SEHIDUP SEMATI Review

 

“Not even death can do us apart”

 

 

Kesakralan pernikahan  dibuktikan dengan ikrar untuk menjadi pasangan yang sehidup semati. Janji untuk senasib sepenanggungan. Susah senang selalu bersama-sama, hingga maut memisahkan. Janji suci dua insan Katolik tersebut dapat berubah menjadi beban toxic mengerikan, seperti yang terjadi dalam psychological thriller terbaru dari Upi ini, Ketika rumah tangga jadi tak lagi harmonis, pernikahan hanya jadi neraka personal bagi istri yang tidak diperkenankan melawan, melainkan bertambah fungsi jadi punching bag emosi dan frustasi suami. Afterall, istri harus senantiasa tunduk dan patuh terhadap suami. Perceraian merupakan aib keluarga, dan adalah tugas istri untuk menjaga martabat suami dan keluarganya. Dengan muatannya ini, Sehidup Semati dengan cepat menjadi sebuah gambaran naas yang bakal berkembang menjadi jauh lebih menyeramkan lagi. Karena Upi membenturkan penafsiran ekstrim dari dogma atau ajaran agama itu dengan pandangan yang sepertinya solutif, hanya datang dari tempat yang tidak benar-benar bisa dipercaya. Penceritaan film ini pun akhirnya baur, antara benar psychological atau sebuah supernatural.

Pasangan tak-bahagia dalam film ini adalah Renata dan Edwin. Laura Basuki jadi Renata yang tersiksa mental dan fisik. Bukti visual memperlihatkan perempuan berambut seleher itu jadi korban KDRT. Ario Bayu jadi Edwin, pria yang keras, dingin, distant, dan tersenyum hanya kepada layar hapenya. Karena cerita ini dari sudut pandang Renata, kita tidak benar-benar diperlihatkan sisi Edwin, kenapa dia bisa berubah begitu violent kepada perempuan yang tadinya ia cintai. Alasan ‘kecewa’nya sih kita diberitahu. Mereka pengen punya anak tapi Renata physically tidak bisa. Jadi, Renata harus mengalami ‘siksaan’ janji sucinya itu sendirian. Luka dan sakitnya ia pendam sendirian. Toh, agama dan keluarga besar mengajarkan sudah kodrat istri untuk patuh. Sampai, dia mendengar ada suara lenguhan perempuan dari ruang kerja Edwin. Ruang kerja yang sama sekali tidak boleh ia buka/datangi. Renata mulai curiga suaminya literally punya simpanan perempuan lain. Beruntung, Renata yang biasanya sehari-sehari cuma ‘berteman’ dengan televisi, kini punya tempat mengadu. Tetangga barunya, Asmara, perempuan yang completely bertolak belakang dengannya. Asmara liar dan berani, dia malah meledek Renata yang patuh sebagai ‘perempuan bego’. Meski begitu, Asmara tetap masih menyisakan aura misterius (Hmm, siapa lagi yang paling cocok meranin karakter ini kalo bukan Asmara Abigail) Dari perempuan yang sepertinya segala merah itulah, Renata belajar untuk menjadi sedikit lebih berani untuk stand up for herself. Tapi masalahnya, bayangan perempuan simpanan Edwin semakin kerap menghantui. Suara-suara dan kejadian aneh kian santer di sekitar Renata.

Di film ini ikrar suci dibalik menjadi ‘sampai maut menyatukan kita’

 

Sebagai thriller psikologis film ini memang benar menyejajarkan kita dengan psikis Renata. Kita merasakan sama kecil dan terisolasinya dengan Renata yang dititah suami untuk tetap tinggal di rumah. Kita dibuat ikut merasakan derita fisik dan mentalnya. Film ini mampu mencapai itu berkat penampilan akting getir serta treatment yang diberikan kepada karakter ini. Renata seperti titik kecil pucat yang dikontraskan pada setting latar yang pekat. Ya, putihnya Renata lebih terasa seperti pucat, ketimbang suci. Seantero apartemen yang dia huni pun dijelmakan menjadi tempat yang (nyaris) kosong. Hanya Asmara dan seorang ibu tua (dan satpam Muklis!) yang tampaknya kenal dan berinteraksi dengan Renata. Ketika Renata berjalan di lorong-lorong menuju unitnya, dia seperti berjalan di labirin yang persis suasana hatinya. Dingin dan banyak sudut gelap. Ketika kita masuk ke dalam unitnya, keadaan tidak menjadi lebih nyaman, karena bahkan ruang pribadi perempuan itu pun tampak muram dan terasa restricted baginya. Kamar yang tak boleh dibuka. Benda-benda yang either bertukar tempat ataupun bukan miliknya. Zona nyaman Renata hanya di depan televisi. Dan aku suka gimana film membuat Renata seperti sangat susceptible terhadap apa yang ia tonton dan dengar di televisi. Siaran ceramah yang bagi kita terdengar esktrim, seperti larangan tegas bagi Renata. Waktu Renata mulai curiga ada perempuan di rumahnya, siaran yang ditontonnya adalah sinetron tentang pelakor. Dan masuk babak akhir, sebelum ketegangan dan kecurigaan kepada suami memuncak, Renata kita dapati tengah menonton berita kriminal seputar ditemukan mayat istri korban kekerasan suami.

Seolah teror psikologis belum cukup seram dan ‘membingungkan’, film juga menyiapkan teror lain, Teror dari supernatural. Sosok perempuan yang kerap sekelebat hadir di ekor mata Renata ditreat oleh film lebih seperti penampakan arwah penasaran. Ditambah pula si ibu tua diperlihatkan pernah melakukan semacam ritual dengan dukun di unitnya sendiri. Unsur supernatural yang dibaurkan dengan psikologis tadi memang menambah layer kepada misteri. Aku sendiri memang sangat menikmati menebak-nebak apa yang sebenarnya sedang ‘dihadapi’ oleh Renata. Tapi pace film ternyata jadi agak goyah ketika sudah waktunya mereveal dan menyelesaikan cerita. Like, film ini jadi terasa terlalu lama bermain-main di misteri penampakan perempuan sehingga paruh akhirnya jadi kayak lebih buru-buru, padahal konfliknya lebih banyak di paruh akhir. Kecamuk psikologis juga lebih dahsyat di bagian paruh akhir, dengan segala ketakutan baru Renata soal orang-orang lain di sekitarnya selain suaminya.

Akibatnya, penjelasan yang diungkap film akan terasa ‘short’. Meskipun sebenarnya cukup gede, dan tragis, tapi penonton sebagian besar akan masih terlalu sibuk dengan berusaha mencerna kepingan puzzle tragedi yang telat dibagikan tersebut. Film ini akan dengan cepat menjadi supermembingungkan begitu baru di pertengahan kita dikasih penyadaran bahwa Renata, satu-satunya perspektif yang bisa kita pegang justru ternyata ‘agen’ dari kerancuan. Bahwa dia adalah perspektif yang unreliable. Kita sangka kita akan mengungkap misteri bersamanya, tapi ternyata dialah misterinya. Hal yang tidak real ternyata justru hal-hal yang berinteraksi dengannya. Dan ‘tidak real’ di film ini bukan saja hanya perihal suatu kejadian tidak benar-benar terjadi, melainkan juga kejadian yang beneran terjadi tapi bukan pada waktu yang seperti kita lihat di film. Alias, soal urutan juga teracak. Jadi berikut kotak spoiler soal bagaimana menurutku urutan kejadian kisah tragis Renata sebenarnya terjadi (serta siapa sebenarnya karakter-karakter seperti Asmara dan Ana). Kalian bisa skip kotak di bawah ini jika tidak ingin kena spoiler

Spoiler Urutan Kejadian:

Renata kecil liat Ayah pukulin Ibu – Renata kecil liat ayah muntah darah dan lumpuh – Keluarga mereka tetap utuh Ibu tetap merawat Ayah yang kini gak bisa ngapa-ngapain Ibu – Renata gede nikah sama Edwin – Renata gak bisa hamil – Edwin dicurigai selingkuh sama perempuan lain – Renata mulai kesepian, temannya cuma televisi – Renata ngadu ke keluarga tapi malah disalahin – Edwin mau minta cerai – Renata kalut, stress, terilham rumah tangga Ibu dan Ayahnya, membunuh Edwin – Ana nelfon dan Renata jadi terkonfirm siapa selingkuhan edwin – Renata bunuh Ana – Cerita film dimulai – Di dalam halu kepalanya, Renata nganggap Edwin masih hidup – Tapi hantu Ana mulai menghantui, tetap sebagai pelakor – Renata menciptakan teman/pelarian/alter ego dari karakter sinetron yang ia tonton, yaitu Asmara – Gangguan Ana semakin intens – Asmara ‘membunuh’ hantu Ana – Ibu Ana mulai mencari anaknya yang tidak pulang dan mencurigai Renata berkat petunjuk dukun – Renata membunuh Ibu Ana via Asmara – ‘Asmara’ yang ia ciptakan semakin kuat, sehingga Renata jadi berkonfrontasi dengan realita – Revealing kejadian sebenarnya – Renata membunuh ‘Asmara’ yang ia takutkan jadi pelakor berikutnya – Renata mereset halunya, hidup berdua dengan Edwin  masih sayang padanya – Cerita film selesai

 

Bukan sama-sama hidup/mati, melainkan satu hidup, yang satu mati

 

So yea, film ini pretty ribet. Karakter yang kita kira nyata, sebenarnya tidak ada di sana. Kejadian yang kita sangka baru, sebenarnya terjadi bahkan sebelum frame film ini dimulai. Masa lalu bercampur dengan present chaos Renata. There is a lot to unpack, baik bagi kita, maupun bagi filmnya sendiri. Aku melihat film ini sendirinya keteteran. Sehingga bahkan untuk membangun simbol aja tidak sempat. Seperti ruang kerja Edwin, film udah hampir habis ruangan tersebut tidak kita dan Renata ‘lihat’ sebagai apa sebenarnya.  Padahal ruangan tersebut adalah simbol dari ‘truth’. Selain mengintip dan melihat suaminya selingkuh dengan Ana, perempuan yang ada di poster orang hilang di sekitar apartemen, harusnya ada adegan yang memperlihatkan Renata konfrontasi dengan ‘truth’ yang sebenarnya di sana, entah itu mayat atau sesuatu yang membuat Renata kembali menapak ke realita.

Selain misterinya yang jadi bloated, pesan film ini juga tampak agak terlalu melebar. Meskipun memang sutradara sekuat tenaga berusaha mengembalikan ke ‘jalan yang benar’. Awalnya film ini tampak seperti kisah peringatan atau malah sindiran untuk tidak terlalu ekstrim dalam menerapkan ajaran agama. Tapi ternyata bukan ajaran agama saja yang berbahaya jika kita gak rasional dalam ‘mengonsumsinya’ Karena kita lihat Renata justru sebenarnya terpengaruh oleh apapun yang ia dengar di televisi. Pembahasan soal perempuan saling support juga berkembang jadi aneh, lantaran turns out cerita ini berakhir dengan pembunuhan antarkarakter perempuan. Bahasannya utama seperti malah jadi soal pelakor. Seolah ini jadi thriller atau horor pelakor, ‘genre’ yang memang sempat surprisingly laku di skena horor lokal tahun lalu.

 

Motivasi  Renata sebenarnya cukup clear. Dia pengen menuhin janji suci. Dia rela bertahan walau suaminya kasar. Tapi sang suami langsung mau pisah begitu dia gak bisa punya anak. Jadi Renata pengen take control back. Persoalan pelakor malah menginterfere. Karena ini harusnya adalah soal dia dengan suaminya. Apalagi film membuat seperti sebuah momen kemenangan ketika Renata membunuh Ana. Melebihi momen saat Renata akhirnya ‘berkonfrontasi’ dengan Edwin. Penonton di studioku pada bersorak. Padahal seharusnya ini adalah thriller psikologis seorang perempuan yang jadi ‘rusak’ mentalnya karena situasi yang menekan. Peristiwa pembunuhan itu harusnya dilihat sebagai proses downward spiral yang tragis, journeynya seharusnya yang ditekankan. Bukan ke soal ‘ternyata istrinya yang membunuh!’

 




Aku senang mulai banyak yang bikin, namun begitulah sayangnya, aku melihat tren genre psychological thriller di film kita. Seperti miss bahwa harusnya ya tentang psikis seseorang yang mengelam, bukan tentang orang psycho (alias ‘gila’)  Bukan soal kejutan di akhir bahwa karakter utamanya ternyata ‘gila’, melainkan lebih ke menggambarkan proses yang membuat si karakter terjun ke dalam kegilaan. Apakah dia memilih, atau didorong tanpa punya pilihan. Filmnya harusnya bukan cuma tentang ‘lihat dia jadi gila karena keadaan atau sistem masyarakat’ dan lalu ditutup dengan kegilaan yang dibaurkan dengan momen seolah kemenangan, seolah ‘rasain tuh sistem!’ Harusnya tidak ada kemenangan. Sehidup Semati mirip sama Sleep Call (2023). Pemeran utamanya sama, karakternya mirip. Direveal punya kondisi yang mirip. Sleep Call sebenarnya melakukan soal journeynya dengan lebih baik, tapi film itu messed it up dengan reveal bahwa karakternya sudah berbakat gila sedari awal. Masih tetap seputar revealing mengejutkan. Sehidup Semati memainkan atmosfer thriller dan misteri dengan lebih baik, karakter-karakternya lebih menantang, tapi seperti puas di revealing dan dengan awal journey yang tidak ditegaskan. 
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for SEHIDUP SEMATI

 

 




That’s all we have for now.

Menurut kalian di manakah batas seorang perempuan yang setia dan taat bisa disebut bego seperti kata Asmara? Pantaskah mereka kita sebut bego?

Silakan share pendapatnya di komen yaa

Jangan lupa untuk subscribe Apple TV, ada banyak serial dan film-film original yang tayang di sana. Di antaranya adalah Killers of the Flower Moon yang masuk dalam Daftar Top-8 Film Favoritku tahun 2023. Tinggal klik di link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



TRINIL: KEMBALIKAN TUBUHKU Review

 

“How do you sleep at night?”

 

 

Fenomena ketindihan jadi salah satu bahasan dalam comebacknya Hanung Bramantyo ke ‘ranah’ horor. Waktu kecil, aku cukup sering ngerasain ketindihan. Mungkin karena dulu itu aku suka minum softdrink dan minuman manis-manis lainnya, sehingga walau badan udah tidur, pikiranku masih aktif kemana-mana kebanyakan gula. Memang, secara medis, ketindihan yang disebut dengan sleep paralysis merupakan keadaan ketika seseorang tidur tapi dia merasa masih sadar, hanya tidak bisa bergerak ataupun berbicara, sampai mulai mengalami ilusi yang dianggap mengerikan. Aku masih ingat jelas betapa anehnya perasaan saat ketindihan. Yang kualami, udara atau ruang di kamar itu terasa membebani sementara mataku terpaku ke gorden di jendela, gak bisa pindah melihat ke titik lain. Lalu suara-suara. Aku mendengar suara orangtua lagi ngobrol di luar kamar, tapi suara mereka terdistorsi. Seperti ada yang memainkan setting audio sehingga kadang suara itu jadi melambat, atau juga jadi mencepat. Maka dari itu aku tertarik pengen nonton Trinil: Kembalikan Tubuhku ini. Aku ingin melihat gimana jadinya jika experience ketindihan tersebut ‘diadaptasi’ jadi full cerita horor. Bagaimana pengalaman seperti yang pernah kualami itu divisualkan. Terlebih, kalo di barat sono, ketindihan diasosiasikan dengan iblis wanita seperti Succubus atau Incubus yang duduk di dada orang yang berbaring hendak tidur. At least, kupikir Trinil bakal ngasih serangan horor psikologis. Tapi ternyata, Hanung membuat film ini dengan lebih straight forward. Ketindihan itu hanya bentuk lain dari kesurupan. Despite latar peristiwa politik 70an yang membayangi, Trinil yang diadaptasi dari drama radio 80an ini hanya horor kejadian-kejadian, yang berisi eksposisi dan pengungkapan, tanpa benar-benar menyelami karakternya.

Trinil adalah panggilan masa kecil untuk Rara, perempuan keturunan wanita pribumi dengan meneer Belanda juragan perkebunan teh di Jawa Tengah 1977an.  Meski panggilan kecilnya sama, tapi Rara enggak seperti Ibu kita Kartini. Rara orangnya cerdas, tapi cukup galak. Ketika dia dan suaminya kembali ke rumah besar mereka di tengah perkebunan dari bulan madu, Rara yang gak sadar dirinya mengalami ketindihan setiap malam, memarahi orang-orang yang berusaha menolong. Areal perkebunan mereka memang sedang dihantui oleh sosok hantu kepala perempuan, yang diduga menjadi penyebab banyak pekerja yang mati misterius. Either gantung diri, atau tercekik di tempat tidur masing-masing. Sutan suami Rara mengundang teman yang bisa mengusir hantu ke rumah mereka, tapi Rara pun sempat ribut dengan Yusof si dukun Melayu. Memprotes cara kerja Yusof yang ingin menyelidiki origin si pengganggu, Rara justru inginnya si hantu kepala terbang itu segera diusir sebelum kejadian mengerikan di perkebunan mereka diketahui publik secara luas.

Begitu lihat pemainnya, ku baru ngeh kenapa kepala hantu itu mirip Scarlet Witch

 

Dua film horor Hanung sebelumnya, Legenda Sundel Bolong (2007) dan Lentera Merah (2006), dibuat dengan landasan sejarah yang kuat. Sama-sama berhubungan dengan peristiwa politik di tahun 1965. Pada film horor terbarunya ini pun, Hanung mengisi latar itu dengan latar sejarah. Era 70an saat Indonesia memasuki fase Pemilu dengan tiga partai peserta untuk pertama kalinya. Soeharto akan menjabat kembali, situasi politik memanas, dan banyak pembunuhan terjadi terutama di kalangan ulama. Namun sebagaimana dengan ekspektasiku terhadap bahasan ketindihan, ekspektasiku terhadap landasan sejarah ini juga tidak mendapat balasan yang memuaskan. Selain set up informasi dari headline koran-koran sebagai kredit pembuka, latar tersebut tidak terasa betul dimainkan di dalam cerita. Mungkin karena aku juga gak begitu paham seperti apa kejadian politik tersebut, asumsi terbaik yang bisa kuberikan adalah kemelut rumah tangga atau keluarga yang dialami karakter, kejadian-kejadian mengerikan yang terjadi kepada mereka, tebas-tebas kepala, tidur di malam hari dalam ketakutan, merupakan penggambaran horor dari kejadian politik tersebut. I’m not sure, mungkin kalian yang lebih ngerti politik bisa berbagi di komen soal gimana latar politik itu actually dimainkan ke dalam penceritaan film ini.

Bagiku sebagai penggemar film khususnya horor, yang jelas cukup berhasil dilakukan oleh Hanung di sini terkait era jadul adalah menghantarkan vibe horor di era tersebut. Film ini dengan sosok kepala terbangnya, ketawa cekikikan khas hantu wanitanya, bahkan penyelesaian dengan ayat suci, terasa seperti horor era 80an. Hanya dengan kualitas desain yang lebih kinclong. Percakapan dari para karakter yang sangat diverse juga menambah pada kesan ini. Karakter ceritanya ada yang orang Jawa, Medan, Belanda, hingga Melayu. Cukup memberikan warna. Harapannya sih harusnya semua aspek di sini diperdalam lagi. Penceritaannya dilakukan dengan lebih matang lagi. Karena yang actually kita saksikan, bisa dibilang masih berantakan. I don’t even know where to start. Baiknya mungkin dari tampilan horornya. Film ini sebenarnya bermain dengan build up yang baik dan terencana. Kita dikasih tau dulu ‘suasana’ yang mencirikan si hantu bakal muncul. Ada lagu khususnya, juga. Film perlahan membendung sosok si hantu. Awalnya ditampilkan lewat bayangan kepala terbang. Ini buatku efektif sekali, karena somehow kayak lihat sebuah pertunjukan shadow puppet alias wayang yang sangat seram. Kemudian di tengah-tengah durasi barulah film beralih ke trik-trik jumpscare. Si hantu kepala terbang itu bisa muncul kapan saja, tau-tau ada di akhir panning kamera. Inilah bentuk film menaikkan intensitas horornya seiring meningkatnya tensi cerita. Arahan yang jempolan, hanya saja masalahnya adalah cerita yang dipunya. Seperti yang sudah kusebut, film ini tidak menyelami karakternya.

Ketindihan tidak dibuat sebagai teror psikologis seseorang yang restless atas hal buruk yang di masa lalu pernah mereka lakukan dan mereka masih dihantui perasaan tersebut meskipun berusaha bersikap keras untuk move on hidup seperti biasa. Ketindihan di sini hanya bentuk lain dari kesurupan, dan karakternya hanya bereaksi terhadap rasa takut. Siapa dan apa yang sebenarnya mereka rasakan di balik ketakutan itu ditutupi oleh film, yang memilih bercerita dengan formula pengungkapan-pengungkapan ‘ternyata begini, ternyata begitu’

 

Ini sangat mengecewakan karena karakter Rara dan Sutan suaminya sebenarnya kompleks. Mereka ini bentukan protagonis yang amat dark. Tapi alih-alih membahas psikologis mereka sebagai sudut pandang utama, film memilih untuk menyimpan sebagai ‘twist’ dan karakter mereka dari awal hingga ke pertengahan-akhir di-reduce sedemikian rupa, hingga penonton di studioku lebih banyak ketawa ngelihat mereka teriak-teriak ketakutan. Ngeliat Sutan yang kayak penakut kocak. Ngeliat Rara yang kayak sok galak tapi nyalinya ciut juga. Selain motivasi, dinamika dua karakter sentral ini sebagai pasangan juga jadi tidak jelas. Like, film bahkan tidak benar-benar berhasil melandaskan kenapa mereka bisa jadi suami-istri yang kompak dan saling cinta. Karena peristiwa mereka bisa ‘jadian’ itu saja melibatkan sengketa berdarah yang cukup pelik. Dengan ‘menyembunyikan’ kompleksnya karakter mereka, film malah jadi bergantung kepada karakter pendukung untuk menggerakkan cerita. Di sini bagiku konyolnya. Karakter dukun dari Malaysia itu, si Yusof, entah kenapa malah dibentuk seperti hero utama. Bentukan dan karismanya dibuat lebih gede daripada Sutan. Dia lebih rasional dan lebih beralasan daripada Rara. Plot jalan karena investigasi yang dia lakukan – bayangkan seorang detektif yang nyentrik, dan supernatural. Dia dibentuk seperti hero, tapi lantas dicut dari cerita sebagai just another surprise setelah fungsi utamanya dirinya sebenarnya terlaksana. Yaitu jadi alat buat mewakili kita mendengar flashback eksposisi.

Trinil: Kembalikan Waktuku

 

Ah, ya, flashback eksposisi. Plot device kegemaran horor-horor Indonesia yang terlalu napsu pengen tayang cepet sehingga malas merampungkan naskah dengan benar. Sebenarnya makek flashback itu gak dosa. Cuma yang sering gak bener adalah pemakaiannya, yang kebanyakan hanya jadi shortcut, hanya jadi ‘kemudahan’ untuk menyampaikan sesuatu. Gini, ketika seorang karakter menceritakan kejadian masalalu, maka flashback kejadian yang kita tonton harusnya ada menampilkan si karakter tersebut. Karena logikanya, dia tidak bisa bercerita tentang hal yang tidak ia ketahui. Kecuali yang ia ceritakan adalah sebuah legenda. Tapi meskipun begitu, film yang bagus akan menggunakan flashback legenda tersebut sebagai sesuatu untuk sang karakter. Entah itu legendanya ternyata salah karena ia adalah karakter yang tak-bisa-dipercaya, atau at some point diungkap peran dia terhadap legenda tersebut lebih besar daripada kelihatannya. Di Trinil, flashback eskposisinya adalah masa kecil Rara, dan kejadian sebenarnya di balik ibu Rara yang menghilang, yang menghubungkan misteri kematian dengan hantu kepala terbang. Flashback tersebut diceritakan kepada Yusof, oleh seorang karakter yang tidak pernah dibangun reliabilitasnya kenapa dia bisa sampai tau semua itu. Kenapa dia bisa sampai tahu posisi eksak orang-orang di dalam cerita, kenapa dia sampai tahu cerita dari berbagai sudut pandang tokoh. Inilah kenapa aku bilang penceritaan harusnya dilakukan dengan lebih matang. Karena semua informasi itu belum benar-benar diramu penyampaiannya. Naskahnya masih kayak basic draft, bahkan karakter-karakternya masih terasa lebih seperti device ketimbang manusia yang hidup di dunia cerita itu sendiri. Pembelajaran Rara, momen yang nunjukin dia berubah jadi pribadi yang lebih baik; dilakukan dengan tiba-tiba ada ‘hantu’ ayahnya datang memberikan nasehat.

Mantra yang berkali-kali terucap di kepalaku saat menonton adalah, masa iya Hanung bikin film kayak gini? Sebenarnya ini gak separah horor-horor ngasal, cuma yang kudapati di sini adalah ‘penyakit’ yang biasanya dilakukan oleh sineas baru yang cara berceritanya belum punya bentuk. Yang belum se-establish seorang Hanung Bramantyo. Apakah tuntutan industri sedemikian jadi momok? Dari segi akting aja, udah kerasa lepas dari standar Hanung yang biasa. Para pemain ekstra tampak lebih lumayan kebentuk dibanding karakter sentral.  Yang paling lumayan adalah Wulan Guritno, karena kebutuhannya di sini adalah jadi hantu yang over-the-top, easily tackled by her. Namun Rangga Nattra sebagai Sutan, jadi kayak lagi main komedi. Fattah Amin mungkin memang diniatkan sebagai stealer, tapi karakternya diintroduce dan diperlakukan dengan build up yang aneh. Carmela van der Kruk, mungkin aku salah satu dari sedikit orang yang sampai sekarang masih ngikutin perkembangan Gadis Sampul, dan aku selalu excited dan dukung dan selalu berusaha nonton kalo ada Gadsam main film. I’m happy Carmela dapat peran utama dan main horor pertama. Apalagi ini filmnya Hanung! Di sini talent fashionnya kepake banget pake dress-dress cute ala Eropa. Jadi kontras setting yang seru di lingkungan horor. Tapi pelafalan dialognya need more work. Apalagi untuk kalimat-kalimat panjang yang masih sering dilakukannya dalam satu tarikan napas. Again, ini seperti kurang tight pengarahan yang dilakukan oleh sutradara di bawah standar Hanung yang biasa.

 




Film pertama yang kutonton di tahun 2024, bukanlah sebuah tontonan yang memuaskan. Setidaknya ada dua ekspektasiku (dari yang seperti yang dijanjikan film) tidak terpenuhi. Pertama soal teror ketindihan, yang ternyata hanya kesurupan biasa, dan film lebih sebagai sebuah sajian teror kejadian-kejadian seram dan eksposisi alih-alih sebagai penyelaman karakter terhadap hal kelam nan kompleks yang mereka lakukan. Kedua soal era politik/sejarah yang dijadikan latar, yang ternyata tidak benar-benar jadi bahasan. Yang mungkin cuma jadi gambaran saja. Ultimately, film ini mengejutkanku karena tidak terasa seperti standar buatan Hanung yang biasa. Bahkan dramanya saja tidak terasa benar-benar kuat. Mungkin ada yang putus lagi selain kepala hantunya?
The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for TRINIL: KEMBALIKAN TUBUHKU

 




 

That’s all we have for now.

Jangan lupa untuk subscribe Apple TV, ada banyak serial dan film-film original yang tayang di sana. Di antaranya adalah Killers of the Flower Moon yang masuk dalam Daftar Top-8 Film Favoritku tahun 2023. Tinggal klik di link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



My Dirt Sheet Top-Eight Movies of 2023

 

Perfilman 2023 basically dibuka oleh kembang api dan ditutup dengan bom.  Dan di tengah-tengahnya kita mendapati diri dikepung dua film dengan vibe sungguh bertolak belakang tapi tayang barengan sehingga malah jadi tren; Barbenheimer. Such an explosive experience! Kita punya dua film tentang Elvis, dua film tentang alien, film-film tentang perilaku sosial media, setidaknya ada dua ‘surat cinta’. Tiga film yang bermain dengan konsep hitam putih. Dan banyak animasi groundbreaking lewat gaya visual mereka. Tahun 2023 rame oleh cerita bergulat dengan duka, cinta kasih yang toxic, while also saw a rise pada cerita-cerita tentang kepercayaan. Reliji, kalo boleh dibilang. Baik film luar, maupun film dalam negeri – ya tentu saja dengan pengarahan dan goal yang berbeda.

Kalo kita flashback sekilas, 2023 memang berasa seperti horor melulu. Tapi enggak juga. Horor memang banyak, menduduki jejeran peringkat atas perolehan penonton terbesar di bioskop kita. Dan yang begonya pun banyak, honestly aku sempat stop menonton semua horor lokal yang tayang pertengahan tahun setelah melihat ada freezer daging di desa yang masih struggle ama bola lampu. Ngikutin perkembangan film terbaru di bioskop pun terasa semakin menantang buatku terutama karena perilaku bioskopnya terhadap horor.  Jika filmnya bukan horor, maka  kemungkinannya cuma dua. Cepat turun layar, atau berkurang – dan bahkan – hanya tayang di bioskop yang jauh-jauh. In a way, pengaruh dominasi genre ini memang ada, namun tetap saja yang membekas kepada para penonton adalah warna-warni lain, film-film yang lebih menawarkan variasi. Film horor bisa jadi menarik jika punya sesuatu yang beda, entah itu sudut pandang cerita atau tema yang jadi latarnya. Like, cerita kehilangan gak mesti jadi horor hantu, kita udah lihat cerita begitu bisa diolah ke dalam tema soal A.I. Memang, sebaliknya, cerita berlatar politik ataupun cerita yang simply tentang hubungan ibu dan anak, juga bisa lebih seram daripada tawaran hantu-hantuan. Intinya, di saat ada genre yang mendominasi, industri harusnya tidak stuk dan latah membuat hal seragam. Harus tetap kreatif. Sebenarnya dari judul ketaker tuh kreativitas pembuatnya, kalo udah pake keyword-keyword template kayak content creator ngincer SEO, isi filmnya nanti paling cuma flashback ama twist ‘siapa sebenarnya yang jahat’.

Tahun ini jumlah film yang sukses tereview menurun dari sebelumnya. Hanya 115 film. Sebenarnya yang ditonton ada lebih banyak, hanya aku memutuskan beberapa film baiknya enggak usah diulas. Atau beberapa film ‘kalah bersaing’ untuk spot di mini review. Tapi jangan kuatir, meskipun jumlahnya gak lebih banyak daripada saat masa pandemi, ini ujungnya tetap menjadi sebuah list yang menarik. In fact, aku sendiri malah surprised sama hasilnya. Kok jadi seru juga nih?

 

 

HONORABLE MENTIONS

  • Asteroid City (very stoic and weird way untuk belajar tentang duka dan hal-hal abstrak yang tidak kita mengerti lainnya)
  • Babylon (surat cinta dengan full energi chaotic kepada industri film)
  • Barbie (eksplorasi eksistensi dan bahasan menantang soal dinamika gender, di balik sekadar jualan produk)
  • Beau is Afraid (cerita yang disturbing dan hard to watch tentang pria yang jadi penakut, gara-gara kasih sayang ibunya)
  • Budi Pekerti (menelanjangi perilaku bersosmed masyarakat kita yang semakin menjadi-jadi)
  • Concrete Utopia (bencana yang dipotret powerful oleh film ini bukan exactly runtuh tanah/gempa, tapi runtuhnya kemanusiaan)
  • Evil Dead Rise (rise above all horrors yang berusaha tetap campy namun berisi)
  • No One Will Save You (invasi alien dengan konsep tanpa dialog yang unik, dan konteks kehidupan sosial yang menohok)
  • Oppenheimer (biopik yang meledak oleh tsunami fakta, dan hebatnya Nolan kali ini, tidak void dari emosi)
  • Suzume (ketika duka penyintas disulap menjadi petualangan romance dan fantasi yang superkreatif)
  • Teenage Mutant Ninja Turtles: Mutant Mayhem (bukan cuma jualan style animasi yang unik, ini actually film KKN yang benar bagus)
  • Theater Camp (seperti Babylon kepada film, ini adalah bentuk tertinggi dari sebuah kecintaan kepada teater: mampu menertawakan tapi sekaligus menceritakan dengan penuh passion)
  • The Royal Hotel (thriller psikologis realis ketakutan perempuan, thanks to sikap cowok-cowok )

Special Shout Out buat film yang ulasannya paling banyak dibaca yaitu Sewu Dino, dan buat film yang video ulasannya di channel YouTube mydirtsheet paling banyak ditonton; yaitu Hati Suhita. Dua film ini benar-benar represent genre yang lagi populer di Indonesia tahun 2023.

Oke, sekarang inilah DELAPAN BESAR 2023!! 

–PS: seperti biasa, klik di judulnya untuk dibawa ke halaman full-review masing-masing

 

 

 

8. JATUH CINTA SEPERTI DI FILM-FILM

Director: Yandy Laurens
Stars: Ringgo Agus Rahman, Nirina Zubir, Alex Abbad, Sheila Dara Aisha
MPAA: 13+
IMDB Ratings: 8.7/10
“Hidup emang enggak bisa di-retake, tetapi masih bisa dibikin sekuel.”

 

Jujur, ini film yang paling lama pertimbanganku untuk dimasukin ke daftar Delapan-Besar. Konsep berduka dan hitam-putihnya dilakukan dengan lebih baik oleh Asteroid City, karya Yandy Laurens ini masih terasa terlalu khawatir ama urusan ‘ngasih surprise’ ke penonton. The big buts yang akhirnya meloloskan film ini adalah pertama karena ini tentang bikin film – favoritku banget. Dan ini kentara begitu personal. Konsep metanya berhasil selain bikin penonton konek sama karakter yang deep dan berlapis (dua manusia pada usia yang sudah terlalu ‘tua’ untuk cinta) tapi juga jadi peduli sama proses nulis atau bikin film. Drama dan hiburan datang lewat visual berlapis dari struggle penulis skenario berusaha naskah personal yang ia tulis mendapat green light untuk diproduksi. tanpa perubahan. Banyak celetukan lucu tentang industri perfilman terlontar dari sini.

Makanya film ini jadi unik dan urgent.  Sedikit too extra pada konsep, tapi ini tetap sebuah presentasi cerita yang menyenangkan, menghangatkan, bahkan membuat kita menertawakan sesuatu yang kita sayangi.  This movie feels like love itself. Nonton ini bikin aku pengen balik lanjutin menuntut ilmu nulis skenario lagi, dan aku senang film ini bikin orang aware sama teknis-teknis nulis skenario. Setidaknya, ini jadi assurance buatku kalo penulis film kita memang berilmu semua. Mereka cuma seringkali harus ‘mengalah’ sama produser/investor. Harapan lebih banyak film bagus dan berani ambil resiko masih terus menyala

My Favorite Scene:
Film ini punya segudang adegan-adegan memorable. Mulai dari adegan drone saat ngebut-ngebutan, scene Hana marahin Bagus, scene-scene kocak bersama produser. Yang paling aku suka adalah scene saat Bagus syuting, dan para aktor mempertanyakan karakter di dalam ceritanya. Momen ketika mata Bagus terbuka melihat dan mulai mengenali kesalahannya sendiri.

 

 

 

 

 

 

 

7. KILLERS OF THE FLOWER MOON

Director: Martin Scorsese
Stars: Leonardo DiCaprio, Lily Gladstone, Robert De Niro, Jesse Plemons
MPAA: Rated R 
IMDB Ratings: 7.8/10
“Can you find the wolves in this picture?”

 

Masuk pertengahan akhir 2023 aku was-was. Aku masih belum menemukan film yang pantas untuk dikasih skor 8.5. Martin Scorsese jadi hero buatku lewat film ini. Killers of the Flower Moon jadi film pertama di 2023 yang dapat skor 8.5, dan itu bukan karena aku desperate. Karena filmnya memang sebagus itu. Alih-alih ngambil arahan gampang menjadikan ini tipikal whodunit, Scorsese membuat cerita ini jadi lebih fungsional dan berlapis dengan menjadikannya sebuah drama karakter. Dia bahkan mendobrak formulanya sendiri, ini cerita pria bobrok, tapi prianya sama sekali tidak keren ataupun inspirasional. Yang inspirasional di sini ‘hanya’ penampilan aktingnya haha, Lily Gladstone seriously perlu diganjar Oscar.

Mengadaptasi cerita berdasarkan sejarah pendatang kulit putih di tanah Osage milik bangsa Indian, film ini tidak lancang dengan ngasih penyelesaian yang menuntaskan cerita. Cara Scorsese mempersembahkan cerita yang bukan miliknya ini begitu humble dan berkelas. Dia bikin film yang bikin kita malu kalo relate sama protagonisnya. Dan impactnya jadi luar biasa karena film ini hadir pas banget dengan horrible genocide event yang sedang berlangsung. Orang yang datang malah menjajah, ingin menguasai lebih dari hak mereka, sampai melakukan apapun termasuk kejahatan kriminal. Kekuatan film ini jadi terdisplay full, nunjukin gimana pun tetap ujungnya rasis. Mendahulukan kepentingan golongan. Dan ultimately, perut sendiri. 

My Favorite Scene:
Menelisik lewat romansa dua karakter sentral, yang tampak genuine, tapi dialog menjelang akhir saat si perempuan Indian menanyakan suntikan insulin yang diberikan oleh suami kulit putihnya, maaan buatku itu adegan dengan penampilan akting dan arahan yang menantang banget. Salah-salah kita malah jadi simpati ama si Leonardo DiCaprio.

 

 

 

 

 

6. KEMBANG API

Director: Herwin Novianto
Stars: Donny Damara, Ringgo Agus Rahman, Marsha Timothy, Hanggini
MPAA: 17+
IMDB Ratings: 7.0/10
“Urip iku urup”

 

Yup, inilah salah satu surprise I talked about. Surprised yang kurasakan ketika menyusun daftar ini. Ada dua film Indonesia yang masuk!! (Tadinya malah mau tiga, tapi nanti ada waktunya untuk dibahas). Tahun 2023 at least ada tiga film yang bicara tentang karakter yang mau bunuh diri. Kalo bukan karena film ini, tren tema tersebut bisa mengkhawatirkan. Karena orang-orang harus realized, bunuh diri itu enggak keren. Bukan penyelesaian dramatis, melainkan masalah satu lagi yang harus diselesaikan. Harus diapproach dengan hati-hati. Film ini berhasil melakukan kehati-hatian itu.

Anti-bunuh diri disampaikannya secara respek dengan vibe kekomedian (meskipun tidak sampai menjadikannya bahan olokan) Hati film ini kuat banget. Naturally ini karena cerita ini adaptasi dari film Jepang, di mana concern bunuh diri memang gede. Di sana malah dianggap sebagai tradisi kehormatan. Tapi yang bikin aku kagum sama adaptasi ini (biasanya aku antipati sama adaptasi film luar yang bisanya cuma nyontek), Kembang Api actually lebih mudah deliver pesannya kepada kita dibandingkan film aslinya. Proses adaptasi yang berhasil membawa kehati-hatian dan respek terhadap tema ke karakter dan permasalahan dan penyelesaian yang lebih relate ke sosial kita, itu yang bikin film ini keren dan penting.

Konsep time loopnya selain jadi perenyah bahasan, juga jadi pesona tersendiri yang menambah variasi buat tontonan kita. Menurutku film ini perlu dinobarkan di sekolah-sekolah sebagai counter dramatisasi bunuh diri yang mulai marak jadi konten di sosial media.

My Favorite Scene:
I don’t really have favorite scene here, karena kayaknya adegan-adegan light-heartednya itu punya underline tragis semua. But I do have favorite line, yaitu pas karakter si Ringgo Agus bilang “mau mati aja susah” (hei, aku baru sadar 2 film Indo yang masuk Top-8 ini ada Ringgo Agus Rahman!). Dan aku juga suka banget gimana film menuliskan karakter Hanggini.  Si Anggun benar-benar mewakili ‘simtom’ tak-terdeteksi dari orang yang mau bunuh diri. Dari orang yang depresi. Like, kita gak akan pernah tau orang itu depresi sampai dia akhirnya ditemukan mati bunuh diri, karena biasanya orang-orang itu justru tampak lebih ceria, lebih luwes, lebih open — ya kayak gimana Hanggini mainin si Anggun. Tampak smart dan cemerlang.

 

 

 

 

 

 

5. THE BOY AND THE HERON

Director: Hayao Miyazaki
Stars: Soma Santoki, Masaki Suda, Yoshino Kimura, Aimyon
MPAA: Rated PG 13
IMDB Ratings: 7.6/10
“Will you continue my work?”

 

Bicara soal mati, well, this is anime yang ngajarin kepada anak-anak bahwa mati adalah hal yang harus kita pahami untuk melanjutkan hidup. Karena mati adalah bagian dari hidup. Dan oh boy, ‘kematian’ yang dibicarakan film ini punya spektrum luas. Aku menduga film ini juga biografi pembuatnya yang berangkat dari gimana dia kesulitan menghadapi akhir dari karirnya – yang kita semua gak mau itu terjadi, but that day will eventually come.

Terdengar berat? Memang. Boleh dibilang ini salah satu film Studio Ghibli yang paling njelimet. Tapi itu bukan berarti film ini kehilangan kemagisan khas Ghibli itu. Justru sebaliknya. Film dengan dream logic ini menaikkan kemagisan itu ke another level. Batas fantasi/sihir dan realita dunia cerita kabur banget, ini bikin ngikutin cerita jadi seru dan menantang. Lapisan-lapisan fantasi dan personal yang saling tersulam satu sama lain. Ngasih kita karakter-karakter absurd yang ikonik. Petualangannya memang sekilas terasa kurang epik, tapi yang dilalui karakter utama di film ini hampir-hampir keluar garis semua haha… Aku kaget sendiri ketika tiba-tiba ada adegan dia mukul kepalanya sendiri pake batu sampai berdarah. Tapinya lagi, semuanya itu bekerja klop ke dalam karakter. Di dalam grand design yang terbangun begitu menakjubkan oleh film yang terasa begitu deep dan personal ini.

My Favorite Scene:
Mahito bertemu burung pelikan yang sekarat. Momen yang membuka mata Mahito tentang kematian, dan juga soal keadaan yang membuat orang ‘berperang’ dan harus mati. Momen yang berujung dengan Mahito menguburkan si burung yang ia kenali sebagai musuhnya. Film ini bergerak di lapisan yang dalam seperti itu.

 

 

 

 

 

 

4. THE WHALE

Director: Darren Aronofsky
Stars: Brendan Fraser, Sadie Sink, Ty Simpkins, Hong Chau
MPAA: Rated R 
IMDB Ratings: 7.7/10
“Do you ever get the feeling that people are incapable of not caring?”

 

The Whale bukanlah cerita tentang orang yang gendut kemudian meratapi nasibnya. Justru sebaliknya, film ini adalah tentang orang yang sudah tahu dirinya tak tertolong, tapi dia mencoba menolong orang-orang terdekatnya untuk menemukan hati mereka, supaya gak salah langkah kayak dia dulu. Aku iri sama Charlie yang masih bisa begitu optimis kepada orang lain, meskipun dirinya telah menyerah kepada dirinya sendiri. Loh? Iya, di situlah kompleksnya cerita film ini. Aku ingin seperti Charlie yang percaya bahwa masih ada cinta dan kepedulian pada semua orang, bahwa people incapable of not caring. Mereka cuma harus jujur kepada diri sendiri. Dan kepercayaan Charlie tersebut benar. Man, aku hampir nangis di ending. 

Yea, ini film tentang orang yang low key sama aja dengan pengen bunuh diri, tapi gak ada yang diromantisasi di sini. Lihat betapa ‘brutalnya’ penampilan Charlie. Gak bakal ada yang mau kayak dia. Brendan Fraser juara banget di sini, kalo bukan karena persona dan pemahamannya terhadap Charlie, karakter dan film ini gak bakalan worked seindah – dan semenyedihkan – ini. Film bersikukuh untuk kita melihat Charlie tanpa belas kasihan. Ini adalah drama di satu tempat tertutup, with nothing but dialog dan raw emotions. Makin ditonton, makin powerful!

My Favorite Scene:
Everytime dia berusaha nunjukin cinta dan ngasih semangat kepada anak gadisnya. Nge-encourage untuk nulis dan sebagainya. Puncaknya, ya di ending itu. Kalo ada yang membuncah selain berat badan si Charlie, maka itu adalah emosiku nonton adegan-adegan mereka berdua.

 

 

 

 

 

 

3. DREAM SCENARIO

Director: Kristoffer Borgli
Stars: Nicolas Cage, Julianne Nicholson, Michael Cera, Dylan Gelula
MPAA: Rated R 
IMDB Ratings: 7.1/10
“Trauma is a trend these days. It’s a joke. Everything is trauma. Arguing with a friend is trauma. Getting bad grades is drama. They need to grow up.”

 

Ini nih filmnya. Bukan hanya berhasil menggugurkan posisi Budi Pekerti di Top-8 ini, Dream Scenario berhasil membuatku merombak keseluruhan list. Aku nonton film ini di ‘detik-detik’ terakhir. Kureview sebagai batch terakhir mini review. Dan aku suka banget sama filmnya.

Kenapa dia bisa gugurin Budi Pekerti? Karena bahasannya sebenarnya serupa, tapi (meskipun skor mereka sama karena urusan teknis dsb) Dream Scenario membawa bahasan itu ke level yang lebih surealis. Which is also my soft spots for movies.  Alih-alih viral karena ngelakuin hal di sosmed, di film ini ceritanya karakter Nicolas Cage viral karena hal yang ia lakukan di mimpi orang lain. Bayangkan hahaha… dibenci satu dunia karena hal yang tidak kita lakukan. Dibenci untuk hal yang dimimpikan oleh orang lain. Inilah yang bikin satir film ini jadi lebih menohok. Menyamakan perlakuan kita mengidolakan orang di sosmed atau menjudge orang lewat interpretasi sosmed dengan kalo kita ngejudge orang lewat hal yang ia lakukan di mimpi. Lewat hal yang cuma mimpi kita. Kocaknya deep banget hahaha

Jenius sekali film ini ngasih lihat kita seringkali kegocek sama fantasi kita sendiri. Selain itu film juga nyindir persoalan yang sejalan dengan gimana bunuh diri menjadi tren dramatis di sosmed. Yaitu bahwa kita suka berfantasi dengan trauma, seolah mengalami hal traumatis itu tren dan kita ‘berharga’ ketika mengalamin itu.

My Favorite Scene:
Aku bukan penggemar Cage, tapi kupikir di sinilah aku paling bisa melihat bahwa dia punya range yang luas, dan dia tau timing yang precise untuk nempatin akting-aktingnya. Dia bisa jadi grounded, bisa over the top, dengan mulus di sini. Momen yang paling kusuka adalah ketika mahasiswanya dikumpulin di lapangan basket untuk terapi, lalu dia disuruh masuk oleh terapis. Niatnya supaya mahasiswa tidak lagi takut melihat dia sebagai sosok nyata. Cara dia masuk ke hall, dan cara dia berjalan mendekat, kupikir itu lawak sekali karena kayak biasa-biasa saja tapi ada so many emotions di situ hahaha

 

 

 

 

 

 

2. THE HOLDOVERS

Director: Alexander Payne
Stars: Paul Giamatti, Dominic Sessa, Da’Vine Joy Randolph
MPAA: Rated R
IMDB Ratings: 8.0/10
“Every generation thinks it invented debauchery or suffering or rebellion, but man’s every impulse and appetite from the disgusting to the sublime is on display right here all around you”

 

Baru tadi pagi saat mau mulai nyusun daftar ini, aku membaca di Twitter soal pelajaran sejarah banyak yang dihapuskan di sekolah-sekolah. Aku langsung bayangin Pak Paul Hunham ngamuk soal ini, langsung bergaung quotesnya soal pentingnya sejarah bagi anak muda. Ya, film karya Alexander Payne ini memang menekankan gimana pentingnya kita untuk memahami ‘sejarah’ seseorang, dan diri sendiri, supaya bisa melanjutkan hidup dengan lebih baik. Kinda melengkapi si The Boy and the Heron yang justru tentang menerima ‘masa depan’ untuk menjalani hidup.

Bungkus luar film ini awalnya kupandang remeh. Kirain tentang hubungan murid nakal dan guru galak yang terjalin saat sama-sama menghabiskan nataru di sekolah yang kayak penjara kosong. Awalnya memang para karakter di sini tampak seperti karikatur dari tipe-tipe karakter komedi. Tapi film ini much much more than that. Penampilan akting mereka menembus karikatur itu lebih dulu sebelum pembelajaran karakter mereka bekerja. Slot nominasi award ku yakin bakal penuh oleh dua, eh tiga ding, karakter sentral di sini.

Funny, emotional, real. tentang anak muda, orangtua, dan orang yang beneran sudah tua sekaligus. Mereka menemukan cinta dan kasih sayang dengan berdamai dengan masa lalu. Dengan sejarah yang mereka kira bakal mendikte gimana mereka ke depannya. Film ini gak exactly inspirational, like, gak memotivasi kita untuk merasa spesial dan punya kekhususan seperti para karakter di dalam ceritanya. Justru sebaliknya. Karakternya broken enough untuk membuat kita peduli dan memetik pelajaran di balik gimana mereka akhirnya – melawan kemauan dan kesadaran sendiri – menjadi lebih erat bahkan dari keluarga sedarah. Film ini membuat apa yang sepertinya karikatur berubah menjadi truly menghangatkan dengan seefektif namun sesederhana itu.

My Favorite Scene:
Selain pilihan ending yang terus menantang karakter, aku paling suka saat Tully menodong gurunya dengan pertanyaan seputar ‘kesalahan’ yang si bapak lakukan di masa sekolah. Dialog mereka itu berlangsung sambil keduanya ngiterin rak etalase di toko. Buatku itu adegan dinamis yang bercerita lebih banyak dibanding yang ‘terdengar’ oleh kita. The way Tully terus mengejar, tak lagi menganggap gurunya boring. The way Paul berbelok menghindar. Momen kecil seperti itu yang bikin filmn sederhana tapi bisa sangat hidup.

 

 

 

 

Aku gak pernah ngerti kenapa sebelum mereveal ‘pemenang’ atau sesuatu di puncak, kita harus berhenti dulu. Katanya sih buat ‘ngebuild up’ antisipasi. Kalo di tv, bakal ada jeda iklan sebelum puncak award. Kalo di WWE bakal ada spot komedi atau promo video dulu sebelum pertandingan utama. Di blog sepertinya gak perlu karena kalian bisa tinggal scroll dan skip bagian ini. But I still made this paragraph anyway. Kalo dipikir-pikir lagi, sekarang aku membuat ini buat diriku sendiri. Karena aku butuh napas sebelum ngasih kejutan yang bahkan tak terpikir sebelumnya olehku untuk menjadikan ini sebagai kejutan. Bukan karena filmnya gak bagus loh. Justru karena bagus dan pantas banget makanya kayak, harusnya ini ada di daftar favorit banyak orang mau paling atas atau bukan. Harusnya dia jadi favorit udah bukan jadi kejutan.

So, inilah film nomor satuku di 2023. Film yang aku pikir paling underrated sepanjang tahun, karena dia film anak-anak, dan also somekind of film religi.

 

 

1. ARE YOU THERE GOD? IT’S ME, MARGARET.

Director: Kelly Fremon Craig
Stars: Abby Ryder Fortson, Rachel McAdams, Kathy Bates, Benny Safdie
MPAA: Rated PG-13
IMDB Ratings: 7.4/10
“What I learned about religion is that it makes people fight”

 

I did it. Dulu aku pernah kepikiran, mungkin gak sih kalo film religi bisa bercokol di posisi satu film yang kusuka. And here she is. Yang benar-benar aku suka dari film ini adalah cara mereka mengaitkan kisah coming-of-age seorang gadis cilik dengan bahasan yang hanya berani diangkat oleh sedikit sekali orang, apalagi di jaman sekarang. Soal pertanyaan terhadap agama. 

Film ini bernas. Berani, tapi juga tidak terjebak. Margaret merasa tidak menemukan jawaban atas pertanyaan hidupnya karena enggak tahu cara menghubungi Tuhan yang benar. Maka Margaret nyobain berbagai macam ibadah. Pada satu minggu dia ikut nenek ke kanisah. Minggu berikutnya dia ikut temannya ke gereja protestan. Kesempatan lainnya dia ngintilin temannya melakukan pengakuan dosa di gereja katolik. Margaret menyebut, dia suka dengar ceramah, nyanyi-nyanyi, dan sebagainya, tapi dia belum merasakan keberadaan Tuhan di tempat-tempat itu. Tapi film tidak pernah memaksa Margaret membuat keputusan. Dua nenek Margaret yang maksa hingga sempat saling bertengkar, masing-masing berusaha membujuk Margaret memeluk agama mereka. Sedangkan film tetap berada di pihak orangtua Margaret. Melindungi sang anak dari semua pengaruh itu. Bukan karena tidak setuju dengan salah satu, melainkan karena itu adalah hak Margaret untuk memutuskan di saat dirinya sudah siap nanti.

Ini yang bikin aku terenyuh karena tahu film ini punya hati di tempat yang benar. Tadinya aku nonton adaptasi novel anak populer ini karena pengen lihat Regina George jadi ibu. Aku gak expect film ini begitu indah dan menghangatkan hati. Film ini tahu topiknya bisa kontroversi tapi gak mau ke sana, bukan karena takut resiko. Tapi karena tahu mana yang lebih penting.  Singgungannya mungkin kena ke kita yang seringkali cenderung fanatik, tapi ini sesungguhnya lebih untuk berkait cantik dengan soal perkembangan anak. Biarkan anak-anak tumbuh, sebagai dirinya sendiri, dan pada waktu miliknya sendiri. Childhood semestinya adalah pertumbuhan yang mereka alami dengan natural, dengan pacenya sendiri. Penceritaan film ini tidak pernah terasa menggurui, namun terasa sangat jujur mengalir dari perspektif utamanya itu.

I don’t think film kita sekarang berada di level yang berani dan mampu untuk ngangkat kisah dengan apa adanya dan tanpa tendensi seperti ini. Makanya film ini jadi juaraku. Film-film lain juga sama punya nilai urgent yang berharga, tapi aku paling inilah yang paling aku mau tidak pernah lupa ia ada.

 

My Favorite Scene:
Exactly adegan yang jadi petikan kukutip di atas. Setelah seharian kita melihat Margaret dan teman-teman dengan polos dan lucunya insecure dalam bertumbuh. Tiba malam hari, dia galau dan mencoba ngobrol dengan Tuhan. Tapi dia menemui kendala dan suatu malam dia hampir menyerah mencari Tuhannya:

 

 

 

 

 

So, that’s all we have for now.

Itulah daftar Top Movies 2023 My Dirt Sheet. The magic word of the year is ‘URGENCY’. As in, film-film ini penting untuk kita tonton dan tidak kita lupakan, karena mereka important, dan takutnya mereka akan lost in the shuffle di tengah arus dan dominasi genre tertentu yang tampak semakin secure sehingga kualitasnya semakin tak terjaga.

Berikut lengkapnya 115 film yang sudah direview dan dinilai di sepanjang tahun:

Apa film favorit kalian di tahun 2023? Apa harapan kalian untuk film di tahun 2024 ini?

Share with us in the comments 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We are the longest reigning PIALA MAYA’s BLOG KRITIK FILM TERPILIH.

 
 

 

MINI REVIEW VOLUME 13 (13 BOM DI JAKARTA, SALTBURN, MAY DECEMBER, PRISCILLA, THE FAMILY PLAN, DREAM SCENARIO, THANKSGIVING, THE HUNGER GAMES: THE BALLAD OF SONGBIRDS & SNAKES)

 

 

Batch terakhir sebelum ngisi rapor buat nyusun daftar Top-8 Movies of 2023, who’s excited? Dengan Volume ini, pr-ku rampung, dan semoga bisa liburan dengan tenang. Karena film-film di Volume ini bener-bener aku kejar tayang nonton! (eh, apa ‘kejar nonton’ aja kali istilahnya, ya?) Tapi sebagai penutup tahun, film-film ini ngasih experience yang ‘wah’ juga. So sebelum liburan dimulai, mari kita langsung saja ‘hajar’ dengan ulasan!!

 

 

13 BOM DI JAKARTA Review

Wow Volume 13, pembukanya film 13 Bom haha.. Anyway, tahun lalu sukses dengan action heist, Angga Dwimas Sasongko kini kembali dengan tawarkan action yang lebih gede. ‘Film action Indonesia terbesar tahun ini” begitu bunyi tagline di posternya. Kurang gede apa coba. Pasalnya, tahun lalu itu ‘kebetulan’ saja film Mencuri Raden Saleh disukai karena ngasih genre yang tergolong baru di film kita. Filmnya sendiri, seperti yang kuulas di sini, sebenarnya overrated lantaran naskahnya lemah. Pada 13 Bom di Jakarta terulang lagi kelemahan yang sama (kalo gak mau dibilang lebih parah). Actionnya sangat gede dan elaborate, tapi tanpa atau dengan sedikit sekali hal yang make sense soal kenapa action itu bisa sampai terjadi atau dipilih oleh karakter ceritanya.

Menarik sebenarnya, persoalan yang diangkat film ini. Soal terorisme, yang enggak terjebak di dalam lingkaran agama. Melainkan lebih ke celetukan sosial tentang gambaran keadaan ekonomi masyarakat. Jadi ceritanya sekelompok teroris tak dikenal mengancam Jakarta dengan 13 bom yang akan diledakkan satu per satu jika tuntutan mereka tak dipenuhi. Para teroris gak mau duit tunai, mereka meminta duit digital. Krypto. Bitcoin. Sehingga dua pemuda pemilik start-up bitcoin yang dipakai oleh teroris jadi terseret ke dalam kasus. Dicurigai, nyaris jadi korban. Kesalahan pertama naskah film ini adalah tidak dengan clear menunjuk siapa karakter utama. Apakah pemuda start-up. Apakah pimpinan teroris. Apakah agen perempuan di Badan Anti-Teroris yang somehow selalu ‘dilawan’ oleh partner cowoknya. Atau apakah pemimpin dari pasukan antiteroris itu sendiri. It would be much better jika film sedari awal mengarahkan ini sebagai cerita dari banyak perspektif.

Actionnya sendiri enggak jelek, tapi arahannya agak-agak cheesy. Film ini, aku bilang, kayak kalo Michael Bay trying to make film Nolan. Like, Bay mau bikin action explosive tapi dengan ‘kecerdasan’ ala Nolan. Hasilnya, film ini jadi snob yang berusaha kelihatan jago, berusaha terdengar pinter. Dengan ‘twist’ standar soal ada karakter yang sebenarnya jahat, dan scheme teroris yang sekilas tampak massive. Tapi kok ya dipikir-pikir sangat unnecessary. Like, kenapa musti 13 bom kalo ternyata si teroris sudah menyusupkan orang yang bisa dengan gampang langsung melancarkan ‘bom pamungkas’.

The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for 13 BOM DI JAKARTA

 

 

DREAM SCENARIO Review

Karya Kristoffer Borgli ini bikin aku ngakak begitu menyadari bahwa komedi horor ini sebenarnya kayak dream counterpart dari yang dibahas oleh Budi Pekerti (2023). Film ini bahkan ada menggunakan istilah ‘pendagogy’ as opposed to Budi Pekerti yang judul internasionalnya adalah ‘andragogy’

Kenapa kusebut dream counterpart? Karena unlike di Budi Pekerti yang karakter gurunya jadi dimusuhin satu kota gara-gara videonya viral di sosial media, Dream Scenario bercerita tentang dosen yang diantagoniskan semua orang karena si dosen (yang diperankan dengan brilian oleh Nicholas Cage, yang tau betul timing dan pembawaan antara akting ‘nyata’ dengan ‘sureal’) for some reason, muncul dalam mimpi orang-orang. Jadi dosen ini dijauhi karena hal yang bahkan tidak ia lakukan hahaha… Dia yang tadinya menikmati perhatian semua orang karena dia jadi terkenal muncul di mimpi orang-orang sebagai bystander yang doing nothing, jadi stress saat mimpi orang-orang itu semakin aneh. Di mimpi mereka, si dosen jadi pembunuh!

Sebenarnya ini gambaran perilaku manusia yang jenius sekali sedang dilakukan oleh naskah. Tentang gimana kita, manusia pelaku media sekarang, suka kemakan khayalan sendiri. Kita mengelukan berlebihan orang yang tidak benar-benar kita kenal – karena tren tertentu, misalnya – dan lantas kita terganggu sendiri saat ‘image-image’ tentang orang tersebut, yang kita ciptakan sendiri secara kolektif, menjadi semakin liar. Kita menciptakan ‘dream scenario’ sendiri, dan menelannya bulat-bulat sebagai fakta. Kita kegocek ‘fakta impian’ kita sendiri. Buatku film ini berhasil menceritakan itu lewat kehidupan karakter yang bukan hanya terseret, tapi juga tetap ada pembelajaran dalam dirinya. Lapisan di balik karakterisasi dan situasi yang ia alami – aku gak bilang sampai demikian kompleks – tapi berhasil tersusun menjadi sebuah hiburan surealis. Bakal langka banget film kayak gini.

The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for DREAM SCENARIO

 

 

 

MAY DECEMBER Review

Dari komedi berlapis satu ke komedi berlapis yang lain. May December karya Todd Haynes ranahnya bukan sureal, tapi lebih ke drama psikologis dengan undertone yang sebenarnya dark. Sekilas, kayak kisah inosen seorang aktris yang ingin mendalami peran. Peran yang sedang dirisetnya itulah letak darknya. Dia memerankan seorang perempuan yang menikah dengan ‘daun muda’, yang jauh banget rentang usianya. Mereka menikah karena melakukan hal yang basically, itungannya udah tindak kriminal. Tante-tante kepada seorang anak SMP. Jadi, si aktris ini, Elizabeth, selama beberapa waktu hidup di keseharian keluarga ‘bermasalah’ tersebut, Gracie dan suaminya yang kini sudah dewasa, dan mereka punya tiga anak yang sudah masuk usia kuliah. Demi method acting, si Elizabeth ingin mengenal kehidupan Gracie, supaya dia bisa memerankannya nanti dengan lebih baik, lebih mengerti tentang apa yang dilalui Gracie. Karena, katanya, dia ingin bikin film yang tidak menjudge kehidupan Gracie dan keluarga.

Nonton ini bikin kita sadar bahwa there’s no way kita bisa mengerti kehidupan orang. Urusan orang, seharusnya jadi urusan mereka sendiri. Walaupun memang di film ini kita melihat Elizabeth jadi katalis bagi orang-orang di sekitar Gracie – terutama suaminya – untuk bisa melihat apa yang sudah ia lewatkan di dalam hidup. Mungkin inilah yang paling keren dilakukan oleh film. Membuka luka, memaksa karakter melihat luka, tapi bukan untuk disalah-salahin. Film ini menceritakan imbang, semuanya dikembalikan kepada karakter masing-masing. Bagi yang kelewat batas, mereka akan jadi seperti Gracie dan Elizabeth.  Dua orang yang bukan cuma ‘dimiripin’ secara fisik, tapi sebenarnya punya ‘masalah’ yang sama. Sama-sama terlalu naif, dan menggunakan kenaifan itu sebagai defense. Film berakhir ketika masing-masing mereka dihadapkan kepada akibat dari kenaifan tersebut.

Natalie Portman dan Julianne Moore. Man. Di sini akting mereka beneran ada berlapis-lapis. Susah kita menunjuk garis mana ketika Natalie jadi Elizabeth sebagai Elizabeth, mana ketika jadi Elizabeth try to be Gracie. Mana batas aktingnya. Mana batas Gracie bohong dan mana yang dia beneran sudah nerimo.  Aku selalu punya soft spot buat film yang nunjukin adegan-adegan belakang layar bikin film, dan ending film ini buatku adalah one of the best yang nunjukin gimana seorang aktris berusaha berakting karena sudah merasa sudah ngerti karakternya, tapi kemudian dia ragu sendiri.

The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for MAY DECEMBER

 

 

 

PRISCILLA Review

Kadang aku takjub sendiri ama yang namanya kebetulan. Like, kompilasi ini kan urutannya berdasarkan abjad, tapi ternyata bisa nyambung. Tadi dari komedi berlapis, kini nyambung dari cerita relationship dengan minor satu ke yang lain. Film tentang Priscilla yang waktu masih sekolah, kebetulan, bertemu dengan orang yang kenal dengan Elvis Presley, dan mengajaknya ketemu Elvis. Sehingga Elvis jadi jatuh cinta kepada Priscilla. Sofia Coppola membuat ini sebagai biografi yang benar-benar menelisik romansa kompleks yang dirasakan seorang Priscilla ketika berhubungan dengan salah satu manusia paling tersohor di jagat dunia hiburan.

The respect is there. Kepada kedua sosok. Tapi yang paling bersinar tentu saja adalah karakter Priscilla. Yang benar-benar diselami. Ini particularly menarik, karena di awal tahun ini kita sudah melihat mereka dari sudut pandang cowok di biografi Elvis. Menarik kedua buatku adalah karena yang jadi Cilla adalah Cailee Spaeny, yang awal muncul di film yang lebih mainstream kayak Pacific Rim atau Bad Times at the El Royale. Di sini dia main bagus bangeett. Bukan mau bilang pasangan Elvis-Cilla bukan ‘mainstream’, loh. Cumak memang filmnya ini diarahkan bukan sebagai tontonan sensasional, melainkan lebih ke sebuah selaman terhadap tokoh figur itu sebagai sebuah karakter cerita. Film enggak main gampang, menuding Elvis sebagai predator atau manipulatif, misalnya. At least, di film ini dia diperlihatkan menegaskan Cilla untuk melanjutkan sekolah dulu. Perasaan Cilla sebagai seorang gadis biasa yang punya pacar superstar, yang berkecamuk oleh gairah, oleh insecurity. itu yang difokuskan oleh film.

Tapi juga sebagaimana film-film dari tokoh nyata, dari kehidupan mereka. ada aspek-aspek cerita yang enggak benar-benar klop untuk dimasukkan ke alur film. Ada beberapa hal yang mestinya bisa dibikin lebih dramatis atau gimana, tapi enggak bisa karena ‘bukan begitu kejadian aslinya’. Film ini buatku sering terkendala di hal-hal seperti begitu. Naik turun alurnya enggak bisa benar-benar diatur ke flow atau struktur film. Kadang konfliknya muncul, ilang lama, lalu muncul lagi. Gitu-gitu.

The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for PRISCILLA

 




SALTBURN Review

Ingat tadi aku ngomongin soal kebetulan di urutan kompilasi ini? Well, yah, yang jadi Elvis di Priscilla adalah Jacob Elordi. Tahun ini dia main di tiga film lagi selain itu. Tebak satu judul film lainnya. Yup. Saltburn karya Emerald Fennell ini. But while Jacob Elordi di sini masih punya vibe superstar kayak Elvis, toh bintang sebenarnya di Saltburn adalah Barry Keoghan. Aktor satu ini, gila, dia tuh udah kayak spesialis karakter awkward gak ketebak tapi sekaligus juga tampak berbahaya. He was born for this role, for this story.

Saltburn juga actually sebuah dark comedy, yang benar-benar menekankan kepada kelamnya itu sendiri. Keoghan di sini jadi Olliver, maba (mahasiswa baru) yang cupu. Awalnya film ini tampak seperti kisah Olliver yang berusaha memberanikan diri untuk masuk ke circle karakternya si Elordi. Kita melihat cowok jangkung itu melalui gaze-nya Olliver, kita pikir ada cinta ‘terlarang’ di sana. Tapi perlahan gaze dan sikap Ollie tersebut menjadi semakin intens. Dari gairah menjadi semacam ingin memiliki. Ingin menguasai. Transformasi film lewat karakter utamanya itulah yang jadi kehebatan, sekaligus juga kelemahan pada film ini.

Secara penampilan akting, seperti yang disebut tadi, Keoghan terutama sangat fenomenal. Dia total banget. Adegan-adegan creepy dia hantam tanpa canggung. Film ini punya banyak ‘WTF’ momen. Nekat banget mereka bikin adegan kayak gitu. Kelemahan yang hadir dari cara bercerita ini adalah karakter si Ollie itu sendiri tidak punya growth. Dia tipe karakter ‘ternyata’. Kita tidak menyelam kepada siapa sebenarnya dirinya. Dia tidak punya development, melainkan sebuah revealing yang membuat kita melihat dia ternyata bukan seperti di awal. Perubahan dia bukan karena terdevelop tapi karena aslinya dia disimpan untuk ‘kejutan’ cerita. Jadi secara teknis, sebagai film, Saltburn is not really good, tapi sebagai tontonan, dia menghibur dan nawarin suatu kegelapan dengan perspektif tak biasa.

The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for SALTBURN

 

 

 

THANKSGIVING Review

Origin film ini begitu menarik. Thanksgiving tadinya cuma fake trailer, segmen pendek dalam film horor Grindhouse tahun 2007. Cuma parodi dari skena horor gore yang dibuat oleh Eli Roth. Tapi fans tertarik melihat konsep pembunuh yang kayak jadi saingan Halloween tersebut. Permintaan fans akhirnya terkabul, Eli Roth benar-benar membuat film Thanksgiving. Dan aku agak kecewa sama hasilnya.

Mungkin karena bias dari pengaruh originalnya yang vibe-nya beneran low budget dan rough dan konyol tapi seru. Film actualnya ini terasa tidak memenuhi harapan. Sure, momen-momen yang ada di fake trailer, kayak pembantaian saat pawai, dimunculkan. Satir soal perilaku konsumtif orang Amerika terkait ‘tradisi’ Black Friday yang mengalahkan esensi sebenarnya dari Thanksgiving, juga ada. Gore-nya yang over the top dengan kematian-kematian sadis yang unik, juga berhasil menghiasi film menjadi nilai jual. Tapi overall, film ini terasa kosong. Karakter-karakternya cuma ada di sana untuk berusaha survive, menduga-duga siapa pelaku. Sementara naskahnya juga ke sana kemari ngasih red herring supaya pelakunya gak ketebak. Akhirnya film ini pun terasa jadi either terlalu Scream, terlalu I What You Did Last Summer. Terlalu gak really spesial karena toh sudah banyak thriller whodunit yang menjual hal serupa

Kalo dibilang membosankan sih, enggak. Cuma ya, biasa aja. Mendingan nonton Saltburn tadi sekalian. Kejutan dan momen WTF nya lebih membekas.

The Palace of Wisdom gives 5 gold stars out of 10 for THANKSGIVING

 

 

 

THE FAMILY PLAN Review

My ultimate guily pleasure of the year hahaha… Komedi keluarga karya Simon Cellan Jones ini enggak bagus-bagus amat, tapi aku terhibur menontonnya. Enggak ngerasa bosan meskipun formulaic, dan bahkan konsepnya yang gabungin liburan keluarga dengan aksi assassin enggak dikembangkan dengan maksimal. Aku terhibur karena lucu aja melihat Mark Wahlberg jadi ayah yang sekilas kayak suami rumahan banget ternyata punya masa lalu tak terduga. Dia mantan assassin yang punya banyak musuh. Dia berhenti dari kerjaannya, dan sekian tahun ‘menyamar’ jadi pria biasa-biasa saja, sampe kemudian identitasnya kelacak dan dia terpaksa kabur. Membawa keluarganya yang tak tahu apa-apa, dengan dalih mau ngajak roadtrip.

Menurutku film ini mungkin bisa lebih mudah diterima penonton kalo dibikin sebagai animasi, kayak Boss Baby. Karena memang film ini seperti berjalan di garis antara gak make sense dengan cerita yang grounded tentang hubungan keluarga. Para karakter sentral, Mark dan keluarganya bermain di porsi yang pas, tapi harus diakui melihat mereka sebagai manusia ‘beneran’ membuat penonton bisa kesulitan memaklumkan banyak hal. Misalnya, bayi yang tahu rahasia ayahnya. Film tidak bisa maksimal melandaskan konsep yang diniatkan. Ketika bagian action, tidak bisa terlalu ‘gila’. Ketika bagian yang grounded, terasa gak klop. Jadinya film ini terasa setengah-setengah. Makanya, mungkin kalo dibikin sebagai animasi, mereka bisa meningkatkan aksi mustahil dan hati grounded yang dimiliki oleh naskahnya.

The Palace of Wisdom gives 5.5 gold star out of 10 for THE FAMILY PLAN

 

 

 

THE HUNGER GAMES: THE BALLAD OF SONGBIRDS & SNAKES Review

Hunger Games sering dibandingkan dengan Harry Potter, dan kupikir, film prekuelnya ini sukses bikin malu franchise Harry Potter yang film prekuelnya begitu maksa sehingga tidak terasa ditulis dengan proper. The Ballad of Songbirds & Snakes actually memang diangkat dari novel prekuel (bukan buku spin-off non-cerita yang dikembangkan serabutan) dan penulisannya kelihatan memiliki bobot. Karena di adaptasi karya Francis Lawrence ini kita benar-benar dikasih lihat development dari seorang Coriolanus Snow sebelum ia menjadi presiden yang ruthless.

Sering heran kok di luar sana banyak contoh mahasiswa aktivis ketika jadi ‘orang gede’ ternyata korup juga? Nah, journey Snow di film ini basically seperti itu. Kita melihat Snow dari yang awalnya dia mahasiswa pintar, yang actually peduli sama tribute dalam permainan Hunger Games. Kita melihat background dia dari keluarga macam apa. Apa yang dia inginkan. Dan bagaimana pada akhirnya dia memutuskan pilihan, bagaimana dia menjadi sampai seperti yang kita kenal di cerita Hunger Games original.  Inner journeynya tersebut yang membuat film ini layak ditonton. Hubungannya dengan Lucy Gray jadi heart of the story. Tak lupa film juga menyiapkan referensi ke Hunger Games-nya Katniss di sana-sini, supaya penonton merasakan gejolak nostalgia dari something yang familiar. Dan memang film ini berhasil menghadirkan vibe yang selaras dengan film-film Hunger Games sebelumnya. Desain produksinya total menghadirkan dunia itu kembali. Prekuel ini memang terasa seperti fondasi dari kejadian di film yang sudah kita kenal.

Tapi dari novel juga membawa sedikit sandungan bagi film ini. Durasi yang amat panjang, karena film terasa seperti pengen sama dengan novel, at least secara urutan. Dan ini membuat dirinya sebagai film, terasa agak aneh. Karena film ini kayak dua film yang disatukan. Bagian hunger gamesnya, dan bagian aftermath dari hunger games tersebut. Bagian yang satu terasa lebih menarik dibanding bagian lainnya. Menurutku harusnya cerita bisa lebih digodok lagi, bangunan ceritanya bisa lebih dimainkan lagi, supaya kesan terbagi dua ini bisa lebih mengabur. Supaya film bisa berjalan lebih mulus, dan penonton tidak diberikan momen untuk terlepas dari cerita yang disajikan.

The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for THE HUNGER GAMES: THE BALLAD OF SONGBIRDS & SNAKES

 




 

 

That’s all we have for now

Dengan ini, resmilah, review tahun 2023 sudah tutup buku. Film-film 2023 yang tayang setelah post ini terbit akan kuanggap sebagai film tahun 2024 (jika direview), dan itu at least ada dua film yang kayaknya memang gak tayang di kita jadi terpaksa nunggu digitalnya tahun depan. Akhir tahun nantikan rapor film 2023 di twitterku @aryaapepe dan menyusul beberapa hari setelahnya, tentu saja, daftar Top Movies 2023 di blog ini. Sampai ketemu tahun depan!

Thanks for reading.

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



ANATOMY OF A FALL Review

 

“Being aware of how our actions affect others and acting accordingly leads to happy, strong relationships”

 

 

Seorang wanita menjadi tersangka pembunuhan suaminya. Dan anak mereka yang buta harus menghadapi dilema moral karena menjadi satu-satunya saksi utama di kasus ini. Begitu bunyi sinopsis IMDB film karya sineas Perancis, Justine Triet ini. Film yang dikemas sebagai drama kasus kematian, tapi dalam lapisan terdalamnya merupakan kemelut rumah tangga, seorang ayah dan seorang ibu. Seorang istri dan seorang suami. Dan anak yang ada di sana, mengalami efek dari semua, tanpa benar-benar mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. ‘Anak yang buta’ di kisah ini serves sebagai both literal dan perumpamaan. Karena anak memang tidak akan bisa melihat apa yang sebenarnya terjadi pada hubungan orangtuanya. Apakah mereka bahagia? Apakah mereka punya rahasia? Apa yang harus dipercaya?  Sehingga anatomi yang sebenarnya sedang diperiksa oleh film yang dengan brilian meng-cover semua perspektif ini adalah anatomi dari kejatuhan sebuah pernikahan.

Seperti inspirasinya, Anatomy of a Murder (1959), film Justine ini pun basically adalah sebuah courtroom drama. Sebagian besar adegan akan bertempat di ruang persidangan, tempat Sandra, sang ibu dalam cerita, menjalani sidang untuk membuktikan dia tidak bersalah atas kematian yang cukup janggal dari Samuel, suaminya. Jadi, kasusnya adalah Samuel ditemukan bersimbah darah di halaman rumah mereka yang bersalju. Tak ada jejak lain selain milik Daniel, anak mereka, yang menemukan mayat sehabis berjalan-jalan dari luar rumah bersama anjing penuntunnya. Diduga Samuel jatuh dari loteng, tempat dia bekerja. Nah, jatuhnya itu yang dipertanyakan. Melompat sendiri, kecelakaan, atau didorong oleh satu-satunya orang di rumah itu yaitu Sandra. Anatomy of a Fall juga sensasional seperti genrenya tersebut, tapi dalam sense yang berbeda. Kita memang akan terikut dalam menebak-nebak dan terperangah setiap kali ada ‘fakta baru’ terkuak di persidangan. Tapi ini bukan soal tentang gimana kasusnya secara eksak, gimana cara membunuh, gimana senjata pembunuh, alur kejadian, ataupun bahkan bukan semata soal siapa yang sebenarnya membunuh. ‘Siapa yang bersalah’ dalam film ini diarahkan oleh Justine agak keluar dari maksud persidangan yang cuma dijadikan outer layer, melainkan yang lebih penting adalah inner layernya. Untuk menyentuh soal bagaimana tragedi malang ini bisa sampai ‘terjadi’.

Kenapa musti lagu 50 Cent wkwkwk

 

Sandra dijadikan perspektif utama diniatkan supaya pembahasan kasus di persidangan itu lebih personal, karena yang ingin dicapai oleh film ini adalah menelisik seberapa jauh sebenarnya seseorang punya tanggungjawab terhadap orang lain. Dan keluarga sebagai unit terkecil dan terpersonal dari hubungan sosial yang komplekslah yang dijadikan sebagai objek studi kasus. Sandra Huller yang memerankan Sandra benar-benar tampak seperti ibu, istri, yang merasa dirinya tidak bersalah. Kepercayaannya itu yang terus diserang oleh tuduhan-tuduhan penuntut. Yang pada akhirnya membuat adegan persidangan itu jadi device film untuk membuat Sandra flashback dan memeriksa ulang perbuatannya. Yang membuatnya melihat momen-momen dia bertengkar dengan suami dari sudut yang lain. Sementara kita, penonton film akan merasa seperti ikut jadi hakim dalam relationship tersebut. Yang salah istri, atau suami. Ambigu yang dilakukan dengan brilian oleh film tidak hanya terbatas kepada matinya bunuh diri atau dibunuh. Melainkan juga berhasil membuat kita memikirkan ulang, siapa yang kita dukung di dalam hubungan mereka. Sementara apa yang mereka berdua lakukan sesungguhnya sama-sama berakar dari pilihan mereka untuk dealing with keadaan anak mereka yang penglihatannya terganggu karena kecelakaan.

Oh yea, sedikit banyaknya ini tentu saja jadi persoalan peran gender. Kita sering mendengar tentang suami yang gak bolehin istri bekerja karena membuat dirinya merasa seperti lelaki yang lemah. Kita sering mendengar soal cowok punya problem begitu ceweknya lebih capable. Cekcok rumah tangga antara Samuel dan Sandra basically mirip seperti ini. Keduanya sama-sama penulis, Tapi berada di titik kesuksesan yang berbeda. Dari pertengkaran di meja makan yang diam-diam direkam audionya oleh Samuel, kita tahu ini adalah masalah yang satu merasa dirinya berkorban terlalu banyak dibanding yang lain. Film dengan pintar memasukkan banyak hal-hal kecil untuk ‘membangun’ kasus tersebut, seperti soal bahasa yang mereka pakai di rumah. Walau tinggal di Perancis, Sandra yang asli German masih sering menggunakan bahasa Inggris, dan ini dianggap egois oleh Samuel karena sekali lagi dia yang harus nurut kemauan istri. Kemungkinan frustasi dan bunuh diri memang dibiarkan terbuka oleh film, sembari terus memperlihatkan hal-hal yang memberatkan Sandra. Membuatnya seperti yang dituduhkan oleh penuntut. Dan inilah yang harusnya jadi ‘journey’ karakter Sandra yang merasa dirinya tidak bersalah. Tidak bertanggungjawab atas kematian suaminya.

Well, memang benar kita tidak bertanggungjawab atas pilihan orang. Kita enggak bisa mengendalikan apa yang dirasakan oleh orang terhadap apa yang kita lakukan. Tapi toh efek atau konsekuensi itu pasti ada. Apa yang kita lakukan pasti ada ngaruhnya kepada orang lain. Hanya masalah ‘sebesar apa’. Film ini mengangkat argumen bahwa pilihan kita memang berdampak kepada orang sekitar. Pilihan seorang istri bisa mempengaruhi hidup suami, dan tentu saja berefek kepada anaknya. Tapi itu juga bukan berarti dia pantas untuk dipenjarakan karenanya.

 

Di dunia nyata aku setuju dengan keputusan sidang film ini. Bahwa kemungkinan besar Samuel bunuh diri, atau setidaknya tidak ada cukup bukti untuk memenjarakan Sandra. Kebohongan-kebohongan Sandra bisa dimaklumi karena dia juga memikirkan anaknya yang terpaksa harus ikut hadir mendengarkan semua masalah ‘belakang dapur’ keluarga mereka. Hanya saja, sebuah film harusnya karakternya at some point kalo gak bersalah, ya merasa bersalah. Supaya ada journey, dan dia gak benar-terus tanpa false believe sedari awal. Anatomy of a Fall ini menurutku kurang bisa mencuatkan journey Sandra tadi. Film ini membuat keputusan sidang disampaikan off-screen untuk mempertahankan ambigu, tapi yang jelas Sandra bebas tanpa tuduhan. Dan dia kembali ke rumah, bertemu kembali dengan anaknya. Poin-poin yang menunjukkan Sandra merasa bersalah selama proses sidang tidak benar-benar kelihatan, meskipun dari gimana naskah ini terdesain seharusnya hal itu seperti yang sudah kujabarkan. Sandra menangis di dalam mobil saat Daniel pada malam sebelum kesaksian terakhirnya bilang ingin sendirian bersama guardian saja di rumah. tidak terkesan sebagai tangisan karena dia merasa sadar telah membuat Daniel sebagai anak berada di posisi yang susah (harus memilih percaya ibu yang bunuh ayah, atau ayah bunuh diri), melainkan lebih seperti tangisan karena dia dan Daniel akan berpisah karena hal yang dia kekeuh tidak ia lakukan.

Pun arahan film untuk menjaga ambigu kadang terasa miss dan malah seperti membuat hasil sidang itu sendiri tidak benar-benar tepat (eventho hasil itulah yang terbaik bagi Daniel). Like, Daniel-lah yang dijadikan ‘kunci’. Tapi karakter Daniel itu sendiri dibuild up sepanjang durasi oleh film sebagai karakter yang juga unreliable. Daniel yang masih anak-anak, kesaksiannya sering berubah. Antara ingatan nyata Daniel dengan hal/kejadian yang ia bayangkan juga dibuat ambigu. Ketika penuntut mempersembahkan teori pembunuhan saat sidang, film memperlihatkan visual Sandra memukul Samuel hingga terjatuh yang ada di pikiran Daniel yang duduk di kursi hadirin. Ketika pengacara Sandra menjelaskan teori mereka tidak bertengkar, kita juga dibawa ke ingatan Daniel bahwa mereka memang tidak bertengkar. Sehingga ketika di menjelang akhir Daniel bersaksi bahwa ayahnya pernah mengucapkan sesuatu yang seperti sebuah pesan ingin bunuh diri, film memperlihatkan itu lewat visual adegan, enggak clear apakah adegan itu termasuk imajinasi/hal yang ingin diingat Daniel atau adegan dari hal yang memang terjadi.

Akting terbaik film ini justru datang bukan dari aktor manusia

 

Dengan membuat film berakhir tetap ambigu, film jadi kurang nendang dan malah bikin penonton penasaran sama hal yang bukan arahan atau goal film di awal. Aneh aja cerita ini berakhir dengan vibe lega, benar-bukan-salah-nya, apalagi penentunya adalah ingatan dari karakter anak kecil yang dibuild up sebagai unreliable oleh  naskah. Menurutku film akan bisa lebih impactful jika setidaknya ‘bersalah’nya si karakter ditegaskan. Supaya development dan journey yang diniatkan itu benar-benar terasa. Dan ini bukan miss dari aktingnya, karena everyone di sini benar-benar memerankan perasaan karakter mereka dengan baik. Bahkan anjingnya si Daniel aja total banget, aku belum pernah lihat pemain non-manusia berakting seperti itu hahaha.. Menurutku ini hanya sedikit over dari arahan saja yang pengen tetap ambigu. Ambigu itu bagus untuk membuat penonton tersedot dan penasaran dan ‘bicara’ kepada film. Sometimes ending ambigu juga keren banget bikin penonton terus mendiskusikan film. Tapi kalo journey, mestinya jangan terlalu ambigu.

 




Actually bisa merangkap dua genre – drama rumah dan drama courtroom – menjadi sajian yang berhasil bikin kita terinvest total. Awalnya cuma menebak pembunuh ala whodunit, lalu lantas berubah menjadi something yang lebih berisi untuk didiskusikan. Meninggalkan persoalan ‘siapa’ menjadi ‘kenapa’ dengan penceritaan yang sangat engaging dan dalem. Aku bisa paham kenapa film ini dinotice dan menang penghargaan. Penceritaannya ada di level yang berbeda. Film ini juga pesona yang membuatnya bisa diterima oleh penonton mainstream. Tapi juga pesona dari ambiguitasnya ini yang bagiku terasa kurang klop dengan desain yang diniatkan. Membuat journey karakternya kurang tercuat, dan jadinya kayak ngikutin kasus asli yang berakhir happy (bikin kita ikutan happy karena di real life jarang kasus berakhir happy) alih-alih sebuah story tentang manusia yang come off better people di akhir.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for ANATOMY OF A FALL

 




That’s all we have for now.

Menurut kalian, setelah film selesai, apakah kematian Samuel adalah sesuatu yang menyedihkan? Kenapa?

Share pendapat kalian di comments yaa

Bagi kalian yang juga melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang, ada satu film yang kukasih score 8.5 tahun ini yang tayang di Apple TV. Killers of the Flower Moon. Untuk nonton, kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



LEAVE THE WORLD BEHIND Review

 

“Escapism sometimes is healthy… The problem is when people stay there”

 

 

Dunia maya harusnya jadi tempat pelarian. You know, stress dengan persoalan dunia nyata, kita bisa tinggal log in ke facebook menyapa teman-teman yang sudah lama tidak berjumpa. Bisa main game have fun bareng. Kita bisa nulisin semua uneg-uneg, bonus langsung dikomen, udah kayak Ginny nulis di diary Voldemort. Bisa nostalgia lihat-lihat foto liburan beberapa waktu yang lalu. Tapi kemudian dunia maya kita got real. Social media meluas kebutuhan dan fitur-fiturnya. Kita sendiri yang bikin dunia maya jadi tempat nyata yang baru dengan terlalu banyak menghabiskan waktu di sana. Kita sendiri yang bikin diri tergantung sama teknologi-teknologi yang mengkoneksikan dunia nyata dengan dunia maya. Kalo sudah begini, lantas ketika dunia itupun ada masalah, kita kabur ke mana lagi? Aku pikir inilah yang berusaha dikatakan oleh Sam Esmail ketika dia mengangkat novel tulisan Rumaan Alam menjadi sebuah thriller bencana alam. Leave the World Behind, seperti yang disebutkan oleh judulnya; mengajak kita kabur ninggalin dunia. Kita dibawa ke dunia film, ke sebuah sajian hiburan, tapi untuk berefleksi terhadap kebiasaan kita mencari eskapisme. Sementara urusan hiburannya itu sendiri, well, aspek inilah yang ternyata memunculkan reaksi yang beragam dari penonton sekalian.

Sumpek sama rutinitas yang membosankan, Amanda bikin liburan spontan untuk suami dan kedua anaknya. Keluarga mereka hari ini akan liburan di kota kecil. Amanda sudah menyewa vila mewah lewat online, dan mereka sekeluarga akan bersantai di sana. Tapi senang-senang mereka tak berlangsung lama. Kejadian aneh mulai terjadi di sana. Internet, televisi, telefon mendadak tak berfungsi. Kapal dan pesawat pada karam. Dan tengah malam, dua orang asing, George dan putrinya, Ruth, mendadak mengetuk pintu rumah. Mengaku sebagai pemilik rumah, keduanya minta ijin menginap karena ternyata kekacauan komunikasi ini terjadi di seluruh negara bagian. Amanda tak tahu harus percaya atau tidak, sementara keadaan di luar semakin menjadi-jadi dengan suara dengung misterius yang bikin retak jendela, dan rusa-rusa yang bertingkah di luar normal.

Amanda adalah tokoh paling relate sekali saat dia bilang “I hate people”

 

Thriller bencana alam jadi dapat makna baru berkat film ini. Karena di sini, kita ataupun para karakter cerita tidak pernah benar-benar tahu apa persisnya ‘bencana alam’ yang sedang terjadi. Yang jelas efeknya bikin kecelakaan di mana-mana. Bikin hewan-hewan bertingkah aneh. Apakah ini semua buatan manusia? Apakah dari makhluk asing – alien? monster? hantu? Apakah lagi ada perang? Kalo iya, antara siapa lawan siapa? Siapa yang menghack satelit sehingga sistem komunikasi jadi kacau balau? Teroris dari negara mana? Apa yang mereka incar? Konspirasi apa yang sedang terjadi? Pertanyaan-pertanyaan tersebut menghantam karakter silih berganti, membangun ketegangan yang nyampe ke kita juga sebagai teka-teki. Kita pengen jawaban. Karena ini film, maka kita butuh penyelesaian dan semua itu harus terjawab supaya kita tahu apa yang sebenarnya kita tonton, kan?

Well, rancangan film ini justru untuk memerangkap kita ke dalam tanda-tanya tersebut. Jawaban yang diberikan cuma satu: tidak ada definitive answer. Loh kok? Karena tujuan film ini adalah supaya kita melihat ke karakter-karakternya. Ini bukan sekadar cerita yang menempatkan karakter di situasi aneh, lalu mereka mengalahkan situasi tersebut. Survive, atau malah jadi korban dari situasi itu. Bukan. Flm ini ingin kita berefleksi kepada karakter-karakternya. Amanda dan suaminya tentu saja pengen menjaga keselamatan keluarga mereka. Begitu juga dengan George, kepada putrinya. Dua keluarga ini adalah orang-orang normal, tapi mereka harus bekerja sama di tengah situasi yang benar-benar membuat mereka tak tahu apa-apa, melainkan jadi saling curiga. Layer ras ditambahkan oleh naskah, supaya situasi semakin intens. Karena both Amanda dan Ruth, diam-diam punya prasangka terhadap warna kulit yang berbeda dengan mereka. Prasangka yang tumbuh dari mana lagi kalo bukan dari media dan informasi yang selama ini mereka konsumsi. Tapi sekarang mereka semua terputus dari semua sumber informasi. So there’s no answer. Sama kayak kita. Gak ada jawaban pasti dari covid, perang, politik, ataupun peristiwa-peristiwa lain yang ada di dunia kita. Kita hanya bisa menyimpulkan masing-masing dari informasi yang kita dapatkan dari media, dari internet. Kita ambil mana yang ‘cocok’ dengan kita. Sekarang bayangkan kalo suapan informasi itu mendadak distop. Secara teori, mestinya kita lebih ‘tenang’. Tak ada ribut di sana-sini. Tapi film ini menunjukkan keadaan justru menjadi kacau, karena karakter-karakternya perlu kembali belajar, perlu kembali jadi gelas kosong, tentang bagaimana mempercayai sesama manusia.

Inilah alasannya kenapa film bertabur cast yang bukan kaleng-kaleng. Julia Roberts jadi ibu ansos yang curigaan, Ethan Hawke jadi ayah yang lebih open minded tapi ternyata dia juga masih punya prasangka. Mahershala Ali jadi family man yang lebih nyaman berahasia. Kevin Bacon jadi redneck parnoan yang gampang termakan teori konspirasi sehingga jadi kayak Karen versi cowok. Interaksi karakter-karakter ini, aksi dan reaksi mereka dalam berusaha memahami apa yang sedang terjadi di dunia mereka, jadi elemen volatil yang membuat film ini pantas menyandang genrenya sebagai thriller. Menonton ini, bagiku rasanya desperate sekali. Desperate ingin mengattach diri kepada salah satu, tapi masing-masing punya flaw dan aku berpindah-pindah sehingga merasa aku berada di ruang tengah berdinding kaca itu. Berdiri di sana, dan benar-benar terjebak situasi membingungkan tersebut. Cara film mereveal poin-poin juga terukur. Di satu adegan film seperti menuduhkan penyebab kepada satu kelompok tertentu, untuk kemudian di adegan belakangan membuka bahwa itu cuma tuduhan kosong. Sehingga kita yang nonton, dan ada yang percaya sama tuduhan di awal jadi ikut kecele.

Atau bisa juga judul film ini Final Destination: Death by Tesla

 

Kebingungan, misinformasi, ternyata adalah bencana yang diangkat oleh film ini. Alamnya adalah manusia. Jadi ini sebenarnya adalah bencana kemanusiaan. Itulah sebabnya kenapa film memilih untuk tidak memberikan jawaban, Memilih untuk jadi bahan refleksi. Sendirinya adalah media, film ini sadar dirinya adalah bagian dari ‘tempat kabur’ manusia dari masalah. Sehingga masalah eskapisme ini akhirnya bukan hanya mereka gambarkan, tapi mereka pilih sebagai pembungkus narasi. Akhir film akan memperlihatkan Rosie, putri bungsu Amanda – yang sepanjang durasi cerita punya satu keinginan yakni menamatkan nonton serial Friends, tapi gak bisa karena service streaming mati – akhirnya menemukan cara untuk menonton episode terakhir serial tersebut. Ending film mutlak bikin kesal sebagian besar penonton, karena membuat film terasa benar-benar tidak memuaskan. Like, ngapain capek-capek penasaran dan tegang tapi ujung-ujungnya cuma kayak tentang anak kecil nonton Friends. Aku yang paham fungsi dari adegannya yang dipilih begitu aja, kesal juga. Film ini benar-benar nyeleneh dan gak peduli sama struktur. Oh, karakternya memang ada development terkait jadi saling percaya. Ceritanya juga punya chapter-chapter tersendiri. Tapi di samping peningkatan intensitas, film ini sama sekali minimal dalam ‘sebab-akibat’. Hanya seperti episode-episode ganjil, yang ditutup oleh ‘selera humor’ ironis.  Yang seperti mengenyahkan build up misteri begitu saja. Ini sungguh resiko yang gede, tapi film ini knowingly, dan aku bisa bilang – proudly – mengambil resiko tersebut.

Leave the World Behind adalah soal eskapisme. Kesel-kesel begini, toh aku relate dengan Rosie. Di tengah hingar bingar politik, atau bahkan saat ribut-ribut vaksin dan konspirasi ini itu, aku hanya duduk di ruangku sendiri. Cuek sendiri. Nonton film, serial, WWE, main video game. Itu serial Friends-ku. Apakah dengan punya ‘tempat kabur’ itu membuat aku lebih baik dari orang lain, menurut film? No. If anything, itu hanya membuatku jadi orang yang belum dewasa, seperti Rosie. Dunia udah mau kiamat, tapi yang dipikirin masih aja film. Hidup di dunia sendiri, juga akhirnya tidak akan baik, apa bedanya nanti sama orang paranoid seperti karakter Kevin Bacon yang sudah persiapan tapi merasa dirinya yang paling benar. Kita juga gak pernah tahu apakah Rosie akan membiarkan para orang dewasa menemukannya. Bisa jadi dia berkurung sendiri nonton Friends itu berulang-ulang. Menurutku, pada akhirnya film ini cuma mau bilang:

Media, seni, dunia maya adalah bentuk dari eskapisme. Yang sebenarnya adalah sesuatu yang menyehatkan dan perlu bagi kita untuk punya something sebagai bentuk eskapisme. Supaya kita bisa healing dari reality. Supaya kita gak berpikiran sempit, gak terkurung, kita butuh melihat atau melakukan sesuatu di luar sana. Tapi lantas, eskapisme tak lagi healthy jika kita memilih untuk terus-terusan kabur. Abai dari real problems. Bahkan lebih buruk terkurung di sana ketimbang di dunia nyata.

 

 




Dunia udah terlalu bergantung kepada internet, sehingga begitu internet lenyap, kehidupan terputus total. Padahal awalnya internet dan teknologi diciptakan untuk memudahkan saja. Manusia escape dari dunia nyata ke sana, dan malah ‘stay’ di situ. Film ini jadi cerminan tentang itu. Dan film rela ‘ngerusakin’ dirinya sendiri demi itu. Aku sendiri minta maaf kalo review ini gak benar-benar explained kejadian di film, karena filmnya sendiri memang tidak memberikan jawaban.  Film menjadikan diri seperti jurnal mahasiswa suaminya Amanda “media yang both berfungsi sebagai sebuah eskapis dan sebuah refleksi” Hal yang bahkan disebut oleh sang suami sebagai sesuatu yang bertentangan. Film ini senekat itu. Jadi thriller teka-teki yang aneh yang bahkan ‘twist’nya gak bakal kepikiran sama M. Night Shyamalan, aku rasa. Kirain bencana alam, taunya bencana kemanusiaan. Darurat kemanusiaan. Kita tanpa sadar meninggalkan dunia kita jauh di belakang. 
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for LEAVE THE WORLD BEHIND

 




That’s all we have for now.

Aku pikir, bahasan film ini kalo diterusin bakal nyambung ke bahasan pas Budi Pekerti kemaren. Kenapa hal-hal di sosial media itu dianggap penting, like, tidakkah minta maaf cukup dengan dikatakan langsung antara si bersalah dengan yang jadi korban? Kenapa harus banget dilakukan secara publik di sosial media? Menurut kalian mungkinkah di titik ini kehidupan sosial kita kembali seperti ke era sebelum ada internet?

Share pendapat kalian di comments yaa

Bagi kalian yang juga melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang, ada satu film yang kukasih score 8.5 tahun ini yang tayang di Apple TV. Killers of the Flower Moon. Untuk nonton, kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL

 



THE BOY AND THE HERON Review

 

“Because you are a beautiful lie and I am  a painful truth”

 

 

Bagaimana menjalani hidup dengan benar? Caranya adalah dengan mengingat dan memahami kematian. Jawaban tersebut bisa kita dapatkan dari ajaran agama, atau dari menonton karya terbaru Hayao Miyazaki, sang Bapak Studio Ghibli. Sudah bukan rahasia, film-film Pak Hayao selalu personal, penuh makna, dan luar biasa menakjubkan lewat simbol-simbol dunia ajaib yang surealis. Namun The Boy and the Heron ini, bahkan lebih deep, dark, dan personal lagi. Kisahnya yang tentang seorang anak laki-laki yang kehilangan ibu akibat perang boleh saja bermula dengan kejadian yang berdasarkan pengalaman hidup Pak Hayao semasa kecil, tapi film ini berakhir dengan sesuatu yang seperti mencerminkan ujung dari dunia animasi magis buatannya sendiri. Film ini bisa jadi adalah hadiah terakhir dari Hayao Miyazaki kepada kita. Bagaimana kita hidup di dunia tanpa film-filmnya?

Fantasi, anak, dan perang. Hayao Miyazaki is up there untuk film-film yang bermain di tema tersebut (for me, he followed by Guillermo del Toro)  Hayao bicara tentang  kehilangan, duka, tragedi tapi lewat dunia fantasi yang menakjubkan. Dia tidak melihat itu sebagai musuh yang harus ditakuti, ataupun menjadikan sebagai sebuah pengalaman yang mengeksploitasi. Hayao, malahan, membuatnya sebagai entitas yang harus dihadapi. Dipelajari. Dihormati. Ini yang juga ia lakukan kepada tema kematian dalam The Boy and the Heron. Anak laki-laki dalam cerita ini, Mahito, menyongsong babak baru dalam hidupnya. Setelah ibunya tewas jadi korban perang, Mahito dibawa ayah pindah ke daerah pedesaan Tokyo. Hidup bersama istri ayahnya yang baru. Meskipun nurut, toh kita melihat penolakan itu dalam sikap Mahito. Penolakan untuk menganggap Natsuko sebagai ibu. Penolakan untuk nerima kenyataan ibunya bakal tergantikan. Inilah yang membuat Mahito diledek oleh burung cangak (sejenis bangau) yang bisa bicara yang secara misterius muncul di area sekitar rumah mereka. Cangak itu menyebut bahwa ibu Mahito masih hidup, dan ada di dalam reruntuhan menara di hutan. Dan bahwa Natsuko juga pergi ke sana. Dengan panah dan busur buatannya sendiri, Mahito pergi ke menara. Mencari ibunya. Meskipun dia tahu Cangak Abu itu berbohong. “I know it’s a lie, but I have to see” katanya mantap sebelum masuk ke ‘perangkap’ yang membuatnya terjebak di dunia sureal di bawah sana.

Kenapa translatenya enggak bangau aja ya? Atau burung kuntul sekalian. Judulnya jadi Anak Laki-Laki dan si Kuntul haha

 

See, Mahito sama sekali tidak takut sama Heron (kita manggilnya Heron aja lah ya hehe) yang menjebaknya. Dia sudah mempersenjati diri, fisik dan mental, untuk melawan tipu daya Heron. Yang actually, Heron ini kocak, karena ada dialog ambigu si Heron yang dengan bangga bilang “Benar, semua yang aku sebutkan adalah bohong” yang lantas ditembak oleh Mahito “Berarti itu bohong juga dong?” Mahito dan si Heron memang dalam perjalanan menjadi berkawan, mereka akan bekerja sama untuk ke puncak menara. Tempat kakek buyut Mahito selama ini bersemayam. Hayao Mayazaki kali ini memang benar-benar menyatukan dunia nyata dan fantasi, keanehan yang dilihat Mahito juga direcognized oleh karakter manusia lain. Petualangan yang dialami Mahito bukan terjadi di dunia mimpi yang bakal ngasih dia pembelajaran, melainkan benar ia lakukan. Realitas dalam cerita film ini memang didesain sebagai realitas dengan keanehan-keanehan. Yang bekerja di dalam konteks tema cerita, yaitu tidak takut kepada hal yang tidak kita mengerti. Seperti halnya Mahito yang tidak takut dengan keanehan dan kebohongan Heron. Mahito justru takut sama dunia nyata, dunia di mana dia harus punya ibu dan hidup baru. Saking gak siapnya Mahito dengan sekolah baru, dia sampai nekat melukai kepalanya sendiri dengan batu. Adegan yang bikin aku kaget, dan sejujurnya aku struggling untuk melihat kepentingan adegan self-harm di film yang harusnya untuk tontonan keluarga. Sampai di menjelang akhir, naskah akhirnya mengikat adegan tersebut dengan pembelajaran yang beautiful seputar sikap penerimaan dan penyadaran Mahito.

Dengan tema dan desain begitu, menurutku ada benarnya film ini juga adalah film ‘terberat’ dari Hayao Miyazaki. Film ini menantang kita untuk memahami emosi Mahito di lingkungan rumahnya yang baru. Mahito yang jarang bicara dan menutup diri. Film ini menantang kita untuk menyelami dan melihat makna di balik kejadian-kejadian dan karakter-karakter aneh yang ditemui oleh Mahito nanti selama petualangannya dalam menara. Karena di dalam sana, dia akan bertemu banyak banget hal-hal di luar nalar. Mulai dari rombongan makhluk imut putih, kawanan pelikan pemakan makhluk lain, tentara burung parkit, dan bahkan versi lain dari ibunya sendiri. Garis besar yang bisa aku sebutkan tanpa membuat review ini jadi ‘walkthrough spoiler’ adalah semua kejadian dibuat dengan maksud mempersiapkan Mahito untuk memahami kematian. Karena inilah yang dibutuhkan Mahito supaya dia bisa melanjutkan hidup sebagaimana mestinya. Mahito harus bisa melihat makna hidup lewat mengerti tentang kematian, menurut karakter-karakter di sekitarnya. Kita bahkan bisa menangkap sedikit komentar tentang perang dan dampaknya terselip sebagai layer dalam cerita.

Ada anekdot menarik yang pernah aku baca soal Kehidupan dan Kematian. Jadi, Life bertanya kepada Death “Kenapa manusia mencintaiku, sedangkan dirimu sangat mereka benci?” Death dengan kalem menjawab “Karena kamu adalah kebohongan yang indah, sedangkan diriku adalah kebenaran yang menyakitkan”. Anekdot tersebut membantuku mencerna film ini lebih lanjut. Karena persis itulah yang sebenarnya yang dikatakan oleh film. Bahwa kematian tidak lebih dari sebuah kenyataan pahit. Bahwa semua hal akan menemui ‘ajalnya’. Bahwa semuanya fana. Tinggal kitanya saja yang mempersiapkan diri menyongsong kenyataan tersebut tiba.

 

Karena ini film yang personal, maka membaca film ini pun udah kayak membaca Hayao Miyazaki sendiri. Seperti menapak tilas film-filmnya selama ini. Karena penonton yang familiar dengan karyanya, akan merasakan The Boy and the Heron ini seperti sangat akrab. Not just in sense, karena memang sudah ciri khasnya membuat film seperti begini. Tapi on a deeper level, kayak sebuah self-tribute dari orang yang sedang melihat ke belakang, ke dalam dirinya sendiri. Di dalam cerita, kakek buyut Mahito membangun dunia sureal fantastis ini dan dia ingin Mahito meneruskan pekerjaannya. Dia ingin Mahito tinggal di sana, menjaga agar dunia tersebut tidak runtuh. Karena dia ngerasa gak sanggup. Dunia yang mestinya damai tanpa perang seperti dunia nyata itu, nyatanya tidak semenangkan itu. Burung-burung yang masuk ke sana jadi ganas. Penulisan story tersebut terasa seperti self-realization dari Hayao Miyazaki. Bahwa dunia-dunia yang dia bangun selama ini, yang dia ciptakan dalam film-film indah itu, tetaplah sebuah fantasi. Dan akan berakhir. Bahwa dia gak bisa menciptakan itu selamanya. Ada titik di mana dia harus berhenti. Titik di mana cerita-cerita itu ‘mati’. But also, Hayao tampak bergulat dengan dirinya sendiri lewat karakter anak-anak Mahito, tak akan ada hal yang benar-benar ‘mati’. Ibu masih akan tetap hidup di hati Mahito yang bakal tumbuh dan menjalani hidup. Begitu juga karyanya, akan tetap hidup abadi lewat kita-kita penontonnya, hingga generasi-generasi selanjutnya.

Supaya konsisten dengan tema unggas; film ini bisa jadi adalah swan song-nya Hayao Miyazaki.

 

Sayangnya, dari yang kulihat di studioku menonton, aku merasa resepsi penonton kasual terhadap film ini agak datar. Like, fakta bahwa kita bisa menyaksikan animasi magis Ghibli di layar lebar aja mestinya udah cukup untuk bikin “wah-wah” sendiri. Tapi aura yang kurasakan di studio saat itu biasa saja. Kayaknya film ini bakal mirip kayak Elemental (2023) waktu tayang musim panas lalu. Penonton expecting petualangan yang dahsyat, sehingga gak sadar sebenarnya film ini sedang bekerja wonderful dalam konteks dan bahasan yang ingin disampaikan. Also, kita sering agak terlalu cepat ngejudge film dengan tema berat sebagai film yang lambat, sebagai aneh dan gak jelas. Padahal film ini naskahnya berhasil mengembangkan dengan seksama konflik personal yang dirasakan oleh Mahito. Karakternya distant by design karena begitu cara dia awalnya berusaha dealing with kehilangan ibu. Sepuluh menit pertama, vibe ‘dark’ dan sureal itu sudah dilandaskan kuat oleh naskah. Adegan opening yang Mahito di antara orang-orang di area yang kebakaran, dengan visual api dan sosok-sosok manusia yang berdistorsi, kurang apa coba itu melandaskan seperti apa film ini nantinya. Jangan harap film ini menyuapi kita dengan apapun. Karena bahkan pengungkapan informasi penting pun, misalnya pengungkapan hubungan antarkarakter siapa dan apa, dilakukan oleh film dengan natural tanpa aba-aba yang menuntun “oh ini bakal masuk bagian penting”. Film menampilkan dirinya sebagai dunia mimpi, untuk kita eksplorasi dan pahami sendiri. Hebatnya film ini justru karena kita ikut menyelam, menguak, merasakan, dan berubah bersama karakternya.

 




Untuk menjawab pertanyaan sendiri di awal tadi, no I can’t. Studio Ghibli tahun-tahun belakangan ini struggle terus, setiap film barunya keluar- bahkan yang bukan buatan Hayao, kesannya seperti film terakhir terus. Tapi aku selalu percaya Hayao Miyazaki bakal comeback, mendaratkan film Ghibli kembali ke tengah-tengah kita. Aku gak bisa membayangkan kalo ini bakal beneran jadi film terakhirnya. That’s why aku gak bakal ngupdate list Top-8 Film Ghibli Favoritku dengan film ini. Bukannya karena jelek, atau aku tak suka. Film ini menceritakan hidup-mati dengan konsep yang wonderful. Lapisan-lapisan fantasi dan personal yang saling tersulam satu sama lain. Ngasih kita karakter-karakter absurd yang ikonik, seperti yang biasa mereka lakukan. Aku hanya belum mau mengakui bahwa ini adalah end of an era. Aku berharap bakal ada lagi film ajaib yang bikin aku mengubah list itu. Ya, turns out, aku lebih keras kepala daripada Mahito.
The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold stars for THE BOY AND THE HERON

 




That’s all we have for now.

Bagaimana pendapat kalian tentang Hayao Miyazaki dan Studio Ghibli selama ini? Sebesar apa menurut kalian peran film-film mereka terhadap sinema atau kalian sendiri personally?

Share pendapat kalian di comments yaa

Bagi kalian yang juga melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang, satu lagi film yang kukasih score 8.5 tahun ini, bisa ke Apple TV untuk menonton Killers of the Flower Moon. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



THE HOLDOVERS Review

 

“Our history is not our destiny”

 

 

Bahkan sutradaranya sendiri gak nyangka filmnya yang tentang karakter terpaksa harus menghabiskan libur natal di sekolah asrama ini ternyata begitu menyentuh bagi banyak orang. Alexander Payne, dalam wawancara media, menyebutkan bahwa dia sampai agak dongkol juga ketika banyak yang menyebut film ini ‘menghangatkan’. Lucu sih, kayaknya baru kali ini ada sutradara yang ‘protes’ filmnya dibilang bagus. Tapi aku yakin itu bukannya dia gak suka sama sambutan penonton, bukan karena Payne gak berniat bikin film bagus, But, terakhir kali Payne bikin film itu adalah tahun 2017, dan antara tahun itu hingga sekarang, dia mungkin gak sadar betapa relatenya penonton sekarang dengan keadaan ‘terkurung di suatu tempat’. The Holdovers buatannya actually delivered salah satu perasaan tergenuine, termanis, ‘terhangat’ yang bisa hadir dari situasi tersebut. Karena film ini memang bukan drama komedi tentang guru dan anak murid bandel yang biasa. Karater-karakternya yang masing-masing punya ‘sejarah’ ditulis dengan demikian bernyawa.

Awalnya memang para karakter di sini tampak seperti karikatur dari tipe-tipe karakter komedi. Paul Giamatti jadi Paul Hunham, guru sejarah galak yang bukan saja killer di dalam kelas kepada murid-muridnya, dia juga nyebelin di luar kelas, bahkan kepada kolega-koleganya.  Pokoknya orangnya unpleasant-lah, baik itu ketika diajak ngobrol ataupun sekadar dipandang. Kelainan pada matanya bikin lawan bicara canggung harus melihat ke mana. Bahkan naskah menambahkan satu lagi, muridnya gak suka deket-deket karena si bapak ini punya kelainan bau badan! Menjelang natal di sekolah asrama Katolik khusus cowok itu, Paul disuruh tinggal di sekolah – sebagai bentuk hukuman. Paul disuruh jadi pengawas bagi murid-murid yang juga gak pulang ke rumah, karena berbagai alasan orangtua masing-masing tidak atau belum bisa menjemput mereka ke sekolah. Murid-murid Pak Paul juga gak kalah ‘parodi’nya. Mereka anak-anak orang kaya, yang dengan cepat dijudge oleh Paul sebagai anak-anak manja tapi sok begajulan (dengan nilai akademik pas-pasan, kalo ini fakta!) Dan memang mereka semenyebalkan itu. One of them adalah Angus Tully (diperankan oleh newcomer Dominic Sessa) Actually, Tully-lah yang jadi satu-satunya anak yang beneran tinggal di sekolah sampai liburan usai. Satu-satunya anak yang harus mendekam bersama Paul yang sudah bulat tekad untuk menjadikan liburan itu sebagai gak ubahnya sebuah jadwal semester pendek.

Bayangkan kalo Argus Filch – caretaker di Hogwarts – jadi guru, begitu kira-kira ‘menyenangkannya’ Pak Paul.

 

Kalian tahu-lah yang terjadi sesudahnya. Paul dan Tully yang bisa dibilang saling antipati, perlahan jadi semakin dekat. Proses mereka menjadi udah kayak ayah kepada anak yang tak pernah ia punya dan sebaliknya itulah yang wonderful sekali dilakukan oleh film ini. Karakter-karakter itu tidak lagi seperti karikatur atau parodi stereotipe begitu film perlahan membuka sisi humanis mereka. Selapis demi selapis. Karena ini cowok yang sedang dibicarakan. Cowok gak main duduk dan saling curhat bicarakan masalah emosional mereka. Cowok mengubur sisi vulnerable mereka ke balik tembok yang menurut mereka paling keras. Dari situlah datangnya sikap tak menyenangkan mereka. Sementara sisi vulnerable yang tersimpan tersebut didesain oleh film ke dalam tema yang mengait kepada identitas cerita dan karakternya. Yaitu sejarah. Paul yang guru sejarah, tentu paham bahwa apa yang terjadi di masa sekarang sebenarnya sudah pernah terjadi di masa lampau. Bahwa masa sekarang hanyalah cerminan dari masa lalu. Paham teori sejarah bukan lantas ngerti mengarungi kehidupan. Justru itu yang dibuat oleh film sebagai false-believe Paul. Karena dia percaya dia sekarang harus bertindak sesuai dengan yang dilakukan di masa sekolah dulu. Bahwa dia terperangkap di keadaannya yang sekarang karena tuduhan yang ia terima di masa lalu. Juga, pemahamannya tentang bagaimana sejarah bekerja membuat dia salah menilai para murid seperti Tully. Enggak semua anak orang kaya jadi menyebalkan di asrama karena mereka dimanjakan oleh kenyamanan di rumah. Justru sebaliknya. Tully punya masalah yang sangat gak enak untuk dialamin oleh seorang anak, kaya atau miskin. Enggak diinginkan di rumah! Berkenaan dengan sejarah/masa lalu, Tully juga dibuat oleh naskah punya false believe dia percaya dia akan tumbuh menjadi ‘rusak’ seperti ayah kandungnya.

Dalam perkembangannya, kedua karakter akan jadi saling belajar. Sebagaimana Tully belajar bahwa pelajaran sejarah sebenarnya tidak semembosankan yang diajarkan di kelas, dia juga jadi sadar bahwa dengan mengetahui cerita siapa gurunya di masa lalu, dia melihat sang guru jadi sosok yang bukan saja menarik untuk dikenal lebih dalam, melainkan juga relate dan ya, akrab. Paul bahkan belajar dari Tully bagaimana menjadi guru yang lebih baik, di dalam maupun luar kelas. Bagaimana menjadi pribadi yang lebih terbuka dan mau ‘membaca’ cerita masa lalu mereka tanpa judgment. Stake mereka gak muluk-muluk. Tapi seru, karena kontras. Meskipun mereka sebel harus habisin liburan di sekolah yang dingin dan televisinya cuma satu dan basically penjara, mereka pengen bertahan di sekolah itu. Paul merasa hanya sekolah itu yang mau mempekerjakan orang sepertinya. Tully gak mau dikirim ke sekolah militer. Jadi mereka harus menjaga sikap, sementara kebutuhan mereka untuk dealing with ‘sejarah’ masing-masing bakal membuat mereka mempertaruhkan itu semua.

Ada cerita di balik setiap orang. Her story, his-tory.  Apapun itu. Semua orang punya kisah yang menjadi alasan kenapa mereka menjadi seperti diri mereka yang sekarang. Kita tidak untuk menjudge mereka berdasarkan kisah masa lalu tersebut. Karena sejarah itu bukanlah takdir. Tully bukan lantas jadi bapaknya. Paul bukan lantas harus terus bersikap berdasarkan kesalahannya di masa lalu. Kita punya pilihan untuk tidak mengulangi sejarah. Kita punya pilihan untuk meneruskan kisah hidup kita sendiri.

 

Kekuatan arahan dan tentu saja akting dari kedua karakter sentral ini membuat perjalanan karakter mereka tersampaikan dengan sangat mengalir. Kita melihat mereka sebagai human being, alih-alih sebagai parodi ataupun karakter yang berkembang dengan formulaic. Penampilan akting mereka menembus karikatur itu lebih dulu sebelum pembelajaran karakter mereka bekerja. I think this is the best dari Paul Giamatti sejauh film-filmnya yang sudah kutonton dan kuamati. Selalu bukan hal gampang bikin protagonis orang yang tak disukai, serta tak muda, Giamatti berhasil memberikan hati kepada karakternya. Ketika dia berjuang membuka diri untuk sebuah potensi hubungan romantis, kita peduli, aku bahkan ikut was-was gimana nanti dia mengakali masalah bau badannya supaya semua lancar.  Dominic Sessa, dalam film panjang debutnya ini, sanggup toe-to-toe dengan aktor sekelas Giamatti. Penampilannya di sini bakal certainly put him on the Hollywood map!

Film dengan sengaja bikin mata-besar Paul gak konsisten kanan atau kiri supaya kita ikut merasakan kecanggungan saat menatapnya

 

Soal sejarah adalah cerminan ini juga terpampang nyata pada desain film. Salah satu yang paling sering jadi keluhanku buat film-film modern yang berniat memotret masa lampau entah itu 80an atau 90an adalah, feeling pada masa itu sering meleset. Film-filmnya sering belum berhasil mengemulate vibe periode yang ingin ditampilkan. Istilah singkatnya, film-filmnya masih terasa modern, tidak terasa seperti film yang dibuat pada tahun tersebut. Layarnya masih jernih. Suasananya masih kekinian. Cara karakternya bersosialisasi masih kayak orang yang berusaha tampil oldies. The Holdovers berhasil tersulap seperti beneran film yang dibuat tahun 70-80an. Cara karakternya membawa diri. Suara mereka. Musiknya. Suasana asrama dan kotanya. Bangunan-bangunannya. Semuanya terasa benar punya vibe klasik. Bahkan layarnya tampak grainy, dengan saturasi yang tepat, plus musim salju. Secara ‘luar’ film ini tampak dingin, distant. Tapi begitu kita memasuki ceritanya, karakternya, ada suatu kehangatan. Harus ada yang ngasih tahu Payne bahwa misi dia ngehasilin vibe dingin itu sebenarnya toh memang berhasil, tapi kehangatan dari journey karakternya bikin penonton ikut meleleh.

‘Kasih sayang’ memang berhasil digambarkan oleh film, terhampar lewat perasaan. Merayap tanpa sadar pada karakter-karakternya. As in, mereka tanpa sadar telah menjadi keluarga. Film ini actually punya hal yang membedakannya dari film-film sejenis. Like, kalo tentang guru dan murid saja, apa bedanya dia sama Dead Poets Society (1989), kan? Film ini punya ‘pihak ketiga’ yang bukan saja berfungsi sebagai penengah, tapi juga sebagai ‘mother figure’ yang menjembatani dua karakter sentral dengan cinta dan kasih sayang yang keduanya sama-sama kekurangan dalam hidup (Paul belum pernah menikah, Tully terabaikan oleh ibunya). Pihak ketiga itu adalah karakter Mary yang diperankan juga tak kalah luar biasanya oleh aktris kulit hitam Da’Vine Joy Randolph. Tukang masak di asrama. Ibu-ibu yang baru saja kehilangan putra, keluarga satu-satunya, di medan perang. See, lapisan dunia cerita semakin bertambah dengan kehadiran karakter ini. Kaki ketiga yang jadi fondasi kokoh dalam bangunan penceritaan film. Karena bahasan personal film jadi merambah ke tragedi masa lalu kolektif rakyat. Tragedi perang yang mengorbankan anak-anak muda. Film ini juga berusaha men-tackle persoalan ‘sejarah’ itu lewat karakter Mary. Karakter yang benar-benar telah kehilangan cinta yang pernah singgah kepadanya, tapi tidak sekalipun dibikin sebagai karakter putus asa.

 




Ini benar-benar di luar dugaan remehku. This is no raunchy coming of age comedy tentang anak muda dan guru galak kayak, The Inbetweeners, misalnya. This is not even a quirky inspirational drama kayak Dead Poets Society. Karya terbaru Payne ini somewhat seperti di tengah-tengahnya. Funny, emotional, real. tentang anak muda, orangtua, dan orang yang beneran sudah tua sekaligus. Mereka menemukan cinta dan kasih sayang dengan berdamai dengan masa lalu. Dengan sejarah yang mereka kira bakal mendikte gimana mereka ke depannya. Film ini gak exactly inspirational, like, gak memotivasi kita untuk merasa spesial dan punya kekhususan seperti para karakter di dalam ceritanya. Justru sebaliknya. Karakternya broken enough untuk membuat kita peduli dan memetik pelajaran di balik gimana mereka akhirnya – melawan kemauan dan kesadaran sendiri – menjadi lebih erat bahkan dari keluarga sedarah. Film ini membuat apa yang sepertinya karikatur berubah menjadi truly menghangatkan dengan seefektif namun sesederhana itu.
The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold stars for THE HOLDOVERS

 




That’s all we have for now.

Cerita keluarga di sekolah asrama Katolik, di liburan natal. Basically film ini adalah film ‘religi’. Hanya saja pembahasannya tidak lewat ayat-ayat melainkan melalui sudut kemanusiaan. Kenapa film kita belum banyak yang seperti ini, like kita belum nemu film berlatar pesantren yang ‘ajaran agamanya’ ada di dalam permasalahan manusiawi aja, tanpa perlu ceramah ayat-ayat dan sebagainya?

Share pendapat kalian di comments yaa

Bagi kalian yang juga melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang, satu lagi film yang kukasih score 8.5 tahun ini, bisa ke Apple TV untuk menonton Killers of the Flower Moon. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



KILLERS OF THE FLOWER MOON Review

 

“Coyote is always out there waiting… and coyote is always hungry”

 

 

Alih-alih bikin whodunit, Martin Scorsese bilang bahwa ia mengadaptasi buku nonfiksi tentang rangkaian pembunuhan warga Indian di Osage County 1920an menjadi film ‘who-didn’t-do-it’. Apa maksudnya? Well, thriller detektif memecahkan kasus boleh saja lebih ‘menjual’ tapi tidak akan mencapai power yang diniatkan Scorsese. Dengan konteks sejarah bangsanya, film ini disajikannya untuk menyuguhkan perasaan getir karena yah in a way, they all did it; dengan tidak pernah benar-benar serius mengusut sebab terlalu banyak yang terlibat. Dan para korban survive bukan karena bantuan mereka-mereka kulit putih. Afterall, sutradara legend ini demennya bikin cerita dengan karakter based on real people yang melakukan hal-hal tak terpuji. Killers of the Flower Moon dibuatnya sebagai drama romansa dari sudut pandang pelaku kejahatan yang berpikir dia beneran menyintai perempuan indian yang ia nikahi sebagai istrinya, tapi juga dia menyintai uang dengan sama besarnya. Jika tidak lebih.

Namun jangan bayangkan Leonardo DiCaprio di sini karakternya cool, glamor, dan penuh karisma seperti protagonis-protagonis bobrok dalam film Scorsese yang sudah-sudah. Ernest Burkhart dalam cerita ini bukan wolf. Dia, sesuai dengan yang disimbolkan oleh istrinya bahkan dalam pertempuan pertama mereka, adalah coyote. Anjing hutan liar yang selalu kelaparan. Menyedihkan, tapi tidak untuk dipercaya.

 

Ernest tadinya ikut dikirim ke medan perang, sebagai juru masak. Tapi karena kondisinya, pemuda ini tidak bisa membantu banyak. Pulanglah dia ke naungan pamannya. Seorang juragan ternak di Osage, tanah Indian yang makmur oleh emas hitam. Saking makmurnya, orang-orang kulit putih seperti Ernest berdatangan ke sana, mencari peruntungan mengadu nasib ke sana. ‘Peruntungan’ di sini tidak dalam makna yang baek-baek. Sekilas memang mereka tampak jadi pekerja bagi orang-orang Indian. Dua golongan ini pun tampak saling membaur. Asimilasi budaya dan pengetahuan. Tapi di baliknya, ada maksud terselubung untuk menguasai uang minyak. Warga Indian dibunuhi dengan segala macam tipu daya. Ernest yang jatuh cinta kepada Mollie, bukannya membela, ataupun setidaknya bersimpati. Ernest ikut ke mana power bertiup. Ke pamannya yang bisa mendapatkannya uang dan posisi. Sehingga dia tidak menolak ketika pamannya memanfaatkan perasaan antara dirinya dengan Mollie. Ernest bahkan ikut berkomplot membunuh satu persatu keluarga Mollie, setelah mereka menikah.

Dengan cocote, Ernest adalah coyote berbulu domba

 

Kenapa sih para ‘pendatang’ itu kelakuannya suka seperti ini? Film ini hadir pas banget dengan horrible genocide event yang sedang berlangsung, sehingga impact film ini mestinya bisa berkali lipat menyentuh kemanusiaan. Orang yang datang malah menjajah, ingin menguasai lebih dari hak mereka, sampai melakukan apapun termasuk kejahatan kriminal. Kekuatan film ini jadi terdisplay full, nunjukin gimana pun tetap ujungnya rasis. Mendahulukan kepentingan golongan. Dan ultimately, perut sendiri. Ernest dan pendatang kulit putih udah dikasih hati, tapi malah minta jantung. Aku pikir inilah yang ingin ditunjukkan oleh Scorsese ketika memilih untuk menjadikan cerita ini dari sudut pandang Ernest, yang sebagai protagonis sangat unlikeable, meskipun dia percaya punya rasa cinta kepada Mollie. Film ingin memperlihatkan ‘hati yang sudah dikasih’ tersebut. Ingin mendaratkan kita dengan perasaan genuine, tanpa mencederai perasaan pihak yang mestinya adalah victim. Pihak yang lebih berhak menceritakan peristiwa ini. Mollie dan orang-orangnya.

Karena Mollie dan orang-orang Indian itu meski lebih pasif posisinya di dalam cerita, tapi mereka tidak pernah digambarkan ignorant alias polos. Mereka bukannya bengong dan tidak tahu apa-apa ketika ada sodara mereka yang ditemukan mati secara misterius seolah kecelakaan (dan mengenaskan). Film tidak sampai hati mengatakan mereka juga terlena total oleh harta dan kata-kata pemuda seperti Ernest yang menikah ke dalam keluarga Indian, ataupun orang berpengaruh seperti William Hale, paman Ernest, yang telah lama membantu dan ikut membangun fasilitas-fasilitas di kota mereka. Bagi para warga Indian, film memperlihatkan, persahabatan dan keterbukaan mereka adalah hal yang tulus, yang dimanfaatkan oleh para coyote licik. Mollie, sedari awal flirt-flirtan sama Ernest sudah melihat bahwa pria itu orang yang pengen duitnya, makanya dia menjuluki Ernest dengan sebutan coyote dalam bahasa Indian. Tapi ya itu tadi, cinta itu tumbuh genuine. Mollie merasakannya pure, sementara Ernest merasakannya juga tapi tertutup oleh ‘rasa lapar binatangnya’. Film ingin kita merasakan dramatic irony dari melihat cinta dan kepercayaan Mollie tumbuh, dikontraskan dengan bagaimana Ernest sebagai karakter utama dalam setiap kesempatan yang selalu diberikan naskah kepadanya, memilih untuk menomorsatukan uang dan pamannya ketimbang Mollie dan keluarga. Adegan di bagian akhir yang Ernest ditanya oleh Mollie soal insulin yang selama ini disuntikkan, maan, really broke us down bersama Mollie. Film memberikan kesempatan kepada karakternya untuk develop oleh pembelajaran, they did it for a while, lalu jatuh kembali ke lubang yang sama. Ini jadi kayak jawaban film kenapa masalah tahun 1920 itu masih relevan juga dengan keadaan sekarang.

Ketinggian dramatis seperti itu tidak akan tercapai jika film ini mentok sebagai pengungkapan kasus whodunit siapa yang membunuhi saudara-saudara Mollie dan para Indian. Film ini tahu yang penting untuk diceritakan, bahwa siapa yang bunuh tidak perlu lagi dipertanyakan. Film justru ingin menelisik moral dan perasaan karakter-karakter yang terlibat. Ernest bergulat antara cintanya kepada Mollie dan kepada uang, Mollie bergulat prasangkanya dan ruang untuk cinta.  Banyak lagi momen dalam film 3 jam setengah ini yang bikin terenyuh. Mollie ngasih bantal kepada sodara Ernest yang pulang kemaleman, not knowing bahwa orang itu baru saja melakukan permintaan Ernest (atas gagasan paman) membunuh kakak Mollie. I was like, wow gimana bisa Ernest tidur nyenyak berselimut kekejian seperti itu. Lily Gladstone meranin Mollie udah pas banget, kita ikut merasakan kewaspadaan serta juga kevulnerableannya sebagai perempuan hadir di balik tuturnya yang singkat tapi padat. Jadi hati di balik penampilan repulsif dan manipulatif dari karakter pria kulit putih. Leonardo dan Robert De Niro memberikan penampilan tidak kurang dari standar tinggi yang selalu mereka suguhkan, tapi di musim award ini, Lily Gladstone mestinya bisa jadi ujung tombak film ini untuk meraih penghargaan. Durasi sepanjang itu gak bakal terasa karena cerita yang mengalun, karakter yang ironis, dan pace terjaga. The only reason aku gak nonton ini bioskop (dan aku sangat menyayangkan itu karena pastilah film ini makin epik di studio) adalah karena secara fisik, aku yang sedari kecil punya penyakit beser udah gak kuat duduk selama itu tanpa harus bolak-balik ke toilet (which will ruin the experience for me)

Ini film yang bikin kita malu kalo relate sama protagonisnya

 

Lihat cara film menampilkan momen-momen keseharian rakyat di Osage. Lewat tampilan hitam putih seolah foto/film jadul yang sebenarnya. Pilihan yang bukan sekadar untuk estetik, melainkan juga perfectly membingkai karakter yang ingin diceritakan. Bahwa kebersamaan si kulit merah dan si kulit putih di layar itu ya sebenarnya ada yang ‘mengatur’ di belakang. Ada mastermind yang merencanakan hal buruk demi duit. Jadi ya, Scorsese di film ini bukan hanya menceritakan peristiwa kelam masa lalu, melainkan dia juga punya desain sendiri. Yang mengangkat film ini lebih dramatis lagi. Film ini dibuka dan ditutup olehnya dengan somekind of upacara Indian. Yang satu tentang kekhawatiran mereka akan ‘way of life’ yang berpotensi tercemar setelah masuk masa makmur mereka, sementara satunya tampak seperti perayaan kebersamaan yang saling menguatkan. Secara hakikat, ini adalah materi yang pelik untuk diceritakan oleh Scorsese yang sadar dia sendiri bukan Indian. Dan dia berhasil menemukan desain yang tepat. Membuat cerita dari sudut pandang pelaku, memberikan journey kepada pihak pelaku yang mewakili kenyataan bahwa sampai sekarang belum berubah betul (meski mengaku sudah sadar), tanpa melupakan perspektif korban. Tanpa mengasihani, ataupun merendahkan penghormatan terhadap korban.

 




Film ini tidak lancang dengan ngasih penyelesaian yang menuntaskan cerita. Bagian sidang penangkapan dan pengakuan Ernest memang ada, FBI yang mengusutnya memang ada (Jesse Plemons, always kita sambut hangat) tapi film memilih cara menutup yang paling aneh. Tiba-tiba adegan berubah menjadi semacam adegan teater, dengan Scorsese sendiri jadi salah satu pembaca yang membacakan nasib para karakter setelah sidang dan segala macam. Pilihan aneh yang dilakukan sebagai bentuk respect karena sadar bukan tempatnya untuk mengakhiri cerita ini. Dia mengembalikan cerita kepada pihak yang memang memiliki cerita. Dan aku terduduk di tempat, memikirkan tidak ada perlakuan lain yang bisa dilakukan film untuk bisa lebih sopan dari ini. Untuk bisa lebih ‘tepat’ daripada ini, karena secara teknis pun, dengan desain seperti ini, film masih tetap ‘benar’ secara naskah dan sebagainya. Film ini tidak perlu mengubah struktur dengan konsep berlebihan, namun tetap beautiful dan menantang. Old-school storytelling at its finest!
The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold stars for KILLERS OF THE FLOWER MOON




That’s all we have for now.

Kenapa sih pendatang kelakuannya suka gak tau terima kasih dan suka menjajah?

Share pendapat kalian di comments yaa

Bagi kalian yang juga melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



JATUH CINTA SEPERTI DI FILM-FILM Review

 

“Words and ideas can change the world”

 

 

Siapa sih yang gak mau kisah percintaannya seperti di film-film? Ketemuannya cute, jadiannya sweet, berjalan dengan naik turun penuh passion hingga happily ever after. Jika berakhir tragis pun, kisah cinta di film akan tetap romantis. Bahkan nerd seperti aku bakal get the girl! Padahal kehidupan nyata bukannya tidak romantis, loh. Kita semua mendambakan skenario jatuh cinta ala sinema karena film memang sekuat itu. Sebagai medium bercerita, film punya daya untuk mempengaruhi orang, punya kemampuan untuk memantik percikan perubahan pada seseorang dalam memandang hidup. Yandy Laurens jelas percaya ini.  Percaya kalo kehidupan nyata tidak kalah romantis, melainkan cuma butuh dorongan kecil dari sebuah film yang dirasakan lewat karakter-karakternya. Percaya bahwa efek film bisa sedahsyat itu, asalkan si film itu diberikan kesempatan untuk tetap personal dan menjadi dirinya sendiri. Jika pasangan dalam film biasanya mengatakan cinta lewat bunga, maka karakter yang diciptakan Yandy dalam drama komedi romantis dengan struktur ajaib ini bilang, say it with a movie,

Semua film, at one point, pasti personal bagi pembuatnya. Aku mengetahui ini waktu dulu masih sering ikut kelas penulisan skenario serabutan di mana-mana. Every aspiring screenwriters ingin memfilmkan secuil kisah hidup atau pengalaman mereka. Ingin mengatakan sesuatu di balik cerita yang mereka tulis. Ini bagus, hal-hal personal ini yang mestinya dipertahankan supaya film bisa relate dan genuine, sehingga bisa konek kepada penonton. Problem with personal stories adalah, kita pikir cerita kita itu bagus. Pengalaman atau kisah hidup atau pandangan kita itu layak untuk difilmkan karena orang-orang butuh cerita kita, karena cerita kita sedemikian penting sehingga bisa mengubah dunia ini.  Bagus, karakter utama, dalam Jatuh Cinta Seperti di Film-Film juga punya ‘idealisme’ seperti begitu. Bagus yang seorang screenwriter, ingin membuat film romantis berdasarkan perasaannya terhadap Hana, teman semasa SMA dulu. Dia menulis film dari kisah pertemuannya dengan Hana yang masih berkabung atas kematian suami empat bulan yang lalu. Lewat naskah film yang ia tulis, Bagus ingin mengutarakan cinta sekaligus mencoba untuk membuka pintu hati Hana yang kini masih tertutup rapat untuk cinta yang baru. Jadi Bagus berjuang, pitching ceritanya di depan produser. Supaya beneran difilmkan dan Hana nonton. Naskah yang ia perjuangkan itu ultimately jadi membuka mata Bagus terhadap apa yang sebenarnya lebih perlu untuk ia lakukan.

The power of filmmaking; bukan cuma penontonnya, tapi juga bisa mengubah pembuatnya jadi pribadi yang lebih baik

 

Seperti yang sudah dikesankan oleh judulnya, film ini memang dibangun dengan struktur yang sangat meta. Film tentang karakter yang menulis cerita film, yang actually berdasarkan kisah hidupnya. Ada banyak layer; cerita di dalam cerita di dalam cerita. Konklusinya nunjukin meski dunia nyata si karakter mungkin gak seromantis di dalam cerita yang karakter bikin – karena di dalam cerita film, semuanya harus dilebih-lebihkan biar dramatis, toh dunia nyata dia itu film juga bagi kita. So mindblowing, makanya film ini ngasih pengalaman unik banget saat ditonton. Apalagi saat direview.

Serius deh. Ini actually salah satu film yang fun banget, bikin aku ber-“loh-loh” ria saat berusaha menelisik di balik layer-layernya satu persatu. Ada beberapa kali di babak awal aku ngerasa film ini jelek. Pretentious dengan gimmick hitam putih. Juga dengan penulisan yang sok asik dengan istilah-istilah film menurut ‘netijen’. Like, adegan yang nyebut penulis subtitle bahasa indonesia di film bajakan; adegan itu kayak maksain banget karena masa’ nonton film adaptasi dari sinetron Indonesia bisa pake ada subtitle segala. Ataupun masih terlalu ‘telling’ dengan dialog Hana bilang dirinya seolah ikut dikubur bersama suami, padahal cukup ditunjukin visual surealis Hana ikut berbaring di dalam peti mati yang memang ada later in the story. Di situlah aku nyadar. Bahwa yang jelek di depan itu, bukan film ini. Tapi film/naskah buatan si Bagus. Bahwa itu semua adalah bagian dari karakterisasi si Bagus sebagai tokoh utama. Gimana dia malah memposisikan karakter Hana sebagai yang harus punya development di dalam ceritanya, nunjukin bahwa Bagus belum melihat ‘false-believe’nya sendiri. Belum melihat bahwa dia itu egois, merasa benar, dan even gak sejago itu dalam nulis naskah film. Di babak selanjutnya, film akan mengacknowledge kekurangan-kekurangan Bagus, dan itu bakal dijadikan poin untuk pembelajaran bagi karakternya. Yang bikin makin seru, nanti juga ada adegan-adegan saat Bagus dipertanyakan oleh aktor dan kru yang terlibat di dalam pembuatan film dari ceritanya. Dan Bagus seringkali gak bisa jawab, karena dia realized they are right, Hana was right, and he is wrong.

Dan yang dibuat oleh Bagus itu belum lagi sebuah film. Melainkan ‘baru’ sebuah naskah. Tapi powernya sudah ada. Film hanya satu dari sekian banyak medium. Gagasan dan kata-katalah yang sebenarnya mengubah dunia. Kata-kata Hana yang ia jadikan dialog di naskah, membuka mata Bagus.  And in turn, gagasan Bagus dalam bentuk naskah, berhasil menyentuh Hana. Membantunya ‘terlahir kembali’ dari duka nestapa.

 

Makin ke belakang, bakal banyak momen-momen film ‘menjawab’ kejanggalan yang kita rasakan pada cerita buatan Bagus. Momen-momen itu juga bakal ngingetin kita kalo semua yang kita tonton adalah visualisasi dari naskah buatan Bagus. But it’s not that easy. Karena film ini juga punya selera humor. Selain mengiyakan pertanyaan kita, selain membimbing penonton melewati istilah-istilah penulisan skenario (hey free writing lessons!!) dan sedikit seluk beluk tentang gimana sebuah film bisa akhirnya dapat lampu hijau untuk produksi, serta proses syutingnya itu sendiri, konsep atau struktur meta film juga dibangun dengan meng-subvert ekspektasi kita sebagai penonton. Mana yang beneran terjadi di kehidupan Bagus dan Hana, mana yang cuma karangan Bagus. Garis itu jadi begitu abu-abu – hitam putih seperti yang ditampilkan film ini – sehingga nontonnya jadi seru, lucu, serta juga hangat oleh dinamika Bagus dan Hana, entah itu di mana Bagus dan Hana yang asli ‘dimulai’.

Sementara kita sort ulang mana yang actually dilakukan oleh film, dan mana yang dilakukan oleh film buatan si Bagus sebagai karakter yang harus punya perkembangan, yang tidak bisa kita deny kehebatannya adalah akting. Monolog Hana yang meledak di depan Bagus saat perempuan itu akhirnya tahu cerita apa yang sebenarnya ditulis oleh sahabat sekolahnya itu (selama ini Hana diberitahu Bagus menulis cerita tentang florist, padahal bukan) dan akhirnya tahu intensi Bagus di balik naskah itu, boleh jadi hanya ada di naskah karangan Bagus – bahwa itu kejadian yang tidak pernah terjadi di kehidupan nyata Bagus – tapi Nirina Zubir tetap nyata-nyata went out and totally slayed her lines like that. Itu adegan jadi momen bravo banget di bioskop. Penonton di studio ku pada diem takjub semua, setelah sebelumnya memang banyak yang terkikik-kikik oleh candaan terhadap perfilman yang tersebar di dialog-dialog film. Ringgo Agus Rahman juga tepat terus memposisikan dirinya yang memainkan berbagai ‘versi’ Bagus. Benang merah yang jadi inner journey karakternya tetap bisa dia pertahankan.

It’s meta funny film ini take jabs at bikin remake dari sinetron, while sutradara dan dua aktor sentralnya actually terlibat di film Keluarga Cemara

 

Jadi tampilan hitam putih yang sebagian besar mengisi film ini bukan sekadar gimmick, bukan cuma kode estetik Bagus yang pengen memahami duka Hana, dan mestinya bukan semata batas kejadian di naskah Bagus dengan kejadian di hidup asli Bagus. Melainkan didesain oleh film ini sebagai device untuk menampilkan journey karakter Bagus. Tampilan hitam putih jadi cara film untuk menyarukan kejadian nyata yang dialami Bagus, yang digodoknya dengan kejadian reka yang berarti gimana sudut pandang dan sikap Bagus memandang kejadian nyata yang dia alami. Dengan kata lain, mestinya bagian hitam putih di dalam film ini adalah visualisasi nurani Bagus dalam menilik gimana dia harus approach Hana dan duka perempuan tersebut. Mungkin aku salah, tapi I think konsep film ini kurang lebih diniatkan begitu.

Yang membuatku jadi menghubungkan film ini dengan Asteroid City (2023) buatan Wes Anderson. Sama-sama tentang dealing with grief, sama-sama lewat konsep hitam putih, Asteroid City di teater play, sedangkan film ini di penulisan/pembuatan film. Ketika Asteroid City gak takut untuk ‘membuka’ mana yang play mana yang dunia reka, dengan eventually membenturkan hitam-putih dan dunia warna demi memastikan karakter utama kita benar-benar terlihat mengalami development dan berbuat ‘kesalahan’, film tersebut berakhir dengan lebih tight, somehow lebih ‘misterius’, dan less gimmicky.  Jatuh Cinta Seperti di Film-Film, however, rasanya tuh berpikir, masih takut untuk ketebak. Hitam putih dan warna, pada akhirnya jadi batas nyata dan reka. Karena begitu kita sampai ke momen warna/nyata, development yang kita lihat hanya pada Hana yang nyata. Penonton diniatkan untuk menyetujui bahwa development Bagus yang nyata telah terjadi di bagian hitam putih, tapi at the same time, film menegaskan batas nyata dan reka tadi. Kita gak melihat Bagus nyata struggle dengan pembelajaran, proses pemikiran dan penyadaran Bagus yang sebenarnya. Menurutku momen bentrokan dunia hitam putih dan warna seperti yang dilakukan Asteroid City bisa membantu film ini mencapai hal yang sama untuk karakter Bagus.

But still, struktur meta dan penulisan rom-com ini brilian. Eksistensi film ini, brilian. Like, kita bisa lihat sendiri di cerita ini betapa susahnya Bagus ‘menjual’ naskahnya ke produser. That’s really mirror real life. Itu nyaris seperti parodi dari gimana produser di industri film kita sekarang. Adegan-adegan Bagus dengan produser, poke fun begitu banyak fenomena industri kayak takut barengan tayang ama Marvel, ubah cerita jadi ada horornya, angker sama tampilan hitam putih karena jadi kayak film nyeni yang berat, udah kayak sketch Pitch Meeting di YouTubenya Screen Rant tapi lebih grounded dan relate karena keadaan yang disinggung sangat dekat. Kocaknya pun jadi lebih berasa. Aku ketawa like a sinefil snob di studio hahaha.. Makanya keberadaan cerita kayak gini, bisa-bisanya nangkring di bioskop, dengan jumlah penonton yang gak sedikit, jadi sebuah kebrilianan yang patut kita rayakan. Dan lestarikan.




Cerita yang personal akan selalu dapat tempat di hati penonton. Film ini punya itu, mengerti kekuatan itu dan gagah berani mengambil banyak risks. Film mengambil cara bercerita yang paling meta. Pembuatnya tentu saja sangat personal dengan urusan perjuangan gimana cerita asli bisa sampai mendapat lampu hijau untuk produksi.  Tapi dia tahu punya senjata kuat, yaitu bahasan topik cinta dan grief yang benar-benar mampu menggebah perasaan manusiawi. Sedikit extra pada konsep, tapi ini tetap sebuah presentasi cerita yang menyenangkan, menghangatkan, bahkan membuat kita menertawakan sesuatu yang kita sayangi.  This movie feels like love itself.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for JATUH CINTA SEPERTI DI FILM-FILM

 

 




That’s all we have for now.

Hana sempat bilang bahwa romance hanya milik anak muda. Bagaimana pendapat kalian tentang itu?

Share di comments yaa

Setelah nonton ini,  kalian yang masih pengen tontonan seru, bisa coba serial Monarch: Legacy of Monsters, dari universe Godzilla yang selain tentang monster juga tentang keluarga. Yang penasaran, langsung aja subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL