ANCIKA: DIA YANG BERSAMAKU 1995 Review

 

“Don’t ever go back to your old ways that do not work. That’s the reason you changed them in the first place.”

 

 

Oh Tuhan, there’s two of them!” Kemudian aku tergelak di bioskop. Dilan ada dua, dan maksudku bukan soal ini adalah film Dilan dengan pemeran yang berbeda. Melainkan, karena di cerita Pidi Baiq yang kali ini disutradarai oleh Benni Setiawan, Dilan finally found his match. Dan ‘match’ yang kumaksud bukan soal pasangan doang, melainkan lebih ke Dilan akhirnya ketemu ‘lawan’ yang sepadan. Dalam wujud perempuan berambut sebahu bernama Ancika. Like, Dilan mau ngegombal dikit, langsung kena selepet yang gak kalah ngocol dari Ancika. Belum pernah kan lihat Dilan nginyem karena dicounter? Haha ya, akhirnya film yang jadi penutup perjalanan cintanya ini memang menghadirkan sosok yang sedikit berbeda dari Dilan yang sudah familiar. Dilan kini agak lebih kalem. Dia sudah lebih dewasa dari terakhir kali kita menontonnya. Dilan sudah kuliah, dan itu adalah tahun 1995 yang mulai bergejolak dengan situasi politik. Karena itu, tentu saja kita jadi punya ekspektasi bahwa cerita yang dihadirkan juga jadi sedikit lebih dewasa dari sebelumnya Dan again, maksudku dewasa dalam artian lebih matang loh, bukan dewasa yang ngeres. Itu mah namanya bajingan, kalo kata Ancika.

Mungkin karena Ancika memang masih anak SMA. Film ini sukurnya tidak lagi mempertahankan konsep ‘lucu’ trilogi Dilan, yang perspektifnya gak klop ama judul; Dilan 1990Dilan1991 tapi ceritanya dari perspektif Milea, eh begitu judulnya Milea, ternyata ‘suara’ dari Dilan! Film Ancika ini memang mengambil perspektif utama dari Ancika, gadis remaja yang ngocol, pinter. berani, bahkan cenderung galak sama cowok-cowok yang nekat naksir dia. Zee JKT48 nails her character’s traits soundly. Secara karakterisasi, Ancika jauh lebih kaya ketimbang karakter Milea di film 1990. Ancika tidak pernah tampak seperti kertas kosong. Kehidupan sekolahnya terasa lebih kuat. Ancika ini kayak Dilan versi cewek, ketika dia berinteraksi kepada teman-temannya hahaha.. Kita juga gak perlu nunggu film berikutnya untuk mengenal lebih dekat Ancika dalam lingkungan keluarga dan pribadinya. Ancika juga sudah punya motivasi dan sikap yang tegas.. Dia pengen masuk Unpad. Dia gak mau pacaran. Inilah yang mendapat ‘tantangan’ nanti ketika dia bertemu dengan salah satu teman kuliah mamangnya, yaitu si Dilan.

Mengingat kondisinya, aku pikir film mengintroduce Dilan ke dalam cerita Ancika dengan well done. Humble, mungkin lebih tepatnya. Tidak demikian terasa seperti sosok yang dikultuskan. Meskipun memang di dalam cerita si Dilan ini dikenal oleh banyak orang. Aksi dan kisah cintanya udah kayak urban legend di Bandung 1995. Teman-teman sekolah Ancika, terutama anak-anak cowok yang hobi motoran, menganggap Dilan sebagai senior yang wajib dihormati. Tapi si Dilan itu sendiri tampak ‘kalem’ dan ya, lebih dewasa di balik keunikan yang menjadi pesonanya. Dilan versi film ini adalah mahasiswa seni rupa ITB, seorang aktivis. I give huge props buat Arbani Yasiz yang membuat kayak gampang meranin berbagai karakter yang punya identitas lokal yang kuat. Belum lama ini dia beliveable banget jadi pemuda Minang di Ranah 3 Warna (2021), dan kini dia pentolan pemuda Sunda, yang amazingnya lagi melanjutkan ke versi yang lebih dewasa dari karakter yang populer dimainkan oleh aktor yang lain sebelumnya, without missing any beats of that character. Dilan versi Arbani tampak lebih tenang, lebih bijak, tapi tetap dengan tingkah dan effort yang ajaib. Dibilang less gombal, enggak juga. Dilan versi Arbani tetap punya segudang kata-kata maut yang ampuh untuk membuat perempuan se’tangguh’ Ancika tersipu. Kayaknya, karena Dilan versi Arbani ini lebih believable sebagai aktivis yang turun ke jalan, yang berantem, maka kita lebih gampang ‘tolerir’ terhadap gombalnya. Membuat dia jadi enggak cringe. Karena dia kelihatan lebih dari sekadar tukang gombal sok jagoan

Tidak lagi pengen nimpalin dengan teriakin ‘Pret!!’ setiap kali Dilan selesai ngomong.

 

Hati dari cerita memang masih seputar romans. It feels genuinely sweet, dengan karakter yang juga genuine menarik. Ancika tumbuh ketertarikan sama Dilan. Pemuda yang mengucapkan terima kasih telah dibikinin minuman, lewat secarik surat. Mahasiswa yang membantunya bikin PR resensi novel, walaupun berakhir memalukan. Cowok yang bilang mereka banyak kesamaan, mungkin karena salah satu dari mereka ada yang nyontek – purposely bermain-main dengan ekspektasi dirinya. Film membuat Dilan mencuat di mata Ancika bukan karena pemuda itu ngotot mengejar si anak SMA. Tapi ada build up. Film ngasih ruang bagi Ancika untuk melihat dan membandingkan Dilan dengan cowok-cowok lain yang tertarik kepadanya. Aku suka gimana Ancika yang digambarkan cuek dengan penampilan, merasa perlu dandan padahal occasion-nya cuma belajar bareng Dilan di ruang tamu. Ketertarikan yang naturally bertumbuh itu jadi layer, di balik ‘konflik’ yang juga dibangun seputar Dilan yang punya masa lalu. Dan masa lalu Dilan bukan cuma tentang Milea, melainkan juga soal ‘hobby’-nya sebagai geng motor. Masa lalu – mantan-mantan – Dilan ini yang bikin Ancika ragu. Ancika bukannya mau ‘memperbaiki’ Dilan, seperti yang berusaha Milea lakukan di Dilan 1991. Ancika cuma khawatir Dilan akan kembali kepada masa lalunya tersebut, kepada either or both of those. Apalagi kemudian Ancika melihat Dilan ikutan demo mahasiswa, Berantem ama polisi? Bagi gadis itu cowok yang ia suka itu begitu volatile. Bisa sewaktu-waktu kembali ke masa lalu, dan itu berbahaya baginya.

Ke-insecure-an Ancika bersumber dari masa lalu Dilan. Sikap yang relate sih buat remaja-remaja generasi sekarang. Apalagi belakangan marak narasi seputar ‘mau gimanapun, kita akan kalah sama mantan’. Kisah Ancika dan Dilan mengajarkan kita bahwa masa lalu memang akan jadi bagian dari kita, enggak akan pernah lepas dari siapa diri kita sekarang. Tapi bukan berarti kita harus kembali kepada masa lalu. Kita kudu ingat bahwa ada alasannya masa lalu itu menjadi masa lalu. Karena ada sesuatu yang not working, dan kita mau memperbaikinya. Jadi, biarkanlah masa lalu untuk jadi pembelajaran saja.

 

Kita bisa lihat sebenarnya cerita Ancika ini memang punya modal untuk garapan yang lebih berbobot (kalo gak mau dibilang dewasa) walaupun perspektifnya datang dari anak SMA. Bahkan sebenarnya justru menarik ketika persoalan seperti penangkapan aktivis dipandang dari mata anak sekolah. Gimana orang-orang yang sedang fokus berjuang ke depan ‘terhalang’ oleh jebakan masa lalu. Aku suka saat Ancika marah kepada Dilan, karena marahnya bukan sekadar cemburu. Melainkan karena merasa dipermalukan. Aku sebenarnya pengen film ini mengeksplorasi lebih banyak pada sudut-sudut dan emosi yang unik seperti demikian. Toh Ancika memang dibentuk berbeda dari Milea. Ancika punya cerita dan masalahnya sendiri, mau itu personal maupun terkait Dilan. Sayangnya, film yang memuat karakter yang lebih dewasa dari sebelumnya ini, yang punya perspektif muda dalam lingkungan yang lebih berbobot ini, yang berpesan untuk tidak kembali kepada masa lalu ini, sendirinya masih terasa tidak mau berbeda dengan film-filmnya yang telah lalu.

Dalam artian, film ini sendirinya seperti menolak untuk jadi dewasa. Masih menolak untuk berpikir audiens mereka bisa menghandle cerita yang lebih berbobot. Sure, film ini dibuat untuk anak muda. Lebih untuk remaja usia Ancika ketimbang usia Dilan. Tapi lihatlah si Ancika. Perspektifnya yang lebih mature dari Milea, atau bahkan beberapa kali lebih mature daripada Dilan yang lebih sering kegep kembali menekuni perbuatan di masa lalu, terasa enggak mencapai full potensial ketika cerita masih meng-treat karakter mereka untuk pacar-pacaran ‘biasa’ saja. Film seperti melihat kesuksesan trilogi terdahulu – yang kurasa kita setujui bersama sebagai film kayak snack yang isinya angin doang – dan menganggap itu sebagai standar yang harus dikalahkan. Bahwa film ini harus ngimbangin itu, maka film ini juga harus sukses menarik perhatian anak muda/remaja dengan cara yang sama. Yang malah membuat film ini seperti meremehkan Ancika-Ancika lain di luar sana.

On second thought, penggemar JKT48 mungkin berpendapat berbeda soal film ini dibuat untuk remaja usia Ancika?

 

Bayangan keberhasilan film-film terdahulu, menurutku membuat film ini tak maksimal sebagai cerita barunya sendiri. Momen-momen seperti Dilan hilang, curiga tertangkap saat aksi demo, seharusnya bisa membuat babak ketiga cerita lebih intens bagi Ancika. Namun justru pada babak terakhir-lah film ini flat. Film seperti mengawang, bingung mendaratkan cerita. Bingung mencari daratan yang bikin lebih baper, ketimbang aksi atau konklusi yang lebih true ke development karakter. Akibatnya, sikap Ancika yang di awal tegas menolak label pacaran (also, momen seru lain sebenarnya melihat Dilan ‘struggle’ menyingkapi tolakan Ancika dengan respek) jadi gak terasa punya journey yang clear sampai bisa berubah menjadi mau pacaran. Penyelesaian manis tiga tahun kemudian pun lantas jadi seperti diburu-burukan. Apa yang seharusnya dapat menjadi sebuah konklusi suka ci(n)ta dari kehidupan segitu banyak karakter yang saling terhubung di setting dunia yang sudah kuat merekat, jadinya hanya terasa berfungsi seperti hiasan cute supaya penonton pulang dengan perasaan puas semata.

 

 




Fungsinya memang terlaksana. Film ini jadi penutup yang hangat. Tapi kupikir harusnya film ini bisa lebih. Satu film ini harusnya bisa lebih nendang ketimbang trilogi sebelumnya, karena memang ini much better secara materi dan eksekusi teknis. Dari trilogi Dilan, menurutku yang paling lumayan adalah Dilan 1991, dan film kali ini bahkan lebih kuat daripada film itu. Props juga buat akting dua karakter sentral. Dinamika dan chemistry mereka tampak fun. Tapi kemudian film ini melakukan hal yang sudah benar tidak dilakukan oleh karakternya. Kembali ke masa lalu. Keinginan untuk tetap ringan, menghambat film. Karena ceritanya sebenarnya sudah berkembang, sudah lebih dewasa. Karakter-karakternya juga. Walau masih muda, perspektif mereka lebih berbobot. Film tidak diarahkan mengikuti kedewasaan mereka. Sehingga belum terasa maksimal. Aku gak minta untuk jadi ribet dan njelimet, tone ringan dan uniknya sudah tepat, tapi at least development mereka tidak diloncat. Manis tidak diburukan. Situasi latar dunianya juga bisa paralel dan lebih nyantol dengan lebih enak.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for ANCIKA: DIA YANG BERSAMAKU 1995

 

 




That’s all we have for now.

Dari empat film universe Dilan, urutan favorit kalian seperti apa? Apakah menurut kalian, Dilan bakal jadi romans remaja klasik di masa depan?

Silakan share pendapatnya di komen yaa

Jangan lupa untuk subscribe Apple TV, ada banyak serial dan film-film original yang tayang di sana. Di antaranya adalah Killers of the Flower Moon yang masuk dalam Daftar Top-8 Film Favoritku tahun 2023. Tinggal klik di link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



SAW X Review

 

“It’s not life or death, it’s a game”

 

 

Halloween adalah tradisi. Bagi orang luar yang merayakan dengan acara trick or treat. Sedangkan bagi kita penggemar film, dulu saat halloween kita punya tradisi nonton franchise Saw di bioskop! Aku yakin adegan-adegan sadis dari alat dan permainan mengerikan dalam film-film Saw pasti ada yang membekas banget di ingatan kita masing-masing. Well, tahun ini, tradisi itu bisa kembali kita rayakan karena they made a new Saw movie. Kevin Greutert, yang biasanya mengedit film-film Saw dan dulu pernah menyutradarai beberapa, kembali duduk di kursi sutradara. Dan langkah besar yang ia lakukan adalah… eng ing eng membuat John Kramer menjadi protagonis cerita! Dia membuat film yang franchisenya dikenal sebagai torture porn ini menjadi lebih sebagai sebuah perjalanan personal dari John Kramer yang mencari kesembuhan dari kanker yang ia derita. And by doing so, Kevin literally membuat film ini sebagai Tobin Bell‘s acting clinic!!

Yeah, akhirnya setelah sekian tahun, setelah sembilan film, ada sineas yang nekat benar-benar menjadikan bintang dari franchise ini – si John Kramer, dalang di balik Jigsaw, yang diperankan dengan ikonik oleh Tobin Bell – sebagai tokoh utama. Di film horor memang biasanya karakter penjahat selalu lebih ‘superstar’, lebih diingat oleh penonton, ketimbang karakter utama. Karakter penjahat – dalam kasus genre horor biasanya adalah sosok monster, hantu, atau psikopat – diposisikan sebagai tantangan terberat yang harus diovercome oleh si hero. That way, mereka yang sebagai antagonis jadi lebih berkesan dari protagonisnya. Bertahun-tahun kita kagum sama John Kramer. Sama kejeniusannya merancang alat-alat mematikan. Sama kecerdasannya ‘menebak’ yang bakal dilakukan korbannya (sehingga membuat film-film Saw punya twist unik). Sama prinsip dan pandangannya terhadap manusia dan pilihan hidup. Kramer selalu memilih orang-orang bobrok dengan moral yang rusak sebagai calon korban. Dan dia tidak membunuh mereka. Melainkan Kramer membuat mereka memainkan game hidup-mati, sebagai bahan pelajaran bagi mereka. For the victims niscaya akan survive kalo ngikutin aturan permainan death trap, yang seringkali seputar mereka menyadari kesalahan personal masing-masing. Menurut Kramer, dia adalah semacam seorang motivator. Aspek inilah yang digali oleh Saw X. Dari sinilah mereka mengambil sudut untuk membentuk Kramer, kali ini, sebagai protagonis cerita.

I would tell children that this is Eminem

 

Mengambil timeline antara kejadian di film pertama dengan film kedua, Saw X bercerita tentang masa-masa John Kramer lagi down berat karena kanker yang ia derita. Hidupnya hanya tinggal beberapa bulan lagi. Di saat itulah, Kramer mendengar tentang suatu pengobatan eksperimental di Mexico. Dia mendaftar ke sana, dan terpilih oleh Dr. Cecilia sebagai pasien mereka berikutnya. Kramer pikir operasi mahal dan rahasianya di sana itu berhasil. Kramer sudah siap untuk memulai hidup barunya, aku pikir kesembuhannya itu membuat dia bakal meninggalkan kota Mexico sebagai totally jadi orang baik. Tapi Kramer ditipu. There was no pengobatan eksperimental. Yang ada, Kramer harus kembali menjadi ‘motivator hebat’ buat Dr. Cecilia dan semua krunya. Supaya mereka tobat, kembali ke jalan yang benar, lewat proses yang luar biasa menyakitkan.

Tahun lalu kita dapat film Orphan: First Kill (2022) yang berusaha melakukan hal yang sama. Menjadikan antagonis franchisenya seorang protagonis. Film tersebut mati-matian membuat kita bersimpati kepada Esther, sosok yang di film originalnya adalah seorang psikopat; wanita dewasa yang nyamar jadi anak-anak, dan merusak rumah tangga keluarga yang mengadopsinya. Film tersebut gagal memantik simpati yang genuine dari Esther, lantaran mereka hanya sekadar menghadirkan sosok yang lebih jahat sebagai antagonis di arc Esther, seolah dengan kehadirannya Esther otomatis jadi korban lemah di tangan yang lebih kuat. Film tersebut tidak menggali ataupun menetapkan moral compass Esther sedari awal (like, waay awal di film pertama). Saw X bisa berhasil menjadikan Kramer protagonis karena penonton sudah tahu di mana karakter ini berpijak. Bahkan ketika dia jadi villain di film-film Saw, kita sudah bisa melihat bahwa dia ini semacam ‘orang jahat adalah orang baik yang teraniaya’. Alih-alih orang dewasa yang bertubuh kecil, Kramer adalah orang tua yang sakit parah. Sisi vulnerablenya lebih genuine. Persahabatannya dengan seorang anak Mexico lebih genuine ketimbang kebaikan Esther terhadap tikus. Namun ketika film menghadirkan antagonis bagi dirinya pun, moral compass Kramer tetap digali. Kita sedih melihatnya ditipu, tapi kita tetap dibuat melihat Kramer sebagai psikopat yang membuat orang-orang melakukan permainan maut, walaupun kini korbannya adalah orang-orang yang telah berbuat jahat kepadanya. ‘Lawan’ yang dihadirkan untuknya pun sepadan, jahat dan moralnya sama-sama sinting. I think film juga cukup sayang mematikan karakter ini sehingga nasibnya di akhir cerita belum benar-benar diputuskan.

Bagaimana dengan penonton yang belum pernah nonton Saw, atau sama sekali enggak tahu seperti apa karakter John Kramer sebelumnya? Film ini bercerita bukan tanpa development. Paruh awal ditulis dengan seksama, kita benar-benar dibuat melihat Kramer sebagai manusia yang butuh pertolongan, tapi dia punya sisi gelap. Badannya boleh ringkih, tapi sorot matanya. Menatap orang seperti memutuskan orang ini layak hidup atau enggak. Film bahkan memperlihatkan Kramer ‘berfantasi’ menyiksa seseorang dengan alat penghisap bola mata, saat dia mengintip si orang ini sedang mau mencuri barang berharga milik pasien yang tengah tak-sadarkan diri di rumah sakit. Menurutku, ini set up yang efektif sekali untuk memperkenalkan siapa sebenarnya John Kramer kepada penonton baru. Sekaligus juga tentu saja mempertahankan vibe khas franchise Saw di tengah-tengah penceritaan yang lebih dramatis. Sedangkan untuk paruh akhir cerita, saat cerita fully masuk ke status lebih berdarah-darah, film mengeksplorasi hubungan antara Kramer dengan ‘muridnya’, Amanda. Hubungan yang cukup heartfelt, supaya penonton masih bisa merasakan kemanusiaan dari si karakter psikopat yang punya moral ini.  Dan ini juga abu-abu, karena Amanda gak yakin apakah dia bisa jadi penerus, dan Kramer berusaha meyakinkan dengan ngasih pemahaman betapa pentingnya ‘kerjaan’ mereka ini bagi korban-korban mereka.

Hidup bagi Kramer adalah suatu perjuangan, permainan kalo boleh dibilang, dengan kematian sebagai taruhannya. Itulah sebabnya dia memperjuangkan kesembuhannya dengan sungguh-sungguh. Itu juga sebabnya kenapa para korban dia tempatkan di posisi maut, antara berjuang melawan sakit demi survive, atau kalah dan mati.

 

Karena dimulai dengan lebih drama dan personal itulah, vibe Saw X akan terasa janggal bagi penggemar berat franchise torture horror ini. Beruntungnya, pak sutradara bukan orang baru dalam per-Saw-an. Dia yang pernah jadi editor dan nyutradarain cerita-cerita Saw, paham betul apa yang membuat Saw X ini Saw. Dia tahu resep horor ala Saw. Adegan-adegan perjuangan sampai mati, gaya kamera menangkapnya, gaya editing menampilkan adegan penyiksaan yang benar-benar bisa bikin ngilu itu, semuanya dia garap sama persis dengan vibe Saw yang kita ingat. Game/alat siksaan favoritku di film ini adalah trap ala patung Mexico yang mengharuskan korban membuka batok kepala dan mencungkil otak sendiri. Kebayang kalo kepala lagi pusing, mungkin teknik itu bisa dicoba hahaha… Kevin tahu satu lagi hal yang ditunggu oleh penonton; momen kejeniusan Kramer. Sehingga meskipun kali ini film enggak langsung terjun ke siksa-siksaan, tapi bercerita dengan lebih humanis dahulu, film ini enggak tergagap dan langsung konek ketika momen berdarah-darah – ketika momen ‘genre’nya hadir. Bahwa ini benar film yang sesuai dengan ruh film-film terdahulu, bukan sebuah poser yang mereplika Saw.

Bacanya Saw ‘Eks’, atau Saw ‘Ten’, atau Saw ‘Twitter’ sih?

 

Yang bikin lebih menarik lagi adalah situasi Kramer saat merancang trap tersebut. Dia harus berimprovisasi dengan alat-alat kesehatan yang ia temukan di lab ‘palsu’. Sekali lagi, film mempush karakter Kramer sebagai seorang yang bukan semata sadis tapi punya kreativitas yang tinggi. Dia bisa menciptakan alat mengerikan, tapi sekaligus juga estetik dan tematis. Like, sempat-sempatnya dia bikin desain serupa patung Mexico yang ia lihat jadi spot foto turis di jalanan. Film berhasil membuat hal yang sebenarnya convenience, kemudahan, bagi karakter utama sebagai hal yang balik mendukung karakterisasinya. Karena saat menonton kita tidak akan mempertanyakan, kok bisa dia bikin semua itu secara mendadak. Padahal sebenarnya cukup banyak juga momen-momen ‘gak mungkin’ pada cerita. Momen-momen yang terlalu ‘kebetulan’ para korban melakukan suatu hal, atau Kramer melakukan atau meletakkan sesuatu, yang sesuai dengan ‘hasil’ yang dia inginkan. Karakternya yang sudah well-establish membuat hal tersebut dengan mudah kita maklumi sebagai ‘kejeniusan’ karakternya alih-alih sebagai ‘pemaksaan’ kehendak naskah.

Meskipun memang secara journey, aku rasa film ini bakal bisa lebih terasa punya perkembangan jika diposisikan sebagai origin John Kramer sebagai Jigsaw. Karena di film yang kita saksikan ini, journey Kramer sebenarnya sudah berakhir di pertengahan. Saat dia memutuskan untuk ‘balik’ jadi Jigsaw, untuk balas dendam. Setelah momen itu, sebenarnya film berjalan tanpa plot, melainkan hanya memperlihatkan momen sadis ala Saw, sambil menunggu revealing-revealing yang bikin cerita seru saja. Tapi yah, itulah Saw. Momen-momen itu harus ada karena itulah yang membuat sebuah film bisa disebut sebagai film Saw. Kehadiran film dengan berusaha menggali drama personal dari Kramer, membuat Kramer jadi manusiawi sebagai protagonis, itulah yang mengelevasi film ini, walaupun memang enggak full dan kurang merata.

 




Mungin memang inilah film yang paling bisa mengaplikasikan formula khas franchise Saw ke dalam struktur penceritaan film dengan benar. It’s not perfect, tapi toh memang ini jadi film yang paling berbobot seantero franchisenya. Gak cuma twist dan revealing. Gak cuma adegan penyelidikan polisi. Gak cuma adegan penyiksaan dengan jebakan mematikan. Di sini kita diajak menyelami karakter utamanya, yang notabene juga bukan orang baik-baik. Kalo secara timeline, aku gak bisa ngomong banyak. Karena se-ngefans-ngefansnya pun, aku udah gak bener-bener ingat urutan kejadian semua film Saw. Dan filmnya pun memang sengaja ngeluarin cerita yang bakal membuat kita melompat-lompat timeline. I think timeline gak benar-benar jadi soal. Buatku, bisa menikmati horor yang berbobot dan punya karakter unik dan karismatik, itu hiburan yang sudah lebih dari cukup.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for SAW X

 




That’s all we have for now.

Apakah menurut kalian franchise Saw masih layak untuk dilanjutkan dan di-elevate menjadi lebih berbobot? Kenapa?

Share pendapat kalian di comments yaa

Setelah nonton ini, mungkin kalian masih pengen yang menegangkan? Well, ada nih serial Hijack, serial thriller seru tentang pembajakan di pesawat yang dibintangi oleh Idris Elba di Apple TV+ Yang pengen ngerasain ketegangannya bisa langsung subscribe dari link ini yaa https://apple.co/46yw8RX

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



PAMALI: DUSUN POCONG Review

 

“When in Rome, do as the Romans do”

 

 

Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Kita harus ngikutin atau menghormati aturan di mana pun kita berada, dan satu lagi peribahasa yang perlu diingat adalah; lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya. Setiap tempat atau daerah punya aturan, adat istiadat, kebiasaan yang berbeda-beda. Punya pamali yang berbeda-beda.

Seri film horor Pamali garapan Bobby Prasetyo, dibuat berdasarkan video game dari delevoper asal Bandung, secara khusus mengangkat persoalan pamali sebagai konsep horornya. Di film pertama, pamali gak boleh gunting rambut malam-malam dikembangkan menjadi cerita seorang yang kembali ke rumah masa kecilnya, lalu berkonfrontasi dengan tragedi keluarga yang menghantui rumah tersebut. Pada film kedua ini, sejumlah pamali seperti gak boleh bersiul di malam hari, digodok masuk ke dalam horor survival sekelompok orang di dusun yang terkena wabah. Yang bikin menarik adalah, pelanggaran pamali tersebut dihadirkan dengan ‘twist’. Karakter-karakter di sini aware sama pamali, sama pantangan, mereka gak sompral, tapi mereka tetap diteror pocong-pocong!

Film Pamali pertama punya satu kekurangan mendasar, yaitu terlalu ngikut game, padahal gamenya sendiri bukan tipe video game yang sinematik seperti Resident Evil atau Fatal Frame. Game Pamali konsepnya kita memainkan seorang karakter yang mengurusin satu tempat, pilihan yang kita lakukan saat berinteraksi dengan keadaan sekitar, akan menghantarkan kita kepada pengalaman horor yang berbeda-beda. Pada game pertama, kita jadi orang yang bersihin rumah sebelum dijual. Film Pamali pertama beneran ngikut, protagonisnya beneran cuma bersih-bersih rumah selama tiga hari sembari bertemu banyak kejadian mengerikan. Film itu jadi agak monoton. Kekurangan tersebut berusaha diperbaiki pada film kedua, yang diangkat dari panggung kedua game Pamali yang pemain menjadi seorang tukang gali kubur yang menghabiskan hari ngurusin tetek bengek areal pemakaman. Film kali ini actually mengembangkan situasi tersebut. Mengadaptasi ke situasi yang lebih cocok sebagai penceritaan film. Dusun terpencil. Masalah baru ditambahkan. Karakter-karakter ditambahkan. Sehingga film kedua ini selain terasa bigger, juga terasa lebih ‘sinematik’. Tanpa meninggalkan ruh gamenya. Para penggemar gamenya akan ‘dihibur’ oleh banyaknya referensi atau easter egg yang dihadirkan film yang mengacu kepada momen atau detil-detil kecil pada game.

Naik perahu dulu, baru jalan kaki susur hutan selama kurang lebih tiga jam. Sejauh itulah lokasi dusun tempat tiga orang nakes dan dua penggali kubur, karakter-karakter cerita, ditempatkan. Tempat terisolasi yang perfect banget buat panggung cerita horor. Terinspirasi mungkin oleh pandemi COVID kemaren yang banyak orang meninggal dan mayatnya diperlakukan khusus karena takut menular, dusun di sini juga bergelimpangan oleh mayat. Warganya kena wabah misterius yang menyebabkan kulit mereka bernanah-nanah. Para karakter kita tadinya dipanggil untuk membantu merawat warga yang sakit, serta menguburkan yang wafat. Dengan rate kematian yang tinggi dan obat-obatan yang minim, mereka pikir bahaya di sana cuma ikutan tertular. But soon enough, mereka menyadari ada yang gak beres di dusun itu. Pada warga dan kebiasaan mereka. Salah satunya, warga suka bersiul di malam buta. Teror pocong yang mengancam nyawapun tak terelakkan tatkala para karakter tanpa sadar melanggar pantangan di sana.

Disiulin tapi bukan cat-call

 

Dengan set up dan setting yang lebih klop buat horor survival yang lebih punya ruang untuk kreativitas, film Pamali kedua ini ternyata masih belum terasa benar-benar sempurna, Karena sekarang kurangnya malah pada plot. Cerita kali ini lebih kepada meletakkan karakter di suatu keadaan, dan reaksi dari mereka-lah yang membentuk jalan cerita. Alih-alih sebuah cerita yang tersusun oleh motivasi dan journey karakter utama. Tidak ada karakter yang punya kaitan personal dengan dusun atau wabah, like, tidak ada yang tadinya berasal dari dusun itu lalu kembali ke sana, atau semacamnya. Tidak ada yang punya motivasi khusus, goal pribadi yang ingin dicapai. Para nakes, Mila (Yasamin Jasem), Gendis (Dea Panendra), dan Puput (Arla Ailani) cuma ingin membantu warga, sesuai tugas mereka. Para penggali kubur, Cecep (Fajar Nugra) dan Deden (Bukie B. Mansyur) bertugas menguburkan jenazah. Mereka hanya kebetulan ditempatkan di sana. Protagonis utamanya pun sebenarnya kurang jelas.

Dilihat dari gamenya sih, yang jadi tokoh utama adalah Cecep. Di film ini sepertinya juga Cecep-lah yang paling dekat sebagai sosok tokoh utama, karena memang aksi darinya lah yang memantik konflik dan nanti penyelesaian masalah juga datang darinya. Ada momen yang kamera dari pov Cecep juga, sebagai momen reference film kepada game Pamali yang memang pakai sudut pandang orang pertama (alias karakternya gak kelihatan) Tapi yah, karakter Cecep di sini bentukannya jauh dari gambaran seorang hero pada umumnya. Jangan bayangkan dia kayak Undertaker di WWE. Cecep ini undertaker yang sangat merakyat. Nyunda. So laid back. Yang lucunya lagi adalah Cecep juga ada di film pertama, yang meranin juga Fajar Nugra. Ku gak yakin apakah memang dua Cecep itu adalah karakter yang sama, apakah ini universe yang sama, tapi yang jelas Cecep bisa kita sebut sebagai ‘maskot’ buat film Pamali. Film kali ini jadi ‘hidup’ berkat Cecep, suasana antarkarakter jadi cair berkat Cecep. Dari Cecep, cerita akan bergulir kepada sudut karakter-karakter lain. Mungkin inilah cara film menutupi kekurangan pada plot. Karena paling enggak, sekarang penonton jadi tertarik ngikutin naksir-naksiran antara Cecep dengan Mila.

Ju-On (horor populer dari Jepang) dan sekuel-sekuelnya, menggunakan banyak perspektif karakter untuk menutupi cerita yang minim plot. Film Ju-On sebenarnya hanya bercerita tentang misteri kenapa rumah itu berhantu, kenapa Sadako dan anaknya jadi hantu. Tapi itu diceritakannya lewat berbagai karakter yang pernah menghuni atau bersinggungan dengan rumah tersebut. Jadi filmnya itu kayak dibagi per cerita-cerita pendek yang urutan waktunya random. Keasyikan menontonnya datang dari kita berusaha menyusun cerita-cerita itu serupa menyusun puzzle dan menguak misteri. Pamali: Dusun Pocong juga berkembang dengan mempelihatkan berbagai karakter di dusun tersebut, bedanya film ini tidak memainnkannya ke dalam struktur tersendiri seperti segmen-segmen ala Ju-On. Selain relasi cute antara Cecep dan Mila, kita juga akan melihat peristiwa dari Deden yang tertular penyakit warga dusun, dari Puput yang merasa yakin ada yang masih hidup di antara tumpukan mayat yang belum terkubur (aku paling histeris di bagian ini), dari Gendis yang merasa bertanggungjawab tapi juga kewalahan. Film juga mengangkat sudut dari warga dusun. Dari seorang anak kecil yang ibunya sakit, dan dia juga punya sahabat sepermainan yang telah meninggal. Cerita si anak akan berhubungan dengan subplot Mila yang actually adalah tentang dia ingin menolong anak ini, tapi dilarang oleh Gendis.

Disiulin tapi bukan Hunger Games

 

Cara bercerita Pamali: Dusun Pocong ini ternyata cukup berhasil sebagai tayangan hiburan. Penonton jadi heboh mengikuti, film jadi seru, dan surprisingly jadi cukup kocak. Adegan horornya, however, bukan bahan becandaan. Pocong-pocong  itu terlihat menakutkan. Mereka bikin kita takut sekaligus jijik. Penempatan mereka juga kreatif sekali. Gamenya sendiri memang game horor yang mengandalkan jumpscare, film berhasil mengadaptasi vibe ini. Bermain-main dengan kemunculan pocong. Kadang mereka berdiri begitu saja di latar, bikin jantung kita melengos saat sosoknya terlirik. Kadang mereka muncul dengan suara ketukan, dan mata kita akan menatap layar dengan liar berusaha mencari dan menebak di mana pocong itu muncul. Pamungkasnya ya, jumpscare. Timingnya tepat, dan build up tensinya efektif. Meskipun pocong-pocong ini keluarnya malem, tapi pencahayaan film terukur sehingga kita tidak akan kesulitan melihat apa yang terjadi di layar. Bayang-bayang justru jadi instrumen dalam permainan jumpscare film. Musik yang disuguhkan pun cukup unik. Ricky Lionardi bermain dengan lantunan harmonika, menghasilkan kesan serene, tapi juga mistis. Yang cocok sekali dengan atmosfer dusun yang berduka oleh tragedi tapi juga horor oleh misteri.

Still, naskah yang minimalis left things out too much untuk bisa membuat keseluruhan film jadi benar-benar berbobot. Bahasan kerjaan para nakes tidak banyak dieksplorasi. Bahkan soal keamanan atau precaution untuk gak tertular saja kurang konsisten. Mereka hanya sebatas kewalahan merawat, tapi gak pernah berusaha menjawab apa penyakit ini, enggak concern sepenuhnya pada apa yang menyebabkan penyakit ini dan cara menularnya. Padahal elemen pencarian sebab wabah bakal bisa ngasih stake tambahan, yang makin membatasi gerak karakter. Sehingga nontonnya jadi lebih seru. Misalnya, mereka curiga sama air yang gak bersih, sehingga kini opsi air mereka terbatas. Fokus mereka oleh film hanya ke soal kenapa pocong menyerang mereka. Penyelesaiannya pun sederhana. Persoalan wabah yang tak terjawab membuat wabah ini seperti hanya dijadikan red herring untuk nutupi ‘twist’ bahasan pamali di setiap daerah yang disimpan film sebagai penyadaran terakhir para karakter.

 




Dibandingkan dengan film pertamanya, film kedua ini adalah peningkatan dari sisi hiburan. Horornya lebih seru, survivalnya lebih kerasa, setting dan dunianya juga lebih sinematik, tidak lagi terlalu ikut gamenya yang memang terkonsep horor pada hal-hal rutin. Toh ruh gamenya tetap terdeliver dengan jumpscare dan vibe horor, serta tentu saja lewat cara film mengangkat soal pamali. Kali ini terasa lebih kreatif, karena biasanya horor itu adalah tentang anak kota yang sampai ke desa dan mereka cuek sama pantangan. Di film ini karakternya aware sama pamali, dan berusaha mematuhi sedari awal. Kekurangan film kali ini adalah dari sisi plot. Ceritanya minim, melainkan tentang karakter yang terjebak di suatu situasi sehingga mereka harus bereaksi. Bukan tentang development karakternya itu sendiri. Ini sebenarnya masih bisa ditutupi dengan membuat bentuk tersendiri, seperti horor Jepang Ju-On dengan bentuk puzzle perspektifnya. Film ini hanya kurang bereksperimen saja pada bentuk-bentuk seperti demikian.
Kuberikan 7 out of 10 for PAMALI: DUSUN POCONG

 




 

 

 

That’s all we have for now.

Apakah daerah kalian punya pantangan yang aneh sendiri dibandingkan daerah lain?

Share pendapat kalian di comments yaa

Setelah nonton ini, mungkin kalian masih pengen yang menegangkan? Well, ada nih serial Hijack, serial thriller seru tentang pembajakan di pesawat yang dibintangi oleh Idris Elba di Apple TV+ Yang pengen ngerasain ketegangannya bisa langsung subscribe dari link ini yaa https://apple.co/46yw8RX

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



THE EXORCIST: BELIEVER Review

 

“Religion without humanity is very poor human stuff”

 

 

Horor adalah soal kemanusiaan, di atas urusan spiritualisme. Pemahaman itulah yang tampaknya melekat pada horor-horor modern. Karena pada horor jaman dulu, simpel. Tapi efektif. Kebaikan lawan kejahatan. Setan, ya lawannya Tuhan. The Exorcist original tahun 1973 sudah lima-puluh tahun lamanya (and counting!) sukses jadi salah satu horor terseram berkat penggambarannya terhadap derita seorang anak yang kerasukan, dan bagaimana pihak gereja mati-matian berusaha menolong si anak sekeluarga . Pengaruh film tersebut terasa karena bahkan di skena horor jadul kita, bermunculan film-film horor dengan penyelesaian cerita ditolong oleh pemuka agama. Horor-horor jadul itu dibuat untuk mengembalikan keimanan ke dalam hati pemirsa. Supaya penonton jadi rajin sholat; ibadah. Horor-horor kontemporer, however, melihat dunia tidak hitam-putih. Melihat bahwa manusia itu kompleks; bahwa setan mungkin berasal dari perasaan negatif manusia itu sendiri. Dan bahwa orang-orang suci terutama dan utama sekali adalah manusia juga. Maka kita lihatlah di horor-horor kekinian, ustadz kalah telak lawan hantu. Bermunculan horor dengan plot twist karakter yang disangka baik, ternyata yang melakukan ritual dengan iblis. Di horor barat, ‘final girl’ sudah enggak mesti lagi perempuan yang perawan. Lawan setan, kini adalah kemanusiaan.

Aku paham apa yang berusaha diincar David Gordon Green pada sekuel The Exorcist ini. Rasa kemanusiaan. Green ingin cerita horor pengusiran-setan-dari-tubuh-manusia ini lebih berfokus kepada bagaimana manusia yang terlibat bangkit rasa kemanusiaannya, di atas kepercayaan agama/spiritual yang beragam, atau malah bahkan pada orang yang sudah tidak lagi punya iman kepada Tuhan. Konsep ini sudah kita lihat berhasil dilakukan oleh Qodrat (2022), yang memperlihatkan seorang ustadz yang terbangkit dahulu rasa kemanusiaannya, dan baru menggunakan pengetahuan exorcist dan keagamaannya untuk menolong warga desa. Film yang dibintangi Vino G. Bastian tersebut berhasil, bukan exactly sebagai horor religi seperti The Exorcist original, melainkan menciptakan bentuk baru, yakni horor superhero. Green berjalan di jalur yang sama. Dia bahkan sudah berusaha melakukan ini – melakukan horor dengan mengutamakan kepada eskplorasi rasa kemanusiaan – sejak sekuel reboot Halloween. Di Halloween Kills (2021), Green  memfokuskan kepada warga kota yang bersatu bahu membahu memburu Michael Myers. Tapi sebagaimana karakter ceritanya gagal membunuh momok, Green juga gagal mengeksekusi cerita. Kegagalan yang sayangnya terulangi di The Exorcist: Believer ini. Maksud dan niatan baik Green, selalu amblas karena cerita dan perspektif yang ia angkat ujungnya tetap terlalu melebar.

Katanya sih film ini kayak awal dari anekdot “Si Katolik, si Protestan, dan si Atheis duduk di bar”

 

Dua anak perempuan hilang di hutan. Satu putri dari keluarga pemeluk Katolik yang taat. Satunya lagi putri dari Victor, seorang single-father yang skeptical sama urusan keagamaan. Dan Victor jadi begitu untuk alasan yang bagus. Alasan yang sebenarnya sudah dibangun film sebagai pembuka, tapi baru belakangan diungkap sepenuhnya. Dari latar belakang yang berbeda tersebut, bisa dibayangkan apa yang terjadi kepada masing-masing keluarga ini saat dua anak perempuan yang sudah berhari-hari dicari tapi tanpa hasil tersebut, mendadak muncul. Primbon (2023) style! Alias, dua anak ini muncul begitu saja, tanpa ingatan apapun tentang mereka hilang, dan dengan ‘oleh-oleh’ berupa sikap dan temper yang sangat aneh. Mereka suka ngeblank, tiba-tiba teriak, bicara kasar, menyakiti diri sendiri. Ketika sudah jelas mereka ‘didiagnosa’ kesurupan setan, dua keluarga dengan latar berbeda tadi harus berembuk, sudi gak sudi, percaya gak percaya, demi kesembuhan dan keselamatan anak mereka.

Ternyata sutradara Green bukan hanya ingin mengelevasi cerita kesurupan dengan tema kemanusiaan, dia juga ingin menaikkan level horor cerita ini dua kali lipat. Dua anak, dua kasus kesurupan, dua keluarga dengan latar berbeda. Secara cerita dan tema, menurutku ini masih bisa untuk worked out. Karena memang temanya itu ngasih bobot yang bikin film ini bukan sekadar remake cash grab (walau mungkin memang dibuat untuk itu), melainkan memang punya suatu pandangan baru yang ingin dibahas. Film ini toh memang jadi punya delevopment dari dua sudut pandang tadi, mereka berusaha memahami masalah, dan akhirnya menemukan cara untuk membuat mereka jadi paling enggak jadi percaya satu sama lain. Adegan ‘rukiyah’ bareng-bareng antarsesama warga biasa – ‘berdoa’ dengan keyakinan masing-masing – menurutku juga sebenarnya bukan ide atau konsep yang ngawang-ngawang. Karena memang, society modern kita yang either terlalu fanatik sama kepercayaan sendiri atau terlalu cuek sama keadaan orang lain sekali-kali perlu dikasih gambaran bisa gini loh kalo kita saling menghormati. Tidak harus soal kepercayaan siapa yang paling benar. Tidak melulu tentang kepentingan siapa yang harus didahulukan. Meski memang film ini masih terjebak perangkap modern untuk bikin pemuka agama (dalam film ini adalah pastor) kalah telak, tapi momen-momen orang biasa berusaha saling kompromi dalam bentuk bergantian berusaha exorcist dengan cara masing-masing, buatku jadi momen kemanusiaan yang baik, sesuai dengan kacamata horor film ini.

Taat agama tanpa nilai-nilai kemanusiaan hanya akan membuat kita jadi fanatik berlebihan. Karena kehidupan beragama tidak sebatas kepada soal kepercayaan kepada Tuhan. Hubungan dengan sesama manusia juga harus dipupuk. Bahkan seharusnya manusia tidak perlu rajin ibadah  dulu baru bisa berbuat baik. Kita gak harus hafal ayat suci untuk mengulurkan tangan kepada tetangga yang kesusahan. Kemanusiaan harusnya adalah insting utama manusia, regardless kepercayaan mereka apa. 

 

Secara penceritaan horor, film ini keteteran. Dua perspektif keluarga yang diniatkan untuk perbandingan, nyatanya malah membuat kita terlepas setiap kali perpindahan. Dua kasus kesurupan yang dibentuk untuk ngasih variasi horor kesurupan, nyatanya malah terasa melama-lamain masalah. Film ini sendiri, kita bisa lihat, enggak begitu pede dengan keputusan horor mereka tersebut. Yang satu horor di lingkungan gereja. Yang satu horor di lingkungan rumah sakit yang pendekataannya scientific. Tidak satupun dari penggalian itu yang dijadikan andalan oleh film ini. Yang bikin film originalnya begitu horrifying adalah momen ketika anak perempuan yang normalnya masih polos itu melakukan hal-hal ‘iblis’. Ketika sosok kecil itu dikuasai sepenuhnya oleh setan yang membuat dia melakukan bukan saja hal-hal di luar kemampuan manusia, tapi juga dalam sense yang lebih mendasar yaitu ketika si kecil itu menjadi seperti orang dewasa yang amat sangat berdosa. Di film itu kita menyaksikan anak kecil rusak fisik dan mentalnya, oleh setan. Sekuel ini, agak lebih condong ke sakit fisik. Horor yang ditampilkan masih lebih bersandar kepada pemandangan yang naas. Adegan-adegan kesurupannya tidak memorable. Film lebih banyak bermain horor dari luar, I mean, dari editing dan suara-suara keras dan sebagainya. Banyak sekali adegan yang dimulai dengan sesuatu yang mengeluarkan suara keras. Suara laci dibuka, bunyi lonceng gereja, orang teriak. Ketakutan yang dipancing terasa artifisial.

Sense takut dari hal yang tidak kita mengerti harusnya jadi pancingan utama. Karena ini kan urusannya gaib. Sebagai horor yang berurusan dengan setan, film ini kesannya terlalu berusaha rasional. Walau film menggunakan editing untuk membuat peristiwa itu benar sebagai misteri, tapi alasan kenapa si anak kesurupan akan dibeberkan dengan jelas. Ini membuat cerita jadi kurang terasa spesial, agak mematikan perbincangan yang bisa timbul dari kita menonton ini. Aku lebih suka jika film horor masih menyisakan suatu misteri untuk kita bicarakan, betapapun gak masuk akal atau malah bego sekalian.

Ujung-ujungnya tetap gak jauh dari variasi main ‘jelangkung’

 

Yang bikin film ini semakin terasa ‘steril’;  dalam artian terasa sama kayak remake-remake reboot yang tampil try too hard beda dari originalnya, alih-alih tampil berbeda dan groundbreaking untuk genrenya (seperti yang dilakukan oleh film original) adalah pilihan untuk memunculkan legacy character. Karakter dari film original. Dan film ini masang karakter tersebut dengan main aman, dan parahnya membuat kacau cerita. Karena gak nyambung. Like, karakter ibu si anak kesurupan di film original dimunculkan dengan development karakter yang gak make sense dengan yang telah ia lalui. Basically karakternya diubah. Seorang ibu yang tersiksa jiwa raga melihat anaknya itu kini menjadi semacam paranormal ahli exorcist yang serba tahu. Hampir kayak film ini pengen Exorcist reboot-an mereka punya sosok seperti Laurie, Elise, atau Lorraine sehingga mereka mengubah si Ibu menjadi seperti demikian. Seketika film ini pun jadi berubah annoying bagiku, ceritanya jadi kemana-mana. Terlalu melebar karena berisi bukan hanya tentang Victor yang berusaha menyelamatkan anaknya tapi juga soal mengaitkan itu kepada apa yang kira-kira terjadi pada karakter di film pertamanya.  Dan persoalan mereka ini cuma muncul di tengah, dan sebagai penutup (maybe sebagai teaser sekuel berikutnya). Mereka gak benar-benar esensial pada babak akhir, pada babak para karakter baru berusaha mengusir setan. Jadi ya kayak momen detour yang sebenarnya gak perlu.

 




Dengan bahasan kemanusiaan di dalam bangunan cerita horor spiritual (kalo gak mau dibilang religi), tadinya pas nonton aku udah mau ngasih skor empat untuk film ini. Toh memang bahasannya penting. Tapi eksekusinya yang juga ingin mengelevasi horor itu dua kali lipat sebenarnya justru jadi boomerang. Perspektif jadi sering berpindah, aspek horor jadi terasa berulang, semuanya terasa bloated. Dan begitu mereka munculin karakter legacy, film ini terasa semakin melebar dan semakin gak-unik lagi. Melainkan hanya jadi kayak produk dari mesin reboot yang steril dan main aman sesuai dengan standar horor modern. Skornya pun jadi semakin turun buatku. I’m not its believer anymore.
The Palace of Wisdom gives 3 out of 10 gold stars for THE EXORCIST: BELIEVER

 




That’s all we have for now.

Berarti sebenarnya horor ada dua tipe. Tipe yang tentang kebaikan lawan kejahatan. Dan tipe horor yang menggali perasaan terdalam dan terkelam manusia. Dari pengelompokan itu, horor tipe mana yang lebih kalian suka? kenapa?

Share pendapat kalian di comments yaa

Setelah nonton ini, mungkin kalian masih pengen yang menegangkan? Well, ada nih serial Hijack, serial thriller seru tentang pembajakan di pesawat yang dibintangi oleh Idris Elba di Apple TV+ Yang pengen ngerasain ketegangannya bisa langsung subscribe dari link ini yaa https://apple.co/46yw8RX

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



PETUALANGAN SHERINA 2 Review

 

“Play by the rules, but be ferocious”

 

 

Petualangan Sherina (2000) arguably adalah salah satu film anak terbaik Indonesia. Bahkan di kota asalku yang gak ada bioskop, gaung film itu terdengar keras.  Di sekolahku dulu anak-anak pada nari “Matahariiiii bersinar terang” sama geng masing-masing. Semua pada bawa bekel tupperware isi keping coklat warna-warni. Pose Sherina dan Sadam bertolak punggung, ditiru jadi pose andalan saat berfoto.  Tahun segitu memang film lagi ‘sepi’, Petualangan Sherina hadir bukan cuma jadi hiburan satu-satunya. tapi juga dengan cerita yang ringan nan asik, lagu-lagu yang catchy, dan karakter yang memorable. Sekarang, 23 tahun setelahnya, Riri Riza kembali menghadirkan Petualangan Sherina, di saat yang menurutku juga masih mirip dengan keadaan kemunculan film pertama. Yakni saat kita para penonton bioskop merasa ‘sepi’ dan perlu dihibur oleh karakter yang kita kenal dan lagu-lagu yang catchy. Petualangan Sherina 2 memang dihadirkan untuk memuaskan dahaga nostalgia serta menjawab rasa kangen terhadap para karakter. Bagaimana kelanjutan kehidupan mereka. Jadi apa Sherina dan Sadam – ‘teman-teman kecil’kita dulu itu sekarang.

Sherina M. Darmawan kini jadi reporter stasiun televisi. Cocok sih, mengingat karakternya di film pertama dulu sebagai anak yang cerdas, mandiri, kritis dan tak ragu untuk mendebat sesuatu yang menurut dia mengganjal. Salah satu quote-nya yang paling kuingat dulu adalah ketika bertanya apakah kenakalan itu juga keturunan, karena kalo ada anak yang baik, biasanya orangtua bakal dengan bangga bilang turunan ibu/ayahnya. Sherina thought kenakalan mungkin juga ‘bekerja’ seperti demikian. Dengan kualitas dan sikap seperti itu, Sherina memang pantas jadi jurnalis handal, aku sempat kepikiran karakter Gale Weathers di franchise Scream. Sherina di sekuel ini memang nyaris se-ferocious perempuan itu. Kita melihat dia kesal enggak jadi dikirim meliput ke Swiss. Alih-alih ke sana, Sherina malah ditugasi ke hutan Kalimantan. Meliput penangkaran orangutan. Di hutan itulah nanti Sherina reunian dengan Sadam. Karena sikap pantang melihat hal gak bener Sherina-lah, mereka terlibat petualangan baru; melacak anak orangutan yang dicuri untuk dijual kepada sosialita pengoleksi hewan eksotis. Bergerak sendiri karena menurut Sherina, ngatur strategi itu kelamaan.

Sherina, M-nya apa?

 

Dua-puluh-tiga tahun tentu saja bukan rentang yang sebentar. Film ini tahu persis siapa market mereka. Penonton yang juga ikut bertumbuh; yang dulu menonton Petualangan Sherina saat masih kecil, dan kini bakal kembali ke bioskop menyaksikan kelanjutan cerita. Dan kembalinya mungkin bukan sendiri, melainkan bersama ‘jagoan’ kecil mereka. Jadilah film ini diarahkan untuk jadi tontonan keluarga, tapi dengan cerita yang sedikit lebih dewasa. Film ini paham bahwa kita yang nonton bakal penasaran sama Sherina dan Sadam kini seperti apa. Dalam 23 tahun itu apa yang terjadi pada hubungan mereka. Jadi film ini ‘menggoda’ kita. Sherina dan Sadam dibuat sudah lama berpisah. Bibit-bibit hubungan romantis mereka disebar, karena mereka masing-masing belum berkeluarga. Sherina Munaf dan Derby Romero tampak mudah saja menyambung chemistry karakter mereka.  Kisah yang terjadi kepada mereka setelah kejadian film pertama, hingga mereka SMP dan SMA dan kuliah, turut disebar menghiasi petualangan mereka di hutan. Akan ada momen-momen mereka berdialog yang akrab maupun yang bikin kita penasaran. Bikin kita gemes. Bahkan mungkin sukses membuat penonton terkenang kepada sahabat yang sudah lama tidak bersua.

Ini tentu saja berkaitan dengan development karakter. Urusan naskah. Sebenarnya film ini jauh lebih ‘ambisius’ dibandingkan film pertamanya dulu itu. Ambisius dalam artian ada lebih banyak hal yang dibahas di sini. Naskah-lah yang bertindak sebagai tulang punggung, menjaga agar cerita tetap berjalan sesuai dengan perkembangan karakter.  Perkembangan karakter Sherina yang sedari kecil sudah senang debat dan kritis tadi, kini dikembangkan menjadi ‘flaw’ bagi karakternya. Setiap protagonis utama harus punya flaw/cela karena dari situlah nanti dia bakal mendapat pembelajaran yang membentuk journey karakter yang melingkar sebagai akhir cerita. Flaw Sherina inilah yang menarik, Film tidak terjebak untuk menghadirkan protagonis perempuan yang serba-perfect. Flaw membuat karakter Sherina manusiawi, semanusiawi ketika dulu saat masih kecil karakternya diperlihatkan punya hobi ‘pura-pura’ jadi jagoan. Waktu masih kecil, sikap kritis membuat Sherina tampak lucu. Kini, sikapnya itu malah membuat orang di sekitarnya kurang nyaman. Sherina jadi sedikit bossy. Gak mau diatur, dan maunya hanya melakukan pemikiran sendiri. Sikap itu jualah yang jadi akar rengganggnya hubungan Sherina dengan Sadam. Proses Sherina dealing with her flaw inilah yang tercermin pada aksi-aksi mereka nanti saat berusaha menyelamatkan anak orangutan yang diculik. Memberikan bobot di balik sajian luar cerita.

Jika waktu kecil Sherina belajar untuk melihat hal lebih dekat, kini dia perlu belajar membuka diri untuk melihat dari sudut pandang lain. ‘Mendengar’ orang lain. Gak bisa hanya dengan terus nurutin apa yang menurut dia langkah yang tepat.  Memang, terkadang kita perlu untuk bermain sesuai aturan. Play by the rules, dan mainkanlah dengan lebih baik dari orang lain.

 

Selain soal itu, film juga tampak ‘serius’ bicara soal pelestarian alam, khususnya satwa. Dua karakter antagonis – pasangan yang mengoleksi hewan eksotis – boleh saja dibuat komikal. Ratih yang diperankan Isyana Sarasvati udah kayak Scarlet J.,,eh, udah kayak Cruella De Vil di 101 Dalmatians, hanya lebih konyol. Dia juga dikasih ‘villain song’ yang buatku justru paling memorable di antara lagu-lagu lain di film ini. Tapi kalo diliat-liat karakter jahat komikal tersebut seperti menyentil keadaan yang kita jumpai di kehidupan nyata. Maraknya tren memelihara hewan liar, seperti bayi monyet, bayi macan, dan lain sebagainya di kalangan figur publik. Memelihara tapi bukan untuk melestarikan melainkan hanya untuk dijadikan konten. Menaikkan status sosial. Film ini ngasih pesan dan informasi kepada penonton bahwa hal tersebut adalah sama saja dengan tindak kejahatan. Ini pesan yang penting banget untuk dilihat terutama oleh penonton cilik, karena memberikan edukasi pelestarian satwa dan lingkungan kepada mereka. Salah satu lagu di film ini bahkan menyuarakan soal orangutan dan hutan kalimantan.

Hatiku sedih, hatiku gundah, kok malah jadi berpisah

 

Film ini tahu untuk play within its strength. Dan strength film ini tak lain tak bukan adalah nostalgia. Honestly, aku gak expect film ini bahkan dimulai dengan mengembalikan status-quo kepada formula film pertama. Sherina dari kota, dikirim ke daerah, bertemu Sadam di sana. Banyak sekali adegan-adegan yang bakal ngingetin kita pada momen-momen di film pertama. Nostalgia yang paling kerasa itu terutama pada adegan musikalnya. Seperti film pertama, sekuel ini juga diarahkan sebagai sajian musikal. Sherina dan Sadam akan menyanyikan kejadian dan perasaan yang mereka lalui. Dan kebanyakan lagu-lagu di film ini mereferensikan lagu-lagu pada film pertama. Di satu sisi hal ini memang sweet banget. Mendengar kembali lagu-lagu yang mungkin udah kita nyanyikan berulang kali sedari kecil tentu saja ngasih sensasi menyenangkan tersendiri, walaupun liriknya sedikit diubah mengikuti keadaan cerita yang sekarang. Di sisi lain, terasa jadi agak maksain juga. I’d prefer mereka menyanyikan anthem dari lagu-lagu baru ketimbang cuma mengubah lirik.  Musical number di film ini terasa kurang banyak range-nya dibandingkan dengan lagu-lagu di film pertama. Dulu itu Sherina sedih aja ada lagunya. Di film kali ini kayaknya relatif saat perasaan lagi ‘up’ saja yang dinyanyikan. Dulu, ada battle nyanyi segala. Antara Sherina dan Sadam, ledek-ledekan sambil bernyanyi di halaman sekolah. Di film sekarang, meski Sherina bertemu dengan Ratih, film gak ngasih battle nyanyi lagi kepada kita.

Karena di film ini sekarang ‘battle’ jadi beneran berantem. Sherina dan Sadam jadi literally jagoan, karena bisa berantem ngalahin komplotan penculik dan bodyguard pribadi Ratih dan suami. Memang make sense, sih, kalo setelah kejadian film pertama, Sherina dan Sadam belajar membela diri sehingga kini mereka bisa beraksi. Film juga tak lupa ngebuild soal adegan aksi berantem ini pada sepuluh menit awal dengan memperlihatkan Sherina mukulin samsak dan foto dia ikutan karate. Tapi ya rasanya aneh dan too much aja. Kayak pas Sherina dan Sadam berhadapan dengan cewek bodyguard Ratih, vibenya masih terasa gak klop dengan ‘Petualangan Sherina’ yang kita tahu. Hampir kayak di Pitch Perfect 3 tau-tau Amy bisa berantem, padahal di dua film sebelumnya vibe film itu ya tentang lomba acapella saja. Vibe berantem ini juga bikin komplotan penjahat harus jadi ‘serius’, sehingga presence aktor-aktor dengan akting mumpuni jadi penjahat konyol diganti oleh yang fokus ke bisa action saja. Dan ‘lubang’ di departemen akting ini kerasa banget.

Alih-alih melebarkan sayap ke departemen aksi, menurutku film baiknya melebarkan sayap ke pengembangan karakter lain, Toh cerita kali ini sebenarnya melibatkan banyak karakter baru. Selain karakter antagonis tadi,  ada si kameraman partnernya Sherina, yang kayaknya ada rasa sama Sherina. Ada anak kecil yang ikut membantu menyelamatkan orangutan. Gak semuanya mendapatkan porsi yang cukup. Padahal kalo digali, kayaknya bisa menambah kedalaman cerita. Yang paling kerasa kurang itu adalah si anak kecil. Si Sindai ini kayak udah didesain sebagai cerminan Sherina waktu kecil, tapi enggak banyak adegan yang menampilkan Sherina berinteraksi dengan Sindai. Relasi di antara mereka tidak pernah benar-benar di-build up. Padahal akan keren sekali kalo berdua ini lebih banyak beraksi dan bareng-bareng. I just don’t know kenapa film gak simply membuat Sherina, Sadam, dan Sindai bertualang bersama. Kenapa mereka harus terpisah jadi dua ‘regu’ dan not really berinteraksi dan menjalin hubungan. Padahal Sindai kan posisinya representatif bagi penonton cilik yang diajak ngikut kakak-kakak atau orangtua mereka yang telah ikut tumbuh bersama Sherina dan Sadam. Jadi tidak ada salahnya kalo peran dan karakter Sindai juga ikut lebih banyak tergali.

 




Betapa bahagianya. Kita akan certainly have a great fun time jika datang ke film ini mengharapkan nostalgia ketemu karakter-karakter yang udah kayak teman lama. Arahan film ini tahu apa-apa saja yang harus dideliver, dan melakukan itu dengan sangat efektif. Kisah petualangan baru Sherina diwarnai oleh pesona-pesona yang ada di film pertama. Tontonan keluarga ini meriah oleh lagu-lagu dan cerita yang seru. Bermain-main dengan rasa penasaran kita terhadap lanjutan hubungan karakternya. Dan sebagaimana ihwalnya sebuah sekuel, film ini pun aim for jadi bigger. Punya pesan menjaga alam. Bahkan punya vibe action segala. Naskah menjaga semua itu tersusun rapi, tapi tetap saja buatku film ini beberapa kali terasa too much, sekaligus too little dalam ngehandle hal-hal esensial untuk bangunan cerita. Misalnya karakter-karakter baru yang kurang tergali. Membandingkannya dengan film pertama yang juga punya naskah bener dan terarah, film itu terasa lebih tight karena lebih simpel. Menurutku film kali ini, considering lebih banyak hal yang ditawarkan, terasa agak kewalahan juga. Namun paling enggak, mereka deliver their strength nicely.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for PETUALANGAN SHERINA 2

 




That’s all we have for now.

Awalnya sih aku kurang relate sama Sherina yang kerja kantoran, happy pula. Menurutku Sherina lebih cocok sebagai jurnalis yang happynya saat turun ke lapangan. Sadam juga sebenarnya buatku agak ‘jauh’ juga dari yang kecilnya suka bintang, jadi fokus ke penangkaran orangutan. Gimana menurut kalian, apakah kalian punya versi fan-fic Sherina dan Sadam tuh cocoknya gedenya jadi apa?

Share pendapat kalian di comments yaa

Setelah nonton ini, mungkin kalian masih pengen yang menegangkan? Well, ada nih serial Hijack, serial thriller seru tentang pembajakan di pesawat yang dibintangi oleh Idris Elba di Apple TV+ Yang pengen ngerasain ketegangannya bisa langsung subscribe dari link ini yaa https://apple.co/46yw8RX

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



THE NUN II Review

 

“Seeing a miracle will inspire you, but knowing you are a miracle will change you”

 

 

Adalah fenomena ajaib, saat sebuah sekuel tampil lebih baik dari film pertamanya. Ajaib dalam artian, agak jarang terjadi. Lantaran sekuel biasanya dibikin karena studio berusaha mengulangi kesuksesan sebuah film, maka kualitas sudah bukan perkara utama lagi. Dari sudut pembuat, pembuatan sebuah sekuel itu stake-nya lebih kecil, less riskier, ketimbang cerita baru. Usaha mereka bisa diperkecil saat ada jaminan penonton bakal datang menonton lanjutan dari sesuatu yang sudah terbukti sukses sebelumnya. Kejadian langka sekuel lebih bagus dari pendahulunya maka wajib kita rayakan, karena itu berarti film tersebut bukan semata pengen memerah kesuksesan, tapi juga melakukan perbaikan-perbaikan. The Nun II, kukatakan saja, tampil lebih baik dari film pertamanya yang sangat uninspiring dan tak memorable. Namun karena The Nun pertama separah itu pulalah, maka kiprah sekuel horor karya Michael Chaves ini tak menjadi seajaib itu. The bar was just too low. Dan The Nun II berhasil tampil lebih baik meskipun usaha perbaikannya sendiri sebenarnya amat sangat minim.

Mengambil latar waktu beberapa tahun setelah battle antara Suster Irene dengan Valak, The Nun II dibuka oleh kematian mengenaskan seorang pastor. Tubuhnya terangkat ke udara, lalu terbakar seketika. Kematian misterius pemuka gereja tersebut ternyata hanyalah satu dari banyak lagi kasus lainnya di berbagai belahan dunia. Sebagai penyintas, Suster Irene yang melanjutkan hidup sebagai suster normal di biara normal, ditugasi kembali oleh Gereja untuk mengusut kasus ini. Karena there’s no doubt, si suster iblis Valak, berada di balik semuanya. Bersama kolega baru, Suster Irene harus melacak relikui kuno. Serta mencari keberadaan si Valak, yang kini bersemayam di sebuah boarding school untuk anak-anak perempuan.

The Nun II yang dinanti-nanti oleh… NO ONE

 

Cerita kali ini memang punya bobot emosi. Karena si Valak actually bersemayam masih di dalam tubuh Frenchie alias Maurice, seperti yang kita lihat di akhir film pertama. Sehingga koneksi personal antara Irene dengan Maurice akan jadi hook dramatis saat kekuatan baik dan jahat itu akhirnya nanti bertempur sekali lagi. Selain itu, pemuda baik hati yang kerja jadi tukang kebun tersebut juga diperlihatkan punya hubungan yang dekat dengan salah satu guru di boarding school (disebutnya Ibu oleh anak-anak murid) dan dengan salah satu anak murid yang bernama Sophie. Malahan, ini juga lantas jadi kekurangan film The Nun II buatku. Bobot emosi cerita ini lebih banyak dan lebih mudah tersampaikan ketika dipantik dari karakter lain, bukan dari karakter utama. Film ini kena ‘penyakit’ karakter utamanya kalah menarik dengan karakter lain. I would prefer cerita fokus di Sophie saja. Fokus di kehidupan di boarding school saja. Simpati kita sebenarnya memang lebih banyak tercurah kepada si kecil Sophie. Yang dibully oleh teman sekelas, dikatain pacaran sama om-om (alias Maurice). Setting asrama katolik tempat mereka bersekolah juga lebih banyak menawarkan elemen-elemen horor. Misalnya ketika teman-teman Sophie mengajaknya ke chapel terbengkalai untuk main challenge yang berbau mistis.

Sedangkan Suster Irene, maan, aku suka Taissa Farmiga di serial American Horror Story, tapi di sini karakter dia boring. Bosenin bukan karena dia gak lakuin apa-apa, loh. Suster Irene ini ‘kerjaan’nya banyak banget; traveling, investigasi, dan nanti harus ‘duel’ lagi dengan Valak. Cuma ya, terlalu banyak sehingga momen-momen untuk development karakternya jadi minim. Ada sedikit soal dia teringat akan mendiang ibunya, tapi itu pun tidak berbuah sesuatu yang membuat kita melihat dia sebagai karakter yang genuine. Setidaknya tidak seperti kita melihat Sophie, atau malah kolega barunya, si Suster Debra (diperankan oleh Storm Reid) Karakter Suster Irene punya sedikit sekali inner journey atau pembelajaran diri yang dramatis. Karakternya cuma belajar tentang identitas dirinya ternyata keturunan siapa. Dramatisnya Irene cuma datang dari ‘ternyata’. Sementara Sophie, kita melihat dia dari seorang korban bully menjadi gadis cilik yang berani. Lalu Suster Debra, punya arc dari seseorang yang ragu akan ‘kerjaan’ mereka – katakanlah dia suster yang imannya kurang – menjadi percaya akan mukjizat. Kepercayaan yang kuat sehingga mendorong Suster Irene untuk semakin ‘pede’ ngalahin Valak.

Sebagai horor gotik yang kental dengan nuansa religi, The Nun II memang banyak bicara soal mukjizat dan kepercayaan. Pembahasan soal anggur adalah darah Yesus adalah pembicaraan soal menumbuhkan iman. Bahwa dengan iman yang kuat maka kebenaran akan terwujud. Bahwa akan selalu ada mukjizat di sekeliling, bagi orang-orang yang percaya. Dan seperti yang dialami Suster Irene, terkadang mukjizat itu ada pada diri kita sendiri.

 

Alih-alih mengembangkan Irene sebagai karakter, film ini tampak lebih tertarik menggarap Irene sebagai karakter dengan casting meta. Film lebih tertarik membangun benang merah antara Irene yang diperankan oleh Taissa Farmiga, dengan Lorraine Warren di timeline The Conjuring yang diperankan oleh kakak Taissa, Vera Farmiga. Dalam salah satu sekuen ‘penglihatan’ Irene terhadap masa lalunya, sekilas ada Lorraine, sehingga mengindikasikan dua karakter ini mungkin memang berada dalam satu garis keturunan yang sama. Lore cerita seperti ini memang menarik, tapi menurutku hal-hal trivia seperti begini masih bisa dilakukan sambil tetap membangun personality karakter secara khusus dengan lebih genuine. Jadi film ini sebenarnya lebih tepat jika difungsikan sebagai horor tertutup di setingan sekolah asrama, dengan karakter-karakter yang hidup di sana sebagai perspektifnya. Tapi karena perspektif utamanya Irene, maka cerita akan sering berpindah-pindah ke bagian ‘investigasi’ yang menurutku membuat kita seringkali lepas dari denyut cerita yang bikin film ini hidup.

Ciee Valak masuk halaman Mode hahaha

 

Sepulang nonton, aku ngecek trivia IMDB film ini, dan di sana disebutkan total screen time Valak si suster iblis cuma dua menit lima-tujuh detik. The Nun II sesungguhnya merupakan film yang benar mengandalkan atmosfer horor ketimbang menjadikan sosok demonnya banci kamera. Oh, jumpscare tetap ada. Banyak. Sebagian besar ngeselin, terutama yang muncul di awal-awal. Tapi secara garis besar, film ini mengerti membangun momen-momen seram tersebut. Valak sebenarnya sering muncul, lore nya juga mengalami pengembangan, tapi dia ditampilkan dari balik bayang-bayang. Tidak pernah lebih lama dari seharusnya, sampai-sampai membuat kita bosan melihatnya. Atau malah film bermain-main dengan imaji-imaji yang menyerupai Valak. Momen paling kreatif film ini adalah saat memunculkan ‘Valak’ lewat halaman-halaman majalah di sebuah stand atau kios. Halaman yang berisi gambar-gambar itu membentuk kolase yang serupa dengan penampakan Valak. Dan ini cara film menampilkannya benar-benar intens, like antisipasi kita terhadap kemunculan real Valak tetap dijaga tinggi. Film ini ngerti the art of bikin penonton menahan napas dalam ketakutan. Setiap entrance Valak, entah itu beneran dia atau bukan, benar-benar terasa fresh dan jadi momen horor yang jempolan. Dan bukan hanya Valak, melainkan ada satu makhluk horor lagi yang ditampilkan dalam film ini. Makhluk yang menurutku bisa saja mereka bikinkan film tersendiri, saking efektifnya cara film memperkenalkan.

Karena itu jugalah aku jadi merasa kesal dengan editing film ini. Sebenarnya aku gak yakin juga apakah hal itu memang dari sononya karena ngincar rating umur tertentu atau ‘ulah’ sensor kita, tapi yang jelas treatment cut-cut film ini dalam menampilkan adegan-adegan horor terasa agak off. Ketika kamera sudah menangkap misteriusnya dengan ciamik, tensi sudah terbangun, exit adegan atau punchline horornya seringkali terasa terlalu cepat. Sehingga momen-momen seram tersebut jadi terasa kurang nendang. Flow horor film pun jadi terasa enggak benar-benar sempurna. Nonton film ini tu jadi kayak kerasa ‘kentang’ gitu loh. Udah capek-capek membuild suspens, tapi puncak pelampiasannya gak ada memuaskan semua. Kayak Valak lagi membunuh salah satu korban misalnya, momen dia ‘nakut-nakutin’nya udah dapat, tapi saat dia went for the kill, tiba-tiba berlangsungnya cepat.

 




Sense horor film ini sebenarnya ada pada tempat yang tepat. Gambar-gambar dan build upnya keren semua untuk standar skena horor. Kalo ternyata bukan salah ‘sensor’, film ini adalah horor dengan timing paling gak-precise yang aku tonton beberapa tahun belakangan. Gak puas aja nontonnya. Ceritanya pun begitu. Padahal dibandingkan film pertamanya, film kali ini punya bobot dramatis. Punya karakter yang cerita mereka mampu membuat kita peduli. Punya development juga. Sayangnya semua itu ada pada karakter yang gak tepat. Dalam artian, bukan pada karakter utama. Heroine utama film ini toh memang tetap dibuat cukup badass dan segala macem, tapi dia ini cuma punya ‘kejadian’. Irene ini bentukan karakternya tu kayak tipikal hero dalam film action. Development dia nyaris tidak ada, melainkan cuma ‘ternyata’. Dan karena cerita harus ngikut perspektif si karakter utama, maka cerita yang mestinya kuat di kejadian sekolah asrama, jadi sering berpindah. So yea, film ini adalah peningkatan dari film pertama, tapi itupun lebih karena film pertama yang memang set standar terlalu ke bawah.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for THE NUN II

 




That’s all we have for now.

Dunia cerita Conjuring dan The Nun sepertinya sudah diset untuk segera bertemu kembali. Apa hubungan Lorraine dengan Irene menurut kalian?

Share pendapat kalian di comments yaa

Setelah nonton ini, mungkin kalian masih pengen yang menegangkan? Well, ada nih serial Hijack, serial thriller seru tentang pembajakan di pesawat yang dibintangi oleh Idris Elba di Apple TV+ Yang pengen ngerasain ketegangannya bisa langsung subscribe dari link ini yaa https://apple.co/46yw8RX

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



PUSPA INDAH TAMAN HATI Review

 

 

“An original is worth more than a copy”

 

 

Perkara remake/adaptasi modern dari cerita remaja 80an ternyata masih belum usai. Boy yang sementara waktu bertengger di puncak, mendapat tantangan dari Galih dengan cerita keduanya. Puspa Indah Taman Hati, sekuel dari Gita Cinta dari SMA (2023), hadir dengan suguhan cerita yang lebih sebagai sebuah drama personal dari para karakter sentral. Dunianya memang masih tetap nolstalgia 80an, dengan musik-musik jadul yang diarahkan untuk lebih merasuk ke dalam ruh penceritaan. Namun karya Monty Tiwa kali ini mengusung gagasan yang lebih modern sebagai penyelesaian ‘baru’ dalam konflik ceritanya. Puspa Indah yang memang sudah revolusionary pada zamannya, jadi semakin remaja saja. Bahasan yang boleh dikatakan lebih kompleks tersebut, juga lantas membuat karakter-karakternya terasa lebih real. Menariknya, jika dibandingkan dengan Catatan si Boy yang tayang hanya beberapa minggu sebelumnya, dua film ini terasa seperti agak mirip; karakter utamanya dihadapkan pada pilihan yang sama, dan pilihan mereka masing-masinglah yang jadi penentu. Pembeda yang menunjukkan betapa cerita-cerita ini punya identitas karakter dan gagasan yang kuat. Dan yang paling penting, jika disandingkan dengan Gita Cinta, Puspa Indah sendiri benar-benar jadi sebuah konklusi yang inspirasional bagi perjalanan hidup (bukan hanya cinta) seperti Galih.

Galih dalam Puspa Indah adalah mahasiswa seni yang mencoba membantu menghidupi keluarganya dengan jadi penyanyi. Galih dan ibunya kini tinggal ngontrak di Jakarta. Karir musiknya dapat titik terang tatkala Galih ditawari album solo oleh produser, tapi lagu yang dia nyanyikan bukan lagi lagu karangan sendiri. Melainkan ‘cover’ dari lagu-lagu pop milik penyanyi lain. Lagu-lagu yang bahkan bukan genre yang biasa ia bawakan. Sejalan dengan itu, di kampus, Galih bertemu perempuan bernama Marlina, yang ternyata juga kesengsem sama Galih. Mereka berdua memang jadi pacaran. Tapi tidak tanpa konflik. Karena Galih yang punya pengalaman pahit dalam urusan asmara terkait kelas sosialnya (Galih trauma berat ditolak oleh Bapak Ratna di film pertama), mulai merasa insecure yang berdampak pada karya dan sikap kesehariannya. Marlina pun mengalami gejolak bimbang yang sama karena dia akhirnya mengetahui bahwa wajahnya miriiiiip banget sama Ratna.

Prilly jadi dua, Prilly La-two-consina.

 

Kalo disederhanakan sih, ceritanya memang relate banget. Galih ketemu perempuan yang mirip mantannya. Bukankah memang banyak kejadian seperti itu; kita ketemu orang baru yang ada sesuatu dari dirinya yang membuat kita teringat sama mantan. Atau malah sering juga kan, kita ngerasa kita punya tipe-tipe tertentu, bahwa orang-orang yang pernah kita taksir somehow punya wajah yang mirip. Film ini hanya meng-exaggerate keadaan itu dengan membuat Marlina dan Ratna, both dimainkan oleh Prilly Latuconsina. Aku sendiri juga pernah ngerasain, baru-baru ini malah. Kak Arla yang main juga di Gita Cinta dari SMA mirip banget sama seorang cewek who broke my heart. Maka, selain jadi ngefans sama Arla, aku sebagai cowok Cancer – zodiak yang terkenal susah move on – lantas relapse parah. Aku nyoba ngontak lagi si cewek yang aku tau gak bakal sudi balas messages atau WA ku lagi haha.. Itulah, film Puspa Indah yang bersetting 80an ini sebenarnya sedekat itu. Arahannya pun sebenarnya gak ribet-ribet amat. Film tetap mencoba ‘memancing’ kita ke pilihan Tim Marlina atau Tim Ratna. Naskah Alim Sudio-lah yang menjaga film untuk tetap menghasilkan bahasan yang berbobot.

Marlina dan Ratna bisa kita lihat sebagai Masa Sekarang/Masa Depan dan Masa Lalu bagi Galih. Dan kita tahu bahwa masa lalu, bagaimana juga, penting bagi setiap orang, karena masa lalu-lah yang membentuk jadi seperti apa kita sekarang. Sebagian besar orang (termasuk aku) bahkan menganggap masa lalu akan selalu menang. Tapi Galih adalah seorang karakter tersendiri. Dia boleh saja naksir sama Marlina, karena wajah Marlina mirip sama cinta pertamanya, tapi siapa yang akhirnya dipilih oleh Galih sudah seharusnya diputuskan lewat journey personal Galih. Naskah paham hal ini, karena itulah film menghadirkan kembali Ratna di dalam cerita Galih.  Karena itulah film ini juga tidak ketinggalan mengangkat soal kerjaan Galih sebagai penyanyi. Tema yang mengikat kemelut Galih dengan kerjaannya dan Marlina dengan keinsecure-annya dimiripin sama Ratna,  hingga akhirnya menjadi keputusan Galih memilih siapa di antara dua perempuan itu, adalah soal menjadi diri sendiri.

Statement film dari journey Galih tersebut, menariknya, juga bertindak sebagai gagasan meta. Mengingat film ini sendirinya juga cerita dari masa lalu. Katakanlah, sebuah kopian, seperti lagu-lagu dalam album pop sukses yang dinyanyikan Galih yang bukan original karyanya sendiri. Marlina dan Ratna adalah pembuka mata, bahwa kemiripan mereka bukan lantas berarti Marlina adalah kopian dari Ratna, hanya karena Galih lebih duluan kenal sama Ratna. Bahwa meskipun dari luar ada kemiripan – atau malah disuruh untuk mirip, siapa sebenarnya diri kita, itulah yang membuat kita original. Siapa sebenarnya diri kita, itulah yang harus kita tonjolkan, yang harus tetap dipegang. Maka akhirnya yang dipilih Galih adalah yang membuat dirinya tetap jadi diri sendiri.

 

Cerita yang fokus pada pilihan yang harus dibuat karakter membuat film ini jadi lebih enak untuk diikuti. Karena perubahan pada karakter-karakternya itu lebih mudah terlihat. Yang tentu saja juga berimbas kepada lebih terbukanya ruang untuk para pemain mengeksplorasi akting mereka. Yesaya Abraham, misalnya, di film ini Galih bukan lagi karakter yang lebih banyak diam dan tertekan. Galih di film ini tampak lebih optimis dan berdeterminasi. Flaw karakternya juga lebih kerasa. Kita merasakan dramatic irony pada Galih saat karirnya sukses, tapi membuatnya jadi sedikit songong. Di titik itu kita mengerti Galih yang sukses bisa jadi begitu besar kepala, karena dia punya ‘trauma’ di masa lalu terkait derajat sosialnya. Lucunya, film meng-acknowledge ‘trauma’ Galih tersebut lewat nada yang cukup playful. Seperti ngebecandain Galih. Secara penampilan adegan musik, Yesaya memang selalu tampak tidak-terlalu nyaman disuruh akting bernyanyi. Tapi kini kecanggungannya itu – yang bahkan bertambah karena Galih harus berjoget ala Chrisye – tampak make sense secara inner karakter. Dua karakter yang kepribadiannya bertolak belakang, jelas juga bukan tantangan peran yang enteng bagi Prilly Latuconsina. Marlina dan Ratna berhasil dia hadirkan dengan kekuatan dan kelemahan pribadi masing-masing. Sehingga kita yang menonton pun sering juga terbawa perasaan, kadang kasian ama Marlina dan mendukung Ratna, kadang kasian ama Ratna dan annoyed sama Marlina yang meski lebih terbuka tapi insecure-nya juga gak kelar-kelar

Ternyata bukan Marlina doang, ada lagi yang wajahnya mirip Ratna hahaha

 

Di sinilah menurutku arahan kurang tegas. Secara naskah sebenarnya sudah cukup bagus. Porsi sudut pandang yang balance memang harus dan menjadikan cerita lebih menarik, tetapi semestinya juga tidak mengurangi momen dramatis ketika karakter utama membuat pilihan. Puspa Indah terasa kurang stay di Galih dan agak sedikit terlalu lama mengulik di perasaan Marlina. Karena dari naturenya sebagai film kelanjutan dari Gita Cinta, Puspa Indah adalah soal Galih. Soal perjalanan Galih menentukan pilihan, baik itu karirnya, maupun asmara. Bukan soal Marlina yang bersaing cinta dengan Ratna, atau sebaliknya. Momen pembelajaran Galih memilih apa, atau siapa, dalam film ini tidak diperlihatkan terlalu dramatis. Oleh editing dan cara bercerita film pun, kepentingan perspektif Galih tersebut malah jadi terasa nomordua setelah Marlina dan Ratna ‘meluruskan masalah’ di antara mereka. Film ini banyak membentuk momen-momen tersebut dengan desain untuk menghasilkan ‘ternyata’ alih-alih progres dramatis dari sebuah pembelajaran yang dialami oleh karakter, terutama Galih. Beberapa adegan juga terasa kurang sekuat yang seharusnya, lantaran kadang exit adegannya kelamaan. Misalnya ketika adegan Marlina curhat kepada Ibu Galih; Marlina khawatir jangan-jangan Galih suka dia hanya karena dia mirip Ratna. Momen curhat tersebut terasa agak panjang dan kurang berakhir tegas karena film memilih untuk mengakhiri adegan dengan membahas masalah lain, yakni soal Ibu Galih kangen Bandung.

Film ini juga basically tidak berbuat banyak untuk memperbaiki kekurangan yang kita temukan pada film pertama. Yakni kesan artifisial. Bahasa baku dan lagu jadul, konsep yang dalam dua film ini punya sumber masalah yang sama. Para pemain yang merasa asing dengan konsep tersebut. Karakter-karakter Puspa Indah, secara umum, punya penulisan yang lebih baik. Fungsi dan relasi mereka juga hadir dengan lebih natural. Lebih lancar. Delivery-nya saja yang seringkali masih terasa agak lucu. Adegan-adegan musik juga dilakukan, secara teknis, dengan lebih baik dan tampak lebih meriah masuk ke dalam cerita. Film ini di awal udah kayak mau full-blown musical, dengan nyaris setiap adegan ada nyanyi-nyanyinya. Adegan-adegan nyanyi nya cakep, hanya kesan polesan studio saja yang masih terasa. Like, enggak semua adegan nyanyi perlu polesan, beberapa seperti momen musikal yang sureal, ataupun Galih rekaman dan syuting video klip memang tidak mengapa jika dilakukan dengan polesan. Tapi ada juga adegan-adegan seperti ada Marlina nyanyi di Restoran, yang mestinya lebih kena jika ditampilkan senaturalnya seseorang yang bernyanyi sehari-hari.

 

 




Cerita jaman dulu enak ya, konklusinya tu ada, gitu. Meskipun bersambung, tapi dua filmnya terasa seperti cerita yang berdiri sendiri. Film kali ini, melanjutkan Gita Cinta dari SMA, dengan sebuah perjalanan karakter yang menutup dengan memuaskan. Karena pilihan si karakter itu benar-benar jadi akhir perkembangan dirinya. Sendirinya, film ini hadir dengan statement atau gagasan, yang membuat dirinya tidak sekadar sebuah buatan-ulang. Film ini pun berjuang jadi diri sendiri, seperti karakter-karakternya. Kalo mau dibandingkan lebih lanjut, film ini terasa lebih kompleks dibandingkan Gita Cinta. Karakter-karakternya terasa lebih real. Dunianya yang penuh musik itu pun terasa lebih believable, walau kesan artifisial itu acapkali masih terasa.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for PUSPA INDAH TAMAN HATI

 




That’s all we have for now.

Galih dan Marlina pacaran main skate bareng teman-teman. Apakah date ala 80an impian kalian?

Share cerita kalian di comments yaa

Setelah nonton ini, mungkin kalian jadi pengen yang menegangkan? Well, ada nih serial Hijack, serial thriller seru tentang pembajakan di pesawat yang dibintangi oleh Idris Elba di Apple TV+ Yang pengen ngerasain ketegangannya bisa langsung subscribe dari link ini yaa https://apple.co/46yw8RX

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



SUZZANNA: MALAM JUMAT KLIWON Review

 

“How truly hard it was, really, to see someone you love change right before your very eyes” 

 

 

Cinta sejati itu kayak hantu. Banyak yang ngomongin, tapi cuma sedikit yang beneran melihatnya.  Merasakannya. Telah membuktikannya sendiri. Saking susahnya memperjuangkan cinta. Selalu ada saja halangannya. Makanya greatest love story seringkali justru merupakan sebuah kisah yang tragis. Gimana perasaan kita gak teraduk melihat karakter berusaha memperjuangkan perasaan yang tak semua orang bisa melihatnya ada tersebut. Guntur Soerharjanto berusaha mengaduk perasaan kita lewat film kedua Luna Maya sebagai Suzzanna. Adaptasi atau remake bebas dari horor klasik si Ratu Horor ini coba dikuatkan oleh Guntur perihal kisah cinta kedua karakternya. Membuat cinta dan hantu literally jadi satu frame. Di balik horor balas dendam, at heart film ini adalah kisah cinta yang terhalang oleh kematian. Sebagaimana halnya pada film  pertamanya tahun 2018 yang lalu. Bedanya, film Suzzanna: Bernapas dalam Kubur itu berhasil mengaduk perasaan kita, cerita dan arahannya berhasil menggali sudut pandang perempuan yang berkonflik personal; Suzzanna yang telah jadi hantu ingin membalas dendam atas kematiannya, tapi dia gak mau harus berpisah dengan suami, sehingga dia berpura-pura masih manusia. Film Suzzanna: Malam Jumat Kliwon bahkan gak punya sudut pandang kuat untuk menyampaikan konflik cinta tragis di antara kedua karakternya.

Dalam usaha untuk lebih memperkaya suasana dan dunia cerita, Malam Jumat Kliwon jadi lebih banyak mengambil sudut galian. Di satu sisi memang ini bikin cerita di Jawa tahun 1986 itu terasa lebih imersif. Babak pertama film terasa solid oleh build up dan terjaga dengan tempo yang cukup cepat. Kita melihat Suzzanna, kali ini seorang gadis desa yang dipinang oleh Raden Aryo yang ingin punya keturunan. Kita melihat Surya, kekasih Suzzanna, yang mencari tambahan nafkah dengan menjadi petarung. Kita juga melihat istri tua Raden Aryo punya peran di dalam cerita, karena kecemburuannya. So many motivasi yang saling beradu. Di babak ini cerita lebih bertapak pada Suzzanna, yang setelah hamil mulai merasa dirinya gak aman di rumah Raden. Dia disantet, dan hal menjadi total nightmare bagi Suzzanna saat proses melahirkan. Suzzanna meninggal dengan cara mengerikan, cerita masuk babak kedua, dan naskah hingga arahan mulai keteteran. Cerita ‘berpindah’ jadi tentang Surya yang ingin melihat Suzzanna untuk terakhir kalinya, only ended up mengadakan perjanjian dengan iblis untuk menghidupkan Suzzanna. Perempuan itu memang terbangun, tapi sebagai Sundel Bolong yang ingin menuntut balas dan mencari bayinya.

Dan pengen mamam seratus mangkok bakso

 

Narasi menjadi terlalu besar untuk dihandle. Aku merasa film ini seperti orang yang sudah tahu tujuan mau ke mana, tapi di tengah jalan jatuh terpuruk karena gak sanggup untuk actually mencapai tujuan tersebut. Cerita seperti Suzzanna: Malam Jumat Kliwon memang harus sebesar itu. Empat karakter sentral perlu dibahas supaya penonton dapat melihat dinamika gender di tahun segitu (dan maybe masih diteruskan hingga sekarang). Gimana Suzzanna bisa berada di posisi sulit karena lelaki yang suka seenak jidatnya, mentang-mentang berkuasa. Bahkan yang simpatik seperti Surya pun sama saja begitu dengan aksinya yang tidak membiarkan Suzzanna istirahat dengan tenang. Sebuah aksi yang bisa dibilang egois karena dia mengambil keputusan atas hidup perempuan. Film ini mengatakan semua horor itu ya simply disetir oleh kehendak lelaki., tapi juga masih memperlihatkan ada kalanya perempuan ‘berontak’ atau somehow memegang kendali aksi. Paralel Suzzanna – si istri tua – bahkan rela ke dukun, membayar ‘harga’ apapun supaya dia kembali jadi ‘yang disayang’ oleh suami. Suzzanna sendiri gak pernah digambarkan hanya pasrah, tapi disebutkan bahwa dia rela dinikahi demi keluarga. Dia di beberapa kesempatan juga beraksi dengan mempertimbangkan keselamatan nyawa Surya. Bahkan saat jadi Sundel Bolong, ada kala Suzzanna tidak mengikuti ‘perintah’ Surya untuk tidak membunuh.

Karena subteks pada karakter itulah, aspek body horor yang ditampilkan film ini jadi mencuat. Adegan menyeramkan saat persalinan itu menyimbolkan kengerian ketika tubuh penuh jejak yang tak diundang, yang tak diinginkan, yang dipaksakan kepada perempuan. Kita tahu secara narasi itu adalah efek santet, tapi kejadiannya seolah tubuh Suzzanna menolak buah dari paksaan. Harusnya sih adegan ini bisa ikonik. Bayi Suzzanna pindah ke punggung, lalu meledak membunuhnya seketika. The horror inducing nightmare includes: suara teriakan minta tolong Suzzanna kepada bidan dan pelayannya dan shot ada bayi yang bergerak-gerak di dalam lubang punggungnya. Aku gak tahu apakah film Malam Jumat Kliwon yang asli adegannya persis seperti ini, tapi memang adegan persalinan horor tersebut seperti dicomot dari era 80an. Over-the-top, gross, dan fun! Kita harus melihat ke belakang dan realized, bahwa vibe horor 80an itulah yang ingin direcreate juga oleh film ini. 80an adalah era horor praktikal yang cerita dan kejadiannya over-the-top hingga konyol, tapi jadi hiburan tersendiri. Elm Street, Friday the 13th, Evil Dead, sadis tapi menghibur. Film horor Suzzanna sendiri juga seperti itu, malah seringkali ditambah oleh reaksi-reaksi kocak dari karakter pendukung. Film karya Guntur ini punya vibe itu. Ada banyak juga adegan menakut-nakuti yang lucu, banyak reaksi dan dialog karakter yang konyol. Sally Marcelina yang jadi istri tua adalah yang paling ‘semangat’ ngasih vibe over-the-top ini.

Bicara tentang horor Suzzanna, tentu kita gak bisa lepas dari sosok Suzzanna itu sendiri. Kayaknya, industri sekarang ini gak ada yang membangun citra aktornya seperti Suzzanna lagi. Yang aura dan kemisteriusannya dipush terus hingga di balik layar. The fact that reboot-an film-filmnya ini bukan biopik tapi sangat mengutamakan perubahan wajah Luna Maya menjadi semirip mungkin dengan Suzzanna benar-benar menunjukkan bahwa legacy Suzzanna sebagai sosok dan aktor itulah yang dilestarikan. Film mengambil banyak resiko untuk menyulap Luna Maya menjadi Suzzanna. Saat jadi Sundel Bolong, ilusi tersebut lebih mudah untuk dipertahankan. Gestur berkacak pinggang lalu berbalik memamerkan lubang di punggung, serta suara cekikikan seram Luna Maya sanggup memberikan sensasi merinding, Hanya saat karakternya masih manusia, dan banyak bermain di nada drama, plus pencahayaan yang ‘normal’ usaha film memiripkan wajah itu seringkali tampak artifisial, hingga agak ‘mengganggu’ karena wajahnya seperti tempelan. Unnatural.

Sekilas jadi kayak gaya animasi wajah karakter di game Forbidden Siren

 

Suasana desa setelah kebangkitan Suzzanna sebagai Sundel Bolong juga memang harus diperlihatkan. Interaksi Suzzanna dengan warga bakal jadi hiburan horor tersendiri. Istilahnya, ngeri-ngeri sedap hahaha… mungkin Bene Dion terinspirasi judul film drama komedinya ini dari saat ikut menulis naskah Suzzanna: Bernapas dalam Kubur. I wish kualitas naskah film kali ini masih sama dengan film pertamanya tahun 2018 itu. Naskah kali ini ditangani Sunil Soraya dan Ferry Lesmana bersama Tumpal Tampubolon. Fun dan horornya masih ada, tapi dramanya lepas. Malahan, banyak elemen-elemen drama yang sempat disebut namun tidak pernah dibahas lanjut. Ada satu dialog menarik yang paling aku kecewa karena gak ada follow upnya, yakni ketika Raden ditanyai oleh istrinya apakah dia telah jadi jatuh cinta kepada Suzzanna. Kupikir developmentnya bakal menarik ketika pihak yang toxic ternyata jadi beneran cinta sama korbannya. Tapi film gak bahas lagi dan dialog itu semacam punchline angin lalu. Pokoknya, begitu masuk babak kedua, cerita benar-benar keteteran. Dialog dan kejadian jadi konyol tak terkendali. Begitu banyak hal yang bikin kita mengernyitkan kening, mulai dari kenapa kuburan Suzzanna yang mestinya dirahasiakan dari banyak orang malah dikasih nisan bertuliskan nama, hingga ke Surya yang saking rindunya tidur dengan meluk mayat? C’mon! Surya sebagai sudut pandang utama saat Suzzanna sudah tiada, tidak pernah didevelop dengan layak.

Melihat orang yang kita cintai berubah menjadi seseorang yang berbeda. Tema ini yang sebenarnya disimbolkan jadi horor dalam film Suzzanna: Malam Jumat Kliwon.  Dalam kasus Surya, dia menyaksikan kekasihnya melakukan pembunuhan-pembunuhan mengerikan karena balas dendam. Goal cerita sebenarnya adalah membuat kisah cinta begitu tragis sehingga menjadi sebuah horor, kisah cinta ketika seseorang harus melepaskan kekasih yang sudah bukan lagi manusia, ketika seseorang harus mencintai kekasihnya dengan cara yang melukai mereka.

 

Tapi penceritaan film enggak mampu mencapai goal tersebut. Tidak mampu mendramatisasi keadaan di luar menjadikannya humor sajaFilm terdistraksi oleh banyaknya elemen yang harusnya ia arahkan ke goal tersebut. Film bahkan gak mampu untuk sepenuhnya membangun rule atau mitologi Sundel Bolongnya. Karena sekarang, dia bukan lagi hantu, melainkan iblis. Padahal Suzzanna yang jadi hantu tidak bisa langsung menyakiti manusia sehingga serangan yang ia lancarkan untuk balas dendam adalah serangan psikologis yang membuat korbannnya mati karena ulah sendiri, adalah aspek yang membuat film pertamanya sangat menarik. Film kali ini sepertinya tidak mau repot dengan konsep semacam itu, dan membuat Suzzanna bisa menyakiti secara fisik karena dia adalah iblis. Dia tidak lagi unik. Aksinya dengan cepat jadi membosankan karena kita basically ngelihat hal yang sama terkait aksi dia terhadap korbannya. Di akhir film coba ngasih tantangan, yaitu ada beberapa senjata dukun yang bisa melukai Suzzanna. Ini yang mestinya dibanyakin oleh film. Buat Suzzanna vulnerable. Bikin stake ada. Bikin jadi ironi ketika Surya tak ingin Suzzanna kalah dan lenyap, tapi morally dia gak mau Suzzanna membunuh lagi. Tapi yang lebih banyak kita dapatkan malah humor dari dua hansip. Mereka kocak, bisa actually nangkep Sundel Bolong, tapi ya gak perlu sampai mau dikasih arc mereka pengen jadi pahlawan segala kalo memang ini bukan cerita mereka.

 




Buatku kerasa sih, nelangsanya ketika yang kita suka berubah menjadi something different. Aku suka film pertama Suzzanna. Dramanya bisa dalem, dan horornya tetap fun. Sedangkan film kedua ini, cuma punya fun. Dramanya banyak yang lepas, yang tidak digarap dengan manusiawi. Padahal muatan drama yang dimiliki itupun sesungguhnya tidak banyak berbeda dari film pertama. Lebih kepada, beda sudut pandang utama saja. Film kali ini sebenarnya lebih tentang Surya, laki-laki yang ditinggalkan Suzzanna, yang menghidupkannya kembali, yang ingin bersamanya sampai akhir hayat, namun perlahan menyadari apa yang sebenarnya ia butuhkan. Film enggak mampu mencapai goal dramatis ini karena sudut pandang yang tidak tegas dan naskah yang tidak bisa menghandle narasi yang besar. Bahkan untuk jadi romance horor saja masih kurang terasa. Kalo nanti ada film Suzzanna berikutnya, aku harap mereka kembali menapakkan dramanya, dan mungkin bisa dicoba untuk tone down mirip-miripan aktornya dengan Suzzanna supaya akting dan ekspresinya bisa maksimal.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for SUZZANNA: MALAM JUMAT KLIWON

 

Tulisan ini diterbitkan juga dalam Zine BREAK FROM CINEMA 
Volume 01/Agustus 2023

 




That’s all we have for now.

Kalo dibalik, menurut kalian apakah kita sebaiknya harus mau berubah demi pasangan kita?

Share pendapat kalian di comments yaa

Hijack, serial thriller bagus tentang pembajakan di pesawat yang dibintangi oleh Idris Elba di Apple TV+ sudah sampai ke episode finale. Yang pengen ngerasain ketegangannya bisa langsung subscribe dari link ini yaa https://apple.co/46yw8RX

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



INSIDIOUS: THE RED DOOR Review

 

“Painting is good for the soul”

 

 

Insidious original membuka pintu baru dalam sinema horor ala wahana rumah hantu. Perjalanan masuk ke dalam dunia lain. Wuih, pokoknya sejak Insidious booming, gak terhitung deh ada berapa film horor Indonesia yang terinspirasi konsep menjelajah ke other side lewat proyeksi astral seperti yang dipunya oleh film yang ditelurkan oleh James Wan, back at 2010 itu. Dunia gaib dan rulenya memang berbeda-beda, tapi dari gaya dan vibenya kita dengan segera bisa langsung pinpoint yang sedang ‘ditiru’ itu adalah konsep The Further yang ada pada Insidious. Jika sudah seinfluential begitu, maka sudah hampir bisa dipastikan juga Insidious bakal diperah menjadi franchise. And it did. Right now, kita sedang mantengin halaman review untuk seri kelima dari franchise Insidious. Sama seperti kebanyakan franchise horor, laku bukan berarti jaminan mutu. Antara ditinggal James Wan setelah seri kedua dengan konsep yang sudah sebegitu banyak yang meniru, Insidious mulai terasa jadi biasa-biasa saja, Maka dari itulah, menggarap seri kelima ini jadi tantangan yang nyata bagi Patrick Wilson; yang dari pemain filmnya, dia debut jadi sutradara.

Patrick mengembalikan Insidious: The Red Door kepada cerita keluarga Josh Lambert.  Terakhir kali kita melihat mereka di Insidious Chapter 2(2013), keluarga itu memutuskan untuk melakukan terapi hipnotis untuk melupakan teror di masa lalu, supaya tak lagi dihantui. Supaya anak-anaknya gak trauma dulu ayah mereka pernah berusaha membunuh mereka karena dirasuki setan. Ingatan itu dikubur dalam-dalam supaya keluarga ini bisa move on dan hidup normal serta bahagia. Well, fast forward sepuluh tahun kemudian, kita melihat hidup mereka memang cukup normal, tapi mereka gak exactly terlihat seperti keluarga bahagia. Malahan, mereka sudah bukan keluarga utuh. Josh sudah cerai dengan istrinya. Dan, hubungan Josh dengan anak-anaknya – terutama dengan si sulung Dalton yang sudah hendak kuliah – tidak baik-baik saja. Renggang. Baik Josh maupun Dalton seperti disibukkan dengan pikiran sendiri, bahwa ada masa-masa yang tidak bisa mereka ingat, dan ini mengganggu mereka.  Sementara Josh berusaha mencari kesembuhan yang lebih ilmiah, Dalton di asrama mulai dihantui kejadian misterius, saat di kelas tiba-tiba dia melukis sebuah pintu merah.

Pintu itu melarangmu masuk, atau melarangmu keluar, tanya dosen yang melihat lukisannya.

 

Ah, pintu yang harus ditutup alias tak boleh dibuka. Saat menonton, aku memang lantas teringat sama anime fantasy Suzume (2023) yang bicara hal serupa. Yang juga menyimbolkan ingatan traumatis dengan pintu yang tertutup. Sesuai genrenya, Insidious membicarakan persoalan itu dalam nada yang lebih kelam. Jika Suzume harus menutup pintu untuk mengalahkan cacing raksasa, dengan vibe petualangan dan bumbu romansa. Insidious mengharuskan karakternya berkonfrontasi dengan setan mengerikan, tanpa ada rule ataupun senjata yang jelas untuk mengalahkan sang momok. Pintu itu harus dibuka. Dan ‘perjalanan personal’ kedua karakter – Josh dan putranya, Dalton – untuk menemukan cara menemukan kembali ingatan mereka, dalam artian membuka pintu itu, adalah perjalanan masing-masing. Secara sendiri-sendiri (this is a broken father-son relationship, after all). Penuh oleh kejadian mengerikan yang tersampaikan kepada kita dalam bentuk jumpscare selantang-lantangnya.

Walau karakter utamanya tetap Josh Lambert, tapi film membagi dua perspektif ceritanya. Kita akan secara bergantian ngikutin Josh dan Dalton. Akibat yang paling jelas dari cara bercerita seperti ini adalah tempo yang jadi benar-benar kerasa gak balance. Sering berpindah-pindah karakter menghasilkan kesan film ini lebih panjang daripada durasi sebenarnya. Kesan ini timbul karena film otomatis punya lebih banyak kejadian. Kejadian dari sisi Josh, Dan kejadian dari sisi Dalton. Dua kejadian ini tentu saja akan ‘bersaing’ satu sama lain; kita akan merasa ada satu yang lebih seru ketimbang yang lain. Jadi kita bakal menunggu kejadian yang seru itu saja. Dalam kasus film ini, kejadian yang dialami Dalton di lingkungan kampus seni memang lebih menarik daripada yang dilewati ayahnya yang cuma di rumah. Untuk menyeimbangkan keduanya, film butuh arahan yang solid serta penulisan yang cerdik. Film ini toh tampak benar-benar berjuang untuk mencapai itu. Patrick Wilson memasukkan banyak experience baru ke dalam bagian Josh. Kayak, horor di dalam mesin scan otak, ataupun permainan memori yang dibikin sendiri oleh Josh di rumah demi melatih ingatannya. Tapi tetap saja bagian Josh ini terasa lebih generik, apalagi bandingannya adalah karakter Dalton yang berada dalam situasi baru, less drama, dan terbantu oleh karakter pendukung yang gampang disukai oleh penonton.

Dalton dipasangkan dengan Chris (cewek, bukan cowok) yang sifatnya dibikin bertolak belakang dengan Dalton. Sehingga interaksi mereka jadi seger banget, persahabatan mereka jadi kayak natural. Ty Sympkins mainin karakter pendiam dan banyak masalah, sementara Sinclair Daniel jadi orang yang cablak, nekat, dan punya selera humor. Relasi ini jelas dianggap lebih menghibur, ketimbang persoalan Josh yang lebih banyak ‘drama’ soal takut pikun dan lebih banyak menghabiskan waktu dengan clue-clue dari misteri masa lalu yang gak benar-benar bisa kita ikuti. Persoalan misteri untuk bagian Dalton lebih engaging dan lebih mudah konek kepada penonton karena banyak menyangkut ke adegan-adegan film Insidious saat dia masih kecil. Aku sendiri, lebih tertarik oleh gimana film membuat melukis sebagai cara Dalton teringat kembali kepada hal yang seharusnya sudah dikubur dalam-dalam oleh terapinya dulu. Jadi sebagai mahasiswa seni lukis, Dalton diajarkan untuk menggambar berdasarkan apa yang ia rasakan. Dalton diajar untuk membuka pintu di dalam dirinya. Ajaran itu accidentally membuat Dalton bersentuhan dengan ingatan terkuburnya. Membuat Dalton jadi kembali bisa nyebrang ke The Further (istilah film ini untuk dunia lain), meskipun di titik itu dia belum lagi ingat atau mengerti apa yang sebenarnya dia lakukan. Dan tebak ngapain dia dengan pengalaman mistis ‘barunya’ tersebut? Sama seperti anak muda pada umumnya, dia gunakan The Further untuk menggoda temannya. Menggoda si Chris hahaha

Ada yang ngitung berapa banyak objek warna merah yang muncul sepanjang film?

 

Konsep melukis dengan membuka pintu dalam diri ini mengingatkanku sama dulu waktu belajar nulis. Aku juga diajarkan untuk membuka pintu-pintu di dalam diri terlebih dahulu – diajarkan untuk mengenali diri sendiri terlebih dahulu supaya tulisan bisa punya rasa dan ada jiwanya. Melukis ternyata juga seperti itu. Enggak bisa asal mirip dengan ‘foto’ maka disebut bagus. Melainkan harus ada rasa dan jiwa pembuatnya. Makanya lukisan A.I. mau sebagus apapun juga masih kalah sama buatan seniman manusia. Di film ini bahkan diperlihatkan bahwa lukisan yang prosesnya dibuat dengan jiwa, juga berfungsi sebaliknya, yakni dapat menyembuhkan jiwa itu sendiri.

 

Sebagai yang bermula sebagai aktor komersil, Patrick Wilson sekiranya sudah belajar satu-dua hal cara ngebuild up momen horor yang menjual banget. Momen-momen seperti bayangan yang mengendap-ngendap dari balik kaca belakang mobil ataupun saat Josh merasa dirinya tak lagi sendirian di dalam mesin scan merupakan momen-momen yang pantas jadi highlight karena sukses bikin penonton satu studioku menghela napas dan menjerit-jerit. Momen ketika Dalton harus ‘balapan’ dengan entitas yang mau mengacau dunia nyata saat dia di dalam The Further juga ngasih reaksi super pada penonton. Patrick Wilson hanya perlu belajar lebih banyak untuk menjadikan momen-momen itu sebagai kesatuan cerita yang koheren. Karena babak ketiga film ini, babak ketika cerita Josh dan cerita Dalton mulai melebur jadi satu kesatuan konfrontasi horor atas nama perjuangan keluarga mereka, di situlah film ini terasa lemah. Kejadian just sort of happen. Rule soal The Further jika dimasuki makin jauh, makin berbahaya, sama sekali tak terasa ngefek karena Josh actually jalan di dalam sana dari rumah istrinya ke kampus Dalton – jarak yang jauh apalagi ditempuh hanya dengan kaki. Soal rule, ngomong-ngomong, memang tak pernah dijabarkan film dengan legit. Jika Dalton butuh lukisan dan teknik melukis yang ia pelajari sebagai jalan masuk, maka film tidak benar-benar memasukakalkan kenapa Josh yang ‘penyakit lupa’nya lebih parah juga jadi bisa ingat.

Yang benar-benar terlepas dari penulisan film ini akibat cara bercerita dua perspektif adalah tidak bisa fokus ke persoalan koneksi ayah dan anak yang renggang. Karakter ini terbatas pada perjalanan masing-masing meng-confront horor dengan cara yang berbeda. Sementara usaha ayah koneksi ke anak, drama mereka, tidak dilakukan maksimal. Pendekatan antara mereka berdua hanya dilakukan lewat percakapan whatsapp yang juga tampak generik lewat tampilan chat di layar dan sebagainya. Interaksi yang minim, effort yang kayak terpisah, tapi di akhir film mendadak mereka berjuang bersama. Feeling yang dihasilkan jadi tak terasa kuat, film ini hanya kejadian-kejadian yang tau-tau comes together di akhir. Momen ayah akhirnya pelukan dengan anak cowoknya harusnya jadi momen manusiawi yang grounded, yang powerful, yang mungkin relate bagi banyak penonton. Akan tetapi sepanjang perjalanannya, film tidak membuild up koneksi ini dengan benar, sehingga ya hanya jadi adegan saja.

 




Setelah sempat pindah fokus karakter pada dua film terakhirnya, aku sebenarnya seneng film ini kembali kepada keluarga Josh Lambert. Senang karena muatan drama bisa mengalir lebih genuine jika horor digali dalam lingkungan keluarga yang punya arc alias episode cerita. Film ini berusaha menggali kelanjutan cerita, sambil tetap menapak pada kejadian sebelumnya; berusaha memberikan development yang natural untuk karakter-karakter, namun sayangnya film ini not really good at doing it. Keputusan bercerita membagi dua perspektif adalah keputusan beresiko untuk ditempuh, apalagi saat film tidak dikawangi oleh sutradara yang sudah lebih mahir. Patrick Wilson cukup lumayan menghasilkan adegan-adegan horor, dia cuma butuh bercerita dengan lebih koheren. Yang lebih enak dalam penggabungan dua perspektifnya. Film ini pada jantungnya bicara tentang hubungan ayah dan anak, failednya komunikasi yang terjadi secara turun temurun, tapi proses pembelajaran karakter ke sana tidak terjabarkan dengan baik, melainkan hanya muncul sebagai solusi, tanpa ada proses yang benar-benar dramatis. Aku ragu ini bakal jadi film terakhir, tapi di samping kelemahan-kelemahan penceritaan tadi, aku rasa aku bisa nerima kalo film ini dijadikan penutup dari cerita keluarga yang sudah kita ikuti lebih dari sepuluh tahun yang lalu
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for INSIDIOUS: THE RED DOOR

 




 

That’s all we have for now.

Di film ini banyak lukisan-lukisan seram. Ngomong-ngomong, kenapa ya ada lukisan yang bisa tampak seram banget? Apakah kalian punya cerita tentang takut sama suatu lukisan atau semacamnya?

Share cerita kalian di comments yaa

Sebelum ditutup, aku mau ngajak kalian pindah dari mobil jip ke pesawat. Alias di Apple TV+ ada serial bagus tentang pembajakan di pesawat! Dibintangi oleh Idris Elba, serial thriller ini bakal ngajak kita ke sebuah trip angkasa yang tak terlupakan. Yang pengen nonton bisa langsung subscribe dari link ini yaa https://apple.co/46yw8RX

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



SCREAM VI Review

 

“A franchise is a family”

 

 

Rule number uno dari franchise adalah membuat setiap rilisannya terus membesar. Tapi aturan seperti itu juga ada pada bola salju yang melongsor. Membesar dan terus membesar sampai hancur berkeping-keping. Maka supaya franchise tidak sekadar jadi seperti bola salju, filmmaker dan studio perlu  ngisi film-film itu dengan sesuatu yang ‘lebih’. Scream, by now, telah menjadi franchise horor thriller yang dinanti bukan saja karena elemen whodunit yang exciting, tapi juga karena selalu punya komentar terhadap trope ataupun perkembangan genrenya sendiri. Warisan Wes Craven ini memang tampak ‘aman’ di tangan duo Matt Bettinelli-Olpin – Tyler Gillett yang tahun lalu membuktikan mereka sanggup menyenggol requel, horor modern yang ‘nyeni’, serta toxic fandom sekaligus di balik episode baru teror Ghostface di Woodsboro. Scream lima, despite judulnya yang membingungkan karena gak pake angka, terasa seperti kelanjutan yang ‘benar’ – yang respek, sembari terasa berani mengguncang fondasi pendahulunya. Memberikan franchise ini arahan baru yang pantas kita tunggu, Ketika mereka kembali dengan Scream VI, mereka memang memantapkan arahan tersebut. Membuat Scream menjadi semakin besar sebagai franchise, sekaligus berusaha menyentil franchise modern itu sendiri.

Jadi juga Scream waving ke Samara Weaving

 

Beberapa bulan setelah kejadian Scream lima, Sam dan adiknya, Tara, pindah ke New York, Tara udah kuliah, dan Sam ada di sana untuk menjaga adiknya. Like, menjaga yang bener-bener jaga kayak helikopter parent, gitu. Pergaulan mereka dikontrol ketat. In fact, sahabat mereka, si kembar Mindy dan Chad yang juga survivor serangan Ghostface di film sebelumnya itu, juga ikut pindah ke sana. Diminta Sam bantu menjaga Tara. Keempat orang yang menamai diri Core Four ini memang saling menjaga apapun di antara mereka. Berhati-hati dengan teman baru, dan sebagainya. Hal ini actually membuat Tara gerah. Menimbulkan sedikit friksi antara dia dengan kakaknya. Sementara itu ada Ghostface baru di luar sana yang mengincar mereka. Ghostface kali ini sangat berbeda. Lebih brutal, lebih nekat, Ghostface yang mereka hadapi sekarang gak akan malu-malu menyerang di tempat terbuka. Melukai siapapun. Worst of all, Ghostface yang satu ini bahkan bukan penggemar film ataupun horor. Sehingga tidak ada ‘rule’ yang bisa dipegang oleh Sam, Tara, dan teman-teman yang lain untuk memprediksi serangannya!

Jerat-jerat pemikat telah disebar Scream VI semenjak opening sequence. And I’m not just talking about Samara Weaving haha.. Yang mau kubilang adalah soal Scream VI yang tau-tau ngasih lihat wajah di balik topeng Ghostface di adegan pembuka! Wah, pas nonton aku langsung melongo. Belum pernah loh, Scream melakukan hal kayak gini sebelumnya. Aku sempat mikir wah ini keren juga kalo kita udah tau duluan siapa pelakunya. Elemen Whodunit mungkin jadi melemah, tapi bayangkan dramatic irony yang kita rasakan kalo kita melihat Sam atau Tara terjebak mempercayai pelaku. Tapi ternyata, ada Ghostface satu lagi yang di momen pembuka itu membunuhi geng Ghostface yang pertama, Ah, kepalaku memang ternyata langsung melangkah jauh saking ‘baru’nya langkah yang diambil Scream VI, namun aku tak merasa kecewa. Development bahwa ternyata ada Ghostface lain yang membunuhi Ghostface satunya, masih tetap merupakan langkah baru yang dilakukan pada franchise Scream, dan opening itu sukses membuatku bertanya-tanya apa lagi yang bakal dilakukan oleh sutradara untuk membuat film ini mengejutkan. Sepanjang durasi, seorang fans Scream sepertiku, niscaya bakal jerit-jerit demi ngeliat apa-apa yang dimunculkan, dan dibawa kembali oleh film ini. Kirby’s return, Gale mendapat telefon dari Ghostface untuk pertama kalinya sejak film pertama, Stu Macher ditease mungkin masih hidup (!) dan banyak lagi easter eggs lain apalagi karena investigasi Ghostface kali ini melibatkan banyak topeng dan memorabilia dari film-film Scream (alias Stab dalam dunia cerita mereka) sebelumnya. Nostalgia makin tak tertahankan karena film ini mencerminkan dirinya pada Scream 2.

Seperti sekuel original tersebut, Scream VI membawa action keluar dari Woodsboro. Hanya saja Scream VI mengambil langkah esktra. As in, pembunuhan sekarang bisa terjadi pada siapa saja, termasuk orang-orang di mini market yang bahkan gak ada sangkut pautnya sama Sam dan Tara. Ini menciptakan stake yang semakin besar. Belum lagi, narasi juga mengestablish soal rule franchise yakni semua karakter expendable. Artinya, semua karakter bisa mati. Semua karakter mungkin untuk jadi pelaku. Bahkan karakter original seperti Gale. Semua karakter dalam franchise jadi ‘kalah penting’ dari IP yang dibangun. Dengan itu, Scream VI cuek saja bikin lokasi dan adegan pembunuhan di tempat-tempat terbuka yang rame oleh orang-orang. Seolah kota New York itu sama jahatnya dengan Ghostface. Kita dan geng protagonis gak tahu siapa atau di mana yang aman. Arahan duo sutradara kita yang memang energik dalam bermain kucing-kucingan yang brutal, bikin film Scream kali ini makin terasa ekstrim. Untuk mendaratkan cerita, film memberi lumayan banyak fokus pada persoalan kakak-adik Sam dan Tara. Dua karakter ini jadi hati cerita. Karena ini bukan saja tentang kakak yang mencemaskan adiknya, ini juga adalah tentang dua survivor yang memiliki cara berbeda dealing with trauma. Permasalahan Sam yang masih dirundung bayangan ayahnya yang serial killer, juga terus dieksplorasi naskah. Scream VI menjadikan itu sebagai corong untuk berkomentar soal gimana di dunia sosial kita sekarang, seorang korban bisa balik diantagoniskan.

Malah di kita, korban yang udah tewas aja bisa dijadikan pelaku

 

Victim-blaming, sindiran buat franchise, kisah trauma shared by sisters, elemen-elemen cerita pada film ini sayangnya tidak benar-benar terikat dengan memuaskan. Franchise modern Scream di luar Wes Craven mulai kick-off, tapi langsung tersandung karena Matt dan Tyler seperti masih berkutat untuk keluar dari trope-trope franchise yang mestinya mereka examine. Melissa Barrera dan Jenna Ortega seharusnya sudah bisa lepas mewujudkan karakter mereka – and they did, mereka punya lebih banyak ruang kali ini karena ini pure cerita dari perspektif mereka – tapi dalam naskah, Tara dan Sam masih belum sepenuhnya ‘bebas’. Matt dan Tyler yang pada Scream lima membunuh Dewey, karakter original, kali ini seperti ragu-ragu dalam memperlakukan Gale, Kirby, dan yang lain. The elephant in the room adalah Sidney. Protagonis utama lima Scream sebelumnya, the face of Scream, tidak lagi muncul di film. Backstage, karena Neve Campbell tidak setuju dengan bayaran yang ditawarkan. Kita gak akan bahas gosip di luar film itu di sini, namun naskah Scream VI mau tidak mau harus nge-write off karakternya. Sidney memang ditulis ‘keluar’ dengan penuh hormat, disebut oleh karakter lain mengejar happy endingnya sendiri. Namun momen itu hanya terasa seperti throw-away, cari aman, di saat Mindy dalam monolog flm-nerdnya menyebut contoh-contoh karakter utama (di antaranya ada Luke Skywalker,  Laurie Strode di sekuel-sekuel original, Ripley di Aliens, dll) yang dibunuh demi jadi pijakan buat franchise bisa berkembang. Scream VI menyindir pembunuhan karakter tersebut dengan melakukan ‘pembunuhan karakter’ lewat aksi-aksi yang kurang konklusif, yang kurang impactful. Aku lebih suka gimana mereka nekat membunuh Dewey sebagai hook drama, ketimbang membuat para karakter legacy itu muncul untuk beraksi ala kadarnya. Kayak kalo di WWE, ada pegulat legend dibook cuma buat nongol di ring, dan menang atas superstar baru. Akan lebih impactful kalo legend itu dibuat kalah, karena dia bakal ngeboost status superstar muda yang mengalahkannya.

Tau gak kenapa film whodunit biasanya castnya bertabur bintang? Itu sebenarnya buat nutupin hal yang disebut dengan ‘hukum ekonomi karakter’. Karakter atau tokoh yang penting dalam sebuah film, pasti akan dimainkan oleh aktor yang lebih ‘bernama’. Jadi sebenarnya dari cast aja kita bisa tahu siapa yang jadi pelaku. Untuk menyamarkan itulah maka film-film whodunit sekalian aja makai cast yang ternama semua. Scream pushed this even further dengan membuat opening sequence sebagai kebiasaan naruh cameo-cameo bintang terkenal. Supaya surprise dan impact itu bisa tetap sekalian terjaga. Scream VI, dengan segala returning cast, anak baru, dan geng Core Four seperti tidak benar-benar berusaha. Bukan soal gampang ketebak atau apa, Scream lima masih Ghostface yang paling gampang tertebak buatku, tapi ini adalah soal gak ada impactnya. Pelaku di sini, meskipun masih punya kejutan, tapi basic banget. Motif pelaku yang kali ini tidak lagi peduli sama film-film, melainkan karena pure balas dendam juga membuat Scream VI nyaris balik ke thriller generik.

Dalam urusan sindiran meta, Scream VI unfortunately terasa tidak seimpactful pendahulunya. Bahasan ‘franchise’ memang dibreakdown rule-rulenya, tema ‘franchise adalah urusan keluarga’ juga memang mendarah daging sebagai konflik yang paralel antara protagonis kakak-beradik dengan antagonis, namun tidak terasa klik jadi statement yang wah dan memorable. Buatku, sindiran paling telak yang dipunya film ini lewat Ghostface yang sekarang tidak lagi peduli pada film dan rule-rule horor, adalah bahwa franchise modern juga seperti itu; not really care ama filmnya sendiri. Menurutku, film ini harusnya lebih mempertajam sindiran tersebut.

 

 




Aksi-aksi pembunuhannya memang lebih beringas. Ghostfacenya memang lebih nekat. Film kali ini definitely lebih ‘besar’. Tapi secara efek, terasa lebih jinak. Komentar meta yang jadi ciri khas film-film sebelumnya, terasa kurang nendang. Kurang dikejar oleh naskah. Cerita yang mau grounded dan mengarah ke bentukan elevated horror (horor modern yang mulai berisi seperti yang disinggung film pendahulunya) pun kurang nyampe karena film ini sendiri masih berkutat dengan nostalgia. Dalam proses itu, film ini jadi kehilangan taringnya. Statement soal franchise yang dimiliki film terasa kurang kuat karena film hanya seperti menghindar, tapi tanpa ngasih bentukan baru. Aku bisa suka dan menerima arahan baru yang ditawarkan, tapi dengan kecepatan dan bentuk seperti ini, bisa-bisa franchise thriller horor whodunit kesukaanku ini jadi bola salju beneran, Warnanya saja yang ntar berubah jadi merah darah. 
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for SCREAM VI

 




That’s all we have for now.

Bagaimana pendapat kalian tentang perkembangan franchise film di negara kita?

Share pendapat kalian di comments yaa

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA