LOVE FOR SALE 2 Review

“Happiness is when you realize your children have turned out to be good people”
 

 
Love Inc, yang diperkenalkan dalam Love for Sale (2018) sebagai perusahaan yang menyewakan jasa pacar bohongan untuk para jomblo sekalian, sudah seharusnya dipertahankan sebagai misteri. And so does Arini. Kemisteriusan Arini dan Love Inc membuat film garapan Andibachtiar Yusuf menarik. Diperbincangkan banyak penonton. Beberapa mengatakan Arini ‘jahat’, bahwa filmnya serupa film horor. Della Dartyan langsung melejit, dia bisa jadi poster girl untuk manic pixie yang membuat penasaran para cowok. Padahal kenyataannya bukan begitu; jatuh cinta pada karyawan yang menjajakan status pacar seperti Arini sama aja dengan jika kita baperan ketika disenyumin oleh mbak-mbak manis penjual karcis bioskop. But that’s okay, justru bagus, karena di situlah pesona yang berhasil dihadirkan oleh film tersebut – menjadikannya unik. Setahun kemudian, kita dapat sekuel dari cerita Arini dan Love Inc. Dan sukur Alhamdulillah Yusuf tidak gegabah membongkar tabir yang bakal menghilangkan keunikan tadi. Karena Love for Sale 2 enggak banyak berupa lanjutan kisah dari yang pertama, melainkan lebih banyak memperlihatkan ‘studi kasus’ yang baru terkait keberadaan Love Inc dan kiprah ‘karir’ Arini sendiri.
Love for Sale 2 menawarkan lingkungan yang lebih luas. Stake-nya juga menjadi lebih besar, karena bukan hanya satu orang yang bakal ‘jatuh cinta’ dibuat oleh Arini kali ini. Melainkan melibatkan satu keluarga. Tepatnya; keluarga asal Padang Ibu Rosmaida (Ratna Riantiarno yang asal Manado kewalahan disuruh berbahasa Minang) yang punya tiga anak lelaki. Salah satunya adalah Ican (beruntung tokohnya ini diceritakan besar di Jakarta sehingga Adipati Dolken tak perlu turut kewalahan berbahasa Minang), yang belum juga menikah dengan usia yang menginjak tiga-puluh-dua. Maka Ibu Ros terus merongrong Ican untuk segera mencari pasangan. Tapi bukan pasangan yang tak ia suka – seperti istri anak pertamanya, dan bukan pasangan yang karena zina – seperti istri anak ketiganya. Inilah yang membuat Love for Sale 2 menjadi cerita yang bahkan lebih unik daripada film pertamanya. Ini bukan lagi sekadar tentang orang yang kepengen punya pacar sehingga menyewa cewek idaman. Ican log in ke Love Inc dan memesan jasa Arini bukan untuk dirinya sendiri. Melainkan – bertentangan dengan norma dan budaya daerah asalnya – demi sang ibu; supaya ibunya bisa bahagia melihat dirinya punya pasangan. Jadi bisa dibayangkan betapa terenyuhnya mereka nanti jika kontrak Arini selesai; itu pun jika Arini sanggup untuk meninggalkan segitu banyak orang yang merasakan cinta dan balik mencintainya.

film berkali-kali menyebut “Padang banget” seolah itu menunjukkan karakter yang enggak rasis

 
Film bekerja terbaik ketika cerita fokus kepada Ibu Ros. Ada sense of impending doom yang merayap di balik cerita seiring semakin akrab dan sayangnya Ros kepada Arini. Dan kupikir efeknya lebih kuat terasa karena kita sudah tahu cara kerja Love Inc. Jadi kita mengantisipasi, bersiap-siap dengan apa yang bisa dilakukan oleh Arini yakni pergi begitu saja saat kontrak habis. Pergi tanpa jejak sama sekali. Ini seperti perlakuan pada tokoh Ratih di Perempuan Tanah Jahanam (2019); supaya surprise karakter ini berhasil, maka film mengandalkan kepada keakraban kita dengan Asmara Abigail yang biasanya memerankan karakter jahat yang gila. Sedari materi-materi promo yang dikeluarkan dia sudah dibangun seolah karakter tersebut, untuk membangun antisipasi kita sehingga ‘twist’ tokoh ini menjadi lebih kerasa (no pun intended). Love for Sale 2 juga menggunakan cara serupa dengan pembangunan tokoh Arini. Ceritanya butuh kita untuk tahu Arini dan Love Inc sebagai pegangan, yang menuntun kita kepada Ibu Ros karena di film ini beliaulah yang mendapat pengaruh lebih banyak, dia yang bakalan berubah lebih signifikan di akhir cerita.
Tapi akan mudah sekali bagi kita untuk terdistract dari inti utama cerita, terutama jika kita belum menonton film pertamanya. Kita akan gampang terjebak menganggap ini sebagai cerita Ican mencari cinta, padahal bukan. Karena film sendiri yang justru mengaburkan kita dari inti tersebut. Dengan membuatnya sebagai sudut pandang Ican pada berbagai kesempatan. Film bergantung banyak kepada reputasi Arini sehingga film ini sendiri teralihkan dan merasa mereka masih perlu memasukkan romansa ke dalam cerita yang tadinya sudah mereka ubah menjadi ke persoalan keluarga; persoalan bentrokan keinginan orangtua dan keinginan anak-anaknya. Cinta di sini seharusnya lebih ke cinta manusia kepada orang-orang yang dianggap keluarga.

Orangtua harus belajar untuk memahami apa yang membuat anaknya bahagia. Alih-alih ‘memaksa’ untuk mengikuti kemauannya. Anak-anak tidak jahat ketika mereka berusaha bahagia demi diri mereka sendiri. Orangtua hanya akan menyandera anak-anaknya jika menggantungkan kebahagian mereka kepada anak-anak. Membuat anak-anak mereka menjadi bukan dirinya sendiri. Dan yang paling parah adalah, orangtua jadi tidak akan bisa melihat siapa anak mereka yang sebenarnya, seperti Ros dalam film ini yang awalnya menganggap anak-anaknya bukan orang yang baik – mereka selalu salah di matanya.

 
Seperti film pertama, kisah klien Arini berawal dari sebuah pesta pernikahan. Namun Love for Sale 2 ini banyak bereksperimen dengan kamera. Shot-shotnya tampak lebih dinamis ketimbang film pertama. Pada adegan pernikahan misalnya. Film merekam dengan continuous shot yang membuat kita merasa berada di tengah-tengah pesta, mengikuti Ican – ditempel oleh ibu – yang berkelit ke sana kemari dari kerabat yang menanyakan status relationshipnya. Ini merupakan bagian dari distraksi; film lebih banyak bermain ketika merekam Ican ketimbang merekam ibunya. Padahal jika melihat dari sudut pandang Ican, cerita memiliki banyak kelemahan. For instance; stake cerita jadi nyaris tidak ada. Karena seperti pada tokoh utama Pariban: Idola Tanah Jawa (alias film terburuk Andibachtiar Yusuf yang kutonton sejauh ini) Ican tidak ditulis punya alasan yang kuat, ia tidak tampak pengen punya pacar. Ataupun tidak tampak kesulitan mencari perempuan, saat dia mau. Ican hanya sedikit pemilih karena gaya hidup yang more-Barat dan less-Sumatra. Tidak seperti Richard pada film pertama yang benar-benar ditulis dengan banyak layer, yang dibangun karakternya; begitu penting bagi cerita perihal Richard yang tak pernah meninggalkan rumah. Ican tidak punya semua itu. Maka aneh jadinya ketika film ngotot untuk menonjolkan sudut pandang Ican, sementara cerita akan jauah lebih menarik jika menetapkan fokus kepada ibu. Ican menghubungi Love Inc seharusnya tidak dilihat sebagai plot poin pertama, melainkan sebagai inciting incident yang membuka kesempatan Ibu untuk berubah dengan kedatangan Arini.

coba ibu, apa bahasa minangnya “ditinggal lagi sayang-sayangnya?”

 
Sudut pandang bukan hanya melebar kepada Ican, melainkan juga kepada Arini. Cewek ini bukan antagonis. Dia profesional. Lihatlah dia seperti Mary Poppins untuk orang dewasa. Setelah meluruskan hidup orang dan membuat mereka bahagia, Arini pergi. Tapi kali ini film tidak sampai hati. Film sepertinya tidak mau lagi ada yang menganggap Arini ‘jahat’. Maka kini kita dibuat melihat Arini bimbang dan mulai baper sendiri sama keluarga Ibu Ros. Ia diberi waktu untuk menjelaskan sedikit tentang siapa dirinya. Ini seharusnya adalah cerita yang lain, untuk waktu yang lain. Arini pantas mendapat satu film tersendiri untuk itu semua. Tidak perlu dihadirkan nyelip di cerita orang. Menghadirkan ‘pembelaan’ untuk Arini di sini hanya mengganggu keutuhan cerita Ibu Ros yang tentang menemukan kebahagiaan dengan tidak memaksakan dirinya kepada anak-anak. It drags the story out. Membuat film menjadi semakin tidak fokus. Adegan pembuka dan penutup film ini seharusnya bisa dibuang sebab tidak menyumbang banyak selain sebagai teaser.
 
 
Adik Ican selalu memakai kaos band metal, tetapi lagu yang ia dendangkan dengan gitar malah lagu patah hati jadul dari D’Lloyd yang ngepop. Ini adalah salah satu selera humor film. Cerita memang menyenangkan berkat interaksi tokoh-tokoh yang kadang tampak ‘ajaib’ sebagai penyeimbang drama masalah dalam keluarga. Seringkali juga hadir lewat dialek yang memang dibuat beragam. Namun film yang lebih menitikberatkan pada visual ini membuatku kerap bingung juga dengan suara dialog yang gak sinkron dengan mulut tokoh yang terlihat sangat jelas dan sering terjadi itu apakah bagian dari selera humor pembuatnya atau bukan. Film ini toh memang senang membuat distraksi seperti demikian. Posternya aja seolah membuat Dolken sebagai tokoh utama, padahal bukan. Ini bahkan bukan total romansa seperti yang ‘dijual’ pada materi-materi promosinya. Padangnya juga gak benar-benar terasa, rendang aja absen kok di baralek. Soal cerita, film ini seharusnya bisa menjadi sekuel yang menempatkan cerita pada situasi yang baru. Dia tidak perlu kesusu untuk melanjutkan. Karena seperti yang sudah kita saksikan, film ini jadi tidak fokus karena seperti ingin menceritakan banyak sekaligus
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for LOVE FOR SALE 2

PEREMPUAN TANAH JAHANAM Review

“No man is free who is not master of himself.”

Tidak ada tandingan kepercayaan diri Joko Anwar jika sudah berbicara tentang film horor. Horor memang sudah zonanya dia, afterall. Anwar memang sangat peka terhadap unsur-unsur kengerian, dia paham membangun, memancing dan kemudian mengeluarkan horor itu dengan baik, sehingga film-filmnya tidak sekadar jumpscare ngagetin. Opening Perempuan Tanah Jahanam membuktikan itu.
Kita melihat dua orang wanita ngobrol dalam loket tol masing-masing lewat handphone. Keduanya adalah penjaga karcis tol. Satu di antara mereka, Maya (Tara Basro sudah jadi trademark dalam film Joko Anwar seperti elemen perempuan hamil), mengaku ketakutan lantaran ada mobil kuno yang sama terus bolak-balik masuk ke jalur loketnya. Di samping bekerja sebagai penghantar dan perkenalan karakter yang sangat efektif, sekuen pembuka ini juga bekerja seperti film pendek horor urban yang sangat menakutkan.  Build up pengadeganannya sangat tight. Tensi film seketika naik begitu pengemudi mobil kuno itu turun menghampiri Maya. Cahaya dan kamera kompak menghasilkan suasana malam di tol yang eery, sepi kecuali oleh ketakutan Maya yang menguar ke tempat duduk kita. Maya bicara dengan sang pria misterius, hanya dibatasi oleh jendela kaca. Pria itu berasal dari desa kelahiran Maya, mengenali Maya sebagai Rahayu. Dan Pria ini datang untuk membunuh Rahayu atas tindakan mengerikan yang dilakukan oleh orangtua Rahayu. Adegan yang menyusul akan membuat kita menjerit tertahan, sebab jika ini adalah Scream atau horor whodunit lainnya, Maya tokoh utama kita akan berada di posisi mati duluan
Maya boleh saja selamat dari peristiwa tersebut, tapi bulu kuduk kita akan terus dibuat berpush-up ria. Perempuan Tanah Jahanam masih punya banyak lagi setting dan punchline momen-momen seram. Salah satu favoritku adalah ketika Maya berjalan di pasar ruko yang sudah sepi. Dia sendirian mencari Dini, hanya ditemani sejumlah manekin yang membuat aku siap-siap memejamkan mata. Menonton Perempuan Tanah Jahanam ini; pendapatku tentang Joko Anwar masih sama. Bahwa dia lebih hebat sebagai sutradara ketimbang sebagai penulis skenario. Cerita Maya berlanjut menjadi semakin aneh. Suasana seram di desa dengan kondisi misterius yakni setiap bayi yang lahir selalu tak berkulit tidak pernah bisa sepenuhnya menutupi naskah yang lemah dan banyak menyisakan ruang untuk kita menertawai hal-hal konyol yang ditimbulkan. Maya jadi penasaran mencari tahu asal usulnya. Ternyata benar dulu dia bernama Rahayu, dan orangtuanya punya rumah yang sangat besar di desa. Maya dan Dini yang terang saja kapok kerja lagi di tol butuh duit untuk bisnis baju mereka. Properti besar di tanah yang penduduknya benci kepadanya dijadikan Maya sebagai jalan keluar. Maya nekat pergi ke sana dengan menyamar sebagai mahasiswa.

karena siapa sih yang mau membunuh mahasiswa… wohoo dalem.

See? pilihan Maya tampak reckless dan bego. Seseorang datang dari suatu tempat untuk membunuhmu, mengatakan seluruh desa mencarimu, kemudian kamu malah memutuskan untuk pergi ke desa orang tadi sendirian? Mungkin memang tergantung seberapa besar untung yang bisa didapatkan dengan pergi ke sana. Mungkin memang tergantung seberapa gede napsu kita untuk mendapatkan sesuatu sehingga mau pergi ke tempat berbahaya tanpa persiapan yang matang. Dan sepertinya itulah gagasan yang disampaikan oleh film ini. Soal menuruti napsu dan tak punya kendali. Makanya antagonisnya adalah dalang yang bermain wayang dari kulit manusia.
Ada tokoh yang against all logic mengaku bernama Rahayu kepada penduduk desa, hanya supaya cepat diberikan surat rumah oleh kepada desa. Bahkan petaka pertama yang memulai rentetan tragedi dan ritual di sejarah desa ini bermula dari Nyai yang kebelet napsu pengen punya anak. Satu bukti lucu yang membuatku menarik kesimpulan film ini bercerita tentang pentingnya mengendalikan diri adalah fakta bahwa setiap hari di desa itu lahir bayi. Pertanyaan yang langsung bikin aku penasaran saat menonton ini bukanlah kenapa bayi yang lahir selalu tak berkulit, melainkan kenapa selama dua puluh tahun dikutuk sedemikian rupa, masih ada juga penduduk yang hamil di desa terpencil nan kecil itu. Tidakkah penduduknya jera melihat bayi mereka direndam sampai tak bernyawa lima menit setelah lahir. Nafsu penduduk di sana sebegitu besarnya, bahkan memang ada satu adegan yang menunjukkan lelaki di desa ingin memperkosa tetangganya yang sudah tiga bulan ditinggal pergi suami.

Film menunjukkan betapa mengerikannya malapetaka yang bisa terjadi jika manusia hanya menuruti keinginan dan hawa nafsu, tanpa memiliki kendali diri. Pemimpin akan berbuat semena-mena. Pengikut tidak akan berpikir jernih. Kita tidak akan selamat jika tidak menjadi dalang bagi hidup sendiri. Sengsaralah jika kita tinggal di tempat seperti demikian. Tempat  manusia-manusia hanya jadi wayang itulah yang dinamakan tanah jahanam.

I mean, itulah yang bisa kutarik dari cerita horor yang hanya punya lapisan luar. Sila bandingkan ini dengan Midsommar (2019) yang juga horor sadis nan berdarah yang bukan konsumsi bawah tujuh-belas tahun. Di balik peristiwa Dani terjebak di komunitas kecil yang ternyata adalah sekte dengan ritual-ritual pencabut nyawa, Midsommar adalah cerita tentang hubungan-asmara yang buruk; tentang wanita yang butuh untuk dimengerti tapi sekitarnya tidak pernah benar-benar mendukung atau perhatian kepadanya. Perempuan Tanah Jahanam, terasa ompong di luar cerita tentang wanita yang kembali ke desa yang seluruh penduduk di sana menginginkan dia mati untuk menghapus kutukan yang dipasang oleh keluarganya kepada seluruh desa. Perempuan Tanah Jahanam punya dialog yang kadang menyentil agama, atau pemerintah, ataupun soal orangtua kepada anak. Namun malah terasa sebagai dialog tempelan semata karena tidak paralel dengan perjalanan Maya. Yang mana dikarenakan si Maya sendiri tidak berubah banyak di akhir cerita selain pengetahuannya soal masa lalu bertambah, dia tidak punya inner-plot. Ada pembicaraan soal perawan di awal film yang sempat disinggung lagi di tengah, tapi ternyata malah tidak berbuah apa-apa bagi narasi. Selain saat ada bayi normal yang lahir, pada latar berkumandang musik natal, yang menandakan bayi sebagai simbol keselamatan bagi perawan di tanah jahanam.

mungkin ada somekind of twisted orgy sehabis panen sehingga di sana setiap hari ada bayi yang lahir

Dosa paling jahanam yang dilakukan oleh film ini terletak pada perlakuannya menggarap flashback untuk mengungkap kebenaran dalam-cerita. Film dengan setting dan treatment dan craft semenawan ini tidak mengimbangi diri dengan penulisan yang rajin. Ada tokoh hantu di sini yang hanya berfungsi sebagai device flashback, yang dilakukan dengan sangat standar. Semua film horor level rendah melakukan ini; bikin tokoh utama tak sadar diri, kemudian si hantu akan memberikan kenyataan berupa kejadian flashback begitu saja. Ini aku belum akan cerita soal narasi bagian pengungkapan itu yang juga tidak masuk akal. Motivasi dalang utama cerita ini sungguh tak logis, dan dikerjakan dengan berbelit-belit. Supaya gak diteriakin “Spoiler, woy!” maka di sini aku cuma bilang: kalo dia bisa santet dan ritual segala macem, kenapa enggak langsung bunuh, kenapa mesti menempuh jalan yang lebih banyak korban.
Penulisan film ini sungguh parah sehingga kita akan sering tertawa geli menyaksikan adegan atau mendengar dialognya.
Ada adegan jumpscare temen Maya mencolek pundaknya, dari balik pintu terali – literally menjulurkan tangannya masuk ke terali. Orang macam apa yang memanggil teman dengan cara begitu, terlebih saat padahal dia punya kunci pintu terali tersebut. Ada tokoh dosen sastra Rusia yang begitu random – kenapa musti Rusia dan enggak langsung sastra Jawa saja jika toh fungsi tokoh ini hanya menafsirkan aksara jawa kuno.
Ada dialog seperti “Mau BH?” atau “Itu rumah siapa?” yang dijawab dengan “Itu rumah keluarga yang tinggal di sana saat saya masih kecil” – dialog semacam ini yang mestinya dihindari oleh setiap penulis naskah lantaran tidak memberikan informasi apa-apa, pun tak membentuk atau mencerminkan karakter.
Satu hal yang bisa kita pelajari soal karakter Maya adalah bahwa dia tidak bisa naik motor, karena ada adegan Maya mengalihkan perhatian penduduk kampung yang mencegatnya dengan motor. Maya melempar handphone ke arah yang berbeda sehingga kerumunan meninggalkan motor dengan keadaan menyala, dan Maya tidak menggunakan motor tersebut untuk melarikan diri dengan gampang.
Wow, jika mau me-nitpick, akan ada banyak sekali yang bisa dicecar.
Yang bikin aku tak habis pikir adalah jemuran Christine Hakim yang masih membulat padahal itu kulit manusia yang elastis bukan cetakan plastik.

It’s not a bad movie. Beneran. I do not hate it. Film ini dibuat dengan kompeten, ada passion dari pembuatnya. Aku hanya  tidak merasakan perkembangan sejak Pengabdi Setan (2017), kecuali kali ini Joko Anwar berusaha mengakhiri cerita dengan benar – menggunakan epilog ‘satu tahun kemudian’ sebagai hiasan – dan trademark Joko Anwar kali ini lebih terasa. Makanya film ini niscaya akan mendapat sambutan demikian hangat dari para penggemarnya. It’s an enjoyable thrilling ride. Hanya saja film ini cuma punya permukaan. Tidak banyak yang bisa kita dapatkan, selain dialog-dialog tempelan persepsi pembuatnya soal agama, pemerintahan, dan keadaan sosial yang relevan. Juga ada pembahasan soal dosa orangtua yang turun kepada anaknya. Penulisan film ini adalah sisi terlemah. Narasinya berbelit dan terlalu mengandalkan kepada unsur kejutan dan rangkaian kejadian alih-alih perkembangan tokoh sebagai seorang manusia. Aku enggan menggunakan istilah plot-hole, namun pada film ini banyak dijumpai hal-hal yang membuat film jatuh konyol dan tak masuk akal. Yang pria dari desa di awal film; tak pernah dijelasin darimana dia bisa tahu Rahayu kerja di tol atau bahkan wajah Rahayu sekarang.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for PEREMPUAN TANAH JAHANAM.

 



SIN Review

“Never play with the feelings of others”
 

 
Perasaan tidak bisa dipaksakan. Tapi bisa dipermainkan. That’s why it is so dangerous. Metta belajar secara langsung untuk tidak lagi memainkan perasaan teman-teman dan orang di sekitarnya ketika hidup mengambil giliran untuk gantian bercanda dengan perasaannya. —-Wow, kalimat barusan terdengar kayak narasi pembuka episode serial Twilight Zone ya. Kesannya serius, seram, unworldly. Adegan pembuka film Sin toh memang tampak bertempat di dunia yang lain. Kita melihat seorang cewek bergaun merah melayang di dalam air. Sayangnya, sisa film setelah bagian ini terasa lebih dekat ke sinetron atau ftv karena pendekatan simpel-namun-bejibun-twist yang dipakai.
Sin yang diadaptasi dari novel yang diangkat dari cerita platform Wattpad punya cerita luar yang cukup kontroversial. Baca saja tagline yang mejeng pada posternya. Tapi kontroversi mendatangkan rating, so yea.. Cerita film ini adalah tentang Metta, siswi SMA yang cantik – and she knows it. Metta (Mawar Eva de Jongh dalam peran utama yang mengharuskan dirinya menyimpan kesan ‘cewek baik-baik’ di dalam lemari) ini tinggal sebatang kara di apartemen mewah. Ibunya sudah meninggal dan dia tak pernah tahu siapa ayahnya. Metta hingga sekarang bahkan tidak pernah bertemu dengan orangtua asuh yang membiayai hidupnya. Punya harta, rupa, tapi belum mengenal cinta sejati, Metta menjadikan mainin cowok sebagai hobi. Kerjaannya dugem dan matahin hati anak-anak di sekolah. Bahkan teman satu geng pun agak risih dengan sikapnya. Metta kena batunya ketika dia beneran jatuh cinta kepada Raga yang pernah menyelamatkan Metta dari cowok yang tak terima dicampakkan olehnya. Untuk mendekati Raga yang petinju itu saja, Metta masih belum seutuhnya jadi gadis baek-baek, she practically blackmailed him to get a date. Namun toh mereka berdua sepertinya memang ditakdirkan untuk bersama. Kemudian sesuatu yang ‘tragis’ terjadi; Ketika lagi sayang-sayangnya, Raga (Bryan Domani lebih meyakinkan tampil sebagai kakak yang perhatian ketimbang sebagai petinju jalanan) menghindar dari hidup Metta. Menghilang. Metta belum tahu aja. Bahwa Raga sudah menemukan siapa ayah Metta — yang ternyata adalah ayah kandung dirinya sendiri.

bayangkan jika Darth Vader duduk ngomongin asal usulnya baek-baek ama Princess Leia

 
Lapisan luar cerita film ini memang sangat ftv; cewek usil ketemu cowok keren, kemudian saling jatuh cinta dan berubah menjadi lebih baik, hanya untuk twist demi twist menyerbu sehingga penonton semakin geregetan. I wish sutradara Herwin Novianto mengambil pendekatan yang lebih dewasa. Karena tema cerita ini memang cukup matang dan lebih cocok untuk dieksplorasi dengan lebih grounded. Babak set up Sin sangat bosenin. Film memfokuskan kepada pertemuan Metta dan Raga dan mereka saling jatuh cinta. Build up ini diperlukan untuk nanti; dua orang yang saling cinta ternyata adalah kakak-adik adalah tujuan dari cerita ini. Namun film melakukan set up dengan sangat sederhana. Coba tebak mereka ketemunya gimana? tabrakan saat lagi jalan di lorong sekolah! Siapa mereka tak benar-benar dibahas siapa diri karena backstory masing-masing tokoh itu disiapkan untuk babak akhir, untuk twist nanti. Dan ini membawa kita jauh dari semua yang bisa dipegang untuk peduli sama tokoh-tokoh tadi. Well, they all have pretty faces, jadi kupikir film menyangka itu saja sudah cukup untuk membuat kita peduli kepada mereka.
Film ini memang punya tampilan yang sangat cantik. Penggunaan lampu-lampu, cahaya yang terpantul pada objek-objek gelap – karena beberapa adegan terjadi di tempat-tempat shady tatkala Metta ikut Raga ke arena tinju underground. Sekalipun bosan, kita tidak akan pernah tertidur lantaran visual yang memancing seperti begini. Film mengontraskan kecantikan dengan kekerasan. Sin could get really ‘ugly’ ketika menghadirkan elemen-elemen violence, entah itu adegan bertinju atau, Metta sendiri menghajar cowok yang mengejarnya ataupun kehidupan jetset yang dihadirkan lewat tokoh-tokoh yang masih remaja berpesta dan mabuk-mabukan.  Tapi narasi film baru terasa bekerja ketika sudah lewat bagian tengah. Ketika kita mengerti siapa itu siapa. Dan persoalan mereka bertemu, menjalin kasih, yang dilakukan dengan standar cinta remaja – bahkan karakter cewek galak tapi manja dipasangkan bersama cowok pendiam tapi penuh kasih sayang itu bukanlah barang baru – tak pernah hadir benar-benar menarik. ‘Daging’ cerita sebenarnya adalah melihat apa yang mereka lakukan ketika bersama sebagai kakak adik, dengan saling memendam rasa. Yang membuat kita bergairah justru persoalan Metta dengan salah satu sahabatnya. In fact, sahabat Metta ini adalah satu-satunya kejutan yang aku suka, karena benar-benar tak disangka dan film membangun arc tokoh ini dengan baik.
Kembali ke adegan pembuka Metta yang menyelam; kita pun sebenarnya perlu untuk menyelami cerita Sin lebih dalam daripada sekadar apa yang terlihat di luar. Cinta kakak-adik itu hanya ‘jualan’ untuk menarik perhatian penonton, bahkan film ini sendiri tak begitu peduli sama elemen kakak-adik itu; terbukti dari twist puncak yang disuguhkan – we’ll talk about that later in the end portion of this review. Untuk sekarang, aku ingin membahas apa yang menurutku merupakan gagasan utama yang ingin disuarakan oleh film ini.
Simbol pertama yang hadir di depan mata kita adalah gaun merah yang dikenakan oleh Metta. Aku pinjam kata-kata Taylor Swift untuk menjelaskan ini; Warna merah adalah warna yang menarik untuk dikorelasikan dengan emosi atau perasaan. Karena warna ini punya dua spektrum. Pertama adalah cinta, gairah, kebahagiaan. Sementara spektrum satunya lagi adalah kemarahan, frustasi, dan obsesi.  Metta benar adalah tokoh yang berada di dua spektrum ini sekaligus. Dia yang hidup sendiri ingin merasakan cinta, tapi dia tidak bisa mendapatkannya, sehingga dia menjadi terobsesi. Juga ada neon pink yang menjadi warna utama film, yang bisa berarti cinta, sesuatu yang didambakan Metta. Dia melampiaskan hal tersebut kepada cowok-cowok di sekolah dengan menjadi playgirl. Membuat mereka menjadi terobsesi kepadanya. Makanya interaksi murid-murid di sekolah (diwakili oleh Metta, beberapa cowok, dan sahabat cewek Metta yang akan spoiler berat jika kusebutkan yang mana) tampak begitu ‘berbahaya’. Karena obsesi memang berbahaya. Dan menurutku memang soal obsesi dan bahayanya memainkan perasaan orang itulah yang menjadi bahasan utama film Sin.

Jangan bermain-main dengan perasaan orang lain. Karena dari perasaan yang dipermainkan itulah timbul obsesi. Kita terobsesi pada hal yang tidak bisa kita dapatkan.

 
Inilah yang menjadi trigger sahabat cewek Metta. Inilah yang menyebabkan Raga yang tadinya tidak tertarik kepada Metta menjadi semakin jatuh cinta; terjadi saat dia mengetahui Metta adalah adiknya. Cerita film ini bertindak sebagai hukuman buat Metta karena selama ini selalu nge-flirt tapi cuma buat nyampahin orang. Tapinya lagi, Metta sendiri adalah produk dari perasaan yang dimainkan. Dia diberikan secercah cinta tanpa benar-benar merasakan cinta – dia tidak pernah bertemu orangtua asuhnya. Film ini menggambarkan hukuman secara mental dan fisik. Makanya Raga yang suka bertinju menjadi pelengkap sempurna untuk Metta, karena tinju adalah total opposite dari bermain perasaan yang dilakukan oleh Metta.

siap-siap ditonjok oleh surprise status kalian

 
Makanya ending film ini terasa sangat tak bernyali. Gutless. So many twists and turns yang pada akhirnya menegasi gagasan dan elemen kakak-adik itu sendiri. Satu hal yang tampak menjadi jualan utama, yang menjadi point vocal cerita, ternyata dibuang oleh si film sendiri. Mungkin film ini menyasar ingin menjadi seperti ala M. Night Shyamalan; film buatannya selalu berujung ternyata bukan seperti film yang kira pada awalnya. It could’ve worked tho. Film ini bisa menjadi seperti demikian jika tidak dilakukan demi membuat senang penonton dengan merendahkan cerita dan penonton itu sendiri. Menonton Sin kita akan merasa dikhianati. Merasa sia-sia sudah tertarik untuk mengikuti kisah cinta kakak-adik mereka. Sekaligus juga merasa konyol dengan beberapa pengadeganan. Di babak akhir, adegan-adegan khas ftv itu muncul kembali. Berantem slow motion di tengah derasnya hujan. Dan hujan itu hanya berlangsung di tempat mereka berantem. Laughable. Dan pada adegan terakhir, film akan membuat kita mengerang.
 
 
 
Kalolah ini ftv, maka ini akan menjadi ftv yang hebat. Penampilan para pemainnya not half-bad. Aktor-aktor muda menunjukkan range emosi yang lumayan meyakinkan. Sinematografinya cantik sehingga kesannya mahal dan kinclong. Semua orang suka barang yang kinclong. Tapi ini adalah film bioskop. Yang seharusnya sinematik. Yang seharusnya tak ada adegan-adegan tabrakan, ketemu di supermarket, dikuntit, kenalan, jadian, oh my god poin-poin plot film ini sungguh sesederhana itu. Padahal gagasannya cukup dewasa, bahasannya cukup bermakna. Film ini akan jauh lebih baik jika dilakukan dengan pendekatan yang benar-benar seperti sinema – bukan seperti wahana roller coaster dengan banyak belokan twist; mengombang-ambingkan penonton dengan ‘ternyata’ alih-alih rasa. Harusnya Metta yang membuat film ini, she surely knows how to play with our feelings.
The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for SIN.

 
 

6,9 DETIK Review

“One day your life will flash before your eyes.”

 

 

Sementara Spider-Man sedang diperebutkan oleh Disney dan Sony, diam-diam ternyata Indonesia punya Spider-Woman loh! Julukan tersebut diberikan kepada Aries Susanti Rahayu yang sukses menjadi juara dunia dalam cabang panjat tebing pada Asian Games 2018 di Palembang. Dengan catatan waktu yang bukan main cepat. Prestasi yang sungguh luar biasa, mengingat asal dan perjalanan Ayu yang begitu penuh perjuangan. Kisah hidup salah satu atlet nasional kebanggaan Indonesia inilah yang diangkat oleh Lola Amaria dalam drama biopik 6,9 Detik. Biopik yang juga menyerempet dokumenter karena menggunakan penggalan adegan-adegan asli dari pertandingan panjat tebing Asian Games 2018 dan tokoh asli bermain  sebagai pemeran utama.

Seperti semua cerita perjuangan, cerita ini pun bermula dari rumah. Ayu yang tumbuh di desa di Grobogan, Purwodadi.  Dia dekat dengan sang ibu yang bisa menolerir ‘kebandelan’ Ayu yang suka bermain ala cowok. Kebersamaan mereka terpisah oleh ibu yang pergi bekerja ke luar negeri sebagai TKW. Meskipun tidak pernah sepi di rumah – Ayu tinggal bersama ayah, dua orang kakak, dan bu’ lik (bibi) – tapi Ayu selalu merindukan ibu. Olahraga menjadi pelampiasan buat Ayu. Dia yang pada dasarnya memang berani dan suka tantangan, menekuni panjat tebing yang diperkenalkan kepadanya oleh seorang guru di SMP. Ayu sebenarnya berbakat, hanya saja kehilangan sosok ibu membuatnya sempat menjauh dari jalan yang harus ia lalui. Semuanya terserah kepada Ayu untuk menyerah atau malah kembali ke siapa dirinya, menoreh prestasi, dan membuat bangga ibu pertiwi serta ibunya sendiri.

bakatnya sudah terlihat sejak dia suka bernyanyi ‘cicak-cicak di dinding’ waktu kecil

 

Kisah nyata kehidupan Ayu dibagi oleh film ke dalam tiga periode. Saat dia masih kecil di tahun 1999, saat dia ABG dan diperkenalkan dengan olahraga panjat tebing, dan hari-hari berlatih di tim nasional menjelang Asian Games. Bagian dia kecillah yang paling menyenangkan untuk ditonton. Di sini Lola Amaria benar-benar telaten merajut berbagai informasi dalam adegan demi adegan. Detil-detil kecil dipergunakan untuk menanamkan kepada kita pemahaman seperti apa si Ayu – apa yang ia inginkan, apa yang membuat dia menjadi seperti dirinya sekarang. Dengan kata lain, film sukses menetapkan motivasi perjuangan Ayu setelah dewasa nantinya. Film memperlihatkan ketidaksukaan Ayu terhadap kekalahan melalui dialog serta lewat adegan-adegan interaksi Ayu dengan sekitarnya. Juga ada narasi tentang penolakan Ayu terhadap kotak-kotak gender; dia yang suka bermain bersama anak-anak cowok, memainkan permainan ‘cowok’, menolak untuk disebut anak perempuan. Sayangnya, topik cerita yang satu ini tidak terasa berujung kepada apa-apa, karena film tampak ingin kembali berfokus kepada persoalan Ayu dengan ibunya. Namun bahkan persoalan itupun tidak benar-benar memuaskan pengeksplorasiannya.

Memasuki periode kedua cerita, film tidak lagi setelaten semula dalam bertutur. Dan ini menjadi masalah karena periode ini merupakan masa terendah dalam hidup Ayu, jadi kita harus dibuat benar-benar peduli pada dirinya. Seharusnya ini adalah bagian yang penting secara emosional. Ayu membuat pilihan-pilihan yang buruk selagi kesulitan menjalani latihan panjat tebing yang memang literally sulit dan menyita banyak tenaga. Jadi ini adalah bagian di mana Ayu ‘dihajar’ habis-habisan. Tapi film memilih untuk menceritakan kehidupan Ayu di periode ini dengan sangat cepat. Rentetan klip ala montase dengan narasi voice-over Ayu menulis surat kepada ibunya pada dasarnya mendiktekan kepada kita hal-hal yang dilalui oleh Ayu – pertama kali pacaran, masalah sama temannya, mencoba ke klub malam (ada sedikit adegan underage drinking di sini) Hubungan sebab-akibat tidak lagi diperlihatkan dengan sedetil bagian sebelumnya.

Cerita tak kunjung melambat, melainkan tancap gas ke periode terakhir. Ayu kini sudah dewasa, dia sekarang berjilbab. Walaupun mengetahui hal tersebut dari poster, aku tetap kebingungan mencari mana yang tokoh Ayu saat dewasa ini. Begitulah cepatnya cerita melompat-lompat. Pertanyaan utama yang diangkat dalam periode ini adalah mengenai sanggup atau tidak Ayu bertahan dalam lingkungan pelatihan yang keras. Dan somehow, masalah Ayu dengan ibunya di periode kedua tidak pernah dijelaskan dengan memuaskan. Mereka tau-tau sudah damai, dan sekarang ‘musuh’ Ayu adalah pelatih galak yang diperankan oleh Ariyo Wahab. Tadinya kupikir film ini mengaitkan ini dengan ketidaksukaan Ayu kalah, apalagi oleh anak laki-laki – kupikir hubungan mentorship Ayu dan Pelatih akan dieksplor sehingga lebih personal daripada sekadar murid dan guru; seperti hubungan mentorship antara Paige dengan pelatihnya di Fighting with My Family (2019) tapi ternyata tidak. Film seperti buru-buru ingin sampai di adegan Asian Games. Hanya sedikit ‘hati’ yang dimasukkan ketika membahas pelatih yang ekstra keras membimbing Ayu. Tokoh Pelatih tidak terasa sebagai manusia beneran, bahkan Ayu pun tak menyentuh kita secara personal.

Film ini kurang terasa dramatis sinemanya. Hanya seperti runtutan kejadian-kejadian yang silih berganti. Bahkan Fighting with My Family yang tentang olahraga bohongan, dengan tokoh atlet hiburan, saja terasa lebih manusiawi karena menggali sisi humanis bukan semata tokoh utama melainkan juga pendukung di sekitarnya. Sepertinya ini semua karena film tidak dimainkan oleh aktor beneran; Lola ingin menutupi kekurangan pemain yang ia punya – dalam hal ini si Ayu sendiri – maka ia tidak memberikan banyak kesempatan bagi pemain untuk menunjukkan sisi emosional

Lebih susah ngajarin atlet berakting ketimbang ngajarin aktor berolahraga

 

Namun, ada satu cara lain yang lebih menarik untuk melihat film ini. BAGAIMANA JIKA SEMUA KEJADIAN DI FILM ADALAH PANDANGAN FLASHBACK DARI AYU DEWASA – BUKAN FLASHBACK URUTAN CERITA? Begini, film ini dibuka dengan adegan Ayu dewasa yang tengah hendak bertanding di final Asian Games. Selagi menunggu aba-aba untuk mulai memanjat, dia menoleh ke barisan penonton dan melihat dua sosok anak yang merupakan dirinya sendiri saat masih kecil. Kemudian barulah film membawa kita ke masa lalu Ayu, yang dimulai dengan adegan mimpi si Ayu Kecil. Kejadian kemudian berjalan hingga kita kembali ke adegan pembuka, Ayu hendak bertanding. Jadi, periode-periode yang kita saksikan antara pembuka film dengan kelanjutan Ayu bertanding bisa diinterpretasikan sebagai flashback Ayu. Hanya ada di dalam kepala Ayu.

Makanya kejadiannya lompat-lompat. Seperti banyak terskip. Karena saat kita mengenang masa lampau, kita hanya akan mengingat momen-momen penting. Dan memang itulah momen-momen yang diperlihatkan oleh film. Ayu mengirim surat marah kepada ibunya. Ayu curhat pada ibunya. Baikan mereka tidak diperlihatkan karena yang Ayu ingat – yang paling penting bagi Ayu adalah momen ketika ibunya tak ada di saat dia butuh dan momen ketika ibunya hadir kembali saat dia butuh. Makanya lagi, banyak detil-detil yang aneh kita jumpai di sepanjang cerita. Seperti misalnya Agnes Monica yang ditonton Ayu kecil di televisi tahun 1999 tampak seperti Agnes Monica yang sudah lebih dewasa daripada tahun segitu (TV jelas menyebutkan Pernikahan Dini padahal tahun segitu Pernikahan Dini belum lagi tayang). Ataupun ketika saat dewasa kakak-kakak Ayu tampak lebih muda ketimbang dirinya. Itu karena Ayu sudah lama tak melihat kakak-kakaknya, mungkin begitulah tampang mereka saat terakhir kali Ayu melihat mereka. Ayu hanya mengingat dia mengidolakan Agnes Monica

Bagaimana jika Ayu mengalami semacam ‘Life Review Experience’ hanya saja dia tidak dalam keadaan nyaris meninggal, melainkan dalam kondisi emosi yang ekstrim lantaran sedang berada dalam momen terpenting seumur hidupnya?

 

Tapi jikapun benar begitu, pilihan ini mustinya tidak bisa dijadikan alasan. Ketika kita membuat film, kita kudu membuatnya dramatis secara sinematik. Toh sudah ada film yang seluruh ceritanya ternyata berupa flashback dari si tokoh yang masih mampu memberikan hubungan sebab-akibat yang runut, tak seperti terskip-skip, meskipun dengan urutan yang acak, seperti Stay (2005) atau Jacob’s Ladder(1990). Karena hubungan-hubungan antarkarakter mesti dijelaskan. Sesuatu yang diangkat harus dapat terlihat penuntasannya. Di situlah letak ‘drama’ yang penonton nikmati. Perjalanan yang turut dipelajari. Di situlah konfliknya, melihat karakter bertumbuh dengan pembelajaran. Kekurangan film 6,9 Detik yang paling kerasa adalah apa yang dialami Ayu tidak terasa earned. Kita tidak benar-benar merasa berjuang bersamanya. Lantaran kita juga tak benar-benar melihat dia berjuang menghadapi masalahnya. Bahkan kenapa mesti panjat tebing saja tidak pernah dijelaskan oleh film. Kita mengerti Ayu tidak suka kalah/gagal, tapi kita tidak diberikan penjelasan yang memuaskan kenapa dia mesti berjuang di panjat tebing – tidak di lomba lari, ataupun renang, atau apa kek.

Cara bercerita bisa dikreasikan, tapi film ini tidak banyak melakukan kreasi. Mungkin bisa berdalih karena budget yang kecil. Tapi tetap saja, film tidak mampu menghasilkan euforia kemenangan ataupun ketegangan. Menonton film ini seperti menyaksikan laporan profil seorang atlet nasional ketimbang sebuah cerita perjuangan dramatis. Kita tahu ujung film ini bahkan sebelum filmnya dimulai. Oleh karena itu seharusnya film ini berbuat sesuatu yang ‘seru’, seharusnya pengalaman menonton kita yang dijadikan sasaran utama dalam bercerita. Buat struktur cerita yang menantang, yang out of the box. Mainkan konsep yang unik. Cerita berupa flashback ini mungkin bisa lebih menarik kalo dibuat lebih vague dan dream-like lagi. Atau mungkin buat flashback Ayu itu terjadi saat dia beneran memanjat. Pada detik-detik perjuangannya itu , dia mengenang hidupnya. Like, cut-to-cut momen-momen hidup dengan slow motion Ayu memanjat, atau apa kek. Atau malah, bikin saja Ayu mecahin rekor 6,9 detik; walaupun tidak sesuai dengan kejadian sebenarnya tapi setidaknya ada momen yang lebih pecah dan beneran live-it-up kepada judul filmnya.

 

 

 

Tadinya aku enggan mengulas film ini. Karena film ini punya maksud yang baik, sehingga aku merasa enggak enak harus bicara jujur tentangnya. Tapi setelah memikirkannya selama dua hari, aku menemukan cara untuk menikmati film ini. Membuatnya tidak separah penilaianku awalnya. Tapi tetap belum cukup. Film ini saat Ayu masih kecil, toh, memang tampil menyenangkan. Kejadiannya tergambar detil, karakter-karakternya hidup. Hanya saja semakin ke belakang, penceritaannya semakin lepas – terasa lompat-lompat. Adegan demi adegan berganti tanpa memberikan waktu untuk kita meresapi emosi. Itupun kalo memang ada emosi dalam cerita dan penampilan aktingnya.
The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for 6,9 DETIK.

PRETTY BOYS Review

“The real heroes here are the ones that experience movies in reality.”

 

 

Melihat pria berpakaian dengan sangat flamboyan di televisi penonton akan terhibur. Orang akan tertawa-tawa menyaksikan tingkah polah selebriti yang bergaya lebih lebay daripada wanita tulen. Namun ketika melihat si selebiriti yang sama di belakang panggung, semua itu menjadi tidak lucu lagi. Bagaimana jika dia ‘bencong’ beneran? Dan ketakutan itu akan berkali lipat jika si selebriti adalah orang yang dikenal. Sanak keluarga sendiri, misalnya.

Itulah masalah pada televisi dan bisnis hiburan. Orang-orang yang menontonnya cenderung percaya yang mereka lihat di layar kaca itu adalah kebenaran. Penonton televisi seringkali lupa seleb juga manusia yang sesungguhnya hanya bekerja mencari sesuap nasi. Tak sedikit dari para seleb mengorbankan sesuatu demi pekerjaan yang tampak glamor tersebut. Film Pretty Boys datang dari orang-orang yang peduli dan tampak memahami betul seluk beluk – suka duka pekerjaan penghibur di dunia televisi. Dalam film yang sangat menyenangkan untuk ditonton ini kita akan melihat gambaran belakang panggung sebuah acara talkshow, kondisi mental para pelakunya, serta sejauh apa efek pekerjaan mereka terhadap kehidupan sosial dan pribadi di dunia nyata.

Anugerah dan Rahmat, sobatan sejak masih anak masjid, pergi dari kampung mereka ke Jakarta untuk mengejar mimpi menjadi host acara televisi. Setelah cukup lama bekerja di kafe (masak sambil ngelawak), nyobain kerja serabutan demi tambahan uang makan, kesempatan bagi mereka datang saat menjadi penonton bayaran untuk sebuah acara talkshow hits di televisi. Produser acara tersebut tertarik sama gaya Anugerah dan Rahmat sehingga mereka dikontrak untuk menjadi co-host. Namun acara televisi jaman sekarang beda ama acara jaman dulu. Alih-alih berdandan ‘laki’ seperti Sony Tulung dan Dede Yusuf yang foto acara kuisnya terpajang di dinding kontrakan, Anugerah dan Rahmat harus mengenakan wig dan pakaian wanita. Anugerah sempat ngeri juga. Toh lantaran bakat menghiburnya sudah kuat melekat, Anugerah dan juga Rahmat menyelam sempurna ke dalam persona televisi mereka. Penonton suka sama Nugie dan Matthew; nama panggung masing-masing. Acara Kembang Gula itupun semakin sukses.

Perasaan jumlah rotinya bertambah banyak di setiap shot

 

Seperti yang dilakukan Olivia Wilde – aktor yang banting stir menjadi sutradara – ketika menggarap Booksmart (2019), Tompi yang lebih dulu dikenal sebagai penyanyi juga memberikan sentuhan kenyataan kepada film debut penyutradaraannya ini. Insight yang didapat dari gabungan pandangan pemain dan penulis cerita film (Imam Darto; juga dalam debutnya di penulisan skenario) ia anyam ke dalam bahasa audio visual, lengkap dengan lelucon-lelucon meta (tokoh film akan bercanda soal karir dan kehidupan nyata orang-orang yang terlibat pembuatan film ini), menjadikan film ini sebagai komedi yang efektif. Yang juga bekerja sebagai satir lantaran film menunjukkan betapa ‘bego’nya penonton dan ‘sadis’nya bisnis televisi yang mengutamakan rating view. Ada sesuatu yang sepertinya ingin dikatakan oleh film ketika mereka memperlihatkan perbedaan host jaman dulu dengan host tv jaman sekarang; bahwa Anugerah dan Rahmat musti jadi ‘bencong’ dulu baru bisa terkenal. Menurutku film bisa mencapai lebih dalam jika membahas soal ‘mengapa’, tapi film memutuskan untuk menggambarkan saja.

Chemistry tak-terlawan duo Vincent Rompies dan Deddy Mahendra Desta benar-benar dijadikan tumpuan. Tek-tokan dan comedic timing mereka yang sudah amat precise dan mulut mampu membuat adegan-adegan lucu dalam film ini hampir semuanya seperti on-the-go. Mereka, dan juga para pemain lain, tampak natural menampilkan permainan akting. Karena tokoh-tokoh yang mereka mainkan memang merupakan semacam ‘perpanjangan’ dari gimmick televisi/show yang biasa mereka perankan. Guyonan khas Vincent dan Desta – misalnya Desta bertingkah sangat absurd seperti ujug-ujug menyalakan korek ketika berkacamata hitam karena menyangka sedang mati lampu – tidak pernah hadir sebagai lelucon yang maksa hanya untuk memancing tawa. Karena tingkah-tingkah antik seperti itu merupakan bagian dari karakter tokoh mereka yang benar-benar hobi menghibur orang sehingga mereka put on their comedic show dalam setiap waktu. Menjadikan meta seperti demikian memang bisa membuat film salah arah; kita sebagai penonton bisa dengan gampang menyangka ini adalah biografi terselubung Vincent dan Desta. Maka itulah film menggunakan satu momen yang fun untuk membuat kita tetap dalam trek yang benar; yakni ketika ketika Nugie dan Matthew bertemu dengan their real life counterparts. Taktik jitu ini turut membuat dunia cerita Pretty Boys menjadi semakin imersif.

Sebenarnya pada elemen drama-lah Tompi menunjukkan sinarnya sebagai seorang sutradara yang patut dinantikan lagi karya-karya berikutnya. Seperti pada momen Nugie ragu akan keputusannya tampil di acara yang mengharuskannya berlagak seperti wanita. Ataupun pada momen-momen flashback ke masa kecil yang berfungsi lebih jauh dari sekadar ekposisi karena digunakan untuk menghantarkan perasaan emosional dari akar persahabatan kedua tokoh sentral. Pretty Boys memang bukan film yang hanya dibuat untuk terpingkal-pingkal saja. Hati dari film ini sesungguhnya berdetak dengan penuh kemanusiaan. Sebab ia membahas tentang hubungan anak dengan ayahnya, dengan anak dengan sahabatnya, dengan anak manusia dengan pilihan hidupnya. Dengan kesempatan yang harus ia ambil atau ia tinggalkan.

“When a man does a queer thing, or two queer things, there may be a meaning to it”

 

Berita kesuksesan Anugerah sampai ke telinga Bapak di kampung. Mendengar anaknya bersalaman sama presiden, Bapak yang tentara dan berjuang demi negara menghidupkan televisi. Tebak apa yang beliau saksikan di televisi. Putra semata wayangnya, yang dulu kabur dari rumah, yang tak pernah ia setujui pilihan pekerjaannya, tampil melambai seperti putri kecantikan di depan penonton seluruh negeri. Tebak seperti apa reaksi Bapak. Well, aku pastikan tebakan kalian tidak akan mendekati emosinalnya film ini memperlihatkan adegan reaksi tersebut. Vincent diberikan tantangan untuk ‘adu unjuk emosi’ dengan aktor senior Roy Marten. Desta juga mendapat kesempatan untuk meluaskan range – keluar dari zona nyaman – permainan aktingnya. Dan mereka berhasil untuk tidak membuat kita merasa ingin tertawa pada momen-momen yang serius.

Salah satu gagasan menarik yang dilontarkan oleh film adalah soal pekerjaan tentara – pahlawan pembela negara – yang diparalelkan dengan pekerjaan sebagai penghibur yang menampilkan kebohongan untuk masyarakat.  Film menantang kita dengan pertanyaan “pantaskah selebriti dianggap sebagai pahlawan?” Baru-baru Quentin Tarantino juga membahas hal serupa dalam film Once Upon a Time in Hollywood (2019), seorang aktor yang diidolakan – dianggap pahlawan – meskipun dia tidak pernah melakukan apa-apa di dunia nyata. Gagasan Tarantino tersebut seperti didebat oleh Pretty Boys. Percakapan heart wrenching antara Anugerah dengan ayahnya menyebutkan meskipun tampak hina, tapi yang ia lakukan juga adalah pengorbanan. Ada yang dipertaruhkan.

Definisi pahlawan adalah seorang yang mempertaruhkan hidupnya demi negara. Seorang yang membahayakan dirinya sendiri demi keselamatan orang lain. Selebriti – bintang televisi – adalah seorang yang menghibur orang banyak, tidak pernah tugas mereka untuk menjadi panutan. Yang mereka lakukan di televisi, di media, sebagai bagian dari pekerjaan hiburan tidak seharusnya dijadikan suri teladan. Tapi bukan berarti tidak ada manusia di balik persona televisi mereka. Bukan berarti tidak ada perjuangan yang mereka lakukan untuk sampai di titik tersebut. Perjuangan mereka itulah yang bisa diidolakan, yang membuat mereka pantas untuk dijadikan pahlawan.

 

 

Pretty Boys bekerja dengan sempurna ketika membahas seputar Anugerah dengan ayahnya dan Anugerah dengan Rahmat. Karena dua orang inilah yang membentuk seperti apa Anugerah sekarang. Pertengkaran Anugerah dan Rahmat on live TV (yang ngerti naskah; yeah of course friends would fight in movies) adalah adegan terfavoritku di film ini. Naskah yang sudah tight sayangnya menjadi sedikit longgar ketika film memasukkan bagian cinta segitiga yang gak benar-benar menambah banyak untuk gagasan dan daging utama cerita. Tentu, soal cewek itu bisa dengan gampang menjadi katalis ke masalah Anugerah dengan Rahmat. Namun di situlah letak masalahnya. Terlalu gampang. Mereka seharusnya membuat permasalahan yang lebih dalem. Soal romance dibahas oleh film dengan sangat ringan sehingga jikapun tokoh Asti yang jadi love interest enggak ada, gagasan cerita masih bisa tercapai. Tokoh Asti hanya seperti dijejelin masuk untuk membuat riak di persahabatan Anugerah dan Rahmat. Tapi sesungguhnya dua boys ini enggak musti dibantu oleh cewek untuk menyelesaikan masalah mereka. Pak Ustadz dan Tora Sudiro dan Si Bapak sudah cukup memberikan pelajaran.

Dan bukan hanya Asti. Film cenderung mengambil langkah yang paling mudah untuk menyelesaikan masalah. Mereka membuat pihak TV benar-benar seperti pihak yang jahat, sebagai jalan keluar dari masalah Anugerah dan Rahmat. Memang, ini sejalan dengan konteks kedua tokoh hidup di dunia tak-mendukung; mereka hanya punya mereka berdua. Tapi juga berkonflik dengan pesan yang sempat disebutkan soal TV dan media online (youtube) saling mengisi – bahwa TV tidak akan tergantikan. Film seharusnya juga lebih mengeksplorasi soal TV ‘melawan’ Youtube, membuild up ke arah sini, karena – aku pengen membuat satu point jadi ya, WARNING ada SPOILER – di akhir out of nowhere Youtube dijadikan solusi. Buatku film juga memilih ending yang terlalu gampang. I mean, daripada bikin satu adegan doang Bapak nonton Youtube dan semuanya beres dari sana, mendingan gunakan soal keviralan dari yang mereka lakukan, circled back ke awal cerita, buat mereka mendapat pilihan ke TV kembali dan kemudian lebih memilih mandiri dengan Youtube. Resolusi dan ending yang dipilih oleh film simply terasa kurang nendang dan enggak setight bangunan cerita sebelum-sebelumnya.

 

 

 

Tompi berhasil membubuhkan jejak yang berarti dalam debut sutradara film panjangnya ini. Ia menyuguhkan tontonan komedi dan drama yang bekerja dengan sama efektifnya. Departemen akting yang dipunya sangat solid. Materi yang ditulis dengan seksama dan penuh perhatian dimainkan dengan penuh suka cita. Semua yang terlibat tampak sangat menghormati cerita, sekaligus bersenang-senang dengannya. Narasinya bergulir dengan mantap dan berbobot hingga menjelang penghabisan yang terasa lebih renggang sehingga berakhir kurang nendang. But still, ini adalah salah satu film paling menyenangkan untuk ditonton tahun ini. Kalian yang suka terhadap bisnis hiburan, bakal lebih mengapresiasi film ini.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for PRETTY BOYS.

 

 

 

 

 

 

TWIVORTIARE Review

“Fighting is a part of healthy relationships”

 

 

Twivortiare agaknya permainan kata dari  sebuah kata bahasa rumania; divortiare (di-vor-ti-a-re) yang berarti perceraian. Dan memang, Twivortiare diangkat dari novel tulisan Ika Natassa yang actually adalah kelanjutan dari novelnya yang berjudul, you guessed it; Divortiare. Fiksi metropop tentang putus-nyambungnya pasangan suami-istri. From what I’ve gathered around the net, novel Twivortiare punya konsep yang unik. Kisahnya diceritakan melalui postingan twitter si tokoh utama. Pembaca dibuat seolah meng-scroll timeline si tokoh, membaca tweet demi tweet berisi curhatan, keluhan. Konsep yang menarik sebagai penceritaan untuk media visual.

Film, media audio-visual, ada juga yang menggunakan postingan sosial media sebagai alat utama untuk bercerita, tapi itupun ceritanya kudu mengandalkan misteri atau thriller. Karena gak ada deh pasti yang sudi datang ke bioskop hanya untuk membaca tulisan sepanjang waktu. Film-film yang menyisipkan chattingan seringkali dikritik males atau dituding sebagai usaha murahan untuk membuat ceritanya tampak modern. Makanya ketika di menit-menit awal menonton Twivortiare, aku udah mau meledak teriak “booo!”; satu layar bioskop itu hanya menampilan percakapan pesan twitter! Untungnya pembuat film masih waras dan wajah Raihaanun Soeriaatmadja dan Reza Rahadian kembali dimunculkan.

Karena kedua aktor tersebut were literally the BEST DECISIONS this entire film has ever made.

Penampilan akting Raihaanun dan Reza Rahadian benar-benar mengangkat film ini. Membuat materi yang membosankan menjadi seperti worth it untuk diikuti. Aku kaget sekali mendapati aku tersedot ke dalam cerita film ini. Yang gak punya misteri, gak punya aksi, yang literally nothing big happened. Aku, di luar kuasaku, jadi begitu peduli kepada dua tokoh sentral cerita. Well, setidaknya aku tertarik sampai akhir paruh pertama.

“nyebutin filmnya yang jelas biar gak disangka ngomong ‘twit wor diare’ sama mbak penjual tiket”

 

Raihaanun berperan sebagai Alexandra Rhea Wicaksono, seorang banker. A wife to Reza Rahadian’s Beno Wicaksono, seorang dokter kardiologi yang memandang pekerjaannya dengan serius. Beno memerhatikan para pasiennya. Beno kepada pasien sama seperti cerita-cerita Ika Natassa kepada nama lengkap tokohnya; harus! Jadi Alex merasa dinomorduakan. Kehidupan rumah tangga mereka dengan cepat hambar. Ditambah lagi, keduanya hobi banget bertengkar. Alex meminta cerai, dan Beno karena cintanya terpaksa mengabulkan. The story hasn’t ended yet, karena Beno tak pernah benar-benar hilang dari hati Alex. Dari hidup Alex. Setelah beberapa kali pertemuan pasif-agresif, mereka berdua saling jatuh cinta kembali. Semesta pun mendukung. Alex dan Beno rujuk. But still, the story hasn’t ended here. Alex dan Beno harus mengalahkan ‘penyakit’ lama mereka. Karena rumah tangga mereka sudah bubar satu kali. Masa sih mereka bakal terjatuh ke dalam lubang yang sama?

See, this is not the kind of story that I usually enjoyed. Tapi aku tak bisa memalingkan kepala dari tokoh-tokohnya, karena Raihaanun dan Reza mainnya bagus banget. Twivortiare ini mungkin contoh yang tepat sebuah film terangkat derajatnya oleh penampilan pemain. Kalo yang meranin pemain level menye-menye, aku mungkin sudah berteriak-teriak ngomenin setiap kalimat yang mereka ucapkan. Tapi film ini tidak. Dialog demi dialog mereka hidupkan dengan natural. Chemistry mereka menarik perhatian kita, dan menahannya supaya enggak kemana-mana. Pesona paling kuat jelas datang hubungan unik antara Alex dan Beno. Mereka musuhan tapi saling membutuhkan. Menyaksikan mereka berantem, adu argumen, low-key saling menyalahkan, sudah seperti candu. I mean, aku benar-benar menikmati siklus mereka perang-mulut, kemudian kontemplasi lewat masalah pekerjaan masing-masing, dan kemudian merasa amat sangat butuh untuk bertemu dan akhirnya baikan lagi. Ada adegan mereka berpura-pura masih suami istri ketika hendak menjual rumah, dan kemudian kompakan nyari alesan untuk tidak menjual rumah, karena masing-masing sadar mereka sebenarnya tak ingin menjual rumah yang menjadi saksi cinta mereka. Aku juga suka Beno tidak bertanya kenapa Alex balik lagi ketika dia melihat Alex yang tadinya mau jalan dengan pacar baru. Beno hanya menatap Alex, menyapa, dan mereka ngobrolin hal lain. Deep inside, Beno dan Alex tahu mereka masih saling cinta, namun mereka tidak tahan karena mereka terlalu sering bertengkar.

Great relationship disebut hebat bukan karena tidak pernah ada masalah. Semua hubungan pasti akan mengalami ketidaksetujuan, perbedaan, pertengkaran, kecemburuan. Great relationship justru ditempa dari semua itu. Dari cara pasangan menyelesaikan semuanya dengan cinta mereka. Tanpa itu semua yang menguji, tidak akan ada hubungan yang erat.

 

Pertengkaran-pertengkaran kecil sesekali diperlukan. Inilah yang perlu disadari oleh Alex. Karena dia selalu ‘kabur’ dari masalah. Cek-cok sedikit, ngajak pisah. Over the course of film, Alex tak tahu bahwa yang teman-temannya lihat, yang orangtua dia dan Beno lihat, bukan dia dan Beno berantem hebat. Mereka berantem sesungguhnya adalah di mata dan kepala mereka sendiri. Bagi orang yang luar, bahkan kita yang nonton, yang terlihat adalah dua orang yang saling mengingatkan, yang saling mengomunikasikan perasaan – apa yang mereka suka, apa yang tak mereka suka – yang saling berusaha untuk kompromi. Sebuah ciri hubungan yang sangat sehat, justru. Teman-teman Alex menggoda dirinya dengan istilah ‘drama’, tontonan seru.   Tak ada satupun yang mencemaskan Alex. Dan ini juga sebabnya kenapa kita begitu betah menonton dua orang yang ribut melulu.

hal positif berantem adalah; make up sex is the best sex

 

Bagian itulah yang tak tertranslate dengan baik ke dalam bahasa dan kebutuhan film. Cerita Alex dan Beno berusaha menyadari kuatnya hubungan mereka ini tidak punya stake. Kita percaya tidak ada yang bisa mengancam hubungan mereka. Cowok-cowok kantor yang datang mengirimi Alex bunga, tidak sedikitpun mereka tampak punya kesempatan. Kita sudah dibuat terlampu percaya bahwa dua tokoh ini saling cinta, dan pertengkaran-pertengkaran mereka itu bukan masalah. Melainkan bukti kuatnya cinta. Anggika Borslterli yang jadi sohibnya Alex bilang “Setiap kali lo curhat ada masalah ama Beno, gue gak pernah khawatir.” It’s true. Itu jugalah yang kita sebagai penonton rasakan. Tak pernah sekalipun aku mencemaskan Alex dan Bono bakal pisah lagi. Kecuali mungkin oleh kematian. Tapi bahkan kematian tak jadi soal karena ini adalah cerita tentang dua orang yang merasa gak cocok padahal mereka sudah ditakdirkan untuk bersama.

Jika Twivortiare adalah cerita yang dibuat khusus untuk film, katakanlah tidak ada novelnya, aku yakin pembuat film ini setelah midpoint akan mencari masalah baru – yang masih paralel dengan tema dan journey – dan memperbesar stake alias taruhan untuk para tokoh supaya cerita tetap menyala dan punya tantangan. Mungkin tokohnya dibuat pengen punya anak sebagai cara tak bertengkar lagi tapi gak bisa punya anak, so their choices will be limited sehingga konflik semakin menajam. Atau apalah, pokoknya yang membuat cerita berkembang dari paruh pertama. Tapi Twivortiare toh adalah novel pada aslinya. Konflik berulang tidaklah mengapa di sana. Namun pada film, jadinya membosankan.

Setelah midpoint, pertanyaan yang dipancing adalah apakah Alex dan Beno bakal terjauh ke lubang yang sama, dan ternyata justru ceritalah yang jatuh di lubang yang sama. Alias, kejadian yang datang menghadang Alex dan Beno basically sama saja dengan kejadian pada paruh pertama. Ada pria yang deketin Alex. Beno yang masih sibuk ngurusin pasien. Hanya variasi dari hal yang itu-itu melulu. Buat film, ini melelahkan untuk ditonton. Semenakjubkannya akting pemain, mereka overstay their welcome jika memainkan kondisi yang sama berulang-ulang. Not even cameo penulis Ika Natassa saat Alex dan Beno membahas ikan salmon menolong film untuk menjadi menarik kembali. Cerita seperti berlalu tanpa ujung. Dengan semua jawaban sudah kita ketahui, cerita hanya meninggalkan kepada kita sebuah pertanyaan baru; kapan selesainya nih film?

 

 

 

 

Aku bakal ngasih tujuh bintang, jika film ini berakhir pada midpoint ceritanya. Bahkan bisa saja delapan jika mereka melanjutkan dengan raising the stake and upping the ante. Tapi mungkin jadinya bakal lain dari gagasan awal cerita. Kalo aku jadi sutradara Benni Setiawan, aku pasti udah gatel setengah mampus untuk memberikan tantangan yang lebih, karena melihat para pemain mewujudkan tokohnya dengan luar biasa. Sayang aja gitu, udah punya sekaliber Reza dan Raihaanun tapi tidak diberikan sekuens yang benar-benar wah. Tapi yah mau gimana. Ini adalah kisah adaptasi cerita novel and it settled itself at being what it is. Tak lebih. Tak kurang.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for TWIVORTIARE.

 

GUNDALA Review

“We must preserve our humanity.”

 

 

Indonesia juga punya komik superhero. Coba tanya deh ke ayah, paman, atau kakak kalian yang remaja di tahun 70-80an saat komik-komik tersebut lagi berjaya. Siapa tahu mereka masih menyimpan dan kalian bisa membaca dan membandingkan dengan superhero dari luar. Jika tak punya, jangan khawatir. Karena Joko Anwar bersama Screenplay Pictures dan Bumilangit Komik berniat menghidupkan para pahlawan super lokal – dibranding ulang sebagai ‘Jagoan’ – dalam jagat sinema tersendiri. Bumilangit Cinematic Universe namanya.

Gundala adalah film pembuka franchise yang menjanjikan delapan film untuk Jilid I jagat sinema ini. Ini adalah origin story tentang ‘kelahiran’ pahlawan berkekuatan petir tersebut. Bahkan jauh sebelum si tokoh mendengar nama Gundala. Bingung? Seperti yang ia lakukan pada Pengabdi Setan (2017), sutradara Joko Anwar membuat sesuatu yang benar-benar baru dari materi asli yang ia adaptasi. Tidak seperti di komik, Gundala dalam film ini bukan Sancaka sang ilmuwan. Melainkan Sancaka hanya seorang anak pinggiran yang takut kesamber petir. Di waktu kecil, Sancaka menyaksikan ayahnya tewas ditusuk oleh kelompok sendiri saat berdemo. Kemudian Sancaka ditinggal oleh ibunya yang tak kunjung pulang ke rumah. Sancaka terpaksa pindah hidup ke jalanan. Kerasnya keadaan di kota yang nyaris tak menyisakan manusia bermoral, membuat Sancaka memegang teguh prinsip hidup ‘jangan percaya siapapun dan jangan mencampuri urusan orang’. Dia survive hingga dewasa dengan prinsip tersebut. Namun setelah mendapat kekuatan dari petir yang selama ini ia takuti, Sancaka diberikan pilihan untuk bangkit dan menjadi penyelamat bagi rakyat tertindas.

“Jangan percaya orang kaya karena Batman dan Ironman cuma ada di komik”

 

Gersang. Berdebu. Panas. Ganas. Begitulah dunia tempat tinggal jagoan kita digambarkan oleh film. Kehidupan rakyat jelata benar-benar keras. Penuh ketakutan dan persaingan. Gundala bukan film pahlawan super yang meriah oleh fantasi. Tone ceritanya malah sangat depressing. Bukan kurangnya air yang membuat kehidupan mereka kering, melainkan minusnya rasa kemanusiaan. Rating 13+ yang dicapkan bahkan menurutku tidak benar-benar sesuai dengan yang digambarkan oleh film. It should be higher. Sancaka sebagai anak kecil sungguh menderita hidupnya. Dia dikejar-kejar, dipukuli, diiris telinganya. I mean, at least Bruce Wayne punya banyak duit, kan. Dia mungkin punya banyak mainan dan elektronik untuk membantunya melewati hari. Sancaka tidak punya apa-apa. Bahkan dalam momen terdamai hidupnya – dalam tidur – dia terus bermimpi tragedi. Jika kalian punya masalah melihat kekerasan pada anak kecil, kalian bakal menemukan film ini cukup susah untuk disaksikan. Karena semuanya ditampilkan tanpa ditahan-tahan. Gebukan ke kepala di-close up. Hamparan darah di-zoom. Kalopun ada tusukan yang disembunyikan oleh kamera, itu hanya karena film ingin membuat pelakunya ambigu.

Tingginya level kekerasan, banyaknya adegan yang menunjukkan pembunuhan, pengeroyokan, penipuan, pengazaban, membuat film ini lebih pantas disebut sebagai thriller-aksi realis. Karena keadaan dunia yang dinampakkan sesungguhnya adalah komentar pembuat film terhadap keadaan dunia kita yang tampak baik-baik saja. Ada tusuk menusuk setiap hari, meski tidak berdarah. Ada orang berantem setiap hari, meski cuma di twitter. Ada saling hasut, saling menebar benci, di berbagai media. Menanamkan politik ketakutan. Dan juga tidak sedikit yang memilih untuk diam seperti Sancaka. Yang sedapat mungkin menjauh dari urusan orang, daripada ntar terseret ke dalam bahaya. Perjalanan Sancaka dalam film ini adalah perjalanan untuk menjadi oase di tengah kekeringan kemanusiaan. Naskah menggempor Sancaka habis-habisan. Abimana Aryasatya memberikan kegugupan yang tepat dalam menghidupkan tokohnya, ia menyambung estafet emosi dari Muzakki Ramdhan yang jadi Sancaka cilik, untuk kemudian meluaskan kembali jangkauan emosi tersebut. Dia diletakkan dengan segera di posisi paling naas yang mengharuskan dia untuk belajar survive. Dia belajar berkelahi. Namun pelajaran yang paling susah yang harus ia lewati adalah cara menumbuhkan keberanian untuk peduli kepada orang lain. Setelah itu tercapai, barulah dia bisa fokus belajar mengendalikan kekuatan petir yang ia punya.

Untuk tujuan itu, cerita memasangkan Pengkor sebagai lawan – antitesis – dari Sancaka. Pengkor, yang separuh tubuhnya penuh luka bakar dan berjalan pincang, adalah bos dari ratusan anak-anak jalanan yang menyimpan dendam terhadap kemanusiaan. Pengkor menyusup ke lapisan atas, menanamkan orang-orangnya, dan berusaha mengatur negara sesuai dengan idealismenya. Dengan masa lalu yang mirip, bahkan lebih tragis. Pengkor adalah Sancaka jika ia tidak pernah sadar dari prinsip hidup jalanan yang ia pegang. Jika Sancaka memilih untuk menjadi hero untuk alasan yang salah. Karakter Sancaka dan Pengkor dikembangkan dari teori ‘wounds and lie’. Mereka sama-sama punya trauma yang menyebabkan mereka percaya pada satu hal yang salah. Namun Sancaka yang menyadari kesalahannya, dengan segera menjadi oposisi dari Pengkor. Pendekatan yang diambil film terhadap dua karakter ini mirip sama hubungan antara Joker dan Batman. Begitu miripnya, aku sebelum film dimulai bertaruh dengan temanku bahwa monolog “harapan bagi rakyat adalah candu” (dibawakan oleh Bront Palarae dengan nada rendah khas tokoh penjahat utama saat mengintimidasi protagonis) pada trailer sesungguhnya terjadi pada adegan Pengkor ngobrol dengan Sancaka – seperti monolog Joker kepada Batman di dalam sel di The Dark Knight (2008). Dan saat menonton aku menyesal tidak mempertaruhkan hal yang lebih signifikan, karena ternyata tebakanku benar.

Gundala mengajarkan penontonnya, yang sepertinya banyak orang dewasa, untuk tidak memelihara antipati terhadap sekitar. Karena saat kita memutuskan untuk tidak menolong siapa-siapa, kita sebenarnya juga tidak menolong diri kita sendiri. Kemanusiaan adalah satu-satunya hal yang dapat membuat zaman panas yang edan ini menjadi sejuk. Maka, jangan biarkan sikap itu mengering.

 

Gundala memang seperti superhero luar. Kekuatan Gundala original basically adalah gabungan dari Thor dan The Flash (dalam film ini hanya Thor, walaupun film sempat seolah membuild up kemampuan lari Sancaka lewat beragam adegan yang menunjukkan dirinya dikejar-kejar). Tokoh-tokoh jagoan legendaris di komik-komik lokal kita memang banyak kemiripan dengan tokoh Marvel maupun DC. Aku sebenarnya tidak ingin membanding-bandingkan, tetapi toh filmnya sendiri yang seperti memohon untuk kita bandingkan dengan film-film superhero yang lebih superior, dengan jagat sinema dan segalanya itu. Gaya dan arahan Joko Anwar klop sama gaya kelamnya DCEU. Yang menurutku bisa saja bekerja dengan maksimal. Tone gelap dapat menutupi kelemahan CGI. Aksi-aksi fantastis dari kekuatan superhero simply bisa disubsitusi dengan aksi pertarungan berbasis martial arts; serupa aksi yang pernah membuat film laga Indonesia mendapat pengakuan dari penonton mancanegara. Film melakukan porsi aksinya dengan baik. Meski ada beberapa efek CGI yang mestinya tidak perlu nekat dilakukan karena hasilnya memang tidak tampak meyakinkan. Ngaku deh , masa sih kalian gak tertawa melihat efek Sancaka jatuh dari atas gedung.

Daerahnya sering hujan tapi kenapa tetep terlihat kering dan gersang ya?

 

Dialog yang terdengar lebih ‘tinggi’ daripada tokoh yang mengucapkannya adalah khas Joko Anwar. Dalam film ini kita akan melihat anak kecil ngobrol soal dewan legislatif, yang seketika bikin aku ngakak terlebih karena teringat anak kecil di Pengabdi Setan nyebut kuburan sebagai ‘areal pekuburan’. Namun ‘ketinggian’ dialog itu pas dengan tone cerita. Jika film komit ke arah gelap dan gritty itu, maka akan tidak ada masalah. Namun sepertinya keinginan mereka untuk menjadikan film ini sebagai langkah awal – seperti Ironman sebagai pembuka MCU – malah berbalik menjadi bumerang. Karena tentu saja studio butuh jaminan film bakal laku. Jadi, Gundala yang semestinya bakal bekerja dengan baik di ranah dark and violentnya harus ada sedikit humor dan appealing buat lebih banyak orang. Maka film ini memilih untuk mencampurkan tone ala DCEU dengan sisipan guyon ala MCU. And it doesn’t mesh well together.

Lelucon-lelucon yang dimasukkan ke dalam dialog dan adegan menyebabkan film terdengar canggung. Terkadang memaksa kita untuk tertawa, padahal seharusnya kita meresapi subteks yang dikoarkan. Selain itu, lelucon ini membunuh karakter. Karena semua tokohnya jadi terdengar sama. Mereka ngomong singkat-singkat. Saling menjawab cepat-cepat. Dan pada satu titik, campuran tone cerita ini, membuat kita tak yakin kejadian penting di film harus dianggap serius atau tidak. Aku gak enak ngasih spoiler banyak, tapi pada poin muncul serum perusak moral (yea you read that right), aku benar-benar gak tahu harus ketawa atau tidak. Karena dampak dan semua yang berhubungan dengan kejadian serum itu tampak obviously make no sense, tapi film tetap lanjut karena itu adalah bagian dari rencana super jahat. Tega sekali film menggambarkan rakyat sebego itu, tapi mungkin memang di situlah letak kritikan tajam film ini terhadap keadaan sosial yang gampang terpancing. Lagian, karena semua penduduk film ini ditampakkan sudah rusak moralnya sedari awal, aku merasa susah untuk peduli dan menganggapnya serius.

Cerita bergerak terlalu cepat untuk dapat memberikan arti pada masing-masing tokoh yang muncul. Ada banyak yang seperti tokoh penting – dimainkan oleh aktor mumpuni – namun ternyata terbang menghilang begitu saja. ‘Algojo-algojo’ Pengkor itu hanya tubuh saja. Karakterisasi mereka ya hanya gimmick masing-masing. Peduli apa sama nama mereka, atau apakah mereka ada di komik atau enggak, film hanya memperkenalkan mereka sebagai Si Jurus Nari, Si Mahasiswi Bersenjata Tas, Si Dua Golok Gede. Atau mungkin nama mereka memang seperti itu, kayak tokoh-tokoh di cerita silat Wiro Sableng. Aku gak tahu. Kepedulian film memberi karakterisasi pada mereka toh juga cukup sampai di sana.

Kupikir itu semua berkaitan dengan keinginan film untuk membangun jagat sinematik. Mereka memperkenalkan tokoh, hanya untuk memancing kita nonton film berikutnya. Karena kemungkinan tokoh tersebut bakal dijelasin di sana. Dan menjamin kepada studio banyak orang bakal nonton terus karena penasaran. Kapitalis sekali, sih. Tapi memang seperti itulah industri film mainstream bekerja. Mengekor cara sukes MCU. Jangankan tokoh-tokoh seperti Ghazulnya Ario Bayu yang tampak meta sekali karena mengetahui seluk beluk cerita Gundala, atau tokoh Sri Asih yang muncul hanya sekelebat untuk mengingatkan kita kepada Wonder Woman, atau tokohnya Tara Basro yang sepanjang film menuntut untuk ditolongin, penjelasan kenapa petir mengincar Sancaka sedari kecil aja tidak dapat kita temukan dalam cerita origin ini. Karena disimpan untuk film berikutnya. Kalo film pertama ini laku. Dan kita harus membuat film ini laku untuk menjawab pertanyaan yang sengaja dibiarkan menganga tersebut. Pace film tampak tergesa-gesa seolah filmnya sendiri pengen cepat-cepat sampai ke sepuluh menit terakhir. Ke bagian yang menggoda penonton untuk episode selanjutnya.

 

 

Joko Anwar’s attempt at superhero franchise is dark, violent, and really gritty. Rasa lokal yang dihadirkan mampu memberikan warna baru yang membuatnya berbeda. It is a Jagoan movie, after all. Tapi di saat bersamaan, gaya yang diambil dalam usahanya untuk tetap berada di ranah mainstream demi menjual lebih banyak film-film berikutnya, membuat film ini terasa seperti memirip-miripkan diri dengan gaya film pahlawan super yang lebih sukses. Karakter-karakternya tak tampak benar-benar hidup. Mereka hanya melanjutkan adegan demi adegan yang berpindah-pindah dalam tempo cepat. Sancaka dan Pengkor cukup maksimal – malah Pengkor sempat bertindak kayak John Kramer si Jigsaw dengan death trapnya – tapi ada banyak lagi yang tampak penting ikut ditampilkan. Aku ingin melihat mereka lebih banyak, mendengar mereka lebih banyak. Pada akhirnya kejatuhan bagi film ini adalah mereka juga mengerahkan tenaga untuk membangun universe di depan membangun satu cerita ‘kecil’.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for GUNDALA

PERBURUAN Review

“He who is prudent and lies in wait for an enemy who is not, will be victorious”

 

 

Perburuan yang ditayangkan serentak bersama Bumi Manusia (2019) oleh Falcon Pictures benar-benar memenuhi fungsinya sebagai alternatif. Keduanya merupakan adaptasi dari novel karya Pramoedya Ananta Toer, sama-sama berlatar zaman penjajahan , sama-sama menggambarkan ketimpangan kelas manusia, tapi cerita bercerita keduanya terletak di dua spektrum yang berbeda. Perburuan diserahkan kepada Richard Oh, yang meraciknya dengan menyuguhkan lebih banyak kreasi sehingga muncul sebagai penyeimbang buat Bumi Manusia yang hadir lebih ngepop. It’s nice, dan langka, menonton film tentang kemerdekaan dari dua penulis sumber yang sama tapi digarap dengan berbeda. Meski menurutku agak ‘jahat’ juga Falcon ‘mengadu’ keduanya. Aku nonton dua film ini secara berturut-turut di hari yang sama (Bumi duluan, baru Perburuan), dan ketika Bumi aku langsung bisa menuliskan ulasannya pada hari itu juga, maka untuk Perburuan aku butuh untuk memikirkannya terlebih dulu. Karena ada banyak kandungan yang tak bisa langsung dijabarkan. Banyak pilihan yang dilakukan oleh film yang sepintas tampak seperti keputusan yang buruk, tapi ada subteks yang membayanginya, yang membuatku tak ingin buru-buru mengambil kesimpulan.

Saat ditulis untuk novel, sepertinya memang cerita ini diniatkan sebagai alternatif sejarah. Di buku pelajaran kita tertulis pemberontakan PETA terhadap pasukan Jepang dipimpin oleh Soeprijadi pada tanggal 14 Februari 1945 di Blitar, Jawa Timur. Pemberontakan tersebut dilatarbelakangi oleh kejamnya penjajah Jepang terhadap rakyat pribumi. Perbuatan semena-mena bahkan di kalangan tentara dan janji-janji yang tak kunjung ditepati memantik api agresi Soeprijadi. Namun buku sejarah kita tak menulis tentang Hardo. Pribumi asal Blora, Jawa Tengah, yang juga serdadu PETA. Yang masih memegang harap, namun tak bisa lagi menunggu. Maka ia mendukung gerakan Soeprijadi. Malang, ada pemberontak di dalam barisannya sendiri. Pasukan Hardo kocar-kacir ditembaki. Sejak malam itu, Hardo dan orang-orangnya buron. Kali berikutnya kita melihat Hardo, pemuda itu sudah hampir tak dapat dikenali. Ia berjalan di malam hari seperti gelandangan yang hilang kewarasan. Dan selagi Hardo menunggu harapan merdeka itu di dalam gelap, orang-orang yang ia kasihi mulai terancam karena kepala Hardo masih terus dicari oleh Jepang.

Ketika kau tahu Kempetai rindu pada batang lehermu

 

Begitu menjadi film, Perburuan oleh Oh diperkecil skalanya. Kita hanya akan melihat lewat mata nanar Hardo. Sisi buruk penjajahan akan kita lihat lewat Hardo saat dirinya menyusuri padang jagung bergelimang mayat-mayat rakyat. Karena Hardo yang dalam pelarian hanya keluar di waktu malam, jadi semuanya gelap. Suasana dimainkan menjadi rasa yang disampaikan kepada kita. Menonton ini kita akan merasa kelam, bingung, sendirian (karena besar kemungkinan kita beneran sendiri nyaksiin ini di dalam studio bioskop), persis seperti yang dirasakan oleh Hardo. Kita menanti cercahan cahaya. Kita ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. Seperti Hardo yang menanti kabar kemerdekaan, karena ia percaya – ia janjikan ini kepada tunangannya – bahwa keadaan akan membaik setelah Indonesia merdeka.

Bagi Hardo tentu saja penantian itu terasa sangat lama. Dia belum tahu Indonesia bakal merdeka tanggal 17 Agustus 1945. Dia mungkin sudah tidak tahu lagi hari apa saat itu. Untuk menyampaikan perasaan kecamuk demikian, film pun dengan sengaja membuat kita disorientasi terhadap waktu dan tempat. tidak pernah tahu di mana persisnya Hardo, atau ke arah mana dia berjalan. Di bawah jembatan, di ladang jagung, di sungai besar, kita tidak mengerti lokasi dunia Hardo. Yang kita mengerti adalah dia kembali ke Blora. Dia ketemu dengan orang-orang yang mengenalnya, dia reuni dengan rekan pelarian, tapi kita tidak pernah diberikan sense of direction yang benar. Pergerakan kamera akan bolak-balik, seperti adegan maju-mundur yang acap dimasukkan. Flashback adalah cara film mengaburkan dimensi waktu. Kita dipindah begitu saja antara masa lampau ke masa kini. Dengan bahkan petunjuk waktu masa kini tidak dapat dipercaya. Bekas luka yang disebut sebagai penciri Hardo tampak hilang-timbul saat dia sudah brewokan. Kadang ada kayak pas di adegan akhir, kadang tidak ada seperti saat ‘reunian’ di bawah jembatan

Disorientasi berfungsi untuk menambah suspens cerita. Sebagai cara film menyampaikan kepada kita susahnya hidup dalam pelarian, yang menunggu kesempatan untuk keluar dan menampakkan diri. Perburuan menggunakan benturan antara berburu dan menunggu sebagai gagasan utama cerita. Di adegan pembuka kita melihat Hardo berhasil menang kendo atas komandan Jepang karena dia menunggu celah serangan dan balas menyerang dari sana. Lantas kemudian kita melihat dampaknya ketika Hardo terburu napsu marah sehingga malah memimpin pemberontakan alih-alih menunggu badai reda. Hardo mengkhianati kepercayaannya sendiri. Membuatnya berada di titik rendah dalam hidupnya. Secara lowkey, film juga menyinggung soal menunggu ketimbang kesusu dari percakapan Ayushita dengan anak muridnya yang terluka karena berlari takut terlambat ke sekolah. Akibatnya kita melihat adegan kontemplasi dia dengan korek api yang digambarkan film dengan sungguh magis. Api yang hidup mati itu bagai harapan Hardo yang meredup, kemudian menyala kembali, kemudian mati lagi, dan seterusnya. Adipati Dolken diberikan kesempatan untuk bermain ekspresi gila untuk menunjukkan penguasaan range. Ada banyak versi Hardo di film ini, mulai dari Hardo yang optimis penuh harap, Hardo yang nyaris putus asa, Hardo yang menemukan kembali harapan. Dolken mampu menggapai note yang diminta. Tapi kemudian dia tidak diuntungkan ketika harus memakai brewok palsu yang kadang menutupi ekspresinya. Di saat-saat itu aku berharap kamera lebih banyak lagi melakukan close up wajah.

Lamurkah mataku atau did Rizky Mocil just shot two enemies, in the dark?

 

Adegan satu lagi yang niscaya membuat kita menggelinjang jelas adalah adegan Hardo mengobrol dengan his aware-but-not-so-sure father. Lokasi dan suasananya di gubuk tengah ladang jagung yang temaram benar-benar menakjubkan. Bahasa mulut dalam film ini terbagi menjadi tiga macam; monolog puitis, bantering filosofis, dan paparan informasi. Ketiga-tiganya muncul sekaligus dalam adegan tersebut. Resiko dialog-dialog tersebut adalah film praktis akan menjadi berat. Tapi film melakukannya dengan indah, karena paham kuncinya adalah menghadirkan latar yang menawan untuk mengakomodasi kalimatnya.

Gagasan yang diangkat film ini seperti mengacu pada filsuf dan ahli perang dari Cina, Sun Tzu, yang pernah menuliskan dalam buku The Art of War bahwa salah satu kunci kemenangan adalah bersabar dan tidak gegabah. Dengan bijaksana memperhatikan langkah musuh sambil mempersiapkan diri. Siapa yang bergerak sembaranganlah yang akan kalah. Dalam film ini kita melihat wujud dari itu semua. Kemenangan datang kepada Hardo saat dia sendiri muncul di saat yang tepat. Jepang kalah karena mereka terlalu gegabah dan merasa di atas angin

 

Masuk babak tiga, jelas sudah film lebih berfokus kepada psikologi Hardo ketimbang suasana sosial Indonesia secara menyeluruh. Dan di sini jualah film terasa berhenti bekerja. Justru di saat teranglah, film seperti tidak tahu lagi cara menampilkan cerita sesuai fokusnya. Maka film kembali menoleh kepada buku, dia berusaha menjadi lebih ‘gampang’ dari sebelumnya. Mencoba keluar dari Hardo. Lantaran Hardo yang literally dan figuratively menemukan jalan pulang menjadi pasif. Dia tidak melakukan apa-apa untuk menang, karena memang jalan benar baginya adalah dengan menunggu. Ini tentunya tidak menarik untuk akhir film karena film butuh satu cekcok yang besar. Maka sorotan pindah ke temannya yang tadi berkhianat, untuk memberikan dia pembenaran, meskipun di titik itu kita mengerti Hardo tidak lagi menganggap dia salah. Intensitas film ini lenyap terlebih ketika Hardo tiba-tiba sudah tidak dalam bahaya. Aku tidak mau bilang banyak, tapi ini adalah jenis cerita ‘diselamatkan oleh bel’. Untuk memberikan final big moment, film yang sedari awal sudah membuat Jepang kayak penjahat dalam komik yang kejam tanpa nilai baik – dia bahkan tidak mengenal rasa terhormat apalagi harakiri – membuat semuanya sederhana; Hardo benar, Jepang jahat, dan teman-teman Hardo salah.

Mungkin, cara ini masih bisa berhasil memberikan momen final besar yang diincar. Sayangnya, film ini sendiri seperti tidak mendapat perhatian yang cukup dari pihak studio. Pengadeganan bagian terakhir itu mestinya epik karena melibatkan banyak orang banyak, tapi tampak kecil dan awkward. Sepertinya melihat pertunjukan di panggung teater. Suasananya tidak semegah yang film ini pantas dapatkan. Tapinya lagi, ini adalah keputusan film untuk memilih kembali ke jalur yang lebih accessible.

 

 

 

Meski berlatar zaman penjajahan, film ini sebenarnya bekerja dalam skala yang lebih kecil. Skala personal seorang tokoh. Dan kita hanya melihat dari tokoh itu. Film melakukan banyak kreasi saat mengadaptasi untuk kepentingan itu. Sengaja memilih untuk tidak menjadi lebih besar, tidak membahas lebih luas soal sosial yang menjadi kekuatan cerita-cerita Pram. Jadi, film ini adalah alternatif dari cerita yang total ngepop, yang punya pesona sendiri.
The Palace of Wisdom gives 5.5 gold stars out of 10 for PERBURUAN

 

 

 

MAHASISWI BARU Review

“Anyone who keeps learning stays young”

 

 

Masa-masa tahun ajaran baru memang selalu dinanti oleh para mahasiswa. Apalagi kalo bukan karena masuknya maba-maba. Mahasiswi-baru untuk dikecengin. Mahasiswa-baru yang siap untuk dikerjain pas orientasi alias ospek. Tapi gimana kalo maba yang masuk udah seumuran dengan oma di rumah? Jelas gak bisa digodain. Dikerjain? Wuih, bisa kualat. Film komedi Mahasiswi Baru garapan Monty Tiwa mengajak kita untuk melihat persisnya peristiwa itu terjadi. Cerita yang basically tentang seorang wanita 70-tahun yang berusaha menemukan kembali cinta dengan menginjak kaki ke ranah anak muda ini akan membuat kita tertawa, sekaligus berusaha untuk menyentuh hati saat menyadari bahwa untuk urusan cinta; tidak pernah ada kata terlalu tua.

Aktor senior Widyawati tampak sangat bersenang-senang sekali memerankan Lastri, sang mahasiswi baru di Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Cyber Indonesia, Yogyakarta. Semangat Lastri enggak kalah dari anak-anak muda, bahkan Lastri lebih kritis dari mereka. Lastri dengan berani mengkritik bapak dekan, yang diperankan oleh aktor sepantaran Slamet Rahardjo. Dinamika dua tokoh ini akan menjadi sentral dari cerita. Karena si dekan adalah paralel dari yang dirasakan Lastri di rumah anaknya. Kita akan melihat yang tadinya musuhan akhirnya membuka untuk cinta; film ini actually adalah sebuah rom-com unik karena tokoh-tokohnya adalah dua generasi di atas kita. Tapi bukan berarti tua dan muda enggak bisa nyambung. Karena film ini menunjukkan di antara teman-teman baru di kampus, ada empat anak muda yang dengan akrab dengan Lastri. Yang setuju untuk memanggil dirinya Lastri – sesuai dengan permintaan. Mereka jadi teman segeng yang selalu menimbulkan masalah di kampus! Sebenarnya keempat anak muda tersebut – Sarah, Reva, Ervan, dan Dani – punya masalah sendiri, yang pada akhirnya mendapat pengaruh langsung dari Lastri.

bayangkan seorang ingusan memanggil nama nenekmu dengan akrab

 

Dalam menghadirkan kontras antara generasi tua dengan generasi muda yang menjadi pokok bahasan cerita, film ini mengambil rentang tone yang cukup jauh. Adegannya dapat menjadi begitu konyol, untuk kemudian menjadi serius dan emosional, atau bahkan menjadi keduanya sekaligus. Film meniatkan hal tersebut sebagai pesona utama. Ia berusaha membuka koneksi kepada penonton lewat komedi-komedi. Tapi bukan komedi yang ‘it’s funny because it’s true‘. Menonton komedi film ini seperti melihat nenek kita menari. It’s just funny. Film juga menunjukkan dirinya sengaja memilih komedi receh. Mahasiswi Baru hadir dengan self-awareness bahwa tokoh-tokoh mereka punya backstory ala ftv. Dapat kita jumpai dua adegan di mana dua tokoh sedang berbincang membandingkan kisah hidup siapa yang paling tragis. Hingga menulis ini aku masih enggak yakin untuk harus tertawa atau bersedih mendengar cerita tokoh-tokoh tersebut.

Sisi positif yang berusaha digali dari arahan komedinya ini adalah film punya kemampuan untuk tampil sebagai satir, atau parodi. Karakter-karakter di sini merupakan stereotipe yang benar-benar banal sehingga bisa jadi penulisnya memang sengaja melakukannya untuk menyindir. Menyindir siapa? Ya semuanya. Kita bisa melihatnya sebagai generasi tua yang sedang meledek generasi muda. Bisa sebaliknya. Dan malahan bisa juga sebagai generasi yang sama saling meledek. Misalnya, karakter yang diperankan oleh Morgan Oey. Dia di sini selalu live di instagram, semua kegiatan yang ia lakukan di kampus bersama teman-teman segeng dibroadcast ke ribuan follower. Film menyinggung ini dalam batasan yang wajar ketika Lastri bertanya dengan polos kenapa curhat ke ribuan orang yang bukan sebenarnya teman. Cerita yang mengarah ke drama akan berhenti di sana. Tapi Mahasiswi Baru yang udah teguh tekad untuk menjadi konyol membuat tokoh si Morgan ini berbicara selalu dengan tambahan “guys” di belakang kalimat. Ini seperti memparodikan kebiasaan anak muda ngevlog jaman sekarang, yang merasa menggunakan “guys” otomatis menjadikan dirinya sebagai pribadi yang asik, regardless konten yang mereka buat. Lain lagi dengan karakter yang diperankan oleh Umay Shahab; seorang yang merasa dirinya aktivis. Yang menjunjung tinggi demokrasi. Tokoh ini digambarkan gampang terpancing emosi. Sindiran terhadap tokoh ini adalah bahwasanya justru ternyata dia sendiri yang paling gampang ngejudge orang lain.

Karakter-karakter yang ada pada Mahasiswi Baru adalah campuran dari yang bersifat parodi seperti yang disebutkan di atas, yang dimainkan full-time sebagai komedi. Dengan yang bernada jauh lebih serius. Dua alumni Gadis Sampul; Mikha Tambayong (GS 2008) dan Sonia Alyssa (GS 2015), masing-masing kebagian peran yang lebih ‘berhati’ yang seperti kebalikan dari tokoh lain. Yang satu punya cerita perihal passion yang terhalang keinginan orangtua sehingga dia lebih memilih tinggal sendiri dan merahasiakan siapa orangtuanya kepada teman-teman. Yang satu lagi bahkan tidak lagi punya orangtua, dan dia harus kuliah sambil bekerja diam-diam. Keputusan naskah untuk membuat tokoh-tokoh tersebut sebagai stereotipe menciptakan jarak yang cukup jauh antara emosi dengan komedi. Dan film tidak pernah benar-benar membangun jembatan penghubungnya. Kita hanya dibawa berpindah-pindah dengan cepat oleh komedi-komedi konyol

Tokoh Lastri seharusnya adalah jembatan tersebut. Tapi bahkan Lastri pun tidak luput dari sindiran. Stereotipe generasi tua justru kuat pada Lastri. Di salah satu adegan diperlihatkan dirinya ke kelas membawa mesin tik, padahal yang disuruh oleh dosen adalah membuka laptop. Film menyuruh kita untuk percaya bahwa orang lanjut usia (yang tinggal di kota) tidak tahu dan mengerti di jaman sekarang sudah ada komputer. Lastri juga gagal ditulis dengan baik sebagai seorang karakter. Untuk alasan dramatisasi, film memilih untuk menyimpan motivasi Lastri kepengen menjadi mahasiswi lagi. Dan untuk menutupnya mereka menggunakan komedi. Jadilah kita di sepuluh menit pertama mencoba untuk peduli pada Lastri yang bisa diterima kuliah dengan mengancam pihak kampus dengan bakal mendoakan mereka yang jelek-jelek. Ini adalah lucu menurut film. Kita harus memasuk-akalkan peristiwa Lastri bisa keterima menjadi mahasiswi di fakultas ilmu komunikasi, tanpa kita paham motivasi Lastri secara spesifik memilih fakultas tersebut. Menurutku, akan jauh lebih menyenangkan untuk ditonton jika sedari awal kita tahu, karena begitu Lastri diwanti-wanti akan di-DO kita butuh sesuatu untuk ditakutkan. The way the film goes, aku merasa sebodo amat – toh kalo Lastri nilainya jeblok, aku tidak tahu pengaruhnya bagi Lastri jika dia dikeluarkan.

Pesan menyeluruh yang bisa kita simpulkan dari Lastri yang sudah tua masuk ke Ilmu Komunikasi adalah bahwa usia bukan jaminan seorang individu bisa mengerti cara terbaik dalam mengomunikasikan cintanya kepada keluarga dan sahabat. Film ini tidak banyak menunjukkan adegan belajar di kampus karena pelajaran sesungguhnya yang harus dipelajari oleh Lastri terletak pada hubungannya dengan teman yang ia dapatkan, pada keluarga yang ia pikir ingin ia tinggalkan. Film menunjukkan untuk urusan cinta, tua dan muda sama-sama butuh banyak belajar

 

Lastri, menjelang akhir cerita, menyebutkan masih banyak yang harus ia pelajari meskipun usianya sudah lanjut. Tapi dialog ini hanya terasa sebagai kata-kata karena film tidak berhasil menghidupkan tokoh-tokohnya dengan baik. Penggunaan komedi sebagai jembatan antara emosi dengan steretipe dan, lucunya, komedi lagi membuat kejadian yang dialami tokoh-tokoh film ini seperti dibuat-buat. Lastri kayak selalu tua, tidak ada sense dirinya pernah muda. Film yang baik, bahkan komedi yang baik, adalah yang punya cerita di mana tokoh-tokohnya terasa punya kehidupan di luar frame kejadian film yang kita saksikan. Misalnya pada Booksmart (2019); Amy dan Molly terlihat seperti benar-benar sudah berteman sebelum cerita film dimulai. Dan ketika cerita berakhir kita membayangkan persahabatan mereka tetap berlanjut. Pada Mahasiswi Baru, tidak ada kesan Lastri punya kehidupan sebelum cerita dimulai. Dia tidak punya teman-teman sebaya. Trauma masa lalunya disembunyikan dari penonton. Di tengah-tengah film, kehidupan kuliah yang ia pilih jarang ditampilkan. Setelah midpoint, stake mendapat nilai tinggi itu intensitasnya ditinggikan, tapi cara yang diambil sungguhlah aneh. Mahasiswi ini mendekati dekannya alih-alih belajar lebih keras. Mungkin ini bagian dari sindiran yang ingin dilontarkan oleh naskah. Tapi yang jelas, hingga akhir cerita masalah nilai itu tidak dibahas lagi. Film tidak mengganti pertanyaan, melainkan tidak lagi tertarik untuk menjawab sesuai dengan pertanyaan yang ia angkat. Cerita berakhir dan kita semakin tidak peduli apakah mereka semua berhasil mendapat nilai bagus.

nenek-nenek ompong juga tahu bahwa film komedi cheesy seperti ini biasanya selalu ditutup dengan menari bersama.

 

Bahkan dengan jor-joran komedi dan usaha menggapai tangis penonton yang dahsyat, film masih merasa kurang percaya diri dengan narasi mereka. Sehingga musik soundtrack dijadikan jalan pintas. Lagu demi lagu diputar, malah ada yang nyaris satu lagu full. Ketika adegannya sudah berganti, ketika sudah tidak cocok lagi dengan lirik yang dinyanyikan, lagunya tetep aja diputar.

 

 

 

Ini adalah jenis film yang asik untuk ditonton bareng teman-teman dari beragam usia, karena akan jauh lebih mudah untuk tertawa ketika bersama-sama, terlebih sebab lelucon dalam film ini memang dirancang sebagai sindiran atau parodi lintas-generasi. Banyak penonton akan terhibur. Tapi rentang yang terlalu jauh antara komedi dengan emosi yang hanya dijembatani oleh komedi lagi, membuat kita susah konek lebih lanjut dengan pesan dan karakter-karakternya. Mungkin memang film ini sebaiknya dipandang sebagai cerita stereotipe yang berfungsi sebagai celetukan konyol dari kehidupan semua generasi.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for MAHASISWI BARU

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Pernahkah kalian belajar sesuatu dari orang yang lebih muda dan kurang-berpengalaman daripada diri kalian sendiri?

Share with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

IQRO: MY UNIVERSE Review

“Finding a better way to live”

 

 

Semesta film Iqro: My Universe tampak seperti tempat yang lebih-baik untuk ditinggali. The girls here are kickin’ ass in a science fair! Periode cerita ini berlangsung memang tidak gamblang disebutkan, tapi kita semua bisa berharap dunia tempat tinggal Aqilla adalah masa depan yang baik yang enggak jauh-jauh amat dari dunia kita sekarang. Kenapa aku bilang masa depan? Karena di film ini kita melihat ilmu pengetahuan dan agama berjalan saling bersisian, saling dukung mendukung. Tidak ada yang ribut mempermasalahkan bentrokan ilmu agama dengan sains di lingkungan Aqilla. Sah-sah saja untuk anak perempuan, berhijab, pengen menjadi astronot. Aqilla tidak dicurigai pengen bikin bom ketika membuat roket. It seems like a perfect place to live.

Tapi sepengetahuan Aqilla, Bumi semakin rusak. Lewat narasi ia menceritakan keinginannya untuk menemukan planet hunian baru, yang lebih baik, supaya semua orang bisa pindah ke sana. Makanya Aqilla getol banget pengen jadi astronot beneran. Ia percaya dengan pindah, maka hidup akan menjadi lebih baik. Begitu ia menemukan lomba vlog berhadiah kunjungan ke pusat pelatihan astronot, Aqilla langsung semangat untuk ikutan. Tapi opa (kakek) Aqilla yang menginspirasinya menjadi astronot, tidak bisa diajak bikin vlog sebab beliau pindah bertugas ke Inggris. Hanya ada satu cara lagi supaya Aqilla bisa terpilih. Yakni membuat vlog bersama astronot wanita Indonesia, Tsurayya. Aqilla bekerja keras supaya mendapat approval dari Tsurayya, hingga berdampak ke prestasinya sekolah. Aqilla tidak peduli. Dia harus menang supaya impiannya jadi astronot yang menemukan tempat tinggal baru bisa terwujud, sekaligus mengalahkan saingannya di sekolah. Cita-cita memang harus tinggi, tapi Aqilla terlalu sibuk sama hal-hal yang jauh di atas, sehingga melupakan hal yang lebih penting, yang berada lebih dekat di darat.

Aku enggak nonton film Iqro yang pertama, tapi kupikir film itu pastilah banyak diminati sehingga cerita anak-anak ini dibuatkan sekuelnya. Dan dari apa yang kulihat pada film kedua ini, Iqro bisa jadi memang semesta khusus film-film yang baik. Film ini akan mengajarkan kepada anak-anak seperti Aqilla untuk berani mengejar cita-cita. Iqro: My Universe juga bekerja dalam level spiritual alias rohani, karena apa yang tampak di luar sebagai cerita anak yang ingin menjadi astronot supaya bisa mencari planet yang lebih baik sebenarnya berbicara tentang fenomena khas yang relevan dengan pemeluk agama Islam sekarang ini; soal hijrah. Kendati begitu, film ini juga tidak serta mengekslusifkan diri. Sutradara Iqbal Alfajri membahas hijrah dalam konteks yang universal. Film simply menyebutnya sebagai pindah, dan selain Aqilla kita mendapat dua contoh kasus hijrah lagi yang paralel dan mendukung sebagai pembelajaran ‘pindah’ yang diinginkan oleh Aqilla. Pertama, subplot si opa yang pindah ke Inggris yang menurut Aqilla meninggalkan dirinya, yang kemudian si opa dihadapkan pada pilihan untuk kembali ke negara yang lebih membutuhkan atau tetap di sana. Kedua, subplot kerabat Aqilla yang baru saja pindah dari desa ke kota, yang bakal harus memilih menjadi beban ayahnya dengan belajar di pesantren atau kembali ke desa.

Aqilla harus menyadari bahwa ini bukan soal mencari tempat yang lebih baik, melainkan membuat tempat tinggal menjadi tempat yang lebih baik untuk semua orang. Yaitu dengan melakukan kebaikan yang dimulai dari perbaikan sikap diri sendiri. Karena hijrah sesungguhnya adalah pergi meninggalkan yang buruk dan mendatangi yang baik-baik.

 

ketika kau ngajakin bikin vlog dan nyuruh narsumnya megangin kamera

 

Really, Aqilla’s story is not half bad. Tentu, lapisan terluarnya ditampilkan sebagai cerita hubungan anak dengan mentor yang lebih tua, yang ‘galak’, tapi toh paling tidak hubungan utama cerita ini bertumpu pada pasangan yang tak-biasa; seorang anak dengan astronot wanita. Paling enggak, ini menceritakan dunia astronot yang tidak semua orang tau. Atau malah mau peduli untuk mencari tahu. Ada banyak hal yang mestinya bisa digali dan diintegralkan dengan gagasan cerita. Momen-momen seperti Aqilla latihan ala astronot; berjalan di dalam air, running an errand mencari benda-benda yang penting untuk penelitian antariksa. Film harusnya lebih memperbanyak soal ini. Tapi sayangnya, film seperti tidak tahu apa yang mereka punya. Tokoh Aqilla sebenarnya tergambar menarik. Dia gigih, dia punya attitude yang mungkin membuatnya tampak sengak tapi cocok dengan pembelajaran yang bakal karakternya dapatkan. Aqilla kabur dari rumah, bohong sama ibu, hanya supaya bisa ketemuan sama Bu Tsurayya – padahal ini ceritanya lagi bulan puasa loh. Aku dulu waktu kecil sempat bercita-cita jadi astronot, dan melihat Aqilla di film ini aku malu sendiri tidak benar-benar serius mengejar cita-cita tersebut. Aisha Nurra Datau yang memerankannya juga gak ancur aktingnya. Dia seharusnya bisa menjadi salah satu ikon anak-anak jaman now. Pembuat film yang lebih kompeten akan mengeksplorasi relasi Aqilla dan Tsurayya habis-habisan, menantang Aisha untuk beradu akting dengan Maudy Koesnaedi dalam level yang berbeda.

Tapi film ini tidak melakukan apa-apa terhadap keunikan yang ia punya. Latar bulan puasa, budaya rohani tidak pernah benar-benar dicuatkan. Kita hanya melihat mereka berbuka dan makan sahur. Dan sesekali mengaji. Menyebutkan ayat-ayat yang dijadikan sumber perkembangan ilmu pengetahuan. Itupun dilakukan dengan paparan semata. Tidak ada arahan yang spesial digunakan untuk mengakomodir cerita yang unik ini.

Mentang-mentang judulnya Iqro (sepertinya lebih mengacu kepada kitab yang dibaca anak-anak pengajian alih-alih kata Iqra yang berarti bacalah), film ini diceritakan dengan sangat tekstual. Formula cerita dimainkan dengan standar; sedikit nilai plus ketika film berusaha semaksimal mungkin mengaitkan subplot-subplot – namun plot utama si Aqilla benar-benar biasa. Seperti membaca buku cetak pelajaran. Pengetahuan dan keilmuan astronot disebut begitu saja. Bayangkan melihat anak yang bersemangat berinteraksi dengan mentor yang sok cuek; seharusnya bisa mengasyikkan. Akan tetapi film malah memberi mereka dialog tentang penjelasan kegunaan bunga Chrysantemum dan zat-zat kimia. Jadinya membosankan. Dialog film ini memang sangat parah. Hampir seperti penulisnya tidak tahu bagaimana cara merangkai dialog yang menarik. Dialog dalam film sebaiknya – SEHARUSNYA – hanya digunakan antara untuk memajukan plot atau untuk menunjukkan karakter. Dialog dalam film ini jarang sekali berfungsi seperti demikian.

saking biasanya nonton film ini rasanya kayak naik roller coaster yang tak mampu membuat kita berteriak

 

Terlalu banyak dialog yang berisi eksposisi alias penjelasan yang enggak penting karena kita semua sudah tahu. Kayak dialog papa Aqilla menjelaskan ke mama soal pencurian barang-barang di museum. Literally yang diucapkan papa adalah ringkasan apa yang sudah kita lihat di adegan sebelumnya. Sungguh adegan yang mubazir. Kita sudah tahu apa yang terjadi, masing-masing kita sudah melihat kejadiannya dengan mata kepala sendiri, I mean, anak kecil yang nonton juga pasti ngerti sama kejadian tersebut – siapa yang bersalah, siapa yang nolongin, siapa yang enggak sengaja terlibat. Jadi kenapa harus ada dialog yang menginfokan rangkuman kejadian tersebut. Ini yang penonton kita apa mamanya Aqilla. Di menjelang pertengahan ada yang lebih parah dari itu. Aqilla buka puasa ke rumah kakaknya, mereka bertemu untuk pertama kalinya, dan dialog yang dimainkan oleh dua tokoh ini adalah… Aqilla menceritakan ulang semua kejadian yang sudah kita tonton hingga di titik itu. Ikut lomba vlog, opanya pergi ke Inggris, dia berusaha minta vlog kepada Tsurayya, empat puluh lima menit kejadian yang sudah kita saksikan dirangkum dalam percakapan Aqilla dengan kakaknya.

Ini juga menunjukkan betapa uselessnya tokoh Kak Raudah yang diperankan oleh finalis Gadsam Adhitya Putri. Dan dia bukan satu-satunya tokoh tak-berguna dalam film ini, yang ‘tugas’ mereka cuma nyampein satu ayat atau ngasih satu benda, dan kemudian hilang hingga akhir cerita. Menjelang tamat, kan ceritanya hari raya tuh, nah bahkan tokoh-tokoh ini gak muncul lagi ikut merayakan lebaran bersama Aqilla. Aku mengerti bahwa mungkin tokoh-tokoh tersebut ‘penting’ karena punya peran di film pertama, tapi ya jangan dipaksain muncul juga kalo gak mampu memberikan banyak fungsi untuk mereka. Pastilah ada cara yang lebih baik, sehubungan dengan pemanfaatan karakter, untuk ngasih Aqilla satu benda atau satu informasi. Cerita ini sebenarnya mampu berdiri sendiri, hanya saja film memilih untuk membuatnya tak-lepas dari film yang pertama dengan tetap memasukkan tokoh-tokoh yang sebenarnya tak penting.

 

 

 

Sungguh berat rasanya buatku menulis ulasan ini, karena filmnya sendiri sebenarnya tergolong film yang bergagasan baik. Yang punya nilai untuk ditonton oleh anak-anak dan keluarga. Tapi penggarapannya sangat standar. This movie was so text-book, it barely has a soul. Kualitas penulisannya di bawah rata-rata. Banyak karakter tapi dialognya hanya berupa eksposisi dan rangkuman kejadian. Sehingga mereka semua jadi mubazir tidak berguna. Film ini bicara tentang tidaklah apa-apa untuk berusaha menggapai bintang setinggi-tingginya, planet kalo perlu, sayangnya dirinya sendiri tidak bertindak sesuai dengan prinsip tersebut. Film ini membidik rendah, tidak meroket ke angkasa.
The Palace of Wisdom gives 3 gold stars out of 10 for IQRO: MY UNIVERSE.

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Bagaimana sih pandangan kalian tentang hijrah? Apa pendapat kalian tentang tren hijrah yang marak dewasa ini?

Share with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.