THE RHYTHM SECTION Review

“When you dance to your own rhythm, life taps it toes to your beat”
 

 
 
Blake Lively yang kutahu adalah makhluk magnificent yang memancarkan aura bidadari yang lembut, bahkan saat ia berdarah-darah berhadapan dengan hiu. Ia adalah tipe yang kau impikan untuk jadi kakak perempuanmu. Namun aku tak mengenali Lively lagi di film The Rhythm Section ini. Ia jadi kumal banget. Begitu broken sehingga aku gak yakin bakal membukakan pintu jika ia datang bertamu. Aku akan memilih untuk bersimpati padanya dari balik tembok, hoping for the best dia kembali ke jalan yang benar. Namun film ini akan memaksa kita untuk berada di balik kepalanya, atau paling tidak di sebelahnya – menggenggam tangannya – melewati segala aksi balas dendam yang ia kira bakal memberinya ketenangan jiwa.
Tahulah kita bahwa Lively di sini bukanlah Lisa sang junkie PSK. Melainkan dia adalah Stephanie Patrick, mahasiswi teladan yang hidupnya menukik tajam setelah seluruh keluarganya – ayah, ibu, kakak, adik – tewas dalam sebuah kecelakaan pesawat. Steph yang last minute urung ikut naik pesawat technically selamat, tapi dia sebenarnya juga korban. “Kau hanya belum mati saja“, kata reporter yang menemukan Stephanie. Sang reporter sedang menginvestigasi kasus kecelakaan tersebut karena itu ternyata bukan kecelakaan biasa. Melainkan teror bom yang ditutupi. Pembuat bomnya masih bebas berkeliaran. Dalangnya masih di luar sana, bersembunyi di balik nama alias. Mengetahui hal ini, Steph bangkit, memungut dirinya sendiri dari nestapa untuk mencari pelaku. Menorehkan cerita balas dendam sendiri. Bekerja sama dengan sekumpulan orang di pihak si reporter, Steph meminta untuk dilatih menjadi assassin. Namun balas dendam tidak segampang yang dikira, khususnya ketika berhadapan dengan organisasi tersembunyi. Dan ketika dirimu sendiri juga bersembunyi di balik sesuatu yang bukan dirimu.

Jadi assassin wanita yang kuat supaya bisa dikirim misi ke sana kemari oleh pria

 
Paling baik bagi kita untuk tidak mengharapkan film thriller yang penuh laga seru saat menonton film ini. Karena The Rhythm Section diarahkan oleh sutradara perempuan Reed Morano untuk menyanyikan nada yang berbeda. Film ini adalah jeritan hati dari Stephanie, sepanjang waktu kita akan diminta untuk melihat ke dalam Stephanie. Semua adegan laga akan di-examined dari sudut pandang dan perasaannya. Pemberantasan teroris dan politik kriminal di baliknya tidak akan dibahas jika Stephanie tidak meluangkan emosi terhadapnya. Kamera akan strictly melayang di depan wajahnya. Akan ada banyak sekali adegan Stephanie ‘berhenti’, close up ke wajah, dan kita menyelam masuk ke flashback memorinya. Di sinilah peran Blake Lively menjadi sangat penting. She’s the perfect personification untuk tokoh Stephanie yang terlihat ‘keras’ di luar tapi begitu lembek dan rapuh di dalam. Kita akan menemukan simpati menatap lekat-lekat wajah Lively, dan semakin broken tokohnya ini efek yang dihasilkan semakin kuat.
Stephanie pada masa-masa nelangsanya adalah penampilan terbaik dari film ini. Setiap kali dia berada di fase jatuh, gagal, seperti gak punya harapan, dan menyesali kepergian keluarganya, di sinilah film bersinar. Berkat penampilan akting dan struggle genuine yang dikeluarkan. Film paham cara menonjolkan ini semua. Misalnya pada adegan Steph dilatih bertarung satu lawan satu. Morano memerintahkan kameranya untuk merekam aksi dalam single take tanpa-putus, dan mereka membuat adegan ini berlangsung di ruangan sempit. Laga pada adegan ini gak ada flashy-flashy-nya, tapi begitu memukau karena dengan efektif merekam kefrustasian dan usaha Stephanie untuk menjadi jago berkelahi. Ada transformasi karakter yang tampak genuine sepanjang adegan laga yang gak-sempurna ini. Dan adegannya, seperti semua adegan laga dalam film ini deliberately dibuat amatir karena penting bagi kita untuk dapat melihat Stephanie gak mampu untuk menjadi Petra, persona assassin yang harus ia isi.
Setelah semua latihan, dia berenang di danau yang dingin itu, coba tebak apa yang Stephanie lakukan pada misi pertamanya menghabisi orang? Stephanie babak belur dihajar oleh penjahat di kursi roda. Pada bagian-bagian Stephanie jadi penyusup dalam misi membunuh lingkaran tersangka terorislah film berpotensi menjadi sangat membosankan. Dia gak keren kayak John Wick. Dia enggak mematikan kayak Atomic Blonde. She can’t do shit kayak Jackie Chan. Melainkan, misi Stephanie nyaris selalu gagal karena dia terperangkap dalam pikiran dan emosinya sendiri. Rencananya selalu kacau. Film juga membuat on-point soal Stephanie balas dendam karena tindakan teroris membunuh orang tak berdosa, tetapi saat bertindak sebagai assassin, justru Stephanie sendiri yang membuat banyak orang tak berdosa turut menjadi korban. Setiap rencana yang gagal itu membuahkan damage yang berlebihan, yang memberatkan nuraninya sendiri.
Ini sebenarnya merupakan fresh take dalam genre action. Jika kebanyakan seringkali menampilkan tokoh cewek yang membalas dendam dan langsung jago, The Rhythm Section ini berani memperlihatkan ‘kenyataan’, bahwa gak semudah itu menjadi seorang pembunuh. Manusia biasa gak bisa latihan instant untuk menjadi secakap CIA. Terutama, ini cocok dengan gagasan film soal Stephanie yang berusaha mencari comfort dengan kabur dari dirinya. Pertama dia menciptakan Lisa, sebagai alasan untuk mengasihani diri sendiri, berkubang di jalanan. Kemudian dia tertarik untuk menjadi Petra, assassin wanita yang terkenal sangar. Film juga memunculkan tokoh antagonis yang paralel dengan kondisi Stephanie; yang berlindung di balik persona U17, bedanya hanya si antagonis berhasil memanfaatkan identitas tersebut.

Untuk bisa menembak dengan jitu, Steph harus mendengarkan irama jantung dan napasnya. Film bicara soal setiap makhluk punya ritmenya sendiri, dan itulah yang harus didengar oleh masing-masing. Kita harusnya menari dalam irama sendiri, dan ini maksudnya adalah untuk stay true to who you are. Steph gagal sebagai Petra, dia nista menjadi Lisa. Langkahnya baru mulus, dia lebih berjaya saat mengenali dendamnya sebagai Stephanie, putri dari keluarga Patrick yang mengasihani diri dan berani untuk mengubah itu semua.

 

Jantung adalah drum, napas adalah bass… dan mulut adalah riff gitar “tininiw tinininiiiwww”!

 
Film sayangnya tidak cukup bijak untuk mendengarkan gagasannya sendiri. Alih-alih bergerak dalam irama yang menjadi keunikannya, film mengambil banyak keputusan editing dan bercerita yang aneh. Yang bukan-dia-banget. Pemilihan musiknya, for instance, sangat misleading. At heart, ini adalah cerita yang muram. Gagasannya membutuhkan sang tokoh untuk menjadi ‘bego’ dalam setiap misi, entah itu gagal atau ketahuan dan kabur. Supaya ia lantas memikirkan tindakan yang ia lakukan, mempertimbangkan kembali approachnya dalam balas dendam. Namun film malah memperdengarkan kepada kita musik-musik penyemangat, tak ubahnya film laga yang tokohnya keren dan gak-annoying karena sebentar-bentar flashback. Kesalahan besar saat menonton adalah menciptakan ekspektasi lalu hidup dalam ekspektasi tersebut, membuat film terasa jelek karena gak sesuai dengan harapan kita. Dalam kasus film ini, si film sendiri yang mendorong kita untuk berharap sesuatu yang keren. Padahal cerita dan design yang ditetapkan jauh dari semua itu.
Kemudian soal editing gambar dan kamera. The Rhythm Section sebenarnya punya adegan keren, kayak di Extraction (2020), yakni kejar-kejaran mobil yang seolah single take. Bedanya di film ini, kamera menetap di sebelah Steph yang lagi mengemudikan dengan panik, sambil sesekali nge-pan untuk memperlihatkan kerusuhan di belakang, samping, ataupun depan jalanan. Sekuen adegan yang keren, hanya saja terlalu goyang untuk dapat benar-benar dinikmati. In fact, kebanyakan adegan close up dalam film ini terlalu shaky sehingga fungsinya sebagai penghantar kita merasakan langsung emosi tokoh ini jadi buyar. Belum lagi saat dialog, film menggunakan teknik splicing cut ke momen lain – yang merupakan cara film supaya bisa merangkum banyak plot poin dan kejadian karena cerita ini merupakan adaptasi dari novel yang punya lebih banyak ruang untuk bertutur – yang pada akhirnya jadi flat out confusing. Serta merenggut kita dari perasaan ikut terbonding sama para tokoh. Itulah sebabnya kenapa tokoh-tokoh lain tidak terasa nempel dan kita tidak peduli amat dengan mereka. Relasi Stephanie dengan mereka tidak berkembang dengan normal, dan tidak diberikan waktu yang cukup. Film hanya memuat sebanyak mungkin dan mencoba melakukannya dengan bergaya.
 
 
 
Pendekatan film ini terhadap genre thriller laga balas dendam dengan protagonis cewek sebenarnya cukup segar. Tokoh kita berubah dari mengasihani diri sendiri menjadi berani dan mengkonfrontasi masalah langsung sebagai dirinya. No more pretending. Tidak lagi berkubang dalam nestapa. Namun untuk belajar semua itu banyak kegagalan yang harus dilewati. Dan fase kegagalan ini dapat dengan mudah tertranslasi kepada penonton sebagai laga-yang-membosankan, juga annoying karena tokohnya terlihat bego. Film sendirinya seperti ragu terhadap ritmenya, bimbang untuk menjadi muram dan depressing seperti yang dilalui oleh tokohnya, maka memilih beberapa elemen untuk ‘menceriakan suasana’, but it’s not working karena malah membawa penonton semakin jauh ke bagaimana sebenarnya film ini. Buatku, nonton ini seperti mendengarkan cerita teman mengenai seberapa keren dirinya, tapi aku tidak merasakan hal yang sama.
The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for THE RHYTHM SECTION.

 

 
 
That’s all we have for now.
Tidak ada yang mudah jika kita melakukan sesuatu untuk diri kita, tapi melakukannya dengan standar orang lain. Stephanie tidak gagal jadi assassin, dia hanya gagal menjadi Petra.
Apakah kalian setuju bahwa menjadi diri sendiri itu jauh lebih susah dan lebih membutuhkan keberanian daripada menjadi orang lain?
 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

THE WRETCHED Review

“All children’s greatest fear is the separation of their parents”
 

 
 
Pria dan wanita saling jatuh cinta. Mereka kemudian hidup bersama. Menjadi papa dan mama. Anak mereka akan belajar banyak dari mereka, terutama kasih sayang dan rasa percaya. Namun kemudian pria dan wanita tadi bertemu dengan masalah rumah tangga. Mereka memutuskan untuk berpisah, karena itulah langkah terbaik. Yang harus disadari adalah perpisahan bukanlah akhir, melainkan awal. Permulaan dari trauma dan masalah bagi anak. Karena sekarang rasa percaya itu terbagi dua. Anak takut disuruh memilih. Anak khawatir mengkhianati kasih sayang utuh tempat ia bertumbuh. Dan kemudian datanglah sang figur pengganti. Sebagai personifikasi dari ketakutan anak dari perceraian orangtua.
The Wretched merangkum hal-hal yang dikhawatirkan oleh anak-anak malang seperti demikian. Yang orangtuanya kini tinggal terpisah. Yang bersiap untuk mendapat papa atau mama yang baru. Kejadian-kejadian tersebut dibentuk ke dalam narasi horor oleh duo sutradara sekaligus penulis naskah Brett Pierce dan Drew T. Pierce, yang kemudian disampaikan kepada kita lewat tone yang ringan seolah ini adalah kisah kehidupan remaja normal. Benturan tone inilah, tema yang kelam-estetik creepy-atmosfer ringan, yang menjadikan The Wretched sebuah pengalaman nonton yang lumayan langka. Yang kita dapat biasanya entah itu film yang terlampau artsy, atau malah film yang bablas receh. Atau yang frontal sadis. The Wretched berada di tengah-tengah itu semua. Violent dan tega terhadap anak kecil, beberapa mengarah ke ‘konten dewasa’, tapi perspektif dan gagasan yang disampaikan adalah milik anak-anak baru gede yang bermuara pada keluarga.
Cerita berpusat pada Ben (John Paul-Howard bermain dengan gips di tangan), cowok remaja yang mendapat giliran di rumah ayahnya, di lingkungan kota dermaga kecil. Di sini Ben berkenalan dengan tetangga baru, teman baru, dan calon ibunya yang baru. Selain kecanggungan sosial dan angst-nya soal kemungkinan ibu baru tersebut, hidup Ben masih tergolong normal. Hingga dia gak sengaja mengintip ada kejanggalan di sebelah rumahnya. Tetangga Ben mendadak lupa bahwa mereka punya dua orang anak. Ben yang tertarik rasa penasaran dan kekhawatiran melakukan investigasi kecil-kecilan. Dia menemukan simbol aneh dan sesuatu yang mencurigakan di basement tetangganya itu. Mungkinkah nyonya rumah tersebut adalah seorang penyihir kuno? Ben harus segera berbuat sesuatu sebab anak-anak lain di kota itu mulai lenyap jejak keberadaannya satu-persatu.

Apakah sosok mirip Arrancar ini technically dibilang Witch karena suka merebut suami orang?

 
Nonton The Wretched rasanya persis kayak baca cerita-cerita di buku Fear Street karangan R.L. Stine. You know, the Goosebumps-Guy. Goosebumps merupakan horor yang ditulis Stine khusus untuk anak-anak; dengan tidak terlalu mengerikan, dalam artian hanya ada literal makhluk mengerikan entah itu zombie, hantu, alien, atau bahkan bully di sekolah tanpa pernah menyentuh isu yang lebih dalam seperti domestic abuse, atau trauma, ataupun ketakutan mental lainnya. Pada Fear Street, Stine mulai memperkenalkan soal isu tersebut dengan sedikit lebih dalam, karena mengincar pembaca yang lebih gede. Nah, The Wretched juga mengandung elemen dan cara bercerita yang mirip dengan horor Fear Street. Remaja yang melakukan hal-hal remaja biasa yang dealing with bersosialisasi di lingkungan baru. Kenalan ama cewek. Sedikit gak akur sama akur sama ayah yang mau nikah lagi. Namun dengan tone horor yang kuat sebagai pembungkus lapisannya.
Horor di sini dapat menjadi sangat mengerikan untuk penonton seusia tokoh utamanya, atau yang lebih muda. Anak yang dimakan. Anak yang diseret secara kasar untuk kemudian dibiarkan sementara nasibnya sesuai imajinasi kita. Practical effect-nya akan membantu kita mengembangkan visual supermengerikan di dalam kepala masing-masing. The Wretched punya departemen art yang asik, untuk ukuran genre horor. Penampakan ‘penyihir’nya sangat meyakinkan seremnya. Adegan dia keluar dari perut rusa niscaya bakal menghantui mimpi anak kecil yang menonton ini, paling enggak untuk seminggu ke depan. Sementara aku, skena mimpi burukku sampai saat ulasan ini diketik masih dibintangi oleh emak-emak berdiri di ujung lorong, bermandikan cahaya, dengan tubuh berpostur meliuk kayak batang pohon. Yea, terima kasih buat adegan anak tetangga Ben melihat ibunya berdiri di luar kamar. Sutradara jelas punya gaya dan visi tersendiri dalam menampilkan keseraman dengan penuh gaya, and it works. Bahkan jumpscare yang kita temukan juga enggak jatoh murahan dan hanya-sekadar-ngagetin. Ada timing, ada build up yang melibatkan bukan saja musik, melainkan juga cahaya, sehingga begitu precise dan tetap menghormati penonton.
Dalam penulisanlah film ini lebih struggling. Seperti yang disebut di atas, fenomena-fenomena horor di film ini sebenarnya merepresentasikan ketakutan anak saat keluarganya berpisah dan bakal membentuk keluarga baru, dengan lingkungan dan orang yang completely baru, sehingga mereka merasa terasing. Film berusaha memasukkan banyak, seperti anak yang keluarganya disihir sehingga melupakan dia exist adalah gambaran anak takut dilupakan, ataupun seperti penyihir yang memakai kulit manusia dan menyamar menjadi ibu – membisiki ayah untuk bersikap aneh – adalah gambaran anak takut dia tidak mengenali orangtua baru atau orangtua aslinya lagi. Semua itu diperlakukan sebagai kekuatan sihir si Penyihir. Namun saking banyaknya, film jadi terlihat menumpukkan saja semuanya ke tokoh Penyihir ini. Film mencoba membangun mitologi si penyihir untuk merangkum dan melogiskan itu semua. Tapi tetap saja, si Penyihir pada akhirnya hanya tampak seperti segala kekuatan jahat yang superpower tanpa benar-benar menjadi sebuah karakter.
Menjadi lebih parah ketika kita meniliknya dari usaha film membeberkan kekuatan, keberadaan, dan mungkin cara mengalahkan Penyihir ini. Film melakukan semua trope horor gampangan, semacam ada simbol sihir di mana-mana, ada internet yang punya informasi detil mengenai makhluk ini. Kemudahan dan kefamiliaran. Membuat film ini generik dalam hal karakterisasi dan pendalaman mitologi. Kekuatan penyihir tidak diberikan batasan atau penjelasan. Kegunaan simbol, kenapa digambar, kenapa makan anak-anak, siapa yang menulis artikel detail di internet, film gak peduli membahas semua itu. Yang penting bagi film adalah aspek-aspek itu ada sebagai alat untuk mendukung gagasan soal ketakutan anak, dan si penyihir ‘hanyalah’ gabungan dari itu.
Penyihirnya suka menggambar

 
Konsistensi struggling penulisan ini juga tercermin jelas dari karakter-karakter manusia. Film bermaksud membuat tempat, kota, yang menjadi latar hidup. Sebagaimana dalam cerita-cerita Stephen King; mau itu kota Derry, Castle Rock, ataupun penjara Shawsank, tempat selalu menjadi karakter ‘tersembunyi’. The Wretched pengen seperti demikian. Kita diperlihatkan si Penyihir sudah ada dari beberapa tahun yang lalu. Bersemayam di hutan. Kita lantas melihat kota kini berpindah pusatnya ke perairan, dan ada arc sendiri bagi Penyihir terkait dengan kota ini yang dibuat melingkar di akhir. Untuk fully menghidupkan kota, film menempatkan berbagai macam penduduk sehingga tokoh-tokoh sentral bisa berinteraksi dengan mereka. Akan tetapi, film ini kembali salah langkah. Seperti halnya Penyihir, kota atau tempat ini juga jadi tumpukan trope saja. Semuanya hanya jadi device saja. Misalnya tokoh bully yang ternyata perannya hanya minor untuk menghalangi Ben ke suatu tempat, sekilas, dan tidak pernah dibahas lagi relasi yang sempat terbangun antara Ben dengan mereka.

Membayangkan orang asing masuk ke keluarga, mendekati salah satu orangtua dan kemudian membayangkan harus menganggap orang itu orangtua baru, jelas bukan pikiran menyenangkan untuk anak dan remaja. Banyak peneliti yang sependapat bahwa anak tumbuh lebih ‘sehat’ di lingkungan yang mencintai meskipun harus mengalami perpisahan dibandingkan tumbuh di lingkungan yang selalu bertengkar. Namun, perpisahan dan masuknya orang baru tetap bukan perkara enteng bagi mental anak. Mereka terutama khawatir akan terlupakan, karena orangtua sudah move on dengan cinta lama. Sekaligus takut melupakan orangtua ketika mereka nyatanya juga harus move on dan memilih.

 
Dan bicara soal Ben, dari eksposisi backstory yang ia ceritakan kepada kita melalui tokoh teman wanitanya, supposedly Ben ini kayak jadi bengal gitu setelah orangtuanya cerai. Tangannya patah karena perbuatan kriminal kecil-kecilan yang ia lakukan. Kita juga melihat di awal perkenalan kita dengannya, Ben mengutil uang. Dari sini kita bisa memahami cerita sebenarnya pengen menyampaikan bahwa Ben yang sekarang sedang ‘dihukum’ dia datang ke tempat ayahnya untuk bekerja dan dipantau berkelakuan baik. Konflik diset lewat Ben harus melanggar aturan karena ia merasa ada sesuatu yang ganjil dan berbahaya di rumah sebelah. Ini mestinya konflik yang cukup menarik. Akan tetapi, Ben yang sebagian besar durasi kita lihat, tidak pernah tampil semenarik itu. Karakternya boring, whiny, dan tidak memancing simpati. Ada seorang cewek yang mendekati dia, mereka jadi sahabat, dan Ben tak pernah tampak tertarik ataupun bereaksi kepadanya seperti manusia beneran. Ben terlalu fokus membawakan plot, tindakannya jadi ngeselin. Film terlalu menyuruhnya untuk mengintip tetangga kayak sedang berada dalam film Rear Window (1954), sehingga lupa ada elemen-elemen lain yang harusnya juga dimainkan.
Film menyimpan twist keren di akhir, hanya saja tidak terasa cukup waktu untuk kita benar-benar merasakan impact dari pengungkapan tersebut. Keberadaannya enggak mengurangi nilai film, tapi aku pikir seharusnya bisa lebih diberi bobot lagi terutama yang berhubungan dengan Ben. Bukan hanya dia ada di sekitar Ben, melainkan mungkin seharusnya bisa dikaitkan langsung dengan emosional Ben, seperti misalnya dia-lah justru yang pertama kali melupakan. Dan ini hubungannya kembali lagi ke karakterisasi; karena Ben dikembangkan tidak semenarik yang seharusnya bisa dicapai jikasaja naskah direworked lebih cermat.
 
 
Untuk menyimpulkan; aku enjoy menonton ini. Ceritanya yang mengangkat horor di balik kehidupan sehari-hari membawa ke masa-masa horor jadi staple dalam hiburan anak muda. Film ini tidak terasa seperti horor dengan tokoh remaja/anak. Melainkan seperti film anak yang horor. Dan ini membuatnya jadi pengalaman nonton yang seru. Juga grounded, karena masalah pada anak dapat dengan mudah terelasi kepada semua orang. Penggemar horor pun aku yakin akan mengapresiasi estetik dan visualnya. Mainstream appeal film ini juga terletak pada twist yang sudah disiapkan. Masalahku sama film ini adalah penulisan yang enggak sebanding dengan arahan. Banyak aspek yang diangkat, yang ternyata cuma jadi trope dan device, alias tidak benar-benar matang dipikirkan kehadirannya.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for THE WRETCHED.

 

 
 
That’s all we have for now.
Sesungguhnya, enggak ada orang yang mau dilupakan, terutama oleh orang-orang yang ia sayangi. Menurut kalian, darimana perasaan takut dilupakan ini berasal? Apakah itu hanya ‘anak’ dari kecemburuan?
 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

THE LODGE Review

“All the stress and misery of life comes from fear of loss”
 

 
 
Orang bunuh diri gak bisa ke surga! Itulah hal yang paling dikhawatirkan oleh Mia, gadis cilik yang ibunya meninggal akibat menembak kepala sendiri karena ditalak cerai. Tapi enggak ada orang yang paham ama ketakutan Mia tersebut. Tidak ayahnya yang mau menikah dengan wanita muda yang pernah jadi pasien konseling sendiri. Tidak pula abangnya, Aidan, yang marah lantaran ayah mereka karena memilih cewek “psikopat” penyintas dari sekte bunuh diri. Notice ‘bunuh diri’ muncul dua kali? Kejadian menjadi mengerikan ketika dua agen atau pihak-yang-bersinggungan dengan ‘bunuh diri’ ini bertemu. Mia dan Aidan actually diajak oleh ayah mereka untuk berlibur bareng Grace, si calon ibu tiri yang cakep, untuk saling mengakrabkan diri. Namun begitu ayah pergi, meninggalkan mereka bertiga di vila di tengah badai salju menjelang Natal, kejadian tak-terjelaskan mulai terjadi. Pemanas yang mati. Waktu yang seperti tak bergerak hari demi hari. Makanan dan barang-barang lenyap, termasuk boneka Mia yang didandani mirip ibunya, dan obat anti-stress Grace yang masih dealing dengan trauma survivalnya. Apakah ini kegilaan yang menerpa? Atau hantu dari masa lalu? Ataukah dugaan Aidan memang benar; bahwa mereka bertiga sebenarnya sudah meninggal.

Meninggalkan keluarga di tempat terpencil tanpa mobil di tengah salju, sungguh bukan teknik parenting yang jitu

 
 
Film ini mengingatkanku kepada The Turning (2020). Ada banyak kesamaan pada dua film ini, hampir seperti mereka berkompetisi satu sama lain. Basically, kedua film sama-sama mengambil lingkungan tertutup dengan cerita wanita muda mengasuh dua anak. Karakteristik tiga tokoh sentral ini pun mirip. Anak cewek yang menggunakan boneka sebagai emotional crutch. Remaja cowok yang sayang pada keluarga, tapi juga bisa terkesan sedikit bandel. Dan creepy. Pada kedua film terdapat adegan yang melibatkan remaja cowok, wanita muda, dan kamar mandi. Lalu tentu saja ada karakter wanita muda yang diharapkan harus bonding dengan kedua anak, sementara dia sendiri punya trauma pada masa lalu – dia punya ketakutan personal atas sesuatu yang menjadi asal usulnya, dan tokoh ini akan menapaki downward spiral menuju ke kegilaan. Untungnya, meskipun juga banyak mengandalkan adegan mimpi untuk menyampaikan momen-momen horor, The Lodge enggak menipu kita dengan satu sekuens full kejadian-yang-tidak-beneran-terjadi kayak di The Turning. Naskah dan arahan duo sutradara Severin Fiala – Veronika Franz hadir dengan sama-sama artsy namun sedikit lebih baik. Sedikit.
Inceran dari cerita horor ‘terjebak’ ini tentu saja adalah keambiguan. Film ingin menempatkan kita pada perasaan bingung yang sama dengan yang dirasakan oleh tokoh cerita. Misteri dari apa yang sebenarnya terjadi, ditambah dengan sensasi kehilangan kewarasan menjadi goal dari kengerian film ini. Berkaca dari horor-horor klasik, The Lodge paham cara meraih itu semua. Yakni dengan pembangunan atmosfer. Inilah yang dilakukan dengan indah oleh arahan film. Suasana menakutkan, sensasi berada di tengah-tengah keganjilan, dihadirkan dengan begitu ‘bergaya’ oleh kamera. Tone warna juga turut andil menciptakan kesan yang bukan hanya suram, warna-warna dingin itu menimbulkan kesan sebuah dunia kelabu yang kita enggak pasti apakah hanya sebuah fantasi atau kenyataan.
Secara estetik, film ini sepertinya pengen dimirip-miripin ama Hereditary (2018), sebab The Lodge juga menarik perhatian kita terhadap perbandingan perspektif dunia nyata dengan dunia boneka. Adegan pembuka film ini juga memparalelkan rumah boneka dengan rumah nyata, yang eventually akan diperlihatkan bahwa rumah boneka Mia punya interior yang sama dengan interior vila keluarga tempat mereka terjebak nanti. Boneka-boneka di dalam situ berada pada posisi khusus, yang nantinya bakal ‘menjadi kenyataan’ saat para tokoh beneran berada di posisi seperti yang sudah diramalkan. Sedari awal film sudah menjebak kita ke dalam misteri, ke dalam ketidakpastian – sebagai hook agar kita terus terpaku di tempat duduk, bertanya-tanya di dalam hati benarkah ada kekuatan supernatural atau semua itu hanya bukti bahwa ada pihak yang telah merencanakan perbuatan mengerikan di villa nanti. Misterinya ini sangat menarik, sepanjang durasi film akan terus membawa kita kembali ke perbandingan rumah boneka tadi – digunakan sebagai transisi adegan – sebagai petunjuk di tengah-tengah beragam distraksi yang sayangnya lebih mendominasi. Yang kumaksud dengan distraksi di sini adalah elemen horor lainnya, seringkali bagian dari karakter, yang tidak benar-benar membuahkan apa-apa selain bikin kita bingung mencari pegangan pada perspektif utama.
Dalam horor, perspektif adalah hal yang krusial. Kita hanya bisa peduli pada tokoh jika sudut pandang terfokus pada dirinya, sebab horor membahas ketakutan personal. Kita harus mengerti trauma, atau tragedi, atau hal yang menurut si tokoh mengerikan, dan ini bisa dicapai jika kita enggak sering teralihkan oleh horor dari orang lain, kecuali ketakutan mereka menyangkut hal yang sama. The Lodge tidak pernah memutuskan perspektif ini. Hal teraneh yang dimiliki oleh cerita ini bukanlah barang-barang yang hilang mendadak, sekte sesat, ataupun perilaku si ayah yang ngajak liburan kemudian malah pulang buat bekerja. Melainkan, hal teraneh di cerita adalah sudut pandang yang mendadak berubah dari Mia ke Grace.
“Jadi maksudmu kita nonton mereka nonton internet sia-sia belaka?”

 
 
Babak pertama sepertinya sudah menetapkan ini adalah cerita dari sudut Mia, kita melihat keluh kesahnya. Kita mengerti ‘ancaman’ dari sudut pandang Mia adalah Grace; sosok wanita muda yang at the time kita ditanamkan informasi bahwa dia ‘psikopat’, dia somehow bisa survive dari sekte di usia 12 tahun, lantas dia yang masih kecil itu merekam mayat-mayat bunuh diri di sekte. Babak awal ini menempatkan Grace dalam cahaya misterius, film bahkan mengadegankan momen perkenalan Mia dengannya dengan membangun narasi “siapa wanita ini, bisakah ia dipercaya. Film bermain-main dengan rasa penasaran Mia atas wajah si Grace (wajah cakep Riley Keough akan diporsir untuk berbagai emosi dan kegilaan). Untuk kemudian pada babak kedua, kita dijauhkan dari Mia dan sudut pandangnya. Kita direnggut dan kemudian malah ditempatkan di posisi Grace. Dengan cepat, semua perspektif Mia tadi rontok bagi kita karena sekarang kita melihat sudut Grace. Seorang survivor yang masih trauma sama adat-adat agama – ia bergidik saat doa makan malam, ia takut melihat salib dan lukisan Bunda Maria (sepertinya, mungkin aku salah mengenali objek lukisan tersebut). Namun Grace sungguh berusaha untuk hidup normal. Dan tantangan bagi Grace bukan cuma trauma, melainkan juga kenyataan bahwa dua anak ini kehilangan ibu mereka gara-gara dia. Ada rasa bersalah yang menghantui. Serta tentunya berat bagi Grace untuk berusaha membangun hubungan saat seisi rumah mengingatkan penghuninya pada orang yang posisinya sedang berusaha Grace isi.
Teorinya, dua perspektif itu dihadirkan supaya kita bisa mengerti konflik kedua belah pihak. Namun kenyataannya, malah membuat kita memilih harus simpati kepada siapa, dan akan butuh waktu lama untuk kita memutuskan sehingga pada saat itu justru kita terdetach dari mereka semua. Film ini meminta kita untuk mengkhawatirkan keselamatan Mia dan abangnya karena orang asing ini bisa saja berbahaya. Lalu berputar arah, film jadi meminta kita untuk lebih bersimpati kepada si orang asing. Untuk kemudian berputar kembali. Setelah kita mulai mendukung tokoh ini – dan berpikir “tau rasa kalian anak-anak ngeselin!” – film malah mengembalikan kita kembali kepada Mia dan abangnya. Dari sudut mereka, sebagai penutup, kita dikasih peringatan untuk tidak mempermainkan orang yang punya masalah kejiwaan.

Satu-satunya keparalelan yang konsisten pada kedua pihak – anak dan Grace – yang diperlihatkan oleh The Lodge adalah bahwa mereka sama-sama takut akan kehilangan koneksi terhadap hal yang dikasihi. Mia terlalu dekat dengan boneka. Grace butuh obat untuk percaya dia sudah sembuh. Teror sebenarnya datang dari dalam diri masing-masing pihak. Membuat mereka takut dan gak percaya kepada hal di luar. Ketakutan inilah yang menghambat tumbuhnya cinta di antara mereka. Konklusinya memang ironis; semakin kita takut kehilangan, kita justru akan kehilangan lebih banyak hal.

 
Dilihat dari kedua sudut itu, cerita film ini jatohnya insulting. Jika kita percaya ini adalah cerita peringatan untuk anak-anak, film ini gagal karena tidak memberikan kesempatan kepada tokoh anaknya untuk melihat orang dari sisi lain. Babak kedua film ini completely dari sudut Grace, kitalah yang dibuat mengerti, bukan dua anak itu. Mereka tidak belajar. Bagi sudut pandang mereka, mereka hanya menyesal karena Grace jadi ‘ngamuk’ dan ada beberapa kejadian di luar rencana mereka. Jika kita percaya ini adalah cerita psikologis seorang yang mengalami kejadian buruk di masa lalu sehingga mentalnya terganggu, film ini juga gagal karena orang tersebut dibuat kalah dalam berjuang. Yang menyampaikan kepada kita bahwa, ya, orang gangguan mental memang berbahaya, trik anak kecil saja sanggup untuk ‘menghancurkan’ mereka.
 
 
 
Karena itulah, maka film ini buatku terasa sempit, padahal sudut pandangnya lebih dari satu. Elemen horornya jangan ditanya. Ada soal pandangan soal bunuh diri. Ada soal ritual atau praktik agama. Ada soal relasi dengan orangtua. Ada soal keadaan mental juga. Namun film membuat kita frustasi. Semua itu hanya pernak-pernik. Kita mengharapkan banyak dari ambiguitas yang dihadirkan, hanya untuk menemukan jawaban yang sangat simpel dari topik paling simpel yang ada pada film ini. Dan film meminta kita untuk mengoverlook semua hal gak make sense dari perbuatan yang ditampilkan. Sehingga meskipun banyak visual dengan suasana yang bikin ngeri (shot favoritku adalah pas menjelang akhir; Grace duduk dengan spektrum cahaya di belakang kepalanya, sehingga dia kayak juru selamat) hal paling aneh dan bikin bergidik pada film ini justru adalah pilihan yang mereka, seperti mengganti-ganti sudut pandang.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for THE LODGE.

 

 
 
That’s all we have for now.
Kebayang gak sih kalo pas karantina gini, kalian mengalami hal yang sama seperti Grace dan Mia.. hiii… Jadi apakah kalian punya kiat tertentu untuk mengisi waktu bersama adik atau si kecil?
Bagaimana menurut kalian cara terefektif untuk menumbuhkan kepercayaan dari orang jika kita ingin menggantikan posisi orang yang mereka sayangi?
 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

BAD EDUCATION Review

“Teachers are the unsung heroes”
 

 
Pernah penasaran sama yang namanya ‘uang pembangunan’ di sekolah? Pernah kesal karena setiap bulan selalu ditagih tapi enggak pernah jelas untuk membangun apa? Well, Bad Education arahan Cory Finley bakal bisa memberikan salah satu jawaban atas pertanyaan tersebut. And while at it, drama komedi ini juga bakal menggugah simpati kita dengan pertanyaan lain, yakni benarkah seorang guru tidak memerlukan ‘tanda jasa’?
Karena film ini dibuat berdasarkan kisah nyata dari skandal penggelapan uang sekolah di Amerika. Seorang superintendent bernama Frank Tassone dikenal sebagai guru yang baik. Dia dicintai bukan hanya di kalangan guru dan sejawat, tapi juga oleh murid-murid di setiap sekolah yang ia tangani. Dia akrab dengan orangtua mereka. Tassone benar-benar peduli dan memperhatikan pencapaian akademik dan kepentingan sekolah. Penulis skenario Mike Wakowsky actually adalah mantan murid dari the real Frank Tassone. Dalam film ini Mike menuliskan sosok gurunya itu sebagai pria berpenampilan rapi yang ingin memajukan Roslyn High School sehingga menjadi peringkat satu senegara-bagian. Pria yang lembur di kantor demi menghapal nama murid dan orangtua. Yang mengingat prestasi semua murid tanpa terkecuali. Yang menggebah Rachel, salah satu murid di ekstrakurikuler jurnalistik, untuk mengerjakan tugas lebih dari yang ditugaskan. Rachel kala itu datang hanya untuk meminta komentar soal pembangunan Skywalk. Saran Tassone-lah yang menyemangati Rachel untuk menyusun laporan lebih dalam, sehingga siswi ini menemukan kejanggalan yang mengkhawatirkan pada laporan keuangan sekolah.

Seperti anggaran lem aibon yang mencapai 80 Milyar, eh tapi itu kasus di sekolahan kita yah

 
Skandal nyata yang bisa dibilang terjadi lumayan recent itulah – tahun 2002, tepatnya – yang dijadikan hook pada film ini. Ceritanya menelisik reaksi sekitar karena peristiwa tersebut sensasional sebab dilakukan oleh seseorang yang begitu kharismatik dan disukai, seperti sosok Frank Tassone. Di balik senyum penuh pancaran semangat dan motivasi, ternyata ia telah bertahun-tahun menggelapkan anggaran. Masuk ke kantong pribadi dan kantong orang kepercayaan. Film mengajak kita mengalami rasanya semua itu terjadi. Cerita dibuat semakin ‘seksi’ dengan mengubah sedikit kejadian dari dunia nyata; intensitas digenjot dengan membuat muridnya lah yang melakukan investigasi yang mengungkap semua – sementara pada kejadian nyata, murid dan koran sekolah hanya menyebutkan sekilas yang kemudian langsung dilalap oleh media luar. Secara skenario – pembangunan konflik dan sebagainya – ini adalah yang keputusan yang tepat. Menambah banyak bobot pada drama karena kita akan mendapat banyak interaksi antara Tassone dengan Rachel yang berfungsi sebagai device untuk mengeksplorasi kontras antara kebutuhan guru dan tanggungjawabnya terhadap pendidikan murid.
Bad Education actually adalah pelajaran berharga tentang keadaan dunia pendidikan bagi kita semua. Film tidak melupakan kemanusiaan yang menjadi literally aktor utama di balik skandal menghebohkan jagat pendidikan tersebut. Kita diberi kesempatan untuk melihat siapa sebenarnya Frank Tassone. Dan film melakukan ini tidak dengan cara ‘menipu’. Alias, tidak sekadar dibikin twist atau ‘ternyata’, kayak Tassone diperlihatkan sebagai orang baik di awal kemudian busuknya terungkap oleh koran. Tidak. Film menyetir cerita ini keluar dari jalur Tassone si Good-Looking Con Man. Melainkan menyorotinya dengan sebanyak mungkin kevulnerablean manusiawi. Film dengan subtil menanamkan karakter Tassone. Genuinenya dia terhadap kondisi pendidikan anak-anak diperlihatkan selaras dengan sifatnya yang memang hobi berbuat ‘curang’. Kita melihat dia cheat on his diet. Hingga ke Tassone cheat on his life-partner. Namun semua kecurangannya itu dipastikan oleh film berakar pada kepedulian Tassone terhadap murid-murid.
Salah satu elemen penting sebagai usaha naskah menampilkan kehidupan pribadi Tassone adalah soal hubungannya dengan Kyle, lelaki yang merupakan mantan muridnya saat masih mengajar sebagai guru bahasa Inggris. Ini bukan sekadar menonjolkan preferensi seksual atau sekadar supaya sama dengan kejadian asli, melainkan berfungsi sebagai penanda karakter. Sebab ketertarikan Tassone kepada Kyle bermula saat dia mengetahui mantan muridnya ini gagal sebagai penulis. Ini menunjukkan bahwa tokoh ini tak bisa menahan keinginannya untuk membantu muridnya, Tassone ingin membantunya sukses. Dan dia rela menghabiskan apapun untuk itu. Film juga menunjukkan perbedaan yang mendasar antara korupsi Tassone ini dengan korupsi salah satu sejawatnya yang lebih ke arah tamak. Memperbaiki rumah, belikan Playstation, beli perhiasan. Tassone tidak seperti demikian. Uangnya ia pergunakan untuk bepergian dalam acara pendidikan. Ia pakai untuk perawatan diri karena ia percaya sekolah butuh sosok seperti dirinya.
“I don’t give a damn about bad education”

 
Jadi ada keambiguan pada ‘penyakit’ dan keinginan tulus Tassone sebagai seorang pengajar/pendidik. He almost beg for a sympathy, sementara kita tahu apapun alasannya menggelapkan uang – mencuri uang – itu adalah perbuatan yang salah. Inilah yang menyebabkan film ini menarik menit demi menitnya. Membuat kita mempertanyakan diri sendiri bagaimana seharusnya perlakuan kita terhadap guru. Pekerjaan guru, mengajar, seharusnya mengutamakan kepada outcome; berhasil atau enggak dalam mencerdaskan anak-anak, memajukan pendidikan bangsa dan segala macam. Tapi bagaimana dengan income; bagaimana si guru tersebut. Tidakkah mengatakan mereka pahlawan tanpa tanda jasa tidak bakal jadi beban bagi mereka? Kita banyak mendengar guru dibayar kecil, gaji guru enggak seberapa. Tokoh Frank Tassone berargumen soal ini, sebagai pembenaran atas apa yang ia lakukan.
Monolog saat Tassone menumpahkan keluh kesah kepada orangtua murid yang merupakan tumpukan ‘kekesalan’ pribadinya, sekaligus bisa kita gunakan sebagai cermin terhadap dunia pendidikan. Tassone kurang lebih bilang, “Pernahkah Anda mengingat wajah guru yang duduk bersamamu, yang membimbing, mengajarkan berhitung dan membaca? Anda mungkin lupa. Tapi kami tak pernah lupa. Karena kalian hanya menganggap sekolah sebagai tempat pacuan kuda, anak-anak digempur, dan kamilah pengurus kuda-kuda itu.” Itulah akar dari permasalahan ini menurut dirinya; bahwa orang-orang abai kepada guru. Bahkan ketika dirinya terpaksa memakai duit sekolah dengan jumlah tak seberapa – awal dari semua ini – bertahun-tahun yang lalu, orang-orang gak ada yang peduli. Orang-orang hanya peduli pada kinerja. Sekolah yang mendapat peringkat empat. Mereka mendapat gengsi dan anak-anak yang pintar. Guru hanya mendapat tepuk tangan. Dan bagi Tassone, itu semua enggak cukup.

Pahlawan tanpa-tanda jasa berarti pahlawan yang mengerjakan kebajikan tanpa pamrih. Mereka harus kita apresiasi, diberikan pengakuan, penghargaan. Kita harus memberikan kepada mereka, tanpa diminta. Sebab begitu tanda jasa itu diminta, maka mereka bukan lagi pahlawan. Mereka bisa berubah menjadi penjahat yang mengambil sesuatu lebih dari haknya.

 
Entah pembelaannya itu tulus atau tidak, entah semua ucapan emosionalnya itu beneran atau cuma alesan, is it a classic ‘help me help you’ scenario? Film mengembalikan semuanya kepada kita. Korupsi, bagaimanapun salah karena telah merugikan orang banyak. Hanya, ada suatu pokok yang bisa kita renungkan di balik ini semua. Dalam konteks ini, penampilan akting menjadi penentu nomor satu kesuksesan bercerita. Dan, wow, Hugh Jackman benar-benar luar biasa memerankan sang superintendent. Kita percaya ketika dia mengajar dan menyemangati anak-anak murid. Namun kita juga merasa dicurangi ketika semua perbuatannya terungkap. Jackman berpindah dari orang yang dihormati, ke pasangan yang dicintai, ke tikus yang licik dengan sangat meyakinkan. Monolog yang aku sebut tadi, sebenarnya setelah itu dia melakukan monolog lagi berupa menjelaskan kepada anak kecil pengucapan kata ‘accelerate’. Penyampaiannya sangat menakjubkan, Jackman benar-benar menyelam sempurna ke dalam perannya. Dia tampak seperti orang yang punya passion mengajar beneran.
Meskipun begitu, di babak awal film ini sebenarnya berjalan kurang mulus. Penonton yang belum tahu bahwa film ini berdasarkan kasus korupsi dana sekolah, akan bingung ke mana arah alur cerita. Motivasinya kurang tertanam, film seperti berkubang pada set up yang menuntut kita untuk mendengar para tokoh lalu seperti terpecah dua saat Rachel si jurnalis sekolah muncul. Film akan membawa kita bergantian dari momen Rachel ke Tassone, dan untuk awal-awal terasa seperti ketidakmantapan sudut pandang. Sampai akhirnya kita tahu bahwa film ini berdasarkan satu event – kejadian terungkapnya kasus di sekolah – dan lantas film berkembang menjadi menarik. Dan terasa sangat relevan karena setiap kita pasti punya kecurigaan sekolah kita menarik uang untuk yang tidak-tidak.
 
 
 
Yang akan menghantam kita saat menonton film ini adalah perasaan terkhianati oleh orang yang paling kita percaya sedunia, dan kemudian gelombang intropeksi apakah kita yang menyebabkan dia jatuh dari kesempurnaan. Naskah mencoba mengulik semua kompleksitas berdasarkan kasus di kehidupan nyata pada dunia pendidikan. Kita dapat merasakan usaha untuk membuat cerita ini lebih dari sebuah peristiwa penipuan. Juga sekeras mungkin berusaha untuk ambigu, dan melihatnya dari sisi pelaku. Menonton ini nyaris dua jam, kita gak akan bosan karena diisi oleh topik yang memancing dan penampilan akting yang jempolan.
The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for BAD EDUCATION.

 

 
 
That’s all we have for now.
Apakah menurut kalian sistem pendidikan kita sudah benar-benar menghormati dan menghargai guru sebagaimana pekerjaan mereka?
 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

EXTRACTION Review

“Don’t let yourself drown”
 

 
 
Extraction, yang baru saja tayang di Netflix dan bikin gempar lantaran adegan aksi-tanpa-putus sepanjang 11 menitnya, adalah tipe film yang dengan gampang bakal disukai oleh orang Indonesia ‘saja’. Karena oh karena, orang kita sudah terkenal demen menyaksikan keributan. Entah itu keributannya tersebut berfaedah atau unfaedah.
Proyek terbaru Joe Russo ini sama seperti Avengers; sama-sama berdasarkan komik – lebih tepatnya, graphic novel. Extraction bercerita tentang seorang mercenary alias tentara bayaran yang dapat panggilan kerjaan ke India. Tugasnya adalah menyelamatkan putra seorang gembong narkoba dari tawanan pesaing bisnis ilegal di daerah tersebut. Sang mercenary, Tyler (bukan lagi Dewa Petir, Chris Hemsworth kini memainkan karakter yang lebih stereotipikal dan dangkal) awalnya hanya memikirkan duit upah saja. Namun begitu sampai di sana, setelah ia beraksi langsung – berhadapan dengan begitu banyak pihak mulai dari preman ampe polisi bobrok – Tyler menyadari bahwa nasib si anak tak ubahnya seperti daging bangkai yang diperebutkan oleh hyena-hyena. Jadi Tyler memutuskan untuk benar-benar tuntas menyelamatkan si anak, mengeluarkannya dari kota yang panas, kumuh, dan kejam tersebut.

kirain seragam putih abu

 
Kursi sutradara dipercayakan Russo kepada Sam Hargrave, yang biasa menangani aksi-aksi atau stunt dalam film-film laga ngehits seperti Avengers ataupun yang stylish kayak Atomic Blonde. Nah, sekarang kita paham darimana ‘datangnya’ take panjang 11-menit itu. Dalam debutnya sebagai sutradara, Hargrave berhasil menorehkan jejak yang mendalam lewat sekuen aksi yang menjadi jantung dari film ini. Ketegangan berhasil ia deliver secara maksimal. Mulai dari kebut-kebutan mobil di jalanan tanah sempit, hingga ke pengejaran dan baku hantam di apartemen yang gak kalah padetnya, untuk kemudian aksi itu dihamburkan kembali ke jalanan. Sama halnya pada seantero film 1917 (2020), unbroken shot pada film ini sebenarnya juga gak bener-bener kontinu tanpa putus. Kita dapat melihat pada setiap panning shot, atau gerakan kamera ‘melengos’, di situlah letak jahitan adegan per adegan. Tapi keseluruhan ilusi sama sekali tidak terputus, karena dilakukan dengan begitu mulus, yang tentu saja tidak akan bisa tercapai tanpa perencanaan dan keselarasan tingkat super dari kerja kamera, akting, koreografi, dan semua-semuanya.
Tyler is ridiculously strong. Dia ditanamkan kepada kita sebagai petarung keren nan tangguh, di adegan awal kita melihat dia terjun begitu saja dari tebing tinggi, nyemplung ke air dan duduk bersila di sana. Dibandingkan dengan pemuda-pemuda ceking yang kulit coklatnya keliatan semakin dekil karena terbakar terik matahari jalanan, Tyler menjulang tegap. Perkasa sekali. Menyaksikan dia menghajar para musuh kadang terlihat begitu mudah, sukar dipercaya dia bisa kalah dari mereka jika bukan karena jumlah. Film tahu persis akan hal ini. Maka, setiap adegan berantem dipastikan oleh sutradara untuk bergulir dengan real. Tyler dibuat harus selalu memposisikan diri agar tidak dikeroyok, dia juga bertarung dengan otak. Film berhasil mengelak dari jebakan ‘musuhnya datang kayak gantian’ berkat tempo dan koreografi yang benar-benar dipikirkan. Kita akan melihat banyak adegan berantem yang keren dan bikin nahan nafas.
Terlebih karena level kekerasan yang ditampilkan juga bukan main-main. Inilah salah satu kelebihan platform seperti Netflix dibandingkan bioskop; pembuat bisa lebih bebas berkreasi terkait soal rating tayangan tanpa perlu overthinking soal jumlah penonton dan layar. Kita yang nonton, juga, gak perlu khawatir ada yang kena sensor. Cukup harus kuat ‘perut’ aja. Si Tyler dalam film ini, orangnya senang menyerempet bahaya. Dia suka minum, dia memilih berjalan di antara hidup dan mati, untuk melampiaskan penyesalan pribadinya terkait anak di masa lalu. Jadi untuk ‘memuaskan’ si protagonis, film benar-benar memberondongnya dengan bahaya. Tubuh ditusuk, tertembus peluru, orang melayang ketabrak truk; adegan-adegan semacam demikianlah yang bakal jadi asupan untuk mata yang menyaksikan film ini. Dan beberapa akan semakin gak-enak, karena adegan kekerasannya melibatkan anak di bawah umur.
sayang anak, sayang anak

 
Salah satu tema yang digaungkan oleh film ini adalah soal ayah dengan anaknya. Mau itu tentara upahan, kroco, maupun pemimpin sindikat narkoba, mereka semua adalah bapak-bapak yang sayang kepada buah hati mereka. Presence anak-anak/remaja akan secara konstan dihadirkan dalam cerita yang nyaris non-stop kekerasan ini. Hingga ke poin, kekerasan terhadap anak jadi hal yang tak bisa dihindari untuk muncul di sini. But hey it’s okay karena film actually punya hal yang ingin disampaikan lewat itu semua. Dalam sekuen setelah midpoint, misalnya, kita akan melihat Tyler harus mengubah taktik perlawanannya karena ia sekarang berhadapan dengan musuh yang masih di bawah umur semua. Aku suka bagian ini, karena development Tyler diposisikan dengan tepat di sana. Sepanjang cerita Tyler, obviously, akan bonding dengan anak yang sedang ia selamatkan. Karena baginya, si anak remaja ini adalah kesempatan untuk menebus dosa atau kegagalan ia buat anak kandungnya. Hati film ini, journey Tyler, berputar pada masalah ia menyingkapi kehilangan anak. Film berusaha mengisi setiap jeda aksi dengan menanamkan persoalan tersebut. Membenturkan Tyler dengan anak-anak jahat adalah layer berikutnya dalam pembelajaran yang harus ia lewati. Anak-anak itu jadi device yang sempurna bagi perkembangan Tyler.

Setiap orangtua, setiap orang dewasa akan merasa bertanggungjawab terhadap anak atau orang yang lebih muda di sekitar mereka. Kegagalan untuk memenuhi tanggung jawab tersebut akan mengakibatkan rasa bersalah. Tyler deals with this feeling. Begitu juga dengan beberapa tokoh pria dewasa lagi dalam film ini. Namun mereka lebih baik daripada Tyler, karena saat kita bertemu dengannya Tyler literally membiarkan dirinya terbenam dalam perasaan tersebut. Misinya di India adalah perjuangan yang membuka matanya untuk terus berenang.

 
Di sinilah letak kekurangdalaman eksplorasi cerita. Yakni ada ketidakseimbangan antara Tyler dengan tokoh anak-anak/remaja, terutama remaja yang ia selamatkan. Anak-anak dalam film ini persis seperti yang diucapkan dalam salah satu dialog; hanya dipandang sebagai objek. Film belum menyentuh mereka sebagai subjek. Dalam kasus anak yang diselamatkan oleh Tyler; pengembangan itu datang terlambat, film hanya menguak permukaannya saja. Anak ini sebenarnya cukup banyak diperlihatkan sebagai tokoh dengan kondisi yang memancing keingintahuan kita. Dia diperlihatkan hobi main piano, dan punya cukup banyak teman. Sebagai anak bos narkoba dia dikawal ke mana-mana, karena bapaknya punya banyak musuh. Film tidak mengeksplorasi ini lebih dalam. Perjalanan anak ini tidak benar-benar paralel dengan Tyler yang seharusnya ia dukung secara journey. Bagi si anak, ini semua adalah persoalan keberanian. Dia yang di awal film bicara ke cewek aja takut, diperlihatkan menjadi orang yang mewarisi keberanian Tyler setelah berkali-kali nyaris mati dan selamat dari inceran orang-orang jahat. Namun semuanya itu memang hanya ditampilkan di awal dan akhir saja, sebatas untuk memperlihatkan ada yang berubah. Film tidak membahas kenapa si anak bisa tumbuh menjadi seperti itu pada awalnya, tidak seperti saat membahas Tyler yang kita bisa mengerti kenapa dia suka minum dan menantang maut.
Selain itu, ada pasangan remaja-dewasa yang lagi yang punya sesuatu yang menarik tapi tidak dibahas tuntas oleh film. Melalui mereka, film ingin memperlihatkan dunia kriminal sebenarnya adalah siklus hasil didikan tak-bertanggungjawab dari seorang pria dewasa kepada anak muda. Kita hanya dikasih lihat mereka ini ada, tanpa pernah diajak untuk menyelami persoalan tersebut – karena hingga film berakhir mereka tetap musuh. Objek untuk dibasmi oleh Tyler. Akibatnya gagasan dan keberadaan film sendiri jadi tidak cocok. Dia bicara tanggungjawab dan pentingnya relasi dan jadi pendukung satu sama lain, tapi bersuara lewat glorifikasi kekerasan seolah Tyler tokoh video game yang mendapat poin dengan membunuhi orang-orang yang dipukul rata semuanya jahat, padahal jelas-jelas banyak pihak dan kepentingan yang terlibat.
 
 
 
With all being said, film ini tidak akan dijadikan teladan dari penulisan ataupun dari penokohan. Terlalu generik, dengan banyak trope dan stereotipe. Ada sudut pandang yang cukup ‘berani’, tapi film memilih untuk tidak menggali. Ceritanya sangat basic, kita seperti sudah menontonnya berulang kali. Akan tetapi, film ini akan banyak dibicarakan orang mengenai teknis pembuatannya. Dia menunjukkan kemungkinan baru dalam merekam adegan berantem. Bagaimana supaya musuh yang mengeroyok tidak kelihatan menunggu. Bagaimana aksi selalu dinamis dan memanfaatkan surrounding dengan tampak natural. Sebagai laga, film ini sukses memenuhi fungsinya. Walaupun masih ada bentuk yang lebih prima dari cerita ini.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for EXTRACTION.

 

 
 
That’s all we have for now.
Apakah menurut kalian film ini jatuh ke dalam lubang ‘cerita white savior’? – pahlawan kulit putih datang membereskan persoalan bangsa lain, sementara ada antihero di sana yang perjuangannya lebih personal – Do you think film udah ngasih alasan yang cukup bagi Tyler untuk stay dan jadi penyelamat di sana?
 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

THE WILLOUGHBYS Review

“When everything goes to hell, the people who stand by you without flinching — they are your family.”
 

 
 
Alessia Cara main film! Berita tersebut tentu saja langsung membuatku menggelinjang. Tapi kemudian gelisah. Begini, ketika nonton film yang melibatkan either orang yang kita kenal atau orang yang kita sukai, yang kita ngefan abiss, rasanya tuh selalu ngeri-ngeri sedap. Karena kita akan berada di posisi pengen objektif alias gak mau terlalu bias, tapi juga khawatir bakal terlalu kritikal terhadap idola sendiri. Ini sama seperti kepada keluarga, kita berharap mereka gak doing something bad karena kita gak mau terlalu keras kepada mereka; kita berharap mereka doing great supaya punya alasan bagus untuk memujinya tanpa dianggap bias. Untungnya, animasi Netflix The Willoughbys yang memang bercerita tentang menyingkapi keluarga dengan hati ini punya banyak keunikan dan hal unggul alami sehingga aku tidak merasa tidak-enak memujinya.
Yang didirect oleh sutradara Kris Pearns dan Cory Evans ini sungguhlah sebuah cerita yang aneh dan tak biasa diusung dalam bentukan tontonan keluarga. Mimpi yang mereka jual tergolong ‘mengerikan’. Bagaimana jika anak-anak menginginkan orangtua mereka pergi? The Willoughbys mengisahkan Tim dan tiga adiknya – Jane dan si kembar, Barnaby – tinggal bersama orangtua mereka di rumah kuno di tengah kota modern. Seperti bangunannya, keluarga ini juga tergolong ‘old fashioned’. Silsilah Keluarga besar Willoughbys penuh oleh orang-orang dengan pencapaian, dan kumis, luar biasa. Semua itu seakan putus pada ayah Tim yang berkumis tipis. Ayah Tim tak peduli pada banyak hal di luar cintanya kepada ibu Tim. Beliau bahkan tidak peduli sama anak-anaknya. Mereka tak mau berbagi makanan kepada Tim, yang malah dikurung di bawah tanah. Mereka melarang Jane bernyanyi. Mereka enggak mau repot ngasih dua nama – dan dua sweater – untuk si kembar. Tim dan saudaranya merasa diabaikan. Mereka jadi kepengen jadi yatimpiatu supaya bisa bebas. Maka mereka mengirim ayah dan ibu ke sebuah paket travel romantis namun amat berbahaya. Tentu saja harapan mereka adalah kedua orangtua mereka celaka dalam perjalanan.

Dan kemudian Mary Poppins dan Willy Wonka jadian dan berpotensi jadi orangtua angkat Tim dan adik-adiknya

 
Gagasan yang berupa kita bisa memilih keluarga kita sendiri, ataupun gagasan untuk tidak merasa terikat oleh orang yang harus kita pedulikan hanya karena punya hubungan darah dengan mereka, tentunya adalah bahasan yang lumayan kompleks dan bisa dibilang cukup kelam untuk anak kecil. Secara bahasa memang tidak ada yang sadis, vulgar, atau gimana. Melainkan film ini punya humor yang receh, dan mirip seperti kartun-kartun konyol di televisi. Namun secara topik, film ini bersuara dewasa. Ia menyinggung kekerasan anak, abandonment, perihal merencanakan kematian. Dan memang akan ada tokoh-tokoh yang menemui ajal, yang dipresentasikan sebagai komedi. Saat membahas cinta laki-laki kepada wanita, film juga tidak mendaratkan kepada anak, ia menghamparkannya sebagaimana anak-anak melihat cinta. Sesuatu hal rahasia yang dilakukan oleh orangtua. Film menampilkan banyak gestur terselubung, but again, dalam sorotan cahaya dark jokes.
Jadi film ini sebenarnya masih satu kotak sama animasi seperti Coraline (2009), atau Frankenweenie (2012), karena sama-sama film anak/keluarga yang horor. The Willoughbys, however, dapat terasa lebih seram karena bahasannya yang sangat dekat. Gak sembarang anak-anak yang aman menonton ini. Paling enggak harus ngerti konsep sarkas dulu, karena jika tidak bisa dengan gampang ketrigger ke arah yang enggak-enggak. Karena di film ini kita akan melihat hal-hal yang mengundang pertanyaan berat bagi anak-anak polos seperti kenapa orangtua benci kepada anaknya, kenapa anak-anak itu enggak dikasih makan, boleh tidak anak benci kepada orangtua dan mengirimnya ke tempat berbahaya.
Di pihak lain, film ini juga lebih warna-warni dan lebih cerah. Berkat visual yang imajinatif dan sangat kreatif. Film ini menggunakan animasi CGI dengan konsep pergerakan yang menyerupai stop-motion. Seperti yang kita nikmati pada film-film LEGO. Dunia yang dihadirkan sangat kartun, rambut para Willoughby ini misalnya, berserat kayak benang. Awannya kayak gula kapas. Dan ada pelangi sebagai pengganti asap dari pabrik permen. Film ini berusaha menyinari elemen kelam ceritanya dengan penampakan dan tone yang ceria. Hebatnya, dua elemen tersebut; cerita yang kelam dan tone yang konyol cartoonish, akan jarang sekali terasa bertabrakan. Ini karena film berhasil mengeset pemahaman kita terhadap logika yang bekerja pada dunianya. Belum apa-apa kita disambut oleh kucing yang bisa berbicara, sebagai narator. Untuk merangkum semuanya, pengalaman nonton film ini sama seperti kita sedang dibacain dongeng, dan kita melihat lembar-per lembar buku dongeng yang penuh warna dan hal-hal unik.
“my kind of fun doesn’t make any sense”

 
Kita semua tahu, dongeng-dongeng klasik sekalipun memang semuanya punya ‘keseraman’. Film ini bertindak sebagai dongeng modern yang gak shy away dari aspek mengerikan yang terkandung dalam gagasan tak-biasanya. Karena film tahu dia punya pesan yang hangat untuk disampaikan. Film ingin berdiri sebagai mercusuar harapan bagi anak-anak yang merasa orangtuanya jahat first, dan kepada anak yang orangtuanya beneran jahat second. Things could get that ugly. Maka anak-anak seperti Tim perlu untuk melihat semua sudut supaya mereka bisa belajar untuk kembali percaya kepada orang dewasa. Karena setiap anak butuh pendamping, baik itu wali maupun orangtua.
Sepanjang cerita kita akan melihat perjalanan Tim dan Jane dan Kembar Barnaby. Kita dipahamkan akar dari mereka jadi bisa berpikir untuk lebih baik hidup tanpa ada orangtua. Kita mengerti kenapa mereka awalnya tidak percaya kepada Nanny yang datang untuk mengasuh mereka. Kita melihat Tim pelan-pelan belajar bahwa punya keluarga itu adalah suatu berkah. Belajar bahwa makna dari keluarga bukan sekadar kesamaan fisik dan tradisi. Melainkan saling menerima perbedaan dan saling menyintai. Alur cerita film ini dirancang sedemikian rupa sehingga sesuai dengan pengembangan pola pikir Tim, tokoh yang difungsikan sebagai wakil dari anak-anak dalam keluarga yang broken atau disfungsional. Kepercayaannya terhadap peran masing-masing dalam sistem keluarga perlahan timbul. Hampir seperti ia menyerah, kelihatannya bagi kita, saat Tim memutuskan untuk menempuh perjalanan jauh demi menjemput dan menyelamatkan nyawa orangtua mereka. Tapi sekaligus kita lega. Karena itulah satu-satunya cara. Anak butuh orangtua. Kemudian film mendaratkan kita kembali bahwa kadang keluarga itu just not working. Kadang orangtua memang begitu egois. Kadang mereka memang jahat. Tapi pada saat itu, Tim dan adek-adeknya sudah paham nilai sebuah keluarga. Perjalanan mereka telah sempurna, maka cerita memberikan mereka ‘hadiah’. Resolusi yang diberikan film ini sungguhlah manis. Kita mungkin sudah bisa melihat hal ini datang, tapi endingnya akan tetap nonjok karena kita sudah terinvest sama tokoh-tokoh colorful yang dihadirkan.

Keluarga bukan soal rumah. Bukan juga semata soal darah. Terkadang, keluarga adalah soal orang-orang yang memilih untuk bersamamu. Orang-orang yang ada di dekatmu tanpa diminta. Terkadang, memang orang pilihanlah yang membuat keluarga terbaik.

 
Tokoh-tokoh tersebut sekilas memang tampak satu dimensi. Tapi jika kita teliti, film sebenarnya memberikan mereka lapisan, hanya saja elemen komedi yang membungkusnya terlalu menghalangi. Orangtua Tim saling cinta, mereka bisa survive dari apa aja berkat kekuatan cinta mereka. Tapi mereka jahat kepada anak-anaknya, dan kepositifan dari cinta itu terhalangi karena film menunjukkannya sebagai ‘kekuatan’ jahat – orang-orang actually celaka di sekitar cinta mereka. Nanny yang baik hati juga dibeberkan punya masa lalu sebagai anak yatim sehingga kita punya ruang untuk mengenali emosinya. Commander Melanoff juga diperlihatkan bukan sekadar sebagai orang aneh yang punya pabrik permen, selalu ada sesuatu di balik penokohan, meskipun memang sebagian besar dimainkan sebagai komedi oleh film ini. Sehingga bisa dengan mudah teroverlook dan membuat tokohnya satu dimensi. Aku sih berharapnya mereka ngecilin sedikit volume kekonyolan agar karakter dapat bersinar. Namun justru ekstrimnya rentang konyol dan dark-nya itulah yang menjadi appeal dan gaya film ini.
And finally, saatnya membahas Alessia Cara yang memulai debutnya sebagai bermain akting pengisi suara. Film ini berisi jejeran seperti Maya Rudolph (yang enerjinya menghidupkan film ini ke level maksimal) ataupun Tim Forte, dan even Ricky Gervais yang terdengar natural sebagai kucing pemalas. Alessia paling muda di sini. But I gotta say, suaranya cocok sekali dengan karakter Jane. Terdengar ringan dan sedih bersamaan. Juga penuh optimisme. Salah satu ciri Jane adalah kalimat ‘what if’. Dialah yang pertama kali mengajukan ide ‘membuang’ orangtua mereka. Tokoh ini penuh oleh ide liar, yang dihidupkan dengan klop oleh akting suara Alessia. Lagu yang dinyanyikan oleh tokoh ini kupikir bakal bisa ngehits karena sangat efektif sebagai klimaks emosional dalam cerita.
 
 
 
 
Dark jokes pada elemen cerita – anak yang pengen jadi yatimpiatu biar bebas – berusaha disamarkan film lewat kekonyolan dan warna-warni pelangi khas kartun. Campuran dua tone inilah yang menjadikan film unik. Visual dan design karakter dan dunianya jelas santapan bagi mata dan imajinasi. Film ini juga punya cerita yang manis tentang menemukan sebuah keluarga. Memahami makna sebuah keluarga. Tapi aku juga bisa melihat film yang diadaptasi dari buku ini bakal membuat penonton terbagi dua. Atau setidaknya merasa was-was dan berpikir dua kali untuk menayangkan ini kepada buah hati. But oh boy, animasi berani seperti ini sedang ‘menang’ ketimbang animasi ‘isi angin’. Dari sisi yang lebih aman, kita sudah dapat Onward (2020), lalu yang sedikit kontroversial dan berani seperti ini ada Red Shoes and The Seven Dwarfs (2020). Yang sebenarnya diminta oleh film-film seperti ini adalah duduk menonton bersama keluarga, sebab pertanyaan berat akan mereka hadirkan, dan diskusi terhadap itulah yang coba dihadirkan
The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for THE WILLOUGHBYS.

 

 
 
That’s all we have for now.
Apakah menurut kalian film ini cocok ditonton untuk anak-anak?
Dulu waktu kecil aku kalo ngambek sering berangan-angan minggat dan kabur jadi anak keluarga lain yang lebih keren. Apakah kalian pernah mengalami hal yang sama? Pernahkah kalian menganggap orangtua jahat?
 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

FANTASY ISLAND Review

“Revenge is best left to fantasy”
 

 
 
Dalam imajinasi pembuatnya, tentulah sebuah karya akan sangat keren. Kita senang berpikir ide kita groundbreaking, akan bikin semua orang kagum; bahwa kita sangat cerdas dan punya jawaban atas semua masalah yang bakal menghadang. Namun kenyataan seringkali berkata lain. Film Fantasy Island pastilah dianggap pembuatnya sebagai reboot yang unik. Sutradara Jeff Wadlow memastikan tim penulis menelurkan alur yang gak tertebak, dengan balutan dialog komedi yang happening. Dalam fantasinya, film ini cerdas dan efektif sebagai horor mainstream yang seru menegangkan. Kenyataan menghantam keras-keras. Setelah ditonton, mata kita akan terbuka atas seperti apa rupanya film yang uninspiring, boring, dan sok keren.
Fantasy Island mengusung konsep yang serupa dengan serial televisi awal 80-an yang sedang berusaha ia tiupkan napas baru ini. Tentang sebuah pulau yang bisa ‘mendengar’ keinginan terdalam hati manusia dan mewujudkannya ke dunia nyata. Pulau tersebut dikelola oleh Mr. Roarke, seorang pria misterius berstelan putih. Pada setiap episodenya dibuka dengan pesawat yang datang ke pulau, membawa beberapa tamu sebagai ‘pasien’ dari Mr. Roarke; yakni orang-orang yang bakal hidup dalam fantasi masing-masing, dan belajar bahwa imajinasi bisa begitu liar sehingga menjadi tak-terkontrol dan bagaimana seharusnya kita tidak terlena oleh khayalan. Film Fantasy Island terbaru ini mencoba untuk menekankan kepada aspek horor supranatural dari konsep kekuatan pulau tersebut. Kita akan melihat lima orang tamu datang ke pulau untuk ‘terapi’. Mereka bersalaman dengan Mr. Roarke (yang miscast banget diperankan oleh Michael Pena; ini kayak kalo Dwi Sasono disuruh meranin tokoh misterius) dan bersiap-siap untuk bersenang-senang dengan imajinasi mereka, hingga fantasi tersebut menjadi terlalu mengerikan dan nyata-nyata berbahaya!

karena ini rated PG-13, maka bahkan ngayal pun ada aturan dan etikanya

 
Konsep orisinal Fantasy Island itu lantas dengan segera membuat film ini kewalahan. Naskahnya enggak cukup kompeten untuk merangkul segitu banyak tokoh – segitu banyak kepala dan motivasi. Arahannya pun tidak tampak cukup peduli untuk menghasilkan sesuatu tontonan yang lebih berarti daripada sekadar pengisi dompet dan produk generik. Fantasy Island kekinian ini bingung, film seperti tidak bisa memutuskan tokoh mana yang jadi karakter utama. Posisi sebagai protagonis cerita akan dipingpong dari satu tokoh ke tokoh lain sepanjang durasi, karena ada begitu banyak twist and turn dalam alur cerita. Jadi, kita yang nonton juga bengong. Siapa yang harus ‘dijagokan’. Kita tidak tahu mana yang sudut pandang utama yang menjadi batang tubuh cerita. Apakah ini tentang Mr. Roarke yang memilih untuk jadi abdi pulau karena ia punya gelora desire pribadi yang tak kunjung padam. Atau tentang salah satu dari lima tamunya. Kita punya cowok pengecut yang pengen mencoba jadi tentara supaya bisa ketemu ayahnya yang pahlawan perang. Lalu ada seorang wanita yang menyesal menolak lamaran dari pria yang ia cintai. Berikutnya ada dua bersaudara (Candy Andy dari 2 Broke Girls dan Jian-Yang Silicon Valley jadi kakak-adek di sini hahaha!) yang pengen ngerasain hidup mewah dan berpesta sepanjang malam. Lalu ada Lucy Hale yang jadi korban bully semasa sekolah, jadi sekarang ia pengen mewujudkan imajinasinya menyakiti si pembully, tapi nantinya dia harus berkonfrontasi dengan si pembully yang sekarang sudah insaf dan berusaha menjadi pribadi yang lebih baik.
Tidak satupun dari lima (atau tepatnya, tujuh) sudut pandang tersebut yang inspiring karena mereka semua gak punya motivasi yang jelas. Film banyak menutup-nutupi demi tujuan ngetwist. Journey masing-masing jadi tidak bisa kita ikuti sebagai akibat dari tujuan tersebut. Karena kita tidak pernah benar-benar mengenal para tokoh. Mereka cuma spektrum-spektrum yang diurai bebas, yang bahkan antara satu dengan yang lain tidak ada benang merah atau keparalelan selain bahwa mereka semua bercela karena rakus dan terbuai oleh imajinasi.

Bagi kebanyakan manusia, fantasi adalah tempat paling aman untuk melampiaskan balas dendam. Karena balas dendam itu sendiri sama persis dengan hutan – kita akan mudah tersesat dalam mengarunginya. Terlalu jauh berkubang dalam misi balas dendam akan membuat kita kehilangan jejak terhadap siapa diri kita dan tujuan pada awalnya. Maka dari itulah, sebaiknya balas dendam itu jangan diwujudkan. Biarkan saja jadi imajinasi, supaya memotivasi untuk memperbaiki diri. Bukannya melampiaskan, sebab sesuatu yang telah terjadi tak akan bisa kita tarik kembali.

 
Banyaknya tokoh ini biasanya akan berujung ketidakseimbangan tone jika digarap oleh arahan dengan visi tidak kuat dan cerita yang ala kadar. Inilah yang persis terjadi pada Fantasy Island. Masing-masing fantasi punya tone yang berbeda. Ada yang lebih ke drama. Ada yang petualangan. Ada yang torture-horror level ‘balita’. Dan ada komedi yang gak-lucu. Komedi adalah salah satu usaha terburuk yang dilakukan oleh film ini. Tek-tokan dialognya garing, terlalu sok nge-hip dengan referensi pop-culture. Para tokoh gak punya karakter, mereka cuma makhluk-makhluk sok asik. Tokohnya si Lucy Hale, misalnya, tanpa alasan dia ngeflirt dengan agresif begitu saja. Ketika bicara fantasy experience, bagian tokohnya memang cukup seru. Begitu juga dengan bagian tokoh yang berfantasi di hutan perang. Namun begitu film membawa kita ke fantasi pesta di rumah, kegaringan akan kembali menyatroni. Dan ketika film membawa kita ke drama wanita yang ingin ngerasain hidup bahagia berumah tangga, film seketika menjadi dead-beat membosankan. Bahkan film ini sendiri tahu cerita tokoh wanita yang berfantasi menikah itu going nowhere, maka setelah pertengahan, film membuat tokoh ini mengubah permintaan fantasinya – yang membuat film melanggar sendiri aturan yang sudah ia tetapkan sebagai mekanisme konsep pulaunya.
Pulau itu punya aturan. Ada syarat dalam menampilkan fantasi kepada pengunjungnya. Maka, pulau dalam film ini seharusnya bertindak sebagai karakter tersendiri. Dia digambarkan punya aksi dan jalan pikiran sendiri. Tapi lagi-lagi, film tidak mampu untuk mengembangkan ini. Peraturan yang menjadi mekanisme dan karakter pulau, dilanggar begitu saja. Jika di awal kita mungkin sedikit tertarik pada bagaimana sebenarnya pulau ini bekerja, maka semakin ke akhir ketertarikan itu menguap ke udara karena clearly film hanya mampu menampilan pulau sebagai gimmick dan alasan untuk keberadaan zombie mata-item yang sama sekali enggak mengerikan.

sudah bisakah kita pindah ke Pleasure Island?

 
Setelah nonton, di Twitter aku actually ngepost cuplikan adegan dari dua menit pertama film ini. Adegan yang langsung dengan tepat melandaskan kebegoan naskah dari kesimpelan tokoh dan penulisan dialognya. Adegannya berupa seorang cewek lari dikejar-kejar seseorang di malam hari, dia masuk ke rumah, ngumpet di balik meja, dan kemudian telefon di atas meja itu berdering, yang ia lantas jawab; dengan panik minta tolong ke siapapun penelfon itu.
Setidaknya ada dua kebegoan pada adegan tersebut. Pertama; Si cewek memilih sembunyi di balik meja yang tengahnya bolong (hanya karena naskah butuh dia untuk menjawab telepon). Dan kedua adalah; Kalimat si cewek saat ngangkat telfon masuk “Aku diculik di pulau aneh” – ini adalah kalimat yang tidak akan terjadi di logika nyata. Melainkan adalah dialog yang sangat artifisial. ‘Di pulau aneh’ itu adalah informasi yg sebenarnya disampaikan buat penonton – cara film menyampaikan/menanamkan setting cerita yang tergambar pada naskah. Si penelpon tak butuh informasi itu. Karena mana ada orang yang nelfon suatu tempat tapi tidak tahu tempat yg ia telfon. Sehingga reaksi si cewek yang lagi dikejar-kejar tak tepat (gak make sense). Normalnya adalah ia akan bilang “Tolong aku diculik, ini di mana?”, ia tidak perlu membuang kesempatan berharga menjelaskan tempat seperti apa kepada orang yang menghubungi tempat itu. Dialog itu lebih tepat jika adegannya adalah si cewek yang menelepon duluan. Jadi, sedari menit awal aja film ini udah nunjukin kecenderungan untuk spouting information, alih-alih bercerita.
Dan memang sampai akhir, isi dialog film ini adalah tokoh-tokoh yang nyerocos info aja. Setiap adegan ngobrol isinya pasti seseorang ngebeberin kisah hidupnya ataupun alur cerita yang tidak mau repot-repot digambarkan oleh film. Oh sepertinya itu ibu si anu. Benar, aku melihat mata mereka mirip. Kalo begitu dialah yang jahat. Ya, dia sengaja blablabla. Film gemar sekali menjelaskan hal-hal gak penting, mengejakan kepada kita informasi apa yang harus kita mengerti untuk saat itu, karena beberapa adegan kemudian informasi yang sudah dijejelin ke kepala itu jadi tidak berguna karena selalu bakal ada twist. Twist ini nanti dijelaskan lagi – para tokoh akan ngobrol lagi, ngadep ke kamera biar kita merasa bagian dari mereka – mereka akan nyebut hal-hal yang tidak pernah dibuild up lagi kepada kita, untuk kita percaya, dan kemudian akan ditwist lagi. Begitu seterusnya. Misteri film ini adalah omong-kosong yang bergerak semau pembuatnya aja. Dan bahkan dengan penjelasan terus-menerus tersebut, twist pamungkas film ini tetap saja gagal untuk dimasukakalkan. Kita bukannya tidak mengerti alur ceritanya. Kita hanya tidak mengerti kenapa film seperti ini bisa eksis tayang di bioskop.
 
 
 
Aku tahu banyak dari kalian yang sudah mendengar betapa jeleknya film ini, atau sudah mengalami sendiri betapa memalukannya tayangan ini. Aku sendiri bahagia sudah melewatkan ini di bioskop. Dan sekarang, aku di sini untuk menjelaskan kenapa film ini begitu bego. Karena filmnya enggak berniat bercerita. Film ini terobsesi menjadi hits maka ia masukkan banyak komedi cringe, banyak twist-and-turn gak masuk akal, banyak tokoh-tokoh bloon supaya penonton bisa merasa lebih baik daripada mereka. Keseluruhan paket film ini bukanlah tontonan yang menyenangkan. Kuharap film ini hanyalah fantasi pembuatnya aja. Sayangnya, ini adalah kenyataan yang harus kita endure bersama.
The Palace of Wisdom gives 1 out of 10 gold stars for FANTASY ISLAND.

 

 
 
That’s all we have for now.
What’s your deepest fantasy? Seberapa besar fantasi itu berperan dalam hidup kalian?
 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

TROLLS WORLD TOUR Review

“When people talk, listen completely.”
 

 
 
Dengan lagu-lagu cover yang ngehits dan vocal Anna Kendrick, Trolls – semenjak film pertamanya di 2015 dan kini, World Tour – udah kayak Pitch Perfect buat anak-anak. And by that I mean, film ini lebih berwarna. Lebih imajinatif. Dan juga lebih annoying.
Poppy, yang sekarang udah jadi Ratu, mendapat undangan untuk berkeliling dunia mengadakan konser besar-besaran dari seseorang bernama Barb, Ratu dari Troll Rock. Undangan tersebut menguak sejarah bahwa ternyata Poppy, Branch, Biggie, dan teman-teman di desa warna warni itu bukan satu-satunya Troll di dunia. Ada enam ‘jenis’ Troll lagi, dan masing-masing mereka menyanyikan musik yang berbeda. Ada rock, funk, country, classic, techno, dan tentu saja; pop, yang merupakan musik bangsa Troll Poppy. Mengetahui hal tersebut, Poppy berniat datang walaupun dilarang oleh ayahnya, karena Poppy yakin musik akan menyatukan perbedaan di antara keenam bangsa Troll yang terpisah karena leluhur masing-masing menyangka musik merekalah yang paling baik. Poppy pun berangkat diam-diam tanpa mengetahui bahwa Barb juga punya rencana seperti dirinya. Hanya saja rencananya jahat. Barb ingin mengambil Senar dari masing-masing bangsa (mengambil dalam artian merebut dan menghancurkan kota mereka), menyatukan keenamnya, sehingga nanti seluruh dunia akan bersatu di bawah kepemimpinannya.

One nation under rock!

 
Trolls selalu merupakan tipe film yang sangat cocok ditonton dalam masa-masa kita bosan gak ngapa-ngapain di rumah, karena memang tujuan film ini hanya pengen menghibur. Ini adalah teman bagi anak-anak untuk bernyanyi dan ketawa-tawa. Kita bisa saja menontonnya dengan kritis, but it would be pointless karena keseluruhan film ini vibe-nya adalah ‘we just don’t care selain buat mengisi waktu’. Tadinya aku juga gak kepikiran mau bikin review; aku ingin give it a pass, seperti yang kulakukan pada film pertama. Aku suka sama singing voice Kendrick sejak di Pitch Perfect, jadi aku nonton aja. Tapi Trolls World Tour ini ternyata sedikit spesial keberadaannya. Dia nongol saat semua dunia practically mengurung diri, dan tak-pelak menjadi film besar pertama yang beneran tayang sesuai jadwal di bioskop; di saat film-film lain mundur, Trolls World Tour dengan nekat ‘pindah’ dari bioskop ke VOD (Video on Demand). Jadi, film ini sekarang adalah bagian dari sejarah – siapa yang tahu pandemi ini bakal sampai kapan, film-film bioskop cepat atau lambat akan ngikutin langkah film ini – ia adalah pioneer, dan aku harus mencatat film ini di blog. But I’m not gonna go easy on this movie.
Sama seperti pada film pertama, Trolls World Tour sangat memanjakan mata anak-anak. Dunia yang tampak lucu, lembut, dan aman. Air terjun dari plastik yang berkilau, pohon dan bukit yang seperti dari gulungan benang, buku yang tampak begitu empuk terjahit dengan rapi. Dunia Troll yang lain pun tergambar dengan sama ‘manja’nya, benar-benar membuat kita berada seperti di dunia troll mainan. Setiap dunia diberikan kekhasan yang memuaskan imajinasi anak-anak. Film ini dengan niat dibuat untuk mereka. Bahkan dengan semua keimutan visual tersebut, demi menjamin anak kecil enggak cepat bosan, film menyiapkan banyak lagu-lagu cover. Pola film ini adalah cerita dikit – nyanyi – cerita dikit – nyanyi. Cerita kok dikit-dikit. Bagi penonton dewasa yang mengharapkan cerita yang lebih dikembangkan, film ini memang akan cukup menjengkelkan. Karena film seperti lebih tertarik untuk bernyanyi ketimbang bercerita. Dan yang lebih jengkel lagi adalah, lagu-lagu yang dinyanyikan begitu random. Lagu populer yang dipilih, bukan lagu original alias lagu yang diciptakan untuk film ini. Pemilihan lagunya tidak banyak melewati proses berpikir. Film memasukkan yang catchy dan enggak bikin bosen. Kreatif yang diperlihatkan hanya sebatas mengganti lirik bila diperlukan (seperti ‘girl’ menjadi ‘troll dalam lagu Girl Just Wanna Have Fun) biar lebih cocok dengan karakter.
Dari enam troll dengan musik yang berbeda-beda, pesan film untuk dibawa bersosialisasi oleh anak-anak terpampang cukup jelas. Bahwa semua orang berbeda dan kita harus merayakan perbedaan tersebut karena semua punya kekuatan dan kelemahan masing-masing. Enam bangsa Troll yang berbeda rupa karena ras dan golongan mengajarkan kepada anak menghormati dan mengenali setiap perbedaan, memberinya kesempatan untuk berkembang; bertoleransi alih-alih menyeragamkan. Tapi juga tak kalah pentingnya dari kiasaan tersebut adalah perbedaan yang literally dipampang oleh film, yakni perbedaan selera musik. Like, selain pop dalam film ini ada banyak genre musik yang ditampilkan. Trolls World Tour dapat membuka wawasan anak terhadap musik dengan cara yang simpel – ntar mereka pas udah dewasa bisa mempelajari sejarah musik beneran, but for now film ini berfungsi dengan baik sebagai penghantar. Dan personally aku senang film ini memperkenalkan musik rock kepada anak-anak jaman sekarang yang tahunya hanya musik-musik yang pakek auto-tune. Saat begitulah tepatnya aku sadar soal musik dalam film ini juga penting.
Musik adalah soal selera, dan saat bicara selera orang bakal cenderung fanatik. Kita terkotak-kotak karena hal-hal seperti selera film atau musik. Anak indie kopi senja ngeledek anak K-Pop. Anak rock ngeledek anak EDM. Anak punk ngeledek anak jazz. Anak hiphop ngeledek anak dangdut. Padahal toh semestinya tidak begitu. Film ini menunjukkan bahwa semua musik sama pentingnya karena mereka semua berasal dari hati. Film mengajarkan kita untuk berdampingan dengan selera orang lain, karena perbedaan menghasilkan harmoni yang lebih hebat dari apapun yang berjalan sendirian di muka bumi. Kita tidak harus mengotakkan diri pada perbedaan, ataupun tidak menyuruh perbedaan menjadi bersatu agar sama. Melainkan biarkan dan kenali perbedaan. Dengarkan nada-nada yang berbeda tersebut, karena di situlah persatuan yang sesungguhnya

Musik itu kayak orang. If you love them, you’d listen to them. Saat orang lain berbicara, maka dengarkanlah dengan tuntas. Masalahnya, kita cenderung seperti Poppy. Kita seringkali belum mendengarkan dengan baik. Kebanyakan kita hanya mendengarkan dengan tujuan untuk menjawab, untuk membalas. Padahal mendengarkan dengan baik itu maksudnya adalah kita mendengar mereka dengan niat untuk dapat mengerti apa yang sedang diutarakan.

 
 
Soal harmoni dan mengembrace perbedaan sebenarnya sudah duluan kita dapatkan dari film musikal anak buatan lokal tahun lalu. Jika kalian sempat menonton Doremi & You (2019) maka kalian akan menemukan banyak kesamaan gagasan modern juga disampaikan lewat mash up lagu-lagu. Gagasan film itu semakin terasa progresif karena tayang berbarengan dengan Rumah Merah Putih; film anak lain yang mengusung tema perbedaan tapi dengan cara yang lebih tradisional. Film tersebut memandang perbedaan sebagai sesuatu yang harus diseragamkan; anak dari suku bangsa berbeda bicara dengan logat yang sama, mereka berpakaian seragam, hormat dalam upacara bendera. Doremi & You hadir dengan warna-warna. Pakaian seragam sekolah tokohnya enggak sama persis, melainkan dengan corak dan warna berbeda. Para tokoh bernyanyi dan bicara dengan kekhasan daerah masing-masing. Meskipun konflik Doremi & You dengan Trolls World Tour jauh berbeda, akan tetapi inner journey tokoh Putri dan tokoh Poppy sama persis. Mereka tadinya sama-sama pengen menyatukan kelompok, mengambil persamaan dalam setiap perbedaan. Mereka sama-sama enggak mendengarkan dengan baik. Namun di akhir cerita, mereka sama-sama belajar cara yang benar dalam merayakan perbedaan; cara yang benar untuk menghormati semua orang.

Petualangan mengumpulkan Infinity Ston… eh, Six Strings!

 
 
Dari perbandingan dua karakter tadi, kita akan menemukan Doremi & You merupakan penceritaan yang sedikit lebih baik dibandingkan Trolls World Tour. Putri merepresentasikan tokoh anak masa kini dengan lebih pas; ‘cacat’ karakternya bisa kita pahami dan tidak tampak seperti kemalasan naskah. Sedangkan Poppy tergambar sebagai karakter dengan kesalahan dan outright annoying. Sikapnya yang berusaha selalu optimis terasa tidak genuine karena setiap pilihan yang ia lakukan just don’t make sense. Ketika Putri meyalahkan teman-temannya padahal salah dirinya lah mereka jadi bermain dan sembrono sehingga menyebabkan duit kas hilang, kita tahu dia anaknya ngeboss, dan memang ada anak yang berkarakter seperti demikian di luar sana; maka film itu bisa jadi pembelajaran yang berharga buat anak-anak seperti demikian. Namun pada kasus Poppy, Ratu yang berusaha menjadi ratu yang baik dan didengarkan oleh rakyat, kebanyakan pilihan dan perintahnya mengada-ada. Ketika Branch mau membaca manual menerbangkan balon udara, Poppy membuang buku dan menyuruhnya untuk ‘just do it’ sambil tertawa-tawa. Kita melihat mereka hampir nabrak karena ulahnya ini. Kita tidak menemukan alasan untuk berada di belakang Poppy, mengikuti journeynya, karena kita tidak dapat melihat ada representasi nyata dari karakter Poppy. Kita lebih gravitate ke arah Branch karena tokoh yang disuarakan Justin Timberlake ini simply lebih ‘manusiawi’.
 
 
 
Itu semua karena film tidak meluangkan banyak waktu untuk develop karakter-karakternya. Momen untuk film ini benar-benar banyak tidak banyak, karena sebagian besar durasi didedikasikan untuk lagu-lagu cover yang bahkan enggak punya pesan paralel dengan kejadian yang sedang terjadi selain mereka berusaha menyanyikan satu genre di tempat yang enggak menghargai genre tersebut. Lagu-lagunya hadir begitu saja, tanpa banyak alasan. Seolah kitalah yang bego dan gak-asik karena mikirin gimana ceritanya Gangnam Style termasuk lagu paling penting dalam kamus Poppy tapi kemudian mereka menganggap K-Pop sebagai hal asing dan bukan bagian dari Pop. Film ini, yang mestinya adalah petualangan, menjadi repetitif yang annoying. Lagu, kenaifan Poppy, lagu lagi. Film jadi seperti lebih ingin mengajak kita bernyanyi dan melihat desain-desain tokoh yang unik nan imut untuk dijadikan mainan. Dan ini tentunya bakal sangat menghibur, terutama di saat-saat kita semua sedang terkurung entah-sampai-kapan. But as far as film goes, ada banyak film anak-anak musikal lain yang sanggup menyampaikan pesan yang baik dalam penceritaan yang lebih asyik daripada film ini.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for TROLLS WORLD TOUR.

 
 
 
That’s all we have for now.
What’s your favorite kind of music? Jika kalian adalah troll, kalian bakal jadi Bangsa yang mana?
 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

 

THE MAIN EVENT Review

“You never know how strong you are until being strong is the only choice you have.”
 

 
 
The Main Event adalah film pertama kolaborasi Netflix dengan WWE (kedua, jika kita menghitung serial yang dibintangi oleh Big Show – featuring Mark Henry, Rikishi, dan Mick Foley nyanyiin lagu I Want It That Way-nya Backstreet Boys – yang rilis beberapa hari duluan). Film komedi yang ditargetkan sebagai tontonan keluarga sayangnya lebih tertarik untuk menjual brand WWE ketimbang menyampaikan cerita.
Seperti Paige, Leo Thompson juga seorang penggemar berat gulat. Namun tidak seperti Fighting with My Family (2019) – yang merupakan cerita yang grounded dari perjuangan seorang penggemar mengejar mimpi sehingga sukses menjadi superstar – The Main Event diarahkan oleh sutradara Jay Karas seperti kartun di minggu pagi. Leo pengagum Kofi Kingston. Dia ke sekolah pakai kaos Kofi, membahas acara Raw bersama dua teman sekelasnya. He acts, talks, and breaths wrestling, tapi tidak diperlihatkan dia pengen jadi pegulat. Leo menolak ikut kelas gulat, dia lebih suka menggambar, sehingga dia pun dibully. Akar dari semua itu adalah karena Leo punya masalah di rumah. Ibu pergi meninggalkan Leo dan ayahnya, sehingga hubungan kedua orang ini jadi berjarak dan harus dijembatani oleh nenek yang bermimpi jadi influencer. Makanya, Leo tumbuh jadi anak yang gak pedean. Kemudian Leo menemukan sebuah topeng ‘antik’ (alias bau) peninggalan seorang pegulat legendaris. Topeng yang saat ia pakai (karena begitulah reaksi normal seorang fan jika menemukan memorabilia dari sesuatu yang ia sukai) membuat Leo berubah menjadi kuat. Kontan Leo jadi superpede. Dia jadi berani ngobrol sama anak cewek yang ia taksir. Leo juga jadi jumawa ikutan kontes WWE NXT di tivi. Ia menjelma menjadi Kid Chaos dan akan bertarung melawan pegulat-pegulat beneran demi hadiah uang untuk membantu masalah keuangan keluarganya!

Akhirnya kita tahu apa tepatnya yg diteriakkan oleh Sheamus saat entrance-nya. Terima kasih, The Main Event. Sungguh pelajaran yang berharga!

 
Tentu, ada pesan berharga yang bisa dipetik oleh kita dan adek-adek dari cerita film ini. Mengajarkan untuk berani menjadi diri sendiri, untuk percaya kepada kekuatan yang dimiliki. Dan kekuatan tersebut bukan kuat fisik, melainkan kelebihan-kelebihan apapun yang kita punya. Topeng ajaib Leo adalah simbol yang obvious terhadap sesuatu yang kita ‘kenakan’ untuk berlindung dan memanggil rasa percaya diri. Mau itu citra, identitas internet, atau bahkan literally alat tertentu yang dipercaya membuat kita menjadi lebih baik, film ini membukakan mata kita bahwa semua hal tersebut bukanlah exactly yang membuat kita kuat. Seperti Leo, kita harus belajar untuk tidak bergantung kepada semua itu dan jadi diri sendiri.

Kids, untuk bisa jadi pegulat sukses kayak Kofi, John Cena, Roman Reigns, The Rock, Rey Mysterio, kita gak butuh topeng ajaib. Melainkan, yang kita butuhkan adalah proper training. Latihan bertahun-tahun. Para superstar itu, bukan persona atau gimmick mereka yang menjadikan mereka juara. Dalam bisnis gulat, mereka dipercaya untuk menjadi juara karena sikap, kepribadian, dan hati yang kuat – di atas memiliki kekuatan fisik yang oke. Jadilah ‘kuat’ seperti mereka.

 
Naskah film ini, however, terkontaminasi oleh agenda promosi WWE yang ironisnya gagal menangkap esensi bisnis itu sendiri. Pada hatinya, film ingin memperlihatkan bahwa pribadi dengan hati yang kuat adalah kebanggaan tak-ternilai, bahwa itulah kualitas yang harus dimiliki oleh seorang superstar WWE. Kita boleh saja masih anak-anak, tapi dengan ‘kekuatan’ tersebut kalian bisa jadi juara. Produk aktual yang kita tonton, menyimpang dari itu semua. Dengan alasan ‘film untuk anak-anak’, maka ditambahkanlah elemen fantasi ke dalam cerita seputar olahraga-hiburan ini. Sehingga yang sedari awal bukanlah olahraga tulen (WWE sejak lama selalu dipandang sebelah mata karena dicap ‘boongan’) malah tampak semakin palsu, cringe, dan konyol, dan teutama tidak mencerminkan WWE itu sendiri.
Kekonyolan benar-benar ditonjolkan di sini. Saat Leo memakai topeng, saat itu jualah film seperti ikut memakai topeng Spider-Man, Shazam, dan The Mask. Secara bersamaan! Wujud Leo tidak banyak berubah seperti Shazam setelah teriak atau seperti Jim Carrey setelah mengenakan topeng kayu hijau itu. Leo, hanya seperti anak-anak yang pakai topeng. Namun semua orang di gedung NXT itu enggak ada yang curiga dia hanya anak kecil. Leo bisa mendaftar jadi pegulat, tanpa ada cek apapun. Pertama kali mengenakan topeng, Leo persis Peter Parker saat mendapati dirinya punya kekuatan super. Leo bisa menendang pohon sampe rubuh. Di atas ring, dia bisa lompat dari satu turnbuckle ke turnbuckle lain. Dia bisa mengalahkan serangan kentut super (Otis di sini kocak jadi kayak Bakuterian si manusia bau di Dragon Ball). Jika kalian belum pernah nonton gulat profesional, bayangkan saja adegan gulat di menjelang ending The Peanut Butter Falcon (2019). Kemudian lipat gandakan elemen fantastis di adegan tersebut, maka kurang lebih seperti demikianlah gulat digambarkan oleh The Main Event. Sah-sah saja sebuah film tampil konyol dan all-over-the place seperti ini. Asalkan, ada syaratnya loh!- asalkan konteksnya bener.
Perbandingan yang cocok untuk menjelaskan ini adalah The Mask (1994). Mulai dari penampilan akting Jim Carrey hingga ke efek, dan ke aksi penumpasan crime, film itu sekonyol-konyolnya cheesy. Tapi jelas; dasar dunia film itu merupakan cabang dari kartun Looney Tunes. The Mask berasal dari komik. Sepanjang film ditanamkan pemahaman terhadap hal tersebut dengan banyak referensi kartun. Malah ada adegan tokohnya nonton kartun dan kemudian ada adegan si tokoh mempraktekkan yang ia tonton. Itu dihadirkan supaya kita membuat koneksi ke dua logika dunia yang ada – film dan kartun. Sedangkan pada The Main Event ini, jelas, koneksinya adalah WWE. Film ini adalah drama keluarga, tujuan journey tokohnya adalah memperbaiki hubungan dengan ayah dan teman-teman – serta menjadi dirinya sendiri. Semua itu ditempatkan di lingkungan WWE. Tapi kekonyolan yang dihadirkan mengincar ke arah kartun, sehingga gak masuk. Karena WWE bukan kartun Bugs Bunny.
Membingungkan bagaimana film ini memandang WWE; Apakah yang buat sama sekali belum pernah nonton WWE dan menganggapnya kompetisi anak-anak alias kartun? Atau memang WWE yang pengen menampakkan dirinya seperti demikian, sudah dari dulu WWE dikritik semakin melupakan kulitnya demi rating dan mainstream appeal. Pertandingan gulat mestinya scripted, tapi kita tidak pernah melihat mereka ‘gladi resik’, kita tidak melihat booking-membooking. Mereka memastikan curtain ke balik layar WWE tertutup rapat. Instead, kompetisi yang dimasuki Leo ditampilkan seperti pertarungan beneran – dengan kekuatan aneh dan konyol ber-CGI yang dimiliki oleh pesertanya. Leo ini juga bisa nangkap maling di kafe. Dia bener-bener jadi superhero di manapun ia berada. Dan ini konyol. Membiarkan Leo bergulat – tidak satupun dari orang dewasa itu bisa menebak ataupun mengkhawatirkan ada anak kecil di atas ring – seakan menyiratkan sebuah perusahaan yang careless sama employee. Pada pertandingan terakhir diperlihatkan identitas Kid Chaos ketahuan oleh semua orang, dan bukan saja match tetap berlangsung, tapi juga Leo berhasil menang. Ini menyampaikan pesan yang benar-benar mixed tentang WWE dan gulat profesional, dan juga tentang anak kecil bahwa mereka bisa menang kalo nekat.

Terakhir kali ada adegan di-bawah-umur beraksi di atas ring dan bapak si anak panik marah-marah di pinggir ring, dunia gulat mengenalnya dengan Mass Transit Incident. Google it up, dan merindinglah.

 
 
Mendidik tapi dengan takut mengajarkan konsekuensi. Journey Leo di sini menjadi cheesy dan gak otentik karena tidak sekalipun dia dihadapkan dengan konsekuensi nyata. Permasalahan dia dengan temannya selesai begitu saja. Permasalahan dia dengan ayahnya tidak pernah dituntaskan. Secara karakter, Leo yang sudah belajar untuk tidak bergantung kepada topeng ajaib, tidak wajib untuk mendapat reward terlebih jika reward itu berupa kemenangan yang mustahil. Film ini harusnya memperlihatkan lebih banyak soal perjuangan Leo menggunakan gulat untuk mendapatkan kembali teman-temannya, menjalin hubungan kembali dengan ayahnya – inilah reward bagi karakter Leo yang sesungguhnya. Namun dalam film ini, semua itu didapatkan Leo begitu saja karena semuanya mencemaskan dia bertanding melawan orang yang lebih besar. Ya iyalah he insert himself ke kompetisi dewasa!
Cerita untuk anak-anak enggak harus sekonyol seperti ini, apalagi jika ada drama lebih berbobot diletakkan di belakangnya. Tahun kemaren, gulat Jepang mengeluarkan film My Dad is a Heel Wrestler. Film anak-anak tersebut juga ada agenda promosi company gulat (NJPW), tapi berhasil untuk masih bisa respek sama bisnis sekaligus sama anak-anak itu sendiri. Ceritanya tentang anak yang mengetahui antagonis di tayangan gulat yang ia dan teman-teman tonton ternyata adalah ayahnya sendiri. Si anak malu, dan berusaha berdamai dengan hal tersebut. Film itu dengan nada lucu dan manis memperlihatkan sisi dalam bisnis gulat, dan pengaruhnya kepada keluarga, dna hubungan ayah-anak yang terselesaikan dengan memuaskan. Dibandingkan dengan film seperti demikian – the fact bahwa cerita yang kuat dan hormat sama bisnis gulat itu ada dan terbukti lebih bagus – maka film The Main Event ini akan terasa hanya sebagai sebuah promosi yang malas.
Kalo tega nge-nitpick, aku akan bahas soal kalo bertopeng kenapa jagoannya bukan Rey Mysterio; dan jika harus Kofi, kenapa momennya bukan/tidak menyebut Kofi pas jadi juara dunia; bukankah jadi narasi yang besar karena Kofi adalah juara dunia berkulit hitam pertama di era modern WWE. Itu semua buatku hanya memperkuat bukti film ini salah kaprah soal WWE, dan hanya berangkat dari ke-available-an bisnis.
 
 
 
Sebenarnya dari judulnya yang gak kreatif dan sangat generic aja (udah ada beberapa kali term ‘main event’ dijadiin tajuk acara oleh WWE) udah keliatan film ini gak niat. Melainkan cuma ingin menjual ‘pernak-pernik’ saja. Jualan superstar dan kaos sekalian, kalo bisa. Banyak sekali superstar yang muncul dan ikut main dengan peran yang cukup besar. Tapi bahkan aku yang penggemar WWE aja, dalam lima-menit awal sudah geli-geli awkward menonton film ini. Dialognya in-the-face banget nyebut-nyebut WWE terus. Saat Leo pakai topeng, suaranya akan memberat, tapi personality-nya jadi pede dan asik, kemudian yang keluar dari mulutnya adalah kalimat-kalimat alias catchphrase yang sudah hits di kalangan gulat. Tadi aku membuat perbandingan antara film ini dengan The Mask, tapi, please… pretty please with sugar on top, jangan coba membandingkan akting Jim Carrey dengan akting Seth Carr saat memakai topeng. In fact, akting dalam film ini semuanya hanya average at best. Akting tokoh-tokoh ciliknya malah nyerempet annoying. Film ini punya pesan yang cocok buat anak yang bertumbuh. Akan tetapi promosi lebay, elemen cerita dan storytelling yang niru-niru, membanting sisi positifnya keras-keras. Dan tak mampu bangkit lagi. Satu. Dua. Tiga. Ding-ding-ding!
The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for THE MAIN EVENT.

 
 
 
That’s all we have for now.
Salah satu yang gak resolved dalam film ini adalah soal ayah yang belum bisa ngasih tahu Leo soal ibu yang meninggalkan mereka. Menurut kalian bagaimana cara yang paling tepat memberitahukan hal seperti ini kepada anak? Apakah ayahnya harus jadi juara dunia dulu?
 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

GRETEL & HANSEL Review

“This business of womanhood is a heavy burden.”
 

 
 
Dongeng-dongeng klasik dari Grimm Bersaudara ceritanya sungguh beneran grim. Kelam. Suram. Kakak-kakak tiri Cinderella memotong jari kaki mereka sendiri supaya muat mengenakan sepatu kaca. Ratu di Snow White memerintahkan pemburu bukan hanya untuk membunuh, melainkan membawa pulang paru-paru dan hati Snow White untuk ia makan – not to mention, Snow Whitenya sendiri masih bocah alih-alih sudah remaja. Dongeng-dongeng fantastis tersebut difilmkan, misalnya oleh Disney, dengan diadaptasi menjadi cerita yang lebih accessible buat anak-anak. Yang lebih ringan, yang lebih mengedepankan imajinasi dan nilai moral yang bisa dipetik oleh anak. Tapi tidak demikian halnya dengan Oz Perkins. Sutradara ini mengadaptasi salah satu dongeng Grimm dan membuatnya menjadi jauh lebih grim. Tema yang diangkatnya pun lebih dewasa. Perkins memutar balik judul Hansel & Gretel; memposisikan Gretel sebagai fokus utama dalam sebuah sajian horor arthouse tentang kebangkitan seorang perempuan.
Sepeninggal ayah, Gretel dan adiknya yang masih kecil, Hansel, diusir dari rumah oleh ibu mereka yang depresi sama keadaan. Gretel membawa Hansel menyusur hutan yang marak oleh rumor keberadaan penyihir dan entah apa lagi hal mengerikan yang menunggu di dalamnya demi mencari kediaman lain supaya bisa bekerja di sana. Namun bahaya nomor satu yang mengincar dua kakak beradik ini adalah rasa lapar. Perut menuntun mereka ke sebuah rumah segitiga yang aneh di tengah hutan. Rumah yang menguarkan aroma kue tart dan daging asap. Sampai di sini, kita semua sudah tahu paling tidak itu rumah siapa dan bagaimana kemudian Gretel dan Hansel dibujuk untuk tinggal di sana. Yang dibuat berbeda oleh film ini adalah hubungan antara Gretel dengan si Penyihir. Hampir seperti hubungan mentoring. Namun dengan tone mencekam yang merayap di baliknya.

kapan lagi kita melihat dua ikon dongeng anak ngefly makan jamur

 
Perasaan terkungkung akan kuat mencengkeram. Shot-shot di hutan akan terasa sama mengekangnya dengan adegan-adegan di dalam rumah. Apalagi film ini menggunakan rasio 1.55:1 yang membuat gambar yang tersaji dalam kotak yang lebih sempit daripada film biasa kebanyakan sekarang. Karena film memang ingin menyatakan gambarnya sebagai perwakilan perasaan Gretel. Tokoh remaja ini percaya menjadi wanita berarti akan dibebani oleh tanggungjawab. Dan tanggungjawab tersebut dapat menjadi sedemikan besar, ia memandang kepada apa yang terjadi terhadap ibunya. Yang menyebabkan kini ia practically sudah menjadi ibu bagi Hansel adiknya. Adalah si Penyihir yang membuka mata Gretel. Memperlihatkan, secara literal maupun kiasan, kekuatan dalam diri Gretel yang bisa ia gunakan untuk mencapai kebebasan. Atau paling tidak, untuk melenyapkan tanggungjawab. Tiga tokoh sentral film ini; Gretel, Penyihir, dan Hansel adalah fokus utama cerita. Film mengadu gagasan dan kepercayaan para tokoh lewat interaksi dan obrolan-obrolan. Yang semua itu dihadirkan lewat visual yang benar-benar stylish dan tempo yang tidak pernah gegabah.
Sophia Lillis dan Alice Krige menyuguhkan penampilan akting yang luar biasa meyakinkan. Sebagai Gretel, Lillis akan banyak terdiam. Namun terdiam yang intens gitu. Her words are smart, Gretel jelas bukan karakter yang manja dan helpless dan mudah dimanipulasi, tapi hal-hal yang ia alami dan ia lihat di rumah itu adalah hal baru dan mengerikan baginya. Gretel tampak lebih tersesat di dalam sana daripada di hutan. Pandangan mata Lilis juga ekspresif sekali, setiap kali Gretel terdiam pandangannya akan vokal bicara. Kita turut merasakan keraguan, ketakutan, sekaligus rasa penasaran yang ada pada dirinya. Sedangkan Krige sukses membuat Penyihir ini menjadi nenek-sihir paling karismatik sekaligus menakutkan. Jika hal yang paling mengerikan dari setan adalah kekuatannya untuk membuat kita menjadi tidak percaya dia itu ada, maka kengerian Penyihir dalam film ini datang dari sikapnya yang kita tahu ada niat jahat (she eats children!) tapi kita malah melihat Gretel semacam meminta petunjuk darinya. Kita tidak melihat penjahat licik, melainkan seseorang yang menghormati Gretel lebih daripada Gretel menghormati Gretel sendiri.
Sebagai sebuah horor, cerita film ini sangat personal. Ditujukan untuk cewek-cewek muda yang memikul tanggungjawab mengurus adek ataupun keluarga tercinta. Seperti si Penyihir, film ini akan menunjukkan pilihan. Meng-embrace tindakan yang tentu saja dipandang gelap alias jahat, yakni meninggalkan tanggungjawab tersebut karena setiap orang punya masa depan masing-masing dan setiap orang bertanggungjawab terhadap dirinya sendiri. ‘Mantra’ yang diucapkan oleh tokoh film ini adalah bahwa setiap hadiah selalu ada harganya. Mau makan, harus kerja. Mau tinggal, harus nurut. Dan kalo mau bebas, maka haruslah ada yang dikorbankan. Kengerian film ini datang dari antisipasi kita melihat Gretel meniti pelan-pelan pilihan yang ditawarkan Penyihir. Jika Penyihir benar, maka bukan hanya Gretel, dunia kita juga akan jadi menyeramkan saat semua wanita menjadi Gretel. Tentu, secara visual film memperlihatkan hal-hal eerie saat menyampaikan Gretel mempelajari semua – akan ada banyak adegan mimpi yang sureal – namun true horror datang dari implikasi gagasan yang terkandung dalam film ini. Untuk penonton yang berhasil mendalami hal tersebut, ending film akan bekerja dengan memuaskan. Karena ternyata ada jalan tengah.

Menjadi seorang wanita memang berat. Dituntut jadi seorang ibu yang membesarkan anak. Seorang pengasuh yang tak jarang harus melupakan mimpi pribadi. Menggugurkan kepentingan sendiri. Tapi lantas bukan berarti wanita tidak bebas. Gretel terus menggandeng Hansel kemanapun ia pergi menunjukkan bahwa benar, hal yang dicintai terkadang bisa menghambat diri. Namun sebenarnya attachment terhadap merekalah yang menghambat kedua pihak – bukan hanya yang menggandeng, melainkan juga yang digandeng. Maka, sebagaimana yang disugestikan oleh akhir film ini, setiap kita harus percaya. Pada kemampuan diri. Pada kemampuan orang lain. Kita tersesat di ‘hutan’ ini bersama-sama, maka gunakanlah kekuatan masing-masing untuk bisa survive.

 

Ada yang mau minta resep makanan sama si nenek sihir?

 
 
Jika bukan karena pandemi viruscorona, film ini sepertinya bakal tayang di bioskop. Tapi setelah menonton, aku tidak yakin bioskop mau menayangkan ini. Simply karena film ini amat-sangat tidak mainsteam. Gretel & Hansel berjuang keras agar setiap detik napas durasinya terlihat sebagai film indie. Budget kecil, dan banyakan praktikal efek, dan pengadeganan yang dibuat lambat. Jelas bukan tipikal film box office. Gaya dan visual film ini toh memang unik. Banyak shot dan permainan cahaya yang bikin merinding. Secara komposisi, sebagai tambahan dari penggunaan rasio ala film lama, film ini dengan anehnya selalu membuat fokus adegan berada di tengah. Sehingga pergerakan mata kita juga gak banyak. Dari cut satu ke cut berikutnya, semua tetap berada di tengah. Tidak ada ruang untuk bergerak, kita juga merasa terperangkap, dan lama-kelamaan -ditambah dengan pace yang slow – menonton film ini bakal terasa membosankan. Filmnya bakal terasa panjang karena atensi kita tak putus menatap ke tengah layar tempat semua kejadian berlangsung. Padahal durasi film ini sebenarnya cukup singkat, di bawah 90 menit.
Film ini menuntut perhatian dan kepedulian yang besar dari penonton, yang tentu saja, gak semua penonton mau memberikannya secara cuma-cuma. Harus ada hook. Dan sayangnya, film hampir tidak memberikan sesuatu untuk bisa dipedulikan. Narasi soal coming-of-age si Gretel tadi terasa diulur-ulur lantaran tidak banyak pendalaman; meskipun film berusaha jauh dari cerita aslinya, somehow kita bisa melihat ujung ceritanya ke mana. Adegan horor surealnya yang kebanyakan cuma mimpi, dapat dengan cepat jadi repetitif. Sense of danger yang dibangkitkan, tak pernah berujung sesuatu lantaran film lebih tertarik membahas agenda-agenda. Cuma ada satu adegan yang berbau aksi dan jump scare, yaitu di awal-awal saat Gretel dan Hansel nginep di rumah yang mereka pikir kosong, dan itupun tampak seperti ditambahin belakangan karena gak match dengan keseluruhan film – hampir seperti ditambahin karena film ini sadar dirinya bosenin maka butuh yang sedikit nendang.
Masalahnya bukan pada film harus ada aksi dan gak boleh terus-terusan ngobrol supaya jadi tidak membosankan, it has nothing to do with that. Hanya saja, begini: Makanan dalam film ini terlihat enak. Namun cara film menceritakan agenda feminisnya tersebut seringkali membuatku mual. Film ini memasukkan adegan Gretel dan Hansel bermain catur hanya supaya si Penyihir bisa berkomentar bahwa Queen (Ratu) bebas mau ke mana sedangkan King jalannya tertatih-tatih. Ketika dipanggil “Mrs.” oleh Gretel, si Penyihir lantas bilang “Apakah kau melihat tangan dan kakiku terborgol rantai”. Adegan dan dialog-dialog seperti demikian pada akhirnya membuat film yang memang hanya punya dialog dan visual creepy ini jatoh menjadi pretentious. Naskah tidak cukup dalam untuk dapat menjelaskan hal di luar persoalan Gretel, tapi tetap nekat menunjukkan Penyihir yang bisa begitu feminis padahal kerjaannya setiap hari cuma ‘masak’ dan nunggu anak-anak nyasar masuk ke rumahnya.
 
 
 
Sinematografi dengan warna-warna tajam tapi tidak pernah kontras sukses membuat film ini terasa seperti dunia yang bukan dunia kita. Desain produksi dan akting dua pemain wanitanya juga berada di level atas. Secara visual film ini memang menarik, gambar-gambarnya creepy. Sayangnya hanya itulah yang dipunya oleh film ini. Secara narasi, dia berusaha berbeda dari materi asli, dengan visi yang lebih relevan pula. Namun tidak dibarengi dengan eksplorasi yang benar-benar mengundang. Sehingga semua jadi terasa pretentious. Ia malah kayak mencoba terlalu keras untuk menjadi seperti The Witch (2016), dan gagal dengan hebatnya.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for GRETEL & HANSEL.

 
 
 
That’s all we have for now.
Benarkah menurut kalian tugas seorang ibu itu memberatkan bagi setiap wanita?
 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.