TERLALU TAMPAN Review

“Being attractive might sounds like life is easier but it’s not”

 

 

 

Akan ada masanya setiap remaja memahami makna ‘seleksi alam’ di rimba kemanusiaan. Ketika mereka melihat yang cakep dikasih izin istirahat di UKS oleh pak guru olahraga. Ketika mereka melihat yang ganteng gak pernah digalakin bu guru karena lupa mengerjakan pe-er. Ketika mereka melihat ada saja satu-dua teman mereka yang selalu dikerumunin meski gak jelas prestasinya apaan. Ketika mereka menyadari ada yang beberapa ‘hidup’nya tampak lebih mudah di sekolah dibanding mereka sendiri. Mudah untuk membandingkan hidup kita dengan hidup orang yang kita nilai lebih beruntung dan berpikir “Ah kalo saja aku lebih tinggi”, “kalo saja aku lebih langsing”, “kalo saja aku lebih putih”, “kalo saja aku lebih seksi”. Kalo saja aku lebih….. tampan.

Tapi semua itu mungkin saja tidak benar. Menjadi super kece dan selalu menjadi pusat perhatian tentu saja bisa membuat jengah orang yang mengalaminya. Mas Kulin (Oh, Ari Irham di manakah pori-pori wajahmu?), misalnya, terlahir dengan wajah yang saking overdosisnya tuh kadar ganteng, cewek-cewek yang melihat bisa langsung mimisan, kejang-kejang. Dalam satu adegan yang sangat kocak digambarkan kedatangan Kulin ke sekolah khusus perempuan membuat siswi-siswi di sana mengalami histeria massa. Bukan saja ‘lethal‘ buat wanita, ketampanan Kulin juga berpengaruh pada laki-laki. Cowok yang terkena keringatnya bakal ketularan ganteng, setidaknya selama sejam dua jam. Jadi Kulin merasa terasing oleh sikap-sikap orang yang berada di sekitarnya. Kulin menutup diri, menolak untuk berinteraksi sosial, sampai ia berkenalan dengan Kibo (tokoh Calvin Jeremy berperan lebih dari sekedar side-kick) yang lantas menjadi sobat manusia pertama yang Kulin punya. Dan bertemu dengan Rere (Rachel Amanda mencuri perhatian banget), satu-satunya cewek manis yang enggak pingsan dan mimisan saat melihat dirinya.

Kulin edisi 10 Years Challenge

 

Film ini terlalu unik untuk dicuekin. Jika biasanya cerita akan mengajak penonton bermimpi untuk jadi ganteng, maka film ini menawarkan sudut pandang baru, yang meletakkan kita pada posisi seseorang yang merasa terganggu dengan perhatian spesial dan reaksi kagum berlebihan yang ia dapatkan dari orang-orang di sekitarnya. Kita akan mendapat Kulin yang bersikap sama kayak Auggie, anak di film Wonder (2017); Kulin juga memilih untuk menutup wajahnya dengan helm. Kalian yang sudah menonton Wonder pasti akan bisa melihat uniknya paralel antara Kulin dengan Auggie yang memilih pendekatan berinteraksi  ke luar yang sama, meskipun kondisi mereka berbeda seratus delapan-puluh derajat. Momen-momen Kulin melepas helm tersebut – alih-alih digunakan untuk memantik drama seperti Auggie di Wonder – digunakan sebagai pemancing efek komedi yang benar-benar bikin geger seisi studio bioskop. Dari penggunaan nama-nama tokoh yang lucu; keluarga Kulin yang tampan semua (termasuk ibunya) punya nama yang ajaib seperti Mas Okis, Pak Archewe, Bu Suk, yang mengingatkanku sama nama-nama di komik Donal Bebek dan komik Asterix, hingga ke dialog dan adegan konyol, film menangani porsi komedinya yang absurd tersebut dengan sangat bijaksana. Timing, delivery, semuanya dilakukan dengan pas, dan tidak sekalipun tone komedi tersebut dibuat mentok sama tone drama yang juga dibangun dengan merayap perlahan sebagai lapisan di baliknya.

Well-crafted sekali gimana komedi dan drama tersebut dijalin. Film tidak pernah kehilangan irama dalam menempatkan unsur-unsur yang berpengaruh ke dalam cerita. Bahkan gerakan kamera juga diperhatikan benar mendukung ke penyampaian komedi. Penggunaan warna-warna dan treatment musik, tidak pernah terasa ‘asal tarok’, semuanya berfungsi dan sangat mengangkat emosi dan cerita yang ingin dihantarkan. Adegan Kulin, Kibo, dan Rere nyanyi di karaoke, itu misalnya; bukan hanya pemilihan lagu, blocking para pemain juga dibuat punya makna. Perlakuan-perlakuan seperti demikian, bercerita dengan perhatian terhadap detil seperti yang dilakukan oleh sutradara Sabrina Rochelle Kalangi inilah yang membuat menonton film ini menjadi mengasyikkan, di luar komedinya yang benar-benar sengaja konyol. Gaya filmnya pun unik. Karena diadaptasi dari komik online di Webtoon, sedikit banyaknya kita mendapati gaya-gaya pengaruh manga tertampilkan di film ini.

Aku tidak pernah membaca materi aslinya, aku gak punya pengetahuan apa-apa terhadap cerita film ini, jadi aku sangat tertarik untuk mengikuti ke mana kisah Kulin ini akan dibawa. Melihat Kulin yang sebenarnya penampilan, pembawaan dan kelakuannya enggak cocok dengan imej maskulin, paruh pertama film seperti ingin membawa pesan yang sama dengan iklan pisau cukur Gillette yang lagi viral di Amerika; bahwa jantan atau maskulin itu bukan semata perilaku-perilaku stereotipe ‘pria’ seperti ngomong kasar, main pukul, atau godain cewek – bahwasanya kupikir film ini lewat si Mas Kulin ingin mengomentari bahwa maskulin bukan soal penampilan. Namun kemudian, di paruh kedua, saat Kulin sudah mengembrace ketampanan yang ia miliki, film mengambil keputusan untuk lebih menonjolkan pesan bahwa setiap manusia punya kekurangan.

Punya paras rupawan ternyata tidak lantas menjadikan hidup menjadi segala mudah, tidak lantas berarti kita bisa mendapatkan semua yang kita mau. Karena sejatinya, wajah tidak membuat kita spesial. Rujukan pertama tetap kepada hati dan apa perbuatan yang kita lakukan.

 

Buatku, agak mengecewakan pilihan yang diambil oleh cerita. Aku paham kenapa cerita memilih untuk mengarah ke sana, hanya saja tetap saja ada rasa mubazir; Sia-sia rasanya elemen ‘terlalu tampan’ yang sudah dibangun sedemikian rupa, dengan konsep dan gaya humor yang lucu, yang punya underline pesan yang kuat, ternyata cuma berfungsi sebagai device dalam plot ‘saingan cinta ama sahabat’. Masalah tampannya ini pada akhirnya tidak lagi benar-benar mencuat karena tokoh utama kita terlibat dalam urusan romansa yang bisa terjadi pada siapapun, pada tokoh yang seperti apapun. Tampannya si Kulin hanya dijadikan alasan yang membuat penonton percaya dia bisa bikin deal dengan ‘Queen Bee’ di sekolah khusus wanita itu, yang menggerakkan konflik generik tersebut. Rasanya film ini remeh sekali mengambil fokus di sana, setelah semua hiruk-pikuk unik yang sudah kita nikmati.

while si angkuh Amanda mirip Regina George, Nikita Willynya mirip Lady Gaga hhihi

 

Ada sesuatu pada penulisan cerita film ini yang ‘enggak-beres’ buatku. Apa yang diinginkan oleh Kulin di awal – apa yang sebenarnya ingin dicapai oleh si Kulin ini terasa agak enggak klop. Film belum benar-benar membuat kita menyelam ke dalam kepalanya. Kulin butuh untuk diperlakukan layaknya manusia normal, tapi kita tidak diberikan kesempatan untuk melihatnya sebagai orang normal. Sebagai perbandingan, kita ambil contoh si Auggie tadi; di balik helm astronotnya Auggie adalah anak yang pintar fisika – dia mendapat respek dari kepintarannya. Sedangkan Kulin, helmnya digunakan untuk menutup wajahnya karena ia gak mau dikejar-kejar – dia mau dilihat normal, tapi Kulin tidak melakukan hal yang membuat orang melihat dirinya beyond his face. Apa kelebihan Kulin? Ini bukan soal gak pede, melainkan soal ia begitu ‘pede’ setiap orang akan menganggapnya spesial, maka ia memutuskan untuk menutup diri. Makanya Kulin ‘kaget’ ketika Rere menganggapnya biasa aja, dan apa reaksi Kulin terhadap Rere? Dia merasa dia ‘jatuh cinta’. Aku berani bertaruh bukan cinta yang sebenarnya ia rasakan, melainkan rasa penasaran. Buktinya di akhir film kita melihat hati Kulin menyala lagi mendengar komentar ‘pedas’ seorang cewek yang berbalik pergi mengenai dirinya. Buatku, Kulinlah yang justru seorang masokis, karena dia ‘suka’ ketika ada orang yang menolak dirinya yang spesial.

Bukan berarti film ini berhenti menjadi menarik buatku. Aku tetap menemukan keasyikan. Bagian ketika Kulin balik minta saran bagaimana bersikap sebagai tampan kepada abangnya yang basically seorang douchebag, ialah bagian yang membuatku paling tertarik karena ini mengubah sikap Kulin lumayan drastis. Karakter Kulin jadi unik lagi di sini sebab dia mengambil tindakan lagi. Mengenai si Kulin ini memang penulisan karakternya agak ilang-timbul. Seperti pada di awal, setelah dia menarasikan film, kita malah diperlihatkan kejadian di luar sudut pandang dia. Kita memulai dari sudut pandang keluarga Kulin yang bersekongkol untuk membuat Kulin berinteraksi dengan orang luar. Dan kemudian barulah kita mengikuti si Kulin, kita diharapkan bersimpati ketika dia ngambil keputusan untuk minggat sebab keluarganya dengan kocak mengambil keuntungan dari ketampanannya; sesuatu yang paling dibenci ama Kulin. Namun kemudian di beberapa adegan setelahnya, kita melihat Kulin ikutan bersorak dengan teman-teman sekolahnya saat mereka disetujui ngeadain prom gabungan – di mana Kulin gagal untuk menyadari dia juga sedang dimanfaatkan kegantengannya.

Aku juga mendapati adegan konsul dengan ibu juga sedikit enggak klop karena seperti ‘memberatkan’ kepada dunia. Yea, dunia took advantage of him, tapi kan Kulin sudah melakukan hal yang sama saat dia menjadi ‘cowok brengsek’ kepada teman-temannya, dan justru ulahnya sendiri yang membuat dirinya patah hati. Yang menarik adalah nasihat dari ayahnya yang sebenarnya mengatakan apa yang sudah menjadi prinsip Kulin pada awal cerita. Jadi Kulin seperti berputar di tempat, menandakan penuturan yang sedikit kurang efeisien, padahal toh perjalanan karakternya menarik; Yang Kulin perlukan adalah keluar dan berbuat salah sehingga dia sendiri juga menyadari dia enggak sesempurna yang orang-orang lihat.

 

 

Terakhir kali mendengar cerita huru-hara ketampanan, aku mendengarnya sambil serius dan agak ngeri karena ada ‘adegan’ jari-jari yang teriris. Kali ini, cerita yang punya masalah serupa tersebut bisa aku simak sambil tertawa-tawa tanpa harus segan sama Pak Ustadz. Film ini memberikan tawaran sudut pandang dan gaya yang unik sehingga terasa segar dan menyenangkan. Kita perlu melihat lebih banyak film ‘aneh’ tapi juga berisi. Namun, untuk sebuah film yang bercerita tentang mengembrace kekhususan, dirinya sendiri tampak masih belum cukup berani untuk menjadi lebih spesial lagi. Pilihan ujung ceritanya tidak benar-benar mengutilisi kekhususan itu, malah membuatnya terasa seperti persoalan biasa.
The Palace of Wisdom gives 6 gold stars out of 10 for TERLALU TAMPAN.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Menurut kalian maskulinitas itu apa sih? Penting tidak? Bagaimana pula dengan femininitas?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

THE WAY I LOVE YOU – Beragam Cinta dan Cara Menunjukkannya [Movie Preview]

 

Banyak cara menunjukkan rasa cinta kepada orang yang kita sayangi. Namun yang sering dilupakan adalah cinta itu sendiri sebenarnya bukan sebatas ama pacar. Antara cowok dan cewek. The Way I Love You, cerita asli tulisan Johanna Wattimena dan Gendis Hapsari, mengembangkan cinta yang biasa dikenal oleh kalangan remaja calon penontonnya. Dan ini buatku menarik karena meskipun film remaja Indonesia kebanyakan memang bergenre cinta alias drama romantis, namun yang benar-benar original bukan adaptasi novel dan semacamnya bisa kita hitung dengan jari.

“Film ini berbeda karena tidak seratus persen cinta-cintaan, enggak melulu seru-seruan. Ada harunya juga. Cerita TWILY melingkupi keluarga. Ada rasa persaudaraan. Ada persahabatan,” terang Rizky Nazar, yang bermain dalam film ini sebagai Bara, saat konferensi pers yang diadakan dengan asik di HARRIS Hotel & Conventions Festival Citylink, Bandung, siang 2 Februari 2019.

Bercerita tentang Senja yang dekat dengan sepupu ceweknya. Akrab banget udah kayak kakak-adik. Berbeda dengan sang sepupu, Senja ini anaknya pendiem. Pemikir. Pikiran-pikirannya biasanya ia tuangkan ke dalam tulisan. Blog-lah yang membawanya kenal dengan seorang cowok. kedekatan mereka membawa pengaruh terhadap hubungan Senja dengan sepupu, dengan cowok sepupunya, dan bahkan Senja sendiri merasa ada yang berbeda saat dia beneran ketemuan sama cowok teman blognya tersebut. Kisah keempat tokoh ini bahkan bakal dijanjikan semakin menarik karena Rizky Nazar juga menyebutkan ada twist di dalam plot ceritanya.

Bukan hanya Rizky Nazar seorang yang menempuh macet dari Jakarta untuk bincang-bincang dengan teman-teman media dan komunitas di Bandung. Aktor muda itu hadir bersama dua pemeran lain; Baskara Mahendra yang berperan sebagai Rasya, dan tentu saja tak ketinggalan (nyaris, karena datangnya belakangan hihi) Syifa Hadju yang menjadi Senja. Dengan ceria mereka berbagi cerita keseruan saat proses reading dan syuting. Syutingnya berlangsung selama dua-puluh hari, dan sebagian besar berlokasi di Jakarta. “Di Bogor kita cuma dua hari” tambah Rizky. Ketika ditanya mengenai tantangan saat syuting oleh salah satu media, ketiga aktor remaja yang lagi naik daun itu sepakat menjawab selain pendalaman karakter, mereka tidak menemukan kesulitan yang berarti. Kecuali ketika Rizky sedikit kesusahan mengendarai sepeda motor tahun 70-an. Malahan Baskara dan Rizky menyebutkan keseruan karena sutradara Rudy Aryanto memberikan mereka semua kebebasan. “Pak Rudy open terhadap masukan. Beliau selalu ngobrolin scene bareng pemain. Menerima sudut pandang dari kita-kita” tembah Rizky lagi.

para pemain banyak mendapat pelajaran dari karakter mereka masing-masing

 

Syifa Hadju yang tampil dengan rambut menggulung yang membuatnya tampak semakin cute punya cerita sendiri tentang mendalami karakter Senja. Ia menerangkan perannya itu justru sebenarnya lebih banyak berinteraksi dengan tokoh sepupu, Anya (diperankan oleh Tissa Biani). “Kalo Bara dan Rasya kan, bagi Senja mereka sama-sama ‘orang baru’. Sedangkan sama Anya ini udah deket banget. Padahal aku ama Tissa juga belum lama kenal. Kita jadi sering jalan bareng buat numbuhin chemistry dua sepupu yang akrab itu”, jelas Syifa. Para pemain memang dipertemukan lewat proses casting, dan inilah yang terutama membuat proses syuting mereka menjadi seru. Syifa lanjut membicarakan dia dan Tissa bahkan jadi sering memanggil masing-masing dengan nama tokoh yang mereka perankan supaya feel karakternya lebih dapat lagi.

Kepada keluarga, kepada teman dan sahabat, rasa cinta itu juga sama pentingnya untuk kita tunjukin. Kepada pekerjaan juga. Apa yang diceritakan tiga pemain The Way I Love You ini membuktikan kecintaan dan dedikasi terhadap apa yang mereka lakukan. Syifa, Rizky, dan Baskara dengan bangga menyebutkan aktor-aktor yang bukan sekedar favorit, melainkan juga inspirasi mereka dalam berakting. Rizky menyebut dia sangat mengidolakan Tio Pakusadewo dan Robert Downey Jr. Baskara dengan detil menyebut satu persatu kiprah almarhum Heath Ledger yang ia jadikan panutan. Dan Syifa… psst tau gak siapa aktor yang diidolakan oleh artis yang pernah bermain di Beauty and the Best (2016) dan Ayat-Ayat Cinta 2 (2017) itu?

Siapa ya kira-kira?

Hmmm..

 

Yakin, mau tau?

“Rizky Nazar dan Baskara Mahendra!”, jawab Syifa mantap. “Aku kagum dan selalu ngikutin perjalanan karir film kakak-kakak ini” Waaaah, manis sekali yaaa

 

 

Film The Way I Love You bakal tayang ke hadapan seluruh Indonesia tanggal 7 Februari 2019, segera temukan jalan kalian ke bioskop yaa, jangan sampai lupa dan nyasar sehingga ketinggalan berbaper ria menyambut Valentine bersama film yang satu ini~

ceria-ceria amat ya sehabis makan siang hhihi

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

 

 

MATA BATIN 2 Review

“If you are asking a favor, put the request in a positive light.”

 

 

Membuka mata batin, sehingga jadi punya indera keenam, tentu saja bisa menjadi anugerah ataupun musibah. Sisi baiknya adalah kita bisa melihat hantu. Merasakan keberadaan dunia gaib, membuat kita selalu dekat dan teringat dengan kematian – dengan dunia yang penuh dengan jeritan pertolongan dan dendam, dalam kaitannya dengan menumbuhkan rasa bersyukur. Sisi buruknya yaitu kita bisa melihat hantu. Bukanlah hal yang sehat, sepertinya, melihat makhluk-makhluk gaib di mana-mana. Seorang bisa menjadi kelewat stress, bahkan melupakan kehidupan dunia yang sebenarnya. Eh, ini kita lagi ngomongin dunia gaib apa dunia maya sih?

Anyway, dalam Mata Batin 2 kita melihat kelanjutan dari kisah Alia (Jessica Mila tampak semakin nyaman sebagai tokoh utama semesta horor nan gore) yang kini sama seperti adiknya, Abel, sudah mengembrace kekuatan melihat makhluk gaib yang mereka miliki (baca ulasan Mata Batin pertama di sini). Dalam narasi pembuka kita mendengar Alia mendedikasikan kemampuannya untuk menolong banyak makhluk. Namun, satu hantu yang masih terus mengikuti mereka ternyata membawa dua kakak-beradik ini kepada petaka; Abel meninggal dunia. Menyisakan misteri dan hari yang perih. “Kini saya hanya pantas di panti asuhan, tempat orang -orang yang tak punya”, begitu curhat Alia kepada Windu yang jadi semacam mentornya dalam ilmu permatabatinan. Maka Alia pun pindah dari rumahnya, bekerja sebagai pengasuh anak-anak di Panti Asuhan yang dikelola oleh pasangan suami istri yang diperankan oleh Sophia Latjuba dan Jeremy Thomas. Di sana, dengan cepat Alia bonded dengan satu anak panti yang bernama Nadia (tokoh Nabilah Ratna Ayu Azalia ini practically adalah pengganti sosok adik buat Alia), yang juga memiliki kemampuan Mata Batin. Alia dan Nadia lantas bekerja sama memecahkan misteri suara-suara minta tolong yang merambati dinding-dinding panti, misteri yang ternyata berkaitan, yang pada akhirnya membawa Alia kepada ketenangan atas peristiwa kematian adiknya.

Mandi diintipin oleh hantu adalah sebuah kutukan

 

Melalui usaha-usaha yang dilakukan oleh Alia untuk berkomunikasi dengan hantu, film ini mengekspansi peraturan yang sudah ditetapkan pada film pertamanya. Ini adalah perkembangan yang positif. Film mencoba mengembangkan mitologi, menggali sudut-sudut baru – ia membuka pandangan kita terhadap dunia gaibnya sehingga menjadi semakin luas. Alia di sini mempunyai skill baru, yakni psikometri – kemampuan untuk ‘mengexperience’ sejarah benda yang ia sentuh, yang menandakan Mata Batin yang ia miliki semakin kuat. Maka ada pertumbuhan yang kita rasakan dalam film ini. Secara karakter, Alia mengalami perkembangan dibandingkan dengan dirinya di film pertama. Begitu pula dengan dunia gaibnya, film ini kita akan dibawa menjelajah lebih dalam, lebih sering, seingatku belum ada film horor Indonesia yang membawa kita menyelam ke dalam dunia gaib sekompleks yang dilakukan oleh film ini.

Mata Batin untuk awal-awal misteri lebih banyak bersangkut paut dengan pendengaran daripada penglihatan Ini adalah salah satu cara film untuk menggambarkan perluasan yang mereka lakukan. Penambahan banyak tokoh baru turut memberikan banyak lapisan dalam aspek misteri yang berusaha dibangun oleh film ini. Setting tempat di panti asuhan anak-anak cewek membuka banyak ruang untuk adegan-adegan seram yang segar. Namun sayangnya film seperti bergerak di tempat. Semua pengembangan dan penambahan itu terasa jadi mentah oleh sebab penggunaan formula yang itu-itu saja. Aku tidak mempermasalahkan soal kaca pecah, sebab itu sudah dijadikan semacam signature seorang Ricky Soraya – kita harus respek juga ama usahanya melandaskan hal tersebut dalam setiap filmnya. Masalahnya adalah hampir tidak ada yang original dalam film ini. Masih bercerita dengan begitu-begitu saja; pengungkapannya, penyelesaiannya, bahkan twistnya. Dan ada banyak elemen yang dapat kita temukan dalam film lain. Nadia yang pinter ngesketsa, tampaknya menggambar sosok-sosok hantu itu sambil menonton American Horror Story. Boneka Hello Kitty berwarna pink yang tampak di salah satu ruangan mencerminkan film ini; Sebuah tiruan yang berusaha tampil beda.

Kita merasa sudah hapal dengan cerita yang dijabarkan; literally, dialog dalam film ini kebanyakan adalah eksposisi dalam usahanya mengembangkan peraturan-peraturan. Sehingga pada ujungnya, film tak lagi berhasil menyampaikan kejutan yang ia siapkan. Banyak penggunaan yang berlebihan sehingga menjadi monoton. Misalnya pergerakan kamera yang memutar. Ataupun juga banyak kita jumpai adegan orang berlari demi berusaha menyelamatkan orang yang terkurung ataupun menghilang, dan ketika ketemu orang tersebut lagi duduk meringkuk. Film bahkan kehilangan kekhususannya, sebab kekuatan mata batin tersebut – berkat kehadirat tokoh paranormal yang segala bisa – menjadi seperti diobral begitu saja. Percuma ada aturan ketika semuanya jadi digampangkan, tidak lagi terasa spesial ketika semua tokoh dapat dibukakan mata batinnya. Film seperti terlalu fokus berusaha menyimpan twist dan mengembangkan adegan dan role di dunia gaib, sehingga lupa dengan tokoh dan bagaimana kejadian seharusnya berjalan di dunia nyata.

matabatinception

 

Bangunan logika-dalam cerita sama konsistennya dengan bekas luka cakar pada dada Sophia Latjuba. Kejadian seram yang ditimpakan pada tokoh-tokohnya terasa tidak bergerak dalam aturan di dunia tempat mereka hidup. Aku menemukan sangat tidak masuk akal tidak ada yang menyadari luka tusukan pada mayat Abel. I mean, okelah Alia mungkin hanya melihat apa yang ia percayai – Alia percaya Abel diserang hantu, namun tidak adakah dokter ataupun polisi yang melihat luka di punggung cewek itu? Bagaimana mungkin kematian tidak wajar Abel – dalam ruangan dengan pintu tertutup – tidak diusut. Dan si Alia, oh ini buatku lucu banget. Aku sempat mengira film sengaja menarik perbandingan antara dunia nyata dengan dunia gaib, maksudku, di Penyelesaian kita melihat hantu pembuat onar dalam cerita ini ditangkap oleh ‘polisi dunia gaib’ dan dijebloskan ke dalam lubang neraka – hantu jahatnya mendapat hukuman. Sedangkan Alia, she got away dengan pembunuhan yang ia lakukan. Tidak ada reperkusi dalam tindakannya. Film mengabaikan aspek yang sebenarnya menarik jika digali, gimana Alia yang kesurupan membunuh pelaku yang tidak melawan – gimana kalo Alia sebenarnya tidak kesurupan? Aku hampir girang saat menjelang akhir beberapa adegan seperti mengarah ke sini, tapi ternyata tidak. Alia hidup bahagia seperti sedia kala walaupun dia sudah membunuh seorang pria.

Jika kita ingin minta tolong, mintalah dengan baik-baik. Jangan maksa. Kalo belum ada yang merespon, jangan marah. Apalagi sampai bunuh orang. Hantu dalam film ini merajalela lantaran kebenaran yang ia ungkap tidak mendapat reaksi sesuai yang ia inginkan. Bukan minta tolongnya yang membuat kita jadi kecil, melainkan ketidaksabaran dan kemarahan yang berujung pada dendam.

 

Kita bisa asumsikan semua polisi ataupun dokter di semesta film ini adalah lelaki, karena orang-orang tersebut bego. Sebab, salah satu kekonsistenan formula film Rocky ini adalah semua tokoh prianya either jahat, atau tidak kompeten. Tokoh Jeremy Thomas instantly diperkenalkan sebagai seorang douchebag; kerjaannya ngebengkel mobil dengan kaos berkerah V, bayangkan orang di dunia nyata yang melakukan itu. Semua jagoan di film ini adalah wanita, dan ini bukan karena ada pesan feminis atau semacam itu. Film memang hanya punya perhatian setengah-setengah. Dunia nyata tidak digali sedalam dunia gaib. Tokoh pria tidak mendapat perhatian sebesar tokoh wanita. Substansi film tidak diperhatikan sebanyak mereka mengusahakan gaya atau stylenya.

Namun kelemahan logika dalam film ini memang justru membuatnya jadi kocak. Adegan-adegan seperti Alia menanyakan kepada hantu di mana letak kunci meskipun dia tahu untuk menjawab “ya” atau “tidak” saja si hantu hanya sanggup mengetuk pintu, adegan dalam lima menit pertama yang tujuan satu-satunya adalah untuk fake jumpscare (Abel datang buka pintu mengagetkan kakaknya, untuk kemudian langsung pamit tidur), Alia yang kemana-mana mengantongi kalung senjata alih-alih memakainya saja, dan betapa seringnya para tokoh berpencar dan bergabung lagi sekenanya, memang mampu mengundang tawa kita. Memang, salah satu yang dipertahankan film ini dari film pertamanya adalah undertone elemen kocak yang dihadirkan. Dan sepertinya, film kedua ini mulai mengembrace kekonyolan yang mereka punya, kita akan melihat candaan beneran dalam adegan anak kecil yang menggerutu dikasih yoyo. Sama seperti Alia yang mengembrace kemampuan goibnya.

 

 

 

Bagus film ini berusaha mengembangkan mitologi dan peraturan yang sudah ditetapkan sebelumnya sembari mempertahankan kekhususannya, namun masih perlu banyak perbaikan dalam penulisan. Ataupun, jika memang tidak ingin dikembangkan ke arah yang lebih serius, film perlu untuk sepenuhnya komit ke elemen-elemen lebih konyol yang seringkali hadir dalam logika penceritaan mereka. Memang butuh nyali dan waktu, tapi meskipun film pertamanya bercerita dengan lebih rapi, film yang kedua ini sudah mulai berani mengembrace sisi humor sambil terus memperdalam sisi drama. Aku pribadi berharap jika ada film ketiga, mereka sudah benar-benar banting stir jadi konyol ala cult classic. Karena film kedua ini terasa seperti transisi. Saat menontonnya aku kadang merasa seolah film ini dibuat purely dengan tujuan mengganti satu tokoh dengan bintang lain.
The Palace of Wisdom gives 5 gold stars out of 10 for MATA BATIN 2.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Kalo punya mata batin, kalian mau (baca: berani) gak sih nolongin hantu?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning PIALA MAYA BLOG KRITIK FILM TERPILIH.

 

 

 

 

 

 

GLASS Review

“You are what you believe yourself to be.”

 

 

Sembilan-belas tahun! Dengan waktu selama itu, Glass bisa saja adalah salah satu film bertema buku komik, yang paling ditunggu-tunggu oleh pecinta film dan nerd di seluruh. Termasuk. Dan ia bahkan bukan tipikal film superhero yang mengandalkan bak-bik-buk serta CGI. Kalian salah beli tiket kalo ngarepin aksi penuh ledakan dan monster-monster, dewa-dewa, alien, manusia berjubah beterbangan. Karena ini adalah buah pikiran M. Night Shyamalan, yang demen membengkokkan ekspektasi baja kita semua, lantas memecahkannya berkeping-keping, for better or worse. Malahan, dengan beraninya film terang-terangan menampilkan tulisan “A True Marvel”, seolah menantang gagasan kita mengenai apa sih ‘pahlawan super’ itu sebenarnya.

Alih-alih main fisik, sedari awal trilogi ini memfokuskan kepada kejiwaan manusia. Hampir tidak ada adegan aksi di Unbreakable (2000), malahan sebagian besar adalah tentang David Dunn yang harus ‘mengikhlaskan’ dirinya punya kekuatan tidak-bisa-terluka dan actually menggunakan kekuatan itu untuk kebaikan orang banyak. Sebagai antagonis dari Dunn adalah Elijah Price yang menyebut dirinya sebagai Mr. Glass, penggemar – bahkan ahli – buku komik lantaran banyaknya waktu yang ia habiskan membaca sebagai ganti dirinya yang tidak boleh banyak bergerak karena kondisi tulang tubuhnya yang begitu rapuh. Twist yang dihadirkan oleh film pertama yang dielu-elukan sebagai masterpiece dari Shyamalan adalah bahwa ambisi villain, alias penjahat, tidak melulu menghancurkan superhero. Bahwa ada satu orang yang rela menimbulkan petaka bagi masyarakat hanya demi mencari, membangkitkan, superhero beneran. Ke-grounded-an elemen superhero dari dunia Unbreakable secara mengejutkan diteruskan ke Split (2016). Nobody saw this coming. Tidak ada yang menyangka Kevin yang punya dua-puluh-empat personalita berbeda itu hidup di universe yang sama dengan Dunn dan Mr. Glass. Hingga menit-menit terakhirnya, Split tampak seperti thriller membalut studi psikologis tentang manusia yang ‘kabur’ dari trauma mendalam ke dalam kepalanya, melahirkan identitas-identitas berbeda sebagai pertahanan. Jadi, ya, aku sudah tahu Glass juga bakalan lebih banyak ngobrolnya ketimbang berantem. Antisipasi memang sudah membuncah, pembahasan apa yang bakal diangkat oleh penutup trilogi ini; hal mind-blowing apa yang sudah dimatangkan Shyamalan begitu lama untuk kita semua.

Anya-Taylor Joy masih balita loh ketika Unbreakable tayang di bioskop

 

 

Babak pertama Glass sungguh-sungguh keren. Menakjubkan rasanya diperkenalkan kembali kepada Dunn; kita melihat seperti apa hidupnya setelah bertahun-tahun, gimana dia sekarang bekerja sama dengan anaknya. Dengan segera mereka menemukan tempat Kevin menyekap orang-orang yang ia culik, kemudian wow! aku tak menyangka bakal secepat itu melihat Dunn dan The Beast (identitas Kevin yang paling buas) adu kekuatan. Mereka berdua ketangkep oleh polisi dan diasingkan ke sebuah rumah sakit. Dunn, Kevin, dan juga Mr. Glass yang lumpuh dikarantina di dalam ruangan mereka masing-masing di sana.

Sampai di sini, film mengambil waktu untuk membawa kita menyelami pokok pikiran yang tema cerita. Buat beberapa penonton, babak kedua ini bisa berubah menjadi membosankan. Tetapi perbincangan mereka dengan dokter yang diperankan oleh aktris American Horror Story, Sarah Paulson, sebenarnya sangat menarik. Kita diperlihatkan pula banyak treatmen-treatmen filmmaking yang membuktikan bahwa Shyamalan memang tahu apa yang sedang ia buat. Dan tentu saja, akting dari pemain-pemain lain membuat mataku betah untuk menontonnya. Meskipun memang, kuakui, ada sedikit rasa “loh kok ke arah sini?” yang mengganjal saat bincang demi bincang itu bergulir. Bangunan cerita yang dipilih Shyamalan buat Glass toh lumayan aneh. Dua film sebelumnya dimanfaatkan untuk mengukuhkan semesta dunia cerita ini adalah dunia superhero. Namun babak kedua film ini, kita diperlihatkan ‘debat’ antara si dokter yang percaya apa yang dialami oleh Dunn, Glass, dan Kevin bukanlah kekuatan superhero melainkan kekuatan normal yang bisa dimiliki oleh semua orang. Si dokter berusaha meyakinkan mereka bahwa pikiran merekalah yang membuat mereka percaya penyakit mereka adalah anugrah yang luar biasa. Yang tercipta dari permasalahan ini terasa seperti antiklimaks dua film sebelumnya. Babak ketiga diisi oleh Shyamalan dengan banyak twist, yang masuk akal dan ditanam dengan properly, hanya saja kurang nendang, kalah jauh jika dibandingkan dengan twist dua film sebelumnya. Hal ini disebabkan karena kelokan-kelokan cerita pada Glass tidak benar-benar membawa kita ke ‘tempat’ yang baru.

Kita sanggup melakukan apa saja jika kita percaya mampu melakukannya. Kau adalah sesuatu yang kau percaya itu dirimu. Begitu kuatnya kekuatan pikiran. Orang lain tidak akan bisa menegasi  apa yang kau percaya sekalipun kepercayaan itu hanyalah sebuah fantasi. Glass mengaitkan hal ini dengan mitologi superhero dalam buku komik. Tokohnya percaya hal yang mereka baca di komik, bahwa komik punya landasan kebenaran yang dibuat berdasarkan pengalaman nyata. Komik dijadikan bukti keberadaan superhero, sehingga mereka yang punya sedikit kelebihan percaya mereka juga superhero. Di lain pihak, rasionalisasi bisa kita terapkan pada hal apapun begitu kita sudah percaya terhadap ‘lawan’ dari suatu hal. Yang menarik terutarakan oleh film ini adalah, justru orang yang paling tak percaya-lah yang sebenarnya paling mempercayai apa yang ingin ditentangnya.

Tidak ada pahlawan atau penjahat, semua itu bisa berganti dengan mudahnya. Yang ada hanya pikiran dan usaha kita terhadapnya.

 

jangan-jangan semua orang gila di RSJ sebenarnya adalah superhero dan kita semua bersalah udah menahan mereka

 

 

Meskipun film ini meninggalkan kesan yang kurang nendang dan praktisnya di bawah harapan banyak orang, bukan berarti tidak ada yang bisa kita nikmati selama durasi dua jam lebih tersebut. Malahan, film ini buatku loveable banget. Teknisnya memang tingkat super semua. Perspektif kita didesak oleh kamera yang seringkali mengambil posisi orang-pertama. Ini tidak akan menjadi masalah terutama jika yang kita lihat adalah Kevin alias The Horde. Melihat James McAvoy berganti peran dalam hitungan jentikan jari (atau dalam film ini literally on a flip of the switch) sudah merupakan anugerah tersendiri, yang membayar lunas tiket bioskop kita. Pindah-pindah persona dan gaya bicara seperti itu tampak sangat mudah dilakukan olehnya. Hubungan yang terjalin antara Kevin dengan Casey tampak manis sekaligus devastatingBruce Willis dan Samuel L. Jackson juga menyuguhkan permainan yang sama solidnya, meskipun peran mereka enggak begitu banyak bercakap. Aku suka gimana Shyamalan memberikan treatment warna kepada setiap kemunculan tiga tokoh ini. Dunn hampir selalu disertai dengan warna hijau yang melambangkan kehidupan yang dilindungi olehnya. Kevin dengan warna kuning dan pala botak membuatnya tampak seperti pendeta, yang kultus oleh agenda penyelamat versinya sendiri. Glass dengan warna ungu sebagai simbol yang diagungkan, royalti, karena dia percaya dialah ‘tuhan’ – pencipta dari superhero. “Bukan limited edition. Aku menulis origin story,” akunya dengan bangga. Dalam adegan interogasi, Shyamalan mendudukkan tiga tokoh ini di dalam ruangan pink untuk menunjukkan kepada kita kepercayaan mereka mulai memudar. Keraguan apakah mereka superhero atau cuma orang sakit mulai membesar.

Kebiasaannya membuat cerita twist menjadikan Shyamalan begitu peka terhadap detil-detil. Dengan cermat ia melandaskan banyak hal, menyisipkan informasi demi informasi. Membuat adegan flashback menjadi menyenangkan dengan perlakuan khusus yang begitu diperhatikan olehnya. Maka dari itu, aku jadi sedikit geram ketika ada beberapa aspek dalam cerita yang ‘luput’ olehnya; yang harusnya bisa dieksekusi dengan lebih masuk akal dan gak konyol. Seperti lampu-lampu di kamar Kevin; dia dijaga oleh lampu sorot yang dipasang di dekat pintu masuk supaya ketika ada apa-apa – Kevin memunculkan The Beast atau identitas lain yang berbahaya untuk melarikan diri – lampu otomatis menyala, menyilaukan mata, dan memaksa identitas berbahaya itu kembali masuk dan bertukar dengan identitas lain yang lebih ramah. Tentu, aspek ini memberikan kita momen-momen menakjubkan dari akting McAvoy, namun juga benar-benar bego. Kevin bisa dengan gampang meloloskan diri; dia cukup menutup mata, atau menyarungkan matanya ke pakaian atau sarung bantal ala film Bird Box (2018). Kenapa tidak sekalian aja mereka membuat semua ruangan berisi lampu seperti ruangan Dunn yang penuh oleh keran air.

Sama seperti Avengers: Infinity War (2018), Glass adalah cerita dengan banyak tokoh yang membuat kita bingung siapa tokoh utamanya. Dan sama mengejutkan seperti Infinity War yang ternyata adalah tentang kebenaran versi Thanos, film ini memang dibuat sebagai episode untuk Mr. Glass. Hanya saja tidak gampang membuat cerita di mana penjahatnya memegang kendali, terutama jika kau berniat untuk punya twist dalam ceritamu. Inilah sebabnya kenapa Dunn diberikan porsi yang sedikit, dia bahkan gak punya arc. Kevin Wendell Crumb terlihat lebih cocok sebagai tokoh utama – ia dimunculkan duluan, dia punya arc, porsinya lebih banyak – tapi dia pun tidak melakukan pilihan yang relevan dengan tema cerita. Semua penjahat butuh superhero, semua hal dalam film ini dilakukan oleh Mr. Glass. Twist sebenarnya dalam film ini adalah di mana tepatnya posisi Mr. Glass. Apa dia penjahat atau superhero. Dia protagonis atau antagonis. Dan cerita yang seperti ini hanya berani dilakukan oleh sutradara seperti Shyamalan yang enggak pernah betul-betul peduli terhadap angka box office.

 

 

 

 

Film ini adalah suplemen yang bergizi untuk penggemar komik superhero, terutama di masa-masa di mana cerita fantasi tentang pahlawan dan penjahat berlomba-lomba menghadirkan sudut pandang yang baru. Buat penggemar film pun ada begitu banyak yang bisa bikin jatuh hati dalam film ini. Sinematografi, akting, tema, treatment, film ini benar dibuat oleh orang yang punya visi. Meskipun visi itu kadang membuat kita kecele. Tak kalah banyaknya hal yang mestinya bisa dirapihkan oleh film ini, tapi film masih bekerja di dalam konteksnya. Twistnya – yang kurang nendang – tetap sebuah kelokan yang logis dan solid. Kita boleh jadi sedikit kecewa karena menunggu lama, tapi kita tidak perlu punya kekuatan super melenturkan tubuh, enggak perlu sebegitu long reachnya, untuk memaksa diri menyukai film ini.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for GLASS.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Komik adalah media cerita yang paling sering diremehkan. Apa pendapat kalian tentang komik, dan cerita superhero secara universal?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

PREMAN PENSIUN Review

“Gratitude is so gangster”

 

 

Sebagai manusia, kita suka melihat manusia lain mengembangkan diri mereka menjadi sesuatu yang lebih baik. Supaya kita bercermin, termotivasi. Itulah salah satu penyebab kita suka menonton film. Karena cerita-cerita dalam film biasanya menawarkan imajinasi seperti demikian; perjalanan hidup yang penuh perjuangan, orang-orang yang belajar mengenali dan menyelesaikan masalah yang mereka hadapi. Dan dari sekian banyak film, yang paling laku selalu adalah cerita yang tokohnya mengalami progres; orang miskin yang jadi kaya, orang yang diremehkan menjadi juara, orang yang jomblo jadi punya pacar. Kita lebih tertarik kepada tokoh yang punya konflik dalam diri mereka. Cerita orang yang sempurna seumur hidup sudah barang tentu tak akan semenarik cerita maling yang terdesak kebutuhan.

Makanya serial televisi Preman Pensiun banyak diminati. Versi layar lebarnya pun di(ki)nanti-nanti oleh para penggemarnya. Film ini menawarkan premis yang sudah pasti langsung menarik bagi penonton, meskipun belum pernah menyaksikan serial televisinya. Berpusat kepada satu kelompok preman yang insaf, yang berusaha mencari makan dengan cara yang jujur – meninggalkan cara lama mereka yang brutal. Secara efektif, menit-menit pertama menyuplik adegan penutup dari serial televisinya – yang aku yakin para penggemarnya pasti akan merasakan desakan haru dan nostalgia berat di dalam dada – yang seketika melandaskan ‘misi’ apa yang harus diemban oleh tokoh utama kita. Kang Mus (satu lagi penampilan kocak, ekspresif, dan dalam level yang tidak meninggalkan emosi dan keseriusan disuguhkan oleh Epy Kusnandar) diamanatkan oleh pemimpin kelompok mereka yang sudah almarhum untuk menjadi penerus kepala preman, hanya saja kali ini dengan semboyan “Bisnis yang bagus, dan yang baik”. Kemudian kredit pembuka bergulir, dan kita dibawa ke tiga tahun ke depan. Melihat bagaimana legacy kelompok pensiunan preman mereka berkembang di bawah tangan Kang Mus.

biarkan informasi ini meresap sebentar; nama lengkap Kang Mus adalah Muslihat

 

Memenuhi jati diri sebagai komedi, Preman Pensiun hadir dengan kocak. Kita akan tergelak-gelak melihat sehari-hari bos preman berusaha mengurusi keluarga, berurusan dengan kenyataan putrinya yang sudah remaja sudah mulai pacaran – dengan cowok yang udah mahasiswa pula. Momen-momen lucu hadir dari Kang Mus yang memerintahkan anak-anak buahnya, yang kini ada yang bekerja jadi satpam mall, ada yang jualan kaos, bisnis jaket, jadi pawang kuda lumping, dan bantu-bantu di bisnis makanan tradisional kecimpring, untuk memata-matai sang putri yang lagi nge-date. Film tidak melupakan tanah tempat dirinya berpijak. Kita tidak hanya melihat tempat-tempat di Bandung dijadikan latar dan diakomodasikan ke dalam penceritaan serta komedi, kita juga akan mendengar, menghidupi budaya Sunda itu sendiri.

Kita diperlihatkan sudut pandang yang mungkin sudah pernah kita lihat di film-film mafia ataupun gangster buatan luar, akan tetapi tak-pelak menjadi segar karena kentalnya nuansa lokal. Sedikit banyaknya, dengan menonton film ini, kita bisa paham terhadap kode etik para preman yang bisa saja memang berlaku di sudut-sudut pasar. Dan itu bukan soal punya tato yang seragam. Menjadi preman adalah soal setia, soal berterimakasih, dan soal menghormati. Kita lihat mereka tidak saling mengganggu istri, keluarga, masing-masing. Mereka punya birokrasi alias tangga-kekuasaan sendiri. Kita melihat mereka tidak akan melanggar batasan-batasan yang tercipta dari ‘pangkat’ kepremanan mereka. Dan di akhir, kelas preman tersebut dimainkan ke dalam sebuah konflik yang tak disangka-sangka.

Jika ada yang bisa ditiru, maka itu adalah eratnya rasa persatuan di dalam geng mereka. Kang Mus masih terus memikirkan bekas anak-anak buahnya, karena menurutnya mereka sudah bagian dari keluarga dan tak ada istilah ‘bekas’ dalam sebuah keluarga. Eratnya hubungan keluarga sudah semestinya seerat yang diperlihatkan oleh preman-preman di film ini. Sebab keluarga sudah sama seperti satu tubuh; terluka satu, maka yang lain pun ikut merasakan derita.

 

Namun mungkin yang lebih tepatnya adalah, film menghadirkan konflik yang sukar untuk kita sangka. Karena pada dasarnya merupakan kelanjutan dari serial televisi yang terdiri dari nyaris empat-puluh episode (aku mungkin salah karena gak ngikutin sinetronnya), dengan begitu banyak tokoh dengan subplot masing-masing, film ini jadi punya tugas yang tak-kalah beratnya dengan Kang Mus. Film harus mampu dengan segera memperkenalkan para tokoh dan masalah-masalah lantaran film ini cukup bijak untuk tidak menyuruh kita-kita yang belum pernah menonton untuk maratonin serialnya. Maka mereka menggunakan editing berupa smash cut dan match cut yang membawa kita bertransisi begitu saja antaradegan para tokoh. Pertama-tama sih, teknik ini memang terasa menyenangkan. Kita melihat satu tokoh ditanyai oleh istrinya, bret jawaban atas pertanyaan itu kita saksikan datang dari tempat lain, dari percakapan tokoh lain sambil minum, dan bret kita pindah lagi ke gelas yang dipegang oleh tokoh yang berbeda di tempat yang lain pula. Konteks yang diseragamkan membuat kita menyaksikan banyak hal sekaligus tanpa kehilangan arah. Teknik tersebut dilakukan berulang-ulang. Buatku it was getting old fast. Malah membuat semakin susah untuk mengikuti cerita, karena tidak banyak waktu untuk berpegangan kepada satu karakter. Kebanyakan dari mereka jadi seperti tidak punya arc. Masalah-masalah itu jadi menumpuk dan hingga titik tengah film, kita belum dapat menyimpulkan ke mana arah cerita. Yang mana konflik utamanya? Apakah perihal peringatan seribu hari kematian pemimpin mereka terdahulu (sebagai cara film mendedikasikan diri buat almarhum Didi Petet), apakah tentang bisnis yang sepi, atau anak yang beranjak dewasa, atau masalah yang berantem di pasar baru.

atau mungkin ini masalah kenapa di Gedung Merdeka banyak setannya

 

Dengan konsep editing seperti demikian, terasa ada banyak yang tak terselesaikan. Sekadar berfungsi sebagai adegan sketsa. Ketika film berhenti melakukan konsep editingnya, cerita mulai dapat diikuti. Meskipun sedikit terlambat, tapi apa yang disuguhkan cerita sebagai puncak ternyata tergolong sangat berani. Aku suka dengan tipe cerita ‘kalah’ kayak film ini. Malahan, dua film pendek yang kukerjakan, dua-duanya berakhir dengan ‘kekalahan’ sang tokoh. Karena terkadang memang perlu untuk menampilkan kegagalan, supaya pesan yang ingin disampaikan bisa menjadi cambuk – supaya kita bercermin dan tak melakukan hal yang serupa. Hanya saja, yang harus digaris bawahi adalah cerita kegagalan baru hanya akan menarik jika diiringi oleh usaha. Kang Mus dalam Preman Pensiun, tidak diperlihatkan banyak berusaha melakukan sesuatu yang baik. Ada adegan repetitif Kang Mus yang lagi ngulet males bangun pagi di sofanya. Dia yang pemimpin tak banyak campur tangan ketika masalah merundung teman-temannya. Inovasi kecimpring pun tak diperlihatkan ia lakukan. Mengusung pesan yang sedikit kelam, herannya konklusi film ini tampak aneh. Seperti ada bagian resolusi yang terpotong. Film berakhir tepat di titik di mana Kang Mus musti berubah, memperbaiki sikapnya. Yang membuatku merasa nanggung; menohok kurang, arc pun tidak tertutup.

 

 

 

Keseluruhan film terasa seperti membangun ke momen benar-benar ‘pensiun’, akan tetapi cerita justru dihentikan saat karakter butuh untuk meredeem dirinya sendiri. Film ini benar-benar menonjolkan sisi komedi yang dipancing dari percakapan permainan kosa kata ala Kang Mus yang ‘pintar-pintar bodoh’, dan tingkah-tingkah para preman yang berusaha kerja baik dengan kemampuan yang mereka tahu. Namun mereka tidak pernah dibuat keluar dari dunia mereka. Preman-preman itu belum diharuskan terikat pada aturan di luar ‘kode’ mereka sendiri. Buatku, film yang bernapas Bandung memang terasa nanggung. Konsep editingnya tidak benar-benar bekerja efektif, meskipun memang diperlukan. But that’s just me. Para penggemar serialnya sepertinya bakal tersenyuh dan senang-senang maksimal menyaksikannya.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for PREMAN PENSIUN.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Pernahkah kalian berurusan dengan preman? Menurut kalian apa yang membuat orang disebut sebagai preman?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

 

 

HOW TO TRAIN YOUR DRAGON: THE HIDDEN WORLD Review

“Each friend represents a world in us, a world possibly not born until they arrive, and it is only by this meeting that a new world is born”

 

 

 

Setiap kali berkenalan dengan orang baru, sesungguhnya kita seperti melangkah ke dalam dunia baru yang mungkin saja belum pernah kita lihat sebelumnya. Kita kemudian bisa berteman dengan mereka, jika ‘dunia’ kita dan milik mereka berjalan beriringan. Sebab dalam menjalin persahabatan, hal terbaik yang kita lakukan terhadap teman kita adalah tidak menarik dunia mereka masuk ke dalam dunia kita.

 

Indahnya persahabatan antara Hiccup, anak kepala suku bangsa viking, dengan Toothless, naga Night Fury yang bersisik dan hitam, sudah kita rasakan bersama-sama semenjak film pertama mereka tayang di bioskop delapan tahun yang lalu. Malahan, persahabatan merekalah satu-satunya hal yang konstan yang dapat kita temukan dalam dunia trilogi film mereka yang senantiasa berkembang. Berawal dari perasaan mutual – sama-sama membutuhkan; Toothless yang cacat tidak bisa terbang tanpa bantuan Hiccup, begitupun Hiccup yang menjadikan Toothless sebagai perangkat untuk membuktikan kemampuannya, hubungan mereka berdua layaknya simbol perdamaian antara manusia dengan naga. Hiccup sudah menjadikan si naga sebagai partner sejatinya, kita lihat mereka bekerja sama. Persahabatan mereka bahkan sudah teruji dalam peristiwa mengharukan di film kedua (2014) saat Toothless berusaha keras mematahkan kekuatan yang menyuruhnya menyakiti Hiccup. Trilogi How to Train Your Dragon tak pelak adalah salah satu dari seri animasi yang benar-benar punya arc menawan untuk kita simak. Menontonnya sendiri-sendiri saja sudah cukup menghangatkan, apalagi jika kita melihat gambar besar dari apa yang diceritakan oleh tiga film ini.

Kita bisa melihat perubahan, katakanlah evolusi, baik dari apa yang mereka hadapi maupun dari segi visual yang terus saja bikin kita takjub. Sensasi perkembangan itu memang jadi nilai kuat dari trilogi film ini. Sebagai penutup trilogi, How to Train Your Dragon: The Hidden World memperlihatkan kedewasaan para tokohnya. Hiccup, kini animasi yang halus itu menunjukkan bulu-bulu jenggot halus mulai membayangi dagunya, adalah kepala suku yang sah untuk klan Berk. Dia memerintah kampung mereka di mana naga dan manusia ia usahakan hidup berdampingan. Bersama teman-teman penunggang naga, Hiccup dan Toothless memimpin misi-misi pembebasan naga-naga yang tertangkap oleh para pemburu. Tapi sanctuary yang mereka buat -desa mereka – lama-lama justru bisa menjadi sasaran empuk buat para pemburu. Terutama yang keji seperti Grimmel, pemburu yang bertanggung jawab atas status Toothless sebagai naga Night Fury satu-satunya. Menyadari keberadaan mereka begitu mudah ketahuan dan disusupi, Hiccup membawa seluruh suku beserta naga-naga mereka, hijrah ke sebuah tempat tersembunyi – tempat asal muasal para naga – yang pernah didongengkan ayah kepadanya. Perjalanan yang mereka tempuh sangat beresiko karena semakin mengekspos eksistensi mereka, dengan Grimmel yang terus mengekor dan menggunakan Light Fury (naga Night Fury betina) memancing Toothless keluar dari perlindungan Hiccup dan para manusia.

I summon Blue Eyes White Dragon!

 

Alih-alih membebani cerita dengan menambahkan karakter-karakter baru (seperti yang dilakukan Ice Age dalam setiap sekuel mereka), sutradara Den Deblois melakukan pilihan yang tepat dengan malah mengekspansi dunia tempat tinggal para tokoh. Dan pada dasarnya ini juga berarti dia terus menggali apa yang dipunya oleh karakternya – Hiccup sedari awal memang adalah seorang petualang dengan ide-ide out-of-the-box, jadi masuk akal ketika tokoh ini mendapat gagasan untuk membawa rakyatnya ke ujung antah berantah sebagai penyelesaian masalah yang dihadapi suku Berk. Setiap teman-teman manusia Hiccup juga terus digali ‘kegunaannya’, jadi ketika mereka melakukan hal yang lucu kita tahu perbuatan tersebut terletak di antara digunakan untuk menguatkan karakter mereka atau bakal berpengaruh terhadap majunya cerita. Setidaknya ada tiga relasi/hubungan penting yang harus kita perhatikan karena merupakan fokus utama cerita. Antara Hiccup dengan Toothless, tentu saja. Antara Hiccup dengan Astrid – yang sejak film pertama dibangun sebagai love interest – perhatikan gimana Astrid yang pejuang membantu Hiccup dengan tidak menggunakan ‘bantahan’. Dan antara Hiccup dengan rakyat yang ia pimpin – ini berkaitan dengan ‘pekerjaan’nya sebagai kepala suku yang full-circle dengan relasi Hiccup dengan ayahnya dahulu.

Menggunakan banyak nama gede sebagai pengisi suara sepertinya memang keputusan yang menguntungkan. Suara-suara milik Cate Blanchett, Jonah Hill, Kristen Wiig, F. Murray Abraham, Christopher Mintz-Plasse, America Ferrera, Jay Baruchel terdengar begitu ekspresif hampir seolah film ini merekam suara terlebih dahulu baru kemudian menyesuaikan animasi dengan suara yang sudah didapat. Interaksi para tokoh sama mulusnya dengan visual yang dihadirkan. Hal ini terlihat sekali saat kita berpindah melihat interaksi Toothless dengan si naga betina. Kita tidak mengerti bahasa yang mereka gunakan, tetapi emosi-emosi itu tidak pernah tercecer. Kulminasi semua aspek keindahan itu terwujud pada adegan final yang menghantarkan kita pulang dengan penuh kehangatan. Setiap ada pertemuan selalu ada perpisahan, film lewat adegan penutup memperlihatkan dengan indah tidak ada yang absolut dalam pertemuan dan perpisahan.

Dan setiap ada pertemuan, akan selalu ada makan-makan.

 

Dengan tokoh-tokoh dan permasalahan yang lebih dewasa, film harus memutar otak untuk membuat ceritanya tetap tak-berat disantap oleh anak kecil. Jadi kita akan menemukan beberapa kemudahan, yang menurutku memang disayangkan. Membuat film ini tidak bisa terbang mencapai ketinggian yang dicapai oleh film pertamanya. Penulisan dibuat tak sedalam yang semestinya bisa dilakukan. Jika pada dua film sebelumnya kita melihat elemen pengorbanan yang tak lazim ditemukan dalam animasi keluarga seperti ini  – ada kaki yang hilang, bahkan nyawa – maka pada film kali ini kita tidak menemukan tindak seberani itu, meskipun film tetap masih berusaha keras menyampaikan maksud dan emosi yang melandasi setiap adegannya. Poin yang ingin diacungkan adalah bagaimana Hiccup musti ‘membebaskan’ Toothless. Masih mengharukan, tetapi kurang menggigit, buatku mainly karena kita baru saja menyaksikan elemen yang mirip pada hubungan persahabatan antara ‘manusia dengan manusia’ dalam Ralph Breaks the Internet (2018). Bukannya mau mengecilkan persahabatan antara manusia dengan hewan, aku aja gak bakal langsung tega melepaskan kucingku, tapi film ini butuh lebih banyak penekanan dari konflik inner si Hiccup seperti yang kita lihat pada Ralph. Mereka sama-sama diambang perpisahan dengan sahabat karena ulah mereka sendiri, namun pada How to Train Your Dragon ini kita teralihkan dari Hiccup ke satu relasi lagi yang kurang tergarap dengan baik.

Relasi tak-tergali dengan cukup itu adalah antara Hiccup dengan Grimmel, pemburu yang sempat memuji mendiang ayah Hiccup karena mereka satu pemikiran. Film seharusnya memusatkan konflik inner Hiccup di sini. Dia dibuat menyadari apa yang ia lakukan sebenarnya juga sama aja dengan berburu naga (meskipun naga buruan ia selamatkan alih-alih dibunuh), tapi kita tidak benar-benar melihat bobot ini mempengaruhi cerita. Lantaran si Grimmel sendiri dibuat satu-dimensi. Dia adalah penjahat kartun yang total jahat, tidak ada perbedaan filosofi seperti Hiccup dengan ayahnya di film pertama, sehingga kita pun tidak pernah benar-benar melihat dan merasakan problem personal dari Hiccup. Dia seperti membuat keputusan yang salah kemudian menjadi benar karena si antagonis ini jahat banget. Tak lebih dari itu. Di film pertama Hiccup bersusah payah memberikan pandangan baru kepada ayah dan teman-temannya, membelokkan cara pikir mereka terhadap naga, dan di film penutup ini kita melihat Grimmel dengan gampangnya punya serum untuk cuci otak mengendalikan naga-naga. Kemudahan yang timpang sekali, yang tidak memberi ruang untuk kita menarik garis paralel antara protagonis dengan antagonis. Permasalahan dalam film ini jadi seperti versi lebih ringan dari permasalahan yang sudah pernah dihadapi oleh tokoh utamanya.

 

 

 

 

Namun bukan berarti film ini tersimpulkan dengan kata kecewa. Ia tetap sebuah suguhan yang menghangatkan, yang bisa dinikmati oleh seluruh anggota keluarga. Aksinya seru, tokoh-tokohnya lucu. Sebagai penutup trilogi, film menjalankan fungsinya dengan manis. Mungkin ia sengaja menjadi begitu jinak, sehingga kita merasa sayang harus berpisah dengannya.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for HOW TO TRAIN YOUR DRAGON: THE HIDDEN WORLD.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Mengapa menurut kalian Hiccup tidak jadi ikut bersama Toothless? Apa makna membebaskan naga dalam film ini?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

BIRD BOX Review

“The way to see by faith is to shut the eye of reason.”

 

 

Peringatan keras itu diberikan Malorie kepada dua bocah yang belum lagi enam-tahun – adegan ini juga merupakan cara film membuat Sandra Bullock menerangkan ‘aturan-main’ film kepada kita para penonton – sebelum dirinya membawa anak laki-laki dan anak perempuan tak bernama itu berlarian ke hutan. Menuju jeram yang deras. “Apapun yang terjadi, jangan sekali-kali melepaskan tutup-mata kalian! Jika kalian melihat, kalian mati.”

Dari apa ketiga tokoh ini lari, kalian tanya? Kenapa mereka tidak boleh membuka mata? Film akan selang seling menarik kita mundur ke belakang, ke peristiwa lima tahun yang lalu; saat Marolie dan adiknya pulang dari dokter kandungan, saat pertama kali tren bunuh diri terjadi di dunia mereka. Bird Box adalah film adaptasi novel yang draftnya ditulis pada tahun yang sama dengan tayangnya The Happening (2008) – film yang actually melenyapkan kredibilitas M. Night Shyamalan di mata penonton film, tak terkecuali penggemarnya. Seluruh penduduk kota mendadak seperti berlomba-lomba melakukan hal menyakitkan kepada tubuh mereka. Bayangkan aksi-aksi di Jackass, hanya saja pesertanya melakukan stunt dengan patah tulang leher sebagai tujuan utama. Kita melihat satu wanita masuk ke dalam mobil yang terbakar. Kita menyaksikan orang menabrakkan diri ke bis yang sedang melaju. Semuanya kacau. Namun tidak seperti The Happening yang enggak exactly menerangkan apa yang terjadi (tersangka utama tetap para tumbuhan yang mendendam), dalam Bird Box kita diberitahu penyebab orang-orang menjadi edan itu adalah suatu makhluk, film dengan hebatnya membuat wujudnya ambigu; entah karena seram atau aneh atau apa, yang jika dilihat maka kita akan otomatis berpikir “ah baiklah, sudah saatnya aku mengakhiri hidup”

dan makhluk ini tidak bisa dicurangi seperti yang dilakukan Hermione kepada Basilisk

 

Film ini seperti terdiri dari dua bagian; bagian di masa lalu dengan nuansa thriller sekelompok orang saling-asing berkumpul, berusaha untuk bekerja sama, mencoba untuk saling kenal dan memahami, dalam usaha bertahan hidup dengan makanan materi seadanya – aku suka bagian ini karena mengingatkanku kepada The Mist (2007) khususnya pada bagian mereka harus menantang maut keluar dari tempat persembunyian untuk menyuplai makanan. Dan bagian present time di mana Malorie dan anak-anak itu mengarungi jeram dengan mata tertutup untuk mencari tempat perlindungan yang bahkan Malorie sendiri enggak yakin persis, apa sanctuary yang mereka cari beneran ada atau hanya jebakan.

Aku enggak benar-benar setuju sama cara bercerita yang bolak-balik karena pada banyak kasus membuat kita terlepas, seperti melompat-lompat antara dua situasi/perasaan si tokoh utama. Seperti ada dua versi tokoh utama; progres dan regres, dan di satu titik dua versi ini akan bertemu supaya kita mengerti. Bird Box juga bercerita seperti begini, tetapi tidak membuatku terlepas begitu lama karena cerita tahu cara mengeksplorasi situasi menjadi benar-benar menarik. See, the thing is Bird Box is not exactly ‘what-you-see-is-what-you-get” type of film. Lapisan ceritanya lebih banyak dari lapisan kain yang menutup mata Malorie. Kita bisa ‘terhibur’ oleh tokoh-tokohnya karena film ini dapat bertindak sebagai studi karakter bagaimana sekelompok orang ‘dipaksa’ bekerja sama dalam dunia yang bisa dibilang sudah kiamat. Kita akan melihat mana yang mau selamat sendiri, mana yang mengerti bahwa survive enggak sama dengan menjalani hidup. Film menambah ketegangan ceritanya dengan membuat bahwa ternyata enggak semua manusia yang melihat makhluk tersebut bakal bunuh diri. Ada sekelompok orang yang bisa (film secara tersirat menyebut kemampuan tersebut dimiliki oleh kelompok orang-orang yang terganggu mentalnya), dan mereka membentuk semacam cult yang mendedikasikan diri membuat orang-orang normal melihat ‘keindahan’ si makhluk. Ini menciptakan tensi yang berhubungan dengan rasa percaya, yang tepat sekali berlawanan dengan karakter Malorie; seorang wanita yang karena masa kecilnya, merasa lebih nyaman untuk membiarkan hatinya berada di dalam sangkar. Di dalam kotak. Seperti burung-burung yang ia gunakan untuk mendeteksi kedatangan Dia-yang-Wujudnya-Tak-Boleh-Dilihat.

I hope I can unsee that Sandra Bullock-Michael Jackson meme

 

Malorie merasa nyaman dengan tidak melihat masalah. Makanya dia begitu jago selamat sekian lama dari makhluk tersebut. Ketika dia hamil, dia tidak tertarik untuk mengetahui jenis kelamin kandungannya. Ketika anaknya lahir, dia tidak repot-repot memberinya nama. Karena dia tidak mau sakit, siapa yang bisa jamin orang yang ia cintai gak bakal pergi. Membuka hati bagi Malorie adalah kelemahan. Sama seperti membuka matanya, dia akan ‘mati’ melihat si makhluk. Buta justru jadi perlindungan utama di dunia Malorie di luar sana. Malorie tidak membiarkan harapannya terbang tinggi, dan di sinilah letak salahnya.

Kita harus percaya kepada harapan. Bahkan saat kita tidak punya alasan untuk percaya. Itulah yang namanya Blind Faith. Film ingin mengajarkan pentingnya untuk punya sesuatu yang dipercaya supaya tidak kehilangan arah dan asa dalam hidup.

 

Sayangnya, blind faith sering dikonotasikan dengan hal yang negatif; Iman-Buta sering dituduhkan menjadi penyebab keekstriman manusia terhadap agama. Padahal tidak selamanya begitu. Blind faith enggak mesti percaya pada sesuatu dengan bodohnya sehingga manut aja. Anggap kalian sedang berjalan di dalam suatu bangunan, kalian menemukan sebuah pintu dengan secarik kertas menempel padanya; bertuliskan “Ini Bukan Pintu Keluar”. Keyakinan, faith, adalah ketika kita punya alasan untuk percaya atau tidak percaya pada apa yang tertulis di pintu – mungkin kalian punya sense of direction yang bagus, pintu itu ada di barat yang mestinya memang ke arah luar, something like that. Blind Faith, sebaliknya, adalah kalian percaya itu bukan pintu keluar, meskipun kalian enggak tahu pasti tulisan tersebut bener atau enggak; siapa yang nempelin di sana, siapa yang menulisnya – bisa saja itu cuma prank dan beneran pintu keluar, atau bisa saja itu tantangan dan pas dibuka di baliknya ada kru TV ngasih hadiah uang tunai sebagai hadiah kuis.

Namun bagi mereka yang sudah percaya begitu saja itu bukan pintu keluar, apa pun di balik itu mereka anggap jurang. Katakanlah isi di balik pintu memang harta karun, apakah, mereka merugi? Tidak, karena orang tidak bisa dibilang rugi dengan kehilangan sesuatu yang belum menjadi milik mereka. Pada orang yang beriman-buta, yang percaya seratus-persen; fakta – benar atau salah – bukan lagi persoalan karena mereka percaya apa yang dipilih itu bermanfaat. Hal yang sama terjadi kepada Malorie ketika dia mendengar broadcast ada sanctuary setelah jeram. Ini adalah titik ketika Malorie – yang selama hidupnya menolak untuk ‘melihat’ ketika dia ‘diperbolehkan’ – diharuskan untuk belajar menaruh harapan. Meletakkan kepercayaannya, blindly. Di sinilah pemilihan cara bercerita Bird Box mendapat pengampunan. Di saat bersamaan dengan Malorie mendengar panggilan radio, kita merasakan ambigu yang luar biasa, kita memahami dilema yang dihadapi. Adegan ini yang menjadi plot poin, menghantarkan kita masuk ke babak tiga; kita sudah punya pegangan terhadap cult dan apa yang mereka lakukan – film membuat isi broadcast yang didengar Malorie sama dengan paham para penganut cult sekaligus kita sudah tahu gimana hubungan Malorie dengan anak-anak ini, dalam keadaan seperti apa kondisi mental dirinya sekarang. Jika film berjalan dengan narasi yang paralel, tidak bolak-balik, salah satu dari dua elemen dilema ini belum akan terbangun sempurna; efek yang dihasilkan tidak akan sekuat yang diniatkan.

.

 

Aku senang dengan keluarnya film ini, di masa mendatang aku bisa bikin acara nonton maraton film-film Enggak Bisa Lihat – Enggak Bisa Bicara – Enggak Bisa Dengar – Enggak Bisa Napas. Garapan Susanne Bier ini tak pelang memang memberikan pengalaman tercekat tersendiri. Dia berhasil membuktikan dalam film horor itu bukan harus penampakan seram yang mutlak memberikan perasaan menakutkan. Makhluk dalam film ini wujudnya dibiarkan sesuai imajinasi, bahkan pada tokoh-tokohnya sendiri makhluk ini tampil dalam wujud yang berbeda-beda. Film mengimplikasikan cara kerjanya sama dengan Dementor; menampilkan wujud yang paling menakutkan dan menyedihkan buat yang lihat. Aturan-main diset dengan detil, meski banyak beberapa aspek cerita yang tidak dijelaskan – yang hanya di sana karena naskah menuntut seperti itu. Seperti kain penutup yang tidak benar-benar membuat orang ‘buta’. Atau kenapa cuma burung, bagaimana dengan hewan lain apakah mereka kena pengaruh makhluk? Rentang waktu lima-tahun juga tidak dipergunakan banyak selain untuk membuat bayi-bayi itu tumbuh menjadi bocah. Film menuntun kita supaya tidak melihat lebih banyak dari yang mereka perlukan.
The Palace of Wisdom gives 5.5 gold stars out of 10 for BIRD BOX.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Apakah menurut kalian blind faith itu bagus, atau enggak? Would you follow your religion blindly? Ataukah kalian perlu alasan untuk mengimani kepercayaan yang kalian anut?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

THE HOUSE THAT JACK BUILT Review

“…why the mad do mad things”

 

 

Sadis ya filmnya.

Enggak sih, itu kan seni.

Bunuhin orang kayak gitu kamu bilang seni?

…….

Motong kaki anak bebek sampai dia enggak bisa dansa empat kali. Berburu anak kecil dan ibunya dengan senapan seolah sedang santai sore berburu rusa. Menguliti payudara wanita setelah merendahkan orangnya. Begitu kamu bilang seni? Saya sih bersukur banget yang kita tonton versi yang udah disensor.

Film ya seni. Boleh dong nampilin pembunuh. Lagian memangnya pembunuh enggak boleh punya jiwa seni? Orang si Jack juga membunuh karena ia menganggap perbuatannya sebagai proyek seni rupa, kok. Dia menciptakan sesuatu dengan mayat-mayat itu. Si anak kecil bibirnya disulam supaya tersenyum selalu kayak patung malaikat. Kulit si cewek, dijadiin dompet. Lihat gak di menjelang akhir? Mayat-mayat dijadiin rumah. Itu kan namanya si Jack berkarya.

Tapi kan, yang dia lakukan ke orang-orang itu….. jahat!

Lah, manusia lain juga sama jahatnya. Toh tidak ada yang datang menolong, atau tampak peduli, meski dalam setiap tindakannya Jack practically kayak minta ditangkap, dia seperti sengaja kurang berhati-hati.

Cukup aneh sih, dia bisa sebegitu beruntungnya enggak pernah kepergok. Bahkan hujan turun membantu menghapus jejak darah yang ia tinggalkan. Seolah dunia memberi izin.

Ingat gak setelah itu, di ceritanya yang kedua, Jack hampir tertangkap polisi karena dia selalu balik ke rumah korbannya?

Hahaha oiya, yang dia OCD itu kan. Jack enggak tahan membayangkan gimana kalo ada darah yang lupa ia hapus di bawah kursi, atau di balik karpet. Dia gak bisa nahan diri. Dia nekat balik untuk mengecek. Berkali-kali.

Tapi toh dia tidak ketahuan. Polisi yang memergoki pun ternyata bego banget.

Jack berkembang menjadi semakin reckless ya, setelah menyadari orang lain sama tidak-baiknya dengan dirinya.

Baik dalam artian moral sih iya, kupikir. Jack mengisahkan dua-belas tahun kiprahnya sebagai serial-killer. Dan di film ini kita melihat episode pertama dia membunuh orang; dia justru membunuh karena ‘diledekin’ sama wanita cerewet yang minta tumpangan.

Jadi menurut Jack, semua orang pada dasarnya jahat?  

Lebih ke jahat dan baik tidak jadi soal, kali ya? Malahan poin si Jack kan memang setiap manusia dilahirkan dengan kejahatan binatang. Kita menciptakan agama dan peraturan untuk menekan nafsu jahat tersebut. Jack hanya mengembrace sisi jahatnya. Dia mengekspresikan diri lewat perbuatannya tersebut. Jack memikirkan apa yang ia kerjakanlah yang jadi soal. Seperti memeras anggur kan, ia mencontohkan, anggur harus dirusak – dibiarkan keriput; ada banyak cara untuk mengesktrak airnya.

Bukankah seharusnya Jack membangun rumah?

Bicaranya metafora, dooong. Ungkapan simbolik hahaha.

Lucu juga melihatnya sebagai mengekspresikan diri. Wong si Jack setiap aksinya selalu berpura-pura. Menurut saya sih tetap saja poinnya adalah Jack ini jahat. Dia mempelajari manusia supaya bisa dengan mudah memanipulasi korbannya. Dia mempelajari sejarah dan segala macam supaya bisa cari celah untuk pembenarannya perbuatannya. Dia bisa saja nyalahin orang lain; dia membunuh karena digebah, dia beraksi karena ada kesempatan. Terakhir dia masuk neraka kan, ya

Babak terakhir itu keren banget sih memang. Jack digambarkan masih berjuang hingga akhir hayatnya. Berjuang atas nama seni dan hal yang ia percayai.  Film ini pun dibuat atas dasar demikian. Pembuatnya ingin mengajak kita diskusi tentang apa yang selama ini ia lakukan.

Ini sutradaranya si Lars von Trier yang hobi cari ‘sensasi’ itu kan? Yang dulu di depan umum pernah nyebutin dirinya bersimpati dengan Hitler. Apa Jack di film ini adalah representasi pikirannya sendiri?

Bisa jadi. Mungkin nun jauh di dalam sana dia juga enggak mengerti di mana ‘salah’nya ucapan tentang Hitler yang ia bicarakan. Film enggak harus politically correct, kan. Yang jelas film bicara tentang gagasan dan bagaimana menceritakan gagasan tersebut. Jadi, ya film ini, apa yang dilakukan Jack sebagai tokohnya, buatku itu seni. Banyak orang yang ngeloyor keluar karena gak tahan melihat adegannya, banyak suara-suara protes, itu sesungguhnya tepuk tangan bagi telinga von Trier. Dia memang mengincar reaksi seperti itu.

Nah itu dia! ‘Mengincar reaksi’. Bukankah seni itu seharusnya adalah ajang ekspresi. Saya berasumsi kita masih memegang motto “To express, not to impress”. Membuat sesuatu demi impresi menurut saya sudah bukan murni seni lagi itu namanya.

Mungkin penikmat juga turut andil dalam menentukan? Sebab semua hal niscaya diciptakan dengan desain rasa dan pikiran sang pembuat. Seni pun sesungguhnya adalah bentuk komunikasi, kan? Justru menurutku, penonton yang walkout-lah yang menunjukkan sikap gak-respek

Meskipun filmnya tidak dimengerti, atau susah ditonton karena begitu ‘menyinggung’ dan disturbing?

Ya, karena mereka-lah yang memutuskan hubungan komunikasi yang sedang berusaha diciptakan. 

Persoalannya adalah; Apakah ada yang menikmati hasil kerja Jack selain orang yang sama haus darahnya?

Wah kau ngatain aku?! Aku jadi teringat pernah ikut pelatihan nulis kritik dan pembicaranya menyebutkan tulisan kritik film itu bukanlah sebuah seni. Lancang sekali!

Ini seperti mengatakan apakah rumah adalah sebuah karya seni.

Kalo begitu penentunya harus dari pembuatnya? Rumah yang dibangun oleh kuli hanyalah sebuah bangunan tanpa arti lebih. Tapinya lagi apakah tidak ada perbedaan pada hasilnya antara wartawan menulis kritik dengan, katakanlah, seniman yang menulis kritik?

Tetap tidak. Karena kritik pada akhirnya tetap berupa kepentingan untuk reportase. Kenapa pula musti repot membuat ribet hal yang tadinya diciptakan untuk menjabarkan karya seni-bercerita kepada pembaca yang menonton.

Kembali lagi ke titik awal dong, kita. Kalo yang dinilai adalah hasilnya, kenapa mayat-mayat hasil eksperimen Jack tidak kau anggap sebagai karya seni. Bodo amat dia membunuh atau bukan. Dia seniman. Dengan media mayat.

Sepertinya saya sudah menemukan jawabannya. Proses kreatif. Seni dinilai dari proses kreatif pembuatannya. Seni terutama, seperti kata ‘teman khayalan’ Jack si Verge, adalah proses yang melibatkan cinta.

Kurang kreatif apa coba, si Jack? Dia sama seperti pesawat penerjun Jerman itu, dia punya desain tersendiri. Dia bicara kepada Verge atas dasar kecintaannya terhadap seni itu sendiri.

Hahahaha… Jack ngobrol sama Verge – sama kepalanya sendiri, seperti kamu bicara kepada saya, proses kreatifkah itu namanya? Apakah kamu lantas mau memberi saya nama juga?

…   Iya dan tidak. Karena kau sesungguhnya tidak ada.

Maka, teman, kamu adalah orang gila!

 


Rumahnya beda banget ama yang “AJ Styles built!”

 

 

 

That’s all we have for now.
Film paling polarizing tahun ini. Sanggupkah kalian menyaksikannya hingga habis? Ada banyak imaji kekerasan di sini, yang diselingi oleh bincang-bincang cerdas tentang pembuatnya, tentang kejahatan manusia, tentang seni itu sendiri.  Bagaimana pendapat kalian tentang seni? tentang film ini? Buatku ini adalah salah satu film yang paling susah untuk direview, atau bahkan untuk ditonton lagi.
The Palace of Wisdom gives 9 gold stars out of 10 for THE HOUSE THAT JACK BUILT.

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

ONE CUT OF THE DEAD Review

“The critic has to educate the public; The artist has to educate the critic.”

 

 

 

Tidak terima filmnya ‘dinilai’ dengan semena-mena, Lukman Sardi pernah sempat ‘ribut’ dengan netijen yang mengaku sudah menonton. “Woiiii pada2.. bikin film itu nggak segampang lo pada pikir… lo tau nggak proses shooting kayak apa? Lo tau nggak proses setelah shooting juga kayak apa?” begitu bunyi pertahanan yang ia amukkan di instastory, Agustus 2018 yang lalu. Film One Cut of the Dead benar-benar seperti gambaran dramatis, dan lucunya jadi sangat menghibur, dari pernyataan – jerit hati – seorang pembuat atau praktisi film seperti Lukman Sardi.

Ketika sudah terbiasa melihat film secara kritis, menonton tiga-puluh-tujuh menit pertama garapan sutradara Shinichiro Ueda ini bakal bikin kita geram. Begitu banyak ketidakkompetenan. Terlihat terlalu ‘murahan’. Perspektif kameranya juga membingungkan, mereka seperti meniatkan kita melihat dari kamera kru, tapi sebagian besar adegannya kamera lebih terasa seperti ‘mata Tuhan’ (zombie sama sekali tidak mengejar kameramen), dan semakin bingung saat sutradara bicara langsung ke kamera. Satu-satunya hook yang membuat kita tetap duduk di sana adalah teknik shot panjang, tak terputus, yang mereka gunakan. Menakjubkan dan mengundang penasaran, apa yang mereka lakukan dalam merekam film. Sementara itu, cerita yang kita lihat tampak seperti tentang seorang aktris yang mengalami kesulitan mendalami karakter dalam proses syuting film zombie. Kemudian, selagi mereka break syuting, duduk-duduk ngobrol membahas keangkeran lokasi, salah satu kru menjadi zombie beneran. Suasana menjadi kacau, mereka kocar-kacir pengen nyelametin diri. Namun sang sutradara tak peduli, dia tetap menyuruh pemain dan kru untuk terus merekam. Sampai di sini kita tidak tahu motif tokoh utamanya, apa paralelnya dengan cerita.

Tapi tentu saja ada desain dari kegilaan semacam ini. One Cut of the Dead adalah jenis film yang akan semakin berkali lipat bagusnya jika ditonton dengan memahami terlebih dahulu, mengetahui terlebih dahulu, konsep yang film ini gunakan. Karena film ini memakai struktur bercerita yang sama sekali berbeda. Meminta kita untuk bertahan, mungkin menggigit bibir sampe berdarah untuk enggak keceplosan menghina, dan semua itu akan terbayar tuntas ketika kita sampai di bagian akhir. Apa yang terjadi di bagian akhir akan membuat kita memandang keseluruhan film dalam cahaya yang berbeda. Tokoh utama yang di film awal tadi bukan tokoh utama cerita film ini sebenarnya. Technically, ini bahkan bukan cerita tentang invasi zombie! Bagian zombie-zombie yang kita saksikan dengan menyipitkan mata merendahkan di awal itu actually adalah presentasi film yang dibuat oleh tokoh film ini. Dan jika ingin bicara secara teori skenario, film ini sendiri barulah dimulai setelah kredit film di awal tadi bergulir. Dalam sense waktu, kita bisa menyebut film ini sebenarnya baru dimulai pada menit ke-empat puluh, atau sekitar babak kedua pada film-film normal yang kita tonton.

mendeskripsikan film ini; seperti menonton The Room nya Tommy Wiseau dan The Disaster Artist (2017) dalam sekali duduk sebagai satu film yang utuh

 

 

One Cut of the Dead menjadi pintar dan berfungsi efektif berkat pilihan struktur bercerita yang mereka gunakan. Mereka sebenarnya bisa saja memulai cerita dengan adegan yang menjelaskan pemutaran film di dalam film, menuturkan siapa tokoh utama yang jadi fokus cerita, tapi jadinya enggak bakalan seseru yang kita lihat. Karena, seperti yang bakal kita pelajari di pertengahan film, acara yang mereka syut actually adalah acara langsung. Aspek live-show inilah yang dijadikan stake/taruhan; sesuatu yang membuat proses syuting mereka harus berhasil no-matter-what. Lalu unbroken shot yang dilakukan itu bertindak sebagai tantangan yang harus dihadapi. Aku percaya deh, take panjang tanpa cut itu beneran susah untuk dilakukan; untuk film pendek keduaku yang cuma lima menitan, aku tadinya pengen shot yang tanpa cut, dan itu aja udah melelahkan sekali untuk pemain dan kru lantaran setiap ada yang salah mereka harus mengulang sedari awal. Setnya harus dibenerin ulang. Make up kudu dipasang lagi. Apa yang dicapai oleh film ini, mereka ngerekam adegan enggak pake cut selama tiga puluh menit – aku bisa bilang, sebuah kerja sama dan perjuangan yang keras.

Membuat penonton mengetahui stake dan tantangan belakangan memperkuat esensi drama dan komedi yang ingin dihadirkan. Lantaran kita sudah terbiasa ngejudge dulu baru mau mencoba untuk mengerti. Ketinggian emosional inilah yang sepertinya ingin dicapai oleh film sehingga kita diperlihatkan dulu ‘kegagalan’ mereka. Dan setelah itu, dengan kita mengerti rintangan dan apa yang sebenarnya terjadi, ‘kegagalan’ tadi berubah menjadi ‘keberhasilan yang menggetarkan hati’ di mata kita.

Namun apakah semua film harus dilihat seperti begini? Apakah kita akan memaafkan semua film jika semua film dikerjakan susah payah seperti film pada film ini? Benarkah seperti yang dikatakan oleh Lukman Sardi, penonton harus mengerti dulu seluk beluk pembuatan sebuah film sebelum berkomentar?

 

Menonton film ini, bagiku, benar-benar membantu mengingatkan kembali bahwa apa sebenarnya yang disebut dengan film; Sebagai sebuah kerja tim. One Cut of the Dead bisa saja dibuat sebagai surat cinta kepada para pembuat film, untuk menyampaikan pesan yang memberikan semangat di tengah-tengah perjuangan keras mewujudkan suatu karya yang bakal ditonton oleh banyak orang. Mengutip perkataan dari seorang mendiang pegulat dan promotor, Dusty Rhodes, bahwa jika 70% saja show yang kita kerjakan berjalan sama dengan yang tertuai di atas kertas (naskah), maka itu udah termasuk sukses berat. Karena memang pada kenyataannya, apa yang kita lakukan tidak akan berjalan mulus sesuai rencana. Terlebih dalam sebuah proyek yang melibatkan banyak orang seperti film ataupun acara pertunjukan dalam bisnis hiburan. Kadang pembuat film perlu melalukan penyesuaian besar-besaran. Penulisan ulang. Setiap kru harus sigap dan mampu beradaptasi dengan perubahan dadakan tersebut. Dalam film ini kita akan melihat ketika macet, kondisi kesehatan, dan attitude dari aktor dijadikan faktor luar yang mengguncang ‘zona nyaman’ yakni jadwal dan visi dari sutradara.

Menurutku, film ini penting untuk ditonton banyak orang, terutama oleh para pengulas dan kritikus film. Supaya kita bisa mengetahui apa yang terjadi di balik layar. Tentu, sebagai penonton kita toh tidak perlu tahu susah-senang para kru film, karena bukan kerjaan penonton untuk mengetahui hal tersebut. Kita enggak bayar tiket mahal-mahal untuk melihat itu. Kita tidak perlu tahu dulu cara membuat film untuk dibolehin mengkritik film. Tapi kita, paling tidak, perlu untuk mengetahui apa yang sedang kita bicarakan, kita perlu mengintip sedikit jerih payah yang mereka lakukan. Bukan untuk membela dan mengasihani, melainkan supaya kita bisa menghimpun sesuatu yang lebih adil dalam mengkritik.

Lebih sering daripada enggak, sebenarnya kita hanya senang mengolok-olok film. Kadang kita bersembunyi di balik istilah ‘kritik-yang-membangun’ padahal yang sebenarnya kita lakukan hanyalah nge-bully sebuah film. Tidak ada yang namanya “kritik yang membangun.” Sebab, kritik dari asal katanya sendiri berarti suatu tindakan yang mengulas. Melibatkan memilah dan memilih. Jika film adalah komunikasi antara pembuat dengan penonton, maka kritik seharusnya adalah sesuatu yang menjembatani – yang memperkuat arus komunikasi di antara kedua pihak tersebut. Kritik haruslah netral, dalam artian ketika kita menulis keburukan maka kita kudu menyeimbangkannya dengan kebaikan, pesan, atau hal-hal yang sekiranya membuat orang masih tertarik untuk menontonnya.

Ngata-ngatain sebuah film “jelek”; itu baru sekadar ngebully bareng-bareng.

Mengatakan sebuah film “jelek”, seharusnya “begini”; itu saran yang membangun, tapi belum cukup untuk dikatakan kritik.

Menyebut kekurangan film, kemudian berusaha menggali alasan – dengan melihat konteks – kenapa film melakukan hal tersebut alih-alih melakukan hal yang “benar”; itulah yang harusnya terkandung di dalam tulisan-tulisan yang melabeli diri sebagai sebuah kritik film.

 

tapinya lagi, benar relevan gak sih keadaan yang dicerminkan film ini dengan pembuatan film di Indonesia, mengingat orang Jepang itu kan disiplin semua?

 

 

Tiga babak pada film ini bukanlah pengenalan, konflik, dan penyelesaian. Melainkan hasil, barulah kembali ke pengenalan dan konflik. Cara bertutur yang memang memancing drama, tapi tidak serta merta meminta dikasihani. Karena disuarakan dengan nada komedi yang tinggi. Film juga menyinggung soal kemungkinan paradoks yang terjadi kepada para pembuat film yang ingin menunjukkan kemampuan sekaligus juga dituntut berdedikasi dalam sebuah proyek yang mungkin enggak sesuai dengan mereka sendiri, tetapi tetap harus diambil karena semuanya dianggap sebagai tantangan. Menakjubkan apa yang dicapai oleh film yang sebenarnya simpel dan mengambil resiko besar ini. Actually, buatku ini adalah salah satu film yang paling susah untuk ditentuin rating angkanya, karena dia bagus dari pencapaian. Tapinya juga adalah film yang ‘jelek’; bukan dalam sense kita harus membencinya, melainkan bagaimana dia dibangun. Film ini baru akan bagus sekali, ratingnya bisa nyaris lipat ganda, jika ditonton untuk kedua kali, saat kita sudah tahu konsep yang mereka gunakan sehingga tidak lagi melihatnya sebagai film sebagaimana mestinya. Dan di situlah kekuatan film ini; tidak akan membosankan jika ditonton dua kali. Namun, sebagai first-viewing tanpa mengetahui apa-apa tentangnya;
The Palace of Wisdom gives 5.5 gold stars out of 10 for ONE CUT OF THE DEAD.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Menurut kalian, seperti apa sih kritik film yang bagus? Seberapa besar kritik film berpengaruh buat kalian? Apakah kalian merasa perlu untuk mengetahui latar belakang film sebelum menonton filmnya?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

MILLY & MAMET Review

“You just can’t make everyone happy”

 

 

Dalam sebuah adegan manis yang berhubungan dengan brownis coklat, kita akhirnya mengetahui gimana ceritanya si cupu Mamet bisa sampe jadian ama – bahkan memperistri – cewek terkocak di geng AADC, Milly.

Prolog film ini bukan saja dengan tepat mengisi babak kosong antara film AADC Pertama dengan Kedua sehingga penasaran kita terjawab, melainkan juga dengan lancar menyambungkan rasa – mengikat nyawa. Seolah tiga film ini memang dibuat sebagai kesatuan oleh orang yang sama. Mira Lesmana enggak salah pilih mempercayakan semesta Cinta untuk dikembangkan cabangnya kepada Ernest Prakasa. Di bawah helm kreatif Ernest (dalam film ini tokoh yang diperankan oleh Ernest literally pake topi yang bertulisan slogan-slogan lucu yang kreatif), Milly & Mamet menjelma menjadi cerita komedi drama mengenai persoalan yang dihadapi oleh orangtua muda. Untuk seterusnya setelah kredit pembuka bergulir kita akan melihat masalah seputar pekerjaan dan gaya hidup yang dialami oleh Milly dan Mamet; seorang suami yang ingin membahagiakan istri dan anaknya dan seorang istri yang berusaha menjaga suami dan anaknya, sembari terus berjuang untuk tidak melupakan kebutuhan dirinya sendiri. Kita akan melihat bagaimana Mamet seharusnya menyadari bahwa dirinya bukan coklat; dia tidak akan bisa; dia harus berhenti untuk berusaha membuat senang semua orang.

Mamet mamen

 

 

Secara mengejutkan, film memang bakal banyak bicara tentang makanan. Porsi dan peran makanan di film ini malah cukup besar untuk kita menjadi sah-sah saja menyebutnya sebagai pesaing Aruna & Lidahnya (2018) dalam kontes film masak-memasak. Makanan yang mempertemukan, yang menjadi bagian dari konflik, dan eventually menjadi solusi. Mamet, setelah lulus SMA, punya mimpi untuk membuka restoran sendiri. Dia menjadi begitu ‘perhatian’ terhadap dunia kuliner setelah sempat bereksperimen mencari resep brownis yang enggak menyebabkan diabetes untuk mendiang ayahnya. Tapi untuk separuh pertama, kita akan jarang melihat Mamet memasak lantaran dia bekerja di perusahaan konveksi milik ayah Milly. Persimpangan bagi Mamet kemudian muncul dalam bentuk tawaran mendirikan restoran sehat, di mana Mamet ditampuk untuk menjadi kepala chefnya. Alexandra, diperankan oleh Julie Estelle, adalah seorang sahabat lama yang membawa Mamet bersalaman dengan ‘The Devil’. Karena begitu Mamet pindah bekerja ke sana, konflik rumah tangga mulai muncul. Dari Milly, istri yang insecure suaminya kerja bareng orang lain ke senti.. eh salah, ke Mamet, suami yang insecure istrinya ikutan kembali kerja sehingga telat pulang ke rumah mengurus anak mereka.

Sebagai Generasi Milenial, Mamet adalah perwujudan dari penyakit yang bersarang pada Generasi Milenial itu sendiri. Selain naif akut, dia juga orangnya ‘pasrah’ banget. Kita mengerti beban yang ia tanggung, sebagai suami dan seorang ayah, yang membuatnya tidak bisa begitu saja mengejar apa yang dia mau. Tapi melihatnya begitu ‘pasif’ dan tau-tau meledak marah, cukup menyiksa kesabaran buatku. Sebagai perbandingan, kita bisa melihat gimana sikap Miles Morales terhadap pilihan yang ia ambil pada Spider-Man: Into the Spider-verse (2018)Morales dengan sengaja menjawab pertanyaan ujian dengan memilih jawaban yang salah supaya ia dikeluarkan dari sekolahnya; karena dia merasakan gak nyaman pada hatinya saat bersekolah di sana. Beda dengan Mamet yang satu generasi lebih tua; Mamet yang kurang berminat kerja di konveksi, tidak melakukan apa-apa karena dia berpikir dia akan membantu mertua, istrinya, dan banyak orang dengan tetap bekerja di sana. Namun begitu dia melakukan kesalahan ketika dia merasa sudah melakukan hal yang benar, dia didamprat oleh pak mertua – di depan bawahan, di depan istri yang sampe berlinang air mata, barulah ia berontak minta keluar. Ini kesannya manja sekali alih-alih membuat keputusan. Mamet menghabiskan sebagian besar waktu menjadi ujung dari bahan candaan, dia tidak melihat apa yang ‘salah’ di sekelilingnya, bahkan justru Milly yang lebih banyak melakukan ‘aksi’

Namun begitu, jika dibandingkan, secara penulisan karakter memang lebih mendingan Mamet, sih. Dia punya progres. Arcnya dibuat menutup, cara dia memandang hidup di awal cerita akan berbeda dengan di akhir cerita. Kita melihat sifat Mamet-yang-lama pada dirinya perlahan terkikis; ada proses pendewasaan. Berbeda dengan Milly yang sudah tidak tampak seperti Milly yang kita kenal. Aku bukan bicara soal penampilan akting Sissy Priscillia kurang baik dibandingkan Dennis Adhiswara, keduanya diberikan kesempatan men-tackle range emosi yang sama luas, dan masing-masing berhasil melakukannya. Hanya saja karakter Milly seperti kurang tereksplor dibandingkan Mamet. Di film ini, Milly terasa pintar. Adegan kocak ketika dia ngobrol dengan asisten rumah tangganya, tampak seolah seperti melihat Milly berbicara dengan dirinya dulu; yang lemot, yang telmi, yang suka ngasal kalo ngomong. Kita tidak melihat proses perubahannya – di awal dengan di akhir, karakter Milly tidak banyak berubah padahal justru dia yang banyak menggerakkan narasi. Antara Milly dan Mamet; terasa seperti plotnya ada pada Mamet, sedangkan aksinya bagian Milly. Aku merasa dua tokoh ini seperti satu tokoh utama yang dibagi ke dalam dua tokoh. Film bisa saja menggali kecemburuan Milly berdasarkan dirinya menyadari ia lemot sedangkan Alex adalah cewek yang pintar, tapi tidak dilakukan karena Milly di film ini sudah bukan Milly yang dulu. Dan buatku mengecewakan kita tidak diperlihatkan progres karakternya sebanyak progres Mamet; padahal mereka berdua diniatkan sebagai tokoh utama.

Nyenengin semua orang enggak akan membuat kita bahagia. Usaha tersebut justru akan berbalik, membuat kita merasa kesepian, merasa kalah, merasa tidak diperhatikan oleh orang lain. Alih-alih mencoba membuat banyak orang bahagia sehingga mereka senang kepada kita, bahagiakan dulu diri sendiri. Tentukan apa yang membuatmu bahagia, dan ambil pilihan demi bergerak ke arah sana.

 

Milly dan Mamet tadinya adalah karakter pendukung yang berfungsi sebagai pemantik kelucuan dalam dunia Ada Apa dengan Cinta. Sissy dan Dennis, praktisnya, bukan pemain baru dalam mendeliver komedi. Aku malah paling suka Sissy ketika dia berperan sebagai Olga dalam serial Olgamania yang diadaptasi dari buku karangan Hilman. Di serial itu Sissy ngocol banget, cocok ama karakter Olga. (Dan buat hiburan personalku, aku senang sekali melihat hubungan antara Sissy, Olga, dan Lupus di menjelang akhir pada adegan dengan lagu Sheila on 7 yang dulunya jadi theme song serial Lupus hihi)

Film Milly & Mamet yang dibuat sebagai komedi romansa jelas bukan ranah asing bagi Sissy ataupun Dennis, aku yakin kedua aktor ini sanggup menyampaikan drama dan lelucon dengan sama baiknya. Tapi film ini, sebagaimana film-film Ernest sebelumnya, tetap mengotakkan bagian drama dengan komedi tersebut. Keputusan ini membuatku bingung. Film tetap memberikan porsi komedi kepada tokoh-tokoh pendukung, yang banyak banget; ada banyak karakter satu-dimensi yang hanya untuk pemantik tawa. Padahal ada banyak adegan yang gak urgen banget dikasih ke Komika, misalnya, mereka bisa saja memberikan porsi ‘ngefans berat ama food reviewer’ kepada tokoh Mamet – toh bisa menambah range dan karakter si Mamet sendiri. Adegan-adegan dengan Komika dan bintang tamu, justru mengganggu pace cerita, menciptakan sekat dengan drama, sehingga tone cerita jadi terasa kurang nyampur. Film seharusnya lebih mulus mencampurkan sehingga komedi bisa didatangkan dari tokoh-tokoh yang krusial. I mean, kurang lucu apa coba adegan Milly sok ikut ngereview makanan dengan adegan Sari lagi pesen minum?

Apa yang kamu lakukan ke saya itu, Garing!

 

Seperti generasi milenial yang angkuh, penyadaran yang dialami oleh tokohnya mengandalkan kepada pihak lain yang ternyata lebih ‘salah’. Film melakukan treatment yang baik dan melingkar sebenarnya, kita juga melihat penggunaan komedi yang pas, hanya saja elemen jalan keluar berupa ada orang lain yang lebih salah ketimbang aktual penyadaran yang didorong oleh inner karakter membuat penyelesaian film ini tidak terasa impactful. Seperti jika sebuah komedi yang punchlinenya kurang kuat. Karena kan sebenarnya ‘anatagonis’ dalam inti cerita ini bukanlah orang lain, melainkan ego dan pilihan si dua tokoh ini sendiri.

 

 

 

Saat menonton, mungkin sebagian kalian sudah ada yang kepikiran “kenapa mereka gak melakukan itu saja” dan ternyata pikiran kalian tadi memang dilakukan oleh penyelesaian cerita. Salah satu ‘kekurangan’ yang datang dari ketika kita yang sudah bisa melihat struktur cerita menonton film yang dibuat oleh penulis yang juga paham ama struktur cerita adalah kita bisa mengetahui ujung cerita bakal seperti apa. Untuk hal demikianlah andil sutradara dibutuhkan; untuk membuat cerita tetap menarik. Film ini strukturnya terang, dengan stake yang sebenarnya enggak terlalu kuat, namun arahannyalah yang membuat film terasa biasa saja. tetap terasa on-off karena drama dengan komedi di sini masih lebih sering kekotaknya ketimbang bercampur. Film ini memang secara keseluruhan adalah peningkatan dari garapan Ernest sebelumnya. Dia memberikan sentuhan tersendiri pada tokoh-tokoh yang sudah dikenal. Namun, Ernest sebagai sutradara butuh untuk melepaskan diri dari konsep atau formula cerita komedi yang selama ini ia gunakan, dan mencoba melakukan hal yang baru. Jika tidak, ia hanya akan menjual barang yang gitu-gitu saja di toko yang dibangunnya dengan penuh passion.
The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for MILLY & MAMET.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Apakah kalian punya mimpi yang belum terwujud hingga sekarang karena terhalang masalah kenyataan? Sejauh apa kalian menyimpang dari apa yang sebenarnya ingin kalian lakukan dengan apa yang sekarang kalian lakukan?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017