MILEA: SUARA DARI DILAN Review

“The best way to love someone is not to change them, but instead, help them reveal the greatest version of themselves.”
 
 

 
 
Sepanjang pengalaman menonton dua film Dilan (yang mengambil perspektif tokoh Milea) ada gak sih – pernah gak sih – tebersit rasa penasaran cowoknya Milea itu kenapa bisa hobi berantem dan bergeng motor-ria, atau darimana si Dilan ini dapat alamat rumah Milea, atau siapa yang ngajarin dia jurus gombal yang sanggup bikin cewek SMA hingga emak-emak cekikian, atau -mungkin- kemana Dilan pada saat Milea mandi? Nah, jika pertanyaan-pertanyaan semacam itu pernah singgah di benak kalian; yang mengisyaratkan kalian peduli pada karakter si Panglima Tempur, maka film Milea: Suara dari Dilan garapan Fajar Bustomi dan Pidi Baiq ini adalah sajian untuk kalian.
Karena kali ini giliran Dilan himself untuk buka suara. Film ini dibuka dengan semacam breaking the fourth wall; memperlihatkan Dilan meng-acknowledge keberadaan buku Dilan 1990 dan 1991 yang merupakan kata hati dari Milea tentang dirinya. Narasinya menyebut Pidi Baiq telah memberikannya kesempatan untuk menuliskan segala kejadian dari sisi Dilan sebagai penyeimbang cerita Milea. Ketikan Dilan akan membawa kita dari masa dirinya kecil hingga ke momen Milea masuk ke dalam hidupnya, sesaat untuk dua tahun yang indah sebelum akhirnya mereka harus berpisah.

Origin story kenapa Dilan begitu cringey

 
Namun bahkan untuk memenuhi tujuan itu, film ini gagal untuk menjadi sebuah sudut pandang lantaran minim sekali elemen baru yang dihadirkan. Penonton yang ingin melihat seperti apa sebenarnya Dilan, tidak mendapatkan banyak hal berbeda dari tokoh ini karena penggalian yang dangkal yang tidak benar-benar dilakukan oleh film. Alih-alih berfokus kepada pembahasan untuk pembangunan perspektif karakter Dilan, beserta dunianya – melingkupi kehidupan sosial terkait geng motor, pribadi dalam hal hubungannya dalam keluarga – cerita tetap berpusat pada relasinya dengan Milea seperti yang sudah kita tahu dari dua film sebelumnya. Kita tidak diperlihatkan akar kesetiaan Dilan pada geng motor; kenapa dia masuk ke sana in the first place. Kita tidak diperlihatkan hubungan yang lebih detail antara Dilan dengan ayahnya; sosok yang sedari luar dapat kita lihat sebagai yang paling berpengaruh terhadap apa yang membuat Dilan seperti Dilan yang kita dan Milea kenal. Bahkan dalam urusan yang lebih receh seperti sumber ketertarikan Dilan kepada Milea, atau kenapa Dilan begitu maut rayuannya, kenapa dia bisa seajaib itu ngasih kado berupa TTS yang udah diisi — we never get to the bottom of this behavior.
Menceritakan kisah ini sebagai ketikan Dilan yang aware akan keadaan cintanya sekarang, yang berusaha menjelaskan kenapa dirinya dan Milea berpisah, actually membuat keseluruhan cerita semakin buruk lantaran yang ia ceritakan – yang kita tonton ini – tidak terkesan sejujur ketika Milea menceritakan sudut pandangnya. Cerita Milea: Suara dari Dilan tidak bisa dipegang kebenarannya dan lebih seperti pembelaan diri dari seorang yang memandang dirinya sebagai bucin dan pribadi yang cool dan ajaib. Sebuah cerita yang begitu self-centered. Misalnya ketika periode dia masih kecil ditanya cita-cita, Dilan menjawab cita-citanya pengen menikah. Ketika bundanya pengen masuk kamar, dia balik bertanya bundanya siapa. Sure, it’s cute dan unik. Namun karena film tidak menggali karakter ini lebih dalam, dan kita tahu adegan tersebut ‘ditulis’ oleh Dilan dewasa yang menceritakan kisah versi dirinya kepada kita, semua itu jadi terasa gak-real alias dibuat-buat untuk becandaan. Sama sekali tidak mengandung development yang genuine.
To make things even worse; Dilan yang jago berkata-kata, ternyata bukan storyteller yang baik. Kisah yang ia sampaikan melompat-lompat. Dan itu tertranlasi kepada kita sebagai rangkaian penggalan adegan yang sudah pernah kita lihat di dua film sebelumnya. Begitulah keseluruhan film ini. Rangkaian adegan ulangan yang disambung-sambungkan dengan adegan tambahan. Pertama kupikir, okelah mungkin ini montase penghantar yang menyambungkan Dilan 1990 dan 1991 untuk merefresh sekaligus pondasi bagi penonton yang belum tau cerita mereka. Namun dua puluh menit, tiga-puluh, hingga satu setengah jam kemudian montase alias adegan-adegan film lampau yang menandakan poin-poin cerita itu terus bermunculan. Mana cerita barunya, mana sisi lain dari Dilan yang seharusnya dikasih lihat kepada kita. Dan tahulah aku bahwa film ini sama sekali tidak punya hal baru, tidak ada penggalian sudut pandang yang dilakukan – motivasi Dilan yang ditetapkan sedari ia kecil adalah pengen nikah, namun pembahasan arc ‘ajaib’ ini juga sangat minim, jauh lebih parah daripada Milea’s di film pertama. Melainkan, film ini hanya mengulur-ngulur waktu karena sekuen yang benar-benar baru hanya ada di dua-puluh menitan akhir. Yakni saat Dilan dan Milea sudah dewasa, dan setelah berpisah mereka confront each other, dan menyadari ‘kesalahan’ masing-masing.
Dua-puluh menit terakhir itu; that’s our new movie. Pembuatnya gak mau capek mengembangkan cerita singkat itu menjadi film utuh beneran, materi aslinya benar-benar dikultuskan. Ini bisa jadi adalah film dengan usaha produksi yang paling kecil yang bisa dikeluarkan oleh sebuah studio/rumah produksi. I mean, ini adalah semacam trilogi tapi adegan-adegannya cuma kayak dari stock shot alias dicomot dari dua film pertama, kemudian disatukan, ditambah beberapa lagu dari Pidi Baiq untuk menggiring mood, dan jadi deh satu film lagi. Aku bahkan gak yakin Iqbaal Ramadhan dan Vanesha Prescilla dan pemain-pemain mengikuti suting lagi, karena film ini – keseluruhan triloginya – kayak dishoot dari proyek pertama dan kemudian hasil syut dibagi-bagi oleh pembuat sehingga jadi tiga film. Kalopun suting lagi, mereka hanya ngambil untuk tambalan dan memperlihatkan lebih banyak Adhisty Zara yang jadi adek Dilan, karena kepopuleran Zara sudah melesat jauh sekali sehingga kali ini jebolan JKT48 ini perlu lebih banyak dikedepankan sebagai nilai jual. Nonton film ini buatku terasa kayak sedang di-scam oleh orang, karena sama sekali tidak terasa seperti film baru. Melainkan lebih seperti menonton versi extended dari cerita yang sudah pernah aku saksikan. Or even; a highlight. Kalo kalian penggemar WWE dan familiar sama show kayak Velocity atau Afterburn – acara recap dengan narasi penjelasan dari host, film Milea: Suara dari Dilan ini rasanya persis kayak nonton acara tersebut.
Tapi paling enggak kita tahu darimana Dilan mengasah skill meramal yang ia punya.

 
Pengungkapan paling memuaskan yang dipunya oleh film adalah soal kebohongan-kebohongan Dilan. Pada film kedua kita melihat perubahan sikap Dilan ke Milea. Dilan tampak sebagai pribadi yang jelek sekali di menjelang akhir film, aku bahkan menuliskannya sebagai karakter Dark Triad dan merupakan pilihan tepat bagi Milea untuk melepaskan diri darinya karena kadang kita tidak bisa begitu saja mengubah seseorang. Di film terakhirnya ini (semoga bener-bener terakhir!), kita melihat alasan sesungguhnya – paling enggak, alesan dari narasi Dilan – kenapa Dilan bersikap demikian, bahwa itu semua sebenarnya konflik yang menyakitkan bagi dirinya, dan betapa ternyata dia sedang menutupi sisi terbaik dari dirinya yang mekar oleh cintanya kepada Milea.

Jika kita perhatikan, Dilan yang suka berantem itu, sesungguhnya hanya berbohong ketika menyangkut menjaga perasaan Milea. Dilan adalah karakter kompleks dengan relationship yang sama kompleksnya. Keduanya pantas mendapatkan film dan naskah yang lebih baik daripada ini. Keinginan Milea mengubah Dilan actually membuat Dilan mengungkap sisi terbaik dirinya, meskipun itu menyakitkan baginya. Dilan sebaliknya tidak pernah meminta Milea untuk berubah menjadi lebih sesuai dengan dirinya, dan dengan bersikap seperti demikian, keduanya tanpa menyadari telah saling mendorong untuk menjadi lebih baik, thus membuktikan besarnya cinta di antara mereka berdua. 

 
 
Film harusnya bercerita lebih banyak tentang pengungkapan seperti demikian. Seharusnya kisah yang sekarang lebih berfokus kepada karakter dan motivasi, sebab ini cerita tentang pembelaan atau pengakuan dari Dilan, terlebih kita sudah puas dengan adegan-adegan manis pacaran di dua film sebelumnya. Namun bahkan dengan sebagian besar adegan yang diambil dari film-film sebelumnya, film ini somehow gak memasukkan adegan Dilan ‘berantem’ ama Milea disaksikan oleh Bunda yang actually salah satu yang paling penting untuk pendalaman. Aku gak ngerti kenapa adegan itu diabaikan dalam film yang seharusnya penjelasan dari sudut pandang Dilan. Entah kenapa film seperti menolak untuk ‘memanusiakan’ karakter Dilan. Dia dijaga untuk tetap seperti karakter ‘ajaib’ yang kekerenannya bersumber dari semakin banyak hal yang tidak kita mengerti dari dirinya. Di awal ada adegan Dilan bercerita dia sebenarnya sudah punya pacar saat Milea baru masuk ke sekolah. Adegan dari Dilan yang tau-tau terpana mendengar nama si anak baru hingga ke pacar lamanya yang nyosor duluan di bioskop terlihat sangat lemah untuk menjadi akar karakter ini karena sama sekali tidak mengungkap motivasi tokoh utamanya, tidak memaklumkannya sehingga Dilan bisa menjadi dekat dengan kita.  Inilah kenapa padahal sudah ada dua film, dan kini tiga, aku masih merasa susah untuk peduli dan percaya kepada karakter Dilan.
Walaupun dalam film ini Dilan mematahkan soal dirinya adalah Pidi Baiq, namun tetap terasa sang penulis memproyeksikan dirinya terlalu banyak ke dalam diri Dilan, sehingga tokoh ini seperti pada kasus tokoh utama dalam Koboy Kampus (2019). Enggak salah sih penulis memasukkan dirinya ke dalam tokoh cerita. Contohnya Lousia Maya Alcott yang menjadikan kisah hidupnya sebagai panggung cerita Little Women, dan Jo Marsh sudah rahasia umum sebagai proyeksi personal dirinya. Dan di situlah letak perbedaan Jo Marsh dengan Dilan. Jo ditulis dengan logis secara universal, ceritanya digrounded-kan sehingga kita berada di sepatunya. Sedangkan Dilan dibuat terlalu ajaib, kita tidak mengidentifikasi diri kepadanya melainkan seakan diminta untuk mengagungkan dan mengidolakan dirinya. Adaptasi film seharusnya ‘memperbaiki’ ini. Sayangnya, arahan film ini tampak tidak punya visi dan hanya sekadar mewujudkan buku menjadi tontonan bioskop. Dialog pun kali ini terasa jauh lebih cheesy dan brainless. Ada dialog Dilan dan Milea unyu-unyuan, Milea bilang “Kan aku bisa nyusul.” Dilan nanya “Naik apa?”, yang lantas dijawab “Naik kamuuu” oleh Milea, disusul oleh ambyarnya seisi studio bioskop. Sungguh dialog tak logis yang menggadai nalar penonton demi adegan pacaran.
.
 
 
Semestinya bisa jadi cerita yang solid yang menjustifikasi sikap dan siapa sebenarnya Dilan yang pada dua film sebelumnya ditetapkan sebagai tokoh penyelamat, panutan, sekaligus tambatan hati seorang Milea – dan menariknya, tokoh ini bukan ‘anak baik-baik’. Namun film hanya bercerita ulang, separuh adegannya adalah adegan di film Dilan 1990 dan 1991 dipajang kembali, dan baru benar-benar ngasih sesuatu yang belum pernah kita lihat di menit-menit menjelang akhir. Bahkan untuk penonton yang gak nonton dua film sebelumnya, film ini at best adalah cerita lompat-lompat dari seorang tokoh yang motivasinya gak jelas dan stake yang gak greget – dia toh bisa dengan mudah berhenti dari geng motor tanpa ada konsekuensi. Shameless effort dalam nyari duit. Atau ketidakmampuan sutradara mengadaptasi dan meng-refresh cerita. Atau kedangkalan materi. Masalah film ini terletak pada tiga kemungkinan tersebut. But who am I kidding; seperti jawaban soal ujian di sekolah, selalu ada pilihan keempat. Semua jawaban benar. Besar kemungkinan itulah jawaban yang tepat.
The Palace of Wisdom gives 1 gold star out of 10 for MILEA: SUARA DARI DILAN

 
 
 
That’s all we have for now.
Apakah menurut kalian Dilan dan Milea seharusnya bersama? Kenapa?
 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

NIKAH YUK! Review

“Do you know how you tell real love? It’s when someone else’s interest trumps your own.”
 

 
Nikah Yuk memang kedengarannya seperti kalimat yang kita gunakan untuk ‘get cute’ with strangers di twitter. Ekspresi yang enggak serius. Namun, di balik judulnya tersebut, film garapan Adhe Darmastriya ini punya cerita yang gak main-main seputar mengenali cinta, serta relasi anak pada keluarganya terkait tuntutan orangtua dan kesuksesan diri sendiri.
Nikah bukan perkara sembarangan. Persoalan membangun rumah tangga, menjalin masa depan bersama orang yang kita pilih mestinya bukan seperti ngajak orang “main yuk” atau “nonton yuk”. Namun jika kita mengoverthink it, masalah pernikahan akan membuat runyam. Seperti yang dialami oleh Arya, sang fotografer anak orang kaya. Meskipun kedua orangtuanya sanggup menyediakan mas kawin apapun untuk meminang putri raja sekalipun, Arya urung mau menikah. Dia ingin fokus dulu ke kerjaan, supaya bisa menikmati kesuksesan hasil keringat sendiri. Bukan kucuran dari orangtuanya. Dalam suatu proyek kerjaan, Arya bertemu dengan Lia, seorang penggambar manga/komik jepang. Ayah ibu Arya semakin semangat nyuruh nikah, sampai-sampai ibu jatuh sakit. Tergerak oleh ini, Arya lantas ngajak Lia menikah. Hanya saja, walau seluruh dunia seperti setuju mereka cocok, Arya dan Lia punya mimpi berbeda yang menjadi penghalang terbesar mereka sebab bagaimanapun juga Arya ingin membuktikan kepada seluruh manusia dia bisa sukses sendiri mewujudkan mimpinya.

Cuma di film ini komik Detektif Conan disebut lucu dan bisa menghapus kesedihan anak SD.

 
Oke, pertama dan yang terutama sekali; Nama tokoh ini Arya. Itu awalnya, aku masih biasa aja, like, pfft jangan baper banyak kok yang bernama sama denganku. Namun kemudian ternyata nama panjang tokoh yang diperankan oleh Marcell Darwin ini adalah Arya Pratama; I’m like, what.. Dan kemudian dia menyebut smekdon, dia bilang gak bisa bawa motor, lalu ada penggalan headline berita yang menulis dia mengakuisisi perusahaan di – coba tebak – Riau. WHAAAT? Nonton ini aku jadi merasa seperti tokoh dalam serial Beyond Belief episode kebetulan-kebetulan mencengangkan terjadi di sekitarku. Atau mungkin Arya di film ini adalah aku di multiverse yang lain, gak tau deh rasanya ganjil sekali.. Tapi meskipun banyak miripnya (skornya berapa, 4 dari 5 sih sepertinya), I would not pull out any punches dalam mengulas film yang menurutku punya potensi ini.
Yang bisa kita puji dari film ini adalah chemistry antara Marcell dengan Yuki Kato yang kebagian peran menjadi Lia. Mereka beneran kelihatan cute sebagai pasangan. Ini actually menambah banyak bagi film karena sebagian besar cerita akan berpusat kepada drama di antara mereka berdua, dan hubungan merekalah yang menjaga film untuk tetap menarik. Interaksi mereka genuinely berkembang dari awkward malu-malu hingga keakraban mereka ada pada level memparodikan adegan 500 Days of Summer. Film berhasil menemukan kegiatan demi kegiatan yang menarik sebagai ladang tumbuhnya benih cinta mereka. Yang paling kocak adalah Lia mengajak Arya bertamu ke acara kondangan orang yang gak mereka kenal, dan ketika hampir ketahuan Lia ‘menuduhkan’ Arya sebagai fotografer acara hihi. Sifat mereka yang kontras pun dipadukan dengan manis. Arya yang lebih berdeterminasi, agak sedikit lebih robot kalo meminjam istilah dari mantan pacarnya yang model. Dia punya banyak pikiran antara ibu yang sakit menuntut nikah dan karir/kesuksesan yang menuntut pembuktian segera. Lia lebih free-spirited. Cewek ini punya banyak mimpi; salah satunya adalah pengen ke Jepang (film ini akan banyak referensi negara Sakura), namun terutama dia pengen menjadi penulis komik. Hidup Lia lebih berwarna. Dalam hal memilih pakaian saja, Lia diperlihatkan jauh lebih bebas.
Mereka punya pandangan yang berbeda soal pernikahan. Arya percaya menikah itu seperti berbisnis. Kedua pihak harus sama-sama diuntungkan. Sedangkan Lia berkata sebaliknya, bahwa nikah bukan bisnis. Cinta bukan berarti sama-sama harus menangguk untung. Melainkan akan ada tiba saatnya harus ada satu pengorbanan, satu yang mengalah. Sebab cinta adalah menanggung bersama-sama. Di sini, aku merasa film punya daging yang seru untuk dikunyah. Arc karakter Arya sepertinya adalah dia yang tadinya ingin sukses baru menikah menjadi menikah dan sengaja menunda sukses demi orang yang ia sayangi. Menikahi Lia seperti clean slate bagi Arya yang mau memenuhi keinginan orangtua sekaligus memutus ketergantungannya dari mereka. Namun ternyata film menyimpan sesuatu yang lain, dan buatku, sesuatu itu kinda breaks the whole thing apart.

Kita tahu kita beneran cinta kepada seseorang kepentingan mereka menjadi sesuatu yang kita rasa harus kita lindungi, harus kita dahulukan bahkan dari kepentingan sendiri. Bagian terbaik dari Nikah Yuk! adalah ketika Arya berusaha untuk mengerti mimpi-mimpi Lia sehingga kemudian ia rela menunda agenda pembuktian suksesnya, dan pada saat itu terjadi Arya bahkan belum menyadari dia sudah demikian cinta kepada Lia.

 
Sebelum sampai ke mengapa pengungkapan di babak akhir film memelencengkan cerita dari gagasannya sebelumnya, aku perlu mengestablish dulu gaya bercerita film ini. Nikah Yuk! punya muatan komedi yang tinggi dan ia mempersembahkan diri sebagai kejadian yang cukup absurd, dalam artian kita diminta untuk memaklumi apa yang terjadi sepanjang durasi. Film ini tampil ftv-ish. Pertemuan Arya dan Lia sebenarnya dihiasi berbagai kebetulan. Mereka pertama kali jumpa di pameran foto karya Arya. Lalu bertemu gak sengaja di sebuah SD, yang kemudian mengingatkan mereka bahwa keduanya adalah teman masa kecil dan sama-sama bersekolah di SD tempat mereka bertemu. Film ini juga banyak memakai insert komedi pada ftv; komedi yang tampak irelevan. Seperti pengamen yang bertingkah konyol nyanyi dan nyuruh Arya dan Lia menari seperti pasangan saat mereka lagi pedekate. Dalam konteks awal film, segala adegan kebetulan dan komedi ala ftv terasa manis karena dunia seperti memang menginginkan mereka untuk bersatu. Ini masuk ke dalam karakter Lia yang memang mendambakan kejadian tak-terduga seperti pada komik-komik Jepang.

konsep yang menarik? how ’bout: drama dengan Yuki Kato jadi anak Asri Welas hihi..

 
Tapi cerita lantas ‘berbelok’ saat pengungkapan di babak tiga tiba. Film ternyata punya jawaban dan alasan untuk semua kebetulan yang sudah kita terima sebagai sweet tadi. Alasan yang mencakup begitu banyak elemen cerita sehingga keseluruhan narasi jadi gak masuk akal. Padahal pesan dan maksud di baliknya kita paham. Sajian utama Nikah Yuk! ternyata adalah drama Arya dengan keluarganya. Lia cuma bidak, begitupun Arya. Karena semua adalah ‘tipuan’ Arya. Tokoh utama kita pengen sukses, ia bekerja sebagai fotografer, sempat punya pacar model dan segala macem achievement lain. Tapi dia gak tau satu hal, yakni kesuksesannya palsu. Ingat Awan di Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini (2020) mendapatkan kembali pekerjaannya karena pengaruh sang ayah? Nah, Arya dalam Nikah Yuk! mirip seperti itu tapi ‘bantuan’ itu ada pada semua aspek hidupnya. Orangtua Arya sadar anak mereka akan kecewa karena si anak ini sudah bersumpah akan sukses dulu baru nikah, Arya mungkin tidak akan pernah menikah. Jadi orangtua Arya berusaha membuat cowok ini jatuh cinta sebenar-benarnya cinta. Dan itulah keseluruhan film yang kita tonton. Sebuah grand scheme.
Ini membuat Arc Arya menjadi melenceng. Bukan lagi soal dia mengesampingkan karirnya demi orang yang ia sayangi. Karena Arya ternyata gak punya apa-apa selain Lia dan mimpi-mimpi Lia. Sekilas plotnya masih nyambung; dari yang mau sukses dulu baru nikah menjadi belum sukses tapi mau nikah. Tapi kepentingan dan tone-nya jadi jauh berbeda. Film harusnya membahas lebih dalam betapa devastatingnya bagi Arya begitu mempelajari bahwa sebenarnya dia adalah nothing. Dia mungkin saja malah menutup diri karena malu dan marah. Film tidak memasak elemen drama yang ini. Melainkan hanya mempermudah cerita dengan membiarkan cinta begitu saja menjawab semua. Aku gak yakin apakah film sengaja memilih simpel atau durasi sembilan-puluh-empat menit itu kurang. Karena banyak elemen yang memang undercook. Penceritaan film melompat-lompat tapi kita enggak mendapat sense yang pasti seberapa jauh waktu cerita ini berlangsung. Peristiwa penting seperti pernikahan dilakukan dengan montase yang lebih mirip seperti khayalan tokoh Lia karena sebelumnya Lia bilang enggak mau nikah. Mereka harusnya memperdalam perspektif ini dulu. Cut dan penyatuan adegan film ini yang juga agak aneh turut memberi kesan gak pasti pada penceritaan.
 
 
 
Imagine having this conversation: “Selamat siang, silahkan mau nonton apa?”/ “Nikah Yuk! Mbak” / “… Maass, kan kita baru ketemuu”. Atau terus bayangin kalo mbaknya bilang mau dan mendadak orang-orang sebioskop tepuk tangan menyoraki dan kalian mendadak viral baru saat ijab kabul kamu bisa meratap “Aku cuma mau nontooooon”
Tadinya aku menyangka film ini butuh judul yang lebih baik, yang lebih berbobot. Namun ternyata film ini butuh lebih banyak lagi hal yang lebih baik. Durasi yang lebih memadai, penulisan yang lebih subtil, logat yang lebih jelas antara Makassar atau Jepang (serius aku bingung teman si Lia sebenarnya anak mana), sudut pandang yang lebih digali, editing yang lebih precise, dan terutama pengungkapan yang lebih masuk akal. Karena pesan yang film ini sebenarnya enggak sebercanda judulnya. Membahas dengan asik seputar cinta dan relasi anak pada keluarga. Fun sebenarnya cukup bersandar mantap pada Marcell dan Yuki. Namun film menjadikan pengungkapan sebagai senjata utama, dan sayangnya dibuat terlalu luas sehingga pesan yang logis jadi mengalah kepada cerita yang gak sukar dipercaya bisa terjadi dan membuat film ini menjauh dari daratan.
The Palace of Wisdom gives 4 gold stars out of 10 for NIKAH YUK!

 
 
 
That’s all we have for now.
Jadi apakah kalian tim ‘sukses dulu baru nikah’ atau tim ‘nikah dulu dan susah-sukses bersama-sama’?
 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

BIRDS OF PREY Review

“Freedom is the emancipation from the arbitrary rule of other men.”
 

 
Dunia belum berakhir, bila kau putuskan aku. Begitu mungkin – dan memang seriang lagu itulah – kata hati Harley Quinn setelah cintanya bersama Joker kandas. Sama seperti kita semua, supervillain yang super kece dan super gokil; yang membuatnya jadi superkeren ini juga bisa patah hati. Galau. Namun kisah yang ia sebut dalam narasi sebagai emansipasi dari Harley Quinn akan mengingatkan kepada setiap cewek di dunia bahwa cewek sebenarnya jauh lebih hebat lagi ketimbang cowok yang kata pepatah berdiri di depannya.
Birds of Prey sempat dinyinyirin penggemar DC karena harusnya (kalo fans komik udah ngomong “harusnya” itu berarti “yang benernya di komik adalah”) Birds of Prey merupakan nama kelompok superhero cewek. Tapi dalam versi film yang disutradarai oleh Cathy Yan ini (sutradara wanita Asia pertama yang ngegarap film superhero? might wanna check on that...), Harley Quinn yang bandit memasukkan dirinya ke dalam cerita. Sebegitu unik dan gokilnya tokoh ini. Film is actually, totally, about her. Judul aslinya aja “The Fantabulous Emancipation of One Harley Quinn”. Bercerita tentang Harley yang udah gak lagi di bawah perlindungan Joker sehingga ia diburu oleh penegak hukum dan juga para penjahat-penjahat di sudut-sudut gelap Kota Gotham yang dendam dan geregetan pengen menjitak kepalanya. Salah satunya adalah si Black Mask, hanya saja ketua geng ini pengen menguliti wajah Harley – seperti yang sudah jadi cap-dagang kejahatannya. Harley membuat perjanjian dengan Black Mask; ia akan menemukan berlian inceran Black Mask yang hilang sebagai ganti nyawanya. Perburuan berlian yang ada pada pencopet cilik membawa Harley pada sebuah persahabatan baru. Bukan saja sama si anak kecil, Harley juga bergabung dengan tiga wanita tangguh Gotham. Yang tadinya saling bermusuhan dan punya agenda masing-masing, menjadi satu grup jagoan cewek yang memberantas geng jahat yang didominasi oleh pria.

Harley pasti berani ke kondangan sendirian

 
Agenda feminism jelas merupakan misi utama dari film ini. Sungguh sudut pandang yang jadinya menarik karena Harley Quinn bermula dari seorang penjahat. Jadi film ini awalnya ingin memperlihatkan dunia kejahatan bukan sebatas milik kaum pria. Dalam banyak film modern, narasi feminis seringkali jadi sandungan sebuah penceritaan. Tokoh utama ceweknya akan jatoh sebagai karakter mary-sue alias karakter sempurna yang cakap akan apa saja dan tokoh-tokoh lain – bahkan dunia cerita – mengalah untuk membuatnya terlihat mandiri, kuat, capable. Program cewek harus unggul dari cowok membuat film jadi annoying. Masalah ini tidak berlaku pada Birds of Prey. Harley Quinn enggak seketika menjadi ratu jalanan. Film akan memperlihatkan proses. Zona nyaman Harley adalah berada di balik nama Joker – di awal cerita dia merahasiakan sudah putus dari Joker hanya supaya dia masih bisa menangguk keuntungan dan keselamatan sebagai ‘pacar Joker’. Lalu ketika semua orang sudah tahu, setiap sudut kota menjadi tempat mengancam nyawa bagi Harley. Vulnerability-nya sebagai wanita di tengah sarang penyamun dijadikan stake dan kita peduli padanya karena kita juga mengakui betapa bahaya dunia tersebut bagi wanita, as in, cewek semenarik Harley gak akan survive di sana. Yea, I said it. Margot Robbie sangat memukau sebagai Harley Quinn. Ketawa cekikikan badutnya saja udah bikin terpesona.

Tips setelah putus buat cewek-cewek ala Harley Quinn: Jangan mengurung diri, go out. Ledakkan kenangan akan mantan sampai lenyap. Dan carilah teman; entah itu hewan peliharaaan, ataupun… makanan!

 
Tentu, Harely Quinn bisa macam-macam. Mulai dari berkelahi tangan kosong hingga bertarung dengan senjata, baik itu senjata api maupun tongkat baseball, ataupun berkelahi sambil bersepatu roda. Adegan Harley berantem pake baseball bat terlihat sangat seru dan menyenangkan. Namun bukan karena itu semata dia berhasil selamat dan mengalahkan musuh yang mengejarnya. Film benar-benar mengeksplorasi kekuatan Harely Quinn, juga kelemahan-kelemahannya. Aku suka film ini enggak melupakan basic ilmu yang dipunya oleh Harley. Ia sebenarnya adalah psikiater, dan kemampuan menganalisis orang akan sering kita temui ia gunakan dalam film untuk berbagai keperluan seperti membujuk, negosiasi, atau keluar dari situasi sulit. Keabsurdan Harley Quinn juga tergambar dengan baik; sangat kocak meskipun gak masuk akal. Tokoh ini exactly kayak tokoh kartun yang bisa menarik benda begitu saja. Film merecognize hal ini, seperti ketika ada tokoh yang mempertanyakan Harley Quinn yang tiba-tiba sudah memakai sepatu roda untuk bertarung.

Film ini, lewat pembelajaran yang dilalui oleh Harley Quinn, memperlihatkan kepada kita makna emansipasi dan kemandirian wanita yang enggak dibuat-buat atau dipaksakan. Emansipasi berarti kemandirian dari aturan orang lain yang mengekang. Namun independen bukan berarti harus sendirian. Bukan berarti enggak butuh bantuan. Cewek yang dibantu bukan semata lemah. Bekerja sama adalah jalan keluar bagi Harley dan tokoh-tokoh wanita jagoan dalam film ini. Mereka mengalahkan para geng pria dengan independen menjadi diri mereka sendiri, bersama-sama.

 
Harley Quinn yang dikejar-kejar penjahat satu kota mengingatkan kita pada John Wick. Ia juga punya hewan peliharaan yang jadi semangat juang, tapi bukan anjing melainkan hyena! Adegan berantemnya pun semenyenangkan itu. Dari attitudenya sendiri, film ini mirip dengan Deadpool. Film ini juga ‘cerewet’ oleh narasi yang crude sambil sesekali breaking the fourth wall. Birds of Prey berjalan dengan diceritakan oleh voice-over Harley Quinn. Hal ini dijadikan alasan bagi film untuk tampil sangat unpredictable. Dari sekuen animasi hingga montase backstory, semuanya dikisahkan cepat keluar mulut tokoh utama kita. Tau dong gimana karakter ini kalo ngomong? Ngasal, gokil, dan kadang melompat-lompat bahasannya. Penceritaan seperti begini jadi gimmick yang bagus, meskipun memang menjadikan film jadi berantakan. Ada empat cewek lain yang nantinya jadi pasukan Birds of Prey, plus satu tokoh jahat, dan di babak pertama Harley Quinn akan serabutan menceritakan backstory mereka masing-masing. Akan cukup sering kita dibawa mundur dari alur karena Harley mau menjelaskan satu tokoh saat sedang menceritakan kejadian yang berlangsung. Ini bisa jadi melelahkan, karena cerita utuh jadi seperti terpotong-potong dan disusun acak.

also, there will be a lot of ‘kick to groin’ fighting moves.

 
Dan bahkan semua latar itu belum cukup dijejelkan di babak satu. Film masih punya tanggungan satu tokoh lagi, yang sengaja dibiarkan jadi rahasia hingga setelah pertengahan film. Birds of Prey terasa jadi kayak set up yang berkepanjangan, meskipun secara struktur; film berusaha memakai narasi yang maju-mundur supaya strukturnya bener. Mereka menggunakan cara ini sebagai alternatif penceritaan biasa yang membosankan. Namun sebenarnya akar masalah Birds of Prey ini sama dengan permasalahan film-film superhero DC; terlalu rame oleh karakter. Bahkan untuk film yang seharusnya adalah solo, film ini masih merasa perlu untuk menggabungkannya dengan grup lain. Basically ini adalah dua film yang digabung jadi satu; Harley Quinn dan Birds of Prey, dengan perspektif Harley Quinn dan tema feminis sebagai pengikat. Konsep yang berani, hanya saja pada film ini DC masih dalam tahap mencari cara mengintroduce segitu banyak sekaligus. Birds of Prey lebih solid dan berhasil melandaskan karakter-karakter dibandingkan Suicide Squad atau Justice League, tapi memang masih belum sempurna. Tokoh-tokoh selain Harley masih terasa lebih seperti gimmick ketimbang tokoh franchise. Antagonis di film ini, si Black Mask, juga masih satu-dimensi – karakternya jahat karena dia bos geng yang pengen memonopoli dunia kejahatan dengan uang.
 
 
 
Film ini seperti Harley Quinn itu sendiri. Unik, cerewet, tak tertebak. Gokil. Adegan aksinya juga seru, violencenya menyenangkan. Musik dan set piece di battle akhir itu keren dan asik punya. Darah dan tulang patah bergabung dengan warna-warna ngejreng, ini mungkin sekalian menunjukkan tone cerita film. Dengan berani tidak menampilkan sosok Joker sama sekali, maka film ini benar telah mengemansipasi Harley Quinn yang originally hanya sebagai sidekick/pasangannya. Kini kita bisa menyebut nama Harley Quinn dan hanya membayangkan aksi-aksinya tanpa bayang-bayang sang mantan. Karakter dan tema feminis dalam cerita enggak hadir menyebalkan dan seperti dijejalkan, melainkan berjalan dengan cukup berbobot. Hanya saja film ini punya banyak untuk diestablish. Alih-alih memberi ruang untuk pengembangan, film memilih bercerita cepat dan resiko bolak-balik untuk mengakomodir banyaknya elemen dalam cerita. Kisah emansipasi di dunia jahat ini pack quite a punch, dan kupikir hal terbaik dari film ini bagi cowok-cowok adalah gak bakal terlalu kesusahan lagi ngajak pacar nonton film dari buku komik, bahkan mungkin kalian yang diajak duluan.
The Palace of Wisdom gives 6.5 gold stars out of 10 for BIRDS OF PREY: AND THE FANTABULOUS EMANCIPATION OF ONE HARLEY QUINN.

 
 
 
That’s all we have for now.
Pelajaran apa yang kalian ambil dari putusnya Harley Quinn dengan Joker? Apa hal tergokil yang pernah kalian lakukan demi lepas dari bayang-bayang mantan?
 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

UNCUT GEMS Review

“Pressure can make a diamond”
 

 
Uncut Gems benar-benar sesuai dengan judulnya, ia persis sama dengan permata yang belum dipotong, yang masih berupa bongkah batuan. Segar tapi kasar. Keras. Gak cakep, kecuali dilihat pakai lup atau di bawah mikroskop. Seni menakjubkan yang tercipta dari proses yang melibatkan suhu dan tekanan.
Cerita dengan karakter yang merusak diri sendiri, yang gegabah mengambil keputusan-keputusan salah sehingga justru memparah keadaan, dengan stake yang luar biasa berbahaya, sepertinya sudah jadi cap-dagang sutradara bersaudara Benny dan Josh Safdie. Dalam Uncut Gems mereka mengisahkan Howard Ratner, seorang bisnisman di New York. Dan ‘bisnisman’ di sini berarti dia adalah seorang pengusaha bisnis permata sekaligus pria yang gemar bertaruh.  Sebegitunya sehingga beberapa momen setelah ‘berkenalan’ dengannya kita tahu Howard sedang berkubang dalam hutang kepada somekind of a mafia. Howard berusaha membayar hutangnya dengan bertaruh lagi, dengan resiko hutangnya nambah. Terus saja gali lubang tutup lubang. Di tangannya ada bongkahan mentah Black Opal, permata yang ia tahu bernilai tinggi karena kesukaran mendapatkannya. Opal itulah yang kini digunakan Howard untuk pertaruhan besar yang ia harap dapat membayar semua hutang-hutang berikut bunganya. Namun peruntungan Howard tak kunjung membaik. Kini bahaya semakin besar. Bukan saja bangkrut dan kehilangan Opalnya yang berharga, situasi hutang dan taruhan Howard juga mengancam keselamatan keluarga, gundik, dan dirinya sendiri.

Azab Penjual Batu Akik Tukang Judi

 
Safdie Bersaudara mempersembahkan studi karakter yang menghipnotis lewat paduan nyentrik antara kerja kamera, permainan visual dan lantunan musik. Sebegitu kuatnya sehingga mau tak mau kita tetap berpegang pada tokoh Howard yang sama sekali bukan teladan melainkan sangat self-destructive ini. Tentu saja kita tidak bisa memisahkan persoalan ini dari si pemeran Howard itu sendiri. Mr. Adam Sandler. Maaan, yea, aku jadi respek pada aktor yang biasanya ngereceh di film-film konyol ini sehingga merasa aku perlu ngasih titel ‘mister’ dalam penyebutan namanya. Dia masih insufferable karena karakter Howard ini begitu meledak-ledak, tapi karismanya membuat kita masih menyisakan ruang untuk simpati. Sandler memerankan Howard sebagai pribadi yang jarang mingkem, gak bisa diam, selalu bergerak ke sana kemari, selalu ngomong. Heck, sebenarnya Howard ini akan sering berteriak-teriak. Semua tokoh film akan teriak-teriak.
MEREKA AKAN BERARGUMEN DI TOKO! HOWARD MENAWARKAN PERMATA UNTUK DITUKAR TAMBAH! ADA TOKOH YANG MINTA SEWA OPAL! ADA PEGAWAI TOKO YANG KESUSAHAN MEMBUKA PINTU BERALARM BUZZER! PEGAWAI SATU LAGI NERIAKIN ADA MAFIA DI PINTU DEPAN!! MAFIANYA TERIAK NAGIH UTANG! HOWARD MENERIAKKAN PENANGGUHAN BAYARAN DAN MENJANJIKAN BUNGA LEBIH!!! Kalian yang merasa gak nyaman dengan capslock semua kayak gitu, niscaya akan sangat kesel ngikutin dialog film ini. Semuanya diletuskan keluar, semuanya pakai tanda seru!! Ribut, KACAU BELIAU!!
Aku awalnya enggak suka sama gaya film ini. Sure, di dunia nyata orang memang wajar bisa sepanik dan seheboh itu kalo ada masalah, bakal sengotot itu kalo berargumen, mengeraskan suara supaya didengar. Namun buatku yang introvert, itu terlalu berisik. Rasanya kacau sekali. Aku akan keluar ruangan kalo sekitarku mulai bising. Cabut ke tempat yang lebih tenang. Nonton film ini, aku juga pengen banget melengos. Mengasingkan diri ke game Duel Links or something. Terlebih, si Howard ini ‘penyakit’nya parah banget. Susah untuk peduli sama penjudi kayak dia. Yang udah dapat uang bukannya segera lunasin hutang malah berjudi lagi. Yang sampe rela nipu; ada adegan di pelelangan yang dia sengaja nyuruh temannya terus menaikkan harga Opal karena dia tahu ada pelanggan yang udah begitu tertarik sama Opalnya. Howard terus saja mengambil keputusan berbahaya yang membuat kita ingin meneriakinya bersama-sama. Dia yang seharusnya adalah seorang ayah malah mempertaruhkan keselamatan keluarganya. Namun diam-diam film berhasil menyokolkan kuku-kukunya kepada kita. Mencengkeram kuat-kuat. Ada perasaan ingin melihat Howard akhirnya berhasil setelah semua kegagalan dan things go wrong itu. Terutama di pertaruhan besar pada babak ketiga itu. Aku merasa kita exactly seperti tiga mafia yang dikurung oleh Howard; duduk di lantai memandangnya dengan kesal dan benci tapi di dalam hati mendukung dia untuk berhasil – menginginkan dia untuk, sekali ini saja, berhasil. Film begitu handalnya nge-skill perasaan kita sebab pada ending bakal ada suatu peristiwa yang akan membuat kita yang sudah merasa sepenuhnya di belakang Howard menjadi tertegun. Aku harap aku enggak merusak apapun buat pembaca ulasan yang belum nonton filmnya dengan mengatakan soal ending, soalnya Uncut Gems ini adalah tipe film yang harus ditonton sendiri tanpa tahu apa yang harus ditunggu saat menontonnya.
Segala hingar bingar berlangsung mengisi narasi yang juga berjalan dengan amat cepat. Ingin rasanya menghentikan layar sesaat buat menikmati visual, dan mengambil nafas. Namun film tidak meminta kita untuk beristirahat, kita harus menghormati permintannya. Sebab kekacauan, ke-frantic-an yang digambar oleh film sebenarnya demi memparalelkan – menunjukkan- bahwa Howard juga sedang ditempa oleh tekanan dan stress. Sama seperti batuan yang ia dewakan untuk dilelang. Adegan pembuka dan penutup yang artsy film ini literally menyamakan Howard dengan batu permata. Kita dibawa melihat menembus ke dalam batuan, melihat urat-urat permata secara mikroskopis, begitu dekat, kemudian beralih begitu saja ke isi dalam tubuh Howard. Yang disugestikan adalah dua benda ini telah ditempa dengan tekanan, melewati berbagai stress, ‘suhu yang panas’, sehingga meskipun dari luar tampak seperti bongkahan tak penting, tetapi ada yang berharga di dalamnya. Sebuah seni, kalo boleh dibilang. Howard memberikan hidupnya sebuah keindahan,
yang memang begitu personal sehingga hanya dia dan beberapa orang yang juga hidup penuh stress bisa mengerti.

 

Hidup ini keras. Setiap aksi selalu ada konsekuensi, dan dibayangi oleh resiko. Howard menikmati menempuh resiko-resiko. Ia bahkan seperti lebih menikmati resikonya ketimbang reward besar di balik resiko tersebut. Shot terakhir Howard memberitahu kita keindahan yang ia alami di dalam benaknya. He’s winning in life, big-time, dengan cara secantik permata Opal. Howard adalah gambaran miring seorang pencari nafkah yang percaya bahwa perjuangan dan resiko itu harusnya dinikmati. Ya, sampai mati.

 
Film ini bukanlah peringatan bahayanya judi, kau enggak boleh candu bertaruh karena itu merugikan bagimu. Uncut Gems meletakkan kita tepat di belakang Howard, supaya kita merasakan hidup ‘kacau’ orang ini. Kita, yang hidupnya biasa-biasa aja. Kita yang tentu saja lebih memilih secure secara finansial. Kita, yang mungkin merasa terlalu sial untuk mengadu nasib. Kita-kita ini disuruh oleh Uncut Gems, “hey coba deh jalani hari seperti Howard, lihat dulu, mungkin kalian suka”. Film enggak lupa untuk menetapkan kepada kita bahwa bahayanya memang sangat tinggi, hidup akan hancur jika gagal. Tapi rasa puasnya sungguh luar biasa. Film ingin kita mencicipi sedikit ini. Sukur-sukur kita enggak ikut kecanduan setelah merasakannya.
 
 
 
Lancang sekali memang film ini, membawa perasaan kita naik turun mencemaskan penjudi, bersorak bersamanya, sekaligus merasa kesal sama ulahnya. Bukan tokohnya yang mengalami perubahan, melainkan kita yang nonton. Howard tetap kecanduan judi dari awal hingga akhir. Reaksi kita terhadapnya yang berubah. Film ini memang sedikit menyentil persoalan kepercayaan kita terhadap suatu hal – hal spiritual dalam meyakini sesuatu, bahkan jika itu adalah kemenangan yang tak pasti -sebab di sini tokohnya disebutkan mulai dari Yahudi hingga menjadikan Opal sebagai jimat keberuntungan. Bicara soal kepercayaan, toh duo sutradara bersaudara film ini memang nekat mempercayakan peran-peran kepada yang enggak terbiasa dalam film. Adam Sandler didukung oleh pemain basket, komedian, musisi, dan pemain-pemain baru. Namun hasilnya benar-benar terbayar keren. Ini adalah film yang unik, endingnya devastating, dan ini adalah film yang really loud. jika kalian suka lihat orang ngobrol teriak-teriak kalian akan lebih menyukai film ini daripada aku.
The Palace of Wisdom gives 7.5 gold stars out of 10 for UNCUT GEMS.

 
 
 
That’s all we have for now.
Pernahkan kalian berjudi? Apa hal paling berharga yang pernah kalian pertaruhkan dalam hidup? Menurut kalian kenapa sih orang bisa sampai kecanduan berjudi – apakah memang menang besar begitu penting?
 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

TEMEN KONDANGAN Review

“You don’t need to prove anything to anyone as far as you know yourself”
 

 
Film haruslah punya kepentingan. Kudu unik, punya originalitas dan kebaruan. Serta tentu saja harus relevan. Makanya Teman Kondangan ini, eh maaf salah… Makanya Temen Kondangan ini jadi puncak dari sinema komedi Indonesia. Digarap oleh Iip Sariful Hanan yang sebelumnya menelurkan berbagai karya klasik seperti… ..umm, sinetron-sinetron, film ini sangat merangkul dan mewakili gaya hidup kekinian. Hanan memotret fenomena besar dan penting-banget dalam kehidupan sosial kita saat ini yakni persoalan menghadiri pesta pernikahan gak boleh sendirian karena bakal dinyinyirin oleh netizen.
Temen Kondangan dibintangi oleh Prisia Nasution yang berperan sebagai Putri; seorang selegram dengan ribuan follower yang mendapat layangan undangan dari sang mantan ke pesta pernikahannya di Bandung. Putri lantas ditantang oleh sahabat-sahabat ceweknya untuk datang ke pesta tersebut sebagai bukti nyata dirinya sudah move on. Tentu saja Putri menyanggupi. Hanya saja, kini dia lagi jomblo, dan datang ke pernikahan sendirian jelas akan menurunkan citranya di mata para fans dan pengikutnya di dunia maya. That’s the number one rule di jagat pergaulan masa kini. Jadi Putri mencari cowok yang mau mendampinginya ke sana, berpura-pura menjadi pacar barunya. Pada hari H kondangan, Putri yang awalnya jumawa menggaet teman lamanya yang anak band, menjadi kalang kabut. Sebab ada dua lagi cowok yang datang memenuhi permintaannya. Putri harus segera meluruskan masalah sebab kini ia sudah kehilangan dua ribu follower di Instagram. Gawat gak sih follower ilang!? Hidup pasti bakal kacau!!

pirtirihin ciritinya bisir sikili yiii

 
Oke, jokes aside, film ini sebenarnya punya konsep komedi situasi yang menarik. Satu tempat, satu kejadian. Wanita yang harus berkonfrontasi dengan sirkel sosialnya, wanita yang selama ini hidup membangun singgasana di dunia maya kini berusaha menyelesaikan masalah yang dia undang sendiri ke pesta pernikahan mantannya. Set up film ini juga menarik. Kita melihat bagaimana ‘panik’nya Putri mencari pasangan yang bisa diajak ke kondangan. Narasi actually menyediakan tiga opsi baginya. Namun, ketiga cowok yang harusnya menjadi pendukung, yang harusnya melambangkan sesuatu yang bakal Putri ubah mengenai dirinya, dibuat oleh film punya agenda masing-masing. Yang lebih besar dan gak benar-benar menambah apa-apa terhadap journey tokoh Putri. Tiga cowok ini adalah bos Putri yang ternyata bekas pacar mempelai wanita dan bapak ini bucin alias belum move on parah, sepupu teman Putri yang memang menjadikan jasa temen kondangan sebagai profesi, dan teman SMA Putri yang anak band dan kebetulan ketemu di kafe, untuk pertama kalinya sejak mereka lulus sekolah, dan kebetulan dia naksir berat memendam cinta kepada Putri.
Ketika cerita sudah tiba di pesta pernikahan, semua masalah ini melebar. Tidak lagi sepenuhnya mengenai Putri. Malah justru Putri yang berusaha membantu masing-masing cowok. Ada subplot soal band yang mengkhianati personelnya, soal tokoh yang menjadikan lagu Ular Berbisa sebagai penenang. Putri tidak lagi pusat konflik. Karena dia bukannya gak bisa move on, atau ditinggalin sahabat. Putri hanya ingin ke kondangan bawa pasangan supaya orang-orang bisa lihat dia beneran move on. Need Putri dalam cerita ini adalah bahwa dia gak perlu buktiin apa-apa ke orang, dia gak perlu dengar kata-kata miring dari orang. Pembelajaran Putri tentang hal tersebut beres lewat teguran sang mantan. Semua yang di luar ini gak paralel dengan Putri, Kekacauan pernikahan bukan exactly her fault. Di akhir ada sekuens kejar-kejaran pakai perahu bebek-bebekan, dan itu gak ada hubungannya sama Putri. Makanya cerita film ini terasa sangat berantakan. Bahasan film menyerempet ke mana-mana. Film menyinggung nikahan gak mesti mewah-mewah selain persoalan baper, gak bisa move on, dan citra sosial media. Yang terasa diada-adakan karena film butuh untuk mengisi durasi. Dan karena ini komedi, maka kejadiannya dibuat seajaib mungkin. Seperti ibu salah satu mempelai yang melipir dari pelaminan begitu saja untuk mencari berondong. Film juga berdedikasi sekali untuk mengisi waktu dengan reference-reference ke produksi-produksi MNC lainnya, makanya kita dapat adegan Lukman Sardi nongol sebagai dirinya sendiri ngobrolin filmnya; Di Balik 98 (2015)

Tak habis pikir, film yang diniatkan salah satunya untuk menegur kita dari palsunya interaksi dunia maya, malah membuat adegan dunia nyata di dunianya sebagai kejadian yang dilebay-lebaykan.

 
Soal komedinya, biar aku gambarkan beberapa adegan supaya kalian dapat mengerti seperti apa tepatnya tipe film ini. Bos Putri masuk ke ruangan kerja Putri, langsung mengajak ngobrol sambil melihat sekeliling ruangan, di ruangan itu ada poster setengah badan Putri, dan saat mengobrol tangan si bos mendarat tanpa sengaja dan berhenti di bagian dada Putri pada poster tersebut. Adegan lain, ada yang menampilkan orang diuppercut sehingga terangkat tinggi kayak kartun dan pingsan. Begitulah tren komedi Indonesia masa kini. Puncak entertainmen layar lebar tanah air, karena ya kita tertawa. Orang-orang di studioku bersenang hati menontonnya. Dan oh ya, jangan lupakan tarian lagu Ular Berbisa yang membuat suasana pernikahan jadi kayak live show Inbox/Dahsyat.

mentang-mentang ada mantan host-nya maen

 
Setiap kali mengulas review film-film komedi yang ditujukan untuk anak-anak, aku mencoba realistis menyingkapi level humor/candaan dan dalamnya eksplorasi cerita, standar penilaian selalu mempertimbangkan fakta bahwa film itu bukan dibuat untuk aku. Jadi komedi-komedi receh enggak serta merta membuat film menjadi berkualitas rendah. TAAPIIIII, Temen Kondangan ini bukan film anak-anak. Ini ditujukan untuk milenial, generasi yang mulai menghadapi krisis mid-life seputar relationship, yang menggunakan sosial media sebagai interaksi sosial dan pekerjaan. Film ini gak punya urusan untuk menjadi sereceh-recehnya kayak film untuk anak balita. Mungkin di antara kalian ada yang beruntung menyaksikan Playing with Fire (2020) yang dibintangi John Cena di bioskop? Nah, Temen Kondangan ini berada di level yang sama dengan film tersebut. Demi komedi dan kerecehan, film menyia-menyiakan potensi dari konsep dan cerita yang dimilikinya.
Bukannya gak boleh receh. Film-filmnya Taika Waititi humornya receh dan absurd semua kok, lihat saja Thor: Ragnarok (2017) atau Jojo Rabbit (2019) yang masuk nominasi Oscar tahun ini. Tapi ya, seharusnya film memberikan bobot di balik kerecehan tersebut. Misalnya, alih-alih stake yang hanya ‘follower turun’, kembangkanlah kepentingan angka follower itu lebih jauh lagi terhadap hidup Putri. Bikin supaya kita peduli Putri kehilangan pengikut dan tekankan kepentingan sosial media. Atau mungkin memang aku yang kuper; mungkin dunia nyata memang sudah sebegitu berubahnya sehingga angka follower kini sudah urusan hidup-dan-mati? I don’t know, still, rasanya bego dan gak ada apa-apanya stake yang begini. Seperti penulisan dan pengembangan ide yang masih dangkal.
 
Karena kerecehan dan ke-weightless-an ini jualah film jadi tidak berhasil memenuhi misinya. Perjalanan Putri, dalam level yang lebih dalam, seperti contoh kepada kita untuk gak terlalu dengerin sosmed. Kita gak perlu buktikan sesuatu yang sudah kita lakukan kepada orang hanya demi gak dijulidin ama mereka. On a surface level, film menyugestikan tidaklah apa-apa datang ke pesta pernikahan tanpa pasangan. Hanya saja film tidak bisa menjawab kenapa. Kenapa enggak masalah datang kondangan sendirian. Kenapa baiknya kita gak usah bawa pacar palsu atau nyewa teman kondangan. Kejadian dalam film terlalu dibuat-buat sehingga gagal memberikan gambaran yang grounded. Situasinya terlalu kartun. Ditambah absennya bobot dan urgensi tokoh utama, film ini jadi kayak makan snack murah. Asik dikunyah tapi isinya ‘angin’ doang.
The Palace of Wisdom gives 2 gold stars out of 10 for TEMEN KONDANGAN.

 
 
 
That’s all we have for now.
Jadi kalo ada yang datang ke kondangan mantan, itu artinya dia udah move on atau belum? Perlu gak sih datang ke nikahan mantan?
 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

 

CARIFILMS, Website Database Film Terlengkap Berbahasa Indonesia

Ada satu website baru bernama Carifilms yang baru aja dibuat akhir tahun 2019 dan langsung dapat banyak perhatian! Kalau kamu belum pernah dengar soal website ini, lebih baik langsung cek! Website ini adalah website movie database terbesar dalam Bahasa Indonesia yang film dan serialnya di-update setiap hari.
Teman-temanku sering nih, pengen menonton film Indonesia. Bareng-bareng pergi ke bioskop, tapi lantas bingung. Ada beberapa film Indonesia yang ditayangkan, cuma filmnya gak terkenal. Jadi mereka nyoba buat googling tentang film itu (kalo baca reviewku takut kena spoiler katanya hihi), ya seengganya biar pada tau trailer, sinopsis, sama cast-nya. Eh tapi tetep aja susah dapet infonya. Jadinya menghabiskan hampir setengah jam buat nyari tau info tentang film-film itu dan diskusiin mau nonton yang mana. Akhirnya, pas udah nentuin mau nonton film yang mana, eh taunya udah telat dan akhirnya mesti nunggu sejam setengah lagi sampai jadwal berikutnya. Dan mau tau yang lebih parah? Setelah ditonton ternyata filmnya ga jelas dan ngebosenin! Aku sendiri juga ngalamin kalo lagi nulis review film Indonesia. Kadang nyari datanya susah sekali.
Sekarang hal-hal kaya begitu gak akan kejadian lagi, soalnya ada website Carifilms. Di sana udah ada info-info lengkap film-film yang tayang di bioskop Indonesia. Lengkap sama rating-nya sekalian. Jadi sebelum beli tiket di bioskop, bisa cek-cek dulu filmnya. Hanya dalam hitungan menit!

 
Tentu saja kamu bisa menyarankan buat ngecek film di IMDB, RottenTomatoes, atau website lainnya. Tapi tapi, website-website itu gak ada versi Bahasa Indonesianya. Masih ada lebih dari 100 juta orang Indonesia yang tidak berbahasa Inggris. Dan sekalipun kamu bisa Bahasa Inggris, aku yakin kalau lagi capek dan pengen nonton pasti enaknya baca-baca info pake Bahasa Indonesia aja kaan.
Terlebih lagi, website-website tersebut masih kurang memperhatikan film-film Indonesia atau Asia pada umumnya. Misalnya aja film “Dua Garis Biru”, ini adalah salah satu film Indo paling populer tahun 2019. Jutaan orang nonton film ini, ya setidaknya pasti pernah ngedenger soal film ini. Coba cek di IMDB, info dua aktor utamanya aja, Zara JKT48 sama Angga Yunanda ngga ada. Trailer filmnya juga ngga ada.

 
Salah satu misi dari Carifilms ini adalah agar orang lebih memperhatikan info film dan aktor-aktor lokal, biar gak kalah sama yang internasional. Kadang-kadang emang susah cari info aktor atau aktris lokal walau mereka sebenarnya cukup terkenal. Contohnya adalah Izzi Isman, dia merupakan salah satu aktris film “Modus Anomali” yang namanya sempat viral karena kedekatannya dengan member EXO. Bahkan nyari info tanggal lahirnya aja susah. Namun kami ngga nyerah gitu aja, beberapa waktu lalu Carifilms berhasil mewawancarai Izzi Isman dan kami bertanya banyak hal termasuk film rekomendasi dari dia. Hasil dari wawancara ini pun bisa kalian cek di bagian artikel.

 
Website Carifilms bisa juga dipakai buat share review dan diskusi tentang film bersama sesama penonton dan penggemar film lho. Di sana sudah terdaftar hampir 6000 film, serta serial tv, yang juga dilengkapi sama review dan rating. Selain itu, kalau kalian ada pertanyaan, bisa langsung tanya aja di film itu dan orang lain akan menjawab pertanyaan kalian!

 
 
So let’s check out Carifilms!
Carifilms website : https://carifilms.com
Twitter : @Carifilms
Facebook : Carifilms
Instagram : @carifilms
 

Royal Rumble 2020 Review


 
On this day, clearly… kalian semua sudah nonton Royal Rumble, atau paling enggak sudah membaca tentang kehebohan paripurna kembalinya salah satu pegulat yang paling gak disangka-sangka untuk kembali. Edge. Sembilan tahun yang lalu, si Rated R Superstar ini mengumumkan dia terpaksa gantung-sepatu lantaran komplikasi cedera leher. Penggemar gulat gak pernah lupa wajahnya saat itu. Dan di Royal Rumble 2020, sebagai peserta urutan ke 21, Edge kita lihat lagi dengan wajah siap tempur. Suasana pecah begitu Edge beraksi. Seantero stadiun baseball yang luas itu terkesima menyaksikan Edge melakukan gerakan-gerakan andalan, seolah dia tidak pernah pergi.

Seperti kita menghitung mundur entrance royal rumble berikutnya, Edge menghitung mundur waktu yang tersisa bagi karirnya. Dan keduanya adalah hitungan yang penuh optimis. Setiap hitungan melambangkan kekhawatiran, pertanyaan, dan harapan. Royal Rumble adalah cerita “bagaimana jika” dan Edge adalah tokoh utama yang pas untuk ini. Karena dia adalah pria yang menyangka dia tidak akan bisa lagi melakukan hal yang ia cintai. Pria yang sudah bekerja keras untuk sampai di atas, untuk kemudian begitu saja disuruh turun tidak boleh naik lagi. Pada akhir countdown tersebut, dia disambut dengan begitu hangat, wajahnya mengingatkan kepada kita bahwa mungkin cuma within sepuluh hitungan orang bisa dipisahkan dari mimpinya.

 

dan gambar inilah yang dianggap lebih penting oleh kamera WWE dibandingkan Spear pertama yang dilakukan Edge dalam pertandingan yang mengisyaratkan reborn karirnya.

 
Selain Edge, ada banyak lagi momen dan cerita keren yang berhasil dihimpun oleh pertandingan Royal Rumble. Makanya acara ini selalu ditunggu-tunggu oleh penggemar. PPV Royal Rumble adalah show selain Wrestlemania yang hypenya selalu gede. Pengalamanku bikin acara nobar, Royal Rumble malah selalu yang paling ramai peserta nobarnya. Di tahun ini, dua pertandingan Royal Rumble yang kita dapatkan terasa sangat seru, terutama yang pertandingan cowok. Bahkan sebelum perhatian dan haru kita dicuri oleh Edge, Brock Lesnar membuat partai ini teramat menarik. Obviously gak semua kalian akan setuju denganku, karena Lesnar memang kebangetan. Lima belas superstar ia buang begitu saja kali ini; legends, juara, pendatang baru, jobber — semuanya dijadikan jobber oleh Lesnar. Aku gak kebayang gimana tim kreatif ngepitch ide ini ke para superstar “Ayo siapa yang mau jadi tumbal Lesnar, nanti dikasih bonus deh”.. Tapi ini menghasilkan pengalaman seru yang belum pernah kita lihat sebelumnya. Berkat Lesnar dan kemampuannya; bergulat dan memancing (alias membelah) reaksi dan emosi penonton, match ini jadi berbeda sekali dari yang sudah-sudah. Belum pernah kita melihat satu ornag mendominasi dari awal, bahkan Reigns saat dalam cerita one-versus-all-nya dulu enggak sepecah ini. Meskipun mengerang dan protes melihat favorit-favoritku dikeluarkan olehnya, deep inside aku ingin melihat Lesnar beneran sampai ke akhir Rumble dengan membuang satu persatu yang datang.
Tapi kemudian Lesnar toh dikeluarkan juga, oleh Drew McIntyre – yang bakal memenangkan partai bergengsi ini dan maju ke partai utama di Wrestlemania. WWE told a perfect somekind-of-passing-a-torch story di sini. Rumble seolah terbagi menjadi dua bagian. Pertama, Lesnar mendominasi. Mengalahkan semua ‘hantu-hantu masa lalunya’ alias superstar-superstar yang pernah bertanding melawannya, yakni Rey Mysterio, Kofi Kingston, Braun Strowman, Ricochet, dan bahkan Shinsuke Nakamura. Lesnar begitu hebat membawa cerita di pertengahan pertama. Aku suka gimana Lesnar bereaksi terhadap NXT’s Keith Lee, yang aku yakin di bawah pengarahan Paul Heyman sehingga lawannya ini tampak beneran menggentarkan. Kita di-tease berbagai versi interaksi, berbagai usaha yang gagal, karena Lesnar beneran kuat. Sampai kemudian – mengambil julukannya dulu – the next big thing datang dalam wujud McIntyre. Kekuatan dan strategi sang juara melawan passion dan semangat penantang – ini cerita klasik yang sempurna, yang dieksekusi dengan menakjubkan. Separuh akhir beralih menjadi cerita McIntyre berjuang memenangkan seantero pertandingan, sebab membuang Lesnar belum cukup. Ia harus menang dan mengambil spot untuk benar-benar bisa mengalahkan Lesnar dan memenuhi ‘ramalan’ yang menjadi gimmicknya dulu – bahwa ia, Drew McIntyre, adalah Sang Terpilih.
PPV Royal Rumble selalu susah untuk direview karena hal-hal begini. The Rumble was so hype, udah kayak nonton film antologi, sehingga kita selalu hanya nunggu match rumble-nya saja. Apalagi sejak ada dua match rumble, cewek dan cowok. Padahal dalam PPV selalu ada match lain yang enggak kalah solidnya. Seperti kali ini ada very physical kontes antara Daniel Bryan yang memilih Strap Match untuk mengalahkan lawannya yang sepertinya urat sakitnya udah putus; The Fiend Bray Wyatt. Salah satu peningkatan yang dapat kita rasakan adalah WWE tidak lagi menggunakan lampu temaram untuk match The Fiend. Matchnya sendiri memang cukup brutal. Cambukan sabuk kulit itu berbekas nyata di kulit kedua superstar ini, mereka benar-benar saling menyakiti. Bray Wyatt beruntung ia mengenakan topeng, sebab aku yakin di balik itu ia juga pasti meringis kesakitan meski tokohnya ditulis untuk tidak ngejual damage untuk menghasilkan efek dramatis dan mengerikan. Asuka melawan Becky Lynch juga sebenarnya told a great story. Bukan saja aksinya solid, melainkan juga mengandung bobot yang penting dalam pembangunan salah satu karakter utama Wrestlemania nantinya.  Semua ini adalah soal Lynch yang harus mampu membuktikan dirinya bisa mengalahkan Asuka yang menyimbolkan ‘demon’ yang belum ia taklukkan. The Man lawan Demon, kalo boleh dibilang. Finishing match ini terbendung bagus, juga dari perspektif Asuka yang belakangan seperti jadi bergantung kepada jurus semburan mautnya.
Kedua match tersebut sayangnya kurang mendapat perhatian karena berada di antara dua partai rumble. Penonton masih terengah dari rumble cewek dan menyimpan tenaga untuk rumble cowok. Jika ditempatkan berbeda, niscaya reaksi kita yang nonton akan berbeda. Buktinya adalah match Roman Reigns melawan Baron Corbin yang sudah basi namun karena dijadikan pembuka acara, maka masih ramai oleh reaksi. Penonton cukup terhibur karena, dan padahal mereka basically hanya, berkeliling arena. Match yang beneran jelek adalah Bayley melawan Lacey Evans. Ceritanya cukup berbobot, tapi dimainkan dengan sangat datar. Lacey masih berjuang untuk konek kepada penonton dan memperkuat deliveri ekspresi dan memperketat timing, meskipun dia sudah diberikan patriotisme dan feminisme sebagai modal untuk karakter babyfacenya. Bayley juga masih belum menemukan kekhasan karakter heelnya, sebab tipuan pura-pura cedera yang ia lakukan masih terlihat akting dan gak ada yang percaya itu bukan trik jahatnya. Kedua superstar belum maksimal
Harusnya ada adegan Izzy nyerang anaknya Lacey aja sekalian biar seru

 
Dua match rumble kali ini sebenarnya punya struktur-gede alias formula yang sama. Satu orang dibuild kuat hingga separuh jalan, dan kemudian dioverthrow oleh new challenger. Lesnar diganti oleh Drew. Hanya saja di rumble cewek, formula ini kebalik. Yang gak really new-lah yang justru mengambil alih dari yang superstar yang baru. Dan ini membuat kesal banyak orang, termasuk aku. Kemenangan Charlotte terasa sangat getir bagi penonton. Terutama karena dia membuang begitu saja Bianca Belair yang masuk dari nomor dua, bertahan 33 menit, dan mengeliminasi delapan orang. Rumble cewek yang menarik di paruh awal; ada begitu banyak interaksi superstar seru seperti Mandy Rose diselamatkan oleh Otis dengan jurus kasur empuk, menjadi kering di paruh akhir. Karena setelah mengeliminasi Belair, tidak ada lagi selain Flair yang viable untuk benar-benar memenangkan pertandingan. Ring diisi oleh bintang tamu seperti Beth Phoenix, returning yang gak benar-benar relevan seperti Naomi, dan ya, surprise seperti Santina Marella. Mestinya SJW marah nih ngelihat WWE jadiin karakter cowok yang kecewekan sebagai komedi semata. Yang jelas, logika -gak-jalan itu adalah Naomi yang bertingkah seolah menyebrang dari meja ke dalam ring adalah lompatan yang sulit, padahal dia tinggal melompat-lompat dengan satu kaki saja karena rule eliminasi adalah menyentuh lantai dengan kedua kaki. Satu-satunya penantang yang mungkin menang selain Charlotte adalah Shayna Baszler. Yang juga mengeliminasi delapan lawannya, namun mesti kalah dengan datar oleh Charlotte.
Aku benar-benar gagal paham kenapa WWE terus ngepush Charlotte ke spotlight. Enggak ada yang mau lihat dia menang karena bakal jadi jalan yang boring menuju Wrestlemania. Siapa yang mau dia tantang? Bayley yang lebih membosankan atau Lynch untuk kesekian kalinya? WWE harus menyiapkan cerita atau kejutan yang out of the box untuk ngangkat Charlotte. Atau mending sekalian semua fourhorsewomen itu diadu saja di winner takes all nanti.
ultimate heel adalah ketika kamu tetap dikasih menang saat semua orang males lihat kamu menang

 
 
Sensasi euforia Royal Rumble enggak hanya mempengaruhi penonton. Tapi juga para superstar. Karena banyak sekali botch pada acara ini. Mulai dari yang simpel bergerak terlalu semangat kayak Lesnar yang kesandung tali saat mau ngejar Elias atau Lacey Evans yang nyaris jatuh saat menggunakan jurusnya, dan kemudian detik berikutnya hampir terpeselet saat springboard dari tali ring, ke yang lupa cue gerakan kayak Aleister Black yang harus dipanggil oleh Rollins karena lupa menendang Rollins dari belakang atau Natalya yang kelupaan berdiri di belakang Santina sehingga Santina harus dua kali bergaya di depan Beth Phonenix, hingga ke yang menyebabkan cedera. Beth Phoenix terlalu bersemangat ngejual pukulan sehingga lupa dirinya against pojokan ring. Alhasil belakang kepalanya berdarah dan sepanjang match rambut Phoenix antara kayak habis diombre atau ketumpahan saus spagheti. AJ Styles juga agak terlalu lincah ngesold Spear dari Edge sehingga bahu kirinya terhimpit dan dia harus keluar lebih cepat daripada rencana supaya cederanya tidak semakin parah.
 
 
WWE memulai tahun, seperti biasa, dengan sangat seru. Lesnar yang banyak dipotes sebenarnya bermain dengan keren. Dua match Royal Rumble begitu epik, walaupun yang cewek hasilnya pahit, sehingga match-match yang lain jadi tampak biasa saja. Aku kembali mengadakan nobar setelah vakum nyaris dua tahun, dan nobar kali ini adalah yang paling seru. Apalagi kita menontonnya di dalam bioskop mini. Experience yang cocok sekali lantaran ppv yang satu ini memang menjual spektakel, momen, dan kejutan lebih banyak daripada porsi gulat-benerannya. The Palace of Wisdom menobatkan MATCH OF THE NIGHT kepada partai Royal Rumble cowok yang punya cerita keren yang menjadi set up pertemuan gede antara Drew McIntyre dengan Brock Lesnar di Wrestlemania nanti, dan kemunculan Edge sebagai MOMENT OF THE NIGHT
 
 
Full Results:
1. FALLS COUNT ANYWHERE Roman Reigns mengalahkan King Baron Corbin
2. 30-WOMEN’S ROYAL RUMBLE Charlotte Flair menjadi last woman standing
3. SMACKDOWN WOMEN’S CHAMPIONSHIP Bayley bertahan atas Lacey Evans
4. UNIVERSAL CHAMPIONSHIP STRAP MATCH The Fiend Bray Wyatt tetap juara mengalahkan Daniel Bryan 
5. RAW WOMEN’S CHAMPIONSHIP Juara bertahan Becky Lynch akhirnya bisa mengungguli Asuka
6. 30-MEN’S ROYAL RUMBLE Drew McIntyre membuang mimpi 29 superstar lain menjadi main event Wrestlemania
 
 
 
That’s all we have for now.
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
 
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

AKHIR KISAH CINTA SI DOEL Review

“May your choices reflect your hopes, not your fears”
 

 
Zaenab yang diketahui hamil diberi nasehat oleh dokter enggak boleh stress dan enggak boleh banyak pikiran. And Zaenab be like; yea right aku akan santai-santai saja di film yang judulnya bukan lagi ‘The Movie + angka’ atau ‘Anak Sekolahan’ tapi melainkan ‘Akhir Kisah Cinta’! 
Aku sama sekali gak menyangka akan tiba masanya aku menyebut trilogi Star Wars kalah memuaskan dibandingkan trilogi Si Doel. Saat film pertamanya tayang, Doel memang tampak seperti usaha lain menguangkan nostalgia. Ceritanya berakhir, tapi masih menyisakan ruang untuk sekuel. Dan kemudian film keduanya tahun lalu tayang seolah menguatkan dugaan film ini hanya jualan semata, lantaran cerita yang gak kemana-mana. Yang muter di tempat, dengan si Doel yang tetap diam tidak membuat keputusan. If anything, film kedua tersebut seperti ingin memerah tangis lewat sudut pandang Zaenab yang diberi porsi lebih. Di film ketiganya ini, sungguh sebuah kejutan karena sekarang keputusan dari pilihan yang sulit itu benar-benar diambil. Dan Zaenab, yang kita kenal bahkan lebih pasif dan pasrah daripada si Doel, memegang kunci untuk menutup semua ini dengan memuaskan.

ini bisa jadi adalah kehamilan tersedih di sinema.. bahkan hamil kecelakaan saja enggak sedepresi ini

 
Penonton yang menuntut cerita benar-benar sebuah akhir akan seketika oleh Zaenab yang menuntut si Doel cepat membuat keputusan. Film ini dimulai dengan tekanan waktu yang jelas; Zaenab hamil enggak boleh stress, namun dia punya tiga masalah besar yang menggerogoti pikirannya. Kenapa Doel tidak memberitahu dirinya Sarah sudah meminta cerai. Kenapa Doel tidak segera mengurus perceraian. Dan yang paling memberatkan pikiran Zaenab adalah rasa bersalah kepada Sarah karena Zaenab merasa salah dirinya lah Doel tidak mengejar Sarah sehingga wanita itu harus membesarkan anak seorang diri selama empat-belas tahun, dan sekarang Sarah memilih mundur demi dirinya dan Doel. Ada api rage dalam diri Zaenab sekarang yang membuat film jadi menarik. Ia praktisnya tokoh utama di awal-awal film, membuat keputusan-keputusan mendesak. Ia memberanikan diri untuk mengkonfrontasi Doel, bicara kepada Mak Nyak, menatap mata Dul anak Sarah, dan mencari Sarah untuk mengutarakan pilihannya sebelum Sarah kembali ke Belanda.
Memutuskan sebuah pilihan itu bisa sangat berat. Itu pelajaran pertama yang bisa kita ambil dari kisah cinta si Doel. Setelah selama ini dia masih enggak bisa memutuskan pilihan. Karena ia gak mau menyakiti hati. Namun dari trilogi ini kita melihat sikap Doel ternyata melukai lebih banyak orang, termasuk dirinya sendiri. Dalam film ini, beratnya mengambil keputusan akan sangat terasa. Kita bisa melihat pilihan yang benar-benar sulit, dari segala sisi. Bukan hanya dari si Doel sendiri, tetapi juga dari eksistensi film ini. Mau gak mau, kisah si Doel harus berakhir. Penonton gak bisa terus menerus digoda, meskipun kita tahu betapa berat bagi sebuah IP untuk mengakhiri jualan andalannya. Ditambah lagi si Doel – kita bicara induk langsung film ini yakni sinetronnya – sudah bergulir selama dua puluh tujuh tahun. Untuk mengakhiri sesuatu yang sudah berjalan semua itu, pastilah dihadapkan pada pilihan yang berat. Bagaimana mengakhiri dengan memuaskan. Bagaimana menghormati penonton. Bagaimana membuat cerita yang berakhir adil bagi semua tokoh-tokoh yang menghidupi semestanya. Untuk membuat sesuatu yang sefinal ini akan ada pilihan yang berat, ada yang gak bisa semuanya terpuaskan. Personally, aku pikir sikap kita juga turut andil dalam mengakhiri film ini dengan memuaskan. PH atau Studio mendengarkan suara kita lewat angka penonton, dan merosotnya jumlah penonton pada film kedua dibandingkan yang pertama bukan tidak mungkin jadi salah satu penentu bagi film ini untuk segera berakhir dan dibuat dengan menempuh resiko seperti yang kita dapatkan sekarang.
Film memperlakukan karakter-karakternya dengan lebih memuaskan kali. Lebih banyak interaksi antara Doel dengan Dul. Momen manis melihat Doel mengajak putranya – anak yang tak ia tahu keberadaannya hingga dua film yang lalu – berkeliling Jakarta narik oplet. Doel menjelaskan cara kerja dan ‘sejarah’ oplet, ini adalah adegan yang aku tunggu sedari film pertama. Meski sebagian besar memang kelihatan seperti eksposisi atau device nostalgia saja, tapi paling enggak sekarang film ini tahu bahwa adegan seperti demikian yang dibutuhkan oleh film ini. Dul juga berinteraksi lebih banyak dengan anak Atun, Atun, Zaenab, dan Mandra. Peralihan dari sinetron ke bioskop enggak begitu berarti bagi sutradara dan penulis Rano Karno, karena semua tokoh dan interaksi mereka punya rasa yang sama. Tokoh-tokoh lama tampak nyaman menjadi diri mereka, sekaligus berkembang sesuai zaman, tokoh-tokoh baru juga gak canggung mengisi di antara mereka.
Perlakuan film terhadap Mandra adalah hal favoritku di film ini. Mandra punya subplot sendiri soal ia berusaha menjadi tukang ojek. Walaupun persoalan kerja ini enggak benar-benar tuntas, dan dipanjang-panjangin dari film kedua, namun Mandra punya akhir cerita tersendiri yang bikin kita merasa senang demi dirinya. Ini adalah momen surprise gede yang dipunya oleh film, jadi aku gak akan bocorin di sini. It was a nice surprise I would never guess it. Namun yang perlu dijadikan catatan dan dibahas dalam ulasan ini adalah cerita Mandra sebenarnya lawan dari cerita Doel; yang terjadi kepada Mandra adalah pelajaran besar bagi si Doel. Mandra adalah happy ending sejati karena berbeda dengan Doel yang plin-plan, gak bisa mutusin apa yang ia suka, Mandra setia kepada cintanya. Sehingga meskipun kita menertawakan hidupnya – jika ditarik dari sinetron, Mandra ini cocok sekali jadi poster boy slogan ‘hidupku adalah tragedi komedi’ – paling enggak, Mandra tidak harus menderita, ia tidak pernah berada pada posisi seperti si Doel. Mandra adalah karakter yang meletakkan keputusannya pada harapan. Ini yang jadi poin atau gagasan pada film.
Hanya Mandra yang bisa ketuker bahasa Belanda dengan bahasa India

 
Dibandingkan dengan Mandra, memang film tampak seperti menghukum si Doel. Zaenab membuat pilihan, Sarah kekeuh pada keputusannya sedari awal. Doel menjelang akhir film seolah akan ditinggalkan sendirian. Dan aku, serta kuyakin setengah dari penonton lain, enggak akan masalah jika film berakhir seperti demikian. Because Doel deserves it. Wakunya sudah habis, wanita- wanita itu terlalu berharga untuk ia gantung. Dia terlalu penakut – pasif – untuk membuat keputusan. I mean, mungkin gak bakal ada trilogi bioskop Doel jika dia sedari sinetron sudah memilih dengan mantap hati. Namun film enggak tega. Sesaat aku hampir tatkala cerita seperti tereset lagi pada babak ketiga. Film ternyata memberikan Doel kesempatan untuk belajar dari semua yang udah dilewati – semua yang sudah setia kita ikuti. Bola sekali lagi berada di lapangannya; pertanyaan pamungkas itu muncul lagi; Siapa yang bakal Doel pilih?
Yang membuat film ini memuaskan bukan exactly jawaban ‘siapa’ tadi. Melainkan betapa keputusan yang dibuat oleh si Doel (akhirnya!) terasa masuk akal dan feel earned. Ini literally kesempatan kedua baginya untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama. Untuk mengejar dan menjemput yang pergi, bukannya mendiamkan. Untuk hadir dan membesarkan anak, bukannya baru ketemu lagi saat si anak dewasa. Juga masuk akal kenapa baru sekarang Doel membuat keputusan; karena baru sekarang ia berani. Mengambil resiko, menaruh harapan. Doel tak pernah orang yang bego, dia tukang insinyur; maka ia pastilah ia cukup pintar untuk tidak terburu-buru mengambil keputusan. Gambaran besar film ini membentuk sebuah lingkaran yang masuk akal. Film pertama adalah tentang Doel dan Zaenab dan Sarah memilih hal yang mereka takuti demi kebaikan bersama; Doel memilih ke Belanda meskipun ia tahu ada Sarah dan keadaan akan runyam. Film kedua adalah jembatan bagi Doel untuk mengenali apa yang ia inginkan. Dan film ketiga barulah ia melihat harapan untuk semuanya lebih baik, maka barulah ia memilih.

Perbuatan Doel sebenarnya bijaksana, karena seperti kata Nelson Mandela; kekuatan yang mendorong kita melakukan sesuau, berkata, berpikir, seharusnya berlandaskan pada harapan dan optimisme daripada berdasarkan ketakutan atau paksaan.

 
 
Doel gives very nice send-off, bukan hanya kepada Sarah dan Zaenab, melainkan juga kepada kita yang udah ngikutin dari tv ke bioskop, bahkan ada yang selama dua-puluh tujuh tahun. Menurutku tidak ada cara lain yang lebih baik untuk mengakhiri ini semua. Film ini haru, menyayat, lalu menyuarakan harapan, dan memuaskan penonton sehormat mungkin yang ia bisa. Aku akan memberikan nilai lebih tinggi jika bukan karena film ini masih memperlakukan dirinya sendiri lebih sebagai sinetron ketimbang sebagai film. Ia tidak akan bisa berdiri sendiri, because it was never intended to be.
The Palace of Wisdom gives 6.5 gold stars out of 10 for AKHIR KISAH CINTA SI DOEL.

 
 
 
That’s all we have for now.
Bagaimana pendapat kalian tentang pilihan Doel? Apakah kalian pernah mengikuti sinetronnya? Jika boleh berandai, adegan apa yang ingin kalian lihat di film?
Kalo aku, aku pengen sekali melihat si Doel ngobrol dinasehatin ama babeh-nya, you know, mungkin dalam mimpi atau apa, kayak Harry dan Dumbledore di King’s Cross. I mean, teknologi sepertinya sudah memadai, dana juga sepertinya mungkin bagi Falcon.. kalo Star Wars bisa, kenapa enggak bisa juga?
 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

ABRACADABRA Review

“Those who don’t believe in magic, will never find it.”
 

 
“Abracadabra!” adalah ‘mantra’ sihir untuk pesulap, yang diserukan pada momen penghujung trik yang sedang mereka mainkan. Kata ini turunan dari bahasa aram (Aramaic) yang memiliki arti ‘dibuat dari kata-kata saya’. Namun sendirinya, kata ini tidak bermakna apa-apa, melainkan hanya sugesti yang memberikan impresi ada suatu kekuatan sihir yang dipanggil saat memainkan pertunjukan tersebut. Sedikit banyaknya, mantra abracadabra merupakan bagian dari trik sulap itu sendiri. Hanya sebaris kata yang mencoba menghasilkan ilusi.

So in that sense, kita bisa bertanya apakah film Abracadabra garapan Faozan Rizal ini juga hanyalah trik dan barisan gibberish – omong kosong – belaka?

 
Film ini berbicara tentang Lukman (Reza Rahadian), seorang Grandmaster Sulap yang – untuk alasan yang tidak begitu dijelaskan – mulai kehilangan kepercayaan pada kemagisan pekerjaannya. Ia bermaksud mempensiunkan diri dengan cara yang lebih terhormat daripada yang dilakukan oleh sang ayah. Pesulap yang menghilang begitu saja. “Aku tidak akan bersembunyi”, lirih Lukman mantap sambil memandang foto dan memorabilia bekas pertunjukan milik ayahnya tersebut. Ada satu kotak kayu di antara barang-barang tersebut. Kotak persegi biasa. Meskipun di atasnya tercetak segitiga tulisan abracadabra, seperti yang dituliskan pada jimat-jimat kesehatan pada abad pertengahan, tapi kotak ini bentukannya seperti kotak biasa untuk nyimpan barang. Tidak ada kontrapsi untuk membuka lubang rahasia. Tidak ada tuas tersembunyi. Tidak ada apa-apa. Lukman bermaksud menggunakan kotak ‘biasa’ ini sebagai pertunjukan sulap terakhirnya. Ia ingin dianggap gagal oleh penonton sehingga bisa undur diri dengan tenang. Namun ternyata kotak itu bukan sulap, melainkan sihir! Seorang anak kecil beneran hilang saat dimasukkan Lukman ke sana. Lukman harus menarik dirinya kembali ke dalam dunia sihir dan muslihat, mencari tahu apa sebenarnya kotak itu supaya bisa mengembalikan orang-orang yang sudah ia hilangkan, mengarungi misteri dunia sang ayah, sembari melarikan diri dari polisi (Butet Kertarajasa) yang hendak menangkapnya dengan tuduhan penculikan.
Kunci dari penyeruan abracadabra oleh pesulap-pesulap terletak pada cara mengucapkannya. Tidak bisa dengan sekadar melambaikan tongkat sihir dan berseru sekenanya. Harus dramatis. Antisipasi penonton kudu dibangun terlebih dahulu sebelum kata pamungkas itu disebutkan. Film Abracadabra punya banyak trik dalam menyuarakan cerita dan gagasannya. Dan film ini pun punya cara bercerita tersendiri – cara penyampaian – yang benar-benar membuatnya berbeda (beneran, gak ada film Indonesia yang baru-baru ini main di luar sana yang tampil seperti film ini). Cara berceritanya inilah yang jadi penentu utama kita bisa menyukainya atau tidak. Karena film ini bisa sangat aneh, membingungkan, membosankan, atau malah konyol bagi masing-masing yang menyaksikan.

kenapa dia tidak bilang avada kedavra saja supaya semuanya bisa tuntas dengan cepat dan tanpa derita

 
Karakter-karakter dalam film ini ditulis dengan begitu unik, sampai-sampai menginjak batas surealis. Banyak tokoh Abracadabra yang bersikap aneh, yang berdialog creepy (film mengambil keuntungan dari aktor-aktor yang biasa bermain teater), seolah mereka dipinjam langsung dari dunia milik David Lynch. Keseluruhan dunia film ini enggak bekerja sebagaimana mestinya dunia kita bekerja. Ada satu adegan saat Lukman naik taksi ke Pantai Rahasia, dan untuk sampai ke sana, taksi itu harus berjalan mundur – mundur kayak gambar video yang di-play dengan tombol reverse. Gak masuk akal? Ya. Gak logis? Ember. Namun itulah yang menjadi daya tariknya. Film meletakkan komedi mereka pada karakter-karakter dan kejadian ganjil. Batas antara sulap dengan sihir itu tipis sekali di sini. Semuanya dimaksudkan paralel, sebagai pendukung perjalanan inner Lukman yang berusaha mencari rasa percayanya yang hilang terhadap keajaiban.

Bukan mantra yang sebenarnya mengandung keajaiban. Kita tidak bisa memanggil keajaiban hanya dari sekedar kata-kata. Kita juga harus mempercayai kita bisa melakukannya. Makanya Lukman tidak bisa menemukan yang ia cari karena dia tidak percaya pada apa yang ia cari. Dia bahkan tidak percaya pada kemampuan dirinya sendiri. Hanya saat ia percaya barulah semua jawaban itu muncul kepadanya.

 
Faozan Rizal yang berakar sebagai mata di balik lensa kamera punya visi sangat indah dalam menangkap gambar-gambar yang menjadi panggung pertunjukan film ini. Dia menggunakan palet warna yang mengingatkan kita pada film-film karya sutradara Wes Anderson. Ruangan dalam kantor polisi dalam Abracadabra disiram oleh warna merah muda yang kontras sekali dengan penghuninya yakni seorang komisaris dan dua anak buahnya. Ini menguarkan kesan konyol, persis seperti karakter para polisi yang dibuat menganggap sulap adalah kriminal dengan nada komikal. Sementara seringkali dunia akan disapu oleh gradasi warna orange tatkala Lukman fokus di layar, yang membuat kita secara tak sadar menghubungkan dirinya dengan harimau sumatera bernama Datuk yang bisa muncul di mana saja, yang mungkin adalah spirit-animalnya. Pemilihan komposisi warna dan posisi/blocking karakter merupakan bagian integral dari bangunan dunia cerita.
Ketika cerita butuh paparan, entah itu dari tokoh yang menceritakan langsung lewat flashback, film melakukannya lewat treatment khusus. Adegan eskposisi tersebut diceritakan dengan gaya film bisu. Kita melihatnya dalam reel klip film hitam putih. Sehingga kita juga seperti mundur bersama ke dalam kurun waktu, seolah berpindah dari tipikal film kontemporer ke zaman film klasik. Kita terbawa berjalan tanpa terbebani oleh informasi-informasi yang dihamparkan oleh film.
Selain waktu, tempat juga merupakan elemen yang penting, walaupun sangat subtil sekali. Tokoh kita akan bertualang dari panggung, ke bandara, ke pantai, ke bukit. Film memasukkan elemen mitologi ke dalam cerita; kotak kayu yang jadi sumber masalah disebutkan terbuat dari kayu Pohon Kehidupan Yggdrasil. Dalam mitologi Norwegia (Norse) Yggdrasil adalah pohon raksasa di pusat bumi yang akarnya menembus hingga tiga dunia. Dalam film ini, walaupun tidak pernah dijelaskan apa persisnya yang terjadi kepada orang-orang yang masuk dan menghilang ke dalam kotak, namun diberikan kesan bahwa keajaiban kotak Lukman ini berupa ia menjadi semacam portal. Yang masuk ke sana bisa muncul di mana saja atau muncul lagi dari dalam kotak namun di kurun waktu yang berbeda. Orang yang mengerti tentang kotak ini diperlihatkan mengincar kekuatannya; mereka sukarela masuk seolah ada tempat yang ingin mereka tuju, dan kotak itu adalah penghantarnya.

mungkin di dalam kotak itu ada dunia seperti tas koper Newt di Fantastic Beasts

 
Jika dipikir-pikir, film memang tak ubahnya seperti pertunjukan sulap. Ada akting. Ada sutradara yang punya job-desc mirip dengan pesulap; mengarahkan kru dan para pemain dalam sebuah pertunjukan make-believe, kalo gak mau dibilang menipu. Dan tentu saja, sama-sama punya trik. Untuk urusan trik, seperti yang sudah dijabarkan di atas, Abracadabra punya banyak. Film ini tampak memikat. Film ini terdengar berbeda. Tapi kadangkala trik itu sendiri dikerjakan dengan enggak mulus. Editing yang masih terlihat jelas potongannya – kita dapat menemukan dengan jelas mana adegan sulap yang dipotong dan kemudian disatukan kembali. Like, kamera ngesyut aktor masuk ke dalam kotak – kotaknya ditutup, si pesulap bilang abracadabra – cut – kamera stop rolling, si aktor keluar – kamera lalu ngesyut lagi kotak kosong dan si pesulap membuka kotak – tadaaa, hilang! Penyatuan adegan itu yang sangat kentara. Pesulap yang ‘membongkar’ triknya sendiri saat pertunjukan tentu bukan pesulap yang cakap, atau paling tidak dia belum fasih betul, belum gigih banget mengerjakan triknya tersebut.
Pun secara substansi, masih ada beberapa yang terasa belum sampai; belum kena. Narasi yang belum memuaskan lantaran masih banyak pertanyaan yang terangkat tapi tak-terbahas. Journey tokoh utama dapat terasa terlampau aneh. Lukman terlalu distant. Dia yang gak lagi percaya terasa kurang usaha saat di awal-awal dia penasaran dan mencari orang-orang yang sudah ia hilangkan. Dia hanya mengucapkan abracadabra berulang kali, seperti orang gila yang mengharapkan perubahan dengan mengulang-ulang perbuatan. Sehingga kadang kita merasa lebih relate dan tertarik sama ‘petualangan’ komisaris polisi konyol yang memburunya. Si komisaris bahkan punya latar belakang yang berkonflik lebih menarik; dia adalah murid sulap yang gagal menjadi pesulap. Revealing ini actually lebih memancing minat ketimbang pengungkapan bahwa Lukman sebenarnya adalah juga dulu muncul dari kotak.
 
 
Untuk menjawab pertanyaan di awal; Abracadabra enggak benar-benar sebuah gibberish karena tokohnya mengalami konflik dan perjalanan, masih ada narasi dan gagasan di baliknya. Kita bisa jatuh cinta sama film ini dari gaya dan visual dan keanehannya. Tapinya lagi, film ini memang terlalu mengandalkan gaya sehingga dunia yang diniatkan ambigu malah acakali terasa artifisial. Pembelajarannya jadi terasa minimal. Ini seperti menonton trik-trik yang sangat elaborate, yang bahkan belum semuanya fasih dilakukan, untuk pertunjukan sesimpel mengeluarkan kelinci dari dalam topi.
The Palace of Wisdom gives 5 gold stars out of 10 for ABRACADABRA.

 
 
 
That’s all we have for now.
Mantra sesungguhnya dalam film ini adalah “dari debu kembali menjadi debu”.. menurut kalian apakah makna dari kalimat tersebut? Apa kepentingannya terhadap perkembangan karakter Lukman?
 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

My Dirt Sheet Top-Eight Movies of 2019


 
Selamat tahun baru, semuanya!
Sebelum kita digempur oleh reboot-reboot yang bakal bikin ribet saat menyebutkan nama judul karena harus menyertainya dengan angka tahun pembuatan (“Film A yang mana, yang jadul apa yang 90an?” / “Bukan, A yang 2020”), dihebohkan oleh superhero-superhero lokal, dan dikecewakan oleh lebih sering lagi animasi-animasi yang di-live action-kan tahun ini, aku ingin ngasih tahu bahwa sebenarnya 2019 adalah tahun yang cukup mengesankan dalam bahasan film.
Bagai mesin yang panasnya lama, 2019 dimulai dengan relatif adem ayem. Rapor film cawu I My Dirt Sheet aja boringnya luar biasa. Enggak ada yang spesial. Menjelang pertengahan tahun, baru mulai kelihatan riak-riaknya. Akhir tahun buatku yang paling mengejutkan. Emosi benar-benar diaduk oleh banyaknya film-film bagus, dengan film-film jelek dan film produk gak mau kalah. Genre-genre film mainstream hadir dengan berisi. Film-film art tampil dengan merakyat. Secara objektif, sebaran yang bagus enggak banyak peningkatan dibanding tahun sebelumnya. Film-film yang dapat skor 8 masih sedikit, meski 7 lumayan banyak. Namun ada lebih banyak film yang menyenangkan, menghibur; ada lebih banyak film yang dapat .5 yang berarti aku dapat begitu banyak favorit untuk bisa dimasukkan ke daftar yang bias dan subjektif kali ini.
Untuk membuat semakin menggelinjang, tahun ini aku mengupdate rule dalam menyusun daftar top-8. Bukan hanya sudah ditonton (bioskop atau bukan), sekarang aku hanya akan memasukkan film-film yang sudah kureview saja – hanya film-film yang masuk di rapor film cawu I,II,III (rapor ini kupos empat bulan sekali, look out for these). Tahun 2019 aku telah mereview 136 film. Aku gak nonton semua film yang beredar, tentu saja, aku bukan manusia super haha. Dan itu bukan jumlah yang banyak – apalagi 15 di antaranya sudah masuk daftar Kekecewaan Bioskop 2019. Jadi untuk top list kali ini, aku harus membatasi honorable mentions supaya persaingan semakin ketat dan daftarnya bisa lebih seru lagi.
 

HONORABLE MENTIONS

  • 27 Steps of May (film Indonesia terbaik; salah satu yang terpenting sepanjang tahun 2019)
  • Crawl (horor efektif manusia melawan buaya, tanpa ada twist dan political agenda ribet di antara mereka)
  • Dolemite is My Name (biografi komedi panutan buat yang mau nekat bikin film sendiri)
  • Imperfect (semua cewek harus nonton ini!)
  • Instant Family (drama keluarga menyenangkan yang mengingatkan cinta tak melulu datang dari rantai DNA)
  • Knives Out (misteri pembunuhan dengan twist unik dan bobot keren soal masalah ketakutan terhadap imigran)
  • Marriage Story (observasi proses perceraian yang sebenar-benarnya, dan ini melibatkan proses hukum dan perasaan yang sama getirnya)
  • My Dad is a Heel Wrestler (dengan indah dan penuh hati mengajarkan kepada anak-anak semua pekerjaan sama pentingnya)
  • Pretty Boys (kalo film ini mengajarkan semua pekerjaan sama pentingnya kepada orang dewasa; personal look pria terhadap dunia televisi)
  • The Farewell (terenyuh sekali nonton drama komedi yang berurusan dengan cara mengucapkan selamat tinggal ini)
  • The Irishman (kita tahu ini salah satu terbaik Scorsese saat begitu terinvest kepada tokoh utama yang kriminal)
  • The Peanut Butter Falcon (tontonan yang menghangatkan jiwa membuat mikir dua kali sebelum meremehkan mimpi orang lain)
  • Toy Story 4 (mainan-mainan ini sekali lagi akan bermain dengan perasaan kita)
  • Us (Jordan Peele kembali menakuti kita dengan komentar sosial, kali ini tentang privilege)
  • Weathering with You (salah satu pencapaian visual terindah di 2019; cara terbaik ketika bicara tentang cuaca!)

Special shout out buat Avengers: Endgame yang ulasan filmnya mendapat jumlah view terbanyak di My Dirt Sheet tahun 2019.
 
 
Top-8 yang bakalan kalian baca di bawah, aku menganggap semua sudah menonton filmnya, jadi spoiler, beware. Penjelasannya pun bisa jadi bakal sangat subjektif, jadi jangan tanya lagi kenapa jika ada satu film enggak ada, atau soal urutan yang ‘bagusan yang nomor 6 deh dibanding yang nomor 2’. Bagi yang pengen membaca penilaian lengkap filmnya yang lebih objektif, kalian bisa klik masing-masing judul film untuk membuka halaman ulasan film tersebut.
 
 

8. JOKER

Director: Todd Phillips
Stars: Joaquin Phoenix, Robert De Niro, Zazie Beetz, Frances Conroy
MPAA: R for strong bloody violence, disturbing behavior, language and brief sexual images
IMDB Ratings: 8.7/10
“I used to think that my life was a tragedy, but now I realize, it’s a fucking comedy.”
Saking manusiawi dan mengenanya emosi yang dikeluarkan, Joker menjadi film yang paling polarizing di tahun 2019. Beberapa penonton menyukainya, beberapa lagi takut akan kenyataan film ini banyak yang suka.
Joker adalah orang jahat. Dia membunuhi orang. Dia menginginkan dunia kacau. Film ini dengan hebatnya menempatkan kita di sepatu Joker, sampai kita merasa kasihan kepadanya. Inilah yang membedakan Joker dengan Taxi Drivernya Scorsese. Joker actually memang meminta kita melihat dari sudut pandang si jahat. Ada satu adegan Joker membunuh teman yang mengonfrontasi dirinya perihal pistol, dan kita malah bersimpati pada Joker karena segaris dengan sudut pandangnya bahwa ia dijebak oleh si teman. Padahal tidak. Joker adalah orang sakit di dunia yang sakit.
Buatku ini adalah tanda dari film yang bagus. Berbahaya, ya, tapi hanya bagi penonton yang tidak cakap dan salah mengenali. Selain sudut pandang, film ini juga punya banyak adegan bernada sureal yang semakin menguatkan humanisasi gelap dari manusia yang seluruh hidupnya adalah tragedi.
My Favorite Scene:
Setiap kali Joker menari, di momen-momen emosi yang sebenarnya enggak cocok untuk dipakai berjoged.

 
 
 
 
 

7. READY OR NOT

Director: Matt Bettinelli-Olpin, Tyler Gillett
Stars: Samara Weaving, Adam Brody, Mark O’Brien, Henry Czerny
MPAA: R for violence, bloody images, language throughout, and some drug use
IMDB Ratings: 6.9/10
“Maybe we deserve to burn.”
This is a pure blast! Ingat sejak dua tahun belakangan narasi wanita kuat dan pemberdayaan wanita atas tradisi jadi tren? Yah, film ini menceritakan itu dengan lebih simpel tapi tetap dramatis dan penuh gaya.
Grace bukan hanya melawan orang-orang yang memburunya. Grace melawan tradisi. Berusaha survive dari gagasan dirinya harus sesuai – memenuhi syarat – masuk ke satu ‘keluarga’. Sebagai horor film ini bekerja dengan baik karena punya aksi-aksi berdarah sebagai wujud dari simbol betapa mengerikannya pengaruh sebuah tradisi atau kepercayaan. Sebagai komedi, film ini bekerja terbaik, karena sajiannya yang menghibur penuh oleh kelucuan. Bahkan adegan orang terbunuh saja dibuat lucu.
Samara Weaving benar-benar jagoan di sini. Aku benar-benar suka pada penampilannya, dan itu mungkin karena bibirnya mengingatkanku kepada… ah sudahlah.
My Favorite Scene:
Gaun pengantin yang dikenakan Grace actually adalah karakter tersembunyi. Gaun itu menyimbolkan sesuatu yang tadinya harus ia kenakan, menjadi sesuatu yang ia kendalikan. Adegan favoritku adalah ketika Grace merobek gaunnya, menggunakannya sebagai bagian dari survival.
http://www.youtube.com/watch?v=6JDugxhF_cg
 
 
 
 

6. THE NIGHTINGALE

Director: Jennifer Kent
Stars: Aisling Franciosi, Baykali Ganambarr, Sam Claflin 
MPAA: R for strong violent and disturbing content including rape, language throughout, and brief sexuality
IMDB Ratings: 7.3/10
“”It’s the law”, cried the thief.”
Jennifer Kent baru membuat dua film. Yang pertama adalah The Babadook yang jadi film juara satu-ku di tahun 2014. Dan yang satunya lagi adalah thriller sejarah Australia ini. Film ini kayak Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak, tapi lebih ganas, menakutkan, dan bikin kita lebih geram kepada kemanusiaan. Ada begitu banyak adegan kekerasan disturbing karena melibatkan anak kecil dan wanita, sampai-sampai tokoh-tokoh film ini – penampilan mereka seperti udah bukan akting – semuanya diberikan konseling kejiwaan.
Gagasan yang ingin diangkat oleh sutradara Jennifer Kent tidak sesederhana kejahatan akan mendapat balasan. Tidak, karena kekerasan yang akan berbuntut pada kekerasan hanya akan membentuk lingkaran setan kehancuran manusia yang akan terus bergulir. Kent justru mengangkat pertanyaan ‘bagaimana jika ada cara lain di luar balas dendam’. Dan terutama, ‘masihkah kemanusiaan itu akan ada di dunia yang penuh dengan kekerasan’.
Film ini keras, susah untuk disaksikan karena kontennya yang no holds barred, namun merupakan salah satu film terpenting bagi siapapun yang ingin merasakan kemanusiaan.
My Favorite Scene:
Revenge story semacam ini biasanya selalu menampilkan adegan pembunuhan pertama oleh tokoh utama sebagai sesuatu yang amat pahit, berkesan, menyayat, powerful. Dalam film ini, first kill tokohnya sangat luar biasa. Sayang, aku gak nemu potongan klipnya – sepertinya karena terlalu graphic.
 
 
 
 
 

5. FORD V FERRARI

Director: James Mangold
Stars: Matt Damon, Christian Bale, Josh Lucas, Noah Jupe
MPAA: PG-13 for some language and peril
IMDB Ratings: 8.3/10
“We’re lighter, we’re faster, and if that don’t work, we’re nastier.”
Kita gak suka balap? Who cares! Film adalah soal manusia-manusianya dan Ford v Ferrari menghadirkan dua tokoh yang begitu dekat. Bukan karena mereka tokoh asli yang pernah hidup di bawah mentari yang sama dengan kita. Melainkan karena mereka juga berjuang supaya bisa mengerjakan hal yang mereka cintai. Sama ,kan, kayak kita.
Kalian gak suka biografi karena berat dan lambat? Who CARES! Film ini akan membuktikan bahwa biografi enggak melulu berkaitan dengan cerita berat. Malahan film ini akan sangat crowd-pleaser. Percakapannya enggak pernah membosankan, karena penampilan yang total dari para pemain. Humornya juga lucu dan gak receh. Dramanya gak lebay melainkan penuh emosi yang terasa fully-earned, gak dibuat-buat.
Dan balap mobilnya? Man, gak suka balap juga pasti akan duduk sambil jingkrak-jingkrak deh melihat serunya balapan dan konflik yang melatarbelakanginya.
My Favorite Scene:
Sepanjang film aku mencubit-cubit lenganku karena geram melihat si tokoh korporat penjilat. Aku kasian sama si Miles yang disuruh mengalah tapi kemudian malah ditipu oleh timnya sendiri. Tapi film memasukkan sekilas, hanya beberapa detik adegan Miles kontak mata dengan bos Ferrari, lawan tandingnya. Dan ini buatku adalah adegan yang sangat powerful.
http://www.youtube.com/watch?v=E1Uvet8wbmA
 
 
 
 
 

4. ONCE UPON A TIME… IN HOLLYWOOD 

Director: Quentin Tarantino
Stars: Leonardo DiCaprio, Brad Pitt, Margot Robbie, Al Pacino
MPAA: R for language, some strong graphic violence, drug use, and sexual references
IMDB Ratings: 7.8/10
“It’s the actor’s job to strive for one hundred percent effectiveness. Naturally, we never succeed, but it’s the pursuit..that’s meaningful.”
Aku selalu ‘lemah’ sama film-film yang menunjukkan tentang pembuatan dan bisnis film, dan karya ke-9 dari Quentin Tarantino ini buatku too much to handle. Aku menonton ini hampir-hampir pingsan kelelahan karena menahan diri begitu kuat untuk enggak loncat-loncat menahan girang. That’s how good this movie is for me.
Kata orang, ini adalah surat cinta Tarantino buat cinema. Dan memang sedemikian kuat passion sang sutradara terasa. Ia mereka ulang salah satu hari gelap dalam sejarah Hollywood, dan memasukkan fantasi sendiri. Lewat dua tokoh – bintang film dan stuntman-nya – kita meliha cerita pahlawan di tanah rekayasa yang begitu menyentuh dan lumayan pahit. Meskipun overall film ini amat sangat kocak.
Film ini nyaris tiga jam, tapi aku gak masalah menyaksikannya berulang kali. Malahan katanya tahun ini bakal rilis versi uncut empat jam; AAAAA, I CAN’T WAIT!
My Favorite Scene:
Adegan dengan flamethrower di akhir adalah yang langsung terpikir kalo mengingat film ini. Tapi actually ada banyaaak adegan keren sepanjang durasi. Dan kalo dipikir-pikir lagi, buatku adegan Rick Dalton berusaha tampil prima berakting saat hatinya ragu dan insecure-lah yang mencuri piala sebagai adegan paling favoritku di film ini
http://www.youtube.com/watch?v=E6nGlUGnfQ4
 
 
 
 
 

3. PARASITE

Director: Bong Joon Ho
Stars: Kang-ho Song, Sun-kyun Lee, Yeo-jeong Jo, So-dam Park
MPAA: R for language, some violence and sexual content
IMDB Ratings: 8.6/10
“If I had all this I would be kinder.”
Dalam Parasite ada adegan hujan deras, di rumah orang kaya yang letaknya agak tinggi di atas hujan itu tampak begitu indah, romantis, sejuk. Namun di rumah orang miskin yang letaknya nyaris di bawah tanah, hujan itu menenggelamkan, ganas. Dingin.
Kejeniusan dari Parasite adalah mengontraskan dunia kaya dan dunia miskin, membuat tokoh-tokohnya berjuang merebut kekayaan dengan cara yang hanya Bong Joon-Ho yang bisa. Tone yang kontras dihandle dengan baik sebagai perbandingan yang satir. Tidak satupun tokohnya yang satu-dimensi berkat dialog-dialog yang ditulis dengan cerdas. Film juga berani dengan visualnya. Menangani segala macam kaya-dan-miskin dalam lingkupan semua indera kita, termasuk bau – sesuatu yang jarang sekali dilakukan dengan berhasil oleh film-film lain.
My Favorite Scene: Semakin ke belakang, Parasite menjadi semakin fantastical. Ada satu adegan yang sekilas kayak konyol, namun sarat oleh pesan dan komentar sosial yang subtil. Yakni saat dua keluarga miskin berkelahi mati-matian berebut tempat di rumah orang kaya, aku suka sekali ini.
http://www.youtube.com/watch?v=jI_Gx5B46UE
 
 
 
 
 

2. THE LIGHTHOUSE

Director: Robert Eggers
Stars: Robert Pattinson, Willem Dafoe, Valeriia Karaman
MPAA: R for sexual content, nudity, violence, disturbing images, and some language
IMDB Ratings: 8.0/10
“He believed that there was some enchantment in the light. Went mad, he did.”
Film terbaik yang kutonton sepanjang 2019. Pencapaian teknisnya luar biasa. Penggunaan warna serta rasio layarnya amat mendukung rasa terkukung yang ingin disampaikan. Editingnya sangat precise, sampai-sampai kita seolah merasakan langsung kegilaan ikutan merayap ke dalam diri kita. Ini adalah film tentang dua orang yang perlahan menjadi gila berada di pulau terpencil berdua saja untuk waktu yang lama. Dan semakin mereka tumbuh rasa curiga, rasa takut, merasa semuanya enggak beres, kita juga turut merasa begitu. Pada satu titik kita enggak tahu lagi mana yang benar.
Meskipun dialognya aneh dan ‘kuno’, namun tidak sekalipun film ini terdengar kaku. Yang menjadi bukti film ini punya arahan dan penampilan akting yang meyakinkan dan sangat kuat. Horor yang dihadirkan di sini adalah horor psikologis. Ada misteri yang berjalan di dalam dunia film, tapi kita bahkan enggak yakin dari mana kengerian dan misteri itu berasal.
Ini adalah jenis film yang jika ditonton lima orang, maka lima-limanya akan menghasilkan interpretasi yang berbeda. Ada begitu banyak adegan simbol dan kiasan yang memiliki makna berbeda tergantung masing-masing yang menonton. Di atas semua itu, film juga gak sok penting dan sok ribet, dia masih bisa bercanda dengan fart jokes di sana-sini. Aku menunggu-nunggu karya Robert Eggers berikutnya setelah The Witch yang jadi runner-up Top-8 ku di 2016, dan tahun ini dia kembali dengan tak mengecewakan.
My Favorite Scene:
Serius, aku tanya. Kapan lagi. Kita melihat adegan. Robert Pattinson dimarahi Willem Dafoe. Karena gak suka lobster yang ia masak?
http://www.youtube.com/watch?v=WBZwUdJFnhw
 
 
 
 
 
Kita beruntung masih bisa menyaksikan film dari master-master kayak Tarantino, Joon-Ho, bahkan Scorsese. Kita juga dapat comeback dari director-director muda yang ‘baru’ menghasilkan karya kedua, and it’s amazing! Seperti Jordan Peele yang debut Get Out dan sekarang Us – walaupun keduanya masih berkutat di ‘honorable mentions’/. Ada Jennifer Kent yang pernah jadi juaraku, dan sekarang muncul kembali masuk di Top-8 posisi 6. Ada Robert Eggers yang kembali menempati runner up. Sebenarnya tahun ini ada lagi yang comeback, yakni Ari Aster, yang tahun kemarin di posisi puncak dengan film debutnya; Hereditary. Bisakah Ari Aster dapat juara berturut-turut?
Atau mungkin tahun ini giliran film Indonesia? Dua sutradara master kita juga bersaing dengan film masing-masing. 2019 juga diisi oleh banyak film dari sutradara-sutradara debutan, apakah salah satu dari mereka yang bakal menempati posisi pertama dan mengukir sejarah My Dirt Sheet?
Jawabannya setelah iklan meme Joker dengan lagu WWE dariku berikut ini!
 


 
 
 
Oke, film nomor satuku di 2019 adalah:
 

1. FIGHTING WITH MY FAMILY

Director: Stephen Merchant
Stars: Florence Pugh, Vince Vaughn, Nick Frost, Dwayne Johnson
MPAA: PG-13 for crude and sexual material, language throughout, some violence and drug content
IMDB Ratings: 7.1/10
“Dick me dead, and bury me pregnant”
Jika kalian bisa nonton dan suka film balap, padahal gak suka balap, maka you’d definitely watch and like this movie too.
Dan aku bukan sekadar bias hanya karena suka gulat dan actually memfavoritkan Paige sebagai pegulat wanita revolusioner yang jadi tokoh utama cerita ini. Film bertema gulat secara mengejutkan ada tiga di tahun 2019. Tiga-tiganya bagus. Dua di antaranya nongkrong di Honorable Mentions. Fighting with My Family adalah yang paling grounded dan ringan dan menyentuh. Film ini digarap oleh Stephen Merchant, yang juga baru dua kali nyutradarain film panjang, dan dia bukan penggemar gulat. Namun dia berhasil menangkap esensi cerita dan punya gagasan sendiri yang sangat beresonansi dengan penonton.
ini adalah film crowdpleaser dengan formula yang sama kayak film-film tinju ataupun film tentang kompetisi. Tapi penampilan dan naskahnya tergarap dengan luar biasa baik. It is really inspiring. Drama keluarga dan konflik-konfliknya akan sangat menyentuh. Bayangkan kita dan saudara kita punya mimpi yang sama, tapi hanya satu dari kita yang dapat kesempatan – dan kita menyadari kita justru dapat kesempatan itu dari saudara yang kita ‘kalahkan’ tadi. Inilah yang dibicarakan oleh film ini. Bukan glorifikasi dunia gulat, melainkan fokus pada hubungan manusia yang semuanya punya keinginan untuk menang namun dunia simpelnya tidak butuh setiap orang untuk jadi pemenang.
Aku nonton ini sudah berulang kali. Tapi aku gak sanggup untuk melihat adegan Paige ‘diabaikan’ oleh abangnya karena cemburu saat mereka bertanding di arena keluarga. Sebegitu mengenanya emosi di adegan tersebut. Aku benar-benar gak nyangka film yang bahkan gak masuk di bioskop Indonesia ini, yang bersetting gulat yang sering diremehin orang, bisa mengandung cerita keluarga yang semenyentuh dan sehangat ini.
My Favorite Scene:
Film ini juga sangat lucu. Meskipun kadang lucunya awkward dan gak untuk semua orang. Favoritku adalah adegan The Rock menelfon keluarga Paige untuk memberikan suatu kabar. Reaski Nick Frost sangat kocak. Dan lihatlah ekspresi Florence Pugh saat menatap The Rock, seperti menatap idola sungguhan!

 
 
 
 
 
That’s all we have for now.
2019 tidak berlanjut sebagaimana yang kuharapkan di akhir 2018. Tapi ternyata masih menyiapkan kejutan menyenangkan. Aku pun masih optimis perfilman akan semakin mendekati nilai keseimbangan antara industri mainstream dengan ideal dan ala arthouse. Yang jelas, semoga cerita-cerita bersambung yang sengaja dipotong segera enyah dari dunia sinema.
Bagaimana dengan kalian, film 2019 apa yang menjadi favorit kalian? Apa harapan kalian untuk film di tahun 2020?
Share with us in the comments 
 
Oh ya, untuk merayakan satu dekade My Dirt Sheet; nantikan artikel khusus Champion of Champions: My Dirt Sheet Top Movie of a Decade (2010-2019) segera!!
Remember, in life there are winners.
And there are…

We?
We are the longest reigning PIALA MAYA BLOG KRITIK FILM TERPILIH.