THE BOY AND THE HERON Review

 

“Because you are a beautiful lie and I am  a painful truth”

 

 

Bagaimana menjalani hidup dengan benar? Caranya adalah dengan mengingat dan memahami kematian. Jawaban tersebut bisa kita dapatkan dari ajaran agama, atau dari menonton karya terbaru Hayao Miyazaki, sang Bapak Studio Ghibli. Sudah bukan rahasia, film-film Pak Hayao selalu personal, penuh makna, dan luar biasa menakjubkan lewat simbol-simbol dunia ajaib yang surealis. Namun The Boy and the Heron ini, bahkan lebih deep, dark, dan personal lagi. Kisahnya yang tentang seorang anak laki-laki yang kehilangan ibu akibat perang boleh saja bermula dengan kejadian yang berdasarkan pengalaman hidup Pak Hayao semasa kecil, tapi film ini berakhir dengan sesuatu yang seperti mencerminkan ujung dari dunia animasi magis buatannya sendiri. Film ini bisa jadi adalah hadiah terakhir dari Hayao Miyazaki kepada kita. Bagaimana kita hidup di dunia tanpa film-filmnya?

Fantasi, anak, dan perang. Hayao Miyazaki is up there untuk film-film yang bermain di tema tersebut (for me, he followed by Guillermo del Toro)  Hayao bicara tentang  kehilangan, duka, tragedi tapi lewat dunia fantasi yang menakjubkan. Dia tidak melihat itu sebagai musuh yang harus ditakuti, ataupun menjadikan sebagai sebuah pengalaman yang mengeksploitasi. Hayao, malahan, membuatnya sebagai entitas yang harus dihadapi. Dipelajari. Dihormati. Ini yang juga ia lakukan kepada tema kematian dalam The Boy and the Heron. Anak laki-laki dalam cerita ini, Mahito, menyongsong babak baru dalam hidupnya. Setelah ibunya tewas jadi korban perang, Mahito dibawa ayah pindah ke daerah pedesaan Tokyo. Hidup bersama istri ayahnya yang baru. Meskipun nurut, toh kita melihat penolakan itu dalam sikap Mahito. Penolakan untuk menganggap Natsuko sebagai ibu. Penolakan untuk nerima kenyataan ibunya bakal tergantikan. Inilah yang membuat Mahito diledek oleh burung cangak (sejenis bangau) yang bisa bicara yang secara misterius muncul di area sekitar rumah mereka. Cangak itu menyebut bahwa ibu Mahito masih hidup, dan ada di dalam reruntuhan menara di hutan. Dan bahwa Natsuko juga pergi ke sana. Dengan panah dan busur buatannya sendiri, Mahito pergi ke menara. Mencari ibunya. Meskipun dia tahu Cangak Abu itu berbohong. “I know it’s a lie, but I have to see” katanya mantap sebelum masuk ke ‘perangkap’ yang membuatnya terjebak di dunia sureal di bawah sana.

Kenapa translatenya enggak bangau aja ya? Atau burung kuntul sekalian. Judulnya jadi Anak Laki-Laki dan si Kuntul haha

 

See, Mahito sama sekali tidak takut sama Heron (kita manggilnya Heron aja lah ya hehe) yang menjebaknya. Dia sudah mempersenjati diri, fisik dan mental, untuk melawan tipu daya Heron. Yang actually, Heron ini kocak, karena ada dialog ambigu si Heron yang dengan bangga bilang “Benar, semua yang aku sebutkan adalah bohong” yang lantas ditembak oleh Mahito “Berarti itu bohong juga dong?” Mahito dan si Heron memang dalam perjalanan menjadi berkawan, mereka akan bekerja sama untuk ke puncak menara. Tempat kakek buyut Mahito selama ini bersemayam. Hayao Mayazaki kali ini memang benar-benar menyatukan dunia nyata dan fantasi, keanehan yang dilihat Mahito juga direcognized oleh karakter manusia lain. Petualangan yang dialami Mahito bukan terjadi di dunia mimpi yang bakal ngasih dia pembelajaran, melainkan benar ia lakukan. Realitas dalam cerita film ini memang didesain sebagai realitas dengan keanehan-keanehan. Yang bekerja di dalam konteks tema cerita, yaitu tidak takut kepada hal yang tidak kita mengerti. Seperti halnya Mahito yang tidak takut dengan keanehan dan kebohongan Heron. Mahito justru takut sama dunia nyata, dunia di mana dia harus punya ibu dan hidup baru. Saking gak siapnya Mahito dengan sekolah baru, dia sampai nekat melukai kepalanya sendiri dengan batu. Adegan yang bikin aku kaget, dan sejujurnya aku struggling untuk melihat kepentingan adegan self-harm di film yang harusnya untuk tontonan keluarga. Sampai di menjelang akhir, naskah akhirnya mengikat adegan tersebut dengan pembelajaran yang beautiful seputar sikap penerimaan dan penyadaran Mahito.

Dengan tema dan desain begitu, menurutku ada benarnya film ini juga adalah film ‘terberat’ dari Hayao Miyazaki. Film ini menantang kita untuk memahami emosi Mahito di lingkungan rumahnya yang baru. Mahito yang jarang bicara dan menutup diri. Film ini menantang kita untuk menyelami dan melihat makna di balik kejadian-kejadian dan karakter-karakter aneh yang ditemui oleh Mahito nanti selama petualangannya dalam menara. Karena di dalam sana, dia akan bertemu banyak banget hal-hal di luar nalar. Mulai dari rombongan makhluk imut putih, kawanan pelikan pemakan makhluk lain, tentara burung parkit, dan bahkan versi lain dari ibunya sendiri. Garis besar yang bisa aku sebutkan tanpa membuat review ini jadi ‘walkthrough spoiler’ adalah semua kejadian dibuat dengan maksud mempersiapkan Mahito untuk memahami kematian. Karena inilah yang dibutuhkan Mahito supaya dia bisa melanjutkan hidup sebagaimana mestinya. Mahito harus bisa melihat makna hidup lewat mengerti tentang kematian, menurut karakter-karakter di sekitarnya. Kita bahkan bisa menangkap sedikit komentar tentang perang dan dampaknya terselip sebagai layer dalam cerita.

Ada anekdot menarik yang pernah aku baca soal Kehidupan dan Kematian. Jadi, Life bertanya kepada Death “Kenapa manusia mencintaiku, sedangkan dirimu sangat mereka benci?” Death dengan kalem menjawab “Karena kamu adalah kebohongan yang indah, sedangkan diriku adalah kebenaran yang menyakitkan”. Anekdot tersebut membantuku mencerna film ini lebih lanjut. Karena persis itulah yang sebenarnya yang dikatakan oleh film. Bahwa kematian tidak lebih dari sebuah kenyataan pahit. Bahwa semua hal akan menemui ‘ajalnya’. Bahwa semuanya fana. Tinggal kitanya saja yang mempersiapkan diri menyongsong kenyataan tersebut tiba.

 

Karena ini film yang personal, maka membaca film ini pun udah kayak membaca Hayao Miyazaki sendiri. Seperti menapak tilas film-filmnya selama ini. Karena penonton yang familiar dengan karyanya, akan merasakan The Boy and the Heron ini seperti sangat akrab. Not just in sense, karena memang sudah ciri khasnya membuat film seperti begini. Tapi on a deeper level, kayak sebuah self-tribute dari orang yang sedang melihat ke belakang, ke dalam dirinya sendiri. Di dalam cerita, kakek buyut Mahito membangun dunia sureal fantastis ini dan dia ingin Mahito meneruskan pekerjaannya. Dia ingin Mahito tinggal di sana, menjaga agar dunia tersebut tidak runtuh. Karena dia ngerasa gak sanggup. Dunia yang mestinya damai tanpa perang seperti dunia nyata itu, nyatanya tidak semenangkan itu. Burung-burung yang masuk ke sana jadi ganas. Penulisan story tersebut terasa seperti self-realization dari Hayao Miyazaki. Bahwa dunia-dunia yang dia bangun selama ini, yang dia ciptakan dalam film-film indah itu, tetaplah sebuah fantasi. Dan akan berakhir. Bahwa dia gak bisa menciptakan itu selamanya. Ada titik di mana dia harus berhenti. Titik di mana cerita-cerita itu ‘mati’. But also, Hayao tampak bergulat dengan dirinya sendiri lewat karakter anak-anak Mahito, tak akan ada hal yang benar-benar ‘mati’. Ibu masih akan tetap hidup di hati Mahito yang bakal tumbuh dan menjalani hidup. Begitu juga karyanya, akan tetap hidup abadi lewat kita-kita penontonnya, hingga generasi-generasi selanjutnya.

Supaya konsisten dengan tema unggas; film ini bisa jadi adalah swan song-nya Hayao Miyazaki.

 

Sayangnya, dari yang kulihat di studioku menonton, aku merasa resepsi penonton kasual terhadap film ini agak datar. Like, fakta bahwa kita bisa menyaksikan animasi magis Ghibli di layar lebar aja mestinya udah cukup untuk bikin “wah-wah” sendiri. Tapi aura yang kurasakan di studio saat itu biasa saja. Kayaknya film ini bakal mirip kayak Elemental (2023) waktu tayang musim panas lalu. Penonton expecting petualangan yang dahsyat, sehingga gak sadar sebenarnya film ini sedang bekerja wonderful dalam konteks dan bahasan yang ingin disampaikan. Also, kita sering agak terlalu cepat ngejudge film dengan tema berat sebagai film yang lambat, sebagai aneh dan gak jelas. Padahal film ini naskahnya berhasil mengembangkan dengan seksama konflik personal yang dirasakan oleh Mahito. Karakternya distant by design karena begitu cara dia awalnya berusaha dealing with kehilangan ibu. Sepuluh menit pertama, vibe ‘dark’ dan sureal itu sudah dilandaskan kuat oleh naskah. Adegan opening yang Mahito di antara orang-orang di area yang kebakaran, dengan visual api dan sosok-sosok manusia yang berdistorsi, kurang apa coba itu melandaskan seperti apa film ini nantinya. Jangan harap film ini menyuapi kita dengan apapun. Karena bahkan pengungkapan informasi penting pun, misalnya pengungkapan hubungan antarkarakter siapa dan apa, dilakukan oleh film dengan natural tanpa aba-aba yang menuntun “oh ini bakal masuk bagian penting”. Film menampilkan dirinya sebagai dunia mimpi, untuk kita eksplorasi dan pahami sendiri. Hebatnya film ini justru karena kita ikut menyelam, menguak, merasakan, dan berubah bersama karakternya.

 




Untuk menjawab pertanyaan sendiri di awal tadi, no I can’t. Studio Ghibli tahun-tahun belakangan ini struggle terus, setiap film barunya keluar- bahkan yang bukan buatan Hayao, kesannya seperti film terakhir terus. Tapi aku selalu percaya Hayao Miyazaki bakal comeback, mendaratkan film Ghibli kembali ke tengah-tengah kita. Aku gak bisa membayangkan kalo ini bakal beneran jadi film terakhirnya. That’s why aku gak bakal ngupdate list Top-8 Film Ghibli Favoritku dengan film ini. Bukannya karena jelek, atau aku tak suka. Film ini menceritakan hidup-mati dengan konsep yang wonderful. Lapisan-lapisan fantasi dan personal yang saling tersulam satu sama lain. Ngasih kita karakter-karakter absurd yang ikonik, seperti yang biasa mereka lakukan. Aku hanya belum mau mengakui bahwa ini adalah end of an era. Aku berharap bakal ada lagi film ajaib yang bikin aku mengubah list itu. Ya, turns out, aku lebih keras kepala daripada Mahito.
The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold stars for THE BOY AND THE HERON

 




That’s all we have for now.

Bagaimana pendapat kalian tentang Hayao Miyazaki dan Studio Ghibli selama ini? Sebesar apa menurut kalian peran film-film mereka terhadap sinema atau kalian sendiri personally?

Share pendapat kalian di comments yaa

Bagi kalian yang juga melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang, satu lagi film yang kukasih score 8.5 tahun ini, bisa ke Apple TV untuk menonton Killers of the Flower Moon. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



THE HOLDOVERS Review

 

“Our history is not our destiny”

 

 

Bahkan sutradaranya sendiri gak nyangka filmnya yang tentang karakter terpaksa harus menghabiskan libur natal di sekolah asrama ini ternyata begitu menyentuh bagi banyak orang. Alexander Payne, dalam wawancara media, menyebutkan bahwa dia sampai agak dongkol juga ketika banyak yang menyebut film ini ‘menghangatkan’. Lucu sih, kayaknya baru kali ini ada sutradara yang ‘protes’ filmnya dibilang bagus. Tapi aku yakin itu bukannya dia gak suka sama sambutan penonton, bukan karena Payne gak berniat bikin film bagus, But, terakhir kali Payne bikin film itu adalah tahun 2017, dan antara tahun itu hingga sekarang, dia mungkin gak sadar betapa relatenya penonton sekarang dengan keadaan ‘terkurung di suatu tempat’. The Holdovers buatannya actually delivered salah satu perasaan tergenuine, termanis, ‘terhangat’ yang bisa hadir dari situasi tersebut. Karena film ini memang bukan drama komedi tentang guru dan anak murid bandel yang biasa. Karater-karakternya yang masing-masing punya ‘sejarah’ ditulis dengan demikian bernyawa.

Awalnya memang para karakter di sini tampak seperti karikatur dari tipe-tipe karakter komedi. Paul Giamatti jadi Paul Hunham, guru sejarah galak yang bukan saja killer di dalam kelas kepada murid-muridnya, dia juga nyebelin di luar kelas, bahkan kepada kolega-koleganya.  Pokoknya orangnya unpleasant-lah, baik itu ketika diajak ngobrol ataupun sekadar dipandang. Kelainan pada matanya bikin lawan bicara canggung harus melihat ke mana. Bahkan naskah menambahkan satu lagi, muridnya gak suka deket-deket karena si bapak ini punya kelainan bau badan! Menjelang natal di sekolah asrama Katolik khusus cowok itu, Paul disuruh tinggal di sekolah – sebagai bentuk hukuman. Paul disuruh jadi pengawas bagi murid-murid yang juga gak pulang ke rumah, karena berbagai alasan orangtua masing-masing tidak atau belum bisa menjemput mereka ke sekolah. Murid-murid Pak Paul juga gak kalah ‘parodi’nya. Mereka anak-anak orang kaya, yang dengan cepat dijudge oleh Paul sebagai anak-anak manja tapi sok begajulan (dengan nilai akademik pas-pasan, kalo ini fakta!) Dan memang mereka semenyebalkan itu. One of them adalah Angus Tully (diperankan oleh newcomer Dominic Sessa) Actually, Tully-lah yang jadi satu-satunya anak yang beneran tinggal di sekolah sampai liburan usai. Satu-satunya anak yang harus mendekam bersama Paul yang sudah bulat tekad untuk menjadikan liburan itu sebagai gak ubahnya sebuah jadwal semester pendek.

Bayangkan kalo Argus Filch – caretaker di Hogwarts – jadi guru, begitu kira-kira ‘menyenangkannya’ Pak Paul.

 

Kalian tahu-lah yang terjadi sesudahnya. Paul dan Tully yang bisa dibilang saling antipati, perlahan jadi semakin dekat. Proses mereka menjadi udah kayak ayah kepada anak yang tak pernah ia punya dan sebaliknya itulah yang wonderful sekali dilakukan oleh film ini. Karakter-karakter itu tidak lagi seperti karikatur atau parodi stereotipe begitu film perlahan membuka sisi humanis mereka. Selapis demi selapis. Karena ini cowok yang sedang dibicarakan. Cowok gak main duduk dan saling curhat bicarakan masalah emosional mereka. Cowok mengubur sisi vulnerable mereka ke balik tembok yang menurut mereka paling keras. Dari situlah datangnya sikap tak menyenangkan mereka. Sementara sisi vulnerable yang tersimpan tersebut didesain oleh film ke dalam tema yang mengait kepada identitas cerita dan karakternya. Yaitu sejarah. Paul yang guru sejarah, tentu paham bahwa apa yang terjadi di masa sekarang sebenarnya sudah pernah terjadi di masa lampau. Bahwa masa sekarang hanyalah cerminan dari masa lalu. Paham teori sejarah bukan lantas ngerti mengarungi kehidupan. Justru itu yang dibuat oleh film sebagai false-believe Paul. Karena dia percaya dia sekarang harus bertindak sesuai dengan yang dilakukan di masa sekolah dulu. Bahwa dia terperangkap di keadaannya yang sekarang karena tuduhan yang ia terima di masa lalu. Juga, pemahamannya tentang bagaimana sejarah bekerja membuat dia salah menilai para murid seperti Tully. Enggak semua anak orang kaya jadi menyebalkan di asrama karena mereka dimanjakan oleh kenyamanan di rumah. Justru sebaliknya. Tully punya masalah yang sangat gak enak untuk dialamin oleh seorang anak, kaya atau miskin. Enggak diinginkan di rumah! Berkenaan dengan sejarah/masa lalu, Tully juga dibuat oleh naskah punya false believe dia percaya dia akan tumbuh menjadi ‘rusak’ seperti ayah kandungnya.

Dalam perkembangannya, kedua karakter akan jadi saling belajar. Sebagaimana Tully belajar bahwa pelajaran sejarah sebenarnya tidak semembosankan yang diajarkan di kelas, dia juga jadi sadar bahwa dengan mengetahui cerita siapa gurunya di masa lalu, dia melihat sang guru jadi sosok yang bukan saja menarik untuk dikenal lebih dalam, melainkan juga relate dan ya, akrab. Paul bahkan belajar dari Tully bagaimana menjadi guru yang lebih baik, di dalam maupun luar kelas. Bagaimana menjadi pribadi yang lebih terbuka dan mau ‘membaca’ cerita masa lalu mereka tanpa judgment. Stake mereka gak muluk-muluk. Tapi seru, karena kontras. Meskipun mereka sebel harus habisin liburan di sekolah yang dingin dan televisinya cuma satu dan basically penjara, mereka pengen bertahan di sekolah itu. Paul merasa hanya sekolah itu yang mau mempekerjakan orang sepertinya. Tully gak mau dikirim ke sekolah militer. Jadi mereka harus menjaga sikap, sementara kebutuhan mereka untuk dealing with ‘sejarah’ masing-masing bakal membuat mereka mempertaruhkan itu semua.

Ada cerita di balik setiap orang. Her story, his-tory.  Apapun itu. Semua orang punya kisah yang menjadi alasan kenapa mereka menjadi seperti diri mereka yang sekarang. Kita tidak untuk menjudge mereka berdasarkan kisah masa lalu tersebut. Karena sejarah itu bukanlah takdir. Tully bukan lantas jadi bapaknya. Paul bukan lantas harus terus bersikap berdasarkan kesalahannya di masa lalu. Kita punya pilihan untuk tidak mengulangi sejarah. Kita punya pilihan untuk meneruskan kisah hidup kita sendiri.

 

Kekuatan arahan dan tentu saja akting dari kedua karakter sentral ini membuat perjalanan karakter mereka tersampaikan dengan sangat mengalir. Kita melihat mereka sebagai human being, alih-alih sebagai parodi ataupun karakter yang berkembang dengan formulaic. Penampilan akting mereka menembus karikatur itu lebih dulu sebelum pembelajaran karakter mereka bekerja. I think this is the best dari Paul Giamatti sejauh film-filmnya yang sudah kutonton dan kuamati. Selalu bukan hal gampang bikin protagonis orang yang tak disukai, serta tak muda, Giamatti berhasil memberikan hati kepada karakternya. Ketika dia berjuang membuka diri untuk sebuah potensi hubungan romantis, kita peduli, aku bahkan ikut was-was gimana nanti dia mengakali masalah bau badannya supaya semua lancar.  Dominic Sessa, dalam film panjang debutnya ini, sanggup toe-to-toe dengan aktor sekelas Giamatti. Penampilannya di sini bakal certainly put him on the Hollywood map!

Film dengan sengaja bikin mata-besar Paul gak konsisten kanan atau kiri supaya kita ikut merasakan kecanggungan saat menatapnya

 

Soal sejarah adalah cerminan ini juga terpampang nyata pada desain film. Salah satu yang paling sering jadi keluhanku buat film-film modern yang berniat memotret masa lampau entah itu 80an atau 90an adalah, feeling pada masa itu sering meleset. Film-filmnya sering belum berhasil mengemulate vibe periode yang ingin ditampilkan. Istilah singkatnya, film-filmnya masih terasa modern, tidak terasa seperti film yang dibuat pada tahun tersebut. Layarnya masih jernih. Suasananya masih kekinian. Cara karakternya bersosialisasi masih kayak orang yang berusaha tampil oldies. The Holdovers berhasil tersulap seperti beneran film yang dibuat tahun 70-80an. Cara karakternya membawa diri. Suara mereka. Musiknya. Suasana asrama dan kotanya. Bangunan-bangunannya. Semuanya terasa benar punya vibe klasik. Bahkan layarnya tampak grainy, dengan saturasi yang tepat, plus musim salju. Secara ‘luar’ film ini tampak dingin, distant. Tapi begitu kita memasuki ceritanya, karakternya, ada suatu kehangatan. Harus ada yang ngasih tahu Payne bahwa misi dia ngehasilin vibe dingin itu sebenarnya toh memang berhasil, tapi kehangatan dari journey karakternya bikin penonton ikut meleleh.

‘Kasih sayang’ memang berhasil digambarkan oleh film, terhampar lewat perasaan. Merayap tanpa sadar pada karakter-karakternya. As in, mereka tanpa sadar telah menjadi keluarga. Film ini actually punya hal yang membedakannya dari film-film sejenis. Like, kalo tentang guru dan murid saja, apa bedanya dia sama Dead Poets Society (1989), kan? Film ini punya ‘pihak ketiga’ yang bukan saja berfungsi sebagai penengah, tapi juga sebagai ‘mother figure’ yang menjembatani dua karakter sentral dengan cinta dan kasih sayang yang keduanya sama-sama kekurangan dalam hidup (Paul belum pernah menikah, Tully terabaikan oleh ibunya). Pihak ketiga itu adalah karakter Mary yang diperankan juga tak kalah luar biasanya oleh aktris kulit hitam Da’Vine Joy Randolph. Tukang masak di asrama. Ibu-ibu yang baru saja kehilangan putra, keluarga satu-satunya, di medan perang. See, lapisan dunia cerita semakin bertambah dengan kehadiran karakter ini. Kaki ketiga yang jadi fondasi kokoh dalam bangunan penceritaan film. Karena bahasan personal film jadi merambah ke tragedi masa lalu kolektif rakyat. Tragedi perang yang mengorbankan anak-anak muda. Film ini juga berusaha men-tackle persoalan ‘sejarah’ itu lewat karakter Mary. Karakter yang benar-benar telah kehilangan cinta yang pernah singgah kepadanya, tapi tidak sekalipun dibikin sebagai karakter putus asa.

 




Ini benar-benar di luar dugaan remehku. This is no raunchy coming of age comedy tentang anak muda dan guru galak kayak, The Inbetweeners, misalnya. This is not even a quirky inspirational drama kayak Dead Poets Society. Karya terbaru Payne ini somewhat seperti di tengah-tengahnya. Funny, emotional, real. tentang anak muda, orangtua, dan orang yang beneran sudah tua sekaligus. Mereka menemukan cinta dan kasih sayang dengan berdamai dengan masa lalu. Dengan sejarah yang mereka kira bakal mendikte gimana mereka ke depannya. Film ini gak exactly inspirational, like, gak memotivasi kita untuk merasa spesial dan punya kekhususan seperti para karakter di dalam ceritanya. Justru sebaliknya. Karakternya broken enough untuk membuat kita peduli dan memetik pelajaran di balik gimana mereka akhirnya – melawan kemauan dan kesadaran sendiri – menjadi lebih erat bahkan dari keluarga sedarah. Film ini membuat apa yang sepertinya karikatur berubah menjadi truly menghangatkan dengan seefektif namun sesederhana itu.
The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold stars for THE HOLDOVERS

 




That’s all we have for now.

Cerita keluarga di sekolah asrama Katolik, di liburan natal. Basically film ini adalah film ‘religi’. Hanya saja pembahasannya tidak lewat ayat-ayat melainkan melalui sudut kemanusiaan. Kenapa film kita belum banyak yang seperti ini, like kita belum nemu film berlatar pesantren yang ‘ajaran agamanya’ ada di dalam permasalahan manusiawi aja, tanpa perlu ceramah ayat-ayat dan sebagainya?

Share pendapat kalian di comments yaa

Bagi kalian yang juga melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang, satu lagi film yang kukasih score 8.5 tahun ini, bisa ke Apple TV untuk menonton Killers of the Flower Moon. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



KILLERS OF THE FLOWER MOON Review

 

“Coyote is always out there waiting… and coyote is always hungry”

 

 

Alih-alih bikin whodunit, Martin Scorsese bilang bahwa ia mengadaptasi buku nonfiksi tentang rangkaian pembunuhan warga Indian di Osage County 1920an menjadi film ‘who-didn’t-do-it’. Apa maksudnya? Well, thriller detektif memecahkan kasus boleh saja lebih ‘menjual’ tapi tidak akan mencapai power yang diniatkan Scorsese. Dengan konteks sejarah bangsanya, film ini disajikannya untuk menyuguhkan perasaan getir karena yah in a way, they all did it; dengan tidak pernah benar-benar serius mengusut sebab terlalu banyak yang terlibat. Dan para korban survive bukan karena bantuan mereka-mereka kulit putih. Afterall, sutradara legend ini demennya bikin cerita dengan karakter based on real people yang melakukan hal-hal tak terpuji. Killers of the Flower Moon dibuatnya sebagai drama romansa dari sudut pandang pelaku kejahatan yang berpikir dia beneran menyintai perempuan indian yang ia nikahi sebagai istrinya, tapi juga dia menyintai uang dengan sama besarnya. Jika tidak lebih.

Namun jangan bayangkan Leonardo DiCaprio di sini karakternya cool, glamor, dan penuh karisma seperti protagonis-protagonis bobrok dalam film Scorsese yang sudah-sudah. Ernest Burkhart dalam cerita ini bukan wolf. Dia, sesuai dengan yang disimbolkan oleh istrinya bahkan dalam pertempuan pertama mereka, adalah coyote. Anjing hutan liar yang selalu kelaparan. Menyedihkan, tapi tidak untuk dipercaya.

 

Ernest tadinya ikut dikirim ke medan perang, sebagai juru masak. Tapi karena kondisinya, pemuda ini tidak bisa membantu banyak. Pulanglah dia ke naungan pamannya. Seorang juragan ternak di Osage, tanah Indian yang makmur oleh emas hitam. Saking makmurnya, orang-orang kulit putih seperti Ernest berdatangan ke sana, mencari peruntungan mengadu nasib ke sana. ‘Peruntungan’ di sini tidak dalam makna yang baek-baek. Sekilas memang mereka tampak jadi pekerja bagi orang-orang Indian. Dua golongan ini pun tampak saling membaur. Asimilasi budaya dan pengetahuan. Tapi di baliknya, ada maksud terselubung untuk menguasai uang minyak. Warga Indian dibunuhi dengan segala macam tipu daya. Ernest yang jatuh cinta kepada Mollie, bukannya membela, ataupun setidaknya bersimpati. Ernest ikut ke mana power bertiup. Ke pamannya yang bisa mendapatkannya uang dan posisi. Sehingga dia tidak menolak ketika pamannya memanfaatkan perasaan antara dirinya dengan Mollie. Ernest bahkan ikut berkomplot membunuh satu persatu keluarga Mollie, setelah mereka menikah.

Dengan cocote, Ernest adalah coyote berbulu domba

 

Kenapa sih para ‘pendatang’ itu kelakuannya suka seperti ini? Film ini hadir pas banget dengan horrible genocide event yang sedang berlangsung, sehingga impact film ini mestinya bisa berkali lipat menyentuh kemanusiaan. Orang yang datang malah menjajah, ingin menguasai lebih dari hak mereka, sampai melakukan apapun termasuk kejahatan kriminal. Kekuatan film ini jadi terdisplay full, nunjukin gimana pun tetap ujungnya rasis. Mendahulukan kepentingan golongan. Dan ultimately, perut sendiri. Ernest dan pendatang kulit putih udah dikasih hati, tapi malah minta jantung. Aku pikir inilah yang ingin ditunjukkan oleh Scorsese ketika memilih untuk menjadikan cerita ini dari sudut pandang Ernest, yang sebagai protagonis sangat unlikeable, meskipun dia percaya punya rasa cinta kepada Mollie. Film ingin memperlihatkan ‘hati yang sudah dikasih’ tersebut. Ingin mendaratkan kita dengan perasaan genuine, tanpa mencederai perasaan pihak yang mestinya adalah victim. Pihak yang lebih berhak menceritakan peristiwa ini. Mollie dan orang-orangnya.

Karena Mollie dan orang-orang Indian itu meski lebih pasif posisinya di dalam cerita, tapi mereka tidak pernah digambarkan ignorant alias polos. Mereka bukannya bengong dan tidak tahu apa-apa ketika ada sodara mereka yang ditemukan mati secara misterius seolah kecelakaan (dan mengenaskan). Film tidak sampai hati mengatakan mereka juga terlena total oleh harta dan kata-kata pemuda seperti Ernest yang menikah ke dalam keluarga Indian, ataupun orang berpengaruh seperti William Hale, paman Ernest, yang telah lama membantu dan ikut membangun fasilitas-fasilitas di kota mereka. Bagi para warga Indian, film memperlihatkan, persahabatan dan keterbukaan mereka adalah hal yang tulus, yang dimanfaatkan oleh para coyote licik. Mollie, sedari awal flirt-flirtan sama Ernest sudah melihat bahwa pria itu orang yang pengen duitnya, makanya dia menjuluki Ernest dengan sebutan coyote dalam bahasa Indian. Tapi ya itu tadi, cinta itu tumbuh genuine. Mollie merasakannya pure, sementara Ernest merasakannya juga tapi tertutup oleh ‘rasa lapar binatangnya’. Film ingin kita merasakan dramatic irony dari melihat cinta dan kepercayaan Mollie tumbuh, dikontraskan dengan bagaimana Ernest sebagai karakter utama dalam setiap kesempatan yang selalu diberikan naskah kepadanya, memilih untuk menomorsatukan uang dan pamannya ketimbang Mollie dan keluarga. Adegan di bagian akhir yang Ernest ditanya oleh Mollie soal insulin yang selama ini disuntikkan, maan, really broke us down bersama Mollie. Film memberikan kesempatan kepada karakternya untuk develop oleh pembelajaran, they did it for a while, lalu jatuh kembali ke lubang yang sama. Ini jadi kayak jawaban film kenapa masalah tahun 1920 itu masih relevan juga dengan keadaan sekarang.

Ketinggian dramatis seperti itu tidak akan tercapai jika film ini mentok sebagai pengungkapan kasus whodunit siapa yang membunuhi saudara-saudara Mollie dan para Indian. Film ini tahu yang penting untuk diceritakan, bahwa siapa yang bunuh tidak perlu lagi dipertanyakan. Film justru ingin menelisik moral dan perasaan karakter-karakter yang terlibat. Ernest bergulat antara cintanya kepada Mollie dan kepada uang, Mollie bergulat prasangkanya dan ruang untuk cinta.  Banyak lagi momen dalam film 3 jam setengah ini yang bikin terenyuh. Mollie ngasih bantal kepada sodara Ernest yang pulang kemaleman, not knowing bahwa orang itu baru saja melakukan permintaan Ernest (atas gagasan paman) membunuh kakak Mollie. I was like, wow gimana bisa Ernest tidur nyenyak berselimut kekejian seperti itu. Lily Gladstone meranin Mollie udah pas banget, kita ikut merasakan kewaspadaan serta juga kevulnerableannya sebagai perempuan hadir di balik tuturnya yang singkat tapi padat. Jadi hati di balik penampilan repulsif dan manipulatif dari karakter pria kulit putih. Leonardo dan Robert De Niro memberikan penampilan tidak kurang dari standar tinggi yang selalu mereka suguhkan, tapi di musim award ini, Lily Gladstone mestinya bisa jadi ujung tombak film ini untuk meraih penghargaan. Durasi sepanjang itu gak bakal terasa karena cerita yang mengalun, karakter yang ironis, dan pace terjaga. The only reason aku gak nonton ini bioskop (dan aku sangat menyayangkan itu karena pastilah film ini makin epik di studio) adalah karena secara fisik, aku yang sedari kecil punya penyakit beser udah gak kuat duduk selama itu tanpa harus bolak-balik ke toilet (which will ruin the experience for me)

Ini film yang bikin kita malu kalo relate sama protagonisnya

 

Lihat cara film menampilkan momen-momen keseharian rakyat di Osage. Lewat tampilan hitam putih seolah foto/film jadul yang sebenarnya. Pilihan yang bukan sekadar untuk estetik, melainkan juga perfectly membingkai karakter yang ingin diceritakan. Bahwa kebersamaan si kulit merah dan si kulit putih di layar itu ya sebenarnya ada yang ‘mengatur’ di belakang. Ada mastermind yang merencanakan hal buruk demi duit. Jadi ya, Scorsese di film ini bukan hanya menceritakan peristiwa kelam masa lalu, melainkan dia juga punya desain sendiri. Yang mengangkat film ini lebih dramatis lagi. Film ini dibuka dan ditutup olehnya dengan somekind of upacara Indian. Yang satu tentang kekhawatiran mereka akan ‘way of life’ yang berpotensi tercemar setelah masuk masa makmur mereka, sementara satunya tampak seperti perayaan kebersamaan yang saling menguatkan. Secara hakikat, ini adalah materi yang pelik untuk diceritakan oleh Scorsese yang sadar dia sendiri bukan Indian. Dan dia berhasil menemukan desain yang tepat. Membuat cerita dari sudut pandang pelaku, memberikan journey kepada pihak pelaku yang mewakili kenyataan bahwa sampai sekarang belum berubah betul (meski mengaku sudah sadar), tanpa melupakan perspektif korban. Tanpa mengasihani, ataupun merendahkan penghormatan terhadap korban.

 




Film ini tidak lancang dengan ngasih penyelesaian yang menuntaskan cerita. Bagian sidang penangkapan dan pengakuan Ernest memang ada, FBI yang mengusutnya memang ada (Jesse Plemons, always kita sambut hangat) tapi film memilih cara menutup yang paling aneh. Tiba-tiba adegan berubah menjadi semacam adegan teater, dengan Scorsese sendiri jadi salah satu pembaca yang membacakan nasib para karakter setelah sidang dan segala macam. Pilihan aneh yang dilakukan sebagai bentuk respect karena sadar bukan tempatnya untuk mengakhiri cerita ini. Dia mengembalikan cerita kepada pihak yang memang memiliki cerita. Dan aku terduduk di tempat, memikirkan tidak ada perlakuan lain yang bisa dilakukan film untuk bisa lebih sopan dari ini. Untuk bisa lebih ‘tepat’ daripada ini, karena secara teknis pun, dengan desain seperti ini, film masih tetap ‘benar’ secara naskah dan sebagainya. Film ini tidak perlu mengubah struktur dengan konsep berlebihan, namun tetap beautiful dan menantang. Old-school storytelling at its finest!
The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold stars for KILLERS OF THE FLOWER MOON




That’s all we have for now.

Kenapa sih pendatang kelakuannya suka gak tau terima kasih dan suka menjajah?

Share pendapat kalian di comments yaa

Bagi kalian yang juga melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



JATUH CINTA SEPERTI DI FILM-FILM Review

 

“Words and ideas can change the world”

 

 

Siapa sih yang gak mau kisah percintaannya seperti di film-film? Ketemuannya cute, jadiannya sweet, berjalan dengan naik turun penuh passion hingga happily ever after. Jika berakhir tragis pun, kisah cinta di film akan tetap romantis. Bahkan nerd seperti aku bakal get the girl! Padahal kehidupan nyata bukannya tidak romantis, loh. Kita semua mendambakan skenario jatuh cinta ala sinema karena film memang sekuat itu. Sebagai medium bercerita, film punya daya untuk mempengaruhi orang, punya kemampuan untuk memantik percikan perubahan pada seseorang dalam memandang hidup. Yandy Laurens jelas percaya ini.  Percaya kalo kehidupan nyata tidak kalah romantis, melainkan cuma butuh dorongan kecil dari sebuah film yang dirasakan lewat karakter-karakternya. Percaya bahwa efek film bisa sedahsyat itu, asalkan si film itu diberikan kesempatan untuk tetap personal dan menjadi dirinya sendiri. Jika pasangan dalam film biasanya mengatakan cinta lewat bunga, maka karakter yang diciptakan Yandy dalam drama komedi romantis dengan struktur ajaib ini bilang, say it with a movie,

Semua film, at one point, pasti personal bagi pembuatnya. Aku mengetahui ini waktu dulu masih sering ikut kelas penulisan skenario serabutan di mana-mana. Every aspiring screenwriters ingin memfilmkan secuil kisah hidup atau pengalaman mereka. Ingin mengatakan sesuatu di balik cerita yang mereka tulis. Ini bagus, hal-hal personal ini yang mestinya dipertahankan supaya film bisa relate dan genuine, sehingga bisa konek kepada penonton. Problem with personal stories adalah, kita pikir cerita kita itu bagus. Pengalaman atau kisah hidup atau pandangan kita itu layak untuk difilmkan karena orang-orang butuh cerita kita, karena cerita kita sedemikian penting sehingga bisa mengubah dunia ini.  Bagus, karakter utama, dalam Jatuh Cinta Seperti di Film-Film juga punya ‘idealisme’ seperti begitu. Bagus yang seorang screenwriter, ingin membuat film romantis berdasarkan perasaannya terhadap Hana, teman semasa SMA dulu. Dia menulis film dari kisah pertemuannya dengan Hana yang masih berkabung atas kematian suami empat bulan yang lalu. Lewat naskah film yang ia tulis, Bagus ingin mengutarakan cinta sekaligus mencoba untuk membuka pintu hati Hana yang kini masih tertutup rapat untuk cinta yang baru. Jadi Bagus berjuang, pitching ceritanya di depan produser. Supaya beneran difilmkan dan Hana nonton. Naskah yang ia perjuangkan itu ultimately jadi membuka mata Bagus terhadap apa yang sebenarnya lebih perlu untuk ia lakukan.

The power of filmmaking; bukan cuma penontonnya, tapi juga bisa mengubah pembuatnya jadi pribadi yang lebih baik

 

Seperti yang sudah dikesankan oleh judulnya, film ini memang dibangun dengan struktur yang sangat meta. Film tentang karakter yang menulis cerita film, yang actually berdasarkan kisah hidupnya. Ada banyak layer; cerita di dalam cerita di dalam cerita. Konklusinya nunjukin meski dunia nyata si karakter mungkin gak seromantis di dalam cerita yang karakter bikin – karena di dalam cerita film, semuanya harus dilebih-lebihkan biar dramatis, toh dunia nyata dia itu film juga bagi kita. So mindblowing, makanya film ini ngasih pengalaman unik banget saat ditonton. Apalagi saat direview.

Serius deh. Ini actually salah satu film yang fun banget, bikin aku ber-“loh-loh” ria saat berusaha menelisik di balik layer-layernya satu persatu. Ada beberapa kali di babak awal aku ngerasa film ini jelek. Pretentious dengan gimmick hitam putih. Juga dengan penulisan yang sok asik dengan istilah-istilah film menurut ‘netijen’. Like, adegan yang nyebut penulis subtitle bahasa indonesia di film bajakan; adegan itu kayak maksain banget karena masa’ nonton film adaptasi dari sinetron Indonesia bisa pake ada subtitle segala. Ataupun masih terlalu ‘telling’ dengan dialog Hana bilang dirinya seolah ikut dikubur bersama suami, padahal cukup ditunjukin visual surealis Hana ikut berbaring di dalam peti mati yang memang ada later in the story. Di situlah aku nyadar. Bahwa yang jelek di depan itu, bukan film ini. Tapi film/naskah buatan si Bagus. Bahwa itu semua adalah bagian dari karakterisasi si Bagus sebagai tokoh utama. Gimana dia malah memposisikan karakter Hana sebagai yang harus punya development di dalam ceritanya, nunjukin bahwa Bagus belum melihat ‘false-believe’nya sendiri. Belum melihat bahwa dia itu egois, merasa benar, dan even gak sejago itu dalam nulis naskah film. Di babak selanjutnya, film akan mengacknowledge kekurangan-kekurangan Bagus, dan itu bakal dijadikan poin untuk pembelajaran bagi karakternya. Yang bikin makin seru, nanti juga ada adegan-adegan saat Bagus dipertanyakan oleh aktor dan kru yang terlibat di dalam pembuatan film dari ceritanya. Dan Bagus seringkali gak bisa jawab, karena dia realized they are right, Hana was right, and he is wrong.

Dan yang dibuat oleh Bagus itu belum lagi sebuah film. Melainkan ‘baru’ sebuah naskah. Tapi powernya sudah ada. Film hanya satu dari sekian banyak medium. Gagasan dan kata-katalah yang sebenarnya mengubah dunia. Kata-kata Hana yang ia jadikan dialog di naskah, membuka mata Bagus.  And in turn, gagasan Bagus dalam bentuk naskah, berhasil menyentuh Hana. Membantunya ‘terlahir kembali’ dari duka nestapa.

 

Makin ke belakang, bakal banyak momen-momen film ‘menjawab’ kejanggalan yang kita rasakan pada cerita buatan Bagus. Momen-momen itu juga bakal ngingetin kita kalo semua yang kita tonton adalah visualisasi dari naskah buatan Bagus. But it’s not that easy. Karena film ini juga punya selera humor. Selain mengiyakan pertanyaan kita, selain membimbing penonton melewati istilah-istilah penulisan skenario (hey free writing lessons!!) dan sedikit seluk beluk tentang gimana sebuah film bisa akhirnya dapat lampu hijau untuk produksi, serta proses syutingnya itu sendiri, konsep atau struktur meta film juga dibangun dengan meng-subvert ekspektasi kita sebagai penonton. Mana yang beneran terjadi di kehidupan Bagus dan Hana, mana yang cuma karangan Bagus. Garis itu jadi begitu abu-abu – hitam putih seperti yang ditampilkan film ini – sehingga nontonnya jadi seru, lucu, serta juga hangat oleh dinamika Bagus dan Hana, entah itu di mana Bagus dan Hana yang asli ‘dimulai’.

Sementara kita sort ulang mana yang actually dilakukan oleh film, dan mana yang dilakukan oleh film buatan si Bagus sebagai karakter yang harus punya perkembangan, yang tidak bisa kita deny kehebatannya adalah akting. Monolog Hana yang meledak di depan Bagus saat perempuan itu akhirnya tahu cerita apa yang sebenarnya ditulis oleh sahabat sekolahnya itu (selama ini Hana diberitahu Bagus menulis cerita tentang florist, padahal bukan) dan akhirnya tahu intensi Bagus di balik naskah itu, boleh jadi hanya ada di naskah karangan Bagus – bahwa itu kejadian yang tidak pernah terjadi di kehidupan nyata Bagus – tapi Nirina Zubir tetap nyata-nyata went out and totally slayed her lines like that. Itu adegan jadi momen bravo banget di bioskop. Penonton di studio ku pada diem takjub semua, setelah sebelumnya memang banyak yang terkikik-kikik oleh candaan terhadap perfilman yang tersebar di dialog-dialog film. Ringgo Agus Rahman juga tepat terus memposisikan dirinya yang memainkan berbagai ‘versi’ Bagus. Benang merah yang jadi inner journey karakternya tetap bisa dia pertahankan.

It’s meta funny film ini take jabs at bikin remake dari sinetron, while sutradara dan dua aktor sentralnya actually terlibat di film Keluarga Cemara

 

Jadi tampilan hitam putih yang sebagian besar mengisi film ini bukan sekadar gimmick, bukan cuma kode estetik Bagus yang pengen memahami duka Hana, dan mestinya bukan semata batas kejadian di naskah Bagus dengan kejadian di hidup asli Bagus. Melainkan didesain oleh film ini sebagai device untuk menampilkan journey karakter Bagus. Tampilan hitam putih jadi cara film untuk menyarukan kejadian nyata yang dialami Bagus, yang digodoknya dengan kejadian reka yang berarti gimana sudut pandang dan sikap Bagus memandang kejadian nyata yang dia alami. Dengan kata lain, mestinya bagian hitam putih di dalam film ini adalah visualisasi nurani Bagus dalam menilik gimana dia harus approach Hana dan duka perempuan tersebut. Mungkin aku salah, tapi I think konsep film ini kurang lebih diniatkan begitu.

Yang membuatku jadi menghubungkan film ini dengan Asteroid City (2023) buatan Wes Anderson. Sama-sama tentang dealing with grief, sama-sama lewat konsep hitam putih, Asteroid City di teater play, sedangkan film ini di penulisan/pembuatan film. Ketika Asteroid City gak takut untuk ‘membuka’ mana yang play mana yang dunia reka, dengan eventually membenturkan hitam-putih dan dunia warna demi memastikan karakter utama kita benar-benar terlihat mengalami development dan berbuat ‘kesalahan’, film tersebut berakhir dengan lebih tight, somehow lebih ‘misterius’, dan less gimmicky.  Jatuh Cinta Seperti di Film-Film, however, rasanya tuh berpikir, masih takut untuk ketebak. Hitam putih dan warna, pada akhirnya jadi batas nyata dan reka. Karena begitu kita sampai ke momen warna/nyata, development yang kita lihat hanya pada Hana yang nyata. Penonton diniatkan untuk menyetujui bahwa development Bagus yang nyata telah terjadi di bagian hitam putih, tapi at the same time, film menegaskan batas nyata dan reka tadi. Kita gak melihat Bagus nyata struggle dengan pembelajaran, proses pemikiran dan penyadaran Bagus yang sebenarnya. Menurutku momen bentrokan dunia hitam putih dan warna seperti yang dilakukan Asteroid City bisa membantu film ini mencapai hal yang sama untuk karakter Bagus.

But still, struktur meta dan penulisan rom-com ini brilian. Eksistensi film ini, brilian. Like, kita bisa lihat sendiri di cerita ini betapa susahnya Bagus ‘menjual’ naskahnya ke produser. That’s really mirror real life. Itu nyaris seperti parodi dari gimana produser di industri film kita sekarang. Adegan-adegan Bagus dengan produser, poke fun begitu banyak fenomena industri kayak takut barengan tayang ama Marvel, ubah cerita jadi ada horornya, angker sama tampilan hitam putih karena jadi kayak film nyeni yang berat, udah kayak sketch Pitch Meeting di YouTubenya Screen Rant tapi lebih grounded dan relate karena keadaan yang disinggung sangat dekat. Kocaknya pun jadi lebih berasa. Aku ketawa like a sinefil snob di studio hahaha.. Makanya keberadaan cerita kayak gini, bisa-bisanya nangkring di bioskop, dengan jumlah penonton yang gak sedikit, jadi sebuah kebrilianan yang patut kita rayakan. Dan lestarikan.




Cerita yang personal akan selalu dapat tempat di hati penonton. Film ini punya itu, mengerti kekuatan itu dan gagah berani mengambil banyak risks. Film mengambil cara bercerita yang paling meta. Pembuatnya tentu saja sangat personal dengan urusan perjuangan gimana cerita asli bisa sampai mendapat lampu hijau untuk produksi.  Tapi dia tahu punya senjata kuat, yaitu bahasan topik cinta dan grief yang benar-benar mampu menggebah perasaan manusiawi. Sedikit extra pada konsep, tapi ini tetap sebuah presentasi cerita yang menyenangkan, menghangatkan, bahkan membuat kita menertawakan sesuatu yang kita sayangi.  This movie feels like love itself.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for JATUH CINTA SEPERTI DI FILM-FILM

 

 




That’s all we have for now.

Hana sempat bilang bahwa romance hanya milik anak muda. Bagaimana pendapat kalian tentang itu?

Share di comments yaa

Setelah nonton ini,  kalian yang masih pengen tontonan seru, bisa coba serial Monarch: Legacy of Monsters, dari universe Godzilla yang selain tentang monster juga tentang keluarga. Yang penasaran, langsung aja subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



GAMPANG CUAN Review

 

“There’s no such thing as an overnight success or easy money”

 

 

Anak sulung punya tanggung jawab besar. Apalagi cowok. Merekalah yang pertama kali bakal step up menggantikan ayah sebagai kepala keluarga. Makanya anak sulung kudu bisa jadi pemimpin dan pelindung bagi adik-adiknya. Jadi suri tauladan. Jadi pedoman. Jadi acuan. Harus bisa cari cuan. Komedi Gampang Cuan dari Rahabi Mandra, buatku pertama dan utama sekali, adalah tribute buat perjuangan anak sulung terhadap keluarganya. Di balik kejenakaan dari usaha-usaha ‘ekstrim’ yang dilakukan protagonisnya – hingga menyerempet garis kriminal – ada kisah hangat tentang gimana seorang anak sulung berusaha mengemban tanggungjawab, walaupun dia gak begitu ahli atau bahkan gak tahu dengan apa yang akan ia lakukan. Sebagai anak sulung dari tiga bersaudara, yang merantau, dan yang juga belum sukses-sukses menuhin janji itu, I do find film ini sebagai sajian relate yang bukan hanya menghibur (karena tak jarang memberikan momen-momen untuk ngetawain kebegoan/kemalesan sendiri) tapi juga jadi tontonan yang jadi semacam penyemangat, atau boleh juga dibilang cautionary tale, untuk tetap berusaha di jalan lurus sekalipun demi cuan.

In today’s economy – waduh udah kayak dunia dalam berita – mencari cara cepat untuk bisa kaya raya jadi usaha yang digemari orang ketimbang bekerja itu sendiri. Bekerja itu terlalu lambat, sedangkan kita butuh cuan dengan segera. Dengan ‘cuma-cuma’. Setidaknya ada empat cara populer yang ditempuh untuk orang nyari cuan di masa sekarang; jadi influencer, jadi calo tiket konser, minjem online, dan main saham. Main saham inilah yang jadi fokus cerita dalam Gampang Cuan. Sultan enggak bilang-bilang sama ibu dan adik-adiknya di Sukabumi kalo dia udah dipecat. Sultan ngakunya kerja di kantor gede, hanya gajinya belum cair sehingga dia belum bisa ngirim duit untuk kuliah adik bungsunya. Ataupun buat bayar utang, yang by the way dia juga gak bilang ke keluarga kalo lagi terlilit utang dengan jumlah bejibun. Ketika adiknya yang tengah, Bilqis, diam-diam nyusul ke Jakarta, barulah Sultan kocar-kacir. Sultan dan Bilqis memang akhirnya sekongkol buat nyari duit bareng. Tapi usaha yang mereka pilih karena kepepet butuh duit cepet, yakni trading saham, adalah usaha yang penuh resiko dan ketidakpastian. Kebohongan dan bahaya yang diserempet Sultan dan adiknya itu semakin membesar, utang semakin menggunung, sampai di satu titik mereka menemukan diri terlibat masalah kriminal.

Mereka harusnya jualan Netflix aja ga sih?

 

Komplotan abang beradik sobat miskin dalam cerita Rahabi Mandra ini enggak seperti dalam Parasite nya Bong Joon ho. Sultan dan Bilqis sama sekali tidak terorganisir, tidak punya keterampilan khusus, they don’t really have a plan atau strategi terarah. Mereka melakukan semuanya sambil jalan. Energi mereka chaotic banget. Mereka bahkan sering berantem satu sama lain. They could get really physical seperti saudara yang ribut beneran. Namun justru hal-hal itulah yang jadi pesona dua karakter sentral kita. Hal-hal itu membuat mereka relate, plus ngasih karakteristik buat hubungan persaudaraan mereka. Abang atau kakak beradik memang suka berantem, dan mereka membawa ‘berantem’ antar  siblings itu ke level yang lain. Vino G. Bastian jadi abang yang lebih kalem, berusaha meyakinkan semua orang kalo hal di bawah kendalinya. Dia juga beneran terlihat peduli dan berusaha menyanggupi permintaan adiknya. Ada momen-momen saat kita tahu dia udah gak sanggup, janjinya makin impossible untuk dia penuhi, tapi dia berkata mantap bahwa dia akan menyelesaikan semuanya. Anya Geraldine jadi si tengah yang lebih tegas, kelihatan cenderung galak. Dia juga lebih nekat, lebih blak-blakan, dan lebih pintar. Sama seperti Vino, Anya juga berhasil ngasih energi ke karakternya. Dinamika mereka terasa hidup, mereka saling mengisi, saling memarahi, kekurangan satu sama lain, just like kalo kita kerja sama ama adek nyelesaiin satu level sulit di video game, hanya saja bagi Sultan dan Bilqis permasalahan mereka adalah real life. Menurutku, inilah yang bikin kita gampang peduli sama mereka, lebih dari sekadar mereka kasian butuh duit.

Yang bikin cerita ini balance adalah karena mereka punya moral sendiri. Sultan dan Bilqis gak nipu orang kaya. Gak mau judi, gak mau curang. Mereka sebenarnya punya kesempatan dari seorang kaya belagu yang naksir berat sama Bilqis, tapi cerita tidak lantas memberikan kemudahan. Sultan gak mau ‘ngorbanin’ adiknya. Mereka gak mau gitu aja memanfaatkan, ataupun dimanfaatin oleh si kaya belagu. Sultan dan Bilqis ada di posisi mereka kepepet sampai mau ngelakuin apa saja, tapi dalam batasan-batasan tertentu. Like, they draw the line at bohongin ibu, karena mereka khawatir ibu kenapa-napa kalo tau mereka bukan orang kaya seperti yang mereka ucapkan di telefon. Mereka gak mau straight up mencuri, tapi jika kepepet mereka nekat mengambil informasi dengan menyamar, bahkan hingga nyekokin obat tidur ke dalam minuman orang. Kompas moral mereka jadi hambatan-hambatan tersendiri yang akhirnya bikin seru cerita. Bikin kita gemes menontonnya.

Apalagi karena naskah film  memang sama sekali tidak melupakan konsekuensi. Film menggambarkan realita lucu gambaran sikap manusia yang pengen ‘sedikit bekerja, banyak duitnya’ dalam sorot yang gak memihak. Walaupun judulnya pake kata ‘Gampang’. protagonis kita tidak digampangkan dalam mendapatkan apa yang mereka mau. Main saham memang sekilas terlihat seperti jawaban mudah, duit mereka dalam beberapa menit naik berkali lipat, tapi oleh naskah hal tersebut tidak lantas berarti kemenangan. Tidak lantas menyelesaikan permasalahan keluarga mereka. Ini yang aku suka. Ada lapisan lagi dalam journey Sultan. Ada hal yang harus dia sadari, hal yang lebih dia butuhkan. Sembari memperlihatkan konsekuensi dari flawnya selama ini, di akhir cerita film juga memperlihatkan pembelajaran karakter yang finally disadari oleh Sultan. Membuat cerita jadi full circle tentang keluarga – drama keluarga tanpa sosok ayah yang jadi fondasinya. Membuat komedi dari karakter-karakter nekat yang melakukan sesuatu yang baiknya tidak kita contoh karena tidak cukup bijak untuk dapetin duit, jadi punya hati.

Mau yang kaya ataupun yang miskin, di film ini semuanya sama. Sama-sama pengen dapet duit dengan gampang. Yang diingatkan lewat cerita ini adalah sesungguhnya tidak ada yang namanya ‘easy money’ di dunia ini. Tidak ada jalan pintas, melainkan butuh usaha. Kerja keras, do pay off. Meski pay off nya bukan exactly harus kontan. 

 

Baru di atas ‘angin’ dikit udah ngayal nanti duitnya mau dipakai buat apaan aja

 

Untuk bisa berhasil menyampaikan itu, toh naskah film ini sebenarnya meminta banyak pemakluman kepada penonton. Film ini dibuka dengan literally minta ijin kepada penonton bahwa konsep jual-beli saham yang ditampilkan di dalam cerita tidak benar-benar sesuai dengan kenyataan. Aku juga gak ngerti main saham begituan, tapi intinya tulisan di opening film ini ngasih tau kalo in real life pencairan uang atau semacamnya tidak bisa dilakukan dengan secepat yang terjadi pada cerita ini. Dari segi bahasa, juga aku mendengar banyak yang bilang kurang cocok. Sultan dan keluarganya berasal dari Sukabumi, maka bahasa ibu mereka adalah bahasa Sunda. Bagi aku yang bukan orang Sunda dan hanya tahu bahasa tersebut dalam lingkup pergaulan anak rantau sih tidak benar-benar menganggap ada masalah mendengar ‘gue’, ‘elu’, nyampur dengan dialeg dan bahasa Sunda. Tapi yah, temen-temen yang asli dan ngerti Sunda memang banyak juga yang menilai bahasanya agak mengganggu. Lebih lanjut, penggunaan bahasa yang dilenturkan supaya lebih chaos, konsep saham yang ditweak supaya cerita seru, menurutku memang masih bisa kita “isoke, isoke, ofkros”in. Apalagi karena seperti yang disebutkan di atas, menang saham di cerita ini tidak berarti masalah beres. Bagi Sultan, ini bukan semata soal menang saham untuk dapat duit.

Justru yang buat aku terasa mengganggu karena – ironically – menggampangkan cerita bisa berjalan, adalah soal jarak yang dianggap tidak ada oleh film. Bukan hanya satu, ada beberapa adegan yang ‘mengandalkan’ karakter pergi dari Sukabumi ke Jakarta atau sebaliknya, tapi oleh film jarak itu tidak terasa. Sukabumi dan Jakarta boleh jadi sekarang sudah bisa tembus dua jam, tapi paling enggak mestinya jarak dan waktu ini bisa digunakan lebih lanjut untuk efek dramatis. Bukan hanya untuk komedi. Alih-alih karakter bisa seperti teleport dan gak really matter mereka harus ke mana untuk mengejar apa, akan bisa lebih intens kalo mereka dibikin akan terlambat atau semacamnya. Timing-timing yang selalu pas dalam cerita film ini membuat hal terasa kayak kejadian yang sudah diatur aja, membuatnya terasa kurang natural.

 




Sama seperti kisah cinta, cerita tentang duit juga sejatinya adalah cerita yang bisa mudah kita mengerti. Ditambah dengan hubungan keluarga yang struggle tanpa sosok ayah, tentang perjuangan seorang anak sulung berusaha menghidupi keluarga, kisah yang dibungkus sebagai komedi ini semakin cair dan gampang beresonansi dan relate dengan penonton. Naskah cukup bijak untuk membuat komedinya ringan dan chaos penuh energi tapi tidak menghilangkan konsekuensi. Pembahasannya berimbang, antara kaya ataupun miskin semua orang pengen punya duit dengan instan. Case yang diangkat di sini adalah soal hidup itu perjuangan, tanpa jalan pintas. Meskipun begitu, film ini sendirinya bercerita dengan kemudahan-kemudahan. Yang kita diminta untuk memakluminya. Beberapa bisa kita kesampingkan, karena ceritanya memang ternyata semenyentuh dan tidak sereceh itu. Ada feeling genuine yang berusaha disampaikan. 
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for GAMPANG CUAN

 




That’s all we have for now.

Jadi, pernahkah kalian berada di posisi berbohong kepada orangtua seputar kondisi keuangan atau semacamnya?

Share cerita kalian di comments yaa

Setelah nonton ini,  kalian yang masih pengen tontonan seru tentang keluarga, bisa coba serial Monarch: Legacy of Monsters, dari universe Godzilla yang selain tentang monster juga tentang keluarga. Yang penasaran, langsung aja subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL

 



MINI REVIEW VOLUME 12 (PAST LIVES, THE CREATOR, THE ROYAL HOTEL, WHEN EVIL LURKS, A HAUNTING IN VENICE, HELL HOUSE LLC ORIGINS THE CARMICHAEL MANOR, FIVE NIGHTS AT FREDDY’S, SISTER DEATH)

 

 

Bagian kedua dari kompilasi yang harusnya jadi edisi halloween. I gotta say, halloween tahun ini memang banyak film horor yang menyenangkan, bahkan yang bukan horor ternyata bisa ngasih goosebumps yang sedap. Highlight untuk Volume 12 ini; mereka semua – kecuali satu – really surprised me. Film-film ini punya sesuatu yang bikin aku “hey, ini gak biasanya ada di tipe film seperti ini!”. Meskipun gak semuanya aku suka, tapi masing-masing ngasih sesuatu yang di luar ekspektasi. Cuma satu film yang ‘di luar ekspektasi’nya berada dalam kotak ‘mengecewakan’. Film yang manakah itu? Yuk langsung cari tahu di mini review di bawah iniii!!

 

 

A HAUNTING IN VENICE Review

Misteri detektif digabung dengan misteri supernatural. Sesuka-sukanya aku sama penggabungan itu ketika terjadi pada beberapa kasus di komik Detektif Conan, tapi untuk urusan di film Hollywood mainstream, aku toh merasa skeptis juga. Takut jadi ngandelin fake jumpscare doang. Takut gaya dan charm Hercule Poirot di film ketiga ini ‘kalah’ oleh adegan-adegan horor yang dimasukkan dengan paksa. Sayang banget kalo sampe begitu, karena satu hal yang bikin film-film Poirot ini delightful, ya, kekhasan Poirot yang dibawakan penuh kharisma oleh Kenneth Branagh

Sir Branagh yang juga duduk di kursi sutradara, untungnya tahu untuk tidak ‘menjual jiwa filmnya kepada setan industri’. Well, at least, gaya film ini tidak berubah sama sekali. Elemen supernatural dimainkan dengan bijaksana, cukup untuk memberikan pojn tambahan dan ngasih variasi kepada kasus. Film ini tetap menitikberatkan kepada misteri kasus, dan karakter-karakter yang terlibat (yang tentu juga membuat film ini jadi showcase akting spektakuler) – terutama lanjutan dari journey karakter Poirot. Pembahasannya sebenarnya gak baru, tapi seru aja melihat Poirot harus struggle dengan logika dan kepercayaannya terhadap supernatural. Keraguan Poirot juga lantas terdeliver kepada kita dari arahan yang sukses membuat rumah besar tempat lokasi pembunuhan tertutup itu sekaligus jadi rumah hantu, seperti di film-film horor.

Not bad sebagai pembuka Volume ini. Tapi juga enggak spesial-spesial amat sehingga aku gak nyesal nontonnya nunggu di platform aja

The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for A HAUNTING IN VENICE

 

 

FIVE NIGHTS AT FREDDY’S Review

Dari dulu aku gak ngerti di mana letak seramnya seri game Five Nights at Freddy’s. Konsep game jumpscarenya sih aku paham, cuma, karakter-karakter animatronicnya. Aku gagal paham seramnya di mana. ,Makanya aku heran kok anak-anak pada suka. Tapi kalo soal filmnya, aku bisa maklum kenapa garapan Emma Tammy ini laku. Simpel. Mereka benar-benar bikin Freddy dan kawan-kawan hidup. Bukan sebagai CGI tapi beneran sebagai robot ‘pembunuh’.

Yang bikin aku takjub adalah ceritanya. It’s so easy membuat film ini sebagai cerita tentang penjaga yang harus melewatkan malam-malam sepi di ‘rumah’ Freddy, dan dia akan diganggu. Film ini ternyata gak mau segampang itu. Mereka menyiapkan cerita personal tentang abang yang terus-terusan dirundung rasa bersalah atas adiknya yang hilang saat mereka masih kecil. Film ini mencoba memperdalam mitologi-dunia dengan konsep mimpi untuk mencari jawaban atas masa lalu. Coba ngasih stake dengan urusan hak asuh adik. Coba mengrounded-kan lagi dengan bahasan tentang orang tua. It is kinda ambitious, untuk ukuran film adaptasi game horor untuk anak-anak.

Namun meski usaha elevasinya harus kita apresiasi, toh film ini akhirnya terpuruk karena tone yang sangat tak berimbang. Enggak simpel, tapi juga jadi agak ribet buat penonton anak. Level kekerasan yang juga tinggi, meski dibuat tanpa darah berlebih. Elemen hantu yang gak pernah terasa seram, karena clash out dengan misteri grounded. Tapinya lagi yah, bahkan Matthew Lillard enggak bisa menyelamatkanku dari kebosanan menonton ini

The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for FIVE NIGHTS AT FREDDY’S

 

 

 

HELL HOUSE LLC ORIGINS: THE CARMICHAEL MANOR Review

Atau bisa juga judulnya jadi Hell House: Five Nights at Carmichael’s haha.. Nah, film inilah perwujudan ‘konsep gampang’ dari yang kubilang di review Freddy tadi. Bikin karakter bermalam di tempat berhantu. Mereka ngerekam kegiatan, jumpscare-jumpscare, and call it a day. Tapi yah, at least Stephen Cognetti sudah tahu persis apa yang mau ia buat. Dia menyempurnakan yang ia tahu, dan film ini overall jadi lebih menghibur.

Hell House LLC adalah seri horor mokumenter found footage, aslinya merupakan sebuah trilogi seputar bangunan bekas hotel, yang jadi tempat cult yang pengen buka gerbang neraka. Film pertamanya asli seru dan aku suka banget. Tentang sekelompok orang yang bikin wahana rumah hantu di bangunan tersebut. Film keempat ini hadir dengan maksud memperdalam mitologi cult di tempat berhantu lain. Secara presentasi, film ini ingin kembali ke vibe film pertama, yakni dengan footage-footage yang lebih ‘genuine’ dan drama karakter di balik misteri horornya.

Dan memang, penceritaan film ini berhasil tampil lebih baik daripada film kedua dan ketiga, dan mendekati film pertama. Hanya saja untuk urusan kengerian dan atmosfer, gagal mengimbangi keberhasilan film pertama. Manekuin-manekuin badut yang jadi ikon franchise ini tetap seram, tapi penampakan dan hantu-hantunya tampil sangat blak-blakan. Membuat atmosfer dan detil-detil horor yang terekam kamera, yang jadi senjata utama franchise ini jadi kehilangan ketajaman. Ceritanya pun drag dengan annoying, karena film kesusahan mencari alasan logis untuk karakter-karakter ini mau bertahan selama empat malam di rumah itu. Rintangan yang membuat mereka harus tinggal juga tidak kuat. Jatohnya, karakter utama di film ini jadi sangat annoying dengan alasan-alasannya untuk tidak angkat kaki dari situ.

The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for HELL HOUSE LLC ORIGINS: THE CARMICHAEL MANOR

 

 

 

PAST LIVES Review

Dua sahabat masa kecil yang saling suka tapi harus berpisah negara, lalu saat dewasa mereka bertemu kembali, harusnya berakhir jadian karena sudah takdir, kan? Kan? KAN??

Past Lives debut sutradara Celine Song bicara dengan sangat anggun dan dewasa soal takdir antara hubungan dua anak manusia, yang saking anggunnya hati kita yang nonton akan menghangat betapapun naas akhir ceritanya. Past Lives is not like any other ‘CLBK’ stories. Karena ini bukanlah semata cerita tentang dua orang yang bertemu kembali berusaha dealing dengan closure atas perasaan mereka, film ini membahas dengan kompleks tanpa meninggalkan faktor-faktor lain. Tempat. Waktu. Dan another person. Faktor-faktor yang berperan sangat besar dalam ‘perubahan’ seseorang. Yang mestinya memang tidak bisa dihilangkan begitu saja. Film ini bicara tentang kehidupan; yang ditinggalkan, yang datang, yang bertahan, yang telah lewat, dan banyak lagi begitu kompleksnya. Hasilnya, Past Lives jadi dialog-dialog dan keputusan karakter yang bakal bikin kita ikut berkontemplasi.

Film ini sendiri kayak punya awareness terhadap jebakan-jebakan cerita serupa. Maka film mendesain karakternya sedemikian rupa, sehingga bisa agak meta. Karakternya dibikin sebagai penulis, dan ada dari yang mereka aware kalo kisah mereka ada di dalam cerita, maka dia akan berada di posisi orang yang menghalangi cinta masa kecil pasangannya. Cara film menggeliat keluar dari jebakan, membuatnya masuk ke dalam bahasan cerita, dan actually semakin memperdalam para karakter sebagai manusia, menurutku ini merupakan penulisan yang sangat cemerlang. Sedikit ‘koreksi’ dariku cuma maybe sebagai film, cerita ini bisa lebih dramatis lagi jika diambil dari sudut pandang karakter yang lebih ‘aktif’ – dalam artian yang lebih banyak mengalami pembelajaran.

The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for PAST LIVES

 




SISTER DEATH Review

Semoga kalian belum jengah sama cerita suster hantu, karena suster horor karya Paco Plaza ini actually lumayan worth to watch,

Dengan backdrop setelah perang sipil di Spanyol tahun 40an, film ini actually memberikan banyak waktu untuk ceritanya berkembang. Suster Narcissa tadinya ke biara yang sekarang jadi sekolah khusus anak perempuan untuk mengajar, tapi tempat itu sebenarnya membutuhkan kekuatan Narcissa sebagai ‘Holy Girl’. Karena di situ sedang dihantui oleh spirit, yang punya kisah tragis. Yang agak mengganggu buatku adalah adegan horor berupa mimpi, yang cukup kebanyakan. Padahal sebenarnya adegan-adegan horor yang ditampilkan film ini seram semua. Karena ceritanya slow, build up horornya jadi enak. Menjadikan horor itu cuma mimpi, membuatku terlepas dari kengerian dan dunia film.

Padahal cerita dan misteri yang dimiliki film sangat compelling. Aku bahkan gak nyadar kalo ini adalah sebuah prequel dari film horor tahun 2017. Judulnya Veronica. Aku bahkan belum pernah nonton film itu. Tapi saking tightnya bangunan cerita, film Sister Death ini jadi kokoh berdiri sendiri. Sekuen finalnya juga cukup keren, para karakter dibikin seolah berada di masa kini dan masa lalu sekaligus, menghasilkan trik horor yang unik. Dan si Suster Narcissa itu sendiri, man di akhir itu dia dibikin ‘menderita’ fisik dan mental. Sosok protagonis dengan mata mengalir darah jelas akan terpatri jadi salah satu bahan mimpi buruk kita di kemudian hari.

The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for SISTER DEATH

 

 

 

THE CREATOR Review

Epik sci-fi war dari Gareth Edwards ini udah kayak Star Wars versi lebih grounded. Gimana enggak, ceritanya ngambil setting masa depan saat manusia klaim perang terhadap hal yang mereka ciptakan untuk kemudahan hidup, robot dan A.I. Untuk menambah kompleks, ini bukan sekadar manusia vs. robot, melainkan ada sisi abu-abunya. Ada pihak manusia yang memihak A.I. – yang menganggap robot-robot itu punya perasaan dan layak hidup. Ada pihak manusia yang menganggap mereka teknologi berbahaya yang harus dimusnahkan, dan manusia yang membantu robot mereka anggap tak ubahnya teroris. Kebayanglah, manusia dari bangsa mana yang dengan entengnya bilang yang tak sependapat mereka sebagai teroris. Film ini memang sedekat itu.

Visual film ini oke punya. Dunianya terbangun dengan detil, New Asia dengan padi-padi dan berbagai bahasa yang akurat. Robot-robotnya seamless hadir di tengah-tengah manusia. Karakter-karakternya juga ‘hidup’ dengan masalah personal merayap di balik konflik global cerita. Protagonis cerita, Joshua, adalah tentara yang masuk ke wilayah musuh dan harus meng-escort seorang anak robot ke tempat sosok dengan alias Nirmata yang diduga mengembangkan senjata rahasia. Like I said, epik sci-fi war ini harusnya memang sangat epik dengan cerita dan skala (dan durasi!) sebesar itu.

Nyatanya, film ini membosankan dan uninspiring. Karena penulisan yang teramat lemah dan praktisnya tidak ada hal baru. Cerita film ini terasa seperti recycle dan gabungan dari beberapa cerita perang dan sci-fi yang pernah ada.  Sehingga cerita film ini tidak pernah terkesan spesial. Hampir seperti pihak-pihak di balik film ini takut ngasih sesuatu yang benar-benar original, sehingga mereka memaksa film ini harus punya banyak elemen-elemen yang sudah pernah ada di cerita lain.

The Palace of Wisdom gives 6  gold stars out of 10 for THE CREATOR

 

 

 

THE ROYAL HOTEL Review

Sutradara Kitty Green kembali bersama aktris Julia Garner menghadirkan thriller dan horor ‘nyata’; teror yang dialami perempuan di tempat kerja. Sama seperti The Assistant (2020), skor audiens The Royal Hotel di Rotten Tomatoes jeblok. Karena memang horor/thriller yang ‘dijanjikan’ berbeda dengan yang penonton harapkan. Ketika penonton film mengharap kejadian sadis berdarah, tragedi dramatis yang physically mengguncang protagonis, monster-monster, hantu, ataupun psikopat sakit jiwa, filmmaker Australia yang di film ini juga pulang ke negara asalnya ini malah menghadirkan ketakutan yang tak bisa terlihat langsung. Yang tidak langsung terbuktikan oleh action. Tapi ketakutan itu ada, dirasakan benar oleh protagonisnya.

Sudut pandangnya memang dari cewek, tapi sebagai cowok pun, aku nonton ini masih merasakan horor tersebut nyata. Karakter sentral di cerita ini adalah dua perempuan muda, turis, yang harus membayar masa hukuman dengan jadi pelayan bar di kota tambang kecil di pelosok Negara Kanguru. Mendengar di mana mereka ditempatkan saja sudah otomatis bikin merinding. Dua perempuan itu akan berada di tengah kelompok laki-laki yang butuh ‘hiburan’. Things won’t go well. Karena jujur saja, aku tahu gimana cowok kalo udah bergerombol seperti itu, karena bahkan aku pernah guilty catcalling dan godain cewek saat sedang ngumpul sama teman-teman di kampus dulu. Hal yang dianggap cowok “ah, cuma dibecandain doang” itulah yang digambarkan jadi siksaan psikologis bagi karakter Julia Garner. Perasaan terancam berada di tengah sana saat gak ada satupun cowok yang tampak baik-baik saja. Mau itu si mulut besar, si ngeres, ataupun si pendiam yang tampak respek, garis batas itu bisa tau-tau roboh

Dua karakter perempuan ngasih cara pandang yang berbeda, antara ‘mereka kurang ajar sama kita’ dan ‘it’s okay, we’re just having fun’, digunakan film untuk mengeksplorasi lebih jauh lagi, pandangan tersebut bisa bikin narasi berimbang, yang lantas jadi bikin suasana semakin ngeri lagi. Ultimately, film take a strong stand, meskipun memang konfrontasi penyadaran antara kedua karakter ini harusnya bisa lebih kompleks lagi

The Palace of Wisdom gives 7.5 gold star out of 10 for THE ROYAL HOTEL

 

 

 

WHEN EVIL LURKS Review

Bukan ‘where’, tapi ‘when’ yang dijadikan poin utama oleh horor orang kesurupan dari Argentina ini. Sutradara Demian Rugna dengan tegas ingin menilik apa reaksi manusia jika daerah mereka membusuk oleh pengaruh setan. Apa aksi yang diambil oleh manusia yang katanya punya society yang terbangun oleh aturan dan keimanan. Jawabannya, menurut yang tergambar oleh film ini; aturan dan keimanan/kepercayaan itu runtuh nyaris seketika.

Ya karenanya When Evil Lurks jadi sebuah horor mencekam yang benar-benar banal. Iblis dari roh penasaran berjalan di muka bumi sambil ngemil otak manusia. Orang kesurupannya bukan semata anak kecil menyumpah serapah, melainkan literally sebuah abomination, gumpalan nanah dan kotoran yang sekarat. Busuk, berdarah-darah. Siap untuk melahirkan setan berikutnya. Hewan-hewan peliharaan jadi beringas, tidak lagi mengenal tuannya, yang by the way juga telah siap melempar keluar semua kemanusiaan demi menyelamatkan diri dan keluarga. Ini adalah horor yang brutal. Sadis, jijik, najis, ngumpul jadi satu penceritaan bikin miris. Film ini bukan saja bukan untuk yang gak kuat iman, tapi juga bukan sajian untuk yang gak kuat perut. Ada satu adegan di film ini yang benar-benar bikin terpekik kaget, karena rasa-rasanya belum ada yang nekat bikin adegan kayak gitu bahkan di film horor sadis sekalipun.

In other words, harusnya ini adalah horor yang sangat menghibur. Tapi aku gak bisa menyukainya. Lantaran satu hal. Protagonis yang annoying. Aku mengerti penulisannya didesain seperti itu untuk memperlihatkan dia pendosa, bahwa dia sama dengan kita yang just try to save keluarga sementara gak benar-benar tahu harus berbuat apa. Hanya saja sayangnya dia tertranslasikan ke layar sebagai karakter yang ribut teriak-teriak dan memilih keputusan-keputusan bego yang aku yakin kita gak akan memilih pilihannya. Like, ada satu adegan dia nyaris putus asa kesusahan menjebol panggung. Lalu anak kesurupan iblis bilang ada kapak di ruangan sebelah. Tanpa pikir panjang, tanpa mendengarkan larangan paranormal yang tahu banyak dan telah sukses menunjukkan jalan kepadanya, dia ngikut saja perkataan si anak iblis. Resulting kerugian nyawa yang sangat besar di pihak manusia. Maan, I just can’t follow character like that. Aku berharap film ini punya karakter yang lebih menarik dan simpatik.

The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for WHEN EVIL LURKS

 




 

 

That’s all we have for now

In case belum jelas mana satu film yang mengecewakan itu adalah The Creator. Aku kecewa banget. Bahkan Five Nights at Freddy’s aja ngambil resiko lebih banyak ketimbang film tersebut. Yang bikin tambah kesel, dan khawatir, adalah bahwa dia film original. Ngeri aja kalo film original epik kayak gitu kurang diminati. Bioskop dan studio hanya akan melihatnya sebagai kegagalan materi, sehingga yang original bakal makin dipandang tidak menguntungkan. Padahal pengembangannya saja yang sangat main aman. Film harusnya lebih berani, apalagi kalo sudah punya materi yang unik. And by the way, sudah hampir penghujung tahun dan aku belum dapat film yang skornya 8.5. Alamak!!

Thanks for reading.

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



THE KILLER Review

 

“It’s what you do that defines you”

 

 

Walaupun seringnya kita ngeluh ‘bosan’ dengan rutinitas, that every each one of us hate our jobs, tapi nyatanya kita akan tetap berusaha ngasih yang terbaik pada apa yang kita lakukan. Kita akan mencoba melakukan pekerjaan sebaik-baiknya. Karena siapa kita itu tercermin dari apa yang kita lakukan. Seorang dokter mengobati. Seorang koki memasak, Seorang penulis menulis. Seorang pembunuh, membunuh. Dalam The Killer, David Fincher benar-benar menunjukkan kepada kita bagaimana sebagai seorang filmmaker, dia berani membuat film yang dengan sengaja mengambil banyak resiko. The Killer diceritakan dengan kontradiksi sebagai fondasi. Karakternya ironically tidak sehebat ‘omongannya’ dalam kerjaannya. Aku malah melihat film ini hampir seperti parodi dari genre revenge dan film pembunuh bayaran yang biasanya selalu tergambarkan cool dan disenangi penonton. Film ini karakternya cool tapi in sense yang tidak memancing simpati, membuat keputusan aneh. Gaya dan penceritaan masterclass Fincher-lah yang turn things around dan membuat film ini worked out sebagai hiburan sekaligus telisik karakter yang berbobot.

Aku memang gak tau graphic novel materi aslinya, tapi aku pikir studio mungkin pengen bikin action assassin saingan John Wick. Hanya saja David Fincher simply pengen sesuatu yang berbeda. Maka kita dapatlah karakter pembunuh yang lain dari yang lain. Karakter yang diperankan Michael Fassbender ini – sama seperti karakter lain di dalam cerita – tidak punya nama. Mereka ‘dikenal’ berdasarkan dari apa yang mereka lakukan. The Killer. The Brute. The Client. The Lawyer. The Expert. Penamaan tersebut sesuai dengan tema ‘what we do is what we are’, sekaligus juga klop ke dalam mindframe si karakter utama. Yakni untuk tidak terattach dengan orang lain. Supaya tidak timbul empati. Karena, menurut si Killer, empati itu adalah kelemahan. ‘Mantra’ itu terus berulang-ulang dia ucapkan, di dalam hati. Kita akan banyak mendengar obrolannya dengan diri sendiri, yang dijadikan voice over oleh film, sebagai main dialogue dari si protagonis. Kita pertama kali berkenalan dengan dia lewat voice over ini.

Dari gedung kosong dia menunggu dan mengintai targetnya. Orang penting di Perancis. Selagi menunggu kita melihat kebiasaannya yang precise, kita mendengar kata hatinya soal kerjaannya. He seems begitu fokus dan paham betul seluk beluk kerjaan pembunuh bayaran ini. Dia punya metode tersendiri. Di awal itu seperti sudah dibangun betapa jagonya dia. Tapi lantas dia gagal. Tembakannya meleset. The Killer kabur ke negara tempatnya bersembunyi. Tapi kerja untuk ‘dunia hitam’ ada konsekuensinya. Orang tersayangnya harus membayar kesalahannya. Di titik ini aku merasa film jadi kayak cerita revenge biasa. Killer berniat balas menghabisi pembunuh bayaran dan bosnya. Aku honestly mengira cerita bakal jadi boring, karena sudah banyak sekali cerita balas dendam seperti demikian. Tapi kemudian kegagalan-kegagalan Killer terus terjadi. Gimana ternyata aksinya enggak sekeren narasi voice overnya. Dia salah menghitung waktu kematian setelah jantung ditembus paku, misalnya. Atau gimana dia selalu pakai identitas palsu, tapi nama-nama yang dia pakai adalah nama yang dia ambil dari karakter film – which is bukan penyamaran yang sempurna karena orang bisa langsung tahu itu nama palsu. Ketertarikanku naik kembali begitu menyadari pria ini bukan John Wick, dia lebih mirip seperti kita yang struggling untuk menuntaskan kerjaan dengan semampunya.

Dari jam di tangannya kita tahu kalo dia orangnya juga agak panikan

 

Arahan jagoan dari David Fincher sangat mendukung untuk terbangunnya ‘ilusi’ kekerenan protagonis tersebut. Shot-shotnya bonafid semua. Kita dibuat ikut mengintip lewat lensa sniper. Kita ikut dibuat melihat dengan dingin lewat warna-warna ‘elegan’ yang juga seolah mencerminkan keunikan sudut pandang si Killer terhadap dunia. Perspektif itu dengan mulus dimainkan oleh film, terkadang kita dibuat melihat si Killer dari luar, dan terkadang kita melihat sejalan dengan perspektifnya. Hint untuk perspektif tersebut diberikan oleh film lewat musik. Bukan sekadar buat gaya-gayaan soundtrack, musik itu dimainkan oleh film kadang seperti kita mencuri dengar musik dari earphone orang, kadang musik itu full yang berarti kita mendengarnya bareng dengan perspektif Killer. Selain dengan perspektif dan musik seolah ini film action yang pop, film ini juga benar-benar mengbuild up adegan-adegan aksi kriminal just like adegan film action yang stylish. Membendung antisipasi kita, kemudian banting stir dan memperlihatkan kesalahan ‘kecil’ yang dibuat oleh si Killer sehingga rencananya meskipun tidak sepenuhnya berhasil, tapi kita tidak langsung menganggap dia inkompeten. Killer tetap akan menyelesaikan ‘misinya’ tapi dengan tidak ‘sekeren’ karakter-karakter action. Mana ada jagoan yang kabur ngap-ngapan dikejar anjing.

Gak banyak filmmaker yang berani ambil resiko, tapi di film ini David Fincher dengan cueknya mengambil resiko. Dia malah menjadikan resiko itu sebagai fondasi film. Killer yang terus mengingatkan dirinya; seorang pembunuh bayaran maka dia tidak boleh merasa empati, tidak boleh merasa kasihan sama orang. Kawan maupun lawan. Karena dia juga berprinsip bahwa tidak ada orang yang bisa dipercaya. Tapi aksi balas dendam yang nekat ia lakukan, tentu saja terjadi karena dia sangat sayang dan peduli banget sama pacarnya. Yang berarti hatinya tidak sedingin itu. Yang berarti dia mungkin bukan pembunuh yang handal karena melanggar ‘kode etik’ pembunuh itu sendiri. Yang lantas membuatnya sebagai orang yang tak sesuai hati dengan aksi. Dan ini bukan trait yang ingin kita lihat ada pada karakter utama, karena dia jadi karakter yang unreliable. Film juga dengan sengaja tidak menampakkan dulu seperti apa hubungan dia dengan korban yang bikin dia pengen balas dendam, sebagai penonton kita gak dikasih gambaran sepenting apa orang ini di hidup Killer. Kita hanya berpatokan kepada reaksi dan aksi yang dipilih oleh si Killer. Ditambah pula ternyata aksinya yang gak sejago kesannya tadi. It is hard enough bersimpati kepada tokoh anti-hero – kita memang bisa menganggap si Killer sebagai antihero karena saat membunuh dia memang sangat dingin dan gak ragu untuk membunuh targetnya gitu aja – apalagi jika dia ini gak bisa dipegang dan suka membuat keputusan yang aneh.

Pembunuh bayaran ternyata sama ama emak-emak; kalo gak ada kerjaan, bawaannya risau dan capek

 

Pilihannya di babak akhir adalah yang paling aneh. Yang aku rasa mungkin jadi turn off alias paling membagongkan bagi sebagian besar penonton. Kenapa yang di akhir ini malah gak dibunuh. Kenapa si Killer tidak menuntaskan pekerjaannya.  Di sinilah film meletakkan perkembangan atau development si Killer sebagai seorang karakter utama. Kunci untuk kita bisa memahami journey karakternya itu adalah dialog soal pemburu dan beruang yang dilontarkan oleh karakter Tilda Swinton (yang kata salah satu karakter mirip korek kuping hihihi) Dialog itu perlahan menyadarkan dirinya. Konfrontasinya dengan ‘bos’ di akhir, seal the deal. Killer menyadari ‘kerjaannya’ adalah ya kerjaan. Dia tidak lagi menganggap dirinya spesial, ” a few” dia menyebut dirinya di awal. Di akhir, dia mengganti sebutannya dengan “the many” Bahwa ada orang lain yang juga bekerja seperti ini, dan mereka juga menerapkan ‘mantra’ yang sama. Karena sama seperti dirinya, orang lain juga berusaha sebaik mungkin dalam kerjaan mereka.

Si Pemburu dan Beruang adalah anekdot tentang gimana manusia menikmati pekerjaan mereka. Berburu-lah yang dinikmati oleh pemburu, bukan saat membunuh buruan. Sehingga betapapun lemah, atau malah kejam dan kurang ajarnya beruang, jika itu adalah beruang terakhir, maka pemburu akan enggan membunuhnya. Karena jobnya akan berakhir. Keadaan ekstrim yang dipancing oleh dialog Tilda tersebut adalah bukan saja soal si Killer enggak akan membunuh bos yang terakhir karena dia butuh ‘kerjaan’. Melainkan juga si Killer boleh jadi secara naluri sengaja meleset dan gagal supaya dia bisa membunuh lebih banyak.

 




Inilah juga yang menyebabkan aku sadar as much as I like film ini kalo dia jadi kisah yang menyelami dalam-dalam psikologis pembunuh kayak The House That Jack Built (2018), ataupun Henry: Portrait of a Serial Killer (1986), aku salah menempatkan ekspektasi. Karena nanti bakal sama boringnya dengan kalo si Killernya dibuat sejago John Wick. The Killer memang membahas psikologi karakter, tapi bukan sebagai pembunuh, melainkan sebagai manusia biasa yang punya kerjaan. Kebetulan kerjaannya menghilangkan nyawa manusia. Film ini justru mengambil approach karakter yang ‘manusia sehari-hari’ tapi pengen sebaik mungkin dalam kerjaannya. Sehingga dia yang tertutup kerap menunjukkan sikap disiplin dan mengulang ‘mantra’ yang merupakan bentuk dari gimana pembunuh bayaran yang sukses. Masalahnya, kegagalan bakal eksis apapun kerjaan kita. Pada intinya, film tentang pembunuh bayaran yang membalas dendam ini ternyata adalah cerita tentang orang yang berusaha sukses dalam karirnya.
The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for THE KILLER

 




That’s all we have for now.

Jadi, sebesar apakah cinta kalian terhadap kerjaan? Apakah kerjaan kalian memang mendefinisikan siapa sebenarnya diri kalian?

Share pendapat kalian di comments yaa

Setelah nonton ini,  kalian yang masih pengen tontonan seru bisa coba serial Hijack, serial thriller seru tentang pembajakan di pesawat yang dibintangi oleh Idris Elba di Apple TV+ Yang pengen ngerasain ketegangannya bisa langsung subscribe dari link ini yaa https://apple.co/46yw8RX

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



THE MARVELS Review

 

“The greatest mistake you can make in life is to be continually fearing you will make one.”

 

 

Berikut alasan kenapa film superhero komik Marvel mulai kehilangan appeal si mata penonton. Pertama, konsep multiverse yang seperti pedang bermata dua; bikin seru tapi sekaligus juga membuat cerita jadi redundant dan kehilangan stake karena karakter yang mati tidak lantas berarti mereka ‘mati’ selamanya. Kedua, model sinematik universe yang menjadi begitu kompleks sehingga orang mau nonton satu film aja harus ‘ngerjain PR’ alias nonton film dan serial-serial suplemennya terlebih dahulu. MCU – dan IP superhero lain yang ingin mengikuti jejaknya – tentu harus menyadari gak semua penonton film terbiasa dengan desain ala komik seperti demikian, serta bahwa film haruslah bisa berdiri sendiri secara utuh sebelum dihias dengan teaser-teaser penyambung ke ‘episode berikutnya’. Inilah yang terasa sekali diperjuangkan keras oleh The Marvels karya Nia DaCosta. Entry lanjutan Phase 5 yang sebenarnya cukup fresh dengan variasi pada menampilkan perspektif tiga superhero sentral yang saling terpaut, tapi juga gak bisa bebas dari eksposisi buru-buru yang tampak semrawut.

Carol Danvers selama ini menjaga semesta dari luar angkasa. Hanya ditemani kucing oren alien. Captain Marvel kita terbiasa beroperasi sendirian. Sampai ketika kekuatannya tanpa sengaja saling terkait dengan kekuatan light-based lainnya. Yaitu kekuatan milik Monica Rambeau, dan kekuatan milik superhero remaja Ms. Marvel. Terkait di sini maksudnya adalah ketiga superhero ini tidak bisa mengeluarkan kekuatan penuh mereka tanpa membuat mereka saling bertukar tempat. Membingungkan bagi musuh, mereka sendiri, dan kita. Keadaan tersebut membuat mereka bertiga harus dekat-dekat, membuat mereka harus bekerja sama sampai biang semuanya, si Dar-Benn pemimpin baru bangsa Kree yang berniat mencuri sumberdaya planet lain dengan bracelet sakti serupa milik Ms. Marvel, dikalahkan.  Secara personal, bagi Carol ini juga adalah perjuangan emosional. Karena dia punya konflik relasi yang belum ter-resolve dengan Monica (ponakan angkat yang ia tinggalkan sejak kecil). Serta ia harus menjaga dan menerima keberadaan Ms. Marvel, yang actually sangat mengidolakan dirinya.

Bayangkan terjebak bareng fans petakilan dan ponakan yang membuatmu merasa bersalah

 

Itulah PR-PR itu. Kenapa Monica bisa punya kekuatan superhero. Siapa Kamala si Ms. Marvel. Kenapa dia bisa punya bracelet yang sama dengan si musuh utama. Film ini sadar bahwa mereka gak bisa mengandalkan penonton untuk nonton WandaVision ataupun Ms. Marvel. Not to mention film pertama Captain Marvel. Sehingga film ini ‘terpaksa’ menggunakan babak pertama cerita dengan full ngasih rekap apa yang terjadi pada serial mereka masing-masing. Cara yang dilakukan untuk menyampaikan tsunami informasi tersebut memang cukup kreatif, misalnya lewat gambar-tangan ala komik. Akan tetapi seharusnya babak krusial tersebut digunakan untuk lebih kuat melandaskan fondasi journey karakter macam apa yang harus dilalui oleh karakter utama. The way cerita The Marvels terbentuk adalah lebih seperti kisah tentang tiga superhero terjebak dalam keadaan unik dan mereka harus belajar bergerak dalam keadaan tersebut untuk mengalahkan musuh.

Dan dengan bentukannya tersebut, film ini memang terasa menyenangkan. Yang kita tonton bukan lagi sekadar Captain Marvel, superhero superkuat, yang bersikap dan gestur stoic. Monica dan Kamala bukan hanya jadi pendukung untuk perkembangan karakter Carol, tapi mereka juga mendukung untuk memberikan lebih banyak warna kepada keseluruhan film. Monica menjadi voice of reason yang menambatkan Carol kepada konflik-konflik kerabat, konflik-konflik yang manusiawi. They go all the way back, dan film menjadikan relasi mereka sebagai hati dari cerita. Kamala berfungsi sebagai comedic relief, sekaligus jadi perwakilan penonton remaja yang tentunya juga mengidolakan tokoh superhero. Kamala adalah kita kalo kita mendadak ketemu sama idola. Dua karakter ini juga memperdalam role dunia MCU. Kupikir Kamala dan keluarga Pakistan-Amerikanya bakal terutama menarik bagi penonton Indonesia, karena kapan lagi kita bisa dapat representasi muslim dalam lingkup jagat superhero. Di pertengahan awal, film juggle dari perspektif dan environment ketiga karakter sentral. Untuk penonton casual, bagian ini mungkin sedikit bingung, meski seru. Perlahan, begitu cerita telah menempatkan mereka bersama-sama, cerita akan lebih mudah dicerna, dan interaksi tiga karakter ini – momen-momen mereka berusaha bonding dan bekerja sama – akan jadi pesona tersendiri. Kuat oleh girl power pula.

Aku sendiri cukup terhibur juga Brie Larson kembali mendapat kesempatan untuk menunjukkan sisi ‘dork’nya.  Ngingetin kayak waktu dia di Scott Pilgrim ataupun ketika jadi bintang tamu di serial Community. Di film ini dia jadi Captain Marvel yang lebih ‘cair’ dari yang sudah-sudah. Dan menurutku memang Brie ini lebih dapet meranin karakter yang awkward ketimbang yang pure stoic. Sisi yang lebih emosinal dari Carol juga berusaha digali. Selain dengan Monica, Carol juga berurusan pribadi dengan Dar-Benn. Dinamika protagonis dan antagonis di sini sebenarnya cukup menarik. Benar-benar epitome dari baik dan jahat itu hanya soal sudut pandang. Bagi Dar-Benn mencuri laut hingga matahari planet lain memang didasarkan oleh balas dendam kepada Captain Marvel, tapi itu tindakannya itu juga ia lakukan untuk menghidupkan kembali planetnya yang ‘lumpuh’ akibat Captain Marvel yang menghancurkan A.I. di planetnya. Captain Marvel mereka anggap sebagai Annihilator, dan sebutan itu ‘memakan’ dari dalam. Karena membuatnya merasa telah gagal sebagai pahlawan. Tindakannya untuk menolong malah berdampak buruk.

Berpuluh-puluh tahun Captain Marvel menghindar dari pulang ke Bumi karena dia merasa telah gagal. Dia takut ketahuan telah gagal sebagai pahlawan, sebagai sosok panutan bagi Monica. Tangled-nya kekuatan mereka bertiga membuat Captain Marvel mau tak mau harus berkonfrontasi dengan perasaannya tersebut. Dan pada akhirnya dia belajar banyak dari Kamala dan Monica, belajar untuk menghadapi ketakutannya tersebut.

 

Dari muatannya, memang film ini harusnya bisa mencapai level menghibur sekaligus emosional.  Banyak sekali tempat film ini bisa mengeksplorasi cerita. Tapi aku gagal paham kenapa film ini malah termasuk film Marvel yang durasinya paling singkat. Ini seperti ketika kita punya banyak bahan untuk dimasak, tapi kitanya sendiri ogah berlama-lama di dapur. Hasilnya ya bahan-bahan itu dimasak ala kadarnya. Tiga karakter sentral; Kamala, Carol, Monica seharusnya adalah tiga karakter dengan journey masing-masing. Tapi most of the time di paruh awal, mereka ini satu dimensi. Mereka lebih sering tampak kayak tiga traits yang membentuk satu orang ketimbang tiga karakter kompleks masing-masing. Coba tonton lagi dan hitung sendiri berapa lama Kamala bertingkah kayak fans yang starstruck yang comically mendamba aproval dari Captain Marvel sebelum akhirnya dia bersikap lebih manusiawi.

Captain Marvel nyanyi Black Sheep lagi, please

 

Ah, aku hampir lupa sama actionnya. Actionnya ngisi di slot-slot standar formula film superhero. Di babak awal. Di tengah saat mereka ‘kalah’. Dan final boss fight. Variasi jurus-jurus dan kemampuan mereka seru. Kamala bisa bikin platform dan shield kayak Steven Universe. Monica bisa tembus-tembus kayak Noob Saibot. Captain Marvel bisa menumbuk sambil terbang cepet banget kayak Super Saiyan. Adegan mereka berantem sambil berpindah-pindah juga sebenarnya seru, walau sempat ngeselin juga mainly karena editingnya agak kurang mulus. Adegan aksi mereka ini sifatnya serius. At one point, seorang karakter tertusuk. Aksi-aksi ini pun memang terasa agak gak masuk juga dengan interaksi-interaksi atau detour komedi yang lebih sering dilakukan oleh film ini.

Sepertinya karena dibebankan oleh banyaknya eksposisi dan waktu yang kurang renggang, maka film jadi terutama mengandalkan tone komedi. Like, bahkan Nick Fury di film ini gak ngelakuin banyak selain ngasih celetukan atau komentar lucu. Tone-tone komedi film ini jadi semakin liar sehingga aku jadi bertanya-tanya kenapa mereka gak sekalian bikin film kartun saja. Sebenarnya oke saja kalo memang diniatkan seperti itu. Adegan-adegan seperti evakuasi stasiun ruang angkasa dengan menggunakan kucing-kucing alien yang ngasih vibe komedi agak horor, ataupun adegan nyanyi-nyanyi ala Bollywood dengan menampilkan aktor Korea (apakah ini bentuk ke-ignorant barat yang nganggep semua Asia sama? haha), akan terasa lebih klop kalo film memang diniatkan sebagai komedi petualangan absurd. Namun film ini terlalu sibuk untuk menghamparkan informasi pada babak pembuka, membuat tiga karakter sentral lebih sebagai spektrum sikap berbeda dari satu kesatuan yang sama, sehingga tone film tidak benar-benar terbangun dan film lantas berjalan dengan nada yang serampangan antara konyol dan heartfelt. Seperti tidak ada ritme.

 

 




Memang menghibur, tapi ‘menghibur’ bukan lantas berarti film yang bagus. Menghibur hanya berartinya karakternya menyenangkan, dialog dan kejadiannya lucu, petualangannya seru. Film ini berkisah tentang Captain Marvel yang kekuatannya terpaut kusut dengan kekuatan dua superhero lain. But also film ini sendirinya juga bercerita dengan silang sengkarut. Kebutuhan untuk memuat banyak eksposisi berusaha ‘dimuluskan’ lewat nada komedi, yang membuat bagian yang lebih emosional dan serius justru jadi seperti bagian yang disematkan. Naskah jadi terlalu lama masuk ke dalam bagian yang penting, dan bahkan setelah itupun naskah masih memuat detour konyol. Film ini mungkin mampu membuat kita sedikit tertarik kembali kepada superhero, tapi belum cukup untuk mengembalikan genre ini kepada pencapaian kualitas film-film awal dari MCU.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for THE MARVELS

 

 




That’s all we have for now.

Apakah kalian tertarik dengan kelompok Avenger remaja yang sedang berusaha dikumpulkan oleh Kamala pada mid-credit scene? Apakah menurut kalian storyline itu bisa membuat penonton tertarik kembali dengan MCU?

Share pendapat kalian di comments yaa

Setelah nonton ini,  kalian yang masih pengen tontonan seru bisa coba serial Hijack, serial thriller seru tentang pembajakan di pesawat yang dibintangi oleh Idris Elba di Apple TV+ Yang pengen ngerasain ketegangannya bisa langsung subscribe dari link ini yaa https://apple.co/46yw8RX

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



BUDI PEKERTI Review

 

“Never explain yourself to anyone. Because the person who likes you doesn’t need it. And the person who dislikes you won’t believe it.”

 

 

Tujuh belas nominasi FFI dikantongi oleh film-panjang kedua Wregas Bhanuteja ini. Fakta prestasi tersebut kentara bisa mess with ekspektasi dan ‘tuntutan’ kita – terutama aku yang prefer nonton film tanpa tahu banyak tentangnya, Apa iya film ini sebagus itu. Yang jelas setelah ditonton, ternyata Budi Pekerti juga merupakan sebuah gambaran yang sangat relevan. Sama seperti Penyalin Cahaya tahun lalu. Wregas kembali menghadirkan potret, yang mungkin lebih lugas, karena cerita kali ini terasa lebih grounded tanpa elemen kasus ala thriller whodunit. Budi Pekerti berada di dalam kotak yang sama dengan film-film seperti Not Okay (2022) dan John Denver Trending (2019); film-film  yang khusus menelisik perilaku sosial di era internet sekarang ini. Budi Pekerti mengangkat persoalan dari gimana society modern kita yang katanya ‘melek sosmed’ bekerja dan dinamika positif-negatif yang menyertainya. Mungkin sosmed banyakan negatifnya, karena konflik di cerita ini justru mulai menggunung ketika protagonisnya mencoba melakukan the supposedly right thing to do, di internet.

Bayangkan seorang guru BK SMP yang begitu lovable sampai-sampai mantan murid dari angkatan 10 tahun yang lalu masih bisa mengenali beliau walau dari balik masker, harus terancam batal diangkat jadi wakasek, hanya karena videonya sedang ribut dengan seorang penyerobot antrean diambil ke luar konteks, disalahartikan, dan jadi viral. Dengan premis tersebut, Budi Pekerti literally mempertanyakan ‘apa perlu mata pelajaran budi pekerti diajarkan kembali?’ Di pasar itu, Ibu Prani tadinya hanya coba menegakkan hal yang benar, seperti yang biasa dilakukannya saat mendidik murid di sekolah. Dia akan menegur murid yang melakukan kesalahan, lalu memberikan hukuman – yang ia sebut refleksi – supaya murid bisa mengerti dan memahami perbuatan mereka salahnya di mana. Namun gak semua orang senang mendapat pelajaran berharga seperti itu. Video viralnya membuat Ibu Prani diserang netijen, beliau panik dan berusaha menjelaskan keadaan dengan membuat video klarifikasi. Video yang lantas jadi bumerang. Sehingga bukan hanya kerjaannya, kehidupan personal Bu Prani dengan keluarga, dengan dua anaknya yang influencer juga terkena imbas.

Ini juga kenapa anak-anak muda agak males kalo orangtua mereka main sosmed

 

Inilah bagian yang paling menarik dari Budi Pekerti. Perilaku sosial media masyarakat kita benar-benar ditelanjangi. Perilaku yang makin menjadi-jadi sejak kita semua terkurung oleh pandemi. Dan pada kurun itulah persisnya cerita ini menempatkan diri. Some say kini kita hidup di era post-truth. Jaman di mana kebenaran itu bukan lagi soal yang beneran benar. Film ini bulat-bulat menyebut bahwa salah dan benar sekarang ini adalah cuma perkara siapa yang paling banyak omong. Penghakiman netijen-lah yang memutuskan yang mana yang ‘benar’. Dan mereka menilai itu dari potongan-potongan video, cacah-cacahan narasi. Tindak apapun yang dilakukan Ibu Prani dalam upaya membersihkan namanya hanya akan jadi materi kulikan dan asumsi liar dari netijen.  Yang akan mengambil hanya yang sesuai dengan narasi masing-masing. Satu lagi yang berhasil tergambar oleh film ini tentang perilaku bersosmed masyarakat adalah, masyarakat hanya ikut-ikutan. Bahwa kita memposting sesuatu bukan lantas berarti kita peduli sama permasalahannya. Sebagian besar waktu, yang dipedulikan adalah citra masing-masing.

Inilah makanya sosmed jadi ‘berbahaya’.  Smartphone dibuatnya tak ubah seperti pistol. Kita bisa membidikkannya kepada orang lain, dan menjepret kelakuan-kelakuan buruk mereka. Atau kita bisa point that thing ke wajah sendiri. Dan dor! Hasilnya ya fifty-fifty. Antara orang jadi kasihan dan menempel ke narasi kita. Atau kita ‘mati’ ngebuka aib sendiri. Aku menebak pastilah proses riset dan nulis naskah film ini sangat mengasyikkan. Film ini benar-benar paham perilaku-perilaku tersebut, mereka menjadikannya ke dalam plot-plot poin, dan sukses memasukkannya ke dalam bangunan cerita yang terus ngebuild up ke drama. Yang terus jadi rintangan yang bikin susah hidup protagonis kita yang punya sense moral tersendiri. Ngeliat Bu Prani tetap membuat video klarifikasi meskipun sudah dilarang menghasilkan dramatic irony. Kita tahu dia benar, tapi kita juga tahu bahwa dia akan ditelan bulat-bulat di jagat sosmed. Anak-anak Bu Prani berusaha ‘menyelamatkan’ muka ibu mereka sambil juga mengamankan muka sendiri, ngeliat apapun counter video yang mereka lakukan selalu dicounter lagi, membuat keadaan justru semakin memburuk — cerita film ini berkembang ke hal-hal yang sebenarnya deep inside sudah kita antisipasi karena film ini begitu dekat dengan sosial kita sekarang, tapi sekaligus kita juga kasihan dan ikut benar-benar merasakan outcome yang tak terkontrol yang dialami oleh para karakter yang sedang berjuang tersebut.

Karena nature cerita yang seperti demikian, setiap karakter di sini ngalamin perjalanan personal masing-masing. Membuat film jadi punya banyak adegan yang unik. Para aktor dipersilakan oleh Wregas untuk menggali momen-momen ‘seru’ yang mungkin gak bisa mereka dapet pada film-film yang lebih mainstream. Angga Yunanda dan Prilly Latuconsina, misalnya. Mereka jadi anak-anak Bu Prani. Denger mereka ngomong jawa aja udah fresh. Sebagai influencer daerah, Angga di sini dilepaskan dari image karakter remaja yang cool, di sini rambutnya pirang jamet. Prilly, jadi kakak, karakter yang lebih jutek dan contained dibanding tipikal peran utama yang biasa diberikan kepadanya. Kekuatan akting mereka jadi keluar, untuk kita nikmati. Angga dikasih adegan nangis kecewa sama diri sendiri. Prilly dikasih ngomel sendiri, ada monolognya di kolam lele yang menurutku scene yang memorable. Dwi Sasono sebagai ayah yang depresi karena usahanya bangkrut efek pandemi ngasih tambahan elemen volatile bagi permasalahan keluarga mereka, Dwi Sasono perfect fit buat karakter tak-tertebak semacam ini. Tapi yang paling tak terduga adalah Omara Esteghlal. Karakternya, Gora, muncul di awal sebagai mantan murid yang dulu pernah kena ‘hukuman refleksi’ khas Bu Prani. Cerita nanti bakal circle back ke Gora, karena actually hubungan guru dan murid Prani dengan Gora jadi kunci bagi perkembangan Prani sebagai karakter utama.

Main-main di sosmed itu kadang kayak menggali kuburan sendiri

 

Satu lagi yang ditunjukkan oleh Wregas sebagai bentuk kepiawaiannya bercerita selain punya ritme membuild up rintangan dan gencetan untuk karakter utama, adalah dia paham untuk membuat ceritanya balance. Di Penyalin Cahaya, Suryani yang posisinya korban tidak serta merta selalu benar, bahwa ada momen ketika Suryani genuinely merasa dia telah melakukan pilihan yang salah. Budi Pekerti juga begitu. Ini bukanlah ujug-ujug kisah tentang guru baik yang terjebak dalam situasi sulit. Bu Prani memang disukai murid-murid dan kolega, tapi langkah yang diambilnya, aksi yang dia lakukan, adalah aksi yang genuine. Dia manusia yang bisa salah. Runyamnya masalah keluarga mungkin telah membuat aksinya sedikit keterlaluan. Metode ajarnya, mungkin, berdampak buruk ke murid. Momen-momen Bu Prani meragukan diri, bergulat dengan nurani, dengan apa hal yang benar dan apa hal yang harus ia lakukan ternyata boleh jadi tidak sejalan, terdeliver nyata lewat akting Sha Ine Febriyanti. Aku sendiri sebenarnya, dulu sebagai murid, gak suka dengan tipe ‘guru baik’ seperti Bu Prani. Aku lebih suka sama guru yang terang-terangan killer dan suka ngasih hukuman tegas ketimbang guru yang metodenya pasif agresif. Tapi Bu Prani berhasil bikin aku peduli, dan membuatku bisa melihat kenapa guru yang seperti dia dibutuhkan oleh murid-murid.

Orang yang mendukungmu tidak perlu penjelasanmu. Orang yang membencimu tidak akan mau mendengarkan penjelasanmu. Oleh karena itu, kita sebenarnya tidak perlu menjelaskan perbuatan kita. Apalagi di internet. Karena orang hanya akan mengambil apa yang mereka mau dengar. Apa yang masuk ke dalam narasi mereka masing-masing. Itulah sebabnya kenapa video klarifikasi sama sekali tidak membantu Bu Prani. Yang dia perlukan hanyalah menyelesaikan persoalannya dengan orang-orang terdekat. “Maaf”nya Bu Prani cukup dialamatkan kepada mereka-mereka saja.

 

Walau sudah berimbang sehingga drama kisah ini jalan dan kita duduk di sana mengikuti dengan gamang dan penuh harap sepanjang durasi, tapi masih terasa film ini kasihan terhadap Bu Prani. Dan ini buatku agak sedikit memflatkan journey Bu Prani. Pilihan yang dilakukan film sebagai ending, sudah cocok. Benar sebagai akhir journey Prani. Ibu itu sudah minta maaf kepada orang-orang yang tepat. Dia sudah mengenali ‘kesalahannya’ apa. Hanya saja film-lah yang seperti tidak benar-benar tega kepada Bu Prani. Padahal menurutku sebenarnya tidak masalah jikalau memang metode hukuman refleksi Bu Prani berdampak sedikit negatif kepada muridnya ketika mereka sudah dewasa. Namun cara film memperlakukan ‘dampak sedikit negatif’ tersebut, buatku seperti sedikit menyepelekan case yang mereka angkat sendiri. I would like to see Bu Prani maafnya itu benar-benar pure maaf ketimbang masih ada sedikit kesan “Ibu gak salah kok” dari muridnya. Apalagi setelah adegan dia menyelami kata hatinya sendiri. Supaya koneksi mereka bisa lebih ‘manusia’. Lebih daripada frame antara guru dan murid.

 




Seperti pesannya, film juga tak harus menjelaskan dirinya. Kenapa dia bisa dapat banyak nominasi. Pecinta film akan tetap menonton. Dan baru saat menonton itulah, kita bisa menilai sendiri. Film ini dibuat sebagai potret, sebagai komentar, tentang perilaku masyarakat kita dalam berjejaring sosial. Tempat di mana interaksi sosial tidak lagi genuine sebagaimana mestinya. Tempat di mana hal yang benar bisa jadi sebuah kesalahan, karena semua orang punya agenda personal, yang bikin kita hanya melihat sepotong-potong. Bahkan permintaan maaf saja bisa cuma dijadikan kedok citra semata. Bukan sebuah maaf yang tulus. Dengan penceritaan yang berimbang, film ini mengingatkan seperti apa interaksi sosial sesungguhnya. Identitas dan perspektifnya yang dekat, membuat kisah film ini mudah dicerna. Benar-benar terasa urgent untuk ditonton sekarang. Ada minor-minor nitpick tapi pesan dan kerelevanan ceritanya outweight that.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for BUDI PEKERTI

 




That’s all we have for now.

Apakah menurut kalian pelajaran budi pekerti khususnya di media sosial memang harus diadakan kembali?

Share pendapat kalian di comments yaa

Setelah nonton ini,  kalian yang masih pengen tontonan seru bisa coba serial Hijack, serial thriller seru tentang pembajakan di pesawat yang dibintangi oleh Idris Elba di Apple TV+ Yang pengen ngerasain ketegangannya bisa langsung subscribe dari link ini yaa https://apple.co/46yw8RX

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



MINI REVIEW VOLUME 11 (V/H/S/85, NO HARD FEELINGS, STRAYS, TOTALLY KILLER, BLUE BEETLE, PET SEMATARY BLOODLINES, THEATER CAMP, CONCRETE UTOPIA)

 

 

Harusnya sih ini edisi halloween. Tapi ternyata yang belum kutonton dan kuulas ada berbagai genre!! Jadilah aku kumpulin aja semua seperti biasa, dan ya, inilah edisi kesebelas. Dan mungkin kita akan segera bertemu di edisi berikutnyaaa

 

 

BLUE BEETLE Review

It has its charms. I mean, pusat di balik cerita superhero robot kumbang ini adalah keluarga latin, yang struggle dengan keadaan ekonomi. Dan karena berasal dari keluarga latin, kejadian seputar protagonisnya menjadi superhero pun jadi punya ‘warna’ yang berbeda. Jika biasanya superhero merahasiakan yang terjadi kepadanya dari keluarga, maka Blue Beetle berubah persis di depan ayah, ibu, adik, paman, dan neneknya sekaligus. Masalah Blue Beetle juga adalah masalah keluarganya. Bahkan ada sekuen saat justru si superhero yang kekuatannya bisa menciptakan senjata apapun yang ia bayangkan (dia pakai Buster Sword kayak Cloud di FF VII!!) yang harus diselamatkan oleh keluarganya.

Ada momen-momen lucu dari sini. Dan tentunya juga momen seru. Jika sutradara Angel Manuel Soto diberikan kreasi penuh, aku yakin film ini harusnya bisa lebih kuat lagi pada identitas dan perspektif keluarga tersebut. Sayangnya film Blue Beetle bermain aman. Tidak mau mengambil terlalu banyak resiko dengan menjadikan ini film superhero mexico. Film ini bangunan superheronya amat sangat template. Korporat jahat, pasukan militer super, villain yang kekuatannya sama dengan si superhero – only bigger dan badder. Ujung-ujungnya, nonton ini aku tetap merasa bosan. Durasi dua jam lebih itu kerasa banget karena meskipun identitasnya unik tapi yang mereka lalui, plot ceritanya, kejadiannya, terasa seperti yang udah sering kita tonton.

Jika semua studio film superhero modern main aman seperti begini, maka gak heran penonton terkena ‘superhero fatigue’

The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for BLUE BEETLE

.

 

 

CONCRETE UTOPIA Review

Bencana yang dipotret sutradara Tae-hwa Eom dalam Concrete Utopia bukan exactly runtuhnya tanah karena gempa. Melainkan soal runtuhnya kemanusiaan. Potret yang sangat powerful, dan bikin merinding. Digambarkan manusia bisa seketika turn on each other, saling serang gak peduli sama yang lemah, kalo urusannya udah tentang tempat tinggal. Demi menduduki suatu tempat. Lihatlah ke luar jendela, dan kita akan lihat bentuk konkrit dari yang disimbolkan oleh film ini.

Di cerita ini penduduk satu-satunya apartemen yang masih berdiri berusaha survive, bertahan di apartemen, membentuk komunitas dan aturan-aturan sendiri. Sumber makanan, obat-obatan, dan air yang sedikit membuat mereka tega mengusir pendatang yang ingin mencari perlindungan. Padahal di masa sulit seharusnya manusia bekerja sama. Gak peduli dari mana dia berasal. Film ini nunjukin dengan ironis bahwa pemimpin mereka apartemen sebenarnya juga seorang pendatang. Orang luar yang membunuh seorang penghuni apartemen sebelum bencana datang.

Eksekusi ceritanya luar biasa. Kita dibuat terus menyimak gimana komunitas ini bekerja, dengan ironi tadi membayangi di baliknya.  Akan ada banyak sekali adegan-adegan yang menghasilkan perasaan yang kontras. Terkadang memang terasa over, tapi semuanya masih bekerja dalam satu kesatuan bangunan-dunia yang senada. Dan kupikir, cara film ini mengakhiri ceritanya pun terasa puitik. Benih-benih harapan itu mereka tebar, sehingga api harapan itu masih terasa hangat.

The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for CONCRETE UTOPIA

 

 

 

NO HARD FEELINGS Review

Ternyata Jennifer Lawrence bisa juga jadi Girl on Fire di film komedi! No Hard Feelings terasa bergelora dan penuh energi chaotic berkat penampilan komedik Jen-Law. Dia gak ragu untuk tampil total!!

Karakter yang dia mainkan, Maddie, memang bukan tipe yang mudah untuk kita kasihani. Orangnya keras kepala, cuek, dan bukan exactly tipe kakak cewek yang anggun. Sikapnya itu kemudian dibenturkan saat Maddie kepepet duit. Maddie menerima lowker dari pasangan kaya yang lagi mencari ‘pacar bayaran’ untuk anak cowok mereka yang udah mau kuliah tapi sampai sekarang belum punya pacar karena ansos dan introvert banget.

Dari sinilah komedi romantis karya Gene Stupnitsky ini jadi laen. Rootnya dari awkwardness yang timbul dari seorang tante-tante mencoba mendekati daun muda. Beberapa adegan awal cenderung hard to watch, dalam artian ngenes, tapi di situlah poin dagang film ini. Relationship dua karakter sentral berkembang, bukan lagi dari perasaan romantis yang dibuat-buat, tapi jadi genuine hubungan yang saling mendewasakan. Rasanya sudah jarang kita dapat suguhan ringan, tapi juga nekad serta nyeleneh.

The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for NO HARD FEELINGS

 

 

 

PET SEMATARY: BLOODLINES Review

Kok ya aku jadi agak kasian sama Stephen King. Tahun ini dua ceritanya dikembangkan menjadi film yang benar-benar sebuah adaptasi lepas. Dan kedua film itu tidak benar-benar bagus. Pertama, The Boogeyman, yang malah melanjutkan cerita asli King dengan karakter-karakter baru. Dan sekarang, Pet Sematary: Bloodlines, yang mengambil posisi sebagai prekuel dari cerita asli; thus film ini mengarang bebas dari karakter-karakter yang sudah ada. Sedikit banyak mengubah mereka. Sesuatu yang sama sekali tidak perlu.

Sebenarnya sutradara Lindsey Anderson Beer masih respek. Dia berusaha mengarahkan dan menuliskan cerita ini semirip mungkin dengan vibe cerita-cerita King. Kota kecil dengan penghuni yang turun temurun menempatinya dijadikan pusat cerita. Karakter-karakter penghuninya – Judd muda dijadikan protagonis cerita – berusaha dikembangkan. Premis tanah yang semua makhluk yang dikuburkan di dalamnya bakal balik jadi makhluk jahat, coba diperdalam. Dipersonalkan. Film ini nyaris setengah berhasil melakukan itu semua.

The best thing yang bisa kubilang untuk film ini adalah dia seperti fan-fic yang bland. Sampai ke aspek horornya pun nanggung. But it’s okay. Masih bisa jadi tontonan pengisi waktu-lah, sebenarnya. Namun semua itu diperparah oleh hal-hal yang diretcon. Hal-hal yang beda ama materi aslinya. Jadinya film ini konyol aja, jadi kayak ngada-ngada.

The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for PET SEMATARY: BLOODLINES

 




STRAYS Review

Ngomong-ngomong soal pets, nah ini baru film tentang hewan peliharaan yang benar-benar serasa seperti sebuah perjalanan liar!

Paling tepat ya menyebut komedi garapan Josh Greenbaum ini sebagai film anjing. Karakternya 95% live-action anjing, dan tingkah mereka pun benar-benar anjing. Sepertinya memang film ini terutama memparodikan film-film tentang anjing peliharan yang kebanyakan bicara tentang persahabatan anjing dengan manusia. Di film ini, yang ditekankan adalah persahabatan antara sesama anjing, dan mereka mau balas dendam sama owner yang sudah menelantarkan si karakter utama. Dan para anjing dan komedi di sini vulgar dan raunchy abis. Ini bukan tipe film yang diputar untuk ditonton bareng keluarga.

Tapi bukan berarti film ini enggak punya hati. Yang dialami Reggie sebagai anjing peliharaan, sebenarnya menyedihkan. Pemiliknya sebenarnya gak suka sama dia. Tapi Reggie terjebak dalam somekind of toxic relationship yang membuat dia merasa pemiliknya akan sayang, kalo dia nurut. Udah dibuang pun, dia ngerasa pemiliknya lagi ngajak main. Reggie dealing with perasaan ini yang jadi bobot dramatis film. Karena bahkan kita manusia bisa terjebak toxic relationship. Tonenya boleh aja agak random, tapi film ini lebih dari sekadar komedi jorok – yang sebenarnya juga berusaha dijustify oleh film dengan menjadikan dirinya sebagai parodi film anjing. Bahwa anjing itu ya, anjing. Dan manusia bisa lebih anjing lagi,

The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for STRAYS

 

 

 

THEATER CAMP Review

Agak susah mutusin film ini satir tentang komunitas camp teater, atau surat cinta terhadap mereka. Tapi boleh jadi, inilah bentuk tertinggi dari sebuah passion dan kecintaan; mampu menertawakan sekaligus menceritakannya dengan penuh hangat. Theater Camp karya Molly Gordon dan Nick Lieberman akan ikut membuat kita jatuh cinta, meskipun kita bukan teater geek seperti mereka.

Karena pada hatinya, film tentang influencer yang terpaksa menjalankan summer camp teater milik ibunya ini bicara tentang hal yang relate. Yakni tentang tempat bagi anak-anak – bagi orang-orang yang not really fit in di kehidupan sosial yang ‘normal’. Tentang orang-orang yang menemukan rumah dan keluarga, dan mereka harus menyelamatkan rumah mereka bersama-sama. Duh, lagu ‘Camp isn’t Home’ yang jadi adegan musikal pamungkas film ini sukses bikin emosiku jumpalitan.

Banyak karakter di cerita ini. Permasalahan mereka punya benang merah yaitu dilema antara stay di sana atau tidak. Antara bertahan di passion dan mengejar mimpi, atau ‘menyerah’ kepada realita. Film mengambil posisi yang sangat berimbang, tidak menghukum, mengolok pilihan manapun. Semuanya diserahkan kepada penonton, untuk ikut memilih. Komedi film ini juga dituliskan dengan mumpuni. But I do think, film ini bisa menjangkau lebih banyak penonton lagi jika eiher durasinya dipanjangin supaya penonton in general bisa  mengenal masing-masing mereka lebih lama, atau fokusnya agak dirapatkan ke satu karakter secara khusus.

The Palace of Wisdom gives 7.5  gold stars out of 10 for THEATER CAMP

 

 

 

TOTALLY KILLER Review

Premis film ini ngingetin aku sama filmnya si Taissa Farmiga, The Final Girls (2015) – duh, jaman2 masih ngereview di Path haha. Kalo di film tersebut protagonis ceweknya tersedot ke film slasher tahun 80an yang dibintangi ibunya dan berusaha mencegah karakter ibunya mati, sedangkan di karya Nahnatchka Khan ini, ceritanya tentang protagonis cewek remaja yang kembali ke masa lalu untuk menggagalkan rencana seorang pembunuh berantai yang membunuhi ibu dan teman-teman ibunya di SMA. Kedua film tersebut sama-sama mengandalkan referensi film 80an sebagai bumbu di balik bunuh-bunuhan. Tapi di Totally Killer, referensi yang digunakan gak sebatas pada film horor.

Dari Back to the Future ke Halloween ke film-film remajanya John Hughes, Totally Killer bakal totally bikin kita tetep have fun bernostalgia sambil jejeritan, dan ikut menebak-nebak pembunuh seperti saat nonton Scream. Toh naskah film ini gak cuma berisi referensi sana-sini. Kecerdasan penulisan ditunjukkan dari konsep time travel dan gimana mereka menggunakan kesempatan itu untuk membandingkan dengan kocak antara remaja jaman dulu dengan remaja jaman sekarang.

Gimana Jamie heran di 80an orang-orang pada selow ngata-ngatain orang, sekolah yang pengamanannya nyante. Apa-apa gak ribet kayak di 2023. Tapi sekaligus juga memperlihatkan ke kita gimana selownya orang jaman dulu sama ternyata bisa berdampak pada anak jaman sekarang. Film ini did a great job ngangkat diskursus soal kebiasaan sosial pada dua era berbeda – meskipun ini sebenarnya horor komedi yang dibuat sebagai tontonan ringan. Ini lantas  terefleksi juga kepada film. Film jaman sekarang, seperti film ini sendiri, cenderung harus jadi ribet dibandingkan horor jaman dulu yang cukup bunuh-bunuhan saja. Pertanyaannya dioper ke kita nih sekarang, jaman mana yang lebih baik?

The Palace of Wisdom gives 7.5 gold star out of 10 for TOTALLY KILLER

 

 

 

V/H/S/85 Review

Franchise V/H/S/ tampaknya sudah resmi jadi staple penggemar horor setiap halloween. Tahun ini mereka ngeluarin lagi, dan tema besar kali ini adalah video-video horor, snuff film, dan rekaman ganjil dari tahun 1985.

Sebagai antologi cerita, at least V/H/S/ semakin kreatif dalam menampilkan atau menempatkan lima horor pendek. Kali ini film ini bermain-main dengan urutan. Ada cerita yang displice jadi dua bagian supaya kita makin penasaran. Dan karena cerita-cerita ini random, nonton film ini ada sensasi masuk ke something unknown yang menambah minat kita ngikutin sampai habis.

Lima horor pendek dalam film ini sendiri, menurutku tidak terlalu seram. Sebagian besar gak benar-benar ngasih sesuatu yang baru juga, meskipun memang mereka berusaha menghadirkan kesan cerita itu memang direkam tahun 85. Kayak cerita tentang virtual reality, yang dihadirkan dengan gaya monolog seseorang lagi perform di teater. Komedi atau satir cerita tersebut works karena dibuat (dan ditonton) oleh yang tau sekarang teknologi ada di mana, dan gimana masyarakat menggunakannya. Pada akhirnya segmen cerita ini adalah showcase horor gore yang memang jadi ciri khas horor 80an.

Ada juga segmen yang bermain-main dengan premis Pet Sematary – yang di tahun 85 itungannya masih novel horor yang baru booming. Sekelompok pemuda pemudi main di danau, lalu mereka ditembaki seseorang misterius, dan yang mati di danau bisa hidup kembali, kayak di cerita Pet Sematary. Segmen ini sebenarnya sangat fun, tapi sayangnya terlalu singkat. Apalagi bagian keduanya, yang melibatkan satu keluarga dengan perayaan sinting. Terlalu singkat, membuat kita pengen lebih. Segmen Rory yang dijadikan pembungkus semua cerita, juga terlalu singkat padahal kisah creature-nya sudah bikin penasaran.

Segmen favoritku adalah Dreamkill, yang melibatkan seorang detektif yang berusaha memecahkan kasus aneh. Serangkaian kasus pembunuhan yang serupa dengan video-video rekaman yang ia tonton seminggu sebelumnya. Kayaknya jarang segmen di V/H/S/ yang ngasih horor surealis kayak gini. Sedangkan segmen yang paling tak kusuka adalah God of Death, terinspirasi dari gempa Mexico di tahun 85. Buatku segmen ini kepanjangan dan annoying kameranya bikin pusing.

The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for V/H/S/85

 




That’s all we have for now

Empat film horor dari list ini menurutku sangat cocok untuk dijadikan maraton horor tahun ini.  Bahkan Concrete Utopia bisa ditambahkan, mengingat basically itu adalah horor kemanusiaan yang relevan dengan keadaan sekarang. Bagaimana dengan kalian, apa list tontonan halloweenmu tahun ini? Share di komen yaa

Thanks for reading.

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA