THELMA Review

 

“Be strong enough to stand alone, smart enough to know when you need help, and brave enough to ask for it”

 

 

Sebagaimana jatuh cinta bukan cuma milik anak muda, petualangan atau malah action balas-dendam pun ternyata juga tidak punya batas kadaluarsa. Ini hanya soal takarannya saja. Karena aksi di usia senja tentu saja bukan kebut-kebutan ataupun tembak-tembakan melawan penjahat. Josh Margolin yang menggarap kisah ini  sebagai persembahan untuk neneknya tercinta (dari adegan pas kredit kita lihat ada momen di film yang dia ‘adaptasi’ langsung dari momen bersama neneknya in real life), tahu persis takaran tersebut. Thelma dijadikannya comedy-action tapi bukan yang over-the-top, melainkan yang grounded. Ingat kemaren pas review How to Make Millions Before Grandma Dies (2024) kita make a point soal nenek cenderung lebih sayang kepada cucu? Nah, pada film Thelma kita akan menemukan jawaban kenapa.

Smartphonenya berdering, Nenek Thelma yang hidup sendiri di rumahnya meninggalkan tenunannya untuk mengangkat. Suara di seberang mengatakan bahwa cucunya sedang di kantor polisi dan dia butuh uang untuk bayar pengacara segera. Naluri keibuan – atau kenenekan – Thelma menghalanginya dari menyadari bahwa telepon itu cuma scam. Penipuan ala ‘mama minta pulsa’. Dari cara film menggambarkan sekuen tersebut, aku langsung ke-hook. Ketika Thelma langsung ke pos buat ngirim duit, kita gak marah ataupun menyalahkannya karena ngelakuin hal yang against our common logic. Malahan kita dibuat memahami ‘kepolosan’ Thelma sebagai nenek. Kita jadi mengerti kenapa penipuan seperti itu bisa terus memakan korban. Apalagi, kedekatan Thelma dengan Daniel, cucunya yang suka datang ke rumah bantu ini-itu, ngajarin makek komputer ataupun main Instagram, sudah dibuild up sebelum kejadian ini. Sekalipun ada yang lucu, misalnya dari gimana si pelaku memancing nama cucunya, kita tidak tertawa dengan nada meledek. Aku baru meledak ngakak saat melihat reaksi Daniel bersama ayah dan ibunya yang awalnya berusaha lapang dada dan bersyukur Thelma gak kenapa-kenapa, tapi langsung ‘serius’ begitu tahu ada duit yang melayang. Dan saat Thelma diam-diam memutuskan untuk pergi sendiri mengambil kembali uang tersebut ke alamat yang sudah ia buang, satu keluarga itu jadi panik mencari nenek yang mendadak hilang,

I also laughed saat Thelma curhat tapi kemudian terbayang lagu yang ada di film Jackass

 

Inspirasi Thelma untuk beraksi sendiri adalah Tom Cruise dalam film Mission Impossible-Fallout yang ia tonton bersama Daniel tempo hari. Thelma dikasih tau Daniel kalo Tom Cruise melakukan sendiri semua aksi di film tersebut. Dan ini menggugah Thelma, yang di balik karakter nenek-neneknya yang ramah, hangat, dan pengertian punya satu flaw yaitu: pantang minta tolong. Premis tersebut terdengar lucu, tapi film berhasil menyuntikkan hati ke dalamnya, dan terus mengembangkan cerita dengan grounded dari sini. Inilah yang menjadikan film punya daya tempur drama yang kuat di balik action ataupun komedinya. Lewat perspektif seorang nenek penyayang yang selama hidupnya mandiri, film memberikan gambaran yang kuat dari gimana rasanya saat benar-benar menyadari diri telah menua, telah benar-benar sendiri karena teman-teman satu-persatu pergi. Gimana rasanya kita yang tadinya bisa semua, kini dianggap tidak mampu dan perlu dijaga. Ketika dianggap seperti bayi lagi. Ada satu momen yang powerful banget, yaitu ketika Thelma mendengar keluarga Thelma (Daniel dan orangtuanya) di ruangan sebelah lagi ngomongin dirinya, dan  Thelma – tidak suka mendengar ‘kenyataan’ bahwa keluarga perlu untuk membantunya lebih sering – mencopot alat-bantu dengar dari telinganya.

Naskah sangat imbang, serta begitu kaya perspektif pendukung. Setidaknya ada dua relationship penting yang terjalin dan development Thelma sebagai karakter datang dari sana. Pertama, tentu saja dengan cucunya, Daniel, yang kelihatannya baru menginjak usia dua-puluhan.  Daniel ini jadi pendukung yang penting, bukan semata karena karakter ini adalah tokoh yang mewakili sang sutradara di kehidupan asli (again, film ini diangkat Josh dari dan untuk neneknya, Thelma Post yang asli), melainkan juga karena Daniel dibikin cerminan paralel dari Thelma. Daniel sedang ada di titik dirinya dianggap screw up oleh keluarga – he doesn’t have job, urusan pacaran pun masih ‘usaha’, dan sekarang nenek hilang di bawah pengawasannya. Daniel jadi sama seperti Thelma yang dianggap gak mampu sehingga mulai menyalahkan diri dan berusaha membuktikan sebaliknya. Mungkin inilah kenapa nenek dan cucu lebih dekat kepada satu sama lain, ketimbang dengan anak atau orangtuanya sendiri. Karena nenek dan cucu berada di posisi yang serupa. Yakni posisi yang oleh orang dewasa/orangtua, dianggap tidak capable ngelakuin hal sendirian, alias apa-apa perlu dibantu. Diawasi. Diurusi. Dan lucunya deep inside mereka juga meyakini pandangan tersebut terhadap masing-masing, sehingga mereka jadi dekat karena nenek ingin buktikan diri capable dengan mengurusi cucunya, sedangkan cucu ingin buktikan diri dengan membantu neneknya.

Kedua; relationship Thelma yang penting adalah dengan Ben, temannya yang ada di panti jompo. Untuk pergi mencari alamat di daerah Los Angeles yang cukup jauh, Thelma butuh kendaraan. Dia ingat Ben punya skuter. Jadi dia pergi ke panti jompo tempat Ben berada untuk meminjam skuter tersebut. Hanya untuk skuter, tegas Thelma. Tapi Ben memaksa untuk ikut sehingga jadilah pertengahan film ini jadi dua-story; antara Daniel dan orangtuanya yang mencari Thelma, dan Thelma dan Ben yang bertualang mencari alamat pakai skuter yang gak seberapa cepat dan harus dicas. Peran Ben di sini adalah sebagai counter, sebagai voice of reason yang menyadarkan Thelma dari flawnya tadi. Karena Ben adalah lansia yang nyaman dibantu. Tidak seperti Thelma, panti jompo bukan kurungan bagi Ben. Karena Ben tidak pernah menampik di usia sekarang, orang-orang seperti mereka memang perlu untuk sering dibantu.

Menjadi tua dan perlu bantuan itu bukanlah hal yang memalukan. Tentu, kita semua perlu untuk belajar mandiri. Untuk capable sendiri dan tidak bergantung kepada orang lain. Tetapi tidak kalah pentingnya bagi kita untuk tahu dan mengakui batas diri. Untuk tahu kapan harus meminta tolong. Karena di dalam hidup, sebagai makhluk sosial, sudah kodratnya untuk kita tidak harus melakukan apa-apa sendirian.

 

Penampilan akting dari para pemain juga sukses membuat film ini terasa tambah genuine. Nenek-nenek dalam film biasanya ada dua tipe. Nenek cerewet, dan nenek yang lovebombing ngasih apapun untuk cucu. Tapi keduanya memang sama-sama perhatian. Thelma-nya June Squibb seperti ada di tengah-tengah. Dia seperti nenek semua orang, kadang bikin sebal karena ‘mada’ alias gak mau diurus alias punya flaw agak keras kepala khas senior. Dia bisa tegas dan nyelekit, tapi most of the time Thelma dihadirkannya penuh kehangatan dan ya, kepolosan khas nenek-nenek yang berusaha up-to-date sama dunia. Humor-humor kecil (tapi telak) sering datang dari pembawaan ‘polos’ Thelma. Running gag seperti nenek yang merasa kenal sama semua orang di jalan, menghiasi cerita. Richard Roundtree dalam peran terakhirnya (rest in peace) sebagai Ben pun menyumbang pesona kharismatik tersendiri. Tepatnya, pesona kakek-kakek sebagai teman sejati, yang selalu ada di sana betapapun kurang-ngertinya dia dengan situasi. Sementara itu, Fred Hechinger sebagai Daniel, tuntas pula sebagai perwakilan anak muda – karena kita, seperti dia, harus belajar respek the elder sementara deep inside bergulat dengan menyongsong masa tua sendiri nantinya. Apakah kita mampu? Enggak ada karakter yang annoying di sini. Not even ayah dan ibu Daniel yang kaku dan rempong. Bahkan ‘villain’nya, si tukang scam, dibuat paralel dan penting juga (bisa dibilang ini adalah relationship penting ketiga pada cerita). Untuk gak bocorin banyak, villain ini juga old-man dan juga butuh bantuan.

Cool guys don’t hear explosions

 

Film ini cocok banget ditonton maraton, dijadiin dobel feature dengan How to Make Millions Before Grandma Dies (2024). Kita akan bisa melihat nenek dengan keluarganya dari perspektif lain, yaitu dari si nenek itu sendiri. Kalo mungkin kalian kurang cocok sama drama emosional film tersebut, Thelma yang lebih ringan sebagai comedy-action mungkin bisa jadi alternatif. Comedy-action ini ranah yang rawan. Akan gampang sekali bagi film ini untuk jadi over-the-top, jadi konyol dengan komedi dan aksinya. Tapi gak sekalipun Thelma melewati batas grounded tersebut. Bukan nenek-nenek itu yang dibawa ke dunia aksi. Melainkan aksinya yang diconvert ke dunia nenek-nenek. Film ini paham, bagi karakter seusia Thelma, tindakan yang tergolong memacu adrenalin itu adalah hal sesimpel (bagi kita loh!) operasikan komputer. Di mana letak X nya. Stakenya pun gak perlu muluk. Bagi seusia Thelma tersandung barang berantakan di lantai toko aja sudah demikian membahayakan. Kalo ini settingnya di Indonesia, lantai kamar mandi bisa jadi villain kedua tuh pasti. Meski begitu, seperti halnya premis yang gak shy away dari sedikit meminta kita untuk menahan our logic dan disbelief, film ini pun gak ragu untuk nampilin pistol dan ledakan, yang tentu saja sebagian besar dimanfaatkan untuk komedi properti, ketimbang digunakan properly.

 




Makanya bagiku film ini adalah kejutan yang menyenangkan, lagi menghangatkan. Aku gak nyangka film dengan premis konyol dan situasi kontras action nenek-nenek ini ternyata dikembangkan dengan grounded dan in a mature way, dan hasilnya ternyata gak kalah menyentuh dengan sebuah drama. Yang jelas, hubungan antara nenek dan cucunya berhasil tersampaikan dan terasa personal. Gambaran tentang bagaimana kita bersikap terhadap orang yang jauh lebih tua, tentang gimana perasaan mereka, tetap berhasil sampai ke kita di balik kekehan tawa yang vibe komedinya ke mana-mana. Ternyata memang, seperti halnya umur hanyalah angka, genre juga hanyalah bungkus. Hati cerita tetap nomor satu, dan itulah yang diusahakan sepenuhnya oleh film yang memang sangat personal bagi pembuatnya ini. 
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for THELMA.

 

 




That’s all we have for now.

Aku baru tau ternyata fenomena penipuan kayak ‘mama minta pulsa’ atau ‘anak bapak ada di penjara’ ini ternyata santer juga di Amerika sono. Bagaimana pendapat kalian tentang penipuan kayak gini, mengapa sampai bisa terjadi?

Silakan share di Komen yaa

Yang pengen punya kaos film lebaran Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

 

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



LONGLEGS Review

 

“Birthdays as reminders of unspoken pains”

 

 

Hari ulangtahun normalnya disongsong dengan gembira. Apalagi waktu kecil dulu. Wuih, hari-hari menjelang ultah itu rasanya berdebar-debar. Kepikiran pestanya semeriah apa. Kuenya segede apa. Kadonya sebanyak apa. Tapi makin dewasa, rasanya kegembiraan menyambut hari lahir itu berkurang. Rasanya kok tidak seantusias dulu. Bahkan, kita sering lupa sama ulangtahun sendiri. Kita jadi lebih suka merayakannya ‘diam-diam’. Alasannya bisa banyak, bisa karena sibuk, bisa karena udah pada jauh dari teman-teman, atau mungkin hari ulangtahun justru jadi pengingat kenangan buruk atas hidup yang belum terpenuhi? Longlegs, horor garapan Oz Perkins, seperti berangkat dari aspek ini. Ketika momen-momen menuju hari yang biasanya dirayakan, justru jadi momen-momen menakutkan. Ketika mengingat hari kelahiran, berbalik menjadi menyambut hari kematian. As for me, dengan bahasannya yang nyinggung-nyinggung hari ultah tersebut, Longlegs udah paling tepat dianggap jadi kado paling… horor!

Agen Lee Harker punya firasat. Yang tentu saja sangat berguna dalam investigasi kasus. Apalagi FBI memang lagi mumet ama satu kasus sulit yang terus berlangsung sedari puluhan tahun lalu. Kasus pembunuhan keluarga, yang sepertinya dilakukan oleh para ayah yang lantas bunuh diri setelah menghabisi keluarganya. Kesamaan kasus-kasus itu yaitu keluarga-keluarga yang jadi korban itu selalu punya anak perempuan yang lahir pada tanggal 14. Surely ini kerjaan serial killer, dan memang di TKP ditemukan pesan kriptik dengan simbol-simbol aneh. Tugas Lee adalah memecahkan semua misteri tersebut. Namun firasatnya yang udah kayak setengah-paranormal itu berkata lain. Bahwa pesan-pesan aneh itu mengarah kepada sosok pria misterius, yang waktu kecil dia kenal sebagai Longlegs. Dan bahwa pesan-pesan itu seperti ditujukan langsung untuknya. Ya, semua kasus ini mungkin bermula dari masa kecil dirinya sendiri  di rumah pedesaan bersama ibu.

Potong ‘palanya, potong ‘palanya sekarang juga~

 

Membungkus diri sebagai investigasi crime, film ini mengajak kita masuk ke dalam misteri ceritanya. Membuat kita jadi ikutan telaten memperhatikan clue-clue. Seperti Lee, berharap dapat menguak maksud dari teka-teki si Longlegs. Algoritma Setan, begitulah Lee menyebutnya. Karena memang crime yang ditangani Lee muatan supernaturalnya begitu gede. Sosok Longlegs terbuild up dengan sangat baik sebagai momok yang menakutkan, bikin gak nyaman, sekaligus bikin penasaran. Cara film membuat Lee ‘tertarik’ kepadanya Longlegs juga sangat menarik. Lewat kengerian intens, yang konstan terpasang pada raut Maika Monroe. Kontras sekali dengan Longlegs yang dimainkan dengan chaos, penuh histeria, serta hal-hal ganjil oleh Nicolas Cage. Makanya banyak yang membandingkan film ini dengan The Silence of the Lambs (1991), thriller investigasi dengan interaksi antara agen Clarice Starling dengan serial killer Hannibal Lecter sebagai pusatnya. Longlegs dianggap sebagai versi horor full madness dari film tersebut.

Karena memang film ini, alih-alih penuh oleh dialog tentang psikologis dan mindgames seorang killer yang berusaha ‘melahap’ kepala agen wanita lawan bicaranya, berisi racauan riddle yang seperti dilontarkan oleh si Setan itu sendiri. Dari dialog saja, nuansa creepy dan tak nyaman sudah menguar. Tempo yang sengaja lambat pun terasa semakin menyandera kita ke dalam misteri, sama seperti rasio kotak yang membingkai adegan-adegan masa lalu/masa kecil – seolah membuat Lee terpenjara dalam ingatan kabur yang bahkan struggle untuk dia ingat. Tema biblical jadi warna pada narasi. Mulai dari kutipan ayat hingga simbol-simbol yang diamini sebagai simbol setan, dijahit mulus sebagai bagian dari cerita- dari misteri. ‘Kurang ajar’nya nih film, dia tahu kita sudah tertarik masuk, menatap ceritanya lekat-lekat, tapi indera kita ‘dipekakkan’ oleh desain suara, ‘dikaburkan’ oleh transisi visual, yang sama-sama mengerikannya. Bukan dalam artian jelek, melainkan benar-benar membangkitkan perasaan horor dan gak nyaman itu sendiri.

Malahan, sebenarnya aspek horor film ini memang bersandar kepada treatment terhadap teknis-teknisnya tersebut. I mean, Longlegs-nya Nicolas Cage bakal cuma jadi karakter over-the-top ala akting histerical Cage yang biasa jika tidak punya editing secrisp yang dilakukan oleh film ini. Lihat saja adegan di opening saat Longlegs pertama kali muncul; gimana suara mendadak menyertai kemunculannya, terus posisinya di kamera yang kita cuma ngeliat sosoknya sampe sebatas bibir alias sejajar mata anak kecil, lalu gerakan dan cut mendadak yang bikin jantungan itu. Mungkin inilah yang namanya elevated jumpscare hahaha.. Yang jelas, bahkan kredit pembuka dan penutup film ini masih bergerak dalam satu kesatuan konsep untuk bikin suasana ganjil. Film ini is at its best ketika menyuarakan misterinya. Semua aspeknya kayak dikerahkan untuk bikin kita takut. Semuanya seperti punya layer alias lapisan. Ambil contoh si Longlegs itu lagi. Sengaja banget tentang dia dibikin minim. Kita memang bakalan tahu dia basically agen setan, dan dia kerjaannya sebagai pembuat boneka, tapi kenapa dandanannya begitu – baju gombrangberlapis-lapis, muka dirias putih – surely itu semua bukan hanya supaya gak keliatan Cage-nya kan? Melainkan ini adalah lapisan dari misteri siapa karakter ini. Apakah dia laki-laki yang berusaha dandan jadi perempuan? Atau apakah ceritanya dia ini pengen jadi badut? Or, he is just a glam rock fan yang dandan ala band T.Rex dan film mau gambarin setan itu nyantol di atribut-atribut mulai dari gaya rock hingga ke fashion suster gereja? Kemisteriusan desain yang sengaja tak dijawab ini menambah kepada misteri pada narasi film ini

Atau mungkinkah dia sosok ayah bagi Lee?

 

Dialognya juga begitu, nada-nada dan kata-kata yang dipilih bukan sekadar untuk bikin kita ngernyit, melainkan juga menambah kepada layer karakter. Sayangnya soal dialog ini bisa mudah missed, karena translasi. Aku menemukan satu yang menurutku kelalaian terjemahan bahasa kita – at least pada bioskop yang aku tonton. Yaitu saat Lee di kamar putri bosnya. Istri si bos datang dan menyuruh putrinya tidur. Basically dia bilang “Ayo Ruby, kamu tidur, sekarang sudah…” lalu terpotong karena dia melirik arloji dan lanjut bilang “Ah, now is tomorrow“. “Sekarang (ternyata) sudah besok” – sedangkan pada subtitlenya hanya diartikan “besok saja”. Kalimat now is tomorrow itu penting karena konteks sepanjang cerita ini adalah Lee terusik oleh tanggal ulangtahun. Firasatnya mengatakan kejadian buruk akan terjadi pada hari ulangtahun tanggal 14. Dia gelisah menuju tanggal tersebut – entah itu ulangtahun Ruby maupun ulangtahun dirinya sendiri. Now is tomorrow menjadi sinyal bahwa yang ia takuti semakin dekat. Ketakutan Lee pada saat itu jadi lost in translation karena efeknya terdownplay oleh subtitle yang mengartikan “besok saja”. Hal-hal kecil seperti demikian menunjukkan sebenarnya film ini punya rancangan yang berlapis untuk karakter dan gimmick-gimmick horornya. Film ini memukau saat rancangan tersebut berjalan sebagaimana mestinya. Kita gak perlu lagi melihat gore yang exactly on frame untuk merasakan kengerian. Film ini justru jadi bisa hadir ‘elegan’ dengan elemen sadis yang bisa dimainkan variatif sebagai icing on the cake dari nuansa creepy yang sudah kuat terbangun.

Ternyata semuanya memang berawal dari ulangtahun Lee yang kesembilan. Terjadi sesuatu antara dirinya, ibu, dan pria yang memperkenalkan diri sebagai Longlegs. Sesuatu yang mengerikan sehingga Lee tidak ingat lagi. Mungkin itulah kiasan yang hendak diutarakan oleh film ini. Bahwa hari ulangtahun bukan hanya untuk hura-hura dan bersenang-senang. Bahwa mengingat hari kita lahir juga berarti mengingat hal-hal buruk yang pernah kita hadapi, atau yang coba kita tinggalkan.

 

Oleh karena kuatnya bangunan misteri dan lapisan yang diperlihatkan pada dua babak sebelumnya itulah, maka ketika film Longlegs sampai di babak ketiga dan memutuskan untuk membeberkan jawabannya dengan eksposisi yang gamblang,  aku yakin penonton akan jadi terbagi. Akan ada yang jadi gak puas karena investigasi half-psychic tersebut ternyata jadi beneran supernatural. Lapisan yang terbangun atas misteri terutama soal masa kecil terlupakan terkait hubungan Lee dengan ibunya pun jadinya kayak untuk twist semata. Film memang masih menyiapkan ending yang ambigu terkait penyelesaian antara ‘kutukan’ Longlegs dengan Lee, tapi penjelasan film tadi telah sukses membuat misteri film jadi seperti menguap dan penonton kehilangan hal yang lebih seru untuk dibawa pulang dan didiskusikan. Aku sendiri, ada di pihak yang kurang puas. Rasanya aneh aja gitu, film yang udah sukses bikin bangunan misteri – bayangkan sebuah balon yang udah menggelembung besar siap untuk terbang, tapi lalu kemudian memutuskan untuk meletuskan balon tersebut dengan memberikan semua jawabannya. Sayang aja rasanya. Apalagi dilakukan lewat narasi eksposisi pula – sesimpel ibu bercerita pada anaknya. Menurutku akan lebih menarik jika cerita ibu ini dibuat gak eksak jawaban, melainkan hal yang ambigu kebenarannya, sehingga juga bisa menambah kepada hubungan ibu dan anak yang sepertinya juga diincar oleh film ini.

 




Sebagai horor investigasi kriminal, film ini sebenarnya berhasil ngasih lebih dari apa yang bisa ditawarkan oleh genrenya. Suasana yang konstan creepy dan terus merongrong penonton sebagai hasil dari bangunan misteri berlapis yang terus mendera karakter. Desain suara dan crisp editingnya jadi ‘kurang ajar’ begitu bergabung dengan akting hyper Nicolas Cage. Secara arahan horor, this is a very good movie. Kentara sutradaranya peka dan punya passion terhadap misteri alias suka nakut-nakutin orang. Hanya pilihan dan caranya dalam menjelaskan semua di akhirlah, yang bakal membagi penonton. Film ini jadi terlalu sensasional, tapi juga terlalu ‘beres’, untuk bisa kita bawa pulang. Tapinya lagi, penampilan akting dan ‘elevated jumpscare’nya sendiri sudah cukup untuk jadi ikonik sehingga tetap membuatnya dibicarakan banyak orang, untuk waktu yang cukup panjang.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for LONGLEGS.

 

 




That’s all we have for now.

Basically kado ultah Lee adalah dikasih tahu bahwa ibunya collab ama setan haha.. bener-bener worst birthday ever. Kalo kalian gimana, apakah kalian punya cerita tentang pengalaman hari ultah terburuk?

Silakan share di Komen yaa

Yang pengen punya kaos film lebaran Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

 

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



TWISTERS Review

 

“Don’t let your pain destroy you”

 

 

Waktu kuliah Geologi dulu, aku sempat tertarik sama mata kuliah Mitigasi Bencana. I thought it’s really cool menganalisa dan menyiapkan sesuatu yang preventif demi kepentingan masyarakat. Tapi di saat itu juga aku sadar tanggung jawabnya besar. Gimana kalo aku yang bego ini salah baca data, salah langkah. Wuih bisa fatal, Jangan-jangan ntar bukannya bertahan, masyarakat malah jadi kocar-kacir padahal gak ada apa-apa. Apalagi, dan ternyata benar menurut film disaster karya Lee Isaac Chung ini, bidang mitigasi memang luar biasa penting. Bukan hanya gak boleh ngasal dan bertanggung jawab dalam mengoperasikan atau mengolah data, melainkan juga butuh keberanian dan kesiapan diri yang sama besarnya. Karena kalo ada satu hal lagi yang aku sadari berkat film ini bahwa mungkin keputusanku benar gak lanjut ambil mata kuliah itu. maka itu adalah kita gak bakal bisa ready untuk nolongin orang, kalo sendirinya belum ready – belum kokoh – menghadapi terjangan tornado masalah dalam diri pribadi.

Memang, diceritakan berat bagi Kate Cooper untuk kembali menekuni passionnya dari kecil sebagai tornado-chaser. Perempuan brilian itu kini ngantor sebagai meteorologist, enggan untuk kembali ke lapangan, tempat dia meninggalkan proyek mulia yang tadinya ia kembangkan di bangku kuliah untuk ‘menjinakkan’ angin topan. Karena kejadian yang kita lihat di opening film sangat membekas. Alih-alih nolong masyarakat, Kate dan projek ciptaannya malah membuat teman-teman dan kekasihnya celaka. Tapi toh yang namanya passion, tak akan pernah padam. Musim tornado di Oklahoma semakin mengganas. Kate yang punya keahlian khusus menganalisa munculnya tornado akhirnya bersedia untuk gabung bersama tim Javi, teman sesama penyintas kejadian di opening itu, dengan alat-alat mutakhir untuk menge-scan dan menangkap data tornado. Di padang rumput luas yang cerah namun seketika dapat berubah menjadi berbahaya itu, tim Kate amprokan dengan tim Tyler, YouTuber/influencer pemburu-topan yang sekilas tampak mengganggu dan hanya ingin bersenang-senang di atas bencana.

Tunggu sampai semuanya kena F-5, dari Brock Lesnar!!

 

Meskipun katanya film ini adalah sekuel, namun kita bisa menangkap banyak banget ruh dari film Twister (1996) yang menghidupkan aspek-aspek kecil film ini. Salah-salah, aku bisa nyangka ini remake haha.. Ceritanya sendiri memang tidak berkelanjutan, tidak ada karakter film yang lama muncul kembali. Penghubung antara kedua film ini justru teknologinya. Alat penangkap data tornado yang dinamai Dorothy (reference ke film klasik The Wizard of Oz yang ceritanya tentang gadis bernama Dorothy kehisap tornado hingga sampai ke magical land) kini sudah sampai ke tahap yang lebih mutakhir. Referensi tersebut bahkan dilanjutkan; nama-nama tim Javi dinamai dari geng Dorothy di film itu. Sedangkan Kate, sebagai tokoh utama, buatku terasa seperti gabungan dari Jo dan Bill. Atau tepatnya, buatku terasa seperti Kate seperti versi koreksi film ini terhadap karakter Jo yang berbagi porsi dengan Bill. Kate di film ini benar-benar capable dan mandiri di bidangnya. Dia bisa teknik membaca ‘kode alam’ seperti yang dilakukan Bill, serta jago mengoperasikan alat seperti Jo. In fact, konsep penjinak tornado solely adalah buah pikirannya. Penampilan Daisy Edgar-Jones saja dibuat mirip banget dengan Jo; rambut pirang dikuncir, tank top putih, dan semacamnya. Supaya gak jadi terlalu sempurna, film memfokuskan kepada konflik yang dipantik dari trauma Kate. Trauma personalnya inilah yang jadi flaw, yang dikembangkan jadi drama yang menghidupkan cerita, sebab Kate jadi meragukan diri, setengah-setengah mengejar tornado, sehingga menghambat misi timnya.

Makanya Tyler Owens si YouTuber jadi karakter pendukung yang tepat untuk Kate. Bukan semata karena Glen Powell jago banget mainin karakter songong namun kharismatik. Melainkan karena Tyler yang dengan mobil merahnya (again, nod to film original) mengejar tornado cuma buat menembakkan kembang api ke dalamnya, perlahan membimbing Kate keluar dari pusaran ketakutan. Tyler membuat Kate kembali berani, bukan hanya menaklukkan ketakutannya, melainkan juga menunggangi rasa takut. Dalam arti, membuat ketakutannya sebagai pijakan untuk menjadi orang yang lebih baik. Dan aku menemukan diriku lebih mudah konek kepada permasalahan Kate, dan dukungan Tyler, karena terasa personal, ketimbang persoalan menemukan kembali cinta di balik urusan pasangan yang mau cerai pada film originalnya. Imbasnya, relationship yang terjalin antara Kate dan Tyler juga lebih mudah aku ikuti, dan aku mengerti, dan aku peduli. Dari yang tadinya semacam rival karena merasa beda cause, mereka jadi saling tertarik, lebih dari ketertarikan fisik, melainkan mereka menemukan kesamaan deep inside dan tujuan. Dan cara film mendekatkan mereka bukan kayak receh ala FTV yang tadinya berantem jadi pacaran, tapi lebih humanis. Serta tentu saja lebih exciting, karena tetap saja film ini pada dasarnya adalah tentang bencana alam, jadi di lapisan luar ada pusaran angin ribut yang eventually, literally, dibikin membara.

Dari Tyler, Kate (dan kite-kite semuanye) belajar bahwa rating bencana alam seperti puting beliung diukur justru dari efek kerusakan yang ditimbulkan. Yang berarti, kita sendirilah yang menentukan seberapa besar tragedi menghancurkan diri kita. Kita  yang memutuskan berapa lama bencana itu menerjang sebelum akhirnya reda. Maka, bangkitlah segera. Selamatkan dirimu, lalu selamatkan orang lain.

 

Momen-momen action survival dan kejar-kejaran ‘menangkap’ tornadonya dibuat seru. Karena bukan hanya teknologi Dorothy yang semakin maju, teknologi bikin film pun juga. Maka Twisters bisa lebih mengeksplorasi secara visual baik itu dari tornado terbentuk hingga menyerang kota yang tadinya lagi ada acara rodeo. Film benar-benar jago dalam mengontraskan, baik itu warna maupun skala. In case belum pada nyadar dari judulnya, twisternya sekarang ada yang dua. Kembar. Tapi film ini berhasil membuatnya tidak tampak cheesy kayak misalnya kalo ada film hiu, lalu kali ini ceritanya ada hiu kedua atau hiunya mutant, atau gimana. Film tetap mempertahankan tone ringan tapi serius. Ringan, karena film ini nyadar, gimana pun juga, ya sebenarnya lawak cerita seputar meredakan tornado. But at least, mereka membuatnya grounded dengan hati. Dan film ini bikin, setiap kemunculan angin tersebut, kita melihat aksi yang berbeda. Para karakter kita dengan ilmu dan alat-alat canggihnya, mereka gak lantas berhasil. Mereka gagal. Mereka belajar. Mereka berlari menyelamatkan diri. Film ini punya build up yang cukup sehingga adegan-adegan tersebut terasa intens. Satu lagi yang juga berhasil dipotret adalah kepanikan saat bencana datang. Gak salah disematkan sebagai genre thriller. Kepanikan yang membuat manusia lupa, sehingga salah langkah, tidak mendengar instruksi karena panik, dan whoosssh mereka terbang. Dalam menyorot suka-duka mitigasi bencana, film ini berhasil ngasih lihat sehingga kita melek, bidang ini memang penting!

Mana sinefil banget pula, tempat berlindung terakhir mereka di dalam teater cinema hhehe

 

Aku sempat mengira “wah ada pergeseran nilai nih” ketika melihat di awal Kate masuk ke dalam tim corporate, dan dia sebel melihat timTyler yang datang-datang bawa penggemar, yang begitu ‘colorful’ sehingga seolah angin tornado bagi mereka bukan bencana melainkan tontonan dan show semata. Soalnya di film terdahulu, protagonis kita berada di tim yang mandiri, dan ‘bad guy’nya adalah tim corporate – dengan seragam dan segala formalitas lainnya. Nah, ‘nilai’ ini yang aku sangka sudah berubah di jaman sekarang, karena film bikin protagonis utama di tim korporat. Mungkin, aku kira, film ini juga ingin menyinggung soal kultur ‘ngonten’. Aku tertarik karena ingin melihat alasan film untuk mengatakan tim korporat lah tim yang baik. Tapi ternyata jaman belum begitu berubah. Sekali lagi, film ini kayak bermain-main dengan ruh film pertamanya. Perlahan, Kate menyadari dia ada di tim yang salah. Ini tentu jadi journey yang menarik, yang menambah kepada perkembangan Kate sebagai karakter. Prejudice yang dia bawa mengenai orang-orang ‘free-spirited’ yang ada di tim Tyler tentu akan terbawa juga kepada kita. Dan di balik mentereng dan profesionalitasnya – it seems – korporat tetaplah pihak yang culas, yang dengan no problem nyari cuan di atas penderitaan rakyat. Bagaimana pendapat kalian tentang gambaran dua tim dalam film ini? Silahkan share di komen yaa

 




Kalo ditanya suka yang mana, aku lebih cocok dengan sekuel ini. Meskipun memang, kalo ditanya lebih jauh, aku merasa film ini lebih mirip sebagai spiritual remake dari film pertamanya. Alasan suka karena film yang ini terasa lebih mudah relate (tapi itu mungkin karena aku nonton film pertama di masa-masa belum ngerti soal pasangan yang mau cerai haha) But, I do think karakter dalam film ini terasa kuat juga humanity-nya. Mereka punya layer, terutama karakter seperti Tyler. Untuk Kate sendiri, kita dibuat paham sama flaw-nya. Film fokus kepada flawnya, dan ini penting, karena tanpa ketakutan alias trauma dari survivor guilt-nya tersebut, Kate hanya akan jadi karakter utama yang terlalu sempurna. Dia tidak akan menarik. Tapi film berhasil membuat setiap pertemuan dia dengan tornado itu punya arti, punya makna kepada pembelajarannya sebagai manusia. Sambil juga film ini tetap menjalankan fungsinya sebagai disaster-flick yang seru, intens, kadang lucu-kadang konyol.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for TWISTERS

 




That’s all we have for now.

Yang pengen punya kaos film lebaran Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

 

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL

 



JURNAL RISA BY RISA SARASWATI Review

 

“Words have meaning and names have power”

 

 

Jurnal Risa merupakan nama channel YouTube milik Risa Saraswati yang begitu populer oleh konten dokumentasi penelusuran horor. Risa Saraswati sendiri adalah seorang musisi, penulis buku, yang claimed memiliki kekuatan supranatural mampu berkomunikasi dengan makhluk gaib. Cerita-cerita hantu Risa telah banyak menginspirasi skena horor kita, dan sekarang film berjudul Jurnal Risa by Risa Saraswati ‘didokumentasikan’ oleh Rizal Mantovani, membawa kisah Risa dan timnya menangani kasus hantu arwah leluhur yang namanya tidak boleh disebut, dari YouTube ke layar lebar. Ya, nama tampak seperti sebuah ‘tema yang penting’ di sini. Apalagi di zaman perkontenan, nama sama saja dengan sebuah branding yang kuat. Maka ketika Jurnal Risa yang begitu populer sebagai channel konten mistis dari kreator yang dipercaya punya kekuatan cenayang diangkat ke layar lebar lengkap beserta kru dan gimmick ataupun kayfabenya, pertanyaan yang menggelayut adalah: Apakah masyarakat penontonnya mampu untuk menyematkan nama yang benar terhadap tontonan ini. Apakah (terutama bagi penonton) ini adalah mokumenter, atau dokumenter?

Kenapa hal tersebut jadi concern buatku? Karena film sebagai media, juga sama powerfulnya dengan sebuah nama. Tapi juga sebagai seni, film bersifat bebas; tidak perlu menjelaskan dirinya kepada penonton. Aku ngerti, sama seperti WWE, pada film ini, ada ilusi atau kayfabe branding yang harus dijaga lewat gimmick-gimmick atau konsep. Jurnal Risa by Risa Saraswati ini bahkan sampai mengganti ‘directed by’ menjadi ‘documented by’ supaya kesannya seperti beneran dokumenter. Dan storytellingnya juga sama persis gaya channel YouTube-nya. Risa Saraswati memerankan dirinya sendiri. Bersama kru, yang sebagian besar juga keluarganya yang pada punya kekuatan supranatural juga, Risa ceritanya mengadakan uji nyali untuk konten. Tapi salah satu peserta, seorang influencer bernama Prinsa sompral dan menyebut-nyebut nama hantu yang terlarang untuk disebutkan. Ini nama terlarang sepertinya juga sudah terbuild up dari channelnya, loh. Konflik pada film ini adalah si hantu, Samex, beneran merasuki Prinsa, dalam lima hari akan ngetake over dirinya, maka Tim Jurnal Risa harus membawa Prinsa ke kampung halaman Samex. Dan untuk membuatnya personal, Samex ternyata adalah Uwa’ alias tetua dari Risa sekeluarga.

Ada yang berani panggil namanya, tiga kali aja?

 

Sebenarnya ada bedanya. It’s one thing membuat film kita tampak begitu real, konsep realismnya dibuat sedemikian sukses, didukung oleh penceritaan yang imersif, sehingga penonton bertanya-tanya ini sungguhan atau tidak. Seperti keberhasilan The Blair Witch Project (1999), horor orang hilang di hutan yang sengaja dirilis dengan minim informasi, konsep found footage yang begitu raw, sehingga penonton saat itu merasa film ini begitu misterius sehingga disangka asli. But it’s completely another thing jika ilusi tersebut hanya disandarkan kepada kepercayaan base-penonton terhadap brand atau persona (sosok maupun channel). Like, WWE tidak pernah menjual dirinya sebagai sport, melainkan sebagai sport-entertainment. Olahraga-hiburan. Penonton acara tersebut percaya Undertaker punya kekuatan supranatural, sekaligus juga tahu Undertaker ‘aslinya’ adalah karakter yang diperankan oleh Mark Calaway, manusia biasa yang tentu saja tidak bisa memanggil petir dengan tangannya. Sebaliknya pada Jurnal Risa by Risa Saraswati, ada yang aku khawatirkan bisa jadi confusion. Film ini mempersembahkan dirinya sebagai mokumenter adaptasi dari dokumenter YouTube (yang fenomenal)

Istilah mokumenter maupun dokumenter itu sendirinya, juga merupakan sebutan atau nama, yang penting untuk dipahami oleh penonton, supaya bisa mengenali apa yang sedang mereka konsumsi. Basically dokumenter berarti film yang menelusuri atau mendokumentasikan peristiwa atau hal yang nyata. Sementara mokumenter, berasal dari gabungan kata ‘mock’ dan ‘dockumentary’, yang lantas berarti sebuah dokumenter ‘palsu’. Dokumenter yang mengisahkan peristiwa rekaan. Jadi jika kita bawa kepada istilah yang dipakai film ini untuk menjual dirinya tadi, berarti; film ini adalah kisah dokumentasi not-real yang diadaptasi dari dokumentasi real. Sebenarnya jelas, penyebutan ini cuma langkah berbelit yang dilakukan film untuk berkelit dari menyebut langsung bahwa kisah mereka cuma fiksi, demi melindungi branding atau ilusi siaran YouTubenya yang sudah terbangun. Akan tetapi,  beberapa penonton yang belum sedemikian melek literasi filmnya, akan bisa ‘salah kaprah’ menganggap ini nyata. Dan eventually bagi penonton-penonton ini akan bisa jadi kabur makna film dokumenter yang sebenarnya.

Apalagi tanpa diimbangi dengan penceritaan yang mendukung. Menggunakan konsep yang persis dengan di YouTubenya; karakter yang memerankan ‘diri sendiri’. Mereka menelusuri misteri, membantu orang yang dimasuki hantu. Film ini hanya seperti konten YouTubenya dengan durasi yang lebih panjang. Enggak kerasa strukturnya sebagai ‘film’ itu sendiri. Sebagai film, Jurnal Risa by Risa Saraswati adalah mockumentary bergaya found footage horor. Adegan-adegan yang kita lihat adalah tangkapan dari kamera yang digunakan oleh karakter. Basically ini kan sama aja kayak Keramat 2 (2022). Hanya saja di film itu kita langsung tahu itu mokumenter karena walaupun para aktor menggunakan nama asli mereka, kita paham mereka hanya memainkan karakter. Lutesha jadi Lutesha si Cenayang, Umay jadi Umay si YouTuber. Itu karena sebagai karakter mereka memang punya plot, punya penulisan, dengan motivasi, cela, aksi, pilihan, dan sebagainya. Ceritanya tersusun menjadi bangunan dengan struktur sinematik. Jurnal Risa the Movie ini, gak punya ini. Sebenarnya ‘film’ ini tidak lulus untuk disebut sebagai film.

Menggunakan nama yang benar kepada suatu hal, memang adalah hal yang begitu penting. Karena nama membawa identitas bukan saja untuk orang lain, tapi juga mengingatkan kita kepada diri sendiri. Makanya Dumbledore selalu menekankan kepada penyihir yang lain untuk memanggil Voldemort dengan nama aslinya. Bukan dengan nama samaran yang menambah kemistisan dan akhirnya semakin membuat mereka takut kepadanya. Makanya di film-film horor, penting bagi karakter untuk mengetahui nama setan yang mereka hadapi. Di film ini, Risa memang takut menyebut nama Samex, tapi solusinya tetap mengarah yang sama – kenali dia dari tempat asal mulanya.

 

Risa saja, yang harusnya adalah karakter utama, gak ikut ke mana-mana, Tidak mengalamin apa-apa. Tidak ikut menjaga Prinsa yang ketempelan. Melainkan cuma muncul sebentar mendemonstrasikan kemampuannya melihat atau berkomunikasi dengan makhluk tak kasat mata, lalu kadang juga jadi narator mengisahkan perjalanan ataupun bahaya, yang ditempuh oleh timnya. Tidak ada plot, melainkan cuma misteri siapa Samex (dan maybe ‘misteri’ kenapa banyak yang susah banget nyebut nama Prinsa) Soalnya Prinsa juga tidak digali, padahal sepertinya background-nya menarik, easily cerita bisa dikembangkan dari sini. Tapi enggak. Naskahnya gabut. Tim Risa yang actually terjun untuk ‘beraksi’ pun cuma berdiri di sana, dengan tampang tegang sepanjang waktu. Film ini serius banget. Seandainya kru atau keluarganya yang banyak itu hadir sebagai karakter dengan personality masing-masing (bukan cuma nampang dengan ekspresi ‘tempat ini menyeramkan’) film ini bakal lebih hidup. Heck, I would gladly take it kalo misalnya dibikin mereka punya ability masing-masing. Lucunya, sama seperti kita yang menonton, Risa dan timnya juga cuma menonton ahli paranormal lain, atau orang desa berusaha menolong Prinsa. Pokoknya mereka cuma punya one job, antara ketakutan atau kesurupan, dan itupun aktingnya atrocious semua. Gak ada yang meyakinkan. Sampai-sampai aku second guessing myself, ‘Aktingnya begini jangan-jangan sebenarnya memang gak ada yang nganggap ini dokumenter asli?’

“Izinkan saya membersihkan kamu” sounds so perverse

 

Sebagai found-footage horror, film ini juga not good. Karena arahannya sama sekali gak peka pada momen-momen mana yang bisa dimainkan ke dalam konsep rekaman footage tersebut. Momen mereka menjaga Prinsa di rumahnya sendiri, misalnya, Kalo sutradaranya gercep ama konsep ini, pasti akan ada adegan dari rekaman cctv atau kamera yang dipasang di kamar Prinsa. Di film ini, lucu sekali, karena kamera dipasang di tempat para kru bobo’ di ruang tamu. Dan kamera-kamera itu, treatment-nya semua sama. Tidak ada estetik khusus yang membedakan kameranya, ataupun yang membuat kita ingat bahwa yang kita lihat itu adalah gambar tangkapan dari karakter yang di belakang kamera. Gambarnya jadi tidak natural, dan justru lebih terlihat seperti settingan (I was third guessing myself “masa iya ada yang percaya ini asli!?”) Bahkan jumpscare-jumpscarenya yang banyak itupun, kita tahu dan sudah siap-siap ‘menyambutnya’. Dengan kata lain, arahan horor filmnya masih sangat basic. Hanya untuk kaget-kagetan, dan less about menciptakan tension ataupun situasi yang mencekam. Lihat saja pas adegan mereka uji nyali. Padahal itu kesempatan main-main dengan suasana horor, tapi belum bangun apa-apa, film udah langsung ancang-ancang untuk jumpscare aja. Ketika mereka masuk ke dunia lain, sebenarnya lebih menarik, horornya mulai menggunakan hantu-hantu di-background, suara-suara, peristiwa-peristiwa ganjil, ada juga yang kayak experience masuk rumah hantu. Cuma sayang sekali terlalu singkat untuk kita nikmati

 




Mungkin prestasi terbaik film ini adalah bikin faux documentary yang paling narsis sedunia akhirat. Karena memang tidak ada yang terasa dicapai oleh ceritanya selain ya membawa kiprah Risa dan timnya ke layar lebar, sebagai diri mereka sendiri – as seen on their YouTube. Sedangkan secara objektif sebagai film, this is a really bad one. Tapi kalo kalian suka, ya silakan saja, bergembiralah menontonnya. Harapanku cuma, kekhawatiranku penonton confused ini sebagai dokumenter tidak terjadi. Semoga sama seperti aku dan para penggemar WWE, penggemar film ini tahu apa yang sedang kita sukai, dan menikmatinya totally sebagai hiburan. 
The Palace of Wisdom gives 1 out of 10 gold stars for JURNAL RISA BY RISA SARASWATI

 

 




That’s all we have for now.

Sebenarnya aku bukan orang yang skeptis. Aku lebih senang memilih untuk percaya pada horor, asalkan dibuat dengan baik. Menurut kalian, kenapa konten-konten horor seperti Jurnal Risa banyak digemari? Apa karena horornya, atau karena horornya dianggap nyata?

Silakan share di komen yaa

Yang pengen punya kaos film lebaran Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

 

 

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



SEKAWAN LIMO Review

 

“It is not the mountain we conquer, but ourselves”

 

 

Sekawan Limo punya arti dua. Dalam bahasa Indonesia bisa diartikan sebagai lima sekawan. Sedangkan dalam bahasa Jawa, basically artinya empat-tapi-lima. Judul tersebut memang klop membawa ruh cerita yang tentang persahabatan dari sekelompok anak muda yang naik gunung yang dibalut oleh elemen horor, karena salah satu di antara mereka adalah demit atau hantu. Bayu Skak dalam penyutradaraan horor pertamanya ini memang bermain-main dengan mitos ataupun anekdot-anekdot horor yang dikenal masyarakat, terutama orang Jawa Timur dan orang yang hobi naik gunung. Pun begitu, lewat pesannya, film ini juga punya implikasi yang menurutku cukup bikin sedih terkait orang-orang yang datang ke gunung, lalu hilang.

Pada cerita kali ini, Bayu juga kembali ikut main peran. Sebagai Bagas. Protagonis cerita, yang pergi naik Gunung Madyopuro bersama teman kampusnya, Lenni. Biasalah anak muda, pengen nembak demenannya di puncak. Pas sun set/rise. Tapi karena dua mahasiswa ini baru pertama kali naik gunung, mereka gak tau kalo di gunung banyak pohon cemara, eh salah, ada aturan-aturan. Gak boleh noleh ke belakang, harus naik berkelompok – dan gak boleh berjumlah ganjil. Maka Bagas dan Lenni bergabung bersama dua pendaki lain, Dicky yang ngakunya Mapala dan tahu jalan. Serta Juna yang – kasian banget – ditinggal oleh kelompoknya. Di perjalanan, mau tak mau mereka harus nambah anggota satu demi melihat pendaki bernama Andrew tergeletak kelelahan. Setelah itulah, satu persatu kelompok mereka mulai diganggu demit. Bagas, yang tak tahu, gebetan dan teman-teman seperjalanannya itu diam-diam punya beban masa lalu yang berat, mulai curiga ada demit di antara salah satu dari mereka; demit yang mengundang semua kejadian aneh itu kepada mereka semua.

Bawaan teman-temannya lebih berat daripada tas Bagas yang katanya gede karena bawa orang sekampung

 

Sebelum bahas Bagas dan kengkawan di hutan, aku mau point out dulu yang pertama menarik perhatianku. Yakni setting podcast yang membungkus cerita. Jadi petualangan Bagas di hutan itu ceritanya, diceritakan kembali oleh Bagas yang diundang sebagai bintang tamu di acara podcast. Film ini dibuka di studio podcast tersebut. Aku nontonnya, wuih ini udah kayak Late Night with the Devil (2024) nih, bedanya film itu settingnya acara live talk show televisi. Aku penasaran, mau dibawa ke mana nih setting ini oleh Sekawan Limo. Apakah nanti Bagas akan ada konflik dengan lawan bicara yang skeptis, atau bakal ada pertunjukan hantu ‘beneran’ kayak di horor karya sineas Australia tersebut, apa gimana. Dibandingkan demikian, Sekawan Limo ternyata memang tidak menggunakan setting studio podcast (live?) nya sebagai device horor atau drama seperti film tersebut. Melainkan difungsikan lebih untuk sarana penyampai komedi. Sesekali kita berpindah dari kejadian di hutan kembali ke studio saat dua host podcastnya memantik kelucuan dari reaksi dan komentar mereka terhadap cerita Bagas. Kadang terasa dua host ini seperti perpanjangan dari reaksi kita, kadang juga mereka seperti ikut memancing pandangan kita soal siapa yang hantu di antara kelompok Bagas, tapi sering juga mereka ya komedi aja. Sampai-sampai aku jadi gak yakin apakah karakter mereka yang host itu cuma pura-pura konyol supaya perbincangan terdengar menarik oleh pendengar, atau memang karakter mereka memang didesain sekonyol itu beneran.

Mungkin memang mereka sekadar lucu-lucuan, karena toh daging sebenarnya ada pada kelompok Bagas di hutan. Sungguh sebuah grup yang ‘colorful’ kalo boleh dibilang. Mereka mungkin gak semuanya likeable. Tapi mereka tetap menarik, karena sesungguhnya mereka baru kenal – kecuali Bagas dengan Lenni – tapi kita bisa merasakan perlahan mereka ya jadi kayak teman. Lengkap dengan saling ejek dan saling berdebat. Ini yang bikin mereka konek ke penonton. Dinamika mereka, interaksi mereka. Cowok yang hobi naik gunung pasti pernah punya modus ngajak cewek ke gunung kayak Bagas ke Lenni.  Aku pun relate juga sama Lenni, yang walau gak bisa bahasa Jawa, tapi kalo diajak ngomong ngerti. Aku juga gitu kalo udah urusan bahasa Sunda ataupun bahasa Jawa itu sendiri, kalo ada circle teman-teman dari sana, ya aku angguk-angguk ngerti tapi kalo ikutan nyeletuk ya keluarnya bahasa Indonesia. Begitulah. urusan bahasa yang digunakan, sepertinya ini jadi icing on the cake dari gaya humor film ini. Bahasa dan gaya khas pergaulan Jawa Timur itu bukannya jadi penghalang, namun jadi pesona tersendiri, dan film ini paham bagaimana menempatkan ‘suara-suara’ ini.  Dialog-dialog lucunya, misalnya. Film memang terbuild up ke tebak-tebak siapa yang hantu di antara mereka, dan untuk nyamarin ‘jawaban’ itu, film ini kinda bersandar kepada joke yang becandain fisik (borderline rasis maybe). Like, ada yang diledek karena jelek kayak hanoman, misalnya. Tapi di situ jugalah relatenya.  Karena kita belum bisa dibilang temenan akrab sama orang, kalo belum bisa saling hina, saling becanda. Film ini nunjukin terjalinnya persahabatan dari sana, di samping juga dari adegan emotional yang bakal datang di babak tiga.

Yang sebenarnya agak aneh justru journey Bagas sebagai karakter.  Aneh, dalam sense film ini punya langkah untuk berkelit around posisi aneh karakter utamanya tersebut. Bagas memang bakal menyadari satu pembelajaran (yang serunya diambil sebagai pemaknaan dari larangan mitos naik gunung), akan tetapi, teman-temannya-lah yang harus ngepush diri dan mental mereka untuk ikut menyadari dan mengambil aksi terhadap penyadaran tersebut.  Sementara Bagas sudah berdamai dengan pembelajaran tersebut bahkan sejak cerita dimulai. Kayaknya jarang nemu film dengan naskah yang memperlakukan karakter utamanya di posisi begini. Dibilang lemah karena karakternya gak ada plot/gak berubah, ya enggak juga. Tapi dibilang dia yang ngalamin, ya enggak, teman-temannya yang harus menuntaskan masalah mereka masing-masing. Bagas ada di sana, untuk mengingatkan mereka saja. Film juga berusaha memainkan posisi Bagas ini sebagai hal yang membuat karakternya somewhat suspicious. Bagas yang gak diganggu hantu, jangan-jangan dialah hantu di grup mereka tersebut.

Inside Out if it was filmed in my mind.

 

Justru sekarang, ruang berkelit kita-kita sebagai pengulas yang jadi sempit. Susah untuk enggak menyenggol spoiler, ketika justru revealing-nya itu tempat makna, gagasan utama, dan pesan cerita berada, dan film memutar diri untuk sepenuhnya bersandar kepada revealing tersebut sebagai momen dramatis. Makanya aku gak mau bahas banyak soal ‘jangan melihat ke belakang’ tersebut. Aku justru ingin fokus ke implikasi yang sama menyedihkannya. Yaitu di awal film, saat masih di pos depan, Bagas dan Lenni melihat banyak sekali foto-foto pengunjung/pendaki yang hilang di gunung. Mereka sendiri juga bakal ngerasain gimana seramnya tersesat di gunung dan bisa dibilang nyaris hilang juga. Tapi mereka resolved their problems. Sesuatu yang tidak berhasil dilakukan oleh korban-korban yang hilang tersebut. Sedihnya tu di sini: Berarti banyak banget pendaki yang naik gunung dengan bawaan masa lalu yang berat banget seperti karakter film ini, dan bahkan mungkin sebagian dari orang yang hilang itu seperti Lenni, yang sengaja naik gunung buat mengakhiri capek dirinya.

Makanya gunung sering jadi simbol entah itu pencarian menemukan diri, ataupun ya tempat mengadu saat hati galau. Bukan hanya sebagai tempat romantis untuk nembak cewek. Gunung  bisa jadi tempat entah itu kita berhasil menemukan kembali diri, atau jadi tempat terakhir. Yang kita lalukan saat mendaki gunung, bukanlah menaklukan gunung tersebut, melainkan menaklukkan diri kita sendiri. Berdamai dengan diri kita sendiri

 

At best, film ini dengan narasi ‘jangan menoleh ke belakang” tersebut bisa berfungsi sebagai semangat untuk tidak lari dari masala(h)lu. Bahkan mungkin bisa jadi cerita asli Indonesia yang anti-suicide (serta yang duluan muncul sebagai film anti-judi online!). Pesan film ini baik sekali. Meskipun, cara penyampaiannya masih bisa diperdebatkan lagi. Menurutku, film ini mengambil jalur yang repetitif dalam mencapai puncaknya tersebut. Bagas punya empat teman dengan masalah masing-masing, berarti ada empat kali ‘metoda’ yang sama kita lihat dilakukan oleh film dalam menceritakan penyadaran karakter-karakter tersebut. Alhasil film ini memang punya nada emosional positif yang tinggi menjelang akhir tersebut, tapi karena diceritakannya hanya bergantian, jadinya repetitif sehingga tempo agak drag mencapai ke penutup cerita – yang sekali lagi setting podcast dimunculkan, kali ini difungsikan sebagai sarana konklusi romantis yang manis, meski tetap lanjut dengan vibe horor komedinya.

 




Bahan-bahan racikan film ini sebenarnya bagus. Memadukan misteri, horor hantu-hantuan, dan komedi persahabatan dengan pamungkas emotional note yang tinggi. Belum lagi konsep naik gunung dengan segala mitosnya (termasuk mitos kedaerahan seperti penanggalan Jawa). Urusan bahasa, udah gak jadi soal. Penonton kita kayaknya gak peduli language barrier (gak kayak penonton Amrik sono yang baca subtitle aja males-malesan). Bahasa justru jadi identitas dan pesona tersindiri yang memperkaya perbendaharaan penonton. Cuma memang penceritaannya agak kikuk. Yang masih bisa dimaklumi terjadi ketika sebuah film mengusung banyak konsep, seperti di sini ada setting podcast juga, ada desain ke membuat penonton menebak-nebak, ada demit ‘beneran’ dan demit ‘masa lalu’. Dan ada empat orang – setidaknya – yang harus digali (bukan hanya pada akhir tapi juga basically sepanjang durasi), sementara ada satu protagonis utama yang juga harus dicuatkan. Film ini kebetulan mengambil jalur ‘aman’ yang repetitif, resulting ke tempo yang lebih draggy, alih-alih potong kompas alias lebih ‘garang’ di arahan.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for SEKAWAN LIMO

 

 




That’s all we have for now.

Kalian punya pengalaman naik gunung yang seru – dan kalo bisa horor – gak?

Silakan share di komen yaa

Yang pengen punya kaos film lebaran Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

 

 

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL

 



A QUIET PLACE: DAY ONE Review

 

“Life is found in the dance between your deepest desire and your greatest fear”

 

 

Diam-diam,  A Quiet Place ternyata ngembangin franchise horor survival yang kuat muatan kemanusiaannya. Sudah tiga film – termasuk yang sekarang digarap oleh Michael Sarnoski ini – dan ketiga-tiganya selalu lebih dari sekadar tontonan hiburan dari gimmick invasi makhluk alien yang punya pendengaran super. Bukan cuma soal tidak bersuara jika ingin selamat. Film pertamanya, yang rilis 2018 silam, mengusung pengorbanan demi keluarga lewat persoalan survive dengan tahu kapan harus bersuara, kapan harus diam. Lalu sekuelnya, yang kali itu ceritanya meluas karena keluarga karakter berinteraksi dengan survivor lain, merupakan soal pengorbanan demi kemanusiaan, bagaimana pentingnya membantu orang lain meskipun sekilas seperti mereka tak worthy untuk diselamatkan, dan untuk itu kita tidak bisa dengan tinggal diam. Film ketiganya ini, yang secara timeline dinyatakan sebagai prekuel – hari pertama dari invasi maut itu – bicara tentang keinginan untuk hidup. Keinginan yang sengaja atau mungkin tidak bisa lagi terucapkan, karena situasi yang mengharuskan. Skala lokasinya satu kota besar, tapi cerita kembali menjadi bahkan lebih personal lagi. Film ini memang sedikit lebih serius, lebih ke drama, dan less soal action survivor ataupun horor monster. Tapi tidak sampai sedemikian berat karena afterall ini juga soal menikmati hidup. Motivasi utama protagonisnya saja – di dunia yang mendadak kacau beliau itu – adalah makan pizza favoritnya!

Serius deh, ini harusnya dinormalisasi. Perkara karakter punya tujuan sederhana (atau bisa dibilang out-of-place ketika dikontraskan dengan situasi dunia atau konflik yang sedang terjadi) seharusnya lebih sering dilakukan oleh film-film, sebab itu membuat karakternya tampak lebih beresonansi. Kayak waktu Tallahassee yang berkeliling menumpas zombie di Zombieland (2009) karena dia sedang dalam misi mencari snack Twinkies kesukaannya. Atau recently dalam Leave the World Behind (2023), ada anak kecil yang cuma pengen namatin nonton serial Friends, despite orangtuanya sibuk ketakutan oleh dunia sedang kacau balau kena serangan cyber misterius. Film itu bahkan dengan beraninya mengakhiri cerita bukan dengan menuntaskan konflik global, melainkan menyelesaikan keinginan si anak. Konyol? Bisa dibilang begitu tapi tidak juga sebenarnya. Motivasi sederhana mereka itu jadi seperti api kecil harapan di balik keadaan yang sedang tidak baik-baik saja. Motivasi tersebut jadi simbol. Keinginan Samira makan pizza dari toko di kota New York, penting karena memuat gagasan dan tema utama karakter dan cerita keseluruhan A Quiet Place: Day One.

Begini, Samira adalah pasien kanker yang nasibnya sudah pasti. Hidupnya tak lama lagi. Di momen pertama kita ‘berkenalan’ dengannya kita tahu Sam udah sebodo amat, Sam bacain puisi tentang segala hal di dunia ini sampah – it was a good, cold, poet tho. Udah eneg banget kayaknya dia hidup. Pizza-lah satu-satunya hal yang masih ‘enak’ baginya, Karena pizza ngingetin dia sama masa lalu yang hangat. Jadi karena dijanjiin pizza, maka Sam mau ikut perawatnya ke New York. Tapi hari itu ternyata bukan hari yang baik untuk makan pizza ke New York. Sebab itu adalah hari saat invasi monster asing terjadi. Korban berjatuhan. Kota porak poranda. Ketika semua orang berusaha menyelamatkan diri naik kapal, Sam bersama kucing kesayangannya malah menyusuri jalan. Masih ngotot mencari pizza, Sam akhirnya malah bertemu dengan teman seperjalanan yang membuatnya kembali merasakan hangatnya semangat hidup.

Kebayang gak sih kalo lagi nahan suara takut monster gitu, tau-tau ada yang kentut

 

Saat nonton dua film terdahulu, mungkin ada yang sempat kepikiran gimana prosesnya survivor bisa tahu bahwa monster ini peka ama suara, butuh berapa lama sampai para manusia sadar mereka harus tak-bersuara agar selamat? Well, film Day One ini ngasih jawaban yang jelas. Enggak lama. Kericuhan memang terjadi pas monster-monster itu baru muncul. Bagi Sam yang sudah terbiasa diam dan mengelak dari interaksi dengan manusia, mungkin bukan benar-benar masalah, tapi manusia-manusia lain di sekitarnya? Ketakutanku soal cerita ini bakal jadi teror monster biasa memang hampir jadi kenyataan, tapi itu enggak lama. Begitu Sam siuman dari pingsan, para survivor telah mengerti cara supaya aman dari serangan. Bahwa mereka harus diam. Film ini memang ingin menunjukkan betapa manusia punya survival insting yang kuat. Punya keinginan untuk hidup yang kuat. Sehingga mereka cepat beradaptasi dan menemukan celah dari serangan monster. Keinginan untuk hidup itulah yang jadi kata kunci di film ini.

Rasa kasihan dan kepedulian kita kepada Sam datang dari benturan antara dua hal itu. Kita ngerti Sam yang terminally ill basically udah gak punya keinginan untuk hidup, tapi kita juga lihat daya survivalnya tinggi karena dia pengen banget makan pizza untuk terakhir kali. Nontonin Sam ini rasanya diri berkecamuk sendiri – pengen neriakin Sam supaya benar-benar nikmatin hidupnya, tapi gak bisa karena ya kalo teriak takutnya monster denger. Film ini konsep horornya udah kuat merekat, ditambah pula karakter yang bikin kita ya akhirnya hanya bisa diam juga. Tapi untuk penyadaran Sam itulah – karena kita sebagai penonton gak punya ‘power’ ngasih tau karakter – naskah menghadirkan Eric. Pria yang seperti counter-point dari Sam. Teman seperjalanan yang awalnya ogah-ogahan diterima oleh Sam. Eric, basically, adalah orang yang selama ini mendedikasikan hidupnya untuk hal yang tak bisa ia tolak. Kata-katanya soal law school seolah dia memang diharapkan jadi pengacara dan itulah yang ia lakukan. Tapi keadaan dunia yang hancur sekarang, membuat dia tak perlu lagi jadi pengacara. Eric adalah orang yang merasa punya kesempatan mengejar hidup baru. tapi dia gak bisa apa-apa karena tak melakukan hal lain. Sam dan Eric eventually akan saling ‘mengisi’. Connection di antara mereka jadi hati yang mengangkat film ini. Adegan di jazz club benar-benar mereveal dan nunjukin development yang hangat pada dua karakter yang menguar oleh empati. Itu jadi adegan puncak, Ada keindahan sendiri pada storytelling film ini saat menempatkan adegan full of life itu di tengah-tengah teror, bahaya, dan luluh lantak dunia yang penuh monster mengerikan.

Hidup adalah apa yang kita lakukan ketika menggapai yang diinginkan, meskipun harus melewati ketakutan terbesar. Film ini nunjukin bagi tiap orang ‘hidup’ – being alive – itu berbeda-beda. Makanya ending film ini jadi terasa monumental, sebuah pilihan akhiran cerita yang benar-benar tepat untuk menamatkan kisah hidup Samira; karakter yang divonis mati, di dunia yang juga udah harus ikhlas bakal mati, tapi alih-alih diam, menemukan cara baru untuk benar-benar menyuarakan hidupnya.

 

Lupita Nyong’o dan Joseph Quinn benar-benar paham membuat karakter mereka tampak kontras, punya dinamika yang tantangan menampilkannya sangat berat karena mereka harus lebih banyak diam. Film dengan konsep mengontraskan aksi dengan elemen emosional yang tanpa suara ini memang bergantung kepada akting. Pemainnya dituntut harus bisa bicara lewat gerak kecil, sorot mata, pokoknya seluruh tubuhnya harus bicara menyampaikan psikologi ataupun yang dirasakan karakternya. Informasi tentang mereka terbatas dari sini. Lupita terutama; capeknya dia, frustasinya dia, senangnya, takutnya, marahnya, penolakannya, terekspresikan semua. Film ngasih challenge; muka belepotan abu lah, harus berhadapan dengan monster lah, semua itu ditackle tanpa lepas dari emosi karakter. Yang aku suka satu lagi dari Sam dan Eric adalah kenyataan bahwa mereka ini dipertemukan oleh kucing. Hewan yang dikenal sebagai salah satu hewan paling mandiri bought them together. Seolah ini adalah kiasan berikutnya bahwa mandiri bukan berarti kita tidak berempati ataupun tidak butuh koneksi dengan orang – atau bahkan makhluk – lain.

Salut buat akting kucingnya yang bisa diam, karena aku dulu punya kucing dan aku yakin kalo aku bawa kucingku ke dunia A Quiet Place, baru lima detik kami pasti sudah dimangsa monster

 

Tapi di balik nilai plusnya, tentu kita juga tidak bisa mendiamkan beberapa aspek lemah dari arahan dan penulisan film. Yang paling mengganjal buatku adalah kemunculan Eric. Karakter ini muncul tanpa set up. Literally dia muncul dari sebuah jumpscare. Kirain dia ini gak penting dan bakal mati cepet, tapi ternyata justru kebalikannya. Mungkin film ingin memperkuat kesan bahwa yang namanya hidup, ya unexpected things happen. Kita gak bisa milih siapa yang bakal masuk dan berperan dalam hidup. Bahwa pembelajaran bisa datang dari mana saja. Namun tetap saja yang namanya film, akan selalu lebih baik jika karakter dibuild up dengan proper, atau paling enggak, tidak muncul begitu saja di dalam cerita. I mean, bahkan dalam cerita plot twist paling kacrut pun, karakter yang diungkap sebagai ‘penjahat sebenarnya’ biasanya sudah ada ‘clue’ atau dimunculkan seenggaknya sekilas di awal-awal. Cara film ini mengintroduce Eric dengan abrupt terkesan naskah belum demikian matang memuat racikan konsep cerita.

Dan ngomong-ngomong soal matang, film ini toh tersandung juga ketika mencoba mempersembahkan diri sebagai bagian dari sebuah universe cerita. Film sekenanya aja ketika mulai nyambung-nyambungin antara karakter yang ada di film sebelumnya.  Aku gak ngerasa karakter Henri penting untuk ada di sini. Adegannya ‘mengurusi’ salah satu warga yang panik oleh monster terasa gak penting karena cuma itu satu-satunya bagian dia tampak mencuat. Selanjutnya dia tidak dibahas lagi hingga akhir. Bahkan kalo mau nunjukin paralel antara sikapnya dengan sikap Sam nanti ketika dealing with kepanikan Eric, harusnya keberadaan dia mestinya bisa lebih ditekankan lagi. Karena kalo cuma seperti yang kita saksikan, keberadaan dia kayak maksa, biar kelihatan ini beneran satu universe aja.

 

 




Also, judulnya buatku bisa bikin beberapa penonton merasa terkecoh. Ini mungkin lebih tepat dibahas sebagai problem judul film masa kini yang udah kayak ngincer SEO, kali ya. Maksudku, dari judulnya sekilas film seperti ingin membahas hari pertama di semesta A Quiet Place. Penonton bakal ngarepin aksi ataupun keadaan yang menyeluruh dari ‘hari pertama’ tersebut. Padahal ceritanya sendiri actually adalah cerita yang sangat personal. Yang sangat intimate antara dua survivor. Ditambah pula dengan less-aksi dan more of bahasan karakter, film ini bakal jadi entry paling boring. Namun secara muatan cerita, sebenarnya film ini paling kompleks. Dari ketiganya so far, yang paling ‘elevated’ sebagai horor invasi ya film ini. Kekurangan sebenarnya cuma di beberapa titik kurang matang, atau pilihannya aneh. Sementara karakter dan journeynya, kalo mau memperhatikan, mereka semua meluap oleh emosi yang memang tidak disampaikan dengan sekadar cuap-cuap.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for A QUIET PLACE: DAY ONE

 

 




That’s all we have for now.

Bagaimana menurut kalian tentang motivasi karakter yang ‘sepele’ seperti ini? Apakah kalian setuju dengan pendapatku di atas?

Silakan share di komen yaa

Yang pengen punya kaos film lebaran Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

 

 

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



IPAR ADALAH MAUT Review

 

“The worst pain in the world goes beyond the physical, even further beyond any other emotional pain one can feel; it is the betrayal of a friend” 

 

 

“Ipar adalah maut” yang merupakan kutipan Hadits Nabi, adalah sebuah peringatan. Sementara Ipar Adalah Maut, merupakan film karya Hanung Bramantyo, adalah sebuah gambaran. Tentang bagaimana peringatan itu bisa terjadi, tentang bagaimana ipar dapat membawa maut, dalam artian menjadi sumbu dari kehancuran sebuah rumah tangga. Dan dengan mengambil perspektif utama dari kakak yang eventually jadi ‘korban’ dari adik yang tinggal di rumahnya, film yang dijual sebagai diangkat dari kisah nyata pengalaman seseorang ini coba untuk menjadi penghembus semangat kebangkitan dari maut tersebut.

Suara Nisa sebagai narator menyambut kita ke dalam cerita. Dia hendak berbagi pengalaman rumah tangganya yang mengenaskan. Awalnya memang Nisa sempat ragu untuk mutusin permintaan ibu soal adiknya, Rani, tinggal bersama dengan keluarganya. Tanggungjawabnya besar. On top of jagain adik yang baru kenal dunia itu, Nisa harus ngurusin suami, anak yang belum lagi SD, ditambah bisnis toko kue yang lagi rame-ramenya,  Suaminya, Aris – dosen sosiologi keluarga, dan cukup soleh – siap mendukung apapun keputusan Nisa. Mereka sebelumnya sama sekali gak kepikiran macem-macem. Memang saat itu, they didn’t take one thing as a factor; Saat baru pacaran dulu, Rani memang ‘cuma’ anak remaja  yang kekanakan dan manja. Namun kini, Rani yang udah mau masuk kuliah, got hot. Yang namanya tinggal serumah, muncul deh tuh kejadian-kejadian. Mulai dari situasi tak-sengaja yang innocent (mungkin pikir Aris, ‘rejeki’) membesar hingga ke situasi awkward yang gak bisa Aris ataupun Rani ceritakan kepada Nisa yang sibuk, karena kejadiannya bikin mereka merasa bersalah, tapi sekaligus juga bikin kepikiran terus. Apalagi Rani melihat Aris ini udah kayak manic pixie dream man. Kesempatan demi kesempatan yang mereka dapatkan dengan absennya Nisa pun akhirnya bikin rasa bersalah itu kalah. Dan film pun membuild up kepada kecurigaan Nisa dan aftermath setelah semuanya ketahuan.

Karena konteksnya keran, mungkin Aris mikirnya ‘terlanjur basah, ya sudah basah-basahan sekalian’

 

Karena karakter utama yang dipilih adalah Nisa, sebagai korban dari perselingkuhan, Hanung tahu cerita ini tidak bisa membahas lebih dalam tentang perselingkuhan itu sendiri. Like, perspektif Aris sebagai dosen sosiolog keluarga tapi justru dia terjerumus jadi pelaku selingkuh, tidak bisa dikembangkan lebih dalam alasan ataupun motivasinya karena ini bukan cerita dia. Rani sebagai si bungsu yang didaulat manja dan tak bisa apa-apa oleh keluarga pun hanya bisa punya waktu berdalih dengan itu alih-alih memeriksa lebih dekat apa yang dia rasakan sehingga ‘tega’ ngerebut suami kakaknya. Hanung paham posisi karakter utamanya yang sebagai korban, maka sebagian besar hanya bisa bereaksi terhadap tanda-tanda dia diselingkuhi. Maka Hanung tahu satu-satunya kesempatan untuk bikin cerita ‘pasif’ ini hidup adalah dengan melibatkan penonton. Untungnya, memang itulah hal yang, boleh jadi, paling dipahami oleh Hanung ketimbang sutradara lain. Membuat dramatis sampai penonton ikut bertangis-tangis.

Film ini kalo kita perhatikan banyak dan tahu memanfaatkan momen-momen pause. Momen-momen diam. Timing untuk mancing reaksi penontonnya gila banget, sehingga build up ke adegan dramatis terasa punya pay off yang lebih dahsyat. Perhatikan saja misalnya pada adegan seperti Aris ngajak Rani masuk ke hotel, atau ketika ibu yang saat itu ‘blank’, dari kursi rodanya menasehati Nisa dan Rani jangan berantem. Film seperti sengaja berhenti beberapa detik untuk membiarkan penonton meluapkan emosi kepada karakter, setelah itu barulah film menumpahkan adegan emosionalnya. Ini membuat kita seperti terlibat langsung. Kita emosi, karakter emosi, dan baru kita semua emosi bersama-sama mereka. Ipar Adalah Maut was so good at doing this.  Dialognya banyak yang dibuat ‘mendua’. Apalagi kalo bukan memancing celetukan kita, entah itu kepada Rani setelah dia mendengar “Tolong layani Mas mu, ya” dari Mbak-nya, ataupun kepada Aris begitu dia ditanya dengan sangat polos oleh Nisa yang gak tau suami dan adiknya lagi berduaan, “Mas lagi sama Rani, ya?”

Sepertinya tidak ada yang luput dari tembakan dramatisasi Hanung. Bahkan karakter minor seperti Ibu Nisa (diperankan oleh Dewi Irawan) diberikan percikan drama, karena actually si ibu inilah pemantik incident. Meminta tolong Nisa untuk menampung Rani karena beliau kurang sreg Rani harus ngekos. Firasat si Ibu dibuat terus bergulir sepanjang narasi siap untuk meledak bersama perasaan Nisa, dan Rani. Ngomong-ngomong tentang karakter dan aktornya, wuihh, tiga aktor utama benar-benar ‘diberdayakan’ untuk kebutuhan dramatis ini. Casting Hanung udah kayak melingkupi pesona dan raga. Deva Mahenra yang imagenya cocok buat karakter tipe pendiam dan sedikit kekanakan; di sini Arisnya dibuat tampak cuek bukan main saat melakukan ‘kebejatan’. Davina Karamoy dengan mata besar bersorot tajam dan cerdas, Raninya actually jadi beneran tampak antagonis ketika dibuat dia-lah yang jadi mastermind pertemuan diam-diam dan muslihat untuk mengecoh Nisa. Tapi meskipun begitu, kedua karakter ini tidak pernah kehilangan momen manusiawi tersendiri. Film tetap memberikan kita glimpse ke konflik personal dan rasa bersalah mereka. Dan tentu saja Michelle Ziudith sebagai Nisa. Ziudith yang dikenal sebagai ratu nangis, di sini dapet adegan panjang emosional, nangis-nangis yang begitu luar biasa saat Nisa mengetahui soal perselingkuhan tersebut.  Nangis yang benar-benar kerasa seperti dari gabungan perasaan marah, sakit, jijik – semuanya meledak jadi satu. Dan bukan cuma emosinya, tapi juga kerasa di fisik (Nisa dibuat menginjak pecahan kaca dari vas yang ia pecahkan)

Pengkhianatan adalah hal yang menyakitkan karena terjadi bukan karena musuh, melainkan oleh orang dekat yang kita percaya. Dan perselingkuhan sesungguhnya adalah pengkhianatan yang paling menyakitkan, karena terjadi oleh orang yang paling dicintai. Bagi Nisa, malah lebih menyakitkan lagi, karena dikhianati oleh suami dan adik kandungnya sendiri. Di bawah atapnya sendiri. Di belakang kepalanya sendiri. Film begitu paham menerjemahkan sakit ini. Sakit yang begitu banyak melibatkan perasaan, hingga menjadi sakit fisik, semuanya menghantam sekaligus. Karakter Nisa dibuat menelan semuanya.

 

Apa Aris dan Rani gak jadi kebayang muka Pak Junaedi ya setiap kali gituan? Hihihi

 

Yang terbaik yang bisa dihasilkan dari perspektif korban kayak Nisa ini sepertinya adalah memperlihatkannya sebagai gambaran gimana korban perselingkuhan menerima dan dealing with masalah itu, lalu gimana dia sadar harus cepat bangkit. Keluar dari lubang derita. Sebab basically perselingkuhan adalah kehilangan kepercayaan, maka tahap yang dilalui korban kurang-lebih bakal sama. Ada steps of griefnya juga. Film ini briefly memperlihatkan gimana Nisa memproses kenyataan tersebut, dan juga menunjukkan terutama Nisa ini berkutat dengan menyalahkan diri. Nge-gaslight diri sendiri; Ngerasa karena dia sibuk maka suaminya jadi kurang perhatian. Ngerasa karena dia sering pergi, maka kedua orang itu jadi punya kesempatan. Ngerasa karena dia gak mikirin lebih lanjut soal keraguannya di awal, maka semua ini bisa terjadi. Bahkan saat narasi akhir di ending saja, Nisa masih membuka ruang untuk menyalahin diri. Untung saja film masih berhasil untuk memutar kata-kata tersebut sehingga terdengar positif sebagai dorongan semangat untuk diri lebih baik, lebih tegar, ke depannya. Itulah masalah pada film ini buatku. Porsi yang diberikan kepada Nisa untuk mengembangkan perspektifnya ini, kurang banyak. Akibatnya perubahan positif dan development Nisa, hanya kita dengar sebagai narasi penutup.

Memang sebenarnya jika perspektif utama yang dipilih adalah korban, maka justru aftermath setelah selingkuh ketahuan itulah lahan untuk menggali si karakter utama, bukan di tindak perselingkuhannya itu sendiri.  Pilihan-pilihan Nisa ada di periode ini. Karena setelah ketahuan, maka ‘bola narasi’ itu ada di dirinya. Gimana dia memilih untuk bersikap kepada suami ataupun adiknya. Pilihannya untuk melanjutkan hidup. Pertimbangannya tentu saja akan banyak, ibu, anak, serta kehamilan adiknya. Buatku, babak terakhir film – ketika ini semua sedang dibahas dengan relatif singkat – adalah waktu ketika Ipar Adalah Maut menjadi paling menarik. Aku berharap mestinya ini diberikan porsi lebih banyak. Daging perspektif Nisa sebagai korban itu adanya di sini. Tapi sebaliknya, film memilih untuk meluangkan lebih banyak waktu untuk build up momen perselingkuhan hingga sampai ketahuan. Yang lebih banyak diberikan adalah momen-momen Aris dan Rani jadi ‘antagonis’; gambaran gimana mereka sampai bisa bablas, lalu mereka mutusin lanjut, dan kucing-kucingan antara mereka dengan kecurigaan Nisa yang mulai terbangun setelah pertengahan.

 




Kisah perselingkuhan memang gak ada matinya. Ada aja yang bisa digosok sehingga cerita ini bisa terus saja hot. Film ini put our emotion on point tatkala yang jadi pelakor di ceritanya adalah adik kandung dari karakter utama. Pilihan yang diambil jelas. Cara film langsung membuat penonton untuk terlibat emotionally di dalam dramatisasi itu, inilah yang bisa kita apresiasi. Vibe film pun dijaga tetap light-hearted dengan candaan supaya penonton gak melulu kesel dan emosi. Jadilah dia tontonan merakyat, sasarannya kena banget. Namun di balik keberhasilan itu, tentu saja untuk menilai kita tidak bisa abai bahwa ini bukan pendekatan terbaik yang bisa diambil untuk cerita seperti ini, ada bahasan dan perspektif utama yang jadi belum maksimal. Film memilih maksimalin yang lain, dan make the best dari pilihan yang lebih pasif ini.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for IPAR ADALAH MAUT

 




That’s all we have for now.

Menarik sikap Nisa yang seperti tidak lagi begitu menyalahkan Rani begitu tahu adiknya itu hamil – Nisa jadi seperti full nyalahin Aris. Menurut kalian apa alasannya?

Silakan share di komen yaa

Yang pengen punya kaos film lebaran Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



MINI REVIEW VOLUME 19 (HIT MAN, TRIGGER WARNING, THE WATCHERS, UNDER PARIS, AUTUMN AND THE BLACK JAGUAR, MALAM PENCABUT NYAWA, THE STRANGERS: CHAPTER 1, DILAN 1983: WO AI NI)

 

 

Delapan film yang terangkum dalam Volume 19 ini mengawali kita masuk ke pertengahan tahun, sebelum layar diberondong oleh film-film blockbuster musim panas. Ada manusia dengan hiu, manusia dengan jaguar, hingga ke manusia dengan peri. But I must say,  kloter pembuka ini gak really hot. I mean, cuma Hit Man (manusia dengan banyak penyamaran!) yang benar-benar sukses jadi tayangan entertain – selain juga ngasih kualitas dan something yang fresh. Selainnya,  either ada yang kurang, dan lumayan banyak juga yang flat out jatohnya mengecewakan. Yuk mulai saja kita bahas satu persatu:

 

 

AUTUMN AND THE BLACK JAGUAR Review

Nonton kisah persahabatan antara manusia dengan hewan memang cenderung ngasih perasaan yang uplifting serta mengharukan. I like those feelings. Hmm.. tahun ini cukup banyak deh kita dapet cerita tentang persahabatan dua makhluk kayak begini, bisa kayaknya jadi kategori spesial di next My Dirt Sheet Awards hihihi.. Anyway,  kuncinya memang di ‘dua makhluknya’; semakin unlikely, semakin dramatis pula ceritanya bisa dikembangkan. Sutradara Gilles de Maistre udah paham lah bikin kisah anak dengan hewan buas. Sebelumnya dia pernah bikin anak kecil dengan singa putih, dan kini dia bawa kita ke hutan untuk melihat Autumn dengan sahabatnya; seekor jaguar hitam bernama Hope.

Bobot dramatis dari persahabatan ini dikembangkan dari Autumn yang sudah lama berpisah dengan Hope, kembali lagi ke hutan untuk menyelamatkan Hope yang diburu pemburu gelap. Autumn ingin mencari dan membawa Hope lebih jauh ke dalam hutan. Masalahnya, sebagaimana Autumn sudah bukan anak kecil lagi, Hope juga sudah besar. Tidak ada satupun yang bisa menjamin Hope masih ingat dengan Autumn, ataupun apakah Hope tidak menjadi buas. Dalam bahasannya ini, film juga memuat persoalan tentang perdagangan satwa, tentang perburuan liar, dan gimana orang kota mau mengeksploitasi isi hutan. Untungnya, tidak seperti Petualangan Sherina 2 (2023), bahasan ‘peduli satwa’ tidak dibahas setengah-setengah oleh film ini. Autumn beneran berinteraksi dengan jaguar yang diselamatkan. Not only that, mereka beneran seperti sahabat. Itu yang terutama bikin film ini seru. Banyak adegan yang bikin aku bergumam “itu sutingnya beneran?” Karena film ini beneran membuat aktor-aktornya berinteraksi dengan hutan, dan isinya.

Tema dan cerita genuinely konek. Tapi masih ada lagi. Autumn and the Black Jaguar juga adalah tentang Autumn – yang kehilangan ibu karena pemburu, persis seperti Hope – dengan ayahnya. Juga tentang Autumn dengan guru biologinya; yang tau teori tapi belum pernah sama sekali turun ke ‘lapangan’. Dinamika Autumn dengan ibu guru akan mengundang tawa karena si ibu ini bakal heboh dan ribet banget di hutan. Khas kayak kalo orang kota masuk desa. Kontras dengan Autumn yang udah nganggep hutan kayak kampung halaman atau rumah sejatinya. Masalah dalam penceritaan film ini terjadi tatkala karakter si ibu guru mengoverpower Autumn yang tokoh utama. Dalam artian,  yang kita tonton ternyata lebih banyak soal development ibu guru. Reaksi ibu guru terhadap putusan Autumn, terhadap lingkungan sekitar, akhirnya menjadi sajian yang mengisi layar dengan hal yang lebih variatif ketimbang Autumn bermain-main dengan Hope. Ibu guru pun punya journey yang lebih kuat, pembelajaran dia antara di awal dengan akhir cerita, lebih jelas. Sedangkan Autumn, gak banyak perubahan, issue dia dengan ayahnya berakhir ‘damai’ begitu saja. Ditutup hanya karena filmnya udah mau tamat.

The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for AUTUMN AND THE BLACK JAGUAR

 

 

 

DILAN 1983: WO AI NI Review

Berhubung Dilan versi mini, maka reviewnya juga kebagian yang mini, yaa.. haha enggak ding. Aku cuma bingung Pidi Baiq dan Fajar Bustomi di film ini niatnya pengen bahas atau nunjukin apa. Kayaknya kuncinya ya pada ‘Dilan versi mini’ itu. Alih-alih menceritakan masa kecil Dilan yang sudah kita kenal masa remajanya; si kapten anak motor, tukang berantem, dan punya segudang cara ajaib buat gombalin cewek, film ini kayak cuma menceritakan Dilan yang itu, cuma sekarang versi dia di dunia anak SD. Karena gak ada sense of growth di sini. Gak kayak Riley, misalnya. Kita bisa lihat ‘perbedaan’ antara saat Riley masih kecil di Inside Out (2015) sama ketika dia masuk usia remaja di Inside Out 2 (2024). Ada emosi baru, ada bahasan yang berbeda terkait emosi itu. Sementara Dilan, film ini bahkan bukan ‘origin story’ kenapa Dilan bisa jago gombal. Sejak kecil ternyata dia sudah seperti itu!

Jadi yang diceritakan adalah Dilan kembali ke Bandung, ke sekolah lamanya. Di kelas, ada anak yang baru dilihat Dilan. Cewek. Namanya Mei Lien. Dilan langsung suka. Dia menggoda Mei Lien, baik dengan gombalan maupun dengan sikap yang sama ajaibnya. Teman dan ibu gurunya pada ketawa ketika Dilan bacain puisi berjudul “Kau” (plesetan Chairil Anwar’s “Aku”) kepada Mei Lien di depan kelas. Kenakalan dari sudut pandang anak biasanya innocent. Karena mereka polos. Aku bandingkan salah satunya dengan Lupus Kecil (yang dibuat setelah Lupus SMA hits); ceritanya ya seputar keseharian kayak dia bolos karena pengen ke mall, dia pura-pura sakit, dia main permainan anak-anak di masanya. Sedangkan Dilan kecil ini, jatohnya creepy. Kepolosannya memang digambarkan; cara dia nanggepin hukuman, ‘seteru’nya dengan akang penjaga mesjid, relasinya dengan Bunda, Ayah, kakek, dan Mak Syik – yang cara didik masing-masing seems mempengaruhi perkembangan Dilan, tapi adegan-adegan tersebut dengan cepat dikesampingkan karena begitu Dilan udah ketemu Mei Lien, pov anak ini balik kayak remaja yang udah kita kenal. Man, bahkan Sadam ngejailin Sherina terasa lebih genuine ketimbang Dilan yang udah punya bakat dipuja sejak dini.

Dua jam pun habis dengan cerita ngalor-ngidul tanpa ritme. Padahal sebenarnya hal yang bisa jadi daging cerita itu ada di sana. Dari situasi sosial pada era itu, misalnya. Film ini bisa saja membuat Dilan not aware ama situasi Mei Lien, karena dia masih anak-anak.  Film bisa saja mengontraskan dunia anak-anak mereka dengan realita di background, sehingga cerita bisa lebih menggigit. Atau ya, persoalan persahabatan Dilan dan Mei Lien langsung aja dijadikan fokus. Menjadikannya cuma muncul di akhir membuat film jadi terlalu mengulur. Dan karena di akhir film, dengan cepat persoalan itu terlepas. Bahwa film tetap tidak fokus di sana. Fokusnya ya Dilan saja. Mei Lien cuma love interest yang ‘lepas’ tapi masih dikenang.

The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for DILAN 1983: WO AI NI

 

 

 

HIT MAN Review

Tadinya kukira film ini ala John Wick, you know, tipikal ‘pria biasa yang dipush untuk balas dendam, dan ternyata dia memang mantan assassin handal” seperti yang lagi ngetren belakangan. Oh, I couldn’t be more wrong. Hit Man karya terbaru Richard Linklater mematahkan ekspektasi remehku, sembari mematahkan ekspektasi semua orang tentang pembunuh bayaran; image yang kita bentuk lewat gambaran media. Terinspirasi dari Gary Johnson yang kerjaannya jadi pembunuh palsu untuk membantu polisi nyetop kriminal, Hit Man dibuat oleh Linklater sebagai dark rom-com(?) yang bukan saja menghibur tapi juga punya bahasan berbobot tentang bagaimana kita memandang diri sendiri.

Gary di cerita film ini seorang profesor psikolog. Di kampus, dia ngajarin soal gimana kita terkadang terhanyut dalam identitas karangan sendiri. Tanpa dia sadari, soon pria yang happy dengan hidupnya yang aman dan biasa-biasa saja itu kemakan omongan sendiri. Karena di kerjaan sampingannya, Gary diminta polisi untuk membantu memancing pengakuan dari orang yang ingin melakukan pembunuhan, dengan menyamar sebagai pembunuh bayaran. Sebagai psikolog, Gary suka meriset ‘klien’nya, dan dia bakal muncul sebagai persona hit man yang berbeda-beda tergantung klien. Inilah ketika Gary mencicipi banyak identitas, dan dia mulai hanyut ke dalam salah satu persona, yaitu Ron. Hit man cool untuk klien wanita cantik yang ingin membunuh suaminya.

Bahasan identitas dan psikologisnya ini yang membuat Hit Man jadi sangat menarik. Film ini sepert sisi mata uang sebaliknya dari The Killer (2023).  Basically, film itu  membahas gimana assassin gak mesti jago banget, eventho tiap orang bakal berusaha ngasih the best dalam pekerjaan mereka. Sedangkan film ini, implies, orang biasa seperti Gary bisa percaya mereka as a person adalah pembunuh bayaran yang handal, jika mereka serius membangun identitas itu. Nonton ini aku semakin ngakak karena kebayang si Gary ini kalo main kuis-kuis trivia ‘personality/karakter apa kamu?’ dia pasti milih hasilnya dulu, lalu baru menjawab tiap pertanyaan dengan hasil pilihan tadi sebagai patokan. Naskah dan arahan yang cerdas ini semakin lengkap menghibur karena cast yang tepat. Glen Powell, yang dulu aku taunya dari serial Scream Queens yang di sana dia smooth banget jadi jerk, love interestnya Emma Roberts, main sangat hilarious menjadi banyak ‘cosplay’ pembunuh bayaran. Glen sendiri mungkin lebih jago dari karakternya, Gary, karena dia tidak kehilangan beat dan tidak larut ke dalam begitu banyak ‘karakter’. Melihatnya, kita tetap bisa melihat di dalam sana ada Gary yang mencoba berpegang pada siapa dirinya, tapi hal menjadi semakin rumit, dan mendorongnya untuk mencoba hal ‘baru’ – sesuatu yang sedari awal tampak bikin dia penasaran di balik sikap sederhananya.

The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold stars for HIT MAN

 

 

 

MALAM PENCABUT NYAWA Review

Walau film buatannya pernah laku, tapi aku belum menemukan hal ‘original’ dari arahan horor Sidharta Tata. Malam Pencabut Nyawa, horor yang melintas ke garis genre superhero karena aspek protagonis punya kekuatan untuk memberantas penjahat, pun buatku masih terasa seperti ‘adaptasi’ dari unsur-unsur yang sudah pernah ada. Pertama, tentu saja cerita makhluk jahat yang membunuh orang di alam mimpi mengingatkan kita kepada Freddy Krueger dan franchise film A Nightmare on Elm Street. Kedua, aku toh memang merasa ceritanya banyak mirip dengan game Fatal Frame 3. Game horor tentang karakter yang merasa bersalah atas kematian kekasihnya, sehingga setiap tidur dia mimpi mengikuti kekasihnya ke sebuah rumah besar. Di dalam sana, dia melihat orang lain terbunuh oleh hantu perempuan di sana, dan saat terbangun dia mendengar berita kematian dari orang yang ia lihat di dalam mimpi. Si hantu perempuan adalah korban ritual, ditumbalkan oleh desa, dan dia punya pacar yang menangisi kematiannya. Membuat dia bangkit jadi hantu alam mimpi. Kurang lebih mirip gak sih dengan Respati yang selalu mimpiin hantu orangtuanya yang kecelakaan, yang di alam mimpi melihat orang lain dibunuh perempuan yang jadi hantu karena dibunuh warga, dan si hantu punya anak kecil yang menangisi kematiannya? Shot mata Sukma menjelang ajalnya bahkan mirip dengan shot mata Reika Kuze saat jadi tumbal ritual.

Pada akhirnya memang bukan kemiripan atau katakan saja, cocokologinya yang jadi kekurangan. Tapi karena kekurangmantapan film ini membentuk ceritanya, sehingga jadi kerasa kayak gabungan dua elemen. Sukma si hantu ratu ilmu hitam di alam mimpi harusnya bisa jadi ikon villain horor lokal, seperti gimana Freddy jadi begitu ikonik, tapi statusnya sebagai final boss seperti Reika jadi melemah karena film ini ngasih twist ada manusia yang jadi dalang semua. Sukma akhirnya jadi kayak puppet saja. Battle antara Respati yang jadi Dream Warrior – kalo mau minjam istilah di film Elm Street – dengan Sukma jadi terasa kurang penting karena dengan si dalang-lah sebenarnya journey Respati punya keparalelan. Film ini tidak berhasil membangun alam mimpi itu sebagai momok karena sebenarnya ada musuh yang lebih ‘nyata’ di dunia nyata. Bentukan cerita film ini jadi aneh. Di awal juga sebenarnya aku ngerasa ada yang janggal dari gimana film ini ngebuild Respati gak bisa tidur sebagai insomnia. Karena kayak gak nyambung. Apakah Respati gak bisa tidur malam karena takut didatangi hantu orangtuanya? Kenapa dia takut kalo sebenarnya konflik personalnya adalah merasa bersalah atas kecelakaan mereka? Sekali lagi, ini membuatku merasa naskah seperti campuran yang belum lagi rapi dan matang, antara elemen remaja yang ngalami fenomena takut tidur karena takut dibunuh Freddy di mimpi, dengan elemen Fatal Frame 3 yang karakternya justru pengen tidur terus karena mau bertemu dengan roh kekasih, karena dia masih merasa bersalah dan pengen bertemu satu kali lagi dengannya.

Yang belum matang sayangnya gak cuma naskah. Tapi juga arahan dan akting. Kadang kita ngerti arahan editingnya apa, kayak sekali waktu saat film ingin menerapkan editing komedi. Tapi aktingnya yang gak jalan. Ekspresi muka yang gak kontinu. Raut yang gak jelas sedang merasakan takutkah, atau sedihkah, atau ngantukkah. Terus ada juga editing yang bikin mestinya gak lucu tapi jadi lucu. Misalnya ketika ada tangan setan muncul tiba-tiba dari dalam lubang di pohon. Alih-alih langsung munculin tangan, film malah kayak ngecut dan nyambungin videonya dengan shot yang ada tangan setannya. Jadinya film ini awkward, padahal kalo digarap lebih matang, bisa saja film ini jadi Elm Street versi lokal sehingga fresh sendiri, dengan cerita karakter yang lebih natural.

The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for MALAM PENCABUT NYAWA




THE STRANGERS: CHAPTER 1 Review

Ini siapa sih yang ngide bikin The Strangers – thriller home invasion yang jadi cult-success – ke dalam chapter-chapter? And worse, dengan treatment berupa membagi chapternya itu beneran berdasarkan per babak sehingga film Chapter 1-nya ini literally baru babak satu dari tiga-babak film superpanjang? Karena alhasil, film Renny Harlin ini jadinya boring banget.

Masih mending kalo bahasan di film ini mendalam. Nyatanya, gak ada yang bisa kita bicarain di sini karena filmnya memang gak bicara apa-apa. Cuma nunjukin sepasang kekasih, mobil mereka rusak sehingga harus menginap di kabin terpencil di ujung kota kecil, dan malam itu mereka disatroni tiga orang asing bertopeng. Ini film satu jam habis cuma ngeliatin mereka mengendap-ngendap, lalu ketangkep, dan lantas bersambung. Tidak ada bantering yang berarti dengan pembunuh. Tidak ada adegan sadis yang ‘menghibur’. Tiga puluh menit sebelumnya pun tidak diisi dengan set up karakter yang proper, Maya dan Ryan begitu bland, dan yah, mereka masuk kategori standar; karakter yang ngelakuin hal-hal bego. Padahal dalam horor yang bagus, penting bagi film untuk memberikan karakter yang dalam situasi mencekam, keputusan mereka realistis, atau at least bisa kita setujui sebagai tindakan yang ‘benar’.  Karena itu yang membuat kita peduli dan mungkin relate dengan survival mereka. Jika film gagal membuat mereka melakukan hal tersebut, maka penonton bisa dengan cepat berbalik menjadi ngecheer pembunuh untuk segera melakukan hal-hal ‘menghibur’ kepada mereka. Sebenarnya, masih bisa fun neriakin karakter yang keputusannya blo’on kayak gitu, tapi film ini begitu menjemukan, build up terornya cuma kayak ngulur-ngulur – karakter pembunuhnya pun sama boringnya karena gak benar-benar melakukan apa-apa. Sehingga aku bahkan gak punya tenaga untuk sekadar neriakin mereka buat seru-seruan.

The Palace of Wisdom gives 1 out of 10 gold stars for THE STRANGERS: CHAPTER 1

 

 

 

THE WATCHERS Review

Ishana Shyamalan, dalam debut penyutradaraannya ini, berhasil melampui sang ayah. Ya, dia berhasil membuat film yang bahkan lebih payah daripada The Happening (2008). The Watchers, horor fantasi yang diadaptasinya dari novel, tampak asik sendiri di dalam bangunan misteri dari mitologi yang tak-menginspirasi. Penceritaannya gak punya ritme, arahan dan aktingnya cringe banget kayak produksi untuk televisi.

Looksnya aja yang kinclong. Padahal bayangin aja mentoknya antara vibe di hutan kelam yang menyesatkan dan mendekam di ruangan kotak, dengan kamera atau gambar yang super jernih. Sama sekali tidak menyokong pada vibe misteri yang berusaha disampaikan. Yang ada, film malah jadi kayak dongeng yang dibuat-buat.  Nonton ini kayak kita mendengar bualan orang yang awalnya aneh sampai bikin penasaran, tapi semakin ke sini anehnya semakin terasa gaje sehingga kita jadi gak peduli lagi dan membiarkannya bicara apapun sesuka hati. Apalagi karena Ishana berusaha bermain dengan pesona khas ayahnya, yakni memasukkan twist untuk ngespark cerita. Tapi twist-twistnya tersebut tidak pernah terasa signifikan, sebab cuma pengungkapan yang sebenarnya juga gak perlu ditreat sebagai twist.

Mitologi peri dan hubungan makhluk itu dengan manusia harusnya sudah dilandaskan supaya kita punya pegangan jelas terhadap arahan dan ritme cerita. Supaya kita gak tersesat kayak para karakternya. Yang penampilan aktingnya pun terasa ala kadar. Aku kaget banget saat sadar bahwa pemeran protagonisnya itu Dakota Fanning. Aku takjub bahwa ada juga sutradara yang bisa bikin karakter yang begitu underwhelming sampai-sampai sekelas Dakota aja gak keluar pesona aktingnya. Bahkan di Twilight aja masih bisa bikin dia kinda memorable. Ah, mungkin itu satu lagi ‘keberhasilan’ Ishana.

The Palace of Wisdom gives 2 gold stars out of 10 for THE WATCHERS.

 

 

 

TRIGGER WARNING Review

Ternyata justru film Mouly Surya ini yang ala John Wick. Hebat ya, sutradara kita actually ngedirect film luar. Cuma masalahnya, gak ada yang ordinary dari jagoan cewek ala John Wick di sini. Parker, diperankan oleh Jessica Alba (Hebat ya, sutradara kita ngedirect Jessica Alba!!) adalah cewek serbabisa, serbacakap, yang membalas dendam.  Walau Mouly berusaha keras bikin protagonisnya ini tampak vulnerable di momen-momen personal, tapi bentukan karakter pada naskah Trigger Warning terlalu Hollywood. Ini adalah film yang dibuat hanya layaknya mesin untuk agenda ‘cewek jaman sekarang kudu jagoan’.

There’s no other ways to say it. Sutradara kita ternyata hanya jadi korban berikutnya dari kebiasaan Hollywood yang suka ambil sutradara asing atau ‘indie’, dan completely missed the points, dengan memberi mereka proyek yang seperti versi simpel dan mainstream dari apa yang membuat sutradara tersebut diperhitungkan. Kurang lebih sama-lah kayak waktu Chloe Zhao ketika didaulat untuk direct superhero Eternals (2022). Practically cuma buat sinematografi battlefield doang, mentang-mentang Zhao sukses bikin drama kehidupan nomad di gurun yang menggugah. Film Trigger Warning hampir seperti cuma ngeliat betapa Marlina yang menggotong kepala pria di padang ala western sebagai simbol feminis yang badass, dan itulah yang diassign kepada Mouly Surya. Bikin karakter cewek hard, jagoan, dan jadikan itu ke dalam gambar-gambar ciamik. Sementara naskahnya relatif dangkal dengan hal-hal stereotipe (yang bahkan menyerempet ranah kurang sensitif) dan muatan crime yang pengen kayak thriller misteri tapi ternyata pay offnya begitu sederhana, dan  predictable nyasarnya bakal ke mana.

Untuk actionnya memang tidak diarahkan untuk stylish, tapi cenderung rough. Dan ini sebenarnya bagus, jadi ‘karakter’. Aku awalnya juga tertarik, karena Parker yang kembali ke kampung karena ayahnya meninggal terlalu mendadak untuk dibilang wajar, itu punya senjata pilihan yaitu pisau. Yang juga merupakan simbol koneksi dia dengan sang ayah. Aku pikir film sedang ngebuild up perihal keparalelan antara dia dengan pisaunya, dan dia dengan ayahnya. Tapi hal tersebut ternyata dengan cepat jadi gak penting, karena ya, Parker nanti berjuang membalas dendam dengan banyak senjata lain.

The Palace of Wisdom gives 4 gold star out of 10 for TRIGGER WARNING.

 

 

 

UNDER PARIS Review

Untuk film terakhir di Volume ini, kita berenang ke Perancis. Dan kita berenang bersama hiu! Premis horor binatang buas karya Xavier Gens ini sebenarnya menarik. Dia memanfaatkan kota Paris dan keunikan struktur jadi panggung berbeda dari sebuah action survival manusia dari serangan hiu. Namun ada gangguan mayor yang menghalangi kita untuk fully menikmati sajiannya ini. Karakter manusia yang sebenarnya technically gak bego (karena ilmuwan), hanya saja mereka hampir semuanya cenderung annoying.  Film bahkan udah ngeset up betapa annoyingnya pilihan karakter di film ini sedari adegan opening. Hasilnya tetep sama sih. Kita neriakin “Goblog!!” ke layar.

Film ini masih bisa worked out semisal mereka ada di arahan yang over-the-top. Tapi film ini memilih untuk serius. Like, di balik teror hiu film ini menyimpan pesan untuk lingkungan. Kota Paris dan keadaan sungai Seine  dibikin berperan, benar-benar dieksplorasi sebagai ‘habitat’ karakter manusia yang di-examine oleh cerita. Film ini menyentil politisi yang kebijakannya hanya untuk cuan, tidak untuk kepentingan masyarakat ataupun peduli sama lingkungan. Film juga melihat ke dalam lingkungan aktivis alam dan satwa. Dan lucunya, aku kepikiran jangan-jangan film ini adalah cara pembuatnya nyampein ajakan untuk bersihin sungai. Karena memang, di akhir cerita, film berubah menjadi lebih seperti film bencana-alam. Konsekuensi atau dampak terbesar justru datang bukan dari serangan hiu-hiu tersebut.

Atau ya, kalo memang mau seserius itu, film ini kudu ngasih naskah perhatian yang lebih. Karakter diperdalam, berikan development. Konflik mereka jangan dibuat datang dari betapa annoyingnya masing-masing memegang kepercayaan (dan kalo bisa, solusi yang mereka percaya itu jangan bego-bego amat) Put more thought on it, dan film ini akan bisa hit us different.

The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for UNDER PARIS.

 




 

 

That’s all we have for now

Bener kan, volume pembuka musim panas ini belum benar-benar menggugah selera. Semoga bulan depan film-filmnya lebih seru!

Thanks for reading.

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



I SAW THE TV GLOW Review

 

“Nothing is really real unless it happens on television”

 

 

Sebelum ada internet, anak-anak muda lari dari dunia nyata, ya ke televisi. Yang semakin terasa spesial karena tidak seperti sekarang yang kita bisa setel apapun kapanpun yang kita mau, dulu program-program televisi kebanyakan hanya ditayangkan seminggu sekali. Tanyakan saja, at least, kepada kakak-kakak generasi 90an yang ngerasain betapa serunya duduk manis di depan layar kaca kotak itu setiap hari minggu. Setelah enam hari sumpek oleh tugas-tugas sekolah, akhirnya mereka bisa meleburkan diri ke dalam fantasi – petualangan, horor, atau apapun itu – meski untuk beberapa jam saja. Kesempatan untuk melarikan diri sebentar, tahu selalu akan datang waktunya untuk ‘healing’ merilekskan diri supaya siap lagi menghadapi dunia nyata, membuat TV jadi begitu berharga. Sutradara Jane Schoenburn kayaknya juga anak 90an. Sebab dari film horor-psikologis-surealisnya ini dia nunjukin kepahaman, bahwa TV bagi anak muda adalah tempat pelarian, tapi juga lebih jauh daripada itu. Jane paham, bagi anak-anak muda yang begitu bersemangat nonton acara kesukaan mereka itu, acara TV tersebut bukanlah semata hiburan. Bahwa so many young people terpengaruh oleh apa yang mereka tonton. Mereka mungkin atau tidak mungkin membentuk jati diri dari sana. Dari pemahamannya terhadap hal tersebutlah, Jane membalikkan kasus. Jika selama ini TV dengan acara-acara yang diciptakan untuk entertainment pelepas lelah dikenal sebagai pelarian, maka bagaimana jika justru acara-acara di dalam situlah yang real?

“Aku merasa yang kita tonton ini nyata”, kata Maddy kepada Owen selesai mereka menyaksikan salah satu episode serial kesukaan mereka, The Pink Opaque. Owen tidak langsung menjawab, ketakjuban atas apa yang baru saja ia saksikan masih belum hilang dari sinar matanya. Kita tahu dia diam-diam mengiyakan, karena kita melihat langsung betapa tertariknya Owen terhadap serial horor remaja tersebut (bayangkan kalo Are You Afraid of the Dark dan Buffy the Vampire Slayer digabung, begitu kira-kira Pink Opaque). Padahal anak yang sering sesak napas ini dilarang nonton tayangan itu oleh ayahnya. Pertama, karena acara itu ditayangkan lewat dari jam tidur Owen. Dan kedua, ayahnya bilang itu tontonan cewek. Maka Owen pun, setiap minggu berbohong kepada orangtuanya, supaya dia bisa nginap di rumah Maddy, kakak kelas berjarak dua tahun darinya, untuk menonton bersama-sama. Owen dan Maddy bonded over this show. Dua abg yang sama-sama ‘kurang gaul’, sama-sama bermasalah dengan ayah. Sama-sama merasa gak fit in di dunia mereka. Sampai suatu ketika saat mereka dewasa dan acara tersebut secara misterius dicancel, Maddy muncul dan ngajak Owen kabur. Ke dunia Pink Opaque untuk melanjutkan cerita. Sepertinya mustahil dan tentu saja harus menempuh cara yang mempertaruhkan nyawa. Owen harus memilih, percaya pada Maddy dan ikut pergi ke sana betapapun anehnya, atau tetap tinggal di dunia yang bikin asmanya tambah parah.

Kenapa kita gak ke dunia Dragon Ball aja sih?

 

Dari nostalgia kultur televisi, Jane lantas menjadikan ceritanya sebuah kisah psikologis yang haunting terhadap identitas diri. Jane mengambil fakta bahwa anak muda suka menjadikan apa yang ditonton sebagai identitas – hal yang selama ini sering dikonotasikan negatif oleh kalimat larangan jangan meniru apa yang kita tonton di televisi, ataupun bagaimana tayangan televisi dianggap membawa pengaruh buruk bagi anak, dan membalikkannya. Jane membuat quote kelakar yang menyindir orang yang percaya apapun di tv adalah real (yang kutulis sebagai pembuka di atas), menjadi kehilangan kekuatan sindirannya.

Mungkin tontonan televisi bukan hanya membantu anak menemukan hobi mereka, kesukaan mereka, melainkan juga membuat menemukan identitas. Not in a way, kita abis nonton Dragon Ball lalu merasa diri kita orang Saiya, tapi identitas yang ‘loh, gue kayak dia loh’. ‘Oh, ada juga cowok yang hobi merias’, misalnya. Atau “Tuh, di tv ternyata ada cewek yang jadi pegulat’

 

Serunya, pemikiran Jane tersebut tertranslasikan ke dalam sebuah horor psikologi yang benar-benar surealis. Mainan utamanya adalah ambigu. Bagi Owen, dan kita, gak jelas apakah dunia yang ia tinggali itu real dan The Pink Opaque hanya tontonan, atau memang seperti kata Maddy; Pink Opaque adalah dunia asli mereka dan mereka dibuang ke dunia tempat tinggal mereka oleh Mr. Melancholy, musuh yang dihadapi oleh dua cewek jagoan di serial tersebut – dan bahwa sebenarnya Owen dan Maddy adalah Isabel dan Tara di dalam serial. Cara Jane membuat semuanya ambigu itulah yang menjadi kekuatan utama film ini. Penceritaannya dilakukan betul-betul lewat bahasa visual, dan karena muatannya mental dan kejiwaan yang personal, maka penceritaan itupun terasa sangat mencekam. Baik itu dunia tempat tinggal Owen, maupun klip dari serial Pink Opaque yang ditonton, hingga ke nanti imaji-imaji yang sepertinya terbentuk dari bagaimana Owen memandang ataupun mengingat hal, semuanya terhampar sama-sama kayak sebuah imajinasi. Semuanya kayak dream-like, hanya saja dream nya nightmare.

TV glow atau TV bersinar merupakan kalimat simbol bahwa ada kalanya anak muda menemukan tayangan yang sangat relate di televisi sehingga mereka jadi tertarik kepada tayangan tersebut; mereka akan duduk mantengin dengan wajah bercahaya terkena cahaya televisi. Oleh film, pengadeganan Owen nonton itu dibuat literal tapi kesannya sangat eerie, berkat penggunaan pendar neon ungu. Dan bukan hanya adegan nonton tv saja, banyak adegan yang memperlihatkan Owen terpana oleh cahaya yang dibuat seperti neon – entah itu dari percikan kabel listrik ataupun biasan lampu akuarium. Owen dan Maddy sebagai sentral akan lebih banyak ‘bicara’ lewat tatapan mereka menatap cahaya-cahaya seperti itu. Film ini bukannya minim dialog, cuma dialog-dialog itu ditempatkan dengan sangat efektif. Film tetap berpegang pada vibe surealis. Dialog akan terputus oleh pause panjang di antara dua karakter. Kalopun ada eksposisi, hal itu dilakukan lewat delivery akting monolog yang creepy. Justice Smith sebagai Owen dewasa, Ian Foreman sebagai Owen muda, Brigette Lundy-Paine both sebagai Maddy dewasa dan muda, mereka paham tugas masing-masing, paham karakter dan derita personal mereka, sehingga jeda-jeda, ataupun tatapan-tatapan mereka semuanya bicara. Semuanya terasa seram. Potongan klip tayangan Pink Opaque semuanya kayak klip short horror 90an yang disturbing lewat praktikal, low-budget like, efek. Satu lagi yang aku suka, adegan-adegan musikal dengan lirik aneh dan pembawaan yang menyeramkan!

Entah itu Owen beneran Isabel, atau Owen ‘hanya’ merasa relate dan membayangkan dirinya Isabel, yang jelas ini adalah cerita tentang Owen yang gak bisa mengekspresikan dirinya dengan nyaman. Tuntutan dari ayah, dan sosial, membuatnya sesak (asmanya melambangkan sesak ini). Yang membuatnya bahkan berpikir dua kali untuk ngikutin Maddy. Like, ditanya Maddy apakah dia suka cewek atau cowok aja, Owen gak bisa terbuka dan malah bilang dia sukanya sama serial televisi. Kalo ini Inside Out 2, maka kita akan melihat Fear dan Anxiety kompakan berdua saja memegang kendali di dalam benak Owen. Makanya, meskipun memang di sini karakternya queer, tapi I Saw the TV Glow tetaplah sebuah cerita yang mampu relate buat banyak orang. Karena – selain hampir setiap orang punya nostalgia terhadap tontonan di masa muda – hampir setiap orang juga menjadi dewasa dengan perasaan fear dan anxiety. Merasa gak fit in dengan sekitar. Merasakan ter-repress dalam satu atau berbagai bentuk yang lain. Akan ada tuntutan orang yang dengan berat harus dipenuhi, meskipun tidak sesuai dengan diri sendiri. Film ini menggambarkan betapa seramnya ketika kita harus memilih antara menjadi diri sendiri atau ikut apa kata orang, sebab kita gak tahu mana yang benar.

Fred Durst masuk-masuk aja kok main di film horor artsy hahaha

 

Ambigu film ini bertahan sampai ending. I Saw the TV Glow uniknya, merupakan film yang endingnya bisa terasa sebagai happy ending atau depressed ending, tergantung dari masing-masing kita penontonnya. Film ini bisa tampak seperti harapan masih ada waktu untuk Owen menjadi dirinya sendiri – bahwa dia minta maaf di akhir itu adalah dia telah sadar. Atau bisa terlihat sebagai akhir miris dari orang yang masih takut dan sesak hingga penghujung hayatnya. Buatku, aku merasa film ini berakhir sedih. Aku lebih suka memandang cerita ini dari skenario bahwa Maddy benar. Bahwa Pink Opaque adalah dunia mereka yang asli. Bahwa simbolik maupun literal, Owen sebenarnya Isabel. Aku sebenarnya gak setuju istilahnya karena berlawanan dengan teori biologis, tapi aku mengerti bahwa film pengen bilang Owen adalah perempuan yang terperangkap dalam tubuh laki-laki – makanya dia sering flashback mengenakan pakaian perempuan. Dan dia punya satu kesempatan untuk kembali jadi Isabel, tapi karena begitu lama di society yang menuntut dia bertindak seperti pria ‘normal’ dan gak tahu mana yang benar, dia takut. False resolution ketika kita melihat Owen dewasa bilang dia udah move on; sekarang punya tv layar datar, berkeluarga, dan ngerasa Pink Opaque yang kini bisa maraton ditontonnya di platform streaming sudah cheesy dan gak sekeren yang dia ingat, buatku hanya alasan yang dibuat-buat karena kita tidak benar-benar melihat keluarganya. Serial yang ditontonnya pun beda, karena tidak ada Isabel – yang berarti dia deny himself (atau mungkin tepatnya, herself). Dan itulah sebabnya kenapa ada adegan ‘tv di dalam dada’. Journey Owen ditutup dengan dirinya menyadari dan mengakui siapa dirinya, but once again, dia tidak berani membawa dirinya itu ke permukaan.

 

 




Tragis. Tapi siapa yang mau disalahkan? Televisi, yang mempengaruhi anak muda sehingga berpikir yang tidak-tidak terhadap dirinya? Atau televisi-lah yang justru menyadarkan mereka dan membuka wawasan. Tapinya lagi juga sebaliknya, toh televisi juga yang mempropagandakan standar-standar sosial yang diterima masyarakat sebagai kebenaran atau kenormalan. Yang jelas film ini merupakan paket lengkap studi terhadap kultur televisi, sekaligus juga psikologis coming-of-age (dan self) yang haunting. Keren sekali gimana film ini sebenarnya juga have fun dengan nostalgia terhadap era televisi (terbukti dari treatment visual, hingga cameo-cameo artis TV 90an) tapi tetap tidak lepas dari arahan personal dan surealisnya sebagai bahasan horor eksistensial yang konsepnya bermain-main dengan ambiguitas. Subjeknya boleh saja queer, tapi sejatinya permasalahannya mampu untuk terasa relate bagi banyak orang. Karena yang namanya represi kayaknya bisa terjadi di luar gender. Aku setuju sama salah satu kutipan media yang dipajang di poster film ini. “A One-of-a-kind Masterpiece.”
The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold stars for I SAW THE TV GLOW

 

 




That’s all we have for now.

Ngomongin tayangan televisi, acara tv apa sih yang buat kalian paling ‘glow’ waktu growing up dulu?

Silakan share di komen yaa

Yang pengen punya kaos film lebaran Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



INSIDE OUT 2 Review

 

“Why do we lose ourselves in anxiety?”

 

 

Alarm pubertas telah berbunyi. Riley sudah bukan anak kecil lagi. Maka siap – gak siap, Joy dan para Kru Emosi di dalam Riley pun harus ikut bertumbuh dewasa supaya bisa mengendalikan perasaan-perasaan Riley. Menyiapkan gadis cilik itu kepada fase berikut dari hidupnya. Itulah alasan kenapa sekuel dari Inside Out (2015) ini ada. Karena manusia bertumbuh, dan akan selalu ada cerita dan tantangan baru yang dihadapi. Nonton Inside Out yang mewujudkan emosi ke dalam karakter lucu, setidaknya membuat kita mampu memahami apa dan kenapa, kita mengalami perasaan tertentu. Bangunan dunianya yang begitu immersive dan kreatif  membuat menyelami psikologi karakternya – yang kemungkinan besar merupakan cerminan dari apa yang pernah kita alami –  serasa menempuh petualangan yang sendirinya juga seru dan emosional. Jika di dalam kepala Riley ada Joy, Sadness, Anger, Disgust, dan Fear yang memegang panel kendali, maka di dalam sekuel Inside Out ini ada sutradara Kelsey Mann dan tim penulis sebagai komando dari the rest of the crew untuk menghadirkan kepada kita lanjutan ‘pelajaran psikologi perkembangan anak’ dengan cara yang sama menyentuh dan menghiburnya.

Remaja adalah fase mencari jati diri. Makanya saat menginjak remaja, perasaan kita akan semakin kompleks. Begitu juga dengan Riley. Anak itu sekarang semakin giat menekuni olahraga hoki. Dia gabung tim di sekolah bersama dua sahabat. Dia juga punya idola di olahraga tersebut. Itulah identitas Riley yang dijaga oleh Joy dan para Kru Emosi. Anak baik, atlet hoki, bersama dua sahabatnya. Tapi remaja juga berarti sebuah fase perubahan. Dan as perasaan Riley campur aduk oleh potensi satu tim bersama idola dan potensi gak bakal satu sekolah lagi dengan sahabatnya, perubahan besar terjadi di ruang kendali Emosi. Panel kendalinya semakin sensitif. Ruangan pun semakin besar, karena Joy dan teman-teman kedatangan anggota baru. Empat Emosi yang tampak lebih intense (Sebenarnya lima, tapi yang satu lagi baiknya disimpan saja karena memang masih hanya lucu-lucuan buat anak tua). Ada Embarassment, si besar dan, ehm, pemalu yang ngeliatnya lebih kasihan daripada ngeliat si Sadness. Ennui, yang lebih sarkas daripada Disgust, Ada Envy, yang walaupun kecil tapi lebih enerjik daripada Anger. Dan ketua mereka, si oren Anxiety, yang pecicilan dan khawatirnya ngalah-ngalahin Joy dan Fear. Si Anxiety claim dia sudah menyiapkan banyak skenario untuk membantu Riley mengarungi masa pelatihan di kamp. Anxiety percaya Riley yang beranjak remaja butuh identitas baru, supaya survive di babak hidupnya yang baru. Dan Joy serta kru Emosi yang lama, dianggap sebagai pengganggu. Sehingga Anxiety membuang mereka, serta identitas lama Riley. Joy harus memimpin teman-temannya mencari jalan kembali ke ruang kendali, demi mengembalikan Riley seperti yang dulu.

review inside out 2
Aku masih mikir, cocoknya nama Joy itu ditranslate sebagai Ria aja daripada Riang

 

In a way, Joy di film ini ngalamin jadi seperti Sadness di film pertama. Dibuang dan merasa tidak dibutuhkan. Ada dialog sedih banget tatkala Joy ngerasa remaja seperti Riley butuh less joy di dalam hidup mereka. Bedanya Joy dengan Sadness di film pertama; Joy enggak pasif. Di sinilah kerja keras tim penulis di ruang komando film mengulik naskah supaya Joy yang karakter utama tetap memegang kendali cerita. Karena, Joy di sini bereaksi atas tindakan Anxiety yang membuang mereka.  Sekilas memang seperti, yang bikin plot bergerak adalah kedatangan Anxiety dan Emosi yang baru, serta tindakan mereka yang membuat Joy dan kawan-kawan tersingkir. Tapi naskah berjuang untuk membuat Joy tetap berada di kursi kemudi, dengan membuat Joy punya false-believe lain, yang telah dilakukannya sebelum Anxiety datang. Yaitu, memilih kenangan dan feelings yang positif-positif saja untuk membangun self-sense atau identitas Riley. Seiring cerita berjalan, development Joy adalah menyadari bahwa believe-nya itu pun tidak tepat. Bahwa sebenarnya dirinya sama saja dengan Anxiety, bedanya Anxiety hanya mencemaskan hal-hal yang belum terjadi dan membangun self-sense Riley dari kewaspadaan tersebut. Dan akhirnya memang, Riley yang merasa orang baik sehingga clueless dan kurang sadar akan kekurangan atau kesalahan dirinya sendiri, jatoh sama kurang bagusnya dengan Riley yang meragukan dirinya sendiri. Yang jadi stake di sini memang Riley, yang menjadi kehilangan jati diri. Sehingga bisa-bisa jadi depresi.

Persis seperti itulah remaja seusia Riley. Dioverwhelm oleh perasaan gak pede, dihantui oleh kecemasan untuk gagal karena merasa dirinya tidak akan pernah good enough, hingga sampai kehilangan jati diri karena cemas tidak diterima oleh sosial. Film ini really nails problematika mereka dan mentranslasikannya ke dalam bahasa petualangan fantasi. Bersama Joy, Anxiety, dan teman-teman Emosi yang lain kita akan menyadari, bahwa self sense kita adalah hal yang kompleks. Bahwa yang membentuk diri kita bukan elemen kebaikan semata. Kita harus ingat kesalahan yang kita perbuat, hal malu-maluin yang pernah kita lakukan, kita harus merasa cemas, cemburu, takut, sedih, harus tahu apa kelemahan kita, karena itulah yang membentuk siapa diri kita secara utuh. Dan kunci untuk menjadi bahagia, adalah mengetahui siapa diri kita sendiri – seutuh-utuhnya.

 

Naskah boleh saja masih menggunakan formula yang mirip dengan film pertama – basically cuma semacam pembalikan, dan alih-alih accept kesedihan, Joy di sini accept dirinya harus berbagi ruang juga dengan Anxiety, tapi bukan berarti film ini sebenarnya sudah kehabisan ide. Justru sebaliknya. Film ini ternyata masih punya banyak kreasi untuk bikin dunia di dalam Riley itu begitu menarik dan punya sistem yang kuat. Lihatlah bagaimana film membawa kita ke tempat-tempat di film pertama, dan mengubah tempat itu sesuai dengan keadaan Riley sekarang. Pulau-pulau relationship Riley sekarang benar-benar mencerminkan pribadi remaja (lebih mikirin persahabatan, dan mulai ‘tertutup’ pada keluarga). Kontrol panel yang dibikin makin sensitif. Dipencet dikit tapi reaksinya ke Riley sungguh dahsyat, seperti gambaran kartunis betapa intensnya perasaan kita di usia segitu (senggol dikit, bacok!) Ada satu momen ketika Joy dan kawan-kawan kembali ke Taman Imajinasi Riley. Tempat yang dulunya sangat magical, kini seperti kantor. Imajinasi Riley sekarang digunakan untuk menggambarkan berbagai skenario kegagalan yang harus diantisipasi oleh Anxiety. Ini udah kayak visualisasi ringan dari kuote terkenal Deepak Chopra “The best use of imagination is creativity. The worst use of imagination is anxiety” yang memang deep abis. Kita menyalahgunakan kreativitas kita untuk hal-hal yang kounterproduktif, bayangkan!

Selain tempat-tempat lama yang sudah berubah, film juga membawa kita berkunjung ke tempat-tempat baru yang tak kalah kreatif. Ada secret vault yang literally brankas tempat rahasia memalukan Riley tersimpan. Di dalam sini banyak karakter baru yang ajaib dan kocak. Ada juga fenomena dengan word play yang tak kalah unik, seperti brain storm. Badai alias hujan bohlam-bohlam ide turun, menghambat petualangan Joy. Yang paling bikin aku ngakak adalah jurang bernama Sar-Chasm. Jurang yang membuat apapun yang disampaikan, akan terdengar seperti sarkas oleh gaung yang ada di sana.

Selain ngajarin psikologi, film ini ternyata juga ngajarin bahasa hihihi

 

Cerita tentang emosi atau perasaan yang jadi karakter, serta secara konteks menyelami perasaan karakter remaja dan melihat bagaimana ‘cara kerja’ semuanya, seperti ini tentu saja gak akan bisa berhasil jika tidak dibarengi dengan visual yang sama ekspresifnya. Mungkin bagi sebagian kita, Pixar sudah tidak perlu diragukan lagi. Tapi tetap saja menurutku, di film ini Pixar menghadirkan kualitas yang bukan cuma berhenti di ‘standar yang penting ekspresif’. Karena selain ekspresif, animasi di sini juga lumayan fluid. Film mulai bermain-main dengan variasi gaya animasi, tergantung dari karakter dan tidak terbatas dilakukan pada karakter-karakter Emosi. Karakter-karakter lain, misalnya karakter dari video game, dibikin punya visual dan gaya animasi – serta gerakan sesuai dengan ‘gimmick’ video game yang glitchy. Ada juga karakter dari kartun, yang oleh film ini bukan saja digambar dengan gaya 2D tapi juga poke fun ke salah satu tipikal acara kartun anak populer yang suka ngobrol breaking the fourth wall kepada pemirsa cilik di rumah. Dan juga tentunya si Riley sendiri. Aku suka desain karakternya yang menurutku kali ini lebih ‘berkarakter’. Jerawat di dagunya itu, menurutku sentuhan kecil yang nice banget ke bentukan karakter ini. Sehingga selain problemnya, dirinya sendiri juga terasa semakin real. Riley di sini semakin terflesh out, Kita mungkin akan melihat sebagian kecil diri kita sewaktu remaja ada pada Riley.

 

 




Inside Out pertama sembilan tahun yang lalu itu merupakan satu dari langka sekali film yang berhasil dapat skor 9 di sini. Dan honestly, aku yang gak terlalu doyan sama sekuel ini, gak antusias-antusias amat menyambut filmnya yang kedua. Tapi ternyata film ini punya alasan tepat untuk hadir, dan actually masih punya banyak ide untuk menggambarkan dunianya. Naskahnya mungkin masih ngikut cetakan yang pertama, tapi penceritaan berhasil membuatnya tambil lebih gede. Seperti juga karakternya yang makin gede, sehingga punya masalah emosional yang lebih gede pula. Untuk mengimbanginya, film juga menaikkan volume komedi, desain karakter yang lebih comic, sehingga film masih mampu menggapai penonton cilik yang udah gak exactly seusia karakter manusianya. Sementara untuk kita yang sudah cukup dewasa, film ini benar-benar sebuah gambaran imajinatif yang seru dan terukur untuk melihat kenapa sih remaja ngalamin hal yang mereka rasakan.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for INSIDE OUT 2

 

 




That’s all we have for now.

Waktu itu aku pernah ikut gamequiz di internet, ‘Emosi Inside Out Apakah Kamu?’ dan aku dapat Disgust. Waktu itu pas masih cuma ada lima karakter emosi sih, kayaknya cocok-cocok aja. Tapi sekarang kayaknya aku lebih cocok si Malu-maluin deh haha.. Bagaimana dengan kalian, menurut kalian karakter emosi apa yang paling dominan pada diri kalian?

Silakan share di komen yaa

Yang pengen punya kaos film lebaran Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL