“What a heavy burden is a name that has become too famous”
Wrestling atau gulat pro, seperti halnya dunia hiburan yang lain, punya sisi gelap. Bintang-bintang tersohornya bisa dengan mudah jatuh ke dalam perangkap obat-obatan, misalnya. After all, ini adalah bisnis dengan tuntutan fisik dan mental yang sama menderanya. Di antara cerita-cerita kelam di balik gempitanya pertunjukan di atas ring, kisah keluarga Von Erich adalah salah satu yang paling kelam. Bayangkan dulu The Beatles, atau mungkin Koes Plus-lah yang sama-sama bersaudara, nah di tahun 70-80an, kepopuleran keluarga abang-beradik Von Erich di dunia gulat sepadan dengan kepopuleran grup tersebut di kancah musik. Dan tragedi yang bakal menimpa mereka satu persatu, membuat mereka bahkan lebih populer lagi. Sutradara Sean Durkin membawa kisah mereka ke layar lebar dalam bentuk drama biografi olahraga. Iron Claw yang jadi judulnya, merujuk kepada nama dari jurus/gerakan pamungkas gulat yang dipopulerkan oleh ayah dari abang beradik Von Erich, tapi nama tersebut akan lantas ngasih simbolisme mengerikan karena mereka memang pada akhirnya seperti tak bisa lepas dari cengkeraman besi tangan-tangan kematian. Sampai sekarang banyak fans yang menyebut keluarga ini dikutuk. Dan menariknya, Sean Durkin mengarahkan cerita ini justru ke nada yang tidak sekelam kisah yang kita tonton di episode dokumenter keluarga Von Erich. Durkin membuka sudut baru soal bagaimana tragedi mereka ini mungkin sama sekali bukan soal kutukan.
Kevin Von Erich (transformasi fisik Zach Efron sungguh niat, ampe beneran belajar teknik gulat) kini jadi tertua di antara adik-adiknya. Abang sulung mereka meninggal sejak masih kecil. Kevin ini begitu cinta kepada pro-wrestling. Dia sangat pengen memenangkan sabuk juara, seperti yang ditekankan terus oleh Bapak kepada dirinya dan kepada saudara-saudaranya. See, abu-abu itu sudah mulai terlihat. Sebenarnya Kevin hanya ingin terus bersama saudara-saudaranya. Melakukan apapun, selama bareng brothers. Tapi rumor tentang kutukan keluarga mereka mulai bothers him. Karena sekeras apapun dirinya merasa mereka berusaha, mereka masih belum berhasil. Kesempatan memenangkan sabuk emas tertinggi di bisnis mereka, belum ia dapatkan. Adik-adiknya juga terjun ke dunia gulat, tapi itupun karena mereka gagal di usaha masing-masing. Kepopuleran yang mereka dapat, itupun harus dibayar mahal. Satu persatu dari mereka bakal gugur menyedihkan saat meniti karir bergulat. Film ini did a great job at balancing soal kutukan dari nama keluarga yang Kevin dan saudara-saudaranya emban. Film ngasih kesempatan untuk terbukanya perbincangan. Perkara apakah kutukan yang Kevin takutkan itu mungkin datang dari keterpaksaan yang tak mereka akui dalam ngikutin kata atau maunya Bapak.
Bapak memang tidak kontan digambarkan oleh film sebagai pure diktator. Tapi Fritz Von Erich memanglah sosok patriarki di dalam keluarganya. Sosok yang dengan halus memantik kompetisi pada anak-anaknya. Pria yang dulunya juga seorang pegulat dan kini jadi promotor (produser) pertunjukan gulat sendiri tersebut secara casual bilang di depan muka anak-anaknya kalo dia punya ranking anak favorit. Kerry ranking satu, Kevin nomor dua, disusul David di posisi tiga, dan terakhir ada Mike yang badannya belum kebentuk karena kebanyakan main gitar ketimbang latihan gulat. Fritz menantang anak-anaknya, ranking itu bisa berubah tergantung ‘prestasi’ mereka. Sehingga sibling rivalry itu sebenarnya ada di dalam hati Kevin dan yang lain. Mereka yang semuanya cowok itu ingin menjadi yang berhasil menjawab tantangan bapak. Dari sini jualah drama itu muncul. Protagonis utama kita berkonflik, antara permintaan bapak, menjadi yang teratas di dunia gulat, tapi dia tidak ingin ‘meninggalkan’ adik-adiknya di belakang. Adalah ‘jurus’ sang bapak yang mencengkeram mereka. Yang membuat mereka mengemban nama dan kompetisi tersebut. Yang akhirnya justru membuat Kevin-lah yang ditinggalkan oleh adik-adiknya. As in, Kevin-lah satu-satunya keluarga Von Erich yang masih hidup hingga saat ini. Kevin di dalam cerita film ini, percaya kutukan itu datang dari nama belakang mereka. Sehingga ketika dia punya anak sendiri, dia tidak meneruskan nama Von Erich kepada anaknya.
Hati kisah ini ada pada hubungan persaudaraan yang terjalin dari abang beradik yang masing-masingnya berjuang untuk mengemban nama besar ayah. Seketika itu juga nama Von Erich jadi kutukan buat mereka. Karena gak ada beban yang lebih berat bagi seorang anak, selain memikul keinginan tak-kesampaian dari orang tua mereka. Namun film membahas ini dengan tidak serta merta menuduhkan bahwa mereka terpaksa, bahwa ayah mereka jahat atau gimana. Yang ingin ditekankan film adalah perspektif Kevin dalam melihat ini. Tentang gimana nama besar itu sebenarnya tidak lantas harus jadi beban, jika mereka berani memilih
Aspek gulat yang kayaknya susah dimengerti oleh penonton casual tentu saja adalah soal pertunjukan gulat itu sendiri. Serunya di mana, kan berantemnya bohongan. Terus, kalo pemenangnya udah diatur, sabuk juara itu gak berarti apa-apa dong? Aspek pergulatan si pegulat dengan kehidupannya, dengan kerjaan yang dia lakukan itulah yang menurutku dilakukan dengan baik oleh film. Karena bahkan kalo aku bandingkan dengan Fighting with My Family (2019) – my top movie 2019 – pun, finale film tersebut yang menampilkan kemenangan Paige alias keberhasilan Saraya jadi juara tidak terasa nendang bagi penonton casual karena mereka cuma tau wrestling itu sudah diatur, dan mereka gak dilandaskan makna menangnya itu apa. The Iron Claw, on the other hand, melandaskan makna sabuk juara tersebut terlebih dahulu. Kalo di Jatuh Cinta Seperti di Film-Film (2023) kita melihat dialog penulis skenario berusaha menjelaskan kepada pacarnya yang awam film makna perpisahan La La Land bagi karakter cerita, maka di The Iron Claw kita dapat adegan dialog Zach Efron menjelaskan kepada Lily James yang berperan sebagai pasangan Kevin soal makna sabuk kejuaraan. Sehingga penonton ikut mendengar dan mengerti makna kejuaraan tersebut, bahwa yang bisa ditunjuk jadi juara adalah pegulat yang bekerja paling gigih, yang dinilai paling layak dan paling menjual. Bahwa usaha untuk memenangkan sabuk itu adalah usaha yang real, effort yang sebenarnya perjuangan, meskipun katakanlah ‘prosesi serah terimanya’ lewat pertandingan yang gerakan-gerakannya sudah diatur sedemikian rupa sehingga jadi tontonan intens yang menghibur. Dan bagi Kevin sabuk itu juga punya makna lebih, karena benda itu juga simbol approval ayah baginya.
Dan bicara soal match, film ini juga did a great job menjadikannya bukan sekadar tontonan gulat yang lebih teatrikal. Penonton juga akan diperlihatkan bahwa sekalipun matchnya scripted – film ini tidak malu untuk menampilkan Kevin dan lawannya berunding dulu soal alur pertandingan mereka di backstage sebelum mulai – tapi aksi yang dilakukan benar-benar perjuangan fisik. Kevin sakit dan gak bisa bangun beneran ketika dibanting di luar ring. Adiknya, Mike, cidera beneran karena salah mendarat dengan tangan saat sedang bertanding. Adegan-adegan tersebut juga menambah bobot kepada drama karena kita tahu mereka berusaha keras demi ayah – dan mendorong diri sendiri melewati batas – tapi tetap gagal. Menurutku film ini punya nyali cukup gede, karena beberapa Von Erich yang kita tahu di sini tergambarkan kayak terpaksa dan terlalu kompetitif demi sang ayah. Sehingga pertanyaan berikutnya yang muncul di kepala kita adalah apakah aslinya memang begitu?
Aslinya Von Erich adalah enam bersaudara. Di film ini cuma ada lima. Memang, sebuah film punya kebebasan untuk menyesuaikan beberapa hal supaya lebih cocok dengan formula naskah film. Meski film itu biografi, karena biografi bukan exactly sebuah dokumenter. Beberapa perubahan yang dilakukan oleh film ini dibandingkan kisah benerannya, aku bisa memahami. Kayak, anak-anak tertua Kevin dijadiin cowok (padahal aslinya cewek), dilakukan supaya film bisa punya ending yang membuat Kevin circled back ke soal persaudaraan dia dengan adek-adeknya yang cowok semua. Bahwa itu momen dia ikhlas dan tidak lagi menganggap yang terjadi pada kehidupan keluarganya sebagai kutukan. Melainkan melihat berkah di baliknya. Tapi tak sedikit juga perubahan yang dilakukan film, terasa agak aneh dan membuat cerita dari kisah nyata ini justru terasa dibuat-buat
Karena film tidak mau terlalu depressing, maka mereka menggabungkan kisah Chris dengan Mike, in result karakter Chris sebagai adik termuda dihilangkan sama sekali dari cerita. Mungkin yang diemban memang konsep rule of third, ada empat yang mati bakal repetitif, tapi menurutku tone dark dan depressing di cerita ini gak bisa dihindari. Justru film yang harus cari cara bagaimana membuat kekelaman itu bermuara kepada pencerahan yang dialami Kevin di akhir. Menghilangkan satu aspek, just seems kinda lazy. Cerita film ini jadi kurang mencengkeram kita dengan emosi. Perubahan aneh lagi yang dilakukan yaitu mengubah timeline kejadian. Kerry Von Erich – the most popular, satu-satunya Von Erich yang tembus main di tempatnya Vince McMahon (alias WWF yang kita kenal) mengalami kecelakaan yang mengakibatkan pergelangan kakinya diamputasi. Dan ini dilakukan film tepat setelah dia memenangkan sabuk juara dari Ric Flair. Kan aneh, kenapa setelah berhasil dia malah motoran galau hingga kecelakaan. Aslinya, kecelakaan Kerry terjadi dua tahun setelah match epik itu, dan dia galau karena masalah keluarganya sendiri. Jadi dengan mengubah kejadian, film ini justru kehilangan ritme. Berlangsung gitu aja. Film yang ingin fokus ke brotherhood justru terasa gak natural karena yang punya hidup di luar ring kayak cuma si Kevin.
Also, aku juga merasa sebaiknya adegan Von Erich yang gugur bertemu di afterlife itu gak usah ada. Karena udah bukan lagi kayak gak mau dark, tapi film jadi kayak memanis-maniskan tragedi mereka. Dan ini ngaruhnya ke message keseluruhan. Soalnya perjuangan personal Kevin untuk meyakini yang terjadi kepada keluarga mereka bukanlah kutukan, jadi berkurang karena alih-alih memperlihatkan adegan dia menerima kegelapan itu dan mengubahnya sebagai hal yang lebih positif, kita malah malah dikasih lihat kematian para adik adalah hal yang membahagiakan karena mereka di afterlife bisa jadi diri sendiri, bebas dari cengkeraman kemauan ayah.
Dengan banyak penampilan kuat dari pemeran (Jeremy Allen White sebagai Kerry juga sangat meyakinkan), beragam cameo dari real wrestler kayak Chavo Guerrero dan MJF, film ini sebenarnya film dunia gulat yang solid dan serius. Akting yang kurang kayaknya cuma yang jadi Ric Flair haha.. Mengangkat salah satu kisah terkelam dari balik ring, tapi ternyata film ini tidak diarahkan untuk menjadi sekelam itu. Posisi yang diincar film ini seperti di tengah-tengah The Wrestler dan Fighting with My Family. Gak mau terlalu ringan, tapi gak mau terlalu kelam juga. Hanya saja dengan mengincar itu film harus melakukan banyak penyesuaian yang berakhir jadi berbalik against mereka. Film yang dari kisah nyata ini justru jadi kayak drama yang terlalu dibuat-buat. It does try to open discussion soal tragedi mereka, berusaha respek sama karakter dan sama bisnis gulat itu sendiri, tapi porsi dramanya mestinya bisa ditonedown sedikit. Karena sebenarnya kan, biarlah kelam asal true, daripada berusaha mencari sesuatu tapi bukan dengan menggali lebih dalam melainkan mengatur posisinya sendiri.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for THE IRON CLAW.
That’s all we have for now.
Menurut kalian apakah Fritz di film ini memang sebenarnya memaksakan kehendak kepada anak-anaknya, memaksa mereka untuk terjun ke dunia gulat?
Silakan share pendapatnya di komen yaa
Yang penasaran sama serial detektif cilik Home Before Dark yang kusebut di-review Petualangan Anak Penangkap Hantu kemaren, bisa subscribe Apple TV untuk menontonnya yaa. Mumpung ada promo free seminggu nih. Tinggal klik di link ini https://apple.co/3SqRITp
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL