PAMALI: DUSUN POCONG Review

 

“When in Rome, do as the Romans do”

 

 

Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Kita harus ngikutin atau menghormati aturan di mana pun kita berada, dan satu lagi peribahasa yang perlu diingat adalah; lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya. Setiap tempat atau daerah punya aturan, adat istiadat, kebiasaan yang berbeda-beda. Punya pamali yang berbeda-beda.

Seri film horor Pamali garapan Bobby Prasetyo, dibuat berdasarkan video game dari delevoper asal Bandung, secara khusus mengangkat persoalan pamali sebagai konsep horornya. Di film pertama, pamali gak boleh gunting rambut malam-malam dikembangkan menjadi cerita seorang yang kembali ke rumah masa kecilnya, lalu berkonfrontasi dengan tragedi keluarga yang menghantui rumah tersebut. Pada film kedua ini, sejumlah pamali seperti gak boleh bersiul di malam hari, digodok masuk ke dalam horor survival sekelompok orang di dusun yang terkena wabah. Yang bikin menarik adalah, pelanggaran pamali tersebut dihadirkan dengan ‘twist’. Karakter-karakter di sini aware sama pamali, sama pantangan, mereka gak sompral, tapi mereka tetap diteror pocong-pocong!

Film Pamali pertama punya satu kekurangan mendasar, yaitu terlalu ngikut game, padahal gamenya sendiri bukan tipe video game yang sinematik seperti Resident Evil atau Fatal Frame. Game Pamali konsepnya kita memainkan seorang karakter yang mengurusin satu tempat, pilihan yang kita lakukan saat berinteraksi dengan keadaan sekitar, akan menghantarkan kita kepada pengalaman horor yang berbeda-beda. Pada game pertama, kita jadi orang yang bersihin rumah sebelum dijual. Film Pamali pertama beneran ngikut, protagonisnya beneran cuma bersih-bersih rumah selama tiga hari sembari bertemu banyak kejadian mengerikan. Film itu jadi agak monoton. Kekurangan tersebut berusaha diperbaiki pada film kedua, yang diangkat dari panggung kedua game Pamali yang pemain menjadi seorang tukang gali kubur yang menghabiskan hari ngurusin tetek bengek areal pemakaman. Film kali ini actually mengembangkan situasi tersebut. Mengadaptasi ke situasi yang lebih cocok sebagai penceritaan film. Dusun terpencil. Masalah baru ditambahkan. Karakter-karakter ditambahkan. Sehingga film kedua ini selain terasa bigger, juga terasa lebih ‘sinematik’. Tanpa meninggalkan ruh gamenya. Para penggemar gamenya akan ‘dihibur’ oleh banyaknya referensi atau easter egg yang dihadirkan film yang mengacu kepada momen atau detil-detil kecil pada game.

Naik perahu dulu, baru jalan kaki susur hutan selama kurang lebih tiga jam. Sejauh itulah lokasi dusun tempat tiga orang nakes dan dua penggali kubur, karakter-karakter cerita, ditempatkan. Tempat terisolasi yang perfect banget buat panggung cerita horor. Terinspirasi mungkin oleh pandemi COVID kemaren yang banyak orang meninggal dan mayatnya diperlakukan khusus karena takut menular, dusun di sini juga bergelimpangan oleh mayat. Warganya kena wabah misterius yang menyebabkan kulit mereka bernanah-nanah. Para karakter kita tadinya dipanggil untuk membantu merawat warga yang sakit, serta menguburkan yang wafat. Dengan rate kematian yang tinggi dan obat-obatan yang minim, mereka pikir bahaya di sana cuma ikutan tertular. But soon enough, mereka menyadari ada yang gak beres di dusun itu. Pada warga dan kebiasaan mereka. Salah satunya, warga suka bersiul di malam buta. Teror pocong yang mengancam nyawapun tak terelakkan tatkala para karakter tanpa sadar melanggar pantangan di sana.

Disiulin tapi bukan cat-call

 

Dengan set up dan setting yang lebih klop buat horor survival yang lebih punya ruang untuk kreativitas, film Pamali kedua ini ternyata masih belum terasa benar-benar sempurna, Karena sekarang kurangnya malah pada plot. Cerita kali ini lebih kepada meletakkan karakter di suatu keadaan, dan reaksi dari mereka-lah yang membentuk jalan cerita. Alih-alih sebuah cerita yang tersusun oleh motivasi dan journey karakter utama. Tidak ada karakter yang punya kaitan personal dengan dusun atau wabah, like, tidak ada yang tadinya berasal dari dusun itu lalu kembali ke sana, atau semacamnya. Tidak ada yang punya motivasi khusus, goal pribadi yang ingin dicapai. Para nakes, Mila (Yasamin Jasem), Gendis (Dea Panendra), dan Puput (Arla Ailani) cuma ingin membantu warga, sesuai tugas mereka. Para penggali kubur, Cecep (Fajar Nugra) dan Deden (Bukie B. Mansyur) bertugas menguburkan jenazah. Mereka hanya kebetulan ditempatkan di sana. Protagonis utamanya pun sebenarnya kurang jelas.

Dilihat dari gamenya sih, yang jadi tokoh utama adalah Cecep. Di film ini sepertinya juga Cecep-lah yang paling dekat sebagai sosok tokoh utama, karena memang aksi darinya lah yang memantik konflik dan nanti penyelesaian masalah juga datang darinya. Ada momen yang kamera dari pov Cecep juga, sebagai momen reference film kepada game Pamali yang memang pakai sudut pandang orang pertama (alias karakternya gak kelihatan) Tapi yah, karakter Cecep di sini bentukannya jauh dari gambaran seorang hero pada umumnya. Jangan bayangkan dia kayak Undertaker di WWE. Cecep ini undertaker yang sangat merakyat. Nyunda. So laid back. Yang lucunya lagi adalah Cecep juga ada di film pertama, yang meranin juga Fajar Nugra. Ku gak yakin apakah memang dua Cecep itu adalah karakter yang sama, apakah ini universe yang sama, tapi yang jelas Cecep bisa kita sebut sebagai ‘maskot’ buat film Pamali. Film kali ini jadi ‘hidup’ berkat Cecep, suasana antarkarakter jadi cair berkat Cecep. Dari Cecep, cerita akan bergulir kepada sudut karakter-karakter lain. Mungkin inilah cara film menutupi kekurangan pada plot. Karena paling enggak, sekarang penonton jadi tertarik ngikutin naksir-naksiran antara Cecep dengan Mila.

Ju-On (horor populer dari Jepang) dan sekuel-sekuelnya, menggunakan banyak perspektif karakter untuk menutupi cerita yang minim plot. Film Ju-On sebenarnya hanya bercerita tentang misteri kenapa rumah itu berhantu, kenapa Sadako dan anaknya jadi hantu. Tapi itu diceritakannya lewat berbagai karakter yang pernah menghuni atau bersinggungan dengan rumah tersebut. Jadi filmnya itu kayak dibagi per cerita-cerita pendek yang urutan waktunya random. Keasyikan menontonnya datang dari kita berusaha menyusun cerita-cerita itu serupa menyusun puzzle dan menguak misteri. Pamali: Dusun Pocong juga berkembang dengan mempelihatkan berbagai karakter di dusun tersebut, bedanya film ini tidak memainnkannya ke dalam struktur tersendiri seperti segmen-segmen ala Ju-On. Selain relasi cute antara Cecep dan Mila, kita juga akan melihat peristiwa dari Deden yang tertular penyakit warga dusun, dari Puput yang merasa yakin ada yang masih hidup di antara tumpukan mayat yang belum terkubur (aku paling histeris di bagian ini), dari Gendis yang merasa bertanggungjawab tapi juga kewalahan. Film juga mengangkat sudut dari warga dusun. Dari seorang anak kecil yang ibunya sakit, dan dia juga punya sahabat sepermainan yang telah meninggal. Cerita si anak akan berhubungan dengan subplot Mila yang actually adalah tentang dia ingin menolong anak ini, tapi dilarang oleh Gendis.

Disiulin tapi bukan Hunger Games

 

Cara bercerita Pamali: Dusun Pocong ini ternyata cukup berhasil sebagai tayangan hiburan. Penonton jadi heboh mengikuti, film jadi seru, dan surprisingly jadi cukup kocak. Adegan horornya, however, bukan bahan becandaan. Pocong-pocong  itu terlihat menakutkan. Mereka bikin kita takut sekaligus jijik. Penempatan mereka juga kreatif sekali. Gamenya sendiri memang game horor yang mengandalkan jumpscare, film berhasil mengadaptasi vibe ini. Bermain-main dengan kemunculan pocong. Kadang mereka berdiri begitu saja di latar, bikin jantung kita melengos saat sosoknya terlirik. Kadang mereka muncul dengan suara ketukan, dan mata kita akan menatap layar dengan liar berusaha mencari dan menebak di mana pocong itu muncul. Pamungkasnya ya, jumpscare. Timingnya tepat, dan build up tensinya efektif. Meskipun pocong-pocong ini keluarnya malem, tapi pencahayaan film terukur sehingga kita tidak akan kesulitan melihat apa yang terjadi di layar. Bayang-bayang justru jadi instrumen dalam permainan jumpscare film. Musik yang disuguhkan pun cukup unik. Ricky Lionardi bermain dengan lantunan harmonika, menghasilkan kesan serene, tapi juga mistis. Yang cocok sekali dengan atmosfer dusun yang berduka oleh tragedi tapi juga horor oleh misteri.

Still, naskah yang minimalis left things out too much untuk bisa membuat keseluruhan film jadi benar-benar berbobot. Bahasan kerjaan para nakes tidak banyak dieksplorasi. Bahkan soal keamanan atau precaution untuk gak tertular saja kurang konsisten. Mereka hanya sebatas kewalahan merawat, tapi gak pernah berusaha menjawab apa penyakit ini, enggak concern sepenuhnya pada apa yang menyebabkan penyakit ini dan cara menularnya. Padahal elemen pencarian sebab wabah bakal bisa ngasih stake tambahan, yang makin membatasi gerak karakter. Sehingga nontonnya jadi lebih seru. Misalnya, mereka curiga sama air yang gak bersih, sehingga kini opsi air mereka terbatas. Fokus mereka oleh film hanya ke soal kenapa pocong menyerang mereka. Penyelesaiannya pun sederhana. Persoalan wabah yang tak terjawab membuat wabah ini seperti hanya dijadikan red herring untuk nutupi ‘twist’ bahasan pamali di setiap daerah yang disimpan film sebagai penyadaran terakhir para karakter.

 




Dibandingkan dengan film pertamanya, film kedua ini adalah peningkatan dari sisi hiburan. Horornya lebih seru, survivalnya lebih kerasa, setting dan dunianya juga lebih sinematik, tidak lagi terlalu ikut gamenya yang memang terkonsep horor pada hal-hal rutin. Toh ruh gamenya tetap terdeliver dengan jumpscare dan vibe horor, serta tentu saja lewat cara film mengangkat soal pamali. Kali ini terasa lebih kreatif, karena biasanya horor itu adalah tentang anak kota yang sampai ke desa dan mereka cuek sama pantangan. Di film ini karakternya aware sama pamali, dan berusaha mematuhi sedari awal. Kekurangan film kali ini adalah dari sisi plot. Ceritanya minim, melainkan tentang karakter yang terjebak di suatu situasi sehingga mereka harus bereaksi. Bukan tentang development karakternya itu sendiri. Ini sebenarnya masih bisa ditutupi dengan membuat bentuk tersendiri, seperti horor Jepang Ju-On dengan bentuk puzzle perspektifnya. Film ini hanya kurang bereksperimen saja pada bentuk-bentuk seperti demikian.
Kuberikan 7 out of 10 for PAMALI: DUSUN POCONG

 




 

 

 

That’s all we have for now.

Apakah daerah kalian punya pantangan yang aneh sendiri dibandingkan daerah lain?

Share pendapat kalian di comments yaa

Setelah nonton ini, mungkin kalian masih pengen yang menegangkan? Well, ada nih serial Hijack, serial thriller seru tentang pembajakan di pesawat yang dibintangi oleh Idris Elba di Apple TV+ Yang pengen ngerasain ketegangannya bisa langsung subscribe dari link ini yaa https://apple.co/46yw8RX

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



PETUALANGAN SHERINA 2 Review

 

“Play by the rules, but be ferocious”

 

 

Petualangan Sherina (2000) arguably adalah salah satu film anak terbaik Indonesia. Bahkan di kota asalku yang gak ada bioskop, gaung film itu terdengar keras.  Di sekolahku dulu anak-anak pada nari “Matahariiiii bersinar terang” sama geng masing-masing. Semua pada bawa bekel tupperware isi keping coklat warna-warni. Pose Sherina dan Sadam bertolak punggung, ditiru jadi pose andalan saat berfoto.  Tahun segitu memang film lagi ‘sepi’, Petualangan Sherina hadir bukan cuma jadi hiburan satu-satunya. tapi juga dengan cerita yang ringan nan asik, lagu-lagu yang catchy, dan karakter yang memorable. Sekarang, 23 tahun setelahnya, Riri Riza kembali menghadirkan Petualangan Sherina, di saat yang menurutku juga masih mirip dengan keadaan kemunculan film pertama. Yakni saat kita para penonton bioskop merasa ‘sepi’ dan perlu dihibur oleh karakter yang kita kenal dan lagu-lagu yang catchy. Petualangan Sherina 2 memang dihadirkan untuk memuaskan dahaga nostalgia serta menjawab rasa kangen terhadap para karakter. Bagaimana kelanjutan kehidupan mereka. Jadi apa Sherina dan Sadam – ‘teman-teman kecil’kita dulu itu sekarang.

Sherina M. Darmawan kini jadi reporter stasiun televisi. Cocok sih, mengingat karakternya di film pertama dulu sebagai anak yang cerdas, mandiri, kritis dan tak ragu untuk mendebat sesuatu yang menurut dia mengganjal. Salah satu quote-nya yang paling kuingat dulu adalah ketika bertanya apakah kenakalan itu juga keturunan, karena kalo ada anak yang baik, biasanya orangtua bakal dengan bangga bilang turunan ibu/ayahnya. Sherina thought kenakalan mungkin juga ‘bekerja’ seperti demikian. Dengan kualitas dan sikap seperti itu, Sherina memang pantas jadi jurnalis handal, aku sempat kepikiran karakter Gale Weathers di franchise Scream. Sherina di sekuel ini memang nyaris se-ferocious perempuan itu. Kita melihat dia kesal enggak jadi dikirim meliput ke Swiss. Alih-alih ke sana, Sherina malah ditugasi ke hutan Kalimantan. Meliput penangkaran orangutan. Di hutan itulah nanti Sherina reunian dengan Sadam. Karena sikap pantang melihat hal gak bener Sherina-lah, mereka terlibat petualangan baru; melacak anak orangutan yang dicuri untuk dijual kepada sosialita pengoleksi hewan eksotis. Bergerak sendiri karena menurut Sherina, ngatur strategi itu kelamaan.

Sherina, M-nya apa?

 

Dua-puluh-tiga tahun tentu saja bukan rentang yang sebentar. Film ini tahu persis siapa market mereka. Penonton yang juga ikut bertumbuh; yang dulu menonton Petualangan Sherina saat masih kecil, dan kini bakal kembali ke bioskop menyaksikan kelanjutan cerita. Dan kembalinya mungkin bukan sendiri, melainkan bersama ‘jagoan’ kecil mereka. Jadilah film ini diarahkan untuk jadi tontonan keluarga, tapi dengan cerita yang sedikit lebih dewasa. Film ini paham bahwa kita yang nonton bakal penasaran sama Sherina dan Sadam kini seperti apa. Dalam 23 tahun itu apa yang terjadi pada hubungan mereka. Jadi film ini ‘menggoda’ kita. Sherina dan Sadam dibuat sudah lama berpisah. Bibit-bibit hubungan romantis mereka disebar, karena mereka masing-masing belum berkeluarga. Sherina Munaf dan Derby Romero tampak mudah saja menyambung chemistry karakter mereka.  Kisah yang terjadi kepada mereka setelah kejadian film pertama, hingga mereka SMP dan SMA dan kuliah, turut disebar menghiasi petualangan mereka di hutan. Akan ada momen-momen mereka berdialog yang akrab maupun yang bikin kita penasaran. Bikin kita gemes. Bahkan mungkin sukses membuat penonton terkenang kepada sahabat yang sudah lama tidak bersua.

Ini tentu saja berkaitan dengan development karakter. Urusan naskah. Sebenarnya film ini jauh lebih ‘ambisius’ dibandingkan film pertamanya dulu itu. Ambisius dalam artian ada lebih banyak hal yang dibahas di sini. Naskah-lah yang bertindak sebagai tulang punggung, menjaga agar cerita tetap berjalan sesuai dengan perkembangan karakter.  Perkembangan karakter Sherina yang sedari kecil sudah senang debat dan kritis tadi, kini dikembangkan menjadi ‘flaw’ bagi karakternya. Setiap protagonis utama harus punya flaw/cela karena dari situlah nanti dia bakal mendapat pembelajaran yang membentuk journey karakter yang melingkar sebagai akhir cerita. Flaw Sherina inilah yang menarik, Film tidak terjebak untuk menghadirkan protagonis perempuan yang serba-perfect. Flaw membuat karakter Sherina manusiawi, semanusiawi ketika dulu saat masih kecil karakternya diperlihatkan punya hobi ‘pura-pura’ jadi jagoan. Waktu masih kecil, sikap kritis membuat Sherina tampak lucu. Kini, sikapnya itu malah membuat orang di sekitarnya kurang nyaman. Sherina jadi sedikit bossy. Gak mau diatur, dan maunya hanya melakukan pemikiran sendiri. Sikap itu jualah yang jadi akar rengganggnya hubungan Sherina dengan Sadam. Proses Sherina dealing with her flaw inilah yang tercermin pada aksi-aksi mereka nanti saat berusaha menyelamatkan anak orangutan yang diculik. Memberikan bobot di balik sajian luar cerita.

Jika waktu kecil Sherina belajar untuk melihat hal lebih dekat, kini dia perlu belajar membuka diri untuk melihat dari sudut pandang lain. ‘Mendengar’ orang lain. Gak bisa hanya dengan terus nurutin apa yang menurut dia langkah yang tepat.  Memang, terkadang kita perlu untuk bermain sesuai aturan. Play by the rules, dan mainkanlah dengan lebih baik dari orang lain.

 

Selain soal itu, film juga tampak ‘serius’ bicara soal pelestarian alam, khususnya satwa. Dua karakter antagonis – pasangan yang mengoleksi hewan eksotis – boleh saja dibuat komikal. Ratih yang diperankan Isyana Sarasvati udah kayak Scarlet J.,,eh, udah kayak Cruella De Vil di 101 Dalmatians, hanya lebih konyol. Dia juga dikasih ‘villain song’ yang buatku justru paling memorable di antara lagu-lagu lain di film ini. Tapi kalo diliat-liat karakter jahat komikal tersebut seperti menyentil keadaan yang kita jumpai di kehidupan nyata. Maraknya tren memelihara hewan liar, seperti bayi monyet, bayi macan, dan lain sebagainya di kalangan figur publik. Memelihara tapi bukan untuk melestarikan melainkan hanya untuk dijadikan konten. Menaikkan status sosial. Film ini ngasih pesan dan informasi kepada penonton bahwa hal tersebut adalah sama saja dengan tindak kejahatan. Ini pesan yang penting banget untuk dilihat terutama oleh penonton cilik, karena memberikan edukasi pelestarian satwa dan lingkungan kepada mereka. Salah satu lagu di film ini bahkan menyuarakan soal orangutan dan hutan kalimantan.

Hatiku sedih, hatiku gundah, kok malah jadi berpisah

 

Film ini tahu untuk play within its strength. Dan strength film ini tak lain tak bukan adalah nostalgia. Honestly, aku gak expect film ini bahkan dimulai dengan mengembalikan status-quo kepada formula film pertama. Sherina dari kota, dikirim ke daerah, bertemu Sadam di sana. Banyak sekali adegan-adegan yang bakal ngingetin kita pada momen-momen di film pertama. Nostalgia yang paling kerasa itu terutama pada adegan musikalnya. Seperti film pertama, sekuel ini juga diarahkan sebagai sajian musikal. Sherina dan Sadam akan menyanyikan kejadian dan perasaan yang mereka lalui. Dan kebanyakan lagu-lagu di film ini mereferensikan lagu-lagu pada film pertama. Di satu sisi hal ini memang sweet banget. Mendengar kembali lagu-lagu yang mungkin udah kita nyanyikan berulang kali sedari kecil tentu saja ngasih sensasi menyenangkan tersendiri, walaupun liriknya sedikit diubah mengikuti keadaan cerita yang sekarang. Di sisi lain, terasa jadi agak maksain juga. I’d prefer mereka menyanyikan anthem dari lagu-lagu baru ketimbang cuma mengubah lirik.  Musical number di film ini terasa kurang banyak range-nya dibandingkan dengan lagu-lagu di film pertama. Dulu itu Sherina sedih aja ada lagunya. Di film kali ini kayaknya relatif saat perasaan lagi ‘up’ saja yang dinyanyikan. Dulu, ada battle nyanyi segala. Antara Sherina dan Sadam, ledek-ledekan sambil bernyanyi di halaman sekolah. Di film sekarang, meski Sherina bertemu dengan Ratih, film gak ngasih battle nyanyi lagi kepada kita.

Karena di film ini sekarang ‘battle’ jadi beneran berantem. Sherina dan Sadam jadi literally jagoan, karena bisa berantem ngalahin komplotan penculik dan bodyguard pribadi Ratih dan suami. Memang make sense, sih, kalo setelah kejadian film pertama, Sherina dan Sadam belajar membela diri sehingga kini mereka bisa beraksi. Film juga tak lupa ngebuild soal adegan aksi berantem ini pada sepuluh menit awal dengan memperlihatkan Sherina mukulin samsak dan foto dia ikutan karate. Tapi ya rasanya aneh dan too much aja. Kayak pas Sherina dan Sadam berhadapan dengan cewek bodyguard Ratih, vibenya masih terasa gak klop dengan ‘Petualangan Sherina’ yang kita tahu. Hampir kayak di Pitch Perfect 3 tau-tau Amy bisa berantem, padahal di dua film sebelumnya vibe film itu ya tentang lomba acapella saja. Vibe berantem ini juga bikin komplotan penjahat harus jadi ‘serius’, sehingga presence aktor-aktor dengan akting mumpuni jadi penjahat konyol diganti oleh yang fokus ke bisa action saja. Dan ‘lubang’ di departemen akting ini kerasa banget.

Alih-alih melebarkan sayap ke departemen aksi, menurutku film baiknya melebarkan sayap ke pengembangan karakter lain, Toh cerita kali ini sebenarnya melibatkan banyak karakter baru. Selain karakter antagonis tadi,  ada si kameraman partnernya Sherina, yang kayaknya ada rasa sama Sherina. Ada anak kecil yang ikut membantu menyelamatkan orangutan. Gak semuanya mendapatkan porsi yang cukup. Padahal kalo digali, kayaknya bisa menambah kedalaman cerita. Yang paling kerasa kurang itu adalah si anak kecil. Si Sindai ini kayak udah didesain sebagai cerminan Sherina waktu kecil, tapi enggak banyak adegan yang menampilkan Sherina berinteraksi dengan Sindai. Relasi di antara mereka tidak pernah benar-benar di-build up. Padahal akan keren sekali kalo berdua ini lebih banyak beraksi dan bareng-bareng. I just don’t know kenapa film gak simply membuat Sherina, Sadam, dan Sindai bertualang bersama. Kenapa mereka harus terpisah jadi dua ‘regu’ dan not really berinteraksi dan menjalin hubungan. Padahal Sindai kan posisinya representatif bagi penonton cilik yang diajak ngikut kakak-kakak atau orangtua mereka yang telah ikut tumbuh bersama Sherina dan Sadam. Jadi tidak ada salahnya kalo peran dan karakter Sindai juga ikut lebih banyak tergali.

 




Betapa bahagianya. Kita akan certainly have a great fun time jika datang ke film ini mengharapkan nostalgia ketemu karakter-karakter yang udah kayak teman lama. Arahan film ini tahu apa-apa saja yang harus dideliver, dan melakukan itu dengan sangat efektif. Kisah petualangan baru Sherina diwarnai oleh pesona-pesona yang ada di film pertama. Tontonan keluarga ini meriah oleh lagu-lagu dan cerita yang seru. Bermain-main dengan rasa penasaran kita terhadap lanjutan hubungan karakternya. Dan sebagaimana ihwalnya sebuah sekuel, film ini pun aim for jadi bigger. Punya pesan menjaga alam. Bahkan punya vibe action segala. Naskah menjaga semua itu tersusun rapi, tapi tetap saja buatku film ini beberapa kali terasa too much, sekaligus too little dalam ngehandle hal-hal esensial untuk bangunan cerita. Misalnya karakter-karakter baru yang kurang tergali. Membandingkannya dengan film pertama yang juga punya naskah bener dan terarah, film itu terasa lebih tight karena lebih simpel. Menurutku film kali ini, considering lebih banyak hal yang ditawarkan, terasa agak kewalahan juga. Namun paling enggak, mereka deliver their strength nicely.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for PETUALANGAN SHERINA 2

 




That’s all we have for now.

Awalnya sih aku kurang relate sama Sherina yang kerja kantoran, happy pula. Menurutku Sherina lebih cocok sebagai jurnalis yang happynya saat turun ke lapangan. Sadam juga sebenarnya buatku agak ‘jauh’ juga dari yang kecilnya suka bintang, jadi fokus ke penangkaran orangutan. Gimana menurut kalian, apakah kalian punya versi fan-fic Sherina dan Sadam tuh cocoknya gedenya jadi apa?

Share pendapat kalian di comments yaa

Setelah nonton ini, mungkin kalian masih pengen yang menegangkan? Well, ada nih serial Hijack, serial thriller seru tentang pembajakan di pesawat yang dibintangi oleh Idris Elba di Apple TV+ Yang pengen ngerasain ketegangannya bisa langsung subscribe dari link ini yaa https://apple.co/46yw8RX

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



KISAH TANAH JAWA: POCONG GUNDUL Review

 

“Study the past if you would define the future”

 

 

Kisah-kisah dari tanah Nusantara memang tak ada habisnya. Keragaman suku, adat istiadat, hingga kepercayaan beragama membuat Indonesia bagai sebuah sumur minyak ide cerita yang senantiasa mengalir. Problemnya memang  soal pengisah cerita harus tahu di mana harus menggali. Lalu bagaimana mengolahnya. Ide membuat kisah horor berkelanjutan dari mitologi khas Jawa memang menarik. Dengan pengalamannya menggarap horor terlaris serta horor dengan makhluk khusus, Awi Suryadi di posisi sutradara tampak seperti tawaran yang cukup menjanjikan. Like, aku tertarik untuk melihat gimana dia bakal menghidupkan sosok-sosok horor dalam legenda. Tapi balik ke problem ‘gali sumur minyak’ tadi. Arahan horor Awi hanya bisa terlaksana maksimal jika dibarengi oleh naskah yang tahu di mana harus menggali dan mengolah kisah-kisah adaptasi ini. Dulu pernah jadi serial, kini Kisah Tanah Jawa tampak memulai proyek pertama dari universe kisah horor ini dengan Pocong Gundul, namun sedari film krusial ini kelemahan penulisan sudah amat kentara.

Konsep baru dari dunia parapsikologi diperkenalkan oleh film ini. Konsep retrokognisi. Basically, itu adalah istilah untuk kemampuan paranormal bisa melihat masa lalu. Dalam film ini, retrokognisi bahkan bisa melakukan perjalanan ke masa lalu. Hao yang mewarisi kemampuan itu dari sang Eyang, tinggal memegang benda milik seseorang lalu dia bisa melihat apa yang terjadi pada empunya barang tersebut di masa lalu. Tadinya kemampuan ini Hao gunakan untuk kepentingan mengungkap sejarah. Tapi sepasang suami istri yang hadir di seminar Hao meminta pertolongan untuk mencari anak gadis mereka yang hilang. Dengan kemampuan retrokognisi, Hao mencoba menemukan siswi yang hilang di sekolah. Aksi Hao tersebutlah yang membuat Pocong Gundul, hantu produk ilmu hitam yang menculik si siswi, jadi turut mengincar nyawanya.

Kenapa mantra-mantra bahasa Jawa terdengar lebih mengerikan?

 

Penggambaran horor yang dilakukan film terhadap konsep paranormal tersebut cukup kreatif dan menyenangkan. Karena yang sebenarnya ‘pergi’ ke masa lalu dalam retrokognisi film ini adalah ‘qorin’ dari Hao yang melihat semua peristiwa sebagai empunya barang yang dijadikan medium, maka yang kita lihat adalah Deva Mahenra duduk di sana tapi dari pantulan cermin-cermin yang ada kita dapat melihat sosok ‘aslinya’, yaitu Sari si siswi yang hilang. Untungnya film punya efek dan teknis yang mumpuni untuk menjelajahi ‘lapangan bermain’ yang unik dari elemen horornya tersebut. Kita juga enggak susah menyejajarkan diri dengan karakter, lantaran Hao di sana juga sama dengan kita, mengalami ketakutan yang dirasakan Sari saat kejadian. Jadi jumpscarenya akan efektif, permainan kameranya akan benar-benar terasa membangun ke antisipasi kita untuk kejadian horor. Bukan hanya itu, film ini juga berhasil memvisualkan ketakutan psikologis Sari dan Hao, di antaranya lewat estetik kain kafan dan tanah kuburan, serta – ini yang menarik dan menurutku kurang banyak dieksplorasi; elemen body horror.

Apalah horor berkearifan lokal tanpa ilmu hitam. Kisah Tanah Jawa: Pocong Gundul juga mengeksplorasi soal klenik, menyandingkannya dengan pseudo-science. Ritual santet hingga kekuatan si Pocong yang melahap sukma manusia lewat ujung jari, semua itu mengarah kepada adegan-adegan ‘gangguan’ pada anggota tubuh manusia. Kita melihat karakter menjerit histeris saat tubuh mereka melakukan hal di luar normal; bola mata yang membesar hingga pop out dari lubangnya, misalnya. Hanya saja, adegan-adegan horor yang kuat ini tidak ditimpakan kepada karakter utama. Deva Mahenra tampak sudah siap untuk tampil total, tetapi karakternya tidak banyak mengalami development. Secara scare pun, karakter Sari yang diperankan natural oleh aktor remaja Nayla D. Purnama, terasa dapat adegan yang jauh lebih mencekam.

Padahal kalo dilihat-lihat, desain journey Hao sebenarnya mirip dengan Qodrat (2022). Film ini ngeset up cerita yang membuka untuk petualangan-petualangan Hao selanjutnya sebagai pembasmi hantu pengganggu manusia. Tapi tidak seperti Ustadz Qodrat, Hao tidak terasa seperti earned petualangan tersebut. Karena Hao masih minim penggalian karakternya. Dia ‘cuma’ berubah dari orang yang menggunakan ilmunya sebagai bahan seminar, menjadi seorang ‘pahlawan’. Perubahannya tersebut minim inner journey, melainkan cuma karena si Pocong Gundul juga sekarang mengincar dirinya. Hubungan Hao dengan karakter lain juga tidak ter-flesh out. Persoalan yang  dibuka di bagian awal, tentang dia yang masih kecil dengan kejadian yang menimpa eyangnya, tidak pernah dijadikan hook dramatis oleh cerita. Sehingga plot film ini kerasa hampa. Ini jadi keputusan yang aneh karena set upnya itu sendiri dimainkan dengan dramatis, seolah bakal berpengaruh kepada Hao saat dewasa. Eyang meminta Hao kecil untuk stay selama eyang retrokognisi ke masa lalu, tapi Hao malah pergi main ke luar rumah bersama Rida, sahabatnya. Like, aku nungguin sepanjang durasi kapan Hao dewasa merasa bersalah atau terguncang oleh peristiwa kematian eyangnya. Tapi hook dramatis yang penting sebagai bangunan karakternya itu tidak ada. Karakter Hao berjalan lempeng aja. Sehingga ketika dia diganggu hantu pun, gangguannya tidak benar-benar terasa ngaruh ke emosi kita. Stake dia ngelakuin retrokognisi juga tidak dibangun, ya aturannya, pantangannya, atau semacamnya, padahal sudah dilandaskan bahwa kemampuan tersebut berbahaya.

Biasanya, kisah tentang orang yang bisa ke masa lalu, akan berkaitan dengan bahasan entah itu dia memperbaiki satu hal kecil, atau konfrontasi dengan hal di masa lalu, atau yang lainnya seputar gimana masa lalu itu jadi pembelajaran baginya untuk menangani masalah di masa sekarang. Film ini melibatkan karakter yang ke masa lampau katakanlah untuk mencari info ngalahin setan, tapi secara keseluruhan film ini terasa kosong karena gak actually punya sesuatu di balik ‘perjalanan’ itu terhadap perkembangan karakter utamanya. 

 

Penceritaan tidak terbantu oleh tone yang terasa ke mana-mana. Film ini seperti mengincar horor yang serius menakutkan, namun itu tidak pernah tercapai karena seringkali film malah jatohnya lucu. Della Dartyan berperan sebagai Rida, sahabat yang menjaga Hao saat melakukan perjalanan mistis, lucunya dia berakting seperti sedang dalam sebuah film komedi. Tau gak gimana superhero Marvel seringkali nyeletuk konyol saat bertarung melawan supervillain, di tengah bahaya mengancam dunia? Nah, Rida-nya Della seringkali nge-Marvel-in kisah horor ini. Buatku yang ingin ngerasain feeling horor, ini annoying. Tapi toh penonton lain pada ketawa. Jadi mungkin baiknya memang film ini dijadikan horor komedi saja. Lagipula lihat saja desain makhluk Pocongnya. Aku gak tau di mana letak seramnya pocong yang gundul, atau bahkan apakah hantu yang kepalanya gundul masih layak disebut pocong karena kalo kita bisa melihat palanya gundul berarti dia sudah bukan hantu yang terbungkus kafan lagi…. Jujur saja, penampakan hantu itu saat bersosok Iwa K. justru jauh lebih creepy dan disturbing. Saat full make up pocong gundul, kesan seramnya hilang. Tinggal ngagetin doang. Ditambah pula si Rida dengan cueknya memanggil-manggil dia dengan sebutan ‘Gundul’. Aspek paling seram dari si Pocong Gundul adalah fakta bahwa senjata andalannya adalah ludah asam! Kupikir, damn, mungkin dia semasa hidup suka main sebagai Reptile di Mortal Kombat

Bikin martabat pocong terjun bebas aja!

 

Sekiranya kita enggak tahu film ini diadaptasi dari buku cerita, penonton film yang sudah fasih sama bentuk penceritaan film pasti akan bisa menebak kalo cerita film ini aslinya adalah dari buku. Darimana bisa ketebak? Dari penceritaan yang terlalu bergantung kepada eksposisi lewat narasi. Lewat info yang ‘diceritakan’ oleh karakter. Naskah film ini masih belum luwes dalam mengadaptasi penjelasan-penjelasan yang dibutuhkan, misalnya soal retrokognisi itu apa, pocong gundul itu aslinya dari siapa, dan sebagainya; penjelasan-penjelasan itu masih dituturkan begitu saja oleh karakter. Mereka mendiktekan penjelasan itu, hampir seperti aktornya tinggal membacakan teks saja. Seharusnya naskah yang baik bisa menerjemahkan itu ke dalam bentuk penceritaan yang lebih kreatif. Membuat adegan penjelasan yang lebih mengalir dan tidak seperti kita mendengar orang membaca bahasa tulisan. Karena produk naskah kan sebuah film, tayangan audio visual yang harusnya lebih sebagai sebuah memperlihatkan, daripada hanya memperdengarkan.

Saking banyaknya eksposisi,  nonton film ini hampir seperti kayak dengerin mumbo jumbo omong kosong doang. Masih mending nonton Tenet, yang walaupun dialognya juga penuh penjelasan teori fisika kuantum or whatever that is, tapi setidaknya itu adalah pengetahuan yang ada bobot kebenarannya. Sedangkan pada Pocong Gundul ini, semuanya terasa tanpa bobot. Tau dong pepatah ‘air beriak tanda tak dalam’? Nah, film Pocong Gundul yang ceriwis ini juga seringkali malah jatoh bego oleh dialog ngasal dan lemah logika yang mereka punya. Salah satu yang menurutku fatal karena merusak penerimaannku terhadap logika-cerita mereka adalah soal siswa yang hilang di sekolah, yang kata gurunya sudah dicari-cari ke hutan belakang tidak ketemu, padahal siswa itu ada di dalam sumur yang ada di sana. Masa iya saat pencarian gak ada yang mencari ke dalam sumur – yang bahkan lokasi sumurnya sama sekali tidak tersembunyi ataupun sulit dijangkau. Apalagi peristiwa kehilangan tersebut bukan yang pertama kali, melainkan sudah ada dua kejadian sebelumnya. Buatku ini adalah gejala sebuah penulisan yang malas. Peristiwa seputar misteri hilangnya siswa tersebut mestinya bisa ditulis dengan lebih baik lagi.

 

 




The actual horrifying truth adalah mereka akan terus membuat horor berkualitas subpar seperti ini. Tidak peduli sekeras apapun kita mengkritik. Tetap tidak akan ada perbaikan. Karena film-film seperti ini akan terus laku. Palingan tampilannya saja yang seiring berjalan teknologi akan semakin cakep, dan mulus, dan teknisnya makin bagus. Adegannya semakin sadis. Sementara ceritanya, sebaiknya kita melihat ke belakang dan tidak berekspektasi banyak. Ragam budaya dan seni dan nilai lokal tanah air akan terus dieksploitasi sebagai cerita horor ala kadar, yang bahkan untuk memenuhi fungsi sebagai melestarikan budaya/seni itu saja belum bisa. Mereka hanya akan jadi latar untuk horor-horor seperti ini. Konsep unik yang ditawarkan akan lenyap di tengah-tengah cerita, seperti hantu yang dibacain Ayat Kursi. The new low buat horor lokal adalah saat hendak menontonnya kita memang tidak mengharapkan yang muluk-muluk, tapi somehow begitu filmnya usai kita tetap merasa kecewa. Aku merasakan itu di film ini.
The Palace of Wisdom gives 3 out of 10 gold stars for KISAH TANAH JAWA: POCONG GUNDUL

 

 




That’s all we have for now.

Kalo buatku, bahasa Jawa itu terdengar lebih mengerikan ketika dijadikan mantra atau tembang horor. Apakah ada yang sependapat? Atau ada yang ngerasa lebih seram daerah lain? Kenapa ya setiap orang bisa berbeda gitu?

Share pendapat kalian di comments yaa

Setelah nonton ini, mungkin kalian masih pengen yang menegangkan? Well, ada nih serial Hijack, serial thriller seru tentang pembajakan di pesawat yang dibintangi oleh Idris Elba di Apple TV+ Yang pengen ngerasain ketegangannya bisa langsung subscribe dari link ini yaa https://apple.co/46yw8RX

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



SLEEP CALL Review

 

“Nobody is coming to save you”

 

 

Telponan sama gebetan sampai pagi ternyata ada istilahnya. Sleep call. Romantis sih memang, kita yang lelah dan sumpek setelah beraktivitas seharian kini ada di kamar, curhat bertukar cerita, mendengarkan suara orang yang bikin kita nyaman, sampai akhirnya kita ketiduran. At least ku dulu gitu sih, terakhir kali ngerasain ‘sleep call’ itu pas jaman BB. Telponan sampai pagi, karena dulu video belum lancar kayak sekarang hahaha. Tapi film Sleep Call buatan Fajar Nugros ternyata bukan film romantis. Melainkan sebuah thriller psikologis. Genre yang masih langka banget di perfilman Indonesia, tapi juga merupakan genre favoritku. Muholland Drive (2001) karya David Lynch-lah yang membuatku jadi tertarik sama film, membuatku mulai nonton film katakanlah religiously. Dan dalam film Sleep Call ini, aku merasakan ruh dan bentukan cerita psikologis serupa film itu. Jika perjalanan Diane dalam Mulholland Drive sesungguhnya adalah gambaran yang menyingkap true nightmare di balik gemerlap Hollywood, maka Sleep Call sesungguhnya adalah wake-up call bagi orang kecil seperti Dina bahwa no matter what, Jakarta itu keras!

Dua film itu sama-sama tegas dan lugas. Blak-blakan memperlihatkan Jakarta, seperti Hollywood, merupakan tempat mengais kehidupan penuh oleh kesempatan, tapi juga tanpa ampun. They could make us jika kita mau put on an act, atau tempat itu will definitely break us. Dina terlilit utang. Untuk bisa melunasi pinjaman onlinenya, dia terpaksa harus kerja jadi karyawan pinjol. Such an irony. Dina harus bermanis-manis supaya orang mau minjem ke perusahaannya, dan pada gilirannya, dia juga harus galak supaya peminjam takut dan mau membayar hutang mereka. Inilah yang Dina gak bisa. Dia gak bisa marah sama pengutang, karena dia berada di posisi yang sama. Performa kerja yang buruk, relasi dengan sahabat dan sesama karyawan lain yang hambar, dan kebutuhan hidup yang terus menekan, satu-satunya tempat tenang bagi Dina adalah ‘tempat’ yang ia kunjungi setiap jam 10 malam. ‘Tempat’ di mana dia bercengkerama dengan seorang cowok bernama Rama. Dina percaya Rama dan dunia ‘maya’ itulah yang bakal menyelamatkan dirinya. Tapi keadaan semakin buruk, nyawa-nyawa mulai melayang, saat realita menghantam sampai ke dunia aman Dina tersebut.

Dan pada akhirnya, senyum-lah yang justru paling susah dilakukan oleh orang-orang kecil seperti kita dan Dina

 

Seperti yang dilakukannya di film Inang (2022), Fajar Nugros kembali bermain-main dengan peran meta. Bermain dengan ekspektasi dan pengetahuan penonton akan cast yang ia pilih untuk memerankan karakter-karakter. Laura Basuki jadi meta saat memerankan Dina karena di mata penonton Laura Basuki punya image yang kuat sebagai perempuan yang innocent. I mean, di film ini kita nanti akan melihat makhluk Tuhan selembut Laura Basuki harus marah-marahin orang. Dia meletakkan simbol polos di tengah dunia yang keras sehingga bagi penonton, terasa ada lapisan ekstra, misalnya, ketika karakter Dina yang tadinya merasa kesulitan akhirnya bisa meledak marahin orang. ‘Anjing-anjingin’ orang. Efek sebuah kota begitu keras sampai-sampai ‘menghancurkan’ karakternya yang terus ditekan jadi lebih mudah terdeliver kepada kita. Selain Laura dan Dina, film ini juga menyiapkan satu karakter meta lagi, tapi lebih berfungsi untuk komedi. Yang komedi tersebut juga berjalan dua lapis. Pertama dari image aktornya tadi, dan kedua dari eksistensi karakter religius ini dalam dunia pinjol yang keras tersebut.

Inilah yang akhirnya membedakan Sleep Call dengan Mulholland Drive yang menggambarkan ‘politik belakang layar’ Hollywood dan kebimbangan (and later, kejatuhan) karakternya lewat adegan-adegan yang semuanya dream-like dan surealis . Fajar Nugros memilih untuk memotret kerasnya ibukota terhadap jelata dengan lebih gamblang. Seringkali juga menyentil lewat komedi. Polosnya Dina saat menagih utang ke rumah duka.  Celetukan sesama karyawan pinjol – dengan latar beragam – dalam ‘membenarkan’ kerjaan mereka. Komedi-komedi ini membangun ke momen-momen yang lebih kelam, seiring berlanjutnya cerita. Puncaknya, ya adegan-adegan thriller. Sleep Call memotret dengan intens, dan seperti yang diperlihatkan langsung di pembuka (as a stolen prologue), film ini gak ragu untuk jadi berdarah-darah demi memvisualkan efek dramatis dari tema gimana kerasnya kehidupan membuat seseorang jadi ‘edan’. Bahkan adegan yang lebih metafora seperti cerita Ramayana (dengan karakter yang jadi garisbawah karakter-karakter dalam Sleep Call) yang didengar oleh Dina juga tidak dibuat surealis seperti Klub Silencio di Hollywood versi Mulholland Drive. Momen surealis film Sleep Call justru hadir ketika menggambarkan Dina di ruang-ruang amannya bersama Rama. Film mengontraskan dunia ini dengan dunia nyata lewat antara pencahayaan, yang jadi ungu-ungu neon, ataupun dari ruang dan setting yang lebih ‘terbuka’. Film tidak benar-benar menuntun kita, sometimes cerita akan berjalan dengan abrupt, tapi tanda-tanda visual yang dilakukan film tersebut menjadi pegangan yang cukup untuk membuat kita bisa mengerti.

Menjaga hal untuk tetap tampak real dan dekat membuat film ini tentu saja lebih accessible bagi penonton. Sementara latar soal fenomena dating online mampu mengangkat concern yang aktual tentang resiko dan bahayanya dunia maya, latar tentang pinjol-lah yang mampu membuat film ini unik, merakyat, dan terasa urgent. Bahwa, ngerinya, cerita seperti di Jakarta Dina ini, mungkin sedang terjadi di luar sana, yang bahkan tidak terbatas pada Jakarta, atau bahkan pada orang kecil saja. Senyum – marah. Nyata – maya. Kaya – miskin. Duality-duality yang menghiasi cerita seperti membangun kepada komentar sosial yang ingin disampaikan oleh film ini.  Dan karenanya, sesekali kita juga bisa merasakan ada vibe-vibe seperti film Parasite (2019) atau malah Hunger Games merayapi film ini. Ada satu adegan yang benar-benar memperlihatkan jurang antara dua kelas sosial tersebut. Yang memperlihatkan saat si Kaya hanya menganggap si Miskin sebagai hiburan.

Orang-orang miskin harus saling bunuh demi bisa survive. Orang-orang kaya mempekerjakan mereka untuk saling bunuh tersebut. Dan di dunia yang begitu keras membagi manusia ke dalam dualitas ini, kita tidak bisa mengharapkan ada penyelamat yang datang. Pada akhirnya, seperti Dina, kita harus menyelamatkan diri sendiri.

 

Pandangan tersebut saat dibawa oleh film ke dalam perspektif karakternya, membuat cerita menjadi kisah personal seorang perempuan, bukan saja semata soal miskin dan kaya. Duality bertambah satu. Gender. Cerita Ramayana tadi seketika jadi epos usang, yang oleh karakter utama cerita hanya jadi harapan kosong. Film menuai bobot dramatis lebih lanjut dari sini. Semuanya bakal terhimpun menjadi satu penyadaran dan akhir yang dramatis  dari perjalanan karakternya. Sehingga film ini terangkat, bukan hanya sekadar soal ‘ternyata’

WAKE UP!!

 

Karena memang, lubang betmen pada genre psychological thriller ini adalah cerita jadi cuma tentang ternyata si karakternya adalah apa. Lupa memuat journey dan pengembangan inner dari si karakter. Kembali kita ambil contoh Mulholland Drive; film tersebut memang bergerak dalam bangunan untuk mengungkap apa yang sebenarnya terjadi, siapa sebenarnya Betty dan Diane, dan Rita dan Camilla, dan banyak lagi. Tapi melalui proses pengungkapan dan visualisasi dunia surealis tersebut kita bisa melihat journey satu orang sebagai perspektif utama cerita. Ketika dia menyadari dia sebenarnya ‘apa’, kita memahami kenapa dia bisa menjadi seperti itu. Kita tahu journey naas yang ia alami. Hollywood failed her. Sleep Call, seperti sudah kusebut di awal, punya dasar bentukan cerita yang sama. Di akhir cerita kita sadar – just as Dina sendiri sadar – ‘apa’ sebenarnya Dina. Tapi film tidak stop di sekadar dia ternyata ‘apa’, karena kita di akhir cerita paham journey yang membuat Dina sampai ke titik itu. Kita paham Jakarta, nyata dan maya, broke her. Perubahan karakternya yang kita antisipasi – dari polos jadi beradaptasi dengan kerasnya dunia – jadi punya dramatic irony setelah kita melihat apa yang dia lakukan di akhir.

However, karena itulah aku merasa film ini agak overkill saat membentuk backstory dari journey Dina. Harusnya ada batasan jelas kapan Dina, biar gak spoiler amat katakanlah, ‘rusak’. Membuatnya ternyata sudah mulai ‘rusak’ sedari awal, seperti yang dilakukan oleh film ini, malah mengaburkan journey yang ia alami dalam frame waktu cerita film ini berlangsung. Mengurangi efek dramatis soal tidak ada tempat untuk dia menaruh harapan, karena sekarang kita jadi ragu apakah hubungan dengan Rama selama sleep call itu ada simply karena Dina sudah ‘rusak’ atau itu adalah bentukan yang kompleks dari proyeksi dirinya yang berjuang mengarungi dunia nyata yang keras dan kejam – which is I believed yang inilah yang sebenarnya diniatkan oleh film. Tapi ya, film ini sendirinya jadi agak sedikit terlalu terlena dengan elemen thriller dari karakter utamanya.

 

 




Film ini adalah apa yang terjadi ketika filmmaker yang tahu persis apa yang mau dibicarakan, yang sudah mulai punya bentuk khasnya, tapi tetap membuka diri untuk tantangan baru. Tahun lalu Inang dibuatnya sebagai sebuah elevated horor, tapi agak kurang pada galian psikologisnya. Film kali ini, bukan saja beneran sebuah psychological thriller, tapi menurutku film ini punya keunikan untuk bisa menantang Mulholland Drive. Keputusan untuk membuat momen-momen paling naas karakter lebih gamblang alih-alih surealis mampu membuat film terasa urgent dan lebih mudah konek pada penonton kita. Beat-beat cerita dan journey karakternya berhasil terasa dramatis dan intens. Film ini juga menggunakan komedi dengan baik untuk memperkuat delivery temanya. Genre ini naturally punya lubang jebakan, dan film ini berhasil melangkahi itu karena ini bukan sekadar cerita ‘ternyata’. But I did feel film ini agak overkill dengan backstory sehingga mengurangi efek dramatis dari journey psikologis karakternya.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for SLEEP CALL

 




That’s all we have for now.

Menurut kalian apakah penceritaan psikologis seperti yang dilakukan oleh film ini mudah untuk diikuti, atau sebaliknya?

Share pendapat kalian di comments yaa

Setelah nonton ini, mungkin kalian masih pengen yang menegangkan? Well, ada nih serial Hijack, serial thriller seru tentang pembajakan di pesawat yang dibintangi oleh Idris Elba di Apple TV+ Yang pengen ngerasain ketegangannya bisa langsung subscribe dari link ini yaa https://apple.co/46yw8RX

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 



PUSPA INDAH TAMAN HATI Review

 

 

“An original is worth more than a copy”

 

 

Perkara remake/adaptasi modern dari cerita remaja 80an ternyata masih belum usai. Boy yang sementara waktu bertengger di puncak, mendapat tantangan dari Galih dengan cerita keduanya. Puspa Indah Taman Hati, sekuel dari Gita Cinta dari SMA (2023), hadir dengan suguhan cerita yang lebih sebagai sebuah drama personal dari para karakter sentral. Dunianya memang masih tetap nolstalgia 80an, dengan musik-musik jadul yang diarahkan untuk lebih merasuk ke dalam ruh penceritaan. Namun karya Monty Tiwa kali ini mengusung gagasan yang lebih modern sebagai penyelesaian ‘baru’ dalam konflik ceritanya. Puspa Indah yang memang sudah revolusionary pada zamannya, jadi semakin remaja saja. Bahasan yang boleh dikatakan lebih kompleks tersebut, juga lantas membuat karakter-karakternya terasa lebih real. Menariknya, jika dibandingkan dengan Catatan si Boy yang tayang hanya beberapa minggu sebelumnya, dua film ini terasa seperti agak mirip; karakter utamanya dihadapkan pada pilihan yang sama, dan pilihan mereka masing-masinglah yang jadi penentu. Pembeda yang menunjukkan betapa cerita-cerita ini punya identitas karakter dan gagasan yang kuat. Dan yang paling penting, jika disandingkan dengan Gita Cinta, Puspa Indah sendiri benar-benar jadi sebuah konklusi yang inspirasional bagi perjalanan hidup (bukan hanya cinta) seperti Galih.

Galih dalam Puspa Indah adalah mahasiswa seni yang mencoba membantu menghidupi keluarganya dengan jadi penyanyi. Galih dan ibunya kini tinggal ngontrak di Jakarta. Karir musiknya dapat titik terang tatkala Galih ditawari album solo oleh produser, tapi lagu yang dia nyanyikan bukan lagi lagu karangan sendiri. Melainkan ‘cover’ dari lagu-lagu pop milik penyanyi lain. Lagu-lagu yang bahkan bukan genre yang biasa ia bawakan. Sejalan dengan itu, di kampus, Galih bertemu perempuan bernama Marlina, yang ternyata juga kesengsem sama Galih. Mereka berdua memang jadi pacaran. Tapi tidak tanpa konflik. Karena Galih yang punya pengalaman pahit dalam urusan asmara terkait kelas sosialnya (Galih trauma berat ditolak oleh Bapak Ratna di film pertama), mulai merasa insecure yang berdampak pada karya dan sikap kesehariannya. Marlina pun mengalami gejolak bimbang yang sama karena dia akhirnya mengetahui bahwa wajahnya miriiiiip banget sama Ratna.

Prilly jadi dua, Prilly La-two-consina.

 

Kalo disederhanakan sih, ceritanya memang relate banget. Galih ketemu perempuan yang mirip mantannya. Bukankah memang banyak kejadian seperti itu; kita ketemu orang baru yang ada sesuatu dari dirinya yang membuat kita teringat sama mantan. Atau malah sering juga kan, kita ngerasa kita punya tipe-tipe tertentu, bahwa orang-orang yang pernah kita taksir somehow punya wajah yang mirip. Film ini hanya meng-exaggerate keadaan itu dengan membuat Marlina dan Ratna, both dimainkan oleh Prilly Latuconsina. Aku sendiri juga pernah ngerasain, baru-baru ini malah. Kak Arla yang main juga di Gita Cinta dari SMA mirip banget sama seorang cewek who broke my heart. Maka, selain jadi ngefans sama Arla, aku sebagai cowok Cancer – zodiak yang terkenal susah move on – lantas relapse parah. Aku nyoba ngontak lagi si cewek yang aku tau gak bakal sudi balas messages atau WA ku lagi haha.. Itulah, film Puspa Indah yang bersetting 80an ini sebenarnya sedekat itu. Arahannya pun sebenarnya gak ribet-ribet amat. Film tetap mencoba ‘memancing’ kita ke pilihan Tim Marlina atau Tim Ratna. Naskah Alim Sudio-lah yang menjaga film untuk tetap menghasilkan bahasan yang berbobot.

Marlina dan Ratna bisa kita lihat sebagai Masa Sekarang/Masa Depan dan Masa Lalu bagi Galih. Dan kita tahu bahwa masa lalu, bagaimana juga, penting bagi setiap orang, karena masa lalu-lah yang membentuk jadi seperti apa kita sekarang. Sebagian besar orang (termasuk aku) bahkan menganggap masa lalu akan selalu menang. Tapi Galih adalah seorang karakter tersendiri. Dia boleh saja naksir sama Marlina, karena wajah Marlina mirip sama cinta pertamanya, tapi siapa yang akhirnya dipilih oleh Galih sudah seharusnya diputuskan lewat journey personal Galih. Naskah paham hal ini, karena itulah film menghadirkan kembali Ratna di dalam cerita Galih.  Karena itulah film ini juga tidak ketinggalan mengangkat soal kerjaan Galih sebagai penyanyi. Tema yang mengikat kemelut Galih dengan kerjaannya dan Marlina dengan keinsecure-annya dimiripin sama Ratna,  hingga akhirnya menjadi keputusan Galih memilih siapa di antara dua perempuan itu, adalah soal menjadi diri sendiri.

Statement film dari journey Galih tersebut, menariknya, juga bertindak sebagai gagasan meta. Mengingat film ini sendirinya juga cerita dari masa lalu. Katakanlah, sebuah kopian, seperti lagu-lagu dalam album pop sukses yang dinyanyikan Galih yang bukan original karyanya sendiri. Marlina dan Ratna adalah pembuka mata, bahwa kemiripan mereka bukan lantas berarti Marlina adalah kopian dari Ratna, hanya karena Galih lebih duluan kenal sama Ratna. Bahwa meskipun dari luar ada kemiripan – atau malah disuruh untuk mirip, siapa sebenarnya diri kita, itulah yang membuat kita original. Siapa sebenarnya diri kita, itulah yang harus kita tonjolkan, yang harus tetap dipegang. Maka akhirnya yang dipilih Galih adalah yang membuat dirinya tetap jadi diri sendiri.

 

Cerita yang fokus pada pilihan yang harus dibuat karakter membuat film ini jadi lebih enak untuk diikuti. Karena perubahan pada karakter-karakternya itu lebih mudah terlihat. Yang tentu saja juga berimbas kepada lebih terbukanya ruang untuk para pemain mengeksplorasi akting mereka. Yesaya Abraham, misalnya, di film ini Galih bukan lagi karakter yang lebih banyak diam dan tertekan. Galih di film ini tampak lebih optimis dan berdeterminasi. Flaw karakternya juga lebih kerasa. Kita merasakan dramatic irony pada Galih saat karirnya sukses, tapi membuatnya jadi sedikit songong. Di titik itu kita mengerti Galih yang sukses bisa jadi begitu besar kepala, karena dia punya ‘trauma’ di masa lalu terkait derajat sosialnya. Lucunya, film meng-acknowledge ‘trauma’ Galih tersebut lewat nada yang cukup playful. Seperti ngebecandain Galih. Secara penampilan adegan musik, Yesaya memang selalu tampak tidak-terlalu nyaman disuruh akting bernyanyi. Tapi kini kecanggungannya itu – yang bahkan bertambah karena Galih harus berjoget ala Chrisye – tampak make sense secara inner karakter. Dua karakter yang kepribadiannya bertolak belakang, jelas juga bukan tantangan peran yang enteng bagi Prilly Latuconsina. Marlina dan Ratna berhasil dia hadirkan dengan kekuatan dan kelemahan pribadi masing-masing. Sehingga kita yang menonton pun sering juga terbawa perasaan, kadang kasian ama Marlina dan mendukung Ratna, kadang kasian ama Ratna dan annoyed sama Marlina yang meski lebih terbuka tapi insecure-nya juga gak kelar-kelar

Ternyata bukan Marlina doang, ada lagi yang wajahnya mirip Ratna hahaha

 

Di sinilah menurutku arahan kurang tegas. Secara naskah sebenarnya sudah cukup bagus. Porsi sudut pandang yang balance memang harus dan menjadikan cerita lebih menarik, tetapi semestinya juga tidak mengurangi momen dramatis ketika karakter utama membuat pilihan. Puspa Indah terasa kurang stay di Galih dan agak sedikit terlalu lama mengulik di perasaan Marlina. Karena dari naturenya sebagai film kelanjutan dari Gita Cinta, Puspa Indah adalah soal Galih. Soal perjalanan Galih menentukan pilihan, baik itu karirnya, maupun asmara. Bukan soal Marlina yang bersaing cinta dengan Ratna, atau sebaliknya. Momen pembelajaran Galih memilih apa, atau siapa, dalam film ini tidak diperlihatkan terlalu dramatis. Oleh editing dan cara bercerita film pun, kepentingan perspektif Galih tersebut malah jadi terasa nomordua setelah Marlina dan Ratna ‘meluruskan masalah’ di antara mereka. Film ini banyak membentuk momen-momen tersebut dengan desain untuk menghasilkan ‘ternyata’ alih-alih progres dramatis dari sebuah pembelajaran yang dialami oleh karakter, terutama Galih. Beberapa adegan juga terasa kurang sekuat yang seharusnya, lantaran kadang exit adegannya kelamaan. Misalnya ketika adegan Marlina curhat kepada Ibu Galih; Marlina khawatir jangan-jangan Galih suka dia hanya karena dia mirip Ratna. Momen curhat tersebut terasa agak panjang dan kurang berakhir tegas karena film memilih untuk mengakhiri adegan dengan membahas masalah lain, yakni soal Ibu Galih kangen Bandung.

Film ini juga basically tidak berbuat banyak untuk memperbaiki kekurangan yang kita temukan pada film pertama. Yakni kesan artifisial. Bahasa baku dan lagu jadul, konsep yang dalam dua film ini punya sumber masalah yang sama. Para pemain yang merasa asing dengan konsep tersebut. Karakter-karakter Puspa Indah, secara umum, punya penulisan yang lebih baik. Fungsi dan relasi mereka juga hadir dengan lebih natural. Lebih lancar. Delivery-nya saja yang seringkali masih terasa agak lucu. Adegan-adegan musik juga dilakukan, secara teknis, dengan lebih baik dan tampak lebih meriah masuk ke dalam cerita. Film ini di awal udah kayak mau full-blown musical, dengan nyaris setiap adegan ada nyanyi-nyanyinya. Adegan-adegan nyanyi nya cakep, hanya kesan polesan studio saja yang masih terasa. Like, enggak semua adegan nyanyi perlu polesan, beberapa seperti momen musikal yang sureal, ataupun Galih rekaman dan syuting video klip memang tidak mengapa jika dilakukan dengan polesan. Tapi ada juga adegan-adegan seperti ada Marlina nyanyi di Restoran, yang mestinya lebih kena jika ditampilkan senaturalnya seseorang yang bernyanyi sehari-hari.

 

 




Cerita jaman dulu enak ya, konklusinya tu ada, gitu. Meskipun bersambung, tapi dua filmnya terasa seperti cerita yang berdiri sendiri. Film kali ini, melanjutkan Gita Cinta dari SMA, dengan sebuah perjalanan karakter yang menutup dengan memuaskan. Karena pilihan si karakter itu benar-benar jadi akhir perkembangan dirinya. Sendirinya, film ini hadir dengan statement atau gagasan, yang membuat dirinya tidak sekadar sebuah buatan-ulang. Film ini pun berjuang jadi diri sendiri, seperti karakter-karakternya. Kalo mau dibandingkan lebih lanjut, film ini terasa lebih kompleks dibandingkan Gita Cinta. Karakter-karakternya terasa lebih real. Dunianya yang penuh musik itu pun terasa lebih believable, walau kesan artifisial itu acapkali masih terasa.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for PUSPA INDAH TAMAN HATI

 




That’s all we have for now.

Galih dan Marlina pacaran main skate bareng teman-teman. Apakah date ala 80an impian kalian?

Share cerita kalian di comments yaa

Setelah nonton ini, mungkin kalian jadi pengen yang menegangkan? Well, ada nih serial Hijack, serial thriller seru tentang pembajakan di pesawat yang dibintangi oleh Idris Elba di Apple TV+ Yang pengen ngerasain ketegangannya bisa langsung subscribe dari link ini yaa https://apple.co/46yw8RX

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



CATATAN SI BOY Review

 

“There are things worth fighting for”

 

 

Kalo kita remaja di 80-90an, maka kita enggak akan kehabisan sosok idola untuk dijadikan panutan. Buat yang rebel, si Roy. Untuk yang puitis ada Galih. Yang lebih merakyat punya Lupus. Dan buat remaja kelas elit, anak-anak gaul ‘jaksel’, ada Boy. Mereka semua populer, baik itu bukunya, filmnya, bahkan keduanya. Saking populernya, kita yang di tahun 2023 pun bisa berkesempatan untuk berkenalan dengan mereka. Balada si Roy, Gita Cinta dari SMA, dan kini Catatan si Boy diremake sebagai film bioskop. Namun berbeda dengan yang lain, Hanung Bramantyo tidak membawa kita ke era karakternya. Melainkan justru Boy dan kawan-kawan yang ditempatkan di kehidupan modern. Karakter-karakter ikonik itu diremajakan. Referensi budaya popnya diperbarui. Ceritanya dipoles sedikit supaya lebih sesuai. Langkah yang beresiko, tapi tak pelak menarik. Karena let’s be honest, Roy dan Galih tidak mencapai kepopuleran yang setara saat tampil di 2023. Catatan si Boy modern hadir dengan strategi yang tidak sepenuhnya mengandalkan nostalgia, meski tetap memegang kuat ruh dan identitas karakter dan ceritanya.

Sosok Boy digambarkan sebagai sosok pemuda yang sangat ideal. Kaya, tampan, jagoan, baik hati, dan tak ketinggalan ibadahnya. Sosok itu kini didapukkan kepada Angga YunandaSuch a big shoes to fill bagi Angga karena Boy sudah demikian ikonik dimainkan oleh Onky Alexander. Tapi buatku, dan kurasa juga bagi penonton first-timer lain, Angga paling tidak berhasil membuat Boy berbeda dari karakter remaja populer lain. Boy dimainkan oleh Angga, penuh oleh gestur confident. Gestur mantap dan percaya diri yang hanya bisa muncul ketika kita tahu kita punya semua, kita bisa semua. Si Boy ini bahkan bisa membuat dosen menunda tes demi dirinya. Karakter serbamampu yang disukai semua orang, karakter yang sesempurna dan seideal ini tentu berpotensi jadi masalah pada cerita. Everything will be easy for him. Tapi sebagai jualan, apa boleh buat, mimpi selalu laku untuk dijual. Di samping itu, naskah juga sudah menyiapkan masalah universal untuk dihadapi oleh Boy. Masalah yang semua orang, pasti bisa relate. Masalah cinta. Boy punya pacar bernama Nuke, dan dia gak mau kehilangan Nuke. But reality nukes his hope. Ayah Nuke yang pejabat gak setuju anak gadisnya bergaul dengan anak bisnisman, sehingga Nuke lantas dikirim kuliah ke luar negeri. Tinggallah si Boy, setelah dighosting dia mencoba move on dengan asmara baru dengan Vera si ‘bule pengkolan’ (yang modusnya mobil mogok melulu hihihi). Boy, yang harus belajar bukan hanya untuk memperjuangkan sesuatu yang penting dalam hidupnya, tapi juga belajar mengenali apa tepatnya hal penting tersebut.

Saking confident-nya pembawaan, kadang aku ngeliat Angga di sini kayak lagi meranin Kotaro Minami

 

Cerita Catatan si Boy terasa luas. Babak satunya aja udah kayak keseluruhan cerita Gita Cinta dari SMA. Orang pacaran, ditentang orangtua, lalu berdamai dengan perpisahan. Di babak ini Hanung dan naskah Upi juga menanamkan bibit untuk babak penyelesaian nanti, yang tidak dipunya oleh film originalnya. Pembahasan Boy memperjuangkan nama baik keluarganya. Itu jadi kelebihan film ini, secara objektif punya penyelesaian yang melingkar, dibandingkan dengan film originalnya yang enggak membahas lagi tudingan ayah Nuke yang membuat Boy dan Nuke harus pisah di awal. Film jadi agak differ dari original karena ingin punya ruang untuk memberikan development, journey, kepada karakter Boy yang sempurna. Sentuhan baru yang diberikan itu cukup manis dan kekinian, membuat judul film ini punya terjemahan baru. Gak lagi sekadar nulis diari, karena toh nulis diari sudah jarang dilakukan oleh anak muda masa kini.

Asmara Boy dengan Vera penting untuk terjadi, karena dari situlah Boy belajar soal perjuangan dan cinta.  Bahwa ada hal yang pantas diperjuangkan, tapi ada juga yang tidak. Sehingga Boy juga harus belajar melepaskan. Orang bilang jika mencintai sesuatu, lepaskanlah, maka ia akan kembali. Itulah yang terjadi. Boy telah mengalami kehilangan. Lalu belajar untuk melepaskan, melihat hal yang lebih tepat untuk diperjuangkan. 

 

Yang seru ya babak keduanya. Romansa baru dan tantangan baru dalam kehidupan Boy membuka kesempatan bagi cerita untuk mengeksplorasi dunia. Catatan si Boy versi modern melakukan hal yang tidak berhasil dilakukan dengan baik oleh Gita Cinta maupun Balada si Roy. Mengembangkan dunia cerita. Kehidupan di rumah, aktivitas di kampus, hingga gemerlapnya kehidupan malam jetset, semuanya mengalir tanpa membuat cerita kehilangan tempo. Hubungan Boy dengan adiknya di rumah, Ina (diperankan energik oleh Rebecca Klopper), buatku terasa fresh di masa sekarang karena sudah jarang ada cerita dengan karakter seperti Lupus dan Lulu, cerita yang membuat abang dan adek ceweknya jadi sahabat. Kayaknya modelan keluarga dengan anak sepasang ini memang bentukan dari era 80-90an yang lagi ‘tren-trennya’ KB ya gak sih? Yang jelas, Ina dan Boy sudah seperti sahabat, Boy banyak terbantu oleh Ina soal pacar, sehingga kadang terasa sahabat-sahabat Boy jadi kurang diperlukan; jadi kurang berperan.

Tentu, bukan Angga Yunanda saja yang sebenarnya harus mengisi ‘sepatu’ yang cukup besar. Karakter-karakter dalam cerita Catatan si Boy yang lain juga sama ikoniknya. Ada Andi, sobat deket sekaligus teman sparringnya dalam bertinju. Ada Emon, yang dulu sudah membekas banget dimainkan oleh alm. Didi Petet. Lalu tentu saja Vera, yang bakal menjungkirbalikkan kehidupan asmara Boy dengan gaya hidup dan masa lalunya. Bintang-bintang muda yang memerankan mereka kali ini – Michael James, Elmand, Alyssa Daguise – aku yakin mencoba sebaik kemampuan mereka untuk menghidupkan karakter-karakter ini. Naskah kali ini toh punya lebih waktu untuk mengeksplorasi mereka, ngasih screen time lebih. Pergaulan Boy dengan mereka-mereka ini sebenarnya asyik. Di kampus, misalnya, film memperlihatkan adegan-adegan ospek yang ngasih waktu para aktor ini bersinar dengan karakter versi mereka. Misalnya, ada satu adegan yang personally aku seneng banget, yaitu battle dance antara senior dan junior, yang melibatkan dua juara Gadis Sampul!! Carmela dan Diandra Agatha, ya bahkan karakter pendukung lain pun juga diberikan kesempatan to do something more. Film ini bahkan memasang dua pemain film original, ke dalam peran yang mestinya bisa ‘fun’ seperti Dede Yusuf yang dulunya Andi kini jadi ayah Boy, ataupun Meriam Bellina yang dulu jadi Vera dan kini jadi mamanya Vera.   Dunia Boy hidup, dipenuhi oleh karakter-karakter yang fun dan ngasih momen-momen komedi. Walaupun memang fungsi mereka sebagai pendukung seharusnya bisa dipertegas lagi.

Andi, misalnya, di film jadulnya, Andi jadi the go-to-guy bagi Boy. Ada masalah, ngadunya ke Andi. Andi tahu busuk-busuknya Boy. Sedangkan pada film kali ini, Boy lebih sering ke Ina, dan meskipun memang mereka diperlihatkan selalu saling dukung, Andi lebih terkesan seperti teman nongkrong saja. Makanya momen ketika Andi walau telah dilarang Boy tapi tetap ngumpulin ‘pasukan’ untuk membalas perlakuan mantan pacar Vera kepada Boy, terasa agak ‘berlebihan’. Tidak segenuine film aslinya. Emon, di film ini seperti kehilangan fungsinya sebagai orang yang ngasih tau cewek itu seperti apa kepada “Mas Boy”nya, dan sekarang hanya kayak pure comedic relief. Itupun dialog-dialognya ganjil karena Emon selalu menutup omongannya dengan ‘alias’; dengan menjelaskan maksud dari kata-kata yang ia ucapkan. It was just unnecessary, seperti kalo kita ngejoke, terus ngejelasin joke kita maksudnya apa. Kalo Vera, jatohnya flat. Karakter ini aslinya adalah abu-abu – dia sebenarnya baik, cuma beberapa nilai yang ia percaya gak cocok dengan Boy, maka jadilah konflik dan ke dia sendiri juga ngefek. Di film versi ini, emosi Vera seperti belum sampai ke sana. Dia justru terlihat seperti cewek yang nyusahin dan tidak bisa ditebak maunya. Lebih susah untuk kita bersimpati kepada Vera yang sekarang. Yang dapat momen emosional lebih banyak bahkan daripada film pertamanya justru Syifa Hadju yang berperan sebagai Nuke. Kemunculannya enggak banyak, tapi film memadatkan karakternya.

Ternyata zodiakku sama ama Boy, cuma beda nasib aja. Ama tampang.

 

Karena sesama Cancer itulah aku ngerti betapa berat bagi Boy untuk menghapus fotonya bersama Nuke di Instagram. Bagi Cancer, hapus memori itu hal yang paling susah untuk dilakuin. Apalagi Boy putus ama Nuke itu baru satu tahun, belum apa-apa itu bagi kaum zodiak paling susah move on sedunia akhirat. Cancer loves to hold on some memories. Dan karena mengerti sikap dan perasaan itulah, aku jadi melihat bahwa Angga belum jor-joran menampilkan ekspresi terdalam Boy. Sebagian besar waktu, Angga hanya bermain di fisik. Gestur confident, senyum-senyum sendiri, lalu kekhawatiran saat dighosting, pembawaan yang me’loyo’ saat dikeroyok, kita mengerti itu. Naskah mencoba menceritakan Boy sedang ‘jatuh’, tapi film seperti enggan untuk memperlihatkan karakternya itu dalam titik terendah. Boy yang bertanding tinju saat hatinya ada kemelut, tidak lantas diperlihatkan kalah. Boy tetap menang. Boy yang dikeroyok sebagai puncak dari sekuen dia sedang down dan banyak masalah, tapi film tidak memperlihatkan momen kalah yang dramatis itu. Momen ketika Boy ‘kalah’ terluka secara emosional dan fisik, tidak ada di film ini. Aku gak tahu kenapa film melewatkan momen-momen tersebut, padahal ini kesempatan bagi Angga untuk menunjukkan permainan range-nya.

Maka dari itulah, penonton tetap melihat Boy sebagai sosok yang sempurna. Gak ada salah. Gak ada lemah. Ini yang membuat penonton masa kini yang lebih kritis dan kurang mempan dikasih jualan mimpi, kurang konek ke Boy. Padahal kalo kita tilik naskahnya, development atau journey itu sebenarnya ada. Tapi film ini sendirinya seperti berjuang dengan itu. Struggle untuk ngasih ending yang proper, tapi juga yang dinilai memuaskan. Padahal ada kalanya yang benar dan yang memuaskan itu tidak beriringan. Ending film ini menurutku agak belibet, dibandingkan dengan penulisan di bagian lain. Hampir seperti, naskah ingin berakhir di A, ingin membuat Boy memperjuangkan yang lain, tapi gak boleh karena Boy dan Nuke harus tetap jadian dan perjuangan itu harus ada. You know what I mean? Saat menontonnya aku mendapat kesan naskah dan arahan mengalah, walaupun jadinya development Boy yang tak mencuat, dan Boy sekilas tampak tak mengalami pembelajaran.

 




Membawa karakter-karakter ikonik ke zaman modern ternyata membuat mereka jadi lebih fresh. Dibandingkan dengan yang sejenis dari pop-culture Indonesia 80an, aku pikir film ini yang paling berhasil. Dunia yang dibangun lebih hidup, walau settingannya agak ‘ekslusif’. Naskahnya juga sedikit peningkatan dari yang dulu, karena sekarang penyelesaiannya berusaha dibuat ngelingker ke pokok masalah di awal. Masalahnya cuma kesan bahwa film ini tidak mau untuk jadi dramatis, karena seperti ada sesuatu yang diprotek. Protagonisnya sengaja dicut dari momen dramatis. Sehingga yang bikin intens jadi cuma sebatas adegan-adegan berantem saja. Terlalu fisik. Film ini kurang balance karena kurang nyorot sisi emosional. Karakter pendukung dapat kesempatan lebih hidup, tapi fungsi mereka seperti berkurang karena pengen gak jauh melenceng dari originalnya. Film ini gak jelek, hanya belum maksimal. Mungkin pencapaian film ini bisa dijadikan catatan buat film-film lain yang ingin remake sesuatu dari 80an.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for CATATAN SI BOY

 

 




That’s all we have for now.

Sekelas si Boy aja bisa kena ghosting. Menurut kalian, apa sih yang membuat orang pantas untuk kena ghosting?

Share pendapat kalian di comments yaa

Boy punya jetski dan pesawat jet pribadi. Ngomong-ngomong soal pesawat, aku jadi teringat serial Hijack, serial thriller seru tentang pembajakan di pesawat yang dibintangi oleh Idris Elba di Apple TV+ Yang pengen ngerasain ketegangannya bisa langsung subscribe dari link ini yaa https://apple.co/46yw8RX

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



MINI REVIEW VOLUME 10 (WAKTU MAGHRIB, THE PASSENGER, HOME FOR RENT, BIRD BOX: BARCELONA, ZOM 100: BUCKET LIST OF THE DEAD, RUBY GILLMAN TEENAGE KRAKEN, COBWEB, THEY CLONED TYRONE)

 

 

Edisi kesepuluh Mini-Review ini isinya udah kayak pesta di musim panas. Mulai dari zombie hiu ke cewek laba-laba, dari mermaid jahat ke kloningan korporat, dari orang kesurupan ke psikopat hingga ke sekte-sekte sesat. Meriah! I’ve had fun nontoninnya, dan sekarang saatnya mengulas merekaa!!

 

 

BIRD BOX: BARCELONA Review

Bird Box: Barcelona adalah sekuel, yang tidak banyak memberikan jawaban baru atas fenomena khusus yang ia angkat sebagai cerita. Dunia masih tetap ‘kiamat’ oleh keberadaan sesuatu yang membuat setiap orang bunuh diri jika mata mereka melihat cahaya di luar. Sehingga film ini memang bisa bikin penonton yang ingin tahu kelanjutan atau penyelesaian masalah itu jadi kecewa.

Aku pun pastinya bakal menutup mata juga loh kalo saja sutradara Alex dan David Pastor benar-benar tidak punya tawaran baru. But they did have one. Enggak gede, memang, namun buatku sudah cukup untuk membuka sesuatu yang baru dalam experiencing dunia cerita mereka. Hal yang beda kali ini itu adalah perspektif. Kali ini bukan tentang seorang ibu yang memegang teguh harapan dan kepercayaan untuk membawa anak-anaknya ke tempat keselamatan. Melainkan tentang seorang ayah yang ingin melihat keluarganya lagi. Protagonis kali ini bukan orang baek-baek yang pengen survive. Melainkan salah satu anggota cult yang percaya tugas mereka adalah membimbing sebanyak mungkin orang untuk melihat ‘keindahan’ mematikan. Journey protagonis dalam menyadari kesalahannya yang bikin film ini menarik. Gimana nanti dia berinteraksi dan belajar dari calon korbannya.

Mungkin lebih tepat kalo kita menganggap film ini bukan sebagai sekuel, tapi sebagai companion saja dari film pertamanya. Elemen-elemennya memang berulang dan gak banyak development baru. Tapi kalo dibandingkan dengan film pertamanya, journey protagonis kali ini lebih menarik dan menantang.

The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for BIRD BOX: BARCELONA

.

 

 

COBWEB Review

Horor ‘makhluk yang tinggal di dalam dinding rumah’ selalu punya pesona tersendiri. I think it’s because kita semua setidaknya pernah sekali seumur hidup kebayang yang enggak-enggak ketika mendengar bunyi derit rumah. Perfect banget buat jadi elemen cerita horor. Melihat ke belakang, film kayak Housebound (2014) atau The Boy (2016), cerita tentang seseorang di balik dinding ini bisa sukses karena faktor surprise di dalam ceritanya, tapi sekaligus juga punya kendala yang sama; bagaimana memasukakalkan orang bisa hidup sekian lama di balik tembok. Mari kita lihat cara sutradara Samuel Bodin menghandle soal itu dalam Cobweb

Again, film ini punya langkah awal yang bagus dari perspektif utama. Anak kecil yang mendengar suara di balik dinding rumah, tapi orangtuanya gak percaya. Dari sini drama horornya berjalan. Enggak dibuat ambigu dan menantang, tapi horornya dirancang untuk hiburan mainstream yang efektif, dari sikap orangtua yang mencurigakan. Membangun ke arah pengungkapan siapa di balik dinding, untuk kemudian diubah film menjadi sajian horor kedua, yakni horor creature. Yang di sinilah buatku film jadi kayak kesangkut sendiri pada jaring horor yang mereka buat.

Walau memang paruh akhirnya jauh lebih seru, tapi bagian itu juga lebih generik. Aku gak tahu apakah karena itu film jadi berusaha membuat si makhkluk jadi bombastis, atau mereka cuma pengen beda, tapi hasilnya film ini jadi konyol dan mungkin lebih tepat kalo dibuat sebagai horor komedi. Film seperti tidak bisa memilih makhuk horornya, apakah manusia atau hantu. Jadi mereka membuatnya basically kayak gabungan keduanya. Perspektif karakternya pun jadi tidak terpakai lagi, padahal diceritakan makhluk itu adalah saudara dari si karakter utama. Maka endingnya pun terasa jadi flat.

The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for COBWEB

 

 

 

HOME FOR RENT Review

Tiga tahun belakangan aku gak terkesan sama horor Thailand. Dua yang tayang, dengan hype besar dan populer itu, actually melempem dari segi cerita karena hanya dibuat sebagai wahana jumpscare. Ekspektasiku buat horor Thailand lagi agak rendah, makanya karya Sophon Sakdaphisit menarik telak buatku!

Ini sudah bukan lagi soal ekspektasiku. Home for Rent memang punya cerita yang kuat di balik sajian horor tentang sekte misterius. Cerita orangtua yang berkubang duka begitu dalam, sehingga rela melakukan sesuatu di luar nalar dan bahkan membahayakan keluarganya. Berkisah tentang film ini actually agak susah, karena satu lagi ‘fitur’ yang dipunya oleh film ini adalah mencacah ceritanya ke dalam beberapa sudut pandang. Kita akan berpindah melihat satu kejadian yang sama, dari sudut karakter yang berbeda. Fitur storytelling yang beresiko, tapi juga punya kelebihan yakni membuat pengungkapan misteri jadi berbobot karena ditambatkan kepada perspektif karakter.

Home for Rent terbukti menggunakan cara bercerita seperti itu tidak untuk menutupi dangkalnya bahasan. Melainkan ya ketajaman naluri sutradara untuk membuat cerita dramatis, sekaligus memperkaya cerita dan misteri lewat lapisan sudut pandang. Perpindahan sudut pandang itu juga tak membuat siapa karakter utama jadi tidak jelas. Naskah tetap tegas, Development dan journey dramatis tetap pada Ning, si ibu, sebagai karakter utama.

The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for HOME FOR RENT

 

 

 

RUBY GILLMAN, TEENAGE KRAKEN Review

Jika kraken adalah makhluk laut dengan lengan atau tentakel banyak, maka Ruby Gillman, Teenage Kraken adalah film dengan banyak sekali cabang-cabang yang mengingatkan kita kepada film lain. Yang bikin aku sedikit kecewa adalah kisah tentang makhluk mitos yang menyamar jadi manusia, hidup seperti manusia, ini harusnya kisah yang benar-benar original. Namun sutradara Kirk DeMicco dan Faryn Pearl seperti tidak bisa memutuskan.

Beberapa dari kalian mungkin akan menyebut ini kayak Turning Red (2022). Mungkin ada juga yang memiripkan ini seperti Luca, atau malah Harry Potter. Mungkin film ini memang mengincar kemiripan itu. Karena to be honest, Ruby Gillman bekerja paling kocak saat menjadi parodi. You know, gimana mereka membalikkan status jadi kraken baik dan mermaid jahat. Gimana mereka menggambarkan sosok si jahat itu. Desainnya yang playful dan ngasih komedi tersendiri. Kekecewaanku memang akhirnya terobati dari gimana film ini membentuk para karakternya. Mereka semua terasa mencuat di balik cerita yang not really interesting dan berjuang untuk mengapung sebagai sesuatu yang berbeda. Sebagai tontonan untuk keluarga, tentu saja film ini merupakan alternatif yang baik. Dengan segala pesan ibu-anak perempuan dan persahabatannya. Selain itu, film ini juga punya elemen action yang bikin penonton cilik semakin betah menanti akhir kisahnya

The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for RUBY GILLMAN, TEENAGE KRAKEN

 




THE PASSENGER Review

Terlalu sering kita mendengar nasehat untuk tidak melihat siapa orangnya, tapi lihatlah apa yang dikatakan olehnya. Nasehat yang jelas agak ganjil karena bayangkan kalo kita dilarang menyerobot antrean oleh seorang koruptor, misalnya. Nonton The Passenger karya Carter Smith akan terasa ganjil seperti begitu karena di film ini kita akan melihat protagonis yang sedang dibantu untuk membereskan masalah personal di dalam hidupnya, oleh seorang ‘teman’ yang baru saja membunuhi orang-orang di diner tempat mereka bekerja.

The Passenger adalah road trip intens, bukan oleh aksi-aksi, melainkan oleh dinamika karakternya. Seorang pria muda yang begitu helpless dan terguncang oleh yang ia perbuat di masa lalu sampai-sampai seseorang yang berbahaya, meledak-ledak, tergerak untuk membantunya. Tahun lalu, ada film Piggy (2022) yang mirip seperti ini, cewek korban bully dan body shaming, dikasihani oleh pembunuh psikopat. Tapi film tersebut berkembang jadi thriller bunuh-bunuhan generik. The Passenger mengembangkan ceritanya dengan lebih berfokus kepada drama. Dua karakter sentral dimainkan dengan sangat meyakinkan, emosi mereka terasa raw, rough, tapi memang itulah yang dibutuhkan oleh cerita. Film ini berhasil membuatku bercakap-cakap dengan layar, berusaha ngobrol dengan para karakter. Di satu sisi, kita ingin Bradley melarikan diri dan selamat, tapi di sisi lain kita juga ingin dia menemukan keberanian untuk mengkonfrontasi masa lalunya, dan satu-satunya cara ya lewat Benson yang tak pernah jauh dari pistolnya.

Bukan siapa yang benar-siapa yang salah, siapa yang jahat-siapa yang baik yang ingin dicapai oleh film. Karena dua karakternya itu akan menjadi sesuatu yang lebih dekat dari sahabat tapi juga begitu berjarak seperti musuh paling bebuyutan. Jalinan kuat dan unik yang perlahan terbentuk inilah yang bikin kita betah nonton sampai beres.

The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for THE PASSENGER

 

 

 

THEY CLONED TYRONE Review

Nah ini baru unik, seru dan kocak juga! Cara mereka ngambil judul aja udah demikian menarik, jika kita lihat konteks ceritanya. Dari luarnya, They Cloned Tyrone seperti cerita ala Groundhog Day, hanya lebih ‘gila’. Jadi si Fountaine ngerasa hidupnya rada-rada berulang gitu. Tapi bukan karena dia masuk time loop. Fountaine sebenarnya telah tewas, tapi dia terbangun seperti biasa di kamar, dan kembali menjalani rutinitasnya sebagai drug dealer seperti gak ada apa-apa. Aslinya, Fountaine sudah dikloning, dan dia baru tahu akan apa yang sebenarnya terjadi dari interaksinya dengan unlikely allies.

Di dalam, They Cloned Tyrone sebenarnya sebuah komentar sosial. Juel Taylor dalam debut penyutradaannya ini bikin sesuatu yang bisa berdampingan dengan horor-horornya Jordan Peele. Karena sesungguhnya film ini juga punya concern terhadap eksploitasi warga kulit hitam. Bukan cuma Fountaine yang dikloning, hampir semua orang di lingkungan mereka ternyata jadi bahan percobaan perusahaan kulit putih yang punya markas di bawah tanah. Waralaba ayam goreng, produk pengecat rambut, hal-hal yang mereka tonton iklannya di TV ternyata adalah alat untuk ‘mengendalikan’ mereka. Semua itu dibikin oleh film sebagai simbol bagaimana stereotipe yang tersemat pada warga kulit hitam sebenarnya tak lebih dari sebuah eksploitasi

Bibit misteri dan komedi tumbuh dengan asik. Trio sentral (John Boyega, Jamie Foxx, dan Teyonah Parris) bikin cerita makin seru dengan enerji dan personality mereka masing-masing. Film ini bisa sangat menghibur. Problem sedikit ada pada pacing pada cerita yang secara natural punya beberapa pengulangan, juga karena bentukannya yang berupa pemecahan misteri. Film pada beberapa kesempatan masih terlihat struggling untuk menjaga pace, menurutku kalo film bisa lincah dalam tempo dan komedi, tentu penceritaannya lebih nonjok lagi.

The Palace of Wisdom gives 6.5  gold stars out of 10 for THEY CLONED TYRONE

 

 

 

WAKTU MAGHRIB Review

Untuk beberapa waktu, horor karya Sidharta Tata ini jadi film Indonesia paling laris di 2023. Dan setelah ditonton, aku bisa paham kenapa film ini menghasilkan kesan dan pembicaraan yang baik. Waktu Maghrib dengan cerdik menjadikan ceritanya berpusat pada karakter anak, tapi dengan horor yang tetap brutal. Konteks ceritanya pun diambil yang ‘dekat’ dengan penonton, kepercayaan bahwa waktu maghrib adalah waktu tabu untuk keluar rumah.

Saat nonton ini, aku kepikiran Forbidden Siren, game horor tentang warga di sebuah desa yang dilarang keluar rumah saat sirine berbunyi di malam hari, yang tetap nekat ya berubah jadi zombie berdarah-darah. Desain horor film ini mirip dengan itu (I think it would be cool kalo suara sirine diganti suara adzan maghrib). Bahasan tentang orang takut ke mesjid karena setan maghrib tentu bakal menarik jika digali. Tapi Waktu Maghrib ternyata hanya memperlihatkan soal itu sekilas. Naskah dan arahannya seperti bergelut pengen menceritakan apa, dan akhirnya memilih jalan yang generik. Waktu Maghrib tak lagi membahas ketakutan tersebut, melainkan jadi literally sosok setan yang membuat anak-anak bunuh diri. Jadi tebak-tebakan misteri siapa yang sebenarnya jahat.

Ketika satu anak mati, cerita pindah ke anak lain. Perspektif berpindah-pindah yang dilakukan Waktu Maghrib tidak sebaik yang dilakukan oleh Home for Rent. Karena di Waktu Maghrib, tokoh utamanya gak pernah jelas. Tidak ada karakter yang mengalami development, karena cerita hanya tentang selamat dari hantu. Plotnya hanya tentang ‘oh ternyata’. Motivasi dan mitologinya enggak berkembang dengan baik. Suasana desanya tidak pernah tergambar detil, padahal set upnya sebenarnya menarik. Kita tahu film ini not follow through idenya sendiri, saat film bahkan gak mampu gambarin suasana maghrib itu dengan genuine.

The Palace of Wisdom gives 3 gold star out of 10 for WAKTU MAGHRIB

 

 

 

ZOM 100: BUCKET LIST OF THE DEAD Review

Yang aku gak suka dari film ini cuma judulnya. Selebihnya, film ini such a blast! Idenya segar banget. I know for a fact, kalo ini dibikin oleh Hollywood, maka judulnya pasti adalah Zombie Shark, atau Zombie Shark Hero.

Sutradara Yusuke Ishida sebenarnya ngambil setting zombie apocalypse cuma untuk perumpamaan. Karyawan yang kerja pagi pulang malam, nurut-nurut saja sama bos yang toxic berlindung di balik istilah keluarga, atau terus ‘ngedoktrin’ mereka bahwa mereka bukan apa-apa tanpa kerjaan ini, dianggap sebagai zombie. Kalo sedang tidak dikejar zombie, maka si Akira Tendo, karakter utama kita itulah yang jadi zombie korporat. Dia justru tampak lebih hidup saat membasmi zombie-zombie beneran, karena cuma di saat itulah dia bisa menjadi dirinya sendiri. Akira sampai bikin list sendiri, kegiatan-kegiatan yang ingin dia lakukan mumpung sempat karena dia bisa gak masuk kerja sebab dunia dilanda wabah zombie. Akira dan listnya jadi kontras yang menarik pada genre zombie yang biasanya karakter utama justru si kikuk yang harus jadi jagoan dan punya list berupa aturan yang gak boleh dilanggar kalo mau selamat di dunia zombie. Akira dan listnya malah hidup bersenang-senang saat ada zombie. Yang paling ngakak ya ketika film ini gambarin siapa lawan Akira sebenarnya. Siapa musuh karyawan-karyawan kecil. Ya, corporate shark. Film menggambarkannya jadi literally hiu zombie, Hiu dengan kaki-kaki zombie. Design makhluk horor yang sungguh jenius hahaha. Vibe over-the-topnya masuk dan gak pernah jadi annoying ataupun bikin film jadi bablas receh

Film ini bekerja terbaik ketika mengumpamakan hal tersebut. Vibe cerianya di saat horor sebenarnya jadi ironi yang lucu. Stake di cerita ini bukan dari nyawa Akira yang bisa menghilang kalo dia kena gigit zombie. Melainkan, kita lebih khawatir kalo Akira kembali jadi budak di kantor. Journey Akira juga dipenuhi oleh karakter-karakter manusia yang bakal membantunya menyadari bahwa dia jadi zombie begitu urusan kerjaan dan bosnya tiba. Bagian serunya buatku ya di babak awal, dan di babak akhir. Babak keduanya sedikit generik, meski memang perlu untuk ngebuild up relasinya dengan karakter lain. Kalo film fokus di perumpaman, cerita tidak dipanjang-panjangin oleh kejadian Akira dan gengnya di luar sana dengan zombie-zombie generik, maka film ini akan lebih enak ditonton.

The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for ZOM 100: BUCKET LIST OF THE DEAD

 

 





That’s all we have for now

Kita sudah di paruh akhir 2023, dan aku sudah mulai bisa melihat calon-calon yang bakal masuk Top-8 ku untuk tahun ini. Gimana dengan kalian? Apakah kalian punya rekomendasi film 2023 yang mungkin terlewat olehku, dan kalian merasa film itu pantas dapat skor 8? Silakan share di komen.

Thanks for reading.

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



TEENAGE MUTANT NINJA TURTLES: MUTANT MAYHEM Review

 

“Do it from love, not for love”

 

 

Bagiku Teenage Mutant Ninja Turtles adalah sebuah fase. Jauh sebelum suka Power Rangers dan pasukan superhero lain, aku yang masih balita suka sama empat kura-kura yang jago berantem ini. Aku gak ingat apa yang exactly kusuka dari Kura-Kura Ninja, aku bahkan gak ingat jalan cerita serial kartunnya di TV, tapi pokoknya waktu kecil saking sukanya sampai-sampai setiap jajan, aku selalu minta dibelikan pernak-pernik Kura-Kura Ninja mulai dari mainan hingga topeng. Saat gedean, tentu saja aku coba ngikutin Kura-Kura Ninja – yang ternyata memang franchise yang gede dan selalu dibuat ulang – soalnya penasaran kan, kok kata ortu dulu aku suka banget. Aku mengenal karakter-karakternya, jalan ceritanya, tapi ya ternyata aku gak suka-suka amat. Biasa aja sama kartun nya yang baru. Benci banget malah sama film live-action versi Michael Bay.  Looks like I grow up out of them, kecuali satu hal; game Kura-Kura Ninja. Always love them now and then. Baru-baru ini banget aku namatin game terbaru Kura-Kura Ninja (go check YouTube My Dirt Sheet untuk playtroughnya!) Selebihnya ya, Kura-Kura Ninja adalah fase masa kecil yang sudah kutinggalkan. Sampai, film karya Jeff Rowe yang diproduseri oleh Seth Rogen ini tayang! KKN: Mutant Mayhem adalah jawaban terdekat yang bisa kudapatkan kenapa waktu kecil aku suka Kura-Kura Ninja. Karena saat menonton ini, aku merasa seperti bocil yang baru saja menemukan jagoan favoritnya untuk pertama kali!

Can’t believe Seth Rogen restored my childhood just like that

 

Backstory karakter dalam film ini diubah sedikit dari cerita original KKN. Seperti karakter mutant yang aslinya adalah manusia, tapi di film ini diubah menjadi berasal dari hewan demi menyesuaikan dengan tema cerita. Ada juga karakter villain populer yang diubah jadi baik. Perubahan-perubahan ini bakal sedikit-banyak terasa aneh oleh hardcore fans, tapi percayalah tidak mengganggu. Karena film KKN kali ini memang berfungsi sebagai reboot, yang menghasilkan cerita baru tapi dengan ruh yang tetap terjaga. Di sini gak ada (belum ada!) Shredder. Permasalahan di film ini lebih ke konflik prejudice antara manusia dan hewan-hewan mutant. Sekilas konfliknya memang mengingatkan kita kepada cerita X-Men. Superfly, (mutant lalat, bukan nama pegulat hihihi) villain utama di cerita ini, punya plead yang sama dengan Magneto. Membasmi manusia dan membuat dunia yang lebih baik untuk para mutant. Yang bikin beda adalah cerita KKN yang ditujukan untuk penonton muda ini dibikin lebih hopeful dan mengutamakan kepada feel good moment, alih-alih politik kekuasaan.

Protagonis cerita, Leo, Ralph, Don, dan Mikey, kura-kura remaja yang ingin hidup bersama manusia, makhluk yang menurut mereka keren, tapi harus dijauhi, karena kata ayah mereka, mutant tikus bernama Splinter, manusia itu berbahaya. Manusia akan definitely melukai mereka karena mereka berbeda. Running joke yang diangkat dari sini adalah gimana manusia bakal memerah mutant sampai kering. Jokes yang kuakui sedikit kekanakan, tapi itu hanya karena ku sudah di luar target umurnya hahaha.. But hey, sekali lagi, ‘milking until dry‘ mungkin adalah joke yang paling jinak, tapi tetep berhasil, yang bisa diperah dari otak Seth Rogen yang biasanya ngehasilin komedi urakan. Jadi empat kura-kura jagoan kita ingin merebut hati manusia dengan jadi pahlawan. Mereka membantu membasmi kejahatan yang dilakukan oleh geng Superfly, dan dijadiin berita oleh April, gadis wartawan media sekolah. Masalahnya adalah ketika para KKN tatap muka dengan geng Superfly. Mereka sama-sama makhluk mutant. Mereka sama-sama punya keinginan hidup lebih baik, tidak lagi di dalam bayang-bayang. Jadi para KKN harus memilih; ikut Superfly membasmi manusia, atau tetap jadi pahlawan meskipun itu buat orang-orang yang gak menerima mereka.

Para Turtles menjadi pahlawan kota supaya mereka bisa diterima oleh manusia. Tapi mereka belum nyadar bahwa penerimaan itu berasal dari cinta. Menjadi pahlawan juga harusnya merupakan tindakan yang tulus. Jadi itulah yang harus dipelajari lebih dulu oleh mereka. Belajar menerima diri sendiri, belajar mencintai kekurangan sendiri, belajar untuk berbuat baik tanpa harus berharap disukai dan dianggap sebagai pahlawan.

 

Tema acceptance serta merta akan beresonansi dengan penonton muda. Pada generasi Z yang memang persoalan identitas jadi persoalan yang pelik. Tema tersebut membuat animasi hiburan ini jadi punya bobot. Namun memang tak bisa dipungkiri yang ngesold out penonton muda buat betah nonton ini sampai akhir adalah suara – literally dan figuratively- dari karakter-karakternya, Terutama para Kura-Kura Ninja. Para jagoan bertempurung itu benar-benar berjiwa dan bersemangat remaja, ditambah pula voice aktor yang memang anak-anak remaja. Jadi mereka kayak anak remaja beneran. Yang cablak, kadang sedikit angkuh, energik, ceroboh, dan ada sisi polos yang natural. Gimana mereka saling berinteraksi, udah persis kayak kakak adik sodaraan beneran. Kalian tahu dialog celetukan ala Marvel yang sering out of nowhere gak tepat sikon disebutkan oleh superhero dewasa? Nah, dialog para KKN juga seperti itu, namun karena mereka kerasa genuine seorang remaja, maka dialog celetukan seperti itu lebih mudah untuk kita maklumi.  Personality masing-masing Turtle benar-benar terflesh out. Leonardo yang sering diledek tukang ngadu, karena berusaha jadi pemimpin yang baik, Ralph yang pengen ngerasain sekolah, Mikey yang jago improv, Donatello yang hobi K-Pop dan anime. Yang mereka obrolin juga referensi yang kekinian banget. Bahas Marvel lah, Attack on Titan lah. Film ini memang menggila soal referensi, baik untuk generasi muda ataupun penonton yang lebih ‘uzur’, tapi walau ada juga referensi ke produk Nickelodeon,  gak sekalipun terasa cringe dan ganggu penceritaan.

Sampai sekarang aku masih gak percaya film ini bener-bener masukin versi meme dari lagu What’s Going On; meme kocak yang udah beredar enam-belas tahun di internet itu dijadikan musik latar saat adegan kejar-kejaran mobil! So wild!!

Kura-Kura jadi kambing hitam

 

As an older fan, aku turut mengapresiasi voice work dari aktor-aktor seperti Natasia Demetriou yang jadi Wingnut – mutant kelelawar, serta Jackie Chan yang meranin Splinter, dan Ice Cube yang jadi Superfly. Mereka terdengar begitu fun menghidupkan karakternya. Malah di sini Jackie Chan kayak gak hanya menyumbang suara, karena adegan Splinter berantem itu udah kayak adegan-adegan Jackie Chan dalam film-film laga. Berantem kocak dengan properti di sekelilingnya. Splinter dan Superfly sendiri memang punya keparalelan yang menarik, karena basically mereka sama-sama membenci manusia. Development karakternya-lah yang nanti bakal membedakan keduanya. Mendengar Jackie Chan dan Ice Cube di sini membuatku pengen melihat film Friday dibikin sekuel baru, dibintangi Ice Cube dan Chris Tucker dan Jackie Chan sekaligus hahahaha!

Untuk gaya visual, man, aku seneng banget di tahun-tahun belakangan ini kita dapat film animasi yang gaya gambarnya itu enggak seragam. Yang enggak kayak berusaha bikin yang sesuai standar tertentu. Mungkin semua ini memang pengaruh dari kesuksesan Spider-Man: Into the Spider-verse (2018), tapi aneka ragam gaya animasi memang perlu kita rayakan. KKN: Mutant Mayhem menggunakan gaya animasi unik yang konsepnya tuh kayak coret-coretan atau arsiran. Ada objek-objek seperti asap, lampu, bahkan bulan, yang terbentuk dari garis-garis berulang yang semrawut. Estetik tersebut actually menambah banyak untuk karakter dan vibe film ini. Terutama dari sisi latar tempat. Garis corat-coret itu seperti menghidupkan kesan rough dari kota New York. Personality kota itu penting, karena di situlah tempat prejudice manusia berbahaya, mutant berbahaya itu tumbuh. Film ini berhasil menggambarkan itu semua ke dalam  desain komposisi wujud dan warna yang fresh. Dan ngomong-ngomong soal desain, satu yang tampaknya mencuat pada penggemar Kura-Kura Ninja, yaitu desain karakter April. April di sini bukan lagi perempuan pirang, langsing, dan seorang jurnalis yang pede. Menurutku yang dilakukan oleh film ini selangkah lebih respek daripada sekadar meng-race swap. April dibikin seperti our everyday friend bukan lagi perempuan muda dengan standar kecantikan mainstream. Karakternya kini punya kelemahan yang semakin manusiawi (dia gak pede di depan kamera), meski tetap mandiri dan cerdas dan tak lantas jadi orang yang perlu diselamatkan.

Aku pengen bilang film ini hiburan yang perfect, kalo bukan karena satu hal kecil. Flow penceritaan di babak awal. Babak pengenalan film ini actually kurang mulus, dengan tempo yang agak tercekit-cekit, karena film menggunakan banyak flashback perspektif. Aku gak tau apakah itu istilah yang benar atau bukan, tapi yang kumaksud adalah banyak flashback dari sudut pandang karakter tertentu, guna menceritakan apa yang terjadi dari sudut pandang lain sebelum jagoan-jagoan kita exist di dunia. Sebenarnya ini cara yang lumrah, tapi untuk film ini aku tidak melihat alasan kenapa harus melakukannya seperti itu. Karena toh cerita bisa saja berlangsung dengan linear. Keputusan film mengskip langsung lima belas tahun kemudian, tapi lalu enggak lama setelah itu malah balik untuk flashback, buatku agak aneh dan kurang efektif. Membuat sampai ke plot poin pertama rasanya jadi lama banget, dan berjalan agak ngambang mau ke mana. Tapi memang hanya di 20-30 menit pertama itu saja. Selebihnya, KKN: Mutant Mayhem adalah suguhan seru dan bisa dibilang liar, yang asyik lagi berbobot.

 

 




Lapisan kebahagiaan dan kepuasaanku memang banyak banget setelah nonton film ini. Senang karena akhirnya ada lagi film KKN yang proper (Kura-Kura Ninja, loh, bukan KKN yang satu lagi). Senang karena terhibur oleh aksi dan keseruan dan akting suara yang dilakukan. Senang karena film animasi masih punya banyak ruang untuk berkembang dan gak melulu tampil dengan gaya yang sama.  Duh, sepertinya akhir tahun bakal susah nih milih film animasi yang terbaik di antara yang terbaik! Aku gak ngerti kenapa film ini malah berkurang layarnya di bioskop, padahal mestinya film ini jadi hiburan yang paling ‘aman’ dan respek buat keluarga. Meski diremajakan untuk penonton kekinian, isi film ini beresonansi dengan berbagai generasi. Dan karena ini basically reboot atau cerita baru, maka enggak perlu tahu film atau cerita lamanya. Penceritaan film ini bekerja baik dalam menghantarkan backstory setiap karakter. Setiap keinginan dan pembelajaran mereka bakal terbungkus seru. Mungkin akan sedikit mengingatkan kepada X-Men, tapi tone dan vibe dan developmentnya certainly one of a kind. Justru melewatkan ini bakal kowabunga, eh salah.. kebangetan!
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for TEENAGE MUTANT NINJA TURTLES: MUTANT MAYHEM

 




That’s all we have for now.

Menurut kalian apa yang berhasil dilakukan oleh film ini, yang gagal dilakukan oleh versi live-action Michael Bay?

Share pendapat kalian di comments yaa

Hijack, serial thriller bagus tentang pembajakan di pesawat yang dibintangi oleh Idris Elba di Apple TV+ sudah sampai ke episode finale. Yang pengen ngerasain ketegangannya bisa langsung subscribe dari link ini yaa https://apple.co/46yw8RX

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 



SUZZANNA: MALAM JUMAT KLIWON Review

 

“How truly hard it was, really, to see someone you love change right before your very eyes” 

 

 

Cinta sejati itu kayak hantu. Banyak yang ngomongin, tapi cuma sedikit yang beneran melihatnya.  Merasakannya. Telah membuktikannya sendiri. Saking susahnya memperjuangkan cinta. Selalu ada saja halangannya. Makanya greatest love story seringkali justru merupakan sebuah kisah yang tragis. Gimana perasaan kita gak teraduk melihat karakter berusaha memperjuangkan perasaan yang tak semua orang bisa melihatnya ada tersebut. Guntur Soerharjanto berusaha mengaduk perasaan kita lewat film kedua Luna Maya sebagai Suzzanna. Adaptasi atau remake bebas dari horor klasik si Ratu Horor ini coba dikuatkan oleh Guntur perihal kisah cinta kedua karakternya. Membuat cinta dan hantu literally jadi satu frame. Di balik horor balas dendam, at heart film ini adalah kisah cinta yang terhalang oleh kematian. Sebagaimana halnya pada film  pertamanya tahun 2018 yang lalu. Bedanya, film Suzzanna: Bernapas dalam Kubur itu berhasil mengaduk perasaan kita, cerita dan arahannya berhasil menggali sudut pandang perempuan yang berkonflik personal; Suzzanna yang telah jadi hantu ingin membalas dendam atas kematiannya, tapi dia gak mau harus berpisah dengan suami, sehingga dia berpura-pura masih manusia. Film Suzzanna: Malam Jumat Kliwon bahkan gak punya sudut pandang kuat untuk menyampaikan konflik cinta tragis di antara kedua karakternya.

Dalam usaha untuk lebih memperkaya suasana dan dunia cerita, Malam Jumat Kliwon jadi lebih banyak mengambil sudut galian. Di satu sisi memang ini bikin cerita di Jawa tahun 1986 itu terasa lebih imersif. Babak pertama film terasa solid oleh build up dan terjaga dengan tempo yang cukup cepat. Kita melihat Suzzanna, kali ini seorang gadis desa yang dipinang oleh Raden Aryo yang ingin punya keturunan. Kita melihat Surya, kekasih Suzzanna, yang mencari tambahan nafkah dengan menjadi petarung. Kita juga melihat istri tua Raden Aryo punya peran di dalam cerita, karena kecemburuannya. So many motivasi yang saling beradu. Di babak ini cerita lebih bertapak pada Suzzanna, yang setelah hamil mulai merasa dirinya gak aman di rumah Raden. Dia disantet, dan hal menjadi total nightmare bagi Suzzanna saat proses melahirkan. Suzzanna meninggal dengan cara mengerikan, cerita masuk babak kedua, dan naskah hingga arahan mulai keteteran. Cerita ‘berpindah’ jadi tentang Surya yang ingin melihat Suzzanna untuk terakhir kalinya, only ended up mengadakan perjanjian dengan iblis untuk menghidupkan Suzzanna. Perempuan itu memang terbangun, tapi sebagai Sundel Bolong yang ingin menuntut balas dan mencari bayinya.

Dan pengen mamam seratus mangkok bakso

 

Narasi menjadi terlalu besar untuk dihandle. Aku merasa film ini seperti orang yang sudah tahu tujuan mau ke mana, tapi di tengah jalan jatuh terpuruk karena gak sanggup untuk actually mencapai tujuan tersebut. Cerita seperti Suzzanna: Malam Jumat Kliwon memang harus sebesar itu. Empat karakter sentral perlu dibahas supaya penonton dapat melihat dinamika gender di tahun segitu (dan maybe masih diteruskan hingga sekarang). Gimana Suzzanna bisa berada di posisi sulit karena lelaki yang suka seenak jidatnya, mentang-mentang berkuasa. Bahkan yang simpatik seperti Surya pun sama saja begitu dengan aksinya yang tidak membiarkan Suzzanna istirahat dengan tenang. Sebuah aksi yang bisa dibilang egois karena dia mengambil keputusan atas hidup perempuan. Film ini mengatakan semua horor itu ya simply disetir oleh kehendak lelaki., tapi juga masih memperlihatkan ada kalanya perempuan ‘berontak’ atau somehow memegang kendali aksi. Paralel Suzzanna – si istri tua – bahkan rela ke dukun, membayar ‘harga’ apapun supaya dia kembali jadi ‘yang disayang’ oleh suami. Suzzanna sendiri gak pernah digambarkan hanya pasrah, tapi disebutkan bahwa dia rela dinikahi demi keluarga. Dia di beberapa kesempatan juga beraksi dengan mempertimbangkan keselamatan nyawa Surya. Bahkan saat jadi Sundel Bolong, ada kala Suzzanna tidak mengikuti ‘perintah’ Surya untuk tidak membunuh.

Karena subteks pada karakter itulah, aspek body horor yang ditampilkan film ini jadi mencuat. Adegan menyeramkan saat persalinan itu menyimbolkan kengerian ketika tubuh penuh jejak yang tak diundang, yang tak diinginkan, yang dipaksakan kepada perempuan. Kita tahu secara narasi itu adalah efek santet, tapi kejadiannya seolah tubuh Suzzanna menolak buah dari paksaan. Harusnya sih adegan ini bisa ikonik. Bayi Suzzanna pindah ke punggung, lalu meledak membunuhnya seketika. The horror inducing nightmare includes: suara teriakan minta tolong Suzzanna kepada bidan dan pelayannya dan shot ada bayi yang bergerak-gerak di dalam lubang punggungnya. Aku gak tahu apakah film Malam Jumat Kliwon yang asli adegannya persis seperti ini, tapi memang adegan persalinan horor tersebut seperti dicomot dari era 80an. Over-the-top, gross, dan fun! Kita harus melihat ke belakang dan realized, bahwa vibe horor 80an itulah yang ingin direcreate juga oleh film ini. 80an adalah era horor praktikal yang cerita dan kejadiannya over-the-top hingga konyol, tapi jadi hiburan tersendiri. Elm Street, Friday the 13th, Evil Dead, sadis tapi menghibur. Film horor Suzzanna sendiri juga seperti itu, malah seringkali ditambah oleh reaksi-reaksi kocak dari karakter pendukung. Film karya Guntur ini punya vibe itu. Ada banyak juga adegan menakut-nakuti yang lucu, banyak reaksi dan dialog karakter yang konyol. Sally Marcelina yang jadi istri tua adalah yang paling ‘semangat’ ngasih vibe over-the-top ini.

Bicara tentang horor Suzzanna, tentu kita gak bisa lepas dari sosok Suzzanna itu sendiri. Kayaknya, industri sekarang ini gak ada yang membangun citra aktornya seperti Suzzanna lagi. Yang aura dan kemisteriusannya dipush terus hingga di balik layar. The fact that reboot-an film-filmnya ini bukan biopik tapi sangat mengutamakan perubahan wajah Luna Maya menjadi semirip mungkin dengan Suzzanna benar-benar menunjukkan bahwa legacy Suzzanna sebagai sosok dan aktor itulah yang dilestarikan. Film mengambil banyak resiko untuk menyulap Luna Maya menjadi Suzzanna. Saat jadi Sundel Bolong, ilusi tersebut lebih mudah untuk dipertahankan. Gestur berkacak pinggang lalu berbalik memamerkan lubang di punggung, serta suara cekikikan seram Luna Maya sanggup memberikan sensasi merinding, Hanya saat karakternya masih manusia, dan banyak bermain di nada drama, plus pencahayaan yang ‘normal’ usaha film memiripkan wajah itu seringkali tampak artifisial, hingga agak ‘mengganggu’ karena wajahnya seperti tempelan. Unnatural.

Sekilas jadi kayak gaya animasi wajah karakter di game Forbidden Siren

 

Suasana desa setelah kebangkitan Suzzanna sebagai Sundel Bolong juga memang harus diperlihatkan. Interaksi Suzzanna dengan warga bakal jadi hiburan horor tersendiri. Istilahnya, ngeri-ngeri sedap hahaha… mungkin Bene Dion terinspirasi judul film drama komedinya ini dari saat ikut menulis naskah Suzzanna: Bernapas dalam Kubur. I wish kualitas naskah film kali ini masih sama dengan film pertamanya tahun 2018 itu. Naskah kali ini ditangani Sunil Soraya dan Ferry Lesmana bersama Tumpal Tampubolon. Fun dan horornya masih ada, tapi dramanya lepas. Malahan, banyak elemen-elemen drama yang sempat disebut namun tidak pernah dibahas lanjut. Ada satu dialog menarik yang paling aku kecewa karena gak ada follow upnya, yakni ketika Raden ditanyai oleh istrinya apakah dia telah jadi jatuh cinta kepada Suzzanna. Kupikir developmentnya bakal menarik ketika pihak yang toxic ternyata jadi beneran cinta sama korbannya. Tapi film gak bahas lagi dan dialog itu semacam punchline angin lalu. Pokoknya, begitu masuk babak kedua, cerita benar-benar keteteran. Dialog dan kejadian jadi konyol tak terkendali. Begitu banyak hal yang bikin kita mengernyitkan kening, mulai dari kenapa kuburan Suzzanna yang mestinya dirahasiakan dari banyak orang malah dikasih nisan bertuliskan nama, hingga ke Surya yang saking rindunya tidur dengan meluk mayat? C’mon! Surya sebagai sudut pandang utama saat Suzzanna sudah tiada, tidak pernah didevelop dengan layak.

Melihat orang yang kita cintai berubah menjadi seseorang yang berbeda. Tema ini yang sebenarnya disimbolkan jadi horor dalam film Suzzanna: Malam Jumat Kliwon.  Dalam kasus Surya, dia menyaksikan kekasihnya melakukan pembunuhan-pembunuhan mengerikan karena balas dendam. Goal cerita sebenarnya adalah membuat kisah cinta begitu tragis sehingga menjadi sebuah horor, kisah cinta ketika seseorang harus melepaskan kekasih yang sudah bukan lagi manusia, ketika seseorang harus mencintai kekasihnya dengan cara yang melukai mereka.

 

Tapi penceritaan film enggak mampu mencapai goal tersebut. Tidak mampu mendramatisasi keadaan di luar menjadikannya humor sajaFilm terdistraksi oleh banyaknya elemen yang harusnya ia arahkan ke goal tersebut. Film bahkan gak mampu untuk sepenuhnya membangun rule atau mitologi Sundel Bolongnya. Karena sekarang, dia bukan lagi hantu, melainkan iblis. Padahal Suzzanna yang jadi hantu tidak bisa langsung menyakiti manusia sehingga serangan yang ia lancarkan untuk balas dendam adalah serangan psikologis yang membuat korbannnya mati karena ulah sendiri, adalah aspek yang membuat film pertamanya sangat menarik. Film kali ini sepertinya tidak mau repot dengan konsep semacam itu, dan membuat Suzzanna bisa menyakiti secara fisik karena dia adalah iblis. Dia tidak lagi unik. Aksinya dengan cepat jadi membosankan karena kita basically ngelihat hal yang sama terkait aksi dia terhadap korbannya. Di akhir film coba ngasih tantangan, yaitu ada beberapa senjata dukun yang bisa melukai Suzzanna. Ini yang mestinya dibanyakin oleh film. Buat Suzzanna vulnerable. Bikin stake ada. Bikin jadi ironi ketika Surya tak ingin Suzzanna kalah dan lenyap, tapi morally dia gak mau Suzzanna membunuh lagi. Tapi yang lebih banyak kita dapatkan malah humor dari dua hansip. Mereka kocak, bisa actually nangkep Sundel Bolong, tapi ya gak perlu sampai mau dikasih arc mereka pengen jadi pahlawan segala kalo memang ini bukan cerita mereka.

 




Buatku kerasa sih, nelangsanya ketika yang kita suka berubah menjadi something different. Aku suka film pertama Suzzanna. Dramanya bisa dalem, dan horornya tetap fun. Sedangkan film kedua ini, cuma punya fun. Dramanya banyak yang lepas, yang tidak digarap dengan manusiawi. Padahal muatan drama yang dimiliki itupun sesungguhnya tidak banyak berbeda dari film pertama. Lebih kepada, beda sudut pandang utama saja. Film kali ini sebenarnya lebih tentang Surya, laki-laki yang ditinggalkan Suzzanna, yang menghidupkannya kembali, yang ingin bersamanya sampai akhir hayat, namun perlahan menyadari apa yang sebenarnya ia butuhkan. Film enggak mampu mencapai goal dramatis ini karena sudut pandang yang tidak tegas dan naskah yang tidak bisa menghandle narasi yang besar. Bahkan untuk jadi romance horor saja masih kurang terasa. Kalo nanti ada film Suzzanna berikutnya, aku harap mereka kembali menapakkan dramanya, dan mungkin bisa dicoba untuk tone down mirip-miripan aktornya dengan Suzzanna supaya akting dan ekspresinya bisa maksimal.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for SUZZANNA: MALAM JUMAT KLIWON

 

Tulisan ini diterbitkan juga dalam Zine BREAK FROM CINEMA 
Volume 01/Agustus 2023

 




That’s all we have for now.

Kalo dibalik, menurut kalian apakah kita sebaiknya harus mau berubah demi pasangan kita?

Share pendapat kalian di comments yaa

Hijack, serial thriller bagus tentang pembajakan di pesawat yang dibintangi oleh Idris Elba di Apple TV+ sudah sampai ke episode finale. Yang pengen ngerasain ketegangannya bisa langsung subscribe dari link ini yaa https://apple.co/46yw8RX

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



KETIKA BERHENTI DI SINI Review

 

“Things we lose have a way of coming back to us in the end, if not always in the way we expect” 

 

 

Arti kehilangan, menurut Umay Shahab, adalah ketika semuanya berhenti di sini. Efeknya memang sungguh devastating ketika kita direnggut dari kebersamaan dengan orang yang kita sayangi. Duka mendalam, rindu yang berat menggelayuti tanpa pelampiasan, atau rasa bersalah karena enggak sempat say good bye dengan proper. Rundungan perasaan yang mendera itu telah countless times diterjemahkan menjadi karya, paling sering sih, jadi cerita horor. Grief, kenangan, rasa bersalah, seringnya dijadikan hantu yang terus menggentayangi. Namun Umay, mengambil penyimbolan yang lebih dekat dan lebih akrab dengan usia mudanya. Dengan dunia modern yang tidak begitu asing bagi dirinya dan kita semua, dan even more advance. Film Ketika Berhenti di Sini memotret perasaan kehilangan dalam lingkup teknologi. Sebuah fiksi ilmiah alih-alih suspens kelam. Bayangan hantu digantinya menjadi pendar visual hologram. Konsep dunia yang lantas mencuat di tengah skena sinema tanah air yang lagi khusyuk dengan cerita horor dan daerah pedalaman dan juga setting waktu yang bernostalgia. Film ini seolah menegaskan bahwa rasa kehilangan itu memang sekekal itu, past, present, future. Selama manusia merasakan cinta, manusia akan merasakan kehilangan, maka hadirlah film ini untuk membantu kita melewati perasaan itu saat tiba waktunya ia berhenti di kita.

Aku melewatkan karya pertama Umay  (karena waktu itu aku belum elligible untuk bisa masuk ke bioskop…) dan setelah nonton film keduanya ini, kupikir aku bakal check it out di platform sesegera mungkin. Karena yang ditawarkan Umay ternyata adalah sudut pandang yang menarik. Passionnya pun terasa, Reference Umay bikin film ini pun, kayaknya, gak banyak pembuat film lain yang ‘berani’ ngambil. Saking ribet bahasan, dan konsep sci-fi yang butuh riset ekstra. Ketika Berhenti di Sini bermain dengan tema manusia dealing with kehilangan dengan bantuan A.I. terasa seperti episode serial Black Mirror. Selain itu, juga ada obvious movie reference yang disebut di dalam narasi, yaitu filmnya Jim Carrey tahun 2004, Eternal Sunshine of the Spotless Mind; film yang kompleks membahas dua orang yang ingin saling melupakan, tapi mereka tetap saling ketemu mengulangi siklus jatuh cinta dan putus.  Dita, protagonis Ketika Berhenti di Sini, suka sekali Eternal Sunshine. She dressed as Clementine (karakter cewek di film tersebut) saat pesta kostum. Dan yang bakal dialami Dita dalam cerita ini juga gak jauh dari soal gak bisa melupakan.

Cerita tentang teknologi ini castnya pas banget; Brian Domain, Prilly Latucomputer, dan Refal HD

 

Mahasiswi jurusan desain grafis ini sedari awal cerita sebenarnya udah struggling dengan kematian ayahnya. Kematian yang belum bisa dia ikhlaskan, dia malah menganggap ayahnya tidak menepati janji selalu ada mendukungnya. Ketika dia kenalan dan jadi deket sama cowok penggemar teka-teki dan teknologi, Ed, keduanya tampak klop dan mereka membicarakan hal-hal ‘deep talk’, topik kematian lantas muncul ke permukaan. Sementara Ed tampak menganggap kematian sama sakralnya dengan kelahiran, Dita memandang sebaliknya. Kita bisa melihat betapa Dita detests death, yang datang tanpa bisa dipersiapkan. Malang bagi Dita, empat tahun setelah menjalin hubungan dengan Ed yang sukses occupied her mind dengan cinta, kematian itu datang lagi. Menjemput Ed, justru di saat Dita lagi punya masalah dengan hubungan mereka. Sama seperti saat kehilangan ayahnya, hidup Dita lantas stop kembali. Dua tahun berlalu, Dita masih belum bisa melepaskan Ed sepenuhnya. Sahabat terdekat Dita, termasuk Ifan yang dari dulu menyukainya, mencoba mengisi hidup Dita. Tapi perempuan itu tampak semakin susah dijangkau, terlebih ketika Dita mendapatkan kacamata khusus yang bisa memproyeksikan A.I. hologram dengan wujud dan suara persis seperti Ed.

Pelajaran mengikhlaskan nomor satu dari film ini adalah mereka yang telah pergi sesungguhnya tidak pernah beneran pergi. Mereka akan kembali kepada kita dalam ‘bentuk’ yang gak akan pernah kita duga. Jadi, apresiasilah yang datang ke hidup kita sebesar kita menghargai yang telah pergi.

 

Things got really interesting saat membahas Dita dan hologram Ed. Film ini membuat cukup ambigu mengenai apakah si teknologi ini begitu canggih sehingga A.I. Ed bisa muncul dan bersikap sefluid aslinya ataukah Ed yang kita lihat itu sesungguhnya cuma proyeksi dari perasaan Dita yang bergulat dengan proses mengikhlaskan. Karena memang film ini paham betapa pentingnya building up dalam penceritaan. Si hologram Ed awalnya dihadirkan bersikap seperti A.I. pada umumnya. ‘Kaku’ kayak Siri atau Alexa, bedanya ada wujudnya. Film malah memperlihatkan sosok hologram yang lain dulu sebelum menghadirkan wujud Ed. Cuma berdiri. Perlahan, seiring Dita tampak semakin nyaman, hologram Ed mulai bisa duduk, bahkan bisa ikut berlari menemaninya olahraga. Ngomong-ngomong soal build up, relasi antarkarakter juga dibangun dengan seksama. Gimana perasaan Ifan terhadap Dita. Gimana Dita dan Ed kenalan hingga bisa saling suka. Film ngasih waktu banyak untuk membangun relasi-relasi ini, sehingga adegan-adegan saat dunia cerita mulai bergejolak oleh kehadiran hologram Ed (yang tentu saja awalnya dirahasiakan oleh Dita dari sahabat-sahabatnya) terasa lebih punya bobot emosi. Karena kita diperlihatkan para karakter ini sebelum konflik utama itu terjadi. Dalam artian, kita benar-benar mengikuti perkembangan karakter ini dalam span empat, lalu dua tahun kemudian. Kita jadi benar-benar mengerti yang mereka rasakan, pembawaan natural dari para aktornya jadi icing on the cake yang bikin penonton semakin tersedot ke dalam cerita.

Arahan film ini memang tampak percaya diri. Umay mengaduk bahasan kematian, penjelasan rule teknologi di dunia cerita, hingga urusan relationship dan pertemanan, dengan tambatan perspektif yang kuat. Ini dunia anak muda. Yang melek teknologi, Yang melek keterbukaan komunikasi. Arahan Umay tidak membuat film kehilangan suara khas mereka. Sudah cukup banyak kita nonton film-film tentang anak muda, atau remaja, atau yang coba angkat suara kopi-senja, atau bahkan film anak-anak, tapi si film itu sendiri terasa jauh dari subjeknya tersebut. Yang jatohnya film itu jadi kayak try too hard dalam memportray karakternya, let alone dunia mereka yang coba dibangun. Ketika Berhenti di Sini melakukan itu dengan terlihat natural. The way the characters talk, the way they act around others. Dialognya tahu kapan harus pakai kosa kata anak muda, kapan harus pakai bahasa deep talk, kapan harus bersendu dengan perasaan, kapan harus bercengkerama dengan orang tua. Film ini dengan mudah konek kepada penonton muda, karena mereka sudah easily ‘bicara dengan bahasa yang sama’.  Momen-momen emosional yang jadi ujung tombak cerita juga jadi terdeliver dengan baik. Banyak loh yang nangis nonton ini di dalam studioku kemaren. Film ini sendiri terasa beneran ‘muda’. But also, punya kekurangan yang sama dengan anak muda. For it could get too cocky, dan beberapa hal harus dipoles lagi.

Lama-lama si A.I. juga gak ada bedanya dengan hantu

 

Naskah film ini masih terasa rough around the edges. Hook-hook dan plot poin cerita bergerak dengan aneh, ada yang kayak atas dasar hura-hura saja. Banyak kejadian film ini terjadi karena sesuatu yang enggak langsung berhubungan dengan konflik karakter utama. Misalnya, kacamata AR tersebut gak bakal ada di tangan Dita (yang artinya cerita film ini gak bakal lanjut) kalo Dita tidak menumpahkan lagi minumannya ke iPad. Jadi, majunya cerita sebenarnya lemah, tapi kebetulan seperti demikian itu masih bisa dimaklumi. Salah satu cara membuat penonton maklum dengan mendesain kebetulan tersebut dengan kejadian yang masih ada sangkut pautnya dengan flaw protagonis. Jika dia orang yang belum bisa move on, berarti adegan kebetulan itu bisa terjadi dari dia yang gak fokus karena mikirin orang yang udah gak ada sehingga menumpahkan minum. Pada film ini, adegan kebetulan itu adalah Dita menumpahkan minum karena saat meeting dengan cameo pemain Mencuri Raden Saleh, wallpaper ipadnya keganti jadi foto dia dengan Ifan. Not even foto Ed. Atau bahkan bukan karena malu ketahuan oleh sahabat-sahabatnya. Ini kan seperti gerakan gegabah khas anak muda, dilakukan oleh film ini. Adegan yang mestinya bisa didesain untuk lebih tight (film ini perlu banget sebenarnya lebih banyak memasukkan interaksi Dita dengan sahabat-sahabatnya) jadi loose karena film ingin masukin hal yang menarik lainnya.

Cerita jarang sekali maju karena pilihan Dita si tokoh utama. Most of the time Dita hanya bereaksi atas keadaan di sekitarnya. Gak sengaja menumpahkan air. Mendengar kabar Ed kecelakaan. Pilihan signifikan pertama untuk majunya plot yang dibuat oleh Dita adalah saat memutuskan untuk terus memakai kacamata AR. Dan itu baru terjadi menjelang mid point. Tadinya kupikir bakal jadi penghantar masuk babak kedua loh. So it’s nice film ini ngebuild up hubungan karakter terlebih dahulu – tiga puluh menit awal benar-benar digunakan untuk ini –  tapi harusnya itu bisa dilakukan dengan tetap memberikan pilihan kepada karakter utama. Tetap membuatnya beraksi jadi penggerak cerita. Looking back setelah nonton aku bahkan gak yakin Dita punya motivasi personal sebelum kenalan dengan Ed. Dan soal kenalan itu, film juga gak circled back lagi, gak ngasih alasan kenapa si Ed ini seorang complete stranger yang follow sosmed Dita. Kenapa gak teman kampus, atau semacamnya. Apakah biar dia jadi manic pixie dream boy, kayak Clementine di Eternal Sunshine (tapi bahkan Clementine ternyata berkembang jadi lebih dari sekadar manic pixie dream girl) Kenapa Ed follow Dita. Tadinya kupikir Dita semacam seleb sosmed, karena ada adegan sosmednya direply oleh banyak orang. Tapi perihal itu juga tidak divisit lagi, presence sosmed Dita kayak cuma buat lihatin bahwa mereka ini anak muda yang interaksinya ya banyakan di dunia maya.

Bagian terbaik film memang ketika Dita mulai punya kacamata putih itu. Dia mulai membuat pilihan-pilihan, yang seharusnya memang membuat hidupnya jadi makin rumit. Membuat relasinya dengan Ifan, dengan sahabat, dengan sekitarnya renggang, dan semacamnya. Satu lagi kekurangan pada naskah adalah seperti kehabisan waktu (atau ide? ah, masa sih ide..?) saat menggali bagian ini. Si Dita ini kurang di’punish’. Drama itu kan main naik turun, titik teratas ke titik terendah karakter. Nah, film ini tu kayak belum ngasih Dita ke titik terendah hidupnya.  Stakenya gak terasa, karena Dita gak terkesan beneran merasa ada kegagalan saat dia menghabiskan waktunya ngobrol dan menjalin hubungan sama hologram alih-alih manusia nyata. Bahkan sampai akhir aku merasa sukar percaya Dita genuinely appreciate Ifan, karena, ada surat dan segala macem (malah Ifan yang mau mencoba mengerti Dita kembali). Di akhir naskah kembali ragu untuk meletakkan semuanya di tangan Dita. Keputusan dia mendelete hologram juga berkurang efeknya karena dia tidak belajar dari kesalahan sendiri.

 




Padahal sebenarnya film ini memang unik. Premis ‘seseorang yang ingin lanjutin hidup tapi tidak mau mengikhlaskan orang-orang yang telah meninggalkannya’ itu udah kayak si karakter ini kemauan dan rintangannya adalah hal yang sama. Karena dengan gak ikhlaskain orang yang udah pergi, ya sama aja dengan gak pengen lanjutin hidup. This is just a second movie dari Umay, dan dia udah berani bikin yang sekompleks ini. Ceritanya berevolusi dari tentang pure romance, ke yang lebih psychologically challenging dengan fiksi ilmiah sebagai panggung, ke hubungan ayah dan anak. Sejujurnya ini udah masuk ke kriteria yang layak di posisi nilai sembilan buatku. Tapi naskah adalah sandungan utama. Walau dialog-dialognya tersusun (dan terlontar) dengan genuine, teknis dan strukturnya masih loose. Masih banyak gegabah. Karakter utamanya juga tidak banyak menggerakkan cerita dengan pilihan. Jika pun ada, posisi dan timing adegannya aneh. Terus juga ada adegan yang hooknya gak benar-benar nyambung ke konflik. Kayak, posisi cameo aja seolah lebih didahulukan ketimbang menggali persahabatan karakter sentral. Meski begitu, memang, dengan passion dan kreasi semenyegarkan ini, aku harap kiprah penyutradaan Umay tidak berhenti di sini.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for KETIKA BERHENTI DI SINI

 




That’s all we have for now.

Kalo kacamata itu beneran ada, apakah kalian akan menggunakannya untuk menyapa kembali orang yang telah pergi?

Share pendapat kalian di comments yaa

Sebelum ditutup, aku mau ngajak kalian ke Apple TV+ , karena ada serial bagus tentang pembajakan di pesawat! Dibintangi oleh Idris Elba, serial thriller ini bakal ngajak kita ke sebuah trip angkasa yang tak terlupakan. Yang pengen nonton bisa langsung subscribe dari link ini yaa https://apple.co/46yw8RX

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA