Wrestlemania 33 Review

 

Hardy Boyz baliiiiiiiikkkk!

Untuk sekali ini, Wrestlemania bener-bener NGEDELIVER APA YANG TERTULIS PADA TAGLINENYA. Acara ini sukses bikin kita naik-turun dalam sebuah perjalanan panjang. Buatku kemunculan Hardy Boyz menjadi surprise paling “wah!” I didn’t see that coming. Ketika New Day dalam balutan attire ala-ala Final Fantasy (aku ngenalin boneka kayak moogle dan gambar chocobo, tapi enggak yakin game Final Fantasy seri yang mana – mungkin yang baru since they advertising the latest FF 14) ngumumin bakal ada satu tim lagi yang ikutan dalam Ladder Match kejuaraan Tag Team, aku udah siap untuk menghujani TV dengan gumpalan kertas. Namun kemudian musik ngejreng menghentak yang aku dengar sejak hari pertama aku nonton gulat itu terdengar, dan muncullah Matt dan Jeff Hardy, fresh dari kontrak dengan promotor wresling lain; Jeff kelihatan seperti dicomot dari 2009, Matt menggebrak bikin kita makin menggelinjang dengan his Broken mannerism, dan aku literally berdiri di kursi!

Jeff girang banget mau ngeBROKENin tangga

 

Jika sepuluh atau dua puluh tahun yang akan datang orang-orang membicarakan Wrestlemania 33, maka orang-orang tersebut akan membicarakan kembalinya Hardy Boyz, lamaran John Cena, dan momen pensiunnya Undertaker.

 

Ini adalah bisnis di mana jika engkau bertanding dalam apa yang menjadi pertandingan terakhirmu, kau harus kalah. Tidak peduli siapapun dirimu. Ric Flair kalah. Shawn Michaels kalah. Dan Undertaker pun kudu begitu. Istilahnya adalah menyerahkan ‘obor’ kepada superstar lain. Mengistirahatkan legacy. Legenda enggak bakal pernah mati, itu benar. Tapi kita kudu nerima kenyataan bahwa yang terbaik di antara merekapun butuh untuk redup dan beristirahat. Banyak fans yang kesel kenapa Taker harus passing his torch kepada Roman Reigns – yang sudah begitu sering dihujat sehingga kini namanya kerap disalahejakan menjadi Booman Reigns. Aku sendiri juga enggak senang ngeliat Roman gets the upper hand, menghajar tokoh yang sudah menghiburku sejak kecil. Gampang bagi kita semua untuk enggak suka sama Roman, namun jika orang ‘gede’ terbaik di sejarah wrestling saja benar-benar melihat dirinya pantas kalah oleh Roman, maka kita harusnya menghormati keputusan tersebut.

Apalagi dalam pertandingannya ini, Taker terlihat sangat kepayahan. Kondisi dan umurnya enggak lagi sesuai dengan pertandingan keras selama dua-puluh menit. Di pertengahan, tidak lagi kelihatan seperti Taker dikalahkan oleh superstar yang lebih muda, cerita mereka malah lebih ke Undertaker tidak bisa mengalahkan fisiknya sendiri. Kita masih bisa ngerasain semangat gimmick Deadman ada pada dirinya, namun setiap gerakan yang ia eksekusi, terlihat jelas bahwa Taker just can’t handle it anymore.
The last shot of topi, jubah, dan sarung tangan yang ditinggalkan oleh Undertaker di tengah ring adalah pemandangan yang sangat sureal. Wrestlemania 33 DIBUKA DENGAN GEMPITA, DAN DITUTUP DENGAN MURAM DURJA. Simbolisme adegan tersebut sangat kuat. In fact, ada banyak simbol dan metafora visual yang bisa kita temui sepanjang acara ini. The most obvious one sekaligus yang paling kocak adalah di video pembuka di mana mereka nyamain disuplex oleh Brock Lesnar sama kayak experience terjun ketika naik wahana roller coaster.

WWE has really STEP UP THEIR GAME DALAM SEGI DESAIN PRODUKSI. Set acara ini terlihat sangat menakjubkan. Panggungnya megah dan kreatif. Kostum-kostum superstarnya keren parah. Aku suka banget liat kostum Maryse. Banyak spesial entrance yang bikin kita tepuk tangan bersorak riuh rendah. Pencahayaan dan kerja kameranya juga kelas dewa banget. It’s a visual triumph. Kalo ini film, maka nilai sinematografinya pastilah udah tinggi sekali. Dan ngomong-ngomong soal kaitan dengan film, WWE mulai mengintegralkan GAYA SINEMATIK ke dalam presentasi acaranya. Bukan hanya sekedar kembang api yang digunakan dengan timing dan occasion yang lebih kreatif. Kita bisa lihat misalnya dari entrance Seth Rollins; dia membawa obor, mengarahkan apinya ke bawah, dan efek video komputer pada ramp menampilkan api yang menjalar sampai ke ring. Teknik yang sangat membantu ngepush bukan hanya karakter, melainkan juga cerita yang ingin disampaikan.

Jericho selalu punya ide buat masuk jadi nominasi Fashion of the Year

 

In the past, kita udah ngeliat beberapa kali WWE ngelakuin hal teknis kayak sambaran petir untuk showcasing ‘kekuatan’ Kane dan Undertaker. Tapi belum pernah WWE actually memakai hal semacam begitu saat pertandingan berlangsung. Penggunaan efek ini, aku pikir, bisa bekerja dengan baik jika digunakan dengan tepat dan enggak berlebihan. Saat pertandingan Bray Wyatt melawan Randy Orton, kita disuguhkan oleh visual mengerikan pada canvas ring setiap kali Wyatt unggul. Image cacing dan belatung tersebut sukses bikin Orton ngabur ke luar ring. Ini memberikan dampak psikologis yang kuat, terasa seger juga. Namun sayangnya, seperti juga film-film bioskop dengan efek yang terlalu canggih, masalah pasti terletak kepada penulisan. Match-match Wrestlemania kali ini kebanyakan MENDERITA OLEH BOOKING yang sepertinya memang enggak niat untuk bikin match bintang-lima. Kembali ke kasus Wyatt melawan Orton, matchnya sendiri jika kita pisahkan dari efek-efeknya, maka akan menjadi match yang amat standar dengan hasil yang juga standar. Tuker-tukeran finishernya terasa buru-buru. They go back to zero; Orton going nowhere dengan arahan juara sebagai face, dan Wyatt kembali menjadi irrelevant.

Wyatt kalah bahkan setelah dia menunjukkan kekuatan magisnya.

 

Wrestlemania kali ini memanfaatkan cinematic experience yang belum pernah kita lihat sebelumnya.

 

Tiga dari empat pertandingan awal sebenarnya adalah puncak terbaik yang disuguhkan oleh Wrestlemania. AJ Styles melawan Shane McMahon adalah pilihan tepat untuk membuka acara dikarenakan kedua orang ini sama-sama rela untuk ngelakuin apapun. Penulisan dan psikologi ceritanya pun sangat well-thought. Dimulai dengan Shane harus ngelawan Styles di environment di mana dia enggak bisa ngelakuin hal-hal ekstrim yang jadi andelannya. Styles ngerasa dia bakal unggul, karena dia adalah the best pure wrestler di Smackdown, atau malah di seluruh rooster WWE sekarang ini. Namun Shane dengan mengejutkan mengimbangi Styles, dia kick out dari Styles Clash! Jadi Styles lantas membalas dengan balik coba mengalahkan Shane di dalam permainannya sendiri. Wasit kena tendangan nyasar dan tong sampah ikut andil dalam pertandingan. Lucunya, di sini aku melihat Shane menjadi McMahon yang paling egomaniak, dia kelihatan jago banget di semua bagian. Dia bisa mukul. Dia bisa banting. Dia bisa Shooting Star Press. Sepertinya ini pertama kalinya dalam pertandingan di mana AJ Styles kelihatan yang ‘beraksi’ lebih sedikit ketimbang lawannya. Makanya aku senang Styles yang menang karena sebenarnya dia enggak perlu buktiin apa-apa kepada Shane.

Kevin Owens melawan Chris Jericho juga bagus. Keduanya udah saling kenal gaya masing-masing, dan mereka mau melangkah lebih jauh dalam mengeksplorasi apa yang bisa lakukan terhadap masing-masing. Pop Up Powerbomb yang dicounter dengan Codebreaker itu contohnya. Sweet! Dan Owens actually ngebreak pin count dengan nempelin SATU JARI ke tali ring dalam usahanya mengejek lukisan yang diberikan oleh Chris Jericho kepadanya di Festival Persahabatan tempo hari. Match mereka penuh oleh karakter dan oleh aksi, seperti juga pertandingan tag team yang dimenangkan oleh Hardy Boyz. Those were a very good match. Meski sayangnya Kejuaraan United States kedorong ke bayang-bayang oleh betapa padetnya acara ini dan Pertandingan Tag Team enggak actually make sense dari booking standpoint.

Feud yang udah dibuild up dari kemaren-kemaren semacam ternegasi oleh kemunculan Hardys sebagai peserta dadakan, dan kemenangan mereka hanyalah pure buat ‘Wrestlemania moment’. Satu lagi build-up yang jadi pointless adalah Nia Jax yang entah kenapa malah ditulis tereliminasi duluan dalam pertandingan Fatal 4 Way buat Raw Women’s Championship. Dia jadi terlihat lemah. Status pertandingannya juga jadi pointless, like, kalo gitu kenapa enggak Triple Threat aja? Apa gunanya ngepush orang yang ditambah di last minute only to have her kalah duluan? Dan kemudian Sasha Banks kalah kepentok turnbuckle yang mestinya terekpos tapi karena botch maka pinggir ringnya masih empuk, dan kita enggak pernah dikasih liat Sasha berantem ama Bayley. Angle persahabatan mereka enggak berkembang ke mana-mana, it feels like Sasha juga enggak perlu ada di match ini. Dan personally, aku ngerasa final two Bayley dan Charlotte (anak Ric Flair ini doyan banget eksekusi move dengan sangat anggun!) juga ngebotch; I think it should’ve ended with Super Bayley to Bayley instead of Macho Man’s Elbow Drop.

Nia harusnya masuk final karena she’s not like most girls

 

Bookingan Kejuaraan Wanita Smackdown malah lebih parah lagi. Aku seneng match Alexa Bliss Nyaawww ini naik status dari pre-show ke main card, tapi ternyata kepentingannya malah turun drastis. Keenam cewek tersebut bertarung dalam sebuah pertemuan singkat yang peran utamanya adalah sebagai cooling down moment antara dua pertandingan yang lebih besar. Masing-masing berusaha memanfaatkan waktu dengan maksimal, mereka berbagi spot untuk saling mengembangkan karakter, but it feels so rushed out. Dan aku masih belum bisa melihat Naomi sebagai championship material, skillnya medioker, dan aku kesel kenapa WWE ngebikin Alexa selalu lemah di hadapan Naomi. Tahun lalu match cewek jadi Match of the Night, sekarang sepertinya mereka kembali jadi ‘jeda pariwara’ -__-

Yang paling mengecewakan adalah partai tag team campuran antara John Cena dan Nikki melawan Miz dan Maryse. Aku lumayan kangen liat entrance dan tarungnya Maryse, but she’s not even wrestling here. Miz hebat bertingkah antagonis, dan dia menghabiskan menit-menit di atas ring sebagai seorang brengsek hanya untuk dibalas dengan moves serentak dari Cena dan Nikki. Build up partai ini sangat bagus dan kocak dan seger, mereka harusnya bercerita dengan hebat lewat pertandingan ini. Tapi enggak. Cena enggak perlu susah-susah untuk menang, karena ini hanyalah sebagai ajang pencitraan buat Cena melamar. Everybody saw that coming. Padahal akan lebih bagus kalo Cena dan Nikki berjuang keras sebelum akhirnya menang atas Miz dan Maryse. Dan bagian paling lame dari lamaran ini adalah Cena membuktikan sendiri kebenaran kata-kata Miz soal dia hanya ngelakuin sesuatu yang baik di depan kamera.

 

Lima jam lebih, nyaris tujuh jam jika ditonton bersama kick off shownya, Wrestlemania 33 memang melelahkan. Biar gak capek dan boring, kami yang nonton bareng di Warung Darurat malah sempet ngadain acara niru-niruin superstar dadakan demi ngisi keboringan saat Pitbull ‘konser’. Jika paruh akhir dibook dengan lebih seru, cepet dengan banyak aksi, maka acara ini bukan tak-mungkin jadi salah satu Wrestlemania terasyik. Makanya kita enggak punya masalah ama match Goldberg melawan Lesnar. Match ini punya keunggulan karena berlangsung singkat dan penuh oleh aksi, meski memang bukan pertandingan yang great. Dan makanya lagi, Seth Rollins melawan Triple H yang punya formula sebuah match yang hebat (wounded face mengalahkan heel yang culas) malah terasa menjadi biasa aja. Jadi enggak ada bedanya ama pertandingan Triple H tahun lalu. Memang, booking dan susunan match Wrestlemania kali ini agak aneh. It’s a good show dengan nuansa muram yang bikin kita terus kepikiran perihal momen terakhirnya
The Palace of Wisdom menobatkan AJ Styles melawan Shane McMahon sebagai Match of the Night.

 

 

 

Full Results:
1. SINGLE AJ Styles defeated Shane McMahon.
2. WWE UNITED STATES CHAMPIONSHIP Kevin Owens jadi juara baru mengalahkan Chris Jericho.
3. WWE RAW WOMEN’S CHAMPIONSHIP FATAL 4 WAY ELIMINATON Bayley retains setelah mengalahkan Charlotte Flair di final-two.
4. WWE RAW TAG TEAM CHAMPIONSHIP FATAL 4 WAY LADDER Hardy Boys make a surprising return dan memenangkan sabuk atas Luke Gallows & Karl Anderson, Sheamus & Cesaro, dan Enzo & Big Cass
5. MIXED TAG TEAM John Cena dan Nikki Bella ngalahin The Miz dan Maryse.
6. NON-SANCTIONED Seth Rollins mengalahkan Triple H
7. WWE CHAMPIONSHIP Randy Orton merebut sabuk.
8. WWE UNIVERSAL CHAMPIONSHIP Brock Lesnar defeated Goldberg.
9. WWE SMACKDOWN WOMEN’S CHAMPIONSHIP SIX PACK CHALLENGE Naomi jadi juara di kampung halamannya. Full Results:
10. NO HOLDS BARRED Roman Reigns bikin pension The Undertaker.

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Thank you, Undertaker!

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.

THE SPACE BETWEEN US Review

“The greatest gift you can give to someone is the space to be his or herself”

 

 

Jarak di Antara Kita…….

….Ha! Judulnya aja udah mengisyaratkan ini bakal jadi sesuatu yang cheesy banget, well ya meski sekaligus juga memang permainan kata yang menarik. Mengartikan ungkapan “Boys are from Mars” secara harafiah, The Space Between Us bercerita tentang seorang cowok yang gede di planet asal Marvin musuh Bugs Bunny, dan cowok ini diam-diam menjalin pertemanan spesial dengan cewek di Bumi. Kalian pikir LDR itu sulit, coba bandingkan dengan Gardner dan Tulsa dalam film ini. Mereka chatting antarplanet, mereka belum pernah ketemu satu sama lain; karena lahir di Mars, keadaan tubuh Gardner actually disangsikan berfungsi dengan baik di planet kita. Namun tentu saja biar dramatis, maka kita akan ngeliat Gardner, against all odd, berusaha menapak jalan pulang ke Bumi – demi menemui Tulsa serta mencari ayahnya yang enggak ada seorang pun yang tahu siapa.

Selalu menyenangkan melihat karakter mengalami sesuatu yang belum pernah ia alami sebelumnya. Perasaan joy kita bakal keangkat tinggi menyaksikan Gardner ngerasain mandi hujan untuk pertama kali. Momen-momen dia berjalan sendirian, dengan sedikit canggung karena berat oleh gravitasi bumi, momen dia bertanya “apa yang paling kalian sukai tentang Bumi?” kepada setiap orang yang dia jumpai adalah momen yang genuinely menyenangkan.

Asa Butterfiled bisa dengan memesona memainkan karakter yang polos enggak-banyak pengalaman, namun tidak mesti innocent. Tokohnya pintar, dia actually ngelakuin banyak pilihan yang risky – enggak membosankan kayak waktu jadi lead di Miss Peregrine’s Home for Peculiar Childern (2016). Memasangkannya dengan Britt Robertson yang di real life tujuh tahun lebih tua membuat kesan ‘jauh’ kedua insan ini terasa natural. Britt di sini sebagai cewek yang street-smart. Clash antara dua karakter ini cukup menarik, I do like karakter Tulsa, masuk akal gimana dia yang dibesarkan dari orangtua asuh satu ke yang lain merasa urgen buat mempertemukan Gardner dengan sang ayah. But to be honest, ketika Britt dan Asa menyentuh ranah romansa, aku enggak bisa ngerasain spark di antara mereka. Sekali lagi, mereka terlihat ‘jauh’. Ada yang gak klop dari koneksi mereka sebagai pasangan, especially the way Tulsa manggil Gardner dengan “Bub”. Britt Robertson adalah salah satu aktor yang fleksibel dalam soal usia, maksudku, dia kerap memerankan tokoh yang rentang usianya sangat variatif. Tahun 2016 kemaren, dia jadi mama muda, dia hamil dalam setiap film yang ia bintangi. Dan sekarang dia kembali jadi gadis remaja. Kupikir masalahnya bukan pada akting atau di dianya sendiri sih, melainkan lebih kepada kita sudah punya ekspektasi Britt bakal move on memainkan tokoh yang lebih dewasa. Dengan cerita yang lebih matang pula tentunya.

sayang sekali mereka lupa menjemput Matt Damon di atas sana

 

Para aktor dalam film ini kelihatan sangat berusaha. Gary Oldman turut bermain, bersama Carla Gugino dan Janet Montgomery. While Janet sebagai ibu Gardner enggak banyak mendapat screen time, Gary dan Carla mencoba melakukan yang terbaik menghidupkan karakter yang hanya berlarian dan menghabiskan waktu dalam komunikasi yang enggak efektif. Ketiga orang ini berperan sebagai pihak NASA yang bertanggungjawab pada proyek pemukiman di Mars.

See, sebelum kita masuk ke kisah cinta Gardner dan Tulsa, film ini akan menggugah moral kita terlebih dahulu dengan sesuatu yang sebenarnya adalah elemen cerita yang sangat segar. Saking freshnya, elemen ini bisa dijadikan satu film sendiri, yang bahkan punya potensi lebih menarik ketimbang apa yang kita dapatkan dari menonton The Space Between Us. I was actually feeling really intrigued by the first 15-minutes. Aku sudah siap untuk ngeliat romansa cheesy, but hey, malah disuguhin sama permasalahan manusiawi. Tokoh Gary Oldman mengirim enam astronot sebagai manusia pertama yang akan tinggal di Mars, namun setengah jalan ke sana, janin mengisi rahim si kapten astronot. Tentu anugrah tak-terduga ini mengacaukan protokol, apalagi setelah melahirkan di Mars, sang kapten meninggal. Kejadian ini ditutupi lantaran ekspedisi gede itu bakal ter-reflect bad ke publik. Yang tentu saja memunculkan pertanyaan, bagaimana nasib sang anak? Dibesarkan di atas sana, jauh dari peradaban manusia normal? Atau dibawa pulang dengan resiko membunuhnya?

Mau di planet manapun, keadaannya selalu sama. Anak-anak bakal mengantagoniskan orangtua, terutama jika figur orangtua tersebut mengekang mereka. Dalam kasus Gardner yang kabur dari NASA, yang juga integral dengan arc si Tulsa, ini adalah metafora dari seorang anak yang lari demi mencari tahu siapa dirinya, untuk mencari jati diri. Mencari tempat yang familiar dengan diri. Dan orangtua yang keep their children in the dark, they should have know better Bahwa terkadang, jarak perlu untuk diberikan kepada orang yang kita cinta.

 

Untuk sebuah film yang membicarakan tentang kehidupan di tempat tanpa gravitasi, The Space Between Us sendirinya sudah seperti CERITA YANG MELAYANG BEGITU SAJA. Dia tidak bisa menemukan pijakan. Apa yang ingin penonton lihat adalah bagaimana mereka memainkan gimmick cinta beda-planet, akan tetapi film ini mengeset elemen cerita dengan tone yang serius dan thoughtful di awal, hanya untuk meninggalkan elemen tersebut begitu saja; menimpanya dengan pancingan-pancingan dramatis yang standar. Film ini kelihatan seperti ingin menjadi banyak sekaligus. Hasilnya adalah perjalanan yang membosankan, tidak ada elemennya yang bekerja dengan baik, satu-satunya yang bikin kita melek adalah adegan-adegan yang menjadi unintentionally hilarious sebagai akibat dari numpleknya penulisan skenario film ini.

Ada bagian soal anak yang bosen dikurung, yang resolve menjadi perjalanan ngeliat balon-balon dan ketemu Indian hippie. Ada bagian temenan sama robot, you know, ala-ala pesan moral Artificial Intelligent; Gardner dan robot pengasuhnya kayak “Aku sedih loh, bukannya kita teman?”/”Kamu kan robot, mana punya perasaan”. Ada juga bagian yang mengingatkan kita sama Wall-E; sebelum berangkat ke Bumi ketemuan ama Tulsa, Gardner yang begitu ingin ngerasain hubungan manusia menonton film cinta jadul dan dia berlatih adegannya. Tentu saja, juga ada bagian roadtrip romantic saat Gardner dan Tulsa kabur mencari alamat ayah sambil diuber-uber oleh NASA. Yang dengan cepat menjadi konyol, kayak, Tulsa yang tiba-tiba nyanyi pake gaun di swayalan. Siapa sih yang lagi di perjalanan jauh malah milih pakai gaun?? Ada juga satu adegan di kafe di mana tiba-tiba ada cowok sok akrab yang nimbrung dalam obrolan mereka, who the hell is that guy anyway?!  Dan bagaimana dengan remaja yang bisa ngendarain pesawat, normal toh

Bagi film remaja, sepertinya sudah menjadi kebutuhan primer buat mengantagoniskan orang dewasa. Film ini mencoba untuk membuat Gary Oldman and-the-gank kelihatan jahat di mata Gardner dan Tulsa, but of course kita tahu lebih baik – kita tidak pernah melihat mereka sebagai badguy yang mau mencelakakan, dan itulah sebabnya kenapa elemen ini tidak bekerja.

but hey, kita dapat adegan ledakan. It’s a good thing, right?

 

Dari gimana hidup di Mars, cerita dibawa kembali ke Bumi, dan sesungguhnya sangat susah buat menarik kembali perhatian kita. I mean, seexciting apa sih kejadian di Bumi dibandingkan dengan di Mars? Film ini sepertinya aware dengan hal tersebut, jadi mereka memasukkan apapun biar bagian di Bumi menjadi menarik. Akan tetapi akibatnya ada BANYAK KEENGGAKKONSISTENSIAN, sampai-sampai kita bingung sendiri ini film niat apa enggak sih. Seting waktu ‘masakini’ film ini adalah di masa depan, enam belas tahun dari 2018, tahun kematian ibu Gardner. Bumi dan Mars bisa ditempuh dengan hanya tujuh bulan perjalanan. Gawai terlihat mentereng, desain laptop sudah demikian majunya. Tapi pakaian, mobil, pesawat, tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan dengan masa kini kita semua. Penulisan Gardner juga linglung, dia malah cenderung kayak orang gua ketimbang orang dari Mars yang sudah maju. Masuk akal jika dia euphoria pacaran ataupun mandi hujan, karena itu adalah hal baru yang sekali itu pernah ia rasakan. Tapi heran dan ketakutan ngeliat kuda? C’mon masa iya dia belum pernah liat hewan di internet? Terkecuali di act ketiga, kita bisa melupakan sama sekali bahwa Gardner adalah orang Mars, karena dia bertindak kayak orang ‘sakit’ instead.

 

 

 

Lucu betapa penuhnya film ini namun enggak benar-benar ada bobot yang terasa. Film ini harusnya mendengar sendiri pesanya; berikan ‘jarak’ supaya elemen cerita bisa berkembang. Akan bisa lebih baik jika film ini memfokuskan kepada Gardner sebagai lead tunggal, film bisa dimulai dengan kehidupannya di Mars terus dia menemukan video keberangkatan ibunya, sehingga kita enggak perlu ngeliat prolog sebagai sepuluh-menit-pertama yang enggak benar-benar memberi bayangan tentang pusat cerita. Malahan apabila film ini just stick menjadi full cheesy, mungkin tetep akan lebih baik. At least, it would be enjoyable dalam level ‘so bad it’s good’. Nyatanya, kisah anak dari planet ketutup oleh banyak hal, termasuk oleh drama cinta yang enggak klik. Dan keinginan buat ngasih twist yang sebenarnya enggak perlu-perlu amat. Apakah film ini berupa action, komedi, romance, sci-fi, adventure, not even pembuatnya tahu pasti. Drama ini persis seperti pemandangan set Mars yang ia tampilkan; kering meranggas.
The Palace of Wisdom gives 3 out of 10 gold stars for THE SPACE BETWEEN US.

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.

DANUR: I CAN SEE GHOSTS Review

“A friend in need is a friend indeed”

 

 

Siapa sih yang enggak pengen punya sobat hantu yang baik hati. Gagasan memiliki seorang yang deket dengan kita, yang selalu ada, terlebih jika ia punya kemampuan ajaib kayak Om Jin sehingga bisa membantu dalam masalah penting maupun enggak penting, selalu sukses menjadi bahan lamunan yang menarik. Apalagi buat anak kecil kesepian seperti Risa. Ditinggal ayah dan ibu bekerja seharian membuat Risa begitu mendambakan kehadiran teman bermain. Maka, di malam ulangtahun kedelapan yang ia rayakan sendirian di rumahnya yang gede, Risa meniupkan permintaan polos dan lugu, “Aku ingin punya teman”

Memanfaatkan cerita yang berasal dari kisah nyata, like, there’s actually a person in Bandung named Risa Saraswati yang berteman beneran dengan hantu-hantu anak kecil; dia membukukan pengalamannya yang kemudian diadaptasi ke layar lebar, film ini membuat banyak materi menarik untuk promosi. Film ini dikabarkan ditulis ulang, posternya pun diganti, sesuai dengan permintaan hantu yang difilmkan. Well, sepertinya setelah ada film horor yang diproduseri oleh anak kecil, sekarang kita juga punya horor yang diproduseri oleh hantu anak kecil..
Prilly Latuconsina yang memerankan Risa Remaja, menurut laporan film ini, meminta dibukakan mata batinnya supaya ia bisa lebih mendalami karakter yang dia perankan. Dan saat premier film, lima kursi kosong beralas kain putih disediakan di sebelah Prilly, menandakan ada lima ‘undangan spesial’ hadir menyaksikan filmnya. It’s actually menarik melihat UPAYA YANG BEGITU BESAR DALAM MEMPROMOSIKAN FILM HOROR INI. Ah, seandainya ide kreatif yang berlebih tersebut diarahkan untuk membuat film yang lebih berbobot dan lebih enak untuk ditonton.

Sekalian aja kasih promo “reviewer yang ngasi nilai jelek bakal disatroni Peter dan teman-teman”

 

Risa bermain piano sambil menangis sebagai pembuka film adalah adegan yang beneran unsettling. It’s a great scene yang ditangani dengan kompeten, kita ngerasain takut dan bingung, Prilly ngesold tokohnya dengan sangat baik. Actually, walaupun enggak banyak yang bisa dilakukan terhadap karakter Risa dan lain-lain, karena memang ditulis seadanya – polos tanpa penokohan yang berarti, Prilly most of the time berhasil menyampaikan perasaan yang dialami oleh Risa kepada kita. Dia adalah salah satu dari dua bagian terbaik di film ini, namun perlu diingat that’s not really a great achievement buat film ini. Bagian terbaik lainnya adalah penampilan dari Shareefa Daanish yang sekali lagi bermain sebagai tokoh yang amat sangat bikin merinding. Enggak perlu banyak-banyak dipoles, kalo aku dipelototin Shareefa dengan cara yang sama dengan cara Asih memandangi Risa, maka niscaya aku bakal lari pontang-panting. Dia bisa jadi Ratu Horor modern sinema tanah air, namun aku jadi kasian juga kalo-kao Shareefa Daanish enggak bisa move on dari peran peran creepy seperti ini, she’s actually a decent actress.

Slightly good performances enggak lantas membuat film jadi ikut slightly good. Begitupun penampakan hantu yang menggebu enggak seketika bikin film horor menjadi bagus. Genre horor Indonesia mestinya segera melek dan menyadari bahwa horor yang benar-benar nyeremin itu datangnya dari psikologis manusia, bukan semata dari wujud hantu yang berdarah-darah. Horor terbaik selalu adalah cerita yang menggali trauma psikologi, seperti The Shining (1980), The Babadook (2014), atau The Devil’s Candy yang tayang baru-baru ini (2017). Pada Danur, mereka semestinya bisa mengeksplorasi cerita tentang keadaan mental anak yang setiap hari sendirian di rumah. Bisa ditambahkan layer tentang eksistensi Peter dan teman-temannya yang dapat dikaji sebagai fragmen dari imajinasi Risa yang terlalu nyata. Cerita film ini bisa banget berkembang ke arah psikologikal. Akan tetapi, film lebih ngikut ke saran Pak Ujang “Lebih baik langsung panggil dukun saja”, karena sepertinya mereka takut film ini nanti akan jadi lebih berisi.

Babak pertama sepenuhnya didedikasikan buat Risa kecil berkenalan dengan Peter dan dua hantu cilik lain. Diceritakan dengan cerewet lewat narasi voice-over ketimbang mengefektifkan visual storytelling. Penanganan terhadap detil sutradara Awi Suryadi enggak dimanfaatkan maksimal di sini. Padahal adegan bayangan hantu yang beberapa kali ditampilkan cukup serem. Aku juga suka ketika Peter menyebut Jepang dengan Nippon, seperti yang dilakukan orang Belanda beneran pada masa penjajahan.

Tetapi film menemukan zona nyamannya pada orang yang berteriak-teriak memanggil nama keluarganya yang hilang, serta pada jumpscares dengan volume musik yang maksimal. Tidak banyak yang dilakukan oleh Risa ataupun tokoh lain selain kaget, mencari-cari, dan diculik. Risa kecil bakalan mengetahui siapa teman-teman barunya, dan dia akan kaget bersamaan dengan kita belajar apa arti kata ‘Danur’. Dan babak kedua berlanjut dengan Risa yang sudah remaja balik ke rumah itu lagi, kali ini dia ngerawat neneknya yang sakit barengan Riri adiknya. Kemudian Riri juga ngalamin kejadian yang sama dengan Risa sewaktu kecil, Riri berteman dengan makhlus halus lain, hanya saja temannya ini jahat. Riri diculik dan Risa harus mencari adeknya. Sesuatu yang tidak-bisa ia lakukan tanpa bantuan teman-teman lamanya, of course.

hantu-hantu yang lucuu, ke mana engkau terbang?

 

Kita memang enggak bisa ngeliat Peter beneran, tapi kita tentunya bisa dong ngeliat betapa kacaunya skenario film ini. Para tokoh tidak punya motivasi. Tidak ada actual plot. Jikapun ada, seperti Risa, hanya ditulis setipis uban nenek; seharusnya ini adalah tentang anak yang ingin punya teman, tapi yang ia dapat adalah teman hantu. Kita akan melihat arc Risa resolves menjadi dia mensyukuri apa yang ia punya, namun perjalanannya tidak pernah terasa meyakinkan. Ataupun menyeramkan. Film ini lebih ke ngebuild up keberadaan jahat penghuni pohon angker alih-alih pertemanan tulus nan indah yang terjalin antara makhluk beda dunia.

Seberapa jauh kita mengenal teman-teman kita? Bagaimana jika kita tahu rahasia terdalam dan tergelap mereka, apakah kita masih mau berteman dengan mereka? Film Danur bisa kita lihat sebagai kisah seorang anak yang menemukan arti persahabatan. Bahwa teman bukan hanya company untuk bermain dan bersuka ria. Teman yang sebenarnya adalah teman yang ada di sana kala kita membutuhkan mereka.

 

 

Tampak AWI SURYADI SUDAH MENEMUKAN FORMULA HORORNYA. Jika kita tilik, Danur punya ‘tubuh bercerita’ yang sama persis dengan Badoet (2015). It’s about anak-anak yang tertarik sama makhluk astral, kemudian anak tersebut dikendalikan – atau diculik, terus ada flashback tragis si hantu jahat semasa hidup yang dikecam oleh masyarakat, dan kemudian protagonis akan menemukan cara simpel untuk mengalahkannya, yang bakal berhubungan dengan tempat dan benda tertentu. Kita bisa ngeoverlook ini pada Badoet, yah termaafkan sehingga bisa masuk level ‘bisa-lebih-baik-lagi alias 6 dari 10 bintang’ karena film itu actually memanfaatkan set apartemen dan gimmick badut dengan efektif. Yang dilakukan Awi pada Danur, however, cuma hal-hal generik yang sudah lumrah kita temukan di film horor. Pada Badoet, final ‘big-confrontation’nya berlangsung dengan bahaya pada tokoh hanya berupa tangan yang lecet kena sekop. Pada Danur, finalnya terasa sangat gampang dengan tersandung dan pergelangan kaki tegores sebagai rintangan utama.

Tidak ada hal menarik original yang kita temukan di Danur. Film ini penuh oleh tropes dan elemen-elemen dari film horor lain. Badoet juga niruin film lain sih, but this time I won’t fall for that again. Asih di Danur tampak seperti Sadako, apa yang ia lakukan dalam menakuti kayak yang dilakukan Sadako di Ring (juga kayak Samara di sekuel Ring versi Amerika, sampe ke bak mandinya), even mulut nganga Asih ekspresinya mirip ama tampang korban Sadako. Bel di tangan nenek yang sakit is very well be elemen yang dicomot dari The Uninvited (2009). Seriously, kepentingan tokoh nenek ini apaan sih? Dia sakit apa juga gak disingggung, yang kita tahu hanyalah si nenek gak bisa bicara karena dia takut make upnya yang kayak kulit Groot jadi rusak. Bagian permohonan Risa kecil yang terwujud ngingetin kita sama Krampus (2015) atau Home Alone (1990). Dan perjalanan Risa ke dunia lain di babak ketiga udah kayak pengadeganan parody dari franchise Insidious.

On a lighter note, aku ada sedikit saran buat kalian:

kalo-kalo ada yang punya kemampuan ‘melihat’ seperti Risa, maka janganlah sekali-kali menjawab pertanyaan wawancara kerja dengan begini:
Interviewer: “Apa kelebihan Anda?”
Kamu: ( berbisik dramatis) “I see things that nobody else sees…”
I did try it once, you know, buat cairin suasana, and the interview didn’t go well hhihi

 

 

Kalian tahu kalian sudah bikin kerja yang buruk jika film horor yang kalian buat malah bikin penonton di studio ketawa ngakak. Syut Asih yang berdiri diam di mana-mana tidak bisa terus-terusan seram. Adegan horor haruslah ada build up, enggak bisa melulu dikasih klimaks penampakan jeng-jeng!

Film ini berusaha terlihat berkonten lokal dengan lagu tradisional Boneka Abdi, namun bahkan lagu tersebut overused; di lima-belas menit pertama saja kita sudah mendengar lagu ini lebih dari tiga kali. Aura mistis dan nuansa misterinya jadi hilang. Awi Suryadi juga ingin menggunakan formula yang sama dengan Badoet yang moderately sukses, but formula tersebut sejatinya enggak bagus-bagus amat sedari awal, dan di film ini terbukti gagal. Ada menaruh perhatian pada detil, sayangnya malah mengisi dengan tropes dan jumpscares dan elemen film lain tanpa ada penggalian yang baru, membuat film ini jadi enggak berbobot. Tidak ada layer, karakter serta plot yang tipis, perspektif Risa disia-siakan. Jika kalian mengharapkan horor yang membahas pertemanan dua alam yang benar-benar menyentuh dan grounded, kalian tidak akan mendapatkannya di sini. Dan sehubungan dalam semangat Hari Film Nasional, sepertinya sudah tiba waktu bagi film Indonesia, dalam kasus ini film horor, untuk menganggap kritikus dan reviewer sama seperti Peter; sebagai teman yang sekalipun menyeramkan, namun sejatinya hanya ingin membantu.
The Palace of Wisdom gives 2 out of 10 gold stars for DANUR: I CAN SEE GHOSTS

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.

GHOST IN THE SHELL Review

“Eyes are the window to the soul”

 

 

Film adaptasi dari anime — yang actually saduran dari manga klasik – ini punya beban yang berat bertengger di pundaknya. Elemen filosofis dan pencapaian teknikal membuat versi originalnya yang keluar tahun 1995 dinobatkan sebagai salah satu anime terbaik yang pernah dibuat. Banyak film-film sci-fi yang membahas tentang artificial intelligence dan sebagainya openly admit dipengaruhi oleh elemen dalam cerita Ghost in the Shell. Jadi, garapan Rupert Sanders ini bener-bener has a lot to live up to. Sehingga sampai detik pantatku mendarat mulus di kursi bioskop, aku masih terombang-ambing antara gembira dan ragu-ragu. But mostly aku takut, lantaran aku gak mau Hollywood merusaknya sehingga ini menjadi Dragon Ball kedua. Dan serius, jika kalian mengaku penggemar sinema, hobi nonton film, dan peduli sama film yang bagus, sempatkanlah buat menonton anime Ghost in the Shell; for the film is so influential, aku tersinggung ketika tadi di bioskop ada ignoramus yang nyeletuk “niru Matrix, ya.”

Dunia dalam film ini sudah begitu modern, sampai-sampai teknologi dan manusia sudah nyaris menjadi satu. Tren masyarakatnya adalah masang hologram gede sebagai cara iklan, nyambungin diri ke net yang bahkan lebih canggih dari internet yang kita punya, dan memodifikasi sebagian tubuh – atau malah seluruhnya – dengan bagian robot. Tokoh utama kita, Mira Killian, adalah Mayor di pasukan elit Section 9 yang khusus menangani kasus kriminal, terutama kriminal siber yang sedang berkembang dengan pesat. Diciptakan sebagai ‘weapon’, Mira tidak punya unsur tanah di tubuhnya. Dia diberitahu bahwa dia adalah yang pertama dari progam penginstallan kesadaran manusia yang disebut ghost ke dalam tubuh-tubuh buatan yang istilahnya adalah shell. Namun apakah setiap yang punya ghost diyakini sebagai manusia? Mira mengenali kenangan di dalam dirinya. Dan sembari berusaha menangkap teroris siber berinisial Kuze yang menimbulkan kekacauan dengan ngehack ghost robot dan orang-orang, Mira sets out buat mencari tahu siapa dirinya yang sebenarnya.

Ghost in the Shell termasuk jejeran film yang membuat kita mempertanyakan tentang eksistensi, tentang kesadaran,tentang apa yang membuat manusia itu ‘manusia’. Apa yang memisahkan kemanusiaan dengan teknologi? Apa yang terjadi jika keduanya bersatu? Apakah sesuatu yang diciptakan bisa menyebut dirinya sebagai manusia karena dia punya kesadaran? Dan bagaimana dengan kenangan, apakah kemampuan mengingat kenangan adalah bagian dari kesadaran? Well, ada banyak benda-benda yang bisa menyimpan kenangan, dan mereka enggak hidup. Apakah Major Mira Killian termasuk salah satu di antara benda-benda tersebut.

 

 

Sebagai adaptasi live-action, film ini sukses mengemban predikatnya. Dia tetap setia dengan versi orisinil. It has the same formula, dengan beberapa penambahan yang signifikan pada beberapa elemennya. Jadi, yaah, kupikir aku akan berusaha mengulas film ini sebagai sebuah cerita yang berdiri sendiri, aku akan coba untuk enggak nyangkut pautin dengan film buatan Mamoru Oshii.

Peningkatan yang pertama kali langsung bisa kita rasakan adalah pada visualnya. Film ini sangat GLORIOUS OLEH PENAMPAKAN EFEK-EFEK VISUAL. Adegan ‘pembuatan’ shell Major bener-bener indah sekaligus surreal dengan bentrokan warna merah disusul putih. Kota masa depan tempat mereka tinggal terlihat meriah. Desain kotanya yang semarak oleh teknologi mentereng mencerminkan kebutuhan manusia untuk tampil ‘mengkilap’, seperti yang dijadikan tema cerita. Sehingga kita bakal mengharapkan ada sedikit saja jejak kemanusiaan dari penghuninya. Ketika itu beneran kejadian, ketika tokoh setengah robot kita ngelakuin hal sesederhana memberi makan anjing jalanan, ataupun pergi berenang tengah malem, kita bakal ngerasain hentakan euphoria tanda cerita berhasil mengenai saraf berpikir kita.

Scoringnya juga sukses bikin film terasa dark dan bikin uneasy.
Ghost in the Shell menyuguhkan beberapa sekuen aksi tembak-tembakan yang seru. Robot geisha itu creepy banget. Pertempuran melawan robot laba-laba bakal menghujani kita dengan peluru-peluru emosional. Sekuen aksi yang paling captivating adalah ketika Major menyimpan senjata apinya, membuka mantel, mengaktifkan kamuflase optik, dan mulai menghajar orang yang dikendalikan oleh Kuze. Adegan berantem ini difilmkan dengan menarik; lokasinya, koreografinya, kerja kameranya, semuanya terlihat mulus dan engaging. Dengan pace yang cepet, porsi aksi lumayan mendominasi film ini as kita dibawa dari konfrontasi satu dengan konfrontasi lain. Dan di antara aksi-aksi tersebut kita akan dibawa melihat Mira lebih dekat sebagai seorang karakter, kita akan ngikutin inner journeynya, kita akan melihatnya berinteraksi dengan tim serta partnernya, Batou. Kita akan melihatnya membuka misteri di balik Kuze dan belajar apa faedah dia ada di dunia, entah sebagai robot atau manusia.

“doakan saya yaaa”

 

Masalahnya adalah, segala kelebihan yang kutulis di atas (selain robot geisha yang sepertinya bakal hadir di mimpi burukku malam ini) actually berasal dari elemen orisinil yang dimasukkan kembali ke dalam versi live-action ini. Film ini just recreating them all seperti yang dilakukan oleh Beauty and the Beast (2017) terhadap animasi klasiknya. It’s a great job, aku tepuk tangan karena mereka berhasil melakukannya dengan baik. Namun tidak seperti Beauty and the Beast, penambahan elemen yang dilakukan oleh Ghost in the Shell actually terasa ngedeteriorating eksistensi ceritanya secara keseluruhan. Sebagaimana kita sudah setuju untuk menghormati film ini sebagai unit yang berdiri sendiri, I have to point out beberapa poin dan elemen baru di dalamnya yang enggak benar-benar bekerja dengan baik. Dan yea, aku harus melakukan beberapa perbandingan untuk mempertegas poinku.

Enggak semua sekuen aksi benar-benar berbobot. Misalnya pada bagian di klub, kebanyakan memang terasa sebagai filler buat manjang-manjangin waktu. Karena adegan tersebut pun tidak digunakan untuk ngeflesh out karakter-karakter sampingan. Anggota tim Major tidak mendapat sorotan yang berarti. Malahan ada satu tokoh, pada cerita original dibuat ‘penting’ bagi Major karena dia satu-satunya yang masih seratus persen manusia, namun di film ini trait tersebut hanya disebut sepintas sahaja.

Major lah yang mendapat permak backstory yang signifikan. Dia bisa mengingat sedikit hal dari kehidupannya saat masih manusia. Major clearly galau mengenai, bukan identitas, melainkan ‘apa’ dirinya. Tapi penulisan karakternya di sini terlihat cengeng, I mean, dia come off lebih sebagai manusia yang enggak mau dipanggil seorang robot. Dia meminta belas kasihan kita. Scarlett Johansson adalah ‘shell’ yang tepat untuk tokoh ini. Penampakan wujudnya mirip banget sama yang anime. Namun, ‘ghost’ karakternya agak enggak klop. Cara berjalannya enggak pernah tampak natural, kayak dibuat-dibuat, walaupun memang enggak ada masalah dalam adegan aksi. Ketika, katakanlah, momen berkontemplasi, pembawaan Scarlett membuat Major tidak seperti robot dengan perasaan; dia terlihat seperti manusia yang menyembunyikan perasaan. Dalam versi anime, karakter ini diarahkan sehingga kita merasa terdiskonek dengannya; Major malah tidak berkedip, tapi dari gambaran ekspresi dan visual storytelling kita bisa memahami apa yang ia rasakan, kita bisa rasakan betapa intriguednya Major kepada setiap aktivitas manusia. Dalam film ini, tidak ada arahan supaya Scarlett enggak ngedip, perasaan Major terlampiaskan semua lewat kata-kata yang ia lontarkan, tanpa pernah terasa dalem dan filosofis.

Identitas mereferensikan aku, atau saya. Di mana otak mengenalinya sebagai ‘diri’. Tapi apakah sebenarnya aku itu? Apakah personality? Apakah aku adalah perasaan – apakah aku adalah jiwa? Well, orang bilang mata adalah jendela jiwa. Ada alasannya kenapa Major di sini memiliki mata yang hidup, tidak seperti pada versi anime.

 

 

Dosa terbesar yang menyebabkan FILM INI DANGKAL ADALAH KARENA DIA MEMBERIKAN JAWABAN. Baik itu jawaban terhadap apa yang terjadi; bahkan tulisan pembuka di awal memaparkan secara gamblang, tidak seperti opening teks di versi anime yang lebih kiasan. Maupun jawaban terhadap pertanyaan filosofis yang diajukan oleh tema ceritanya. Ini membuat Major menjadi karakter generik, kita bisa melihat ke arah mana arcnya berlabuh. Jadi gampang melihat apa yang terjadi selanjutnya. Setelah Major ketemu Kuze, film menjadi biasa saja dan kehilangan semua hal yang engaging. Ini berubah menjadi ‘kebaikan’ melawan ‘kejahatan’. Kuze, meskipun keren, tidak pernah menggugah kita dengan pertanyaan apa yang membuat manusia itu ‘manusia’. Kita sudah sering melihat elemen ‘melawan sang pencipta’ dan ‘menciptakan dunia sendiri’ sebelumnya. Major menjadi seperti Alice di Resident Evil. Padahal jika dibiarkan terbuka tanpa-jawaban, maka tentu cerita akan menjadi lebih menantang, membuat kita merasakan euphoria memikirkan jawaban, seperti yang sudah dibuktikan oleh film orisinilnya.

Apakah robot ada gendernya hanya karena dibuat menyerupai cowok atau cewek?

 

 

They go with a different goal this time, yang mana masih bisa kita apresiasi. Para fans lama pun mestinya bisa dibuat menggelinjang dengan revelation di akhir cerita yang mengambil referensi kepada cerita anime. But I think they should’ve not tampering too much with the formula. Ini adalah film full-action dengan kontemplasi dan nostalgia saling berbagi ruang di antaranya. Bahkan meniliknya sebagai film yang berdiri sendiri pun, penilaianku tetap sama. Sukurnya enggak separah, malahan jauh lebih bagus daripada Dragon Ball Evolution sih. Meski begitu, film harusnya bisa menjadi lebih berbobot lagi. Tidak banyak karakter dengan penampilan yang memorable. Dan lagi, sulit untuk tidak membandingkan karena hal yang bagus dari film ini adalah hal-hal yang sudah pernah kita lihat pada film tahun 1995. Mereka seperti memindahkan ghost cerita ke dalam shell yang lebih mentereng belaka. Dengan banyak hal bagus dan filosofis yang tertinggal saat proses perpindahan tersebut.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for GHOST IN THE SHELL.

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.

THE DEVIL’S CANDY Review

“Art is the concrete representation of our most subtle feelings”

 

 

Jangan melukis makhluk hidup, nanti bisa jadi tempat tinggal setan. Pak Ustadz di surau dulu bilangnya gitu. Jangan keras-keras dengerin musik, apalagi yang teriak-teriak, gak enak di denger. Mama biasanya ngomel dari dapur kalo aku udah mulai nyetel Marilyn Manson di kamar. Dan biasanya Papa nimbrung nimpalin; Nyanyi kok kayak kesetanan! Musik, terutama rock, dan lukisan memang lumrah dipandang sebagai tindakan dunia hitam oleh kacamata reliji. But we all did them anyway, dasar manusia pendosa semua ahahaha. The Devil’s Candy bahkan ngepush image ‘negatif’ dari aliran seni tersebut lebih jauh lagi ke dalam pusaran yang membingungkan. Horor ini mencoba untuk lebih dekat dengan orangtua sebagai kaum yang paling menentang rock abis-abisan, sekaligus membawa dirinya menjadi suatu cerita tentang ketakukan terbesar setiap orangtua di dunia; mampukah kita melindungi anak-anak kita.

A struggling painter baru saja pindah ke rumah baru bersama istri dan putrinya yang udah beranjak remaja. Keluarga kecil yang akrab ini keliatan cool banget; Jesse tampilannya udah nyeni banget dengan rambut panjang, jenggot lebat, dan tatoan. Anaknya, Zooey, juga kompakan demen musik rock, dia pengen punya gitar Flying V Gibson dan menutup setiap gambar beruang teddy pada wallpaper kamar barunya dengan poster Metallica, Pantera, dan  other rock bands sangar. Keliatan paling ‘normal’ adalah Astrid, istri Jesse, yang dari matanya terpancar cinta dan dukungan penuh buat keluarga. Diawali dengan mendengar bisikan aneh, Jesse mulai ‘ngaco’. Lukisannya pun berubah drastis. Dari yang tadinya indah bergambar kupu-kupu, lukisan Jesse kini menampilkan wajah anak-anak yang sedang menjerit berlatar belakang api dan makhluk aneh. Jesse enggak tau apa yang terjadi, dia lupa waktu setiap kali masuk ke studio lukisnya. Dan sementara itu semua terjadi, di luar rumah mereka berkeliaran seorang ‘gila’ yang membunuhi penduduk dengan batu.

Proses kreatif berkembang dari pengalaman sehari-hari. Apa yang kita rasakan, yang kita alami, bakal menjadi inspirasi suatu perbuatan seni yang kita lakukan. Makanya ada yang bilang kalo arts imitate life. Yang kita buat secara jujur pasti merefleksikan our inner self, baik itu sadar atau enggak. Dalam film ini kita melihat Jesse tanpa sadar melukis hal-hal mengerikan – termasuk lukisan Zooey dalam keadaan bahaya – yang mungkin saja adalah pengaruh dari ‘kekuatan tidak tampak’ yang mengendalikan dirinya. Namun ini semua dapat diintegralkan dengan bawah sadar Jesse, bahwa mungkin saja lukisan tersebut adalah tindak bawah-sadar yang mencerminkan perjuangan Jesse untuk menjembatani antara imajinasi dengan tanggung jawabnya sebagai ayah. Antara obsesi dan passion, Jesse berada di tengah-tengah posesi.

 

 

Pernahkah kalian ngerasa begitu sukanya sama sesuatu, sampai-sampai kalian enggak sabar untuk nyeritain ke teman atau siapapun karena kalian hanya ingin membagi hal yang sudah bikin kalian sangat excited? Itulah yang aku rasakan saat nonton film ini. Baru mulai lima-belasan menit aja aku udah menggelinjang pengen segera ngereview. Tahun lalu kita dapet The Invitation, dan tahun ini scene indie kembali mempersembahkan kepada kita semua tontonan horor yang luar biasa lewat The Devil’s Candy.

Adegan pembuka film ini akan membuat kita terpaku, dan yang bertanggungjawab untuk hal tersebut adalah orang ini: Pruitt Taylor Vince. Aktor yang fantastis meski memang sepertinya dia selalu dapet peran-peran ‘psychotic’ kayak gini. Aku sangat tertarik melihat karakternya, dia memainkan gitar listrik sekeras-kerasnya demi menenggelamkan suara bisikan setan. This is very conflicted, serius, dia membuat musik rock sebagai semacam pertahanan untuk berlindung di balik setan yang terkutuk, padahal aku taunya rock justru mengundang setan. Tokoh yang dimainkan Pruitt adalah orang yang amat sangat gila, keberadaannya sendiri sudah sukses berat bikin seantero film jadi unsettling. Ngeliat dia ngunyah permen di dalam mobilnya aja udah cukup buat kita meringis dan nebak bakal ada darah tak-berdosa yang tumpah.

Kita bakal bergidik ngeri, deh, setiap kali dia berjalan masuk ke layar.

 

Tentu saja kerja editing yang sangat excellent turut andil dalam menghadirkan sensasi kengerian tiada tara tersebut. Sutradara Sean Byrne punya cara ngecut adegan-adegan dan menjalinnya kembali sehingga tercipta efek kebingungan, kealpaan, yang turut serta kita rasakan. Kita jadi mengerti perasaan heran Jesse ketika sadar hari mendadak sudah malam. Quick cut antara momen Jesse melukis dengan momen si gila yang melakukan ‘kerjaan’nya di tempat lain adalah momen favoritku di film ini. Adegan-adegan film tersusun menguarkan kesan kesurupan yang kuat. Sinematografinya pun kompeten dan tampak dangerously beautiful. Pencahayaan yang really creepy; perhatikan adegan siluet Jesse dan istrinya kebingungan di depan lukisan mengerikan buatan Jesse; pemandangan adegan yang cantik namun hiiii!!! Posisi para tokoh, entah itu mereka ada di depan maupun berdiri sebagai background, sangat diperhatikan, bukan hanya bermakna namun juga menghasilkan imagery yang bakalan jadi bahan bakar mimpi buruk kita. Tentu saja ada kekerasan dan darah, film ini menunjukkannya dengan waktu yang sangat precise, long dan close enough buat kita menyipitkan mata dan berteriak panjang.

Untuk menjadi horor yang baik, tidak perlu melulu soal hantu, monster, ataupun alien. Sean Byrne paham bahwa beberapa film horor terbaik justru adalah cerita yang menfokuskan kepada PENGGALIAN TRAUMA PSIKOLOGIS dari karakternya. Trauma yang sangat mendasar dari manusia diambil untuk kemudian diperkuat dengan elemen-elemen mengerikan. The Devil’s Candy, pada permukaannya, adalah tentang setan yang membisiki manusia, menyuruhnya melakukan hal-hal mengerikan. Tentang ‘rumah hantu’ di mana pernah terjadi suatu tragedi dan sekarang penghuninya melukis wajah-wajah mengerikan dan dia tidak tahu kenapa. Pada saat bersamaan, ini juga adalah sebuah cerita dengan banyak drama keluarga. Jesse yang ‘kesurupan’ menjadi lupa daratan, sibuk dengan lukisannya, sehingga dia melupakan tanggungjawabnya sebagai seorang ayah. Membuat anak dan istrinya merasa teracuhkan.

Ketika kita melihatnya seperti demikian, The Devil’s Candy terasa mirip dengan horor klasik dari Stanley Kubrick, The Shining (1980). Sebagian besar durasi film tersebut dihabiskan buat mengeksplorasi psikologis tokohnya Jack Nicholson yang begitu fokus kerja, lalu ultimately horor dimulai ketika dia mengambil kapak dan memburu anak dan istrinya. Jesse, dalam kasus film indie ini, adalah pelukis yang terlalu sibuk dengan pekerjaannya, kemudian ada kekuatan tak-kasat mata yang membuat Jesse hilang kendali dan melupakan keluarganya. Kedua film sama-sama tentang ayah yang tanpa sadar neglecting keluarga. Namun, keduanya diceritakan lewat cara yang berbeda, dengan perspektif yang juga berbeda. So I’m fine with it, lagipula memang beginilah seharusnya formula film horor yang baik.

Hal paling menyeramkan dari film horor tidak semestinya berupa sosok hantu pucat, monster berdarah-darah, ataupun makhluk-makhluk aneh lainnya. Takut bukanlah fakta, melainkan perasaan. Dan perasaan ketika ada sesuatu yang mengendalikan kita sampai-sampai membuat kita melupakan keluarga dan orang-orang tersayang, adalah perasaan yang genuinely menakutkan dan kita semua bisa relate kepada perasaan tersebut.

 

Ethan Embry juga sepantasnya dapat tepuk tangan yang bergemuruh. He’s really sold the third act. Dia kelihatan sangat agresif ketika memainkan Jesse yang melukis dengan ‘berapi-api’ dan gak sadar keadaan sekitar. Ada momen ketika film ini menjadikannya simbol due to his appearance. Pendekatan yang Ethan lakukan begitu Jesse mulai terpengaruh oleh ‘bisikan’, kadang dia melukis hanya mengenakan celana dalam, sungguh-sungguh menakutkan. Dan dia mampu memainkan kontrasnya peran ketika Jesse harus duduk, dengan gentle, meminta maaf kepada Zooey saat dia terlambat menjemput ke sekolah.

heeeeeeeree’s Jesse!

 

 

Berhubung ini adalah film independen, maka kita bisa lihat sendiri film ini enggak punya budget yang gede-gede amat. Namun sebisa mungkin film ini membuat adegan yang terbaik. Sepuluh menit terakhir, set ‘pertempuran final’ yang mana mereka ingin membuatnya terlihat seperti neraka, I guess, sebenarnya terlihat sedikit menggelikan, bisa jadi cover album rock band tuh haha.. Tapi ini adalah jenis menggelikan yang bisa kita apresiasi dan hormati. Kayak konyolnya serial Twin Peaks lah. Aku juga merasa film ini, delapan-puluh-menitan itu bukan terlalu singkat, tapi mungkin bisa ditambah lima belas atau dua puluh menit lagi buat pembangunan karakter keluarga Jesse. Tokoh Zooey dan Astrid sebenarnya cukup menarik, diperankan dengan lebih dari oke respectively oleh young-and -promising Kiara Glasco dan Shiri Appleby yang mukanya ngademin. Aku bersorak keras saat Zooey dengan kreatif-di bawah-tekanan nunjukin trik melarikan diri nyaingin Houdini. Hanya saja memang mereka butuh diberikan sedikit bobot lagi sehingga kita bisa bener-bener ngerasain ketika keadaan berubah menjadi malapetaka bagi mereka.

 

 

 

Horor yang benar-benar ngena ke sisi psikologis manusia adalah horor yang baik. Film ini mengerti hal tersebut, dan dengan iramanya sendiri yang cepet dan keras berhasil menjalin merahnya cat, darah, dan api sehingga menghasilkan sebuah tontonan yang absolutely terrifying. Diisi dengan penampilan yang semuanya fantastis. Arahan dan editing yang juga sama kuatnya. Film ini layaknya karya seni yang berasal dari neraka personal seorang ayah yang struggling dengan pekerjaannya, dia bahkan enggak yakin apa yang mengendalikannya.
The Palace of Wisdom gives 7.5 gold stars out of 10 for THE DEVIL’S CANDY.

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

20TH CENTURY WOMEN Review

“Be the role model you needed when you were younger”

 

 

Sebenarnya bukan gagasan tok yang membuat suatu cerita, suatu film, terasa spesial. Jika kita menilai film berdasarkan konsep abstrak yang jadi idenya saja, maka film kayak Resident Evil: The Final Chapter (2017) bisa jadi film yang bagus – lewat Alice film ini bicara tentang manusia harus come in terms soal kenapa dirinya diciptakan – Tetapi kan enggak, nyatanya Resident Evil adalah salah satu film terburuk 2017 sejauh ini. Tentu saja, kita butuh perspektif yang kuat dalam bercerita. Dan film adalah salah satu bentuk penceritaan. Mengutip kata-kata Roger Ebert, yang terpenting dalam bagi sebuah film adalah bukan tentang apa, melainkan bagaimana film tersebut menceritakan hal yang dijadikan gagasan. Bagaimana konteks yang membangun film tersebut tersusun. Dan 20th Century Women adalah FILM YANG BEGITU KAYA OLEH PERSPEKTIF.

Bayangkan sebuah segitiga spektrum seperti yang sering kita lihat di buku IPA yang membahas pembiasan optik; gagasan dan sudut pandang sutradara Mike Mills, tentang pengalaman ibunya yang membesarkan anak seorang diri adalah cahaya putih yang dimasukkan ke dalam film – yang bertindak sebagai segitiga – dan sebagai outputnya, satu ‘cahaya’ tersebut terpendar ke dalam perspektif-perspektif unik (but real) para tokoh film, dan cahaya-cahaya sudut pandang itulah yang membuat 20th Century Women sangat mencolok dan kaya.

 

Dorothea sudah kepala empat ketika melahirkan putra tunggalnya, Jamie. Suaminya telah tiada, Dorothea membesarkan Jamie seorang diri di bawah naungan atap rumah yang beberapa kamarnya beliau sewakan. Hidup mereka ramah, hangat, akrab. Namun 1979 datang, ini adalah kala di mana terjadi perubahan besar di Santa Barbara. Reagan ancang-ancang memulai rezim menggantikan Carter. Remaja mulai kenal rokok dan musik Punk. Jamie sudah 15 tahun sementara Dorothea pun tidak bisa untuk bertambah lebih muda. Serta merta lingkungan mulai memberikan pengaruh kepada ibu dan anak tersebut. Khawatir tidak bisa ‘menyentuh’ seluruh sisi kehidupan Jamie, Dorothie lantas meminta tolong kepada kedua penghuni kosnya; mahasiswi lulusan kesenian Abbie dan hippie tukang furnitur William, juga kepada cewek sahabat Jamie dari kecil, Julie, untuk membantunya dalam ‘membesarkan’ Jamie, membantu remaja ini melewati fase hidup yang complicated.

Anak-anak, jangan main Pass Out Challenge di rumah. Dan di sekolah. Dan di mana saja.

 

 

Dialog, dialog, dan dialog. Ada sih, intermezo kayak mobil terbakar, orang pukul-pukulan, mobil ngebut, tapi highlight film ini adalah saat para tokoh berbincang-bincang. Jamie ngobrol sama Julie. Abbie curhat ke Dorothea. Jamie berantem sama Dorothea. Ini adalah jenis film yang akan membuat kita ingin menekan tombol pause setiap beberapa menit sekali, dan nyatetin setiap percakapan yang muncul di antara mereka. Beberapa terdengar witty, seperti kalimat yang diucapkan Dorothea, yang kurang lebih kalo kita mencet tombol subtitle akan menjadi; “Mempertanyakan apakah kita bahagia sesungguhnya adalah jalan pintas yang bagus menuju depresi”. Tak jarang memang seluruh percakapan mereka terasa lucu. Ketika Jamie menjawab pertanyaan ibunya mengenai sebab dia berkelahi di taman, misalnya. The whole situation was just awkward. Film ini benar-benar menangkap kontrasnya dua generasi, dua sudut pandang. Film akan mendudukkan dua hal berbeda tersebut, dan mereka akan ngobrol tentangnya, saling mengeluarkan pendapat, sementara kita akan turut berada di sana; tidak pernah sebagai hakim, hanya sebagai saksi yang melihat struggle manusia untuk bisa saling mengerti dan mengisi, usaha untuk mengekspresikan diri, saling menjaga, meski terkadang memang cinta itu menimbulkan luka.

Komunikasi di antara para tokoh penuh oleh sudut pandang, unik, dan menginspirasi. Terutama adalah mereka tetap terasa nyata. Mengangkat begitu banyak perspektif lewat dialog sama gampangnya dengan balapan sama mobil dengan naik skateboard. Karakter-karakter dengan pandangan ‘beda’ tersebut bisa dengan mudah jatoh ke dalam kategori annoying dan sok-ngerasa-paling-bener. Tapi di sini enggak. Jamie, Dorothea, Julie, Abbie, William, semuanya kerasa real dan akrab. Aneh, iya, tapi kita ingin mengerti mereka. Cara film memperkenalkan mereka lewat voice-over narration dan tulisan di layar yang mencakup bahkan tahun lahir mereka, sangat membantu sehingga kita bisa melihat ‘darimana mereka berasal’. Membantu kita memahami konsep dan konteks para tokoh, gagasan dan perspektif mereka. Aku jadi pengen masuk ke layar dan menarik kursi, duduk ngobrol di meja makan bareng mereka. Aku ingin ikut si Julie manjat masuk ke dalam kamar Jamie, dan berbaring di sana, ngomongin soal kehidupan sambil menengadah menatap langit-langit yang berlumut. Aku ingin ikutan nari bareng Abbie kemudian membantu dia menjepret barangnya sehari-hari, all of that while we’re talking heart-to-heart.

Itu semua berkat penampilan akting yang begitu luar biasa. Mike Mills dan tim penulisnya membangun pondasi penokohan yang excellent, dan para aktor memanfaatkan dengan fantastis ruang yang diberikan buat menghidupkan peran-peran yang dewasa lagi berbeda tersebut. Lucas Jade Zumaan berada di tengah-tengah lingkungan yang confusing; sebagai Jamie dia berusaha ngertiin ibunya yang ngerasa diri sudah terlalu jauh ‘di depan’ she can’t go back entirely, dia berusaha memahami sobatnya, also a possible love interest, yang hanya mau mereka sebagai teman, dia berusaha ada di sana buat Abbie (Greta Gerwig is really great membuat kita pengen punya ‘big sis’ kayak dia) yang didaulat enggak bisa punya anak karena rahimnya ‘enggak kompeten’. Dan Lucas pulls it all off; ketika dia berkata dia ingin menjadi pria baik kita tahu bahwa dia bersungguh-sungguh mengatakannya.

Setelah penampilan fenomenalnya mencuri perhatian di Live by Night (2017), Elle Fanning kembali tampil mempesona sebagai cewek remaja yang enggak-bahagia yang menyebut dirinya sebagai ‘self-destruct’. Perannya adalah yang paling kompleks. Melihatnya ‘diusir’ enggak boleh lagi ke kamar Jamie jika hanya mau numpang tidur adalah salah satu momen yang bikin kita meringis karena ada begitu banyak emosi bentrok di sana dari kedua belah pihak. Tahun ini bisa jadi adalah tahun emas buat Elle, karena betapa piawai pendekatannya memainkan sosok yang berbeda; kita udah melihat dia di dua film, and yet we also don’t see her in those two.

elu friendzonin anak gue yeee

 

Pun begitu, ujung tombak film ini adalah Annete Bening yang glorious sekali memainkan Dorothea. Apa yang karakternya alami, integral banget dengan isi pidato presiden James Carter; Crisis of Confidence. Ibu ini mencemaskan seiring waktu dia bakal kehilangan purpose sebagai ibu Jamie. Hidupnya pun akan menjadi meaningless. Dorothea tumbuh saat perang dunia berlangsung, dia belajar militer, dan by the time dia selesai perang juga sudah usai. Menyenangkan, dan terkadang heartwrenching, melihat Dorothea berusaha tampil sebagai ibu yang asik, you know, ada adegan dia dipanggil ke sekolah Jamie lantaran kasus pemalsuan tanda tangan, dan dia malah memuji keterampilan anaknya alih-alih memarahi. Atau ketika dia enggak ngerti musik punk bagusnya di mana, dan kemudian dia diam-diam mencoba menari ngikutin irama ketika anaknya enggak ada di rumah. Ini adalah karakter bebas yang punya aturan sendiri; Dorothea ngerokok dengan alasan pada jamannya rokok adalah mode dan itu bukan berarti dia setuju ngeliat cewek remaja kayak Julie ngerokok. Bening’s portrayal terhadap tokoh ini membuat kita menyadari rumitnya peran seorang ibu.

Ada sense of kehilangan dalam film ini. I mean, ada rasa di mana ada sesuatu yang sudah terlewat dan enggak bisa kembali lagi. Ini adalah cerita tentang menyongsong waktu; Jamie yang sudah akan dewasa. Dorothea yang sudah semakin menua. Pergantian jaman. Seperti yang digambarkan oleh film ini melalui adegan mobil dengan efek visual cahaya yang berpendar warna-warni; Hidup bergerak dengan cepat. Kadang yang kita punya hanya kenangan, dan kita harus memegangnya erat-erat. Karena suatu hari kita akan jadi role model, dan yang kita perlukan untuk itu adalah menjadi sosok yang kita butuhkan saat kita masih muda. Sebagaimana Jamie, dan to an extent, Mike Mills sendiri, memeluk kenangannya dan membagi cerita dengan kita.

 

 

20th Century Women adalah KENANGAN Jamie. Dan ini dipertegas oleh treatmen kamera dan narasi yang menggunakan teknik voice-over yang sebagian besar disuarakan oleh Jamie, di mana ia terdengar seperti mengenang semuanya. Kita melihat semua kejadian masalalu dari perspektif masakini Jamie. Kita juga dikasih tahu gimana nasib para tokoh di akhir cerita, yang mana menandakan film ini sebenarnya masih punya plot. Pun masih ada struktur narrative yang dipatuhi. Namun memang film ini tampil seperti terbagi menjadi beberapa sketsa kejadian. Kita enggak tahu persis apa yang bakal terjadi, semua kelihatan seolah terjadi random, just like real life. Just like a real memory. Kejadian-kejadiannya lebih seperti dibangun berdasarkan anekdot-anekdot lepas soal hubungan antara cewek dengan cowok, soal anak dan ibu, feminism dan maskulin, dan semacamnya, alih-alih terbuild-up menjadi sesuatu adegan gede. Tapinya lagi, hal tersebut enggak serta merta menjadi cela buat film ini. Ceritanya yang episodic menegaskan kepentingan bahwa hidup tidak terencana. Dan semuanya itu terintegral manis dengan, katakanlah ‘gimmick’, bahwa film ini adalah cerita tentang Jamie yang mengenang semua kejadian.

 

 

 

Ditulis dengan matang, film ini akan ngingetin kita betapa singkatnya waktu yang kita punya di dunia. Lebih kepada soal memilih suri teladan dalam hidup, film ini menegur kita untuk menghabiskan hidup dengan orang-orang yang kita cintai dan peduli kepada kita saja. Karena kalo ada yang tetep di dunia, maka itu adalah cinta. Penampilan akting pada film ini semuanya hebat, menghasilkan sebuah sajian penuh kata-kata yang tidak akan terasa sumpek oleh ceramah. Menonton film ini kita seakan dipelototi oleh beragam sudut pandang yang sangat menarik, eksentrik kalo boleh dibilang. Akan ada banyak quotes tentang pilihan hidup buat kita kutip, due to being philosophical, atau karena kocak. Hidup itu aneh. Kadang kita mengurus, dan tak tahu kapan ketika giliran kita yang diurus. Orang-orangnya ribet. Kita tidak akan tahu apa yang bakal terjadi. Film cantik ini memotret kenyataan tersebut lewat kehidupan sekelompok orang yang tinggal bersama, mesti bertengkar namun begitu eratnya sehingga menjadi kenangan yang indah.
The Palace of Wisdom gives 8 out of 10 gold stars for 20TH CENTURY WOMEN.

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 
We? We be the judge.

LIFE Review

“… the only form of life we have created so far is purely destructive.”

 

 

Jake Gyllenhaal di luar angkasa? C’mon gimana aku bisa bilang “tidak” kepada film ini!

Jadi ceritanya, Jake bersama Deadpool dan empat astronot lain harus stay di orbit buat mengawasi misi Mars Pilgrim 7; mencari sampel kehidupan di Planet Merah. Keenam kru harus menjemput dan memastikan spesimen organis dari planet Mars itu bisa nyampe Bumi dengan selamat, karena tentu saja itu merupakan penemuan yang sangat luar biasa. Dibawalah organisme tersebut ke stasiun luar angkasa mereka, diteliti, dirawat baik-baik. Enggak ada yang curiga dong, ketika alien imut tersebut mulai bergerak. Jake dan teman-teman malah girang, begitu juga orang-orang di Bumi. Si alien diberi nama Calvin. Namun, apa yang tadinya hanya satu sel dengan cepat berkembang menjadi susunan jaringan otot, otak, dan indera. Dan horor! Sekarang misi enam manusia itu berputar 180 derajat menjadi menjauhkan makhluk cerdas, highly adaptable, dan berbahaya ini dari Bumi, dan dari diri mereka sendiri.

Seperti kamera yang berkesinambungan ngesyut aktivitas di dalam stasiun luar angkasa pada sepuluhan menit pertama, film ini pun akan terus mendera kita dengan perasaan teror dan terkurung begitu Calvin mulai menjebol kotak penangkarannya. Discovery yang kita dapati adalah bahwa ternyata film ini enggak berniat membahas hal-hal filosofis. Ini bukan jenis film di mana Jake Gyllenhaal punya kembaran ataupun mimpi didatengin kelinci dan dia harus mencari tahu makna di balik semuanya. There’s really nothing beyond pembahasan bahwa di dunia ini kita enggak sendirian dan setiap makhluk hidup berhak atas yang namanya bertahan hidup. Life adalah HOROR SURVIVAL DI LUAR ANGKASA. Dengan kehadiran tropes standar, dirinya mungkin akan mengingkatkan kita sama Alien (1979) atau malah premisnya bikin teringat dengan game jadul Game Boy Advance; Metroid Fusion, film digarap dengan sangat capable dan punya perspektif penceritaan yang cukup berciri. I mean, kita enggak bisa ngeshoot down film ini “enggak original!” begitu saja. For once, gimana tokoh film ini ngetreat Calvin saja sudah membuatnya agak berbeda dengan survival horor kebanyakan.

“we’re not alone.. there’s more to this I know”

 

Pace yang lumayan cepet, namun tetep terasa contained. Setnya terlihat compelling dan memenjarakan, meskipun mungkin mata kita masih terbuai oleh menterengnya pesawat Passengers (2016). Kita akan menikmati perasaan terkungkung dan mencekam yang dialami oleh para tokoh. Aku enjoy ngeliat mereka main kucing-kucingan dengan Calvin yang bisa nyelip masuk ke mana-mana. In fact, ada banyak waktu ketika aku malahan ngecheer si alien yang kayak gabungan gurita dengan amuba tersebut. Karena dalam film ini, kita enggak benar-benar yakin mesti ngedukung tokoh yang mana.

Semenjak Alien memang terbit semacam tren di dalam genre survival horor bahwa semakin penonton enggak bisa menerka tokoh mana saja yang bakalan selamat, maka itu artinya film semakin sukses ngedeliver elemen aksi dan horornya. Life juga sukses bikin kita nerka-nerka siapa yang mati duluan, aku kecele juga karena tadinya kukira tokoh kulit hitam yang bakal mati duluan, malahan kayaknya di trailer aja dia udah game over hhihi, tapi enggak. Namun faktor enggak bisa nebak yang selamat ini tidaklah lantas dijadikan alasan untuk sengaja tidak mengembangkan para tokoh manusia. It would be suck buat ngeliat tokoh-tokoh hanya jadi korban gitu aja tanpa kita merasa kehilangan atas mereka. Film butuh supaya skripnya memegang satu karakter sebagai pondasi agar strukturnya bisa kuat. Dalam Life, kita bisa menyaksikan ada usaha untuk memberikan personality kepada para tokoh manusia.

Dari enam, ada tiga yang diberikan backstory. Well, ya lumayanlah dibanding kosong melompong. Yang paling menarik adalah ahli biologi Hugh Derry yang diperankan oleh Ariyon Bakare. Hugh yang kakinya cacat merasa lebih hidup di luar angkasa, dia enggak perlu pakai kursi roda di atas sini. Dan kemudian, sebagai orang yang bertanggung jawab langsung dalam mengurus Calvin, Hugh memberikan pandangan yang menarik ketika dia merasa bersalah atas apa yang sudah dilakukan oleh alien tersebut. At one point, Hugh tampaknya sudah terattach secara emosional kepada Calvin.

Sudah seperti orangtua dengan anaknya sendiri. Hugh ngerasa bertanggung jawab karena dia yang sudah memberikan kesempatan hidup buat Calvin. Eventually ini menjadi konflik moral yang sempet disinggung sekilas banget oleh film; seperti apakah tepatnya tanggungjawab tersebut, apakah dengan memberikan hidup maka kita juga yang bertugas untuk menghentikannya. Tidak seperti hape – setiap kali kita ngecharge, kita meniupkan kehidupan kepada baterainya, Calvin actually adalah makhluk hidup yang berhak untuk bertahan. Sayang memang film ini tidak menggali lebih jauh soal hubungan menarik yang terbentuk antara Hugh dengan Calvin.

 

Sesungguhnya ada orangtua beneran dalam ensemble ini, tokoh yang dimainkan oleh Hiroyuki Sanada adalah seorang yang baru saja menjadi bapak. Namun backstory personal ini tidak berkembang lebih jauh karena kelahiran putranya tersebut hanya digunakan sebagai pemantik emosi. Kesempatan besar juga dilewatkan dalam penanganan karakter Jake Gyllenhaal. Dia memerankan David, seorang dokter yang actually sudah berada di sana selama 473 hari, paling lama di antara rekan-rekannya. David begitu betah di luar angkasa, dia enggan balik ke Bumi, dan alasan di balik itu semua cukup menarik; dia enggak tahan melihat apa yang bisa kita lakukan terhadap sesama. Dokter ini sangat terpukul setelah apa yang ia saksikan saat dikirim ke medan peperangan. Sayangnya, motivasi dan traits personal David enggak pernah sekalipun dikaitkan sebagai lapisan cerita. Hanya dibahas begitu saja, dan tidak hingga di akhir backstorynya ini memberikan impact.
Selebihnya ya, mereka cuma ada di sana, dengan peran minimal masing-masing. Ryan Reynolds di sini hanyalah seorang astronot realis yang keren penuh komentar lucu. PENGARAKTERAN YANG TIPIS BANGET. Kharisma dan kemampuan para aktor yang membuat film ini watchable.

Atau mungkin, kita beneran betah duduk lantaran ingin melihat gimana aktor-aktor tersebut menemui ajal. Bukan bermaksud sadis, tapi memang film ini mendadak menjadi KREATIF SAAT PARA TOKOH MENEMUI AJAL. Cara matinya, gimana mereka ngesyut adegan mati tersebut, lumayan unik. Lagian, kita juga enggak bisa jadi lebih peduli lagi sama mereka. So much for survival thing, kita malah dibuat penasaran pada apa yang bisa dilakukan oleh Calvin. Meskipun disebutkan sebagai makhluk karbon seperti manusia, sepanjang film kita akan melihat alien ini ngelakuin hal luar biasa, dia tahan api, dia bisa mencerna tikus dengan cepat bulat-bulat, dia bisa ‘tahan napas’ di outer space. Kontras banget sama tokoh manusia yang kerap mengambil keputusan-keputusan yang bego. Pada satu sekuen Calvin meloloskan diri, ada seorang tokoh yang terus mengambil tindakan yang bakal bikin kita jerit-jerit stress. Satu sekuen loh itu bayangkan, apa yang mau didukung dari karakter manusianya coba! Orang-orang pintar ini kayak pada berlomba nyari cara paling bloon buat mati.

“dumb ways to die, so many dumb ways to die”

 

Soal twist endingnya, aku enggak tahu, it did feels like they want to push it into a sequel tapi aku enggak yakin. Apakah endingnya resolving a plot? Aku enggak mau spoiler banyak, tapi in a way, iya, ada tokoh yang plotnya, istilahnya, ‘kebales’. Apakah ending ini stupid? Jawabannya iya juga, wakwaw banget, kerasa film ini dibuat ya cuma supaya mereka bisa seru-seruan dengan bagian akhir ini. Kayak saat pitching mereka bilang gini “gimana kalo kita bikin film alien seru kayak Alien, tapi endingnya dibikin mirip-mirip Gravity, gini nih sini deh aku bisikin…” dan voila, film ini lantas diperjuangkan untuk hidup supaya adegan surprise ini terlaksana. Apakah endingnya ini worked? Iya juga, ini bekerja sebagai paradoks tentang kehancuran manusia akan datang sebagai akibat dari apa yang kita hidupkan.

Hidup adalah proses. Bukan hanya pengciptaan, melainkan juga kehancuran. Pada akhirnya ini adalah soal siapa yang memiliki naluri bertahan yang paling kuat. Siapa yang rela menghancurkan demi kelangsungan. Apakah manusia akan punah jika suatu saat ada spesies yang lebih ‘canggih’ sekaligus lebih ‘primal’ seperti Calvin? Atau sebaliknya, apakah kehancuran adalah satu-satunya bentuk kehidupan yang bisa kita ‘hidupkan’?

 

 

 
Film ini mengembalikan kita kepada citarasa alien tradisional setelah kedatangan Arrival (2016) yang begitu berbeda. It is a fast-paced, confined-space survival horror yang tau persis apa yang ia lakukan. Tone dan arahannya ketat menghasilkan petualangan hidup-mati yang mendebarkan. Namun tidak banyak yang terkandung di dalamnya. Enggak kosong total sih; setengah berisi, dan film ini pun tidak ingin disibukkan dengan mengisi sampai penuh. Dia malah kelihatan lemah saat berusaha menjadi sedikit berbobot. Ditambah dengan banyaknya bad decisions yang dilakukan oleh para tokoh, film ini tampaknya justru hidup dengan membiarkan mereka mati.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for LIFE.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 
We? We be the judge.

BEAUTY AND THE BEAST Review

“Sometimes, if you truly love somebody, you have to let them go their own way. And if it’s true love, it will find it’s way back to you.”

 

 

Buatku, menyongsong film Beauty and the Beast ke bioskop ini rasanya seperti menjemput kembali seorang teman lama. Bersama Petualangan Menuju Pusat Bumi karya Jules Verne, cerita bergambar Beauty and the Beast adalah buku cerita pertama yang aku punya. Aku bahkan dapat dua buku itu sebelum aku bisa membaca. Aku masih ingat tampang kesel orangtuaku setiap kali aku minta bacain ulang ceritanya, setiap hari. Jadi terkadang aku cuma melototin gambar-gambarnya. Scene Beast berantem ama serigala, Beast diobatin oleh Belle, Beast kena panah Gaston, cerita dongeng ini strike the little me sebagai pengantar tidur yang magical. Dan setelah bertahun-tahun kemudian, aku duduk, sekali lagi diceritakan – kali ini oleh gambar-gambar manusia yang bergerak — tentang kisah yang sudah familiar, hanya saja sekarang aku sudah bisa ‘membaca sendiri’. Actually, sekarang aku menontonnya sembari mengeksaminasi ceritanya. It’s like being jugemental to an old friend. Dan aku sangat puas, karena teman lamaku ini tidak banyak berubah.

Film ini pretty much MENGIKUTI FORMULA CERITA ORIGINALNYA nyaris pada setiap aspek. Dari adegan ke adegan. Lokasi ceritanya sama, kejadian demi kejadian pun sama. Sebuah istana kerajaan yang dapet hadiah kutukan berkat ulah selfish dan kasar dari si pangeran. Seluruh penghuni istana itu sekarang menjadi benda-benda kayak jam, cangkir teh, lemari, dan candlestick. Kemudian ada si Belle, cewek kutu buku yang harus tinggal di dalam istana tersebut. Belle ‘dikurung’ di sana lantaran para penghuninya ingin Belle bisa jatuh cinta kepada si pangeran yang kini berbulu dan bertanduk dan bertaring. Dengan harapan kutukan terhadap mereka bisa hilang. Hanya ada beberapa adegan baru yang diselipin yang enggak kita temukan pada versi animasi klasiknya. Mereka menambah sedikit elemen baru, mengupdate beberapa sehingga lebih sesuai dengan modern day. Namun secara keseluruhan, ini adalah film yang sama dengan versi animasi tahun 1991, bedanya kali ini diceritakan dalam format live action. Yang mana semuanya terlihat sangat good-looking.

“after all, this is France”

 

Tapinya lagi, keterlalusamaan tersebut bukanlah tergolong cela. Maksudku, kalo enggak ada yang udah rusak, kenapa mesti diperbaiki, ya gak sih. Beauty and the Beast yang sendirinya adalah adaptasi dari kisah rakyat Perancis adalah memang cerita yang udah bagus dan indah. Bukan tanpa ada alasan loh animasi klasik Disney tersebut jadi film animasi pertama yang sukses nembusin diri berkompetisi di nominasi Best Picture Academy Awards. Aku senang (dan honestly, lega) film ini enggak sok-nekat dan mengubah formula gila-gilaan. Beauty and the Beast 2017 adalah FILM JELITA YANG BIKIN BAHAGIA setiap mata yang melihatnya.

Lagu-lagu yang sudah begitu dicintai are still there in the film. Emma Watson dan Dan Stevens, malahan seluruh pemain melakukan kerja yang sangat baik dalam menampilkan musical numbers mereka. Musik film ini begitu asik untuk didendang. Ada beberapa tambahan lagu juga, namun enggak kerasa jomplang dengan lagu klasik, karena film ini actually menghadirkan komposer dari film original untuk nanganin departemen musik dan lagu.

Lagu Evermore yang dinyanyikan oleh Beast dalam film ini bener-bener hits me hard. Tidak lagi aku melihat cerita ini sebagai “kita enggak boleh ngejek orang jelek, nanti kita jadi jelek juga” kayak yang dinasehatin mamaku setiap kali beliau selesai bacain bukunya. Beauty and the Beast juga adalah cerita tentang unrecruited love; tentang berkorban demi sesuatu yang kita cintai. Beast belajar memenjarakan Belle tidak akan menumbuhkan cinta, dia perlu untuk membiarkannya pergi. Karena letting people go so they can be happy adalah salah satu bentuk paling nyata dari cinta sejati.

 

Seluruh pesona magis dari film originalnya berhasil ditangkap dengan sangat permai. Musik, production design, dan penampilan para pemain terasa fantastis. Bill Condon dalam film ini membuktikan bahwa Twilight Breaking Dawn bukanlah salah arahannya hahaha. Di bawah penanganannya, Beauty and the Best tampil dengan kostum cantik dan set yang glamor. Semuanya stunning banget. Tentu saja ada banyak penggunaan CGI dalam film ini, dan dilakukan dengan begitu terinkorporasi ke dalam elemen live-action sehingga semuanya tampak mulus. Tokoh-tokoh benda anthropomorphic digambarkan, tidak dengan imut, tetapi lebih kepada agak-menyeramkan karena film ingin menekankan kepada tema lihat-lebih-jauh-dari-sekedar-tampang-di-luar. Motion capturenya juga bekerja dengan fluid dan sangat baik. Aku suka pembawaan Dan Stevens sebagai Beast. Dia tampak sangat simpatis, namun pada saat yang sama kita enggak benar-benar kasihan padanya hanya karena dia sudah dikutuk.

Tokoh manusia juga terasa sangat hidup. Desa kecil mereka tampak vibrant sekali ketika Belle berkeliling, nyanyi bareng penduduk. Emma Watson sebagai Belle yang mandiri, strong, independen, tapi matanya kelihatan merindukan sesuatu – always long for more terlihat sangat comfort memainkan perannya. Meski begitu, Emma tampak sedikit terlalu pintar buat menyampaikan efek terperangah ketika melihat sesuatu yang ajaib. Cerita sepertinya memang meniatkan buat Belle tampak lebih nyaman berada di istana dibandingkan di kampungnya yang penuh prasangka terhadap persona yang berbeda, but it just sometimes kita ngarepin ada sedikit lebih banyak lagi emosi terkuar dari ekspresi Belle. Salah satu delivery Emma yang aku suka adalah ketika ngeliat tampangnya saat dibawa masuk oleh Beast ke dalam perpustakaan istana. Gaston, however, adalah tokoh yang sangat sempurna dibawakan oleh Luke Evans. Entertaining, deh. Si narsis ini napsu banget ngejar Belle, tapi Belle just want nothing to do with him. Dan dia enggak segan-segan ngebully hanya untuk memperkuat poinnya.

Jika kalian udah pernah nonton atau baca animasinya originalnya (aduh, masa ada yang belum sih?), kalian akan tau ada sedikit dark message dari cerita Beauty and the Beast. Bahwa benih cinta Belle dan Beast tumbuh dari perasaan mutual seseorang yang dikucilkan. Belle dikata-katain karena suka baca buku, ayah Belle dianggap gila karena sedikit eksentrik. Penduduk desa instantly ingin membunuh Beast setelah melihat wujudnya. Lewat Gaston, film ini mendemonstrasikan kecenderungan masyarakat untuk lebih ‘menghargai’ pembully selama mereka punya karakteristik yang sama dengan society.

 

 

Salah satu dari sedikit elemen yang dibengkokkan oleh film ini adalah gimana hubungan Belle dan Beast terbentuk. Dua tokoh sentral ini diberikan backstory yang baru. Kita melihat sejarah keluarga Belle lebih jauh dalam sekuen adegan yang aku sebut dengan sekuen Buku-adalah-Jendela-Dunia. Hahaha, beneran, aku suka gimana film ini RESPEK BANGET SAMA BUKU. Jaman sekarang buku udah mulai ditinggalin, majalah aja banyak yang pindah ke online, aku harap setelah nonton Beauty and the Beast, penonton muda jadi penasaran pengen ngerasain gimana rasanya bertualang bersama buku. Dalam film ini, Beast dikutuk saat dia udah gede dan ketika dia suda menjadi monster, dia masih bersikap sama dengan ketika dirinya masih manusia. Dia cerdas. Dan dia juga suka baca buku. Belle dan Beast berbagi saling kecintaan mereka terhadap buku, saling berbagi pengetahuan, bertukar pikiran, mereka tidak tumbuh jatuh cinta karena Belle kasian dan ngajarin Beast banyak hal kayak di versi 1991. Dalam film ini hubungan mereka terasa lebih mutual dan lebih grounded. Adegan Belle bilang dia suka Shakespeare dan Beast pasang tampang “lu mainstream banget sih, buku lain banyak kali” adalah salah satu adegan termanis buatku.

Begini jualah tampangku ketika pertama kali tahu dan diajak masuk ke toko buku Kinokuniya

 

 

Film ini juga mutusin buat ngetweak certain character. Ada portrayal yang bakal bikin orangtua merasa awkward udah ngebawa anak-anak nonton film ini. Peran tersebut ‘disamarkan’ dengan baik sebagai comic relief, meski saga nya actually berjalan beriring dengan tema unrecruited love yang jadi salah satu bahasan utama film ini. Disney udah ngambil keputusan yang berani buat masukin elemen tertarik-kepada-sesama-jenis ke dalam film buat keluarga. Kita boleh saja bersikap open-minded, namun kita juga gak bisa nyalahin kalo ada yang sampe ngelarang film ini tayang di negara mereka. Ataupun kalo ada orangtua yang enggak suka. Ini adalah masalah yang bisa dimaklumi meski padahal sebenarnya sejak dulu Beauty and the Beast selalu jadi korban becandaan soal bestiality.

 

 

 

Film ini menambah daftar keberhasilan Disney dalam mengadaptasi animasinya ke dalam live action setelah Cinderella (2015), The Jungle Book (2016), dan Pete’s Dragon (2016). I was very happy with what I got. Jejeran castnya really on-point. Ini adalah film yang cantik, menawan kita kayak Beast menawan Belle, fantasi yang ajaib, cerita cinta yang manis dan mengharukan. Punya inklinasi yang jauh lebih dalem dari sekedar “buruk di luar belum tentu buruk di dalam”. Namun buat yang ngarepin tontonan yang lebih original dan yang benar-benar berbeda dari versi sebelumnya mungkin bakal kecewa karena urgensi magisnya memang jadi berkurang.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for BEAUTY AND THE BEAST.

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

BID’AH CINTA Review

”The reason many people in our society are miserable, sick, and highly stressed is because of an unhealthy attachment to things they have no control over.”

 

 

Pembaruan itu perlu. Terkadang kita melakukannya supaya memudahkan persoalan, tangga batu diganti jadi eskalator misalnya. Rumah yang dindingnya mengelupas, yang atapnya bocor, perlu diperbarui. Tapi itu konsepnya adalah memperbaiki yang rusak. Bagaimana dengan yang masih baik? Perlukah dilakukan inovasi? Perlukah film atau karya diremajakan (ehm.. ehmm.. remake) meski padahal dirinya sendiri sudah terbukti tak-lekang oleh waktu? Dan dalam konteks agama Islam, yang seharusnya kita yakini sebagai agama yang sempurna, apakah kita benar-benar perlu menambah ataupun mengurangi beberapa hal sehingga ibadah kita bisa ngikutin perkembangan jaman?

Masalah bid’ah adalah concern utama yang diangkat oleh film Bid’ah Cinta. Pertanyaan-pertanyaan tersebut dilempar oleh narasi film, dan kitalah yang bertugas untuk menangkap dan menimbang sendiri jawabannya. Dalam film ini kita akan ditempatkan pada sebuah kampung yang mayoritas Islam. Hanya saja mereka terbelah menjadi dua kubu; aku enggak tahu istilah benernya, tapi katakanlah di kampung itu ada Islam Modern dengan ajaran-ajaran yang lebih fleksibel, dan Islam Tradisional yang melarang bentuk perayaan diadakan di Masjid. Lingkungan yang semula damai berubah menjadi sinis-sinisan sejak golongan Islam Tradisional ‘menduduki’ Masjid. Ada sikut-sikutan kecil, pengikut ajaran satu pindah ke ajaran yang lain. Tuduhan dan prasangka mulai bermunculan. Ajaran mana yang paling kuat imannya? Ajaran mana yang ngasilin pengikut bermental teroris?

abangmu inget gak sih waktu kecil justu dialah yang meneror Warkop dengan kodok?

 

Dengan anggunnya DRAMA GARISMIRING KOMEDI SATIR INI MENGAMBIL PERSPEKTIF DI TENGAH, sehingga kita dengan aman bisa mengobservasi kedua belah pihak (jangan lupa ngaca!). Film ini memastikan kita dapat menangkap semua permasalahan yang timbul dari pengkubuan. Kita bisa melihat bahwa sejatinya tidak ada satu yang lebih benar dari yang lain, bahwa sesungguhnya kita butuh untuk menyatu. Jika ada yang bisa kita tunjuk ‘kalah’ dari argumen-argumen mereka, maka itu adalah pihak yang mengeraskan suaranya terlebih dahulu. Out of insecurity. Pertengkaran mereka tidak pernah menghasilkan apa-apa. Mereka sama-sama tidak punya jawaban. Mereka gak bisa mutusin pahala-dosa sama halnya dengan mereka gayakin terhadap jalan tengah yang diambil. Namun film ini juga bikin kita bisa paham betapa peliknya masalah jika sudah menyangkut keyakinan, dan – pada level tertentu – kebanggaan terhadap apa yang kita percaya. Rasa bertanggung jawab untuk memeliharanya. Film ini actually memberikan banyak hal untuk kita pikirkan, terutama ketika sampai di babak kedua.

Bahwa terkadang hal terbaik yang bisa kita lakukan adalah mengerjakan yang benar, alih-alih yang gampang, buat diri kita sendiri.

 

Kampung mereka vibrant oleh aktifitas dan tokoh-tokoh yang saling berinteraksi. Sangat menarik untuk ngikutin cerita hanya untuk melihat bagaimana kesemua tokoh ini ‘amprokan’ pada akhirnya. Ada subplot tentang preman yang actually jadi belajar agama. Sesungguhnya memang perjalanan kedua preman ini terasa lebih menarik sampai-sampai aku sempat khawatir kalo mereka hanya berakhir sebagai ‘alat perang’ semata, you know. Aku kesel banget kalolah ternyata entar mereka jadi teroris atau semacamnya. Juga ada subplot seorang waria yang dipertanyakan identitasnya; apakah dia sholat di barisan depan bareng cowok-cowok? Ataukah dia bisa di belakang bersama wanita? Apa dasar kita memutuskan keputusan pilihan tersebut? Dan adegan ketika sholat si Sandra ini diinterupsi oleh pengurus mesjid, daaang, aku suka kepada apa yang film ini lakukan terhadap musiknya yang ngehigh pitch gimana gitu. Memberikan kesan surreal yang lumayan disturbing.

Jika Bid’ah secara literasi berarti inovasi atau pembaruan, maka film ini diharapkan bisa menjadi bid’ah yang sangat diperlukan bagi genre religi Indonesia yang sudah lelah dengan tropes semacam poligami, orang sakit, selingkuh, dan lain sebagainya.

 

Film ini diarahkan dengan sangat cakap. Penceritaannya yang cenderung ke visual membuat cerita tidak berasa ceramah. Pelurusan saf saat sholat memberikan kepada kita gagasan soal pentingnya merapatkan barisan, yang dalam hal ini berarti menjaga hubungan sesama umat agar jangan renggang. Karena, you know, setan akan datang mengisi di sela-sela kita. Atau bahkan percakapan sepele soal kuping punya peran dalam diskusi juga memberikan makna bahwa umat layaknya satu tubuh, masing-masingnya sangat penting, untuk itu haruslah saling menjaga.

Sebagian besar waktu film akan terasa sangat grounded, sangat dekat. Akrab karena memang kurang lebih seperti kampung itulah umumnya lingkungan tempat kita tinggal. Tentu saja juga ada humor yang nyentil-nyentil yang bikin film menggigit balik jika kita iseng meghakimi tokohnya. Penampilan para aktor kebanyakan memang sudah meyakinkan. Alex Abbad yang jadi salah satu ustad berhasil ngedeliver perannya yang rather gimmicky dengan fantastis. Tidak ada peran yang terasa over-the-top. Sandra yang dimainkan oleh Ade Firman Hakim tampil manusiawi. Pun tidak terasa buat pemantik air mata semata. Dan Tanta Ginting, oh man, sekali lagi dia sukses menguarkan a really terrifying persona meski porsi penampilannya cukup sedikit. Aku enggak yakin dari mana, mungkin dari bruise keitaman pada jidat tanda banyaknya sujud, tapi begitu melihat tokohnya nongol pertama kali aku langsung nyeletuk “nah ini, speaking about radical!”

Tentu tak dosa untuk berharap, namun sayangnya Bid’ah Cinta masih terjatuh ke dalam lubang pakem yang sama. Kita masih melihat cewek drooling openly over karakter cowok yang simpatis. Bagian drama cinta adalah elemen yang perlu untuk hadir, karena cinta adalah solusi dari segalanya bukan? Hanya saja memang porsi cinta-cintaan film ini tidak terasa semenarik isu sosial kehidupan umat beragama. I mean, aku bakal salut banget kalo film ini berani menghadiahkan posisi tokoh utama itu kepada Sandra yang easily lebih dramatis. Atapun kepada Faruk si preman kampung, karena dia dan temennya punya plot yang lebih clear. Come on, kita ngeliat perjalan mereka dari preman mabok oplosan menjadi ‘remaja masjid’ yang ngebongkar balik kereta dangdut keliling yang biasanya jadi langganan mereka joget. That’s one clear journey yang dipunya oleh film ini

Alhamdulillah, luar biasa

 

Tokoh utama kita justru adalah Kamal (Dimas Aditya memainkan peran yang mestinya paling simpatik) yang menemukan dirinya berada di tengah-tengah persoalan yang timbul dari beda pandangan tersebut. Kamal yang meyakini Islam sejati (dalam artian tidak ada penambahan ritual dan semacamnya) harus ditegakkan, merasa perjalanan cintanya mentok. Karena Khalida (tokoh Ayushita kurang cukup kuat, udah sedewasa itu tapi dia masih perlu diselamatkan dari argumen oleh “masuk kamar!”) memiliki pandangan yang berbeda soal toleransi dan menegakkan ajaran agama. Asmara mereka eventually akan jadi ‘juru damai’ dan di poin inilah aku enggak setuju sama keputusan yang diambil oleh film. Bekerja begitu baik dengan nempatin diri di tengah, saat babak penyelesaian, mau tak mau film harus kelihatan memihak kepada pilihan yang musti diambil oleh tokoh utama. Dan ini bikin ceritanya melemah, karena memang hooknya enggak kuat. I mean, apa sih hal terburuk yang terjadi kalo Kamal enggak jadian sama Khalida? Kamal ngambek loh, mintak orangtuanya mengerti apa yang ia rasakan dan ‘berdamai’ agar bisa melamar Khalida. Shouldn’t it be the other way around- mereka berdua bersatu dulu, baru bareng usaha mendamaikan yang lain? Dan Khalida comes off rather shallow, dia ingin Kamal berubah demi dirinya, and hey noleh dong, itu si Faruk insaf ke jalan yang lurus karena cintanya lu tolak loh haha.

Penggarapan porsi drama ini juga terasa enggak seserius bagian yang lain. Pengulangan shot di taman yang actually gak berarti apa-apa. There’s attempt to make this sebagai kisah cinta segitiga, namun gatot lantaran tokoh Ibnu Jamil sama sekali gak ngapa-ngapain. I don’t get it why Hasan ini terlihat begitu penting, karena ganteng? Dia jarang terlihat ngumpul bareng yang lain, ke Mesjid juga jarang. Film ini bisa lebih tight lagi jika kita diperlihatkan lebih banyak interaksi antarwarga di kampung. Bagian teroris yang dikaitkan dengan actual event juga terasa abrupt.

Yang ingin kita lihat adalah dua kubu Islam akhirnya berjalan bersisian, dan perjalanan mencapai itulah yang bikin seru. Film ini memang mengakhiri diri dengan berusaha sebisa mungkin untuk ngampil posisi paling tengah, sebagaimana kita melihat Ustadz yang just being there demi kesopanan, dia enggak really ikut berpesta, tapi dengan tokoh utama yang ‘beralih’, seolah menggiring kita ke gagasan bahwa yang dipilih itulah the right thing to do. But it is not. Itu adalah cara termudah untuk mengakhiri konflik, dan itulah yang membuat nilai film ini jatuh buatku.

Terkadang kita suka memperebutkan sesuatu yang belum kita punya. Mempermasalahkan yang kita sendiri enggak punya jawabannya. Kayak Faruk dan Ketel yang heboh membahas duit yang belum ketauan juntrungannya, kita sibuk saling bertengkar membagi-bagi pahala dan dosa yang tidak satupun dari kita punya kuasa atasnya.

 

 

 

Mengambil tema cerita yang sangat unconventional buat scene religi tanah air, film ini bagai bid’ah yang diperlukan. Penting untuk ditonton karena memberikan banyak bahan renungan. Akan tetapi secara penceritaan, inovasi yang dilakukan seolah tersendat oleh tropes yang enggak begitu diusahakan untuk dihindari. It could be so much better jika drama cinta enggak jadi fokus nomor satunya. Babak ketiganya sedikit terseok-seok due to effort naskah mengaitkan semua saga karakter yang ada kepada plot tokoh utama, which is not really paid off well karena memang perspektifnya kalah menarik dibanding yang lain. Film ini seharusnya tetap di tengah, dan enggak abisin terlalu banyak waktu menumpul di eksplorasi asmara.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for BID’AH CINTA

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

GOLD Review

“A dream that is not chased is a fantasy.”

 

 

Ada garis batas yang membedakan antara mimpi dengan khayalan. Garis itulah yang kita kenal sebagai usaha. Dan faktor yang membuat perbedaan tersebut tentu saja adalah kita, entitas yang berangan-angan. Khayalan adalah keinginan yang enggak disertai dengan usaha, dan hanya bisa disebut mimpi apabila kita berjuang untuk mewujudkannya.

 

Kenny Wells di ambang kebangkrutan. Ia mendapat bunga tidur tentang menemukan tambang emas terbesar. Jadi segalanya pun dipertaruhkan. Jual jam tangan emas istrinya, Wells terbang ke Indonesia. Mencari seorang ahli geologi ‘legendaris’ yang terakhir kali terdengar sedang berada di sana. Bersama-sama, mereka menembus belantara Kalimantan demi mencari emas yang mereka yakini ada di sana. Akan tetapi, segala jerih payah yang dilakukan Kenny belum cukup untuk membuat impiannya menjadi nyata. In fact, film Gold sepertinya tidak punya jawaban pasti antara khayalan dan mimpi bagi Kenny Wells.

Gold adalah film yang dibuat loosely berdasarkan skandal pertambangan beneran yang pernah terjadi di Indonesia. Awal tahun 90an itu, perusahaan tambang Bre-X Minerals dari Kanada ngeklaim mereka menemukan tambang emas gede di hutan Busang, Kalimantan Timur. Langsung deh stock meroket, Amerika heboh. Namun selidik punya si sidik, eh salah! selidik punya selidik, semua ‘tambang emas terbesar’ itu adalah pemalsuan. Dan blow up setelah penemuan kebenaran ini malah jauh lebih gede lagi. Pihak yang bertanggung jawab kabur, pemerintah Indonesia (kala itu di bawah pimpinan Presiden Suharto) terlibat dalam penutupan ijin tambang dan segala macem, sementara pemilik perusahaannya sendiri mengaku ia tidak tahu menahu, bahwa ia juga telah ditipu oleh rekannya. Film Gold sendiri hanya mengambil latar peristiwa dan mengaburkan tokoh-tokoh asli dengan menggunakan nama-nama plesetan. Kayak David Walsh yang namanya jadi tokoh Kenny Wells, ataupun si geologis Michael de Guzman yang dalam Gold menjadi Michael Acosta. FILM INI LAYAKNYA PARODI yang membuat kita mengangkat sebelah alis mata menanyakan; apakah buaian deretan angka segitu menghanyutkannya sehingga orang-orang bisa ngeoverlook kenyataan bahwa tidak ada emas di sana?

semua orang tersilaukan oleh pantulan cahaya jidat Wells

 

Jika sebelumnya dalam animasi Sing (2016) Matthew McConaughey berjuang mencari uang dan mati-matian melanjutkan usaha gedung teater warisan ayahnya, kali ini dalam Gold, dia kembali melakukan hal yang sama hanya saja sebagai anak pemilik perusahaan tambang. Apa yang dibawa oleh McConaughey dalam penampilannya, however, adalah hal yang pantas untuk diapresiasi. Dia actually nambah berat badan demi menjelma menjadi sosok fiktif Kenny Wells yang berperut buncit. Dan rambutnya; daaanggg, menyedihkan untuk dilihat dan menyeramkan untuk dialami hhihi. Namun karakternya, tho, Kenny Wells tidak pernah terlihat berupaya menyembunyikan garis rambutnya yang menipis. Ataupun dia tidak kelihatan benar-benar melakukan upaya apapun pada pekerjaannya. Aku enggak yakin apakah ini disengaja oleh pembuat film; Kenny is supposed to come off sebagai orang yang enggak tahu apa yang ia lakukan. Tetapi ada beberapa kali ketika menonton ini aku merasa tokoh yang jadi perspektif utama cerita tidaklah semenarik apa yang diniatkan oleh filmmaker.

Jerih payah di lapangan tidak pernah benar-benar diperlihatkan dialami oleh Kenny. Hanya satu adegan memperlihatkan dia kecapean, megap-megap jalan nembus hutan. On the site, perannya sangat terbatas, ditambah sebagian besar waktu dia terbaring tak berdaya kena malaria. Penting bagi sebuah film untuk mempertontonkan tokoh utama sebagai seorang yang cakap, or at least mengerti akan pekerjaannya, but yang Kenny Wells lakukan dalam membuat mimpinya jadi nyata hanyalah duduk-duduk, pasang tampang cemas nunggu laporan dari lab ataupun dari berita keuangan dan bicara meledak-ledak lewat telefon. Perjalanannya serasa dipersingkat, dipermudah. Secara struktur, Gold sendiri terasa kayak roller coaster yang naik turunnya berjarak deket banget sehingga by the time babak kesatu berakhir saja kita sudah kelelahan ngeliat Wells jatoh dan naik segitu seringnya. Nyaris tidak ada surprise emosi yang kita rasakan, kita bisa melihat semuanya datang.

Mungkin karena aku seharusnya bekerja di sekitar dunia pertambangan, aku dulu kuliah di teknik geologi, jadi naturally aku merasa relatable. Juga ada sedikit rindu ngeliat apa yang mereka lakukan dengan sampel core dan kegiatan-kegiatan geologi lainnya. Meski begitu I can’t exactly put myself into the characters. Aku kepikiran Mike Acosta, geologis lapangan yang diperankan oleh Edgar Ramirez, lah yang sekiranya bisa jadi tokoh utama yang lebih menarik. Sebagian besar aksi ada di tangannya. Jika dibandingkan dengan Wells yang sering keliatan clueless, Acosta seemingly is a perfect hero figure. Ditambah dengan twist yang disiapkan oleh film, well it’s not exactly a twist since we’ve already now the outcome of the actual event, karakter Acosta menyimpan layer yang lebih banyak. Filmnya sendiri melakukan kerja yang bagus ngebangun tokoh Acosta untuk kemudian disembunyikan ke background cerita. Kita difokuskan kepada drama hidup Wells. Sekitar midpoint, film benar-benar didedikasikan supaya kita bisa merasakan kasian kepada Wells. Porsi romansa dengan Kay yang diperankan oleh heartwarming oleh Bryce Dallas Howard dimaksudkan supaya kita bisa melihat stake yang dihadapi Wells dengan alasan yang sangat manusiawi; Kay bertindak sebagai nurani film, yang tentu saja – by the law of script writingat some point ditelantarkan oleh tokoh utama.

Susah untuk merasakan peduli kepada karakter yang niat mulianya adalah ngumpulin duit sebanyak-banyaknya bahkan jika tokoh tersebut digambarkan mendapatkan banyak tekanan dari pemangsa-pemangsa lain di dunianya. There’s a scene di mana Kenny beneran berhadapan dengan harimau, yang dengan sukses ia’ jinakkan’. Kenny Wells pada akhirnya tetap terlihat sebagai pemangsa kecil di dalam dunia korup yang penuh muslihat.

abis dibelai Kenny Wells nih jangan-jangan

 

“You sell your dream”, Wells berkata lirih soal pihak ketiga yang memintanya menjual tambang di Kalimantan, “What do you have left?” Di sinilah di mana film ini bicara personal kepadaku. Karena, ironisnya, kalimat pertanyaan serupa juga terlintas di pikiranku ketika memutuskan untuk berhenti sebagai geologis dan fokus ke passionku untuk menulis. Oke curhat, tapi poinku adalah film ini BERUSAHA NGEJUAL TOKOH – DAN CERITANYA – SEBAGAI SEBUAH AMBIGU di mana mimpi dan kenyataan, moral dan bisnis, apa yang bisa kita lakukan dengan apa yang ingin dan rela kita lakukan, adalah hal yang harus dijawab secara pribadi. Namun penceritaannya malah membuat film terasa sebagai sebuah presentasi yang enggak yakin dia berdiri di ground yang mana. Ambiguitasnya tidak terasa menginspirasi. Kita diminta untuk ‘mendukung’ Wells, namun bahkan McConaughey terlihat unsure saat mengekspresikan karakternya. Ada adegan ketika Wells dan istrinya practically drooling over daratan hijau luas yang ingin mereka bangun rumah, dan I just can’t get behind that. I mean, aku gak bisa bayangin ada penonton yang tersentuh syahdu bilang “awww romantisnya mereka mau gundulin padang rumput indah buat dijadiin rumah megah”

kita bikin sumur di ladang biar banyak yang numpang mandi, horeee!!!

 

Sorotan kepada Indonesia banyak kita temukan dalam film ini. Penggunaan bahasa, tentara, sekilas tentang Dayak, pemerintah. Di sini juga ada aktor yang jadi anak Suharto, tapi namanya jadi Danny hahaha. Tapi sekali lagi perasaan gak yakin itu muncul; kelihatannya mereka enggak benar-benar syuting di pedalaman Kalimantan. Lokasinya terlihat agak off, iya sih di hutan itu ada vegetasi lokal kayak pohon pisang dan sebagainya, tapi rasanya enggak kayak di Indonesia.

 

Ini adalah film dengan banyak istilah-istilah, yang dijelaskan cukup menarik. Matthew McConaughey adalah salah satu dari tak-banyak aktor yang mampu nanganin adegan expository sehingga seolah kita mendengarkan dia langsung mata-ke-mata di mana kita enggak berani nguap di depan mukanya. Penampilan para aktor all around dapet dua jempol. Di babak awal kita akan dibawa masuk ke dalam hutan yang terasa basah, berlumpur, dan mengurung, sayangnya film sering ngeshift tone dengan naik-turun pada narasi. Film begitu concern untuk tampil engaging sehingga malah mencuat uninspiring. Dari segi penceritaan, film ini memang terasa agak berhemat dengan menggunakan style yang mirip-mirip The Wolf of Wall Street (2013). Yang tidak terperhitungkan oleh film ini adalah, jika Martin Scorcese saja tidak bisa benar-benar sukses bikin cerita dan tokoh bisnisman semacam ini menjadi compelling, kesempatan apa yang dipunya film ini dengan menitikberatkan bercerita lewat dialog alih-alih lewat visual?
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for GOLD.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.