THE EAST Review

“A guilty conscience needs to confess.”

 

Dari dulu aku penasaran gimana sih peristiwa penjajahan negara kita, yang katanya berlangsung selama 350 tahun, di mata ‘pelakunya’ alias orang-orang Belanda sendiri kini. Tentunya, bagi orang Belanda, peristiwa tersebut menjadi catatan sejarah yang gelap juga. Film The East (aslinya diberi judul De Oost) sempat dirundung kontroversi, sama seperti ketika ada yang berusaha bercerita tentang PKI atau sejarah kelam lainnya di sini. Tapi segera mereda karena memang The East hadir dengan tujuan mulia. Film ini muncul bukan sebagai pengorek luka yang kemudian berusaha menyembuhkannya dengan berbagai pembelaan. Melainkan hadir hampir seperti sebuah permintaan maaf. Dan seperti yang ditunjukkan oleh pilihan protagonis pada ending nanti, film ini sesungguhnya adalah sebuah pelampiasan dari rasa bersalah berkepanjangan, pelampiasan yang diniatkan sebagai perwakilan dari yang dirasakan oleh orang-orang Belanda selama ini.

Cerita yang disuguhkan mengambil sudut pandang karakter fiksi bernama Johan de Vries (diperankan oleh Martijn Lakemeier dengan tantangan range emosi yang cukup lebar oleh developmentnya). Karakter inilah yang nanti mengarungi berbagai peristiwa yang beneran tercatat dalam buku sejarah, bertemu dengan tokoh-tokoh beneran. Johan jadi tentara relawan yang dikirim ke kamp di Semarang. Kondisi daerah koloni Belanda tersebut memang sedang tidak stabil selepas konflik dengan Jepang. Ada pemberontakan dari penduduk lokal yang sudah siap untuk menggaungkan kemerdekaan. Misi Johan adalah melindungi tanah properti Belanda tersebut dengan berpura-pura menjadi pelindung bagi penduduk. Namun yang dilihat dan dirasakan Johan di sana membuat nuraninya konflik dengan tugas yang diberikan. Terlebih ketika Johan terpilih sebagai salah satu orang kepercayaan Raymond Westerling (Marwan Kenzari tampak berkarisma, sekaligus bikin ciut), komandan yang tadinya dielukan sebagai Ratu Adil.

east32780_135829_st_sd-high
Supaya gak spoiler, coba buka lagi buku sejarahmu dan lihat hal mengerikan apa yang dilakukan oleh Westerling di Makassar

 

Sutradara Jim Taihuttu memang adalah orang yang tepat untuk mengangkat tragedi ini menjadi cerita dengan perspektif yang berimbang. Karena bukan saja dia berkebangsaan Belanda, dia juga memiliki darah Maluku. Jadi dia bertapak di antara dua kubu. Ini membuat film The East sendiri jadi punya weight atau bobot. Aku tahu aku sudah berkali-kali nulisin soal ini – bahkan mungkin ada pada setiap review film perang; Bahwa cerita perang tidak pernah merupakan soal hitam-putih. Selalu ada dilema. Selalu ada pertentangan moral yang hebat. Bayangkan seseorang yang mau mengakui kesalahan, tapi dia melakukannya jadi terkesan setengah hati karena terlalu mencoba untuk membela diri, memperlihatkan kebimbangan moral dan resiko dan keharusan yang terpaksa dia ambil. Film The East tidak pernah tampil seperti orang yang sedang berusaha membela diri. Dan itulah yang membuat film ini nyaman untuk ditonton. Terutama bagi kita, descendants dari pihak terjajah yang ada di dalam cerita.

Film ini tidak pernah tampil seperti membenarkan tindakan Belanda, tidak pernah tampil dengan sikap seorang savior. Dia mempersembahkan apa adanya. Penjajahan bagaimanapun juga tidaklah berperikemanusiaan. Kita tidak bisa jadi pahlawan dengan menjajah orang di negara mereka sendiri. Keberimbangan itu tercapai berkat lapisan yang diberikan cerita kepada pihak satunya. Film ini pun tidak ragu untuk memperlihatkan Indonesia sebagai kelompok teroris, paling enggak beberapa kelompok yang bertentangan. Gambaran kacaunya situasi politik yang memecah-belah persaudaraan sendiri ditampilkan oleh film sebagai salah satu pendorong plot.

Tak pelak, karakter Johan memang dirancang sebagai perwakilan dari serdadu-serdadu Belanda, bahkan mungkin jutaan orang Belanda yang merasa bersalah. Plot atau Journey karakter ini menggambarkan semua proses penyadaraan yang mungkin mereka alami. Kita melihat Johan awalnya sebagaimana anak-anak muda yang udah gak sabar untuk melakukan sesuatu untuk negaranya. Johan, menjalin persahabatan dengan teman-teman di kamp, bangga menjadi prajurit. Interaksi mereka mungkin klise, seperti yang selalu ada pada film-film perang, tapi konteks cerita membuat kita memakluminya. Karena untuk beberapa bulan tidak ada perang. Jadi mereka tidak ‘menceritakan kisah hidup lalu mati’ seperti yang sudah-sudah. Ada pertanyaan yang menghantui benak mereka, terutama Johan mengenai sebenarnya apa yang mereka lalukan di situ. Pertanyaan itu yang lantas berkembang menjadi developmental bagi karakter Johan. Steps dari seseorang yang bangga ke yang merasa perlu ada di sana ke merasa harus menjadi penyelamat ke rasa bersalah yang mengubah dengan cepat (dalam sense penceritaan) mood karakter menjadi depresi dan kelam; inilah yang jadi medan penceritaan, dan film berhasil melakukan dengan benar dan menyentuh. Mainly karena berimbang itu tadi.

Nurani yang dirundung rasa bersalah butuh melakukan sebuah pengakuan.  Albert Camus bilang, pengakuan itu bisa dilakukan dalam bentuk seni. Film ini adalah salah satu bentuk seni yang dimaksud. Karena film ini berhasil menggambarkan pengakuan rasa bersalah yang dilakukan oleh Johan dengan cara kelam tersendiri.

 

Kamera tak luput merekam, menunjukkan dengan tepat seperti apa rasanya berada di daerah yang rawan konflik. Kita lihat Johan dijamu minum kelapa oleh anak kecil, dan beberapa menit kemudian film memperlihatkan kepada kita imaji mengerikan kepala manusia tertancap pada pancang. Perhatian yang tajam pada detil dramatis, serta historis seperti demikian membuat film ini terasa benar-benar memeluk kita. Mengukung kita ke dalam cerita kemanusiaan, sehingga tak bisa berpaling dari horor yang datang ketika kemanusiaan tersebut berada pada konflik.

Supaya terasa semakin otentik, film benar-benar turun suting ke Indonesia. Menggunakan bahasa dan (berjuang dengan) dialeg Indonesia. Beberapa aktor Indonesia seperti Lukman Sardi, Yayu Unru, Putri Ayudya juga turut menyumbangkan permainan peran. Kalian bisa sedikit bersenang-senang menantikan penampilan mereka. Kolaborasi studio Belanda dan Indonesia demi mewujudkan film ini secara tak-langsung tentu saja menambah bobot kepada apa yang ingin disampaikan dalam cerita. Bagaimana mampu mengenali persahabatan di dalam perang bisa jadi adalah hal yang diperlukan untuk menghentikan perang tersebut.

eastin-productie-de-oost-2
Kenapa tentara Belanda begitu benci ama monyet?

 

Dengan cerita yang sudah detil dan karakter yang berlapis, yang harus dipikirkan oleh film ini kemudian tentu saja adalah cara menceritakannya. Unfortunately, film ini memilih menggunakan flashback. Jadi actually periode cerita terbagi ke dalam dua bagian, Johan masih serdadu di Semarang (ditampilkan lewat warna-warna yang lebih natural) dengan Johan yang sudah kembali ke negaranya – terbebani oleh rasa bersalah yang ia dapatkan sebagai oleh-oleh (ditampilkan lewat warna monokrom entah itu biru atau abu). Dua periode ini disebar saling berganti sepanjang durasi film. Perpindahan antara dua periode inilah yang seringkali membuat kita terlepas dari cengkeraman cerita. Film tidak berhasil menemukan, atau mungkin lebih tepatnya merancang, momen perpindahan yang benar-benar selaras. Periode Johan depresi sebenarnya penting karena membahas satu lapisan lagi dari karakternya, yakni soal hubungannya dengan ayah yang ex-nazi. Relasi ini adalah kunci yang membentuk sudut pandang Johan yang sebagian besar kita lihat.

Tapi dengan memperlihatkannya berpindah-pindah, film jadi kehilangan ritme cerita. Bobot ke ayahnya itu tidak terasa sekuat yang diincar. Belum lagi, karena adegan-adegan Johan di Semarang jelas lebih menarik daripada saat dia kembali ke Belanda. Sehingga secara natural kita yang nonton akan lebih peduli dengan adegan di daerah konflik, pingin cerita cepat-cepat balik ke sana lagi. Film jadinya kehilangan keseimbangan dari segi penceritaan. Tingkat dramatis yang diincarpun jadinya gagal tercapai. Terutama karena di babak ketiga, ketika setting pindah ke Makassar saat Johan sudah jadi pasukan Westerling, cerita jadi seperti melompat dan seperti ada pengembangan yang ketinggalan. Karakter yang berubah mendadak, tidak lagi terflesh-out perlahan seperti di awal.

Mestinya film diceritakan dengan linear saja. Dimulai dari dikirim ke Semarang, di kamp, terus jadi pasukan Westerling, dan kembali ke Belanda untuk penyelesaian. Resikonya paling cuma membuat film terasa seperti terbagi jadi dua episode. Tapi setidaknya emosi yang diincar akan bisa terhampar dengan lebih runut. I mean, Full Metal Jacket (1987) aja dibuat Kubrick dengan linear, menempuh resiko tersebut; filmnya terasa seperti episode pelatihan dan episode medan perang. Tapi kita tidak terlepas dari development dan emosi dan bobot cerita. The East ini punya potensi, paling tidak, bisa seperti saga seorang tentara yang disturbing. Formula dan bahan-bahannya sudah benar. Cetakannya saja yang perlu diperbaiki.

 

 

Tak berlindung di balik fiksi, film ini berani tampil membahas sudut pandang yang tak banyak mau dieksplorasi. Tentang Belanda di jaman kolonial Indonesia. Tentang pihak yang menjajah. Dan film ini menampilkannya dengan imbang. Tak ada agenda glorifikasi atau pembelaan diri. Film ini pure memperlihatkan sisi kemanusiaan yang dialami oleh pihak-pihak yang terlibat. Sebagai film perang, however, film ini mengikuti formula dengan baik. Kita bisa bilang klise, tapi masih unik berkat sudut pandang. Pada penceritaannya-lah film ini ‘kena tembak’. Alur flashback yang dipakai actually menghambat kita dalam mengikuti dan tidak banyak membantu untuk filmnya sendiri. Tapi yang perlu ditekankan sedikit lagi adalah, keberanian film ini mengangkat isu. Sehingga mungkin film ini break something new di perfilman Belanda; mungkin perbandingannya seperti kalo ada sineas sini yang berani bikin film tentang PKI.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for THE EAST.

 

 

That’s all we have for now.

Jika film ini dianggap sebagai surat permintaan maaf dan penyesalan dari Belanda, apakah menurut kalian yang dilakukan film ini untuk itu sudah cukup?

Share  with us in the comments 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

JUDAS AND THE BLACK MESSIAH Review

“The most powerful weapon on Earth is the human soul on fire”
 

 
 
Pidato “Dream” Martin Luther King memang membawa pengaruh besar bagi pergerakan Civil Rights. Bibit-bibit perjuangan mulai tumbuh. Dan Amerika, menyandang racist status quo dengan bangga, terus memonitor gerakan-gerakan kulit hitam. That’s when they ‘found’ Fred Hampton. Messiah – Penyelamat – bagi kaum-kaum marginal, yang menggerakkan massa lewat berbagai program menghimpun persatuan dan protes demi protes antikekerasan. FBI sudah siap untuk mengangkat senjata, membasmi Partai Black Panther tempat Hampton bernaung di Chicago. Tapi tidak sebelum mereka membuat cerita ini benar-benar seperti kisah dalam Alkitab. Senjata rahasia FBI untuk melumpuhkan Black Panther adalah dengan menyusupkan seorang Judas – seorang pengkhianat – ke dalam barisan Fred Hampton.
Judas and the Black Messiah garapan Shaka King akan membawa kita melihat secara personal apa yang sebenarnya terjadi pada malam penyergapan dan pembunuhan Fred Hampton. Karena film ini akan memposisikan kita mengikuti Bill O’Neal, pemuda kulit hitam sekuriti khusus kepercayaan Hampton dan Black Panther, but also pemuda kulit hitam yang jadi informan FBI.

“I’m becom-, I’m becom-, I’m becomiiing
Judas in, Judas in my mind”

 
Dalam interogasi pertamanya dengan agen FBI yang bakal mempekerjakannya, kita mendengar sudut pandang menarik dari Bill O’Neal. Bahwa menurutnya badge atau lencana pengenal lebih menakutkan daripada pistol. Karena badge mengisyaratkan seseorang adalah bagian dari sesuatu yang besar, bahwa ada army yang siap mendukung di belakang mereka. Interogasi yang menjadi bagian dari pembuka film ini boleh jadi diniatkan untuk memperlihatkan alasan kenapa O’Neal sampai bisa atau mau jadi penyusup untuk FBI melawan gerakan rekan-rekan senasib seperjuangannya sendiri. Namun, kalimat yang O’Neal sebutkan perihal ‘badge dibandingkan pistol’ tersebutlah yang dengan sukses mengeset karakternya. Membuat kita bisa mengerti apa yang lebih bervalue bagi O’Neal, dan ini akan berdampak kepada pilihan-pilihannya nanti. Serta menambah bobot emosional dan drama ketika dia melihat dan mengexperience langsung ‘didikan’ Hampton. Dan ini semua itu bukan dilakukan oleh film untuk nge-justify his action later, melainkan untuk menanamkan konflik moral bagi tokohnya.
Karena lencana itu ternyata bukanlah ‘lambang’ polisi atau FBI. O’Neal salah. Perjuangan Hampton dan pemuda-pemuda kulit hitam lain bukanlah perjuangan bersenjata. Sure, mereka punya pistol dan senapan untuk membela diri, tapi setelah benar-benar berada di antara Black Panther, O’Neal bisa melihat bahwa Hampton – sebagaimana Martin Luther King – menggagas gerakan nonviolent.
Setiap kali ada film biografi dari sejarah atau dari peristiwa yang beneran terjadi ini pasti selalu ngeri. Ngeri karena yang dipotret oleh film tersebut, yang tercatat sebagai peristiwa atau masalah lampau, ternyata masih relevan – dan untuk kasus film ini – tampaknya masih hangat terjadi di masa kita menontonnya sekarang. Kita bisa relate karena cerita perjuangan para pahlawan kita juga bicara soal musuh paling mematikan itu ya, musuh dalam selimut. Pengkhianat dari orang sendiri. Sedangkan bagi orang Amerika tentu saja film ini masih relevan sekali dari segi masalah rasisme dan kesemena-menaan aparat. Hukum yang berlaku keras di depan nonkulit putih doang. Belum lama ini kita toh melihat serbuan Kapitol oleh kulit putih, tapi tidak satupun pelakunya mendapat hukuman yang keras. Banyak yang jadi berandai-andai kira-kira apa yang terjadi kalo para penerobos adalah kulit hitam.

Yang jadi sorotan dalam film ini adalah betapa cepatnya polisi mengangkat senjata dan bersiap-siap akan kemungkinan terburuk terhadap perjuangan kulit hitam, sekalipun perjuangan tersebut tidak benar-benar melibatkan tindak kekerasan. Pernah lihat foto polisi menodongkan senjata api ke wajah seorang bocah? Nah, bagaimana bisa polisi dan aparat yang bersenjata takut dan curiga terhadap warga yang tidak pegang apa-apa. Dari perjuangan Hampton, film ini menyugestikan bahwa semangat perjuangan orang yang merasa tertindas itu memang lebih kuat dan mematikan. Pistol bukan apa-apa dihadapannya. Makanya polisi pada ketakutan.

 
O’Neal kini bisa melihat the invisible badge of honor yang ‘dikenakan’ oleh Hampton, orang itu punya bala pengikut yang besar sekali jumlahnya. O’Neal melihat Hampton membuat gerakan pelangi; Hampton berjuang untuk mempersatukan kaum-kaum marginal tanpa peduli ras mereka apa. Dia berusaha menggaet penjuang Latino, bahkan orang-orang kulit putih yang dipandang sebelah mata oleh rezim pemerintah.
Frasa ‘O’Neal melihat’ akan terus berulang jika aku menceritakan seluruh babak kedua film. Karena memang begitulah penceritaan film ini dilakukan. Lewat mata O’Neal, karakter Fred Hampton yang kharismatik itu diperlihatkan kepada kita. Penampilan akting Daniel Kaluuya menjadikan karakter Hampton bahkan terasa lebih besar lagi. Setiap pidato yang ia bawakan, Kaluuya selalu membawakannya dengan lantang dan berapi-api. Film meluangkan waktu untuk memperlihatkan soal Hampton yang selalu lumayan gugup saat latihan pidato di kamar, dia gak menyadari bahwa dirinya seorang penyair – ada romance relationship yang terflesh out sehubungan dengan ini – yang sekaligus juga memperlihatkan kepada kita betapa people-person nya si Hampton. Kharisma itu melimpah ruah lewat penampilan Kaluuya. Ketika dia bicara, kita rasanya ikut terangguk-angguk mengamini apa yang ia katakan. Tokoh ini disebut oleh O’Neal sebagai orang yang sanggup menjual garam kepada siput, dan kita sama-sama tahu betapa mematikannya garam bagi siput. Persona Hampton – sebagai sosok Messiah – di sini memang perlu sekali untuk dibangun, supaya nanti dramatic irony yang dihasilkan juga semakin gede. Akibatnya tentu saja adegan pembunuhan dan tindakan atau pilihan yang diambil O’Neal terhadap si Messiah bakal terasa semakin emosional. Sutradara Shaka King menggenjot banget di elemen ini. So much, sehingga malah jadi masalah tersendiri.
Si Judas, yang jadi protagonis utama cerita, jadi kalah menarik. Karakter O’Neal yang diperankan dengan tak kalah meyakinkan oleh LaKeith Stanfield kurang tergali. Segala konflik moral dan latar belakang yang sudah diniatkan di awal tadi, belakangan jadi jarang dan tidak pernah benar-benar digali oleh film. Tindakan mata-mata yang ia lakukan tidak digambarkan film sebagai sesuatu yang benar-benar memakan dirinya dari dalam. Guilt itu gak kuat diperlihatkan. Ada momen-momen ketika O’Neal tampak mulai ragu dan dia udah gak mau lagi jadi mata-mata FBI, tapi kemudian dengan ‘gampangnya’ permasalahan tersebut dienyahkan. Kita melihat dia makan steak ditraktir oleh si FBI. Beres. Film tidak pernah clear soal apakah memang soal uang, atau bagaimana tepatnya moral O’Neal melihat perbuatannya sendiri. Film tidak menyelam lebih jauh ke karakter ini. Sebagian besar waktu dihabiskan untuk membangun Fred Hampton. Terkait itu juga, relasi O’Neal dengan Hampton pun kurang terflesh-out. O’Neal masuk Black Panther, naik pangkat dari supir ke kepala keamanan, diperlihatkan begitu saja. Kita tidak pernah lihat prosesnya. Kita tidak pernah melihat interaksi personal antara O’Neal dengan Hampton. Bagaimana dia bisa menjadi begitu terpercaya di mata Sang Messiah. Sempat ada momen ketika O’Neal dicurigai oleh anggota Black Panther yang lain, tapi momen itu pun ditampakkan dengan ringan dan ‘gampang’ usai, seperti momen-momen kemelut O’Neal yang lain.

Hayo yang kecele Black Panthernya bukan Wakanda angkat tangaan

 
Beberapa kali film ini menyelipkan adegan wawancara asli antara O’Neal beneran dengan televisi. Dan mendengar beberapa hal yang tokoh itu ucapkan, membuatku jadi bilang “Hey I wanna watch that part!” Seperti soal dia menyebut dia enggak dendam sama agen FBI yang menyuruhnya jadi mata-mata; malah ia menganggap agen itu sebagai mentor. Bagian-bagian yang memperlihatkan adegan seperti itulah yang harusnya juga dimuat oleh film ini. O’Neal dengan agen FBI dalam film ini, tidak digali relasi mereka. Tidak kelihatan O’Neal punya respek khusus terhadap orang tersebut. Film ini harusnya bisa bicara banyak tentang dilema moral O’Neal, terlebih karena kita tahu apa yang terjadi kepadanya (beberapa minggu setelah wawancara televisi yang rekamannya diperlihatkan di film ini, O’Neal bunuh diri). Akan tetapi, menonton film ini, tidak terasa kegundahan dan beratnya pilihan-pilihan tersebut bagi O’Neal. Penyesalan ataupun kegelisahannya hanya dipampang di permukaan. Aku enggak nonton wawancara utuh yang dicuplik film ini, tapi kita semua tahu jika wawancara tersebut ternyata lebih menarik dan emosional, maka tentu ada masalah yang serius dari naskah Judas and the Black Messiah ini.
 
 
 
Dalam ngebuild sosok Hampton, dan membangun emosi soal kejadian naas yang jadi puncak cerita, film ini memang piawai sekali. Menontonnya membuat kita merasa menyayangkan semua yang harus terjadi. Membuat kita berpikir, dan merasa ngeri betapa sedikitnya hal berubah; dulu dengan sekarang. Drama ini superb dalam menceritakan kejadian, tapi sedikit sekali bermain dalam lapisan karakter yang lebih mendalam. Yakni lapisan konflik moral. Sudut pandang dan konflik seorang Judas itu tidak pernah dibahas mendalam karena lebih banyak membahas sosok Messiah-nya. Seharusnya film ini bisa bicara lebih banyak tentang relasi antara kedua sosok ini.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for JUDAS AND THE BLACK MESSIAH.
 
 
 
 

 

That’s all we have for now.
Kenapa malah kelihatannya polisi yang takut sama warga padahal yang punya pistol justru mereka? Bagaimana kalian menafsirkan perilaku kasar polisi yang rasis?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

THE SCIENCE OF FICTIONS (HIRUK-PIKUK SI AL-KISAH) Review

“The historical truth is composed of dead silence”
 

 
 
Diam terkadang bukan pertanda kuat, atau tegar. Melainkan, diam sederhananya bisa jadi adalah saat kita sedang ditekan. Dibungkam. Pemuda desa bernama Siman (Gunawan Maryanto totally deserved this year’s Citra) terpaksa harus mengistirahatkan kata-kata untuk selamanya ketika lidahnya dipotong. Siman yang penari itu telah melihat sesuatu yang tak mestinya ia ketahui. Ia menyaksikan kebohongan paling mutakhir dalam sejarah umat manusia. Yang Siman tak-sengaja lihat saat itu adalah syuting pendaratan ke bulan yang dilakukan oleh kru Amerika, di tanah Bantul Yogyakarta. Peristiwa itu mengubah hidup Siman selamanya. Lebih dari trauma, Siman justru tampak seperti bersikeras untuk tetap mengomunikasikan apa yang ia lihat. Sampai bertahun-tahun setelahnya, Siman bergerak lambat seperti astronot berjalan di luar angkasa. Ia juga membangun rumah dan kostum astronot, untuk ditunjukkan kepada orang-orang di sekitarnya. Yang sayangnya, malah membuat Siman dicap sebagai ‘orang gila’.
Luar biasa memang imajinasi – dan celetukan kreatif – sutradara Yosep Anggi Noen ini. Dia membawa teori konspirasi yang paling santer hiruk-pikuknya di dunia itu ke Indonesia. Tentu saja karena Yosep Anggi Noen sendiri punya sesuatu yang ingin dia bicarakan terkait Indonesia. Tebak apa yang terjadi di negara kita sekitaran tahun pendaratan manusia di bulan? Ya, peristiwa pemberontakan PKI. Yang berekor pembantaian di tahun 1966. Di tahun itulah Siman dalam cerita ini hidup. Dua ‘fictions’ itulah yang diparalelkan oleh Anggi Noen dalam film panjang ketiganya ini. Dua peristiwa sejarah yang masih terus diperbedatkan benar-atau-tidak, nyata-atau-rekayasa. Selain menyaksikan hoax pendaratan bulan, Siman juga berada di tengah-tengah peristiwa penculikan dan pembantaian kerabatnya yang dicurigai simpatisan PKI. Siman dalam kejadian yang merenggut lidahnya itu adalah saksi, juga sekalian sebagai korban. Nah, sekarang coba, siapa pihak yang jadi saksi – sekaligus korban – dalam peristiwa pembantaian tahun 1966 itu?

Kalo Siman bisa ngomong (oh yeah) Sayang mereka tak bisa ngomong

 
 
Begitulah kira-kira Yosep Anggi Noen memposisikan cerita ini. Memahami posisi tersebut penting bagi kita. Supaya kita dapat, setidaknya, mengenali konteks atau gambar besar film. Karena, olala, The Science of Fictions (judul bahasa ibunya adalah Hiruk-Pikuk Si Al-Kisah) adalah tontonan yang dapat membuat kita bingung, dan susah untuk dicerna. Film-film seperti ini sebenarnya jangan keburu dianggap ‘angker’. Karena seringkali daripada tidak, film-film ini kuat di gagasan. Mereka boleh saja terdengar sunyi dan tak banyak aksi atau kejadian yang ditampilkan. Tapi bukan berarti tak banyak yang sedang berusaha untuk disampaikan. Persis seperti si Siman itu sendiri. Meski tak bersuara, karakter ini sesungguhnya bicara banyak soal gagasan yang dilontarkan oleh pembuatnya kepada kita.
The Science of Fictions sendiri hadir seperti dalam dua bagian. Bagian pertama sekitar tiga puluh menitan cerita, dibingkai dalam rasio sempit dan visual hitam putih. Memperlihatkan sekuen adegan di tahun 1966. Bukan hanya untuk memberikan kesan ‘ini cerita periode lampau’, tapi juga untuk memberikan kesan opresi dan tekanan yang menguar kuat sekali dalam setiap shot. Bagian kedua mengambil waktu di masa sekarang. Siman hidup di dunia yang berwarna, yang memberikannya kesempatan untuk berinteraksi lebih banyak di luar alih-alih ngumpet stres di dalam kamar. Siman juga banyak berinteraksi dengan orang-orang baru, yang not exactly baru karena sebagian besar mereka diperankan oleh aktor-aktor yang sama dengan pemeran tokoh-tokoh yang ada pada cerita bagian pertama. Apakah mereka sebenarnya adalah karakter di cerita pertama yang ternyata masih hidup setelah diculik? Ini menarik karena mereka mainin karakter yang berbeda, Siman tidak mengenali mereka. Penculikan dan pembantaian itu – as far as this movie views – benar terjadi. Alasan menggunakan pemeran yang sama untuk beberapa karakter sepertinya adalah untuk menunjukkan kesalingberhubungan.
Siman yang lidahnya dipotong karena peristiwa pendaratan bulan diparalelkan dengan keturunan atau keluarga terduga-PKI, karena berada di posisi yang sama. Sebagai saksi sekaligus sebagai korban. Sebagai pihak yang gak bisa membicarakan masalah yang mereka lihat atau alami. Pihak-pihak yang terbungkam. Film sepertinya ingin menyimbolkan para keturunan ini lewat karakter-karakter di masa kini yang diperankan dengan oleh aktor yang sudah memerankan karakter lain di masa lalu. Film juga menggunakan lalat untuk memperkuat ini. Menjelang akhir film kita melihat beberapa tokoh di-close up, dengan lalat di sekitar mereka. Termasuk juga Siman yang duduk dengan beberapa lalat berputar-putar di atas kepalanya. Lalat itu sepertinya adalah koneksi di antara mereka. Sebuah kesamaan. Yang menegaskan keparalelan yang ditarik oleh film tadi. Lalat itu juga berfungsi sebagai penanda sesuatu yang sudah lama tersimpan, sehingga busuk dan berbau. Dan kita tahu Siman sudah selama itu menyimpan kebenaran, hanya karena dia sudah dalam keadaan gak bisa untuk membeberkannya.
Membuat kita melihat dari sudut pandang Siman, menjadikan ini lebih emosional. Lebih dramatis, karena peristiwa yang menimpa Siman dapat kita tahu dengan pasti kebenarannya. Sehingga ketika kita melihat Siman yang bergerak pelan, mau itu sambil mengangkut barang atau berjalan mengantar map surat, diolok-olok oleh orang-orang di sekitarnya, kita menangkap itu sebagai sebuah komedi yang pahit. Kita bisa merasakan determinasinya. Untuk itu, aku semakin salut dengan Gunawan Maryanto yang memerankan, karena Siman ini sesungguhnya punya tuntutan fisik yang luar biasa. Dia melakukan semua hal; dia akan mengangkat asesoris besi, ataupun memanjat bak mobil, dengan superpelan. Ini nyatanya berat sekali untuk dilakukan. Tapi akting Gunawan tetap konsisten. Sesekali, pada beberapa adegan, kita mungkin akan terkikik juga melihat Siman, tapi tak sekalipun kita terlepas dari karakternya. Kita dengan efektif dibuat sudah terlanjur peduli dengan karakter ini. Ketika dia minum dengan gerakan superlambat saja, kita akan menatapnya. Menunggunya. Karena kita ingin menyelami apa yang ia rasakan.

Sutradara seperti ingin mengajak orang-orang untuk seperti Siman. Untuk bersikap: jika tahu pasti akan suatu kebenaran, you might as well say it. Ya, memang tidak mudah, apalagi jika kita adalah orang kecil. Akan selalu ada pembungkaman. Akan selalu ada fabrikasi cerita oleh orang yang lebih berkuasa. Siman, tanpa lidah, punya cara sendiri untuk bicara. Kita seharusnya juga bisa; lebih baik daripada Siman.

 
 
Tindakan Siman membangun rumah seperti roket dari perkakas mikrowave dan rangka mesin cuci, aksi Siman memesan baju astronot ala kadar, adalah penguat terhadap komunikasi yang berusaha ia lakukan. Aksi-aksi tersebut boleh jadi adalah teriakannya untuk menyadarkan orang-orang bahwa orang semiskin atau ‘sesederhana’ dirinya saja bisa kok untuk bikin sesuatu yang mirip roket. Siman sesekali nunjukin dia sebenarnya bisa bergerak normal, terutama dalam keadaan emosi yang sedang tinggi, entah itu saat marah atau lagi birahi. Yang lebih lanjut menyampaikan kepada kita bahwa sesungguhnya meskipun mulut dibungkam, sebenarnya kita masih bisa bertindak. Masalahnya adalah bagaimana orang-orang akan menangkapnya. Value Siman di mata orang-orang tetaplah hanya sebagai badut penghibur, and it his worst dia adalah seorang maniak. Lewat ini film dengan tepat menggambarkan kondisi bahwa memang tidak semudah itu untuk berkata.

It’s his/their words againts, who?

 
 
Tidak selamanya film ini sepi dialog. Karakter-karakter sekitar Siman akan sering bicara, kadang untuk penyambung lidah sang protagonis, namun sering juga sebagai eksposisi. Untungnya, kata-kata di film ini sama engaging-nya dengan visual yang ditampilkan. Film ini menyusun pengadeganan dengan banyak lapisan kedalaman gambar dalam setiap shot. Bayang-bayang digunakan untuk menciptakan lebih banyak lagi depth pada layar. Sehingga masing-masing frame film ini seperti sebuah jendela yang membingkai begitu dalam. Bahkan ketika film sudah ‘berwarna’ bayang-bayang terus difungsikan untuk menghasilkan depth yang membuat gambar-gambar menjadi semakin hidup, terus aktif. Sementara di background, telingaku yang biasanya gak merhatikan musik, tercuri juga perhatiannya. Oleh penggunaan musik yang kayak campuran musik film-film luar angkasa dengan musik film PKI. Turut membangun nuansa eerie yang spesifik sebagai identitas film yang bermain di realita dan fantasi seperti ini.
Dengan visi yang kuat, film ini sendirinya jadi berada dalam posisi yang cukup lucu. Cerita film ini bekerja dengan landasan berani mengungkap kebenaran, tapi memparalelkan suatu fiksi yang bisa dipastikan sendiri kebenarannya dengan fakta yang masih kabur terlihat agak seperti memaksakan argumen. Alur film ini butuh untuk kita percaya akan kebenaran atas palsunya pendaratan di bulan (ini fakta yang direka oleh cerita). Di lain pihak, untuk topik yang paralel dengan cerita itu, jadinya seperti memaksa untuk setiap penonton percaya pada kebenaran sesuai gagasannya. Film harusnya bisa membuka lebih banyak ruang untuk ini. Bagian tengah menjelang akhir yang agak nge-drag – karena kita mulai kehilangan arah mau dibawa ke mana cerita – mestinya bisa difungsikan untuk sebagai ruang-ruang tersebut. Menjadikan film jadi bahan obrolan yang lebih padet.

Seorang wanita dalam film ini menuduh Siman berpura-pura bisu karena Siman mampu mendengar. Sementara kita tahu Siman memang tidak bisa bicara karena lidahnya dipotong. Tapi bagaimana dengan kita? Kita toh bisa bicara. Kita juga tidak tuli. Kita mendengar hiruk pikuk kisah-kisah itu. Teknologi komunikasi pun sudah semakin maju. Apakah kita akan tetap bungkam terhadapnya?

 
 
 
Hiruk pikuk kebohongan yang tersaji dalam film ini bakal membuat kita berefleksi juga dengan keadaan sekarang. ‘Skenario’ di mana-mana. Lewat visual tight dan pengadeganan yang aneh, film menawarkan gagasan dengan cara yang menarik. Obrolan yang boleh jadi bakal berat, jadi seperti sedikit ringan – tanpa mengurangi intensitasnya – oleh film ini. Jika film Pemberontakan G30S/PKI dulu dikecam sebagai propaganda kebencian/pengantagonisan, maka film ini difungsikan sebagai propaganda untuk mengambil langkah yang heroik, sekuat tenaga, demi kebenaran.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for THE SCIENCE OF FICTIONS (HIRUK-PIKUK SI AL-KISAH)

 

 
 

 

That’s all we have for now.
Apakah kalian punya interpretasi berbeda terhadap film ini?
Sebagai kontras dari karakter Siman, film ini menyiapkan karakter yang sungguh sureal. Yang seperti berjalan dalam dimensinya sendiri. Karakter seorang jenderal, atau seorang pemimpin, yang sudah ada (dan terus nongol sesekali) sejak syuting pendaratan bulan di awal. Memegang kamera. Seolah seorang sutradara yang menciptakan suatu kenyataan. Ada konflik pada karakter ini, ketika dia menyebut lantang untuk tidak mau berpartisipasi dalam kebohogan besar. Namun setelah-setelahnya, kita kerap melihat dia dengan kamera. Merekam dirinya mengendarai mobil. Merekam dirinya merokok. Tapi tidak ada kamera di mana-mana saat dia menyimpan reel video hasil syuting pendaratan bulan. Tindakan merekam diri itu juga sepertinya dikontraskan lebih lanjut dengan kehadiran karakternya Lukman Sardi (eks-TKI di Jepang) yang ‘kedapatan’ sering merekam sesuatu lewat kamera hapenya. Sampai titik ulasan ini ditulis, aku belum yakin tokoh jenderal/pemimpin besar ini merepresentasikan apa, apakah komentar sutradara terhadap presiden saat itukah?
Apakah menurut kalian film ini lebih pantas untuk menjadi wakil Indonesia ke Oscar tahun depan?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

THE TRIAL OF THE CHICAGO 7 Review

“If you remember what you fighting for you will never miss your target.”
 
 

 
 
Mungkin gak sih aksi demonstrasi berlangsung tanpa berakhir kerusuhan? Jawabannya tentu ‘bisa saja’, tapi ruang tanya itu masih terbuka ketika ada yang memperdebatkan lebih lanjut; apakah demo tanpa rusuh itu efektif. Argumentasi soal demonstrasi seperti demikian memang lagi sering terdengar, atau tepatnya, terbaca ketika kita berselancar di sosial media. Karena memang topiknya lagi hangat sekali. Di Amerika, di Thailand. Negara kita juga lagi kena musim demo, berkat disahkannya UU Cipta Kerja yang berbuntut banyak masalah. Mulai dari isinya, hingga ke kejadian seputar pengesahannya yang tergolong mendadak itu. Aksi penolakan terhadap UU tersebut bergelora di mana-mana. Buruh angkat suara, Akademisi menghimpun diri. Mahasiswa turun ke jalan. Anak STM ikut di belakang kakak-kakak mereka itu. Aksi mereka diharapkan berlangsung damai. Namun kemudian ada halte terbakar. Perlawanan lantas muncul di mana-mana. Polisi melawan pendemo. Mengejar hingga ke kampus-kampus. Menangkapi mahasiswa, sampai-sampai para pelajar yang terangkap terancam bakal susah dapat kerja. Ibarat kata, mereka tak bisa dapat surat kelakuan baik, karena sudah ikut merusuh dan merusak kota.
Begitulah ujung-ujungnya nasib pengunjuk rasa. Disebut sebagai provokator. Pengganggu kestabilan keamanan. Tahun 1968 tujuh pemuda ditangkap oleh kepolisian Chicago. Mereka diadili karena tertuduh sebagai provokator kerusuhan dalam aksi protes terhadap Perang Vietnam yang tadinya aman menjadi huru-hara. Membuat polisi harus bertindak keras. Banyak sekali korban terluka, baik dari pihak polisi maupun pendemo yang tergabung dari beberapa golongan. Sidang ketujuh pemuda (sebenarnya ada delapan, satu lagi yang berkulit hitam dapat tuduhan ekstrim membunuh polisi sehingga ia mendapat ‘perlakuan’ khusus) ini berlangsung alot. Berhari-hari. Karena para pemuda-pemuda itu justru curiga bahwa polisilah yang cari ribut duluan. Yang sengaja memancing kerusuhan terlebih dulu demi mengantagoniskan gerakan mereka. Kisah nyata konflik demonstrasi yang relevan bukan saja dengan keadaan Indonesia, melainkan dunia sekarang, inilah yang dimainkan ulang oleh Aaron Sorkin sutradara yang sudah aral melintang menangani drama debat di pengadilan berkat kepiawaiannya mengeset dan menulis dialog yang tajam-tajam. Selama kurang lebih dua jam, kita akan dibawa duduk menyaksikan trial demi trial yang penuh emosi. Film ini akan membuat kita geram. Kemudian tertegun. Dan memikirkan ulang aksi perjuangan yang mungkin sedang kita lakukan supaya perjuangan tersebut lebih tepat sasaran.

The whole world is watching — if you’re wearing mask or not, eh…

 
 
Actually, adegan persidangan di film ini adalah sidang terheboh yang pernah aku lihat di dalam film. Bahkan lebih bikin geram dibandingkan sidang yang pernah kutonton di televisi, dan aku udah liat sidang kopi sianida dan sidangnya Steven Avery. Debat sidang yang ada di film ini begitu sensasional. Tadinya saat menonton aku berpikir kejadian-kejadian seperti dua pemuda tertuduh suatu hari datang mengenakan jubah hitam panjang seperti milik hakim – sebagai bentuk sindiran mereka terhadap sikap sang hakim – adalah pandai-pandainya si pembuat film aja supaya cerita persidangan itu unik dan seru. Ternyata, setelah aku baca-baca beritanya seusai menonton, kejadian tersebut memang benar terjadi. Sidang Chicago 7 ini memang beneran penuh oleh kejadian-kejadian yang kalo dilihat sekarang pastilah memalukan bagi sistem peradilan Amerika. Hakim yang bias sedari awal – Yang Mulia itu tanpa diminta langsung buka suara klarifikasi bahwa meskipun bernama belakang sama tapi dia bukan sanak keluarga salah seorang terdakwa – yang mengikat dan menyumpal mulut terdakwa kulit hitam yang tak diijinkannya mencari pengacara pengganti, itu bukan karakter yang diciptakan untuk khusus untuk film ini. Melainkan karakter orang beneran yang ditunjuk sebagai kuasa tertinggi dalam sidang yang mestinya demokratis tersebut.
Sorkin mengambil esensi dan point-point yang membuat kejadian nyata itu diperbincangkan, untuk kemudian diperkuatnya lagi dengan pengadeganan dramatis buah visinya sendiri. Bagian-bagian sejarah itu disulamnya sempurna, menyatu dengan karakter-karakter dan elemen-elemen yang ia ciptakan untuk menjadikan cerita ini sebagai sebuah film. Ketika memperlihatkan adegan bentrokan polisi dengan pendemo, misalnya, Sorkin menyelinginya dengan cuplikan kejadian yang nyata dari rekaman berita. Meskipun potongan itu hitam-putih, tapi tidak pernah sekalipun kontras dengan pengadeganan yang berwarna. Ini menunjukkan betapa mulusnya dua klip video itu dirangkai. Bukan semata soal editingnya, melainkan juga keberhasilan dari penjagaan tone dan pacing cerita. Alur The Trial of the Chicago 7 bergerak dengan kecepatan penuh. Kilasan flashback dan selingan kejadian asli tidak pernah melambatkan ataupun membagi film ini seperti dua bagian. Karakter-karakter yang banyak itu bukan pula jadi halangan. Mereka semua mendapat porsi perspektif dan pembelajaran yang cukup untuk membuat kita benar-benar tertuju kepada masing-masing.
Walau karakter hakim luar biasa nyebelin (aslinya Hakim ini belakangan disebut ‘unqualified’ oleh Peradilan Amerika), tapi film tidak benar-benar total memihak. Film tidak menyuruh kita untuk percaya bahwa tujuh pemuda yang disidang itu enggak bersalah, apalagi menyuruh kita untuk membenci polisi dengan sepenuh hati karena mereka semua main kasar. Hakim yang bias dan rasis tidak lantas membuat pihak satunya otomotis benar dan tidak bersalah. Film tidak membiarkan kita tenggelam dalam konspirasi. Melainkan mencuatkan apa yang sebenarnya menjadi akar masalah di sini. Persidangan yang kian menjadi ajang tuduh-tuduhan itulah yang difokuskan di sini. Bukan hanya si Hakim saja, semua pihak diperlihatkan punya bias yang membuat mereka menjadikan sidang tersebut terlalu personal, sehingga tidak lagi melihat jernih. Seperti karakter yang diperankan Eddie Redmayne; orangnya pinter, respekful, dan yang paling bisa dijadikan teladan. Namun dia sendiri juga bias dalam memandang karakter si Sacha Borat Cohen, padahal jelas-jelas rekan seperjuangannya. Ketujuh pemuda memang dari golongan berbeda; ada geng mahasiswa, geng hippie, geng pramuka. Mereka bertujuan sama, tapi pandangan gak suka – gak percaya terhadap jalan atau cara kerja geng lain itu tetap ada. Bahkan lebih jauh film ini perlihatkan bahwa bias itu bisa datang dari penampilan luar. Satu-satunya yang bisa mempertahankan objektifitas dan gak ujug-ujug jadi bias itu adalah karakter pengacara penuntut yang diperankan oleh Joseph Gordon-Levitt. Dia yang gak setuju demo rusuh seharusnya adalah ‘musuh’ bagi para pemuda, tapi kita bisa lihat dari sikapnya kadang justru dialah yang paling duluan gak setuju sama tindakan Hakim. Dia yang berusaha profesional dan memegang teguh respek dan paham tujuan itulah yang buatku jadi highlight di film ini.

Film ini menunjukkan bahwa betapa menjaga untuk gak menjadi bias itu adalah hal yang susah untuk dilakukan. Dalam perjuangan, seringkali kita menjadi terlalu personal. Seperti demo di Chicago itu; sidangnya malah seperti saling tuding siapa yang berbuat onar duluan. Padahal tujuan awal demonya adalah untuk memprotes pengiriman tentara ke Vietnam. Untuk menghentikan perang, bukan malah membuat ‘perang’ baru. Kita semua gampang meleset dari tujuan jika melupakan untuk apa, untuk siapa, kita berjuang pada mulanya. 

 

Hayoo siapa yang dalam menilai film aja, seringkali udah bias duluan sebelum nonton?

 
 
Yang ditawarkan film sebagai jawaban dari bagaimana supaya kita enggak jadi gampang bias, juga sungguh luar biasa dramatis. Adegan yang jadi ending film ini terasa sangat powerful. Adegannya kayak ketika Chris Jericho bacain daftar yang comically superpanjang berisi nama-nama submission yang mampu ia lakukan waktu di WCW dulu, hanya saja tidak seperti Jericho, adegan ini tidak di-boo. Malahan diiringi tepuk tangan yang bikin merinding. Ini merupakan desain dari sutradara, ia menerapkan bahasa film pada ending ini. Jika aslinya adegan tersebut justru berlangsung di awal-awal masa persidangan, Sorkin menaruhnya di akhir cerita sebagai bentuk pembelajaran dan penyadaran yang sudah dialami oleh para karakter. Pertanyaan yang harusnya mereka bahas bukanlah pihak mana duluan yang mancing ribut, pihak mana duluan yang kasar, dan kemudian menuding. Melainkan adalah pertanyaan untuk siapa unjuk rasa itu mereka lakukan. Untuk apa ide-ide tersebut mereka lontarkan. Momen penyadaran tersebut terangkum semua di dalam sekuen ending. Dengan sempurna menutup film dengan nada yang kuat, yang membuat kita berkontemplasi terhadap perjuangan yang sedang kita jalani sendiri.
Cerita yang hebat, dimainkan oleh assemble cast yang tak kalah hebatnya. Masalah yang muncul buat film ini cuma perspektif dan sudut pandang yang cepat sekali berpindah-pindah. Karena cerita ini gak punya tokoh utama. Kalopun ada, maka ia bukan satu orang. Melainkan satu grup. Satu pergerakan. Ini membuat film bekerja tidak seperti film-film biasa. Dan karena diangkat dari kejadian nyata, dibuat untuk menampilkan peristiwa yang sesuai fakta, film ini jadi sedikit terbatas. Dia tidak dalam kapasitas mengakhiri semua plot atau semua masalah yang dihadirkan. Terdakwa kedelapan dalam sidang tersebut, punya konflik yang tak kalah penting. Soal rasis dan prejudice yang lebih dalem. Namun karena peristiwa yang difilmkan oleh cerita tidak menyorot ke sana, maka permasalahan soal konflik itu juga tidak dibahas sampai habis. Hal tersebut jadi cacat sedikit buat film ini, karena normalnya setiap film harus menuntaskan setiap poin yang dimunculkan sepanjang cerita.
 
 
Maka itulah, aku berusaha untuk tidak terlalu bias karena aku suka sama cerita dan karakter-karakternya. Aku ingin melihat film ini secara objektif, ya sebagai film. Penilaiannya harus sama dengan saat menilai film-film lain. Sebagai cerita, definitely ini merupakan salah satu terpenting di tahun ini. Malah juga sebagai salah satu tontonan yang paling seru, padahal isinya kebanyakan ‘cuma’ orang-orang ngomong. But I never have a problem with chatty movies. Selama diceritakan dengan kuat dan terarah, ia akan asyik untuk dinikmati. Film ini akan enak untuk ditonton berulang kali, hanya untuk melihat kejadian demi kejadiannya. Kita akan lupa bahwa kameranya ternyata sangat pasif, berkat dialog dan adegan yang dinamis di ruang sidang tersebut. Sorkin berusaha optimal untuk membuat penggalan sejarah ini menjadi satu film yang layak, sembari tetap berpegang teguh pada visi kenapa ia membuatnya in the first place.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for THE TRIAL OF THE CHICAGO 7.

 

 
 

 

That’s all we have for now.
Jadi apakah kerusuhan itu terjadi karena pendemo lupa sama siapa yang sebenarnya sedang mereka perjuangkan? Bagaimana jika demo tetap rusuh kendati para pendemo masih fokus dan sadar pada siapa yang sedang mereka bela – mereka perlu sesuatu yang tegas supaya suaranya didengar – apakah kalian masih setuju dengan tindakan itu?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

RESISTANCE Review

“A good laugh heals a lot of hurts”
 

 
 
Terlahir sebagai orang Yahudi jelas bukan hal yang ingin kau gembar-gemborkan jika hidup di Perancis tahun 1940an. Dengan Gestapo ada di mana-mana, memang yang paling baik adalah menjaga kesehatan dengan – well, sama seperti kita sekarang -dengan memakai masker. Topeng. Nama palsu. Samaran. Marcel beneran merias wajahnya. Dia pasang ‘kumis-model-sikatgigi’ palsu. O tidak, dia tidak menyamar menjadi Hitler. Dia menjadi Charlie Chaplin. Dia tidak ingin membuat orang menderita. Dia ingin menjadi seperti idolanya; membuat orang tertawa.
Nama Marcel Marcaeu tercatat dalam sejarah bukan hanya sebagai seniman pantomim paling tersohor, melainkan juga sebagai seniman pantomim yang beneran ikut berjuang bersama gerakan Perlawanan Yahudi di Perancis. Film Resistance karya Jonathan Jakubowicz adalah cerita tentang perjuangan tersebut. Sebagai biografi sejarah, film ini memang tidak terlalu akurat karena menambahkan banyak bumbu-bumbu drama ke sekitar kehidupan Marcel. Tapi sebagai kisah kepahlawanan; film ini dengan tepat menggambarkan esensi perjuangan Marcel. And it is an unique one. Karena bagi Marcel, perjuangan itu bukanlah balik mengangkat senjata mengalahkan musuh. Menumbangkan mereka sebanyak mereka menumbangkan kita. Melainkan, berjuang berarti menyelamatkan sebanyak mungkin korban. Membangkitkan kembali semangat hidup mereka. Marcel Marceau tercatat sudah menyelamatkan ratusan anak-anak Yahudi korban Nazi, membawa mereka nyebrang ke perbatasan. Film ini tidak mengabaikan perjuangan tersebut. Sekaligus tidak lupa untuk menekankan, bahwa hal terpenting yang dilakukan Marcel si tukang pantomim – hal sesungguhnya yang ia lakukan dalam menyelamatkan kehidupan mereka – adalah telah membangkitkan kembali semangat hidup anak-anak tersebut dengan seni dan tawa.

Seni adalah eskapis, dan tawa adalah obat yang paling mujarab. Marcel menggabungkan keduanya, dan dengan itulah ia menolong banyak anak. Tawa membuat kita melupakan kebencian dan ketakutan. Tawa menutup luka-luka emosional. Tertawa bersama membuat kita lebih mudah merasakan empati terhadap orang lain. Itulah yang persisnya dibutuhkan oleh dunia, dan Marcel adalah master dari seni tersebut.

 
hiburan di kala duka

 
Jadi film ini memang sudah semestinya menyentuh saraf-saraf emosional kita dengan kehangatan yang dipancarkan oleh Marcel lewat usahanya berpantomim, menghibur hati para anak-anak yatim piatu korban Nazi emotionally, dan secara literal menyelamatkan mereka ke tempat yang aman. Misi film ini terang dan jelas. Melandaskan kecintaan Marcel terhadap profesinya, memperlihatkan konflik Marcel dengan ayahnya sehubungan dengan pilihan profesi alias passionnya tersebut – yang dianggap malu-maluin dan membuat kelaparan – serta tentu saja menguatkan hubungan Marcel dengan anak-anak yang ia lindungi serta hubungannya dengan Nazi yang jadi pendorong utama untuk menjadi lebih baik. Lika-liku Marcel secara personal haruslah diperdalam oleh film yang katanya biografi ini. Terlebih setelah ditetapkan bahwa Marcel berawal sebagai seorang yang mementingkan diri sendiri.
Durasi dua jam semestinya cukup untuk memadatkan itu semua. Namun entah kenapa, film seperti meme cowok yang berjalan bersama pacarnya, terpana menatap wanita lain. Alias, film ini seperti teralihkan perhatiannya membahas ke hal-hal yang seharusnya hanyalah pendukung bagi Marcel. Bahasan Marcel dengan ayahnya yang tukang daging misalnya, harusnya bisa lebih diperdalam, mengingat background sang ayah yang kompleks dan tak kalah mengejutkan. Yang tentu saja tak cukup dan terasa diburu-buru jika hanya dilakukan dalam lingkup satu babak cerita dan beberapa percakapan di antara mereka, seperti yang kita dapatkan dalam film ini.
Momen kunci yang menjadi hati cerita adalah relasi yang terbangun antara Marcel dengan anak-anak yang mereka jaga di penampungan. Pada beberapa waktu, film berhasil menghadirkan adegan yang benar-benar terasa genuine. Kekuatan pantomim berhasil menghubungkan hati para tokoh, digambarkan lewat pengadeganan yang menghanyutkan. Jesse Eisenberg tampak benar-benar berusaha mempersembahkan ‘the art of silence’ tersebut, meskipun sama seperti aksen frenchnya; performa Eisenberg goyah. Kita perlu lebih banyak adegan yang menceritakan Marcel berusaha berkomunikasi lewat pantomim. Terlebih jika tokoh Marcel sendiri memang seperti diniatkan untuk tampil sebagai orang yang cukup canggung dalam berkomunikasi langsung. You know, layaknya tipikal tokoh-tokoh yang diperankan oleh Eisenberg sebelum ini. Aku gak pernah yakin tokoh Marcel ini orangnya seperti apa. Saat ia bicara seringkali persona nerd dan social-awkward ala Eisenbergnya mencuat. Kemudian saat dia berpantomim, ketika aku yakin dia bakal magnificent, dia tetap sering tampak gak lepas dari gestur awkwardnya. Judgment kita soal performa pantomimnya masih belum bisa kuat, karena adegan berpantomim di film ini kurang banyak, sehingga kita jadi sukar menyimpulkan apa yang terjadi di sini. Apa ia benar-benar bermaksud melucu, apa anak-anak itu tertawa bersamanya, atau mereka menertawakannya.
Padahal pantomim mestinya adalah seni yang powerful nan beautiful. Ditambah dengan konteks perang, kekejaman Nazi dan mengerikannya perang, seharusnya semua bisa tersampaikan di sana. Tapi penampilan Marcel tidak pernah sedalam itu. Apalagi menyentuh ranah surealis. Film yang mengangkat seorang yang berpantomim, dan menyelamatkan orang-orang, tidak berhasil sepenuhnya untuk membuat kita konek kepada subjek ceritanya sendiri. Karena memang cerita tidak disusun untuk fokus ke sana. Film malah sepertinya tidak paham bagaimana menggali sisi dramatis yang genuine dari sana. Maka ditambahkanlah, dipusatkanlah, bumbu-bumbu yang dirancang untuk menjadi dramatis. Bumbu yang bahkan enggak ada di sejarah kehidupan tokoh aslinya. Bunch of time dihabiskan untuk mengedepankan kehidupan cinta Marcel dengan seorang tokoh fiktif, hanya untuk berakhir dengan tidak kemana-mana, selain film butuh sesuatu untuk ditangisi oleh Marcel (dan supposedly penonton). Film menghabiskan banyak waktu untuk tidak membuat kita fokus ke personal Marcel. Momen-momen penyadaran – dia yang tadinya selfish lalu berubah menjadi peduli dan sayang pada anak-anak – diceritakan terlalu cepat dan dengan tidak banyak kejadian penting. Ada loncatan periode di paruh awal film yang sungguh disayangkan karena mestinya digunakan untuk mengembangkan hubungannya dgn semua orang, sehingga perjalanan arcnya lebih kerasa.
Kita harusnya jadi punya respek lebih kepada pantomim setelah nonton ini

 
 
Bangunan ceritanya sendiri memang aneh. Pertama, menit-menit itu dipilih untuk memusatkan kita pada kesadisan Nazi. Kedua, cerita lompat ke saat aman, ada jenderal yang pidato di depan – menceritakan kisah Marcel (tontonan kita ceritanya adalah kisah yang diceritakan oleh jenderal ini. Setelah itu baru kita dibawa ke kehidupan Marcel. Bangunan penceritaan begini membuat yang bagian jenderal itu kayak tempelan. Dan opening film membuat kisah ini terset dalam tone yang berbeda. Seolah film ini adalah tentang kekejaman Nazi, bukan tentang orang yang berjuang dalam cara yang berbeda melawannya. Dalam film superhero, lumrah kita diliatin kebangkitan penjahat sebelum kita bahkan mengenal pribadi yang bakal jadi tokoh superhero. Ini dilakukan untuk membuild up tantangan yang bakal dihadapi oleh si hero. Membuat kita mencemaskan gimana kalo nanti dia yang sekarang ini ketemu sama si penjahat sadis tadi. Dalam cerita superhero, bercerita begini dapat bekerja dengan efektif karena si hero pada akhirnya memang akan beneran berinteraksi dan berhubungan langsung dengan kejahatan si penjahat. Resistance tampak mengincar efek ini. Yang sayangnya terasa setengah-setengah karena walaupun si Barbie Nazi berhasil dibuild up sebagai karakter yang jahat dan bengis (tidak ada yang mempertanyakan soal kekejaman Nazi di sini; itu seeksak satu tambah satu sama dengan dua), Marcel sebagai pahlawan tidak pernah merasakan langsung dan interaksinya dengan si Nazi yang ditampakkan justru interaksi humanis. Dampaknya hanya ke kita. Marcel tidak pernah benar-benar terasa ada yang dipertaruhkan.

Harusnya sekalian Marcel saja yang dibuat kabur saat Nazi menyergap persembunyian. Selain karena memberikan kepadanya kesempatan untuk merasakan bahaya, juga make more sense karena arcnya dia di awal memang seorang yang lebih mentingin diri sendiri. Sehingga bakal lebih dramatis ketimbang terjun nyelametin orang yang mau bunuh diri – yang jelas-jelas adalah adegan lebay yang diorkestrasi untuk memancing efek dramatis. Momen Marcel dan anak-anak itu diburu di gunung salju juga akan lebih berasa karena kali ini dia harus lari sambil menyelamatkan orang. Resistance pada akhirnya memang seperti jatuh pada perangkap biopic pahlawan; takut untuk memperlihatkan cela. Di saat tokoh jahat dengan leluasa diperlihatkan sebenar jahat karena gak bakal ada yang protes, tokoh baiknya dibiarkan untuk tidak dieskplorasi karena terbatas pada keinginan untuk menunjukkan yang baik-baiknya aja. Padahal pandangan Marcel terhadap Nazi, pandangan Marcel terhadap inti dari berjuang, pandangannya terhadap pantomim itu sendiri, itulah yang harus ditonjolkan. Jadi kita bisa melihat perubahan yang membuat kita menjadikan sang pahlawan itu inspirasi. Bukan sebatas apa yang ia lakukan. Namun cerita dan konflik di balik perjuangan. Konflik yang personal dan tumbuh natural, tentu saja. Bukan yang dirancang hanya untuk memenuhi struktur naskah.

 
 
 
Cerita mestinya fokus dulu pada pengembangan Marcel. Mulai dari Marcel, tidak perlu memperlihatkan ke kita kekerasan yang dihadapi anak-anak di awal. Bikin Marcel merasakan itu atau melihatnya langsung pada satu titik. Buang saja adegan dengan Jenderal yang bercerita itu; film ini gak butuh dua ‘intro’ yang hanya merusak tone dan bikin aneh bangunan cerita. Film ini punya potensi untuk menjadi indah dan menyentuh, dan untuk beberapa kecil bagian, film ini memang menyentuh. Melengkapi kisah powerful bertema Nazi dan anak-anak yang kita dapatkan di tahun 2020 ini. Sayangnya arahan malah membuat film ini jadi biopik yang hanya tok menyoroti kejadian, tanpa benar-benar mengeksplorasi. Tone cerita pun jadi setengah-setengah. Antara mau sadis atau enggak. Film ini seperti antonim dari pantomim itu sendiri; tidak indah, tidak nyeni, dan terlalu ribut oleh subplot-subplot yang diset untuk heboh. Bahkan untuk memahami tokoh dan pantomim itu saja, film ini masih seperti belum pasti.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for RESISTANCE.

 

 

 

That’s all we have for now.
Bagaimana pandangan kalian terhadap seni pantomim? Menurut kalian apa bedanya pantomim dengan badut?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

EUROVISION SONG CONTEST: THE STORY OF FIRE SAGA Review

“It does not do to dwell on dreams and forget to live”
 

 
 
Adalah prestasi yang luar biasa sebenarnya untuk dapat menjadi seperti Lars dalam film Eurovision Song Contest: The Story of Fire Saga. Enggak gampang untuk bisa teguh mengejar passion masa kecil. Untuk terus mendedikasikan diri mengusahakan mimpi, meskipun diremehkan – bahkan diledek – oleh semua orang. Termasuk orangtuamu sendiri. Karena realita tak akan menghantam kita pelan-pelan. Di bawah tekanan kenyataan, enggak semua orang mampu mempertahankan siapa dirinya, seperti Lars. Namun tentu saja, untuk memegang erat passion seperti demikian, kita juga enggak boleh seperti Lars. Yang lupa memperhatikan sekitar karena mimpinya yang terlalu jauh itu.
Sedari kecil, sejak ditertawakan oleh kerabat dan tetangga pada malam pemakaman ibunya, Lars bertekad untuk memenangi kontes nyanyi se-benua Eropa yang tersohor itu. Dia ingin membuat bangga ayahnya yang pelaut. Sekarang usia Lars (Will Ferrell udah sah jadi rajanya underdog-absurd komedi) sudah kepala tiga, dan tetap saja hanya Sigrit (Regina George.. eh, Rachel McAdams jadi ‘wanita desa’ yang lugu dan bersuara indah) seorang yang percaya dan mendukung dirinya. Bersama mereka membentuk band duo Fire Saga, yang nyanyi di kafe dan pesta-pesta di kota – walaupun warga selalu meminta mereka memainkan satu lagu rakyat dan menolak mendengar lagu ciptaan Lars yang lain. Dalam sebuah rentetan kejadian yang kocak – agak sadis, tapi tak pelak konyol – Fire Saga akhirnya kepilih untuk pergi mewakili Islandia ke final Eurovision tahun ini. Berdua saja di ranah showbiz yang glamor dan sarat kepentingan terselubung, Lars yang tak-mampu melihat apapun di luar potensi kemenangan dirinya, dan Sigrit yang akhirnya merasakan perhatian meskipun datang bukan dari partner masa kecilnya, mulai merenggang. Dan setelah satu lagi kecerobohan penampilan musik yang failed dan nyaris berujung petaka, Fire Saga seperti sudah digariskan untuk bubar – membuat malu negara, dan tentu saja ayah Lars di rumah.

Dan percaya atau tidak, film ini juga melibatkan bangsa peri

 
 
Kita yang tinggal di Indonesia mungkin belum banyak yang pernah mendengar – apalagi yang gak ngikutin musik kayak aku – Eurovision yang merupakan kontes musik yang beneran ada di Eropa sana. Acara ini ternyata udah diberlangsungkan semenjak pertengahan 1950, dan sudah menelurkan tren-tren musik mulai dari ABBA hingga ke Celine Dion. Film garapan David Dobkin ini pun tadinya diniatkan rilis bersamaan dengan pagelaran Eurovision tahun 2020, tapi urung karena pandemi korona. Kenapa komedi musik ini menjadi seperti begitu urgen? Kenapa tokoh fiksi harus diciptakan ke dalam show nyata yang sudah jadi tradisi? Itu karena film Eurovision ini difungsikan bukan hanya sebagai tribute, melainkan sekaligus sebagai parodi untuk mengingatkan acara itu sendiri yang semakin modern malah semakin konyol. Eurovision adalah kontes musik yang kini bukan semata adu-kemerduan suara, namun lebih sebagai adu-aksi panggung. Kembang api, efek video, kostum-kostum ‘unik’. Acara itu udah jadi selebrasi unjuk-gigi negara-negara terlibat. Di belakang panggung, ada strategi dan permainan politik bahkan sedari pengiriman delegasinya. Semua itu ditampilkan dalam nada ringan oleh film Eurovision Fire Saga ini. Kita mendengar komentar soal kostum, dan aksi panggung, yang diwakilkan oleh tingkah polah Lars yang jadi laughing stock seluruh kota. Kejadian seputar Lars dan Sigrit kepilih oleh produser dibuat sebagai kebetulan yang sebenarnya direncanakan oleh pihak-pihak tertentu.
Formulanya, ini merupakan cerita underdog. Lars dan Sigrit diremehkan. Namun bukan karena kemampuan nyanyi mereka yang buruk. Tonton sendiri dan biarkan mereka membuatmu terpana oleh ballad-ballad pop yang nendang abis. Penyebab mereka tidak-ada yang menjagokan adalah karena mereka selalu melakukan aksi-aksi panggung yang norak dan berlebihan. Penampilan musik mereka gagal selalu karena hal tersebut. Ini lantas dikaitkan oleh film dengan heart-of-the-story, yakni hubungan antara Lars dengan Sigrit. Yang satu punya mimpi besar, yang satu punya talenta tak-terukur. Ada cinta di antara mereka. Dan hanya ada sepihak saja yang melihat ini. Cerita dan karakter mereka dibangun supaya kita menginginkan mereka berhasil. Dengan stake bubaran yang memang berhasil membuat kita peduli. Walaupun formula film ini standar sekali – it fits to both our usual underdog and childhood lover story – film ini masih berhasil untuk tampil segar berkat karakter. Dan visual Islandia dan panggung Eurovision yang gemerlap. Dan tentu saja lagu-lagunya.
Aku menikmati penampilan di film ini. Ferrell dan McAdams jadi center-piece yang sempurna untuk cerita, meski kadang terlihat aneh juga mereka sebaya tapi Lars kadang seperti terlalu tua (apalagi film kerap mengingatkan kita dengan running joke ‘mungkin-bukan-kakak-adik’ itu). Aku terutama suka sekali sama penampilan McAdams di sini, karakternya hampir seperti magical. Apalagi pas nyanyi. Wuih! Lagu ‘Double Trouble’ yang mereka bawakan dengan naas itu sudah hampir bisa kupastikan bakal masuk jadi nominee buat kategori Best Musical Perfomance di My Dirt Sheet Awards tahun depan. In fact, dalam film ini akan ada banyak penampilan musikal yang memukau. Lagu finale-nya bakal bikin merinding. Dibawakan dengan lip sync oleh McAdams tidak lantas membuat penampilan terasa ‘plastik’. They played it off so good, dan salut juga buat Ferrell yang beneran menyanyikan semua lagu bagiannya.
Dengan sifatnya yang jengkelin, kadang Lars terlihat seperti Matt Riddle versi tua

 
 
Cerita underdog dalam sebuah kompetisi bisa kita maklumi taat kepada formula yang sama. Seperti setiap cerita tinju ‘blueprint’ bakal selalu formula cerita-cerita Rocky. Eurovision Fire Saga ini pun sebenarnya buatku tak masalah diceritakan dengan formulaic. It has a clear-cut plot. Tahun kemaren kita dapat Fighting with My Family (2019) yang berceritanya standar tapi tetap enak dan segar untuk diikuti karena punya cerita yang padet tersusun rapat di samping punya karakter yang unik sekaligus manusiawi. Eurovision Fire Saga ini, however, tidak terasa serapi itu. Untuk mengisi formula tersebut, cerita ini punya banyak jejelan yang sebagian terasa tidak perlu. Dua-jam-lebih film ini memang bikin geram. Bukan karena kepanjangan, melainkan lebih karena kita bisa melihat mana bagian yang mestinya bisa dipotong, atau dihilangkan, atau diganti, untuk membuat penceritaan jadi lebih efisien.
Misalnya, soal perjalanan Lars. Kita paham yang dia butuhkan adalah mendapat ‘anggukan’ dari ayahnya. Sehingga dia butuh untuk ketemu lagi dengan sang ayah, untuk mengonfrontasikan segala uneg-uneg. Pelajaran yang ia harus sadari datangnya dari sini. Hanya saja usaha film terasa sangat minimal dalam menceritakan ini karena film – yang sudah merasa dengan memasang Will Ferrell sebagai bintang utama maka mereka sudah otomatis melandaskan film ini sebagai komedi absurd – tidak merancang konfrontasi itu dengan benar-benar ‘masuk akal’. Film melakukannya dengan membuat Lars menempuh perjalanan bolak-balik naik pesawat, mereka memasukkan skit komedi dengan turis Amerika, yang sesungguhnya hanya memperpanjang waktu. Bukan cuma sekali itu film ini terasa ngedrag. Eurovision punya agenda untuk menampilkan kameo-kameo mulai dari artis hingga pemenang kontes Eurovision beneran (which make them ‘artis’ juga kalo dipikir-pikir), yang penempatannya memang kurang begitu menambah bobot cerita. Sekuen ‘song-along’; various tokoh saling nyambungin nyanyian tidak ditempatkan dengan mulus sehingga tampak seperti adegan selipan yang setengah hati niru-niruin Riff-off nya Pitch Perfect.

Lars sesungguhnya relatable untuk banyak orang, terutama sepertinya generasi milenial. Generasi pengejar mimpi. Kegagalan Lars bagi mereka bisa dijadikan sebagai cautionary tale. Mengejar passion bukan serta merta jadi alasan untuk bersikap egois. Tetaplah perhatikan orang-orang di sekelilingmu. After all, sedikit banyaknya pasti ada mereka pada mimpi yang coba kita wujudkan itu.

 
Bahan-bahan untuk meracik tayangan komedi yang lucu dan kuat dari segi drama sebenarnya sudah ada di atas meja. Produser yang gak mau Islandia menang karena ekonomi yang gak siap – atau mungkin dia gak mau berbagi. Dua sahabat yang terancam berpisah. Bentrokan ide kreatif. Konflik perasaan. Satu tambah satu itu bisa dijadikan dua dengan dengan gampang. Namun film ini merasa content dengan aspek-aspek seperti hantu ataupun invisible elves sebagai bagian utama dari plot. Sekalipun film ini diniatkan sebagai parodi, tetap saja hal tersebut menjadi overkill. Karena toh cerita enggak perlu untuk menjadi sesuatu yang katakanlah ‘impossible silly’. Malah, mestinya film ini bisa jadi lebih magical. Kayak elemen mitos Speorg Note yang dipunya oleh film – not yang hanya bisa dicapai oleh peri – ini aku suka; melihat tokoh percaya pada hal ini untuk membuatnya bernyanyi lebih baik, ini adalah keajaiban yang menambah untuk cerita. Tapi hantu yang terlambat memperingatkan, dan peri yang low-key melakukan kriminal, not so much. Cuma candaan receh – tidak esensial – yang dipaksa masuk supaya cerita bisa stay di jalur formula yang sudah ditetapkan.
 
 
 
Mungkin memang seperti inilah kontes Eurovision jika wujudnya adalah sebuah film. Tayangan menghibur, dengan formula yang terbukti-bisa-berhasil dan jejeran penampil yang meyakinkan. Hanya saja semua itu diisi penuh dengan penampilan-penampilan yang konyol. Kita tahu ini gak bagus tapi kita menikmati tayangannya. Kita gak perlu elves, hantu, antagonis – or seemingly so – yang gak jelas motivasinya apa, ataupun deretan kameo yang menambah-nambah durasi. Namun kita tetap peduli sama Fire Saga. Dan lagu mereka dengan tepat menyimpulkan film ini. “How come something so wrong feels so right?”
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for EUROVISION SONG CONTEST: THE STORY OF FIRE SAGA.

 

 
 
That’s all we have for now.
Pernahkan kalian mendengar tentang kontes Eurovision sebelumnya? Siapa kontestan favorit kalian di sana?

Dan bagaimana pendapat kalian tentang kontes menyanyi yang berkonsep pencarian bakat seperti ini?

Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

DA 5 BLOODS Review

“And the whole thing is that you’re treated like a step-child”
 

 
 
Spike Lee memang sangat vokal menyuarakan kesetaraan sosial kulit hilam. Dari Malcolm X (1992) hingga BlacKkKlansman (2018), dia terus membangun cerita berdasarkan soal pandangan politik dan kritikannya terhadap isu-isu tersebut. Maka tidak ada waktu yang lebih tepat lagi daripada sekarang ini – ketika #BlackLivesMatter kembali digemakan karena pelanggaran oleh seorang polisi kulit putih di Amerika – untuk film terbaru Spike Lee tayang. Da 5 Bloods, drama yang turns out to be a genre action-adventure tentang para veteran perang Vietnam, dibuat oleh Spike Lee untuk membahas nasib tentara kulit hitam selepas perang. Bahwa mereka tidak mendapat apa-apa selain trauma. Bahkan tidak pula terima-kasih. Apalagi sebuah kata maaf.
Begini gambaran besar kondisi mereka yang pada poin tertentu diutarakan lewat karakter fiktif dalam film ini: Kulit hitam adalah minoritas di Amerika, tapi di medan perang – di Vietnam sana – kulit hitam mendominasi. Kebanyakan mereka dikirim memperjuangkan kebebasan bangsa asing, padahal di negara sendiri mereka sama terkekangnya. Atas bahaya perang, kekerasan yang terpaksa dilakukan – karena dalam perang, setiap perbuatan adalah mengerikan, para tentara ini menanggung semua trauma sementara kebebasan bagi mereka tak kunjung datang. Perang bagi mereka sendiri tak-pernah berakhir.
Empat dari mereka itu adalah Paul, Otis, Melvin, dan Eddie. Empat tentara yang sudah menjadi seperti saudara karena semua yang telah mereka lalui di belantara Vietnam sana. Da 5 Bloods adalah cerita tentang keempat orang ini, yang tadinya berlima. Satu ‘blood’ lagi, teman, sahabat, sekaligus junjungan mereka semua, Norman, gugur di medan perang. Untuk dialah geng Bloods yang kini udah gaek itu berkumpul kembali di kota Ho Chi Minh. Mereka akan menyusur hutan, menjemput jasad Norman, sekaligus mengambil harta karun, like, literally emas batangan, yang tertimbun di tempat terakhir mereka berperang. Namun tentu saja perjalanan itu tidak bakal sedamai yang mereka duga. Sebab pencarian harta karun ini membuat mereka menapaki kembali tragedi dan kecamuk personal di masa lalu. Sekali lagi mereka harus berperang. Orang bilang emas mampu mengubah manusia menjadi yang terburuk. tapi itu bukan satu-satunya ‘musuh’ yang harus mereka kalahkan. For each of them punya kepentingan personal; kebutuhan yang harus disegerakan dalam usaha berdamai dengan masa lalu. Particularly menarik adalah dua orang tokoh; Otis yang served as protagonis sekaligus hero, dan Paul sebagai tokoh utama. Dan masalah kedua orang ini berkaitan dengan anak, yang bisa kita tarik garis keparalelan dengan gagasan yang ingin disampaikan oleh film dalam isu penduduk kulit hitam yang selama ini diperlakukan seperti anak tiri oleh negara.

‘Emas hitam’ itu adalah darah persahabatan

 
Meskipun dimulai dengan berondongan montase video Muhammad Ali yang menolak enlist jadi soldier dan cuplikan-cuplikan foto sejarah perang Vietnam lengkap sama nama dan tanggal-tanggal penting (cuplikan ini bisa bikin tidak nyaman karena nampilkan mayat korban dan eksekusi real), dan aksi-aksi protes terhadapnya, Da 5 Bloods yang sarat akan komentar politik ini tidak terasa berat untuk dinikmati. Lee sukses mengaduk ketegangan isu ras, emosi, kemarahan di dalamnya, dengan momen-momen menyentuh dan komedi yang akrab, dan lalu menutupnya dengan aksi brutal ala film laga. Tidak akan susah bagi kita untuk mengikuti drama yang melatarbelakangi cerita film ini. Simpati itu juga tidak diminta kepada kita, film tidak mengemis belas kasihan kita kepada para tokoh kulit hitam dan ketidakadilan yang mereka terima. Instead, yang kita lihat di sini adalah karakter-karakter yang bercela karena dampak perang. Kadang kita takut kepada mereka. Kadang kita ingin mereka mendapat keadilan. But mainly, kita semua akan merasakan deep connection, apalagi ketika film mulai membahas hubungan karakter dengan anaknya.
Lewat tokoh Otis yang diperankan oleh Clarke Peters, film mengangkat topik anak yang berasal dari hubungan tentara dengan penduduk lokal selama perang. Sebelum berangkat ke hutan, Otis mengunjungi perempuan Vietnam yang dulu pernah berhubungan dengannya. Di rumah perempuan itu, unexpectedly Otis bertemu dengan anak gadis yang tidak-lain-tidak-bukan adalah buah hubungannya dengan si perempuan. Namun tidak satupun dari mereka yang berani menyebutkan hal tersebut kepada si anak. Bohong diciptakan untuk menutupi hal tersebut, dan Otis hanya bisa diam. Dia ingin ‘menyapa’ anak kandungnya ini so bad,  kita jadi peduli kepadanya, kita ingin mereka benar-benar ‘bertemu’. Dan ini dikontraskan sekali dengan hubungan antara Paul dengan anaknya, David, yang diam-diam menyusul ke Vietnam dan ikut serta dalam perjalanan mereka. David gak pernah diaku anak oleh Paul, sepanjang dua jam lebih film ini kita akan melihat perlakuan Paul kepada David – sekali waktu dia cemas ketika David nginjek ranjau, dan kali lainnya dia tidak lagi menganggap David anaknya hanya karena David menolak untuk ikut meninggalkan kelompok. Tapi film membiarkan kita tetap lekat kepada Paul supaya kita bisa mengerti akar dari permasalahannya dengan David.
Dan oh boy, betapa Paul adalah tokoh yang kompleks, dan dimainkan dengan luar biasa oleh Delroy Lindo!

 
 
This is my favorite acting performance so far this year. Lindo berhasil memaksimalkan intensitas dari karakter Paul yang benar-benar… haunting. Paul adalah yang paling terpengaruh oleh kematian Norman dibanding tiga rekannya yang lain. Dia yang paling terpukul oleh dampak perang. Bayangkan amarah, takut, sakit, dan rasa bersalah bercampur menjadi satu, lalu hidup. Itulah Paul. Paul ini kayak ngeliat Big Show di WWE, kadang dia baik, kadang jahat banget. Kadang kita mencemaskan dirinya saat PTSD-nya kumat. Kadang kita bisa merasakan kebencian tulen menguar dari dirinya. Untuk membuatnya lebih ruwet lagi, Lee menuliskan Paul sebagai seorang supporter Trump. Menunjukkan rasa patriotnya yang tinggi, yang kontan menjadi tambahan konflik buatnya once he realized itu tidak membuat hidup menjadi lebih mudah baginya. Malahan makin susah, bukan hanya baginya tapi juga bagi keluarga – bagi anaknya. Transformasi karakter ini diperlakukan dengan sangat unik. Lindo akan banyak melakukan monolog, dan pada beberapa monolog Lee membuat Lindo secara close up bicara langsung kepada kamera. Sehingga efek yang dihasilkan menjadi luar biasa. Yang membuat monolog itu unik adalah yang ditampilkan bukanlah tokoh yang perlahan menjadi gila karena perbuatannya. Melainkan tokoh yang mengalami sebuah penyadaran dahsyat. Paul menjadi a better man, sekaligus dia sadar seberapa banyak dosa-dosanya.

Paul adalah ayah, yang harusnya mengayomi anak seperti negara mengayomi warganya. Tapi Paul membunuh ‘orang’nya sendiri. Seperti negara yang kerap membunuhi warganya sendiri, for no reason. Arc Paul beres begitu dia meminta maaf, yang membuatku berpikir jangan-jangan inilah seruan Lee kepada negaranya. Bahwa yang dibutuhkan adalah meminta maaf. Kemudian mengakui warga selayaknya anak, tanpa pandang bulu, tanpa pandang warna.

 
 
Menyadari betapa pentingnya bagi kita para penonton untuk tetap berpegang kepada para tokoh, untuk melihat mereka sebenar-benarnya diri mereka, Spike Lee enggak repot-repot mencari dua pemain untuk memerankan dua versi karakter. Dia juga tidak menggunakan efek untuk memudakan, yang beresiko membuat tokohnya tidak tampak alami dan melepaskan kita dari mereka. Da 5 Bloods dari waktu ke waktu akan membawa kita ke masa lalu, masa perang saat Paul, Otis, dan teman-teman sebagai tentara muda, dan dia menampilkan mereka benar-benar seperti mereka tidak pernah berubah lagi setelah perang mengubah mereka terlebih dahulu. Kontras karakter versi muda dan tua ini cuma di kekuatan fisik – in modern day kita melihat Otis harus berjalan dengan bantuan tongkat karena pinggangnya udah gak kuat, sedangkan di masa lalu ia kuat berlarian. Lee menghandle dua masa itu dengan sangat mulus. Dia juga menggunakan perbedaan ratio pada layar. Adegan perang di masa lalu punya ratio yang lebih kecil sehingga menimbulkan kesan seperti melihat rekaman masa lalu.
Perpindahan masa ini tidak pernah terasa mengganjal karena Lee tidak melakukannya dengan berlebihan. Melainkan dia melakukannya dengan timing yang precise, dia tahu kapan untuk ngeflashback sehingga terasa impactful. Ada satu flashback yang terus diulur, adegan sebenarnya antara Paul dan Norman di medan perang, kita punya dugaan tentang adegan ini, kita ingin konfirmasi, tapi film tidak melakukannya sehingga kita terus terbuild up, dan dying for the flashback. Aku biasanya gak demen sama flashback, tapi di film ini aku jadi merasa butuh. Dan BAMM! ketika beneran tiba, efek adegannya menjadi berkali lipat. Buatku ini adalah cara yang pintar dalam menggunakan flashback; tidak berlebihan melainkan yakinkan dulu penonton sudah terinvest dan buat mereka merasa butuh untuk melihat flashback.
Sisipan dalam film ini bukan hanya flashback, melainkan juga footage-footage adegan nyata, yang seperti sudah kusinggung di atas; dapat menjadi disturbing untuk kita lihat. Korban-korban perang, mayat wanita, balita… Ini ditampilkan oleh film bukan untuk ajang biar edgy atau menarik penonton haus darah. Ini harus ada sebagai penekanan atas narasi yang dibentuk oleh film. Mayat-mayat itulah yang dipikirkan para tentara, itulah oleh-oleh yang dibawa pulang kalo kita berperang. Film menekankan bahwa mereka melakukan itu semua untuk apa. Secara konsep juga film menunjukkan mereka tidak segan-segan untuk menampilkan aksi kekerasan. Ada banyak adegan tembak-tembakan disebar – penggemar film perang akan enjoy main tebak-tebakan reference saat nonton ini – dan di babak akhir ada konfrontasi gede sebagai final-fight yang buatku sedikit terlalu ngegenre, tapi diperlukan oleh salah satu karakter sebagai full-circle arcnya.
 
 
 
 
Dalam durasi dua setengah jam, Spike Lee membawa kita mengarungi perjalanan emosi. Membuat kita berpikir tentang keadilan dalam sudut yang baru. Mengenai makna sebenarnya dari sebuah patriotisme. Ada banyak yang bisa kita pikirkan dari karakter-karakter di sini. Yang membuat ini menjadi tontonan bergizi yang mengasyikkan adalah ia tidak berhenti hanya sebagai komentar soal politik. Film ini menyentuh dunia nyata keras-keras, menjitaknya kalo boleh dibilang, tapi tidak lupa untuk menjadi menghibur. Tanpa mengurangi bobot pesannya. Ini kemampuan yang gak semua sutradara mampu, dan kupikir dunia sangat berterima kasih atas kehadiran film ini.
The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold stars for DA 5 BLOODS.

 

 
 
That’s all we have for now.
Para tentara itu bertanya kepada diri mereka sendiri kenapa mereka mau berperang untuk negara yang tetap saja memperlakukan mereka seperti warga kelas-dua saat kembali nanti. Bagaimana menurut kalian, apakah itu adalah bentuk pengabdian kepada negara?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

6,9 DETIK Review

“One day your life will flash before your eyes.”

 

 

Sementara Spider-Man sedang diperebutkan oleh Disney dan Sony, diam-diam ternyata Indonesia punya Spider-Woman loh! Julukan tersebut diberikan kepada Aries Susanti Rahayu yang sukses menjadi juara dunia dalam cabang panjat tebing pada Asian Games 2018 di Palembang. Dengan catatan waktu yang bukan main cepat. Prestasi yang sungguh luar biasa, mengingat asal dan perjalanan Ayu yang begitu penuh perjuangan. Kisah hidup salah satu atlet nasional kebanggaan Indonesia inilah yang diangkat oleh Lola Amaria dalam drama biopik 6,9 Detik. Biopik yang juga menyerempet dokumenter karena menggunakan penggalan adegan-adegan asli dari pertandingan panjat tebing Asian Games 2018 dan tokoh asli bermain  sebagai pemeran utama.

Seperti semua cerita perjuangan, cerita ini pun bermula dari rumah. Ayu yang tumbuh di desa di Grobogan, Purwodadi.  Dia dekat dengan sang ibu yang bisa menolerir ‘kebandelan’ Ayu yang suka bermain ala cowok. Kebersamaan mereka terpisah oleh ibu yang pergi bekerja ke luar negeri sebagai TKW. Meskipun tidak pernah sepi di rumah – Ayu tinggal bersama ayah, dua orang kakak, dan bu’ lik (bibi) – tapi Ayu selalu merindukan ibu. Olahraga menjadi pelampiasan buat Ayu. Dia yang pada dasarnya memang berani dan suka tantangan, menekuni panjat tebing yang diperkenalkan kepadanya oleh seorang guru di SMP. Ayu sebenarnya berbakat, hanya saja kehilangan sosok ibu membuatnya sempat menjauh dari jalan yang harus ia lalui. Semuanya terserah kepada Ayu untuk menyerah atau malah kembali ke siapa dirinya, menoreh prestasi, dan membuat bangga ibu pertiwi serta ibunya sendiri.

bakatnya sudah terlihat sejak dia suka bernyanyi ‘cicak-cicak di dinding’ waktu kecil

 

Kisah nyata kehidupan Ayu dibagi oleh film ke dalam tiga periode. Saat dia masih kecil di tahun 1999, saat dia ABG dan diperkenalkan dengan olahraga panjat tebing, dan hari-hari berlatih di tim nasional menjelang Asian Games. Bagian dia kecillah yang paling menyenangkan untuk ditonton. Di sini Lola Amaria benar-benar telaten merajut berbagai informasi dalam adegan demi adegan. Detil-detil kecil dipergunakan untuk menanamkan kepada kita pemahaman seperti apa si Ayu – apa yang ia inginkan, apa yang membuat dia menjadi seperti dirinya sekarang. Dengan kata lain, film sukses menetapkan motivasi perjuangan Ayu setelah dewasa nantinya. Film memperlihatkan ketidaksukaan Ayu terhadap kekalahan melalui dialog serta lewat adegan-adegan interaksi Ayu dengan sekitarnya. Juga ada narasi tentang penolakan Ayu terhadap kotak-kotak gender; dia yang suka bermain bersama anak-anak cowok, memainkan permainan ‘cowok’, menolak untuk disebut anak perempuan. Sayangnya, topik cerita yang satu ini tidak terasa berujung kepada apa-apa, karena film tampak ingin kembali berfokus kepada persoalan Ayu dengan ibunya. Namun bahkan persoalan itupun tidak benar-benar memuaskan pengeksplorasiannya.

Memasuki periode kedua cerita, film tidak lagi setelaten semula dalam bertutur. Dan ini menjadi masalah karena periode ini merupakan masa terendah dalam hidup Ayu, jadi kita harus dibuat benar-benar peduli pada dirinya. Seharusnya ini adalah bagian yang penting secara emosional. Ayu membuat pilihan-pilihan yang buruk selagi kesulitan menjalani latihan panjat tebing yang memang literally sulit dan menyita banyak tenaga. Jadi ini adalah bagian di mana Ayu ‘dihajar’ habis-habisan. Tapi film memilih untuk menceritakan kehidupan Ayu di periode ini dengan sangat cepat. Rentetan klip ala montase dengan narasi voice-over Ayu menulis surat kepada ibunya pada dasarnya mendiktekan kepada kita hal-hal yang dilalui oleh Ayu – pertama kali pacaran, masalah sama temannya, mencoba ke klub malam (ada sedikit adegan underage drinking di sini) Hubungan sebab-akibat tidak lagi diperlihatkan dengan sedetil bagian sebelumnya.

Cerita tak kunjung melambat, melainkan tancap gas ke periode terakhir. Ayu kini sudah dewasa, dia sekarang berjilbab. Walaupun mengetahui hal tersebut dari poster, aku tetap kebingungan mencari mana yang tokoh Ayu saat dewasa ini. Begitulah cepatnya cerita melompat-lompat. Pertanyaan utama yang diangkat dalam periode ini adalah mengenai sanggup atau tidak Ayu bertahan dalam lingkungan pelatihan yang keras. Dan somehow, masalah Ayu dengan ibunya di periode kedua tidak pernah dijelaskan dengan memuaskan. Mereka tau-tau sudah damai, dan sekarang ‘musuh’ Ayu adalah pelatih galak yang diperankan oleh Ariyo Wahab. Tadinya kupikir film ini mengaitkan ini dengan ketidaksukaan Ayu kalah, apalagi oleh anak laki-laki – kupikir hubungan mentorship Ayu dan Pelatih akan dieksplor sehingga lebih personal daripada sekadar murid dan guru; seperti hubungan mentorship antara Paige dengan pelatihnya di Fighting with My Family (2019) tapi ternyata tidak. Film seperti buru-buru ingin sampai di adegan Asian Games. Hanya sedikit ‘hati’ yang dimasukkan ketika membahas pelatih yang ekstra keras membimbing Ayu. Tokoh Pelatih tidak terasa sebagai manusia beneran, bahkan Ayu pun tak menyentuh kita secara personal.

Film ini kurang terasa dramatis sinemanya. Hanya seperti runtutan kejadian-kejadian yang silih berganti. Bahkan Fighting with My Family yang tentang olahraga bohongan, dengan tokoh atlet hiburan, saja terasa lebih manusiawi karena menggali sisi humanis bukan semata tokoh utama melainkan juga pendukung di sekitarnya. Sepertinya ini semua karena film tidak dimainkan oleh aktor beneran; Lola ingin menutupi kekurangan pemain yang ia punya – dalam hal ini si Ayu sendiri – maka ia tidak memberikan banyak kesempatan bagi pemain untuk menunjukkan sisi emosional

Lebih susah ngajarin atlet berakting ketimbang ngajarin aktor berolahraga

 

Namun, ada satu cara lain yang lebih menarik untuk melihat film ini. BAGAIMANA JIKA SEMUA KEJADIAN DI FILM ADALAH PANDANGAN FLASHBACK DARI AYU DEWASA – BUKAN FLASHBACK URUTAN CERITA? Begini, film ini dibuka dengan adegan Ayu dewasa yang tengah hendak bertanding di final Asian Games. Selagi menunggu aba-aba untuk mulai memanjat, dia menoleh ke barisan penonton dan melihat dua sosok anak yang merupakan dirinya sendiri saat masih kecil. Kemudian barulah film membawa kita ke masa lalu Ayu, yang dimulai dengan adegan mimpi si Ayu Kecil. Kejadian kemudian berjalan hingga kita kembali ke adegan pembuka, Ayu hendak bertanding. Jadi, periode-periode yang kita saksikan antara pembuka film dengan kelanjutan Ayu bertanding bisa diinterpretasikan sebagai flashback Ayu. Hanya ada di dalam kepala Ayu.

Makanya kejadiannya lompat-lompat. Seperti banyak terskip. Karena saat kita mengenang masa lampau, kita hanya akan mengingat momen-momen penting. Dan memang itulah momen-momen yang diperlihatkan oleh film. Ayu mengirim surat marah kepada ibunya. Ayu curhat pada ibunya. Baikan mereka tidak diperlihatkan karena yang Ayu ingat – yang paling penting bagi Ayu adalah momen ketika ibunya tak ada di saat dia butuh dan momen ketika ibunya hadir kembali saat dia butuh. Makanya lagi, banyak detil-detil yang aneh kita jumpai di sepanjang cerita. Seperti misalnya Agnes Monica yang ditonton Ayu kecil di televisi tahun 1999 tampak seperti Agnes Monica yang sudah lebih dewasa daripada tahun segitu (TV jelas menyebutkan Pernikahan Dini padahal tahun segitu Pernikahan Dini belum lagi tayang). Ataupun ketika saat dewasa kakak-kakak Ayu tampak lebih muda ketimbang dirinya. Itu karena Ayu sudah lama tak melihat kakak-kakaknya, mungkin begitulah tampang mereka saat terakhir kali Ayu melihat mereka. Ayu hanya mengingat dia mengidolakan Agnes Monica

Bagaimana jika Ayu mengalami semacam ‘Life Review Experience’ hanya saja dia tidak dalam keadaan nyaris meninggal, melainkan dalam kondisi emosi yang ekstrim lantaran sedang berada dalam momen terpenting seumur hidupnya?

 

Tapi jikapun benar begitu, pilihan ini mustinya tidak bisa dijadikan alasan. Ketika kita membuat film, kita kudu membuatnya dramatis secara sinematik. Toh sudah ada film yang seluruh ceritanya ternyata berupa flashback dari si tokoh yang masih mampu memberikan hubungan sebab-akibat yang runut, tak seperti terskip-skip, meskipun dengan urutan yang acak, seperti Stay (2005) atau Jacob’s Ladder(1990). Karena hubungan-hubungan antarkarakter mesti dijelaskan. Sesuatu yang diangkat harus dapat terlihat penuntasannya. Di situlah letak ‘drama’ yang penonton nikmati. Perjalanan yang turut dipelajari. Di situlah konfliknya, melihat karakter bertumbuh dengan pembelajaran. Kekurangan film 6,9 Detik yang paling kerasa adalah apa yang dialami Ayu tidak terasa earned. Kita tidak benar-benar merasa berjuang bersamanya. Lantaran kita juga tak benar-benar melihat dia berjuang menghadapi masalahnya. Bahkan kenapa mesti panjat tebing saja tidak pernah dijelaskan oleh film. Kita mengerti Ayu tidak suka kalah/gagal, tapi kita tidak diberikan penjelasan yang memuaskan kenapa dia mesti berjuang di panjat tebing – tidak di lomba lari, ataupun renang, atau apa kek.

Cara bercerita bisa dikreasikan, tapi film ini tidak banyak melakukan kreasi. Mungkin bisa berdalih karena budget yang kecil. Tapi tetap saja, film tidak mampu menghasilkan euforia kemenangan ataupun ketegangan. Menonton film ini seperti menyaksikan laporan profil seorang atlet nasional ketimbang sebuah cerita perjuangan dramatis. Kita tahu ujung film ini bahkan sebelum filmnya dimulai. Oleh karena itu seharusnya film ini berbuat sesuatu yang ‘seru’, seharusnya pengalaman menonton kita yang dijadikan sasaran utama dalam bercerita. Buat struktur cerita yang menantang, yang out of the box. Mainkan konsep yang unik. Cerita berupa flashback ini mungkin bisa lebih menarik kalo dibuat lebih vague dan dream-like lagi. Atau mungkin buat flashback Ayu itu terjadi saat dia beneran memanjat. Pada detik-detik perjuangannya itu , dia mengenang hidupnya. Like, cut-to-cut momen-momen hidup dengan slow motion Ayu memanjat, atau apa kek. Atau malah, bikin saja Ayu mecahin rekor 6,9 detik; walaupun tidak sesuai dengan kejadian sebenarnya tapi setidaknya ada momen yang lebih pecah dan beneran live-it-up kepada judul filmnya.

 

 

 

Tadinya aku enggan mengulas film ini. Karena film ini punya maksud yang baik, sehingga aku merasa enggak enak harus bicara jujur tentangnya. Tapi setelah memikirkannya selama dua hari, aku menemukan cara untuk menikmati film ini. Membuatnya tidak separah penilaianku awalnya. Tapi tetap belum cukup. Film ini saat Ayu masih kecil, toh, memang tampil menyenangkan. Kejadiannya tergambar detil, karakter-karakternya hidup. Hanya saja semakin ke belakang, penceritaannya semakin lepas – terasa lompat-lompat. Adegan demi adegan berganti tanpa memberikan waktu untuk kita meresapi emosi. Itupun kalo memang ada emosi dalam cerita dan penampilan aktingnya.
The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for 6,9 DETIK.

ONCE UPON A TIME IN HOLLYWOOD Review

“It’s better to burn out than to fade away”

 

 

Lewat cerita tentang seorang aktor serial televisi koboy yang berusaha untuk tetap dikenal sebagai aktor yang hebat dan pemeran pengganti yang sudah menjadi sahabatnya di Hollywood tahun 60an, Quentin Tarantino mengajak kita semua bercanda. Menggoda kita dengan mengubah sejarah kelam menjadi dongeng happy ending. Tarantino memasukkan dua tokoh fiksi ke dalam dunia nyata. Dengan tujuan untuk membuat kita berandai-andai seperti apa jadinya jika Hollywood tidak pernah berubah, tidak palsu, tidak ada yang meredup kemudian menghilang; jika Hollywood adalah tempat yang – seperti dalam cerita – tempat kebaikan selalu menang melawan kejahatan.

Menurutku memang begitulah cara terbaik menonton film ini. Menganggapnya sebagai dongeng. Judulnya saja udah kayak kalimat pembuka hikayat-hikayat zaman dulu; “Pada suatu hari di Hollywood” Buat penggemar film, Hollywood adalah istana impian. Tempat cerita-cerita diwujudkan ke gambar bergerak. Sekaligus juga, Hollywood sendirinya adalah tempat cerita-cerita baru lahir. Cerita orang-orang yang datang dan pergi dari dunia perfilman. Dalam dunia nyata, cerita-cerita tersebut seringnya merupakan tragedi. Karena para aktor-aktor punya masa kadaluarasa. Dalam roda industri yang terus bergulir, pemain muda akan menjadi tua dan cepat atau lambat bakal tergantikan oleh pemain muda yang baru. Rick Dalton, tokoh utama film ini, akan literally dibunuh karakternya. Dalam serial koboy baru yang ia perankan, Dalton bukan lagi bintang utama. Masanya sudah lewat. Kini dia ditawari peran antagonis. Untuk episode pertama, tokohnya akan dibunuh oleh protagonis yang diperankan oleh aktor muda berbakat sehingga studio bisa menaikkan rating dan melanjutkan musim serial tersebut. Begitulah peran Dalton yang dulu selalu jadi hero nomor satu di televisi. Di tahun 1969 itu, dia menyadari perannya sekarang hanyalah pemeran pembantu. Ini adalah akhir dari era Dalton, yang diparalelkan oleh Tarantino dengan akhir dari era kejayaan 60’an yang dibawa oleh tragedi pembunuhan oleh Charles Manson.

See, cerita campuran fiksi dan fakta seperti ini hanya bisa dikerjakan oleh orang yang benar-benar suka pada film. Yang betul-betul mengerti seluk beluk Hollywood beserta sejarah-sejarahnya. Tarantino sudah tidak diragukan lagi keabsahannya. Sejak Pulp Fiction (1994) dia sudah memperlihatkan gambaran pengganti zaman di genre action; bintang baru menggantikan bintang lama lewat adegan Bruce Willis menembak John Travolta. Yang ia sajikan kali ini adalah kumpulan momen-momen yang menunjukkan betapa cintanya dia terhadap film. Narasi tersaji ringan, dengan banyak dialog dan adegan yang bernada komedi. Namun juga perasaan sedih dan nestapa terasa membayangi. Karena ini adalah cerita tentang perjuangan seseorang untuk tetap relevan. Untuk menjadi immortal. Semua itu semakin menghantui sebab kita tahu apa yang terjadi di penghujung tahun itu. Bakal ada yang ‘dibunuh’. Tapi kita tidak lagi yakin siapa atau malah apa yang mati. Film dibangun seolah membendung antisipasi kita terhadap kejadian nyata yang menggemparkan. Sepanjang waktu aku duduk nonton ini aku merasa terhibur meskipun di dalam hati aku terus bertanya-tanya bagaimana film ini mempertemukan Dalton dan Booth yang tokoh fiksi dengan Sharon Tate, seperti apa posisi mereka dalam tragedi tersebut. Yang dilakukan oleh film ternyata benar-benar sebuah twist, yang seharusnya kita senang melihatnya tapi tetap kita merasa ambigu. Film berakhir dengan sangat kuat karena ikut ke dalam pikiran kita sampai ke rumah. Apakah Tarantino sedang menyarankan sebuah solusi. Apakah yang sebenarnya menjadi penyelamat di sana.

Di Indonesia kita mengenal pepatah “manusia mati meninggalkan nama”. Film kesembilan Quentin Tarantino ini membalikkan itu. Rick Dalton berjuang agar namanya tetap berkibar. ‘Turun’ dari tahta protagonis bukan berarti dia tidak lagi tampil prima. Karena actually yang lebih parah bagi manusia adalah nama mati duluan sebelum pemiliknya.

 

Meskipun namanya nongol di koran, Leonardo DiCaprio masih belum meninggal

 

 

Ini bukan pertama kalinya Tarantino menulis ulang sejarah. Menimpanya dengan fiksi. Kita sudah lihat cara dia menulis nasib Hitler di Inglourius Basterds (2009) Sejalan dengan ini juga bukan kali pertama Tarantino menyemplungkan dirinya ke dalam kontroversi. Fantasi Once Upon a Time… in Hollywood bisa jadi susah untuk ditelan buat beberapa penonton. Terlebih buat penonton yang berhubungan langsung dengan tokoh-tokoh nyata yang disinggung alias digambarkan lewat visi Tarantino. Ya aku sekarang bisa melihat alasan putri Bruce Lee protes karena penggambaran yang dilakukan Tarantino terhadap almarhum ayahnya yang melegenda. Tapi sekaligus aku juga bisa melihat adegan-adegan seperti itu dibuat tak-lain-dan-tak-bukan sebagai subteks dari konteks cerita. Bruce Lee yang bertarung imbang dengan Cliff Booth si stuntman sesungguhnya ada dalam ingatan si Booth sendiri. Adegannya berupa flashback dari ingatan Booth sehubungan dengan fakta namanya di Hollywood sudah besar sebagai orang yang berbahaya.

Ya orang-orang juga bisa protes soal Charles Manson yang didepiksikan sebagai tokoh sakral, namun konsekuensi tindakannya tidak digambarkan sampai ke dia. Manson hanya muncul satu kali di film. Karena film memang bukan soal Manson, melainkan fiksi soal perjuangan manusia. Manson hanyalah katalis yang memungkinkan terjadinya kekerasan yang menjadi simbol perjuangan. Kita melihat salah satu Manson Girl bilang mereka membunuhi bintang film karena sudah mengajarkan kekerasan di televisi. Kejadian di sekuen akhir tersebut menunjukkan kekerasan melahirkan kekerasan, namun kekerasan itu diperlukan sebagai bentuk dari perjuangan bertahan hidup, yang paralel dengan tema stay relevan. Ini berhubungan dengan cara Tarantino memperlakukan wanita di dalam film ini. Actually wanita yang diperlakukan kasar udah menjadi kritikan rutin untuk karya Tarantino. Di film Once Upon ini kita bakal melihat Booth menghajar cewek hippie anggota cult Manson. Dalton bahkan membunuh salah satu cewek itu dengan cara yang memuaskan dan berhubungan dengan sesuatu yang ngelingkar dengan bagian awal karirnya. Semua itu merupakan bagian dari keambiguan yang sudah diniatkan untuk kita rasa. Kita memang disuruh untuk bingung; menyoraki sesuatu yang tampak seperti heroisme pria tetapi cewek-cewek itu pantas mendapat pembalasan atas peristiwa di dunia nyata.

Film ini juga bisa susah untuk ditonton jikalau kalian lebih menyukai cerita nyaris tiga jam yang banyak aksi-aksinya. Meski memang saat porsi aksi muncul film menampilkan kekerasan tanpa tedeng aling-aling, namun sebagian besar waktu kita hanya melihat orang duduk dan bercerita. Mereka mendongeng di dalam dongeng. Nonton film ini kayak mendengarkan orang tua bercerita. Kadang kita dibawa melihat visualisasi flashback dari seorang tokoh – yang seperti kasus Bruce Lee dan Cliff Booth tadi; flashback yang ‘kebenaran’ kejadiannya belum absah. Kadang kita melihat Dalton dan Booth hanya duduk mengomentari film-film lama yang mereka mainkan bersama. Buatku, adegan-adegan demikian sama menariknya dengan adegan aksi. Karena aku suka mendengar cerita. Aku suka melihat belakang layar dari pembuatan film difilmkan. Juga tak terhitung banyaknya insight yang diberikan film terhadap skena perfilman Hollywood. Seperti film-film Tarantino sebelumnya, film ini juga renyah oleh dialog-dialog yang dibawakan dengan menarik dan meyakinkan.

Penampilan Leonardo DiCaprio dan Brad Pitt mengangkat film menjadi semakin menyenangkan. Menakjubkan cara naskah menempatkan mereka di kejadian-kejadian yang ‘aneh’, seperti ketika kita melihat Dalton lagi syuting dan DiCaprio harus memainkan tokoh yang saking pengennya untuk tampil gak-kalah dari bintang muda malah melupakan dialog yang mesti ia ucapkan. Atau ketika Brad Pitt harus menunjukkan reaksi saat masa lalu tokohnya diungkap – Booth dipercaya membunuh istrinya yang kebanyakan ngomel saat mereka liburan di kapal, naskah meminta Pitt untuk menunjukkan ambiguitas dari kebenaran ‘gosip’ tersebut, dan Booth oleh Pitt tampak seperti menikmati semua ini. Like, dia justru ingin orang percaya akan gosip tersebut karena mengangkat namanya sebagai seorang stuntman tangguh. Margot Robbie juga bermain menakjubkan. Naskah menampilkan Sharon Tate seperti tokoh dongeng yang tampak tak nyata. I mean, orang-orang biasa diperlihatkan tidak menyadari bahwa dia masih ada, bukan sekadar persona di bioskop. Dan bahkan dia juga mendapati namanya mulai meredup seperti Dalton. Aku pengen melihat penampilan Robbie lebih banyak, terutama soal kasus Manson tadi. Tapi Sharon Tate tampak seperti ditinggalkan, demi kepentingan twist yang diperlukan oleh visi cerita.

We’re watching the end of an era

 

Semua yang sepintas tampak seperti kekurangan di atas, sesungguhnya juga bertindak sebagai kekuatan yang dimiliki oleh film. Karena film memang mengincar perasaan yang mendua saat kita menontonnya. Tapi jika memang mau bicara kekurangan, aku menemukan dua yang masih belum aku lihat alasan Tarantino memilih untuk bercerita seperti itu. Pertama soal lompatan periode di babak ketiga yang menggunakan narasi untuk menjelaskan ke kita apa yang terjadi selama lompatan tersebut. Sembari film terus membangun narasi yang mengarahkan kita ke tragedi nyata, yang kemudian tidak dilakukan. Menurutku menggunakan periode dan narasi ini tampak seperti wujud bercerita yang malas dan menyingkat waktu dibandingkan dengan cara film menampilkan cerita tokoh sebelum sampai ke titik ini. Di awal dan tengah penceritaannya sangat kreatif. Selalu ada hal baru yang dilakukan untuk menggambarkan cerita tokoh yang sedang bergulir.

Kedua adalah soal kenyataan bahwa untuk konsep film ini bekerja, penonton perlu untuk mengetahui sejarah kasus sekte Manson, yang dijadikan twist oleh cerita. Keseluruhan punchline film hanya bekerja jika kita sudah tahu ini semua berdasar dari kisah nyata yang dibelokkan menjadi dongeng. Karena jika penonton tidak tahu, maka cerita film ini akan berakhir membingungkan. Tokoh Sharon Tate hanya akan tampak seperti tokoh ekstra yang seharusnya bisa dihilangkan. Soal kekerasan terhadap anggota sekte juga memang akan menjadi gambaran dominasi pria kulit putih terhadap wanita, pelampiasan kepada hippie, karena ada missing piece jika penonton tidak tahu sejarahnya. Aku nonton ini sama temanku yang hanya tahu film ini berdasarkan kasus Manson tanpa benar-benar tahu apa yang terjadi pada kasus tersebut, dan saat film beres dia bingung. Punchline dan belokan sejarah yang dilakukan film tidak kena kepadanya. Jadi, film ini membatasi dirinya sendiri. Film mengasumsikan semua penontonnya tahu, dan memang kita diminta untuk riset-riset sedikit dahulu. Dan buatku ini adalah kelemahan karena film meski punya sesuatu yang mendalam tapi seharusnya bisa bekerja di level permukaan. Kita hanya bisa menikmati dongeng sejarah jika kita tahu batasan mana dalam cerita itu yang benar-benar terjadi.

 

 

 

Tarantino tampak sedikit terlalu asik bercanda di film ini. Komedinya twisted and dark. Ceritanya memang menyenangkan, dengan tokoh fiksi dan nyata digabung, tapi bekerja dalam level yang ambigu. Yang untuk mengerti keambiguan dan sasaran yang dituju, penonton harus tahu dulu sejarah yang benar-benar terjadi. Jika tidak, film ini akan terasa berat dan menyinggung sekali. Di situlah letak keunikan film ini. Dia tidak takut untuk menjadi seperti demikian. Jarang kita dibuat menikmati film sekaligus menyadari yang kita tonton adalah harapan yang sudah kadaluarsa. Yang untuk menjadi pembelajaran saja tampak terlalu fantastis. But if you love films, punya perhatian terhadap sejarahnya, you will love this movie.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for ONCE UPON A TIME IN HOLLYWOOD.

 

 

 

PERBURUAN Review

“He who is prudent and lies in wait for an enemy who is not, will be victorious”

 

 

Perburuan yang ditayangkan serentak bersama Bumi Manusia (2019) oleh Falcon Pictures benar-benar memenuhi fungsinya sebagai alternatif. Keduanya merupakan adaptasi dari novel karya Pramoedya Ananta Toer, sama-sama berlatar zaman penjajahan , sama-sama menggambarkan ketimpangan kelas manusia, tapi cerita bercerita keduanya terletak di dua spektrum yang berbeda. Perburuan diserahkan kepada Richard Oh, yang meraciknya dengan menyuguhkan lebih banyak kreasi sehingga muncul sebagai penyeimbang buat Bumi Manusia yang hadir lebih ngepop. It’s nice, dan langka, menonton film tentang kemerdekaan dari dua penulis sumber yang sama tapi digarap dengan berbeda. Meski menurutku agak ‘jahat’ juga Falcon ‘mengadu’ keduanya. Aku nonton dua film ini secara berturut-turut di hari yang sama (Bumi duluan, baru Perburuan), dan ketika Bumi aku langsung bisa menuliskan ulasannya pada hari itu juga, maka untuk Perburuan aku butuh untuk memikirkannya terlebih dulu. Karena ada banyak kandungan yang tak bisa langsung dijabarkan. Banyak pilihan yang dilakukan oleh film yang sepintas tampak seperti keputusan yang buruk, tapi ada subteks yang membayanginya, yang membuatku tak ingin buru-buru mengambil kesimpulan.

Saat ditulis untuk novel, sepertinya memang cerita ini diniatkan sebagai alternatif sejarah. Di buku pelajaran kita tertulis pemberontakan PETA terhadap pasukan Jepang dipimpin oleh Soeprijadi pada tanggal 14 Februari 1945 di Blitar, Jawa Timur. Pemberontakan tersebut dilatarbelakangi oleh kejamnya penjajah Jepang terhadap rakyat pribumi. Perbuatan semena-mena bahkan di kalangan tentara dan janji-janji yang tak kunjung ditepati memantik api agresi Soeprijadi. Namun buku sejarah kita tak menulis tentang Hardo. Pribumi asal Blora, Jawa Tengah, yang juga serdadu PETA. Yang masih memegang harap, namun tak bisa lagi menunggu. Maka ia mendukung gerakan Soeprijadi. Malang, ada pemberontak di dalam barisannya sendiri. Pasukan Hardo kocar-kacir ditembaki. Sejak malam itu, Hardo dan orang-orangnya buron. Kali berikutnya kita melihat Hardo, pemuda itu sudah hampir tak dapat dikenali. Ia berjalan di malam hari seperti gelandangan yang hilang kewarasan. Dan selagi Hardo menunggu harapan merdeka itu di dalam gelap, orang-orang yang ia kasihi mulai terancam karena kepala Hardo masih terus dicari oleh Jepang.

Ketika kau tahu Kempetai rindu pada batang lehermu

 

Begitu menjadi film, Perburuan oleh Oh diperkecil skalanya. Kita hanya akan melihat lewat mata nanar Hardo. Sisi buruk penjajahan akan kita lihat lewat Hardo saat dirinya menyusuri padang jagung bergelimang mayat-mayat rakyat. Karena Hardo yang dalam pelarian hanya keluar di waktu malam, jadi semuanya gelap. Suasana dimainkan menjadi rasa yang disampaikan kepada kita. Menonton ini kita akan merasa kelam, bingung, sendirian (karena besar kemungkinan kita beneran sendiri nyaksiin ini di dalam studio bioskop), persis seperti yang dirasakan oleh Hardo. Kita menanti cercahan cahaya. Kita ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. Seperti Hardo yang menanti kabar kemerdekaan, karena ia percaya – ia janjikan ini kepada tunangannya – bahwa keadaan akan membaik setelah Indonesia merdeka.

Bagi Hardo tentu saja penantian itu terasa sangat lama. Dia belum tahu Indonesia bakal merdeka tanggal 17 Agustus 1945. Dia mungkin sudah tidak tahu lagi hari apa saat itu. Untuk menyampaikan perasaan kecamuk demikian, film pun dengan sengaja membuat kita disorientasi terhadap waktu dan tempat. tidak pernah tahu di mana persisnya Hardo, atau ke arah mana dia berjalan. Di bawah jembatan, di ladang jagung, di sungai besar, kita tidak mengerti lokasi dunia Hardo. Yang kita mengerti adalah dia kembali ke Blora. Dia ketemu dengan orang-orang yang mengenalnya, dia reuni dengan rekan pelarian, tapi kita tidak pernah diberikan sense of direction yang benar. Pergerakan kamera akan bolak-balik, seperti adegan maju-mundur yang acap dimasukkan. Flashback adalah cara film mengaburkan dimensi waktu. Kita dipindah begitu saja antara masa lampau ke masa kini. Dengan bahkan petunjuk waktu masa kini tidak dapat dipercaya. Bekas luka yang disebut sebagai penciri Hardo tampak hilang-timbul saat dia sudah brewokan. Kadang ada kayak pas di adegan akhir, kadang tidak ada seperti saat ‘reunian’ di bawah jembatan

Disorientasi berfungsi untuk menambah suspens cerita. Sebagai cara film menyampaikan kepada kita susahnya hidup dalam pelarian, yang menunggu kesempatan untuk keluar dan menampakkan diri. Perburuan menggunakan benturan antara berburu dan menunggu sebagai gagasan utama cerita. Di adegan pembuka kita melihat Hardo berhasil menang kendo atas komandan Jepang karena dia menunggu celah serangan dan balas menyerang dari sana. Lantas kemudian kita melihat dampaknya ketika Hardo terburu napsu marah sehingga malah memimpin pemberontakan alih-alih menunggu badai reda. Hardo mengkhianati kepercayaannya sendiri. Membuatnya berada di titik rendah dalam hidupnya. Secara lowkey, film juga menyinggung soal menunggu ketimbang kesusu dari percakapan Ayushita dengan anak muridnya yang terluka karena berlari takut terlambat ke sekolah. Akibatnya kita melihat adegan kontemplasi dia dengan korek api yang digambarkan film dengan sungguh magis. Api yang hidup mati itu bagai harapan Hardo yang meredup, kemudian menyala kembali, kemudian mati lagi, dan seterusnya. Adipati Dolken diberikan kesempatan untuk bermain ekspresi gila untuk menunjukkan penguasaan range. Ada banyak versi Hardo di film ini, mulai dari Hardo yang optimis penuh harap, Hardo yang nyaris putus asa, Hardo yang menemukan kembali harapan. Dolken mampu menggapai note yang diminta. Tapi kemudian dia tidak diuntungkan ketika harus memakai brewok palsu yang kadang menutupi ekspresinya. Di saat-saat itu aku berharap kamera lebih banyak lagi melakukan close up wajah.

Lamurkah mataku atau did Rizky Mocil just shot two enemies, in the dark?

 

Adegan satu lagi yang niscaya membuat kita menggelinjang jelas adalah adegan Hardo mengobrol dengan his aware-but-not-so-sure father. Lokasi dan suasananya di gubuk tengah ladang jagung yang temaram benar-benar menakjubkan. Bahasa mulut dalam film ini terbagi menjadi tiga macam; monolog puitis, bantering filosofis, dan paparan informasi. Ketiga-tiganya muncul sekaligus dalam adegan tersebut. Resiko dialog-dialog tersebut adalah film praktis akan menjadi berat. Tapi film melakukannya dengan indah, karena paham kuncinya adalah menghadirkan latar yang menawan untuk mengakomodasi kalimatnya.

Gagasan yang diangkat film ini seperti mengacu pada filsuf dan ahli perang dari Cina, Sun Tzu, yang pernah menuliskan dalam buku The Art of War bahwa salah satu kunci kemenangan adalah bersabar dan tidak gegabah. Dengan bijaksana memperhatikan langkah musuh sambil mempersiapkan diri. Siapa yang bergerak sembaranganlah yang akan kalah. Dalam film ini kita melihat wujud dari itu semua. Kemenangan datang kepada Hardo saat dia sendiri muncul di saat yang tepat. Jepang kalah karena mereka terlalu gegabah dan merasa di atas angin

 

Masuk babak tiga, jelas sudah film lebih berfokus kepada psikologi Hardo ketimbang suasana sosial Indonesia secara menyeluruh. Dan di sini jualah film terasa berhenti bekerja. Justru di saat teranglah, film seperti tidak tahu lagi cara menampilkan cerita sesuai fokusnya. Maka film kembali menoleh kepada buku, dia berusaha menjadi lebih ‘gampang’ dari sebelumnya. Mencoba keluar dari Hardo. Lantaran Hardo yang literally dan figuratively menemukan jalan pulang menjadi pasif. Dia tidak melakukan apa-apa untuk menang, karena memang jalan benar baginya adalah dengan menunggu. Ini tentunya tidak menarik untuk akhir film karena film butuh satu cekcok yang besar. Maka sorotan pindah ke temannya yang tadi berkhianat, untuk memberikan dia pembenaran, meskipun di titik itu kita mengerti Hardo tidak lagi menganggap dia salah. Intensitas film ini lenyap terlebih ketika Hardo tiba-tiba sudah tidak dalam bahaya. Aku tidak mau bilang banyak, tapi ini adalah jenis cerita ‘diselamatkan oleh bel’. Untuk memberikan final big moment, film yang sedari awal sudah membuat Jepang kayak penjahat dalam komik yang kejam tanpa nilai baik – dia bahkan tidak mengenal rasa terhormat apalagi harakiri – membuat semuanya sederhana; Hardo benar, Jepang jahat, dan teman-teman Hardo salah.

Mungkin, cara ini masih bisa berhasil memberikan momen final besar yang diincar. Sayangnya, film ini sendiri seperti tidak mendapat perhatian yang cukup dari pihak studio. Pengadeganan bagian terakhir itu mestinya epik karena melibatkan banyak orang banyak, tapi tampak kecil dan awkward. Sepertinya melihat pertunjukan di panggung teater. Suasananya tidak semegah yang film ini pantas dapatkan. Tapinya lagi, ini adalah keputusan film untuk memilih kembali ke jalur yang lebih accessible.

 

 

 

Meski berlatar zaman penjajahan, film ini sebenarnya bekerja dalam skala yang lebih kecil. Skala personal seorang tokoh. Dan kita hanya melihat dari tokoh itu. Film melakukan banyak kreasi saat mengadaptasi untuk kepentingan itu. Sengaja memilih untuk tidak menjadi lebih besar, tidak membahas lebih luas soal sosial yang menjadi kekuatan cerita-cerita Pram. Jadi, film ini adalah alternatif dari cerita yang total ngepop, yang punya pesona sendiri.
The Palace of Wisdom gives 5.5 gold stars out of 10 for PERBURUAN