KETIKA BERHENTI DI SINI Review

 

“Things we lose have a way of coming back to us in the end, if not always in the way we expect” 

 

 

Arti kehilangan, menurut Umay Shahab, adalah ketika semuanya berhenti di sini. Efeknya memang sungguh devastating ketika kita direnggut dari kebersamaan dengan orang yang kita sayangi. Duka mendalam, rindu yang berat menggelayuti tanpa pelampiasan, atau rasa bersalah karena enggak sempat say good bye dengan proper. Rundungan perasaan yang mendera itu telah countless times diterjemahkan menjadi karya, paling sering sih, jadi cerita horor. Grief, kenangan, rasa bersalah, seringnya dijadikan hantu yang terus menggentayangi. Namun Umay, mengambil penyimbolan yang lebih dekat dan lebih akrab dengan usia mudanya. Dengan dunia modern yang tidak begitu asing bagi dirinya dan kita semua, dan even more advance. Film Ketika Berhenti di Sini memotret perasaan kehilangan dalam lingkup teknologi. Sebuah fiksi ilmiah alih-alih suspens kelam. Bayangan hantu digantinya menjadi pendar visual hologram. Konsep dunia yang lantas mencuat di tengah skena sinema tanah air yang lagi khusyuk dengan cerita horor dan daerah pedalaman dan juga setting waktu yang bernostalgia. Film ini seolah menegaskan bahwa rasa kehilangan itu memang sekekal itu, past, present, future. Selama manusia merasakan cinta, manusia akan merasakan kehilangan, maka hadirlah film ini untuk membantu kita melewati perasaan itu saat tiba waktunya ia berhenti di kita.

Aku melewatkan karya pertama Umay  (karena waktu itu aku belum elligible untuk bisa masuk ke bioskop…) dan setelah nonton film keduanya ini, kupikir aku bakal check it out di platform sesegera mungkin. Karena yang ditawarkan Umay ternyata adalah sudut pandang yang menarik. Passionnya pun terasa, Reference Umay bikin film ini pun, kayaknya, gak banyak pembuat film lain yang ‘berani’ ngambil. Saking ribet bahasan, dan konsep sci-fi yang butuh riset ekstra. Ketika Berhenti di Sini bermain dengan tema manusia dealing with kehilangan dengan bantuan A.I. terasa seperti episode serial Black Mirror. Selain itu, juga ada obvious movie reference yang disebut di dalam narasi, yaitu filmnya Jim Carrey tahun 2004, Eternal Sunshine of the Spotless Mind; film yang kompleks membahas dua orang yang ingin saling melupakan, tapi mereka tetap saling ketemu mengulangi siklus jatuh cinta dan putus.  Dita, protagonis Ketika Berhenti di Sini, suka sekali Eternal Sunshine. She dressed as Clementine (karakter cewek di film tersebut) saat pesta kostum. Dan yang bakal dialami Dita dalam cerita ini juga gak jauh dari soal gak bisa melupakan.

Cerita tentang teknologi ini castnya pas banget; Brian Domain, Prilly Latucomputer, dan Refal HD

 

Mahasiswi jurusan desain grafis ini sedari awal cerita sebenarnya udah struggling dengan kematian ayahnya. Kematian yang belum bisa dia ikhlaskan, dia malah menganggap ayahnya tidak menepati janji selalu ada mendukungnya. Ketika dia kenalan dan jadi deket sama cowok penggemar teka-teki dan teknologi, Ed, keduanya tampak klop dan mereka membicarakan hal-hal ‘deep talk’, topik kematian lantas muncul ke permukaan. Sementara Ed tampak menganggap kematian sama sakralnya dengan kelahiran, Dita memandang sebaliknya. Kita bisa melihat betapa Dita detests death, yang datang tanpa bisa dipersiapkan. Malang bagi Dita, empat tahun setelah menjalin hubungan dengan Ed yang sukses occupied her mind dengan cinta, kematian itu datang lagi. Menjemput Ed, justru di saat Dita lagi punya masalah dengan hubungan mereka. Sama seperti saat kehilangan ayahnya, hidup Dita lantas stop kembali. Dua tahun berlalu, Dita masih belum bisa melepaskan Ed sepenuhnya. Sahabat terdekat Dita, termasuk Ifan yang dari dulu menyukainya, mencoba mengisi hidup Dita. Tapi perempuan itu tampak semakin susah dijangkau, terlebih ketika Dita mendapatkan kacamata khusus yang bisa memproyeksikan A.I. hologram dengan wujud dan suara persis seperti Ed.

Pelajaran mengikhlaskan nomor satu dari film ini adalah mereka yang telah pergi sesungguhnya tidak pernah beneran pergi. Mereka akan kembali kepada kita dalam ‘bentuk’ yang gak akan pernah kita duga. Jadi, apresiasilah yang datang ke hidup kita sebesar kita menghargai yang telah pergi.

 

Things got really interesting saat membahas Dita dan hologram Ed. Film ini membuat cukup ambigu mengenai apakah si teknologi ini begitu canggih sehingga A.I. Ed bisa muncul dan bersikap sefluid aslinya ataukah Ed yang kita lihat itu sesungguhnya cuma proyeksi dari perasaan Dita yang bergulat dengan proses mengikhlaskan. Karena memang film ini paham betapa pentingnya building up dalam penceritaan. Si hologram Ed awalnya dihadirkan bersikap seperti A.I. pada umumnya. ‘Kaku’ kayak Siri atau Alexa, bedanya ada wujudnya. Film malah memperlihatkan sosok hologram yang lain dulu sebelum menghadirkan wujud Ed. Cuma berdiri. Perlahan, seiring Dita tampak semakin nyaman, hologram Ed mulai bisa duduk, bahkan bisa ikut berlari menemaninya olahraga. Ngomong-ngomong soal build up, relasi antarkarakter juga dibangun dengan seksama. Gimana perasaan Ifan terhadap Dita. Gimana Dita dan Ed kenalan hingga bisa saling suka. Film ngasih waktu banyak untuk membangun relasi-relasi ini, sehingga adegan-adegan saat dunia cerita mulai bergejolak oleh kehadiran hologram Ed (yang tentu saja awalnya dirahasiakan oleh Dita dari sahabat-sahabatnya) terasa lebih punya bobot emosi. Karena kita diperlihatkan para karakter ini sebelum konflik utama itu terjadi. Dalam artian, kita benar-benar mengikuti perkembangan karakter ini dalam span empat, lalu dua tahun kemudian. Kita jadi benar-benar mengerti yang mereka rasakan, pembawaan natural dari para aktornya jadi icing on the cake yang bikin penonton semakin tersedot ke dalam cerita.

Arahan film ini memang tampak percaya diri. Umay mengaduk bahasan kematian, penjelasan rule teknologi di dunia cerita, hingga urusan relationship dan pertemanan, dengan tambatan perspektif yang kuat. Ini dunia anak muda. Yang melek teknologi, Yang melek keterbukaan komunikasi. Arahan Umay tidak membuat film kehilangan suara khas mereka. Sudah cukup banyak kita nonton film-film tentang anak muda, atau remaja, atau yang coba angkat suara kopi-senja, atau bahkan film anak-anak, tapi si film itu sendiri terasa jauh dari subjeknya tersebut. Yang jatohnya film itu jadi kayak try too hard dalam memportray karakternya, let alone dunia mereka yang coba dibangun. Ketika Berhenti di Sini melakukan itu dengan terlihat natural. The way the characters talk, the way they act around others. Dialognya tahu kapan harus pakai kosa kata anak muda, kapan harus pakai bahasa deep talk, kapan harus bersendu dengan perasaan, kapan harus bercengkerama dengan orang tua. Film ini dengan mudah konek kepada penonton muda, karena mereka sudah easily ‘bicara dengan bahasa yang sama’.  Momen-momen emosional yang jadi ujung tombak cerita juga jadi terdeliver dengan baik. Banyak loh yang nangis nonton ini di dalam studioku kemaren. Film ini sendiri terasa beneran ‘muda’. But also, punya kekurangan yang sama dengan anak muda. For it could get too cocky, dan beberapa hal harus dipoles lagi.

Lama-lama si A.I. juga gak ada bedanya dengan hantu

 

Naskah film ini masih terasa rough around the edges. Hook-hook dan plot poin cerita bergerak dengan aneh, ada yang kayak atas dasar hura-hura saja. Banyak kejadian film ini terjadi karena sesuatu yang enggak langsung berhubungan dengan konflik karakter utama. Misalnya, kacamata AR tersebut gak bakal ada di tangan Dita (yang artinya cerita film ini gak bakal lanjut) kalo Dita tidak menumpahkan lagi minumannya ke iPad. Jadi, majunya cerita sebenarnya lemah, tapi kebetulan seperti demikian itu masih bisa dimaklumi. Salah satu cara membuat penonton maklum dengan mendesain kebetulan tersebut dengan kejadian yang masih ada sangkut pautnya dengan flaw protagonis. Jika dia orang yang belum bisa move on, berarti adegan kebetulan itu bisa terjadi dari dia yang gak fokus karena mikirin orang yang udah gak ada sehingga menumpahkan minum. Pada film ini, adegan kebetulan itu adalah Dita menumpahkan minum karena saat meeting dengan cameo pemain Mencuri Raden Saleh, wallpaper ipadnya keganti jadi foto dia dengan Ifan. Not even foto Ed. Atau bahkan bukan karena malu ketahuan oleh sahabat-sahabatnya. Ini kan seperti gerakan gegabah khas anak muda, dilakukan oleh film ini. Adegan yang mestinya bisa didesain untuk lebih tight (film ini perlu banget sebenarnya lebih banyak memasukkan interaksi Dita dengan sahabat-sahabatnya) jadi loose karena film ingin masukin hal yang menarik lainnya.

Cerita jarang sekali maju karena pilihan Dita si tokoh utama. Most of the time Dita hanya bereaksi atas keadaan di sekitarnya. Gak sengaja menumpahkan air. Mendengar kabar Ed kecelakaan. Pilihan signifikan pertama untuk majunya plot yang dibuat oleh Dita adalah saat memutuskan untuk terus memakai kacamata AR. Dan itu baru terjadi menjelang mid point. Tadinya kupikir bakal jadi penghantar masuk babak kedua loh. So it’s nice film ini ngebuild up hubungan karakter terlebih dahulu – tiga puluh menit awal benar-benar digunakan untuk ini –  tapi harusnya itu bisa dilakukan dengan tetap memberikan pilihan kepada karakter utama. Tetap membuatnya beraksi jadi penggerak cerita. Looking back setelah nonton aku bahkan gak yakin Dita punya motivasi personal sebelum kenalan dengan Ed. Dan soal kenalan itu, film juga gak circled back lagi, gak ngasih alasan kenapa si Ed ini seorang complete stranger yang follow sosmed Dita. Kenapa gak teman kampus, atau semacamnya. Apakah biar dia jadi manic pixie dream boy, kayak Clementine di Eternal Sunshine (tapi bahkan Clementine ternyata berkembang jadi lebih dari sekadar manic pixie dream girl) Kenapa Ed follow Dita. Tadinya kupikir Dita semacam seleb sosmed, karena ada adegan sosmednya direply oleh banyak orang. Tapi perihal itu juga tidak divisit lagi, presence sosmed Dita kayak cuma buat lihatin bahwa mereka ini anak muda yang interaksinya ya banyakan di dunia maya.

Bagian terbaik film memang ketika Dita mulai punya kacamata putih itu. Dia mulai membuat pilihan-pilihan, yang seharusnya memang membuat hidupnya jadi makin rumit. Membuat relasinya dengan Ifan, dengan sahabat, dengan sekitarnya renggang, dan semacamnya. Satu lagi kekurangan pada naskah adalah seperti kehabisan waktu (atau ide? ah, masa sih ide..?) saat menggali bagian ini. Si Dita ini kurang di’punish’. Drama itu kan main naik turun, titik teratas ke titik terendah karakter. Nah, film ini tu kayak belum ngasih Dita ke titik terendah hidupnya.  Stakenya gak terasa, karena Dita gak terkesan beneran merasa ada kegagalan saat dia menghabiskan waktunya ngobrol dan menjalin hubungan sama hologram alih-alih manusia nyata. Bahkan sampai akhir aku merasa sukar percaya Dita genuinely appreciate Ifan, karena, ada surat dan segala macem (malah Ifan yang mau mencoba mengerti Dita kembali). Di akhir naskah kembali ragu untuk meletakkan semuanya di tangan Dita. Keputusan dia mendelete hologram juga berkurang efeknya karena dia tidak belajar dari kesalahan sendiri.

 




Padahal sebenarnya film ini memang unik. Premis ‘seseorang yang ingin lanjutin hidup tapi tidak mau mengikhlaskan orang-orang yang telah meninggalkannya’ itu udah kayak si karakter ini kemauan dan rintangannya adalah hal yang sama. Karena dengan gak ikhlaskain orang yang udah pergi, ya sama aja dengan gak pengen lanjutin hidup. This is just a second movie dari Umay, dan dia udah berani bikin yang sekompleks ini. Ceritanya berevolusi dari tentang pure romance, ke yang lebih psychologically challenging dengan fiksi ilmiah sebagai panggung, ke hubungan ayah dan anak. Sejujurnya ini udah masuk ke kriteria yang layak di posisi nilai sembilan buatku. Tapi naskah adalah sandungan utama. Walau dialog-dialognya tersusun (dan terlontar) dengan genuine, teknis dan strukturnya masih loose. Masih banyak gegabah. Karakter utamanya juga tidak banyak menggerakkan cerita dengan pilihan. Jika pun ada, posisi dan timing adegannya aneh. Terus juga ada adegan yang hooknya gak benar-benar nyambung ke konflik. Kayak, posisi cameo aja seolah lebih didahulukan ketimbang menggali persahabatan karakter sentral. Meski begitu, memang, dengan passion dan kreasi semenyegarkan ini, aku harap kiprah penyutradaan Umay tidak berhenti di sini.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for KETIKA BERHENTI DI SINI

 




That’s all we have for now.

Kalo kacamata itu beneran ada, apakah kalian akan menggunakannya untuk menyapa kembali orang yang telah pergi?

Share pendapat kalian di comments yaa

Sebelum ditutup, aku mau ngajak kalian ke Apple TV+ , karena ada serial bagus tentang pembajakan di pesawat! Dibintangi oleh Idris Elba, serial thriller ini bakal ngajak kita ke sebuah trip angkasa yang tak terlupakan. Yang pengen nonton bisa langsung subscribe dari link ini yaa https://apple.co/46yw8RX

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



ANT-MAN AND THE WASP: QUANTUMANIA Review

 

“It’s a small world after all”

 

 

Phase kelima dari Marvel Cinematic Universe dibuka oleh petualangan Ant-Man yang feels a lot like a Sunday-morning cartoon adventure episode. Petualangan keluarga di dunia yang… sedikit lebih grounded ketimbang multiverse, tapi toh tetap fantastis juga. Dunia yang diperkenalkan sutradara Peyton Reed di sini adalah dunia kuantum, dunia-kecil di dalam semesta. Yang konsepnya memang enggak asing dalam cerita kartun. Like, di kartun Rick & Morty kita ngelihat Rick dengan sengaja menciptakan civilization di dalam baterai mobilnya (supaya dapat energi gratis). Atau lebih mundur lagi, kita telah melihat gimana dalam salah satu episode The Simpsons, Lisa gak sengaja membuat gigi dalam larutan soda untuk science project sekolah jadi punya kehidupan manusia-mini dengan peradaban lebih maju di dalamnya. So yea, Quantumania punya resep untuk jadi wacky dan fun. Tapi tentu saja, being a Marvel movie, film ini punya keperluan untuk ngeset something yang bahkan lebih besar. Memperkenalkan Kang the Conqueror, orang yang menaklukkan begitu banyak universe, sebagai main villain Avengers nantinya. Sehingga film ini jadi starter yang cukup solid buat ke depan, namun bukan jadi cerita keluarga yang benar-benar mulus untuk dinikmati.

Padahal at heart, Quantumania bercerita tentang Scott Lang yang berusaha kembali ‘normal’ sebagai seorang ayah. Setelah semua aksi dan pertempurannya bareng Avengers, Scott Lang siap to put those all in the past, cukup dengan mencatat semua petualangannya di dalam sebuah buku. Kayak kita yang baru beres ‘survive’ dari era pandemi, Scott juga pengennya percaya semua sudah sudah kembali ke kehidupan normal. Dia lupa bahwa waktu terus berjalan. Putrinya kini sudah beranjak dewasa. Cassie (direcast jadi Kathryn Newton) tanpa sepengetahuan Scott jadi semacam aktivis, melakukan kegiatan ‘kepahlawanan’ behind his back. Bahkan momen pertama kita bertemu the-new Cassie, adalah ketika Scott disuruh menjemputnya di penjara. Di mata Scott, Cassie masih anak kecil – his little peanut – tapi toh aslinya Cassie dengan bantuan Hank berhasil membangun peternakan semut-pintar, dan mengirim sinyal ke dunia kuantum. Cassie juga bakal melakukan aksi yang gak diduga Scott, saat nanti mereka semua ‘terdampar’ di dunia kuantum dan berurusan dengan Kang. Memang, relasi antara Scott dan Cassie diikat pada konflik utama dengan Kang, oleh tema ‘jangan remehkan orang kecil’.  Karena di dunia kecil itu, Kang yang membangun dinasty, mendapat perlawanan dari rakyat yang ia taklukkan.

Oh wow, sekarang aku bisa officially bilang “twitku pernah direply ama superhero Marvel”

 

It’s a small wold, after all. Tapi bukan in sense of, dunia sempit jadi sering ketemu. Dunia kecil pada film ini merujuk pada dunia sesungguhnya penuh dengan rakyat-rakyat kecil, hal-hal kecil, yang seringkali dioverlook. Disepelekan. Kayak semut-semut, aja. Di film ini semut-semut itu memang diberikan teknologi super, tapi kita juga sering lupa bahwa semua di dunia nyata memang membangun dunia mereka sendiri dengan sistem koloni dan sebagainya. Di semesta yang tiada batas ini, kita sebenarnya juga sama kayak semut-semut itu. 

Kalo diliat-liat, Quantumania ini mirip-mirip ama Black Panther: Wakanda Forever (2022). Protagonis protege, dunia baru yang khusus (yang bukan multiverse), contained story/episode, dan tokoh jahat yang punya bala tentara. Tapi penulisan Quantumania terasa lebih koheren dibanding Wakanda Forever yang berpindah terlalu banyak dari Shuri (dan seperti kesulitan sendiri ngepush karakter ini sebagai protagonis utama) Quantumania juga punya banyak karakter, tapi perspektifnya terjaga. Narasi voice-over yang melingkar di awal dan akhir juga sukses ngasih kesan ceritanya yang menutup pada Scott Lang. Sekilas karakter ini jadi agak kurang lucu, tapi aku melihat bahwa itu karena di cerita ini karakter yang diperankan Paul Rudd ini sudah setingkat lebih dewasa. Aku juga suka gimana film ini tidak buru-buru menjadikan Cassie sebagai superhero. Dia gak langsung jago walaupun punya kostum Ant-Man. Kita melihat proses dia belajar menjadi superhero, kita melihat hal yang belum cakap ia lakukan, dan hal yang jadi strenght dirinya – yang in turn, tidak dimiliki oleh Scott. Cara film ini ngebuild up Kang sebagai calon penjahat utama Avengers ke depan juga sesistematis itu. Memperkenalkan dia awalnya sebagai pria yang tampak butuh bantuan, dan direveal sebagai siapa dia sebenarnya. Kita melihat itu bukan saja dari cerita Janet tapi juga dari gimana masyarakat di dunia kuantum berdesas-desus terhadap namanya. Kita melihat pengaruh kekuasannya dari gimana kehidupan orang kecil di dunia kuantum.

Sebagai karakter, Kang benar-benar menacing. Jonathan Majors berhasil deliver aura dan kharisma yang bikin kita percaya karakternya ini memang sepowerful dan semengerikan itu, di balik kesan awal yang tampak kayak orang baik. Dengerin aja ceramahnya soal waktu, ketika sedang mengintimidasi Scott. Relasi hero dan villain antara Scott dan Kang memang tak se’naik turun’ relasi antara Shuri dan Namor, tapi simplicity itu akhirnya work out lebih nicely. Apalagi bagi Scott di sini stake-nya adalah keselamatan putrinya, ancaman di balik negosiasi mereka jadi kontan terasa nyata. Satu lagi karakter yang mencuri perhatian di sini adalah M.O.D.O.K. Yang actually merupakan seseorang dari masa lalu Scott dan Cassie (alias dari film Ant-Man pertama) Sehingga dia dengan wujud uniknya sekarang ini bakal punya banyak interaksi menarik dengan karakter-karakter protagonis.

Ya, sebenarnya karakter-karakter superhero dan villain yang muncul di film ini menarik. Begitu juga dengan karakter di dunia kuantum dan dunia kuantum itu sendiri. Vibenya Star Wars banget. Mereka kayak alien-alien dengan desain yang unik dan konyol, dan kita menyaksikan mereka terlibat perang galaksi dengan emperor penguasa. Tapi tone alias nada film ini tidak pernah terasa benar-benar tepat dalam memuat mereka. Semuanya terasa terlalu dull, bland, terlalu beban, dan serius amat. Penonton yang ngarepin quirky khas yang biasa nongol di film Ant-Man sebelumnya akan merasa kehilangan. Dan kehilangan tersebut bakal terasa jadi missed opportunity ketika kita bisa melihat potensi fun yang semestinya dipunya oleh cerita. Dunia kuantum yang unik itu tidak tampak mengundang untuk dijelajahi. Tidak ada sense of wonder melihatnya. Dunia itu cuma… tempat. Semua ‘mekanik’ cerita di dalamnya juga tidak dibangun dengan terperinci. Singkatnya, alih-alih membuat dunia unik yang imersif, film ini kayak gak mau luangin waktu dan hanya bikin dunia itu ya, unik yang random aja.

Aku masih gak ngerti gimana minuman goo penerjemah itu bisa bekerja dua arah; membuat Scott dkk juga bisa dimengerti oleh orang kuantum.

 

Penggemar Hope (dan otomatis Evangeline Lilly) bakal dapat kecewa ekstra, karena gak begitu banyak yang dilakukan oleh The Wasp di sini. Basically dia cuma ada di sana sebagai anak Janet. Ibunya, lebih banyak dapat sorotan karena Janet, as we know it, pernah tinggal di dunia kuantum dan dia statusnya semacam figur terkenal di dunia itu. Karakter yang diperanin Michelle Pfeiffer itu memegang kunci soal siapa sebenarnya sosok Conqueror yang ditakuti para ‘kuantumers’ sehingga di sini Janet dapat porsi lebih besar. Namun sayangnya hanya sebagai ‘juru bicara’. Ya, film ini terbebani sekali oleh penjelasan-penjelasan. Memang penjelasan soal Kang jadi build up yang membuat karakter tersebut jadi semakin mencekam, hanya saja film ini tidak cuma memuat tentang Kang. Melainkan juga banyak penjelasan lain. Tentang teori dunia kuantum. Tentang senjata yang digunakan Kang. Tentang apa yang dilakukan Janet dulu saat di sana. Tentang pengaruh kejadian di sini dengan multiverse ke depan. Banyak sekali, dan film enggak bisa menemukan cara penyampaian yang enak. Karakter-karakter yang menarik itu hanya lebih banyak diam mendengarkan penjelasan, basically kayak kita yang cuma bisa manggut-manggut karena paruh awal itu beneran bergerak dari eksposisi ke pengungkapan ke eksposisi lagi. Interaksi antarkarakter itu jarang. Makanya M.O.D.O.K. bisa mencuri perhatian. Banyakan celetukan dia kok ketimbang Hope bahas masalah mereka secara personal dengan ibunya. Paruh pertama itu boring, paling sesekali kita ‘melek’ karena ada cameo ataupun sejumput aksi-aksi.

Bicara soal aksi, film ini punya sekuen final battle yang cukup epic – serangan berontak kuantumers jelata kepada pasukan Kang, also Scott jadi kayak Titan menjebol tembok pertahanan Kang – tapi karena warna yang bland (film ini bisa dibilang full CGI sehingga mereka gak mau main banyak di visual demi cost) aksi itu juga jadi gak maksimal serunya. Tidak terasa imersif. Arahan actionnya juga jadi kayak terbatas. Bakal ada adegan saat tiga superhero kita dibantu oleh bala bantuan buzze–eh salah, bala bantuan semut, dan itu adegannya ‘lurus’ aja. Mereka cuma berdiri di tengah jalur semut dan everything’s just sort of happen. Editing saat berantem juga aneh. Choppy. Kayak kalo di bioskop kita nonton film yang ada sensornya. Karakter yang abis dilempar, di frame berikut sudah ngumpul bareng karakter lain. Hal ini tentu saja mengganggu keseruan aksi, yang jelas-jelas bagian penting dari sebuah film superhero.

 

 




Buat yang nonton sekadar ingin tahu apa yang terjadi di phase kelima, siapa Kang yang bakal jadi musuh-akhir Avengers nanti, film ketiga dari Ant-Man ini kayaknya gak bakalan bermasalah. Karena kayaknya memang untuk itulah film ini dibuat. Cerita keluarga Scott Lang, petualangan mereka di dunia kuantum yang ternyata seluas itu, hanya jadi bumbu pemanis. Supaya info tadi itu ada karakternya haha.. Mungkin itu cara paling negatif untuk menggambarkan film ini. Petualangan keluarga yang terbebani oleh ambisi membangun bigger story untuk film-film berikutnya. Padahal materi cerita kali ini ya cocoknya dijadikan over-the-top kayak kartun. Dengan dunia dan karakter sewacky itu. Tapi karena justru digarap dengan banyak eksposisilah nonton film ini jadi tidak pernah total menyenangkan. Dan menurutku ini mengecewakan karena film ini sesungguhnya punya penulisan dan karakter yang koheren. Tapi ya jadi terkerdilkan oleh ‘machination storytelling’ tersebut, 
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for ANT-MAN AND THE WASP: QUANTUMANIA

 




That’s all we have for now.

Apakah menurut kalian film ini jadi pembuka phase lima yang kuat? Apa yang paling ingin kalian lihat di phase lima ke depannya?

Share pendapat kalian di comments yaa

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



M3GAN Review

 

“Technology is a useful servant, but a dangerous master”

 

 

Kenalin, M3GAN. Nama panjangannya Model 3 Generative Android. M3GAN dibuat sebagai lebih dari sekadar mainan anak-anak. M3GAN dibuat untuk jadi sahabat baik setiap anak yang punya orangtua dengan uang seribu dolar nganggur di rekening bank mereka. Android yang disebut ‘barbie gede’ ini bisa berkomunikasi, bisa nyanyi, bisa menari. Bisa mengenali mood manusia, sehingga dapat diandalkan untuk menghibur setiap anak yang bersedih. M3GAN bisa menggantikan peran orangtua. Nah, di situlah masalah timbul. M3GAN jadi terlampau pintar melebihi programnya. Tidak seperti si android, kisah A.I. gone rogue dan malah jadi jahat. bukanlah ‘mainan baru’ dalam genre horor. Film garapan Gerard Johnstone ini obviously bakal dibanding-bandingkan dengan begitu banyak film ‘boneka’ jahat populer sebelumnya. Tapi untungnya, si Gerard paham walaupun ceritanya tentang robot, dia tidak sedang membikin robot. Gerard tahu bahwa film haruslah bernyawa. Dan itulah yang benar-benar ia suntikkan kepada cerita ini. Dia berikan panggung dan delevopment yang berbeda. Dia masukkan karakter dan perspektif yang benar-benar relevan ama dunia gadget pintar kita.

Sebagai horor, M3GAN memang punya adegan-adegan ngeri yang menghibur. Karakter androidnya sendiri easily bakal jadi karakter boneka horor yang ikonik, like, adegan narinya saja sudah viral lebih dulu. Nyaingin tarian Wednesday yang di serial Netflix. Props buat Jenna Davis yang mengisi suara dan buat Amie Donald yang ‘menyumbang’ akting tubuh untuk menghidupkan kesan robot-hidup-yang-creepy. Film ini benar-benar did a great, creative job, dalam menciptakan desain karakter M3GAN. Kita datang karena penasaran. Dan kita akan tinggal, berkat narasi dan bahasannya. Karakter M3GAN bukan hanya keren desainnya, tapi juga diiringi oleh penulisan. Dia juga antagonis yang hebat, karena difungsikan sebagai semacam wish that came out wrong bagi Gemma, protagonis cerita. Si Gemma ini meskipun kerjaannya bikin mainan elektronik buat anak-anak (and she really great at that), tapi dia sendiri gak tau caranya ngadepin anak-anak. Makanya begitu Cady – anak dari kakak Gemma – sekarang harus tinggal bersamanya (karena sang kakak dan suami tewas dalam kecelakaan yang melibatkan produk mainan buatan Gemma; just dark comedy film ini), Gemma berusaha keras untuk menuntaskan proyek M3GAN kreasi terbarunya. Gemma ingin dengan segera menghibur ponakannya yang murung dengan mainan yang ia tahu bakal meringankan tugasnya sebagai orangtua angkat. M3GAN terbukti sukses berat. Cady sekarang gak sedih lagi. Tapi berubah jadi takut. Karena M3GAN yang terus berusaha menjadi teman yang baik dan melindungi Cady, benar-benar went overboard. M3GAN mulai menyakiti orang-orang dan bertindak melawan programnya sendiri.

Gemma lupa nge-install akhlak ke dalam program M3GAN

 

Ketergantungan teknologi memang seberbahaya itu. Kita mengira cuma pada anak-anak. Banyak orangtua yang memberi batas waktu kepada anak untuk bermain gadget karena sadar pengaruh buruk terlalu sering anak terpapar oleh ‘mainan’ tersebut. Tapi orang dewasa seperti kita mungkin lupa tepatnya apa negatif tersebut. Ini bukan sekadar soal nanti mata sakit, emosi jadi labil, dan daya perhatian menurun sehingga jadi malas belajar. Lupa bahwa orang dewasa juga bisa jadi ketergantungan. Aku ngakak pas adegan Cady ingin dibacakan cerita pengantar tidur, tapi bibinya tidak punya buku, dan Gemma dengan gampangnya bilang “tinggal download”. Tapi ternyata aplikasinya harus diupgrade dulu. Aku ngakak karena Ax dalam novel Animorphs ternyata benar. Menurut alien tersebut, komputer jauh lebih primitif dari pada buku (“buku tinggal membalik halaman, sementara komputer harus loading dulu”) dan dia heran kenapa perkembangan teknologi manusia bumi terbalik. Ax basically bilang, ‘hari gene masih tergantung ama komputer!’ Yet, here we are. Sekarang semua harus pakai teknologi. Semua ada aplikasinya. Bikin film semuanya pakai CGI. Mau bayar di kasir aja udah jarang pakai uang fisik (dan kita heran kenapa antrian semakin lama). Film M3GAN ini memang nunjukin justru ketergantungan pada orang dewasa-lah yang dampak negatifnya lebih besar. Like, M3GAN jadi berbahaya karena Gemma menyerahkan kepada A.I. untuk menjadi pengganti orangtua, menjadi sahabat bagi Cady.

Seperti yang diucapkan teman Gemma, ketergantungan teknologi jadi berbahaya adalah karena kita menggunakan teknologi tersebut bukan lagi untuk mempermudah, tapi juga untuk menggantikan peran manusia.

 

Mainan harusnya simpel. Anak-anak tidak pernah meminta muluk-muluk. Orang dewasa nerd seperti Gemma-lah yang bikin ribet. Film dengan kocak nunjukin gimana Gemma gak bolehin Cady membuka mainan robotnya, karena itu bukan untuk dimainkan, tapi untuk dipajang. Untuk dikoleksi. Konsep seperti itu, apalagi kalo bukan orang dewasa yang menciptakannya. Gemma-lah yang duluan went overboard dengan menciptakan mainan seharga Tesla karena dia pengen hidupnya lebih gampang. Dia gak perlu bonding dengan Cady yang kehilangan orangtua. Inilah yang bakal jadi pembelajaran. Di sinilah letak hati film ini. Melalui Gemma (yang diperankan keras kepala tapi masih bisa simpatik oleh Allison Williams) kita – orang dewasa dan para orangtua diingatkan. Bahwa gimana pun juga anak butuh koneksi dengan manusia lain. Bahwa anak bakal mencari sosok orangtua, dan mereka akan membangun kepribadian dan sifat mereka berdasarkan sosok yang menurut mereka adalah orangtua tersebut.  Film ini relate karena kita bisa mengerti kenapa Gemma lebih milih nyiptain android mahal. Karena lebih gampang. Itu juga sebabnya kenapa kita lihat banyak orangtua di luar sana yang jadiin gagdet sebagai pengasuh anak. Biar gak rewel. M3GAN benar-benar menghandle persoalan ini dengan baik. Menghibur lewat tone horor dan karakternya yang tak biasa.

Film horor yang hebat adalah film yang sukses meng-amplify horor grounded yang dirasakan manusia ke dalam dunia horor yang fantastis. Menjelmakannya ke dalam hantu, monster, atau sesimple robot boneka pembunuh. M3GAN efektif sekali bekerja di ranah ini. Buat sebagian orang dewasa, bonding dengan anak memang tampak menyeramkan. Gimana kalo dia ngajarin hal yang salah ke anak. Gimana kalo gagal dan anak jadi benci kepadanya. Sungguh tanggungjawab yang besar. And at the same time, orangtua gak bakal mau kehilangan anaknya. Di sinilah M3GAN menempatkan tokoh horornya. Si android M3GAN adalah ketakutan terbesar orangtua, orang dewasa seperti Gemma. Ketakutan anak mereka sudah benar-benar gak butuh mereka, posisi mereka direbut oleh hal yang tadinya mereka percayakan untuk membantu. Ini adalah bahasan yang bagus sekali untuk orangtua kekinian.

Untuk menyeimbangkan cerita, film juga menyorot dari perspektif anak keci. Cady (penampilan emosional yang luar biasa dari Violet McGraw) tidak berada di sana untuk diam dan jadi korban. Jadi yang harus diselamatkan.  Melalui Cady, film bicara tentang grief pada anak-anak. Tentang ketakutan terbesar anak-anak, yaitu kehilangan orangtua, dibahas cukup dalam oleh film ini. Kita melihat gimana Cady benar-benar memutuskan hubungan dengan sekitar. Gak gampang buat anak sekecil itu dealing with that emotion, sehingga dia gak gampang buka diri. Kehadiran M3GAN, hubungannya dengan M3GAN, tampil manis sebenarnya. Itulah yang membuat babak horor film semakin dramatis. Karena Cady harus belajar menerima kehilangan, dengan melupakan M3GAN. Film actually, juga memberikan Cady kesempatan untuk memilih. Final battle yang melibatkan ketiga karakter ini – yang superseru itu – sebenarnya cukup haru kalo kita simak lekat-lekat.

Kalo masukin adegan M3GAN bunuh orang pake lato-lato; this movie would be too perfect XD

 

Selain narasi seputar parenting di era digital, grief pada anak kecil, film yang telah menjadikan si pembuat mainan anak ini sebagai protagonis, tentunya tidak bisa meninggalkan begitu saja soal kerjaan si karakter. Dari buku penulisan naskah yang kubaca sih, memang begitu. Naskah yang baik harus bisa memuat atau menunjukkan kehidupan karakter utamanya, dan itu menyangkut kehidupan privatnya, kehidupan sosialnya, dan kehidupan profesional, Aku katakan lagi, penulisan naskah film ini kuat banget. Masing-masing karakter diberikan point of view, dan ketiganya saling bertubrukan mengharuskan mereka harus meresolve (bibi yang pengen ngasuh anak dengan gampang, anak yang pengen cari sosok orangtua, A.I. yang ingin menuntaskan programnya). Masing-masing diperlihatkan apa yang mereka lakukan saat sendiri, dan gimana mereka bersosial satu sama lain. Nah, ketika membahas kehidupan profesional Gemma-lah film ini sedikit kurang. Film juga memperlihatkan gimana Gemma struggling supaya perusahaan mau menggolkan proyek M3GAN. Ini juga lantas jadi menambah stake, karena saat perusahaan sudah ‘yes’ ternyata M3GAN punya cacat. As in, M3GAN ternyata pengen membunuh orang-orang. It’s great. Tapi tak bisa dipungkiri, bahasan perusahaan ini agak sedikit terlalu banyak. Meski ada juga efek yang bagus – kayak film ini jadi punya opening unik berupa sekuen komersial (untuk set up pentingnya bahasan soal job Gemma), tapi ada juga satu bagian yang gak berbuah apa-apa di ujung cerita. Yaitu soal rekan kerja Gemma yang diam-diam mengcopy file proyek M3GAN. Kita tidak pernah diperlihatkan lagi apa tujuan dan kelanjutan dari bagian tersebut. Kecuali mungkin film mengadakan itu sebagai penanaman bibit untuk kemungkinan sekuel. We don’t know that. Yang jelas at this point, narasi soal perusahaan mainan tersebut ada banyak, tapinya jadi pada kurang perkembangan.

 




Apakah aku suprised sama pencapaian film ini? Honestly, yes. Aku gak nyangka film boneka-pembunuh yang kinda late to the party (mengingat sudah banyak banget yang bikin film soal itu) masih bisa tampil fresh. Yang aku expect cuma sosok boneka – atau lebih tepatnya; sosok andoridnya bakal jadi ikonik. M3GAN nari itu muncul terus di timeline sejak trailernya publish! Dan yea, secara fun dan sadis dan serunya film ini berhasil sesuai dengan standar gila yang biasa disuguhkan oleh film-film begini. Karakter dan isinya yang bikin film ini sedikit lebih bergizi. Penulisannya amazing. Men-tackle masalah orangtua, dan masalah anak, dengan nada horor yang brilian disulam ke persoalan ketergantungan teknologi. Aktingnya juga juara, gak ada yang satu-dimensi, bahkan karakter androidnya terasa ‘hidup’. Karakternya bakal ikonik, no doubt. Ini, mungkin, adalah horor langka. Langka dalam hal, ini horor kekinian yang actually bisa ditonton bareng keluarga, yang tidak dikemas berat, tapi juga tidak kosong dan receh. Yang jelas, senang berkenalan denganmu, M3GAN. 
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for M3GAN

 

 




That’s all we have for now.

Apakah kalian merasa telah ketergantungan sama teknologi? Gimana kalian menjaga agar penggunaan gadget atau semacamnya bisa berimbang?

Share pendapat kalian di comments yaa

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



AVATAR: THE WAY OF WATER Review

 

“Anywhere you go the problems will go with you”

 

 

Karanglah cerita setinggi langit, lalu daratkan ia dengan permasalahan realita. Itu memang bukan peribahasa, melainkan karanganku saja. Kenapa aku tega niru-niruin pepatah? Karena aku masih dalam pengaruh semangat James Cameron yang bikin film luar biasa mentereng dan jauhnya, tapi dengan permasalahan yang merakyat. Yang kita semua bisa mengerti bisa terjadi kepada kita. Semua film memang harusnya begini. Permasalahan yang kita bisa relate, tapi diceritakan dalam panggung yang seliar-liarnya.  Dua film Avatar adalah bukti James Cameron paham soal ini.  Dia telah menciptakan dunia nun jauh di sana, dengan makhluk-makhluk, ekosistem, aturan-aturan, hingga mumbo jumbo fiksi ilmiah dan spiritual lainnya tanpa menjadikan semua itu ribet. Inti ceritanya tetap membumi. Di  sisi lain, ceritanya boleh saja mirip dengan film lain yang kita ingat, namun karena pembangunan dunianya luar biasa, film tersebut lantas jadi beda. Pada Avatar pertama (aku actually nonton untuk pertama kali pada malam sebelum ke bioskop nonton sekuel ini) Cameron bicara urusan sesimpel menjaga hutan di balik perkara penjajahan dan tembak-menembak. Film kedua kali ini, cerita bahkan lebih dekat lagi. Kali ini urusannya adalah urusan keluarga. Bagaimana menjadi orangtua yang baik terhadap anak-anak.

Dulunya manusia, kini Jake Sully sudah tenteram hidup bersama bangsanya baru. Bangsa Na’vi bertubuh biru yang menghuni pedalaman hutan bulan Pandora. Anak Jake ada tiga, plus satu anak angkat, dan satu lagi anak manusia yang selalu bermain bersama. Keluarga yang besar berarti tanggungjawab yang juga besar. Ini membuat Jake jadi kepala keluarga yang sedikit kaku. Ketika Sky People (alias militer dari Bumi) kembali ke Pandora, kali ini dengan tujuan utama membalas dendam kepada dirinya, Setelah reunian berbahaya dengan former enemy, Jake langsung tahu ia tidak bisa membiarkan keluarga tetap dalam bahaya. Tak ingin melukai siapapun, mantan tentara ini memaksa istri dan anak-anaknya untuk pindah. Kabur sebelum Kolonel Quaritch yang dihidupkan kembali dari klone memory – dan kini juga bertubuh Na’vi – menyerang rumah mereka. Jake mengira dengan pindah, berbaur tinggal dengan klan air di Selatan, keluarganya bisa aman. Tapi tentu saja, kepindahan itu tidak mudah bagi anak-anak dan istri Jake. And also, tindakan Jake bisa berarti sama dengan ia menggiring musuh untuk membahayakan Na’vi-Na’vi air dan makhluk sekitarnya yang tak berdosa.

Jagalah laut dan jangan lupa hormat sama makhluk hidup di sekitarnya

 

Durasi yang sampai tiga jam lebih berusaha dimanfaatkan film ini untuk menggali banyak perspektif. Oh man, film ini punya banyak sekali perspektif. Kita gak hanya ngikutin Jake seorang. Kita juga diperlihatkan mulai dari masalah beberapa anak Jake, hingga ke persoalan personal klone kolonel Quaritch dan anaknya. Perspektif-perspektif tentu saja menambah layer dan bikin kita makin termasuk ke dalam dunia cerita. Karena dengan begini, film semakin nunjukin betapa hidupnya dunia mereka. Karakter-karakter di sana beneran punya sesuatu. Tidak sekadar ‘serang dan bertahan’. Dari putra tengah Jake, si Lo’ak kita melihat cerita anak yang berusaha memenuhi ekspektasi ayah untuk menjadi pejuang yang sama dengan abangnya. Cerita si Tengah yang selalu dibandingkan, padahal dia punya kelebihan lain dan so desperate untuk memperlihatkan siapa dirinya itu kepada orangtua. Lo’ak akan sering memisahkan diri, dia nanti akan punya sahabat-hewan tersendiri – yang sama-sama terkucil dari kelompok. Persahabatan Lo’ak dengan hewan kayak paus berbaju zirah itu actually jadi salah satu relasi yang heartwarming yang dipunya oleh film ini. Sehubungan soal misahin diri, kita juga diperlihatkan cerita Kiri, anak angkat keluarga Jake, yang merasa berbeda dari yang lain. Kiri punya origin dan kekuatan yang sama-sama misterius.

Dan satu lagi yang menarik adalah tentang Spider. Bocah manusia di antara keluarga mereka. Yang actually dipanggil monkey boy, karena dia memang kayak tarzan di sana. Spider sebenarnya adalah anak dari Kolonel – antagonis film pertama yang telah tewas, dan di film ini klonenya hidup kembali dan jadi musuh utama juga. Sehingga si Spider sebagian besar waktu akan berada di state yang bimbang dia sebenarnya harus apa, harus ada di pihak siapa. Koneksi antara Spider yang di lubuk hati pengen punya seorang bapak tapi bapaknya dia tahu adalah orang jahat, ketemu dengan si jahat yang punya reputasi to uphold (juga dendam yang harus dibayar tuntas kepada Jake dan keluarga birunya) sementara di lubuk hati dia pengen nunjukin sayang sama anaknya, sesungguhnya betul-betul menarik. Film ini sebetulnya kayak berada di dalam sebuah tambang emas emosional. Mestinya bisa kaya sekali oleh perasaan, Spider dengan ayahnya ini toh juga paralel dengan Jake dengan anak-anaknya. Bagi para orangtua itu, ini adalah soal “melihat” anak mereka. Ini adalah persoalan yang sama dengan yang dibicarakan oleh Pinokio versi Guillermo del Toro (2022), dan lihat gimana film tersebut mencapai ketinggian emosional  dengan benar-benar menggali relasi emosional tersebut. Level ketinggian emosional yang sayangnya tidak bisa dicapai oleh Avatar 2. Karena Cameron hanya membuka perspektif tapi tidak sedemikian dalam membahas masing-masingnya. Avatar 2 tetap dibiarkan simpel, dan sebagian besar hook emosional berusaha dihadirkan lewat cara lain. Yaitu lewat pengalaman visual.

Memang, kalo bicara soal visualnya, Cameron benar-benar menyuguhkan penampakan yang bikin kita berlinang air mata saking bagusnya. Atau kayak temenku, yang katanya matanya berair karena keberatan makek 3D dan kacamata beneran hahaha.. Intinya, semua dikerahkan Cameron supaya visual film ini maksimal. Shot-shot di bawah air semuanya tampak genuine. Cakep banget. Makhluk-makhluk fantastis itu juga kayak beneran hidup. Ini punya kepentingan khusus pada narasi, karena makhluk-makhluk itu diceritakan bakal berkomunikasi dengan karakter kita. Bahwa mereka adalah bagian dari planet dan masalah yang menimpa (thanks for the human) dalam cara yang lebih grande, lebih spiritualis ketimbang gimana kita melestarikan alam di dunia nyata kita. Makanya bagi film ini adegan-adegan seperti Lo’ak berenang bareng Tulkun (udah kayak menari!), Tuk dan Kiri eksplorasi laut, lebih penting untuk difungsikan sebagai penghantar emosi. Film ini lebih jor-joran menggali Tulkun melawan manusia, lebih menggali arc si manusia yang menganggap remeh mereka, ketimbang karakter lain, misalnya Spider yang malah tampak sengaja gak beneran dibahas dulu untuk hook ke film ketiga. Aku ngakak dan ngecheer melihat si paus armor ngadalin si manusia. Aku juga terhanyut sama pemandangan dan pembangunan dunianya. Tapi gimana pun juga, prioritas utama kita nonton kan cerita. Journey karakter. Ketika film berdurasi panjang, bioskop ber-AC dingin, sehingga bikin kebelet dan harus ngatur strategi kapan ke WC, aku tentu saja memilih untuk ‘break’ saat showcase visual ketimbang harus melewatkan adegan-adegan ngobrol. What I’m trying to say is, kemegahan visual enggak akan berarti banyak kalo ujung-ujungnya cuma jadi bathroom break lantaran adegan itunyalah yang terlalu extend dilakukan oleh film. Jadi, ya, menurutku film ini harusnya bisa mengatur waktu lebih erat lagi, karena ada begitu banyak spot indah dibanding adegan yang actually membahas konflik personal karakter. Like, berenang ama Tulkun aja muncul beberapa kali. Mestinya bisa bercerita dengan memanfaatkan waktu dengan lebih efektif lagi.

Pendapatku masih sama dengan pas nonton film pertama; Nih film kalo dijadiin game SNES pasti seru deh!

 

Film yang pertama, dengan bahasan yang lebih sempit, terasa lebih terarah. Pemanfaatan waktunya terasa pas. Babak set upnya saja sudah bikin aku kagum karena betapa efektifnya film tersebut menyampaikan eksposisi dan informasi. Tidak pernah terasa sumpek dan lambat, melainkan dilakukan dengan cepat dan tepat guna. Kita langsung mengerti rules dan konflik karakter dan segala macamnya. Sehingga ketika film itu masuk ke bagian yang total action, emosi itu semuanya tinggal mengalir dari bendungan build up yang telah tersusun rapi. Film kedua ini, tidak terasa begitu. Babak set upnya boring sekali (dan perlu diingat ini film tiga-jam, sehingga set up di sini berarti sekitar satu jam-an). Avatar 2 praktisnya persis dengan yang dikatakan Kolonel saat pep talk; using the same song. Lagu lama, digunakan untuk membangun masalah. Manusia yang datang untuk menjajah. Kolonel yang mau ngasih hukuman ke Jake, si manusia yang membelot ke pribumi. Cuma masalah lama (aku juga gak bilang aku suka sama pengulangan villain, dengan alasan teknologi klon memori blablabla) dengan cara yang sedikit dibedain. Penjelasannya, ditambah dengan pengenalan singkat keluarga Jake, terasa tumpang tindih. Film ini baru benar-benar menarik dan terasa beda saat Jake sudah pindah ke klan atau suku air. Ketika environment jadi baru. I wish film menemukan cara yang lebih baik lagi untuk menceritakan Jake harus pindah dan sebagainya, karena alasan Jake di sini pun sebenarnya sudah ada pada film pertama. Dia nyuruh pindah dan nyelametin diri, tapi istri dan na’vi hutan lain gak ada yang mau. Jadi basically, arc si Jake gak banyak beda ama film pertama.

Enggak ada orang yang jadi damai dengan kabur dari masalah. Tenangnya cuma sebentar, masalah itu pasti akhirnya akan menyusul. Masalah tidak akan hilang sebelum dihadapi, dan justru akan bisa semakin bertambah besar jika diabaikan. Karena problem sesungguhnya berasal juga dari dalam. Jake yang memutuskan membawa keluarganya lari supaya selamat, pada akhirnya membawa masalahnya itu kepada orang lain. Keselamatan keluarga semakin nyata terancam. 

 

Dan kalo dipikir-pikir lagi, bahkan konflik karakter lain tadi juga mirip kayak yang pernah dialami Jake di film pertama. Spider yang seperti berpindah-pindah, kadang dia mihak ke ayahnya, lalu next time dia ikut sepupu-sepupu angkatnya lagi; ini kayak Jake di film pertama berada pada titik dia bimbang mau menyelesaikan misi militer atau berpihak kepada bangsa Na’vi. Lo’ak yang menyendiri sama kayak Jake yang akhirnya jadi tidak diakui oleh dua pihak, dikucilkan oleh manusia dan juga Na’vi yang merasa dikhianati. Memang, sebenarnya film kedua ini punya beat-beat yang sama dengan film pertama. Hanya pelakunya saja yang dibikin beda-beda. Hanya tempat dan lingkungan saja yang bikin terasa fresh. Kali ini di air, dengan makhluk-makhluk air. Anak-anak Jake yang harus belajar berada di lingkungan itu sama saja kayak Jake di film pertama yang belajar bagaimana hidup bersama bangsa Na’vi di hutan. Di antara soal itu, dengan konflik karakter yang tidak dibahas mendalam either karena pengen tetap simpel ataupun karena disimpan untuk sekuel, film ini jadi kurang menggigit. Yang memuaskan di film ini jadinya cuma bagian aksi di akhir, yang sukurnya memang dibuat jor-joran dan epik.

 




Sebagai hiburan tentu saja film kedua ini punya nilai lebih. Dengan banyak karakter dan personality, cerita jadi lebih hidup. Lebih enak juga untuk ditonton bersama seluruh keluarga (meskipun ada beberapa adegan aksi yang terlalu intens untuk anak kecil). Dari segi cerita film ini ringan, dan sedikit terlalu simpel. Sampai ke titik film ini terasa kayak hanya punya visual sebagai senjata utama. Galian konfliknya kurang, padahal ada banyak perspektif. Cerita juga tidak banyak bergerak, sampai saat karakter sudah pindah ke dunia baru. Lalu baru di satu jam terakhir, di porsi aksilah, film jadi benar-benar hiburan untuk ditonton, karena sudah tidak ada lagi waktu untuk mereka berusaha memasukkan narasi-narasi simpel mengisi durasi. Dibandingkan dengan film pertama, menurutku film ini tidak lebih baik. Waktunya tidak termanfaatkan efektif. Bukannya terasa lama, tapi tidak efekti dari segi muatan cerita. Lebih fun, sih iya, tapi fun yang lebih kurang mengalir.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for AVATAR: THE WAY OF WATER

 




That’s all we have for now.

Apakah menurut kalian tiga jam adalah waktu yang lama untuk sebuah film yang sesimpel ini? Atau justru sebaliknya?

Share pendapat kalian di comments yaa

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



NOPE Review

 

“You have been obsessed with entertainment for so long, that you have almost gone blind to the obvious signs of distress”

 

 

Kiprah Jordan Peele sebagai sutradara film ngasih kita fakta bahwa komedian ternyata bisa jadi basic yang kuat untuk menjadi pembuat film horor yang hebat. Mungkin karena komedi dan horor sama-sama bermain di analogi atau perumpamaan. Komedian terbiasa menulis materi candaan yang sebenarnya mengandung pesan entah itu personal ataupun sindiran. Mirip dengan cerita horor yang menjadikan monster sebagai perwujudan dari sesuatu. Baik komedi, maupun horor, adalah respon manusia terhadap tragedi. Dalam dua karya pertamanya, Peele udah ngasih kita lihat ketajaman yang ia miliki dalam mengolah horor berisi, tapi sekaligus menghibur. Dalam Get Out (2017) dia membahas soal rasisme. Dalam Us (2019) Peele menyentil perpecahan manusia, lagi-lagi karena ras. Peele jelas punya concern dan statement soal ini, yang kembali dia hadirkan dalam horor ketiganya. It also helps that Peele juga seorang penggemar film, mulai dari Spielberg hingga anime. Sehingga Nope, film ketiganya ini, bisa terbentuk lebih jauh sebagai sebuah spectacle – sebuah hiburan – dengan berbagai referensi untuk dinikmati, dengan makhluk alien sebagai pusat misteri dan keseruan, dengan statement di baliknya sehingga kita benar-benar punya sesuatu yang bergizi untuk dicerna saat menebak apa yang sedang terjadi.

Kecintaan Peele pada sinema, serta concern-nya terhadap bangsa, langsung kelihatan dari protagonis sentral cerita. Dua kakak beradik yang berusaha meneruskan bisnis keluarga mereka. Sebagai pelatih kuda-kuda untuk syuting film. OJ dan Emerald sebenarnya adalah yang disebut sebagai Hollywood Royalty, mereka adalah keturunan langsung dari orang dalam motion picture pertama di dunia. Ya, pemuda kulit hitam yang menunggang kuda dalam video pendek hitam-putih itu adalah buyut mereka. Tapi sekarang bahkan bisnis kuda-untuk-film mereka pun sedang struggle. Kuda mereka pernah dicancel, diganti jadi unta, Film sekarang merasa lebih praktis pakai CGI dan sebagainya. OJ sendiri sebenarnya not impressed dengan orang-orang film itu sedari awal. Karakter yang diperankan dengan lebih banyak diam oleh Daniel Kaluuya  itu gak nyaman dengan bagaimana kuda-kudanya diperlakukan di set. Beda dengan adiknya, Emerald (Keke Palmer jadi karakter yang jauh lebih ceria) yang all-in ke bisnis hiburan. Makanya OJ-lah yang pertama sadar kuda-kuda di ranch mereka malam itu bertingkah aneh. Seperti kabur dari sesuatu di atas sana. OJ jugalah yang pertama kali nyadar bahwa beneran ada sesuatu di atas sana. Di antara awan-awan itu. Sesuatu yang bukan dari planet ini. Sesuatu yang bertanggung jawab atas hujan koin dan benda-benda metal lain, yang actually menewaskan ayah mereka.

E.T. fist bumps!!

 

Secara eksistensi, film ini mirip sama Pengabdi Setan 2: Communion (2022). Horor yang sama-sama dibuat sebagai spectacle. Yang satu wahana rumah hantu, yang satu wahana alien/creature feature. Sama-sama banyak referensi. Sama-sama memancing penonton untuk berteori menebak yang terjadi. Sama-sama dibuat dengan memanfaatkan teknologi IMAX. Tapi apakah secara kualitas keduanya juga sama? NOPE. Nope punya sesuatu yang film Joko Anwar itu gak punya. Substansi. Actual things yang hendak dikatakan.

Like, sure, Nope ngasih pengalaman mendebarkan melihat UFO yang terasa real. Film ini juga memanfaatkan kegelapan dan sesuatu yang tidak-kita-ketahui sebagai sajian horor utama. Langit luas di atas peternakan kuda milik keluarga OJ itu dijadikan seolah lautan dalam film Jaws oleh Peele. Hanya saja bukan hiu, melainkan piring terbang misterius, yang mengintai karakter manusia dari balik awan-awan. Sensasi ada sesuatu yang besar di atas sana, mengawasi kita, tanpa kita mengetahui apa tujuan mereka di atas sana. Tanpa tahu kapan mereka bergerak selain tanda-tanda alam seperti listrik yang tiba-tiba stop , lampu yang tiba-tiba mati. Film berhasil menguarkan semua itu. Aku suka gimana film ini memberikan tanda-tanda itu, terutama lewat boneka-bonekaan (aku gak tau namanya, cuma karena nonton WWE, maka aku akan menyebutnya sebagai boneka Bayley) yang dijadikan alat menarik untuk petunjuk keberadaan si alien. Boneka-boneka Bayley itu menjadikan visual film ini tambah unik. Musik dan suara juga tak kalah mendukung didesain oleh film demi pengalaman kita dengan makhluk terbang tak dikenal tersebut. Antisipasi dan build up akan makhluk ini terbendung, kecemasan dan penasaran kita tercermin dari reaksi karakternya. OJ, Emerald, dan nanti ada beberapa karakter pendukung seperti Angel si nerd penggemar alien, Jupe si pengelola tempat hiburan semacam sirkus, dan seorang sinematografer handal yang disewa OJ untuk merekam penampakan alien. Dan ketika makhluk itu datang, karakter-karakter ini – beserta kita – akan mendapat berbagai kejutan horor seperti dikejar-kejar hingga dihujani darah.

Film memang tidak melupakan karakter manusianya. Film tidak meletakkan mereka untuk mode survival saja, tidak untuk jadi korban teriak-teriak saja. Motivasi mereka tetap jadi fondasi cerita. Kehidupan mereka tetap yang utama untuk kita simak. Banyak orang yang mengeluhkan betapa film ini lambat masuk ke bagian seru, tapi untukku, itu ‘hanyalah’ sebuah build up manis yang dilakukan film untuk membuat kita peduli dengan nasib karakter saat nanti mereka beneran diburu. Untuk membuat kita merasa pengen mereka berhasil selamat. Motivasi dan kehidupan mereka toh menarik. Nope bukan tentang orang-orang yang berusaha survive dan membunuh makhluk alien, seperti pada creature feature yang biasa. Motivasi mereka lebih manusiawi, karena flawed. Bercela. OJ yang tadinya cuek sama soal video dan spektakel, akhirnya memilih untuk memanfaatkan si makhluk untuk nyari duit. Mereka ingin merekam alien itu, dan menjual videonya, supaya peternakan kuda bisa diselamatkan. Kenapa motivasi ini bercela? Karena berkaitan langsung dengan gagasan yang coba diangkat film sebagai bahan diskusi. Yakni soal manusia sudah terlalu obses dengan yang namanya entertainment. Alias hiburan.

Hiburan memang adalah kebutuhan manusia yang mendasar.  Dan sudah sejak lama, hiburan manusia kadang aneh-aneh. Orang dulu suka melihat gladiator lawan binatang. Kita punya tinju sebagai olahraga, ada wrestling sebagai tontonan. Acara gosip, acara kriminal, bahkan kisah-kisah sedih pun kita santap sebagai menu hiburan favorit. Poinnya manusia suka menjadikan orang lain, makhluk lain, sebagai tontonan. Dan rela menempuh apapun untuk menangkap sesuatu untuk dijadikan tontonan. Film Nope ini melempar balik pertanyaan kepada kita sebagai manusia, apakah kita pernah berpikir lebih jauh soal ‘harga’ yang dibayar saat menjadikan sesuatu sebagai hiburan?

 

Kalo dibandingkan dengan dua film Peele sebelumnya, Nope terasa lebih straightforward. Penonton bisa hanya menikmatinya sebagai cerita makhluk alien yang menelan manusia. Tapi tetep, Peele memasukkan banyak ‘misteri’ untuk dibahas penonton dengan kepala masing-masing sepanjang durasi. Hal-hal kecil yang ternyata ada akibat dan penyebabnya belakangan di cerita nanti. Hal-hal yang bakal menambah rewatch value film ini. Nah, membahas dan memberi perhatian ke petunjuk-petunjuk itu actually jadi rewarding saat nonton film ini karena memang hal-hal tersebut menutup kepada sesuatu. Membentuk kepada kesimpulan karakter dan kejadian yang tuntas. Menambah kedalaman ke dalam cerita dan karakter film ini. Seperti soal flashback cerita simpanse yang jadi bintang tv lalu mengamuk, misalnya. Bagian ini memang sekilas tampak tidak nyambung, tapi berkaitan erat dengan gagasan film soal mempertontonkan makhluk lain sesungguhnya tidak etis dan malah berbahaya. Jordan Peele suka memasukkan binatang ke dalam cerita horornya, karena menurutnya hewan adalah simbol dari both keinnosenan serta sesuatu yang inhuman. Di film Nope ada simpanse, kuda, dan si alien itu sendiri. Ketiganya at some point, dijadikan tontonan. Karakter Jupe yang selamat dari insiden simpanse ngamuk di masa kecil, merasa dirinya bisa menjinakkan apapun, dan setelah dewasa bikin taman hiburan dan menjadikan kuda, dan bahkan alien sebagai tontonan turis. Akhirnya tontonan itu berdampak tragedi karena manusia kelewat batas dan tidak mempertimbangkan dengan baik hal lain di luar pemenuhan keinginan mereka saja. Karakter lain seperti reporter dan si sinematografer, menemui ajal karena ngotot ingin mendapat rekaman bagus. Bagaimana dengan OJ dan adiknya?

Don’t look up!

 

Perihal dua protagonisnya ini, film memberikan mereka journey yang menarik. Di akhir film memang tidak diberikan jawaban eksak, mereka ‘ada’ tapi sepenuhnya nasib mereka diserahkan kepada interpretasi penonton masing-masing. Buatku, well, tadinya aku merasa janggal karena tiba-tiba film seperti pindah dari OJ sebagai hero ke Emerald. Like, di akhir tiba-tiba Emerald yang jadi jagoan dan menyelesaikan semua. Sehingga untuk make sense buatku, maka aku harus menganggap OJ sebenarnya tewas dimakan si alien, dan dengan menganggap seperti itu semuanya jadi gak janggal lagi. Journey mereka jadi komplit. OJ akhirnya belajar untuk mengerti bahwa terkadang situasi memang membutuhkan dirinya untuk put on the show, dan itu oke selama dia tahu apa yang harus dibayar. Sementara Emerald, jadi mengerti concern abangnya selama ini. Film berakhir dengan membuat Emerald mendapatkan apa yang mereka mau, menyelesaikan goal mereka, tapi dia tidak sesenang yang ia sangka.

Mengaitkan kembali dengan Jordan Peele yang sudah punya ciri khas dengan statementnya, aku merasa ada satu ‘makhluk’ lagi yang ia posisikan sebagai korban eksploitasi ranah bisnis hiburan. Orang kulit hitam. Film ini bicara tentang manusia begitu rakus menelan apa saja sebagai hiburan, tanpa mau mempertimbangkan lebih lanjut apakah mereka benar-benar paham ataupun apakah harus banget menjadikan itu sebagai tontonan. Mungkin lewat film ini Peele ingin menyentil film atau tayangan hiburan yang sok-sok mengangkat permasalahan ras atau semacamnya tanpa benar-benar mendalami permasalahan tersebut. Yang hanya memanfaatkan isunya sebagai tragedi yang gampang untuk dijual sebab penonton haus akan kisah-kisah sedih dan kontroversi dan semacamnya sebagai hiburan. Lebih tegasnya lagi, Peele tampaknya pengen menghimbau agar kita semua jadi pencerita, tukang konten, ataupun konsumen yang bertanggungjawab.

 




Prestasi banget bisa nelurin tiga karya yang berturut-turut konsisten. Film Jordan Peele kali ini didesain lebih sebagai hiburan bertema sci-fi alien, tapi tetap punya gagasan dan statement di baliknya. Beberapa penonton bakal menganggap film ini lambat, tapi itu hanya karena film ini peduli sama set up karakter. Peduli sama kehidupan mereka, karena dari situlah bahasan film ini diangkat. Horornya sendiri begitu ciamik dengan visual dan build up makhluk yang gak terburu-buru dan murahan. Bagi yang suka menebak-nebak, dan ngaitin adegan-adegan sepanjang cerita, film ini ngasih puzzle seru untuk diungkap. Dan benar-benar rewarding karena ‘puzzle’ tersebut actually ngaruh dan memang jadi fondasi cerita.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for NOPE

 




That’s all we have for now.

Apakah menurut kalian sinema memang mulai eksploitatif terhadap tragedi atau trauma masyarakat minor?

Share pendapat kalian  di comments yaa

 

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 



[Reader’s Neatpick] – THE MAN FROM EARTH (2007) Review

 

“Ternyata segala sesuatu punya lebih dari satu sudut pandang.” – Fajarudin Ilmi, yang bisa disapa di akun sosmed @fajar_vin

 

 

Sutradara: Richard Schenkman
Penulis Naskah: Jerome Bixby
Durasi: 1jam 27menit

 

 

Teman-teman sesama dosen dan profesor di universitas pada heran. Kenapa Profesor John Oldman, yang brilian, baik hati, dan terutama masih muda itu mendadak mengajukan pensiun dan mau segera pindah dari kota. Maka di hari kepindahannya, mereka beramai-ramai ke rumah John. Membantu pindahan, ngucapin selamat tinggal, dan tentu saja menanyai langsung alasan semuanya. John sendiri memang tampak enggan menjawab, membuat kesan misterius semakin membesar. Para teman-teman terus mendesak. Dan John akhirnya memberikan jawaban, tapi bukan dalam bentuk pernyataan yang bisa dengan mudah diterima. Tidak ada satupun orang-orang pintar dan berpendidikan tinggi di rumah yang kini nyaris kosong oleh perabot itu siap, ataupun ikhlas, mendengar cerita dari John yang melatarbelakangi kenapa dia harus pindah dari sana. Cerita yang menjungkirbalikkan berbagai keilmuan, mulai dari catatan sejarah bahkan hingga agama. Karena apparently, nama belakang John jadi literal karena pria ini mengaku sebagai manusia yang benar-benar sudah tua; dia sudah hidup selama 14 ribu tahun!! 

 

“Aku suka film ini karena unik. Memberikan pengalaman dan perspektif baru dalam berbagai hal khususnya sejarah dan agama.  “

“Unik banget, bener deh. Tadinya, ngeliat dari posternya, kupikir ini cerita sci-fi dengan alien-alien gitu. Ternyata satu-satunya yang ‘alien’ di film ini adalah bahwa dia begitu berbeda dari fantasi ilmiah lainnya. Filmnya minimalis banget. Gak ada aksi, nyaris ada plot. Vibe-nya pun gak mewah – gak ada polesan. Ini produksi 2007 tapi rasanya kayak show yang bahkan lebih jadul jadi. Gak ada nama-nama besar, yang kukenali paling cuma si Candyman, yang jadi salah satu profesor sahabat John. Adegan-adegan film ini hanya bersetting di satu ruangan kecil, hanya sekelompok orang yang berbincang-bincang. “

“Film ini bisa jadi motivasi atau acuan bagi yang mau berkarya dengan anggaran minimalis. Untuk bisa bikin film bagus nggak harus dengan budget fantastis! Nggak jarang aku ketemu film indie yang terasa orisinil atau feel-nya ngena dan berpikir “Kalo film ini digarap studio besar yang seringnya disusupi kepentingan-kepentingan tertentu khususnya selera pasar, apa mungkin filmnya masih sama?”

“Saat nonton, aku langsung teringat sama film 12 Angry Men, klasik dari tahun 1957, yang isinya juga cuma orang ngobrol dan berdebat. Tapi ngikutinnya terasa nikmat. Kalo ibarat menyantap makanan, nonton film-film kayak begini tuh rasanya bener-bener kenyang. Also, jadi bukti bahwa suatu film itu yang penting memang bahasannya. Like, film boleh punya fantasi setinggi langit, world-building keren, atau aksi-aksi laga ataupun horor yang dahsyat, but in the end yang bakal nyantol ke penonton adalah apa yang dipermasalahkan. Apa yang diperbincangkan. Film kayak The Man from Earth ini membawa kita langsung ke percakapan. Walaupun dengan konteks sains yang kuat, tapi karena dibentuknya sebagai percakapan antarteman, jadinya mengundang banget.” 

“Biar penonton nggak bosen nontonin orang ‘ngobrol doang’ menurutku tensi harus dijaga dan topiknya jangan sampai dibiarkan bercabang terlalu jauh dari bahasan awal. Juga harus ada karakter yang mewakili orang awam yang nggak terlalu paham sama topik atau istilah-istilah yang digunakan. Film ini, nggak sedetik pun aku sempet bosen. Biarpun kubilang karakter-karakternya dua-dimensi, tapi pertanyaan atau pernyataan yang mereka sampaikan hampir semuanya tepat. Seolah aku bisa ngomong ke mereka, “Eh, abis ini tanyain ini, dong.” dan benar aja mereka ngomonginnya itu. Misalnya pas obrolan sudah masuk ranah agama.

“Pengen rasanya ikut ngobrol bareng mereka ya hahaha.”

“Pastilah pengen. Yang paling mencengangkan ya sudah pasti tentang alkitab. Scene paling memorable adalah saat John mengklaim dirinya adalah Yesus (mungkin baiknya ‘Yesus’-nya disensor biar nggak spoiler :D) sampai-sampai Edith menangis. Alasan kenapa memorable; scene itu yang paling emosional. Seluruh emosi dibendung sepanjang durasi dan ditumpahkan di sana, diwakili oleh Edith.”

“Gak perlulah kayaknya disensor, itungannya udah klasik nih film, udah di luar aturan spoiler-spoileran. Lagipula, seperti yang kita bahas, yang paling mengundang di sini itu bukan apa yang mereka bahas. Tapi pembahasannya itu sendiri. Percakapan yang muncul benar-benar menggugah pikiran. Karakter teman-teman John kan sebenarnya dibentuk film cuma sebagai sanggahan-sanggahan ilmiah. Sebenarnya, secara karakter, mereka ini kurang ‘hidup’lah istilahnya, Mereka cuma perspektif lain dari keilmuan yang menambah serunya percakapan”

“Sayangnya, di sinilah kelemahan terbesar film ini. Karakter-karakternya terasa template. Sebagian besar ucapan dan tindakan mereka hanya untuk mewakili penonton. Tapi kalo harus milih, aku pilih Dan. Karena kalo aku di sana mungkin reaksiku bakalan mirip dia. Kok malah kontradiktif, ya? :D”

“Mungkin lebih tepatnya bukan template, tapi perspektif keilmuan yang kita tahu memang benar demikian adanya. Jadi percakapan mereka sebenarnya satu cerita tapi dibantah sama ilmu biologi, sejarah, psikologi, agama. Mereka bukan Dan, Edith, dan lain-lain. Tapi keilmuan. Bukan exactly karakter. Kekurangan film memang di sini, tapi pinter sih membuat situasinya seperti itu. Karena bahasan yang menyangkal sejarah dan agama seperti yang disebut John, kalo gak ditanggapi dengan kepala yang settingnya keilmuan juga, pasti bakal jadi menyinggung, kan. Coba bayangkan kalo John cerita tentang asal usul hidupnya, cerita tentang ‘belakang layar’ agama, kepada orang-orang di pasar. Udah babak belur dipukuli massa pasti dia.”

“Orang berpendidikan (bukan tingkat pendidikan tapi intelektualitas) akan mendahulukan logika daripada emosi. Karena banyak yang mereka pertaruhkan; nama baik, gelar, jabatan, persahabatan, dsb, bila mereka salah menanggapi suatu masalah berdasarkan emosi. Menurutku, secara film, pembahasannya juga nggak menyinggung, setidaknya masih dalam batas wajar. Apalagi ini konteksnya fiksi. Mungkin akan beda cerita kalo formatnya dokumenter. “

“Tapi kalo dibikin dengan format dokumenter mungkin juga filmnya gak bakal nyampe status cult kayak gini. Sebagai dokumenter, mungkin dia bukan hanya menyinggung tapi malah bisa-bisa jadi benar-benar boring. Ini terutama karena – sejalan juga dengan salah satu tema yang dibawa film – orang-orang cenderung untuk tidak langsung welcome sama ide yang berbeda dari yang telah dipercaya. Dalam hal ini adalah kebenaran. Film ini memberikan pandangan yang thoughtful dengan mengguncang reality kita. Kalo formatnya dokumenter, aku yakin orang akan menyangka ini beneran (saking powerfulnya) dan bakal dapat hate luar biasa. Tapi mungkin itu karena aku berpikir sebagai orang di jaman sekarang, jaman yang lebih baperan. Menurutku, film ini dibuat pada waktu yang tepat. Aku yakin di zaman sekarang, film ini akan susah untuk diloloskan untuk produksi. Pertama karena gak ada yang terkenal. Kedua karena bahasannya jadi terlalu sensitif di iklim sosial sekarang. Nah, bahkan dibuat di waktu yang kayaknya gak sesensitif sekarang, film ini tetap didesign dengan benar-benar memainkan emosi. Segala percakapan menarik, dengan reaksi yang mewakili walaupun karakternya ‘gak hidup’ itu sesungguhnya juga terbantu dari bagaimana film ini membungkusnya dengan konsep obrolan saat pindahan tersebut. Like, daya tarik yang bikin aku betah ngikutin film ini adalah dari cara film mengarahkan supaya penonton enggak langsung percaya atau enggak langsung gakpercaya sama omongan John. Ada build up, yang berbuah bukan saja perbincangan semakin dalam, tapi juga reaksi-reaksi terguncang para pendengar di ruangan itu yang terasa real dan mewakili”

“Film menurutku berusaha netral. Dengan enggak memaksa John memperlihatkan foto dirinya di Papua dan John nggak mau masuk laboratorium, film berusaha bilang “jangan langsung percaya aja sama John.” Tapi juga dengan membuat karakter John begitu simpatik, kita dibuat mikir juga “apa iya orang sebaik ini tukang bohong?”
Tapi aku pribadi sih percaya sama John. Aku ingin spesifik pada scene saat John bilang semua yang dia bilang itu bohong. Mereka marah karena sudah percaya sama John dan merasa dikhianati baik secara emosional maupun intelektual. Mereka menghargai dan mempercayai John yang merupakan teman baik mereka, sekalipun yang John katakan bertolak belakang dengan yang selama ini mereka pelajari dan ajarkan. Jadi, ibaratnya mereka sudah mengkhianati teman mereka (pengetahuan dan keyakinan) demi John, tau-taunya John mengkhianati mereka (dengan bilang itu semua cuma iseng).
Awalnya aku pengen bilang Edith yang paling terguncang. Tapi setelah dipikir lagi, pas John bilang itu semua cuma pura-pura, Edith malah sebenarnya lega. Menurutku Dan lah yang paling terguncang karena dia yang sedari awal paling berkepala dingin, menganggap serius dan mempercayai John.”

“Bener, itu juga menunjukkan dari perbincangan yang bersifat stoic, pada akhirnya film berhasil menyusupkan elemen personal. Karakter-karakter lain, seperti yang sudah disebut, akhirnya bisa juga kita merasa relate. Sisi personal ini terutama disematkan film kepada John dan salah satu karakter yang nanti berkaitan secara pribadi dengan dirinya. Ini jadi heart – jadi nyawa yang merayap di balik bahasan. Yang actually juga jadi pay off yang cukup menyentuh di akhir. Lebih gampang sebetulnya membuat film ini berakhir open ended, dengan misteri John tak terungkap, tapi film berani memilih dan dia membuat karakterisasi John jadi terwujud di akhir. Makanya John kita identifikasi sebagai karakter utama, meskipun bangunan atau struktur film ini gak persis sama dengan film biasanya. John menggerakkan cerita dan walau aneh, tapi seperti teman-temannya kita bisa terkoneksi juga dengannya. Film bahkan sempat membahas John sebagai parent kan. Film gak lupa menganggap dia sebagai manusia biasa yang bersosial. Dia memilih pindah-pindah itu aja udah relate”

“Sebenarnya pengecut sih. Tapi memang itu pilihan yang sulit dan pilihannya nggak banyak bagi John. Tapi dari sekian ratus istri dan anak John, masa nggak ada yang open minded dan bisa dia percayai rahasianya? Kenapa John cerita ke teman2nya, aku percaya yang dia katakan “Aku ingin mngucapkan selamat tinggal sebagai diriku yang sebenarnya, bukan sebagai diriku yang kalian kira.”.”

“Memang tampak sebagai pengecut tapi itu kevulnerablean yang manusiawi. Kita juga pasti pernah mangkir karena gak enak harus jelasin. Itulah, at least, kita tentu pernah berada di posisi seperti John, ingin mengatakan suatu fakta tapi gak benar-benar bisa membuktikan fakta tersebut. Juga di posisi sebaliknya, apa coba yang bisa kita anggap sebagai kebenaran? Apakah penting untuk membuktikan sejarah, atau bahkan ajaran agama, sebelum menganggapnya sebagai kebenaran? Ini kan jadi koneksi dramatis antara kita dengan film itu”

” I guess, semua orang pernah mengalami hal itu. Gimana ya, susah juga kalo nggak ada bukti. Mungkin bisa ya pakai sumpah, bisa pakai nama Tuhan atau orang yang kita hormati atau sayangi. Dan ya, menurutku penting mengetahui kebenaran tentang sesuatu sebelum mempercayainya. Setuju nggak, sejarah ditulis oleh pemenang dan oleh sebab itu detailnya seringkali bias?
Apalagi agama, kalo cuman warisan orang tua, ‘kesenggol’ dikit udah goyah, kan?”

“Nah, deep memang film ini. Di luar pokok-bahasan mereka, film ini menyuguhkan pilihan buat kita lewat gambaran kondisi John dan orang-orang sekitarnya. Mana yang lebih penting; menyampaikan kebenaran apa adanya meskipun sulit dipercaya, atau membuat orang percaya akan sesuatu sehingga membuat sesuatu itu jadi kebenaran yang disetujui bersama? Beres nonton, aku makan dan makananku gak kerasa karena ngunyahnya sambil mikirin pertanyaan-pertanyaan seperti itu yang bermunculan”

“Wah, ini mirip ending The Dark Knight saat Komisaris Gordon harus ‘memfitnah’ Batman. Wkwkwk. Tapi aku berprinsip “Kebenaran yang pahit tetap lebih manis dari kebohongan yang manis.””

“Berarti lebih baik – dan mungkin bisa persoalan bisa lebih simpel – kalo kita menyampaikan apa adanya saja ya, meskipun itu menantang dan gak sejalan dengan kebenaran yang diyakini orang. See, yang paling manusiawi di film ini buatku adalah dengan kepintaran berpuluh ribu tahun pun John gak lantas jadi si paling bijak. Kalo aku hidup selama itu mungkin bakal banyakan stressnya. Aku bisa habis seribu tahun mikirin hidup abadi itu kutukan atau anugrah hahaha”

“Seperti kata Linda, “Bila dengan tubuh sehat, itu sebuah berkah. Kesempatan untuk terus belajar. “

“Kalimat yang bijak sekali. Jadi, ngasih skor berapa nih untuk The Man from Earth?”

“Sebelum ngasih skor, aku mau ngasih pro dan kontranya dulu. Biar ada alasannya gitu kalo dinilai orang lain skornya ketinggian atau terlalu rendah. Pro:  -Eksposisi dengan istilah-istilah ilmiah atau event-event sejarah mudah dimengerti. Film paham mana istilah yang penonton sudah tahu, mana yang perlu sedikit penjelasan, dan mana yang perlu lebih detail. – Tensi dijaga supaya penonton nggak bosen tapi emosinya nggak dibiarkan meledak terlalu awal untuk menghindari kesan anti klimaks. – Dengan tema ‘pinggir jurang’, aku sebagai penonton nggak merasa jadi bodoh atau merasa dibodohi atau merasa apa yang aku yakini jadi ternistakan. Malah aku merasa diajak untuk melihat ‘di luar kotak’. “Ternyata segala sesuatu punya lebih dari satu sudut pandang.” Kontra: -Pengkarakterannya terasa template dan terasa ada di sana hanya untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan penonton dan menjawabnya. -Aku akan ngasih nilai lebih kalo Nabi Adam dan banjirnya Nabi Nuh dibahas, meski itu akan membuat pembahasan tentang agama jadi terlalu mendominasi. Pengen tau aja sudut pandang tentang ‘manusia perama’ dari orang yang sudah hidup ribuan tahun sebelumnya.  Juga tentang banjir besar. Apakah John ikut naik bahtera atau cuma pernah dengar berita tentang banjir di tempat lain atau bahkan nggak tau sama sekali. Mempertimbangkan kelebihan dan kekurangan yang dimiliki film, aku kasih skor 7.5 Aku nggak heran kalo skor kita beda dan penilaian kita malah bertolak belakang. Aku cuma seorang penikmat film yang ingin berbagi. “Ini lo, ada film yang unik dan beda, seru deh.”

“Penilaian yang detil! Iya ya, seru juga kalo John cerita soal nabi-nabian, gimana experience dia pas banjir bandang. Wah, kalo dia beneran ada pasti udah diculik, disekap, ditanya-tanyain terus tentang banyak hal hahaha… Skor kita agaknya gak beda. Pertama aku menemukan film ini cukup kaku dan aneh. Kemudian aku tersedot sama diskusi dan cerita mereka. Lalu tersadar bahwa aku ngikutin itu semua karena penceritaan dramatis yang merayap di balik bahasan dalem tersebut. Ini storytelling unik yang pada akhirnya worked out sebagai tayangan yang cukup emosional dan dramatis. Istilahnya tu, gak perlu jadi nerd atau geek dulu buat nikmati film ini. Yang jelas, harus open minded aja. Seperti John yang menantang realita dan keilmuan teman-temannya, film ini juga menantang realita dan sedikit ilmuku tentang apa itu film. Jadi, aku ngasihnya 7.5 dari 10 bintang emas juga!!”

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Terima kasih buat mas Fajar udah merekomendasi dan berpartisipasi untuk mengulas film di sini. Film ini benar-benar pengalaman from earth yang terasa out of the world. Terima kasih udah meluangkan waktu untuk menjawab pertanyaan seabreg. 

 

Buat para Pembaca yang punya film yang ingin dibicarakan, yang ingin direview bareng – entah itu film terfavoritnya atau malah film yang paling tak disenangi – silahkan sampaikan saja di komen. Usulan film yang masuk nanti akan aku hubungi untuk segmen Readers’ NeatPick selanjutnyaa~

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

 

JURASSIC WORLD DOMINION Review

 

“We are doomed to coexist”

 

 

Dinosaurus adalah soal ukuran. Dan film terakhir dari trilogi Jurassic World ini percaya bahwa bigger is better.  Maka mereka membuat durasi yang superpanjang, dengan dinosaurus besar-besar yang jumlahnya banyak, dengan karakter manusia yang lebih banyak pula. Bahkan judulnya. Dominion, yang berarti kekuasaan besar. Akan tetapi, ada kata ‘minion’ yang terkandung di dalam kata tersebut. You know, minion, berarti antek, atau bisa juga makhluk-makhluk kecil annoying di animasi anak-anak itu. Nah sayangnya, walaupun digadang-gadangkan sedemikian rupa – yang membuat film ini tak ayal memang cocok sebagai hiburan mainstream –  justru persis seperti minion itulah film ini terasa. Sutradara Colin Trevorrow yang kembali menangani film ini (setelah absen di film kedua, Jurassic World Fallen Kingdom) tidak banyak ngasih apa-apa kepada karakternya, selain untuk nostalgia. Ceritanya pun tampak hanya berpengaruh sedikit terhadap keseluruhan premis besar soal manusia dan hewan purba yang mereka hidupkan kembali. Kayak berputar-putar di tempat saja.

Padahal film keduanya berakhir dengan hook yang bikin penasaran. Dengan taman hiburan dan suaka yang terus saja gagal dan hancur, kadal-kadal raksasa kini hidup berdampingan dengan manusia. Sekuen eksposisi pada pembuka film ketiga ini memang memperlihatkan montase kehidupan manusia dan dinosaurus, beserta problem yang hadir. Hanya saja ini adalah problem yang sudah ada, yang sudah diangkat dari film sebelumnya – bahkan sejak Ian Malcolm dan Alan Grant dan Ellie Sattler memprotes yang dilakukan oleh John Hammond. Jadi naturally kupikir Jurassic World terakhir ini akan benar-benar memberikan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut. Bisakah manusia hidup bersama dinosaurus. Haruskah. Kupikir, jawaban tersebut akan diberikan film ini dengan benar-benar menelisik dan mengeksplorasi segala permasalahan ketika manusia dan dinosaurus berbagi planet kecil yang sama. Bagaimana dengan hewan-hewan. How will everything work. Sekelebat dari pembahasan dinosaurus di dunia manusia itu dihadirkan oleh film ini. Ya sekelebat.

Ini adalah masalah pertamaku buat arahan Trevorrow, sejak Jurassic World pertama. Kameranya seperti tidak mengerti apa sih yang bikin wow dari dinosaurus. Trevorrow di film pertama, dan di film ketiga yang kembali ia tangani ini, masih sibuk meniru Spielberg tanpa menyadari kenapa Jurassic Park pertama bisa demikian mencengangkan. Dia cuma tahu satu hal. Dinosaurus itu besar. Dan cuma itulah yang ia lakukan setiap kali dinosaurus dimunculkan. Makhluk besar yang memenuhi layar. Brachiosaurus yang selebar itu ditampilkannya begitu saja, dia tak peduli kepala si dinosaurus sudah hampir kepotong frame. Bandingkan dengan gimana Steven Spielberg memperlihatkan dinosaurus berleher panjang itu pertama kali. Bukan hanya besarnya yang diinformasikan. Melainkan betapa majesticnya kehadiran makhluk itu bagi manusia yang melihat. Elemen inilah yang absen dari film dinosaurus karya Trevorrow. Saat Spielberg akan menggunakan musik, gerak kamera, serta perspektif dari reaksi manusia untuk mempertegas skala alias perbandingan yang ingin diceritakan, Trevorrow hanya menampilkan gitu aja. Tidak ada gaya khas ataupun sudut pandang yang diperkuat. Jurassic World Kedua bahkan menampilkan dinosaurus dengan lebih baik, karena paling tidak film tersebut berhasil menangkap esensi saat memproyeksikan makhluk itu ke dalam elemen thriller. Begitu banyak adegan dengan dinosaurus ditampilkan pada film ketiga ini, tapi semuanya tampak mentah dan enggak majestic. Sedari opening, adegan paling awal banget aja, aku udah mengerang. Pak sutradara kita gak berubah. Adegan kapal menangkap ikan di laut, diserang dinosaurus air supergede. Kandang penangkap ikan diturunkan ke air, terus diangkat – sudah berisi tangkapan. Dan kemudian “Roaaarrr!” dinosaurus muncul. Literally begitu aja film menampilkannya. Gak ada build up dan segala macam. Di tengah nanti ada adegan karakter nyelam di kubangan berlumpur, dengan dinosaurus pemangsa berdiri tepat di atasnya. Bagian mengendus airnya sih dapet seram dan skalanya, tapi sebagian besar waktu termasuk pas pembuka adegannya, kamera hanya merekam dengan datar. Final battle nantinya melibatkan tiga predator puncak dengan karakter manusia sentral berlarian di tanah sekitar mereka, tapi pertempuran ini sangat biasa. Gelap, cepat, dan gak grande kayak pertempuran di film-film sebelumnya. Gak ada trik teknis apa-apa selain CGI dan animatronik.

T-Rex lawan Giganotosaurus lawan…. Edwardscissorshandsaurus?

 

Kehidupan dinosaurus di dunia manusia pun seperti itu. Disyut dengan normal-normal aja. Dinosaurus dalam film ini diposisikan hampir seperti saat kita melihat makhluk-makhluk planet yang bentuknya lucu-lucu di background adegan film Star Wars. Udah kayak sehari-hari. Mungkin memang karena itu pointnya. Mungkin karena sekarang ceritanya dunia sudah empat tahun ditempati dinosaurus, maka keberadaan mereka jadi biasa aja. Jadi aku mencoba maklum dan mulai memusatkan perhatian kepada karakter manusia. Sebab jika dinosaurus di cerita ini mulai tidak spesial, maka tentulah keistimewaan itu terletak pada pihak satunya lagi – pihak yang coexist bersama dinosaurus di dalam narasi film ini – manusia. ZONK! Turns out, karakter manusia dalam film ini nyaris gak punya plot dan digarap sama datarnya.

Basically film ini punya dua cerita. Pertama cerita tentang Owen dan Claire – pasangan protagonis trilogi ini – yang kini tinggal bersama di pegunungan Sierra Nevada, mencoba untuk melindungi si gadis cloningan, Maisie. Gadis yang sudah mulai remaja itu tentu gak suka ‘dikandangin’, dan dia yang juga tengah krisis identitas, susah menerima harus hidup bersama ‘papa – mama’ bohongannya. Also, hutan belakang rumah mereka, Blue si ‘Petlociraptor’ ternyata bisa punya anak, by herself. Dan kini ada pihak yang mengintai dari balik pepohonan. Mencoba menculik Maisie, dan anak si Raptor. Kedua, cerita  yang dikhususkan untuk menggelitik saraf nostalgia kita. Di belahan dunia lain ada wabah belalang raksasa, dan Ellie beserta Dr. Grant berniat untuk mengusut sumber wabah tersebut. Dua cerita ini akan berujung di suaka dinosaurus yang baru. Dan oleh kebetulan yang bikin plot sinetron dan ftv lokal kita gigit jari, karakter-karakter dari dua periode trilogi Jurassic bakal bertemu di tempat yang sama, dan bekerja sama untuk selamat dari tempat tersebut.

Dan oh yea, soal cloning nanti akan discrap oleh film ini, dan kita akan melihat origin Maisie yang bahkan lebih “meh”lagi.

Alih-alih plot yang grounded, film bikin kita boring dan sumpek oleh mumbo jumbo politik sains dan smuggling dan … oh my god, film ini ternyata menempatkan dirinya jadi film aksi ala espionage atau mata-mata. But I guess I can not complain much about it, karena justru porsi Owen dan Claire menguntit penculik dan berusaha menyusup ke dalam tempat ilmuwan segala macem itulah yang membawa kita ke satu-satunya momen Jurassic World Dominion yang keren dan bikin melek. Aksi kejar-kejaran di sepanjang kota sama velociraptor yang dijadikan senjata pembunuh oleh geng penjahat. Seru aja akhirnya kita melihat kontras yang dijanjikan oleh film. Melihat dinosaurus di habitat manusia. Bikin rusuh dan segala macem. Dan bagian ini tu baru terjadi sekitar satu jam lebih into the movie. Setelah selama itu gak dikasih asupan apa-apa, aksi gede seperti demikian memang jadi penghibur yang ampuh. Balik ke karakter, mereka semua memang gak dikasih banyak perubahan apa-apa. Relasi Owen dan Claire gak dikasih eksplorasi yang baru. Mereka pretty much orang yang sama dengan yang kita lihat  di akhir film kedua. Yang berubah dan punya plot sedikit memang cuma Maisie, tapi karakter yang diperankan Isabella Sermon ini pun tidak ditempatkan di kursi karakter utama. Bicara tentang itu, memang benar-benar kabur siapa yang dijadikan sudut pandang utama di sini. Peran Chris Pratt di sini lebih kecil, motivasi dia lucunya juga menyangkut soal memenuhi janji kepada raptor. Bryce Dallas Howard yang karakternya di sini merasa sebagai ibu, dan diberikan banyak momen aksi juga gak benar-benar punya perkembangan karena karakternya sedari awal sudah right the whole time.

And also, kenapa kelas Paleontologiku dulu gak pernah sekeren di film ini?

 

 

Yang paling kasian memang para karakter legend. Laura Dern, Sam Neill, Jeff Goldblum menyuntikkan sensasi familiar yang juga seringkali lucu, tapi mereka ada di sana gak lebih sebagai penjual nostalgia. Kayak kalo WWE tau-tau munculin superstar dari tahun 90an – gak disuruh gulat, gak disuruh aksi apa-apa, selain ngucapin catchphrase doang – untuk ngeboost rating acara. Tapi bahkan WWE lebih mending, karena sering juga superstar jadul tersebut dijadiin korban serangan superstar muda yang hendak dipush. Jurassic World Dominion bahkan gak punya nyali untuk membunuh salah satu dari mereka untuk menambah stake. Mereka cuma dihadirkan, sebagai karakter yang persis seperti yang diingat oleh para penggemar Jurassic Park. Selain tampang yang sekarang udah menua, mereka masih tampak sebagai karakter yang sama. Nah, inilah masalahnya. Karakter mereka gak ditreat sebagaimana karakter yang layak oleh film ini. Masa iya, udah berapa puluh tahun tapi mereka masih sama. Selain cerai, dan kini sudah cukup sukses dikenal banyak orang, development tiga karakter ini sebagai manusia yang menghidupi dunia cerita enggak ada. Makanya karakter mereka terasa datar.  Mereka gak punya plot, gak punya permasalahan baru. Film cuma butuh karakter ini ada supaya kita bisa nostalgia, maka mereka tidak ngasih apa-apa untuk pembangunan karakter ini. Interaksi mereka dengan karakter baru – yang tentu saja dibuat dengan mereka sebagai referensi – memang berhasil ngasih kekehan di sana sini. Tapi in the end, kita datang ke film untuk melihat cerita, bukan haha hehe reuni atau nostalgia semata.

Manusia disebut makhluk sosial, tapi justru paling banyak masalah dalam urusan hidup bersosial. Like, jangankan dengan dinosaurus seperti yang diangkat film ini, dengan hewan aja manusia bisa seenaknya mendominasi. Bisa seenaknya main gusur. Malahan, jangankan dengan hewan, dengan sesama spesies aja, kita manusia banyak menciptakan kotak-kotak supaya bisa saling bersitegang untuk perbedaan-perbedaan sepele. Maka, jika ada satu hal yang berhasil diperlihatkan oleh film ini maka itu adalah memang manusialah yang harus belajar untuk coexist bersama makhluk lain.  

 

 

Dengan karakter yang nyaris punya plot, dinosaurus-dinosaurus yang ditampilkan datar, dan bahasan yang muter di tempat, maka film ini sukses jadi sajian panjang paling membosankan yang bisa kita saksikan di bioskop tahun 2022. Eksistensi yang dipedulikan oleh film ini ternyata bukan antara manusia dengan dinosaurus, melainkan antara karakter baru dengan karakter lama. Film hanya peduli pada nostalgia dan menjadi besar, tanpa benar-benar mendalami dan mengeksplorasi hal-hal tersebut. Setelah nonton film ini aku jadi merasa gak rela kalo ini adalah akhir dari franchise Jurassic. Karena bagaimana pun juga, ini semua berawal dari Jurassic Park yang udah menginspirasi banyak dan masterpiece, maka sudah seharusnya seluruh karakter dan dunianya mendapat penutup yang jauh lebih layak daripada yang dilakukan oleh film ini.
The Palace of Wisdom gives 3 out of 10 gold stars for JURASSIC WORLD DOMINION

 

 

 

That’s all we have for now.

Ngomong-ngomong soal cerita yang berawal dari penangkaran dinosaurus, bagaimana pendapat kalian tentang kebun binatang secara moral ataupun secara tanggung jawab manusia yang harus hidup coexist dengan hewan?

Share  with us in the comments

 

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

MORBIUS Review

“Health is a human right, not a privilege”

 

 

Makhluk menyeramkan dijadikan simbol pahlawan memang agak-agak mengherankan, tapi plausible untuk dilakukan. Buktinya? Batman yang berlambang kelelawar dengan modus operandi mengincar rasa takut di malam hari sukses juga jadi salah satu superhero paling ikonik di seluruh dunia. Counter Marvel untuk karakter DC Comic tersebut adalah Morbius. Gak tanggung-tanggung, kekuatan Morbius berhubungan bukan dengan kelelawar biasa, melainkan kelelawar penghisap darah, yang literally membuatnya menjadi vampir. While the origin story dari Morbius sebenarnya lebih cocok sebagai cerita penjahat, sutradara Daniel Espinosa justru diembankan untuk membuat film ini jadi cerita pahlawan. Orang yang menghisap darah manusia demi kemampuan untuk berbuat kebaikan jelas jadi konsep yang menarik, genrenya filmnya otomatis akan menyerempet ke horor. Nyatanya, film Morbius ini memang menghisap, tapi lebih seperti Dementor ketimbang vampir. Film ini menghisap excitement kita saking boringnya. 

Espinosa kesusahan untuk mengimbangi tuntutan naskah membuat Morbius menjadi pahlawan. Set up karakternya tampak sebagai bagian paling mudah yang berhasil Espinosa lakukan. Morbius adalah seorang dokter yang mendedikasikan dirinya untuk mencari kesembuhan dari penyakit-penyakit, karena dirinya sendiri mengidap penyakit darah yang langka. Penyakit yang mengharuskan dirinya pakai tongkat untuk berjalan. Penyakit yang membuat dirinya – dan sahabatnya, Milo – sedari kecil dibully. Penyakit yang gak ada obatnya. See, Michael Morbius bisa banget dapat simpati. Dia dokter pintar yang ramah – ada adegan dia dekat dengan pasien anak-anak, yang mau cari perfect cure untuk mengobati bukan saja dirinya dan sahabat, tapi juga seluruh umat manusia. Namun ketika elemen yang lebih gelap dari cerita ini tiba, Espinosa kehilangan segala keseimbangan. Michael menemukan cara menyatukan DNA manusia dengan kelelawar, dia mencoba serum ciptaannya kepada dirinya sendiri. Sekarang dia berubah menjadi vampir superkuat yang dahaganya akan darah manusia nyaris tak-terkendali. Di titik yang mulai seru tersebut (bayangkan konflik luar-dalam, konflik moral, konflik dengan sahabat yang menerpa Michael), film ini justru gagap dalam eksplorasi. Ini cerita orang yang mau jadi hero tapi harus relakan dirinya sebagai anti-hero, yang tidak tampil seunik itu.

morbiusl-intro-1646070476
This film do sucks!

 

Plot point naskah Morbius memang terasa seperti cerita villain, atau setidaknya cerita anti-hero. Memang sih, ada usaha membuat Morbius jadi pahlawan, cerita tidak melulu membahas konflik personal. Ada bagian dia menumpas kejahatan publik, seperti persoalan sindikat uang palsu. Atau lihat ketika film membuat korban-korban pertama yang dimangsa oleh Morbius adalah security yang bukan orang baek-baek. Tapi in terms of development, cerita Morbius mengambil poin-poin cerita orang yang berdegradasi. I mean, blueprintnya mirip cerita The Fly, malah. Ilmuwan yang mencoba eksperimen untuk kebaikan yang lebih besar, tapi malah mengubah hidupnya menjadi less and less human. Saga seseorang yang menyadari ambisi pribadi pada akhirnya mendatangkan petaka, bahwa dia harus meluruskan niatnya. Kalo gak mau jauh-jauh, kita bisa bandingkan Morbius yang asalnya ada karakter dari dunia cerita Spider-Man ini mirip ama Lizardman. Itu loh, musuh Spider-Man yang tadinya dokter yang bereksperimen dengan cicak demi mengobati lengannya, lalu malah berubah menjadi manusia kadal. Karakter yang telah muncul di film The Amazing Spider-Man (2012), film Spider-Man yang dibuat oleh Sony, seperti Morbius ini.

So yea, ultimately aku merasa film Morbius terjebak dalam jaring-jaring cinematic universe buatan Sony. Kreatifnya terhambat karena apparently Sony hanya tahu satu cara membuat cerita tentang orang yang menjadi monster, dan hanya tahu satu cara untuk membuat cerita tentang monster yang jadi protagonis atau anti-hero utama. Sehingga jadilah Michael Morbius sebagai karakter template. Originnya standar cerita villain. Lalu untuk membuatnya sebagai superhero, film simply mempaste-kan elemen-elemen Venom (also a Sony universe). Ya, pergulatan inner Michael dengan kekuatan vampir yang membuatnya jadi monster pemangsa manusia dilakukan dengan dangkal dan sederhana, sehingga nyaris gak banyak berbeda dengan Eddie Brock yang bergulat dengan Venom yang sesekali sosoknya muncul ke ‘permukaan’ tubuh Brock. Dalam film Morbius, wajah Michael akan kerap menjadi seram ala vampir lengkap dengan mata merah dan taring-taring tajam untuk menandakan dia kesusahan menahan dahaga atau kekuatan vampirnya. Film bahkan ngakuin persamaan tersebut dengan membuat Michael menyebut “Aku Venom” kepada seorang penjahat yang ketakutan. Studio mungkin menyangka sengaja ngakuin kemiripan dengan menjadikannya candaan itu bakal membuat film ini terdengar pintar. It is not. Malah jadi kayak kreasi yang malas.

Bedanya dengan Venom cuma di Morbius gak ada banter dialog yang lucu (yang bikin Venom menghibur memang cuma interaksi antara Eddie dan simbiote di dalam tubuhnya) – Michael gak berdialog dengan darah vampirnya – dan di Morbius efek CGI lebih parah. Sosok wajah versi vampir para karakter terlihat murahan. Malah lebih kayak vampir low budget, yang lebih works out sebagai film komedi yang sengaja bikin CGI kasar. Aku gak ngerti kenapa film ini enggak menggunakan efek prostetik saja untuk menghidupkan sosok vampir. Padahal mengingat film ini berbau horor, efek prostetik yang praktikal jelas jadi pilihan yang lebih tepat dalam menghidupkan creature-nya. Lihat The Fly (terutama yang versi Cronenberg). Lihat Malignant yang berhasil jadi horor campy dengan paduan efek praktikal dan digital. Morbius adalah cerita seorang manusia bertransformasi menjadi vampir buas, tapi semua transformasi crucial bagi karakter terjadi off-screen. Film ini melewatkan banyak momen-momen body horror yang harusnya menguatkan karakter yang menghidupi cerita mereka.

Adegan aksi tentu saja jadi ikut kena getahnya. Pertarungan-pertarungan di Morbius sama sekali tidak bisa untuk diikuti lantaran film bergantung terlalu banyak kepada CGI. Kita gak bisa melihat apa yang terjadi dengan jelas, semua cepat – karakter melayang ke sana ke mari, mencakar-cakar liar dengan efek bayangan afterimage atau aura di sekeliling mereka. Pada momen-momen ‘krusial’ sebelum serangan mendarat, film menggunakan slow motion. Yang tetap gak ngefek apa-apa selain membuat dua vampir yang bertarung tampak cheesy dan konyol not in a good way.

morbius-2-1024x576
At least Twilight punya adegan main baseball dengan lagu Muse, Morbius punya apa?

 

Jared Leto gak banyak ngapa-ngapain di sini selain pasang tampang kayak orang sakit, dan menggeram-geram saat jadi vampir. Momen yang mengharuskan dia untuk menggali ke dalam karakternya gak pernah bertahan lama. Film terus saja kembali entah itu ke eksposisi mumbo jumbo sains, atau ke elemen-elemen template, atau ke porsi laga yang completely unwatchable. Leto memainkan Morbius yang berawal dari dokter yang pede bakal bisa menemukan obat/solusi ke dilema moral dari penemuannya. Dan stop sampai di sana. Gak kuat lagi terasa perubahan atau perkembangan karakternya. Bagian ketika dia nanti jadi menerima kenyataan dan mencoba menggunakan kutukannya menjadi kekuatan jadi samar dan lemah karena tertutupi oleh film yang malah mencuatkan motivasinya untuk menyetop sahabatnya saja. Setelah midpoint karakter yang diperankan Leto jadi kalah mencuat. Motivasi penjahat film ini justru lebih kuat dan lebih clear.

Gagasan cerita sebenarnya cukup menarik. Dan sebenarnya cukup relevan ditonton di masa-masa kehidupan kita masih dibayangi oleh Covid. Karena lewat konflik dua karakter sentralnya, film ini mengangat diskusi soal kesehatan apakah sebuah hak atau sebuah privilege sebagian orang saja. Jawaban yang disuguhkan film ini dari akhiran perjuangan Morbius cukup dark, dan it could be true reflecting our society. 

 

Relasi yang jadi inti cerita adalah antara Michael dengan sahabat masa kecil senasib sepenanggungannya di panti, Milo (Matt Smith pun berusaha memanfaatkan setiap screen timenya untuk menghasilkan karakter yang menarik). Mereka harus terpisah karena Michael dikirim ke sekolah khusus untuk mengembangkan bakat dan kepintarannya, sementara Milo yang terus menunggu janji Michael untuk kembali (dan membawa obat kesembuhan mereka) perlahan menjadi bitter dengan dunia yang meremehkan mereka. Saat Michael ketakutan dengan efek obatnya dan berusaha menghilangkan itu, Milo justru melihat ini sebagai kesembuhan yang luar biasa. Keduanya jadi berantem karena beda pandangan. Hubungan inilah yang mestinya terus digali, dengan seksama dengan detil. Rajut persahabatan dan konflik mereka sehingga benar-benar berarti dan jadi stake bagi karakter, sehingga kita bisa mempedulikan mereka lebih dari sekadar “Oh si Milo lebih kuat karena mau menyantap darah asli, bukan sintesis kayak Morbius”. Ya, film ini hanya memperlihatkan ala kadarnya. Melompat periode waktu seenaknya. Persahabatan dan konflik mereka gak ada ritmenya. Pertemuan pertama Leto dan Smith yang kita lihat ternyata udah bukan dalam konteks mereka akhirnya bertemu setelah sekian lama. Sense mereka itu sahabat dekat gak kerasa karena film memperlakukan persahabatan mereka sama kayak Michael ketemu karakter-karakter lain.

Film malah membagi fokusnya dengan soal romance si Michael dengan karakter dokter perempuan. Yang juga sama-sama kurang tergalinya. Bedanya, soal ini dibiarkan di permukaan karena film ingin menjadikannya hook buat sekuel. Ya, kembali ke permasalahan utama. Film Morbius terjebak di jaring-jaring cinematic universe. Alih-alih bikin cerita yang benar-benar mendarat dan selesai – apa yang terjadi dengan pacarnya, bagaimana status buron Michael setelah final battle, apa arti semuanya bagi Michael – studio lebih memilih untuk menyibukkan diri dengan punchline berupa teaser untuk film berikutnya. Kita juga melihat karakter dari Disney-Marvel muncul dalam sebuah situasi yang membingungkan. Pada akhirnya, itulah yang tampak lebih penting bagi film ini. Bagaimana membangun universe superhero versi sendiri. Karakter, relasi, dan dilema moral mereka tak lebih seperti sekelabat kepak kelelawat saja.

 

 

 

Makanya film ini terasa lifeless. Padahal kalo digali, dia bisa jadi pahlawan baru yang benar-benar menarik dengan genre horor, aksi supernatural, dan dilema karakter yang grounded. Nyatanya film mengabaikan semua kreasi untuk craft experience yang biasa-biasa aja. Malah cenderung membosankan. Terlalu bergantung ke CGI yang dibuat ala kadar, karakter yang template antihero sederhana (hanya karena mereka bingung membuat superhero ke dalam cerita villain), dan plot origin yang basi. Jika ini adalah jawaban terbaik yang bisa disuguhkan Marvel untuk DC dengan Batmannya, well, Marvel perlu memikirkan ulang lagi rencana dan cara mereka menghandle karakter-karakter supernya. 
The Palace of Wisdom gives 3 out of 10 gold stars for MORBIUS.

 

 

 

That’s all we have for now.

Apakah kesehatan itu hak atau privilege?

Share  with us in the comments 

 

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 
 

 

THE ADAM PROJECT Review

“Cherish every moment with those you love at every stage of your journey”

 

Hidup memang penuh penyesalan. Kalo tidak, kalimat pertanyaan “Apa yang bakal kalian ucapkan buat kalian di masa lalu?” tidak akan pernah terpikirkan. Kita semua pengen ketemu sama kita waktu masih muda, supaya bisa ngasih nasihat. Supaya mereka gak memilih jalan yang sama, bikin kesalahan yang sama. Hidup memang penuh penyesalan, kalo tidak, time travel tidak akan pernah kita impikan. Karena memperbaiki hidup seperti demikianlah yang jadi poin utama dari angan-angan bisa pergi ke masa lalu. Karya terbaru Shawn Levy literally mengambil konsep time travel dan pertanyaan tersebut sebagai tema cerita, dan Levy menggodoknya menjadi sajian laga sci-fi yang bukan saja seru, tapi juga grounded dan terasa manusiawi. Tuk memastikan dirinya gak bakal pengen balik ke masa lalu memperbaiki film ini, Levy memaksimalkan kadar hiburan film ini. Ia menyuntikkan dosis komedi dalam jumlah ‘mematikan’, dengan meng-cast Ryan Reynolds sebagai karakter utama. Membuat The Adam Project jadi semacam Reynolds show yang sudah amat familiar bagi kita. To the point jadi amat terlalu familiar, it could become stale.

adam-Sci-Fi-Dibintangi-Ryan-Reynolds
tbh, I fell like, aku yang masih kecil akan membunuhku dengan brutal begitu melihat jadi apa dirinya nanti.

 

Tentu saja, pergi ke masa lalu akan membawa masalah tersendiri. Cerita-cerita tentang time travel akan berkutat dengan hal-hal trivial yang menuntut kelogisan semisal bagaimana bisa terjadi, lalu soal efek kupu-kupu dari mengubah masa lalu, ataupun soal berapa versi diri kita yang ada – which leads to a multiverse. Makanay cerita-cerita time travel cenderung jadi ribet sendiri. The Adam Project gak mau pusing-pusing sama hal tersebut. Dengan singkat dan padat film ini menyebut time-travel exist sembari menepis kemungkinan multiverse (semua orang nantinya akan jadi amnesia atau semacamnya). Soal teknologi kefiksiilmiahannya memang tetap ada, kita masih bisa geek out dengan alat-alat flashy dan aksi heboh. Tapi kita tidak diminta untuk memikirkannya lebih lanjut. Film ingin kita langsung fokus ke permasalahan yang membayangi para karakter. Fokus ke gagasan yang dibawa. Karena itulah, on the plus side, The Adam Project gampang terasa grounded.

Peran Reynolds di sini bernama Adam Reed. Di tahun 2050, dia seorang pilot pesawat tempur yang oleh bosnya dikirim untuk misi time travel. Tapi Adam menemukan ada kejanggalan. Jadi dia bermaksud bergerak sendiri, tapi ketahuan dan diserang. Adam yang terluka terdampar di tahun 2022. Di situlah dia bertemu dengan dirinya yang masih dua-belas tahun. Kedua Adam, dengan segala kemiripan dan perbedaan mereka, bekerja sama menyelamatkan masa depan. Untuk itu, mereka harus ke masa lalu, meminta bantuan kepada bapak yang selama ini jadi sumber amarah Adam.

See, di balik hingar bingar dan mumbo jumbo sci-fi, film ini bicara tentang hubungan ayah dan anak lewat pergulatan personal yang digambarkan oleh interaksi antara Adam Gede dengan Adam Kecil. Keduanya kehilangan ayah, dan sedang dalam fase berbeda. Adam Kecil, di tahun 2022, masih sedih atas kematian bapaknya. Tapi Adam Gede, yang udah sekitar 40 tahun umurnya, tentu sudah outgrow that phase. Kesedihan Adam telah berubah menjadi kemarahan dan ketidaksukaan. Dia resent ayahnya gak pernah ada. Ayah yang bahkan setelah pergi pun, meninggalkan pe-er pelik untuknya. Adam Project, yakni proyek time travel yang jadi konflik-luar film ini, memang diciptakan oleh sang ayah. Interaksi Adam Gede dengan Adam Kecil boleh jadi lucu dengan banyak saling ejek dan remarks kocak, tapi sesungguhnya itu adalah momen-momen Adam membuka perspektif baru. Dua karakter ini saling belajar satu sama lain, yang tentu saja berarti Adam belajar lebih banyak melalui konfrontasi dengan dirinya sendiri, yang selama ini telah ia kubur oleh kemarahan. Film bicara soal kemarahan sebagai reaksi dari grief dan kesedihan itu lebih lanjut lagi dengan juga menilik sisi Adam Kecil, yang justru marahnya kepada sang ibu sebagai bentuk dari pelampiasan kesedihan.

Tema cinta dan kehilangan memang bergulir kuat, gak sekadar tempelan. Realisasi perlahan yang disadari Adam mengenai kemarahan dan mengantagoniskan orang sebenarnya adalah bentuk dari menutupi perasaan sedih atas kehilangan (marah memanglah emosi yang sekompleks itu), turut membawa dirinya kepada pembelajaran satu lagi. Yakni soal menghargai waktu yang ada. Menghargai orang-orang yang bersama dan mencintai kita di dalam setiap tahapan waktu yang kita lalui. Karena yah, kita tidak pernah tahu seberapa cepat waktu berjalan.

 

Warna ringan film ini sebagian besar datang dari penampilan akting. Reynolds seperti biasa memainkan seorang bermulut tajam; ini udah jadi trademarknya sekarang. Hiburan film memang datang dari dialog-dialog Reynolds dengan karakter lain. Terutama dengan Mark Ruffalo yang jadi ayahnya – Ruffalo sendiri sudah terbiasa dan jago juga dalam timing komedi gaya celetukan yang juga dilakukan oleh film-film Marvel. Komedi semacam ini diseimbangkan oleh akting Jennifer Garner sebagai ibu. Weakest karakter adalah perannya Zoe Saldana yang baru akan benar-benar ngefek di akhi. Serta pemeran antagonis Catherine Keener, yang karakterisasinya memang standar sekali. Tidak ada layer dalam motivasi penjahat-ala-kartun-minggu-pagi miliknya.

The elephant in the room adalah aktor cilik Walker Scobell yang luar biasa mirip Reynolds, memainkan Adam Kecil. Reaksinya ketemu dengan diri yang sudah dewasa, berotot, punya alat-alat canggih, juga kocak sekali. Persis kayak yang diharapkan kalo ada anak kecil yang melihat dirinya udah gede, rasa penarasan dan excitement-nya dapet. Tapinya lagi, Scobell memang hanya perlu menirukan Reynolds karena di sini si Reynolds sendiri memang tidak memainkan karakter. Reynolds yang seperti memainkan dirinya sendiri mempermudah Scobell. Gak perlu kayak Helena Bonham-Carter yang berakting jadi Emma Watson berakting jadi Hermione yang akting jadi Bellatrix di Harry Potter. Inilah kenapa aku gak benar-benar terkesan sama Adam Kecil. Aku gak bilang mudah dan semua orang bisa niruin Reynolds, tapi hanya gak ada lapisan aja. Dia niruinnya sama persis, ya mannerismnya, ya mimiknya, ya pace nyamber obrolannya. Mestinya Reynolds di sini bisa memberikan karakter yang ia perankan lebih sebagai karakter lagi, bukan sebagai dirinya.

ADAMb784gzy_lGR2CY_ZJOQdrvGjyvn-obZGA
Bayangkan jadi penonton live Hulk dan Deadpool adu mulut.

 

Jadi setidaknya ada dua kemudahan yang diambil film ini. Soal karakter Adam yang basically cuma Ryan Reynolds. Dan soal time travelnya tadi. Gak ribet dalam melandaskan teori dan logika-film. But wait, there’s more conveniences alias kemudahan. Adegan-adegan aksinya – yang btw melibatkan orang-orang yang bisa tak kelihatan – tidak pernah terasa menggebu. Heboh sih iya, tapi gak ada intensitas. Penjahatnya tetap mudah dikalahkan. Sekuen berantemnya pun gak wow banget, banyak elemen yang udah pernah kita lihat (termasuk senjata yang mirip Lightsaber, eventho film berusaha menyetir ini sebagai komedi dalam cerita). Selain itu, film memang banyak memasukkan referensi kisah time travel dan sci-fi lain. Sehingga semua itu jadi datar aja, plus juga karena kita gak benar-benar melihat stake. Tahun 2050 diserahkan kepada imajinasi kita, which is good, hanya saja keadaan di tahun itu juga dijadikan informasi pembanding. Adam ingin mencegah 2050 hancur, dan katanya tahun itu ‘bad’. Dengan demikian, dunia tahun 2050 itu sekarang jadi stake, dan kita jadi perlu melihat seperti apa dunia di masa depan itu supaya kita bisa peduli dunia yang sekarang gak jadi seperti itu. Film ngambil kemudahan dengan gak memperlihatkan, yang berakhir gak gampang bagi kita untuk peduli sama petualangan mereka. Kemudahan tersebut lantas jadi kelemahan.

Dan bicara soal kelemahan, ada satu logika yang aneh sekali dalam sains cerita. Okelah, mereka ngeset dan bikin logis time travel dengan cara simpel mereka sendiri. Yang kubicarakan ini adalah sains soal kenapa Adam Gede butuh Adam Kecil untuk bertualang. Diceritakan di sini adalah karena Adam Gede tertembak, dia terluka, sehingga pesawat mutakhirnya gak lagi mengenali DNA tubuhnya. Maka dia butuh Adam Kecil yang gak terluka. Dia butuh DNA yang ‘sehat’. Question is, bagaimana luka tembak dapat mengubah DNA seseorang? Aku bukan ahli DNA tapi kalo ada yang kupelajari tentangnya maka itu adalah DNA makhluk akan sama; Luka atau bahkan cacat (yang bukan dari lahir) enggak akan mengubah DNA. Kayak, kalo Animorphs menyadap DNA hewan yang luka, maka saat mereka berubah menjadi hewan tersebut, mereka akan jadi hewan yang sehat, bukan yang luka. DNA itu genetik, dan luka fisik tidak terimprint di sana. The Adam Project tidak berhasil menjelaskan kenapa pesawat tidak lagi mengenali DNA Adam Gede dengan logis. Sehingga poin sepenting Adam Kecil harus ikut jadi sangat lemah. The whole movie ternyata bergantung kepada logika selemah itu. Aku gak nyebut plot hole atau apa, tapi kalo kita peduli sama letak perban di kepala orang sakit dalam film-film, maka hal sepenting DNA ini juga harusnya jadi concern kita, sebab benar-benar berkaitan dengan cerita ini bisa berjalan atau tidak.

Tadinya aku pikir mungkin di akhir akan diungkap kalo soal DNA itu cuma bualan Adam semata, bahwa dia sebenarnya pengen Adam Kecil ikut, atau gimana kek. Atau kupikir bakal ada penjelasan lanjutan. Tapi gak ada. Ini hanyalah cara mudah berikutnya dari film untuk menjelaskan kenapa Adam Kecil harus ikut bertualang. Padahalnya lagi, soal DNA ini bisa dijelaskan dengan menyebut senjata masa depan memang dapat mengubah DNA, makanya kalo mati ditembak ini orang jadi hancur. Tapi, film gak nyebut apa-apa soal senjata tembak. Orang lenyap hanya disebut sebagai akibat dari mati di luar timeline/universe hidupnya yang asli. Lagi-lagi, kemudahan bercerita. Eh, tapi lama-lama kemudahan itu jadi tampak seperti kemalasan ya!

 

 

Kalo aku guru IPA atau sains, maka aku akan ngasih nilai merah untuk film ini. Karena penjelasannya terlampau sederhana hingga cenderung malas. Film hanya menjelaskan time travel, tapi tidak menjelaskan soal DNA yang mereka angkat. Tapi untungnya aku bukan guru. Aku hanya penonton yang menulis ulasan film. Maka aku menilai dari filmnya saja. Yang bercerita dengan menghibur, memastikan kita tidak beruwet-ruwet dalam konsep time travel, dan makin mendaratkan cerita dengan tema keluarga yang grounded. Tapi uh-oh, film ini masih juga terasa malas, karena sebagai aksi sci-fi, dia masih generik, lebih banyak masukin referensi daripada adegan original, dengan stake yang gak terasa. Bahkan kematian dalam cerita, gak pernah terasa sedih-sedih amat.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for THE ADAM PROJECT.

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Kalo berkesempatan ke masa lalu, tahun mana yang kalian tuju dan apa yang akan kalian katakan kepada diri kalian di tahun itu?

Share  with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

RESIDENT EVIL: WELCOME TO RACCOON CITY Review

“Love brings you home”

 

Untuk urusan film adaptasi video game, kita para nerds bisa lebih ganas daripada zombie. Kita akan bergerombol memadati bioskop, lalu pulang dengan jalan terseok. Menggerutu. Mengerang. “Argghh apaan gak seru! Jauh banget ama video gamenya!!” Seri Resident Evil dari Paul W.S. Anderson secara konstan terus bigger and bigger sebagai ganti dari mengusung cerita original yang berbeda dengan seri gamenya. We hated those movies. Lebih mirip mindless action flick ketimbang survival horor. Jadi demi menjawab erangan fans dan kecintaannya sendiri terhadap franchise ini, seperti Claire Redfield di dalam cerita yang pulang ke kota asalnya, sutradara Johannes Roberts memulangkan kembali film Resident Evil. Dia mereboot seri film ini dengan mengeset cerita balik ke akar video game originalnya. Mencuatkan elemen survival horor. Membangun atmosfer kelam. Membuat suasana yang persis dengan game. Menghadirkan nama-nama yang sudah dikenal baik. Roberts benar-benar membuat sesuatu yang kita minta. Tapi aku keluar dari teater dengan tetap mengerang. Dia membuat semuanya sama dengan game, kecuali karakternya.

“WUARRRGGHHH!!!”

reidentcreepy-new-nightmare-trailer-for-resident-evil-welcome-to-raccoon-city
Welcome to Cringe City

 

Sekarang aku jadi kangen ama Alice dan Resident Evil-nya Anderson. Yea mereka gak bagus, tapi setidaknya ada energi di baliknya. Resident Evil: Welcome to Raccoon City ini mirip game, ceritanya lebih horor, tapi ternyata malah bland. Bahkan ledakannya aja terasa hampa. Semuanya sama dengan game yang udah dimainkan ternyata punya kelemahan tersendiri, yakni menjadikan jalan cerita tak lagi punya hook. Sehingga film harus bergantung kepada karakter-karakter. Dan pada mereka itulah, film ini tersungkur paling keras.

Roberts menggabungkan elemen cerita pada dua game pertama (Resident Evil dan Resident Evil 2) ke dalam seratus menit. Penonton yang punya nostalgia sama game-game tersebut bakal kesengsem berkaca-kaca saat melihat lokasi dan skenario yang udah dikenal, terhidupkan ke dalam film ini. Claire Redfield yang kembali ke Raccoon City untuk bertemunya abangnya, Chris. Sementara Chris – beserta rekan-rekannya – dikirim menyelidiki mansion di hutan. Rumah gede tempat tim yang dikirim sebelum mereka tidak mengirimkan kabar apa-apa. Claire menemukan ada yang gak beres di kota mereka. Penduduknya berubah menjadi beringas, ingin memakannya. Jadi Claire pergi ke kantor polisi. Di sana dia akan team up dengan Leon si polisi anak baru. Sampai akhirnya mereka menelusuri jejak Umbrella Corporation yang merupakan dalang dari zombie outbreak di kota.

Kalian tahu dong meme Leonardo DiCaprio yang duduk nunjuk layar (dari adegan film Once Upon a Time in Hollywood)? Yea, that’s us for the majority of this Resident Evil movie. Banyak adegan, maupun dialog, yang mereferensikan hal-hal populer dari gamenya. Seperti adegan zombie botak yang lagi makan berbalik pelan menghadap kamera, atau ketika ada adegan mecahin puzzle di piano, atau ketika term “Jill’s sandwich” diucapkan. Dan bukan hanya dari dua game itu saja, Roberts meluaskan librari nostalgianya kepada versi remake dan versi alternatif yang hadir di konsol game lain. Sebagai pembungkus dari semua itu, Roberts menggunakan atmosfer horor yang dicomotnya dari horor-horor 80an. Suasana ala horor John Carpenter, ditambah aksi survival dari zombie yang bisa muncul menyerang dari mana saja, film ini tampak sudah punya model atau formula yang oke sebagai sebuah sajian horor yang menghibur. Aku bisa membayangkan kalo penonton yang gak pernah main gamenya akan bisa lebih menikmati suasana menyeramkan dan misteri kota Raccoon. Terutama penonton horor mainstream, karena film ini memang juga memasukkan elemen horor yang seperti hantu-hantuan sebagai pengeset mood alias sebagai pembuka. Sementara penonton nerd yang main gamenya bakal lebih menikmati lewat sajian nostalgia, karena kita tahu seberapa tipis cerita, apa yang bakal terjadi di balik semuanya.

Resident Evil bicara tentang kota yang menjadi korban dari perusahaan yang tidak bertanggungjawab. Sekali lagi rakyat jadi tumbal bagi perbuatan orang kaya. Elemen lebih gelapnya menyangkut anak-anak turut dijadikan bahan percobaan. Dari konteks itu, berkembanglah berbagai game, film, yang terus lebih besar. Sehingga franchise ini butuh reset. Sayangnya, bahkan setelah direset dengan penuh passion dan cinta terhadap seri ini pun, Resident Evil ini gagal melihat apa yang seharusnya digali lebih dalam untuk membuat ceritanya jadi horor survival kemanusiaan yang sebenarnya.

 

Dengan segera penonton baru dan penonton nerd ini akan jadi akur. Alias ama-sama kehabisan hal menarik yang bisa dinikmati di sini. Sama-sama gak punya pegangan untuk bertahan. Cerita tipis – yang bahkan tidak benar-benar memenuhi fungsi sebagai prekuel karena tidak membahas mendalam soal perusahaan korup yang menjadikan satu kota sebagai tempat buangan limbah eksperimen yang dilakukan dengan tidak bertanggungjawab – juga tidak dibackup dengan karakterisasi yang menarik. Claire si karakter utama tidak banyak beban emosional. Motivasinya kembali ke kota yang ia benci (dan in a way, ia takuti) adalah untuk bertemu dengan abangnya, dan itu terpenuhi dengan cepat. Enggak ada tantangannya, enggak ada dramanya. Setelah itu, Claire hanya ada di sana untuk bereaksi dengan kejadian-kejadian, sembari terflashback ke masa kecil. Dia juga dibikin jago banget, beberapa kali menyelamatkan Leon yang entah kenapa dibikin sebagai total joke di sini. Dua karakter utama game Resident Evil 2 dikasih dinamika yang sangat basic dan boring, bahkan pemainnya tampak bosan memainkan karakter mereka. Dan Chris serta yang lainnya, just generic. Gak ada motivasi personal sama sekali. Cringe malah, karena cuma mencoba melawak dan menyumpah serapah saat keadaan menjadi mengerikan.

Perubahan karakter memang jadi sumber utama blandnya film ini. Aku akan menyebut hal yang tidak berani disebut banyak orang, terutama kritikus karena permasalahannya memang sensitif; mereka mengganti sosok karakter-karakter yang sudah kita kenal menjadi sama sekali berbeda. Jill, diganti dari blonde white girl, menjadi perempuan berkulit gelap berambut ikal. Leon, diganti jadi keluar dari stereotipe jagoan amerika. Pergantian itu apalagi kalo bukan supaya karakter film ini beragam. Supaya gak kulit putih semua. Sebenarnya bukan masalah digantinya, melainkan karena naskah tidak memberi mereka kesempatan untuk membuktikan diri bahwa mereka adalah karakter tersebut. Film hanya memparadekan nama mereka setiap kali ada dialog. Menyebut-nyebut nama walaupun kita udah tahu mereka itu siapa, seolah cuma nama itulah identitas mereka.

reidentevillcome-to-raccoon-city-terbaru-rilis-layar-id
All I see is bunch of NPCs saking kosongnya karakter mereka

 

Ketika karakter yang sudah dikenal (dari game, dan/atau dari film sebelumnya) diubah, penonton perlu diintroduce ulang kepada mereka. Dan itu gak bisa hanya dengan nama saja. Apalagi mereka adalah karakter utama dalam video game. Karakter yang diperankan oleh pemain, menempuh banyak petualangan bersama. Sehingga pemain yang bakal jadi penonton mereka dalam film, mengenal mereka, mengidentifikasi diri sebagai bagian dari mereka. Mengganti karakter mereka begitu saja, merampok penonton dari identifikasi ini. Mereka jadi asing, gak konek lagi. Filmlah yang harus menyambung ini kembali. Jill, Leon, bahkan Chris dan Claire – empat yang kita mainkan sebagai diri kita di game, tidak dibuild up dengan proper oleh film ini. Mereka hanya ditampilkan. Menyebut nama. Ditambah dengan penampilan yang dibuat sama sekali berbeda. Gak heran kenapa kita gak konek sama mereka. Mereka basically adalah nobody, tanpa background story, tanpa karakterisasi untuk kita pegang.

Melihat mereka di film ini, aku jadi berpikir kalo Paul W.S. Anderson justru telah memilih cara yang tepat. Mengambil karakter lain di luar game sebagai karakter utama. Membentuknya sebagai protagonis dan perwakilan dari kita. Kemudian baru menampilkan karakter-karakter yang sudah kita kenal di game. Dengan begitu, berarti Anderson bisa dengan lebih bebas membangun cerita dan dunia sendiri, dengan tidak ‘mengganggu’ karakter-karakter original. Taktik yang sama digunakan oleh Mortal Kombat (2021), menghadirkan karakter baru sebagai fokus kita untuk mendekatkan diri, sementara bisa lebih bebas menampilkan karakter-karakter ikonik, tidak perlu mengubah atau membangun ulang mereka. Karena ya memang pasti susah membangun karakter seperti Jill, Leon, Claire, Chris yang empat-empatnya jagoan utama sekaligus dalam satu film. Suicide Squad 2016 sudah membuktikan itu adalah hal yang nyaris mustahil.

Waktu kecil, aku terblown away oleh klip live-action intro game Resident Evil pertama. Waktu itu rasanya nambah serem banget ke petualangan nanti, dan juga kayak bikin gamenya semakin… real? Haha, kalo ditonton sekarang sih klip itu kerasa banget cheesy-nya. Efeknya keliatan banget disamarin oleh warna hitam putih. Tadinya aku berharap film Welcome to Raccoon City ini paling enggak bisa ngasih feel yang sama, tentunya dengan scare dan efek praktikal yang lebih meyakinkan. Turns out, efek dalam film ini kadang oke, kadang lebih cheesy daripada klip tersebut. Akting karakternya pun begitu, malah lebih cringe mengingat mereka aktor yang lebih profesional. Yang paling bikin aku kecewa ya, ternyata nonton film ini gak terasa apa-apa. 

 

 

 

Baik versi sebelumnya maupun versi yang ini, semuanya punya kekurangan besar masing-masing. Versi yang ini meski punya atmosfer dan elemen horor seperti (gerak kamera dan penggunaan cahaya) yang lebih seram, yang lebih mendekati estetik gamenya, hadir dengan sangat datar. Karakter-karakternya tidak bisa kita kenali. Mereka direduce jadi pelontar one-liner dan template konyol. Tidak ada motivasi personal. Mereka cuma berlarian mencari jalan keluar, bereaksi pada kejadian. Tidak belajar darinya. Ceritanya memang tidak membahas mendalam. Penggabungan cerita dua gamenya tidak mulus. Dan banyak hal yang konyol. Kejadian yang ditempatkan sebagai inciting incident di sepuluh menit awal aja sebenarnya udah cukup untuk meruntuhkan film ini. Mana ada zombie yang melipir ilang gitu aja padahal ada dua mangsa potensial lagi berdiri di jalanan di dekatnya. But hey, kita zombie kalo udah soal film adaptasi game. Kita akan terus memenuhi bioskop sambil meneriakkan hal yang ingin kita santap tapi tidak kunjung diberikan oleh filmnya. “Braaaaiiiiinnn!!”
The Palace of Wisdom gives 1 out of 10 gold stars for RESIDENT EVIL: WELCOME TO RACCOON CITY.

 

 

 

 

That’s all we have for now

Ada gak sih sutradara yang pengen kalian lihat ngedirect Resident Evil? How you think he/she will make things different for the movie?

Share pendapat kalian in the comments yaa

 

 

Thanks for reading.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA