“The best way to love someone is not to change them, but instead, help them reveal the greatest version of themselves.”
Sepanjang pengalaman menonton dua film Dilan (yang mengambil perspektif tokoh Milea) ada gak sih – pernah gak sih – tebersit rasa penasaran cowoknya Milea itu kenapa bisa hobi berantem dan bergeng motor-ria, atau darimana si Dilan ini dapat alamat rumah Milea, atau siapa yang ngajarin dia jurus gombal yang sanggup bikin cewek SMA hingga emak-emak cekikian, atau -mungkin- kemana Dilan pada saat Milea mandi? Nah, jika pertanyaan-pertanyaan semacam itu pernah singgah di benak kalian; yang mengisyaratkan kalian peduli pada karakter si Panglima Tempur, maka film Milea: Suara dari Dilan garapan Fajar Bustomi dan Pidi Baiq ini adalah sajian untuk kalian.
Karena kali ini giliran Dilan himself untuk buka suara. Film ini dibuka dengan semacam breaking the fourth wall; memperlihatkan Dilan meng-acknowledge keberadaan buku Dilan 1990 dan 1991 yang merupakan kata hati dari Milea tentang dirinya. Narasinya menyebut Pidi Baiq telah memberikannya kesempatan untuk menuliskan segala kejadian dari sisi Dilan sebagai penyeimbang cerita Milea. Ketikan Dilan akan membawa kita dari masa dirinya kecil hingga ke momen Milea masuk ke dalam hidupnya, sesaat untuk dua tahun yang indah sebelum akhirnya mereka harus berpisah.
Namun bahkan untuk memenuhi tujuan itu, film ini gagal untuk menjadi sebuah sudut pandang lantaran minim sekali elemen baru yang dihadirkan. Penonton yang ingin melihat seperti apa sebenarnya Dilan, tidak mendapatkan banyak hal berbeda dari tokoh ini karena penggalian yang dangkal yang tidak benar-benar dilakukan oleh film. Alih-alih berfokus kepada pembahasan untuk pembangunan perspektif karakter Dilan, beserta dunianya – melingkupi kehidupan sosial terkait geng motor, pribadi dalam hal hubungannya dalam keluarga – cerita tetap berpusat pada relasinya dengan Milea seperti yang sudah kita tahu dari dua film sebelumnya. Kita tidak diperlihatkan akar kesetiaan Dilan pada geng motor; kenapa dia masuk ke sana in the first place. Kita tidak diperlihatkan hubungan yang lebih detail antara Dilan dengan ayahnya; sosok yang sedari luar dapat kita lihat sebagai yang paling berpengaruh terhadap apa yang membuat Dilan seperti Dilan yang kita dan Milea kenal. Bahkan dalam urusan yang lebih receh seperti sumber ketertarikan Dilan kepada Milea, atau kenapa Dilan begitu maut rayuannya, kenapa dia bisa seajaib itu ngasih kado berupa TTS yang udah diisi — we never get to the bottom of this behavior.
Menceritakan kisah ini sebagai ketikan Dilan yang aware akan keadaan cintanya sekarang, yang berusaha menjelaskan kenapa dirinya dan Milea berpisah, actually membuat keseluruhan cerita semakin buruk lantaran yang ia ceritakan – yang kita tonton ini – tidak terkesan sejujur ketika Milea menceritakan sudut pandangnya. Cerita Milea: Suara dari Dilan tidak bisa dipegang kebenarannya dan lebih seperti pembelaan diri dari seorang yang memandang dirinya sebagai bucin dan pribadi yang cool dan ajaib. Sebuah cerita yang begitu self-centered. Misalnya ketika periode dia masih kecil ditanya cita-cita, Dilan menjawab cita-citanya pengen menikah. Ketika bundanya pengen masuk kamar, dia balik bertanya bundanya siapa. Sure, it’s cute dan unik. Namun karena film tidak menggali karakter ini lebih dalam, dan kita tahu adegan tersebut ‘ditulis’ oleh Dilan dewasa yang menceritakan kisah versi dirinya kepada kita, semua itu jadi terasa gak-real alias dibuat-buat untuk becandaan. Sama sekali tidak mengandung development yang genuine.
To make things even worse; Dilan yang jago berkata-kata, ternyata bukan storyteller yang baik. Kisah yang ia sampaikan melompat-lompat. Dan itu tertranlasi kepada kita sebagai rangkaian penggalan adegan yang sudah pernah kita lihat di dua film sebelumnya. Begitulah keseluruhan film ini. Rangkaian adegan ulangan yang disambung-sambungkan dengan adegan tambahan. Pertama kupikir, okelah mungkin ini montase penghantar yang menyambungkan Dilan 1990 dan 1991 untuk merefresh sekaligus pondasi bagi penonton yang belum tau cerita mereka. Namun dua puluh menit, tiga-puluh, hingga satu setengah jam kemudian montase alias adegan-adegan film lampau yang menandakan poin-poin cerita itu terus bermunculan. Mana cerita barunya, mana sisi lain dari Dilan yang seharusnya dikasih lihat kepada kita. Dan tahulah aku bahwa film ini sama sekali tidak punya hal baru, tidak ada penggalian sudut pandang yang dilakukan – motivasi Dilan yang ditetapkan sedari ia kecil adalah pengen nikah, namun pembahasan arc ‘ajaib’ ini juga sangat minim, jauh lebih parah daripada Milea’s di film pertama. Melainkan, film ini hanya mengulur-ngulur waktu karena sekuen yang benar-benar baru hanya ada di dua-puluh menitan akhir. Yakni saat Dilan dan Milea sudah dewasa, dan setelah berpisah mereka confront each other, dan menyadari ‘kesalahan’ masing-masing.
Dua-puluh menit terakhir itu; that’s our new movie. Pembuatnya gak mau capek mengembangkan cerita singkat itu menjadi film utuh beneran, materi aslinya benar-benar dikultuskan. Ini bisa jadi adalah film dengan usaha produksi yang paling kecil yang bisa dikeluarkan oleh sebuah studio/rumah produksi. I mean, ini adalah semacam trilogi tapi adegan-adegannya cuma kayak dari stock shot alias dicomot dari dua film pertama, kemudian disatukan, ditambah beberapa lagu dari Pidi Baiq untuk menggiring mood, dan jadi deh satu film lagi. Aku bahkan gak yakin Iqbaal Ramadhan dan Vanesha Prescilla dan pemain-pemain mengikuti suting lagi, karena film ini – keseluruhan triloginya – kayak dishoot dari proyek pertama dan kemudian hasil syut dibagi-bagi oleh pembuat sehingga jadi tiga film. Kalopun suting lagi, mereka hanya ngambil untuk tambalan dan memperlihatkan lebih banyak Adhisty Zara yang jadi adek Dilan, karena kepopuleran Zara sudah melesat jauh sekali sehingga kali ini jebolan JKT48 ini perlu lebih banyak dikedepankan sebagai nilai jual. Nonton film ini buatku terasa kayak sedang di-scam oleh orang, karena sama sekali tidak terasa seperti film baru. Melainkan lebih seperti menonton versi extended dari cerita yang sudah pernah aku saksikan. Or even; a highlight. Kalo kalian penggemar WWE dan familiar sama show kayak Velocity atau Afterburn – acara recap dengan narasi penjelasan dari host, film Milea: Suara dari Dilan ini rasanya persis kayak nonton acara tersebut.
Pengungkapan paling memuaskan yang dipunya oleh film adalah soal kebohongan-kebohongan Dilan. Pada film kedua kita melihat perubahan sikap Dilan ke Milea. Dilan tampak sebagai pribadi yang jelek sekali di menjelang akhir film, aku bahkan menuliskannya sebagai karakter Dark Triad dan merupakan pilihan tepat bagi Milea untuk melepaskan diri darinya karena kadang kita tidak bisa begitu saja mengubah seseorang. Di film terakhirnya ini (semoga bener-bener terakhir!), kita melihat alasan sesungguhnya – paling enggak, alesan dari narasi Dilan – kenapa Dilan bersikap demikian, bahwa itu semua sebenarnya konflik yang menyakitkan bagi dirinya, dan betapa ternyata dia sedang menutupi sisi terbaik dari dirinya yang mekar oleh cintanya kepada Milea.
Jika kita perhatikan, Dilan yang suka berantem itu, sesungguhnya hanya berbohong ketika menyangkut menjaga perasaan Milea. Dilan adalah karakter kompleks dengan relationship yang sama kompleksnya. Keduanya pantas mendapatkan film dan naskah yang lebih baik daripada ini. Keinginan Milea mengubah Dilan actually membuat Dilan mengungkap sisi terbaik dirinya, meskipun itu menyakitkan baginya. Dilan sebaliknya tidak pernah meminta Milea untuk berubah menjadi lebih sesuai dengan dirinya, dan dengan bersikap seperti demikian, keduanya tanpa menyadari telah saling mendorong untuk menjadi lebih baik, thus membuktikan besarnya cinta di antara mereka berdua.
Film harusnya bercerita lebih banyak tentang pengungkapan seperti demikian. Seharusnya kisah yang sekarang lebih berfokus kepada karakter dan motivasi, sebab ini cerita tentang pembelaan atau pengakuan dari Dilan, terlebih kita sudah puas dengan adegan-adegan manis pacaran di dua film sebelumnya. Namun bahkan dengan sebagian besar adegan yang diambil dari film-film sebelumnya, film ini somehow gak memasukkan adegan Dilan ‘berantem’ ama Milea disaksikan oleh Bunda yang actually salah satu yang paling penting untuk pendalaman. Aku gak ngerti kenapa adegan itu diabaikan dalam film yang seharusnya penjelasan dari sudut pandang Dilan. Entah kenapa film seperti menolak untuk ‘memanusiakan’ karakter Dilan. Dia dijaga untuk tetap seperti karakter ‘ajaib’ yang kekerenannya bersumber dari semakin banyak hal yang tidak kita mengerti dari dirinya. Di awal ada adegan Dilan bercerita dia sebenarnya sudah punya pacar saat Milea baru masuk ke sekolah. Adegan dari Dilan yang tau-tau terpana mendengar nama si anak baru hingga ke pacar lamanya yang nyosor duluan di bioskop terlihat sangat lemah untuk menjadi akar karakter ini karena sama sekali tidak mengungkap motivasi tokoh utamanya, tidak memaklumkannya sehingga Dilan bisa menjadi dekat dengan kita. Inilah kenapa padahal sudah ada dua film, dan kini tiga, aku masih merasa susah untuk peduli dan percaya kepada karakter Dilan.
Walaupun dalam film ini Dilan mematahkan soal dirinya adalah Pidi Baiq, namun tetap terasa sang penulis memproyeksikan dirinya terlalu banyak ke dalam diri Dilan, sehingga tokoh ini seperti pada kasus tokoh utama dalam Koboy Kampus (2019). Enggak salah sih penulis memasukkan dirinya ke dalam tokoh cerita. Contohnya Lousia Maya Alcott yang menjadikan kisah hidupnya sebagai panggung cerita Little Women, dan Jo Marsh sudah rahasia umum sebagai proyeksi personal dirinya. Dan di situlah letak perbedaan Jo Marsh dengan Dilan. Jo ditulis dengan logis secara universal, ceritanya digrounded-kan sehingga kita berada di sepatunya. Sedangkan Dilan dibuat terlalu ajaib, kita tidak mengidentifikasi diri kepadanya melainkan seakan diminta untuk mengagungkan dan mengidolakan dirinya. Adaptasi film seharusnya ‘memperbaiki’ ini. Sayangnya, arahan film ini tampak tidak punya visi dan hanya sekadar mewujudkan buku menjadi tontonan bioskop. Dialog pun kali ini terasa jauh lebih cheesy dan brainless. Ada dialog Dilan dan Milea unyu-unyuan, Milea bilang “Kan aku bisa nyusul.” Dilan nanya “Naik apa?”, yang lantas dijawab “Naik kamuuu” oleh Milea, disusul oleh ambyarnya seisi studio bioskop. Sungguh dialog tak logis yang menggadai nalar penonton demi adegan pacaran.
.
Semestinya bisa jadi cerita yang solid yang menjustifikasi sikap dan siapa sebenarnya Dilan yang pada dua film sebelumnya ditetapkan sebagai tokoh penyelamat, panutan, sekaligus tambatan hati seorang Milea – dan menariknya, tokoh ini bukan ‘anak baik-baik’. Namun film hanya bercerita ulang, separuh adegannya adalah adegan di film Dilan 1990 dan 1991 dipajang kembali, dan baru benar-benar ngasih sesuatu yang belum pernah kita lihat di menit-menit menjelang akhir. Bahkan untuk penonton yang gak nonton dua film sebelumnya, film ini at best adalah cerita lompat-lompat dari seorang tokoh yang motivasinya gak jelas dan stake yang gak greget – dia toh bisa dengan mudah berhenti dari geng motor tanpa ada konsekuensi. Shameless effort dalam nyari duit. Atau ketidakmampuan sutradara mengadaptasi dan meng-refresh cerita. Atau kedangkalan materi. Masalah film ini terletak pada tiga kemungkinan tersebut. But who am I kidding; seperti jawaban soal ujian di sekolah, selalu ada pilihan keempat. Semua jawaban benar. Besar kemungkinan itulah jawaban yang tepat.
The Palace of Wisdom gives 1 gold star out of 10 for MILEA: SUARA DARI DILAN
That’s all we have for now.
Apakah menurut kalian Dilan dan Milea seharusnya bersama? Kenapa?
Share with us in the comments
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.