA, wanita-wanita yang tersembunyikan oleh status sosial mereka di masa yang masih kental oleh prejudice masalah warna kulit.

Aku actually recognized apa yang ditulisnya… so yea.. NERD! *sorakin rame-rame*
Aku kadang recognized apa yang ditulisnya… so yea.. NERD! *sorakin rame-rame*

 

Dalam film ini tergambarkan bagaimana ketiga wanita yang kerja di NASA tersebut meski termasuk pelopor dalam kerjaan mereka, mereka actually masih harus kerap dealing with prasangka-prasangka publik, yang mana adalah hal lumrah kala itu. Dalam bekerja mereka menemui banyak kesulitan; rekan-rekan kerja yang tidak mengizinkan mereka melakukan kerjaan yang harus mereka lakukan, mereka tidak dikasih izin buat mengakses file-file tertentu. Mereka juga tidak diperkenankan berada pada beberapa lokasi di kantor. Katherine, malahan, harus berlari menempuh jarak yang lumayan jauh cuma buat ke kamar kecil karena kulit hitam ditempatkan di restroom khusus yang terpisah dari pegawai kulit putih. Everything is difficult for them. Hidden Figures adalah tentang seputar karakter-karakter ini navigate lingkungan kerja NASA, memecahkan masalah prejudicenya sembari menemukan formula matematika yang bisa digunakan dalam ‘perlombaan tak-resmi’ antarnegara adi-daya soal pengiriman manusia terbang ke angkasa luar.

Hidup itu kayak matematika. Setelah menambah dan mengurangi, kita akan bisa mendapatkan hasil. Dan lebih penting lagi, hidup, sebagaimana menyelesaikan masalah matematika, membutuhkan pengertian dan pemahaman.

 

Setiap film yang membahas mengenai masalah rasisme selalu cenderung untuk menjadi serius. Kebanyakan akan digarap dengan arahan yang membuat filmnya hanya cocok untuk konsumsi penonton dewasa, you know, dengan kata-kata tak senonoh dan adegan yang overly intense. Padahal sangatlah penting bagi anak-anak muda untuk menonton film dengan pesan yang baik seperti ini. Hidden Figures, untungnya, berani tampil sebagai film yang bisa ditonton bahkan oleh anak kecil. Film ini memastikan pesannya mengenai kesetaraan manusia tanpa mengenal perbedaan ras dapat mencapai dan accessible kepada seluruh lapisan masyarakat. Film ini tidak takut dianggap terlalu jinak atau terlalu family-friendly sehingga jatoh di pasaran. And guess what? Film ini justru tampil really well di box office luar, actually termasuk yang dapat penjualan paling baik di antara nominasi Best Picture Oscar 2017 yang lain. Hidden Figures adalah FEEL GOOD-MOVIE YANG DILAKUKAN DENGAN CARA YANG TEPAT. What you see is what you get, pesannya terhampar jelas.

Terkadang memang film ini terasa sedikit teatrikal, elemen stick-it-to-the-man benar-benar ditonjolkan. Namun tidak pernah menjadi terlalu oversentimentil. Maksudnya, kita tidak dimanjakan, filmnya tidak sekonyong-konyong nyuruh kita puas dengan menyajikan adegan-adegan di mana orang ‘jahat’ mendapat balasan setimpal. This is a feel-good movie, akan tetapi film ini berhasil ngemanage sehingga dirinya doesn’t get too unrealistic. Ada beberapa adegan di mana kita bakal pengen melihat tokoh-tokoh tertentu eventually really get what’s coming to them, dalam batasan yang masih wajar dan enggak lebay. Ini adalah jenis film di mana kita akan melihat tokohnya mencoba menggapai tujuan mereka, dengan cara mereka menghadapi tantangan, tidak peduli rintangan or everything else around them, dan menggunakan kemampuan mereka — dalam hal ini kepintaran otak kiri dan kanan yang seimbang – semaksimal mungkin. Ada satu adegan hebat dan sangat emosional dalam film ini, di mana Katherine akhirnya ngerasa ‘sudah cukup’ dan dia menyuarakan semuanya harus disudahi. Adegan tersebut punya flow yang really well. Membuktikan bahwa semua teknis storytelling; arahan, akting, dan penulisan bekerja dengan sangat mulus.

“ABC is easy as 123” Well, it should be, right?
“ABC is easy as 123” Well, it should be. Right..?

 

Cukup langka melihat karakter-karakter seperti yang dimiliki oleh Hidden Figures dalam tayangan yang berdasarkan kisah nyata. Performances mereka pun teramat fantastis secara merata. Taraji P. Henson is very good memainkan Katherine, mathematician yang berpikir rasional di tengah keadaannya, she wants to get the job done because she loves what she does, dan dia menambah berkali lipat emosi pada karakternya. Sebagai Dorothy Vaughan ada Octavia Spencer yang selalu bermain amazing, perannya di film ngingetin aku sama perannya dalam film The Help (2011). Aku suka sekali reaksinya saat anak-anaknya diusir dari perpustakaan. Peran Mary Jackson oleh Janelle Monae juga punya obstacle sendiri dalam usahanya menjadi black female engineer pertama. Kita merasakan koneksi kepada orang-orang ini. Kita ngerasain struggle mereka, bahwa mereka bukan tokoh pasif. Kita ngecheer aksi ‘perlawanan’ mereka. Kita mulai menjadi begitu peduli sama mereka, sehingga kita jadi ingin nonjok muka tokohnya Jim Parsons.

Angin segar adalah kenyataan bahwa film ini tidak diarahkan menjadi cerita serius dengan some political agenda. In the end, ini adalah tentang gimana menghilangkan prejudice, gimana untuk tidak menjadi rasis, karena yang terpenting adalah mewujudkan keinginan bersama.

Karakter yang dimainkan oleh Kevin Costner bilang “Everybody in NASA pees the same color.” Itu adalah momen yang sangat keren menyaksikan orang yang punya mindset spesifik tentang gimana mereka memandang orang lain. Baginya it’s all about finishing the job dan semuanya harus work around prasangka rasis. Malahan ada tokoh seperti astronot John Glenn yang dimainkan asik oleh Glenn Powell, yang just don’t even recognized ada perbedaan di antara barisan mereka. Dia justru mempercayakan keberangkatannya kepada wanita-wanita ini.

Being a story yang mau memperkenalkan ketiga wanita berjasa tersebut, cerita Hidden Figures sayangnya tidak hanya mengambil tempat di kantor NASA (yang terdepict compelling dengan segala kesibukannya). Kenapa aku bilang ‘sayangnya’ karena actually film akan membawa kita pulang ke rumah tokoh masing-masing untuk melihat kehidupan mereka bersama keluarga. Di sinilah elemen romance film ini pasang-sabuk-dan-meluncur, namun I didn’t feel that. Romansa film ini tidak terflesh out dengan baik, tak lebih hanya sebagai subplot supaya membuat kita semakin terhanyut ke dalam the feel-good momen. Diniatkan, romansanya sweet banget. Harapnya, sih, ada spark antara Katherine dengan Kolonel Johnson yang diperankan dengan sangat charming oleh Mahershala Ali, namun enggak pernah aku terattach ke dalam hubungan mereka. Elemen drama cinta ini tidak menambah banyak bobot kepada keseluruhan cerita. Film ini menyadari itu, makanya dengan bijak kita dibawa sesegera mungkin kembali ke lingkungan NASA. Sisi dramatis film ini sesungguhnya memang terletak di perjuangan Katherine dan teman-temannya dalam menemukan terobosan dalam aerospace engineering.

 

 

 

Yang suka film-film historical science bakalan jatuh cinta sama film ini. Setelah membaca tentang sejarah mereka lebih lanjut, sepertinya memang film ini secara sejarah lumayan akurat untuk sebagian besar waktu. Dalam usahanya menyampaikan pesan kesetaraan dan tidak membeda-bedakan demi kepentingan yang lebih utama, film ini mengambil langkah berani, take-off dengan menjadi family friendly alih-alih film yang menunjukkan keseriusan dengan serentetan kata vulgar dan adegan ‘keras’. Tentu, drawbacknya adalah film ini jadi menjurus ke teatrikal, namun it holds on the tension dan intensitas very well.
The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for HIDDEN FIGURES.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.

FENCES Review

“Boundaries don’t keep other people out, they fence you in.”

 

fences_teaser-poster

 

Entah itu untuk menjaga agar pihak luar enggak bisa sembarangan masuk, atau supaya yang di dalem enggak bisa sekonyong-konyong ngelayap ke luar, orang membangun pagar dengan alasan keamanan.

 

Rose Maxson mengingatkan suaminya, Troy, untuk segera menyelesaikan pagar di halaman belakang rumah mereka. Rose wants to keep her family together. Troy, sebaliknya, lebih melihat kegunaan pagar sebagai poin yang pertama; to keep things out. Dan as much as dia fearless dan percaya kepada kebebasan, being a negro membuatnya terbatas dalam beberapa hal, Troy membuat pagar lebih kepada bentuk pembuktian that he’s capable of providing his family. He wants to keep people out jauh-jauh dari pahamnya sendiri. Dualitas simbolisasi pagar adalah garis batas yang mengelilingi cerita film yang diangkat dari drama teater ini. Troy dan Rose adalah pasangan suami istri yang hidup di daerah urban amerika 1950, and this film tells how they live their live dengan segala problematika dan strugglenya.

Cukup lucu banyak orang yang meragukan film ini disebabkan oleh filmnya sendiri hanya berupa serangkaian SEKUENS DIALOG-DIALOG PANJANG di lokasi yang di situ situ melulu. Terasa sekali seperti play yang disadur ke media film. Dalam film ini yang akan kita lihat adalah orang-orang beragumen atau saling bercanda, bernyanyi, ataupun lagi mendongeng. Padahal, banyaknya dialog tidak pernah jadi penghambat sebuah film yang ditulis dengan sangat hebat. I mean, lihat saja 12 Angry Men (1957) atau Carnage (2011)nya Roman Polanski atau sesama adaptasi teater August: Osage Country (2013), some of the best movies of all time menampilkan dialog demi dialog maha-panjang set in one or two locations. Fences tidak pernah keluar dari pagar environmentnya, dan itu pulalah yang bikin kita tersedot masuk terus ke dalam cerita.

Sekuens percakapan panjang dalam film ini were so well-crafted, emosi kita akan dibawa turun naik olehnya, kayak, percakapannya dimulai dengan ringan, kita tersenyum dan tertawa bersama para tokoh, sampai kemudian seseorang mengatakan sesuatu. Atau mungkin mereka cuma ngelakuin hal yang not necessarily gak-sopan, misalnya anak Troy yang menatap ayahnya dengan pandangan yang sedikit merendahkan, and snap! Semuanya berubah menjadi gak-enak dan Troy, oh boy, bapak yang satu ini akan berubah menjadi seorang yang lantas marah-marah; galak dan keras kepala.

Pagar makan tanaman
Pagar ngehajar tanaman

 

Kunci film seperti ini selain di writing, juga terletak pada performancenya.  Film ini punya beberapa penampilan terbaik yang bisa kita saksikan di 2016.  Denzel Washington, menyutradai sekaligus memerankan Troy, bermain luar biasa brilian dengan range emosi yang fleksibel dan powerful. Tokoh Troy adalah pribadi yang sangat kompleks. Aku suka karakter yang satu ini terus bicara soal dia mengalahkan Kematian di pintu rumah, karena itu actually adalah momen yang nunjukin betapa vulnerablenya dia sebagai kepala keluarga. Babak pertama film mengestablish dia sebagai pria yang bertanggung jawab, pekerja keras, pria yang bercerita tentang gimana dia melaksanakan kewajiban dan menuntut haknya. Troy adalah good old fashioned man yang mencoba untuk provide to his family need, menyediakan atap bagi mereka, memastikan makanan tersaji di atas meja. Kita merelasikan diri kepadanya easily. Namun sepanjang film, kita akan mendapat informasi tersirat bahwa Troy punya banyak cela. That he’s not that great of a person. Dia terus saja menjatuhkan anak-anaknya (even sahabatnya sendiri) dengan batasan yang menegasi keputusan mereka. Kita perlahan belajar siapa diri Troy lewat backstory yang diceritakan dengan subtle; apa yang ia hadapi, how he was raised, dan kemudian masalah mulai menimpa keluarganya. Semua itu, semua pemahaman yang kita dapatkan terhadap karakter Troy akan terasa sangat menyayat hati.

Penampillan akting dalam film ini sungguh kuat, membuat pengalaman nonton kita menjadi berlipat lebih dahsyat, secara emosi. Aku suka gimana film ini, dengan kodratnya sebagai sebuah sandiwara teater, memberikan banyak ruang bagi setiap karakter untuk bertumbuh. Viola Davis sebagai Rose tentu saja pantes banget-banget untuk dinominasikan ke Oscar. In fact, Denzel Washington dan Viola Davis teramat loud dan explosive. Namun begitu, mereka tetap terasa genuine karena kalo kita bawa ke dunia nyata, memang seperti yang mereka portray jugalah reaksi pasangan yang dealing masalah mereka. That there’s gonna big dramatic moments. Tanpa bisa dielakkan. Ada banyak momen di dalam film ini di mana aku sempat lupa sedang menonton sebuah film. And that feeling is so rare dibandingkan film sekarang yang kebanyakan dramanya terasa orchestrated dengan really memancing rasa kasihan kita.

cue “Aaaauuuummmm” in one, two,…
cue “Aaaauuuummmm” in one, two,…

 

Fences juga menyinggung tentang gimana lingkungan sekitar kita turut membentuk pribadi kita. Ini tercermin dari sikap Troy dan sikap anaknya, Cory. Kedua orang ini sama-sama tumbuh menjadi atlet baseball, only dalam jaman yang berbeda. Dan itu actually membuat perbedaan yang sangat besar. Sebagai manusia, naturally, kita mewariskan apa yang sudah membentuk kita. Inilah menjadi problem, karena orangtua will eventually ‘mewariskan’ apa yang sudah ia alami kepada anak-anak. Entah berusaha mendoktrin agar tidak seperti orangtuamereka, ataupun to pass the ‘legacy’. Begitu juga saat anak-anak tersebut dewasa, mereka pada akhirnya akan melanjutkan hal yang sama turun-menurun.

 

Turunan kesalahan menjadi tema berulang yang kerap muncul dalam elemen cerita. Kesalahan orangua seringkali menjadi sumber dari masalah, atau katakanlah derita, yang dialami oleh anak-anak. Ada satu kalimat dari Rose yang menyatakan di sisi mana film ini berdiri, “You can’t visit the sins of the father upon a child.” Film ini percaya bahwa dosa generasi yang satu tidak mesti dibawa turun ke generasi berikutnya. Bahwa sebuah generasi bisa tumbuh lebih baik dari sebelumnya, tidak perlu menjadi seperti mereka. In that way, Rose tidak ingin ada pagar, dan ini memberikan konflik dengan outer journey di mana dia yang ingin membangun pagar. It is also make an ever greater konflik, karena apapun yang Rose pilih, pagar atau tanpa pagar, selalu bertentangan dengan prinsip Troy.

Tidak banyak suara kita dengar membahas kiprah Denzel Washington sebagai seorang sutradara. Film ini, however, membuktikan bahwa Denzel adalah director yang lebih dari sekadar mumpuni. Dia baru punya tiga dalam gudang film panjang karyanya, dan Fences actually adalah film terbaik yang ia hasilkan sejauh ini. Arahan Denzel benar-benar berhasil memancarkan hati dan emosi dengan ledakan yang tak terasa over heboh. Fences adalah film tentang keluarga, setiap adegannya adalah adegan ngobrol sambil duduk-duduk di halaman belakang, di teras rumah, ataupun di meja makan. Tapi film ini managed tidak sekalipun kita melihat adegan mereka ngobrol over sarapan atau dinner atau lunch. I mean, bandingkan deh dengan film Indonesia di mana sepertinya adegan ngobrol dengan occasion duduk ngeliling sambil makan menjadi sebuah pakem film. Kalo enggak ada makan-makannya, gak rame!

Meski begitu, ada satu momen dalam film ini yang mengkhianati segala rasa compelling dan aura realitanya. Momen tesebut datang di adegan penutup. Kita lihat keluarga Maxson menengadah langit, diiringi terompet rusak, mereka memandang awan yang, ah lihat sendiri deh. Alih-alih mendatangkan rasa hangat di hati, malah membuat film menjadi cheesy dan jadi terkesan fake.

 

 

Selain masalah di ending tersebut, ini tidak lain dan tidak bukan adalah film yang excellent. Mengajarkan tanggungjawab dan sejauh mana batasan tanggungjawab itu sendiri sebaiknya kita apply. Film ini menyuguhkan penampilan luar biasa dari setiap aktornya. Apa yang paling aku suka adalah, sama seperti teater, ada banyak ruang luas tak-berpagar yang disediakan naskah untuk pengembangan dan penampilan para tokoh. Drama keluarga yang sangat memilukan dan indah karena tersaji dengan perasaan yang nyata.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 for FENCES.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners
And there are losers.

 

 

 

 

 
We? We be the judge.

SILENCE Review

“… the sudden silence was the Voice of God.”

 

silencecx3zloiucaedlkj-jpg-large

 

Tidak ada yang bersuara ketika tiga penduduk desa yang tertuduh sebagai pemeluk katolik, disalib di atas karang yang digempur keras oleh ombak. Warga yang lain menatap dari balik ujung tombak pasukan Jepang yang berbaris, sama diamnya. Begitu juga Father Rodrigues dan Father Gorupe yang menyaksikan semua penyiksaan dari balik rimbunan semak. Bungkam oleh ketakutan, segala aksi dan rasa tersenyap. Kecuali satu yang berdering keras di dalam hati masing-masing, terutama di dalam jiwa yang dilatih putih suci Father Rodrigues; Keraguan. Benarkah Tuhan akan meringankan derita mereka, atau apakah siksaan mereka sia-sia belaka? Apakah mereka suffer atas nama Tuhan yang mereka yakini atau tiga orang Jepang Kristen itu sesungguhnya sedang mengorbankan diri mereka demi keselamatan dirinya dan Gorupe?

Silence, didirect oleh salah seorang sutradara terbaik yang hidupnya masih terus didedikasikan untuk membuat film klasik yang fantastis hingga sekarang, akan membawa kita on middle ground ke Jepang jaman feudal, tepat di tengah-tengah perang agama. Pengikut ajaran Kristen diburu. Para Father ditangkap, disiksa, hingga tidak ada lagi pilihan selain menanggalkan keimanan mereka. Father Rodrigues dan Father Gorupe datang dari Portugis karena mereka mendapat kabar tentang guru mereka, Father Ferreira, tertangkap penguasa di Nagasaki. Mereka mendengar simpang siur; apakah benar Ferreira sudah denounced his Christianity atau apakah dia masih hidup at all. Dalam film ini kita akan mengikuti kedua Jesuit muda tersebut mencari keberadaan guru mereka sembari berusaha menolong sebanyak mungkin penduduk Jepang yang menganut Kristen di bawah tekanan dan siksaan yang berat. This is a VERY STAGGERING FILM. Kita akan struggle banget menontonnya. It is so difficult. Bukan karena film ini cukup sadis secara fisik. Juga bukan karena film ini durasinya panjang banget. Tetapi karena film ini akan menyayat-nyayat hati kita secara emosional.

Menelaah dengan sangat kuat soal krisis keimanan yang dialami oleh seseorang. Apa yang orang lakukan ketika kepercayaan dan keimanannya mendapat cobaan yang mahadahsyat. Meskipun mungkin bukan pemeluk agama yang diceritakan, kita semua bisa put aside our personal belief selama dua jam setengah lebih untuk menikmati filmmakingnya. Kita semua bisa merelasikan diri kepada film ini dalam tingkatan bahwa ini adalah cerita tentang orang-orang yang mengimani apa yang yang mereka yakin, that mereka memeluknya dengan teguh, tidak akan membiarkan apapun yang menghalangi mereka dari yang mereka percaya tersebut.

Beneran deh, it’s emotionally gutting melihat orang-orang tercabik dari faithnya seperti yang digambarkan oleh film ini. Father Rodrigues, awalnya kita melihat dia sebagai seseorang yang sangat kuat-iman. He has the upmost faith you could possibly have in God. Dan begitu film berakhir, kita sudah menyaksikan tokoh ini terjun sampai ke dasar paling bawah secara emosi. Dihadapkan pada pernyataan agama yang ia bawa, kebenaran yang ia ajarkan, tidak cocok untuk diterapkan pada ranah ‘rawa’ Jepang. Namun Rodrigues tidak bisa menerima pernyataan tersebut karena if he accepts that statement, itu berarti dia mengakui kebenaran yang ia bawa bukanlah kebenaran bagi semua orang seperti yang selama ini dia imani. Itu berarti dia meragukan agamanya sendiri.

Ini adalah CERITA YANG SANGAT KOMPLEKS bagi kedua belah pihak; Rodrigues dan Jepang. It’s not like Jepang tidak punya toleransi sama sekali, as in kekerasan dan siksa itu datang dari mereka. Mereka brutally violated penduduk agar mau meludahi salib dan menginjak gambar Tuhan mereka sebagai bentuk denouncing faith di muka publik. Adalah aksi converting yang dianggap berbahaya oleh pemerintah Jepang. They just want to show their pride and love kepada faith mereka. Bahwa gara-gara kepercayaan asinglah mereka sesama saudara tanah air menjadi terpecah belah.

talk about penistaan agama huh
talk about penistaan agama huh

 

Toleransi, ya, bisa jadi jawaban. Tapi sekarang kata tersebut sudah mengalami penurunan arti, digunain begitu saja agar sama-sama senang. Toleransi bukan berarti “apa salahnya ngikutin apa yang dilakukan orang lain”. Kita bisa ikut merayakan hari kebesaran agama lain as along as hati kita tetap beriman kepada agama sendiri, but that is a weakest form of faith. Mungkin tidak banyak yang suka film ini karena membuat diri kita merasa seperti Kichijiro, while tokoh ini easily come off sebagai pengecut yang cari aman. Open minded, bertoleransi, dan punya keyakinan adalah seperti Father Ferreira. Persisnya seperti apa? Go figure out yourself

 

Tidak seperti Sausage Party (2016) yang merupakan satir soal kepercayaan, Silence dengan a lot of respect kepada penonton, mengambil jarak secukupnya. It doesn’t judge, and tidak menggiring kita untuk melakukannya. Yang Silence lakukan adalah menghujani kita – yang terpatri oleh cerita – dengan batu-batu pertanyaan. Kita bakal mengalami sensasi krisis tanpa diberikan pencerahan mana yang baik dan mana yang buruk. Kita akan melihat hamba Tuhan diuji. Kita akan melihat ia menderita for his belief, for things he treasured the most. Dan di titik inilah Silence berbicara banyak. Apakah iman kita tidak berarti apa-apa jika kita tidak diuji – apakah hidup kita meaningless jika kita tidak pernah menderita karena sesuatu yang kita percaya atau cintai? Dan tentu saja, arti mendalam tentang kata ‘silence’ itu sendiri; apakah absennya tindakan kita atau absennya Tuhan? Atau, diam karena kita sedang berdialog dengan Tuhan. Ada beberapa adegan yang menggambarkan Rodrigues dalam diamnya bicara dengan suara Tuhan. Yang membuat kita bertanya-tanya apakah diam hanya arogansi Rodrigues belaka? Secara konstan dia ‘membandingkan’ kondisinya dengan Tuhan, sementara orang-orang desa yang disiksa hingga mati tidak pernah meminta ‘dibandingkan’ dengan juru selamat.

Meyakini dengan hati, mengucapkan dengan lisan, dan mengamalkan dengan perbuatan.

 

Martin Scorsese mengarahkan film ini dengan sungguh luar biasa. Bekerja sama dengan sinematografer yang ngegarap The Wolf of Wall Street (2013), Scorsese memastikan apa yang ditangkap lensa semuanya gorgeous. Kalian akan suka mencermati film ini jika punya rasa penasaran gimana setiap adegan disyut. Yang paling remarkable dari pengambilan gambarnya adalah gimana mereka sebagian besar waktu bekerja pada environment yang tertutup. Adegan film ini kebanyakan berlokasi di pondok kecil yang gelap, di daerah hutan yang terpencil, atau di sel penahanan. Tidak pernah Scorsese salah langkah dalam menjalin cerita. Sudut pandang penceritaan benar-benar dihadirkan compelling dan sangat intens. Kita dibuatnya bereaksi dan merasakan yang dialami oleh seseorang yang dealing with an extreme crisis of faith.

This movie brought to life by many fantastic performances. Adam Driver sebagai Father Gorupe dan Andrew Garfield sebagai Father Rodrigues menyuguhkan penampilan yang amazing. Dalam tahun yang penuh oleh penampilan yang sangat baik, Andrew Garfield kembali bersinar dalam film ini, dan sekali lagi sebagai seorang yang taat beragama. Yea, walaupun dia enggak selalu taat sama aksen portugis yang supposedly dimiliki oleh tokohnya. Liam Neeson, yang bermain sebagai supporting role, was also very very good. Dan tokoh yang ia perankan teramat kompleks.

Spiderman dan Kylo Ren lagi nyari Qui-Gon Jinn
Spiderman dan Kylo Ren lagi nyari Qui-Gon Jinn

 

 

Staggering film yang menantang bukan hanya keimanan dan kepercayaan, tetapi juga menantang intelektualitas penonton. Bikin frustasi at times, gutting our emotion completely, it is a really complex movie. Tidak heran jika banyak orang yang ngerasa hard to come by apa yang disampaikan oleh film ini, thus membuatnya susah untuk disukai. Personally, aku heran juga kenapa film ini enggak masuk nominasi Best Picture Oscar 2017. Setelah menontonnya, aku jadi kebayang sedikit alasannya kenapa. Sesungguhnya, film yang luar bisa unconventional ini adalah jenis film yang mesti ditonton dan disupport oleh orang-orang yang benar menyintai film. Karena di atas itu semua, ini adalah filmmaking yang sangat remarkable; arahan luar biasa, akting fantastis, beautifully shot – salah satu film tercantik Scorsese, penulisan yang begitu cakap, editing yang perfect.
The Palace of Wisdom gives 8.5 gold stars out of 10 for SILENCE.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners
And there are losers.

 

 

 

 
We? We be the judge.

 

MANCHESTER BY THE SEA Review

“Sometimes grief is all we have.”

 

manchester-by-the-sea-poster

 

Kenangan itu kayak lautan, kita berlayar di atasnya. Terombang-ambing. Kadang membawa perahu pikiran kita maju, kadang kita harus berenang dan menjadi tangguh. Kadang kita tenggelam di dalamnya. Or worse, kita membiarkan diri tenggelam di dalam pusaran kenangan sedih menuju lubang penyesalan tanpa dasar.

 

Itulah yang dibicarakan oleh Manchester by the Sea. Kita bisa mengartikan adegan pertamanya – perahu berlayar penuh canda mengenai sebuah pilihan – sebagai simbol yang dengan efektif ngeset mood (atau kecurigaan) bahwa film ini tidak bisa dipastikan akan berakhir bahagia, sebagaimana air tidak akan selalu setenang itu.

Benar saja, dengan segera pemandangan kita dikontraskan oleh kehidupan Lee Chandler. Seorang tukang reparasi merangkap janitor apartemen yang kurang begitu ramah. Dia kelihatan sama tidak sukanya diajak ngobrol oleh orang lain saat bekerja ataupun saat dia minum di bar. Lirikan kecil mengundang tinju Lee mendarat di hidung orang asing. Kenapa Lee begitu antisosial, dia lebih suka dibiarkan sendiri, terus disembunyikan oleh film. Sampai ketika Lee mendapat kabar bahwa kakak laki-lakinya meninggal dunia akibat penyakit jantung. Mendadak saja, Lee harus balik ke Manchester dan menangani segala tetek bengek ‘peninggalan’ sang abang. Termasuk ditunjuk menjadi wali yang sah atas keponakannya. Tentu saja ini adalah skenario yang buruk bagi kehidupan-tertutup Lee. Dan as Lee berusaha menyabotase dirinya keluar dari arrangement yang digariskan oleh abangnya, kita akan mulai discover masa-lalu yang sangat heartwrenching tentang Lee. Gimana ternyata perilaku-perilaku buruk tersebut bukanlah bawaan dia sedari lahir.

Film ini did a very good job mencamkan image pria penyendiri yang kasar kepada sosok Lee Chandler. At first, he’s just so impossible untuk disukai. Juga misterius. Joe, almarhum abangnya, tidak pernah menjelaskan kenapa dia mempercayakan Lee sebagai wali anaknya, Patrick, meskipun memang Lee dan Patrick akrab sedari Patrick kecil. But this is clearly a very broken Lee now. Kita tahu Lee punya ‘reputasi’; orang-orang di hometownnya tersebut saling berbisik dan mendelik setiap kali melihat Lee lewat atau mampir nyari kerjaan di kantor mereka. Film ini sungguh berani mempercayakan kepada kita para penonton untuk terus ngikutin Lee, karena untuk waktu yang panjang kita akan bertanya-tanya sendiri kenapa kita harus peduli kepada karakter ini. Tiga-puluh-menit pertama aku bahkan tidak yakin arah film ini ke mana. Akan tetapi, begitu kita sudah belajar alasan kenapa Lee sungguh membenci hidupnya, keseluruhan film akan membuka sebagai suatu tontonan DRAMA YANG KUAT LAGI MANUSIAWI. Film ini menyapu emosiku, I was blown away oleh karakter-karakternya yang terasa nyata. Konflik mereka, apa yang mereka hadapi, terus saja terbangun dan akhirnya menumpuk, memberikan bobot pada hati. Dan tidak sekalipun drama dan tensi tersebut terasa dibuat-buat demi memancing rasa sedih dari kita.

Manchester tepi laut, siapa suka boleh ikut
Manchester tepi laut, siapa suka boleh ikut

 

Kehadiran formula karakter pada Lee dan Patrick bakal membuat kebanyakan film Hollywood bernafsu untuk membahas hubungan yang terjalin antara broken man dengan remaja-penuh-kehidupan, di mana mereka akan saling mengubah sikap satu sama lain. Namun dalam Manchester by Sea, sutradara sekaligus penulis skrip Kenneth Lonergan lebih tertarik mendalami pergulatan emosi dan derita yang dialami oleh seseorang seperti Lee. It doesn’t necessarily has a plot, even. Paman dan ponakan ini sama-sama berduka, mereka sebenarnya mengerti problematika masing-masing, dan itu tergambar jelas dari bagaimana mereka berinteraksi satu sama lain. Dengan fokus demikian, film ini berhasil menghidupkan karakter-karakter sehidup-hidupnya. Seoverconfidentnya Patrick, Lucas Hedges tidak pernah menjelmakan perannya tersebut sebagai remaja yang annoying. Filmnya  TOUGHT TO WATCH, tetapi karakter-karakter yang terus memberikan kita tumpangan emosi yang powerful membuat kita tidak pernah merasa cukup. Biasanya kita sudah bosan duluan melihat atau menyadari durasi film yang sampe dua jam. Buatku honestly, aku bisa menonton enam jam film dengan karakter so well-realized seperti ini.

Penampilan para aktor juga teramat heartwrenching. Bantering mereka, momen-momen emosional mereka, dan sometimes momen yang membuat kita tertawa kering, terdeliver dengan mulus dan very believable. Peran sebagai Lee Chandler definitely adalah kerja terbaik dari Casey Affleck. Tidak salah kenapa ia bisa masuk nominasi Aktor Terbaik, malah aku bisa lihat dia memenangkan penghargaan itu, berkat penampilannya yang begitu subdued. Emosinya tersirat dalam-dalam. Kata-katanya tidak mengatakan apapun soal apa yang ia rasakan, apalagi menyuruh kita untuk merasakan apa yang seharusnya disampaikan. Penampilannya lebih menekankan kepada apa yang tidak ia katakan. Kita justru membaca emosi dalam diamnya. Pergerakan kecil gestur, perubahan ekspresi wajah, hal tersebutlah yang justru meledak-ledak dari penampilan Affleck memainkan tokoh Lee.

Kesedihan yang amat mendalam membuat Lee menutup diri. Dia merasa bersalah atas apa yang terjadi. Adegan mimpinya di babak ketiga menunjukkan bahwa Lee doesn’t trust himself berada di sekitar orang lain. Bahwa dia adalah manusia yang lemah, he can’t beat it. Ada banyak scene yang mengindikasikan Lee seorang peminum berat, and he hated himself for being weak dan selalu resort ke kebiasaannya itu eventhough itulah penyebab utama tragedi masa lalunya. Itu juga sebabnya kenapa Lee despises ibu Patrick so much. Ini adalah cerita tentang seseorang yang memilih berkubang dalam kesedihan, karena terkadang selain our personal demon, hanya kesedihanlah yang kita punya.

 

Percakapan-percakapan dalam film ini ditulis dan dimainkan sedemikian rupa sehingga kita seolah sedang nguping pembicaraan orang yang sangat intens alih-alih melihat sebuah tontonan drama. Adegan menjelang akhir film di mana Lee tidak sengaja ‘reunian’ dengan Randi, mantan istrinya (Michelle Williams enggak muncul banyak, tapi she’s managed setiap penampakannya begitu berarti). Percakapan mereka perfectly menggambarkan gimana kedua orang yang berusaha move on dari hidup yang penuh luka, but deep inside they just can’t. Membuatnya semakin heartbreaking adalah tidak satupun dari mereka berdua mampu mengutarakan sesak di dada, Randi bursts apart penuh sesal sementara Lee menolak to connect with all emotions dengan nyaris berkata-kata. Ini adalah momen paling bikin terenyuh as kedua aktor bener-bener touched us lewat penyampaian mereka yang masterful.

“Kok tangannya diperban?” / “Luka.” / “Oh.”
“Kok tangannya diperban?” / “Luka.” / “Oh.”

 

Film adalah tentang kehidupan, namun tidak semua bagian kehidupan layak untuk difilmkan. You know, films tend to skip over the boring parts of the day di mana kita ngobrol basa-basi atau nanganin hal-hal biasa yang enggak signifikan. Manchester by the Sea, dalam rangka menyuguhkan drama bersubstansi semanusiawi dan senyata yang ia bisa, nekat menerobos garis pembeda antara film dengan kehidupan tersebut. Dan film ini adalah kasus langka di mana hal-hal basic itu worked dengan sangat hebat. Situasi drama dalam film ini dipancing oleh masalah sehari-hari; Lee lupa parkir mobil di mana, Lee ngurusin paperwork pemakaman, berdebat dengan Patrick yang enggak mau jasad ayahnya dimasukin ke freezer sementara menunggu salju mencair, nanganin masalah biaya kapal. Kita akan ‘dihibur’ oleh dialog-dialog sepele tapi jadi important berkat karakter dan timing mereka. Kita pun tidak lagi mempermasalahkannya karena kita begitu hooked untuk melihat apa yang terjadi kepada mereka berikutnya. Kamera menangkap remeh temeh semacam pintu mobil yang kelupaan dibuka kuncinya atau pemain yang kesusahan mengangkat roda stretcher, dan Kenneth Lonergan membiarkan hal tersebut included, menjadikan film ini lebih grounded evenmore. Semua elemen menyatu mulus, film ini bahkan tidak terasa seperti film dengan babak satu-dua-tiga yang biasa, semuanya ngalir kayak kejadian beneran gitu aja.

Yang juga menarik adalah gimana film ini menangani penceritaan backstorynya dengan cara yang tidak biasa. Kita tidak diberikan batasan jelas mana yang flashback mana yang present. Film ini tersusun atas adegan-adegan pendek dan panjnag dengan TIME SEPERTI MOSAIK RANDOM. Kadang setelah beberapa adegan, baru aku sadar sedang nonton potongan adegan yang cukup panjang dari kenangan Lee. Pembedanya cuma antara sifat Lee yang ceria dan rambut Lee yang lebih berantakan. In that way, film ini sekali lagi percaya bahwa penonton mampu memilah adegan tanpa harus dikasih tahu dengan gamblang. Penonton tidak diremehkan, kita dipercaya bisa menangkap petunjuk-petunjuk dan menyatukan elemen-elemen cerita yang terjadi. Kita dipercaya bisa memahami apa yang terjadi meskipun tidak bisa mendengar percakapan di ujung lapangan hoki, misalnya. Sehingga pada akhirnya efek emosi yang kita rasakan akan berlipat ganda.

 

 

 

Jika kalian tertarik dengan dunia akting, penampilan Casey Affleck, Michelle Williams, atau Lucas Hedges saja akan ngajarin banyak tentang performance yang sangat subdued lagi emosional. Walaupun pacingnya lumayan lambat dan tiga-puluh-menit pertama membuat kita cukup terombang-ambing, tapi ini sesungguhnya adalah film dengan penceritaan yang berani. Mempercayai kita untuk menyelam sendiri ke dalam ceritanya. Untuk kemudian dibenturkan gently oleh konflik-konflik yang timbul secara manusiawi soal grief dan vulnerablenya interaksi sosial dunia-nyata. Well directed, well-written, tragedi dan komedi adalah apa yang ditekankan oleh drama realita film ini.
The Palace of Wisdom gives 8 gold stars out of 10 for MANCHESTER BY THE SEA.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners
And there are losers.

 

 

 

 

 

 

 
We? We be the judge.

MOONLIGHT Review

“Only through recognizing and accepting our inner wounds can we find true healing.”

 

moonlight-poster

 

We are all have been there before, right? Dikucilkan, dibully, enggak ada yang mengerti kita, ngerasa kita begitu berbeda sama yang lain, kayak makhluk asing, you know, kayak lagu dari Simple Plan. Aku sendiri waktu SD sering pulang sekolah dikejar-kejar. At first, teman-teman memang lagi nyari pemeran yang cocok untuk jadi atlet main smekdon-smekdonan; untuk peran babak-belur, of course. But then they just enjoyed chasing me around, even aku sendiri pun jadi suka. Aku memang enggak cepat, tapi aku lihai sembunyi di mana saja. Lama-lama itu jadi permainan yang mengakrabkan kami. Poinnya adalah, growing up jadi hal yang sulit karena kita naturally ingin mengidentifikasikan diri. Dan proses itu semua bergantung erat sama lingkungan kita bertumbuh. Beberapa anak mengalami masa-masa yang lebih berat ketimbang anak-anak lain.

Film Moonlight, however, bukan sekadar film ‘find-who-you-are’ yang biasa. It’s not cerita angst ga-jelas either. Ini adalah cerita yang sangat humane, dengan drama yang dead-fokus kepada karakter. MEMISAHKAN CERITA MENJADI TIGA BAGIAN, MOONLIGHT ADALAH PERJALANAN HIDUP Chiron dari dia kecil, kemudian saat dia remaja di sekolah, hingga menjadi dewasa. Dalam detil yang begitu excruciating, kita akan melihat gimana sulitnya Chiron hidup dan tumbuh di dalam lingkungan yang very harsh, gimana dia eventually menjadi dewasa dengan belajar mengerti siapa dirinya sementara dunia sekeliling tidak paham dan tidak menerima dirinya.

In regards to identifying the story, you know, I’m very pleased to discover tentang apa film ini sebenarnya. Maksudku, perjalanan yang sangat emosional yang ditempuh oleh Chiron itu diceritakannya dengan menggugah. Kita akan dibuat terenyuh melihat Chiron menyadari apa-apa mengenai dirinya. Film ini dengan perfect menangkap lingkungan keras tempat Chiron tinggal, urban Miami actually terasa in-the-moment karena di luar sana memang banyak anak kecil yang tumbuh di dalam lingkungan seperti demikian. Dan film ini menangkap segala momen dan emosi dengan tanpa menjadikan ceritanya klise. Aku belum pernah menonton film dengan denyut storytelling sespesifik ini; cowok kulit hitam yang tumbuh di lingkungan yang keras, dia menyaksikan sekitarnya sangat, katakanlah enggak-normal, dia harus belajar how to live with that, dan sementara itu dia juga menyadari something about himself, dia harus belajar gimana mengapresiasi sisi tersebut, namun a lot of people just don’t accept who he is.

 “no, you don’t know what is like. Welcome to my life!”
“No, you don’t know what is liiike. Welcome to my life!~”

 

 

Banyak yang membandingkan Moonlight dengan Boyhood (2014). Keduanya dengan menakjubkan sama-sama menelaah kehidupan, pertumbuhan seseorang dari kecil hingga dewasa. Namun bagiku, Boyhood terasa ada yang kurang, enggak tahu juga mungkin terlalu fokus ke gimmick apa gimana. Moonlight adalah apa yang sebenarnya aku harapkan ketika nonton Boyhood. Penceritaannya luar biasa. It is such an intimate movie yang mengeksplorasi dengan stunning gimana susahnya bagi seseorang tumbuh pada lingkungan yang tidak mengerti dirinya.

 

Tidak sepertiku, Chiron kecil dikejar-kejar bukan hanya karena dirinya bertubuh paling mini di sekolah. Dia noticeable paling happy di pelajaran nari. Temannya bilang dia negro yang ‘soft’. Ibunya sendiri menyindir cara Chiron berjalan. Little, begitu anak-anak di sekolah memanggilnya, mulai menyadari things about himself meskipun saat itu dia belum mengerti. Babak pertama cerita revolves around Little yang ‘diselamatkan’ oleh Juan (dimainkan singkat tapi sungguh berkesan oleh Mahershala Ali). Ini adalah babak penting dalam cerita karena kita melihat Chiron merasa lebih nyaman berbicara – dalam kapasitas anak pendiam – kepada Juan ketimbang kepada ibunya sendiri. Dalam hidupnya, Chiron tidak punya father figure dan dia enggak bisa benar-benar look up kepada ibunya yang seorang pecandu drugs. Chiron berusaha menemukan sosok orang di mana dia bisa merasa comfortable, tetapi semakin dia bertambah usia hal tersebut menjadi semakin susah baginya. Sebabnya ya lingkungan keras tadi itu; he just feels separated from everyone else around. Chiron learns semua orang ternyata ‘punya masalah’. Act kedua film menjadi babak yang paling psyhically intense, kita lihat Chiron muda resort ke kekerasan dalam upayanya merasa lebih baik or even to think violence as a way to fit in.

Sungguh susah bagi kita untuk melepaskan diri dari cerita Moonlight. It was filmed in such a raw way dengan kerja kamera yang amat fascinating. Tidak sekalipun adegan-adegannya terasa misplaced. Arahan tingkat dewa lah, pokoknya. Penampilan akting dalam film ini, oh boy, mereka semua almost too good to be true. Ketiga pemain yang jadi Chiron; Alex R. Hibbert, Ashton Sanders, Trevante Rhodes, mereka semuanya luar biasa excellent. Sebenarnya film dengan tiga bagian cerita seperti ini gampang untuk jadi terasa episodic. Bagi Moonlight, that was never the case. There is never a case! Setiap babak usia menambah layer kepada pribadi Chiron dengan sama realnya. Masing-masing pemeran berhasil memberikan perspektif yang sukses ngefek dalam membangun karakter Chiron. Apalagi di babak ketiga, ketika Chiron datang bertemu seorang teman lama, teman yang not expecting what Chiron turns out to be. Adegan di diner menjelang akhir film genuinely terasa kayak kejadian beneran yang unfolding di depan mata kita. It was STUNNING, MATURE, DAN SANGAT POWERFUL.

there’s nothing "sawft" about this movie
There’s nothing “sawft” about this movie

 

Sutradara Barry Jenkins sepertinya memang paham betul soal bahwa hubungan antarmanusialah yang ultimately membentuk siapa kita. Arahannya menyeimbangkan dialog-dialog penuh makna dengan visual yang lantang oleh emosi. Meskipun semua pemainnya black, ini bukan necessarily film dengan suara yang loud. Film ini tahu kapan saatnya ngomong dan kapan waktu yang tepat berekspresi dengan tanpa suara. Ada banyak adegan karakter saling tatap yang begitu deep-in-the-feel, seperti saat Little menangkap pandangan Juan yang baru saja memberitahunya soal kerjaan yang Juan lakukan, ataupun saat Chiron dan Kevin duduk di pasir pinggir pantai. Semua pemain beserta peran mereka bersinar di dalam cahaya film ini, bersinar biru so to speak.

Paralel nama Chiron tidak hanya pada nama centaurus yang berbeda dari kumpulannya di dalam mitologi. Dalam astrologi, Chiron adalah komet yang melambangkan luka terdalam; derita yang tak kunjung-pergi, dan usaha kita untuk menyembuhkan luka tersebut. Moonlight adalah cerita-tiga-bagian tentang Chiron yang tumbuh dengan penuh derita masa kecil, that he tries to explore that, yang meski membuatnya tampak ‘tangguh’ setelah dewasa; luka tersebut tidak pernah bisa sembuh sepenuhnya.

 

Kata orang, ngereview itu nyari-nyari kekurangan film. Well, benar demikian sih, reviewer kudu point out secara jujur flaws yang ditemukan. But keep in mind, movie adalah ide. Dalam gagasan tidak ada masalah benar atau salah – it’s about apa yang worked dan enggak worked di dalam penceritaannya. Supaya film, in general, bisa makin terus berkembang. Jadi itu jualah yang kulakukan saat nonton Moonlight. Aku terus membuka mata lebar-lebar untuk mencari hal yang menjatuhkan. Aku terus menunggu seseorang mengatakan hal yang bego. Aku terus melek mencari kemunculan subplot horrible atau elemen yang bosenin dari tiga bagian ceritanya. Dan aku tidak menemukan apa-apa. Biasanya kan kita sering, tuh, nonton film yang mestinya bisa bagus banget namun di tengah filmnya make a really stupid choice demi jadi mainstream atau apa. Tahun 2015 ada film Dope yang juga berpusat cowok kulit hitam yang not fit in dengan lingkungan yang keras, sayangnya film tersebut dengan cepat menjadi cerita kehidupan ‘hood’ yang biasa. Momen-momen jelek yang kutunggu tidak pernah muncul dalam Moonlight. Again, everything shines in this film.

 

 

 

So well-realized, visi ceritanya tergambar tanpa cela pada layar. Film ini benar-benar punya pesan tanpa terasa membombardir moral kita dengannya. Ini adalah penceritaan yang sangat dewasa. Easily, salah satu film terbaik di 2016. Menelaah dengan stunning gimana susahnya tumbuh dalam lingkungan yang tidak ada satupun yang mengerti diri kita. Tidak ada ada satu elemen pun yang terasa out-of-place dalam tiga bagian kisahnya. Penuh oleh penampilan yang genuinely feel so real. Arahan dan editing yang luar biasa dari mulai sampai habis. This is a masterwork!
The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold stars for MOONLIGHT.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

 
We? We be the judge.

My Dirt Sheet Awards HEXA-SIX

cyrvr4tuaaave0n-jpg-large

 

Tahun baru datang lagi, yang artinya tiba kesempatan bagi society untuk berubah menjadi lebih baik lagi. Dan selagi kita mulai melangkah masuk ke tahun 2017, banyak dari kita akan beresolusi meningkatkan kualitas diri. You know, to be a better person, menjadi lebih sukses, makan lebih sedikit, gak gampang baperan, kerja dan belajar lebih giat, dan sebagainya. And kami hadir dengan sesuatu untuk kamu-kamu baca yang bakal ngajarin sesuatu. Karena kami tahu persis cara terbaik untuk meningkatkan kecerdasan adalah dengan membaca, jadi kami ngumpulin kalian di sini – mamerin kebijakan dan pengetahuan The Palace of Wisdom yang begitu impresif mengenai pop culture – sehingga kalian bisa melihat apa-apa saja yang udah terjadi on the previous year. So let’s band together as a species, kayak lebah yang ngumpulin madu, untuk melihat apa yang bisa dipelajari, memberi penghargaan buat yang udah sukses, dan tentu saja supaya berhenti ngelakuin yang bego-bego yang udah menjangkiti kita semua di sepanjang tahun 2016 tersebut.

Tuan-tuan, nyonya-nyonya, brothers and sisters of the same cause, selamat tahun baru, dan bersama dengan itu kami nyatakan: MY DIRT SHEET AWARDS HEXA-SIX resmi dimulai! Eng.. ing.. engg.. bee jealous!!!

 

 

TRENDING OF THE YEAR

cymera_20170118_211640

Tren viral datang dan pergi setiap tahun, tidak terkecuali di tahun 2016. Para nominasi di bawah ini menunjukkan betapa kuatnya interaksi sosial (mainly, secara online) kita perihal nyebarin sesuatu yang baru, entah itu baik maupun buruk. It’s a nice feeling to be part of something trendy, tapi penghargaan diberikan kepada yang actually berhasil jadi tren dan inilah kandidatnya:
1. Ahok
Bukan hanya bolak-balik menduduki trending topic di twitter, melainkan juga nama yang paling banyak diketikin orang di google pada tahun 2016. Gapernah absen deh masuk media. Kami ga ngomongin soal kasus atau prestasinya atau apa, yang jelas Ahok adalah makhluk paling sensasional di Indonesia bahkan hingga tutup tahun.
2. Dabbin
Remaja ngedab saat main musical.ly. Para pemain bola ngedab abis nyetak gol. T.J. Perkins uses it at his WWE entrance. Gadis Sampul 2016 membuka malam final dengan berdab ria. Gestur ‘peace’ pun mulai tergantikan as anak-anak lebih memilih berfoto dengan gaya dab. Mentang-mentang gerakannya simple – kayak orang lagi bersin dan ingin terlihat keren pada saat bersamaan – dab sukses jadi pose paling favorit di mana-mana!
3. Mannequin Challenge
Buanyak banget ‘Challenge’ yang berkembang di tahun 2016, dari makan mie Sam Yang yang pedes ampe 100 lapis kuteks. Yang paling kreatif dan paling banyak dilakukan oleh orang-orang adalah tantangan Mannequin. Seleb, olahragawan, enternainer, politisi, bahkan lumba-lumba ngelakuinnya! The challenge itself adalah postingan video di mana para pelaku akan mematung dalam berbagai pose sementara kamera bergerak memfilmkan mereka
4. Mukidi
Di tengah-tengah panasnya situasi sosial media di Indonesia, cerita-cerita Mukidi memberikan hiburan yang selama ini dirindukan oleh netizen. That’s why it become popular, padahal Mukidi yang “orang Cilacap yang biasa-biasa saja, tidak terlalu alim, mudah akrab dengan siapa saja” itu sudah lama diciptakan Soetantyo Moechlas. Yang mau baca cerita lawakannya, bisa berkunjung ke akun facebook @ceritamukidi
5. Om Telolet Om
Seruan anak-anak kecil yang minta supir bis membunyikan klakson modif mereka dengan cepat menjadi fenomena sosial media saat musisi-musisi EDM di dunia mulai ngetwit tentangnya, meski kata-kata tersebut gak make sense buat mereka. Untuk beberapa hari komen di berbagai sosmed dipenuhi dengan celetukan ini, bahkan sampai dibuat videonya loh!
6. Sidang Kopi
Persidangan kasus pembunuhan dengan kopi sianida sukses menjadi acara tivi dengan rating yang tinggi. Bersambung-sambung, semua orang is so drawn on karena penasaran oleh drama dan memang sidangnya sendiri memberikan hiburan tersendiri berkat para saksi-saksi ahli yang dihadirkan. It is a showcase gimana sidang pembunuhan dilaksanakan. Udah kayak nonton The Anatomy of a Murder yang dibikin versi serial ahahaha
7. Snapchat Dog-Filter
Fitur paling asik dari snapchat adalah filternya. Dan thanks for that, cewek-cewek berubah menjadi bertelinga caplang dan menjulurkan lidah meski enggak ada bulan purnama di langit. Enggak tahu juga apakah karena memang terlihat cute atau cuma ikut-ikut, yang jelas filter ini jadi heboh, guk!
8. Tahu Bulat
Mewakili tren makanan, tahu bulat jadi jajanan paling digandrungi di tahun 2016. Sampe ada science, meme, gamenya segala.

 

Kita tidak bisa ngomongin 2016 tanpa menyebut pemenang The Dirty ini:

So please now die along with dabbin and the filter -,-
please die now, along with dabbin and the filter -,-

 

 

 

 

COUPLE OF THE YEAR

cymera_20170118_212025

2016 mungkin saja memang tahunnya selebriti buat jatuh cinta, you know, brand new romances, CLBK, flirtations, rumors. Tapi peduli apa whether or not mereka bakal langgeng di tahun 2017. Sebab di sini kita punya nominasi yang paling sweet.
1. Bridget dan Prince Gristle
Kalo bukan karena plot tak-terduga mereka, aku gabakal betah nonton Trolls
2. Cinta dan Rangga
The pinnacle of Cinta Lama Belum Kelar
3. Joker dan Harley Quinn
Relationship mereka somewhat abusive, but we just love to see them crazy people together, right?
4. Maryse dan The Miz
Utimate heel real-life couple yang mendominasi WWE dengan segala kecurangannya. Sejauh yang kita tau, mereka akan halalin segala cara untuk gak nyabet the Participant Award haha
5. Paige dan Alberto del Rio
Paige actually ngelamar Del Rio di atas ring. Dan begitu Del Rio dipecat, sekarang Paige ikut-ikutan gapernah nongol lagi di WWE. Yeah, jarak umur memang gajadi soal!
6. Sebastian dan Mia
Oke, serius, mereka harusnya jadi pasangan at the end of La La Land. Tapi yaah, tidak semua mimpi dapat terwujud hiks..
7. Taki dan Mitsuha
Relationship mereka transcend meski mereka tidak pernah bersua sebelumnya. They are showing us betapa kuatnya hubungan yang terjalin dengan mengenal secara emosional can be.

 

Pemenangnya adalah, dilarang jealous loh yaa:

Mereka adalah hal paling menarik seantero film Suicide Squad. Kalo saja film itu mengambil fokus kepada kisah kedua tokoh ini, aku yakin filmnya bakal berpuluh kali lebih bagus.
Mereka adalah hal paling menarik seantero film Suicide Squad. Kalo saja film itu mengambil fokus kepada kisah kedua tokoh ini, aku yakin filmnya bakal berpuluh kali lebih bagus.

 

 

 

 

FASHION OF THE YEAR

Tahun ini kita ngeliat choker making a comeback, busana-busana mewah berpotongan Cut Out, dan warna monochrome mendominasi. Namun tentu saja bukan masalah apa yang kalian kenakan, it’s about how you wear it. Inilah nominasi untuk item terkeren yang pernah dipakai orang di tahun 2016:
1. Chris Jericho’s scarf
chris-jericho-ladder-sit
2. Harley Quinn Attire
suicide-squad-harley-quinn-jacket-500x500
3. Jaket Mi Ayam-dan-Petai Joe Jonas
joe-jonas-jaket-2
4. Kaos James Ellsworth
w12527
5. Payung, Sendal, Jaket, or any items yang dipakai Jokowi
presiden-jokowi-pake-payung
6. Rok Span Anak SMA
13628313_1131683440226687_1585167867_n

 

Dan yang mendapatkan The Dirty – makin keren deh ngeceng bawa piala – adalaahhh…

Kalian tidak perlu jaket berbulu dan berlian di leher untuk tampil f-a-b-u-l-o-u-s-yes, jika nama kalian adalah Joko Widodo.
Kalian tidak perlu jaket berbulu dan berlian di leher untuk tampil f-a-b-u-l-o-u-s-yes, jika nama kalian adalah Joko Widodo.

 

 

 

 

BEST ALLIANCE OR GROUP

cymera_20170118_213531

Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh. Kalimat tersebut tertulis sebagai tagline di poster Captain America: Civil War. Dan yea memang unlikely alliance banyak terbentuk di sepanjang 2016 yang penuh sirik-sirikan dan beda pendapat. It is interesting ngeliat gimana orang-orang menjadi dekat karena satu tujuan yang sama, putting aside their differences. Berbeda dengan kesenangan, masing-masing kita ngerasain susah, derita dengan cara yang sama, dan itulah yang menarik kita saling mendekat. Liat aja “kita gak pernah suksess” merekatkan Warkop DKI. Dunia sedang perang, dan we need to stick with our ‘family’. Berikut adalah nominasi untuk kategori spesial pertama kali ini:
1. Apocalypse and the Four Horsemen
Setidaknya ada tiga tim dengan nama Four Horsemen yang kita temukan di 2016, namun tim bentukan mutant immortal Apocalypse inilah yang paling badass. Storm, Psylocke, Angle yang kemudian jadi Death, dan the one-and-only Magneto. Assemble Horsemen pada film ini bisa jadi adalah assemble terkuat yang pernah dibentuk oleh Apocalypse as they are trying to play God.
2. Cash Family
Tinggal di dalam hutan, dididik hidup dengan alam, dibesarkan jauh dari bisingnya kapitalisme dan modernisasi, keluarga Cash dalam film Captain Fantastic bagaikan kelompok hippie with wolfpac mentality paling manusiawi yang pernah ada. Plus mereka punya nama-nama yang really cool, like Vespyr dan Kielyr.
3. Roanoke Colony
Dalam sejarah beneran, koloni Roanoke adalah sebutan untuk koloni Eropa yang menghilang begitu saja di North Carolina. Dalam American Horror Story season 6, Koloni Roanoke disebutkan datang melindungi tanah mereka setiap Blood Moon, as a very violent ghosts. Oke, season 6 adalah season AHS yang paling sadis – kedatangan mereka, yang dipimpin oleh The Butcher yang legit nyeremin, selalu berakhir dengan entah itu usus yang ditarik keluar idupidup, orang yang dipasak terus dibakar, atau pisau daging yang dihujamkan ke tengkorak. Hiii!!
4. Rogue One Rebels
Ketika pasukan pemberontak menolak membantu, Jyn Erso dan kawan-kawan membentuk lagi pasukan rebel kecil-kecilan. Mereka menyusup dan mencuri Death Star Plans yang ditinggalkan oleh ayah Jyn. Diversity dari pasukan tersebutlah yang bikin kagum, as they ngingetin kita bahwa jasa orang-orang kecil kayak merekalah, pihak-pihak yang lebih besar bisa meraih glory sebuah peperangan.
5. Sing Street Band
Apa yang kau lakukan jika mau menarik perhatian cewek? Bikin band, tentunya! Dalam film Sing Street, kita akan melihat journey para misfit dari yang sekedar pengen impress menjadi sebuah persembahan ekspresi diri yang menggugah. And hell yea they can play.
6. Suicide Squad
Prolly grup paling famous dalam nominasi ini, Suicide Squad berisikan penjahat-penjahat kelas kakap yang dipaksa bekerja sama melawan ‘penjahat’ yang lebih evil, dengan iming-iming kebebasan. Meski filmnya sendiri berantakan, paling enggak kita bisa ngeliat sepak terjang dna karakter mereka yang kadang bikin kita gaenak udah ngecheer.
7. The Chanels
Survive dari season 1, Chanel Oberlin dan minionnya malah semakin berkembang di Scream Queens season 2. They are the worst (in a good way) personification dari plastic mean girls. Mereka juga semakin kocak, bisa jadi perawat meskipun bukan dokter beneran. Bisa lulus SAT meskipun belajar ngasal. But yet, mereka tampak mustahil untuk dibunuh oleh The Green Meanie, berkat keignorant dan keegoisan mereka.

 

Blood makes you related, loyalty makes you family. Pemenangnya adalah…

Menyenangkan menonton film ini dan melihat mereka bekerja sama sebagai satu unit sebuah keluarga.
Menyenangkan menonton film ini dan melihat mereka bekerja sama sebagai satu unit sebuah keluarga.

 

 

 

 

FEUD OF THE YEAR

cymera_20170118_211914

Orang bertengkar di mana-mana. Social media practically isinya orang nyolot ama nyinyir semua. Fans si anu lawan fans si itu. Hoax dilawan dengan hoax. Udah gak keliatan lagi yang mana yang nyaci, mana yang dibela. Well yea, untungnya kami masih cukup waras setelah memilih mana perseteruan yang dianggap layak untuk dapat piala. Nominasinya adalaaah
1. Batman vs. Superman
Filmnya boleh flop tapi ngeliat dua superhero ikonik ini baku hantam tetep bikin aku merinding kegirangan
2. Donald Trump vs. Hillary Clinton
Debat kandidat presiden Amerika ini seru karena voters di sono kayak milih the lesser of two evils
3. Mario Teguh vs. Deddy Corbuzier
Ketika ada yang ngaku jadi anak terus dikomporin ama acara TV, ya jelas aja meledak. Mentalist lawan motivator is interesting enough.
4. P coret vs. S coret
Kalo nyangkut soal peraturan lalu lintas, semua orang bisa melanggarnya. Apalagi kalo polisinya sendiri enggak yakin bedain rambu mana maksudnya apa.
5. Taksi vs. Taksi Online
Sirik-sirikan kendaraan umum dengan versi online mereka memang masih terus terjadi.
6. Team Captain America vs. Team Iron Man
Bahkan superhero pun bisa berselisih paham dan terpecah menjadi dua kubu loh!

 

And we still don’t care dengan cuma ngasih satu piala untuk direbutin oleh pemenang, yang mana adalaaah:

Build up yang sangat beralasan dan ditutup oleh pertempuran yang actually seru banget. Dan yang terpenting, abis berantem mereka semua saling baikan. Patut dicontoh, inga inga ting!
Build up yang sangat beralasan dan ditutup oleh pertempuran yang actually seru banget. Dan yang terpenting, abis berantem mereka semua saling baikan. Patut dicontoh, inga inga ting!

 

 

 

 

BEST MOVIE SCENE

Film adalah kolektif scenes yang membentuk suatu kesatuan. Ada yang bilang ending adalah bagian terbaik sebuah film, sementara adegan pembuka adalah bagian terpenting dari film. Seringkali, tho, gold ada di tengah-tengahnya. Kita pasti punya adegan favorit yang pengen ditonton berulang-ulang. Entah itu karena ngena banget secara emosi, filmmakingnya breathtaking, atau or just plain awesome. Berikut adalah yang memorable enough sehingga sukses jadi kandidat Adegan Film pilihan tahun 2016:
1. Belah Bola (Everybody Wants Some!)

I need to emphasize this; you could never be as cool as that guy
2. Deadpool Opening Scene (Deadpool)
https://www.youtube.com/watch?v=DVMVWQIfT88
Cara yang paling efektif buat ngajak kita kenalan sama perangai Deadpool, perfectly set up tone for the movie, plus those frames are dripping oleh kekocakan
3. Jena Malone Corpse Riding (The Neon Demon)
sub-buzz-22530-1466728978-1
Adegan film paling kontroversial sepanjang 2016! Salut buat Jena Malone for doing that
4. LA Sunset (La La Land)
https://www.youtube.com/watch?v=RvWhKWhFWoc
Musiknya so playful, cinematografinya so beautiful, keseluruhan adegan so meaningful!
5. Sloth Scene (Zootopia)

Zootopia mengusung tema yang sangat dewasa; soal judgmental dan ultimately gimana society bisa dikontrol oleh ketakutan. Namun mereka sempat-sempatnya masukin adegan yang kocak banget ini. Aku belum nemu orang yang enggak ketawa menontonnya!
6. Trip to Trippy Multiverse (Doctor Strange)

Utilizing teknologi, film Doctor Strange sukses bikin kita takjub menonton kekuatan super para tokohnya. Perjalanan Strange ke universe buatan dibuat dengan sangat cantik, mempesona, membingungkan, it was a very mind-bending scene!
7. Valak Entrance (The Conjuring 2)
https://www.youtube.com/watch?v=JJmWYGR3XY0
Kemunculan Valak di dalam ruangan tersebut bener-bener dicraft dengan handal, liat deh dan rasakan saat antisipasi ngeri itu terbit dan film ini akan menggoda rasa takut kita sebelum kemudian melepaskannya dengan sangat teatrikal.

 

The Dirty goes to…

Love the scene so-MUCH! Hahahaha.. Sentilan kocak buat betapa lambatnya pelayanan jasa yang sering kita temukan kayak di TU, kasir, dan semacamnya.
Love the scene so-MUCH! Sentilan kocak buat betapa lambatnya pelayanan jasa yang sering kita temukan kayak di TU, kasir, dan semacamnya.

 

 

 

 

 

MOMENT OF SILENCE

Banyak orang meninggal setiap tahunnya, tapi oh boy, 2016 membunuh begitu banyak orang. Korban virus Zika, korban gempa, korban Suriah yang situasinya semakin parah, Kana patah, dan bersama mereka; Snape, Princess Leia, Muhammad Ali, Chyna, Prince, David Bowie, Debbie Reynolds, Budi Anduk, Mike Mohede, Raja Thailand, Willy Wonka, Mr. Fuji. Mereka menembak Harambe si gorilla. Bahkan Sari Roti bernasib nelangsa. It looks like our common sense juga sekarat.

Mengheningkan Cipta, mulai!

…….

…..

Selesai.

 

Dan mereka menembak gorilla.

 

 

 

 

STUPID-IDIOT! OF THE YEAR

sub-buzz-15641-1480710086-2

Itu adalah postingan salah satu pengguna internet yang udah sukses nunjukin yang berkembang pesat di 2016 adalah populasi troll. It’s like, setiap kali ada berita baru kita bakal mengernyit sambil tertawa hampa. People clowning us every chance they get. Ada pelari olimpiade yang nipu polisi. Ada yang bilang bisa gandain uang. Ada yang mau boikot roti sarapan. Mungkin ini salah kami, setiap tahun kami kasih piala buat yang paling bego, sehingga pada makin semangat berkompetisi. Berikut adalah nominasi Bego of the Year, atau seperti yang dikatakan oleh Chris Jericho: “STUPID-IDIOT! of the Year”
cymera_20170118_212149
1. Broken Matt Hardy
Cowok-cowok dulu pasti pengen sekeren pegulat ini. Tapi semenjak kalah oleh adeknya, Matt patah hati mentally dan physically. Dia berubah. Mengatakan dirinya jadi aneh, kurang tepat. Dengan akting ala kadar meneriakkan “Delete!” hampir di setiap kesempatan, dengan aksen yang impossible, Broken Matt Hardy persis kayak pesulap jalanan yang lagi mabok. Dia membawa anak balitanya ikutan tanding, dan jangan lupakan video-video promonya yang kayak cuplikan film-film cult yang hilarious.
2. Cerita Harry Potter and the Cursed Child
I love Harry Potter books, sampai sekarang aku masih nunggu surat dari Hogwarts. But seriously, cerita adaptasi dari naskah teater ini lebih mirip fan fiction; elemen time travelnya bego, dialognya payah, dan Voldemort punya anak BLAAARGGHH!!
3. Cocokologi
Pretty much mind set orang-orang di tahun 2016. Segala sesuatu dicocok-cocokin demi ngedukung pandangan mereka, tidak peduli betapa panjang reaching dan reasoning yang diperlukan. Dan kemudian then believe it as a fact. Thanks buat Net TV yang udah mempopulerkan ini sebagai lucu-lucuan.
4. HeiHei si Ayam Jago
The show stealer dalam film Moana. Ayam jago ini begitu jago memancing tawa dengan kebegoannya. He’s so stupid sehingga menjadi lucu, he’s a hero in his special idiot way.
5. Lagu Lelaki Kardus
Benar gak abis pikir deh, kenapa ada yang berpikir bahwa adalah sebuah ide bagus untuk nyiptain lagu tentang konflik rumah tangga dengan irama ala-ala kasidah dan menyuruh anak kecil untuk menyanyikannya. Musik videonya get unintentionally creepy saat anak-anak kecil mengacung-ngacungkan telunjuk penuh penghakiman sambil ngechant “lelaki kardus, lelaki mencret, lelaki…”
6. Pahlawan sendiri kok enggak tahu?
Nyinyir tampaknya cuma beda tipis ama bego. Batas tipis dilanggar dengan cueknya oleh para ignorant saat mereka mulai nyinyirin soal uang baru yang dikeluarkan oleh bank. Membuktikan diri sebagai idiot, mereka merendahkan pahlawan dan bangsa sendiri dengan joking about hal-hal yang sebenarnya bisa dibaca di buku sejarah waktu SD.
7. Videotron Jakarta Selatan
Hal terbaik dari nonton bokep datang dari perasaan bersalah nonton diem-diem karena malu ketahuan. Tapi pemutar videotron di sudut jalanan Jakarta Selatan ini tidak sependapat. Dia berpendapat nonton bokep ya sama aja kayak nonton bola; Lebih ikkeh kalo ditonton rame-rame, barengan pengguna jalan di siang bolong yang panas dan padat.

 

The one who takes The Dirty sebagai Stupid-Idiot! of the Year adalah…

Selalu gila. He’s a endless supply of insanity. Kata-katanya adalah pabrik meme. Broken Matt Hardy nunjukin what it is truly mean about being Broken.
He’s an endless supply of insanity. Kata-katanya adalah pabrik meme. Broken Matt Hardy nunjukin what it is truly mean about being Broken.

 

 

 

 

 

BEST MUSICAL PERFORMANCE

Sebelum kita baca nominasi buat penampilan musikal terhits, marilah sambut our Special Guest Performance, membawakan versi akustik dari lagu soundtrack Moana, Alessia Cara, yaay!

https://www.youtube.com/watch?v=LjwJHaT6gy0

Oke gara-gara lagu How Far I’ll Go itu aku jadi ngefan berat sama suara Alessia. Anyway, para nominasi di bawah ini sudah enggak sabar mau nampil (dooo gamau kalah nih yeee), jadi inilah mereka:

1. “Bare Necessities” live from Mowgli dan Baloo

2. “Gue Kece” covered by Sarah Sechan dkk
https://www.youtube.com/watch?v=IV96NQq0qmY
3. “Incredible Thoughts” oleh The Style Boyz feat. Michael Bolton and Mr.Fish

4. “Nasi Padang” by Kvitland

5. “Pen Pinapple Apple Pen” dari Pikotaro

6. “PokeRock” The Rock actually got Jason Paige, penyanyi asli pokemon to sing this!

7. “Sweet Child O’Mine” performed by Kielyr and the rest of Cash Family

 

Dan The Dirty jatuh kepadaaa

The clip is so fun. Ayo siapa tadi yang gatahan buat ngelakuin Donkey Roll? Liriknya yang ngasal tapi berdering some wisdom di dalamnya, hey, aku malah kepikiran buat jadiin lagu ini jadi lagu kebangsaan mydirtsheet.com hhihi
The clip is so fun. Ayo siapa tadi yang gatahan buat ngelakuin Donkey Roll? Liriknya yang ngasal tapi berdering some wisdom di dalamnya, hey, aku malah kepikiran buat jadiin lagu ini jadi lagu kebangsaan mydirtsheet hhihi

 

 

 

 

MOST ANNOYING QUOTE


Sayangnya, tidak semua bisa seperti Enzo dan Big Cass, their words are just awesome!

Berikut adalah nominasi quotes paling annoying yang sehabis kalian mendengarnya, aku perlu menanyakan kondisi kesehatan mental kalian, “how you doin’?”
1. “Apa yang kamu lakukan ke saya itu jahat”-Cinta 

2. “Drink IT in, maaaaaaaa~~~aaan”-Chris Jericho

3. “Hempas datang lagi”-Syahrini
https://www.youtube.com/watch?v=H4FjOjqJ20M
4. “Marilah seluruh rakyat Indonesia blablablablaaa”-Mars Perindo

5. “Om telolet om!”-Siapapun yang masih bilang itu
https://www.youtube.com/watch?v=OjI_oHRfIS0
6. “Tahu bulat digoreng dadakan blablabla”-Jingle Tahu Bulat

 

So, how you doin’?
Yang paling enggak sawft di telinga adalaaah…

This is the worst! AAAAARRRGGHHHH!!!
This is the worst! AAAAARRRGGHHHH!!!

 

 

 

 

GAME OF THE YEAR

cymera_20170118_211802

In recent years, game sudah jauh berkembang, but not always result in a good way. Kebanyakan game terasa lebih mementingkan kualitas grafis ketimbang experience gameplaynya. Virtual Reality semakin berkembang, pembuat game bersaing untuk menciptakan permainan yang berasa nyata. Yang jadi nominasi kategori ini adalah games yang, not necessarily have better graphic, tapi bisa membuat kita enjoy karena mereka mengeksplor gameplay yang terasa genuine.
1. Final Fantasy XV
Seri teranyar dari seri game RPG paling populer sepanjang masa. Kita juga dapat film yang nyeritain origin cerita yang menyertai rilis video game untuk PS 4 ini. It is a breakthrough karena gamenya actually ngambil setting yang mirip-mirip present time. Tau apa yang paling heboh? It actually takes tiga hari di dunia nyata beneran untuk mengalahkan salah satu bos dalam game ini!
2. King of Fighters XIV
Tidak seperti pesaingnya, Street Fighter V, KOF XIV tau persis formula seimbang antara modern dengan nostalgic. Sistem tarung traditional yang exciting sekarang diperindah dengan animasi 3D yang lincah. Aku sampai diingetin buat gantian loh ketika terus-terusan main gratis di booth PS4 toys fair di TSM beberapa waktu yang lalu.
3. Pokemon Go
Impian buat nangkep pokemon jadi kenyataan di tahun 2016. Game hp ini sukses bikin orang di seluruh dunia pergi keluar rumah demi berkeliling mencari pokemon. And it was very realistic, in a sense kita bisa nangkep Magikarp di daerah berair dan semacamnya. Seperti permainan video game klasiknya, player juga bisa join masuk tim dan berinteraksi dengan pemain lain.
4. Slither.io
Masih ingat game ular di hape nokia jadul? Well, put an online twist dan kita dapet game slither.io. Simpel tapi addictive. Bayangkan, ular kita sudah panjang, dan tau-tau kita ‘terbunuh’ karena nabrak ular yang lebih kecil. Aku yakin, setiap kali ada ular yang mati ada anak yang menjerit nangis di belahan dunia lain.
5. Super Mario Run
Keluar di penghujung tahun, game ini berhasil bikin orang-orang kembali mantengin gadget mereka. Bedanya Super Mario Run dengan game Mario biasa adalah; di sini kita hanya mengontrol lompatan as Marionya lari secara otomatis. Game adventure side-scroll klasik ini jadi seperti Mario versi parkour haha.
6. Werewolf
Banyak orang Indonesia ngeinstall tele.gram just to play this game. Simpel banget, mainnya pake pesan-pesan doang. Objekifnya adalah yang kebagian jadi detektif kudu menebak siapa di antara kelompoknya yang berperan sebagai werewolf. It uses our deductive skill, as well as kemampuan kita untuk menipu dan menghasut. Right, fun!

 

Oke, sudah selesai loading belum? Here’s our winner… bip bip booppp..

It is such a worldwide sensation. Masuk berita di mana-mana, positif dan negatif. Seluruh orang menginstall game ini dan go out memburu Pikachu, even orang-orang yang dulu ngeledek kalian nerd lantaran main pokemon di gameboy! Kalian akan literally disapa orang asing di tengah jalan, “halo, kamu main pokemon gak?”
It is such a worldwide sensation. Masuk berita di mana-mana, positif dan negatif. Seluruh orang menginstall game ini dan go out memburu Pikachu, even orang-orang yang dulu ngeledek kalian nerd lantaran main pokemon di gameboy! Kalian akan literally disapa orang asing di tengah jalan, “halo, kamu main pokemon gak?”

 

 

 

 

UNYU OP THE YEAR

cymera_20170118_211418

I love it when beautiful, talented people succeeded. Makanya penghargaan kategori ini didedikasikan buat mereka-mereka yang udah bikin kita kesengsem oleh kecantikan dan kemampuan yang mereka miliki. Surprisingly enough, Chloe Grace yang udah dicanangkan bakal masuk nominasi setiap tahunnya, gagal bercokol di sini. Yuk lihat ada siapa saja:
1. Alexa Bliss
Small but fierce. Alexa really killing it dengan attribute yang terinspirasi dari Harley Quinn. Salah satu momen favoritku di tahun 2016 adalah menyaksikan cewek ini menyabet sabuk juara wanita di brand Smackdown.
2. Anna Kendrick
Sepanjang 2016 kita dibuai oleh suaranya, karena Kendrick nongol di banyak film. Paling mengesankan saat dia jadi crazy chick di babak akhir film Mr. Right.
3. Annalise Basso
Mau itu Captain Fantastic atau Oujia: Origin of Evil, kehadiran cewek ini seolah signaling bahwa film yang ia perankan adalah film yang bagus. She always bring a top-notch performance.
4. Anya Taylor-Joy
Cewek ini menyuguhkan penampilan yang luar biasa menawan dalam film The Witch. And later in 2016, dia membuktikan bahwa performancenya tersebut bukan beginner-luck!
5. Britt Robertson
Yang satu ini sudah langganan masuk nominasi. Ada tiga film yang dimainkan oleh Britt di 2016, dan lucunya dia selalu kebagian jadi orang hamil
6. Emma Roberts
Satu lagi langganan nominasi, akting ‘senewen’ Emma Roberts selalu punya pesona sendiri. She’s also really good di Nerve dan tbh film itu won’t work well tanpa charisma dari cewek ini.

 

Dan adek yang beruntung dapet The Dirty adalaaah

Pemenang Unyu op the Year terdahulu have been going on doing something great. Ini adalah pilihan yang sulit. Tapi aku paling gak sabar untuk melihat apa yang bisa dilakukan oleh Annalise Basso di tahun-tahun mendatang.
Pemenang Unyu op the Year terdahulu have been going on doing something great. Ini adalah pilihan yang sulit. Tapi aku paling gak sabar untuk melihat apa yang bisa dilakukan oleh Annalise Basso di tahun-tahun mendatang.

 

 

 

 

BEST WEB VIDEO OR SERIES

Youtube bakal ngegantiin TV. Dan kalimat tersebut enggak necessarily sebuah prediksi, lho. Faktanya setiap hari semakin bertambah jumlah vlogger. Aku pernah dikasih liat oleh Mas Dennis Adhiswara beberapa video blog yang minta diorbitin, meski dengan production value seadanya. Enggak cukup dengan nonton, orang-orang sekarang pada ingin membuat hiburan, ingin berkarya. Sayangnya di Indonesia, keragamannya masih kurang sih ya. Vlognya gitu-gitu mulu, tutorial make-up lah, sok-sok sarkas lah. Sedangkan Bigo dipake buat yang enggak enggak. Well, nominasi kategori ini akan memberikan contoh gimana kreativitas – along with produksi yang niat – bisa menghasilkan tontonan alternatif yang menghibur
1. Carpool Karaoke

Originally adalah segmen di Late Late Show, dalam video seri ini kita akan dihibur oleh James Corden yang driving around nganterin selebriti sembari mereka nyanyi karaoke bareng di dalam mobil. Hingga sekarang, dari Taylor Swift sampai Michelle Obama sudah pernah tampil dalam video ini.
2. Cot Dammit Elizabeth!

“My girlfriend asked me to help her become fit, here’s our journey.”, begitu bunyi deskripsi singkat rangkaian video yang diunggah pertama di Snapchat ini. Those videos are so hilarious, kita akan ngeliat si cowok dengan ‘kejam’nya menjaga sang cewek untuk terus membakar lemak.
3. React

Konsep video di Channel React ini adalah untuk melihat reaksi-reaksi sekelompok orang ketika dihadapkan sama satu pop-culture, entah itu game, film, video, makanan, dan lain-lain. It’s so interesting karena mereka kerap membenturkan dua generasi yang berbeda, misalnya reaksi anak-anak nonton kartun Transformer jaman dulu, atau remaja-remaja yang disuruh nebak lagu 90an, atau juga para sesepuh yang disuruh main Angry Birds!
4. UpUpDownDown

Kita bisa menonton para superstar WWE saling bertanding…. video game! And they play all kind of video games – klasik maupun yang baru. Seru karena kita bisa mereka ngebreak character, that some of them ternyata nerd juga kayak kita-kita
5. What Thor was Doing During Captain America: Civil War

Demi menjawab pertanyaan kenapa Thor enggak ikutan saat tim Cap dan tim Iron Man berantem, and also buat promoting film berikutnya, director Taita Waititi membuat dokumenter yang kocak banget soal apa yang sebenarnya dilakukan oleh Thor.

 

And the winner is….

It is so entertaining, setiap hari aku bolak balik channel ini demi ngeliat ada uploadan baru.
It is so entertaining, setiap hari aku bolak balik channel ini demi ngeliat ada uploadan baru.

 

 

 

 

BEST CHILD CHARACTER

cymera_20170118_211533

Penulisan tokoh anak-anak bisa menjadi hal yang sulit, beberapa film biasanya missed dalam nanganin ini. Writers are having a hard time nulisin perspektif yang benar-benar pas, kita sering ngeliat tokoh anak yang terlalu dewasa, ataupun mereka ditulis sebagai makhluk yang terlalu bego. Kids don’t talk and act like kids. Untungnya 2016, kita dapet banyak sekali tokoh anak-anak yang dibook mengagumkan, diperankan dengan excellent pula oleh para aktor cilik berbakat. So we feel the need to award them, inilah nominasinya:
1. Doris Zander (Ouija: Origin of Evil)
First of all, rambutnya cute abis!
Doris actually adalah karakter yang tricky, penulisannya membutuhkan anak ini sebagai yang nyeremin polos gitu. Apa yang kita saksikan di film adalah Doris yang dimainkan dengan sangat tepat, we get an uneasy feeling, creepy, nightmare-material banget deh!
2. Eleven (serial Stranger Things)
Tokoh satu ini very likeable dan badass bgt! Setiap anak kecil pasti pengen punya temen yang punya kekuatan telekinesis kayak Eleven;
3. Jack (Room)
Bayangkan kalian hidup lima tahun di kamar yang sempit, dan suddenly kalian keluar dan melihat matahari, melihat dunia untuk pertama kali. Jack ngalamin semua itu – tembok realitanya runtuh, dan reaksinya ngehandle semua bikin karakter anak kecil ini begitu kuat dan compelling
4. Janet Hodgson (The Conjuring 2)
Sebenarnya kasian ngeliat Janet dihantui setan-setan di Conjuring 2, namun tokohnya punya sedikit twist – she actually orchestrated beberapa ‘gangguan setan’ tersebut untuk mendapat attention dan ironisnya untuk membuktikan dia tidak berbohong bahwa beneran ada hantu di rumah mereka
5. Kubo (Kubo and the Two Strings)
Di balik sifat cerianya, Kubo adalah anak yang mandiri, dia ngurusin ibunya yang sakit, dia pandai melipat kertas dan bermain musik, ini adalah role model yang bagus untuk anak-anak.
6. Mowgli (The Jungle Book live action)
It’s amazing ngeliat film The Jungle Book live action, meski Mowgli practically satu-satunya aksi yang live di sini. Mowgli adalah karakter yang hebat, petualangannya yang seru ngajarin banyak soal kekeluargaan dan persahabatan.
7. Sophie (The BFG)
Steven Spielberg masih jago ngidupin karakter anak-anak, buktinya ya Sophie di The BFG ini. Anak yang penuh imajinasi dan mimpi, punya banyak cinta untuk dibagi because selama ini dia tidak punya siapa-siapa untuk diajak berbagi.

 

Sebenarnya aku ingin masukin Holly dari film The Nice Guys, awesome bgt, but umur tokohnya sudah remaja dan kalo dimasukin aku bingung ngasih judul kategorinya haha, so yea. Film-film Indonesia mestinya niru gimana film luar membangun tokoh anak-anak. Pemenang The Dirty kategori ini adalaahh..

She has superpower, she has a damaged past, she has no hair, this is easily the most intriguing character of all. Millie Bobby Brown sangat fantastis memainkan tokoh ini, dia membuat Eleven terasa begitu real.
She has superpower, she has a damaged past, she has no hair, this is easily the most intriguing character of all. Millie Bobby Brown sangat fantastis memainkan tokoh ini, dia membuat Eleven terasa begitu real.

 

 

 

 

MY MOMENT OF THE YEAR

Semenjak domain di-approve oleh wordpress di bulan Februari, there’s no stopping mydirtsheet. Dan terima kasih berkat kalian semua, situs ini dapat peningkatan sorotan yang berarti. Sekarang kami sudah berani bikin acara nonton bareng yang diadain di warung punya temen, Warung Darurat. Sudah berani nerbitin buletin mingguan, yang bisa didapat gratis di Warung Darurat. Review AADC 2 dan Warkop DKI Reborn mecahin rekor view terbanyak. Review Deadpool menangin kontes di Cinemags. Mydirtsheet.com diundang ke FFB 2016, diajak closed screening Jakarta Undercover oleh mas Fajar Nugros – tonton deh filmnya, tayang resmi Februari 2017. Anyway, mydirtsheet juga buka kategori baru – merchandise. Practically maksudnya adalah aku jualan kaos buatan sendiri, sok atuh liatliat, dipesen kalo mau, buka jasa sketch juga. Aku ikutan kelas-kelas bikin film dan kelas nulis, dari Maret sampe Oktober aku bolak-balik Jakarta – Bandung setiap minggu. Tapi meski sudah ikut banyak kelas biar tulisan makin yahud dan sukur-sukur bisa bikin film sendiri, toh nyatanya aku masih bego. Makanya salut deh buat Forum Film Indonesia yang sudah sudi mengangkatku jadi admin, terima kasih. Best momen buatku di tahun 2016 adalah ketika aku dapat ambil bagian dalam rangkaian acara kembalinya Lupus sebagai Tim Penulis Lupus Bareng Yogyakarta. Dapet temen-temen baru, dan akhirnya bisa ketemu (oke, aku berkesmepatan digembleng nulis oleh) trio Lupus: Boim, Gusur, dan Hilman. Tiga orang yang basically bikin aku suka baca dan nulis, Lupus termasuk buku (nonkomik) pertama yang aku baca waktu kecil.
cymera_20170121_101151
So yea 2016 has been great to me, dan aku siap berjuang di tahun 2017.

 

Oiya, jika mydirtsheet.com buka lowongan buat kontributor – kalian bisa menulis bebas tentang apapun yang disuka – kirakira ada yang mau daftar gak ya?
Because we do membuka pintu The Palace of Wisdom buat buat kamu-kamu yang punya hobi nulis, yang demen review apapun, yang punya passion bercerita. Silahkan kirim email ke aryapratamaputraapepe@gmail.com so we could discuss idea untuk bikin situs ini jadi platform keren tempat ngumpulnya benak-benak kreatif, dan of course untuk mendiskusikan upah tulisannya 😀

 

 

 

 

SHOCKER OF THE YEAR

Jadi, bisa disimpulkan 2016 adalah tahunnya orang-orang nyinyir. Tahun kebangkitan berita-berita palsu di internet. Facebook dan jejaring actually diminta untuk lebih menyaring berita-berita yang dipos oleh pengguna. Dan mereka menembak gorilla.
Oke, I know I’ve said it thrice already.

Para kandidat di bawah ini, they take the cake sebagai runner ups dari kejadian paling mengejutkan yang terjadi sepanjang tahun. Mari kita simak:
1. It’s the long awaited CM Punk UFC debut, dan dia kalah dalam 2 menit 45 detik!
2. Goldberg ngalahin Brock Lesnar ga sampai 5 menit!!
3. And oh wait, Ronda Rousey comeback dan kalah di bawah 1 MENIT!!!
4. Chicato rasa mie goreng!
5. Britain votes to leave European Union!?!
6. Climate change is real!!
7. Struggle bisnis majalah juga also real!!
8. Apple drops the jack!!
9. Film Warkop DKI Reborn tembus 6 juta penonton -,-!!
10. Leonardo DiCaprio akhirnya menangin Oscar!!!
11. Shane McMahon balik, ngelawan Undertaker di Hell in a Cell Wrestlemania 32!
12. Aksi demo yang dihadiri jutaan umat – berakhir damai, top!
13. Panda tidak lagi termasuk binatang yang mau punah, hore!!
14. BUT, they killed a gorilla and make him meme…!!

Kami menyimpan the biggest shock for the last. Pemenangnya adalaaaahh

Donald Trump, si kepala oren yang pernah kenak Stunner di Wrestlemania, the one who grabbed by the pu… The Donald F’ing Trump, menang pemilihan presiden Amerika!!
Donald Trump, si kepala oren yang pernah kenak Stunner di Wrestlemania, the one who grabbed by the pu… The Donald F’ing Trump, menang pemilihan presiden Amerika!!

Terima kasih 2016, you’ve trolled us all.

 

That’s all we have for now.
Untuk penutup, silahkan sambut kembali, Alessia Cara, plok plok plok!
https://www.youtube.com/watch?v=rofzh46wSd0

 

 

 

Remember in life, there are winners.
And there are losers.

They didn’t even get the Miz’ Participation Award
They didn’t even get the Miz’ Participation Award

 

#BeeJealous!

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

ISTIRAHATLAH KATA-KATA Review

“Action speaks louder than words, except mine, my words are pretty awesome.”

 

istirahatlahkatakata-poster

 

Untuk sebuah film yang judulnya menyuruh kata-kata tidur siang, Istirahatlah Kata-Kata benar-benar punya sepatah dua patah sesuatu untuk disampaikan. Dan dia enggak bohong, kata-kata bisa ongkang kaki, sebab film ini adalah selebrasi dari tutur visual. Segala yang terpampang di layar berkoar bahasa sinematik, mengajak setiap pasang mata yang menonton untuk mengalami langsung apa yang sedang berusaha untuk diceritakan.

Action speaks louder than words. Kecuali kata-kata Wiji Thukul. His words are pretty awesome. Buktinya puisi-puisi karangan penyair asal Solo ini sukses bikin rezim Orde Baru Suharto ketakutan. Puisi-puisinya yang tentang rakyat kecil, mengobarkan semangat kebangkitan. Baca saja karya yang berjudul Peringatan. Namun itu belum cukup, kita tidak bisa mengubah dunia dari depan komputer – atau mungkin mesin ketik, di jaman Wiji Thukul merangkai kata. Jadi dibentuknya Partai Rakyat Demokratik (PRD) sebagai aksi langsung menuntut demokrasi. Dan jadilah Wiji Thukul sebagai pelanggar hukum, kala itu tidak boleh ada partai keempat. Wiji Thukul hidup sebagai buronan militer, dia angkat kaki dari Solo meninggalkan istri dan anak-anaknya.

Oke, sampai di sini marilah kita biarkan film Istirahatlah Kata-Kata mengambil alih kisah kehidupan seorang Wiji Thukul. Karena film tersebut menceritakan celoteh sejarahku di atas dengan jauh lebih efektif dan simpel; cukup lewat satu adegan kompor dengan teks singkat di atas gelegaknya. Mulai dari sini, biarkanlah film membawa kita menyimpang sedikit dari ranah sejarah, sebab ini bukanlah biografi, apalagi dokumenter. Sutradara Yosep Anggi Noen tidak membuat film ini sebagai sebuah rangkuman peristiwa sejarah. Ini adalah sebuah drama kemanusiaan dengan pendekatan rather psychological; a very closed look tentang gimana KEHIDUPAN SESEORANG DI DALAM PELARIAN. Gimana keterasingan slowly consumed him, dan juga dampaknya terhadap orang-orang yang ia cintai, sebelumnya akhirnya Wiji Thukul akhirnya benar-benar menghilang tanpa bekas. Seperti bunga yang dicabut dari akarnya kemudian ditiup oleh angin.

Ouija Too Cool …. Oke, I’m a seven-year old :3
Ouija Too Cool …. Oke, I’m a seven-year old hhihi

 

This is a really contained film. Peran-peran yang ada ditulis dan dimainkan dengan sungguh real. Percakapan mereka adalah percakapan yang benar terjadi, kita bisa dengar obrolan di warung kopi seperti apa. The way they react to things juga sangat manusiawi. Sebagai Wiji adalah Gunawan Maryanto (aku serius jadi penasaran beliau cadel beneran atau enggak, karena aku gasempat merhatiin waktu diajar nulis tahun lalu), kita bisa merasakan sembunyi-sembunyinya, takut-ketahuannya. There’s this one scene yang real-ironis yaitu saat hal pertama yang secara spontan Wiji tanyain ke pemilik rumah tempat dirinya ‘ngumpet’ adalah apakah ada pintu lain kalo-kalo dia perlu kabur mendadak. Sebagian besar waktu, emosi para tokoh ini ditahan-tahan, yang as the story goes semakin memuncak. Wiji Thukul dan Sipon, istrinya, ultimately akan dapet momen ketika semua emosi tersebut terlepas, dan film ini ngehandlenya dengan baik sehingga jadi sangat powerful. Sipon (Marissa Anita mirip-mirip Renee Young yang di Smackdown enggak sih, wdyt?) actually dapat dua adegan emosional yang berhasil terdeliver dengan menggugah.

“Kalah terus, ya tidur!” Masalahnya, bagi Wiji, adalah dia tidak bisa tidur. Di sinilah letak betapa efektifnya film ini menggambarkan isolasi. Hidup sebagai buronan adalah hidup yang gelisah. Kata-kata Wiji boleh beristirahat, sementara dirinya sendiri menjadi restless. Di bis, dia noleh-noleh ke belakang. Makannya enggak lahap oleh suara-suara di luar. Di dalam kamar tumpangan di Pontianak, ada saja yang membuat Thukul tidak bisa menidurkan matanya. Dan kerja film ini pun sama efektifnya ketika menutup cerita dengan membiarkan pintu kecemasan terbuka lebar; Begitu dia sudah bisa tertidur, when he finally embrace his status, dia malah mendapati istrinya menangis, dan kita tidak melihat Thukul lagi semenjak dia masuk ke dapur.

 

Arahan luar biasa ‘dekat’ dari sutradara Yosep Anggi Noen memastikan adegan-adegan menggandeng tangan kita melewati segala yang dirasakan oleh tokoh yang terlibat. Pace film sengaja dibuat lambat supaya semua emosi tersebut bisa perlahan menghujam ke dalam rasa kita. Ambil adegan pembuka sebagai contoh; a still-shot seorang polisi yang berusaha mengorek informasi dari anak Wiji, namun ada begitu banyak kejadian yang bisa kita rasakan. Lihat saja betapa ‘sibuk’nya actually satu adegan tersebut. There’s so much things and emotions happening there. Adegan tersebut juga sukses jadi pengantar yang perfectly ngeset mood keseluruhan film. Bahwa FILM INI SENDIRIPUN BERBICARA LEBIH BANYAK DARI SEKADAR LEWAT KATA-KATA.

Rahasianya terletak pada gimana sutradara Yosep Anggi mengontruksi adegan-adegan tersebut. Tata letak, komposisi, bahkan jarak kamera, dimainkan dengan sangat precise sehingga tak sekalipun kita merasa terlepas dari seolah ikutan duduk langsung di dalam layar. Not even ketika editing memisahkan shots dengan lumayan kontras. Everything was so on-point, everything was so in-the-moment. Makanya dalam film ini ada banyak sekali adegan-adegan yang memorable. Malahan, semuanya terhampar unik, kalian tahu, aku tidak bisa memilih favorit di sini. Adegan potong rambut, adegan lukisan The Last Supper, adegan ABRI main bulutangkis. Semuanya sungguh beautiful. Satu sama lain, semua adegan tersebut, dirangkai dengan tepat dan cermat. It’s LIKE A POETRY on its own, you know. Dan mungkin memang begitulah adanya. Dalam film ini majunya narasi kerap diselingi oleh voice-over pembacaan puisi oleh Wiji Thukul sembari kita menatap suguhan interpretasi visual dari bait-baitnya.

Di atas itu semua, kualitas teknikal yang paling menonjol buatku adalah ketidakhadiran musik. Nyaris keseluruhan film dihidupkan hanya oleh suara-suara asli; derap sepatu, siulan, bebunyian ekosistem malam , yea sound design film ini sangat awesome. Ini adalah langkah filmmaking yang sangat berani, mempercayakan sepenuhnya kepada emosi penonton untuk merasakan apa jujur terasa. Kecuali saat adegan di closing, tidak ada musik yang mendikte kita harus merasakan apa. Tidak ada musik yang menyuruh kita kapan musti takut, kapan musti gelisah, kapan musti tertawa. Ketika ada seseorang yang mengungkapkan emosinya, tidak ada suara musik yang mengiringi, tidak ada yang bilang “hey ini lagu sedih, maka kalian harus merasa sedih.” Makanya meskipun bidikan disetup sedemikian rupa – Yosep Anggi menjamin setiap yang tertangkap kameranya (bahkan yang keluar dari frame) memiliki makna – emosi film ini terasa compelling dan real. Karena kita dibuat seolah mengalaminya, alih-alih sekedar menonton.

Begitu jualah tampangku on a picture day
Begitu jualah tampangku on a picture day

 

Sebagai period-piece, set film ini juga tampak sama realnya. There’s no way orang bisa salah mengidentifikasi film ini, no matter mereka mengenalnya dengan judul Solo, Solitude atau Istirahatlah Kata-Kata. Aspek budaya lokal menguar kuat, bukan hanya sebagai penanda jaman, namun juga sebagai simbol yang turut berkontribusi ke dalam adegan-adegan filmnya yang bak puisi. Kalo mau dibandingan, film ini kayak gabungan aspek-aspek positif yang dimiliki oleh Athirah (2016) dan Terpana (2016).

Cukup lucu gimana pembangunan film ini bertolak belakang dengan pembangunan negara yang jadi salah satu kritikan Wiji Thukul pada masa itu. Kontruksi film ini dilakukan Yosep Anggi Noen sedemikian rupa, memperhatikannya secermat mungkin agar bisa dinikmati oleh penonton; supaya penonton bisa ikutan mengalaminya. Sedangkan pembangunan negara beneran, also masih relevan sampai sekarang, seringkali malah kita-kita yang dibangun yang tidak dapat menikmatinya.

 

 

Dalam usahanya mengistirahatkan kata-kata, however, film ini masih terdengar sedikit cerewet. Simbolisme kadang datang terlalu in-our-face; misalnya pada adegan The Last Supper, film merasa perlu untuk benar-benar ngeclose up lukisan alih-alih membiarkan kita menemukan sendiri fokus adegan tersebut. Ekposisi kejadian sejarah mungkin bisa dimaafkan karena memang perlu dan film ini meniatkannya sebagai informasi latar saja. Namun pada beberapa dialog, film ini seperti meragukan kemampuan penonton dalam mendeduksi arti suatu adegan. Film akhirnya turun tangan dan menjelaskan apa yang dialami karakter dengan dialog yang gamblang. Adegan terakhir saat Sipon sepertinya bisa lebih kuat jika Siponnya cuma menangis, sebab at this point kita tentu sudah bisa menyimpulkan sendiri gejolak gundah mereka.

 

 

 
Sebuah film yang paham what it takes to be humane. Berucap banyak lewat visual yang dikonstruksi layaknya puisi. Arahan yang luar biasa, penampilan yang seragam meyakinkan. Gimana film ini diambil, gimana setiap adegannya tercipta, filmmaking yang seperti inilah yang dibutuhkan dunia perfilman yang makin sekarang makin condong ke arah produk jualan. In a way, kita bisa bilang film ini melakukan pemberontakan, kayak Wiji yang melarang Sipon ngambil Koka-Kola. Ini adalah selebrasi tokoh Wiji Thukul. Ini adalah perayaan buat bahasa sinematik visual. Dan dalam kapasitasnya sebagai media bercerita, film ingin memastikan pesan ini sampai ke semua lapisan: kata-kata belum binasa, they just go out and take some action!
The Palace of Wisdom gives 8 out of 10 gold stars for ISTIRAHATLAH KATA-KATA/SOLO, SOLITUDE.

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners
and there are losers.

 

 

 

 

 
We? We be the judge.

LA LA LAND Review

“To (pursue) dream is to accept that you’re going to sacrifice more than you could have ever imagined.”

 

lalaland-poster

 

La La Land merupakan film yang paling berjaya di Penghargaan Golden Globe 2017 kemaren. Nyabet tujuh piala, loh! Dalam drama musikal modern ini, Ryan Gosling jadi Sebastian, seorang pemain piano yang punya passion begitu tinggi terhadap aliran musik jazz. Sementara itu, Emma Stone memainkan Mia yang bercita-cita menjadi seorang aktris. Mereka berdua bertemu dan mulai saling tertarik. Dan mereka kemudian menyanyi dan menari, menceritakan kisah perjalanan menggapai mimpi dengan begitu menawan.

Genre musikal bukanlah genre film yang paling aku sukai, in fact aku malah gak begitu larut dengerin musik secara umum. Namun hal ini bukannya jadi penghalang bagiku untuk menyukai La La Land. Because this is a well-made film. Aku sangat senang menonton film ini. Pertama, aku selalu cinta sama adegan-adegan audisi film dalam film, aku suka film yang menyorot backstage dunia sinema. Kedua, adalah dilihat dari kodratnya sebagai film musikal. The way film ini ngehandle adegan-adegan nyanyi. Begitu ada satu karakter yang mulai bernyanyi lantas menari, film ini membuatnya tampak sebagai progres alami. Kalian tahu, adegan tersebut tidak terasa dibuat-buat, kita instantly konek bahwa mereka bernyanyi dari hati, both literal dan metaphorically. MUSICAL NUMBERS DALAM FILM INI TIDAK PERNAH TERASA ANNOYING. Tidak pernah terasa pisah dari storytelling, tidak terasa seperti “yak, waktunya nyanyiii, semoga suka yaa”. Adegan openingnya saja – para pengguna jalan nyanyi bareng di jalanan yang macet – better dan lebih menyenangkan daripada opening Ini Kisah Tiga Dara (2016).

teletabis, teletabiiiiss!!
teletabis, teletabiiiiss!!

 

Dan oh, betapa cantiknya. Los Angeles, kota para bintang, sangat rupawan tergambar oleh film ini. It looks INCREDIBLE THE WAY IT IS SHOT. Arahan sutradara Damien Chazelle yang hingar bingar namun tetap membuat kita khusyuk menyaksikan adegan-adegan yang mengalun merdu. Editing yang cepat, take-take panjang yang indah, dan sekuens tarian yang elok, semuanya membuka lembar demi lembar cerita dengan mulus sekali. Film ini precise sekali, aku menjadi beneran sedih ketika tulisan ‘Fall’ (re: musim gugur) nongol tepat setelah Sebastian main di grup band electronic-garis-miring-modern Jazz.. Anyway, kalo kalian nanya adegan nyanyi favoritku, maka tentu tentu saja jawabannya adalah ketika Sebastian dan Mia menyanyi dan menari di bukit dengan latar senja LA yang jelita.

Dari scene ke scene, La La Land tampak amat sangat entertaining. Bahkan proses membuatnya pun seperti sungguh menyenangkan. How they played it. I mean, performances dalam film ini sungguh gemilang. Enggak salah kalo film ini diganjar, bukan hanya Best Director, namun juga Best dari penampilan kedua leadnya. Ryan Gosling is always so awesome, ditambah oleh sangat mesmerizing gimana dia memainkan piano itu. Dan Emma Stone memberikan performance terbaik dalam karirnya, sejauh ini. Menakjubkan pencapaian kedua aktor ini. Mereka membuktikan bagus di komedi, bagus di drama, dan bahkan bagus juga di musikal. Masih ingat adegan kocak Stone di Easy A (2010) ini?


When you look at that, kemudian nonton Emma Stone di film La La Land ini, you couldn’t help not to say: “Incredible.”

 

Namun demikian, apa yang paling aku suka, melebihi kualitas teknikal dan penampilannya yang luar biasa, adalah film ini mendorong penontonnya untuk mencapai impian mereka masing-masing; La La Land terasa sangat genuine dalam menyampaikan pesan tersebut, as if film ini dibuat oleh seseorang yang betul-betul paham dan mengerti gimana rasanya bertahan menggapai mimpi.

La La Land adalah surat cinta kepada orang-orang yang penuh passion.

 

Sebastian sangat passionate sebagai pemain piano jazz, akan tetapi dia tidak bisa memainkan apa yang ia suka. Kerjaannya malah mainin Jingle Bells di restoran mewah. Mia tunggang langgang bolak balik ikutan audisi, tapi tidak satu agensi pun yang nunjukin respek; audisinya terpotong singkat, tidak ada orang yang sungguh-sungguh memperhatikan usahanya. La La Land nunjukin gimana pretentious dan absurdnya dunia, khususnya dunia hiburan di LA. Namun apa yang sesungguhnya dilakukan film ini adalah mengguncang keras orang-orang yang punya passion di luar sana. Orang-orang yang punya mimpi. Orang-orang yang ingin sukses melakukan apa yang mereka cintai. Film ini menyuruh mereka untuk ambil tindakan dan lanjutkan kejar mimpimu, tidak peduli apa yang akan dikatakan oleh orang lain.

There is this one incredible scene. Sebastian dan Mia duduk dengerin band mainin Jazz di sebuah klub. Sebastian ingin Mia untuk mengerti keindahan musik ini. Dia ‘memaksa’ Mia untuk mendengarkan Jazz sebagaimana dirinya sendiri mendengarnya. Sebab Mia bilang baginya Jazz adalah sebatas musik yang menenangkan, musik lembut yang biasa ngiringin dia naik-turun di dalam elevator. Sebastian got so passionate about it, bisa dibilang kinda marah. Sebastian jengkel kenapa tidak ada yang mengapresiasi musik ini apa adanya – sebuah seni. I love how passionatenya Sebastian tergambar dalam adegan ini. As for the relationship, Sebastian dan Mia ini manis banget the way mereka saling support, masing-masing menggapai apa yang mereka cinta because they fall for each other.

jadi pengen bawa cewek jalan ke planetarium juga
jadi pengen bawa cewek jalan ke planetarium juga

 

Personally, aku merasa sangat related kepada both Sebastian dan Mia. Sebastian ingin mainin Jazz, punya klub sendiri, karena dia ingin ‘menyelamatkan’ that dying music genre. Mia ingin punya teater sendiri karena dia cinta bercerita. So they keep digging and digging. Terus menemukan dan mengejar mimpi. Namun kenyataan selalu berhasil menyusul ekspektasi. Mesti ada pengorbanan yang dilakukan. Ketika kita punya begitu banyak dan tidak bisa membuatnya seimbang, akan selalu ada pain yang involved.

Nyanyian Mia menjelang akhir, lagu yang magical banget itu, “Here’s to the one who dream, foolish as they may seem..” buatku terasa seolah dia bersenandung langsung di telingaku. Mendorong untuk terus. Because apa yang mereka lakukan, aku juga melakukannya. That’s what I’m doing here. Aku menulis review ini meskipun aku tahu tidak akan ada yang baca. Aku tetap saja nulis karena aku peduli sama film. Aku mau film terus menjadi bagus. Aku mau bisa bikin film yang bagus. No one would hire me to write so I’m trying to build my own platformthis blog. Kayak Mia yang gagal audisi lagi-dan-lagi, jadi dia menulis ceritanya sendiri. Aku ikutan Nulis Bareng Lupus karena ingin ‘nyelamatkan’ Lupus dari peremajaan-yang-berlebihan, I’ve told this ke mas Hilman Hariwijaya himself, tapi mereka mau beregenerasi dan move on, so I took the risk. And I failed. Tidak berarti berhenti mengejarnya. Yea, film ini punya banyak emotional note buatku, terutama di pertengahan hingga ke akhir.

Semua orang berjuang menggapai mimpi. Banyak yang saling bentur, passion dengan kerjaan. Idealisme dengan realita. Eventually, everything wil be. Kita bisa kapan saja berhenti ngelakuin hal yang tidak kita suka, namun tidak semua orang akan melihat appeal dari apa yang kita inginkan. Lalu bagaimana kita hidup? Dengan menjadi diri sendiri. Tokoh-tokoh film ini don’t shy away dari konsekuensi pilihan yang mereka jalani.

Cari makan, ya cari makan. Ngejar mimpi, ya ngejar mimpi. Sah-sah saja. Hanya saja, jangan bilang pengen ideal, tapi cari makan. Jangan bilang ingin cari makan, kemudian sok berdilema mau-tap- enggak-bisa menjaga kualitas karenanya. Selalu ada pengorbanan. Lakukanlah apa yang dicinta. Lakukan apa yang mesti kau lakukan demi yang dicinta.

 

 

 

Grand Piano (2013), Whiplash (2014), dan sekarang film ini; jelas sekali Damien Chazelle terinspirasi oleh musik. Dan sebagai filmmaker yang masih terhitung muda, tampak benar dia mengerti gimana rasanya menginginkan mimpi, passion, terwujud. Dia mengerti godaan, struggle, dan ultimately pengorbanan yang harus dilakukan agar mimpi tersebut menjadi nyata. Dan film ini sukses berat menceritakan semua tersebut dengan balutan musikal yang hebat. Adegannya mengalun seamlessly. Semulus para pemain menghidupkan perannya. This is one of the best directed movies tahun 2016. This is one of the best musical movies of all time.
The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold stars for LA LA LAND.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners
and there are losers.

 

 

 

 
We? We be the judge.