PATERSON Review

“Repeat daily: Today I’m thankful”

 

patersonposter_1200_1788_81_s

 

Tidak ada yang extraordinary dari kehidupan Paterson. Dia tinggal di rumah sederhana bersama istrinya yang cantik. Rutinitas hidupnya biasa saja. Paterson bangun pagi, sarapan, berjalan kaki ke tempat kerjanya, yaitu garase besar tempat bis kota sudah siap menunggu dikemudikan olehnya. Sorenya Paterson pulang, betulin kotak surat yang miring di depan rumah, ngobrol dengan istrinya. Malam hari dia membawa anjing piaraan mereka jalan-jalan. Paterson nyempetin minum di bar. Ngobrol dengan bartender. Dan pulang untuk tidur. Begitu terus setiap hari dengan kegiatan yang sama. Paterson adalah orang biasa dengan kerjaan yang biasa. Namun di samping kerjaan yang memang harus dilakukan for living, sesungguhnya orang-orang punya ‘kerjaan’ lain. Entah itu ikutan turnamen catur, belajar lagu country, atau dalam kasus Paterson; menulis puisi. Dalam perjalanan ke maupun dari tempat kerja, Paterson merangkai kata di dalam benaknya. Kata-kata yang untuk kemudian dia tuliskan ke dalam buku catatan, karena Paterson sesungguhnya juga adalah seorang penulis puisi.

Segala KE-‘BIASA’-AN tersebutlah yang justru membuat film ini jadi LUAR BIASA. Maksudku, it was really surprising gimana cerita kehidupan where there’s nothing to it seperti ini bisa lulus sebagai film. Aku enggak kebayang loh gimana susahnya penulis merangkap sutradara Jim Jarmusch memperjuangkan film ini. Aku sedari taun lalu ke mana-mana pitching cerita tentang kompor yang berbicara dan sampe sekarang masih ditanggepin dengan eye-rolling. I mean, cerita aneh aja gak ada jaminan bisa nemu jodoh. And now we have ordinary story with nothing happened. Gimana ngepitchnya coba?

Writer: “Oke ehem.. jadi, ini adalah film tentang seorang pengemudi bus yang menulis puisi..”
Studio: (tanpa mengangkat kepala, pura-pura baca sinopsis padahal lagi ngeliatin foto ibu guru si Amel di hp) “Terus? Terus? Ntar bomnya di mana?”
Writer: “anu.. enggak ada bom.. dia cuma nulis puisi.”
Studio: “Enggak ada bom? Teroris ada? Kebut-kebutan di jalan harus ada sih ya, biar seru.” (sinopsisnya sekarang dijadiin kipas, maklum gerah mau ujan)
Writer: “umm..bisnya ntar sempat rusak sih sekali.. electrical problem gitu..”
Studio: “Bisnya enggak bisa jalan-jalan ke luar negeri dong? Cinta segitiganya mana? Vampirnya?”
Writer: “e..e..enggak ada”
Studio: (ngobrol di telepon)
Writer: “gimana he, Pak?… Pak?”

 

We totally harus sangat berterima kasih kepada orang-orang yang berhasil mewujudkan film ini. I love this movie from the beginning to end. It is so relatable. Aku dulu suka nulis notes Pelit gitu di facebook, dan kemudian teman-teman mulai nulisin cerita mereka juga, fb akhirnya seru oleh kami yang saling tag cerita. Aku pengen blog ini juga bisa bikin orang-orang tertarik nulis, jadi aku buka kesempatan buat teman-teman yang mau berkontribusi buat majangin buah pikiran mereka. Sebagaimana film Paterson yang ceritanya sungguh-sungguh menginspirasi.

Film ini adalah PERAYAAN DARI HAL-HAL YANG LUMRAH. Hal-hal biasa, yang dilakukan orang sehari-hari. Memang, tidak ada adegan ‘gede’ di sini, beberapa penonton akan mati kebosanan karena pacing yang lambat dan practically enggak ada yang terjadi. Namun aku secara konstan terus tertarik by just how different this movie is. Strukturnya enggak terasa kayak yang biasa kita lihat di film-film. Elemen ceritanya dengan berani menyorot orang biasa. Pria yang ngendarai bis, dengerin obrolan penumpang, makan siang di taman sambil nulis puisi. Wanita yang punya banyak mimpi tapi dia rela tinggal seharian di rumah, dengan membuat cupcake, berkreasi dengan merias rumah, dan belajar main gitar. Film ini sungguh refreshing oleh kesan nyata, sehari-hari, sembari juga kocak-akrab lewat percakapan-percakapannya.

“no ideas but in things, no ideas but in things.”
“no ideas but in things, no ideas but in things.”

 

Ada banyak observasi mengenai kehidupan dan bagaimana kita memandangnya yang terus disuarakan oleh film ini lewat hal-hal yang diperhatikan oleh Paterson. Dan itulah yang menjauhkan kita dari kebosanan. How real everything felt sungguh sangat mengagumkan. Juga sebenarnya sedikit mengejutkan, karena aku gak expecting film tentang puisi, yang surely bakal penuh oleh simbolisasi kayak Istirahatlah Kata-Kata (2016), malah mempersembahkan dirinya dengan benar-benar ‘biasa’. Kalian tahu, bahkan dalam Personal Literature pun biasanya kentara antara bagian yang nyata dengan bagian yang dilebaykan sesuai kebutuhan.

Emosi dalam film ini mengalun tenang. Sesungguhnya ini adalah cerita yang sangat subtle, termasuk dalam humornya because sometimes aku ngerasa pasangan-pasangan yang sudah menikah tentunya bakal lebih ngena ke humor film yang seputar percakapan rumah tangga. Cek-cok dalam hubungan Paterson dengan istrinya juga dengan digambarkan dengan tersirat. Mereka enggak benar-benar ada masalah, sih. Malahan everything is okay, tapi dari kalemnya Paterson nanggepin passion sang istri yang kerap berubah, atau the way he look at the guitar, atau gimana dia enggak benar-benar looking forward bawa anjing mereka jalan-jalan, kita dapet sedikit hint yang memperkaya layer hubungan tokoh-tokoh tersebut.

Paterson meminta, ah bukan, mendorong kita untuk melihat kehidupan seperti si Paterson melihat hal-hal di sekelilingnya. Paterson membuat puisi dari sekotak korek api. Karena sesungguhnya kekuatan utama seorang penulis bukanlah merangkai kata, melainkan perhatiannya terhadap sekitar. Dia melihat sesuatu untuk dihargai pada setiap benda-benda, pada setiap apapun. In a way, film ini menginspirasi kita untuk memiliki observasi selayaknya para penulis puisi. Tapi enggak necessarily supaya kita bisa nulis puisi. It was more supaya kita bisa melihat keindahan dari keseharian, so we can make something out of it. Mengasah kepekaan supaya ‘puisi-puisi’; dalam hal ini adalah apapun yang kita kerjakan, menjadi lebih berarti.

 

Tidak pernah film ini terasa lead to nothing walaupun ceritanya terbentuk dari seputar kejadian sekitar Paterson yang disekat-sekat oleh pergantian hari. Ketertarikan terhadap apa lagi yang akan Paterson tulis sebagai puisi akan terus bikin kita tersedot. Penggambaran proses kreatif Paterson terasa begitu intim. Kita melihat teks muncul di layar, dengan latar belakang yang sangat menenangkan, dan sementara itu terjadi kita mendengar suara pikiran Paterson. Actually, Paterson sangat menjaga kerahasian puisinya dari orang lain. Bahkan kepada istrinya, dia rada enggan bacain sebelum benar-benar selesai. He’s so reclusive about his poems. Yang juga menarik adalah Paterson enggak mau punya hape karena “It would put me on a leash”, katanya. Penampilan Adam Driver memainkan Paterson akan membuat kita bersyukur orang ini bekerja sebagai aktor. Ini adalah penampilan terbaiknya so far. Adam relentlessly charming dan enggak sekalipun dia terasa out-of sync dengan karakternya. Menjelang akhir film ada adegan menakjubkan dengan seorang pria di kursi taman yang just change the whole movie for me.

Sejak istrinya menceritakan mimpi tentang punya anak kembar, Paterson jadi terus-terusan melihat orang kembar setiap hari. Duality lantas menjadi tema berulang yang jadi kunci pada film ini. There are so much ‘twins’ in this movie. Nama Paterson yang sama ama nama kota ia tinggal, sama ama nama puisi dari pengarang yang ia idolakan; William Carlos Williams, heck bahkan Adam Driver di sini diplot sebagai bus driver.

kalo di Indonesiain, Paterson ini jadi orang Sunda nih, namanya Paterson Mulpaterson
kalo di Indonesiain, Paterson jadi orang Sunda nih, namanya Paterson Supaterson

At one time, Paterson bertemu gadis cilik yang juga menulis puisi, punya ‘secret notebook’ seperti dirinya, and that little girl actually punya sodara kembar. Menilik dari keengganan Paterson untuk membuat salinan dari buku catatan puisinya, plot Paterson adalah dia akan belajar bahwa sesuatu yang kembar atau mirip, tidak mesti sama. Belum tentu selalu sama. Kayak bidak catur; ada hitam ada putih. Kayak lirik lagu rap yang juga punya wisdom, yang bersajak mirip-mirip syair. Kayak pistol mainan dan pistol beneran yang perbedaannya adalah nyawa seseorang. I think film ini menyuruh kita untuk embrace hidup, di mana kita ngelakuin hal yang sama setiap hari, karena kitalah yang membuat setiap hari menjadi pengalaman yang berbeda. Setiap hari adalah lembaran baru untuk kita ‘tulisin’.

Serupa tapi tak sama. Semua tergantung persepsi kita.

 

 

 

I love how real it all felt. Aku suka performancesnya. Aku suka arahan film yang berani. I just love the fact film kayak gini sukses dibuat. Sungguh berbeda dari apa yang kita tonton sebelumnya. Para penggemar puisi juga bakal suka sama film ini, bagiku juga apa yang disajakkan terasa unconventional. Menontonnya kita akan diajak berkontemplasi lewat naturenya yang filosofis. Wise and inspiring. Sukuri hal hal yang terjadi di hidupmu. Namun jika mencari adegan-adegan aksi heboh, louds and bang ala superhero, kita tidak akan menemukannya di sini. Meski begitu, kata siapa yang normal-normal enggak bisa dijadiin film yang menarik.
The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 for PATERSON.

 

 

 

That’s all we have for now.

Kami sekarang punya segmen khusus kategori Poems, loh. Bagi yang suka puisi-puisi ataupun bentuk sajak dan syair lain silahkan mampir baca-baca. Just search for the category di bagian atas halaman. New entry bakal turun cetak di hari Jumat #JumatPuisi 😀 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

PASSENGERS Review

“Difficult times always create opportunities to experience more love in your life.”

 

passengers-poster

 

Cerita Passengers seumpama Adam yang mendambakan keberadaan seorang Hawa, hanya saja dalam film ini, Hawa adalah Putri Tidur. Dan Tuhan memberikan sepenuhnya pilihan kepada Adam to take actions, apakah dia akan mewujudkan desirenya sendiri, untuk ditemani oleh Hawa, meski jika hal tersebut melawan moral or whatsoever.

 

Spacecraft Avalon sedang menempuh perjalanan panjang membawa 5000 penumpang dan 283 awak menuju Homestead Two – semacam planet Bumi yang baru. Masih nyaris satu abad lagi sebelum mereka tiba, namun Jim Preston dan Aurora Lane terbangun dini dari hibernasi mereka. Ide cerita yang ditawarkan sebagai premis film ini sungguh menarik. Jim dan Aurora pada awalnya berusaha mencari cara untuk bisa tertidur kembali, tetapi seiring berjalannya waktu mereka menemukan rumah pada hati lawannya masing-masing, jadi mereka mutuskan untuk menghabiskan hari di Avalon, but then again of course, ‘surga’ mereka diguncang oleh sumber masalah yang membuat mereka terjaga far too early.

Passengers punya elemen yang aku cari dalam sebuah film. Aku suka cerita yang bertema isolasi, you know, film di mana karakternya harus berurusan dengan tempat yang tertutup. Dalam kasus ini that closed space adalah spaceship berteknologi tinggi itu sendiri. Dan juga, the actual space, luar angkasa adalah tempat yang selalu menarik! Kita akan melihat gimana dua insan manusia berusaha hidup di dalam lingkungan pesawat yang melaju terus di antara bintang-bintang. Avalon, sebagai tempat, tergambar dengan cantik. I really like design spaceshipnya yang futuristik, it was really cool looking. Keadaan di dalamnya benar-benar catering to sisi imajinasi kita tentang kehidupan di luar angkasa. Semuanya terlihat sangat bersih. It was ’empty’ tapi begitu sibuk hanya oleh kegiatan dua tokoh dan robot-robot pelayan. We learn how things work di dalam sana sembari juga belajar lebih jauh tentang hubungan dan siapa para tokoh utama kita sebenarnya.

everything is waaay cooler in space!
Everything is waaayyy cooler in space!

 

Satu kata untuk menggambarkan kelebihan film ini adalah MENAWAN. Passengers, tidak diragukan lagi, is a great looking film. Efek-efek yang digunakan menghasilkan environment yang sangat cantik. Film ini disyut dengan really well. Ada satu adegan yang keren banget; Pesawat kehilangan gravitasi ketika Aurora sedang berenang di pool facility, dan airnya semacam ngapung ke udara gitu, membentuk gelembung- gelembung kubik air yang gede, kemudian saling berbenturan. Efeknya seamless sekali, antara efek komputer dengan praktikalnya menyatu dengan lembut sehingga terasa very compelling. Musiknya juga mengalun dengan menawan, namun terkadang terdengar sedikit lebih kenceng dari yang seharusnya. Kadang malah terlalu mendikte kita. Ada beberapa momen di dalam film ini yang membuatku berpikir seandainya enggak ada musik maka emosi akan bisa tersampaikan dengan lebih kuat. Musik yang sometimes jadi ‘overly loud’ membuat nuansa isolasi yang jadi tema surrounding film ini jadi tidak lagi terdengar.

Dan tentu saja, menawan adalah sebutan yang pantas untuk kita berikan kepada duet Chris Pratt dan Jennifer Lawrence. Pesona mereka sungguh kuat, obviously. Mereka bekerja sama fairly well sebagai tulang punggung film drama ini, meski dari skripnya sendiri mereka tidak diberikan terlalu banyak hal untuk mereka lakukan. Aku suka setengah bagian pertamanya, bener-bener aku menikmati melihat Chris Pratt dan Jennifer Lawrence wandering around dan berusaha untuk mencari tahu apa yang sedang terjadi. Film ini punya elemen investigasi dan another elemen yang naturally membuat kita terinvest ke dalam tokoh-tokohnya. Ada sedikit twist moral dalam hubungan Aurora dan Jim yang membuat sejumlah skenario “What If” bermunculan di benak kita. Membuat kita ngajuin pertanyaan tentang bagaimana relationship mereka bekerja. Atau relationship manusia secara umum.

Apa penilaian secara moral terhadap pria yang menarik serta wanita yang ia cintai ke dalam keadaan susah bersamanya, seperti Jim yang kesepian membangunkan Aurora. You know, cowok-cowok pasti sering mendengar anjuran “carilah wanita yang siap diajak susah bersama” karena itu berarti dia rela berjuang bersama kita no matter what. But in turn, apakah hal tersebut benar-benar adalah tindakan yang bertanggung jawab? Film ini menggambarkan bahwasanya normal bagi seorang manusia yang tenggelam mengajak orang lain ikut tenggelam, tapinya lagi apakah itu the right thing to do? Is it really selfish bagi wanita jika ia menolak diajak susah? Or apakah all is forgiven karena in the end, kita hanyalah penumpang yang hidup seolah supir dalam dunia yang berjalan pada tracknya?

What If, you “meet me in outer space?” like the Stellar song?
What If, you “meet me in outer space?” like the Stellar song?

 

Seperti robot bartender yang enggak bisa meninggalkan belakang meja bar, film ini berjalan di sirkuit yang sudah ditetapkan. Film tidak berani untuk mengeksplorasi lebih dalam masalah moral yang sempat disentuhnya. Keseluruhan CERITA SEPERTI DISETIR OLEH AUTO-PILOT, tidak ada yang menarik dalam perkembangannya. Setelah midpoint, aku kehilangan ketertarikan untuk mengetahui kelanjutan ceritanya. Karena it is just there’s nothing that feels new about the story. Nonton film ini kita akan lantas kepikiran banyak film-film lain. Passengers bahkan ngakuin kalo mereka memang masukin banyak homage buat film klasik. Sejak dari pertama, malah, film ini ngingetin kita sama The Shining (1980), kemudian 2001: A Space Odyssey (1968), terus Gravity (2013), terus dan terus kita akan recognized elemen cerita yang “Ah mirip film itu! Yaay, kayak film yang itu tuuh!”. Di samping desain spacecraftnya, tidak ada lagi yang terasa benar-benar original dari Passengers.

It does have some investing scenes. Hanya saja, kebanyakan elemen cerita dari film ini tidak menghantarkan kita ke suatu tempat. Banyak momen ketika kita ngeliat elemen terbangun dari adegan demi adegan, membuat kita merasa akan ada sesuatu yang ‘datang’, namun turns out to be nothing. Kayak adegan menjelang babak ketiga, Jim dan Aurora harus membereskan suatu hal yang just sort of happens. Masalah yang mereka hadapi ini hanya dibahas sekilas, nyaris seolah karena film ini butuh tendangan drama semata – supaya mereka bisa tahu bagian-bagian pesawat yang belum mereka kenal, dan film butuh cara buat ngejelasin itu. Masalah mereka ini actually tidak bener-bener punya impact terhadap keseluruhan cerita.

Kritikus ternama Roger Ebert pernah bilang bahwa sesungguhnya yang penting dari sebuah film bukanlah soal film itu menceritakan tentang apa. Tetapi bagaimana film tersebut adalah tentang itu. Film selalu adalah soal penceritaan. Biasanya sih, salah satu usaha film agar punya penceritaan yang baik adalah dengan menghindari flashback. Some films pengen banget punya twist, mereka ngacak order ceritanya meskipun pada akhirnya mereka jadi harus menggunakan flashback, dan biasanya itu bukan hal yang bagus. Susunan cerita Passengers dibuat linear sehingga film ini tidak memakai satupun adegan flashback, it should be a good thing. However, Passengers adalah kasus langka di mana film ini – dia tidak terasa baru, melulu ngingetin kita dengan banyak film lain – really truly need some twist agar menjadi lebih menarik. Passengers justru bisa menjadi lebih menarik jika mereka memutar order ceritanya. Like, you know, babak satu jadi babak ketiga. Sedikit flashback tak-mengapa dipakai kalo toh nanti mentok. Kita bisa pretty much tell the same story dengan order yang dibalik seperti demikian, while also menambah rasa interesting karena dengan diceritakan terbalik kita akan belajar how all of its story reveal.

 

 

 

Film yang menawan. Dirinya enggak wah-wah amat, meski juga enggak seburuk itu. It’s just tidak ada yang benar-benar menarik darinya. Tidak ada elemen yang baru. Tidak ada yang terasa extraordinary. Ini adalah perjalanan di mana karakter-karakternya, dan juga ceritanya, yang cakep berjalan dengan auto-pilot. Sesungguhnya bisa menjadi film yang keren, sayangnya ia tidak berani ngepush apapun lebih jauh lagi.
The Palace of Wisdom gives 5.5 gold stars out of 10 for PASSENGERS.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners
And there are losers.

 

 

 
We? We be the judge.

HIDDEN FIGURES Review

“Mathematics is not about numbers, equations, computations, or algorithms; it’s about understanding.”

 

hidden-figures-poster

 

Quick questions!

Ayo sebutkan siapa manusia pertama yang terbang ke luar angkasa? “Yuri Gagarin!”

Siapa orang Amerika pertama yang mengelilingi orbit bumi?John Glenn!!”

Orang pertama yang menjejakkan kaki di bulan adalah?Neil Armstrong!!!”

 

Kita semua pasti tahu jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut. Kita semua pasti pernah baca mengenai tokoh-tokoh bersejarah itu. Everyone talks about them, pria-pria yang paling pertama menjelajah ruang angkasa. Mereka adalah bagian penting dalam sejarah umat manusia. Tapi tahukah kita siapa yang bekerja di belakang sana, ilmuwan-ilmuwan yang membuat segala perjalanan meninggalkan gravitasi itu menjadi mungkin? Fokus kita enggak pernah mengarah kepada scientists yang manjat-manjat tangga nulis di papan itu, padahal mereka juga tak kalah pentingnya, and yea some of them are women. Dan untuk bikin hal lebih mengejutkan lagi, terutama di tahun 1960an yang penuh diskriminasi, ‘komputer-komputer’ di meja NASA tersebut adalah wanita berkulit hitam.

I didn’t really know much about Katherin G. Johnson, Dorothy Vaughan, Mary Jackson, atau beberapa tokoh sejarah lain yang diceritakan dalam film ini. On the other hand, aku selalu tertarik sama astronomi dan luar angkasa, and I kind of like math, jadi space movie yang ada matemnya benar-benar memancing rasa ingin tahuku. Rasanya keren aja, melalui film ini kita bisa belajar lebih banyak tentang para ‘hidden-figure’ yang berjasa di balik peluncuran manusia ke luar angkasa. See, judul filmnya ada udah fun abis. Punya makna yang mendua. Ini adalah tentang angka-angka rumus yang berhasil ditemukan to make the said breakthrough. Dan dalam artian yang lebih dalam lagi, Hidden Figures juga adalah tentang wanita-wanita di balik suksesnya NASA, wanita-wanita yang tersembunyikan oleh status sosial mereka di masa yang masih kental oleh prejudice masalah warna kulit.

Aku actually recognized apa yang ditulisnya… so yea.. NERD! *sorakin rame-rame*
Aku kadang recognized apa yang ditulisnya… so yea.. NERD! *sorakin rame-rame*

 

Dalam film ini tergambarkan bagaimana ketiga wanita yang kerja di NASA tersebut meski termasuk pelopor dalam kerjaan mereka, mereka actually masih harus kerap dealing with prasangka-prasangka publik, yang mana adalah hal lumrah kala itu. Dalam bekerja mereka menemui banyak kesulitan; rekan-rekan kerja yang tidak mengizinkan mereka melakukan kerjaan yang harus mereka lakukan, mereka tidak dikasih izin buat mengakses file-file tertentu. Mereka juga tidak diperkenankan berada pada beberapa lokasi di kantor. Katherine, malahan, harus berlari menempuh jarak yang lumayan jauh cuma buat ke kamar kecil karena kulit hitam ditempatkan di restroom khusus yang terpisah dari pegawai kulit putih. Everything is difficult for them. Hidden Figures adalah tentang seputar karakter-karakter ini navigate lingkungan kerja NASA, memecahkan masalah prejudicenya sembari menemukan formula matematika yang bisa digunakan dalam ‘perlombaan tak-resmi’ antarnegara adi-daya soal pengiriman manusia terbang ke angkasa luar.

Hidup itu kayak matematika. Setelah menambah dan mengurangi, kita akan bisa mendapatkan hasil. Dan lebih penting lagi, hidup, sebagaimana menyelesaikan masalah matematika, membutuhkan pengertian dan pemahaman.

 

Setiap film yang membahas mengenai masalah rasisme selalu cenderung untuk menjadi serius. Kebanyakan akan digarap dengan arahan yang membuat filmnya hanya cocok untuk konsumsi penonton dewasa, you know, dengan kata-kata tak senonoh dan adegan yang overly intense. Padahal sangatlah penting bagi anak-anak muda untuk menonton film dengan pesan yang baik seperti ini. Hidden Figures, untungnya, berani tampil sebagai film yang bisa ditonton bahkan oleh anak kecil. Film ini memastikan pesannya mengenai kesetaraan manusia tanpa mengenal perbedaan ras dapat mencapai dan accessible kepada seluruh lapisan masyarakat. Film ini tidak takut dianggap terlalu jinak atau terlalu family-friendly sehingga jatoh di pasaran. And guess what? Film ini justru tampil really well di box office luar, actually termasuk yang dapat penjualan paling baik di antara nominasi Best Picture Oscar 2017 yang lain. Hidden Figures adalah FEEL GOOD-MOVIE YANG DILAKUKAN DENGAN CARA YANG TEPAT. What you see is what you get, pesannya terhampar jelas.

Terkadang memang film ini terasa sedikit teatrikal, elemen stick-it-to-the-man benar-benar ditonjolkan. Namun tidak pernah menjadi terlalu oversentimentil. Maksudnya, kita tidak dimanjakan, filmnya tidak sekonyong-konyong nyuruh kita puas dengan menyajikan adegan-adegan di mana orang ‘jahat’ mendapat balasan setimpal. This is a feel-good movie, akan tetapi film ini berhasil ngemanage sehingga dirinya doesn’t get too unrealistic. Ada beberapa adegan di mana kita bakal pengen melihat tokoh-tokoh tertentu eventually really get what’s coming to them, dalam batasan yang masih wajar dan enggak lebay. Ini adalah jenis film di mana kita akan melihat tokohnya mencoba menggapai tujuan mereka, dengan cara mereka menghadapi tantangan, tidak peduli rintangan or everything else around them, dan menggunakan kemampuan mereka — dalam hal ini kepintaran otak kiri dan kanan yang seimbang – semaksimal mungkin. Ada satu adegan hebat dan sangat emosional dalam film ini, di mana Katherine akhirnya ngerasa ‘sudah cukup’ dan dia menyuarakan semuanya harus disudahi. Adegan tersebut punya flow yang really well. Membuktikan bahwa semua teknis storytelling; arahan, akting, dan penulisan bekerja dengan sangat mulus.

“ABC is easy as 123” Well, it should be, right?
“ABC is easy as 123” Well, it should be. Right..?

 

Cukup langka melihat karakter-karakter seperti yang dimiliki oleh Hidden Figures dalam tayangan yang berdasarkan kisah nyata. Performances mereka pun teramat fantastis secara merata. Taraji P. Henson is very good memainkan Katherine, mathematician yang berpikir rasional di tengah keadaannya, she wants to get the job done because she loves what she does, dan dia menambah berkali lipat emosi pada karakternya. Sebagai Dorothy Vaughan ada Octavia Spencer yang selalu bermain amazing, perannya di film ngingetin aku sama perannya dalam film The Help (2011). Aku suka sekali reaksinya saat anak-anaknya diusir dari perpustakaan. Peran Mary Jackson oleh Janelle Monae juga punya obstacle sendiri dalam usahanya menjadi black female engineer pertama. Kita merasakan koneksi kepada orang-orang ini. Kita ngerasain struggle mereka, bahwa mereka bukan tokoh pasif. Kita ngecheer aksi ‘perlawanan’ mereka. Kita mulai menjadi begitu peduli sama mereka, sehingga kita jadi ingin nonjok muka tokohnya Jim Parsons.

Angin segar adalah kenyataan bahwa film ini tidak diarahkan menjadi cerita serius dengan some political agenda. In the end, ini adalah tentang gimana menghilangkan prejudice, gimana untuk tidak menjadi rasis, karena yang terpenting adalah mewujudkan keinginan bersama.

Karakter yang dimainkan oleh Kevin Costner bilang “Everybody in NASA pees the same color.” Itu adalah momen yang sangat keren menyaksikan orang yang punya mindset spesifik tentang gimana mereka memandang orang lain. Baginya it’s all about finishing the job dan semuanya harus work around prasangka rasis. Malahan ada tokoh seperti astronot John Glenn yang dimainkan asik oleh Glenn Powell, yang just don’t even recognized ada perbedaan di antara barisan mereka. Dia justru mempercayakan keberangkatannya kepada wanita-wanita ini.

Being a story yang mau memperkenalkan ketiga wanita berjasa tersebut, cerita Hidden Figures sayangnya tidak hanya mengambil tempat di kantor NASA (yang terdepict compelling dengan segala kesibukannya). Kenapa aku bilang ‘sayangnya’ karena actually film akan membawa kita pulang ke rumah tokoh masing-masing untuk melihat kehidupan mereka bersama keluarga. Di sinilah elemen romance film ini pasang-sabuk-dan-meluncur, namun I didn’t feel that. Romansa film ini tidak terflesh out dengan baik, tak lebih hanya sebagai subplot supaya membuat kita semakin terhanyut ke dalam the feel-good momen. Diniatkan, romansanya sweet banget. Harapnya, sih, ada spark antara Katherine dengan Kolonel Johnson yang diperankan dengan sangat charming oleh Mahershala Ali, namun enggak pernah aku terattach ke dalam hubungan mereka. Elemen drama cinta ini tidak menambah banyak bobot kepada keseluruhan cerita. Film ini menyadari itu, makanya dengan bijak kita dibawa sesegera mungkin kembali ke lingkungan NASA. Sisi dramatis film ini sesungguhnya memang terletak di perjuangan Katherine dan teman-temannya dalam menemukan terobosan dalam aerospace engineering.

 

 

 

Yang suka film-film historical science bakalan jatuh cinta sama film ini. Setelah membaca tentang sejarah mereka lebih lanjut, sepertinya memang film ini secara sejarah lumayan akurat untuk sebagian besar waktu. Dalam usahanya menyampaikan pesan kesetaraan dan tidak membeda-bedakan demi kepentingan yang lebih utama, film ini mengambil langkah berani, take-off dengan menjadi family friendly alih-alih film yang menunjukkan keseriusan dengan serentetan kata vulgar dan adegan ‘keras’. Tentu, drawbacknya adalah film ini jadi menjurus ke teatrikal, namun it holds on the tension dan intensitas very well.
The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for HIDDEN FIGURES.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.

Pesan Untuk Hati yang sedang Patah

img_9583-1

 

Kapan kau akan lupa?

Kapan kau akan siap menghapus air mata?

Kapan kau akan mampu menjalani hari seperti biasa?

Kapan kau percaya bahwa kau akan baik baik saja?

Kapan kau yakin kalau semua ada hikmahnya?

Kapan kau paham bahwa semua suka dan duka sifatnya sementara?

Karena bahagia tak selalu tentang dia.
Waktu tak akan pernah berhenti.

Hari akan selalu berganti.

Tinggal bagaimana caramu menghadapi, perasaanmu yang berduka sendiri.
Kau bisa memilih untuk kuat atau terkoyak,

atau bahkan mati sesak.

Tapi waktu tak pernah berhenti biarpun sejenak.

Tak akan menunggumu yang sedang retak.
Jadi, kapan kau akan yakin dan percaya bahwa bahagia tak selalu tentang dia?

Jakarta, 29 Januari – 2.48 dini hari (sedang berusaha menyadari, bahwa memang lebih baik sendiri)

 

 

 

As seen on https://thedeepeyes.wordpress.com/2017/01/29/pesan-untuk-hati-yang-sedang-patah/cropped-beautiful-girl-drawing-eyes1

FENCES Review

“Boundaries don’t keep other people out, they fence you in.”

 

fences_teaser-poster

 

Entah itu untuk menjaga agar pihak luar enggak bisa sembarangan masuk, atau supaya yang di dalem enggak bisa sekonyong-konyong ngelayap ke luar, orang membangun pagar dengan alasan keamanan.

 

Rose Maxson mengingatkan suaminya, Troy, untuk segera menyelesaikan pagar di halaman belakang rumah mereka. Rose wants to keep her family together. Troy, sebaliknya, lebih melihat kegunaan pagar sebagai poin yang pertama; to keep things out. Dan as much as dia fearless dan percaya kepada kebebasan, being a negro membuatnya terbatas dalam beberapa hal, Troy membuat pagar lebih kepada bentuk pembuktian that he’s capable of providing his family. He wants to keep people out jauh-jauh dari pahamnya sendiri. Dualitas simbolisasi pagar adalah garis batas yang mengelilingi cerita film yang diangkat dari drama teater ini. Troy dan Rose adalah pasangan suami istri yang hidup di daerah urban amerika 1950, and this film tells how they live their live dengan segala problematika dan strugglenya.

Cukup lucu banyak orang yang meragukan film ini disebabkan oleh filmnya sendiri hanya berupa serangkaian SEKUENS DIALOG-DIALOG PANJANG di lokasi yang di situ situ melulu. Terasa sekali seperti play yang disadur ke media film. Dalam film ini yang akan kita lihat adalah orang-orang beragumen atau saling bercanda, bernyanyi, ataupun lagi mendongeng. Padahal, banyaknya dialog tidak pernah jadi penghambat sebuah film yang ditulis dengan sangat hebat. I mean, lihat saja 12 Angry Men (1957) atau Carnage (2011)nya Roman Polanski atau sesama adaptasi teater August: Osage Country (2013), some of the best movies of all time menampilkan dialog demi dialog maha-panjang set in one or two locations. Fences tidak pernah keluar dari pagar environmentnya, dan itu pulalah yang bikin kita tersedot masuk terus ke dalam cerita.

Sekuens percakapan panjang dalam film ini were so well-crafted, emosi kita akan dibawa turun naik olehnya, kayak, percakapannya dimulai dengan ringan, kita tersenyum dan tertawa bersama para tokoh, sampai kemudian seseorang mengatakan sesuatu. Atau mungkin mereka cuma ngelakuin hal yang not necessarily gak-sopan, misalnya anak Troy yang menatap ayahnya dengan pandangan yang sedikit merendahkan, and snap! Semuanya berubah menjadi gak-enak dan Troy, oh boy, bapak yang satu ini akan berubah menjadi seorang yang lantas marah-marah; galak dan keras kepala.

Pagar makan tanaman
Pagar ngehajar tanaman

 

Kunci film seperti ini selain di writing, juga terletak pada performancenya.  Film ini punya beberapa penampilan terbaik yang bisa kita saksikan di 2016.  Denzel Washington, menyutradai sekaligus memerankan Troy, bermain luar biasa brilian dengan range emosi yang fleksibel dan powerful. Tokoh Troy adalah pribadi yang sangat kompleks. Aku suka karakter yang satu ini terus bicara soal dia mengalahkan Kematian di pintu rumah, karena itu actually adalah momen yang nunjukin betapa vulnerablenya dia sebagai kepala keluarga. Babak pertama film mengestablish dia sebagai pria yang bertanggung jawab, pekerja keras, pria yang bercerita tentang gimana dia melaksanakan kewajiban dan menuntut haknya. Troy adalah good old fashioned man yang mencoba untuk provide to his family need, menyediakan atap bagi mereka, memastikan makanan tersaji di atas meja. Kita merelasikan diri kepadanya easily. Namun sepanjang film, kita akan mendapat informasi tersirat bahwa Troy punya banyak cela. That he’s not that great of a person. Dia terus saja menjatuhkan anak-anaknya (even sahabatnya sendiri) dengan batasan yang menegasi keputusan mereka. Kita perlahan belajar siapa diri Troy lewat backstory yang diceritakan dengan subtle; apa yang ia hadapi, how he was raised, dan kemudian masalah mulai menimpa keluarganya. Semua itu, semua pemahaman yang kita dapatkan terhadap karakter Troy akan terasa sangat menyayat hati.

Penampillan akting dalam film ini sungguh kuat, membuat pengalaman nonton kita menjadi berlipat lebih dahsyat, secara emosi. Aku suka gimana film ini, dengan kodratnya sebagai sebuah sandiwara teater, memberikan banyak ruang bagi setiap karakter untuk bertumbuh. Viola Davis sebagai Rose tentu saja pantes banget-banget untuk dinominasikan ke Oscar. In fact, Denzel Washington dan Viola Davis teramat loud dan explosive. Namun begitu, mereka tetap terasa genuine karena kalo kita bawa ke dunia nyata, memang seperti yang mereka portray jugalah reaksi pasangan yang dealing masalah mereka. That there’s gonna big dramatic moments. Tanpa bisa dielakkan. Ada banyak momen di dalam film ini di mana aku sempat lupa sedang menonton sebuah film. And that feeling is so rare dibandingkan film sekarang yang kebanyakan dramanya terasa orchestrated dengan really memancing rasa kasihan kita.

cue “Aaaauuuummmm” in one, two,…
cue “Aaaauuuummmm” in one, two,…

 

Fences juga menyinggung tentang gimana lingkungan sekitar kita turut membentuk pribadi kita. Ini tercermin dari sikap Troy dan sikap anaknya, Cory. Kedua orang ini sama-sama tumbuh menjadi atlet baseball, only dalam jaman yang berbeda. Dan itu actually membuat perbedaan yang sangat besar. Sebagai manusia, naturally, kita mewariskan apa yang sudah membentuk kita. Inilah menjadi problem, karena orangtua will eventually ‘mewariskan’ apa yang sudah ia alami kepada anak-anak. Entah berusaha mendoktrin agar tidak seperti orangtuamereka, ataupun to pass the ‘legacy’. Begitu juga saat anak-anak tersebut dewasa, mereka pada akhirnya akan melanjutkan hal yang sama turun-menurun.

 

Turunan kesalahan menjadi tema berulang yang kerap muncul dalam elemen cerita. Kesalahan orangua seringkali menjadi sumber dari masalah, atau katakanlah derita, yang dialami oleh anak-anak. Ada satu kalimat dari Rose yang menyatakan di sisi mana film ini berdiri, “You can’t visit the sins of the father upon a child.” Film ini percaya bahwa dosa generasi yang satu tidak mesti dibawa turun ke generasi berikutnya. Bahwa sebuah generasi bisa tumbuh lebih baik dari sebelumnya, tidak perlu menjadi seperti mereka. In that way, Rose tidak ingin ada pagar, dan ini memberikan konflik dengan outer journey di mana dia yang ingin membangun pagar. It is also make an ever greater konflik, karena apapun yang Rose pilih, pagar atau tanpa pagar, selalu bertentangan dengan prinsip Troy.

Tidak banyak suara kita dengar membahas kiprah Denzel Washington sebagai seorang sutradara. Film ini, however, membuktikan bahwa Denzel adalah director yang lebih dari sekadar mumpuni. Dia baru punya tiga dalam gudang film panjang karyanya, dan Fences actually adalah film terbaik yang ia hasilkan sejauh ini. Arahan Denzel benar-benar berhasil memancarkan hati dan emosi dengan ledakan yang tak terasa over heboh. Fences adalah film tentang keluarga, setiap adegannya adalah adegan ngobrol sambil duduk-duduk di halaman belakang, di teras rumah, ataupun di meja makan. Tapi film ini managed tidak sekalipun kita melihat adegan mereka ngobrol over sarapan atau dinner atau lunch. I mean, bandingkan deh dengan film Indonesia di mana sepertinya adegan ngobrol dengan occasion duduk ngeliling sambil makan menjadi sebuah pakem film. Kalo enggak ada makan-makannya, gak rame!

Meski begitu, ada satu momen dalam film ini yang mengkhianati segala rasa compelling dan aura realitanya. Momen tesebut datang di adegan penutup. Kita lihat keluarga Maxson menengadah langit, diiringi terompet rusak, mereka memandang awan yang, ah lihat sendiri deh. Alih-alih mendatangkan rasa hangat di hati, malah membuat film menjadi cheesy dan jadi terkesan fake.

 

 

Selain masalah di ending tersebut, ini tidak lain dan tidak bukan adalah film yang excellent. Mengajarkan tanggungjawab dan sejauh mana batasan tanggungjawab itu sendiri sebaiknya kita apply. Film ini menyuguhkan penampilan luar biasa dari setiap aktornya. Apa yang paling aku suka adalah, sama seperti teater, ada banyak ruang luas tak-berpagar yang disediakan naskah untuk pengembangan dan penampilan para tokoh. Drama keluarga yang sangat memilukan dan indah karena tersaji dengan perasaan yang nyata.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 for FENCES.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners
And there are losers.

 

 

 

 

 
We? We be the judge.

Aku Suka…..



Aku suka aroma kulitmu.

Dari pipi sampai kaki.

Aku suka aroma sehabis kau mandi.

Bahkan setelah kau lelah berlari.
Aku suka mencium rambutmu, pipi, mata, hidung, hingga bibirmu.

Aku suka mencium punggungmu, tengkuk lehermu, hingga bawah lenganmu.

Aku suka menciummu berkali kali, tak mau berhenti.

Menyesap dalam-dalam aroma kulitmu yang tak habis-habis.
Kau bilang, cara aku menciummu berbeda.

Tak berbunyi, tanpa suara.

Karena ciumku yang sunyi, adalah aku yang sedang menikmati aromamu yang bertahan disana.
Aku rindu aroma kulitmu yang selalu wangi.

Aku rindu menciummu berkali kali, tanpa henti.

Aku rindu menikmati kedua hal itu, malam ini.
Untuk kamu,

semesta kenyamanan bagi indera penciumanku.



 

 

As seen on https://thedeepeyes.wordpress.com/2017/01/26/aku-suka/cropped-beautiful-girl-drawing-eyes1

THE LAST BARONGSAI Review

“Tradition is not to preserve the ashes, but to pass on the flame.”

 

thelastbarongsai-poster

 

Tradisi enggak berarti banyak jika tidak ada lagi yang mengapresiasi, begini kiranya kemelut hati Kho Huan. Jadi buat apa disimpan?

 

Hari itu, tiga penghuni rumah-merangkap sanggar kesenian Kho Huan kedatangan tiga surat. Surat buat dirinya, ia biarkan begitu saja. Cuma undangan lomba barongsai, lagi. Kho Huan sudah lama jengah sama kesenian tradisional tersebut, beliau menyalahkan barongsai atas kepergian istrinya, dan tontonan musiman itu juga semakin hari semakin seret ngasilin duit, selain dengan dijual. Padahal Kho Huan – sekarang nekunin usaha bikin furnitur kayu – butuh banget duit, supaya putranya, Aguan, bisa menjawab surat dari Universitas di Singapura. Aguan lagi cengar-cengir melototin selembar jawaban mimpinya. Mereka berdua tidak ada yang peduli isi surat tunggakan spp dari sekolah untuk adek cewek Aguan yang masih SMA, karena Ai memang menyembunyikan suratnya.

The Last Barongsai adalah cerita tentang struggle satu keluarga keturunan Tionghoa hidup di Tangerang masa kini, yang mana terkadang cuma mimpi dan tradisi yang jadi harta berharga. Drama film ini mulai mengambil tempat sesegera mungkin setelah Aguan tahu dari adeknya – dalam sebuah adegan sparring kungfu ringan (atau tai chi?) yang so subdued namun somewhat intens – bahwa ayah mereka menolak undangan lomba barongsai dengan alasan kompetisi tersebut tidak bisa menerbangkan Aguan ke Singapura. Mengerti betapa besar arti barongsai bagi mereka, Aguan sets out ngumpulin kembali para pemain sanggar mereka buat ikutan lomba. Dan ini membuat Kho Huan marah. Ini adalah KONTES SENGIT ANTARA REALITA DAN TRADISI. Melihat keluarga ini worked out their problems lewat banyak teriak dan air mata bisa menjadi sangat menyentuh, terutama menjelang akhir. Drama keluarga ini sebenarnya capable to floored us berkat konfliknya yang grounded.

Jika kita ngestrip down kepada karakter-karakternya, The Last Barongsai adalah film berlapis dengan penokohan yang cukup kuat dan dihidupkan oleh performances para tokoh yang secara seragam bagus. Terutama Kho Huan yang cintanya dimakan barongsai dan Ai, the left-out daughter. Kita bisa lihat sebenarnya Kho Huan sangat menyayangi anaknya, kita bisa rasakan konflik perasaannya. He just can’t rely on barongsai anymore, dia benar-benar kerja keras bikin furniture kayu sambil sesekali ngesabotase latihan Aguan dan tim. Tyo Pakusadewo benar-benar mengangkat film ini dengan penampilannya yang berapi-api. I like how he just snap his heart out di meja makan. Di akhir cerita kita jadi ikutan tenang saat Kho menemukan cintanya yang hilang, berkat anak-anaknya.
Ai diperankan oleh Vinessa Inez dengan sama berapinya, but she’s like more contained. Dia begitu ingin buktikan diri bisa ngelebihin kakaknya, but even the thought of that membuatnya semakin merasa neglected. Dia kayak ingin menjerit tapi tidak tahu ke siapa. Sedangkan karakter Aguan, pertama-tama aku enggak bisa nangkep arahnya ke mana. Dion Wiyoko terasa bermain lebih datar di sini. Baru di pertengahanlah aku realized dia adalah karakter yang salah-dimengerti. His frustration connects with us, loud and clear.

Dalam film ini kita juga melihat beberapa penampilan spesial. Beberapa mereka muncul tidak hanya sebagai cameo namun adalah kehadiran yang actually important. Mereka memberikan pelajaran buat karakter-karakter lead, dan tentu saja kepada kita yang nonton. Penampilan komedik yang hadir pun tidak pernah terasa mengambil alih. Film ini ngehandle tone emosional drama dan komedi dengan sangat mulus, tidak terasa episodic. Meskipun ada juga penampilan spesial yang enggak benar-benar add something kepada cerita, it was just like “hey, aku yang main di drama remaja terkenal itu loh, I’m relevant so I’m gonna make this movie relevant too with my presence”

 itu oplet mandra?? Oh aku honestly seneng ngeliatnya masih bagus
itu oplet mandra?? Oh aku honestly seneng ngeliatnya masih bagus

 

Salah satu penampilan spesial tersebut adalah dari pemilik rumah produksi, Rano Karno. Bermain sebagai teman Kho Huan sesama battered-down seniman, Rano Karno adalah kontras dari tokohnya Tyo. Lewat tokohnya, film sedikit menyentil soal terkadang kita harus menyerah dan mulai mengerjakan apa yang orang-orang mau alih-alih keinginan kita, meskipun itu hal yang susah untuk dilakukan. Film ini juga mematrikan kepada kita bahwa kehidupan yang beragam penuh toleransi itu sangat mungkin untuk dilakukan, seperti hubungan antara Aguan dengan rekan barongsainya yang diperankan oleh Azis Gagap. Benar-benar sebuah hubungan akrab yang based-on mutual respect.

Isu yang relevan yang berusaha diangkat, bahwa tradisi – apapun itu – selalu adalah prioritas. Kita tidak menyimpan, kita justru harus terus mengobarkannya. Dan adalah diversity sebagai tradisi yang harus kita pertahankan, because that’s what make us strong in the first place.

 

Hanya saja, all-in-all aku kecewa sama The Last Barongsai. Menurutku film ini tidak mencapai kemampuan bercerita yang maksimal. Padahal kita bisa lihat, film ini ngerti dan tahu menyelaraskan tone. Cerita dari tokoh Rano Karno yang sekarang nyesal jadi montir sesungguhnya intriguing. Backstory tokoh Azis tentang kenapa dia awalnya menolak main barongsai lagi dibeberkan dengan build ups. Ketika pada akhirnya kita learned alasan tepatnya kenapa Kho Huan enggak mau ikutan lomba meski butuh uang, momen yang tercipta terasa powerful. Film ini punya kemampuan untuk bercerita dengan subtle. Tapii, untuk sebagian besar waktu kita mendengar dialog-dialog yang ‘CEREWET’ OLEH EKSPOSISI. Kualitas dialognya, tho, terlihat seperti fokus penulisannya antara ingin terdengar ‘gede’ oleh kata-kata emosional, dengan buat jelasin semua sedetil-detilnya. I mean, apakah perlu kita mendengar gimana Aguan bisa dapet balasan surat beasiswa?

Kupikir ini ada hubungannya dengan cara film memperkenalkan kita kepada tokoh-tokoh minor. Eventually itu tentu berhubungan dengan cara film ini ngenalin ke kita akar konfliknya. Kita ngikutin Aguan bertemu mereka, satu per satu. Dan semua orang just telling him something, memberikan piece of information kepada Aguan. Adeknya jelasin situasi sang ayah. Pacarnya jelasin backstory dan konflik yang terjadi antara Aguan dengan ayah. Hengky Solaiman jelasin apa yang sebenarnya dirasakan oleh sang ayah. Bahkan ibu Aguan datang di dalam mimpi, dan jelasin ke kita apa yang dirasakan oleh tokoh si Aguan!
And btw, mimpi Aguan tentang ibunya adalah TERMASUK SALAH SATU ADEGAN-MIMPI PALING JELEK yang pernah aku lihat. Enggak terasa emosional, enggak terasa surreal, enggak terasa apa-apa. Tujuannya murni eksposisi. Padahal bisa aja film ini membuat lampu di atas mereka duduk menyala sebagai simbol penanda Aguan sudah mengerti, bisa menjawab pertanyaannya sendiri, tanpa si ibu harus ngucapinnya dalam kalimat.

ubah tiangnya jadi deathschyte yang diayunkan oleh ibu Aguan or something!
ubah tiangnya jadi deathschyte yang diayunkan oleh ibu Aguan or something!

 

Film ini just doesn’t trust us bisa menyimpulkan apa yang terjadi. Mereka memberitahu terlalu banyak, alih-alih menggambarkan apa yang terjadi. Ada satu adegan di mana Azis bilang ke Aguan bahwa tadi Koh Huan mendatangi dirinya; Kenapa kita tidak melihat adegan tersebut? Kenapa film ini memilih menyampaikan informasi itu lewat kata-kata tak langsung alih-alih menyuguhkan kita adegan yang prolly emosional antara Kho Huan dengan Azis? Juga adegan ketika Aguan duduk disemangati oleh ayahnya, beliau bilang bisa melihat Aguan melatih tim dengan hati. Why we never see that scene!? Adegan latihan di mana Aguan pouring his heart adalah adegan yang perlu kita lihat karena penting untuk showing us the character, namun film ini memutuskan cukup dengan kata-kata saja.

Elemen kompetisi dalam cerita memang mesti ngalah sama porsi drama, tapi tidak berarti juga harus kehilangan greget. Problem lain dari The Last Barongsai adalah dia terlalu meminta untuk kita terus merasa kasihan sama tokoh-tokoh. Or even the film takes itself too seriously, untung saja tidak menjadi terlalu depressing. Kita tidak lagi merasakan fun dan semangatnya mereka bermain barongsai. Montase saja tidak cukup. We need more hook. Kita perlu merasa terlibat sebagai bagian dari tim mereka. Tentu saja nggak jelek juga kalo Dion Wiyoko, Tyo Pakusadewo, dan Azis Gagap diliatin latihan gerakan barongsai yang susah beneran, daripada ngecut adegan dan cuma bilang “g-g-g-gerakannya susah, s-s-sih!”. Padahal film ini sempat nanamin sedikit obsctacle, seperti Azis yang mules sebelum final, namun ternyata poin tersebut tidak pernah dibahas lagi. Akibatnya memang elemen barongsai tersebut menjadi jadi gak greget dan mundur sebagai tak-lebih dari latar saja.

Editingnya kadang terasa off juga. I don’t know what happens sama warna di kamar Ai, sih, mungkin saja intentional. Akan tetapi, ada satu shot adegan yang aku suka banget; ketika Aguan dan pacarnya ngobrol di jembatan dan di bagian dengan pinggir atas layar, melintaslah pesawat. Momen yang sangat precise, klop dengan dialog yang mengudara saat itu.

 

 

 

 

Seharusnya bisa jadi selebrasi tradisi, akan tetapi film ini lebih memilih untuk gempita berkata-kata. Yang hanya menjadikannya eksposisi saja. Bukan berarti ini film yang jelek, it’s a watchable movie untuk ditonton bersama keluarga. Tidak tampil terlalu depressing, film ini adalah keseimbangan yang hangat antara drama emosional dengan komedi. It has the capability untuk bercerita dengan proper, yang kadang muncul malu-malu. Film ini enggak konsisten. Arahan sayangnya tidak membantu apa-apa bagi film ini supaya bisa tampil pe-de menjadi spesial.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for THE LAST BARONGSAI.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

MANCHESTER BY THE SEA Review

“Sometimes grief is all we have.”

 

manchester-by-the-sea-poster

 

Kenangan itu kayak lautan, kita berlayar di atasnya. Terombang-ambing. Kadang membawa perahu pikiran kita maju, kadang kita harus berenang dan menjadi tangguh. Kadang kita tenggelam di dalamnya. Or worse, kita membiarkan diri tenggelam di dalam pusaran kenangan sedih menuju lubang penyesalan tanpa dasar.

 

Itulah yang dibicarakan oleh Manchester by the Sea. Kita bisa mengartikan adegan pertamanya – perahu berlayar penuh canda mengenai sebuah pilihan – sebagai simbol yang dengan efektif ngeset mood (atau kecurigaan) bahwa film ini tidak bisa dipastikan akan berakhir bahagia, sebagaimana air tidak akan selalu setenang itu.

Benar saja, dengan segera pemandangan kita dikontraskan oleh kehidupan Lee Chandler. Seorang tukang reparasi merangkap janitor apartemen yang kurang begitu ramah. Dia kelihatan sama tidak sukanya diajak ngobrol oleh orang lain saat bekerja ataupun saat dia minum di bar. Lirikan kecil mengundang tinju Lee mendarat di hidung orang asing. Kenapa Lee begitu antisosial, dia lebih suka dibiarkan sendiri, terus disembunyikan oleh film. Sampai ketika Lee mendapat kabar bahwa kakak laki-lakinya meninggal dunia akibat penyakit jantung. Mendadak saja, Lee harus balik ke Manchester dan menangani segala tetek bengek ‘peninggalan’ sang abang. Termasuk ditunjuk menjadi wali yang sah atas keponakannya. Tentu saja ini adalah skenario yang buruk bagi kehidupan-tertutup Lee. Dan as Lee berusaha menyabotase dirinya keluar dari arrangement yang digariskan oleh abangnya, kita akan mulai discover masa-lalu yang sangat heartwrenching tentang Lee. Gimana ternyata perilaku-perilaku buruk tersebut bukanlah bawaan dia sedari lahir.

Film ini did a very good job mencamkan image pria penyendiri yang kasar kepada sosok Lee Chandler. At first, he’s just so impossible untuk disukai. Juga misterius. Joe, almarhum abangnya, tidak pernah menjelaskan kenapa dia mempercayakan Lee sebagai wali anaknya, Patrick, meskipun memang Lee dan Patrick akrab sedari Patrick kecil. But this is clearly a very broken Lee now. Kita tahu Lee punya ‘reputasi’; orang-orang di hometownnya tersebut saling berbisik dan mendelik setiap kali melihat Lee lewat atau mampir nyari kerjaan di kantor mereka. Film ini sungguh berani mempercayakan kepada kita para penonton untuk terus ngikutin Lee, karena untuk waktu yang panjang kita akan bertanya-tanya sendiri kenapa kita harus peduli kepada karakter ini. Tiga-puluh-menit pertama aku bahkan tidak yakin arah film ini ke mana. Akan tetapi, begitu kita sudah belajar alasan kenapa Lee sungguh membenci hidupnya, keseluruhan film akan membuka sebagai suatu tontonan DRAMA YANG KUAT LAGI MANUSIAWI. Film ini menyapu emosiku, I was blown away oleh karakter-karakternya yang terasa nyata. Konflik mereka, apa yang mereka hadapi, terus saja terbangun dan akhirnya menumpuk, memberikan bobot pada hati. Dan tidak sekalipun drama dan tensi tersebut terasa dibuat-buat demi memancing rasa sedih dari kita.

Manchester tepi laut, siapa suka boleh ikut
Manchester tepi laut, siapa suka boleh ikut

 

Kehadiran formula karakter pada Lee dan Patrick bakal membuat kebanyakan film Hollywood bernafsu untuk membahas hubungan yang terjalin antara broken man dengan remaja-penuh-kehidupan, di mana mereka akan saling mengubah sikap satu sama lain. Namun dalam Manchester by Sea, sutradara sekaligus penulis skrip Kenneth Lonergan lebih tertarik mendalami pergulatan emosi dan derita yang dialami oleh seseorang seperti Lee. It doesn’t necessarily has a plot, even. Paman dan ponakan ini sama-sama berduka, mereka sebenarnya mengerti problematika masing-masing, dan itu tergambar jelas dari bagaimana mereka berinteraksi satu sama lain. Dengan fokus demikian, film ini berhasil menghidupkan karakter-karakter sehidup-hidupnya. Seoverconfidentnya Patrick, Lucas Hedges tidak pernah menjelmakan perannya tersebut sebagai remaja yang annoying. Filmnya  TOUGHT TO WATCH, tetapi karakter-karakter yang terus memberikan kita tumpangan emosi yang powerful membuat kita tidak pernah merasa cukup. Biasanya kita sudah bosan duluan melihat atau menyadari durasi film yang sampe dua jam. Buatku honestly, aku bisa menonton enam jam film dengan karakter so well-realized seperti ini.

Penampilan para aktor juga teramat heartwrenching. Bantering mereka, momen-momen emosional mereka, dan sometimes momen yang membuat kita tertawa kering, terdeliver dengan mulus dan very believable. Peran sebagai Lee Chandler definitely adalah kerja terbaik dari Casey Affleck. Tidak salah kenapa ia bisa masuk nominasi Aktor Terbaik, malah aku bisa lihat dia memenangkan penghargaan itu, berkat penampilannya yang begitu subdued. Emosinya tersirat dalam-dalam. Kata-katanya tidak mengatakan apapun soal apa yang ia rasakan, apalagi menyuruh kita untuk merasakan apa yang seharusnya disampaikan. Penampilannya lebih menekankan kepada apa yang tidak ia katakan. Kita justru membaca emosi dalam diamnya. Pergerakan kecil gestur, perubahan ekspresi wajah, hal tersebutlah yang justru meledak-ledak dari penampilan Affleck memainkan tokoh Lee.

Kesedihan yang amat mendalam membuat Lee menutup diri. Dia merasa bersalah atas apa yang terjadi. Adegan mimpinya di babak ketiga menunjukkan bahwa Lee doesn’t trust himself berada di sekitar orang lain. Bahwa dia adalah manusia yang lemah, he can’t beat it. Ada banyak scene yang mengindikasikan Lee seorang peminum berat, and he hated himself for being weak dan selalu resort ke kebiasaannya itu eventhough itulah penyebab utama tragedi masa lalunya. Itu juga sebabnya kenapa Lee despises ibu Patrick so much. Ini adalah cerita tentang seseorang yang memilih berkubang dalam kesedihan, karena terkadang selain our personal demon, hanya kesedihanlah yang kita punya.

 

Percakapan-percakapan dalam film ini ditulis dan dimainkan sedemikian rupa sehingga kita seolah sedang nguping pembicaraan orang yang sangat intens alih-alih melihat sebuah tontonan drama. Adegan menjelang akhir film di mana Lee tidak sengaja ‘reunian’ dengan Randi, mantan istrinya (Michelle Williams enggak muncul banyak, tapi she’s managed setiap penampakannya begitu berarti). Percakapan mereka perfectly menggambarkan gimana kedua orang yang berusaha move on dari hidup yang penuh luka, but deep inside they just can’t. Membuatnya semakin heartbreaking adalah tidak satupun dari mereka berdua mampu mengutarakan sesak di dada, Randi bursts apart penuh sesal sementara Lee menolak to connect with all emotions dengan nyaris berkata-kata. Ini adalah momen paling bikin terenyuh as kedua aktor bener-bener touched us lewat penyampaian mereka yang masterful.

“Kok tangannya diperban?” / “Luka.” / “Oh.”
“Kok tangannya diperban?” / “Luka.” / “Oh.”

 

Film adalah tentang kehidupan, namun tidak semua bagian kehidupan layak untuk difilmkan. You know, films tend to skip over the boring parts of the day di mana kita ngobrol basa-basi atau nanganin hal-hal biasa yang enggak signifikan. Manchester by the Sea, dalam rangka menyuguhkan drama bersubstansi semanusiawi dan senyata yang ia bisa, nekat menerobos garis pembeda antara film dengan kehidupan tersebut. Dan film ini adalah kasus langka di mana hal-hal basic itu worked dengan sangat hebat. Situasi drama dalam film ini dipancing oleh masalah sehari-hari; Lee lupa parkir mobil di mana, Lee ngurusin paperwork pemakaman, berdebat dengan Patrick yang enggak mau jasad ayahnya dimasukin ke freezer sementara menunggu salju mencair, nanganin masalah biaya kapal. Kita akan ‘dihibur’ oleh dialog-dialog sepele tapi jadi important berkat karakter dan timing mereka. Kita pun tidak lagi mempermasalahkannya karena kita begitu hooked untuk melihat apa yang terjadi kepada mereka berikutnya. Kamera menangkap remeh temeh semacam pintu mobil yang kelupaan dibuka kuncinya atau pemain yang kesusahan mengangkat roda stretcher, dan Kenneth Lonergan membiarkan hal tersebut included, menjadikan film ini lebih grounded evenmore. Semua elemen menyatu mulus, film ini bahkan tidak terasa seperti film dengan babak satu-dua-tiga yang biasa, semuanya ngalir kayak kejadian beneran gitu aja.

Yang juga menarik adalah gimana film ini menangani penceritaan backstorynya dengan cara yang tidak biasa. Kita tidak diberikan batasan jelas mana yang flashback mana yang present. Film ini tersusun atas adegan-adegan pendek dan panjnag dengan TIME SEPERTI MOSAIK RANDOM. Kadang setelah beberapa adegan, baru aku sadar sedang nonton potongan adegan yang cukup panjang dari kenangan Lee. Pembedanya cuma antara sifat Lee yang ceria dan rambut Lee yang lebih berantakan. In that way, film ini sekali lagi percaya bahwa penonton mampu memilah adegan tanpa harus dikasih tahu dengan gamblang. Penonton tidak diremehkan, kita dipercaya bisa menangkap petunjuk-petunjuk dan menyatukan elemen-elemen cerita yang terjadi. Kita dipercaya bisa memahami apa yang terjadi meskipun tidak bisa mendengar percakapan di ujung lapangan hoki, misalnya. Sehingga pada akhirnya efek emosi yang kita rasakan akan berlipat ganda.

 

 

 

Jika kalian tertarik dengan dunia akting, penampilan Casey Affleck, Michelle Williams, atau Lucas Hedges saja akan ngajarin banyak tentang performance yang sangat subdued lagi emosional. Walaupun pacingnya lumayan lambat dan tiga-puluh-menit pertama membuat kita cukup terombang-ambing, tapi ini sesungguhnya adalah film dengan penceritaan yang berani. Mempercayai kita untuk menyelam sendiri ke dalam ceritanya. Untuk kemudian dibenturkan gently oleh konflik-konflik yang timbul secara manusiawi soal grief dan vulnerablenya interaksi sosial dunia-nyata. Well directed, well-written, tragedi dan komedi adalah apa yang ditekankan oleh drama realita film ini.
The Palace of Wisdom gives 8 gold stars out of 10 for MANCHESTER BY THE SEA.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners
And there are losers.

 

 

 

 

 

 

 
We? We be the judge.

MOONLIGHT Review

“Only through recognizing and accepting our inner wounds can we find true healing.”

 

moonlight-poster

 

We are all have been there before, right? Dikucilkan, dibully, enggak ada yang mengerti kita, ngerasa kita begitu berbeda sama yang lain, kayak makhluk asing, you know, kayak lagu dari Simple Plan. Aku sendiri waktu SD sering pulang sekolah dikejar-kejar. At first, teman-teman memang lagi nyari pemeran yang cocok untuk jadi atlet main smekdon-smekdonan; untuk peran babak-belur, of course. But then they just enjoyed chasing me around, even aku sendiri pun jadi suka. Aku memang enggak cepat, tapi aku lihai sembunyi di mana saja. Lama-lama itu jadi permainan yang mengakrabkan kami. Poinnya adalah, growing up jadi hal yang sulit karena kita naturally ingin mengidentifikasikan diri. Dan proses itu semua bergantung erat sama lingkungan kita bertumbuh. Beberapa anak mengalami masa-masa yang lebih berat ketimbang anak-anak lain.

Film Moonlight, however, bukan sekadar film ‘find-who-you-are’ yang biasa. It’s not cerita angst ga-jelas either. Ini adalah cerita yang sangat humane, dengan drama yang dead-fokus kepada karakter. MEMISAHKAN CERITA MENJADI TIGA BAGIAN, MOONLIGHT ADALAH PERJALANAN HIDUP Chiron dari dia kecil, kemudian saat dia remaja di sekolah, hingga menjadi dewasa. Dalam detil yang begitu excruciating, kita akan melihat gimana sulitnya Chiron hidup dan tumbuh di dalam lingkungan yang very harsh, gimana dia eventually menjadi dewasa dengan belajar mengerti siapa dirinya sementara dunia sekeliling tidak paham dan tidak menerima dirinya.

In regards to identifying the story, you know, I’m very pleased to discover tentang apa film ini sebenarnya. Maksudku, perjalanan yang sangat emosional yang ditempuh oleh Chiron itu diceritakannya dengan menggugah. Kita akan dibuat terenyuh melihat Chiron menyadari apa-apa mengenai dirinya. Film ini dengan perfect menangkap lingkungan keras tempat Chiron tinggal, urban Miami actually terasa in-the-moment karena di luar sana memang banyak anak kecil yang tumbuh di dalam lingkungan seperti demikian. Dan film ini menangkap segala momen dan emosi dengan tanpa menjadikan ceritanya klise. Aku belum pernah menonton film dengan denyut storytelling sespesifik ini; cowok kulit hitam yang tumbuh di lingkungan yang keras, dia menyaksikan sekitarnya sangat, katakanlah enggak-normal, dia harus belajar how to live with that, dan sementara itu dia juga menyadari something about himself, dia harus belajar gimana mengapresiasi sisi tersebut, namun a lot of people just don’t accept who he is.

 “no, you don’t know what is like. Welcome to my life!”
“No, you don’t know what is liiike. Welcome to my life!~”

 

 

Banyak yang membandingkan Moonlight dengan Boyhood (2014). Keduanya dengan menakjubkan sama-sama menelaah kehidupan, pertumbuhan seseorang dari kecil hingga dewasa. Namun bagiku, Boyhood terasa ada yang kurang, enggak tahu juga mungkin terlalu fokus ke gimmick apa gimana. Moonlight adalah apa yang sebenarnya aku harapkan ketika nonton Boyhood. Penceritaannya luar biasa. It is such an intimate movie yang mengeksplorasi dengan stunning gimana susahnya bagi seseorang tumbuh pada lingkungan yang tidak mengerti dirinya.

 

Tidak sepertiku, Chiron kecil dikejar-kejar bukan hanya karena dirinya bertubuh paling mini di sekolah. Dia noticeable paling happy di pelajaran nari. Temannya bilang dia negro yang ‘soft’. Ibunya sendiri menyindir cara Chiron berjalan. Little, begitu anak-anak di sekolah memanggilnya, mulai menyadari things about himself meskipun saat itu dia belum mengerti. Babak pertama cerita revolves around Little yang ‘diselamatkan’ oleh Juan (dimainkan singkat tapi sungguh berkesan oleh Mahershala Ali). Ini adalah babak penting dalam cerita karena kita melihat Chiron merasa lebih nyaman berbicara – dalam kapasitas anak pendiam – kepada Juan ketimbang kepada ibunya sendiri. Dalam hidupnya, Chiron tidak punya father figure dan dia enggak bisa benar-benar look up kepada ibunya yang seorang pecandu drugs. Chiron berusaha menemukan sosok orang di mana dia bisa merasa comfortable, tetapi semakin dia bertambah usia hal tersebut menjadi semakin susah baginya. Sebabnya ya lingkungan keras tadi itu; he just feels separated from everyone else around. Chiron learns semua orang ternyata ‘punya masalah’. Act kedua film menjadi babak yang paling psyhically intense, kita lihat Chiron muda resort ke kekerasan dalam upayanya merasa lebih baik or even to think violence as a way to fit in.

Sungguh susah bagi kita untuk melepaskan diri dari cerita Moonlight. It was filmed in such a raw way dengan kerja kamera yang amat fascinating. Tidak sekalipun adegan-adegannya terasa misplaced. Arahan tingkat dewa lah, pokoknya. Penampilan akting dalam film ini, oh boy, mereka semua almost too good to be true. Ketiga pemain yang jadi Chiron; Alex R. Hibbert, Ashton Sanders, Trevante Rhodes, mereka semuanya luar biasa excellent. Sebenarnya film dengan tiga bagian cerita seperti ini gampang untuk jadi terasa episodic. Bagi Moonlight, that was never the case. There is never a case! Setiap babak usia menambah layer kepada pribadi Chiron dengan sama realnya. Masing-masing pemeran berhasil memberikan perspektif yang sukses ngefek dalam membangun karakter Chiron. Apalagi di babak ketiga, ketika Chiron datang bertemu seorang teman lama, teman yang not expecting what Chiron turns out to be. Adegan di diner menjelang akhir film genuinely terasa kayak kejadian beneran yang unfolding di depan mata kita. It was STUNNING, MATURE, DAN SANGAT POWERFUL.

there’s nothing "sawft" about this movie
There’s nothing “sawft” about this movie

 

Sutradara Barry Jenkins sepertinya memang paham betul soal bahwa hubungan antarmanusialah yang ultimately membentuk siapa kita. Arahannya menyeimbangkan dialog-dialog penuh makna dengan visual yang lantang oleh emosi. Meskipun semua pemainnya black, ini bukan necessarily film dengan suara yang loud. Film ini tahu kapan saatnya ngomong dan kapan waktu yang tepat berekspresi dengan tanpa suara. Ada banyak adegan karakter saling tatap yang begitu deep-in-the-feel, seperti saat Little menangkap pandangan Juan yang baru saja memberitahunya soal kerjaan yang Juan lakukan, ataupun saat Chiron dan Kevin duduk di pasir pinggir pantai. Semua pemain beserta peran mereka bersinar di dalam cahaya film ini, bersinar biru so to speak.

Paralel nama Chiron tidak hanya pada nama centaurus yang berbeda dari kumpulannya di dalam mitologi. Dalam astrologi, Chiron adalah komet yang melambangkan luka terdalam; derita yang tak kunjung-pergi, dan usaha kita untuk menyembuhkan luka tersebut. Moonlight adalah cerita-tiga-bagian tentang Chiron yang tumbuh dengan penuh derita masa kecil, that he tries to explore that, yang meski membuatnya tampak ‘tangguh’ setelah dewasa; luka tersebut tidak pernah bisa sembuh sepenuhnya.

 

Kata orang, ngereview itu nyari-nyari kekurangan film. Well, benar demikian sih, reviewer kudu point out secara jujur flaws yang ditemukan. But keep in mind, movie adalah ide. Dalam gagasan tidak ada masalah benar atau salah – it’s about apa yang worked dan enggak worked di dalam penceritaannya. Supaya film, in general, bisa makin terus berkembang. Jadi itu jualah yang kulakukan saat nonton Moonlight. Aku terus membuka mata lebar-lebar untuk mencari hal yang menjatuhkan. Aku terus menunggu seseorang mengatakan hal yang bego. Aku terus melek mencari kemunculan subplot horrible atau elemen yang bosenin dari tiga bagian ceritanya. Dan aku tidak menemukan apa-apa. Biasanya kan kita sering, tuh, nonton film yang mestinya bisa bagus banget namun di tengah filmnya make a really stupid choice demi jadi mainstream atau apa. Tahun 2015 ada film Dope yang juga berpusat cowok kulit hitam yang not fit in dengan lingkungan yang keras, sayangnya film tersebut dengan cepat menjadi cerita kehidupan ‘hood’ yang biasa. Momen-momen jelek yang kutunggu tidak pernah muncul dalam Moonlight. Again, everything shines in this film.

 

 

 

So well-realized, visi ceritanya tergambar tanpa cela pada layar. Film ini benar-benar punya pesan tanpa terasa membombardir moral kita dengannya. Ini adalah penceritaan yang sangat dewasa. Easily, salah satu film terbaik di 2016. Menelaah dengan stunning gimana susahnya tumbuh dalam lingkungan yang tidak ada satupun yang mengerti diri kita. Tidak ada ada satu elemen pun yang terasa out-of-place dalam tiga bagian kisahnya. Penuh oleh penampilan yang genuinely feel so real. Arahan dan editing yang luar biasa dari mulai sampai habis. This is a masterwork!
The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold stars for MOONLIGHT.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

 
We? We be the judge.

ISTIRAHATLAH KATA-KATA Review

“Action speaks louder than words, except mine, my words are pretty awesome.”

 

istirahatlahkatakata-poster

 

Untuk sebuah film yang judulnya menyuruh kata-kata tidur siang, Istirahatlah Kata-Kata benar-benar punya sepatah dua patah sesuatu untuk disampaikan. Dan dia enggak bohong, kata-kata bisa ongkang kaki, sebab film ini adalah selebrasi dari tutur visual. Segala yang terpampang di layar berkoar bahasa sinematik, mengajak setiap pasang mata yang menonton untuk mengalami langsung apa yang sedang berusaha untuk diceritakan.

Action speaks louder than words. Kecuali kata-kata Wiji Thukul. His words are pretty awesome. Buktinya puisi-puisi karangan penyair asal Solo ini sukses bikin rezim Orde Baru Suharto ketakutan. Puisi-puisinya yang tentang rakyat kecil, mengobarkan semangat kebangkitan. Baca saja karya yang berjudul Peringatan. Namun itu belum cukup, kita tidak bisa mengubah dunia dari depan komputer – atau mungkin mesin ketik, di jaman Wiji Thukul merangkai kata. Jadi dibentuknya Partai Rakyat Demokratik (PRD) sebagai aksi langsung menuntut demokrasi. Dan jadilah Wiji Thukul sebagai pelanggar hukum, kala itu tidak boleh ada partai keempat. Wiji Thukul hidup sebagai buronan militer, dia angkat kaki dari Solo meninggalkan istri dan anak-anaknya.

Oke, sampai di sini marilah kita biarkan film Istirahatlah Kata-Kata mengambil alih kisah kehidupan seorang Wiji Thukul. Karena film tersebut menceritakan celoteh sejarahku di atas dengan jauh lebih efektif dan simpel; cukup lewat satu adegan kompor dengan teks singkat di atas gelegaknya. Mulai dari sini, biarkanlah film membawa kita menyimpang sedikit dari ranah sejarah, sebab ini bukanlah biografi, apalagi dokumenter. Sutradara Yosep Anggi Noen tidak membuat film ini sebagai sebuah rangkuman peristiwa sejarah. Ini adalah sebuah drama kemanusiaan dengan pendekatan rather psychological; a very closed look tentang gimana KEHIDUPAN SESEORANG DI DALAM PELARIAN. Gimana keterasingan slowly consumed him, dan juga dampaknya terhadap orang-orang yang ia cintai, sebelumnya akhirnya Wiji Thukul akhirnya benar-benar menghilang tanpa bekas. Seperti bunga yang dicabut dari akarnya kemudian ditiup oleh angin.

Ouija Too Cool …. Oke, I’m a seven-year old :3
Ouija Too Cool …. Oke, I’m a seven-year old hhihi

 

This is a really contained film. Peran-peran yang ada ditulis dan dimainkan dengan sungguh real. Percakapan mereka adalah percakapan yang benar terjadi, kita bisa dengar obrolan di warung kopi seperti apa. The way they react to things juga sangat manusiawi. Sebagai Wiji adalah Gunawan Maryanto (aku serius jadi penasaran beliau cadel beneran atau enggak, karena aku gasempat merhatiin waktu diajar nulis tahun lalu), kita bisa merasakan sembunyi-sembunyinya, takut-ketahuannya. There’s this one scene yang real-ironis yaitu saat hal pertama yang secara spontan Wiji tanyain ke pemilik rumah tempat dirinya ‘ngumpet’ adalah apakah ada pintu lain kalo-kalo dia perlu kabur mendadak. Sebagian besar waktu, emosi para tokoh ini ditahan-tahan, yang as the story goes semakin memuncak. Wiji Thukul dan Sipon, istrinya, ultimately akan dapet momen ketika semua emosi tersebut terlepas, dan film ini ngehandlenya dengan baik sehingga jadi sangat powerful. Sipon (Marissa Anita mirip-mirip Renee Young yang di Smackdown enggak sih, wdyt?) actually dapat dua adegan emosional yang berhasil terdeliver dengan menggugah.

“Kalah terus, ya tidur!” Masalahnya, bagi Wiji, adalah dia tidak bisa tidur. Di sinilah letak betapa efektifnya film ini menggambarkan isolasi. Hidup sebagai buronan adalah hidup yang gelisah. Kata-kata Wiji boleh beristirahat, sementara dirinya sendiri menjadi restless. Di bis, dia noleh-noleh ke belakang. Makannya enggak lahap oleh suara-suara di luar. Di dalam kamar tumpangan di Pontianak, ada saja yang membuat Thukul tidak bisa menidurkan matanya. Dan kerja film ini pun sama efektifnya ketika menutup cerita dengan membiarkan pintu kecemasan terbuka lebar; Begitu dia sudah bisa tertidur, when he finally embrace his status, dia malah mendapati istrinya menangis, dan kita tidak melihat Thukul lagi semenjak dia masuk ke dapur.

 

Arahan luar biasa ‘dekat’ dari sutradara Yosep Anggi Noen memastikan adegan-adegan menggandeng tangan kita melewati segala yang dirasakan oleh tokoh yang terlibat. Pace film sengaja dibuat lambat supaya semua emosi tersebut bisa perlahan menghujam ke dalam rasa kita. Ambil adegan pembuka sebagai contoh; a still-shot seorang polisi yang berusaha mengorek informasi dari anak Wiji, namun ada begitu banyak kejadian yang bisa kita rasakan. Lihat saja betapa ‘sibuk’nya actually satu adegan tersebut. There’s so much things and emotions happening there. Adegan tersebut juga sukses jadi pengantar yang perfectly ngeset mood keseluruhan film. Bahwa FILM INI SENDIRIPUN BERBICARA LEBIH BANYAK DARI SEKADAR LEWAT KATA-KATA.

Rahasianya terletak pada gimana sutradara Yosep Anggi mengontruksi adegan-adegan tersebut. Tata letak, komposisi, bahkan jarak kamera, dimainkan dengan sangat precise sehingga tak sekalipun kita merasa terlepas dari seolah ikutan duduk langsung di dalam layar. Not even ketika editing memisahkan shots dengan lumayan kontras. Everything was so on-point, everything was so in-the-moment. Makanya dalam film ini ada banyak sekali adegan-adegan yang memorable. Malahan, semuanya terhampar unik, kalian tahu, aku tidak bisa memilih favorit di sini. Adegan potong rambut, adegan lukisan The Last Supper, adegan ABRI main bulutangkis. Semuanya sungguh beautiful. Satu sama lain, semua adegan tersebut, dirangkai dengan tepat dan cermat. It’s LIKE A POETRY on its own, you know. Dan mungkin memang begitulah adanya. Dalam film ini majunya narasi kerap diselingi oleh voice-over pembacaan puisi oleh Wiji Thukul sembari kita menatap suguhan interpretasi visual dari bait-baitnya.

Di atas itu semua, kualitas teknikal yang paling menonjol buatku adalah ketidakhadiran musik. Nyaris keseluruhan film dihidupkan hanya oleh suara-suara asli; derap sepatu, siulan, bebunyian ekosistem malam , yea sound design film ini sangat awesome. Ini adalah langkah filmmaking yang sangat berani, mempercayakan sepenuhnya kepada emosi penonton untuk merasakan apa jujur terasa. Kecuali saat adegan di closing, tidak ada musik yang mendikte kita harus merasakan apa. Tidak ada musik yang menyuruh kita kapan musti takut, kapan musti gelisah, kapan musti tertawa. Ketika ada seseorang yang mengungkapkan emosinya, tidak ada suara musik yang mengiringi, tidak ada yang bilang “hey ini lagu sedih, maka kalian harus merasa sedih.” Makanya meskipun bidikan disetup sedemikian rupa – Yosep Anggi menjamin setiap yang tertangkap kameranya (bahkan yang keluar dari frame) memiliki makna – emosi film ini terasa compelling dan real. Karena kita dibuat seolah mengalaminya, alih-alih sekedar menonton.

Begitu jualah tampangku on a picture day
Begitu jualah tampangku on a picture day

 

Sebagai period-piece, set film ini juga tampak sama realnya. There’s no way orang bisa salah mengidentifikasi film ini, no matter mereka mengenalnya dengan judul Solo, Solitude atau Istirahatlah Kata-Kata. Aspek budaya lokal menguar kuat, bukan hanya sebagai penanda jaman, namun juga sebagai simbol yang turut berkontribusi ke dalam adegan-adegan filmnya yang bak puisi. Kalo mau dibandingan, film ini kayak gabungan aspek-aspek positif yang dimiliki oleh Athirah (2016) dan Terpana (2016).

Cukup lucu gimana pembangunan film ini bertolak belakang dengan pembangunan negara yang jadi salah satu kritikan Wiji Thukul pada masa itu. Kontruksi film ini dilakukan Yosep Anggi Noen sedemikian rupa, memperhatikannya secermat mungkin agar bisa dinikmati oleh penonton; supaya penonton bisa ikutan mengalaminya. Sedangkan pembangunan negara beneran, also masih relevan sampai sekarang, seringkali malah kita-kita yang dibangun yang tidak dapat menikmatinya.

 

 

Dalam usahanya mengistirahatkan kata-kata, however, film ini masih terdengar sedikit cerewet. Simbolisme kadang datang terlalu in-our-face; misalnya pada adegan The Last Supper, film merasa perlu untuk benar-benar ngeclose up lukisan alih-alih membiarkan kita menemukan sendiri fokus adegan tersebut. Ekposisi kejadian sejarah mungkin bisa dimaafkan karena memang perlu dan film ini meniatkannya sebagai informasi latar saja. Namun pada beberapa dialog, film ini seperti meragukan kemampuan penonton dalam mendeduksi arti suatu adegan. Film akhirnya turun tangan dan menjelaskan apa yang dialami karakter dengan dialog yang gamblang. Adegan terakhir saat Sipon sepertinya bisa lebih kuat jika Siponnya cuma menangis, sebab at this point kita tentu sudah bisa menyimpulkan sendiri gejolak gundah mereka.

 

 

 
Sebuah film yang paham what it takes to be humane. Berucap banyak lewat visual yang dikonstruksi layaknya puisi. Arahan yang luar biasa, penampilan yang seragam meyakinkan. Gimana film ini diambil, gimana setiap adegannya tercipta, filmmaking yang seperti inilah yang dibutuhkan dunia perfilman yang makin sekarang makin condong ke arah produk jualan. In a way, kita bisa bilang film ini melakukan pemberontakan, kayak Wiji yang melarang Sipon ngambil Koka-Kola. Ini adalah selebrasi tokoh Wiji Thukul. Ini adalah perayaan buat bahasa sinematik visual. Dan dalam kapasitasnya sebagai media bercerita, film ingin memastikan pesan ini sampai ke semua lapisan: kata-kata belum binasa, they just go out and take some action!
The Palace of Wisdom gives 8 out of 10 gold stars for ISTIRAHATLAH KATA-KATA/SOLO, SOLITUDE.

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners
and there are losers.

 

 

 

 

 
We? We be the judge.