BEFORE, NOW & THEN (NANA) Review

 

“When women are oppressed, it’s tradition.”

 

 

Keabadian memang milik Tuhan, tapi toh ada juga beberapa hal di dunia yang begitu mendarah daging, gak lekang, sehingga jadi sesuatu yang bersifat nyaris seperti kekal selamanya. Represi perempuan dalam sosial masyarakat Indonesia, misalnya. Dalam film terbarunya, Before, Now & Then (Nana), sutradara Kamila Andini menggambarkan bagaimana hal tersebut bertumbuh seperti jadi tradisi – bahwa perempuan dulu, kini, hingga nanti harus menyimpan siapa diri mereka, luka-luka hati mereka, di balik tuntutan untuk tampil lemah lembut dan patuh sesuai fitrah sebagai seorang ibu dan istri. Persoalan ini dituturkan oleh Kamila bukan dalam ledakan emosi, melainkan dengan sama ter-restrained-nya. Film ini, seperti perempuan Indonesia, tampil elok dan menghanyutkan, tapi dengan suatu perasaan tragis di baliknya.  Kesan yang ketika ditranslasikan ke dalam bahasa sinema, menjelma menjadi satu lagi hal di dunia yang bakal hidup selamanya; sebuah excellency.

The excellence of execution film ini bukan hanya tertampil lewat visual, melainkan juga dari bagaimana ceritanya terstruktur. Just like any great film should, Before, Now & Then mengerti pentingnya  awal, tengah, dan akhir cerita. Kehidupan protagonisnya, terhampar menyeluruh untuk kita simak. Nana boleh jadi menyembunyikan banyak hal pada dirinya kepada orang lain, tapi bagi kita, Nana seperti air – yang tampak tenang meski kelam – untuk diselami. Semua yang kita lalui di masa lalu akan membentuk siapa kita di masa sekarang, dan siapa kita nanti di masa yang akan datang bergantung dari bagaimana kita menyingkapi masa lalu di masa sekarang, apakah kita belajar darinya atau terus tenggelam bersamanya.  Tahap fundamental seperti demikianlah yang jadi jalur pergerakan film ini; Nana will go through life,  dengan konteks bahwa keadaan di sekitar Nana gak berubah – merupakan sistem mengurung yang sama, sehingga terciptalah konflik personal yang berlayer itu dari sana.

Untuk membuat kita mengerti apa yang bakal bersarang di hati Nana sehari-hari, film membawa kita melihat ke masa ‘before’ Nana. Yakni saat dia dalam pelarian di dalam hutan. Nana yang saat itu menggendong bayi, menerobos hutan bersama saudaranya, Ningsih. Mereka diburu, bukan oleh Belanda, bukan oleh Jepang, melainkan oleh ‘gerombolan’. Gerombolan itu juga yang telah membawa suami Nana, dan yang diyakini Ningsih telah membunuh bapak mereka. Eksposisi ‘before’ yang dilakukan film ini di awal cerita serta merta menjadi opening yang efektif karena bukan saja melandaskan setting serta konflik yang membuat karakter keluar dari zona amannya, tapi juga langsung memperkenalkan kita kepada penceritaan audio visual level tinggi yang dilakukan. Lihat bagaimana film menggambarkan Nana saking rindunya dia sampai gak ingat wajah suaminya. Film menggambarkan ini dengan actually meletakkan sosok suami di kejauhan, like, waaay di belakang layar sosoknya hanya blur saja. Batas realita dengan hal di benak Nana saat itu dikaburkan, sehingga hutan itu jadi sureal, dan dengan konteks mereka lagi diuber-uber (diperkuat oleh musik mengiris di latar), sense ketakutan, sense pengalaman traumatik bisa langsung tersampaikan kepada kita.

Jadi, apakah sebenarnya judul film ini dibacanya: “Selamanya Nana di dalam kurung”?

 

‘Now’ dalam cerita Nana adalah lima-belas tahun kemudian. Nana hidupnya tampak nyaman sebagai istri Kang Lurah. Statusnya terpandang di masyarakat. Anaknya sekarang bukan cuma satu, tapi ada empat orang, dan yang paling dekat dengan Nana adalah gadis cilik bernama Dais. Tapi gak satupun dari Kang Lurah ataupun Dais tahu bahwa perempuan yang melayani dan mengasihi mereka itu masih terus dibayangi oleh kejadian di masa lalunya. Tidak, dengan hanya melihat wajah Nana yang ekspresinya sekilas tampak teduh dan tenang. Briliannya film ini memang terutama datang dari bagaimana Nana dimainkan oleh Happy Salma (kalo dari perannya ini cocoknya namanya Sadie Salma) Happy Salma tampak benar-benar mengerti karakter ini, benar-benar paham tugas yang harus ia lakukan dalam memerankan karakter ini. Dia memainkan Nana dengan sangat contained. Dari ekspresinya, dari bagaimana Nana bergerak, dan bahkan dari bahasa. Bukannya mau membandingkan (karena memang bukan apple to apple), tapi film pertama yang membuatku tertarik lebih jauh dengan sinema; tertarik bagaimana film dibuat, bagaimana cerita dirancang, bagaimana menonton itu dapat menjadi sebuah pengalaman adalah Mulholland Drive-nya David Lynch. Karena semua aspek di film itu ‘diatur’ oleh treatment sutradara, dan itu mindblowing buatku. Aku menemukan bahwa Before, Now & Then juga adalah film seperti itu, jadi aku semakin excited. Semua aspek Nana adalah treatment khusus yang dilakukan untuk menguatkan gambaran keterkurungan jiwa yang dirasakan Nana. Judulnya memang gak bohong, keseluruhan Before, Now & Then adalah Nana. Adalah bagaimana Nana berurusan dengan kehilangan, ketakutan, dan keterbatasan yang bakal terus bersama dia selamanya.

Sesuai dengan latar tempatnya, film ini menggunakan dialog full bahasa Sunda. Aku memang bukan ahlinya, ngerti juga gak banyak (aku sebagian besar menyimak obrolan karakter dari baca subtitle), yang kutahu cuma bahasa Sunda ada tingkatan intensitasnya, dan film menggunakan itu untuk memperkuat gejolak perasaan yang dialami oleh karakter. Sehingga percakapan jadi hidup. Anak-anak terdengar seperti anak-anak, perempuan yang ngobrol dengan suami akan terdengar berbeda dengan saat dia ngobrol di malam hari dengan dirinya sendiri, dan sebagainya. Bahasa lantas diperkuat oleh ekspresi. Di aspek ini film sedikit mengambil resiko. Lantaran Nana yang di separuh awal masih berkubang di perasaan terkukung (even tho it’s not her fault) memang bakal tampak melelahkan bagi penonton yang capek bermuram dan berhening terus. Penawar dari Nana akan hadir di pertengahan dalam wujud karakter Mak Ino yang diperankan oleh Laura Basuki. Totally berkebalikan dari Nana. Blak-blakan, berani, lebih cheerful-lah. Momen-momen ringan juga bakal banyak datang dari Ino, yang bakal menularkan vibe ini ke Nana. Hubungan antara Nana dan Ino jadi salah satu relationship penting dalam cerita, karena dari Ino yang awalnya dia anggap sebagai trigger ketakutannya-lah Nana belajar bagaimana ‘membebaskan’ diri. Well, at least dalam perasaannya sendiri.

Tentu ada alasannya kenapa Laura Basuki yang dicast sebagai Ino. Karakter itu bagi Nana awalnya adalah seperti manifestasi dari kehilangannya dulu. Nana yang masih belum melupakan bayang-bayang suami terkait PKI dan antikomunis, melihat Ino yang bermata sipit dan menjual daging lebih dari seorang suspect mistress dari Kang Lurah. Di iklim yang lagi trend pelakor seperti sekarang memang mudah melihat persoalan mereka sebagai perselingkuhan, tapi sungguh film ini lebih dari itu. Ketakutan Nana bahkan bukan benar-benar soal diselingkuhin. Melainkan lebih kepada kehilangan keluarga lagi, kehilangan anak lagi. See, relationship yang lebih penting di film ini dari Nana dan Ino yang akhirnya jadi temenan begitu Nana sadar betapa ‘kuatnya’ Ino sebagai perempuan cina di masa hidup mereka itu, adalah antara Nana dengan Dais. Yang membawa penyadaran bahwa konflik Nana adalah generational, bahwa masalah itu akan turun temurun. Bahwa perempuan akan selalu ditindas mau itu di jaman Belanda, jaman Jepang, ataupun jaman-jaman lain. Salah satu adegan favoritku adalah setelah Nana menyisiri rambut Kang Lurah yang feelnya so serene, film lantas menarik perbandingan dengan memperlihatkan adegan Nana bersama Dais menyisir rambut. Dais menanyakan kenapa perempuan rambutnya panjang tapi malah disanggul, dan Nana menjawab sanggul adalah simbol rahasia yang disimpan oleh perempuan. Ibu anak itu lantas berbagi rahasia. Lalu sepeninggal Dais, Nana mengenang masa lalunya sambil menatap konde, dan lantas dia mengenakan konde itu sebagai simbol menguatkan diri. Gestur Nana nguat-nguatin diri  di depan cermin setelah konde terpasang really gets me. Pemandangan bahwa untuk keluar rumah perempuan seperti Nana harus membebat perut, berdandan, menyanggul rambut, itulah bentuk represi diri dalam hal terkecil. Makanya adegan-adegan Nana dengan Ino terjun ke sungai, merokok dengan pakaian dalam, jadi menyentuh sekali bagi penonton. Itulah momen ketika karakter perempuan bisa menjadi diri mereka sendiri. Gak ada rahasia.

Belum setahun, tapi kita udah dapat dua karya menakjubkan dari Kamila Andini, nikmat mana lagi yang mau sinefil dustakan?

 

Kamila lebih menonjolkan cerita lewat simbol visual dan gerak, dalam usaha membuatnya lebih dalam secara personal. Daripada mengatakan kuat referensi film karya orang luar, aku lebih suka menyebut ini film Kamila yang paling mirip dengan film-film bapaknya. Aku merasa film ini adalah companion dari Kucumbu Tubuh Indahku (2019) karya Garin Nugroho. Karena di situ Garin juga bercerita tentang trauma masa lalu tergambar dalam gerak tubuh, terpetakan dalam tubuh pria yang menjadi feminim. Kisah Nana ini menilik permasalahan itu dari sudut perempuan. Bagaimana pembatasan diri perempuan – saat mereka bahkan tidak bisa bebas mengekspresikan trauma – juga membatasi gerak pada akhirnya.  Dalam film Before, Now & Then, Kamila membatasi gerak-gerak aktornya untuk menguatkan kesan ini. Akan ada banyak adegan yang terasa kayak terlalu frame-in, yang terasa kayak teatrikal, demi menyampaikan karakter yang secara inner terbelenggu tersebut. Perbandingan yang menarik perhatianku adalah gerak slow motion yang dilakukan film ketika Nana mengikuti Ino – menatap punggung Ino – saat pertama kali ke ruang potong daging, saat mereka belum kenal, dengan gerak cepat ketika tatapan Nana mengikuti punggung Ino yang meloncat dari tebing ke sungai.

Film tampil balance dengan gak lantas menjadi karakter laki sebagai antagonis. Justru ‘penjahat’nya di sini adalah sistem, yang tak terlawan. Bagaimana masyarakat akan selalu nganggap PKI jahat, bagaimana perempuan bakal terus harus nurut, dan sebagainya. Yang dihadirkan film ini adalah perbandingan. Pada laki-laki represi tentu juga ada, tapi itu jadi problem yang harus segera diluruskan. Bagi perempuan, represi dan opresi adalah tradisi, yang bakal terus berlanjut.

 

Tentunya aspek surealis gak ketinggalan. Film ini punya adegan-adegan mimpi, punya musik biola yang bisa ngasilin perasaan berbeda setiap kali muncul, dan bahkan ada karakter misterius. Di film ini Nana akan berjumpa dengan perempuan muda yang diperankan oleh Arawinda Kirana, yang muncul setiap kali ada sesuatu yang berhubungan dengan anak-anak. Aku pikir karakter ini adalah manifesti ingatan Nana akan anaknya yang tewas, dan nanti setelah dia juga kehilangan Dais, baru si karakter misterius hadir sebagai Dais. Yang berbisik-bisik kepada Nana. Seperti Dais kecil bisik-bisik kepada Nana. Seperti Ino berbisik-bisik kepada Nana. Inilah yang menghantarkan kita kepada ‘then’. Nana posisinya gak banyak perbaikan di akhir, tapi sekarang dia tidak lagi senelangsa di awal cerita. ‘Then’ juga menanyakan balik kepada kita, gimana ‘sekarang’? Jadi, pesan / statement film ini mirip dengan yang disampaikan Kamila di film Yuni (2021), bahwa perempuan hanya punya perempuan lain sebagai penawar rasa terkukung bahwa sistem yang mendikte posisi perempuan sudah terlanjur mendarah daging. Bedanya, di film kali ini, Kamila menumpahkan uneg-uneg itu ke dalam presentasi yang lebih ‘teknis’, kalo gak mau disebut lebih artsy.




Sungguh kejutan menyenangkan di bulan Agustus, walau agak sedih juga sih tidak menonton ini bioskop melainkan di platform. Tapi film sepersonal ini memang lebih cocok ditonton secara personal pula, jauh dari hingar bingar. Mungkin sekilas tampak berat, tapi ini adalah cerita yang pengen kita tonton berulang-ulang. Bukan sekadar untuk menebak maksud simbol-simbolnya, melainkan juga karena cerita ini dihadirkan sebagai perjalanan personal karakter sehingga mudah terkoneksi. Karena kita mengerti problem karakternya real dan tidak dibuat-buat. Meskipun bisa dibilang film ini terlalu mengatur dengan treatment melingkupi banyak hal mulai dari ekspresi, gerak, hingga bahasa. Kesan yang dihasilkan bukan membuat film jadi kaku, melainkan jadi magis. Dan itu juga sesuai konteks dan bahasan yang coba diangkat film. Yang pada akhirnya jadi buah pikiran lain untuk direnungkan.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for BEFORE, NOW & THEN (NANA)

 




That’s all we have for now.

Lucunya, banyak penonton yang jadi ngeship Nana dengan Ino. Menurut kalian kenapa itu bisa terjadi?

Share pendapat kalian  di comments yaa

 

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



[Reader’s Neatpick] – THE MAN FROM EARTH (2007) Review

 

“Ternyata segala sesuatu punya lebih dari satu sudut pandang.” – Fajarudin Ilmi, yang bisa disapa di akun sosmed @fajar_vin

 

 

Sutradara: Richard Schenkman
Penulis Naskah: Jerome Bixby
Durasi: 1jam 27menit

 

 

Teman-teman sesama dosen dan profesor di universitas pada heran. Kenapa Profesor John Oldman, yang brilian, baik hati, dan terutama masih muda itu mendadak mengajukan pensiun dan mau segera pindah dari kota. Maka di hari kepindahannya, mereka beramai-ramai ke rumah John. Membantu pindahan, ngucapin selamat tinggal, dan tentu saja menanyai langsung alasan semuanya. John sendiri memang tampak enggan menjawab, membuat kesan misterius semakin membesar. Para teman-teman terus mendesak. Dan John akhirnya memberikan jawaban, tapi bukan dalam bentuk pernyataan yang bisa dengan mudah diterima. Tidak ada satupun orang-orang pintar dan berpendidikan tinggi di rumah yang kini nyaris kosong oleh perabot itu siap, ataupun ikhlas, mendengar cerita dari John yang melatarbelakangi kenapa dia harus pindah dari sana. Cerita yang menjungkirbalikkan berbagai keilmuan, mulai dari catatan sejarah bahkan hingga agama. Karena apparently, nama belakang John jadi literal karena pria ini mengaku sebagai manusia yang benar-benar sudah tua; dia sudah hidup selama 14 ribu tahun!! 

 

“Aku suka film ini karena unik. Memberikan pengalaman dan perspektif baru dalam berbagai hal khususnya sejarah dan agama.  “

“Unik banget, bener deh. Tadinya, ngeliat dari posternya, kupikir ini cerita sci-fi dengan alien-alien gitu. Ternyata satu-satunya yang ‘alien’ di film ini adalah bahwa dia begitu berbeda dari fantasi ilmiah lainnya. Filmnya minimalis banget. Gak ada aksi, nyaris ada plot. Vibe-nya pun gak mewah – gak ada polesan. Ini produksi 2007 tapi rasanya kayak show yang bahkan lebih jadul jadi. Gak ada nama-nama besar, yang kukenali paling cuma si Candyman, yang jadi salah satu profesor sahabat John. Adegan-adegan film ini hanya bersetting di satu ruangan kecil, hanya sekelompok orang yang berbincang-bincang. “

“Film ini bisa jadi motivasi atau acuan bagi yang mau berkarya dengan anggaran minimalis. Untuk bisa bikin film bagus nggak harus dengan budget fantastis! Nggak jarang aku ketemu film indie yang terasa orisinil atau feel-nya ngena dan berpikir “Kalo film ini digarap studio besar yang seringnya disusupi kepentingan-kepentingan tertentu khususnya selera pasar, apa mungkin filmnya masih sama?”

“Saat nonton, aku langsung teringat sama film 12 Angry Men, klasik dari tahun 1957, yang isinya juga cuma orang ngobrol dan berdebat. Tapi ngikutinnya terasa nikmat. Kalo ibarat menyantap makanan, nonton film-film kayak begini tuh rasanya bener-bener kenyang. Also, jadi bukti bahwa suatu film itu yang penting memang bahasannya. Like, film boleh punya fantasi setinggi langit, world-building keren, atau aksi-aksi laga ataupun horor yang dahsyat, but in the end yang bakal nyantol ke penonton adalah apa yang dipermasalahkan. Apa yang diperbincangkan. Film kayak The Man from Earth ini membawa kita langsung ke percakapan. Walaupun dengan konteks sains yang kuat, tapi karena dibentuknya sebagai percakapan antarteman, jadinya mengundang banget.” 

“Biar penonton nggak bosen nontonin orang ‘ngobrol doang’ menurutku tensi harus dijaga dan topiknya jangan sampai dibiarkan bercabang terlalu jauh dari bahasan awal. Juga harus ada karakter yang mewakili orang awam yang nggak terlalu paham sama topik atau istilah-istilah yang digunakan. Film ini, nggak sedetik pun aku sempet bosen. Biarpun kubilang karakter-karakternya dua-dimensi, tapi pertanyaan atau pernyataan yang mereka sampaikan hampir semuanya tepat. Seolah aku bisa ngomong ke mereka, “Eh, abis ini tanyain ini, dong.” dan benar aja mereka ngomonginnya itu. Misalnya pas obrolan sudah masuk ranah agama.

“Pengen rasanya ikut ngobrol bareng mereka ya hahaha.”

“Pastilah pengen. Yang paling mencengangkan ya sudah pasti tentang alkitab. Scene paling memorable adalah saat John mengklaim dirinya adalah Yesus (mungkin baiknya ‘Yesus’-nya disensor biar nggak spoiler :D) sampai-sampai Edith menangis. Alasan kenapa memorable; scene itu yang paling emosional. Seluruh emosi dibendung sepanjang durasi dan ditumpahkan di sana, diwakili oleh Edith.”

“Gak perlulah kayaknya disensor, itungannya udah klasik nih film, udah di luar aturan spoiler-spoileran. Lagipula, seperti yang kita bahas, yang paling mengundang di sini itu bukan apa yang mereka bahas. Tapi pembahasannya itu sendiri. Percakapan yang muncul benar-benar menggugah pikiran. Karakter teman-teman John kan sebenarnya dibentuk film cuma sebagai sanggahan-sanggahan ilmiah. Sebenarnya, secara karakter, mereka ini kurang ‘hidup’lah istilahnya, Mereka cuma perspektif lain dari keilmuan yang menambah serunya percakapan”

“Sayangnya, di sinilah kelemahan terbesar film ini. Karakter-karakternya terasa template. Sebagian besar ucapan dan tindakan mereka hanya untuk mewakili penonton. Tapi kalo harus milih, aku pilih Dan. Karena kalo aku di sana mungkin reaksiku bakalan mirip dia. Kok malah kontradiktif, ya? :D”

“Mungkin lebih tepatnya bukan template, tapi perspektif keilmuan yang kita tahu memang benar demikian adanya. Jadi percakapan mereka sebenarnya satu cerita tapi dibantah sama ilmu biologi, sejarah, psikologi, agama. Mereka bukan Dan, Edith, dan lain-lain. Tapi keilmuan. Bukan exactly karakter. Kekurangan film memang di sini, tapi pinter sih membuat situasinya seperti itu. Karena bahasan yang menyangkal sejarah dan agama seperti yang disebut John, kalo gak ditanggapi dengan kepala yang settingnya keilmuan juga, pasti bakal jadi menyinggung, kan. Coba bayangkan kalo John cerita tentang asal usul hidupnya, cerita tentang ‘belakang layar’ agama, kepada orang-orang di pasar. Udah babak belur dipukuli massa pasti dia.”

“Orang berpendidikan (bukan tingkat pendidikan tapi intelektualitas) akan mendahulukan logika daripada emosi. Karena banyak yang mereka pertaruhkan; nama baik, gelar, jabatan, persahabatan, dsb, bila mereka salah menanggapi suatu masalah berdasarkan emosi. Menurutku, secara film, pembahasannya juga nggak menyinggung, setidaknya masih dalam batas wajar. Apalagi ini konteksnya fiksi. Mungkin akan beda cerita kalo formatnya dokumenter. “

“Tapi kalo dibikin dengan format dokumenter mungkin juga filmnya gak bakal nyampe status cult kayak gini. Sebagai dokumenter, mungkin dia bukan hanya menyinggung tapi malah bisa-bisa jadi benar-benar boring. Ini terutama karena – sejalan juga dengan salah satu tema yang dibawa film – orang-orang cenderung untuk tidak langsung welcome sama ide yang berbeda dari yang telah dipercaya. Dalam hal ini adalah kebenaran. Film ini memberikan pandangan yang thoughtful dengan mengguncang reality kita. Kalo formatnya dokumenter, aku yakin orang akan menyangka ini beneran (saking powerfulnya) dan bakal dapat hate luar biasa. Tapi mungkin itu karena aku berpikir sebagai orang di jaman sekarang, jaman yang lebih baperan. Menurutku, film ini dibuat pada waktu yang tepat. Aku yakin di zaman sekarang, film ini akan susah untuk diloloskan untuk produksi. Pertama karena gak ada yang terkenal. Kedua karena bahasannya jadi terlalu sensitif di iklim sosial sekarang. Nah, bahkan dibuat di waktu yang kayaknya gak sesensitif sekarang, film ini tetap didesign dengan benar-benar memainkan emosi. Segala percakapan menarik, dengan reaksi yang mewakili walaupun karakternya ‘gak hidup’ itu sesungguhnya juga terbantu dari bagaimana film ini membungkusnya dengan konsep obrolan saat pindahan tersebut. Like, daya tarik yang bikin aku betah ngikutin film ini adalah dari cara film mengarahkan supaya penonton enggak langsung percaya atau enggak langsung gakpercaya sama omongan John. Ada build up, yang berbuah bukan saja perbincangan semakin dalam, tapi juga reaksi-reaksi terguncang para pendengar di ruangan itu yang terasa real dan mewakili”

“Film menurutku berusaha netral. Dengan enggak memaksa John memperlihatkan foto dirinya di Papua dan John nggak mau masuk laboratorium, film berusaha bilang “jangan langsung percaya aja sama John.” Tapi juga dengan membuat karakter John begitu simpatik, kita dibuat mikir juga “apa iya orang sebaik ini tukang bohong?”
Tapi aku pribadi sih percaya sama John. Aku ingin spesifik pada scene saat John bilang semua yang dia bilang itu bohong. Mereka marah karena sudah percaya sama John dan merasa dikhianati baik secara emosional maupun intelektual. Mereka menghargai dan mempercayai John yang merupakan teman baik mereka, sekalipun yang John katakan bertolak belakang dengan yang selama ini mereka pelajari dan ajarkan. Jadi, ibaratnya mereka sudah mengkhianati teman mereka (pengetahuan dan keyakinan) demi John, tau-taunya John mengkhianati mereka (dengan bilang itu semua cuma iseng).
Awalnya aku pengen bilang Edith yang paling terguncang. Tapi setelah dipikir lagi, pas John bilang itu semua cuma pura-pura, Edith malah sebenarnya lega. Menurutku Dan lah yang paling terguncang karena dia yang sedari awal paling berkepala dingin, menganggap serius dan mempercayai John.”

“Bener, itu juga menunjukkan dari perbincangan yang bersifat stoic, pada akhirnya film berhasil menyusupkan elemen personal. Karakter-karakter lain, seperti yang sudah disebut, akhirnya bisa juga kita merasa relate. Sisi personal ini terutama disematkan film kepada John dan salah satu karakter yang nanti berkaitan secara pribadi dengan dirinya. Ini jadi heart – jadi nyawa yang merayap di balik bahasan. Yang actually juga jadi pay off yang cukup menyentuh di akhir. Lebih gampang sebetulnya membuat film ini berakhir open ended, dengan misteri John tak terungkap, tapi film berani memilih dan dia membuat karakterisasi John jadi terwujud di akhir. Makanya John kita identifikasi sebagai karakter utama, meskipun bangunan atau struktur film ini gak persis sama dengan film biasanya. John menggerakkan cerita dan walau aneh, tapi seperti teman-temannya kita bisa terkoneksi juga dengannya. Film bahkan sempat membahas John sebagai parent kan. Film gak lupa menganggap dia sebagai manusia biasa yang bersosial. Dia memilih pindah-pindah itu aja udah relate”

“Sebenarnya pengecut sih. Tapi memang itu pilihan yang sulit dan pilihannya nggak banyak bagi John. Tapi dari sekian ratus istri dan anak John, masa nggak ada yang open minded dan bisa dia percayai rahasianya? Kenapa John cerita ke teman2nya, aku percaya yang dia katakan “Aku ingin mngucapkan selamat tinggal sebagai diriku yang sebenarnya, bukan sebagai diriku yang kalian kira.”.”

“Memang tampak sebagai pengecut tapi itu kevulnerablean yang manusiawi. Kita juga pasti pernah mangkir karena gak enak harus jelasin. Itulah, at least, kita tentu pernah berada di posisi seperti John, ingin mengatakan suatu fakta tapi gak benar-benar bisa membuktikan fakta tersebut. Juga di posisi sebaliknya, apa coba yang bisa kita anggap sebagai kebenaran? Apakah penting untuk membuktikan sejarah, atau bahkan ajaran agama, sebelum menganggapnya sebagai kebenaran? Ini kan jadi koneksi dramatis antara kita dengan film itu”

” I guess, semua orang pernah mengalami hal itu. Gimana ya, susah juga kalo nggak ada bukti. Mungkin bisa ya pakai sumpah, bisa pakai nama Tuhan atau orang yang kita hormati atau sayangi. Dan ya, menurutku penting mengetahui kebenaran tentang sesuatu sebelum mempercayainya. Setuju nggak, sejarah ditulis oleh pemenang dan oleh sebab itu detailnya seringkali bias?
Apalagi agama, kalo cuman warisan orang tua, ‘kesenggol’ dikit udah goyah, kan?”

“Nah, deep memang film ini. Di luar pokok-bahasan mereka, film ini menyuguhkan pilihan buat kita lewat gambaran kondisi John dan orang-orang sekitarnya. Mana yang lebih penting; menyampaikan kebenaran apa adanya meskipun sulit dipercaya, atau membuat orang percaya akan sesuatu sehingga membuat sesuatu itu jadi kebenaran yang disetujui bersama? Beres nonton, aku makan dan makananku gak kerasa karena ngunyahnya sambil mikirin pertanyaan-pertanyaan seperti itu yang bermunculan”

“Wah, ini mirip ending The Dark Knight saat Komisaris Gordon harus ‘memfitnah’ Batman. Wkwkwk. Tapi aku berprinsip “Kebenaran yang pahit tetap lebih manis dari kebohongan yang manis.””

“Berarti lebih baik – dan mungkin bisa persoalan bisa lebih simpel – kalo kita menyampaikan apa adanya saja ya, meskipun itu menantang dan gak sejalan dengan kebenaran yang diyakini orang. See, yang paling manusiawi di film ini buatku adalah dengan kepintaran berpuluh ribu tahun pun John gak lantas jadi si paling bijak. Kalo aku hidup selama itu mungkin bakal banyakan stressnya. Aku bisa habis seribu tahun mikirin hidup abadi itu kutukan atau anugrah hahaha”

“Seperti kata Linda, “Bila dengan tubuh sehat, itu sebuah berkah. Kesempatan untuk terus belajar. “

“Kalimat yang bijak sekali. Jadi, ngasih skor berapa nih untuk The Man from Earth?”

“Sebelum ngasih skor, aku mau ngasih pro dan kontranya dulu. Biar ada alasannya gitu kalo dinilai orang lain skornya ketinggian atau terlalu rendah. Pro:  -Eksposisi dengan istilah-istilah ilmiah atau event-event sejarah mudah dimengerti. Film paham mana istilah yang penonton sudah tahu, mana yang perlu sedikit penjelasan, dan mana yang perlu lebih detail. – Tensi dijaga supaya penonton nggak bosen tapi emosinya nggak dibiarkan meledak terlalu awal untuk menghindari kesan anti klimaks. – Dengan tema ‘pinggir jurang’, aku sebagai penonton nggak merasa jadi bodoh atau merasa dibodohi atau merasa apa yang aku yakini jadi ternistakan. Malah aku merasa diajak untuk melihat ‘di luar kotak’. “Ternyata segala sesuatu punya lebih dari satu sudut pandang.” Kontra: -Pengkarakterannya terasa template dan terasa ada di sana hanya untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan penonton dan menjawabnya. -Aku akan ngasih nilai lebih kalo Nabi Adam dan banjirnya Nabi Nuh dibahas, meski itu akan membuat pembahasan tentang agama jadi terlalu mendominasi. Pengen tau aja sudut pandang tentang ‘manusia perama’ dari orang yang sudah hidup ribuan tahun sebelumnya.  Juga tentang banjir besar. Apakah John ikut naik bahtera atau cuma pernah dengar berita tentang banjir di tempat lain atau bahkan nggak tau sama sekali. Mempertimbangkan kelebihan dan kekurangan yang dimiliki film, aku kasih skor 7.5 Aku nggak heran kalo skor kita beda dan penilaian kita malah bertolak belakang. Aku cuma seorang penikmat film yang ingin berbagi. “Ini lo, ada film yang unik dan beda, seru deh.”

“Penilaian yang detil! Iya ya, seru juga kalo John cerita soal nabi-nabian, gimana experience dia pas banjir bandang. Wah, kalo dia beneran ada pasti udah diculik, disekap, ditanya-tanyain terus tentang banyak hal hahaha… Skor kita agaknya gak beda. Pertama aku menemukan film ini cukup kaku dan aneh. Kemudian aku tersedot sama diskusi dan cerita mereka. Lalu tersadar bahwa aku ngikutin itu semua karena penceritaan dramatis yang merayap di balik bahasan dalem tersebut. Ini storytelling unik yang pada akhirnya worked out sebagai tayangan yang cukup emosional dan dramatis. Istilahnya tu, gak perlu jadi nerd atau geek dulu buat nikmati film ini. Yang jelas, harus open minded aja. Seperti John yang menantang realita dan keilmuan teman-temannya, film ini juga menantang realita dan sedikit ilmuku tentang apa itu film. Jadi, aku ngasihnya 7.5 dari 10 bintang emas juga!!”

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Terima kasih buat mas Fajar udah merekomendasi dan berpartisipasi untuk mengulas film di sini. Film ini benar-benar pengalaman from earth yang terasa out of the world. Terima kasih udah meluangkan waktu untuk menjawab pertanyaan seabreg. 

 

Buat para Pembaca yang punya film yang ingin dibicarakan, yang ingin direview bareng – entah itu film terfavoritnya atau malah film yang paling tak disenangi – silahkan sampaikan saja di komen. Usulan film yang masuk nanti akan aku hubungi untuk segmen Readers’ NeatPick selanjutnyaa~

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

 

PENGABDI SETAN 2: COMMUNION Review

 

“Poverty is the mother of crime”

 

 

Hidup bermasyarakat memang seharusnya memudahkan. Tinggal beramai-ramai, sehingga bisa saling bantu kalo ada kesusahan. Namun bagaimana kalo sekelompok orang yang tinggal berjejelan di satu tempat itu semuanya sama-sama susah?  Semuanya sama-sama gak punya duit, sama-sama berjuang demi masih bisa melihat mentari hari esok. Bagaimana jika – jika negara adalah ibu – mereka sama-sama orang yang motherless, dalam artian gak mendapat perhatian negara.  Potret rumah susun yang dihadirkan Joko Anwar dalam sekuel remake Pengabdi Setan buatannya membuat kita tersentak akan hal tersebut. Tampaknya itu juga sebabnya kenapa latar situasi politik Indonesia zaman petrus 80an dijadikan warna yang menghiasi latar cerita. Pengabdi Setan 2: Communion adalah cara Joko Anwar menggambarkan horornya kehidupan yang harus dijalani orang-orang yang terpinggirkan.

Rini beserta Bapak dan dua adiknya kini tinggal di rumah susun di Jakarta Utara. Bukan exactly tempat tinggal yang ideal. Rumah susun itu sangat sederhana, liftnya aja macet-macet (keseringan disesaki penghuni), pembuangan sampahnya sering mampet, banyak preman, plus terletak di lokasi rawan banjir. Tapi, seperti yang dibilang Bapak,  tempat itu rame. Jadi Rini berusaha untuk tenang. Empat tahun mereka tinggal di sana, dengan adik-adik, Toni dan Bondi, yang sudah gede, Rini bermaksud pergi mengejar pendidikan. Sayangnya, masih ada satu lagi ke’angker’an rusun yang ternyata dulunya pekuburan tersebut. Di hari yang harusnya jadi hari terakhir Rini di sana sebelum pergi kuliah, terjadi freak accident di lift yang menewaskan sejumlah penghuni. Malamnya, setelah yasinan untuk beberapa penghuni di hunian masing-masing, hujan deras dan banjir membuat rusun mati lampu. Mengisolasi Rini dan beberapa penghuni ke dalam gelap gulita dan hal-hal misterius. Rusun itu praktisnya berubah menjadi rumah hantu 14 lantai!

Let’s play a drinking game untuk setiap kali karakter film ini nyebut kata ‘rusun’

 

Well yea, kalo mau memandang film ini sebagai wahana rumah hantu, Pengabdi Setan Communion memang rumah hantu yang lebih seru dan lebih epic dibandingkan film pertamanya. Film kali ini lebih memantapkan diri sebagai pengalaman horor di tempat yang menyeramkan. Joko enggak tanggung-tanggung menargetkan untuk ini, karena film sekuel pertamanya ini ia hadirkan dalam teknologi IMAX. Sebuah terobosan dalam perfilman Indonesia, karena film ini actually adalah film lokal pertama, bahkan se-Asia Tenggara yang dibuat dengan teknologi audio visual super gelegar. Maka sebagian besar durasi akan diisi oleh adegan-adegan seram yang didesain untuk menunjang experience tersebut. Bagaimana pak sutradara melakukannya?

Joko bermain dengan ketakutan paling basic manusia; takut akan kegelapan. Ia dengan teganya membuat visual yang gelap. Pengcahayaan saat sudah di bagian cerita yang hantu-hantuan akan sangat minim. Entah itu hanya dari senter, api korek, ataupun kilatan sesaat dari petir yang menyambar dari luar gedung. Ini menghasilkan suasana horor yang begitu imersif. Aku bahkan gak berani noleh ke kiri-kanan; karena juga menonton di suasana gelap, kumerasa jadi ikut berada di bangunan itu bersama para karakter. Yang jelas, kegelapan itu membuat batas penglihatan yang natural untuk meletakkan penampakan-penampakan, nonton ini emosi kita diaduk antara takut, kesel karena gelap, sekaligus agak seneng juga karena at least hantu-hantu seram itu gak kelihatan semua (dasar penakut hihihi). Untuk soal membuat shot dan adegan menjadi superhoror, Joko Anwar memang jagonya. Dengan jam terbang dan referensi sebanyak yang ia miliki, adegan-adegan seram yang lebih grounded seperti orang masuk ke ruangan yang ada mayat berkafan di lantai, ataupun simply berjalan dalam gelap, jadi suguhan horor yang segar dan fun. Sedangkan untuk adegan-adegan seram yang lebih ‘fantasi’ dalam artian ketika menyelami ketakutan personal para karakter, film ini melakukan dengan agak sedikit in the face. Misalnya pada adegan karakter yang diganggu saat shalat. Like, Joko kayak ngambil referensi dari horor lain, dan membuat versinya sendiri, kayak mau bilang ‘beginilah horor itu seharusnya dilakukan!’ Explorasi ‘rumah hantu’ yang dilakukan film ini memang sangat luas.

Film ini butuh ritme yang lebih baik untuk mengakomodir itu semua. These scares were great, tapi jor-joran terus akan bikin penonton ‘capek’ dan tidak lagi melihat semuanya sebagai perjalanan horor. Melainkan ya, sebagai wahana yang sudah diantisipasi. Mana lagi nih hantunya? Problem seperti ini kayak yang sering terjadi pada show wrestling, yang setiap matchnya selalu diisi oleh spot-spot spektakuler. Seru, memang, tapi membebalkan rasa. Membuat spot, atau dalam kasus film ini, membuat adegan horor tersebut jadi less-special dari yang seharusnya. Ritme dalam film, salah satunya bisa dicapai melalui karakter. Dan memang Pengabdi Setan Communion berusaha melakukan itu. Kali ini dihadirkan beberapa karakter baru, beberapa orang penghuni rusun yang akhirnya menjadi teman dari ‘tim inti’ Rini, Toni, dan Bondi. Para karakter baru diberikan latar cerita, seperti anak kecil yang tinggal bareng ibunya di rusun karena kabur dari ayahnya, lalu ada teman geng si Bondi yang beserta adiknya kerap dipukuli oleh ayahnya sendiri, atau perempuan muda yang digosipin bukan cewek baek-baek lantaran kerjaannya pergi malam-pulang pagi, dan ada juga cowok preman yang suka godain si perempuan tersebut. Selain menambah rame (interaksi karakter-karakter muda ini bahkan ngingetin aku sama geng protagonis di serial Netflix Stranger Things – sama-sama anak 80an pula!) karakter-karakter baru dengan horor personal mereka jadi penambah lapisan dan membuat ritme jadi agak sedikit enak. Karena actually bahasan mereka lebih menarik daripada tim inti yang masih berkutat di misteri Ibu – dan ayah – yang hanya melanjutkan misteri yang sengaja gak dibahas di film pertama. Dengan kata lain, sudah telat untuk membuat kita peduli kepada mereka, apalagi karena sekarang ada karakter-karakter baru yang lebih menarik.

Most of them characters adalah orang-orang yang motherless. Lantas, menyamakan dengan mindset orang-orang di tahun 80an itu, bahwa negara adalah ibu bagi rakyatnya. Maka jika ibu harusnya merawat anak, berarti negara juga harusnya mengurus kepentingan rakyatnya. Kejadian di film ini memperlihatkan kerusuhan terjadi di tempat orang-orang miskin yang dibiarkan begitu saja. Udah tahu mau kena banjir pun, gak ada tindakan untuk menolong. Tempat tak terawat yang orang-orangnya rebutan naik lift, bahkan rebutan uang receh. Horor di situ lahir dari kemiskinan, dan ibu dari itu semua, sumber dari itu semua adalah negara yang tak peduli.

 

Karakter perempuan yang dianggap ga-bener yang diperankan meyakinkan oleh Ratu Felisha adalah yang paling menarik. Yang actually paling diflesh out dengan cara yang gak gamblang. Yang subtil, sehingga kita enak untuk ngikutinya. Info mengenai personal karakter ini dihadirkan lewat sebuah horor psikologis yang melibatkan perbincangan radio. Dan kita dibuat menyimpulkan sendiri apa yang terjadi di hidupnya sebenarnya. Ini adalah contoh karakter dalam cerita horor yang bagus, konfliknya personal, bahasannya closed dan gak melebar ke mana-mana, flaw dan sisi lemah karakternya pun kelihatan. Lebih mudah peduli sama karakter ini dibandingkan sama karakter Rini yang jadi tokoh utama. Memang, peran Tara Basro di sini diberikan lebih banyak daging. Kali ini dia punya motivasi personal pengen kuliah, dia bikin pilihan untuk ninggalin keluarganya, tapi saat hell broke loose nanti Rini hanya bereaksi yang intinya cuma survive. Malah bisa dibilang status tokoh utama si Rini, dibagi dua dengan karakter Budiman, wartawan yang tahu rahasia rusun tersebut, yang actually jadi kunci keselamatan Rini dan kawan-kawan. Naskah anehnya membagi porsi, Budiman beraksi dari luar, sementara Rini ditempatkan di TKP, dan hanya bereaksi dari semua kegilaan di tempat itu.

Kocak juga sih bandingin Endy Arfian dan M. Iqbal Sulaiman di film ini dengan mereka pas di Ghost Writer 2

 

Jadi ritme lewat karakter tidak benar-benar tercapai, karena hanya beberapa yang actually menarik, dan itupun gak benar-benar inline dengan journey utama. Sedangkan journey utamanya sendiri tidak benar-benar baru, bahkan film melakukannya lewat formula yang masih mirip dengan film pertama. Ada stake waktu, horor bakal memuncak di jam dua belas malam, ada misteri anak setan atau bukan, dan bahkan ada porsi yang membahas agama. Sama seperti pada film pertama, film kedua ini juga ingin menunjukkan bahwa agama tidak lantas dapat menolong orang. Sebenarnya ada teguran real yang ingin diucapkan oleh film. Bahwa agama bukan lantas menyerahkan diri kepada Tuhan, alias lantas pasrah enggak usah usaha. Hanya saja, film melakukan sindiran ini dengan tone yang berbeda dengan keseluruhan film. Jika yang lain disinggung sebagai horor, atau sebagai karakter yang flawnya personal sehingga terasa real dan relate, karakter ustadz di sini digambarkan nyaris seperti komikal. Sehingga apa yang mestinya adalah teguran, malah tampak kayak ejekan, atau at least kayak suatu masalah yang dibiarkan seolah tak ada solusi. Seolah malah jadi pengen bilang agama gak sanggup menolong, padahal yang disiratkan sebenarnya adalah agama tidak menolong karena manusianyalah yang salah dalam beragama.

Ketika bicara horor, sebenarnya kuncinya adalah build up. Inilah yang akhirnya jadi penentu ritme film ini jatohnya mulus dan enak atau tidak. Communion punya build up yang aneh. Dari adegan prolog awal saja, yang kita melihat pemandangan barisan pocong bersujud duluan ketimbang gambaran/deskripsi orang yang melihat itu konon rambutnya memutih, build up film ini terasa ganjil, kalo gak mau dibilang kurang proper. Mestinya kan, kita digambarin dulu efek bagi yang melihat, biar kita membangun antisipasi seseram apa sesuatu di dalam ruangan itu. Keseluruhan film memang nanti majunya dengan build up aneh kayak gini (kecuali momen horornya). Misalnya ada bagian Toni kayak mau ribut dengan preman, tapi lantas menguap gitu aja, kecancel karena kejadian kecelakaan lift. Lalu yang paling parah adalah bagian ending. Setelah semua intensitas dan revealing horor itu, film berakhir kayak “Eh, waktunya udah habis nih, yuk hero muncul, kita bereskan ceritanya” Penyelesaian puncaknya datang gitu aja. Tau-tau ada penyelamat yang menolong mereka semua (tanpa susah payah pula) karena durasi sudah hampir habis! Ini fatal sih sebenarnya. Kebetulan masih bisa dimaklumi kalo digunakan untuk menempatkan karakter ke dalam masalah, tapi untuk mengeluarkan mereka dari masalah diharamkan untuk melakukannya dengan solusi yang kayak kebetulan. Haram!!

 

 

 

Melihatnya sebagai wahana rumah hantu, memang film ini lebih seru daripada film pertamanya. Scarenya lebih beragam, lebih efektif, lebih imersif. Tujuannya untuk dijual dengan teknologi IMAX membuat film ini kuat dari segi wahana horor. Tapi sebagai keseluruhan penceritaan, film masing tersandung masalah-masalah yang sama dengan film pertama, dan aku bahkan gak yakin overall ini lebih baik dari film pertama yang benar-benar fokus di masalah keluarga. Film kedua ini bahasannya lebih gede. Latarnya juga berusaha dikuatkan. Lore misterinya juga. Tapi masalah yang timbul dari ‘lebih gede’ itu juga lebih banyak. Karakter utamanya kalah menarik. ada yang lebih beraksi, ritme juga kurang mulus karena build up yang aneh. Puncak dosanya ya di ending; kali ini Joko Anwar cukup membuat cerita yang menutup sih, hanya saja penyelesaian datang gitu aja. Basically protagonisnya saved by the bell, alias oleh durasi yang mau habis. Ending film oleh karena itu jadi sangat lemah.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for PENGABDI SETAN 2: COMMUNION

 

 



That’s all we have for now.

Joko Anwar menggunakan anagram ke dalam salah satu karyanya, yang juga direferensikan di film ini. Apakah menurut kalian nama ibu yang diungkap di Pengabdi Setan 2 juga anagram? Kira-kira apa maknanya?

Share  teori kalian tentang film ini di comments

 

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 


NOT OKAY Review

 

“The sorry is not the solution for every problem”

 

 

“We all live in public now, we’re all on the Internet. How do you think people become famous any more? You don’t have to achieve anything. You just gotta have fucked up shit happen to you.” Tahun 2011, Jill dalam film Scream 4 meneriakkan kata-kata yang jadi motif kejahatannya kepada Sidney. Bahwa orang gak lagi harus punya prestasi untuk bisa terkenal, cukup jadi korban sesuatu aja. Fast forward ke tahun 2022 sekarang, ternyata keadaannya tidak semakin bertambah baik. Malah semakin menjadi-jadi. Mau itu disengaja atau tidak, semua orang kini berusaha ngegedein brand atau presence social media dengan menjual hal-hal negatif yang katanya terjadi pada diri mereka. Not Okay garapan sutradara Quinn Shephard sekilas seperti tontonan ringan, tapi sebenarnya hadir sebagai komedi yang khusus menyindir tentang hal tersebut. Menyoroti perbuatan influencer-influencer yang saling berlomba untuk eksis di dunia maya dengan menjadikan tragedi sebagai batu pijakan.

Baru mulai saja, film ini sudah langsung ngasih kita wanti-wanti. Bahwa protagonis cerita bukanlah orang yang likeable. Danni (walau cakep dimainkan oleh Zoey Deutch) adalah tipikal cewek yang tone-deaf dan sangat dangkal. Dia tidak benar-benar peduli soal tragedi atau kemanusiaan yang ia jadikan bahan tulisan. Danni kerja jadi content creator di media edgy, tapi hanya supaya bisa jadi influencer tenar. Supaya bisa deket ama influencer idolanya di kantor, Colin (karakter Dylan O’Bryen ini adalah gabungan dari hal-hal terburuk yang dimiliki Youtuber/Influencer di real world) Tadinya memang Danni cuma pengen terlihat asik di mata Colin. Cewek itu berbohong ikut tur penulis di Perancis. Danni menggunakan skill photoshopnya untuk bikin foto seolah dia beneran liburan ke sana. Kebetulan yang lucu (bagi kita!) pun lantas terjadi. Beberapa menit setelah Danni mengupload foto di depan Arc Perancis yang ikonik itu dari dalam kamarnya, tempat tersebut – di Perancis sono – diserang aksi teroris. Pengeboman dan segala macem.  Jadi berita internasional. Maka postingan Danni lantas mendapat begitu banyak perhatian; it’s a perfect victim narrative buat media. Dan Danni bak mendapat durian runtuh, tentu saja memilih untuk menggunakan kesempatan itu sebaik-baiknya. Dia memparadekan kejadian tersebut seolah benar-benar terjadi kepadanya, kepada semua orang yang either beneran peduli, atau ada juga yang memanfaatkan tragedi yang menimpa Danni untuk entah itu konten yang happening, atau juga tempat beramal. Yang penting bagi Danni adalah dia sekarang jadi seleb dadakan dan mendapat semua yang ia inginkan!

Gak nyangka ternyata ada karakter yang lebih parah daripada Britta di Community

 

Benar-benar sebuah resiko gede mempersembahkan protagonis utama ceritamu sebagai seseorang yang gak-disukai. Yang bisa dibilang enggak punya kualitas yang bikin simpati. Kemungkinan terburuknya ya, si karakter jadi gak konek ama penonton, cerita dan segala permasalahannya juga jadi gak nyampe. Penonton hanya akan kesal, kalo di film horor, penonton justru mendambakan sang karakter cepet mati (dengan superduper mengenaskan). Film Not Okay paham bahwa itu kondisi yang not okay untuk sebuah tontonan dramatis. Film mendesain Danni seperti itu bukan tanpa sebab. Karakter utama diperkenalkan sepayah itu karena di sini si Danni diposisikan sebagai subjek satir.  Kita diberi tahu bahwa she’s not a decent human being justru karena yang Danni lakukan bisa jadi tampak normal di jaman sekarang, mengingat influencer-influencer di real life memang banyak dan mereka populer. Film ini mengenali bahwa bisa jadi society adalah bagian dari problem, maka mereka membuat – dan menyatakan dengan gamblang – bahwa karakter protagonisnya bukan orang yang baik untuk membuka mata penonton sekaligus menimbulkan dramatic irony. Karena sekarang, seiring melihat keputusan Danni, penonton tahu bahwa seseorang rela menggali lubang dan menjerat diri dalam jejaring kebohongan yang terus membesar hanya demi ketenaran. Bahwa isu-isu sosial mereka gunakan semata untuk keuntungan personal.

Jadi secara materi, memang Not Okay adalah komedi satir yang harus dikembangkan dengan hati-hati. Film ini akan jadi problematik kalo protagonisnya itu nanti dapat redemption. Ini akan jadi problematik hanya dengan menjadikan karakter seperti Danni sebagai tokoh utama, sedangkan isu-isu sosial yang lebih penting dan urgen untuk dibahas hanya dijadikan latar. Quinn Shephard memang mengetahui cerita ini luar-dalam. Sutradara kita paham karakter cewek kulit putih, kaya, cakep, penuh privilege, yang bahkan gak bersentuhan langsung dengan problem-problem seperti serangan teroris dan serangan humanity lainnya, melainkan hanya peduli sama like dan view di Instagram, tidak punya kepentingan yang mendesak. Ada beberapa kali film ini menjadi meta dengan menyebut lewat dialog bahwa ini bukanlah cerita redemption untuk Danni. Namun juga sebaliknya, Shephard paham untuk tidak lantas ngejudge dan hanya menjadikan Danni sebagai teladan yang buruk. Redemption karakter ini ia lakukan dengan cara yang lain. Pembelajaran ia berikan dalam bentuk yang secara bangunan naskah tidak mengurangi kepentingan karakter utama, dan juga secara pesan tidak mengurangi sense of reality dan hati di dalam cerita komedi ini.

Danni masih diberikan kesempatan untuk mengenali apa yang sebenarnya dia lakukan. Karakter Colin dihadirkan sebagai pembanding bagi Danni, Colin adalah contoh influencer yang gak benar-benar ngasih influence yang baik. Karena Colin hanya peduli sama isu dan tragedi sebagai jualan untuk brand sosmed. Hati cerita sebenarnya datang dari relasi Danni dengan satu karakter lagi, yaitu Rowan (Mia Isaac mencuri perhatian di sini), gadis remaja kulit-hitam penyintas penembakan di sekolah. Jadi supaya tulisan dia sebagai korban teroris believable, Danni menyusup ke grup konseling para penyintas tragedi. Danni pengen nyuri-nyuri perspektif-lah istilahnya. Di kelas konseling itulah dia bertemu Rowan, yang memanfaatkan tragedi yang ia alami untuk aktivitas sosial yang beneran raise awareness. Dengan kata lain, Rowan adalah influencer ‘beneran’ yang menggunakan posisinya untuk usaha mengubah dunia menjadi tempat yang lebih baik. Rowan ini membuka banyak sudut pandang baru bagi Danni, terutama soal berbuat baik. Danni akhirnya memang jadi sahabatan ama Rowan. Dan dengan dramatic irony yang telah dibangun baik sedari awal, kita tahu akhir persahabatan mereka akan pedih dan emosional saat kebohongan Danni terbongkar nantinya.

But before that, a wild Avril Lavigne’s song appear! Love this scene lol

 

Inilah yang kumaksud ketika tadi menyebut film bakal problematik kalo malah terus menjadikan Danni – outsider dari real problem – sebagai orang yang lebih baik ketika ada karakter yang lebih mewakili isu yang lebih aktual dan urgen untuk dibahas, yaitu Rowan. Not Okay menemukan jalan tengah, yang pada akhirnya membuat keseluruhan kisah ini jadi lebih dari sekadar oke. Karakter utama tidak dipinggirkan dan tetap diberikan kesempatan menjadi manusia (dengan pembelajaran) dan Rowan beserta isu yang lebih urgen tetap mencuat sebagai hal yang lebih urgen. Ending yang dilakukan film, menurutku adalah yang terbaik. Juga sangat relevan dengan yang kita lihat sehari-hari di sosial media. Nah, berhubung ini bahasannya adalah ending, maka paragraf yang menyusul di bawah ini akan SANGAT SPOILER. Bagi yang belum nonton, beware….

Ending film memperlihatkan Danni yang kini sudah jadi orang paling dicancel sedunia maya berusaha memperbaiki kesalahannya. Dia berhenti nulis. Dia berhenti main sosmed, menghapus semua akunnya. Dia tidak meminta simpati karena dikucilin, melainkan berusaha kuat dan ikut kelas untuk orang-orang yang kena shaming dalam upaya jadi pribadi yang baru. Salah satu solusi yang kepikiran oleh Danni adalah memberanikan diri untuk minta maaf kepada Rowan. Maka datanglah dia ke teater tempat Rowan perform bermaksud minta maaf. Ini yang aku suka, tindakan Danni relevan banget. Lihat saja betapa banyaknya fenomena public figur ataupun influencer yang bikin konten minta maaf begitu bikin salah, seolah dengan maaf semua beres. Saking banyaknya, netijen sudah apal dan menyindir. Tinggal minta maaf. Tinggal keluarin materai. Malah sekarang dicurigai orang-orang sengaja bikin salah dulu, sengaja shitposting dulu, biar viral lalu minta maaf dan tinggal menikmati efek keviralan. Ada juga yang lantas diangkat jadi duta setelah ngelakuin salah dan openly minta maaf. Danni dalam Not Okay benar-benar memperlihatkan itu adalah hal yang buruk, karena film ini menjadikan itu sebagai false resolution untuk Danni. The real resolution yang diperlihatkan film adalah Danni, setelah mendengar puisi yang begitu menohok dan natural dari Rowan tentang yang telah Danni lakukan selama ini, memilih untuk pergi tanpa meminta maaf. Apa sebenarnya makna dari itu semua?

Bahwa maaf bukanlah solusi. Maaf tidak akan bikin segalanya lebih baik. Karena dalam konteks ini, meminta maaf itu hanyalah tindakan dari pelaku seperti Danni untuk merasa lebih baik. Minta maaf itu untuk diri sendiri, yang berarti Danni masih mikirin dirinya sendiri. Yang harusnya dilakukan adalah memahami kenapa yang ia lakukan itu salah, memahami apa yang dirasakan oleh orang yang sudah dibohongi, dikhianati, dijahati. Meminta maaf seharusnya adalah untuk ketentraman pihak yang satunya.

Journey Danni komplit dengan meninggalkan teater karena dia telah memahami apa yang telah ia lakukan kepada Rowan. Dia menumbuhkan respek yang baru terhadap Rowan. Dia sadar bahwa ini adalah ‘cerita’ Rowan. Dan dengan melakukan itu, Danni telah menjadi orang fiktif terbuang yang jadi lebih baik daripada influencer-influencer palsu di dunia asli kita.

 

 

 

 

Tadinya kupikir ini cuma film receh tentang perempuan yang berbohong supaya dirinya populer dan dapat sahabat dan cowok idaman. Ternyata, film ini memang adalah itu, dan lebih lagi. Lebih dalam, lebih real. Lebih bergizi. Dan juga lebih menyenangkan berkat penampilan akting yang meskipun karakternya didesain untuk gak simpatik tapi tetap dibawakan natural. Karakter-karakter mereka terasa real dan urgen, di balik fungsi sebagai parodi ataupun sindiran. Ada beberapa kali aku merasa gak sanggup untuk melanjutkan nonton. Bukan karena khawatir kebohongan karakter utamanya ketahuan, tapi karena menyangka si karakter itu akan mendapat redemption yang menganulir segala hal penting lain yang diangkat film. Tapi ternyata akhir film ini diikat dengan respek terhadap hal-hal tersebut, karakternya dapat konsekuensi, dan benar-benar menohok– I think ini salah satu ending terkuat tahun ini. Filmnya definitely masuk list favoritku tahun ini.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for NOT OKAY

 

 



That’s all we have for now.

Kenapa orang gemar sekali menjual tragedi? Apakah menurut kalian secara moral itu benar? Bagaimana pikirmu para influencer palsu seperti Danni tidur di malam hari?

Share  with us in the comments

 

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

 


WWE SummerSlam 2022 Review

 

 

SummerSlam adalah live premium event pertama yang tidak dikepalai oleh Vince McMahon, and it was such a blast! Hampir seperti ini adalah acara pesta merayakan kepergian pemilik WWE tersebut!

Hush gak boleh gitu hahaha… Kolot kolot (dan banyak kasus) begitu, Mr McMahon jasanya buat gedein bisnis ini toh gak bisa dibilang sedikit. Pro-wrestling bisa gede, WWE bisa bertahun-tahun jadi hiburan keluarga Amerika, pesaing-pesaing muncul dan menyemarakkan gulat hiburan juga kan karena ulahnya. Secara pribadi, I admire Vince dari bagaimana dia membentuk acara WWE show per show. Dalam pencapaian terbaiknya, WWE di tangan Vince terbangun sebagaimana struktur film yang dramatis, yang emosional. Aku harap yang baik-baik dari Vince bisa diteruskan oleh Triple H, sebagai pengganti kepala creative, yang memang di acara ini tampak pengen segera melakukan perubahan dengan gegap gempita!

Gak tau juga, mungkin karena bias dari denger berita Vince mundur (sesuatu yang sudah diharapkan banyak orang sedari dulu) dan diganti Triple H atau gimana, tapi SummerSlam vibenya terasa lebih meriah. Semua orang kayaknya datang ke acara di Kota Musik Nashville itu dengan optimis, dan aura positif tersebutlah yang tertranslasikan ke keseluruhan acara. Ibarat minum ramuan Felix Felicis, Triple H dengan SummerSlam terasa can’t do no wrong.

Padahal secara match aja nih, sebenarnya pas aku nonton, aku agak sering merasa gerakan-gerakan yang sloppy. Seperti pada Bianca Belair lawan Becky Lynch, buatku di awal-awal itu terasa agak rough, mereka tidak bermain se-tight biasa. Aku gak tau apa karena euforia itu terasa juga di para superstar atau apa, tapi itu gak menjelma jadi masalah besar. Karena match-match di acara ini tetap terasa spektakuler. Ada sense of edginess, bahkan dalam match yang gak-imbang kayak Lashley lawan Theory. Ada feel of urgency dalam pagelaran kali ini. Semua itu barulah benar-benar pecah dengan gemilang saat partai utama SummerSlam turun tanding. Brock Lesnar dan Roman Reigns bukan hanya menyuguhkan Last Man Standing pertama yang pernah diadakan di SummerSlam, mereka ultimately menghadirkan sesuatu yang sama sekali belum pernah kita lihat sebelumnya di dalam ring wrestling.

Bukan tangga, bukan mobil, bukan motor, tapi Lesnar datang bawa traktor!!!

 

Satu kata untuk menggambarkan match tersebut adalah edan! Tadinya aku apatis. Tadinya aku udah pasrah ngeliat Lesnar – Reigns untuk kesekian kalinya. Udah apal ‘rutinitas’ match mereka yang spam finisher dengan tempo cepat. Tapi begitu melihat Lesnar balik dan naik ke traktor itu, aku tahu ini bakalan spesial. Penonton heboh sepanjang match, mereka juga pengen tahu mau diapakan traktor tersebut dalam environment tidak-ada peraturan dan tidak-ada Vince McMahon ini. Dan match itu sendiri tahu aspek penarik yang mereka punya tersebut. Match ini aware dan tahu persis apa yang mereka jual. Pada akhirnya, match ini lebih daripada sekedar adu finisher. Lebih dari seru-seruan dengan senjata dan alat-alat. Match ini bergerak dengan build up yang seksama. Perhatikan deh gimana Lesnar membuild penggunaan traktor; dia gak langsung naik dan ngangkat ring, tapi ada beberapa kali bulak-balik sepanjang match. Membuild intensitas, sekaligus cerita bahwa bukan perkara mudah mengalahkan lawannya. Bagi Reigns juga sama, dia menjatuhkan Lesnar untuk 10 hitungan itu, ada build upnya. Dia gak lantas dibantu oleh Uso. Tapi melibatkan banyak orang, bahkan Paul Heyman dan Theory. Semuanya itu memuncak berbarengan, menghasilkan tontonan yang sukses bikin kita semua serak di Minggu siang. Aku hanya bisa membayangkan Triple H tersenyum puas seiring dengan Roman Reigns berlatar ring terjungkal, bergaya di atas puing-puing yang menimbun tubuh Brock Lesnar.

Karir championship Lesnar disimbolikkan berakhir (at least selama Reigns jadi juara). Kiprah Vince Mcmahon di kursi kreatif is also pretty much berakhir. Tapi karena hidup adalah sebuah keseimbangan, saat ada yang berakhir maka tentu ada yang baru lahir. Di SummerSlam 2022 kita turut menyaksikan ‘kelahiran’mulai dari proyek-proyek baru dari Triple H, hingga ke ‘kelahiran’ talent-talent baik itu yang baru maupun yang rejuvenated. Feud Rey Mysterio dengan Judgment Day sangat bisa mewakilkan kelahiran ini. Untuk sebelum SummerSlam memang kelihatannya Judgment Day mulai kehilangan arahan, tapi di match mereka kali ini potensi itu mulai terlihat kembali. Jika dilakukan dengan benar seteru yang melibatkan Edge ini bakal bisa ngasih nafas baru untuk semua yang terlibat. Veteran seperti Edge, Rey, dan Finn Balor bakal dapat kesempatan untuk mengeksplorasi sisi lain dari karakter mereka, sementara bagi anak-anak baru seperti Dominik, Damian Priest, dan Rhea Ripley (TERUTAMA Rhea Ripley yang looks very menacing) ini jelas bukan batu-loncatan biasa.

Aku suka surprise, terutama jika surprisenya melingkupi Dakota Kai dan Io Shirai (yang kayaknya bakal ganti nama jadi Iyo Skye). Makanya di Minggu pagi itu aku jungkir balik di ruang tivi. Siapa sangka Bayley muncul dan membawa dua superstar yang udah jarang muncul dan bahkan satunya udah gak dikontrak. Kabarnya memang stable trio ini sudah lama dipitch oleh Triple H, tapi selalu ditolak oleh Vince. Baru di SummerSlam inilah pitch tersebut bisa direalisasi, dijadikan sebuah surprise yang benar-benar worked greatly. Gak ada yang tahu loh itu, mereka bakal muncul di akhir match Bianca lawan Becky. Bahkan Bianca Belair kayak kaget beneran mendengar musik Dakota Kai tau-tau berkumandang. Selain sebagai surprise, kedatangan mereka juga ngasih api optimis baru buat skena divisi superstar cewek brand Raw. The roster never looked this good, melimpah oleh potensial. Di sisi brand Smackdown, however, WWE mulai mengeksplorasi juara baru perempuan mereka. Liv Morgan yang bulan lalu merebut sabuk dari Ronda Rousey via koper Money in the Bank, diposisikan sebagai semacam underdog dalam title defense pertamanya against Ronda si Lesnar versi cewek. Di match di sini, Liv harus membuktikan dirinya memang layak, dan sebaliknya Ronda bertindak sebagai antagonis, mematahkan hal tersebut. Di bawah kendali kreatif Triple H, match mereka tidak menjelma seperti match underdog kebanyakan. Ada yang berbeda, sehingga match ini walaupun yang paling lemah di antara yang lain, tapi tetap menarik. Aku gak begitu ngefans ama Liv, tapi berhasil dibuat untuk peduli. Ending match yang kontroversial pun tidak terasa lame, melainkan jadi penghantar bagus untuk kelanjutan kisah mereka

Kai en Sky, Bay Bay!!!

 

Street Profits (particularly Montez Ford) dan Theory juga semakin dieksplorasi. Dengan banyak rumor yang beredar, di titik ini masih belum jelas ke arah mana galian ini akan dikembangkan. Yang menarik adalah soal Theory, yang dinilai banyak orang bakal redup karena dia adalah proyek Vince McMahon, dan juga si Theory itu sendiri cukup gak disukai banyak orang (di luar perannya sebagai heel). Di SummerSlam ini kita lihat Theory kalah cukup cepat (also not really memorable) dari Lashley, dan cash in kopernya juga kandas. Untukku pribadi, Theory masih di bawah radar. Aku gak suka dan gak benci, he just there. Sehubungan dengan visi Triple H over McMahon, menurutku setidaknya Theory akan dipertahankan karena dia punya natural heat, dan kuyakin Triple H bakal memanfaatkan ini. Aku juga gak bakal nolak kalo Theory bakal dipertemukan lagi dengan bos lamanya di NXT, Johnny Gargano, yang juga dipantau banyak orang untuk balik ke WWE di bahwa kendali Triple H.

Bicara tentang ‘kelahiran’ karir, Pat McAfee dan Logan Paul sekali lagi nunjukin passion dan skill pro-wrestling yang mencengangkan meskipun mereka bukan pegulat pada awalnya. Skill di sini bukan terbatas pada in-ring action, tapi juga bagaimana ‘berakting’ di atas ring. Untuk masing-masing match mereka, public figure yang udah resmi jadi pemain smekdon ini nunjukin perkembangan yang signifikan. Mereka berusaha membalancekan basic yang jadi footing untuk karir mereka di WWE. Match McAfee dengan Happy Corbin memberikan mantan atlit football tersebut ruang untuk beraksi di dalam ring, untuk memainkan kharisma yang sudah ia bangun sebagai komentator ke dalam aksi-aksi fisik. Sebaliknya Logan Paul, Youtuber dan juga boxer, yang udah natural beraksi seolah dia sudah latihan gulat sejak lama dipasangkan untuk bertanding dengan The Miz untuk mempertajam psikologi di atas ring. Logan Paul impresif soal aksi, tapi dalam urusan character-work, kita bisa lihat dia belum semulus itu. Masih ada momen-momen ketika dia blank stare dan fokusnya hanya di spot ke spot berikutnya. Don’t get me wrong, Logan Paul bisa dibilang selebriti yang paling jago bergulat, dan dia bisa banget jadi gede di sini. Ruang untuk improvenya sudah kelihatan. Salut.

 

 

 

Tahun 2022 adalah tahun yang aneh untuk wrestling. Kita telah lihat Vince, Stone Cold, dan bahkan Ric Flair kembali bertanding di atas ring untuk terakhir kalinya. Kita telah melihat begitu banyak pegulat yang dipecat, pindah, atau yang dibungkam karena protes pada arahan karakternya. Sekarang kita melihat seorang bapak yang telah membesarkan industri olahraga hiburan ini undur diri dari jabatannya (terkait kasus pribadi) WWE sekarang seolah berada di hari setelah lebaran. It’s a clean state for them, untuk membangun sesuatu yang baru. Untuk kembali ke jalan yang benar. Dan SummerSlam adalah lebaran itu. Acara yang super fun dan spektakuler, yang terasa berbeda, dan boleh jadi membangkitkan kembali passion nonton gulat dari fans yang udah capek dengan formula yang itu-itu melulu. The Palace of Wisdom menobatkan Last Man Standing antara Roman Reigns yang mempertaruhkan 700 hari kejuaraannya melawan Brock Lesnar sebagai MATCH OF THE NIGHT.

 

 

 

Full Results:

1. RAW WOMEN’S CHAMPIONSHIP Bianca Belair bertahan jadi juara atas Becky Lynch
2. SINGLE Logan Paul ngalahin The Miz yang ditemani oleh Maryse dan Ciampa
3. UNITED STATES CHAMPIONSHIP Juara Bertahan Bobby Lashley ngalahin Theory
4. TAG TEAM NO-DQ The Mysterios mengalahkan The Judgment Day 
5. SINGLE Pat McAfee unggul dari Happy Corbin
6. UNDISPUTED TAG TEAM CHAMPIONSHIP DENGAN JEFF JARRETT SEBAGAI SPECIAL REFEREE The Usos masih juara ngalahin Street Profits
7. SMACKDOWN WOMEN’S CHAMPIONSHIP Liv Morgan menang atas Ronda Rousey
8. UNDISPUTED WWE UNIVERSAL CHAMPIONSHIP LAST MAN STANDING Roman Reigns masih memegang rekor juara terlama setelah ngalahin Brock Lesnar

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

 


GHOST WRITER 2 Review

 

“People find meaning and redemption in the most unusual human connections”

 

 

“Kalo saya cuma dianggap dukun, buat apa saya nulis?” Aku suka banget kalimat yang diucapkan Tatjana Saphira dalam Ghost Writer 2. Karakter yang ia perankan, si Naya, sekarang tenar berkat novel yang ia tulis bersama hantu. Nah itulah masalahnya, tenarnya itu bukan oleh sebab yang ia harapkan. Orang-orang hanya melihat dirinya sebagai paranormal. Sebagai dukun. Sebagai orang yang bisa bicara dengan hantu. Bukan sebagai penulis yang mampu membuat cerita yang bagus. Di jaman branding dan popularitas seperti sekarang, enggak susah untuk menerka bahwa yang dialami Naya beresonansi kepada banyak orang. Sekarang mau bikin Youtube aja harus ada gimmicknya, dan kalo satu gimmick atau satu ciri khas kena, maka ya gak boleh pindah. Harus bikin sesuai dengan itu terus-terusan.  Like, beneran ada loh di kita penulis ataupun kreator yang ‘bertahan’ pake gimmick-gimmick cenayang karena memang lakunya harus seperti itu. Dalam perfilman, kita juga lihat gimana seringkali seorang aktor memainkan tipe peran yang sama melulu di setiap film yang ia mainkan.  Gatau apakah mereka menjerit juga dalam hati seperti Naya atau tidak. Makanya, pembahasan ini terasa lebih ‘rich’ lagi karena muncul dari film horor komedi, yang actually mempertahankan komika untuk terus bermain sebagai karakter lucu. Menarik untuk menyimak gagasan seperti apa yang disuarakan Muhadkly Acho, yang gantiin Bene Dion Rajagukguk sebagai sutradara. Karena Ghost Writer 2 ternyata bahkan lebih ‘rich’ lagi, dengan turut membahas drama hubungan keluarga antara anak dengan ibu!

Naya ceritanya memang mau nikah sama Vino, yang sekarang sudah merambah jadi bintang film. Bukan aktor FTV lagi. Hanya saja, ibunya Vino tampak ada kurang sreg sama relationship anaknya. Karena banyak masalah itulah, Vino jadi banyak pikiran, gak konsen saat take adegan action yang mengharuskannya melompati atap gedung. Vino kepleset, dan hidupnya game over. Naya langsung hancur, apalagi mereka abis berantem sebelum kejadian naas itu. Tapi sedihnya Naya gak lama, karena Vino balik dalam wujud hantu. Dan kini mereka mencari cara untuk menenangkan Vino supaya bisa terus dengan damai ke alam baka. Jadi mereka salin bantu. Selain bantuin Naya membereskan tulisan seriusnya, Vino percaya satu lagi caranya untuk ‘terus’ adalah dengan membantu satu sosok hantu mengerikan yang kerap meneror Naya dan adiknya!

Kolab dengan iblis

 

See, this is what I’m talking about. Horor bukan hanya soal penampakan genjreng-genjreng. Bukan hanya soal bunuh-bunuhan brutal. Harus ada journey paralel di dalam diri karakternya, sebagai bentuk menghadapi horor tersebut. Ghost Writer 2 boleh jadi bakal ‘dituduh’ sebagai gak-pure. Lebih sebagai drama yang ada hantunya. Tapi eksistensi film seperti ini membuktikan bahwa genre horor gak selamanya jadi kasta terendah yang laku bukan karena bagus, yang bahkan pembuatnya sendiri malu diasosiasikan sebagai pembuat horor seperti yang dirasakan Naya. Film ini ngasih lihat bahwa dalam horor pun karakterisasi dan journey  mereka (baca: NASKAH!) itu penting, dan itu udah jadi urusan dan tanggungjawab pembuat film untuk berkreasi semaksimal mungkin menjalin cerita seram, gimmick, dan gagasan sehingga bisa enak dan bergizi untuk ditonton. Naya, Vino, adik Naya, teman adiknya, sedari film pertama karakter-karakter ini sudah merebut perhatian kita karena mereka ditulis dengan kedalaman, mereka punya range, naskah mengeksplorasi ketakutan mereka lebih dari sekadar takut ngeliat setan (reaksi takut mereka actually diarahkan untuk komedi).

Aspek horor dimainkan dengan kreatif. Mulai dari aturan koneksi hantu dengan manusia, hingga ke kemampuan dan batasan hantu dimainkan dengan variasi yang membuat film semakin bikin penasaran untuk disimak. Sekaligus juga menjadikannya menghibur. Ini bukan cerita horor biasa yang ada hantu jahat, ada adegan-adegan menakutkan dari kemunculan hantu mengganggu manusia,  terus para karakter harus menguak misteri dan cari cara untuk membuatnya pergi. Aspek terkuat film ini justru adalah drama, dan wisely film menjadikan itu sebagai pondasi.  Adegan-adegan terbaik film ini datang bukan dari penampakan hantu yang ngagetin. Melainkan dari karakter yang menumpahkan isi hatinya dengan sangat emosional kepada karakter lain. Scene di akhir yang ,melibatkan Ibu Vino dan Naya (and later, Vino) totally bikin satu studio saat aku menonton terdiam. Kayaknya semua menghayati, semua merasa kena ledakan emosi yang merenyuhkan dari Widyawati yang aktingnya satu tingkat di atas yang lain. Selain adegan tersebut, aku juga suka sama montase yang dilakukan film di awal-awal saat memperlihatkan Naya ‘hancur’ karena kematian Vino, ada satu momen ketika Naya duduk di depan TV, enggak nonton apa-apa melainkan hanya layar yang penuh ‘semut’. Kemelut perasaannya terasa banget.

Aku suka karakter Naya di sini, karena lingkupnya benar-benar digali. Film memperlihatkan masalah di dunia profesionalnya, di kehidupan romantisnya, hingga ke kehidupan keluarga saat Naya harus dealing with adik yang justru pengen membuat konten-konten Youtube bergimmick horor. Belief Naya digali, tantangan untuknya terus dinaikkan. Karakter ini ‘sibuk’, sampai hampir seperti tak ada waktu baginya untuk ngurusin soal hantu, sampai Vino datang membuatnya jadi lebih personal bagi Naya. Vino bahkan ditulis lebih dalam lagi dibandingkan dengan karakternya di film pertama. Kita bakal melihat apa yang dilakukannya di masa lalu, hubungannya dengan ibu. Deva Mahenra di sini gak lagi mainin karakter yang hanya tampak awkward. Persona dari karakternya digali, bahkan aku merasa cerita kali ini lebih cocok sebagai cerita dirinya. Like, harusnya dia yang tokoh utama. Seiring durasi berjalan, film memang terasa kayak ‘pindah’ dari Naya ke Vino. Soal idealisme menulis jadi terpinggirkan, karena memang Naya harus berurusan dengan hantu, yang juga mendadak diungkap punya konflik yang lebih gede. Resolusi kisah Vino actually lebih terasa earned. Lebih kuat ketimbang persoalan menulis Naya, yang terasa kayak dikasih reward dengan cara yang dibikin kayak kebetulan. Also, sisi Naya membuat usaha-usaha yang mereka ambil jadi konyol. Misalnya, pas mereka sepakat membantu si hantu seram dengan bikin konten di Youtube, usaha yang mereka lakukan untuk mencari satu tempat tertentu cuma merefresh komen. Mungkin relevan dengan jaman sekarang, tapi merefresh kolom komen enggak tertranslasikan sebagai usaha yang greget dalam sebuah pengalaman sinema.

Yang kayak gini nih yang bikin aku merasa era kekinian kita enggak asik untuk dijadikan periode cerita film

 

In the end, keseluruhan permasalahan Vino yang seputar keluarga tampak lebih urgen, lebih paralel dengan sosok hantu mengerikan. Walaupun memang tanpa Naya, hantu-hantu itu gak bakal bisa menyelesaikan urusan mereka.

Untuk menjawab galau kreatifnya Naya, film menyediakan jawaban/gagasan yang dikaitkan dengan kebutuhan manusia untuk terkoneksi. Permasalahan koneksi ini ditonjolkan film lewat bagaimana para hantu seperti Vino bisa dilihat manusia yang memegang benda-benda yang punya makna bagi si hantu. Bahwa mereka masih terkoneksi dengan hidup, dengan manusia, dan mereka butuh untuk deal with that connection. Jadi seaneh apapun cara kita konek dengan orang, yang terpenting adalah bagaimana koneksi itu bisa ada karena itulah yang membuat keberadaan kita bermakna. Naya berdamai dengan tipe tulisan yang ia kerjakan karena dia belajar yang terpenting adalah dia bisa konek dengan pembaca.

 

Dari tiga kepaduan; drama, horor, dan komedi, memang jadinya aspek komedi film ini yang tampak paling lemah. Atau seenggaknya, yang mengganggu tempo cerita. Dari segi kreasi, memang juga kreatif. Komedi diangkat lewat beberapa cara. Ada yang dari sketsa yang difungsikan sebagai jembatan dari adegan satu ke adegan lain.  Ada yang berupa celetukan yang mengomentari posisi karakter di titik cerita sekarang (cara yang juga sudah dilakukan sejak film pertamanya), lalu komedi yang benar-benar nyatu ke cerita – entah itu dari reaksi karakter, ataupun dari opini dan sikap mereka yang kocak. Itu semuanya fine dan memang menghadirkan ciri khas tersendiri buat film ini. Tapi kalo itu dilakukan dengan ‘mengorbankan’ pengembangan yang lain, membuat tempo cerita jadi sedikit terhambat, maka certainly I will have problem with that.

Daripada ngasih waktu untuk sketsa, kan lebih mending dipakai untuk benar-benar liatin backstory Vino dengan ibunya. Linear, gak usah lagi pakai flashback seperti yang dilakukan film ini. Flashback yang kumaksud di sini adalah soal Vino dan ibunya, yang tidak dilakukan linear oleh film melainkan lewat ujug-ujug revealing. Kalo flashback soal backstory si ‘hantu jahat’ sih, mungkin memang tidak bisa tidak (problemku untuk ini cuma.. c’mon, tau-tau ada sindikat jual organ, kayak di luar dunia cerita banget – permasalahannya gede sendiri) Anyway, yang jelas, penceritaan bisa lebih rapi kalo enggak kebanyakan komedi yang sebenarnya gak benar-benar menambah untuk cerita. Lagipula sebenarnya komedi sudah cukup terwakili dari aksi dan reaksi karakter. Tokoh sentral kayak Naya dan Vino (apalagi adik Naya dan temannya) dapat porsi ngelawak yang sudah efektif masuk ke dalam cerita. Karenanya, komedi mereka lantas jadi natural. Deva Mahenra punya comedic timing dan delivery dan persona yang bikin ngakak tanpa harus jadi lebay. Yang klop tektokan dengan Naya-nya Tatjana yang harus put up with situation. Sehingga sebenarnya gak perlu lagi sering-sering balik ke sketsa-sketsa yang kepanjangan.

 

 

 

 

Pembahasan ceritanya banyak, genrenya aja ada tiga; drama horor komedi, certainly ini bukan film yang gak punya tantangan untuk dibuat. Makanya ini perlu banget kita apresiasi, lantaran sudah cukup berhasil memadupadankan semua menjadi satu petualangan misteri yang menghibur dengan gaya dan karakter-karakternya yang nyantol. Kali ini protagonis utama agak sedikit kalah urgen ketimbang pasangannya, tapi film berjuang untuk tetap membuat protagonis sebagai sentral. Overall aku lebih suka film keduanya ini dibandingkan yang pertama. Formulanya sebenarnya hampir sama, tapi di film kali ini karakter dan bahasannya lebih dalam dan personal. Satu lagi hal yang dipertahankan film, hanya kalo yang ini menurutku harusnya dikurangi sedikit, yaitu porsi komedi sketsa dan komedi celetukannya. Mengganggu tempo dan membuat film jadi harus pakai flashback untuk adegan yang mestinya bisa runut.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for GHOST WRITER 2

 

 



That’s all we have for now.

Bagaimana pendapat kalian tentang gimmick, seperti Naya yang nulis tapi harus nulis horor dan berlagak dukun terus? Apakah menurut kalian tidak mengapa seorang seniman (aktor atau penulis dsb) terus mengerjakan yang populer saja?

Share  with us in the comments

 

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

 


IVANNA Review

 

“Losing your head in a crisis is a good way to become the crisis.”

 

 

Horor adalah salah satu genre film paling populer di Indonesia (jaminan laku, untuk sebagian besar waktu!) but here’s one thing about horror in Indonesian mainstream cinema: Kita punya banyak sutradara horor yang kreatif, keren, dan could legitimately scare the shit out of us, akan tetapi jumlah penulis naskah yang benar-benar paham dan mengembangkan cerita horor tidak banyak. Kondisinya memang setimpang itu. Bahkan dalam film-film Joko Anwar yang disepakati secara umum sebagai top tier horor di perfilman kita, ketimpangan itu terasa. While the scare was great, atmosfernya mencekam total, tapi ceritanya either karakterisasinya lemah, punya fantasi yang terlalu ribet, atau berakhir dengan ending yang gak ngeresolve apapun. Kebanyakan film horor kita masih dipandang sebagai wahana seru-seruan untuk penonton (khususnya remaja). Padahal cerita horor, dalam bentuk terbaik, bisa menjadi perjalanan personal yang membekas karena horor pada dasarnya menggali ketakutan yang bersumber dari perasaan-perasaan terburuk, terkelam, yang bisa dialami oleh manusia. Kan, sayang sekali kalo horor hanya digunakan untuk jerit-jeritan.  Nah, bicara tentang sutradara horor yang keren, Kimo Stamboel juga adalah salah satu yang sudah dikenal berkat konsistensi menghadirkan warna dan gaya filmnya sendiri. Film sadis-sadis. Makanya kiprah Kimo untuk menggabungkan darah dengan supranatural selalu dinanti. Dengan Ivanna, tentu saja Kimo diharapkan memberikan dobrakan dahsyat buat seantero franchise Danur. But then again, horor hantu tanpa-kepala yang ia hadirkan di sini hadir tanpa tulang-punggung alias tanpa naskah yang kuat.

Ivanna versi Kimo sedikit berbeda dengan Ivanna yang pernah bikin kita jantungan di Danur 2: Maddah (2018) dulu, meski diperlihatkan lewat backstory dari foto dan buku diari bahwa keduanya adalah karakter yang sama.  Ivanna adalah gadis Belanda yang hidup di tahun 1943, ia dan keluarganya menumbuhkan rasa cinta kepada Indonesia, sampai-sampai adik Ivanna dinamai dengan nama orang Indonesia. Tapi ada perbedaan yang mencolok, yaitu kepalanya. Ivanna di film ini berkepala buntung.  Kalopun ada kepalanya, Ivanna di sini bukan diperankan oleh pemain sebelumnya, melainkan oleh Sonia Alyssa (Gadsam lain setelah Aulia Sarah di KKN yang mencuri perhatian lewat peran hantu!) Ivanna versi Kimo lebih violent. Dia balik menaruh dendam kepada orang-orang pribumi yang tadinya mulai perlahan ia kasih simpati, lantaran kebencian pribumi membuatnya tertangkap oleh prajurit Jepang yang lantas memenggal kepalanya. Backstory ini dilakukan Kimo lewat pengadeganan yang brutal dan naas (mind you, this is a 17+ movie) Kisah hidup Ivanna tak pelak jadi pengisi yang paling menarik yang dipunya film ini. Walaupun penempatannya dilakukan sebagai flashback eksposisi, tapi inilah bagian yang paling rich dan emosional yang dipunya oleh film. Pengennya sih mereka menggarap Ivanna lebih dalam, porsinya diperbanyak, tapi karena Ivanna adalah hantu yang jadi antagonis utama, it is kinda hard to do. Jadi, in a way, film ini masalahnya mirip ama film-film Marvel belakangan ini. Tokoh jahatnya jauh lebih menarik dan lebih berlapis karakterisasinya ketimbang protagonis utamanya.

Aku masih bingung kenapa di Maddah kepala Ivanna bisa normal lagi, tapi mari abaikan saja for the sake of the story.

 

Yang aku suka dari arahan film ini adalah Kimo took the time. Dia gak terburu-buru untuk langsung ke hantu-hantuan. Sutradara mengambil waktu untuk melandaskan semuanya, sambil bermain-main dengan aspek-aspek horor lain. Adegan openingnya saja kita udah lihat orang kena tembak tepat di wajah! Film berusaha mengeksplorasi dulu adegan penyerbuan rumah, bikin adegan-adegan seram dari atmosfer dan lingkungan. Selain juga tentunya memperkenalkan para karakter manusia, dan menghubungkan mereka dengan persoalan yang dialami oleh Ivanna.  Di sinilah letak ‘sayangnya’. Sayang naskah film ini tidaklah mendalam. Rating dewasa yang dipunya film hanya merujuk ke adegan pembunuhan yang sadis, bukan kepada kematangan film pada tema ataupun dialog. Tidak ada esensi di balik pengenalan karakter lain. Mereka hanya orang yang berada di rumah tempat mayat Ivanna bersemayam (mayat yang telah dijadikan patung)

Protagonis utama cerita ini adalah Ambar (dimainkan oleh Caitlin Halderman, dengan tantangan bahwa karakternya bermata nyaris buta) yang baru tiba di panti jompo bersama adiknya. Tentu saja tempat itu normal pada awalnya. Ambar kenalan dengan para penghuni; dua penjaga panti, tiga elderly, satu remaja keluarga nenek di sana. Mereka bersiap-siap untuk lebaran esok hari. Namun malamnya, Ambar gak sengaja menemukan basement rahasia. Di situlah mereka pertama kali melihat peti berisi barang-barang peninggalan orang Belanda, dan patung alias mayat Ivanna. Malamnya teror pertama dimulai. Suara gramofon, suara orang-orang ngobrol, dan ada pembunuhan. Praktisnya, lebaran mereka semua jadi horor saat mayat seorang penghuni ditemukan dalam keadaan tanpa kepala. See, sebenarnya ada lapisan di ‘panggung’ ini. Ada setting lebaran, lalu penglihatan yang terbatas, semuanya diintegrasikan ke dalam narasi. Cukup untuk membuat film ini enggak standar misteri di bangunan berhantu. Malah sempat ada elemen whodunit saat penghuni saling curiga siapa yang membunuh (walau enggak lama, well ya karena Ivanna basically duduk di ruang tengah mereka). Tapi karena gak ada paralelnya antara Ambar dan Ivanna; Kenapa Ambar harus rabun juga gak benar-benar ditegaskan selain untuk kepentingan ‘membuat lapangan horor jadi menarik’. Film begitu supaya Ambar ada alasan bisa melihat flashback dan dia jadi bisa nyeritain apa yang terjadi kepada karakter lain. Dialog-dialog mereka memang jadi lebih mirip kayak ngasih informasi misteri ketimbang interaksi kayak pergaulan orang beneran. Maka film ini malah bisa jadi tampak agak lambat di awal. Karena segala set up jadinya pointless.  Tanpa ada makna atau sekadar ikatan di baliknya, semuanya jadi kayak buang-buang waktu aja. Mending full bunuh-bunuhan aja, gak usah kenalin karakter-karakter.

Tadinya kupikir, cerita bertempat di panti jompo, dengan orang-orang tua dipertemukan dengan karakter remaja (bahkan ada anak kecil), bakal ngasih sesuatu komentar tentang gap generasi atau semacamnya – kayak di film X(2021), tapi ternyata enggak ada bahasan yang lebih mendalam di lingkup itu. Mati di sini memang seram dan menggemparkan, tapi ya hanya mati. Film sendiri bahkan tidak peduli amat sama karakter yang mati selain untuk showcase teknik gruesome. Kepentingannya hanya untuk melihat adegan mati. Benar-benar tidak ada development karakter di sini. Ambar di awal dan akhir cerita, adalah pribadi yang sama. Tidak ada belief ataupun sudut pandang yang ditantang. Heck, bahkan kupikir cast yang blasteran bakal berpengaruh ke persoalan Ivanna yang bule Belanda dengan pribumi. Enggak ada ternyata. Kasiannya, tanpa karakterisasi mumpuni, Ambar hanya jadi kayak perpanjangan gimmick penceritaan saja. Sebagai media flashback, sebagai mouthpiece eksposisi, sebagai pengasih solusi.

Untuk ngisi paragraf blok ini aja aku bingung. Biasanya kan ini tempat aku menguraikan pesan atau tema filmnya. What’s the movie really about. Aku gak tau apa yang didapat Ambar dari pengalamannya diteror Ivanna, atau juga apa yang ‘dipesankan’ Ivanna kepada kita. Yang bisa aku dapat dengan reaching adalah Ivanna jadi tragedi karena dia lose her head, secara simbolik ataupun beneran.  Dia dipenggal, setelah sebelumnya sempat mengutuk sebagai respon kebencian yang ia dapat. Apakah Ivanna salah di sini karena mengutuk balik? Apparently so, karena antitesisnya di sini – yaitu si Ambar – menggunakan kepala yang lebih dingin ketika krisis hantu di panti. Ambar lebih resourceful, dan dia bisa menemukan cara untuk mengalahkan Ivanna.

 

Kasian Ambar adegan jatuh ampe tiga kali

 

Sutradara seperti Kimo mau ngambil proyek Danur Universe jadi big deal karena perbedaan gaya yang memang drastis. Ini sebenarnya mirip ama Thor yang diambil oleh Taika Waititi. Mengubahnya dari serius, ke kini jadi konyol. Kimo mengambil dari franchise yang biasanya gak sadis, dan membuat film yang penuh darah. Membuat film yang lebih dekat ke franchise The Doll, yakni horor slasher. Tapi tentu saja horor tidak terbagi menjadi film horor jelek dan film horor sadis. Sebagaimana superhero tidak terbagi menjadi film superhero jelek dan film superhero serius. Semuanya dalam kelas masing-masing. Ada film konyol yang jelek, ada yang bagus. Ada horor sadis yang jelek, ada horor sadis yang bagus. Menilai film ini juga mestinya seperti itu. Tidak dari sejauh mana ia berbeda dari akar franchisenya, tapi dari pencapaiannya di kotak dia berada sekarang. Jadi di mana kita menempatkan Ivanna sekarang?

Harusnya sih di kotak horor slasher, ya. Sesuai dengan spesialisasi sutradaranya. Tadinya kupikir Kimo bakal dapat kebebasan penuh menggarap ini sesuai visi dan gayanya. Dan memang kita bisa melihat perbedaan tersebut. Film Ivanna jauh lebih kelam dan berdarah dibandingkan film-film lain di franchise Danur. Namun entah mengapa, aku masih merasa film ini masih belum terbebas sepenuhnya. Ada banyak pilihan gimmick horor mainstream. Terutama jumpscare. Here we have horor dengan pembuat yang jago bikin adegan berdarah-darah, tapi sebagian besar adegan seram masih bergantung kepada fake jumpscare (jumpscare yang bukan terjadi karena ada hantu) bersuara keras. This film is just loud. Kalo bukan oleh suara-suara, ‘berisiknya’ film ini bakal datang dari penjabaran atau eksposisi mitologi Ivanna (padahal udah ada adegan flashback juga). Bukti berikutnya horor Ivanna kurang maksimal kudapat di ‘final battle’ Ambar dengan Ivanna. Mereka nyemplung ke sumur tua, dan… adegannya kering banget. Like, literally. Air padahal elemen dan estetik yang hebat untuk cerita horor. Bandingkan saja dengan ‘final battle’ di dalam sumur pada film Ring. Heran juga kenapa Kimo gak jor-joran di sini. Padahal biasanya adegan akhir horor, apalagi slasher, pasti bakal gila-gilaan. Pemain utama bakal didorong fisiknya di sini, dan air bisa jadi medium yang hebat untuk nunjukin perjuangan yang ditempuh. Gak mesti full underwater, yang penting bikin supaya perlawanan terakhir itu tervisualkan. Di Ivanna ini, Ambar bahkan lukanya lebih merah saat jatuh ke basement ketimbang ke dalam sumur.

 

 

Ini certainly film yang lebih fun di antara franchise Danur lainnya. Paling beda. Paling sadis. Paling kelam. Arahannya juga paling menonjol. Terasa punya gaya tersendiri. Dari pengadeganan yang ngasih depth, kejadian film gak hanya berlangsung kiri ke kanan atau sebaliknya tapi juga masuk ke depan layar; membuat panggung yang imersif, sampai ke gimmick penceritaan horor yang lebih beragam. Film mau mengambil waktu untuk memperkenalkan karakter dan membahas backstory. Jika saja naskahnya diberikan kedalaman yang serupa, jika skenarionya lebih mengeksplorasi karakter ketimbang memikirkan jumpscare dan pembunuhan berikutnya, tentulah film ini bisa jadi horor slasher – gabungan bunuh-bunuhan dan supranatural – yang cemerlang. Tapi melihatnya secara objektif sekarang, film ini  style over substance, dengan beberapa gaya bahkan tidak tampil sebebas yang seharusnya bisa dilakukan.
The Palace of Wisdom gives 5  out of 10 gold stars for IVANNA

 

 



That’s all we have for now.

Ivanna adalah gadis Belanda yang bersimpati kepada rakyat pribumi, tapi karena bangsanya penjajah, dia tetap dibenci. Bagaimana pandangan kalian soal ini, apakah pribumi-pribumi itu berhak membenci Ivanna yang bagaimana pun juga ada di sana sebagai bagian dari agenda penjajahan?

Share  with us in the comments

 

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

 


MINI REVIEW VOLUME 4 (RANAH 3 WARNA, INCANTATION, DUAL, PERJALANAN PERTAMA, METAL LORDS, THE UNBEARABLE WEIGHT OF MASSIVE TALENT, HUSTLE, CHIP ‘N DALE RESCUE RANGERS)

 

 

So, banyak yang nanya ‘Mini Review ini buat film-film yang kurang penting, ya?’ Nope, Enggak. Bukan. Wrong. Sama sekali tidak. If anything, justru buatku ini adalah tempat film-film yang lebih ‘susah’ untuk diulas. Karena seringnya, aku masukin film ke segmen ini karena aku gak bisa langsung merampungkan ulasan setelah nonton. Masih ada bagian yang harus dipertimbangkan. Masih ada bias yang masih harus diademkan. Atau masih merasa perlu untuk nonton filmnya lagi. Dan karena didiamkan dahulu itulah, filmnya jadi ‘tergilas’ film baru yang tayang berikutnya.  Jadi simpelnya, Mini Review ini gak ada hubungannya ama kelas kepentingan film, melainkan hanya soal aku telat menyelesaikan proses nulis atau nontonnya saja.

Buktinya? Nih lihat aja judul-judul yang terangkum di Volume 4 ini!

 

 

CHIP ‘N DALE: RESCUE RANGERS Review

Sebagai anak 90an, mengatakan aku cukup akrab dengan Chip ‘N Dale sungguhlah basa-basi. Dua tupai ini muncul di setiap komik dan majalah Donal Bebek yang kubaca (di kita nama mereka ‘diterjemahkan’ jadi Koko dan Kiki). Dan game petualangan mereka di Nintendo, jadi favoritku waktu kecil. The game was like monopoly, bisa merusak persahabatan. Aku actually bertengkar dengan teman, karena di situ kita bisa salah angkat teman sendiri, dan ‘gak sengaja’ melempar mereka ke jurang. Yea, ‘gak sengaja’ hihihi

Anyway, aku berasa seperti anak kecil lagi saat nonton film ini. Demi ngeliat karakter-karakter kartun dari masa lalu tersebut. But also, conflicted, karena ya tahulah gimana film-film dari nostalgia masa kecil dimanfaatkan sebagai parade IP semata.  Chip ‘N Dale ini juga sebenarnya dibuat dengan niat seperti itu. Namun sutradara Akiva Schaffer mendorong konsep ‘hey, here are your favorite childhood characters‘ lebih jauh lagi. Yang menyenangkan dari film ini adalah mereka memang memperlihatkan perkembangan. Mereka semacam membangun dunia-cerita yang meta, dan mengeksplor cerita dari sana. Dale (disuarakan dengan pas oleh Andy Sandberg) capek jadi sidekick Chip di serial kartun mereka, sehingga memutuskan untuk nyari proyek solo, dan begitulah akhirnya duo ini pisah. Hingga sekarang. Dale operasi dirinya jadi animasi 3D untuk stay relevant dan Chip kerja di balik meja. Dengan setting yang menarik tersebut, film seperti berusaha ngasih lihat perkembangan animasi di balik nostalgia. Mencoba membayangkan gimana para tokoh kartun ini sebagai aktor beneran. Dan hasilnya memang lucu dan supermenarik. Banyak karakter dari berbagai kartun dihadirkan, dan permasalahan mereka disangkutkan dengan soal kartun-kartun bajakan.

Tapi ya itu tadi, film ini tidak pernah diniatkan untuk dibuat mendalam. Hey, ini ada masalah bootleg, ini ada issue soal trend animasi, mari kita bikin cerita yang actually memberikan gagasan tentang semua itu. Tidak. Chip ‘N Dale bukan great film karena memilih untuk membangun penceritaan berdasarkan surprise dan nostalgia value, sehingga banyak menomorduakan kaidah-kaidah film beneran. In the end, ini masih kayak kartun mereka dulu, tapi dengan setting berbeda. Kuharap film ini dibuatkan juga versi gamenya.

The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for CHIP ‘N DALE: RESCUE RANGERS.

.

 

 

DUAL Review

Kita biasanya gak peduli sama apa yang kita punya, sampai sesuatu yang dipunya itu hendak direbut oleh orang lain. Kadang nilai sesuatu baru kita hargai, baru terasa, saat kita sudah kehilangan. Kupikir bahasan tentang hal tersebut bakal selalu jadi bahasan yang tragis. Tapi sutradara Riley Stearns somehow berhasil mengarahkannya ke dalam cerita dark comedy. Aku merasa bersalah juga, banyak ketawa miris melihat Karen Gillan yang di sini jadi Sarah yang hidupnya dicolong oleh kloningannya sendiri.

Sarah orangnya pendiam, gak asik, dia bosan ama hidupnya. Gak ada passion lagi ke pasangannya, juga selalu menghindar saat ditelpon ibunya. Momen pertama karakter ini kocak-tapi-sedih banget adalah ketika dia biasa aja saat dikasih tahu dokter hidupnya tinggal beberapa waktu lagi. Sarah justru kayak senang ketika dia sadar masalah hidupnya bakal jadi masalah kloningan. Ya. di dunia antah-berantah tempat tinggal Sarah, ada teknologi klone yang disediakan khusus untuk keluarga pasien yang hendak meninggal. Supaya gak sedih-sedih amat lah. Masalah baru muncul ketika Sarah gak jadi mati, jadi kloningannya sesuai hukum harus ‘dimatikan’ tapi si kloning menjalani hidupnya lebih baik daripada yang Sarah lakukan. Bahkan orang-orang terdekat Sarah lebih suka si kloningan ketimbang Sarah yang asli. Di titik cerita ini, aku benar-benar merasa gak enak udah ketawa.

Kupikir itulah kekuatan sekaligus juga kelemahan film Dual. Berhasil menemukan titik tengah tempat penonton bisa mengobservasi sekaligus berefleksi juga. Medan yang ditempuh film sebenarnya sulit. Sarah, misalnya, harus tampil ‘jauh’, terlepas dari penonton. Dan memang susah ngikutin karakter yang gak ada semangat sama sekali seperti ini. Tapi ketika waktunya tiba, Sarah harus bisa mendapat simpati, dan itu hanya bisa dilakukan dari seberapa kuatnya film menjalin kita lewat situasi metafora. Dual meminta banyak kepada kita.  Tapi memang ketika konek, film ini jadi seru. Paruh akhirnya buatku bisa jadi celah untuk film mulai menggali lebih dalam perihal hidup dan eksistensi. Sayangnya, film ini memilih untuk membungkus cerita dengan cara yang seperti mengelak dari bahasan tersebut. Dan itu membuat journey Sarah jadi mentah, karena ternyata film hanya menjadikan semuanya sebagai ‘hukuman’. Bukan pembelajaran baginya.

The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for DUAL

 

 

 

HUSTLE Review

Meskipun setting ceritanya memang di lingkungan basket, tapi sutradara Jeremiah Zagar tidak semata membuat film tentang olahraga basket, melainkan lebih sebagai drama tentang keluarga dan ambisi. Sehingga kita gak perlu untuk jadi penggemar basket dulu untuk menonton Hustle. Malah, dijamin, Hustle akan menyentuh setiap penonton yang menyaksikan ceritanya.

Adam Sandler sekali lagi membuktikan kematangan aktingnya. Dengan ini namanya tidak lagi disinonimkan dengan komedi-komedi receh. Sandler justru memperlihatkan taringnya sebagai aktor drama keluarga yang punya range natural sehingga karakter yang ia mainkan terasa hidup. Di sini dia adalah mantan pebasket yang kini jadi pencari talent karena cintanya dia terhadap olahraga ini. Dan memang penampilan akting Adam Sandler-lah yang membuat film ini menyenangkan untuk diikuti. Yang membuat naik turun dramanya  tidak seperti bola basket yang didrible keras. Melainkan melantun dengan emosional. Center film ini adalah hubungan antara Sandler dengan pria yang ia temukan jago bermain basket, tapi pria ini not yet ready. Jadi dia harus digembleng, dengan segala permasalahan seputar tim Sandler tidak percaya, dan Sandler melatih orang ini menggunakan biaya dari kantongnya sendiri.

See, Sandler sendiri di sini harus bekerja sebagai tim. Apalagi lawan mainnya kebanyakan adalah pemain basket beneran yang baru sekali ini berakting. Mungkin karena permainan Sandler tinggi di atas yang lain itulah, aku merasa agak kurang konek dengan aktor lain. Terutama lawan mainnya. Aku tidak benar-benar merasa si pria bernama Bo ini pengen banget jadi pemain basket. The reason he played juga gak ditonjolin kuat, hingga ke paruh akhir saat permasalahan baru personal bagi dirinya. Inilah yang membuatku agak sedikit kurang berada di belakang perjuangan mereka saat awal hingga pertengahan cerita. Untuk sebagian besar waktu aku merasa duduk di sana untuk melihat the magic of basketball cinema saja, karakternya kurang. Hanya Sandler yang menonjol.

The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for HUSTLE

 

 

 

INCANTATION Review

Yup, there’s no doubt film ini menunggangi kepopuleran The Medium tahun lalu. Hadir dengan tema horor supernatural, kepercayaan dewa-dewa, dan bercerita dengan teknik found footage.

Dalam beberapa hal, sutradara Taiwan Kevin Ko sebenarnya melakukan lebih baik daripada The Medium. Dia bercerita dengan konsep found footage yang lebih solid ketimbang The Medium yang di awal malah tampak seperti mockumentary lalu lantas ngescrap konsep itu dan beralih jadi full cuplikan kamera. Karakter utamanya juga lebih kuat. Incantation ini adalah cerita tentang seorang perempuan yang di masa lalu pernah melanggar suatu ritual, dan sekarang dampak dari perbuatannya berhasil catching up, dan nyawa putri ciliknya jadi taruhan. Gak kayak Medium, perspektif tokoh utama film Incantation ini lebih fokus dan gak pindah-pindah. Dari aspek horor, selain gimmick pov langsung dari kamera, Incantation juga punya elemen body horror yang langsung menyerang fobia penonton. Diperkuat juga dengan bahasan soal persepsi; gimana kutukan dan berkah sebenarnya tergantung cara orang memandangnya.

Hanya saja film ini gak pede. Atau mungkin, film ini terlalu mengincar seru-seruan ketimbang bercerita dengan benar. Karena film ini actually ngebutcher kejadian atau runtutan peristiwanya. Lalu disusun dengan alur bolak-balik, yang seperti tanpa bendungan tensi. Kita akan bolak-balik antara rekaman video karakter di masa lalu dengan di masa sekarang, yang seringkali setiap perpindahan bikin kita lepas dari kejadian sebelumnya. Sehingga nonton ini jadi kerasa capeknya aja. Keseraman, apalagi journey karakternya, jadi nyaris tidak terasa karena sibuk pindah-pindah.

The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for INCANTATION.

 

 

 

METAL LORDS Review

Sebelum Eddie Munson yang bikin semua orang bersimpati, sebenarnya Netflix sudah punya kisah rocker baik hati. Metal Lords garapan sutradara Peter Sollett berkisah tentang dua remaja sekolahan misfit yang mencoba naik-kelas popularitas dengan membentuk grup metal supaya bisa menangin Battle of the Bands.

Selain sebagai cerita coming of age dan persahabatan dua remaja cowok (yang akan involving salah satunya deket ama cewek sehingag mereka jadi renggang), film ini punya ruh metal yang kental. Sehingga tampak seperti sebuah surat cinta terhadap genre musik tersebut. Film membahas tentang bagaimana genre ini di kalangan anak jaman sekarang. Yang lantas semakin berdampak kurang bagus bagi keinginan dua karakter sentralnya untuk populer. Pembahasannya sebenarnya cukup formulaik, alias gak banyak ngasih sesuatu yang baru. Tapi hubungan antarkarakter yang menghidupi ceritanya feels real. Seperti saat melihat Eddie di serial Stranger Things yang membuka mata bahwa, yah, rocker juga manusia, film ini juga memberikan kita insight di balik apa yang dianggap banyak orang sebagai stereotipe seorang anak penyuka musik keras.

Ngomong-ngomong soal keras, I do feel like film ini masih sedikit terlalu berhati-hati, like, masih terlalu ngincar feel good moment. Sedikit pull out punches. Tidak banyak adegan memorable terkait drama. Enggak menjadi sedalam Sing Street. Tapi untuk urusan musik metal, well, film ini memang cukup cadas.  Di adegan battle of the bands, kita akan dapat satu performance musikal yang keren. Bersama satu transformasi karakter yang sama kerennya!

The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for METAL LORDS.

 

 

 

PERJALANAN PERTAMA Review

Ini film paling baru yang masuk daftar Mini Review. Artikel ini kurampungkan Jumat, sedangkan Kamisnya aku baru saja menonton film ini. Aku sebenarnya punya waktu untuk nulis ini ke dalam review panjang. Namun pas nulis kemaren, aku merasa perlu lebih banyak waktu. Sebelum akhirnya aku sampai pada kesimpulan, bahwa karya Arief Malinmudo ini sebenarnya memang mengandung nilai-nilai baik. Bukan hanya kepada anak, ini bisa dijadikan pelajaran buat kita semua untuk tidak memandang sesuatu dengan mengedepankan kebencian. Tapi dalam penceritaannya, masih clunky. Cerita ini punya dua sudut pandang, dan film tidak mulus – tidak benar-benar paralel dalam membahas keduanya.

Jadi ini adalah kisah tentang anak kecil yang dibesarkan oleh kakeknya. Dia tidak pernah tahu siapa kedua orangtuanya, kakeknya masih menyimpan rahasia. Sehingga si anak kesel. Ketika si Kakek pergi mengantarkan lukisan pesenan orang, si anak yang tadinya ogah-ogahan akhirnya mau ikut menemani. Di tengah perjalanan, lukisannya dicari orang, sehingga mereka harus menemukan. Tapi masalahnya, si anak gak tahu lukisan kakek seperti apa. Dan si kakek gak mau cerita. Film benar-benar ingin menyampaikan perasaan kesal si anak kepada kita sehingga di paruh awal cerita banyak sekali bagian-bagian narasi yang bikin kesel dan konyol. Ini adalah jenis film yang gets better di akhir, saat semuanya sudah diungkap. Tapi untuk film ini, bagian tersebut agak sedikit terlalu lambat datangnya. Membuat kita berlama-lama di bagian yang gajelas  di awal.

Dialog film ini sebenarnya cukup kaya oleh lapisan. Kayak kalimat ‘orangnya sudah ketemu’ di akhir film yang bermakna dua karena diucapkan oleh karakter yang di awal deny bahwa perempuan harus dicari, bukan mencari. Aku gede di Sumatera, jadi aku tahu Melayu dan Sumatera Barat yang jadi latar film ini memang sangat kuat dalam perumpamaan, dan nilai-nilai budi yang baik. Film ini berusaha menjadi sesuai latarnya itu, tapi tidak benar-benar mulus melakukan. Sehingga di awal-awal banyak muatan adegan-adegan yang seperti pesan-pesan random, kurang integral dengan permasalahan inner karakter. Beberapa malah konyol. Kayak ada adegan mereka ngejar bis, nganterin seorang penumpang anak kecil yang tertinggal. Dan lalu ada suara ibunya yang ngomen dari atas bus, lalu lantas si ibu ngajak anaknya selfie. Konyol sekali.

The Palace of Wisdom gives 6 gold stars out of 10 for PERJALANAN PERTAMA.

 

 

 

RANAH 3 WARNA Review

Satu lagi cerita dari tanah Minang, yang juga menjunjung nilai-nilai kebaikan dan berakar kuat kepada adat. Bedanya, Ranah 3 Warna diadaptasi dari novel, dan merupakan cerita sekuel. Sehingga punya advantage dari sisi dunia-cerita dan karakter-karakter yang sudah lebih established. Tapi itu tidak lantas berarti lebih baik dalam penceritaan.

Ranah 3 Warna memang lebih imersif. Di sini karakternya akan berdialog minang dan hanya berbahasa Indonesia kepada karakter yang gak bisa bahasa daerah. Persoalan bahasa benar-benar dikuatkan, karena setting tempat benar-benar masuk ke dalam narasi. Sesuai judulnya, akan ada 3 daerah, banyak budaya, banyak bahasa yang jadi panggung dan mempengaruhi karakter sentral. Tapi ini juga lantas membuat film jadi episodik, karena Ranah 3 Warna diarahkan Guntur Soeharjanto lebih seperti novel, ketimbang seperti film. Dalam film biasanya, konflik karakter akan dibuild up, stake naik, dan solusi baru ketemu di babak akhir cerita, sehingga segala usaha dan pay offnya jadi terasa gede sebagai akhir perjalanan. Ranah 3 Warna ini, konflik itu hadir sebagai permasalahan yang sama dihadapi oleh karakter di setiap tempat yang berbeda. Mereka tidak mengembangkan untuk satu film, tapi satu tempat. Lalu mengulang permasalahan itu ketika karakter kita pindah ke tempat yang baru. Jadinya terasa sangat repetitif.

Apa permasalahannya? soal kesabaran. Jadi ketika di Bandung, karakter kita dihadapkan kepada situasi yang menguji kesabarannya, lalu dia belajar dari nasihat orang, dan lalu ketemu solusi. Adegan berikutnya, pindah tinggal di negara lain. Dan formula konfliknya berulang kembali, walaupun seharusnya karakter utama sudah belajar tentang kesabaran itu di problem sebelumnya. Penonton awam mungkin gak akan masalah, apalagi karena film ini dihidupi oleh karakter-karakter menyenangkan, dengan pesan-pesan yang baik. Film ini bakal menang award cerita berbudi luhur (kalo ada). Tapi sebagai film, ini masih berupa pesan yang disampaikan berulang kali. Nonton ini, aku yang merasa harus belajar sabar.

The Palace of Wisdom gives 5 gold star out of 10 for RANAH 3 WARNA

 

 

 

THE UNBEARABLE WEIGHT OF MASSIVE TALENT Review

Dibuka oleh film meta, ditutup oleh film meta. Yup, sama seperti Chip ‘N Dale yang mengangkat kisah petualangan beneran dari aktor film kartun, film Unbearable ini juga begitu. Mengangkat kisah aktor yang harus ngalamin petualangan beneran. Aktor yang dimaksud adalah Nicolas Cage, yang di sini memainkan versi aktor dari dirinya sendiri. Karakter Nick Cage yang ia perankan dibentuk dari meme, gosip, isu, dan perjalanan karir ikonik yang ditempuhnya dalam real life. So yea, ini adalah film yang sangat lucu, bermain-main dengan karir aktor pemerannya.

Sutradara Tom Gormican tidak lantas membuatnya sebagai perjalanan nostalgia. Melainkan benar-benar mengolah cerita dari sudut pandang aktor Nick Cage. Bagaimana jika persona tersebut dijadikan karakter. Dimainkan langsung oleh Nicolas Cage hanya menambah lapisan di dalam karakter ini. Jika film harus bisa memblurkan antara fiksi dan realita, maka film ini garis tersebut tidak bisa lebih blur lagi. Penceritaannya dibuat ringan, sehingga tidak lantas ujug-ujug jadi  Birdman versi real. Lucunya, film ini membuat hal menjadi lebih besar lagi dengan membenturkan yang namanya film character driven, dengan film action. Dua tone ini meluncur mulus, dan ini membuktikan betapa Nicolas Cage benar-benar fluid dan versatile, di atas punya selera humor yang juga juara.

Tentu saja film bukan hanya tentang satu orang, walaupun basically build around ‘myth’ tentang dirinya. Film juga punya karakter-karakter lain. Dan di sini, semua karakter berhasil mencuri perhatian. At heart, film ini juga adalah tentang persahabatan. Nick Cage akan berteman dengan seorang yang ternyata berkaitan dengan kelompok mafia. Dan persahabatan mereka, yang involving mereka menggarap naskah film bersama-sama menjadi highlight yang bikin ini semakin menyenangkan untuk diikuti.  Jika kalian snob film, film ini akan menghibur tanpa ‘memangsa’ sel otakmu. Jika kalian suka film action heboh, film ini akan membuatmu lebih dari sekadar puas. Jika kalian suka Nicolas Cage, kalian akan treasure this movie forever.

The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for THE UNBEARABLE WEIGHT OF MASSIVE TALENT.

 

 

 

That’s all we have for now

Thanks for reading.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 


MEN Review

 

“No one can send you on a guilt trip without your permission”

 

 

Sebagai cowok, tak bisa kupungkiri, tuntutan untuk tampil ‘kuat’ itu seringkali memang ada. Bahkan dalam bentuk terkecil, lingkup sehari-sehari sekalipun, cowok sedapat mungkin diharapkan untuk tidak menunjukkan kelemahan. Tidak memperlihatkan sisi ke-vulnerable-an. Mau itu kenalan atau berdebat, cowok harus memulai duluan, dan harus dapet the last word. Kalo dibales, lawan terus. Cowok juga pantang nunggu disuruh, harus langsung take action. Permisi? Gak perlu izin-izinan. Cowok harus bisa ambil inisiatif duluan. Tuntutan-tuntutan sosial seperti itu memupuk ego para cowok. Hingga ke titik gak sehat cowok harus terus menunjukkan dominasinya. Walaupun mereka tahu mereka yang salah, walaupun mereka tahu mereka yang ngarep, mereka yang butuh, cowok akan melakukan apapun untuk assert the dominance.  Akar konflik utama dalam Men, horor simbolik terbaru Alex Garland basically adalah cowok yang mengemis untuk dimengerti oleh ceweknya, tapi karena dia cowok, maka ia menunjukkan itu dengan membuat semuanya jadi toxic, menyengsarakan, dan mengerikan bagi semua orang. Terutama bagi ceweknya.

Cewek yang dimaksud bernama Harper (diperankan oleh Jessie Buckley yang benar-benar ngasih gambaran seseorang yang terluka dalam secara emosional). Harper menyewa rumah untuk beberapa hari di pedesaan di Inggris.  Niatnya sih dia mau healing, karena baru saja mengalami ‘perceraian’ yang dahsyat dengan suami. Mereka bertengkar, Harper ngancem pergi, dan si suami ngancem akan bunuh diri kalo Harper pergi. And he did it. Harper menyaksikan raut hopeless suaminya saat pria itu terjun dari atap apartemen. Adegan peristiwa itu yang terus terbayang di benak Harper sehingga dia berlibur ke desa untuk menghilangkan semua itu. Namun orang-orang di desa itu tampak gak beres. Semua pria yang Harper temui di sana, mulai dari empunya rumah, polisi, anak remaja, hingga pendeta (kesemuanya diperankan oleh aktor yang sama, Rory Kinnear) cenderung mempersalahkan dirinya. Mengjudge dia atas hal-hal yang ia lakukan, termasuk perihal kematian suami. Keadaan menjadi semakin menakutkan bagi Harper tatkala seorang pria misterius tanpa-busana muncul di halaman rumah sewaannya.

Seolah dia adalah Adam, yang ingin menuntut tanggung jawab dari Harper yang jadi Hawa

 

Rural atau Folk Horror yang efektif selalu menggali lebih dalam daripada sekadar orang kota berkunjung ke desa yang ternyata mengerikan. Walaupun memang tak sedikit juga horor yang bekerja cuma sampai pada level desa dipandang sebagai tempat yang angker, atau kuno, dan sebagainya, tetapi sesungguhnya yang namanya horor selalu berasal dari dalam. Untungnya, Alex Garland paham hal tersebut. Dalam Men ini, Garland tidak membuat film dangkal yang horornya berasal dari luar. Ya, orang di desa yang dijumpai oleh Harper bertingkah aneh, kurang ajar, dan menyeramkan. Tapi benarkah demikian? Garland mengangkat pertanyaan tentang itu dengan membuat pria-pria tersebut diperankan oleh aktor yang sama. Apakah ceritanya mereka semua kembar? Tentu tidak. See, yang namanya film selalu adalah soal perspektif. Maka, Garland mengarahkan kita untuk melihat orang yang melihat mereka semua sebagai orang yang sama. Kita difokuskan kepada Harper. Perempuan yang berkunjung demi melupakan traumanya. Trauma inilah yang sebenarnya jadi sumber horor yang dirinya alami selama di sana. Trauma inilah yang harus dia resolve, yang harus ia konfrontasi supaya benar-benar bisa ‘sembuh’. Dengan itulah, Men menjelma menjadi rural horor yang efektif karena dia menggali horor bersumber dari emosional karakter utamanya.

Garland menggunakan kontras untuk menguarkan perasaan terasing. Desa yang hijau dan tampak sungguh hidup kayak lokasi negeri dongeng dapat jadi tempat yang begitu terpencil rasanya bagi Harper. Rumah nyaman dapat jadi creepy dan berbahaya saat dirinya sendirian, Selain itu, banyak simbol-simbol, metafora, yang digunakan Garland untuk menggambarkan keadaan horor yang menghantui Harper. Salah satu simbol yang ia gunakan adalah simbol agama. Begitu Harper sampai di rumah sewaan di desa di menit-menit awal cerita, Garland sudah langsung menanamkan pohon dan buah apel di layar. Dengan segera menekankan antara persamaan antara Harper yang memetik apel tanpa ijin dengan Hawa. Poin Garlan di sini adalah bahwa perempuan dipersalahkan. Poin yang jadi Harper’s belief sebagian besar durasi.

Memahami film ini memang agak tricky. Apalagi membuatnya, aku yakin. Kenapa? Karena ini adalah cerita yang mencoba membahas relasi antara laki-laki dan perempuan, antara maskulin dan feminim, yang ceritanya dibuat oleh laki-laki, tapi mengambil sudut pandang perempuan. Bahkan, aku mereview ini saja ngeri. Takut terdengar seperti mansplaining perasaan yang dialami oleh perempuan dalam posisi Harper. Perempuan yang merasa dipersalahkan. Yang dituduh telah menyebabkan suaminya bunuh diri. Dia percaya dia gak salah, bahwa suaminya mati karena pilihan sendiri. Bahwa mereka bertengkar karena suaminya semakin toxic. Begitu banyak film yang membahas mengenai perempuan di dunia yang didominasi oleh racun maskulinitas pria, yang mencoba mengangkat sudut pandang perempuan sebagai korban dan membuat semua karakter pria sebagai misoginis brengsek. Film-film itu biasanya membuat protagonis perempuan yang gak-punya salah dan keseluruhan film menunjukkan bagaimana dunia terbentuk menjadi tempat berbahaya bagi perempuan. Film Men ini tidak seperti itu. Di sini letak tricky-nya. Tentu, film ini tidak meleng dari perangai pria yang lebih suka menyalahkan perempuan daripada ngakuin ke-vulnerable-an sendiri, tapi Men juga berani mengangkat bagaimana perempuan juga tidak sepenuhnya benar. Karenanya, salah-salah film ini bisa terlihat sebagai kelitan pria bahwa sebenarnya mereka gak bersalah.  Harper memang punya salah. Dia merasa dihantui seperti itu (mendengar gema suaranya aja dia jadi takut sendiri) tentu karena dia merasa bersalah terhadap sesuatu. Nah, penggalian terhadap itulah – realisasi Harper terhadap salahnya apa – itulah yang berusaha dihadirkan film yang have no choices menceritakannya dengan simbol-simbol dan penggambaran membingungkan. Semata karena film ingin respek terhadap sudut pandang yang berusaha digambarkan.

‘Kesalahan’ Harper cuma dia membiarkan dirinya kena guilt trip dari suami, dan kemudian dari para pria di desa, dengan terus avoiding confrontation. Hanya setelah dia mau duduk membicarakan masalah dengan para horor di akhir cerita itulah, Harper akhirnya menemukan kedamaian. Bahwa dia kini yakin dirinya sepenuhnya tidak-bersalah, tidak ada lagi ruang keraguan. Yea, Harper mungkin mematahkan hati suaminya (digambarkan lewat para pria di desa yang patah kaki dan tangan terbelah karena ‘ulah’ Harper membela diri) tapi bukan dirinya yang membuat suaminya bunuh diri. Dengan menunjukkan ‘kesalahan’ Harper, film ingin memperlihatkan bahwa most of the time perempuan bisa terus dipersalahkan hanya karena sikap pria yang tak terkonfrontasi.

 

Adegan hamil paling disturbing!!

 

Jika penampilan eerie Kinnear yang begitu luas rangenya itu belum berhasil bikin kalian takut, jika segala kilasan imaji-imaji patung nan surealis belum bikin kalian merinding, jika gema suara Harper belum bisa bikin kalian merapatkan kepala ke dalam selimut, well, Men masih punya satu senjata-horor lagi.  ‘Senjata’ yang berhasil bikin film ini jadi salah satu horor tergila. Garland juga menyiapkan elemen body-horor ke dalam cerita. Menjelang akhir kita akan disuguhkan pemandangan disturbing ketika si pria telanjang misterius melahirkan seorang pria, dan pria itu melahirkan pria lain yang dijumpai Harper di desa. Siklus melahirkan yang terus berulang. Membayangkan adegan cowok melahirkan aja udah bikin makan malam serasa mau melompat keluar. Film ini punya berkali-kali melahirkan bukan bayi tapi manusia dewasa, lengkap dengan darah dan cairan ketuban, dan ditambah ngeri pula dengan ‘lubang’ lahir yang berbeda-beda. Ada yang menyeruak dari punggung, ada yang dari mulut, ugh! Benar-benar horrifying! Semengerikan makna yang dikandungnya. Bahwa cowok di mana-mana sama, dan mereka seperti itu karena turun-temurun dibesarkan dengan pandangan – atau juga tuntutan – untuk menjadi toxic seperti yang sudah kujelaskan di pembuka ulasan.

Ngomong-ngomong soal makna, film Men yang sedari awal enak untuk dikulik dan dipikirkan mendadak terasa kayak cuek di akhir. Simbol dan kejadian-kejadian sureal diarahkan untuk menjadi ambigu dalam usaha film untuk tak terlihat menyalahkan karakter perempuannya. Ambigu, sampai-sampai di akhir cerita penonton malah jadi tidak yakin apakah semuanya nyata atau tidak. Jika ini tidak nyata, tapi toh film memperlihatkan bekas-bekas kejadian. Tapinya lagi jika nyata, film memperlihatkan banyak hal yang mengundang pertanyaan bagaimana bisa itu semua beneran terjadi tanpa ngasih jawabannya. Semuanya tampak seperti dilempar sebagai open interpretation, walaupun di titik akhir itu kita bisa menyimpulkan makna dan gagasan cerita. Menurutku pilihan ini dapat membuat penonton jadi bingung dan merasa tidak ada pay-off. Dan aku gak yakin ini film membuat pilihan yang benar dalam mengakhiri ceritanya.

 

 

Dari rural horor ke body horor, sesungguhnya film ini adalah gambaran horor yang surealis dari tantangan /kesulitan yang harus dihadapi perempuan dalam kehidupan sehari-hari. Makanya film ini terasa disturbing luar dalam. Luarnya penuh imaji yang aneh dan benar-benar bikin gak nyaman. Dimainkan dengan luar biasa sehingga nuansa creepy itu benar-benar terdeliver. Sementara dalamnya sukses bikin kita tercenung, merenungkan relasi perempuan dan laki-laki yang kian gak-sehat. Film berusaha respek dan tidak ikut menyalahkan satu pihak, sehingga pada akhirnya memilih untuk menjadi ambigu. Dan dengan menjadi itu, film sedikit kehilangan powernya. But in the end, film ini tetap salah satu penceritaan horor yang menohok. Terasa beneran seram karena mengangkat hal dari dalam. Hal yang memang beresonansi dengan permasalahan mendasar manusia. Women and men.
The Palace of Wisdom gives 7.5  out of 10 gold stars for MEN

 

 

That’s all we have for now.

Menonton film di atas, apakah ada terbersit dalam hati untuk merasa kasian kepada laki-laki tokoh ceritanya? Bagaimana pendapat kalian tentang si pria-hijau-telanjang?

Share  with us in the comments

 

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

THOR: LOVE AND THUNDER Review

 

“The saddest thing about betrayal is it never comes from your enemies”

 

 

Dikhianati itu memang gak enak. Rasanya nyelekit banget. Bayangkan kita sudah menaruh harapan kepada orang,  kita sudah begitu percaya mereka akan either memegang rahasia, menepati janji, atau selalu ada saat dibutuhkan, tapi ternyata mereka tidak menganggap harapan dan kepercayaan kita kepada mereka sebagai sesuatu yang berharga. Di situlah letak sakitnya; yang disebut berkhianat itu pelakunya bukan musuh yang kita benci. Tapi justru orang yang kita sayang, Yang kita percaya. Penguasa, misalnya. I hate to get political saat ngomongin superhero yang harusnya fun, tapi sepertinya memang itulah yang sedikit disentil oleh Taika Waititi dalam projek Thor kedua yang ia tangani; Thor keempat – Love and Thunder. Origin karakter penjahat utama di film ini ia hadirkan sebagai seseorang yang merasa dikhianati oleh dewa yang ia puja. Bahwa dewanya tidak menolong saat sedang kesusahan. Bahwa dewa hanya mau dipuja. Sehingga si karakter bersumpah untuk membasmi semua dewa di dunia. Tentu saja ini jadi cikal konflik yang menarik, karena protagonis yang kita semua sudah kenal di cerita ini adalah Thor, yang juga seorang dewa.

Namun Thor bukan dewa sembarang dewa. Thor telah melalui begitu banyak. Seperti yang dinarasikan oleh si monster batu Korg (disuarakan langsung oleh pak sutradara) lewat adegan eksposisi yang merangkum perjalanan karakter Thor dari tiga film sebelumnya, Thor adalah dewa yang ngalamin naik-turunnya kehidupan. Dia bukan dewa agung yang duduk di singgasana emas sambil makan anggur. Thor adalah dewa superhero yang berjuang menyelamatkan dunia. Thor pernah terpuruk hingga badannya gemuk. Thor pernah kehilangan sahabat, saudara, keluarga, dan bahkan pacar. Jika ada dewa yang bisa menaruh simpati kepada Gorr (nama karakter yang  dendam kepada para dewa itu) maka Thor-lah dewanya.

Setting dan latar cerita film ini sebenarnya sudah perfect. Lupakan dulu multiverse dan karakter Marvel lain (tim Guardians of the Galaxy yang sempat muncul sebagai penyambung film ini dengan sebelumnya pun akan segera menyingkir), Thor Empat ini kembali kepada sebuah cerita yang berdiri di dalam franchisenya sendiri. Film ini hadir dengan stake gede yang personal, yaitu pemusnahan para dewa (termasuk Thor) sekaligus mengangkat pertanyaan bukankah sebaiknya memang para dewa penguasa lalim itu musnah saja? Sebelum membahas itu lebih lanjut, film menghadirkan satu aspek menarik lagi buat Thor. Supaya Thor (Chris Hemsworth tampak makin prima – physically and mentally – mainin karakter ini) semakin tergali tidak cuma sebatas bereaksi terhadap tindakan Gorr, dia dibuat berkonfrontasi dengan Jane Foster (Natalie Portman, welcome baaacccckkk!) yang kini punya kekuatan dan atribut serupa si Dewa Guntur, lengkap dengan senjata lama milik Thor yakni Palu Mjolnir. So in a way, film dengan gaya tuturnya yang kocak ini turut menggali gimana Thor merasa ‘dikhinati’ oleh senjata lamanya yang kini memihak mantannya.

Need more Darcy. Darcy is the GOAT!

 

Meski berusaha untuk hadir sebagai kisah sendiri (another classic adventure of Thor!) tapi memang terasa film ini sedikit kerepotan dengan karakter-karakternya. Dalam pengembangannya, Thor terasa jadi kurang sepadan dengan Gorr, dalam artian journeynya tidak benar-benar paralel. Pun sedari awal, alur film ini bergerak lewat keputusan dan aksi dari Gorr, yang posisinya adalah penjahat. Film ini mirip sama Avengers Infinity War (2018), yang Thanos, penjahatnya lebih cocok sebagai karakter utama sementara para karakter superhero bereaksi terhadap tindakan yang ia lakukan.  Di sisi lain, aspek ini mengindikasikan satu hal positif. Yaitu film ini – seperti halnya Infinity War – punya karakter villain yang ditulis dengan solid. Aspek yang langka dalam genre superhero secara keseluruhan. Penjahatnya gak sekadar pengen nguasain atau bikin hancur dunia. Melainkan, ngasih sesuatu untuk kita pikirkan. Dalam hal ini adalah soal penguasa.  Secara karakterisasi, Thor memang kalah ‘kuat’. Selain hanya lebih berupa bereaksi, pembelajaran yang ia alami pun kurang nendang dan kurang sejalan. Bagi Thor yang aware sama konflik yang mendera Gorr, perkembangan karakter cuma di awal dia show off sendiri dan nanti di akhir cerita dia jadi lebih luwer berteam work. Termasuk di antaranya membagi kekuatan dengan anak-anak – yang kuakui ini jadi aspek yang seru dan memuaskan karena aku sudah lama minta ini kepada film-film superhero hiburan. Libatkan anak-anak. Bikin mereka ngerasain jadi superhero itu seperti apa. Anyway, pembelajaran Thor intinya adalah learn to trust, dia juga gak insecure lagi sama Jane dan Mjolnir yang jadi superhero, yang fungsinya kayak cuma ngasih lihat bahwa ada Dewa yang ‘bener’.

Makanya Thor justru lebih cocok dengan penjahat sampingan yang muncul di film ini. Dewa Zeus (portrayal yang kocak dari Russel Crowe hihihi)  Pemimpin para dewa seluruh mitologi itu ternyata seorang yang pengecut dan memikirkan keselamatan golongannya sendiri. Permasalahan Thor dengan Zeus justru seperti disimpan untuk film berikutnya. Interaksi mereka masih dibiarkan terbatas, Zeus hanya muncul di satu sekuen. Setelah itu, Thor kembali fokus ke permasalahan dengan Gorr si God Butcher. Nah, justru Jane Foster yang jadi Mighty Thor yang ternyata lebih paralel dengan permasalahan Gorr; mereka sama-sama mortal yang dapat kekuatan. Tapi menggunakannya dengan berbeda. Jane yang mengidap kanker, beralih kepada kekuatan dewa untuk jadi obat. Penyakitnya tidak sembuh, melainkan jadi makin parah, tapi dia tetap berusaha kuat dan memilih untuk menggunakan sisa waktunya menjadi superhero. Bertarung bahu-membahu dengan Thor. Beda dengan Gorr yang seketika kecewa dengan dewa, dan menggunakan kutukan yang mengonsumsi dirinya dengan kekuatan bayangan itu untuk membunuh dan balas dendam. Walau motivasinya kayak Kratos di game God of War original, karakter Gorr sebenarnya deep. Christian Bale tahu ini dan memainkan karakternya yang perlahan semakin meng-zombie itu (bentukannya jadi mirip Marylin Manson!) dengan tone menyeramkan sekaligus menyedihkan.

Adegan Thor ke tempat jamuan para dewa, menjelaskan duduk perkara Gorr dan meminta bantuan, tapi malah dilepehin dan disuruh duduk tenang aja di situ seperti menyentil penguasa yang gak peduli sama rakyat. Yang ternyata hanya menjadikan rakyat sebagai sacrifice, yang bukan saja membiarkan tapi justru balik menyalahkan rakyat. Yang taunya cuma minta dilayanin dan dipuja. yang antikritik. Yang gak bertanggungjawab sama sekali terhadap kekuasaan yang dimiliki. Kalau diliat-liat kondisinya  mirip terjadi kepada rakyat Indonesia waktu pas harga minyak naik, dan rakyat malah disuruh jangan sering-sering pakai minyak goreng. 

 

Memang at the heart, permasalahan yang disentil Taika di film ini bukan permasalahan sepele. Ada orang yang marah sama Dewa (yang dalam konteks karakter tersebut adalah Tuhan) sehingga berontak dan memburu dewa. Menggunakan anak-anak dalam prosesnya. Yang juga kalo ditarik relasinya ke kita, dewa di sini bisa berarti penguasa. Pemerintah yang tak bertanggungjawab kepada rakyat meskipun janji duduk di atas sana sebagai pemimpin dan wakil rakyat. Lalu ada juga soal relasi asmara yang complicated antara Thor dengan Jane. Kalo film ini digarap Indonesia aku yakin jadinya bakal superhero yang muram dan dark lagi. Itulah hebatnya Taika Waititi, dan Marvel Studios for the matter. Karena mereka selalu bisa membuatnya ke dalam penceritaan yang ringan. Tanpa mengurangi bobot gagasan atau temanya sendiri. Thor: Love and Thunder tetap hadir dengan humor receh yang timbul dari karakter bertingkah norak (supaya mereka tetap grounded) kayak waktu di Thor: Ragnarok (2017). Tentu ini tantangan yang gak gampang. Taika Waititi toh tidak sepenuhnya berhasil meleburkan dua tone kontras. Film ini sedikit tertatih ketika berusaha menyampaikan hal yang serius dengan nada konyol.  But in the end, film ini masih termasuk golongan film yang menghibur. Yang ringan. Yang masih bisa dinikmati oleh penonton anak-anak lewat bimbingan orang tua.

Bayangkan pekikan kedua kambing raksasa Thor kalo mereka tahu beberapa hari lagi Idul Adha

 

Taika bukannya gak aware, sutradara yang gaya humornya unik ini bijak untuk tidak terus-terusan ngepush tingkah norak dan receh karakter. Porsinya memang sedikit dikurangi ketimbang Ragnarok. Taika mengalihkan komedinya kepada cara menuturkan. Sebenarnya film ini banyak bagian eksposisi. Nah, Taika menghandle itu dengan dijadikan gimmick komedi. Kadang dia membuatnya sebagai tontonan pertunjukan, kadang dia juga membuatnya sebagai cerita api-unggun, you know, bergaya narasi paparan oleh Korg, ataupun dia memainkan eksposisi ke dalam montase genre. Kayak ketika menjelaskan hubungan masa lalu antara Thor dan Jane, film membuatnya ke dalam narasi situasi dalam rom-com. Sentuhan-sentuhan ini jadi memperkaya range komedi yang bisa dilakukan oleh film Thor. Membuat filmnya sendiri jadi terus menarik. Sehingga walaupun kadang tonenya timpang, atau recehnya just not work, film ini masih terus mengalir dalam bercerita.

 

 

 

 

Ini merupakan film stand-alone MCU pertama yang mencapai film keempat, dan berhasil terasa tetap fresh. Progres tokoh utamanya terasa. Eksplorasi ceritanya terus berkembang dan berhasil terjaga dalam konteks dunia itu saja. Yang adalah permasalahan dunia dewa-dewa.  Sekali lagi Taika Waititi berhasil membuat mereka grounded dengan permasalahan yang relevan. Gaya komedi, arahan colorful, musik rock, dan karakter-karakternya masih tetap ajaib, membuat film semakin menghibur. Personal favoritku adalah film ini melibatkan anak-anak dalam cerita dan aksinya. Sedikit issue pada tone karena cerita bermuatan cukup serius, tapi tidak benar-benar mengganggu. Struggle sebenarnya film ini ada pada membuat bagaimana Thor bisa tetap relevan di cerita ini. Karakterisasinya kalah kuat, tapi film berhasil ngasih sedikit perkembangan pada Thor sekaligus menjadikannya hook ke petualangan classic berikutnya!
The Palace of Wisdom gives 7.5  out of 10 gold stars for THOR: LOVE AND THUNDER

 

 

That’s all we have for now.

Setujukah kalian penguasa di negeri kita udah kayak dewa?

Share  with us in the comments

 

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA