Phase kelima dari Marvel Cinematic Universe dibuka oleh petualangan Ant-Man yang feels a lot like a Sunday-morning cartoon adventure episode. Petualangan keluarga di dunia yang… sedikit lebih grounded ketimbang multiverse, tapi toh tetap fantastis juga. Dunia yang diperkenalkan sutradara Peyton Reed di sini adalah dunia kuantum, dunia-kecil di dalam semesta. Yang konsepnya memang enggak asing dalam cerita kartun. Like, di kartun Rick & Morty kita ngelihat Rick dengan sengaja menciptakan civilization di dalam baterai mobilnya (supaya dapat energi gratis). Atau lebih mundur lagi, kita telah melihat gimana dalam salah satu episode The Simpsons, Lisa gak sengaja membuat gigi dalam larutan soda untuk science project sekolah jadi punya kehidupan manusia-mini dengan peradaban lebih maju di dalamnya. So yea, Quantumania punya resep untuk jadi wacky dan fun. Tapi tentu saja, being a Marvel movie, film ini punya keperluan untuk ngeset something yang bahkan lebih besar. Memperkenalkan Kang the Conqueror, orang yang menaklukkan begitu banyak universe, sebagai main villain Avengers nantinya. Sehingga film ini jadi starter yang cukup solid buat ke depan, namun bukan jadi cerita keluarga yang benar-benar mulus untuk dinikmati.
Padahal at heart, Quantumania bercerita tentang Scott Lang yang berusaha kembali ‘normal’ sebagai seorang ayah. Setelah semua aksi dan pertempurannya bareng Avengers, Scott Lang siap to put those all in the past, cukup dengan mencatat semua petualangannya di dalam sebuah buku. Kayak kita yang baru beres ‘survive’ dari era pandemi, Scott juga pengennya percaya semua sudah sudah kembali ke kehidupan normal. Dia lupa bahwa waktu terus berjalan. Putrinya kini sudah beranjak dewasa. Cassie (direcast jadi Kathryn Newton) tanpa sepengetahuan Scott jadi semacam aktivis, melakukan kegiatan ‘kepahlawanan’ behind his back. Bahkan momen pertama kita bertemu the-new Cassie, adalah ketika Scott disuruh menjemputnya di penjara. Di mata Scott, Cassie masih anak kecil – his little peanut – tapi toh aslinya Cassie dengan bantuan Hank berhasil membangun peternakan semut-pintar, dan mengirim sinyal ke dunia kuantum. Cassie juga bakal melakukan aksi yang gak diduga Scott, saat nanti mereka semua ‘terdampar’ di dunia kuantum dan berurusan dengan Kang. Memang, relasi antara Scott dan Cassie diikat pada konflik utama dengan Kang, oleh tema ‘jangan remehkan orang kecil’. Karena di dunia kecil itu, Kang yang membangun dinasty, mendapat perlawanan dari rakyat yang ia taklukkan.
Oh wow, sekarang aku bisa officially bilang “twitku pernah direply ama superhero Marvel”
It’s a small wold, after all. Tapi bukan in sense of, dunia sempit jadi sering ketemu. Dunia kecil pada film ini merujuk pada dunia sesungguhnya penuh dengan rakyat-rakyat kecil, hal-hal kecil, yang seringkali dioverlook. Disepelekan. Kayak semut-semut, aja. Di film ini semut-semut itu memang diberikan teknologi super, tapi kita juga sering lupa bahwa semua di dunia nyata memang membangun dunia mereka sendiri dengan sistem koloni dan sebagainya. Di semesta yang tiada batas ini, kita sebenarnya juga sama kayak semut-semut itu.
Kalo diliat-liat, Quantumania ini mirip-mirip ama Black Panther: Wakanda Forever (2022). Protagonis protege, dunia baru yang khusus (yang bukan multiverse), contained story/episode, dan tokoh jahat yang punya bala tentara. Tapi penulisan Quantumania terasa lebih koheren dibanding Wakanda Forever yang berpindah terlalu banyak dari Shuri (dan seperti kesulitan sendiri ngepush karakter ini sebagai protagonis utama) Quantumania juga punya banyak karakter, tapi perspektifnya terjaga. Narasi voice-over yang melingkar di awal dan akhir juga sukses ngasih kesan ceritanya yang menutup pada Scott Lang. Sekilas karakter ini jadi agak kurang lucu, tapi aku melihat bahwa itu karena di cerita ini karakter yang diperankan Paul Rudd ini sudah setingkat lebih dewasa. Aku juga suka gimana film ini tidak buru-buru menjadikan Cassie sebagai superhero. Dia gak langsung jago walaupun punya kostum Ant-Man. Kita melihat proses dia belajar menjadi superhero, kita melihat hal yang belum cakap ia lakukan, dan hal yang jadi strenght dirinya – yang in turn, tidak dimiliki oleh Scott. Cara film ini ngebuild up Kang sebagai calon penjahat utama Avengers ke depan juga sesistematis itu. Memperkenalkan dia awalnya sebagai pria yang tampak butuh bantuan, dan direveal sebagai siapa dia sebenarnya. Kita melihat itu bukan saja dari cerita Janet tapi juga dari gimana masyarakat di dunia kuantum berdesas-desus terhadap namanya. Kita melihat pengaruh kekuasannya dari gimana kehidupan orang kecil di dunia kuantum.
Sebagai karakter, Kang benar-benar menacing. Jonathan Majors berhasil deliver aura dan kharisma yang bikin kita percaya karakternya ini memang sepowerful dan semengerikan itu, di balik kesan awal yang tampak kayak orang baik. Dengerin aja ceramahnya soal waktu, ketika sedang mengintimidasi Scott. Relasi hero dan villain antara Scott dan Kang memang tak se’naik turun’ relasi antara Shuri dan Namor, tapi simplicity itu akhirnya work out lebih nicely. Apalagi bagi Scott di sini stake-nya adalah keselamatan putrinya, ancaman di balik negosiasi mereka jadi kontan terasa nyata. Satu lagi karakter yang mencuri perhatian di sini adalah M.O.D.O.K. Yang actually merupakan seseorang dari masa lalu Scott dan Cassie (alias dari film Ant-Man pertama) Sehingga dia dengan wujud uniknya sekarang ini bakal punya banyak interaksi menarik dengan karakter-karakter protagonis.
Ya, sebenarnya karakter-karakter superhero dan villain yang muncul di film ini menarik. Begitu juga dengan karakter di dunia kuantum dan dunia kuantum itu sendiri. Vibenya Star Wars banget. Mereka kayak alien-alien dengan desain yang unik dan konyol, dan kita menyaksikan mereka terlibat perang galaksi dengan emperor penguasa. Tapi tone alias nada film ini tidak pernah terasa benar-benar tepat dalam memuat mereka. Semuanya terasa terlalu dull, bland, terlalu beban, dan serius amat. Penonton yang ngarepin quirky khas yang biasa nongol di film Ant-Man sebelumnya akan merasa kehilangan. Dan kehilangan tersebut bakal terasa jadi missed opportunity ketika kita bisa melihat potensi fun yang semestinya dipunya oleh cerita. Dunia kuantum yang unik itu tidak tampak mengundang untuk dijelajahi. Tidak ada sense of wonder melihatnya. Dunia itu cuma… tempat. Semua ‘mekanik’ cerita di dalamnya juga tidak dibangun dengan terperinci. Singkatnya, alih-alih membuat dunia unik yang imersif, film ini kayak gak mau luangin waktu dan hanya bikin dunia itu ya, unik yang random aja.
Aku masih gak ngerti gimana minuman goo penerjemah itu bisa bekerja dua arah; membuat Scott dkk juga bisa dimengerti oleh orang kuantum.
Penggemar Hope (dan otomatis Evangeline Lilly) bakal dapat kecewa ekstra, karena gak begitu banyak yang dilakukan oleh The Wasp di sini. Basically dia cuma ada di sana sebagai anak Janet. Ibunya, lebih banyak dapat sorotan karena Janet, as we know it, pernah tinggal di dunia kuantum dan dia statusnya semacam figur terkenal di dunia itu. Karakter yang diperanin Michelle Pfeiffer itu memegang kunci soal siapa sebenarnya sosok Conqueror yang ditakuti para ‘kuantumers’ sehingga di sini Janet dapat porsi lebih besar. Namun sayangnya hanya sebagai ‘juru bicara’. Ya, film ini terbebani sekali oleh penjelasan-penjelasan. Memang penjelasan soal Kang jadi build up yang membuat karakter tersebut jadi semakin mencekam, hanya saja film ini tidak cuma memuat tentang Kang. Melainkan juga banyak penjelasan lain. Tentang teori dunia kuantum. Tentang senjata yang digunakan Kang. Tentang apa yang dilakukan Janet dulu saat di sana. Tentang pengaruh kejadian di sini dengan multiverse ke depan. Banyak sekali, dan film enggak bisa menemukan cara penyampaian yang enak. Karakter-karakter yang menarik itu hanya lebih banyak diam mendengarkan penjelasan, basically kayak kita yang cuma bisa manggut-manggut karena paruh awal itu beneran bergerak dari eksposisi ke pengungkapan ke eksposisi lagi. Interaksi antarkarakter itu jarang. Makanya M.O.D.O.K. bisa mencuri perhatian. Banyakan celetukan dia kok ketimbang Hope bahas masalah mereka secara personal dengan ibunya. Paruh pertama itu boring, paling sesekali kita ‘melek’ karena ada cameo ataupun sejumput aksi-aksi.
Bicara soal aksi, film ini punya sekuen final battle yang cukup epic – serangan berontak kuantumers jelata kepada pasukan Kang, also Scott jadi kayak Titan menjebol tembok pertahanan Kang – tapi karena warna yang bland (film ini bisa dibilang full CGI sehingga mereka gak mau main banyak di visual demi cost) aksi itu juga jadi gak maksimal serunya. Tidak terasa imersif. Arahan actionnya juga jadi kayak terbatas. Bakal ada adegan saat tiga superhero kita dibantu oleh bala bantuan buzze–eh salah, bala bantuan semut, dan itu adegannya ‘lurus’ aja. Mereka cuma berdiri di tengah jalur semut dan everything’s just sort of happen. Editing saat berantem juga aneh. Choppy. Kayak kalo di bioskop kita nonton film yang ada sensornya. Karakter yang abis dilempar, di frame berikut sudah ngumpul bareng karakter lain. Hal ini tentu saja mengganggu keseruan aksi, yang jelas-jelas bagian penting dari sebuah film superhero.
Buat yang nonton sekadar ingin tahu apa yang terjadi di phase kelima, siapa Kang yang bakal jadi musuh-akhir Avengers nanti, film ketiga dari Ant-Man ini kayaknya gak bakalan bermasalah. Karena kayaknya memang untuk itulah film ini dibuat. Cerita keluarga Scott Lang, petualangan mereka di dunia kuantum yang ternyata seluas itu, hanya jadi bumbu pemanis. Supaya info tadi itu ada karakternya haha.. Mungkin itu cara paling negatif untuk menggambarkan film ini. Petualangan keluarga yang terbebani oleh ambisi membangun bigger story untuk film-film berikutnya. Padahal materi cerita kali ini ya cocoknya dijadikan over-the-top kayak kartun. Dengan dunia dan karakter sewacky itu. Tapi karena justru digarap dengan banyak eksposisilah nonton film ini jadi tidak pernah total menyenangkan. Dan menurutku ini mengecewakan karena film ini sesungguhnya punya penulisan dan karakter yang koheren. Tapi ya jadi terkerdilkan oleh ‘machination storytelling’ tersebut,
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for ANT-MAN AND THE WASP: QUANTUMANIA
That’s all we have for now.
Apakah menurut kalian film ini jadi pembuka phase lima yang kuat? Apa yang paling ingin kalian lihat di phase lima ke depannya?
Share pendapat kalian di comments yaa
Remember, in life there are winners. And there are losers.
We? We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA
“True love doesn’t have a happy ending, because true love never ends.”
Waktu telah membuktikan kisah cinta Galih dan Ratna, pasangan dalam cerita karangan bapak Eddy D. Iskandar tahun 70an, benar-benar adalah sebuah kisah cinta yang legendaris di Indonesia. Kisah mereka menginspirasi begitu banyak cerita cinta remaja yang muncul sesudahnya. Jika kita nemuin cerita yang cowoknya pendiam, atau puitis, atau kisah cinta yang terhalang status sosial, besar kemungkinan jika ditelusuri, cerita tersebut dapat pengaruh dari kisah Galih dan Ratna. Bahkan Ada Apa dengan Cinta? katanya juga terinspirasi – film itu berakhir dengan perpisahan di bandara, seperti Galih dan Ratna yang berpisah di kereta api. Sendirinya, Galih dan Ratna dalam Gita Cinta dari SMA telah difilmkan dalam dua periode waktu berbeda. Film originalnya tahun 79, juga lantas sukses mengorbitkan Rano Karno dan Yessy Gusman. Sementara adaptasi versi modernnya di tahun 2017, gak kalah berhasil bikin musik jadi trend romantis pada generasi muda. Kali ini, Gita Cinta dari SMA kembali diadaptasi, dihadirkan oleh Monty Tiwa dengan emphasis ke tahun 80an. Mengembalikan Galih dan Ratna ke dunia mereka yang colorful, penuh musik, dan puitis, dan membawa serta para penonton untuk nostalgia ke jaman SMA. Ah ya, cinta dan nostalgia memang pasangan serasi. Seperti Galih dan Ratna!
Cowok yang bersepeda ke sekolah dari rumahnya di pasar buku bekas. Cewek yang ke sekolah diantar ayahnya pake mobil sedan. Dari situlah kisah kali ini dimulai. Cewek itu, Ratna, anak baru. Tapi begitu dia sampai di sekolah, digodain sama cowok-cowok yang gak bisa lihat ‘barang’ baru – bening, pula!Ratna malah notice cowok bersepeda tadi. Cowok yang tampak cuek tapi dikagumi orang. Galih. Ya, seketika Ratna jadi suka sama Galih, dan cewek itu gak begitu malu-malu untuk menunjukkan ketertarikannya. Tinggal Galih yang sok play it cool sendiri. Interaksi ‘iya-enggak’ mereka di awal-awal itu sudah barang tentu bakal bikin penonton sekalian jerit-jerit gemas di tempat duduk masing-masing. Dan setelah puas ‘mainin’ perasaan kita seperti demikian, film memang lantas membuat Galih dan Ratna jadian. Tapi semua kemanisan romansa itu ternyata tidak seabadi janjinya. Karena di antara Galih dan Ratna berdiri Ayah Ratna. Sosok pemberang yang seratus persen menolak hubungan mereka. Sosok, yang terus mengingatkan Galih akan jurang status sosial yang memisahkan dirinya dengan Ratna.
Gak heran banyak penonton yang nantangin Dwi Sasono berantem begitu keluar dari bioskop hihihi
Walau endingnya nyelekit, tapi Gita Cinta dari SMA secara overall terasa punya after-taste yang menyenangkan. Sepertinya karena dunianya. Bahasa bakunya. Musiknya. Warnanya. Nuansa 80an memang punya peran besar bagi kita untuk dapat lebih menikmati cerita ini. Bahkan ketika kita bukan yang pernah ngerasain hidup di masa itu. Kayak aku. Nuansa artifisial yang dikeluarkan dengan kuat oleh film ini menjadi semacam lullaby, nina-bobo, bagiku. Dengan gampang membujukku untuk mematikan alarm ‘wah, ini mah standar teen love story antara dua karakter cakep tanpa alasan lebih jauh kenapa mereka harus jadi pasangan’ dan just nikmatin simpelnya dunia like it used to be. Kupikir, itulah pesona terkuat yang dimiliki oleh Gita Cinta dari SMA. Dunia yang sederhana nan puitis sebagai panggung dari permasalahan cinta anak muda yang tentu saja masih relevan hingga sekarang. Sehingga keluarnya jadi menyenangkan. Momen-momen kecil seperti ge-er karena dapat puisi berjudul sama dengan inisial nama, dilarang pacaran atau main ke luar rumah oleh ortu, rekam kaset untuk dikasih ke gebetan jadi terangkat lebih manis karena sekarang ada layer nostalgia di baliknya.
Ketika pesona dunia dan karakternya telah terestablish, film lantas mulai memperkuat konflik. Kalo ada satu kata untuk menggambarkan apa yang mencuat dari Gita Cinta dari SMA versi Monty Tiwa, maka itu adalah dramatis. For better and worse, karena memang dramatis di sini ada yang membuat film ini jadi bagusan, dan tak sedikit juga yang membuatnya terasa… over-the-top. Dan seperti guru di sekolah dulu biasanya suka memuji dahulu sebelum menasehati (“cerita karangan kamu sudah bagus, tapi alangkah baiknya kalo tulisannya jangan kayak cakar ayam!”), baiknya kita ngomongin dramatis yang bagus-bagus dulu dari film ini. Dari penulisan cerita, film ini banyak ngasih hal baru yang berujung pada dramatisasi yang diperlukan supaya film lebih menggigit. Pertama adalah pemisah antara Galih dan Ratna. Dibandingkan dengan film jadulnya, film ini lebih tegas dan keras nyebut bahwa ini adalah soal Galih yang anak jelata gak bakal pernah good enough bagi ayah Ratna yang orang kaya dan ningrat Yogyakarta, Klasik si kaya dan si miskin. Konflik ini membuka ruang bagi film untuk semakin melibatkan keluarga dari dua karakter sentral. Sementara juga tentu saja membuild up karakter Galih, yang harusnya karismatik tapi semakin terasa minderan sepanjang durasi berjalan. Karena halangan tersebut really gets to him, melukainya, sebagai seorang manusia laki-laki. Untuk menyeimbangkan perspektif, film mengembangkan konflik ini kepada Ratna sebagai persoalan tentang perempuan dan kebebasan untuk memilih. Ratna menyamakan posisinya dengan Roro Mendut, dari novel yang ia baca. Perempuan yang tidak bisa bersama lelaki yang ia pilih. Dan dari perspektif itu muncul hal terbaik kedua yang dipunya oleh film. Mbak Ayu yang diperankan oleh Putri Ayudya.
Mengutip obrolan dengan Putri Ayudya saat interview “Setiap keluarga pasti punya satu orang, tante atau om, yang mendukung kita” Memang begitulah Mbak Ayu. Dia mendukung Ratna untuk pacaran sama Galih. Dia bahkan membantu Ratna ngeles dari ayah dengan ide-ide seru. Actually peran Mbak Ayu di versi ini memang dibuat lebih besar, apalagi sekarang kita diperlihatkan lebih dalam backstory dari karakter ini. Bagaimana dia juga ngalamin ‘nasib’ serupa Ratna. She goes way back dengan ayah Ratna yang merupakan saudaranya, Permasalahan perempuan mandiri atas pilihannya jadi semakin kuat, dan relationship Ratna dan Mbak Ayu jadi salah satu hati pada film ini. Mbak Ayu actually membuat film ini berisi. Jika tidak ada dia, film ini bakal kosong. Ya, karena somehow, film tidak lagi full di kehidupan sekolah Galih Ratna (meski teman-teman mereka kayak Erlin, Anton, Mimi tetap ada), sehingga di sini Galih dan Ratna not really do anything selain bereaksi saat hubungan mereka dilarang. Mereka – khususnya Ratna – bahkan tidak diperlihatkan banyak mengalami pembelajaran. Dan masalah tersebut menurutku berakar pada directing yang kurang kuat. Directing yang hanya mengincar dramatisasi.
Aku notice directingnya agak kurang total itu dari nuansa yang terasa lebih seperti artifisial ketimbang genuine. Walau memang, perasaan menyenangkannya nyampe karena nostalgia dan karakter. Elemen-elemennya buatku, yang terasa setengah-setengah. Kayak, musical numbers. Film ini banyak menggunakan lagu, bukan hanya sebagai latar tapi juga penggerak cerita. Bahkan juga ada tarian. Tapi ya, pengadeganannya terasa… gitu aja. Hanya pasang kamera, drone, nari-nari di jalan. Dengan musik dan lagu sebanyak itu, aku heran kenapa tidak sekalian aja dibikin musikal. Kenyataannya film ini sama kayak film jadul, tapi dengan adegan nyanyi yang teatrikal, tapi gak jor-joran. Terus soal Yesaya Abraham sebagai Galih. Aku paham bahwa aktor gak harus bisa nyanyi beneran untuk mainin karakter yang bernyanyi. Tapi kupikir keputusan film ini tidak membentuk dulu paling enggak Yesaya beneran genjreng-genjreng dikit dengan gitar, adalah keputusan yang bisa jadi momok buat mereka ke depan. Karena gimana pun juga kedengarannya aneh saat semua adegan nyanyi di film ini terdengar seperti olahan studio. Bahkan adegan Galih latihan dengan gitar sendirian. Film harusnya lebih memperlihatkan perbedaan antara adegan nyanyi di panggung, adegan nyanyi sendirian, dan adegan nyanyi dalam bayangan Ratna – salah satunya dari suara nyanyian itu sendiri.
Beberapa adegan diarahkan supaya amat dramatis, sometimes it works, sometimes feels over. Yang berhasil itu kayak adegan lempar batu di danau, yang bahkan lebih emosional daripada film jadulnya. Ada satu adegan dramatis yang baru, yang emosinya juga dapet banget berkat penampilan akting para pemain. Prilly Latuconsina yang jago ngasih emosi di kalimat-kalimat panjang, Unique Priscilla dengan permainan emosi tertahan, Putri Ayudya dan Dwi Sasono yang luar biasa penekanan dan ekspresinya; mereka membuat adegan tersebut berhasil, meskipun cara ngesyutnya sangat datar, pengadeganannya hanya kayak mereka lagi baris-berbaris. Nunggu giliran buat ngomong. Aku menyebutnya sebagai drama smackdown; karena begitulah drama backstage di acara smekdon direkam. Superstar/talentnya baris berjajar di depan kamera, lalu marah-marah bergantian. Bicara soal posisi pemain, aku juga ngerasa ada sedikit aneh dari gimana mereka menempatkan Yesaya dan Prilly dalam satu adegan. Ratna dan Galih sejajar tu cuma saat mereka duduk di batang pohon, membahas surat putus dan masa depan mereka. Perbedaan tinggi badan keduanya, kupikir digunakan film untuk mempertegas perbedaan sosial yang jadi tema cerita. Tapi aku gak yakin. Karena lucunya, saat adegan Ratna mengusap pipi Galih pakai saputangan, dua-duanya berdiri, dan magically keduanya kayak sama tinggi! Nah ini contoh momen dramatis yang agak over, menurutku. Selain itu ada juga Ratna pake acara pingsan. Ataupun treatment Ratna bawain minyak angin dari pov Galih yang abis kena mental demi ngeliat Ratna dibonceng orang.
Tapi gak ada yang lebih over-the-top dibandingkan endingnya. Pilihan film ini dengan menaikkan kembali konflik di momen akhir (Ayah Ratna kembali muncul bahkan sampai main fisik segala) terasa aneh sekali. Tidak seperti pada film jadul yang memberikan Galih dan Ratna momen personal, menerima kenyataan mereka harus berpisah, dan saling menguatkan diri (di film itu mereka ngobrol sampai subuh!), yang berarti mereka berdua mengalami pembelajaran dan tuntas (meski ‘kalah’), film versi baru ini tidak punya momen-momen itu. Karakter Galih dan Ratna di film kali ini belum terasa tuntas. Mereka masih kayak di akhir babak pertama, yang mendapat tantangan dari ayah yang melarang, sementara pembelajarannya nanti ada di film kedua. Film ini atas keinginannya untuk jadi superdramatis, luput untuk melihat bahwa yang diperlukan bukan adegan ayah ngamuk sekali lagi, melainkan Galih dan Ratna yang harus belajar menerima bahwa mereka tidak bisa bersama. Setidaknya, untuk sekarang. Mungkin, untuk sekarang.
Cinta sejati adalah cinta yang abadi. Kita biarkan orang yang kita cintai pergi, karena hati kita tahu cinta kita kepadanya tak akan berubah. Cinta sejati tidak peduli memiliki atau tidak. Makanya, keadaan Galih dan Ratna ini tepat sekali dengan gambaran cinta sejati pada kutipan terkenal. Bahwa cinta sejati tidak punya happy ending, karena cinta sejati abadi tidak pernah berakhir.
Beruntung yang jadi tulang punggung film adalah skenario. Bukan arahan. Karena film ini punya materi dan penambahan konflik atau karakter yang baru, yang efektif dan emosional, tapi tidak dibarengi dengan bentuk yang benar-benar saklek dan terarah. Terutama bergantung kepada nostalgia dan dramatisasi, yang artifisial. Penampilan akting dari para pemain pun jadi sesuatu yang disyukuri di sini, karena mereka membuat semuanya work out nicely. Film ini secara objektif masih belum sempurna, filmnya masih terasa minimal dan agak kosong – melainkan hanya berisi momen dramatis, tapi toh berhasil menyentuh saraf-saraf emosi. I can’t help but jadi peduli sama Galih, Ratna, Mbak Ayu, dan karakter-karakter lainnya.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for GITA CINTA DARI SMA
That’s all we have for now.
Jadi menurut kalian kenapa Galih dan Ratna bisa menjadi pasangan yang begitu fenomenal?
Share pendapat kalian di comments yaa
Remember, in life there are winners. And there are losers.
We? We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA
“Technology is a useful servant, but a dangerous master”
Kenalin, M3GAN. Nama panjangannya Model 3 Generative Android. M3GAN dibuat sebagai lebih dari sekadar mainan anak-anak. M3GAN dibuat untuk jadi sahabat baik setiap anak yang punya orangtua dengan uang seribu dolar nganggur di rekening bank mereka. Android yang disebut ‘barbie gede’ ini bisa berkomunikasi, bisa nyanyi, bisa menari. Bisa mengenali mood manusia, sehingga dapat diandalkan untuk menghibur setiap anak yang bersedih. M3GAN bisa menggantikan peran orangtua. Nah, di situlah masalah timbul. M3GAN jadi terlampau pintar melebihi programnya. Tidak seperti si android, kisah A.I. gone rogue dan malah jadi jahat. bukanlah ‘mainan baru’ dalam genre horor. Film garapan Gerard Johnstone ini obviously bakal dibanding-bandingkan dengan begitu banyak film ‘boneka’ jahat populer sebelumnya. Tapi untungnya, si Gerard paham walaupun ceritanya tentang robot, dia tidak sedang membikin robot. Gerard tahu bahwa film haruslah bernyawa. Dan itulah yang benar-benar ia suntikkan kepada cerita ini. Dia berikan panggung dan delevopment yang berbeda. Dia masukkan karakter dan perspektif yang benar-benar relevan ama dunia gadget pintar kita.
Sebagai horor, M3GAN memang punya adegan-adegan ngeri yang menghibur. Karakter androidnya sendiri easily bakal jadi karakter boneka horor yang ikonik, like, adegan narinya saja sudah viral lebih dulu. Nyaingin tarian Wednesday yang di serial Netflix. Props buat Jenna Davis yang mengisi suara dan buat Amie Donald yang ‘menyumbang’ akting tubuh untuk menghidupkan kesan robot-hidup-yang-creepy. Film ini benar-benar did a great, creative job, dalam menciptakan desain karakter M3GAN. Kita datang karena penasaran. Dan kita akan tinggal, berkat narasi dan bahasannya. Karakter M3GAN bukan hanya keren desainnya, tapi juga diiringi oleh penulisan. Dia juga antagonis yang hebat, karena difungsikan sebagai semacam wish that came out wrong bagi Gemma, protagonis cerita. Si Gemma ini meskipun kerjaannya bikin mainan elektronik buat anak-anak (and she really great at that), tapi dia sendiri gak tau caranya ngadepin anak-anak. Makanya begitu Cady – anak dari kakak Gemma – sekarang harus tinggal bersamanya (karena sang kakak dan suami tewas dalam kecelakaan yang melibatkan produk mainan buatan Gemma; just dark comedy film ini), Gemma berusaha keras untuk menuntaskan proyek M3GAN kreasi terbarunya. Gemma ingin dengan segera menghibur ponakannya yang murung dengan mainan yang ia tahu bakal meringankan tugasnya sebagai orangtua angkat. M3GAN terbukti sukses berat. Cady sekarang gak sedih lagi. Tapi berubah jadi takut. Karena M3GAN yang terus berusaha menjadi teman yang baik dan melindungi Cady, benar-benar went overboard. M3GAN mulai menyakiti orang-orang dan bertindak melawan programnya sendiri.
Gemma lupa nge-install akhlak ke dalam program M3GAN
Ketergantungan teknologi memang seberbahaya itu. Kita mengira cuma pada anak-anak. Banyak orangtua yang memberi batas waktu kepada anak untuk bermain gadget karena sadar pengaruh buruk terlalu sering anak terpapar oleh ‘mainan’ tersebut. Tapi orang dewasa seperti kita mungkin lupa tepatnya apa negatif tersebut. Ini bukan sekadar soal nanti mata sakit, emosi jadi labil, dan daya perhatian menurun sehingga jadi malas belajar. Lupa bahwa orang dewasa juga bisa jadi ketergantungan. Aku ngakak pas adegan Cady ingin dibacakan cerita pengantar tidur, tapi bibinya tidak punya buku, dan Gemma dengan gampangnya bilang “tinggal download”. Tapi ternyata aplikasinya harus diupgrade dulu. Aku ngakak karena Ax dalam novel Animorphs ternyata benar. Menurut alien tersebut, komputer jauh lebih primitif dari pada buku (“buku tinggal membalik halaman, sementara komputer harus loading dulu”) dan dia heran kenapa perkembangan teknologi manusia bumi terbalik. Ax basically bilang, ‘hari gene masih tergantung ama komputer!’ Yet, here we are. Sekarang semua harus pakai teknologi. Semua ada aplikasinya. Bikin film semuanya pakai CGI. Mau bayar di kasir aja udah jarang pakai uang fisik (dan kita heran kenapa antrian semakin lama). Film M3GAN ini memang nunjukin justru ketergantungan pada orang dewasa-lah yang dampak negatifnya lebih besar. Like, M3GAN jadi berbahaya karena Gemma menyerahkan kepada A.I. untuk menjadi pengganti orangtua, menjadi sahabat bagi Cady.
Seperti yang diucapkan teman Gemma, ketergantungan teknologi jadi berbahaya adalah karena kita menggunakan teknologi tersebut bukan lagi untuk mempermudah, tapi juga untuk menggantikan peran manusia.
Mainan harusnya simpel. Anak-anak tidak pernah meminta muluk-muluk. Orang dewasa nerd seperti Gemma-lah yang bikin ribet. Film dengan kocak nunjukin gimana Gemma gak bolehin Cady membuka mainan robotnya, karena itu bukan untuk dimainkan, tapi untuk dipajang. Untuk dikoleksi. Konsep seperti itu, apalagi kalo bukan orang dewasa yang menciptakannya. Gemma-lah yang duluan went overboard dengan menciptakan mainan seharga Tesla karena dia pengen hidupnya lebih gampang. Dia gak perlu bonding dengan Cady yang kehilangan orangtua. Inilah yang bakal jadi pembelajaran. Di sinilah letak hati film ini. Melalui Gemma (yang diperankan keras kepala tapi masih bisa simpatik oleh Allison Williams) kita – orang dewasa dan para orangtua diingatkan. Bahwa gimana pun juga anak butuh koneksi dengan manusia lain. Bahwa anak bakal mencari sosok orangtua, dan mereka akan membangun kepribadian dan sifat mereka berdasarkan sosok yang menurut mereka adalah orangtua tersebut. Film ini relate karena kita bisa mengerti kenapa Gemma lebih milih nyiptain android mahal. Karena lebih gampang. Itu juga sebabnya kenapa kita lihat banyak orangtua di luar sana yang jadiin gagdet sebagai pengasuh anak. Biar gak rewel. M3GAN benar-benar menghandle persoalan ini dengan baik. Menghibur lewat tone horor dan karakternya yang tak biasa.
Film horor yang hebat adalah film yang sukses meng-amplify horor grounded yang dirasakan manusia ke dalam dunia horor yang fantastis. Menjelmakannya ke dalam hantu, monster, atau sesimple robot boneka pembunuh. M3GAN efektif sekali bekerja di ranah ini. Buat sebagian orang dewasa, bonding dengan anak memang tampak menyeramkan. Gimana kalo dia ngajarin hal yang salah ke anak. Gimana kalo gagal dan anak jadi benci kepadanya. Sungguh tanggungjawab yang besar. And at the same time, orangtua gak bakal mau kehilangan anaknya. Di sinilah M3GAN menempatkan tokoh horornya. Si android M3GAN adalah ketakutan terbesar orangtua, orang dewasa seperti Gemma. Ketakutan anak mereka sudah benar-benar gak butuh mereka, posisi mereka direbut oleh hal yang tadinya mereka percayakan untuk membantu. Ini adalah bahasan yang bagus sekali untuk orangtua kekinian.
Untuk menyeimbangkan cerita, film juga menyorot dari perspektif anak keci. Cady (penampilan emosional yang luar biasa dari Violet McGraw) tidak berada di sana untuk diam dan jadi korban. Jadi yang harus diselamatkan. Melalui Cady, film bicara tentang grief pada anak-anak. Tentang ketakutan terbesar anak-anak, yaitu kehilangan orangtua, dibahas cukup dalam oleh film ini. Kita melihat gimana Cady benar-benar memutuskan hubungan dengan sekitar. Gak gampang buat anak sekecil itu dealing with that emotion, sehingga dia gak gampang buka diri. Kehadiran M3GAN, hubungannya dengan M3GAN, tampil manis sebenarnya. Itulah yang membuat babak horor film semakin dramatis. Karena Cady harus belajar menerima kehilangan, dengan melupakan M3GAN. Film actually, juga memberikan Cady kesempatan untuk memilih. Final battle yang melibatkan ketiga karakter ini – yang superseru itu – sebenarnya cukup haru kalo kita simak lekat-lekat.
Kalo masukin adegan M3GAN bunuh orang pake lato-lato; this movie would be too perfect XD
Selain narasi seputar parenting di era digital, grief pada anak kecil, film yang telah menjadikan si pembuat mainan anak ini sebagai protagonis, tentunya tidak bisa meninggalkan begitu saja soal kerjaan si karakter. Dari buku penulisan naskah yang kubaca sih, memang begitu. Naskah yang baik harus bisa memuat atau menunjukkan kehidupan karakter utamanya, dan itu menyangkut kehidupan privatnya, kehidupan sosialnya, dan kehidupan profesional, Aku katakan lagi, penulisan naskah film ini kuat banget. Masing-masing karakter diberikan point of view, dan ketiganya saling bertubrukan mengharuskan mereka harus meresolve (bibi yang pengen ngasuh anak dengan gampang, anak yang pengen cari sosok orangtua, A.I. yang ingin menuntaskan programnya). Masing-masing diperlihatkan apa yang mereka lakukan saat sendiri, dan gimana mereka bersosial satu sama lain. Nah, ketika membahas kehidupan profesional Gemma-lah film ini sedikit kurang. Film juga memperlihatkan gimana Gemma struggling supaya perusahaan mau menggolkan proyek M3GAN. Ini juga lantas jadi menambah stake, karena saat perusahaan sudah ‘yes’ ternyata M3GAN punya cacat. As in, M3GAN ternyata pengen membunuh orang-orang. It’s great. Tapi tak bisa dipungkiri, bahasan perusahaan ini agak sedikit terlalu banyak. Meski ada juga efek yang bagus – kayak film ini jadi punya opening unik berupa sekuen komersial (untuk set up pentingnya bahasan soal job Gemma), tapi ada juga satu bagian yang gak berbuah apa-apa di ujung cerita. Yaitu soal rekan kerja Gemma yang diam-diam mengcopy file proyek M3GAN. Kita tidak pernah diperlihatkan lagi apa tujuan dan kelanjutan dari bagian tersebut. Kecuali mungkin film mengadakan itu sebagai penanaman bibit untuk kemungkinan sekuel. We don’t know that. Yang jelas at this point, narasi soal perusahaan mainan tersebut ada banyak, tapinya jadi pada kurang perkembangan.
Apakah aku suprised sama pencapaian film ini? Honestly, yes. Aku gak nyangka film boneka-pembunuh yang kinda late to the party (mengingat sudah banyak banget yang bikin film soal itu) masih bisa tampil fresh. Yang aku expect cuma sosok boneka – atau lebih tepatnya; sosok andoridnya bakal jadi ikonik. M3GAN nari itu muncul terus di timeline sejak trailernya publish! Dan yea, secara fun dan sadis dan serunya film ini berhasil sesuai dengan standar gila yang biasa disuguhkan oleh film-film begini. Karakter dan isinya yang bikin film ini sedikit lebih bergizi. Penulisannya amazing. Men-tackle masalah orangtua, dan masalah anak, dengan nada horor yang brilian disulam ke persoalan ketergantungan teknologi. Aktingnya juga juara, gak ada yang satu-dimensi, bahkan karakter androidnya terasa ‘hidup’. Karakternya bakal ikonik, no doubt. Ini, mungkin, adalah horor langka. Langka dalam hal, ini horor kekinian yang actually bisa ditonton bareng keluarga, yang tidak dikemas berat, tapi juga tidak kosong dan receh. Yang jelas, senang berkenalan denganmu, M3GAN.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for M3GAN
That’s all we have for now.
Apakah kalian merasa telah ketergantungan sama teknologi? Gimana kalian menjaga agar penggunaan gadget atau semacamnya bisa berimbang?
Share pendapat kalian di comments yaa
Remember, in life there are winners. And there are losers.
We? We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA
“Art comes from joy and pain… But mostly from pain.”
Aku terus kepikiran sama adegan pembuka film Puisi Cinta yang Membunuh. Aku merasa ada kemiripan antara yang dibikin oleh Garin Nugroho dengan yang dilakukan oleh Ingmar Bergman pada sekuen pembuka Persona (1966), yang ada anak kecil membelakangi kita nyentuh layar sinema, dengan close up wajah perempuan. Pada pembuka yang kompleks tersebut – Bergman udah kayak nyeritain sejarah singkat gambar-bergerak – hal terasa out-of-place tapi sekaligus terasa benar mewakili apa yang ingin disampaikan pada cerita utuhnya kemudian. Bergman ingin kita menatap langsung dan personal karakter perempuan dalam cerita, bahwa cerita perempuan ini adalah soal image yang tertangkap. Garin Nugroho memang tidak se-elaborate itu menyuguhkan opening Puisi Cinta yang Membunuh. Justru jauh lebih sederhana, tapi bobot dan kepentingannya dalam melandaskan tema terasa sama. Garin memperlihatkan kepada kita Mawar Eva de Jongh (saat itu tentu saja kita belum tau karakter yang ia perankan siapa) berdiri di tempat yang sepertinya studio foto, menghadap kita, mengangkat kamera sedada, dan bilang kepada kita penontonnya bahwa seni bisa menyembuhkan dan juga bisa membunuh. Aku terus kepikiran akan adegan ini karena menurutku Garin accomplished so much dengan pembuka ini. Seketika dia melandaskan tema dualitas yang nanti membayangi narasi cerita. Seperti kamera yang kini di depan kita, tidak lagi melihat bersama kita; Seketika Garin menantang kita untuk melihat berlawanan. Melihat sisi yang biasanya tidak disorot. Gimana jika membunuh, melukai, adalah proses seni. Gimana jika kriminal ternyata ‘hanya’ pergulatan dengan trauma. Gimana jika hantu bukan lagi untuk ditakuti, melainkan untuk dikasihani?
Dalam filmnya sebelum ini, Garin membahas trauma punya jejak pada tubuh. Trauma masa lalu dapat tergambar dalam gerak tubuh seseorang di sepanjang hidupnya. Seseorang yang punya trauma akan mengekspresikan itu di dalam kesehariannya; luka-diri itu lantas jadi seni. Untuk bertahan dan menguatkan diri. Gagasan itu dibawa ke luar oleh Garin kali ini. Ketika seni tersebut tidak lagi semata untuk diri sendiri, melainkan juga untuk dishare kepada orang lain, maka itu juga berarti trauma dan sakit yang dirasakan juga ikut terhantar – ikut dikenai – kepada penikmatnya. Itulah ketika puisi dapat membunuh.
Seketika film Garin ini jadi berbahaya. Menyorot gagasan bahwa tindak kriminal, aksi pembunuhan, bisa dipandang sebagai suatu perwujudan puitis. Jikalau gagasan ini dibicarakan dalam suatu diskusi umum, mungkin memang sinting, Nyeleneh. Tak dapat diterima. Mana ada yang mau disuruh melihat perbuatan keji sebagai karya berbudaya. Namun tempat Garin membicarakan ini adalah film. Sendirinya adalah seni. Toh, Garin bukan sutradara pertama yang menyoroti cahaya begini kepada soal perilaku kekerasan. Perbandingan terkini yang lantas melintas di kepalaku adalah Lars von Trier yang tahun 2018 lalu membuat film The House That Jack Built. Diceritakan di situ Jack menganggap pembunuhan yang ia lakukan sebagai kegiatan seni rupa. Jack membuat berbagai karya dari mayat-mayat korbannya. Mulai dari dompet, hingga, ya rumah. Film garapan Lars tersebut menyorot dari perspektif Jack saat dia berdialog dengan kepalanya sendiri perihal pembenaran atas seni yang ia ciptakan. Mengangkat diskusi soal kriminal dan seni dari sana. Memang, cara berceritalah yang pada akhirnya menentukan. Garin yang tentu saja paham akan hal tersebut, menggunakan kekhasannya sendiri untuk mengangkat diskusi. Bahasan soal trauma, gaya teater (dramaturgi), dan kali ini membalut cerita dengan tema duality dan menjadikan protagonisnya simpatik di tengah-tengah itu semua.
If looks could kill…
Karakter yang diperankan Mawar adalah an attractive, seemingly innocent young woman bernama Ranum. Mahasiswi tata busana yang keliatan cukup aktif. Mungkin dia ingin menyibukkan diri. Karena, well, Ranum suka merasa ada sesuatu yang bersama dirinya tatkala dia sendirian. Sesuatu yang sudah dari dulu selalu ia rasakan. Oleh Pak Sutradara, ‘sesuatu’ ini digambarkan sebagai bayangan tangan, dan sesekali sepotong tangan pucat beneran yang muncul dari balik selimut Ranum. Kehadiran tangan dan perasaan ada orang yang menyertainya itu belum apa-apa dibandingkan ketakutan Ranum yang paling hakiki. Ketakutan ketika perasaan dia telah melakukan hal mengerikan terhadap orang-orang di sekitarnya muncul. Ranum aktif mengikuti berbagai kegiatan, tapi setiap kali dia bertemu dengan orang – dan orang tersebut punya niat yang bukan-bukan terhadapnya, keesokan harinya pasti orang-orang itu diberitakan tewas mengerikan. Dan Ranum bakal galau di kamar karena dia merasa dia yang telah membunuh mereka semua. Ranum bakal menjedotkan kepalanya berkali-kali ke tembok “Berdoa! Berdoa! Berdoa!” Perasaan bingung, takut itu, tak kunjung hilang. Misteri kematian tersebut sama sekali tidak berhenti.
Puisi Cinta yang Membunuh bekerja terbaik saat menunjukkan keambiguan dari kejadian seputar Ranum. Ketika Ranum cuma gelisah dan ngeri sendiri membaca berita kematian-kematian tersebut, kita melihat dirinya actually melakukan pembunuhan tersebut. Atau paling tidak, kita melihat sesuatu yang menyerupai dirinya. Kita menyaksikan ‘Ranum’ ini muncul, mengomandoi kejadian gaib terjadi, dan akhirnya membunuh sambil melafalkan bait-bait puisi. Kematian/pembunuhan aktualnya dilakukan film lebih banyak secara off-screen – kamera akan sengaja menyorot ke satu titik di dekat pembunuhan – namun karena diserahkan kepada imajinasi kita itulah maka setiap serangan ‘Ranum’ terasa semakin mengerikan. Shot-shot yang dilakukan film ini terkait horor dan thrillernya benar-benar didesain supaya kesan misterius itu mengalir deras. Supaya imajinasi kita menyambung semakin liar lagi. Sehingga adegan-adegannya terasa punya layer tersendiri. Adegan-adegan pembunuhan itu hanya akan jadi sebuah tindak balas dendam jika direkam dengan gamblang. Akan tetapi, lewat cara menampilkan seperti yang film ini lakukan, pembunuhan-pembunuhan tersebut terasa punya sesuatu yang lebih. Terasa seperti suatu pelampiasan yang mendorong kita terus masuk, terus peduli tentang apa ini sebenarnya.
Tentu saja, semua kesan dan efek itu turut terbantu tersampaikan lewat penampilan akting luar biasa dari Mawar Eva. Come to think of it, Mawar di sini memikul semua sendiri. Dia harus memainkan perempuan yang bingung dan takut, sekaligus juga diminta untuk jadi entitas misterius yang membunuhi orang-orang. Dan ini film Garin, loh! Yang terkenal dengan film-film nyeni yang ‘berat’ dan njelimet. Tapi Mawar di sini, bisa. Mawar paham menerjemahkan visi Garin ke dalam dual-acting yang total. Kalo gak liat sendiri, aku gak bakal percaya dia mau melakukan separoh dari adegan-adegan di film ini. Aku gak bakal percaya dia mampu melakukannya dengan tepat. Untuk aktor muda seperti Mawar, jelas ini adalah pencapaian luar biasa.
Melihat ‘Ranum’ membunuh sambil berpuisi, lalu mendengar ibu dosen Raihaanun membahas berita-berita real serial killer yang pernah ada di Indonesia (Robot Gedek, dan banyak lagi headline bikin merinding) otomatis membuat kita memikirkan soal kekerasan dan seni itu tadi. Sehingga sebenarnya tak lagi jadi soal mengenai siapa ‘Ranum’ yang membunuh itu. Kenapa ada ‘Ranum’ kedua yang membayangi ke mana Ranum pergi. Seni film ini, menurutku, salah satunya datang dari menjaga keambiguan Ranum dan ‘Ranum’ tersebut. Karena penonton akan punya interpretasi masing-masing. Akan mencoba mengaitkan sendiri dalam kepala kita apa yang menurut kita terjadi – tergantung dari masing-masing memaknai ceritanya. Mungkin akan ada penonton yang mengira semua pembunuhan itu hanya terjadi di benak Ranum saat ia menuliskan pengalaman tak-enaknya sebagai puisi. Mungkin akan ada penonton yang mengira orang-orang itu sesungguhnya merasakan trauma Ranum lewat puisi. Menurutku, selama kesan sedih itu tersampaikan, gak masalah penonton menganggap kejadian pembunuhannya sebagai apa, pelakunya beneran Ranum atau bukan.
Datang. Baca puisi. Bunuh. Pergi
Predikat horor-art film ini justru jadi terusik saat naskah mulai menyebut soal kembar. Kemudian dengan gamblang membeberkan (lewat karakter lain pula!) di sana sini apa yang terjadi di masa lalu traumatis Ranum. Menjelaskan puisi yang kita dengar sebagai mantra pembunuh itu ternyata berasal dari komik lama yang dulu suka dibaca Ranum. Sehingga ini jadi bukan lagi tentang trauma dan seni. Melainkan jadi trauma dan manifestasinya secara literal gaib. Menuliskan narasi seperti ini tentu saja tidak salah, hanya saja penceritaannya kurang tepat untuk konsep film di awal. Yang film ini lakukan actually adalah membuat pengungkapannya sebagai plot twist yang kini terbuka. Keambiguan yang dibangun di awal jadi hilang. Jadi terjawab, walau sebenarnya tidak ada urgensi yang menuntut film untuk menjelaskan semuanya. Sebab kesan yang diniatkan untuk kita rasakan kepada karakter-karakternya (terutama duality karakter utama) sebenarnya masih bisa tersampaikan. Penonton gak akan bilang ini film horor seseram film jumpscare. Penonton gak akan bilang ini film romansa. Apalagi film komedi. Dari bagaimana horor pembunuhan, flashback karakter lain, hingga ke teror psikologis yang mendera Ranum, kita sudah bisa merasakan ada sesuatu yang tragis di cerita ini. Sesuatu yang menyedihkan. Menurutku, penjelasan naratif yang dilakukan film ini di babak akhir masih bisa dilakukan dengan cara yang lebih tersirat, dengan pengadeganan yang lebih subtil dan sureal. Like, aku lebih suka film ini saat mereka menempatkan dua Ranum begitu saja di satu lokasi, membuat kita sendiri yang berusaha menyimpulkan sendiri. Tapi ya, mungkin film merasa itu bakal too much buat penonton. Mungkin film ingin memastikan penonton mengerti sehingga lebih mudah untuk melihat ini sebagai alternatif horor – bahwa genre horor bukan sekadar wahana jumpscare. Bahwa horor juga bisa dinikmati sebagai seni.
Memang, film ini vastly different dari horor lokal mainstream. Not bad-lah sebagai film pertama yang kutonton di tahun 2023 – film lokal pula! Horornya disajikan lebih sebagai kiasan dari perasaan. Hantunya pun dihadirkan lebih dari sekadar keberadaan yang menakutkan. Bahkan bisa dibilang, hantu di sini sebenarnya adalah sosok yang paling menyedihkan. Karena film ini sesungguhnya bicara trauma, karakter-karakternya mengalami kejadian traumatis di masa lalu dan one way or another harus deal with that. Dan hantu di sini adalah produk dari trauma tersebut. Untuk membimbing penonton ke jalur ini, sedari adegan pembuka, Garin langsung menyambut dan mengarahkan perhatian kita untuk tertuju kepada duality; bahwa ada sisi lain yang jarang disorot dan itulah yang disorot sekarang olehnya di film. Karena itulah menjaga tetap ambigu jadi langkah terbaik yang bisa dilakukan film ini. Supaya kita tidak terlepas dari duality tersebut. Tapi film merasa perlu juga untuk menjelaskan dengan lebih gamblang, sehingga kesan tersebut dihentikan menjelang babak akhir dan film menjadi pengungkapan yang lebih clear. Yang sayangnya juga mengurangi kemagisan dan art-nya itu sendiri.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for PUISI CINTA YANG MEMBUNUH.
That’s all we have for now.
Mengapa menurut kalian perasaan negatif kayak marah, galau, derita, justru bisa menghasilkan karya seni yang lebih bagus – like, lagu bagus aja biasanya tercipta dari orang yang patah hati?
Share pendapat kalian di comments yaa
Remember, in life there are winners. And there are losers.
We? We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA
It has been a blessed year for cinema. Gimana tidak. Bayangkan, tahun ini kita dapat dua film dari Guillermo del Toro. Dua film dari Steven Spielberg. Tiga film yang loosely berdasarkan kehidupan masa kecil/remaja sutradaranya masing-masing. Dua film Pinokio. Film studio gede maupun film yang lebih ‘sederhana’ saling susul menyusul bikin cerita dalam konsep dunia multiverse. Avatar, making a comeback dengan sekuel. Kita dapat akhir dari seteru ikonik antara Laurie Strode dengan Michael Myers. Yang lantas diikuti oleh banyak lagi horor-horor yang berusaha ngasih sesuatu yang revolutionary. Slasher, Whodunit, dan bahkan monster creature yang juga berisi kritik/satir isu sosial. Film dialog dengan jin juga ada. Also, Voldemort jadi chef sinting sekarang. Gila, horor memang lagi lucu-lucunya sekarang. Di Indonesia juga gitu. Horor marak lagi. Mumun jump into a big screen! Ada juga horor yang bikin satu apartemen jadi kayak satu wahana rumah hantu besar. Salah satu horor nembus nyaris sepuluh juta penonton, walaupun yah secara kualitas filmnya masih jauh di bawah. Tapi di sini, di daftar film-film top saat ini, kita hanya akan bahas yang baik-baik aja. So yea., Mulai bermunculan horor-horor yang lebih nyeni, yang lebih berisi daripada sekadar parade jumpscare. Ada superhero horor sekarang. Ada horor religi juga. Jumlah penonton semakin bergerak naik setelah sekian lama berkurung sebab pandemi. Selain horor, kita dapat lebih banyak lagi film-film yang mengangkat isu perempuan, dua film Gina S. Noer, film superhero lokal, dan film-film komedi yang mulai berani untuk menunjukkan kematangan tema secara serius.
Pokoknya, jadi penggemar film di tahun ini rasanya puas banget. Puas bisa kembali ke bioskop. Puas sama pilihan dan variasi tontonan yang semakin banyak. Puas, karena actually ada lebih banyak film bagus sekarang ketimbang film jeleknya. At least buatku. Waktu ngerecap nilai-nilai film yang udah direview sepanjang tahun – My Dirt Sheet sukses mereview 122 film di tahun 2022 (peningkatan dari tahun sebelumnya) – aku notice kalo tahun ini film yang dapat skor B ke atas (6 ke atas) jumlahnya banyak. Jumlah yang dapat S (8 ke atas) kayaknya paling banyak di tahun ini, selama aku ngereview di blog ini.
Aku cuma bisa senyam-senyum. Film-film itu ngingetin aku kenapa kita semua cinta pada film pada awalnya. Ngingetin bahwa film bisa begitu menginspirasi. Nah supaya senyumku enggak kelamaan (khawatir giginya kering!) maka kita mulai saja daftar Top-8 Movies 2022!!
HONORABLE MENTIONS
Before, Now & Then (Nana) (or as I called it ‘Selamanya Nana Terkurung’; film yang kayak perempuan Indonesia; cantik, tapi somehow tragis)
Black Phone (film horor tentang anak-anak yang benar-benar mencekam dan gak sekadar membuat mereka jadi objek.)
Bullet Train (di balik fast-paced action dan karakter-karakter unik nan kocak, film ini masih sempat nyiapin filosofi soal luck)
DC League of Super Pets (kelihatannya kayak kartun anak-anak yang simpel, tapi actually punya bobot yang gede. Film terbaik The Rock!!)
Nope (Jordan Peele strikes again, kali ini dalam horor creature yang ciamik!)
She Said (benar-benar ngasih lihat bahwa untuk empati kita hanya butuh ‘dengar dan rasakan’)
Tar (faux-biography komposer perempuan yang intens, Cate Blanchett show!!)
The Banshees of Inisherin (komedi tragis tentang gimana manusia menghadapi penolakan)
The Batman (temukan sendiri gimana rasanya benih harapan itu tumbuh pada kisah Batman dalam fase ’emo’ sebagai pahlawan)
Top Gun: Maverick (bukan hanya soal aksi-aksi pesawat tempur – yang beneran dilakuin Tom Cruise sendiri – film ini juga punya naskah yang supersolid)
West Side Story (kali pertama Spielberg garap musikal, rasanya sudah langsung ‘on another level’!!)
X – Pearl (dua dari trilogi horor Ti West yang benar-benar membekas berkat range luar biasa si Mia Goth)
Serta, Special Mention buat Ngeri-Ngeri Sedap, yang video ulasannya paling banyak ditonton di channel YouTube My Dirt Sheet. Dan kepada KKN di Desa Penari sebagai film dengan ulasan paling banyak dibaca di blog My Dirt Sheet tahun 2022. Man, film itu mecahin rekor di mana-mana
Oke, sekarang inilah DELAPAN BESAR 2022!!
–PS: seperti biasa, klik di judulnya untuk dibawa ke halaman full-review masing-masing
Director: Guillermo del Toro Stars: David Bradley, Gregory Mann, Ewan McGregor MPAA: Rated PG IMDB Ratings: 7.7/10 “You did bring me joy. Terrible, terrible joy.”
Guillermo del Toro merebut kembali dongeng si boneka kayu yang mau dibawa Disney entah ke mana. Tadinya aku udah hopeless. Versi live-action Disney yang rilis beberapa bulan sebelumnya, mengubah Pinokio jadi propaganda ‘woke’ semata. Kehilangan magis karakter dan dongengnya. Guillermo del Toro mengembalikan itu semua lewat Pinocchio versi animasi stop-motion yang bener-bener sebuah penceritaan dongeng yang fantastis dan magical.
Ceritanya kurang lebih sama, tapi dibuat ke dalam warna yang sedikit lebih dark. Kualitas desain produksi yang bisa kita harapkan dari om del Toro, hadir semua di sini. Desain karakter yang unik, panggung era perang, tema yang bicara soal kematian di balik hubungan anak dengan orangtua. Dia membuat Pinokio benar-benar jadi miliknya sendiri.
Karena film ini, aku jadi kembali percaya, sinema modern kita masih punya kekuatan ajaib dalam bercerita. Seni mendongeng itu masih ada, and it might be stronger than ever!!
My Favorite Scene: Aku masih terkagum-kagum gimana Guillermo del Toro kepikiran mengganti Negeri Nikmat dengan Kamp Pelatihan Perang untuk Anak-Anak. Arena bermain digantinya dengan panjat-panjatan dan obstacle courses buat latihan. Message yang diparalelkan loud-and-clear. Anak-anak yang terlalu patuh dan kaku tidak lebih baik daripada anak berandal yang bandel. Tentara sama aja kayak keledai, just follow rules! Adek-adek, cinta terkadang butuh kita untuk melanggar aturan!!
Director: Matt Bettinelli-Olpin, Tyler Gillett Stars: Neve Campbell, Jena Ortega, Melissa Barrera MPAA: Rated R IMDB Ratings: 6.3/10 “Because nobody takes the true fans seriously, not really. They just laugh at us, and why? Because we love something? We’re just a fucking joke to them! How can fandom be toxic? It’s about love! You don’t fucking understand, these movies are important to people.”
Wes Craven tidak membuat Scream sebagai slasher whodunit semata. Sejak film originalnya, Scream selalu juga bertindak sebagai komentar meta tentang genre horor itu sendiri; apa yang terjadi pada skena per-horor-an pada masa film itu dibuat. Itulah yang terutama membuat Scream konek dengan fans. Itulah yang membuatnya sebagai slasher yang cerdas.
Sebagai honor terhadap Wes Craven tersebutlah, Scream dilanjutkan kembali. Dan ya, film ini bukan soal membahas legacy Sidney semata. Film ini menyentil soal yang terpisahkan dari dunia film; penonton, penggemar. Fandom, yang di masa sekarang bisa menjadi begitu toxic, sampai-sampai membuat studio harus meluncurkan sekuel-sekuel reboot yang nothing but a cash cow. Sebagai penggemar-sejati, bahasan tersebut, yang merayap di balik kelanjutan teror Ghostface, menjadi menarik untuk dinikmati. Film ini actually ngelahirin istilah baru – rekuel – dan menikam apa-apa yang salah dari rekuel-rekuel tersebut.
Scream sendirinya adalah rekuel, namun mereka berani untuk ningkatin stake dan membuat dirinya terasa beneran urgen dengan karakter baru dan permasalahan (lama tapi) baru.
My Favorite Scene: Film-film Scream juga biasanya suka ‘becandain’ adegan-adegan film original. Di film ini, salah satunya adalah bikin adegan yang mirip ama kejadian di basement rumah Tatum di film pertama. Dan ini adalah adegan yang bikin aku jatuh cinta sama Amber – my new favorite Scream character! Di dialog basement tersebut udah keliatan dia ini ada gila-gilanya sedikit hihihi
Director: Mark Mylod Stars: Anya Taylor-Joy, Ralph Fiennes, Nicholas Hault MPAA: Rated R IMDB Ratings: 7.5/10 “Because. I need to know if you’re with us or with them.”
Makanan sering disimbolkan sebagai hal yang lain pada film. Termasuk pada The Menu, yang bicara soal menjadi snob dan gatekeeping art lewat cerita chef yang jadi ‘sinting’ dan mau bunuh diri beserta anak buah dan para tamunya dalam sebuah jamuan makan malam mewah terakhir.
This movie really hits me. Penampilan luar biasa Ralph Fiennes benar-benar membuatku memikirkan soal bagaimana cara yang benar untuk mengapresiasi seni, mengapresiasi film. Karena yang kita lihat di sini adalah chef yang great at what he does, yang percaya sama seni kuliner sampai ke akar filosofisnya, yang membuat rangkaian menu dengan tujuan dan konsep matang sebagaimana filmmaker menyiapkan filmnya, tapi di saat yang sama dia juga adalah orang yang telah kehilangan passion terhadap hal yang ia lakukan tersebut.
Nonton film ini ya awalnya tertarik, lalu ngeri, terus jadi kepikiran sendiri. Sungguh sebuah konsep luar biasa menarik dipunya oleh film ini. Dijual sebagai dark komedi thriller, padahal sebenarnya merupakan food for our thought. Pada lihat dong, gimana kondisi kuliner di sana seperti menyimbolkan sinema juga? Amit-amit kita jadi sinefil yang snob kayak foodies di film itu yaa
My Favorite Scene:
Ketika heroine kita berusaha mengembalikan sedikit passion itu kepada si chef, dengan memintanya membuatkan cheeseburger – as opposed to fancy meals. Maaan, adegan bikin burgernya bener-bener menggiurkan!!
Director: Robert Oslund Stars: Harris Dickinson, Charlbi Dean, Dolly de Leon, Woody Harrelson MPAA: Rated R IMDB Ratings: 7.6/10 “I sell shit.”
Berawal dari model disuruh pasang tampang semakin jutek, seiring semakin mahal busana yang dikenakan, ke persoalan split bill cewek-cowok, ke persoalan orang kaya karena jualan tai, ke terdampar di pulau, Triangle of Sadness adalah satir yang menyenggol gender-role dan kelas sosial.
Setiap dialog, setiap adegan, akan membuat kita menempelkan mata dan telinga, karena semuanya dibuat dengan begitu menarik. Kita tahu film ini ingin menyampaikan sesuatu di balik kejadian yang sekilas tampak shooting fish in the barrel. Kayak cuma pengen mengolok orang kaya, tapi sebenarnya naskah mengembangkan mereka dengan berimbang. Film ini salah satu contoh lagi dari naskah yang dibuat dengan penuh pemikiran dan maksud. Enggak sekadar lucu-lucuan. Strukturnya sendiri kalo kita cermati seksama chapter-chapternya, ya kayak segitiga juga. Karena film ini sesungguhnya memuncak di tengah, dan di akhirnya adalah situasi yang sama kayak di awal, hanya dengan pembalikan role buat karakter-karakternya.
Keren banget gimana film ini bisa membuat dunia yang mungkin gak familiar itu – gaya hidup model dan orang kaya – dijadikan candaan, tapi kemudian lantas jadi relevan.
My Favorite Scene: Badai di kapal! Serius, film ini gila banget masukin adegan seover itu tapi bisa gak tampak receh hahaha
Director: Quinn Shephard Stars: Zoey Deutch, Mia Isaac, Dylan O’Brien MPAA: Rated R IMDB Ratings: 6/10 “So maybe one day, I’ll forgive you. But we will never be OK.”
Man, di pembuka aku ngomongin horor lagi make a new hits, tapi yang akhirnya masuk daftarku malah komedi satir banyaknya hahaha.. I guess aku bener-bener naruh perhatian lebih buat naskah yang menarik dan cerdas. Not Okay mungkin film yang jarang terdengar di daftar-daftar terbaik, tapi inilah dia. Aku suka gimana film ini dengan perfect menangkap fenomena sosial media jaman sekarang. Sedari nulis reviewnya Juni lalu, aku sudah bilang aku bakal masukin ini ke daftar film teratasku. Segitu sukanya aku sama film ini.
Bukan hanya soal konten bohong demi viral, karakter Zoey Deutch – penampilan aktingnya ngalir banget di sini, sukak! – di film ini benar-benar tepat menggambarkan gimana seorang influencer bisa sok peduli dan akhirnya terjerat dalam lingkaran kebohongannya sendiri. The lie gets bigger. Dan film mentackle bahasan ini dengan membawanya ke ranah yang grounded secara emosional.
Yang hebatnya pada naskah film ini adalah caranya menggarap protagonis yang unlikeable seperti demikian. Film tidak lantas menjadikannya pahlawan – mendapat redemption setelah dicancel. Karena itu akan sangatlah tidak adil, sebab si protagonis kita sesungguhnya adalah outsider dari bahasan yang sok ia angkat dan pedulikan. Ini menunjukkan film benar-benar paham dan tahu apa yang sebenarnya pengen mereka kritik pada konsep influencer masa sekarang.
My Favorite Scene: Ini mungkin spoiler, tapi yah mau gimana.., Yang bikin aku suka ama film ini adalah pilihan yang mereka bikin diambil oleh karakter Zoey Deutch. Yaitu memutuskan untuk tidak jadi meminta maaf. Karena it’s not about her. Ini gak kayak di kita, yang banyak influencer bikin salah lalu segampang itu tinggal minta maaf. Film ini benar-benar mengerti dan membuat karakternya menyadari hal tersebut.
Director: Steven Spielberg Stars: Gabriel LaBelle, Michelle Williams, Paul Dano MPAA: Rated PG-13 IMDB Ratings: 7.7/10 “Movies are dreams that you never forget.”
Dari tiga film tentang kehidupan masa kecil/muda sutradara tahun ini, yang paling konek dan berkesan buatku adalah The Fabelmans karya Spielberg. Tadinya aku sudah nge-book spot buat West Side Story, ternyata Spielberg bikin film lagi, dan The Fabelmans ini actually resonance banget buatku yang pengen bisa bercerita seindah itu lewat film.
Terlihat jelas bahwa film sungguhlah penting bagi Spielberg. Karena di sini diceritakan tentang Sammy yang menemukan hidupnya dari kerjaan mengolah pita-pita yang ia rekam. Dari kerjaannya bikin video entah itu film untuk teman sekelas, maupun video liburan keluarga. At the emotional heart, film ini bicara tentang anak yang menemukan duluan ibunya ternyata tidak cinta dengan ayah. Kepentingan medium film berhasil dimasukkan berkait dengan aspek emosional tersebut. Yang menginspirasi adalah adegan-adegan saat Sammy menggarap video-video. Bagaimana dia menciptakan efek, bagaimana dia mengarahkan temannya. Dan gimana film yang ia hasilkan menyentuh setiap orang yang menonton. Lewat itu semua, Spielberg menunjukkan kekuatan sinema, bagaimana gerakan kamera dan segala macam aspek yang direkam dengan hati bisa mempengaruhi orang.
Kunci kesuksesan film ini juga datang dari penampilan akting. Sudah bukan rahasia lagi gimana Spielberg piawai ngedirect pemain-pemain, terutama yang muda-muda. Di film ini range arahannya tersebut, terbukti sangat luas. Seth Rogen saja bisa dibikinnya humanis!
My Favorite Scene: Akting singkat nan berkesan paling memorable adalah cameo David Lynch di akhir. Gila, di menit-menit akhir itu film masih sempat ngajak kita bercanda dengan dialog Lynch dan pergerakan kamera yang selaras dengannya pas di momen final film. Bisa aja!!
Director: Dan Kwan, Daniel Scheinert Stars: Michelle Yeoh, Stephanie Hsu, Ke Huy Quan, Jamie Lee Curtis MPAA: Rated R IMDB Ratings: 8.1/10 “So, even though you have broken my heart yet again, I wanted to say, in another life, I would have really liked just doing laundry and taxes with you.”
Awalnya aku hanya memandang ini sebagai Rick and Morty versi film keluarga. Lalu sebagai multiverse yang lebih keren daripada Dr. Strange. Tapi semakin ditonton, semakin kita masuk ke dalam durasi yang memperlihatkan perjuangan seorang ibu lintas multiverse, maka jelaslah sudah film ini jauh lebih besar dari semua itu.
Pertama, film ini juga menginspirasi untuk bikin film bagus, karena film ini actually bukan produksi gede. Budgetnya gak raksasa, timnya gak banyak. Tapi pencapaian visualnya luar biasa. Mereka membuat banyak sekali dunia yang ajaib, sebagai bagian dari multiverse, dan berhasil mengedit itu semua ke dalam penceritaan yang super duper kompleks. Syarat yang dipenuhi oleh film sehingga ceritanya tidak jadi bikin bingung – walau dunianya banyak dan bicara soal konsep nihilisme sebagai antagonis – adalah punya konflik yang grounded. Konflik ibu dan anak perempuannya, Konflik istri dengan suaminya yang terlalu baik.
Kedua, soal action. Film ini ngambil step yang jauh lebih gede dari konsep berantem ala kung-fu yang biasa kita lihat. Karena di sini, panggungnya adalah multiverse. Film menggunakan banyak sekali elemen-elemen unik dari panggung cerita, dari karakter (gimana awalnya gak bisa berantem, lalu jadi jago) sehingga semuanya jadi seru. Jamie Lee Curtis aja di sini bisa gilak gitu berantemnya. Harusnya jurus itu yang dia bawa pas ngelawan Michael Myers hihihi.
Ketiga, tentu saja naskahnya. Walau dunia, karakter, dan konsepnya zany, tapi karena kebutuhan film ini bukan jadi komedi meta kayak Rick and Morty yang basically punya konsep dunia yang sama, dialog-dialog di sini tuh bakal bikin hati kita diaduk-aduk alih-alih bikin bingung.
My Favorite Scene: Adegan batu. Aku sampai masukin itu ke nominasi Best Scene di My Dirt Sheet Awards 11 nanti. Perbincangannya benar-benar ngena, jadi kontras yang bergaung banget setelah semua kehebohan multiverse dan donat-donat sebelumnya.
Okeh, tinggal film puncaknya. Well, yang sudah lama ngikutin blog ini mungkin sudah bisa lihat polanya. Aku hampir selalu meletakkan film yang objectively beneran best di posisi nomor dua, karena posisi satu akan kuberikan untuk film yang benar-benar ‘gue banget’. Makanya tiap tahun, selalu banyak yang surprise haha.. Kenapa konsepnya begitu? karena this list is supposed to be subjective. Aku selalu berusaha seobjektif mungkin di review-review, berusaha ngasih skor yang paling mewakili kualitas filmnya secara teori dan penulisan naskah. Sekarang, saatnya ngumpulin film-film itu ke dalam satu daftar teratas, yang kalo orang lihat mereka langsung tahu “oh ini pasti daftarnya si Arya.” Daftar My Dirt Sheet. Aku gak mau ini list Top-8 ku ini saking seragamnya jadi kayak kayak daftar yang disusun oleh A.I.. Enggak. Cukup sketsa dan gambar saja yang dibikinin oleh komputer. Let me have this one!
Maka dari itu, inilah film yang menurutku paling pantas kuletakkan sebagai posisi puncak. Film yang bukan saja menginspirasi karena juga budgetnya gak gede, tapi juga mengembalikan cintaku kepada genre yang telah membuatku tertarik untuk nonton lebih banyak film lagi sedari awal.
Director: Damien Leone Stars: Lauren LaVera, David Howard Thornton, Amelie McLain MPAA: Not rated IMDB Ratings: 6.2/10 “Cause food’s a little funny, at the Clown Cafe”
Nasib horor/slasher modern ada di tangan Art the Clown.
Aku gak muluk bilang begitu karena kapan terakhir kali kita nonton horor yang gak ribet sama pesan politik atau isu sosial berlebihan, sekaligus gak takut untuk melanggar batas-batas sadis, brutal, jorok, dan lainnya, dan sanggup bikin karakter ikonik? Terrifier 2 berani dan melakukan itu semua. Setelah nonton film ini, aku gak khawatir lagi, Michael Myers can rest in peace.
Bukan berarti film ini kosong kayak ciki anak SD. Terrifier 2 adalah upgrade besar-besaran dari film pertamanya yang memang cuma gore-fest. Kali ini, Terrifier 2 dihadirkan dengan muatan drama dan plot yang berarti. Tentang kakak beradik sepeninggal ayah mereka. Kakak yang harus jadi pelindung bagi adiknya, pengganti sosok ayah, tapi si kakak ini masih galau dan gak percaya dia sanggup untuk semua itu. Plot sederhana yang berhasil jadi nyawa film ini, merayap di balik adegan-adegan pembunuhan yang gak nahan apapun. Inilah yang selama ini kuminta pada horor. Soalnya gak banyak horor atau slasher yang punya plot dan kesadisan sekaligus. Memang sih, karena level sadisnya, film ini bukan untuk semua orang. Kalo mau ajak pacar nonton ini juga kayaknya harus mikir dulu, it could be too gross. Totally, film ini bukan untuk yang faint-hearted, definitely tidak untuk ditonton saat makan. Aku aja panas dingin kok nontonnya. Dan itu membuktikan betapa film ini berhasil menciptakan ‘dunianya’. Terrifier 2 begitu kreatif, mereka juga gak punya budget gede, tapi berhasil ngasih sesuatu yang berdamage luar biasa dengan efek-efek horor/gore praktikal.
Secara akting, juga melebihi ekspektasi. Final girl dan si Art, bahkan si badut kecil yang bikin film ini jadi punya elemen mistis, semuanya dapat nominasi di My Dirt Sheet Awards. Pokoknya gak kayak horor Indonesia yang entah kenapa belakangan suka bikin final girlnya gak tersentuh, film ini beneran ‘menyiksa’ si karakter. Membuat survivalnya penuh oleh growth dan development, yang bikin kita ngecheer dia. Mengenai si Art, karakter ini bakal jadi ikonik karena punya kekhasan. Dia gilanya beda ama badut-badut di horor lainnya. To be honest, dibandingkan dengan Art yang bener-bener edan dan selalu sukses bunuh korban tanpa ba-bi-bu, Pennywise di It jadi kelihatan kayak anak pesantren yang alim hihihi
My Favorite Scene: Aku jarang sekali suka sama adegan mimpi, karena biasanya cuma digunakan untuk mancing cheap scare, tapi adegan mimpi di Terrifier 2 begitu elaborate dan penting dalam bangunan narasi. Begitu banyak kengerian dan kegilaan di sekuen panjang mimpi tersebut!!
So, that’s all we have for now.
Itulah daftar Top Movies 2022 My Dirt Sheet. The word here is the ‘magic of cinema’.
Berikut lengkapnya 122 film yang sudah direview dan dinilai di sepanjang tahun:
Apa film favorit kalian di tahun 2022? Apa harapan kalian untuk film di tahun 2023?
Share with us in the comments
Remember, in life there are winners. And there are losers.
We are the longest reigning PIALA MAYA’s BLOG KRITIK FILM TERPILIH.
It’s about time ada yang buat film tentang kehidupan pemilik toko sembako!
Hahaha seriously, kita bisa menemukan toko-toko yang jual jajanan kebutuhan sehari-hari tersebut di mana-mana. Rumahku practically dikelilingi oleh mereka sampai-sampai panggilannya berubah dari “kedai acong” dan “kedai si Gu” menjadi sesimpel “kedai belakang” dan “kedai depan”. Namun entah apa sebabnya tidak ada yang berani bikin cerita yang berpusat di lingkungan toko-toko kecil tersebut, I dunno – mungkin sejak warung Mak Nyak, padahal mereka begitu dekat dengan keseharian. Orang lebih tertarik sama film yang berjalan-jalan ke luar negeri. Jadi itulah sebabnya mengapa aku masuk ke studio dengan harapan yang cukup tinggi buat film ini. This could be a very interesting movie, dengan ide yang sederhana (namun ngena!), yang benar-benar dialami oleh pemilik toko di luar sana.
Cek Toko Sebelah pun tidak melewatkan kesempatan untuk berdekat-dekat ria dengan penonton. Setiap dialog, setiap adegan, setiap jokes terasa sangat lokal. Tidak susah untuk kita mengerti, tidak sukar bagi kita untuk merasa akrab dan erat dengan apa yang kita saksikan di layar. Kata orang, “it’s funny because it is true!”, Cek Toko Sebelah did a great job dalam menjaga dirinya tetap relevan dengan isu-isu yang berkembang di masyarakat. Film ini menempatkan KOMEDI SEBAGAI KOMODITI DAGANGAN PERTAMA, DAN DRAMA KELUARGA SEBAGAI JUALAN KEDUA sekaligus sebagai penggerak narasi.
“kalo gak percaya, cek toko sebelah!”
Mari bicara soal drama keluarganya duluan.
Koh Afuk yang mulai sakit-sakitan ingin terus melanjutkan usaha toko yang sejak dahulu ia lakukan bersama almarhum sang istri. Bagi Koh, toko ini punya sentimental value yang luar biasa. Dari antara dua putranya, Koh Afuk mempercayakan toko ke tangan anak bungsu, Erwin. Dan di sinilah Cek Toko Sebelah mengeksplorasi sisi dramatisnya. Erwin adalah pemuda yang lagi sukses-suksesnya di kantor, he has a great life going on; sebentar lagi dia bakal dapat promosi dan dipindahtugaskan ke Singapura. So obviously, Erwin dan pacarnya yang kece rada enggan disuruh ninggalin semua itu demi duduk nyatetin bon utang di toko keluarga. Keputusan Koh Afuk juga menimbulkan percikan api di dalam diri Yohan, anak tertua di keluarga. Yohan merasa left out so bad. Padahal secara keadaan hidup, Yohan dan istrinya lebih membutuhkan toko untuk menyokong his own family.
Sembari cerita berlanjut, kita akan mengerti alasan di balik kenapa Koh Afuk lebih mempercayakan tokonya kepada Erwin. At it’s heart, film ini bercerita banyak tentang masalah-masalah yang umum timbul dalam keluarga; pemasalahan sepele menyangkut trust, kerelaan, yang sebenarnya bisa diselesaikan dengan duduk baik-baik dan bicara. Film ini mencoba untuk menelaah problematika ini, yang justru terkadang bikin kita geram. Seringkali terbit rasa kesalku nonton ini karena realized apa yang tejadi kepada mereka bisa dengan segera beres jika Yohan mau ngomongin baik-baik keinginannya; jika Erwin dengan tegas untuk berkata “tidak” sedari awal.
Ada masing-masing sisi dari Erwin dan Yohan yang cukup terasa relatable buatku. Oh I’ve been there before. Aku tahu nyelekitnya enggak dipercaya oleh orang-orang yang sangat ingin kau pinjamkan pundak kepada mereka. Aku juga mengerti gimana beratnya untuk menolak permintaan dari orang yang kita cintai. And unfortunately, baik bagi Erwin dan aku, we learned in a hard way gimana ‘berpura’ menuruti kehendak demi nyenengin hati turns out adalah tindakan yang lebih menyakitkan. Inilah masalah terbesar dalam setiap keluarga; kita tidak terbuka dalam berkomunikasi. Dan lucunya, kita bertindak demikian dengan alasan menghindari konflik. Tanpa sadar bahwa itu justru membuat hal menjadi bagai api di dalam sekam.
Dan kemudian, ada sisi komedi.
Ada sejumlah anekdot segar dengan delivery timing yang oke yang bakal sukses bikin kita terpingkal. Sepertinya keputusan memakai para komika adalah tindakan yang tepat bagi film ini. There are some running-in jokes diintegralkan ke dalam narasi, yang actually punya pay-off dan really worked. Film ini akan memberikan kita hiburan yang konstan in terms of lawak-lawakan. Ketawaku paling keras datang pada adegan saat seorang satpam melakukan semacam mediasi antara Yohan dengan Erwin. Sebagai pembanding; kalo kalian suka nonton serial Scream Queens, kalian akan kebayang persisnya gimana humor dalam film ini bekerja. Over-the-topnya mirip, dengan lebih sedikit karakterisasi, sayangnya. Film ini juga memasukkan cerita persaingan antar-toko, untuk memperjelas struggle yang dialami oleh toko Koh Afuk, yang eventually membawa kita kepada salah satu adegan lovable yang really funny yang melibatkan dua pemilik toko yang ‘bersaing’.
Ayo siapa di sini yang udah sekolah tinggi-tinggi malah disuruh jagain legacy orangtuanyaa??
Namun begitu, aku tidak bilang Cek Toko Sebelah adalah film yang benar-benar hebat. It stands out sebagai film yang berani mengangkat topik original yang unconventional. Menghibur, iya. Dramatis, sering juga. Hanya saja tidak pernah tone tersebut terasa sejalan. Kurang mulus. Tone dan arahannya didn’t work for me. Setengah-pertama film – di mana kita akan melihat rangkaian adegan Erwin yang bekerja di toko yang diceritakan dengan menyerupai gaya montage – berat oleh unsur komedi, sementara dramanya baru datang setelah pertengahan. Film kerap pindah cut antara keadaan Erwin di toko dengan keadaan Yohan yang galau atau antara Koh termenung di toko dengan Yohan yang main kartu dengan teman-teman, dan setiap perpindahan adegan membuat kita terlepas dari emosi yang sudah terbangun di adegan sebelumnya. Membuat setiap sekuens rather episodic.
Kita tidak menyaksikan actual interaksi sodara antara dua tokoh sentral, Erwin dan Yohan, sampai ayah mereka jatuh sakit di tengah cerita. Di mana mereka kemudian bekerja sama, leads us ke sebuah resolusi yang terasa abrupt karena kita merasakan hubungan mereka, ataupun device untuk resolusinya, tidak diset-up properly. Isu terbesarku adalah dengan karakter Erwin. Yea, film ini menggunakan tiga tokoh yang berjalan paralel, akan tetapi hanya Erwin seoranglah yang tidak punya stake yang bener-bener bikin kita peduli kepadanya. Ditambah lagi, karakternya sendiri memang digambarkan kinda jerk, yang bagiku terlihat kayak rip-off serabutan dari karakter Schmidt di serial New Girl. Dia seorang yang selfish, but dia ngedraw a line soal gak mau bohong. And yet transisinya menjadi peduli kepada toko tidak pernah kelihatan. I mean, apa journey karakter si Erwin di sini?
“Makasih ya”/ “Kok makasi? Kita gak ngapa-ngapain kok” EXACTLY!!
Ernest Prakasa menyabet banyak penghargaan penulisan skenario untuk filmnya Ngenest di tahun 2015 adalah salah satu yang bikin aku penasaran sama film Cek Toko Sebelah. I think skenarionya kali ini rada convoluted, tho. But,dari performancenya sebagai pemeran Erwin lah, Ernest terasa paling kurang.Literally, dia dengan sukses outperformed by any other casts, bahkan oleh komika-komika dan peran komikal mereka. Penampilan Erwin begitu forced, adegan yang nampilin dia dengan pacarnya sungguh susah untuk dinikmati. With that being said,penampilan terbaik di film ini datang dari Dion Wiyoko yang berperan sebagai Yohan dan aktor asal Malaysia Chew Kin Wah yang memainkan tokoh Koh Afuk. Karakter dan journey mereka lebih compelling sebagai tokoh utama. Pun mereka berdua memainkan range emosi masing-masing dengan seamless. Momen saat mereka berdua menjelang akhir film punya weight emotional yang kuat karena mereka memainkan peran dengan benar-benar contained.
Menawarkan adegan menghibur secara konstan. At times, menyenangkan. Meski begitu, aku tidak bisa bilang suka banget sama arahan narasi film ini, yang meski tak konvensional namun terasa konyol buat inti ceritanya. It feels a bit too orchestrated, tho. Bahkan segmen behind the scenes di closing credit kayak scripted. Padahal film ini berangkat dari premis yang begitu grounded. Komedinya kocak akan tetapi aku juga tidak bisa bilang film ini diselamatkan oleh komedinya. It work best when it tries to capture the dramatic side of its story. Film ini sepertinya aware dengan kelemahan resolusi-real yang dimiliki oleh ceritanya – as in nothing would happen jika mereka mau membicarakannya baik-baik sedari awal – jadi ia menyamarkannya dengan lanjut menjadi sedikit over-the-top. Dan untuk karakterisasinya, tidak banyak yang dijual selain pada tokoh Yohan dan Koh Afuk. The Palace of Wisdom gives 7 gold stars out of 10 for CEK TOKO SEBELAH.
That’s all we have for now.
Remember, in life there are winners and there are losers.
“Never be ashamed of where you came from; Who your family is.”
Masih ingat Erwin yang menolak diwarisi toko kelontong oleh ayahnya, karena pengen berkarir di Singapura? Begini keadaannya sekarang; Erwin terduduk galau. Dia mendapat ultimatum keras dari ibu calon mertua. Kalo cinta dan masih mau menikahi Natalie, Erwin harus merelakan untuk tidak mengambil kerjaan di Singapur. Harus tetap stay di Indonesia. Tapi itu juga akan berarti dia telah membuat ayahnya – yang sudah merelakan toko keluarga demi mendahulukan anak-anaknya – kecewa. Ernest Prakasa menempatkan karakter yang ia perankan dalam posisi yang sulit, sebagai kait emosi dalam sekuel Cek Toko Sebelah. Tanpa kehilangan warna komedi yang menghiasi latar dan karakter-karakternya, drama keluarga Tionghoa ini ternyata masih berlanjut, dengan permasalahan ‘permintaan orangtua’ yang lebih berat. Sampai bawa-bawa soal gender dan kelas sosial segala, saat keluarga Erwin yang sederhana ditemukan dengan tuntutan keluarga Natalie yang dikepalai oleh ibu yang powerful nan kaya raya.
Dari CTS jadi CRS; Crazy Rich Sebelah
Sementara Erwin bergulat dengan permintaan ibu Natalie, Yohan dan istrinya yang galak, Ayu (Dion Wiyoko dan Adinia Wirasti reprised their role, dengan penambahan muatan drama) harus berhadapan dengan permintaan baru dari ayah mereka. Koh Afuk meminta anak sulungnya itu untuk segera punya momongan. Agaknya, Koh Afuk yang sudah pensiun dari ngurusin toko itu merasa kesepian. Pengen main-main ama cucu. Masalahnya adalah, Ayu belum siap untuk punya anak. Sehingga ini memancing tensi di antara keluarga mereka. Apalagi ketika Koh Afuk dengan sengaja ngide supaya temannya menitipkan anak kepada Yohan dan Ayu. Kehadiran Amanda dan kameranya (Widuri Puteri, penampilan singkat dan berkesan) diharapkan ngasih perubahan suasana di rumah Yohan dan Ayu. Buatku, permasalahan keluarga Yohan terasa lebih menohok. Perspektif Ayu yang ditonjolkan di persoalan gak mau punya anak ini ngasih muatan emosional yang kuat terhadap tema yang menjadi benang merah keseluruhan cerita Cek Toko Sebelah 2. Yakni tentang tidak malu terhadap keluarga sendiri. Jika pada cerita Erwin, permasalahan tersebut tercermin secara gamblang; di hadapan ibu camer yang kaya, Erwin terdesak dan terpaksa bohong mengenai ayahnya yang kini pensiunan yang gak ada kerjaan dan mengenai abangnya yang pernah berurusan dengan substance terlarang, maka pada Ayu hal tersebut tercermin jadi suatu sudut pandang di level yang berbeda. Karena keluarga Ayu got real dark, dan ini scarred her for life.
Kita tidak bisa memilih di mana dan dari siapa kita lahir. Beberapa orang terlahir berkecukupan, sementara beberapa lagi lahir dalam kekurangan. Beberapa lahir dalam keluarga yang menyayangi, beberapa lahir basically sama saja kayak tanpa sosok orangtua. Tapi alih-alih malu, akar tersebut sebaiknya dijadikan pijakan untuk menjadi orang yang lebih baik. Seperti orangtua kita yang punya alasan tersendiri, kita juga mestinya punya alasan untuk jadi lebih baik.
Memang, seperti film pertamanya, Cek Toko Sebelah 2 juga dikembangkan dengan multi-perspektif. Erwin, Koh Afuk, dan karakter lain punya cerita atau masalah sendiri. Tentu saja ini membuka ruang yang luas untuk eksplorasi karakter tersebut. Membuat mereka punya momen masing-masing, baik itu yang ringan maupun yang emosional. Kayak, kita jadi bisa melihat gimana hubungan Erwin dan Natalie yang sweet dan lucu terjalin. Karakter Natalie sudah ada sejak film pertama, namun baru di film ini personalitynya diperlihatkan mendalam. Dan Laura Basuki adalah pilihan yang lebih dari cukup, as in, Laura Basuki bener-bener menghidupkan karakter ini, jadi natural, berkat range aktingnya. Natalie di sini bisa menimpali awkwardnya Erwin dengan berbagai feeling, bisa unyu kayak anak remaja, bisa juga serius kayak orang dewasa pacaran beneran. Chew Kinwah juga mampu membawa Koh Afuk tetap dinamis, meskipun di film kali ini perannya cukup ‘berkurang’, dalam artian screen time maupun ya, literally gak banyak banget yang dilakukannya di sini selain gelisah Yohan belum punya anak dan Erwin bohong mengenai dirinya. But when he did, impact emosionalnya bakal gak kalah gede.
Dari semua karakter, yang mau aku khususkan di sini adalah antagonisnya. Si Ibu calon mertua, yang diperankan oleh Maya Hasan. Penulisan karakternya keren. Antagonis sebenarnya tidak bisa begitu saja disederhakan sebagai penjahat. Antagonis lebih tepatnya adalah lawan dari protagonis; orang yang menjadi rintangan dari karakter utama cerita. Dan dalam cerita yang bagus protagonis versus antagonis bukanlah soal benar lawan salah, baik lawan jahat. Melainkan soal perbedaan prinsip, standpoint. Belief. Antagonis yang hebat membuat kita mengerti standpointnya. Membuat kita paham dia bisa berpikir seperti itu darimana. Dengan kita paham si antagonis, maka otomatis kita jadi mengerti betapa dia jadi sebenarnya rintangan buat protagonis. Jadi hambatan yang bakal memaksa protagonis untuk berubah, memikirkan ulang pilihannya. Nah si mama Natalie ini persis demikian. Kita bisa melihat dia nyusahin Erwin dengan syarat-syarat dan campur tangan di segala urusan, tapi kita juga tahu dia ada benarnya. Omongan si tante soal keadilan dan tindakannya setelah tahu Erwin bohong, kita tidak melihat itu sebagai tindakan seorang yang jahat, walaupun kita tahu dia bakal bikin ‘hero’ kita sengsara. Aku memang lantas teringat sama ibu mertua di Crazy Rich Asians (2018). Sosok matriarkal yang sama powerfulnya. ‘Kebenciannya’ terhadap Rachel yang ia sangka gold-digger, terus mendorong si protagonis untuk menunjukkan bahwa ia orang yang tepat untuk anak si ibu. Membuat protagonis mengembangkan diri. Dan puncaknya adalah adegan mahyong yang menyabet Best Movie Scene di My Dirt Sheet Awards 8Mile (2018). Point is, dinamika antagonis dan protagonis membuat narasi jadi ada gonjang-ganjing sampai akhirnya punya konklusi yang terasa earned bagi semua orang. Saat journey mereka berakhir dan mereka melihat dengan lebih baik sekarang. Cek Toko Sebelah 2 harusnya bisa mencapai ketinggian emosi yang sama. Atau mungkin malah lebih, mengingat ada lebih banyak karakter dan masalah.
Erwin masih beruntung, seenggaknya calon mertuanya gak kayak mertua di Bajaj Bajuri hihihi
Aku terus menunggu ‘adegan mahyong’ versi Cek Toko Sebelah 2. Menunggu momen Erwin menunjukkan perkembangan, dan stand up for himself. Owning semua kesalahan sekaligus memperlihatkan dia sudah jadi orang yang lebih baik. yang paling pantas untuk Natalie. Dan adalah salah si ibu untuk tidak melihat semua itu. Tapi yang actually kita dapatkan adalah Erwin balik badan dan ‘kabur’ dari si ibu. Momen pembelajaran ternyata ada pada karakter si Ibu dan Koh Afuk. Dua orangtua yang tadinya meminta suatu hal. Kan jadi lucu. Film ini dibuka oleh sekuen dua anak muda yang bertemu lalu jadian , tapi resolve masalah di akhir adalah karakter lain. Like, kalo pembelajarannya memang pada orangtua, maka cara atau struktur bercerita film ini enggak sesuai dengan tujuan tersebut. Sebab dengan membuatnya seperti begini, justru yang tertampilkan adalah karakter utama kita – si Erwin – dan pasangannya – enggak ada problem. Enggak ada pembelajaran. Erwin ninggalin semua orang aja bisa beres dengan gampang.
Multi-stori atau multi-perspektif dituliskan oleh Ernest dengan lebih baik pada film Cek Toko Sebelah yang pertama. Di film itu ketiga karakter sentral selain punya masalah, tapi juga punya development masing-masing. Mereka diberikan stake masing-masing. Karir, cinta, dan warisan. Pada saat penyelesaian, ketiganya terasa ‘ngelingker’, terasa telah menjadi pribadi yang lebih baik ketimbang saat di awal cerita. Sedangkan pada film sekuelnya ini, terasa kayak dibagi-bagi. Yang punya stake adalah Erwin. Yang punya development atau perubahan adalah Ayu dan Ibu Natalie. Yang resolve semuanya Koh Afuk. Ini juga membuat keseluruhan narasi seperti terkotak-kotak episode. Oh awalnya episode kenalan Erwin ama Natalie. Terus pindah dulu ke episode Yohan dan Ayu mengasuh Amanda. Terus ke episode pernikahan. Tiap episode punya puncak dan penyelesaian sendiri. Enggak mengalir bareng-bareng.
Soal jokesnya, aku gak mau bilang banyak. Yang jelas gaya joke khas film-film Ernest tetap dipertahankan. For better and worse. Better, karena sekarang sudah lebih mulus masuk ke narasi utama. Worse, karena beberapa adegan lucu-lucuan tersebut not really add anything to the story. Misalnya kayak candaan soal pikun di sepuluh menit pertama film. Candaan yang sangat elaborate. Perlu diingat, sepuluh menit pertama krusial bagi film karena di periode itu film bakal mati-matian ngeset tone, stake, motivasi protagonis, serta tentang apa sih cerita mereka. Sehingga ketika ada candaan panjang yang membahas soal pikun, seolah film sedang mengeset permasalahan pikun sebagai yang bakal dihadapi oleh karakter. Tapi ternyata tidak. Pikun itu ternyata hanya sebatas candaan selewat, seperti banyak lagi nantinya candaan selewat yang menambah-nambah durasi. I mean, sungguh waktu yang aneh untuk memasukkan candaan, sementara sepuluh menit pertama mestinya digunakan untuk ngeset yang lebih penting. So yea, agak disayangkan penulisan film ini agak menurun dibanding yang pertama. Padahal secara penceritaannya sendiri, Ernest banyak menggunakan teknik-teknik baru. Seperti main di editing seperti jump cut, juga main di kontras warna seperti memberikan warna yang lebih kinclong saat di adegan-adegan orang kaya dan lebih oren saat di adegan lebih sederhana.
Setelah Teka-Teki Tika (2021) yang kayak api kebakaran hutan alias naskahnya merambat ke mana-mana, jadi besar secara liar, Ernest Prakasa slowly bangkit dan kembali ke yang bikin dia bercokol di perpetaan film tanah air pada awalnya. Yaitu cerita keluarga yang grounded. Dengan warna yang memberikan identitas kepada karakter dan dunia ceritanya. Sekuel ini berhasil menyambungkan cerita, mengekspansi karakter-karakter yang sudah dikenal lewat permasalahan baru. Multi-storinya membuat dunia cerita menjadi lebih kaya, memuat karakter lebih banyak dan lebih kuat personality. It has moments, hanya saja struktur berceritanya sedikit penurunan dibandingkan film pertama yang lebih ngalir. Film kedua ini dibentuk dengan lebih episodik, dan dibagi-bagi. Karakter antagonisnya dituliskan kuat, tapi protagonisnya tidak diberikan hal yang sama. Yaah, mungkin itu ‘sebelah’ yang dimaksud film ini. Pembangunannya sebelah-sebelah hihi
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for CEK TOKO SEBELAH 2
That’s all we have for now.
Bagaimana menurut kalian soal cowok yang actually punya penghasilan di bawah ceweknya, kayak Erwin dan Natalie?
Share pendapat kalian di comments yaa
Remember, in life there are winners. And there are losers.
We? We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA
Karanglah cerita setinggi langit, lalu daratkan ia dengan permasalahan realita. Itu memang bukan peribahasa, melainkan karanganku saja. Kenapa aku tega niru-niruin pepatah? Karena aku masih dalam pengaruh semangat James Cameron yang bikin film luar biasa mentereng dan jauhnya, tapi dengan permasalahan yang merakyat. Yang kita semua bisa mengerti bisa terjadi kepada kita. Semua film memang harusnya begini. Permasalahan yang kita bisa relate, tapi diceritakan dalam panggung yang seliar-liarnya. Dua film Avatar adalah bukti James Cameron paham soal ini. Dia telah menciptakan dunia nun jauh di sana, dengan makhluk-makhluk, ekosistem, aturan-aturan, hingga mumbo jumbo fiksi ilmiah dan spiritual lainnya tanpa menjadikan semua itu ribet. Inti ceritanya tetap membumi. Di sisi lain, ceritanya boleh saja mirip dengan film lain yang kita ingat, namun karena pembangunan dunianya luar biasa, film tersebut lantas jadi beda. Pada Avatar pertama (aku actually nonton untuk pertama kali pada malam sebelum ke bioskop nonton sekuel ini) Cameron bicara urusan sesimpel menjaga hutan di balik perkara penjajahan dan tembak-menembak. Film kedua kali ini, cerita bahkan lebih dekat lagi. Kali ini urusannya adalah urusan keluarga. Bagaimana menjadi orangtua yang baik terhadap anak-anak.
Dulunya manusia, kini Jake Sully sudah tenteram hidup bersama bangsanya baru. Bangsa Na’vi bertubuh biru yang menghuni pedalaman hutan bulan Pandora. Anak Jake ada tiga, plus satu anak angkat, dan satu lagi anak manusia yang selalu bermain bersama. Keluarga yang besar berarti tanggungjawab yang juga besar. Ini membuat Jake jadi kepala keluarga yang sedikit kaku. Ketika Sky People (alias militer dari Bumi) kembali ke Pandora, kali ini dengan tujuan utama membalas dendam kepada dirinya, Setelah reunian berbahaya dengan former enemy, Jake langsung tahu ia tidak bisa membiarkan keluarga tetap dalam bahaya. Tak ingin melukai siapapun, mantan tentara ini memaksa istri dan anak-anaknya untuk pindah. Kabur sebelum Kolonel Quaritch yang dihidupkan kembali dari klone memory – dan kini juga bertubuh Na’vi – menyerang rumah mereka. Jake mengira dengan pindah, berbaur tinggal dengan klan air di Selatan, keluarganya bisa aman. Tapi tentu saja, kepindahan itu tidak mudah bagi anak-anak dan istri Jake. And also, tindakan Jake bisa berarti sama dengan ia menggiring musuh untuk membahayakan Na’vi-Na’vi air dan makhluk sekitarnya yang tak berdosa.
Jagalah laut dan jangan lupa hormat sama makhluk hidup di sekitarnya
Durasi yang sampai tiga jam lebih berusaha dimanfaatkan film ini untuk menggali banyak perspektif. Oh man, film ini punya banyak sekali perspektif. Kita gak hanya ngikutin Jake seorang. Kita juga diperlihatkan mulai dari masalah beberapa anak Jake, hingga ke persoalan personal klone kolonel Quaritch dan anaknya. Perspektif-perspektif tentu saja menambah layer dan bikin kita makin termasuk ke dalam dunia cerita. Karena dengan begini, film semakin nunjukin betapa hidupnya dunia mereka. Karakter-karakter di sana beneran punya sesuatu. Tidak sekadar ‘serang dan bertahan’. Dari putra tengah Jake, si Lo’ak kita melihat cerita anak yang berusaha memenuhi ekspektasi ayah untuk menjadi pejuang yang sama dengan abangnya. Cerita si Tengah yang selalu dibandingkan, padahal dia punya kelebihan lain dan so desperate untuk memperlihatkan siapa dirinya itu kepada orangtua. Lo’ak akan sering memisahkan diri, dia nanti akan punya sahabat-hewan tersendiri – yang sama-sama terkucil dari kelompok. Persahabatan Lo’ak dengan hewan kayak paus berbaju zirah itu actually jadi salah satu relasi yang heartwarming yang dipunya oleh film ini. Sehubungan soal misahin diri, kita juga diperlihatkan cerita Kiri, anak angkat keluarga Jake, yang merasa berbeda dari yang lain. Kiri punya origin dan kekuatan yang sama-sama misterius.
Dan satu lagi yang menarik adalah tentang Spider. Bocah manusia di antara keluarga mereka. Yang actually dipanggil monkey boy, karena dia memang kayak tarzan di sana. Spider sebenarnya adalah anak dari Kolonel – antagonis film pertama yang telah tewas, dan di film ini klonenya hidup kembali dan jadi musuh utama juga. Sehingga si Spider sebagian besar waktu akan berada di state yang bimbang dia sebenarnya harus apa, harus ada di pihak siapa. Koneksi antara Spider yang di lubuk hati pengen punya seorang bapak tapi bapaknya dia tahu adalah orang jahat, ketemu dengan si jahat yang punya reputasi to uphold (juga dendam yang harus dibayar tuntas kepada Jake dan keluarga birunya) sementara di lubuk hati dia pengen nunjukin sayang sama anaknya, sesungguhnya betul-betul menarik. Film ini sebetulnya kayak berada di dalam sebuah tambang emas emosional. Mestinya bisa kaya sekali oleh perasaan, Spider dengan ayahnya ini toh juga paralel dengan Jake dengan anak-anaknya. Bagi para orangtua itu, ini adalah soal “melihat” anak mereka. Ini adalah persoalan yang sama dengan yang dibicarakan oleh Pinokio versi Guillermo del Toro (2022), dan lihat gimana film tersebut mencapai ketinggian emosional dengan benar-benar menggali relasi emosional tersebut. Level ketinggian emosional yang sayangnya tidak bisa dicapai oleh Avatar 2. Karena Cameron hanya membuka perspektif tapi tidak sedemikian dalam membahas masing-masingnya. Avatar 2 tetap dibiarkan simpel, dan sebagian besar hook emosional berusaha dihadirkan lewat cara lain. Yaitu lewat pengalaman visual.
Memang, kalo bicara soal visualnya, Cameron benar-benar menyuguhkan penampakan yang bikin kita berlinang air mata saking bagusnya. Atau kayak temenku, yang katanya matanya berair karena keberatan makek 3D dan kacamata beneran hahaha.. Intinya, semua dikerahkan Cameron supaya visual film ini maksimal. Shot-shot di bawah air semuanya tampak genuine. Cakep banget. Makhluk-makhluk fantastis itu juga kayak beneran hidup. Ini punya kepentingan khusus pada narasi, karena makhluk-makhluk itu diceritakan bakal berkomunikasi dengan karakter kita. Bahwa mereka adalah bagian dari planet dan masalah yang menimpa (thanks for the human) dalam cara yang lebih grande, lebih spiritualis ketimbang gimana kita melestarikan alam di dunia nyata kita. Makanya bagi film ini adegan-adegan seperti Lo’ak berenang bareng Tulkun (udah kayak menari!), Tuk dan Kiri eksplorasi laut, lebih penting untuk difungsikan sebagai penghantar emosi. Film ini lebih jor-joran menggali Tulkun melawan manusia, lebih menggali arc si manusia yang menganggap remeh mereka, ketimbang karakter lain, misalnya Spider yang malah tampak sengaja gak beneran dibahas dulu untuk hook ke film ketiga. Aku ngakak dan ngecheer melihat si paus armor ngadalin si manusia. Aku juga terhanyut sama pemandangan dan pembangunan dunianya. Tapi gimana pun juga, prioritas utama kita nonton kan cerita. Journey karakter. Ketika film berdurasi panjang, bioskop ber-AC dingin, sehingga bikin kebelet dan harus ngatur strategi kapan ke WC, aku tentu saja memilih untuk ‘break’ saat showcase visual ketimbang harus melewatkan adegan-adegan ngobrol. What I’m trying to say is, kemegahan visual enggak akan berarti banyak kalo ujung-ujungnya cuma jadi bathroom break lantaran adegan itunyalah yang terlalu extend dilakukan oleh film. Jadi, ya, menurutku film ini harusnya bisa mengatur waktu lebih erat lagi, karena ada begitu banyak spot indah dibanding adegan yang actually membahas konflik personal karakter. Like, berenang ama Tulkun aja muncul beberapa kali. Mestinya bisa bercerita dengan memanfaatkan waktu dengan lebih efektif lagi.
Pendapatku masih sama dengan pas nonton film pertama; Nih film kalo dijadiin game SNES pasti seru deh!
Film yang pertama, dengan bahasan yang lebih sempit, terasa lebih terarah. Pemanfaatan waktunya terasa pas. Babak set upnya saja sudah bikin aku kagum karena betapa efektifnya film tersebut menyampaikan eksposisi dan informasi. Tidak pernah terasa sumpek dan lambat, melainkan dilakukan dengan cepat dan tepat guna. Kita langsung mengerti rules dan konflik karakter dan segala macamnya. Sehingga ketika film itu masuk ke bagian yang total action, emosi itu semuanya tinggal mengalir dari bendungan build up yang telah tersusun rapi. Film kedua ini, tidak terasa begitu. Babak set upnya boring sekali (dan perlu diingat ini film tiga-jam, sehingga set up di sini berarti sekitar satu jam-an). Avatar 2 praktisnya persis dengan yang dikatakan Kolonel saat pep talk; using the same song. Lagu lama, digunakan untuk membangun masalah. Manusia yang datang untuk menjajah. Kolonel yang mau ngasih hukuman ke Jake, si manusia yang membelot ke pribumi. Cuma masalah lama (aku juga gak bilang aku suka sama pengulangan villain, dengan alasan teknologi klon memori blablabla) dengan cara yang sedikit dibedain. Penjelasannya, ditambah dengan pengenalan singkat keluarga Jake, terasa tumpang tindih. Film ini baru benar-benar menarik dan terasa beda saat Jake sudah pindah ke klan atau suku air. Ketika environment jadi baru. I wish film menemukan cara yang lebih baik lagi untuk menceritakan Jake harus pindah dan sebagainya, karena alasan Jake di sini pun sebenarnya sudah ada pada film pertama. Dia nyuruh pindah dan nyelametin diri, tapi istri dan na’vi hutan lain gak ada yang mau. Jadi basically, arc si Jake gak banyak beda ama film pertama.
Enggak ada orang yang jadi damai dengan kabur dari masalah. Tenangnya cuma sebentar, masalah itu pasti akhirnya akan menyusul. Masalah tidak akan hilang sebelum dihadapi, dan justru akan bisa semakin bertambah besar jika diabaikan. Karena problem sesungguhnya berasal juga dari dalam. Jake yang memutuskan membawa keluarganya lari supaya selamat, pada akhirnya membawa masalahnya itu kepada orang lain. Keselamatan keluarga semakin nyata terancam.
Dan kalo dipikir-pikir lagi, bahkan konflik karakter lain tadi juga mirip kayak yang pernah dialami Jake di film pertama. Spider yang seperti berpindah-pindah, kadang dia mihak ke ayahnya, lalu next time dia ikut sepupu-sepupu angkatnya lagi; ini kayak Jake di film pertama berada pada titik dia bimbang mau menyelesaikan misi militer atau berpihak kepada bangsa Na’vi. Lo’ak yang menyendiri sama kayak Jake yang akhirnya jadi tidak diakui oleh dua pihak, dikucilkan oleh manusia dan juga Na’vi yang merasa dikhianati. Memang, sebenarnya film kedua ini punya beat-beat yang sama dengan film pertama. Hanya pelakunya saja yang dibikin beda-beda. Hanya tempat dan lingkungan saja yang bikin terasa fresh. Kali ini di air, dengan makhluk-makhluk air. Anak-anak Jake yang harus belajar berada di lingkungan itu sama saja kayak Jake di film pertama yang belajar bagaimana hidup bersama bangsa Na’vi di hutan. Di antara soal itu, dengan konflik karakter yang tidak dibahas mendalam either karena pengen tetap simpel ataupun karena disimpan untuk sekuel, film ini jadi kurang menggigit. Yang memuaskan di film ini jadinya cuma bagian aksi di akhir, yang sukurnya memang dibuat jor-joran dan epik.
Sebagai hiburan tentu saja film kedua ini punya nilai lebih. Dengan banyak karakter dan personality, cerita jadi lebih hidup. Lebih enak juga untuk ditonton bersama seluruh keluarga (meskipun ada beberapa adegan aksi yang terlalu intens untuk anak kecil). Dari segi cerita film ini ringan, dan sedikit terlalu simpel. Sampai ke titik film ini terasa kayak hanya punya visual sebagai senjata utama. Galian konfliknya kurang, padahal ada banyak perspektif. Cerita juga tidak banyak bergerak, sampai saat karakter sudah pindah ke dunia baru. Lalu baru di satu jam terakhir, di porsi aksilah, film jadi benar-benar hiburan untuk ditonton, karena sudah tidak ada lagi waktu untuk mereka berusaha memasukkan narasi-narasi simpel mengisi durasi. Dibandingkan dengan film pertama, menurutku film ini tidak lebih baik. Waktunya tidak termanfaatkan efektif. Bukannya terasa lama, tapi tidak efekti dari segi muatan cerita. Lebih fun, sih iya, tapi fun yang lebih kurang mengalir.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for AVATAR: THE WAY OF WATER
That’s all we have for now.
Apakah menurut kalian tiga jam adalah waktu yang lama untuk sebuah film yang sesimpel ini? Atau justru sebaliknya?
Share pendapat kalian di comments yaa
Remember, in life there are winners. And there are losers.
We? We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA
“Obedience keeps the rule, Love knows when to break them”
“Pure magic.” Begitu kata Stephen King buat Pinocchio versi Guillermo del Toro. Komentar yang bukan sekadar basa-basi promosi dari pengarang misteri dan fantasi hebat ke pengarang misteri dan fantasi hebat satunya. Pinokio si boneka kayu selalu punya tempat di hatiku, karena itulah salah satu dongeng pertama yang pernah aku dengar. Nino bobo ku waktu kecil adalah kaset sandiwara Pinokio versi Indonesia yang jadul itu. Gedean dikit, aku dikasih VCD Pinokio Ateng & Iskak. Baru, lama setelah itu, aku baru nonton Pinokio versi animasi Disney klasik. Petualangan Pinokio yang gak boleh bohong, bolos sekolah ke negeri nikmat, kemudian menari-nari di dalam perut ikan paus, benar-benar tertanam jadi khayalan menarik bagiku, karena waktu kecil aku termasuk anak yang males sekolah hehe.. Jadi Pinokio semacam pengingatku untuk menjadi lebih baik. Karena nonton berbagai macam versi Pinokio itulah, aku bisa mengonfirmasi, komentar King tadi benar adanya. Selain pure magic, Pinocchio punya del Toro adalah versi terbaik karena dia ngasih sesuatu yang vibe dongeng klasiknya kuat, sekaligus juga menghadirkan elemen baru – sesuatu yang lebih! untuk kita pikirkan.
Dan aku senang dengan kehadiran Pinocchio yang ini. Soalnya belum lama ini kan, Disney ngeluarin versi live-action dari animasi Pinocchio klasik mereka. Disney pengen ngebalikin pesan yang ada dari dongengnya. Bukan lagi soal Pinokio berusaha menjadi lebih baik (menjadi anak manusia) tapi jadi soal dunia-lah yang harus menerima Pinokio sebagai boneka kayu, sementara si Pino gak perlu berubah. Pinokio yang kukenal, yang kujadikan panutan untuk jadi anak yang sedikit lebih baik tatkala merasa malas sekolah, jadi berasa soulless. Disney sok-sok mau ngubah cerita Pinokio jadi ‘kekinian’, tapi failed. Untungnya, cerita Pinokio direset kembali oleh kehadiran versi Guillermo Del Toro ini. Dikembalikan ke state klasik, namun dengan muatan modern yang dilakukan dengan jauh lebih baik. Di animasi stop-motion ini, Pinokio tetep harus belajar jadi lebih baik, dan begitupun juga dengan dunia sekitarnya harus belajar memperlakukan Pinokio – someone yang berbeda – dengan lebih baik.
Mamam tuh, Disney!!
Guillermo del Toro bukan saja dengan sukses merebut kembali dongeng si boneka kayu dari cengkeraman kapitalis sok woke, beliau juga berhasil membuat film ini seperti miliknya sendiri. Panggung fantasi Pinokio dibawanya ke timeline signature dirinya, ke masa-masa perang. Pinokio kini juga seperti Ophelia dan banyak lagi karakter dalam film del Toro; anak yang mengarungi hidup dalam periode perang. Dongeng ini jadi slightly darker, tapi bukankah dongeng-dongeng anak memang selalu punya akar atau origin yang kelam seperti itu? Anyway, cita rasa khas tersebut sudah dihadirkan del Toro sejak menit pembuka. Instantly kita langsung tahu bahwa ini Pinokio yang sama, tapi juga berbeda. Di film ini, Pinokio tidak dibuat dengan cinta. Melainkan oleh rasa marah, sedih, duka yang melebur jadi satu. Geppetto (disuarakan oleh David Bradley dengan penuh range emosi) kehilangan anak semata wayang, keluarga satu-satunya, akibat perang. Kita melihat pak tua itu mabuk-mabukan di dekat kuburan anaknya dari perspektif Sebastian Cricket (kepentingan karakter jangkrik yang disuarakan Ewan McGregor sebagai narator lebih kelihatan di film ini) yang nangkring di dalam pohon pinus. Dalam galaunya, Geppetto menebang pohon itu, memotong-motongnya, serabutan membuat boneka dari kayu-kayu itu. Ketika spirit hutan menghidupkan boneka asal-asalan tersebut – sambil menugasi si jangkrik yang hidup dalam bolongan kayu yang kini ada di dada si boneka untuk jadi ‘hati nurani’ – Geppetto tidak melihatnya sebagai anugerah. Dia hanya melihat Carlo, anaknya. Jadilah, Pinokio di cerita ini bertualang menghadapi mulai dari sirkus boneka hingga monster laut, bukan untuk menjadi anak manusia, melainkan jadi seperti anak Geppetto yang tiada.
Enggak perlu animasi mentereng ‘seolah-nyata’, film ini tahu bahwa animasi hanyalah medium bercerita. Dan itulah yang digunakannya semaksimal mungkin untuk membuat cerita ini layaknya dongeng yang magis. Animasi stop-motion yang ditampilkan tampak fluid dan cocok dengan estetik fantasi yang dihadirkan. Karakter manusianya unik-unik, ada kesan grounded sekaligus ‘masuk akal’ bagi kita di dunia mereka ada hewan-hewan yang bisa bicara atau bertingkah kayak manusia. Satu lagi elemen yang gak ada di versi sebelumnya adalah dunia cerita yang kali ini, menyandingkan fantasi (spirit) dengan agama. Pinokionya bahkan dibikin kayak ‘paralel’ dengan Yesus. Sama-sama dibuat dari kayu, sama-sama putra yang harus menjawab sang ayah, malah ada dialog Pinokio yang menyebut “Dia sama seperti saya, tapi kenapa saya dibenci dan dia disembah” saat melihat ibadat di gereja, Khususnya memang, aku suka desain si Pinokio. Walaupun cuma kayu yang kasarnya kayak diukir dan dirangkai susun kayak ngasal, tapi nyatanya karakter ini begitu ‘hidup’. Matanya gak kosong kayak Pinokio versi live action Disney. Buktinya, kita benar-benar bisa membedakan dari matanya mana Pinokio saat hidup dengan dia saat cuma boneka. Dan itu hanya bisa tercapai karena karakter ini benar-benar dikasih personality. Bukan sekadar boneka polos. Mulai dari adegan-adegan dia bernyanyi, merusak barang di rumah penuh keingintahuan, nekat kerja di sirkus supaya ayahnya punya duit, film terus berusaha ngasih sesuatu yang membuat Pinokio ini punya spark. Suara Gregory Mann yang anak-anak banget pun menambah banyak dalam membuat karakter ini begitu likeable, apalagi permasalahan dia relate buat penonton yang pernah ngalamin berjuang memenuhi ekspektasi orangtua.
Paham modern yang diangkat del Toro dalam cerita yang aslinya tentang boneka yang pengen jadi anak manusia adalah soal seperti apa sih sebenarnya anak yang baik itu. Multiple perspective dilakukan oleh film sehingga kita bisa melihat gimana contoh hubungan anak dan orangtua dapat menjadi tidak sehat lantaran orangtua, dalam film ini sosok ayah, terlalu maksain keinginan. Seperti Geppetto yang ingin Pinokio jadi Carlo. Ataupun karakter bernama Podesta yang mewajibkan anaknya jadi tentara ke medan perang. Anak-anak memang harus patuh kepada orangtua, tapi itu bukan lantas berarti harus membuang siapa diri mereka sebenarnya. Itu bukan lagi cinta, melainkan tak ubahnya aturan militer.
Apa yang dilakukan film ini terhadap Negeri Nikmat, aku juga suka banget. Jika di Pinokio yang dulu kita melihat anak-anak nakal bermain sepuasnya, manjat-manjat, lari-lari, tertawa-tawa, maka film kali ini mengganti bagian tersebut dengan anak-anak yang memanjat dan berlari-lari menyelesaikan tantangan ketangkasan di tempat latihan militer. Anak-anak ini, termasuk Pinokio, disuruh jadi tentara sejak dini. Harus disiplin dan segala macem. Sekilas ini tampak sungguh berkebalikan dengan Negeri Nikmati dan Pinokio jadul, tapi kalo disimak ternyata efeknya sama. Anak-anak yang nakal sama tidak baiknya dengan anak-anak yang patuh tapi kaku. Apalagi jika itu di luar kemauannya sendiri seperti karakter Candlewick, atau anak yang sama sekali tidak mengerti yang ia lakukan kecuali buat nyenengin orangtua seperti Pinokio yang antusias bilang “I love war!” meskipun kita tahu boneka kemaren sore seperti dia tahu apa soal perang. Image anak-anak yang disuruh pakai topeng gas saat berperang itu pun eerily mirip sama anak-anak di Negeri Nikmat yang jadi keledai. Mereka udah bukan anak-anak lagi, intinya.
And also, tentara berarti sama aja ama keledai, sama-sama dicolok hidungnya buat ngikut perintah sang tuan.
Dua hal, sebenarnya, yang bikin aku was-was. Yang pada awalnya bikin aku gak yakin sama keputusan film ini. Yang membuatku berpikir “tidakkah ini melemahkan kepada karakternya?”. Pertama adalah soal Pinokio di sini dibikin tidak bisa mati, tapi dia ‘bisa’ mati. Nah lo, bingung kan? Jadi, Pinokio bakal ngalamin kejadian yang membuat dia bakal mati kalo dia adalah manusia beneran. Tapi karena si Pinokio bukan manusia, jadi setiap kali dia ngalamin mati, dia hanya masuk other realm, tempat saudaranya si Spirit Hutan yang memberi dia hidup. Pinokio tinggal menunggu waktu (yang semakin lama, semakin panjang) untuk bisa kembali ke dunia. Awalnya kupikir ini meniadakan stake. Pinokio jadi tidak perlu takut gagal atau mati, dia tinggal nunggu dan balik lagi. Kupikir ini cuma cara film memindahkan Pinokio ke dalam situasi lain. Tapi ternyata ini deep juga. Dimanfaatkan untuk hook emosional di akhir. Ternyata ini cara film untuk membuat Pinokio ‘ada kerjaan’. Supaya Pinokio bisa punya pilihan. Karena kalo dia mau jadi anak manusia, berarti dia akan kehilangan ability tidak bisa mati. Dan dia nanti memilih ini demi menyelamatkan orang yang ia sayangi ketika mereka semua dalam bahaya yang berhubungan dengan gencetan waktu.
Hal kedua yaitu soal hidung Pinokio. Jujur pas ngeliat adegan Pinokio gunain hidungnya untuk keluar dari masalah, aku bengong. Aku sudah percaya film ini lebih baik dari versi live-action Disney. Tapi kemudian mereka melakukan hal yang sama dengan Pinokio versi tersebut. Mengapprove menggunakan kebohongan untuk menyelamatkan diri. Aku mikir panjang setelah nonton, like, kenapa film malah ngelakuin ‘kesalahan’ yang sama di menit-menit terakhir. Ternyata jawabannya simpel. Dan adegan tersebut sama sekali tidak melemahkan film ini. Perbedaan mendasar adegan itu di antara kedua film adalah, di Pinokio del Toro, usulan berbohong supaya idung panjang Pinokio bisa digunakan untuk selamat bukan berasal dari Pinokio itu sendiri. Sekali lagi, Pinokio diberikan waktu untuk mengambil keputusan sesuai dengan konteks pembelajaran karakternya. Pinokio akhirnya memutuskan untuk mengikuti usulan tersebut, selain demi keselamatan, juga karena itulah bentuk dari pembelajaran yang ia alami. Bahwa cinta kepada orangtua berarti juga siap untuk melanggar aturan. Pinokio walau wujudnya kayu tapi hatinya belajar untuk jadi manusia tulen, karena ia akhirnya mampu mengenali cinta dengan tulus, dia tidak lagi blindly following love. Tinggal Geppetto (dan para orangtua) yang masih harus belajar mencintai tanpa ada aturan yang mengharapkan seseorang harus menjadi seperti apa.
Jika diurut, certainly, versi del Toro ini adalah yang terbaik dari Pinokio-Pinokio yang kutonton. Gagasan cerita lamanya masih ada, tapi juga ditambah dengan gagasan baru yang akhirnya jadi saling menambah satu sama lain. Menghasilkan pengalaman nonton yang magical sekaligus menyentuh. Cerita tentang hubungan anak dengan orangtua yang kental nuansa fantasi. Nyanyian-nyanyiannya pun gak kalah asik dengan versi Disney. Elemen yang lebih kelam soal kematian dan perang dan bahkan di balik bisnis sirkus/hiburan tidak pernah memperibet cerita. Melainkan justru menambah kaya perspektif. Kekuatan utama film ini setelah penceritaan, memang karakter-karakter. Yang punya personality kuat. Pinokionya beneran jenaka dan extremely loveable. Ada beberapa momen yang bikin aku sempat meragukan, tapi film ini berhasil kelar dengan gemilang. Guillermo del Toro really owns this. Sekali lagi. Mamam tuh, Disney!
The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold stars for GUILLERMO DEL TORO’S PINOCCHIO
That’s all we have for now.
Bagaimana pandangan kalian soal disiplin terhadap anak? Bagaimana supaya tidak terlalu ‘militer’ seperti yang dilakukan salah satu karakter ayah pada film ini?
Share pendapat kalian di comments yaa
Remember, in life there are winners. And there are losers.
We? We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA
“When the devil tempts you to doubt, don’t let your circumstance determine your God”
Horor dulu simpel. Baik lawan jahat. Hitam lawan putih. Setan lawan Tuhan. Namun hal jadi semakin kompleks seiring kita sadar kalo manusia dapat menjadi lebih iblis daripada setan. Bahwa agama sekarang bisa dijadiin kedok oleh manusia untuk nurutin hawa nafsunya. Like, setan aja minder ngelihat perilaku manusia sekarang. Agama direduce jadi alat politik, kampanye kebencian. Malah tahun 2000an dulu sempat marak acara tv yang menjual ustadz bak superhero pengusir setan dengan jungkir balik baca ayat yang dijadikan mantra. Sehingga orang jadi gak percaya. Kini semua itu jadi membaur, yang putih ternyata hitam, dan yang hitam ternyata bisa jadi pihak yang baik. Makanya film horor pun sekarang banyak yang agak ‘ribet’. Film Qodrat garapan Charles Gozali tampak dibuat untuk mengembalikan kodrat baik lawan jahat yang mulai mengabu tersebut. Mengembalikan harapan akan masih ada pembela kebenaran, ustadz-ustadz, orang-orang yang truly baik, yang benar-benar bisa memberikan pertolongan. Orang-orang seperti Ustadz Qodrat.
Ketika kita pertama kali bertemu dengannya, Ustadz Qodrat sedang dalam titik terendah dalam hidupnya. Dia gagal merukiyah putranya sendiri. Alif, sang putra, tewas. Qodrat dipenjara, Dan dia jadi ogah sholat. Setelah kejadian horor yang membuatnya sempat ngerasain mati, Ustadz Qodrat pulang ke Pesantren Kahuripan. Hanya untuk menemukan pesantren dan desanya dalam kondisi bak neraka dunia. Gersang, air dan makanan kurang, dan banyak penduduk, terutama anak-anak yang sakit dan kesurupan. Salah satu dari mereka adalah putra dari Yasmin, yang kebetulan juga bernama Alif. Kesamaan itulah yang digunakan oleh setan musuh bebuyutan Ustadz Qodrat untuk sekali lagi membunuh Qodrat dan mengkafirkan sebanyak mungkin manusia di sana dalam prosesnya.
Pak Ustadz pake jaket kulit jadi kayak Kotaro Minami
Kesurupan memang trope yang sudah sering dipake, baik itu di horor lokal maupun horor mancanegara. Qodrat sendiri bahkan sudah ngasih nod – adegan dengan sesuatu yang clearly mereferensikan – ke film horor yang memulai soal kesurupan dan usir setan, The Exorcist (1973) di adegan pembuka. Dengan menyajikannya di depan seperti demikian, film tidak hanya ngasih respek ke film ‘senior’ tersebut, tapi juga ngasih tahu ke kita “oke, we’ve done the reference, itu selesai, sekarang; inilah yang baru, yang kami tawarkan” Dan memang sesegera itu Qodrat berusaha bermain-main dengan cara menampilkan trope kesurupan, dan berusaha menjadi dirinya sendiri. Kayak di awal itu, film actually menggunakan pov orang-pertama, jadi kita belum melihat wajah Qodrat. Kita seolah melihat dari posisi Qodrat langsung, bagaimana tampang si anaknya ketika setan Assauala merajalela di dalam sana. Menit-menit awal itu udah kayak mainin game first-person horor. Setelah itu, vibe film ini jadi kayak film silat jadul, apalagi dengan lokasi desa di bukit. Si Qodrat udah kayak pesilat yang mengembara hingga sampai ke suatu desa. Bedanya. pesantren dan desa itu adalah semacam kampung halaman baginya. Tapi tempat itu jadi nyaris sepenuhnya asing bagi Qodrat. Ini memberikan lapisan kepada konflik karakternya karena menyelamatkan desa tersebut bagi Qodrat juga berarti adalah menyelamatkan sesuatu yang dia kenal, menyelamatkan dirinya sendiri.
Setan telah bersumpah untuk berusaha sekuat tenaga tak kenal lelah demi menyesatkan umat manusia. Kita melihat di film ini bahkan pemuka agama seperti Qodrat berada pada ancaman terjerumus yang nyata. Pesan moral kebaikan dan kejahatan yang dikandung film ini memang tidak lantas menjadikan cerita hitam-putih polos aja, melainkan jadi cerita dengan elemen hitam dan putih yang begitu volatile, dan kita akan merasakan dan merefleksikan kengerian dari bagaimana kedua elemen itu tertampilkan dalam desain film ini.
Vibe film silat makin berasa karena ustadz-ustadz di sini jago berantem semua. Rukiyah yang mereka lakukan didesain oleh film melibatkan aksi-aksi fighting seolah ustadz adalah hero dan setan yang merasuki orang adalah supervillain. Tapi tidak pake jurus-jurus flashy, sehingga film ini terasa lebih grounded daripada Jagat Arwah (2022) yang memang lebih menguatkan pada fantasi. Dan perlu diingat, yang dirasuki di sini ini adalah sebagian besar anak kecil jadi aksi di film ini bisa terasa sangat intens. Ustadz Qodrat pasang jurus tapi bukan untuk melukai, tapi setan yang mengamuk lewat wujud anak kecil akan full force menyerang melakukan hal-hal mengancam nyawa. Mereka gak peduli nyakitin siapa saja. Untuk tetap stay true dengan genre horornya, film ini tak lupa memasukkan adegan-adegan yang pure hantu-hantuan. Yang dilakukan dengan cukup variatif, enggak hanya sekadar orang kesurupan teriak-teriak. Ada makhluk-makhluk horor dengan make up dan efek seram, pastinya. Malah ada creature anjing besar hitam yang berhasil juga blend dengan environment sehingga tampilannya mulus. Terus ada adegan surealis juga; favoritku adalah adegan kue ulang tahun. Yang jadi Bapak di sekuen itu (sori, aku gak tau nama aktornya), kupikir aktingnya brilian juga ngasih vibe supercreepy. Aktor-aktor cilik yang kesurupan juga lumayan sih, cuma aku kurang suka ketika untuk adegan kesurupan maksimal, film mengoverlay suara mereka dengan suara seram. Aku susah mendengar yang mereka katakan, dan kuharap film juga ngasih subtitle untuk dialog-dialog kesurupan, jangan cuma pada dialog ayat Al-Qur’an aja. Bicara soal itu, selalu merinding melihat setan mencemo’oh manusia dengan ayat-ayat kitab suci, dan film ini ngasih banyak momen merinding seperti demikian. Also, film berhasil ngambang di batas yang netral sehingga bacaan ayat-ayat di sini tidak terdengar kayak jampi-jampi konyol ala acara tv pengusir setan, ataupun tidak terdengar totally preachy.
Sebelum ini, di thriller horor Inang (2022) kita sudah gimana pasangan ibu dan anak di real life, dicast sebagai antagonis dan protagonis, dijadikan efek ekstra untuk horor yang dipersembahkan cerita. Tapi film yang lebih psikologis itu tidak memberikan momen ibu dan anak ini berantem horor beneran. Nah di Qodrat ini, akhirnya kita mendapat hal yang semacam itu. Film ini ngecast Vino G. Bastian sebagai Ustadz Qodrat, dan istri aslinya, Marsha Timothy sebagai Yasmin, janda dua anak yang minta pertolongan karena anaknya kesurupan. Dan later sebagai final battle kita akan lihat Vino dan Marsha ‘bunuh-bunuhan’. Maan, pastilah fun bagi mereka hahaha. Bagi kita, however, intens adegan tersebut jadi semakin bertambah. Karena selain kita udah terbuild up bahwa mereka pasangan beneran, kita juga terbuild up dan terinvest sama karakter masing-masing. Film actually memberi subplot keluarga Yasmin porsi yang cukup besar, it was easy bersimpati kepada single mother yang anaknya yang masih kecil kesurupan, sementara anaknya yang remaja, well, berada di umur gak suka semua yang dilakukan ibunya. Vino dan Marsha memainkan part mereka dengan baik, namun naskahlah yang sebenarnya berhasil membuat Ustadz Qodrat tidak kerebut spotlightnya oleh Yasmin. Naskah actually berjuang untuk terus mengembalikan kendali di Ustadz Qodrat sebagai tokoh utama. Yaitu dengan cara membuat semua masalah di film ini berakar kepada luka menganga di hatinya yang terbentuk sejak gagal menyelamatkan putranya sendiri.
Bahkan dengan elemen sebanyak itu, film ini sepertinya masih menyimpan lebih banyak lagi untuk very-possible sekuel!!
Enggak gampang dengan muatan elemen sebanyak itu menjaga cerita masih tetap pada rel karakter utama. Black Adam (2022) aja gagal kok, film itu malah jadi kayak cerita karakter lain. Makanya, aku mengapresiasi film Qodrat ini, karena usahanya untuk melakukan hal yang benar terkait naskah. But yea, it is a hard thing to do. Qodrat ceritanya oke, karakternya punya plot, naskah menjaga supaya karakter utamanya tetap utama, hanya saja berusaha navigate cerita supaya ‘benar’ dengan elemen sebanyak itu, Qodrat terasa clunky saat berjalan. Pengembangannya masih belum mengalir benar, masih kayak poin-poin saja. Perubahan si Qodrat dari yang tadinya mulai goyah iman gak mau shalat ke menasehati orang supaya memegang kuat iman terasa berlangsung gitu aja. Segampang efek mati suri saja. Padahal efek-efek itu yang mestinya jadi tempat film menggali supaya lebih genuine. Efek setelah sembuh dari kesurupan yang saat kesurupan melukai keluarga sendiri. Efek setelah sahabat meninggal. Alih-alih itu, film berjalan simply karena naskah menuliskan. Bukan seperti rangkaian progresi natural yang ditulis menjadi naskah. Akibat yang utama terasa adalah karakternya jadi kurang bebas terekspresikan. Ustadz Qodrat jadi kayak beneran munafik ‘berdakwah’ pada orang lain tentang Tuhan sementara dirinya sendiri masih bergulat dengan rasa bersalahnya hingga tak mau shalat subuh. Karakter putrinya si Yasmin juga begitu. Dia jadi kayak beneran gak sayang sama adiknya lantaran naskah menginginkan Qodrat lah yang membongkar kuburan, menyelamatkan anak bungsu Yasmin. Usaha si cewek remaja tersebut menggali kuburan jadi tidak genuine seperti usaha seorang kakak menyelamatkan adiknya yang dikubur hidup-hidup. Nah, itulah maksudku soal naskah menemukan kesulitan membuat situasi jadi genuine dalam usahanya menjaga supaya si Qodrat yang tetap beraksi, supaya semua kembali kepada masalah personal Qodrat.
Contoh yang terakhir sebenarnya agak lucu sih. Jadi setelah menyelamatkan desa dan Kepala Pesantren, Qodrat dapat reward berupa… motor keren!! Hahaha, ini kayak outofnowhere banget. Karena kita gak pernah diperlihatkan interest Qodrat ama motor, ataupun transportasi sendiri sebelumnya. Motor itu sepertinya diberikan sepertinya karena nanti di sekuel Qodrat harus punya kendaraan atau semacamnya. Jadi motor itu gak terasa genuine masuk sebagai reward, melainkan dituliskan karena ya harus ada itu, gitu. But at least, karena ini toh kita jadi dapat adegan keren Ustadz Qodrat naik motor di jalanan sepi, udah persis kayak penutup Satria Baja Hitam 90an! XD
This could be start for an exciting franchise.For real, this time. Franchise yang superhero-ish tapi genre horor bermuatan lokal. I’ve been saying this for a long time: mungkin genre superhero Indonesia akan benar-benar meledak bukan dari meniru jagoan-jagoan super dari komik luar melainkan, dari mengangkat cerita-cerita seperti Wali Songo, pahlawan nasional, atau sesuatu yang lokal seperti yang dilakukan film ini, yang dibentuk menjadi seperti superhero. Yang ditiru cukup konsep jagat sinematiknya saja. Mungkin Ustadz memerangi setan seperti inilah konsep superhero yang cocok bergaung pada masyarakat kita. Aku senang film ini hadir dengan kelihatan seperti benar-benar mengembalikan kodrat film ala Indonesia itu seperti apa. Ceritanya ngasih putih lawan hitam, tapi dengan pemikiran yang tidak saklek lewat pengembangan karakternya. Punya banyak elemen, yang sekaligus mengset up sekuel, tapi berhasil membuat cerita stay di jalur milik karakter utama. Walaupun memang, progres ceritanya jadi clunky, ngalirnya kurang genuine. Tapi sekali lagi, film ini mungkin jadi awal franchise kesuperhero-superheroan yang sebenarnya bagi Indonesia, setelah cukup banyak superhero ala barat yang kesannya hanya adem ayem saja.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for QODRAT
That’s all we have for now.
Apakah menurut kalian film ini berhasil ngasih cerita yang kental agama tanpa menjadi preachy? Apakah menurut kalian film modern butuh untuk kembali seperti film jadul yang punya garis hitam-putih yang jelas?
Share pendapat kalian di comments yaa
Remember, in life there are winners. And there are losers.
We? We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA