THE MEDIUM Review

“All is amiss. Love is dying, faith’s defying, heart’s denying”

 

 

Sebagai satu rumpun Asia Tenggara, Thailand mirip-miriplah sama kita. Di sana pun kepercayaan terhadap kleniknya tinggi (maksudnya, orang sono juga lebih suka ke dukun ketimbang ke klinik! hihihi) Dalam catatan yang lebih serius, ada perbedaan fundamental antara kepercayaan klenik orang Thailand dengan orang kita. Di kita, mempercayakan kesembuhan kepada ilmu ghaib bisa disebut sebagai dosa. Sebagai praktek syirik, karena bertentangan dengan ajaran agama. Menduakan Tuhan. Sedangkan bagi mayoritas penduduk Thailand, klenik tersebut justru bagian dari kepercayaan religi mereka. Bangsa Thailand berdoa kepada Dewa-Dewa. Meminta kesejahteraan, kesehatan, peruntungan. Dukun adalah perantara rakyat dengan sesembahan mereka. Menolak menjadi dukun saja, berarti menolak percaya kepada Dewa-Dewa, dan itu adalah perbuatan salah yang bakal mendatangkan kemalangan. Seperti yang persisnya terjadi pada cerita film yang di-review kali ini. The Medium, kolaborasi antara penulis naskah Thailand dan Korea, akan membuka perjalanan horor My Dirt Sheet pada musim halloween tahun ini!

medium80hnp3NoCkV75bXWPLA88wEgFcK
Kalo kita bisa percaya penyakit sihir seperti cacar naga, maka kita juga bisa percaya sama sakit guna-guna

 

Poster filmnya bilang bahwa ini adalah cerita tentang perdukunan di Thailand. Maka kita dibawa melihat keseharian seorang dukun perempuan yang cukup populer bernama Nim. Cerita tampak cukup inosen di awal-awal. Kita melihat dia mengobati orang. Kita mendengar Nim menjelaskan tentang pekerjaannya tersebut, tentang darimana ia mendapat ilmu, dan bahkan soal ia memposisikan diri sebagai sanding dari ilmu kedokteran. Semua itu ternyata set up untuk kekacauan yang bakal terjadi. Bermula dari Nim yang menghadiri pemakaman suami kakaknya. Kita lantas diberitahu soal keluarga besar Nim, yang adalah bungsu dari tiga bersaudara. Keluarga besar Nim sepertinya dikutuk, lantaran sang kakak pernah menolak ilmu dukun dari Dewa. Nim langsung tahu bahwa ada yang tidak beres pada Mink, kini anak satu-satunya dari kakaknya. Mink, dengan mood swing yang mengkhawatirkan. Mink, yang bicara kepada orang yang tak kelihatan. Mink, yang pantulannya di cermin bisa senyum sendiri (jantungku copot lihat adegan ini!) Mink, yang sempat menghilang dan kembali – tidak lagi seperti orang normal. Nim bisa jadi satu-satunya orang yang bisa menyelamatkan keluarganya, namun bahkan serangan kekuatan gaib yang jahat itu too much untuk dihandle oleh Nim. 

Medium storytelling yang dipakai oleh sutradara Banjong Pisanthanakun (salah satu horor karyanya yang paling membekas buatku adalah Shutter di tahun 2004) dalam The Medium ini adalah gaya dokumenter. Kehidupan Nim direkam oleh beberapa kru kamera yang ingin meneliti profesi dukun sebagai tradisi lama yang ada di Thailand. Dalam perfilman, istilah untuk cerita fiksi yang dibingkai dengan gaya dokumenter disebut mockumentary. Dokementer ala-ala. Yang memang, seringkali, bukan gaya dokumenternya saja yang di-mockery. Melainkan juga ada film menggunakan gaya tersebut untuk menyentil topik yang diangkat. Seperti bagaimana Taika Waititi dalam What We Do in the Shadows (2014) memparodikan genre vampire. Atau bagaimana This Is Spinal Tap (1984) didesain untuk ngeledek kehidupan rock band. Akan tetapi, The Medium tidak terasa seperti komentar nyeleneh terhadap perdukunan. Sutradara Banjong justru terlihat punya respek yang dalam terhadap profesi tersebut. Lewat dialog yang dibentuk sebagai interview, dimuatnyalah berbagai insight.

Bahwa kerjaan dukun punya beban, tanggungjawab, dan segala kesusahan tersendiri. Kita melihat Nim yang tidak menikah, hidup sendiri alih-alih dua saudaranya yang tinggal serumah di bagian lain kota. Nim tidak dibuat sebagai karakter serbabisa, yang punya mantra-mantra ampuh, dengan tarian-tarian ritual memukau. Tidak ada jurus-jurus. Tidak ada merintah-merintah hantu berantem untuk berantem kayak Shaman King. Ketika Nim bekerja, yang kita rasakan justru ke-vulnerable-an. Dukun ternyata tidak segampang itu mengusir setan. Nim butuh waktu berhari-hari berdoa dalam lingkaran ritual yang rumit dan gak mentereng. Dia bahkan harus berhujan-hujan menanti petunjuk dari roh yang ia ajak komunikasi. Bumbu drama antara Nim dengan keluarga kakaknya, dengan abangnya, menambah lapisan pada gambaran seorang dukun yang diceritakan oleh film ini. Pekerjaan Nim benar telah jadi mockery, bahkan di kalangan rakyat Thailand itu sendiri. Dua saudara tertua Nim sendiri tidak terlampau respek sama kerjaan dukun. Sang kakak justru menolak ilmu tersebut jatuh kepadanya, dan memilih ‘kabur’ memeluk agama lain. Dalam satu adegan diperlihatkan Nim nangis dengan tragis saat patung Dewa yang sudah turun temurun jadi sembahan keluarganya ditemukan dalam keadaan patah. Kepala Dewa itu berguling di tanah.  Film tidak menegaskan bahwa itu adalah perbuatan roh jahat yang berusaha ia usir, atau ada orang tertentu yang sengaja menghancurkan patung. Yang jadi poin adalah kerjaan relijius Nim tidak lagi mendapat perlakuan atau diterima dengan sebagaimana mestinya.

Dari sekian banyak dosa yang bisa dilakukan umat manusia terhadap keyakinannya, menolak Tuhan adalah dosa paling besar. Film ini menunjukkan dosa tersebut tidak terampuni. Tuhan balik meninggalkan keluarga kakak Nim, dan di momen eksak itulah keluarga tersebut tidak bisa tertolong lagi.

 

Gaya dokumenter digunakan dengan maksimal. Karena dengan konsep ini yang kita lihat terbatas pada apa yang direkam oleh kamera dalam narasi saja, info yang kita dapat juga tidak bisa lebih banyak daripada kameramen – kita tidak melihat kejadian yang off-camera atau yang tidak direkam – sehingga ini menambah banyak bobot ke dalam aspek misteri yang dimiliki oleh film. Kayak patung tadi, kita tidak tahu pasti bagaimana bisa rusak, dan oleh siapa. Tapi misteri kejadian tersebut dengan efektif menaikkan tensi. Dan film juga jago dalam membangun tensi. Atmosfer mengerikan juga terjaga dengan baik. 

Salah satu tantangan dalam mockumentary adalah membuat alasan yang bisa dimaklumi kenapa ada kamera di sana. Film ini bijak sekali dalam menempatkan kamera tersebut. Ketika there’s no way kru bisa ada di satu tempat tertentu, maka film enggak ragu untuk memindahkan pandangan kita kepada rekaman cctv misalnya. Dan actually, memang pada permainan gimmick kamera inilah The Medium menyimpan kekuatan. Sekuen kamera tersembunyi pada menjelang babak ketiga adalah bagian yang paling seram buatku. Jumpscare yang dilakukan pun tidak annoying, melainkan memang efektif sebagai punchline adegan seram. Selanjutnya tentu saja adalah kru kamera itu sendiri. Film harus menemukan adegan atau alasan yang pas, yang memungkinkan kenapa mereka bisa terus merekam padahal ada hantu. Film juga memikirkan rancangan untuk ini. Yang juga dimainkan ke dalam pay off adegan horor nantinya. You know, dengan santainya nanti si hantu merebut kamera dari tangan kameramen, dan balik merekam mereka. Mengungkapkan horor yang selama itu tak-terlihat kepada kita semua.

Dalam lingkup horor, film ini memang enggak segan-segan menampilkan darah, adegan menjijikkan, adegan vulgar, hingga ke adegan sadis. Korbannya juga enggak pilih-pilih. Kuat-kuatin mental deh kalo mau nonton film ini. Jika kalian punya soft spot kepada hewan atau anak bayi, maka kalian akan butuh sebanyak mungkin comfort items yang bisa kalian dapatkan sebagai persiapan sebelum menonton.

medium808503_s_1624271312911
Bayangin, Dewa aja ditolak loh. Women, am I right?

 

Dengan perhatian tercurahkan kepada rancangan gaya dokumenter supaya efektif untuk capaian horor, film ini mau tidak mau jadi abai sama bangunan narasinya. The Medium akan terasa kepanjangan, ada masalah pacing yang cukup serius di pertengahan saat film mulai terasa menapaki poin yang berulang-ulang. Mink menghilang, ketemu, kesurupan, Nim berusaha mengusir roh jahat dengan ke tempat-tempat misterius, Nim seolah tahu sesuatu, tapi Nim tetap gagal. Ada beberapa kali siklus tersebut berulang, dalam berbagai variasi. Nim sebagai tokoh utama pun mulai menjengkelkan. Karena meskipun seharusnya ini adalah interview dia, tapi dia tidak pernah memberitahu kita apa-apa soal kasus Mink. Kamera, dan kita, hanya mengikutinya ke mana-mana. Mengikuti tindakan dan pencerahan yang ia dapatkan, tapi kita tidak pernah tahu dia sebenarnya lagi ngapain. Kita tidak tahu apa makna telur yang kuningnya berwarna hitam. Kita hanya melihat Nim bereaksi. Ada kesan seperti film sendiri juga sebenarnya tidak tahu, dan hanya melakukannya untuk mengulur-ulur misteri. Lalu Nim ‘hilang’ begitu saja. Posisinya digantikan oleh dukun pria, yang hadir so late in the game sehingga seperti karakter yang serbatahu. Seperti film butuh solusi instan. Dan on top of pergantian tokoh utama begitu saja (dari Nim sepertinya ke kakaknya), kasus misteri tetap tidak ada penjelasan.

Cerita film ini tidak berakhir dengan perasaan yang memuaskan. Yea aku tahu, ini bukan happy ending. Tapi bad ending yang disajikan juga tidak memuaskan, karena tidak benar-benar terasa seperti menuntaskan apa-apa. Babak ketiga film ini adalah ketika semua kerusuhan terjadi. Asik untuk horor-hororan, tapi film juga seketika menjadi all over the place. Ada orang yang kayak zombie, makanin orang. Ada orang kesurupan nabrakin kepala ke tembok ampe serpihan otaknya nempel. Kamera dengan infrared. Voodoo doll. Semua itu berlangsung gitu aja tanpa ada kepedulian sama konflik karakter yang seperti disudahi begitu saja. They are helpless, so, here’s hell for your entertainment. Film kayak bilang begitu kepada kita semua. Film yang tadinya meminta perhatian kita pada cerita, pada drama dan perasaan karakter, pada kerjaan dukun, mendadak menyuruh kita untuk senderan dan rileks menikmati horor yang mereka sajikan. Yang tampak buatku, ini merupakan sebuah ketidakkonsistenan, dan malah hampir seperti film memang tidak tahu cara mengakhiri cerita dengan tepat.

 

 

Sebagai wahana horor, aku suka. Aku merekomendasikan ini sebagai tontonan Halloween kalian semua. Nuansa horor yang kental, relate dengan kita. Karakter yang juga somehow terasa akrab. Gaya bercerita yang efektif sebagai landasan momen-momen seram yang bikin kita segen matiin lampu rumah di malam hari. Film ini punya semua itu. Yang tidak film ini punya, dan ini penting, adalah konsistensi bangunan cerita. Kita yang orang Indonesia bisa nonton ini tanpa subtitle, dan tidak akan ketinggalan banyak narasi penting, dan bisa tetap mengerti. Karena yang punya pay off pada film ini hanya gaya berceritanya. Ceritanya sendiri tidak. Jika kalian pengen nyimak cerita seputar dukun dan kepercayaan yang lebih padet dan matang, kalian akan lebih menemukannya pada The Wailing (2016), karya penulis naskah dari Korea yang ikut kolab ngerjain naskah film ini. Efektif hanya sebagai wahana horor, namun tidak demikian halnya sebagai film horor, film ini ternyata tepat sekali seperti judulnya. Medium. Sedang-sedang saja.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for THE MEDIUM.

 

 

 

That’s all we have for now

Ngomong-ngomong soal dukun, waktu kecil aku punya penyakit amandel. Yang cukup parah, gampang meradang. Aku pasti sakit demam dan tidak bisa menelan makanan, paling tidak satu kali dalam sebulan. Karena takut dioperasi, maka aku dibawa orangtua berobat ke dukun. Nah lucunya, sebelum ketemu sama dukun yang bener, aku sempat nyasar dulu ke dukun yang ngasal. Dari mana aku dan orangtuaku tahu bahwa dukun pertama itu ngaco? Well, karena, dia nyuruh kami untuk nyari obat berupa telur dari ayam hitam berbulu putih!

Apakah kalian punya pengalaman lucu (atau mungkin seram!) seputar berobat ke dukun?

Share with us in the comments yaa

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

 

 

Extreme Rules 2021 Review

 

Sejujurnya, aku gak mengerti kenapa WWE masih mempertahankan Extreme Rules sebagai salah satu acara pay-per-view mereka. Karena dari tahun ke tahun sudah jelas. Mereka gak bisa untuk benar-benar menjadi “Extreme” seperti dulu.

Acara Extreme Rules tercatat bermula di tahun 2009. Tapi sebenarnya, sejarahnya mundur beberapa tahun ke belakang. Tepatnya di tahun 2005. Saat WWE membuat ppv khusus untuk reuni ECW; acara gulat yang terkenal dengan ke-hardcore-annya. Acara saat itu diberi nama “One Night Stand”. Begitu ECW ditetapkan sebagai brand kecil-kecilan di major show WWE (bersama Raw dan Smackdown) di tahun 2007, One Night Stand dijadikan ppv milik brand tersebut. Nah, di tahun 2009, WWE, yang telah menapaki rute acara PG (Bimbingan Orangtua), secara resmi mengganti istilah ‘hardcore’ dengan ‘extreme rules’. Sehingga One Night Stand yang konotasinya juga enggak PG tersebut, diganti namanya. Jadi Extreme Rules juga. Tapi dengan konsep yang tetap sama. Semua pertandingan di acara tersebut punya stipulasi atau aturan-aturan yang ekstrim. Last Man Standing, Tables, TLC, No Holds Barred, hingga ke stipulasi unusual seperti ‘Yang Kalah Dicukur Rambutnya’ dan last year’s ‘Eye for an Eye’ match.  Seiring perkembangan; seperti WWE yang memilih untuk membuat lebih banyak ppv berdasarkan match tertentu (kayak, ppv TLC yang basically sama-sama extreme, karena di situ jenis pertandingannya seputar tangga, meja, dan kursi) dan keadaan zaman itu sendiri, konsep Extreme Rules semakin tergerus. Tahun kemaren, WWE masih bisa memainkannya ke dalam tema horor. Namun kita bisa melihat dan merasakan taraf ekstrim-nya itu semakin berkurang. Malah berkembang ke arah konyol – Eye for an Eye tadi matchnya ternyata tidak segarang judulnya.

Dan tahun ini, Extreme Rules benar-benar terasa hampa. Dari enam match yang ditampilkan, yang ada stipulasinya cuma dua. Itupun cuma Triple Threat dan Extreme Rules. You know, stipulasi yang biasa ada. Di Extreme Rules tahun-tahun awal, match Extreme Rules single itu jarang loh – dulu itungannya itu standar dari yang paling standar. But now, Extreme Rules jadi stipulasi main event. Buatku, ya sayang banget. Padahal kalo dijual dengan stipulasi keren, match-match di acara ini pasti menarik. Bayangkan kalo Uso lawan Street Profits (dengan cerita Montez Ford balas dendam abis cedera rusuk) diadakan dalam Tables Match. Atau Charlotte dan Alexa, yang bawa-bawa boneka dalam feud mereka, diadain dalam Dollhouse Match, or something. Dan, ada juga EST balas dendam sama The Man, c’mon masa mereka ga bisa nemuin stipulasi keren sesuai dengan tema feud tersebut!

Jadi, tahun ini ppv Extreme Rules bukan hanya mengecewakan. Tapi juga kurang menjanjikan. Udah gak cocok sama namanya. Mestinya diganti aja. Lucky for us, some fans on internet took liberty to correct this.

xtremeones-en-los-combates-de-WWE-Extreme-Rules
Ah, that’s more like it

 

Normal Rules sangat-sangat reguler, sampai-sampai juara WWE kita yang baru aja dikasih tanding dalam sebuah pertandingan tag team reguler. Big E yang akhirnya ngecash in koper MITB ke Almighty Bobby Lashley (yang sudah cukup lama mendominasi Raw dengan tangan dingin), finally memenuhi keinginan dan ekspektasi para fans. Big E yang momentumnya lagi berapi-api itu, sama sekali tidak terjadwal untuk bertanding di ppv ini. Instead, WWE mengadakan tag team dadakan untuknya seolah malam ini cuma malam-malam biasa di hari Senin. Dari sini saja sudah kelihatan, bahwa WWE sendiri tidak menganggap ppv ini begitu spesial. They are not even trying

Yang keliatan berusaha keras itu hanya superstar-superstarnya saja. Kalo saat nonton ini ternyata kita terhibur, dan matchnya ternyata cukup seru, itu karena aksi dan penampilan hebat para superstar. Big E, New Day, AJ Styles, Uso, Street Profits, Jeff Hardy, Sheamus, Damien Priest, Finn Balor, dan lain-lain yang tampil, mereka semua adalah profesional yang memberikan tidak kurang sedikitpun. Walaupun pertandingan mereka di sini, gak banyak bedanya dengan biasa mereka lakukan di Raw atau Smackdown, tapi mereka masih keliatan menggali sesuatu yang belum pernah kita lihat. Di balik akhiran match yang berupa roll up kentang, kita disuguhkan hiburan aksi counter mengcounter (serta komedi Sheamus niruin Jeff Hardy). Di balik tag team match standar, kita dibikin seru-seruan oleh hot tag dan permainan psikologi injury. Tekanan untuk tampil menghibur memang bersandar pada superstar, dan aku merasa dinamikanya di sini memang setimpang itu. Para superstar disuruh bermain terbaik, tapi WWE sendiri (yang belakangan ini udah nunjukin mereka bisa memecat siapa aja kapan saja dengan alasan ‘budget cut’) tidak pernah menjual acara ini di luar sebagai acara B, yang bahkan hasil akhirnya aja sudah mereka ‘spill’ sendiri dengan mengiklankan match card acara lain yang bakal berlangsung sebulan lagi. 

xtremeRules_SheamusPriest-6cf6871eee18a57e3645431d3acb9a91
Saking stressnya superstar, jadi banyak botch tuh!

 

Acara ini hebat… sebagai background noise. Kayak, kalo kita lagi sibuk tapi gak mau sepi, maka acara bisa diputar untuk menghiasi suasana. Cukup sesekali aja dilirik, pas lagi ada yang seru, atau pas superstar favorit kita lagi nampil. Dan memang persisnya begitulah keadaan WWE sekarang. Gak lebih sebagai background noise di tengah bangkitnya skena gulat-hiburan. Di sana-sini, acara gulat lain sibuk menampilkan terobosan. Bikin riak dengan entah itu berita hiring, ataupun match-match dahsyat. Tapi WWE masih bergeming. Mereka seperti menolak percaya bahwa mereka sekarang punya kompetitor. Mereka ngegarap show, tetap dengan mindset tidak ada kompetisi. Sehingga hasilnya, ya, acara mereka jadi seperti Normal Rules. Terasa tidak signifikan. Tidak penting dan tidak relevan lagi untuk diikuti.

Coba kita lihat. Hal penting yang terjadi dalam Normal Rules cuma dua. Rematch Becky Lynch dengan Bianca Belair (yang berujung dengan kembalinya Sasha Banks) dan Lily si boneka misterius yang RIP (alias disobek-sobek oleh Charlotte). Selain itu, dengan tidak adanya pergantian juara, tidak adanya gerak maju storyline, dan dengan akhiran yang sebenarnya sudah kita ketahui, match dalam acara ini semuanya tidak ada kepentingan lagi. Di sinilah WWE itu salah. Mereka harusnya membuat stipulasi untuk mengangkat derajat pertandingan-pertandingan tersebut. Setidaknya bikin mereka unik sehingga ada kepentingan untuk ditonton. Tapi kan, tidak. Dibiarkan hampa. Tinggal superstar sendiri yang sibuk cari cara dan melakukan yang terbaik. Dan bahkan dua yang penting itu, bisa jadi berujung jadi biasa-biasa aja di tangan penanganan WWE yang cuek bebek sama kompetisi. Kembalinya Sasha bisa saja berujung jadi another Triple Threat. Sedangkan Lily yang robek, bisa jadi hanya penting di hari ini. Besoknya dilupakan. Karena WWE memang cenderung untuk gak-kontinu seperti itu. Lihat saja stori Alexa dan Fiend. Yang bolong-bolong karena WWE gak ngerti cara bikin storyline mereka. 

Beneran deh, WWE kayak benar-benar gak tau cara mengembangkan cerita dan karakter supernatural. Mereka kayaknya udah lupa. Undertaker has cast some really big shadow. Bray Wyatt malah dipecat di tengah-tengah karakter yang lagi hangat-hangatnya. Alexa Bliss gak jelas juntrungannya – setelah kalah dari Charlotte di sini apakah dia bakal jadi manusia biasa lagi, atau malah semakin ‘gila’. Dan Demonnya, Finn Balor. Maaan, The Demon benar-benar dibuat insignifikan.

Satu-satunya hal ekstrim yang hadir pada acara ini adalah betapa extremely insignificant-nya semua hal yang ada di dalam durasi nyaris tiga-jam ini.

 

Seperti yang sempat disinggung tadi, match Demon lawan Roman Reigns aja gak dipush. Malah di-devaluate oleh WWE dengan ngiklanin Reigns melawan Lesnar untuk Title Match di Arab. Bukan hanya itu, leading up ke Normal Rules ini, Reigns malah dibuat sibuk meladeni Big E dan New Day ke Raw. Balor ditinggal gitu aja. Dan si Balor ini udah dicuekin sedari SummerSlam kemaren, di mana dia seharusnya adalah penantang tapi kemudian diambil alih oleh John Cena. Match Reigns melawan Demon Balor dijadikan main event di Normal Rules, meskipun kita semua sudah tahu siapa yang bakal menang. Sekali lagi, ini harusnya jadi tugas WWE untuk menyiapkan kejutan di match tersebut. Supaya ada sesuatu yang bisa kita dapat dari menontonnya. Dalam kata lain, keberhasilan match ini tergantung dari alur atau kejutan yang sudah disiapkan oleh WWE. Bagaimana mereka membuat kekalahan Demon Finn Balor menarik, tapi tetap respek sama karakternya, dan juga tidak membuat Roman Reigns terlihat lemah atau pengecut. Jika WWE benar-benar peduli sama acara ini, jika WWE mengenali kompetisi itu ada, pastilah mereka akan menyiapkan storyline yang keren, menyiapkan aksi seseru yang mereka bisa. Like, push superstar sedikit lebih jauh in sense of apa yang bisa atau tidakbisa mereka lakukan/tampilkan. Tau dong apa yang dipilih WWE sebagai penutup dan konklusi untuk match yang sebenarnya sudah tidak perlu kita tonton lagi ini?

It was shit!!

Demon Balor jatuh dari atas turnbuckle karena talinya copot. Izinkan aku meminjam kata-kata Randy Orton sebentar. “Stupid! Stupid! STUPID!!” Dikeroyok oleh Bloodline jelas lebih respekful buat Demon Balor ketimbang jatuh sendiri kayak gini.

xtremewwe-finn-balor-demon-extreme-rules-finish
Bukan hanya Lily yang RIP di acara ini

 

Selama ini kita percaya ungkapan yang bilang bahwa gak ada superstar yang lebih besar daripada WWE. Bahwa WWE-lah yang meng-create superstar. Tapi kali ini, di acara Normal Rules ini, keliatannya adalah superstar yang berusaha mati-matian mengangkat WWE (also, mati-matian menjaga pantat sendiri supaya gak dipecat). Karena pada ppv yang sialnya kita telah tonton ini, sama sekali tidak terasa keinginan WWE untuk mengangkat lebih. Melainkan sekadar, melangsungkan acara saja. Mereka bahkan tidak mau susah-susah untuk live it up to the name of the show. Pertandingannya tetap terasa seru, ya karena WWE sekarang memiliki superstar kelas profesional. WWE boleh saja berpikir mereka adalah perusahaan gulat nomor satu, yang menghasilkan superstar keren dari produk yang keren. But I do believe, WWE sekarang gak punya produk yang bagus. Mereka cuma punya superstar keren. Dan seharusnya mereka lebih memperhatikan superstar-superstar tersebut dengan memberikan mereka playground yang lebih asyik dan memancing penampilan maksimal. The Palace of Wisdom sebenarnya menolak untuk memilih karena WWE sendiri kayak gak berusaha, tapi demi menghormati para superstar, kami tetap memilih dan menobatkan Bianca Belair dan Becky Lynch sebagai MATCH OF THE NIGHT

 

 

Full Results:

1. TAG TEAM The New Day mengalahkan AJ Styles, Omos, dan Almighty Bobby Lashley
2. SMACKDOWN TAG TEAM CHAMPIONSHIP The Usos bertahan dari The Street Profits
3. RAW WOMEN’S CHAMPIONSHIP Charlotte Flair tetap juara ngalahin Alexa Bliss
4. UNITED STATES CHAMPIONSHIP TRIPLE THREAT Juara Bertahan Damien Priest menang atas Sheamus dan Jeff Hardy
5. SMACKDOWN WOMEN’S CHAMPIONSHIP Bianca Belair menang DQ dari Juara Becky Lynch saat Sasha Banks datang ikut campur
6. UNIVERSAL CHAMPIONSHIP EXTREME RULES Roman Reigns retains over The Demon Finn Balor

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

 

FREE GUY Review

“You just can’t let life happen to you, you have to make life happen”

 

Video game merupakan eskapis yang seru. Karena di dunia jutaan pixel tersebut, permasalahan hidup kita disederhanakan menjadi misi-misi seperti menyelamatkan putri raja, mengalahkan naga raksasa, dan mencari harta karun. Di sana, apapun yang kita lakukan, kita tetap adalah jagoan. Makanya video game itu bisa jadi sarana pelampiasan stres yang mujarab. Semuanya ada dalam kendali kita. Gagal dalam permainan video game, kita tinggal mengulang dari titik terakhir kita nge-save atau menyimpan game. Kita bisa melakukan apapun yang kita mau, practically tanpa konsekuensi. Dalam game seperti GTA, kita bahkan bisa menabrak dan menghajar karakter-karakter NPC.  Baik untuk kepuasan batin, maupun untuk reward yang memang justru diberikan jika kita melakukan hal tersebut. Semua terasa bekerja untuk membantu kita. NPC-NPC itu, para karakter yang diprogram untuk berdiri atau mondar-mandir dengan dialog yang paling cuma tiga kalimat, didesain sebagai pemberi informasi atau clue, atau malah sebagai penghias semata. Tapi bagaimana jika ada NPC yang bisa berpikir sendiri? Yang bisa naikin level sendiri. Yang actually lebih jago dari kita dalam permainan video game – dan bahkan lebih jago dalam kehidupan nyata??    

Free-Guy-Trailer-1280x720
Kecuali Megaman, tetep adalah game yang bikin hidupmu makin stress!

 

Itulah premis sci-fi lucu dari film karya Shawn Levy ini. Seorang NPC yang bikin gempar dunia pervideogamean lantaran mendadak muncul, berinteraksi dengan para pemain, melesat ke puncak rank dengan naik level melakukan misi-misi, sehingga sempat disangka sebagai ulah hacker. Tapi si Blue Shirt Guy itu bukanlah hacker di balik Skin, bukan pula anak 14 tahun yang menghabiskan kredit di kartu orangtuanya untuk beli fitur-fitur canggih. Blue Shirt Guy adalah NPC tulen. Dia hidup di dunia game Free City (game online dengan style ala Grand Theft Auto). Bekerja sebagai pegawai bank. Dia rukun dengan sesama NPC lain yang diprogram jadi penghuni kota. Masalahnya adalah gak ada satupun dari mereka yang sadar bahwa mereka cuma karakter penghias dalam sebuah video game. Blue Shirt Guy-lah yang pertama menemukan ada ‘sesuatu’ pada kota mereka yang kerap didatangi orang-orang keren berkacamatahitam untuk berbuat berbagai kerusuhan. Blue Shirt Guy actually jatuh cinta sama seorang cewek berkacamatahitam. Jadi dia melakukan apapun, termasuk melanggar aturan mengambil dan mengenakan kacamata hitam milik seseorang, supaya bisa dekat dengan si cewek. Saat memakai kacamata itulah, akhirnya Guy melihat bahwa dunia tempat tinggalnya ternyata penuh misi-misi, item-item, dan dia menyangka dia sendiri adalah pemain dari game tersembunyi itu.

Seperti Jim Carrey di The Truman Show (1998), Ryan Reynolds dalam Free Guy juga memainkan karakter berkepribadian positif, yang tampak sangat menikmati hidup, tapi gak sadar bahwa hidup yang ia jalani adalah sebuah kepalsuan. Hidup Truman hanyalah episode tayangan televisi, sementara Blue Shirt Guy cuma permainan video game. Dia bahkan bukan orang beneran. Melainkan hanya algoritma. Hanya data dalam sebuah server. Dalam sense ini, Blue Shirt Guy memang lebih naas daripada Truman. Namun itu tidak lantas berarti film Free Guy ini lebih depresif. Film ini gak kalah lucu. Dari segi penampilan komedi, Ryan Reynolds berhasil menanamkan pesonanya. Dia memang tidak seekspresif Carrey yang harus menyeimbangkan komedi fisikal dengan drama. Senjata Reynolds ada pada delivery dialog-dialog naif, dan kontras antara dialog tersebut dengan yang beneran terjadi atau dirasakannya. Reaksi pada momen tersebut, itulah kekuatan komedi Reynolds. Di Free Guy, dia juga dituntut harus seimbang antara komedi, drama, dan tentu saja aksi.

Karena setting Free Guy adalah video game, maka film ini lebih chaos jika kita membandingkannya dengan The Truman Show tadi. Elemen-elemen seperti pada video game akan banyak sekali menghiasi cerita. In fact, aksi-aksi itulah yang jadi napas utama film ini. Aksi-aksi, dengan nuansa komedi yang precise dimainkan oleh Reynolds dan para aktor lain, menjadi sajian hiburan yang kuat. Culture video game banyak ditampilkan. Meme-meme dalam dunia video game juga banyak disuguhkan. Aku ngakak ketika melihat ada karakter yang jalannya nubruk-nubruk tembok. That was me when playing video game lol. Detil game dalam film ini keren sekali.

Jika kalian bukan penggemar video game, jangan khawatir. Buat aku aja, game modern sejenis dalam cerita film ini sebenarnya aku gak relate. Aku bahkan juga gak kenal sama gamer-gamer atau streamer-streamer yang ditampilkan sebagai reference atau cameo di dalam cerita. Film ini dialog dan aksinya didesain begitu baik, sehingga kita tetap bisa menikmati. Soal referensi, memang film ini tidak bisa menghindari itu. Walaupun ini adalah cerita original yang tidak musti mirip ama satu game tertentu, tapi kebutuhan untuk menampilkan elemen-elemen video game tetap ada. Penggemar game akan bisa menebak semua, mulai dari buster MegaMan hingga ke logo Far Cry. Untungnya, video game adalah jagat yang luas. Dan ngehasilin duit. Banyak video game things yang sudah disadur ke film dan pop-culture lain. Sehingga referensi game yang muncul di film ini masih terasa universal. Ada this particular shield, ataupun pedang-laser tertentu yang semua orang kurasa bakal mengenali.

freeXkEyXkFqcGdeQXZ3ZXNsZXk@._V1_
Heronya baik karena judul filmnya Free Guy. Coba kalo Guy-nya diganti Man. Pasti jadi preman.

 

Hebatnya, referensi-referensi tersebut tidak merenggut kita dari esensi cerita. Mereka ditampilkan secukupnya, dan di samping itu, film ini memang sudah menyiapkan bukan satu, melainkan dua tema yang dieksloprasi konsisten demi mendaratkan ceritanya. Tentang cinta dan tentang kendali seseorang terhadap hidupnya sendiri. Cerita Free Guy sebenarnya bukan cuma tentang Guy seorang. Supaya bisa make sense kenapa NPC bisa jadi punya kehendak sendiri, maka film sudah menyiapkan sebab yang jadi cerita tersendiri. Di dunia nyata dalam cerita, ada dua orang kreator game; Millie dan Keys yang sobatan, yang bekerja sama mengembangkan sebuah game. Tapi perusahaan game milik Antwan (namanya Soonami, ha!) malah membuat game tembak-tembakan yang dicurigai berdasarkan kode game yang tengah mereka kembangkan. Game Antwan sukses, Free City sampai-sampai bakal ada sekuelnya, sementara game simulasi Millie dan Keys lenyap. Kedua orang ini jadi berpisah. Millie masih terus berusaha mencari game itu dengan bermain Free City, sementara Keys bekerja sebagai pegawai Antwan. Cerita Millie dan Keys, dirajut dengan baik ke dalam cerita Guy. Dua cerita inilah yang membentuk narasi utuh film Free Guy. Memuat tema dan memberi hati pada sajian hiburan yang kita saksikan.

Dalam video game, we control the live, the action of our characters. Tapi di real life, apakah kita tetap masih memegang kendali atas kehidupan sendiri? Apakah kita diprogram kepada satu tujuan tertentu? Apakah ada yang mengendalikan kita? Tentu kita lebih suka untuk berpikir bahwa kita makhluk bebas. Selain Tuhan yang menggariskan hidup, kita merasa memegang kendali penuh atas pilihan dan ragam tindakan kita. Benarkah demikian? Benarkah pilihan kita masih murni dari keinginan dan tidak ada yang mempengaruhi? Bisa juga tidak, karena saat ini dunia jadi begitu bersifat komersil. Semua yang kita lakukan seperti dimonitor untuk kepentingan perusahaan seperti Soonami berjualan. I mean, sekarang aja untuk bisa kemana-mana kita harus install satu app tertentu.

 

Muatan dua cerita tersebut kadang bikin narasi film jadi sedikit clunky. Pergantian dari Guy di video game ke dunia nyata kadang membuat ritme penceritaan harus ngerem dulu. Sutradara berusaha untuk meminimalisir ini, misalnya dengan menggunakan montase Guy naikin level dirinya sebagai jembatan, usaha yang patut untuk diapresiasi karena kita bisa melihat penempatan dan editing yang dilakukan juga sangat precise. Namun karena dunia nyata dan dunia game yang kontras, baik itu dari segi visual maupun dari segi kejadian, perasaan bahwa narasi atau ritmenya mengalami reset ke awal setiap kali pergantian tetap muncul.

Selain itu, sense siapa karakter utama juga tidak kuat. Guy tidak berikan antagonis, kecuali satu hambatan besar di penghujung cerita. Antagonis cerita ini adanya pada dunia nyata, si Antwan, yang diperankan sangat komikal oleh Taika Waititi. Karakter Antwan ini kurang lebih kayak Gavin Belson di serial Silicon Valley. Tech jenius yang juga bisnisman ‘jenius’. Maunya cuan melulu. Dia tidak peduli soal Guy yang merupakan keajaiban artificial intelligent, melainkan hanya peduli soal I.P dan Brand. Dia hanya peduli Guy selama karakter itu menguntungkan bagi gamenya. Naturally, ini selalu adalah karakter yang menarik. Sayangnya Taika Waititi memilih memainkan Antwan dengan sangat over the top. Sebenarnya ini tidak begitu masalah kalo cerita hanya di dunia nyata. Tapi karena kita juga melihat dunia video game, yang dibuat serupa dunia nyata (dengan para NPC-nya bisa berkehendak dan emotionally able), Antwan malah tampak lebih artifisial dibandingkan karakter NPCnya. Mungkin karakternya sengaja dibikin seperti itu supaya ‘menjangkau’ dua protagonis sekaligus, tapi itu pun terasa flat karena Antwan tidak pernah benar-benar berkomunikasi dengan Guy.

Ini juga jadi membuat Free Guy jadi sedikit berbeda dari Truman Show. Truman ingin keluar dari dunia reality show. Dia konfrontasi dengan ‘tuhan’ dunia tersebut. Bagi Guy, ini bukan sebatas keluar video game. There’s no way dia keluar dari video game. Dia menyebrang laut adalah untuk pindah ke dunia video game lain. Tempat di mana dia dan para karakter bisa bebas melakukan apapun yang mereka mau. Bebas menentukan jalan sendiri. Tempat yaitu game, yang memang diprogram supaya NPC bisa berkembang. Dan Guy berteman dengan ‘tuhan’ alias pencipta seisi game tersebut, termasuk dirinya. I don’t know, tapi kurasa film ini juga ternyata bermuatan spiritual. Bukan saja tentang kita-lah pemain dalam hidup sendiri, tapi ceritanya juga menunjukkan kita untuk tidak membiarkan ada orang lain yang mengatur, selain ‘program’ yang sudah diciptakan sebagai landasan untuk kita hidup. Kayak Guy, yang diprogram untuk jadi orang baik, dan tetap memilih melaksanakan tindakan baik meskipun untuk cepat naik level dia harusnya ngerampok bank dan menabrak orang-orang.

 

 

I wish film ini lebih original, karena aku sebenarnya gak segan untuk ngasih skor tinggi buat film ini. Cerita tentang video game, dengan muatan berbobot alih-alih sekadar aksi seru-seruan? Sebagai penggemar film dan video game, jelas ini adalah film impian buatku. Tapi ya, sepertinya memang susah membuat cerita tenang video game yang benar-benar lepas dari referensi video game itu sendiri. But at least, film ini tidak melakukannya dengan berlebihan. Meskipun memang referensinya ternyata luas sekali. Ceritanya aja udah kayak gabungan Truman Show, Lego Movie, Ready Player One. Tapi untungnya, film ini punya karakter yang unik dan memorable. Dengan permasalahan yang juga dekat. Tidak perlu jadi penggemar game untuk bisa menikmati sajian yang memang menghibur ini.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for FREE GUY.

 

 

 

 

That’s all we have for now

Jadi, apakah kalian masih yakin sedang memainkan sendiri game berjudul Kehidupan sebagai player one? Atau apakah sebenarnya kita semua sedang dalam proses jadi NPC?

Share with us in the comments yaa

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

OLD Review

“The fear of old age disturb us, yet we are not certain of becoming old”

 

Pantai yang membuat orang-orang di dalamnya menua dengan cepat. Premis film terbaru M. Night Shyamalan ini memang menarik. Ia mengadaptasi cerita tersebut dari Sandcastle, graphic novel yang memorable karena menggali hal yang gak banyak dieksplor pada media tersebut; meditasi tentang kematian yang pasti akan datang. Ngomongin soal memorable, Shyamalan sendiri sangat diingat oleh penggemar film. Sebagai pembuat twist super-gak-ketebak. Twist ciptaan Shyamalan enggak cuma sekadar pengungkapan yang membelokkan film dengan drastis, melainkan bertindak sebagai membingkai ulang keseluruhan cerita. Film yang tadinya seperti cerita horor, ternyata cerita drama. Film yang tadinya seperti cerita survival, ternyata cerita superhero. Sedemikian dahsyatnya twist yang ia buat, enggak setiap saat film-filmnya disukai oleh semua orang. Kebanyakan cenderung membagi dua penonton. Suka. Dan benci.

Untukku, aku masih melihat Shyamalan sebagai salah satu inspirasi membangun atau mendesain cerita, meskipun gak semua filmnya aku suka. Beberapa filmnya memang malah konyol sekali. Dan Old kali ini, aku menemukan satu twist atau satu misteri yang aku yakin gak diniatkan oleh Shyamalan. Yaitu film ini harusnya adalah tentang orang-orang yang mendadak menjadi tua, tapi kenapa justru aku yang merasa telah kehilangan waktuku yang berharga saat menonton mereka.

old-2021-film-still-01
The twist is getting old fast.

 

Memasukkan twist ke dalam cerita pantai misterius, tak pelak adalah sebuah langkah yang overkill. Materi aslinya , si Sandcastle sendiri, sebenarnya memang tidak punya twist. Ceritanya berlangsung linear, senatural yang bisa dicapai pada cerita tentang orang yang bertambah tua setahun hanya dalam rentang setengah jam. Landasan cerita film Old pada awalnya memang cukup nurut pada cerita asli tersebut. Guy beserta istri dan sepasang anaknya yang masih kecil (6 dan 11 tahun) berlibur ke sebuah resort. Di sana mereka ditawari paket liburan privat ke pantai tersembunyi yang cantik dan bersih sekali. Besoknya, Keluarga Guy beserta beberapa keluarga atau pasangan turis lain berangkat ke sana (diantar oleh Syhamalan himself yang main jadi supir hihi)  Setelah beberapa saat bersenang-senang di pantai sepi kecuali oleh deburan ombak (yang membuatku semakin meratapi keadaan lockdown), Guy dan turis-turis lain mulai mendapati ada yang aneh. Mereka gak bisa keluar dari sana – setiap kali jalan lewat gua tempat masuk, mereka pasti terlempar dan pingsan di pinggir pantai. Mereka menemukan barang-barang bekas turis yang ditinggalkan begitu saja. Mereka juga menemukan mayat seorang wanita. Dan ketika Guy dan istrinya kembali untuk menenangkan anak-anak mereka, mereka mendapati anak-anak itu tidak lagi diperankan oleh Nolan River dan Alexa Swinton yang imut-imut, melainkan oleh Alex Wolff dan Thomasin McKenzie! Amit-amit? tentu tidak.. kalo perubahan jadi dewasa itu tidak terjadi hanya dalam rentang waktu beberapa menit!!

Di sinilah Old mulai menjauh dari Sandcastle. Tentu saja, dalam setiap film adaptasi, gagasan maupun gaya sutradara amat sangat diapresiasi kehadirannya untuk membuat film itu menjadi satu objek unik tersendiri. Tapi untuk kali ini, pilihan Shyamalan patut kita pertanyakan. Alih-alih membuat cerita yang fokus ke membahas persoalan menghadapi umur tua yang dipaksakan menjadi sangat cepat datangnya, membahas drama anak yang lantas tumbuh besar sementara orang tua mereka tumbuh.. tua, membahas ketakutkan manusia terhadap kematian yang memang bakal datang — you know, horor manusiawi seperti yang benar-benar menjadi sorotan pada materi aslinya, Shyamalan malah lebih banyak berkonsentrasi pada bagaimana menutup cerita dengan wah. Twist seperti apa yang bakal ia pakai untuk membuat cerita jadi logis, berdasarkan logika-dalam yang ia bangun. Sehingga ia mengarahkan penceritaan ke membuat kita ikut bertanya-tanya, tidak lagi untuk membuat kita berkontemplasi atau ikut merasakan situasi horor yang dialami oleh karakter-karakter. Penjelasan-penjelasan dan penyelesaian yang akhirnya disajikan oleh Shyamalan membuat pesan atau bahasan terkuat yang dimiliki oleh cerita ini jadi kehilangan power. 

Yang tentunya jadi counter-productive. Film ini harusnya lama berkutat di karakter-karakter. Anak 6 tahun yang tiba-tiba jadi remaja, penuh gelegak hormon. Orang dewasa yang tiba-tiba merabun. Ibu yang kehilangan anak. Cerita ini didesain untuk cerminan kita mengarungi peristiwa-peristiwa natural dalam kehidupan – kematian dan kehilangan. Penuaan. Sesuatu yang kita takuti. Film ini mengajukan keadaan ketika hal yang ditakuti tersebut semakin dipaksakan ke hadapan kita. Bagaimana kita menyingkapi kematian jika kita belum siap. Berapa lama yang kita butuhkan untuk siap. Semua yang thought-provoking itu lost in the shuffle saat film dengan kecepatan mantap membawa kita dari satu contoh peristiwa penuaan ke peristiwa lain. Menggiring kita dari satu contoh kasus ke kasus lain, begitu saja tanpa banyak waktu untuk membiarkan peristiwa tersebut tenggelam dan meresap.

Sebagai manusia, menjadi tua adalah hal yang menakutkan bagi kita. Tua identik dengan kematian, dengan kelemahan. Kita tidak menyadari bahwa sesungguhnya menjadi tua adalah sebuah privilege. Yang tidak semua orang bisa mendapatkannya. Karena usia tidak ada yang tau. Bisa hidup sampai tua berarti kita diberikan anugerah untuk merasakan dan mengalami lebih banyak. Lebih lama. Makanya hal yang terjadi pada karakter di film Old ini sebenarnya adalah hal yang sangat mengerikan. Karena di pantai itu, mereka menjadi tua tanpa mendapat keuntungan atau privilige dari proses tua itu sendiri.

 

Secara visual pun begitu. Padahal ada begitu banyak hal-hal menarik yang terjadi. Ada karakter dengan tumor yang tumbuh dengan cepat. Ada karakter anak yang jadi remaja, kemudian dia hamil. Ada karakter satu lagi, yang punya kondisi kekurangan kalsium. Ada juga karakter yang diam-diam mengidap schizophrenia. Kondisi-kondisi itu mestinya digali, digunakan maksimal untuk menguatkan elemen horor pada film. Entah itu horor psikologis, maupun horor yang lebih eksplisit seperti body horror. Sekali lagi, modalnya ada. Rule di pantai itu adalah luka di tubuh akan cepat sembuh merapat kembali. Jadi kalo ada yang dioperasi, maka luka dia harus ditahan – dipegang oleh jari jemari orang-orang di sana. Kurang gross apa lagi coba. Tapi mungkin karena sensor rating atau apa, film ini gak mau jor-joran menjadi body horror ataupun nunjukin hal-hal  yang benar-benar bloody ataupun mengerikan. Hanya ada satu momen yang cukup ngeri, yaitu saat nampilin karakter yang tubuhnya ‘tergulung-gulung’. Selain itu ada juga beberapa yang memang diolah untuk advantage film, seperti memilih untuk tidak memperlihatkan mayat (diserahkan kepada imajinasi kita sehingga lebih seram), tapi pada sebagian besar hal, film seperti melewatkan kesempatan untuk berhoror ria. Ketika ada orang yang dibunuh karena ditusuk-tusuk oleh pisau kecil, misalnya. Seharusnya rule soal luka yang segera menutup itu dimainkan, karena pasti pembunuhannya bakal lebih sadis – karakter harus membunuh melawan kekuatan pulau yang menyembuhkan luka. 

Semuanya hanya menyentuh permukaan. Kejiwaan karakter memang tidak dibahas mendalam. Konflik atau drama pada keluarga Guy saja hanya diperlihatkan seadanya. Lewat momen-momen yang ditanam, tapi karena semua hal lainnya gak dalem, jadi terlihat sangat obvious. Dan parahnya juga terlihat kikuk. Aktual dialog karakter di film ini di antaranya ada yang semacam “Eh aku mau ngomong”, “Apa?”, “Nanti deh. Gajadi.” Dialog-dialog di sini banyak yang aneh kayak gitu. Karakter-karakernya seperti mengumumkan, ketimbang seperti ngobrol beneran. “Wah, sekarang aku merasa lebih baik”, coba ucapkan kalimat tersebut dengan nada antara senang tapi kondisimu memprihatinkan. Ya, gak natural. Begitulah dialog-dialog film ini terasa (dan kalimat contoh tadi juga beneran ada di film!). Tambahkan gerak kamera dan blocking yang sama anehnya; Shyamalan sering sekali menggunakan kamera memutar, memperlihatkan karakter-karakter yang berdiri kebingungan, posisi mereka seperti mengelilingi kamera. Kalo enggak memutar begitu, Shyamalan akan menyuruh kamera ‘berjalan’, sementara karakternya kayak berbaris ke samping, dengan posisi orang yang berikutnya selalu berada beberapa senti di belakang orang sebelumnya. It is just weird. Gerakan, posisi, dialog, semuanya kayak dibuat-buat. Mungkin pak sutradara bingung bagaimana merekam adegan di pantai kecil, jadi supaya gambarnya gak keliatan gitu-gitu melulu maka ia menggunakan blocking dan kamera movement yang aneh-aneh. 

Old-Movie
Bayangkan kalo si Trent nanya nama dan pekerjaan ke SJW. Hmm, bisa viral kau, Nak!!

 

Itu belum apa-apa dibandingkan penulisan karakternya sendiri. Dibuat simpel sekali. Karakter mereka adalah pekerjaan mereka. Istri Guy bekerja di museum, jadi nanti karakternya akan bicara soal skala waktu. Guy bekerja sebagai orang survei keamanan, jadi dia akan bicara soal statistik atau persentase keselamatan, like, nyuruh anak-anaknya berhenti berlarian dengan menyebut angka kecelakaan sebanyak sekian persen. Nice, orangtua memang gitu kok kalo bicara ama anaknya.. orangtua di dunia paralel haha! Geliat craft dan kreasi Shyamalan, bagaimanapun juga, masih keliatan. Karena dia menggunakan berbagai pekerjaan karakter tersebut sebagai cara para karakter bekerja sama, berusaha figuring out apa yang terjadi di pantai, dan bagaimana mereka bisa keluar dari sana. Dalam kata lain, pekerjaan mereka memang vital untuk diketahui. Hanya saja, cara mengetahuinya itu yang begitu simpel sehingga jadi eksposisi yang konyol. Jadi diceritakan, anak bungsu Guy yang bernama Trent punya hobi nanyain nama dan pekerjaan setiap orang dewasa yang ia jumpai, “Halo, siapa nama dan apa pekerjaan Anda?” Aku gak tau apakah itu dimaksudkan sebagai cute, atau memang ada anak di luar sana yang perangainya kayak gitu, tapi untukku, ya itu sungguhlah sebuah trait anak yang tak-lumrah. 

Shyamalan seperti berusaha keras memastikan narasinya logis. Jadi dia benar-benar menanamkan jawaban, menyimpan hal-hal penting, fenomena pantai tersebut pengen dia beri makna. Twist film benar-benar menjawab rapi semua itu. Kita akan tahu kenapa mereka dipilih ke pantai. Apa sebenarnya fungsi pantai itu. Siapa dalang di baliknya. Pertanyaan-pertanyaan itulah yang jadi concern terbesar film itu. Bukan lagi permasalahan karakter. Ada, tapi jadi nomor dua. Ketika film menemukan hal yang tak bisa mereka jawab, seperti kenapa rambut dan kuku tidak ikut tumbuh dengan cepat sedangkan seorang mayat bisa dengan cepat berubah menjadi tengkorak, atau bagaimana nanti jika ada bayi yang lahir di pantai, atau kenapa orang bisa pakai nama mobil sebagai nama-artis lol, maka film dengan cepat nge-gloss over. Hanya memperlihatkan dan tidak membahas lebih lanjut. Dengan sangat cepat, kayak takut penonton sadar dan mempertanyakan. Soal bayi itu aja, karena gak mau ribet, film membuat bayi itu mati gitu aja dengan alasan ‘kurang mendapat perhatian’. Udah kayak bayi tamagotchi!

See, concern film ini gak inline dengan concern kita, penonton mereka. Kita gak akan peduli sama pantai itu jika tidak diarahkan ke sana. Kita akan lebih peduli sama karakter-karakter. Sama apa yang terjadi kepada mereka. Sama perjuangan mereka untuk berusaha keluar, atau bertahan hidup di sana. Sama bagaimana mereka menyelesaikan masalah personal setelah belajar dari apa yang mereka alami selama di pantai. Akan lebih memuaskan untuk mengalami journey karakter, merasakan masalah mereka kemudian berefleksi, ketimbang mengetahui penjelasan apa sebenarnya yang terjadi di pantai itu. Dan kupikir juga toh lebih mudah menggali karakter yang manusiawi, ketimbang come up with story tentang pantai ternyata eksperimen tukang obat dan segala macem penjelasan-penjelasan yang dipaksakan.

 

 

 

Jadi ya, menurutku Shyamalan telah salah pilih sejak awal. Cerita film ini adalah cerita yang kuat pada permasalahan karakter. Yang harusnya diselami adalah persoalan anak yang semakin dewasa sementara orangtua semakin menua, ketakutan manusia akan kematian, soal hal yang tidak bisa kita kendalikan. Ini seharusnya adalah soal manusia melawan waktu. Tapi, Shyamalan dengan keahliannya meracik twist, membuat film ini sebagai kejadian yang harus dijelaskan kenapanya semata. Untuk melakukan itu, dia mengorbankan banyak hal. Dialog dan karakter yang natural, tone yang imbang, serta adegan horor yang harusnya bisa maksimal, di antaranya. Dan bahkan setelah semua yang sengaja dikorbankan tersebut, film tetap tidak bisa menjawab semua, karena masih banyak juga kita jumpai hal-hal yang tak terjelaskan, yang membuat kejadian-kejadian di film jadi terasa konyol.
The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for OLD.

 

 

 

 

That’s all we have for now

Mengapa manusia takut sama menjadi tua?

Share with us in the comments yaa

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

 

 

CANDYMAN Review

“We need to define gentrification as separate from the process of displacement”

 

Awalnya, Candyman diciptakan sebagai horor tentang mitos. Ia merupakan gabungan dari legenda-urban Bloody Mary (panggil namanya di depan cermin berulang kali!) dan The Hookman (pembunuh bertangan kait-tajam). Cerita original Candyman menyebut, sosok Candyman akan muncul di belakang siapapun yang menyebut namanya lima kali di depan cermin “Candyman.. Candyman.. Candyman.. Candyman.. (kalian sambung sendiri, aku ogah!)”, lalu mengoyak tubuh mereka dari ujung ke ujung.

Tentu saja film originalnya tersebut sukses menjadi cult-horror, namun bukan karena terbangun atas unsur mitos yang fun dan oleh kesadisan berdarah-darah semata, melainkan juga karena kengerian gagasan yang dibicarakan sebagai tema yang menyelimuti cerita. Candyman bicara terutama tentang ketimpangan sosial antara si hitam dan si putih. Bahasan yang – to no one surprise – masih relevan dan penting untuk dibicarakan di masa sekarang, nyaris tiga-puluh-tahun kemudian. Sutradara Nia DaCosta dan produser Jordan Peele jeli melihat ini. Mereka tahu horor ketimpangan sosial itu masih berlanjut meskipun keadaan seperti sudah dipoles untuk mengesankan perbaikan. Candyman 2021 mereka hadirkan dengan turut memoles mitos dan legenda dalam cerita franchise horor ini supaya lebih cocok untuk memuat problematika injustice yang dihadapi saat ini.

candyman2992287039
Nyanyi lagu Candyman Aqua saat cuci muka di depan cermin masuk itungan nge-summon Candyman gak ya? Duh, gawat….

 

 

Film ini dengan cueknya mengabaikan film-film Candyman terdahulu, kecuali film originalnya yang rilis tahun 1992. Cabrini-Green (kompleks apartemen ghetto alias hunian warga kulit-hitam di Chicago) yang jadi lokasi begitu banyak pembunuhan sadis terkait Candyman, sudah dibangun ulang, diremajakan. Kini jadi kompleks yang cukup elit untuk kalangan seniman. Sejarah kelamnya ikut terkubur. Sampai ketika Anthony McCoy (peran mimpiburuk bagi Yahya Abdul-Mateen II karena intens dan beragamnya horor yang harus ia lakoni), yang lagi berjuang mencari ide untuk installment seni di galeri mendatang, mendengar tentang legenda Candyman. Anthony tadinya hanya tertarik untuk menjadikan Candyman sebagai karya seninya, tapi riset-risetnya tentang itu justru menguak kembali mitos kelam di daerah tersebut. Yang berarti satu hal; Candyman juga ikut bangkit, dengan kesadisan yang sama untuk menempuh tujuan dan bentuk yang sedikit berbeda. 

Naskah film ini dikerjakan bareng oleh Peele, DeCosta, dan Win Rosenfield. Mereka mengambil cerita film pertama sebagai landasan, dan kemudian berhasil mengikatkan cerita asli tersebut ke dalam naratif yang mereka kembangkan. Meskipun ada sedikit yang berubah, atau mungkin tepatnya disesuaikan untuk fit pada narasi yang mereka bikin, tapi film ini tetap menghormati apa yang sudah dilandaskan. Kejadian di film pertama jadi urban-legend baru pada dunia film kedua ini. Karakter-karakternya jadi sosok legenda. Malahan, ada karakter yang sama dimunculkan kembali; ada karakter yang di film pertama masih bayi, di sini akan dijumpai sebagai karakter yang berperan dalam cerita. Untuk karakter utamanya sendiri, si Anthony, well.. Pada review Fear Street Trilogy (2021) sebelum ini, aku sudah menekankan betapa pentingnya bagi cerita untuk mengeset kepentingan tokoh utama yang membuat dia pantas untuk berada di dalam cerita. Horor di dalam cerita harus benar-benar berkenaan, kalo tidak personal, bagi dirinya. Film Candyman terbaru ini tidak punya masalah dalam hal tersebut. Karena Anthony betul-betul digarap sebagai titik sentral. Kita bisa bilang horor film ini berputar di sekelilingnya. Tadinya aku SangChi — eh itumah film Marvel… tadinya aku sangsi karena Anthony ‘hanya’ baru saja mendengar urban-legend Candyman dari karakter lain. Tapi ternyata film berhasil memberikan Anthony purpose dan andil dan keterikatan yang kuat. Bukan saja baginya ini personal karena dia telah memilih Candyman untuk dijadikan proyek seni, tapi juga karena semua itu diungkap berkaitan dengan masa lalu Anthony. Kejadian di film ini jadi sungguh-sungguh berarti baginya, yang membuat kita jadi peduli dan jadi berarti juga bagi kita.

Mitologinya terkait banget, namun juga tidak benar-benar perlu untuk menonton film pertamanya bagi penonton yang belum pernah menyaksikan. Karena film ini sudah menyiapkan beberapa bagian eksposisi yang menuturkan apa yang terjadi sebelumnya. Dan penjelasan itu dilakukan dengan kreatif. Dari segi visual, film menceritakan itu lewat gaya animasi seperti wayang (alias berupa boneka bayangan). Lalu dari segi ceritanya sendiri, film melakukannya dengan variasi, seperti pertama-tama diceritakan sesuai dengan bagaimana kejadian tersebut dipandang oleh masyarakat kulit-hitam sekarang, lalu baru kemudian diceritakan bagaimana kejadian itu sebenarnya terjadi. Jadinya, walaupun cukup banyak eksposisi, tapi tidak terasa membosankan. Karena memang dari segi gaya, film ini melakukan perombakan yang bahkan mencuat di antara genre horor itu sendiri. Like, ada adegan pembunuhan yang dilakukan sembari film ngezoom out – selagi kita dibuat menjauh dari ruangan tempat pembunuhan itu berlangsung. Kita dibiarkan menyipitkan mata berusaha melihat apa yang terjadi. Dan ini menambah misteri dari sosok Candyman itu sendiri. Sosok yang dalam film ini ditampilkan beraksi lewat pantulan-pantulan di cermin. Pembunuhan di galeri seni jadi terasa benar-benar berkreasi saat film hanya membiarkan Candyman bisa kita lihat lewat cermin.

Indikasinya tentu saja adalah bahwa Candyman dipersembahkan sebagai refleksi dari situasi ketimpangan itu sendiri. Anthony melihat dirinya menjadi Candyman di cermin, Anthony mengerang ketika sengatan lebah di tangannya menyebar, membentuk kulit bolong-bolong kayak sarang lebah. Body horor seperti demikian juga merupakan cerminan yang memperkuat gagasan film ini tentang si Candyman. “He’s not a man” Melainkan situasi atau sesuatu yang dirasakan yang terpersonifikasi menjadi makhluk horor. Anthony menjadi Candyman berarti Anthony perlahan mulai merasakan situasi tersebut, perlahan paham bahwa dia perlu mengambil tindakan atas situasi tersebut.

candymanc3MjljZGI3MGQzXkEyXkFqcGdeQXVyMTE4Nzk0MzE4._V1_
Tadinya aku kira sedang nonton versi bajakan karena credit pembuka film ini diberi font terbalik atau mirrored.

 

Sekarang saatnya kita berjingkat memasuki ranah spoiler. Apa sebenarnya makna dari Candyman. Bagaimana film mengembangkan mitologi Candyman dari film pertama menjadi bentukan yang sekarang, menjadi sosok horor yang membawa semangat keadilan bagi masalah ras.

Dalam film pertama, Candyman adalah entitas – atau katakanlah hantu – yang hidup sebagai mitos. Aslinya dia adalah anak seorang budak yang disiksa sampai mati karena ketahuan jatuh cinta sama wanita kulit putih. Candyman bangkit untuk memastikan cerita ketimpangan yang ia alami terus tersampaikan. Dia kembali setiap kali ada orang yang menganggapnya tidak nyata, dan bermain-main dengan ‘mantra pemanggilannya’. Rekam jejak nasib naas orang kulit hitam tetap hidup selama mitos Candyman hidup. Sesuai dengan yang diperlihatkan film baru ini, setiap kali ada korban ketimpangan, mereka akan berubah menjadi versi berikutnya dari Candyman. Namun, keberadaan Candyman mengalami peyorasi. Di opening film diperlihatkan ada orang hitam yang dikeroyok oleh polisi kulit putih karena dia dituduh sebagai pelaku yang mencelakai anak-anak lewat permen berisi silet. Si orang tadi mati dan menjadi Candyman, tapi orang-orang malah mengingatnya bukan sebagai korban hakim polisi, melainkan dari sesuatu yang tidak ia lakukan. Inilah yang jadi motivasi dalang dalam cerita film baru ini. Dia ingin mengembalikan Candyman kepada ‘fungsi’ terdahulu. Karena si dalang tahu yang sebenarnya terjadi pada si Candyman terakhir. Bahwa ini masih masalah kulit putih menghakimi kulit hitam hanya karena warna kulit yang berbeda. Sistem, tidak peduli sudah dipercantik, tetap busuk seperti demikian di dalamnya. Jadi sekarang si dalang, menggunakan Anthony yang membangkitkan Candyman, berusaha menciptakan Candyman baru untuk tujuan tersebut. Memberantas racial injustice yang merayap di balik kemajuan zaman, di balik gentrifikasi tempat tinggal mereka.

Bangunan bisa direnovasi. Brand bisa di-rebrand. Reputasi bisa diperbaiki. Bahkan sejarah bisa ditulis ulang. Orang-orang bisa lupa akan kejadiannya yang sebenarnya jika tidak ada yang namanya legenda. Peristiwa yang turun temurun diceritakan dari mulut ke mulut. Film Candyman memperlihatkan bahwa legenda itulah yang seharusnya tidak boleh hilang. Karena sebelum mereka dikesampingkan menjadi mitos, mereka memuat yang paling dekat yang kita sebut sebagai kebenaran. Dan dalam sistem yang timpang, yang memandang ras satu lebih mulia atau lebih nestapa, sedang terjadi ‘gentrifikasi’ untuk menutupinya. Candyman, di film ini telah berubah menjasi sosok pelindung, sosok yang memastikan bahwa permasalahan racial injustice masih ada – di mana-mana.

 

Jadi, ya, film yang disebut sebagai ‘spiritual sequel’ ini lebih fokus pada satu gagasan. Tidak seperti film originalnya yang hanya menjadikan Candyman sebagai sosok mitos yang pengen eksistensinya selalu dibicarakan orang, dijadikan “writing on the wall”. Candyman yang baru ini mengaitkan mitos tersebut lebih jauh, mencerminkannya dengan realita sehingga film ini bisa lebih berbobot untuk jadi sesuatu yang dipikirkan. Akan tetapi, setelah dipikir-pikir, film baru ini malah jadi terasa kurang kompleks. Jangkauan film pertama ternyata lebih luas. Selain tentang ras, film itu juga bicara tentang dinamika gender dan kelas. Dan tentang rasnya itu sendiri, film tersebut lebih… apa ya, mungkin lebih balance tapi kurang tepat juga. Begini, pada film pertama Candyman menyerang siapapun yang mengucapkan namanya lima kali. In fact, Candyman khusus tampil di Cabrini-Green, kepada sesama kulit hitam. Dia jadi momok di sana. Candyman tidak peduli menumpahkan darah tak-bersalah. Film pertama itu berakhir dengan protagonis kulit putih yang balik mendapat prejudice sebagai black-hater, dan kemudian dia mendapat respek kembali dari komunitas minoritas tersebut. Bahkan diperlihatkan cewek yang bukan kulit hitam bisa juga kok jadi Candyman. Film itu terasa ‘whole’. Sedangkan pada film baru ini, Candyman hanya menyerang kulit putih. Candyman kini punya agenda untuk menegakkan keadilan. Dia tidak lagi membunuhi semua orang yang ada di ruangan (ada beberapa kali adegan Candyman tidak menyentuh orang kulit hitam yang ada saat dia beraksi)

Tentu, masalah polisi rasis, dan timpang ras secara umum adalah masalah serius yang perlu mendapat concern, dan kita semua perlu aware demi dunia yang lebih baik. Tapi dalam konteks conversations sebagai muatan film, Candyman baru ini terasa lebih sempit. Percakapannya terbatas jika dibandingkan Candyman original yang observasinya dari dua sisi. Film ini terlalu berusaha memberikan arti kepada sosok Candyman – bahwa dia harus melambangkan suatu gerakan atau agenda – sehingga bahkan elemen-elemen karakter lain jadi kurang mendapat porsi. Padahal karakter pacar Anthony punya backstory yang menarik; tentang hubungannya dengan adik, dengan ayahnya, juga soal pekerjaan dan perspektifnya sendiri. Menjelang akhir, memang ada seperti pergantian karakter utama – dari Anthony ke pacarnya ini, dan film kurang mulus pada transisi ini karena baik si pacar maupun Anthony selama durasi adalah nomor dua (dan tiga). Nomor satunya tetap bahasan Candyman. Dan itu kayak beating the dead horse, kita paham filmnya udah set Candyman sebagai penghukum orang putih yang cenderung rasis, jadi kenapa tidak expand the conversations a little more.

 

 

 

Bicara soal gentrifikasi, film ini sendiri juga melakukan perbaikan dalam beberapa hal yang ada pada film originalnya. Kesadisan masih tetap ada, tapi kali ini, nuansa film terlihat mewah dan stylish dengan gaya-gaya bercerita (bahkan gaya-gaya saat adegan pembunuhan) yang membuat film ini mencuat dari jenis horor pembunuh-hantu yang biasa. Ceritanya berhasil menyambungkan dengan film pertama sebagai landasan. Tapi juga dengan beberapa penyesuaian. Mitologi sosok ikoniknya juga diperbaiki sedikit, supaya sesuai dengan narasi yang diagendakan. Film ini punya gagasan, dan fokusnya pada gagasan tersebut membuat film sedikit terlalu banyak berusaha memberikan makna kepada sosok itu. Sehingga bahasannya jadi terbatas. Tidak sekompleks film originalnya.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for CANDYMAN.

 

 

 

 

That’s all we have for now

Bagaimana pendapat kalian tentang perubahan Candyman seperti yang digambarkan pada film ini? Film Candyman mana yang lebih kalian sukai?

Share with us in the comments yaa

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

 

 

MALIGNANT Review

“It’s just a beast under your bed, in your closet, in your head”

 

Malignant adalah horor terbaru dari sutradara James Wan, dan actually merupakan horor pertama yang di-direct olehnya semenjak The Conjuring 2 di 2016. Kupikir, James Wan ini sudah move on dari horor. Di proyek Conjuring Universe aja, dia kayak ngasih ide-ide cerita untuk digarap sutradara lain, sementara dia duduk di kursi produser. James Wan kayak udah siap untuk melebarkan sayap, menjajal ke ranah-ranah mainstream lainnya. Dia nge-tackle superhero, misalnya. Dan laku juga. Tapi kehadiran film Malignant ini ternyata membuktikan bahwa cinta dan passion adalah dua hal yang susah untuk ditinggalkan. Passion gak bisa hilang, melainkan akan terus membesar. Kalo dipikir-pikir ya udah kayak kanker ganas. Cuma bedanya, hidup yang terus memupuk passion bukanlah hidup yang sakit. Melainkan hidup yang bahagia. Enggak kayak kanker, yang semakin hari akan… eh, tunggu-tunggu… Hmm, sungguh sebuah ‘kebetulan’. Tau enggak kanker ganas itu sebutan medis resminya apa? Maligna. Alias Malignant!

Kanker yang merubungi tokoh utama dalam cerita Malignant bukanlah aktual sel kanker, melainkan sebuah perumpamaan. Madison di sini dihantui oleh entitas misterius bernama Gabriel, yang diyakini sebagai teman-khayalan di masa kecilnya. Setelah kejadian KDRT yang membuat Madison keguguran yang keempat kali, Gabriel yang selama ini telah terlupakan, muncul kembali. Lewat apa yang terasa seperti mimpi, Madison melihat Gabriel membunuhi sejumlah orang satu persatu, termasuk suaminya. Semua itu ternyata bukan mimpi. Orang-orang tersebut memang mati mengenaskan. Seiring detektif mengusut kasus – siapa dan hubungan antara para korban – kecurigaan pun memusat kepada Madison sendiri. Madison yang tak ingat masa kecilnya, tapi percaya seratus persen bahwa semua ini memang ulah Gabriel yang juga bahkan tidak bisa ia ingat.

Jadi, di sini Gabriel adalah sesuatu yang gak bisa lepas dari Madison. Yang terus menggerogotinya dari dalam. Perumpaannya di sini adalah bisa jadi Gabriel adalah simbol keadaan psikologis Madison sendiri. Sementara juga, film mampu menjelaskan secara literal bahwa Gabriel adalah sebuah fenomena dalam dunia kedokteran atau kesehatan. Inilah kenapa karya Wan ini segaris dengan horor-horor hebat. Cerita horor yang hebat selalu adalah metafora, dan Wan mampu membuat metafora dengan ikatan ke fenomena nyata yang kuat.

malignant-brings-us-a-new-vision-of-terror
Teman atau malign-kundang?

 

Lebih lanjut membahas siapa, atau apa, sebenarnya Gabriel akan seru, tapi juga akan membuat ulasan ini spoiler berat. Jadi aku tidak akan melakukannya. Cukup disebutkan saja bahwa James Wan sekali lagi berhasil menciptakan sosok ‘hantu’ atau villain horor yang ikonik. Meski gak fresh-fresh amat. Namun memang itulah salah satu kekuatan Wan di ranah horor mainstream. Gaya bercerita. Ia selalu sukses menceritakan kembali trope-trope usang dengan gaya yang unik, sehingga jadi suatu wahana seram yang kerasa baru. Karena sering makek Voldo sebagai karakter di game Soul Calibur, aku jadi bisa menduga what exactly Gabriel yang berjaket hitam, dan berwarah merah darah di balik rambut lurus hitam panjang tersebut. Namun karena momen ke pengungkapannya digarap dengan begitu well-built, aku tetep ikutan teriak. Padahal itu ‘bingkai’ pengadeganannya cuma berupa karakter lagi nonton video pasien diwawancara. Timing tarik-ulur, set atmosfer, posisi dan sudut kamera, serta cut-to-cut editing. Empat itu memang nyaris selalu jadi penentu dalam pembangunan adegan berpunchline –  terutama seperti pada horor, dan James Wan benar-benar sudah ahli dalam menangani empat itu semua. Orang bilang selera pasar itu susah dipahami. James Wan, seperti sudah memahami selera orang terhadap horor – serta titik takut mereka luar-dalam.

Dari yang terlihat di layar sepanjang durasi nyaris dua jam ini, aku bisa membayangkan baginya bikin film ini udah kayak silaturahmi ama teman lama. Tentu saja bukan teman lama yang nyeremin dan nyusahin kayak Gabriel. Kasian ya si Madison hihi.. Ngomong-ngomong ngapain aja sih kita saat ketemu lagi ama sahabat lama? Kita jabat tangan – memeluk mereka, kangen-kangenan, kemudian seru-seruan seperti dulu lagi bersama-sama. Itulah yang exactly terjadi pada film ini. James Wan benar-benar mengembrace akar horornya. Horor yang penuh darah. Dia banyak membuat pengadeganan yang mengingatkan kita pada karya-karya terdahulunya. Ada situasi orang disekap yang mengingatkan pada Saw. Ada juga adegan serangan setan yang dilakukan dengan cepat kayak yang dijumpai pada Insidious. Selanjutnya, seru-seruan James Wan berhoror ria dapat kita rasakan dari beragam cara yang ia terapkan dalam merekam adegan-adegan horor. Kamera gak putus, merekam dari atas sehingga kita kayak menonton rumah boneka? Cek. Jumpscarenya dengan build up yang efektif lewat panning atau ayunan kamera dan refleksi di permukaan kaca? Cek. Jumpscare yang gak pake suara menggelegar melainkan mengalir kayak horor 80an? Cek. Sekuen aksi atau pembunuhan sadis ditambah oleh warna-warna creepy? Cek. Semua adegan horornya efektif dan terencanakan dengan sangat baik. Kita gak bosan menontonnya, karena dinamika yang terjaga. Film ini juga sangat fleksibel, kadang bermain dengan CGI dan efek-efek komputer (saat adegan dream-like Madison melihat perbuatan Gabriel), kadang dengan efek praktikal (aksi-aksi si Gabriel itu semuanya beneran dilakukan loh!), James Wan menyatukannya dengan mulus.  

Ketidakbisaan kita membahas banyak tentang Madison dan Gabriel tanpa membuat ulasan ini jadi spoiler tersebut sebenarnya adalah indikasi yang mengatakan bahwa film Malignant ini terlalu menumpahkan fokus kepada kejadian. Pada apa yang terjadi. Ternyata begini, selanjutnya begitu. Detektif mencari petunjuk, karakter menguak misteri, villain membunuh orang. Ruang untuk bahasan tersirat di balik kejadian luar tersebut jadi tidak luas. Cerita ini tidak bisa membahas lebih jauh tentang kekerasan dalam rumah tangga. Tidak bisa mendalami tentang perempuan yang selalu kehilangan anaknya. Dan ini sangat disayangkan. Terlebih karena film memang mengandung muatan yang cukup banyak.

Yang paling kuat itu sebenarnya adalah bahasan tentang anak yang terbuang. Konflik antara ibu yang terpaksa memilih untuk mengesampingkan buah hatinya karena keadaan. Yang juga dikaitkan keluarga dan ikatan darah. Tapi semua itu tidak terasa terdevelop atau terceritakan dengan natural. Hanya ter-conjure begitu saja menjelang akhir. Disimpan hingga akhir. Karena film di awal fokusnya pada mempersembahkan kejadian-demi kejadian for shock value, bukan untuk menilik muatan.  

 

Penampilan akting dari para aktor jadinya tidak termanfaatkan maksimal. Pemeran Madison, Annabelle Wallis, misalnya. Dia menunjukkan permainan akting yang berkualitas. Akan tetapi karena film ‘merahasiakan’ apa yang terjadi pada karakternya – basically membuat tokoh utama ini sama tidak tahunya mengenai dirinya sendiri dengan kita – Wallis sebagian besar waktu hanya digunakan untuk menunjukkan ekspresi takut atau terkejut melulu. Motivasi Madison adalah pengen punya koneksi-darah, dan ini kita tahu bukan lewat informasi visual atau pembelajaran dari adegan-adegan yang mendukung ke sana. Melainkan lewat dialog gamblang yang diucapkan Madison kepada adik angkatnya.

malignant-trailer-james-wan-the-conjuring
Si McKenna Grace laku banget ya, setiap ada peran versi masa kecil, dia kepakek

 

Walaupun film excellent sekali dalam pembangunan misteri, adegan berdarah, dan adegan menakutkan, untuk urusan bercerita lewat karakter dan dialog film ini terasa demikian lemah. Semua hal-hal yang mestinya bisa penonton simpulkan sendiri, atau bisa ditangkap sendiri maknanya, diucapkan dengan terang-terangan. Oh jadi lewat flashback diungkap waktu kecil Madison dibisikin oleh Gabriel untuk ngambil pisau untuk menusuk perut ibunya, yang ini tentu dengan mudah bisa kita cerna sebagai Gabriel mengendalikan dan bertanggungjawab atas perbuatan Madison. Adegan itu saja ternyata dinilai tidak cukup oleh film. Karena persis setelah itu, kita akan mendengar seorang karakter menyebutkan kesimpulan itu “Jadi, pelakunya adalah… teman khayalanmu?” Banyak dialog-dialog yang tidak diperlukan seperti demikian tersebar pada film ini. Semuanya seperti diejakan kepada kita.

Agaknya James Wan sudah terlalu nyaman menggarap film mainstream, sehingga insting bercerita lewat dialognya jadi menumpul. Kalah tajam sama naluri untuk menyuapi penonton. Untuk memfasilitasi penonton dengan berlebihan sehingga jatohnya jadi kayak tidak percaya sama kemampuan penonton. Tidak hanya itu, film juga tampak tidak pecaya bahwa penonton bakal ngikutin cerita sampai akhir tanpa merasa bosan. Film ini seperti takut, penonton bakal bosan. Darimana kita bisa menyimpulkan ini? Dari banyaknya dialog-dialog yang cringe, dan juga dari karakter-karakter pendukung yang dihadirkan untuk komentar-komentar lucu saja. Simak adegan ketika detektif meminta forensik untuk mencari pasangan senjata pembunuh yang hilang. Saat itu, film menyelipkan guyon lewat karakter si forensik yang dibuat naksir ama si detektif kurang lebih bilang, kita semua perlu nyari pasangan hihihi.. Lucu sih lucu, tapi perlu tidak? Penting tidak untuk keseluruhan narasi. Nyatanya, film tidak pernah memfollow up soal hubungan dua karakter tersebut (detektif dan forensik). Dialog itu mengangkat sesuatu tapi tidak menjadikannya apa-apa. Karena sebenarnya ya fungsi dialog itu ada cuma untuk selipan lucu-lucuan supaya penonton gak bosan aja. 

Ok, memang benar film tidak mesti serius selalu, atau ngeri setiap saat. Harus ada momen-momen ringan. Namun juga, menghadirkan lelucon di sela-sela adegan serius itu tanggungjawabnya besar loh. Sebab menyangkut tone – nada film. Sebuah film harus konsisten pada nadanya. Tentu kita gak mau horor yang kita buat malah jatuh sebagai komedi. Drama cinta yang kita garap malah bikin orang takut tidur matiin lampu alih-alih sedih. Keseimbangan tone harus dijaga. Malignant did a poor job dalam hal ini. Film ini tampak ingin tampil sebagai horor personal yang serius, dengan konflik keluarga yang menyentuh. Tapi banyaknya lucu-lucuan membuat nadanya bergeser menjadi komedi. Beberapa hal yang mestinya gak lucu, jadi ikut kebawa lucu. Orang jatuh dari attic, menimpa patah sebuah meja. Aku nyaris ketawa melihat itu. Bukan ketawa defensif saking seramnya. Melainkan karena ketawa lucu. Apalagi kemudian diikuti jeritan Madison yang memang semakin ke belakang jadi hilarious saking seringnya. Setan yang kabur terseok-seok dikejar detektif? Aku terkikik melihatnya. Dan obrolan di ending, soal konklusi dan pembelajaran ingin merasakan koneksi-darah – dengan ibu kandung terbaring di sebelah mereka, ibu kandung yang baru kebuka identitasnya – dicuekin gitu aja. Aku ngakak. Ups.

 

 

 

Sepertinya James Wan terlampau bersenang-senang kembali menggarap horor. Dengan cerita yang membahas entitas misterius membuat karakter tertuduh melakukan kejahatan, film ini jadi kayak versi seru dan fresh dari The Conjuring: The Devil Made Me Do It (2021) yang tampil kaku dan membosankan. Film kali ini, memang kuat di pembangunan adegan seram lewat lewat teknis-teknis atau craft pembuatnya. Adegan revealingnya bakal bikin kita jerit-jerit saking gilanya. Namun sebaliknya, film ini di dialog dan karakter terasa lemah. James Wan tidak berhasil mempertahankan tone film ini. Diawali sebagai horor serius, yang perlahan mulai berat ke arah horor konyol. Malah setelah kita bisa menduga sendiri, film ini gak lagi seram. Traumanya gak digali, kita gak benar-benar bisa relate. Hanya jadi melihat kejadian-kejadian yang semakin edan. Kebiasaan James Wan menangani film-film mainstream mungkin perlu sedikit dievaluasi, di tone down sedikit, karena jika tidak bisa-bisa malah berubah jadi kanker yang tidak diinginkan dalam kreasinya sebagai filmmaker horor yang kreatif.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for MALIGNANT.

 

 

 

That’s all we have for now

Mengapa menurut kalian penting sekali bagi Gabriel untuk membuat ibunya melihat ‘monster’ seperti apa dirinya sekarang?

Share with us in the comments yaa

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

DON’T BREATHE 2 Review

“Don’t turn a blind eye to sin”

 

Benar-benar gak napas aku saat pertama kali denger kalo Don’t Breathe bakal dibuat sekuelnya. Ya, Don’t Breathe (2016) yang unik itu, yang ngasih twist seru pada genre thriller home-invasion. Iya, yang sepanjang durasi melempar-lempar simpati kita dari protagonisnya yang maling, ke bapak-tua-buta yang dimaling, dan kemudian menghempaskan simpati tersebut dengan revealing yang sekali lagi mengubah pandangan kita tentang mana yang orang baik dan orang jahat — iya, film seram yang itu!! Kayaknya film tersebut udah perfect dan gak perlu dibuatkan sekuelnya. Kalopun mau ada sekuel, cara paling gampang sebenarnya adalah membuat cerita yang completely gak nyambung sama film sebelumnya; yang karakternya berbeda total; mereka cuma perlu menciptakan situasi yang baru dari keadaan “Don’t breathe – jangan napas” itu sendiri. Tapi, produser Rodo Sayagues (bukan Kamuelos hihihi) justru melihat potensi dari karakter si Blind Man, sehingga langsung turun tangan menjadi penulis skenario serta sutradara untuk film lanjutannya ini. Lanjutan yang membahas lebih dalam, dan lebih dekat, siapa si Blind Man. Dan oh boy – aku masih belum narik napas lagi – karena di sini, Sayagues benar-benar menempatkan Blind Man sebagai protagonis. Pertanyaan besarnya tentu saja adalah bagaimana. 

Bagaimana membuat karakter yang telah terestablish sebagai orang yang telah melakukan perbuatan brutal dan tidak manusiawi kembali menjadi semacam hero yang mengundang simpati?

dontScreenshot_20210812-042725_YouTube-1-824273262-1628787297939
Yang jelas tidak dengan menyuruhnya “Goyang Dontbreath, Goyang Dontbreath~~”

 

Logisnya, ada dua hal yang bisa dilakukan untuk mengembangkan cerita dengan tujuan seperti itu. Antara membuat ceritanya sebagai prekuel atau origin, atau mengembrace diri sebagai cerita anti-hero. Tahulah, seperti yang lumrah dilakukan oleh live-action Disney belakangan. Rodo Sayagues tidak melakukan salah satu di antara dua itu. Dia menyambung cerita ini delapan tahun setelah kejadian di film pertama. Dalam kurun tersebut, Blind Man memungut seorang bocah dari rumah yang kebakaran, dan membesarkan anak perempuan tersebut sebagai ganti anaknya sendiri. Kini, anak yang ia beri nama Phoenix itu sudah cukup gede untuk minta sekolah normal dan berinteraksi sosial. Blind Man di cerita ini dipersembahkan sebagai orang yang ‘insaf’ dari semua perbuatan mengerikan yang ia lakukan di masa lalu. Tapi dia tetap tahu betapa bahayanya di luar sana. Benar saja, Phoenix ternyata ‘diikuti’ oleh sekawanan orang jahat. Rumah Blind Man sekali lagi disatroni, Phoenix diculik, dan Blind Man harus menyelamatkan sebelum terlambat sementara juga bergulat dengan a right thing yang harus dilakukannya demi Phoenix.

Barulah aku menarik napas. Bukan dengan lega, melainkan dengan kecewa. Sayagues ternyata menyetir film ini ke arah yang paling generik. Keunikan film pertama adalah muatan ambigu moral pada setting home-invasion ruang tertutup, yang menitikberatkan pada aksi-aksi dengan presisi timing dan design suara yang menguarkan atmosfer seperti nyata. Film keduanya ini hanya seperti cerita penyelamatan dan/atau balas dendam yang biasa, dengan ayunan pendulum moral yang tidak terasa didapatkan dengan genuine. Di sini Blind Man didesain seperti memohon, banget-banget, simpati kita. Dia kini mengasuh anak. Dia menyayangi anjing. Dia peduli sama kenalan yang mati. Pandangannya terhadap Tuhan pun sudah berbeda dengan saat di film pertama. Dia yang dulu dengan dia yang sekarang sudah berbeda jauh, dan sayang sekali justru proses perubahannya itulah yang seharusnya jadi fokus film. Film harusnya berkubang mengeksplorasi bagaimana seorang pembunuh, penyekap orang, pemerkosa bisa menumbuhkan hati untuk merawat anak kecil. Itulah cerita manusia yang ingin kita lihat, yang ingin kita dengar. Blind Man harusnya dibuat earned title protagonis itu. Karena jika tidak, jika film hanya langsung membuat dia tiba-tiba kayak orang baik, menggunakan shortcut dengan menghadirkan karakter antagonis yang jahat sebagai lawannya (bagi film ini sesimpel tokoh yang ingin lindungi anak melawan tokoh yang ingin mencelakai anak), maka dengan kata lain film seperti meminta kita untuk membutakan mata dari siapa karakter protagonisnya tersebut. Apa bedanya sama kejadian di dunia nyata kita saat ada mantan predator ujug-ujug diangkat untuk tampil ngasih edukasi bahaya predator.

Dengan menjadikannya begitu, film juga malah mengkhianati konteks ceritanya sendiri. Journey Blind Man dalam film ini adalah soal dirinya tidak lagi menyembunyikan masa lalu. Untuk tidak lagi turn a blind eye terhadap apa yang sudah ia lakukan. Dia tidak bisa membesarkan Phoenix dalam lingkungan bahaya, dan kebohongan; bahwa dia bukan orang yang tepat untuk mengasuhnya. Tapi filmnya sendiri justru memanipulasi simpati kita, meminta kita melupakan yang ia lakukan. Supaya dia bisa tampak simpatik.

 

Oleh karenanya, sekuel ini justru paling baik jika kita menontonnya dengan tidak tahu cerita di film yang pertama. Which is berlawanan dengan poin keberadaan sebuah sekuel. Kenapa tidak sekalian saja membuat cerita baru tentang orang buta yang mati-matian menyelamatkan anak yang bukan anaknya. Blind Man ini dihadirkan lagi kan, mestinya karena film ingin mengembangkan – mengeksplorasi – karakternya. Tapi malah bagian paling penting, bagian developmentnya tidak ditangkap oleh kamera. Hasilnya, ya kita gak bisa benar-benar mendukungnya. Gak simpati, betapapun seringnya dia meringis kesakitan, menitikkan darah dan air mata.

Stephen Lang padahal bermain dengan maksimal. Dia berhasil menjajal tuntutan akting yang diberikan kepadanya. Mulai dari range emosi hingga ke tuntutan bermain fisik. Secara aksi, film cukup berhasil mengulang prestasi film pertamanya. Kita akan melihat sejumlah adegan-adegan yang memanfaatkan suara, bunyi-bunyi, dan cahaya, yang sanggup membuat kita menahan napas menanti ledakan aksinya. Tapi karena sekarang cakupan medannya lebih luas (film tidak berlama-lama di setting rumah karena hanya akan menimbulkan kesan meniru film yang pertama), aksi-aksi film ini tidak lagi terasa spesial. Walaupun karakter yang berlaga itu adalah orang buta. Hanya ada sekian banyak aksi berantem yang bisa diadegankan, sebelum akhirnya semua elemen dalam action itu terasa convenient. 

dont-breathe-2-trailer-2_62c558d4-45a3-4cb6-977c-0aa656d99e52
Berantem gitu doang sih Si Buta Dari Goa Hantu udah duluan kalee

 

 

Film ini masih berusaha memainkan pembalikan moral atau role karakter. Ada yang keliatan jahat, tapi ternyata dia tampaknya seperti baik. Ada yang kayak baik dan simpatik, tapi ternyata busuk. Malah sebenarnya ada satu karakter anak buah penjahat yang menarik. Si karakter ini diam-diam membelot dan membantu Blind Man. Tapi film tidak menggali ini. Dia hanya ada sampai di situ aja. Alih-alih karakter, dia malah jatohnya sebagai ‘kemudahan lain’ yang diset untuk membantu perjuangan Blind Man. Semua karakter dan moral mereka memang itu tidak pernah benar-benar jadi soal, karena film begitu pengen untuk mengecat Blind Man ini sebagai protagonis. Padahal sebenarnya bisa-bisa saja si Blind Man ini jadi protagonis tapi tetep dibuat jahat dan gak ngemis simpati kayak yang kita lihat di sini. Melihat cara film memperlakukan karakter Blind Man di sini, membuat aku jadi suudzon bahwa jangan-jangan si pembuat film enggak mengerti makna dari protagonis dan antagonis itu sendiri. Jangan-jangan mereka hanya menyederhanakan protagonis itu baik, dan antagonis itu jahat. Padahal protagonis itu ya karakter yang motivasinya kita dukung, meskipun bisa saja aksi-aksinya enggak tergolong ‘baik’. Dan antagonis ya karakter yang motivasinya bertentangan dengan protagonis. Nah, akibat dari pembalikan role yang tidak benar-benar earned dan berarti tersebut, alur cerita film ini jadi terasa ngada-ngada. Semua hanya terjadi karena ‘memang begitu ceritanya’. Tidak ada bobot di balik semua.

Sebenarnya masih ada satu cara logis lagi untuk mengembangkan cerita dengan bentuk seperti ini. Yaitu dengan menjadikan si anak, Phoenix, sebagai tokoh utama. Menjadikan cerita dari sudut pandang dirinya. Benar-benar bergerak lewat pilihan-pilihannya. Dengan begitu, kita akan bisa merasakan kebaikan Blind Man ataupun misterinya melalui apa yang dirasakan oleh Phoenix. Mirip-mirip seperti pada formula cerita anak sahabatan ama monster/hewan buas/atau apapun yang dianggap orang-orang berbahaya. Namun film ini juga tidak mau ke arah sana. Mereka lebih suka membuat Phoenix sebagai device. Hanya sebagai karakter yang perlu diselamatkan. Dengan sesekali diberikan aksi-aksi fisik dan pilihan-pilihan kecil. Karakter ini sangat underused, sampai-sampai relasinya dengan Blind Man juga tidak pernah benar-benar mencuat sebagai muatan dalam cerita.

 

 

 

Nulis review ini, aku baru bernapas lega. Karena kayaknya semua uneg-uneg sudah keluar. Film pertama Don’t Breathe adalah salah satu favoritku di tahun 2016. Berhasil menggeliat dalam premis yang sederhana sehingga hasilnya benar-benar tontonan seram yang bikin surprise. Film kedua ini sebaliknya, nontonnya tidak terasa apa-apa. Aku tidak bisa mendukung Blind Man, juga tidak bisa percaya bahwa dia vulnerable dan ada dalam masalah besar. Karena aku nonton film pertamanya. Mungkin, kalo gak nonton yang pertama, aku bisa lebih menikmati film ini. Aksinya cukup mendebarkan – bagian yang di dalam rumah tetap masih jadi highlight. Journey karakternya ada. Tapi itu semua pun tidak pernah keluar dari batasan generik. 
The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for DON’T BREATHE 2.

 

 

 

That’s all we have for now

Bagaimana menurut kalian seorang yang pernah berbuat kejahatan mengerikan dapat termaafkan? Pantaskah mereka dimaafkan?

Share with us in the comments yaa

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

STILLWATER Review

“It is all about finding calm in the chaos”

 

Kata Stillwater dalam judul film terbarunya Matt Damon ini memang merujuk pada nama kota tempat karakter yang ia perankan tinggal. Namun, sebagai sebuah film, Stillwater ini juga persis sekali dengan air tenang yang menjadi lawan air beriak dalam peribahasa kita. Stillwater bukan film yang dangkal. Malahan, cerita tentang warga Amerika yang menjemput anaknya ke penjara Perancis ini ternyata lebih kaya akan konteks ketimbang cerita tentang anak Indonesia yang menjemput ibunya ke Amerika yang tayang di Netflix beberapa waktu yang lalu. Tom McCarthy menggarap dan menulis cerita drama thriller ini dengan menggali muatan seperti stereotipe turunan dari politik di Amerika, komunitas imigran di Perancis, hingga ke pandangan hidup menurut Islam. Pilihan yang McCarthy ambil untuk mengakhiri (atau tidak mengakhiri?) cerita, serta kontroversi yang mewarnai eksistensi film yang katanya loosely berdasarkan kemalangan yang benar-benar pernah terjadi ini, turut menambah seru dan menariknya film ini untuk dibahas. For better and worse.

Sebenarnya film ini bekerja paling baik sebagai sebuah studi karakter. Momen-momen paling ngena yang ada pada film ini hadir lewat interaksi karakter, keputusan dan gejolak konflik inner karakter. Tapi selapis genre thriller yang diselimutkan sutradara di atas permasalahan jiwa manusia berhasil menambah daya tarik yang dimiliki oleh keseluruhan cerita. Matt Damon di sini berperan sebagai Bill. Seorang pria red-neck Oklahom, konservatif, pendukung Trump. Di awal cerita kita melihat dia terbang ke Marseille, Perancis untuk menjenguk putrinya. Di penjara. Allison sang putri, diperankan oleh Abigail Breslin (udah gede aja – fix aku tua!!) tertuduh sebagai pelaku kasus pembunuhan kekasihnya sendiri, seorang perempuan muda asal Arab. Hook yang membuat cerita ini bakal berbelok menarik adalah Allison punya petunjuk tentang pelaku yang sebenarnya, sehingga kini Bill – meskipun dilarang ikut campur oleh Allison sendiri – berjuang di negara orang, di negara yang menganggap dirinya radikal, untuk mencari keadilan bagi semata wayangnya.

stillwaterf468-11eb-9b7f-287e8ddca3c1
Kemudian si Bill bertemu dan tinggal bersama ratu-ratu quee.. eh?

 

Ya, saat nonton ini aku otomatis teringat – dan kemudian malah lanjut membandingkannya – dengan film indonesia Ali & Ratu Ratu Queens (2021) Karena kalo dilepas dari bagian thriller mencari petunjuk ke orang yang dicurigai sebagai tersangka yang asli, Bill dalam Stillwater menapaki jalan yang serupa dengan Ali. Bill juga nanti akan menumbuhkan hubungan yang dekat dengan karakter-karakter yang ada di kota Marseille, mereka akan jadi keluarga. Bill juga harus menyelesaikan persoalan personalnya dengan Allison – dengan putrinya – karena mereka telah grow apart seperti Ali yang juga harus mengenali kembali ibunya sebagai seorang person.

Perbedaan yang kerasa jelas saat aku membandingkan kemiripan komponen penggerak kedua film ini adalah soal muatan dan pembahasan konteks yang mendasari masing-masing. Dan aku menemukan Stillwater jauh lebih kaya. Karakternya terasa lebih hidup karena benar-benar diwarna oleh konteks dan muatan tersebut. Tipe cerita Ali dan Bill sama-sama tipe fish-out-of-water; maksudnya, cerita di mana karakternya masuk ke dunia yang berbeda dengan yang selama ini ia kenal. Ali anak Indonesia, di keluarga yang cukup ‘disiplin’ dalam beragama, masuk ke Amerika yang lebih ‘open minded’, dengan segala perbedaan kultural yang harusnya ia jumpai. Bill, berasal dari daerah yang sama konservatifnya, baik dalam hal ras maupun agama, masuk ke Perancis yang lebih beragam. Elemen fish-out-of-water Bill lebih terasa ketimbang pada Ali, karena Bill memang ditulis kaya oleh identitas. Ali dalam Ali & Ratu Ratu Queens dibuat kayak kertas kosong. Dia tidak punya hobi, tidak punya sesuatu yang ia ‘pegang’ atau percaya. Ali didesain untuk meresapi hal yang ia lihat selama ‘petualangannya’ di Amerika. Bahkan soal agama yang mestinya karakternya bawa sebagai pengaruh dari lingkungan tempat tinggalnya yang dulu, tidak kita lihat lagi sepanjang sisa durasi. Berbeda sekali dengan Bill.

Dari berpakaiannya saja, Bill sudah menunjukkan karakter. Kemeja/flanel, rapi-masuk-ke-celana panjang, pakai topi like a proud American, menjawab setiap pertanyaan (dan ajakan) dengan “Yes, m’am!” yang mantap dan lantang, dan tidak lupa mengucapkan grace atau doa setiap kali mau makan. Karakter stereotipe redneck itu menguar dalam keseharian Bill, yang tentu saja bukan untuk lucu-lucuan, melainkan untuk dibenturkan dengan keadaan masyarakat dan kebiasaan di Perancis. Matt Damon pun tidak pernah memainkan karakter ini dengan sekenanya. Dia benar-benar menjelma menjadi this man. Pertumbuhan, penyesuaian, penyerapan, terceritakan dengan bertahap. Menandai setiap poin-poin development karakter Bill itu seiring durasi berjalan. Di sinilah Stillwater terasa hidup dan sangat kaya. Ketika Bill tinggal serumah dengan Virginie dan gadis ciliknya, Maya, kita melihat bagaimana kedua belah pihak saling berusaha membantu dan memahami. Kita lihat interaksi yang hangat tumbuh, lebih dari sekadar lucu-lucuan. Bill dan Virginie bersama mencari pelaku meskipun mereka punya perbedaan pandangan mengenai memandang apa itu teroris, atau tentang kepemilikian senjata api, misalnya. Interaksi Bill dengan Maya mengandung paling banyak hati (dan bawang!), film dengan efektif menjalin hubungan lewat sesimpel komunikasi antara dua bahasa yang berbeda, yang menyiratkan bentuk paling pure dari bonding antara dua bangsa yang berbeda. Penonton yang mencari muatan feminis pun akan dapat cukup banyak teks dari kondisi Virginie yang membesarkan Maya seorang diri.  

Ngomong-ngomong soal anak, putri Bill dengan cepat dijadikan tersangka karena betapa seksinya judul berita remaja Amerika membunuh remaja muslim – yang merupakan pasangan lesbiannya – bagi khalayak Eropa. Itulah yang dijadikan landasan atau subteks pada elemen thriller atau pemecahan kasus pada film ini. Meskipun memang tidak membahas ke pusat permasalahan prejudice atau semacamnya, tapi landasan tersebut sudah bekerja pada tempatnya di dalam bangunan narasi journeynya si Bill. Baginya, semua itu adalah chaos. Tidak masalah lagi seperti apa pandangannya, yang ia tahu kini dia adalah seorang Amerika yang tengah memburu remaja arab – yang bahkan masih jadi misteri apakah remaja ini beneran ada atau tidak – di daerah yang aware terhadap posisi Amerika terhadap isu kebangsaan tersebut. Dan ini juga personal karena menyangkut putrinya. Film melangkah dengan careful dan confident, membuat thriller berdasarkan drama tersebut tetap dalam kondisi yang tidak menjadikannya cerita yang memihak ataupun menjadi sesuatu yang over. Bill is the agent of chaos himself. Dia punya masalah dalam menahan emosi, dan ini membuatnya menjadi unreliable. Yang menjadi akar kekurangharmonisannya dengan Allison in the first place. Hubungan Bill dengan Allison memang tidak mendapat banyak porsi, dan itu karena cerita memilih fokus kepada perjuangan Bill – yang penuh chaos luar dalam – untuk menemukan kedamaian yang sebenar-benarnya.

Damai bukan berarti ada pada tempat yang ideal tanpa gangguan, tanpa perjuangan, yang semuanya tercapai. Melainkan justru damai adalah ketika kita bisa berada di tengah-tengah semua masalah, dengan hati tetap tenang.

 

To my suprise, film ini mengangkat referensi dari Islam tentang apa itu kedamaian yang hakiki. Aku gak dapat sama sekali lagi konteks keislaman saat nonton film Ali & Ratu Ratu Queens, padahal film tersebut lebih dekat dan punya akar yang lebih kuat ke arah sana. Konteks itu justru hadir di film luar. Stillwater tidak mengatakan itu hal yang tepat atau tidak bagi Bill, film tidak mengatakan apakah penerapan yang Bill lakukan terhadap itu benar atau salah, tapi dia menghadirkannya untuk memperkaya narasi cerita. And it works. Nonton film ini padet, terasa humanis. Dan yang lebih penting adalah, film ini tampil lebih berani.

stillwater9d6aa5028e047c326f299d9
Saking beraninya, jadi membawa kontroversi

 

Untuk kebutuhan menegaskan bahwa hidup memang brutal, film memilih untuk menyelesaikan masalah dengan amat sangat tega bagi kita. Ini jadi semacam pertaruhan sebenarnya, karena penonton yang sudah terinvest sama misteri ‘siapa pelaku’ akan mengharapkan penjelasan yang memuaskan. Penonton yang sudah terinvest dengan drama found-family, akan mengharapkan konklusi yang menghangatkan. Stillwater memilih untuk benar-benar still, tidak mengaduk lagi. Tidak lagi membuat elemen-elemen itu beriak. Film merampas kita dari sana, sebagaimana Bill dirampas dari kehidupan barunya. Film seperti meminta kita untuk mencari kedamaian sendiri dari cerita mereka. Cerita yang mereka biarkan selesai dengan hiruk pikuk. Dengan masalah yang tidak benar-benar tuntas. Supaya gak spoiler, aku akan mengungkapkannya dengan, susah sekali untuk kita menentukan apakah ending film ini good ending atau bad ending. Maybe, it is just.. brutal.

Tapi tampaknya yang paling merasa dibrutality sama film ini adalah perempuan bernama Amanda Knox. Ini sudah di luar penilaian film, aku bicarain ini untuk perbandingan saja. Dan ngasih sedikit pendapat ke permasalahannya. Jadi kontroversi film ini adalah, Stillwater ternyata tersandung masalah yang sama dengan serial Sianida baru-baru ini. Sama-sama based on kasus di dunia nyata, tapi tidak benar-benar tentang kejadian seputar aktual kasus tersebut. Hanya kejadian kasusnya yang mirip. Sianida mengangkat kasus kopi sianida, dan Stillwater mengangkat tentang Amanda Knox yang beneran dipenjara karena dituduh membunuh persis seperti pada cerita film. Nah, keduanya sama-sama diprotes sama pihak-pihak kasus in real life tersebut – karena tidak mencerminkan kejadian yang sebenarnya sehingga dituduh hanya cash-in dari tragedi orang. Dan keduanya sama-sama ngeles bahwa they did nothing wrong sebab sudah ada disclaimer bahwa ini fiksi, yang terinspirasi saja. Menurutku, ya, enggak salah sih. Kita bisa ngambil ide cerita darimana saja. Aku sendiri, film pendek pertamaku ceritanya berasal dari kisah dua hts-an temanku di SMA. Aku juga gak bilang-bilang mereka saat bikin, dan saat sudah jadi, mereka nonton dan ya, mereka mengenali itu mirip sama mereka, tapi juga gak marah karena tau itu fiksi. Dan tidak ‘dijual’ – tidak digembar-gemborkan sebagai sesuatu yang dari kisah nyata. Jadi ya menurutku, bikin film bebas dari mana aja, tapi kalo si film malah ngejual sebagai cerita terinspirasi, dengan materi promo yang langsung mengacu ke kasus nyata, maka ketika orang aslinya marah, ya itu sudah jadi salah filmnya. 

 

 

 

Oke, jadi untuk menyimpulkan, film ini memang berani. Dibandingkan dengan film Ali yang memilih untuk tidak membahas, maka tidak menampilkan, film karya McCarthy ini kaya oleh banyak konteks dan subteks cerita. Sehingga menontonnya terasa lebih padat. Jika kita membayangkan film ini sebagai sebuah kertas, maka ia adalah kertas yang penuh tulisan. Tidak satupun yang luput dari pemberian konteks. Bahkan pekerjaan Bill dan Virginie juga turut menyumbang ke dalam pembangunan drama yang jadi tubuh dan sesuai dengan galian cerita. Film ini juga hidup berkat penampilan akting yang tampak natural dan nyata. Penceritaannya juga balance antara drama dan thriller dengan sedikit action. Keberanian film berujung pada mengakhiri cerita dengan brutal. Ini adalah pilihan kreatif yang beresiko, karena aku bisa melihat film ini bisa saja jadi runtuh di mata penonton yang tidak menyetujui pilihan penyelesaian (atau pilihan tidak menyelesaikannya). Buatku? Well…
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for STILLWATER.

 

 

 

That’s all we have for now

Bagaimana pendapat kalian tentang kontroversi film ini, yang juga sama dengan serial Sianida? Di mana menurut kalian batasan antara terinspirasi itu seharusnya?

Share with us in the comments yaa

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

ANNETTE Review

“Jealousy is a disease”

 

Nonton film ini kita gak boleh bernapas. Serius. Narator dalam pembukaan filmnya sendiri kok yang bilang begitu. Sungguh sebuah cara yang aneh dalam meminta perhatian penonton. Malahan, dengan sengaja minta penonton untuk memperhatikan aja udah aneh. Emangnya guru di sekolah. Film harusnya kan ngalir aja. Karena memang, Annette karya Leos Carax ini adalah film yang sangat-sangat aneh. Si sutradara film asal Prancis ini memang belum pernah bikin film yang normal. Dan kayaknya gak bakalan pernah. Karena Carax, seperti yang kita lihat di film ini, benar-benar melihat film sebagai sebuah seni. Sesuatu yang tidak dilihat dengan logika. Tidak dikerjakan di kepala. Kepala itu, kata narator tadi, tempat untuk menguap, ketawa. Nyanyi. Kentut. Sebaiknya lebih baik kita anggap saja kata-kata narator tadi itu sebagai petunjuk, alih-alih peringatan. Bahwa gelombang badai keanehan yang bakal menerjang kita selama nyaris dua jam setengah nanti bukan untuk dikuak dan dibongkar maknanya, melainkan untuk dirasakan.

With that being said, aku harap kita semua sudah siap untuk mendengar bahwa film ini ceritanya tentang pasangan tersohor, seorang stand-up komedian dengan seorang penyanyi opera, yang dikaruniai anak berupa boneka kayu!

annette-trailer-adam-driver-marion-cotillard-social-featured
Anaknya kayak Pinokio, sementara bapaknya yang bernama Henry McHenry bisa jadi adalah orang Sunda (yoi anak motor kayak Dilan!)

 

 

Dalam ulasan The Green Knight (2021) sebelum ini, aku telah menekankan bahwa film bukan semata tentang apa, melainkan lebih kepada bagaimana film tersebut menceritakan tentang suatu hal tersebut. Sebuah film bisa saja punya bahasan yang simpel, atau malah yang klise, tapi karena diceritakan dengan cara yang unik, atau dengan sudut pandang yang beda, maka film tersebut akan terangkat menjadi sebuah tontonan yang segar. Pada kasus Annette ini, well, cara bercerita yang digunakan oleh Carax tak pelak adalah highlight film ini. Jika ada yang bicara tentang Annette, maka mereka akan nyerocos soal betapa gilanya Carax mendesain karakter si anak boneka, betapa di-luar-duniawinya Carax mengeset adegan per adegan, betapa sintingnya Carax memvisualkan konflik dan melagukan dialog. People will talk about how bizzare this film is! Namun bukannya tanpa substansi. Carax memback up kreasi edannya ini dengan muatan yang beresonansi dengan kita. Film ini bukan sekadar “Idih apa banget ada adegan ML sambil nyanyi!” Annette sesungguhnya adalah sebuah tragedi fantasi tentang cinta, karir, dan keluarga.

Di saat dunia kita lagi heboh debat soal punya anak atau tidak, pasangan selebriti Henry dan Ann dengan bangga memperkenalkan buah cinta mereka kepada publik dan media di dunia cerita film Annette. Tapi hubungan asmara mereka yang tampak semakin manis itu ternyata hanya di judul berita gosip saja. Kita yang diperlihatkan langsung momen pribadi Henry dan Ann masing-masing, tahu ada masalah yang mulai menampakkan diri. Jika Pinokio adalah pembelajaran untuk anak tentang menjadi anak yang berbakti, Annette ini justru adalah cerita pembelajaran untuk orangtua. Ceritanya ini sebenarnya lebih mirip dengan A Star is Born (2018) Hanya lebih kelam. Henry meredup, metode dan lawakannya mulai gak lucu, sedangkan Ann semakin terkenal di dunia opera. Kecemburuan membawa rumahtangga mereka pada prahara, sampai Ann akhirnya beneran hilang kesapu ombak. Only to return melalui suara emas milik Annette, anak mereka yang lantas dijadikan bintang panggung yang baru oleh Henry.

Semua kejadian dan dialog film Annette ini dilakukan dalam bentuk nyanyian. Marah, nyanyi. Jalan kaki, nyanyi. Boker, nyanyi. Semua, kecuali beberapa porsi yang merupakan gabungan antara nyanyi dengan aksi teatrikal stand up komedi. Everything feels like a performance art. Film benar-benar keren di sini. Udah seperti teater, tapi panggung dan semua-semuanya divisualkan lewat efek sehingga terasa seperti fantasi. Carax juga gak malu-malu untuk mencampurkan elemen supranatural ke dalam cerita. Sehingga semakin tampak artifisial – ganjil dan aneh. Mereka bener-bener bikin Annette si boneka. Yang desain aja udah bisa bikin kita mimpi buruk saking ganjil tapi realnya. Ya, keganjilan film ini terasa benar-benar personal secara bersamaan. Dan artifisial itu memang telah diniatkan sedari awal. Yang juga sesuai dan menguatkan konteks karakternya sendiri. Karena Henry dan Ann adalah bintang panggung. Mereka hidup dalam cahaya glamor. Mereka hidup dalam set panggung, konsep acara; dalam ‘dunia palsu’. Kepalsuan adalah realita mereka sehari-hari. Dan film membawa realita tersebut kepada kita, lewat visual dan suasana artifisial tersebut.

Itulah kenapa Annette, anak Henry dan Ann, digambarkan serupa boneka kayu. Kita melihat Baby Annette itu sejajar dengan perspektif kedua orangtuanya. Henry dan Ann melihat anak mereka sebagai bagian dari kepalsuan. Hanya sebuah episode baru dari kisah cinta mereka. Sebuah materi publikasi. Bukti dari cinta mereka, tapi bukti kepada siapa? Salah satu lagu yang dinyanyikan Henry dan Ann berjudul “We Love Each Other So Much”, liriknya berulang-ulang menyebut mereka saling cinta. Ini tentu saja bukan penulisan atau penciptaan lagu yang buruk. Pengulangan biasanya dilakukan untuk meyakinkan. Tapi meyakinkan siapa? Ya, cinta Henry dan Ann juga tidak nyata (jikapun nyata, mereka tidak menyadari ini pada awalnya). Melainkan hanya for show.  Orang yang beneran cinta mati tidak butuh untuk mengulang-ulang mengatakannya. Sedangkan dalam kasus Annette, later, Henry hanya menggunakan Annette untuk pamor dan ketenaran, karena Annette punya bakat yang tak biasa. Ann pun hanya menggunakan Annette sebagai sarana balas dendam.

annettedriver-annette-700x392
Kasian anet nasib si Annette

 

Adam Driver di sini bermain dengan nunjukin range yang luas sekali. Dia gak sekadar menyanyikan dialog, dia mengisi setiap dialognya dengan intensitas. Karena memang seintens itulah karakter Henry yang ia perankan. Henry yang kalo lagi stand up, selalu mengusung materi yang merefleksikan hatinya di balik aksi-aksi panggung konyol seperti terbatuk karena asap atau mengayun-ayunkan tali mic seolah itu tali lasso. Pertunjuan Henry udah kayak gimana Snape kalo lagi ngajar/ngedoktrin tentang ilmu hitam di kelas. Henry benar-benar mengontrol penonton dan reaksi mereka. Sisi penuh darkness terselubung itulah yang kemudian lantas dikembangkan oleh Adam Driver, mengarahkan karakter ini ke konklusi yang pedih nantinya. Aku pengen banget bahas adegan musikal terakhir film ini; aku suka performance-nya, aku suka lagunya, aku suka gimana perkembangan karakternya dilakukan – atau diungkap, tapi itu bakal merampas kalian yang belum nonton (tapi tetep nekat baca review!) dari momen terkuat film ini. 

Kecemburuan adalah penyakit. Relationship beneran aja bisa rubuh karenanya. Apalagi relationship yang memang sudah rapuh karena dibangun berdasarkan citra atau just for show seperti Henry dan Ann. Hubungan mereka berubah jadi sarang penyakit. Cemburu karir, cemburu cinta, hubungan mereka menjadi semakin rapuh. Korbannya, siapa lagi kalo bukan anak.

 

Sebagai penyeimbang perspektif Henry yang sudah demikian detil terdevelop, film ini – well – di sinilah film sedikit terbata. Mereka menjual film ini sebagai drama romansa, tetapi perspektif Ann tidak terlalu terjabarkan. Kontras kedua karakter sebenarnya sudah terset up. Henry ‘kills’ orang-orang lewat pertunjukan komedi satirnya. Dia mengekspos perasaan orang-orang, dan in a way mengendalikan reaksi mereka. Ann menghibur orang dengan ‘mati’ dalam setiap nyanyian operanya. Ini dicerminkan kuat oleh film menjadi kejadian yang menimpa mereka, yang somehow bagi Ann tertranslate sebagai perempuan itu, katakanlah, nyaman sebagai victim. Dalam tidurnya saja, dia mimpi Henry punya kasus selingkuh dan abuse terhadap perempuan-perempuan lain. Ann harus jadi hantu dulu baru bertindak. Nah, ini bisa membuat penonton kekinian turn off. Permasalahan romansa jadi kurang menarik sebab Ann tidak menjadi kontra yang disejajarkan dengan Henry. 

Menurutku, film ini sebenarnya tidak harus dipersembahkan sebagai romansa. Film ini justru lebih kuat sebagai kisah orangtua dengan anak. Annette dan dua orangtua yang menyeret dia ke dalam konflik mereka. Perspektif Ann yang dilakukan oleh film ini sudah cukup tertampilkan jika film adalah tentang orangtua dan anak mereka, karena fokusnya tidak lagi pada dua gender seperti pada cerita romansa. Keberimbangan yang dicapai oleh film ini tercapai pada antara orangtua (digambarkan lewat Henry dan Ann) dengan anak (Annette). Jadi sebenarnya film ini bukannya tidak imbang, imbang. Hanya saja tidak pada aspek yang mereka jual. So yea, kupikir ini adalah masalah salah pilih hal untuk dijual aja.

 

 

 

Secara keseluruhan Annette tetaplah sebuah presentasi cerita yang kuat. Menempuh banyak resiko dan merebut kebebasan dalam bercerita. Penampilan akting, visual, dialog; It is breathtaking indeed. Tampil artifisial tapi by-design demi menguarkan muatan emosi yang real. Gak banyak yang berani kayak gini. Aku lebih prefer sama film aneh yang berani tampil bercela demi menyuguhkan tontonan berbeda sambil merayakan kreativitas dibandingkan film normal yang berusaha keren tapi tetap terasa seperti sesuatu yang sudah kita lihat berulang kali. Sayangnya di kita, film yang semuanya jadi kayak musikal atau teater atau dialog puisi, kayak gini agak susah konek untuk sebagian besar penonton. Aku pikir, salah satu sebabnya mungkin adalah karena kita menontonnya dengan subtitle bahasa. Keindahana dialog atau nyanyian itu ilang atau gak kebawa oleh proses translasi. Dan lagi, dengan melihat arti kalimatnya, pikiran kita kembali ke set ke mencari arti. Kita tidak lagi merasa. Kita tidak lagi melihat keindahan wujud aslinya. Maka, sedikit saran, coba deh nonton ini tanpa teks terjemahan – atau setidaknya dengan panduan subtitle inggris. Karena musik adalah bahasa universal, mungkin dengan melihat kita lebih mudah merasakan yang ingin disampaikan.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for ANNETTE.

 

 

 

That’s all we have for now

Ada jejak/rash di wajah Henry yang terus membesar seiring berjalannya cerita. Menurut kalian itu melambangkan apa?

Share with us in the comments yaa

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

CODA Review

“It means having each other’s backs.”

 

 

Coda adalah singkatan dari ‘Child of Deaf Adults” – Anak dari keluarga tunarungu. Coda, juga bisa berarti istilah untuk bagian penutup dalam sebuah komposisi musikal. Coda, garapan sutradara Sian Heder, adalah dua hal tersebut sekaligus. Film yang bercerita tentang Ruby, satu-satunya yang berpendengaran normal dalam keluarganya, yang sangat berbakat menyanyi dan menemukan kecintaan pada dunia musik. Dunia yang gak berarti apa-apa bagi ayah, ibu, dan abangnya. Simply karena mereka gak bisa mendengar betapa amazingnya suara Ruby. Ibu malah menyangka anak remajanya itu hanya sedang dalam fase ‘memberontak’, “Kalo ibu buta, kamu pasti ngelukis, ya” begitu katanya ringan ketika Ruby ngasih tau soal masuk kelas musik. Dan momen itu, aku yakin, juga dialami oleh banyak anak remaja. Tak peduli seberapa normal pendengaran mereka sekeluarga.

Karena Coda ini pada hatinya memang sebuah cerita coming-of-age yang relatable. Tapi, dia adalah cerita dengan suara yang begitu unik. Sehingga bahkan dengan film aslinya pun – ini adalah versi Amerika dari film Perancis La Famille Belier (2014) – Coda terdengar seperti sajian yang berbeda.

Coda
Emilia Jones
Credit: AppleTV+
Belum pernah kan ngeliat orang bercarut pakai bahasa isyarat? Hihihi

 

Tentu, Coda dikembangkan Heder dari perspektif yang serupa. Keluarga yang quirky. Nyeleneh. Interaksi keluarga ini dipertahankan, Ruby yang kerap bertengkar dengan abangnya, pake bahasa isyarat. Ruby yang kesel sama ‘kemesraan’ ayah dan ibu. Itu memanglah pesona utama yang membuat cerita ini populer sehingga dibuat lagi. Ya, keluarga Ruby berbeda dengan orang-orang lain. Keluarga Ruby dipandang remeh. Dan hidup mereka enggak mudah. Tapi film memperlihatkan semua itu lewat perspektif yang tidak sekalipun mengiba belas kasihan. Keluarga Ruby bangga dengan siapa mereka, dengan kerjaan mereka. Dalam Coda, mereka adalah keluarga nelayan. Mereka mengarungi masalah yang sama dengan nelayan-nelayan lain di sana. Yang tangkapannya dibeli penadah dengan harga rendah. Yang merasa dirugikan lebih jauh oleh kebijakan perdagangan dan penangkapan ikan yang baru diberlakukan. Mereka tau mereka akan baik-baik saja. Selama ada Ruby.

Ya, selama ini Ruby memegang peranan besar dalam keluarga. Ruby ikut melaut, membantu mengoperasikan dan komunikasi kapal. Ruby jadi juru bicara. Dalam tawar menawar harga, dalam rapat. Dalam apapun. Film menitikberatkan ketergantungan ini dengan memperlihatkan Ruby bahkan harus ada di sana saat ayah dan ibunya konsultasi ke dokter mengenai masalah yang mendera area privasi mereka. Kebergantungan semacam itulah yang jadi titik awal konflik. Karena Ruby yang sudah beranjak dewasa, mulai menemukan dunianya sendiri. Dia mulai naksir cowok, dia mulai serius menjajaki tarik-suara. Tentu saja, gak lama jadwal Ruby mulai bentrok dengan jadwal kerjaan keluarga. Semua pilihan mendadak menjadi tough choices bagi Ruby, karena dia sadar keluarganya membutuhkan dirinya tapi sebaliknya dia tahu bahwa dia juga butuh untuk menapaki jalan hidupnya sendiri. Semua lapisan permasalahan itu mengumpul semua membentuk emotional depth yang dalem banget. Membuat film ini jadi menarik-narik hati kita, membuatnya hangat oleh haru dan cinta, tanpa sekalipun terasa overdramatis.

Kehidupan keluarga Ruby dalam rumah tangga dan dalam bermasyarakat, menambah realisme ke dalam cerita. Kita percaya yang dialami Ruby bisa terjadi pada anak dalam keluarga manapun. Masalah keluarga tunarungu tersebut mendadak jadi masalah universal. Untukku, aku melihatnya sebagai masalah yang relatable bagi remaja karena Ruby dalam cerita ini dealing with keluarga yang tidak bisa melihat value dari kemampuannya. Penyanyi tapi orangtuanya tuli. Mereka gak bisa tau, gak bisa mengerti how good she really is. Jadi ya, remaja yang suka musik tapi disuruh jadi karyawan kantoran, remaja yang pandainya bulutangkis tapi disuruh jadi PNS, yang tulisannya bagus tapi disuruh jadi sekolah dokter aja, mereka adalah Ruby-Ruby dalam keluarga yang ‘tuli’ sama suara anak mereka. Solusi untuk masalah ini adalah bagaimana membuat orangtua kita mendengar ‘suara’ tersebut. Maka film Coda ini bisa jadi penguat. Bisa menjadi pengingat bahwa keluarga itu ya sebenarnya saling membutuhkan. Karena jika Ruby dan keluarganya yang berkekurangan saja bisa menemukan jalan keluar, tidak ada alasan untuk kita tidak menemukannya.

Hubungan dalam keluarga tidak berjalan satu arah. Yang satu membutuhkan yang lainnya. Anak akan membutuhkan orangtua, sebagaimana orangtua pun membutuhkan peranan sang anak. Maka dari itulah, anak dan orangtua harus saling mengenali. Masuk ke dunia masing-masing.

 

Dari situlah datang aspek beauty yang kuat dimiliki oleh film ini datang. Pertengahan film hingga ke akhir udah kayak parade adegan-adegan keluarga yang indah. Yang hangat. Keluarga Ruby yang datang ke sekolah menonton pertunjukan musik meskipun mereka gak bisa mendengar apa-apa (ngeliat mereka yang malah menonton dari reaksi penonton sekitar itu adegan yang supersweet banget) ke adegan ayah meminta Ruby menyanyikan ulang lagu kepadanya, dan ayah mencoba mendengar dan mengerti lagu tersebut dengan cara yang ia bisa (easily adegan paling bikin netes air mata, dan kandidat nominasi untuk adegan terbaik di My Dirt Sheet Awards tahun depan!) hingga ke adegan saat…. ah, tonton sendiri deh. Film ini penyelesaiannya penuh oleh beautiful moments. Yang juga digarap dengan sama sensitif dan beautifulnya.

Heder tahu dia gak perlu apapun selain memaksimalkan karakter-karakter yang menghidupi ceritanya. Sehingga dia benar-benar menaruh kita ke dalam perspektif. Ketika adegan keluarga Ruby nonton pertunjukan nyanyi tadi, misalnya. Saat Ruby nyanyi solo, film justru menarik semua suara dari layar. Kita tidak mendengar suara cantik Ruby. Kita tidak mendengar apa-apa. Karena memang itulah yang persisnya didengar oleh keluarga Ruby. Kita jadi tahu apa yang mereka rasakan. Build up pada sekuen pertunjukan musikal tersebut juga bener-bener diperhatikan sehingga momen terakhirnya jadi luar biasa. Di awal kita melihat ayah dan ibu Ruby malah sibuk ‘ngobrolin’ hal lain. Namun ketika giliran Ruby, kita yang dibuat ikut tidak mendengar jadi melihat ayah, ibu, dan abang Ruby tersebut tidak hanya memusatkan perhatian mereka, tapi juga berusaha ‘mendengar’ Ruby dari sekeliling. Dan kita dibuat mendengarkan dalam cara mereka mendengar. Film ini bijak sekali, tahu persis memainkan perspektif. Timingnya efektif sekali. Sebaliknya, ketika nyanyian Ruby memang harus didengar (seperti pada adegan ayah Ruby meminta dinyanyiin tadi), film memastikan lagu yang kita dengar benar-benar mencerminkan keadaan yang dialami, dan bermakna bagi Ruby dan ayahnya. Lagu tentang bagaimana seseorang bergantung kepada yang mereka cintai tersebut menambah bobot yang banyak sekali untuk hati film ini.

Coda2.jepg_-1024x507
Meski dijual sebagai drama musik, tidak perlu ngerti belajar musik untuk dapat menikmati film ini

 

Bahkan untuk adegan-adegan kecil pun, film ini mengerti untuk tidak melakukan dengan berlebihan. Urusan cinta-cintaannya Ruby; elemen itu dibutuhkan untuk membuat karakter Ruby makin ter-flesh out. Tapi kadarnya harus pas, supaya enggak mengambil alih persoalan utama yakni Ruby dan keluarganya. Yang dilakukan film ini, apa coba? Benar-benar pas. Ruby tidak pernah jadi karakter yang bucin, melainkan tetap pada jalur yang manis. Begitu juga sebaliknya; dengan pembullyan yang ia terima. Tidak pernah film jadi kayak ‘sinetron’, yang menjalin interaksi antara karakter anak remaja yang satu dimensi jahat atau semacamnya dengan Ruby yang nelangsa. Penampilan akting dan arahan serta naskah jelas yang mengakibatkan ini semua.

Didaulat sebagai pemain utama, Emilia Jones memainkan Ruby dengan segenap hati sehingga tidak mungkin bagi kita untuk tidak peduli dan tidak sayang kepada karakternya. Dia berbakat, tapi juga kikuk dan tidak benar-benar pandai untuk mengekspresikan diri. Adegan-adegan dia adegan musik dengan guru yang exceptionally idealis dan nyeni sehingga jadi kayak komikal (satu-satunya aspek yang too good to be real di film ini) digunakan dengan efektif oleh film sebagai saat-saat untuk menunjukkan perkembangan personal Ruby. Dia juga dimainkan dengan penuh cinta kepada keluarga, tapi di saat bersamaan Jones juga membuat Ruby memancarkan sedikit, katakanlah, kelelahan dan dia ingin break free, dalam cara yang tidak annoying.

Yang mengangkat Coda dari originalnya adalah representasi. Heder enggak ragu untuk mencasting aktor-aktor yang memang tunarungu untuk memerankan ayah, ibu, dan abang Ruby. Tidak seperti film originalnya yang menggunakan aktor berpendengaran normal. Dan ini tentu saja selain lebih respek terhadap komunitas tunarungu yang direpresentasikan, tapi juga menambah aspek realisme yang berusaha ditonjolkan oleh film. Gak sampai di sana, supaya gak jadi sekadar gimmick atau apa, Heder memback up karakter-karakter tersebut dengan lapisan. Ibu Ruby (Marlee Matlin) adalah – atau bukan adalah – seorang mantan model (ini jadi salah satu running-jokes dalam cerita), dan film membuka kesempatan untuk karakter ini menjelaskan apa makna kehadiran anak normal bagi diri dan keluarganya. Abang Ruby (Daniel Durant) juga punya pandangan sendiri terhadap peran Ruby dalam keluarga, yang berkenaan dengan posisinya sendiri sebagai anak sulung, cowok pula. Dia akan menambah bobo konflik tersendiri yang tentu saja kita welcome sekali ke dalam cerita. Dan tentu saja, ayah Ruby (Troy Kotsur) yang sudah dijelaskan sedikit lebih banyak di atas tadi. Dia yang kepala keluarga punya tanggung jawab, dia yang kelihatan paling dekat dengan Ruby, dia yang paling ‘bertingkah’ – in a lot of ways. Cerita Coda hidup lewat karakter-karakter ini.

Resolusinya mungkin dapat terasa terlalu cepat bagi beberapa penonton, dengan permasalahan-permasalahan kecil dalam cerita belum terikat sempurna. Namun bagiku memang itulah poin cerita. Urusan Ruby dengan keluarganya memang bukan sebuah urusan yang patut dibesar-besarkan. Memang sebenarnya sesimpel mengeluarkan suara, dan mendengarkan suara tersebut. Masalah komunikasi. Dan mengenai hal-hal lain yang belum kelar, ya masalah memang bakal terus ada. Film ini tentang keluarga yang akhirnya saling mengerti dan itu membuat mereka jadi keluarga yang semakin kuat meski sekarang mereka tidak lagi bersama secara fisik, bukan tentang problem yang lantas jadi beres. Yang perlu diperhatikan adalah film di akhir telah memperlihatkan bagaimana keluarga ini sekarang punya dan mau menempuh cara lain untuk berurusan dengan problematika sehari-hari, sebagai tanda kekeluargaan yang semakin menguat.

 

Buat yang pengen ngajak keluarga nonton bareng, CODA bisa disaksikan di Apple TV+ https://apple.co/3J2UFU7 

Ekspektasiku nonton ini adalah yaah, aku bakal nonton cerita anak yang dibully karena keluarganya berbeda, kemudian menemukan cinta – kepada musik dan kepada cowok – yang berlawanan dengan kepentingan orangtua, yang pada akhirnya membantunya berurusan dengan keadaan keluarga tersebut. Film ini secara garis besar memang seperti itu, tapi tidak sedramatis atau semenye-menye yang kubayangkan. In fact, tidak pernah dia menyuarakan seperti demikian. Melainkan ini berhasil jadi cerita yang terasa unik. Menawarkan sudut pandang baru dengan lucu dan kikuk di awal, dan lantas benar-benar indah dan hangat sebagai penutup. Dia juga terasa real dan relatable. Biasanya, aku punya aturan penilaian yang ketat untuk film-film yang bukan original. Namun untuk kali ini, teruntuk film ini, aku rela sedikit melunakkan aturan tersebut. Karena dia berhasil tampil tetap cantik, dan malah seperti memperbaiki versi originalnya.
The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold stars for CODA.

 

Get it on Apple TV

 

 

That’s all we have for now

Apakah kalian juga punya hal yang menurut kalian penting, tapi tidak bisa ‘didengar’ oleh orangtua, tidak punya value yang sama di mata mereka? How do you dealt with that?

Share with us in the comments yaa

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

 
Advertisements