Karakter yg mewakili satu sifat atau emosi tertentu memang bukan hal yg baru, kita udah lihat para Smurf dan kurcaci-kurcaci Putri Salju sebelumnya, jadi ya kesan pertama ku buat film ini biasa aja. . TAAAAPPPIII nyatanya, INSIDE OUT TAMPIL UNIK, KREATIF, IMAJINATIF, dan-yea- ORIGINAL! It has completely turned my mind inside out!! Sukaaaaaa~~~
Kita diajak masuk dan melihat isi dalam otak Riley, di mana Joy was in charge sementara Fear, Disgust, Sadness (“don’t touch anything!”), dan Anger membantunya mengendalikan perasaan gadis kecil tersebut. Mereka ingin agar Riley selalu bahagia. Saat Riley yang baru saja pindah ke kota lain, mulai mengenal galau- ga suka rumah baru, gapunya teman, dia jadi ga akur sama orangtuanya-situasi menjadi agak di luar kendali di ‘markas’ alias dalam pikiran Riley.
Film ini dengan smart membuat kisah tentang keadaan psikologis seorang anak yang mulai remaja menjadi penuh petualangan FUN nan mengharukan. IT HITS DEEP, really. Anak-anak mungkin sekarang ketawa ngeliat tingkah si Sadness, namun jika mereka nonton film ini 15 atau 20 tahunan lagi, mereka bakal ngerasain feeling yang berbeda. Paling engga itu yang aku rasakan saat menonton film ini. Ada elemen cerita yang lebih dalam yang bisa kita rasakan- yang anak kecil certainly belum bisa melihat hal tersebut. Makanya film ini begitu spesial. Inside Out berhasil untuk tidak tampil konyol, dan itu benar-benar hal yang bagus karena FILM INI ACTUALLY RESPECT SAMA PIKIRAN ANAK KECIL in that way.
Taruhan, it is so complex crew emosi dalam otak kita pasti sibuk saat kita nonton nih film
Soal visual jangan ditanya. Everything looks very good. Emosi-emosi itu diwujudkan dalam sosok tokoh-tokoh yang fresh, masing-masing punya ciri khas, dan tentunya menarik banget buat anak-anak. Para pengisi suara did a very good job on their part as well. Suara Joy yang diisi oleh Amy Poehler terdengar penuh kebahagiaan dan, I shoud say, sebuah kelebihan besar bisa segembira itu tanpa jadi terdengar annoying hahaha. Tadinya kukira karakter Joy ini bakal over-the-top kayak Jess di New Girl. Untungnya enggak, I was shocked by that. Joy is actually passed as a likeable. Phyllis Smith yang nyuarain Sadness berhasil ngimbangin karakter Joy, while dia sendiri juga enggak terdengar lebay. In fact, aku kagum dengan gimana para dubber dalam film ini bisa nyesuain suara mereka dengan begitu in-character.
Emosi manusia adalah hal yang kompleks. Enggak mungkin bagi kita untuk menciptakan bola memori yang murni mewakili satu emosi saja, only kids yang bisa.
Atau Goku, mengingat dia bisa naik awan Kinton.
I really like bagaimana pembuat film ini menggambarkan cara kerja perasaan manusia ke dalam sebuah dunia dengan segala segala sistem dan mekanisme yang seru dan imajinatif. Kayak gimana cara kerja dunia mimpi, apa yang terjadi sama ingatan-ingatan manusia dan hubungannya dengan pembentukan kepribadian, interaksi antara para emosi, yang semua itu berhasil dijelaskan dengan simpel dan menarik. Bukan hanya Riley, tapi juga ayahnya, ibunya, hey semua orang mempunyai ruang kendali dengan emosi dominan yang berbeda-beda, such a fun concept! Semua hal tersebut berhasil dijelaskan amazingly efektif dalam penceritaan. Mungkin film ini nantinya bisa jadi media belajar psikologi kecil-kecilan haha.
INSIDE OUT STANDS OUT AS A VERY MATURE FILM FOR KIDS. Ngajarin anak how to deal with change, growing up, how complex our emotions could-and-should be. Buat yag gede, well, ke mana perginya teman imajinasi kita? Film ini membawa kita ke masa-masa saat seorang anak kecil mulai mempertanyakan diri sendiri. Saat kita sadar bahwa masa kecil is just that, there are alot more yang menunggu kita saat dewasa, it will reminds us betapa ‘sulit’nya masa-masa tumbuh tersebut. Beneran deh, kapan kalian mulai pake hitam? lol. They did a very excellent job at telling that message. Dan tentu saja, Inside Out ngingetin kita semua bahwa tidaklah mengapa untuk membiarkan kesedihan mengambil alih sekali-sekali
This is very well might be my favorite Pixar movie of all times. Buat sekarang, no doubt semuanya setuju doong kalo aku bilang kita baru saja menyaksikan film animasi terbaik tahun 2015 ini. The Palace of Wisdom gives 9 out of 10 gold stars for Inside Out.
That’s all we have for now.
Remember in life, there are winners and there are losers.
“Evil exists in the world not to create despair but activity.”
The First Omen adalah apa yang gagal dicapai oleh Immaculate (2024). Sebuah horor di lingkungan agamis yang benar-benar mencengkeram penuh suspens (and will not let us go), Cerita ‘suster mengandung anak setan’ yang benar-benar menempatkan protagonisnya ke sudut-sudut tergelap emosi – bukan sekadar menjual image aktor pemerannya. Pengalaman sinematik yang bukan cuma asal jumpscare tapi juga merupakan experience jiwa-raga, visual dan atmosferik, yang singkat kata; tidak terasa murahan. Sekalipun film-panjang debut sutradara Arkasha Stevenson ini terasa seperti horor jadul, itu hanya karena cerita dan dunianya supposed to be a prequel toThe Omen (1976), dan sesungguhnya sebuah keberhasilan dan banyak anggukan hormat diberikan oleh film ini kepada bukan saja film aslinya, tapi juga horor-horor yang lahir pada era tersebut.
Ya, sebagai sebuah prekuel, sutradara dan tim penulis The First Omen punya tanggungjawab untuk mengikat cerita mereka kepada film aslinya. Akhir film mereka ini haruslah make sense, nyambung, dengan awal kisah original tentang Damien, anak setan yang diadopsi oleh suami-istri di London. Terutama dia harus bisa mengestablish kenapa prekuel ini diperlukan oleh cerita tersebut. Ini jelas tanggungjawab yang berat, apalagi bagi sutradara baru seperti Stevenson. Dia harus mengemban itu, sembari menapakkan jejaknya sendiri sebagai filmmaker yang punya visi, dan nyali. Kenapa nyali? karena itulah yang juga ditunjukkan Stevenson pada proyek prekuelnya ini. Apa yang sutradara hebat lakukan saat mengadaptasi, itu jugalah yang dilakukannya. Yakni ‘mengubah’ materi sesuai kebutuhan tema atau gagasan, tanpa merusak garis besar role atau cerita. Sehingga film The First Omen bukan sekadar soal kelahiran Damien, melainkan juga eksplorasi yang lebih dalam tentang keluarganya – tentang kultus yang ‘melahirkannya’. Semua itu dirangkum dalam horor bertajuk modern; otonomitas tubuh perempuan.
Franchise Exorcist pasti iri ngeliat Omen punya film modern yang bagus
Suster Margaret mendarat dengan cantik di Roma. Sebelum mengambil sumpahnya, suster dari Amerika ini ditugaskan sebagai perawat di panti asuhan khusus anak perempuan. Di panti itulah, Margaret bertemu dengan salah satu anak bernama Carlita. Anak yang terkucilkan karena tingkah dan gambar-gambar anehnya sehingga lantas dianggap sebagai troublemaker; anak yang, kenang Margaret, persis seperti dirinya waktu kecil dulu. Naturally, Margaret jadi tertarik; both kepada Carlita maupun kepada dirinya sendiri – yang ia tahu tak lama lagi akan terikat penuh pada pengabdian atas gereja; bakal kehilangan kebebasan, kalo kata Suster Luz, teman sekamarnya. Margaret jadi ingin melindungi Carlita yang juga drawn to her, tindakan yang membuat para Suster senior di panti yang strict itu gak suka. Dan Margaret, di waktu bebas tugasnya, mau ikut Suster Luz ke klub, untuk menikmati menjadi diri mereka sendiri sebelum sumpah itu tiba. Malam itu eventually jadi malam yang tak bisa diingat oleh Margaret, hari-hari sesudahnya di panti bersama Carlita menjadi hari-hari penuh misteri seolah suster yang mengaku punya imajinasi overaktif itu berada dalam mimpi buruk tak berkesudahan. Mimpi buruk tentang bayi setan.
Sekilas memang ceritanya terdengar mirip dengan Immaculate. The First Omen seperti versi yang lebih serius dan artsy ketimbang film tersebut (kalo gak mau dibilang sebaliknya; film tersebut adalah versi receh dan simplistic dari horor paranoia keren ini). Karena film ini ngangkat horornya bukan sebatas tentang hal mengerikan yang terjadi kepada tubuh suster protagonis dan misteri siapa cult penyebabnya. The First Omen juga menitikberatkan kepada penggambaran ‘how’nya. Elemen horor supernatural pada film ini dikembalikan kepada karakter utamanya, sehingga transformasi atau perubahan si suster dari yang tadinya taat mengalami sebuah journey mengerikan, traumatis. Sudah bukan lagi terasa sebatas reaksi yang ia lakukan saat dikenai peristiwa atau takdir mengerikan, seperti yang terasa pada protagonis Immaculate. Penceritaan The First Omen pun tampak mengalami perkembangan sesuai dengan yang dirasakan oleh suster Margaret. Di awal, film ini terasa seperti horor biasa saja – not much better than Immaculate. Tapi seiring suster Margaret merasa ada yang gak beres, film semakin personal ke dirinya. Innernya dulu yang bergolak. Imaji-imaji horor yang disturbing mulai menyeruak dari balik dunia relijius 70an tersebut. Mengajak kita masuk ke dalam suspens dan parnonya si suster yang persepsinya mulai ambigu.
Mencengkeram penonton ke dalam suspens yang terus naik. Hal yang tampak sederhana, tapi tidak tergapai oleh banyak horor modern. Udah jadi kayak the lost art dari horor 70-an, sebab horor sekarang lebih banyak bersandar kepada jumpscare yang dengan cepat melepaskan penonton dari kengerian dengan memberikan sensasi lega yang seru, dan lebih puas dengan menutup misteri lewat pengungkapan twist. The First Omen, memang juga punya jumpscare – ada beberapa adegan tiba-tiba ada tangan mencolek bahu atau sebagainya – tapi adegan tersebut bukan didesain untuk wahana kita. Buktinya adegan tersebut tidak disertai bunyi ledakan atau musik yang bikin jantungan. Melainkan adegan kaget tersebut didesain lebih kepada untuk karakternya, jumpscare tersebut masih berlaku dalam konteks persepsi si karakter yang semakin kacau sehubungan dengan apakah dia memang melihat hal yang gaib atau imajinasinya. “What’s happening to me, is that real?” teriakan batinnya tersebutlah yang sedang digambarkan oleh film ketika kita dibuat melayang ke atas kota dengan skoring kayak suara orang lagi berdoa yang sangat disturbing pada sebuah transisi, atau ketika kita melihat wajah Margaret diimposed kepada shot laba-laba, atau ketika Margaret menyaksikan peristiwa melahirkan yang supercreepy. Film terus menjerat kita ke dalam ketakutan Margaret yang bersumber pada kegelisahannya terkait tubuh dan kepatuhannya. Makanya aku salut banget sama Nell Tiger Free. Kupikir penampilannya di serial horor Servant udah paling keren, ternyata dia buktiin bisa membawa tipikal karakter yang tadinya polos jadi haunting ini dengan lebih terrific lagi. Range Nell luar biasa.. Dia bahkan sanggup membawakan adegan melahirkan di jalan – yang merupakan reference dari salah satu adegan horor ikonik yang ada pada film Possession (1981) – dengan vibe yang mirip dan bahkan lebih horrifying lagi.
Another brilliance perfomance yang gak bakal dilirik award gede karena… horor
Bahasan mengenai cult sesatnya pun, film ini tidak main-main. Bukan hanya soal pengungkapan mengagetkan bahwa pihak yang disangka baik ternyata jahat, Bukan cuma menyentil bahwa jemaat agama pada munafik. Film juga mengembangkan alasan, yang juga difungsikan sebagai lapisan karakter buat dunia tempat ceritanya dimulai. Roma di kala itu digambarkan penduduknya sedang krisis kepercayaan kepada authority. Dan pihak berwenang ataupun penguasa pada istilah tersebut tidak terbatas kepada pemerintah negara, tapi juga kepada pemimpin seperti pemuka agama. Inilah salah satu yang diubah sedikit oleh Stevenson. Karena pada cerita aslinya, kelahiran Damien merupakan ‘kerja’ dari pengikut AntiChrist, pengikut aliran sesat. Sedangkan pada film ini, kelahiran tersebut merupakan rencana dari pihak yang lebih kompleks. Pihak gereja yang memilih cara ekstrim dalam rangka mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap agama. Mereka sengaja menanam bibit setan supaya masyarakat berlindung kepada mereka. Tentunya, apakah pihak gereja itu masih ‘baik’ sekalipun langkah mereka jahat, atau mereka bisa dibilang memang sudah sesat karena memilih langkah itu, bisa membuat film ini jadi punya bahan perdebatan yang menarik. Bagaimana menurut kalian, silakan share pendapatnya di komen yaa
Terkutuklah pihak-pihak yang sengaja menciptakan kejahatan, supaya mereka bisa tampak mulia dengan memadamkan api yang mereka kobarkan sendiri. Sebenarnya yang dilakukan pihak gereja di film ini gak banyak berbeda dengan kebiasaan pemerintah ataupun publik figur kita sekarang. Suka sengaja ngomporin buat salah dulu, begitu udah viral baru bertindak atau minta maaf.
Tanda pertama sebuah film bagus adalah pada sepuluh menit pertamanya. Karena pada rentang itu, film akan menunjukkan kebolehannya, berusaha ngehook kita. Jika dia horor, maka dari sepuluh menit pertama kita akan ngerti horor semacam apa yang bakal jadi sajian utama. Sepuluh menit pertama, alias adegan pembuka film ini udah ngasih lihat horor modern yang berbeda cara berceritanya dengan kebanyakan horor sekarang. Set 70an, tema religi dan authority, kemudian gimana adegan seramnya berdasarkan revealing yang terbuild up dengan rapi dan matang sehingga kita terasa dicengkeram oleh ketakutan, paranoia yang melanda karakternya. Persis seperti yang dijanjikan pembukanya itulah film ini hingga akhir. Benar-benar sebuah pengalaman horor yang semakin ke sini semakin sukar dicari lawannya. Film ini bahkan punya ‘film imitasi’ yang bisa langsung kita bandingkan untuk pembuktian betapa langka dan rindunya kita sama horor dengan vibe dan penceritaan seperti ini.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for THE FIRST OMEN
Bagi kalian melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp
Remember, in life there are winners. And there are losers.
We? We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL
Kata orang, nenek atau kakek lebih sayang cucu ketimbang anaknya sendiri. Benarkah begitu? Hmm… Film debut penyutradaraan Pat Boonnitipat ini bakal bisa membantu kita untuk menjawab itu. Di balik judulnya yang terdengar matre, How to Make Millions Before Grandma Dies bicara soal hubungan dalam keluarga besar; antara anak dengan orangtua, lalu antara keduanya dengan grandparents. Bagaimana masing-masing menunjukkan cintanya, siapa yang sering pulang, siapa yang tidak. Kalopun pulang, karena memang kangen atau ada maunya. Keluarga yang disorot cerita boleh saja keluarga Thailand keturunan Cina, tapi permasalahan mereka sangat beresonansi dengan keluarga modern di manapun. Dan karena kedekatan tersebut, certainly cepat atau lambat film ini akan menggugah hati sanubari kita. Pat yang memang mengincar emosi itu tahu untuk terlebih dahulu menyajikan bahasannya dengan lugas dan menggelitik. Semua keseharian sosial di negaranya seperti berusaha dipotret olehnya. Menjadikan film ini juga sebagai komentar yang kocak. Lagipula memang benar judulnya matre, toh para karakternya dapat menjadi begitu money oriented, dan konflik mereka pun berangkat dari hal yang bisa dikatakan ngeri-ngeri sedap untuk dibicarakan, yaitu soal harta warisan.
M siap untuk meninggalkan sementara pekerjaannya (itu juga kalo bikin konten main game di Internet bisa disebut sebagai pekerjaan yang beresiko jika ditinggalkan) karena dia sudah menemukan pekerjaan yang lebih mudah dan yang lebih menguntungkan. Merawat Amah alias nenek yang divonis kanker. Ya, M tergiur ketika ada sepupu yang diwarisi rumah besar oleh kakek yang dirawatnya. M juga ingin ketiban warisan. Jadilah ia pindah dan ikut tinggal bersama Amah yang tadinya tidak begitu ia pedulikan. Tapi ‘kerjaan’ ini ternyata tidak semudah perkiraan M. Cowok putus sekolah itu merasa Amah tidak begitu suka kepadanya, afterall Amah memanggil dia sebagai cucu yang tidak berguna. M merasa ribet dengan aturan dan keseharian Amah yang berdoa kepada Dewi Kwan Im (sehingga gak makan sapi) dan pergi berjualan sedari jam 4 pagi. Apalagi M juga merasa anak-anak Amah (2 paman dan termasuk ibunya sendiri) bermaksud sama dengan dirinya; ngerawat Amah supaya jadi ranking pertama orang yang paling dicintai Amah – sehingga bakal mendapat warisan rumah. Yang bikin sedih, Amah sebenarnya tahu, M dan anak-anaknya yang mendadak sering berkunjung sedang berharap dapat ‘menuai benih dari yang mereka tanam.’
Mungkin judulnya lebih tepat How to Get Millions from Grandma’s Death
Persaingan M dan anak-anak Amah tidak lantas digarap film menjadi kompetisi komedi. Film justru tetap di ranah keseharian. Langkah M terutama adalah meningkatkan value dirinya di mata Amah. Sehingga M ada di rumah Amah sebagai penonton, sama seperti kita, mengobservasi orang-orang dan kejadian yang terjadi di seputar Amah. Lantas M akan mencoba membereskan jika ada yang salah. Jadi bibit dari konflik internal di sini adalah tentang orang yang melakukan kebaikan kepada orang lain, tapi secretly dia punya maksud yang lebih selfish. Ini membuat M jadi karakter bercela yang menarik. As in, menarik melihat dia terdevelop menjadi semakin peduli kepada Amah. Melihat M menjadi lebih terbuka matanya terhadap keadaan keluarga, yang selama ini ia cuek saja sibuk main game sendiri. Terus berada di dekat Amah dan mengurusi ini itu membuat M jadi tahu lebih banyak tentang Amah, kebiasaannya, kesukaannya, cara spesifik Amah mengenakan pakaian, siapa anak favorit Amah, hingga ke masa lalu Amah dan cerita keluarga mereka yang M dan anak-anak Amah sudah lupa tapi Amah tetap mengingatnya.
Hubungan M dan Amah inilah yang menjadi hati pada cerita. Di awal-awal kocak sekali melihat film memotret generational gap lewat M yang gen Z selalu saja ‘menjawab’ larangan atau aturan dari Amah – yang honestly memang seringkali aku lebih setuju sama ngelesnya M yang sebenarnya males, tapi masih lebih logis ketimbang perkataan Amah yang masih menganut old ways. Memang pada potret-potret kehidupan sosial-budaya seperti inilah Pat menunjukkan ketajaman komentarnya. Di luar urusan adab tradisional di rumah, Pat juga menyentil dengan lucu persoalan yang ada di negaranya. Seperti saat M dan Amah ke klinik dari pagi sekali, mereka tetap harus ngantri, dan ‘budaya’ orang sana yang mengantri adalah sendal saja, sementara pemiliknya bisa duduk dan beristirahat sembari menunggu loket dibuka. Seiring M semakin dalam mengenal Amah dan keluarganya sendiri, seiring kanker yang menggerogoti Amah semakin ganas, film bertransisi dari kocak ke nada yang lebih mengharukan. Kita bisa melihat M tidak lagi punya kendali, Amah membuat keputusan-keputusan yang bahkan M tidak bisa melihat alasan untuk menyetujuinya. Itu semua karena relationship yang digali cerita semakin meluas jangkauannya. Mulailah problematika keluarga yang relate itu mendera kita semua.
Film memilih untuk mengeksplorasi dramatisasi dari sini. Dari kedekatan kita dengan masalah yang dipotret. Penonton pada nangis karena kita semua punya nenek, atau kakek, yang dikunjungi paling hanya setahun sekali (saat libur lebaran atau libur natal atau hari besar lainnya). Nenek atau kakek yang tampak masih kuat tinggal sendiri, tapi film ini memperlihatkan kepada kita bahwa mereka sebenarnya kesepian. Banyak kita yang jarang pulang menengok mereka, dan selama ini kita mengira mereka oke-oke saja. Tapi film ini ngasih lihat dilema nenek terkait hal itu; bahwa mereka antara senang dan sedih tidak dikunjungi atau tidak dikabari, karena dari pengalaman mereka paham bahwa biasanya justru ketika anak pulang dan mengabarkan itu berarti si anak lagi punya masalah. Nenek seperti Amah pengen dikunjungi – Amah setiap hari Minggu pakai baju bagus demi menyambut anak-anaknya pulang – tapi beliau juga khawatir jika dikunjungi berarti anaknya bisa saja sedang ada masalah. Terutama kita jadi tahu betapa sulitnya bagi mereka untuk membagi kasih. Akan selalu ada yang merasa difavoritkan, akan ada yang cemburu, tapi kita gak akan pernah tahu pengorbanan yang Amah-amah lakukan untuk semua anaknya. Inilah yang akhirnya dipelajari M dari Amah yang ternyata, diam-diam, terus saja memberi. Anaknya ketauan loser kapital L pun, Amah tidak lupa untuk memberikan bagiannya.
We make a living by what we get, tapi we can make a life, by what we give. Karena itulah memberi lebih baik daripada menerima. Tindakan memberi merupakan satu semangat juang, ekspresi dari kehidupan kita sendiri. M yang tadinya hanya mengharap, hanya meminta, mencoba merawat neneknya. Tapi kemudian dia belajar pelajaran berharga ini dari neneknya. Sang ultimate giver. Dari pilihannya di akhir film, M bukan saja sudah jadi caregiver yang baik bagi tetua, tapi dia jadi paham arti untuk menjadi seorang love giver, seperti nenek dan juga nanti ibunya sendiri.
Memberi sedikit bukan berarti enggak cinta
Yang paling sedih buatku ditunjukkan oleh film ini adalah bahwa di dalam keluarga itu gak butuh maaf. Mau kesalahan gimana pun, all is forgiven selama nama belakang mereka itu masih sama. Amah masih akan terus menanti anak-anaknya, cucu-cucunya untuk kembali. Inilah kenapa film ini gak punya banyak momen berantem yang dramatis. Kalo debat kecil-kecilan yang seringkali jatuhnya lucu, sih banyak. Tapi film ini memang gak punya momen emosi yang sampe berdebat teriak-teriak ataupun nangis kejer. Jika ada yang ketahuan salah, film hanya akan menampilkan ekspresi Amah atau M yang sedang menelisiknya, dan lalu cerita berjalan di hari kemudian. Arahan dramatis atau emosional film ini lebih ke arah personal. Kontemplatif. Makanya bisa terasa lambat dan kurang naik turun bagi penonton.
Pilihannya ini bisa aku pahami, dan sepertinya aku juga lebih suka arahan yang lebih calm-tapi-menyayat seperti ini. Hanya saja, di jalur yang personal dan kontemplatifnya ini pun film terasa kurang ‘meledak’. Sebab akhirnya film memilih untuk menyandarkan ledakan emosinya kepada pengalaman penonton mengalami hal serupa. Ini terasa belum imbang, karena film jadi ‘lupa’ aspek galian dari protagonis. M dibiarkan sebagai pengamat, yang pilihan-pilihannya tidak terasa kuat terhantar kepada kita. Penonton yang tidak relate dengan kesedihan punya orangtua yang sering sendirian, harusnya masih bisa punya pijakan emosi dari journey M, jika journey tersebut lebih diperjelas dengan eskalasi konflik personal yang dipertegas. Misalnya, momen eskalasi bisa datang ketika M gagal mendapat rumah, dan dia marah kepada Amah. Proses M pergi ninggalin Amah, lalu bagaimana dia bisa balik lagi menjemput Amah setelah menyadari pembelajarannya; inilah yang mestinya bisa lebih dinaikkan dramatisnya di balik konteks ‘all is forgiven’ tadi. Karena di situ akan ada choice berat bagi M. Memilih ikut sepupu nyari duit demi kerjaannya kembali, atau kembali karena dia sudah beneran peduli kepada Amah. Naskah akan bisa lebih full circle jika kita dikembalikan sekali lagi kepada M dan motivasi terdahulu (pengen punya komputer baru buat ngegame), karena di saat itulah momen dramatis pembelajaran dia bisa ‘terbukti’ kepada kita.
Konflik dalam keluarga tampaknya selalu ribet dan nyelekit. Apalagi kalo udah urusan duit. Semuanya pengen menuntut, semuanya pengen jadi favorit. Tapi siapa sangka, sebenarnya kita melupakan hal penting di balik itu semua. Hal yang ternyata tampak begitu sederhana dan menghangatkan seperti yang diceritakan oleh film ini. Awalnya kocak, lalu perlahan tapi pasti film ini tugs our hearstrings. And never lets it go. Film berjalan pada arahan yang lebih personal dan kontemplatif. Dengan momen-momen dramatisnya disandarkan kepada potret-potret keluarga yang sebagian besar penonton pasti akan relate, gak peduli kita turunan mana, tinggal di mana. Bagi yang somehow gak relate, di sinilah sedikit kurang maksimalnya film. Mereka jadi kurang pegangan. Bibit emosional pada naskah – journey protagonisnya – kurang terangkat sebagai konflik. Penyadaran protagonisnya jadi hampir seperti teresolve dengan sendirinya. Karena dia sudah sadar seiringnya waktu. Film tidak memberikan momen yang kuat ketika dia harus memilih sebagai bukti penyadaran. Tapi di samping semua itu, pertanyaan yang lebih penting adalah: Apakah aku nangis nonton ini? Aku nangis… jika saja belum terwakili oleh setengah studio yang terisak-isak keluar dengan mata sembab
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for HOW TO MAKE MILLIONS BEFORE GRANDMA DIES
That’s all we have for now.
Jadi, apakah pertanyaan di awal sudah terjawab? Dari pengalaman kalian, apakah grandparents kalian lebih sayang cucu-cucunya, seberapa besar perbedaan cara mereka menunjukkan kasih sayang antara kepada cucu dengan kepada anak?
Bagi kalian melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp
Remember, in life there are winners. And there are losers.
We? We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL
Ngepublish Mini Review Volume 18 ini, sebenarnya aku agak gak rela. Karena lihat saja film-filmnya, banyak di antaranya masih baru banget, dan banyak juga yang ingin aku bicarakan panjang lebar. Namun sekali lagi, waktu tidak berpihak padaku. Bulan Mei ini aku kembali harus menghabiskan banyak waktu di jalan, jadi yah, aku harus ikhlas menuliskan film-film keren ini dengan lebih singkat. Kalian yang sekiranya belum puas juga, boleh kok ngajak diskusi yang lebih panjang di kolom komen. Ketemuan di sana yaa, abis baca delapan ulasan ini:
BOY KILLS WORLD Review
Ngeliat posternya, jujur aku ngirain ini adaptasi dari game Double Dragon. Ternyata bukan. Meskipun memang, debut film panjang sutradara Moritz Mohr ini seperti mendapat inspirasi dari video game beat’em up dan fighting. Boy Kills World menceritakan pemuda yang ingin balas dendam kepada penguasa, yang telah membunuh ibu dan adiknya, jadilah dia mengarungi petualangan gebuk-gebukan, yang oleh film adegan berantemnya ditreatment kayak berantem di game, apalagi dengan banyaknya ‘boss fight’ yang harus dikalahkan di masing-masing stage alias tempat.
Boy Kills World memang banyak gaya. Salah satu gayanya adalah gak banyak bicara. Dan gaya tersebut mengembang menjadi gaya-gaya lain. Aku bisa mengerti kenapa Mohr bersandar pada gaya, atau katakanlah gimmick, seperti ini. Yaitu karena cerita berantem karena revenge ini udah sering. Monkey Man (2024) yang baru bulan lalu kureview aja contohnya, juga cerita anak yang jadi petarung demi balas dendam atas kematian ibu di tangan penguasa. Tapi tidak seperti Dev Patel yang punya akar galian berupa mitologi Hanoman dari budaya lokalnya, Mohr berusaha membuat Boy Kills World berbeda dari campuran banyak gaya/gimmick. Dia membuat Bill Skarsgard meranin pemuda yang tak banyak berdialog, melainkan lebih banyak berbicara kepada kita sebagai narator. Si Boy ini sudah lama tidak bicara dengan orang sehingga dia sendiri lupa ama suaranya, sehingga suara narator yang kita dengar adalah suara narator video game – karena main game adalah kenangan indah yang selalu diingatnya. Dan untuk menggambarkan si Boy bicara dengan dirinya sendiri, film membuat Boy ini sering ‘halu’ berinteraksi dengan sosok adiknya yang telah tewas saat kecil. Jadi fun nonton ini datang dari tingkah laku ‘ajaib’ si Boy alih-alih karakternya. Dari aksi-aksinya, alih-alih plot. Plot dan dunia film ini, sama tipisnya. Meski Mohr mati-matian berusaha supaya menarik. Salah satunya dengan mengambil elemen Hunger Games.
Oh iya, ada Yayan Ruhian juga.
Pilihan film ini untuk mendahulukan gimmick memang dengan segera terasa jadi ganjalan. Like, babak pertama yang harusnya mengset up relasi si Boy dengan Yayan, hanya ditampilkan berupa montase dan voice over narator yang panjang. Padahal kalo diadegankan secara biasa, dua karakter tersebut bisa terbangun dengan lebih baik. Yayan juga bisa kebagian dialog, enggak cuma kayak dicast buat adegan berantem doang. Apalagi relasi Boy dan dukun yang menyelamatkan dan mengajarinya berantem itu ternyata merupakan relasi kunci di akhir cerita. Sebuah film sah-sah saja memilih untuk karakternya sedikit bicara, banyak bergaya, namun tentu film itu sendiri harus tetap bicara tentang sesuatu.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for BOY KILLS WORLD.
Sayangnya, ini bukan film terakhir di Volume ini yang irit ngomong dan actually gak bicara tentang apa-apa…
CHALLENGERS Review
Sementara itu, Challengers karya Luca Guadagnino is all about style. Film tenis yang not really bicara tentang tenis, tapi lebih ke bicara soal relationship. Seperti yang diucapkan oleh karakternya, tenis adalah relationship. Dan Luca, masterfully, merancang kisah romansa segitiga ini ke dalam dunia olahraga tenis. Bahkan kita sebagai penonton, akan dibuat sama seperti bola yang dipingpong (mau bilang ditenis, tapi kok ya janggal hhihi), melesat dari satu ‘pemain’ ke ‘pemain’ lain dalam artian literal maupun penggambaran. Literal karena memang ada adegan yang membuat kita berada dalam pov bola tenis yang melayang ke sana kemari, dipukul oleh dua pemain yang sedang saling mengkomunikasikan perasaannya lewat pukulan-pukulan penuh passion tersebut. Penggambaran, karena well…
Kita dipingpong oleh flashback. Challengers tidak diceritakan oleh Luca secara linear. Style-nya yang ingin memparalelkan semua ini ke dalam dunia tenis, membuat Luca bicara dengan bolak-balik. Kita melihat tiga karakter sentral di masa sekarang – dua di antaranya sedang bertarung di lapangan, sementara yang satu menonton di bangku depan – tidak tahu sebenarnya dia mendukung yang mana. Atau bagaimana mereka terhubung. Lalu film lompat ke 13 tahun lalu; lompat ke delapan tahun kemudian, balik ke masa kini, mundur lagi. Memang asyik cara Luca membuka siapa sebenarnya mereka, apa yang terjadi di antara mereka. Dua cowok itu ternyata sahabatan, satu tim, dan mereka sama-sama ‘mengidolakan’ si cewek. And that’s pretty much about it. Setiap lompatan flashback membuka informasi baru, membawa kita informasi satu lalu informasi berikutnya. Emosi kita memang ikut bergolak ke dalam asmara mereka, kita either bakal peduli sama satu karakter begitu terungkap seperti pasangannya lebih cinta ke siapa, atau kita gak peduli sama siapapun karena ya tiga-tiganya player – and they know it.
Inilah resiko yang diambil oleh Luca ketika memilih gaya bercerita pada film yang kini sudah begitu populer berkat potongan adegan bertiga dan adegan tenisnya. Karena hanya momen itulah yang akhirnya nempel. Gak lagi exactly tentang filmnya. Karena development karakternya – jika memang ada – tercacah oleh lompatan-lompatan waktu. Lompatan yang bukan dilakukan untuk membuka perkembangan, tetapi membuka kepada informasi ‘ternyata-ternyata’. Tiga karakternya adalah orang penuh passion yang enggak satu-dimensi, mereka berlapis, cuma kita tidak pernah stop begitu lama, tidak dibiarkan stay pada satu di antara mereka. Film ini tidak mengajak kita bermain bersama karakternya. Heck, kita bahkan tidak ‘menonton’ mereka bermain cinta. Ingat, di sini kita seperti bola yang dipingpong. Kita yang sedang dipermainkan. Dan sama seperti dipermainkan cinta, we all like it so much.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for CHALLENGERS.
CIVIL WAR Review
Film kehancuran dunia bukan semata bahasan bencana alam ataupun zombie, film roadtrip bukan cuma soal bersenang-senang, dan film perang bukan cuma milik prajurit atau tentara. Begitu kira-kira gambaran Civil War dalam menjadi tidak biasa. Menilik kehancuran karena perang saudara, lewat sudut pandang jurnalis yang mempertaruhkan nyawa berkeliling mengejar titik kerusuhan untuk meliputnya dari jarak dekat. Lalu kemudian sutradara Alex Garland balik bertanya; Yakin, tentara dan jurnalis itu berbeda?
Ada semacam duality pada konsep dan cerita yang membuat film ini jadi menarik. Pertama-tama, tentu saja film ‘melaporkan’ susah dan bahayanya pekerjaan jurnalis dalam meliput perang. Untuk berada begitu dengan ancaman. Juga ada gambaran yang menyinggung perbedaan ‘kelas’ antara jurnalis tv dengan jurnalis media cetak. Pekerjaan mereka sangat dibutuhkan sebagai media yang mengabarkan keadaan dengan aktual, faktual, supaya orang percaya dan melihat kebenaran di tengah suasana sechaos perpecahan kubu dalam satu negara. Sebaliknya, untuk dapat melakukan kerjaan mulia itu, mereka membutuhkan nyali dan tekat dan stamina, dan moral? Apakah integritas di atas segalanya? Inilah yang memakan karakter Kirsten Dunst sebagai protagonis dari dalam. Sebagai jurnalis fotografi senior, dia telah banyak memotret dari dekat kejadian-kejadian mengerikan. Dia memotret orang terbakar, dari jarak yang sebenarnya bisa digunakannya untuk membantu si korban. Lee memang tidak pernah mengutarakan konflik internalnya, tapi dari sikap dan pandangannya kita mengerti. Melalui si Lee ini, film pun menarik paralel antara tentara yang membidikkan senapan dengan jurnalis yang membidikkan kamera.
Lalu ada karakternya Cailee Spaeny. Jesse. Jurnalis muda yang mengidolakan Lee, yang memaksa untuk ikut bersama rombongan Lee ke Gedung Putih mewawancarai Presiden. Duality yang lebih gamblang tercermin pada hubungan antara Lee dengan Jesse, karena cerita ini gak akan berjalan maksimal jika karakter Lee tidak diberikan ‘pasangan’. Tegangnya film memang bukan masalah karena sukses tergambar lewat pengadeganan aksi jurnalis membuntuti kecamuk perang berkat kamera dinamis dan editing konsep fotografi yang precise. Namun dramatisnya thriller distopia ini baru akan terasa jika kita melihat Jesse dan Lee sebagai cerminan yang berlawanan. Bagaimana seseorang yang tadinya polos dan naif, menjadi ‘keras’ dan seperti mati rasa karena tuntutan kerjaan membuatnya terbiasa melihat kekerasan dari dekat – bahkan mengalami kekerasan itu sendiri. Dan juga sebaliknya, gimana setangguh-tangguhnya orang, se-hardened apapun perasaan itu, pasti akan tergugah juga demi melihat penyimpangan kemanusiaan sebegitu lama, sebegitu dekat.
Sebagai salah satu film yang paling kuantisipasi tahun ini. Civil War tidak mengecewakan. Bahkan shot-shotnya saja bisa demikian tak akan segera terlupakan. Buat kalian penggemar film dan pengen merasakan lebih banyak perbedaan storytelling, kalian bisa coba bandingkan adegan Cailee Spaeny dalam lubang mayat di film ini dengan adegan Kathryn Newton dalam kolam mayat di film Abigail (2024). Kalian bisa sampaikan pandangan kalian di komen, yaa
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for CIVIL WAR.
GHOSTBUSTERS: FROZEN EMPIRE Review
Aku butuh satu film lagi buat melengkapkan Volume ini jadi delapan-film. Who do I gonna call? Ghostbusters!! Haha, engga ding. Sebaliknya, aku udah nonton film sedari rilisnya Maret lalu, tapi selalu terundur-undur ulasannya. Spotnya selalu tergugurkan oleh film lain. Penyebabnya satu; walau sekuel Ghostbusters modern ini fun, tapi film ini terasa kurang urgent. Apalagi di masa yang udah sumpek oleh revival franchise yang sebenarnya kekuatan utamanya pada curi-curi memerah nostalgia.
Terkait nostalgia act, film ini bermain hormat dan punya caranya tersendiri. Cast lama (baca: legend!) disatukan jadi tim bareng cast baru. Film berhasil membuat mereka tidak tampak awkward ataupun mencuri spotlight. Frozen Empire tetap mendevelop cerita dari karakter baru. Phoebe yang diperankan oleh McKenna Grace menyetir film dengan arc yang benar terasa modern dan berdiri sendiri. Untuk melengkapi karakternya itu, film ini menciptakan hal yang kalo aku gak salah ingat, belum pernah ada di Ghostbusters sebelumnya. Yakni karakter hantu yang full ter-flesh out sebagai jiwa manusia yang tertinggal di bumi. Hubungan mereka mengangkat film ini, ngasih bobot drama. Sehingga film ini bukan sekadar petualangan menangkap hantu.
Namun di situ jugalah masalahnya. Gil Kenan, yang menulis skenario di film sebelumnya, kini duduk juga di kursi sutradara. Dan dia tersandung masalah yang sama, yang seringkali kita temui pada film setiap kali yang tadinya penulis skenario, sekarang juga menyutradarai ceritanya; Cerita tersebut cenderung menjadi penuh sesak. Frozen Empire either lebih baik dijadikan serial, atau ya pembuatnya harus ‘rela’ ngetrim cerita supaya lebih lugas dan tidak terasa berjubel baik itu oleh karakter, subplot, ataupun adegan-adegan hiasan atau hiburan. Karena begitu padatnya inilah, keurgenan film jadi tidak mencuat.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for GHOSTBUSTERS: FROZEN EMPIRE.
MONSTER Review
Kesamaan karya Rako Prijanto ini dengan buatan Kore-eda hanya sebatas pada judul dan karakternya anak-anak. Selain itu, sebaiknya jangan dibandingkan. Monster buatan Rako adalah thriller yang menempatkan anak kecil di lokasi tertutup, untuk bermain kucing-kucingan nyawa dengan orang jahat sindikat pembunuh dan penyiksa anak-anak. Gimmicknya adalah tanpa dialog, dan film ini sendirinya actually memang tidak bicara apa-apa di balik tujuan genrenya.
Ya, of course kita akan peduli dan ikut khawatir sama keselamatan karakter utamanya. Siapa yang tidak kasihan melihat anak berseragam pramuka SD tersebut memutar otak untuk menyelamatkan bukan saja dirinya sendiri, tapi juga teman yang disekap – againts orang dewasa bersenjata tajam. Dalam lingkup genrenya sendiri saja, hal tersebut adalah hal paling mudah yang bisa dilakukan seorang pembuat film. Meniadakan dialog sekilas tampak seperti creative choice, tapi jatohnya jadi kayak males saat film ini tidak punya lapisan apa-apa. Kita bahkan tidak kenal karakternya. Sehingga durasinya yang 80menitan itupun jadi terasa bahkan lebih panjang daripada durasi Ghostbusters barusan – yang dikritik kepanjangan oleh banyak pengulas. Isinya ya dragging aja, si anak sembunyi, ketahuan, struggle, kabur untuk sembunyi lagi, on repeat. Satu-satunya momen yang bikin melek adalah ketika mbak Marsha Timothy dapat The Shining moment versi dirinya sendiri. Udah.
Selain itu, yang bikin kita ikhlas nonton sampai habis adalah demi mengapresiasi akting Anantya Kirana. Film ini bersandar pada akting ketakutan dan survivalnya (eventho naskah – yang ternyata ditulis tiga orang – terus saja membuat protagonis utama kita ini khas karakter dalam horor yang pilihan aksinya blo’on)
The Palace of Wisdom gives 3 out of 10 gold stars for Rako Prijanto’s MONSTER.
THE FALL GUY Review
Based on action tv series 80’s, The Fall Guy dari luar memang heboh oleh adegan-adegan aksi stunt yang bisa dibilang over the top, tapi on the inside, sutradara David Leitch ngambil kebebasan ngembangin cerita dan dia memilih rute komedi romantis. Hasilnya, wuih The Fall Guy jadi salah satu film paling sukses menghibur kita tahun ini. Sebab Leitch menemukan cara yang sungguh brilian dalam menggodok semuanya.
Ryan Gosling dan Emily Blunt jadi pasangan yang tak biasa. Gosling adalah Colt, seorang stuntman film blockbuster yang sempat hengkang dari industri karena kecelakaan saat stunt, dan Blunt adalah Jody, juru kamera yang kini jadi sutradara film distopia luar angkasa (bayangkan Mad Max digabung Star Wars) Relationship mereka jadi hati, karena alasan satu-satunya Colt mau diminta balik jadi stuntman karena itu adalah filmnya Jody. Tapi Jody belum siap dengan ‘kejutan’ tersebut. Jadilah kita mendapat banyak sekali adegan awkward-bagi-mereka, kocak-bagi-kita saat Jody terus-terusan ngetake ulang adegan berbahaya yang dilakukan Colt karena she doesn’t feel it right. Yang berujung pada keduanya membahas cerita film – yang sebenarnya paralel ama kehidupan cinta mereka – over loudspeaker, di tengah syuting, di depan semua kru. Keadaan sebenarnya jauh lebih pelik, karena Colt juga diminta untuk menemukan aktor utama di film tersebut yang – tidak diketahui oleh Jody dan kru lain – menghilang secara misterius. Dari sinilah, adegan-adegan action seru yang sebagian besar dilakukan oleh Gosling sendiri, bisa terjadi. Sehingga walaupun di awal, film agak terseok dalam usaha memunculkan konflik, setelahnya film melaju mulus. Naskah gak punya masalah dalam melakukan transisi antara Colt yang bereaksi terhadap misi yang tak ia mengerti betul dengan pilihan-pilihan Colt demi film yayangnya sukses.
Kayaknya untuk urusan adegan action, kalian bisa bayangin sendirilah. Leitch sendiri berasal dari seorang stuntman. Selain ngerti banyak soal cara menangkap adegan aksi yang seru, dia juga begitu paham sama dunia stunt itu sendiri. Makanya, di balik itu rom-com dan aksi itu, Leitch punya misi mulia. Film yang konsepnya film dalam film ini ia gunakan sebagai komentar meta terhadap bidang kerjaan yang fungsinya penting dalam sinema ini. Gimana suka duka kerjaan sebagai stunt. Gimana posisi mereka terhadap aktor yang mereka ‘gantikan’. Gimana kerjaan seberbahaya dan sepenting ini belum ada ganjaran awardnya. Semua itu dilakukan dalam nada ringan yang menyokong kepada kocaknya komedi film ini.
The Palace of Wisdom gives 7.5 gold stars out of 10 for THE FALL GUY.
THE MINISTRY OF UNGENTLEMANLY WARFARE Review
Basically, mereka adalah preman. Untungnya yang mereka basmi bukan pemuda-pemuda yang dikambinghitamkan sebagai PKI. Tapi beneran prajurit Nazi. Sehingga nontonnya seru dan fun. Kelewat fun, malah. Guy Ritchie sukses menghasilkan adegan-adegan pembantaian yang sadis tapi stylish. Namun, film yang sepertinya juga terinspirasi dari Akira Kurosawa’s Seven Samurai ini (hitunglah, mereka tujuh preman bawahan pemerintah!) lupa memasukkan sisi yang bisa jadi kelemahan ataupun obstacle berarti bagi karakternya. Stake dan resiko justru adanya pada Winston Churchil sebagai orang yang memerintahkan mereka. Hanya saja, stakenya not really about life and death – tidak sejalan dengan aksi dan bahaya yang jadi sajian utama.
Mulai dari aksi pura-pura saat ketahuan patroli Nazi hingga ke aksi infiltrasi ke kamp-kamp dan kota pelabuhan, bahkan ketika rencana mereka mendadak berubah dan harus mencuri kapal alih-alih meledakkannya, tim yang dipimpin oleh Henry Cavill tidak pernah punya kesulitan yang berarti. Mereka semua jago dalam bidang masing-masing. Mereka selalu menemukan cara. Tidak pernah ada momen dalam film ini yang kita merasa khawatir sama keselamatan atau keberhasilan mereka. Kapten Nazi yang sepertinya pintar, tidak lengah, dan paling galak – yang sepertinya dibuild up untuk jadi final boss – saja ujungnya kalah begitu saja oleh anggota tim yang terlihat paling vulnerable. Sehingga nonton film ini jadinya lempeng aja. Fun, seru, tapi ya lempeng. Tidak ada gejolak emosi di sana-sini.
Karakternya yang satu tim itu bahkan tidak punya momen saling berantem, atau berdebat, atau ada percikan trust issue atau semacamnya. Benar-benar film ini tidak ada tantangan berarti sama sekali. Tidak ada konflik, kalo boleh dibilang. Kita hanya menyaksikan orang-orang super kompeten melaksanakan tugas ilegal mereka, dengan overcoming all the odds yang tidak benar-benar tampak seperti odds bagi mereka.
The Palace of Wisdom gives 5 gold star out of 10 for THE MINISTRY OF UNGENTLEMANLY WARFARE.
TUHAN, IZINKAN AKU BERDOSA Review
Sebelumnya, izinkan aku mengutarakan rasa skeptis yang sempat terbit di hati; begitu baca bukunya (Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur), aku ngerasa ragu cerita ini cocok ditangani oleh Hanung Bramantyo. Walau memang topik kontroversialnya Hanung banget, tapi penceritaan Kiran di buku lebih ke arah kontemplatif. Dia lebih banyak berdialog di dalam kepalanya sendiri – menuntut Tuhan. Penceritaan yang sepertinya bukan ranah Hanung yang terkenal jagonya dalam konflik-konflik ke luar yang dramatis. Tapi aku salah. Satu yang aku lupa dari mas Hanung; bahwa dia adalah satu dari sedikit sekali sutradara yang aktif saat ini yang berani mengeluarkan visi. Yang berani mengadaptasi secara benar-benar, dalam artian gak harus mengikuti sumbernya. Maka itulah rasa skeptis itu aku tinggalkan saat menonton. Karena ternyata Hanung benar-benar mengubah banyak hal – bukan hanya judul. Penceritaan, karakter, alur, dan vibe cerita ini, ia ambil dan jadikan sesuai dengan kekhasan dan kepiawaian dirinya.
Karakternya, Kiran bakal bisa jadi sobat akrab si Sita di film Siksa Kubur (2024). Karena Kiran juga adalah perempuan yang merasa dikecewakan, ditelantarkan oleh agama yang tidak lagi ia percaya ajarannya karena melihat kelakuan orang-orang di sekitarnya yang mengaku penganut taat. Hanya, langkah yang diambil Kiran berikutnya sedikit lebih logis daripada Sita. Kayak anak kecil yang marah sama ortunya, Kiran ngambek. Pundung. Manggok. Yang tadinya alim, Kiran jadi ogah beribadah. Dia malah menceburkan diri ke pergaulan bebas, sampai akhirnya mau untuk ikut permainan dosennya yang ternyata germo. Kiran mau karena dia punya suatu maksud. Film ini mengenakan kontroversi tanpa malu-malu. ini menjadikannya sungguh sebuah film yang menantang. Misalnya, Hanung mengontraskan gimana cara berpakaian Kiran yang alim dengan saat dia sudah bandel – dan itu dilakukannya dengan sama-sama masih mengenakan atribut agama. Aghininy Haque pun menaikkan level aktingnya, kini dia sudah bisa bermain di akting suara, bukan hanya postur dan gestur. Sehingga terasa sekali perbedaan antara Kiran yang dulu dengan yang sekarang.
Ngomong kembali soal perbedaan. Yes, Hanung took this story and make it his own, successfully and masterfully. Meskipun kalo mau dibandingkan, aku lebih suka versi buku dibandingkan versi film. Kiran versi buku lebih ‘dingin’, misinya untuk mengekspos kelemahan lelaki – dan ia menemukan itu setiap kali para lelaki selesai tidur dengan dirinya. Penceritaan di buku mengambil sisi dramatis dari transformasi, atau katakanlah degradasi, Kiran. Saat menonton film ini, aku bingung karena Hanung tidak tampak mengincar hal serupa. Kisah Kiran tidak diceritakan linear, melainkan seperti Challengers tadi. Banyak bolak-balik antara Kinan dulu dengan Kinan sekarang. Yang aku takutkan adalah kita gak akan bisa merasakan dramatisnya kejatuhan Kiran menjadi pendosa, karena sedari awal kita sudah diperlihatkan Kiran yang sekarang sikapnya sudah begitu. Tapi sekali lagi aku lupa. Hanung sudah membentuk ulang cerita ini sehingga dramatisasinya bukan lagi dari transformasi. Lupa bahwa Hanung adalah sutradara yang bisa membuat instan dramatisasi dari dua atau satu momen saja. Dan memang itulah yang dilakukannya. Kiran menantang Tuhan di atas gunung. Petir menggelegar, DHUAR!! Selesailah sudah kekhawatiranku.
Karena setelah itu aku merasakan film ini berjalan di rodanya sendiri. Kiran di film banyak berkonflik langsung dengan karakter lain. Bentukannya dari khas auteur lelaki mengapproach cerita ini, yaitu Kiran menjadi victim di dunia yang dikuasai laki-laki. Kiran mengalami banyak siksa dunia – bukan siksa kubur seperti Sita – sebelum akhirnya dia sadar dan gain strength dari pengetahuannya bahwa para lelaki itu munafik dan tidak lebih kuat darinya. Kiran menunjukkan pengabdiannya kepada Tuhan dengan caranya sendiri. Mengekspos kemunafikan di dunia.
The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for TUHAN, IZINKAN AKU BERDOSA.
That’s all we have for now
Wah sepertinya ini menjadi mini review terpanjang ya hihihi!
Thanks for reading.
Remember, in life there are winners. And there are losers.
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA
Orang dewasa sudah lupa caranya menjadi anak-anak. Atau mungkin lebih tepatnya, orang dewasa ‘terpaksa’ melupakan caranya menjadi anak-anak. Karena ketika sudah dewasa, kita harus berhadapan dengan banyak realita kehidupan. Dan memang realitanya; hidup itu cepat dan keras. Menuntut tanggung jawab besar, serta kita harus bersiap menyongsong begitu banyak perpisahan. Saat dewasa, sudah tidak ada lagi waktu untuk bermain-main. Maka lantas kita merasa jadi dewasa itu berarti kudu serius, enggak boleh kekanakan. Sutradara John Krasinski punya kontra-argumen soal ini. Bahwa jadi dewasa bukan berarti harus melupakan sisi kanak-kanak yang kita punya. Belakangan banyak membuat horor, Krasinski kali ini mengeksplorasi dunia imajinasi penuh fantasi dengan nada yang ringan dan hangat untuk tontonan keluarga. Dia pun kembali menapaki sisi playful dirinya yang kita kenal ketika dia sebagai seorang aktor yang meranin karakter ikonik, Jim, yang suka ngeprank dalam serial The Office (2015). Ya, Krasinski pertama-tama tampak ingin menampakkan bahwa dirinya sendiri belum lupa. Lalu kemudian lewat IF ini, Krasinski mengajak kita untuk belajar bagaimana caranya kembali menjadi anak-anak.
IF bicara tentang Imaginary Friends – ‘teman khayalan’ yang mungkin kita semua punya saat masih anak-anak. Saat kita masih suka mengkhayal tentang robot, dinosaurus, Goku, ataupun kuda poni. Jangan sampe ketuker ya antara IF dengan Imaginary (2024), karena keduanya memang sama-sama tentang teman khayalan, tapi tentu saja pendekatannya berbeda. Krasinski sebenarnya juga jago membangun dunia horor, hanya kali ini dia lebih memilih untuk bangun dunia fantasi yang lebih ‘magical’. Jadi IF ini bercerita tentang anak perempuan bernama Bea yang membantu para monster-monster imaginary friends untuk mencari anak-anak baru sebagai teman bermain. Monster-monster itu kesepian karena anak-anak yang menciptakan mereka udah pada gede dan melupakan mereka. Bea bergabung bersama Calvin, pria yang tinggal di kamar di lantai atas apartemennya, bekerja sebagai semacam biro jodoh untuk klien mereka; monster-monster yang kini tinggal di tempat rahasia yang hidup berkat imajinasi anak-anak manusia. Tadinya tempat itu boring, kayak rumah panti jompo, karena dibangun dari imajinasi Calvin yang sudah dewasa. Tapi semenjak Bea bergabung, tempat itu jadi lebih ceria, lebih fantastis!
‘Bea’ as in ‘Be-a-kid again!’
Kreativitas dari desain dunia dan monster imaginary friendsnya itulah yang jadi salah satu yang bikin film ini menyenangkan. Di tempat para monster tadi misalnya, logika yang dipakai film ini persis kayak old-cartoon’s logic. Yaitu tempat yang begitu imajinatif, sehingga akal sehat kita gak berlaku di dalam sana. Kita hanya bisa terkesima bernostalgia ke masa kecil saat menonton kartun, masa ketika lokasi ajaib itu terasa sangat menakjubkan, bukannya annoying bagi kita. Para monster yang dihadirkan juga beragam, desain 3Dnya mentok-mentok, ada yang makhluk berbulu besar dengan style ala Monster Inc, ada yang kayak kupu-kupu tapi ala kartun klasik Disney, ada yang random kayak monster gelembung ataupun yang wujudnya segelas air putih dengan satu kubus es (my favorite!), ada juga yang totally aneh berupa monster yang tak-kelihatan. Si Calvin sampe ngedumel anak macam apa yang membayangkan teman yang tak bisa dilihat, hihihi.. Namun di situlah aku sadar alasan desain segala-gaya tersebut. Karena monster-monster itu terlahir dari khayalan anak-anak, maka otomatis wujud mereka pun begitu beragam, sesuai dengan personality dan lingkungan yang membentuk imajinasi si anak. Makanya nanti kita ikut merasa seru dan penasaran menebak siapa kira-kira anak original dari masing-masing monster. Film pun lantas semakin meriah karena pengisi suara monster-monster tersebut basically cameo dari nama-nama besar, ‘teman-teman’ John Krasinski, yang sering juga castingnya mereference kepada inside joke tertentu sehubungan karir para aktor atau juga clue tentang siapa sebenarnya si karakter.
John Krasinski sendiri pernah bilang filmnya ini seperti film Pixar live-action. Mungkin karena tampilannya yang mencampurkan dunia nyata, manusia asli, dengan karakter-karakter animasi dengan desain beragam tadi. Serta karena IF juga berfokus kepada drama karakternya. Of course, sekali lihat, tema teman khayalan yang dilupakan ini bikin kita teringat sama Bing Bong di Pixar’s Inside Out (2015) Cerita IF memang terasa seperti berakar pada salah satu adegan paling bikin mewek di film tersebut, yaitu ketika Bing Bong si teman khayalan, merelakan dirinya dilupakan. Tapi kalo dilihat-lihat muatan dan ceritanya keseluruhan, IF juga bisa terlihat kayak versi lebih ringan dari gabungan antara The Boy and the Heron (2023) dengan The Sixth Sense (1999). Nah lo?
Mirip karena Bea ngalamin hal yang mirip dengan Mahito. Sama-sama harus berdamai dengan kematian ibu. Bea yang menginjak usia dua-belas tahun itu tumbuh jadi anak yang hardened oleh kematian tersebut. Dia yang tadinya cheerful dan penuh imajinasi – seperti yang terceritakan lewat footage opening yang perfectly set up keluarga Bea – kini mengikhlaskan hidupnya tak bakal seceria dulu. Bea siap mental untuk hidup yang lebih ‘real’. Bea merasa dirinya sudah bukan anak kecil, dia gak mau lagi menengok gambar-gambar karyanya waktu kecil. Despite ayahnya terus ngajak bercanda dengan beragam practical jokes, Bea yang sekarang ini tidak pernah seceria dulu. Karena deep inside, Bea khawatir kehilangan lagi. Bea khawatir ayahnya yang sakit jantung bakal menyusul ibu. Film dengan tangkas menceritakan perasaan Bea; meskipun di awal pace sedikit agak lambat tapi kita akan mengerti dengan cepat, dan tone film tidak sampai jatuh terlalu depress. Kehadiran monster-monster IF dengan segera mengisi baik itu perasaan khawatir Bea, maupun tone film sehingga kembali ceria. Para monster dan tempat yang hanya bisa dilihat oleh Bea dan Calvin menjadi panggung dinamis tempat film perlahan mendevelop karakter Bea. Berangsur gadis kecil ini kembali menjadi ‘anak-anak’. Dengan membantu para monster menemukan anak sebaagi pasangan bermain, Bea menemukan kembali penyadaran bahwa hidup harus diwarnai oleh cerita-cerita. Di sinilah hati film menunjukkan wujudnya. Terenyuh sekali rasanya melihat usaha Bea demi para monster, melihat para monster konek kembali dengan anak mereka. Hingga ke momen ada salah satu karakter yang Bea gak nyadar sebenarnya karakter itu adalah teman khayalan, dan membantunya berarti membantu dirinya sendiri.
Kita berhenti bermain bukan karena kita sudah tua. Sebaliknya, kita tua justru karena kita memutuskan untuk berhenti bermain. Kita tumbuh tua dan menyedihkan karena telah melupakan kebahagiaan yang kita anggap hanya bisa dimiliki saat anak-anak. Padahal sebenarnya tidak ada yang menghalangi kita untuk hidup dengan lepas dan ceria seperti masih kecil dulu. Kita tidak harus lupa ataupun menunda bahagia ketika hidup got real.
Bukti orang dewasa lupa rasanya jadi anak-anak dapat kita lihat pada film anak-anak. Yang seringkali antara punya karakter anak yang terlalu kaku dan bertingkah exactly kayak orang dewasa yang sedang berpura-pura jadi anak kecil (kayak, mana ada anak kecil nyebut kuburan sebagai ‘areal pekuburan’) ataupun film anak yang terlalu memanis-maniskan – membuat orang dewasa di sekitarnya blo’on ataupun tidak berani memberikan konsekuensi nyata kepada karakter anaknya. Or worse, karakter anak cuma dijadikan korban karena mereka yang paling gampang dikasihani. John Krasinski setidaknya membuktikan dia tidak lupa bagaimana jadi anak-anak. Dia tidak takut untuk berkreasi dengan pengarahan dan kamera. Pun, dia tahu persis bagaimana posisi protagonis ceritanya. Anak kecil yang sudah siap menjadi dewasa karena kehilangan, tapi sebenarnya belum benar-benar siap. Bea tampak natural, dia beneran tampak seperti gimana anak seumuran itu – anak yang merasa dirinya dewasa tapi belum – bertindak. Nge-cast Cailey Fleming yang memang sebearnya lebih tua dibanding umur karakternya membuat Fleming jadi tampak effortless ngasih aura dewasa di balik keinnocenant Bea. Chemistry-nya dengan Ryan Reynolds yang jadi Calvin (dengan dinamika standar orang dewasa penggerutu dengan anak yang lebih loose) juga terasa cukup natural.
Temanku dulu kok begini, tapi kini tak nampak lagi
Namun bahkan John Krasinski yang punya perhatian pada world-building dan pesona utamanya sepertinya memang berada pada persona kekanakan (sebagai Ayah Bea di sini, dia persis kayak Jim di serial The Office) belum sepenuhnya lancar bercerita di dunia fantasi petualangan. Aplikasi horornya ke cerita anak-anak baru seujung kuku Guillermo del Toro. Karena naskah dan arahan IF pada akhirnya berbelok lebih ke galian dramatisasi terhadap kenangan masa kecil, terhadap kembali teringat pada masa kecil, ketimbang pendalaman. Secara emosi memang berhasil, tapi masih ada pembeda tegas antara bentukan cerita IF dengan cerita anak Pixar maupun dongeng del Toro. Film punya konsekuensi – Bea boleh jadi tidak akan bahagia lagi kalo nanti ayahnya meninggal, tapi film ini urgensinya masih kurang. Stake-nya masih kurang. Sebuah film memang gak harus ada villain atau antagonis, tapi itu bisa dilakukan jika ceritanya bisa establish stake dari sekitar protagonis. IF kurang nendang karena batasan atau pertaruhannya kurang ditekankan. Like, para monster dibuat tidak menghilang jika dilupakan oleh anak yang menciptakan mereka. Mereka cuma terlantar di tempat rahasia bersama-sama. Sehingga jikapun Bea gagal membantu, terasa tidak begitu jadi soal. Perkara Bea takut kehilangan ayahnya; film ini pun kurang karena incaran relasi antara father-daughter kurang mendapat screen time, dan perjuangan Bea membantu monster tidak diparalelkan dengan Bea, mungkin misalnya, menyelamatkan ayahnya. Atau mungkin membantu ayahnya ketemu sama monster IFnya semasa kecil. Instead, relasi utama terbagi dua, yaitu satu lagi antara Bea dengan Calvin. Tapi karena relasi mereka ini konsepnya adalah revealing yang mengharukan, maka mereka juga tidak benar-benar ada naik turun. Krasinski pada akhirnya terasa terlalu sibuk mengarahkan agar ceritanya tidak berakhir seperti modelan biasa, sehingga ceritanya ini kurang terasa nendang.
Komedi dan drama yang jadi hati film ini memang mampu mengena. Kreasinya juga cukup sukses bikin kita terpana, membuat kita kembali juga kepada kenangan masa kecil. Mengingat betapa bahagia dulu di masa itu, serta orang-orang yang ada di masa itu bersama kita sehingga masa itu rasanya bahagia sekali. Lewat sudut pandang anak yang cope with family loss, bahasan dunia teman khayalan ini pengen dibuat mature, hanya saja ternyata eksplorasinya tidak sedalam itu. Film akhirnya lebih mengandalkan kepada dramatisasi dari ketemunya para monster dengan anak-anak teman bermain mereka. World building yang menakjubkan itu akhirnya terasa kurang komplit, karena urgensi cerita masih kurang terasa. Film ini jadinya terasa sama dengan para monster khayalan; cute dan loveable, namun untuk penilaian, dia samanya dengan nama protagonisnya. Bea, alias dalam bahasa Inggris dibaca ‘B’
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for IF: IMAGINARY FRIENDS
That’s all we have for now.
Pernahkah kalian punya teman khayalan? Di umur berapa kalian mulai menyadari dan melupakan teman tersebut?
Bagi kalian melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp
Remember, in life there are winners. And there are losers.
We? We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL
“To the child, abandonment by their parents is the equivalent of death”
Aku bersumpah, sehabis nonton horor yang satu ini untuk tidak pernah lagi meremehkan orang berdasarkan apapun. Tidak dari pekerjaan, apalagi dari penampilan luar. Balerina cilik bertutu putih dan anggun tampak bagai angsa, ternyata bisa saja lebih buas dari predator manapun yang ada di dunia. Perampok berpakaian hitam-hitam bisa saja menutupi lebih dari sekadar wajah dari balik masker topeng mereka. Itulah yang dilakukan oleh Abigail, film yang skripnya hobi menari. Membawa kita bukan saja naik turun dalam ketegangan survival hidup-mati, tapi juga berayun kian kemari menyoroti sisi karakternya dari kiri ke kanan. Abigail memang jadi sajian yang menyenangkan. Dengan satu hal ekstra yang menggelitik buatku, apakah salah satu dari sutradara Matt Bettinelli-Olpin dan Tyler Gillett ada yang penggemar gulat (atau mungkin keduanya?), karena ya, ada beberapa adegan/dialog yang seperti references yang pasti dinotice oleh fans gulat saat menonton ini.
Alih-alih kawanan perampok kepepet yang beraksi serabutan lalu menemukan gadis yang tampak helpless tapi ternyata sumber malapetaka seperti di Pemukiman Setan (2024), kawanan dalam Abigail adalah sekelompok orang profesional yang lagi dalam misi menculik seorang gadis cilik. Semua cakap dengan tugas masing-masing. Ada ketua pelaksana yang cool, ada hacker unyu, ada muscle man yang gentle tapi polos, ada sniper pendiam, ada driver yang slebor, protagonis utama kita adalah penculik yang bertugas sebagai medik dan bakal berhubungan langsung dengan sang sandera. Saking profesionalnya, mereka ini tidak saling berbagi nama asli, tidak saling share cerita hidup, mereka bahkan tidak bercakap-cakap soal kerjaan. As in, mereka bahkan tidak tahu anak yang habis latihan balet yang mereka culik itu anak siapa. Yang mereka tahu, esok pagi setelah semalaman menyekap si anak di rumah besar tempat persembunyian yang sudah ditetapkan, mereka bakal duit banyak. Masalahnya, Abigail – anak yang mereka culik – ternyata bukan anak orang sembarangan. Malam itu seketika berubah jadi malam survival, sebab mereka dibunuh satu-persatu. Terjebak di rumah bersama makhluk misterius. Abigail memang tampak helpless, tapi tidak berarti dia juga harmless.
Ngasih makna ngilu baru ke ngeliat balerina beraksi melekukkan tubuh
Elemen surprise memang bukan bumbu baru dalam film-film horor. Malahan elemen surprise suka dijadiin device oleh horor, supaya ceritanya meriah oleh misteri yang bikin hati penonton jumpalitan (setelah jantung kita loncat oleh jumpscare) Naskah Abigail pun menyandarkan diri kepada bentukan surprise, berupa flip atau turn atau pembalikan posisi. Keprofesionalan para penculik tidak bercerita tentang diri mereka jadi alasan yang cukup untuk membuat siapa diri mereka sebenarnya, dari mana diri mereka berasal, jadi revealing yang cukup mengejutkan, yang eventually mengukuhkan desain film untuk membalikkan posisi mereka dari yang tadinya seperti penjahat yang menculik dan dingin, menjadi manusia yang punya flaw dan jadi korban dari vampir. Ya, pembalikan tentunya juga berlaku untuk Abigail, karena anak itu sebenarnya adalah makhluk penghisap darah berusia ratusan tahun. Film memang tampak bermain-main dengan kejutan dari pembalikan ini, karena babak akhir yang jadi puncak cerita akan berisi karakter-karakter yang berubah, baik itu dari manusia menjadi vampir, ataupun dari yang tadinya sepertinya jahat diungkap ternyata baik, lalu jadi jahat lagi. Menariknya film membawa ke garis abu-abu, di mana yang jahat belum tentu vampir, baik belum tentu manusia.
Dengan begitu, tentunya film ini mengambil kesempatan untuk turut bermain-main dengan ekspektasi kita terhadap mitologi vampir itu sendiri. Makanya Abigail terasa sangat fresh. Udahlah desainnya yang balerina membuat Abigail punya ‘move set’ yang unik – bayangkan saja gerak-gerak tari balet yang seringkali memelintir tubuh membentuk bentuk ganjil dijadikan Abigail sebagai jurus saat menyerang – ditambah pula dengan kita dibikin menebak-nebak kemampuan dan kelemahan basic Abigail sebagai makhluk vampir. Mitos yang selama ini kita percaya, seperti vampir takut sama bawang, vampir takluk sama pasak kayu yang dihujam ke jantung, vampir menghindari matahari, ataupun digigit vampir berarti kita akan jadi vampir juga, diacak oleh film; film membuat tidak semua mitos tersebut berlaku kepada vampir di dunia cerita Abigail. Sehingga menonton para karakter manusia mengingat mitos-mitos vampir, berusaha figure out mana yang works mana yang tidak, terasa lucu dan – film juga membuat – seringkali adegan dan dialog mereka lucu.
Film memang membuat interaksi karakter sebagai charm utama cerita. Seperti yang sudah kusebutkan tadi, karakter mereka memang menempati tipe-tipe tertentu yang lumrah ada dalam kelompok di film horor, tapi revealing nantinya membuat mereka tidak sekadar one-note. Mereka bukan karakter pelontar one-liner atau komen sekalimat yang cringe. Mereka, dengan nama alias yang diberikan sebagai candaan, gradually menjadi full-pledge karakter. Yang kita terasa seperti semakin mengenal mereka yang tadinya asing. Kupikir tadinya Peter si muscleman cuma tipe karakter dumb-strong, tapi nanti dia punya persahabatan yang terjalin dengan karakter lain, sehingga nasib kedua karakter ini bikin kita peduli. Apalagi memang para aktor seperti saling berlomba ngasih sesuatu yang ekstra buat ngidupin karakter mereka. Dan Stevens excellent banget membuat karakternya yang awalnya tampak tipikal smart-cool bertransisi menjadi lebih gusar dan komikal. Kathryn Newton berhasil menyetir karakternya jauh-jauh dari annoying teenager. Melissa Barrera sebagai tokoh utama sukses ngasih ketangguhan serta vunerable seorang ibu yang jauh, estrange, dari anaknya. Dan tentu saja, Abigail yang diperankan menakjubkan oleh Alisha Weir sudah bisa kita masukkan ke kategori horror character iconic karena keluwesan aktingnya, meyakinkan sekali menjadi mana yang seperti anak kecil, mana yang seperti vampir buas, mana yang seperti vampir yang berusaha mengecoh dengan berpura-pura jadi anak kecil. Tipu daya Abigail klop dengan konsep film yang mengincar surprise.
Sebaliknya yang jadi hati film ini adalah relasi unlikely yang terjalin antara Joey-nya Melissa dengan Abigail. Film membuat mereka paralel, yang satu ibu yang merasa bersalah sehingga memilih meninggallkan anaknya, sementara satunya (walau haus darah dan sudah beratus tahun) tetaplah seorang anak yang merasakan pahitnya mendapat resentment dari orangtua, yakni ayahnya. Pertanyaan yang mengarah kepada menelantarkan anak, dan apa yang sebenarnya membuat kita jadi orangtua yang buruk, berusaha diangkat oleh film ini di balik urusan antara vampir dan manusia
Gabutnya anak membawa bencana
Makanya aku merasa kurang, interaksi antara ayah Abigail dengan Joey. Sosok ayah Abigail dipasang oleh film sebagai reference, dan lebih untuk bermain-main dengan penonton, meskipun memang diapun sebenarnya paralel dengan Joey. Kupikir film akan menjadikannya sebagai final boss yang harus dikalahan Joey karena bisa berarti Joey harus mengalahkan sosok demon dari dirinya sendiri. Tapi film mengarahkan ke dramatis yang berbeda, yang pilihan film ini kupikir juga karena film masih ingin menyisakan ruang untuk kita penasaran dan ingin lebih dari Abigail dan ayahnya – yang bilang dia punya banyak nama setelah hidup berabad-abad – sehingga kesempatan sekuel tetap terbuka. Satu lagi yang kurang dimaksimalkan oleh film ini adalah set piece. Rumah besar yang jadi ruang tertutup bagi para karakter. Rumah ini punya tempat-tempat unik, seperti kolam penuh oleh mayat, panggung atau ruang balet pribadi Abigail, tapi aksi-aksi film ini kebanyakan berlangsung bukan di tempat-tempat tersebut, melainkan di interior yang biasa. Sehingga rumah yang harusnya bisa menambah identitas film, terasa kurang dihidupkan.
Pilihan film untuk ‘menyembunyikan’ siapa Abigail di awal, kendati berbuah kepada struktur yang seru, sebenarnya juga membuat babak pertama kinda lepas. Tidak ada set up yang mengisyaratkan bahwa ini bukanlah thriller penculikan normal, melainkan sebuah survival vampir di ruang tertutup. Film jadi ujug-ujug berubah karena konsepnya surprised. Pilihan yang sebenarnya tidak benar-benar diperlukan karena penonton biasanya sudah tahu film bakal tentang apa, sehingga lebih baik untuk stay pada ketentuan penulisan yang biasa, yakni memberi set up (biasanya pada sepuluh menit pertama) bahwa film ini tentang apa, Abigail itu siapa dan sebagainya.
Yang jelas memang film ini tampak seperti mengincar untuk have fun. Mereka banyak bersenang-senang dengan mitos vampir, dengan karakter dan dialog, mengajak kita untuk bersenang juga dengan flip dan turn pada naskah. Dan penggemar wrestling, aku rasa, bakal dapat senang-senang tambahan karena banyak aspek di film ini yang suspiciously terasa seperti tribute untuk Bray Wyatt. Dan Stevens nyanyi “I got the whole world in my hand” – lagu yang merupakan lagu ikonik dalam promo Bray Wyatt. Lalu beberapa adegan berikutnya, kita lihat Abigail melakukan spider walk – gerakan mind game khas Wyatt untuk menakuti lawan. References yang sepertinya agak stretch out juga banyak, kayak “let me in” dan “run” yang timingnya memang kayak pas ketika digunakan oleh Bray Wyatt. Kemudian ‘kebetulan’ itu semakin terasa terlalu cocok ketika aku sadar judul film ini Abigail, yang juga sama dengan nama finisher Wyatt, yaitu Sister Abigail. Mungkin pembuatnya memang penggemar, atau mungkin memang hanya kebetulan, tapi menurutku tidak ada ruginya juga kalo kita-kita yang penggemar gulat ngakuin kalo secretly Abigail adalah film Bray Wyatt hahaha
Begitu banyak film yang ingin bersenang-senang dengan surprise dan turn, tapi lupa ngasih cerita dan karakter yang genuine untuk kita pedulikan. Film ini ingat, sehingga dia menjadi sajian menghibur dan tetap punya hati. Thriller survival yang mencekam berhasil diwarnai film ini dengan warna-warna lucu dan seru. Karakter titularnya bisa dengan gampang masuk ke jajaran ikonik. Film ini bakal jadi pilihan cocok untuk nobar-nobar horor, khususnya fanatik genre vampir, karena penonton casual akan relatif mudah mengesampingkan beberapa hal kurang maksimal dilakukan oleh film. Beberapa di antaranya yaitu, set piece yang kurang unik, babak pertama yang agak lepas karena ada yang sengaja disembunyikan alih-alih diset up, dan ending yang pecah tapi bisa dianggap kurang puas karena too good to be true.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for ABIGAIL.
That’s all we have for now.
Anak vampir pun ketika dicuekin ortu bisa tantrum. Menurut kalian apakah sikap Abigail merupakan perlambangan yang tepat dari gimana rasanya bagi seorang anak merasa kurang disayang orang tua yang menjauh justru karena merasa sayang sama anaknya?
Bagi kalian melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp
Remember, in life there are winners. And there are losers.
We? We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL
“He who fights and runs away may live to fight another day.”
Dunia memang terlalu besar untuk ditinggali sendiri, manusia harus belajar untuk hidup harmoni bersama makhluk lain. Begitulah pretty much konsep dari film-film creature atau monster. Godzilla pun lahir dengan latar belakang yang serupa. Dinosaurus-like, monster raksasa, dianggap sebagai setengah-dewa penghancur setengah-dewa pelindung Bumi dari monster/kaiju lain. Manusia dalam cerita monster seperti Godzilla harus co-exist dengan makhluk yang terganggu oleh polusi atau teknologi tak-bertanggungjawab yang kita ciptakan. Lucunya, dunia perfilman juga ternyata terlalu besar untuk ditinggali oleh satu jenis film Godzilla. Kita harus belajar untuk hidup harmoni dengan tipe-tipe film tersebut. Ada film Godzilla yang cheesy, yang isinya monster raksasa saling bertarung, dengan karakter manusia sok asik for the sake of ‘entertainment’ (misalnya Godzilla X Kong baru-baru ini), dan ada juga film Godzilla yang lebih ‘serius’. Karya Takashi Yamazaki ini masuk ke dalam tipe kedua. Godzilla Minus One tidak semata bersandar pada aksi monster yang ridiculously gede, melainkan berfokus kepada kisah kemanusiaan yang hidup menyertainya. Minus One pada judulnya merujuk kepada keadaan manusia Jepang yang luluhlantak oleh perang, dan mereka masih harus berhadapan dengan kemunculan Godzilla yang set them more far back, karena monster ini justru muncul saat manusia-manusia itu berusaha membangun hidup dari nol.
Untuk meng-emphasize poin keadaan hidup di bawah garis nol tersebut lebih jauh, Godzilla Minus One memanggil protagonis kepada Shikishima, seorang pilot tempur pesawat bunuh diri, yang mangkir dari misinya di akhir Perang Dunia II. Shikishima berdalih ada yang rusak di pesawatnya sehingga dia mendarat di pulau untuk reparasi oleh teknisi militer di sana. Di pulau itulah, malamnya, Shikishima pertama kali bertatap muka dengan Godzilla. Monster itu menyerang pulau, dan sekali lagi Shikishima mempertontonkan kepengecutannya dengan tidak sanggup menembak Godzilla dengan senjata di pesawat. Sejak itu, Shikishima hidup dengan rasa bersalah menggerogoti hati. Cerita Godzilla Minus One berpusat pada Shikishima yang tinggal di puing bekas rumah orangtuanya, bersama seorang perempuan asing dan anak kecil yang butuh pertolongan. Shikishima menampung mereka, mereka hidup bersama, tapi Shikishima tidak mau menganggap ataupun menjadikan mereka sebagai keluarga. Karena Shikishima belum selesai dengan ‘perang personalnya’. Godzilla di cerita Shikishima bertindak sebagai perwujudan yang harus dikalahkan oleh Shikishima dalam journey personalnya. Shikishima bekerja jadi penyapu ranjau di laut, dan di sanalah kesempatannya bertemu sekali lagi dengan Godzilla. Bertekad untuk tidak lagi kabur, Shikishima sekarang berniat untuk benar-benar mengorbankan dirinya, demi masa depan tanpa Godzilla.
Sudah perang, diserbu Godzilla pula
Biasanya nonton film monster kayak Godzilla ini kita suka kesel kalo Godzilla-nya hanya muncul sebentar. Tapi hal tersebut tidak pernah menjadi masalah pada film ini. Godzilla-nya memang hanya muncul sebentar saja (paling cuma belasan persen dari total durasi dua jam), dan sebagian besar cerita membahas tentang kehidupan manusia, tapi film tidak pernah terasa membosankan karena bahasan manusanya benar-benar berbobot. Manusia di film ini tidak seperti pada Godzilla X Kong: The New Empire, misalnya, yang cuma sok eksentrik dan dialog-dialog one-liner yang sok asik. Manusia di film ini adalah hati, bahasannya grounded, real, dan kita akan benar-benar peduli dengan mereka. Dialog film ini tidak berisi mumbo-jumbo teknologi yang harus dicari oleh tim manusia untuk mengalahkan Godzilla atau monster lainnya. Tidak ada tempo supercepat ala Hollywood yang terkesan kayak memburu-burukan cerita yang hampa supaya cepat sampai ke bagian monster raksasa. Godzilla Minus One adalah bahasan karakter yang meluangkan waktu untuk membawa kita menyelami karakternya. Kita dibuat peduli sama Shikishima yang bercela. Kita dibuat ingin dia hidup berkeluarga melupakan rasa bersalahnya, tapi sekaligus kita juga pengen dia berhasil mengalahkan rasa bersalah itu tanpa mempertaruhkan keluarganya.
Memang, tidak semua orang menganggap kabur dari battle adalah perbuatan membanggakan. Apalagi orang yang dibesarkan dengan prinsip harga diri dan pride tinggi seperti Shikishima, sang prajurit Jepang. Negara di mana bunuh diri demi perjuangan dipandang sebagai hal terhormat. Sepertinya inilah salah satu gagasan yang diusung film terhadap budaya negaranya tersebut. Bahwa bunuh diri, kendati terhormat, bukan lantas jadi satu-satunya bentuk mulia perjuangan. Bahwa ada satu aspek lain yang tak kalah pentingnya, yaitu survive supaya bisa terus melanjutkan perjuangan. Journey Shikishima dan karakter lain di film ini merupakan penyadaran terhadap hal tersebut, bahwa nyawa berharga bukan untuk dikorbankan, melainkan untuk diperjuangkan.
Sehingga sebenarnya yang jadi antagonis di dalam cerita ini bukanlah semata Godzilla. Melainkan prinsip mengorbankan diri yang telah jadi tradisi di negara itu sendiri. Para manusia harus ‘mengalahkan’ prinsip tersebut sebelum bisa mengalahkan Godzilla. Makanya film ini terasa lebih membesar lagi. Perjuangan manusia-manusia Jepang dalam menghalau Godzilla, digambarkan sebagai perjuangan kolektif masyarakat. Situasi negara setelah Perang Dunia II dijadikan panggung yang mempush warga untuk segera melakukan tindakan sendiri, karena negara tidak bisa langsung turun tangan. Kita lihat veteran perang seperti Shikishima berembuk untuk menyusun siasat mengalahkan Godzilla, kita lihat ada percikan drama sehubungan dengan pilihan mereka untuk kembali mempertaruhkan nyawa, mempertanyakan apakah kali ini untuk negara atau bukan. Bagi mereka ini sudah bukan lagi soal patriotisme, melainkan hal yang lebih personal. Film bahkan menyebut betapa ‘cerahnya’ wajah para pejuang ketika mereka bekerja di kapalPerundingan siasat ini nyatanya lebih menarik dan lebih kita mengerti ketimbang misalnya obrolan tetek bengek sci fi yang biasa kita temui pada Godzilla versi Hollywood. Film Jepang ini paham untuk membuatnya tetap pada gagasan dan tema, sehingga bahkan ketika tersempil paparan untuk majunya plot pun, film ini tidak terasa terbebani.
Notice gak gimana Godzilla menggigit, tapi sama sekali tidak pernah memakan manusia?
Dan ketika beneran sudah memperlihatkan aksi-aksi manusia berusaha survive dari monster raksasa, film ini pun tetap bertaring. Efek visual nya memang tidak mentereng, spektakelnya memang tidak bombastis, tapi bukan berarti yang disajikan film ini hiburan B-Class. Justru, demi menyeimbangkan dengan cerita yang grounded, visual film ini dibuat dengan sense realisme yang tinggi. Lihat saja adegan ketika kapal rongsok penyapu ranjau yang dinaiki Shikishima dan tiga rekannya dikejar oleh Godzilla. Feelingnya intense banget, padahal yang kelihatan dari Godzilla itu cuma duri-duri di punggung dan puncak kepalanya. Terakhir kali ngerasain kayak gitu di film creature, ya pas film Jaws yang hiunya irit, tapi dread dan impact keberadaannya menguar dari karakter manusia. Build up Minus One inipun gak ada minus-minusnya, mereka membangun kemampuan Godzilla lalu kemudian ngasih punchline sedemikian rupa. Ketika Godzilla hendak menembakkan nuklirnya, misalnya, kita diperlihatkan gimana tubuhnya ‘ngecharge’ dan kemudian ketika dia menembak, efeknya begitu dahsyat. Sehingga ketika next sequence kita melihat Godzilla ‘ngecharge’ lagi, kita ikut khawatir akan dampak yang bisa ditimbulkan. Sound dan musiknya juga bekerja dengan sangat efektif membangun suasana. Baik itu di malam hari, di laut, ataupun di kota, film ini berani dan selalu punya cara unik dalam menampilkan Godzilla. Beberapa adegan mungkin ada yang tampak terlalu ‘anime’, tapi itu hanya karena perbedaan gaya atau pendekatan khas Jepang dengan film Godzilla versi Hollywood yang biasa kita saksikan.
Clearly, Godzilla yang satu ini dikepalai oleh orang-orang yang paham betul bagaimana membuat fantasi kaiju raksasa bisa co-exist dengan cerita dengan penokohan dan bahasan yang berbobot. Yang membuat film ini jadi luar biasa bagus adalah cara mereka menghadirkan manusia dan Godzilla di dunia yang sama dengan kepentingan yang saling tak tergantikan, sementara juga mengambil resiko dengan tidak benar-benar bersandar kepada spektakle monster dalam menyuguhkan kisahnya. Cerita bertapak pada manusia dengan perspektif dan identitas lokal yang kuat, tentang posisi mereka pada situasi terendah setelah perang, dan Godzilla jadi brutal force yang menguji pandangan hidup mereka. For di antara mereka masih ada yang belum tuntas dengan ‘perangnya pribadi’. Ketika menyuguhkan Godzillanya, film ini juga tidak main-main. Craft mereka menghidupkan Godzilla di dunia Jepang 1940an pantes banget diganjar awards – dan memanglah film ini layak menjadi film Godzilla pertama yang memenangi piala Oscar untuk Visual Efek Terbaik. Yang membuat, film ini bukan saja berhasil menjadi sajian fantasi sci-fi, tapi sekaligus berhasil sebagai period piece perang! Melihat Godzilla di film ini bukan sekadar seru karena besar, dan epic karena pertarungannya dahsyat. Tapi, yang lebih penting, melihat Godzilla di sini, perasaan kita akan tergugah. Takjub dan takut bergulir menjadi satu. Mungkin seperti menonton film inilah rasanya melihat Godzilla sungguhan; beautiful, majestic, tapi juga begitu menakutkan sampai menggetarkan hati.
The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold stars for GODZILLA MINUS ONE.
That’s all we have for now.
Menurut kalian apakah makna Godzilla sebagai simbol bagi lingkungan ataupun kepercayaan masyarakat?
Bagi kalian melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp
Remember, in life there are winners. And there are losers.
We? We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL
Dari panda jago kung fu ke anjing pintar yang ikut adventure race; dari pria yang contempt dengan keseharian ke pria jalanan yang ingin balas dendam kepada polisi, ke ‘the chosen one’ yang akhirnya naik tahta; dari acara bincang-bincang ke penyiksaan, bahkan di tempat yang mestinya sakral sekalipun. Mini Review Vol.17 sudah siap untuk disantap!!
ARTHUR THE KING Review
A feel-good movie adalah film yang paling susah untuk direview. Karena susah banget buat gak bias kepada film yang udah berhasil menyentuh hati kita. The movie feels so good, susah buat melepaskan apa yang kita rasakan dengan hal-hal yang katakanlah lebih objektif untuk penilaian. Contohnya ya kayak film buatan sutradara Simon Cellan Jones ini.
Arthur the King, dari kisah nyata yang begitu inspiratif tentang seorang adventure racer yang di tengah-tengah lomba bertemu dengan anjing jalanan yang penuh luka. Development karakter Michael, si racer, adalah dia yang tadinya berlomba untuk menang berubah menjadi lebih peduli sama teman tim – termasuk pada anjing tadi. Sehingga filmnya pun berevolusi, dari yang awalnya bersemangat kompetisi (sampai ada bagian drama ngumpulin teman-teman tim segala) menjadi tentang bonding dengan anjing yang serta merta jadi maskot tim, dan ultimately menjadi tentang penyelamatan sang maskot yang ternyata mengidap bakteri mematikan di dalam lukanya.
Jika dilakukan properly, tipe film yang berevolusi seperti begini biasanya (walau jarang nemu) aku kasih nilai 9. Arthur the King hits all the emotional notes. Yang ‘berubah’ menjadi better person pun bukan cuma Michael seorang, film berhasil menunjukkan pengaruh Arthur bagi anggota tim yang lain. Bahkan bagi dunia yang menonton perlombaan mereka. Ketegangan lomba di alam bebas yang treknya dipilih dengan bebas juga oleh peserta juga dapet banget. Karena serunya, tim Michael selalu milih trek yang paling menantang. Yang akhirnya membuatku urung ngasih 9 untuk film ini adalah mereka belum maksimal ‘mengintroduce’ Arthur ataupun memparalelkannya dengan Michael. Supaya tidak terkesan tiba-tiba berubah menjadi film tentang penyelamatan anjing sekarat, film memang bijak me-reka sendiri gimana Arthur sebelum bertemu Michael. Kisah Arthur di jalanan disisip-sisipkan di antara set up Michael menuju hari H perlombaan. Kita butuh lebih banyak dari satu adegan dia dikejar anjing liar untuk melandaskan Arthur memang anjing tangguh , sehingga misteri atau keajaiban kenapa Arthur bisa mengikuti tim Michael bisa lebih ‘believable’ – bukan lagi terkesan sebagai dramatisasi film
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for ARTHUR THE KING
DUNE: PART TWO Review
Denis Villeneuve mencacah novel epic Dune menjadi (yang sepertinya) banyak film. Film Dune bagian pertamanya, aku lumayan suka, tapi menurutku, selain visual storytelling yang amazing, film itu bukan film yang benar-benar bagus. Narasi dan journey karakternya terasa incomplete karena harus bersambung ke film bagian kedua yang kala itu beritanya entah beneran akan dibuat atau tidak. Now, here we are, dan Dune Part Two beneran terasa lebih padat dengan journey yang ‘complete’ karena mengambil fokus kepada proses Paul Atreides menjadi sosok legenda Lisan Al-Ghaib.
Baru di film keduanya ini visi Denis kerasa kuat. Dia menjadikan cerita ini ke dalam beberapa bagian untuk tujuan adaptasi yang lebih ‘besar’. Di film keduanya ini Denis ‘went off book’, dia ngasih sensasi tragis dari terpenuhinya prophecy, dia meminta kita untuk turut fokus kepada karakter Chani-nya si Zendaya sehingga kontras dramatis dari journey Paul yang tadinya enggan dianggap penyelamat kemudian malah total jadi messiah, benar-benar jadi vibe yang menguar membuat film jadi tidak hanya spektakel luar angkasa. Dune: Part Two sangat padat, dan kupikir film ini bisa berdiri sendiri. Kita tidak benar-benar perlu untuk belajar sejarah dunianya, ataupun menonton ulang film pertama untuk bisa ngerti, karena di sini journey triumphant-namun-gelap Paul dibuat sangat melingkar. Endingnya pun (yang juga seperti mengarah kepada interpretasi Denis yang lebih bebas dari sourcenya) tidak demikian terasa seperti menggantung karena akhir film ini sudah mengestablish sisi kelam dari Paul yang sudah jadi Lisan Al-Ghaib.
Yang bikin angker mungkin memang durasinya aja. Tapi untungnya film ini punya pace yang kejaga. Tidak pernah terlalu slow ataupun terlalu lompat-lompat. Film justru memastikan kita mengexperience semua yang terjadi kepada karakter di planet gurun itu. Mulai dari surfing di atas cacing raksasa, hingga duel satu lawan satu, kamera film selalu berhasil menekankan kepada skala dan dunianya sehingga elemen sci-fi adventurenya bener-bener hidup sebagai pencapaian sinema modern.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for DUNE: PART TWO
IMMACULATE Review
Urgh aku gak mau bayangin misalnya Rosemary’s Baby dibuat di masa sekarang; hasilnya pasti gak jauh beda dari film Immaculate ini. Horor yang seperti diejakan, harus ada pihak yang jahat, dan tentu saja dengan nada feminis. It’s not really about character, tapi lebih ke tentang pemerannya disuruh ngelakuin apa. It’s not really about story, tapi lebih ke ending/penjelasan mencengangkan terkait pesan/gagasan yang diusung.
Oleh karena itulah, Immaculate karya Michael Mohan terasa mengecewakan. Feels like, mereka cuma ngandelin Sydney Sweeney yang meranin suster taat sebagai protagonis dan berharap apapun yang mereka lempar kepadanya worked. Masalahnya mereka tidak pernah melempar sesuatu yang unik, ataupun wah, melainkan malah kayak cenderung main aman. Padahal jelas kontras yang diniatkan dari judul, setting, tema, adalah hal brutal yang mengeksplorasi tubuh perempuan (kehamilan). Untuk menjadi sekadar body horor biasa pun, film ini enggan. Instead, mengambil bentukan horor cult yang misterinya pun tidak engaging. Yang sedihnya, di film ini aku malah melihat si Sydney jadi kayak versi knock off dari Mia Goth dan tipe karakter horor yang biasa ia mainkan.
Tapi memang yang patut ditiru dari horor barat adalah mereka gak pernah ragu untuk ‘menyiksa’ protagonis, yang memang kebanyakan cewek. Karena audiens dan pembuatnya tahu, ‘siksaan’ itu semata adalah simbol perjuangan yang harus mereka lalui, bahwa ini bukan soal survive dari makhluk jahat, tapi juga pergulatan diri untuk lepas dari bentuk ikatan atau kungkungan tertentu.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for IMMACULATE.
KUNG FU PANDA 4 Review
Momen sinema yang paling melegakan 2024 sejauh ini bagiku adalah tidak jadi mendengar suara teriakan Awkwafina di Kung Fu Panda 4 saat adegan karakternya ingin menyampaikan pengumuman penting untuk satu kota yang ribut, aku udah siap-siap nutup telinga karena si rubah itu udah ambil napas untuk teriak, tapi lalu tidak jadi hahaha sukurrr…… Well, ya, sebagai sekuel yang tidak disangka oleh semua orang (termasuk penggemar Kung Fu Panda) film ini memang bisa dibilang ambil resiko dengan tidak lagi menghadirkan The Furious Five (beserta aktor-aktor kawakan pengisi suaranya) sebagai teman Po (Jack Black) bertualang, instead menggantinya dengan presence seseorang (dan secempreng) Awkwafina yang jadi rubah pencuri.
Dinamika Po dan Rubah Zhen terutama terasa awkward karena sebenarnya mereka lebih mirip sebagai pasangan di dalam film aksi spy ketimbang komedi kungfu seperti vibe tiga film terdahulu. Kung Fu Panda 4 terasa lebih buru-buru, dan lebih mengandalkan kepada aksi-aksi konyol, dengan hiasan celetukan atau komentar atau rekasi yang berusaha memancing komedi dari para karakter. Harusnya film ngerem sedikit dan benar-benar embrace bahwa relasi yang mereka punya sebagai heart of the story adalah relasi yang baru, yang dua karakternya ini butuh dibuild up benar-benar terlebih dahulu. Tapi di sini, being more like an action, ceritanya lebih menyibukkan diri kepada twist&turn karakter.
Padahal dari sisi tema/gagasan, film ini lumayan berbobot. Po enggak siap untuk menyerahkan gelar Dragon Warrior kepada penerus, Po merasa belum sebijak gurunya dalam menggembleng murid (itu juga kalo dia berhasil menemukan dan kalo ada yang sudi berguru kepada dirinya yang merangkai kata-kata wisdom aja gak bisa). Bahasannya mengangkat soal kita adalah apa yang kita lakukan, dan bagaimana kita harus bisa beradaptasi dengan tuntutan perubahan, karena gimana pun kita gak boleh stuk terus, kita harus berkembang as a person. Semakin dipertajam bahasan ini dengan desain karakter jahatnya, yaitu Chameleon yang bisa berubah wujud menjadi siapapun, termasuk musuh yang sudah dikalahkan oleh Po. Sepertinya arahan Mike Mitchell dan Stephanie Stine memang terlalu gasrak-gusruk dalam menceritakan tema tersebut.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for KUNG FU PANDA 4
LATE NIGHT WITH THE DEVIL Review
Konsepnya dibikin kayak sebuah dokumenter dari acara talkshow di televisi. Sebelumnya, kita diberikan backstory oleh narator mengenai host talkshow tersebut; Jack Delroy, yang naik daun berkat program tersebut, lalu gimana dia dirumorkan terlibat dalam sebuah sekte misterius, dan gimana dia sempat depresi setelah istrinya meninggal dunia karena kanker. Lalu film berfokus kepada ‘rekaman’ show terakhir dari Jack Delroy. Show spesial Halloween, bintang tamunya antara paranormal beneran, paranormal yang kini jadi skeptis, serta seorang ilmuwan dan subjek penilitian yang kini sudah dianggap anak sendiri; remaja yang berbagi tubuh dengan setan. ‘Menonton’ talkshow ini sudah jelas bakal lain dari biasanya, karena kejadian aneh semakin menjadi-jadi.
Sutradara Cameron dan Colin Cairnes sukses membius kita semua. Bukan saja menonton film ini terasa seperti nyaksiin ‘talkshow beneran yang gone wrong beneran‘, tapi juga karena sepanjang acara itu kita juga dibuat terombang-ambing. Orang bilang “the greatest trick the devil ever pulled was convincing the world he doesn’t exist”, nah film ini seperti the devil itu sendiri. Atau setidaknya, film ini berhasil bikin kita gonta-ganti pendapat siapa setan beneran di cerita ini.
Sama seperti karakter-karakternya yang mempertahankan ilusi/gimmick masing-masing, film ini pun menaruh perhatian yang sangat detil untuk menciptakan dunia panggungnya. Ketika lagi mereka lagi on-air, treatment yang diberikan film pada kameranya akan berbeda dengan saat nanti mereka break iklan dan kita ‘dipersilakan’ melihat ke panggung tempat mereka benerin make up, atau juga ke backstage saat si host mulai mencemaskan yang terjadi di panggung tadi itu adalah trik produser atau memang fenomena gaib. Kesan 70an pun menguar kuat lewat cara bicara, pakaian, dan style acara. Ketika iklan, mereka memperlihatkan animasi ‘we’ll be back’ khas acara televisi. Begitu juga ketika nanti horor beneran terjadi, efek praktikal digunakan dengan berani. Menjadi horor psikologis pun film ini tidak ragu, beberapa menit terakhir film menunjukkan kebolehan arahan dengan menggunakan klip-klip yang mirip dengan montase pembuka hanya kali ini dengan angle dan perspektif yang membuatnya beneran tampak eerie, sureal, dan disturbing.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for LATE NIGHT WITH DEVIL
MONKEY MAN Review
Legenda Hanoman digunakan oleh Dev Patel sebagai tema/gagasan yang mengelevasi kisah action revenge yang jadi debut penyutradaraannya, memberikan genre tersebut sedikit bobot dan akar identitas budaya yang merekat. Hasilnya, sure, Monkey Man punya aksi brutal menghibur ala John Wick (film ini sendirinya menyebut John Wick, for fun), backstory karakternya yang kesumat mencari polisi jahat yang dulu membunuh ibu pun tampak plot standar, tapi setidaknya di balik itu semua kita ditahan di tempat duduk oleh paralel antara si monkey man dengan Hanoman yang dulu sering diceritakan oleh ibu, melawan raksasa Rahwana.
Baik akting maupun directing, Dev Patel di sini tampak sangat ambisius. Dari sinematografi saja, Monkey Man sudah sedahan di atas film laga biasa yang cuma ngandelin cut-cut cepat. Di film ini, aku kagum sekali sutradara pertama seperti Patel, mampu menghadirkan adegan-adegan berantem yang seperti punya ritme. Kalo film bollywood menari lewat adegan tari-tarian, Monkey Man (yang nyatanya suting di negara kita ini) ‘menari’ lewat adegan berantem. Setiap adegan berantem menceritakan kisah/state si monkey man pada saat itu. Sehingga masing-masing adegan berantem terasa berbeda, dan terasa punya bobot emosi yang berbeda. Patel memang tampak ingin menitikberatkan kepada journey personal protagonisnya yang penuh duka dan trauma. Hal yang termanifestasi pada telapak tangannya yang bergurat-gurat bekas lecet dan api. Patel juga sering membawa kita berayun ke dalam memori-memori pahit karakternya, menciptakan imaji-imaji yang tak kalah heavy dari sana.
Sandungan film ini menurutku cuma nature dari genrenya yang memang generik. Gak peduli betapa jauh Patel ngajak kita ke identitas dan culture yang ia angkat, film ini tetap balik dan berjalan pada poros yang sangat familiar. Sehingga, tur ke kepala protagonis, justru dapat berbalik membosankan bagi penonton yang ingin segera balik ke aksi-aksi. Menurutku pribadi, yang kurang dieksplorasi dari film yang memang terlalu fokus pada satu karakter ini adalah, tokoh jahatnya. Si kepala polisi masih terlalu satu dimensi. Sementara ada satu lagi, yang merupakan paralel tuhan/dewa dalam kisah hanoman – seorang guru bernama Shakti Baba yang tadinya juga nobody tapi jadi penguasa yang menggerakkan semua kejahatan politik di balik kedok orang suci – tidak benar-benar dieksplorasi sebagai lawan ‘sesungguhnya’ dari protagonis kita.
The Palace of Wisdom gives 6 gold stars out of 10 for MONKEY MAN.
PERFECT DAYS Review
Beberapa tahun lalu pernah ada film yang seperti ini, judulnya Paterson (2017). Filmnya hening, kisah keseharian seorang driver bus, dan mengisi waktu luangnya dengan menulis puisi. Perfect Days karya Wim Wenders bedanya cuma protagonisnya seorang janitor taman-taman kota, dan mengisi waktu luang dengan mendengarkan musik (dari kaset tape),membaca buku sastra, dan memotret pohon-pohon. Mengikuti rutinitasnya sehari-hari, kita akan menjadi semakin kenal dengan pak Hirayama, dan we might learn satu-dua hal tentang latar belakangnya, yang membuat pilihan hidupnya sekarang semakin emosional bagi kita.
Perfect Days memang bukan film yang bakal ada kejadian besar. Film ini justru memusatkan kita pada hal-hal rutin dan kecil yang berlangsung di hari-hari yang tampak disukuri sekali oleh pak Hirayama. Film membawa kita ngikutin beliau mulai dari bangun tidur di apartemen kecilnya, berkeliling ke ‘kantornya’ yakni toilet-toilet taman Jepang yang unik-unik dan estetik (mindblowing banget lihat toilet transparan yang seketika memburam pas pintunya dikunci), istirahat makan siang di taman, sebelum pulang mampir ke bar kecil yang ibu penjaganya jago nyanyi, lalu tidur. Begitu terus. Aku terutama tertarik pada bagian ketika Hirayama tidur. Karena dia pasti mimpi, dan mimpinya – yang digambarkan hitam putih, lewat berbagai image random – terlihat kadang seperti masa lalunya, atau mungkin juga penyesalannya, atau juga hal yang ia rindukan.
Film, seperti juga Hirayama, memang menolak membicarakan masalahnya secara langsung. Tapinya lagi, memang itulah konteks gagasan film ini. Bukan soal resolving problem. Melainkan gimana kita mengusahakan hidup mensyukuri hal-hal kecil tanpa terdistraksi oleh masalah fana ini. Pentingnya kita untuk menyadari setiap hari adalah hari yang sempurna untuk mensyukuri hidup; dengan rutinitas masing-masing, dengan fungsi masing-masing, regardless ada masalah atau tidak.
The Palace of Wisdom gives 7.5 gold star out of 10 for PERFECT DAYS.
SIKSA NERAKA Review
Neraka bukan setting baru dalam sinema. Kebanyakan film membangun neraka versi mereka sendiri, sebagai tempat mengerikan yang berkaitan dengan karakternya. Makanya nerakanya beda-beda, kadang ada yang tempat panas, ada yang tempat penuh mayat hidup, kadang ada Hadesnya, kadang merujuk pada kepercayaan tertentu yang kemudian dibentrokkan dengan keadaan karakter; neraka bagi Frieza justru tempat yang ramah dan menyenangkan (karena penjahat di Dragon Ball tersebut gak tahan sama yang namanya kebaikan). Atau neraka dalam Pan’s Labyrinth justru seperti tempat kerajaan negeri dongeng, di mana protagonis kita akhirnya menjadi putri raja. Yang jelas, neraka selalu adalah tempat mimpi buruk personal, yang seringkali berupa tempat supernatural yang berbeda dengan realitas di Bumi.
Ketika Anggy Umbara menggarap Siksa Neraka, referensinya adalah buku komik untuk anak-anak belajar tentang surga dan neraka sesuai dengan ajaran agama Islam, buku komik yang memang penuh gambar-gambar sadis orang-orang yang disiksa. Di sinilah hal menjadi ruwet. Mengadaptasi adegan-adegan neraka tersebut berarti dengan pedenya memvisualkan gambaran neraka menurut agama. Sutradara yang lebih humble akan membelokkan gambaran tersebut sebagai sesuatu yang lebih dekat kepada neraka personal (keadaan psikologikal), atau at least mengeset dunia-ceritanya punya neraka versi sendiri. Tapi Umbara, yang juga gagal berpijak pada satu perspektif utama dalam mengembangkan cerita ini, membuat seolah benar neraka yang dikunjungi karakternya benar adalah neraka yang kita percaya, dan filmnya benar memuat ajaran dan pesan supaya para penonton tobat.
Inilah kenapa aku menyebut kita gak bisa menilai film hanya secara subjektif dari pesan yang diangkat. Karena semua film, bagus ataupun jelek, pasti punya bahasan atau pesan moral yang bisa dipetik, tergantung subjektivitas yang nonton. Dan membahas pesan tersebut memang bisa seru, tapi untuk penilaian harusnya dikembalikan kepada filmnya. Apakah pesan tersebut disampaikan lewat storytelling yang baik atau tidak. Di Siksa Neraka, storytellingnya kacau. Ceritanya berpusat pada empat anak ustad yang celaka saat menyeberang sungai yang meluap (karena one of them insist supaya cepat sampai tujuan sebaiknya jangan lewat jembatan tapi langsung masuk ke sungai!) dan keempat-empatnya ended up di neraka dan disiksa karena dosa mereka di dunia. Hanya satu yang ada di sana sebagai out of body experience (mati suri) dan tidak benar-benar disiksa karena bukan waktu dan tempatnya. Harusnya cerita tetap stay di perspektif yang selamat ini supaya nerakanya tetap ambigu, toh film sudah melandaskan logika-dalam si anak dari kecil dapat melihat hantu. Tapi film memindah-mindahkan perspektif. Pertama kita melihat anak pertama disiksa, lalu kilas-balik ke kisah hidup dia saat melakukan dosa, begitu terus polanya. Sehingga semua neraka yang clumsy dan bad cgi itu nyata.
Jadi film ini sebenarnya lebih terasa sebagai torture-fest, yang berkedok ajaran kebaikan (untuk bertobat dari perbuatan dosa). Sebagai drama horor keluarga yang religious-based pun, film ini tetap terasa kosong karena karakterisasi dan dialog yang dangkal. Arahannya cuma mau berasik-asik siksa menyiksa, penulisannya pun tak bisa ngembangin bahasan lebih dalam (wong, stay true kepada ajaran sourcenya aja dia gabisa)
The Palace of Wisdom gives 1 out of 10 gold stars for SIKSA NERAKA.
That’s all we have for now
Walau telat, mohon maaf lahir batin semuaa!
Thanks for reading.
Remember, in life there are winners. And there are losers.
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA
“It’s not about being better than anyone else; it’s about being better than you used to be”
Dua Garis Biru (2019) berhasil menorehkan impact. Bahasan pernikahan dini yang diangkatnya, mencuat berkat perspektif dan gagasan modern yang kuat. Solusi win-win yang diberikan Gina S. Noer kepada karakter-karakternya di film tersebut, bukan tanpa ‘kontroversi’. Menikah karena hamil di usia begitu muda (like, di usia sekolah!) bukan berarti hidup Bima dan – terutama – Dara berakhir. Bahwa perempuan seperti Dara masih bisa kok meneruskan dan mengejar karirnya. Bahwa bukan hanya selalu perempuan yang harus menanggung beban punya-anak. Hidup baru mereka justru baru saja dimulai. Syd Field bilang, sebuah film yang bagus ketika film itu tamat, ceritanya tidak ikut berakhir. Melainkan dunia karakternya masih berlanjut, mereka seolah masih terus hidup di dalam kepala kita. Well, sekarang kita bisa berhenti membayangkan gimana kelanjutan Bima mengasuh anak sepeninggal Dara yang lanjut kuliah ke Korea. Karena Gina S. Noer, kali ini bersama Dinna Jasanti telah membuat kisah officialnya. Dua Hati Biru adalah lanjutan yang membahas struggle personal baik itu Bima maupun Dara yang menjadi orangtua muda, lengkap dengan beban, root keluarga, dan masing-masing ego mereka.
Setelah empat tahun, Dara kembali ke tengah-tengah Bima, Adam, dan keluarga besar mereka. Selama ini Bima mengasuh Adam sendirian, dengan bantuan ayah dan ibunya. Angga Yunanda basically meranin cowok yang jadi single dad selama empat tahun. Sebagai lulusan SMA, Bima bekerja sebagai penjaga kolam bola di mall, sehingga dia bisa curi-curi kesempatan untuk membawa dan bermain dengan Adam sambil gawe. Sehingga Adam pun otomatis lebih dekat dengan Bima, ketimbang dengan Dara yang hanya berkomunikasi lewat video call. Kehadiran kembali Dara yang kini lebih dewasa (kali ini diperankan oleh Aisha Nurra Datau), dengan benak penuh mindset baru termasuk juga dalam hal parenting, tentu saja mengubah semua dinamika tersebut. Tidak segampang itu bagi Dara yang ingin Bima dan dirinya mandiri, lepas dari tangan keluarga besar yang merasa lebih tahu cara merawat anak. Tidak segampang itu bagi Dara untuk bonding dengan Adam yang menolak kehadirannya. Sebaliknya, sama tidak gampangnya bagi Bima untuk ‘evolve’ seperti Dara; tidak segampang itu bagi Bima untuk menerima nafkah dari istrinya. Ah, menjadi orangtua ternyata memang banyak ‘tidak segampang itu’-nya. Let alone menjadi orangtua muda.
Adam was right soal mamanya beda
Serta merta, anaklah yang jadi stake rumah tangga Bima dan Dara. Terjadi apa-apa sama Adam, berarti kegagalan mereka sebagai orangtua. Sepertinya ini jugalah (selain judul) kenapa film memutuskan untuk tidak memilih di antara dua sebagai satu perspektif utama. Film tidak memulai cerita dengan memperlihatkan kenapa Dara memutuskan untuk pulang, dan sebaliknya film tidak dimulai dengan detil kehidupan sehari-hari Bima mengasuh Adam, melainkan hanya lewat montase singkat. Dua Hati Biru ingin membahas kedua sudut pandangBima dan Dara secara menyeluruh supaya konflik rumah tangga pasangan muda ini terbahas semua. Karena keduanya memang masih harus banyak belajar bagaimana cara menjadi orangtua yang baik, bukan yang sempurna. Film menampilkan banyak masalah sehari-hari parenting mereka lewat kejadian-kejadian yang relate banget. Permasalahan yang memang bisa kita jumpai pada rumah tangga orang beneran. Anak yang menangis karena mainan kesayangannya ‘hilang’, suami yang kedapatan kebanyakan main hape/game, ibu mertua yang gak taat sama jam tidur anak. Kedekatan kejadian atau masalah-masalah mereka membuat film ini menyenangkan untuk ditonton, sebab sedikit banyak kita pasti akan membawa kisah ini kepada pengalaman, sehingga tanpa sadar kita ikut melibatkan dalam usaha penanganan masalah yang mereka lakukan. Film berhasil menghindar dari menggurui.
Value-value yang disajikan perihal hidup berumah tangga toh memang berharga sekali. Salah satu yang disorot adalah tentang komunikasi. Di masyarakat sepertinya lumrah, yang namanya keluarga mau itu kelas menengah ataupun atas, biasanya komunikasi ya itu pakek emosi. Pakek nyolot. Aku tergelak melihat adegan meja makan Dara-Bima-Adam bersama keluarga Bima. Masing-masing ngobrol, dengan suara keras. Tergelak karena teringat keluargaku begitu juga, kalo udah ngobrol semua berebut ngomong. Semua berebut nyumbang pendapat untuk satu masalah sepele. Semua ngotot ingin ‘ngatur’. Dua Hati Biru meluangkan waktu untuk menguliti cara komunikasi begini. Film dengan perspektif menyeluruhnya memperlihatkan kenapa para karakter jadi begitu. Karena mereka sama-sama peduli sama keluarga. Mereka sama-sama capek kerja, mikirin yang terbaik buat si kecil. Apa yang disebut ego itu sebenarnya cuma rasa khawatir dan peduli yang sama besarnya, sehingga masing-masing merasa knows better. Padahal enggak. Komunikasi ‘berantem’ begitu justru membuat perasaan semakin sulit tersampaikan dengan benar.
Perbedaan Dara dan Bima bukan sebatas soal beda kelas sosial atau beda level pendidikan. Tapi juga soal mindset. Yang satu belum bisa berubah sementara satunya sudah mengerti pentingnya untuk evolve. Hanya saja, keduanya sama-sama failed to realize berubah itu bukan berarti menjadi lebih baik dari orang lain. Film menyebut anak-anak belajar dari orangtua mereka. Dara dan Bima kendati sudah jadi orangtua, mereka juga berangkat dari anak yang melihat kepada orangtua mereka. Dan mereka merasa harus berubah menjadi lebih baik daripada orangtua mereka. Yang mereka perlukan sebenarnya menyadari tidak ada orangtua yang sempurna. Mereka cuma perlu menjadi lebih baik dari diri mereka sendiri sebelumnya.
Bahasan perspektif yang menyeluruh ini tentu saja memerlukan penampilan akting yang maksimal. Inilah yang juga jadi salah satu kekuatan film ini. Akting yang terutama terasa natural. Pemeran pendukung membuat dunia lebih hidup karena mereka semua tampak luwes. Pemeran anak Farrel Rafisqy akan mencuri perhatian kita karena – satu kata – gemas. Mbak Gina ternyata jago juga mendirect aktor cilik; bukan hanya penulisan dialognya tidak tampak dipaksa, aktingnya juga. Aisha Nurra Datau juga ‘temuan’ yang sangat jeli; presence maupun permainan aktingnya sebagai Dara versi sudah evolve jadi dewasa sungguhlah patut kita apresiasi. Dia melanjutkan karakter ini tanpa canggung. Namun di luar itu, aku penasaran juga gimana kalo Dara tetap diperankan oleh Adhisty Zara; karakternya yang sudah dewasa ini tentu secara meta harusnya bisa jadi pembuktian Zara memerankan karakter yang sedikit lebih dewasa dari biasanya. Sementara, Angga Yunanda tampak semakin terasah. Membandingkan dengan penampilannya di Dua Garis Biru, aku merasa Angga yang sekarang ready for more emotional ataupun adegan yang lebih demanding lainnya. Sehingga aku sempat menyayangkan juga film ini tidak seperti film pertama yang fokus pada satu perspektif, yaitu Dara. Aku menyangka bakal gantian di film keduanya ini, giliran Bima yang jadi fokus
Nontonin Adam hilang, aku malah lihat Max ama Ucil di layar
Itulah, sebenarnya perspektif dan bahasan yang banyak ini merupakan sandungan yang biasa kita rasakan pada film-film Gina S. Noer belakangan ini. Dua Hati Biru, sama seperti Like & Share dan Cinta Pertama, Kedua, & Ketiga sebelumnya, melimpah ruah oleh bahasan. Akibat yang pertama ternotice adalah ada beberapa yang seperti tidak membangun kepada apa-apa. Misalnya, soal giliran Dara yang kerja, tapi rintangannya adalah dia harus melepas cincinnya; pura-pura masih single. Kirain ada konsekuensi atau akibat lanjutan dari dia melepas cincin, tapi ternyata tidak ada bahasan susulan. Kemudian, flow ceritanya pun lebih seperti buku ketimbang sekuence film dengan tiga babak. Alih-alih masalah puncak yang terbuild up dari masalah-masalah lain yang timbul sepanjang proses pembelajaran karakter, alur dalam film ini terasa seperti episode; masalah satu datang setelah masalah yang sebelumnya reda, terus begitu sampai struktur naskah seperti tidak muat membendung. Jadilah sering muncul kesan “oh udah mau beres, eh ternyata belum” saat menonton film ini. Susah untuk pinpoint di mana cerita akan mendarat, karena penggalian masalah/bahasan terus dilakukan sampai bener-bener waktu mau habis, saking banyaknya bahasan. Dan ketika nanti cerita bener-bener tamat, efeknya jadi kurang berasa. Permasalahan yang dialami karakter jadi seperti rutinitas saja. Apalagi konteks masalahnya adalah rumah tangga, yang kita semua tahu bakal terus ada masalah, sehingga dengan memusatkan pada masalah silih berganti, ending dengan penyelesaian masalah terakhir itupun jadi kurang kuat. Hidup mereka yang lanjut saat film berakhir pun jadi kehilangan bobot menarik karena kita sepanjang film juga mengikuti siklus yang sama. Tidak seperti pada film Dua Garis Biru yang penyelesaiannya benar-benar terasa seperti gagasan unik milik film itu sendiri, Dua Hati Biru endingnya terasa seperti just another peace moment. Solusi dari karakter terasa bisa sampai lebih cepat jika film lebih fokus pada perspektif ketimbang masalah.
Rutinitas pasangan muda dengan segudang masalah menanti mungkin lebih cocok jika diarahkan kepada semacam slice of life. Mungkin, bahasan yang banyak seperti ini bisa lebih terakomodir jika film berani memainkan bentuk atau arahan keluar dari zona yang biasa. Aku pikir di kursi sutradara film panjang keempatnya ini, Mbak Gina mestilah sudah lebih dari sekadar capable untuk mencoba bereksperimen dengan gaya storytellingnya. Afterall, adegan long take di UKS pada Dua Garis Biru jadi bukti bahwa pengarahannya cukup peka dan berani. Pada Dua Hati Biru pun kamera berhasil ngasih kesan dinamis yang benar-benar menempatkan kita di tengah-tengah karakter, seperti yang bisa kita rasakan saat Bima dan Dara beserta keluarga masuk ke rumah kontrakan baru. Aku menunggu permainan long take berikutnya, dan ngerasa kayak missed opportunity ketika adegan mereka semua menelusuri gang demi mencari Adam yang hilang tidak dilakukan dengan treatment spesial. Pada penulisan, Mbak Gina terus memperdalam eksplorasi bahasan dan tema, dan itu bagus karena film-filmnya jadi punya kedalaman materi. Sudah saatnya storytelling/directingnya juga ikut dikembangkan untuk mengimbangi bahasannya.
Cocok loh sebenarnya film ini buat tayang di libur lebaran. Bukan semata karena kreditnya dihiasi sketsa ala lagi lebaran. Ceritanya; yang seputar keluarga hadir dengan vibe dan value berharga yang positif lagi menghangatkan. Permasalahan yang serius seperti parenting dan komunikasi di-tacklenya tidak dengan menggurui, melainkan seperti mengajak duduk membahasnya bersama. Berhasil mengambil jalan tengah dari bentrokan antara permasalahan ‘temurun’ dengan mindset yang lebih modern. Karakter-karakternya pun lovable (terutama Adam yang pasti mencuri perhatian semua penonton). Cuma memang dibandingkan dengan film pertamanya, film kali ini terasa sedikit lebih generic (kehilangan bobot unik karena pasangan muda basically masalahnya sama aja dengan pasangan umumnya), perspektifnya pun lebih bloated, dan tidak diimbangi oleh storytelling yang harusnya bisa dicari bentuk yang lebih cocok untuk menampung semuanya.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for DUA HATI BIRU.
That’s all we have for now.
Apakah kalian punya tips parenting atau komunikasi dengan pasangan tersendiri?
Bagi kalian melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp
Remember, in life there are winners. And there are losers.
We? We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL
“There is no truth, only who you choose to believe”
Horor-horor modern Joko Anwar, kuamati, cenderung tersiksa oleh narrative yang melemah. Karakter dengan development mengambang, bahasan atau gagasan yang mengawang, dan lantas mengirim kita pulang dengan ‘easter eggs’ instead. Aku sampe pernah membuat thread di Twitter soal protagonis di film-filmnya tersebut basically gak ngapa-ngapain, kurang ‘dihajar’, karena narrative yang tidak mencapai banyak selain keseruan wahana horor. My honest opinion; Joko Anwar desperately need to step up his writing. Sukur Alhamdulillah, usaha untuk peningkatan penulisan tersebut bisa kita rasakan pada horor terbarunya yang diset sebagai tontonan lebaran tahun ini. Siksa Kubur yang tadinya kupercaya sebagai pengembangan dari film-pendek yang dibuat Jokan tahun 2012 (dulu hits banget di Kaskus) ternyata berusaha menyajikan lebih. Bahasan mencoba lebih terarah kepada tema yang lebih jelas, yakni soal kepercayaan. Arahan yang pede menggiring bahasan agama tersebut sehingga tidak terkesan seperti horor-horor lain yang belakangan banyak beredar yang menjual ‘gimmick agama’ semata. Dan terutama sudut pandang protagonis utama yang kali ini benar-benar ditempa.
Kayaknya kita semua pernah, deh, punya hal yang kita percaya saat masih kecil, namun saat dewasa kita sadar yang kita percaya itu ternyata bohongan. (Like, aku dulu nyangka Kane dan Undertaker itu beneran kakak-adik, sampe bela-belain mendebat dan berantem ama teman). Nah, Siksa Kubur seperti berangkat dari soal kepercayaan tersebut, tapi tentunya dengan bahasan yang lebih serius, dan puteran yang lebih mencengangkan. Karena yang dipercaya Sita sedari kecil sejak dua orangtuanya jadi korban bom bunuh diri adalah bahwa agama justru membuat orang menjadi jahat. Bahwa agama cuma ‘alat’ atau alasan orang. Sepeninggal kedua orangtua, Sita dan abangnya, Adil, dibesarkan oleh pesantren. Di lingkungan religius itu pun, kepercayaan Sita bahwa agama cuma kedok menjadi semakin kuat. Sita tidak lagi percaya ajaran agama. Dia tidak mau, sebab pemimpin yang jadi donatur pesantrennya justru juga seorang pendosa yang melukai anak-anak, termasuk abangnya. Sita tumbuh besar dengan tekad untuk membuktikan kepercayaannya. Hal nyata yang bisa ia lakukan adalah dengan ikut masuk ke dalam kuburan, Sita ingin merekam bukti bahwa siksa kubur itu tidak ada. Jadi, di panti jompo itulah Sita dewasa menunggu. Menunggu pak tua yang menurutnya paling keji sedunia untuk mati supaya dia bisa segera melaksanakan pembuktiannya.
Siksa kubur Pak Wahyu? I was there.
Sita might be the most interesting Joko Anwar’s character so far. She’s so conflicted. She doesn’t even belief what she believed. Like, kita percaya pada agama, kita beriman, tanpa merasa perlu untuk bisa melihat wujud tuhan ataupun mukjizat religius yang lain. Kita seperti yang juga berulang kali disebut dalam dialog film ini; percaya berarti meyakini – tidak perlu melihat dengan mata, melainkan ‘melihat’ dengan hati. Dengan ini, berarti beriman adalah percaya tanpa perlu menuntut pembuktian kalo kita yang percaya itu adalah benar. Kita beriman kepadaNya justru karena kita percaya Dia-lah kebenaran in the first place. Sedangkan Sita, tragedi yang menimpanya membuat perempuan itu tidak percaya akan agama. Keluarganya justru terbunuh, menderita, oleh orang-orang yang percaya pada agama. Orang yang teriming-iming imbalan dari agama, orang yang takut terhadap ancaman/peringatan pada agama. Orang jadi leluasa jahat karena berlindung di balik agama; itu yang Sita percaya. Menurut Sita, moral justru terpisah dari agama. Bahwa dia, dan harusnya juga manusia lain, bisa berbuat baik sekalipun tanpa imbalan atau petunjuk agama. Namun iman Sita terhadap kepercayaannya ini masih lemah, karena berbeda dengan orang beragama yang tidak perlu membuktikan apa-apa terhadap kebenaran yang dianut. Sita justru ngotot untuk membuktikan kepercayaannya tersebut benar. Dia ingin masuk ke kubur, ingin menangkap bukti – yang juga sama conflictednya. Karena pertama, Sita ingin membuktikan siksa kubur – dan agama – itu tidak ada (sehingga perbuatan teroris bom bunuh diri yang menewaskan orang tuanya itu benar adalah kriminal bodoh yang tertipu suara rekaman siksa kubur palsu), tapi sebaliknya terlihat juga secercah harapan Sita untuk adanya siksa kubur karena ada dialog dia seperti frustasi menyebut jangan sampai orang sejahat Pak Wahyu saja terbukti tidak disiksa di dalam sana,
What if everything you believed turned out to be false? what if agama yang kita percaya cuma dongeng belaka? Gimana pula jika kita telah mati-matian percaya agama itu dongeng, tapi ternyata kepercayaan itu-lah yang salah? Enggak akan ada habisnya keraguan, dan di situlah masalah Sita. Dia gagal menyadari bahwa sebuah kepercayaan tidak membutuhkan pembuktian kebenaran. Yang harus dipelajari Sita dalam cerita ini adalah bagaimana membuat dirinya percaya pada apa yang ia pilih untuk percaya.
Basically, yang dieksplorasi sebagai horor dalam film ini adalah state of mind dari Sita. Cara film melakukan itu pun sangat menarik. Sita seperti tegas tidak percaya pada hal gaib, baik itu tuhan maupun setan, tapi kemudian film mengontraskan itu dengan memperlihatkan bahwa pikiran Sita merupakan relung-relung kenangan dan harapan yang menyeleweng dari fakta. Kenangannya terhadap momen terakhir bersama orangtuanya, misalnya, kita saksikan sendiri kenangan Sita itu slightly berbeda dengan peristiwa ‘asli’ kejadiannya. Ketidakstabilan state Sita yang membuatnya menjadi unreliable sekaligus vulnerable, menambah banyak pada elemen horor psikologis film ini. Untuk memperkuat kesan surealis (film membidik ke vibe yang terasa calm, kalo gak dibilang slow, sebagai kontras dari kecamuk kepercayaan yang dirasakan Sita), film menerjunkan kita ke dalam cerita lewat kamera yang bergerak di tengah-tengah dunia. Teknik yang menghasilkan kesan immersive sekali, juga tentunya ampuh saat sekali-kali film berniat mengagetkan kita lewat jumpscare. Struktur cerita pun didesain demikian horor. Meskipun jika kita menghitung durasi, naskah film ini clocked out right on time – point of no return-nya tepat di tengah durasi saat Sita masuk kubur, misalnya – tapi alur yang dibuat linear itu sengaja dipatah-patah oleh, misalnya, skip waktu antara Sita kecil ke Sita dewasa, atau antara mana yang realita dan mana yang surealis (yang sampai review-telat ini ditulis pun batas realita film ini masih seru, santer diperdebatkan di linimasa).
Kesan immersive dalam dunia surealis tersebut salah satunya terjaga lewat penampilan akting yang benar-benar terasa berkesinambungan. Lihat saja bagaimana Reza Rahadian sebagai Adil dewasa ‘meneruskan’ nada maupun gestur weak dan awkward dari Muzakki Ramdhan (weak awkward yang diniatkan karena karakter Adil yang abang dari Sita ini punya wound personal sendiri). Karakter-karakter orang tua di panti jompo, ataupun guru-guru di pesantren, semuanya aktornya paham untuk menampilkan kesan ganjil tersendiri. Salah satu kritikanku buat horor modern Joko Anwar adalah protagonisnya kurang ‘disiksa’; di film ini, aku tidak lagi jadi kaset rusak karena Sita benar-benar dipush out of her limit. Baik itu Widuri Puteri maupun Faradina Mufti, dapat ‘jatah’ masing-masing untuk mengeksplorasi ketakutan psikis yang didera Sita dalam tahap usia masing-masing. Mana film tepat banget mengclose up Sita saat teriak-teriak tobat. Sita terutama akan terasa perkembangannya saat di pertengahan awal dia seperti lancar memegang kendali, tapi di pertengahan akhir semuanya tampak menganeh dan spin out of her control.
Konsep neraka-personal film ini versi lebih calm dari episode terjebak di lubang ketakutan di ‘Fear No Mort’ Rick and Morty
Untuk menjelaskan kelogisan dari hal-hal aneh dan di luar kendali Sita setelah dia mencoba masuk ke liang lahat dan merekam jenazah Pak Wahyu, film tampak menggunakan konsep yang serupa dengan yang ada pada film Jacob’s Ladder (1990) atau Stay (2005)-nya Ryan Gosling. Bahwa semua itu terjadi di dalam kepala karakter yang sedang sakaratul maut. Jadi Sita debat dengan Adil, Sita melihat salah satu kematian orang tua di panti, kasus selingkuh di panti yang berujung pembunuhan, semuanya hanya terjadi di dalam kepala Sita yang sedang dikubur hidup-hidup bernapas bermodalkan pipa. Bukinya beberapa dialog film ini menyebut soal kekurangan oksigen dapat mengakibatkan halusinasi. Dan inilah yang membedakan penerapan konsepnya dengan Jacob’s Ladder ataupun Stay. Karena di dua film tersebut jelas kapan momen kritis dan nasib sang protagonis. Sedangkan film Siksa Kubur yang mengelak dari potensi dikecam me-reka sesuatu yang tidak seharusnya dibayangkan oleh manusia beragama, membuat sampai akhir semuanya tetap ambigu. Kendati Sita ‘dilock’ mati oleh naskah pun, film tetap mengaburkan kapan exactly matinya Sita. Adegan siksa kubur yang ujug-ujug over the top itu (mendadak jadi lebih seperti vibe chaos Evil Dead ketimbang tone atmosferic dan slow yang di awal konsisten dibangun film – sampe jadi kayak video karaoke lagu reliji segala!) bisa ‘berlindungi di balik alasan toh gambaran itu masih ambigu nyata atau tidaknya, benar atau salahnya, karena perspektif realita Sita yang dikaburkan.
Dari perbedaan keadaan untuk menerapkan konsep dan perspektif yang harus dikaburkan itulah muncul sedikit masalah pada arahan/penceritaan film ini. Karena di dalam ‘vision-kubur’ Sita (kita sebut saja begitu) juga terdapat perspektif Adil. Jadi semuanya nyampur dan film seperti kehilangan pegangan sehingga bergerak keluar dari perspektif dan jadi lebih seperti untuk bermain dengan penonton directly saja. Film seperti memuat development Adil ke dalam perspektif Sita, meskipun mustahil bagi Sita mengetahui apa yang terjadi kepada abangnya. Kayak soal ular yang mendekati Adil di atas makam aja, film went off memperlihatkan ular tersebut merayap melewati Adil (untuk petunjuk bagi penonton) dan kemudian Adil muncul dengan mata bengkak. There’s no way Sita tahu di atas sana Adil sedang didekati ular, sehingga mustahil juga untuk dia bisa menghalusinasikan Adil menyelamatkannya dengan kondisi seperti habis diserang ular. Jikapun adegan tersebut ternyata nyata, maka itu berlawanan dengan ‘rule film’ soal Man Rabbuka yang didengar Sita setelah escape tersebut (bahwa adegan escape tersebut supposedly terjadi saat Sita meninggal). Sebenarnya yang rugi di sini adalah Adil, karena film udah extra menginclude dirinya, tapi kemudian jadi kabur begitu saja karena film harus stay pada ambigunya perspektif Sita. Yang turut terasa extra sebenarnya banyak, seperti Ismail, seteru kecil Sita dengan keluarga Pak Wahyu, hingga panti jompo itu sendiri. Kepentingannya sebenarnya bisa kita pahami, mereka jadi elemen dalam development Sita (menunjukkan Sita soal tadinya dia pegang kendali, menunjukkan apa yang harus dia pelajari/lakukan, dsb), tapi yang mengganjal adalah kenapa film tidak tetap di pesantren. Semua aspek extra tersebut tampak masih bisa dilakukan, goal film terhadap development karakternya masih bisa tercapai, tanpa Sita (dan Adil) melompat sejauh itu.
Mungkin film tidak mau terpaku pada konteks satu agama tertentu? Mungkin juga, karena salah satu yang menarik dari film ini adalah memang identitas karakternya adalah Islam tapi dialog-dialog bahasan soal kepercayaan yang relate dan tidak mengunci pada satu ajaran saja. Mungkin seperti Sita, film ini ingin ‘menjauh’ dari agama. Namun pilihan film tersebut tidak serta merta bisa kita judge sebagai hal yang salah. Karena pilihan tersebut dijustifikasi oleh bahasan psikologis yang cukup eksplorasi. Dialog yang baik adalah dialog yang seperti pembicaranya terlibat pertikaian serang dan defense, dan di film ini Sita terus didera perdebatan soal kepercayaannya. Ini membuat kita juga ikut masuk dan peduli. Untuk setelahnya arahan horor yang sedari tadi merayap, mengambil alih dan menghantarkan kita sampai ke finale yang ambigu. Bentukan dan karakter yang hebat untuk sebuah horor psikologis yang surealis. Usaha yang patut diapresiasi, karena kali ini film Joko Anwar tidak semata nyerocos soal easter eggs dan reference, tapi benar-benar ada usaha untuk ngasih something deeper untuk dibicarakan. Aku terutama tertarik dengan karakter utamanya, si Sita yang menyita perhatian.
The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for SIKSA KUBUR.
That’s all we have for now.
Apa kalian punya hal yang dulu kalian percaya tapi sekarang terbukti bahwa hal itu palsu?
Bagi kalian melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp
Remember, in life there are winners. And there are losers.
We? We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL