DREADOUT: Menjawab Ketakutan Para Fans – [Movie Preview]

 

Film horor Indonesia pertama yang diangkat dari game!

um… wait, let me rephrase that..

Game Indonesia pertama yang begitu sukses secara internasional akhirnya diangkat menjadi film!!!

panjang, but I like the sound of that better.

 

Karena DreadOut buatku, dan aku yakin buat penggemar game survival-horror lainnya juga, adalah game yang fenomenal. Aku malah pertama kali tahu game ini dari channel youtuber luar. Padahal game PC ini terlahir di Bandung, lho! Melalui crowdfunding, developer Digital Happiness berhasil mewujudkan khasanah mitologi horor lokal, terinspirasi dari mekanik game Fatal Frame (2001) dari Jepang, menggabungkan dua elemen tersebut membentuk dunia dan atmosfer yang nyata-nyata fresh nyeremin, seketika membuat para gamer di seluruh dunia berlomba-lomba untuk berpetualang motoin hantu bersama tokohnya, Linda. Jadi, mengatakan ini film pertama yang berani mengadaptasi dari game (lewatlah sudah adaptasi novel dan personal literatur) terdengar agak sedikit ‘mengecilkan’ di telingaku, lantaran, enggak setiap hari kita melihat ada game buatan Indonesia yang menarik perhatian dunia seperti yang berhasil dilakukan oleh game Dreadout. It was more than deserved to have its own movie. Dan lagi, buatku yang penggemar film, sekaligus penggemar game, also, horor adalah genre favoritku untuk keduanya, Dreadout adalah kulminasi dari apa yang namanya ultimate entertainment.

Fans sudah lama bermain-main dengan kemungkinan misteri Linda dengan The Lady in Red diangkat ke layar lebar. Beruntung produser Wida Handoyo
(Petak Umpet Minako)
yang kebetulan juga penggemar horor, dan pengembang DreadOut Rachmad Imron, peka dan actually listen to the fans, and long story short, ini teaser film DreadOut garapan mereka:

 

 

Tapi…. kok agak lain ya?

Seperti lumrahnya film adaptasi video game di luar negeri, DreadOut ini cukup ‘mengerikan’ buat fans gamenya. Karena ada ekspektasi, ada standar yang sudah di-set. Apakah film ini nantinya akan sesuai dengan ekspektasi. Kita takut filmnya nanti enggak sama. Takut kalo nanti hanya berupa proyek cari duit yang gagal paham mengenai apa sih yang membuat gamenya dicintai in the first place. Aku punya segudang pertanyaan yang menumpuk setelah melihat teaser tadi, to be honest, sebagian besar berupa keraguan.

Beruntung, Minggu tanggal 11 November lalu, aku dapat kesempatan duduk semeja bareng cast dan pembuat film DreadOut. Di antaranya ada Caitlin Halderman, Irsyadillah, Wida Handoyo, dan Rachmad Imron. Kita cuap-cuap seru seputar film ini. Pertanyaan pertamaku literally apakah pocong naik motor bakal ada dalam film hahaha.. Jadi ini dia, lima hal yang dikhawatirkan oleh para fans, dijelaskan dengan penuh passion oleh tim DreadOut:

 

Ceritanya kok beda?

Game DreadOut menceritakan tentang Linda bersama teman-teman sekolah dan ibu Guru mereka yang ‘terdampar’ di sebuah kota mati. Linda menemukan dia bisa melihat makhluk gaib lewat smartphonenya. Sebagai pemain, kita memerankan Linda; menguak misteri di kota, di sekolah kosong, di bangunan-bangunan angker, motoin hantu-hantu yang muncul sebagai cara untuk survive. Ada tema reinkarnasi pada plot game. Dari teaser, set versi film memang cukup mirip, hantu-hantunya bisa kita kenali, tapi ada sedikit perbedaan dari rangkaian adegan. Menurut sinopsis, film ini bakal bercerita tentang Linda dan teman-teman sekolahnya yang berkunjung ke apartemen kosong, dalam usaha mereka mencari konten yang bisa viral. Mereka menemukan portal ke dunia lain, dan semua kengerian terlepas dari sana. Tokoh-tokohnya pun ada yang tidak kita tahu. Seperti Irsyadillah, salah satu cast yang hadir malam itu, yang memerankan Beni – tokoh yang tidak ada di game.

Mbak Wida dan mas Imron menjelaskan, naskah film yang dikembangkan dalam empat tahun ini (gamenya rilis 2013) dikawal ketat oleh pengembang game. Perbedaan yang kita rasakan di teaser dikarenakan film DreadOut mengambil timeline sebelum kejadian yang dialami Linda di dalam game. IT’S A PREQUEL STORY. Film basically membawa kita berkenalan dengan Linda lebih jauh lagi, siapa dirinya, darimana dia mendapat ‘kekuatan’ bisa melihat makhluk halus lewat media tertentu. Film ini membahas akar dari mitologi semesta DreadOut, termasuk menggali lebih dalam hubungan Linda dengan Lady in Red dan The Three Sisters yang jadi bos terakhir dalam versi game.

 

 

Kok Kimo Stamboel sih?

Jika memikirkan sutradara Kimo Stamboel dan video game dalam satu frame konteks, maka aku akan kepikiran Mortal Kombat. Rasanya lebih klop. Kimo yang rekam jejaknya menggarap horor dengan aksi brutal berdarah-darah tampak long stretch jika dikaitkan dengan DreadOut; game survival yang senjata utama protagonisnya (cewek pula) adalah kamera. Hanya ada sedikit porsi aksi dalam game yang mengutamakan menguak misteri ini. Yang aku ingat hanya ada satu adegan laga di mana kita harus kabur dari kejaran teman Linda yang berubah menjadi semacam zombie. Jadi, sebenarnya ke mana arahan film ini akan dibawa? Apakah Kimo adalah pilihan yang tepat jika mengincar horor untuk remaja?

“Awalnya, memang film ini rasa mas Kimo banget” Mas Imron mengenang kisah pertama kali proyek DreadOut mendapat lampu hijau, “Sedari bikin gamenya dulu, saya memang sudah berangan-angan kalo ntar dijadiin film, sutradaranya kalo bisa Kimo Stamboel” Harapan tersebut kewujud, karena Kimo-nya sendiri yang menawarkan diri ikut kerja sama. Ada alasannya kenapa butuh empat tahun untuk merampungkan naskah. Masing-masing kepala bekerja untuk mencari jalan tengah yang paling baik. “Semuanya terasa kekeluargaan,” kata mbak Wida. Banyaknya re-write, brainstorming ide-ide, semua saling mendengarkan dan mengisi.

Rest assured, film DreadOut akan tetap punya ciri khas Kimo sebagai sutradara, ciri yang sudah menjadi trademark dan yang digemari oleh fans – mbak Wida bilang film akan jatuh di rating 17 – dengan tidak mengenyahkan elemen-elemen yang membuat gamenya begitu diminati. Elemen seperti memotret hantu tetap dijadikan sebagai poin utama.

 

 

Lindanya gimana, gak salah casting tuh?

Aku sendiri tidak pernah begitu mempermasalahkan soal casting, malah sebagai tukang review film, aku selalu senang jika ada pemain yang berani mengambil tantangan; yakni peran di luar kebiasaan genre film yang biasa dimainkannya. Apalagi bintang muda seperti Caitlin Halderman, yang masih punya banyak untuk dibuktikan.

Sebenarnya perihal ini, mbak Wida sama mas Imron-lah yang curhat, bahwa mereka mendapat banyak komen dari fans seputar pemilihan pemain regarding penampilan fisik. “Seperti ketika banyak yang protes Lara Croft dimainkan oleh Alicia Vikander,” ujar mbak Wida. Saat mencari pemain, mbak Wida ngescout talent dengan nonton film remaja, dan dia melihat ‘sesuatu’ dari Caitlin. Dia percaya aktris remaja tersebut bisa memberikan sesuatu buat Linda. Untungnya, Caitlin enggak menolak ditawarin main horor.

“Aku gak main gamenya, karena… alasan utamanya sih takut,” gelak Caitlin, “Tapi horor adalah pertama buatku. Aku biasanya main di drama, it’s a big opportunity buatku bisa main di horor, apalagi sutradaranya mas Kimo” Caitlin lebih lanjut menceritakan gimana Kimo ngepush para cast untuk memberikan penampilan yang berbeda, yang enggak standar. “Misalnya meja gerak sendiri nih, kalo di horor lain, kan, biasanya tokohnya ketakutan tapi takutnya itu takut bengong. Nah, mas Kimo mendorong kami untuk memberikan ekspresi takut yang benar-benar mendalam dengan gestur-gestur yang ekspresif,” sambil cerita Caitlin actually memperagakan dengan kocak mana yang takut bengong, mana takut yang nyata.

tips survive di horor game ala Linda dan Beni: Ikutlah menjerit saat yang main gamenya menjerit hhihi

 

Menjalani banyak latihan fisik yang intens, Caitlin bangga bisa melakukan sendiri stun-stun ‘keras’ yang diberikan kepada tokoh yang ia perankan. “Dilempar-lempar. Ditarik-tarik pake sling. Sampe kena celurit. Prop sih, tapi luka juga hahaha” Dari pengkarakteran sendiri, banyak ruang bagi Caitlin untuk menghidupkan Linda. Dalam game, Linda kan hampir enggak ada dialog – dia tipe silent character. Jadi tugas Caitlin-lah untuk meniupkan ruh kepada tokoh ini. “Nanti setelah filmnya keluar, penonton akan melihat Linda dalam film ini dan berpikir, ya inilah Linda yang sebenarnya” kata mas Imron.

 

 

Hantunya muncul semua gak?

Sayangnya, memang tidak semua hantu yang muncul di game bisa dihadirkan di film karena cerita yang mengambil set sebagai prekuel. The Three Sisters akan banyak mendapat sorotan sehubungan cerita yang menggali latar Linda. Tapi jangan khawatir, hantu-hantu lain yang ikonik seperti pocong-pocong bersenjata akan tetap muncul. Bahkan, menurut mas Imron, secara detil Kimo memasukkan throwback elemen-elemen yang ada di dalam gamenya sebagai reference atau ajang seru-seruan yang pasti langsung bisa dikenal oleh penonton yang pernah memainkan gamenya.

Pertimbangan kemunculan hantu-hantu ini adalah mereka tidak mau mengumbar terlalu banyak, para pembuat ingin menyimpan misteri untuk kesempatan yang akan datang.

 

Jadi apakah bakal ada sekuel? What next in line dalam franchise DreadOut?

Mitologi DreadOut memang luas sekali. “Kami memang sudah membuat cabang-cabang cerita dan lore di dunia game tersebut” kata mas Imron. Gamenya sendiri sudah dalam pembuatan sekuel. Harapannya memang filmnya juga bakal ada sekuel lantaran cerita yang begitu kompleks dari semesta ini. Makanya, film DreadOut ingin tampil netral; maksudnya mereka ingin DreadOut tidak hanya membuat penasaran para gamer, namun juga para penonton yang tidak bermain game. Pasar internasional juga turut menjadi inceran mengingat gamenya sendiri memang lebih banyak menuai untung dari pasar luar. “Yang diincar terutama adalah branding productnya” sambung mbak Wida. Mereka percaya para gamer pasti akan menonton film ini, tantangannya adalah bagaimana menarik appeal dari penonton casual. Melihat dari jajaran cast yang sudah punya fans base kuat – mereka juga memasang Jefri Nichol, Marsha Aruan, Hannah Al Rashid, Ciccio Manaserro, Susan Sameh – sepertinya jumlah penonton enggak bakal menjadi masalah buat film ini.

“Kalo game sehits DreadOut yang udah terkenal di luar negeri dibikin filmnya, masa iya sih penggemar game di sini pada gak mau nonton?”

 

 

 

Jadi apakah film ini bakal terhindar dari kutukan-film adaptasi game?

Well, kita hanya bisa menjawab pertanyaan itu setelah film DreadOut tayang bulan Januari 2019 nanti.

thank you, we’ll see you soon

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Pada pernah main DreadOut belum? share dong momen terWTF kalian, hantu favorit, kejadian lucu dan segala macem hihi

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

HANUM & RANGGA: FAITH & THE CITY Review

“If you don’t stand for something you’ll fall for anything.”

 

 

Satu pertanyaan yang diangkat pada trailer film ini berdering keras di ruang telingaku yang saat itu lagi cuek bebek mainin permen karet karena aku gak biasa nonton trailer, bahkan di dalam bioskop. “Apakah dunia akan menjadi lebih baik tanpa Islam?”

Jadi ya, aku penasaran sama gagasan film ini sehubungan dengan pertanyaan tersebut yang aku yakini jadi tema besar dalam ceritanya. Aku geregetan karena lalu lintas siang tadi begitu padat. Kendaraan jalannya pada tersendat-sendat. Maju dikit, stopnya sering. Jalan sebentar, eh berhentinya lama. Perempatan yang kulewati memang terkenal macet parah lantaran lampu merah yang berdurasi cukup lama. Kalo begini bisa-bisa bisa terlambat ke bioskop! Masa aku harus mengalah sama pengemudi jalur lain. Enak aja yang belok kiri boleh jalan terus. Padahal yang punya misi di sana, yang paling berkepentingan, adalah aku; Aku harus nonton duluan supaya bisa memberi tahu dunia, menyelamatkan dompet-dompet tidak berdosa, bahwa film ini bagus atau tidak. Pernah gak sih kalian kesel jalanan jadi macet karena lampu merah. Pernah gak kalian keki karena rencana atau acara kalian jadi terlambat sebab jalanan riweuh ada razia polisi.

Apakah trafik di jalanan bakal jadi lebih lancar tanpa ada lampu lalu lintas?

 

 

Pertanyaan yang begitu menantang tersebut dijadikan konsep acara televisi yang harus digarap oleh Hanum Salsabiela (Acha Septriasa reprising her role sebagai jurnalis wanita kritis yang cerdas dan taat beragama). Sebelum berangkat ke Vienna mengikuti suaminya yang ingin menyelesaikan studi, kesempatan datang mengetuk pintu rumah Hanum. Wanita ini ditawari kerja magang di stasiun televisi sensasional, GNTV. Ditawari oleh jurnalis idolanya pula. Atas izin suaminya yang pengertian, mereka memperpanjang tinggal di New York sehingga Hanum bisa mewujudkan mimpinya mengikuti program internship tiga minggu tersebut. Tapi bekerja di GNTV berarti Hanum harus meninggalkan agamanya di luar pintu. Sebab dalam bisnis televisi, rating-lah yang menjadi Tuhan. Hanum kudu stay professional sebagai reporter. Ada pandangan mengenai bisnis di balik meja redaksi televisi yang dipelrihatkan di sini. Ada banyak pilihan yang harus diambil Hanum; apakah dia menghormati narasumber atau ikut perintah atasan demi rating. Bagaimana cara dia memperlihatkan Islam sebagai ajaran yang baik lewat acara yang sudah diset untuk memojokkan Islam – menjual drama darinya.

Sementara itu, Rangga sang suami (Rio Dewanto sebagian besar waktu berusaha tampil simpatik) mengisi hari-harinya menunggu Hanum pulang dengan mengasuh anak dari seorang single mom yang dulu pernah dibantu oleh Hanum perihal keterkaitan keluarganya dengan jaringan teroris. Jadi, benih-benih kecemburuan mulai tertanam di hati masing-masing. Di satu sisi kita punya tokoh utama yang mengejar mimpinya, berjuang dengan kondisi yang mengharuskan dia memilih antara idealisme dengan realita bisnis media yang basically adalah pilihan antara karir dengan keyakinannya. Di sisi lain ada tokoh pendamping yang melihat lebih jernih, yang peduli sama istrinya, yang rela berkorban apa saja – dia melihat istrinya menapaki pilihan yang membuatnya khawatir. Tapi semuanya menjadi personal bagi sang istri. Setidaknya ada tiga lapisan yang bekerja koheren di dalam narasi. Hanum yang berusaha mengubah pandangan media luar tentang Islam, dan dia berusaha melakukannya dari dalam. Dan yang terutama disayangkan adalah, film tak lagi bergairah menjawab pertanyaan besar yang menjadi tema utama, melainkan sibuk bermehek-mehek ria dengan lebih mengeksplorasi elemen cemburu yang dimiliki oleh cerita.

dan ada hantu Maddah di film ini hhihi

 

 

Film ini bisa bekerja lebih baik sebagai komentar soal gender-role. I do think wanita enggak kalah sama pria, you know, buktinya WWE Evolution yang isinya pertandingan cewek semua terbukti lebih menarik dibanding kebanyakan acara normal WWE. Akan menarik melihat sudut pandang wanita seperti Hanum, cukup dikaitkan saja dengan agama. Karena kita mengerti apa yang dihadapi oleh Hanum dalam film ini, kita paham konflik yang bersarang di benaknya. Bayangkan sebuah balon yang ada pemberat batunya. Lepaskan batunya, dan balon akan melayang tinggi di angkasa. Balon adalah wanita-wanita mandiri nan cerdas seperti Hanum. Terikat kepada suami oleh pernikahan dan aturan agama yang ia yakini. Dunia kerja Hanum menggebah Hanum untuk melepaskan ‘batu’nya, supaya dia bisa berkembang pesat. Kita melihat, as story goes, Hanum mulai kehilangan keyakinannya. Dia lupa bahwa karena ijin suaminya lah dia bisa magang di GNTV. Dia enggak ingat bahwa dalam ajaran agama yang ia yakini – sebagai muslim yang sedang ia perjuangkan kebenaran ajarannya – ia harus mematuhi suami. Film bisa mengangkasa mencapai bintang jika benar-benar membahas ini; jika Hanum membuat pilihan yang menunjukkan dia menemukan kembali keyakinannya. Yang menunjukkan ia sadar dan punya kounter-argumen soal jawaban Islam bukannya menghambat. Film pun bisa saja terbang cukup tinggi jika membahas dan benar-benar memperlihatkan usaha Hanum mengubah sistem media atau pertelevisian dari dalam, dengan cara dan keyakinannya sendiri.

Mau tahu batu sebenarnya dalam kasus film ini? Elemen cemburu dan drama cintanya-lah yang sejatinya sebagai penghambat utama film ini menjadi sebuah cerita yang hebat. Adegan endingnya sendiri sebenarnya udah bener. Hanya saja, menjelang ke sana; momen relevasi film ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan ‘faith’ yang diumbar menjadi judul dan tema cerita. Hanum tersadar bukan karena keyakinan ataupun pemikiran sendiri, melainkan karena pengungkapan oleh satu tokoh. Jalan keluar datang dari kemampuan tokoh lain. Sepintas memang terlihat seperti Hanum adalah tokoh yang paling berjasa. Tapi jika diselidik lebih dalam, Hanum enggak benar-benar berbuat apa-apa secara langsung. Dia tidak mengubah keadaan kantornya. Dia bahkan enggak mengejar suaminya, padahal katanya ini film kesetaraan wanita. Yang ada, Hanum menjadi sama aja seperti media yang ia lawan; ia mengekspos kejelekan seseorang yang sudah memberinya makan. Orang-orang di sekitarnya terlihat lebih punya ‘faith’ ketimbang Hanum. Pada akhirnya, Hanum tetap menjadi tokoh yang paling tidak punya keyakinan pada cerita ini, bahkan si jurnalis ‘jahat’ saja punya pandangan yang terus ia junjung. Makanya dia begitu rapuh dan gampang terbawa pengaruh. Hanum hanya bergerak berdasarkan drama egonya. Dia tampak bangga sebagai korban, pada sekuen acara peringatan 9/11 yang disiarkan live. Cerita wanita yang kuat semestinya berakhir seperti pada Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak (2017); dia merebut kendali, menolak dilabeli sebagai ‘si korban’

Hanum dalam film ini malah membuktikan stereotipe kuno bahwa bagaimana pun juga, betapapun tinggi pendidikannya, wanita tetaplah mendahulukan perasaan. Bukan pemikiran, bukan pula iman. Yang mana bertentangan sekali dengan pesan yang berusaha disampaikan oleh cerita.

 

Elemen dramatis film ini menciptakan banyak adegan yang gak make sense. Bahkan stake yang dikenai ke Hanum tak pernah benar-benar masuk akal buatku. Aku gak mengerti kenapa Hanum tidak berhenti saja setelah tugas interview pertama. The one that got high rating dan yang bikin Hanum ketiban bonus gede. Oh yea, mungkin karena bonusnya itu ya. Hanum sebenarnya bisa berhenti kapan saja. Untuk memanjangkan cerita, maka film butuh elemen drama yang menjadi masalah terbesar seperti yang kutuliskan tadi. Aneh sekali ada tokoh yang dengan penuh keteguhan hati mengucapkan “Aku single parent, aku harus bisa ngerjain apa aja sendiri” padahal kita lihat adegannya ia sedang meminta tolong kepada Rangga untuk membetulkan pipa air keran. Dan buatku adalah konyol dan maksa banget gimana penokohan Hanum dituliskan di film ini. Bagaimana mungkin jurnalis, yang pintar dan gak ecek-ecek seperti dirinya, yang tahu persis cara kerja media, bisa kesulut oleh desas-desus dan kebakar oleh foto-tanpa-konteks yang ia terima dari pesan whatsapp? Logika tokohnya enggak klop, enggak masuk akal buatku.

ganti aja judulnya dengan Feeling in the City

 

 

Film ini masih bisa bekerja kok tanpa drama yang dibuat-buat. Tantangan nyata yang dihadapi wanita Islam di dunia modern, kurang menyentuh apa coba. Mengubah sistem dengan kemampuan sendiri, sembari berpegang teguh pada keyakinan sendiri; kurang menginspirasi gimana coba. Tapi film memilih untuk menahan laju film, menambatnya dengan menjadikan dramatisasi kecemburuan wanita terhadap pasangannya sebagai poin utama. Melihat dari pengungkapannya, semua kejadian di film ini tidak perlu kita lalui jika saja salah satu tokoh menceritakan yang ia tahu kepada Hanum – naskah berusaha keras menjauhkan dua tokoh ini hingga babak akhir dan kita mendapat cerita dengan stake gak make sense karenanya. Pertanyaan di atas memang enggak benar-benar terjawab oleh cerita. Tapi setidaknya, kita punya satu pernyataan pasti buat film ini. This story will be a better movie without tear-jerker no sense drama.
The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for HANUM & RANGGA: FAITH & THE CITY.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Benarkah pria lebih unggul dari wanita? Kenapa menurut kalian istri harus meminta izin kepada suami?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

 

THE NUTCRACKER AND THE FOUR REALMS Review

“With realization of one’s own potential and self-confidence in one’s ability, one can build a better world.”

 

 

 

Kurang garam rasanya kalo Disney tidak bercerita tentang Princess atau tentang anak yang ditinggal mati oleh orangtuanya. The Nutcracker and The Four Realms benar mengikuti formula serupa; Clara, si tengah dari tiga bersaudara, merasa ‘ditinggalin’ oleh ibunya yang telah tiada. Kakaknya mendapat gaun, adiknya diwarisi mainan tentara, dan dia; sebuah telur mekanik yang bahkan tidak bisa dibuka karena sepertinya Ibu lupa memberikan kuncinya kepada Clara. Ibu hanya melampirkan secarik tulisan, “Di dalamnya kamu akan mendapatkan semua yang kau perlukan” begitu bunyinya kurang lebih.

Jika Alice mengikuti kelinci, maka Clara masuk ke dunia fantasi setelah mengikuti benang emas di rumah kakek walinya, Morgan Freeman dengan eye-patch ala bajak laut. Clara disambut baik oleh penghuni dunia sana – manusia serdadu-mainan Nutcracker, manusia bunga, manusia es, dan manusia yang rambutnya terbuat gulali. Dengan segera Clara mengetahui dunia yang terdiri dari empat realm berbeda tersebut adalah ciptaan ibunya. Sang Ibu adalah Ratu di sana, membuat Clara Stahlbaum menjadi seorang Putri. Sebagai seorang Putri, Clara harus mengupayakan kedamaian di sana,  sebab ada satu realm, though, dihuni oleh tikus dan mainan, mereka gak akur dengan penduduk realm lain. Mereka bahkan mencuri kunci emas yang dicari Clara. Kunci penting membuka telur, dan rahasia di balik dunia yang dibuat oleh Ibu Clara.

Oh, Clara juga Ratu sih; ia memerintah dengan Hukum Fisika

 

Melanjutkan tema protagonis wanita masa kini yang mandiri, kuat, tanpa harus mementingkan punya pasangan kekasih yang sudah diusung Disney semenjak Frozen (2013), Clara akan menginspirasi anak-anak cewek kekinian berkat kepintaran dan keberaniannya. Daripada berdansa, Clara lebih suka merakit mekanisme untuk menangkap tikus. Tentu saja, membantu sekali fakta bahwa Mackenzie Foy is absolutely stunning. Antara presence-nya dan cerita dongeng ini, benar-benar sebuah peristiwa yang magical. Meskipun kadang aksennya sedikit goyah, namun Foy (pasti banget masuk nominasi Unyu op the Year tahun ini!) bermain dengan mantap. Entah itu menghadapi pasukan tikus yang bersatu membentuk tikus raksasa, menyisir pinggiran tebing yang basah dan dihuni kelelawar, ataupun memimpin serdadu menembus belantara hutan, Clara jarang sekali menunjukkan ekspresi ketakutan. Kevulnerabelan tokoh ini mudah direlasikan oleh semua orang; ketidakpercayadirian itu kadang menerpa di saat kita paling butuh untuk merasa berani.

Kadang kita butuh orang lain. Bukan untuk disuruh memuji dan mengelu-elukan kita sampai terbang. Bukan untuk diperintah melakukan hal yang tidak kita bisa. Tapi untuk mengingatkan siapa sebenarnya diri kita. Kekuatan dan kelemahan yang ada pada diri, sering kita lupa sehingga berputus asa. Padahal kita selalu punya semua yang kita butuhkan, kita hanya lupa dan butuh teman untuk mengingatkannya.

 

Dalam upayanya lolos dari Bechdel Test – tes kecil-kecilan untuk menentukan film punya karakter wanita yang ‘kuat’ dengan syarat: ada dua tokoh wanita yang saling bicara dan tidak membicarakan soal pacaran – cerita film ini diadaptasi dengan sedikit mengerdilkan beberapa aspek pada material aslinya. The Nutcracker berasal dari pertunjukan balet hasil saduran cerita The Nutcracker and The Mouse King. Balet sendiri hanya dijadikan sebagai pemanis. Didorong jauh ke belakang sehingga adegan balet pada film ini tak lebih dari sekedar media penceritaan eksposisi. Romansa sentral dari versi asli ini diubah oleh Disney menjadi cerita kemandirian, dengan mengangkat secara tersirat hubungan antar-ras. Si serdadu Nutcracker, pada film ini diperankan oleh aktor kulit hitam Jayden Fowora-Knight, tidak terasa sepenting orang yang namanya terpampang sebagai judul film. Nama tokohnya malah baru kita dengar setelah menjelang akhir petualangan.

Kreativitas film ini – toh tidak gampang mengadaptasi sesuatu sehingga menjadi kreasi baru – tampaknya hanya berhenti pada tingkatan ‘menyederhanakan’. Seolah film ini sebenarnya punya sesuatu pamungkas; menyiapkan sesuatu yang gede, tetapi pada akhirnya ambisi tersebut melempem dan mereka membanting arahan begitu saja, melupakan apa yang diniatkan.

Sama seperti judulnya; panjang dan sulit diucapkan namun juga tidak memberikan kejelasan apa-apa sebatas dunia film ini ada empat biji, banyak elemen pada film yang dibangun menjanjikan tetapi tidak pernah berujung kepada sebuah kepuasan. Empat dunia di sini, digambarkan dengan visual yang indah – tokoh-tokohnya meriah oleh riasan dan kostum fantastis, tapi kita kehilangan sensasi eksplorasi. Kita tidak melihat bagaimana exactly masing-masing dunia bekerja. Clara hanya tur sepintas. Bahkan Realm of Amusement yang sesungguhnya adalah sebuah ide menarik menyajikan ranah mainan dan sirkus menjadi tempat menyeramkan, kita hanya diperlihatkan secuil dari apa yang bisa saja dibuat menjadi saingan Negeri Nikmat di Pinokio. Basically hanya hutan gelap dan satu tenda mekanik. Tiga pemimpin Realm yang harusnya adalah pembimbing Clara, kita hanya difokuskan pada satu yang diperankan Keira Knightley dengan suara mencicit kayak anak kecil keselek tikus. Film yang punya dunia begitu luas, dengan banyak aspek cerita yang diangkat, tidak pernah mekar sempurna hingga waktunya tiba dan pergi meninggalkan kita. Hanya mengerucut, menjadi simpel tidak tergali. Karena, guess what, film mendedikasikan diri untuk membangun twist yang bahkan enggak punya motivasi yang cukup jelas sebagai labuhan satu-satunya cerita.

Clara dan empat dunia CGI

 

Sudah cukup aneh pilihan mengubah dongeng fantasi tontonan natal untuk anak kecil menjadi cerita perang. Semakin aneh lagi jika perang yang dikobarkan cerita sama sekali tidak punya penyebab yang jelas. Penjahat-sebenarnya cerita ini pengen gitu aja menyerang dunia atau realm yang lain, dia ingin menaklukkan semua dan sebagai pembelaan dia menyalahkan ibu Clara yang sudah tega meninggalkan dunia ciptaannya sendiri. Elemen perang rebutan kuasa sendiri sesungguhnya memang ada dalam kisah orisinilnya. Apa yang dilakukan oleh film ini, sayangnya, begitu berdedikasi untuk menghadirkan twist dari elemen originial tersebut; mereka memutarbalikkan peran, dan ultimately malah menjungkirbalikkan film ini secara keseluruhan. Mereka lupa memasukkan alasan yang kuat. Seharusnya ada motivasi lebih dalam daripada sekedar grasak grusuk masuk hutan, mengobarkan pasukan, demi merebut kunci emas.

Film ini seperti mengkhianati temanya sendiri. Ini tentang self-trust, keberanian. Dengan percaya kepada kemampuan dan potensi yang kita miliki, kita bisa mencapai begitu banyak hal hebat. Bahkan menciptakan dunia. Tetapi film, ia tidak yakin bisa membangun cerita. Ada begitu banyak hal yang seperti tambalan di sana-sini. Film malah seperti dua visi yang enggak klop. Lebih seperti pengen membuat produk ketimbang dunia imajinasi yang kreatif.

 

 

 

 

Pembangunan dunia dengan ‘aturan’ dan mitosnya tak pernah lebih jauh berfungsi kepada penceritaan. Dunia-dunia tersebut tak lebih dari perkenalan, you know, supaya kalo nanti ada wahananya di Disney, fans sudah tidak bertanya-tanya lagi. Untuk orang dewasa, film ini seperti mimpi yang ngaco – yang hanya terjadi dan lantas dilupakan karena memang tidak banyak hal menarik yang patut diingat. Semuanya serba tanggung. Bagi anak-anak, ada kesenangan dan ketakjuban melihat visual yang cantik, ada petualangan yang hadir dari makhluk-makhluk dengan desain cukup menyeramkan tersebut. Ada pesan yang bisa mereka bawa pulang. Mereka akan menikmati ini sampai twist tentang perang itu muncul mengubah tone film keseluruhan. Semanis-manis kata yang bisa kita ucapkan untuk film ini, bahwa ia adalah kekecewaan yang adorable, berkat Mackenzie Foy.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for THE NUTCRACKER AND THE FOUR REALMS.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Apa makna teman bagi kalian? Mengapa kalian mau berteman dengan teman-teman kalian yang sekarang? Bagaimana kalian tanpa mereka?

Menurut kalian, bagaimana cara Ibu Clara menciptakan keempat realm tersebut?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

A STAR IS BORN Review

“Life is like a seesaw ride”

 

 

 

Sekalipun kelihatannya demikian, kesuksesan tak pernah murni suatu kebetulan. Nyatanya ia adalah rangkaian dari berbagai pilihan dan usaha yang kita buat. Yang terhubung dengan jalinan kehidupan orang lain. Jika Jackson Maine enggak kebelet minum malam itu, dia enggak akan mampir ke bar, dan tidak akan pernah bertemu dengan Ally. Atau bahkan jika aku yang berada di sepatu Jack, aku mungkin akan segera keluar begitu sadar bar yang kumasuki adalah bar waria, I would never met Ally at all. Bakat Ally pun tidak akan pernah diketemukan, dia tidak akan pernah jadi penyanyi sukses. Cinta hangat antara Jack dan Ally tidak bakal pernah kita saksikan. ‘Penyakit’ Jack-lah yang actually ngeset things in motion. Tapi akankah karir Jack masih tetap bersinar jika ia tidak pernah bertemu Ally. Apakah jika sukses kita terhubung dengan orang lain, maka kegagalan kita juga ada sangkut pautnya dengan orang lain?

Malang, memang, kisah cinta mereka harus membuat hidup seperti bermain jungkat-jungkit. Sendirian, gak bakal seru. Perlu dua orang untuk menikmatinya, tapi ini adalah sebuah kondisi di mana yang satu akan berada di bawah saat yang satunya lagi menggapai angkasa. Kondisi inlah yang sebenarnya membuat romansa Jack dan Ally begitu kuat; karena kita tahu segala macam emosi; hasrat, cinta, gairah, harapan, kesedihan, kecemburuan, melimpah ruah. Ini rupa dari cinta sejati

 

A Star is Born menceritakan kisah Jack si penyanyi rock country terkenal yang berada di ambang karirnya lantaran dia enggak bisa berhenti minum-minum. Dia bertemu dengan Ally dan bakatnya yang seketika membuat Jack terpesona. Hubungan dua orang ini, babak pertama film, penuh oleh momen-momen yang sangat menakjubkan. Aku sejujurnya jealous dengan mereka; aku berharap suatu saat bisa merasakan apa yang mereka alami. You know, jatuh cinta kepada seseorang karena kita begitu ter-mindblown oleh kemampuan mereka. Kemampuan musik yang dimiliki Ally membuat Jack merasa saklar hidupnya menyala kembali secara emosi dan creatively. Dan bagi Ally, Jack lebih dari kesempatan yang selama ini ia tunggu-tunggu. Mereka saling tertarik passionately, mereka ingin mencapai keagungan kreatif itu bersama-sama. Kita akan dibawa ke berbagai panggung penuh emosi, dan tentu saja musik-musik keren.

Bagian favoritku, dan kurasa sebagian besar kalian juga bakal setuju, adalah ketika Ally diajak ikutan nyanyi di panggung Coachella – di depan begitu banyak penonton. Ally yang selama ini hanya nyanyi di bar, dia mengaku tidak bisa masuk panggung pertunjukan karena hidungnya dinilai produser kegedean (hidung Ally, actually, akan membawa kita ke momen lain yang sama menyentuhnya), dan tau-tau dia diberikan kesempatan untuk menunjukkan bakat dan suara hatinya – menyanyikan lagu yang ia tulis sendiri. Perasaan yang dialami Ally saat itu, luapan emosi yang membuncah, yang ia salurkan lewat nyanyian, benar-benar membuatku merinding.

“Haaaa~ooooaaa~ooooaaaa~ooooo… Aku bertanya pada manusia tak ada jawabnyaaa”

 

 

Penggemar serial American Horror Story pasti masih ingat gimana intensnya Lady Gaga memainkan wanita immortal haus darah, namun begitu rapuh karena trauma masa lalu kala dia masih berupa manusia biasa. Dalam film romansa musik ini, Lady Gaga membawa keintensan emosi yang bahkan lebih kuat lagi. Meskipun, Ally tampak dibuat berdasarkan Lady Gaga sendiri. Dengan talenta seorang penampil yang luar biasa, suara yang begitu powerful, dan sedikit banyak Lady Gaga punya pengalaman sebagai seorang waitress, Ally seperti peran yang sempurna yang dibuat khusus untuk dirinya. Lady Gaga tampak bermain dengan sepenuh hati dan dia benar-benar menonjok hati kita (bukan wajah, untungnya) lewat permainan perannya di sini. Dia yang salah satu musisi paling hebat dunia, juga menunjukkan potensi yang enggak kalah gempitanya sebagai aktris.

Chemistry antara Lady Gaga dengan Bradley Cooper begitu menguar sehingga tampak mereka seperti pasangan beneran. Tidak terasa seperti akting. Kayak, kamera merekam hal yang sungguh-sungguh terjadi. Poin-poin cerita, kejadian-kejadian yang mereka lalui, sebenarnya formulaic. Terlebih ini adalah remake keempat dari source yang sama; A Star is Born orisinalnya adalah film keluaran tahun 1937. Seorang veteran yang tertarik sama bakat muda, tapi pada akhirnya keadaan mereka berbalik. Aku belum nonton satupun A Star is Born versi yang lain, tapi cerita dalam film ini, aku bahkan teringat adegan tangga di film The Artist (2011) olehnya. Apa yang diceritakan oleh film ini bukan sesuatu yang baru, tapi cara mereka dipersembahkan, penampilan-penampilan aktingnya, begitu kuat sehingga terasa bahkan lebih fresh dan nyata ketimbang biografi Bohemian Rhapsody (2018). Sangat mengesankan apa yang berhasil dicapai oleh Bradley Cooper dalam debut penyutradaraannya. Aku percaya Cooper bisa jadi sutradara hebat jika dia tetap mempertahankan gaya dan momentum filmmaking. Dia punya bakat luar biasa dalam mengontruksi adegan film.

Cooper, yang juga bermain sebagai Jack, membuktikan dia lebih dari sekedar aktor lucu di film komedi dan superhero. Cooper sebagai Jack menunjukkan banyak range emosi dan kedalaman akting. Dia enggak over-the-top memainkan seorang yang mabuk, walaupun ada satu adegan saat penyerahan Grammy naskah menuntutnya untuk menjadi pemabuk ‘jenis’ begitu. Cooper, ngerinya, tampak berusaha sadar bahkan saat kita tahu kepalanya mulai bergoyang-goyang. Dia tampak masih fungsional, dan kita takut – khawatir – dia akan mengambil keputusan yang salah. Ada kesubtilan dalam penampilannya. Cara dia berpindah dari seseorang yang ingin Ally berhasil menjadi seseorang yang sadar keberhasilan Ally tidak akan pernah sesuai dengan yang ia maksudkan, karena ia sadar bisnis mereka tak lagi sama, menghasilkan emosi yang begitu kuat menyentuh. Perjalanan Jack benar-benar dibuat terbalik dengan Ally dalam cara yang meremukkan hati – Jack semakin malu menyadari dirinya sedangkan Ally pada akhirnya berani menatap kita saat dirinya bernyanyi. Mengarahkan tokoh yang lain pun, Cooper sama pahamnya. Dia tidak membuat manajer Ally sebagai korporat satu-dimensi yang hanya peduli sama uang.

Ada satu lagi tokoh dan penampilan yang menurutku pantas untuk diganjar piala; yakni penampilan Sam Elliot sebagai abang dari Jack. Dia membantu Jack menyiapkan konser-konser, tapi harus berurusan dengan sikap negatif Jack, yang semuanya tidak ia tahu kenapa ditumpahkan Jack kepadanya. Penampilan akting yang diberikan Elliot kepada tokoh ini begitu contained, dia khawatir dan menahan marah di saat bersamaan. Speechnya kepada Ally terdengar begitu mendalam. Adegan di mobil ketika dia ‘menjawab’ tak langsung kata hati Jack yang telah sadar adalah satu lagi dari sekian banyak momen kuat dalam film ini.

Di satu sisi ada seniman yang direnggut oleh industri, dibentuk dan dibungkus menjadi sesuatu yang bukan lagi dirinya yang sebenarnya. Di sisi lain ada seniman yang sudah lama berkecimpung di industri sehingga dia punya banyak untuk dibagikan kepada bakat muda baik dan buruknya, tapi dia sudah terlalu lelah. Ada komentar yang kuat tersirat dalam cerita film ini tentang bagaimana industri hiburan – musik dalam kasus film ini – mengubah bakat dan kreativitas itu menjadi bahan konsumsi alih-alih sesuatu yang murni dari hati; bahwa seniman merasa jadi punya tanggung jawab terhadap penggemarnya.

 

coba sekali-kali kalo ketemu artis di jalan, alih-alih foto bareng untuk pamer di instagram, ajaklah dia ngobrol tentang ide-idenya, ide-ide kalian.

 

 

Bahkan dengan durasi yang mencapai dua jam lebih, film masih sedikit kesulitan menyeimbangkan pace di kala cerita butuh lompatan waktu. Ada momen seperti adegan di meja makan teman Jack, yang terasa agak terburu-buru. Seperti ada jarak development karakter yang tidak kita lihat, karena kita tidak merasakan bahwa ternyata beberapa waktu sudah dilompati oleh narasi. Masalah kecil pada penuturan sih sebenarnya, yang mungkin juga kalopun perkembangan hidup tokoh itu lebih difelsh out toh tidak menambah banyak kepada bobot, tapi tetep terasa ada yang mulus dalam perjalanan narasinya.

 

 

 

Selain hal tersebut, aku tidak menemukan kekurangan lagi dalam film ini. Akting-aktingnya memukau. Dalam dunia yang sempurna, kita akan dapat tiga nominasi Oscar dari segi penampilan, bahkan mungkin ditambah satu lagi dari kategori lain. Tapi kalo cuma satu yang masuk pun, aku gak masalah. Karena setidaknya film ini harus dapat satu ganjaran award. Musik-musiknya juga sangat asik, menyentuh dan paralel dengan cerita. Ada satu lagu Jack yang seolah ia tulis untuk dirinya sendiri di masa depan. Penulisan dan penampilan yang sangat cantik.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for A STAR IS BORN.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Kenapa kita suka foto bareng sama artis? Seberapa penting menurut kalian, gimmick terhadap penampilan seorang penyanyi atau seniman?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

BOHEMIAN RHAPSODY Review

“I feel like an outsider when I’m with my family”

 

 

Is this the real life?

Is this just fantasy?

Bohemian Rhapsody menjanjikan biografi seorang, kalo enggak mau disebut sebuah band, legenda musik rock. Namun kita hanya akan mengapung di atas rangkaian demi rangkaian perjalanan karya dan karir mereka, alih-alih dibawa menyelami kisahnya.

 

Terlahir dengan gigi ekstra ke dalam keluarga Parsi India, Farrokh dalam film Bohemian Rhapsody, hanya bangga dengan bawaan lahir yang pertama kali disebut. Menurutnya, empat gigi tambahan itu membantu menambah range vokal, senjata rahasia di balik kemampuan bernyanyi yang tak bisa disamai oleh siapapun di dunia (termasuk oleh Rami Malek, pemerannya sendiri). Dia dengan cepat mengganti nama menjadi Freddie, dan kemudian menjelang hari-hari terkenalnya, melengkapinya dengan Mercury. Menyempurnakan personanya yang mercurial; one-of-a-kind nan tak bisa ditebak.

Bahkan sebelum jadi anak band saja, keflamboyanan Freddie sudah mulai terlihat. Ini menjadi poin kunci cerita. Film tidak menerangkan dengan jelas apakah sikap dan gaya narsistiknya itu natural atau sebagai bentuk perlawanan kepada keluarganya yang konservatif, tapi yang jelas dalam lingkaran keluarga biologisnya sendiri, Freddie tidak merasa berada di tempat yang benar. Dia menemukan teman-teman band sebagai pelipur kesendirian, di mana dia merasa dirinya dibutuhkan. Queen sebagai band luar biasa dengan lagu-lagu yang susah untuk dikategorikan genrenya merupakan cerminan dari perjuangan Freddie itu sendiri, yang didukung oleh rekan-rekan anggota lainnya; keluarganya, kata Freddie. Tapi, Freddie adalah outsider seumur hidup. Cerita banyak mengeksplorasi kehidupan seksual penyanyi ini; di mana relasi asmaranya dengan seorang sahabat cewek berakhir setelah dugaan Freddie seorang homoseksual terjawab. Menjadi susah bagi Freddie untuk keep up with his families ketika keluarga bandnya tersebut beneran punya keluarga masing-masing di balik panggung, sesuatu yang tak bisa ia punya. Tapi paling enggak, dalam dua-puluh-menit konser amal terbesar tahun 1985 itu, Freddie si outsider menjadi juara dunia.

He will rock you!

 

Definitely, kisah Freddie Mercury memang punya potensi untuk diangkat menjadi biopic lumayan tragis yang penuh oleh nilai-nilai kekeluargaan. Tapi anehnya, elemen tersebut justru kurang mendapat perhatian, karena film ingin melingkupi banyak hal sekaligus. Mereka ingin mengajak kita bernostalgia juga, bernyanyi bersama lagu-lagu Queen, melihat pembuatannya. Tidak akan cukup waktu untuk ini semua. Jadi, aku mengerti kenapa film ini mendapat skor yang lumayan rendah, meski setiap orang yang kutanyai mengaku sangat ingin menontonnya. Sebagai sebuah film, Bohemian Rhapsody hanya tampil setengah-setengah, tidak ada elemen yang digali dengan sempurna. Formula yang digunakan begitu standar, dan ini ironis mengingat ada adegan di mana Freddie memaksa produser musik untuk berani memasarkan lagu mereka, karena Queen begitu unik dan menolak diseragamkan dengan formula yang ada.

Tapi, tahu enggak sih, kita gak harus nyesuaiin selera sama objektifitas para kritikus. Kita boleh aja suka sama yang gak bagus. Maksudku, aku sendiri setuju Bohemian Rhapsody bukanlah sebuah film yang hebat. Tapi hal yang paling membuatku kecewa saat menonton ini adalah bahwa kita gak boleh ikutan bernyanyi di dalam bioskop. Aku menikmati perjalanan Queen dalam merekam lagu, bagaimana mereka actually memasarkan lagu Bohemian Rhapsody yang basically enam-menit campuran kata-kata aneh, dan sekuen penutup di konser Live Aid itu, aku harus mencengkeram lengan kursiku erat-erat dalam upaya menahan diri untuk enggak berdiri dan nyanyi di atas kursi. Bisa melihat sesuatu secara kritis, bukan berarti menghalangi kita untuk menikmati sesuatu tersebut secara subjekif.

Tidak ada cela dalam penampilan Rami Malek sebagai Freddie Mercury. Jika pada film ini, Freddie berkata dia merasa sudah memenuhi takdirnya sebagai penampil, penyanyi di hadapan jutaan orang. Maka, Malek dalam film ini seperti sudah garis tangannya untuk memainkan sosok Freddie Mercury. Dan dia telah memenuhi panggilan tersebut. Seperti, dia terlahir di dunia demi film ini. Biar kita-kita yang lahir setelah jaman Queen tahu, seperti apa sosok legendaris ini baik keseharian maupun gaya panggungnya. Segala gestur, pembawaan, sikap, kecuali dialog sih ya – soalnya kadang penulisannya terdengar cheesy – fantastis sekali, kita percaya dia adalah Freddie.

kalo kalian mencari tontonan untuk halloween, kalian salah orang – freddie nya bedaaaa

 

 

Jatuh dalam perangkap biopik yang merasa perlu menceritakan sesuatu sedari awal, penceritaan film ini gak lebih menarik daripada Chrisye (2017). Buat Bohemian, ini bikin geregetan karena kita tahu ada banyak dari Freddie Mercury yang menarik untuk diangkat dan dijelajahi. Kita penasaran dari mana ia mendapat inspirasi penampilannya di atas panggung. Kita penasaran bagaimana ilham menulis lagu datang. Tapi film tidak memberikan ini. Proses kreatif Queen dalam menghasilkan lagu-lagu unik hanya diperlihatkan sebatas montase. Pun hanya ada beberapa adegan Freddie mengulik lirik di atas kertas. Sedari awal bikin band, mereka sudah terdengar seperti Queen; udah jago. Tapi mungkin juga memang begitu hebatnya Queen; mungkin mereka bisa menciptakan koreo, aksi panggung, konsep dengan sekali duduk. Mungkin Freddie memang jenius sehingga ide lagu Bohemian Rhapsody bisa muncul begitu saja di dalam kepalanya.

Kita tidak melihat cukup banyak siapa dirinya sebelum nge-band. Status keluarganya sebagai imigran tidak dikaitkan ke dalam konteks outsider yang menjadi identitas Freddie. Kita juga tidak diperkenalkan dengan betul-betul kepada anggota band yang lain. Mereka hanya ada di sana, dan meskipun sering beradu argumen dengan Freddie – mereka kadang terlihat terganggu bahkan menyindir penampilan Freddie – kita tidak pernah dibawa masuk ke dalam kepala ataupun melihat ‘masalah’ mereka. Hubungan Freddie dengan ayah dan ibunya adalah elemen yang penting, pengaruh mereka terasa dalam pembentukan karakter Freddie. Tapi pembahasan tentang mereka sedikit sekali. Mereka cuma muncul ketika naskah membutuhkan suntikan drama. Kita tidak pernah melihat bagaimana keluarga mereka ‘bekerja’ sebenarnya.

Bahagialah bagi yang punya orangtua yang mau mengerti pilihan kita, tanpa membandingkan dengan apa yang menurut mereka lebih baik. Karena Freddie tidak. Jangankan pilihan pasangan, main musik saja sudah dianggap masa depan suram oleh ayahnya. Tapi terkadang, tak ada salahnya kita mendengar nasihat mereka. Like, jika dalam anjuran mereka tidak ada yang ‘salah’ kenapa tidak coba diikuti. Dengan cara kita sendiri sekalipun.

 

 

Melihat dari konteks yang sudah dilandaskan pada adegan pembuka, sebenarnya film bekerja dengan pas di dalam konteksnya. Dan nantinya akan maju sesuai dengan pembelajaran yang dialami oleh Freddie. Awalnya kita melihat cerita ini dari sudut pandang dirinya di mana dialah spotlightnya. Perbedaan pov antara saat dia menuju panggung di awal dengan menjelang akhir film menunjukkan perubahan karakter Freddie. Di awal, dia melihat dirinya sebagai satu orang, dia enggak perhatian penuh ama sekitar. Makanya kita enggak diperkenalkan benar-benar dengan anggota band yang lain, sebab Freddie hanya ‘melihat’ mereka. Segala proses rekaman, manggung, masalah percintaan, kita melihatnya dari mata Freddie sebagai ‘one-man person’. Barulah setelah dia menyadari apa itu keluarga, saat dia benar-benar melihat dirinya bagian dari keluarga, sudut pandang dia dalam cerita ini berubah, dan kita merasakannya.

 

 

 

 

Jadi, film ini bisa saja mengeksplorasi lebih banyak dan detil tentang dunia Freddie Mercury, tapi itu akan mengeluarkannya dari roda konteks. Karena ini adalah tentang Freddie si outsider yang tadinya memandang dirinya sebagai terpisah, menjadi bagian dari keluarga. Menurutku, film secara spesifik sengaja mengambil penceritaan seperti demikian. Sengaja meninggalkan banyak hal penting yang ingin kita ketahui – serius deh, kita tidak beli tiket buat ngeliat penampilan musik ‘boongan’, kita dateng buat pengen tahu cerita humanis seorang legenda di balik layar – karena mereka ingin menempatkan kita di dalam kepala Freddie Mercury. Mungkin tidak sesuai dengan tontonan yang kita harapkan, tapi ini sajian “easy come, easy go” yang enak dinikmati.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for BOHEMIAN RHAPSODY.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Apa lagu Queen favorit kalian? Apakah menurut kalian film ini juara atau hanya “another one bites the dust”?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

 

WWE Evolution Review

 

Menonton televisi di ruang keluarga bisa menjadi hal yang sangat awkward jika kita sekeluarga meyaksikan acara seperti Smekdon. Aku masih ingat, waktu kecil, setiap kali superstar cewek nongol di layar, aku udah ketar-ketir sendiri. Lantaran aku tahu orangtuaku pasti akan menyuruh untuk segera matiin tuh tv. Begitulah peran superstar cewek dulunya, hanya ada di sana dengan nyaris tanpa pakaian. Mereka hanya penyedap-mata. Tampil di segmen-segmen vulgar semacam tanding di kolam lumpur, ataupun main strip poker. Waktu berjalan, superstar yang bener-bener bisa gulat mulai bermunculan, namun posisi superstar cewek di WWE semakin rendah saja. Mereka hanya tampil di pertandingan dua-menit, yang mana digunakan penonton buat jeda ke kamar mandi atau ngisi ulang camilan. Mereka berganti istilah menjadi Diva – yang praktisnya berarti bintang panggung, bukan lagi ‘petarung’ semata.

Bisnis gulat hiburan adalah bisnis patriarki. Panggung buat pria-pria berotot gede, maskulin, jagoan yang menyelematkan cewek. Tapi tentu saja, seperti berbagai aspek di dunia, ada yang memperjuangkan kesetaraan. Billie Jean-Billie Jean mulai bermunculan di atas ring, wanita juga bisa melakukan apa yang cowok lakukan. Enggak ada alasan untuk dinomer duakan. Kita dapat menelusuri jejak revolusi gulat pro cewek dari jaman G.L.O.W (Glorious Ladies of Wrestling), tapi susah juga sih menunjuk siapa yang pertama mencetuskan revolusi Diva di WWE. Entah itu dipionir oleh pencapaian Trish Stratus yang mengawal karir ringnya dari valet menjadi juara dunia wanita beberapa kali, atau oleh AJ Lee yang dengan berani ngetweet soal jatah match remeh yang diberikan kepada dirinya dan rekan-rekan seperjuangan, atau karena perjuangan superstar-superstar NXT seperti Paige, The Four Horsewomen, yang mati-matian dalam bertanding – Alexa Bliss dan Sasha Banks yang menjadi dua superstar cewek pertama yang diijinkan bertanding di Arab Saudi, atau dari ide kepala Stephanie McMahon sendiri. Itu semua sudah tidak berarti lagi karena perjuangan mereka sudah terwujud. Revolusi itu sudah menjadi nyata. Wanita-wanita WWE sudah berevolusi perannya. Mereka tidak lagi penghibur dan pengisi waktu rehat. Mereka adalah atraksi utama. Mereka, kini, punya acara sendiri. Semua pertandingannya adalah pertandingan superstar wanita. Semua waktu dan tempat itu disediakan buat mereka. Semua mata dunia tertuju ke acara revolusioner; WWE Evolution.

“I’m the man!”

 

Kalo kalian sering berkunjung ke blog ini, pastilah kalian tahu, begitu demennya melihat orang-orang cantik yang berprestasi, aku sampai bikin award sendiri di akhir tahun. I was so excited for this show, gak peduli banyak terdengar prediksi-prediksi miring bahwa acara ini tak ubahnya cara lain WWE menjual pagelaran penuh botch. Pandangan superstar cewek enggak seahli superstar cowok tentu masih ada. Fakta bahwa WWE juga tampak setengah-setengah mempromosikan, membuild up acara ini turut seperti sebuah bukti tak-terbantahkan bahwa superstar cewek tidak mampu menyuguhkan pertunjukan semenarik superstar cowok. Evolution ini, menjawab semua keraguan tersebut dengan sangat anggun. Aku gak ragu mengatakan ini adalah salah satu pay-per-view terbaik WWE sepanjang tahun belakangan. Tentu,  it could be better – ada beberapa hal yang tak bisa dipenuhi ataupun diganti oleh WWE karena kondisi serta keadaan yang mendarurat dan it indeed hurts the show – tapi secara menyeluruh, acara ini sungguh menghibur.

Cewek-cewek, berhentilah bergoyang untuk dunia. Karena sesungguhnya dengan prestasi, dengan kekuatan, sudah saatnya bagi kalian untuk menggoyang dunia.

 

 

Aku beneran surprise ternyata aku menyukai acara ini. Sejujurnya, aku hanya optimis sama dua pertandingan; Final Mae Young Classic antara Toni Storm melawan Io Shirai, dan Smackdown Women’s Championship Becky Lynch melawan Charlotte. Aku tidak pernah mimpi pertandingan tag team cewek, apalagi Battle Royalnya, akan membuatku meloncat-loncat teriak seru. But I did, meloncat-loncat teriak seru, pada setiap pertandingan yang ada di acara ini. Well, kecuali satu sih.  Aku kasihan sama Alexa Bliss yang enggak jadi bertanding karena concussion – partai pembuka yang semestinya tentang past melawan future, Bliss melawan Trish, jadi begitu jauh melenceng. Berevolusi menjadi partai tag team yang enggak memenuhi konteksnya. Untuk sebagian besar partai ini, aku hanya duduk diam. Namun bahkan match tersebut punya titik terang, berupa Mickie James dan Trish yang seolah tidak pernah terpisah dan melanjutkan kembali pertempuran klasik mereka.

Mereka seharusnya mengubah pertandingan menjadi Trish dan Lita melawan Sasha Banks dan Bayley. Tapi kurasa mereka mengincar jumlah match yang lebih banyak. Dan setelah melihat pertandingan 6-Women Tag Team antara Banks, Bayley, Natalya melawan Riott Squad (sentuhan bagus nongol dengan kostum ala tokoh horor!) aku tidak lagi bisa bilang ini adalah pilihan yang baru. Match mereka terasa fresh, walau sudah sering diulang dengan variasi berbeda. Salah satu momen yang kusuka adalah ketika Bayley yang sedang berlari melakukan serangan bawah turnbuckle, diintercept oleh Sarah Logan dari sudut matinya. Timing yang sangat seksama. Dan aku juga suka gimana mereka memainkan elemen blind-tag ke dalam pertandingan, membuatnya begitu penting dan integral.

Tidak ada cutscene-match. Setiap match memang ada fungsinya, berhasil memenuhi fungsi tersebut, dan semuanya tetap terasa penting. Battle Royal dua puluh cewek itu sebenarnya tak lebih dari ajang komedi dan nostalgia persembahan WWE kepada fans. Nia Jax, banyak yang bilang, enggak butuh untuk mendapatkan kemenangan di sini. Tapi aku melihat justru sebaliknya. Mereka sudah ngeset Jax untuk kontender berikutnya, jadi mereka punya slot kosong di acara ini yang harus dimanfaatkan sebaik-baiknya. Tidak ada cara yang lebih baik mengakomodasi semua komedi, aksi, dan superstar selain Battle Royal. Supaya kita dapat menyaksikan superstar cewek dari berbagai era bertanding numplek di dalam ring. Alundra Blayze, itu sumpah aku kaget sekali dia hadir. Sajian komedinya efektif, enggak terasa sereceh dan segaje standar WWE yang biasa. Eliminasi-eliminasi yang terjadi tidak terasa diburu-buruin. Semua peserta punya peran dan mini arc tersendiri. Menjelang akhir, aku gelinjangan hebat begitu sadar Zelina Vega sama sekali belum tereliminasi, aku benar-benar berpikir cewek ini bakal menang; storyline matchnya benar-benar work out.

Yang paling mendekati cutscene-match dalam acara ini adalah Kejuaraan NXT di mana Kairi Sane mempertahankan sabuknya dari Shayna Basreng… eh sori lagi laper, Baszler, maksudnya. Partai ini berisi elemen interferensi, sendirinya adalah ‘filler’ sebagai pelanjut seteru, tapi diolah dengan baik. Penampilan kedua pesertanya sangat prima, sehingga story ini terasa maju dengan natural. Partai ini tetap terasa penting. Begitupun dengan partai Final Mae Young Classic; aku bener-bener suka match ini. Tapi, match ini hanya bekerja jika kita mengikuti build-upnya yakni acara turnamen itu sendiri sedari awal. Dan kelihatan jelas dari antusias penonton di arena, mereka tidak benar-benar ngikutin. Tapi buatku, it was a hell of a match. Build upnya tentang Storm yang berjuang sejak tahun lalu melawan Io Shirai, Genius in the Sky, yang digadang terhebat di Jepang. Hard-hitting lawan High-flying. Semua itu terconclude menjadi hasil yang dramatis, kita benar-benar tidak tahu siapa yang bakal menang, dan buatku yang duduk di sana menyilangkan jari berharap Storm menang, match ini begitu mendebarkan. Aftermath matchnya pun mengharukan sekali; aku suka gimana mereka ngasih bunga dan piala ke Storm seolah dia baru saja memenangkan kontes kecantikan.

Bahkan pialanya lebih cantik daripada piala Gadsam yang baru

 

 

Aku masih mendengar orang-orang kecewa, WWE tidak membuat Becky Lynch melawan Charlotte sebagai partai utama acara ini. Aku pun tadinya kesel juga sih, aku paham nilai jual Nikki Bella dan Ronda Rousey, tapi aku tadinya berpikir kualitas pertandingan mereka tidak akan pantas diganjar posisi utama. Ternyata, partai Kejuaraan Wanita Raw tersebut sungguh di luar ekspektasi. In a good way. Mereka memainkan cerita dengan baik. Mereka diberikan penulisan yang lebih ‘berusaha’ dibandingkan pertandingan Ronda yang biasanya. Nikki pun kelihatan banget effortnya memainkan karakter. Aku masih gak percaya aku sempet percaya Nikki bisa memenangkan ini. That’s how good the writing is. Dari segi penampilan, ya mereka masih sesuai dugaan sih; bantingan dan ofensif Ronda masih terlihat ‘enggak-aman’ tapi enggak lagi begitu menggangguku.

Justru Last Woman Standing antara Lynch dan Charlotte yang kadang membuatku terlepas dari acara.  Pertempuran mereka lebih brutal yang bisa kita harapkan. Mereka ngeset kekerasan dalam pertandingan cewek naik satu level. Lynch membuktikan dia salah satu heel terpanas tahun ini. Dia tidak membawa karakternya ke arah pengecut, melainkan terus menggali elemen bahwa dia adalah warrior yang sesungguhnya. Tapi ada rasa pertandingan ini sedikit panjang dan tidak seketat seharusnya. Aku melihat wasit ‘membantu’ memberikan kursi dengan kakinya kepada Lynch saat spot Figure-8 pakai tangga. Charlotte yang sebenarnya belum benar-benar berdiri ketika tertimbun kursi, tapi wasit tetap menghentikan hitungan. There’s some stretch here and there. Yang membuatku sedikit mengurangi keasikan nontonnya.

 

 

 

 

Ketika benar-benar diberikan waktu dan kesempatan, wanita-wanita WWE ini berhasil membuktikan mereka pantas disebut sebagai revolusioner. Evolution adalah show yang masih ditemukan cegukan di sana- sini; Alicia Fox lupa nge-break pin itu konyol sekali, tapi jika mau dikata berantakan; acara ini adalah berantakan yang menyenangkan. Semuanya terasa penting, pertunjukannya jadi terasa seger. Aku gak keberatan jika setiap tahun kita menyaksikan acara khusus superstar cewek seperti begini.
The Palace of Wisdom memilih Toni Storm melawan Io Shirai sebagai Match ot the Night.

 

 

 

 

Full Results:
1. TAG TEAM Trish Stratus dan Lita mengalahkan anak buah Alexa Bliss; Mickie James dan Alicia Fox
2. TWENTY WOMEN BATTLE ROYAL FOR CHAMPIONSHIP OPPORTUNITY Nia Jax memastikan dirinya menang dengan melempar Ember Moon keluar ring
3. MAE YOUNG CLASSIC FINALS Toni Storm jadi juara ngalahin Io Shirai
4. SIX WOMEN TAG TEAM  Sasha Banks, Bayley, Natalya ngalahin Riott Squad
5. NXT WOMEN’S CHAMPIONSHIP Shayna Baszler merebut sabuk Kairi Sane
6. SMACKDOWN WOMEN’S CHAMPIONSHIP LAST WOMAN STANDING Becky Lynch sukses bertahan atas Charlotte Flair
7. RAW WOMEN’S CHAMPIONSHIP Ronda Rousey menghajar Nikki Bella 

 

 

That’s all we have for now.
Siapa menurut kalian superstar cewek terhebat sepanjang masa? Siapa favorit kalian?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

 

GENERASI MICIN Review

“The kids are alright”

 

 

Terkadang, kita suka menggunakan jargon atau ungkapan-ungkapan untuk melabeli hal yang tidak sepenuhnya kita mengerti, memberikannya semacam ilusi bahwa kita sudah memahami hal tersebut. Sama teman aja, kita suka ngasih mereka nickname, supaya memanggil mereka terasa lebih akrab. Untuk satu hal, memang label seperti demikian itu bagus, karena sejatinya adalah usaha kita untuk mencari tahu – bukannya menjauhi. Namun yang perlu diingat adalah, mengenali orang atau hal tidak sepatutnya berhenti di satu label atau jargon saja. Kita harus ingat masih ada aspek lain yang belum kita ketahui dari mereka.

Generasi Z, misalnya. Generasi yang terlahir dari tahun 1995 hingga 2012, dalam artian para remaja saat ini, mereka kita baptis dengan sebutan Generasi Micin. Karena dari yang kita lihat, memang anak-anak jaman now kelakuannya pada aneh. Istilah tersebut hadir dikaitkan dengan konsumsi micin alias MSG yang dapet konotasi negatif sebagai bahan penyedap yang membodohkan. Kerjaan anak generasi ini nonton hape sepanjang waktu, curhat enggak jelas di sosial media, gampang ribut sama hal remeh temeh dan bahkan hoax, serta segalanya mereka mau yang instan-instan. Bandingkan dengan kita, Generasi Millenial, yang lebih menghargai proses ketimbang hasil. Kita lebih menghargai pengalamannya. Semua itu adalah sebagai akibat dari kita hidup melewati berbagai perkembangan teknologi; kita ada saat masa emas pertelevisian, masa kemunculan telepon dan handphone, kita ngikutin perubahan komputer dari disket, kita dengerin musik dari pita kaset hingga teknologi teranyar. As opposed to Generasi Micin yang sejak lahir sudah dimanjakan oleh kenyamanan. Tapi tentu saja, itu tidak berarti mereka tidak lebih pintar daripada kita. Bukan berarti mereka yang menurut kita manja, tidak bisa lebih kritis daripada kita. Faktanya, seorang jurnalis New York Times sempet surprise melihat  justru remaja-remaja yang sangat vokal dan berani menggalakkan gerakan AntiSenjata di tengah konflik kepemilikan senjata api di Amerika beberapa waktu yang lalu. “Are Today’s Teenager Smarter and Better Than We Think?” katanya menuliskan judul artikel tentang Generasi Kekinian.

Fajar Nugros, lewat balutan komedi, mempersembahkan kepada kita film Generasi Micin sebagai jendela untuk memandang remaja-remaja lebih jauh dari layar smartphone dan akun media sosial mereka. Memperlihatkan tantangan yang remaja hadapi di dunia yang terus berputar. Tidak ada yang salah dengan anak-anak jaman sekarang.  Bahwa sebenarnya tidak ada generasi yang lebih hebat daripada yang lainnya. Setiap generasi, pada kenyataannya, akan selalu menghasilkan remaja-remaja yang melakukan hal-hal menakjubkan terhadap zaman mereka.

 

Kevin mirip-mirip Raditya Dika 

 

Kevin Anggara (youtuber dan penulis buku ini memainkan dirinya sendiri) memasuki tahun ketiga di SMU Harapan Mrs. Ana. Sekolah adalah tempat paling membosankan baginya, dia pengen tahun terakhirnya ini menjadi waktu yang paling berkesan. Tapi apa yang bisa ia lakukan? Temannya sudah duluan tenar bikin vlog keseharian di sekolah. Dia enggak cukup fasih untuk ikutan klub Inggris bareng cewek sahabat masa kecilnya. Kevin lumayan socially awkward sehingga satu-satunya dia terlihat ‘fasih’ bicara adalah ketika dia gugup dan serabutan ngomong berbagai hal dari Naruto hingga Pintu Ajaib Doraemon. Kevin lebih nyaman curhat di blog, yang sekarang sudah tak ia lakukan lagi lantaran malu dikatain alay. Dia merasa sudah cukup dengan dilabeli #tertuduhmicin. Jadi apa yang Kevin lakukan demi mengisi hari-hari terakhir di sekolah? Dia ikutan website prank, dia ngajakin teman-teman sekelasnya (literally tiga orang) untuk berbuat jahil kepada guru-guru dan penghuni sekolah. Peringkat dan status Kevin di website tersebut boleh saja meroket, tapi orang-orang di sekitar Kevin jadi susah karena ulahnya. Hubungan Kevin dengan sahabat kece yang diam-diam ia taksir tersebut jadi renggang. Kevin harus melakukan sesuatu sebelum dia benar-benar membuat kecewa Ayah dan Ibunya. Juga seisi sekolahnya.

Film mencoba memberikan gambaran perbandingan antara generasi Z dengan Millennial, atau bahkan dengan generasi X yang jauh lebih ‘tua’. Kita akan melihat keluarga Kevin, gimana sudut pandang ayahnya yang buka toko sehari-hari tentang bisnis dan moral. Kevin actually punya ‘paman’ yang masih muda, tinggal serumah dengan mereka, dan banyak adegan yang mencakup Kevin dengan pamannya dengan ayah ibunya merupakan komentar mengenai gimana bedanya cara ‘kerja’ hal-hal dalam setiap generasi. Menjelang akhir, kita akan melihat adegan debat berbahasa inggris yang membahas topik dan ‘pembelaan’ terhadap generasi Micin. Dan ini sebenarnya mengecewakan buatku, karena komentar terhadap pandangan antargenerasi tersebut semestinya bisa dihadirkan dengan lebih baik. Film punya tokoh-tokoh yang sudah cukup mewakili, mereka seharusnya bisa memikirkan cara yang lebih mulus dalam menceritakan tema, dalam membangun cerita sesuai konteks yang dipunya. Menggunakan lomba debat yang adegannya hanya peserta ngomong bergantian, bahkan tanpa benar-benar ada debat pendapat yang dramatis, membuatnya hanya seperti dakwah yang enggak exactly mulus menyatu dengan keseluruhan film. Ohiya, dan si Kevin enggak ikut ambil bagian dalam debat tersebut.

Yang membuat penulisan cerita ini tampak membingungkan adalah posisi Kevin, si tokoh utama, yang enggak jelas ada di mana. Secara umur, dia termasuk generasi micin, tapi dia tidak bersikap seperti demikian. Bahkan poster film ini cukup mengundang pertanyaan, I mean, di IMDB dan situs LSF judul resminya adalah Generasi Micin, namun coba lihat posternya; aku sendiri merasa judul film ini memang lebih cocok jika ditambah dengan ‘vs. Kevin’. Karena Kevin berbeda dengan teman-temannya yang beneran mencerminkan pola pikir dan tindak generasi Z.

Salah satu keunggulan Generasi Z adalah gimana mereka dengan gampangnya mengekspresikan diri. Segala tool dan fasilitas yang ada itu, mereka gunakan untuk berkarya. Mereka paham untuk tidak malu dengan diri sendiri. Mereka dikatakan lebih narsis karena memang mereka sangat menghargai tinggi diri sendiri.

 

Teman Kevin ada yang bikin vlog dengan konten joget-joget absurd, ada juga yang begitu suka ama Korea dan dia tidak punya masalah mengekspresikan diri sebagai K-Popers (meskipun untuk sebagian besar waktu aku tidak mengerti candaan yang diucap oleh si Dimas ini). Dia berjoget di game center, sedangkan Kevin disuruh ikutan, malah malu. Alay, katanya. Untuk alasan yang sama juga Kevin berhenti menulis blog. Malahan, Kevin tidak melakukan apa-apa selain pasang tampang I-don’t-wanna-be-here sepanjang waktu. Dia bersungut “tidak ada yang mengerti dunia gue”, tapi dunia apa? Yang kita lihat kerjaannya setiap hari adalah mengurung diri di kamar bermain game sepak bola. Kevin tak-menarik, terlihat fake (dia tak pernah terlihat beneran jahil ataupun beneran angsty atau apapun). Didukung permainan akting yang bland yang membuatku bertanya-tanya sendiri kenapa mereka tidak menggunakan aktor beneran aja, Kevin adalah tokoh utama yang begitu uninspired.

Kita bahkan enggak tahu kenapa dia milih masuk IPA sementara teman-teman yang lain, yang segenerasi, berbondong masuk IPS. Berbeda dengan teman-temannya, Kevin masih punya mindset melakukan sesuatu untuk menghasilkan impresi dari orang lain. Dia ikutan website prank biar dianggap keren. Dia melakukan hal bukan untuk mengekspresikan diri, makanya dia ini sering banget berkilah “malu dibilang alay”. Tahukah kamu; Di luar sebuah perbuatan yang salah, malu hanya ada karena kita memikirkan pendapat orang lain tentang kita. Menjelang akhirpun, Kevin sepertinya belum menyadari ‘harga’ dari generasinya sendiri. Dia hanya berhenti ngeprank dan kembali menulis setelah dijauhi oleh teman-temannya. Dia berpikir kompetisi itu penting, dan film yang mengambil sudut pandangnya sebagai fokus, mendukung Kevin dengan membuat sekolah mereka menang kompetisi dalam setiap cabang. Seolah kemenangan adalah hal yang penting, mengimpresi berada di atas sekedar mengekspresikan diri. Dan ini semua terjadi bahkan setelah dia mendapat wejangan dari ayahnya seputar banyak lebih berharga dari ‘uang’.

semenarik itukah musik dan komentar dalam video game sepak bola sehingga harus banget pasang headphone?

 

 

Misi film ini adalah memperlihatkan keunggulan generasi yang selama ini diremehkan, hanya karena mereka belum punya cukup waktu untuk membuktikan diri. Tapi susah untuk konek dan percaya kepada suara tersebut lantaran dunia yang diperlihatkan terlalu laughable dan susah dianggap serius. Menurutku, tone cerita tidak musti terlalu over untuk mencapai komedi. Guru-guru yang ketiduran sambil berdiri, yang bicara sambil bernyanyi, yang mendikte buku pelajaran tanpa mengetahui anak muridnya yang hanya empat orang keluar dari kelas, kelewat bego sehingga tidak lagi lucu – hanya berfungsi sebagai distraksi dari isi cerita. We could have normal teachers and still make a funny story, right? Membuat yang lain ‘gak normal’ bukan lantas menjadikan subjek cerita ‘normal’. Lewat sudut pandang Kevin, film tidak benar-benar berhasil memperlihatkan kebolehan generasi Z. Pembelaan yang dilakukan film terhadapnya adalah dengan mengatakan generasi ini menghadapi tantangan yang lebih besar; mereka langsung dijugde begitu berbuat salah, nama mereka seketika bisa hancur di social media, dan semacamnya. Akan tetapi, bukankah kehidupan – apapun generasinya memang begitu? Ibaratnya, segala yang kita usahakan toh memang bisa dalam sekejap mata musnah karena bencana seperti gempa, kebakaran, ataupun kematian.

 

 

 

 

Film ini pun sepertinya lebih ingin mengimpress people, alih-alih mengekspresikan suaranya tentang perbedaan antargenerasi. Atau mungkin, justru film ingin memperlihatkan bahwa manusia tidak seharusnya dibagi-bagi ke dalam kelompok generasi? Yang jelas, ending film ini yang tampak draggy hanya seperti ingin memperlihatkan Kevin sayang banget ama Chelsea. Dan itu tak ada hubungannya dengan keseluruhan eksplorasi cerita. Delivery komedinya lebih sering miss ketimbang hit, dan menurutku hal tersebut erat hubungannya dengan kualitas penampilan akting dari beberapa pemainnya. Tema menarik seperti ini, seharusnya penulisan bisa dilakukan dengan lebih baik lagi.
The Palace of Wisdom gives 3 out of 10 gold stars for GENERASI MICIN.

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Menurut kalian kenapa generasi remaja sekarang mendapat bad rap sehingga dijuluki sebagai Generasi Micin? Apakah kita didefinisikan oleh generasi kelahiran?

Apakah kemajuan teknologi ada hubungannya dengan deteoritas manusia? Have smartphones destroyed a generation?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

HALLOWEEN Review

Be the person you needed when you were younger

 

 

 

Jangan macem-macem dengan orang gila. Terutama orang gila yang ditahan karena membunuh para babysitter remaja, bahkan kakaknya sendiri. Jangan dekati dia. Jangan diajak bicara. Jangan kasih lihat topeng yang dipakainya beraksi. Dan terutama, jangan berusaha melakukan mediasi antara si Gila dengan korbannya. Pertama, hal tersebut bisa tampak sebagai solusi bego seperti yang dilakukan Grab menangani kasus driver mesum. Dan kedua, bisa saja sekarang si korban sudah sama gilanya!

Trauma tidak berakhir begitu saja seselesainya masalah. Trauma dapat berdampak jangka panjang dan mempengaruhi bukan saja korbannya, melainkan juga orang-orang di sekitar korban. Perjuangan dan efek dari kekerasan terhadap korban nun jauh setelah peristiwa mengerikan itu terjadi menjadi tema utama yang dibahas dalam Halloween, menjadikan film ini salah satu dari jarang sekali horor slasher yang benar-benar punya makna mendalam

 

Halloween garapan David Gordon Green, menebas mati semua sekuel dari Halloween buatan John Carpenter (1978), karena ceritanya ini melompati empat-puluh tahun setelah kejadian 1978. It is a direct sequel. Halloween 2 enggak pernah terjadi. Halloween H20 apalagi. Halloween Rob Zombie pun dengan sangat menyesal, lantaran aku suka film-filmnya, ke laut aje. Dan kita melihat langsung dampak trauma selamat dari kejaran Myers tersebut kepada Laurie Strode. Bahkan film ini juga menepis aspek Laurie adalah adek dari Myers seperti yang selama ini kita ketahui. Laurie (Scream Queen legendaris Jamie Lee Curtis bertransformasi menjadi nenek paling badass) masih terus terbayang-bayang Myers, meskipun si maniak tersebut sudah bertahun-tahun mendekam di tahanann. Laurie, secara masuk akal, menjadi wanita yang paranoid. Dia melatih dirinya supaya menjadi lebih kuat, dia mempersiapkan banyak hal, dia mengurung diri di dalam rumah yang ia bangun penuh dengan senjata, ruang bawah tanah rahasia, praktisnya dia mengubah hunian menjadi benteng perang karena ia percaya Myers akan keluar dari penjara dan kembali mengejarnya. Jika ada satu kata orang yang ia percayai, maka itu adalah “Just kill it” ucapan Dr. Loomis yang sudah lama menyerah mempelajari Michael Myers.

Dan sekarang kita punya tiga film berjudul Halloween, selamat bersenang-senang membedakannya

 

 

Laurie Strode dan masalah ketakutannya menjadi hal terbaik yang dipunya oleh Halloween 2018 ini. Film akan memperlihatkan gimana hubungan Laurie dengan keluarganya. Laurie menjadi ‘jauh’ dengan anak perempuannya, yang ia besarkan dengan latihan menembak dan segala situasi panik lainnya. Karen, si anak, tentu saja jengah dengan ketakutan dan keterlalusiapin ibunya. Ada tensi dalam hubungan ibu dan anak ini. Sementara, anak Karen, Allyson; alias cucunya Laurie mencoba untuk menjembatani, untuk menghubungkan kembali keluarga mereka. Ada banyak orang yang terlibat dalam plot film ini. Aku berharap mereka lebih fokus dalam bercerita, karena apa yang kita dapat di sini sebenarnya sangat terpecah. Laurie punya perspektif yang kuat, kita butuh lebih banyak pembahasan mengenai dirinya. Tetapi film berusaha menyeimbangkan tiga tokoh beda generasi, sehingga ceritanya menjadi kurang fokus. Dalam sebuah perjalanan pindah ke penjara, bus tahanan yang mengangkut Myers dan dokter barunya kecelakaan. Menyebabkan Myers kabur dan kembali ke kota lamanya, dia mengejar bukan hanya Laurie – tapi juga seluruh keturunannya. Kita hanya bisa berasumsi Myers tahu keadaan Laurie dari mencuri dengar berita saat dia berada dalam tahanan.

Yang ingin dilakukan Laurie adalah mempersiapkan keluarganya akan trauma yang sudah menyerangnya. Laurie ingin anaknya, cucunya, bisa membela diri saat keadaan menjadi buruk – sehingga mereka tidak menjadi sehancur dirinya.

 

 

At first, sepertinya film akan membawa kita ke semacam pertukaran peran. Obsesi Laurie soal kembalinya Myers sempat menggoda benakku dengan kemungkinan gimana kalo ternyata kali ini Laurie yang memburu Myers, gimana kalo topeng itu dikenakan oleh Laurie dan actually Myers harus bertahan hidup darinya. It’s kinda silly thought, namun sebagai pembelaan aku merasakan elemen komedi dalam arahan film ini. Dan toh, menjelang masuk babak tiga kita beneran melihat – aku gak mau spoiler banyak – seseorang tak terduga memungut dan mengenakan topeng Myers. Buatku it should be a legit story point, namun film membuatnya hanya jadi semacam aspek sampingan yang dianulir dan dilupakan sesegera mungkin aspek tersebut diperlihatkan. Maksudku, cukup menarik kita dikasih lihat segala precaution yang diambil Laurie membuat dia tampak ‘jahat’ di mata anaknya. Sudut pandang Karen juga sebenarnya lumayan menarik. Aku tidak akan masalah jika film ini mengambil Karen sebagai tokoh utama. Tapi film seperti kesulitan menyeimbangkan porsi cerita. Dan ultimately, film harus menyerah kalah kepada kebutuhan untuk tampil meta dan tampak menarik di mata penonton muda. Alih-alih berpusat pada drama kejiwaan wanita yang membuang segalanya demi menjamin keselamatan diri dan orang yang ia sayangi, film merasa perlu untuk kembali memperlihatkan kehidupan remaja; drama pacaran mereka, dengan tokoh-tokoh pendukung yang hanya ada di sana sebagai penyumbang warna merah untuk pisau Myers.

Halloween yang kesulitan tampil konsisten dalam bercerita tidak pernah punya waktu lagi untuk membangun atmosfer. Penggunaan musik ngagetin juga cukup banyak kita dapati di film ini, dan ini menyedihkan mengingat original Halloween adalah film yang sunyi, yang dengan berani memperlihatkan adegan ngagetin begitu saja tanpa suara non-diegetic. Dan menurutku inilah kesalahan film yang paling fatal yang paling mengecewakan. Tidak ada suasana yang membuatnya terasa mencekam, apalagi terasa berbeda. Padahal adegan opening film ini sangat unsettling; kita melihat Myers yang diam tak bergeming – bersusah payah menahan diri – ketika disodorin topeng, sementara orang-orang gila dan anjing-anjing penjaga di sekitarnya pada melolong gila. The rest of this film tidak pernah lagi mencapai kengerian yang serupa. Suasana Halloween film ini tidak banyak berbeda dengan malam halloween yang kita lihat di Goosebumps 2: Haunted Halloween (2018), bahkan adegan di pesta pada kedua film ini hampir sama persis.

dan yang keselnya kedua cowok brengsek di dua film itu sama-sama enggak kena ‘hukuman’

 

Ada banyak adegan yang diniatkan untuk persembahan kepada Halloween orisinil, tapi atmosfernya tidak terasa. Jadi seperti hanya meniru. Green seharusnya menyadari bahwa sinematografi yang menyamai dan musik ikonik yang diputar ulang tidak serta merta mampu mereplika atmosfer secara keseluruhan. Bahkan ada juga adegan-adegan yang seperti direka ulang dari sekuel-sekuel Halloween yang semestinya sudah dianggap tidak ada, seperti adegan di bilik toilet yang mirip sekali dengan adegan di Halloween H20 (1998). Serta cukup aneh gimana para tokoh di film ini menganggap Myers seperti legenda paling mengerikan, mengingat di dunia cerita ini Myers ditahan 40 tahun, dan korbannya hanya lima orang remaja – rasanya gak sesuai dengan reputasinya, apalagi di satu adegan ada tokoh anak muda yang terang-terangan bilang yang dilakukan Myers gak begitu sadis untuk ukuran jaman sekarang.

Kiprah Green dalam membesut cerita komedi dan drama kadang hadir dalam film ini. Particularly dalam drama seputar keluarga Laurie, yang mana menurutku, kita butuh lebih banyak dari yang beneran kita dapatkan. Untuk komedinya, sayangnya, cukup mengganggu. Ada banyak adegan lucu yang jatohnya enggak perlu dan hanya mengusik tone seram yang sedang dibangun. Misalnya ketika cucu Laurie bertemu dengan Myers, kita diselingi adegan humor dua orang polisi yang sedang membicarakan bekal makanan mereka. Betapa sebuah distraksi yang membuat kita terlepas dari suasana. Ada banyak adegan semacam itu dalam film ini, membuat tone cerita juga sama tidak seimbangnya.

 

Selain topeng yang terlihat otentik seram dan presence dirinya yang seolah menelan bulat-bulat kita semua, yang terutama membuat Michael Myers fenomenal adalah dulunya, tindak pembunuhan yang ia lakukan bisa dilihat sebagai bentuk metafora dari akibat bobroknya moral remaja. Meta horor slasher yang ditetapkan oleh film Halloweennya John Carpenter adalah remaja yang berhubungan di luar nikah, yang mabuk-mabukan, akan jadi korban dari Myers. Sementara Laurie Strode yang inosen dari pergaulan semacam itu berhasil selamat dan jadi jagoan. Dalam film Halloween kali ini, korban Myers tidak terbatas pada remaja yang melakukan perbuatan amoral. Myers ngestalk pelajar cupu, dia membantai seorang ibu rumah tangga, sebenarnya secara tematis hal tersebut diniatkan sebagai kontra dari segala kesiapan Laurie; bahwa kemalangan bisa datang kapan saja di mana saja.

Karena hal tersebutlah, Myers adalah antagonis sempurna buat protagonis Laurie di film ini; tragedi tidak bisa diantisipasi.

 

 

 

 




Aksi kekerasan dalam film ini brutal, pembunuhannya kreatif – baik itu menyuguhkan hal baru ataupun merombak adegan yang lama dan menjadikannya sebagai referensi subtil. Mengatakannya sekuel Halloween terbaik enggak necessarily adalah prestasi yang membanggakan. Sebab eksplorasi yang dilakukan film seharusnya lebih jauh daripada ini. Ada elemen trauma dan drama keluarga yang mestinya bisa diceritakan lebih banyak dibanding pembunuhan orang-orang tak berdosa. Film ini punya banyak tokoh, dan sebagian mereka diperkenalkan sesaat sebelum Myers menikam mereka, sehingga banyak elemen dalam film yang terasa pointless. Film ini seharusnya meniru Michael Myers yang dalam mencari korban dia memilih satu dan fokus mengejarnya sampe sukses; film seharusnya memilih satu sudut pandang dan fokus di sana aja. Buatku, sudut pandang yang harus digali film ini tentu saja Laurie, atau bisa juga Karen. Jangan keduanya – atau malah tiga sekaligus. Sebagai horor, film ini masih tetap menyenangkan. Kita bisa nonton ini dengan hanya meniatkan pengen melihat maniak membunuhi orang-orang. Hanya saja, aku melihat potensi yang tidak berhasil mereka gali dengan baik di sini. Dan itu mengecewakan.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for HALLOWEEN.

 




That’s all we have for now.
Halloween versi siapa favoritmu? Buatku pribadi aku paling suka Halloween 1978, lalu Halloween Rob Zombie, Halloween 2, dan baru Halloween 2018 ini.

Apa yang menurut kalian menyebabkan Michael Myers bisa bangkit berkali-kali? Apakah karena kesumatnya kepada Laurie? Kenapa dia begitu suka membunuhi orang-orang? Apa dia bakal bangkit lagi?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017



My Dirt Sheet Top-Eight Original Goosebumps Books

Twist ending dan fake jumpscares, dua faktor utama yang terus dieksplorasi dalam banyak film horor masa kini, dapat kita telusuri jejaknya hingga ke seri buku horor anak-anak karya R.L. Stine; Goosebumps. Mungkin terbacanya sedikit aneh, bagaimana mungkin sebuah buku bisa berisi jumpscare, apalagi jadi  pengalaman seru dan menegangkan untuk dibaca? Di situlah ‘hebatnya’ penulisan cerita-cerita Goosebumps. Aku actually sudah membicarakan soal itu di review film Goosebumps (2016).

 

Bicara tentang bukunya, jika dibaca ketika kita udah gede, memang ceritanya yang tentang monster dan makhluk aneh bakal terdengar konyol. Tapi Goosebumps – yang ternyata pertama kali terbit tahun 1992, meski masuk ke Indonesia apalagi kampungku lumayan telat – dengan tepat menangkap hal-hal sederhana yang tampak horor di mata anak-anak. Permasalahan sehari-hari tentang ketakutan anak kecil sama guru, sama tetangga baru, sama tetangga yang halaman rumahnya diberantakin sama anjing peliharan miliknya, sama tukang bully, sama idola yang ternyata tidak sebaik yang diduga, dan terutama sama orangtua yang gak percayaan sama omongan kita.

Goosebumps adalah salah satu dari tiga seri buku (dua lainnya adalah Animorphs dan Lupus) yang berperan penting dalam tumbuhnya minatku terhadap menulis dan bercerita. Aku masih ingat gimana dulu waktu masih kelas enam SD, aku dan temenku setiap minggu ke taman bacaan. Kami menyewa masing-masing tiga buku Goosebumps, dan dalam waktu seminggu kami lalap enam buku tersebut. Enam-puluh-dua judul buku seri original Goosebumps itu aku baca di mana saja, meski sembunyi-sembunyi karena my dad said he will kill me jika dia melihatku baca buku yang bukan terbitan Tiga Serangkai (alias buku sekolahan). Dan sejujurnya, aku merasa ayahku tidak bercanda saat beliau mengatakan hal tersebut. Jadi, horor bagi anak-anak seusiaku saat itu adalah hal yang begitu dekat dan menarik – as in, apa aja bisa jadi horor buat kita saat masih kecil. Aku bawa buku Goosebumps ke sekolah, membacanya saat jam istirahat. Ke tempat ngaji, membacanya di bawah meja sebelum tiba giliranku membaca Al-Quran. Ke atas pohon cherry, di mana aku bisa bersembunyi dari tugas rumahan. Dan setelah baca semuanya, aku dan temenku itu, kami mengarang sendiri cerita komedi detektif berdasarkan judul-judul buku Goosebumps tersebut.

Beruntungnya, di era internet sekarang, kita bisa dengan lebih mudah dapatin bacaan klasik ini. Aku pun sekarang membacanya enggak mesti backstreet lagi. Upon re-reading, aku menemukan dan mengerti banyak hal soal kenapa buku-buku ini, cerita-cerita seramnya, bisa begitu melekat di hati anak-anak. Segala trope-trope horor, fantasi, monster-monster yang bisa kita temui di film-film, dapat kita dapatkan juga di sini. Imajinasi R.L. Stine luar biasa liar, sehingga seolah cerita-cerita karangannya – gimana dia menceritakan mereka – terasa seperti lebih maju pada jamannya. You know, dari gimana R.L. Stine terus memerah trope usang, menjadikannya cerita-cerita baru pun sepertinya banyak memberikan insipirasi. Buku-buku Goosebumps masih terus dibuat, malah banyak seri terbarunya yang belum pernah kubaca.

Demi menyambut rilisnya film Goosebumps yang kedua, menurutku tepat waktunya untuk membuat daftar delapan-besar buku Goosebumps original favoritku. Mereka terpilih berdasarkan seberapa besar ceritanya memberikan pengaruh, bukan hanya kepadaku. Dari seberapa banyak dia bisa relate kepada pembaca anak-anak. Dan tentu saja dari seberapa suksesnya membuat kita seru-seruan ber-goosebumps-ria!

 

 

HONORABLE MENTIONS

  • #10 Tetangga Hantu (arguably buku yang paling populer, dengan twist ala M Night Shyamalan untuk menutup cerita dengan hangat)
  • #08 Gadis Pencinta Monster (actually buku Goosebumps pertama dengan twist ending)
  • #11 Topeng Hantu (cerita bertema halloween tentang anak yang dikendalikan oleh topengnya, terdengar seperti Venom, bukan?)
  • #54 Kamar Hantu (ala Home Alone, tentang anak yang menginginkan keluarganya tidak ada)
  • #20 Teror Orang-Orangan Sawah (ketakutan anak kecil terhadap kakek dan neneknya, dan orang-orangan sawah)
  • #16 Suatu Hari di HorrorLand (gimana kalo taman rekreasi malah mencoba untuk membunuhmu, alih-alih hanya morotin duitmu)
  • #04 Bergaya Sebelum Mati (kamera yang bisa memotret kejadian buruk yang bakal menimpa objek yang dijepret, ini semacam cerita melawan takdir kayak Final Destination)
  • #61 Teror di Ruang Bawah Tanah (deskripsi paling disturbing jadi sajian buku ini)
  • #32 Boneka Hidup Beraksi II (kemunculan Slappy si Boneka Ventriloquist, antagonis paling populer seantero semesta Goosebumps)

 

 

 

8. MISTERI HANTU TANPA KEPALA (#37)

Ini adalah buku Goosebumps pertama yang aku baca. Dan efeknya masih terasa sampe sekarang. Cerita ini punya semua yang bisa anak kecil minta dari kisah horor. Rumah angker, eksplorasi, dan tentu saja; hantu.

Tentang Duane dan Stephanie ikutan tur rumah hantu. Aku sendiripun selalu tertarik ama wahana rumah hantu, tapi sayangnya di Indonesia aku belum nemu rumah hantu yang sistemnya kayak tur masuk museum seperti pada cerita ini. Kedua tokoh kita luar biasa tertarik mendengar kisah seram tentang rumah tersebut yang ternyata dihuni oleh hantu anak tanpa kepala. Saking tertariknya, mereka berdua memisahkan diri dari rombongan tur dan mengeksplorasi rumah tersebut sendirian. Umm, berdua. You get the point. Tentu saja , mereka menemukan hantu tersebut. Dan setelah minor twist, Duane dan Stephanie kudu berkeliling mencarikan kepala hantu yang hilang untuk bisa keluar dari sana.

Covernya aja udah bikin aku sulit memejamkan mata. Ditatap dingin begitu oleh kepala hantu berambut belah tengah. Actually, pertama kali tahu ada buku hantu namanya Goosebumps, memang aku milih-milih dari covernya mana yang kelihatan paling seram. Dan aku milih buku ini.

 

 

 

 

7. KENAPA AKU TAKUT LEBAH (#17)

Covernya lumayan disturbing. Aku selalu ngeri sendiri melihat makhluk-makhluk yang kepalanya besar, tidak proporsional dengan tubuhnya. Aku bahkan takut lihat figure bobble head, serius.

Tapi sejujurnya, sewaktu kecil, ini adalah salah satu buku yang kuskip dan baca belakangan, karena gak bener-bener ada hantunya. Dan dulu aku pikir cerita kayak gitu enggak seram. Sinopsis di bagian belakang bukunya juga ‘apa banget’. Gary Lutz yang takut lebah, dia sering dibully karenanya. Lelah dengan semua itu, Gary ikutan program bertukar tubuh di kotanya. Alih-alih menjadi anak lain, Gary malah masuk ke tubuh lebah. Fiksi ilmiah yang sangat aneh, kedengarannya ya.

Membaca cerita ini saat dewasa, aku bisa melihat apa yang sebenarnya ingin dibicarakan oleh R.L. Stine di buku ini. Adalah tentang mengatasi ketakutan dengan mencoba memahami ketakutan itu sendiri. Dengan menjadi hal yang kita takutkan. Cerita yang actually berlapis, tapi tetep konyol sih, lantaran konsep yang gak masuk akal dan lapisan terluar cerita ini beneran pelajaran tentang lebah. Anak-anak ya ogah disuruh belajar hihi.

 

 

 

 

 

6. TOPENG HANTU II (#36)

Meskipun waktu kecil dulu selalu mupeng lantaran enggak ada tradisi Halloween di lingkungan rumah, aku tahu betapa pentingnya mengenakan topeng paling seram yang bisa kita dapatkan. Apalagi buat anak seperti Steve. Yang keren dari cerita buku ini adalah, ceritanya terasa luas, kontinu, dan sangat fresh dengan role reversal. Steve sebenarnya adalah salah satu anak yang ngebully tokoh utama di Topeng Hantu pertama. Karena kejadian di buku pertama, kini mereka temenan. Tapi sebenarnya karena Steve pengen tampak paling keren dengan topeng ‘seotentik’ milik Carly Beth.

Di luar lapisan cerita tentang kehidupan sosial anak SD tersebut, buku ini menyimpan horor yang cukup dalem (untuk ukuran cerita buat anak kecil). Yaitu mengenai kengerian anak kecil menjadi orang tua. Topeng Steve membuatnya menjadi monster tua, dan cerita benar-benar mendeskripsikan ngerinya pengalaman Steve harus bertindak seperti yang diinginkan oleh topengnya

 

 

 

 

5. JAM ANTIK PEMBAWA BENCANA (#28)

Bukan tentang burung setan yang tinggal di dalam jam kukuk, sebenarnya ini adalah cerita tentang perjalanan waktu. Bayangkan episode Twilight Zone, hanya saja berbentuk buku.

Aku menemukan dua horor dalam cerita ini. Pertama tentang betapa ngerinya punya adek cewek yang begitu nyebelin, dia mengacau semua hal, dan malah kita yang dipersalahkan. Dan harus membereskan semuanya. Michael ‘dendam’ ama adeknya. Jadi, ketika mereka membeli sebuah jam kukuk antik, Michael berencana untuk merusakkan jam tersebut supaya dia bisa memfitnah sang adek. Tapi ada sesuatu yang ganjil ketika Michael mundurin jarum jam; dirinya juga ikut mundur ke masa lalu! Yang membawaku ke horor yang kedua; Betapa membetulkan kesalahan di masa lalu itu sungguh sulit untuk dilakukan, bahkan jika kau punya kemampuan untuk balik ke masa lalu. Konsekuensi akan selalu ada, dan buku ini benar-benar bikin kita ngeri bahwa seringnya hal-hal tertentu tidak bisa diubah.

 

 

 

 

 

4. HOROR DI CAMP JELLYJAM (#33)

Buku dengan ending paling “What the…!?” seantero seri original. Goosebumps memang terkenal dengan caranya mengakhiri cerita; antara ngegantung atau dengan twist super aneh. Dan buku ini, seberapapun sintingnya kau menerka, tetep akan meraih gelar juara ending paling aneh sedunia akhirat.

Di luar endingnya, sebenarnya buku ini punya gagasan cerita yang menarik. Kalian tahu gimana bagi anak kecil setiap aspek hidup bisa jadi lomba? Kita dulu girang bisa makan paling cepat. Bisa naik sepeda satu tangan. Ambisi kekanakan untuk terus menang itulah yang digali dalam cerita ini.

Camp Jellyjam adalah perkemahan musim panas bertema olahraga. Tiada hari tanpa kompetisi buat para peserta, karena setiap malam para pemenang kompetisi akan dikasih penghormatan dan hadiah. Anehnya, para pemenang tidak pernah kelihatan lagi esok hari. Jelas sekali ada misteri di balik semua ini, seperti surga yang ternyata adalah mulut manusia bagi tokoh-tokoh dalam animasi sarkas Sausage Party. Cerita buku ini punya selera humor, dan tetap berhasil menguarkan teror kengerian karena kita akan merasakan was-was itu sedari beberapa halaman pertama.

 

 

 

 

3. ARWAH PENASARAN (#56)

Cerita Goosebumps akan banyak yang mengambil setting di perkemahan karena memang ‘budaya’ orang sana untuk mengirim anak ke luar dari rumah, untuk beraktivitas di perkemahan sepanjang liburan musim panas. Dan dikirim oleh orangtua ke pondok banyak nyamuk, banyak binatang liar, bergaul dengan orang asing, tak pelak merupakan pengalaman yang mengerikan buat banyak anak-anak. Salah satunya Sarah dalam cerita ini. Dia membenci semua kegiatan di alam bebas, dia susah bergaul, dan orangtuanya malah tega mengirimnya ke perkemahan olahraga air.

Tak seperti Camp Jellyjam, cerita buku ini lebih girly dalam sense Regina George di film Mean Girls sekiranya pernah membaca buku ini waktu masih kecil. Ceritanya memang seputar mean girls yang harus dihadapi Sarah. Keputusan Sarah mengenai cara menghadapi mereka yang bikin buku ini terasa begitu gelap.

Sarah pura-pura mati dengan tenggelam di danau.

Bayangkan ini gimana kalo ditiru sama anak cewek yang baca? Tapi buku ini hadir di masa yang tidak terlalu sensitif, sehingga narasinya yang menyerempet ambang antara nelangsa dengan bego itu dijadikan aspek horor yang benar-benar mengerikan. Sarah yang pura-pura tenggelam mendapat teman, yang sudah mati beneran!

 

 

 

 

 

 

2. MESIN TIK HANTU (#55)

Saat masih kecil, ini adalah buku yang actually menggebahku untuk menulis cerita horor. Saat udah gede, aku semakin respek sama buku ini, karena sekarang aku bisa merasa semakin relate dengan tokohnya. Buatku, ini adalah cerita paling cool dalam di antara Goosebumps yang pernah aku baca.

Tokoh dalam cerita ini, Zackie, suka mengarang cerita seram. Bagai orang mengantuk disodorkan bantal, Zackie dikasih mesin tik dari seorang penjual barang antik yang tokonya kesambar petir. Tunggu. Anak-anak jaman sekarang pada tahu mesin tik ga nih? Itu loh, yang selalu dibawa-bawa pacarnya Starla. Anyway, kejadian menjadi menarik (horor tapi menarik) ketika semua cerita seram yang diketik Zackie pada mesin tik tersebut, menjadi kenyataan!

Menurutku, apa yang ingin disampaikan oleh R.L. Stine di sini adalah gimana tanggungjawab kita atas sesuatu masalah yang kita ciptakan sendiri. Ini adalah pesan yang penting bagi anak kecil, karena ya kita ngaku-ngaku aja, saat kecil kita cenderung egois – maunya benar melulu. Dari segi penulisan, kita juga bisa melihat Stine benar-benar enjoy menulis ini, dia tidak memberikan solusi mudah bagi tokohnya. Hampir terasa personal bagi dirinya, karena ini adalah penulisan tentang penulisan.

Dan ya, bagi yang penasaran; Mesin tik ini actually jadi senjata utama untuk mengalahkan para monster di film Goosebumps

 

 

 

 

 

Setiap buku Goosebumps memberikan pengalaman horor yang berbeda-beda. Kita tidak perlu baca semuanya, karena terkadang karakternya lumayan repetitif. Tapi meski begitu, kualitas cerita setiap buku sangat konstan. Bahkan buku yang berupa ‘sekuel’ pun bisa berdiri sendiri. Tapi kita akan merasa pengen untuk membaca semuanya. Karena kita penasaran ide apa lagi yang akan diangkat. R.L. Stine begitu berhasil membuat kita kepancing dan betah, sejak dari buku pertamanya.

Dan ya, inilah buku Goosebumps peringkat pertama kami:

1. SELAMAT DATANG DI RUMAH MATI (#01)

Diawali dengan sangat klasik; keluarga Benson sampai di kota baru mereka. Mereka mengalami kejadian ganjil, tentu saja di rumah baru mereka. Apakah rumah mereka berhantu? Well, hantunya boleh jadi adalah produk dari imajinasi keluarga Benson. Tapi nyatanya memang ada sesuatu yang jahat, di kota tersebut.

Apa yang tadinya kita kira adalah cerita rumah hantu, dengan perlahan tabir itu dibuka lapisan demi lapisan. Progres narasi buku ini terasa sangat natural. Kita akan belajar bersama tokoh cerita, menyusun kesimpulan gimana seluruh kota sudah mati, dan para penghuni yang tak lagi hidup itu menyiapkan perangkap bagi keluarga Benson; Mereka adalah korban berikutnya yang akan dihisap darahnya dan dijadikan zombie.

Jauh sebelum The Walking Dead, Goosebumps sudah bereksperimen dengan zombie-zombie dan buku ini sukses berat menghadirkan kengerian. Bahkan imaji-imaji mengerikan. Ada satu adegan di buku yang menceritakan para tokoh melelehkan wajah para zombie, atau hantu, atau apapun lah mereka. Buku ini sangat detil mendeskripsikan horornya. Jumpscarenya akan membuat kita turut melonjak, hanya dengan membayangkan saja.

Akan susah untuk enggak jatuh cinta dengan Goosebumps setelah kalian membaca buku ini.

 

 

 

 

 

Goosebumps penuh dengan monster, twist, dan cerita aneh. Itulah yang menyebabkannya begitu menyenangkan untuk dibaca. Seram, tapi semuanya dicraft dengan begitu baik sesuai dengan gaya yang menurut sang penulis dapat diterima oleh pembaca sasaran. Menurutku, setiap anak kecil perlu membaca, paling tidak, satu cerita seram semasa kanak-kanak mereka. Karena seperti kata R.L. Stine, monster atau hantu itu diciptakan supaya kita bisa siap menghadapi dunia nyata, letak horor sesungguhnya. Bukan hanya itu, R.L. Stine juga sudah berhasil membuat satu anak kecil jadi tertarik untuk menulis, untuk bercerita, menumbuhkan ketertarikan dengan monster-monster. Anak kecil itu, ya aku.

 

 

 

That’s all we have for now.
Apa buku Goosebumps favorit kalian? Kenapa ya, kira-kira, Goosebumps yang dicetak ulang baru-baru ini kurang mendapat sambutan dari anak-anak? Apakah masa  buku dan media cetak memang sudah lewat? Apakah kenyataan tersebut tidak menyeramkan buat kalian? 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

 

 

 

Review buku ini terpilih untuk dimasukkan dalam kampanye “Blog Review Buku Terbaik,” dari penerbit bahan ajar pendidikan Twinkl.

ASIH Review

“None of us wants to be reminded that dementia is random, relentless, and frighteningly common.”

 

 

 

Kuntilanak itu bernama Asih. Tapi pada saat masih hidup, dia bernama Kasih. Kenapa perubahan namanya itu penting banget untuk dikasih tahu dalam cerita, aku juga tidak tahu. Malahan, tadinya aku mengira spin-off dari semesta Danur (adapatasi dari cerita Risa Saraswati) ini akan membahas banyak mengenai origin si Asih, kayak, kita akan melihat kehidupan dia semasa masih manusia, lebih jauh mengungkap siapa dirinya sebelum peristiwa naas yang ‘mengubah’ dirinya menjadi hantu. Tapi ternyata informasi lebih dalam tentang Asih paling penting menurut film ini adalah bahwa nama aslinya bukan Asih. Jadi, kita tidak melihat Asih semasa hidup lebih banyak dari apa yang sudah kita lihat di film pertama Danur: I Can See Ghosts (2017).

Kisah tragis Asih menjelang kematian dan tie-in-nya dengan Danur pertama diputer kembali di menit-menit awal, membuat penonton yang baru pertama kali menonton semesta kisah ini mengerti apa yang harus dihadapi. Buat penonton yang ketiduran di menit awal tersebut, film akan mengulang flashback penjelasan siapa Asih di sekuen pengungkapan. Tujuh-puluh-delapan menit durasi cerita akan terasa semakin singkat lagi berkat ‘usaha’ mereka menjalin satu cerita yang utuh. Jadi, ini adalah cerita tentang Asih saat dia masih jadi ABH. Pada tahu ABH gak? Sama kayak ABG, namun ‘Gede’nya diganti dengan ‘Hantu’. Baru seminggu dia menjadi hantu, Asih menyerang keluarga pasangan Citra Kirana dan Darius Sinathrya yang lagi bersiap menyambut kelahiran bayi Amelia. Tak bisa kita sangkal memang, Shareefa Daanish sungguh menyeramkan dengan dandanan setan. Enggak butuh efek sound yang menggelegar sebenarnya, jika kita sudah punya penampakan Danish yang lagi in-character sebagai hatu. Tapi di samping fakta bahwa dia adalah hantu, dan hantu kudu mengganggu orang yang masih hidup, kita tidak pernah benar-benar diajak menyelami konflik personal para tokohnya; akar yang menjadi penyebab kejadian-kejadian dalam film ini terjadi.

Asih mungkin kurang asi, atau salah asuhan.

 

Mitos, pamali, superstition, apapun namanya, tahun 1980 adalah masa keemasan bagi kepercayaan gaib semacam itu. Tidak banyak yang mempertanyakan, apalagi menentang. Suasana ini dijadikan panggung cerita oleh film. Ari-ari bayi yang harus dikubur dengan cara tertentu di pekarangan rumah, bunyi ciap-ciap anak ayam di malam hari, elemen-elemen mistis ini dimasukkan ke dalam cerita demi membangun suspens. It is interesting. Dan cukup berhasil menguarkan keseraman. Film juga membuat ‘aturan’ sendiri, seperti diceritakan jika kita mendengar bunyi pukulan ronda yang jumlah ketukannya lebih satu dari pukul berapa malam itu, maka itu berarti bukan karena si Penjaga Malam sudah pikun. Melainkan itu sebagai tanda ada makhluk halus tak-diundang yang berada di sekitar daerah tersebut. Eventually, ketika bunyi pukulan tiang itu beneran terdengar oleh tokoh film, kita bakal ikutan menghitung ketokannya sambil menahan napas.

Tingkatan tertinggi yang bisa dicapai oleh film ini adalah mereka sebenarnya bisa membuat Asih sebagai cerita tentang ketakutan orang tua terhadap kepikunan (senile). Kita melihat tokoh nenek yang sudah mulai pikun merasa kesulitan menangani kejadian-kejadian yang ada di sekitarnya. Nenek ini bingung, satu kali dia mandi lupa mengambil handuk. Kali berikutnya dia merasa sudah memindahkan bayi ke teras, tapi ternyata bayi beserta kereta dorong (yang dalam nada polos yang kocak ia sebutkan lebih tua daripada usianya) tersebut masih mandi matahari yang panas di halaman rumah. Terduga pikun atau bukan ini actually menciptakan friksi dengan anggota keluarga lain, khususnya tokoh Citra Kirana. Dan menurutku bisa dikembangkan menjadi bagaimana jika orang yang muda juga mulai merasa dirinya pikun alias dementia. Film ini punya potensi menjadi sangat cerdas memparalelkan hantu dengan dementia, dia bisa memiliki sudut pandang yang unik dengan menggali aspek tersebut. Tapi film tidak mengacuhkan aspek cerita ini, karena film hanya mengincar nilai hiburan.

Menurunnya kemampuan mengingat atau istilah seramnya kehilangan ingatan secara perlahan adalah salah satu hal paling menakutkan yang bisa menimpa manusia. Lebih mengerikan daripada menjadi hantu. Buktinya, kita percaya, hantu ada karena mereka masih penasaran sebab terpisah oleh sesuatu yang ia sayangi. Yang berarti bahkan sebagai hantu sekalipun, kenangan atau ingatan itu masih ada; kita mau percaya bahwa ingatan adalah satu-satunya yang dipunya oleh hantu. Kengerian dementia lebih besar daripada itu karena kita bisa lupa pada apa yang kita cinta, bahkan saat kita masih hidup.

 

 

Selain tokoh si nenek yang barely punya karakter. Karakternya adalah kepikunannya, tokoh-tokoh yang lain tampil total polos. Tokoh Citra Kirana hanya seorang ibu yang mengkhawatirkan keselamatan putri yang baru lahir. Tokoh Darius Sinathrya adalah suami yang tidak percaya kepada kekhawatiran istrinya. Si bayi pada ujungnya akan diculik, seperti pada cerita-cerita horor Awi Suryadi sebelumnya. Dan tentu saja, ada paranormal misterius, dan nanti akan ada tokoh utama yang kesurupan. Pretty basic, dengan struktur cerita yang ala kadar, plot yang kosong. Tapi nilai hiburan film ini memang meningkat. Dalam artian, film mulai mengembrace kekonyolan yang ada, mereka kini tampak mengincar status “so bad, it’s good”. Eksposisi dilakukan dengan komedi. Adegan satpam dengan penjual nasi goreng itu tak ada kepentingan dan kelanjutan selain untuk membuat kita tertawa sembari mereka menjelaskan info seputar mitos menyeramkan. Adegan para tokoh berpegangan di meja makan adalah adegan paling kocak seantero semesta Danur. Menginteferensi tone, memang, tapi film sesungguhnya sudah membangun selera humornya yang aneh ini sedari awal-awal cerita. Selain lelucon, kita juga akan diajak bermain-main dengan jumpscare yang kali ini timingnya lebih diatur dan volumenya lebih dinaikkan lagi.

aku harap bayinya gak masuk angin malem-malem dimandiin di luar.

 

Dan segitulah batas kengerian film ini. Loud dan ngagetin. Sebagian besar adegan seram berawal dari seseorang yang merasa melihat orang lain lagi lewat di lorong rumah. Atau mereka merasa ada yang ganjil gitu aja ketika lagi nyuci atau lagi sembahyang. Dan mereka lanjut teriak-teriak mencari penghuni rumah yang lain. Kejadian begini sungguh amat lemah, usaha yang minimal sekali dalam memancing kengerian dalam film horor. I mean, masih mending jika setting cerita adalah di hutan dan para tokoh tersesat sehingga mereka teriak mencari rekannya. Perlu diingat, Asih mengambil tempat di dalam lingkungan sebuah rumah, yang bahkan tidak terlalu besar. Terus-terusan melihat orang dewasa penghuni berteriak-teriak mencari orang yang bahkan enggak hilang di lingkungan ‘sempit’ tersebut seolah mereka bocah kecil yang nyasar di mall memanggil emaknya, sungguhlah sebuah pengalaman yang jauh dari menyeramkan.

Coba tebak apa yang terjadi begitu si tokoh menemukan orang yang ia cari?

Yup, dialog menjemukan “Ibu tadi lewat sana?” “Enggak kok.” Dan kita supposedly merasa merinding menyaksikan percakapan mereka yang begitu-begitu melulu seperti demikian. Jeng-jeng! 

 




Adegan ngagetin yang dimaksudkan sebagai adegan seram -> eksposisi yang disamarkan dengan komedi -> development karakter berupa tokoh yang tadinya tak percaya menjadi percaya. Begitulah siklus penceritaan film ini. Buat yang belum pikun, film ini terasa enggak benar-benar unggul dari dua film Danur sebelumnya; ceritanya masih kosong, nyaris tanpa plot. Menakjubkan dengan durasi begini singkat betapa banyak flashback dan pengulangan adegan disuguhkan, seolah filmnya kesulitan mengisi durasi. Tapi paling tidak, arahannya mulai berani mengembrace aspek konyol, demi misi mereka membuat film untuk hiburan hantu-hantuan.
The Palace of Wisdom gives 3 out of 10 gold stars for ASIH.

 




That’s all we have for now.
Jika hantu ada karena ingatannya, maka apakah orang yang terkena dementia atau malah hilang ingatan tidak akan bisa menjadi hantu? 

Bagaimana reaksi kalian jika disuruh melupakan suatu hal yang berharga seperti Asih yang harus melupakan tentang anaknya?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017