SRIMULAT: HIL YANG MUSTAHAL – BABAK PERTAMA Review

 

“Keep your eyes on the stars and your feet on the ground”

 

 

Grup lawak dulu ada banyak. Each of them had their own TV show. Dengan gaya lawakan masing-masing; bukan hanya antara satu grup lawak dengan grup lawak lain, tapi juga antaranggota dalam satu grup lawak sendiri. Meski bervariasi begitu, toh mereka punya kesamaan. Sama-sama digandrungi penonton. Candaannya selalu dekat dengan penonton. Salah satu grup lawak yang paling fenomenal adalah Srimulat. Seperangkat komedi asal Surakarta ini sudah ada bahkan sebelum stasiun televisi menjamur di tahun 90an. Illustrious career grup yang anggota pelawaknya banyak banget inilah yang coba diadaptasi oleh sutradara Fajar Nugros. Dijadikan hiburan sesuai dengan hashtag yang diusung. ‘SaatnyaIndonesiaTertawa’. Kalimat yang mengisyaratkan bahwa film ini dibuat untuk mengembalikan kita ke masa-masa tertawa bersama. Makanya alih-alih memperlihatkan struggle grup lawak yang sudah lewat keemasannya di masa kini seperti yang dilakukan oleh film Finding Srimulat di tahun 2013, kitalah yang diajak oleh Nugros ke periode Srimulat masih muda, masih aktif manggung dengan segala suka dukanya. I was so ready mencemplung ke kehidupan mereka, untuk menyimak gimana sih kisah mereka, seperti apa mereka aslinya. Dalam salah satu adegan ceritanya, karakter Basuki menasehati karakter Gepeng. “Karena jelek, maka harus lucu!” Sayangya, nasehat tersebut dijadikan literal pedoman oleh Nugros dalam mempersembahkan kisah grup legendaris ini.

Ternyata ceritanya tidak dimulai dari bagaimana Srimulat pertama kali bisa sampai terbentuk. Frame ‘Babak Pertama’ film ini ternyata dimulai dari Srimulat sudah terkenal di Jawa. Tarzan, Nunung, Asmuni, Timbul, Kabul, Basuki, Djudjuk sudah jadi bintang panggung. Kelompok seniman pimpinan Teguh Slamet Rahardjo ini siap menjadi lebih besar saat undangan untuk tampil di stasiun televisi tiba. Mereka diminta ke Ibukota, dan manggung di depan presiden Soeharto! Tapi ada satu masalah yang mengganjal Pak Teguh. Dia menemukan lawakan grupnya mulai gak lucu. Mulai stale. Adalah Aris alias Gepeng, anak dari salah seorang musik pengiring yang menyuntikkan candaan segar lewat celetukannya kepada Srimulat setiap kali nampil. Pak Teguh mempercayakan Gepeng untuk ikut bersama rombongan Srimulat ke Jakarta. Tentu saja ini jadi kesempatan emas bagi Gepeng untuk menggapai mimpinya sebagai anak desa yang sukses jadi pelawak di ibukota!

Aku baru tahu kalo Asmuni ternyata seperti Undertaker. Sama-sama ‘locker room leader!’

 

 

So essentially, film ini adalah cerita Gepeng membuktikan diri untuk dapat diterima oleh rekan-rekan pelawaknya yang udah lebih dulu punya nama (yang tidak berarti banyak begitu mereka semua tiba di Jakarta) dan berpengalaman manggung lebih banyak. Gepeng terutama disinisin ama Tarzan, yang merasa ‘senior’. Asmuni basically jadi semacam mentor bagi Gepeng, dan Basuki yang tampak seumuran dengannya jadi sahabat sekaligus jadi ally yang paling percaya dan mendukung Gepeng masuk menjadi bagian dari keluarga Srimulat. Karakter Gepeng diperdalam dengan sedikit lapisan asmara; dia naksir sama gadis betawi, Royani, anak pemilik kontrakan. Arc si Gepeng sebenarnya udah cukup kuat untuk jadi pondasi sebuah drama komedi, semacam tipe underdog story. Tapi tentu saja Srimulat bukan tentang Gepeng seorang. Seperti yang sudah kita sama tahu, Srimulat adalah grup lawak, jadi naturally ada banyak karakter yang menanti untuk digali. Untuk dibahas. Apalagi mereka semua ini adalah tokoh nyata, yang sudah ikonik penampilan, gaya, bahkan cerita hidupnya.

Hal pertama yang dilakukan Fajar Nugros dalam menghandle ini adalah menghimpun castnya. Menarik sekali pilihan pak sutradara soal cast ini. Salah satu concern-ku sama film Indonesia beberapa tahun terakhir ini adalah soal pengotakan cast, berdasarkan fungsi peran mereka. Banyak kita jumpai film yang membagi urusan komedi akan khusus dimainkan oleh komika atau komedian, sementara cerita utama – pemain utama – hanya mengurusi drama alias bagian-bagian yang serius. Bahkan seperti sudah ada bagian khusus, seperti Asri Welas atau Ence Bagus yang selalu kebagian mengisi peran minor untuk komedi. Ini kan jadi membatasi range para aktor. Bintang utama jadi harus kayak jaim melulu, bintang pendukungnya jadi receh terus. Dalam Srimulat ini, untungnya Nugros memberikan kepercayaan kepada aktor untuk bermain komedi. Bintang-bintang muda seperti Bio One, Zulfa Maharani, Elang El Gibran diberikan kesempatan untuk meggali akting komedi mereka. Masing-masing mereka killed their role perfectly. Bukan hanya mimik, Gibran beneran seperti Basuki muda (vokal dan gaya ngomongnya), dan Bio One berhasil menjaga karakternya lewat range yang tampak natural. I would love to see apalagi yang bisa dilakukan Zulfa sebagai Nunung muda, karena di film ini perannya masih agak terbatas. Dialognya masih terus-terusan either soal dia pengen nembang  atau soal running jokes singkatan anu kepanjangannya apa. Dan harus diapresiasi juga Zulfa dan Bio One menempuh transformasi fisik untuk mendukung penampilan akting mereka. Sungguh berdedikasi anak muda mau mengubah berat badan mereka demi peran.

Para aktor muda itu bermain bersama more established stars seperti Ibnu Jamil, Teuku Rifnu Wikana, Dimas Anggara, Morgan Oey, bahkan Rano Karno, yang juga dipersilakan menjenguk kembali sisi banyol yang mereka miliki. Refreshing aja melihat mereka bermain di peran yang berbeda dari biasanya. Terutama Morgan Oey yang paling jauh dari perannya yang biasa. Sementara aktor yang paling sering muncul dalam comedic role singkat, Erick Estrada, kebagian peran yang sebenarnya justru paling dalem secara emosional sebagai Tessy. Selain Gepeng, aku memang paling tertarik sama cerita Tessy alias Kabul. Naskah memang melingkupi proses kenapa seniman pria bernama Kabul itu memilih untuk jadi persona Tessy di atas panggung. Ada bagian cerita ketika para Srimulat harus mencari gaya atau ‘gimmick’ mereka masing-masing. Mereka semacam menempuh perjalanan terpisah. Bagaimana Tarzan bisa sampai memilih seragam tentara sebagai ciri khasnya, bagaimana Gepeng memilih haircut, kita bahkan dapat bagaimana ceritanya Paul bisa jadi punya kostum Drakula (for this reason, film ini juga punya sedikit elemen horor hihihi). Nah si Kabul, perjalanannya sebenarnya bisa sangat kompleks. Ini bukan saja soal dia memakai cincin batu akik di semua jari (kalah deh Thanos!) ataupun soal dia jadi bencong. Ada emotional core perihal Kabul merasa ‘terganggu’ sejak dilempari sepatu dan dianggap gak lucu oleh Pak Teguh di awal cerita. Aku sebenarnya pengen melihat ini lebih banyak termanifestasi sebagai actual storyline.

Masing-masing karakter pelawak di grup Srimulat datang ke Jakarta membawa mimpi. Mereka mau sukses. Jadi bintang seperti Titiek Puspa. Namun lessons yang harus mereka ingat adalah seniman harus selalu membumi. Impian boleh setinggi bintang di langit, tapi mereka harus tetap membaur. Seragam ABRI, waria, pembantu, majikan, bahkan hantu adalah sesuatu yang mereka pilih untuk tetap menapak dengan penonton. Dan tentu saja itu juga tersimbol pada tantangan utama yang harus mereka hadapi bersama di cerita ini. Tampil dengan full berbahasa Indonesia!

 

Langkah kedua adalah mempersembahkan cerita. Diniatkan sebagai ‘Babak Pertama’ (asumsiku ini Srimulat bakal jadi trilogi, but I might be wrong) film ini ternyata beneran kayak babak pertama dari film-panjang tiga babak. Pembahasannya memang menutup; film ini berakhir dengan tinggi seperti plot poin satu ngehook untuk masuk ke babak kedua. Setelah problem yang dipermasalahkan kelar, all lessons learned, dan grup protagonis kita mendapat angin kedua. It’s fine berhenti seperti ini. Malah, sebenarnya mereka gak perlu kasih Babak Pertama di judul. Mereka bisa aja ngasih judul Hil yang Mustahal tok, atau apa kek, untuk menegaskan ini cerita tentang Gepeng. The fact they feel the need to put ‘Babak Pertama’ out di judul justru membuat ‘bersambung’nya jadi kerasa. Mereka seperti gak yakin penonton bakal hook (padahal dunia dan karakternya sudah cukup terestablish) malah instead build around cerita yang bersambung seperti televisi.

Seperti yang kusinggung sedikit di pembuka, film ini enggak mau jadi serius. Dia memilih untuk jadi lucu aja. Poin-poin yang kusebutkan tadi disebar acak sepanjang durasi film yang nyaris dua jam. Pembahasannya enggak dibanyakin. Malahan hanya kayak terselip di antara begitu banyak sketsa-sketsa tingkah lucu khas lawakan Srimulat. Aku gak tahu para pelawak ikonik itu aslinya mereka gimana sehari-hari, boleh jadi mereka memang ngebanyol setiap waktu seperti yang diperlihatkan oleh film ini, tapi untuk sebuah sajian film aku mengharapkan karakter atau kejadian yang lebih menapak. Cerita film ini harusnya bisa punya range, dengan segala permasalahan Gepeng dan Tessy, dan karakter lain – jika diangkat. Tapi pada akhirnya film ini rangenya tetap kurang tergali karena banyakan komedi, yang beberapa adegan malah komedinya berulang. Ada running joke yang kocak dan timingnya tepat, kayak soal ‘minuman rasa lalat’, dan ada lebih sering lagi joke berulang yang tasteless. Misalnya, candaan ‘toilet’.  Oh film ini went overboard dengan lelucon orang boker.

Kita juga akan dapat satu momen multiverse hihihi

 

Bukan hanya para karakter Srimulat yang bertingkah ala lelucon panggung Srimulat di kehidupan sehari-hari. Karakter pendukung seperti pemilik kontrakan ataupun orang-pinter juga melakukan hal yang sama. Adegan terlucu film ini surprisingly datang dari saat geng Srimulat mengadukan perihal rumah angker kepada orang-pinter. Hal yang paling lucu dari gimana film mempersembahkan cerita mereka sebagai makhluk ajaib sehari-hari seperti ini adalah, adegan mereka melawak di atas panggung justru gak diperlihatkan. Hanya di-skip-skip. Kita gak lihat mereka di atas panggung seperti apa. Kita hanya diberikan informasi bahwa mereka mulai gak lucu, mereka mungkin butuh Gepeng supaya lucu, dan bapak presiden yang nonton mereka manggung tidak tertawa – sehingga semua orang dilarang ketawa (singgungan bagus, dan btw Soeharto-nya mirip banget ama yang asli!) Ini membuatku bingung. Kita melihat – dan tertawa bersama – Srimulat yang ngelucu sepanjang hari (dengan atau tanpa Gepeng), tapi begitu di atas panggung kita diarahkan juga untuk percaya lawakan mereka gak maksimal. Pak Teguh melempar dengan sepatu, Pak Presiden tak tertawa. Jadi agak rancu; apakah film ini ingin memperlihatkan mereka itu lucu atau tidak sebenarnya di bagian pertama ini.

 

 

 

Setelah berturut-turut nonton hal yang mustahil – alias film-film action dan fantasi barat – menonton Hil yang Mustahal memang terasa seperti nice change of pace. Film ini memang terasa lebih dekat. Aku tahu satu-dua hal tentang Srimulat (walau gak pernah benar-benar ngefans) dan film berhasil mengenai saraf nostalgia dan kenangan menyenangkanku perihal acara Srimulat dan juga era show komedi di televisi. Yang bikin aku terkesan di sini adalah penampilan akting (khususnya bintang muda yang gak jaim) dan nuansa jadul yang cukup terasa. Aku juga tertarik sama cerita Gepeng dan Tessy, yang sayangnya film enggak benar-benar build around it. Fokusnya lebih ke mengisi durasi panjang itu dengan komedi-komedi, yang sometimes go overboard. Jadi aku agak sedikit kecewa film ini ngambil rute ‘yang penting lucu’. Dan terutama karena mencuatkan diri sebagai babak pertama dari entah berapa babak. Padahal dari yang ingin disampaikan di sini, film bisa saja hadir sebagai cerita utuh. Dan memang berakhir sebagai closed story, hanya garapannya terlalu loose dan mengincar hook untuk bersambung, tidak seperti film.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for SRIMULAT: HIL YANG MUSTAHAL – BABAK PERTAMA

 

 

 

That’s all we have for now.

Apakah menurut kalian ada perbedaan antara pelawak jaman dulu dengan pelawak masa kini? Bagaimana dengan selera komedi masyarakat, apakah juga mengalami perubahan?

Share  with us in the comments 

 

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

 

THE BAD GUYS Review

 

“Gives everyone a chance to show you who they are”

 

 

Bayi terlahir ke dunia dalam keadaan suci. Katanya sih, bagaikan kertas putih yang belum bertuliskan apa-apa. Masih kinclong banget. Namun dalam kurun hidupnya nanti, kertas tersebut akan cepat sekali ternoda. Penuh oleh catatan-catatan jelek yang ditulisnya sendiri. Si bayi gak bakal betah jadi orang suci. Dia akan mudah tergoda ke dark side. Orang jahat lebih keren daripada orang baik. Bandingkan saja karakter jahat di dalam film, yang biasanya lebih kompleks dibandingkan karakter baik yang cenderung annoying. Film yang karakter utamanya benar melulu terasa membosankan. Kita suka karakter yang bercela. Anak-anak cewek juga lebih suka pacaran ama bad boy ketimbang anak yang kalem. Jadi orang jahat dipandang lebih menarik, dan menguntungkan (kalo salah dan lantas viral – tinggal minta maaf!). Jadi mempertahankan ‘kertas’ bawaan lahir tetap putih itu susah, lantaran memang berbuat kebaikan lebih berat dan sulit untuk dilakukan. Kita actually harus belajar untuk menjadi orang yang baik. Kita harus belajar moral, agama, PPKn, Animasi-panjang debut sutradara Pierre Perifel memotret soal tersebut. The Bad Guys mengajak kita  merampok bank bersama hewan-hewan jahat, bertualang seru di dunia animasi sembari memperlihatkan struggle untuk menjadi orang baik itu begitu real.

Sebagai film heist, The Bad Guys actually banyak ‘mencuri’ dari film-film lain. Selain memuat banyak referensi dan trope-trope khas dari genre heist itu sendiri, nonton film ini terutama membuatku keingetan sama Despicable Me (2010) dan Zootopia (2016). Karena bermain di tema yang sama. Yakni tentang prasangka dan soal orang jahat yang harus berbuat baik. Geng Bad Guys terdiri dari Wolf, Snake, Shark, Tarantula, dan Piranha yang sudah bersahabat – merampok bank bersama-sama – sejak lama. Kiprah mereka sudah jadi legenda di kota. Semua orang takut kepada mereka. Untuk aksi puncak mereka, hewan-hewan antropomorfik ini berencana merebut Golden Dolphin, piala emas untuk orang paling dermawan di kota. Dalam aksi mereka, Wolf terpaksa harus menolong seorang ibu tua, membuat dirinya merasakan untuk pertama kalinya dipuji sebagai orang baik. Rencana mereka malam itu memang gagal, tapi Wolf yang tertangkap punya rencana lain. Wolf dan teman-temannya mengaku insaf, dan belajar jadi warga yang baik, padahal mereka masih berniat mencuri piala. Selama periode berpura-pura itulah, Wolf mulai mempertanyakan diri sendiri. Dia orang jahat atau orang baik. See, untungnya, pak sutradara Perifel tetap mengolah elemen-elemen ‘curian’ dari film lain tadi dengan baik. sehingga dia sukses mencuatkannya sebagai warna unik film The Bad Guys tersendiri.

Also, aku ingin mempersembahkan ulasan ini kepada the original Bad Guy, Razor Ramon (Scott Hall) yang telah berpulang beberapa bulan yang lalu

 

 

Punya karakter berupa hewan buas, yang ternyata baik, dan real antagonis yang berupa hewan yang biasanya dimangsa, The Bad Guys memang paling gampang untuk dikatain mirip Zootopia. Kedua film sama-sama membahas wujud fisik seseorang seringkali membuat mereka terlalu cepat di-judge oleh masyarakat. Dalam The Bad Guys, Wolf diceritakan sudah turun temurun dianggap sebagai orang jahat berkat kemunculannya di cerita-cerita klasik seperti pada cerita 3 Babi Kecil ataupun Little Red Riding Hood. Begitu pula dengan teman-temannya yang basically adalah hewan-hewan predator yang menakutkan. Soal prasangka atau prejudice film ini pada perkembangannya, mulai menggali ke tempat yang berbeda dari Zootopia. Para karakter hewan itu, mereka semua diceritakan jadi perampok karena mereka percaya itulah role mereka di masyarakat. Orang-orang enggak pernah ngasih mereka kesempatan jadi yang lain, maka jadi orang-jahat itulah yang mereka lakukan. Perbedaan pengolahan lantas semakin ditunjukkan film ini lewat treatment world-building ceritanya.

Jika dalam dunia Zootopia semua penghuninya adalah hewan yang bertingkah seperti manusia, maka dalam The Bad Guys ini, hanya karakter-karakter sentral yang berspesies hewan-antropomorfik. Mereka hidup bertetangga dengan manusia. Dan bahkan hewan-hewan lain seperti kucing dan guinea pig masih bertingkah seperti binatang kayak di dunia kita. Film tidak memberikan penjelasan terhadap hal tersebut secara blak-blakan.  Awalnya kupikir ini cukup aneh. Kenapa setengah-setengah. Ternyata ini bukanlah kealpaan film dalam menjelaskan. Tidak, dunia cerita ini tidak ada sejarah sci-fi yang menyebabkan sebagian hewan-hewan itu bisa pakai baju dan berbicara. Melainkan penyimbolan yang digunakan film untuk semakin mencuatkan perihal prasangka yang jadi tema cerita.  Karakter sentral perampok yang hewan buas – Wolf yang bicara penuh tipuan, Shark yang ahli nyamar, Piranha dengan aksen dan suka nyari ribut, Snake yang egois, hingga Tarantula yang jago ngehack – mereka semua digambarkan sesuai dengan stereotipe tertentu. Jadi bukan sekadar cocok dengan ‘sikap’ hewannya, melainkan juga mewakili karakter manusia yang sudah jadi stereotipe. Akan lebih aman dan more accessible untuk membuat karakter-karakter seperti demikian sebagai hewan ketimbang membuat mereka jadi manusia. Karena pasti bakal menimbulkan “wah, filmnya rasis nih” Bayangkan kalo Piranha digambarkan sebagai manusia yang berkebangsaan sesuai dengan aksen bicaranya. Dengan menampilkan mereka sebagai karakter hewan di antara manusia, film sebenarnya ingin menunjukkan secara halus kepada kita bahwa seringkali kita juga memandang sesama dengan penuh kecurigaan. Kita melihat fisik (yang biasanya memang dikaitkan dengan ras)

Maka bisa dibilang, Perifel memanfaatkan medium animasi untuk mengkorporasikan visinya menyampaikan tema dengan maksimal. Bukan sekadar lucu-lucuan hewan bisa ngebut-ngebutan dan mencuri. Film ini mengandung layer bahkan sejak karakterisasinya. The Bad Guys toh memang seketika memancing perhatian kita ke animasinya. Karakter-karakter yang disuarakan oleh jejeran bintang top seperti Sam Rockwell, Awkwafina, Craig Robinson, Marc Maron, Anthony Ramos juga tampak hidup dan sangat lincah oleh animasi bergaya ala komik; dengan shade pinggiran yang tebal sehingga literally mencuat. Tampilannya ini jadi sangat fresh, karena berbeda dari animasi tradisional. Hampir seperti campuran supermulus antara animasi 2D dengan 3D. Humor juga ditampilkan lewat visual, sebagai penyeimbang dari dialog-dialog yang konyol. Bagian aksi heist mungkin sedikit repetitif, tapi karena disuguhkan dengan gaya yang berbeda, sama sekali tidak terasa membosankan.

Film ini bahkan tidak butuh lagu Billie Eilish  untuk membuat persembahannya terkesan seru

 

 

Yang paling aku suka dari film ini adalah cara mereka menghandle tema yang kupikir bakal sama persis dengan Despicable Me. Yaitu soal cara ‘mengubah’ karakter protagonis yang perampok ini menjadi hero dalam cerita. Dalam cerita yang ditargetkan untuk penonton muda (khususnya anak-anak) biasanya ya tinggal ngasih karakter penjahat sebagai lawan dari karakter baik. Kalo karakter baiknya orang jahat, ya tinggal kasih karakter yang lebih jahat dan culas dan curang untuk jadi lawannya. Cara seperti ini cenderung untuk melemahkan kompleksitas yang menyusun karakter-karakter. Membuat narasi mereka jadi simpel. Dan memang dalam The Bad Guys ada karakter yang lebih jahat. In fact, ada beberapa pengungkapan yang terbuild up dan jatoh cukup ngetwist perihal karakter mana sebenarnya siapa, mereka baik atau tidak. Tapi naskah enggak melupakan saga atau plot karakter sentralnya. Keberadaan penjahat tidak lantas membuat geng protagonis kita jadi hero, jadi baik. Film ini terus menggali karakter mereka. Film benar-benar membuat mereka merasakan sendiri proses menjadi baik. Film benar-benar memberi ruang bagi karakter-karakter itu untuk memilih mereka mau jadi baik atau jadi jahat. Dengan kata lain, perkembangan karakter itu ada di sini.

Konflik antarmereka; persahabatan mereka yang dijadikan stake, ultimately dimanfaatkan film untuk mengenhance karakterisasi. Memperdalam bahasan di balik kejar-kejaran, rampok-rampokan, dan kekocakan belajar bertingkah baik. Tengok bagaimana film menghandle plot si Snake. Mungkin karakter sobat si Wolf ini yang paling ngena buat kita karena naskah benar-benar membangunnya dengan seksama. Di akhir cerita, Snake jadi baik dan gak egois itu kerasa earned banget karena progresnya itu kita rasakan, terbangun plot poin demi plot poin. Tema ngasih kesempatan kepada orang itupun tercerminkan dengan sempurna bukan hanya kepada Wolf, tapi juga pada banyak karakter lain.

Dulu Bang Napi di televisi bilang kejahatan ada karena ada kesempatan. Waspadalah, waspadalah. Film The Bad Guys menunjukkan, ternyata kebaikan juga seperti itu. Tercipta dari kesempatan. Berikan seseorang kesempatan untuk menunjukkan siapa dirinya, dan most of the time, seseorang itu akan menunjukkan yang terbaik dari dirinya. Jangan berprasangka dulu. Ya, berbuat baik itu sulit dan butuh kerja ekstra, maka sebaiknya jangan dipersulit lagi dengan menuduh hanya dari fisik atau dari kecurigaan semata.

 

 

Pepatah ‘Don’t judge a book by it’s cover’ sekali lagi terbuktikan oleh film ini. Bukan saja dari ceritanya, tapi juga dari eksistensinya. Pertama kali melihat trailer film ini di bioskop, kupikir bakal kayak animasi hura-hura yang biasa. Kekonyolan aksi perampokan saja. Catering untuk audience dengan berlebay-lebay. Tapi ternyata enggak. Selain satu-dua momen karakternya unnecessarily break the 4th wall, film ini ternyata terdesain sangat sempurna. Baik itu dari penceritaan, maupun tampilan visualnya. Animasinya hidup, sangat berlayer, persis seperti karakterisasi karakter-karakternya. Berlapis. Mereka semua actually punya plot dan perkembangan di balik aksi seru-seruan yang kocak. Sutradara Pierre Perifel tampak benar-benar memanfaatkan medium animasi sebagai media penyampai visinya. Dan dia gak segan-segan ngambil dari elemen film-film lain, untuk kemudian berusaha menggubahnya menjadi warna tersendiri.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for THE BAD GUYS.

 

 

That’s all we have for now.

Apakah kalian percaya orang-orang bakal melakukan yang terbaik jika diberikan kesempatan? Atau apakah manusia memang sudah hopeless gak bisa diharapkan untuk jadi baik?

Share  with us in the comments 

 

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

 

 

Top-Eight Serial Drama Netflix dengan Semangat Kartini

 

 

 

Bersyukurlah kita tinggal di era yang modern. Yang manusianya mulai banyak yang sadar dan berpola pikir progresif. Perjuangan Ibu Kartini untuk memuliakan derajat kaum perempuan mulai berbuah. Dunia perfilman yang dahulu dikaitkan dengan dunia milik laki-laki, kini tidak lagi. Banyak filmmaker perempuan yang mencuat. Karya film pun demikian. Sudah banyak sekarang film-film maupun serial TV yang mengangkat isu kesetaraan gender, yang menempatkan perempuan sejajar di kursi kemudi. Pokoknya Ibu Kita Kartini pasti tersenyum kalo diajak ke bioskop. Atau kalo lagi mager musim ujan ke bioskop, kita tinggal ajak Bu Kartini nonton di rumah, bersama keluarga.

Ya, kita juga mesti bersyukur tinggal di era dengan teknologi maju. Film dan serial TV berkualitas tinggal sejangkauan tangan. Banyak platform, seperti Netflix, yang mulai fokus ke membuat film dengan agenda feminis dan mengangkat perempuan sebagai sudut pandang utama. Dengan WiFi cepat, kita bisa nonton puas tanpa batas. Kayak kata salah satu provider internet dari Telkom Group; Internet menyatukan keluarga. Salah satunya, ya dengan tontonan.

Makanya,  mumpung lagi Kartinian, My Dirt Sheet ngumpulin daftar serial drama terbaik untuk dipakai ngabisin kuota internet keluarga kalian di rumah. Kenapa serial? Biar ngumpul dengan keluarganya lebih lama, dong! Nah, serial drama di daftar ini, sebagian besar adalah favoritku, dan kupilih sebagai terbaik untuk Hari Kartini karena benar-benar mengandung semangat perjuangan Ibu Kartini. Yang membahas tentang perempuan, dari sudut pandang perempuan.  Yang feminis, tapi tidak lantas agenda-ish.  Yuk, langsung kita simak!

 

 

8. NEVER HAVE I EVER (2020-2023)

Serial komedi coming-of-age remaja ini relatable bukan saja karena memotret kehidupan sekolah remaja perempuan kekinian, tapi juga relate bagi kita karena menampilkan representasi Asia, yang enggak stereotipe. Tokoh utamanya adalah Devi, anak India-Amerika, yang baru saja sembuh dari trauma berat akibat kematian ayah. Kini Devi berusaha menaikkan status sosialnya. Tentu saja bukan usaha yang gampang. Kebiasaan atau aturan keluarga, lingkungan pertemanan, hingga asmara, jadi bentrokan pemanis kehidupan Devi.

Perjuangan Devi yang berusaha menikmati masa mudanya, sebagai remaja normal, melanggar pandangan Ibu memang mengingatkan kita kepada Kartini si burung trinil. Yang juga lincah dan gak mau ‘dikurung di sangkar’.  Serial ini menurutku memang cocok sekali ditonton oleh orangtua dan anak karena bisa membuka perspektif masing-masing. Serial ini tidak membuat karakter si remaja selalu benar, karena memperlihatkan konsekuensi. 

 

 

7. SELF MADE (2020)

Kartini memang berasal dari kalangan bangsawan. Beliau sempat mengenyam pendidikan (meski distop bapaknya), berteman dengan orang-orang Belanda, tapi Kartini selalu jadi dirinya sendiri. Berkulit kuning langsat di antara kulit putih pucat, tidak pernah kita dengar RA Kartini pengen tampil seperti orang Belanda. Kebaya tetap jadi pilihan pakaiannya. Soal fit in, bagi Kartini tidak pernah jadi soal dia mendapat tempat di antara bangsawan Belanda yang terpelajar. Melainkan lebih kepada dirinya memikirkan tempat kaum, dan bangsanya.

Perilaku Kartini yang demikian itulah yang terpikirkan olehku ketika menonton Octavia Spencer bermain akting dalam serial limited-drama Self Made. Merupakan cerita biopik Madam C.J. Walker, milyuner kecantikan yang berasal dari seorang tukang cuci. Tokoh perempuan dalam cerita ini berjuang melawan standar kecantikan dan rasisme dengan memegang teguh jati dirinya. Jadi diri kaumnya itulah berhasil dia tempatkan setinggi mungkin.

 

 

6. BLACK DOG (2019-2020)

Baru banget masuk Netflix awal bulan April, serial drama dari Korea ini memang lebih khusus bicara tentang kehidupan guru. Tapi bukankah Kartini juga seorang guru? Kartini mendirikan tempat belajar di rumahnya. Bersama adik-adiknya, Kartini ngajarin anak-anak kecil membaca dan menulis.  Sampai akhirnya beliau mendirikan yayasan khusus perempuan.

Karakter dalam Black Dog juga begitu.  Perempuan yang jadi guru pengganti  di SMA, tapi benar-benar memikirkan dan mendukung impian murid-muridnya.  Keren sekali menggambarkan hubungan guru-murid dan latar pendidikan (lengkap dengan politik di dalamnya!) Tapi sebenarnya, aku suka nonton ini karena ada Lee Eun Saem jadi salah satu murid, Itu loh, yang jadi Mi-Jin di serial zombie All of Us are Dead (2022). Aku naksir berat ama karakternya hihihi

 

 

5. UNBELIEVABLE (2019)

Salah satu semangat feminis Kartini adalah perempuan harus saling bantu. Harus saling dukung, Karena memang pada kenyataan, relasi kuasa itu ada. Dunia bisa sangat susah untuk mempercayai kata seorang perempuan. Inilah yang dipotret dalam serial kriminal Unbelievable. Gak ada yang percaya kalo perempuan muda di cerita ini adalah korban perkosaan. Adalah dua detektif perempuan yang berusaha untuk mengungkap kebenaran, dan menegakkan keadilan, both literally (yang salah memang harus dihukum) and figuratively (perempuan juga berhak mendapat perlakuan dan kepercayaan yang sama) 

Penyuka kisah detektif dan kasus kriminal pasti bakal betah nonton ini. Gak ada salahnya juga jika ini ditonton bareng keluarga.  Karena selain seru, konklusi yang dihadirkan juga benar-benar memuaskan. Bisa ngasih pelajaran juga, karena kisah dalam serial ini diangkat dari peristiwa nyata.

 

 

4. GILMORE GIRLS (2000)

Single Mother yang besarin anak seorang diri udah jadi staple bagi cerita-cerita bertema feminis. Bukan hanya film, serial juga. Misalnya yang populer itu ada Maid, terus When the Camellia Blooms. Aku masukin Gilmore Girls karena merupakan salah satu yang paling duluan mengangkat bahasan tersebut. Dan juga karena di serial ini, hubungan antara ibu dan anak remajanya yang juga perempuan lebih ditonjolkan.

Tema kemandirian, serta ‘perempuan’nya kerasa banget. Inilah yang bikin serial ini menonjol dan gak sekadar drama nangis-nangisan. Aku merasa serial ini kalo jadi orang, maka dia akan jadi R.A. Kartini. Tampak lembut dan tangguh secara bersamaan.  Di Amerika serial ini memang sangat populer, sampai dibikinkan sekuelnya, enam-belas tahun setelah serial originalnya kelar. Dan sekuel tersebut; Gilmore Girls: A Year in the Life (2016) masih digarap dengan sama respek dan menghiburnya.

 

 

 

3. NEW GIRL (2011-2018)

Ya, aku tahu ini entry yang sekilas tampak aneh. Tapi kalo dipikir-pikir, serial komedi persahabatan yang quirky ini memang berjiwa feminis. Jess, karakter utamanya, ngekos bareng tiga cowok asing di sebuah apartemen. Throughout enam season, mereka akhirnya jadi berteman akrab, dengan Jess jadi pusat interaksi mereka. Sering dibandingkan dengan Friends, serial ini actually juga relate sekali buat generasi milenial karena selain soal cinta dan persahabatan, juga membahas soal kerjaan, soal hidup di usia 30an – memenuhi ekspektasi orangtua dan lingkungan.

Nilai-nilai feminis yang diperjuangkan Kartini seperti kemandirian dan kesetaraan menjelma di dalam Jess dengan nada yang lebih ringan, dengan tetap terasa grounded. Serial ini bahkan juga memperlihatkan feminis dari perspektif laki-laki, yang diwakili oleh karakter-karakter teman Jess. Dan begitu-begitu, Jess juga seorang guru, loh!

 

 

2. GLOW (2017-2019)

Perempuan, seperti yang diperjuangkan Kartini, berhak mendapat pendidikan setinggi yang bisa dicapai laki-laki. Begitu juga dengan pekerjaan. Dunia bukan hanya milik laki-laki. Perempuan gak harus di dapur saja. Bisa kok jadi filmmaker, detektif, guru, dokter, dan bahkan pegulat.

Glow terinspirasi dari acara pro-wrestling beneran di tahun 80an, yang khusus menampilkan pegulat perempuan. Serial ini dalam kondisi terbaiknya adalah tentang menaklukkan male-gaze, khususnya di dalam industri hiburan. Perempuan dalam acara gulat bukan hanya objek untuk jual tampang dan bodi semata. Mereka bisa kuat-kuatan, mereka bisa perform, beraksi sendiri sebagai persona di atas ring. Satu episode favoritku adalah ketika karakter serial ini menolak skenario gulat yang harus ia perankan, karena rasis dan merendahkan perempuan.  Jadi mereka menulis ulang peran dan storyline di atas panggung. Bersama-sama mengarahkan acara gulat versi mereka, yang akhirnya terbukti tak kalah menghibur. Girl Power!!!

 

 

1. THE QUEEN’S GAMBIT (2020)

Ngomong-ngomong soal hal yang erat dikaitkan dengan dunia lelaki, The Queen’s Gambit bercerita tentang perempuan yang berhasil menjadi grandmaster catur (alias olahraga bapak-bapak), di usia yang tergolong masih sangat muda. Kemenangan Beth Harmon atas lawannya (yang tentu saja adalah pria-pria yang jauh lebih tua) diperlihatkan cukup ‘mengguncang’ dunia percaturan di masa itu, karena benar-benar telak membuktikan perempuan bisa lebih pintar daripada laki-laki. Serial ini juga menggali kenapa perempuan jago catur itu dijadikan berita yang sensasional, apakah itu berarti memang ada batas di antara dua gender dan masyarakat secara gak sadar mengakui keberadaan batas tersebut.

The Queen’s Gambit membahas persoalan gender dan kesetaraan dengan cerdas. Di balik tanding catur, kita akan dibawa menyelami psikologis Beth Harmon. Karena sebenarnya serial ini adalah tentang karakter tersebut menyadari kemandirian – menyadari apa artinya sebagai perempuan di dunia. Seperti cerita-cerita terbaik, serial ini tidak menggambarkan karakternya sehitam putih papan catur. Duh, gara-gara ini aku jadi kepingin lihat pertandingan catur antara Beth melawan Ibu Kartini.

 

 

 

Delapan serial drama dalam daftar rekomendasi ini, semuanya udah bisa disaksikan di Netflix. Tinggal klik.  Kalo dulu Ibu Kartini bilang “Habis gelap terbitlah terang”, maka sekarang aku bilang habis sudah masa kita berbingung-bingung nyari akun yang jualan Netflix di reply komenan sosmed orang. Sekarang terbitlah kemudahan. Karena buat langganan Netflix, sekarang kita bisa sekalian ama paket IndiHome!

Netflix via IndiHome tersedia dengan mudah dan praktis karena telah tergabung dalam satu tagihan bulanan.  Ada dua paket yang bisa dipilih, yaitu paket dengan kecepatan 50mbps dan paket 100mbps (bonus 100 menit telepon!) Sementara untuk pelanggan Telkomsel, Netflix dibundling dengan kuota data Telkomsel. Jadi gak perlu pakai kartu kredit. Hiburan tanpa batas IndiHomeXNetflix ini langsung bisa dinikmati setelah melakukan aktivasi. Pelanggan lama cukup klik link di email yang terdaftar di aplikasi myIndiHome. Untuk pelanggan baru, tinggal ke Nonton Puas Tanpa Batas. 

Yuk aktifkan supaya bisa nonton serial-serial di atas, dan tentu saja banyak film dan serial lainnya. Semoga ke depan Indonesia juga gak mau kalah dan bikin serial dengan spirit Kartini supaya bisa ditonton bersama keluarga, ya!

 

 

So, that’s all we have for now.

Apa film atau serial tentang perempuan favorit kalian?

Share with us in the comments 

 

Remember, in life there are winners.
And there are…

 

 

 

 

We are the longest reigning PIALA MAYA’s BLOG KRITIK FILM TERPILIH.

 
 

X Review

 

“The old often envy the young”

 

 

 

Horor mirip ama bokep. Keduanya adalah genre yang ditonton orang-orang bukan untuk plot. Penonton memilih film horor supaya bisa melihat karakter-karakter mati mengenaskan. Nilai plus bagi penonton kalo si karakter itu sempat telanjang dulu sebelum dibunuh ajal (which is why paduan horor-bokep easily jadi yang paling laris). Sementara bokep sendiri, jelas,  penonton cuma mau melihat orang gak pakai baju, dalam apapun situasi fantasi mereka. Keduanya adalah eksploitasi,  dan yang terburuk dari mereka adalah bahwa keduanya penuh oleh male-gaze. Tentu saja gak semuanya begitu, ada juga pembuat-pembuat yang mencoba membuat horor, maupun porn, sebagai sebuah seni. Dalam horor, lahir istilah elevated-horor. Horor yang artsy banget, sampai-sampai susah untuk dimengerti. Dalam bokep, I don’t know honestly, tapi dalam film X yang merupakan comeback horor sutradara Ti West ada karakter filmmaker bokep yang berusaha membuat tontonan yang benar-benar nyeni dan cinematik. Memang, fenomena horor dan porn yang saling bersilangan ini jadi circle back together di bawah X (come to think of it, aku jadi gak yakin judul film ini dibacanya memang “ex”, atau “cross”) yang merupakan produksi studio A24. Studio yang khusus bikin apa yang disuka oleh orang banyak dengan gaya yang super duper nyeni.

Yang Ti West bikin kali ini memang film yang ada unsur horor dan bokepnya. Tapi bukan dalam sense ‘horor-bokep’ seperti yang dulu sempat hits banget di negara kita. West membuat sebuah sajian horor yang seperti ditarik langsung dari jaman puncak kebangkitan mainstream genre ini (akhir 70-an) dengan cerita tentang sekelompok kecil pembuat film dewasa.  Mereka menyewa kabin di daerah pedesaan Texas, tapi enggak bilang kepada pasangan tua yang punya kabin tersebut kalo bangunan dan lokasi sekitarnya itu akan dijadikan lokasi suting film bokep. Siang harinya memang suting mereka berjalan lancar (yang berarti peringatan kepada kalian untuk tidak menonton film ini saat sedang berpuasa). Pas malam tiba, baru semua rusuh. Nenek tua yang sedari siang ngintipin mereka mulai kumat dan membunuh semua tamunya satu persatu.

Jenna Ortega sekali lagi bermain di film yang bicara tentang elevated horror.

 

 

Biasanya film-film A24 memang cukup angker bagi penonton mainstream. Karena memang biasanya nyeni dalam kamus mereka berarti film yang bercerita dengan pace lambat, minim dialog, dan secara general sukar untuk langsung dimengerti. Film X ini tidak dibuat dengan seperti itu. X ini benar-benar dibuat mainstream. Dibuat untuk bikin penonton merasakan sensasi sama dengan saat menyaksikan horor, atau bokep. Seperti yang kubilang, jangan nonton ini pas puasa karena adegan-adegan filmmaking mereka meskipun dibuat dengan sinematik tapi tetap straightforward. Kalian bahkan perlu buat ngecilin suara untuk beberapa adegan tertentu. Elemen horornya pun dibuat sedekat mungkin dengan horor ‘fun’ yang biasa kita cari kalo lagi kepengen nonton sambil santai. Lokasi terpencil. Orangtua aneh dan menyeramkan. Pembunuhan sadis berdarah-darah. Ke-overthetop-an kejadian sebagai kontras efek low budget yang jadi pesona khas horor jadul juga ada. Bahkan hewan buas juga jadi aspek horor di sini. Era 79 yang dijadikan latar waktu cerita memang terasa sangat hidup. Kamera, audio, desain produksi. Semuanya membuat film ini kayak beneran dibikin di tahun segitu. Dengar saja dialognya yang kayak percakapan jadul. Kurang lebih pencapaiannya mirip ama Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas (2021) yang berhasil melukiskan era action 80-an. Film X ini vibenya mirip banget sama The Texas Chain Saw Massacre original (1974). Bahkan set up cerita yang mereka semua datang dengan mobil van, terus lokasi dan rumahnya yang bakal jadi TKP-nya pun pasti bakal ngingetin fans horor kepada film si Leather Face. Yang selalu paling kuapresiasi tentu saja adalah gak ada jumpscare suara-suara pencopot jantung sama sekali. Adegan yang mengagetkan buat karakter dalam cerita sih ada, tapi tidak pernah disertai dengan treatment yang memaksa kita untuk melompat dari kursi.

Di situlah letak seninya. West benar-benar menguatkan pada kreasi. Dia memilih setting dan estetik 70-80an bukan tanpa alasan. Bukan sekadar throwback nostalgia. Tema yang disilangkannya di sini adalah soal tua dan muda. Secara visual dan penampakan luar, film ini membawa kita ke horor jadul, tapi dia menambahkan unsur-unsur kebaruan – unsur yang mendobrak – merayap di balik itu semua. Pertama kamera, West menggunakan kamera melayang di atas pada beberapa adegan yang bikin kita menahan napas, seperti pada adegan di danau (dengan buaya gede!) dan adegan di ranjang (protagonis kita ngumpet di bawah kolong). Kamera itu ngeshot dari atas langsung ke bawah, kayak lagi tengkurap di langit. Menghasilkan pandangan wide yang kerasa benar-benar horor dan mencekat yang ada di bawah. Penggunaan kamera demikian seperti benar-benar menempatkan film di batas antara film lama dengan film baru. Terasa modern dengan semacam drone, tapi juga closed dan feel traditional dengan scare yang dihasilkan. Ada satu lagi teknik aneh yang dipakai oleh West, yaitu editing transisi pada beberapa adegan. Meski gak berhubungan dengan old-and-new, tapi editing ini in-theme dengan gambaran atau simbol X yang diangkat. Karena West memang menyambungkan dua adegan berbeda seperti saling silang. Agak sulit digambarkan dengan kata-kata, tapi kalo dari urutan editing tersebut bekerja begini: Adegan B akan masuk gitu aja saat Adegan A masih berlangsung, selama beberapa detik lalu balik lagi ke Adegan A, lalu baru benar-benar tiba di Adegan B. Tadinya kupikir ini kesalahan editing, karena tau-tau ada adegan sapi saat mereka ngobrol di dalam mobil. Tapi ternyata editing masuk bersilangan itu muncul sekitar dua-tiga kali lagi sepanjang durasi.

Secara kronologi adegan juga film ini bergaya. Cerita actually dimulai dengan polisi menyelidiki rumah dan menemukan banyak korban. Lalu kita dibawa mundur dan melihat kejadian apa yang terjadi di sana sebelumnya; kejadian itulah yang jadi menu utama film. Sekilas memang ini struktur kronologi yang sudah lumrah digunakan oleh film-film. Tapi sesungguhnya di film ini, struktur tersebut punya fungsi yang lebih signifikan ke dalam tema besar narasi. Dengan menjadikannya berjalan seperti demikian, West membuat cerita film ini menjadi melingkar. Namun dengan karakter reveal yang jadi saling bersilang. Penting bagi kita untuk mendengar ‘pengajian’ gereja di televisi itu duluan karena itu bagian dari development karakter utama, yang nanti bakal ngecircled back berkat struktur melingkar, menandakan pembelajaran karakter yang jika dilakukan dengan linear maka hanya akan terasa ambigu.

Pelototkan mata untuk berbagai adegan yang ‘meramalkan’ kematian karakter-karakter

 

 

Bagian terbaik yang dilakukan film ini terkait tema old-new tersebut adalah karakterisasi tokoh-tokohnya. Seperti halnya horor jadul, karakter yang hadir di X pun sering melakukan pilihan bego. Keputusan mereka sering bikin kita ketawa. Kayak karakter si Jenna Ortega yang setelah diselamatkan, tau-tau malah marah dan pergi gitu aja. Hebatnya, mereka gak hanya tampil bego untuk mati. Mereka gak otomatis annoying, karena film sesungguhnya mendekonstruksi stereotipikal karakter mereka. Dalam horor jadul, yang mati duluan adalah karakter yang ‘nakal’, yang biasanya adalah cewek pirang yang isi otaknya cuma berduaan sama pacarnya, si atlet yang pikirannya ngeres. Final Girl (protagonis/heroine) film jadul selalu adalah cewek baek-baek, yang erat ditandai oleh si karakter masih perawan. Film X merombak ulang semuanya. Yang mati duluan di sini adalah karakter yang tidak have sex, at least tidak di depan kamera. Cewek pirang di sini otaknya berisi pemikiran progresif tentang peran wanita dan kemandirian. Protagonis alias Final Girl cerita adalah Maxine (diperankan oleh Mia Goth yang setengah wajahnya dikasih freckles), salah satu bintang film bokep yang mereka bikin. Arc Maxine benar-benar kebalikan dari sosok Final Girl tradisional.

Konstruksi karakter tersebut membuat film dengan vibe 70an ini jadi relevan. Dengan Final Girl yang bukan lagi ‘orang suci’, film X ingin mengangkat diskusi soal pandangan lama yang sepertinya sudah kadaluarsa di masa modern. Pandangan soal otonomi perempuan dalam hidup atau karirnya. Pembicaraan karakter film ini seputar menjadi seorang bintang bokep (atau soal membuat film porno sebagai sebuah pekerjaan, yang juga bagian dari seni) mirip dengan persoalan di dunia kita mengenai pelacur yang statusnya dinilai lebih terhormat. Tentunya ‘antagonis’ yang tepat untuk perspektif ini adalah agama. Old couple yang jadi pembunuh dalam cerita berasal dari keluarga yang taat beragama, mereka mendengarkan dakwah degradasi moral anak muda. Di tangan yang salah, bidak-bidak ini akan berkembang menjadi cerita yang bakal ofensif dan one-sided. Memojokkan agama. X di tangan West tidak pernah menjadi seperti itu. Bahasan agama ia handle dengan hati-hati. Dikembalikan kepada karakter itu sendiri. Perhatikan perbedaan intonasi dan pilihan kata Maxine saat menyebut dirinya adalah simbol seks di depan cermin pada beberapa adegan. Those would reveal banyak hal, mulai dari development karakter (realisasi dianggap objek hingga menjadi subjek) hingga sedikit backstory karakter itu.  See, dalam menganani bahasannya, film ini jadi sangat ber-layered, akan mudah melihat film menjadi ambigu jika kita ketinggalan satu lapisan. Yang ultimately membuat X jadi punya rewatch value tersendiri.

Tema old-new tadi digunakan untuk memperhalus lagi bahasan sensitif  tersebut. Film tidak sekasar itu menyebut pasangan tua itu jadi sadis karena maniak agama. Film membawa bahasannya ke arah mereka sudah tua, sudah terlalu lama menahan diri. Terlalu lama mengejar bahagia di hari nanti. Kenapa tidak bahagia di masa muda? Konflik film ini sebenarnya bisa disederhanakan sebagai sebuah rasa penyesalan di usia tua. Maka dari itulah West ngasih Mia Goth dua peran. West membuat si Nenek Tua diperankan juga oleh Mia sehingga adegan-adegan antara Maxine dengan si Nenek punya bobot yang lebih besar – kita jadi mengerti si Nenek bisa melihat Maxine sebagai dirinya di masa muda, sebagaimana juga kita melihat Maxine gak mau menjadi seperti Nenek nanti saat tua. Again, karakter mereka juga jadi simbol seperti X yang saling bersilangan.

Alasan Nenek Tua membunuh semua orang (bukan hanya geng Maxine saja, tapi sepertinya beliau sudah sering melakukan ini sebelumnya) bukan semata karena sange. Si Nenekiri dengan anak muda yang masih bisa mengejar segalanya, Iri sama anak muda yang berani memilih untuk bahagia atas kemauan dan sebagai dirinya sendiri. Orang tua memang selalu cemburu kepada anak muda. Karena anak muda punya kekuatan untuk memilih.

 

 

 

Ini boleh jadi adalah horor favoritku tahun ini (belum bisa mutusin, karena baru bulan Apriilll!!). But for sure, film ini beneran keren dan dibuat dengan penuh kreasi dan pemikiran. Film ini membuktikan kalo sajian horor artsy gak harus selalu berat. Sekaligus membuktikan horor mainstream yang fun dan ‘genre’ abis, serta bahkan yang tampak eksploitatif sekalipun, bisa sarat oleh muatan dan memantik diskusi. Horor yang fun gak musti total bego di atas sadis dan seram. Setiap film, apapun genrenya, dapat menjadi tontonan yang menarik dengan naskah cemerlang, gaya yang asik, dan sutradara yang benar-benar peduli sama craft dan punya visi. Film ini punya semua itu. Ada banyak lapisan untuk dibincangkan. Tak lupa sebagai horor, dia mengerikan – punya antagonis creepy, pembunuhan sadis, setting terkurung, dengan stake hidup atau mati. Paduan atau persilangan yang benar-benar seimbang.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for X.

 

 

 

That’s all we have for now.

Apakah menjadi bintang bokep lebih mulia daripada maniak agama?

Share  with us in the comments 

 

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

SONIC THE HEDGEHOG 2 Review

“Be a hero, and they will notice your bad”

 

 

Jadi pahlawan itu enggak gampang. Kita gak bisa seenaknya ke sana kemari nolongin orang. Tanggung jawabnya berat. Dokter aja nih ya, gak bisa menyuntik orang gitu aja; mereka harus dapat consent dulu dari calon pasien. Kalo calon pasien keberatan dan menolak suntik atau minum obat, gak bisa dipaksakan walau si dokter tahu semuanya hanya demi kesehatan si orang itu sendiri. Dokter yang memaksa, justru akan ditanggap enggak etis. Sonic memang bukan dokter. Sonic adalah landak biru, yang di film keduanya ini kebetulan lagi punya permasalahan yang sama ama dokter-dokter yang lagi kebingungan gimana caranya menolong orang yang keberatan divaksinasi.

Sonic pengen jadi pahlawan di kota Green Hills. Dia ingin menggunakan kekuatannya untuk menolong orang-orang yang telah menerima dirinya tinggal di sana, sebagai bagian dari keluarga. Tapi Sonic ini so bad at being good hero. Tengok apa yang terjadi ketika dia berusaha menangkap perampok bank. Jalanan porak poranda. Gak ada yang bilang terima kasih padanya. Malahan, di rumah, Sonic dinasehati oleh Sheriff Tom yang udah jadi bapak angkatnya. Makanya Sonic bingung, niatnya kan cuma ingin menolong. Dalam sekuel ini, sutradara Jeff Fowler membuat Sonic seperti seorang anak muda yang penuh semangat, optimis, dan enerjik, tapi masih harus belajar untuk lebih ‘dewasa’ dalam bersikap. Fowler membuat Sonic relatable bagi target baru penontonnya. Anak muda toh sering merasa dirinya gak nakal, tapi tetap aja yang dilakukannya tampak selalu salah. Film enggak mau hanya membuat Sonic untuk penggemar lama yang tentu saja sekarang sudah tua-tua, mengingat Sonic ‘terlahir’ ke dunia dalam bentuk game di tahun 1991. Cara Fowler berhasil. Karakter Sonic di film ini jadi gak hanya fun untuk ditonton, gak hanya seru untuk ajang nostalgia para gamer, tapi juga berisi oleh permasalahan yang membuat penontonnya serasa sama ama Sonic.

With that being said, film juga berhasil membuat Sonic yang beberapa detik setelah Tom pergi ke Hawaii langsung berpesta berantakin rumah – ampe mandi gelembung di ruang tengah segala! tidak jatoh sebagai makhluk yang menjengkelkan. Sonic justru jadi karakter yang lucu berkat flaw-pandangan yang ia miliki.  Terlebih karena Sonic memang dibentuk  sebagai karakter dengan celetukan-celetukan dan sikap yang kocak. Attitude seperti Sonic memang sudah banyak kita temui, apalagi di era superhero harus punya snarky comment belakangan ini. Tapi setidaknya suara Ben Schwartz terdengar menyegarkan setelah melulu mendengar karakter seperti itu dengan suara Deadpool.

sonicimage
Sonic and the legend of the ten rings.

 

Cerita Sonic 2 menawarkan konflik dan petualangan yang lebih besar – dan lebih meriah – dibandingkan film pertamanya yang tayang tahun 2020 lalu. Kalo diliat-liat, cerita kali ini diadaptasi dari game kedua dan ketiga. Karakter sidekick dan rival Sonic – Tails yang bisa terbang dengan ekornya dan Knuckles si pejuang Echidna – dimunculkan di sini lewat situasi yang tak tampak dipaksakan. Tails nyusul ke Bumi untuk memperingatkan Sonic tentang bahaya, sementara Knuckles datang karena berkaitan dengan aksi yang dilakukan oleh penjahat utama, Dr. Robotnik, yang masih dendam ama Sonic karena telah mengasingkan dirinya ke planet ‘piece of shittake’. Robotnik memang punya peranan besar di dalam narasi, hampir seperti dialah yang tokoh utama. Semua kejadian karena ulah dirinya. Jadi ketika Sonic di rumah seorang diri, Robotnik yang telah menciptakan alat di planet jamur, berhasil memanggil orang yang bisa membantunya keluar dari sana. Orang itu adalah Knuckles, yang memang lagi mencari Sonic terkait legenda Zamrud yang menimpa klan Echidna. Robotnik dan Knuckles bekerja sama, sementara Sonic dan Tails mulai bergerak mencari Zamrud legenda karena gak mau batu permata sakti itu jatuh ke tangan penjahat. Petualangan video game mereka pun dimulai!

Kontras protagonis dan antagonis langsung terlihat. Sonic, pengen jadi pahlawan, tapi dianggap mengacau. Robotnik, punya niat jahat, tapi dapat teman yang salah mengira intensi dirinya baik. Ini semua terjadi exactly karena Sonic ‘baru’ sebatas pengen jadi – pengen dianggap – pahlawan. Robotnik ‘sukses’ karena dia yang pure jahat, bertingkah seperti penjahat. Menipu, memanipulasi. Sonic perlu seperti itu. Belajar untuk bertingkah seperti pahlawan, alih-alih pengen disebut pahlawan. Untuk itulah Sonic perlu tahu dulu seperti apa sih pahlawan itu. Perlu tahu bahwa pahlawan mengutamakan dan bertindak demi orang lain.

 

Film ini super fun memperlihatkan petualangan tersebut. Aksi-aksinya disisipin banyak elemen video game, mulai dari snowboarding hingga ke setting labirin yang memang salah satu setting stage ikonik dalam video game. Dengan karakter yang lebih banyak, film ini juga mulai semakin mengembrace sisi cartoonish yang dipunya. Setiap keunikan karakter ditonjolkan, seheboh mungkin, film gak lagi ngerem-ngerem untuk membuat aksinya grounded atau apa. Menonton ini buatku memang terasa lebih dekat dengan Sonic versi serial kartun. Suara Colleen O’Shaughnessey yang jadi si Tails aja vibe-nya udah kartun banget. Idris Elba yang nyuarain Knuckles juga punya sisi kartun tersendiri dari sikap dan reaksi karakternya yang baru pertama kali ada di Bumi. Fish-out-of-waternya kocak, dan sendirinya juga kontras yang klop dengan karakter Sonic yang lebih ‘ringan-mulut’.

Vibe kartun semakin diperkuat oleh penampilan the one and only Jim Carrey yang luar biasa over-the-top dengan permainan intonasi dan mimik ekspresi. Kali ini porsi Robotnik lebih banyak. Dia muncul duluan sebagai prolog, dia punya banyak momen-momen menyusun rencana, dia punya transformasi. Penampilannya yang lebay mode bakal annoying jika kita melihatnya dalam tone dunia yang lebih serius ataupun lebih grounded. Aku merasa ada simbiosis mutualisme antara Jim Carrey dengan film ini, like, Carrey bisa sepuas-puasnya ‘menggila’, dan film bisa fully embrace super fun yang ada pada game maupun kartun Sonic. Mau itu aksi sendiri maupun interaksi dia dengan karakter-karakter video game, dia bikin kita gak bosan duduk selama dua jam. Makanya juga, Jim Carrey jugalah satu-satunya karakter manusia yang bener-bener worked out di sini. Cuma dia karakter manusia yang terlihat berada di dunia yang sama dengan karakter-karakter video game.

Karakter manusia lain, termasuk Tom, kayak dipaksakan. Ketika mereka melucu dan berlebay ria, enggak klik. Film memang bukan hanya menyorot petualangan si Sonic. Tadinya, pas di awal Tom dan istrinya pergi, aku udah lega. Kupikir itu cara film nge-ditch karakter mereka. Kupikir film akan fokus ke Sonic aja, dan 48 jam mereka di Hawaii itu jadi batas waktu (sebagai penambah intensitas) petualangan Sonic. Tapi ternyata enggak. Sering film membuat kita melihat ke suasana Tom di Hawaii, di tempat pernikahan sahabat istrinya. Pernikahan tersebut ternyata tidak seperti kelihatannya, ada major plot point juga di sini. Film yang tadinya mengasyikkan jadi membosankan ketika pindah ke bagian manusia-manusia ini. Mentok banget rasanya ketika setelah seru-seruan berseluncur di gunung salju, kita dibawa pindah melihat petualangan dua perempuan berusaha menyusup ke dalam hotel, mencoba lucu dengan reaksi terhadap alat-alat canggih. Sonic dan yang lain – yang beneran seru tadi – totally absen. Film harusnya membuang semua di pernikahan tersebut, membuang semua manusia yang tidak bernama Robotnik, supaya cerita makin seru dan gak perlu jadi dua jam. I mean, kita beli tiket Sonic yang pengen lihat Sonic. Mana ada pembeli tiket film ini yang peduli sama acara pernikahan itu asli atau bukan, mana peduli penonton sama apakah mempelainya beneran cinta atau enggak.

Sonic-2-header
Operation Wedding itu kayaknya judul film yang lain deh

 

Kita mengerti Tom ada di cerita untuk mendaratkan Sonic, dia sebagai sumber pembelajaran. Juga untuk membuat film beresonansi sebagai cerita keluarga – karena Sonic dan Tom serta istrinya memang benar adalah keluarga unik, yang jadi fondasi cerita sedari film pertama. Hanya saja pembelajaran dari Tom sudah dimunculkan di awal. Narasi film kedua ini berjalan dengan formula Sonic bakal berkembang karena belajar dari masing-masing karakter lain. Dia melihat nasehat Tom di awal itu benar dari apa yang ia alami bersama Tails, Knuckles, dan juga Robotnik. Tidak perlu lagi sering kembali ke Tom, ke pesta pernikahan, apalagi ke memperlihatkan Tom diterima oleh mempelai pria di sana. Film masih kesusahan untuk melepaskan karakter manusia, sehingga pada akhirnya memberikan mereka tempat yang sebenarnya merusak tempo dan menghambat jalannya narasi. Menjelang babak ketiga, jadi ada banyak kejadian, ada banyak pihak yang terlibat, terasa kacau.

Daripada memperlihatkan itu, lebih baik membuild up sisi vulnerable Sonic. Karena memang itulah yang kurang. Sonic hanya sebatas kalah kuat ama Knuckles. Tapi selebihnya, Sonic bisa dengan gampang menjalani petualangannya. Dia dengan gampang melewati jebakan. Dia dengan gampang kabur dari kejaran. Dia bahkan dengan gampang menang kontes menari di bar. Yang sempat diperlihatkan oleh film adalah soal Sonic gak bisa berenang (kontinu dari film pertama), tapi rintangan ini pun enggak pernah benar-benar jadi soal, karena Sonic akhirnya bisa melewatinya dengan tak banyak usaha atau kesulitan.

 

 

 

Rasa-rasanya gak banyak perbedaan review kali ini dengan review film pertamanya. Karena memang enggak begitu banyak perbedaan yang dihadirkan dalam sekuel ini selain penambahan karakter (dan kumis Robotnik!) Tapi dengan begitu, feelsnya memang gedean yang sekarang ini. Film ini super menghibur sampai bagian yang membahas para manusia di pesta pernikahan itu datang. It’s just lebay yang boring karena aktor yang lain gak bisa mengejar tone kartun over-the-top yang sudah dilandaskan oleh Jim Carrey. Kehadiran mereka jadi memperlambat dan mengusik tone. Film ini baik-baik saja dengan embrace sisi cartoonish. Yang berarti film ini sebenarnya hanya perlu Robotnik, Knuckles, Tails, dan Sonic saja. You know, karakter-karakter yang memang ada di video gamenya. Tapi jika melihat bigger picture, franchise Sonic memanglah berita yang cukup baik untuk kiprah film-film adaptasi video game dalam sejarah perfilman.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for SONIC THE HEDGEHOG 2.

 

 

 

That’s all we have for now.

Katanya, ini bakal jadi film terakhir Jim Carrey. Bagaimana pendapat kalian tentang karir Jim Carrey dalam film-film komedi? What did he bring to that table? Apa film Jim Carrey favorit kalian?

Share  with us in the comments 

 

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

WrestleMania 38 Review

wmFPWWHb1UYAAgGFl
Dua malam paling ‘stupendous’ itu telah usai. Ngomong-ngomong, apa sih artinya ‘stupendous’? Kalo dari kamus sih, kata tersebut memiliki arti “menakjubkan, hebat, raksasa”. Dan memang begitulah ternyata adanya. WrestleMania 38 yang dilangsungkan di stadion AT& T, Dallas, Texas memang terasa begitu gede. Heboh. Super spektakuler. Begitu banyak kejutan untuk disoraki, begitu banyak pertandingan untuk dijingkrak-jingkraki, begitu banyak momen untuk diselebrasi! Semuanya merata disebar selama dua malam berturut-turut, masing-masing berdurasi sekitar 4 jam dan total 7 pertandingan. Bayangin gimana gak serak tuh suara yang pada nonton langsung di arena. Aku yang nonton livestream di pagi pertama puasa (yang biasanya masih nyenyak molor karena masih jadwal tidur masih beradaptasi dengan sahur) langsung dibuat melek oleh keseruannya. Mata udah gak peduli lagi cuma dipejemin dua jam. Ke’stupendous’an itu pun tak lantas sirna. Walau acaranya udah masuk ke buku sejarah dengan gemilang, ternyata masih ada satu pertandingan lagi untuk kita simak. Kita urusi. Because that’s what we do in the Palace of Wisdom; kita ngereview yang telah kita tonton. Jadi apa dong satu pertandingan yang masih nyisa itu?

Pertandingan siapa yang paling hebat di antara Malam Kesatu vs. Malam Kedua WrestleMania 38!

Pembagian acara menjadi dua malam ini bermula dari bencana yang berjudul WrestleMania 35 (2019). Bencana bukan exactly karena buruk, tapi karena begitu melelahkan bagi semua orang yang ada di sana (kita yang nonton di rumah sih enjoy-enjoy aja). Dua-belas pertandingan, delapan jam, terutama bikin lelah para penonton. Dampaknya, di paruh akhir, energi itu sudah habis. Keseruan match gak lagi bisa diapresiasi maksimal karena udah pada capek. Maka demi mengantisipasi keadaan itulah, tahun depannya WWE mengubah konsep WrestleMania menjadi dua malam, yang dipertahankan hingga sekarang. Keputusan tersebut tentu saja disambut bukan saja pro, tapi juga kontra.
Kebanyakan kontra datang dari fanatik dan penjaga kemurnian wrestling yang percaya bahwa WrestleMania sebagai acara puncak tahunan WWE haruslah tetap dibikin sakral. Dalam artian, tidak perlu menjadi sepanjang itu. WrestleMania harusnya sesuai dengan jargonnya – showcase for the immortal. Yang berarti yang berhak tampil, ya yang udah berhasil mencapai atau mendekati status ‘immortal’ tersebut. Spot pertandingan di WrestleMania harusnya diisi oleh yang superstar yang benar-benar pantas, oleh cerita yang benar-benar sudah dibuild up. Jadi para kontrarian melihat WrestleMania 35 sebagai awal dari WWE telah menggadaikan kesakralan tradisi WrestleMania itu sendiri. Pertandingannya terlalu banyak, sebagian besar tampak seperti filler yang gak perlu. Mengubah konsepnya menjadi dua malam berarti WWE tak lagi fokus merangkai sesuatu yang immortal, melainkan jadi bikin apapun untuk memenuhi kuota belasan pertandingan yang dibagi dua. Nah, kekhawatiran akan WrestleMania jadi ‘perayaan cuma-cuma’ itu jadi makin menjadi-jadi demi melihat susunan pertandingan yang sudah disiapkan WWE untuk WrestleMania 38 kali ini. Tiga pertandingan seleb, sementara tidak ada kejuaraan menengah seperti Intercontinental atau U.S. Lebih banyak nama-nama ‘aneh’, sementara talent beneran yang lebih populer (dan tentu saja yang belum dipecat) dianggurin.
Jujur aku sendiri juga gak kehype oleh overhype yang dilakukan WWE terhadap susunan match medioker mereka. Aku tertarik, paling cuma sama tiga match, di luar main event title unification juara lawan juara Brock Lesnar lawan Roman Reigns. Tapi WWE ternyata mengejutkan kita semua, baik itu yang pro ataupun yang kontra. Matches yang tampak lemah di atas kertas tadi disulap jadi suguhan yang bervariasi positifnya. Ada yang menghibur banget, ada juga yang klasik banget. Para seleb yang bertanding sebagai bintang tamu pun sukses menampilkan ‘gulat hiburan’ dalam versi mereka sendiri. Kalo disuruh milih mana yang paling bagus dan yang paling kusuka, well, yuk kita langsung breakdown aja, malam mana dari WrestleMania 38 yang paling oke.

wm00331-16490490187380-1920
Don’t let Mark Henry’s son stop you!

WrestleMania 38 Night ONE

wmcody-rhodes-wrestlemania-38
Malam Kesatu disusun berdasarkan satu hal. Kejutan. Hal yang paling diantisipasi dan diperbincangkan oleh fans di bulan-bulan awal tahun 2022 ini, dijanjikan akan diungkap di sini. Siapa yang bakal ngelawan Seth Rollins. Leading up to this show, intensitas semakin gede karena berseliweran nama-nama yang tampak sama mungkinnya untuk dipilih WWE sebagai kejutan. Mulai dari Undertaker yang tega banget bilang “Never Say Never” pada penutup pidato Hall of Fame-nya (yang efektif sekali bikin fans gak bisa tidur), hingga ke Shane McMahon yang di detik-detik terakhir masih dijadikan kecohan oleh Seth Rollins yang nyebut “Time is money!”. Aku sendiri sebenarnya gak nyangka WWE bakal berbaik hati ngasih yang actually benar-benar diinginkan fans. But there he is. Cody Rhodes yang diberitakan hengkang dari kompani gulat sebelah (yang turut ia bangun sendiri) akhirnya beneran muncul di atas panggung. Lengkap dengan attribut, musik, dan persona American Nightmare yang dibangunnya di kompani pesaing WWE tersebut. Malam Kesatu bakal memorable oleh momen ini. Ada banyak layer untuk dikupas dari peristiwa kembalinya Rhodes saja.
Kejutan gede berikutnya adalah Stone Cold Steve Austin. Semua sudah tahu Austin bakal muncul di Kevin Owens Show, Owens nantangin dan jelek-jelekin Austin (dan Texas). Tapi gak ada yang mengantisipasi legend dengan riwayat cedera leher, lutut, dan banyak lagi ini bakal turun kembali bergulat. And that’s what exactly happened. Tadinya aku memang merasa susunan match acara ini aneh. Kenapa Talk Show jadi main event. Itu hanya akan membuat acara ini seperti bersambung, tanpa penutup yang real. Keanehan tersebut terjawab ketika Austin menyetujui tantangan Owens untuk bertarung di NO HOLDS BARRED!! Bukan single match biasa, melainkan match tanpa-aturan.  Salut lihat Austin; ini adalah pertandingan pertamanya setelah 19 tahun (dan juga jadi pertandingan terakhir) dan dia buktiin dia benar-benar pantas disebut legend. Matchnya ini, katakanlah gak cengeng. Austin actually took bumps. Dia disuplex ke lantai, bayangin! Tentu saja ini juga berarti salut buat Kevin Owens yang udah buktiin dirinya dipercaya untuk nampil sefisikal itu terhadap legenda yang punya cedera.

wmFPY-E2UXsAMNgLE
Bayangkan kalo tampil di Indonesia, Owens bakal dicekal karena menghina kota, dan Stone Cold dicekal karena minum bir di depan orang puasa.

Susunannya match malam pertama terasa kurang penting, dan banyak yang gimmick dan yang gak penting, tapi kualitas pertandingannya tidak mengecewakan. Di luar ekspektasi semua. Aku bahkan happy dengan match Happy Corbin, karena at least ada rekor yang dipecahkan. Drew McIntyre jadi orang pertama yang kick out dari finisher End of Days. Match Rhodes lawan Rollins jangan ditanya, mereka bermain spam finisher tapi dengan intensitas yang benar-benar kebangun. Rhodes juga diberikan waktu luang untuk ngebangun karakternya sekarang, hingga nostalgia dengan karakter dan orang terpenting dalam karirnya. Bahkan match si YouTuber Logan Paul juga gak kalah seru. Paul earns viewer respects karena sanggup keep up dengan gulat hiburan gaya WWE. Paul mainin heel dengan gemilang. Dia niruin Eddie Guerrero coba, lancang kan. Tapi keren. Yang aneh dari tag teamnya bareng Miz lawan Keluarga Mysterio cuma setelah akhiran saat Miz tau-tau turn heel ke dirinya. Kejuaraan Tag Team yang membuka acara ini sebenarnya juga berpotensi seru, cuma sayang kemalangan menimpa Rick Boogs yang kakinya cedera beneran sehingga match tersebut terpaksa dicut short.
So far, match terbaik adalah Bianca Belair melawan Becky Lynch. Cerita tentang redemption Belair terbangun dan tersampaikan sempurna. Laganya berjalan dengan pace mantap, banyak close call, dan aksi-aksi keren. Bahkan entrance mereka asik punya semua. Berbeda sekali dengan kejuaraan cewek satu lagi antara Ronda Rousey dengan Charlotte Flair yang terkesan chaotic karena kayak terburu-buru. Banyak botch. Kegedean ego, dan fakta bahwa ini adalah match yang gak ada satu orang pun yang minta untuk terjadi.

WrestleMania 38 Night TWO

wmWWE-WrestleMania-38-Edge-Entrance-1024x581
Sekilas susunan Malam Kedua tampak lebih solid dan somehow lebih serius dibandingkan Malam Kesatu. Tapi nyatanya, Malam Kedua gak mau kalah. Malahan sekalinya seru-seruan, Malam Kedua tampil lebih hura-hura loh!
Oh how I enjoyed match Sami Zayn lawan Johnny Knoxville, lebih daripada yang seharusnya. Karena itu bukan wrestling. Lebih seperti live action kartun Tom & Jerry, tapi memang begitu menghibur. Semua ‘perabotan’ Jackass keluar. Mulai dari kru hingga alat-alat prank konyol mereka. I got huge “Called it” moment tatkala sempat mikir di match ini mereka haruslah pakai adegan Wee Man datang bantuin Knoxville dari bawah ring, Hornswoggle style! Dan itu beneran kejadian. Wee Man also body slam Zayn hahaha. Party Boy juga muncul, begitu-begitu dia pernah tanding lawan Umaga. Meskipun yah, dihajar babak belur juga pastinya. Point is, ini jadi match hardcore terkocak yang bisa kita dapatkan di era kekerasan di televisi harus diperhalus. Match ini dengan gemilang memenuhi konteks dan fungsinya. Karena tentu gak bakal ada yang ngarepin Knoxville main di match yang serius.
Bukan berarti selebriti alias orang di luar pegulat gak bisa nyuguhin match wrestling yang kece. Logan Paul udah buktiin di malam pertama, dan di malam kedua ada Pat McAfee. Footballer yang baru banting stir menjadi pegulat. Pertandingannya melawan Austin Theory – anak baru juga – tidak tampak hijau. Melainkan sebuah cerita menggapai mimpi yang seru dan menghibur. Yang tampak hijau justru Omos. Raksasa yang lagi dapat push gede-gedean, dan di sini dia ditandingkan melawan Bobby Lashley. Omos keliatan banget masih ‘kasarnya’ dan butuh banyak latihan dalam penguasaan ring. Matchnya dengan Lashley tampak clumsy, Lashley seharusnya dibikin kayak jadi underdog di sini, tapi itu sama sekali gak kerasa berkat kecanggungan Omos, bahkan dalam bergerak.
Pat McAfee dan Austin Theory statusnya jadi makin terangkat dengan kehadiran Vince McMahon himself di pinggir ring. Menjagokan anak emasnya – Theory. Pemilik WWE itu kayak gak mau ketinggalan have fun, karena ujug-ujug dia juga turun bertanding. Kupikir nobody saw that coming. However, aku mendapat momen “Called it!” kedua saat berpikir pasti bakal kocak kalo Stone Cold ada di Malam Kedua ini, silaturrahmi sama Vince yang ‘kawan lama’nya. As soon as I’m done thinking that, musik kaca pecah itu muncul, dan datanglah Stone Cold Steve Austin!! Bisa ditebak arena langsung ikut pecah oleh sorak sorai. Agak sedikit terharu juga, ini 2022, Austin dan Vince masih berlaga menghibur kita semua.

wmIMG_6733-scaled
Kita semua tahu adegan ini bakal berujung apa hihihi

Pada akhirnya Malam Kedua jadi ‘receh’ juga. Dua kejuaraan tag team yang masing-masing melibatkan multiple team, terlalu cepat dan rusuh untuk jadi kejuaraan yang solid. The right teams win, tapi agak kurang terasa karena tempo yang cepat tersebut. Padahal ada momen Sasha Banks keluar dari kutukan selalu-kalah di WrestleMania. Dua match yang digadangkan bakal dahsyat, gak perform sesuai perkiraan. AJ Styles lawan Edge yang berusaha tampil klasik, justru jadi terasa lamban karena out of place dengan rest of the cards yang tempo matchnya luar biasa cepat semua. Storyline-nya pun ternyata masih kayak belum tuntas, karena match ini dijadikan awal dari sesuatu yang baru untuk Edge, yang tampil kayak Dracula di game Castlevania.
Yang bisa dibilang paling mengecewakan adalah main eventnya. Lesnar dan Reigns. Padahal dengan pembalikan role; Lesnar baik dan Reigns jahat, feud mereka bener-bener ter-refresh dengan pembawaan karakter masing-masing. Aku suka sekali gimana Lesnar ikut merebut mic dan memperkenalkan dirinya sendiri, sambil ngeledek gaya Reigns dan Paul Heyman. Namun sayang, WWE tidak mengubah apa-apa dalam match mereka. Tetap berupa saling spam finisher. Tidak ada match metodikal yang bercerita. Tidak match klasik seperti Styles-Edge. Receh juga enggak. Hanya itung-itungan finisher yang biasa. Akhirannya pun terasa ujug-ujug, karena gak ada yang ngarepin matchnya bakal begitu lagi. Dari build up yang dahsyat, dari cerita yang udah chapter kesekian, dari stake yang tinggi, penonton ngarepin sesuatu yang benar-benar epik. WWE enggak ngasih itu di akhir Malam Kedua.
WWE ternyata masih bisa menarik sesuatu keseruan dari apa yang tampak biasa-biasa aja, bahkan malah meragukan. WrestleMania 38 ini jadi buktinya. Tapi untuk menyimpulkan, ya Malam Kesatu terasa lebih hebat. Kalo disuruh memilih delapan match saja dan menjadikan WrestleMania ini sebagai satu show, maka dengan melihat bagaimana pertandingan tersebut dilakukan oleh WWE, maka aku akan banyak memilih pertandingan di Malam Kesatu. That is THE night. Dan matchnya, sampai Malam Kedua berakhir, ternyata pendapatku masih tetap. Bianca Belair vs. Becky Lynch tetap yang paling solid, paling aksi, paling bercerita. Kejuaraan Perempuan RAW itulah Match of the Stupendous Nights. 
Full Results:
FIRST NIGHT
1. SMACKDOWN TAG TEAM CHAMPIONSHIP The Usos bertahan dari Shinsuke Nakamura dan Rick Boogs
2. SINGLE Drew McIntyre mengalahkan Happy Corbin
3. TAG TEAM The Miz dan Logan Paul menang atas Rey dan Dominik Mysterio
4. RAW WOMEN’S CHAMPIONSHIP Bianca Belair jadi juara baru ngalahin Becky Lynch
5. SINGLE Cody Rhodes muncul jadi misteri opponent dan ngalahin Seth Rollins
6. SMACKDOWN WOMEN’S CHAMPIONSHIP Juara Bertahan Charlotte Flair ngalahin Ronda Rousey
7. NO HOLDS BARRED Stone Cold Steve Austin menghajar Kevin Owen

8. BONEYARD The Undertaker mengubur AJ Styles

SECOND NIGHT
1. RAW TAG TEAM CHAMPIONSHIP TRIPLE THREAT Tim RK-BRO Randy Orton dan Riddle masih juara atas Street Profits dan Alpha Academy 
2. SINGLE Bobby Lashley unggul dari Omos
3. ANYTHING GOES Johnny Knoxville bikin Sami Zayn babak belur
4. WOMEN’S TAG TEAM CHAMPIONSHIP FATAL FOUR WAY Sasha Banks & Naomi merebut sabuk dari Queen Zelina & Carmela, Natalya & Shayna Baszler, dan Rhea Ripley & Liv Morgan
5. SINGLE Edge mengungguli AJ Styles
6. TAG TEAM Sheamus dan Ridge Hollang (bareng Butch) menang atas New Day Kofi Kingston dan Xavier Woods
7. SINGLE Pat McAfee mengalahkan Austin Theory

8. SINGLE Vince McMahon balik mengalahkan Pat McAfee
9. WWE & UNIVERSAL CHAMPIONSHIP WINNER TAKES ALL Roman Reigns jadi Undisputed Champion ngalahin Brock Lesnar

That’s all we have for now.
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

THE LOST CITY Review

“If you love what you do, it isn’t your job, it is your love affair.”

 

Masih ingat Gilderoy Lockhart? Itu tuh, guru (ngakunya paling tampan) di sekolah sihir Hogwarts yang terkenal karena menulis sekian banyak buku petualangan eksotis; petualangan yang kata Lockhart dilakukan olehnya sendiri. Tapi dia bohong. Lockhart hanyalah penulis handal yang bikin cerita dari pengalaman orang-orang, dan menjadikan dirinya sendiri sebagai figur model dari cerita tersebut. Meskipun begitu, buku-bukunya tetap laris dan fansnya banyak (terutama di kalangan penyihir wanita, khususnya emak-emak penyihir!) Jika kalian suka karakter yang situasinya mirip si Lockhart itu,  sambil juga menikmati petualangan dengan sedikit bumbu aksi, serta sejumlah komedi dan romance, maka memilih film The Lost City sebagai tontonan bersantai adalah pilihan yang tepat.

Garapan Aaron dan Adam Nee ini bercerita tentang seorang penulis perempuan bernama Loretta . Yang terkenal oleh seri buku petualangan romantis yang ia tulis. Much like Lockhart, Loretta tidak pernah ngalamin sendiri bertualang di hutan-hutan berbahaya. Tapi dia toh memang masukin beberapa hal yang ia tahu, seperti soal legenda harta karun dan tulisan-tulisan kuno, karena dia dan suami dulunya memang meneliti hal tersebut. Makanya, tidak seperti Lockhart, Loretta justru jadi tidak menyukai seperti apa jadinya karya-karya tersebut. Para ibu-ibu penggemar bukunya itu, hanya peduli sama romance dan glamor, terutama seks appeal dari karakter Dash yang muncul dalam setiap buku Loretta. Si Dash ini punya model beneran; pemuda bernama Alan, yang meskipun bukan jagoan tapi benar-benar ‘serius’ menghidupi perannya sebagai Dash, you know, seperti Lockhart. Petualangan The Lost City dimulai ketika diungkap ternyata satu-satunya orang yang menghargai fakta dan sains dalam novel Loretta adalah seorang jutawan yang pengen mencari harta tersembunyi. Sayangnya, si jutawan itu bukan orang baek-baek. Loretta diculik dan dipaksa mecahin kode. Alan, believing himself jagoan, nekat pergi menyelamatkan Loretta. Dua orang yang sama sekali gak cocok di hutan tersebut, harus benar-benar bertualang seperti dalam buku cerita.

Daniel Radcliffe secuestra a Sandra Bullock en el tráiler de 'La ciudad perdida'
Masih ingat Harry Potter? Beginilah tabiatnya sekarang

 

Bukan satu, tapi dua! Cerita ini punya dua karakter yang merupakan fish-out-of-the-water. Komedi datang bertubi-tubi dari sini. Film juga cukup bijak untuk terus menekankan kontras lokasi dengan kebiasaan karakter tersebut lebih jauh lagi, seperti misalnya menghadirkan karakter yang bener-bener jagoan di hutan sebagai pembanding dari karakter Alan. Ataupun sesederhana ngasih outfit pakaian jumpsuit berkilau-kilau untuk dipakai oleh Loretta selama di hutan. Komedi film ini certainly lebih efektif lewat visual atau benar-benar fisik ketimbang lewat dialog, yang kadang terdengar cringe dan cheesy, terlebih ketika juga mencoba memuat urusan romance ke dalam komedinya. Bukan hanya dari kedua orang yang harus survive di hutan berbekal cerita karangan, film juga memantik komedi dengan mengontraskan reaksi mereka.  Ini berkaitan lebih lanjut dengan karakterisasi. Dari reaksi-reaksi tersebut tergambar betapa kuat dan konsistennya naskah menuliskan Loretta dan Alan.

Inilah yang memisahkan film ini dengan film Romancing the Stone (1984) – yang juga tentang penulis perempuan harus bertualang di hutan – yang jadul. The Lost City memainkan karakter ke dalam semacam pembalikan dinamika role. Gak ragu menunjukkan cowok stereotipe jagoan sebagai seorang yang sensitif. Gak takut memberikan kemudi utama kepada karakter cewek. Di film ini Loretta gak lari-larian sambil digenggam tangannya oleh Alan (kakinya yang ditarik sambil lari-lari hihihi!). Walaupun memang bentukannya adalah Alan berusaha menyelamatkan Loretta, tapi cerita tidak berkembang menjadi traditional damsel in distress situation. Alan menyelamatkan dengan cara yang lebih ke suportif. Loretta tetap yang memegang kendali, atas pilihan dan aksi mereka berikutnya. Malah ada dialog yang literally menyebut justru si Alan yang jadi ‘damsel’. Perkembangan karakter Loretta memang dijadikan fokus. The Lost City enggak sekadar komedi fish-out-water, ataupun tidak cuma aksi petualangan kocak, tapi mainly ini adalah tentang perempuan yang berusaha untuk berani menemukan cintanya kembali. Menggali cinta yang sudah lama ia kubur. Baik itu cinta kepada apa yang ia lakukan, maupun cinta beneran – mengenali perhatian yang diberikan orang kepadanya. 

Yang kusuka dari film ini adalah muatan yang bicara soal sisi kreatif manusia. Persoalan yang relevan banget, terutama di perfilman sendiri. Loretta ini udah kayak filmmaker yang bikin cerita-cerita receh, hanya karena receh itulah yang gampang laku. Itulah yang diminta oleh penonton atau fans. Aku percaya setiap filmmaker pasti pengen dinotice ‘suara’ atau ‘pesan’ yang mereka sisipkan. Terus menerus bikin receh itu bakal menggerogoti diri dari dalam. Kayak Loretta yang jadi jengah. Film ini bertindak sebagai suara yang meredakan kecamuk personal pembuat karya seperti Loretta. Ada pesan di akhir dari seorang karakter yang buatku cukup menyentuh. Pesan yang seperti mengatakan cintailah yang kita lakukan, karena bagaimanapun juga, tanpa diketahui, ada orang-orang di luar sana yang menganggap yang kita lakukan itu sangat berarti. 

 

Sandra Bullock tampak nyaman sekali bermain romantic comedy seperti ini, tapi praise-ku sebagian besar tertuju kepada penampilan dan timing komedinya. Bullock memainkan dialog, serta gestur komedi, dengan sama tepatnya. Di sini dia cukup banyak bermain secara fisik, dan dia berhasil membawakannya sehingga tampak jadi penyeimbang dari tone yang dibawakan oleh Channing Tatum sebagai Alan. Tatum di sini lebih ke over-the-top, tapi dia keren banget kalo udah tek-tokan sama aktor lain. Tatum gak ragu-ragu memainkan jokes unggulannya, yakni play around his body. Tatum tahu persis kelucuan seperti apa yang bisa dicapai dari orang cakep-bertindak-bego. Mereka juga membuktikan kenapa mereka masuk A-list dengan menjajal range tanpa terbata. Kita akan dibuat tersentuh juga oleh adegan-adegan yang lebih emosional. Momen favoritku adalah reaksi Loretta dan Alan setelah ‘pembunuhan pertama’ yang mereka lakukan. Bullock dan Tatum memainkannya dengan hilariously manusiawi.

Overall memang cast-nya perfect. Brad Pitt really killed penampilan cameonya. Daniel Radcliffe juga bagus sebagai antagonis. Buatku menarik sekali Daniel juga ikut di-cast dalam cerita ini, mengingat keseluruhan karir anak-anaknya dihabiskan sebagai katakanlah ‘coverboy’ untuk Harry Potter. Mungkin sampai sekarang orang masih memanggil dia sebagai Harry, seperti orang-orang dalam film ini masih memanggil Alan sebagai Dash. But anyway, Daniel Radcliffe sekali lagi nunjukin dia fleksibel. Dia masih terus bisa jadi antagonis yang meyakinkan, keluar dari pesona anak baek-bake. Di The Lost City ini, range tersebut lebih banyak dimainkan. Yang kurang cuma karakterisasi tokohnya. Motifnya sebagai antagonis, kinda weak. Dalam artian tidak benar-benar mendukung atau merefleksikan arc protagonis. Daniel di sini adalah anak orang kaya yang mau jadi paling top karena dia benci ama saudaranya. Ini kayak out-of-place dengan karakter lain ataupun dengan tema cerita keseluruhan.

cityThe.Lost_.City_.2022-Trailer.Image-001
Kau gak akan pernah bisa sekeren Brad Pitt kibas rambut dengan iringan lagu opening True Detective

 

Satu lagi yang mencuri perhatian adalah karakter publicist Loretta, yang juga berusaha mencari Loretta yang hilang – yang genuinely care. Aku bisa melihat karakter ini bisa dengan gampang jadi fan favorite. Walaupun menurutku juga karakter ini sebenarnya gak perlu-perlu banget ada. Sepanjang narasi, penempatannya sebagian besar sebagai transisi, dan dia juga gak benar-benar punya impact ataupun ada tie-in dengan masalah atau tema cerita. Tapinya lagi aku juga paham karakter ini ada sebagai ‘warna’ tambahan, both figuratively, dan literally untuk menambah diversitas karakter cerita.

Yea, I’m sorry to get a little technical; aku merasa sedikit kekurangan film yang lucu menghibur ini ada pada struktur naskahnya. Untuk sebagian besar waktu – dari awal hingga ke menjelang babak tiga – urutannya clear. Inciting incidennya Loretta diculik, point of no returnnya saat mobil mereka jatuh ke jurang dan kini tinggal Loretta dan Alan berdua saja, sekuen romancenya malam hari di puncak bukit. It’s cut perfect. Tapi kemudian cerita berlanjut dan seperti berulang; kita masuk lagi ke sekuen yang sama. Film masih agak belibet membawa cerita masuk ke babak ketiga. Biasanya di cerita romance, memang bakal ada pertengkaran pada pasangan (either ketahuan bohong, atau dicurigai selingkuh, atau semacamnya), yang bakal diresolve di babak akhir. Nah The Lost City ini, karena gak ada yang bohong, gak ada yang selingkuh, dan thank god gak ada twist murahan sejenis ternyata pasangannya jahat, maka mereka agak kesusahan mengisi sekuen. Jadilah sekuen resolve Loretta dengan Alan dilakukan dengan lebih cepat, sehingga kayak ada dua sekuen romance. Padahal menurutku hal tersebut tidak mesti dilakukan. Biarin aja mereka tetap diem-dieman sampai babak ketiga masuk, yang ditandai dengan seseorang diculik. 

 

 

 

Di luar sandungan di penulisan tersebut, film ini memang sajian modern yang menghibur. Aku perlu menekankan modern, karena memang jarang sajian modern hadir tanpa terasa annoying ataupun agenda-ish. Film ini menempatkan, memainkan, dan memanfaatkan karakter-karakternya dengan tepat. Bercerita lewat mereka, sehingga film ini terasa punya perkembangan dan petualangan yang genuine. Romance dan komedinya imbang, dan kedua-duanya bersinar berkat penampilan akting. Elemen petualangan mencari harta karunnya pun tak jenuh oleh tetek bengek eksposisi. Dibuat minimalis tapi tetap seru dan membuat kita merasa terinvolve. Trust me, karena tak seperti Lockhart, aku menulis dari pengalaman; 
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for THE LOST CITY.

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Pilih antara ini: ‘Do what you love’, atau ‘Love what you do’?

Why?

Share  with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

THE ADAM PROJECT Review

“Cherish every moment with those you love at every stage of your journey”

 

Hidup memang penuh penyesalan. Kalo tidak, kalimat pertanyaan “Apa yang bakal kalian ucapkan buat kalian di masa lalu?” tidak akan pernah terpikirkan. Kita semua pengen ketemu sama kita waktu masih muda, supaya bisa ngasih nasihat. Supaya mereka gak memilih jalan yang sama, bikin kesalahan yang sama. Hidup memang penuh penyesalan, kalo tidak, time travel tidak akan pernah kita impikan. Karena memperbaiki hidup seperti demikianlah yang jadi poin utama dari angan-angan bisa pergi ke masa lalu. Karya terbaru Shawn Levy literally mengambil konsep time travel dan pertanyaan tersebut sebagai tema cerita, dan Levy menggodoknya menjadi sajian laga sci-fi yang bukan saja seru, tapi juga grounded dan terasa manusiawi. Tuk memastikan dirinya gak bakal pengen balik ke masa lalu memperbaiki film ini, Levy memaksimalkan kadar hiburan film ini. Ia menyuntikkan dosis komedi dalam jumlah ‘mematikan’, dengan meng-cast Ryan Reynolds sebagai karakter utama. Membuat The Adam Project jadi semacam Reynolds show yang sudah amat familiar bagi kita. To the point jadi amat terlalu familiar, it could become stale.

adam-Sci-Fi-Dibintangi-Ryan-Reynolds
tbh, I fell like, aku yang masih kecil akan membunuhku dengan brutal begitu melihat jadi apa dirinya nanti.

 

Tentu saja, pergi ke masa lalu akan membawa masalah tersendiri. Cerita-cerita tentang time travel akan berkutat dengan hal-hal trivial yang menuntut kelogisan semisal bagaimana bisa terjadi, lalu soal efek kupu-kupu dari mengubah masa lalu, ataupun soal berapa versi diri kita yang ada – which leads to a multiverse. Makanay cerita-cerita time travel cenderung jadi ribet sendiri. The Adam Project gak mau pusing-pusing sama hal tersebut. Dengan singkat dan padat film ini menyebut time-travel exist sembari menepis kemungkinan multiverse (semua orang nantinya akan jadi amnesia atau semacamnya). Soal teknologi kefiksiilmiahannya memang tetap ada, kita masih bisa geek out dengan alat-alat flashy dan aksi heboh. Tapi kita tidak diminta untuk memikirkannya lebih lanjut. Film ingin kita langsung fokus ke permasalahan yang membayangi para karakter. Fokus ke gagasan yang dibawa. Karena itulah, on the plus side, The Adam Project gampang terasa grounded.

Peran Reynolds di sini bernama Adam Reed. Di tahun 2050, dia seorang pilot pesawat tempur yang oleh bosnya dikirim untuk misi time travel. Tapi Adam menemukan ada kejanggalan. Jadi dia bermaksud bergerak sendiri, tapi ketahuan dan diserang. Adam yang terluka terdampar di tahun 2022. Di situlah dia bertemu dengan dirinya yang masih dua-belas tahun. Kedua Adam, dengan segala kemiripan dan perbedaan mereka, bekerja sama menyelamatkan masa depan. Untuk itu, mereka harus ke masa lalu, meminta bantuan kepada bapak yang selama ini jadi sumber amarah Adam.

See, di balik hingar bingar dan mumbo jumbo sci-fi, film ini bicara tentang hubungan ayah dan anak lewat pergulatan personal yang digambarkan oleh interaksi antara Adam Gede dengan Adam Kecil. Keduanya kehilangan ayah, dan sedang dalam fase berbeda. Adam Kecil, di tahun 2022, masih sedih atas kematian bapaknya. Tapi Adam Gede, yang udah sekitar 40 tahun umurnya, tentu sudah outgrow that phase. Kesedihan Adam telah berubah menjadi kemarahan dan ketidaksukaan. Dia resent ayahnya gak pernah ada. Ayah yang bahkan setelah pergi pun, meninggalkan pe-er pelik untuknya. Adam Project, yakni proyek time travel yang jadi konflik-luar film ini, memang diciptakan oleh sang ayah. Interaksi Adam Gede dengan Adam Kecil boleh jadi lucu dengan banyak saling ejek dan remarks kocak, tapi sesungguhnya itu adalah momen-momen Adam membuka perspektif baru. Dua karakter ini saling belajar satu sama lain, yang tentu saja berarti Adam belajar lebih banyak melalui konfrontasi dengan dirinya sendiri, yang selama ini telah ia kubur oleh kemarahan. Film bicara soal kemarahan sebagai reaksi dari grief dan kesedihan itu lebih lanjut lagi dengan juga menilik sisi Adam Kecil, yang justru marahnya kepada sang ibu sebagai bentuk dari pelampiasan kesedihan.

Tema cinta dan kehilangan memang bergulir kuat, gak sekadar tempelan. Realisasi perlahan yang disadari Adam mengenai kemarahan dan mengantagoniskan orang sebenarnya adalah bentuk dari menutupi perasaan sedih atas kehilangan (marah memanglah emosi yang sekompleks itu), turut membawa dirinya kepada pembelajaran satu lagi. Yakni soal menghargai waktu yang ada. Menghargai orang-orang yang bersama dan mencintai kita di dalam setiap tahapan waktu yang kita lalui. Karena yah, kita tidak pernah tahu seberapa cepat waktu berjalan.

 

Warna ringan film ini sebagian besar datang dari penampilan akting. Reynolds seperti biasa memainkan seorang bermulut tajam; ini udah jadi trademarknya sekarang. Hiburan film memang datang dari dialog-dialog Reynolds dengan karakter lain. Terutama dengan Mark Ruffalo yang jadi ayahnya – Ruffalo sendiri sudah terbiasa dan jago juga dalam timing komedi gaya celetukan yang juga dilakukan oleh film-film Marvel. Komedi semacam ini diseimbangkan oleh akting Jennifer Garner sebagai ibu. Weakest karakter adalah perannya Zoe Saldana yang baru akan benar-benar ngefek di akhi. Serta pemeran antagonis Catherine Keener, yang karakterisasinya memang standar sekali. Tidak ada layer dalam motivasi penjahat-ala-kartun-minggu-pagi miliknya.

The elephant in the room adalah aktor cilik Walker Scobell yang luar biasa mirip Reynolds, memainkan Adam Kecil. Reaksinya ketemu dengan diri yang sudah dewasa, berotot, punya alat-alat canggih, juga kocak sekali. Persis kayak yang diharapkan kalo ada anak kecil yang melihat dirinya udah gede, rasa penarasan dan excitement-nya dapet. Tapinya lagi, Scobell memang hanya perlu menirukan Reynolds karena di sini si Reynolds sendiri memang tidak memainkan karakter. Reynolds yang seperti memainkan dirinya sendiri mempermudah Scobell. Gak perlu kayak Helena Bonham-Carter yang berakting jadi Emma Watson berakting jadi Hermione yang akting jadi Bellatrix di Harry Potter. Inilah kenapa aku gak benar-benar terkesan sama Adam Kecil. Aku gak bilang mudah dan semua orang bisa niruin Reynolds, tapi hanya gak ada lapisan aja. Dia niruinnya sama persis, ya mannerismnya, ya mimiknya, ya pace nyamber obrolannya. Mestinya Reynolds di sini bisa memberikan karakter yang ia perankan lebih sebagai karakter lagi, bukan sebagai dirinya.

ADAMb784gzy_lGR2CY_ZJOQdrvGjyvn-obZGA
Bayangkan jadi penonton live Hulk dan Deadpool adu mulut.

 

Jadi setidaknya ada dua kemudahan yang diambil film ini. Soal karakter Adam yang basically cuma Ryan Reynolds. Dan soal time travelnya tadi. Gak ribet dalam melandaskan teori dan logika-film. But wait, there’s more conveniences alias kemudahan. Adegan-adegan aksinya – yang btw melibatkan orang-orang yang bisa tak kelihatan – tidak pernah terasa menggebu. Heboh sih iya, tapi gak ada intensitas. Penjahatnya tetap mudah dikalahkan. Sekuen berantemnya pun gak wow banget, banyak elemen yang udah pernah kita lihat (termasuk senjata yang mirip Lightsaber, eventho film berusaha menyetir ini sebagai komedi dalam cerita). Selain itu, film memang banyak memasukkan referensi kisah time travel dan sci-fi lain. Sehingga semua itu jadi datar aja, plus juga karena kita gak benar-benar melihat stake. Tahun 2050 diserahkan kepada imajinasi kita, which is good, hanya saja keadaan di tahun itu juga dijadikan informasi pembanding. Adam ingin mencegah 2050 hancur, dan katanya tahun itu ‘bad’. Dengan demikian, dunia tahun 2050 itu sekarang jadi stake, dan kita jadi perlu melihat seperti apa dunia di masa depan itu supaya kita bisa peduli dunia yang sekarang gak jadi seperti itu. Film ngambil kemudahan dengan gak memperlihatkan, yang berakhir gak gampang bagi kita untuk peduli sama petualangan mereka. Kemudahan tersebut lantas jadi kelemahan.

Dan bicara soal kelemahan, ada satu logika yang aneh sekali dalam sains cerita. Okelah, mereka ngeset dan bikin logis time travel dengan cara simpel mereka sendiri. Yang kubicarakan ini adalah sains soal kenapa Adam Gede butuh Adam Kecil untuk bertualang. Diceritakan di sini adalah karena Adam Gede tertembak, dia terluka, sehingga pesawat mutakhirnya gak lagi mengenali DNA tubuhnya. Maka dia butuh Adam Kecil yang gak terluka. Dia butuh DNA yang ‘sehat’. Question is, bagaimana luka tembak dapat mengubah DNA seseorang? Aku bukan ahli DNA tapi kalo ada yang kupelajari tentangnya maka itu adalah DNA makhluk akan sama; Luka atau bahkan cacat (yang bukan dari lahir) enggak akan mengubah DNA. Kayak, kalo Animorphs menyadap DNA hewan yang luka, maka saat mereka berubah menjadi hewan tersebut, mereka akan jadi hewan yang sehat, bukan yang luka. DNA itu genetik, dan luka fisik tidak terimprint di sana. The Adam Project tidak berhasil menjelaskan kenapa pesawat tidak lagi mengenali DNA Adam Gede dengan logis. Sehingga poin sepenting Adam Kecil harus ikut jadi sangat lemah. The whole movie ternyata bergantung kepada logika selemah itu. Aku gak nyebut plot hole atau apa, tapi kalo kita peduli sama letak perban di kepala orang sakit dalam film-film, maka hal sepenting DNA ini juga harusnya jadi concern kita, sebab benar-benar berkaitan dengan cerita ini bisa berjalan atau tidak.

Tadinya aku pikir mungkin di akhir akan diungkap kalo soal DNA itu cuma bualan Adam semata, bahwa dia sebenarnya pengen Adam Kecil ikut, atau gimana kek. Atau kupikir bakal ada penjelasan lanjutan. Tapi gak ada. Ini hanyalah cara mudah berikutnya dari film untuk menjelaskan kenapa Adam Kecil harus ikut bertualang. Padahalnya lagi, soal DNA ini bisa dijelaskan dengan menyebut senjata masa depan memang dapat mengubah DNA, makanya kalo mati ditembak ini orang jadi hancur. Tapi, film gak nyebut apa-apa soal senjata tembak. Orang lenyap hanya disebut sebagai akibat dari mati di luar timeline/universe hidupnya yang asli. Lagi-lagi, kemudahan bercerita. Eh, tapi lama-lama kemudahan itu jadi tampak seperti kemalasan ya!

 

 

Kalo aku guru IPA atau sains, maka aku akan ngasih nilai merah untuk film ini. Karena penjelasannya terlampau sederhana hingga cenderung malas. Film hanya menjelaskan time travel, tapi tidak menjelaskan soal DNA yang mereka angkat. Tapi untungnya aku bukan guru. Aku hanya penonton yang menulis ulasan film. Maka aku menilai dari filmnya saja. Yang bercerita dengan menghibur, memastikan kita tidak beruwet-ruwet dalam konsep time travel, dan makin mendaratkan cerita dengan tema keluarga yang grounded. Tapi uh-oh, film ini masih juga terasa malas, karena sebagai aksi sci-fi, dia masih generik, lebih banyak masukin referensi daripada adegan original, dengan stake yang gak terasa. Bahkan kematian dalam cerita, gak pernah terasa sedih-sedih amat.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for THE ADAM PROJECT.

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Kalo berkesempatan ke masa lalu, tahun mana yang kalian tuju dan apa yang akan kalian katakan kepada diri kalian di tahun itu?

Share  with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

MARLEY Review

“A dog doesn’t care if you are rich or poor, educated or illiterate, clever or dull. Give him your heart and he will give you his.”

 

 

Walau mengaku bujangan kep… eh salah, itu lagu Yuni. Walau mengaku penyayang binatang, tapi honestly dulu aku peduli memelihara hewan cuma kalo ‘peliharaan’ tersebut bisa diajarin nyerang orang, atau bisa membawaku terbang, atau punya berbagai alat ajaib di dalam kantongnya. Waktu kecil dulu aku belum kebayang hubungan dengan hewan peliharaan itu bisa menjadi sangat emosional. Dulu aku cuma melihara tamagotchi, dan memang aku bisa ’emosional’ kalo udah capek-capek dirawat, dia mati. Alias emosi dalam artian ngamuk, karena meliharanya masih dalam tahap menganggap sebagai game. Padahal melihara yang sebenarnya itu bisa membawa kedekatan. Pets bisa seperti sahabat, bahkan lebih dekat daripada keluarga. Waktu baru melihara kucing beneran lah (itupun awalnya karena loteng kafeku banyak tikus), aku mengerti. Tadinya aku pengen bicara tentang hal tersebut lebih lanjut, lewat film Marley garapan M. Ainun Ridho. Aku excited pengen nonton ini, karena merasa sekarang aku bisa semakin relate dengan cerita persahabatan manusia dengan hewan peliharaan. Ternyata Marley bicara lebih banyak di balik persahabatan tersebut. Namun sayangnya, film ini fell flat, tidak mampu menceritakan semuanya dengan baik. Mengatakan hanya membahas di permukaan pun, film ini belum berhasil.

Ini kali kedua dalam waktu dekat aku nonton film Indonesia yang mengangkat hewan peliharaan sebagai topik (atau mungkin bahkan pemain) utama. Sebelumnya ada June & Kopi (2021). Sehingga mau gak mau, aku akan membandingkan. Marley punya bahasan yang lebih banyak. Ceritanya tentang seekor seekor pitbull yang lagi ngumpet dari kejaran preman bayaran tukang daging, bertemu dengan Doni (Tengku Tezi jadi guru yang asik), pemuda yang memberinya makan. Si pitbull lantas ngikutin Doni si baik hati pulang. Doni jadi memeliharanya, memberinya nama Marley – sesuai musisi favoritnya. Masalah dimulai ketika Doni yang seorang guru matematika, gak bisa gitu aja ninggalin Marley di rumah selama mengajar. Doni harus membawa Marley ke sekolah, yang berujung membuatnya dipecat. Hidup menjadi semakin berat. Tapi sebaliknya, karena Marley-lah, guru kita itu belajar yang namanya cinta. Yang bakal mengubah hidupnya.  

124847791_1740492739436816_8121578112268320359_n
Daripada sok nyelametin satwa-liar langka, noh di jalanan banyak anjing dan kucing yang siap untuk diberi kasih sayang.

 

 

Ada bahasan asmara – Doni naksir-naksiran sama seorang bu guru bernama Vina (Tyas Mirasih, another alumni gadsam main di another film about human and dog) tapi dia gak kunjung melakukan gebrakan karena Vina ternyata sudah punya anak, sehingga most of time, relasi mereka tampak awkward. Lalu ada bahasan soal pendidikan; Doni ini guru yang punya pandangan maju tentang bagaimana cara yang fun dan efektif ngajarin matematika kepada anak SD. Supaya mereka gak stress menghapal dan sebagainya. Doni justru pengen membuat anak-anak merasa happy dan bermain-main dengan angka-angka. Soal pendidikan ini jadi concern utama film, cerita akan benar-benar membandingkan cara ngajar tradisional yang dianut sekolah di negara kita hingga saat ini dengan cara yang lebih, katakanlah, modern. Film akan memperlihatkan mana yang lebih baik,Jika serta menunjukkan walau cara tersebut lebih baik, tidak segampang itu untuk diterapkan karena guru-guru yang lebih ‘tradisional’ – guru-guru yang masih gak mau segampang itu menerima ide Doni masih banyak. Lalu ada juga pembahasan hingga ke soal perdagangan daging anjing yang semakin meliar. Persahabatan Doni dan Marley membentang melingkup semua itu. Kehadiran Marley menjadi warna, dan sedikit mempermudah Doni menelan masalah-masalahnya. Karena at least now, dia punya seseorang untuk diajak ngobrol. Punya tempat untuk mencurahkan hati. Enggak lagi bicara kepada foto-foto di rumahnya.

Hewan peliharaan adalah companion yang setia. Terutama seekor anjing. Anjing gak akan peduli siapa dirimu. Miskin atau kaya. Pintar atau bodoh. Begitu mereka merasakan hati tulusmu, maka kau telah mendapat teman seumur hidup.

 

Jika dikembangkan dengan baik, Marley akan bisa jadi lebih padat dan kompleks dibandingkan June & Kopi. Inilah kenapa film itu bukan semata soal ide cerita, gagasan, atau moralnya saja. Yang nomor satu dari sebuah film adalah penceritaannya. Marley ternyata bercerita dengan lebih simpel, dalam artian yang not-good. Penceritaan Marley hanya pada batasan ‘tell’, tidak melibatkan ‘show’. Sekalinya ‘show’, yang diperlihatkan malah sesuatu yang either diceritakan terlalu cepat, atau kurang relevan (misalnya porsi-porsi komedinya). 

Persahabatan antara Marley dan Doni misalnya. Hanya di awal-awal saja yang beneran terasa. Doni memandikan, ngasih makanan, lalu ada juga dia marah karena Marley ngacak-ngacak rumah. Makin ke akhir, Marley jadi hanya kayak berada di sana aja. Doni yang dipecat, berusaha membangun tempat mengajar sendiri. Dia melalui banyak kesulitan, dan malah jadi kayak berantem ama Tuhan. Marley agak terpinggirkan. Momen film kelihatan benar-benar berusaha langka sekali. Paling cuma pas ngasih nama. Entah itu nama tempat ngajarnya, ataupun nama Marley. Diperlihatkan proses berpikir mendapatkan nama tersebut, dan semua itu melibatkan Marley. Aku suka momen-momen seperti itu. Walaupun aku kurang sreg nama yang diberikan adalah Marley. It is too easy. Sudah ada film ikonik tentang persahabatan manusia dan anjing yang berjudul Marley & Me (2008) yang tebak siapa nama karakter anjingnya. Ada banyak nama lain; kalo mau nama musisi pun, banyak nama yang lain. Tapi film memilih nama yang membuat orang teringat sama film lain. Film yang bercerita dan dibuat dengan jauh lebih baik. Oh, aku yakin dari nama/judulnya saja, calon penonton akan membanding-bandingkan film ini, dan hasilnya ‘matematika’ perbandingan tersebut gak akan baik untuk film ini.

Film lebih banyak bercerita lewat montase. Doni membangun tempat ngajar; lewat montase ngumpulin murid-murid; lewat montase. Doni ngajarin murid-murid; lewat montase. Padahal ini momen-momen yang tepat untuk menumbuhkan atau menunjukkin development, tapi film lebih memilih untuk memperlihatkan sekelebat permukaan itu saja. Film ini menyebut Doni punya metode unik dalam mengajar. Kita sama sekali gak pernah melihat keunikan itu seperti apa. Doni cuma tampak seperti guru yang akrab dan pandai membawa dirinya di hadapan anak-anak (or di hadapan siapapun lawan bicaranya for that matter) Film yang rajin, film yang tahu apa yang sedang ia bikin, tentu akan menciptakan metode Doni dan menampilkannya kepada kita. Jangankan bikin kreasi, film ini kameranya saja enggak cepat tanggap. Ada adegan ketika Marley diberikan makanan gratis oleh orang dan Doni bilang “ayo ucapin terima kasih”. Adegan tersebut dari awal hingga akhir direkam dengan kamera wide dari depan doang. Mereka enggak memperlihatkan reaksi Marley. Mereka gak memberi kita informasi apapun dari karakter yang namanya jadi judul film ini. Sedikit sekali Marley tertampilkan. Film lebih suka memperlihatkan kamera seolah dari pov Marley. Padahal cara seperti itu gak bercerita banyak. Kita tetap gak tau apa yang dirasa oleh Marley. Lebih efektif merekam wajah Marley saat dia melihat orang. Tapi tentu saja itu mengharuskan sutradara benar-benar bisa ngedirect Marley.

marley5fe543db90c691ca5361aa8488f52236
Spoiler penting banget: Plot twist! Marley ternyata cewek!!

 

 

Contoh lain film ini cuma ngemeng tanpa ngasih bukti adalah ketika Doni bilang salah satu muridnya berbakat jadi pelawak gede. Kita gak pernah tuh melihat murid melawak. Sebagai orang yang lucu. Cuma ada satu dialog yang dia ngelucu, tapi penulisannya kayak orang yang berusaha ngelucu sehingga dibawakan pun gak lucu. Yang diberikan waktu lebih banyak justru momen pedekate Doni kepada Vina. Yang hampir semuanya tampak awkward. Tampang Vina entah kenapa selalu kayak lagi tertekan atau lagi melakukan sesuatu yang salah. Dan dialognya pun luar biasa basa-basi. Pernah gak baca komen di Instagram “Ih kamu cantik banget” “Enggak kok, kamu yang cantik” “Cantikan kamu, ih” “Yang ngelike juga semuanya cantik”. Dialog-dialog film ini, terutama pada bagian Doni dan Vina terasa se’forkal’ itu. Tau gak forkal apaan. Formal tapi dangkal. 

Dengan kualitas dialog seperti itu, hanya ada ruang sempit untuk aktor-aktor kita memaksimalkan akting mereka. Doni yang paling mending. Tetangganya juga cukup oke, meski karakternya satu dimensi. Dan memang karakter lain cuma satu dimensi. Untuk ngelucu, ngelucu aja. Untuk galak, galak aja. Khusus penjahat boleh ngelucu sambil galak. Tapi harus bego. Karakter-karakter anak-anak jangan ditanya. Mereka cuma kayak template karakter pendukung anak di film Indonesia. Dijauhkan dari segala emosi manusiawi. Cuma sebatas melafalkan dialog dengan suara yang seanak-anak mungkin. Kualitas penulisan cerita anak film Indonesia kebanyakan masih sebatas ini. Belum banyak yang berani mengembangkan lebih daripada ini. Cuma memang anehnya film ini, tadinya aku mau bilang kalo film ini sugarcoat aja – mengelak dari ngasih yang terlalu dalam untuk anak-anak. Eh, tapi kemudian datanglah ending yang katakanlah tragis. Berani juga film ini mengirim anak-anak pulang dengan cerita kematian. Tapi yang sesungguhnya mati di sini adalah plot, karena dengan ending seperti itu tidak ada lagi karakter yang benar-benar punya perkembangan di sini.

Jadi aku gak ngerti kenapa film memilih ending seperti itu. Akhiran yang merenggut semua orang dari kesempatan melingkarkan arc mereka. Satu-satunya alasan yang terpikirkan olehku adalah film ini ingin beda dari Marley & Me. Film ini pikir mereka akan ngeswerve kita dengan ending yang, katakanlah, kebalikan dari Marley & Me. Ending yang kalo mereka ditanya apakah film ini niruin Marley & Me, maka mereka bisa menjawab dengan sumringah “Enggak dong, endingnya aja beda, tonton aja”.

 

 

 

Untuk nyimpulin perbandingan yang kuangkat di awal; June & Kopi masih pilihan tontonan lebih baik dari film ini (perbandingan ke Marley & Me jangan ditanya!). Film ini sebenarnya manis, persahabatan Doni dan Marley cukup hangat. I want to see more of them doing things together. Aku cukup senang bisa nonton mereka dalam rangka menjelang satu tahun kematian kucingku, Max. Tapi film ini punya bahasan lebih banyak, dan gak mau benar-benar menggalinya. Film cenderung memilih bercerita dengan sangat aman – kalo gak mau dibilang amat malas. Sehingga, jangankan menggigit, film ini bahkan enggak menyalak. 
The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for MARLEY.

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Apakah kalian punya cerita seru/lucu/haru bersama hewan peliharaan kesayangan?

Share  with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

 

 

TURNING RED Review

“No band-aids for the growing pains”

 

 

Pertumbuhan adalah proses yang mengerikan. Secara fisik, tubuh kita akan mengalami perubahan. Hal itu saja sudah mampu untuk menjungkirbalikkan mental, yang akhirnya bisa mengubah seseorang secara total. Ingat anak perempuan periang teman kelompokmu di TK? Well, jangan heran kalo dia gak bakal pernah bicara lagi kepadamu (atau mungkin kepada semua orang) saat remaja nanti. Atau anak cowok yang supersopan dulu, bisa berubah jadi berandal nyaris tak dikenali lagi saat udah di bangku SMP. Insecure dalam bertumbuh remaja adalah pelaku dari semua perubahan itu. Melihat tubuh kita berganti; kok di situ mendadak tumbuh bulu, kok suaraku jadi aneh, kok aku bertambah tinggi (or not, while your friends all towering up) Siapa yang bisa membantu kita melewati semua ini? Teman-teman yang bakal ngeledek? Orangtua yang gak bakal ngerti masalahnya, dan malah bikin tambah memalukan? Setiap orang akan melewati fase bertumbuh yang mengerikan itu, dan itulah sebabnya kenapa film animasi Turning Red debut film-panjang sutradara Domee Shi jadi salah satu tontonan coming-of-age yang benar-benar tepat sasaran.

Bagi penonton cilik yang baru akan mengalami, film ini akan jadi pembimbing. Buat penonton dewasa, film ini bakal jadi nostalgia – serta bisa dijadikan panutan terhadap gaya parenting orangtua. Turning Red ceritanya tentang anak 13 tahun alias anak mulai gede, dengan penekanan pada hubungan antara si anak dengan teman-teman, dan juga dengan ibunya. Jadi anak ini, si Meilin, adalah tipikal anak cerdas yang jago mata pelajaran apapun di sekolah. Tapi dia bukan tipe anak pendiam (salah satu keunikan penulisan film ini), Meilin orangnya rame banget. Bayangkan campuran antara Bart dan Lisa Simpson (film ini actually ngasih nod ke The Simpsons lewat penamaan dua patung rakun di rumah Meilin). Meilin gak populer amat, tapi at least dia punya teman segeng, dan mereka ngelakuin apapun bersama. Termasuk ngestan grup boyband terkenal. Jadi inilah rahasia Meilin. Dia sebenarnya gak hobi banget jadi nomor satu, dia hobinya hang out dan geek out bareng genk. Prestasi Meilin cuma bentuk responsibilitynya kepada ibu. Di luar rumah, Meilin berusaha menjadi dirinya sendiri. Tapi hal tersebut jadi semakin susah, karena Meilin tau-tau berubah wujud menjadi panda merah, setiap kali dirinya excited. Termasuk saat mikirin boyband dan anak-anak cowok! Dan tampaknya hanya ibu yang tahu cara melepaskan Meilin dari ‘kutukan’ tersebut.

Dari tampilan saja film ini langsung terasa keunikannya. Shi menggunakan estetik anime sebagai ruh animasi 3D. Karakter-karakternya digambar dengan gaya anime. Mata yang besar dan (kelewat) ekspresif. Warna-warna yang cheerful. Gaya berceritanya pun mirip style anime. Dengan cut to cut yang cepat sehingga spiritnya kerasa kayak kartun 90an yang biasa kita tonton di tv. Elemen transformasi ajaib Meilin menjadi Panda Merah juga berasa anime banget. Shi bahkan ngerender kota Toronto asli sebagai panggung cerita film ini, kayak yang biasa dilakukan oleh anime yang pakai lokasi beneran. Dari segi cerita dan bahasan, nonton Turning Red ini emang aku ngerasa vibe ala film-film Studio Ghibli. Film ini juga menyelam lebih dalam ke makna di balik perubahan jadi panda merah. Eksposisi dilakukan dengan fantastis, sembari tetap berusaha kental merepresentasikan budaya Asia, khususnya Cina.

redTurning-Red-screencap-Mei-and-friends-r
Salah satu rejected idea untuk judul film ini adalah My Neighbor Toronto

 

 

Itulah kenapa jadi banyak juga orang yang gak suka ama style film ini. Gaya anime memang gak semua orang suka. Apalagi kalangan penonton barat. Mereka punya gaya sendiri untuk kartun atau animasi over-the-top. Dan bagi mereka, kartun-kartun tersebut bukan Pixar. Salah satu penyebab Pixar di atas, karena gaya yang berbeda dari kartun-kartun tersebut. Makanya, begitu ada film Pixar yang tampil dengan style yang berada dalam spektrum over-the-top, banyak yang gak bisa langsung nerima. Dan disalahkanlah karakter-karakter cerita yang menghidupi gaya/style itu.

Karakter-karakter 13 tahun itu – Meilin dan teman-temannya – memang seringkali annoying. They loud, obnoxious, lebay, goal mereka cuma pengen nonton konser boyband. Aku juga jengkel sih. Tapi bukan berarti mereka tidak bisa relate dengan kita. Relate kan gak harus in sense sama-sama ngefans boyband (walaupun film ini toh memang juga menyasar nostalgia demam boyband seperti Backstreet Boys, NSYNC, atau Westlife di awal 2000an). Yang jadi ‘boyband’ku dulu adalah pemain smekdon, gadis sampul, power rangers, dan bahkan hal sesimpel komik dan video game. Itu hal-hal yang aku suka, tapi dilarang banget. Jadi aku main game, baca komik, atau nonton smekdon selalu diam-diam. Aku saat itu bahkan masih ‘closeted’ ngefans gadsam. Melihat Meilin mengejar apa yang ia suka, apa yang menurutnya paling penting saat itu, di belakang ibunya yang melarang, bukan saja membawaku ke masa-masa dulu, tapi sekaligus membuatku jadi peduli kepadanya. Ini ngajarin anak mengenali dan mengejar hobi atau passion atau kegemaran mereka. Ini ngajak anak yang nonton untuk merayakan diri. Soal annoying, kalo dipikir-pikir lebih menjengkelkan sebenarnya anak yang gak punya kesukaan ketimbang yang seperti Meilin ini. Sehingga yang jelas, Meilin ini beresonansi sekali dengan masa-masa umur segitu. Terutama buat kita yang sesama orang asia. Karena, tahulah, ‘lawan’ kita dengan Meilin sama. Asian parent.

Udah hampir jadi meme sekarang, persoalan ‘asian parent’. Orangtua dengan standar tinggi. Orangtua yang menuntut anaknya untuk selalu nomor satu. Ya itu nilai bagus, ataupun disiplin. Orangtua yang seperti alergi melihat anaknya bersenang-senang. Orangtua yang terlalu protektif sehingga gak sadar telah bikin malu anaknya di depan umum. This movie gets that right dengan ibu Meilin. Si ibu ini lebih suka nyalahin orang lain ketimbang benar-benar melihat Meilin sebagai person. Film lebih lanjut menelisik parenting semacam ini dengan tidak membuat masalah terbatas pada Meilin dan ibunya. Melainkan hingga ke neneknya. Turun-temurun perempuan dalam silsilah keluarga Meilin punya masalah dengan kutukan panda merah, yang di sini jadi melambangkan bagaimana parenting seperti itu telah mengakar. Di cerita ini, Meilin kini dihadapkan pada pilihan menyingkirkan panda merah dan meneruskan siklus ibu-anak yang tumbuh nelangsa, atau katakanlah berontak dan embrace ‘my panda, my choice’. Jadi film ini pada kadar tertentu pasti akan relate. Namun aku apresiasi sekali film ini, karena selain relate, juga nunjukin side yang aku gak tahu. Yang boys gak akan pernah takutkan. Yaitu ‘turning red’ itu sendiri.

Pubertas, yang khusus perspektif cewek. PMS-lah yang disimbolkan ke dalam berubah jadi panda merah. Film dengan gamblang menyebut ini saat adegan pertama kali Meilin berubah wujud. Kehebohan growing up yang gak bakal dialami laki-laki (walau sunat bisa jadi counterpart yang imbang). Tapi yang jelas, dengan memasukkan soal itu (again, film ini jadi seperti anime yang memang lebih berani ngetackle persoalan ‘pribadi’ dibanding animasi lain), berarti film ini memang benar-benar kuat di sudut pandang cewek tersebut. Film ini juga jadi ngingetin aku sama Yuni (2021). Meilin di Turning Red ini rasanya kayak versi yang lebih imut-imut dari Yuni, like, Meilin pun hanya punya teman-teman gengnya. Dalam circle gengnya itulah Meilin bisa bebas berekspresi. Bernyanyi bersama adalah cara mereka untuk saling konek. Malahan, Meilin bisa mengendalikan transformasinya bukan karena mengingat ibu, tapi justru karena mengingat persahabatan teman-temannya.  Seingatku, film ini gak ngeresolve hal tersebut. Ibu kayaknya gak pernah tahu Meilin berbohong soal mengingat dirinya. Dan ini mungkin cara film menekankan poin bahwa bagi perempuan memang selalu teman-temanlah yang jadi penawar dari pains of growing.

Seperti kata lagu Alessia Cara, gak ada perban untuk growing pains. Melainkan suka duka bertumbuh dewasa itu ya dijalani saja. Kita akan menjalani itu bareng teman-teman ‘sependeritaan’. Bukan dengan orangtua. Karena bagaimana pun juga, anak dengan orangtua akan berpisah jalan. Anak bisa – dan kemungkinan besar akan – tumbuh berbeda dari yang diinginkan dengan orangtua.

 

redfirst-trailer-for-pixars-turning-red-which-was-clearly-inspired-by-teen-wolf
Satu lagi rejected idea untuk judul film: PMS (Panda Mayhem Syndrome)

 

Bicara soal menjadi diri sendiri – bicara soal identitas, kalo dipikir-pikir, kenapa ya cerita seperti ini selalu gak benar-benar ada di ‘habitat’ aslinya. Identitas Meilin adalah seorang Cina yang terlahir dan besar di Kanada. Film Crazy Rich Asians, The Farewell, hingga Shang-Chi; karakternya selalu putra/i etnis yang lebih kritis dibandingkan dengan generasi older yang lebih tradisional. Apakah memang pandangan itu baru bisa terbentuk dengan adanya benturan dua culture dalam satu individu? Like, karena ada pandangan barat yang lebih memajukan individual, pandangan timur terguncang, dan baratlah yang cenderung ‘jawaban terbaik’. Aku gak tau juga, apakah kalian punya pendapat soal ini? Let all of us know di Komen yaaa

Yang jelas, kalo soal identitas, yang menurutku goyah di film ini adalah soal latar tahunnya. Kita tahu cerita ini bertempat di tahun 2002. Kita lihat ada tamagotchi, ada lagu-lagu yang beneran kayak lagu tahun segitu, Namun overall tingkah anak-anak muda penghuninya, bahasa percakapan mereka, sering kali terdengar kayak kekinian. Phrases yang mereka gunakan tidak benar-benar terdengar nostalgic, dan lebih sering mereka kayak anak jaman sekarang. Mungkin di situlah film menarik garis kerelevanan. Tapinya lagi aku jadi kepikiran kenapa cerita ini harus di tahun 2002, kenapa gak dibikin di masa kini saja. Kuharap alasannya gak hanya sekadar untuk personal nostalgia saja. 

 

 

Orang bisa berubah jadi panda ternyata mampu jadi kemasan cerita coming-of-age yang unik dan menarik. Animasinya looks good, dan banyak elemen yang ngingetin sama anime 90an. Meskipun penyimbolan panda merah yang mengandung banyak arti agak sedikit jadi terlalu sederhana oleh final act, tapi secara keseluruhan film ini berhasil memuat gagasan yang magical dengan cukup baik ke dalamnya. Kadang aku bingung juga, tadinya Panda Merah itu untuk melindungi keluarga dari kejahatan, tapi kemudian berubah jadi soal pubertas, dan lalu jadi kayak superpower yang bisa dibangkitkan kapan saja, tapi konsep yang sedikit kurang kuat tersebut tidak berdampak terlalu banyak ke dalam gagasan yang diangkat. Film ini tetaplah sebuah pengalaman relate yang hangat. Dan ngajarin banyak, terutama soal ibu dengan anak perempuannya yang beranjak dewasa.
The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for TURNING RED.

 

 

 

 

That’s all we have for now

Thanks for reading.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA